eBook Seribu Wajah Ayah (Bab 1)
description
Transcript of eBook Seribu Wajah Ayah (Bab 1)
-
Tidak mungkin ada sesuatu yang muncul dari ketiadaan. Konon
pemikiran itu lah yang ribuan tahun lalu berputar-putar di kepala
para filosof alam di Yunani. Sementara Thales beranggapan segala
sesuatu berasal dari air, Anaximenes punya pemikiran lain: segala
sesuatu berasal dari udara atau uap. Entah pergulatan pemikiran
macam apa yang terjadi antara para filosof pada zaman itu, pada
hakikatnya mereka sepakat bahwa ada sesuatu yang selalu ada,
yang merupakan asal muasal semua hal yang kini ada dengan segala
dinamika perubahannya serta ketimbul-tenggelamannya.
Apapun yang ada di alam raya ini, semua berasal dari sesuatu
yang kekal itu. Maka kelahiran dan kematian manusia sejatinya
hanyalah permainan waktu. Dan oleh karena itu, kepergian orang-
orang yang kita cintai tak perlu berlebihan kita tangisi sebab dia
tidak akan ke mana-mana.
Kamu juga percaya itu, tapi memang itulah manusia: tak semua
yang kita yakini berani kita jalani.
Malam itu, beberapa detik sebelum pergantian hari hitungan
masehi, kamu terbangun. Sendiri. Pipimu basah, mungkin karena
keringat, atau air mata, atau keduanyaentahlah. Yang pasti, kamu
gelisah. Sebuah mimpi membawakanmu potongan-potongan masa
lalu: tentang masa kecilmu, kampung halamanmu, dan tentu saja
tentang seseorang yang tak hanya darahnya yang mengalir dalam
-
darahmu, tapi juga gagasannya. Siapa lagi kalau bukan ayahmu,
sebab kau sama sekali tak punya kenangan tentang ibubagaimana
mungkin kau memimpikannya?
Sejak kecil, kamu selalu percaya bahwa sebenarnya ibumu tidak
mati. Ia hanya terlalu mencintai ayahmu sehingga tak pernah mau
berpisah darinya. Itu sebabnya, ruhnya keluar dan kini menyatu
dalam tubuh ayah. Jadilah ayahmu juga punya sifat keibuan, ia tak
hanya jadi pembimbing yang tegas, tapi juga pengasuh yang penuh
kasih sayang. Kamu juga selalu yakin bahwa khusus bagimu, surga
juga ada di telapak kaki ayah. Di setiap langkah yang ia ambil untuk
bisa terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga.
Semakin lama kamu bertumbuh, kamu mulai sadar bahwa
cerita yang kamu reka tentang menyatunya ruh ibu dengan ruh ayah
di dalam tubuh ayah adalah pemikiran yang sama sekali bodohbila
bukan gila. Tapi tentang keyakinanmu akan adanya surga di telapak
kaki ayah, belum ada hal yang membuatmu punya keraguan
sedikitpun di dalamnya. Itulah yang membuat dadamu sesak ketika
menyadari bahwa suaranya tak lagi bisa kau dengar, keningnya tak
lagi bisa kau kecup, dan tatapan tulusnya tak lagi bisa
menenangkanmu. Ia pergi bukan hanya saat kamu tak di sisinya,
bahkan saat kamu mencoba untuk melupakan dan tak
memedulikannya.
Memang terlalu banyak hal yang lebih menyenangkan di dunia,
dan kita manusia adalah mahluk yang terlalu mudah terbuai. Hidup
terlalu sering menunjukkan pada kita begitu banyak hal yang
membuat kita takjub tak terkendali. Ia menjebak kita untuk terpaku
padanya, padahal di balik hal yang menakjubkan itu, ada sumber
kekaguman abadi.
Apa yang kita lihat tak selalu seperti apa yang sebenarnya.
-
Maka Muhammad pun dengan kerendahan hatinya berdoa Ya
Allah, tunjukkanlah kepadaku hal-hal sebagaimana adanya!.
Ia pergi dalam kesendirian, menyusul ibumu yang sudah pergi
duluan dua puluh tahun lalu ketika usiamu baru hitungan detik.
Kamu, yang barangkali menjadi satu-satunya obat bagi kesedihan
ayahmu atas kepergian orang yang teramat dicintainya waktu itu,
ternyata tak hadir menemani saat-saat terakhirnya.
Katanya, menyesali perbuatan adalah salah satu syarat mutlak
dari taubat. Syarat lainnya adalah bertekad tidak mengulanginya. Di
dalam kepalamu bertengger sebuah pertanyaan: bagaimana
mungkin aku mengulanginya sementara ia sudah tiada?, yang
kemudian kamu sadari bahwa pertanyaan itu tak lebih penting dari
pertanyaan lantas apa yang bisa aku perbaiki di saat ia sudah tiada?.
Di tengah malam itu, kamu menangis. Tersedu dalam ruang yang
hening. Hanya ada detak jam dinding kesayangan ayahmu yang
mengiringi derasnya air mata yang tak juga habis. Malam itu kamu
tidur di kamar ayahmu yang telah setahun lebih tidak kamu
kunjungi.
Tak banyak yang berubah di sana, sejak setahun yang lalu. Letak
jam dinding, lemari tua berbahan kayu jati yang sudah terlalu penuh
oleh buku, foto ibumu ketika mudaah iya, ia memang tak sempat
tua. Di meja baca ayahmu, tergeletak sebuah benda semacam buku
dengan kover biru tua berukuran kira-kira tiga belas dikali Sembilan
belas centimeter yang tidak terlalu tebal, tua, tapi terlihat sangat
terawat. Kamu, sebelumnya tak mengira bahwa itu adalah album
foto.
Sejak kecil, salah satu kegemaranmu adalah berulang-ulang kali
membuka beberapa album foto di rumahmu sampai kamu hampir
hafal semua foto yang ada di dalamnya. Tapi, album foto ini seperti
-
tidak pernah kamu lihat. Tak banyak foto di dalamnya, hanya ada
sepuluh, tidak kurang tidak lebih. Dan setiap foto punya
karakteristik yang sama: hanya ada kamu dan ayahmu di dalam foto
itu. Hanya kalian berdua.
Malam itu kau dipaksa untuk menengok ke belakang sampai
lehermu pegal. Kau dipaksa untuk berkejar-kejaran dengan waktu
untuk kembali memunguti potongan-potongan masa lalu yang tak
kau kira sama sekali akan berakhir sedramatis ini. Ada sesal di sana,
tentang ketulusan yang kau campakkan. Tentang rindu yang dibawa
pergi. Tentang budi yang tak sempatdan memang tak akan
pernahterbalas.
Seribu wajah ayah sekalipun yang kau kenang dan ratapi malam
itu, tak kan pernah mengembalikannya.
~
-
Ada seorang lelaki yang sangat mirip denganmu di foto pertama
dalam album itu, tengah menggendong seorang bayi yang mungil.
Lelaki itu, usianya tigapuluh satu tahun, tersenyum, dan tampak
gagah dengan baju dinasnya. Tapi, di balik wajahnya yang
sumringah, seperti ada kekhawatiran yang tertahan.
Lelaki itu adalah ayahmu, dua puluh tahun yang lalu. Ia baru
selesai bertugas waktu itu, tak sempat mengganti seragamnya
karena buru-buru ingin menyambut kehadiranmuya, bayi mungil
itu, tentu saja adalah kamu.
Hari itu, semestinya ayahmu ada di sana, menemani detik-detik
perjuangan kekasihnya melahirkanmu. Tapi ada tugas mengawas
yang tak bisa digantikan, maka setelah tugas mengawasnya selesai,
buru-buru ia ke rumah sakit tempat kamuakandilahirkan.
Pekerjaannya sebagai guru di sebuah SD Negeri tak jauh dari tempat
tinggalnya adalah salah satu mimpinya sejak dulu. Di tempat itu pula,
ia bertemu dengan ibumu.
Kisah cinta mereka adalah kisah cinta yang biasa, karena
mereka memang dua orang yang biasa. Ayahmu hanyalah anak dari
seorang petani yang sawahnya tidak terlalu luas, sebagian hasil
panen disimpan untuk makan sehari-hari, sebagiannya lagi biasa
ditukar dengan bahan makanan lain. Dan ibumu, lahir dari rahim
seorang penjahit yang penghasilannya tak seberapa, sementara
ayahnya tukang bangunan yang hanya bekerja bila sedang ada
proyekselebihnya, serabutan.
Ayah dan ibumu tahu betul menjadi seorang guru SD tak akan
membawa banyak perubahan pada status ekonomi mereka, tapi
menjadi guru adalah tentang pengabdian, bukan sekadar soal gaji
atau bonus tahunan. Lagi pula, keduacalonorang tuamu itu
sudah sangat terbiasa hidup bukan hanya apa adanya, tapi bahkan
-
dalam kekurangan yang berlarut-larut. Tahun-tahun itu adalah
tahun-tahun yang hampir tak memberi kesempatan bagi orang-
orang miskin sekelas mereka untuk punya harapan lebih dari
sekadar bertahan hidup: bisa makan, punya pakaian, dan tempat
tinggal yang tidak perlu layak, asalkan bisa untuk dipakai istirahat.
Ayahmu diam-diam mengagumi kecantikan dan kelembutan
sikap ibumu. Dan ibumu, tak pernah ragu mengakui dalam hatinya
bahwa ayahmu adalah lelaki idamannya. Maka Allah
mempersatukan keduanya, dan sampailah mereka pada titik ini.
Salah satu titik dalam garis hidup yang mereka tunggu-tunggu. Kadar
penantian mereka akan kehadiranmu sudah mencapai tahap gawat.
Akhirnya setelah lebih kurang lima tahun mereka menikah,
dikabulkan juga doa-doa mereka di setiap malam-malam panjang
yang mereka lewati setiap hari: kamu hadir di sana, sebagai janin
kecil yang sangat dinantikan kedatangannya.
Lima tahun. Manusia mana di muka bumi ini yang merindukan
seseorang lima tahun lamanya, lantas merasa biasa saja ketika
akhirnya bisa berjumpa dengan yang dirindu? Begitu pula dengan
ayah dan ibumu. Kau, barangkali bisa membayangkan kerinduan itu,
tapi kau tak pernah benar-benar bisa merasakannya sebelum kau
benar-benar mengalaminya. Maka syukuran kecil-kecilan digelar,
ayahmu menyisihkan separuh dari gajinya yang sedikit untuk
membeli bahan makanan lebih banyak dari biasanya. Ayahmu ingin
mensyukuri kehadiranmu dengan berbagi kebahagiaan dengan
orang lain. Ibumu, yang di rahimnya terkandung dirimu, tak pernah
ditinggal sendiri bila tak terpaksa. Bulan-bulan ibumu
mengandungmu adalah bulan-bulan yang penuh bunga dan
kelembutan. Dan bukankah memang begitu, bahwa Allah, ketika
menghendaki kebahagiaan dan kebaikan pada satu keluarga, Dia
akan memasukkan kelembutan ke dalam hati mereka?
-
Begitulah. ayah dan ibumu selalu punya cara untuk berbahagia
dan saling membahagiakan meski dengan cara-cara yang sederhana.
Slogan Empat Sehat Lima Sempurna hanya berlaku bagi
mereka yang punya. Jangankan susu, bila gaji terlambat turun, ayah
dan ibumu harus makan dengan menu nasi garam. Ya, tentu saja itu
salah satu makanan populer saat itu. Untungnya, ayahmu tak pernah
kekurangan beras karena kakekmu punya sawah. Semestinya
pemerintah membuat slogan Satu Cukup Dua Alhamdulillah untuk
menghormati warga Negara yang hidup seperti ayah dan ibumu saat
itu: satu untuk karbohidrat, dua untuk garam. Meski ayahmu sama
sekali tak butuh slogan macam itu, karena ia punya slogan sendiri:
Apapun Cukup, Senyummu Sempurna. Apapun yang ada, itulah
rezeki yang menjadi haknya. Semua menjadi nikmat karena senyum
ibumuia adalah salah satu sumber semangat terbesar untuk terus
bekerja keras dalam hidup.
Penantian ayahmu hari itu, tak kalah mendebarkan dari
penantian lima tahun yang pernah menderanyawaktu-waktu di
mana setiap detik adalah sujud-sujud pengharapan. Dari perawat
yang beberapa kali keluar masuk dari kamar tempat ibumu sedang
berjuang untuk melahirkanmu, katanya, proses kelahiran memakan
waktu yang sangat lama. Entah apa yang terjadi, ayahmu hanya
berdoa sebanyak-banyaknya di balik pintuia tak akan pernah tega
melihat istri tercintanya merintih menahan sakit yang tak
terbayangkan rasanya.
Sejak kecil, ayahmu selalu diceritakan tentang betapa sakitnya
proses melahirkan oleh ayahnya. Itu sebabnya, ia tumbuh menjadi
anak yang sangat patuh pada orangtua, khususnya ibu. Ia belum dan
tak akan pernah berada di posisi seorang perempuan yang sedang
melahirkan, tapi ia bisa membayangkan betapa mendebarkannya
peristiwa macam itu. Hingga ketika Rasulullah ditanya siapa yang
-
paling berhak untuk dipatuhi, beliau menjawab ibumu hingga tiga
kali, baru kemudian ayahmu.
Di tengah kekhusyukannya berdoa, dari dalam kamar,
terdengar suara tangis yang nyaring. Di tempat itu juga, di lantai
tempat ia menanti dengan rasa khawatir yang tak sembarangan, ia
bersimpuh mengucap syukur yang dalam. Jagoannya, yangdalam
benaknyakelak akan menjadi seseorang yang ia banggakan, telah
lahir ke dunia. Belasan buku tentang pendidikan anak telah ia baca:
mendidik anak cara nabi, mendidik anak dengan cinta, dan lain
sebagainya telah dikhatamkan. Ia, jauh di dalam hatinya berteriak:
Ya Allah, aku siap merawat dan menumbuhkan titipanmu untuk
menjadi abdi-Mu yang bertaqwa! Mudahkan ya Allah! Mudahkan!.
Pintu terbuka, seorang bidan keluar dengan bayi mungil di
tangannya. Ia, dengan ekspresi penuh rasa bersalah menyerahkan
bayi ituyang tentu saja adalah dirimuke pangkuan ayahmu.
Ayahmu senang bukan kepalang, wajahnya berseri. Pamanmu, yang
bekerja sebagai wartawan dan ikut menantikan kehadiranmu
langsung mengabadikan momen itu. Jadilah foto itu, foto pertama
dalam album kecil yang diam-diam disimpan ayahmuentah sejak
kapan.
Beberapa saat kemudian, detik serasa berhenti. Beberapa
kalimat yang disampaikan sang bidan dengan terbata-bata merubah
ekspresi wajah ayahmu dalam sekejap.
Pak, mohon maaf, katanya waktu itu dengan wajah tertunduk,
kami sudah berusaha dengan sekuat tenaga, tapi takdir berkata lain.
Istri bapak, setelah berhasil melahirkan anak Bapak dengan susah
payah, mengalami pendarahan yang parah dan tak sempat
terselamatkan.
-
Ayahmu tersentak. Tubuhnya gemetaran. Kedua matanya, yang
sebelumnya berkaca-kaca bahagia, kini banjir air mata. Kamu, lantas
diserahkan kembali ke pangkuan bidan. Dan ayahmu, seketika
berlari dan memeluk tubuh ibumu yang sudah tak bernyawa.
Tangisnya, lebih hebat dari tangisanmu. Ia berteriak-teriak
memanggil nama ibumu, sambil mengguncang-guncang tubuhnya.
Pamanmu yang mencoba menenangkannya kewalahan. Beberapa
menit kemudian, ayahmu tak sadarkan diri.
Dalam ketidaksadarannya, ayahmu bermimpi. Di sebuah gurun
yang gersang, di bawah matahari yang teriknya membakar, ia
bersimpuh penuh peluh. Ditengadahkan tangannya seraya
memohon:
Ya Allah, Engkaulah yang menguasai hidup dan mati seluruh mahluk.
Engkaulah yang Maha Perancang lagi Pemasti. Engkaulah yang bila
berkehendak, maka tiada suatu apapun yang terjadi pada
kehendakmu itu selain terwujud ke dalam satu kenyataan. Maka
tentulah Kau pun berkehendak untuk mengabulkan apapun
permintaanku sekiranya Kau berkenan.
Air mata mengalir semakin deras dari mata ayahmu, menyaingi
keringat yang tak berhenti menetes dan membuat pakaian putih
ayahmu basah karenanya. Dengan sesenggukan karena nafas yang
sesak, ayahmu melajutkan dengan nada sedikit berteriak.
Tidakkah Kau lihat hambamu ini menjadi begitu fakir karena
ditinggalkan kekasihnya? Tidakkah Kau lihat hambamu ini didera
perih yang menyiksa? Tidakkah Kau lihat hambamu ini bukanlah
siapa-siapa tanpanya, bahwa kekasihku yang baru saja kau pergikan
adalah bagian tak terpisahkan dari hambamu ini? Bukankah Kau
Maha Mengetahui? Tambahkan umurnya, ya Allah. Aku ingin melihat
senyumnya ketika melihat anak kami tumbuh dan dewasa menjadi
-
anak yang saleh. Tambahkan umurnya, ya Allah. Aku ingin melihatnya
tersenyum bahagia karena orang yang telah lima tahun lamanya
begitu dirindukan kini telah di pangkuannya. Bukankah Engkau Maha
Berkehendak dan Maha Mengabulkan Doa?.
Emosi ayahmu meluap tak terkendali. Semua yang
mengenalnya akan sepakat bahwa di balik sikap tegas dan uletnya,
ayahmu adalah orang yang lemah lembut. Tapi kali ini, ayahmu
berontak. Ia, bak macan tidur yang bangun karena diganggu oleh
seekor tikus, dan menjadi begitu marah karenanya. Ia, kini seperti air
bendungan tenang yang seketika menerkam semua yang ada di
sekitarnya tanpa kendali ketika tanggulnya tiba-tiba terbuka. Ia,
menjadi manusia yang siapapun tak akan pernah mengira.
Sesosok manusia, yang tak begitu jelas terlihat wajahnya
karena pancaran cahaya mendekati ayahmu, lalu merengkuhnya
dalam kehangatan. Dalam pelukan itu, ayahmu tak lagi bicara.
Mulutnya gagu, tapi hatinya kini menjadi tenang.
Wahai engkau, lelaki yang lemah lembut. katanya pada ayahmu. Dan
ayahmu masih saja tak mampu bicara, dan sepertinya memang
bukan bagiannya untuk bicara. Tidakkah kau ingat Muhammad
pernah bersabda, bahwa Allah tidak akan memperlambat kematian
seseorang apabila sudah datang ajalnya? Bahwa tambahan umur
adalah Allah memberikan karunia kepada seorang hamba berupa
anak-anak saleh yang mendoakannya sehingga doa mereka dapat
menyusul di kuburnya. Pulang. Pulanglah pada kelembutan hati yang
dulu kekasihmu terpikat karenanya. Tumbuhkanlah karunia Allah
yang kini berada di tanganmu dengan kelembutan, jadikan dia anak
yang saleh. Sungguh kekasihmu kini tengah menikmati kesenangan,
dan kelak akan kekal di dalamnya. Ia tengah menantikan
kehadiranmu dan anak kalian, untuk hidup kekal dalam kebahagiaan
bersama-sama sebagai satu keluarga yang utuh. Itukah yang kau
-
harapkan, atau kau ingin mengingkari nikmat-Nya? Pulanglah, jalani
takdirmu sebagai seorang ayah dan buat kekasihmu bangga
karenanya. Sesungguhnya di dalam diri anakmu terkandung dua
cinta: cintamu dan cintanya. Maka mencintai anakmu adalah juga
mencintai kekasihmu, memeluk anakmu adalah memeluk kekasihmu.
Dan di atas segalanya, percayalah bahwa Allah tidak akan
menyayangi orang yang tidak sayang pada anaknya.
*
Setelah beberapa jam tak sadarkan diri, pamanmu mendapati
ayahmu terbangun. Anakku, di mana anakku?, tanyanya panik.
Tenanglah, Mas. Anakmu kini aman bersama bidan. Sudah aku azani
karena tadi Mas tak sadarkan diri. Pamanmu menenangkan.
Sebagai adikmu, sampai detik ini aku masih yakin Mas adalah orang
paling tegar dari semua orang yang pernah kukenal. Mas pasti bisa
melewati semua ini, sebagaimana dulu Mas adalah orang yang paling
tegar waktu ibu pergi. Bukankah Mas yang selalu bilang, bahwa daun
hanya akan menguning dan jatuh atas izin-Nya, apalagi kematian
seseorang? Maka bila Ia pun mengizinkan, pantaskah kita menentang
kehendak-Nya?
Apa yang selalu diyakini oleh ayahmudan ini menjadi hal
yang akan selalu disampaikan kepada setiap muridnya di sekolah
tentang hidup ini, adalah setiap detiknya tidak lain adalah ujian. Ada
yang bilang hidup ini adalah perjuangan, ada yang bilang hidup ini
adalah anugerah, dan tanpa bertentangan dengan dua pendapat
sebelumnya, ada pula yang bilang bahwa hidup adalah pilihan. Meski
begitu, ayahmu meyakini bahwa hidup, tetap saja pada hakikatnya
adalah ujian. Perjuangan adalah bagian dari cara kita untuk lulus dari
ujian, anugerah adalah kemudahan untuk lebih siap dalam
-
menghadapi ujianbahkan ia sebenarnya adalah ujian itu sendiri,
dan pilihan, sebenarnya hanyalah cara untuk keluar dari ujian: ada
cara yang benar, ada cara yang tak benar.
Tersebab hidup adalah ujian, maka sesungguhnya kekasih dan
anakpun sejatinya hanyalah ujian. Apakah ia membutakan atau
membimbing, sangat bergantung pada kesadaran dan pilihan-
pilihan cara kita untuk lulus dengan baik dari ujian itu.
Ya, Mas ingat. Maafkan sikap Mas tadi, Mas lepas kendali.
Ya, ayahmu pasti ingat. Ia juga akan selalu ingat apa yang Allah
firmankan dalam surat cinta-Nya, bahwa kehidupan dunia sejatinya
hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Berbangga-
banggan tentang banyaknya harta dan anak, tak lain seperti hujan
yang datang untuk membuat para petani senang hatinya, sumringah
wajahnya, karena tanamannya menjadi hijau dan subur. Tapi
lihatlah, pada akhirnya merekatanaman-tanaman itu
menguning dan kering, lalu hancur. Begitulah, bila yang kita
harapkan adalah kesenangan dunia macam itu, maka kita sedang
mengharapkan sesuatu yang semu: kesenangan yang sementara juga
menipu.
*
Di bawah foto itu, terdapat sebuah tulisan tangan yang kamu
tahu persis itu tulisan ayahmu:
Aku telah memutuskan untuk mencintaimu sampai akhir
hayatku. Dan aku takkan pernah mencabut keputusan itu
karena alasan apapun. Ini tekadku, janji seorang lelaki.
-
Air matamu, semakin tak terkendali.
Dalam kepalamu, hadir sebuah pertanyaan besar: Mengapa aku
harus diciptakan ke duniayang itu berarti seorang guru SD harus
kehilangan kekasih yang begitu dicintainya? Mengapa aku tak
diciptakan jadi batu, kayu, debu, atau benda mati apa saja yang tak
perlu punya rasa, dan tentu saja, tak perlu menyertakan kesedihan
yang mendalam bersama kehadirannya?
Kau memang semakin mirip ayahmu. Melankolik. Manusia
terlalu sering mempertanyakan hal-hal yang sudah jelas terjawab
hanya untuk mendramatisasi kelemahannya, atau kadang, untuk
memamerkan betapa kritis dirinya. Merasa terlalu lemah dan terlalu
kuat, keduanya selalu menjauhkan kita dari pengakuan atas
kebenaran, meskipun itu telah nyata di hadapan.
Mereka yang merasa lemah, adalah orang-orang dengan
keakuan yang tinggi. Dari seluruh manusia yang ada di dunia, seolah-
olah sang aku lah yang paling menderita. Maka sebenarnya sama
saja mereka sedang menyombongkan dirimerasa paling dari
yang lain. Dan harusnya kita sadar, sejak mula, sombong adalah sifat
dasar iblis.
Anaa khairu minhu1, kata Iblis, Aku diciptakan dari api dan ia
dari tanah.. Inilah sifat keakuan iblis, kesombongan yang kini
menjelma dalam perikehidupan manusia. Egosentris. Akulah yang
menentukan, Akulah yang utama, sesekali memikirkan orang lain,
tapi tetap saja untuk kepentingan sang aku. Jadilah aku berdaulat,
lahirlah kedaulatan rakyat, bahwa Allah tak boleh campur tangan
dalam urusan rakyat.
1Aku lebih baik dari dia
-
Demikianlah, Allah memang menciptakan manusia sebagai
manusia yang punya kesempatan dan kemampuan untuk memilih.
Manusia memilih yang baik maupun yang buruk, sah-sah saja, tapi
masing-masing punya konsekuensi. Dan itulahkebaikan dan
keburukanyang ditenun manusia di sepanjang sejarah hidupnya.
Mereka yang setia pada kebaikan, adalah mereka yang memegang
prinsip: ambil satu korbankan yang lain. Sayangnya, tidak semua
manusia berani melakukannya.
Berani atau tidak berani, tentu saja semata-mata tentang
pilihan. Orang boleh saja merasa tidak mampu, tapi dia tetap punya
kesempatan untuk berani. Maka sebenarnya setiap manusia punya
kesempatan untuk menjadi pemberaniorang-orang yang takut,
tapi memilih untuk tetap melakukan. Dari sanalah kita bisa melihat
harga manusia. Harga manusia sangat ditentukan oleh pilihannya.
Manusia tidak punya harga sebelum menentukan pilihan dalam
hidupnya.
Jadi, ini semua adalah tentang pilihan. Apakah kau mau
meratapi terus menerus apa yang telah terjadi dengan kata
seandainyapadahal ia sama sekali tidak membantumu memutar
waktu untuk kembali ke masa lalu, atau kau akan melangkah
bahwa selalu ada hal lain yang lebih bijak dari mengenang: membuat
cerita baru yang lebih indah.
Pilihan kini ada di tanganmu. Dan sebaiknya, kau bijak memilih
sebelum datang waktu di mana kau tak lagi punya kesempatan untuk
memilih.
***