Efek Samping Kortikosteroid Topikal
description
Transcript of Efek Samping Kortikosteroid Topikal
EFEK SAMPING KORTIKOSTEROID TOPIKALLina Damayanti, S.ked
Bagian /Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan KelaminFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/ RS Moh.Hoesin Palembang
2015
PENDAHULUAN
Terapi farmakologi merupakan terapi yang banyak diberikan pada penatalaksanaan
suatu penyakit. Akan tetapi, setiap obat-obatan yang diberikan memiliki efek samping yang
tidak dapat dihindari sepenuhnya. Sering kali efek samping obat tidak diketahui, kecuali jika
efek samping tersebut dalam bentuk yang berat. Menurut WHO definisi efek samping obat
adalah segala sesuatu khasiat yang tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang dimaksudkan
pada dosis yang dianjurkan.1
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang
sangat luas. Secara alamiah obat ini merupakan hormon endogen yang dihasilkan oleh
korteks adrenal sebagai tanggapan atas hormone adrenokortikotropik (ACTH) yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormone ini berperan pada banyak sistem fisiologis tubuh,
misalnya tanggapan terhadap stress, tanggapan sistem kekebalan tubuh, pengaturan inflamasi,
metabolism karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah serta tingkah laku.1
Kortikosteroid terbagi menjadi dua golongan utama, yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid (Dorland, 2002). Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek
utamanya menyimpan glikogen hepar dan inflamasi, sedangkan golongan mineralokortikoid
memiliki efek utama pada keseimbangan air dan elektrolit (Maibach dkk, 1998).
Kortikosteroid sintetik mulai digunakan sebagai terapi sejak tahun 1950. Tahun 1951
Sulzberger dkk melaporkan keberhasilan terapi kortison sistemik dan adrenokortikotropik
hormon (ACTH) pada pasien peradangan kulit. Satu tahun kemudian, Sulzberger dan Wittern
berhasil mengobati pasien erupsi eksematous dengan hidrokortison topikal. Sejak saat itu,
selama 40 tahun terakhir penelitian dikembangkan untuk mengekplorasi potensi, konsentrasi,
bentuk sediaan, dan bahan aktif kortikosteroid untuk meminimalisasi efek jangka panjang
penggunaan terapi ini. (Jackson dkk, 2012).
Kortikosteroid topikal adalah obat yang digunakan di kulit pada tempat tertentu. Sebagian besar
khasiat yang diharapkan dati pemakaian kortikosteroid adalah sebagai antiinflamasi, antialergi atau
imunosupresif. Karena khasiat inilah kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi.
Perkembangan pengobatan dengan kortikosteroid berjalan dengan pesat. Semakin maju ilmu pengetahuan
semakin banyak pula ditemukan berbagai jenis kortikosteroid yang dapat digunakan dengan berbagai
keunggulan dan efek samping yang semakin sedikit.2 Referat ini akan membahas mengenai
1
kortikosteroid, kortikosteroid topikal, efek samping obat dan efek samping kortikosteroid
topikal.
STRUKTUR MOLEKUL DAN FARMAKOLOGI
Semua hormon steroid sama–sama mempunyai rumus siklopentanoperhidrofenantren
17- karbon dengan 4 buah cincin yang diberi label A-D. Modifikasi dari struktur cincin dan
struktur luar akan mengakibatkan perubahan pada efektivitas dari steroid tersebut. Atom
karbon tambahan dapat ditambahkan pada posisi 10 dan 13 atau sebagai rantai samping yang
terikat pada C17. Semua steroid termasuk glukokortikosteroid mempunyai struktur dasar 4
cincin kolestrol dengan 3 cincin heksana dan 1 cincin pentane.1,3 (Gambar 1).
Gambar 1. Struktur kimia kortison (hidrokortison).
Modifikasi dari kortisol dengan penambahan atau perubahan gugus fungsi pada posisi
tertentu menghasilkan beragam potensi dan efek samping. Misalnya, penambahan sebuah
molekul fluorin (halogenasi) pada posisi C6 dan/atau C9 akan meningkatkan potensi steroid,
tetapi diikuti juga dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid. Penggantian molekul pada
posisi C16 dengan 1α-hidroksil (triamsinolon), 1α-metil (dexametason) atau 1β-metil
(betametason) meningkatkan efek tanpa diiringi peningkatan kadar natrium (Gambar 2).
(Warner dkk, 2007).
2
c. d.
a. b.
Gambar 2. Beberapa contoh topikal kortikosteroid. A. Triamcinolone B. Dexamethasone C. Betamethasone D. Clobetasol 17-propionate
Pelepasan, penggantian atau perlindungan gugus hidroksil dapat meningkatkan lipofilisitas
molekul, sehingga absorbsi perkutan dan aktivitas glucocorticoid-reseptor-binding pun
meningkat. Perlindungan terhadap gugus hidroksil dapat dilakukan melalui reaksi esterifikasi
pada C16, C17, dan C21. Penggantian gugus hidroksil pada C21 molekul betametason dengan
klorin menghasilkan clobetasol 17-propionat (Gambar 2d), kortikosteroid potensi terkuat saat
ini. (Jackson dkk, 2012).
MEKANISME KERJA KORTIKOSTEROID
Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian dengan bantuan
berbagai enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan
androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga merupakan sumber estradiol.
Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari luar
(eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH. Sedangkan sumber
steroid farmaseutik biasanya disintesis dari cholic acid (diperoleh dari hewan ternak) atau
steroid sapogenin dalam diosgenin dan hecopenin tertentu yang ditemukan dalam tumbuhan.
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus menerus.
Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang tersedia
dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya
kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya.4
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target
hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan
membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu
bergerak menuju nucleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek
fisiologik steroid. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang
transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan
fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik
terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.4
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol (juga
disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme
perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya
3
diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik
negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis).
Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada
plasma, kortisol terikat pada protei dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90%
berikatan dengan globulin-a2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya
sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target.
Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol
bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexamethason terikat dengan
albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG. 3,4,5
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh
dapat meningkat apabila hidrokortison (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah
besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol
diekskresi tanpa perubahan di urine sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah
menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum
mencapai hati. 3,4,5
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan
lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednisone
adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.
Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva, dan ruang sinovial.
Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek
sistemik, antara lain supresi korteks adrenal. Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak; dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal,
otot lurik, sistem saraf, dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya
penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan
lingkungan. 3,4,5
Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar
dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga ada keterkaitan kerja
kortikosteroid dengan hormon-hormon lain. Peran kortikosteroid dalam kerjasama ini disebut
permissive effects, yaitu kortikosteroid diperlukan supaya terjadi suatu efek hormon lain,
diduga mekanismenya melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang
mengubah respon jaringan terhadap hormon lain. Misalnya otot polos bronkus tidak akan
4
berespon terhadap katekolamin bila tidak ada kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid
dosis fisiologis akan mengembalikan respon tersebut. 3,4,5
Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik atau farmakologik,
tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu. Misalnya, hewan tanpa kelenjar adrenal
yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan kortikosteroid dosis kecil untuk
dapat mempertahankan hidupnya. Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam
aktivitas biologik, umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh
besarnya efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat
antiinflamasinya. 3,4,5
KORTIKOSTEROID TOPIKAL
Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan non spesifik yang berhubungan dengan
mekanisme aksi yang berbeda termasuk antiinflamasi, immunosupresif, antiproliferatif dan
vasokonstriksi. Steroid topikal menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah di bagian
superfisial dermis, yang akan mengurangi eritema. Kemampuan untuk menyebabkan
vasokontriksi ini biasanya berhubungan dengan potensi anti-inflamasi, dan biasanya
vasokontriksi ini digunakan sebagai suatu tanda untuk mengetahui aktivitas klinik dari suatu
agen. Efektifitas kortikosteroid juga sebagai imunosupresif. Kortikosteroid menekan produksi
dan efek dari faktor humoral pada respon inflamasi, menghambat migrasi leukosit dan
mengganggu fungsi sel endotel, granulosit, sel mastdan fibroblast. Efek antiproliferatif
kortikosteroid topikal dipengaruhi oleh inhibisi dari sintesis dan mitosis DNA. Kortikosteroid
akan menekan ukuran keratinosit dan proliferasi. Aktifitas fibroblast dan formasi kolagen
juga dihambat oleh kortikosteroid topikal.6,7
Kortikosteroid topikal diklasifikasikan dalam 7 golongan berdasarkan potensi
klinisnya, yaitu:1
1. Golongan I : Super Potent
• Clobetasol proprionate ointment dan cream 0,5%
• Betamethasone diproprionate gel dan ointment 0,05%
• Diflorasone diacetate ointment 0,5%
• Halobetasol proprionate ointment 0,05%
2. Golongan II : Potent
• cream 0,1%
5
• Flucinonide gel, ointment, dan cream 0,05%
• Desoximetasone gel, ointment, dan cream 0,25%
3. Golongan III : Potent, upper mid-strength
• Triamcinolone acetonide ointment 0,1%
• Fluticasone proprionate ointment 0,05%
• Amcinonide cream 0,1%
• Betamethasone diproprionate cream 0,05%
• Betamethasone valerate ointment 0,1%
• Diflorasone diacetate cream 0,05%
• Triamcinolone acetonide cream 0,5%
4. Golongan IV : Mid-strength
• Fluocinolone acetonide ointment 0,025%
• Flurandrenolide ointment 0,05%
• Fluticasone proprionate cream 0,05%
• Hydrocortisone valerate cream 0,2%
• Mometasone fuorate cream 0,1%
• Triamcinolone acetonide cream 0,1%
5. Golongan V : Lower mid-strength
• Alclometasone diproprionate ointment 0,05%
• Betamethasone diproprionate lotion 0,05%
• Betamethasone valerate cream 0,1%
• Fluocinolone acetonide cream 0,025%
• Flurandrenolide cream 0,05%
• Hydrocortisone butyrate cream 0,1%
• Hydrocortisone valerate cream 0,2%
• Triamcinolone acetonide lotion 0,1%
6. Golongan VI : Mild strength
• Alclometasone diproprionate cream 0,05%
• Betamethasone diproprionate lotion 0,05%
• Desonide cream 0,05%
• Fluocinolone acetonide cream 0,01%
• Fluocinolone acetonide solution 0,05%
• Triamcinolone acetonide cream 0,1%
7. Golongan VII : Least potent
6
• Obat topikal dengan hydrocortisone, dexamethasone, dan prednisole.
Dalam penggolongan ini, obat yang sama dapat ditemukan dalam klasifikasi potensi
obat yang berbeda tergantung dari vehikulum yang digunakan.1
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk
suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatjf dan
supresjf terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal. Biasanya pada
kelainan akut dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah contohnya pada anak-anak dan
usia lanjut, sedangkan pada kelainan subakut digunakan kortikosteroid sedang contonya pada
dermatitis kontak alergik, dermatitis seboroik dan dermatitis intertriginosa. Jika kelainan
kronis dan tebal dipakai kortikosteroid potensi kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis
atopik, dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular. 2
EFEK SAMPING OBAT
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena
seperti halnya efek farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang
kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh.
Kalau suatu efek farmakologi terjadi secara ekstrim, inipun akan menimbulkan pengaruh
buruk terhadap sistem biologik tubuh.3
Pengertian efek samping dalam pembahasan ini adalah setiap efek yang tidak
dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse reactions) dari suatu
pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi dapat
ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang
sebagian besar sudah diketahui. Beberapa contoh efek samping misalnya: 3,5
Reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik)
Hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek farmakologik yang berlebihan)
Osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek samping karena
penggunaan jangka lama)
Hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala penghentian obat -
withdrawal syndrome)
Fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid pada masa awal
kehamilan (efek teratogenik), dan sebagainya.
Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh
karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya:
o Kegagalan pengobatan,
7
o Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced
disease atau iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh pasien,
o Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi,
memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit yang baru tadi (dampak
ekonomik).
o Efek psikologik terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan
terapi lebih lanjut misalnya menurunnya kepatuhan berobat.
Sayangnya tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah dalam tahap awal,
kecuali kalau yang terjadi adalah bentuk-bentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali secara
klinis. Angka kejadian yang dilaporkan cukup beragam.3,5
EFEK SAMPING KORTIKOSTEROID TOPIKAL
Penggunaan kortikosteroid topikal juga dapat menyebabkan beberapa efek samping
seperti, striae, telangiektasis, eritema, perioral dan peroocular acneform. Penggunaan
kortikosteroid topikal dapat menfasilitasi proliferasi dari dari Propionibacterium acnes, hal
inilah yang berperan dalam pembentukan timbulnya acnes Rosaea. Selain itu, supresi
terhadap sistem imun lokal kulit juga dapat memicu timbulnya pertumbuhan dari jamur.6
Efek samping dapat terjadi apabila:8
1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.
2. Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat
atau penggunaan sangat oklusif.
Beberapa tingkat efek samping penggunaan kortikosteroid topikal, yaitu:8
Efek Epidermal
Efek ini antara lain:
Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik dermal,
suatu penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran dari
konvulsi dermo-epidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin
topikal secara konkomitan.
Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah ditemukan.
Komplikasi ini
muncul pada keadaan oklusi steroid atau injeksi steroid interakutan.
Efek Dermal
8
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar. Ini
menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah akan
menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan intradermal
yang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini
nantinya akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia
kulit prematur.
Efek Vaskular
Efek ini termasuk:
Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada awalnya menyebabkan
vasokontriksi pada pembuluh darah yang kecil di superfisial.
Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh
darah yang kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan
edema, inflamasi lanjut, dan kadang-kadang pustulasi.2,6
KESIMPULAN
Terapi farmakologi merupakan terapi yang banyak diberikan pada penatalaksanaan
suatu penyakit. Akan tetapi, setiap obat-obatan yang diberikan memiliki efek samping yang
tidak dapat dihindari sepenuhnya. Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang
dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Kortikosteroid merupakan
obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat luas. Berdasarkan cara penggunaannya
kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal. Efek klinis dari
kortikosteroid topikal berhubungan dengan empat hal yaitu: efek anti-inflamasi, anti-
proliferasi, immunosupresan, dan vasokontriksi. Efek samping dapat terjadi apabila
penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan serta pada potensi kuat atau
sangat kuat atau penggunaan sangat oklusif. Dapat dibagi beberapa tingkat aitu efek
epidermal, dermal, dan vaskular. Efek samping lokal yang dapat terjadi meliputi atrofi,
telangiektasis, striae atrofise, purpura, dermatosis acneformis, hipertrikosis setempat,
hipopigmentasi, dan dermatitis perioral.
9
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, A. Pengobatan dengan Kortikosteroid Sistemik dalam Bidang
Dermatovenereologi. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai penerbit
FK UI. Jakarta. 2007.
2. Lewis V. Topical corticosteroid, All NetDoctor [Internet]. 2007 Mei. Available from:
http://www.netdoctor.co.uk/index.html.
3. Katzung, B.G. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika. Jakarta. 2002.
4. Guyton AC, John EH. Buku Ajar Fisisologi Kedokteran : Hormon Adrenokortikal. Edisi 11. Jakarta: EGC. 2002
5. Gunawan, S.G. Farmakologi dan Terapi. FKUI. Jakarta. 2007.
6. Valencia, Isabel C and Francisco A. Kerdel. Topical Corticosteroids, in Fitzpatrick :
Dermatology in general medicine, 8th Ed, New York. Mc Graw Hill. 2012.
7. Ardhie, Ari Muhandari. Dermatitis dan Peran Steroid dalam Pananganannya. DEKA
MEDIA: No. 4, Vol 17. Jakarta. 2004.
10