ect prin.doc

31
MAKALAH ECT (Electro Convulsive Therapy) Disusun guna Memenuhi Tugas Teknologi Kesehatan 2 Dosen Pengampu: Gipta Galih Widodo, S.Kep., Ns.,M.Kep., Sp.KMB Oleh : 1. Khoirunniam Ahmad 2. Khomsiatun 3. Kiki Erna Damayanti 4. Laela Rahmawati 5. Lisa Yuli Astuti 6. Masnim 7. Mega Nurul Laili 8. Moh. Edi Fajri 9. Mudrikah

Transcript of ect prin.doc

Page 1: ect prin.doc

MAKALAH

ECT (Electro Convulsive Therapy)Disusun guna Memenuhi Tugas Teknologi Kesehatan 2

Dosen Pengampu: Gipta Galih Widodo, S.Kep., Ns.,M.Kep., Sp.KMB

Oleh :

1. Khoirunniam Ahmad

2. Khomsiatun

3. Kiki Erna Damayanti

4. Laela Rahmawati

5. Lisa Yuli Astuti

6. Masnim

7. Mega Nurul Laili

8. Moh. Edi Fajri

9. Mudrikah

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

STIKES NGUDI WALUYO UNGARAN

2015

Page 2: ect prin.doc

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era globalisasi dan era informasi yang akhir-akhir ini mulai masuk ke Indonesia telah

membuat tuntutan-tuntutan baru di segala sektor dalam Negara kita. Tidak terkecuali

dalam sektor pelayanan kesehatan, era globalisasi dan informasi seakan telah membuat

standar baru yang harus dipenuhi oleh seluruh pemain di sektor ini. Hal tersebut telah

membuat dunia keperawatan di Indonesia menjadi tertantang untuk terus

mengembangkan kualitas pelayanan keperawatan yang berbasis teknologi informasi.

Namun memang kita tidak bisa menutup mata akan hambatan-hambatan yang dihadapi

oleh keperawatan di Indonesia, diantaranya adalah keterbatasan SDM yang menguasai

bidang keperawatan dan teknologi informasi secara terpadu, masih minimnya

infrastruktur untuk menerapkan sistem informasi di dunia pelayanan, dan masih

rendahnya minat para perawat di bidang teknologi informasi keperawatan. Kualitas atau

mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit bergantung kepada kecepatan, kemudahan,

dan ketepatan dalam melakukan tindakan keperawatan yang berarti juga pelayanan

keperawatan bergantung kepada efisiensi dan efektifitas struktural yang ada dalam

keseluruhan sistem suatu rumah sakit. Pelayanan rumah sakit setidaknya terbagi menjadi

dua bagian besar yaitu pelayanan medis dan pelayanan yang bersifat non-medis, sebagai

contoh pelayanan medis dapat terdiri dari pemberian obat, pemberian makanan, asuhan

keperawatan, diagnosa medis, dan lain-lain. Namun ada hal yang perlu kembali dipahami

oleh semua tenaga kesehatan yang menggunakan teknologi informasi yaitu semua

teknologi yang berkembang dengan pesat ini hanyalah sebuah alat bantu yang tidak ada

gunanya tanpa intelektualitas dari penggunanya dalam hal ini adalah perawat dengan

segala pengetahuannya tentang ilmu keperawatan.Contoh nyata yang dapat kita lihat di

dunia keperawatan Indonesia yang telah menerapkan sistem informasi yang berbasis

komputer adalah terobosan yang diciptakan oleh kawan-kawan perawat di RSUD

Banyumas. Sebelum menerapkan sistem ini hal pertama yang dilakukan adalah

membakukan klasifikasi diagnosis keperawatan yang selama ini dirasa masih rancu, hal

Page 3: ect prin.doc

ini dilakukan untuk menghilangkan ambiguitas dokumentasi serta memberikan manfaat

lebih lanjut terhadap sistem kompensasi, penjadwalan, evaluasi efektifitas intervensi

sampai kepada upaya identifikasi error dalam manajemen keperawatan.

B. Tujuan

Setelah mengikuti perkuliahan diharapkan mahasiswa mampu mengetahui:

1. Pengertian teknologi keperawatan tentang Electroconvulsi Therapy (ECT)

2. Sejarah ECT

3. Perkembangan teknik ECT

4. Prinsip terapi ECT

5. Indikasi dari ECT

6. Kontra indikasi dalam pemberian ECT

7. Efek samping dari ECT

8. Prosedur dalam terapi ECT

9. Anastesi dalam pemeberian terapi ECT

10. Peran perawat dalam pemberian terapi ECT

11. Alat yang di gunakan dalam pemberian terapi ECT

12. Persiapan yang dilakukan kepada klien sebelum melakukan terapi ECT

13. Penatalaksanaan dalam pemberian terapi ECT

14. Yang dilakukan setelah selesai ECT & CTG?

Page 4: ect prin.doc

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

ECT (Electro Convulsive Therapy)

merupakan perawatan untuk gangguan psikiatrik dengan menggunakan aliran listrik

singkat melewati otak pasien yang berada dalam pengaruh anestesi dengan menggunakan

alat khusus. Pasien berada di bawah anestesi umum. Terdapat kejang yang telah

dimodifikasi oleh muscle relaxant.

ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat memberi efek

terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama 15 detik. Kejang yang dimaksud

adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan.

Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan

dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat

meningkatkan kadar serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada pasien

depresi yang tidak responsif terhadap terapi farmakologis. Terapi ini menghasilkan

kejang-kejang karena pengaruh aliran listrik yang diberikan pada pasien melalui

elektroda-elektroda pada lobus frontalis. Dalam electroconvulsive terapi, arus listrik

dikirim melalui kulit kepala ke otak. Elektroda ditempatkan pada kepala pasien dan

dikendalikan, menyebabkan kejang-kejang singkat di otak. Pada saat terapi ini dijalankan,

pasien akan kejang-kejang dan kehilangan kesadaran, kemudian kejang-kejang lambat

laun hilang. Sebelum ECT, pasien diberi relaksan otot setelah anestesi umum. Bila ECT

dilakukan dengan benar, akan menyebabkan pasien kejang, dan relaksasi otot diberikan

untuk membatasi respon otot selama episode. Karena otot rileks, penyitaan biasanya

akan terbatas pada gerakan kecil tangan dan kaki. Pasien dimonitor secara hati-hati

selama perawatan. Pasien terbangun beberapa menit kemudian, tidak ingat kejadian

seputar perlakuan atau perawatan, dan sering bingung.

Terapi ECT adalah suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara

artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada satu atau

dua temples. (Stuart Sundeen, 1998). Electro Convulsive Therapy/ ECT merupakan suatu

Page 5: ect prin.doc

pengobatan untuk penyakit psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada

kepala digunakan untuk kejang tonik klonik umum. (Szuba and Doupe, 1997).

B. Sejarah ECT

Terapi dengan konvulsi sebenarnya telah dikenal sejak abad 16. Paraselsus (140-

1541) menggunakan camphor atau kamper atau kini disebut kapur barus. Kamper ini

diberikan secara oral untuk menginduksi kejang sebagai terapi pada pasien gangguan

mental. Penggunaan kamper ini bertahan sampai abad ke-18. Pada sekitar tahun 1917,

Julius Wagner-Jaugregg, seorang psikiater dari Wina, mulai menggunakan malaria sebagi

penginduksi demam untuk mengobati pasien dengan paresis umum pada pasien gangguan

mental (sipilis terminal). Pada tahun 1093, mulai dikenal pula penggunaan insulin dan

psychosurgery.

Manfred Sakel dari Wina mengumumkan kesuksesan pengobatan skizofrenia dengan

insulin. Insulin ini digunakan untuk menginduksi koma yang pada beberapa pasien

menyebabkan kejang. Kejang ini yang diperkirakan menyebabkan perbaikan pada pasien.

Pada tahun 1934, Ladislaus von Meduna dari Budapest meninjeksi kamper dalam minyak

untuk menginduksi kejang pada pasien dengan skizofrenia katatonik. Ini merupakan

terapi konvulsi modern pertama. Terapi dinyatakan berhasil, demikian juga dengan

sejumlah pasien psikotik lainnya. Von Medunna mengobservasi bahwa pada otak pasien

epilepsi ditemukan jumlah sel glia yang lebih banyak dari orang nomal, sementara pada

pasien skizofrenia jumlah sel glia lebih sedikit. Dengan hal ini dikemukakan hipotesa

bahwa ada antagonisme biologis antara kejang dan skizofrenia. Karena sifatnya yang

long acting, kamper kemudian digantikan oleh pentylenetrazol, namun zat ini sering

menimbulkan keluhan sensasi keracunan pada kondisi pasien sadar, disebabkan aktivitas

antagonis GABAnya. Pada tahun 1938, di Roma, Ugo Cerleti dengan asistennya Lucio

Bini melakukan ECT pertama pada pasien skizofrenia. ECT dilakukan sebanyak 11 kali

dan pasien memberikan respons yang bagus. Pengunaan ECT kemudian menyebar luas di

seluruh dunia. Kini ECT digunakan terutama pada depresi mayor dan skizofrenia. Ugo

Cerletti (1877-1963)

Page 6: ect prin.doc

C. Perkembangan Teknik ECT

ECT telah digunakan secara berkelanjutan selama lebih dari 70 tahun. Bagaimanapun,

telah dilakukan beberapa perkembangan teknis:

a. Pengenalan anestesi pada pelaksanaan ECT yang mengurangi distress pada pasien

dalam proses ECT

b. Anestesi juga diizinkan untuk digunakannya muscle relaxant yang mengurangi

ketegangan pada sistem muskuloskeletal, mengurangi cedera

c. Pre-oksigenasi dan ventilasi terpimpin selama pemulihan yang mengurangi efek

samping

d. Stimulus listrik terutama didisain untuk menghasilkan kejang yang bersifat terapeutik

tanpa memberikan energi listrik yang tidak perlu pada otak.

e. Penempatan elektroda yang beragam yang dapat dipilih berdasarkan kebutuhan klinis

kasus.

f. Metode monitoring aktivitas otak dan tubuh sebelum, selama, dan setelah kejang.

D. Prinsip Terapi

Secara umum, diperlukan 2 atau 3 kali perawatan sebelum efek terlihat, dan 4-5 kali

pengobatan untuk perbaikan nyata. Kini, jumlah tindakan yang dilakukan merupakan

rangkaian yang bervariasi pada tiap pasien tergantung pada masalah pasien dan respons

terapeutik sesuai hasil pengkajian selama tindakan.

Page 7: ect prin.doc

1) Biasanya diberikan satu terapi per hari berselang-seling.

2) Rentang jumlah yang paling umum dilakukan pada pasien dengan gangguan afektif

atau depresi antara 6 sampai 12 kali, mania dan katatonik membutuhkan 10-20

terapi, sedangkan pada pasien skizofrenia biasanya diberikan sampai 30 kali.

3) ECT biasanya diberikan sampai tiga kali seminggu atau setiap beberapa hari, selama

dua hingga empat minggu. Jika efektif, perubahan perilaku sudah mulai terlihat

setelah 2-6 terapi.

4) Antidepresan rumatan, antipsikotik dan lithium dilanjutkan sesudah ECT berhasil

karena dapat mencegah kekambuhan. Tanpa medikasi, angka kekambuhan tinggi.

5) ECT harus segera dihentikan setelah pasien pulih atau jika mereka mengatakan

mereka tidak ingin menjalaninya lagi.

E. Indikasi ECT

1) Episode Depresi mayor.

Depresi mayor merupakan kondisi yang paling sering diberlakukan ECT. Hal ini

terutama diindikasikan jika pengobatan secara medikamentosa telah gagal atau

terdapat resiko yang besar akan bunuh diri. ECT aktif telah dikatakan superior

daripada placebo pada banyak penelitian. ECT juga dikatakan superior daripada obat

antidepresan pada lusinan penelitian. Bentuk penelitian umumnya subyek dibagi

menjadi dua grup dimana satu grup menerima ECT dan obat placebo, grup yang lain

menerima ECT placebo dan obat.

2) Mania

Mania merupakan keadaan kenaikan mood atau iritabilitas dan aktivitas fisik

berlebih. Pengobatan diperlukan untuk memastikan asupan obat dan cairan dan

menghindari kelelahan dan cedera fisik. Populasi ini sulit diteliti karena beberapa

alasan. Pengalaman klinis secara luas menunjukkan bahwa ECT merupakan

pengobatan yang efektif dan dapat menjadi tindakan penyelamatan. ECT telah

ditunjukkan superior daripada litium karbonat pada mania akut.

3) Schizophrenia

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Medunna menggunakan kamper untuk

meninduksi kejang pada skizofrenia, dan orang pertama yang menerima ECT

Page 8: ect prin.doc

merupakan penderita gangguan psikotik. ECT saat ini digunakan pada skizofrenia

ketika ditemukan gambaran katatonik dengan asupan makanan dan cairan yang

terbatas dan jika gejala psikotik tidak resonsif terhadap medikamentosa.

4) Gangguan Postpartum

Beberapa gangguan psikiatrik dapat muncul mengikuti proses kelahiran. Sebagian

besar dapat ditangani dengan dukungan dan penggunaan medikasi. Gangguan yang

kuat, berat dapat berkembang, dan ibu dapat menghadirkan bahaya kepada dirinya

sendiri mauun bayinya. Sebagai generalisasi, mayoritas kondisi postpartum berat

menyerupai episode depresi mayor, dan lainnya adalah episode psikotik, dengan

delusi atau halusinasi. ECT sangat berguna pada kasus-kasus berat tersebut. ECT

menginduksi remisi secara cepat sehingga resiko pada ibu maupun bayi menurun

dengan cepat, sehingga kegiatan menyusui dan pengikatan ibu-anak dapat dilakukan

tanpa penundaan. Juga, ECT dapat menghindari penggunaan obat dosis tinggi,

sehingga meminimalisir pengobatan yang mencapai bayi yang sdang menyusui.

5) ECT rumatan

Saat pengobatan telah gagal dan ECT dibutuhkan untuk mengiduksi remisi pada

depresi mayor dan pengobatan gagal mencegah relapse, ECT rumatan

dipertimbangkan. Hal ini dilakukan pada pasien rawat jalan. Frekuensi ECT

ditentukan menurut respon klinis. Seringkali, untuk melengkapi rangkaian ECT,

ketika remisi telah dicapai, ECT terus diberikan dengan interval seminggu.

Kemudian jarak terapi ini diperpanjang hingga empat sampai enam minggu.

National Institute for Clinical Evidence (NICE) tidak merekomendasikan CT

rumatan, namun American Psychiatric Association (APA) merekomendasikan

metode ini.

F. Kontra Indikasi Pemberian ECT

Pasien dengan gangguan mental disertai adanya gangguan system kardiovaskuler dan

adanya tumor pada otak.

1) Resiko sangat tinggi

a. Pasien dengan masalah pernapasan berat yang tidak mampu mentolerir efek

anestesi umum.

Page 9: ect prin.doc

b. Peningkatan tekanan intracranial (karena tumor otak, hematoma, stroke yang

berkembang, aneurisma yang besar, infeksi SSP), ECT dengan cepat

meningkatkan tekanan SSP dan resiko herniasi tentorium. Selalu periksa adanya

papiledema sebelum melakukan ECT.

c. Infark Miokard baru atau penyakit miokard berat : ECT sering menyebabkan

aritmia (aritmia menimbulkan CVP pasca kejang atau kapan saja saat melakukan

prosedur ECT) berakibat fatal jika terdapat kerusakan otot jantung. Tunggu

hingga enzim dan EKG stabil.

2) Resiko sedang

a. Osteoartritis berat, osteoporosis atau fraktur yang baru : siapkan selama terapi

(pelemas otot)

b. Penyakit kardiovaskuler (misal hipertensi, angina aneurisma/ Angina tidak

terkontrol, aritmia, Gagal jantung kongestif), berikan premedikasi dengan hati-

hati, dokter spesialis jantung hendaknya berada di sana. ECT untuk sementara

meningkatkan tekanan darah, sehingga hipertensi primer berat harus terkontrol,

paling tidak sebelum setiap pengobatan.

c. Infeksi berat, cedera serebrovaskular (Cerebrovascular accident/ CVA) baru,

kesulitan bernafas yang kronis, ulkus peptic yang akut, Osteoporosis berat,

fraktur tulang besar, glaukoma, retinal detachment.

G. Efek Samping dari Pemberian ECT

Efek samping ECT secara fisik hampir mirip dengan efek samping dari anesthesia umum.

Secara psikis efek samping yang paling sering muncul adalah kebingungan dan memory

loss (75% kasus) setelah beberapa jam kemudian (biasanya hilang satu minggu sampai

beberapa bulan setelah perawatan). Biasanya ECT akan menimbulkan amnesia retrograde

terhadap peristiwa tepat sebelum masing-masing pengobatan dan anterograde, gangguan

kemampuan untuk mempertahankan informasi baru. Beberapa ahli juga menyebutkan

bahwa ECT dapat merusak struktur otak. Namun hal ini masih diperdebatkan karena

masih belum terbukti secara pasti.

E f e k s a m p i n g k h u s u s y a n g p e r l u d i p e r h a t i k a n

1. Cardiovaskuler :

Page 10: ect prin.doc

a) Segera : stimulasi parasimpatis (bradikardi, hipotensi)

b) Setelah 1 menit : Stimulasi simpatis (tachycardia, hipertensi, peningkatan

konsumsi oksigen otot jantung, dysrhythmia)

c) ECT dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, atau kematian (kasus yang

sangat jarang). Orang dengan masalah jantung tertentu biasanya tidak

diindikasikan untuk ECT.

2. Efek Cerebral :

a) Peningkatan konsumsi oksigen.

b) Peningkatan cerebral blood flow

c) Peningkatan tekanan intra cranial

d) Amnesia (retrograde dan anterograde) bervariasi, dimulai setelah 3-4 terapi,

berakhir 2-3 bulan atau lebih. Lebih berat pada terapi dengan metode bilateral,

jumlah terapi yang semakin banyak, kekuatan listrik yang meningkat dan adanya

organisitas sebelumnya.

3. Efek lain :

a) Peningkatan tekanan intra okuler

b) Peningkatan tekanan intragastric

c) Kebingungan (biasanya hanya berlangsung selama jangka waktu yang singkat),

pusing.

d) Mual, Headache/ sakit kepala, nyeri otot.

e) Fraktur vertebral dan ekstremitas dan Rahang sakit. Efek ini dapat berlangsung

dari beberapa jam sampai beberapa hari. Jarang terjadi bila relaksasi otot baik.

f) Resiko anestesi pada ECT

g) Kematian dengan angka mortalitas 0,002%

H. Prosedur ECT

Persiapan termasuk didalamnya diagnosis yang akurat, komunikasi dengan keluarga

dan pasien, pemeriksaan anestesi, dan menentukan penempatan elektroda yang sesuai.

Secara umum, stimulus diberikan menggunakan satu atau dua susunan elektroda. Pada

stimulasi bilateral, satu elektroda diletakkan pada kedua sisi pelipis dan listrik melintas

melalui kedua sisi otak. Pada stimulasi unilateral, satu elektroda menempel pada satu sisi

pelipis dan satu lagi pada bagian atas kepala pada sisi yang sama. Dengan stimulasi

Page 11: ect prin.doc

unilateral, aliran listrik umumnya hanya satu sisi kepala, meskipun jika terjadi kejang,

meluas pada kedua belah otak. Dua set elektroda ditempelkan pada pasien untuk

memonitor aktivitas otak sebelum, selama, dan setelah pemberian ECT. Satu set

diletakkan pada kepala (EEG) dan satu set lagi pada ekstrimitas. Pasien berbaring di troli.

Seorang dokter anestesi, psikiater, dan paling sedikit dua perawat dibutuhkan. Dokter

anestesi memasukkan kanula, perawat anestesi memasang elektroda EKG, dan psikiater

serta perawat psikiater memasang ECT, EEG, dan elektroda otot perifer. Anestesi

dimasukkan. Saat muscle relaxant mulai bekerja, stimulus ECT mulai dilakukan. Ini

merupakan square wave dengan lebar pulse 1,0 milidetik. Menggunakan sebuah alat

populer (Thymatron), stimulus diberikan pada frekuensi maksimum 70 pulse per detik.

Karenanya, dalam satu detik stimulus berjalan selama 0,14 detik. Stimulus terpanjang

yang bisa diteruskan oleh alat ini adalah delapan detik. Maka, dengan setting maksimal,

stimulus dapat berjalan untuk waktu total sedikit lebih dari satu detik (1,12 detik).

Konvulsi kini telah banyak termodifikasi. Biasanya ada penekukan siku dan penunjukkan

ibu jari kaki.

Saat kejang telah berhenti (biasanya kurang dari 30 detik), pasien kemudian

dimiringkan ke satu sisi dan kemudian dibawa ke ruang pemulihan. Seluruh prosedur dari

kedatangan sampai keberangkatan dari ruang prosedur memakan waktu kurang lebih 10

menit.

Pemasangan elektroda

Seperti telah disebutkan, ada dua teknik penempatan elektroda, yaitu bilateral dan

unilateral. Efek samping yang paling menyulitkan adalah memori. Memori tidak terletak

pada lokasi tertentu pada otak. Saat ini dipercaya memori bergantung pada banyak regio

pada otak yang secara anatomis maupun fungsional terhubung. Diketahui bahwa masalah

memori yang berat terjadi ketika struktur kedua belah otak rusak. Ini merupakan bukti

yang mengindikasikan bahwa ECT bilateral memiliki efek antidepresan yang lebih kuat

daripada unilateral. Namun, ECT bilateral juga dipercaya berkaitan dengan gangguan

ingatan yang lebih besar daripada ECT unilateral. Bukti menunjukkan bahwa

memberikan energi listrik unilateral dalam jumlah besar (selama dalam bentuk square

wave singkat) dari yang dibutuhkan hanya sekedar untuk memicu kejang (seizure

threshold) dapat membuat efek antidepresan serupa dengan ECT bilateral, namun dengan

Page 12: ect prin.doc

gangguan memori yang lebih ringan. Teknik "ECT unilateral dosis tinggi" ini sekarang

merupakan bentuk yang paling sering dipilih. Bagaimanapun, saat efek antidepresan

maksimum dibutuhkan, ECT bilateral mungkin tetap penting untuk dipilih.

I. Anestesi Pada ECT

Anestesi pada ECT harus diberikan oleh dokter anestesi berpengalaman, mampu

menangani kemungkinan komplikasi pada lokasi yang jauh dari rumah sakit utama,

dibantu oleh asisten yang terlatih. Dokter anestesi akan mengawasi pemeriksaan pasien,

menyiapkan pemberian anestesi yang sesuai dan monitoring. Pemeriksaan awal dapat

dilakukan oleh psikiater atau perawat klinik ECT senior atau perawat tertentu. Adanya

guideline berbentuk checklist dapat membantu staff untuk mengidentifikasi potensi

masalah dengan anestesi. Riwayat penyakit harus digaris bawah jika terdapat kondisi

yang dapat mempengaruhi anestesi seperti: angina, infark miokard baru, cerebrovascular

accident, diabetes, hipertensi, hernia, adanya alergi obat, atau telah adanya efek samping

terhadap penggunaan obat anestesi sebelumnya

J . P e m e r i k s a a n L a b o r a t o r i u m

a) Pemeriksaan darah lengkap

b) Urea dan elektrolit (pada pasien pengguna lithium, diuretik, atau obat vaskonstriksi

lain, diabetes, atau gangguan ginjal)

c) Fungsi hati (pada pasien dengan kaheksi, sejarah penggunaan alkohol, dan adanya

riwayat penyalahgunaan obat atau overdosis

d) International normalized ratio untuk pasien yang menggunakan antikoagulan

e) Status antigen hepatitis B ada penyalahguna obat

Page 13: ect prin.doc

f) Kadar gula darah (jika urinalisis positif)

g) Elektrokardiogram pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, pernafasan, dan

ginjal, denyut irregular atau murmur, hipertensi, pasien dengan diabetes di atas

40tahun, dan semua pasien di atas 50 tahun

h) X-ray dada pada pasien dengan suspek infeksi dada, kardiomegali, gagal jantung

kongestif, emboli paru

i) Tes fungsi paru pada pasien dengan penyakit obstruksi jalan nafas kronis berat, atau

nafas pendek saat istirahat

j) Tes kehamilan jika diperlukan. List pemeriksaan standar ini diperlukan sebelum

dilakukan ECT dan disetujui oleh dokter anestesi.

K. Obat-obatan yang digunakan dalam proses anestesi

a) Anesthetic agents

Tujuan: agen anestesi yang diberikan bertujuan membuat pasien tidak menyadari

adanya sensasi yang mungkin menakutkan, terutama kelumpuhan otot dan perasaan

tercekik dan gambaran kilatan sinar yang mungkin mengiringi permulaan stimulus,

tanpa menghambat kejang. Prinsipnya adalah mendukung anestesi umum yang

ringan dan sangat singkat. Dosis anestesi yang berlebih dapat menyebabkan

ketidaksadaran pasien dan apneu bertambah lama, memberikan efek antikonvulsan,

meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular, dan meningkatkan amnesia. Agen

induksi yang ideal untuk ECT bertujuan ketidaksadaran yang cepat, injeksi tanpa

nyeri, tanpa efek hemodinamik, tanpa properti antikonvulsan, memberikan

pemulihan yang cepat, dan tidak mahal. Belum ada obat yang memenuhi semua

karakter tersebut. Namun, methohexital memenuhi banyak kriteria yang telah

disebutkan di atas, thiopental, ketamin, propofol, dan etomidate juga telah berhasil

digunakan pada terapi ECT.

Agen -agen i nduks i yang b i a sa d igunakan :

1) Methohexital memiliki onset yang cepat dan durasi yang cepat, toksisitas kardio

rendah, efek antikonvulsan yang minimal, dan menimbulkan rasa nyeri pada

lokasi injeksi. Efek samping lain termasuk hipotensi, menggigil, dan nekrosis

jaringan lunak pada lokasi penyuntikan. APA Task Force on ECT

Page 14: ect prin.doc

merekomendasikan penggunaannya agen induksi pilihan. Dosis tipikal adalah

0,5-1mg/kg.

2) Thiopental memiliki efek entikonvulsi yang lebih besar dan durasi yang lebih

lama daripada methohexital. Pasien dengan penyakit kardiovaskulaar yang

diinduksi dengan thiopental dapat memiliki insidensi yang lebih besar untuk

abnormalitas EKG postiktal dibanding dengan methohexital. Seperti halnya

methohexital, thiopental dapat menyebabkan hipotensi dan menyebabkan nekrosis

pada lokasi injeksi. Dosisnya adalah 2-4 mg/kg.

3) Ketamine. Merupakan derivat dari phencyclidine, yang menghambat glutamate

subtipe N-methyl-D-aspartate (NMDA). Dibanding methihexital, ketamin

memiliki onset yang lebih lambat, pemulihan yang lebih lambat, dan meningkatan

insidensi nausea, hipersalivasi, 'bad trips' , dan ataksia selama pemulihan.

Direkomandasikan bagi pasien dengan peningkatan ambang kejang sehingga

pemunculan kejang menjadi sulit, dan dosisnya adalah 0,5-2 mg/kg.

4) Propofol memiliki onset cepat, durasi yang singkat, dan sering dikaitkan dengan

nyeri lokasi injeksi. Efek samping lainnya termasuk hipotensi, apneu, bradikardi.

5) Etomidate, berkaitan dengan nyeri pada lokasi injeksi seperti halnya methohexital,

dan menyebabkan aktivitas mioklonik menonjol selama induksi. Etomidate

memberika keuntungan akan efek kontraktibilitas dan kardiak output yang

minimal. Etomidate direkomendasikan pada pasien dengan penurunan.kardiak

output dan atau peningkatan ambang kejang. Dosis adalah 0,15-0,3 mg/kg

6) Muscle relaxant. Pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mencegah cedera

pada sistem muskuloskeletal dan meningkatkan manajemen jalan nafas.

Prinsipnya adalah menyediakan relaksasi otot . secara umum, paralisis penuh

tidak dibutuhkan ataupun diinginkan karena dapat dikaitkan dengan apneu yang

memanjang. Sebagai tambahan, intensitas dan durasi gerakan motor kejang harus

diobservasi dan dimonitor. Paralisis otot bukan hanya memfasilitasi oksigenasi,

namun juga menurunkan penggunaan oksigen oleh otot selama kejang.

Pertimbangan harus diberikan pada penggunaan muscle relaxant dosis tinggi pada

pasien dengan resiko fraktur tulang patologis. Kecukupan pemberian muscle

relaxant harus ditentukan sebelum pemberian stimulus ECT. Proses ini dilakukan

Page 15: ect prin.doc

dengan tes reduksi refleks tendon dalam dan tonus otot. Pada pasien yang

diberikan succinylcholine dosis tinggi, stimulator saraf perifer harus digunakan.

7) Antikolinergik. Tujuan antikolinergik adalah untuk melindungi terhadap

bradikardi atau asistol karena parasimpatis. Prinsipnya adalah menurunkan efek

dari stimulasi vagal karena ECT. Vagal refleks terjadi segera setelah stimulus ECT

tanpa bergantung besar alira listrik, dan dapat mengakibatkan bradikardi atau

asistol transien. Jika aliran listrik mendekati atau melebihi ambang kejang, kejang

tonik-klonik dapat terjadi dengan disertai stimulasi simpatis. Peningkatan aktivitas

simpatis ini mengimbangi efek stimulasi vagal. Namun jika aliran listrik gagal

mencapai kejang (stimulasi subkonvulsi), ketakutan akan terjadinya bradikardi

mengikuti stimulus menjadi besar karena proteksi yang diberikan takikardi

postiktal tidak ada.

8) Agen yang memodifikasi respon kardiovaskular. Tujuannya adalah untuk

menurunkan respon kardiovaskular karena ECT. Komplikasi kardiovaskular,

aritmia, infark miokardial, gagal jantung kongestif, dan henti jantung merupakan

penyebab kematian paing sering. APA Task Force on ECT menyarankan

penggunaan yang tidak berdasar harus dihindarkan. Selama kejang karena ECT,

aliran darah otak meningkat hingga 300%, penggunaan oksigen dan metabolisme

meningkat hingga 200%. Karenanya, aliran darah perifer sangat penting untuk

memenuhi kebutuhan ini, dan menyediakan sulai oksigen dan karbohidrat pada

otak. Karena hal tersebut, pertimbangan sangat dibutuhkan saat akan

menggunakan agen ini.

Rekomendasi:

1. Over-treatment lebih berbahaya daripada under-treatment. Karenanya,

pemberian antihipertensi profilaksis rutin pada semua pasien tidak

direkomendasikan.

2. Usaha awal harus diarahka untuk mendapatkan control tekanan darah dan

denyut jantung dengan administrasi harian agen oral sebelum memulai ECT

3. Pada pasien yang beresiko untuk komplikasi kardiovaskular, seperti aneurisma

tak stabil, pencegahan total akan perubahan hemodinamik karena ECT

direkomendasikan.

Page 16: ect prin.doc

4. Hipertensi yang bertahan atau aritmia yang signifikan setelah kejang diterapi

secara akut, dan profilaksis dipertimbangkan untuk penatalaksanaan berikutnya

Agen yang biasa digunakan:

Beberapa antihipertensi memiliki potensi untuk membatasi efek hemodinamik

ECT. Mereka memiliki perbedaan dalam onset dan durasi, dampak terhadap

tekanan darah versus denyut jantung, efek terhadap kerja miokard, dan durasi

kejang.

Beta blocker . Literature untuk beta blocker sangat luas. Efek samping

mayornya adalah adanya property antikonvulsa. Labetalol merupakan

beta-blocker yang paling banyak digunakan sekarang ini.

Nitrogliserin. Mendilatasi sistem vena dengan sedikit efek pada

kontraktibilitas miokard. Ada banyak sdiaaan, seperti spray, injeksi, dan

salep. Pada prakteknya, nitrogliserin diberikan secara spray sublingual

(0,4 mg/spray) beberpa menit sebelum ECT mulai menurunkan

hipertansi.

Trimethaphan, merupakan agen bloking ganglionik, merupakan salah

satu antihipertensi intravena yang direkomandasikan untuk ECT. Agen

ini menginhibisi sistem saraf simpatis dan parasimpatis sekaligus

dengan efek pada arteriol, dan meningkatkan vasodilatasi tanpe

menginduksi refleks takikardi. Hanya tersdia dalam bentuk parenteral

dan memiliki onset dalam beberapa menit. Bolus trimethaphan

menurunkan tekanan darah dan denyut jantung selama ECT tanpa

menimbulkan hipertensi rebound, perpanjangan hipotensi, aritmia, atau

efek pada durasi kejang.

Nicardipine memberikan control yag adekuat untuk MAP, namun

denyut jantung biasanya meningkat sebelum, selama, dan setelah ECT.

Tidak ada efek pada durasi kejang.

Nitropruside juga dapat digunakan untuk emngontrol tekanan darah

namun memiliki insiden yang lebih besar untuk hipotensi post-ECT.

Agen ini merupakan vasodilator poten yang mempengaruhi sistem

arteriol dan vena, dan dapat menghasilkan reflaks takikardi. Beberapa

Page 17: ect prin.doc

anestesi mempertimbangkan monitoring intra arterial sementara

menggunakan agen ini.

L. Peran Perawat Dalam Pemberian ECT

Pasien dan keluarganya biasanya takut karena sering beranggapan ECT bisa merusak

otak, kehilangan ingatan dan kematian. Perawat harus mengkaji pengetahuan dan

pendapat pasien dan keluarganya tentang ECT, memberikan penjelasan dan dukungan

agar mereka tidak cemas. Langkah-langkah yang harus diberikan adalah :

1) Memberikan dukungan emosi dn penjelasan kepada pasien dan keluarganya.

2) Mengkaji kondisi fisik pasien

3) Menyiapkan pasien

4) Mengamati respon pasien setelah ECT

5) Pastikan pasien atau keluarganya sudah memberikan inform consent.

M. Persiapan Alat

Adapun alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan ECT, adalah sebagai berikut:

1) Konvulsator set (diatur intensitas dan timer)

2) Tounge spatel atau karet mentah dibungkus kain

3) Kain kasa

4) Cairan Nacl secukupnya

5) Spuit disposibel

6) Obat SA injeksi 1 ampul

7) Tensimeter

8) Stetoskop

9) Slim suiger

10) Set konvulsator

N. Persiapan Klien

a. Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan yang akan

dilakukan.

b. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya kelainan

yang merupakan kontraindikasi ECT

c. Siapkan surat persetujuan

d. Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT

Page 18: ect prin.doc

e. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang mungkin dipakai

klien

f. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi

g. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum ECT

h. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-hipnotik, dan

antikonvulsan harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya dihentikan

beberapa hari sebelumnya karena berisiko organik.

i. Premedikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg setengah jam sebelum

ECT. Pemberian antikolinergik ini mengembalikan aritmia vagal dan menurunkan

sekresi gastrointestinal.

O. Pelaksanaan

a. Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan rata dan

cukup keras. Posisikan hiperektensi punggung tanpa bantal. Pakaian dikendorkan,

seluruh badan di tutup dengan selimut, kecuali bagian kepala.

b. Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini dipakai untuk

menghasilkan koma ringan.

c. Berikan pelemas otot suksinikolin atau Anectine (30-80 mg IV) untuk menghindari

kemungkinan kejang umum.

d. Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat elektrode

menempel.

e. Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi dengan kasa yang dibasahi caira

Nacl.

f. Penderita diminta untuk membuka mulut dan masang spatel/karet yang dibungkus

kain dimasukkan dan klien diminta menggigit

g. Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang dengan

dilapisi kain

h. Persendian (bahu, siku, pinggang, lutu) di tahan selama kejang dengan mengikuti

gerak kejang

i. Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudia tekan tombol sampai timer

berhenti dan dilepas

j. Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan kejang

Page 19: ect prin.doc

(menahan tidak boleh dengan kuat).

k. Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan diafragma

l. Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger

m. Kepala dimiringkan

n. Observasi sampai klien sadar

o. Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan

P. Setelah ECT

a. Observasi dan awasi tanda vital sampai kondisi klien stabil

b. Jaga keamanan

c. Bila klien sudah sadar bantu mengembalikan orientasi klien sesuai kebutuhan,

biasanya timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit.

Page 20: ect prin.doc

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

ECT (Electro Convulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan psikiatrik

dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam

pengaruh anestesi dengan menggunakan alat khusus. ECT bertujuan untuk menginduksi

suatu kejang klonik yang dapat memberi efek terapi (therapeutic clonic seizure)

setidaknya selama 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana

seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. CTG

(CARDIOTOCOGRAPHY) adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur DJJ pada

saat kontraksi maupun tidak. Jadi bila doppler hanya menghasilkan DJJ maka pada CTG

kontraksi ibu juga terekam dan kemudian dilihat perubahan DJJ pada saat kontraksi dan

diluar kontraksi. Bila terdapat perlambatan maka itu menandakan adanya gawat janin

akibat fungsi plasenta yang sudah tidak baik.

Page 21: ect prin.doc

DAFTAR PUSTAKA

Royal College of Psychiatrists Special Comitee on ECT. The ECT Handbook 2nd Edition.

2004

Pridmore. Download of Psychiatry Chapter 28: Electro Convulsive Therapy. Februari

2009

wir-nursing.blogspot.com/2011_03_01_archive.html

http://ners-blog.blogspot.com/2011/10/terapi-somatik-dan-psikofarmaka.html

http://www.fetal.freeserve.co.uk/ctg.html

http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2060372-pengertian- teknologi-

menurut-para-ahli/#ixzz27qFDcB00