TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

download TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

of 88

Transcript of TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    1/88

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    2/88

    TDS (TIGA DALAM SATU) WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN

    ARIO BLEDEG - PETIR DI MAHAMERU

    KUNGFU SABLENG - PENDEKAR PISPOT NAGA

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    3/88

    BASTIAN TITO

    PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

    WWIIRROO SSAABBLLEENNGG

    SERIBUHAWA KEMATIAN

    PDF E-Book: kiageng80

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    4/88

    WIRO SABLENG

    SERIBU HAWA KEMATIAN 1

    KALUNG KEPALA SRIGALADINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah.Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat, bergerak

    dalam kegelapan menuju timur. Di atas bahunya Sinto

    Gendeng duduk tak bergerak. Dua tangan dirangkapkan di

    depan dada, sepasang mata terpejam dan dari mulutnya

    keluar suara mendengkur.

    Aku harus lari, mendukungnya dalam udara dingin. Dia

    enak-enakan ngorok! Wiro mengomel sendiri dalam hati.Di satu tempat pemuda ini hentikan larinya.

    Memandang ke timur, langit masih gelap pertanda sang

    surya belum muncul. Tiba-tiba Wiro menangkap suara

    sambaran-sambaran angin di sekitarnya. Dia tidak melihat

    apa-apa tapi yakin sekali ada beberapa orang berkelebat

    dalam kegelapan.

    Eyang, aku mendengar sesuatu... Wiro berucap

    dengan suara perlahan sambil tepuk paha si nenek. Paha

    yang ditepuk tidak merasa apa-apa karena berada dalam

    keadaan lumpuh mati rasa akibat serangan Kelelawar

    Pemancung Roh tempo hari.

    Eyang... Karena tidak mendapat sahutan Wiro

    memanggil kembali. Lekas bangun! Ada orang...

    Anak setan! Jangan mengejutkan tidurku! Apa mau

    kukencingi tengkukmu?!

    Ah, kukira kau masih tidur Nek. Ada beberapa orang di

    sekitar kita...

    Kalau masih namanya orang, lalu apa kau takut?!

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    5/88

    tanya si nenek. Dua matanya masih dipejamkan sedang

    sepasang tangan masih bersidekap di depan dadanya yang

    kurus tipis.

    Mereka mungkin punya maksud jahat Nek. Agaknya

    mereka telah mengikuti kita sejak lama. Mereka mencarisaat yang tepat untuk melakukan sesuatu...

    Kau cuma mendengar dan merasakan gerakan

    mereka. Aku malah sudah lihat tampang mereka! kata

    Sinto Gendeng pula. Lalu masih dengan mata terpejam dia

    meneruskan. Mereka berempat. Mengenakan jubah

    hitam. Kepala dan wajah masing-masing ditutupi kerudung

    hitam...Berarti mereka adalah sisa-sisa anggota komplotan

    Lima Laknat Malam Kliwon!

    Bukan, jawab si nenek. Yang empat ini tidak

    mengenakan topeng barong. Ada gambar kepala srigala di

    dada pakaian masing-masing. Anak setan, aku mau

    meneruskan tidurku. Hati-hatilah. Mereka mungkin mau

    menggerogoti lehermu atau mengorek jantungmu!Nek! Bagaimana kau bisa tidur enak sementara aku

    terancam bahaya! Pendekar 212 jadi jengkel.

    Kau yang mereka incar. Bukan aku! Hik... hik... hik! Si

    nenek tertawa cekikikan. Begitu tawanya lenyap berganti

    terdengar suara dengkurnya.

    Wiro Sableng mendongkol setengah mati. Dia percepat

    larinya. Dalam gelap empat bayangan berkelebatmengikuti. Kesal diikuti terus menerus tanpa dia punya

    kesempatan melihat jelas siapa adanya orang-orang itu, di

    satu tempat agak terbuka Wiro hentikan larinya dan

    membentak.

    Empat penguntit! Siapa kalian! Lekas unjukkan diri!

    Jangan berani berlaku keji!

    Tak ada jawaban. Tak ada yang bergerak. Di sebelahkiri, sekelompok ranting bergoyang oleh hembusan angin.

    Wiro memandang berkeliling.

    Sialan! Kalian ternyata manusia-manusia pengecut!

    Tidak berani unjukkan diri! Pendekar 212 memaki. Dia

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    6/88

    memandang berkeliling sekali lagi. Tetap saja tidak melihat

    apa-apa. Dia putuskan untuk lanjutkan perjalanan kembali.

    Baru menggerakkan kaki tiba-tiba empat benda panjang

    berkelebat dan tahu-tahu empat tangan berbentuk cakar

    mengerikan siap mencengkeram lehernya dari jarak satujengkal!

    Tenggorokan Pendekar 212 turun naik. Keringat dingin

    memercik di keningnya. Matanya mendelik tak berkedip

    memperhatikan empat tangan berbentuk cakar, mencuat

    keluar dari balik lengan jubah hitam. Ada empat orang yang

    mengurungnya saat itu. Dan seperti yang dikatakan Sinto

    Gendeng, orang-orang ini menutupi kepala dan mukanyadengan kerudung hitam. Pada dada pakaian mereka ada

    gambar kepala srigala berwarna putih perak bermata

    merah mencorong.

    Siapa kalian! Apa mau kalian?! Wiro ajukan

    pertanyaan. Tangannya kiri kanan sudah dialirkan tenaga

    dalam dan mencekal betis Sinto Gendeng yang ada di atas

    dukungannya.Kami tidak mencari perkara. Asalkan mau

    menyerahkan kalung perak kepala srigala! Salah seorang

    dari empat pengurung membuka suara.

    Murid Sinto Gendeng langsung menyeringai. Eh, kau

    perempuan kiranya. Masih gadis atau sudah nenek-nenek

    seperti yang aku dukung ini?!

    Jangan bergurau! Waktu kami tidak lama! Kalaumemang mau cari selamat serahkan saja kalung kepala

    srigala terbuat dari perak itu!

    Benda yang kau cari tidak ada padaku! jawab Wiro.

    Dia berdusta. Karena seperti yang diceritakan dalam serial

    sebelumnya (Laknat Malam Kliwon) setelah diserbu oleh

    lima anggota Laknat Malam Kliwon Wiro memang

    menemukan sebuah kalung srigala terbuat dari perak putihyang talinya telah putus. Kalung itu saat itu disimpannya di

    balik pakaiannya.

    Seorang pendekar tidak layak berdusta! Orang

    berkerudung di sebelah kiri membentak.

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    7/88

    Nah, kau juga perempuan. Apa kalian berempat ini

    perempuan semua?! tanya Wiro.

    Seorang pendekar tidak layak berdusta! Orang yang

    tadi berkata ulangi ucapannya.

    Aku bukan pendekar! Aku seekor keledai tunggangannenek-nenek butut ini! Kalian lihat sendiri! kata Wiro pula

    lalu tertawa gelak-gelak.

    Kalau kau memang ingin mati sebagai keledai betapa

    tololnya! Orang berkerudung di samping kanan berucap.

    Dia memberi isyarat pada tiga kawannya.

    Yang pertama sekali bicara angkat tangannya. Kami

    tahu kalung perak kepala srigala itu ada padamu. Kamimelihat sendiri kau memasukkannya ke balik pakaian.

    Mengapa mengambil benda yang bukan milikmu?!

    Benda yang kau cari tidak ada padaku. Lagipula

    bagaimana aku tahu kalung itu memang milik kalian?

    Melihat cara kalian berpakaian, besar kemungkinan kalian

    adalah bangsa penjahat malam. Kalau bukan rampok,

    pasti maling!Percuma saja bicara baik-baik! Kawan-kawan! Habisi

    pemuda ini! Orang di samping kiri hilang kesabarannya.

    Tangannya yang berbentuk cakar dan hanya satu jengkal di

    depan leher Pendekar 212 berkelebat ke depan.

    Breeeetttt!

    Pendekar 212 keluarkan seruan kaget. Kalau tidak

    lekas dia mengelak bukan leher bajunya yang robek tetapitenggorokannya yang jebol!

    Empat suitan keras menggelegar di malam dingin.

    Empat tangan berbentuk cakar kemudian berkelebat.

    Wiro sentakkan dua tangannya yang memegang betis

    Sinto Gendeng. Dua kaki si nenek yang berada dalam

    keadaan lumpuh dan mati rasa mencuat ke depan.

    Wuuuuutttt! Wutttt!Bukkk! Bukkk!

    Dua penyerang berkerudung berseru marah sambil

    menahan sakit karena dua kaki si nenek yang digerakkan

    Wiro sebagai senjata penangkis menghantam pergelangan

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    8/88

    mereka dengan keras. Sinto Gendeng sendiri karena

    lumpuh dan mati rasa tidak merasa apa-apa dan tetap saja

    duduk pejamkan mata di atas pundak muridnya!

    Empat tangan kembali berkelebat. Empat cakar

    menderu ganas.Breeeettt!

    Pendekar 212 keluarkan keringat dingin. Dada

    pakaiannya robek besar. Penuh geram Wiro lepaskan

    pukulan tangan kosong dengan tangan kiri lalu dengan

    jurus Kincir Padi Berputar dia hantamkan tendangan ke

    arah lawan paling dekat. Namun kaget murid Sinto

    Gendeng bukan kepalang ketika tahu-tahu betis danpahanya yang dipakai menendang telah berada dalam

    cengkeraman dua tangan berbentuk cakar! Sedikit saja dia

    bergerak dan kalau dua lawan mau, maka daging betis dan

    pahanya akan amblas ke tulang. Selain itu, yang membuat

    nyawanya seolah terbang, dua tangan bercakar juga telah

    menempel di batang lehernya!

    Nyawamu tidak tertolong! Apa masih belum maumenyerahkan kalung perak kepala srigala itu?! Orang

    berkerudung di depan Wiro membentak. Sepasang

    matanya berkilat-kilat.

    Tenang... Sabar... kata Wiro dengan suara bergetar

    dan tengkuk dingin. Kau bunuh diriku tak ada gunanya.

    Kalung itu benar-benar tidak ada padaku!

    Dusta besar! Bohong!Silakan kalian menggeledah! Kalau memang benda

    yang kalian cari ada padaku langsung saja bunuh! Tapi

    awas! Kalau kepala srigala itu tidak kalian temukan, jangan

    iseng mencari kepalaku yang lain! Ha... ha... ha!

    Empat wajah di balik kerudung hitam jadi bersemu

    merah mendengar kata-kata Pendekar 212 Wiro Sableng

    itu. Tidak satupun dari empat orang itu bertindak hendakmenggeledah.

    Ayo! Kenapa kalian semua jadi pada diam?! tanya

    Wiro.

    Siapa sudi menggeledah tubuhmu! teriak orang

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    9/88

    berkerudung yang semuanya adalah perempuan dan tentu

    saja merasa jengah menggerayangi sosok Pendekar 212.

    Panggil Ki Tawang Alu! Salah satu dari empat orang

    berkerudung berkata. Lalu salah seorang dari mereka

    keluarkan suitan keras.Dari dalam gelap melesat seorang kakek berdestar

    hitam bermuka putih. Tubuhnya tinggi tapi bungkuk.

    Pandangan matanya tajam angker.

    Ki Tawang Alu! Harap kau geledah pemuda ini! Kalung

    kepala srigala ada padanya!

    Kakek bernama Ki Tawang Alu pelototkan matanya

    pada Wiro. Sesaat dia melirik pada sosok Sinto Gendengyang ada di atas pundak Wiro. Kakek muka putih ini punya

    banyak pengalaman dan pandai menilai orang. Sesaat dia

    tampak tegak meragu. Melihat hal ini orang berkerudung di

    samping kanan membentak.

    Lekas periksa pemuda itu! Si nenek jangan diganggu!

    Dibentak begitu rupa kakek muka putih segera ulurkan

    dua tangannya. Caranya menggeledah Wiro aneh dancepat sekali. Dalam waktu singkat dia orang mampu

    menyentuh setiap sudut sosok Pendekar 212. Empat orang

    berkerudung kecewa besar ketika si kakek kemudian

    berkata sambil mundur.

    Kalung itu tidak ada padanya...!

    Mana bisa jadi!

    Tidak mungkin!Aku melihat sendiri benda itu disembunyikannya di

    balik pakaiannya...!

    Ki Tawang Alu menggeleng. Aku sudah mencari. Tak

    mungkin kelewatan. Lebih baik kita segera pergi dari sini.

    Sementara benda itu belum ditemukan kita harus mencari

    benda lain yang dapat menyembuhkan pimpinan kita dari

    sakitnya...Empat orang berkerudung memandang tidak percaya

    pada Wiro. Yang dipandang menyeringai sambil garuk-

    garuk kepala. Ketika kakek muka putih berkelebat pergi,

    empat orang berkerudung hitam mau tak mau akhirnya

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    10/88

    tinggalkan pula tempat itu.

    Tak lama setelah orang-orang itu lenyap dalam

    kegelapan menjelang pagi, di atas pundak Wiro, Sinto

    Gendeng tertawa cekikikan.

    Anak setan! Di mana kau sembunyikan kalung perakkepala srigala itu?!

    Wiro melengak kaget. Lalu tertawa dan buka mulutnya.

    Dari dalam mulut Wiro julurkan keluar kalung perak

    berbentuk kepala srigala bermata merah.

    Kalung itu besar sekali nilainya bagi empat orang

    berkerudung. Tapi aku tidak percaya pada kakek muka

    putih itu! Dari tampangnya kentara kulihat dia bangsamanusia yang mempergunakan kesempatan dalam

    kesempitan. Anak setan! Ayo kita lanjutkan perjalanan.

    Bukit kapur tempat kediaman tua bangka edan itu masih

    jauh dari sini! Belum lagi Teluk Akhirat!

    ***

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    11/88

    WIRO SABLENG

    SERIBU HAWA KEMATIAN 2

    KAKEK SEGALA TAHUBUKIT kapur itu seperti tidak berubah dari tahun ke tahun.Ke mana mata memandang hanya kapur putih yang

    kelihatan. Hawa panas seperti mau memanggang tubuh. Di

    salah satu puncak bukit di sebelah timur kelihatan berdiri

    sebuah teratak tanpa dinding. Atapnya yang terbuat dari

    rumbia kering penuh bolong di sana-sini, tak kuasa

    menahan sinar matahari. Anehnya di dalam teratak atau

    gubuk itu tampak seorang kakek duduk di atas gundukanbatu kapur. Pakaiannya compang-camping penuh tam

    balan dan bau apak. Teriknya sinar matahari dan panasnya

    hawa yang keluar dari tanah bukit kapur itu seolah tidak

    terasa olehnya.

    Kakek ini memegang sebatang tongkat di tangan

    kirinya. Di ujung tongkat sebelah atas ada sebuah caping

    lebar terbuat dari bambu yang diputar-putar demikian rupa

    hingga menebar angin sejuk. Sepasang mata si kakek

    jelalatan kian kemari. Ternyata sepasang mata itu putih

    rata. Buta!

    Di atas pangkuan si kakek ada sebuah kaleng rombeng

    penyok-penyok tak karuan rupa. Dengan tangan kanannya

    kakek ini ambil kaleng itu lalu menggoyangnya. Suara

    berkerontangan menggema di seantero bukit. Si kakek

    tertawa mengekeh seolah bunyi kerontang kaleng rombeng

    itu lucu menyenangkan. Dia angkat lagi tangannya lebih

    tinggi. Ketika dia hendak menggoyang mendadak tangan

    itu terasa sangat berat, tak bisa digerakkan. Wajah orang

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    12/88

    tua ini jadi berubah. Dua matanya yang putih bergerak

    berputar. Dicobanya kembali menggoyang kaleng. Tetap

    saja tidak bisa. Kakek mata putih itu menarik nafas dalam

    dan geleng-gelengkan kepala.

    Ada tamu dari mana yang berlaku jahil mengganggukesenanganku! kakek itu berhenti memutar caping di

    tangan kiri. Caping bambu itu diletakkannya di atas kepala

    sementara tangan kanannya yang memegang kaleng

    masih terpentang ke atas tak bergerak. Kakek ini duduk

    tak bergerak seperti merenung. Lalu dia mendongak sambil

    menghirup siliran angin yang lewat di bawah teratak. Di

    antara bau hawa kapur yang mengambang di udara diamembaui sesuatu. Kakek ini menyeringai. Sesaat kemu

    dian gelak kekehnya pecah menggeletarkan puncak bukit

    kapur. Bersamaan dengan itu dirasakannya satu kekuatan

    yang sejak tadi membuat dia tak bisa menggerakkan

    tangan kanan kini lenyap. Kakek ini turunkan tangannya

    yang memegang kaleng rombeng lalu berkata.

    Dari baunya aku sudah bisa mengira siapa tamugeblek yang datang! Kalau dugaanku sampai meleset biar

    berhenti aku jadi tua bangka! Ha... ha... ha...! Lalu si kakek

    goyangkan tangannya. Suara kerontangan kaleng rombeng

    yang diisi batu-batu mengumandang di puncak bukit kapur

    itu. Begitu gema suara kaleng lenyap terdengar seruan.

    Kakek Segala Tahu! Apa kau sudah bosan hidup

    hingga berucap mau berhenti jadi tua bangka?!Kakek mata putih terkesiap. Astaga! Ternyata bukan

    dia! Celaka! Dugaanku meleset! Tapi... Kakek ini kembali

    menghirup udara dalam-dalam. Tapi bau pesing itu!

    Penciumanku tak mungkin ditipu! Atau mungkin dia datang

    dengan orang lain. Tapi mengapa aku hanya mendengar

    langkah-langkah kaki satu orang saja? Aku rasa-rasa kenal

    suara orang yang barusan bicara!Kakek di bawah teratak menatap ke arah utara. Aneh,

    bagaimana mungkin ada makhluk yang namanya manusia

    setinggi itu! Si kakek membatin.

    Sinto Gendeng tua bangka konyol! Permainan apa

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    13/88

    yang tengah kau lakukan?! Kakek mata putih berteriak.

    Dari balik bukit kapur di sebelah utara terdengar tawa

    cekikikan. Sesaat kemudian muncullah si nenek sakti dari

    Gunung Gede itu, didukung di atas pundak oleh muridnya

    yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng.Walau dua matanya buta namun kakek di dalam

    teratak memiliki kemampuan luar biasa untuk melihat

    lewat penciuman, perasaan dan pendengarannya.

    Sinto! Kau benar-benar gendeng! Apa-apaan ini! Siapa

    yang kau jadikan tunggangan untuk datang ke bukit kapur

    ini! Edan betul!

    Yang jadi tunggangan aku Kek! Keledai bernama WiroSableng!

    Huaaaa... ha... ha...! Guru dan murid sama sintingnya!

    Untung aku lagi ada di sini! Kalau tidak, jauh-jauh kalian

    hanya datang percuma mencari angin!

    Tamu yang naik ke puncak bukit kapur mengunjungi

    kakek buta bercaping lebar itu bukan lain adalah Sinto

    Gendeng dan Wiro. Seperti dituturkan dalam serial terdahulu (Laknat Malam Kliwon) Sinto Gendeng telah kema

    sukan hawa beracun yang mematikan akibat serangan

    Kelelawar Pemancung Roh Dari Teluk Akhirat. Nyawanya

    masih tertolong karena seorang kakek kekasihnya di masa

    muda bernama Suro Ageng memberinya obat. Walau

    demikian Sinto Gendeng mengalami kelumpuhan dari

    pinggang ke bawah. Itu sebabnya ke mana dia pergi Wiromau tak mau terpaksa mendukungnya.

    Sahabatku kakek peramal bau apek! Apa kau selama

    ini baik-baik saja?! Sinto Gendeng bertanya.

    Wiro merunduk lalu turunkan si nenek dan menduduk

    kannya di atas gundukan batu kapur di hadapan Kakek

    Segala Tahu.

    Si kakek pandangi Sinto Gendeng dengan mataputihnya. Kau datang didukung muridmu. Berarti kau tidak

    bisa berjalan sendiri. Kau diturunkan dan didudukkan.

    Berarti kau tidak bisa turun dan duduk sendiri! Nenek bau

    pesing, apa yang terjadi denganmu?

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    14/88

    Dua kakiku lumpuh! berkata Sinto Gendeng.

    Rahangnya menggembung.

    Lumpuh? Kau kesambat setan di mana?! Kakek

    Segala Tahu lalu tertawa mengekeh membuat Sinto

    Gendeng jengkel dan komat-kamit mengomel. Tunggu!Kakek Segala Tahu mendongak lalu goyangkan kaleng

    rombengnya. Sesaat kemudian meledaklah tawa Kakek

    Segala Tahu di bukit kapur itu.

    Tua bangka geblek! Apa yang lucu! membentak Sinto

    Gendeng.

    Aku tahu Sinto! Aku tahu apa yang terjadi maka kau

    sampai lumpuh begini rupa! Ini akibat terlalu mengobarcinta di masa muda. Hingga kau kehabisan sungsum dan

    jadi lumpuh! Ha... ha... ha...!

    Tua bangka sinting! maki Sinto Gendeng. Enak saja

    kau bicara! Wiro! Ceritakan pada kakek gila ini apa yang

    telah menimpa diriku! Bukannya menolong malah menu

    duh yang bukan-bukan!

    Wiro garuk-garuk kepala. Sesuai dengan perintah sangguru dia lalu tuturkan malapetaka yang menimpa Sinto

    Gendeng. Kakek Segala Tahu goyang kaleng rombengnya

    dan tarik nafas panjang berulang kali.

    Kami berniat menuju Teluk Akhirat Kek, kata Wiro

    memberi tahu. Siluman berjuluk Kelelawar Pemacung Roh

    itu harus dibasmi...

    Kakek Segala Tahu sekali lagi menghela nafas panjang.Seribu Hawa Kematian. Sangat berbahaya. Tidak mudah

    menyingkirkan makhluk kelelawar itu selama dia mengua

    sai hawa beracun itu. Hawa mematikan itu merambat dari

    atas ke bawah, sulit dihindari. Satu-satunya cara, kalian

    harus menghindari tempat terbuka...

    Bagaimana mungkin Kek! kata Wiro pula.

    Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Matanya yangputih berputar-putar. Lalu orang tua ini bertanya. Sinto,

    apa benar kau sudah memiliki ilmu kesaktian yang disebut

    Sepasang Sinar Inti Roh?

    Si nenek tidak segera menjawab. Sebaliknya Wiro

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    15/88

    langsung saja memberi tahu. Eyang memang sudah

    memilikinya Kek. Justru ilmu itulah yang ingin kudapatkan

    darinya. Tapi guru menyuruh aku menunggu sampai empat

    puluh sembilan tahun!

    Kakek Segala Tahu goyang kaleng rombengnya.Kemungkinan hanya dengan ilmu kesaktian itu kau bisa

    menghancurkan Kelelawar Pemancung Roh...

    Nah Nek, apa kataku! Wiro menyeletuk. Kalau saja

    kau telah mengajarkan padaku ilmu kesaktian bernama

    Sepasang Sinar Inti Roh itu, kau tak akan susah-susah

    turun tangan mencari Kelelawar Pemancung Roh! Aku

    sendiri bisa membereskannya!Diam kau anak setan! Jangan mencari kesempatan

    dalam kesempitan! Jangan harap dalam keadaan seperti

    ini hatiku jadi leleh dan mengajarkan ilmu itu padamu.

    Apapun yang terjadi kau tetap harus menunggu empat

    puluh sembilan tahun lagi!

    Nasibku jelek! kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.

    Tempat terbuka... Kalian harus menghindari tempatdan udara terbuka. Kalian harus dapatkan kelemahan

    Seribu Hawa Kematian itu...

    Kakek Segala Tahu, justru kami datang kemari untuk

    minta petunjukmu... kata Wiro mulai jengkel melihat

    tingkah si kakek.

    Ini memang urusan sulit! Jika dikaji dengan hati

    jengkel dan marah, urusan tidak bisa dipecahkan! jawabKakek Segala Tahu lalu kerontangkan kaleng bututnya.

    Saat itu langit di sebelah selatan tampak gelap. Awan

    hitam membuat udara menjadi mendung. Petir menyambar

    beberapa kali dan guntur menggelegar menggetarkan bukit

    kapur putih. Kakek Segala Tahu melompat dari duduknya

    dan goyangkan tangannya berulang kali.

    Itu! Itu kelemahannya! Si kakek berteriak.Sinto Gendeng perhatikan wajah Kakek Segala Tahu

    lalu kedipkan matanya pada Wiro. Apa yang dikatakan tua

    bangka sinting ini... bisik Sinto Gendeng pada muridnya.

    Kek, kalau kau memang sudah mengetahui

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    16/88

    kelemahan makhluk kelelawar itu mengapa tidak segera

    memberi tahu pada kami? ujar Wiro pula.

    Dengar... Setiap hawa yang merambat, misalnya kabut,

    tidak bisa bergerak kalau ada hujan. Begitu juga Seribu

    Hawa Kematian. Berarti kau hanya punya kesempatanmembunuhnya pada saat hujan turun!

    Ini urusan gila! Bagaimana mungkin menunggu hujan

    lalu menyerang. Sebelum hujan turun aku sudah

    disekapnya dengan hawa maut itu! Sinto Gendeng berkata

    setengah mengomel. Lalu dia berpaling pada muridnya.

    Anak setan! Jangan cuma bisa menggaruk kepala saja!

    Kau juga harus mencari akal!Tentu Nek, aku ingin sekali menolongmu. Tapi otakku

    lagi butek! jawab Wiro. Kalau sulit menghadapi makhluk

    kelelawar itu mengapa tidak memusatkan perhatian pada

    hal lain saja. Misal bagaimana caranya menyembuhkan

    kelumpuhan yang kau derita.

    Mengenai kelumpuhanku ini, apakah sahabat kita Si

    Raja Obat sanggup menyembuhkannya?Nasibmu malang Sinto. Tidak ada satu orang pun yang

    bisa menyembuhkan. Juga tidak ada satu obat pun.

    Kecuali... Ah itu pun rasa-rasanya mustahil... Kakek

    Segala Tahu memandang ke arah Wiro. Dia pegang tangan

    kanan pemuda ini dan usap-usap telapaknya.

    Anak muda, aku yakin kau pernah mendapatkan satu

    petunjuk tentang obat mujarab satu-satunya yang bisamenyembuhkan gurumu. Harap kau ceritakan padaku...

    Benar-benar tua bangka sakti! Bagaimana dia bisa

    tahu hal itu! membatin Wiro.

    Pendekar Sableng! Kau tuli atau budek! Mengapa

    tidak menjawab ucapanku! Kakek Segala Tahu

    membentak. Bola matanya yang putih memandang

    berputar ke langit.Anu, begini Kek... Sebelum menemui ajalnya, kakek

    bernama Suro Ageng itu mengatakan. Satu-satunya obat

    yang bisa menyembuhkan kelumpuhan Eyang adalah

    sekuntum bunga matahari yang tumbuh menghadap

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    17/88

    matahari terbit dan mekar pada saat matahari mengalami

    gerhana.

    Weehhhhh! Sinto Gendeng monyongkan mulutnya

    yang perot. Aku sudah dengar cerita itu! Bagiku itu cuma

    satu urusan gila! Mencari bunga matahari mungkingampang. Yang tumbuh menghadap matahari terbit masih

    mungkin. Tapi yang mekar pada saat gerhana matahari

    dan aku harus memakannya saat itu juga! Benar-benar

    gila! Tidak masuk akal! Mungkin gerhana matahari baru

    akan terjadi seratus tahun lagi. Saat itu aku sudah jadi

    bubuk di dalam tanah! Jadi urusan bunga celaka itu buat

    apa aku pikirkan! Hik... hik... hik!Sinto, kata Kakek Segala Tahu setelah

    menggoyangkan kalengnya dua kali. Yang berkata adalah

    Suro Ageng. Orang yang bisa dipercaya. Ucapannya

    mungkin begitu yang terdengar namun bisa saja semua itu

    merupakan satu tamsil yang harus diselidik dan dikaji lebih

    dalam. Walau bicara, dia dalam keadaan sekarat. Lalu apa

    kau tidak ingat kalau di puncak Pegunungan Dieng pernahada satu kawasan yang melulu ditumbuhi bunga

    matahari?

    Astaga! Kalau kau tidak mengatakan aku pasti tidak

    ingat hal itu! kata Sinto Gendeng pula. Sesaat wajahnya

    yang pucat tampak bercahaya. Dua bola matanya

    memancarkan sinar penuh harapan.

    Sekarang tinggal memecahkan arti kata gerhanamatahari. Apa betul yang dimaksud gerhana matahari

    sungguhan?

    Mungkin memang perlu diselidiki. kata Sinto Gendeng

    sambil manggut-manggut hingga lima tusuk konde perak

    yang menancap di kulit kepalanya bergoyang-goyang dan

    berkilauan terkena cahaya matahari. Si nenek kemudian

    berpaling pada muridnya. Wiro, kau harus bawa aku kepuncak Pegunungan Dieng!

    Akan kulakukan Eyang. Ke mana pun asal Eyang bisa

    sembuh! jawab Wiro namun dalam hati mengeluh,

    Pegunungan Dieng jauhnya minta ampun dari sini! Dan

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    18/88

    aku musti mendukung nenek bau pesing ini! Remuk aku!

    Kakek Segala Tahu memandang tersenyum pada

    Pendekar 212. Lalu dekatkan mulutnya ke telinga Wiro dan

    berbisik. Aku tahu omelan yang barusan kau ucapkan

    dalam hati...Kek! Jangan kau mengoceh yang bisa membuat nenek

    itu mengomel kalang kabut! kata Wiro balas berbisik.

    Hai! Apa yang kalian bicarakan berbisik-bisik ini?!

    Sinto Gendeng menegur dengan suara keras. Aku tahu

    Pegunungan Dieng jauh dari sini! Sedang Teluk Akhirat

    lebih dekat di sebelah selatan. Anak Setan, aku tahu apa

    yang ada di hatimu. Walau keinginanku untuk sembuhsangat besar tapi aku lebih suka menghabisi Kelelawar

    Pemancung Roh itu lebih dulu! Kita pergi ke Teluk Akhirat

    lebih dulu! Kau dengar itu anak setan?!

    Aku dengar nenek set... Wiro tertawa cekikikan dan

    cepat tutup mulutnya, Maafkan aku Nek. Karena kau

    terus-terusan memanggil aku anak setan, aku sampai latah

    ikut-ikutan memanggilmu nenek set... Ha... ha... ha!Sepasang mata Sinto Gendeng membeliak besar

    seperti mau melompat dari rongganya.

    Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. Lalu setelah

    goyangkan kaleng rombengnya dia berkata, Aku

    merasakan ada satu benda asing di balik pakaian muridmu

    Sinto. Anak muda, benda apakah itu? Coba keluarkan, mau

    kulihat!Wiro garuk-garuk kepala. Dalam hati dia tidak habis

    pikir bagaimana orang tua yang matanya buta ini mampu

    mengetahui kalau dia memang membekal sebuah benda

    asing! Orang yang sanggup melihat saja tidak mampu

    menembus pandang dan mengetahui apa yang

    disimpannya di balik baju.

    Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan kalung kepalasrigala yang terbuat dari perak. Benda itu diletakannya di

    telapak kiri Kakek Segala Tahu lalu jari-jari si kakek

    ditekuknya hingga membentuk genggaman.

    Aku merasa ada hawa aneh menjalar masuk ke dalam

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    19/88

    tanganku! Wiro, benda apa ini. Dari mana kau dapatkan?!

    bertanya Kakek Segala Tahu.

    Wiro terkejut mendengar ucapan si kakek, Waktu

    pertama kali benda itu kupegang, memang ada terasa

    semacam hawa aneh mengalir masuk ke dalam tubuhku.Kek, itu sebuah kalung berbentuk kepala srigala. Terbuat

    dari perak putih. Memiliki sepasang mata merah. Lalu

    Wiro menceritakan dari mana dia mendapatkan benda itu.

    Nasibmu bisa jelek kalau terus-terusan kau memegang

    benda ini! kata Kakek Segala Tahu seraya mendongak ke

    langit, Tapi juga bisa tambah buruk kalau kau sampai

    salah memberikan pada orang lain. Aku mencium baupenyakit, juga ada bau darah dan hawa panas pertanda

    banyak malapetaka mengelilingi kalung ini...

    Kalau begitu buang saja. Habis perkara! Kenapa harus

    susah memikirkan! kata Sinto Gendeng.

    Kakek Segala Tahu gelengkan kepala, Wiro, simpan

    benda ini baik-baik. Sampai satu ketika kau

    menyerahkannya pada orang yang berhak. Namun selamakalung kepala srigala itu ada padamu, kau bakal

    menghadapi cobaan berat...

    Mudah-mudahan aku tabah menghadapi cobaan itu

    Kek, menyahuti Wiro.

    Kakek Segala Tahu tersenyum, Bagaimana kau bisa

    tabah anak muda! Kalau ada beberapa gadis cantik dalam

    keadaan bugil rela menyerahkan kehormatannya asalkalung kepala srigala ini kau berikan pada mereka!

    Berubahlah paras Pendekar 212. Dia melirik pada

    gurunya. Sinto Gendeng tertawa cekikikan, Anak setan!

    Mungkin kau terpaksa harus menunggu seratus tahun

    untuk mendapatkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu! Aku

    khawatir kau tidak sanggup menghadapi cobaan sekali ini.

    Hik... hik... hik...Pendekar 212 hanya bisa garuk-garuk kepala

    mendengar ucapan dan kekehan sang guru.

    ***

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    20/88

    WIRO SABLENG

    SERIBU HAWA KEMATIAN 3

    EMPAT GADIS BUGILSEBENTAR lagi malam akan turun. Sebaiknya kaumenyusuri kawasan di kaki bukit sana. Biasanya di situ ada

    mata air. Tenggorokanku seperti terpanggang. Aku haus

    sekali!

    Karena keletihan, mula-mula Wiro bermaksud diam

    saja, tidak mau menyahuti ucapan sang guru yang

    didukungnya di atas pundak itu. Wiro lelah sekali dan

    pakaiannya basah oleh keringat. Namun dasar pemudakonyol, iseng saja dari mulutnya meluncur ucapan, Eyang,

    sebenarnya kau lebih baik tidak terlalu banyak minum.

    Banyak minum cuma akan membuatmu kencing terus-

    terusan!

    Anak setan! Tangan kiri Sinto Gendeng menyambar

    dan memutar telinga kiri Wiro hingga sang pendekar

    meringis kesakitan. Kau benar-benar murid tidak berbudi.

    Dalam keadaanku seperti ini seharusnya kau

    mengeluarkan kata-kata yang menghibur! Bukan mengejek

    mempermainkanku!

    Maafkan aku Eyang. Aku tidak bermaksud begitu. Aku

    sangat letih. Apa kita boleh berhenti barang sebentar?

    Tangan kiri si nenek kembali menyambar telinga

    muridnya. Tapi sekali ini tidak terus memuntir. Kita baru

    berhenti kalau sudah sampai di kaki bukit sana!

    Eyang...

    Jangan banyak cingcong! Mana ilmu lari Kaki Angin

    yang kuajarkan padamu. Selama perjalanan kulihat kau

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    21/88

    tidak mengeluarkan ilmu itu. Kau sengaja memperlambat

    perjalanan! Anak setan! Apa maksudmu?!

    Eyang, aku tak punya maksud memperlambat

    perjalanan. Ilmu lari yang selama ini kupergunakan rasanya

    sudah cukup cepat. Kalau kupergunakan ilmu lari KakiAngin aku khawatir Eyang merasa kurang sedap di atas

    pundakku. Lagipula kalau berlari terlalu kencang lalu

    hilang keseimbangan, salah-salah Eyang bisa jatuh. Kalau

    sampai begitu nanti aku lagi yang kena omelan...

    Kau pandai mencari dalih! Tapi aku mau kau lari

    mempergunakan ilmu lari Kaki Angin itu! kata Sinto

    Gendeng.Kalau begitu kata Eyang, aku menurut saja, kata Wiro.

    Dalam hati dia berucap, Nenek cerewet! Awas kau! Akan

    kukerjai kau agar tahu rasa!

    Wiro salurkan sebagian tenaga dalamnya sampai ke

    kaki. Didahului satu suitan keras maka tubuhnya melesat

    laksana anak panah lepas dari busur.

    Ilmu lari Kaki Angin yang dikeluarkannya untuk berlarimembuat tubuhnya dan tubuh sang guru yang didukung

    laksana kelebatan bayang-bayang di saat matahari hendak

    tenggelam itu. Wiro sengaja lari secepat yang bisa

    dilakukannya tetapi secara ugal-ugalan. Dia bukan hanya

    berlari biasa tetapi sesekali melompat atau berjingkrak

    atau menikung tak karuan hingga tubuh si nenek yang

    didukungnya terlontar-lontar malang melintang di ataspundaknya. Kadang-kadang dia memperlambat larinya

    dengan mendadak membuat Sinto Gendeng tersentak ke

    depan dan kalau tidak lekas menjambak rambut gondrong

    muridnya niscaya akan terlempar jatuh!

    Lebih gilanya lagi Wiro sesekali sengaja lari di bawah

    pohon-pohon bercabang rendah. Kalau Sinto Gendeng

    tidak cepat rundukkan kepala atau miringkan tubuh kebelakang atau ke samping niscaya kepala atau dadanya

    akan menghantam cabang pohon. Suatu kali, begitu

    cepatnya Wiro lari, ketika berkelebat di bawah sebuah

    cabang pohon besar Sinto Gendeng tidak keburu

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    22/88

    rundukkan kepala atau miringkan tubuhnya. Si nenek

    berteriak keras. Tangan kanannya yang kurus dan hanya

    tinggal kulit membalut tulang dihantamkan ke depan.

    Braaaakkk!

    Cabang pohon sebesar paha manusia itu patah hancurberantakan.

    Anak setan! Kau mau membunuh aku?! Si nenek

    menghardik marah. Dua tangannya langsung menjambak

    rambut Wiro.

    Nek! Aku hanya mengikuti apa perintahmu! Kau bilang

    agar aku mempergunakan ilmu lari Kaki Angin. Aku

    mengikut! Sekarang kau marah-marah, menuduh aku maumembunuhmu! Tadi pun sudah kubilang, berlari sambil

    mendukungmu dengan ilmu lari itu bisa berbahaya!

    Mulutmu bicara begitu! Tapi aku tahu kau mau

    mengerjai diriku! kata Sinto Gendeng lalu menjitak kepala

    muridnya dua kali hingga Wiro terpekik kesakitan. Sudah!

    Mulai sekarang kau tidak usah pergunakan ilmu lari Kaki

    Angin!Wiro menyengir. Dalam hati dia berkata, Nah sekarang

    akhirnya kau menyerah juga! Rasakan...

    Ucapan Wiro tertahan. Dia merasakan tengkuknya

    dikucuri cairan hangat.

    Nek! Kau kencing ya?! teriak Wiro sambil pencongkan

    mulut dan hidungnya.

    Anak setan! Pengalamanmu baru sejengkal! Jangankira cuma kau yang bisa mengerjai orang! Aku juga bisa!

    Hik... hik... hik! Sinto Gendeng menjawab lalu tertawa

    cekikikan. Kalau saja yang ada di atas pundaknya itu

    bukan gurunya, saat itu juga mau rasanya Wiro

    membantingkan orang itu ke tanah!

    ***

    BERSAMAAN dengan tenggelamnya sang surya dan

    malam datang membawa kegelapan, guru dan murid itu

    sampai di tepi rimba belantara yang membentang

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    23/88

    sepanjang kaki bukit. Belum jauh memasuki hutan, Wiro

    melihat sebuah telaga kecil di antara pohon-pohon besar.

    Dia segera menuju ke sana. Begitu sampai dia akan segera

    menurunkan si nenek lalu mandi membersihkan diri.

    Tubuhnya bukan saja lengket oleh keringat, tapi juga bauoleh pesing kencingnya sang guru. Namun ketika sampai di

    tepi telaga sang guru tiba-tiba berucap.

    Turunkan aku dalam telaga itu. Aku mau mandi

    menyejukkan diri...

    Wah, aku keduluan... ucap Wiro dalam hati.

    Sesudah kau turunkan aku ke dalam air, lekas kau

    menjauh dari telaga ini! Aku tidak suka mandi diintiporang!

    Nek! kata Wiro jadi kesal, Perawan saja yang mandi

    belum tentu aku intip. Apalagi kau yang sudah tua renta

    begini! Apa untungnya?!

    Sinto Gendeng tertawa panjang. Mengintip anak gadis

    mandi sudah biasa! Tapi mengintip nenek-nenek bugil

    jarang terjadi! Itu sebabnya banyak lelaki kepingin tahubagaimana asyiknya mengintip nenek-nenek! Hik... hik...

    hik!

    Kalau aku amit-amit Nek! jawab Wiro.

    Mereka sampai di tepi telaga. Wiro langsung

    menurunkan gurunya ke dalam air. Sebelum pergi Wiro

    berkata, Eyang, kau boleh mandi sampai pagi. Biar aku

    bisa istirahat yang lama...Jangan berani mempermainkan aku! Kalau kupanggil

    kau harus segera datang!

    Wiro garuk kepala lalu tinggalkan telaga. Di bawah satu

    pohon besar dia duduk bersandar dan lunjurkan kaki.

    Sekujur tubuhnya terasa capai. Dia menguap beberapa

    kali. Sesaat ketika dia hendak memejamkan mata dari atas

    pohon besar tiba-tiba dia melihat empat bayangan hitamberkelebat, melayang turun laksana empat burung

    raksasa. Wiro cepat bangkit berdiri. Memandang berkeliling

    dia jadi terkejut lalu menyeringai.

    Kalian rupanya! Nah, nah! Kali ini kalian mau berbuat

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    24/88

    apa lagi?! Mau membetot putus leherku atau menjebol

    jantungku dengan cakar srigala kalian?!

    Empat orang berjubah hitam dengan kepala ditutupi

    kerudung tegak di depan Pendekar 212. Di dada jubah

    masing-masing terpampang gambar kepala srigalaberwarna putih perak dengan mata merah menyorot.

    Seperti diketahui mereka adalah empat perempuan aneh

    yang kemarin malam sebelumnya telah mencegat

    Pendekar 212.

    Satu dari empat orang berkerudung maju dua langkah

    lalu berkata, Kami tetap menaruh curiga! Kalung kepala

    srigala itu ada padamu! Kau sembunyikan di satu tempatdi balik pakaianmu!

    Orang ke dua acungkan tangannya yang saat itu telah

    berubah seperti kaki srigala lengkap dengan cakarnya. Lalu

    dia menyambung ucapan temanya, Kemarim malam kami

    masih menaruh hormat padamu! Tapi malam ini, jika

    kalung itu tidak kau serahkan, kami akan membeset

    tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki!Kalian tidak buta! Malam kemarin kalian saksikan

    sendiri kakek muka putih kawan kalian itu menggeledah

    sekujur tubuhku! Dia tidak menemukan kalung itu! Mana

    kakek muka mayat itu? Siapa namanya?!

    Dia tidak ada di sini! jawab orang berkerudung di

    ujung kiri.

    Kita tidak memerlukan Ki Tawang Alu!Kakek itu teman kalian sendiri! Kalian seolah tidak

    mempercayai dirinya!

    Soal hubungan kami dengan kakek itu bukan

    urusanmu! Lekas serahkan Kalung Kepala Srigala!

    Bagaimana aku harus menerangkan! kata Wiro

    sambil garuk-garuk kepala. Dia memandang berkeliling.

    Hemm... Aku tahu. Kalian rupanya ingin menggerayangisendiri menggeledah tubuhku! Silahkan saja! Wiro lalu

    kembangkan dada pakaiannya.

    Empat pasang mata berkilat memandangi dada sang

    pendekar yang penuh otot. Orang berkerudung di sebelah

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    25/88

    kanan yang sejak tadi diam saja maju mendekati Wiro.

    Terus terang kami tidak bermaksud jahat terhadapmu.

    Kami berada dalam keadaan sangat terdesak. Kalung itu

    dicuri orang sepuluh hari lalu. Kami tidak tahu siapa

    pencurinya. Mungkin Lima Laknat Malam Kliwon, mungkin juga Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat. Kami

    tidak perlu nyawa ataupun darahmu. Kami sangat

    memerlukan kalung itu. Apapun yang kau minta sebagai

    penukarnya akan kami penuhi!

    Apakah kalung itu memang milik kalian? Wiro

    bertanya.

    Bukan milik kami, tapi milik pemimpin kami. Sekarangdia sedang terbaring sakit. Hanya kalung itu...

    Rembulan! Hal itu tidak perlu dikatakan padanya!

    tiba-tiba orang berkerudung di sebelah kiri memotong

    ucapan temannya.

    Namamu Rembulan...? ujar Wiro seraya menatap

    sepasang mata bagus berkilat yang tersembul dari dua

    lobang kecil di bagian depan kerudung hitam. Wiro garuk-garuk kepala. Kalau saja aku bisa melihat wajahmu, pasti

    kau secantik bulan purnama empat belas hari...

    Orang yang dijumpai keluarkan suara halus dari

    mulutnya. Dalam hati dia membatin. Apa yang orang

    bilang benar adanya. Pemuda ini memang ceriwis. Tapi

    ah... Mengapa aku merasa tertarik padanya? Di balik

    kerudung hitam wajah Rembulan bersemu merah.Orang yang tadi membentak melangkah ke hadapan

    Wiro. Namaku Mentari Pagi...

    Kau Mentari Pagi. Pantas hangat tapi galak! kata Wiro

    sambil tersenyum

    Perempuan yang mengaku bernama Mentari Pagi

    lanjutkan ucapannya, Kalung itu bagi kami sama nilainya

    dengan jiwa kami. Kami benar-benar membutuhkan. Kamitidak tahu mengapa kau punya niat jahat menyembunyikan

    kalung itu dan tidak mau menyerahkannya pada kami!

    Mentari Pagi, dengar... Kalung itu tidak ada padaku.

    Kau dan kawan-kawanmu menyaksikan sendiri sewaktu Ki

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    26/88

    Tawang Alu menggeledah diriku. Selain itu bagaimana aku

    tahu pasti kalung itu memang milik kalian?

    Mentari Pagi menunjuk ke gambar kepala srigala perak

    di dada jubah hitamnya. Kau saksikan sendiri. Gambar

    kepala srigala itu sama dengan kalung yang ada padamu!Aku juga bisa membuat jubah lengkap dengan gambar

    kepala srigala seperti itu. Bukan cuma satu. Sepuluh

    sekaligus! Lalu apa itu berarti kalung kepala srigala perak

    itu milikku!

    Mentari Pagi menahan amarahnya mendengar kata-

    kata Wiro itu. Dalam hati dia membatin, Kalau kubunuh

    pemuda ini lalu ternyata kalung itu memang tidak adapadanya, berarti percuma saja. Lagipula jika diserbu tidak

    mungkin dia cuma diam saja. Ilmu larinya saja sulit dikejar.

    Tapi aku yakin kalung itu ada padanya! Mentari Pagi

    memandang pada ketiga kawannya, memberi tanda

    dengan goyangan kepala. Tiga perempuan berkerudung

    satu persatu anggukkan kepala.

    Mentari Pagi kemudian alihkan pandangannya padaPendekar 212. Kami tahu siapa kau sebenarnya. Kami

    menyirap kabar bahwa kau adalah seorang pemuda hidung

    belang...

    Sialan! Kenal aku saja tidak! Bagaimana bisa

    menuduh aku hidung belang?! kata Wiro dengan suara

    keras sambil usap-usap hidungnya. Eh! Kalian dengar

    baik-baik! Jika aku yang hidung belang berarti aku yangakan mengejar kalian! Sebaliknya bukankah kalian

    berempat yang sejak kemarin malam mengejar diriku?

    Nah, ayo bilang! Siapa yang hidung belang? Aku atau kalian

    berempat!

    Empat orang berkerudung jadi kalang kabut dan

    keluarkan suara-suara marah. Kau enak saja bicara

    ngacok! bentak Mentari Pagi.Wiro tertawa gelak-gelak.

    Mentari Pagi kembali membuka mulut, Kau mau

    mengaku atau tidak, bagi kami tidak jadi masalah. Tapi jika

    kau mau menyerahkan kalung kepala srigala itu kami

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    27/88

    bersedia menyerahkan diri kami padamu...

    Menyerahkan diri bagaimana?! tanya Wiro setengah

    melongo.

    Jangan berpura-pura! jawab Mentari Pagi. Kau boleh

    memiliki diri kami malam ini...Kalian... Empat-empatnya?!

    Mentari Pagi mengangguk. Tiga orang berkerudung

    lainnya ikut mengangguk. Lalu Mentari Pagi melangkah ke

    balik semak belukar setinggi dada.

    Eh! Kau mau ke mana?! tanya Pendekar 212.

    Mentari Pagi tidak menjawab. Dia terus melangkah. Di

    balik semak-semak dia tanggalkan jubah hitamnya.Sepasang mata Pendekar 212 mendelik besar. Walau

    tempat itu diselimuti kegelapan, tapi karena semak belukar

    yang jadi penghalang tidak seberapa lebat lagi pula

    demikian dekatnya, Wiro dapat melihat cukup jelas sosok

    tubuh Mentari Pagi yang kini tidak terlindung apa-apa itu.

    Selagi murid Sinto Gendeng terperangah, tiga orang

    berkerudung lainnya telah melangkah pula ke balik semakbelukar yang sama. Seperti Mentari Pagi satu persatu

    mereka menanggalkan pakaian masing-masing. Dua mata

    Wiro kini benar-benar seperti mau melompat dari

    rongganya. Sekujur tubuhnya bergeletak dan darah yang

    mengalir dalam pembuluh di sekujur badannya menjadi

    panas. Jantungnya berdegup keras.

    Kalian... tubuh kalian memang bagus. Tapi... aku tidaktahu wajah kalian, jangan-jangan kalian empat nenek yang

    punya kesaktian menipu pandangan mataku... Ucapan itu

    keluar perlahan dari mulut Wiro. Namun sempat sampai ke

    telinga empat orang berkerudung. Mentari Pagi, diikuti oleh

    tiga kawannya tiba-tiba gerakkan tangan masing-masing,

    menarik lepas kerudung hitam yang selama ini menutupi

    kepala mereka. Begitu kerudung lepas dan Wiro melihatwajah ke empat orang itu, Pendekar 212 langsung tersurut

    dua langkah sambil garuk-garuk kepala!

    ***

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    28/88

    WIRO SABLENG

    SERIBU HAWA KEMATIAN 4

    SINTO GENDENG LENYAPYA TUHAN! Hampir tak bisa kupercaya. Mereka ternyataempat gadis berwajah cantik! Wiro tegak terkesiap sambil

    garuk-garuk kepala. Yang bernama Rembulan ternyata

    paling cantik dari empat gadis itu. Mentari Pagi tak kalah

    cantik, namun ada bayangan sifat angkuh serta kehendak

    memaksakan wibawa. Ini rupanya cobaan yang dikatakan

    Kakek Segala Tahu! Celaka! Apa aku bisa tabah

    menghadapi cobaan ini? Gila! Mengapa urusan bisa jadikapiran seperti ini?!

    Berikan kalung kepala srigala. Setelah itu kau boleh

    datang ke balik semak belukar ini! Mentari Pagi berkata.

    Aku... Tidak... tidak! kata Wiro sambil goyangkan

    kepala.

    Hemmm... Kau takut kami tipu. Kau takut kami tidak

    akan memenuhi janji, kalau begitu datanglah ke sini. Kau

    boleh menyerahkan kalung itu setelah berbuat apa saja

    pada kami...

    Wiro kembali menggeleng. Dia malah melangkah

    mundur lalu palingkan kepala ke jurusan lain.

    Lekas pakai kembali pakaian kalian! Kalau aku bisa

    menolong akan kulakukan! Aku bukan manusia yang

    menolong dengan mengharapkan pamrih. Apalagi

    melakukan seperti apa yang kalian katakan...!

    Mentari Pagi saling pandang dengan tiga kawannya.

    Pemuda itu bukan seperti yang kita sangka!

    Rembulan tiba-tiba berkata, Mentari, lihat! Dia

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    29/88

    mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Astaga! Itu

    kalung kepala srigala perak yang kita cari!

    Mentari Pagi dan dua gadis lainnya segera berpaling ke

    arah Wiro yang saat itu memang sudah mengeluarkan

    kalung perak kepala srigala dari balik pakaiannya. Saat itudia masih berdiri dengan kepala mengarah ke jurusan lain,

    tak berani memandang ke arah semak belukar.

    Lekas kenakan jubah dan kerudung! Mentari Pagi

    berkata. Agaknya dia memang menjadi pimpinan dari

    rombongan empat gadis cantik aneh itu. Ke empatnya

    segera mengenakan jubah dan kerudung masing-masing.

    Lalu melangkah ke hadapan Wiro.Sesaat Pendekar 212 pandangi sosok-sosok hitam di

    hadapannya itu. Dengan agak gemetar tangannya yang

    memegang kalung kepala srigala diacungkan ke arah

    Mentari Pagi.

    Ambillah! Mudah-mudahan aku tidak salah

    memberikan barang ini pada kalian!

    Demi Gusti Allah, kami bersumpah kalung ini adalahmilik pimpinan kami dan segera akan kami sampaikan

    kepadanya! kata Mentari Pagi pula.

    Ah! Kalau kau bersumpah atas nama Gusti Allah,

    hatiku lega sekarang... kata Wiro pula lalu tersenyum.

    Terima kasih! Kau mau menyerahkan barang yang

    sangat berharga ini! Mentari Pagi cepat-cepat

    memasukkan kalung itu ke dalam sebuah kantong kainyang disembunyikan di balik pinggang pakaiannya.

    Kami akan pergi! Sebelum pergi mungkin ada sesuatu

    yang hendak kau minta dari kami?

    Tidak... Aku tidak minta apa-apa... jawab Wiro.

    Sungguh kau tidak meminta apa-apa dari kami sebagai

    imbalan? tanya Mentari Pagi.

    Tidak, aku tidak minta apa-apa. Kalian boleh pergi...Mentari Pagi berpaling pada tiga kawannya lalu kembali

    memandang pada Pendekar 212. Jika kau tidak meminta

    apa-apa, mungkin kau punya pertanyaan yang bisa kami

    jawab?

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    30/88

    Pertanyaan...? Wiro garuk-garuk kepala. Kalau

    pertanyaan memang banyak!

    Kalau begitu sebutkanlah! Kami akan menjawab satu

    persatu. kata Mentari Pagi pula.

    Kalian ini siapa sebenarnya. Mengapa mengenakanpakaian dan kerudung serba hitam seperti ini? Lalu

    gambar kepala srigala itu? Aku juga melihat tangan kalian

    bisa berubah menjadi seperti kaki srigala lengkap dengan

    cakarnya. Kata kalian kalung perak itu adalah milik

    pimpinan kalian yang sedang sakit. Siapa dia dan sedang

    menderita sakit apa?

    Rembulan, harap kau jawab semua pertanyaannya!Mentari Pagi menyuruh gadis bernama Rembulan untuk

    menjawab.

    Tidak mengira akan diperintah seperti itu, Rembulan

    sesaat jadi kikuk. Matanya menatap wajah Pendekar 212

    sesaat. Ada getaran di dadanya yang membuat suaranya

    jadi gemetar.

    Kami adalah orang-orang dari kelompok yang disebutBumi Hitam. Kami bermukim di lereng bukit timur Gunung

    Merapi. Pimpinan kami seorang gadis bernama Pelangi

    Indah. Saat ini beliau terserang satu penyakit aneh yang

    konon hanya bisa disembuhkan dengan Kalung Perak

    Kepala Srigala. Selain itu kalung tersebut adalah pusaka

    Kelompok Bumi Hitam yang merupakan pertanda bahwa

    pemegangnya adalah yang dipercayakan sebagaipimpinan. Rimba persilatan penuh dengan berbagai

    bahaya tidak terduga. Kami mengenakan jubah dan

    kerudung serba hitam untuk melindungi diri dari hal-hal

    yang tidak diinginkan karena kami semua adalah

    perempuan yang rata-rata berusia muda...

    Dan cantik-cantik! sambung Wiro lalu tertawa lebar.

    Apakah kau masih ada pertanyaan lain? ujar gadisbernama Mentari Pagi.

    Wiro diam sesaat. Berpikir. Dia ingat pada musibah

    yang menimpa gurunya. Hal itu diceritakannya secara

    ringkas pada empat orang gadis lalu bertanya, Apa kalian

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    31/88

    pernah mendengar asap beracun yang disebut Seribu

    Hawa Kematian itu? Lalu apakah kalian tahu kelemahan

    serta cara menghadapinya? Menurut seorang sahabat

    dalam menghadapi Seribu Hawa Kematian harus

    menghindari tempat terbuka dan pada saat hujan turun.Kalau di antara kalian ada yang tahu, apa betul keterangan

    sahabatku itu?

    Mentari Pagi tundukkan kepala seperti merenung.

    Sesaat kemudian dia berkata berikan jawaban. Apa yang

    dikatakan sahabatmu itu memang betul. Tetapi ada satu

    cara yang lebih mudah menghadapi ilmu jahat mematikan

    itu. Hawa atau asap berasal dari panas. Panas berasal dariapi. Api bisa dipadamkan dengan air atau hujan. Tapi tidak

    selamanya. Api yang telah berubah menjadi asap atau

    hawa hanya bisa dibendung dan ditundukkan dengan api

    juga.

    Wiro terdiam dan kerenyitkan kening. Terima kasih

    Mentari Pagi. Keteranganmu sangat berguna bagiku. Kalau

    pimpinan kalian sedang sakit dan kalian sudah dapatkankalung kepala srigala itu sebagai obatnya, sebaiknya kalian

    lekas-lekas menemuinya.

    Mentari Pagi, ada satu hal yang perlu kuberi tahu pada

    orang ini. Jika kau mengizinkan...

    Mentari Pagi menatap ke arah Rembulan yang barusan

    bicara lalu anggukan kepala. Rembulan lalu berucap.

    Kelelawar Pemancung Roh tinggal di Teluk Akhirat. Dia tidak pernah jauh dari air. Konon dia bisa dilukai tapi tak

    bisa dibunuh karena nyawanya tidak berada dalam

    jazadnya, tapi ditumpangkan pada satu makhluk hidup

    yang tidak diketahui apa dan di mana beradanya...

    Aneh, ada manusia yang nyawanya tidak berada dalam

    dirinya sendiri. Tapi dititipkan pada makhluk lain. Wiro

    geleng-geleng kepala.Sebelum kami pergi ada satu hal yang ingin kami

    tanyakan. Apakah benar kau adanya orang yang dalam

    rimba persilatan dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni

    212 dan bernama Wiro Sableng?

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    32/88

    Wiro garuk-garuk kepala mendengar pertanyaan

    Mentari Pagi itu. Lalu dia tersenyum. Apa artinya satu

    nama, apa pula artinya sebuah julukan? Aku ya manusia

    biasa, begini saja adanya seperti yang kalian lihat. Aku

    ingat sesuatu. Kalian sudah tahu bagaimana guruku EyangSinto Gendeng mengalami kelumpuhan akibat Seribu

    Hawa Kematian. Apa kalian mungkin tahu obat atau cara

    penyembuhannya?

    Kami tidak bisa memberikan jawaban, kata Mentari

    Pagi. Namun jika ada kesempatan silakan berkunjung ke

    tempat kami di lereng timur Gunung Merapi. Mungkin

    pimpinan kami bisa menolong...Terima kasih, aku suka sekali berkunjung ke tempat

    kalian... kata Wiro pula.

    Satu lagi pertanyaan dariku, Rembulan kini yang

    berkata, Apa benar kau calon menantunya Dewa Tuak?

    Yang katanya berjodoh dengan murid kakek itu yang

    bernama Anggini?

    Wajah Pendekar 212 seperti mengkeret. Lalu diatertawa gelak-gelak. Itu tidak benar! Bagaimana kau bisa

    berkata begitu. Rembulan, dari mana kabar itu kau

    dapatkan?

    Sebelum pimpinan kami jatuh sakit, Dewa Tuak pernah

    diundang datang ke lereng timur Gunung Merapi. Dalam

    satu percakapan aku mendengar kakek itu menanyakan

    dirimu pada pimpinan kami, Pelangi Indah. Menurut sikakek sudah lama sekali dia tidak bertemu denganmu dan

    tidak mengetahui hal ihwalmu. Dia khawatir karena

    katanya dirimu sudah dijodohkan dengan muridnya yang

    bernama Anggini itu...

    Wiro garuk kepalanya habis-habisan. Maksud kakek itu

    baik. Tapi...

    Tapi apa? tanya Mentari Pagi. Anggini tidak sukapadamu, atau kau yang tidak tertarik padanya?

    Soal jodoh bukan di tangan manusia, tapi Yang di Atas

    sana... kata Wiro sambil menunjuk ke atas. Siapa tahu

    Gusti Allah menentukan lain! Siapa tahu aku berjodoh

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    33/88

    dengan salah satu dari kalian!

    Empat gadis cantik berkerudung keluarkan pekik kecil.

    Wiro tertawa gelak-gelak. Mentari Pagi berpaling pada

    kawan-kawannya lalu berkata, Kami pergi sekarang!

    Sekali lagi terima kasih kau telah mau mengembalikanKalung Kepala Srigala... Keempat gadis itu lalu menjura.

    Wiro balas menghormat seraya berkata, Aku juga

    berterima kasih. Kalian semua telah memberikan

    kenangan indah malam ini. Kenangan yang tidak akan

    kulupakan seumur hidup!

    Empat wajah di bawah kerudung hitam menjadi merah

    karena malu. Tapi Wiro cepat meneruskan ucapannya,Jika kelak aku bertemu dengan pimpinan kalian, akan

    kuceritakan bagaimana hebatnya kesetiaan kalian

    padanya hingga mau berkorban demi kesembuhannya...

    Kami harap... kata Mentari Pagi dengan suara agak

    gemetar, Hal itu jangan kau ceritakan pada Pelangi Indah.

    Kami...

    Kalau begitu, kalian tidak usah takut. Aku berjanji tidakakan menceritakan apapun pada pimpinan kalian, kata

    Wiro pula sambil tersenyum.

    Terima kasih... kata Mentari Pagi seraya menjura

    sekali lagi yang diikuti oleh Rembulan dan dua temannya.

    Tapi setelah menjura ke empatnya masih saja tidak

    meninggalkan tempat itu.

    Ada apa...? tanya Wiro agak heran.Rasanya... Ucapan terima kasih kami seolah tidak ada

    artinya kalau tidak disertai satu tindakan yang tulus...

    Aku tidak mengerti maksudmu dan kawan-kawan,

    Mentari Pagi. Apakah...

    Belum sempat Pendekar 212 menyelesaikan

    ucapannya empat gadis itu lepaskan kerudungnya. Lalu

    cepat sekali keempatnya berkelebat, dua dari kiri, dua darikanan.

    Cup! Cup!

    Cup! Cup!

    Hai!

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    34/88

    Murid Sinto Gendeng berseru dan terperangah. Dia

    melompat mundur sambil usap-usap pipinya kiri kanan

    yang barusan dicium oleh empat gadis itu. Pipi sang

    pendekar kelihatan berselomotan warna merah bekas

    gincu Mentari Pagi dan kawan-kawannya. Saat itu Wirohanya bisa bertegak diam. Di kejauhan, dalam gelapnya

    malam terdengar tawa cekikikan empat gadis itu.

    ***

    DALAM gelapnya malam Mentari Pagi dan tiga gadis

    lainnya berlari cepat ke arah timur. Di satu tempat MentariPagi mendekati Rembulan dan berkata, Sahabatku

    Rembulan, aku belum pernah melihat gadis bernama

    Anggini itu. Tapi aku punya firasat kau mendapat saingan

    keras...

    He, apa maksudmu Mentari Pagi? tanya Rembulan.

    Mentari Pagi tersenyum. Dari caramu menghadapi

    pemuda itu, dari getaran nada suaramu serta daripandangan cahaya dua matamu, aku menaruh duga kau

    suka padanya...

    Rembulan sampai hentikan larinya mendengar kata-

    kata Mentari Pagi. Kau menggodaku! Kalau dua teman

    yang lain sempat mendengar, kabar yang bukan-bukan

    pasti akan segera menebar...

    Mentari Pagi tertawa panjang lalu tinggalkan Rembulanyang untuk beberapa saat lamanya masih tegak tertegun.

    Anggini... katanya dalam hati. Aku juga belum pernah

    melihatmu. Secantik apakah dirimu?

    ***

    TAK SELANG berapa lama setelah empat gadis darikelompok Bumi Hitam itu berlalu, Wiro masih tegak di

    tempat itu. Dewa Tuak... Bagaimana orang tua itu

    seenaknya menebar kabar tentang perjodohanku dengan

    muridnya? Wiro garuk-garuk kepala. Ah! Mengapa hal itu

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    35/88

    harus kupikirkan! Aku harus menemui Eyang Sinto

    Gendeng walau dia masih mandi dan belum memanggilku.

    Dia pasti gembira kalau kukatakan bahwa kelemahan ilmu

    Seribu Hawa Kematian sudah kuketahui.

    Wiro bergegas menuju telaga di mana Eyang SintoGendeng sebelumnya ditinggalkannya mandi sendirian.

    Sampai di tepi telaga yang gelap Wiro memandang

    berkeliling. Tak ada siapa-siapa dalam telaga atau di

    sekitarnya. Eyang Sinto Gendeng tidak kelihatan.

    Ke mana perginya orang tua itu? pikir Wiro. Kalau

    masih mandi mengapa tak ada dalam telaga. Pakaiannya

    tidak kelihatan di sekitar sini. Kalau sudah selesai mandimengapa tidak memanggil aku, memberi tahu?

    Perasaanku tidak enak. Jangan-jangan nenek itu...

    Pandangan Wiro membentur sebuah benda yang

    menancap di atas batu di tepi telaga. Dia segera mencabut

    benda itu. Ketika diperhatikan berdebarlah dada Pendekar

    212.

    Tusuk konde Eyang Sinto Gendeng... katanya dengansuara bergetar. Wiro memandang berkeliling. Hanya

    kegelapan yang kelihatan.

    Eyang! Eyang Sinto! Kau di mana?! Wiro berteriak

    memanggil. Jawaban yang terdengar hanya gaung

    suaranya di udara malam yang gelap dan dingin. Nek!

    Awas kau! Kalau kau bercanda mempermainkan aku tidak

    akan kudukung lagi kau!Wiro terdiam sesaat. Tidak mungkin nenek itu

    bergurau. Kakinya lumpuh, mana bisa dia keluar dari

    dalam telaga! Setahuku sekitar kawasan ini tidak ada

    binatang buas. Jadi tak mungkin dia digondol macan! Lalu

    kalau yang melarikannya adalah manusia, apa untungnya

    menculik nenek tua bangka dan bau pesing begitu?

    Wiro timang-timang tusuk konde perak dan berpikir lagi,Tusuk konde ini adalah salah satu senjata andalan Eyang

    Sinto Gendeng. Jika sampai menancap di batu mungkin

    sekali telah dipergunakan untuk menyerang seseorang!

    Berarti sebelumnya telah terjadi pertempuran hebat di

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    36/88

    tempat ini!

    Tiba-tiba ada satu sambaran angin menerpa di sebelah

    belakang. Wiro cepat berpaling sambil hantamkan tangan

    kirinya.

    Bukkkk!Pendekar 212 terjajar dua langkah. Lengannya terasa

    perih panas. Di depan sana seorang kakek muka putih

    berdestar hitam mencelat sampai satu tombak. Walau dia

    mengalami cidera pada lengan kanannya akibat bentrokan

    tadi namun dia masih bisa keluarkan ucapan.

    Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata

    memang bukan nama kosong belaka!Wiro gembungkan rahang dan pelototkan matanya. Dia

    segera mengenali kakek muka putih itu.

    Ki Tawang Alu! teriak Wiro geram.

    TAMATEpisode Berikutnya: SRIGALA PERAK

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    37/88

    BASTIAN TITO

    P E N D E K A R K E R I S T U J U H

    AARRIIOO BBLLEEDDEEGG

    PETIR DI MAHAMERU(BAGIAN 2)PDF E-Book: kiageng80

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    38/88

    ARIO BLEDEG

    PETIR DI MAHAMERU 7

    PERTEMPURAN DI SENJA HARIKI SURO Gusti Bendoro memang sudah memaklumi kalaunenek jahat berjuluk Si Lidah Bangkai itu akan

    menyerangnya. Karena telah berlaku waspada maka begitu

    diserang dengan satu gerakan cepat dia miringkan badan

    dan kepala ke kiri.

    Lidah merah panjang bercabang dua si nenek melesat

    ganas hanya seperempat jengkal di samping leher orang

    tua berjubah putih itu. Lalu craasss! Ujung lidah menancapdalam di batang pohon tempat di mana sebelumnya Ki

    Suro duduk bersandar. Ketika lidah ditarik, kelihatan satu

    lobang besar mengepulkan asap di batang pohon!

    Sepertiga bagian dari batang pohon itu berubah menjadi

    hitam gosong seperti terbakar. Si Lidah Bangkai dongakkan

    kepala tertawa lantang. Lidahnya yang panjang basah

    keluar bergulung-gulung. Lalu dia hentikan tawanya dan

    semburkan ludah berwarna merah ke tanah.

    Sepasang matanya menatap garang tak berkesip pada

    kakek di hadapannya.

    Saat itu Ki Suro Gusti Bendoro telah bangkit berdiri.

    Tangan kirinya memegang Kitab Hikayat Keraton Kuno

    sedang di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat

    bambu berwarna kuning. Sebelumnya Ki Suro memang

    telah pernah mendengar bagaimana hebat dan ganasnya

    nenek yang ada di hadapannya itu. Namun dia tidak

    menduga kalau lidah si nenek benar-benar dahsyat

    mengerikan seperti itu. Kalau saja dia tidak cepat

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    39/88

    mengelak, apa jadinya dengan dirinya. Batang pohon yang

    begitu kokoh bisa dibuat berlubang dan hangus laksana

    dipanggang api! Apalagi tubuh manusia! Walau hatinya

    tercekat namun Ki Suro tetap perlihatkan air muka penuh

    ketenangan. Malah dengan suara lembut dia menegur,Lidah Bangkai, menginginkan barang milik orang lain

    secara tidak sah merupakan satu perbuatan tidak terpuji.

    Apalagi disertai maksud hendak mencelakai dan

    membunuh! Kuharap sampeyan segera sadar apa yang

    barusan sampeyan lakukan. Tidak ada kehidupan yang

    paling nikmat di dunia ini selain berdampingan dalam

    kebaikan dan persahabatan antara sesama kita umatTuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.

    Ditegur seperti itu Si Lidah Bangkai tertawa mengekeh.

    Suara tawanya seperti kuda meringkik. Sisik hitam

    kebiruan yang melapisi mukanya kelihatan bergerak-gerak

    hidup seperti tumbuhan laut.

    Ki Suro! Khotbahmu pada sore menjelang senja ini

    sungguh enak didengar! kata Si Lidah Bangkai lalutertawa gelak-gelak dan kembali meludah ke tanah.

    Aku tidak berkhotbah. Aku hanya memberitahu bahwa

    begitulah adanya kenyataan hidup. Terserah masing-

    masing kita. Apakah mau hidup sengsara dalam kesesatan

    atau dalam berkah di jalan lurus yang telah disediakan

    Illahi. Saat ini aku bermohon kepada Yang Maha Kuasa

    agar sampeyan dilimpahkan berkah ditunjukkan jalan yangbenar dan keluar dari kesesatan.

    Si Lidah Bangkai mendengus.

    Apa yang tadi kau katakan itu adalah jalan pikiran dan

    jalan hidupmu! Setiap manusia punya cara berpikir dan

    jalan hidup sendiri-sendiri! Aku tidak pernah merasa hidup

    dalam sengsara dan kesesatan! Kau merasa hebat sendiri

    hingga pandai mengada-ada! Kau bilang perbuatanku tidakterpuji! Tapi aku sendiri mengatakan perbuatanku itu justru

    sangat terpuji dan hebat luar biasa! Aku ingin

    menyelamatkan sebuah pusaka keraton yang tidak layak

    berada di tanganmu!

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    40/88

    Pusaka keraton? Apa maksud sampeyan? tanya Ki

    Suro Gusti Bendoro dengan perasaan heran mendengar

    kata-kata Si Lidah Bangkai.

    Kitab di tangan kirimu itu! kata Si Lidah Bangkai

    sambil menuding dengan telunjuk tangan kirinya, Itu yangkumaksudkan dengan pusaka keraton! Serahkan kitab itu

    padaku sekarang juga! Atau kau akan kubuat seperti

    pohon itu. Mati dalam keadaan tubuh hangus gosong!

    Ki Suro Gusti Bendoro perhatikan sesaat kitab rapuh

    daun lontar di tangan kirinya lalu gelengkan kepala. Aku

    tidak pernah tahu kalau ini adalah pusaka keraton.

    Mungkin sampeyan mengada-ada. Bahkan membuka danmembaca isinya pun aku belum berkesempatan. Apapun

    kitab ini adanya tidak mungkin kuberikan pada sampeyan.

    Kitab ini diberikan seseorang padaku. Merupakan barang

    titipan. Berarti harus kujaga baik-baik.

    Sayang sekali! Kalau begitu aku memang harus

    mengambil kitab itu bersama nyawamu! kata Si Lidah

    Bangkai pula. Begitu selesai berucap nenek jahat inimenerjang ke depan. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Cairan

    merah menyembur disusul dengan melesatnya lidah

    panjang bercabang. Laksana seekor ular, lidah bercabang

    itu mematuk. Yang jadi sasaran kali ini adalah dada Ki Suro

    Gusti Bendoro, tepat di bagian jantungnya.

    Lidah Bangkai, otak sampeyan rupanya telah beku.

    Telinga sampeyan mungkin telah tertutup debu dan hatisampeyan agaknya telah menjadi batu, hingga tak mau

    mendengar apa yang aku ucapkan. Aku sedih sekali.

    Mudah-mudahan Tuhan masih mau memberi petunjuk

    pada sampeyan... Sambil berucap Ki Suro Gusti Bendoro

    dengan cepat gerakkan tangan kanannya. Tongkat bambu

    kuning yang dipegangnya melesat di depan dadanya,

    menghalangi gerakan lidah lawan yang hendak menusuk.Desss... desss!

    Tongkat dan lidah basah merah saling beradu dua kali

    berturut-turut. Ki Suro merasakan tangan kanannya

    bergetar disertai menjalarnya hawa mencucuk. Sebaliknya

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    41/88

    Si Lidah Bangkai kelihatan mengernyit seperti menahan

    sakit. Kemudian terjadilah satu hal yang luar biasa. Lidah si

    nenek membuat satu gerakan berputar sebat. Membelit

    tongkat bambu di tangan Ki Suro. Begitu Si Lidah Bangkai

    menyentakkan lidahnya maka tongkat itu tertarik keras.Bagaimanapun Ki Suro berusaha mempertahankan tetap

    saja tongkat itu masuk ke dalam mulut si nenek terus

    amblas ke dalam perut!

    Si Lidah Bangkai keluarkan tawa seperti ringkikan kuda.

    Sambil tertawa dia usap-usap perutnya seolah seorang

    yang kenyang habis menyantap makanan enak. Mulutnya

    yang terbuka lebar memperlihatkan deretan gigi-gigi besarberwarna merah. Air liurnya yang juga berwarna merah

    berlelehan ke dagunya.

    Ki Suro, kini biar aku yang memohon pada Tuhanmu

    supaya matamu bisa terbuka, agar otakmu dibuat encer,

    hatimu dibuat leleh dan kau mau menyerahkan kitab itu

    padaku! Atau kau lebih suka bersatu dengan tongkatmu

    dalam perut besarku!Ki Suro tersenyum mendengar kata-kata si nenek.

    Dengan tenang dia menjawab, Memohon pada Tuhan

    adalah satu kewajaran. Tapi adalah keliru jika memohon

    untuk hal yang tidak baik dan bukan bersifat kebajikan.

    Aku kagum dengan kehebatan ilmu kesaktian sampeyan

    hingga bisa menelan tongkat bambu milikku. Hanya

    sayang, ilmu tinggi itu sampeyan pergunakan tidak pada tempatnya. Sampeyan keliru, bukan di dalam perut

    sampeyan tongkat itu seharusnya mendekam. Segala

    sesuatu sudah diatur bentuk dan tempatnya oleh Yang

    Maha Kuasa. Jadi harap sampeyan suka mengembalikan

    tongkatku!

    Ki Suro tutup ucapannya dengan mengulurkan tangan

    kanan. Empat jari ditekuk ke belakang. Jari telunjukdiarahkan ke pusar Si Lidah Bangkai. Ketika jari itu

    digerak-gerakkan ke belakang terjadilah satu hal yang

    membuat si nenek berseru kaget.

    Breeettt!

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    42/88

    Pakaian Si Lidah Bangkai robek di bagian pusar. Dari

    robekan itu perlahan-lahan menyembul keluar tongkat

    bambu kuning milik Ki Suro Gusti Bendoro yang tadi

    ditelannya!

    Sementara Si Lidah Bangkai tercekat kaget, Ki Surogerakkan lima jari tangan kanannya ke belakang seperti

    orang memanggil. Settt! Tongkat kuning melesat dan

    kembali berada dalam genggaman tangan kanan orang tua

    itu. Dengan mata mendelik si nenek perhatikan dan

    pegang pusarnya. Kalau tongkat bambu itu bisa keluar dari

    perutnya lewat pusar, jangan-jangan pusarnya telah

    bolong! Dia merasa lega ketika dapatkan pusarnya tidakcidera. Tapi tengkuknya telah terlanjur dingin karena kecut.

    Walau demikian si nenek masih mampu untuk tidak

    memperlihatkan rasa takutnya di hadapan lawan.

    Sementara itu, sambil melintangkan tongkat bambu di

    atas dada Ki Suro berkata, Cukup sudah kita berlaku

    seperti anak-anak. Sebentar lagi senja akan berakhir. Saat

    bagiku untuk menunaikan sholat Magrib. Harap sampeyansuka pergi dengan tenang dan hati bersih. Bagiku apa yang

    telah terjadi telah kulupakan. Ki Suro membungkuk

    memberi hormat pada si nenek.

    Tetapi sambutan Si Lidah Bangkai justru berkebalikan.

    Setelah keluarkan suara mendengus dan meludah ke

    tanah dia berkata, Ki Suro, jangan bertingkah sombong,

    menyuruh aku pergi! Aku tidak angkat kaki dari tempat initanpa kitab itu!

    Si Lidah Bangkai lalu buka mulutnya lebar-lebar. Ludah

    merah menyembur disusul dengan gulungan lidahnya yang

    menjulur sampai sepanjang dua tombak. Dengan tangan

    kanannya si nenek cekal erat-erat pangkal lidah lalu sekali

    dibetot lidah itu tanggal dari mulutnya! Begitu lidah diputar

    ludah merah bermuncratan membasahi wajah dan jubahputih Ki Suro. Si Lidah Bangkai kembali memutar lidahnya.

    Taarrr! Taaarrr!

    Lidah panjang seolah berubah menjadi cambuk.

    Berkiblat di keremangan senja, membuntal cahaya merah,

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    43/88

    menghantam ke arah Ki Suro Gusti Bendoro!

    Tuhan Maha Besar, beri hambaMu kesabaran

    menghadapi manusia sesat lupa diri ini, kata Ki Suro. Lalu

    dia cepat menghindar.

    Bummmm!Kraaak!

    Satu letusan keras disusul suara patahnya batang

    pohon yang kemudian menggemuruh roboh akibat

    hantaman lidah yang telah berubah seperti cambuk.

    Luar biasa... Luar biasa! kata Ki Suro dalam hati,

    Sayang ilmu yang begitu tinggi dipergunakan di jalan

    sesat!Cambuk lidah kembali menghantam. Karena Si Lidah

    Bangkai mengerahkan seluruh tenaga dalam yang

    dimilikinya maka cambuk lidah menyambar disertai gelegar

    suara seperti petir berkiblat. Cahaya merah bergulung-

    gulung mengurung Ki Suro. Untuk menyelamatkan diri Ki

    Suro harus bergerak cepat, berkelebat kian kemari dengan

    mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudahmencapai tingkat kesempurnaan. Selama lima jurus kakek

    ini digempur habis-habisan. Walau tidak sekalipun cambuk

    lidah di tangan lawan mengenai diri atau pakaiannya,

    namun cipratan cairan merah yang membasahi lidah itu

    tidak dapat dihindarinya. Muka dan jubah Ki Suro penuh

    noda-noda merah seperti diperciki darah.

    Lidah Bangkai, sadarlah! Hentikan seranganmu!Pergilah dari sini! Ki Suro memberi ingat. Dia masih

    berharap agar si nenek sadar dari perbuatannya.

    Bagaimanapun jahatnya seseorang, satu kali masakan

    tidak bisa dibuat sadar... begitu kiai berhati tulus ini

    berpikir.

    ***

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    44/88

    ARIO BLEDEG

    PETIR DI MAHAMERU 8

    KALA SRENGGINENEK berjuluk Si Lidah Bangkai yang inginkan kitabHikayat Keraton Kuno mana mau perdulikan teriakan Ki

    Suro Gusti Bendoro. Malah dia lancarkan serangan lebih

    gencar. Tubuhnya yang mengenakan pakaian serba hitam

    lenyap di kegelapan senja. Yang terlihat hanya cahaya

    merah redup membuntal keluar dari cambuk lidah, laksana

    curahan hujan mengurung si kakek. Karena mengambil

    sikap bertahan dan tak sekalipun mau balas menyerang,lama-lama Ki Suro jadi terdesak dan jurus demi jurus

    keadaannya semakin berbahaya.

    Aku tidak takut mati. Tapi kalau harus menemui ajal di

    tangan perempuan sesat ini bisa-bisa aku tidak akan

    tenteram di liang kubur. Tuhan, ampuni diriku jika aku

    berbuat salah mempergunakan ilmu kepandaian untuk

    menghadapinya. Setelah berucap di dalam hati seperti itu

    Ki Suro masih belum mau turun tangan. Dia memberi

    kesempatan sampai dua jurus di muka dan berteriak

    mengingatkan lawannya agar menghentikan serangan lalu

    pergi dari situ.

    Tapi si nenek seperti orang kemasukan setan malah

    memperhebat serangan cambuk lidahnya. Ki Suro

    tenggelam lenyap dalam buntalan cahaya merah. Di

    pertengahan jurus ke dua belas terdengar suara breettt!

    Ujung cambuk lidah berhasil merobek bahu kanan

    jubah putih Ki Suro Gusti Bendoro. Orang tua ini melompat

    keluar dari gulungan serangan lawan. Untung senjata

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    45/88

    lawan tidak sampai melukai kulitnya.

    Lidah Bangkai, aku tidak yakin kau benar-benar

    hendak berbuat jahat terhadap diriku. Kuharap kau mau

    menyudahi urusan dan pergi dari sini! Ki Suro memberi

    ingat untuk kesekian kalinya.Ki Suro, Lidah Bangkai tidak pernah menyelesaikan

    urusan tanpa membawa hasil. Aku sudah terlanjur

    menentukan minta kitab dan juga nyawamu! menjawab Si

    Lidah Bangkai lalu didahului tawa bergelak dia kiblatkan

    kembali cambuk lidahnya.

    Taaarrr! Taarrr! Taaarrr!

    Cambuk merah mendera udara senja yang semakingelap. Ujungnya mendadak berubah menjadi tiga. Satu

    menghantam ke arah kepala Ki Suro. Satu lagi menyambar

    ke perut dan ujung yang ke tiga melesat ke arah tangan kiri

    yang memegang kitab daun lontar.

    Kehebatan serangan yang dilancarkan Si Lidah Bangkai

    memang luar biasa. Ki Suro tidak tahu mana dari tiga ujung

    lidah itu yang merupakan serangan sebenarnya. Karenanyauntuk membentengi diri dia putar tongkat bambu

    kuningnya dalam gerakan setengah lingkaran.

    Wuutttt!

    Sinar kuning bertabur dalam kegelapan senja. Dua

    cahaya merah ujung cambuk lidah langsung lenyap amblas

    karena memang bukan ujung cambuk sebenarnya. Tapi

    ujung cambuk yang ke tiga, laksana kilat tahu-tahu telahmenyambar pergelangan tangan kiri Ki Suro, langsung

    melilit naik ke arah kitab daun lontar yang dipegangnya!

    Ki Suro terkejut besar. Dia lebih baik memilih

    tangannya cidera daripada kitab sampai kena dirampas

    orang. Begitu ujung cambuk lidah melesat ke arah kitab

    daun lontar, si kakek segera lemparkan kitab itu ke udara.

    Bersamaan dengan itu dia putar pergelangan tangankirinya lalu disentakkan. Si Lidah Bangkai merasa seperti

    ada satu kekuatan raksasa menarik tangannya hingga dua

    kakinya terangkat dari tanah. Selagi tubuh lawan melayang

    di udara, Ki Suro angkat kaki kanannya. Dia tidak

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    46/88

    menendang melainkan hanya menunggu datangnya tubuh

    lawan. Tapi apa yang terjadi seolah-olah kakek ini

    melancarkan tendangan sekuat tenaga.

    Begitu telapak kakinya menempel di dada Si Lidah

    Bangkai, tubuh nenek ini langsung mencelat mentalsampai dua tombak. Pegangannya pada cambuk lidah

    terlepas. Selagi nenek itu jatuh jungkir balik di tanah, Ki

    Suro pergunakan kesempatan untuk menyambut dan

    menahan jatuhnya kitab daun lontar yang melayang ke

    tanah dengan ujung tongkat bambu kuningnya. Dengan

    tongkat dia memutar kitab itu demikian rupa hingga

    melayang masuk ke dalam tangan kirinya!Kiai jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu! teriak Si

    Lidah Bangkai. Dengan cepat dia melompat bangkit tapi

    agak terbungkuk karena rasa sesak dan sakit di dadanya

    akibat tempelan kaki Ki Suro tadi.

    Lidah Bangkai, aku sudah memperingatkan sampeyan

    berulang kali. Tapi sampeyan hanya mendengar suara hati

    sendiri. Sampeyan menjual, aku terpaksa membeli.Sampeyan yang meminta, aku terpaksa memberi.

    Sekarang nyatanya sampeyan masih menunjukkan sikap

    keras hati keras kepala...

    Jangan banyak bicara! Lihat serangan! Ajalmu sudah di

    depan mata! teriak Si Lidah Bangkai. Laksana terbang

    tubuhnya melesat di udara. Dua tangannya didorongkan ke

    depan. Dari telapak tangannya kiri kanan menyemburkeluar dua larik sinar hitam. Dua sinar hitam ini melesat

    ganas dalam keadaan saling bergerak bersilangan satu

    sama lain seperti mata gunting.

    Gunting Iblis! seru Ki Suro yang mengenali ilmu

    kesaktian yang dipergunakan si nenek untuk menyerang.

    Kakek ini tabahkan diri menghadapi serangan ganas. Dia

    pernah mendengar, selama malang melintang di kawasan timur, ilmu kesaktian Gunting Iblis itu menjadi momok

    nomor satu bagi musuh Si Lidah Bangkai. Banyak lawan

    yang tidak mampu menyelamatkan diri dari serangan ini.

    Kalaupun sanggup tubuhnya akan mengalami cacat

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    47/88

    mengerikan seumur hidup!

    Si Lidah Bangkai sendiri sudah memastikan bahwa Ki

    Suro Gusti Bendoro tidak akan mampu menghadapi ilmu

    Gunting Iblis-nya. Tetapi betapa terkejutnya si nenek ketika

    tiba-tiba di depan sana sosok kakek berjubah putih itulenyap seolah ditelan bumi. Dua larik sinar hitam pukulan

    saktinya menghantam tempat kosong lalu merambas

    serumpunan semak belukar dan sebuah batu besar.

    Semak belukar dan batu besar hancur bertaburan!

    Kiai jahanam! Kau mau kabur ke mana! Pengecut!

    teriak Si Lidah Bangkai.

    Aku di sini Lidah Bangkai. Sampeyan kurangmemasang mata! tiba-tiba terdengar suara Ki Suro di

    belakang. Si nenek cepat membalik sambil kembali hendak

    menghantam dengan pukulan Gunting Iblis. Tapi sebelum

    dua tangannya sempat bergerak ke depan tiba-tiba dia

    melihat satu benda panjang berwarna merah berkelebat ke

    arahnya. Begitu cepatnya gerakan benda ini hingga Si

    Lidah Bangkai tidak mampu berkelit. Tahu-tahu duatangannya sudah tergulung. Di lain kejap sekujur tubuhnya

    mulai dari pinggang sampai ke bahu telah terikat!

    Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku! Apa yang

    menjerat tubuhku hingga aku tidak mampu menggerakkan

    dua tangan! Tidak mampu melepaskan diri! Dalam gelap

    si nenek buka matanya lebar-lebar. Mukanya yang penuh

    sisik hitam kebiruan menjadi tegang kaku ketika menyadaribahwa benda yang mengikat tubuhnya saat itu bukan lain

    adalah cambuk lidah miliknya sendiri!

    Saat itu Ki Suro Gusti Bendoro melangkah mendekati si

    nenek.

    Kau mau membunuhku silakan! Jangan mengira aku

    mau menjatuhkan diri berlutut dan bersujud di

    hadapanmu, minta ampun minta dikasihani! Ucapan sinenek masih keras lantang.

    Ki Suro tersenyum dan gelengkan kepalanya. Aku

    memperlakukan sampeyan seperti ini karena tidak mau

    kehilangan waktu sholat Magrib-ku. Aku bukan raja kepada

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    48/88

    siapa kau harus berlutut. Lalu ingat satu hal ini baik-baik.

    Manusia tidak layak menyembah bersujud pada sesama

    manusia. Hanya Tuhanlah satu-satunya yang layak dan

    harus disembah! Semoga Tuhan memberi petunjuk

    padamu Lidah Bangkai. Usiamu sudah sangat lanjut.Bertobatlah selagi pintu tobat terbuka.

    Si Lidah Bangkai meludah ke tanah. Tak perlu kau

    mengajari diriku Kiai! Hari ini kau merasa menang dan

    memperhinakan diriku! Tunggu saatnya. Aku akan kembali

    melakukan pembalasan! Aku akan kembali mengambil

    kitab dan nyawamu!

    Ki Suro menarik nafas panjang. Lidah Bangkai, tak adayang kalah tak ada yang menang di antara kita. Terserah

    padamu. Aku hanya memberitahu. Kita sesama insan wajib

    memberi ingat...

    Si Lidah Bangkai tidak perdulikan ucapan Ki Suro.

    Nenek ini balikkan diri lalu dalam keadaan tubuh bagian

    atas masih terikat dia tinggalkan tempat itu. Sesaat setelah

    Si Lidah Bangkai lenyap dalam kegelapan, Ki Suro yangcukup tahu kawasan di pinggiran desa itu segera menuju

    ke sebuah mata air kecil. Selesai membersihkan diri dan

    pakaiannya dia mengambil wudhu lalu di satu tempat yang

    bersih Kiai ini melakukan sembahyang Magrib. Belum lagi

    selesai dia menunaikan sholatnya, tiba-tiba dua bayangan

    berkelebat dari samping kiri.

    ***

    WALAU dua tangannya berada dalam keadaan terikat

    dan kegelapan menyungkup di sepanjang jalan yang

    dilaluinya, namun Si Lidah Bangkai masih sanggup berlari

    cepat. Di satu tempat dia hentikan larinya ketika tiba-tiba

    ada satu bayangan berkelebat di hadapannya. Si nenekcepat menyelinap di balik sebatang pohon besar.

    Menunggu beberapa lama bayangan tadi tidak kelihatan

    lagi. Tapi Si Lidah Bangkai yakin siapapun adanya orang

    itu, dia pasti mendekam di satu tempat tengah

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    49/88

    memperhatikannya. Ditunggu-tunggu orang tadi tak juga

    muncul memperlihatkan diri, akhirnya si nenek lanjutkan

    perjalanan. Tapi baru berjalan kurang dari sepuluh tombak

    tiba-tiba kembali dia melihat bayangan itu berkelebat lagi

    di hadapannya.Makhluk kurang ajar! si nenek berteriak, Jangan

    berani mundar-mandir di hadapanku! Sekali lagi kau

    berkelebat, kuputus nyawamu! Lalu nenek ini buka

    mulutnya, siap untuk menyemburkan hawa jahat.

    Baru saja si nenek membentak begitu, dari kepekatan

    malam di depan sana terdengar orang berseru, Lidah

    Bangkai! Aku mengenali suaramu! Memang benar kaurupanya! Tadinya aku merasa ragu!

    Semak belukar lebat di depan kiri Si Lidah Bangkai

    tersibak lebar. Muncul satu sosok tua kurus tinggi, berbaju

    kuning lengan panjang, bercelana hitam setinggi lutut. Di

    punggungnya ada satu bumbung bambu. Orang tua ini

    melangkah terbungkuk-bungkuk mendekati si nenek. Si

    Lidah Bangkai buka matanya lebar-lebar. Pada jarak empatlangkah baru dia mengenali siapa adanya orang itu. Maka

    diapun berseru, Tumenggung Pakubumi! Kau rupanya!

    Kukira hantu dari mana yang kesasar mau jahil

    mempermainkanku! Si nenek lalu tertawa mengikik.

    Ssssttt! Jangan bicara keras-keras! Jangan menyebut

    nama asliku! Dalam rimba belantara ini bisa ada belasan

    mata yang melihat dan belasan telinga yang mendengar!Orang tua bungkuk berbaju kuning berkata sambil

    silangkan telunjuk tangan kirinya di atas bibir.

    Sudah! Jangan banyak bicara dulu! Lekas kau

    lepaskan ikatan yang melilit tubuhku! kata si nenek.

    Orang yang disebut sebagai Tumenggung Pakubumi itu

    melangkah lebih dekat. Astaga! kejutnya, Benda yang

    mengikatmu ini bukankah cambuk lidah milikmu sendiri?Senjata makan tuan! Pantas saja kau tidak mampu

    membukanya sendiri! Apa yang terjadi?

    Kau tolong saja melepaskan, sambil membaca

    manteranya. Kau pasti masih ingat mantera itu! Sementara

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    50/88

    kau menolong aku akan ceritakan apa yang kualami! Aku

    berhasil menemui Kiai Suro Gusti Bendoro!

    Kau! Jadi kau dapatkan kitab pusaka keraton yang jadi

    bahan pembicaraan dan dicari orang sejak puluhan tahun

    itu?Si Lidah Bangkai gelengkan kepala. Mulailah

    melepaskan ikatanku! Aku akan mulai menceritakan

    kejadiannya padamu. Tumenggung, aku lupa siapa nama

    samaran yang kau pergunakan sampai saat ini?

    Kala Srenggi, jawab orang tua baju kuning.

    Si nenek menyeringai. Kala Srenggi! Nama edan! Hik...

    hik! Pantas kulihat kau masih membawa bumbung bambuberisi binatang-binatang celaka itu!

    Tumenggung Pakubumi alias Kala Srenggi mulai

    membaca mantera. Dua tangannya perlahan-lahan

    membuka lipatan cambuk lidah yang menggulung separuh

    tubuh si nenek di sebelah atas. Sementara ditolong Si

    Lidah Bangkai menuturkan pertemuan dan

    pertempurannya dengan Ki Suro Gusti Bendoro.Kitab yang dicari-cari para tokoh silat dan pejabat

    kerajaan bahkan diinginkan oleh Sultan ternyata memang

    ada di tangan Kiai itu. Aku sudah siap mengadu nyawa

    untuk merebutnya. Ternyata Ki Suro memiliki kesaktian

    tinggi luar biasa. Ketika aku menelan tongkat bambunya

    dia mampu menariknya keluar dari perutku lewat pusar

    tanpa aku mengalami cidera! Sewaktu aku hendakmenghantamnya kembali dengan pukulan Gunting Iblis, dia

    malah pergunakan cambuk lidahku untuk meringkus

    diriku! Kiai jahanam! Aku bersumpah untuk menguliti

    tubuhnya, mencincang daging dan tulang belulangnya!

    Cambuk lidah yang mengikatmu sudah kulepaskan!

    Mau kau apakan benda ini?

    Mendengar ucapan Kala Srenggi dan melihat cambuklidah yang mengikat tubuhnya sebelah atas memang sudah

    terlepas, dengan cepat si nenek mengambil cambuk lidah

    itu lalu memasukkannya ke dalam mulut dan menyedot.

    Wettt... weetttt!

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    51/88

    Cambuk lidah sepanjang lebih dari dua tombak itu

    lenyap di dalam mulut si Lidah Bangkai.

    Ilmu gila! kata Kala Srenggi sambil gelengkan kepala,

    Sekarang apa yang akan kau lakukan?

    Menurutmu bagaimana? si nenek balik bertanya.Sebenarnya aku masih ada satu urusan penting di

    Demak. Tapi mendengar penuturanmu tentang kitab

    Hikayat Keraton Kuno itu aku jadi tertarik. Kurasa Kiai itu

    masih ada di tempat kau sebelumnya meninggalkannya.

    Kalaupun dia sudah pergi pasti belum terlalu jauh! Kita

    datangi dia kembali!

    Aku setuju. Tapi ingat, Kala Srenggi. Aku bicaraberpahit-pahit lebih dulu. Terus-terang aku tidak begitu

    percaya padamu. Kita ke sana dan kau hanya sebagai

    sahabat yang menolongku menghadapi Kiai itu. Soal kitab

    kuno itu adalah bagianku! Jangan ada pikiran kotor di

    benakmu untuk ingin memilikinya!

    Kala Srenggi tertawa mengekeh. Dia luruskan

    tubuhnya. Ternyata dia bisa berdiri tegak tidak bungkuk.Rupanya membungkuk-bungkukkan diri adalah salah satu

    dari beberapa penyamaran yang tengah dilakukannya.

    Siapakah adanya Kala Srenggi ini? Seperti yang

    disebutkan si nenek, nama sebenarnya adalah Pakubumi.

    Di masa penghujung pemerintahan Pangeran Prawoto,

    putera mendiang Raden Patah penguasa di Demak, dia

    ikut bergabung dengan Si Lidah Bangkai, berserikatdengan Arya Penangsang dalam menghabisi Pangeran

    Prawoto dan keluarganya. Pakubumi yang saat itu sudah

    menduduki jabatan sebagai seorang Tumenggung mau

    berserikat dengan Arya Penangsang karena mengharapkan

    jabatan yang jauh lebih tinggi. Namun kekacauan yang

    kemudian terus menerus melanda Demak mengacaukan

    pula semua rencana Pakubumi.Di tengah-tengah kekalutan yang terjadi muncul

    seorang tokoh bernama Joko Tingkir yang merupakan salah

    seorang menantu mendiang Pangeran Prawoto dan di

    masa kekacauan melanda Demak menduduki jabatan

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    52/88

    sebagai Adipati di Pajang. Joko Tingkir yang kemudian lebih

    dikenal dengan nama Adiwijoyo menghimpun kekuatan

    untuk membalas kematian ayah mertuanya. Karena

    didukung oleh banyak pihak maka Adiwijoyo berhasil

    membangun satu kekuatan besar. Bersama orang-orangnya dia mencari dan membasmi mereka yang terlibat

    dalam pembunuhan Pangeran Prawoto. Salah seorang di

    antaranya adalah Tumenggung Pakubumi. Karena merasa

    dirinya diancam bahaya, Tumenggung Pakubumi kemudian

    menyembunyikan diri di satu tempat. Ketika dia muncul

    kembali dia menyamar sebagai seorang tua bungkuk

    dengan nama Kala Srenggi.

    ***

  • 8/3/2019 TDS - Seribu Hawa Kematian - Tamat

    53/88

    ARIO BLEDEG

    PETIR DI MAHAMERU 9

    BENTENG TIGA RATUS ULARWALAU sudah mengetahui kehadiran dua orang itu didalam gelap, namun Ki Suro Gusti Bendoro tetap khusuk

    dalam menunaikan sholat Magrib-nya.

    Di tempat gelap Si Lidah Bangkai berbisik pada Kala

    Srenggi, Kesempatan bagus! Selagi dia sembahyang

    begitu rupa akan kuhantam dengan pukulan Gunting Iblis!

    Masakan tubuhnya ti