TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
-
Upload
antikhazar1866 -
Category
Documents
-
view
281 -
download
6
Transcript of TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
1/88
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
2/88
TDS (TIGA DALAM SATU) WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN
ARIO BLEDEG - PETIR DI MAHAMERU
KUNGFU SABLENG - PENDEKAR PISPOT NAGA
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
3/88
BASTIAN TITO
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WWIIRROO SSAABBLLEENNGG
SERIBUHAWA KEMATIAN
PDF E-Book: kiageng80
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
4/88
WIRO SABLENG
SERIBU HAWA KEMATIAN 1
KALUNG KEPALA SRIGALADINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah.Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat, bergerak
dalam kegelapan menuju timur. Di atas bahunya Sinto
Gendeng duduk tak bergerak. Dua tangan dirangkapkan di
depan dada, sepasang mata terpejam dan dari mulutnya
keluar suara mendengkur.
Aku harus lari, mendukungnya dalam udara dingin. Dia
enak-enakan ngorok! Wiro mengomel sendiri dalam hati.Di satu tempat pemuda ini hentikan larinya.
Memandang ke timur, langit masih gelap pertanda sang
surya belum muncul. Tiba-tiba Wiro menangkap suara
sambaran-sambaran angin di sekitarnya. Dia tidak melihat
apa-apa tapi yakin sekali ada beberapa orang berkelebat
dalam kegelapan.
Eyang, aku mendengar sesuatu... Wiro berucap
dengan suara perlahan sambil tepuk paha si nenek. Paha
yang ditepuk tidak merasa apa-apa karena berada dalam
keadaan lumpuh mati rasa akibat serangan Kelelawar
Pemancung Roh tempo hari.
Eyang... Karena tidak mendapat sahutan Wiro
memanggil kembali. Lekas bangun! Ada orang...
Anak setan! Jangan mengejutkan tidurku! Apa mau
kukencingi tengkukmu?!
Ah, kukira kau masih tidur Nek. Ada beberapa orang di
sekitar kita...
Kalau masih namanya orang, lalu apa kau takut?!
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
5/88
tanya si nenek. Dua matanya masih dipejamkan sedang
sepasang tangan masih bersidekap di depan dadanya yang
kurus tipis.
Mereka mungkin punya maksud jahat Nek. Agaknya
mereka telah mengikuti kita sejak lama. Mereka mencarisaat yang tepat untuk melakukan sesuatu...
Kau cuma mendengar dan merasakan gerakan
mereka. Aku malah sudah lihat tampang mereka! kata
Sinto Gendeng pula. Lalu masih dengan mata terpejam dia
meneruskan. Mereka berempat. Mengenakan jubah
hitam. Kepala dan wajah masing-masing ditutupi kerudung
hitam...Berarti mereka adalah sisa-sisa anggota komplotan
Lima Laknat Malam Kliwon!
Bukan, jawab si nenek. Yang empat ini tidak
mengenakan topeng barong. Ada gambar kepala srigala di
dada pakaian masing-masing. Anak setan, aku mau
meneruskan tidurku. Hati-hatilah. Mereka mungkin mau
menggerogoti lehermu atau mengorek jantungmu!Nek! Bagaimana kau bisa tidur enak sementara aku
terancam bahaya! Pendekar 212 jadi jengkel.
Kau yang mereka incar. Bukan aku! Hik... hik... hik! Si
nenek tertawa cekikikan. Begitu tawanya lenyap berganti
terdengar suara dengkurnya.
Wiro Sableng mendongkol setengah mati. Dia percepat
larinya. Dalam gelap empat bayangan berkelebatmengikuti. Kesal diikuti terus menerus tanpa dia punya
kesempatan melihat jelas siapa adanya orang-orang itu, di
satu tempat agak terbuka Wiro hentikan larinya dan
membentak.
Empat penguntit! Siapa kalian! Lekas unjukkan diri!
Jangan berani berlaku keji!
Tak ada jawaban. Tak ada yang bergerak. Di sebelahkiri, sekelompok ranting bergoyang oleh hembusan angin.
Wiro memandang berkeliling.
Sialan! Kalian ternyata manusia-manusia pengecut!
Tidak berani unjukkan diri! Pendekar 212 memaki. Dia
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
6/88
memandang berkeliling sekali lagi. Tetap saja tidak melihat
apa-apa. Dia putuskan untuk lanjutkan perjalanan kembali.
Baru menggerakkan kaki tiba-tiba empat benda panjang
berkelebat dan tahu-tahu empat tangan berbentuk cakar
mengerikan siap mencengkeram lehernya dari jarak satujengkal!
Tenggorokan Pendekar 212 turun naik. Keringat dingin
memercik di keningnya. Matanya mendelik tak berkedip
memperhatikan empat tangan berbentuk cakar, mencuat
keluar dari balik lengan jubah hitam. Ada empat orang yang
mengurungnya saat itu. Dan seperti yang dikatakan Sinto
Gendeng, orang-orang ini menutupi kepala dan mukanyadengan kerudung hitam. Pada dada pakaian mereka ada
gambar kepala srigala berwarna putih perak bermata
merah mencorong.
Siapa kalian! Apa mau kalian?! Wiro ajukan
pertanyaan. Tangannya kiri kanan sudah dialirkan tenaga
dalam dan mencekal betis Sinto Gendeng yang ada di atas
dukungannya.Kami tidak mencari perkara. Asalkan mau
menyerahkan kalung perak kepala srigala! Salah seorang
dari empat pengurung membuka suara.
Murid Sinto Gendeng langsung menyeringai. Eh, kau
perempuan kiranya. Masih gadis atau sudah nenek-nenek
seperti yang aku dukung ini?!
Jangan bergurau! Waktu kami tidak lama! Kalaumemang mau cari selamat serahkan saja kalung kepala
srigala terbuat dari perak itu!
Benda yang kau cari tidak ada padaku! jawab Wiro.
Dia berdusta. Karena seperti yang diceritakan dalam serial
sebelumnya (Laknat Malam Kliwon) setelah diserbu oleh
lima anggota Laknat Malam Kliwon Wiro memang
menemukan sebuah kalung srigala terbuat dari perak putihyang talinya telah putus. Kalung itu saat itu disimpannya di
balik pakaiannya.
Seorang pendekar tidak layak berdusta! Orang
berkerudung di sebelah kiri membentak.
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
7/88
Nah, kau juga perempuan. Apa kalian berempat ini
perempuan semua?! tanya Wiro.
Seorang pendekar tidak layak berdusta! Orang yang
tadi berkata ulangi ucapannya.
Aku bukan pendekar! Aku seekor keledai tunggangannenek-nenek butut ini! Kalian lihat sendiri! kata Wiro pula
lalu tertawa gelak-gelak.
Kalau kau memang ingin mati sebagai keledai betapa
tololnya! Orang berkerudung di samping kanan berucap.
Dia memberi isyarat pada tiga kawannya.
Yang pertama sekali bicara angkat tangannya. Kami
tahu kalung perak kepala srigala itu ada padamu. Kamimelihat sendiri kau memasukkannya ke balik pakaian.
Mengapa mengambil benda yang bukan milikmu?!
Benda yang kau cari tidak ada padaku. Lagipula
bagaimana aku tahu kalung itu memang milik kalian?
Melihat cara kalian berpakaian, besar kemungkinan kalian
adalah bangsa penjahat malam. Kalau bukan rampok,
pasti maling!Percuma saja bicara baik-baik! Kawan-kawan! Habisi
pemuda ini! Orang di samping kiri hilang kesabarannya.
Tangannya yang berbentuk cakar dan hanya satu jengkal di
depan leher Pendekar 212 berkelebat ke depan.
Breeeetttt!
Pendekar 212 keluarkan seruan kaget. Kalau tidak
lekas dia mengelak bukan leher bajunya yang robek tetapitenggorokannya yang jebol!
Empat suitan keras menggelegar di malam dingin.
Empat tangan berbentuk cakar kemudian berkelebat.
Wiro sentakkan dua tangannya yang memegang betis
Sinto Gendeng. Dua kaki si nenek yang berada dalam
keadaan lumpuh dan mati rasa mencuat ke depan.
Wuuuuutttt! Wutttt!Bukkk! Bukkk!
Dua penyerang berkerudung berseru marah sambil
menahan sakit karena dua kaki si nenek yang digerakkan
Wiro sebagai senjata penangkis menghantam pergelangan
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
8/88
mereka dengan keras. Sinto Gendeng sendiri karena
lumpuh dan mati rasa tidak merasa apa-apa dan tetap saja
duduk pejamkan mata di atas pundak muridnya!
Empat tangan kembali berkelebat. Empat cakar
menderu ganas.Breeeettt!
Pendekar 212 keluarkan keringat dingin. Dada
pakaiannya robek besar. Penuh geram Wiro lepaskan
pukulan tangan kosong dengan tangan kiri lalu dengan
jurus Kincir Padi Berputar dia hantamkan tendangan ke
arah lawan paling dekat. Namun kaget murid Sinto
Gendeng bukan kepalang ketika tahu-tahu betis danpahanya yang dipakai menendang telah berada dalam
cengkeraman dua tangan berbentuk cakar! Sedikit saja dia
bergerak dan kalau dua lawan mau, maka daging betis dan
pahanya akan amblas ke tulang. Selain itu, yang membuat
nyawanya seolah terbang, dua tangan bercakar juga telah
menempel di batang lehernya!
Nyawamu tidak tertolong! Apa masih belum maumenyerahkan kalung perak kepala srigala itu?! Orang
berkerudung di depan Wiro membentak. Sepasang
matanya berkilat-kilat.
Tenang... Sabar... kata Wiro dengan suara bergetar
dan tengkuk dingin. Kau bunuh diriku tak ada gunanya.
Kalung itu benar-benar tidak ada padaku!
Dusta besar! Bohong!Silakan kalian menggeledah! Kalau memang benda
yang kalian cari ada padaku langsung saja bunuh! Tapi
awas! Kalau kepala srigala itu tidak kalian temukan, jangan
iseng mencari kepalaku yang lain! Ha... ha... ha!
Empat wajah di balik kerudung hitam jadi bersemu
merah mendengar kata-kata Pendekar 212 Wiro Sableng
itu. Tidak satupun dari empat orang itu bertindak hendakmenggeledah.
Ayo! Kenapa kalian semua jadi pada diam?! tanya
Wiro.
Siapa sudi menggeledah tubuhmu! teriak orang
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
9/88
berkerudung yang semuanya adalah perempuan dan tentu
saja merasa jengah menggerayangi sosok Pendekar 212.
Panggil Ki Tawang Alu! Salah satu dari empat orang
berkerudung berkata. Lalu salah seorang dari mereka
keluarkan suitan keras.Dari dalam gelap melesat seorang kakek berdestar
hitam bermuka putih. Tubuhnya tinggi tapi bungkuk.
Pandangan matanya tajam angker.
Ki Tawang Alu! Harap kau geledah pemuda ini! Kalung
kepala srigala ada padanya!
Kakek bernama Ki Tawang Alu pelototkan matanya
pada Wiro. Sesaat dia melirik pada sosok Sinto Gendengyang ada di atas pundak Wiro. Kakek muka putih ini punya
banyak pengalaman dan pandai menilai orang. Sesaat dia
tampak tegak meragu. Melihat hal ini orang berkerudung di
samping kanan membentak.
Lekas periksa pemuda itu! Si nenek jangan diganggu!
Dibentak begitu rupa kakek muka putih segera ulurkan
dua tangannya. Caranya menggeledah Wiro aneh dancepat sekali. Dalam waktu singkat dia orang mampu
menyentuh setiap sudut sosok Pendekar 212. Empat orang
berkerudung kecewa besar ketika si kakek kemudian
berkata sambil mundur.
Kalung itu tidak ada padanya...!
Mana bisa jadi!
Tidak mungkin!Aku melihat sendiri benda itu disembunyikannya di
balik pakaiannya...!
Ki Tawang Alu menggeleng. Aku sudah mencari. Tak
mungkin kelewatan. Lebih baik kita segera pergi dari sini.
Sementara benda itu belum ditemukan kita harus mencari
benda lain yang dapat menyembuhkan pimpinan kita dari
sakitnya...Empat orang berkerudung memandang tidak percaya
pada Wiro. Yang dipandang menyeringai sambil garuk-
garuk kepala. Ketika kakek muka putih berkelebat pergi,
empat orang berkerudung hitam mau tak mau akhirnya
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
10/88
tinggalkan pula tempat itu.
Tak lama setelah orang-orang itu lenyap dalam
kegelapan menjelang pagi, di atas pundak Wiro, Sinto
Gendeng tertawa cekikikan.
Anak setan! Di mana kau sembunyikan kalung perakkepala srigala itu?!
Wiro melengak kaget. Lalu tertawa dan buka mulutnya.
Dari dalam mulut Wiro julurkan keluar kalung perak
berbentuk kepala srigala bermata merah.
Kalung itu besar sekali nilainya bagi empat orang
berkerudung. Tapi aku tidak percaya pada kakek muka
putih itu! Dari tampangnya kentara kulihat dia bangsamanusia yang mempergunakan kesempatan dalam
kesempitan. Anak setan! Ayo kita lanjutkan perjalanan.
Bukit kapur tempat kediaman tua bangka edan itu masih
jauh dari sini! Belum lagi Teluk Akhirat!
***
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
11/88
WIRO SABLENG
SERIBU HAWA KEMATIAN 2
KAKEK SEGALA TAHUBUKIT kapur itu seperti tidak berubah dari tahun ke tahun.Ke mana mata memandang hanya kapur putih yang
kelihatan. Hawa panas seperti mau memanggang tubuh. Di
salah satu puncak bukit di sebelah timur kelihatan berdiri
sebuah teratak tanpa dinding. Atapnya yang terbuat dari
rumbia kering penuh bolong di sana-sini, tak kuasa
menahan sinar matahari. Anehnya di dalam teratak atau
gubuk itu tampak seorang kakek duduk di atas gundukanbatu kapur. Pakaiannya compang-camping penuh tam
balan dan bau apak. Teriknya sinar matahari dan panasnya
hawa yang keluar dari tanah bukit kapur itu seolah tidak
terasa olehnya.
Kakek ini memegang sebatang tongkat di tangan
kirinya. Di ujung tongkat sebelah atas ada sebuah caping
lebar terbuat dari bambu yang diputar-putar demikian rupa
hingga menebar angin sejuk. Sepasang mata si kakek
jelalatan kian kemari. Ternyata sepasang mata itu putih
rata. Buta!
Di atas pangkuan si kakek ada sebuah kaleng rombeng
penyok-penyok tak karuan rupa. Dengan tangan kanannya
kakek ini ambil kaleng itu lalu menggoyangnya. Suara
berkerontangan menggema di seantero bukit. Si kakek
tertawa mengekeh seolah bunyi kerontang kaleng rombeng
itu lucu menyenangkan. Dia angkat lagi tangannya lebih
tinggi. Ketika dia hendak menggoyang mendadak tangan
itu terasa sangat berat, tak bisa digerakkan. Wajah orang
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
12/88
tua ini jadi berubah. Dua matanya yang putih bergerak
berputar. Dicobanya kembali menggoyang kaleng. Tetap
saja tidak bisa. Kakek mata putih itu menarik nafas dalam
dan geleng-gelengkan kepala.
Ada tamu dari mana yang berlaku jahil mengganggukesenanganku! kakek itu berhenti memutar caping di
tangan kiri. Caping bambu itu diletakkannya di atas kepala
sementara tangan kanannya yang memegang kaleng
masih terpentang ke atas tak bergerak. Kakek ini duduk
tak bergerak seperti merenung. Lalu dia mendongak sambil
menghirup siliran angin yang lewat di bawah teratak. Di
antara bau hawa kapur yang mengambang di udara diamembaui sesuatu. Kakek ini menyeringai. Sesaat kemu
dian gelak kekehnya pecah menggeletarkan puncak bukit
kapur. Bersamaan dengan itu dirasakannya satu kekuatan
yang sejak tadi membuat dia tak bisa menggerakkan
tangan kanan kini lenyap. Kakek ini turunkan tangannya
yang memegang kaleng rombeng lalu berkata.
Dari baunya aku sudah bisa mengira siapa tamugeblek yang datang! Kalau dugaanku sampai meleset biar
berhenti aku jadi tua bangka! Ha... ha... ha...! Lalu si kakek
goyangkan tangannya. Suara kerontangan kaleng rombeng
yang diisi batu-batu mengumandang di puncak bukit kapur
itu. Begitu gema suara kaleng lenyap terdengar seruan.
Kakek Segala Tahu! Apa kau sudah bosan hidup
hingga berucap mau berhenti jadi tua bangka?!Kakek mata putih terkesiap. Astaga! Ternyata bukan
dia! Celaka! Dugaanku meleset! Tapi... Kakek ini kembali
menghirup udara dalam-dalam. Tapi bau pesing itu!
Penciumanku tak mungkin ditipu! Atau mungkin dia datang
dengan orang lain. Tapi mengapa aku hanya mendengar
langkah-langkah kaki satu orang saja? Aku rasa-rasa kenal
suara orang yang barusan bicara!Kakek di bawah teratak menatap ke arah utara. Aneh,
bagaimana mungkin ada makhluk yang namanya manusia
setinggi itu! Si kakek membatin.
Sinto Gendeng tua bangka konyol! Permainan apa
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
13/88
yang tengah kau lakukan?! Kakek mata putih berteriak.
Dari balik bukit kapur di sebelah utara terdengar tawa
cekikikan. Sesaat kemudian muncullah si nenek sakti dari
Gunung Gede itu, didukung di atas pundak oleh muridnya
yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng.Walau dua matanya buta namun kakek di dalam
teratak memiliki kemampuan luar biasa untuk melihat
lewat penciuman, perasaan dan pendengarannya.
Sinto! Kau benar-benar gendeng! Apa-apaan ini! Siapa
yang kau jadikan tunggangan untuk datang ke bukit kapur
ini! Edan betul!
Yang jadi tunggangan aku Kek! Keledai bernama WiroSableng!
Huaaaa... ha... ha...! Guru dan murid sama sintingnya!
Untung aku lagi ada di sini! Kalau tidak, jauh-jauh kalian
hanya datang percuma mencari angin!
Tamu yang naik ke puncak bukit kapur mengunjungi
kakek buta bercaping lebar itu bukan lain adalah Sinto
Gendeng dan Wiro. Seperti dituturkan dalam serial terdahulu (Laknat Malam Kliwon) Sinto Gendeng telah kema
sukan hawa beracun yang mematikan akibat serangan
Kelelawar Pemancung Roh Dari Teluk Akhirat. Nyawanya
masih tertolong karena seorang kakek kekasihnya di masa
muda bernama Suro Ageng memberinya obat. Walau
demikian Sinto Gendeng mengalami kelumpuhan dari
pinggang ke bawah. Itu sebabnya ke mana dia pergi Wiromau tak mau terpaksa mendukungnya.
Sahabatku kakek peramal bau apek! Apa kau selama
ini baik-baik saja?! Sinto Gendeng bertanya.
Wiro merunduk lalu turunkan si nenek dan menduduk
kannya di atas gundukan batu kapur di hadapan Kakek
Segala Tahu.
Si kakek pandangi Sinto Gendeng dengan mataputihnya. Kau datang didukung muridmu. Berarti kau tidak
bisa berjalan sendiri. Kau diturunkan dan didudukkan.
Berarti kau tidak bisa turun dan duduk sendiri! Nenek bau
pesing, apa yang terjadi denganmu?
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
14/88
Dua kakiku lumpuh! berkata Sinto Gendeng.
Rahangnya menggembung.
Lumpuh? Kau kesambat setan di mana?! Kakek
Segala Tahu lalu tertawa mengekeh membuat Sinto
Gendeng jengkel dan komat-kamit mengomel. Tunggu!Kakek Segala Tahu mendongak lalu goyangkan kaleng
rombengnya. Sesaat kemudian meledaklah tawa Kakek
Segala Tahu di bukit kapur itu.
Tua bangka geblek! Apa yang lucu! membentak Sinto
Gendeng.
Aku tahu Sinto! Aku tahu apa yang terjadi maka kau
sampai lumpuh begini rupa! Ini akibat terlalu mengobarcinta di masa muda. Hingga kau kehabisan sungsum dan
jadi lumpuh! Ha... ha... ha...!
Tua bangka sinting! maki Sinto Gendeng. Enak saja
kau bicara! Wiro! Ceritakan pada kakek gila ini apa yang
telah menimpa diriku! Bukannya menolong malah menu
duh yang bukan-bukan!
Wiro garuk-garuk kepala. Sesuai dengan perintah sangguru dia lalu tuturkan malapetaka yang menimpa Sinto
Gendeng. Kakek Segala Tahu goyang kaleng rombengnya
dan tarik nafas panjang berulang kali.
Kami berniat menuju Teluk Akhirat Kek, kata Wiro
memberi tahu. Siluman berjuluk Kelelawar Pemacung Roh
itu harus dibasmi...
Kakek Segala Tahu sekali lagi menghela nafas panjang.Seribu Hawa Kematian. Sangat berbahaya. Tidak mudah
menyingkirkan makhluk kelelawar itu selama dia mengua
sai hawa beracun itu. Hawa mematikan itu merambat dari
atas ke bawah, sulit dihindari. Satu-satunya cara, kalian
harus menghindari tempat terbuka...
Bagaimana mungkin Kek! kata Wiro pula.
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Matanya yangputih berputar-putar. Lalu orang tua ini bertanya. Sinto,
apa benar kau sudah memiliki ilmu kesaktian yang disebut
Sepasang Sinar Inti Roh?
Si nenek tidak segera menjawab. Sebaliknya Wiro
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
15/88
langsung saja memberi tahu. Eyang memang sudah
memilikinya Kek. Justru ilmu itulah yang ingin kudapatkan
darinya. Tapi guru menyuruh aku menunggu sampai empat
puluh sembilan tahun!
Kakek Segala Tahu goyang kaleng rombengnya.Kemungkinan hanya dengan ilmu kesaktian itu kau bisa
menghancurkan Kelelawar Pemancung Roh...
Nah Nek, apa kataku! Wiro menyeletuk. Kalau saja
kau telah mengajarkan padaku ilmu kesaktian bernama
Sepasang Sinar Inti Roh itu, kau tak akan susah-susah
turun tangan mencari Kelelawar Pemancung Roh! Aku
sendiri bisa membereskannya!Diam kau anak setan! Jangan mencari kesempatan
dalam kesempitan! Jangan harap dalam keadaan seperti
ini hatiku jadi leleh dan mengajarkan ilmu itu padamu.
Apapun yang terjadi kau tetap harus menunggu empat
puluh sembilan tahun lagi!
Nasibku jelek! kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
Tempat terbuka... Kalian harus menghindari tempatdan udara terbuka. Kalian harus dapatkan kelemahan
Seribu Hawa Kematian itu...
Kakek Segala Tahu, justru kami datang kemari untuk
minta petunjukmu... kata Wiro mulai jengkel melihat
tingkah si kakek.
Ini memang urusan sulit! Jika dikaji dengan hati
jengkel dan marah, urusan tidak bisa dipecahkan! jawabKakek Segala Tahu lalu kerontangkan kaleng bututnya.
Saat itu langit di sebelah selatan tampak gelap. Awan
hitam membuat udara menjadi mendung. Petir menyambar
beberapa kali dan guntur menggelegar menggetarkan bukit
kapur putih. Kakek Segala Tahu melompat dari duduknya
dan goyangkan tangannya berulang kali.
Itu! Itu kelemahannya! Si kakek berteriak.Sinto Gendeng perhatikan wajah Kakek Segala Tahu
lalu kedipkan matanya pada Wiro. Apa yang dikatakan tua
bangka sinting ini... bisik Sinto Gendeng pada muridnya.
Kek, kalau kau memang sudah mengetahui
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
16/88
kelemahan makhluk kelelawar itu mengapa tidak segera
memberi tahu pada kami? ujar Wiro pula.
Dengar... Setiap hawa yang merambat, misalnya kabut,
tidak bisa bergerak kalau ada hujan. Begitu juga Seribu
Hawa Kematian. Berarti kau hanya punya kesempatanmembunuhnya pada saat hujan turun!
Ini urusan gila! Bagaimana mungkin menunggu hujan
lalu menyerang. Sebelum hujan turun aku sudah
disekapnya dengan hawa maut itu! Sinto Gendeng berkata
setengah mengomel. Lalu dia berpaling pada muridnya.
Anak setan! Jangan cuma bisa menggaruk kepala saja!
Kau juga harus mencari akal!Tentu Nek, aku ingin sekali menolongmu. Tapi otakku
lagi butek! jawab Wiro. Kalau sulit menghadapi makhluk
kelelawar itu mengapa tidak memusatkan perhatian pada
hal lain saja. Misal bagaimana caranya menyembuhkan
kelumpuhan yang kau derita.
Mengenai kelumpuhanku ini, apakah sahabat kita Si
Raja Obat sanggup menyembuhkannya?Nasibmu malang Sinto. Tidak ada satu orang pun yang
bisa menyembuhkan. Juga tidak ada satu obat pun.
Kecuali... Ah itu pun rasa-rasanya mustahil... Kakek
Segala Tahu memandang ke arah Wiro. Dia pegang tangan
kanan pemuda ini dan usap-usap telapaknya.
Anak muda, aku yakin kau pernah mendapatkan satu
petunjuk tentang obat mujarab satu-satunya yang bisamenyembuhkan gurumu. Harap kau ceritakan padaku...
Benar-benar tua bangka sakti! Bagaimana dia bisa
tahu hal itu! membatin Wiro.
Pendekar Sableng! Kau tuli atau budek! Mengapa
tidak menjawab ucapanku! Kakek Segala Tahu
membentak. Bola matanya yang putih memandang
berputar ke langit.Anu, begini Kek... Sebelum menemui ajalnya, kakek
bernama Suro Ageng itu mengatakan. Satu-satunya obat
yang bisa menyembuhkan kelumpuhan Eyang adalah
sekuntum bunga matahari yang tumbuh menghadap
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
17/88
matahari terbit dan mekar pada saat matahari mengalami
gerhana.
Weehhhhh! Sinto Gendeng monyongkan mulutnya
yang perot. Aku sudah dengar cerita itu! Bagiku itu cuma
satu urusan gila! Mencari bunga matahari mungkingampang. Yang tumbuh menghadap matahari terbit masih
mungkin. Tapi yang mekar pada saat gerhana matahari
dan aku harus memakannya saat itu juga! Benar-benar
gila! Tidak masuk akal! Mungkin gerhana matahari baru
akan terjadi seratus tahun lagi. Saat itu aku sudah jadi
bubuk di dalam tanah! Jadi urusan bunga celaka itu buat
apa aku pikirkan! Hik... hik... hik!Sinto, kata Kakek Segala Tahu setelah
menggoyangkan kalengnya dua kali. Yang berkata adalah
Suro Ageng. Orang yang bisa dipercaya. Ucapannya
mungkin begitu yang terdengar namun bisa saja semua itu
merupakan satu tamsil yang harus diselidik dan dikaji lebih
dalam. Walau bicara, dia dalam keadaan sekarat. Lalu apa
kau tidak ingat kalau di puncak Pegunungan Dieng pernahada satu kawasan yang melulu ditumbuhi bunga
matahari?
Astaga! Kalau kau tidak mengatakan aku pasti tidak
ingat hal itu! kata Sinto Gendeng pula. Sesaat wajahnya
yang pucat tampak bercahaya. Dua bola matanya
memancarkan sinar penuh harapan.
Sekarang tinggal memecahkan arti kata gerhanamatahari. Apa betul yang dimaksud gerhana matahari
sungguhan?
Mungkin memang perlu diselidiki. kata Sinto Gendeng
sambil manggut-manggut hingga lima tusuk konde perak
yang menancap di kulit kepalanya bergoyang-goyang dan
berkilauan terkena cahaya matahari. Si nenek kemudian
berpaling pada muridnya. Wiro, kau harus bawa aku kepuncak Pegunungan Dieng!
Akan kulakukan Eyang. Ke mana pun asal Eyang bisa
sembuh! jawab Wiro namun dalam hati mengeluh,
Pegunungan Dieng jauhnya minta ampun dari sini! Dan
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
18/88
aku musti mendukung nenek bau pesing ini! Remuk aku!
Kakek Segala Tahu memandang tersenyum pada
Pendekar 212. Lalu dekatkan mulutnya ke telinga Wiro dan
berbisik. Aku tahu omelan yang barusan kau ucapkan
dalam hati...Kek! Jangan kau mengoceh yang bisa membuat nenek
itu mengomel kalang kabut! kata Wiro balas berbisik.
Hai! Apa yang kalian bicarakan berbisik-bisik ini?!
Sinto Gendeng menegur dengan suara keras. Aku tahu
Pegunungan Dieng jauh dari sini! Sedang Teluk Akhirat
lebih dekat di sebelah selatan. Anak Setan, aku tahu apa
yang ada di hatimu. Walau keinginanku untuk sembuhsangat besar tapi aku lebih suka menghabisi Kelelawar
Pemancung Roh itu lebih dulu! Kita pergi ke Teluk Akhirat
lebih dulu! Kau dengar itu anak setan?!
Aku dengar nenek set... Wiro tertawa cekikikan dan
cepat tutup mulutnya, Maafkan aku Nek. Karena kau
terus-terusan memanggil aku anak setan, aku sampai latah
ikut-ikutan memanggilmu nenek set... Ha... ha... ha!Sepasang mata Sinto Gendeng membeliak besar
seperti mau melompat dari rongganya.
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. Lalu setelah
goyangkan kaleng rombengnya dia berkata, Aku
merasakan ada satu benda asing di balik pakaian muridmu
Sinto. Anak muda, benda apakah itu? Coba keluarkan, mau
kulihat!Wiro garuk-garuk kepala. Dalam hati dia tidak habis
pikir bagaimana orang tua yang matanya buta ini mampu
mengetahui kalau dia memang membekal sebuah benda
asing! Orang yang sanggup melihat saja tidak mampu
menembus pandang dan mengetahui apa yang
disimpannya di balik baju.
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan kalung kepalasrigala yang terbuat dari perak. Benda itu diletakannya di
telapak kiri Kakek Segala Tahu lalu jari-jari si kakek
ditekuknya hingga membentuk genggaman.
Aku merasa ada hawa aneh menjalar masuk ke dalam
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
19/88
tanganku! Wiro, benda apa ini. Dari mana kau dapatkan?!
bertanya Kakek Segala Tahu.
Wiro terkejut mendengar ucapan si kakek, Waktu
pertama kali benda itu kupegang, memang ada terasa
semacam hawa aneh mengalir masuk ke dalam tubuhku.Kek, itu sebuah kalung berbentuk kepala srigala. Terbuat
dari perak putih. Memiliki sepasang mata merah. Lalu
Wiro menceritakan dari mana dia mendapatkan benda itu.
Nasibmu bisa jelek kalau terus-terusan kau memegang
benda ini! kata Kakek Segala Tahu seraya mendongak ke
langit, Tapi juga bisa tambah buruk kalau kau sampai
salah memberikan pada orang lain. Aku mencium baupenyakit, juga ada bau darah dan hawa panas pertanda
banyak malapetaka mengelilingi kalung ini...
Kalau begitu buang saja. Habis perkara! Kenapa harus
susah memikirkan! kata Sinto Gendeng.
Kakek Segala Tahu gelengkan kepala, Wiro, simpan
benda ini baik-baik. Sampai satu ketika kau
menyerahkannya pada orang yang berhak. Namun selamakalung kepala srigala itu ada padamu, kau bakal
menghadapi cobaan berat...
Mudah-mudahan aku tabah menghadapi cobaan itu
Kek, menyahuti Wiro.
Kakek Segala Tahu tersenyum, Bagaimana kau bisa
tabah anak muda! Kalau ada beberapa gadis cantik dalam
keadaan bugil rela menyerahkan kehormatannya asalkalung kepala srigala ini kau berikan pada mereka!
Berubahlah paras Pendekar 212. Dia melirik pada
gurunya. Sinto Gendeng tertawa cekikikan, Anak setan!
Mungkin kau terpaksa harus menunggu seratus tahun
untuk mendapatkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu! Aku
khawatir kau tidak sanggup menghadapi cobaan sekali ini.
Hik... hik... hik...Pendekar 212 hanya bisa garuk-garuk kepala
mendengar ucapan dan kekehan sang guru.
***
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
20/88
WIRO SABLENG
SERIBU HAWA KEMATIAN 3
EMPAT GADIS BUGILSEBENTAR lagi malam akan turun. Sebaiknya kaumenyusuri kawasan di kaki bukit sana. Biasanya di situ ada
mata air. Tenggorokanku seperti terpanggang. Aku haus
sekali!
Karena keletihan, mula-mula Wiro bermaksud diam
saja, tidak mau menyahuti ucapan sang guru yang
didukungnya di atas pundak itu. Wiro lelah sekali dan
pakaiannya basah oleh keringat. Namun dasar pemudakonyol, iseng saja dari mulutnya meluncur ucapan, Eyang,
sebenarnya kau lebih baik tidak terlalu banyak minum.
Banyak minum cuma akan membuatmu kencing terus-
terusan!
Anak setan! Tangan kiri Sinto Gendeng menyambar
dan memutar telinga kiri Wiro hingga sang pendekar
meringis kesakitan. Kau benar-benar murid tidak berbudi.
Dalam keadaanku seperti ini seharusnya kau
mengeluarkan kata-kata yang menghibur! Bukan mengejek
mempermainkanku!
Maafkan aku Eyang. Aku tidak bermaksud begitu. Aku
sangat letih. Apa kita boleh berhenti barang sebentar?
Tangan kiri si nenek kembali menyambar telinga
muridnya. Tapi sekali ini tidak terus memuntir. Kita baru
berhenti kalau sudah sampai di kaki bukit sana!
Eyang...
Jangan banyak cingcong! Mana ilmu lari Kaki Angin
yang kuajarkan padamu. Selama perjalanan kulihat kau
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
21/88
tidak mengeluarkan ilmu itu. Kau sengaja memperlambat
perjalanan! Anak setan! Apa maksudmu?!
Eyang, aku tak punya maksud memperlambat
perjalanan. Ilmu lari yang selama ini kupergunakan rasanya
sudah cukup cepat. Kalau kupergunakan ilmu lari KakiAngin aku khawatir Eyang merasa kurang sedap di atas
pundakku. Lagipula kalau berlari terlalu kencang lalu
hilang keseimbangan, salah-salah Eyang bisa jatuh. Kalau
sampai begitu nanti aku lagi yang kena omelan...
Kau pandai mencari dalih! Tapi aku mau kau lari
mempergunakan ilmu lari Kaki Angin itu! kata Sinto
Gendeng.Kalau begitu kata Eyang, aku menurut saja, kata Wiro.
Dalam hati dia berucap, Nenek cerewet! Awas kau! Akan
kukerjai kau agar tahu rasa!
Wiro salurkan sebagian tenaga dalamnya sampai ke
kaki. Didahului satu suitan keras maka tubuhnya melesat
laksana anak panah lepas dari busur.
Ilmu lari Kaki Angin yang dikeluarkannya untuk berlarimembuat tubuhnya dan tubuh sang guru yang didukung
laksana kelebatan bayang-bayang di saat matahari hendak
tenggelam itu. Wiro sengaja lari secepat yang bisa
dilakukannya tetapi secara ugal-ugalan. Dia bukan hanya
berlari biasa tetapi sesekali melompat atau berjingkrak
atau menikung tak karuan hingga tubuh si nenek yang
didukungnya terlontar-lontar malang melintang di ataspundaknya. Kadang-kadang dia memperlambat larinya
dengan mendadak membuat Sinto Gendeng tersentak ke
depan dan kalau tidak lekas menjambak rambut gondrong
muridnya niscaya akan terlempar jatuh!
Lebih gilanya lagi Wiro sesekali sengaja lari di bawah
pohon-pohon bercabang rendah. Kalau Sinto Gendeng
tidak cepat rundukkan kepala atau miringkan tubuh kebelakang atau ke samping niscaya kepala atau dadanya
akan menghantam cabang pohon. Suatu kali, begitu
cepatnya Wiro lari, ketika berkelebat di bawah sebuah
cabang pohon besar Sinto Gendeng tidak keburu
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
22/88
rundukkan kepala atau miringkan tubuhnya. Si nenek
berteriak keras. Tangan kanannya yang kurus dan hanya
tinggal kulit membalut tulang dihantamkan ke depan.
Braaaakkk!
Cabang pohon sebesar paha manusia itu patah hancurberantakan.
Anak setan! Kau mau membunuh aku?! Si nenek
menghardik marah. Dua tangannya langsung menjambak
rambut Wiro.
Nek! Aku hanya mengikuti apa perintahmu! Kau bilang
agar aku mempergunakan ilmu lari Kaki Angin. Aku
mengikut! Sekarang kau marah-marah, menuduh aku maumembunuhmu! Tadi pun sudah kubilang, berlari sambil
mendukungmu dengan ilmu lari itu bisa berbahaya!
Mulutmu bicara begitu! Tapi aku tahu kau mau
mengerjai diriku! kata Sinto Gendeng lalu menjitak kepala
muridnya dua kali hingga Wiro terpekik kesakitan. Sudah!
Mulai sekarang kau tidak usah pergunakan ilmu lari Kaki
Angin!Wiro menyengir. Dalam hati dia berkata, Nah sekarang
akhirnya kau menyerah juga! Rasakan...
Ucapan Wiro tertahan. Dia merasakan tengkuknya
dikucuri cairan hangat.
Nek! Kau kencing ya?! teriak Wiro sambil pencongkan
mulut dan hidungnya.
Anak setan! Pengalamanmu baru sejengkal! Jangankira cuma kau yang bisa mengerjai orang! Aku juga bisa!
Hik... hik... hik! Sinto Gendeng menjawab lalu tertawa
cekikikan. Kalau saja yang ada di atas pundaknya itu
bukan gurunya, saat itu juga mau rasanya Wiro
membantingkan orang itu ke tanah!
***
BERSAMAAN dengan tenggelamnya sang surya dan
malam datang membawa kegelapan, guru dan murid itu
sampai di tepi rimba belantara yang membentang
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
23/88
sepanjang kaki bukit. Belum jauh memasuki hutan, Wiro
melihat sebuah telaga kecil di antara pohon-pohon besar.
Dia segera menuju ke sana. Begitu sampai dia akan segera
menurunkan si nenek lalu mandi membersihkan diri.
Tubuhnya bukan saja lengket oleh keringat, tapi juga bauoleh pesing kencingnya sang guru. Namun ketika sampai di
tepi telaga sang guru tiba-tiba berucap.
Turunkan aku dalam telaga itu. Aku mau mandi
menyejukkan diri...
Wah, aku keduluan... ucap Wiro dalam hati.
Sesudah kau turunkan aku ke dalam air, lekas kau
menjauh dari telaga ini! Aku tidak suka mandi diintiporang!
Nek! kata Wiro jadi kesal, Perawan saja yang mandi
belum tentu aku intip. Apalagi kau yang sudah tua renta
begini! Apa untungnya?!
Sinto Gendeng tertawa panjang. Mengintip anak gadis
mandi sudah biasa! Tapi mengintip nenek-nenek bugil
jarang terjadi! Itu sebabnya banyak lelaki kepingin tahubagaimana asyiknya mengintip nenek-nenek! Hik... hik...
hik!
Kalau aku amit-amit Nek! jawab Wiro.
Mereka sampai di tepi telaga. Wiro langsung
menurunkan gurunya ke dalam air. Sebelum pergi Wiro
berkata, Eyang, kau boleh mandi sampai pagi. Biar aku
bisa istirahat yang lama...Jangan berani mempermainkan aku! Kalau kupanggil
kau harus segera datang!
Wiro garuk kepala lalu tinggalkan telaga. Di bawah satu
pohon besar dia duduk bersandar dan lunjurkan kaki.
Sekujur tubuhnya terasa capai. Dia menguap beberapa
kali. Sesaat ketika dia hendak memejamkan mata dari atas
pohon besar tiba-tiba dia melihat empat bayangan hitamberkelebat, melayang turun laksana empat burung
raksasa. Wiro cepat bangkit berdiri. Memandang berkeliling
dia jadi terkejut lalu menyeringai.
Kalian rupanya! Nah, nah! Kali ini kalian mau berbuat
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
24/88
apa lagi?! Mau membetot putus leherku atau menjebol
jantungku dengan cakar srigala kalian?!
Empat orang berjubah hitam dengan kepala ditutupi
kerudung tegak di depan Pendekar 212. Di dada jubah
masing-masing terpampang gambar kepala srigalaberwarna putih perak dengan mata merah menyorot.
Seperti diketahui mereka adalah empat perempuan aneh
yang kemarin malam sebelumnya telah mencegat
Pendekar 212.
Satu dari empat orang berkerudung maju dua langkah
lalu berkata, Kami tetap menaruh curiga! Kalung kepala
srigala itu ada padamu! Kau sembunyikan di satu tempatdi balik pakaianmu!
Orang ke dua acungkan tangannya yang saat itu telah
berubah seperti kaki srigala lengkap dengan cakarnya. Lalu
dia menyambung ucapan temanya, Kemarim malam kami
masih menaruh hormat padamu! Tapi malam ini, jika
kalung itu tidak kau serahkan, kami akan membeset
tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki!Kalian tidak buta! Malam kemarin kalian saksikan
sendiri kakek muka putih kawan kalian itu menggeledah
sekujur tubuhku! Dia tidak menemukan kalung itu! Mana
kakek muka mayat itu? Siapa namanya?!
Dia tidak ada di sini! jawab orang berkerudung di
ujung kiri.
Kita tidak memerlukan Ki Tawang Alu!Kakek itu teman kalian sendiri! Kalian seolah tidak
mempercayai dirinya!
Soal hubungan kami dengan kakek itu bukan
urusanmu! Lekas serahkan Kalung Kepala Srigala!
Bagaimana aku harus menerangkan! kata Wiro
sambil garuk-garuk kepala. Dia memandang berkeliling.
Hemm... Aku tahu. Kalian rupanya ingin menggerayangisendiri menggeledah tubuhku! Silahkan saja! Wiro lalu
kembangkan dada pakaiannya.
Empat pasang mata berkilat memandangi dada sang
pendekar yang penuh otot. Orang berkerudung di sebelah
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
25/88
kanan yang sejak tadi diam saja maju mendekati Wiro.
Terus terang kami tidak bermaksud jahat terhadapmu.
Kami berada dalam keadaan sangat terdesak. Kalung itu
dicuri orang sepuluh hari lalu. Kami tidak tahu siapa
pencurinya. Mungkin Lima Laknat Malam Kliwon, mungkin juga Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat. Kami
tidak perlu nyawa ataupun darahmu. Kami sangat
memerlukan kalung itu. Apapun yang kau minta sebagai
penukarnya akan kami penuhi!
Apakah kalung itu memang milik kalian? Wiro
bertanya.
Bukan milik kami, tapi milik pemimpin kami. Sekarangdia sedang terbaring sakit. Hanya kalung itu...
Rembulan! Hal itu tidak perlu dikatakan padanya!
tiba-tiba orang berkerudung di sebelah kiri memotong
ucapan temannya.
Namamu Rembulan...? ujar Wiro seraya menatap
sepasang mata bagus berkilat yang tersembul dari dua
lobang kecil di bagian depan kerudung hitam. Wiro garuk-garuk kepala. Kalau saja aku bisa melihat wajahmu, pasti
kau secantik bulan purnama empat belas hari...
Orang yang dijumpai keluarkan suara halus dari
mulutnya. Dalam hati dia membatin. Apa yang orang
bilang benar adanya. Pemuda ini memang ceriwis. Tapi
ah... Mengapa aku merasa tertarik padanya? Di balik
kerudung hitam wajah Rembulan bersemu merah.Orang yang tadi membentak melangkah ke hadapan
Wiro. Namaku Mentari Pagi...
Kau Mentari Pagi. Pantas hangat tapi galak! kata Wiro
sambil tersenyum
Perempuan yang mengaku bernama Mentari Pagi
lanjutkan ucapannya, Kalung itu bagi kami sama nilainya
dengan jiwa kami. Kami benar-benar membutuhkan. Kamitidak tahu mengapa kau punya niat jahat menyembunyikan
kalung itu dan tidak mau menyerahkannya pada kami!
Mentari Pagi, dengar... Kalung itu tidak ada padaku.
Kau dan kawan-kawanmu menyaksikan sendiri sewaktu Ki
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
26/88
Tawang Alu menggeledah diriku. Selain itu bagaimana aku
tahu pasti kalung itu memang milik kalian?
Mentari Pagi menunjuk ke gambar kepala srigala perak
di dada jubah hitamnya. Kau saksikan sendiri. Gambar
kepala srigala itu sama dengan kalung yang ada padamu!Aku juga bisa membuat jubah lengkap dengan gambar
kepala srigala seperti itu. Bukan cuma satu. Sepuluh
sekaligus! Lalu apa itu berarti kalung kepala srigala perak
itu milikku!
Mentari Pagi menahan amarahnya mendengar kata-
kata Wiro itu. Dalam hati dia membatin, Kalau kubunuh
pemuda ini lalu ternyata kalung itu memang tidak adapadanya, berarti percuma saja. Lagipula jika diserbu tidak
mungkin dia cuma diam saja. Ilmu larinya saja sulit dikejar.
Tapi aku yakin kalung itu ada padanya! Mentari Pagi
memandang pada ketiga kawannya, memberi tanda
dengan goyangan kepala. Tiga perempuan berkerudung
satu persatu anggukkan kepala.
Mentari Pagi kemudian alihkan pandangannya padaPendekar 212. Kami tahu siapa kau sebenarnya. Kami
menyirap kabar bahwa kau adalah seorang pemuda hidung
belang...
Sialan! Kenal aku saja tidak! Bagaimana bisa
menuduh aku hidung belang?! kata Wiro dengan suara
keras sambil usap-usap hidungnya. Eh! Kalian dengar
baik-baik! Jika aku yang hidung belang berarti aku yangakan mengejar kalian! Sebaliknya bukankah kalian
berempat yang sejak kemarin malam mengejar diriku?
Nah, ayo bilang! Siapa yang hidung belang? Aku atau kalian
berempat!
Empat orang berkerudung jadi kalang kabut dan
keluarkan suara-suara marah. Kau enak saja bicara
ngacok! bentak Mentari Pagi.Wiro tertawa gelak-gelak.
Mentari Pagi kembali membuka mulut, Kau mau
mengaku atau tidak, bagi kami tidak jadi masalah. Tapi jika
kau mau menyerahkan kalung kepala srigala itu kami
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
27/88
bersedia menyerahkan diri kami padamu...
Menyerahkan diri bagaimana?! tanya Wiro setengah
melongo.
Jangan berpura-pura! jawab Mentari Pagi. Kau boleh
memiliki diri kami malam ini...Kalian... Empat-empatnya?!
Mentari Pagi mengangguk. Tiga orang berkerudung
lainnya ikut mengangguk. Lalu Mentari Pagi melangkah ke
balik semak belukar setinggi dada.
Eh! Kau mau ke mana?! tanya Pendekar 212.
Mentari Pagi tidak menjawab. Dia terus melangkah. Di
balik semak-semak dia tanggalkan jubah hitamnya.Sepasang mata Pendekar 212 mendelik besar. Walau
tempat itu diselimuti kegelapan, tapi karena semak belukar
yang jadi penghalang tidak seberapa lebat lagi pula
demikian dekatnya, Wiro dapat melihat cukup jelas sosok
tubuh Mentari Pagi yang kini tidak terlindung apa-apa itu.
Selagi murid Sinto Gendeng terperangah, tiga orang
berkerudung lainnya telah melangkah pula ke balik semakbelukar yang sama. Seperti Mentari Pagi satu persatu
mereka menanggalkan pakaian masing-masing. Dua mata
Wiro kini benar-benar seperti mau melompat dari
rongganya. Sekujur tubuhnya bergeletak dan darah yang
mengalir dalam pembuluh di sekujur badannya menjadi
panas. Jantungnya berdegup keras.
Kalian... tubuh kalian memang bagus. Tapi... aku tidaktahu wajah kalian, jangan-jangan kalian empat nenek yang
punya kesaktian menipu pandangan mataku... Ucapan itu
keluar perlahan dari mulut Wiro. Namun sempat sampai ke
telinga empat orang berkerudung. Mentari Pagi, diikuti oleh
tiga kawannya tiba-tiba gerakkan tangan masing-masing,
menarik lepas kerudung hitam yang selama ini menutupi
kepala mereka. Begitu kerudung lepas dan Wiro melihatwajah ke empat orang itu, Pendekar 212 langsung tersurut
dua langkah sambil garuk-garuk kepala!
***
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
28/88
WIRO SABLENG
SERIBU HAWA KEMATIAN 4
SINTO GENDENG LENYAPYA TUHAN! Hampir tak bisa kupercaya. Mereka ternyataempat gadis berwajah cantik! Wiro tegak terkesiap sambil
garuk-garuk kepala. Yang bernama Rembulan ternyata
paling cantik dari empat gadis itu. Mentari Pagi tak kalah
cantik, namun ada bayangan sifat angkuh serta kehendak
memaksakan wibawa. Ini rupanya cobaan yang dikatakan
Kakek Segala Tahu! Celaka! Apa aku bisa tabah
menghadapi cobaan ini? Gila! Mengapa urusan bisa jadikapiran seperti ini?!
Berikan kalung kepala srigala. Setelah itu kau boleh
datang ke balik semak belukar ini! Mentari Pagi berkata.
Aku... Tidak... tidak! kata Wiro sambil goyangkan
kepala.
Hemmm... Kau takut kami tipu. Kau takut kami tidak
akan memenuhi janji, kalau begitu datanglah ke sini. Kau
boleh menyerahkan kalung itu setelah berbuat apa saja
pada kami...
Wiro kembali menggeleng. Dia malah melangkah
mundur lalu palingkan kepala ke jurusan lain.
Lekas pakai kembali pakaian kalian! Kalau aku bisa
menolong akan kulakukan! Aku bukan manusia yang
menolong dengan mengharapkan pamrih. Apalagi
melakukan seperti apa yang kalian katakan...!
Mentari Pagi saling pandang dengan tiga kawannya.
Pemuda itu bukan seperti yang kita sangka!
Rembulan tiba-tiba berkata, Mentari, lihat! Dia
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
29/88
mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Astaga! Itu
kalung kepala srigala perak yang kita cari!
Mentari Pagi dan dua gadis lainnya segera berpaling ke
arah Wiro yang saat itu memang sudah mengeluarkan
kalung perak kepala srigala dari balik pakaiannya. Saat itudia masih berdiri dengan kepala mengarah ke jurusan lain,
tak berani memandang ke arah semak belukar.
Lekas kenakan jubah dan kerudung! Mentari Pagi
berkata. Agaknya dia memang menjadi pimpinan dari
rombongan empat gadis cantik aneh itu. Ke empatnya
segera mengenakan jubah dan kerudung masing-masing.
Lalu melangkah ke hadapan Wiro.Sesaat Pendekar 212 pandangi sosok-sosok hitam di
hadapannya itu. Dengan agak gemetar tangannya yang
memegang kalung kepala srigala diacungkan ke arah
Mentari Pagi.
Ambillah! Mudah-mudahan aku tidak salah
memberikan barang ini pada kalian!
Demi Gusti Allah, kami bersumpah kalung ini adalahmilik pimpinan kami dan segera akan kami sampaikan
kepadanya! kata Mentari Pagi pula.
Ah! Kalau kau bersumpah atas nama Gusti Allah,
hatiku lega sekarang... kata Wiro pula lalu tersenyum.
Terima kasih! Kau mau menyerahkan barang yang
sangat berharga ini! Mentari Pagi cepat-cepat
memasukkan kalung itu ke dalam sebuah kantong kainyang disembunyikan di balik pinggang pakaiannya.
Kami akan pergi! Sebelum pergi mungkin ada sesuatu
yang hendak kau minta dari kami?
Tidak... Aku tidak minta apa-apa... jawab Wiro.
Sungguh kau tidak meminta apa-apa dari kami sebagai
imbalan? tanya Mentari Pagi.
Tidak, aku tidak minta apa-apa. Kalian boleh pergi...Mentari Pagi berpaling pada tiga kawannya lalu kembali
memandang pada Pendekar 212. Jika kau tidak meminta
apa-apa, mungkin kau punya pertanyaan yang bisa kami
jawab?
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
30/88
Pertanyaan...? Wiro garuk-garuk kepala. Kalau
pertanyaan memang banyak!
Kalau begitu sebutkanlah! Kami akan menjawab satu
persatu. kata Mentari Pagi pula.
Kalian ini siapa sebenarnya. Mengapa mengenakanpakaian dan kerudung serba hitam seperti ini? Lalu
gambar kepala srigala itu? Aku juga melihat tangan kalian
bisa berubah menjadi seperti kaki srigala lengkap dengan
cakarnya. Kata kalian kalung perak itu adalah milik
pimpinan kalian yang sedang sakit. Siapa dia dan sedang
menderita sakit apa?
Rembulan, harap kau jawab semua pertanyaannya!Mentari Pagi menyuruh gadis bernama Rembulan untuk
menjawab.
Tidak mengira akan diperintah seperti itu, Rembulan
sesaat jadi kikuk. Matanya menatap wajah Pendekar 212
sesaat. Ada getaran di dadanya yang membuat suaranya
jadi gemetar.
Kami adalah orang-orang dari kelompok yang disebutBumi Hitam. Kami bermukim di lereng bukit timur Gunung
Merapi. Pimpinan kami seorang gadis bernama Pelangi
Indah. Saat ini beliau terserang satu penyakit aneh yang
konon hanya bisa disembuhkan dengan Kalung Perak
Kepala Srigala. Selain itu kalung tersebut adalah pusaka
Kelompok Bumi Hitam yang merupakan pertanda bahwa
pemegangnya adalah yang dipercayakan sebagaipimpinan. Rimba persilatan penuh dengan berbagai
bahaya tidak terduga. Kami mengenakan jubah dan
kerudung serba hitam untuk melindungi diri dari hal-hal
yang tidak diinginkan karena kami semua adalah
perempuan yang rata-rata berusia muda...
Dan cantik-cantik! sambung Wiro lalu tertawa lebar.
Apakah kau masih ada pertanyaan lain? ujar gadisbernama Mentari Pagi.
Wiro diam sesaat. Berpikir. Dia ingat pada musibah
yang menimpa gurunya. Hal itu diceritakannya secara
ringkas pada empat orang gadis lalu bertanya, Apa kalian
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
31/88
pernah mendengar asap beracun yang disebut Seribu
Hawa Kematian itu? Lalu apakah kalian tahu kelemahan
serta cara menghadapinya? Menurut seorang sahabat
dalam menghadapi Seribu Hawa Kematian harus
menghindari tempat terbuka dan pada saat hujan turun.Kalau di antara kalian ada yang tahu, apa betul keterangan
sahabatku itu?
Mentari Pagi tundukkan kepala seperti merenung.
Sesaat kemudian dia berkata berikan jawaban. Apa yang
dikatakan sahabatmu itu memang betul. Tetapi ada satu
cara yang lebih mudah menghadapi ilmu jahat mematikan
itu. Hawa atau asap berasal dari panas. Panas berasal dariapi. Api bisa dipadamkan dengan air atau hujan. Tapi tidak
selamanya. Api yang telah berubah menjadi asap atau
hawa hanya bisa dibendung dan ditundukkan dengan api
juga.
Wiro terdiam dan kerenyitkan kening. Terima kasih
Mentari Pagi. Keteranganmu sangat berguna bagiku. Kalau
pimpinan kalian sedang sakit dan kalian sudah dapatkankalung kepala srigala itu sebagai obatnya, sebaiknya kalian
lekas-lekas menemuinya.
Mentari Pagi, ada satu hal yang perlu kuberi tahu pada
orang ini. Jika kau mengizinkan...
Mentari Pagi menatap ke arah Rembulan yang barusan
bicara lalu anggukan kepala. Rembulan lalu berucap.
Kelelawar Pemancung Roh tinggal di Teluk Akhirat. Dia tidak pernah jauh dari air. Konon dia bisa dilukai tapi tak
bisa dibunuh karena nyawanya tidak berada dalam
jazadnya, tapi ditumpangkan pada satu makhluk hidup
yang tidak diketahui apa dan di mana beradanya...
Aneh, ada manusia yang nyawanya tidak berada dalam
dirinya sendiri. Tapi dititipkan pada makhluk lain. Wiro
geleng-geleng kepala.Sebelum kami pergi ada satu hal yang ingin kami
tanyakan. Apakah benar kau adanya orang yang dalam
rimba persilatan dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 dan bernama Wiro Sableng?
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
32/88
Wiro garuk-garuk kepala mendengar pertanyaan
Mentari Pagi itu. Lalu dia tersenyum. Apa artinya satu
nama, apa pula artinya sebuah julukan? Aku ya manusia
biasa, begini saja adanya seperti yang kalian lihat. Aku
ingat sesuatu. Kalian sudah tahu bagaimana guruku EyangSinto Gendeng mengalami kelumpuhan akibat Seribu
Hawa Kematian. Apa kalian mungkin tahu obat atau cara
penyembuhannya?
Kami tidak bisa memberikan jawaban, kata Mentari
Pagi. Namun jika ada kesempatan silakan berkunjung ke
tempat kami di lereng timur Gunung Merapi. Mungkin
pimpinan kami bisa menolong...Terima kasih, aku suka sekali berkunjung ke tempat
kalian... kata Wiro pula.
Satu lagi pertanyaan dariku, Rembulan kini yang
berkata, Apa benar kau calon menantunya Dewa Tuak?
Yang katanya berjodoh dengan murid kakek itu yang
bernama Anggini?
Wajah Pendekar 212 seperti mengkeret. Lalu diatertawa gelak-gelak. Itu tidak benar! Bagaimana kau bisa
berkata begitu. Rembulan, dari mana kabar itu kau
dapatkan?
Sebelum pimpinan kami jatuh sakit, Dewa Tuak pernah
diundang datang ke lereng timur Gunung Merapi. Dalam
satu percakapan aku mendengar kakek itu menanyakan
dirimu pada pimpinan kami, Pelangi Indah. Menurut sikakek sudah lama sekali dia tidak bertemu denganmu dan
tidak mengetahui hal ihwalmu. Dia khawatir karena
katanya dirimu sudah dijodohkan dengan muridnya yang
bernama Anggini itu...
Wiro garuk kepalanya habis-habisan. Maksud kakek itu
baik. Tapi...
Tapi apa? tanya Mentari Pagi. Anggini tidak sukapadamu, atau kau yang tidak tertarik padanya?
Soal jodoh bukan di tangan manusia, tapi Yang di Atas
sana... kata Wiro sambil menunjuk ke atas. Siapa tahu
Gusti Allah menentukan lain! Siapa tahu aku berjodoh
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
33/88
dengan salah satu dari kalian!
Empat gadis cantik berkerudung keluarkan pekik kecil.
Wiro tertawa gelak-gelak. Mentari Pagi berpaling pada
kawan-kawannya lalu berkata, Kami pergi sekarang!
Sekali lagi terima kasih kau telah mau mengembalikanKalung Kepala Srigala... Keempat gadis itu lalu menjura.
Wiro balas menghormat seraya berkata, Aku juga
berterima kasih. Kalian semua telah memberikan
kenangan indah malam ini. Kenangan yang tidak akan
kulupakan seumur hidup!
Empat wajah di bawah kerudung hitam menjadi merah
karena malu. Tapi Wiro cepat meneruskan ucapannya,Jika kelak aku bertemu dengan pimpinan kalian, akan
kuceritakan bagaimana hebatnya kesetiaan kalian
padanya hingga mau berkorban demi kesembuhannya...
Kami harap... kata Mentari Pagi dengan suara agak
gemetar, Hal itu jangan kau ceritakan pada Pelangi Indah.
Kami...
Kalau begitu, kalian tidak usah takut. Aku berjanji tidakakan menceritakan apapun pada pimpinan kalian, kata
Wiro pula sambil tersenyum.
Terima kasih... kata Mentari Pagi seraya menjura
sekali lagi yang diikuti oleh Rembulan dan dua temannya.
Tapi setelah menjura ke empatnya masih saja tidak
meninggalkan tempat itu.
Ada apa...? tanya Wiro agak heran.Rasanya... Ucapan terima kasih kami seolah tidak ada
artinya kalau tidak disertai satu tindakan yang tulus...
Aku tidak mengerti maksudmu dan kawan-kawan,
Mentari Pagi. Apakah...
Belum sempat Pendekar 212 menyelesaikan
ucapannya empat gadis itu lepaskan kerudungnya. Lalu
cepat sekali keempatnya berkelebat, dua dari kiri, dua darikanan.
Cup! Cup!
Cup! Cup!
Hai!
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
34/88
Murid Sinto Gendeng berseru dan terperangah. Dia
melompat mundur sambil usap-usap pipinya kiri kanan
yang barusan dicium oleh empat gadis itu. Pipi sang
pendekar kelihatan berselomotan warna merah bekas
gincu Mentari Pagi dan kawan-kawannya. Saat itu Wirohanya bisa bertegak diam. Di kejauhan, dalam gelapnya
malam terdengar tawa cekikikan empat gadis itu.
***
DALAM gelapnya malam Mentari Pagi dan tiga gadis
lainnya berlari cepat ke arah timur. Di satu tempat MentariPagi mendekati Rembulan dan berkata, Sahabatku
Rembulan, aku belum pernah melihat gadis bernama
Anggini itu. Tapi aku punya firasat kau mendapat saingan
keras...
He, apa maksudmu Mentari Pagi? tanya Rembulan.
Mentari Pagi tersenyum. Dari caramu menghadapi
pemuda itu, dari getaran nada suaramu serta daripandangan cahaya dua matamu, aku menaruh duga kau
suka padanya...
Rembulan sampai hentikan larinya mendengar kata-
kata Mentari Pagi. Kau menggodaku! Kalau dua teman
yang lain sempat mendengar, kabar yang bukan-bukan
pasti akan segera menebar...
Mentari Pagi tertawa panjang lalu tinggalkan Rembulanyang untuk beberapa saat lamanya masih tegak tertegun.
Anggini... katanya dalam hati. Aku juga belum pernah
melihatmu. Secantik apakah dirimu?
***
TAK SELANG berapa lama setelah empat gadis darikelompok Bumi Hitam itu berlalu, Wiro masih tegak di
tempat itu. Dewa Tuak... Bagaimana orang tua itu
seenaknya menebar kabar tentang perjodohanku dengan
muridnya? Wiro garuk-garuk kepala. Ah! Mengapa hal itu
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
35/88
harus kupikirkan! Aku harus menemui Eyang Sinto
Gendeng walau dia masih mandi dan belum memanggilku.
Dia pasti gembira kalau kukatakan bahwa kelemahan ilmu
Seribu Hawa Kematian sudah kuketahui.
Wiro bergegas menuju telaga di mana Eyang SintoGendeng sebelumnya ditinggalkannya mandi sendirian.
Sampai di tepi telaga yang gelap Wiro memandang
berkeliling. Tak ada siapa-siapa dalam telaga atau di
sekitarnya. Eyang Sinto Gendeng tidak kelihatan.
Ke mana perginya orang tua itu? pikir Wiro. Kalau
masih mandi mengapa tak ada dalam telaga. Pakaiannya
tidak kelihatan di sekitar sini. Kalau sudah selesai mandimengapa tidak memanggil aku, memberi tahu?
Perasaanku tidak enak. Jangan-jangan nenek itu...
Pandangan Wiro membentur sebuah benda yang
menancap di atas batu di tepi telaga. Dia segera mencabut
benda itu. Ketika diperhatikan berdebarlah dada Pendekar
212.
Tusuk konde Eyang Sinto Gendeng... katanya dengansuara bergetar. Wiro memandang berkeliling. Hanya
kegelapan yang kelihatan.
Eyang! Eyang Sinto! Kau di mana?! Wiro berteriak
memanggil. Jawaban yang terdengar hanya gaung
suaranya di udara malam yang gelap dan dingin. Nek!
Awas kau! Kalau kau bercanda mempermainkan aku tidak
akan kudukung lagi kau!Wiro terdiam sesaat. Tidak mungkin nenek itu
bergurau. Kakinya lumpuh, mana bisa dia keluar dari
dalam telaga! Setahuku sekitar kawasan ini tidak ada
binatang buas. Jadi tak mungkin dia digondol macan! Lalu
kalau yang melarikannya adalah manusia, apa untungnya
menculik nenek tua bangka dan bau pesing begitu?
Wiro timang-timang tusuk konde perak dan berpikir lagi,Tusuk konde ini adalah salah satu senjata andalan Eyang
Sinto Gendeng. Jika sampai menancap di batu mungkin
sekali telah dipergunakan untuk menyerang seseorang!
Berarti sebelumnya telah terjadi pertempuran hebat di
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
36/88
tempat ini!
Tiba-tiba ada satu sambaran angin menerpa di sebelah
belakang. Wiro cepat berpaling sambil hantamkan tangan
kirinya.
Bukkkk!Pendekar 212 terjajar dua langkah. Lengannya terasa
perih panas. Di depan sana seorang kakek muka putih
berdestar hitam mencelat sampai satu tombak. Walau dia
mengalami cidera pada lengan kanannya akibat bentrokan
tadi namun dia masih bisa keluarkan ucapan.
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata
memang bukan nama kosong belaka!Wiro gembungkan rahang dan pelototkan matanya. Dia
segera mengenali kakek muka putih itu.
Ki Tawang Alu! teriak Wiro geram.
TAMATEpisode Berikutnya: SRIGALA PERAK
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
37/88
BASTIAN TITO
P E N D E K A R K E R I S T U J U H
AARRIIOO BBLLEEDDEEGG
PETIR DI MAHAMERU(BAGIAN 2)PDF E-Book: kiageng80
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
38/88
ARIO BLEDEG
PETIR DI MAHAMERU 7
PERTEMPURAN DI SENJA HARIKI SURO Gusti Bendoro memang sudah memaklumi kalaunenek jahat berjuluk Si Lidah Bangkai itu akan
menyerangnya. Karena telah berlaku waspada maka begitu
diserang dengan satu gerakan cepat dia miringkan badan
dan kepala ke kiri.
Lidah merah panjang bercabang dua si nenek melesat
ganas hanya seperempat jengkal di samping leher orang
tua berjubah putih itu. Lalu craasss! Ujung lidah menancapdalam di batang pohon tempat di mana sebelumnya Ki
Suro duduk bersandar. Ketika lidah ditarik, kelihatan satu
lobang besar mengepulkan asap di batang pohon!
Sepertiga bagian dari batang pohon itu berubah menjadi
hitam gosong seperti terbakar. Si Lidah Bangkai dongakkan
kepala tertawa lantang. Lidahnya yang panjang basah
keluar bergulung-gulung. Lalu dia hentikan tawanya dan
semburkan ludah berwarna merah ke tanah.
Sepasang matanya menatap garang tak berkesip pada
kakek di hadapannya.
Saat itu Ki Suro Gusti Bendoro telah bangkit berdiri.
Tangan kirinya memegang Kitab Hikayat Keraton Kuno
sedang di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat
bambu berwarna kuning. Sebelumnya Ki Suro memang
telah pernah mendengar bagaimana hebat dan ganasnya
nenek yang ada di hadapannya itu. Namun dia tidak
menduga kalau lidah si nenek benar-benar dahsyat
mengerikan seperti itu. Kalau saja dia tidak cepat
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
39/88
mengelak, apa jadinya dengan dirinya. Batang pohon yang
begitu kokoh bisa dibuat berlubang dan hangus laksana
dipanggang api! Apalagi tubuh manusia! Walau hatinya
tercekat namun Ki Suro tetap perlihatkan air muka penuh
ketenangan. Malah dengan suara lembut dia menegur,Lidah Bangkai, menginginkan barang milik orang lain
secara tidak sah merupakan satu perbuatan tidak terpuji.
Apalagi disertai maksud hendak mencelakai dan
membunuh! Kuharap sampeyan segera sadar apa yang
barusan sampeyan lakukan. Tidak ada kehidupan yang
paling nikmat di dunia ini selain berdampingan dalam
kebaikan dan persahabatan antara sesama kita umatTuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.
Ditegur seperti itu Si Lidah Bangkai tertawa mengekeh.
Suara tawanya seperti kuda meringkik. Sisik hitam
kebiruan yang melapisi mukanya kelihatan bergerak-gerak
hidup seperti tumbuhan laut.
Ki Suro! Khotbahmu pada sore menjelang senja ini
sungguh enak didengar! kata Si Lidah Bangkai lalutertawa gelak-gelak dan kembali meludah ke tanah.
Aku tidak berkhotbah. Aku hanya memberitahu bahwa
begitulah adanya kenyataan hidup. Terserah masing-
masing kita. Apakah mau hidup sengsara dalam kesesatan
atau dalam berkah di jalan lurus yang telah disediakan
Illahi. Saat ini aku bermohon kepada Yang Maha Kuasa
agar sampeyan dilimpahkan berkah ditunjukkan jalan yangbenar dan keluar dari kesesatan.
Si Lidah Bangkai mendengus.
Apa yang tadi kau katakan itu adalah jalan pikiran dan
jalan hidupmu! Setiap manusia punya cara berpikir dan
jalan hidup sendiri-sendiri! Aku tidak pernah merasa hidup
dalam sengsara dan kesesatan! Kau merasa hebat sendiri
hingga pandai mengada-ada! Kau bilang perbuatanku tidakterpuji! Tapi aku sendiri mengatakan perbuatanku itu justru
sangat terpuji dan hebat luar biasa! Aku ingin
menyelamatkan sebuah pusaka keraton yang tidak layak
berada di tanganmu!
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
40/88
Pusaka keraton? Apa maksud sampeyan? tanya Ki
Suro Gusti Bendoro dengan perasaan heran mendengar
kata-kata Si Lidah Bangkai.
Kitab di tangan kirimu itu! kata Si Lidah Bangkai
sambil menuding dengan telunjuk tangan kirinya, Itu yangkumaksudkan dengan pusaka keraton! Serahkan kitab itu
padaku sekarang juga! Atau kau akan kubuat seperti
pohon itu. Mati dalam keadaan tubuh hangus gosong!
Ki Suro Gusti Bendoro perhatikan sesaat kitab rapuh
daun lontar di tangan kirinya lalu gelengkan kepala. Aku
tidak pernah tahu kalau ini adalah pusaka keraton.
Mungkin sampeyan mengada-ada. Bahkan membuka danmembaca isinya pun aku belum berkesempatan. Apapun
kitab ini adanya tidak mungkin kuberikan pada sampeyan.
Kitab ini diberikan seseorang padaku. Merupakan barang
titipan. Berarti harus kujaga baik-baik.
Sayang sekali! Kalau begitu aku memang harus
mengambil kitab itu bersama nyawamu! kata Si Lidah
Bangkai pula. Begitu selesai berucap nenek jahat inimenerjang ke depan. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Cairan
merah menyembur disusul dengan melesatnya lidah
panjang bercabang. Laksana seekor ular, lidah bercabang
itu mematuk. Yang jadi sasaran kali ini adalah dada Ki Suro
Gusti Bendoro, tepat di bagian jantungnya.
Lidah Bangkai, otak sampeyan rupanya telah beku.
Telinga sampeyan mungkin telah tertutup debu dan hatisampeyan agaknya telah menjadi batu, hingga tak mau
mendengar apa yang aku ucapkan. Aku sedih sekali.
Mudah-mudahan Tuhan masih mau memberi petunjuk
pada sampeyan... Sambil berucap Ki Suro Gusti Bendoro
dengan cepat gerakkan tangan kanannya. Tongkat bambu
kuning yang dipegangnya melesat di depan dadanya,
menghalangi gerakan lidah lawan yang hendak menusuk.Desss... desss!
Tongkat dan lidah basah merah saling beradu dua kali
berturut-turut. Ki Suro merasakan tangan kanannya
bergetar disertai menjalarnya hawa mencucuk. Sebaliknya
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
41/88
Si Lidah Bangkai kelihatan mengernyit seperti menahan
sakit. Kemudian terjadilah satu hal yang luar biasa. Lidah si
nenek membuat satu gerakan berputar sebat. Membelit
tongkat bambu di tangan Ki Suro. Begitu Si Lidah Bangkai
menyentakkan lidahnya maka tongkat itu tertarik keras.Bagaimanapun Ki Suro berusaha mempertahankan tetap
saja tongkat itu masuk ke dalam mulut si nenek terus
amblas ke dalam perut!
Si Lidah Bangkai keluarkan tawa seperti ringkikan kuda.
Sambil tertawa dia usap-usap perutnya seolah seorang
yang kenyang habis menyantap makanan enak. Mulutnya
yang terbuka lebar memperlihatkan deretan gigi-gigi besarberwarna merah. Air liurnya yang juga berwarna merah
berlelehan ke dagunya.
Ki Suro, kini biar aku yang memohon pada Tuhanmu
supaya matamu bisa terbuka, agar otakmu dibuat encer,
hatimu dibuat leleh dan kau mau menyerahkan kitab itu
padaku! Atau kau lebih suka bersatu dengan tongkatmu
dalam perut besarku!Ki Suro tersenyum mendengar kata-kata si nenek.
Dengan tenang dia menjawab, Memohon pada Tuhan
adalah satu kewajaran. Tapi adalah keliru jika memohon
untuk hal yang tidak baik dan bukan bersifat kebajikan.
Aku kagum dengan kehebatan ilmu kesaktian sampeyan
hingga bisa menelan tongkat bambu milikku. Hanya
sayang, ilmu tinggi itu sampeyan pergunakan tidak pada tempatnya. Sampeyan keliru, bukan di dalam perut
sampeyan tongkat itu seharusnya mendekam. Segala
sesuatu sudah diatur bentuk dan tempatnya oleh Yang
Maha Kuasa. Jadi harap sampeyan suka mengembalikan
tongkatku!
Ki Suro tutup ucapannya dengan mengulurkan tangan
kanan. Empat jari ditekuk ke belakang. Jari telunjukdiarahkan ke pusar Si Lidah Bangkai. Ketika jari itu
digerak-gerakkan ke belakang terjadilah satu hal yang
membuat si nenek berseru kaget.
Breeettt!
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
42/88
Pakaian Si Lidah Bangkai robek di bagian pusar. Dari
robekan itu perlahan-lahan menyembul keluar tongkat
bambu kuning milik Ki Suro Gusti Bendoro yang tadi
ditelannya!
Sementara Si Lidah Bangkai tercekat kaget, Ki Surogerakkan lima jari tangan kanannya ke belakang seperti
orang memanggil. Settt! Tongkat kuning melesat dan
kembali berada dalam genggaman tangan kanan orang tua
itu. Dengan mata mendelik si nenek perhatikan dan
pegang pusarnya. Kalau tongkat bambu itu bisa keluar dari
perutnya lewat pusar, jangan-jangan pusarnya telah
bolong! Dia merasa lega ketika dapatkan pusarnya tidakcidera. Tapi tengkuknya telah terlanjur dingin karena kecut.
Walau demikian si nenek masih mampu untuk tidak
memperlihatkan rasa takutnya di hadapan lawan.
Sementara itu, sambil melintangkan tongkat bambu di
atas dada Ki Suro berkata, Cukup sudah kita berlaku
seperti anak-anak. Sebentar lagi senja akan berakhir. Saat
bagiku untuk menunaikan sholat Magrib. Harap sampeyansuka pergi dengan tenang dan hati bersih. Bagiku apa yang
telah terjadi telah kulupakan. Ki Suro membungkuk
memberi hormat pada si nenek.
Tetapi sambutan Si Lidah Bangkai justru berkebalikan.
Setelah keluarkan suara mendengus dan meludah ke
tanah dia berkata, Ki Suro, jangan bertingkah sombong,
menyuruh aku pergi! Aku tidak angkat kaki dari tempat initanpa kitab itu!
Si Lidah Bangkai lalu buka mulutnya lebar-lebar. Ludah
merah menyembur disusul dengan gulungan lidahnya yang
menjulur sampai sepanjang dua tombak. Dengan tangan
kanannya si nenek cekal erat-erat pangkal lidah lalu sekali
dibetot lidah itu tanggal dari mulutnya! Begitu lidah diputar
ludah merah bermuncratan membasahi wajah dan jubahputih Ki Suro. Si Lidah Bangkai kembali memutar lidahnya.
Taarrr! Taaarrr!
Lidah panjang seolah berubah menjadi cambuk.
Berkiblat di keremangan senja, membuntal cahaya merah,
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
43/88
menghantam ke arah Ki Suro Gusti Bendoro!
Tuhan Maha Besar, beri hambaMu kesabaran
menghadapi manusia sesat lupa diri ini, kata Ki Suro. Lalu
dia cepat menghindar.
Bummmm!Kraaak!
Satu letusan keras disusul suara patahnya batang
pohon yang kemudian menggemuruh roboh akibat
hantaman lidah yang telah berubah seperti cambuk.
Luar biasa... Luar biasa! kata Ki Suro dalam hati,
Sayang ilmu yang begitu tinggi dipergunakan di jalan
sesat!Cambuk lidah kembali menghantam. Karena Si Lidah
Bangkai mengerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya maka cambuk lidah menyambar disertai gelegar
suara seperti petir berkiblat. Cahaya merah bergulung-
gulung mengurung Ki Suro. Untuk menyelamatkan diri Ki
Suro harus bergerak cepat, berkelebat kian kemari dengan
mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudahmencapai tingkat kesempurnaan. Selama lima jurus kakek
ini digempur habis-habisan. Walau tidak sekalipun cambuk
lidah di tangan lawan mengenai diri atau pakaiannya,
namun cipratan cairan merah yang membasahi lidah itu
tidak dapat dihindarinya. Muka dan jubah Ki Suro penuh
noda-noda merah seperti diperciki darah.
Lidah Bangkai, sadarlah! Hentikan seranganmu!Pergilah dari sini! Ki Suro memberi ingat. Dia masih
berharap agar si nenek sadar dari perbuatannya.
Bagaimanapun jahatnya seseorang, satu kali masakan
tidak bisa dibuat sadar... begitu kiai berhati tulus ini
berpikir.
***
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
44/88
ARIO BLEDEG
PETIR DI MAHAMERU 8
KALA SRENGGINENEK berjuluk Si Lidah Bangkai yang inginkan kitabHikayat Keraton Kuno mana mau perdulikan teriakan Ki
Suro Gusti Bendoro. Malah dia lancarkan serangan lebih
gencar. Tubuhnya yang mengenakan pakaian serba hitam
lenyap di kegelapan senja. Yang terlihat hanya cahaya
merah redup membuntal keluar dari cambuk lidah, laksana
curahan hujan mengurung si kakek. Karena mengambil
sikap bertahan dan tak sekalipun mau balas menyerang,lama-lama Ki Suro jadi terdesak dan jurus demi jurus
keadaannya semakin berbahaya.
Aku tidak takut mati. Tapi kalau harus menemui ajal di
tangan perempuan sesat ini bisa-bisa aku tidak akan
tenteram di liang kubur. Tuhan, ampuni diriku jika aku
berbuat salah mempergunakan ilmu kepandaian untuk
menghadapinya. Setelah berucap di dalam hati seperti itu
Ki Suro masih belum mau turun tangan. Dia memberi
kesempatan sampai dua jurus di muka dan berteriak
mengingatkan lawannya agar menghentikan serangan lalu
pergi dari situ.
Tapi si nenek seperti orang kemasukan setan malah
memperhebat serangan cambuk lidahnya. Ki Suro
tenggelam lenyap dalam buntalan cahaya merah. Di
pertengahan jurus ke dua belas terdengar suara breettt!
Ujung cambuk lidah berhasil merobek bahu kanan
jubah putih Ki Suro Gusti Bendoro. Orang tua ini melompat
keluar dari gulungan serangan lawan. Untung senjata
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
45/88
lawan tidak sampai melukai kulitnya.
Lidah Bangkai, aku tidak yakin kau benar-benar
hendak berbuat jahat terhadap diriku. Kuharap kau mau
menyudahi urusan dan pergi dari sini! Ki Suro memberi
ingat untuk kesekian kalinya.Ki Suro, Lidah Bangkai tidak pernah menyelesaikan
urusan tanpa membawa hasil. Aku sudah terlanjur
menentukan minta kitab dan juga nyawamu! menjawab Si
Lidah Bangkai lalu didahului tawa bergelak dia kiblatkan
kembali cambuk lidahnya.
Taaarrr! Taarrr! Taaarrr!
Cambuk merah mendera udara senja yang semakingelap. Ujungnya mendadak berubah menjadi tiga. Satu
menghantam ke arah kepala Ki Suro. Satu lagi menyambar
ke perut dan ujung yang ke tiga melesat ke arah tangan kiri
yang memegang kitab daun lontar.
Kehebatan serangan yang dilancarkan Si Lidah Bangkai
memang luar biasa. Ki Suro tidak tahu mana dari tiga ujung
lidah itu yang merupakan serangan sebenarnya. Karenanyauntuk membentengi diri dia putar tongkat bambu
kuningnya dalam gerakan setengah lingkaran.
Wuutttt!
Sinar kuning bertabur dalam kegelapan senja. Dua
cahaya merah ujung cambuk lidah langsung lenyap amblas
karena memang bukan ujung cambuk sebenarnya. Tapi
ujung cambuk yang ke tiga, laksana kilat tahu-tahu telahmenyambar pergelangan tangan kiri Ki Suro, langsung
melilit naik ke arah kitab daun lontar yang dipegangnya!
Ki Suro terkejut besar. Dia lebih baik memilih
tangannya cidera daripada kitab sampai kena dirampas
orang. Begitu ujung cambuk lidah melesat ke arah kitab
daun lontar, si kakek segera lemparkan kitab itu ke udara.
Bersamaan dengan itu dia putar pergelangan tangankirinya lalu disentakkan. Si Lidah Bangkai merasa seperti
ada satu kekuatan raksasa menarik tangannya hingga dua
kakinya terangkat dari tanah. Selagi tubuh lawan melayang
di udara, Ki Suro angkat kaki kanannya. Dia tidak
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
46/88
menendang melainkan hanya menunggu datangnya tubuh
lawan. Tapi apa yang terjadi seolah-olah kakek ini
melancarkan tendangan sekuat tenaga.
Begitu telapak kakinya menempel di dada Si Lidah
Bangkai, tubuh nenek ini langsung mencelat mentalsampai dua tombak. Pegangannya pada cambuk lidah
terlepas. Selagi nenek itu jatuh jungkir balik di tanah, Ki
Suro pergunakan kesempatan untuk menyambut dan
menahan jatuhnya kitab daun lontar yang melayang ke
tanah dengan ujung tongkat bambu kuningnya. Dengan
tongkat dia memutar kitab itu demikian rupa hingga
melayang masuk ke dalam tangan kirinya!Kiai jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu! teriak Si
Lidah Bangkai. Dengan cepat dia melompat bangkit tapi
agak terbungkuk karena rasa sesak dan sakit di dadanya
akibat tempelan kaki Ki Suro tadi.
Lidah Bangkai, aku sudah memperingatkan sampeyan
berulang kali. Tapi sampeyan hanya mendengar suara hati
sendiri. Sampeyan menjual, aku terpaksa membeli.Sampeyan yang meminta, aku terpaksa memberi.
Sekarang nyatanya sampeyan masih menunjukkan sikap
keras hati keras kepala...
Jangan banyak bicara! Lihat serangan! Ajalmu sudah di
depan mata! teriak Si Lidah Bangkai. Laksana terbang
tubuhnya melesat di udara. Dua tangannya didorongkan ke
depan. Dari telapak tangannya kiri kanan menyemburkeluar dua larik sinar hitam. Dua sinar hitam ini melesat
ganas dalam keadaan saling bergerak bersilangan satu
sama lain seperti mata gunting.
Gunting Iblis! seru Ki Suro yang mengenali ilmu
kesaktian yang dipergunakan si nenek untuk menyerang.
Kakek ini tabahkan diri menghadapi serangan ganas. Dia
pernah mendengar, selama malang melintang di kawasan timur, ilmu kesaktian Gunting Iblis itu menjadi momok
nomor satu bagi musuh Si Lidah Bangkai. Banyak lawan
yang tidak mampu menyelamatkan diri dari serangan ini.
Kalaupun sanggup tubuhnya akan mengalami cacat
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
47/88
mengerikan seumur hidup!
Si Lidah Bangkai sendiri sudah memastikan bahwa Ki
Suro Gusti Bendoro tidak akan mampu menghadapi ilmu
Gunting Iblis-nya. Tetapi betapa terkejutnya si nenek ketika
tiba-tiba di depan sana sosok kakek berjubah putih itulenyap seolah ditelan bumi. Dua larik sinar hitam pukulan
saktinya menghantam tempat kosong lalu merambas
serumpunan semak belukar dan sebuah batu besar.
Semak belukar dan batu besar hancur bertaburan!
Kiai jahanam! Kau mau kabur ke mana! Pengecut!
teriak Si Lidah Bangkai.
Aku di sini Lidah Bangkai. Sampeyan kurangmemasang mata! tiba-tiba terdengar suara Ki Suro di
belakang. Si nenek cepat membalik sambil kembali hendak
menghantam dengan pukulan Gunting Iblis. Tapi sebelum
dua tangannya sempat bergerak ke depan tiba-tiba dia
melihat satu benda panjang berwarna merah berkelebat ke
arahnya. Begitu cepatnya gerakan benda ini hingga Si
Lidah Bangkai tidak mampu berkelit. Tahu-tahu duatangannya sudah tergulung. Di lain kejap sekujur tubuhnya
mulai dari pinggang sampai ke bahu telah terikat!
Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku! Apa yang
menjerat tubuhku hingga aku tidak mampu menggerakkan
dua tangan! Tidak mampu melepaskan diri! Dalam gelap
si nenek buka matanya lebar-lebar. Mukanya yang penuh
sisik hitam kebiruan menjadi tegang kaku ketika menyadaribahwa benda yang mengikat tubuhnya saat itu bukan lain
adalah cambuk lidah miliknya sendiri!
Saat itu Ki Suro Gusti Bendoro melangkah mendekati si
nenek.
Kau mau membunuhku silakan! Jangan mengira aku
mau menjatuhkan diri berlutut dan bersujud di
hadapanmu, minta ampun minta dikasihani! Ucapan sinenek masih keras lantang.
Ki Suro tersenyum dan gelengkan kepalanya. Aku
memperlakukan sampeyan seperti ini karena tidak mau
kehilangan waktu sholat Magrib-ku. Aku bukan raja kepada
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
48/88
siapa kau harus berlutut. Lalu ingat satu hal ini baik-baik.
Manusia tidak layak menyembah bersujud pada sesama
manusia. Hanya Tuhanlah satu-satunya yang layak dan
harus disembah! Semoga Tuhan memberi petunjuk
padamu Lidah Bangkai. Usiamu sudah sangat lanjut.Bertobatlah selagi pintu tobat terbuka.
Si Lidah Bangkai meludah ke tanah. Tak perlu kau
mengajari diriku Kiai! Hari ini kau merasa menang dan
memperhinakan diriku! Tunggu saatnya. Aku akan kembali
melakukan pembalasan! Aku akan kembali mengambil
kitab dan nyawamu!
Ki Suro menarik nafas panjang. Lidah Bangkai, tak adayang kalah tak ada yang menang di antara kita. Terserah
padamu. Aku hanya memberitahu. Kita sesama insan wajib
memberi ingat...
Si Lidah Bangkai tidak perdulikan ucapan Ki Suro.
Nenek ini balikkan diri lalu dalam keadaan tubuh bagian
atas masih terikat dia tinggalkan tempat itu. Sesaat setelah
Si Lidah Bangkai lenyap dalam kegelapan, Ki Suro yangcukup tahu kawasan di pinggiran desa itu segera menuju
ke sebuah mata air kecil. Selesai membersihkan diri dan
pakaiannya dia mengambil wudhu lalu di satu tempat yang
bersih Kiai ini melakukan sembahyang Magrib. Belum lagi
selesai dia menunaikan sholatnya, tiba-tiba dua bayangan
berkelebat dari samping kiri.
***
WALAU dua tangannya berada dalam keadaan terikat
dan kegelapan menyungkup di sepanjang jalan yang
dilaluinya, namun Si Lidah Bangkai masih sanggup berlari
cepat. Di satu tempat dia hentikan larinya ketika tiba-tiba
ada satu bayangan berkelebat di hadapannya. Si nenekcepat menyelinap di balik sebatang pohon besar.
Menunggu beberapa lama bayangan tadi tidak kelihatan
lagi. Tapi Si Lidah Bangkai yakin siapapun adanya orang
itu, dia pasti mendekam di satu tempat tengah
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
49/88
memperhatikannya. Ditunggu-tunggu orang tadi tak juga
muncul memperlihatkan diri, akhirnya si nenek lanjutkan
perjalanan. Tapi baru berjalan kurang dari sepuluh tombak
tiba-tiba kembali dia melihat bayangan itu berkelebat lagi
di hadapannya.Makhluk kurang ajar! si nenek berteriak, Jangan
berani mundar-mandir di hadapanku! Sekali lagi kau
berkelebat, kuputus nyawamu! Lalu nenek ini buka
mulutnya, siap untuk menyemburkan hawa jahat.
Baru saja si nenek membentak begitu, dari kepekatan
malam di depan sana terdengar orang berseru, Lidah
Bangkai! Aku mengenali suaramu! Memang benar kaurupanya! Tadinya aku merasa ragu!
Semak belukar lebat di depan kiri Si Lidah Bangkai
tersibak lebar. Muncul satu sosok tua kurus tinggi, berbaju
kuning lengan panjang, bercelana hitam setinggi lutut. Di
punggungnya ada satu bumbung bambu. Orang tua ini
melangkah terbungkuk-bungkuk mendekati si nenek. Si
Lidah Bangkai buka matanya lebar-lebar. Pada jarak empatlangkah baru dia mengenali siapa adanya orang itu. Maka
diapun berseru, Tumenggung Pakubumi! Kau rupanya!
Kukira hantu dari mana yang kesasar mau jahil
mempermainkanku! Si nenek lalu tertawa mengikik.
Ssssttt! Jangan bicara keras-keras! Jangan menyebut
nama asliku! Dalam rimba belantara ini bisa ada belasan
mata yang melihat dan belasan telinga yang mendengar!Orang tua bungkuk berbaju kuning berkata sambil
silangkan telunjuk tangan kirinya di atas bibir.
Sudah! Jangan banyak bicara dulu! Lekas kau
lepaskan ikatan yang melilit tubuhku! kata si nenek.
Orang yang disebut sebagai Tumenggung Pakubumi itu
melangkah lebih dekat. Astaga! kejutnya, Benda yang
mengikatmu ini bukankah cambuk lidah milikmu sendiri?Senjata makan tuan! Pantas saja kau tidak mampu
membukanya sendiri! Apa yang terjadi?
Kau tolong saja melepaskan, sambil membaca
manteranya. Kau pasti masih ingat mantera itu! Sementara
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
50/88
kau menolong aku akan ceritakan apa yang kualami! Aku
berhasil menemui Kiai Suro Gusti Bendoro!
Kau! Jadi kau dapatkan kitab pusaka keraton yang jadi
bahan pembicaraan dan dicari orang sejak puluhan tahun
itu?Si Lidah Bangkai gelengkan kepala. Mulailah
melepaskan ikatanku! Aku akan mulai menceritakan
kejadiannya padamu. Tumenggung, aku lupa siapa nama
samaran yang kau pergunakan sampai saat ini?
Kala Srenggi, jawab orang tua baju kuning.
Si nenek menyeringai. Kala Srenggi! Nama edan! Hik...
hik! Pantas kulihat kau masih membawa bumbung bambuberisi binatang-binatang celaka itu!
Tumenggung Pakubumi alias Kala Srenggi mulai
membaca mantera. Dua tangannya perlahan-lahan
membuka lipatan cambuk lidah yang menggulung separuh
tubuh si nenek di sebelah atas. Sementara ditolong Si
Lidah Bangkai menuturkan pertemuan dan
pertempurannya dengan Ki Suro Gusti Bendoro.Kitab yang dicari-cari para tokoh silat dan pejabat
kerajaan bahkan diinginkan oleh Sultan ternyata memang
ada di tangan Kiai itu. Aku sudah siap mengadu nyawa
untuk merebutnya. Ternyata Ki Suro memiliki kesaktian
tinggi luar biasa. Ketika aku menelan tongkat bambunya
dia mampu menariknya keluar dari perutku lewat pusar
tanpa aku mengalami cidera! Sewaktu aku hendakmenghantamnya kembali dengan pukulan Gunting Iblis, dia
malah pergunakan cambuk lidahku untuk meringkus
diriku! Kiai jahanam! Aku bersumpah untuk menguliti
tubuhnya, mencincang daging dan tulang belulangnya!
Cambuk lidah yang mengikatmu sudah kulepaskan!
Mau kau apakan benda ini?
Mendengar ucapan Kala Srenggi dan melihat cambuklidah yang mengikat tubuhnya sebelah atas memang sudah
terlepas, dengan cepat si nenek mengambil cambuk lidah
itu lalu memasukkannya ke dalam mulut dan menyedot.
Wettt... weetttt!
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
51/88
Cambuk lidah sepanjang lebih dari dua tombak itu
lenyap di dalam mulut si Lidah Bangkai.
Ilmu gila! kata Kala Srenggi sambil gelengkan kepala,
Sekarang apa yang akan kau lakukan?
Menurutmu bagaimana? si nenek balik bertanya.Sebenarnya aku masih ada satu urusan penting di
Demak. Tapi mendengar penuturanmu tentang kitab
Hikayat Keraton Kuno itu aku jadi tertarik. Kurasa Kiai itu
masih ada di tempat kau sebelumnya meninggalkannya.
Kalaupun dia sudah pergi pasti belum terlalu jauh! Kita
datangi dia kembali!
Aku setuju. Tapi ingat, Kala Srenggi. Aku bicaraberpahit-pahit lebih dulu. Terus-terang aku tidak begitu
percaya padamu. Kita ke sana dan kau hanya sebagai
sahabat yang menolongku menghadapi Kiai itu. Soal kitab
kuno itu adalah bagianku! Jangan ada pikiran kotor di
benakmu untuk ingin memilikinya!
Kala Srenggi tertawa mengekeh. Dia luruskan
tubuhnya. Ternyata dia bisa berdiri tegak tidak bungkuk.Rupanya membungkuk-bungkukkan diri adalah salah satu
dari beberapa penyamaran yang tengah dilakukannya.
Siapakah adanya Kala Srenggi ini? Seperti yang
disebutkan si nenek, nama sebenarnya adalah Pakubumi.
Di masa penghujung pemerintahan Pangeran Prawoto,
putera mendiang Raden Patah penguasa di Demak, dia
ikut bergabung dengan Si Lidah Bangkai, berserikatdengan Arya Penangsang dalam menghabisi Pangeran
Prawoto dan keluarganya. Pakubumi yang saat itu sudah
menduduki jabatan sebagai seorang Tumenggung mau
berserikat dengan Arya Penangsang karena mengharapkan
jabatan yang jauh lebih tinggi. Namun kekacauan yang
kemudian terus menerus melanda Demak mengacaukan
pula semua rencana Pakubumi.Di tengah-tengah kekalutan yang terjadi muncul
seorang tokoh bernama Joko Tingkir yang merupakan salah
seorang menantu mendiang Pangeran Prawoto dan di
masa kekacauan melanda Demak menduduki jabatan
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
52/88
sebagai Adipati di Pajang. Joko Tingkir yang kemudian lebih
dikenal dengan nama Adiwijoyo menghimpun kekuatan
untuk membalas kematian ayah mertuanya. Karena
didukung oleh banyak pihak maka Adiwijoyo berhasil
membangun satu kekuatan besar. Bersama orang-orangnya dia mencari dan membasmi mereka yang terlibat
dalam pembunuhan Pangeran Prawoto. Salah seorang di
antaranya adalah Tumenggung Pakubumi. Karena merasa
dirinya diancam bahaya, Tumenggung Pakubumi kemudian
menyembunyikan diri di satu tempat. Ketika dia muncul
kembali dia menyamar sebagai seorang tua bungkuk
dengan nama Kala Srenggi.
***
-
8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat
53/88
ARIO BLEDEG
PETIR DI MAHAMERU 9
BENTENG TIGA RATUS ULARWALAU sudah mengetahui kehadiran dua orang itu didalam gelap, namun Ki Suro Gusti Bendoro tetap khusuk
dalam menunaikan sholat Magrib-nya.
Di tempat gelap Si Lidah Bangkai berbisik pada Kala
Srenggi, Kesempatan bagus! Selagi dia sembahyang
begitu rupa akan kuhantam dengan pukulan Gunting Iblis!
Masakan tubuhnya ti