E11isa
-
Upload
jamri-sulaeman -
Category
Documents
-
view
122 -
download
10
Transcript of E11isa
i
EVALUASI PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE:
STUDI KASUS DI BEDUL, RESORT GRAJAGAN,
TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, JAWA TIMUR
IKA SATYASARI
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
EVALUATING MANGROVE ECOTOURISM
DEVELOPMENT: A CASE STUDY FROM
BEDUL, GRAJAGAN RESORT, ALAS PURWO
NATIONAL PARK, BANYUWANGI,
EAST JAVA
By:
Ika Satyasari
Supervisor:
Haryanto R. Putro and Nyoto Santoso
INTRODUCTION. Mangrove forest is a very unique tropical forest ecosystem. Alas Purwo
National Park (APNP) possesses some natural mangrove forest. The development of mangrove
ecotourism in APNP has occurred before 2007 by APNP and Desa Sumberasri. However, it is not
easy to establish ecotourism which contributes to the satisfaction of the visitors, well-being of the
local people and ecological sustainability. It is worrying when the term “ecotourism’ is just used for
marketing of certain tourism products with a lack of stakeholders’ understanding of ecotourism
principles. Therefore, evaluating mangrove ecotourism development in APNP should be conducted.
The objectives of this research are to identify mangrove ecotourism potentials at APNP, evaluate the
current tourism activity at Bedul APNP and its development into mangrove ecotourism by cross
checking it to principles of ecotourism, and finally, arrange recommendations to APNP regarding
mangrove ecotourism implementation.
METHODS. The data that were collected consist of ecotourism potentials, current tourism activity at
Bedul, local people activity-related ecotourism and process of mangrove ecotourism development
(goal and function of APNP, stakeholders, policy on ecotourism, ecotourism development planning
agenda). Data on ecotourism potentials were collected through a literature and document review,
discussion, observation and interviews. Data were analyzed based on their types and functions. Each
problem analysis is related to others that can be used to cross check between realities to principles of
ecotourism.
RESULT & DISCUSSION. The density of mangrove trees at Bedul TNAP with 1.507 individual/ha
is very good. Nine water-birds are protected by Indonesian Governmental Law No. 7, 1999; one of
which, Lesser Adjutant (Leptotilos javanicus), is also categorized as a vulnerable species based on
the IUCN Red List. Physical potentials such as traditional boats, bridges, track, sign and
interpretation boards still need much improvement. Local tradition appropriate for ecotourism,
includes traditional fishing methods. Regarding tourism activities at Bedul APNP, most visitors
showed unfriendly environmental behavior during their visit. They preferred visiting at beach rather
than exploring the mangroves. The respondents of visitors (n=40) did not want to spend more than
Rp 400.000,- for their group visit. Twenty eight percent of the local interviewees (n=46) received a
direct benefit from mangrove ecotourism development at Bedul APNP. Even though more local
people have not felt a direct benefit, they agree with the development of mangrove ecotourism at
Bedul APNP. The management of mangrove ecotourism at Bedul is in poor condition. The managers
do not consider maximum visits or the creation of a conservation fund from the entry fees.
CONCLUSION. This evaluation shows that: (1) Biological potentials of ecotourism at Bedul APNP
are in good condition. Traditional local activities in using mangrove ecosystem also have good
ecotourism potential. However, the local infrastructure needs to be considered as in a poor condition.
Facilities that need to be developed consist of boats, river port, track, and prohibition and direction
signs. While facilities that need to be provided are wooden bridges and interpretation boards; (2) The
implementation of tourism at Bedul is still far from the seven principals of ecotourism. Mangrove
ecotourism activity at APNP has good possibility giving benefit to local people. Some
recommendation to mangrove ecotourism development: (1) The ecotourism facilities have to be
developed and provided; (2) The concept of mangrove ecotourism should insist education and
awareness to the visitors and local people and (3) Review to the zone of APNP should be conducted.
E. 34052746
ii
RINGKASAN
IKA SATYASARI. Evaluasi Pengembangan Ekowisata Mangrove: Studi
Kasus di Bedul, Resort Grajagan, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi,
Jawa Timur. Dibimbing oleh HARYANTO R. PUTRO dan NYOTO
SANTOSO.
Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan tropik yang unik. Taman
Nasional Alas Purwo (TNAP) memiliki ekosistem mangrove yang masih alami.
Pengembangan ekowisata mangrove di TNAP sudah dipikirkan sejak sebelum
tahun 2007 oleh pihak TNAP dan Desa Sumberasri. Bagaimanapun juga,
mewujudkan ekowisata yang meberikan kontribusi terhadap kepuasan
pengunjung, kesejahteraan penduduk lokal dan keberlanjutan ekologi bukanlah
hal yang mudah. Kekhawatiran timbul ketika istilah “ekowisata” hanya digunakan
untuk memasarkan suatu produk wisata tertentu karena minimnya pengetahuan
stakeholder terhadap prinsip-prinsip ekowisata. Oleh karena itu, evaluasi
pengembangan ekowisata mangrove di TNAP perlu dilakukan. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengidentifikasi potensi ekowisata mangrove di TNAP,
mengevaluasi kegiatan wisata yang sudah berjalan di bedul dan
pengembangannya sebagai ekowisata mangrove dan merumuskan rekomendasi
terhadap penyelenggaraan ekowisata mangrove di TNAP.
Data yang dikumpulkan meliputi: potensi ekowisata, kegiatan wisata yang
sudah ada saat ini di Bedul, kegiatan masyarakat lokal terkait ekowisata dan
proses-proses pengembangan ekowisata mangrove (tujuan dan fungsi TNAP,
stakeholder dan kebijakan terkait ekowisata). Data dikumpulkan berdasarkan studi
literatur, penyelusuran dokumen, diskusi, observasi dan wawancara. Data
dianalisis berdasarkan jenis dan fungsinya. Setiap analisis permasalahan saling
berhubungan sehingga dapat digunakan sebagai bahan cross chek antara realitas
dan prinsip-prinsip ekowisata.
Kerapatan pohon mangrove di Bedul TNAP sebesar 1.507 individu/ha
tergolong sangat baik. Sembilan burung air dilindungi oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 1999; salah satu diantaranya adalah Bangau Tong-tong
(Leptotilos javanicus) yang sekaligus tergolong ke dalam katagori rentan
berdasarkan IUCN Red List. Dua spesies fauna (Ratufa affinis and Varanus
salvator) tergolong ke dalam Appendix 2 CITES. Potensi fisik seperti perahu
tradisional, jembatan, rute, papan penanda dan papan interpretasi masih sangat
perlu ditingkatkan. Tradisi lokal berupa metode penangkapan ikan dan kerang
secara tradisional berpotensi sebagai objek ekowisata. Terkait dengan kegiatan
wisata di Bedul TNAP, sebagian besar pengunjung menunjukkan perilaku tidak
ramah lingkungan selama kunjungannya dan lebih memilih mengunjungi pantai
daripada menikmati mangrove sebagai objek utama. Responden pengunjung
(n=40) tidak sanggup menghabiskan uang lebih dari Rp. 400.000,- untuk
kelompok mereka. Dua puluh delapan persen responden penduduk lokal (n=46)
mendapatkan keuntungan secara langsung dari pengembangan ekowisata di Bedul
TNAP. Walaupun lebih besar penduduk lokal yang tidak mendapatkan
iii
keuntungan secara langsung, tetapi mereka setuju terhadap pengembangan
ekowisata mangrove di Bedul TNAP. Pengelola belum memikirkan kunjungan
maksimum dan alokasi dana konservasi yang didapat dari tiket masuk.
Evaluasi menunjukkan: (1) Potensi biologi ekowisata mangrove di Bedul
TNAP dalam keadaan baik. Kegiatan penduduk lokal dalam memanfaatkan
ekosistem mangrove secara tradisional memiliki potensi yang untuk ekowisata.
Akan tetapi, Potensi fisik khususnya fasilitas ekowisata perlu diperhatikan lagi.
Fasilitas yang perlu diperbaiki antara lain perahu, darmaga, track menuju kawasan
papan larangan dan papan petunjuk arah. Sementara fasilitas yang perlu segera
diadakan antara lain jembatan dari kayu dan papan interpretasi; (2) Pelaksanaan
wisata di Bedul masih jauh dari prinsip-prinsip ekowisata. Kegiatan ekowisata
mangrove di TNAP diperkirakan dapat memberikan peluang keuntungan ekonomi
bagi masyarakat lokal. Beberapa rekomendasi diantaranya: (1) Pengadaan dan
perbaikan terhadap fasilitas ekowisata; (2) Pengembangan konsep ekowisata perlu
menekankan proses edukasi dan penyadaran terhadap masyarakat dan pengunjung
dan (3) Perlunya review terhadap zonasi.
Kata kunci: Evaluasi, Ekowisata Mangrove, Taman Nasional Alas Purwo
iv
SUMMARY
IKA SATYASARI. The Evaluation of Mangrove Ecotourism Development:
A Case Study from Bedul, Grajagan Resort, Alas Purwo National Park,
Banyuwangi, East Java. Under supervision of HARYANTO R. PUTRO and
NYOTO SANTOSO.
Mangrove forest is a very unique tropical forest ecosystem. Alas Purwo
National Park (APNP) possesses some natural mangrove forest. The development
of mangrove ecotourism in APNP has occurred before 2007 by APNP and Desa
Sumberasri. However, it is not easy to establish ecotourism which contributes to
the satisfaction of the visitors, well-being of the local people and ecological
sustainability. It is worrying when the term “ecotourism’ is just used for
marketing of certain tourism products with a lack of stakeholders’ understanding
of ecotourism principles. Therefore, evaluating mangrove ecotourism
development in APNP should be conducted. The objectives of this research are to
identify mangrove ecotourism potentials at APNP, evaluate the current tourism
activity at Bedul APNP and its development into mangrove ecotourism by cross
checking it to principles of ecotourism, and finally, arrange recommendations to
APNP regarding mangrove ecotourism implementation.
The data that were collected consist of ecotourism potentials, current
tourism activity at Bedul, local people activity-related ecotourism and process of
mangrove ecotourism development (goal and function of APNP, stakeholders,
policy on ecotourism, ecotourism development planning agenda). Data on
ecotourism potentials were collected through a literature and document review,
discussion, observation and interviews. Data were analyzed based on their types
and functions. Each problem analysis is related to others that can be used to cross
check between realities to principles of ecotourism.
The density of mangrove trees at Bedul TNAP with 1.507 individual/ha is
very good. Nine water-birds are protected by Indonesian Governmental Law No.
7, 1999; one of which, Lesser Adjutant (Leptotilos javanicus), is also categorized
as a vulnerable species based on the IUCN Red List. Physical potentials such as
traditional boats, bridges, track, sign and interpretation boards still need much
improvement. Local tradition appropriate for ecotourism, includes traditional
fishing methods. Regarding tourism activities at Bedul APNP, most visitors
showed unfriendly environmental behavior during their visit. They preferred
visiting at beach rather than exploring the mangroves. The respondents of visitors
(n=40) did not want to spend more than Rp 400.000,- for their group visit. Twenty
eight percent of the local interviewees (n=46) received a direct benefit from
mangrove ecotourism development at Bedul APNP. Even though more local
people have not felt a direct benefit, they agree with the development of mangrove
ecotourism at Bedul APNP. The management of mangrove ecotourism at Bedul is
in poor condition. The managers do not consider maximum visits or the creation
of a conservation fund from the entry fees.
v
This evaluation shows that: (1) Biological potentials of ecotourism at
Bedul APNP are in good condition. Traditional local activities in using mangrove
ecosystem also have good ecotourism potential. However, the local infrastructure
needs to be considered as in a poor condition. Facilities that need to be developed
consist of boats, river port, track, and prohibition and direction signs. While
facilities that need to be provided are wooden bridges and interpretation boards;
(2) The implementation of tourism at Bedul is still far from the seven principals of
ecotourism. Mangrove ecotourism activity at APNP has good possibility giving
benefit to local people. Some recommendation to mangrove ecotourism
development: (1) The ecotourism facilities have to be developed and provided; (2)
The concept of mangrove ecotourism should insist education and awareness to the
visitors and local people and (3) Review to the zone of APNP should be
conducted.
Keywords: evaluation, mangrove ecotourism, Alas Purwo National Park
vi
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi
Pengembangan Ekowisata Mangrove: Studi Kasus di Bedul, Resort
Grajagan, Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur adalah benar-benar hasil
karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah
digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tunggi atau lembaga manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2010
Ika Satyasari
NRP E34052746
vii
EVALUASI PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE: STUDI
KASUS DI BEDUL, RESORT GRAJAGAN,
TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, JAWA TIMUR
IKA SATYASARI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
viii
Judul Skripsi : Evaluasi Pengembangan Ekowisata Mangrove: Studi Kasus di Bedul, Resort Grajagan, Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur
Nama : Ika Satyasari
NIM : E34052746
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Ir. Haryanto R. Putro, MS Ir. Nyoto Santoso, MS
NIP. 196009281985031004 NIP.196203151986031002
Mengetahui,
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Ketua,
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS
NIP. 195809151984031003
Tanggal lulus:
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Evaluasi
Pengembangan Ekowisata Mangrove: Studi Kasus di Bedul, Resort
Grajagan, Taman Nasional Alas Purwo, Provinsi Jawa Timur”. Penelitian
skripsi ini dilakukan pada bulan Februari sampai April 2010 di Taman Nasonal
Alas Purwo Kabupaten Banyuwangi.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (a) mengidentifikasi potensi
ekowisata mangrove di TNAP; (b) mengevaluasi kegiatan wisata mangrove yang
sudah ada di TNAP dan pengembangannya sebagai ekowisata mangrove dan (c)
selanjutnya merumuskan rekmendasi terhadap penyelenggaraan ekowisata
mangrove di TNAP.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis merasa senang dan terima kasih jika ada saran dan kritik
yang membangun. Semoga skripsi hasil penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2010
Penulis
ii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 13 April
1987 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan L.
Purwasanjaya dan Sandinah.
Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMA N 1 Klaten dan pada
tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI). Pada tahun kedua di IPB, penulis memilih Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan sebagai
mayornya.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi
kemahasiswaan, yakni OMDA KMK (Organisasi Daerah Keluarga Mahasiswa
Klaten), HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan &
Ekowisata), DKM (Dewan Keluarga Mushola) Ibaadurrahmaan FAHUTAN dan
IFSA (International Forestry Students Association). Kegiatan besar organisasi
yang pernah diikuti oleh penulis antara lain SURILI (Studi Konservasi
Lingkungan) di TN. Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan tahun 2007;
UNFCCC (United Nation Framework on Climate Change Conference) COP-13 di
Bali sebagai observer mahasiswa tahun 2007; IFSS (International Forestry
Students Symposium) ke-36 di Bulgaria tahun 2008; IFSS ke-37 di Indonesia
tahun 2009 dan Kongres Dunia IUFRO (International Union on Forest Research
Organization) ke-23 tahun 2010 di Korea Selatan.
Penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman
Nasional Alas Purwo pada tahun 2009. Pada tahun 2010, penulis melakukan
penelitian di Taman Nasional Alas Purwo dan penelitian tersebut digunakan untuk
penulisan skripsi dengan judul Evaluasi Pengembangan Ekowisata Mangrove:
Studi Kasus di Bedul, Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur di bawah
bimbingan Ir. Haryanto R. Putro, M.S. dan Ir. Nyoto Santoso, M.S.
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu
kelancaran skripsi ini:
1. Ir. Haryanto R. Putro, M.S. dan Ir. Nyoto Santoso, M.S. selaku dosen
pembimbing skripsi
2. Ir. Hartono, M.Sc, Kepala Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) pada
tahun lalu atas izin pelaksanaan penelitiannya
3. Bapak Untung selaku Kepala Resort Grajagan, Mas Gendhut, Mas
Arif, beserta seluruh staf TNAP yang telah membantu selama
penelitian
4. Dr. Hendrayanto dan Dr. Supriyanto atas segala nasehat dan
dukungannya
5. Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Sc., Soni Trison, S. Hut, M.Si dan
Istie Sekartining Rahayu, S. Hut, M.Si selaku dosen penguji
6. Ibunda, ayahanda dan kedua adik tercinta atas dukungan dan doanya
7. Keluarga Wiku Suharyoto yang telah banyak membantu selama di
Banyuwangi
8. Prof. EKS Harini Muntasib atas nasehat penulisan karya ilmiah yang
pernah diberikan kepada saya. Latipah Hendarti, M.Sc dan Eva
Rachmawati, M.Si atas masukannya.
9. Mbak Salwa, Kak Sebastian, Wani, Darren, Ronald, Mas Adi
“Gudang Buku”, Kak Fahmi, Afwan, Ibet, Rofiq dan Ajeng atas
bantuan dan masukannya
10. Febriansyah, Rista, Angga, Nida, Mas Momo dan teman-teman Tim
PKLP TNAP 2010 (Gilang, Marolop, Pande, Des, Dian, Diah dan
Erlin) atas bantuannya selama di lapang
11. Teman-teman Tim PKLP TNAP 2009 (Teh Lin, Bono, Iwan, Muti,
Farikhin dan Itha), teman-teman KSHE’42, teman-teman IFSA LC-
IPB dan alumni IFSA LC-IPB (Mas Langlang, Mbak Galuh, Mas
Dinda, Mas Buret, dsb.), teman-teman KMK (Keluarga Mahasiswa
Klaten) dan Wisma Nuradi (Rina, Tiwi, Bu Sita, Bu Irvi, Bu Emi,
Nazla, dll.) atas dukungannya.
12. Serta masih banyak pihak yang telah membantu tetapi tidak mungkin
disebutkan satu-persatu.
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................... i
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................................... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. viii
I. PENDAHULUAN ......................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah ...........................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................................................3
1.4 Kerangka Pemikiran ..........................................................................................3
II. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................................5
2.1 Hutan Mangrove ................................................................................................5
2.1.1 Pengertian hutan mangrove .....................................................................5
2.1.2 Struktur vegetasi mangrove .....................................................................6
2.1.3 Keragaman hayati di hutan mangrove .....................................................8
2.1.4 Fungsi mangrove .....................................................................................9
2.2 Ekowisata ........................................................................................................10
2.2.1 Pengertian ekowisata .............................................................................10
2.2.2 Ekowisata dan beberapa bentuk wisata khusus .....................................14
2.2.3 Prinsip-prinsip ekowisata ......................................................................15
2.2.4 Karakteristik ekowisatawan ..................................................................20
2.3 Evaluasi Pengembangan Ekowisata ................................................................21
2.4 Taman Nasional ...............................................................................................25
III. METODE PENELITIAN ......................................................................................27
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...........................................................................27
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................................27
3.3 Orientasi Lapang .............................................................................................28
3.4 Jenis Data yang Dikumpulkan .........................................................................28
3.4.1 Potensi ekowisata ..................................................................................28
3.4.2 Kegiatan wisata yang sudah ada dan aktivitas masyarakat lokal terkait
penyelenggaraan wisata: ........................................................................28
3.5 Metode Pengumpulan Data .............................................................................29
3.5.1 Studi literatur dan diskusi ......................................................................29
3.5.2 Observasi ...............................................................................................29
3.5.3 Wawancara (Interview) .........................................................................32
3.6 Pengolahan dan Analisis Data .........................................................................33
3.6.1 Analisis potensi ekowisata ....................................................................33
3.6.2 Analisis kegiatan wisata ........................................................................33
3.6.3 Analisis pengembangan ekowisata mangrove .......................................34
IV. KONDISI UMUM .................................................................................................35
4.1 Letak dan Luas ................................................................................................35
4.2 Topografi .........................................................................................................35
4.3 Geologi ............................................................................................................36
4.4 Tanah ...............................................................................................................36
v
4.5 Iklim ................................................................................................................36
4.6 Hidrologi .........................................................................................................37
4.7 Potensi Sumberdaya Alam ...............................................................................37
4.7.1 Potensi flora ...........................................................................................37
4.7.2 Potensi fauna .........................................................................................39
4.8 Aksesibilitas ....................................................................................................40
4.9 Sosial - Ekonomi dan Budaya Masyarakat Desa Penyangga ..........................40
V. HASIL.....................................................................................................................42
5.1 Potensi Ekowisata ..........................................................................................42
5.1.1 Potensi biologi .......................................................................................42
5.1.2 Potensi fisik ...........................................................................................48
5.1.3 Kebudayaan masyarakat ........................................................................51
5.2 Kegiatan Wisata ..............................................................................................52
5.2.1 Paket wisata yang ditawarkan ...............................................................52
5.2.2 Pengunjung ............................................................................................55
5.3 Masyarakat Lokal di Sekitar Kawasan ............................................................58
5.3.1 Karakteristik responden masyarakat lokal .............................................58
5.3.2 Keterkaitan mata pencaharian masyarakat lokal terhadap pemanfaatan
kawasan .................................................................................................59
5.3.3 Matapencaharian masyarakat lokal yang berkaitan dengan wisata .......60
5.4 Pengembangan Ekowisata Mangrove di TNAP ..............................................61
5.4.1 Fungsi dan tujuan TNAP .......................................................................61
5.3.2 Stakeholder ............................................................................................62
5.3.3 Kebijakan ...............................................................................................68
VI. PEMBAHASAN ...................................................................................................74
6.1 Potensi Ekowisata ...........................................................................................74
6.1.1 Potensi biologi .......................................................................................74
6.1.2 Potensi fisik ...........................................................................................80
6.1.3 Budaya masyarakat ................................................................................83
6.2 Kegiatan Wisata yang Sudah Ada ...................................................................85
6.3 Aktivitas Ekonomi Masyarakat Lokal terkait Penyelenggaraan Wisata .........87
6.4 Pengembangan Ekowisata Mangrove .............................................................88
6.4.1 Kesesuaian pengembangan ekowisata mangrove dengan fungsi dan
tujuan TNAP ..........................................................................................88
6.4.2 Proses pengembangan ekowisata mangrove ........................................90
6.4.3 Kesesuaian realitas dengan kebijakan ...................................................92
6.5 Kesesuaian Pengembangan Ekowisata Mangrove dengan Prinsip-Prinsip
Ekowisata ........................................................................................................96
6.5.1 Prinsip ekologi berkelanjutan ................................................................96
6.5.2 Prinsip berbasiskan alam/budaya ........................................................103
6.5.3 Prinsip edukasi ....................................................................................105
6.5.4 Prinsip keuntungan bagi masyarakat lokal ..........................................107
6.5.5 Prinsip mendukung upaya konservasi .................................................109
6.5.6 Prinsip sesuai dengan peraturan pemerintah .......................................109
6.5.7 Prinsip kepuasan pengunjung ...........................................................110
VII. KESIMPULAN & REKOMENDASI ................................................................113
7.1 Kesimpulan ....................................................................................................113
7.1.1 Potensi ekowisata ................................................................................113
vi
7.1.2 Kegiatan wisata dan pengembangan ekowisata mangrove di Bedul ...113
7.2 Rekomendasi .................................................................................................113
7.2.1 Pengadaan dan perbaikan terhadap fasilitas ekowisata .......................113
7.2.3 Review terhadap sistem zonasi ............................................................115
vii
DAFTAR TABEL
No. Hal
1. Jenis-jenis Burung Air di TNAP .............................................................................9
2. Prinsip-prinsip ekowisata dan pengertiannya ........................................................17
3. Jenis spesies mangrove sejati di Bedul ..................................................................42
4. Kerapatan Jenis Mangrove ....................................................................................43
5. Sebaran kekayaan jenis dan jumlah individu.........................................................44
6. Jenis burung air yang dijumpai pada lokasi pengamatan ......................................46
7. Jenis fauna selain burung air .................................................................................48
8. Fasilitas ekowisata mangrove Bedul .....................................................................49
9. Aksesibilitas menuju TNAP (Wisata Bedul) .........................................................51
10. Perbandingan realitas pengembangan ekowisata mangrove dengan fungsi dan
tujuan TNAP ........................................................................................................63
11. Stakeholder yang terlibat dalam pengembangan ekowisata mangrove ................65
12. Perbandingan antara peraturan dan realitas terkait pengembangan ekowisata
mangrove di TNAP ..............................................................................................69
13. Perbandingan antara MoU dan Realitas ...............................................................73
14. Jenis satwa dan status perlindungannya ...............................................................78
viii
DAFTAR GAMBAR
No. Hal
1. Diagram Kerangka Kerja Penelitian ........................................................................4
2. Peta lokasi penelitian. ............................................................................................27
3. Plot Petak untuk Mengetahui Komposisi Mangrove .............................................30
4. Fasilitas ekowisata mangrove Bedul. ....................................................................51
5. Rute paket wisata yang ditawarkan di Bedul .........................................................54
6. Grafik jumlah pengunjung wisata Bedul bulan Juli-Desember 2009 ....................55
7. Karakteristik responden pengunjung .....................................................................57
8. Motivasi para pengunjung wisata di Bedul ...........................................................57
9. Karakteristik responden penduduk lokal ...............................................................58
10. Spesies mangrove langka secara global tetapi masih umum ditemukan di daerah74
11. Burung air. .............................................................................................................76
12. Fauna selain burung air. .........................................................................................77
13. Aktivitas tradisional masyarakat. ..........................................................................84
14. Upacara Petik Laut ................................................................................................85
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor pariwisata dipercaya sebagai salah satu penyumbang devisa yang
tinggi bagi Negara Indonesia. Sejak tahun 2008, pemerintah Indonesia lebih
menggalakkan promosi tentang pariwisata di Indonesia melalui program Visit
Indonesia. Indonesia memiliki kekayaan dan keindahan alam yang tidak ternilai
harganya. Keanekaragaman dan keunikan lingkungan alam serta kebudayaan
Indonesia telah diakui secara internasional. Hal ini menjadikan promosi untuk
pengembangan pariwisata di Indonesia tidak terbatas.
Minat wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri, tidak terbatas di
objek-objek wisata yang terkenal dan ramai saja. Beberapa khalayak justru
memandang objek wisata yang terlalu ramai kurang memberikan kesan yang
berarti. Seiring dengan kecenderungan back to nature dan pergesaran paradigma
dari produk kayu ke non kayu, maka usaha ekowisata pada masa yang akan
datang memiliki kecenderungan permintaan yang semakin meningkat. Tidak
sekedar berwisata alam saja, dalam ekowisata selain memberikan kepuasan
pribadi juga dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran, pemahaman dan
dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam.
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem hutan tropika yang unik
untuk dinikmati dan dipelajari. Dibalik keunikan ekosistem mangrove telah
terbukti bahwa ekosistem mangrove mampu menjadi sistem perlindungan pantai
secara alami termasuk mengurangi resiko gelombang pasang bahkan tsunami dan
tempat perlindungan satwa. Mengingat besarnya fungsi ekosistem mangrove dari
segi ekonomi, edukasi dan ekologi, pemanfaatan hutan mangrove sebagai objek
ekowisata diharapkan dapat membantu melestarikan hutan mangrove di Indonesia.
Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) memiliki ekosistem mangrove
alami, yang keberadaannya cukup lengkap di Indonesia. Berdasarkan hasil
identifikasi tahun 2001, Blok Bedul, Resort Grajagan TNAP memiliki 24 jenis
mangrove (Balai TNAP 2007). Selain keragaman jenis mangrove, di Blok Bedul
juga ditemukan berbagai atraksi satwaliar yang menarik. Keunikan ekosistem
2
mangrove di TNAP yang selalu pasti dapat ditemukan di daerah atau di negara
lain ini, berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai tempat ekowisata.
Gagasan dan kerjasama untuk mengembangkan ekowisata mangrove
dilakukan sejak sebelum tahun 2007 antara Balai TNAP dengan Desa Sumberasri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mewujudkan ekowisata yang dapat memberikan
kepuasan kepada pelaku ekowisata, meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sekitar dan memperhatikan keberlangsungan ekologi, bukanlah hal yang mudah.
Oleh karena itu evaluasi mengenai pengembangan ekowisata di TNAP perlu
dilakukan. Melalui evaluasi ini, dapat diketahui sudah sesuai atau belumnya
antara implementasi ekowisata mangrove di TNAP dengan prinsip-prinsip
ekowisata. Hasil dari analisis ini diharapkan dapat memberikan saran terhadap
penyelenggaraan ekowisata mangrove di TNAP agar integrated sustainable
ecotourism (ekowisata yang terintegrasi berkelanjutan) dapat tercapai.
1.2 Perumusan Masalah
Hutan mangrove di TNAP termasuk ekosistem hutan tropika yang sangat
unik dan memiliki kealamian yang masih baik. Keunikan yang tidak selalu dapat
ditemukan di daerah atau di negara lain ini, perlu dikonservasi dengan sebaik-
baiknya. Melakukan konservasi bukan berarti melarang untuk memanfaatkan.
Pengelolaan hutan mangrove bertujuan agar sumberdaya yang ada dapat
dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, dalam arti kesejahteraan rakyat
dapat meningkat tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan yang merugikan
kepentingan generasi yang akan datang.
Konsep ekowisata merupakan salah satu alternatif untuk mengembangkan
suatu kawasan menjadi tujuan wisata yang tetap memperhatikan konservasi
lingkungan dengan menggunakan potensi sumberdaya serta budaya masyarakat
lokal. Di satu sisi, pengembangan ekowisata ditujukan untuk menghasilkan
keuntungan secara ekonomi, namun di sisi lain pengembangan juga harus
memperhatikan terjaganya kualitas ekologis maupun sosial. Konsep semacam ini
sering disebut konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development). Implementasi ekowisata secara nyata di lapangan belum tentu telah
3
sesuai dengan kriteria–kriteria yang diusulkan. Pelaksanaan ekowisata masih
memungkinkan untuk terjadinya kesalahan dalam memahami dan memanfaatkan
gagasan ini. Banyak orang menyederhanakan bahwa ekowisata adalah akivitas
wisata alam terbuka semacam gunung, hutan, pedesaan dan sebagainya (Rahardjo
2004) Kekhawatiran baru timbul ketika istilah ekowisata digunakan hanya
sebagai label pemasaran produk wisata yang berbasis alam dengan memanfaatkan
peluang emas dan kecenderungan pasar. Bertolak dari hal tersebut, maka
permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:
1. Apakah realitas yang ada di lapangan (meliputi: potensi, kegiatan,
pengelolaan dan pengunjung wisata Mangrove di TNAP) sudah sesuai
dengan tolok ukur ekowisata?
2. Jika terdapat ketidaksesuaian (gap) antara realitas wisata yang ada dengan
tolok ukur ekowisata, apa yang menjadi penyebabnya?
3. Bagaimana seharusnya penyelenggaraan ekowisata mangrove di TNAP?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kesesuaian
pengembangan ekowisata mangrove di Sub Resort Bedul TNAP dengan prinsip-
prinsip (tolok ukur) ekowisata serta mencari permasalahan yang menyebabkan
ketidaksesuaian antara realitas dan tolok ukur ekowisata. Secara lebih rinci tujuan
penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi potensi ekowisata mangrove di TNAP
b. Mengevaluasi kegiatan wisata mangrove yang sudah ada di TNAP dan
pengembangannya sebagai ekowisata mangrove
c. Merumuskan rekomendasi terhadap penyelenggaraan ekowisata
mangrove di TNAP.
1.4 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini merupakan suatu evaluasi pengembangan ekowisata
mangrove di TNAP, khususnya di Sub Resort Bedul dengan mengacu pada
prinsip-prinsip ekowisata menurut ahli-ahli ekowisata (Ceballos dan Lascurain
4
1996; Björk 1997 dalam Higham 2007; Sirakaya et al. 1999 dalam Higham 2007;
Weaver 2001 dalam Higham 2007; Fennell 2003 dalam Higham 2007; dll.).
Prinsip-prinsip ekowisata yang diusulkan oleh para ahli tersebut, jika disimpulkan
adalah ekologi berkelanjutan, berbasiskan alam, bersifat edukasi, memberikan
keuntungan bagi masyarakat lokal, mendukung upaya konservasi, sesuai dengan
peraturan pemerintah dan memberikan kepuasan kepada pengunjung. Sementara
hal yang dievaluasi adalah realitas yang sesungguhnya di lapangan yang meliputi:
potensi ekowisata, wisata yang sudah diselenggarakan di TNAP, kesesuaian
kegiatan wisata dengan kebijakan yang sudah ada serta kegiatan ekonomi
masyarakat terkait penyelenggaraan wisata. Secara sistematis kerangka pemikiran
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Diagram Kerangka Kerja Penelitian
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Mangrove
2.1.1 Pengertian hutan mangrove
Hutan mangrove seringkali disebut dengan hutan bakau. Akan tetapi
sebenarnya istilah bakau hanya merupakan nama dari salah satu jenis tumbuhan
penyusun hutan mangrove, yaitu Rhizopora spp. Oleh karena itu, istilah hutan
mangrove sudah ditetapkan sebagai nama baku untuk mangrove forest (Dahuri
1996).
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan
bahasa Inggris grove. Kata mangrove dalam bahasa Inggris digunakan baik untuk
komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun
untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.
Sedangkan dalam bahasa Portugis, kata mangrove digunakan untuk menyatakan
individu spesies tumbuhan, dan kata mangal untuk mengatakan komunitas
tumbuhan tersebut (Macnae 1968 diacu dalam Kusmana et al. 2005).
Mangrove merupakan pohon yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut
(intertidal trees), ditemukan di sepanjang pantai tropis di seluruh dunia. Pohon
mangrove biasanya dipengaruhi oleh pasang sehingga mangrove memiliki
adaptasi fisiologis secara khusus untuk menyesuaikan diri dengan garam yang ada
di dalam jaringannya. Mangrove juga memiliki adaptasi melalui sistem perakaran
untuk menyokong dirinya di sedimen lumpur yang halus dan mentransportasikan
oksigen dari atmosfer ke akar. Sebagian besar mangrove memiliki benih terapung
yang diproduksi setiap tahun dalam jumlah besar dan terapung hingga berpindah
ke tempat baru untuk berkelompok (Lewis 2004).
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan
subtropis yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh
dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen 2001).
Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran
ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang
memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung
6
lumpur. Sedangkan di wilayah pessisir yang tidak terdapat muara sungai, hutan
mangrove pertumbuhannya tidak optimal. Mangrove tidak atau sulit tumbuh di
wilayah yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat karena
kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur, substrat yang
diperlukan untuk pertumbuhannya. Hal ini terbukti dari daerah persebaran
mangrove di Indonesia yang umumnya terdapat di Pantai Timur Sumatera,
Kalimantan, Pantai Utara Jawa dan Irian Jaya. Penyebaran hutan mangrove juga
dibatasi oleh letak lintang karena mangrove sangat sensitif terhadap suhu dingin
(Dahuri 1996).
Bangen (2001) menyebutkan karakteristik hutan mangrove sebagai
berikut:
a. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung atau berpasir
b. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang
hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan
menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove
c. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat
d. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air
bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (mencapai 38 permil).
2.1.2 Struktur vegetasi mangrove
Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis
yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri dari 89
jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Hanya
terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Di dalam
hutan mangrove, paling tidak terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati
penting/dominan yang termasuk ke dalam 4 famili: Rhizoporaceae (Rhizopora,
Bruguiera dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia)
dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen 2001).
7
Secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam 4 zona (Noor et al. 1999),
yaitu:
a. Mangrove terbuka
Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir,
sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zonasi ini, biasanya berasosiasi
dengan Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang
kaya bahan organik (Bengen 2001).
b. Mangrove Tengah
Mangrove di zona ini terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona
ini umumnya didominasi oleh Rhizopora spp. Selain itu sering juga
dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. (Noor et al. 1999 dan
Bengen 2001).
c. Mangrove payau
Zona ini berada di sepanjang sungai berair payau sampai tawar. Zona ini
biasanya didominasi oleh komunitas Nypa dan Sonneratia (Noor et al.
1999).
d. Mangrove daratan
Mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang
jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang utama ditemukan
pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, Intsia bijuga, N. fruticans,
Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus moluccensis. Zona
ini memiliki kekayaan jenis tinggi daripada zona lainnya (Noor et al.
1999).
Tomlinson (1984) diacu oleh Kusmana et al. (2005) membagi flora
mangrove menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Flora mangrove sejati (flora mangrove sebenarnya), yaitu flora yang hanya
tumbuh di habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni
dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi
mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar napas/udara dan
viviparitas) terhadap lingkungan mangrove dan mempunyai mekanisme
8
fisiologis dalam mengkontrol garam. Contoh: jenis-jenis dari genus
Avicennia, Rhizopora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia,
Lumnitzera dan Nypa.
b. Flora mangrove penunjang (minor), yaitu flora mangrove yang tidak
mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak
berperan dominan dalam struktur komunitas. Contoh: Excoecaria,
Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras, Aegialitis, Acrostichum,
Camptostermon, Scyphiphora, Pemphis, Excoecaria, Ombomia dan
Pelliciera.
c. Tumbuhan asosiasi mangrove, yaitu flora yang berasosiasi dengan
tumbuhan mangrove sejati dan penunjang. Flora jenis ini ditemukan
sebagai vegetasi transisi. Jalurnya belum bisa dipastikan. Contoh: jenis-
jenis dari genus Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus dan lain-
lain.
Zona vegetasi mangrove berkaitan erat dengan pasang surut. Pada
umumnya lebar zona mangrove jarang melebihi 4 kilometer, kecuali pada
beberapa estuari serta teluk yang dangkal dan terutup. Pada daerah seperti ini
lebar zona mangrove dapat mencapai 18 kilometer (Noor et al. 1999).
2.1.3 Keragaman hayati di hutan mangrove
Indonesia terdapat perbedaan dalam hal keanekaragaman jenis mangrove
antara satu pulau dengan pulau yang lainnya. Dari 202 jenis yang telah diketahui,
166 jenis terdapat di Jawa, 157 jenis di Sumatera, 150 jenis di Kalimantan, 142
jenis di Irian Jaya, 135 jenis di Sulawesi, 133 jenis di Maluku dan 120 jenis di
Kepulauan Sunda Kecil. Pengecualian untuk di Pulau Jawa, meskipun memiliki
keragaman jenis yang paling tinggi akan tetapi sebagian besar dari jenis-jenis
yang tercatat berupa jenis gulma (seperti Chenopdiaceae, Cyperaceae, Poaceae).
Dalam hal kelangkaan, terdapat 14 macam tumbuhan mangrove langka di
Indonesia (Noor et al. 1999), yaitu:
a. Lima jenis umum setempat tetapi langka secara global, sehingga berstatus
rentan dan memerlukan perhatian khusus untuk pengelolaannya. Jenis-
9
jenisnya adalah: Ceriops decandra, Scyphiphora hydrophyllacea, Quasia
indica, Sonneratia ovate, Rhododendron brookeanum.
b. Lima jenis yang langka di Indonesia tetapi umum di tempat lain, sehingga
secara global tidak memiliki pengelolaan secara khusus. Jenis-jenis
tersebut adalah Eleocharis parvula, Fibristylis sieberiana, Sporobolus
virginicus, E. spitalis dan Scirpus litoralis.
c. Empat jenis sisanya berstatus langka secara global, sehingga memerlukan
pengelolaan khusus untuk menjamin hidupnya. Jenis-jenisnya adalah
Amyema anisomere, Oberonia rhizophoreti, Kandelia candel dan
Nephrolepsis acutifolia.
Selain memiliki vegetasi yang khas, mangrove merupakan habitat bagi
berbagai jenis satwa liar seperti primata, reptil dan burung. Mangrove biasanya
digunakan sebagai tempat berlindung, mencari makan dan tempat berkembang
biak bagi burung air. Berdasarkan penelitian Priambodo (2007) di Taman
Nasional Alas Purwo ditemukan 13 jenis burung air (Tabel 1).
Tabel 1 Jenis-jenis Burung Air di TNAP
No. Nama Lokal Nama Latin Famili
1. Cangak laut Ardea sumatrana Ardeidae
2. Kuntul kecil Agretta garzetta Ardeidae
3. Bangau tongtong Leptootilos javanicus Ciconiidae
4. Cerek pasir besar Charadrius leschenaultia Charadriidae
5. Gajahan besar Numenius arquata Scolopacidae
6. Biru laut ekor blorok Limosa lapponica Scolopacidae
7. Gajahan penggala Numenius phaeopus Scolopacidae
8. Trinil kaki merah Tringa tetanus Scolopacidae
9. Trinil kaki hijau Tringia nebularia Scolopacidae
10. Trinil bedaran Tringia cinereus Scolopacidae
11. Trinil pantai Tringia hypoleucos Scolopacidae
12. Dara laut jambul Sterna bergii Sternidae
13. Dara laut benggala Sterna bengalensis Sternidae
Sumber: Priambodo (2007)
2.1.4 Fungsi mangrove
Hutan mangrove menyediakan sejumlah manfaat secara ekologi meliputi
stabilisasi sepanjang pantai, pereduksi ombak dan gelombang yang menyerang
pantai dan perlindungan struktur pulau, pendukung perikanan laut (ikan dan
kerang) secara langsung dan tidak langsung, penyedia makanan dan habitat dan
10
pendukung populasi satwaliar meliputi burung penyeberang maupun burung air
(Lewis 2004).
Bengen (2001) menyebutkan fungsi dan manfaat mangrove sebagai
berikut:
a. Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi,
penahan lumpur dan penagkap sedimen.
b. Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove
c. Daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makanan (feeding
grounds) dan daerah pemijahan (spamming grounds) berbagai jenis ikan,
udang dan biota laut lainnya.
d. Penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang dan
bahan kertas (pulp).
e. Pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya.
f. Sebagai tempat pariwisata.
2.2 Ekowisata
2.2.1 Pengertian ekowisata
Sejarah tentang ekowisata dapat dikilas balik pada tahun 1960-an ketika
kaum ekologis dan lingkungan sangat prihatin terhadap penggunaan sumberdaya
alam yang tidak sesuai. Pengawetan terhadap keanekaragaman hayati sangat
terancam karena kepentingan ekonomi dan eksplorasi terhadap sumberdaya alam
(Higham 2007). Definisi tentang ekowisata terus berkembang. Semula definisi
ekowisata sangat general dan sukar dipahami, seperti, bertanggungjawab,
konservasi, perlindungan dan berkelanjutan. Seperti yang diungkapkan oleh WWF
1995 dalam Higham 2007 misalnya, ekowisata merupakan perjalanan
bertanggungjawab ke tempat alami yang memberikan kontribusi kepada
perlindungan kawasan alami dan kesejahteraan masyarakat setempat. Pengertian
yang general dan membingungkan seperti itu telah dikritik oleh beberapa ahli
karena pengertian tersebut mengundang arti yang luas dalam hal interpretasi.
Stakeholder yang berbeda mempunyai kepentingan yang lain-lain pula dalam
11
ekowisata. Kepentingan yang egois dari masing-masing stakeholder dapat
membahayakan semua sistem dalam ekowisata.
Kekhawatiran baru timbul ketika istilah ekowisata digunakan hanya
sebagai label pemasaran produk wisata yang berbasis alam dengan memanfaatkan
peluang emas dan kecenderungan pasar. Beberapa definisi ekowisata yang lebih
jelas kemudian diusulkan. Seperti yang diusulkan oleh Ziffer (1989) diacu dalam
Higham (2007) memberikan penjelasan ekowisata dari berbagai dimensi
(multidimensial comprehensive). Ekowisata merupakan bentuk dari wisata yang
awalnya terinspirasi oleh sejarah alami dari suatu kawasan termasuk keaslian
budayanya. Kunjungan ekowisata biasanya di kawasan-kawasan yang belum
berkembang (underdeveloped area) dengan tujuan mendorong rasa apresiasi,
partisipasi dan sensitivitas. Dalam prakteknya ekowisata bukanlah penggunaan
secara konsumtif (non-consumptive) terhadap hidupan liar dan sumberdaya alam.
Ekowisata memberikan kontribusi terhadap lokasi setempat dalam bentuk
tenaga ataupun finansial yang dimaksudkan untuk mendukung konservasi area
dan memberikan keuntungan secara langsung kepada masyarakat lokal.
Kunjungan ekowisata harus menanamkan apresiasi pelaku ekowisata dan
dedikasi pelaku ekowisata tentang isu konservasi secara global dan terhadap
kebutuhan spesifik lokasi setempat. Ekowisata berkomitmen terhadap perawatan
lokasi dengan melibatkan masyarkat setempat, pemasaran yang sesuai, regulasi
yang berlaku, serta menggunakan pendapatan usaha untuk keperluan biaya
manajemen kawasan sebagaimana juga untuk pembangunan masyarakat.
Pada tahun 1993, Ceballos-Lascuarain merevisi definisi tentang ekowisata
yang pernah didefinisikannya pada tahun 1987 karena pada definisi sebelumnya
hanya memfokuskan pada perilaku pelaku ekowisata dan karakter daerah tujuan
ekowisata tanpa menyebutkan dimensi preservasi/pemeliharaan (Higham 2007).
Ceballos-Lascuarain (1996) kemudian mendefinisikan ekowisata sebagai
perjalanan dan kunjungan bertanggungjawab yang bersifat lingkungan ke daerah
yang relatif tidak terganggu untuk menikmati dan mengapresiasikan alam (dan
keunikan kebudayaan yang ada, baik kebudayaan pada masa lampau maupun
sekarang) sehingga mengajak tindakan konservasi, meminimalkan dampak
12
negatif dari pengunjung dan memberikan keterlibatan aktif yang menguntungkan
secara sosial dan ekonomi bagi penduduk lokal.
Beberapa ahli lain mengartikan ekowisata menggunakan pendekatan yang
lebih deskriptif untuk mengidentifikasikan prinsip-prinsip dasar dalam ekowisata.
Björk (1997) diacu dalam Higham (2007) mendefisinisikan ekowisata merupakan
aktivitas di mana pemerintah setempat, industri wisata, wisatawan dan masyarakat
lokal bekerjasama membuat aktivitas tersebut menjadi perjalanan ke tempat yang
masih asli agar wisatawan mengagumi, mempelajari dan menikmati alam dan
kebudayaan namun tidak mengeksploitasi sumberdaya, melainkan memberi
kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.
Menurut Sirakaya et al. (1999) diacu dalam Higham (2007), ekowisata
merupakan bentuk baru wisata yang bersifat tidak konsumtif (non-consumptive),
mendidik (educational) dan romantic (romatic), ke tempat-tempat yang relatif
tidak terganggu, tidak ramai dikunjungi, memiliki keindahan alam yang luar biasa
atau memiliki nilai budaya dan sejarah dengan tujuan memahami dan
mengapresiasikan alam dan sejarah sosial budaya dari tempat tujuan tersebut.
Weaver (2001) diacu dalam Higham (2007) memberikan definisi,
ekowisata adalah bentuk dari wisata yang mengangkat pengalaman belajar dan
apresiasi terhadap lingkungan alami atau beberapa komponen daripadanya
termasuk konteks kebudayaan. Wisata ini memiliki praktek yang berwawasan
lingkungan dan sosial budaya berkelanjutan serta mengutamakan cara untuk
menghargai sumberdaya dan budaya dari lokasi tujuan, juga mendukung
keberlangsungan dari penjagaannya.
Fennell (2003) diacu dalam Higham (2007) mendefinisikan ekowisata
sebagai bentuk berkelanjutan dari wisata berbasiskan sumberdaya alam, berfokus
pada mencari pengalaman dan belajar tentang alam, yang dikelola secara etis
sehingga memiliki dampak negatif yang minim, tidak bersifat konsumtif dan
orientasi lokal (kontrol lokal, keuntungan lokal dan skala kecil). Jenis wisata ini
cocok terjadi di daerah-daerah yang alami dan berkontribusi terhadap konservasi
dan preservasi di daerah tersebut.
13
Wearing dan Neil (2009) mengatakan ekowisata terdiri dari 4 elemen
fundamental. Pertama, ekowisata merupakan perjalanan dari suatu lokasi ke lokasi
lain. Perjalanan tersebut harus dibatasi ke tempat-tempat yang relatif tidak
diganggu atau daerah alami yang dilindungi karena ekowisata berfokus pada
mencari pengalaman di tempat alami. Kedua, ekowisata merupakan wisata
berbasiskan alam (nature-based). Aktivitas seperti perjalanan bisnis, perjalanan ke
luar kota, wisata pantai konvensional dan wisata olahraga tidak dapat disebut
ekowisata. Ketiga, ekowisata mendukung konservasi (conservation-led). Sebagai
salah satu segmen pada industri wisata, ekowisata menonjolkan “ peningkatan
kepedulian global terhadap budaya dan ekosistem” (Kutay 1990 diacu dalam
Wearing dan Neil 2009). Ceballos-Lascurain (1990) diacu oleh Wearing dan Neil
(2009) mengatakan pengembangan ekowisata yang tidak benar dapat menurunkan
area yang dilindungi dan tidak mengantisipasi dampak ekonomi, sosial atau
lingkungan. Keempat, ekowisata memiliki fungsi edukasi.
Menurut Chafe (2007) diacu dalam Wearing dan Neil (2009) mengatakan
ekowisata meliputi keasadaran terhadap lingkungan, konservasi lingkungan dan
pelibatan masyarakat lokal. Ekowisata bertujuan untuk membawa sekelompok
kecil manusia ke tempat alami atau area dilindungi dengan dampak minimum
terhadap lingkungan fisik, sosial dan budaya. Selanjutnya ide konservasi
merupakan ide dari ekowisata tersebut dengan tujuan memberikan kontribusi
kepada perkembangan masa depan (O’Neill 1991 diacu dalam Wearing dan Neil
2009).
Menurut Honey (2006) diacu dalam (Blangy dan Mehta 2006), ekowisata
yang berjalan baik, jika kegiatan tersebut dapat (1) menjaga lingkungan; (2)
menghargai budaya setempat dan memberi keuntungan nyata kepada masyarakat
setempat dan (3) mendidik dan juga menghibur pelaku ekowisata.
The International Ecotourism Society (TIES) mengusulkan prinsip
ekowisata sebagai berikut, meminimalkan dampak negatif, membangun kesadaran
dan penghargaan terhadap lingkungan dan budaya, memberikan pengalaman yang
positif kepada pengunjung dan tuan rumah, menyediakan keuntungan finansial
secara langsung untuk keperluan konservasi, meraih sensitivitas politik
14
(www.ecotourism.org). Definisi lain mengenai ekowisata diperoleh dari The
Quebec Declaration on Ecotourism (2002) yang dipresentasikan dalam The World
Ecotoursm Summit dikutip oleh Higham (2007), bahwa ekowisata harus
mencakup prinsip memberikan kontribusi secara aktif terhadap konservasi alam
dan warisan budaya, memasukkan masyarakat lokal pada perencanaan,
pengembangan dan operasinya, berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat
setempat, menginterpretasikan alam dan warisan budaya yang menjadi kunjungan,
memberikan layanan yang lebih baik kepada pelaku ekowisata dengan cara
mengorganisasi perjalanan menjadi kelompok ukuran kecil.
Kode ekowisata yang pernah dipresentasikan oleh WWF sekarang telah
direvisi, yang terdiri dari: integrasi dari pengembangan ekowisata dan konservasi
lingkungan, mendorong pengawetan dan konservasi terhadap hidupan liar dan
keanekaragaman hayati, meminimalkan konsumsi hidupan liar, sampah dan
polusi, menghormati kebudayaan lokal, menghormati situs budaya, masyarakat
lokal harus mendapat keuntungan, memilih perjalanan dengan staf yang terlatih
dan professional, membuat perjalanan yang memberikan pembelajaran terhadap
area, mematuhi regulasi dan mengikuti peraturan sebagai pelindung (Higham
2007).
2.2.2 Ekowisata dan beberapa bentuk wisata khusus
Ekowisata telah dibandingkan dengan beberapa bentuk ekowisata. Ada
beberapa terminologi wisata yang menggunakan pendekatan mirip dengan
ekowisata. Beberapa terminologi wisata yang seringkali dianggap atau dikecohkan
sebagai ekowisata antara lain wisata alam, wisata budaya, wisata petualangan,
wisata hidupan liar dan wisata berkelanjutan.
Wisata alam merupakan bentuk wisata yang tujuan utamanya menikmati
atau mengamati flora, fauna dan/atau lanskap. Wisata jenis ini biasanya dilakukan
dalam kelompok kecil. Kadang-kadang bentuk wisata ini sering disinonimkan
dengan ekowisata karena salah satu tujuannya untuk melindungi kawasan alami
(Page dan Dowling 2002). Akan tetapi tidak semua wisata alam saling
berhubungan erat antara prinsip satu dengan yang lain atau erat kaitannya dengan
15
lingkungan (Goodwin 1996 diacu dalam Page dan Dowling 2002). Menurut
Rahardjo (2004) wisata alam tidak terlalu melibatkan kegiatan-kegiatan atau misi-
misi konservasi dan pelestarian.
Wisata budaya merupakan jenis perjalanan ke suatu daerah untuk
mempelajari dan berpartisipasi terkait budaya daerah tersebut (Higham 2008).
Rahardjo (2004) menambahkan bahwa wisata budaya hanya berfokus pada objek
tradisi lokal dan masyarakat sebagai atraksi pokok. Wisata petualangan adalah
jenis wisata yang memiliki resiko, bahaya dan memacu adrenalin. Dalam wisata
petualangan, wisatawan dituntut memiliki stamina fisik yang mantap (Kane dan
Zink 2004 diacu dalam Higham 2008). Wisata hidupan liar (wildlife tourism)
merupakan perjalanan ke daerah yang dapat dijumpai hidupan liar. Pada jenis
wisata ini, wisatawan rela tinggal agak lama demi untuk mendapatkan
pengalaman menyaksikan hidupan liar (Page dan Dowling 2002).
Jika dibandingkan dengan ekowisata, jenis-jenis wisata di atas (wisata
alam, petualangan, budaya dan hidupan liar) hanya berfokus pada satu hal
tertentu. Sedangkan ekowisata memiliki prinsip-prinsip yang saling berkaitan satu
dengan lainnya. Wisata berkelanjutan sering juga disamakan dengan ekowisata.
Wisata berkelanjutan memang sangat dekat dengan ekowisata tetapi tidak semua
hal dalam wisata ini sesuai dengan kriteria ekowisata. Salah satu hal yang
membedakan misalnya, di kawasan yang banyak dikunjungi orang, wisata
berkelanjutan masih dapat terjadi (Rahardjo 2004).
2.2.3 Prinsip-prinsip ekowisata
Dowling (1998) diacu dalam Page dan Dowling (2002) menekankan
bahwa setidaknya ada 5 prinsip inti ekowisata yang sangat fundamental, yaitu (i)
berbasiskan alam (berbasiskan lingkuangan alami dengan fokus terhadap
keunikan biologis, fisik atau budaya); (ii) ekologi berkelanjutan; (iii) pendidikan
lingkungan (environmentally educative); (iv) keuntungan lokal dan (v)
memberikan kepuasan terhadap pengunjung. Tiga prinsip pertama di atas
merupakan syarat utama untuk produk yang disebut sebagai ekowisata, sedangkan
dua prinsip yang terakhir merupakan prinsip yang digunakan dalam bentuk wisata
lainnya.
16
Berdasarkan telaah terhadap definisi ekowisata yang diungkapkan oleh
para ahli ekowisata (Ziffer 1989; Ceballos-Lescuarain 1996; Björk (1997);
Sirakaya et al. 1999; Weaver 2001; Fennell 2003) dan The International
Ecotourism Society/TIES (2010) dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan
ekowisata perlu memenuhi tujuh prinsip (ekologi berkelanjutan, berbasiskan
alam/budaya, edukasi, keuntungan bagi masyarakat lokal, mendukung upaya
konservasi, sesuai dengan peraturan pemerintah dan kepuasan pengunjung).
Ketujuh prinsip tersebut memiliki pengertian-pengertian sebagai berikut (Tabel 2).
17
Tabel 2 Prinsip-prinsip ekowisata dan pengertiannya
Prinsip
Ekowisata
Ziffer (1989)
dalam Higham
(2007)
Ceballos-
Lascuarain
(1996)
Björk (1997)
dalam Higham
(2007)
Sirakaya et al.
(1999) dalam
Higham (2007)
Weaver (2001)
dalam Higham
(2007)
Fennell (2003)
dalam Higham
(2007)
TIES (2010)
1. Ekologi
berkelanjutan
Bukan
penggunaan
konsumtif
terhadap hidupan
liar dan
sumberdaya alam
Meminimkan
dampak negatif
dari pengunjung)
Tidak
mengeksploitasi
sumberdaya
Bersifat tidak
konsumtif (non-
consumptive)
Berwawasan
lingkungan dan
sosial budaya
berkelanjutan
Dikelola secara etis
sehingga memiliki
dampak negatif
yang minim dan
tidak bersifat
konsumtif
Meminimalkan
dampak (terhadap
lingkungan dan
kebudayaan)
2. Berbasiskan
alam/budaya Bebasiskan alam
termasuk keaslian
budaya (sejarah
alami dari suatu
kawasan termasuk
keaslian
budayanya)
Kunjungan ke
daerah yang
relatif tidak
terganggu untuk
menikmati dan
mengapresiasikan
alam (dan
keunikan
kebudayaan yang
ada)
Perjalanan ke
tempat yang
masih asli
Ke tempat-tempat
yang relatif tidak
terganggu, tidak
ramai dikunjungi
Lingkungan alami
atau beberapa
komponen
daripadanya
termasuk konteks
kebudayaan
Berbasiskan
sumberdaya alam
Kunjungan ke
tempat alami
18
Tabel 2 Lanjutan
Prinsip
Ekowisata
Ziffer (1989)
dalam Higham
(2007)
Ceballos-
Lascuarain
(1996)
Björk (1997)
dalam Higham
(2007)
Sirakaya et al.
(1999) dalam
Higham (2007)
Weaver (2001)
dalam Higham
(2007)
Fennell (2003)
dalam Higham
(2007)
TIES (2010)
3. Edukasi Menanamkan
apresiasi dan
dedikasi pelaku
ekowisata tentang
isu konservasi
Wisatawan
mempelajari alam
dan kebudayaan
Bersifat mendidik
(educational)
dengan tujuan
pengunjung
memahami dan
mengapresiasikan
alam dan sejarah
sosial budaya dari
tempat tujuan
tersebut
Mengangkat
pengalaman belajar
dan apresiasi
Berfokus pada
mencari
pengalaman dan
belajar tentang alam
Membangun
kesadaran dan
penghargaan
terhadap
lingkungan dan
budaya
4. Keuntungan
bagi
masyarakat
lokal
Memberikan
keuntungan dan
melibatkan secara
langsung
masyarakat lokal
Memberikan
keterlibatan aktif
yang
menguntungkan
secara sosial dan
ekonomi bagi
penduduk lokal
Orientasi lokal
(kontrol lokal,
keuntungan lokal
dan skala kecil)
Memberikan
keuntungan
finasial kepada
masyarakat lokal
dan
memberdayakan
masyarakat lokal
19
Tabel 2 Lanjutan
Prinsip
Ekowisata
Ziffer (1989)
dalam Higham
(2007)
Ceballos-
Lascuarain
(1996)
Björk (1997)
dalam Higham
(2007)
Sirakaya et al.
(1999) dalam
Higham (2007)
Weaver (2001)
dalam Higham
(2007)
Fennell (2003)
dalam Higham
(2007)
TIES (2010)
5. Mendukung
upaya
konservasi
Berkontribusi
terhadap area
setempat dalam
bentuk finansial
maupun tenaga
Mengajak
tindakan
konservasi
Mendukung
keberlangsungan
penjagaan
sumberdaya dan
budaya
berkontribusi
terhadap konservasi
dan preservasi di
daerah yang dituju
Memberikan
keuntungan
finansial langsung
untuk konservasi
6. Sesuai dengan
peraturan
pemerintah
Sesuai
dengan
regulasi/per
aturan yang
berlaku
7. Kepuasan
pengunjung
Wisatawan
mengagumi dan
menikmati alam
dan budaya
Memberikan
pengalaman yang
positif terhadap
pengunjung
20
2.2.4 Karakteristik ekowisatawan
Beeton (2000) menyebutkan karakteristik ekowisatawan pada umumnya
antara lain:
a. Sebagian besar pelaku ekowisata berusia 20-40 tahun
Pada selang usia ini, sebagian besar orang cenderung tertarik untuk
berpetualang. Sedangkan pada usia 40-54, sebagian besar orang
berkonsentrasi untuk meningkatkan karirnya dan membiayai anak-
anaknya. Sedangkan pada usia 55 tahun ke atas merupakan usia mid-
lifers (pertengahan hidup), orang-orang pada usia ini cenderung
menyukai liburan yang santai.
b. Ekowisatawan cenderung lebih terpelajar daripada wisatawan yang lain
Pelaku ekowisata memperlihatkan ketertarikannya terhadap lingkungan.
Mereka sanggup mengeluarkan uang lebih banyak dan pro terhadap
konservasi.
c. Ekowisatawan lebih menyukai tinggal di akomodasi khusus yang diset
secara natural.
d. Ekowisatawan kurang memperhatikan musim kunjungan seperti
layaknya wisatawan lain yang menunggu saat musim kunjungan ramai.
Kusler (1991) diacu dalam Fennel (1999), menggolongkan ekowisatawan
ke dalam 3 grup utama, yaitu:
a. Do-it-yourself ecotorists
Tipe ekowisatawan ini melakukan ekowisata dengan keinginannya
sendiri tanpa terikat oleh program. Grup ekowisatawan seperti ini
biasanya tinggal/menginap di berbagai macam akomodasi dan melakukan
perpindahan di berbagai tempat.
b. Ecotourists on tours
Tipe ekowisatawan ini mengikuti program yang terorganisir dalam
melakukan perjalanannya.
21
c. School groups/scientific groups
Sekelompok ekowisatawan yang tergabung dalam research ilmiah.
Biasanya tinggal di daerah yang sama dengan satu grupnya selama
periode waktu tertentu. Tipe ekowisatawan ini lebih memperhatikan
kondisi dan menjaga agar tidak terjadi kerusakan tempat ekowisata.
2.2.5 Ekowisata mangrove
Potensi lain dari hutan mangrove yang belum dikembangkan secara
optimal adalah untuk keperluan wisata alam atau ekowisata. Padahal di negara
lain, seperti Malaysia dan Australia, kegiatan wisata di kawasan hutan mangrove
sudah berkembang lama dan menguntungkan (Dahuri 1996).
Berdasarkan penelitian Yuniake (2003) tentang wisata mangrove di Nusa
Lembongan Bali, motivasi wisatawan yang berkunjung ke Nusa Lembongan
karena ingin menikmati pulau yang indah dan tidak banyak dikunjungi orang.
Sebagian besar wisatawan yang datang di tempat tersebut memilih wisata
mangrove. Pilihan terhadap wisata mangrove didukung oleh keinginan
wisatawan untuk mengamati hidupan liar dan memancing bersama nelayan.
2.3 Evaluasi Pengembangan Ekowisata
Ekowisata masih dianggap sebagai istilah yang “simpang siur” dalam
dunia kepariwisataan karena ekowisata dipercayai sebagai segmen pasar wisata
yang berkembang dengan cepat dan karena banyak para kelompok konservasi
melihat ekowisata sebagai upaya untuk menjamin pembangunan ekologis
berkelanjutan atau lebih umum lagi ekowisata merupakan cara untuk mencapai
pembangunan yang berkelanjutan. Untuk mencapai pembangunan yang
berkelanjutan, wisata yang dimaksud harus dapat menjaga keberlanjutan dari
ekonomi, politik, sosial dan sudut pandang lingkungan. Oleh karena itu antara
tujuan ekonomi, politik, sosial dan lingkungan harus selaras (Tisdell 1998).
Konsep ekowisata yang diperkenalkan sejak tahun 1960-an, didiskusikan
oleh kaum ekologis pada tahun 1970-an, diterima oleh para ahli wisata pada
tahun 1980-an dan diakui sebagai segmen industri wisata yang berkembang
dengan cepat pada tahun 1990-an, ternyata sulit untuk diimplementasikan.
22
Pengembangan ekowisata secara praktek sering menemui berbagai masalah,
seperti keuntungan yang dijanjikan tidak realistis, perkembangannya yang lemah
atau bahkan tidak ada dan manajemen kurang bagus yang disebabkan kurangnya
koordinasi antara para stakeholder yang terlibat dalam ekowisata. Alasan lain
timbulnya berbagai masalah dalam ekowisata dapat karena konsep ekowisata
sendiri atau bagaimana ekowisata dioperasikan (Higham 2007).
Suatu evaluasi tentang realitas implementasi ekowisata perlu dilakukan
untuk menilai kenyataan di lapangan sudah sesuai belum terhadap prinsip-
prinsip ekowisata yang sesungguhnya. Menurut Casley dan Kumar (1991)
evaluasi menuntut suatu analisis yang sistematis, objektif terhadap prestasi,
efisiensi dan dampak proyek dalam kaitannya dengan tujuan-tujuannya. Evaluasi
mencoba untuk:
a. Secara kritis menguji kembali; dilihat dari sudut pembangunan
berikutnya, rasioanalisasi proyek yang dinyatakan dalam dokumen
persiapan dan penilaian.
b. Membandingkan hasil-hasil nyata yang dicapai dengan target yang
ditentukan dan mengidentifikasi alasan-alasan terjadinya kekurangan dan
kelebihan.
c. Menilai efisiensi tata cara pelaksanaan proyek dan mutu presetasi
manajemen.
d. Menentukan efisiensi proyek.
e. Menentukan pengaruh dan dampak proyek.
f. Menyajikan pelajaran berharga dan rekomendasi yang diambil dari
pelajaran tersebut.
Evaluasi dapat didefinisikan sebagai identifikasi, klarifikasi dan
penerapan kriteria-kriteria yang dapat dipertahankan untuk menentukan nilai
objek yang dievaluasi, realitas, kegunaan, keefektifan atau kesignifikanan
terhadap kriteria-kriteria tersebut (Worthen et al. 1997 diacu dalam Fennell
2002). Salah satu kesalahpahaman tentang evaluasi adalah evaluasi hanya
merupakan alat yang digunakan pada akhir rangkaian program. Sebenarnya,
23
evaluasi seharusnya dilakukan pada tahapan-tahapan yang dianggap penting.
Evaluasi memang mungkin dilakukan pada akhir program tetapi juga pada saat-
saat tertentu selama pengembangan dan pelaksanaan program.
Evaluasi yang dilakukan selama perencanaan dan pelaksanaan program
disebut dengan evaluasi formatif (formative evaluation). Pada evaluasi ini
mengandung upaya-upaya untuk membantu programer untuk memonitor
kemajuan menuju kelancaran dan penyelasaian program (identifikasi terhadap
masalah-masalah yang memungkinkan dapat dipecahkan sebagai upaya
meningkatkan program). Sebagai contohnya, evaluasi untuk mencegah dampak
negatif dari program yang kurang bagus terhadap masyarakat atau sumberdaya
(Fennell 2002).
Evaluasi yang dilakukan di akhir program disebut evaluasi sumatif
(summative evaluation). Maksud dari evaluasi sumatif adalah untuk meminta
pengambil keputusan program dan konsumen untuk memberikan pendapat
terhadap nilai dan kebaikan program sesuai dengan kriteria-kriteria yang
dianggap penting. Evaluasi sumatif lebih menuju keputusan-keputusan tentang
keberlanjutan, ketetapan, perluasan dan pengadopsian program (Worthen et al.
1997 diacu dalam Fennell 2002).
Menurut Fennell (2002) terdapat berbagai model evaluasi, diantaranya
adalah:
a. Evaluasi intuitif (intuitive evaluation).
Metode evaluasi ini paling banyak diterapkan daripada metode lainnya
karena cepat dan tidak mahal. Pendekatan evaluasi non-sistematik ini
lebih sering digunakan dan tergantung dari keadaan untuk membuat
keputusan-keputusan terhadap berbagai komponen program. Metode ini
merupakan bentuk evaluasi yang saling berkaitan sehingga baik sekali
untuk observasi program dari hari ke hari. Sebagai konsekuensinya,
informasi baru dapat digabungkan dengan mudah menjadi konteks
program selama pelaksanaannya.
24
b. Evaluasi dengan standar (evaluation by standards).
Merupakan pendekatan yang menggunakan serangkaian standar yang
ditetapkan secara lokal maupun nasional. Standar-standar tersebut
biasanya dikembangkan oleh pihak-pihak professional yang berkaitan
dengan bidang.
c. Evaluasi berdasarkan sasaran dan tujuan (evaluation by goals and
objectives).
Pendekatan ini terdiri dari identifikasi terhadap sasaran dan tujuan serta
penilaian terhadap ketidaksesuaian antara hasil yang diharapkan dan hasil
yang nyata atau yang dicapai.
d. Evaluasi dengan pertimbangan profesional (evaluation by professional
judgement).
Evaluasi ini dilakukan oleh penilai dari luar (external evaluators). Penilai
dalam evaluasi ini biasanya menggunakan seperangkat penilaian
eksternal untuk mengukur keefektivan program yang mereka tinjau.
Seperti halnya pada metode evaluasi dengan standar, evaluasi ini juga
menggunakan checklist. Akan tetapi juga berdasarkan observasi,
wawancara dan tinjauan terhadap dokumen-dokumen.
e. Metode transaksi dan observasi (transaction-observation method).
Metode evaluasi ini murni diisi oleh para peserta program. Penilaian ini
berdasarkan pengukuran terhadap kepuasan/ketidakpuasan peserta, sikap,
perbuatan, keuntungan dan variabel lainnya.
f. Metode pendekatan secara komunikatif dan interaktif (communicative
and interactive approach).
Pendekatan penilaian ini berdasarkan keterlibatan seseorang, kelompok
masyarakat, kelompok yang memiliki kepentingan khusus dan kelompok
tertentu untuk mengumpulkan informasi sebelum perencanaan program.
g. Evaluasi berdasarkan tingkat kepentingan dan prestasi (importance-
performance evaluation).
Langkah awal dari evaluasi ini adalah menilai tingkat penting dari
berbagai program dengan menggunakan skala, dari tingkat “tidak
25
penting” sampai “sangat penting”. Langkah kedua adalah menilai tingkat
prestasi dari program dengan menggunakan skala dari tingkat “buruk
sekali” sampai “sangat bagus”. Kemudian hasil dari masing-masing
penilaian dirata-ratakan dan plotkan ke dalam quadrant. Sumbu x
merupakan tingkat presatasi dan sumbu y merupakan tingkat
kepentingan.
h. Evaluasi terhadap etika operator (Evaluation of operator ethics).
Evaluasi ini mempersilakan konsumen untuk mengapresiasikan/menilai
etika dari penyedia jasa terhadap alam.
2.4 Taman Nasional
Taman nasional merupakan kawasan dilindungi yang memiliki area yang
luas secara alami atau mendekati alami, ditetapkan tidak lain untuk melindungi
proses-proses ekologi dalam skala luas beserta komplemen spesies dan
karakteristik ekosistem dalam kawasan, yang juga menyediakan kebutuhan
spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi dan kesempatan pengunjung
yang selaras dengan lingkungan dan budaya (IUCN 2008). Menurut UU Nomor
5 tahun 1990 tentang Konservasi Alam Hayati dan Ekosistemnya, taman
nasional diartikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem
asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 68 tahun 1998, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian
alam yang dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan rekreasi.
Perlindungan terhadap taman nasional dilakukan untuk pengembangan
pendidikan, rekreasi dan pariwisata, serta peningkatan kualitas lingkungan
sekitarnya dan perlindungan dari pencemaran. Kriteria taman nasional adalah
berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbuhan dan satwa yang
beragam, memiliki arsitektur bentang alam yang baik dan memiliki akses yang
baik untuk keperluan pariwisata.
26
Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam
taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan,
pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi
publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan
kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional
yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56/Menhut-II/2006
tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional). Taman nasional oleh IUCN
digolongkan dalam kawasan dilindungi sebagai kategori II dan memiliki
keunikan yang tersendiri dibandingkan dengan kategori lainnya (IUCN 2008).
Sebagian besar kekayaan keanekaragaman hayati terdapat di hutan alami
Indonesia, khususnya di kawasan konservasi yang terdiri dari kawasan suaka
alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman
nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya) dan taman buru. Di antara
semua tipe kawasan konservasi tersebut, taman nasional memberikan
kesempatan paling besar untuk menikmati keanekaragaman, keunikan dan
berbagai keindahan flora dan fauna endemik, langka dan dilindungi (Direktorat
Jenderal PHKA 2003).
Taman nasional memiliki multi fungsi bagi terselenggaranya berbagai
proses ekologi dan memberikan multi manfaat melalui aneka produk jasa
lingkungan yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup. Nilai guna taman
nasional dapat dikelompokkan menjadi nilai guna langsung (direct use values),
nilai guna tidak langsung (indirect use values), nilai guna pilihan (options
values) dan nilai guna non-konsumtif. Nilai guna taman nasional umumnya akan
mendorong tumbuhnya manfaat langsung melalui proses efek ganda
(multiplayer effects) (Direktorat Jenderal PHKA 2006).
27
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian tentang evaluasi pengembangan ekowisata mangrove ini
dilakukan di Sub Resort Bedul Taman Nasional Alas Purwo (TNAP)
Banyuwangi, Jawa Timur pada bulan Febuari-April 2010. Sebelum melakukan
penelitian pada tahun 2010, penulis telah melakukan kunjungan awal di Bedul
sebanyak 2 kali pada tahun 2009 yaitu pada bulan Februari dan Agustus.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah peta kawasan, binokuler, kompas, kamera
digital, meteran, tali tambang, pengukur waktu, tally sheet dan panduan
wawancara. Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian adalah vegetasi
mangrove, satwaliar, stakeholder (pihak TNAP, masyarakat lokal dan kepala
desa, pemerintah daerah yang diwakili oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata
Banyuwangi, Balai Pengelola Hutan Mangrove Wilayah I Denpasar), sarana dan
prasarana pendukung ekowisata dan pengunjung.
Lokasi penelitian
28
3.3 Orientasi Lapang
Orientasi lapang dilakukan sebelum penelitian bertujuan untuk
mengetahui secara pasti medan tempat akan dilakukannya penelitian, yang
terdiri blok tempat diselenggarakannya ekowisata, desa Sumberasri dan site-site
lain di Blok Bedul lain yang menarik. Kegiatan orientasi ini dilakukan selama 2-
3 hari.
3.4 Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian terdiri dari:
3.4.1 Potensi ekowisata
Objek dapat berupa objek yang berasal dari alam atau berupa hasil
budaya. Objek ekowisata (point interest) yang perlu didata terdiri dari potensi
sumberdaya alam dan potensi sumberdaya masyarakat (Susanto dan Suprapto
2004). Dalam penelitian ini, data potensi wisata yang akan diambil meliputi:
a. potensi biologi (flora dan fauna)
b. potensi fisik (aksesibilitas, bangunan infrastruktur beserta sarana dan
prasarana pendukung) dan
c. budaya masyarakat setempat
3.4.2 Kegiatan wisata yang sudah ada dan aktivitas masyarakat lokal terkait
penyelenggaraan wisata:
a. paket wisata yang ditawarkan
b. pengunjung (data sekunder jumlah pengunjung, usia, asal, jumlah
orang dalam satu rombongan, motivasi, uang yang sanggup
dikeluarkan untuk melakukan wisata mangrove)
c. aktivitas masyarakat lokal terkait dengan wisata (pemanfaatan
masyarakat lokal terhadap kawasan terkait penyelenggaraan wisata)
3.4.3 Informasi dan data terkait proses pengembangan ekowisata mangrove di
TNAP:
a. fungsi dan tujuan TNAP
b. stakeholder (siapa saja yang terlibat dalam pengembangan ekowisata,
peran, kepentingan serta tugas stakeholder)
29
c. kebijakan
Data mengenai kebijakan diperoleh dari peraturan perundang-
undangan, peraturan pemerintah terkait penyelenggaraan wisata di
daerah konservasi, acuan yang digunakan TNAP dalam
mengembangkan ekowisata mangrove, kebijakan-kebijakan tertentu
yang ditetapkan oleh Balai TNAP terkait dengan pemanfaatan Bedul
serta Memorandum of Understanding (MoU) antara Balai TNAP
dengan stakeholder-stakeholder lainnya.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan ada 2 macam yaitu data primer dan data
sekunder. Beberapa tahap yang dilakukan dalam pengumpulan data meliputi: (1)
melakukan studi literatur dan diskusi, (2) pengumpulan data dan pengamatan di
lapangan (observasi) dan (3) wawancara.
3.5.1 Studi literatur dan diskusi
Studi literatur (pengumpulan data sekunder) dari berbagai sumber buku,
laporan, jurnal dan sebagainya dilakukan di kantor Balai TNAP dan institusi
terkait. Data sekunder meliputi kebijakan ekowisata mangrove, jumlah
pengunjung dan informasi lain yang relevan dengan topik penelitian. Diskusi
secara intensif dilakukan dengan dosen pembimbing. Selain itu diskusi juga
dilakukan dengan contact person dari Balai Pengelola Hutan Mangrove
Wilayah I Denpasar dan Direktorat Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, PHKA,
Departemen Kehutanan Republik Indonesia untuk memperkuat informasi.
3.5.2 Observasi
3.5.2.1 Potensi wisata
a. Potensi sumberdaya alam biologi
(i) vegetasi mangrove
Struktur vegetasi mangrove diketahui dengan cara membuat
plot sampel dan penggambaran profil. Ukuran plot sampel adalah 10
m x 50 m di blok Bedul yang dibuat 3 kali. Plot sampel pertama dan
kedua dibuat dari vegetasi yang paling dekat dengan bibir sungai,
30
dengan menarik garis lurus menuju ke arah daratan sepanjang 100
meter. Plot sampel ketiga dibuat dengan cara menarik garis tegak
lurus dari bibir sungai seperti pada pembuatan plot sampel pertama,
tetapi pemilihan plot dimulai dari arah daratan menuju sungai. Setiap
plot sampel dibagi menjadi subplot dengan ukuran 10 m x 10 m.
Subplot berukuran 10 m x 10 m ini digunakan untuk menghitung
tingkat pohon. Menurut Kusmana (1997), tingkat pohon pada
tumbuhan mangrove memiliki diameter 10 cm atau lebih. Subplot 10
m x 10 m kemudian dibagi lagi menjadi subplot yang lebih kecil yaitu
5 m x 5 m, gunanya untuk menghitung tingkat pancang. Pada
tumbuhan mangrove, disebut tingkat pancang jika memiliki diameter
2-10 cm dan tinggi lebih dari 2 m. Sedangkan subplot terkecil
berukuran 2 m x 2 m, digunakan untuk menghitung anakan (semai).
Adapaun ukuran tinggi tingkat semai yaitu kurang dari 2 meter.
Gambar 3 Plot Petak untuk Mengetahui Komposisi Mangrove
(ii) fauna
Data primer secara umum mengenai fauna diperoleh dengan
metode Rapid Assessment, yaitu dengan mencatat jenis fauna yang
dijumpai di lokasi penelitian. Pencatatan terhadap satwaliar
digolongkan ke dalam kelompok mamalia, aves, herpetofauna dan
epifauna. Selanjutnya data fauna yang didapat dikelompokkan
berdasarkan statusnya agar dapat diketahui termasuk ke dalam spesies
langka atau dilindungi.
31
Khusus untuk data burung air, pengamatan dilakukan dengan 2
metode yaitu metode perjalanan dengan perahu dan metode
concentration count. Metode perjalanan dengan perahu dilakukan
dengan cara pengamatan di atas perahu dengan menggunakan bantuan
binokuler. Metode ini merupakan tahap pengamatan secara awal
dengan tujuan untuk mengamati jenis-jenis burung yang terdapat di
paparan lumpur di sepanjang tepi sungai dan mengetahui lokasi mana
saja yang sering digunakan oleh burung air untuk hinggap.
Metode Concentration Count ini dipilih untuk mengetahui
populasi jenis-jenis burung berkoloni (berkumpul) di suatu tempat
pada saat tertentu. Cara kerja dengan metode ini adalah dengan
memilih tempat atau titik pengamatan strategis agar peneliti mudah
mengamati dan mengidentifikasi burung.
b. Potensi fisik
Pengumpulan potensi fisik selain menggunakan data sekunder juga
dengan pengamatan/observasi. Potensi fisik yang dikumpulkan secara
observasi meliputi: aksesibilitas, bangunan infrastruktur dan sarana
prasarana pendukung lainnya.
c. Kebudayaan masyarakat
Kebudayaan masyarakat merupakan salah satu potensi ekowisata.
Data mengenai atraksi kebudayaan masyarakat didapatkan melalui
wawancara terhadap pengelola dan masyarakat setempat serta jika
memungkinkan melalui pengamatan secara langsung.
3.5.2.2 Aktivitas Masyarakat dan Pengunjung
Data mengenai aktivitas masyarakat sekitar dan pengunjung di dalam
kawasan ekowisata secara langsung dilakukan dengan cara pengamatan. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui aktivitas sesungguhnya yang dilakukan oleh
masyarakat dan pengunjung, apakah aktivitas yang mereka lakukan masih dalam
batas kewajaran atau justru menyimpang dari prinsip-prinsip ekowisata
sesungguhnya.
32
3.5.3 Wawancara (Interview)
Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dengan
responden. Bentuk wawancara yang diterapkan adalah gabungan antara
wawancara terstruktur (menggunakan panduan wawancara yang telah disiapkan)
serta wawancara tidak terstruktur secara mendalam (in depth-interview). Adapun
pemilihan responden adalah sebagai berikut:
a. Pihak Balai TNAP
Wawancara terhadap pihak Balai TNAP dimaksudkan untuk mengetahui
sistem pengelolaan ekowisata mangrove di Blok Bedul. Responden dari
pihak Balai TNAP adalah Kepala TNAP, Kepala Seksi Wilayah I
Tegaldlimo, Kepala Resort Grajagan dan para staf lain yang terlibat atau
cukup mengerti tentang pengembangan ekowisata mangrove di Bedul.
b. Pengunjung
Responden dari kalangan pengunjung, dipilih beberapa orang yang
datang di Bedul untuk tujuan wisata. Pengumpulan data primer
pengunjung sengaja dilakukan dengan wawancara bukan dengan
menggunakan kuisioner dengan tujuan untuk meminimalkan
kesalahpahaman pengunjung dalam menangkap pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan. Total pengunjung yang berhasil diwawancarai sebanyak
40 orang.
c. Masyarakat lokal
Responden dari masyarakat lokal ditentukan secara acak dengan cara
wawancara secara mendalam kepada masyarakat yang terlibat dalam
pengembangan ekowisata mangrove (pengurus, tenaga kerja dan pemilik
perahu), masyarakat yang beraktifitas di Bedul serta masyarakat Desa
Sumberasri yang mendirikan usaha warung dan toko di sekitar Bedul.
Responden penduduk lokal yang berhasil diperoleh sebanyak 46 orang.
d. Stakeholder lain yang terlibat
Selain pihak Balai TNAP dan masyarakat lokal Desa Sumberasri,
stakeholder lain yang terlibat dalam pengembangan ekowisata mangrove
33
antara lain: pemerintah daerah dan Balai Pengelola Hutan Mangrove
Wilayah I Denpasar.
3.6 Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dengan cara mentabulasikan dan kemudian
dianalisis sesuai dengan jenis dan tujuan penggunaannya. Setiap hasil analisis
permasalahan akan saling berhubungan sehingga dapat digunakan untuk bahan
cross check antara hasil yang satu dengan yang lainnya.
3.6.1 Analisis potensi ekowisata
a. Vegetasi mangrove
Berdasarkan hasil pengukuran terhadap struktur vegetasi mangrove
dapat dihitung:
b. Analisis fauna
Data hasil pengamatan fauna dikelompokkan berdasarkan jenisnya.
Identifikasi selanjutnya adalah pengkatagorian untuk mengetahui
klasifikasi satwa tersebut endemik, langka, dilindingi dan sebagainya.
c. Potensi fisik
Data mengenai potensi fisik ditabulasikan kemudian dianalisis secara
deskriptif tentang kelayakannya.
d. Atraksi kebudayaan masyarakat
Data mengenai atraksi kebudayaan masyarakat setempat diuraikan
secara deskriptif.
3.6.2 Analisis kegiatan wisata
Data terkait kegiatan wisata yang diperoleh berdasarkan wawancara
dengan pengunjung dan pengelola dibahas secara deskriptif dengan
membandingkannya berdasarkan hasil observasi. Kemudian dapat ditarik
kesimpulan mengenai jenis wisata yang ada sekarang.
34
3.6.3 Analisis pengembangan ekowisata mangrove
Analisis pengembangan ekowisata mangrove ditinjau dari berbagai aspek
seperti fungsi dan tujuan TNAP, stakeholder yang terlibat, dasar kebijakan
digunakan terkait kolaborasi pengembangan ekowisata mangrove, kebijakan
manajemen wisata di kawasan konservasi dan perjanjian kerjasama antara TNAP
dan stakehoder. Realitas pelaksanaan pengembangan ekowisata mangrove di
TNAP selanjutnya akan dibandingkan kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip
ekowisata. Jika terdapat ketidaksesuaian (gap) maka akan dicari penyebabnya.
Kemudian rekomendasi diusulkan berdasarkan permasalahan yang ada.
Berdasarkan analisis yang telah dipaparkan diatas, selanjutnya
kesesuaian pengembangan ekowisata mangrove terhadap prinsip-prinsip
ekowisata dapat dibandingkan. Sampai sejauh mana pengembangan ekowisata
mangrove di Bedul Resort Grajagan TNAP dapat diketahui dengan menjawab
tujuh pertanyaan terkait prinsip-prinsip ekowisata, yaitu: (i) ekologi
berkelanjutankah?; (ii) berbasiskan alam/budayakah?; (iii) adakah unsur
edukasi?; (iv) apakah memberi keuntungan bagi masyarakat lokal?; (v) apakah
mendukung upaya konservasi?; (vi) sudahkah sesuai dengan peraturan
pemerintah? dan (vii) bagaimana dengan kepuasan pengunjung?
35
IV. KONDISI UMUM
4.1 Letak dan Luas
Berdasarkan administrasi Pemerintahan Taman Nasional Alas Purwo
(TNAP) terletak di Kecamatan Tegaldlimo dan kecamatan Purwoharjo
Kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi. Secara geografis terletak di ujung
Timur Pulau Jawa wilayah Pantai Selatan antara 8o 47’45” – 8
o 47’00” LS dan
114o 20’16” – 114
o 36’00” BT.
Taman Nasional Alas Purwo sebelah barat berbatasan dengan Teluk
Grajagan, kawasan hutan produksi Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan
Hutan Banyuwangi Selatan, Desa Grajagan, Desa Purwoagung, Desa
Sumberasri. Sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali dan Samudera
Indonesia. Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Pangpang, Desa Sumberberas,
Desa Kedungrejo, Desa Wringinputih Kecamatan Muncar, Desa Kedungsari
Kecamatan Tegaldlimo dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudera
Indonesia.
Kawasan TNAP meliputi daratan seluas 43.420 ha. Berdasarkan zonasi
kawasan, TNAP terbagi menjadi beberapa zonasi antara lain yaitu:
a. Zona inti (Sanctuaty zone) seluas 17.150 ha.
b. Zona rimba (Wilderness zone) seluas 24.207 ha.
c. Zona rehabilitasi (Rehabilitation zone) seluas 620 ha.
d. Zona pemanfaatan (Intensive use zone) seluas 660 ha.
e. Zona tradisional (Traditional zone) seluas 783 ha.
4.2 Topografi
Kawasan TNAP terdiri dari daerah pantai (perairan, daratan dan rawa),
daerah daratan hingga daerah perbukitan dan pegunungan dengan ketinggian
mulai dari 0-322 m dpl. Puncak tertinggi adalah Gunung Lingga Manis (322
mdpl). Daerah pantai di TNAP melingkar mulai dari Segoro Anak (Grajagan)
sampai daerah Muncar dengan panjang garis pantai sekitar 105 km. Kelerengan
kawasan mulai daerah datar (0-8%) seluas 10.554 ha, landai (8-15%) seluas
36
19.474 ha, agak curam (15-25%) seluas 11.091 ha, serta curam (25-40%) seluas
2.301 ha (Aryanto et al. 2008).
4.3 Geologi
Formasi geologi pembentukan kawasan TNAP berumur Meosen atas,
terdiri dari batuan berkapur dan batuan berasam. Pada batuan berkapur terjadi
proses karstifikasi yang tidak sempurna karena faktor iklim yang kurang
mendukung (relative kering) serta batuan kapur yang diperkirakan terintrusi oleh
batuan lain. Di dalam kawasan TNAP terdapat 44 buah gua, yang banyak
dikunjungi antara lain Gua Istana, Gua Padepokan dan Gua Basori (Ariyanto et
al. 2008).
4.4 Tanah
Jenis tanah di kawasan TANP terdiri dari empat kelompok, yaitu tanah
kompleks Mediteran Merah-Litosol seluas 2.106 ha, tanah Regosol Kelabu
seluas 6.238 ha, tanah Grumosol Kelabu seluas 379 ha dan tanah Aluvial
Hidromorf seluas 34.697 ha (Ariyanto et al. 2008).
4.5 Iklim
Kawasan TNAP dan sekitarnya memiliki curah hujan yang tidak merata
sepanjang tahun. Curah hujan tahunan mencapai 1.079 mm (Tegaldlimo), 1.491
mm (Purwoharjo), 1.554 mm (Muncar) dan 2.147 mm (Glagah). Berdasarkan
sistem klasifikasi Schmidth dan Ferguson daerah sekitar TNAP memiliki tipe
iklim sekitar D (agak lembab) sampai E (agak kering). Secara umum bulan
basah terjadi pada bulan November sampai April dan bulan kering terjadi pada
bulan Mei sampai Oktober. Kisaran penyinaran matahari bulanan di
Banyuwangi adalah 52% sampai 89% dengan rata-rata sebesar 75%. Suhu udara
maksimum bulanan di Banyuwangi antara 31,2oC - 34,5
oC dan suhu udara
minimumnya antara 20,7oC - 22,5
oC sedangkan suhu udara rata-rata berkisar
25,9oC - 28,2
oC. Fluktuasi kelembaban udara juga tergolong kecil, yaitu berkisar
antara 75% - 81%. Arah angin terbanyak yang bertiup di daerah Banyuwangi
adalah arah Selatan dengan kecepatan antara 2,3 - 4,2 knot (Ariyanto et al. 2008)
37
4.6 Hidrologi
Tanah di TNAP mengandung air tanah yang kurang produktif karena
daerahnya ditutupi oleh batuan sedimen padu yang mengandung sedikit celahan
dan porositasnya rendah. Jenis batuan ini tidak dapat meneruskan air. Sungai
yang mengalir sepanjang tahun hanya terdapat di bagian Barat TNAP yaitu di
daerah sekitar Pancur. Di beberapa tempat, sumber air dalam jumlah kecil dapat
diperolah dari sistem rekahan atau celahan dari lapisan lapuk yang tebal, serta
endapan alluvium yang tipis. Sumber air semacam ini dapat ditemui di Pecari
Kuming dan Sadengan. Sungai yang selalu berair sepanjang tahun terdapat di
kawasan TNAP adalah Sungai Seboro Anakan (panjang ± 13 km), sedangkan
sumber mata air terdapat di Goa Kucur, Goa Kunci, Goa Basori dan Goa Istana.
4.7 Potensi Sumberdaya Alam
4.7.1 Potensi flora
Secara umum tipe hutan di kawasan hutan Taman Nasional Alas Purwo
merupakan hutan hujan tropis dataran yang dipengaruhi oleh angin musim.
Keanekaragaman jenis flora darat di kawasan TNAP temasuk tinggi.
Berdasarkan hasil inventarisasi tercatat 158 jenis tumbuhan (59 famili) mulai
dari tingkat tumbuhan bawah sampai tumbuhan tingkat pohon berbagai
tipe/formasi vegetasi (hutan pantai-mangrove-hutan dataran rendah).
Berdasarkan tipe ekosistemnya, hutan di Taman Nasional Alas Purwo dapat di
kelompokkan menjadi:
a. Hutan Bambu
Formasi vegetasi bambu memiliki penyebaran yang cukup luas karena
formasi bambu memiliki sebaran merata secara berkelompok. Luas hutan
bambu mencapai sekitar 40% dari luas zona inti. Bambu yang ditemukan
di TNAP antara lain bambu ampel (Bambusa vulgaris), bambu wuluh
(Schizostachyum blumer), bambu apus (Gigantochloa apus), bambu
gesing (Bambusa spinosa), bambu jajang (Gigantochloa nigrociliata),
bambu jalar (Dinochloa scandens), bambu jawa (Gigantochloa
38
verticiliata), bambu rampal (Schizostachyum branchyladum), bambu
jabal, bambu wulung dan bambu manggong (Gigantochloa manggong).
Hutan bambu di kawasan TNAP merupakan hutan bambu terluas di
Pulau Jawa, yaitu mencapai lebih kurang 17.000 Ha.
b. Hutan Alam Dataran Rendah
Formasi vegetasi hutan alam dataran rendah merupakan bagian terluas
dari seluruh luas kawasan TNAP, sebagian besar terdapat di zona inti.
Jenis-jenis vegetasi pohon dominan di formasi adalah kepuh (Sterculia
foetida), bendo (Artocarpus elastica), kedawung (Parkia roxburgii),
kemiri (Aleurites moluccana), beringin (Ficus benjamina), kedondong
hutan (Spondias pinnata).
c. Hutan Pantai
Formasi vegetasi pantai terdapat di bagian selatan dan utara. Di bagian
selatan membentang dari arah Grajagan (Segoro Anak) samapi
Plengkung dengan panjang bentangan sekitar 30 km dan Plengkung
sampai Tnajung Slakah dengan panjang bentang sekitar 50 km. Di bagian
utara membentang dari Tanjung Sembulungan sampai Tnajung Slakah
dengan panjang sekitar 40 km. Lebar rata-rata vegetasinya dari pantai ke
daratan (ke arah atas) sekitar 250-300 m. Jenis pohon yang umum antara
lain ketapang (Terminalia catappa), nyamplung (Calophylum
inophylum), waru laut (Hibicus sp) dan keben (Baringtonia asiatica).
Tumbuhan langka dan khas di wilayah ini adalah sawo kecik (Manilkara
kauki).
d. Hutan Mangrove
Formasi hutan mangrove di kawasan TNAP sebagian besar terdapat di
sepanjang Sungai Segoro Anak serta di beberapa blok hutan, seperti Blok
Pondok Welit, Teluk Pangpanng dan Prepat. Berdasarkan hasil
identifikasi tahun 2001, di TNAP ditemukan 26 jenis tumbuhan
mangrove, antara lain: Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata,
Bruguiera sexanguyla, Bruguiera gymnorrhyza, Bruguiera sp, Avicenia
39
marina, Avicenia sp, Xylocarpus granatum, Heritiera littoralis,
Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris.
e. Hutan Tanaman
Selain hutan alam terdapat hutan tanaman seluas 1.203 Ha di blok.
Marengan, terdiri dari tanaman jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia
macrophyla), johar (Cassia siamea), legaran (Alstonia villosa), akasia
(Acacia auriculiformis) dan sonokeling (Dalbergia latifolia).
f. Padang Rumput
Padang Rumput terdapat di padang pengembalaan Sadengan merupakan
ekosistem buatan seluas 84 Ha. Terdapat 21 jenis rumput dari 45 jenis
tumbuhan bawah yang ada di padang rumput ini. Jenis rumput yang
umum antara lain lamuran (Dichantium coricosum) dan rumput merakan
(Heteropogon contortus). Jenis pohon yang mudah dilihat antara lain
ketangi (Lagerstroemia speciosa) dan bendo (Artocarpus elasticus).
Tujuan utama dibuat padang pengembalaan ini adalah untuk mencukupi
pakan banteng (Bos javanicus) dan rusa (Cervus timorensis) sehingga
populasinya dapat meningkat selain itu untuk memudahkan wisatawan
dalam upaya untuk menyaksikan atraksi satwa liar dalam kunjungannya
ke Taman Nasional Alas Purwo.
4.7.2 Potensi fauna
Jenis-jenis satwa yang ada diantaranya adalah berbagai jenis mamalia
seperti banteng (Bos javanicus), anjing hutan (Cuon alpinus), macan tutul
(Panthera pardus), babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), kancil
(Tragulus javanicus), rusa (Cervus timorensis), landak (Hystrix brachyura);
berbagai jenis primata seperti lutung (Presbitis cristata), monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis), dan berbagai jenis burung yaitu merak hijau (Pavo
muticus), ayam hutan (Gallus spp) dan tiga jenis kerabat burung rangkong yaitu
julang mas (Rhyticeros undulatus), kangkareng perut-putih (Anthracoceros
albirostris conpexus), rangkong badak (Buceros rhinoceros silvetris). Di Segara
Anak sering dijumpai berbagai jenis burung air penetap dan migran pada waktu
40
tertentu. Jenis burung air yang ditemukan di TNAP antara lain Bangau tong-tong
(Leptoptilos javanicus), Kuntul kecil (Egreta garzeta), Gajahan besar (Numenius
arguata), Gajahan penggala (Numenius phaeopus), Dara laut jambul (Sterna
bergii) dan sebagainya.
Fauna yang ada di daerah ini selain jenis kerang, siput dan ikan juga jenis
reptilia. Di Ngagelan terdapa penangkaran semi alami penyu laut. Penyu laut
yang ditemukan di TNAP terdiri dari penyu hijau (Chelonia mydas), penyu
belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik (Erithmochelys imbricata) dan
penyu lekang (Lepichelys olivaceae).
4.8 Aksesibilitas
Aksesibilitas menuju kawasan TNAP dapat dicapai dari Surabaya dengan
kendaraan umum (bus) jurusan Surabaya-Banyuwangi dan dilanjutkan dengan
jurusan Dambuntung. Dari Dambuntung dengan kendaraan umum (colt) ke
Pasaranyar. Jarak seluruhnya ± 360 km yang dapat ditempuh rata-rata 8.5 jam.
Dapat pula dicapai lewat Denpasar, Bali dengan kendaraan umum (bus) jurusan
Denpasar-Gilimanuk, kemudian menyebrang dengan kapal feri menuju
Ketapang dan dilanjutkan dengan kendaraan angkutan kota (mikrolet) ke
Banyuwangi. Dari Banyuwangi kemudian dilanjutkan menuju
Dambuntung/Pasaranyar. Jika dijangkau dari Kantor TN Baluran yang
berkedudukan di Banyuwangi, dapat naik kendaraan umum (bus) manuju
Dambuntung dan dilanjutkan menuju Pasaranyar (Kantor Rayon TNAP), dengan
waktu tempu ±1.5 jam.
4.9 Sosial - Ekonomi dan Budaya Masyarakat Desa Penyangga
Jumlah desa yang berbatasan dengan TNAP sebanyak 11 desa dari tiga
kecamatan. Kecamatan Tegaldlimo meliputi desa Kendalrejo, Kedungsari,
Kedung Gebang dan Purwoasri memiliki luas wilayah 76.783,872 Ha.
Sedangkan Kecamatan Purwoharjo terdiri dari Desa Sumberasri dan Grajagan
memiliki luas wilayah 1.372.121 Ha. Kecamatan Muncar terdiri dari Desa
Wringinputih dan Kedungringin dengan luas wilayah 2.034.917 Ha. Dari 11
desa tersebut, dua desa ditunjuk sebagai MDK (Model Desa Konservasi) atau
41
lebih dikenal dengan sebutan Desa Model, yaitu Desa Sumberasri dan
Kedungasri (Ariyanto et al. 2008).
Masyarakat di 11 desa penyangga tersebut memiliki karater yang
berbeda-beda. Hal ini disebabkan karenakan adanya keragaman suku. Sebagian
besar penduduk desa di Kecamatan Tegaldlimo dan Purwoharjo didominasi oleh
mayarakat pendatang dari Jawa Timur bagian barat, Jawa Tengah atau
Yogyakarta (jawa kulonan) dan sebagian penduduk asli Banyuwangi yang
dikenal dengan Suku Osing. Penduduk di daerah pesisir seperti Desa Grajagan
dan Kecamatan Muncar banyak berasal dari Madura yang umumnya bekerja
sebagai nelayan dan berdagang. Masyarakat asli Banyuwangi umumnya lebih
suka berkebun atau berladang. Sedangkan masyarakat pendatang dari jawa
kulonan sebagian besar bertani dengan sistem/pola bercocok tanam. Secara
umum, desa-desa penyangga TNAP adalah desa agraris yang sebagian
pendudunkya menopang kehidupan dan perekonomiannya dari sektor pertanian.
Adapun komoditas budidaya pertanian meliputi tanaman pangan, buah-buahan
dan palawija. Selain itu juga ditunjang dengan mata pencaharian lain seperti
pedagang, nelayan, pegawai negeri, TNI dan lainnya (Ariyanto et al. 2008).
Budaya masyarakat yang dominan adalah Jawa tradisional. Bertapa,
semedi dan kegiatan spritual lainnya masih dilaksanakan pada hari-hari tertentu
seperti 1 Syuro, bulan purnama dan bulan mati. Masyarakat berkunjung ke
tempat-tempat yang dianggap mempunyai kekuatan supranatural (gaib), seperti
Kucur, Pancur, Goa Istana, Goa Padepokan dan lain-lain. Umat Hindu
melaksanakan upacara Pagar Wesi setiap satu tahun sekali. Budaya yang masih
berkembang di dalam masyarakat desa penyangga diantaranya tradisi sayan
(gotong-royong) dan petik laut (sedekah laut). Kesenian yang dapat dijumpai di
sekitar kawasan Taman Nasional antara lain: seni tari Gandrung, Jaranan,
Kuntulan dan seni pahat wayang kulit.
42
V. HASIL
5.1 Potensi Ekowisata
5.1.1 Potensi biologi
5.1.1.1 Flora
Pembuatan plot sampling untuk mengetahui jenis vegetasi mangrove
dilakukan di Blok Bedul. Jumlah spesies mangrove sejati yang ditemukan di
dalam plot sampling sebanyak 14 jenis (Tabel 3). Sedangkan menurut informasi
dari Balai TNAP, terdapat 24 jenis mangrove di Bedul. Sehingga jenis mangrove
sejati yang berhasil diidentifikasi selama penelitian adalah 58, 33% dari total
mangrove sejati di Bedul.
Adapun jenis mangrove asosiasi yang ditemukan di luar petak
pengamatan, yaitu: Terminalia cattapa (ketapang), Sesivium portulacastrum
(sesepi), Barringtonia asiatica (keben), Calophyllum inophyllum (nyamplung)
dan Pandanus tectorius (pandan laut). Hasil identifikasi vegetasi di plot
sampling terdapat spesies mangrove yang dikatagorikan langka secara global
namun merupakan jenis umum setempat, yaitu Ceriops decandra dan
Scyphiphora hydrophyllacea.
Tabel 3 Jenis spesies mangrove sejati di Bedul
No. Nama Spesies Nama lokal Famili
1. Avicennia marina Sia-sia putih, api-api, pejapi Avicenniaceae
2. Avicennia alba Sia-sia, api-api Avicenniaceae
3. Avicennia officialis Api-api kacang Avicenniaceae
4. Acrostichum aureum Kerakas, paku laut Pteridaceae
5. Aegiceras corniculatum Teruntun, kacangan Myrsinaceae
6. Aegiceras floridum Mangekashian Myrsinaceae
7. Bruguiera gymnorrhiza Lindur, tanjang merah Rhizoporaceae
8. Bruguiera cylindrical Tanjang putih Rhizoporaceae
9. Bruguiera sexangula Tancang sukun Rhizoporaceae
10. Ceriops decandra Kenyonyong Rhizoporaceae
11. Ceriops tagal Tengah, mentigi Rhizoporaceae
12. Excoecaria agallocha Buta-buta Euphorbiaceae
13. Heriteria littoralis Dungun , bayur laut Sterculiceae
14. Lumnitzera littorea Kedukduk, truntun, duguk agung,
duguk raya, taruntum
Combretaceae
15. Lumnitzera racemosa Saman sigi, kedukduk, truntun,
taruntum
Combretaceae
16. Nypa fruticans Buyuk, nipah Palmae
17. Rhizophora apiculata Jangkah, bakau putih, tanjang wedok Rhizoporaceae
18. Rhizophora mucronata Bakau, bakau gandul, bakau hitam,
tanjang lanang
Rhizoporaceae
43
Tabel 3 Lanjutan No. Nama Spesies Nama lokal Famili
19. Scyphiphora hydrophyllacea Duduk rambat, duduk rayap Rubiaceae
20. Sonneratia alba Prapat, bogem, pedada Sonneratiaceae
21. Sonneratia caseolaris Pedada, bogem, prapat Sonnaratiaceae
22. Xylocarpus granatum Banang-banang, nyirih, nyirih bunga Meliaceae
23. Xylocarpus moluccensis Banang-banang, nyirih batu Meliacae
24. Xylocarpus rumphii Banang-banang, nyirih Meliacae
Keterangan:
Jenis mangrove yang ditemukan selama observasi
Kerapatan mangrove pada tingkat semai 587 individu/ha, pada tingkat
pancang 927 individu/ha, pada tingkat pohon 1.507 individu/ha sehingga total
kerapatan mangrove adalah 3.021 individu/ha. Sedangkan berdasarkan hasil
inventarisasi oleh Balai TNAP tahun 1999, kerapatan total mangrove di Bedul
adalah 8.398 individu/ha yang terdiri dari kerapatan tingkat semai 517
individu/ha, tingkat pancang 6.400 individu/ha dan tingkat pohon 1.481
individu/ha.
Tabel 4 Kerapatan Jenis Mangrove
No. Tingkat Kerapatan Jenis (Individu/ha)
Tahun 1999 Tahun 2010
1 Semai 517 587
2 Pancang 6.400 927
3 Pohon 1.481 1.507
Total 8.398 3.021
Zonasi mangrove di blok Bedul TNAP berbeda-beda tergantung oleh
substrat tanahnya. Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan metode
jalur, zonasi mangrove di blok Bedul sepanjang 240 meter terdiri dari zona
mangrove terbuka, mangrove tengah dan mangrove darat.
(i) Mangrove terbuka (20 meter)
Daerah yang paling dekat dengan sungai, ditumbuhi oleh Avicennia spp.,
biasanya berasosiasi dengan Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada
lumpur dalam yang kaya bahan organik.
44
(ii) Mangrove Tengah (160 meter)
Mangrove di zona ini terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di
zona ini umumnya didominasi oleh Rhizopora mucronata, Rhizopora
apiculata dan Ceriops tagal. Akan tetapi spesies Ceriops decandra
jarang ditemui. Selain itu kadang dijumpai juga spesies Bruguiera, spp.
Mangrove minor yang dijumpai di zona ini adalah Xylocarpus
molucensis.
(iii) Mangrove daratan (60 meter)
Mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang
jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis ditemukan pada zona
ini antara lain: Xylocarpus molucensis, Xylocarpus granatum,
Lumnitzera litoralis, Lumnitzera racemosa, Scyphiphora hydrophyllacea,
Acrostichum aureum, Heritiera littoralis, Excoecaria agalloca.
5.1.1.2 Fauna
Pencatatan jenis burung air selain diperoleh dengan cara pengamatan
terpusat pada waktu yang ditentukan, juga dilakukan ketika melihat jenis burung
air yang dijumpai di luar waktu pengamatan jika jenis yang dilihat belum pernah
ditemukan saat pengamatan di paparan lumpur. Berdasarkan hasil pengamatan,
kekayaan jenis burung yang ditemukan sebanyak 19 jenis. Burung air yang
ditemukan di paparan lumpur Bedul sebanyak 14 jenis, di paparan lumpur
Padas-Bulu sebanyak 12 jenis dan di Cungur sebanyak 13 jenis (Tabel 5).
Tabel 5 Sebaran kekayaan jenis dan jumlah individu
Lokasi Kekayaan spesies Jumlah individu
Bedul 16 41
Padas-Bulu 12 65
Cungur 14 143
Total 42 249
45
Berdasarkan data yang dihasilkan dari hasil pengamatan oleh staf TNAP,
di TNAP terdapat 35 jenis burung darat dan 59 jenis burung air (Aryanto et al.
2008). Kekayaan jenis burung yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 32,
20% dari total kekayaan jenis burung air di TNAP yang berhasil diidentifikasi
oleh staf TNAP.
46
Tabel 6 Jenis burung air yang dijumpai pada lokasi pengamatan
No. Nama lokal Nama latin Nama Inggris Status Bedul Padas-
Bulu Cungur
Jumlah individu Total
Bedul Padas-Bulu Cungur
CICONIIDAE
1 Bangau tong-tong Leptoptilos
javanicus Lesser adjutant Penetap 1 1 1 3
SCOLOPACIDAE
2 Biru laut ekor
blorok Limossa laponica Bar tailed godwit Migran 4 4 0 8
3 Gajahan besar Numenius arquata Eurasian curlew Migran 1 0 5 6
4 Gajahan kecil Numenius minitus Little curlew Migran 1 5 0 6
5 Gajahan penggala Numenius phaeopus Whimbrel Migran 4 32 32 68
6 Kedidi besar Calidris tenuirostris Great knot Migran 0 1 3 4
7 Kedidi jari-
panjang Calidris subminuta Long-toed Stint Migran 0 0 12 12
8 Trinil bedaran Tringa cinereus Terek sandpiper Migran 1 0 1 2
9 Trinil kaki-merah Tringa tetanus Common redshank Migran 3 2 0 5
10 Trinil pantai Tringa hypoleucos Common sandpiper Migran 13 3 38 54
ARDEIDAE
11 Blekok sawah Ardeloa speciosa Javan Pond-heron Penetap 2 0 0 2
12 Cangak laut Ardea sumatrana Great billed-heron Penetap 1 0 1 2
13 Kuntul kecil Egretta garzetta Little egret Penetap 1 2 1 3
14 Kokokan laut Butorides striatus Striated Heron Penetap 1 1 0 2
47
Tabel 6 Lanjutan
No. Nama lokal Nama latin Nama Inggris Status Bedul Padas-
Bulu Cungur
Jumlah
individu
Total Bedul Padas-Bulu Cungur
ALCEDINIDAE
15 Cekakak sungai Todirhamphus
chloris Collared Kingfisher Penetap 2 0 0 2
16 Raja udang biru Alcedo coerulescens Small Blue
Kingfisher Penetap 3 3 0
6
CHARADRIIDAE
17 Cerek-pasir besar Charadrius
leschaultii Great sand-plover Penetap 1 1 16 18
STERNIDAE
18 Dara-laut
Benggala Sterna bagalensis Lesser crested- tern Migran 0 0 26
26
19 Dara-laut jambul Sterna bergii Great crested-tern Penetap 0 20 8 28
Jumlah
39 75 144 257
48
Fauna selain burung air yang didapat selama pengamatan terdiri dari jenis
burung raptor, mamalia, reptil, pisces, moluska dan krustasea (Tabel 7).
Tabel 7 Jenis fauna selain burung air
No Kelompok Nama lokal Nama latin
1 Aves Elang bondol Haliastur Indus
2 Aves Elang ikan kepala-kelabu Ichtyphaga ichtyaetus
3 Mamalia Jelarang bilalang Ratufa affinis
4 Mamalia Monyet akor panjang Macaca fascicularis
5 Reptil Biawak Varanus salvator
6 Pisces Ikan blodok Periopthalmus sp.
7 Crustacea Kepiting Uca coarctata
8 Crustaceae Kepiting Uca triangularis
9 Crustaceae Kepiting Uca lactea annulipes
10 Crustaceae Kepiting Uca dussumieri
11 Crustaceae Kepiting Uca lactea perplexa
12 Crustaceae Kepiting Uca vocans
13 Crustaceae Kepiting Cardisoma carnifex
14 Molusca Kerang umbul Callista sp
15 Molusca Kerang capar Ligula sp
16 Molusca - Murex scolopax
17 Molusca Keong Telescopium telescopium
5.1.2 Potensi fisik
Potensi fisik yang dikumpulkan meliputi: fasilitas sarana, fasilitas
prasarana, fasilitas pendukung sarana prasarana dan aksesibilitas. Kelengkapan
fasilitas yang sudah ada atau dalam rencana dicatat dengan cara mentabulasikan
(Tabel 8). Akses menuju Bedul relatif mudah, dapat ditempuh dari berbagai arah.
Dari jalur dalam kawasan TNAP, pengunjung dapat melewati pintu masuk
Rowobendo. Sedangkan dari luar kawasan, satu-satunya pintu masuk adalah Desa
Sumberasri. Tanda petunjuk arah baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan
sudah cukup jelas. Tanda petunjuk arah yang dipasang di luar kawasan disediakan
oleh Dinas Perhubungan. Aksesibilitas menuju Bedul terangkum pada Tabel 9.
49
Tabel 8 Fasilitas ekowisata mangrove Bedul
No.
Fasilitas
Jenis Program Lokasi Jumlah Kondisi
Ada Rencana Rehab Dalam kawasan Luar kawasan
SARANA
1 Toilet/kamar mandi - -
- 2 Cukup baik
2 Toilet/kamar mandi - - - 3 Cukup baik
3 Sumur - - - 1 Cukup baik
4 Sumur - - - 2 Cukup baik
5 Visitor center - - - 1 -
6 Tempat istirahat - - - 3 Cukup baik
7 Gazebo - - - 5 Cukup baik
8 Home stay - - - 5 Cukup baik
9 Perahu gondang-
gandung
- - - 8 Mengeluarkan
suara berisik
PRASARANA
10 Jembatan & darmaga - - - 2 Sebagian
konstruksi terbuat
dari beton
11 Track menuju kawasan - - - 1 Cukup bagus tapi
hanya 1 arah
50
Tabel 8 Lanjutan
No.
Fasilitas
Jenis Program Lokasi
Jumlah Kondisi Ada Rencana Rehab Dalam kawasan Luar kawasan
12 Jalan dari Sumberasri
menuju kawasan
- - - 1 Cukup bagus
13 Mushola - - - 1 Kurang layak
14 Pos pengelola - - - 1 Kurang layak
15 Pos tiket - - - 1 Cukup bagus
FASILITAS
PENDUKUNG
SARANA
PRASARANA
16 Papan petujuk arah - - - 3 Cukup bagus
tetapi masih
kurang jelas
17 Papan interpretasi - - - - -
18 Papan larangan - - - 1 Kurang jelas
19 Papan plank nama - - - 1 Penulisan salah
51
Tabel 9 Aksesibilitas menuju TNAP (Wisata Bedul)
No Jalur Jarak
(Km)
Lama Perjalanan
(kendaraan bermotor)
1 Sumberasri-Bedul 4 20 menit
2 Tegaldlimo-Sumberasri-Bedul 11 40 menit
3 Rowobendo-Bedul 12 40 menit
5 Benculuk-Tegaldlimo-Sumberasri-Bedul 33 80 menit
6 Srono-Tegaldlimo-Sumberasri-Bedul 40 120 menit
7 Banyuwangi-Sumberasri-Bedul 61 180 menit
8 Banyuwangi-Pasaranyar-Rowobendo-Bedul 82 240 menit
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
Gambar 4 Fasilitas ekowisata mangrove Bedul: (a) plank nama; (b) tempat istirahat; (c)
darmaga; (d) track menuju kawasan; (e) jembatan; (f) gazebo; (g) papan
petunjuk arah.
5.1.3 Kebudayaan Masyarakat
Segara anak blok Bedul selain dikembangkan untuk ekowisata, juga
diperuntukkan sebagai zona pemanfaatan tradisional seluas 200 Ha, sepanjang
sungai. Atraksi atau kegiatan masyarakat setempat yang berkaitan dengan
52
pengelolaan mangrove berpotensi untuk dijadikan objek wisata adalah aktivitas
mencari kerang, ikan dan udang secara tradisional.
Setiap setahun sekali masyarakat sekitar selalu menyelenggarakan upacara
“Petik Laut” di Segara Anak. Tujuan upacara ini adalah meminta keselamatan
untuk alam dan desa sekitar selain itu agar jumlah stok ikan tidak menurun
sehingga masyarakat tidak kesulitan dalam mencari ikan pada tahun berikutnya.
5.2 Kegiatan Wisata
5.2.1 Paket wisata yang ditawarkan
Sejak awal pengelola mengaku telah membuat program wisata terbatas
yang ada hubungannya dengan mangrove, yang berupa pengenalan mangrove dan
ekosistemnya. Pada pelaksanaannya, pengelola menawarkan 4 pilihan paket
wisata mangrove.
5.2.1.1 Wisata pendidikan pengenalan mangrove di Blok Bedul
Paket ekowisata ini diperuntukkan untuk anak Sekolah Dasar di sekitar
Banyuwangi, dengan jumlah peserta sebanyak 30 orang dibagi menjadi 3
kelompok. Lokasinya di Blok Bedul sebelah utara sungai yang masih termasuk ke
dalam zona rimba. Track yang dilalui sepanjang kurang lebih 300 meter. Biaya
yang ditawarkan sebesar Rp. 175.000,00/kelompok.
5.2.1.2 Ekowisata mangrove di Blok Kere
Paket ini bertujuan membawa wisatawan menyusuri sungai sambil
mengamati keindahan mangrove dan burung air yang sering terbang di sepanjang
sungai. Setelah itu wisatawan diajak turun di Blok Kere sambil diperkenalkan
jenis-jenis mangrove yang ada di Kere. Selain itu Blok Kere merupakan tempat
persinggahan nelayan tradisional. Di Blok Kere ini wisatawan juga diajak
menyaksikan aktivitas masyarakat nelayan setempat sambil menikmati makanan
tradisional setempat. Jumlah wisatawan biasanya minimal terdiri dari 5 orang dan
maksimal 20 orang. Harga paket ke Kere adalah Rp 150.000,00/kelompok. Jarak
tempuh dari Pos Bedul ke Kere kurang lebih 3 km dengan cara menyusuri sungai.
Rute track ekowisata biasanya dikira-kira saja oleh pemandu didasarkan
pada pengalaman pemandu dalam mengenal lokasi-lokasi tempat jenis-jenis
53
mangrove yang berbeda bisa ditemui. Biasanya total jauhnya track kira-kira 100
meter. Walaupun sering untuk tempat persinggahan nelayan tradisional, Blok
Kere berdasarkan zonasinya termasuk ke dalam zona rimba.
5.2.1.3 Ekowisata mangrove di Cungur
Paket ekowisata ke Cungur diperuntukkan bagi penggemar birdwatching.
Cungur merupakan daerah konsentrasi beberapa jenis burung air baik endemik
maupun migran oleh karena itu dalam pengelolaannya, Balai TNAP memasukkan
lokasi ini ke dalam zona rimba. Pada waktu-waktu tertentu, berbagai jenis burung
air sangat mudah disaksikan di daerah ini. Tarif yang ditawarkan untuk paket ini
sebesar Rp 200.000,00/kelompok. Jarak dari Pos Bedul ke Cungur kurang lebih 5
km dengan cara susur sungai. Biasanya dalam satu kelompok terdiri dari minimal
5 orang dan maksimal 20 orang. Seperti halnya pelaksanaan ekowisata di Blok
Kere, track ekowisata juga belum ditetapkan untuk Blok Kere. Biasanya pemandu
mengajak wisatawan berjalan di Blok Kere minimal sejauh 100 meter dan
maksimal sejauh 500 meter.
5.2.1.4 Ekowisata penyu di Ngagelan
Paket ekowisata ini dapat dikatakan agak berbeda dengan yang lain.
Perjalanan yang ditempuh pun cukup panjang, sekitar 7 km dari pos Bedul sampai
hutan alam (pintu masuk track menuju Ngagelan). Biaya yang ditawarkan adalah
Rp 300.000,00/kelompok. Satu kelompok biasanya terdiri dari 5-20 orang. Selain
wisatawan dijelaskan mengenai jenis-jenis mangrove, wisatawan juga diajak ke
Ngagelan untuk melihat pengelolaan penyu laut secara semi alami. Track yang
ditempuh untuk menuju Ngagelan kurang lebih 1 km jadi jika pulang pergi adalah
2 km.
54
Gambar 5 Rute wisata yang ditawarkan di Bedul
55
5.2.2 Pengunjung
5.2.2.1 Jumlah pengunjung
Sejak dibukanya kawasan Bedul untuk kegiatan wisata pada bulan Juli
2009, kunjungan yang terjadi di daerah ini relatif meningkat, rata-rata jumlah
pengunjung per bulan pada tahun 2009 adalah 1.874 orang (Gambar 6). Rata-rata
pengunjung pada bulan Januari-Maret 2010 adalah 5.187 orang. Mulai bulan April
2010, tarif masuk untuk wisata konvensional dan wisata alam dinaikkan dari
seharga Rp 4.000,00 menjadi Rp 7.000,00. Tarif harga Rp 7.000,00 sudah
merupakan harga tiket menyeberang dengan perahu (Rp. 4.000,00), tarif masuk
kawasasan konservasi (Rp. 2.500,00) dan dana konservasi (Rp. 500,00). Sejak
pemberlakuan tarif yang baru, rata-rata pengunjung yang datang ke Bedul dari
bulan April-Juli 2010 adalah 8.117 orang. Ternyata kenaikan harga tiket tidak
menyebabkan penurunan jumlah pengunjung.
Gambar 6 Grafik jumlah pengunjung wisata Bedul bulan Juli-Desember 2009
5.2.2.2 Karakteristik pengunjung
Berdasarkan hasil wawancara dengan 40 orang responden, usia
pengunjung sebagian besar adalah antara 20-40 tahun sebanyak 60% (Gambar 7a).
Asal pengunjung sebagian besar masih berasal dari lokal Banyuwangi yaitu 57%,
hanya 13% berasal dari provinsi lain dan 10% berasal dari luar daerah
Banyuwangi namun masih dalam provinsi Jawa Timur. Sedangkan terbanyak
kedua pengunjung dari manca negara yaitu 20% (Gambar 7b). Tingkat pendidikan
responden cukup tinggi, 50% dari mereka menamatkan pendidikan Diploma (D3)
56
dan Sarjana (S1) (Gambar 7c). Terkait tentang informasi lokasi Bedul, 32
pengunjung menyatakan mereka mengetahui Bedul sebagai daerah tujuan wisata
dari orang lain (mulut ke mulut). Hanya delapan pengunjung mendapatkan
informasi mengenai Bedul dari media masa, seperti liflet, internet, televisi dan
buku panduan wisata.
Berdasarkan 40 responden yang diwawancarai, 40% dari mereka datang ke
Bedul membawa 5-14 orang dalam rombongannya/kelompoknya, 32%
menyatakan datang ke Bedul sendiri atau membawa teman kurang dari 5 orang,
15% responden menyatakan ada 15-24 orang dalam rombongannya dan 13%
responden membawa 25 orang atau lebih dalam rombongannya (Gambar 7d).
Dari total 40 orang responden, sebagian besar dari mereka sanggup
mengeluarkan/membelanjakan uangnya di lokasi wisata Bedul sebesar antara Rp
100.000,00 – Rp 250.000,00 (40% responden), sedangkan tertinggi kedua adalah
32% responden sanggup mengeluarkan uangnya kurang dari Rp 100.000,00
selama melakukan wisata di bedul. Hanya sebagian kecil dari responden yaitu
13% sanggup mengeluarkan uangnya sebesar antara Rp 250.000,00 – Rp
400.000,00. Tidak ada seorang pun dari responden sanggup mengeluarkan
uangnya lebih dari Rp 400.000,00 selama berkunjung di Bedul (Gambar 7e).
5.2.2.3 Motivasi pengunjung
Berdasarkan motivasinya, semua responden menyatakan ingin mencoba
naik perahu gondang-gandung. Motivasi lain dari responden, selain ingin naik
perahu gondang-gandung, didapatkan 21 orang responden memiliki motivasi
utama pergi ke pantai, 18 orang ingin melihat-lihat pemandangan mangrove, tiga
orang ingin melihat satwaliar saja, dua orang ingin memancing dan hanya satu
orang ingin melihat aktivitas tradisional masyarakat setempat yang memanfaatkan
sungai di sekitar mangrove (Gambar 8).
57
(a) (b)
(c)
(d) (e)
Gambar 7 Karakteristik responden pengunjung: (a) usia, (b) asal, (c) pendidikan, (d)
besarnya biaya yang sanggup dikeluarkan dan (e) jumlah orang dalam
satu rombongan
Gambar 8 Motivasi para pengunjung wisata di Bedul
58
5.3 Masyarakat Lokal di Sekitar Kawasan
5.3.1 Karakteristik responden masyarakat lokal
Berdasarkan hasil wawancara dengan 46 orang penduduk lokal, sebagian
besar responden berusia 20-39 tahun (50%), terbanyak kedua berusia 40-49 tahun
(31%) (Gambar 9a). Sebagian responden berasal dari dukuh Blok Solo (37%),
yaitu dukuh bagian Desa Sumberasri yang letaknya paling dekat dengan Bedul.
Responden lainnya berasal dari dukuh Sumber Rejeki (33%), dukuh Gebang
Kandel (20%), dukuh Krajan (2%). Sisanya, dua orang responden menyatakan
tinggal menetap di perbatasan mangrove Bedul dan dua orang lainnya berasal dari
desa lain di luar Desa Sumberasri, yaitu dari Tegaldlimo dan Benculuk (Gambar
9b). Berdasarkan mata pencahariannya, 28% responden merupakan petani, 22%
pedagang, 19% nelayan, 11% tenaga kerja ekowisata mangrove, 9% nelayan, 9%
sebagai bengkel dan 9% tidak/belum memiliki pekerjaan yang jelas (Gambar 9c).
Gambar 9 Karakteristik responden penduduk lokal: (a) Usia, (b) mata pencaharian dan (c) asal
59
5.3.2 Keterkaitan mata pencaharian masyarakat lokal terhadap pemanfaatan
kawasan
Berdasarkan wawancara dengan 46 responden, didapatkan keterangan
sebagai berikut. Dua orang responden yang berasal dari luar Desa Sumberasri
mengaku datang ke Bedul memanfaatkan Segara Anak. Satu orang memanfaatkan
secara langsung Segara Anak untuk mencari ikan sedangkan satu orang lagi tidak
memanfaatkan secara langsung karena berprofesi sebagai bos pengumpul ikan.
Responden yang berprofesi utama sebagai petani memiliki total 13 orang, 11
orang merupakan petani tetap yang hanya bekerja di sawah saja tanpa mencari
tambahan pendapatan dengan memanfaatkan Segara Anak. Sedangkan satu orang
mengaku pekerjaan utamanya adalah petani tetapi jika musim melaut mencari
tambahan penghasilan menjadi nelayan di Segara Anak dan satu orang lainnya
sebagai petani tetapi juga mencari tambahan penghasilan sebagai penambal
kapal/perahu.
Delapan orang dari total 9 orang responden yang profesinya sebagai
nelayan mengaku bahwa nelayan merupakan pekerjaan utamanya tetapi ketika
ikan sedang sulit dicari, mereka beralih profesi menjadi petani sementara. Hanya
satu orang yang menyatakan mencari ikan sebagai mata pencaharian tetapnya
karena responden tersebut merupakan bos pengumpul ikan.
Lima orang tenaga kerja ekowisata dan empat orang penarik perahu sudah
pasti memiliki interaksi terhadap kawasan setiap hari. Sedangkan responden yang
memiliki pekerjaan sebagai pedagang, tidak semua berdagang di kawasan
pengembangan ekowisata. Hanya dua orang dari sepuluh responden yang
berjualan di sebelah utara Segara Anak Bedul (di dalam kawasan). Satu orang
yang berprofesi sebagai bengkel, membuka usahanya bukan di dalam kawasan.
Dua orang responden yang megaku tidak/belum memiliki pekerjaan yang jelas
merupakan responden muda yang berusia dua puluhan tahun.
Jadi dari total 46 responden masyarakat lokal, 24 orang diantaranya
memiliki keterkaitan terhadap pemanfaatan kawasan Bedul dalam
matapencahariannya. Jenis matapencaharian yang memiliki keterkaitan dengan
pemanfaatan kawasan bedul adalah tenaga kerja ekowisata, penarik perahu,
60
nelayan (sebagai matapencaharian utama maupun tidak), pedagang yang berjualan
di dalam kawasan Bedul, bos pengumpul ikan dan penambal perahu.
Para nelayan memanfaatkan kawasan Bedul terutama di sepanjang sungai
Segara Anak yang merupakan zona pemanfaatan tradisional. Sedangkan beberapa
pedagang (di dalam kawasan), bos pengumpul ikan dan penambal perahu
membuka usahanya di areal kerjasama seluas 4 ha, di sebelah utara Segara Anak.
Areal tersebut dekat dengan desa dan areal PERHUTANI tetapi berdasarkan
zonasinya masih termasuk zona rimba.
5.3.3 Matapencaharian masyarakat lokal yang berkaitan dengan wisata
Diatas telah disebutkan bahwa ada beberapa mata pencaharian masyarakat
lokal yang memiliki keterkaitan terhadap pemanfaatan kawasan Bedul. Dari
beberapa matapencaharian tersebut, tidak semuanya memiliki keterkaitan terhadap
penyelenggaran wisata di Bedul. Masyarakat yang bermatapencaharian sebagai
nelayan, bos pengumpul ikan dan penambal perahu sudah ada sebelum Bedul
digunakan untuk kegiatan wisata.
Penarik perahu juga sudah ada sebelum penyelenggaraan wisata. Akan
tetapi sebelum ada wisata di Bedul, mereka tidak setiap hari menjalankan perahu.
Sejak adanya wisata di Bedul, mereka harus melayani pengunjung setiap harinya.
Pedagang di dalam kawasan mulai ada sejak dibukanya wisata di Bedul.
Para pedagang membuka usahanya dengan mendirikan tenda-tenda dan
menjajakan makanan serta minuman untuk pengunjung dan pengelola.
Tenaga kerja ekowisata terdiri dari pihak pengelola ekowisata dan
pemandu/guide. Pihak pengelola berada di bawah Badan Pengelola Wisata
Mangrove Bedul yang merupakan salah satu badan usaha milik Desa Sumberasri.
Sedangkan pemandu terdiri dari masyarakat lokal yang dipilih berdasarkan seleksi
melalui tes kemudian mereka dilatih oleh pihak MIC (The Mangrove Information
Center).
61
5.4 Pengembangan Ekowisata Mangrove di TNAP
5.4.1 Fungsi dan tujuan TNAP
Berdasarkan master plan atau Rencana Pengelolaan Taman Nasional
(RPTN) tujuan umum dari pendirian TNAP adalah sebagai berikut:
a. Melindungi fungsi hidro-orologi, keseimbangan ekologi, dan
kestabilan iklim mikro.
b. Melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem asli Taman
Nasional Alas Purwo.
c. Meningkatkan upaya penelitian yang berkaitan dengan flora, fauna dan
ekosistem Taman Nasional Alas Purwo.
d. Meningkatkan upaya pemanfaatan kawasan Taman Nasional Alas
Purwo dan potensinya sebagai wahana pendidikan konservasi alam
guna meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap
konservasi alam.
e. Meningkatkan peran Taman Nasional Alas Purwo sebagai sumber
plasma nutfah potensial dalam menunjang budidaya.
f. Meningkatkan kegiatan pariwisata dan rekreasi di dalam kawasan
Taman Nasional Alas Purwo.
g. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan Taman
Nasional
Pada tahun 2007 Balai TNAP dibagi menjadi 2 Seksi Pengelolaan Taman
Nasional Wilayah I Tegaldlimo dan Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah
II Muncar. Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-
II/2007 tanggal 01 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis Taman Nasional, TNAP mempunyai tugas pokok melakukan
penyelenggaraan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan
pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku. Dalam menjalankan tugas tersebut Pelaksanan Teknis Balai Taman
Nasional Alas Purwo menyelenggarakan fungsi:
62
a. Penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi
pengelolaan kawasan Taman Nasional Alas Purwo
b. Pengelolaan kawasan Taman Nasional Alas Purwo
c. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan kawasan Taman Nasional Alas
Purwo
d. Pengendalian kebakaran hutan
e. Promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
f. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya
g. Pemberdayaan masyarakat sekitar Taman Nasional Alas Purwo
h. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam
i. Pelaksanaan urusan tata rumah tangga
Meninjau dari tujuan dan fungsi TNAP di atas, pada dasarnya tujuan
pengembangan ekowisata mangrove di TNAP sesuai dengan tujuan dan fungsi
dibentuknya TNAP. Tabel berikut membandingkan kesesuaian realitas
pengembangan ekowisata mangrove di Bedul dengan fungsi dan tujuan TNAP
(Tabel 10).
5.3.2 Stakeholder
Stakeholder yang terlibat dalam pengembangan ekowisata mangrove di
TNAP terdiri dari Balai TNAP, masyarakat desa Sumberasri yang tergabung
dalam Badan Pengelola Wisata Mangrove, Balai Pengelola Hutan Mangrove
Wilayah I Denpasar dan Pemerintah Daerah Dati II melalui Dinas Budaya dan
Pariwisata Banyuwangi dan Dinas Ketanagakerjaan. Peran, kepentingan dan tugas
operasional masing-masing stakeholder terhadap pengembangan ekowisata
mangrove dapat terangkum sebagai berikut (Tabel 11).
63
Tabel 10 Perbandingan realitas pengembangan ekowisata mangrove dengan fungsi dan tujuan TNAP
No. Tujuan dan Fungsi TNAP Realitas Kesesuaian
1. Melakukan penataan zonasi (Fungsi TNAP bagian a) Penataan zonasi sudah ditetapkan dan dipetakan akan tetapi dalam
pelaksanaan wisata di blok Bedul belum mempedulikan zonasi yang
telah ditetapkan sehingga kegiatan wisata masal juga terjadi di zona
rimba
Belum sesuai
2. Melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem asli
Taman Nasional Alas Purwo (Tujuan TNAP bagian b)
Upaya perlindungan keanekargaman hayati dan ekosistem asli di
TNAP dilakukan dengan patroli pengamanan kawasan secara
berkala, register terhadap pohon tumbang, satwa mati dan hal lain
yang disebabkan oleh bencana alam maupun pengrusakan oleh
manusia. Adanya pengembangan ekowisata mangrove diharapkan
dapat mendukung upaya perlindungan terhadap keanekaragaman
hayati dan ekosistem mangrove di TNAP
Sesuai
3. Meningkatkan upaya penelitian yang berkaitan dengan
flora, fauna dan ekosistem Taman Nasional Alas Purwo
(Tujuan TNAP bagian c)
Balai TNAP menyambut baik kegiatan penelitian yang dilakukan
oleh mahasiswa, dosen dan instansi di dalam kawasan TNAP. Akan
tetapi kualitas dan antusias SDM di TNAP sendiri masih perlu
ditingkatkan untuk mendukung penelitian di TNAP. Ketidaksiapan
SDM di TNAP terlihat dari masih minimnya data tentang flora dan
fauna khususnya di daerah Bedul.
Belum sesuai
4. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan, seperti
pariwisata alam dan rekreasi (Fungsi TNAP bagian h)
Pengembangan ekowisata merupakan salah satu upaya
pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan
Sesuai
5. Wahana pendidikan konservasi alam guna meningkatkan
kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap konservasi
alam (Tujuan TNAP bagian d)
Pengadaan pendukung sarana dan prasarana untuk ekowisata
mangrove yang berbasis pendidikan konservasi belum dilakukan.
Saat ini media untuk memberikan tambahan pendidikan bagi
pengunjung di Bedul baru tersedia dalam bentuk liflet dan
penyediaan guide jika diperlukan.
Belum sesuai
64
Tabel 10 Lanjutan
No. Tujuan dan Fungsi TNAP Realitas Kesesuaian
6. Pemberdayaan masyarakat sekitar Taman Nasional Alas
Purwo (Fungsi TNAP bagian g)
Dalam mengembangkan ekowisata mangrove Bedul, TNAP
mengajak Desa Sumberasri untuk berkolaborasi
Sesuai
7. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan
TNAP (Tujuan TNAP bagian g)
Pengembangan ekowsiata mangrove dengan memberdayakan
masyarakat Desa Sumberasri merupakan upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan TNAP
Sesuai
65
Tabel 11 Stakeholder yang terlibat dalam pengembangan ekowisata mangrove
No. Nama
Stakeholder
Peran Kepentingan Tugas
1. Balai TNAP Pengawas pengembangan
ekowisata mangrove di
TNAP
Menginginkan agar Badan Pengelola Wisata
Mangrove Desa Sumberasri membantu
pembinaan habitat di sekitar areal
pengembangan ekowisata mangrove
Menginginkan agar masyarakat sekitar,
khususnya Desa Sumberasri ikut menjaga
hutan mangrove dan hutan lain di dalam
kawasan TNAP, dengan adanya ekowisata
mangrove.
Melakukan pengamanan dan pemeliharaan
areal kerjasama
Melakukan pembinaan habitat di sekitar
areal kerjasama
Melakukan sosialisasi dan penyuluhan
terhadap masyarakat sekitar kawasan
TNAP
Membuat Rencana Karya Tahunan (RKT)
dan Rencana Karya Lima Tahunan (RKL)
Membantu, membina dan mengarahkan
pihak Pengelola Wisata Mangrove
Sumberasri dalam pengembangan
ekowisata mangrove
Melakukan kegiatan monitoring dan
evaluasi terhadap pengembangan
ekowisata mangrove
Menyusun laporan penyelenggaraan
ekowisata mangrove dan
menyampaikannya kepada Direktur
Konservasi Kawasan, Direktorat Jenderal
Perlindungan Kawasan
66
Tabel 11 Lanjutan
No. Nama
Stakeholder
Peran Kepentingan Tugas
2. Badan Pengelola
Wisata Mangrove
(Desa
Sumberasri)
Pelaksana harian dalam
penyelenggaraan ekowisata
mangrove
Menginginkan keuntungan dari pengelolaan
kolaboratif ekowisata mangrove, berupa
kesempatan kerja bagi masyarakat setempat,
penambahan terhadap kas desa untuk
pembangunan desa
Membangun serta memelihara sarana dan
prasarana pada lokasi yang telah
ditetapkan
Melakukan pengelolaan ekowisata
mangrove bersama-sama Balai TNAP
Membantu Balai TNAP dalam
pengamanan dan pelestarian kawasan
TNAP serta kegiatan pembinanaan habitat
Membantu Balai TNAP melakukan
sosialisasi dan penyuluhan terhadap
masyarakat sekitar kawasan TNAP
Membantu membuat Rencana Karya
Tahunan (RKT) dan Rencana Karya Lima
Tahunan (RKL)
Ikut serta dalam menyusun laporan
penyelenggaraan ekowisata mangrove dan
menyampaikannya kepada Direktur
Konservasi Kawasan, Direktorat Jenderal
Perlindungan Kawasan
67
Tabel 11 Lanjutan
No. Nama
Stakeholder
Peran Kepentingan Tugas
3. Balai Pengelolaan
Hutan Mangrove
Wilayah I dan
JICA
Fasilitator pengembangan
ekowisata mangrove
Menginginkan agar para pengelola ekowisata
mangrove (baik TNAP maupun Desa
Sumberasri) paham terhadap prinsip-prinsip
ekowisata sehingga implementasi ekowisata
mangrove di TNAP sesuai seperti yang
diharapkan
Memberikan pelatihan bahasa dan
pengenalan ekosistem mangrove kepada
Badan Pengelola Wisata Mangrove Desa
Sumberasri
Memberikan pendidikan kepada Badan
Pengelola Wisata Mangrove Desa
Sumberasri terkait pengembangan
ekowisata mangrove (tahun 2007-2009)
Membantu pengadaan alat-alat
pemanduan, sepeti buku-buku panduan
dan sepatu bot
4. Pemerintah
Daerah
Pendukung pengembangan
ekowisata mangrove
Menginginkan agar sektor pariwisata
daerahnya semakin terkenal dan maju dengan
adanya ekowisata mangrove di TNAP
Membantu mempromosikan lokasi
ekowisata mangrove
Membantu dalam pembangunan
infrastruktur jalan menuju lokasi dan
pemberian tanda petunjuk arah menuju
lokasi
68
5.3.3 Kebijakan
Kebijakan mengenai manajemen kawasan dan pengembangan ekowisata di
TNAP dikaji melalui analisis dari isi berbagai peraturan terkait dengan
pengelolaan kolaboratif kawasan konservasi dan pengelolaan wisata alam di
kawasan konservasi. Peraturan terkait tentang penyelenggaraan ekowisata di
Indonesia belum ada sehingga pendekatan yang digunakan adalah dengan
menggunakan peraturan penyelenggaraan wisata alam di kawasan konservasi.
Adapun peraturan-peraturan yang digunakan untuk meninjau pengelolaan
kolaboratif dan pengembangan ekowisata di TNAP yaitu:
a. PP Nomor 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Wisata Alam di Suaka
Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata
Alam
b. PP Nomor 59 tahun 1998 tentang tarif atas jenis penerimaan negara
bukan pajak yang berlaku
c. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 19/Menhut-II/2004 tentang
Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam
d. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56/Menhut-II/2006 tentang
Pedoman Zonasi Taman Nasional
e. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 167/Kpts-II/1994 tentang
Sarana dan Prasarana Pengusahaan Periwisata Alam di Kawasan
Konservasi.
Berdasarkan peraturan-peraturan di atas dapat ditarik kesimpulan tentang
pendekatan penyelenggaraan ekowisata di Taman Nasional. Selanjutnya dapat
dibandingkan dengan realitas pengembangan ekowisata mangrove di TNAP.
Berikut perbandingan antara kebijakan ekowisata yang didapatkan dari peraturan
dengan realitas yang terjadi di lapang (Tabel 12).
69
Tabel 12 Perbandingan antara peraturan dan realitas terkait pengembangan ekowisata mangrove di TNAP
No. Peraturan Isi Peraturan Realitas Kesesuaian
1. Peraturan
Menteri
Kehutanan No.:
P. 56/Menhut-
II/2006
Berdasarkan fungsinya zona rimba untuk kegiatan
pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam
dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian,
pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat
satwa migran dan menunjang budidaya serta
mendukung zona inti.
Zona pemanfaatan untuk pengembangan
pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan,
pendidikan, penelitian dan pengembangan yang
menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang
budidaya.
Zona tradisional untuk pemanfaatan potensi
tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat
secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pengembangan ekowisata mangrove di TNAP
memanfaatkan 3 zona (pemanfaatan, rimba dan
tradisional). Tetapi dalam realitasnya kegiatan
wisata yang disebut “ekowisata” masih
bercampur dengan penyelenggaraan wisata
masal. Wisata masal yang ada juga diperbolehkan
dilakukan di wilayah dan zona rimba, padahal
menurut peraturan zona rimba hanya
diperbolehkan untuk kegiatan pendidikan
konservasi dan wisata terbatas (ekowisata) bukan
untuk kegiatan wisata masal.
Belum Sesuai
2. Peraturan
Menteri
Kehutanan No.:
P. 19/Menhut-
II/2004
a. Para pihak yang melaksanakan kolaborasi dalam
pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam antara lain Lembaga pemerintah
pusat, Lembaga pemerintah daerah (eksekutif dan
legislatif), masyarakat setempat, LSM, BUMN,
BUD, swasta nasional, perorangan maupun
masyarakat internasional, Perguruan
Tinggi/Universitas/Lembaga Pendidikan/Lembaga
Ilmiah (Pasal 1 & Pasal 4 ayat 3)
Pelaksanaan kolaborasi pengembangan ekowisata
mangrove, merupakan kolaborasi antara Balai
TNAP dan masyarakat Desa Sumberasri
(masyarakat setempat)
Sesuai
70
Tabel 12 Lanjutan
No. Peraturan Isi Peraturan Realitas Kesesuaian
b. Dalam proses terwujudnya kolaborasi, masing-
masing pihak dapat bertindak sebagi inisiator,
fasilitator dan pendampingan (Pasal 4 ayat 4)
Masyarakat desa Sumberasri yang tergabung
dalam Badan Pengelola Wisata Mangrove
bertindak sebagai perancang kegiatan ekowisata
mangrove (insiator)
Sesuai
c. Jenis-jenis kegiatan yang dapat dikolaborasikan
antara lain berupa penataan kawasan, penyusunan
rencana pengelolaan, pembinaan daya dukung
kawasan, pemanfaatan kawasan, penelitian dan
pengembangan, perlindungan dan pengamanan
kawasan, pengembangan sumberdaya manusia,
pembangunan sarana dan prsarana, dan pembinaan
partisipasi masyarakat
Jenis-jenis kegiatan yang dikolaborasikan terkait
pengembangan ekowisata mangrove yang
tertuang dalam MoU antara Balai TNAP dan
Pemerintah Desa Sumberasri adalah pemanfaatan
kawasan (jasa lingkungan yang berupa wisata
alam terbatas), pembinaan daya dukung kawasan
(pembinaan habitat), pembangunan sarana dan
prsarana, dan pembinaan partisipasi masyarakat
Sesuai
d. Pelaksanaan kolaborasi dituangkan dalam bentuk
persetujuan (Pasal 5 ayat 1). Kesepakatan bersama
tersebut berisi materi-materi kesepakatan, antara
lain berupa: kegiatan-kegiatan yang
dikolaborasikan, dukungan, hak dan kewajiban
para pihak, jangka waktu kolaborasi, pengaturan
sarana dan prasara setelah jangka waktu kolaborasi
berakhir (Pasal 5 ayat 2)
Dalam MoU antara Balai TNAP dengan
Pemerintah Desa Sumberasri tertuang materi-
materi seperti yang disebutkan pada Peraturan
Menteri Kehutanan No.: P. 19/Menhut-II/2004
Pasal 5 ayat 2, tetapi untuk bahasan tentang
dukungan tidak disebutkan secara jelas
Kurang sesuai
3. PP No.36 Tahun
2010
a. Pengusahaan pariwisata alam dapat meliputi usaha
penyediaan jasa wisata alam dan/atau sarana wisata
alam (Pasal 7 ayat 1).
Pengusahaan ekowisata mangrove Bedul meliputi
penyediaan jasa ekowisata dan sarana
Sesuai
71
Tabel 12 Lanjutan
No. Peraturan Isi Peraturan Realitas Kesesuaian
3. PP No.36 Tahun
2010
b. Pengusahaan pariwisata alam dapat dilakukan
setelah ada izin pengusahaan (pasal 8 ayat 1), izin
pengusahaan pariwisata alam diberikan oleh
Menteri untuk pengusahaan yang dilakukan di
taman nasional (Pasal 8 ayat 2).
Belum ada izin dari Menteri terkait
pengembangan hutan mangrove di Bedul TNAP
untuk ekowisata
Kurang sesuai
(karena arahan
pengembangan
ekowisata lebih
mengacu pada
Peraturan
Menteri
Kehutanan No.:
P. 19/Menhut-
II/2004)
c. Pengusahaan pariwisata alam dapat dilakukan di
seluruh zona pada kawasan Taman Nasional
kecuali zona inti (Pasal 9 ayat 1).
Pengembangan ekowisata mangrove dilakukan
bukan di zona inti kawasan TNAP
Sesuai
d. Sarana dan prasarana pengusahaan pariwisata alam
dapat dibangun di zona pemanfaatan taman
nasional (Pasal 9 ayat 3, disebutkan kembali pada
Keputusan Menteri Kehutanan No.: 167/Kpts-
II/1994 pasal 2). Areal yang dapat dimanfaatkan
untuk pembangunan sarana dan prasarana
maksimum 10% dari luas areal izin pengusahaan
pariwisata alam (Pasal 18d, disebutkan kembali
pada Keputusan Menteri Kehutanan No.: 167/Kpts-
II/1994 pasal 3).
Sarana dan prasarana untuk menunjang
pengembangan ekowisata ada yang dibangun di
zona rimba tetapi digunakan juga untuk
kepentingan pengelolaan kawasan mangrove
secara keseluruhan. Selanjutnya penambahan
pembangunan sarana dan prasarana dibangun
seperlunya di zona pemanfaatan dan dibangun di
luar kawasan TNAP.
Sesuai
72
Tabel 12 Lanjutan
No. Peraturan Isi Peraturan Realitas Kesesuaian
4. Keputusan
Menteri
Kehutanan No.:
167/Kpts-II/1994
a. Bentuk bangunan/sarana yang dibangun, bergaya
arsitektur budaya setempat dengan memperhatikan
kondisi fisik kawasan tersebut. Pembangunan
sarana yang diperkenankan maksimum 2 (dua)
lantai. Tidak mengubah karakteristik bentang alam
yang ada (Pasal 4).
Bentuk bangunan/sarana yang dibangun untuk
mendukung pengembangan ekowisata dibangun
dengan gaya cukup sederhana dan tidak
menyalahi gaya bangunan budaya setempat.
Sesuai
b. Penggunaan bahan bangunan untuk pembangunan
sarana, prasarana dan fasilitas pelengkap
diutamakan bahan-bahan dari daerah setempat
yang memiliki adaptasi tinggi dengan kondisi
lingkungan. Jika tidak terdapat bahan bangunan
sebagaimana dimaksud, maka dipergunakan bahan
bangunan dari luar yang tidak merusak kelestarian
lingkungan (Pasal 27).
Pembangunan darmaga dan jembatan sebagian
dibangun dengan menggunakan beton bukan dari
kayu semuanya. Pembangunan konstruksi bagian
bawah jembatan dan darmaga menggunakan
semen dengan cara pengecoran bagian bawah
secara keseluruhan mengganggu komponen
kehidupan di bawahnya. Selain itu bahan dasar
dari semen untuk jembatan kurang memiliki nilai
estetika/keindahan.
Belum sesuai
5. PP No. 59 tahun
1998
Tarif masuk Taman Nasional untuk Rayon I, untuk
wisatawan mancanegara adalah Rp.
20.000,00/orang sedangkan wisatawan Nusantara
adalah Rp.2.500,00/orang
Tarif masuk Taman Nasional juga diberlakukan
bagi pengunjung Bedul sebagai pendapatan
Negara bukan pajak, selain harga tiket masuk
kawasan mangrove Bedul.
Sesuai
73
Kebijakan tertulis terkait pengembangan ekowisata mangrove di TNAP
pada level internal Balai TNAP belum ada. Petunjuk teknis maupun Rencana
Karya Lima Tahun (RKL) dan Rencana Karya Tahunan (RKT) tentang
pengembangan ekowisata mangrove TNAP belum disusun. Selama ini
pengembangan ekowisata mangrove di TNAP hanya berpedoman pada perjanjian
(MoU) antara pihak TNAP dan Desa Sumberasri. Perjanjian tersebut
ditandatangani pada tahun 2007 dan belum ada revisi. Pada tabel berikut
terangkum perbandingan antara isi MoU dan realitas pengembangan wisata di
lapangan (Tabel 13).
Tabel 13 Perbandingan antara MoU dan Realitas
No. Pengembangan wisata menurut
MoU
Pengembangan wisata di lapang Kesesuaian
1. TNAP dan Desa Sumberasri
bekerjasama secara kolaborasi
mengembangkan wisata alam terbatas
di blok Bedul
Wisata alam yang
diselenggarakan di Bedul lebih
kepada wisata masal dan tidak
ada pembatasan terhadap jumlah
dan kegiatan pengunjung.
Belum sesuai
2. Ruang lingkup kerjasama kolaborasi
diuraikan dalam arahan program yang
dituangkan dalam RKL dan RKT.
RKL dan RKT sampai sekarang
belum selesai disusun.
Belum sesuai
3. Kedua pihak bersama-sama
melakukan kegiatan pembinaan
habitat di wilayah kerjasama.
Pembinaan habitat dilakukan
oleh pihak TNAP, pihak desa
Sumberasri baru membantu pada
level pengamanan wilayah.
Belum sesuai
4. Pihak pengelola dari Desa Sumberasri
dapat membangun sarana dan
prasarana di tempat yang disediakan
dan saling menjaga sarana dan
prasarana wisata alam terbatas yang
ada
Pembangunan sarana dan
prasarana dilakukan di lokasi
yang diizinkan oleh TNAP dan
bersama-sama menjaga saran dan
prsarana yang ada
Sesuai
5. Bersama-sama memberikan
sosialisasi dan penyuluhan kepada
masyarakat sekitar TNAP
Pihak Desa Sumberasri hanya
melakukan fungsi sebagai
pengelola wisata sedangkan
kegiatan sosialisai dan
penyuluhan kepada masyarakat
dilakukan oleh pihak TNAP saja.
Belum sesuai
74
VI. PEMBAHASAN
6.1 Potensi Ekowisata
6.1.1 Potensi biologi
6.1.1.1 Flora
Jumlah spesies mangrove sejati yang ditemukan di dalam plot sampling
saat penelitian sebanyak 14 jenis (Tabel 4). Menurut informasi dari Balai TNAP
(1999), terdapat 24 jenis mangrove di Bedul, dua spesies diantaranya
dikatagorikan langka secara global namun merupakan jenis umum setempat, yaitu
Ceriops decandra dan Scyphiphora hydrophyllacea. Status kedua spesies tersebut
tergolong rentan sehingga memerlukan perhatian khusus untuk pengelolaannya
(Noor et al. 1999).
(a)
(b)
Gambar 10 Spesies mangrove langka secara global tetapi masih umum
ditemukan di daerah: (a) Ceriops decandra;(b) Scyphiphora
hydrophyllacea
Kerapatan mangrove untuk tingkat pohon berdasarkan hasil inventarisasi
oleh Balai TNAP tahun 1999 adalah 1.481 individu/ha. Kerapatan yang demikian
termasuk dalam kriteria baik dengan kerapatan sedang. Berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku
dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove, kerapatan antara >1.000
individu/ha sampai <1.500 individu/ha termasuk dalam kriteria baik dengan
kerapatan sedang. Sedangkan kerapatan yang melibihi >1.500 individu/ha
termasuk dalam kriteria kerapatan sangat padat dan kondisi baik. Kerapatan
tingkat pohon berdasarkan hasil inventarisasi selama penelitian adalah 1.507
75
individu/ha sehingga kerapatan mangrove di Bedul TNAP saat ini dalam kriteria
sangat padat dan kondisi baik.
Pohon mangrove memiliki perkaran dan buah yang unik dan berbeda
dengan tumbuhan darat. Tipe akar dan buah mangrove berbeda-beda. Keunikan
tersebut sangat menarik untuk dijadikan objek ekowisata. Cara yang efektif untuk
menunjukkan keunikan akar dan buah adalah melalui media interpretasi. Melalui
media interpretasi, pengunjung tidak harus masuk ke dalam hutan mangrove untuk
menyaksikan perbedaan perakaran beberapa jenis mangrove sehingga potensi
dapat meminimalkan potensi kerusakan mangrove. Melalui media interpretasi
juga, pengunjung dapat menyaksikan keunikan buah mangrove walaupun jenis-
jenis mangrove tertentu sedang tidak musim berbuah. Salah satu media
interpreatsi yang baik adalah di MIC di Bali. Media interpretasi yang digunakan di
MIC di Bali adalah papan interpretasi, miniatur mangrove, liflet dan brosur.
6.1.1.2 Fauna
Berdasarkan hasil pengamatan selama di lapangan, kenakeragaman jenis
burung air paling banyak ditemukan di Blok Bedul. Akan tetapi diantara dua
lokasi pengamatan lainnya, jumlah burung air yang ditemukan di lokasi Blok
Bedul paling sedikit. Hal ini dikarenakan jenis burung air yang berkunjung di
paparan lumpur Bedul lebih cenderung burung air yang bersifat individual atau
berkelompok kecil, seperti bangau tong-tong, cangak laut, blekok dan kuntul.
Lokasi Padas-Bulu dengan Cungur tidak terlalu jauh. Jenis burung yang
sering ditemukan dikedua lokasi tersebut biasanya sama. Burung yang singgah di
kedua lokasi ini ada yang bersifat individual dan berkelompok kecil maupun
besar. Akan tetapi lokasi yang lebih banyak ditemui burungnya adalah Cungur.
Hal ini dikarenakan paparan lumpur Cungur tempatnya lebih terbuka sehingga
burung-burung air yang ada lebih mudah diamati. Sedangkan Padas-Bulu
merupakan daratan kecil di tengah sungai Segara Anak dan ditumbuhi pohon
mangrove. Cungur dan Padas-Bulu lebih dekat dengan pantai sehingga sangat
memberi kecenderungan beberapa jenis burung pantai migran singgah di kedua
lokasi tersebut. Selain itu kedua lokasi tersebut lebih sepi dibandingkan dengan
Blok Bedul sehingga gangguan oleh faktor manusia juga lebih sedikit.
76
Bedasarkan hasil pengamatan, dari total 19 jenis burung air, 10
diantaranya merupakan jenis burung pantai migran. Total jenis burung pantai
migran yang yang didapatkan dalam penelitian ini tidak banyak karena
pengamatan hanya dilakukan pada bulan Maret. Menurut Howes et al. (2003)
waktu terbaik untuk mengamati burung pantai migran di Indonesia adalah pada
saat burung migran memulai perjalanan menuju belahan bumi selatan dan berada
di belahan bumi selatan (September-Maret) serta pada saat burung migran
kembali ke lokasi berbiaknya (Maret-Mei).
Foto: Wiwin (2009)
(a)
Foto: Kurniawan (2008)
(b)
(c)
(d)
Gambar 11 Burung air: (a) Cangak laut (Ardea sumatrana), (b) Dara Laut Benggala
(Sterna bagalensis), (c) Bangau Tong-tong (Leptoptilos javanicus), (d)
Gajahan Besar (Numenius arquata).
Beberapa burung air memanfaatkan kawasan mangrove di TNAP sebagai
habitat. Tidak heran jika peristiwa ekologi yang berupa jaring-jaring makanan
terjadi pada jenis-jenis fauna yang ada di kawasan mangrove. Mangrove
merupakan tempat yang ideal bagi ikan, udang dan biota lainnya untuk mencari
makan dan berkembang biak. Bagi burung air paparan lumpur merupakan tempat
77
untuk mencari makan dan berjemur. Pakan burung air berupa moluska,
grastopoda, krustasea, cacing dan ikan (Howes 2003). Beberapa satwaliar selain
burung air dari golongan mamalia, reptil, amfibi dan aves menggunakan hutan
mangrove sebagai tempat bersarang dan mencari mangsanya.
(a)
(b)
(c)
Foto: Temaja (2010)
(d)
(e)
Foto: Waschkies (2009)
(f)
Gambar 12 Fauna selain burung air: (a) ikan blodog (Periopthalmus sp.), (b) Kepiting
(Uca coarctata), (c) Kepiting (Cardisoma carnifex), (d) Jelarang bilarang
(Ratufa affinis), (e) Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), (f) Elang
bondol (Haliastur indus).
Beberapa fauna yang ditemukan selama penelitian, 9 jenis merupakan
spesies yang dilindungi di Indonesia melalui PP Nomor 7 tahun 1999, salah satu
diantaranya adalah Bangau tong-tong (Leptotilos javanicus) yang juga merupakan
spesies yang terancam kepunahan termasuk ke dalam katagori rentan menurut
IUCN Red List (IUCN 2010). Dua spesies yaitu Jelarang bilalang (Ratufa affinis)
dan Biawak (Varanus salvator) termasuk ke dalam Appendix 2 CITES.
Keberadaan satwaliar yang dilindungi di kawasan konservasi menjadi nilai
lebih dalam penyelenggaraan ekowisata. Kesempatan menyaksikan satwaliar yang
dilindungi di alam terbuka merupakan kesempatan yang jarang ditemukan ketika
melakukan wisata biasa.
78
Tabel 14 Jenis satwa dan status perlindungannya
No. Nama lokal Nama latin Nama Inggris
Status
Perlindungan Indonesia IUCN CITES
MAMALIA
1 Jelarang bilalang Ratufa affinis Pale Giant Squirell - NT App. 2
2 Monyet akor panjang Macaca fascicularis Long-tailed Monkey - LC -
AVES
1 Bangau tong-tong Leptoptilos javanicus Lesser Adjutant PP V -
2 Biru laut ekor blorok Limossa laponica Bar- tailed Godwit - NT -
3 Blekok sawah Ardeloa speciosa Javan Pond-heron - - -
4 Cangak laut Ardea sumatrana Great Billed-heron - LC -
5 Cekakak sungai Todirhamphus chloris Collared Kingfisher PP LC -
6 Cerek-pasir besar Charadrius leschaultii Great Sand-plover - - -
7 Dara-laut Benggala Sterna bagalensis Lesser crested- tern - - -
8 Dara-laut jambul Sterna bergii Great Crested-tern PP LC -
9 Elang bondol Haliastur Indus Brahminy Kite PP LC -
10 Elang-ikan kepala-kelabu Ichtyphaga ichtyaetus Grey-headed Fish-eagle PP - -
11 Gajahan besar Numenius arquata Eurasian Curlew PP NT -
12 Gajahan kecil Numenius minitus Little Curlew PP - -
13 Gajahan penggala Numenius phaeopus Whimbrel PP LC -
14 Kedidi besar Calidris tenuirostris Great Knot - LC -
15 Kedidi jari-panjang Calidris subminuta Long-toed Stint - LC -
16 Kuntul kecil Egretta garzetta Little Egret PP LC -
79
Tabel 14 Lanjutan
No. Nama lokal Nama latin Nama Inggris Status
Perlindungan Indonesia IUCN CITES
17 Raja udang biru Alcedo coerulescens Small Blue Kingfisher PP LC -
18 Trinil bedaran Tringa cinereus Terek Sandpiper - - -
19 Trinil kaki-merah Tringa tetanus Common Redshank - LC -
20 Trinil pantai Acitis hypoleucos Common Sandpiper - LC -
21 Kokokan laut Butorides striatus Striated Heron - LC -
REPTIL
1 Biawak Varanus salvator Malayan Water Monitor - - App. 2
80
6.1.2 Potensi fisik
6.1.2.1 Sarana
Sarana-sarana yang ada dalam kondisi cukup baik tetapi keberadaannya
perlu diperhatikan lagi agar dapat memfasilitasi kegiatan ekowisata dengan baik.
Pertama adalah keberadaan visitor center. Pada dasarnya visitor center merupakan
tempat para pengunjung dapat memperoleh informasi lengkap terkait ekowisata
yang ditawarkan. Sampai saat ini visitor center yang ada belum sama sekali
dikembangkan. Bangunan yang dijadikan visitor center adalah bangunan yang
sama dengan barak polisi hutan (polhut). Kondisi bangunan masih dalam keadaan
baik tetapi dalam bangunan tersebut tidak disediakan informasi yang memadai
terkait tentang ekosistem mangrove di Bedul. Jadi sampai saat ini bangunan yang
dianggap visitor center belum berfungsi.
Sarana lain yang kurang mendukung adalah perahu gondang-gandung
yang digunakan untuk mengantarkan pengunjung. Perahu gondang-gandung
memang sangat tradisional tetapi mengeluarkan suara yang berisik sekali. Hal ini
berpotensi mengganggu keberadaan fauna. Selain itu suara pemandu saat
memberikan interpretasi kepada pengunjung di atas perahu tidak jelas karena
terganggu oleh suara perahu gondang-gandung. Selain berpotensi menyebabkan
polusi suara, bahan bakar perahu gondang-gandung yang berupa solar/bensin juga
berpotensi menyebabkan polusi di udara maupun di air. Oleh karena itu perlu
mulai dipikirkan alternatif bahan bakar yang ramah lingkungan.
6.1.2.2 Prasarana
Prasarana ekowisata yang sudah dalam keadaan baik hanya pos tiket dan
jalan dari Desa Sumberasri menuju kawasan Bedul. Prasarana yang lain masih
membutuhkan peningkatan dan perbaikan. Jembatan dan Darmaga sebagian
konstruksinya menggunakan beton. Bagian bawah dari jembatan yang terletak di
sebelah utara Bedul (dengan lebar 1,2 meter dan panjang kurang lebih 200 meter)
dicor dengan semen secara merata. Konstruksi jembatan yang demikian telah
menyita seluas kurang lebih 240 m2 habitat beberapa fauna mangrove kecil yang
seharusnya hidup di bawahnya. Jika dikaitkan dengan segi estetika/keindahan,
konstruksi jembatan menggunakan semen kurang menarik wisatawan dari
81
mancanegara yang rata-rata sudah paham mengenai wisata konservatif. Jenis kayu
yang digunakan di MIC Bali untuk konstruksi jembatan bagian bawah (tiang
penopang) adalah kayu Ulin sedangkan untuk papannya dapat dari kayu jenis
Bangkarai, Keruing atau Kamper.
Berdasarkan informasi, kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri) merupakan
kayu kelas awet dan kelas kuat nomor satu. Katu jenis ini sering digunakan untuk
bahan konstruksi berat, bahan konstruksi bawah laut, bantalan rel, lantai rumah
dan jembatan (Mandang dan Pandit 1997). Akan tetapi kayu Ulin sukar ditemukan
sekarang ini. Berdasarkan penyebarannya kayu Ulin tumbuh di Pulau Sumatera
dan Kalimantan. Mengingat pengadaan kayu Ulin untuk bahan dasar jembatan
sangat mahal dan langka maka perlu dicari kayu lain yang memiliki keawetan dan
kekuatan yang tinggi.
Alternatif kayu untuk bahan tiang jembatan antara lain Dungun (H.
literalis) dan Balau/Damar laut (Shorea laevis). Dungun mudah ditemukan di
TNAP. Dungun memiliki kelas awet I-II dan kelas kuat I (batagem.com). Ciri lain
dari kayu dungun adalah tahan terhadap bor laut (marine borer), yaitu vertebrata
pengebor kayu di laut atau perairan payau (Nguyen et al. 2008). Balau/Damar laut
memiliki kelas awet I dan kelas kuat (I-II) (Dinas Kehutanan Sumatera Selatan
2010) serta memiliki ketahanan terhadap bor laut (Nguyen et al. 2008).
Bahan untuk papan dan pegangan tangan pada jembatan perlu diupayakan
berasal dari kayu lokal yang relatif mudah didapat. Kayu Bangkirai, Keruing dan
Kamper tidak ditemukan di TNAP. Selain itu kayu-kayu tersebut sekarang ini
semakin sukar ditemukan di pasaran. Beberapa kayu mangrove dapat diupayakan
untuk bahan papan jembatan. Berdasarkan informasi Dinas Kehutanan Sumatera
Selatan (2010) kayu jenis bakau (Rhizopora spp.) memiliki kelas awet III dan
kelas kuat I-II.
Prasarana berupa track menuju kawasan Bedul perlu
diperbaiki/ditingkatkan lagi karena hanya satu arah. Track yang hanya satu
arah memungkinkan terjadinya tabrakan antara pengunjung yang sudah
selesai melaksanakan ekowisata dengan pengunjung yang akan menuju lokasi
ekowisata.
82
Prasarana lain yang masih perlu perbaikan/peningkatan adalah pos
pengelola dan mushola. Saat ini antara pos pengelola dan mushola menjadi satu.
Memang bahan bangunan yang digunakan adalah bambu dan bersifat sederhana.
Akan tetapi dari segi keindahan sama sekali belum terlihat. Banyak pengunjung
yang mengira pos pengelola yang ada saat ini adalah bangunan gardu yang
bersifat non-permanen.
6.1.2.3 Fasilitas pendukung sarana prasarana
Keberadaan fasilitas pendukung sarana prasarana masih sangat minim.
Empat fasilitas penting pendukung sarana dan prasarana, semuanya masih perlu
dibenahi.
a. Papan petunjuk arah
Papan petunjuk arah masih membingungkan pengunjung. Selama
penelitian, dijumpai pengunjung yang ingin menuju ke Cungur melalui
darat. Akan tetapi ketika pengunjung mengikuti arah sesuai papan
petunjuk, pengunjung tersebut tidak menemukan Cungur padahal
pengunjung sudah berjalan cukup jauh dan track yang dilalui semakin
sukar. Oleh karena itu perlu adanya survei ulang untuk menentukan tanda
arah. Selain itu perawatan terhadap track perlu dilakukan mengingat
kemungkinan track yang sudah pernah ada bisa saja tertutup oleh tumbuh-
tumbuhan liar.
a. Papan interpretasi
Keberadaan papan interpretasi saat ini belum ada sama sekali. Padahal
papan interpretasi sangat penting dalam penyelenggaraan ekowisata.
Melalui papan interpretasi, pengunjung dapat mendapatkan informasi lebih
terutama saat keadaan tidak memungkinkan melihat objek secara
langsung. Papan interpretasi juga dapat berfungsi mendidik dan
menyadarkan pengunjung.
b. Papan larangan
Papan larangan terkait hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika
berekowisata mangrove hanya ada satu buah di depan barak Polhut. Akan
tetapi tulisan pada papan tersebut terlalu banyak dan kecil sehingga kurang
83
jelas. Hal ini menyebabkan ketidakefektifan karena pengunjung yang
datang enggan untuk membacanya.
c. Papan a
Papan plank nama yang sudah ada menggunakan label “ekowisata”. Akan
tetapi penulisannya salah, yaitu “Eko Wisata Mangrove Blok Bedul”.
Terdapat dua kekurangtepatan dalam penulisan yaitu kata “Eko Wisata”
dan “Blok Bedul”. Kata “Eko Wisata” seharusnya “ekowisata”. Kata
“blok” seharusnya dihilangkan cukup dengan “Bedul” saja karena jika
memakai kata “blok” berarti hanya bagian Blok Bedul saja yang
digunakan untuk kegiatan ekowisata sedangkan dalam kenyataannya Blok
Kere, Padas-Bulu dan Cungur juga digunakan untuk lokasi ekowisata.
6.1.3 Budaya masyarakat
Budaya masyarakat terkait pemanfaatan ekosistem mangrove di Bedul
yang sudah lama ada yaitu kegiatan mencari ikan dan kerang secara tradisional.
Areal pemanfaatan tradisional adalah sepanjang sungai Segara Anak seluas 200
ha. Atraksi tradisional pemanfaatan ekosistem mangrove secara tradisional ini
berpotensi sebagai objek ekowisata mangrove.
Wijaya et al. (2007) menyebutkan, masyarakat biasanya pergi ke Segara
Anak untuk mendapatkan tambahan penghasilan dengan mencari ikan saat pasang
tidak terlalu tinggi dan surut tidak terlalu rendah, atau dalam bahasa setempat
disebut musim kondo. Berdasarkan informasi dari salah satu masyarakat setempat,
musim mencari ikan biasanya pada bulan ke-delapan (sekitar bulan Agustus akhir)
sampai bulan ke-dua (Februari).
Pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat lokal masih tergolong
ramah lingkungan karena mereka menggunakan peralatan yang tidak
membahayakan (destructive) terhadap ekosistem. Pencarian ikan dilakukan
dengan menggunakan kapal tradisional kecil, biasanya pada malam hari. Jika
pengunjung ingin mencoba ikut mencari ikan dengan nelayan setempat, sebaiknya
tinggal selama satu atau dua malam.
Pencarian udang menggunakan jaring yang berfungsi seperti karamba.
Jaring dipasang di pinggir-pinggir sungai dekat dengan mangrove yang
84
kemungkinan gangguannya sedikit. Kemudian jaring tersebut dibiarkan sampai
beberapa hari sampai udang tertangkap di dalam jaring.
Pencarian kerang dilakukan dengan dua cara. Biasanya saat air sungai
surut dan terbentuk paparan lumpur, para pencari kerang yang biasanya terdiri
dari ibu-ibu, turun ke paparan lumpur untuk mengambil kerang. Cara ini sangat
menarik untuk diikuti. Sedangkan cara mencari kerang yang lain dilakukan
dengan cara menyelam. Cara mencari kerang dengan menyelam sangat sulit untuk
diikuti karena memiliki resiko. Jenis kerang yang biasanya didapat di paparan
lumpur saat air sungai surut antara lain kerang lepek (Placuna placenta), kerang
umbul (Callista sp.), kerang kikir (Clementia sp.), kerang capar (Ligula sp.),
kerang glatik, kerang doro dan kerang pensil. Harga kerang-kerang tersebut dapat
mencapai Rp 10.000,00 – Rp 30.000,00 per kg untuk kerang mentah. Sedangkan
jenis kerang yang dicari dengan cara menyelam adalah jenis kerang cemeti. Harga
kerang cemeti paling mahal karena dapat mencapai Rp 80.000,00/kg untuk
mentahnya.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 13 Aktivitas tradisional masyarakat: (a) mencari ikan dengan perahu kecil
sederhana; (b) pemasangan jaring untuk mendapatkan udang; (c) mencari
kerang saat air sungai surut; (d) mencari kerang dengan cara menyelam; (e)
kerang cemeti.
85
Setiap setahun sekali masyarakat sekitar selalu menyelenggarakan upacara
Petik Laut di Segara Anak, tepatnya pada tanggal 10 Sura (penanggalan Jawa).
Upacara ini merupakan gabungan antara kebudayaan Hindu dan Islam. Tujuan
upacara ini adalah meminta keselamatan untuk alam dan desa sekitar selain itu
agar jumlah stok ikan tidak menurun sehingga masyarakat pencari ikan tidak
kesulitan dalam mencari ikan pada tahun berikutnya. Setiap upacara Petik Laut
masyarakat setempat menyiapkan makanan dan buah-buahan untuk dimakan
bersama dan disisihkan untuk sesaji. Sebelumnya dibuka dengan pembacaan doa-
doa secara Islam (Gambar 14a). Setelah didoakan, sesaji dilabuhkan di Segara
Anak (Gambar 14b).
Selain berdoa bersama dan melakukan labuhan, pada acara Petik Laut
biasanya juga ada pertunjukan seni Gandrung. Kesenian ini merupakan
pertunjukkan organ tunggal dengan kombinasi musik daerah dan diikuti dengan
tarian tradisional. Seni Gandrung merupakan acara tambahan ketika Petik Laut.
Biasanya grup kesenian ini disewa oleh pemerintah desa untuk memeriahkan
acara-acara tertentu (Gambar 14c).
Foto: Kurniawan (2008)
(a)
Foto: Kurniawan (2008)
(b)
Foto: Kurniawan (2008)
(c)
Gambar 14 Upacara Petik Laut: (a) Doa bersama memulai acara; (b) Pelepasan sesajen;
(c) Pertunjukan seni Gandrung.
6.2 Kegiatan Wisata yang Sudah Ada
Pengelola ekowisata mangrove Bedul sampai saat ini menawarkan empat
macam paket ekowisata, yaitu Wisata Pendidikan Pengenalan Mangrove,
Ekowisata Mangrove di Blok Kere, Ekowisata Mangrove di Cungur dan
Ekowisata Penyu di Ngagelan. Paket ekowisata mangrove seharusnya memiliki
kaitan erat dengan ekosistem mangrove. Akan tetapi ada satu paket yang keluar
dari konsep ekowisata mangrove. Paket ekowisata penyu ke Ngagelan dikatakan
86
keluar dari konsep ekowisata mangrove karena objek utama yang dituju adalah
penyu, sedangkan mangrove bukan merupakan habitat bagi penyu. Sehingga tidak
ada sangkut paut antara mangrove dan penyu. Jika penyu dijadikan objek
ekowisata sebaiknya dibuat program tersendiri terlepas dari program ekowisata
mangrove.
Pada rencana awal, objek utama yang ditawarkan adalah mangrove.
Seiring dengan berjalannya waktu, pengembangan wisata di Bedul dibagi menjadi
dua macam, yaitu ekowisata dan wisata konvensional. Hal ini dikarenakan oleh
banyaknya pengunjung yang menginginkan wisata konvensional, hanya sekedar
keliling dengan perahu atau mengunjungi Pantai Marengan. Kenaikan harga tiket
masuk sebesar Rp. 3.000,00 ternyata tidak menurunkan kunjungan. Jika dilihat
dari data kunjungan bulan April-Juli, rata-rata jumlah pengunjung justru lebih
banyak daripada sebelum kenaikan harga tiket.
Melalui hasil observasi dan wawancara dengan 40 orang pengunjung maka
kunjungan yang terjadi dapat dikatagorikan. Berdasarkan hasil wawancara dengan
pengunjung, sebagian besar responden pengunjung berusia antara 20-40 tahun.
Jika dilihat dari faktor usia pengunjung, rentang usia 20-40 tahun sesuai dengan
usia para pelaku ekowisata. Menurut Betoon (2000), pelaku ekowisata biasanya
berusia antara 20-40 tahun. Begitu pula jika dilihat dari faktor pendidikan,
sebagian besar responden pengunjung berpendidikan cukup tinggi yaitu Diploma
dan Sarjana. Akan tetapi untuk menilai jenis kunjungan wisata tidak hanya
ditentukan oleh faktor usia dan pendidikan saja. Jika dilihat dari besarnya uang
yang sanggup dibelanjakan oleh responden pengunjung, sebagian besar
pengunjung menjawab sanggup mengeluarkan uang Rp. 100.000,00 – Rp.
250.000,00 untuk dirinya sendiri dan kelompoknya. Biaya sebesar itu masih
tergolong rendah jika dihabiskan untuk 5-14 orang dalam satu rombongan.
Padahal para pelaku ekowisata biasanya sanggup membayar lebih/mahal asalkan
mereka dapat menikmati apa yang mereka inginkan (Betoon 2000).
Faktor lain yang digunakan untuk menilai jenis wisata adalah motivasi dan
asal pengunjung. Berdasarkan wawancara dengan 40 orang pengunjung, motivasi
tertinggi kedua responden pengunjung setelah ingin naik perahu gondang-
87
gandung adalah ingin pergi ke pantai. Selama mereka berada di pantai tidak ada
hal khusus yang ingin mereka ketahui atau pelajari. Mereka hanya sekedar ingin
melihat ombak dan panorama yang ada. Berdasarkan asalnya, pengunjung Bedul
masih didominasi oleh pengunjung dalam negeri khususnya dari daerah
Banyuwangi sendiri. Minat pengunjung lokal terutama dari dalam daerah sendiri
biasanya adalah wisata konvensional untuk sekedar refresing tanpa harus
mengunjungi tempat yang jauh.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, jenis kunjungan yang ada di Bedul
sebagian besar dikatagorikan sebagai wisata konvensional. Pembatasan jumlah
pengunjung juga tidak pernah dilakukan oleh pengelola sehingga kegiatan wisata
di Bedul saat ini cenderung wisata masal daripada ekowisata.
Gambar 15 Aktivitas wisata masal di dalam kawasan TNAP
6.3 Aktivitas Ekonomi Masyarakat Lokal terkait Penyelenggaraan
Wisata
Aktivitas masyarakat setempat berupa mencari ikan, udang dan kerang
sudah ada sejak dahulu sebelum Bedul dibuka untuk wisata. Aktivitas masyarakat
lokal sebagai nelayan memang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan
wisata karena kegiatan tersebut sudah sejak lama semenjak nenek moyang
mereka. Ada ataupun tidak ada wisata di Bedul, aktivitas nelayan di Segara Anak
tetap ada. Akan tetapi aktivitas masyarakat lokal dalam memanfaatkan Segara
Anak dapat dijadikan objek ekowisata mangrove karena masih ada kaitannya
dengan pemanfaatan ekosistem mangrove. Hal ini dapat dijadikan objek
ekowisata jika selain menyaksikan atau mengikuti kegiatan masyarakat,
pengunjung juga diberikan interpretasi yang cukup terkait kegiatan masyarakat
tersebut.
88
Tenaga kerja ekowisata mangrove direkrut semenjak Bedul dibuka untuk
lokasi wisata dan mereka diberi pelatihan semenjak pengembangan ekowisata
mangrove dicanangkan. Secara otomatis para tenaga kerja mangrove sangat
memiliki keterkaitan dengan penyelenggaraan wisata di Bedul karena mereka
mendapat pendapatan dari aktivitas wisata di Bedul.
Masyarakat setempat yang membuka usaha sebagai penjajak makanan dan
minuman di lokasi Bedul, biasanya mereka membuat warung non-permanen.
Mereka berjualan semenjak adanya wisata di Bedul. Sebagian pedagang
berkeinginan membuka usahanya setiap hari dan menjadikan aktivitas berdagang
di Bedul sebagai pekerjaan utamanya. Ada beberapa pedagang yang berkeinginan
bahwa berjualan di Bedul sebagai usaha sampingannya saja sehingga mereka
hanya membuka warungnya pada hari Sabtu dan Minggu saja. Aktivitas
berdagang di dalam kawasan Bedul juga memiliki kaitan yang erat dengan
penyelenggaraan wisata di Bedul. Hal ini dikarenakan mereka akan mendapat
income dari barang jualannya jika ada pengunjung yang datang.
6.4 Pengembangan Ekowisata Mangrove
6.4.1 Kesesuaian pengembangan ekowisata mangrove dengan fungsi dan tujuan
TNAP
Meninjau dari tujuan dan fungsi TNAP, pada dasarnya tujuan
pengembangan ekowisata mangrove di TNAP sesuai dengan tujuan dan fungsi
dibentuknya TNAP, khususnya pada tiga poin, yaitu “meningkatkan kegiatan
pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan, meningkatkan kesejahteraan
dan pemberdayaan masyarakat sekitar TNAP dan meningkatkan upaya
pemanfaatan kawasan TNAP dan potensinya sebagai wahana pendidikan
konservasi alam guna meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap
konservasi alam”. Ekowisata sendiri merupakan bagian dari pariwisata dan
pemanfaatan jasa lingkungan dan bertujuan mendukung upaya konservasi dan
memberdayakan masyarakat lokal.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pengembangan ekowisata untuk
mencapai tujuan dan fungsi TNAP, terutama tiga poin diatas masih sulit. Ketiga
89
poin tersebut sulit terwujud jika tidak didukung dengan terpenuhinya tujuan dan
fungsi yang lain. Berikut beberapa tujuan dan fungsi TNAP dengan realitas
sebenarnya sehingga perlu adanya perbaikan dalam prakteknya.
6.4.1.1 Penataan Zonasi
Penataan zonasi sudah ditetapkan dan dipetakan akan tetapi dalam
pelaksanaannya, wisata di Bedul belum mempedulikan zonasi yang telah
ditetapkan sehingga kegiatan wisata masal juga terjadi di zona rimba. Areal
kerjasama yang disepakati oleh TNAP dan Desa Sumberasri untuk dikembangkan
sebagai areal wisata mangrove juga masih termasuk dalam zona rimba. Sampai
saat ini areal kerjasama seluas 4 Ha tersebut belum ada pemberiaan tanda batas
yang jelas. Seharusnya perlu adanya penataan zona lagi dan pengusulan zonasi
baru sebelum implementasi kegiatan wisata di Bedul. Kendala dalam penataan
dan pengusulan zona bar adalah membutuhkan waktu yang cukup lama.
6.4.1.2 Peningkatan penelitian berkaitan dengan flora, fauna dan ekosistem
Pada dasarnya Balai TNAP menyambut baik kegiatan penelitian yang
dilakukan oleh mahasiswa, dosen dan instansi di dalam kawasan TNAP. Akan
tetapi kadang-kadang kualitas dan antusias SDM di TNAP sendiri masih perlu
ditingkatkan untuk mendukung penelitian di TNAP. Kerjasama yang baik antara
SDM dari TNAP dan para peneliti perlu ditingkatkan. Penelitian tentang
mangrove di TNAP, khususnya di Bedul masih minim. Padahal data hasil
penelitian terkait flora, fauna dan ekosistem mangrove di Bedul sangat diperlukan
untuk menunjang informasi terkait pengembangan ekowisata mangrove di Bedul.
6.4.1.3 Peningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap konservasi
alam
Upaya peningkatan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap konservasi
alam dapat dilakukan secara langsung maupun melalui media. Penggunaan media
sangat efektif untuk menyampaikan pesan karena dengan media biasanya
masyarakat lebih mudah melihat kemudian mengingat pesan tersebut.
Sementara ini pengadaan pendukung sarana dan prasarana untuk ekowisata
mangrove yang berbasis pendidikan konservasi belum dilakukan. Saat ini media
90
untuk memberikan tambahan pendidikan bagi pengunjung di Bedul baru tersedia
dalam bentuk liflet dan penyediaan guide jika diperlukan.
6.4.2 Proses pengembangan ekowisata mangrove
6.4.2.1 Konsep kerjasama antara TNAP dan Desa Sumberasri
Gagasan kerjasama untuk mengembangkan ekowisata mangrove di Bedul
sudah ada sejak tahun 2007. Pada konsep awal kerjasama adalah mengembangkan
wisata alam terbatas di Blok Bedul. Adapun areal kerjasama yang disepakati
seluas 4 ha, di bagian utara sungai Segara Anak yang paling dekat dengan
pemukiman penduduk dan areal PERHUTANI.
Dasar kerjasama kolaborasi antara Balai TNAP dan Desa Sumberasri
dalam pengelolaan wisata Bedul adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.
19/Menhut-II/2004 Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam. Maksud dari kerjasama kolaborasi antara Balai TNAP
dan Desa Sumberasri adalah membangun kebersamaan dalam rangka
mewujudkan kelestarian TNAP melalui peran serta para pihak dalam berbagai
kegiatan pengamanan, pelestarian dan pemanfaatan secara bersama-sama
sehingga TNAP tersebut berfungsi optimal dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar kawasan. Sedangkan tujuan pengelolaan kolaborasi adalah
optimalnya pemanfaatan TNAP dari sektor wisata alam, terwujudnya peran serta
para pihak khususnya masyarakat Desa Sumberasri, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa Sumberasri dan sekitarnya serta terwujudnya komitmen bersama
dalam menjalankan hak dan kewajiban para pihak (TNAP dan Desa Sumberasri)
sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing (MoU antara Balai TNAP dan
Desa Sumberasri 2007).
Setelah membuat kesepakatan dalam bentuk Memorondum of
Understanding (MoU), Pemerintah Desa Sumberasri membentuk Badan
Pengelola Wisata Mangrove Bedul. Badan terseut merupakan salah satu Badan
Usaha Milik Desa (BUMD). Pengelola badan tersebut terdiri dari beberapa
pemuda Desa Sumberasri yang juga bertindak sebagai perancang kegiatan wisata
mangrove di Bedul. Adapun struktur badan tersebut terdiri dari: ketua, bendahara,
sekretaris, koordinasi bidang penataan dan penyediaan sarana, bidang
91
pengamanan dan konservasi dan koordinasi bidang pengembnagan SDM dan
humas.
Pada tahun 2007, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan
membangun kerjasama dalam hal pengelolaan hutan mangrove. Nama program
kerjasama tersebut adalah Project: the Sub-Sectoral Programme on Mangrove.
Proyek tersebut berjangka waktu tiga tahun terhitung mulai tanggal 17 Januari
2007.
Project: the Sub-Sectoral Programme on Mangrove dilaksanakan oleh
BPHM wilayah I yang bertempat di Denpasar dan JICA. Proyek tersebut
mengambil lima lokasi sebagi site-project, salah satunya adalah mangrove Bedul
TNAP. Adapun jenis wisata yang diarahkan oleh BPHM dan JICA di Bedul
adalah ekowisata. Balai TNAP dan Desa Sumberasri kemudian menyutujui bahwa
pengembangan wisata di Bedul ke arah ekowisata walaupun isi MoU kerjasama
belum dirubah.
6.4.2.2 Stakeholder yang terlibat
Adapun stakeholder yang terlibat dalam pengembangan ekowisata
mangrove Bedul adalah Balai TNAP, Badan Pengelola Wisata Mangrove Bedul
(Desa Sumberasri), Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah I,
Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Pemerintah Tingkat II
Banyuwangi. Peran Balai TNAP adalah sebagai pengawas pengembangan
ekowisata mangrove sedangkan Desa Sumberasri sebagai pelaksana harian
penyelenggaraan ekowisata mangrove. Sedangkan tugas antara Balai TNAP dan
Desa Sumberasri hampir sama. Kepentingan TNAP secara garis besar adalah
menginginkan agar masyarakat Desa Sumberasri ikut serta dalam memelihara
kelestarian hutan mangrove dan melalui kerjasama ini dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kepentingan TNAP tersebut sejalan dengan
kepentingan Desa Sumberasri yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya
tanpa dengan menebang/mencari kayu di hutan.
Selama tahun 2008-2009, BPHM dan JICA berperan sebagai fasilitator
terhadap pengembangan ekowisata mangrove di Bedul. Selama selang waktu
tersebut BPHM dan JICA memberikan pelatihan-pelatihan, antara lain teknis
92
pengenalan tumbuhan mangrove, pelatihan bahasa Inggris dan pengenalan jenis
burung air dan molusca di ekosistem mangrove. Kepentingan BPHN dan JICA
adalah agar pengelolaan ekowisata mangrove di TNAP dapat berjalan sesuai
dengan prinsip-prinsip yang semestinya.
Pemerintah Tingkat II Banyuwangi yang berperan dalam pengembangan
ekowisata mangrove adalah Dinas Perhubungan dan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Banyuwangi. Dinas Perhubungan Banyuwangi membantu perbaikan
jalan Desa Sumberasri untuk menuju kawasan Bedul, memasang papan petunjuk
arah dan membangun jembatan dan darmaga di dalam kawasan mangrove Bedul.
Sedangkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi membantu melakukan
promosi terhadap ekowisata mangrove di Bedul.
Akan tetapi terdapat kekurangsesuaian antara kepentingan Pemerintah
Banyuwangi dan TNAP terkait pengembangan ekowisata mangrove.
Pemerintah daerah menganggap ekowisata sama dengan wisata alam. Oleh karena
itu pemerintah daerah memiliki konsep semakin banyak orang yang berkunjung
ke Bedul semakin bagus karena akan memberikan lebih banyak pemasukan, baik
untuk masyarakat secara langsung dan pemasukan daerah.
6.4.3 Kesesuaian realitas dengan kebijakan
Kesesuaian antara realitas pengembangan ekowisata mangrove Bedul
dikaji berdasarkan kebijakan dari pemerintah pusat dan kebijakan internal yang
dibuat oleh Balai TNAP. Akan tetapi kebijakan internal dari Balai TNAP belum
ada. Sehingga pengkajian kebijakan internal terkait pengembangan ekowisata
mangrove Bedul hanya pada level MoU.
6.4.3.1 Kesesuaian realitas terhadap kebijakan dari pusat
Terdapat beberapa hal yang belum/kurang sesuai antara praktek
pengembangan ekowisata mangrove Bedul terhadap peraturan pemerintah yang
berlaku. Berikut merupakan beberapa kekurangsesuian tersebut.
a. Zonasi untuk keperluan ekowisata
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56/Menhut-
II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, zona rimba boleh
93
digunakan untuk kegiatan wisata terbatas, mengingat zona ini sering
digunakan untuk habitat satwa migran dan untuk keperluan budidaya
yang menunjang zona inti. Akan tetapi dalam realitasnya semua
kegiatan ekowisata yang ditawarkan di Bedul memanfaatkan zona
rimba tanpa adanya pembatasan kunjungan dan sampai saat ini belum
ada studi tentang batas pengunjung yang diperbolehkan dalam suatu
area. Bahkan kegiatan wisata yang disebut ekowisata masih bercampur
dengan penyelenggaraan wisata masal. Wisata masal ke Pantai
Marengan seharusnya tidak diizinkan karena mengingat status
zonasinya Pantai Marengan termasuk zona rimba.
b. Persetujuan kolaborasi
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 19/Menhut-II/2004
tentang Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam merupakan dasar yang diacu oleh Balai
TNAP dalam menjalin kerjasama dengan Desa Sumberasri.
Berdasarkan peraturan tersebut, kesepakatan bersama yang dituangkan
dalam perjanjian kolaborasi berisi materi-materi kesepakatan, antara
lain berupa: kegiatan-kegiatan yang dikolaborasikan, dukungan, hak
dan kewajiban para pihak, jangka waktu kolaborasi, pengaturan sarana
dan prasara setelah jangka waktu kolaborasi berakhir.
Sedangkan MoU kerjasama kolaborasi antara Balai TNAP dan
Pemerintah Desa Sumberasri tidak membahas secara terperinci
tentang dukungan yang diberikan oleh pihak yang berkolaborasi (Desa
Sumberasri) terhadap TNAP. Sehingga materi-materi yang disebutkan
di MoU masih kurang sesuai dengan dasar peraturan. Alangkah lebih
baik jika MoU kerjasama antara Balai TNAP dan Pemerintah Desa
Sumberasri direvisi kembali.
c. Perizinan Pengusahaan Ekowisata
Sampai saat ini, peraturan tentang penyelenggaraan ekowisata
di Indonesia belum ada. Kebijakan tentang penyelenggaraan ekowisata
menggunakan pendekatan kebijakan tentang penyelenggaraan
94
pariwisata alam. Berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2010, pengusahaan
pariwisata alam dapat dilakukan setelah ada izin pengusahaan dan izin
pengusahaan bersal dari Menteri. Jika pengembangan ekowisata
mangrove di Bedul mengacu pada peraturan tersebut maka harus ada
perizinan terlebih dahulu sebelum kawasan diusahakan untuk
ekowisata. Tetapi dasar kebijakan yang digunakan oleh Balai TNAP
dengan Desa Sumberasri adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P. 19/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Kolaborasi Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dengan tujuan
utama pemberdayaan masyarkat lokal.
Mengingat tujuan pengembangan ekowisata mangrove Bedul
lebih ke arah pemberdayaan masyarakat lokal maka izin
pengusahaannya tidak perlu menggunakan acuan PP Nomor 36 Tahun
2010. Usaha yang didirikan oleh masyarakat setempat terkait
pengembangan ekowisata mangrove hanya berskala kecil jika harus
ada pelaporan perizinan pengusahaan maka akan terjadi kesulitan.
Atau sebaliknya jika pengembangan ekowisata mangrove Bedul
dikelola dengan mengacu PP Nomor 36 Tahun 2010 maka stakeholder
yang melakukan usaha di kawasan Bedul bukan dari masyarakat kecil
setempat. Kemungkinan pengusahaan akan dilakukan oleh instansi
swasta yang memiliki modal banyak. Jika hal ini terjadi maka
pengusahaan di areal ekowisata mangrove Bedul hanya akan dikuasai
oleh pengusaha swasta besar sehingga tidak memberikan keuntungan
bagi masyarakat kecil di sekitar kawasan. Oleh karena itu
menggunakan acuan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.
19/Menhut-II/2004 lebih tepat dalam pengusahaan ekowisata
mangrove bedul daripada menggunakan acuan PP Nomor 36 Tahun
2010.
95
d. Penggunaan bahan bangunan untuk sarana prasarana dan fasilitas
pelengkap
Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 167/Kpts-II/1994,
Penggunaan bahan bangunan untuk pembangunan sarana, prasarana
dan fasilitas pelengkap diutamakan bahan-bahan dari daerah setempat
yang memiliki adaptasi tinggi dengan kondisi lingkungan. Jika tidak
terdapat bahan bangunan sebagaimana dimaksud, maka dipergunakan
bahan bangunan dari luar yang tidak merusak kelestarian lingkungan.
Kekurang sesuaian terjadi pada pembangunan darmaga dan jembatan
yang sebagian dibangun dengan menggunakan beton.
Walaupun semen lebih tahan terhadap kondisi lingkungan
(terutama saat air pasang), tetapi pembangunan konstruksi bagian
bawah jembatan dan darmaga menggunakan semen dengan cara
mengecor bagian bawah secara keseluruhan tentu mengganggu
komponen kehidupan di bawahnya. Selain itu bahan dasar dari semen
untuk jembatan kurang memiliki nilai estetika/keindahan.
6.4.3.2 Kesesuaian antara realitas dengan isi MoU
Perjanjian (MoU) yang sudah disepakati seharusnya dijadikan juga
sebagai acuan pelaksanaan pengembangan ekowisata mangrove agar tujuan yang
diharapkan dapat tercapai. Pada kenyataannya ada beberapa ketentuan dalam
MoU yang sampai saat ini belum dilaksanakan.
a. Jenis wisata yang dikembangkan
Berdasarkan MoU antara Balai TNAP dan Desa Sumberasri, jenis
wisata yang dikembangkan adalah wisata alam terbatas. Akan tetapi
pada kenyataannya pengelola sampai saat ini belum membatasi jumlah
pengunjung maupun kegiatan pengunjung. Jenis wisata yang ada justru
cenderung wisata masal tanpa adanya batasan apapun.
b. Pembuatan Rencana Karya Lima Tahun (RKL) dan Rencana Karya
Tahunan (RKT) terkait pengembangan ekowisata mangrove Bedul
Hal yang terpenting yang belum terlaksana adalah penyusunan
Rencana Karya Lima Tahun (RKL) dan Rencana Karya Tahunan
96
(RKT). Padahal penyusunan RKL seharusnya sudah dilaksanakan
sebelum pelaksanaan kegiatan pengembangan ekowisata mangrove
dimulai. Rencana Karya Tahunan (RKT) seharusnya disusun sebagai
acuan dalam menyelenggarakan kegiatan dalam satu tahun tetapi
sampai sekarang menginjak tahun ke-3 (tahun 2010) pengembangan
ekowisata mangrove Bedul belum pernah ada RKT yang jelas.
c. Kegiatan pembinaan habitat di wilayah kerjasama
Berdasarkan isi MoU disebutkan bahwa kedua pihak bersama-sama
melakukan pembinaan habitat di wilayah kerjasama. Akan tetapi
sampai sekarang Desa Sumberasri belum memperhatikan sampai ke
arah kerjasama pembinaan habitat. Jadi pembinaan habitat di wilayah
kerjasama masih menjadi tanggungjawab staf TNAP saja.
d. Pemberian sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat
Kerjasama lain adalah bersama-sama memberikan sosialisasi dan
penyuluhan kepada masyarakat di sekitar TNAP. Akan tetapi saat ini
kegiatan sosialisasi dan penyuluhan masih menjadi tugas staf TNAP
saja.
6.5 Kesesuaian Pengembangan Ekowisata Mangrove dengan Prinsip-
Prinsip Ekowisata
6.5.1 Prinsip ekologi berkelanjutan
Prinsip ekologi berkelanjutan dapat mempunyai arti ekowisata dikelola
secara etis sehingga memiliki dampak negatif yang minim (Ceballos-Lascuarain
1996; Fennel 2003, diacu dalam Higham 2007; TIES 2010) dan tidak bersifat
konsumtif terhadap sumberdaya (Ziffer 1987, Sirakaya et al. 1999; Fennel 2003,
diacu dalam Higham 2007). Pelaksanaan ekowisata harus memperhatikan daya
dukung area ekowisata agar tidak melebihi kemampuan tampung area tersebut dan
tidak mengubah keanekaragaman hayati secara signifikan. Ekowisata merupakan
kegiatan wisata yang meminimumkan dampak terhadap lingkungan sehingga
diharapkan proses-proses ekologis di area tersebut tetap terus terjaga. Jumlah
kelompok pengunjung sebaiknya dalam jumlah kecil untuk menjaga dampak
97
minimum kelompok terhadap area yang dituju (Lindberg dan Hawkins 1993,
diacu dalam Blamey 2001). Definisi “ekologi berkelanjutan” juga berarti
menjaga keberlangsungan lingkungan dan kebudayaan (Weaver 2001, diacu
dalam Higham 2007; National Ecotourism Strategy of Australia diacu dalam
Blamey 2001; TIES 2010). Mengingat objek utama yang ditawarkan di Bedul
TNAP adalah menonjolkan sumberdaya alam maka pembahasan terhadap prinsip
ekologi berkelanjutan ditekankan pada aspek lingkungan di dalam kawasan
ekowisata.
Kenyataan yang terjadi di Bedul, jenis wisata yang terjadi cenderung
wisata masal. Jika dilihat dari motivasi pengunjung, sebagian besar pengunjung
bukan tertarik terhadap mangrove tetapi sebagian besar mereka hanya ingin
menyeberang sungai dengan perahu lalu pergi ke Pantai Marengan. Pembatasan
terhadap pengunjung tidak pernah dilakukan sehingga pengontrolan terhadap
aktivitas pengunjung di dalam kawasan TNAP menjadi sulit. Berdasarkan hasil
obervasi selama penelitian, tidak semua pengunjung memiliki kesadaran terhadap
lingkungan. Contoh hal yang kecil yaitu dalam membuang sampah, masih banyak
pengunjung yang membuang sampah sembarangan.
Selain membuang sampah sembarangan, perilaku pengunjung yang
kurang baik adalah pemberian makanan terhadap satwaliar. Berdasarkan
observasi, banyak pengunjung yang memberikan makanan terhadap monyet ekor
panjang yang ada di kawasan Bedul. Padahal pemberian makanan secara
sembarangan terhadap satwaliar di kawasan konservasi tidak dibenarkan. Hal ini
dapat mengubah perilaku satwa yang seharusnya dibiarkan liar menjadi tidak liar
lagi karena terlalu sering berinteraksi dengan pengunjung.
Sementara itu, perilaku pengunjung lainnya yang tidak sesuai dengan
etika ekowisata dimungkinkan masih banyak lagi di dalam kawasan. Terutama
pengunjung lokal (dari Indonesia) masih banyak yang memiliki kesadaran tentang
lingkungan. Selain itu pengelola belum menyediakan papan himbauan dan
interpretasi untuk meningkatkan kesadaran pengunjung. Selama mobilisasi
pengunjung ke Pantai Marengan, pengelola tidak pernah mengetahui apa saja
yang diperbuat pengunjung selama melewati hutan alam.
98
Berdasarkan status zonasinya hutan alam sebelum Pantai Marengan dan
Pantai Marengan termasuk zona rimba. Sepanjang garis Pantai Marengan
termasuk daerah pendaratan penyu laut di TNAP. Pada bulan-bulan tertentu,
penyu laut mendarat di dalam kawasan TNAP untuk bertelur. Walaupun saat ini
kegiatan lalar (pencarian telur untuk dibantu penetasannya secara semi alami)
rutin dilakukan pada malam atau pagi hari ketika musim-musim pendaratan
penyu, tetapi penyu laut termasuk satwa yang rentan terhadap gangguan manusia
(Hartono 2008). Terlalu banyak aktivitas pengunjung di daerah pendaratan penyu,
sekalipun kegiatan tersebut terjadi pada siang hari, memicu kerusakan/gangguan
terhadap habitat tempat penyu laut bertelur. Kerusakan/gangguan terhadap habitat
peneluran penyu laut antara lain berupa pembukaan jalur/akses jalan di dalam
hutan pantai (Hartono 2008). Hal ini dapat mengakibatkan penyu laut tidak lagi
bertelur pada area tersebut. Kegiatan wisata di Pantai Marengan jelas tidak sesuai
degan konsep awal yang ingin dikembangkan di Bedul dan tidak sesuai dengan
prinsip “ekologi berkelanjutan”.
Terlepas dari wisata masal, paket ekowisata yang ditawarkan baru
membatasi jumlah pengunjung dalam satu kelompok saja. Jarak minimum antara
kelompok satu dan dengan yang lain dalam mengunjungi sebuah site belum
dipikirkan. Jika jarak minimum antar kelompok pengunjung tidak diperhatikan,
hal ini berpotensi terhadap gangguan terhadap site dan hidupan liar di dalam site
karena adanya penumpukan jumlah pengunjung. Penumpukan jumlah pengunjung
di area Cungur dapat mengganggu keberadaan burung air dan burung pantai
migran yang singgah di area tersebut. Site yang digunakan untuk wisata
pengenalan ekosostem mangrove terletak di sebelah utara sungai. Site tersebut
merupakan daerah mangrove daratan sampai mangrove tengah, di mana spesies
Scyphiphora hydrophyllacea dan Ceriops decandara dapat ditemukan. Walaupun
kedua spesies tersebut tergolong spesies mangrove yang langka secara global-
umum secara lokal, tetapi pengelolaannya perlu hati-hati karena keduanya
termasuk spesies yang rentan.
Blok Kere merupakan daerah antara mangrove terbuka dan mangrove
tengah. Walaupun tidak ditemukan spesies mangrove yang rentan, penumpukan
99
jumlah pengunjung berpotensi menyebabkan kerusakan yang lebih besar terhadap
anakan/semai. Apalagi sampai saat ini belum tersedia jembatan/track khusus
untuk menikmati mangrove di Blok Kere.
Track ekowisata menuju ke Ngagelan lebih didominasi hutan alam dataran
rendah. Jika terjadi penumpukan pengunjung berpotensi menggaggu keberadaan
flora dan fauna di hutan alam tersebut. Akan tetapi kunjungan ke site ini masih
dalam kewajaran. Biasanya pengunjung yang memilih paket ke Ngagelan sangat
jarang.
Oleh karena itu, perkiraan jumlah kunjungan di masing-masing site
ekowisata perlu dipikirkan. Pendekatan yang dapat digunakan untuk
memperkirakan jumlah maksimum kunjungan adalah dengan cara menghitung
kapasitas perahu gondang-gandung serta menggunakan faktor-faktor hambatan
sebagai faktor koreksi. Sedangkan untuk memperkirakan jumlah kunjungan paket
Wisata Pendidikan Mangrove di Bedul digunakan pendekatan dengan lama waktu
kunjungan.
Menurut Cifuentes (1992) dalam IUCN (1996), faktor-faktor koreksi
diperhitungkan dengan mempertimbangkan biofisik, lingkungan, ekologi, sosial
dan variabel manajemen. Faktor-faktor koreksi ini berfungsi mengurangi daya
dukung yang diperhitungkan secara kasar sehingga digunakan untuk menentukan
daya dukung secara nyata. Daya dukung nyata (RCC) ditentukan sebagai berikut.
RCC = PCC x (100-Cf1)/100 x (100-Cf2)/100 x … (100-Cfn)/100
Faktor koreksi dapat dirumuskan sebagai berikut:
Cf = (Ml/Mt) x 100
PCC = daya dukung fisik secara kasar
Cf = faktor koreksi
M1 = variabel pembatas (limiting magnitude of the variable)
Mt = variabel total (limiting magnitude of the variable)
Perkiraan jumlah kunjungan dan pengunjung untuk masing-masing site
ekowisata di Bedul dapat ditentukan dengan mengadopsi rumus yang diusulkan
100
oleh Cifuentes (1992) diatas. Maksimum kunjungan belum dapat diperkirakan
untuk site Ngagelan karena untuk site ini belum terdapat informasi pengukuran
waktu tempuh, lama kunjungan dan jarak secara pasti.
a. Wisata pendidikan mangrove di Bedul
Paket wisata yang diperuntukkan untuk anak-anak Sekolah Dasar ini,
maksimal diikuti oleh 30 orang siswa yang dibagi menjadi 3 kelompok masing-
masing kelompok 10 orang siswa. Sedangkan jarak minimum antar kelompok
yang satu dengan yang lain belum ditentukan. Total track yang dilalui sepanjang
300 meter. Area Bedul dibuka dari pukul 08.00 – 17.00, sehingga total
pembuakaan area adalah sembilan jam. Paket ekowisata ini biasanya
membutuhkan waktu satu jam tanpa menggunakan perahu gondang-gandung
untuk menuju site. Oleh karena kunjungan untuk paket ini sebanyak 9 kali (9
jam/1 jam).
Beberapa hambatan pelaksanaan paket wisata ini terdiri dari faktor pelaku
ekowisata dan faktor alam. Jika dilihat dari peserta ekowisata yang terdiri dari
anak-anak usia SD, perlu diadakan jarak antara kelompok satu dengan kelompok
lain. Hal ini bertujuan agar peserta dapat dipantau dan mereka dapat menerima
dengan baik interpretasi yang diberikan oleh petugas. Pengadaan jarak antar
kelompok membutuhkan selang waktu antar kelompok. Sedangkan faktor alam
antara lain berupa keadaan air pasang dan keadaan hujan turun. Masing-masing
hambatan ini digunakan untuk menentukan faktor koreksi.
(i) Selang waktu setiap kelompok
Track total yang dilalui adalah 300 meter, alangkah lebih baik jika
jarak antar kelompok adalah 100 meter. Sehingga track yang dilalui
dibagi menjadi tiga pos dengan jarak masing-masing 100 meter. Jadi
selang waktu antar kelompok adalah 20 menit (100 meter/300 meter
x 60 menit). Oleh karena itu faktor koreksi terhadap waktu adalah
sebagai berikut:
Cf1 = 20 menit/(9x60 menit) x 100% = 3, 70%
(ii) Keadaan air pasang
101
Berdasarkan pembacaan data perkiraan pasang surut, setiap harinya
air pasang yang terjadi antara pukul 08.00 – 17.00 terjadi selama 4,5
jam. Oleh karena itu faktor koreksi yang pertama (Cf2) dapat
dihitung sebagai berikut:
Cf2 = 4,5/9 x 100% = 50%
(iii) Keadaan turun hujan
Musim hujan biasanya terjadi selama 6 bulan setiap tahun. Begitu
pula untuk musim kemarau. Hujan turun biasanya pada pagi hari atau
menjelang sore hari. Ketika hujan turun deras tidak memungkinkan
melakukan aktivitas, biasanya hal ini terjadi selama 2 jam setiap
harinya di area Bedul. Sehingga lamanya hujan dalam satu tahun
pada jam buka kawasan adalah 360 jam (6 bulan x 30 hari x 2 jam).
Sedangkan waktu total pembukaan kawasan dalam satu tahun adalah
3.240 jam (12 bulan x 30 hari x 9 jam). Jadi faktor koreksi kedua
(Cf3) untuk paket ekowisata ini adalah:
Cf3 = 360 jam/3.240 jam x 100% = 11, 11%
Oleh karena itu jumlah kunjungan yang dapat dilakukan pada site ini
adalah 9 kali kunjungan/hari x (100-3, 70)/100 x (100-50)/100 x (100-11, 11)/100
= 3 kali kunjungan/hari. Jika setiap kunjungan terdiri dari 30 siswa maka jumlah
maksimum peserta untuk paket Wisata Pendidikan Mangrove ini adalah 90 orang
dalam satu hari.
b. Ekowisata mangrove di Blok Kere
Jumlah perahu gondang-gandung yang tersedia adalah delapan buah. Jika
pembukaan area dalam satu hari adalah 9 jam dan lama pelaksanaan kunjungan
adalah satu jam. Berdasarkan jumlah perahu yang tersedia, jumlah kunjungan
secara kasar yang dapat dilakukan di blok ini adalah 72 kali (9 jam/1 jam x 8
perahu).
Sebuah perahu gondang-gandung memiliki daya muat 20 orang. Jumlah
20 orang pengunjung sudah cukup banyak untuk satu kali kunjungan di Blok
102
Kere. Tidak memungkinkan jika delapan buah perahu dengan masing-masing
muatan membawa 20 orang tiba bersamaan di Blok Kere. Jika lama kunjungan
satu kelompok biasanya satu jam maka kelompok berikutnya harus menunggu
selama 1 jam untuk melakukan tracking di Blok Kere. Jumlah kunjungan yang
mungkin dalam satu hari adalah 9 kali kunjungan (72 kunjungan/ 8 perahu).
Selain itu terdapat faktor-faktor koreksi sebagai berikut:
(i) Aksesibilitas saat di sungai
Jarak Bedul menuju Kere adalah 3 km. Perjalanan dari Bedul ke
Kere biasanya 15 menit menggunakan perahu gondang-gandung.
Perjalanan bolak-balik Bedul-Kere-Bedul melalui sungai
membutuhkan waktu 30 menit. Sedangkan jam buka total tiap
harinya adalah 9 jam. Jadi faktor koreksi aksesibilitas saat di sungai
adalah:
Cf1 = 0, 5 jam/9 jam x 100% = 5, 56 %
(ii) Keadaan air pasang
Cf2 = 4, 5/9 x 100% = 50%
(iii) Keadaan turun hujan
Cf3 = 360 jam/3.240 jam x 100% = 11, 11%
Jumlah kunjungan ke Blok Kere seharusnya adalah 9 kali kunjungan/hari x
(100-5, 56)/100 x (100-50)/100 x (100-11, 11)/100 = 3 kali kunjungan/hari. Jika
setiap kunjungan terdiri dari 20 orang maka jumlah maksimum peserta untuk
paket Ekowisata di Blok Kere adalah 60 orang dalam satu hari.
c. Ekowisata mangrove di Blok Cungur
Pelaksanaan ekowisata birdwatching di Cungur biasanya saat pagi hari atau
sore hari saat burung-burung air mencari makan. Pengamatan terhadap burung
dilakukan di luar jam pembukaan area, dapat lebih pagi ataupun lebih sore
daripada jam buka normal. Pada pagi hari biasanya dapat dimulai pada pukul
06.00 sedangkan pada sore hari dapat diakhiri pada pukul 17.30. Jam buka area
khusus paket ini dihitung dari pukul 05.30 – 18.30 (13 jam). Akan tetapi dalam
pelaksanaannya, pengamatan terhadap burung air biasanya dilakukan maksimal
103
selama dua jam. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Priambodo
(2007) jumlah burung air terbanyak di Blok Cungur dijumpai pada selang waktu
antara pukul 06.30-07.30 dan pukul 15.30-16.30. Oleh karena itu waktu
pengamatan dalam paket ekowisata ini disarankan pada selang waktu tersebut.
Jarak Cungur dari Bedul kurang lebih 5 km. Perjalanan dari Bedul ke
Cungur biasanya 30 menit menggunakan perahu gondang-gandung. Perjalanan
bolak-balik Bedul-Cungur-Bedul melalui sungai membutuhkan waktu 60 menit.
Jadi waktu yang diperlukan untuk pengamatan dan perjalanan paket ekowisata ini
adalah dua jam. Seperti halnya di Blok Kere jumlah 20 orang pengunjung sudah
cukup banyak untuk satu kali kunjungan di Blok Cungur. Jika dalam satu hari
dibuka untuk dua kali kunjungan maka jumlah maksimum pengunjung dalam satu
hari di Blok Cungur adalah 40 orang (2 x 20 orang).
6.5.2 Prinsip berbasiskan alam/budaya
Ekowisata merupakan kegiatan wisata yang mempelajari dan menikmati
alam dan/atau kebudayaan (Ziffer 1989, diacu dalam Higham 2007; Ceballos-
Lascuarain 1996; Weaver 2001, diacu dalam Higham 2007) dengan kata lain
kunjungan ke tempat yang masih alami atau relatif tidak terganggu (Ceballos-
Lascuarain 1996; Björk 1997, diacu dalam Higham 2007; TIES 2010). Pelaku
ekowisata cenderung ingin menikmati apa adanya terhadap bentang alam dan
kebudayaan di suatu daerah sehingga tidak terlalu menyukai penambahan fasilitas
yang berlebihan (Weiler & Ham 2001).
Jika dilihat dari kealamian sumberdaya alamnya, potensi biologi ekowisata
di Bedul TNAP berupa vegetasi mangrove, satwaliar dan fauna-fauna kecil
mangrove. Kerapatan tingkat pohon mangrove berdasarkan hasil inventarisasi
selama penelitian adalah 2.050 individu/ha. Kerapatan mangrove yang demikian
termasuk kriteria sangat padat dan kondisi baik. Hal ini mengindikasikan bahwa
mangrove di TNAP masih alami. Potensi burung air berdasarkan hasil
pengamatan selama penelitian, terdapat 19 jenis burung air yang dapat ditemukan
di daerah Bedul. Selain spesies burung air, juga ditemukan fauna lain yang
104
tergolong satwaliar maupun fauna-fauna kecil yang ada di permukaan
tanah/lumpur.
Berdasarkan segi kebudayaan, masyarakat setempat memanfaatkan
ekosistem mangrove untuk mencari ikan, kerang dan udang secara tradisional.
Budaya masyarakat berupa pemanfaatan ekosistem mangrove secara tradisional
seperti itu merupakan salah satu contoh pemanfaatan sumberdaya alam yang
ramah lingkungan. Selain itu, sebagai rasa menghargai alam, masyarakat setempat
selalu menyelenggarakan upacara Petik Laut setiap tahun sekali di Segara Anak.
Kealamian tumbuhan mangrove, fauna mangrove dan budaya masyarakat
dalam menghargai ekosistem mangrove akan menjadi objek ekowisata yang
menarik jika didukung dengan sarana prasarana yang baik. Dalam ekowisata,
sarana prasarana yang baik bukan berarti mewah melainkan layak dan tetap
memperhatikan unsur kealamian dan kelestarian lingkungan.
Sarana prasarana ekowisata yang saat ini ada di Bedul masih ada beberapa
yang perlu diperhatikan lagi agar prinsip “berbasiskan alam” dapat dicapai. Sarana
prasarana yang perlu dibenahi antara lain adalah perahu gondang-gandung dan
jembatan. Memang perahu gondang-gandung terkesan tradisional tetapi bahan
bakar perahu ini menggunakan solar (bahan bakar fosil) dan suara mesinnya
sangat berisik. Bahan bakar fosil menyebabkan polusi di air maupun udara. Jika
terjadi kebocoran, berpotensi mematikan beberapa spesies fauna mangrove yang
berada dipermukaan sungai serta berdampak negatif pada perakaran mangrove.
Polusi di udara berupa gas yang dihasilkan dari bahan bakar fosil dan suara yang
dihasilkan dari suara mesin perahu berpotensi mengganggu keberadaan burung
air.
Bagian dasar jembatan yang dicor secara rata dengan semen menyita
habitat fauna kecil mangrove yang seharusnya hidup di bawahnya. Dasar
jembatan yang tepat adalah dengan konstruksi kayu dan pembangunan tiang
penyangganya berselang-seling sehingga tidak menutup rata tanah (gambar 19).
Selain itu pembangunan jembatan dengan semen mengurangi nilai
estetita/keindahan dari lokasi ekowisata.
105
Foto: Kurniawan (2009)
Gambar 16 Contoh konstruksi bangunan jembatan dengan menggunakan kayu (lokasi
MIC Bali)
6.5.3 Prinsip edukasi
Ekowisata bukan kegiatan yang hanya bersenang-senang atau menikmati
pemandangan semata, tetapi dalam ekowisata juga ada unsur
belajar/mengapresiasikan alam/budaya (Björk 1997 dan Sirakaya et al. 1999 diacu
dalam Higham 2007; TIES 2010). Edukasi/pembelajaran adalah proses dari yang
tidak tahu sama sekali menjadi tahu dan yang kurang tahu atau sudah tahu
menjadi lebih tahu. Weler & Ham (2001) menyebutkan bahwa pendidikan
dan/atau interpretasi merupakan unsur kunci dalam ekowisata. Prinsip edukasi
merupakan elemen kunci yang membedakan ekowisata dengan wisata berbasiskan
alam lainnya (Page dan Dowling 2002). Dalam kata lain, pengalaman
berekowisata menimbulkan hubungan intelektual, emosional dan bahkan spiritual
antara manusia dengan tempat sebagaimana mendapatkan sebuah pengalaman
fisik dengan tanah dan air. Melalui hal itu diharapkan akan timbul rasa kesadaran
seseorang untuk lebih menghargai alam dan timbul keinginan untuk menjaganya.
Penggabungan antara kealamian tumbuhan mangrove, fauna mangrove dan
budaya masyarakat dalam menghargai ekosistem mangrove akan menjadi atraksi
ekowisata yang menarik jika didukung dengan interpretasi. Jika diperhatikan,
kegiatan wisata yang ada di Bedul sebagian besar adalah wisata konvensional
(bersenang-senang saja). Hal ini disebabkan karena para pengunjung tidak sadar
tentang objek yang sebenarnya ditawarkan. Tidak heran jika sebagian pengunjung
justru menuju ke pantai ataupun jika memilih paket ekowisata mereka hanya
sekedar menyusuri sungai sambil melihat-lihat pemandangan saja. Sedangkan
106
proses pembelajaran sama sekali tidak ada. Oleh karena itu perlu adanya media
interpretasi yang dapat membantu pengunjung mendapatkan informasi dan
pengetahuan baru terkait ekosistem mangrove.
Interpretasi adalah kegiatan pembelajaran yang bertujuan mengungkapkan
arti dan hubungan kepada orang tentang tempat-tempat yang mereka kunjungi dan
segala sesuatu yang mereka lihat dan lakukan di tempat-tempat tersebut (Tilden
1957 dalam Weiler & Ham 2001). Ada beberapa prinsip interpretasi (Weiler &
Ham 2001) yaitu: (a) interpretasi bukan kegiatan mengajar atau memerintah
seperti halnya di dunia akademik; (b) interpretasi harus menyenangkan bagi
pengunjung; (c) interpretasi harus sesuai dengan pengunjung; (d) interpretasi
harus disusun dengan baik sehingga pengunjung dapat dengan mudah
menangkapnya dan (e) interpretasi seharusnya memiliki tema, bukan sekedar
topik. Contoh media interpretasi yang umum antara lain liflet dan papan
interpretasi. Melalui media interpretasi yang menarik dan mudah dimengerti,
pengunjung dapat memahamami informasi terkait ekosistem mangrove.
Selain media interpretasi, penyediaan visitor center juga sangat penting.
Adanya visitor center diharapkan dapat membantu pengunjung untuk
mendapatkan informasi yang lebih lengkap atau hasil dokumentasi, seperti foto
dan awetan spesies yang mungkin tidak sempat pengunjung saksikan secara
langsung ketika di lapangan. Sebagai contoh di MIC (The Mangrove Information
Centre) Bali, di dalam visitor centre pengunjung dapat menyaksikan miniatur
zonasi mangrove, miniatur burung air dan aquarium hidupan fauna mangrove
kecil.
(a)
(b)
Gambar 17 Contoh media interpretasi: (a) liflet dan (b) papan interpretasi
107
www.skyscrapercity.com/showthread.
php?
(a)
(b)
www.skyscrapercity.com/showthread.
php?
(c)
Gambar 18 Contoh sarana interpretasi: (a) Visitor Center; (b) Miniatur mangrove; (c)
Aquarium hidupan fauna mangrove (lokasi MIC Bali)
6.5.4 Prinsip keuntungan bagi masyarakat lokal
Ekowisata harus berorientasi lokal, maksudnya memberikan keuntungan
kepada masyarakat lokal dan melibatkan masyarakat lokal (Ziffer 1989 diacu
dalam Higham 2007; Ceballos-Lascuarain 1996; Fennell 2003 diacu dalam
Higham 2007; TIES 2010). Perlu disadari bahwa ekoturisme juga tidak mungkin
menampung semua penduduk untuk terlibat dalam pengelola bisnis ekowisata.
Proyek ekowisata tidak bisa merekrut ribuan penduduk lokal (Rahardjo 2004).
Berdasarkan wawancara dengan 46 orang responden, 28% diantara mereka
mengaku mendapat atau pernah mendapat efek keuntungan finasial secara
langsung dari pengembangan ekowisata Bedul. Mereka terdiri dari tenaga kerja
ekowisata mangrove, penarik perahu, pemilik warung di seberang utara Bedul dan
penyedia homestay.
Sedangkan 18% menyatakan mereka mendapatkan efek keuntungan
ekonomi secara tidak langsung, mereka adalah pemilik warung/toko makanan atau
bensin yang terletak di dukuh Blok Solo dan Sumber Rejeki. Sebanyak 54%
responden sisanya menyatakan tidak mendapatkan pengaruh keuntungan
ekonomi. Mereka adalah para petani dan nelayan.
Masyarakat yang mendapatkan keuntungan ekonomi dari pengembangan
ekowisata mangrove sebagian besar adalah masyarakat yang tinggal di dukuh
Blok Solo dan Sumber Rejeki. Hal ini disebabkan karena lokasi kedua dukuh
tersebut lebih dekat dengan Bedul daripada kedua dukuh lainnya. Selain itu dukuh
Blok Solo dan Sumber Rejeki selalu dilalui pengunjung yang akan menuju Bedul.
108
Walaupun sebagian besar responden menyatakan bahwa pengembangan
ekowisata mangrove tidak memberikan manfaat secara ekonomi tetapi responden
menyatakan ikut merasa senang. Mereka merasa senang karena desanya menjadi
ramai dan terkenal. Selain itu jalan desa menjadi bagus setelah adanya
pengembangan ekowisata mangrove sehingga mereka merasa transportasi di
daerahnya menjadi lebih nyaman. Selain itu karena banyak orang yang datang ke
Bedul justru keadaan desa mereka lebih aman.
Keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat belum terlalu signifikan.
Akan tetapi masyarakat yang terlibat langsung (tenaga kerja ekowisata, penarik
perahu dan pedagang di dalam area) sudah merasa mendapatkan penghasilan yang
lebih kontinyu sejak adanya pengembangan ekowisata mangrove di Bedul.
Berdasarkan kesepakatan, tenaga kerja mangrove mendapatkan gaji bersih Rp.
300.000,00/bulan dengan ditambah uang makan setiap mereka bertugas di Bedul.
Khusus untuk guide/pemandu, mereka mendapat tambahan penghasilan sebesar
Rp. 50.000,00 setiap kali mengantarkan rombongan ke Kere, Cungur atau
Ngagelan.
Bagi penarik perahu gondang-gandung, mereka mendapat pendapatan
sebesar Rp. 2.000,00 untuk setiap tiket pengunjung. Penarik perahu mendapatkan
pemasukan lebih sebesar Rp. 75.000,00 ketika mengantarkan rombongan ke Kere
atau ke Cungur dan sebesar Rp. 150.000,00 ketika mengantarkan rombongan ke
Ngagelan. Sedangkan bagi penyedia homestay, walaupun mereka mendapatkan
keuntungan ekonomi secara langsung dari pengembangan ekowisata tetapi
keuntungan yang mereka peroleh sangat jarang. Hal ini dikarenakan jarang sekali
ada pengunjung yang menginginkan tinggal beberapa hari. Setiap ada pengunjung
yang menginap, keuntungan yang didapat oleh penyedia homestay adalah sebesar
Rp. 30.000,00/orang/malam.
Mengingat keterbatasan waktu, penelitian ini hanya mengambil 46
responden penduduk lokal. Penelitian tentang persepsi penduduk terkait
keuntungan dari pengembangan ekowisata mangrove Bedul perlu dilakukan lagi.
Meskipun demikian, keuntungan finansial dari kegiatan wisata mangrove di Bedul
terbukti ada.
109
6.5.5 Prinsip mendukung upaya konservasi
Berdasarkan pengertiannya, ekowisata merupakan kegiatan wisata yang
berkontribusi terhadap konservasi terhadap daerah yang dituju. TIES (2010)
menyebutkan bahwa kegiatan ekowisata harus dapat memberikan keuntungan
finansial langsung terhadap konservasi. Ziffer (1989) diacu dalam Higham (2007)
menyebutkan penyelenggaraan ekowisata harus berkontribusi terhadap area
setempat dalam bentuk finansial maupun tenaga. Sejak dinaikkannnya tiket masuk
kawasan Bedul menjadi Rp. 7.000,00, sebagian kecil dari pendapatan tiket
tersebut dialokasikan untuk dana konservasi di TNAP. Besarnya dana konservasi
tersebut sebesar Rp. 500,00 dari setiap penjualan satu buah tiket. Akan tetapi dana
konservasi yang dikumpulkan sampai saat ini belum begitu jelas penggunaannya.
Berdasarkan wawancara dengan pihak TNAP, dana konservasi tersebut akan
dirapatkan lagi lebih lanjut sehingga akan jelas rencana penggunaannya.
Kontribusi terhadap kontribusi dalam bentuk tenaga juga belum
sepenuhnya dilaksanakan, baik oleh pengelola dari Desa Sumberasri maupun oleh
pelaku ekowisata. Walaupun dalam MoU antara TNAP dan Desa Sumberasri
disebutkan bahwa kedua pihak bersama-sama melakukan kegiatan pembinaan
habitat di wilayah kerjasama, tetapi sampai sekarang pembinaan habitat dilakukan
oleh pihak TNAP. Para pengelola dari Desa Sumberasri baru membantu pada
level pengamanan wilayah dan kadang diikutsertakan membantu penanaman
pohon di dalam kawasan TNAP dengan tujuan perbaikan kawasan.
6.5.6 Prinsip sesuai dengan peraturan pemerintah
a. Peraturan mengenai pengembangan ekowisata
Sampai saat ini peraturan-peraturan dari pemerintah pusat terkait
penyelenggaraan ekowisata belum ada. Oleh karena itu pendekatan yang
digunakan adalah dengan mengacu pada peraturan-peraturan tentang
penyelenggaraan wisata alam di kawasan konservasi.
Dilihat dari zonasinya, sebagian besar kawasan Bedul merupakan zona
rimba. Zona pemanfaatan di Bedul terdiri dari dua macam, yaitu zona
pemanfaatan intensif dan tradisional. Zona pemanfaatan intensif hanya seluas 30
ha berada di sebelah selatan sungai Segara Anak, tepat pada bangunan Barak
110
Polhut dan sekitarnya. Sedangkan zona tradisional seluas 200 ha di sepanjang
sungai Segara Anak.
Penyelenggaraan wisata dan ekowisata di Bedul hampir semuanya
berlokasi di zona rimba, termasuk areal kerjasama dengan Desa Sumberasri
berada di dalam zona rimba. Oleh karena itu terdapat ketidaksesuaian antara
pengembangan ekowisata Bedul dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.
56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
Terkait pengadaan sarana prasarana ekowisata yang menjadi acuan adalah
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 167/Kpts-II/1994. Kekurangsesuaian
antara realitas yang ada dengan isi dari peraturan tersebut adalah dalam
pembangunan jembatan. Pembangunan jembatan pada bagian bawah
menggunakan semen sehingga kurang ramah terhadap lingkungan sebab
pengecoran keseluruhan dasar jembatan dengan semen telah mematikan
kehidupan fauna-fauna kecil dan menghilangkan habitat dari fauna-fauna kecil di
bawahnya.
b. Peraturan mengenai pengelolaan ekowisata secara kolaborasi
Dasar peraturan yang dijadikan pedoman pengelolaan kolaborasi antara
Balai TNAP dengan Desa Sumberasri adalah Balai TNAP dengan Desa
Sumberasri adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 19/Menhut-II/2004
tentang Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam. Secara umum pengelolaan ekowisata mangrove secara
kolaborasi sudah sesuai sengan peraturan namun ada bagian dari MoU yang perlu
diperbaiki lagi. Agar sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.
19/Menhut-II/2004, MoU kerjasama kolaborasi antara Balai TNAP dan
Pemerintah Desa Sumberasri perlu membahas secara terperinci tentang dukungan
yang diberikan oleh pihak yang berkolaborasi (Desa Sumberasri) terhadap TNAP.
6.5.7 Prinsip kepuasan pengunjung
TIES (2010) menekankan bahwa ekowisata harus dapat memberikan
pengalaman positif kepada pengunjung. Björk (1997), diacu dalam Higham
(2007) menyebutkan bahwa pelaku ekowisata diharapkan menikmati dan
111
mengagumi alam atau budaya. Berdasarkan hasil wawancara dengan 40 orang
pengunjung, hanya tujuh orang yang merasa pernah mendengar istilah
ekowisata, lima orang mendefinisikan ekowisata hampir tepat sesuai dengan
pengertian dan prinsip-prinsip ekowisata dan dua orang lainnya salah dalam
memberikan definisi tentang ekowisata. Dua orang tersebut mengira bahwa
ekowisata sama dengan wisata alam. Dari tujuh orang yang pernah
mendengar istilah ekowisata, hanya empat orang yang memiliki niat awal
datang ke Bedul untuk tujuan ekowisata.
Keempat pengunjung yang memiliki niat awal melakukan ekowisata,
berpendapat berbeda-beda tentang kondisi kawasan Bedul. Satu orang
responden berpendapat bahwa kunjungannya ke Bedul sudah termasuk
ekowisata. Baginya kawasan Bedul masih alami dan tenang. Pengunjung
tersebut juga sudah merasa memberikan kontribusi langsung kepada
penduduk lokal (penarik perahu) dan dapat melihat beberapa jenis burung air
seperti yang diinginkannya.
Sedangkan tiga responden berpendapat bahwa jenis wisata di Bedul
belum merupakan ekowisata karena beberapa alasan seperti sampah, tidak
ada papan interpretasi dan tidak ada pembatasan pengunjung. Berdasarkan
hasil wawancara, ketiga orang responden tersebut merasa senang dapat naik
perahu tradisional, mengamati panorama mangrove dan menyaksikan
aktivitas masyarakat lokal tetapi kepuasan yang mereka dapat belum
sepenuhnya.
Satu orang responden yang merasa dirinya telah melakukan ekowisata
di Bedul, merasa cukup puas dengan kunjungannya karena waktu itu bukan
hari Sabtu/Minggu sehingga keadaan kawasan Bedul cukup tenang dan tidak
banyak kunjungan maupun sampah. Selain itu responden tersebut telah
mempersiapkan buku panduan terkait burung air di Pulau Jawa sehingga dia
telah siap melakukan self-guidance.
Penilaian kepuasan pengunjung ekowisata di Bedul dalam penelitian
ini masih sulit karena sebagian besar pengunjung bukan merupakan
“ecotours” melainkan pelaku wisata konvensional. Jika dikaji berdasarkan
112
kesediaan pengunjung dalam mengeluarkan uang untuk dirinya sendiri dan
kelompoknya, tidak ada seorang pun yang sanggu mengeluarkan uang di atas
Rp. 400.000,00. Hal ini mengindikasikan bahwa pengunjung belum/tidak
bersedia mengeluarkan uang lebih besar selama kunjungannya di Bedul
karena keadaan wisata Bedul seperti sekarang ini belum pantas untuk dibayar
mahal.
113
VII. KESIMPULAN & REKOMENDASI
7.1 Kesimpulan
7.1.1 Potensi ekowisata
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa potensi
biologi terdiri dari flora dan fauna. Secara umum kondisi potensi biologi di Bedul
masih baik. Potensi fisik khususnya fasilitas ekowisata perlu diperhatikan lagi.
Fasilitas yang perlu diperbaiki antara lain perahu, darmaga, track menuju kawasan
papan larangan dan papan petunjuk arah. Sementara fasilitas yang perlu segera
diadakan antara lain jembatan dari kayu dan papan interpretasi. Aktivitas
masyarakat lokal mencari ikan, kerang dan udang secara tradisional serta upacara
adat tahunan Petik Laut berpotensi menjadi salah satu objek ekowisata.
7.1.2 Kegiatan wisata dan pengembangan ekowisata mangrove di Bedul
Jika dievaluasi kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip ekowisata,
pengembangan ekowisata mangrove di Bedul belum memenuhi prinsip-prinsip
yang ada. Kegiatan ekowisata mangrove di TNAP diperkirakan dapat memberikan
peluang keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal. Oleh karena itu
pengembangan ekowisata mangrove di Bedul cenderung memenuhi prinsip
keuntungan bagi masyarakat lokal.
7.2 Rekomendasi
7.2.1 Pengadaan dan perbaikan terhadap fasilitas ekowisata
Berdasarkan hasil identifikasi, beberapa fasilitas ekowisata di Bedul masih
perlu diadakan atau dibenahi. Adanya fasilitas ekowisata yang memadahi dan
menarik mendorong pengunjung tidak hanya terkonsentrasi di suatu lokasi (site)
saja. Selain itu pengunjung cenderung akan sanggup mengeluarkan uang lebih
banyak jika fasilitas yang disediakan memenuhi standar kelayakan.
Fasilitas yang perlu diperbaiki antara lain perahu, darmaga, track menuju
kawasan, papan larangan dan papan petunjuk arah. Fasilitas yang perlu sekali
diadakan adalah jembatan dari kayu dan papan interpretasi. Pengunjung akan
lebih mudah menikmati objek yang berupa mangrove dan ekosistemnya jika ada
114
jembatan. Selain itu dengan adanya jembatan, gangguan terhadap mangrove akan
lebih minim. Papan interpretasi berfungsi sebagai sumber informasi sekaligus
pembelajaran.
7.2.2 Konsep ekowisata yang dikembangkan perlu menekankan proses edukasi
dan penyadaran terhadap masyarakat dan pengunjung
Praktek ekowisata mangrove di TNAP memang dapat dikatakan masih
baru walaupun gagasan pengembangannya dimulai sebelum tahun 2007. Tidak
dapat dipungkiri bahwa mewujudkan ekowisata yang dapat memberikan kepuasan
kepada pelaku ekowisata, meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan
memperhatikan keberlangsungan ekologi, bukanlah hal yang mudah. Masyarakat
lokal sebagian besar masih beranggapan bahwa ekowisata sama halnya dengan
wisata alam biasa.
Sebagian besar pengunjung lokal menginginkan kesenangan dengan harga
murah. Semakin banyak pengunjung di kawasan Bedul TNAP memang
memberikan pemasukan kepada masyarakat lokal. Akan tetapi terlalu banyak
pengunjung sangat berpotensi menurunkan kualitas ekologi. Apalagi sebagain
besar kawasan Bedul yang dibuka untuk keperluan wisata sebagian besar masih
berstatus sebagai zona rimba. Mengingat permasalahan tersebut, solusi
membangun jenis wisata yang membatasi kunjungan tetapi tetap memberikan
keuntungan yang lebih baik kepada masyarakat lokal perlu dirancang sejak awal.
Selaku pengelola dan pengawas, pihak TNAP perlu memberikan sosilisasi
terhadap stakeholder lain yang terkait mengenai konsep ekowisata mangrove di
Bedul. Khususnya kepada Badan Pengelola Wisata Mangrove (BPWM)
Sumberasri, pihak TNAP perlu memberikan pendidikan khusus atau
mengikutsertakannya pada pelatihan pengelolaan ekowisata mangrove. Melalui
tenaga ekowisata yang berkompeten diharapkan pelaksanaan ekowisata memenuhi
kaedah yang ada. Begitu halnya dalam perancangan program ekowisata akan
menjadi lebih baik jika didukung sumberdaya manusia yang berkompeten pula.
Program ekowisata yang baik akan mampu menarik wisatawan untuk tidak
sekedar berkunjung tetapi juga mendapatkan makna dari kegiatan ekowisata serta
membayar lebih tinggi untuk mendorong kelestarian alam dan mensejahterakan
115
penduduk setempat. Melalui konsep ekowisata yang demikian, pengunjung
ekowisata mangrove di Bedul akan tersaring sehingga kunjungan dalam jumlah
yang sangat besar tidak terjadi di kemudian hari.
7.2.3 Review terhadap sistem zonasi
Sebagian besar kawasan Bedul adalah zona rimba. Site-site ekowisata
termasuk ke dalam zona rimba, begitu juga dengan areal kerjasama seluas 4 ha
antara TNAP dan Desa Sumberasri yang direncanakan untuk areal pembangunan
fasilitas dan pendirian warung-warung tradisional.
Penggunaan zona rimba untuk kegiatan ekowisata atau wisata terbatas
diizinkan berdasarkan peraturan tetapi tidak untuk wisata konvensional. Dalam
kenyataannya konsentrasi pengunjung paling banyak terjadi di Pantai Marengan.
Mengingat status zonasinya, Pantai Marengan sebaiknya tidak dibuka untuk
wisata konvensional. Kegiatan wisata pantai yang konvensional sebaiknya
dipindahkan di daerah/site lain yang memang secara peruntukkan digunakan
sebagai zona pemanfaatan.
Areal kerjasama seluas 4 ha merupakan daerah mangrove daratan yang
sangat jarang ditumbuhi tumbuhan mangrove dan dekat dengan pemukiman
penduduk. Mengingat rencana penggunaan areal ini untuk tujuan pemanfaatan
intensif, untuk jangka panjang penelitian ini mengusulkan adanya penataan ulang
zonasi
116
DAFTAR PUSTAKA
Bahar A. 2004. Kajian Kesesuaian dan Daya Dukung Ekosistem Mangrove untuk
Pengembangan Ekowisata di Gugus Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar,
Sulawesi Selatan. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak
Dipublikasikan.
Beeton S. 2000. Ecotoursim: A Practical Guide for Rural Communities. Australia: Brown
Prior Anderson.
Bengen DG. 2001. Panduan Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Bogor: PKSPL-IPB.
Blamey RK. 2001. Principles of Ecotourism. Encyclopedia of Tourism [editor: David B.
Weaver]: 549-561. United Kingdom: Cabi Publishing.
Blangy S dan Mehta H. Ecotourism and Ecological Restoration. Jurnal for Nature
Conservation 14 (2006) 233-236. www.scientdirect.com. Dikunjungi: 27
Oktober 2009.
Casley DJ dan Kumar K. 1991. Pemantauan dan Evaluasi Proyek Pertanian.
Penerjemah: Basilius Bengo Teku. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Ceballos-Lascurain H. 1996. Tourism, Ecotourism and Protected Areas. IUCN.
Dahuri R, et al. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.
Das S. Evaluation of Storm Protection Fuctions: A Case Study of Mangrove Forest in
Orissa, India and the 1999 Super Cyclone dalam Prosiding Coastal Protection in
the Aftermath of the Indian Ocean Tsunami: What Role for Forests and Trees?
Regional Technical Workshop FAO (28-31 Agustus 2006). Hal. 61-63.
Deputi Bidang Pengembangan Pariwisata. 2002. Kajian Pengembangan Ekowisata di
Indonesia. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Dinas Kehutanan Sumatera Selatan. Jenis Kayu Dagang.
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/SUMSEL/jenis_kayu_
dagang.html. Dikunjungi: 5 Januari 2011.
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan & Konservasi Alam. 2003. 41 National Parks in
Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
______2007. 50 Taman Nasional di Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik
Indonesia.
117
______ 2006. Kawasan Konservasi Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik
Indonesia.
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 2007. Pedoman Laporan Tugas Akhir
Mahasiswa Program Sarjana. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Fennel DA. 1999. Ecotourism: An Introduction. London: Rouledge.
______2002. Ecotourism Programme Planning. New York: CABI Publishing.
Fritz HM dan Blount C. Role of Forest and Trees in Protecting Coastal Areas Against
Cyclones dalam Prosiding Coastal Protection in the Aftermath of the Indian
Ocean Tsunami: What Role for Forests and Trees? Regional Technical
Workshop FAO (28-31 Agustus 2006). Hal. 52-56.
Gunn CA. 1994. Tourism Planning Basics, Concepts, Cases. Washington: Taylor &
Frances.
Hartono. 2008. Rencana Pengelolaan Penyu di Taman Nasional Alas Purwo (2008-
2012). Balai Taman Nasional Alas Purwo.
Higham J. 2007. Critical Issues in Ecotourism: Understanding a Complex Tourism
Phenomenon. Barlington: Elsevier Ltd.
Howes J, Bakewell D dan Noor YS. 2003. Panduan Studi Burung Pantai. Bogor:
Wetlands International.
http://batagem.com/wp-content/uploads/2010/01/3.-LAMPIRAN-I.pdf. Downloaded: 5
Januari 2011.
http://www.cites.org. Dikunjungi: 17 Oktober 2010.
http:// www.iucn.org/redlist. Dikunjungi: 27 Oktober 2010.
Iskandar. 2008. Metodelogi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif).
Jakarta: Gaung Persada Press.
IUCN Commission on National Parks and Protected Areas. Guidelines for Appliying
Protected Area Management. Editor: Dudley N. www.iucn.org. Downloaded: 15
Desember 2009.
Kitamura S. et al. 1997. Handbook of Mangrove in Indonesia: Bali & Lombok.
International Society for Mangrove Ecosystem (ISME) dan Japan International
Cooperation Agency (JICA).
Kusmana C. 1997. Survei Vegetasi. Bogor: PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor.
Kusmana C. et al. 2005. Manual Silvikultur Mangrove di Indonesia. Jakarta: Departemen
Kehutanan & Korea International Cooperation Agency.
118
Lewis RR. Ecological Enginering for Succesful Management and Restoration of
Mangrove Forests. Ecological Enginering 24 (2005) 403-418.
www.scientdirect.com. Downloaded: 27 Oktober 2009.
Menteri Kehutanan. 1994. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 167/Kpts-II/1994
tentang sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan
Konservasi. Jakarta: Departemen Kehutanan (Dephut).
______. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 19/Menhut-II/2004 tentang
Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam. Jakarta: Dephut.
______. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56/Menhut-II/2006
tentangPedoman Zonasi Taman Nasional. Jakarta: Dephut.
Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 210 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Kerusakan Mangrove. Jakarta:
Kementrian Negara Lingkungan Hidup.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Murni HNC. 2000. Perencanaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Estuaria dengan
Pendekatan Tata Ruang dan Zonasi (Studi Kasus Segara Anakan Kabupaten
Cilacap, Jawa Tengah). Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Tidak Dipublikasikan.
Nasution S. 2003. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.
Nguyen MN, Leicester RH dan Wang CH. 2008. Marine Borer Attack on Timber
Structure. Highett: CSRIO.
Noor YR, Khasali M dan Suryadiputra INN. 1999. Panduan Pengelolaan Mangrove di
Indonesia. Jakarta: Wetland International Indonesia Program.
Oram M. 1999. Marine Tourism Development and Management. New York: Routledge.
Page SJ dan Dowling RK. 2002. Ecotourism. London: Pearson Education.
Presiden Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan.
______. 1998. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 1998 tentang
Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku.
______. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 tentang
Pengusahaan Wisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman
Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
119
Pontonuwu S. 2006. Analisis Pengembangan Ekowisata di Kawasan Suaka Alam (Studi
Kasus di Cagar Alam Tangkoko-Duasudara Sulawesi Utara). Tesis. Program
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Priambodo E. 2007.Komunitas Burung Air di Seksi Konservasi Rowobendo, Taman
Nasional Alas Purwo dengan Fokus pada Bangau Tongtong (Leptoptilus
javanicus Horsfield 1821). Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tidak
Dipublikasikan.
Rahardjo B. 2004. Ekotourisme Berbasis Masyarakat dan Pengelolaan Sumberdaya
Alam. Bogor: Pustaka LATIN.
Restu IW. 2002. Kajian Pengembangan Wisata Mangrove di Taman Hutan Raya I Gusti
Ngurah Rai Wilayah Pesisir Selatan Bali. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Susanto S dan Suprapto. 2004. Inventarisasi Potensi. Di dalam: Rahardjo B. 2004.
Ekotourisme Berbasis Masyarakat dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor:
Pustaka LATIN.
Tisdell C. 1998. Ecotourism: Aspects of Its Sustainability and Compatibilty with
Conservation, Social and other Objectives dalam Tourism Economic, the
Encvironmental and Development: Analysis and Policy. Cheltenham: Edward
Elgar Publishing Limited. Hal. 131-141.
[TIES] The International Ecotoursim Society. What is Ecotourism? www.ecotourism.org.
Dikunjungi: 18 Oktober 2010.
Wearing S dan Neil J. Ecotourism: Impact, Potentials and Possibilities. 2009. Oxford:
Elsevier Ltd.
Weiler B. dan Ham SH. 2001. Tour Guide and Interpretation. Encyclopedia of Tourism
[editor: David B. Weaver]: 549-561. United Kingdom: Cabi Publishing.
Wijaya KT, et al. 2007. Analisa Persepsi masyarakat terhadap keberadaan
mangrove di Segoro Anak TNAP. The Mangrove Information Center.
Tidak Dipublikasikan.
Yuniake. 2003. Kajian Pengembangan Ekowisata Mangrove dan Partisipasi Masyarakat
di Kawasan Nusa Lembongan Bali. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.