Edisi 1 - Urban Style
-
Upload
linda-agustina -
Category
Documents
-
view
567 -
download
3
Transcript of Edisi 1 - Urban Style
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Salam Redaksi,
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya edisi perdana majalah Fokal ini. Sebagai media online bulanan,
Fokal menyajikan beragam tema yang bersifat faktual, objektif dan kontekstual terhadap tantangan yang ada dalam
kehidupan sehari-hari.
Beragam rubrik coba disajikan oleh redaksi, yang diisi oleh para penulis-penulis muda dari berbagai kalangan. Rubrik
artikel yang tersedia berupa rubrik Utama, aspek Politik, Sosial, Hukum, Budaya, Pendidikan, Teknologi, Ekonomi. Dan
dilengkapi rubrik Profil, Tanya Jawab, Relasi, Opini, Sekilas Info dan Karikatur. Dalam perjalanannya Fokal diharapkan
akan terus berkembang dan mampu pula menjadi media yang mendidik, mendorong kemajuan pola pikir dan sikap.
Pada edisi pertama, redaksi mengangkat tema “Urban Style”. Mengupas dampak positif dan negatif dari gaya hidup
perkotaan, yang dirangsang oleh globalisasi.
Redaksi sangat berharap adanya kontribusi dari para sahabat, baik itu berupa karya tulis, kritik, saran maupun yang
lainnya.
Akhirnya, Saya mewakili redaksi mengucapkan selamat bergabung dan selamat membaca.
Pemimpin Redaksi
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Utama - Dunia Malam, Dunia Gemerlap
"Dugem, ya dunia anak muda yang dilakukan di diskotik maupun kafe. Dugem
ya nggak apa-apa sih, kan cuma happy-happy aja, tergantung niat kita. Kalau
niat kita positif nggak apa-apa yang penting bisa jaga diri. Aku pernah sih
masuk ke diskotik sama temen-temen, kegiatanku di diskotik ya joged,
merokok, plus minum. Hampir seminggu sekali aku ke diskotik, setiap aku bete
diskotiklah yang menemaniku", ujar Shera, siswi sebuah SMA Negeri di
Bandung. Remaja yang baru mencari jati diri sangatlah rentan untuk ditawari
hal-hal yang bersifat negatif. Biasanya dikarenakan oleh rasa penasaran terhadap hal-hal yang baru, tidak terkecuali
dugem.
Dugem atau dunia gemerlap merupakan arena baru yang dijadikan tempat bergaul para remaja. Masing-masing tempat
dugem menawarkan hiburan yang menarik seperti mendatangkan DJ (Disc Jockey), grup musik, mengadakan lomba
dance atau pemilihan putri kafe. Hiburan yang tentunya untuk menarik perhatian masyarakat.
"Dugem itu menghilangkan jenuh. Ya..aku cuma dengerin musik dan joged," kata seorang siswa SMK di Bandung. Jika
alasannya hanya untuk menghilangkan jenuh rasanya kurang tepat, karena banyak cara lain untuk membuang jenuh.
Seperti liburan, olah raga atau main musik, yang tidak hanya bisa menghilangkan jenuh tapi juga bisa bermanfaat bagi
tubuh. Orang yang mempunyai hobi dugem, tidak bisa mengistirahatkan badannya. Siang badan sudah letih dengan
berbagai aktivitas, sedangkan malam yang seharusnya untuk istirahat, malah buat dugem. Apalagi jika saat dugem,
mereka merokok dan minum-minuman keras.
“Dugem itu nggak melulu nge-drugs, nge-sex or mabok-mabokan. Tapi juga tempat untuk nongkrong, liat live music atau
penampilan artis dan band-band keren. Dugem udah jadi lifestyle bagi sebagian orang. Kalau nggak dugem nggak enak,
rasanya nggak gaul”, kata teman-teman yang sering ngedugem. Lifestyle atau gaya hidup, sebenernya adalah suatu
pengekspresian diri terhadap apa yang disukai. Nah, kalau melakukan sesuatu hanya karena label “gengsi, takut dibilang
nggak gaul”, apa itu masih bisa disebut lifestyle? Dugem itu memang lifestyle!
Kehidupan perdugeman di Indonesia mulai berkembang setelah orde baru, karena mengadopsi budaya western. Jaman
Bung Karno dulu tidak ada. Karena beliau memang melarang segala sessuatu yang berbentuk westernisasi. Bagi penulis,
dugem adalah bentuk perkembangan modernisasi. Anak muda itu punya gaya hidup tersendiri dibandingkan orang tua.
Itu adalah suatu proses yang memang dijalani oleh setiap orang. Sebenarnya, dugem dan berdisko itu bukanlah hal yang
aneh. Kebanyakan anak muda dugem karena mencari kegembiraan. Perkembangan jaman itu berbeda di setiap
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
generasi. Kalau dulu, di era 70-an, yang paling terkenal adalah slogan buku, pesta dan cinta. Maksudnya, setelah belajar
ya berpesta sambil pacaran. Semua itu tergantung pada masa jaman dimana kita berada dan sistem politiknya.
Bagaimana dengan anak muda yang menganggap kata-kata "gaul" itu sebagai prestise atau suatu kebanggaan? Banyak
anak muda yang berusaha mendapatkan prestise tersebut. Menurut penulis, prestise-prestise tersebut di adopsi dari gaya
hidup bangsawan Eropa. Mereka menganggap, hidup itu harus punya “friends”, punya club (keanggotaan suatu
komunitas). Sehingga hidup bisa dinikmati melalui berbagai macam hal seperti club berburu, club memancing atau club
pesta, dll. Jadi, eksistensi seseorang/identitas seseorang itu muncul melalui club-club atau komunitas dimana ia berada.
Belum lagi zaman sekarang, banyak mahasiswa dan pelajar yang tidak ingat waktu kalau clubing. Biarpun itu musim
ujian, besok masih sekolah bukan hari libur, mereka tetap saja clubing. Bahkan ada yang hampir tiap hari. Nah, trus
kapan belajarnya? Kebanyakan mahasiswa atau pelajar yang sering ngedugem itu karena proses belajar mengajar era
sekarang ini kurang memberi banyak tugas. Sehingga pelajar menjadikan sekolah sebagai formalitas saja dan lebih
banyak bergembira di luar, salah satunya dengan berdugem ini.
Coba bandingkan dengan mahasiswa kedokteran. Jarang sekali, bahkan hampir tidak ada yang clubing, karena mereka
tidak ada waktu untuk itu. Sebenarnya, kalau hanya untuk mengekspresikan eksistensi diri mereka dengan menari dan
bernyanyi di sebuah club, itu tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah, di zaman ini banyak anak muda yang
menyertakan kegiatan negatif lainnya, seperti mabuk, free sex dan narkoba. Sekalipun banyak orang menganggap kalau
mencoba minuman keras saat dugem itu bisa membuat enjoy, ternyata juga berdampak negatif bagi kesehatan.
Agustian Sitohang
*Aktivis Muda GKI
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Artikel
Teknologi - Buat Gaya Doang
Menyaksikan dari kemajuan teknologi serta arus budaya yang dapat
dengan mudah dinikmati oleh masyarakat, dan meningkatkan
konsumsi oleh masyarakat.
Dalam hal ini media massa berperan besar terhadap peningkatan
gaya hidup, sebagai contoh: Di sela-sela kesibukannya, seorang
wanita cantik dengan setelan blazer yang indah memasuki sebuah
restoran siap saji. Ditangannya terjinjing sebuah tas berisi laptop dan
bergegas memesan makanan, lalu keluar lagi sambil makan. Di sela
makannya, ia mengeluarkan Blackberry lalu menelpon, sembari
dengan gerakan tangan memanggil taxi yang kemudian membawanya pergi.
Peristiwa seperti itu mungkin jarang kita temui pada masyarakat urban Indonesia. Rata-rata sebagian besar dari orang
Indonesia tidak melakukan hal tersebut, masyarakat urban Indonesia ternyata lebih senang duduk berlama-lama didalam
restoran, sambil ngobrol dan bercanda ria. Pada hal lain seringkali kita melihat tayangan sinetron di media televisi, yang
kebanyakan mengisahkan kebanggaan para remaja pada produk luar negeri. Seolah-olah buatan luar negeri telah
memberikan prestige tersendiri dalam kehidupan mereka.
Betapa miskinnya sinetron kita ini yang lebih banyak menampilkan sisi lain dari kehidupan yang ada di luar peradapan
urban Indonesia, seolah–olah masyarakat kita hanya terdiri dari orang kota; desa-desa, kampung-kampung yang
merupakan bagian terbesar dari wilayah Indonesia tidak mendapat tempat sewajarnya, kalau model sinetron selalu
menampilkan wajah urban seperti itu, bisa-bisa para anak muda Indonesia akan kehilangan identitas lokalnya, karena
tidak bangga dengan budaya dan produknya sendiri.
Sekarang apakah dengan memakai teknologi yang “up to date” akan memiliki nilai prestige? Untuk sebagian orang tentu
saja akan setuju. Sekarang sedang boomingnya gadget Blackberry (BB), bagi orang yang merasa harus up to date,
berapa pun mahalnya dan jumlah handphone yang telah dimiliki tetap belum abdol kalau tidak memiliki BB. Lalu
salahkah bahwa kita memanfaatkan kehadiran teknologi sebagai gaya hidup? Oh, jelas tidak! Persoalannya, ketika
teknologi membuat manusia teralienasi satu dengan yang lain dan menganggap telat membeli gadget teranyar sebagai
gaptek. Media memberitakan dampak dari pemakaian gadget canggih telah menjadikan seorang pegawai dipecat
karena asyik menggunakan BB di jam kerja.
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Pencapaian teknologi yang canggih oleh manusia telah mendorong konsumerisme yang tinggi dikalangan para urban.
Penyesuaian diri terhadap kecanggihan teknologi tidak dimbangi dengan pemahaman untuk hidup secara komunal dan
membangun interaksi dengan sekelilingnya. Sisi lain gaya hidup urban menjadikan kehidupan seolah-olah lebih mudah
dan lebih santai untuk dijalani. Memang dampak dari kehadiran teknologi tidaklah selalu buruk, industri jasa dan
produksi, riset-riset kesehatan, olah raga, hiburan, kuliner, dan sebagainya telah banyak terbantu. Efisiensi dan efektifitas
lebih mudah dicapai dengan menggunakan teknologi sekarang ini.
Beberapa hal negatif telah muncul dari lahirnya kecanggihan sebuah teknologi:
1. Dampak terhadap manusia
a. Kepribadian terhimpit, karena pengaruh informasi yang sifatnya global maka manusia cenderung menjadi
manusia yang terpengaruh oleh isue-isue global, sementara kultur, nilai-nilai lokal menjadi terkikis.
b. Objektitas manusia (dehumanisasi), manusia dianggap sebagai hal yang objektif, diurai-urai hanya
melalui hal-hal yang dapat diukur atau dihitung saja, sedangkan yang lain dianggap sebagai peripheral
dan tidak menjadi pertimbangan dalam usaha-usaha pengembangan, pendidikan dan peningkatannya.
c. Krisis teknologi, berbagai krisis yang melanda dunia abad ini, terutama disebabkan perkembangan
teknologi yang terlalu cepat, sehingga proses adaptasi dan integrasi tidak sempat dilakukan. Akibatnya
terhadap individu ialah mengalami technostress, penyakit urban, penyakit peradaban.
2. Dampak terhadap lingkungan.
a. Seperti halnya dampak terhadap manusia, maka dampak negatif terhadap lingkungan bertambah penting
karena semakin luas, cepat dan irreversible. Beberapa hal, antara lain: terkurasnya sumber daya,
karena teknologi cenderung berkembang kearah penciptaan kebutuhan baru, hiperkonsumsi, maka
manusia makin meningkat terutama untuk kebutuhan kultural.
b. Beban lebih informasi, lingkungan informasi juga akan meninggalkan problem karena pertumbuhannya
sangat cepat, melampaui daya serap dan daya olah manusia.
c. Konsumsi tinggi dan massal, konsumsi massal makin membebani lingkungan dan menyebabkan
ketidakseimbangan. Jika dinamika sosial ekonomi tidak bergerak seiring dengan peningkatan konsumsi,
maka masyarakat dunia ketiga hanya menjadi konsumen barang-barang dari negeri maju.
d. Gangguan iklim, tumbuhnya kawasan industri baru, sehingga menimbulkan perubahan cuaca dan iklim.
Penutup: Era informasi dan teknologi tinggi telah hadir ditengah-tengah kita, suka atau tidak suka jelas membawa
dampak positif dan negative. Kita harus mempunyai inisiatif menyambut datangnya era informasi dan teknologi canggih
ini. Sebisanya kita memanfaatkan kecanggihan teknologi ini untuk memajukan kebudayaan dan produk-produk lokal.
Melihat itu semua, kembali pada penilaian diri masing-masing, kebutuhankah atau hanya sekedar prestige? Atau tag line
sebuah iklan rokok yang mungkin pas dengan realita masyarakat kita “Enjoy Aja!” [MN]
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Budaya - Tepo Seliro: Di mana Indonesiamu?
Apa yang anda pikirkan ketika mendengar kata Budaya? Beberapa
sahabat saya langsung mengidentikan budaya dengan tradisional,
kolot dan berbau antik alias kuno. Dengan pola pikir tersebut budaya
sepertinya dianggap kurang cocok dengan perkembangan jaman
sekarang ini.
Perbandingan sederhananya, dalam sebuah acara pementasan
budaya, bila disandingkan dengan konser musik seorang penyanyi
asal luar negeri kita bisa melihat acara mana yang akan lebih banyak dikunjungi oleh masyarakat. Padahal untuk sebuah
konser musik seperti itu, penonton harus merogoh koceknya dalam-dalam demi sebuah pertunjukan berdurasi 2 jam.
Alasannya, kapan lagi bisa menonton artis “import” di negara ini?
Kondisi ini memberikan sedikit gambaran bagaimana pembicaraan tentang budaya bangsa menjadi kurang menarik.
Membicarakannya saja sudah tidak tertarik, bagaimana dengan mempertahankannya, mempelajarinya atau bahkan
menerapkan dalam kehidupannya?
Saya memiliki seorang sahabat yang sangat menyukai lagu-lagu berbau 'tradisional' seperti campur sari dan keroncong.
Dan dia sangat bangga dengan hal tersebut. Tak urung ia suka mengenakan batik bahkan ketika berangkat ke kantor.
Perilakunya yang sangat mencintai adat tersebut sering disalah artikan oleh teman-temannya sebagai 'selera orang tua'
atau dalam bahasa prokemnya 'jadul' alias jaman dulu. Itulah satu contoh kecil dan sederhana, bagaimana banyak orang
yang sudah mulai enggan mengakui budayanya sendiri dan sebaliknya membanggakan budaya asing, terutama budaya
Amerika dan Eropa. Budaya tidak hanya sesempit lagu, pakaian, tarian, makanan, dll. Budaya juga meliputi sikap dan
nilai-nilai hidup sampai pada bagaimana interaksi kehidupan sehari-harinya.
Gaya hidup kaum urban yang serba modern dan praktis menjadikan budaya bangsa semakin terasing. Budaya tepo
seliro, gotong royong bahkan budaya malu juga patut dipertanyakan keberadaanya dalam masyarakat urban yang
modern ini. Budaya hidup individualistis ”lu-elu, gue-gue” dan budaya materialistis menjadi lebih kental dan melekat
dalam kehidupan masyarakat kota.
Bila ditelaah lebih jauh, kehidupan modern selalu memunculkan budaya baru, entah benar-benar baru atau hasil adaptasi
atau percampuran (Mix Culture). Budaya baru tersebut kemudian diperkenalkan dan berkembang dalam masyarakat,
sehingga akhirnya menjadi identitas dari sebuah komunitas. Budaya itu kemudian seolah-olah memaksa orang
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
mengikutinya. Meskipun tidak semua kebudayaan urban itu buruk. Semangat egaliter dan penghargaan terhadap
kompetisi merupakan sisi positif yang dapat ditiru.
Tapi dibalik itu, banyak juga sisi negatif dari kebudayaan urban yang tidak sesuai dengan akar budaya dan filosofi
kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Misalnya, budaya konsumsi, hedonisme – yang telah keluar dari akar
aslinya dalam tradisi filsafat – hingga budaya instan, yang lebih menghargai hasil ketimbang proses. Maka tak aneh demi
mendapatkan sesuatu orang rela menanggalkan standar moral yang diyakininya, lihatlah betapa banyak contoh tentang
ini tersaji dalam keseharian.
Perlu kita ingat bangunan Indonesia sesungguhnya bukanlah hanya kota. Djuanda telah jauh-jauh hari mengingatkan kita
bahwa Indonesia adalah bangunan yang tersusun atas gugusan pulau, yang sempat populer dalam lagu nasional kita;
Dari Sabang Sampai Merauke. Bahkan Soekarno memperjelas bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang dibangun
warganya karena adanya penderitaan yang sama; Penderitaan di bawah kekejaman kaum kolonial dan imperial. Dan
semua itu bukan hanya kota, tapi juga desa. Penulis Pramoedya Ananta Toer, dalam Jejak langkahnya telah
mengingatkan bangsanya agar selalu mengupayakan menjadi bangsa yang satu di dalam sebuah negara yang bernama
Indonesia, tanpa membedakan ras, agama, bahkan antara kota dan desa.
Tepo seliro, sebuah istilah dalam bahasa jawa yang artinya kurang lebih mengedepankan harmoni, keserasian,
kerukunan, dan rahmat. Dalam kehidupan masyarakat modern, tepo seliro sudah menjadi barang antik. Padahal, budaya
ini merupakan akar dari kehidupan masyarakat Indonesia yang berbhineka. Keberagaman kultur dalam masyarakat kita
perlu diseimbangkan dengan sikap toleran dan saling menghargai. Perilaku sopan santun dan etika menjadi salah satu
bagian dari budaya tepo seliro.
Satu hal yang seharusnya menjadi perenungan kita, apakah kita masih memiliki budaya tepo seliro itu di dalam
kehidupan sehari-hari yang serba modern ini? Jawabannya itu hanya akan timbul lewat perilaku kita sehari-hari. Jika kita
mengaku sebagai orang Indonesia, di mana Indonesiamu?
Fanny Febyanti
*Aktivis Muda GKI
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Ekonomi - Dosa Abad Konsumerisme Urban
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan 4 tahun 2008 lalu ditutup pada
angka 5,2 persen. Dari total pendapatan nasional sisi pengeluaran sebesar Rp1,158
triliun, sebanyak 80,2 persen nya disumbang oleh sektor konsumsi. Dari jumlah
tersebut, sebesar 86,1 persen nya adalah konsumsi pribadi (rumah tangga) (Bank
Indonesia, Laporan Tahunan 2008). Jumlah ini lebih besar dibandingkan kuartal-
kuartal sebelumnya, menunjukkan terjadinya peningkatan. Kita semakin konsumtif
dan konsumerisme kita rupanya telah menjadi pilar pertumbuhan utama ekonomi
Indonesia. Sungguh pencapaian yang tidak lestari.
Konsumerisme Urban
Berbicara tentang konsumsi tidak dapat lepas dari unsur budaya. Aktivitas konsumsi,
yang dapat diartikan secara ekonomi sebagai penghabisan nilai guna suatu barang
dan jasa, dipengaruhi juga oleh unsur rasa dan selera, serta nilai-nilai hidup yang
terakomodir di dalamnya.
Ada beberapa faktor pendorong terjadinya konsumerisme urban. Yang pertama adalah apa yang disebut dengan efek
meniru atau demonstration effect. Sikap ini terjadi manakala seorang individu urban mengadopsi tren kultur masyarakat
urban yang umumnya dibangun atas dasar-dasar rasionalitas dan kapital. Masyakarat urban secara naluriah memiliki
karakter industrial, dan mencitrakan dirinya dengan ukuran-ukuran pencapaian industrial pula, misalnya besaran gaji,
informasi dan teknologi. Ia mau menghadirkan eksistensi diri manusia yang cerdas, terdidik, global, dan berduit.
Akibatnya seorang individu tidak rela, apabila dirinya dianggap ketinggalan zaman, gagap teknologi, atau kurang melek
busana. Karena dalam peradaban uang realitas-realitas tersebut umumnya hanya dapat diakses dengan kapital, maka
uang dan konsumsi menjadi muara utama putusan pencitraan diri.
Kedua, bangkitnya pemasaran. Ilmu baru ini mengemuka secara evolutif seiring Revolusi Industri di abad ke-17 dan
mencapai maturitasnya yang signifikan ketika kekuatan produksi mencapai puncaknya di abad ke-20, dimana pasar telah
jenuh (saturated) dan laba perusahaan hanya bisa diraih lewat jalinan hubungan baik dan lebih personal dengan
konsumen. Karena sistematisasi pemasaran menjadi kajian independen dan mandiri inilah, benak pikir masyarakat urban
dipenuhi dengan berbagai macam merk. Kepuasan dan kebahagiaan orang urban, direduksi tanpa sadar menjadi
penguasaan atas merk-merk tertentu.
Ketiga, menguatnya identitas dalam diri masyarakat urban. Citra modern misalnya, mau dicapai dengan terlihat
nongkrong di Starbucks, memakai tas merk Guess atau Louis Vuitton, berponsel Blackberry, berjalan kaki sambil
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
mendengarkan iPod dan lain sebagainya. Sungguh belum modern rasanya, apabila belum menyandang merk-merk
tersebut. Di beberapa kota seperti Bandung misalnya, pencitraan ini sangat kuat. Bahkan sering tidak diimbangi oleh
kemampuan ekonomi riil sang individu, sehingga kerap melahirkan gejala hipokrisi topeng dimana modal (lewat merk)
mengkhianati pencapaian kapasitas budaya berekonomi yang natural dari penyandangnya.
Gegar Sosial dan Ekonomis: Dampak Konsumerisme Urban
Adab masyarakat urban yang konsumtif ini membawa sejumlah implikasi. Yang pertama adalah gejala ekonomisme
(economism), yang mau memandang berbagai realitas melalui pendekatan ekonomi material. Istilah ini digunakan
pertama kali oleh antropolog Marshal Sahlins (1976) dan disinggung kembali oleh Mubyarto (1978) dalam tulisannya yang
berjudul “Involusi Pertanian Dan Pemberantasan Kemiskinan: Kritik Terhadap Clifford Geertz.” sebagai kritiknya terhadap
tesis Geertz (1963) tentang tipologi sosio-religi masyarakat Jawa. Lewat ekonomisme, kebahagiaan mau dipahami hanya
sebatas dimensi ekonomi saja. Akibatnya, publik bisa menjadi abai terhadap realitas non-ekonomi dan memfokuskan
kekuatan-kekuatan sosial maupun personalnya pada kemampuan meraih pendapatan (income) dan laba semata.
Dua, distorsi nilai dan kapasitas ekonomi individu. Karena orang ingin dicitrakan dengan gaya hidup urban, ia akan
melakukan apapun untuk mencapainya. Ini yang keblinger. Bila sang penyandang nilai tidak membarengi idealisme
tersebut dengan kapasitas ekonomi dan kapabilitas yang memadai, ia akan terjebak dalam identifikasi semu dan
melakukan apapun “semau gue” untuk memenuhi hasrat urbannya. Tidak jarang, prostitusi di kalangan remaja dan
perdagangan narkoba menjadi jalur untuk menambah “nafkah” guna menyegerakan pelakunya mencapai hal -hal material
tertentu agar dapat setaraf dengan orang urban yang lain.
Di sisi makro, pertumbuhan ekonomi yang hanya disokong oleh konsumsi bukanlah pertumbuhan yang lestari. Pasar
konsumtif, umumnya negara-negara sedang berkembang, sesungguhnya adalah pasar yang pasif. Ia menjadi objek
bukan subjek penciptaan nilai. Ia terus menjadi konsumen dan bukan produsen. Tidak heran, negara-negara maju seperti
AS, Jepang dan Jerman akan terus menjadi makmur sementara negara berkembang tidak pernah beranjak dari
ketimpangannya. Inilah yang dikritik secara tajam oleh ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz dalam bukunya Globalization
and Its Discontents (2002). Akibat kritiknya terhadap perekayasaan konsumerisme negara berkembang oleh negara maju
secara sistematis inilah, sang Nobelis didepak dari posisinya sebagai wakil direktur sekaligus ekonom kepala Bank Dunia.
Akhirnya, tidakkah kita ingat hajaran sejarah lewat Krisis Asia tahun 1998 silam, yang sungguh mengingatkan dunia
bahwa keserakahan, kekurangcermatan dan iluminasi pembentukan konsumsi semu, yang sama sekali dilakukan bukan
atas modal (uang) kita sendiri, telah menyeret sebagian besar negara Asia termasuk Indonesia ke dalam jurang
kemiskinan lanjutan? Hendaknya kita sungguh berpikir.
Anggoro Budi Nugroho
* Mahasiswa program Magister Administrasi Bisnis pada Institut Teknologi Bandung (ITB)
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Politik - Pancasila: Tidak Laku, Sekarat atau Telah Mati?
Pancasila tidak laku? Mati? Ah, yang benar saja? Ya, paling tidak
dalam kondisi sekarat, pingsan atau mati suri. Betapa tidak, dalam
sebuah artikel di internet, berdasarkan hasil survei tahun 2006
diungkapkan bahwa 80% mahasiwa memilih agama sebagai
pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Lalu, 15,5% responden
memilih sosialisme, hanya 4,5% yang memilih Pancasila sebagai
pandangan hidup berbangsa dan bernegara.
Konon, penelitian ini dilakukan di beberapa perguruan tinggi seperti
Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi
Bandung, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya. Semua perguruan tinggi tersebut merupakan basis
pergerakan politik di negeri kita, Indonesia. Sejak peristiwa reformasi 1998, generasi muda maupun masyarakat
sepertinya alergi serta sinis terhadap Pancasila.
Celakanya, pemerintah menghapus Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4). Bahkan sekitar 70% perguruan tinggi di Indonesia telah menanggalkan mata kuliah
Pancasila dari bahan ajarannya. Cukup memperihatinkan bukan? Lalu, mengapa bisa demikian? Mereka yang „menolak‟
Pancasila merasa kecewa karena tak ada perubahan yang berarti dalam hidup mereka. Terlalu dangkal memang, tapi
inilah realitas yang tengah kita hadapi.
Di era Orde Baru, Pancasila menjadi bagian dari indoktrinasi penguasa (negara) terhadap masyarakat. Terkesan
dijejalkan dan dipaksakan. Sisi positifnya, setidaknya kita hafal isi kelima sila Pancasila, bahkan mungkin butir-butirnya.
Namun, perilaku tak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang dipraktikkan para pemimpin negeri ini membuat mual dan
eneg generasi muda serta masyarakat kita. Dan akhirnya ketika reformasi tercetus, Pancasila yang merupakan spirit
perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara kita, dimuntahkan sedemikian rupa, persis seperti pengidap Bulimia atau
Anorexia.
Alih-alih Pancasila dijadikan landasan dalam memperbaiki peri kehidupan bangsa, diam-diam ataupun terang-terangan,
Pancasila malah dianggap tak relevan lagi bahkan ada yang berkeinginan menggantinya dengan dasar negara berbasis
agama tertentu. Bahkan menghalalkan segala cara, termasuk meraup kekuasaan politik, sambil mengharamkan pihak
lain yang tak sepaham.
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Bentrok pada peristiwa Monas 1 Juni 2008 lalu, merupakan rekam jejak penting sebagai indikasi bahwa ada pihak-pihak
atau kelompok yang tak lagi acuh terhadap nilai-nilai luhur bangsanya sendiri. Kelompok ini menganggap bahwa
Pancasila adalah produk asing (Barat). Sementara, seperti diungkapkan Gus Dur dalam pengantar buku “Ilusi Negara
Islam”, kelompok ini pun memaksakan nilai-nilai/budaya asing lain dengan jubah agama. Lalu bagaimana dengan
generasi muda kita, terutama kaum intelektual yang semestinya mengambil posisi netral serta menjadi corong pendidikan
bagi masyarakat? Rupanya, dunia pendidikan pun tak kebal dari keberpihakan.
Tentu saja, geliat semangat memperbaiki kondisi bangsa Indonesia yang masih carut marut ini patut kita hargai. Namun
amat disayangkan, jika kondisi ini justru dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang mengail di air keruh, memperkeruh
suasana tak kondusifnya kehidupan umat beragama lima tahun terakhir ini. Masyarakat kita perlu tetap diingatkan agar
senantiasa waspada. Tetap berusaha membuat simpul-simpul dialog sambil mencabut akar-akar kekerasan.
Sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa Indonesia, tak sepatutnya kita berpangku tangan, atau cuek bebek. Di
tengah derasnya budaya urban yang menjangkiti masyarakat perkotaan, kita harus tetap mampu memilih dan memilah
dengan bijak. Tak ayal, pilihan-pilihan yang disuguhkan memang begitu instan, beragam, menggiurkan, dan menjanjikan.
Lihat saja, semua disajikan dengan serba fast and furious. Semua itu mengalir bersamaan dengan sifat alamiah manusia
untuk bersaing satu sama lain.
Pola ini tentu akan terkesan bertubrukan dengan sifat tumbuh spiritual manusia yang membutuhkan proses non-instan.
Agama tak kebal dari gempuran budaya urban tersebut. Justru, dalam pemikiran penulis, agama mesti diposisikan
sebagai pengimbang, filter, sekaligus pengendali (bukan mengebiri atau mengkrangkeng) gerak laju derasnya budaya
urban tersebut. Umat beragama pun meski memiliki fungsi mentransformasi perilaku bangsanya ke arah yang lebih baik,
sambil mentransformasikan pandangan-pandangan keagamaannya dalam bingkai ke-Indonesiaan yang pluralis.
Mati tidaknya, atau laku tidaknya Pancasila tidaklah menjadi tanggung jawab bangsa asing, namun tanggung jawab kita,
bangsa Indonesia. Pancasila sudah mati? Tentu saja jawabannya berpulang pada diri kita sebagai bagian dari bangsa ini.
Selamat memilih!
Dommy Waas
*Aktivis Muda GKI
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Hukum - Rule Was (Not) Made to be Broken, Dude !
Jargon “rule was made to be broken” sudah dipahami sebagai
sebuah kewajaran. Sehingga tak heran lagi kalau kita bisa melihat
pelanggaran-pelanggaran kecil, seperti buang sampah tidak di
tempatnya, atau menyelesaikan perkara tilang dengan “sidang di
tempat”. Anehnya, kondisi itu justru acapkali lahir di tengah-tengah
masyarakat perkotaan, yang ngakunya sudah berpendidikan dan
lebih tercerahkan dibandingkan masyarakat pedesaan. Yang lebih
parahnya lagi, aparat penegak hukum merelakan dirinya menjadi
“saluran berkat” atas pelanggaran-pelanggaran tersebut, mulai
dari pegawai ecek-ecek, hingga pejabat tinggi yang lagi-lagi
ngakunya melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Hal ini menjadi fakta yang tak terelakkan dan menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari kita sebagai warga kota, dan seakan kita tak berdaya untuk mengubah itu semua.
Benarkah?
Sosiolog asal Jerman, Ferdinand Tönnies, pernah mengemukakan dua kategori kelompok sosial diantara manusia. Yang
pertama adalah gemeinschaft, yaitu kelompok yang lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan
pribadi. Sedangkan kategori kedua adalah gesellschaft, yang merupakan kebalikan dari gemeinschaft, sehingga dalam
kelompok ini, kepentingan individu menempati urutan yang lebih tinggi dibandingkan kepentingan kelompok. Kondisi
masyarakat perkotaan dapat dikategorikan sebagai gesellschaft, meski dalam beberapa area sifat gemeinschaft dapat
ditemukan, namun secara garis besar karakter komunitas gesellschaft telah menjadi ciri khas masyarakat kota.
Ketika sebuah komunitas lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama, maka hukum/norma
menjadi sebuah hal yang “impoten”, ada tetapi tidak berfungsi. Mengapa demikian? Hukum/norma adalah kesepakatan
diantara masyarakat agar terciptanya ketertiban, keadilan, dan segala hal yang menjadi judul Bab ketika kita belajar
PPKn. Berarti hukum/norma dapat diasosiasikan dengan kepentingan bersama. Nah, ketika kepentingan pribadi yang
bermain dalam sebuah masyarakat, maka judul-judul dalam buku pelajaran PPKn hanya sekedar lip service saja.
Contohnya, setiap orang pasti menghasilkan sampah, terutama sampah rumah tangga, seperti kertas bekas (koran, buku
bekas, dll), makanan sisa, dan barang-barang plastik. Apabila setiap orang hanya memikirkan kepentingannya agar
rumahnya bersih dan tidak repot membuang sampah, sehingga sampah dibuang begitu saja di selokan atau pinggir jalan,
maka lingkungan sekitar akan menjadi kolam renang gratis yang akan memberikan bonus disentri, muntaber, dan
penyakit lainnya. Tanpa harus ada banjir pun, sampah yang dibuang sembarangan akan dengan senang hati
memberikan penyakit. Lalu entah bagaimana tingkat pencemaran lingkungan, baik itu pencemaran tanah, air, dan udara
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
apabila sampah dibuang begitu saja. Kualitas air dapat dipastikan merosot, tanah tak lagi dapat menjadi medium bagi
tanaman untuk bertumbuh, dan dengan sedikitnya tumbuhan, pencemaran udara tidak dapat dielakkan lagi.
Meski hal-hal buruk yang diperkirakan seperti diatas sudah selalu diwanti-wanti, tak sedikit orang yang tetap ngeyel dan
keukeuh dengan sikap egoistis dan individualistiknya. Bahkan sebagian dari kita menjadikan hak asasi manusia (HAM)
sebagai tameng untuk mengenyampingkan kepentingan bersama. Lah, apakah kita tidak sadar bahwa HAM yang kita
jadikan tameng akan berbenturan dengan HAM orang lain pula? Tak heran, kondisi itu muncul karena pemahaman yang
parsial atas sebuah hukum/aturan yang sifatnya universal. Dengan naiknya pamor HAM belakangan ini, seharusnya kita
menyadari bahwa HAM justru hadir untuk melindungi kepentingan bersama, bukannya sekedar kepentingan pribadi. HAM
memang hadir dari konsep individu, tetapi tujuan akhirnya tetap untuk kepentingan bersama.
Kita tidak perlu kuliah di fakultas hukum dan menjadi sarjana hukum untuk bisa memahami dan mengimplementasikan
hukum/norma di dalam masyarakat. Yang kita perlukan adalah common sense dan rasa peka kita terhadap lingkungan
yang berada di sekitar kita. Misalnya: masalah sampah, kita dapat menyelesaikannya dengan bekerjasama untuk
membuat pembuangan sampah yang teratur sekaligus membuat upaya bersama dalam mengolah sampah agar tidak
mencemari lingkungan. Apabila kita sadar tidak ingin kehilangan oksigen untuk bernapas ataupun air untuk mandi, maka
akal sehat kita akan melakukan hal diatas. Pemahaman ini pun berlaku untuk hal-hal lain yang menjadi permasalahan
dalam suatu kelompok masyarakat.
Kalau kita masih terus menanamkan jargon “rule was made to be broken”, maka bersiap-siap saja tidak ada oksigen
untuk keperluan bernapas, air kotor untuk minum dan mandi, penyakit-penyakit bermunculan dimana-mana, hingga pada
puncaknya maling dan koruptor merajalela dengan berbagai topeng kehidupan. Mencegah hal itu hanya perlu dimulai dari
langkah kecil yang kita perbuat, dengan patuh pada hukum/norma yang berlaku berdasarkan common sense dan rasa
peka.
Pirhot Nababan
*Mahasiswa Fakultas Hukum Univ. Padjajaran
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Pendidikan - Critical Thinking For Us, Is It Good?
Fenomena kehidupan urban sangatlah rumit dan beragam. Kehidupan di kota besar menuntut berbagai penyikapan
perilaku agar bisa bertahan atau bahkan mampu menaklukkan kekejaman realitas yang ada. Kota menawarkan berbagai
dimensi kehidupan, baik itu dari sisi negatif hingga sisi positif. Berbagai tindakan kriminalitas, perdagangan obat terlarang,
sex bebas, tawuran antar pelajar hingga bahkan mahasiswa berbalutkan kemajuan pendidikan, sikap toleransi sesama
yang besar, peran besar khalayak dalam kemajuan aktifitas seni seperti dunia seni musik, perfileman dan teater. Namun,
banyak kalangan berpandangan kehidupan metropolitan adalah kehidupan yang luar biasa kejam. Hal inilah menjadi
tantangan besar bagi kaum muda urban dan suatu kajian menarik dalam kaitan antara kehidupan urban style
mempengaruhi kecerdasan kaum muda.
Kita pada dasarnya akan memilih hal yang terbaik dalam berbagai pilihan dan kesempatan yang ada. Pilihan yang kita
ambil pun memberikan keuntungan dan resiko tersendiri. Kaum muda metropolis pun ditawarkan berbagai hal oleh
kehidupan urban yang dialaminya. Kita sepakat bahwa sikap bertahan hidup atau bahkan mampu melawan tantangan
yang ada adalah pilihan yang terbaik. Kemampuan bertahan dan melawan realitas kejam tersebut pastilah tidak lepas
dari pemahaman konsep berpikir kita terhadap realitas yang ada, yang akan menuntun kita pada putusan dan tindakan
yang kita ambil.
Disini saya melihat bahwa pola konsep berpikir kritis (critical framework of thinking) sangatlah adaptive dalam melihat
berbagai kontekstual permasalahan. Karena konsep berpikir seperti ini menawarkan berbagai sisi positif dalam berbagai
aspek kehidupan. Konsep kritis erat kaitannya pada sisi “interpersonal relationship”. Dalam kaitannya dengan hubungan
antar pribadi, konsep kritis memberikan pemahaman dalam memunculkan nilai empati, sikap bekerja sama, nilai
kebersamaan dan toleransi antar pribadi. Pada sisi individu, konsep berpikir kritis menawarkan analisa yang kontekstual
pada konteks permasalahan. Analisa ini akan menjangkau berbagai aspek sebagai bahan pertimbangan. Maka
keputusan yang tepat dapat dicapai. Dampak dari keputusan tersebut akan memberikan pengaruh positif bagi individu
dan orang-orang disekitarnya.
Pengaruh dari konsep ini, kita akan dibawa pada berbagai aspek sebagai bahan pertimbangan untuk melihat tantangan
sampai pada pengambilan keputusan. Pertama, aspek individu atau perorangan. Disini, individu mempunyai pengetahuan
dan kepekaan emosi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam perjalanan hidupnya, individu menyerap berbagai
hal dari luar dirinya hingga pada segala hal yang ada pada dirinya. Dilain hal, individu juga merasakan kepekaan emosi
yang ada pada dirinya. Ketika individu tersebut dihadapkan pada suatu realitas kehidupan, naluri emosinya akan muncul,
yang juga akan membawa individu tersebut pada pengambilan keputusan berdasarkan pengetahuannya.
Kedua, aspek budaya/kehidupan sosial. Budaya sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Bahkan, budaya tersebut
terus berkembang dan berubah sesuai dengan tuntuntan jaman. Sehingga ketika seseorang dihadapkan pada
tantangannya, salah satu aspek pengambil keputusannya erat kaitannya dengan kehidupan sosial yang ada disekitarnya.
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Ketika ditilik dari kehidupan kaum muda urban, budaya yang menyangkut norma hingga kebiasaan antara satu tempat
dengan tempat yang lain berbeda. Maka ini berdampak pada penyikapan keputusan yang berbeda pula.
Terakhir, aspek agama. Bagi bangsa Indonesia, keyakinan beragama masih memiliki pengaruh kuat dalam segala aspek
kehidupan. Agama sendiri memberikan panduan bagaimana menjalani hidup hingga pelaksanaan norma dan hukum
agama tersebut. Agama pun mengajarkan tentang nilai-nilai kemanusian yang hakiki, etika dalam berbagai hal, empati
dan nilai-nilai moral kehidupan. Pengaruh spiritual sangat kental terasa disini dan ini pun akan membentuk karakter
manusia seperti pendewasaan diri dan kematangan emosional.
Ketiga aspek yang saya paparkan diatas akan saling berkolaborasi dalam menstimuli keputusan dan sikap yang diambil.
Ketika kaum urban mau mencoba berpikir dalam pola kerangka tersebut, tanpa disadarinya, mereka telah berpikir secara
kritis terhadap realitas yang ada dengan aspek-aspek tersebut. Dengan demikian kaum muda urban mampu secara
cerdas mengambil putusan-putusan yang krusial, yang mungkin terlalu dini dihadapinya.
*Bentoni Pardosi
Mahasiswa Univ. Pendidikan Indonesia
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Profil - Gay Nggak Harus Dihindari, Tapi ‘Manusiakanlah’ Mereka.
Dunia gay adalah dunia yang penuh dengan kekerasan, kesedihan dan berbagai macam konflik yang muncul dari
keluarga. Dunia gay sering digambarkan oleh masyarakat sebagai dunia penuh glamour. Secara kasat mata memang
demikian, namun di sisi lain dunia gay hanya sebagai pelarian karena tidak ada tempat untuk kelompok mereka, jadi
untuk menghilangkan setiap masalah, mereka melakukannya dengan cara hura-hura bersama teman-temannya. Mau
tahu curhat Arie tentang kehidupannya sebagai gay?
Sejak kapan terlibat menjadi gay?
Arie: Sejak kecil, cuman nggak tau dunia seperti itu dan baru tereksploitasi tahun 2001. Tahu informasi tapi nggak tahu
komunitasnya di mana. Baru benar-benar tahu pas tahun 2001. Jadi, dari tahun 2001 -2003, benar-benar menikmati
hubungan di dunia homoseks/gay. Boleh dibilang itu masa paling hancur, „rakus‟ skali. Tiada hari tanpa melakukan
hubungan seks dengan laki-laki.
Apa penyebabnya? Awalnya gimana, kok bisa terlibat di dunia gay?
Arie: Banyak. Yang pertama, dari keluarga, Mama dan Papa pengen punya anak perempuan. Pelecehan dan label gak
benar dari masyarakat. Yang dirasakan Kompleks. “Dulu saya masih kecil, remaja di atas saya suka menjadikan saya
sebagai bahan pelampiasan”.
Selama menjadi gay, apa yang dirasakan?
Arie: Dunia gay adalah dunia penuh dengan air mata. Masalahnya, gay adalah orang yang terluka. Nah, orang terluka
nggak akan bisa menyembuhkan/memuaskan orang yang terluka. Sama-sama cuma menambah luka. Gay itu orang
“sakit”. Orang sakit nggak akan bisa menyembuhkan orang sakit. Walaupun statusnya „pacaran‟ nggak akan penuh. Ada
kekosongan yang gak akan terisi dalam jiwa. Jadinya gay tuh suka gonta ganti pasangan. Menciptakan status hanya
untuk melegalkan hubungan doang. Ujung-ujungnya jalan sendiri, nggak akan ada puasnya. Karena hanya bisa diisi
dengan kepuasan cinta dari Tuhan. Sementara 99% gay itu punya masalah dengan Tuhan, makanya menutupinya
dengan Tuhan juga. Jadi, dulu pelayanannya mati-matian, karena untuk menutupi rasa bersalah pada Tuhan, bukan
karena benar-benar terpanggil.
Ketika “pelayanan” dengan situasi seperti itu, perasaan sesungguhnya gimana?
Arie: Saya merasa bahwa saya munafik selama 2 tahun. Selama itu saya pelayanan sebagai guru sekolah minggu, guru
agama, melayani Firman Tuhan di mana-mana tapi juga mencari laki-laki. Itulah yang disebut kesepian atau kekosongan.
Sama kayak orang dehidrasi. Mau dikasih minum sebanyak apapun tetap masih kurang juga. Gak akan puas. Udah
munafik banget.
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Membawa pertobatan nggak „pelayanannya‟?
Arie: Konsep kita keliru. Saya pingin lepas dari keterikatan dengan cara sendiri. Misalnya full pelayanan, tidak
berhubungan dengan gay tanpa melibatkan Tuhan. Akhirnya membuat saya tertekan sendiri. Konsep gereja juga kadang
tidak bisa membantu karena sering bilang “ya udah doa puasa aja, pasti Tuhan pulihkan, kalo nggak berarti nggak punya
iman, nggak benar”. Padahal nggak segampang itu, soalnya sudah mendarah daging. Udah gaya hidup yang di hadapi
dari kecil. Butuh proses, butuh orang yang menolong. Selama kesepian, saya nggak mau dengan kegiatan seperti itu, tapi
nggak ada jalan. Sementara orang lain kayaknya nggak tahu gimana caranya membawa mereka( baca: gay) lepas,
akhirnya menghakimi. Menggampangkan masalah. Itu yang membuat gay berpikir untuk nggak usah gabung, karena
hanya jadi bahan ejekan/olokan, akhirnya mundur dan membuat organisasi sendiri.
Sekarang masih melakoni hidup sebagai gay?
Arie: Udah nggak lagi. Tapi yang namanya sugesti pasti tetap ada. Sangat munafik kalau orang bilang nggak ada
godaan. Setidaknya tahu gimana cara menanganinya. Dulu lihat cowok ganteng dipikirin banget, dikhayalin, sampe
akhirnya jadi dosa. Lihat cowok ganteng langsung berpikir “Ihh.. tu cowok ganteng ya?”. Kalau sekarang, liat cowok
ganteng, “Oh, tuh cowok ganteng”, tapi hanya sebatas itu, nggak dikhayalin.
Bagaimana proses penyembuhannya?
Arie: Di Jakarta, saya ketemu dengan seseorang yang melayani kelompok-kelompok seperti ini (Red: kelompok gay),
sehingga saya bisa curhat apa yang dirasakan tanpa ada penghakiman. Jadi itu memanusiakan orang seperti saya (tidak
hanya selalu menuntut yang terbaik). Curhat saya tentang apa yang saya rasakan didengarkan dengan baik. Tidak
menghakimi, jadi selalu menerima bahwa untuk bertobat tuh orang butuh proses. Mungkin saja bisa jatuh lagi ke masalah
yang sama, tapi itu proses, gak langsung sembuh begitu saja. Dan mereka gak bilang „dasar Lo, udah bertobat jatuh lagi-
jatuh lagi. Dasar nggak punya iman Lo‟. Jadi selalu ada kesempatan yang diberikan hingga orang (red: gay) itu bisa
benar-benar pulih dari „sakit‟ nya.
Sebenarnya menurut Arie, menjadi seorang gay itu kodrat atau masalah?
Arie: Bukan karena kodrat atau takdir tapi karena penyebab-penyebab lain. Muaranya ke keluarga. Misalnya laki-laki
diperlakukan seperti perempuan dan perempuan diperlakukan sebagai laki-laki. Pelecehan seksual, label-label yang
diberikan oleh masyarakat. Misalnya: laki-laki kok banci. Label seperti itu dampak psikologinya adalah orang udah di cap
seperti itu, ya sudah jalani aja. Toh penilaian orang juga seperti itu. Ada juga yang iseng, pengen coba-coba. Korban
pemerkosaan, laki-laki di perkosa. Rata-rata laki-laki yang korban pemerkosa akan melibatkan diri ke hal itu. Pelecehan-
pelecehan oleh remaja. Remaja puber punya dorongan seksual, nggak brani melampiaskan ke lawan jenis, nah
pelampiasannya ke anak-anak kecil yang cowok juga. Jadi, menjadi gay itu masalah, bukan kodrat atau takdir.
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Kepikiran nggak untuk bisa mencintai dan punya hubungan “spesial” dengan perempuan sampai akhirnya bisa
menikah?
Arie: Pergumulan saya banget. Doa saya tiap hari sampai membayangkan menikah dengan cewek (bagi orang normal
mungkin dosa melalui pikiran ya, kalau sudah berpikir menikah dan berhubungan seksual dengan cewek. Gimana sih
berhubungan seksual dengan wanita? Tapi bagi saya, punya pikiran seperti itu adalah proses menuju kesembuhan bukan
dosa). Jangankan berhubungan seks, pertama kali mencoba mencium perempuan saja seperti mencium monster. Kalau
sebatas ciuman saya sudah ada gejolak. Belum kepikiran untuk melakukan hubungan seks dengan perempuan. Harus
pelan-pelan. Nggak tau dosa atau nggak, tapi itu kursus untuk memulihkan kejantanan (maksudnya ciuman).
Apa kesibukannya sekarang?
Arie: Sebagai penyiar radio dan konsultan program untuk beberapa radio rohani, di Tasikmalaya dan Bali.
Apa pesan buat teman-teman atau public?
Arie: Manusiakan gay. Seringkali banyak orang yang justru menutup jalan mereka (baca: gay) untuk bertobat. Banyak
yang mau bertobat, tapi orang sudah lebih dulu menutup pintunya, sudah punya batasan sendiri. Padahal orang homo tuh
butuh orang yang bisa menuntun mereka untuk menuju kesembuhan. Tidak menutup diri tapi membantu untuk
„memanusiakan mereka‟.
Biodata
Nama : Arie
Tgl lahir : 12 Februari 1977
Anak : Ke-4 dari 5 bersaudara.
Pekerjaan : Penyiar dan Konsultan Program di salah satu Radio Rohani
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Tanya Jawab – Kongkow Kongkow Yuk
Anak muda zaman sekarang memiliki beragam kegiatan untuk menghabiskan waktu luang disela-sela kesibukan mereka
sehari-hari. Hal itu didukung dengan banyaknya tempat-tempat yang menyediakan berbagai fasilitas, yang dapat menarik
perhatian pula. Mulai dari teknologi yang disajikan, suasana yang mendukung, barang-barang kebutuhan yang
disediakan, maupun hanya sekedar tempat kosong yang diubah menjadi tempat nongkrong asik. Untuk itu salah satu
reporter kami mencoba menanyakan ke beberapa anak muda tentang kegiatan di tempat kongkow mereka masing-
masing yang berada di kota Bandung.
Kongkow sambil ngamen di Jalan Raya Dago
Aku sama teman-teman ngamen di sekitar lampu merah yang ada di Jalan Dago untuk nyari dana acara kampus tentang
Festival Jepang. Festival ini ada tiga seasons. Kalo di jalan ini kan mobilnya ramai dan memang dengan adanya ngamen
seperti ini bisa menjalin keakraban dari masing-masing mahasiswa, pengalaman, promosi dan sosialisasi dari acara kami
sendiri. (Hudi, Institut Telkom)
Street BMX di depan BCA Dago
Kami biasanya disini untuk jalan-jalan atau main BMX sama teman-teman yang lain. Biasanya komunitas kami disebut
Street BMX. Dulu kami suka mainnya di Gegerkalong, karena ada tempat khusus untuk main skateboard dan BMX. Tapi
karena jauh, jadinya kami lebih memilih main disini yang lebih dekat. (Syukur dan Basar )
Komunitas Skater di depan BCA Dago
Biasanya kalau nggak hujan kami nongkrong disini untuk sekedar merokok, ngecengin cewek yang lewat, dan main
skateboard. Pernah dulu kami dimarahin sama orang yang berdasi dan rapih karena dia nggak suka kami ngumpul-
ngumpul disini. Kami suka main di tempat ini karena gratis dan dekat dibanding dengan arena bermain yang ada di
Gegerkalong. (Fajar dan Vicky)
18‟th Park :
Tempat ini kan berupa sekumpulan distro, jadi biasanya banyak anak muda datang untuk sekedar ngumpul-ngumpul,
mengobrol, liat-liat barang distro dan mencari link dari distributor atau mencari kerja. Selain itu disini bisa makan-makan
juga karena ada kantin yang menjual makanan. Tempatnya nyaman dan temanya anak muda banget. (Charisma,
Unpad)
Bandung Indah Plaza (BIP)
Kami sering ke BIP karena dekat dengan kampus, untuk sekedar cuci mata, harga barang dan makanan yang dijual
terjangkau dan lebih lengkap. Biasanya kami sih makan, jalan-jalan, karokean, atau photo box. Tempat-tempat yang
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
sering dikunjungi di BIP tentunya 21, Strawberry, dan food court. Kami paling suka makan disini karena food courtnya
cozy banget dan harganya terjangkau. (Via, Sri, Sally, Iftita, Melisa)
Bandung Electronic Centre (BEC)
Biasanya aku ke BEC untuk ngenet setelah pulang kuliah, karena BEC lebih dekat dari kampus dan bisa jadi alternatif
kalau hot-spot di kampus lagi rusak. Aku lebih memilih untuk ngenet disini karena banyak pilihan wirelessnya, bisa sambil
makan dan melihat-lihat barang elektronik. Selain ngenet, aku juga sering melihat-lihat laptop yang dijual. (Lisna,
Politeknik Praktisi)
Cloud9
Aku sama teman-teman paling suka nongkrong di café ini. Café ini berada di atas kota Bandung, kita bisa melihat
citylight. Walaupun memang harga makanan di café ini tergolong lumayan mahal, tetapi kita nggak bakalan nyesel,
karena suasananya mendukung. Biasanya aku sama teman-teman kesini hanya untuk makan dan nongkrong. (Ninta,
Unpad)
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Opini - Gay dan Lesbian: Kodratkah?
Berbicara soal gay dan lesbian, memaksa kita untuk berangkat dari urban style. Gaya perkotaan banyak membawa
pengaruh bagi masyarakat, baik itu pengaruh negatif maupun positif. Pengaruh positif yang bisa diambil adalah
perkembangan teknologi dan masyarakat yang semakin kritis dalam banyak hal. Sedangkan pengaruh negatifnya adalah
pergaulan bebas dan penyimpangan seksual yang semakin membumi.
Penyimpangan seksual atau gangguan jiwa adalah ketidakwajaran seksual (sexsual perversion), yang meliputi perilaku-
perilaku seksual atau fantasi-fantasi seksual yang ditujukan pada pencapaian orgasme di luar hubungan kelamin
heteroseksual, baik dengan jenis kelamin yang sama, maupun dengan pasangan yang belum dewasa serta bertentangan
dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat yang bisa diterima secara umum. Karena itu disfungsi
seksual dan penyimpangan seksual merupakan satu aspek dari gangguan kepribadian dan penyakit neurosit pada
umumnya.
Gay dan lesbian tergolong dalam salah satu penyimpangan seksual, karena mereka melakukan hubungan seksual
dengan pasangan sejenis. Secara umum, homoseksual adalah relasi seks dengan jenis kelamin yang sama, atau rasa
tertarik dan mencintai jenis seks yang sama secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional) atau secara erotik,
baik secara lebih menonjol maupun eksklusif (semata-mata) terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan
atau tanpa hubungan fisik.
Tidak mungkin seseorang terlahir dengan label gay atau lesbian, tapi itu adalah pilihan dari pribadi masing-masing.
Dengan pergaulan bebas, lingkungan akan memperkenalkan perilaku seks menyimpang pada kita. Nah, pilihannya ada
pada kita, apakah kita akan berusaha untuk keluar dari perilaku menyimpang tersebut atau membiarkan diri sehingga
perilaku menyimpang tersebut terus ada dalam diri kita dan dipertahankan. Berangkat dari semua ini, akhirnya mereka
(gay dan lesbian) terus terperangkap dalam perilaku menyimpang tersebut.
Yang menarik, media massa seolah-olah semakin hari semakin memfasilitasi publik untuk terlibat dalam perilaku seks
menyimpang ini, dengan pemberitaan-pemberitaan tentang gay atau lesbian secara blak-blak-an. Bahkan dengan rinci
mengisahkan bagaimana mereka melakukan hubungan menyimpang tersebut, tanpa sedikit pun memberikan peringatan
kepada masyarakat bahwa penyimpangan seks adalah perilaku menyimpang yang harus dihindari.
Lalu, gay dan lesbian: kodratkah? Mari kita sama-sama merenungkan pertanyaan ini dan bertanya pada diri kita, apakah
tindakan yang bisa kita lakukan untuk menghindari penyimpangan seks tersebut? (LB)
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Relasi - Teman Makan Teman
“Ih, sebel banget gue! Teganya dia nuduh gue yang ambil barang orang!”, seru Vanda ketika ia curhat tentang
sahabatnya.
Apakah kamu pernah mengalami kejadian seperti itu? Ketika merasa dikhianati oleh sahabat sendiri. Ini yang biasanya
kita kenal dengan istilah „backstabbing‟, dan orangnya disebut „Backstabber‟.
Backstabber adalah orang yang kita percaya dan sayangi, yang tiba-tiba tega melukai kita, berbuat baik di depan,
sedangkan dalam hatinya berbeda, bahkan diam-diam melakukan hal buruk yang tidak kita sangka. Orang seperti ini
biasanya memiliki hubungan yang cukup dekat dengan kita, misalnya teman se-geng, sahabat semenjak kecil, maupun
keluarga kita sendiri. Hancurnya hubungan baik karena backstabbing mengakibatkan sakit hati yang mendalam di antara
orang-orang yang mengalami kejadian tersebut.
Sebuah contoh kasus backstabbing: Ana dan Hilda adalah dua orang sahabat dekat. Suatu ketika Ana menitipkan
sebuah flashdisk milik seseorang kepada Hilda. Saat Hilda menanyakan siapa pemilik flashdisk tersebut dan Ana
menjawab bahwa flashdisk itu adalah milik Gina, saat itu juga Hilda merasa kesal, karena Hilda tidak menyukai Gina.
Saking kesalnya pada Gina, Hilda merencanakan hal yang buruk. Ia mengambil flashdisk tersebut dan mengakui itu
sebagai miliknya ketika Ana menanyakan di mana flashdisk tersebut berada. Beberapa hari kemudian Ana melihat
flashdisk tersebut di dalam tas Hilda. Ana merasa Hilda telah mengkhianatinya, teganya Hilda melakukan hal itu,
sedangkan flashdisk itu milik orang lain yang sedang ia pinjam dan berada dalam tanggung jawabnya. Semua kesalahan
ditimpakan Gina padanya, karena dilihat dari sisi manapun Ana telah bersalah menghilangkan flashdisknya, padahal
mungkin kenyataannya Ana hanyalah korban dari api amarah Hilda.
Banyak perseteruan dan adu domba yang biasa kita lihat pada dunia politik atau hiburan di lingkungan sehari-hari, dan
kasus backstabbing ini seringkali menjadi pemicunya. Penyebabnya bisa beragam. Jika melihat kejadian tentang Ana dan
Hilda, ada beberapa pertanyaan yang mungkin timbul dalam pikiran kita. Apa yang menyebabkan Hilda bisa berbuat
demikian? Apakah dalam dirinya tidak ada perasaan segan saat menuduhkan kesalahan Ana? Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perilaku seseorang sehingga ia menjadi backstabber, di antaranya: Iri hati, tidak jujur dan tertutup, tidak
peduli terhadap orang lain, pembentukan sifat di lingkungan sejak kecil, kurang perhatian dan ingin menang sendiri
Bagaimana cara menghadapi seorang backstabber? Di dalam praktiknya, kita sulit membedakan apakah orang tersebut
baik atau tidak, apakah dia seorang backstabber atau bukan. Ada beberapa cara untuk mengantisipasi kemungkinan
munculnya backstabbing, antara lain:
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
1. Jangan membeberkan terlalu banyak hal
Setiap hal yang kita alami tidak semua harus diceritakan kepada orang lain. Kita harus membuat batasan hal
mana yang baik maupun tidak baik untuk dibagikan kepada publik. Ada hal-hal yang bukan untuk konsumsi
publik, pemilahan ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman.
2. Membatasi pergaulan
Jika kita telah mengetahui sifat seseorang, apalagi mengetahui keburukannya, sebaiknya kita membatasi
pergaulan dengan orang tersebut. Bukan berarti tidak bisa berteman dengannya, tetapi kita harus memiliki porsi
tersendiri sejauh apa kita boleh berhubungan dengan orang tersebut.
3. Jangan mencari masalah
Dalam bergaul dengan orang-orang yang bertipe backstabber sebaiknya kita bisa menjaga perasaan mereka.
Jangan mencari masalah dalam bentuk apapun, baik melalui perkataan kita maupun perilaku kita kalau tidak mau
jadi buah bibir mereka.
4. Memberikan diri sebagai tempat curhat
Jadikan diri kita seseorang yang nyaman bagi sahabat kita untuk menjadi teman curhatnya. Bercerita atau curhat
dapat menjadi sarana bagi orang untuk meluapkan emosinya, sehingga ia tidak menutup-nutupi perasaannya
terhadap orang lain.
Setiap cara di atas bisa berlainan tergantung pada tiap orang dan situasi kondisinya. Setelah mengetahui ciri -ciri
backstabber, paling tidak kita tahu bagaimana berhubungan dengan orang lain dan cobalah untuk melihat sekitarmu,
adakah seorang backstabber yang menjadi temanmu? Kalau ada, berhati-hatilah dan bertemanlah yang baik dengannya.
Jangan menjauhinya, karena bisa semakin menjadi-jadi dan tidak ada yang memberitahu bahwa perbuatannya salah dan
menyakiti orang lain. [Ines]
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Sekilas Info
Kampanye Anti Nyontek
Pada bulan Mei hingga awal Juni yang lalu, mahasiswa Institut Teknologi Bandung menggelar kampanye “Anti Nyontek”,
bertepatan dengan sedang berlangsungnya Ujian Akhir Semester di berbagai Perguruan Tinggi. Kegiatan tersebut
mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari pihak rektorat. Tujuan dari kampanye tersebut sebagai wujud
dukungan dalam mendorong dan menjaga semangat belajar, dengan lebih mengedepankan proses pembelajaran
daripada sekedar untuk mendapatkan nilai. Kampanye “Anti Nyontek” tersebut dimaksudkan pula sebagai peringatan bagi
para mahasiswa supaya selalu mengandalkan pola belajar yang baik, bukan dengan menyontek dalam menghadapi
ujian.[VP]
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Pawai Budaya Bhinneka Tunggal Ika
Sabtu,(30/05) lalu. Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika menyelenggarakan Pawai Budaya, dengan tema
“Mempertahankan Pancasila. Memperteguh Kebhinnekaan”. Pawai Budaya ini adalah puncak dari rangkaian acara
konsolidasi Bhinneka Tunggal Ika Regional Jawa, yang diadakan dari 27 – 30 Mei 2009, bertempat di Wisma Bina Warga
Bandung.
Pawai yang sifatnya terbuka itu, dimeriahkan dengan berbagai atraksi budaya oleh beberapa seniman, Tari Jaipong,
Ondel-ondel, Tari Bali, dan lain-lain. Pawai tersebut dimulai pukul 11.00 Wib dari Balai Kota dengan melewati Jalan
Merdeka, Jalan Asia Afrika dan berakhir pada pukul 15.00 Wib di Monumen Bandung Lautan Api, Tegalega, Bandung.
Rangkaian Pawai ditutup dengan gelar panggung budaya, yang dimeriahkan oleh beberapa seniman dan budayawan.
.
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Konser amal Arpeggio & Friends
Jumat (15/05) lalu, Arpeggio mengadakan konser amal yang semua hasilnya di sumbangkan ke Program Beras Peduli Sesama. Acara
yang bertemakan Testified ini berjalan lancar dan mendapat tanggapan baik dari penonton. Menurut Rahmat (personil Arpeggio),
acara ini berjalan sesuai dengan harapan dan hasilnya sangat memuaskan. Konser amal yang berlangsung di Assembly Hall,Gedung
ITHB, Jl. Dipati Ukur-Bandung ini turut dimeriahkan oleh banyak artis diantaranya Dewi Guna, Gaby Idol, Deny Saba, Little Time
dan beberapa lainnya.
Ketika ditanya kenapa memilih beras peduli sebagai moment yang dipakai untuk tujuan konser ini, personil
Arpeggio mengaku karena mereka melihat bahwa beras peduli adalah satu tindakan amal yang nyata, dan
sudah berjalan dengan lancar hampir setahun lamanya. “Beras peduli diberikan kepada semua warga
khususnya yang membutuhkan dengan harapan semua yang membutuhkan dapat terbantukan, tanpa
memandang suku, agama, dan golongan” ungkap Mahen sebagai salah satu tim program beras peduli sesama
GKI Maulana Yusuf No. 20 Bandung.
Dewi Guna, salah satu pengisi acara konser amal ini mengaku bahwa dia ikut
serta dalam acara ini, selain ingin mendukung Arpeggio, dia juga ingin
memberikan yang terbaik dari dirinya untuk bisa membantu sesama.
Acara ini disponsori oleh Radio Maestro FM, Tritronik Tricada, GFresh, ITHB,
www.jawaban.com, Jonas Photo, Gempita Technologies, Rebecca Ing, Zentech
dan Locano Photography. [LB]
Edisi I : Urban Style
Copyright © 2009 www.fokal.info
Redaksi
Penasehat: Albertus Patty Jeffrey Samosir Kornel M. Sihombing Pemimpin Redaksi:
Basar Daniel Jevri Tampubolon Editor: Dommy Waas Desain:
Mahen Juliana Reporter:
Bramasta. K Lasut Contasia Christie Lea Belandina Lydia Utami Vino Simanjuntak Fotografer: Ludwig Panggabean Seno Resta Admin: Impola T. Surya Aturan Komentar:
- Tidak bernuansa SARA. - Sopan dan tidak memfitnah. - Jika dianggap tidak etis, Redaksi akan menghapus/tidak menampilkan komentar Sekilas Fokal.info: - Fokal merupakan swadaya, wadah untuk pengembangan potensi generasi muda dari berbagai kalangan (nirlaba). - Fokal memperkenankan pengelola media massa (cetak/elektronik) mengutip teks dan foto, dengan menyebutkan sumber (Misal:sumber www.fokal.info). Alamat Redaksi: Jln. Kebun Bibit Utara No. 15/155B Bandung 40115 Kontak: [email protected]