E11isa

137
EVALUASI PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE: STUDI KASUS DI BEDUL, RESORT GRAJAGAN, TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, JAWA TIMUR IKA SATYASARI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Transcript of E11isa

Page 1: E11isa

i

EVALUASI PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE:

STUDI KASUS DI BEDUL, RESORT GRAJAGAN,

TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, JAWA TIMUR

IKA SATYASARI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

Page 2: E11isa

EVALUATING MANGROVE ECOTOURISM

DEVELOPMENT: A CASE STUDY FROM

BEDUL, GRAJAGAN RESORT, ALAS PURWO

NATIONAL PARK, BANYUWANGI,

EAST JAVA

By:

Ika Satyasari

Supervisor:

Haryanto R. Putro and Nyoto Santoso

INTRODUCTION. Mangrove forest is a very unique tropical forest ecosystem. Alas Purwo

National Park (APNP) possesses some natural mangrove forest. The development of mangrove

ecotourism in APNP has occurred before 2007 by APNP and Desa Sumberasri. However, it is not

easy to establish ecotourism which contributes to the satisfaction of the visitors, well-being of the

local people and ecological sustainability. It is worrying when the term “ecotourism’ is just used for

marketing of certain tourism products with a lack of stakeholders’ understanding of ecotourism

principles. Therefore, evaluating mangrove ecotourism development in APNP should be conducted.

The objectives of this research are to identify mangrove ecotourism potentials at APNP, evaluate the

current tourism activity at Bedul APNP and its development into mangrove ecotourism by cross

checking it to principles of ecotourism, and finally, arrange recommendations to APNP regarding

mangrove ecotourism implementation.

METHODS. The data that were collected consist of ecotourism potentials, current tourism activity at

Bedul, local people activity-related ecotourism and process of mangrove ecotourism development

(goal and function of APNP, stakeholders, policy on ecotourism, ecotourism development planning

agenda). Data on ecotourism potentials were collected through a literature and document review,

discussion, observation and interviews. Data were analyzed based on their types and functions. Each

problem analysis is related to others that can be used to cross check between realities to principles of

ecotourism.

RESULT & DISCUSSION. The density of mangrove trees at Bedul TNAP with 1.507 individual/ha

is very good. Nine water-birds are protected by Indonesian Governmental Law No. 7, 1999; one of

which, Lesser Adjutant (Leptotilos javanicus), is also categorized as a vulnerable species based on

the IUCN Red List. Physical potentials such as traditional boats, bridges, track, sign and

interpretation boards still need much improvement. Local tradition appropriate for ecotourism,

includes traditional fishing methods. Regarding tourism activities at Bedul APNP, most visitors

showed unfriendly environmental behavior during their visit. They preferred visiting at beach rather

than exploring the mangroves. The respondents of visitors (n=40) did not want to spend more than

Rp 400.000,- for their group visit. Twenty eight percent of the local interviewees (n=46) received a

direct benefit from mangrove ecotourism development at Bedul APNP. Even though more local

people have not felt a direct benefit, they agree with the development of mangrove ecotourism at

Bedul APNP. The management of mangrove ecotourism at Bedul is in poor condition. The managers

do not consider maximum visits or the creation of a conservation fund from the entry fees.

CONCLUSION. This evaluation shows that: (1) Biological potentials of ecotourism at Bedul APNP

are in good condition. Traditional local activities in using mangrove ecosystem also have good

ecotourism potential. However, the local infrastructure needs to be considered as in a poor condition.

Facilities that need to be developed consist of boats, river port, track, and prohibition and direction

signs. While facilities that need to be provided are wooden bridges and interpretation boards; (2) The

implementation of tourism at Bedul is still far from the seven principals of ecotourism. Mangrove

ecotourism activity at APNP has good possibility giving benefit to local people. Some

recommendation to mangrove ecotourism development: (1) The ecotourism facilities have to be

developed and provided; (2) The concept of mangrove ecotourism should insist education and

awareness to the visitors and local people and (3) Review to the zone of APNP should be conducted.

E. 34052746

Page 3: E11isa
Page 4: E11isa

ii

RINGKASAN

IKA SATYASARI. Evaluasi Pengembangan Ekowisata Mangrove: Studi

Kasus di Bedul, Resort Grajagan, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi,

Jawa Timur. Dibimbing oleh HARYANTO R. PUTRO dan NYOTO

SANTOSO.

Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan tropik yang unik. Taman

Nasional Alas Purwo (TNAP) memiliki ekosistem mangrove yang masih alami.

Pengembangan ekowisata mangrove di TNAP sudah dipikirkan sejak sebelum

tahun 2007 oleh pihak TNAP dan Desa Sumberasri. Bagaimanapun juga,

mewujudkan ekowisata yang meberikan kontribusi terhadap kepuasan

pengunjung, kesejahteraan penduduk lokal dan keberlanjutan ekologi bukanlah

hal yang mudah. Kekhawatiran timbul ketika istilah “ekowisata” hanya digunakan

untuk memasarkan suatu produk wisata tertentu karena minimnya pengetahuan

stakeholder terhadap prinsip-prinsip ekowisata. Oleh karena itu, evaluasi

pengembangan ekowisata mangrove di TNAP perlu dilakukan. Tujuan dari

penelitian ini adalah mengidentifikasi potensi ekowisata mangrove di TNAP,

mengevaluasi kegiatan wisata yang sudah berjalan di bedul dan

pengembangannya sebagai ekowisata mangrove dan merumuskan rekomendasi

terhadap penyelenggaraan ekowisata mangrove di TNAP.

Data yang dikumpulkan meliputi: potensi ekowisata, kegiatan wisata yang

sudah ada saat ini di Bedul, kegiatan masyarakat lokal terkait ekowisata dan

proses-proses pengembangan ekowisata mangrove (tujuan dan fungsi TNAP,

stakeholder dan kebijakan terkait ekowisata). Data dikumpulkan berdasarkan studi

literatur, penyelusuran dokumen, diskusi, observasi dan wawancara. Data

dianalisis berdasarkan jenis dan fungsinya. Setiap analisis permasalahan saling

berhubungan sehingga dapat digunakan sebagai bahan cross chek antara realitas

dan prinsip-prinsip ekowisata.

Kerapatan pohon mangrove di Bedul TNAP sebesar 1.507 individu/ha

tergolong sangat baik. Sembilan burung air dilindungi oleh Peraturan Pemerintah

Nomor 7 Tahun 1999; salah satu diantaranya adalah Bangau Tong-tong

(Leptotilos javanicus) yang sekaligus tergolong ke dalam katagori rentan

berdasarkan IUCN Red List. Dua spesies fauna (Ratufa affinis and Varanus

salvator) tergolong ke dalam Appendix 2 CITES. Potensi fisik seperti perahu

tradisional, jembatan, rute, papan penanda dan papan interpretasi masih sangat

perlu ditingkatkan. Tradisi lokal berupa metode penangkapan ikan dan kerang

secara tradisional berpotensi sebagai objek ekowisata. Terkait dengan kegiatan

wisata di Bedul TNAP, sebagian besar pengunjung menunjukkan perilaku tidak

ramah lingkungan selama kunjungannya dan lebih memilih mengunjungi pantai

daripada menikmati mangrove sebagai objek utama. Responden pengunjung

(n=40) tidak sanggup menghabiskan uang lebih dari Rp. 400.000,- untuk

kelompok mereka. Dua puluh delapan persen responden penduduk lokal (n=46)

mendapatkan keuntungan secara langsung dari pengembangan ekowisata di Bedul

TNAP. Walaupun lebih besar penduduk lokal yang tidak mendapatkan

Page 5: E11isa

iii

keuntungan secara langsung, tetapi mereka setuju terhadap pengembangan

ekowisata mangrove di Bedul TNAP. Pengelola belum memikirkan kunjungan

maksimum dan alokasi dana konservasi yang didapat dari tiket masuk.

Evaluasi menunjukkan: (1) Potensi biologi ekowisata mangrove di Bedul

TNAP dalam keadaan baik. Kegiatan penduduk lokal dalam memanfaatkan

ekosistem mangrove secara tradisional memiliki potensi yang untuk ekowisata.

Akan tetapi, Potensi fisik khususnya fasilitas ekowisata perlu diperhatikan lagi.

Fasilitas yang perlu diperbaiki antara lain perahu, darmaga, track menuju kawasan

papan larangan dan papan petunjuk arah. Sementara fasilitas yang perlu segera

diadakan antara lain jembatan dari kayu dan papan interpretasi; (2) Pelaksanaan

wisata di Bedul masih jauh dari prinsip-prinsip ekowisata. Kegiatan ekowisata

mangrove di TNAP diperkirakan dapat memberikan peluang keuntungan ekonomi

bagi masyarakat lokal. Beberapa rekomendasi diantaranya: (1) Pengadaan dan

perbaikan terhadap fasilitas ekowisata; (2) Pengembangan konsep ekowisata perlu

menekankan proses edukasi dan penyadaran terhadap masyarakat dan pengunjung

dan (3) Perlunya review terhadap zonasi.

Kata kunci: Evaluasi, Ekowisata Mangrove, Taman Nasional Alas Purwo

Page 6: E11isa

iv

SUMMARY

IKA SATYASARI. The Evaluation of Mangrove Ecotourism Development:

A Case Study from Bedul, Grajagan Resort, Alas Purwo National Park,

Banyuwangi, East Java. Under supervision of HARYANTO R. PUTRO and

NYOTO SANTOSO.

Mangrove forest is a very unique tropical forest ecosystem. Alas Purwo

National Park (APNP) possesses some natural mangrove forest. The development

of mangrove ecotourism in APNP has occurred before 2007 by APNP and Desa

Sumberasri. However, it is not easy to establish ecotourism which contributes to

the satisfaction of the visitors, well-being of the local people and ecological

sustainability. It is worrying when the term “ecotourism’ is just used for

marketing of certain tourism products with a lack of stakeholders’ understanding

of ecotourism principles. Therefore, evaluating mangrove ecotourism

development in APNP should be conducted. The objectives of this research are to

identify mangrove ecotourism potentials at APNP, evaluate the current tourism

activity at Bedul APNP and its development into mangrove ecotourism by cross

checking it to principles of ecotourism, and finally, arrange recommendations to

APNP regarding mangrove ecotourism implementation.

The data that were collected consist of ecotourism potentials, current

tourism activity at Bedul, local people activity-related ecotourism and process of

mangrove ecotourism development (goal and function of APNP, stakeholders,

policy on ecotourism, ecotourism development planning agenda). Data on

ecotourism potentials were collected through a literature and document review,

discussion, observation and interviews. Data were analyzed based on their types

and functions. Each problem analysis is related to others that can be used to cross

check between realities to principles of ecotourism.

The density of mangrove trees at Bedul TNAP with 1.507 individual/ha is

very good. Nine water-birds are protected by Indonesian Governmental Law No.

7, 1999; one of which, Lesser Adjutant (Leptotilos javanicus), is also categorized

as a vulnerable species based on the IUCN Red List. Physical potentials such as

traditional boats, bridges, track, sign and interpretation boards still need much

improvement. Local tradition appropriate for ecotourism, includes traditional

fishing methods. Regarding tourism activities at Bedul APNP, most visitors

showed unfriendly environmental behavior during their visit. They preferred

visiting at beach rather than exploring the mangroves. The respondents of visitors

(n=40) did not want to spend more than Rp 400.000,- for their group visit. Twenty

eight percent of the local interviewees (n=46) received a direct benefit from

mangrove ecotourism development at Bedul APNP. Even though more local

people have not felt a direct benefit, they agree with the development of mangrove

ecotourism at Bedul APNP. The management of mangrove ecotourism at Bedul is

in poor condition. The managers do not consider maximum visits or the creation

of a conservation fund from the entry fees.

Page 7: E11isa

v

This evaluation shows that: (1) Biological potentials of ecotourism at

Bedul APNP are in good condition. Traditional local activities in using mangrove

ecosystem also have good ecotourism potential. However, the local infrastructure

needs to be considered as in a poor condition. Facilities that need to be developed

consist of boats, river port, track, and prohibition and direction signs. While

facilities that need to be provided are wooden bridges and interpretation boards;

(2) The implementation of tourism at Bedul is still far from the seven principals of

ecotourism. Mangrove ecotourism activity at APNP has good possibility giving

benefit to local people. Some recommendation to mangrove ecotourism

development: (1) The ecotourism facilities have to be developed and provided; (2)

The concept of mangrove ecotourism should insist education and awareness to the

visitors and local people and (3) Review to the zone of APNP should be

conducted.

Keywords: evaluation, mangrove ecotourism, Alas Purwo National Park

Page 8: E11isa

vi

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi

Pengembangan Ekowisata Mangrove: Studi Kasus di Bedul, Resort

Grajagan, Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur adalah benar-benar hasil

karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah

digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tunggi atau lembaga manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2010

Ika Satyasari

NRP E34052746

Page 9: E11isa

vii

EVALUASI PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE: STUDI

KASUS DI BEDUL, RESORT GRAJAGAN,

TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, JAWA TIMUR

IKA SATYASARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

Page 10: E11isa

viii

Judul Skripsi : Evaluasi Pengembangan Ekowisata Mangrove: Studi Kasus di Bedul, Resort Grajagan, Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur

Nama : Ika Satyasari

NIM : E34052746

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Ir. Haryanto R. Putro, MS Ir. Nyoto Santoso, MS

NIP. 196009281985031004 NIP.196203151986031002

Mengetahui,

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Ketua,

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS

NIP. 195809151984031003

Tanggal lulus:

Page 11: E11isa

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Evaluasi

Pengembangan Ekowisata Mangrove: Studi Kasus di Bedul, Resort

Grajagan, Taman Nasional Alas Purwo, Provinsi Jawa Timur”. Penelitian

skripsi ini dilakukan pada bulan Februari sampai April 2010 di Taman Nasonal

Alas Purwo Kabupaten Banyuwangi.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (a) mengidentifikasi potensi

ekowisata mangrove di TNAP; (b) mengevaluasi kegiatan wisata mangrove yang

sudah ada di TNAP dan pengembangannya sebagai ekowisata mangrove dan (c)

selanjutnya merumuskan rekmendasi terhadap penyelenggaraan ekowisata

mangrove di TNAP.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan.

Oleh karena itu, penulis merasa senang dan terima kasih jika ada saran dan kritik

yang membangun. Semoga skripsi hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2010

Penulis

Page 12: E11isa

ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 13 April

1987 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan L.

Purwasanjaya dan Sandinah.

Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMA N 1 Klaten dan pada

tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi

Masuk IPB (USMI). Pada tahun kedua di IPB, penulis memilih Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan sebagai

mayornya.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi

kemahasiswaan, yakni OMDA KMK (Organisasi Daerah Keluarga Mahasiswa

Klaten), HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan &

Ekowisata), DKM (Dewan Keluarga Mushola) Ibaadurrahmaan FAHUTAN dan

IFSA (International Forestry Students Association). Kegiatan besar organisasi

yang pernah diikuti oleh penulis antara lain SURILI (Studi Konservasi

Lingkungan) di TN. Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan tahun 2007;

UNFCCC (United Nation Framework on Climate Change Conference) COP-13 di

Bali sebagai observer mahasiswa tahun 2007; IFSS (International Forestry

Students Symposium) ke-36 di Bulgaria tahun 2008; IFSS ke-37 di Indonesia

tahun 2009 dan Kongres Dunia IUFRO (International Union on Forest Research

Organization) ke-23 tahun 2010 di Korea Selatan.

Penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman

Nasional Alas Purwo pada tahun 2009. Pada tahun 2010, penulis melakukan

penelitian di Taman Nasional Alas Purwo dan penelitian tersebut digunakan untuk

penulisan skripsi dengan judul Evaluasi Pengembangan Ekowisata Mangrove:

Studi Kasus di Bedul, Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur di bawah

bimbingan Ir. Haryanto R. Putro, M.S. dan Ir. Nyoto Santoso, M.S.

Page 13: E11isa

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu

kelancaran skripsi ini:

1. Ir. Haryanto R. Putro, M.S. dan Ir. Nyoto Santoso, M.S. selaku dosen

pembimbing skripsi

2. Ir. Hartono, M.Sc, Kepala Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) pada

tahun lalu atas izin pelaksanaan penelitiannya

3. Bapak Untung selaku Kepala Resort Grajagan, Mas Gendhut, Mas

Arif, beserta seluruh staf TNAP yang telah membantu selama

penelitian

4. Dr. Hendrayanto dan Dr. Supriyanto atas segala nasehat dan

dukungannya

5. Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Sc., Soni Trison, S. Hut, M.Si dan

Istie Sekartining Rahayu, S. Hut, M.Si selaku dosen penguji

6. Ibunda, ayahanda dan kedua adik tercinta atas dukungan dan doanya

7. Keluarga Wiku Suharyoto yang telah banyak membantu selama di

Banyuwangi

8. Prof. EKS Harini Muntasib atas nasehat penulisan karya ilmiah yang

pernah diberikan kepada saya. Latipah Hendarti, M.Sc dan Eva

Rachmawati, M.Si atas masukannya.

9. Mbak Salwa, Kak Sebastian, Wani, Darren, Ronald, Mas Adi

“Gudang Buku”, Kak Fahmi, Afwan, Ibet, Rofiq dan Ajeng atas

bantuan dan masukannya

10. Febriansyah, Rista, Angga, Nida, Mas Momo dan teman-teman Tim

PKLP TNAP 2010 (Gilang, Marolop, Pande, Des, Dian, Diah dan

Erlin) atas bantuannya selama di lapang

11. Teman-teman Tim PKLP TNAP 2009 (Teh Lin, Bono, Iwan, Muti,

Farikhin dan Itha), teman-teman KSHE’42, teman-teman IFSA LC-

IPB dan alumni IFSA LC-IPB (Mas Langlang, Mbak Galuh, Mas

Dinda, Mas Buret, dsb.), teman-teman KMK (Keluarga Mahasiswa

Klaten) dan Wisma Nuradi (Rina, Tiwi, Bu Sita, Bu Irvi, Bu Emi,

Nazla, dll.) atas dukungannya.

12. Serta masih banyak pihak yang telah membantu tetapi tidak mungkin

disebutkan satu-persatu.

Page 14: E11isa

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i

RIWAYAT HIDUP ...................................................................................................... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................................... iii

DAFTAR ISI ............................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. viii

I. PENDAHULUAN ......................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1

1.2 Perumusan Masalah ...........................................................................................2

1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................................................3

1.4 Kerangka Pemikiran ..........................................................................................3

II. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................................5

2.1 Hutan Mangrove ................................................................................................5

2.1.1 Pengertian hutan mangrove .....................................................................5

2.1.2 Struktur vegetasi mangrove .....................................................................6

2.1.3 Keragaman hayati di hutan mangrove .....................................................8

2.1.4 Fungsi mangrove .....................................................................................9

2.2 Ekowisata ........................................................................................................10

2.2.1 Pengertian ekowisata .............................................................................10

2.2.2 Ekowisata dan beberapa bentuk wisata khusus .....................................14

2.2.3 Prinsip-prinsip ekowisata ......................................................................15

2.2.4 Karakteristik ekowisatawan ..................................................................20

2.3 Evaluasi Pengembangan Ekowisata ................................................................21

2.4 Taman Nasional ...............................................................................................25

III. METODE PENELITIAN ......................................................................................27

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...........................................................................27

3.2 Alat dan Bahan ................................................................................................27

3.3 Orientasi Lapang .............................................................................................28

3.4 Jenis Data yang Dikumpulkan .........................................................................28

3.4.1 Potensi ekowisata ..................................................................................28

3.4.2 Kegiatan wisata yang sudah ada dan aktivitas masyarakat lokal terkait

penyelenggaraan wisata: ........................................................................28

3.5 Metode Pengumpulan Data .............................................................................29

3.5.1 Studi literatur dan diskusi ......................................................................29

3.5.2 Observasi ...............................................................................................29

3.5.3 Wawancara (Interview) .........................................................................32

3.6 Pengolahan dan Analisis Data .........................................................................33

3.6.1 Analisis potensi ekowisata ....................................................................33

3.6.2 Analisis kegiatan wisata ........................................................................33

3.6.3 Analisis pengembangan ekowisata mangrove .......................................34

IV. KONDISI UMUM .................................................................................................35

4.1 Letak dan Luas ................................................................................................35

4.2 Topografi .........................................................................................................35

4.3 Geologi ............................................................................................................36

4.4 Tanah ...............................................................................................................36

Page 15: E11isa

v

4.5 Iklim ................................................................................................................36

4.6 Hidrologi .........................................................................................................37

4.7 Potensi Sumberdaya Alam ...............................................................................37

4.7.1 Potensi flora ...........................................................................................37

4.7.2 Potensi fauna .........................................................................................39

4.8 Aksesibilitas ....................................................................................................40

4.9 Sosial - Ekonomi dan Budaya Masyarakat Desa Penyangga ..........................40

V. HASIL.....................................................................................................................42

5.1 Potensi Ekowisata ..........................................................................................42

5.1.1 Potensi biologi .......................................................................................42

5.1.2 Potensi fisik ...........................................................................................48

5.1.3 Kebudayaan masyarakat ........................................................................51

5.2 Kegiatan Wisata ..............................................................................................52

5.2.1 Paket wisata yang ditawarkan ...............................................................52

5.2.2 Pengunjung ............................................................................................55

5.3 Masyarakat Lokal di Sekitar Kawasan ............................................................58

5.3.1 Karakteristik responden masyarakat lokal .............................................58

5.3.2 Keterkaitan mata pencaharian masyarakat lokal terhadap pemanfaatan

kawasan .................................................................................................59

5.3.3 Matapencaharian masyarakat lokal yang berkaitan dengan wisata .......60

5.4 Pengembangan Ekowisata Mangrove di TNAP ..............................................61

5.4.1 Fungsi dan tujuan TNAP .......................................................................61

5.3.2 Stakeholder ............................................................................................62

5.3.3 Kebijakan ...............................................................................................68

VI. PEMBAHASAN ...................................................................................................74

6.1 Potensi Ekowisata ...........................................................................................74

6.1.1 Potensi biologi .......................................................................................74

6.1.2 Potensi fisik ...........................................................................................80

6.1.3 Budaya masyarakat ................................................................................83

6.2 Kegiatan Wisata yang Sudah Ada ...................................................................85

6.3 Aktivitas Ekonomi Masyarakat Lokal terkait Penyelenggaraan Wisata .........87

6.4 Pengembangan Ekowisata Mangrove .............................................................88

6.4.1 Kesesuaian pengembangan ekowisata mangrove dengan fungsi dan

tujuan TNAP ..........................................................................................88

6.4.2 Proses pengembangan ekowisata mangrove ........................................90

6.4.3 Kesesuaian realitas dengan kebijakan ...................................................92

6.5 Kesesuaian Pengembangan Ekowisata Mangrove dengan Prinsip-Prinsip

Ekowisata ........................................................................................................96

6.5.1 Prinsip ekologi berkelanjutan ................................................................96

6.5.2 Prinsip berbasiskan alam/budaya ........................................................103

6.5.3 Prinsip edukasi ....................................................................................105

6.5.4 Prinsip keuntungan bagi masyarakat lokal ..........................................107

6.5.5 Prinsip mendukung upaya konservasi .................................................109

6.5.6 Prinsip sesuai dengan peraturan pemerintah .......................................109

6.5.7 Prinsip kepuasan pengunjung ...........................................................110

VII. KESIMPULAN & REKOMENDASI ................................................................113

7.1 Kesimpulan ....................................................................................................113

7.1.1 Potensi ekowisata ................................................................................113

Page 16: E11isa

vi

7.1.2 Kegiatan wisata dan pengembangan ekowisata mangrove di Bedul ...113

7.2 Rekomendasi .................................................................................................113

7.2.1 Pengadaan dan perbaikan terhadap fasilitas ekowisata .......................113

7.2.3 Review terhadap sistem zonasi ............................................................115

Page 17: E11isa

vii

DAFTAR TABEL

No. Hal

1. Jenis-jenis Burung Air di TNAP .............................................................................9

2. Prinsip-prinsip ekowisata dan pengertiannya ........................................................17

3. Jenis spesies mangrove sejati di Bedul ..................................................................42

4. Kerapatan Jenis Mangrove ....................................................................................43

5. Sebaran kekayaan jenis dan jumlah individu.........................................................44

6. Jenis burung air yang dijumpai pada lokasi pengamatan ......................................46

7. Jenis fauna selain burung air .................................................................................48

8. Fasilitas ekowisata mangrove Bedul .....................................................................49

9. Aksesibilitas menuju TNAP (Wisata Bedul) .........................................................51

10. Perbandingan realitas pengembangan ekowisata mangrove dengan fungsi dan

tujuan TNAP ........................................................................................................63

11. Stakeholder yang terlibat dalam pengembangan ekowisata mangrove ................65

12. Perbandingan antara peraturan dan realitas terkait pengembangan ekowisata

mangrove di TNAP ..............................................................................................69

13. Perbandingan antara MoU dan Realitas ...............................................................73

14. Jenis satwa dan status perlindungannya ...............................................................78

Page 18: E11isa

viii

DAFTAR GAMBAR

No. Hal

1. Diagram Kerangka Kerja Penelitian ........................................................................4

2. Peta lokasi penelitian. ............................................................................................27

3. Plot Petak untuk Mengetahui Komposisi Mangrove .............................................30

4. Fasilitas ekowisata mangrove Bedul. ....................................................................51

5. Rute paket wisata yang ditawarkan di Bedul .........................................................54

6. Grafik jumlah pengunjung wisata Bedul bulan Juli-Desember 2009 ....................55

7. Karakteristik responden pengunjung .....................................................................57

8. Motivasi para pengunjung wisata di Bedul ...........................................................57

9. Karakteristik responden penduduk lokal ...............................................................58

10. Spesies mangrove langka secara global tetapi masih umum ditemukan di daerah74

11. Burung air. .............................................................................................................76

12. Fauna selain burung air. .........................................................................................77

13. Aktivitas tradisional masyarakat. ..........................................................................84

14. Upacara Petik Laut ................................................................................................85

Page 19: E11isa

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pariwisata dipercaya sebagai salah satu penyumbang devisa yang

tinggi bagi Negara Indonesia. Sejak tahun 2008, pemerintah Indonesia lebih

menggalakkan promosi tentang pariwisata di Indonesia melalui program Visit

Indonesia. Indonesia memiliki kekayaan dan keindahan alam yang tidak ternilai

harganya. Keanekaragaman dan keunikan lingkungan alam serta kebudayaan

Indonesia telah diakui secara internasional. Hal ini menjadikan promosi untuk

pengembangan pariwisata di Indonesia tidak terbatas.

Minat wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri, tidak terbatas di

objek-objek wisata yang terkenal dan ramai saja. Beberapa khalayak justru

memandang objek wisata yang terlalu ramai kurang memberikan kesan yang

berarti. Seiring dengan kecenderungan back to nature dan pergesaran paradigma

dari produk kayu ke non kayu, maka usaha ekowisata pada masa yang akan

datang memiliki kecenderungan permintaan yang semakin meningkat. Tidak

sekedar berwisata alam saja, dalam ekowisata selain memberikan kepuasan

pribadi juga dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran, pemahaman dan

dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam.

Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem hutan tropika yang unik

untuk dinikmati dan dipelajari. Dibalik keunikan ekosistem mangrove telah

terbukti bahwa ekosistem mangrove mampu menjadi sistem perlindungan pantai

secara alami termasuk mengurangi resiko gelombang pasang bahkan tsunami dan

tempat perlindungan satwa. Mengingat besarnya fungsi ekosistem mangrove dari

segi ekonomi, edukasi dan ekologi, pemanfaatan hutan mangrove sebagai objek

ekowisata diharapkan dapat membantu melestarikan hutan mangrove di Indonesia.

Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) memiliki ekosistem mangrove

alami, yang keberadaannya cukup lengkap di Indonesia. Berdasarkan hasil

identifikasi tahun 2001, Blok Bedul, Resort Grajagan TNAP memiliki 24 jenis

mangrove (Balai TNAP 2007). Selain keragaman jenis mangrove, di Blok Bedul

juga ditemukan berbagai atraksi satwaliar yang menarik. Keunikan ekosistem

Page 20: E11isa

2

mangrove di TNAP yang selalu pasti dapat ditemukan di daerah atau di negara

lain ini, berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai tempat ekowisata.

Gagasan dan kerjasama untuk mengembangkan ekowisata mangrove

dilakukan sejak sebelum tahun 2007 antara Balai TNAP dengan Desa Sumberasri.

Tidak dapat dipungkiri bahwa mewujudkan ekowisata yang dapat memberikan

kepuasan kepada pelaku ekowisata, meningkatkan kesejahteraan masyarakat

sekitar dan memperhatikan keberlangsungan ekologi, bukanlah hal yang mudah.

Oleh karena itu evaluasi mengenai pengembangan ekowisata di TNAP perlu

dilakukan. Melalui evaluasi ini, dapat diketahui sudah sesuai atau belumnya

antara implementasi ekowisata mangrove di TNAP dengan prinsip-prinsip

ekowisata. Hasil dari analisis ini diharapkan dapat memberikan saran terhadap

penyelenggaraan ekowisata mangrove di TNAP agar integrated sustainable

ecotourism (ekowisata yang terintegrasi berkelanjutan) dapat tercapai.

1.2 Perumusan Masalah

Hutan mangrove di TNAP termasuk ekosistem hutan tropika yang sangat

unik dan memiliki kealamian yang masih baik. Keunikan yang tidak selalu dapat

ditemukan di daerah atau di negara lain ini, perlu dikonservasi dengan sebaik-

baiknya. Melakukan konservasi bukan berarti melarang untuk memanfaatkan.

Pengelolaan hutan mangrove bertujuan agar sumberdaya yang ada dapat

dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, dalam arti kesejahteraan rakyat

dapat meningkat tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan yang merugikan

kepentingan generasi yang akan datang.

Konsep ekowisata merupakan salah satu alternatif untuk mengembangkan

suatu kawasan menjadi tujuan wisata yang tetap memperhatikan konservasi

lingkungan dengan menggunakan potensi sumberdaya serta budaya masyarakat

lokal. Di satu sisi, pengembangan ekowisata ditujukan untuk menghasilkan

keuntungan secara ekonomi, namun di sisi lain pengembangan juga harus

memperhatikan terjaganya kualitas ekologis maupun sosial. Konsep semacam ini

sering disebut konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable

development). Implementasi ekowisata secara nyata di lapangan belum tentu telah

Page 21: E11isa

3

sesuai dengan kriteria–kriteria yang diusulkan. Pelaksanaan ekowisata masih

memungkinkan untuk terjadinya kesalahan dalam memahami dan memanfaatkan

gagasan ini. Banyak orang menyederhanakan bahwa ekowisata adalah akivitas

wisata alam terbuka semacam gunung, hutan, pedesaan dan sebagainya (Rahardjo

2004) Kekhawatiran baru timbul ketika istilah ekowisata digunakan hanya

sebagai label pemasaran produk wisata yang berbasis alam dengan memanfaatkan

peluang emas dan kecenderungan pasar. Bertolak dari hal tersebut, maka

permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Apakah realitas yang ada di lapangan (meliputi: potensi, kegiatan,

pengelolaan dan pengunjung wisata Mangrove di TNAP) sudah sesuai

dengan tolok ukur ekowisata?

2. Jika terdapat ketidaksesuaian (gap) antara realitas wisata yang ada dengan

tolok ukur ekowisata, apa yang menjadi penyebabnya?

3. Bagaimana seharusnya penyelenggaraan ekowisata mangrove di TNAP?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kesesuaian

pengembangan ekowisata mangrove di Sub Resort Bedul TNAP dengan prinsip-

prinsip (tolok ukur) ekowisata serta mencari permasalahan yang menyebabkan

ketidaksesuaian antara realitas dan tolok ukur ekowisata. Secara lebih rinci tujuan

penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi potensi ekowisata mangrove di TNAP

b. Mengevaluasi kegiatan wisata mangrove yang sudah ada di TNAP dan

pengembangannya sebagai ekowisata mangrove

c. Merumuskan rekomendasi terhadap penyelenggaraan ekowisata

mangrove di TNAP.

1.4 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini merupakan suatu evaluasi pengembangan ekowisata

mangrove di TNAP, khususnya di Sub Resort Bedul dengan mengacu pada

prinsip-prinsip ekowisata menurut ahli-ahli ekowisata (Ceballos dan Lascurain

Page 22: E11isa

4

1996; Björk 1997 dalam Higham 2007; Sirakaya et al. 1999 dalam Higham 2007;

Weaver 2001 dalam Higham 2007; Fennell 2003 dalam Higham 2007; dll.).

Prinsip-prinsip ekowisata yang diusulkan oleh para ahli tersebut, jika disimpulkan

adalah ekologi berkelanjutan, berbasiskan alam, bersifat edukasi, memberikan

keuntungan bagi masyarakat lokal, mendukung upaya konservasi, sesuai dengan

peraturan pemerintah dan memberikan kepuasan kepada pengunjung. Sementara

hal yang dievaluasi adalah realitas yang sesungguhnya di lapangan yang meliputi:

potensi ekowisata, wisata yang sudah diselenggarakan di TNAP, kesesuaian

kegiatan wisata dengan kebijakan yang sudah ada serta kegiatan ekonomi

masyarakat terkait penyelenggaraan wisata. Secara sistematis kerangka pemikiran

penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram Kerangka Kerja Penelitian

Page 23: E11isa

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Mangrove

2.1.1 Pengertian hutan mangrove

Hutan mangrove seringkali disebut dengan hutan bakau. Akan tetapi

sebenarnya istilah bakau hanya merupakan nama dari salah satu jenis tumbuhan

penyusun hutan mangrove, yaitu Rhizopora spp. Oleh karena itu, istilah hutan

mangrove sudah ditetapkan sebagai nama baku untuk mangrove forest (Dahuri

1996).

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan

bahasa Inggris grove. Kata mangrove dalam bahasa Inggris digunakan baik untuk

komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun

untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.

Sedangkan dalam bahasa Portugis, kata mangrove digunakan untuk menyatakan

individu spesies tumbuhan, dan kata mangal untuk mengatakan komunitas

tumbuhan tersebut (Macnae 1968 diacu dalam Kusmana et al. 2005).

Mangrove merupakan pohon yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut

(intertidal trees), ditemukan di sepanjang pantai tropis di seluruh dunia. Pohon

mangrove biasanya dipengaruhi oleh pasang sehingga mangrove memiliki

adaptasi fisiologis secara khusus untuk menyesuaikan diri dengan garam yang ada

di dalam jaringannya. Mangrove juga memiliki adaptasi melalui sistem perakaran

untuk menyokong dirinya di sedimen lumpur yang halus dan mentransportasikan

oksigen dari atmosfer ke akar. Sebagian besar mangrove memiliki benih terapung

yang diproduksi setiap tahun dalam jumlah besar dan terapung hingga berpindah

ke tempat baru untuk berkelompok (Lewis 2004).

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan

subtropis yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh

dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen 2001).

Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran

ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang

memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung

Page 24: E11isa

6

lumpur. Sedangkan di wilayah pessisir yang tidak terdapat muara sungai, hutan

mangrove pertumbuhannya tidak optimal. Mangrove tidak atau sulit tumbuh di

wilayah yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat karena

kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur, substrat yang

diperlukan untuk pertumbuhannya. Hal ini terbukti dari daerah persebaran

mangrove di Indonesia yang umumnya terdapat di Pantai Timur Sumatera,

Kalimantan, Pantai Utara Jawa dan Irian Jaya. Penyebaran hutan mangrove juga

dibatasi oleh letak lintang karena mangrove sangat sensitif terhadap suhu dingin

(Dahuri 1996).

Bangen (2001) menyebutkan karakteristik hutan mangrove sebagai

berikut:

a. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,

berlempung atau berpasir

b. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang

hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan

menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove

c. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat

d. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air

bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (mencapai 38 permil).

2.1.2 Struktur vegetasi mangrove

Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis

yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri dari 89

jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Hanya

terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Di dalam

hutan mangrove, paling tidak terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati

penting/dominan yang termasuk ke dalam 4 famili: Rhizoporaceae (Rhizopora,

Bruguiera dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia)

dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen 2001).

Page 25: E11isa

7

Secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam 4 zona (Noor et al. 1999),

yaitu:

a. Mangrove terbuka

Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir,

sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zonasi ini, biasanya berasosiasi

dengan Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang

kaya bahan organik (Bengen 2001).

b. Mangrove Tengah

Mangrove di zona ini terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona

ini umumnya didominasi oleh Rhizopora spp. Selain itu sering juga

dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. (Noor et al. 1999 dan

Bengen 2001).

c. Mangrove payau

Zona ini berada di sepanjang sungai berair payau sampai tawar. Zona ini

biasanya didominasi oleh komunitas Nypa dan Sonneratia (Noor et al.

1999).

d. Mangrove daratan

Mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang

jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang utama ditemukan

pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, Intsia bijuga, N. fruticans,

Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus moluccensis. Zona

ini memiliki kekayaan jenis tinggi daripada zona lainnya (Noor et al.

1999).

Tomlinson (1984) diacu oleh Kusmana et al. (2005) membagi flora

mangrove menjadi 3 kelompok, yaitu:

a. Flora mangrove sejati (flora mangrove sebenarnya), yaitu flora yang hanya

tumbuh di habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni

dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi

mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar napas/udara dan

viviparitas) terhadap lingkungan mangrove dan mempunyai mekanisme

Page 26: E11isa

8

fisiologis dalam mengkontrol garam. Contoh: jenis-jenis dari genus

Avicennia, Rhizopora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia,

Lumnitzera dan Nypa.

b. Flora mangrove penunjang (minor), yaitu flora mangrove yang tidak

mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak

berperan dominan dalam struktur komunitas. Contoh: Excoecaria,

Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras, Aegialitis, Acrostichum,

Camptostermon, Scyphiphora, Pemphis, Excoecaria, Ombomia dan

Pelliciera.

c. Tumbuhan asosiasi mangrove, yaitu flora yang berasosiasi dengan

tumbuhan mangrove sejati dan penunjang. Flora jenis ini ditemukan

sebagai vegetasi transisi. Jalurnya belum bisa dipastikan. Contoh: jenis-

jenis dari genus Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus dan lain-

lain.

Zona vegetasi mangrove berkaitan erat dengan pasang surut. Pada

umumnya lebar zona mangrove jarang melebihi 4 kilometer, kecuali pada

beberapa estuari serta teluk yang dangkal dan terutup. Pada daerah seperti ini

lebar zona mangrove dapat mencapai 18 kilometer (Noor et al. 1999).

2.1.3 Keragaman hayati di hutan mangrove

Indonesia terdapat perbedaan dalam hal keanekaragaman jenis mangrove

antara satu pulau dengan pulau yang lainnya. Dari 202 jenis yang telah diketahui,

166 jenis terdapat di Jawa, 157 jenis di Sumatera, 150 jenis di Kalimantan, 142

jenis di Irian Jaya, 135 jenis di Sulawesi, 133 jenis di Maluku dan 120 jenis di

Kepulauan Sunda Kecil. Pengecualian untuk di Pulau Jawa, meskipun memiliki

keragaman jenis yang paling tinggi akan tetapi sebagian besar dari jenis-jenis

yang tercatat berupa jenis gulma (seperti Chenopdiaceae, Cyperaceae, Poaceae).

Dalam hal kelangkaan, terdapat 14 macam tumbuhan mangrove langka di

Indonesia (Noor et al. 1999), yaitu:

a. Lima jenis umum setempat tetapi langka secara global, sehingga berstatus

rentan dan memerlukan perhatian khusus untuk pengelolaannya. Jenis-

Page 27: E11isa

9

jenisnya adalah: Ceriops decandra, Scyphiphora hydrophyllacea, Quasia

indica, Sonneratia ovate, Rhododendron brookeanum.

b. Lima jenis yang langka di Indonesia tetapi umum di tempat lain, sehingga

secara global tidak memiliki pengelolaan secara khusus. Jenis-jenis

tersebut adalah Eleocharis parvula, Fibristylis sieberiana, Sporobolus

virginicus, E. spitalis dan Scirpus litoralis.

c. Empat jenis sisanya berstatus langka secara global, sehingga memerlukan

pengelolaan khusus untuk menjamin hidupnya. Jenis-jenisnya adalah

Amyema anisomere, Oberonia rhizophoreti, Kandelia candel dan

Nephrolepsis acutifolia.

Selain memiliki vegetasi yang khas, mangrove merupakan habitat bagi

berbagai jenis satwa liar seperti primata, reptil dan burung. Mangrove biasanya

digunakan sebagai tempat berlindung, mencari makan dan tempat berkembang

biak bagi burung air. Berdasarkan penelitian Priambodo (2007) di Taman

Nasional Alas Purwo ditemukan 13 jenis burung air (Tabel 1).

Tabel 1 Jenis-jenis Burung Air di TNAP

No. Nama Lokal Nama Latin Famili

1. Cangak laut Ardea sumatrana Ardeidae

2. Kuntul kecil Agretta garzetta Ardeidae

3. Bangau tongtong Leptootilos javanicus Ciconiidae

4. Cerek pasir besar Charadrius leschenaultia Charadriidae

5. Gajahan besar Numenius arquata Scolopacidae

6. Biru laut ekor blorok Limosa lapponica Scolopacidae

7. Gajahan penggala Numenius phaeopus Scolopacidae

8. Trinil kaki merah Tringa tetanus Scolopacidae

9. Trinil kaki hijau Tringia nebularia Scolopacidae

10. Trinil bedaran Tringia cinereus Scolopacidae

11. Trinil pantai Tringia hypoleucos Scolopacidae

12. Dara laut jambul Sterna bergii Sternidae

13. Dara laut benggala Sterna bengalensis Sternidae

Sumber: Priambodo (2007)

2.1.4 Fungsi mangrove

Hutan mangrove menyediakan sejumlah manfaat secara ekologi meliputi

stabilisasi sepanjang pantai, pereduksi ombak dan gelombang yang menyerang

pantai dan perlindungan struktur pulau, pendukung perikanan laut (ikan dan

kerang) secara langsung dan tidak langsung, penyedia makanan dan habitat dan

Page 28: E11isa

10

pendukung populasi satwaliar meliputi burung penyeberang maupun burung air

(Lewis 2004).

Bengen (2001) menyebutkan fungsi dan manfaat mangrove sebagai

berikut:

a. Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi,

penahan lumpur dan penagkap sedimen.

b. Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove

c. Daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makanan (feeding

grounds) dan daerah pemijahan (spamming grounds) berbagai jenis ikan,

udang dan biota laut lainnya.

d. Penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang dan

bahan kertas (pulp).

e. Pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya.

f. Sebagai tempat pariwisata.

2.2 Ekowisata

2.2.1 Pengertian ekowisata

Sejarah tentang ekowisata dapat dikilas balik pada tahun 1960-an ketika

kaum ekologis dan lingkungan sangat prihatin terhadap penggunaan sumberdaya

alam yang tidak sesuai. Pengawetan terhadap keanekaragaman hayati sangat

terancam karena kepentingan ekonomi dan eksplorasi terhadap sumberdaya alam

(Higham 2007). Definisi tentang ekowisata terus berkembang. Semula definisi

ekowisata sangat general dan sukar dipahami, seperti, bertanggungjawab,

konservasi, perlindungan dan berkelanjutan. Seperti yang diungkapkan oleh WWF

1995 dalam Higham 2007 misalnya, ekowisata merupakan perjalanan

bertanggungjawab ke tempat alami yang memberikan kontribusi kepada

perlindungan kawasan alami dan kesejahteraan masyarakat setempat. Pengertian

yang general dan membingungkan seperti itu telah dikritik oleh beberapa ahli

karena pengertian tersebut mengundang arti yang luas dalam hal interpretasi.

Stakeholder yang berbeda mempunyai kepentingan yang lain-lain pula dalam

Page 29: E11isa

11

ekowisata. Kepentingan yang egois dari masing-masing stakeholder dapat

membahayakan semua sistem dalam ekowisata.

Kekhawatiran baru timbul ketika istilah ekowisata digunakan hanya

sebagai label pemasaran produk wisata yang berbasis alam dengan memanfaatkan

peluang emas dan kecenderungan pasar. Beberapa definisi ekowisata yang lebih

jelas kemudian diusulkan. Seperti yang diusulkan oleh Ziffer (1989) diacu dalam

Higham (2007) memberikan penjelasan ekowisata dari berbagai dimensi

(multidimensial comprehensive). Ekowisata merupakan bentuk dari wisata yang

awalnya terinspirasi oleh sejarah alami dari suatu kawasan termasuk keaslian

budayanya. Kunjungan ekowisata biasanya di kawasan-kawasan yang belum

berkembang (underdeveloped area) dengan tujuan mendorong rasa apresiasi,

partisipasi dan sensitivitas. Dalam prakteknya ekowisata bukanlah penggunaan

secara konsumtif (non-consumptive) terhadap hidupan liar dan sumberdaya alam.

Ekowisata memberikan kontribusi terhadap lokasi setempat dalam bentuk

tenaga ataupun finansial yang dimaksudkan untuk mendukung konservasi area

dan memberikan keuntungan secara langsung kepada masyarakat lokal.

Kunjungan ekowisata harus menanamkan apresiasi pelaku ekowisata dan

dedikasi pelaku ekowisata tentang isu konservasi secara global dan terhadap

kebutuhan spesifik lokasi setempat. Ekowisata berkomitmen terhadap perawatan

lokasi dengan melibatkan masyarkat setempat, pemasaran yang sesuai, regulasi

yang berlaku, serta menggunakan pendapatan usaha untuk keperluan biaya

manajemen kawasan sebagaimana juga untuk pembangunan masyarakat.

Pada tahun 1993, Ceballos-Lascuarain merevisi definisi tentang ekowisata

yang pernah didefinisikannya pada tahun 1987 karena pada definisi sebelumnya

hanya memfokuskan pada perilaku pelaku ekowisata dan karakter daerah tujuan

ekowisata tanpa menyebutkan dimensi preservasi/pemeliharaan (Higham 2007).

Ceballos-Lascuarain (1996) kemudian mendefinisikan ekowisata sebagai

perjalanan dan kunjungan bertanggungjawab yang bersifat lingkungan ke daerah

yang relatif tidak terganggu untuk menikmati dan mengapresiasikan alam (dan

keunikan kebudayaan yang ada, baik kebudayaan pada masa lampau maupun

sekarang) sehingga mengajak tindakan konservasi, meminimalkan dampak

Page 30: E11isa

12

negatif dari pengunjung dan memberikan keterlibatan aktif yang menguntungkan

secara sosial dan ekonomi bagi penduduk lokal.

Beberapa ahli lain mengartikan ekowisata menggunakan pendekatan yang

lebih deskriptif untuk mengidentifikasikan prinsip-prinsip dasar dalam ekowisata.

Björk (1997) diacu dalam Higham (2007) mendefisinisikan ekowisata merupakan

aktivitas di mana pemerintah setempat, industri wisata, wisatawan dan masyarakat

lokal bekerjasama membuat aktivitas tersebut menjadi perjalanan ke tempat yang

masih asli agar wisatawan mengagumi, mempelajari dan menikmati alam dan

kebudayaan namun tidak mengeksploitasi sumberdaya, melainkan memberi

kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.

Menurut Sirakaya et al. (1999) diacu dalam Higham (2007), ekowisata

merupakan bentuk baru wisata yang bersifat tidak konsumtif (non-consumptive),

mendidik (educational) dan romantic (romatic), ke tempat-tempat yang relatif

tidak terganggu, tidak ramai dikunjungi, memiliki keindahan alam yang luar biasa

atau memiliki nilai budaya dan sejarah dengan tujuan memahami dan

mengapresiasikan alam dan sejarah sosial budaya dari tempat tujuan tersebut.

Weaver (2001) diacu dalam Higham (2007) memberikan definisi,

ekowisata adalah bentuk dari wisata yang mengangkat pengalaman belajar dan

apresiasi terhadap lingkungan alami atau beberapa komponen daripadanya

termasuk konteks kebudayaan. Wisata ini memiliki praktek yang berwawasan

lingkungan dan sosial budaya berkelanjutan serta mengutamakan cara untuk

menghargai sumberdaya dan budaya dari lokasi tujuan, juga mendukung

keberlangsungan dari penjagaannya.

Fennell (2003) diacu dalam Higham (2007) mendefinisikan ekowisata

sebagai bentuk berkelanjutan dari wisata berbasiskan sumberdaya alam, berfokus

pada mencari pengalaman dan belajar tentang alam, yang dikelola secara etis

sehingga memiliki dampak negatif yang minim, tidak bersifat konsumtif dan

orientasi lokal (kontrol lokal, keuntungan lokal dan skala kecil). Jenis wisata ini

cocok terjadi di daerah-daerah yang alami dan berkontribusi terhadap konservasi

dan preservasi di daerah tersebut.

Page 31: E11isa

13

Wearing dan Neil (2009) mengatakan ekowisata terdiri dari 4 elemen

fundamental. Pertama, ekowisata merupakan perjalanan dari suatu lokasi ke lokasi

lain. Perjalanan tersebut harus dibatasi ke tempat-tempat yang relatif tidak

diganggu atau daerah alami yang dilindungi karena ekowisata berfokus pada

mencari pengalaman di tempat alami. Kedua, ekowisata merupakan wisata

berbasiskan alam (nature-based). Aktivitas seperti perjalanan bisnis, perjalanan ke

luar kota, wisata pantai konvensional dan wisata olahraga tidak dapat disebut

ekowisata. Ketiga, ekowisata mendukung konservasi (conservation-led). Sebagai

salah satu segmen pada industri wisata, ekowisata menonjolkan “ peningkatan

kepedulian global terhadap budaya dan ekosistem” (Kutay 1990 diacu dalam

Wearing dan Neil 2009). Ceballos-Lascurain (1990) diacu oleh Wearing dan Neil

(2009) mengatakan pengembangan ekowisata yang tidak benar dapat menurunkan

area yang dilindungi dan tidak mengantisipasi dampak ekonomi, sosial atau

lingkungan. Keempat, ekowisata memiliki fungsi edukasi.

Menurut Chafe (2007) diacu dalam Wearing dan Neil (2009) mengatakan

ekowisata meliputi keasadaran terhadap lingkungan, konservasi lingkungan dan

pelibatan masyarakat lokal. Ekowisata bertujuan untuk membawa sekelompok

kecil manusia ke tempat alami atau area dilindungi dengan dampak minimum

terhadap lingkungan fisik, sosial dan budaya. Selanjutnya ide konservasi

merupakan ide dari ekowisata tersebut dengan tujuan memberikan kontribusi

kepada perkembangan masa depan (O’Neill 1991 diacu dalam Wearing dan Neil

2009).

Menurut Honey (2006) diacu dalam (Blangy dan Mehta 2006), ekowisata

yang berjalan baik, jika kegiatan tersebut dapat (1) menjaga lingkungan; (2)

menghargai budaya setempat dan memberi keuntungan nyata kepada masyarakat

setempat dan (3) mendidik dan juga menghibur pelaku ekowisata.

The International Ecotourism Society (TIES) mengusulkan prinsip

ekowisata sebagai berikut, meminimalkan dampak negatif, membangun kesadaran

dan penghargaan terhadap lingkungan dan budaya, memberikan pengalaman yang

positif kepada pengunjung dan tuan rumah, menyediakan keuntungan finansial

secara langsung untuk keperluan konservasi, meraih sensitivitas politik

Page 32: E11isa

14

(www.ecotourism.org). Definisi lain mengenai ekowisata diperoleh dari The

Quebec Declaration on Ecotourism (2002) yang dipresentasikan dalam The World

Ecotoursm Summit dikutip oleh Higham (2007), bahwa ekowisata harus

mencakup prinsip memberikan kontribusi secara aktif terhadap konservasi alam

dan warisan budaya, memasukkan masyarakat lokal pada perencanaan,

pengembangan dan operasinya, berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat

setempat, menginterpretasikan alam dan warisan budaya yang menjadi kunjungan,

memberikan layanan yang lebih baik kepada pelaku ekowisata dengan cara

mengorganisasi perjalanan menjadi kelompok ukuran kecil.

Kode ekowisata yang pernah dipresentasikan oleh WWF sekarang telah

direvisi, yang terdiri dari: integrasi dari pengembangan ekowisata dan konservasi

lingkungan, mendorong pengawetan dan konservasi terhadap hidupan liar dan

keanekaragaman hayati, meminimalkan konsumsi hidupan liar, sampah dan

polusi, menghormati kebudayaan lokal, menghormati situs budaya, masyarakat

lokal harus mendapat keuntungan, memilih perjalanan dengan staf yang terlatih

dan professional, membuat perjalanan yang memberikan pembelajaran terhadap

area, mematuhi regulasi dan mengikuti peraturan sebagai pelindung (Higham

2007).

2.2.2 Ekowisata dan beberapa bentuk wisata khusus

Ekowisata telah dibandingkan dengan beberapa bentuk ekowisata. Ada

beberapa terminologi wisata yang menggunakan pendekatan mirip dengan

ekowisata. Beberapa terminologi wisata yang seringkali dianggap atau dikecohkan

sebagai ekowisata antara lain wisata alam, wisata budaya, wisata petualangan,

wisata hidupan liar dan wisata berkelanjutan.

Wisata alam merupakan bentuk wisata yang tujuan utamanya menikmati

atau mengamati flora, fauna dan/atau lanskap. Wisata jenis ini biasanya dilakukan

dalam kelompok kecil. Kadang-kadang bentuk wisata ini sering disinonimkan

dengan ekowisata karena salah satu tujuannya untuk melindungi kawasan alami

(Page dan Dowling 2002). Akan tetapi tidak semua wisata alam saling

berhubungan erat antara prinsip satu dengan yang lain atau erat kaitannya dengan

Page 33: E11isa

15

lingkungan (Goodwin 1996 diacu dalam Page dan Dowling 2002). Menurut

Rahardjo (2004) wisata alam tidak terlalu melibatkan kegiatan-kegiatan atau misi-

misi konservasi dan pelestarian.

Wisata budaya merupakan jenis perjalanan ke suatu daerah untuk

mempelajari dan berpartisipasi terkait budaya daerah tersebut (Higham 2008).

Rahardjo (2004) menambahkan bahwa wisata budaya hanya berfokus pada objek

tradisi lokal dan masyarakat sebagai atraksi pokok. Wisata petualangan adalah

jenis wisata yang memiliki resiko, bahaya dan memacu adrenalin. Dalam wisata

petualangan, wisatawan dituntut memiliki stamina fisik yang mantap (Kane dan

Zink 2004 diacu dalam Higham 2008). Wisata hidupan liar (wildlife tourism)

merupakan perjalanan ke daerah yang dapat dijumpai hidupan liar. Pada jenis

wisata ini, wisatawan rela tinggal agak lama demi untuk mendapatkan

pengalaman menyaksikan hidupan liar (Page dan Dowling 2002).

Jika dibandingkan dengan ekowisata, jenis-jenis wisata di atas (wisata

alam, petualangan, budaya dan hidupan liar) hanya berfokus pada satu hal

tertentu. Sedangkan ekowisata memiliki prinsip-prinsip yang saling berkaitan satu

dengan lainnya. Wisata berkelanjutan sering juga disamakan dengan ekowisata.

Wisata berkelanjutan memang sangat dekat dengan ekowisata tetapi tidak semua

hal dalam wisata ini sesuai dengan kriteria ekowisata. Salah satu hal yang

membedakan misalnya, di kawasan yang banyak dikunjungi orang, wisata

berkelanjutan masih dapat terjadi (Rahardjo 2004).

2.2.3 Prinsip-prinsip ekowisata

Dowling (1998) diacu dalam Page dan Dowling (2002) menekankan

bahwa setidaknya ada 5 prinsip inti ekowisata yang sangat fundamental, yaitu (i)

berbasiskan alam (berbasiskan lingkuangan alami dengan fokus terhadap

keunikan biologis, fisik atau budaya); (ii) ekologi berkelanjutan; (iii) pendidikan

lingkungan (environmentally educative); (iv) keuntungan lokal dan (v)

memberikan kepuasan terhadap pengunjung. Tiga prinsip pertama di atas

merupakan syarat utama untuk produk yang disebut sebagai ekowisata, sedangkan

dua prinsip yang terakhir merupakan prinsip yang digunakan dalam bentuk wisata

lainnya.

Page 34: E11isa

16

Berdasarkan telaah terhadap definisi ekowisata yang diungkapkan oleh

para ahli ekowisata (Ziffer 1989; Ceballos-Lescuarain 1996; Björk (1997);

Sirakaya et al. 1999; Weaver 2001; Fennell 2003) dan The International

Ecotourism Society/TIES (2010) dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan

ekowisata perlu memenuhi tujuh prinsip (ekologi berkelanjutan, berbasiskan

alam/budaya, edukasi, keuntungan bagi masyarakat lokal, mendukung upaya

konservasi, sesuai dengan peraturan pemerintah dan kepuasan pengunjung).

Ketujuh prinsip tersebut memiliki pengertian-pengertian sebagai berikut (Tabel 2).

Page 35: E11isa

17

Tabel 2 Prinsip-prinsip ekowisata dan pengertiannya

Prinsip

Ekowisata

Ziffer (1989)

dalam Higham

(2007)

Ceballos-

Lascuarain

(1996)

Björk (1997)

dalam Higham

(2007)

Sirakaya et al.

(1999) dalam

Higham (2007)

Weaver (2001)

dalam Higham

(2007)

Fennell (2003)

dalam Higham

(2007)

TIES (2010)

1. Ekologi

berkelanjutan

Bukan

penggunaan

konsumtif

terhadap hidupan

liar dan

sumberdaya alam

Meminimkan

dampak negatif

dari pengunjung)

Tidak

mengeksploitasi

sumberdaya

Bersifat tidak

konsumtif (non-

consumptive)

Berwawasan

lingkungan dan

sosial budaya

berkelanjutan

Dikelola secara etis

sehingga memiliki

dampak negatif

yang minim dan

tidak bersifat

konsumtif

Meminimalkan

dampak (terhadap

lingkungan dan

kebudayaan)

2. Berbasiskan

alam/budaya Bebasiskan alam

termasuk keaslian

budaya (sejarah

alami dari suatu

kawasan termasuk

keaslian

budayanya)

Kunjungan ke

daerah yang

relatif tidak

terganggu untuk

menikmati dan

mengapresiasikan

alam (dan

keunikan

kebudayaan yang

ada)

Perjalanan ke

tempat yang

masih asli

Ke tempat-tempat

yang relatif tidak

terganggu, tidak

ramai dikunjungi

Lingkungan alami

atau beberapa

komponen

daripadanya

termasuk konteks

kebudayaan

Berbasiskan

sumberdaya alam

Kunjungan ke

tempat alami

Page 36: E11isa

18

Tabel 2 Lanjutan

Prinsip

Ekowisata

Ziffer (1989)

dalam Higham

(2007)

Ceballos-

Lascuarain

(1996)

Björk (1997)

dalam Higham

(2007)

Sirakaya et al.

(1999) dalam

Higham (2007)

Weaver (2001)

dalam Higham

(2007)

Fennell (2003)

dalam Higham

(2007)

TIES (2010)

3. Edukasi Menanamkan

apresiasi dan

dedikasi pelaku

ekowisata tentang

isu konservasi

Wisatawan

mempelajari alam

dan kebudayaan

Bersifat mendidik

(educational)

dengan tujuan

pengunjung

memahami dan

mengapresiasikan

alam dan sejarah

sosial budaya dari

tempat tujuan

tersebut

Mengangkat

pengalaman belajar

dan apresiasi

Berfokus pada

mencari

pengalaman dan

belajar tentang alam

Membangun

kesadaran dan

penghargaan

terhadap

lingkungan dan

budaya

4. Keuntungan

bagi

masyarakat

lokal

Memberikan

keuntungan dan

melibatkan secara

langsung

masyarakat lokal

Memberikan

keterlibatan aktif

yang

menguntungkan

secara sosial dan

ekonomi bagi

penduduk lokal

Orientasi lokal

(kontrol lokal,

keuntungan lokal

dan skala kecil)

Memberikan

keuntungan

finasial kepada

masyarakat lokal

dan

memberdayakan

masyarakat lokal

Page 37: E11isa

19

Tabel 2 Lanjutan

Prinsip

Ekowisata

Ziffer (1989)

dalam Higham

(2007)

Ceballos-

Lascuarain

(1996)

Björk (1997)

dalam Higham

(2007)

Sirakaya et al.

(1999) dalam

Higham (2007)

Weaver (2001)

dalam Higham

(2007)

Fennell (2003)

dalam Higham

(2007)

TIES (2010)

5. Mendukung

upaya

konservasi

Berkontribusi

terhadap area

setempat dalam

bentuk finansial

maupun tenaga

Mengajak

tindakan

konservasi

Mendukung

keberlangsungan

penjagaan

sumberdaya dan

budaya

berkontribusi

terhadap konservasi

dan preservasi di

daerah yang dituju

Memberikan

keuntungan

finansial langsung

untuk konservasi

6. Sesuai dengan

peraturan

pemerintah

Sesuai

dengan

regulasi/per

aturan yang

berlaku

7. Kepuasan

pengunjung

Wisatawan

mengagumi dan

menikmati alam

dan budaya

Memberikan

pengalaman yang

positif terhadap

pengunjung

Page 38: E11isa

20

2.2.4 Karakteristik ekowisatawan

Beeton (2000) menyebutkan karakteristik ekowisatawan pada umumnya

antara lain:

a. Sebagian besar pelaku ekowisata berusia 20-40 tahun

Pada selang usia ini, sebagian besar orang cenderung tertarik untuk

berpetualang. Sedangkan pada usia 40-54, sebagian besar orang

berkonsentrasi untuk meningkatkan karirnya dan membiayai anak-

anaknya. Sedangkan pada usia 55 tahun ke atas merupakan usia mid-

lifers (pertengahan hidup), orang-orang pada usia ini cenderung

menyukai liburan yang santai.

b. Ekowisatawan cenderung lebih terpelajar daripada wisatawan yang lain

Pelaku ekowisata memperlihatkan ketertarikannya terhadap lingkungan.

Mereka sanggup mengeluarkan uang lebih banyak dan pro terhadap

konservasi.

c. Ekowisatawan lebih menyukai tinggal di akomodasi khusus yang diset

secara natural.

d. Ekowisatawan kurang memperhatikan musim kunjungan seperti

layaknya wisatawan lain yang menunggu saat musim kunjungan ramai.

Kusler (1991) diacu dalam Fennel (1999), menggolongkan ekowisatawan

ke dalam 3 grup utama, yaitu:

a. Do-it-yourself ecotorists

Tipe ekowisatawan ini melakukan ekowisata dengan keinginannya

sendiri tanpa terikat oleh program. Grup ekowisatawan seperti ini

biasanya tinggal/menginap di berbagai macam akomodasi dan melakukan

perpindahan di berbagai tempat.

b. Ecotourists on tours

Tipe ekowisatawan ini mengikuti program yang terorganisir dalam

melakukan perjalanannya.

Page 39: E11isa

21

c. School groups/scientific groups

Sekelompok ekowisatawan yang tergabung dalam research ilmiah.

Biasanya tinggal di daerah yang sama dengan satu grupnya selama

periode waktu tertentu. Tipe ekowisatawan ini lebih memperhatikan

kondisi dan menjaga agar tidak terjadi kerusakan tempat ekowisata.

2.2.5 Ekowisata mangrove

Potensi lain dari hutan mangrove yang belum dikembangkan secara

optimal adalah untuk keperluan wisata alam atau ekowisata. Padahal di negara

lain, seperti Malaysia dan Australia, kegiatan wisata di kawasan hutan mangrove

sudah berkembang lama dan menguntungkan (Dahuri 1996).

Berdasarkan penelitian Yuniake (2003) tentang wisata mangrove di Nusa

Lembongan Bali, motivasi wisatawan yang berkunjung ke Nusa Lembongan

karena ingin menikmati pulau yang indah dan tidak banyak dikunjungi orang.

Sebagian besar wisatawan yang datang di tempat tersebut memilih wisata

mangrove. Pilihan terhadap wisata mangrove didukung oleh keinginan

wisatawan untuk mengamati hidupan liar dan memancing bersama nelayan.

2.3 Evaluasi Pengembangan Ekowisata

Ekowisata masih dianggap sebagai istilah yang “simpang siur” dalam

dunia kepariwisataan karena ekowisata dipercayai sebagai segmen pasar wisata

yang berkembang dengan cepat dan karena banyak para kelompok konservasi

melihat ekowisata sebagai upaya untuk menjamin pembangunan ekologis

berkelanjutan atau lebih umum lagi ekowisata merupakan cara untuk mencapai

pembangunan yang berkelanjutan. Untuk mencapai pembangunan yang

berkelanjutan, wisata yang dimaksud harus dapat menjaga keberlanjutan dari

ekonomi, politik, sosial dan sudut pandang lingkungan. Oleh karena itu antara

tujuan ekonomi, politik, sosial dan lingkungan harus selaras (Tisdell 1998).

Konsep ekowisata yang diperkenalkan sejak tahun 1960-an, didiskusikan

oleh kaum ekologis pada tahun 1970-an, diterima oleh para ahli wisata pada

tahun 1980-an dan diakui sebagai segmen industri wisata yang berkembang

dengan cepat pada tahun 1990-an, ternyata sulit untuk diimplementasikan.

Page 40: E11isa

22

Pengembangan ekowisata secara praktek sering menemui berbagai masalah,

seperti keuntungan yang dijanjikan tidak realistis, perkembangannya yang lemah

atau bahkan tidak ada dan manajemen kurang bagus yang disebabkan kurangnya

koordinasi antara para stakeholder yang terlibat dalam ekowisata. Alasan lain

timbulnya berbagai masalah dalam ekowisata dapat karena konsep ekowisata

sendiri atau bagaimana ekowisata dioperasikan (Higham 2007).

Suatu evaluasi tentang realitas implementasi ekowisata perlu dilakukan

untuk menilai kenyataan di lapangan sudah sesuai belum terhadap prinsip-

prinsip ekowisata yang sesungguhnya. Menurut Casley dan Kumar (1991)

evaluasi menuntut suatu analisis yang sistematis, objektif terhadap prestasi,

efisiensi dan dampak proyek dalam kaitannya dengan tujuan-tujuannya. Evaluasi

mencoba untuk:

a. Secara kritis menguji kembali; dilihat dari sudut pembangunan

berikutnya, rasioanalisasi proyek yang dinyatakan dalam dokumen

persiapan dan penilaian.

b. Membandingkan hasil-hasil nyata yang dicapai dengan target yang

ditentukan dan mengidentifikasi alasan-alasan terjadinya kekurangan dan

kelebihan.

c. Menilai efisiensi tata cara pelaksanaan proyek dan mutu presetasi

manajemen.

d. Menentukan efisiensi proyek.

e. Menentukan pengaruh dan dampak proyek.

f. Menyajikan pelajaran berharga dan rekomendasi yang diambil dari

pelajaran tersebut.

Evaluasi dapat didefinisikan sebagai identifikasi, klarifikasi dan

penerapan kriteria-kriteria yang dapat dipertahankan untuk menentukan nilai

objek yang dievaluasi, realitas, kegunaan, keefektifan atau kesignifikanan

terhadap kriteria-kriteria tersebut (Worthen et al. 1997 diacu dalam Fennell

2002). Salah satu kesalahpahaman tentang evaluasi adalah evaluasi hanya

merupakan alat yang digunakan pada akhir rangkaian program. Sebenarnya,

Page 41: E11isa

23

evaluasi seharusnya dilakukan pada tahapan-tahapan yang dianggap penting.

Evaluasi memang mungkin dilakukan pada akhir program tetapi juga pada saat-

saat tertentu selama pengembangan dan pelaksanaan program.

Evaluasi yang dilakukan selama perencanaan dan pelaksanaan program

disebut dengan evaluasi formatif (formative evaluation). Pada evaluasi ini

mengandung upaya-upaya untuk membantu programer untuk memonitor

kemajuan menuju kelancaran dan penyelasaian program (identifikasi terhadap

masalah-masalah yang memungkinkan dapat dipecahkan sebagai upaya

meningkatkan program). Sebagai contohnya, evaluasi untuk mencegah dampak

negatif dari program yang kurang bagus terhadap masyarakat atau sumberdaya

(Fennell 2002).

Evaluasi yang dilakukan di akhir program disebut evaluasi sumatif

(summative evaluation). Maksud dari evaluasi sumatif adalah untuk meminta

pengambil keputusan program dan konsumen untuk memberikan pendapat

terhadap nilai dan kebaikan program sesuai dengan kriteria-kriteria yang

dianggap penting. Evaluasi sumatif lebih menuju keputusan-keputusan tentang

keberlanjutan, ketetapan, perluasan dan pengadopsian program (Worthen et al.

1997 diacu dalam Fennell 2002).

Menurut Fennell (2002) terdapat berbagai model evaluasi, diantaranya

adalah:

a. Evaluasi intuitif (intuitive evaluation).

Metode evaluasi ini paling banyak diterapkan daripada metode lainnya

karena cepat dan tidak mahal. Pendekatan evaluasi non-sistematik ini

lebih sering digunakan dan tergantung dari keadaan untuk membuat

keputusan-keputusan terhadap berbagai komponen program. Metode ini

merupakan bentuk evaluasi yang saling berkaitan sehingga baik sekali

untuk observasi program dari hari ke hari. Sebagai konsekuensinya,

informasi baru dapat digabungkan dengan mudah menjadi konteks

program selama pelaksanaannya.

Page 42: E11isa

24

b. Evaluasi dengan standar (evaluation by standards).

Merupakan pendekatan yang menggunakan serangkaian standar yang

ditetapkan secara lokal maupun nasional. Standar-standar tersebut

biasanya dikembangkan oleh pihak-pihak professional yang berkaitan

dengan bidang.

c. Evaluasi berdasarkan sasaran dan tujuan (evaluation by goals and

objectives).

Pendekatan ini terdiri dari identifikasi terhadap sasaran dan tujuan serta

penilaian terhadap ketidaksesuaian antara hasil yang diharapkan dan hasil

yang nyata atau yang dicapai.

d. Evaluasi dengan pertimbangan profesional (evaluation by professional

judgement).

Evaluasi ini dilakukan oleh penilai dari luar (external evaluators). Penilai

dalam evaluasi ini biasanya menggunakan seperangkat penilaian

eksternal untuk mengukur keefektivan program yang mereka tinjau.

Seperti halnya pada metode evaluasi dengan standar, evaluasi ini juga

menggunakan checklist. Akan tetapi juga berdasarkan observasi,

wawancara dan tinjauan terhadap dokumen-dokumen.

e. Metode transaksi dan observasi (transaction-observation method).

Metode evaluasi ini murni diisi oleh para peserta program. Penilaian ini

berdasarkan pengukuran terhadap kepuasan/ketidakpuasan peserta, sikap,

perbuatan, keuntungan dan variabel lainnya.

f. Metode pendekatan secara komunikatif dan interaktif (communicative

and interactive approach).

Pendekatan penilaian ini berdasarkan keterlibatan seseorang, kelompok

masyarakat, kelompok yang memiliki kepentingan khusus dan kelompok

tertentu untuk mengumpulkan informasi sebelum perencanaan program.

g. Evaluasi berdasarkan tingkat kepentingan dan prestasi (importance-

performance evaluation).

Langkah awal dari evaluasi ini adalah menilai tingkat penting dari

berbagai program dengan menggunakan skala, dari tingkat “tidak

Page 43: E11isa

25

penting” sampai “sangat penting”. Langkah kedua adalah menilai tingkat

prestasi dari program dengan menggunakan skala dari tingkat “buruk

sekali” sampai “sangat bagus”. Kemudian hasil dari masing-masing

penilaian dirata-ratakan dan plotkan ke dalam quadrant. Sumbu x

merupakan tingkat presatasi dan sumbu y merupakan tingkat

kepentingan.

h. Evaluasi terhadap etika operator (Evaluation of operator ethics).

Evaluasi ini mempersilakan konsumen untuk mengapresiasikan/menilai

etika dari penyedia jasa terhadap alam.

2.4 Taman Nasional

Taman nasional merupakan kawasan dilindungi yang memiliki area yang

luas secara alami atau mendekati alami, ditetapkan tidak lain untuk melindungi

proses-proses ekologi dalam skala luas beserta komplemen spesies dan

karakteristik ekosistem dalam kawasan, yang juga menyediakan kebutuhan

spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi dan kesempatan pengunjung

yang selaras dengan lingkungan dan budaya (IUCN 2008). Menurut UU Nomor

5 tahun 1990 tentang Konservasi Alam Hayati dan Ekosistemnya, taman

nasional diartikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem

asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,

ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 dan Peraturan

Pemerintah Nomor 68 tahun 1998, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian

alam yang dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan rekreasi.

Perlindungan terhadap taman nasional dilakukan untuk pengembangan

pendidikan, rekreasi dan pariwisata, serta peningkatan kualitas lingkungan

sekitarnya dan perlindungan dari pencemaran. Kriteria taman nasional adalah

berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbuhan dan satwa yang

beragam, memiliki arsitektur bentang alam yang baik dan memiliki akses yang

baik untuk keperluan pariwisata.

Page 44: E11isa

26

Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam

taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan,

pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi

publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan

kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

Zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional

yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan

budaya masyarakat (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56/Menhut-II/2006

tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional). Taman nasional oleh IUCN

digolongkan dalam kawasan dilindungi sebagai kategori II dan memiliki

keunikan yang tersendiri dibandingkan dengan kategori lainnya (IUCN 2008).

Sebagian besar kekayaan keanekaragaman hayati terdapat di hutan alami

Indonesia, khususnya di kawasan konservasi yang terdiri dari kawasan suaka

alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman

nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya) dan taman buru. Di antara

semua tipe kawasan konservasi tersebut, taman nasional memberikan

kesempatan paling besar untuk menikmati keanekaragaman, keunikan dan

berbagai keindahan flora dan fauna endemik, langka dan dilindungi (Direktorat

Jenderal PHKA 2003).

Taman nasional memiliki multi fungsi bagi terselenggaranya berbagai

proses ekologi dan memberikan multi manfaat melalui aneka produk jasa

lingkungan yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup. Nilai guna taman

nasional dapat dikelompokkan menjadi nilai guna langsung (direct use values),

nilai guna tidak langsung (indirect use values), nilai guna pilihan (options

values) dan nilai guna non-konsumtif. Nilai guna taman nasional umumnya akan

mendorong tumbuhnya manfaat langsung melalui proses efek ganda

(multiplayer effects) (Direktorat Jenderal PHKA 2006).

Page 45: E11isa

27

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang evaluasi pengembangan ekowisata mangrove ini

dilakukan di Sub Resort Bedul Taman Nasional Alas Purwo (TNAP)

Banyuwangi, Jawa Timur pada bulan Febuari-April 2010. Sebelum melakukan

penelitian pada tahun 2010, penulis telah melakukan kunjungan awal di Bedul

sebanyak 2 kali pada tahun 2009 yaitu pada bulan Februari dan Agustus.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah peta kawasan, binokuler, kompas, kamera

digital, meteran, tali tambang, pengukur waktu, tally sheet dan panduan

wawancara. Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian adalah vegetasi

mangrove, satwaliar, stakeholder (pihak TNAP, masyarakat lokal dan kepala

desa, pemerintah daerah yang diwakili oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata

Banyuwangi, Balai Pengelola Hutan Mangrove Wilayah I Denpasar), sarana dan

prasarana pendukung ekowisata dan pengunjung.

Lokasi penelitian

Page 46: E11isa

28

3.3 Orientasi Lapang

Orientasi lapang dilakukan sebelum penelitian bertujuan untuk

mengetahui secara pasti medan tempat akan dilakukannya penelitian, yang

terdiri blok tempat diselenggarakannya ekowisata, desa Sumberasri dan site-site

lain di Blok Bedul lain yang menarik. Kegiatan orientasi ini dilakukan selama 2-

3 hari.

3.4 Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan untuk memperoleh informasi yang

dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian terdiri dari:

3.4.1 Potensi ekowisata

Objek dapat berupa objek yang berasal dari alam atau berupa hasil

budaya. Objek ekowisata (point interest) yang perlu didata terdiri dari potensi

sumberdaya alam dan potensi sumberdaya masyarakat (Susanto dan Suprapto

2004). Dalam penelitian ini, data potensi wisata yang akan diambil meliputi:

a. potensi biologi (flora dan fauna)

b. potensi fisik (aksesibilitas, bangunan infrastruktur beserta sarana dan

prasarana pendukung) dan

c. budaya masyarakat setempat

3.4.2 Kegiatan wisata yang sudah ada dan aktivitas masyarakat lokal terkait

penyelenggaraan wisata:

a. paket wisata yang ditawarkan

b. pengunjung (data sekunder jumlah pengunjung, usia, asal, jumlah

orang dalam satu rombongan, motivasi, uang yang sanggup

dikeluarkan untuk melakukan wisata mangrove)

c. aktivitas masyarakat lokal terkait dengan wisata (pemanfaatan

masyarakat lokal terhadap kawasan terkait penyelenggaraan wisata)

3.4.3 Informasi dan data terkait proses pengembangan ekowisata mangrove di

TNAP:

a. fungsi dan tujuan TNAP

b. stakeholder (siapa saja yang terlibat dalam pengembangan ekowisata,

peran, kepentingan serta tugas stakeholder)

Page 47: E11isa

29

c. kebijakan

Data mengenai kebijakan diperoleh dari peraturan perundang-

undangan, peraturan pemerintah terkait penyelenggaraan wisata di

daerah konservasi, acuan yang digunakan TNAP dalam

mengembangkan ekowisata mangrove, kebijakan-kebijakan tertentu

yang ditetapkan oleh Balai TNAP terkait dengan pemanfaatan Bedul

serta Memorandum of Understanding (MoU) antara Balai TNAP

dengan stakeholder-stakeholder lainnya.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan ada 2 macam yaitu data primer dan data

sekunder. Beberapa tahap yang dilakukan dalam pengumpulan data meliputi: (1)

melakukan studi literatur dan diskusi, (2) pengumpulan data dan pengamatan di

lapangan (observasi) dan (3) wawancara.

3.5.1 Studi literatur dan diskusi

Studi literatur (pengumpulan data sekunder) dari berbagai sumber buku,

laporan, jurnal dan sebagainya dilakukan di kantor Balai TNAP dan institusi

terkait. Data sekunder meliputi kebijakan ekowisata mangrove, jumlah

pengunjung dan informasi lain yang relevan dengan topik penelitian. Diskusi

secara intensif dilakukan dengan dosen pembimbing. Selain itu diskusi juga

dilakukan dengan contact person dari Balai Pengelola Hutan Mangrove

Wilayah I Denpasar dan Direktorat Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, PHKA,

Departemen Kehutanan Republik Indonesia untuk memperkuat informasi.

3.5.2 Observasi

3.5.2.1 Potensi wisata

a. Potensi sumberdaya alam biologi

(i) vegetasi mangrove

Struktur vegetasi mangrove diketahui dengan cara membuat

plot sampel dan penggambaran profil. Ukuran plot sampel adalah 10

m x 50 m di blok Bedul yang dibuat 3 kali. Plot sampel pertama dan

kedua dibuat dari vegetasi yang paling dekat dengan bibir sungai,

Page 48: E11isa

30

dengan menarik garis lurus menuju ke arah daratan sepanjang 100

meter. Plot sampel ketiga dibuat dengan cara menarik garis tegak

lurus dari bibir sungai seperti pada pembuatan plot sampel pertama,

tetapi pemilihan plot dimulai dari arah daratan menuju sungai. Setiap

plot sampel dibagi menjadi subplot dengan ukuran 10 m x 10 m.

Subplot berukuran 10 m x 10 m ini digunakan untuk menghitung

tingkat pohon. Menurut Kusmana (1997), tingkat pohon pada

tumbuhan mangrove memiliki diameter 10 cm atau lebih. Subplot 10

m x 10 m kemudian dibagi lagi menjadi subplot yang lebih kecil yaitu

5 m x 5 m, gunanya untuk menghitung tingkat pancang. Pada

tumbuhan mangrove, disebut tingkat pancang jika memiliki diameter

2-10 cm dan tinggi lebih dari 2 m. Sedangkan subplot terkecil

berukuran 2 m x 2 m, digunakan untuk menghitung anakan (semai).

Adapaun ukuran tinggi tingkat semai yaitu kurang dari 2 meter.

Gambar 3 Plot Petak untuk Mengetahui Komposisi Mangrove

(ii) fauna

Data primer secara umum mengenai fauna diperoleh dengan

metode Rapid Assessment, yaitu dengan mencatat jenis fauna yang

dijumpai di lokasi penelitian. Pencatatan terhadap satwaliar

digolongkan ke dalam kelompok mamalia, aves, herpetofauna dan

epifauna. Selanjutnya data fauna yang didapat dikelompokkan

berdasarkan statusnya agar dapat diketahui termasuk ke dalam spesies

langka atau dilindungi.

Page 49: E11isa

31

Khusus untuk data burung air, pengamatan dilakukan dengan 2

metode yaitu metode perjalanan dengan perahu dan metode

concentration count. Metode perjalanan dengan perahu dilakukan

dengan cara pengamatan di atas perahu dengan menggunakan bantuan

binokuler. Metode ini merupakan tahap pengamatan secara awal

dengan tujuan untuk mengamati jenis-jenis burung yang terdapat di

paparan lumpur di sepanjang tepi sungai dan mengetahui lokasi mana

saja yang sering digunakan oleh burung air untuk hinggap.

Metode Concentration Count ini dipilih untuk mengetahui

populasi jenis-jenis burung berkoloni (berkumpul) di suatu tempat

pada saat tertentu. Cara kerja dengan metode ini adalah dengan

memilih tempat atau titik pengamatan strategis agar peneliti mudah

mengamati dan mengidentifikasi burung.

b. Potensi fisik

Pengumpulan potensi fisik selain menggunakan data sekunder juga

dengan pengamatan/observasi. Potensi fisik yang dikumpulkan secara

observasi meliputi: aksesibilitas, bangunan infrastruktur dan sarana

prasarana pendukung lainnya.

c. Kebudayaan masyarakat

Kebudayaan masyarakat merupakan salah satu potensi ekowisata.

Data mengenai atraksi kebudayaan masyarakat didapatkan melalui

wawancara terhadap pengelola dan masyarakat setempat serta jika

memungkinkan melalui pengamatan secara langsung.

3.5.2.2 Aktivitas Masyarakat dan Pengunjung

Data mengenai aktivitas masyarakat sekitar dan pengunjung di dalam

kawasan ekowisata secara langsung dilakukan dengan cara pengamatan. Hal ini

dimaksudkan untuk mengetahui aktivitas sesungguhnya yang dilakukan oleh

masyarakat dan pengunjung, apakah aktivitas yang mereka lakukan masih dalam

batas kewajaran atau justru menyimpang dari prinsip-prinsip ekowisata

sesungguhnya.

Page 50: E11isa

32

3.5.3 Wawancara (Interview)

Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dengan

responden. Bentuk wawancara yang diterapkan adalah gabungan antara

wawancara terstruktur (menggunakan panduan wawancara yang telah disiapkan)

serta wawancara tidak terstruktur secara mendalam (in depth-interview). Adapun

pemilihan responden adalah sebagai berikut:

a. Pihak Balai TNAP

Wawancara terhadap pihak Balai TNAP dimaksudkan untuk mengetahui

sistem pengelolaan ekowisata mangrove di Blok Bedul. Responden dari

pihak Balai TNAP adalah Kepala TNAP, Kepala Seksi Wilayah I

Tegaldlimo, Kepala Resort Grajagan dan para staf lain yang terlibat atau

cukup mengerti tentang pengembangan ekowisata mangrove di Bedul.

b. Pengunjung

Responden dari kalangan pengunjung, dipilih beberapa orang yang

datang di Bedul untuk tujuan wisata. Pengumpulan data primer

pengunjung sengaja dilakukan dengan wawancara bukan dengan

menggunakan kuisioner dengan tujuan untuk meminimalkan

kesalahpahaman pengunjung dalam menangkap pertanyaan-pertanyaan

yang diajukan. Total pengunjung yang berhasil diwawancarai sebanyak

40 orang.

c. Masyarakat lokal

Responden dari masyarakat lokal ditentukan secara acak dengan cara

wawancara secara mendalam kepada masyarakat yang terlibat dalam

pengembangan ekowisata mangrove (pengurus, tenaga kerja dan pemilik

perahu), masyarakat yang beraktifitas di Bedul serta masyarakat Desa

Sumberasri yang mendirikan usaha warung dan toko di sekitar Bedul.

Responden penduduk lokal yang berhasil diperoleh sebanyak 46 orang.

d. Stakeholder lain yang terlibat

Selain pihak Balai TNAP dan masyarakat lokal Desa Sumberasri,

stakeholder lain yang terlibat dalam pengembangan ekowisata mangrove

Page 51: E11isa

33

antara lain: pemerintah daerah dan Balai Pengelola Hutan Mangrove

Wilayah I Denpasar.

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dengan cara mentabulasikan dan kemudian

dianalisis sesuai dengan jenis dan tujuan penggunaannya. Setiap hasil analisis

permasalahan akan saling berhubungan sehingga dapat digunakan untuk bahan

cross check antara hasil yang satu dengan yang lainnya.

3.6.1 Analisis potensi ekowisata

a. Vegetasi mangrove

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap struktur vegetasi mangrove

dapat dihitung:

b. Analisis fauna

Data hasil pengamatan fauna dikelompokkan berdasarkan jenisnya.

Identifikasi selanjutnya adalah pengkatagorian untuk mengetahui

klasifikasi satwa tersebut endemik, langka, dilindingi dan sebagainya.

c. Potensi fisik

Data mengenai potensi fisik ditabulasikan kemudian dianalisis secara

deskriptif tentang kelayakannya.

d. Atraksi kebudayaan masyarakat

Data mengenai atraksi kebudayaan masyarakat setempat diuraikan

secara deskriptif.

3.6.2 Analisis kegiatan wisata

Data terkait kegiatan wisata yang diperoleh berdasarkan wawancara

dengan pengunjung dan pengelola dibahas secara deskriptif dengan

membandingkannya berdasarkan hasil observasi. Kemudian dapat ditarik

kesimpulan mengenai jenis wisata yang ada sekarang.

Page 52: E11isa

34

3.6.3 Analisis pengembangan ekowisata mangrove

Analisis pengembangan ekowisata mangrove ditinjau dari berbagai aspek

seperti fungsi dan tujuan TNAP, stakeholder yang terlibat, dasar kebijakan

digunakan terkait kolaborasi pengembangan ekowisata mangrove, kebijakan

manajemen wisata di kawasan konservasi dan perjanjian kerjasama antara TNAP

dan stakehoder. Realitas pelaksanaan pengembangan ekowisata mangrove di

TNAP selanjutnya akan dibandingkan kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip

ekowisata. Jika terdapat ketidaksesuaian (gap) maka akan dicari penyebabnya.

Kemudian rekomendasi diusulkan berdasarkan permasalahan yang ada.

Berdasarkan analisis yang telah dipaparkan diatas, selanjutnya

kesesuaian pengembangan ekowisata mangrove terhadap prinsip-prinsip

ekowisata dapat dibandingkan. Sampai sejauh mana pengembangan ekowisata

mangrove di Bedul Resort Grajagan TNAP dapat diketahui dengan menjawab

tujuh pertanyaan terkait prinsip-prinsip ekowisata, yaitu: (i) ekologi

berkelanjutankah?; (ii) berbasiskan alam/budayakah?; (iii) adakah unsur

edukasi?; (iv) apakah memberi keuntungan bagi masyarakat lokal?; (v) apakah

mendukung upaya konservasi?; (vi) sudahkah sesuai dengan peraturan

pemerintah? dan (vii) bagaimana dengan kepuasan pengunjung?

Page 53: E11isa

35

IV. KONDISI UMUM

4.1 Letak dan Luas

Berdasarkan administrasi Pemerintahan Taman Nasional Alas Purwo

(TNAP) terletak di Kecamatan Tegaldlimo dan kecamatan Purwoharjo

Kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi. Secara geografis terletak di ujung

Timur Pulau Jawa wilayah Pantai Selatan antara 8o 47’45” – 8

o 47’00” LS dan

114o 20’16” – 114

o 36’00” BT.

Taman Nasional Alas Purwo sebelah barat berbatasan dengan Teluk

Grajagan, kawasan hutan produksi Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan

Hutan Banyuwangi Selatan, Desa Grajagan, Desa Purwoagung, Desa

Sumberasri. Sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali dan Samudera

Indonesia. Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Pangpang, Desa Sumberberas,

Desa Kedungrejo, Desa Wringinputih Kecamatan Muncar, Desa Kedungsari

Kecamatan Tegaldlimo dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudera

Indonesia.

Kawasan TNAP meliputi daratan seluas 43.420 ha. Berdasarkan zonasi

kawasan, TNAP terbagi menjadi beberapa zonasi antara lain yaitu:

a. Zona inti (Sanctuaty zone) seluas 17.150 ha.

b. Zona rimba (Wilderness zone) seluas 24.207 ha.

c. Zona rehabilitasi (Rehabilitation zone) seluas 620 ha.

d. Zona pemanfaatan (Intensive use zone) seluas 660 ha.

e. Zona tradisional (Traditional zone) seluas 783 ha.

4.2 Topografi

Kawasan TNAP terdiri dari daerah pantai (perairan, daratan dan rawa),

daerah daratan hingga daerah perbukitan dan pegunungan dengan ketinggian

mulai dari 0-322 m dpl. Puncak tertinggi adalah Gunung Lingga Manis (322

mdpl). Daerah pantai di TNAP melingkar mulai dari Segoro Anak (Grajagan)

sampai daerah Muncar dengan panjang garis pantai sekitar 105 km. Kelerengan

kawasan mulai daerah datar (0-8%) seluas 10.554 ha, landai (8-15%) seluas

Page 54: E11isa

36

19.474 ha, agak curam (15-25%) seluas 11.091 ha, serta curam (25-40%) seluas

2.301 ha (Aryanto et al. 2008).

4.3 Geologi

Formasi geologi pembentukan kawasan TNAP berumur Meosen atas,

terdiri dari batuan berkapur dan batuan berasam. Pada batuan berkapur terjadi

proses karstifikasi yang tidak sempurna karena faktor iklim yang kurang

mendukung (relative kering) serta batuan kapur yang diperkirakan terintrusi oleh

batuan lain. Di dalam kawasan TNAP terdapat 44 buah gua, yang banyak

dikunjungi antara lain Gua Istana, Gua Padepokan dan Gua Basori (Ariyanto et

al. 2008).

4.4 Tanah

Jenis tanah di kawasan TANP terdiri dari empat kelompok, yaitu tanah

kompleks Mediteran Merah-Litosol seluas 2.106 ha, tanah Regosol Kelabu

seluas 6.238 ha, tanah Grumosol Kelabu seluas 379 ha dan tanah Aluvial

Hidromorf seluas 34.697 ha (Ariyanto et al. 2008).

4.5 Iklim

Kawasan TNAP dan sekitarnya memiliki curah hujan yang tidak merata

sepanjang tahun. Curah hujan tahunan mencapai 1.079 mm (Tegaldlimo), 1.491

mm (Purwoharjo), 1.554 mm (Muncar) dan 2.147 mm (Glagah). Berdasarkan

sistem klasifikasi Schmidth dan Ferguson daerah sekitar TNAP memiliki tipe

iklim sekitar D (agak lembab) sampai E (agak kering). Secara umum bulan

basah terjadi pada bulan November sampai April dan bulan kering terjadi pada

bulan Mei sampai Oktober. Kisaran penyinaran matahari bulanan di

Banyuwangi adalah 52% sampai 89% dengan rata-rata sebesar 75%. Suhu udara

maksimum bulanan di Banyuwangi antara 31,2oC - 34,5

oC dan suhu udara

minimumnya antara 20,7oC - 22,5

oC sedangkan suhu udara rata-rata berkisar

25,9oC - 28,2

oC. Fluktuasi kelembaban udara juga tergolong kecil, yaitu berkisar

antara 75% - 81%. Arah angin terbanyak yang bertiup di daerah Banyuwangi

adalah arah Selatan dengan kecepatan antara 2,3 - 4,2 knot (Ariyanto et al. 2008)

Page 55: E11isa

37

4.6 Hidrologi

Tanah di TNAP mengandung air tanah yang kurang produktif karena

daerahnya ditutupi oleh batuan sedimen padu yang mengandung sedikit celahan

dan porositasnya rendah. Jenis batuan ini tidak dapat meneruskan air. Sungai

yang mengalir sepanjang tahun hanya terdapat di bagian Barat TNAP yaitu di

daerah sekitar Pancur. Di beberapa tempat, sumber air dalam jumlah kecil dapat

diperolah dari sistem rekahan atau celahan dari lapisan lapuk yang tebal, serta

endapan alluvium yang tipis. Sumber air semacam ini dapat ditemui di Pecari

Kuming dan Sadengan. Sungai yang selalu berair sepanjang tahun terdapat di

kawasan TNAP adalah Sungai Seboro Anakan (panjang ± 13 km), sedangkan

sumber mata air terdapat di Goa Kucur, Goa Kunci, Goa Basori dan Goa Istana.

4.7 Potensi Sumberdaya Alam

4.7.1 Potensi flora

Secara umum tipe hutan di kawasan hutan Taman Nasional Alas Purwo

merupakan hutan hujan tropis dataran yang dipengaruhi oleh angin musim.

Keanekaragaman jenis flora darat di kawasan TNAP temasuk tinggi.

Berdasarkan hasil inventarisasi tercatat 158 jenis tumbuhan (59 famili) mulai

dari tingkat tumbuhan bawah sampai tumbuhan tingkat pohon berbagai

tipe/formasi vegetasi (hutan pantai-mangrove-hutan dataran rendah).

Berdasarkan tipe ekosistemnya, hutan di Taman Nasional Alas Purwo dapat di

kelompokkan menjadi:

a. Hutan Bambu

Formasi vegetasi bambu memiliki penyebaran yang cukup luas karena

formasi bambu memiliki sebaran merata secara berkelompok. Luas hutan

bambu mencapai sekitar 40% dari luas zona inti. Bambu yang ditemukan

di TNAP antara lain bambu ampel (Bambusa vulgaris), bambu wuluh

(Schizostachyum blumer), bambu apus (Gigantochloa apus), bambu

gesing (Bambusa spinosa), bambu jajang (Gigantochloa nigrociliata),

bambu jalar (Dinochloa scandens), bambu jawa (Gigantochloa

Page 56: E11isa

38

verticiliata), bambu rampal (Schizostachyum branchyladum), bambu

jabal, bambu wulung dan bambu manggong (Gigantochloa manggong).

Hutan bambu di kawasan TNAP merupakan hutan bambu terluas di

Pulau Jawa, yaitu mencapai lebih kurang 17.000 Ha.

b. Hutan Alam Dataran Rendah

Formasi vegetasi hutan alam dataran rendah merupakan bagian terluas

dari seluruh luas kawasan TNAP, sebagian besar terdapat di zona inti.

Jenis-jenis vegetasi pohon dominan di formasi adalah kepuh (Sterculia

foetida), bendo (Artocarpus elastica), kedawung (Parkia roxburgii),

kemiri (Aleurites moluccana), beringin (Ficus benjamina), kedondong

hutan (Spondias pinnata).

c. Hutan Pantai

Formasi vegetasi pantai terdapat di bagian selatan dan utara. Di bagian

selatan membentang dari arah Grajagan (Segoro Anak) samapi

Plengkung dengan panjang bentangan sekitar 30 km dan Plengkung

sampai Tnajung Slakah dengan panjang bentang sekitar 50 km. Di bagian

utara membentang dari Tanjung Sembulungan sampai Tnajung Slakah

dengan panjang sekitar 40 km. Lebar rata-rata vegetasinya dari pantai ke

daratan (ke arah atas) sekitar 250-300 m. Jenis pohon yang umum antara

lain ketapang (Terminalia catappa), nyamplung (Calophylum

inophylum), waru laut (Hibicus sp) dan keben (Baringtonia asiatica).

Tumbuhan langka dan khas di wilayah ini adalah sawo kecik (Manilkara

kauki).

d. Hutan Mangrove

Formasi hutan mangrove di kawasan TNAP sebagian besar terdapat di

sepanjang Sungai Segoro Anak serta di beberapa blok hutan, seperti Blok

Pondok Welit, Teluk Pangpanng dan Prepat. Berdasarkan hasil

identifikasi tahun 2001, di TNAP ditemukan 26 jenis tumbuhan

mangrove, antara lain: Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata,

Bruguiera sexanguyla, Bruguiera gymnorrhyza, Bruguiera sp, Avicenia

Page 57: E11isa

39

marina, Avicenia sp, Xylocarpus granatum, Heritiera littoralis,

Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris.

e. Hutan Tanaman

Selain hutan alam terdapat hutan tanaman seluas 1.203 Ha di blok.

Marengan, terdiri dari tanaman jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia

macrophyla), johar (Cassia siamea), legaran (Alstonia villosa), akasia

(Acacia auriculiformis) dan sonokeling (Dalbergia latifolia).

f. Padang Rumput

Padang Rumput terdapat di padang pengembalaan Sadengan merupakan

ekosistem buatan seluas 84 Ha. Terdapat 21 jenis rumput dari 45 jenis

tumbuhan bawah yang ada di padang rumput ini. Jenis rumput yang

umum antara lain lamuran (Dichantium coricosum) dan rumput merakan

(Heteropogon contortus). Jenis pohon yang mudah dilihat antara lain

ketangi (Lagerstroemia speciosa) dan bendo (Artocarpus elasticus).

Tujuan utama dibuat padang pengembalaan ini adalah untuk mencukupi

pakan banteng (Bos javanicus) dan rusa (Cervus timorensis) sehingga

populasinya dapat meningkat selain itu untuk memudahkan wisatawan

dalam upaya untuk menyaksikan atraksi satwa liar dalam kunjungannya

ke Taman Nasional Alas Purwo.

4.7.2 Potensi fauna

Jenis-jenis satwa yang ada diantaranya adalah berbagai jenis mamalia

seperti banteng (Bos javanicus), anjing hutan (Cuon alpinus), macan tutul

(Panthera pardus), babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), kancil

(Tragulus javanicus), rusa (Cervus timorensis), landak (Hystrix brachyura);

berbagai jenis primata seperti lutung (Presbitis cristata), monyet ekor panjang

(Macaca fascicularis), dan berbagai jenis burung yaitu merak hijau (Pavo

muticus), ayam hutan (Gallus spp) dan tiga jenis kerabat burung rangkong yaitu

julang mas (Rhyticeros undulatus), kangkareng perut-putih (Anthracoceros

albirostris conpexus), rangkong badak (Buceros rhinoceros silvetris). Di Segara

Anak sering dijumpai berbagai jenis burung air penetap dan migran pada waktu

Page 58: E11isa

40

tertentu. Jenis burung air yang ditemukan di TNAP antara lain Bangau tong-tong

(Leptoptilos javanicus), Kuntul kecil (Egreta garzeta), Gajahan besar (Numenius

arguata), Gajahan penggala (Numenius phaeopus), Dara laut jambul (Sterna

bergii) dan sebagainya.

Fauna yang ada di daerah ini selain jenis kerang, siput dan ikan juga jenis

reptilia. Di Ngagelan terdapa penangkaran semi alami penyu laut. Penyu laut

yang ditemukan di TNAP terdiri dari penyu hijau (Chelonia mydas), penyu

belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik (Erithmochelys imbricata) dan

penyu lekang (Lepichelys olivaceae).

4.8 Aksesibilitas

Aksesibilitas menuju kawasan TNAP dapat dicapai dari Surabaya dengan

kendaraan umum (bus) jurusan Surabaya-Banyuwangi dan dilanjutkan dengan

jurusan Dambuntung. Dari Dambuntung dengan kendaraan umum (colt) ke

Pasaranyar. Jarak seluruhnya ± 360 km yang dapat ditempuh rata-rata 8.5 jam.

Dapat pula dicapai lewat Denpasar, Bali dengan kendaraan umum (bus) jurusan

Denpasar-Gilimanuk, kemudian menyebrang dengan kapal feri menuju

Ketapang dan dilanjutkan dengan kendaraan angkutan kota (mikrolet) ke

Banyuwangi. Dari Banyuwangi kemudian dilanjutkan menuju

Dambuntung/Pasaranyar. Jika dijangkau dari Kantor TN Baluran yang

berkedudukan di Banyuwangi, dapat naik kendaraan umum (bus) manuju

Dambuntung dan dilanjutkan menuju Pasaranyar (Kantor Rayon TNAP), dengan

waktu tempu ±1.5 jam.

4.9 Sosial - Ekonomi dan Budaya Masyarakat Desa Penyangga

Jumlah desa yang berbatasan dengan TNAP sebanyak 11 desa dari tiga

kecamatan. Kecamatan Tegaldlimo meliputi desa Kendalrejo, Kedungsari,

Kedung Gebang dan Purwoasri memiliki luas wilayah 76.783,872 Ha.

Sedangkan Kecamatan Purwoharjo terdiri dari Desa Sumberasri dan Grajagan

memiliki luas wilayah 1.372.121 Ha. Kecamatan Muncar terdiri dari Desa

Wringinputih dan Kedungringin dengan luas wilayah 2.034.917 Ha. Dari 11

desa tersebut, dua desa ditunjuk sebagai MDK (Model Desa Konservasi) atau

Page 59: E11isa

41

lebih dikenal dengan sebutan Desa Model, yaitu Desa Sumberasri dan

Kedungasri (Ariyanto et al. 2008).

Masyarakat di 11 desa penyangga tersebut memiliki karater yang

berbeda-beda. Hal ini disebabkan karenakan adanya keragaman suku. Sebagian

besar penduduk desa di Kecamatan Tegaldlimo dan Purwoharjo didominasi oleh

mayarakat pendatang dari Jawa Timur bagian barat, Jawa Tengah atau

Yogyakarta (jawa kulonan) dan sebagian penduduk asli Banyuwangi yang

dikenal dengan Suku Osing. Penduduk di daerah pesisir seperti Desa Grajagan

dan Kecamatan Muncar banyak berasal dari Madura yang umumnya bekerja

sebagai nelayan dan berdagang. Masyarakat asli Banyuwangi umumnya lebih

suka berkebun atau berladang. Sedangkan masyarakat pendatang dari jawa

kulonan sebagian besar bertani dengan sistem/pola bercocok tanam. Secara

umum, desa-desa penyangga TNAP adalah desa agraris yang sebagian

pendudunkya menopang kehidupan dan perekonomiannya dari sektor pertanian.

Adapun komoditas budidaya pertanian meliputi tanaman pangan, buah-buahan

dan palawija. Selain itu juga ditunjang dengan mata pencaharian lain seperti

pedagang, nelayan, pegawai negeri, TNI dan lainnya (Ariyanto et al. 2008).

Budaya masyarakat yang dominan adalah Jawa tradisional. Bertapa,

semedi dan kegiatan spritual lainnya masih dilaksanakan pada hari-hari tertentu

seperti 1 Syuro, bulan purnama dan bulan mati. Masyarakat berkunjung ke

tempat-tempat yang dianggap mempunyai kekuatan supranatural (gaib), seperti

Kucur, Pancur, Goa Istana, Goa Padepokan dan lain-lain. Umat Hindu

melaksanakan upacara Pagar Wesi setiap satu tahun sekali. Budaya yang masih

berkembang di dalam masyarakat desa penyangga diantaranya tradisi sayan

(gotong-royong) dan petik laut (sedekah laut). Kesenian yang dapat dijumpai di

sekitar kawasan Taman Nasional antara lain: seni tari Gandrung, Jaranan,

Kuntulan dan seni pahat wayang kulit.

Page 60: E11isa

42

V. HASIL

5.1 Potensi Ekowisata

5.1.1 Potensi biologi

5.1.1.1 Flora

Pembuatan plot sampling untuk mengetahui jenis vegetasi mangrove

dilakukan di Blok Bedul. Jumlah spesies mangrove sejati yang ditemukan di

dalam plot sampling sebanyak 14 jenis (Tabel 3). Sedangkan menurut informasi

dari Balai TNAP, terdapat 24 jenis mangrove di Bedul. Sehingga jenis mangrove

sejati yang berhasil diidentifikasi selama penelitian adalah 58, 33% dari total

mangrove sejati di Bedul.

Adapun jenis mangrove asosiasi yang ditemukan di luar petak

pengamatan, yaitu: Terminalia cattapa (ketapang), Sesivium portulacastrum

(sesepi), Barringtonia asiatica (keben), Calophyllum inophyllum (nyamplung)

dan Pandanus tectorius (pandan laut). Hasil identifikasi vegetasi di plot

sampling terdapat spesies mangrove yang dikatagorikan langka secara global

namun merupakan jenis umum setempat, yaitu Ceriops decandra dan

Scyphiphora hydrophyllacea.

Tabel 3 Jenis spesies mangrove sejati di Bedul

No. Nama Spesies Nama lokal Famili

1. Avicennia marina Sia-sia putih, api-api, pejapi Avicenniaceae

2. Avicennia alba Sia-sia, api-api Avicenniaceae

3. Avicennia officialis Api-api kacang Avicenniaceae

4. Acrostichum aureum Kerakas, paku laut Pteridaceae

5. Aegiceras corniculatum Teruntun, kacangan Myrsinaceae

6. Aegiceras floridum Mangekashian Myrsinaceae

7. Bruguiera gymnorrhiza Lindur, tanjang merah Rhizoporaceae

8. Bruguiera cylindrical Tanjang putih Rhizoporaceae

9. Bruguiera sexangula Tancang sukun Rhizoporaceae

10. Ceriops decandra Kenyonyong Rhizoporaceae

11. Ceriops tagal Tengah, mentigi Rhizoporaceae

12. Excoecaria agallocha Buta-buta Euphorbiaceae

13. Heriteria littoralis Dungun , bayur laut Sterculiceae

14. Lumnitzera littorea Kedukduk, truntun, duguk agung,

duguk raya, taruntum

Combretaceae

15. Lumnitzera racemosa Saman sigi, kedukduk, truntun,

taruntum

Combretaceae

16. Nypa fruticans Buyuk, nipah Palmae

17. Rhizophora apiculata Jangkah, bakau putih, tanjang wedok Rhizoporaceae

18. Rhizophora mucronata Bakau, bakau gandul, bakau hitam,

tanjang lanang

Rhizoporaceae

Page 61: E11isa

43

Tabel 3 Lanjutan No. Nama Spesies Nama lokal Famili

19. Scyphiphora hydrophyllacea Duduk rambat, duduk rayap Rubiaceae

20. Sonneratia alba Prapat, bogem, pedada Sonneratiaceae

21. Sonneratia caseolaris Pedada, bogem, prapat Sonnaratiaceae

22. Xylocarpus granatum Banang-banang, nyirih, nyirih bunga Meliaceae

23. Xylocarpus moluccensis Banang-banang, nyirih batu Meliacae

24. Xylocarpus rumphii Banang-banang, nyirih Meliacae

Keterangan:

Jenis mangrove yang ditemukan selama observasi

Kerapatan mangrove pada tingkat semai 587 individu/ha, pada tingkat

pancang 927 individu/ha, pada tingkat pohon 1.507 individu/ha sehingga total

kerapatan mangrove adalah 3.021 individu/ha. Sedangkan berdasarkan hasil

inventarisasi oleh Balai TNAP tahun 1999, kerapatan total mangrove di Bedul

adalah 8.398 individu/ha yang terdiri dari kerapatan tingkat semai 517

individu/ha, tingkat pancang 6.400 individu/ha dan tingkat pohon 1.481

individu/ha.

Tabel 4 Kerapatan Jenis Mangrove

No. Tingkat Kerapatan Jenis (Individu/ha)

Tahun 1999 Tahun 2010

1 Semai 517 587

2 Pancang 6.400 927

3 Pohon 1.481 1.507

Total 8.398 3.021

Zonasi mangrove di blok Bedul TNAP berbeda-beda tergantung oleh

substrat tanahnya. Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan metode

jalur, zonasi mangrove di blok Bedul sepanjang 240 meter terdiri dari zona

mangrove terbuka, mangrove tengah dan mangrove darat.

(i) Mangrove terbuka (20 meter)

Daerah yang paling dekat dengan sungai, ditumbuhi oleh Avicennia spp.,

biasanya berasosiasi dengan Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada

lumpur dalam yang kaya bahan organik.

Page 62: E11isa

44

(ii) Mangrove Tengah (160 meter)

Mangrove di zona ini terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di

zona ini umumnya didominasi oleh Rhizopora mucronata, Rhizopora

apiculata dan Ceriops tagal. Akan tetapi spesies Ceriops decandra

jarang ditemui. Selain itu kadang dijumpai juga spesies Bruguiera, spp.

Mangrove minor yang dijumpai di zona ini adalah Xylocarpus

molucensis.

(iii) Mangrove daratan (60 meter)

Mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang

jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis ditemukan pada zona

ini antara lain: Xylocarpus molucensis, Xylocarpus granatum,

Lumnitzera litoralis, Lumnitzera racemosa, Scyphiphora hydrophyllacea,

Acrostichum aureum, Heritiera littoralis, Excoecaria agalloca.

5.1.1.2 Fauna

Pencatatan jenis burung air selain diperoleh dengan cara pengamatan

terpusat pada waktu yang ditentukan, juga dilakukan ketika melihat jenis burung

air yang dijumpai di luar waktu pengamatan jika jenis yang dilihat belum pernah

ditemukan saat pengamatan di paparan lumpur. Berdasarkan hasil pengamatan,

kekayaan jenis burung yang ditemukan sebanyak 19 jenis. Burung air yang

ditemukan di paparan lumpur Bedul sebanyak 14 jenis, di paparan lumpur

Padas-Bulu sebanyak 12 jenis dan di Cungur sebanyak 13 jenis (Tabel 5).

Tabel 5 Sebaran kekayaan jenis dan jumlah individu

Lokasi Kekayaan spesies Jumlah individu

Bedul 16 41

Padas-Bulu 12 65

Cungur 14 143

Total 42 249

Page 63: E11isa

45

Berdasarkan data yang dihasilkan dari hasil pengamatan oleh staf TNAP,

di TNAP terdapat 35 jenis burung darat dan 59 jenis burung air (Aryanto et al.

2008). Kekayaan jenis burung yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 32,

20% dari total kekayaan jenis burung air di TNAP yang berhasil diidentifikasi

oleh staf TNAP.

Page 64: E11isa

46

Tabel 6 Jenis burung air yang dijumpai pada lokasi pengamatan

No. Nama lokal Nama latin Nama Inggris Status Bedul Padas-

Bulu Cungur

Jumlah individu Total

Bedul Padas-Bulu Cungur

CICONIIDAE

1 Bangau tong-tong Leptoptilos

javanicus Lesser adjutant Penetap 1 1 1 3

SCOLOPACIDAE

2 Biru laut ekor

blorok Limossa laponica Bar tailed godwit Migran 4 4 0 8

3 Gajahan besar Numenius arquata Eurasian curlew Migran 1 0 5 6

4 Gajahan kecil Numenius minitus Little curlew Migran 1 5 0 6

5 Gajahan penggala Numenius phaeopus Whimbrel Migran 4 32 32 68

6 Kedidi besar Calidris tenuirostris Great knot Migran 0 1 3 4

7 Kedidi jari-

panjang Calidris subminuta Long-toed Stint Migran 0 0 12 12

8 Trinil bedaran Tringa cinereus Terek sandpiper Migran 1 0 1 2

9 Trinil kaki-merah Tringa tetanus Common redshank Migran 3 2 0 5

10 Trinil pantai Tringa hypoleucos Common sandpiper Migran 13 3 38 54

ARDEIDAE

11 Blekok sawah Ardeloa speciosa Javan Pond-heron Penetap 2 0 0 2

12 Cangak laut Ardea sumatrana Great billed-heron Penetap 1 0 1 2

13 Kuntul kecil Egretta garzetta Little egret Penetap 1 2 1 3

14 Kokokan laut Butorides striatus Striated Heron Penetap 1 1 0 2

Page 65: E11isa

47

Tabel 6 Lanjutan

No. Nama lokal Nama latin Nama Inggris Status Bedul Padas-

Bulu Cungur

Jumlah

individu

Total Bedul Padas-Bulu Cungur

ALCEDINIDAE

15 Cekakak sungai Todirhamphus

chloris Collared Kingfisher Penetap 2 0 0 2

16 Raja udang biru Alcedo coerulescens Small Blue

Kingfisher Penetap 3 3 0

6

CHARADRIIDAE

17 Cerek-pasir besar Charadrius

leschaultii Great sand-plover Penetap 1 1 16 18

STERNIDAE

18 Dara-laut

Benggala Sterna bagalensis Lesser crested- tern Migran 0 0 26

26

19 Dara-laut jambul Sterna bergii Great crested-tern Penetap 0 20 8 28

Jumlah

39 75 144 257

Page 66: E11isa

48

Fauna selain burung air yang didapat selama pengamatan terdiri dari jenis

burung raptor, mamalia, reptil, pisces, moluska dan krustasea (Tabel 7).

Tabel 7 Jenis fauna selain burung air

No Kelompok Nama lokal Nama latin

1 Aves Elang bondol Haliastur Indus

2 Aves Elang ikan kepala-kelabu Ichtyphaga ichtyaetus

3 Mamalia Jelarang bilalang Ratufa affinis

4 Mamalia Monyet akor panjang Macaca fascicularis

5 Reptil Biawak Varanus salvator

6 Pisces Ikan blodok Periopthalmus sp.

7 Crustacea Kepiting Uca coarctata

8 Crustaceae Kepiting Uca triangularis

9 Crustaceae Kepiting Uca lactea annulipes

10 Crustaceae Kepiting Uca dussumieri

11 Crustaceae Kepiting Uca lactea perplexa

12 Crustaceae Kepiting Uca vocans

13 Crustaceae Kepiting Cardisoma carnifex

14 Molusca Kerang umbul Callista sp

15 Molusca Kerang capar Ligula sp

16 Molusca - Murex scolopax

17 Molusca Keong Telescopium telescopium

5.1.2 Potensi fisik

Potensi fisik yang dikumpulkan meliputi: fasilitas sarana, fasilitas

prasarana, fasilitas pendukung sarana prasarana dan aksesibilitas. Kelengkapan

fasilitas yang sudah ada atau dalam rencana dicatat dengan cara mentabulasikan

(Tabel 8). Akses menuju Bedul relatif mudah, dapat ditempuh dari berbagai arah.

Dari jalur dalam kawasan TNAP, pengunjung dapat melewati pintu masuk

Rowobendo. Sedangkan dari luar kawasan, satu-satunya pintu masuk adalah Desa

Sumberasri. Tanda petunjuk arah baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan

sudah cukup jelas. Tanda petunjuk arah yang dipasang di luar kawasan disediakan

oleh Dinas Perhubungan. Aksesibilitas menuju Bedul terangkum pada Tabel 9.

Page 67: E11isa

49

Tabel 8 Fasilitas ekowisata mangrove Bedul

No.

Fasilitas

Jenis Program Lokasi Jumlah Kondisi

Ada Rencana Rehab Dalam kawasan Luar kawasan

SARANA

1 Toilet/kamar mandi - -

- 2 Cukup baik

2 Toilet/kamar mandi - - - 3 Cukup baik

3 Sumur - - - 1 Cukup baik

4 Sumur - - - 2 Cukup baik

5 Visitor center - - - 1 -

6 Tempat istirahat - - - 3 Cukup baik

7 Gazebo - - - 5 Cukup baik

8 Home stay - - - 5 Cukup baik

9 Perahu gondang-

gandung

- - - 8 Mengeluarkan

suara berisik

PRASARANA

10 Jembatan & darmaga - - - 2 Sebagian

konstruksi terbuat

dari beton

11 Track menuju kawasan - - - 1 Cukup bagus tapi

hanya 1 arah

Page 68: E11isa

50

Tabel 8 Lanjutan

No.

Fasilitas

Jenis Program Lokasi

Jumlah Kondisi Ada Rencana Rehab Dalam kawasan Luar kawasan

12 Jalan dari Sumberasri

menuju kawasan

- - - 1 Cukup bagus

13 Mushola - - - 1 Kurang layak

14 Pos pengelola - - - 1 Kurang layak

15 Pos tiket - - - 1 Cukup bagus

FASILITAS

PENDUKUNG

SARANA

PRASARANA

16 Papan petujuk arah - - - 3 Cukup bagus

tetapi masih

kurang jelas

17 Papan interpretasi - - - - -

18 Papan larangan - - - 1 Kurang jelas

19 Papan plank nama - - - 1 Penulisan salah

Page 69: E11isa

51

Tabel 9 Aksesibilitas menuju TNAP (Wisata Bedul)

No Jalur Jarak

(Km)

Lama Perjalanan

(kendaraan bermotor)

1 Sumberasri-Bedul 4 20 menit

2 Tegaldlimo-Sumberasri-Bedul 11 40 menit

3 Rowobendo-Bedul 12 40 menit

5 Benculuk-Tegaldlimo-Sumberasri-Bedul 33 80 menit

6 Srono-Tegaldlimo-Sumberasri-Bedul 40 120 menit

7 Banyuwangi-Sumberasri-Bedul 61 180 menit

8 Banyuwangi-Pasaranyar-Rowobendo-Bedul 82 240 menit

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

(g)

Gambar 4 Fasilitas ekowisata mangrove Bedul: (a) plank nama; (b) tempat istirahat; (c)

darmaga; (d) track menuju kawasan; (e) jembatan; (f) gazebo; (g) papan

petunjuk arah.

5.1.3 Kebudayaan Masyarakat

Segara anak blok Bedul selain dikembangkan untuk ekowisata, juga

diperuntukkan sebagai zona pemanfaatan tradisional seluas 200 Ha, sepanjang

sungai. Atraksi atau kegiatan masyarakat setempat yang berkaitan dengan

Page 70: E11isa

52

pengelolaan mangrove berpotensi untuk dijadikan objek wisata adalah aktivitas

mencari kerang, ikan dan udang secara tradisional.

Setiap setahun sekali masyarakat sekitar selalu menyelenggarakan upacara

“Petik Laut” di Segara Anak. Tujuan upacara ini adalah meminta keselamatan

untuk alam dan desa sekitar selain itu agar jumlah stok ikan tidak menurun

sehingga masyarakat tidak kesulitan dalam mencari ikan pada tahun berikutnya.

5.2 Kegiatan Wisata

5.2.1 Paket wisata yang ditawarkan

Sejak awal pengelola mengaku telah membuat program wisata terbatas

yang ada hubungannya dengan mangrove, yang berupa pengenalan mangrove dan

ekosistemnya. Pada pelaksanaannya, pengelola menawarkan 4 pilihan paket

wisata mangrove.

5.2.1.1 Wisata pendidikan pengenalan mangrove di Blok Bedul

Paket ekowisata ini diperuntukkan untuk anak Sekolah Dasar di sekitar

Banyuwangi, dengan jumlah peserta sebanyak 30 orang dibagi menjadi 3

kelompok. Lokasinya di Blok Bedul sebelah utara sungai yang masih termasuk ke

dalam zona rimba. Track yang dilalui sepanjang kurang lebih 300 meter. Biaya

yang ditawarkan sebesar Rp. 175.000,00/kelompok.

5.2.1.2 Ekowisata mangrove di Blok Kere

Paket ini bertujuan membawa wisatawan menyusuri sungai sambil

mengamati keindahan mangrove dan burung air yang sering terbang di sepanjang

sungai. Setelah itu wisatawan diajak turun di Blok Kere sambil diperkenalkan

jenis-jenis mangrove yang ada di Kere. Selain itu Blok Kere merupakan tempat

persinggahan nelayan tradisional. Di Blok Kere ini wisatawan juga diajak

menyaksikan aktivitas masyarakat nelayan setempat sambil menikmati makanan

tradisional setempat. Jumlah wisatawan biasanya minimal terdiri dari 5 orang dan

maksimal 20 orang. Harga paket ke Kere adalah Rp 150.000,00/kelompok. Jarak

tempuh dari Pos Bedul ke Kere kurang lebih 3 km dengan cara menyusuri sungai.

Rute track ekowisata biasanya dikira-kira saja oleh pemandu didasarkan

pada pengalaman pemandu dalam mengenal lokasi-lokasi tempat jenis-jenis

Page 71: E11isa

53

mangrove yang berbeda bisa ditemui. Biasanya total jauhnya track kira-kira 100

meter. Walaupun sering untuk tempat persinggahan nelayan tradisional, Blok

Kere berdasarkan zonasinya termasuk ke dalam zona rimba.

5.2.1.3 Ekowisata mangrove di Cungur

Paket ekowisata ke Cungur diperuntukkan bagi penggemar birdwatching.

Cungur merupakan daerah konsentrasi beberapa jenis burung air baik endemik

maupun migran oleh karena itu dalam pengelolaannya, Balai TNAP memasukkan

lokasi ini ke dalam zona rimba. Pada waktu-waktu tertentu, berbagai jenis burung

air sangat mudah disaksikan di daerah ini. Tarif yang ditawarkan untuk paket ini

sebesar Rp 200.000,00/kelompok. Jarak dari Pos Bedul ke Cungur kurang lebih 5

km dengan cara susur sungai. Biasanya dalam satu kelompok terdiri dari minimal

5 orang dan maksimal 20 orang. Seperti halnya pelaksanaan ekowisata di Blok

Kere, track ekowisata juga belum ditetapkan untuk Blok Kere. Biasanya pemandu

mengajak wisatawan berjalan di Blok Kere minimal sejauh 100 meter dan

maksimal sejauh 500 meter.

5.2.1.4 Ekowisata penyu di Ngagelan

Paket ekowisata ini dapat dikatakan agak berbeda dengan yang lain.

Perjalanan yang ditempuh pun cukup panjang, sekitar 7 km dari pos Bedul sampai

hutan alam (pintu masuk track menuju Ngagelan). Biaya yang ditawarkan adalah

Rp 300.000,00/kelompok. Satu kelompok biasanya terdiri dari 5-20 orang. Selain

wisatawan dijelaskan mengenai jenis-jenis mangrove, wisatawan juga diajak ke

Ngagelan untuk melihat pengelolaan penyu laut secara semi alami. Track yang

ditempuh untuk menuju Ngagelan kurang lebih 1 km jadi jika pulang pergi adalah

2 km.

Page 72: E11isa

54

Gambar 5 Rute wisata yang ditawarkan di Bedul

Page 73: E11isa

55

5.2.2 Pengunjung

5.2.2.1 Jumlah pengunjung

Sejak dibukanya kawasan Bedul untuk kegiatan wisata pada bulan Juli

2009, kunjungan yang terjadi di daerah ini relatif meningkat, rata-rata jumlah

pengunjung per bulan pada tahun 2009 adalah 1.874 orang (Gambar 6). Rata-rata

pengunjung pada bulan Januari-Maret 2010 adalah 5.187 orang. Mulai bulan April

2010, tarif masuk untuk wisata konvensional dan wisata alam dinaikkan dari

seharga Rp 4.000,00 menjadi Rp 7.000,00. Tarif harga Rp 7.000,00 sudah

merupakan harga tiket menyeberang dengan perahu (Rp. 4.000,00), tarif masuk

kawasasan konservasi (Rp. 2.500,00) dan dana konservasi (Rp. 500,00). Sejak

pemberlakuan tarif yang baru, rata-rata pengunjung yang datang ke Bedul dari

bulan April-Juli 2010 adalah 8.117 orang. Ternyata kenaikan harga tiket tidak

menyebabkan penurunan jumlah pengunjung.

Gambar 6 Grafik jumlah pengunjung wisata Bedul bulan Juli-Desember 2009

5.2.2.2 Karakteristik pengunjung

Berdasarkan hasil wawancara dengan 40 orang responden, usia

pengunjung sebagian besar adalah antara 20-40 tahun sebanyak 60% (Gambar 7a).

Asal pengunjung sebagian besar masih berasal dari lokal Banyuwangi yaitu 57%,

hanya 13% berasal dari provinsi lain dan 10% berasal dari luar daerah

Banyuwangi namun masih dalam provinsi Jawa Timur. Sedangkan terbanyak

kedua pengunjung dari manca negara yaitu 20% (Gambar 7b). Tingkat pendidikan

responden cukup tinggi, 50% dari mereka menamatkan pendidikan Diploma (D3)

Page 74: E11isa

56

dan Sarjana (S1) (Gambar 7c). Terkait tentang informasi lokasi Bedul, 32

pengunjung menyatakan mereka mengetahui Bedul sebagai daerah tujuan wisata

dari orang lain (mulut ke mulut). Hanya delapan pengunjung mendapatkan

informasi mengenai Bedul dari media masa, seperti liflet, internet, televisi dan

buku panduan wisata.

Berdasarkan 40 responden yang diwawancarai, 40% dari mereka datang ke

Bedul membawa 5-14 orang dalam rombongannya/kelompoknya, 32%

menyatakan datang ke Bedul sendiri atau membawa teman kurang dari 5 orang,

15% responden menyatakan ada 15-24 orang dalam rombongannya dan 13%

responden membawa 25 orang atau lebih dalam rombongannya (Gambar 7d).

Dari total 40 orang responden, sebagian besar dari mereka sanggup

mengeluarkan/membelanjakan uangnya di lokasi wisata Bedul sebesar antara Rp

100.000,00 – Rp 250.000,00 (40% responden), sedangkan tertinggi kedua adalah

32% responden sanggup mengeluarkan uangnya kurang dari Rp 100.000,00

selama melakukan wisata di bedul. Hanya sebagian kecil dari responden yaitu

13% sanggup mengeluarkan uangnya sebesar antara Rp 250.000,00 – Rp

400.000,00. Tidak ada seorang pun dari responden sanggup mengeluarkan

uangnya lebih dari Rp 400.000,00 selama berkunjung di Bedul (Gambar 7e).

5.2.2.3 Motivasi pengunjung

Berdasarkan motivasinya, semua responden menyatakan ingin mencoba

naik perahu gondang-gandung. Motivasi lain dari responden, selain ingin naik

perahu gondang-gandung, didapatkan 21 orang responden memiliki motivasi

utama pergi ke pantai, 18 orang ingin melihat-lihat pemandangan mangrove, tiga

orang ingin melihat satwaliar saja, dua orang ingin memancing dan hanya satu

orang ingin melihat aktivitas tradisional masyarakat setempat yang memanfaatkan

sungai di sekitar mangrove (Gambar 8).

Page 75: E11isa

57

(a) (b)

(c)

(d) (e)

Gambar 7 Karakteristik responden pengunjung: (a) usia, (b) asal, (c) pendidikan, (d)

besarnya biaya yang sanggup dikeluarkan dan (e) jumlah orang dalam

satu rombongan

Gambar 8 Motivasi para pengunjung wisata di Bedul

Page 76: E11isa

58

5.3 Masyarakat Lokal di Sekitar Kawasan

5.3.1 Karakteristik responden masyarakat lokal

Berdasarkan hasil wawancara dengan 46 orang penduduk lokal, sebagian

besar responden berusia 20-39 tahun (50%), terbanyak kedua berusia 40-49 tahun

(31%) (Gambar 9a). Sebagian responden berasal dari dukuh Blok Solo (37%),

yaitu dukuh bagian Desa Sumberasri yang letaknya paling dekat dengan Bedul.

Responden lainnya berasal dari dukuh Sumber Rejeki (33%), dukuh Gebang

Kandel (20%), dukuh Krajan (2%). Sisanya, dua orang responden menyatakan

tinggal menetap di perbatasan mangrove Bedul dan dua orang lainnya berasal dari

desa lain di luar Desa Sumberasri, yaitu dari Tegaldlimo dan Benculuk (Gambar

9b). Berdasarkan mata pencahariannya, 28% responden merupakan petani, 22%

pedagang, 19% nelayan, 11% tenaga kerja ekowisata mangrove, 9% nelayan, 9%

sebagai bengkel dan 9% tidak/belum memiliki pekerjaan yang jelas (Gambar 9c).

Gambar 9 Karakteristik responden penduduk lokal: (a) Usia, (b) mata pencaharian dan (c) asal

Page 77: E11isa

59

5.3.2 Keterkaitan mata pencaharian masyarakat lokal terhadap pemanfaatan

kawasan

Berdasarkan wawancara dengan 46 responden, didapatkan keterangan

sebagai berikut. Dua orang responden yang berasal dari luar Desa Sumberasri

mengaku datang ke Bedul memanfaatkan Segara Anak. Satu orang memanfaatkan

secara langsung Segara Anak untuk mencari ikan sedangkan satu orang lagi tidak

memanfaatkan secara langsung karena berprofesi sebagai bos pengumpul ikan.

Responden yang berprofesi utama sebagai petani memiliki total 13 orang, 11

orang merupakan petani tetap yang hanya bekerja di sawah saja tanpa mencari

tambahan pendapatan dengan memanfaatkan Segara Anak. Sedangkan satu orang

mengaku pekerjaan utamanya adalah petani tetapi jika musim melaut mencari

tambahan penghasilan menjadi nelayan di Segara Anak dan satu orang lainnya

sebagai petani tetapi juga mencari tambahan penghasilan sebagai penambal

kapal/perahu.

Delapan orang dari total 9 orang responden yang profesinya sebagai

nelayan mengaku bahwa nelayan merupakan pekerjaan utamanya tetapi ketika

ikan sedang sulit dicari, mereka beralih profesi menjadi petani sementara. Hanya

satu orang yang menyatakan mencari ikan sebagai mata pencaharian tetapnya

karena responden tersebut merupakan bos pengumpul ikan.

Lima orang tenaga kerja ekowisata dan empat orang penarik perahu sudah

pasti memiliki interaksi terhadap kawasan setiap hari. Sedangkan responden yang

memiliki pekerjaan sebagai pedagang, tidak semua berdagang di kawasan

pengembangan ekowisata. Hanya dua orang dari sepuluh responden yang

berjualan di sebelah utara Segara Anak Bedul (di dalam kawasan). Satu orang

yang berprofesi sebagai bengkel, membuka usahanya bukan di dalam kawasan.

Dua orang responden yang megaku tidak/belum memiliki pekerjaan yang jelas

merupakan responden muda yang berusia dua puluhan tahun.

Jadi dari total 46 responden masyarakat lokal, 24 orang diantaranya

memiliki keterkaitan terhadap pemanfaatan kawasan Bedul dalam

matapencahariannya. Jenis matapencaharian yang memiliki keterkaitan dengan

pemanfaatan kawasan bedul adalah tenaga kerja ekowisata, penarik perahu,

Page 78: E11isa

60

nelayan (sebagai matapencaharian utama maupun tidak), pedagang yang berjualan

di dalam kawasan Bedul, bos pengumpul ikan dan penambal perahu.

Para nelayan memanfaatkan kawasan Bedul terutama di sepanjang sungai

Segara Anak yang merupakan zona pemanfaatan tradisional. Sedangkan beberapa

pedagang (di dalam kawasan), bos pengumpul ikan dan penambal perahu

membuka usahanya di areal kerjasama seluas 4 ha, di sebelah utara Segara Anak.

Areal tersebut dekat dengan desa dan areal PERHUTANI tetapi berdasarkan

zonasinya masih termasuk zona rimba.

5.3.3 Matapencaharian masyarakat lokal yang berkaitan dengan wisata

Diatas telah disebutkan bahwa ada beberapa mata pencaharian masyarakat

lokal yang memiliki keterkaitan terhadap pemanfaatan kawasan Bedul. Dari

beberapa matapencaharian tersebut, tidak semuanya memiliki keterkaitan terhadap

penyelenggaran wisata di Bedul. Masyarakat yang bermatapencaharian sebagai

nelayan, bos pengumpul ikan dan penambal perahu sudah ada sebelum Bedul

digunakan untuk kegiatan wisata.

Penarik perahu juga sudah ada sebelum penyelenggaraan wisata. Akan

tetapi sebelum ada wisata di Bedul, mereka tidak setiap hari menjalankan perahu.

Sejak adanya wisata di Bedul, mereka harus melayani pengunjung setiap harinya.

Pedagang di dalam kawasan mulai ada sejak dibukanya wisata di Bedul.

Para pedagang membuka usahanya dengan mendirikan tenda-tenda dan

menjajakan makanan serta minuman untuk pengunjung dan pengelola.

Tenaga kerja ekowisata terdiri dari pihak pengelola ekowisata dan

pemandu/guide. Pihak pengelola berada di bawah Badan Pengelola Wisata

Mangrove Bedul yang merupakan salah satu badan usaha milik Desa Sumberasri.

Sedangkan pemandu terdiri dari masyarakat lokal yang dipilih berdasarkan seleksi

melalui tes kemudian mereka dilatih oleh pihak MIC (The Mangrove Information

Center).

Page 79: E11isa

61

5.4 Pengembangan Ekowisata Mangrove di TNAP

5.4.1 Fungsi dan tujuan TNAP

Berdasarkan master plan atau Rencana Pengelolaan Taman Nasional

(RPTN) tujuan umum dari pendirian TNAP adalah sebagai berikut:

a. Melindungi fungsi hidro-orologi, keseimbangan ekologi, dan

kestabilan iklim mikro.

b. Melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem asli Taman

Nasional Alas Purwo.

c. Meningkatkan upaya penelitian yang berkaitan dengan flora, fauna dan

ekosistem Taman Nasional Alas Purwo.

d. Meningkatkan upaya pemanfaatan kawasan Taman Nasional Alas

Purwo dan potensinya sebagai wahana pendidikan konservasi alam

guna meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap

konservasi alam.

e. Meningkatkan peran Taman Nasional Alas Purwo sebagai sumber

plasma nutfah potensial dalam menunjang budidaya.

f. Meningkatkan kegiatan pariwisata dan rekreasi di dalam kawasan

Taman Nasional Alas Purwo.

g. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan Taman

Nasional

Pada tahun 2007 Balai TNAP dibagi menjadi 2 Seksi Pengelolaan Taman

Nasional Wilayah I Tegaldlimo dan Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah

II Muncar. Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-

II/2007 tanggal 01 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit

Pelaksana Teknis Taman Nasional, TNAP mempunyai tugas pokok melakukan

penyelenggaraan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan

pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

yang berlaku. Dalam menjalankan tugas tersebut Pelaksanan Teknis Balai Taman

Nasional Alas Purwo menyelenggarakan fungsi:

Page 80: E11isa

62

a. Penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi

pengelolaan kawasan Taman Nasional Alas Purwo

b. Pengelolaan kawasan Taman Nasional Alas Purwo

c. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan kawasan Taman Nasional Alas

Purwo

d. Pengendalian kebakaran hutan

e. Promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya

f. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumberdaya

alam hayati dan ekosistemnya

g. Pemberdayaan masyarakat sekitar Taman Nasional Alas Purwo

h. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam

i. Pelaksanaan urusan tata rumah tangga

Meninjau dari tujuan dan fungsi TNAP di atas, pada dasarnya tujuan

pengembangan ekowisata mangrove di TNAP sesuai dengan tujuan dan fungsi

dibentuknya TNAP. Tabel berikut membandingkan kesesuaian realitas

pengembangan ekowisata mangrove di Bedul dengan fungsi dan tujuan TNAP

(Tabel 10).

5.3.2 Stakeholder

Stakeholder yang terlibat dalam pengembangan ekowisata mangrove di

TNAP terdiri dari Balai TNAP, masyarakat desa Sumberasri yang tergabung

dalam Badan Pengelola Wisata Mangrove, Balai Pengelola Hutan Mangrove

Wilayah I Denpasar dan Pemerintah Daerah Dati II melalui Dinas Budaya dan

Pariwisata Banyuwangi dan Dinas Ketanagakerjaan. Peran, kepentingan dan tugas

operasional masing-masing stakeholder terhadap pengembangan ekowisata

mangrove dapat terangkum sebagai berikut (Tabel 11).

Page 81: E11isa

63

Tabel 10 Perbandingan realitas pengembangan ekowisata mangrove dengan fungsi dan tujuan TNAP

No. Tujuan dan Fungsi TNAP Realitas Kesesuaian

1. Melakukan penataan zonasi (Fungsi TNAP bagian a) Penataan zonasi sudah ditetapkan dan dipetakan akan tetapi dalam

pelaksanaan wisata di blok Bedul belum mempedulikan zonasi yang

telah ditetapkan sehingga kegiatan wisata masal juga terjadi di zona

rimba

Belum sesuai

2. Melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem asli

Taman Nasional Alas Purwo (Tujuan TNAP bagian b)

Upaya perlindungan keanekargaman hayati dan ekosistem asli di

TNAP dilakukan dengan patroli pengamanan kawasan secara

berkala, register terhadap pohon tumbang, satwa mati dan hal lain

yang disebabkan oleh bencana alam maupun pengrusakan oleh

manusia. Adanya pengembangan ekowisata mangrove diharapkan

dapat mendukung upaya perlindungan terhadap keanekaragaman

hayati dan ekosistem mangrove di TNAP

Sesuai

3. Meningkatkan upaya penelitian yang berkaitan dengan

flora, fauna dan ekosistem Taman Nasional Alas Purwo

(Tujuan TNAP bagian c)

Balai TNAP menyambut baik kegiatan penelitian yang dilakukan

oleh mahasiswa, dosen dan instansi di dalam kawasan TNAP. Akan

tetapi kualitas dan antusias SDM di TNAP sendiri masih perlu

ditingkatkan untuk mendukung penelitian di TNAP. Ketidaksiapan

SDM di TNAP terlihat dari masih minimnya data tentang flora dan

fauna khususnya di daerah Bedul.

Belum sesuai

4. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan, seperti

pariwisata alam dan rekreasi (Fungsi TNAP bagian h)

Pengembangan ekowisata merupakan salah satu upaya

pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan

Sesuai

5. Wahana pendidikan konservasi alam guna meningkatkan

kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap konservasi

alam (Tujuan TNAP bagian d)

Pengadaan pendukung sarana dan prasarana untuk ekowisata

mangrove yang berbasis pendidikan konservasi belum dilakukan.

Saat ini media untuk memberikan tambahan pendidikan bagi

pengunjung di Bedul baru tersedia dalam bentuk liflet dan

penyediaan guide jika diperlukan.

Belum sesuai

Page 82: E11isa

64

Tabel 10 Lanjutan

No. Tujuan dan Fungsi TNAP Realitas Kesesuaian

6. Pemberdayaan masyarakat sekitar Taman Nasional Alas

Purwo (Fungsi TNAP bagian g)

Dalam mengembangkan ekowisata mangrove Bedul, TNAP

mengajak Desa Sumberasri untuk berkolaborasi

Sesuai

7. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan

TNAP (Tujuan TNAP bagian g)

Pengembangan ekowsiata mangrove dengan memberdayakan

masyarakat Desa Sumberasri merupakan upaya untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan TNAP

Sesuai

Page 83: E11isa

65

Tabel 11 Stakeholder yang terlibat dalam pengembangan ekowisata mangrove

No. Nama

Stakeholder

Peran Kepentingan Tugas

1. Balai TNAP Pengawas pengembangan

ekowisata mangrove di

TNAP

Menginginkan agar Badan Pengelola Wisata

Mangrove Desa Sumberasri membantu

pembinaan habitat di sekitar areal

pengembangan ekowisata mangrove

Menginginkan agar masyarakat sekitar,

khususnya Desa Sumberasri ikut menjaga

hutan mangrove dan hutan lain di dalam

kawasan TNAP, dengan adanya ekowisata

mangrove.

Melakukan pengamanan dan pemeliharaan

areal kerjasama

Melakukan pembinaan habitat di sekitar

areal kerjasama

Melakukan sosialisasi dan penyuluhan

terhadap masyarakat sekitar kawasan

TNAP

Membuat Rencana Karya Tahunan (RKT)

dan Rencana Karya Lima Tahunan (RKL)

Membantu, membina dan mengarahkan

pihak Pengelola Wisata Mangrove

Sumberasri dalam pengembangan

ekowisata mangrove

Melakukan kegiatan monitoring dan

evaluasi terhadap pengembangan

ekowisata mangrove

Menyusun laporan penyelenggaraan

ekowisata mangrove dan

menyampaikannya kepada Direktur

Konservasi Kawasan, Direktorat Jenderal

Perlindungan Kawasan

Page 84: E11isa

66

Tabel 11 Lanjutan

No. Nama

Stakeholder

Peran Kepentingan Tugas

2. Badan Pengelola

Wisata Mangrove

(Desa

Sumberasri)

Pelaksana harian dalam

penyelenggaraan ekowisata

mangrove

Menginginkan keuntungan dari pengelolaan

kolaboratif ekowisata mangrove, berupa

kesempatan kerja bagi masyarakat setempat,

penambahan terhadap kas desa untuk

pembangunan desa

Membangun serta memelihara sarana dan

prasarana pada lokasi yang telah

ditetapkan

Melakukan pengelolaan ekowisata

mangrove bersama-sama Balai TNAP

Membantu Balai TNAP dalam

pengamanan dan pelestarian kawasan

TNAP serta kegiatan pembinanaan habitat

Membantu Balai TNAP melakukan

sosialisasi dan penyuluhan terhadap

masyarakat sekitar kawasan TNAP

Membantu membuat Rencana Karya

Tahunan (RKT) dan Rencana Karya Lima

Tahunan (RKL)

Ikut serta dalam menyusun laporan

penyelenggaraan ekowisata mangrove dan

menyampaikannya kepada Direktur

Konservasi Kawasan, Direktorat Jenderal

Perlindungan Kawasan

Page 85: E11isa

67

Tabel 11 Lanjutan

No. Nama

Stakeholder

Peran Kepentingan Tugas

3. Balai Pengelolaan

Hutan Mangrove

Wilayah I dan

JICA

Fasilitator pengembangan

ekowisata mangrove

Menginginkan agar para pengelola ekowisata

mangrove (baik TNAP maupun Desa

Sumberasri) paham terhadap prinsip-prinsip

ekowisata sehingga implementasi ekowisata

mangrove di TNAP sesuai seperti yang

diharapkan

Memberikan pelatihan bahasa dan

pengenalan ekosistem mangrove kepada

Badan Pengelola Wisata Mangrove Desa

Sumberasri

Memberikan pendidikan kepada Badan

Pengelola Wisata Mangrove Desa

Sumberasri terkait pengembangan

ekowisata mangrove (tahun 2007-2009)

Membantu pengadaan alat-alat

pemanduan, sepeti buku-buku panduan

dan sepatu bot

4. Pemerintah

Daerah

Pendukung pengembangan

ekowisata mangrove

Menginginkan agar sektor pariwisata

daerahnya semakin terkenal dan maju dengan

adanya ekowisata mangrove di TNAP

Membantu mempromosikan lokasi

ekowisata mangrove

Membantu dalam pembangunan

infrastruktur jalan menuju lokasi dan

pemberian tanda petunjuk arah menuju

lokasi

Page 86: E11isa

68

5.3.3 Kebijakan

Kebijakan mengenai manajemen kawasan dan pengembangan ekowisata di

TNAP dikaji melalui analisis dari isi berbagai peraturan terkait dengan

pengelolaan kolaboratif kawasan konservasi dan pengelolaan wisata alam di

kawasan konservasi. Peraturan terkait tentang penyelenggaraan ekowisata di

Indonesia belum ada sehingga pendekatan yang digunakan adalah dengan

menggunakan peraturan penyelenggaraan wisata alam di kawasan konservasi.

Adapun peraturan-peraturan yang digunakan untuk meninjau pengelolaan

kolaboratif dan pengembangan ekowisata di TNAP yaitu:

a. PP Nomor 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Wisata Alam di Suaka

Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata

Alam

b. PP Nomor 59 tahun 1998 tentang tarif atas jenis penerimaan negara

bukan pajak yang berlaku

c. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 19/Menhut-II/2004 tentang

Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan

Pelestarian Alam

d. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56/Menhut-II/2006 tentang

Pedoman Zonasi Taman Nasional

e. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 167/Kpts-II/1994 tentang

Sarana dan Prasarana Pengusahaan Periwisata Alam di Kawasan

Konservasi.

Berdasarkan peraturan-peraturan di atas dapat ditarik kesimpulan tentang

pendekatan penyelenggaraan ekowisata di Taman Nasional. Selanjutnya dapat

dibandingkan dengan realitas pengembangan ekowisata mangrove di TNAP.

Berikut perbandingan antara kebijakan ekowisata yang didapatkan dari peraturan

dengan realitas yang terjadi di lapang (Tabel 12).

Page 87: E11isa

69

Tabel 12 Perbandingan antara peraturan dan realitas terkait pengembangan ekowisata mangrove di TNAP

No. Peraturan Isi Peraturan Realitas Kesesuaian

1. Peraturan

Menteri

Kehutanan No.:

P. 56/Menhut-

II/2006

Berdasarkan fungsinya zona rimba untuk kegiatan

pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam

dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian,

pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat

satwa migran dan menunjang budidaya serta

mendukung zona inti.

Zona pemanfaatan untuk pengembangan

pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan,

pendidikan, penelitian dan pengembangan yang

menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang

budidaya.

Zona tradisional untuk pemanfaatan potensi

tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat

secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan

dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pengembangan ekowisata mangrove di TNAP

memanfaatkan 3 zona (pemanfaatan, rimba dan

tradisional). Tetapi dalam realitasnya kegiatan

wisata yang disebut “ekowisata” masih

bercampur dengan penyelenggaraan wisata

masal. Wisata masal yang ada juga diperbolehkan

dilakukan di wilayah dan zona rimba, padahal

menurut peraturan zona rimba hanya

diperbolehkan untuk kegiatan pendidikan

konservasi dan wisata terbatas (ekowisata) bukan

untuk kegiatan wisata masal.

Belum Sesuai

2. Peraturan

Menteri

Kehutanan No.:

P. 19/Menhut-

II/2004

a. Para pihak yang melaksanakan kolaborasi dalam

pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan

Pelestarian Alam antara lain Lembaga pemerintah

pusat, Lembaga pemerintah daerah (eksekutif dan

legislatif), masyarakat setempat, LSM, BUMN,

BUD, swasta nasional, perorangan maupun

masyarakat internasional, Perguruan

Tinggi/Universitas/Lembaga Pendidikan/Lembaga

Ilmiah (Pasal 1 & Pasal 4 ayat 3)

Pelaksanaan kolaborasi pengembangan ekowisata

mangrove, merupakan kolaborasi antara Balai

TNAP dan masyarakat Desa Sumberasri

(masyarakat setempat)

Sesuai

Page 88: E11isa

70

Tabel 12 Lanjutan

No. Peraturan Isi Peraturan Realitas Kesesuaian

b. Dalam proses terwujudnya kolaborasi, masing-

masing pihak dapat bertindak sebagi inisiator,

fasilitator dan pendampingan (Pasal 4 ayat 4)

Masyarakat desa Sumberasri yang tergabung

dalam Badan Pengelola Wisata Mangrove

bertindak sebagai perancang kegiatan ekowisata

mangrove (insiator)

Sesuai

c. Jenis-jenis kegiatan yang dapat dikolaborasikan

antara lain berupa penataan kawasan, penyusunan

rencana pengelolaan, pembinaan daya dukung

kawasan, pemanfaatan kawasan, penelitian dan

pengembangan, perlindungan dan pengamanan

kawasan, pengembangan sumberdaya manusia,

pembangunan sarana dan prsarana, dan pembinaan

partisipasi masyarakat

Jenis-jenis kegiatan yang dikolaborasikan terkait

pengembangan ekowisata mangrove yang

tertuang dalam MoU antara Balai TNAP dan

Pemerintah Desa Sumberasri adalah pemanfaatan

kawasan (jasa lingkungan yang berupa wisata

alam terbatas), pembinaan daya dukung kawasan

(pembinaan habitat), pembangunan sarana dan

prsarana, dan pembinaan partisipasi masyarakat

Sesuai

d. Pelaksanaan kolaborasi dituangkan dalam bentuk

persetujuan (Pasal 5 ayat 1). Kesepakatan bersama

tersebut berisi materi-materi kesepakatan, antara

lain berupa: kegiatan-kegiatan yang

dikolaborasikan, dukungan, hak dan kewajiban

para pihak, jangka waktu kolaborasi, pengaturan

sarana dan prasara setelah jangka waktu kolaborasi

berakhir (Pasal 5 ayat 2)

Dalam MoU antara Balai TNAP dengan

Pemerintah Desa Sumberasri tertuang materi-

materi seperti yang disebutkan pada Peraturan

Menteri Kehutanan No.: P. 19/Menhut-II/2004

Pasal 5 ayat 2, tetapi untuk bahasan tentang

dukungan tidak disebutkan secara jelas

Kurang sesuai

3. PP No.36 Tahun

2010

a. Pengusahaan pariwisata alam dapat meliputi usaha

penyediaan jasa wisata alam dan/atau sarana wisata

alam (Pasal 7 ayat 1).

Pengusahaan ekowisata mangrove Bedul meliputi

penyediaan jasa ekowisata dan sarana

Sesuai

Page 89: E11isa

71

Tabel 12 Lanjutan

No. Peraturan Isi Peraturan Realitas Kesesuaian

3. PP No.36 Tahun

2010

b. Pengusahaan pariwisata alam dapat dilakukan

setelah ada izin pengusahaan (pasal 8 ayat 1), izin

pengusahaan pariwisata alam diberikan oleh

Menteri untuk pengusahaan yang dilakukan di

taman nasional (Pasal 8 ayat 2).

Belum ada izin dari Menteri terkait

pengembangan hutan mangrove di Bedul TNAP

untuk ekowisata

Kurang sesuai

(karena arahan

pengembangan

ekowisata lebih

mengacu pada

Peraturan

Menteri

Kehutanan No.:

P. 19/Menhut-

II/2004)

c. Pengusahaan pariwisata alam dapat dilakukan di

seluruh zona pada kawasan Taman Nasional

kecuali zona inti (Pasal 9 ayat 1).

Pengembangan ekowisata mangrove dilakukan

bukan di zona inti kawasan TNAP

Sesuai

d. Sarana dan prasarana pengusahaan pariwisata alam

dapat dibangun di zona pemanfaatan taman

nasional (Pasal 9 ayat 3, disebutkan kembali pada

Keputusan Menteri Kehutanan No.: 167/Kpts-

II/1994 pasal 2). Areal yang dapat dimanfaatkan

untuk pembangunan sarana dan prasarana

maksimum 10% dari luas areal izin pengusahaan

pariwisata alam (Pasal 18d, disebutkan kembali

pada Keputusan Menteri Kehutanan No.: 167/Kpts-

II/1994 pasal 3).

Sarana dan prasarana untuk menunjang

pengembangan ekowisata ada yang dibangun di

zona rimba tetapi digunakan juga untuk

kepentingan pengelolaan kawasan mangrove

secara keseluruhan. Selanjutnya penambahan

pembangunan sarana dan prasarana dibangun

seperlunya di zona pemanfaatan dan dibangun di

luar kawasan TNAP.

Sesuai

Page 90: E11isa

72

Tabel 12 Lanjutan

No. Peraturan Isi Peraturan Realitas Kesesuaian

4. Keputusan

Menteri

Kehutanan No.:

167/Kpts-II/1994

a. Bentuk bangunan/sarana yang dibangun, bergaya

arsitektur budaya setempat dengan memperhatikan

kondisi fisik kawasan tersebut. Pembangunan

sarana yang diperkenankan maksimum 2 (dua)

lantai. Tidak mengubah karakteristik bentang alam

yang ada (Pasal 4).

Bentuk bangunan/sarana yang dibangun untuk

mendukung pengembangan ekowisata dibangun

dengan gaya cukup sederhana dan tidak

menyalahi gaya bangunan budaya setempat.

Sesuai

b. Penggunaan bahan bangunan untuk pembangunan

sarana, prasarana dan fasilitas pelengkap

diutamakan bahan-bahan dari daerah setempat

yang memiliki adaptasi tinggi dengan kondisi

lingkungan. Jika tidak terdapat bahan bangunan

sebagaimana dimaksud, maka dipergunakan bahan

bangunan dari luar yang tidak merusak kelestarian

lingkungan (Pasal 27).

Pembangunan darmaga dan jembatan sebagian

dibangun dengan menggunakan beton bukan dari

kayu semuanya. Pembangunan konstruksi bagian

bawah jembatan dan darmaga menggunakan

semen dengan cara pengecoran bagian bawah

secara keseluruhan mengganggu komponen

kehidupan di bawahnya. Selain itu bahan dasar

dari semen untuk jembatan kurang memiliki nilai

estetika/keindahan.

Belum sesuai

5. PP No. 59 tahun

1998

Tarif masuk Taman Nasional untuk Rayon I, untuk

wisatawan mancanegara adalah Rp.

20.000,00/orang sedangkan wisatawan Nusantara

adalah Rp.2.500,00/orang

Tarif masuk Taman Nasional juga diberlakukan

bagi pengunjung Bedul sebagai pendapatan

Negara bukan pajak, selain harga tiket masuk

kawasan mangrove Bedul.

Sesuai

Page 91: E11isa

73

Kebijakan tertulis terkait pengembangan ekowisata mangrove di TNAP

pada level internal Balai TNAP belum ada. Petunjuk teknis maupun Rencana

Karya Lima Tahun (RKL) dan Rencana Karya Tahunan (RKT) tentang

pengembangan ekowisata mangrove TNAP belum disusun. Selama ini

pengembangan ekowisata mangrove di TNAP hanya berpedoman pada perjanjian

(MoU) antara pihak TNAP dan Desa Sumberasri. Perjanjian tersebut

ditandatangani pada tahun 2007 dan belum ada revisi. Pada tabel berikut

terangkum perbandingan antara isi MoU dan realitas pengembangan wisata di

lapangan (Tabel 13).

Tabel 13 Perbandingan antara MoU dan Realitas

No. Pengembangan wisata menurut

MoU

Pengembangan wisata di lapang Kesesuaian

1. TNAP dan Desa Sumberasri

bekerjasama secara kolaborasi

mengembangkan wisata alam terbatas

di blok Bedul

Wisata alam yang

diselenggarakan di Bedul lebih

kepada wisata masal dan tidak

ada pembatasan terhadap jumlah

dan kegiatan pengunjung.

Belum sesuai

2. Ruang lingkup kerjasama kolaborasi

diuraikan dalam arahan program yang

dituangkan dalam RKL dan RKT.

RKL dan RKT sampai sekarang

belum selesai disusun.

Belum sesuai

3. Kedua pihak bersama-sama

melakukan kegiatan pembinaan

habitat di wilayah kerjasama.

Pembinaan habitat dilakukan

oleh pihak TNAP, pihak desa

Sumberasri baru membantu pada

level pengamanan wilayah.

Belum sesuai

4. Pihak pengelola dari Desa Sumberasri

dapat membangun sarana dan

prasarana di tempat yang disediakan

dan saling menjaga sarana dan

prasarana wisata alam terbatas yang

ada

Pembangunan sarana dan

prasarana dilakukan di lokasi

yang diizinkan oleh TNAP dan

bersama-sama menjaga saran dan

prsarana yang ada

Sesuai

5. Bersama-sama memberikan

sosialisasi dan penyuluhan kepada

masyarakat sekitar TNAP

Pihak Desa Sumberasri hanya

melakukan fungsi sebagai

pengelola wisata sedangkan

kegiatan sosialisai dan

penyuluhan kepada masyarakat

dilakukan oleh pihak TNAP saja.

Belum sesuai

Page 92: E11isa

74

VI. PEMBAHASAN

6.1 Potensi Ekowisata

6.1.1 Potensi biologi

6.1.1.1 Flora

Jumlah spesies mangrove sejati yang ditemukan di dalam plot sampling

saat penelitian sebanyak 14 jenis (Tabel 4). Menurut informasi dari Balai TNAP

(1999), terdapat 24 jenis mangrove di Bedul, dua spesies diantaranya

dikatagorikan langka secara global namun merupakan jenis umum setempat, yaitu

Ceriops decandra dan Scyphiphora hydrophyllacea. Status kedua spesies tersebut

tergolong rentan sehingga memerlukan perhatian khusus untuk pengelolaannya

(Noor et al. 1999).

(a)

(b)

Gambar 10 Spesies mangrove langka secara global tetapi masih umum

ditemukan di daerah: (a) Ceriops decandra;(b) Scyphiphora

hydrophyllacea

Kerapatan mangrove untuk tingkat pohon berdasarkan hasil inventarisasi

oleh Balai TNAP tahun 1999 adalah 1.481 individu/ha. Kerapatan yang demikian

termasuk dalam kriteria baik dengan kerapatan sedang. Berdasarkan Keputusan

Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku

dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove, kerapatan antara >1.000

individu/ha sampai <1.500 individu/ha termasuk dalam kriteria baik dengan

kerapatan sedang. Sedangkan kerapatan yang melibihi >1.500 individu/ha

termasuk dalam kriteria kerapatan sangat padat dan kondisi baik. Kerapatan

tingkat pohon berdasarkan hasil inventarisasi selama penelitian adalah 1.507

Page 93: E11isa

75

individu/ha sehingga kerapatan mangrove di Bedul TNAP saat ini dalam kriteria

sangat padat dan kondisi baik.

Pohon mangrove memiliki perkaran dan buah yang unik dan berbeda

dengan tumbuhan darat. Tipe akar dan buah mangrove berbeda-beda. Keunikan

tersebut sangat menarik untuk dijadikan objek ekowisata. Cara yang efektif untuk

menunjukkan keunikan akar dan buah adalah melalui media interpretasi. Melalui

media interpretasi, pengunjung tidak harus masuk ke dalam hutan mangrove untuk

menyaksikan perbedaan perakaran beberapa jenis mangrove sehingga potensi

dapat meminimalkan potensi kerusakan mangrove. Melalui media interpretasi

juga, pengunjung dapat menyaksikan keunikan buah mangrove walaupun jenis-

jenis mangrove tertentu sedang tidak musim berbuah. Salah satu media

interpreatsi yang baik adalah di MIC di Bali. Media interpretasi yang digunakan di

MIC di Bali adalah papan interpretasi, miniatur mangrove, liflet dan brosur.

6.1.1.2 Fauna

Berdasarkan hasil pengamatan selama di lapangan, kenakeragaman jenis

burung air paling banyak ditemukan di Blok Bedul. Akan tetapi diantara dua

lokasi pengamatan lainnya, jumlah burung air yang ditemukan di lokasi Blok

Bedul paling sedikit. Hal ini dikarenakan jenis burung air yang berkunjung di

paparan lumpur Bedul lebih cenderung burung air yang bersifat individual atau

berkelompok kecil, seperti bangau tong-tong, cangak laut, blekok dan kuntul.

Lokasi Padas-Bulu dengan Cungur tidak terlalu jauh. Jenis burung yang

sering ditemukan dikedua lokasi tersebut biasanya sama. Burung yang singgah di

kedua lokasi ini ada yang bersifat individual dan berkelompok kecil maupun

besar. Akan tetapi lokasi yang lebih banyak ditemui burungnya adalah Cungur.

Hal ini dikarenakan paparan lumpur Cungur tempatnya lebih terbuka sehingga

burung-burung air yang ada lebih mudah diamati. Sedangkan Padas-Bulu

merupakan daratan kecil di tengah sungai Segara Anak dan ditumbuhi pohon

mangrove. Cungur dan Padas-Bulu lebih dekat dengan pantai sehingga sangat

memberi kecenderungan beberapa jenis burung pantai migran singgah di kedua

lokasi tersebut. Selain itu kedua lokasi tersebut lebih sepi dibandingkan dengan

Blok Bedul sehingga gangguan oleh faktor manusia juga lebih sedikit.

Page 94: E11isa

76

Bedasarkan hasil pengamatan, dari total 19 jenis burung air, 10

diantaranya merupakan jenis burung pantai migran. Total jenis burung pantai

migran yang yang didapatkan dalam penelitian ini tidak banyak karena

pengamatan hanya dilakukan pada bulan Maret. Menurut Howes et al. (2003)

waktu terbaik untuk mengamati burung pantai migran di Indonesia adalah pada

saat burung migran memulai perjalanan menuju belahan bumi selatan dan berada

di belahan bumi selatan (September-Maret) serta pada saat burung migran

kembali ke lokasi berbiaknya (Maret-Mei).

Foto: Wiwin (2009)

(a)

Foto: Kurniawan (2008)

(b)

(c)

(d)

Gambar 11 Burung air: (a) Cangak laut (Ardea sumatrana), (b) Dara Laut Benggala

(Sterna bagalensis), (c) Bangau Tong-tong (Leptoptilos javanicus), (d)

Gajahan Besar (Numenius arquata).

Beberapa burung air memanfaatkan kawasan mangrove di TNAP sebagai

habitat. Tidak heran jika peristiwa ekologi yang berupa jaring-jaring makanan

terjadi pada jenis-jenis fauna yang ada di kawasan mangrove. Mangrove

merupakan tempat yang ideal bagi ikan, udang dan biota lainnya untuk mencari

makan dan berkembang biak. Bagi burung air paparan lumpur merupakan tempat

Page 95: E11isa

77

untuk mencari makan dan berjemur. Pakan burung air berupa moluska,

grastopoda, krustasea, cacing dan ikan (Howes 2003). Beberapa satwaliar selain

burung air dari golongan mamalia, reptil, amfibi dan aves menggunakan hutan

mangrove sebagai tempat bersarang dan mencari mangsanya.

(a)

(b)

(c)

Foto: Temaja (2010)

(d)

(e)

Foto: Waschkies (2009)

(f)

Gambar 12 Fauna selain burung air: (a) ikan blodog (Periopthalmus sp.), (b) Kepiting

(Uca coarctata), (c) Kepiting (Cardisoma carnifex), (d) Jelarang bilarang

(Ratufa affinis), (e) Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), (f) Elang

bondol (Haliastur indus).

Beberapa fauna yang ditemukan selama penelitian, 9 jenis merupakan

spesies yang dilindungi di Indonesia melalui PP Nomor 7 tahun 1999, salah satu

diantaranya adalah Bangau tong-tong (Leptotilos javanicus) yang juga merupakan

spesies yang terancam kepunahan termasuk ke dalam katagori rentan menurut

IUCN Red List (IUCN 2010). Dua spesies yaitu Jelarang bilalang (Ratufa affinis)

dan Biawak (Varanus salvator) termasuk ke dalam Appendix 2 CITES.

Keberadaan satwaliar yang dilindungi di kawasan konservasi menjadi nilai

lebih dalam penyelenggaraan ekowisata. Kesempatan menyaksikan satwaliar yang

dilindungi di alam terbuka merupakan kesempatan yang jarang ditemukan ketika

melakukan wisata biasa.

Page 96: E11isa

78

Tabel 14 Jenis satwa dan status perlindungannya

No. Nama lokal Nama latin Nama Inggris

Status

Perlindungan Indonesia IUCN CITES

MAMALIA

1 Jelarang bilalang Ratufa affinis Pale Giant Squirell - NT App. 2

2 Monyet akor panjang Macaca fascicularis Long-tailed Monkey - LC -

AVES

1 Bangau tong-tong Leptoptilos javanicus Lesser Adjutant PP V -

2 Biru laut ekor blorok Limossa laponica Bar- tailed Godwit - NT -

3 Blekok sawah Ardeloa speciosa Javan Pond-heron - - -

4 Cangak laut Ardea sumatrana Great Billed-heron - LC -

5 Cekakak sungai Todirhamphus chloris Collared Kingfisher PP LC -

6 Cerek-pasir besar Charadrius leschaultii Great Sand-plover - - -

7 Dara-laut Benggala Sterna bagalensis Lesser crested- tern - - -

8 Dara-laut jambul Sterna bergii Great Crested-tern PP LC -

9 Elang bondol Haliastur Indus Brahminy Kite PP LC -

10 Elang-ikan kepala-kelabu Ichtyphaga ichtyaetus Grey-headed Fish-eagle PP - -

11 Gajahan besar Numenius arquata Eurasian Curlew PP NT -

12 Gajahan kecil Numenius minitus Little Curlew PP - -

13 Gajahan penggala Numenius phaeopus Whimbrel PP LC -

14 Kedidi besar Calidris tenuirostris Great Knot - LC -

15 Kedidi jari-panjang Calidris subminuta Long-toed Stint - LC -

16 Kuntul kecil Egretta garzetta Little Egret PP LC -

Page 97: E11isa

79

Tabel 14 Lanjutan

No. Nama lokal Nama latin Nama Inggris Status

Perlindungan Indonesia IUCN CITES

17 Raja udang biru Alcedo coerulescens Small Blue Kingfisher PP LC -

18 Trinil bedaran Tringa cinereus Terek Sandpiper - - -

19 Trinil kaki-merah Tringa tetanus Common Redshank - LC -

20 Trinil pantai Acitis hypoleucos Common Sandpiper - LC -

21 Kokokan laut Butorides striatus Striated Heron - LC -

REPTIL

1 Biawak Varanus salvator Malayan Water Monitor - - App. 2

Page 98: E11isa

80

6.1.2 Potensi fisik

6.1.2.1 Sarana

Sarana-sarana yang ada dalam kondisi cukup baik tetapi keberadaannya

perlu diperhatikan lagi agar dapat memfasilitasi kegiatan ekowisata dengan baik.

Pertama adalah keberadaan visitor center. Pada dasarnya visitor center merupakan

tempat para pengunjung dapat memperoleh informasi lengkap terkait ekowisata

yang ditawarkan. Sampai saat ini visitor center yang ada belum sama sekali

dikembangkan. Bangunan yang dijadikan visitor center adalah bangunan yang

sama dengan barak polisi hutan (polhut). Kondisi bangunan masih dalam keadaan

baik tetapi dalam bangunan tersebut tidak disediakan informasi yang memadai

terkait tentang ekosistem mangrove di Bedul. Jadi sampai saat ini bangunan yang

dianggap visitor center belum berfungsi.

Sarana lain yang kurang mendukung adalah perahu gondang-gandung

yang digunakan untuk mengantarkan pengunjung. Perahu gondang-gandung

memang sangat tradisional tetapi mengeluarkan suara yang berisik sekali. Hal ini

berpotensi mengganggu keberadaan fauna. Selain itu suara pemandu saat

memberikan interpretasi kepada pengunjung di atas perahu tidak jelas karena

terganggu oleh suara perahu gondang-gandung. Selain berpotensi menyebabkan

polusi suara, bahan bakar perahu gondang-gandung yang berupa solar/bensin juga

berpotensi menyebabkan polusi di udara maupun di air. Oleh karena itu perlu

mulai dipikirkan alternatif bahan bakar yang ramah lingkungan.

6.1.2.2 Prasarana

Prasarana ekowisata yang sudah dalam keadaan baik hanya pos tiket dan

jalan dari Desa Sumberasri menuju kawasan Bedul. Prasarana yang lain masih

membutuhkan peningkatan dan perbaikan. Jembatan dan Darmaga sebagian

konstruksinya menggunakan beton. Bagian bawah dari jembatan yang terletak di

sebelah utara Bedul (dengan lebar 1,2 meter dan panjang kurang lebih 200 meter)

dicor dengan semen secara merata. Konstruksi jembatan yang demikian telah

menyita seluas kurang lebih 240 m2 habitat beberapa fauna mangrove kecil yang

seharusnya hidup di bawahnya. Jika dikaitkan dengan segi estetika/keindahan,

konstruksi jembatan menggunakan semen kurang menarik wisatawan dari

Page 99: E11isa

81

mancanegara yang rata-rata sudah paham mengenai wisata konservatif. Jenis kayu

yang digunakan di MIC Bali untuk konstruksi jembatan bagian bawah (tiang

penopang) adalah kayu Ulin sedangkan untuk papannya dapat dari kayu jenis

Bangkarai, Keruing atau Kamper.

Berdasarkan informasi, kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri) merupakan

kayu kelas awet dan kelas kuat nomor satu. Katu jenis ini sering digunakan untuk

bahan konstruksi berat, bahan konstruksi bawah laut, bantalan rel, lantai rumah

dan jembatan (Mandang dan Pandit 1997). Akan tetapi kayu Ulin sukar ditemukan

sekarang ini. Berdasarkan penyebarannya kayu Ulin tumbuh di Pulau Sumatera

dan Kalimantan. Mengingat pengadaan kayu Ulin untuk bahan dasar jembatan

sangat mahal dan langka maka perlu dicari kayu lain yang memiliki keawetan dan

kekuatan yang tinggi.

Alternatif kayu untuk bahan tiang jembatan antara lain Dungun (H.

literalis) dan Balau/Damar laut (Shorea laevis). Dungun mudah ditemukan di

TNAP. Dungun memiliki kelas awet I-II dan kelas kuat I (batagem.com). Ciri lain

dari kayu dungun adalah tahan terhadap bor laut (marine borer), yaitu vertebrata

pengebor kayu di laut atau perairan payau (Nguyen et al. 2008). Balau/Damar laut

memiliki kelas awet I dan kelas kuat (I-II) (Dinas Kehutanan Sumatera Selatan

2010) serta memiliki ketahanan terhadap bor laut (Nguyen et al. 2008).

Bahan untuk papan dan pegangan tangan pada jembatan perlu diupayakan

berasal dari kayu lokal yang relatif mudah didapat. Kayu Bangkirai, Keruing dan

Kamper tidak ditemukan di TNAP. Selain itu kayu-kayu tersebut sekarang ini

semakin sukar ditemukan di pasaran. Beberapa kayu mangrove dapat diupayakan

untuk bahan papan jembatan. Berdasarkan informasi Dinas Kehutanan Sumatera

Selatan (2010) kayu jenis bakau (Rhizopora spp.) memiliki kelas awet III dan

kelas kuat I-II.

Prasarana berupa track menuju kawasan Bedul perlu

diperbaiki/ditingkatkan lagi karena hanya satu arah. Track yang hanya satu

arah memungkinkan terjadinya tabrakan antara pengunjung yang sudah

selesai melaksanakan ekowisata dengan pengunjung yang akan menuju lokasi

ekowisata.

Page 100: E11isa

82

Prasarana lain yang masih perlu perbaikan/peningkatan adalah pos

pengelola dan mushola. Saat ini antara pos pengelola dan mushola menjadi satu.

Memang bahan bangunan yang digunakan adalah bambu dan bersifat sederhana.

Akan tetapi dari segi keindahan sama sekali belum terlihat. Banyak pengunjung

yang mengira pos pengelola yang ada saat ini adalah bangunan gardu yang

bersifat non-permanen.

6.1.2.3 Fasilitas pendukung sarana prasarana

Keberadaan fasilitas pendukung sarana prasarana masih sangat minim.

Empat fasilitas penting pendukung sarana dan prasarana, semuanya masih perlu

dibenahi.

a. Papan petunjuk arah

Papan petunjuk arah masih membingungkan pengunjung. Selama

penelitian, dijumpai pengunjung yang ingin menuju ke Cungur melalui

darat. Akan tetapi ketika pengunjung mengikuti arah sesuai papan

petunjuk, pengunjung tersebut tidak menemukan Cungur padahal

pengunjung sudah berjalan cukup jauh dan track yang dilalui semakin

sukar. Oleh karena itu perlu adanya survei ulang untuk menentukan tanda

arah. Selain itu perawatan terhadap track perlu dilakukan mengingat

kemungkinan track yang sudah pernah ada bisa saja tertutup oleh tumbuh-

tumbuhan liar.

a. Papan interpretasi

Keberadaan papan interpretasi saat ini belum ada sama sekali. Padahal

papan interpretasi sangat penting dalam penyelenggaraan ekowisata.

Melalui papan interpretasi, pengunjung dapat mendapatkan informasi lebih

terutama saat keadaan tidak memungkinkan melihat objek secara

langsung. Papan interpretasi juga dapat berfungsi mendidik dan

menyadarkan pengunjung.

b. Papan larangan

Papan larangan terkait hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika

berekowisata mangrove hanya ada satu buah di depan barak Polhut. Akan

tetapi tulisan pada papan tersebut terlalu banyak dan kecil sehingga kurang

Page 101: E11isa

83

jelas. Hal ini menyebabkan ketidakefektifan karena pengunjung yang

datang enggan untuk membacanya.

c. Papan a

Papan plank nama yang sudah ada menggunakan label “ekowisata”. Akan

tetapi penulisannya salah, yaitu “Eko Wisata Mangrove Blok Bedul”.

Terdapat dua kekurangtepatan dalam penulisan yaitu kata “Eko Wisata”

dan “Blok Bedul”. Kata “Eko Wisata” seharusnya “ekowisata”. Kata

“blok” seharusnya dihilangkan cukup dengan “Bedul” saja karena jika

memakai kata “blok” berarti hanya bagian Blok Bedul saja yang

digunakan untuk kegiatan ekowisata sedangkan dalam kenyataannya Blok

Kere, Padas-Bulu dan Cungur juga digunakan untuk lokasi ekowisata.

6.1.3 Budaya masyarakat

Budaya masyarakat terkait pemanfaatan ekosistem mangrove di Bedul

yang sudah lama ada yaitu kegiatan mencari ikan dan kerang secara tradisional.

Areal pemanfaatan tradisional adalah sepanjang sungai Segara Anak seluas 200

ha. Atraksi tradisional pemanfaatan ekosistem mangrove secara tradisional ini

berpotensi sebagai objek ekowisata mangrove.

Wijaya et al. (2007) menyebutkan, masyarakat biasanya pergi ke Segara

Anak untuk mendapatkan tambahan penghasilan dengan mencari ikan saat pasang

tidak terlalu tinggi dan surut tidak terlalu rendah, atau dalam bahasa setempat

disebut musim kondo. Berdasarkan informasi dari salah satu masyarakat setempat,

musim mencari ikan biasanya pada bulan ke-delapan (sekitar bulan Agustus akhir)

sampai bulan ke-dua (Februari).

Pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat lokal masih tergolong

ramah lingkungan karena mereka menggunakan peralatan yang tidak

membahayakan (destructive) terhadap ekosistem. Pencarian ikan dilakukan

dengan menggunakan kapal tradisional kecil, biasanya pada malam hari. Jika

pengunjung ingin mencoba ikut mencari ikan dengan nelayan setempat, sebaiknya

tinggal selama satu atau dua malam.

Pencarian udang menggunakan jaring yang berfungsi seperti karamba.

Jaring dipasang di pinggir-pinggir sungai dekat dengan mangrove yang

Page 102: E11isa

84

kemungkinan gangguannya sedikit. Kemudian jaring tersebut dibiarkan sampai

beberapa hari sampai udang tertangkap di dalam jaring.

Pencarian kerang dilakukan dengan dua cara. Biasanya saat air sungai

surut dan terbentuk paparan lumpur, para pencari kerang yang biasanya terdiri

dari ibu-ibu, turun ke paparan lumpur untuk mengambil kerang. Cara ini sangat

menarik untuk diikuti. Sedangkan cara mencari kerang yang lain dilakukan

dengan cara menyelam. Cara mencari kerang dengan menyelam sangat sulit untuk

diikuti karena memiliki resiko. Jenis kerang yang biasanya didapat di paparan

lumpur saat air sungai surut antara lain kerang lepek (Placuna placenta), kerang

umbul (Callista sp.), kerang kikir (Clementia sp.), kerang capar (Ligula sp.),

kerang glatik, kerang doro dan kerang pensil. Harga kerang-kerang tersebut dapat

mencapai Rp 10.000,00 – Rp 30.000,00 per kg untuk kerang mentah. Sedangkan

jenis kerang yang dicari dengan cara menyelam adalah jenis kerang cemeti. Harga

kerang cemeti paling mahal karena dapat mencapai Rp 80.000,00/kg untuk

mentahnya.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Gambar 13 Aktivitas tradisional masyarakat: (a) mencari ikan dengan perahu kecil

sederhana; (b) pemasangan jaring untuk mendapatkan udang; (c) mencari

kerang saat air sungai surut; (d) mencari kerang dengan cara menyelam; (e)

kerang cemeti.

Page 103: E11isa

85

Setiap setahun sekali masyarakat sekitar selalu menyelenggarakan upacara

Petik Laut di Segara Anak, tepatnya pada tanggal 10 Sura (penanggalan Jawa).

Upacara ini merupakan gabungan antara kebudayaan Hindu dan Islam. Tujuan

upacara ini adalah meminta keselamatan untuk alam dan desa sekitar selain itu

agar jumlah stok ikan tidak menurun sehingga masyarakat pencari ikan tidak

kesulitan dalam mencari ikan pada tahun berikutnya. Setiap upacara Petik Laut

masyarakat setempat menyiapkan makanan dan buah-buahan untuk dimakan

bersama dan disisihkan untuk sesaji. Sebelumnya dibuka dengan pembacaan doa-

doa secara Islam (Gambar 14a). Setelah didoakan, sesaji dilabuhkan di Segara

Anak (Gambar 14b).

Selain berdoa bersama dan melakukan labuhan, pada acara Petik Laut

biasanya juga ada pertunjukan seni Gandrung. Kesenian ini merupakan

pertunjukkan organ tunggal dengan kombinasi musik daerah dan diikuti dengan

tarian tradisional. Seni Gandrung merupakan acara tambahan ketika Petik Laut.

Biasanya grup kesenian ini disewa oleh pemerintah desa untuk memeriahkan

acara-acara tertentu (Gambar 14c).

Foto: Kurniawan (2008)

(a)

Foto: Kurniawan (2008)

(b)

Foto: Kurniawan (2008)

(c)

Gambar 14 Upacara Petik Laut: (a) Doa bersama memulai acara; (b) Pelepasan sesajen;

(c) Pertunjukan seni Gandrung.

6.2 Kegiatan Wisata yang Sudah Ada

Pengelola ekowisata mangrove Bedul sampai saat ini menawarkan empat

macam paket ekowisata, yaitu Wisata Pendidikan Pengenalan Mangrove,

Ekowisata Mangrove di Blok Kere, Ekowisata Mangrove di Cungur dan

Ekowisata Penyu di Ngagelan. Paket ekowisata mangrove seharusnya memiliki

kaitan erat dengan ekosistem mangrove. Akan tetapi ada satu paket yang keluar

dari konsep ekowisata mangrove. Paket ekowisata penyu ke Ngagelan dikatakan

Page 104: E11isa

86

keluar dari konsep ekowisata mangrove karena objek utama yang dituju adalah

penyu, sedangkan mangrove bukan merupakan habitat bagi penyu. Sehingga tidak

ada sangkut paut antara mangrove dan penyu. Jika penyu dijadikan objek

ekowisata sebaiknya dibuat program tersendiri terlepas dari program ekowisata

mangrove.

Pada rencana awal, objek utama yang ditawarkan adalah mangrove.

Seiring dengan berjalannya waktu, pengembangan wisata di Bedul dibagi menjadi

dua macam, yaitu ekowisata dan wisata konvensional. Hal ini dikarenakan oleh

banyaknya pengunjung yang menginginkan wisata konvensional, hanya sekedar

keliling dengan perahu atau mengunjungi Pantai Marengan. Kenaikan harga tiket

masuk sebesar Rp. 3.000,00 ternyata tidak menurunkan kunjungan. Jika dilihat

dari data kunjungan bulan April-Juli, rata-rata jumlah pengunjung justru lebih

banyak daripada sebelum kenaikan harga tiket.

Melalui hasil observasi dan wawancara dengan 40 orang pengunjung maka

kunjungan yang terjadi dapat dikatagorikan. Berdasarkan hasil wawancara dengan

pengunjung, sebagian besar responden pengunjung berusia antara 20-40 tahun.

Jika dilihat dari faktor usia pengunjung, rentang usia 20-40 tahun sesuai dengan

usia para pelaku ekowisata. Menurut Betoon (2000), pelaku ekowisata biasanya

berusia antara 20-40 tahun. Begitu pula jika dilihat dari faktor pendidikan,

sebagian besar responden pengunjung berpendidikan cukup tinggi yaitu Diploma

dan Sarjana. Akan tetapi untuk menilai jenis kunjungan wisata tidak hanya

ditentukan oleh faktor usia dan pendidikan saja. Jika dilihat dari besarnya uang

yang sanggup dibelanjakan oleh responden pengunjung, sebagian besar

pengunjung menjawab sanggup mengeluarkan uang Rp. 100.000,00 – Rp.

250.000,00 untuk dirinya sendiri dan kelompoknya. Biaya sebesar itu masih

tergolong rendah jika dihabiskan untuk 5-14 orang dalam satu rombongan.

Padahal para pelaku ekowisata biasanya sanggup membayar lebih/mahal asalkan

mereka dapat menikmati apa yang mereka inginkan (Betoon 2000).

Faktor lain yang digunakan untuk menilai jenis wisata adalah motivasi dan

asal pengunjung. Berdasarkan wawancara dengan 40 orang pengunjung, motivasi

tertinggi kedua responden pengunjung setelah ingin naik perahu gondang-

Page 105: E11isa

87

gandung adalah ingin pergi ke pantai. Selama mereka berada di pantai tidak ada

hal khusus yang ingin mereka ketahui atau pelajari. Mereka hanya sekedar ingin

melihat ombak dan panorama yang ada. Berdasarkan asalnya, pengunjung Bedul

masih didominasi oleh pengunjung dalam negeri khususnya dari daerah

Banyuwangi sendiri. Minat pengunjung lokal terutama dari dalam daerah sendiri

biasanya adalah wisata konvensional untuk sekedar refresing tanpa harus

mengunjungi tempat yang jauh.

Berdasarkan faktor-faktor di atas, jenis kunjungan yang ada di Bedul

sebagian besar dikatagorikan sebagai wisata konvensional. Pembatasan jumlah

pengunjung juga tidak pernah dilakukan oleh pengelola sehingga kegiatan wisata

di Bedul saat ini cenderung wisata masal daripada ekowisata.

Gambar 15 Aktivitas wisata masal di dalam kawasan TNAP

6.3 Aktivitas Ekonomi Masyarakat Lokal terkait Penyelenggaraan

Wisata

Aktivitas masyarakat setempat berupa mencari ikan, udang dan kerang

sudah ada sejak dahulu sebelum Bedul dibuka untuk wisata. Aktivitas masyarakat

lokal sebagai nelayan memang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan

wisata karena kegiatan tersebut sudah sejak lama semenjak nenek moyang

mereka. Ada ataupun tidak ada wisata di Bedul, aktivitas nelayan di Segara Anak

tetap ada. Akan tetapi aktivitas masyarakat lokal dalam memanfaatkan Segara

Anak dapat dijadikan objek ekowisata mangrove karena masih ada kaitannya

dengan pemanfaatan ekosistem mangrove. Hal ini dapat dijadikan objek

ekowisata jika selain menyaksikan atau mengikuti kegiatan masyarakat,

pengunjung juga diberikan interpretasi yang cukup terkait kegiatan masyarakat

tersebut.

Page 106: E11isa

88

Tenaga kerja ekowisata mangrove direkrut semenjak Bedul dibuka untuk

lokasi wisata dan mereka diberi pelatihan semenjak pengembangan ekowisata

mangrove dicanangkan. Secara otomatis para tenaga kerja mangrove sangat

memiliki keterkaitan dengan penyelenggaraan wisata di Bedul karena mereka

mendapat pendapatan dari aktivitas wisata di Bedul.

Masyarakat setempat yang membuka usaha sebagai penjajak makanan dan

minuman di lokasi Bedul, biasanya mereka membuat warung non-permanen.

Mereka berjualan semenjak adanya wisata di Bedul. Sebagian pedagang

berkeinginan membuka usahanya setiap hari dan menjadikan aktivitas berdagang

di Bedul sebagai pekerjaan utamanya. Ada beberapa pedagang yang berkeinginan

bahwa berjualan di Bedul sebagai usaha sampingannya saja sehingga mereka

hanya membuka warungnya pada hari Sabtu dan Minggu saja. Aktivitas

berdagang di dalam kawasan Bedul juga memiliki kaitan yang erat dengan

penyelenggaraan wisata di Bedul. Hal ini dikarenakan mereka akan mendapat

income dari barang jualannya jika ada pengunjung yang datang.

6.4 Pengembangan Ekowisata Mangrove

6.4.1 Kesesuaian pengembangan ekowisata mangrove dengan fungsi dan tujuan

TNAP

Meninjau dari tujuan dan fungsi TNAP, pada dasarnya tujuan

pengembangan ekowisata mangrove di TNAP sesuai dengan tujuan dan fungsi

dibentuknya TNAP, khususnya pada tiga poin, yaitu “meningkatkan kegiatan

pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan, meningkatkan kesejahteraan

dan pemberdayaan masyarakat sekitar TNAP dan meningkatkan upaya

pemanfaatan kawasan TNAP dan potensinya sebagai wahana pendidikan

konservasi alam guna meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap

konservasi alam”. Ekowisata sendiri merupakan bagian dari pariwisata dan

pemanfaatan jasa lingkungan dan bertujuan mendukung upaya konservasi dan

memberdayakan masyarakat lokal.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pengembangan ekowisata untuk

mencapai tujuan dan fungsi TNAP, terutama tiga poin diatas masih sulit. Ketiga

Page 107: E11isa

89

poin tersebut sulit terwujud jika tidak didukung dengan terpenuhinya tujuan dan

fungsi yang lain. Berikut beberapa tujuan dan fungsi TNAP dengan realitas

sebenarnya sehingga perlu adanya perbaikan dalam prakteknya.

6.4.1.1 Penataan Zonasi

Penataan zonasi sudah ditetapkan dan dipetakan akan tetapi dalam

pelaksanaannya, wisata di Bedul belum mempedulikan zonasi yang telah

ditetapkan sehingga kegiatan wisata masal juga terjadi di zona rimba. Areal

kerjasama yang disepakati oleh TNAP dan Desa Sumberasri untuk dikembangkan

sebagai areal wisata mangrove juga masih termasuk dalam zona rimba. Sampai

saat ini areal kerjasama seluas 4 Ha tersebut belum ada pemberiaan tanda batas

yang jelas. Seharusnya perlu adanya penataan zona lagi dan pengusulan zonasi

baru sebelum implementasi kegiatan wisata di Bedul. Kendala dalam penataan

dan pengusulan zona bar adalah membutuhkan waktu yang cukup lama.

6.4.1.2 Peningkatan penelitian berkaitan dengan flora, fauna dan ekosistem

Pada dasarnya Balai TNAP menyambut baik kegiatan penelitian yang

dilakukan oleh mahasiswa, dosen dan instansi di dalam kawasan TNAP. Akan

tetapi kadang-kadang kualitas dan antusias SDM di TNAP sendiri masih perlu

ditingkatkan untuk mendukung penelitian di TNAP. Kerjasama yang baik antara

SDM dari TNAP dan para peneliti perlu ditingkatkan. Penelitian tentang

mangrove di TNAP, khususnya di Bedul masih minim. Padahal data hasil

penelitian terkait flora, fauna dan ekosistem mangrove di Bedul sangat diperlukan

untuk menunjang informasi terkait pengembangan ekowisata mangrove di Bedul.

6.4.1.3 Peningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap konservasi

alam

Upaya peningkatan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap konservasi

alam dapat dilakukan secara langsung maupun melalui media. Penggunaan media

sangat efektif untuk menyampaikan pesan karena dengan media biasanya

masyarakat lebih mudah melihat kemudian mengingat pesan tersebut.

Sementara ini pengadaan pendukung sarana dan prasarana untuk ekowisata

mangrove yang berbasis pendidikan konservasi belum dilakukan. Saat ini media

Page 108: E11isa

90

untuk memberikan tambahan pendidikan bagi pengunjung di Bedul baru tersedia

dalam bentuk liflet dan penyediaan guide jika diperlukan.

6.4.2 Proses pengembangan ekowisata mangrove

6.4.2.1 Konsep kerjasama antara TNAP dan Desa Sumberasri

Gagasan kerjasama untuk mengembangkan ekowisata mangrove di Bedul

sudah ada sejak tahun 2007. Pada konsep awal kerjasama adalah mengembangkan

wisata alam terbatas di Blok Bedul. Adapun areal kerjasama yang disepakati

seluas 4 ha, di bagian utara sungai Segara Anak yang paling dekat dengan

pemukiman penduduk dan areal PERHUTANI.

Dasar kerjasama kolaborasi antara Balai TNAP dan Desa Sumberasri

dalam pengelolaan wisata Bedul adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.

19/Menhut-II/2004 Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Alam. Maksud dari kerjasama kolaborasi antara Balai TNAP

dan Desa Sumberasri adalah membangun kebersamaan dalam rangka

mewujudkan kelestarian TNAP melalui peran serta para pihak dalam berbagai

kegiatan pengamanan, pelestarian dan pemanfaatan secara bersama-sama

sehingga TNAP tersebut berfungsi optimal dan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat sekitar kawasan. Sedangkan tujuan pengelolaan kolaborasi adalah

optimalnya pemanfaatan TNAP dari sektor wisata alam, terwujudnya peran serta

para pihak khususnya masyarakat Desa Sumberasri, meningkatkan kesejahteraan

masyarakat Desa Sumberasri dan sekitarnya serta terwujudnya komitmen bersama

dalam menjalankan hak dan kewajiban para pihak (TNAP dan Desa Sumberasri)

sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing (MoU antara Balai TNAP dan

Desa Sumberasri 2007).

Setelah membuat kesepakatan dalam bentuk Memorondum of

Understanding (MoU), Pemerintah Desa Sumberasri membentuk Badan

Pengelola Wisata Mangrove Bedul. Badan terseut merupakan salah satu Badan

Usaha Milik Desa (BUMD). Pengelola badan tersebut terdiri dari beberapa

pemuda Desa Sumberasri yang juga bertindak sebagai perancang kegiatan wisata

mangrove di Bedul. Adapun struktur badan tersebut terdiri dari: ketua, bendahara,

sekretaris, koordinasi bidang penataan dan penyediaan sarana, bidang

Page 109: E11isa

91

pengamanan dan konservasi dan koordinasi bidang pengembnagan SDM dan

humas.

Pada tahun 2007, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan

membangun kerjasama dalam hal pengelolaan hutan mangrove. Nama program

kerjasama tersebut adalah Project: the Sub-Sectoral Programme on Mangrove.

Proyek tersebut berjangka waktu tiga tahun terhitung mulai tanggal 17 Januari

2007.

Project: the Sub-Sectoral Programme on Mangrove dilaksanakan oleh

BPHM wilayah I yang bertempat di Denpasar dan JICA. Proyek tersebut

mengambil lima lokasi sebagi site-project, salah satunya adalah mangrove Bedul

TNAP. Adapun jenis wisata yang diarahkan oleh BPHM dan JICA di Bedul

adalah ekowisata. Balai TNAP dan Desa Sumberasri kemudian menyutujui bahwa

pengembangan wisata di Bedul ke arah ekowisata walaupun isi MoU kerjasama

belum dirubah.

6.4.2.2 Stakeholder yang terlibat

Adapun stakeholder yang terlibat dalam pengembangan ekowisata

mangrove Bedul adalah Balai TNAP, Badan Pengelola Wisata Mangrove Bedul

(Desa Sumberasri), Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah I,

Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Pemerintah Tingkat II

Banyuwangi. Peran Balai TNAP adalah sebagai pengawas pengembangan

ekowisata mangrove sedangkan Desa Sumberasri sebagai pelaksana harian

penyelenggaraan ekowisata mangrove. Sedangkan tugas antara Balai TNAP dan

Desa Sumberasri hampir sama. Kepentingan TNAP secara garis besar adalah

menginginkan agar masyarakat Desa Sumberasri ikut serta dalam memelihara

kelestarian hutan mangrove dan melalui kerjasama ini dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Kepentingan TNAP tersebut sejalan dengan

kepentingan Desa Sumberasri yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya

tanpa dengan menebang/mencari kayu di hutan.

Selama tahun 2008-2009, BPHM dan JICA berperan sebagai fasilitator

terhadap pengembangan ekowisata mangrove di Bedul. Selama selang waktu

tersebut BPHM dan JICA memberikan pelatihan-pelatihan, antara lain teknis

Page 110: E11isa

92

pengenalan tumbuhan mangrove, pelatihan bahasa Inggris dan pengenalan jenis

burung air dan molusca di ekosistem mangrove. Kepentingan BPHN dan JICA

adalah agar pengelolaan ekowisata mangrove di TNAP dapat berjalan sesuai

dengan prinsip-prinsip yang semestinya.

Pemerintah Tingkat II Banyuwangi yang berperan dalam pengembangan

ekowisata mangrove adalah Dinas Perhubungan dan Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Banyuwangi. Dinas Perhubungan Banyuwangi membantu perbaikan

jalan Desa Sumberasri untuk menuju kawasan Bedul, memasang papan petunjuk

arah dan membangun jembatan dan darmaga di dalam kawasan mangrove Bedul.

Sedangkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi membantu melakukan

promosi terhadap ekowisata mangrove di Bedul.

Akan tetapi terdapat kekurangsesuaian antara kepentingan Pemerintah

Banyuwangi dan TNAP terkait pengembangan ekowisata mangrove.

Pemerintah daerah menganggap ekowisata sama dengan wisata alam. Oleh karena

itu pemerintah daerah memiliki konsep semakin banyak orang yang berkunjung

ke Bedul semakin bagus karena akan memberikan lebih banyak pemasukan, baik

untuk masyarakat secara langsung dan pemasukan daerah.

6.4.3 Kesesuaian realitas dengan kebijakan

Kesesuaian antara realitas pengembangan ekowisata mangrove Bedul

dikaji berdasarkan kebijakan dari pemerintah pusat dan kebijakan internal yang

dibuat oleh Balai TNAP. Akan tetapi kebijakan internal dari Balai TNAP belum

ada. Sehingga pengkajian kebijakan internal terkait pengembangan ekowisata

mangrove Bedul hanya pada level MoU.

6.4.3.1 Kesesuaian realitas terhadap kebijakan dari pusat

Terdapat beberapa hal yang belum/kurang sesuai antara praktek

pengembangan ekowisata mangrove Bedul terhadap peraturan pemerintah yang

berlaku. Berikut merupakan beberapa kekurangsesuian tersebut.

a. Zonasi untuk keperluan ekowisata

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56/Menhut-

II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, zona rimba boleh

Page 111: E11isa

93

digunakan untuk kegiatan wisata terbatas, mengingat zona ini sering

digunakan untuk habitat satwa migran dan untuk keperluan budidaya

yang menunjang zona inti. Akan tetapi dalam realitasnya semua

kegiatan ekowisata yang ditawarkan di Bedul memanfaatkan zona

rimba tanpa adanya pembatasan kunjungan dan sampai saat ini belum

ada studi tentang batas pengunjung yang diperbolehkan dalam suatu

area. Bahkan kegiatan wisata yang disebut ekowisata masih bercampur

dengan penyelenggaraan wisata masal. Wisata masal ke Pantai

Marengan seharusnya tidak diizinkan karena mengingat status

zonasinya Pantai Marengan termasuk zona rimba.

b. Persetujuan kolaborasi

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 19/Menhut-II/2004

tentang Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Alam merupakan dasar yang diacu oleh Balai

TNAP dalam menjalin kerjasama dengan Desa Sumberasri.

Berdasarkan peraturan tersebut, kesepakatan bersama yang dituangkan

dalam perjanjian kolaborasi berisi materi-materi kesepakatan, antara

lain berupa: kegiatan-kegiatan yang dikolaborasikan, dukungan, hak

dan kewajiban para pihak, jangka waktu kolaborasi, pengaturan sarana

dan prasara setelah jangka waktu kolaborasi berakhir.

Sedangkan MoU kerjasama kolaborasi antara Balai TNAP dan

Pemerintah Desa Sumberasri tidak membahas secara terperinci

tentang dukungan yang diberikan oleh pihak yang berkolaborasi (Desa

Sumberasri) terhadap TNAP. Sehingga materi-materi yang disebutkan

di MoU masih kurang sesuai dengan dasar peraturan. Alangkah lebih

baik jika MoU kerjasama antara Balai TNAP dan Pemerintah Desa

Sumberasri direvisi kembali.

c. Perizinan Pengusahaan Ekowisata

Sampai saat ini, peraturan tentang penyelenggaraan ekowisata

di Indonesia belum ada. Kebijakan tentang penyelenggaraan ekowisata

menggunakan pendekatan kebijakan tentang penyelenggaraan

Page 112: E11isa

94

pariwisata alam. Berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2010, pengusahaan

pariwisata alam dapat dilakukan setelah ada izin pengusahaan dan izin

pengusahaan bersal dari Menteri. Jika pengembangan ekowisata

mangrove di Bedul mengacu pada peraturan tersebut maka harus ada

perizinan terlebih dahulu sebelum kawasan diusahakan untuk

ekowisata. Tetapi dasar kebijakan yang digunakan oleh Balai TNAP

dengan Desa Sumberasri adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:

P. 19/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Kolaborasi Pengelolaan

Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dengan tujuan

utama pemberdayaan masyarkat lokal.

Mengingat tujuan pengembangan ekowisata mangrove Bedul

lebih ke arah pemberdayaan masyarakat lokal maka izin

pengusahaannya tidak perlu menggunakan acuan PP Nomor 36 Tahun

2010. Usaha yang didirikan oleh masyarakat setempat terkait

pengembangan ekowisata mangrove hanya berskala kecil jika harus

ada pelaporan perizinan pengusahaan maka akan terjadi kesulitan.

Atau sebaliknya jika pengembangan ekowisata mangrove Bedul

dikelola dengan mengacu PP Nomor 36 Tahun 2010 maka stakeholder

yang melakukan usaha di kawasan Bedul bukan dari masyarakat kecil

setempat. Kemungkinan pengusahaan akan dilakukan oleh instansi

swasta yang memiliki modal banyak. Jika hal ini terjadi maka

pengusahaan di areal ekowisata mangrove Bedul hanya akan dikuasai

oleh pengusaha swasta besar sehingga tidak memberikan keuntungan

bagi masyarakat kecil di sekitar kawasan. Oleh karena itu

menggunakan acuan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.

19/Menhut-II/2004 lebih tepat dalam pengusahaan ekowisata

mangrove bedul daripada menggunakan acuan PP Nomor 36 Tahun

2010.

Page 113: E11isa

95

d. Penggunaan bahan bangunan untuk sarana prasarana dan fasilitas

pelengkap

Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 167/Kpts-II/1994,

Penggunaan bahan bangunan untuk pembangunan sarana, prasarana

dan fasilitas pelengkap diutamakan bahan-bahan dari daerah setempat

yang memiliki adaptasi tinggi dengan kondisi lingkungan. Jika tidak

terdapat bahan bangunan sebagaimana dimaksud, maka dipergunakan

bahan bangunan dari luar yang tidak merusak kelestarian lingkungan.

Kekurang sesuaian terjadi pada pembangunan darmaga dan jembatan

yang sebagian dibangun dengan menggunakan beton.

Walaupun semen lebih tahan terhadap kondisi lingkungan

(terutama saat air pasang), tetapi pembangunan konstruksi bagian

bawah jembatan dan darmaga menggunakan semen dengan cara

mengecor bagian bawah secara keseluruhan tentu mengganggu

komponen kehidupan di bawahnya. Selain itu bahan dasar dari semen

untuk jembatan kurang memiliki nilai estetika/keindahan.

6.4.3.2 Kesesuaian antara realitas dengan isi MoU

Perjanjian (MoU) yang sudah disepakati seharusnya dijadikan juga

sebagai acuan pelaksanaan pengembangan ekowisata mangrove agar tujuan yang

diharapkan dapat tercapai. Pada kenyataannya ada beberapa ketentuan dalam

MoU yang sampai saat ini belum dilaksanakan.

a. Jenis wisata yang dikembangkan

Berdasarkan MoU antara Balai TNAP dan Desa Sumberasri, jenis

wisata yang dikembangkan adalah wisata alam terbatas. Akan tetapi

pada kenyataannya pengelola sampai saat ini belum membatasi jumlah

pengunjung maupun kegiatan pengunjung. Jenis wisata yang ada justru

cenderung wisata masal tanpa adanya batasan apapun.

b. Pembuatan Rencana Karya Lima Tahun (RKL) dan Rencana Karya

Tahunan (RKT) terkait pengembangan ekowisata mangrove Bedul

Hal yang terpenting yang belum terlaksana adalah penyusunan

Rencana Karya Lima Tahun (RKL) dan Rencana Karya Tahunan

Page 114: E11isa

96

(RKT). Padahal penyusunan RKL seharusnya sudah dilaksanakan

sebelum pelaksanaan kegiatan pengembangan ekowisata mangrove

dimulai. Rencana Karya Tahunan (RKT) seharusnya disusun sebagai

acuan dalam menyelenggarakan kegiatan dalam satu tahun tetapi

sampai sekarang menginjak tahun ke-3 (tahun 2010) pengembangan

ekowisata mangrove Bedul belum pernah ada RKT yang jelas.

c. Kegiatan pembinaan habitat di wilayah kerjasama

Berdasarkan isi MoU disebutkan bahwa kedua pihak bersama-sama

melakukan pembinaan habitat di wilayah kerjasama. Akan tetapi

sampai sekarang Desa Sumberasri belum memperhatikan sampai ke

arah kerjasama pembinaan habitat. Jadi pembinaan habitat di wilayah

kerjasama masih menjadi tanggungjawab staf TNAP saja.

d. Pemberian sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat

Kerjasama lain adalah bersama-sama memberikan sosialisasi dan

penyuluhan kepada masyarakat di sekitar TNAP. Akan tetapi saat ini

kegiatan sosialisasi dan penyuluhan masih menjadi tugas staf TNAP

saja.

6.5 Kesesuaian Pengembangan Ekowisata Mangrove dengan Prinsip-

Prinsip Ekowisata

6.5.1 Prinsip ekologi berkelanjutan

Prinsip ekologi berkelanjutan dapat mempunyai arti ekowisata dikelola

secara etis sehingga memiliki dampak negatif yang minim (Ceballos-Lascuarain

1996; Fennel 2003, diacu dalam Higham 2007; TIES 2010) dan tidak bersifat

konsumtif terhadap sumberdaya (Ziffer 1987, Sirakaya et al. 1999; Fennel 2003,

diacu dalam Higham 2007). Pelaksanaan ekowisata harus memperhatikan daya

dukung area ekowisata agar tidak melebihi kemampuan tampung area tersebut dan

tidak mengubah keanekaragaman hayati secara signifikan. Ekowisata merupakan

kegiatan wisata yang meminimumkan dampak terhadap lingkungan sehingga

diharapkan proses-proses ekologis di area tersebut tetap terus terjaga. Jumlah

kelompok pengunjung sebaiknya dalam jumlah kecil untuk menjaga dampak

Page 115: E11isa

97

minimum kelompok terhadap area yang dituju (Lindberg dan Hawkins 1993,

diacu dalam Blamey 2001). Definisi “ekologi berkelanjutan” juga berarti

menjaga keberlangsungan lingkungan dan kebudayaan (Weaver 2001, diacu

dalam Higham 2007; National Ecotourism Strategy of Australia diacu dalam

Blamey 2001; TIES 2010). Mengingat objek utama yang ditawarkan di Bedul

TNAP adalah menonjolkan sumberdaya alam maka pembahasan terhadap prinsip

ekologi berkelanjutan ditekankan pada aspek lingkungan di dalam kawasan

ekowisata.

Kenyataan yang terjadi di Bedul, jenis wisata yang terjadi cenderung

wisata masal. Jika dilihat dari motivasi pengunjung, sebagian besar pengunjung

bukan tertarik terhadap mangrove tetapi sebagian besar mereka hanya ingin

menyeberang sungai dengan perahu lalu pergi ke Pantai Marengan. Pembatasan

terhadap pengunjung tidak pernah dilakukan sehingga pengontrolan terhadap

aktivitas pengunjung di dalam kawasan TNAP menjadi sulit. Berdasarkan hasil

obervasi selama penelitian, tidak semua pengunjung memiliki kesadaran terhadap

lingkungan. Contoh hal yang kecil yaitu dalam membuang sampah, masih banyak

pengunjung yang membuang sampah sembarangan.

Selain membuang sampah sembarangan, perilaku pengunjung yang

kurang baik adalah pemberian makanan terhadap satwaliar. Berdasarkan

observasi, banyak pengunjung yang memberikan makanan terhadap monyet ekor

panjang yang ada di kawasan Bedul. Padahal pemberian makanan secara

sembarangan terhadap satwaliar di kawasan konservasi tidak dibenarkan. Hal ini

dapat mengubah perilaku satwa yang seharusnya dibiarkan liar menjadi tidak liar

lagi karena terlalu sering berinteraksi dengan pengunjung.

Sementara itu, perilaku pengunjung lainnya yang tidak sesuai dengan

etika ekowisata dimungkinkan masih banyak lagi di dalam kawasan. Terutama

pengunjung lokal (dari Indonesia) masih banyak yang memiliki kesadaran tentang

lingkungan. Selain itu pengelola belum menyediakan papan himbauan dan

interpretasi untuk meningkatkan kesadaran pengunjung. Selama mobilisasi

pengunjung ke Pantai Marengan, pengelola tidak pernah mengetahui apa saja

yang diperbuat pengunjung selama melewati hutan alam.

Page 116: E11isa

98

Berdasarkan status zonasinya hutan alam sebelum Pantai Marengan dan

Pantai Marengan termasuk zona rimba. Sepanjang garis Pantai Marengan

termasuk daerah pendaratan penyu laut di TNAP. Pada bulan-bulan tertentu,

penyu laut mendarat di dalam kawasan TNAP untuk bertelur. Walaupun saat ini

kegiatan lalar (pencarian telur untuk dibantu penetasannya secara semi alami)

rutin dilakukan pada malam atau pagi hari ketika musim-musim pendaratan

penyu, tetapi penyu laut termasuk satwa yang rentan terhadap gangguan manusia

(Hartono 2008). Terlalu banyak aktivitas pengunjung di daerah pendaratan penyu,

sekalipun kegiatan tersebut terjadi pada siang hari, memicu kerusakan/gangguan

terhadap habitat tempat penyu laut bertelur. Kerusakan/gangguan terhadap habitat

peneluran penyu laut antara lain berupa pembukaan jalur/akses jalan di dalam

hutan pantai (Hartono 2008). Hal ini dapat mengakibatkan penyu laut tidak lagi

bertelur pada area tersebut. Kegiatan wisata di Pantai Marengan jelas tidak sesuai

degan konsep awal yang ingin dikembangkan di Bedul dan tidak sesuai dengan

prinsip “ekologi berkelanjutan”.

Terlepas dari wisata masal, paket ekowisata yang ditawarkan baru

membatasi jumlah pengunjung dalam satu kelompok saja. Jarak minimum antara

kelompok satu dan dengan yang lain dalam mengunjungi sebuah site belum

dipikirkan. Jika jarak minimum antar kelompok pengunjung tidak diperhatikan,

hal ini berpotensi terhadap gangguan terhadap site dan hidupan liar di dalam site

karena adanya penumpukan jumlah pengunjung. Penumpukan jumlah pengunjung

di area Cungur dapat mengganggu keberadaan burung air dan burung pantai

migran yang singgah di area tersebut. Site yang digunakan untuk wisata

pengenalan ekosostem mangrove terletak di sebelah utara sungai. Site tersebut

merupakan daerah mangrove daratan sampai mangrove tengah, di mana spesies

Scyphiphora hydrophyllacea dan Ceriops decandara dapat ditemukan. Walaupun

kedua spesies tersebut tergolong spesies mangrove yang langka secara global-

umum secara lokal, tetapi pengelolaannya perlu hati-hati karena keduanya

termasuk spesies yang rentan.

Blok Kere merupakan daerah antara mangrove terbuka dan mangrove

tengah. Walaupun tidak ditemukan spesies mangrove yang rentan, penumpukan

Page 117: E11isa

99

jumlah pengunjung berpotensi menyebabkan kerusakan yang lebih besar terhadap

anakan/semai. Apalagi sampai saat ini belum tersedia jembatan/track khusus

untuk menikmati mangrove di Blok Kere.

Track ekowisata menuju ke Ngagelan lebih didominasi hutan alam dataran

rendah. Jika terjadi penumpukan pengunjung berpotensi menggaggu keberadaan

flora dan fauna di hutan alam tersebut. Akan tetapi kunjungan ke site ini masih

dalam kewajaran. Biasanya pengunjung yang memilih paket ke Ngagelan sangat

jarang.

Oleh karena itu, perkiraan jumlah kunjungan di masing-masing site

ekowisata perlu dipikirkan. Pendekatan yang dapat digunakan untuk

memperkirakan jumlah maksimum kunjungan adalah dengan cara menghitung

kapasitas perahu gondang-gandung serta menggunakan faktor-faktor hambatan

sebagai faktor koreksi. Sedangkan untuk memperkirakan jumlah kunjungan paket

Wisata Pendidikan Mangrove di Bedul digunakan pendekatan dengan lama waktu

kunjungan.

Menurut Cifuentes (1992) dalam IUCN (1996), faktor-faktor koreksi

diperhitungkan dengan mempertimbangkan biofisik, lingkungan, ekologi, sosial

dan variabel manajemen. Faktor-faktor koreksi ini berfungsi mengurangi daya

dukung yang diperhitungkan secara kasar sehingga digunakan untuk menentukan

daya dukung secara nyata. Daya dukung nyata (RCC) ditentukan sebagai berikut.

RCC = PCC x (100-Cf1)/100 x (100-Cf2)/100 x … (100-Cfn)/100

Faktor koreksi dapat dirumuskan sebagai berikut:

Cf = (Ml/Mt) x 100

PCC = daya dukung fisik secara kasar

Cf = faktor koreksi

M1 = variabel pembatas (limiting magnitude of the variable)

Mt = variabel total (limiting magnitude of the variable)

Perkiraan jumlah kunjungan dan pengunjung untuk masing-masing site

ekowisata di Bedul dapat ditentukan dengan mengadopsi rumus yang diusulkan

Page 118: E11isa

100

oleh Cifuentes (1992) diatas. Maksimum kunjungan belum dapat diperkirakan

untuk site Ngagelan karena untuk site ini belum terdapat informasi pengukuran

waktu tempuh, lama kunjungan dan jarak secara pasti.

a. Wisata pendidikan mangrove di Bedul

Paket wisata yang diperuntukkan untuk anak-anak Sekolah Dasar ini,

maksimal diikuti oleh 30 orang siswa yang dibagi menjadi 3 kelompok masing-

masing kelompok 10 orang siswa. Sedangkan jarak minimum antar kelompok

yang satu dengan yang lain belum ditentukan. Total track yang dilalui sepanjang

300 meter. Area Bedul dibuka dari pukul 08.00 – 17.00, sehingga total

pembuakaan area adalah sembilan jam. Paket ekowisata ini biasanya

membutuhkan waktu satu jam tanpa menggunakan perahu gondang-gandung

untuk menuju site. Oleh karena kunjungan untuk paket ini sebanyak 9 kali (9

jam/1 jam).

Beberapa hambatan pelaksanaan paket wisata ini terdiri dari faktor pelaku

ekowisata dan faktor alam. Jika dilihat dari peserta ekowisata yang terdiri dari

anak-anak usia SD, perlu diadakan jarak antara kelompok satu dengan kelompok

lain. Hal ini bertujuan agar peserta dapat dipantau dan mereka dapat menerima

dengan baik interpretasi yang diberikan oleh petugas. Pengadaan jarak antar

kelompok membutuhkan selang waktu antar kelompok. Sedangkan faktor alam

antara lain berupa keadaan air pasang dan keadaan hujan turun. Masing-masing

hambatan ini digunakan untuk menentukan faktor koreksi.

(i) Selang waktu setiap kelompok

Track total yang dilalui adalah 300 meter, alangkah lebih baik jika

jarak antar kelompok adalah 100 meter. Sehingga track yang dilalui

dibagi menjadi tiga pos dengan jarak masing-masing 100 meter. Jadi

selang waktu antar kelompok adalah 20 menit (100 meter/300 meter

x 60 menit). Oleh karena itu faktor koreksi terhadap waktu adalah

sebagai berikut:

Cf1 = 20 menit/(9x60 menit) x 100% = 3, 70%

(ii) Keadaan air pasang

Page 119: E11isa

101

Berdasarkan pembacaan data perkiraan pasang surut, setiap harinya

air pasang yang terjadi antara pukul 08.00 – 17.00 terjadi selama 4,5

jam. Oleh karena itu faktor koreksi yang pertama (Cf2) dapat

dihitung sebagai berikut:

Cf2 = 4,5/9 x 100% = 50%

(iii) Keadaan turun hujan

Musim hujan biasanya terjadi selama 6 bulan setiap tahun. Begitu

pula untuk musim kemarau. Hujan turun biasanya pada pagi hari atau

menjelang sore hari. Ketika hujan turun deras tidak memungkinkan

melakukan aktivitas, biasanya hal ini terjadi selama 2 jam setiap

harinya di area Bedul. Sehingga lamanya hujan dalam satu tahun

pada jam buka kawasan adalah 360 jam (6 bulan x 30 hari x 2 jam).

Sedangkan waktu total pembukaan kawasan dalam satu tahun adalah

3.240 jam (12 bulan x 30 hari x 9 jam). Jadi faktor koreksi kedua

(Cf3) untuk paket ekowisata ini adalah:

Cf3 = 360 jam/3.240 jam x 100% = 11, 11%

Oleh karena itu jumlah kunjungan yang dapat dilakukan pada site ini

adalah 9 kali kunjungan/hari x (100-3, 70)/100 x (100-50)/100 x (100-11, 11)/100

= 3 kali kunjungan/hari. Jika setiap kunjungan terdiri dari 30 siswa maka jumlah

maksimum peserta untuk paket Wisata Pendidikan Mangrove ini adalah 90 orang

dalam satu hari.

b. Ekowisata mangrove di Blok Kere

Jumlah perahu gondang-gandung yang tersedia adalah delapan buah. Jika

pembukaan area dalam satu hari adalah 9 jam dan lama pelaksanaan kunjungan

adalah satu jam. Berdasarkan jumlah perahu yang tersedia, jumlah kunjungan

secara kasar yang dapat dilakukan di blok ini adalah 72 kali (9 jam/1 jam x 8

perahu).

Sebuah perahu gondang-gandung memiliki daya muat 20 orang. Jumlah

20 orang pengunjung sudah cukup banyak untuk satu kali kunjungan di Blok

Page 120: E11isa

102

Kere. Tidak memungkinkan jika delapan buah perahu dengan masing-masing

muatan membawa 20 orang tiba bersamaan di Blok Kere. Jika lama kunjungan

satu kelompok biasanya satu jam maka kelompok berikutnya harus menunggu

selama 1 jam untuk melakukan tracking di Blok Kere. Jumlah kunjungan yang

mungkin dalam satu hari adalah 9 kali kunjungan (72 kunjungan/ 8 perahu).

Selain itu terdapat faktor-faktor koreksi sebagai berikut:

(i) Aksesibilitas saat di sungai

Jarak Bedul menuju Kere adalah 3 km. Perjalanan dari Bedul ke

Kere biasanya 15 menit menggunakan perahu gondang-gandung.

Perjalanan bolak-balik Bedul-Kere-Bedul melalui sungai

membutuhkan waktu 30 menit. Sedangkan jam buka total tiap

harinya adalah 9 jam. Jadi faktor koreksi aksesibilitas saat di sungai

adalah:

Cf1 = 0, 5 jam/9 jam x 100% = 5, 56 %

(ii) Keadaan air pasang

Cf2 = 4, 5/9 x 100% = 50%

(iii) Keadaan turun hujan

Cf3 = 360 jam/3.240 jam x 100% = 11, 11%

Jumlah kunjungan ke Blok Kere seharusnya adalah 9 kali kunjungan/hari x

(100-5, 56)/100 x (100-50)/100 x (100-11, 11)/100 = 3 kali kunjungan/hari. Jika

setiap kunjungan terdiri dari 20 orang maka jumlah maksimum peserta untuk

paket Ekowisata di Blok Kere adalah 60 orang dalam satu hari.

c. Ekowisata mangrove di Blok Cungur

Pelaksanaan ekowisata birdwatching di Cungur biasanya saat pagi hari atau

sore hari saat burung-burung air mencari makan. Pengamatan terhadap burung

dilakukan di luar jam pembukaan area, dapat lebih pagi ataupun lebih sore

daripada jam buka normal. Pada pagi hari biasanya dapat dimulai pada pukul

06.00 sedangkan pada sore hari dapat diakhiri pada pukul 17.30. Jam buka area

khusus paket ini dihitung dari pukul 05.30 – 18.30 (13 jam). Akan tetapi dalam

pelaksanaannya, pengamatan terhadap burung air biasanya dilakukan maksimal

Page 121: E11isa

103

selama dua jam. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Priambodo

(2007) jumlah burung air terbanyak di Blok Cungur dijumpai pada selang waktu

antara pukul 06.30-07.30 dan pukul 15.30-16.30. Oleh karena itu waktu

pengamatan dalam paket ekowisata ini disarankan pada selang waktu tersebut.

Jarak Cungur dari Bedul kurang lebih 5 km. Perjalanan dari Bedul ke

Cungur biasanya 30 menit menggunakan perahu gondang-gandung. Perjalanan

bolak-balik Bedul-Cungur-Bedul melalui sungai membutuhkan waktu 60 menit.

Jadi waktu yang diperlukan untuk pengamatan dan perjalanan paket ekowisata ini

adalah dua jam. Seperti halnya di Blok Kere jumlah 20 orang pengunjung sudah

cukup banyak untuk satu kali kunjungan di Blok Cungur. Jika dalam satu hari

dibuka untuk dua kali kunjungan maka jumlah maksimum pengunjung dalam satu

hari di Blok Cungur adalah 40 orang (2 x 20 orang).

6.5.2 Prinsip berbasiskan alam/budaya

Ekowisata merupakan kegiatan wisata yang mempelajari dan menikmati

alam dan/atau kebudayaan (Ziffer 1989, diacu dalam Higham 2007; Ceballos-

Lascuarain 1996; Weaver 2001, diacu dalam Higham 2007) dengan kata lain

kunjungan ke tempat yang masih alami atau relatif tidak terganggu (Ceballos-

Lascuarain 1996; Björk 1997, diacu dalam Higham 2007; TIES 2010). Pelaku

ekowisata cenderung ingin menikmati apa adanya terhadap bentang alam dan

kebudayaan di suatu daerah sehingga tidak terlalu menyukai penambahan fasilitas

yang berlebihan (Weiler & Ham 2001).

Jika dilihat dari kealamian sumberdaya alamnya, potensi biologi ekowisata

di Bedul TNAP berupa vegetasi mangrove, satwaliar dan fauna-fauna kecil

mangrove. Kerapatan tingkat pohon mangrove berdasarkan hasil inventarisasi

selama penelitian adalah 2.050 individu/ha. Kerapatan mangrove yang demikian

termasuk kriteria sangat padat dan kondisi baik. Hal ini mengindikasikan bahwa

mangrove di TNAP masih alami. Potensi burung air berdasarkan hasil

pengamatan selama penelitian, terdapat 19 jenis burung air yang dapat ditemukan

di daerah Bedul. Selain spesies burung air, juga ditemukan fauna lain yang

Page 122: E11isa

104

tergolong satwaliar maupun fauna-fauna kecil yang ada di permukaan

tanah/lumpur.

Berdasarkan segi kebudayaan, masyarakat setempat memanfaatkan

ekosistem mangrove untuk mencari ikan, kerang dan udang secara tradisional.

Budaya masyarakat berupa pemanfaatan ekosistem mangrove secara tradisional

seperti itu merupakan salah satu contoh pemanfaatan sumberdaya alam yang

ramah lingkungan. Selain itu, sebagai rasa menghargai alam, masyarakat setempat

selalu menyelenggarakan upacara Petik Laut setiap tahun sekali di Segara Anak.

Kealamian tumbuhan mangrove, fauna mangrove dan budaya masyarakat

dalam menghargai ekosistem mangrove akan menjadi objek ekowisata yang

menarik jika didukung dengan sarana prasarana yang baik. Dalam ekowisata,

sarana prasarana yang baik bukan berarti mewah melainkan layak dan tetap

memperhatikan unsur kealamian dan kelestarian lingkungan.

Sarana prasarana ekowisata yang saat ini ada di Bedul masih ada beberapa

yang perlu diperhatikan lagi agar prinsip “berbasiskan alam” dapat dicapai. Sarana

prasarana yang perlu dibenahi antara lain adalah perahu gondang-gandung dan

jembatan. Memang perahu gondang-gandung terkesan tradisional tetapi bahan

bakar perahu ini menggunakan solar (bahan bakar fosil) dan suara mesinnya

sangat berisik. Bahan bakar fosil menyebabkan polusi di air maupun udara. Jika

terjadi kebocoran, berpotensi mematikan beberapa spesies fauna mangrove yang

berada dipermukaan sungai serta berdampak negatif pada perakaran mangrove.

Polusi di udara berupa gas yang dihasilkan dari bahan bakar fosil dan suara yang

dihasilkan dari suara mesin perahu berpotensi mengganggu keberadaan burung

air.

Bagian dasar jembatan yang dicor secara rata dengan semen menyita

habitat fauna kecil mangrove yang seharusnya hidup di bawahnya. Dasar

jembatan yang tepat adalah dengan konstruksi kayu dan pembangunan tiang

penyangganya berselang-seling sehingga tidak menutup rata tanah (gambar 19).

Selain itu pembangunan jembatan dengan semen mengurangi nilai

estetita/keindahan dari lokasi ekowisata.

Page 123: E11isa

105

Foto: Kurniawan (2009)

Gambar 16 Contoh konstruksi bangunan jembatan dengan menggunakan kayu (lokasi

MIC Bali)

6.5.3 Prinsip edukasi

Ekowisata bukan kegiatan yang hanya bersenang-senang atau menikmati

pemandangan semata, tetapi dalam ekowisata juga ada unsur

belajar/mengapresiasikan alam/budaya (Björk 1997 dan Sirakaya et al. 1999 diacu

dalam Higham 2007; TIES 2010). Edukasi/pembelajaran adalah proses dari yang

tidak tahu sama sekali menjadi tahu dan yang kurang tahu atau sudah tahu

menjadi lebih tahu. Weler & Ham (2001) menyebutkan bahwa pendidikan

dan/atau interpretasi merupakan unsur kunci dalam ekowisata. Prinsip edukasi

merupakan elemen kunci yang membedakan ekowisata dengan wisata berbasiskan

alam lainnya (Page dan Dowling 2002). Dalam kata lain, pengalaman

berekowisata menimbulkan hubungan intelektual, emosional dan bahkan spiritual

antara manusia dengan tempat sebagaimana mendapatkan sebuah pengalaman

fisik dengan tanah dan air. Melalui hal itu diharapkan akan timbul rasa kesadaran

seseorang untuk lebih menghargai alam dan timbul keinginan untuk menjaganya.

Penggabungan antara kealamian tumbuhan mangrove, fauna mangrove dan

budaya masyarakat dalam menghargai ekosistem mangrove akan menjadi atraksi

ekowisata yang menarik jika didukung dengan interpretasi. Jika diperhatikan,

kegiatan wisata yang ada di Bedul sebagian besar adalah wisata konvensional

(bersenang-senang saja). Hal ini disebabkan karena para pengunjung tidak sadar

tentang objek yang sebenarnya ditawarkan. Tidak heran jika sebagian pengunjung

justru menuju ke pantai ataupun jika memilih paket ekowisata mereka hanya

sekedar menyusuri sungai sambil melihat-lihat pemandangan saja. Sedangkan

Page 124: E11isa

106

proses pembelajaran sama sekali tidak ada. Oleh karena itu perlu adanya media

interpretasi yang dapat membantu pengunjung mendapatkan informasi dan

pengetahuan baru terkait ekosistem mangrove.

Interpretasi adalah kegiatan pembelajaran yang bertujuan mengungkapkan

arti dan hubungan kepada orang tentang tempat-tempat yang mereka kunjungi dan

segala sesuatu yang mereka lihat dan lakukan di tempat-tempat tersebut (Tilden

1957 dalam Weiler & Ham 2001). Ada beberapa prinsip interpretasi (Weiler &

Ham 2001) yaitu: (a) interpretasi bukan kegiatan mengajar atau memerintah

seperti halnya di dunia akademik; (b) interpretasi harus menyenangkan bagi

pengunjung; (c) interpretasi harus sesuai dengan pengunjung; (d) interpretasi

harus disusun dengan baik sehingga pengunjung dapat dengan mudah

menangkapnya dan (e) interpretasi seharusnya memiliki tema, bukan sekedar

topik. Contoh media interpretasi yang umum antara lain liflet dan papan

interpretasi. Melalui media interpretasi yang menarik dan mudah dimengerti,

pengunjung dapat memahamami informasi terkait ekosistem mangrove.

Selain media interpretasi, penyediaan visitor center juga sangat penting.

Adanya visitor center diharapkan dapat membantu pengunjung untuk

mendapatkan informasi yang lebih lengkap atau hasil dokumentasi, seperti foto

dan awetan spesies yang mungkin tidak sempat pengunjung saksikan secara

langsung ketika di lapangan. Sebagai contoh di MIC (The Mangrove Information

Centre) Bali, di dalam visitor centre pengunjung dapat menyaksikan miniatur

zonasi mangrove, miniatur burung air dan aquarium hidupan fauna mangrove

kecil.

(a)

(b)

Gambar 17 Contoh media interpretasi: (a) liflet dan (b) papan interpretasi

Page 125: E11isa

107

www.skyscrapercity.com/showthread.

php?

(a)

(b)

www.skyscrapercity.com/showthread.

php?

(c)

Gambar 18 Contoh sarana interpretasi: (a) Visitor Center; (b) Miniatur mangrove; (c)

Aquarium hidupan fauna mangrove (lokasi MIC Bali)

6.5.4 Prinsip keuntungan bagi masyarakat lokal

Ekowisata harus berorientasi lokal, maksudnya memberikan keuntungan

kepada masyarakat lokal dan melibatkan masyarakat lokal (Ziffer 1989 diacu

dalam Higham 2007; Ceballos-Lascuarain 1996; Fennell 2003 diacu dalam

Higham 2007; TIES 2010). Perlu disadari bahwa ekoturisme juga tidak mungkin

menampung semua penduduk untuk terlibat dalam pengelola bisnis ekowisata.

Proyek ekowisata tidak bisa merekrut ribuan penduduk lokal (Rahardjo 2004).

Berdasarkan wawancara dengan 46 orang responden, 28% diantara mereka

mengaku mendapat atau pernah mendapat efek keuntungan finasial secara

langsung dari pengembangan ekowisata Bedul. Mereka terdiri dari tenaga kerja

ekowisata mangrove, penarik perahu, pemilik warung di seberang utara Bedul dan

penyedia homestay.

Sedangkan 18% menyatakan mereka mendapatkan efek keuntungan

ekonomi secara tidak langsung, mereka adalah pemilik warung/toko makanan atau

bensin yang terletak di dukuh Blok Solo dan Sumber Rejeki. Sebanyak 54%

responden sisanya menyatakan tidak mendapatkan pengaruh keuntungan

ekonomi. Mereka adalah para petani dan nelayan.

Masyarakat yang mendapatkan keuntungan ekonomi dari pengembangan

ekowisata mangrove sebagian besar adalah masyarakat yang tinggal di dukuh

Blok Solo dan Sumber Rejeki. Hal ini disebabkan karena lokasi kedua dukuh

tersebut lebih dekat dengan Bedul daripada kedua dukuh lainnya. Selain itu dukuh

Blok Solo dan Sumber Rejeki selalu dilalui pengunjung yang akan menuju Bedul.

Page 126: E11isa

108

Walaupun sebagian besar responden menyatakan bahwa pengembangan

ekowisata mangrove tidak memberikan manfaat secara ekonomi tetapi responden

menyatakan ikut merasa senang. Mereka merasa senang karena desanya menjadi

ramai dan terkenal. Selain itu jalan desa menjadi bagus setelah adanya

pengembangan ekowisata mangrove sehingga mereka merasa transportasi di

daerahnya menjadi lebih nyaman. Selain itu karena banyak orang yang datang ke

Bedul justru keadaan desa mereka lebih aman.

Keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat belum terlalu signifikan.

Akan tetapi masyarakat yang terlibat langsung (tenaga kerja ekowisata, penarik

perahu dan pedagang di dalam area) sudah merasa mendapatkan penghasilan yang

lebih kontinyu sejak adanya pengembangan ekowisata mangrove di Bedul.

Berdasarkan kesepakatan, tenaga kerja mangrove mendapatkan gaji bersih Rp.

300.000,00/bulan dengan ditambah uang makan setiap mereka bertugas di Bedul.

Khusus untuk guide/pemandu, mereka mendapat tambahan penghasilan sebesar

Rp. 50.000,00 setiap kali mengantarkan rombongan ke Kere, Cungur atau

Ngagelan.

Bagi penarik perahu gondang-gandung, mereka mendapat pendapatan

sebesar Rp. 2.000,00 untuk setiap tiket pengunjung. Penarik perahu mendapatkan

pemasukan lebih sebesar Rp. 75.000,00 ketika mengantarkan rombongan ke Kere

atau ke Cungur dan sebesar Rp. 150.000,00 ketika mengantarkan rombongan ke

Ngagelan. Sedangkan bagi penyedia homestay, walaupun mereka mendapatkan

keuntungan ekonomi secara langsung dari pengembangan ekowisata tetapi

keuntungan yang mereka peroleh sangat jarang. Hal ini dikarenakan jarang sekali

ada pengunjung yang menginginkan tinggal beberapa hari. Setiap ada pengunjung

yang menginap, keuntungan yang didapat oleh penyedia homestay adalah sebesar

Rp. 30.000,00/orang/malam.

Mengingat keterbatasan waktu, penelitian ini hanya mengambil 46

responden penduduk lokal. Penelitian tentang persepsi penduduk terkait

keuntungan dari pengembangan ekowisata mangrove Bedul perlu dilakukan lagi.

Meskipun demikian, keuntungan finansial dari kegiatan wisata mangrove di Bedul

terbukti ada.

Page 127: E11isa

109

6.5.5 Prinsip mendukung upaya konservasi

Berdasarkan pengertiannya, ekowisata merupakan kegiatan wisata yang

berkontribusi terhadap konservasi terhadap daerah yang dituju. TIES (2010)

menyebutkan bahwa kegiatan ekowisata harus dapat memberikan keuntungan

finansial langsung terhadap konservasi. Ziffer (1989) diacu dalam Higham (2007)

menyebutkan penyelenggaraan ekowisata harus berkontribusi terhadap area

setempat dalam bentuk finansial maupun tenaga. Sejak dinaikkannnya tiket masuk

kawasan Bedul menjadi Rp. 7.000,00, sebagian kecil dari pendapatan tiket

tersebut dialokasikan untuk dana konservasi di TNAP. Besarnya dana konservasi

tersebut sebesar Rp. 500,00 dari setiap penjualan satu buah tiket. Akan tetapi dana

konservasi yang dikumpulkan sampai saat ini belum begitu jelas penggunaannya.

Berdasarkan wawancara dengan pihak TNAP, dana konservasi tersebut akan

dirapatkan lagi lebih lanjut sehingga akan jelas rencana penggunaannya.

Kontribusi terhadap kontribusi dalam bentuk tenaga juga belum

sepenuhnya dilaksanakan, baik oleh pengelola dari Desa Sumberasri maupun oleh

pelaku ekowisata. Walaupun dalam MoU antara TNAP dan Desa Sumberasri

disebutkan bahwa kedua pihak bersama-sama melakukan kegiatan pembinaan

habitat di wilayah kerjasama, tetapi sampai sekarang pembinaan habitat dilakukan

oleh pihak TNAP. Para pengelola dari Desa Sumberasri baru membantu pada

level pengamanan wilayah dan kadang diikutsertakan membantu penanaman

pohon di dalam kawasan TNAP dengan tujuan perbaikan kawasan.

6.5.6 Prinsip sesuai dengan peraturan pemerintah

a. Peraturan mengenai pengembangan ekowisata

Sampai saat ini peraturan-peraturan dari pemerintah pusat terkait

penyelenggaraan ekowisata belum ada. Oleh karena itu pendekatan yang

digunakan adalah dengan mengacu pada peraturan-peraturan tentang

penyelenggaraan wisata alam di kawasan konservasi.

Dilihat dari zonasinya, sebagian besar kawasan Bedul merupakan zona

rimba. Zona pemanfaatan di Bedul terdiri dari dua macam, yaitu zona

pemanfaatan intensif dan tradisional. Zona pemanfaatan intensif hanya seluas 30

ha berada di sebelah selatan sungai Segara Anak, tepat pada bangunan Barak

Page 128: E11isa

110

Polhut dan sekitarnya. Sedangkan zona tradisional seluas 200 ha di sepanjang

sungai Segara Anak.

Penyelenggaraan wisata dan ekowisata di Bedul hampir semuanya

berlokasi di zona rimba, termasuk areal kerjasama dengan Desa Sumberasri

berada di dalam zona rimba. Oleh karena itu terdapat ketidaksesuaian antara

pengembangan ekowisata Bedul dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.

56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.

Terkait pengadaan sarana prasarana ekowisata yang menjadi acuan adalah

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 167/Kpts-II/1994. Kekurangsesuaian

antara realitas yang ada dengan isi dari peraturan tersebut adalah dalam

pembangunan jembatan. Pembangunan jembatan pada bagian bawah

menggunakan semen sehingga kurang ramah terhadap lingkungan sebab

pengecoran keseluruhan dasar jembatan dengan semen telah mematikan

kehidupan fauna-fauna kecil dan menghilangkan habitat dari fauna-fauna kecil di

bawahnya.

b. Peraturan mengenai pengelolaan ekowisata secara kolaborasi

Dasar peraturan yang dijadikan pedoman pengelolaan kolaborasi antara

Balai TNAP dengan Desa Sumberasri adalah Balai TNAP dengan Desa

Sumberasri adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 19/Menhut-II/2004

tentang Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan

Pelestarian Alam. Secara umum pengelolaan ekowisata mangrove secara

kolaborasi sudah sesuai sengan peraturan namun ada bagian dari MoU yang perlu

diperbaiki lagi. Agar sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.

19/Menhut-II/2004, MoU kerjasama kolaborasi antara Balai TNAP dan

Pemerintah Desa Sumberasri perlu membahas secara terperinci tentang dukungan

yang diberikan oleh pihak yang berkolaborasi (Desa Sumberasri) terhadap TNAP.

6.5.7 Prinsip kepuasan pengunjung

TIES (2010) menekankan bahwa ekowisata harus dapat memberikan

pengalaman positif kepada pengunjung. Björk (1997), diacu dalam Higham

(2007) menyebutkan bahwa pelaku ekowisata diharapkan menikmati dan

Page 129: E11isa

111

mengagumi alam atau budaya. Berdasarkan hasil wawancara dengan 40 orang

pengunjung, hanya tujuh orang yang merasa pernah mendengar istilah

ekowisata, lima orang mendefinisikan ekowisata hampir tepat sesuai dengan

pengertian dan prinsip-prinsip ekowisata dan dua orang lainnya salah dalam

memberikan definisi tentang ekowisata. Dua orang tersebut mengira bahwa

ekowisata sama dengan wisata alam. Dari tujuh orang yang pernah

mendengar istilah ekowisata, hanya empat orang yang memiliki niat awal

datang ke Bedul untuk tujuan ekowisata.

Keempat pengunjung yang memiliki niat awal melakukan ekowisata,

berpendapat berbeda-beda tentang kondisi kawasan Bedul. Satu orang

responden berpendapat bahwa kunjungannya ke Bedul sudah termasuk

ekowisata. Baginya kawasan Bedul masih alami dan tenang. Pengunjung

tersebut juga sudah merasa memberikan kontribusi langsung kepada

penduduk lokal (penarik perahu) dan dapat melihat beberapa jenis burung air

seperti yang diinginkannya.

Sedangkan tiga responden berpendapat bahwa jenis wisata di Bedul

belum merupakan ekowisata karena beberapa alasan seperti sampah, tidak

ada papan interpretasi dan tidak ada pembatasan pengunjung. Berdasarkan

hasil wawancara, ketiga orang responden tersebut merasa senang dapat naik

perahu tradisional, mengamati panorama mangrove dan menyaksikan

aktivitas masyarakat lokal tetapi kepuasan yang mereka dapat belum

sepenuhnya.

Satu orang responden yang merasa dirinya telah melakukan ekowisata

di Bedul, merasa cukup puas dengan kunjungannya karena waktu itu bukan

hari Sabtu/Minggu sehingga keadaan kawasan Bedul cukup tenang dan tidak

banyak kunjungan maupun sampah. Selain itu responden tersebut telah

mempersiapkan buku panduan terkait burung air di Pulau Jawa sehingga dia

telah siap melakukan self-guidance.

Penilaian kepuasan pengunjung ekowisata di Bedul dalam penelitian

ini masih sulit karena sebagian besar pengunjung bukan merupakan

“ecotours” melainkan pelaku wisata konvensional. Jika dikaji berdasarkan

Page 130: E11isa

112

kesediaan pengunjung dalam mengeluarkan uang untuk dirinya sendiri dan

kelompoknya, tidak ada seorang pun yang sanggu mengeluarkan uang di atas

Rp. 400.000,00. Hal ini mengindikasikan bahwa pengunjung belum/tidak

bersedia mengeluarkan uang lebih besar selama kunjungannya di Bedul

karena keadaan wisata Bedul seperti sekarang ini belum pantas untuk dibayar

mahal.

Page 131: E11isa

113

VII. KESIMPULAN & REKOMENDASI

7.1 Kesimpulan

7.1.1 Potensi ekowisata

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa potensi

biologi terdiri dari flora dan fauna. Secara umum kondisi potensi biologi di Bedul

masih baik. Potensi fisik khususnya fasilitas ekowisata perlu diperhatikan lagi.

Fasilitas yang perlu diperbaiki antara lain perahu, darmaga, track menuju kawasan

papan larangan dan papan petunjuk arah. Sementara fasilitas yang perlu segera

diadakan antara lain jembatan dari kayu dan papan interpretasi. Aktivitas

masyarakat lokal mencari ikan, kerang dan udang secara tradisional serta upacara

adat tahunan Petik Laut berpotensi menjadi salah satu objek ekowisata.

7.1.2 Kegiatan wisata dan pengembangan ekowisata mangrove di Bedul

Jika dievaluasi kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip ekowisata,

pengembangan ekowisata mangrove di Bedul belum memenuhi prinsip-prinsip

yang ada. Kegiatan ekowisata mangrove di TNAP diperkirakan dapat memberikan

peluang keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal. Oleh karena itu

pengembangan ekowisata mangrove di Bedul cenderung memenuhi prinsip

keuntungan bagi masyarakat lokal.

7.2 Rekomendasi

7.2.1 Pengadaan dan perbaikan terhadap fasilitas ekowisata

Berdasarkan hasil identifikasi, beberapa fasilitas ekowisata di Bedul masih

perlu diadakan atau dibenahi. Adanya fasilitas ekowisata yang memadahi dan

menarik mendorong pengunjung tidak hanya terkonsentrasi di suatu lokasi (site)

saja. Selain itu pengunjung cenderung akan sanggup mengeluarkan uang lebih

banyak jika fasilitas yang disediakan memenuhi standar kelayakan.

Fasilitas yang perlu diperbaiki antara lain perahu, darmaga, track menuju

kawasan, papan larangan dan papan petunjuk arah. Fasilitas yang perlu sekali

diadakan adalah jembatan dari kayu dan papan interpretasi. Pengunjung akan

lebih mudah menikmati objek yang berupa mangrove dan ekosistemnya jika ada

Page 132: E11isa

114

jembatan. Selain itu dengan adanya jembatan, gangguan terhadap mangrove akan

lebih minim. Papan interpretasi berfungsi sebagai sumber informasi sekaligus

pembelajaran.

7.2.2 Konsep ekowisata yang dikembangkan perlu menekankan proses edukasi

dan penyadaran terhadap masyarakat dan pengunjung

Praktek ekowisata mangrove di TNAP memang dapat dikatakan masih

baru walaupun gagasan pengembangannya dimulai sebelum tahun 2007. Tidak

dapat dipungkiri bahwa mewujudkan ekowisata yang dapat memberikan kepuasan

kepada pelaku ekowisata, meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan

memperhatikan keberlangsungan ekologi, bukanlah hal yang mudah. Masyarakat

lokal sebagian besar masih beranggapan bahwa ekowisata sama halnya dengan

wisata alam biasa.

Sebagian besar pengunjung lokal menginginkan kesenangan dengan harga

murah. Semakin banyak pengunjung di kawasan Bedul TNAP memang

memberikan pemasukan kepada masyarakat lokal. Akan tetapi terlalu banyak

pengunjung sangat berpotensi menurunkan kualitas ekologi. Apalagi sebagain

besar kawasan Bedul yang dibuka untuk keperluan wisata sebagian besar masih

berstatus sebagai zona rimba. Mengingat permasalahan tersebut, solusi

membangun jenis wisata yang membatasi kunjungan tetapi tetap memberikan

keuntungan yang lebih baik kepada masyarakat lokal perlu dirancang sejak awal.

Selaku pengelola dan pengawas, pihak TNAP perlu memberikan sosilisasi

terhadap stakeholder lain yang terkait mengenai konsep ekowisata mangrove di

Bedul. Khususnya kepada Badan Pengelola Wisata Mangrove (BPWM)

Sumberasri, pihak TNAP perlu memberikan pendidikan khusus atau

mengikutsertakannya pada pelatihan pengelolaan ekowisata mangrove. Melalui

tenaga ekowisata yang berkompeten diharapkan pelaksanaan ekowisata memenuhi

kaedah yang ada. Begitu halnya dalam perancangan program ekowisata akan

menjadi lebih baik jika didukung sumberdaya manusia yang berkompeten pula.

Program ekowisata yang baik akan mampu menarik wisatawan untuk tidak

sekedar berkunjung tetapi juga mendapatkan makna dari kegiatan ekowisata serta

membayar lebih tinggi untuk mendorong kelestarian alam dan mensejahterakan

Page 133: E11isa

115

penduduk setempat. Melalui konsep ekowisata yang demikian, pengunjung

ekowisata mangrove di Bedul akan tersaring sehingga kunjungan dalam jumlah

yang sangat besar tidak terjadi di kemudian hari.

7.2.3 Review terhadap sistem zonasi

Sebagian besar kawasan Bedul adalah zona rimba. Site-site ekowisata

termasuk ke dalam zona rimba, begitu juga dengan areal kerjasama seluas 4 ha

antara TNAP dan Desa Sumberasri yang direncanakan untuk areal pembangunan

fasilitas dan pendirian warung-warung tradisional.

Penggunaan zona rimba untuk kegiatan ekowisata atau wisata terbatas

diizinkan berdasarkan peraturan tetapi tidak untuk wisata konvensional. Dalam

kenyataannya konsentrasi pengunjung paling banyak terjadi di Pantai Marengan.

Mengingat status zonasinya, Pantai Marengan sebaiknya tidak dibuka untuk

wisata konvensional. Kegiatan wisata pantai yang konvensional sebaiknya

dipindahkan di daerah/site lain yang memang secara peruntukkan digunakan

sebagai zona pemanfaatan.

Areal kerjasama seluas 4 ha merupakan daerah mangrove daratan yang

sangat jarang ditumbuhi tumbuhan mangrove dan dekat dengan pemukiman

penduduk. Mengingat rencana penggunaan areal ini untuk tujuan pemanfaatan

intensif, untuk jangka panjang penelitian ini mengusulkan adanya penataan ulang

zonasi

Page 134: E11isa

116

DAFTAR PUSTAKA

Bahar A. 2004. Kajian Kesesuaian dan Daya Dukung Ekosistem Mangrove untuk

Pengembangan Ekowisata di Gugus Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar,

Sulawesi Selatan. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak

Dipublikasikan.

Beeton S. 2000. Ecotoursim: A Practical Guide for Rural Communities. Australia: Brown

Prior Anderson.

Bengen DG. 2001. Panduan Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.

Bogor: PKSPL-IPB.

Blamey RK. 2001. Principles of Ecotourism. Encyclopedia of Tourism [editor: David B.

Weaver]: 549-561. United Kingdom: Cabi Publishing.

Blangy S dan Mehta H. Ecotourism and Ecological Restoration. Jurnal for Nature

Conservation 14 (2006) 233-236. www.scientdirect.com. Dikunjungi: 27

Oktober 2009.

Casley DJ dan Kumar K. 1991. Pemantauan dan Evaluasi Proyek Pertanian.

Penerjemah: Basilius Bengo Teku. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Ceballos-Lascurain H. 1996. Tourism, Ecotourism and Protected Areas. IUCN.

Dahuri R, et al. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara

Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.

Das S. Evaluation of Storm Protection Fuctions: A Case Study of Mangrove Forest in

Orissa, India and the 1999 Super Cyclone dalam Prosiding Coastal Protection in

the Aftermath of the Indian Ocean Tsunami: What Role for Forests and Trees?

Regional Technical Workshop FAO (28-31 Agustus 2006). Hal. 61-63.

Deputi Bidang Pengembangan Pariwisata. 2002. Kajian Pengembangan Ekowisata di

Indonesia. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Dinas Kehutanan Sumatera Selatan. Jenis Kayu Dagang.

http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/SUMSEL/jenis_kayu_

dagang.html. Dikunjungi: 5 Januari 2011.

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan & Konservasi Alam. 2003. 41 National Parks in

Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

______2007. 50 Taman Nasional di Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik

Indonesia.

Page 135: E11isa

117

______ 2006. Kawasan Konservasi Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik

Indonesia.

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 2007. Pedoman Laporan Tugas Akhir

Mahasiswa Program Sarjana. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Fennel DA. 1999. Ecotourism: An Introduction. London: Rouledge.

______2002. Ecotourism Programme Planning. New York: CABI Publishing.

Fritz HM dan Blount C. Role of Forest and Trees in Protecting Coastal Areas Against

Cyclones dalam Prosiding Coastal Protection in the Aftermath of the Indian

Ocean Tsunami: What Role for Forests and Trees? Regional Technical

Workshop FAO (28-31 Agustus 2006). Hal. 52-56.

Gunn CA. 1994. Tourism Planning Basics, Concepts, Cases. Washington: Taylor &

Frances.

Hartono. 2008. Rencana Pengelolaan Penyu di Taman Nasional Alas Purwo (2008-

2012). Balai Taman Nasional Alas Purwo.

Higham J. 2007. Critical Issues in Ecotourism: Understanding a Complex Tourism

Phenomenon. Barlington: Elsevier Ltd.

Howes J, Bakewell D dan Noor YS. 2003. Panduan Studi Burung Pantai. Bogor:

Wetlands International.

http://batagem.com/wp-content/uploads/2010/01/3.-LAMPIRAN-I.pdf. Downloaded: 5

Januari 2011.

http://www.cites.org. Dikunjungi: 17 Oktober 2010.

http:// www.iucn.org/redlist. Dikunjungi: 27 Oktober 2010.

Iskandar. 2008. Metodelogi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif).

Jakarta: Gaung Persada Press.

IUCN Commission on National Parks and Protected Areas. Guidelines for Appliying

Protected Area Management. Editor: Dudley N. www.iucn.org. Downloaded: 15

Desember 2009.

Kitamura S. et al. 1997. Handbook of Mangrove in Indonesia: Bali & Lombok.

International Society for Mangrove Ecosystem (ISME) dan Japan International

Cooperation Agency (JICA).

Kusmana C. 1997. Survei Vegetasi. Bogor: PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor.

Kusmana C. et al. 2005. Manual Silvikultur Mangrove di Indonesia. Jakarta: Departemen

Kehutanan & Korea International Cooperation Agency.

Page 136: E11isa

118

Lewis RR. Ecological Enginering for Succesful Management and Restoration of

Mangrove Forests. Ecological Enginering 24 (2005) 403-418.

www.scientdirect.com. Downloaded: 27 Oktober 2009.

Menteri Kehutanan. 1994. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 167/Kpts-II/1994

tentang sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan

Konservasi. Jakarta: Departemen Kehutanan (Dephut).

______. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 19/Menhut-II/2004 tentang

Pedoman Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan

Pelestarian Alam. Jakarta: Dephut.

______. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56/Menhut-II/2006

tentangPedoman Zonasi Taman Nasional. Jakarta: Dephut.

Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup

Nomor 210 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Kerusakan Mangrove. Jakarta:

Kementrian Negara Lingkungan Hidup.

Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Murni HNC. 2000. Perencanaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Estuaria dengan

Pendekatan Tata Ruang dan Zonasi (Studi Kasus Segara Anakan Kabupaten

Cilacap, Jawa Tengah). Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Tidak Dipublikasikan.

Nasution S. 2003. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.

Nguyen MN, Leicester RH dan Wang CH. 2008. Marine Borer Attack on Timber

Structure. Highett: CSRIO.

Noor YR, Khasali M dan Suryadiputra INN. 1999. Panduan Pengelolaan Mangrove di

Indonesia. Jakarta: Wetland International Indonesia Program.

Oram M. 1999. Marine Tourism Development and Management. New York: Routledge.

Page SJ dan Dowling RK. 2002. Ecotourism. London: Pearson Education.

Presiden Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan.

______. 1998. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 1998 tentang

Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku.

______. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 tentang

Pengusahaan Wisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman

Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

Page 137: E11isa

119

Pontonuwu S. 2006. Analisis Pengembangan Ekowisata di Kawasan Suaka Alam (Studi

Kasus di Cagar Alam Tangkoko-Duasudara Sulawesi Utara). Tesis. Program

Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Priambodo E. 2007.Komunitas Burung Air di Seksi Konservasi Rowobendo, Taman

Nasional Alas Purwo dengan Fokus pada Bangau Tongtong (Leptoptilus

javanicus Horsfield 1821). Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan

dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tidak

Dipublikasikan.

Rahardjo B. 2004. Ekotourisme Berbasis Masyarakat dan Pengelolaan Sumberdaya

Alam. Bogor: Pustaka LATIN.

Restu IW. 2002. Kajian Pengembangan Wisata Mangrove di Taman Hutan Raya I Gusti

Ngurah Rai Wilayah Pesisir Selatan Bali. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut

Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Susanto S dan Suprapto. 2004. Inventarisasi Potensi. Di dalam: Rahardjo B. 2004.

Ekotourisme Berbasis Masyarakat dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor:

Pustaka LATIN.

Tisdell C. 1998. Ecotourism: Aspects of Its Sustainability and Compatibilty with

Conservation, Social and other Objectives dalam Tourism Economic, the

Encvironmental and Development: Analysis and Policy. Cheltenham: Edward

Elgar Publishing Limited. Hal. 131-141.

[TIES] The International Ecotoursim Society. What is Ecotourism? www.ecotourism.org.

Dikunjungi: 18 Oktober 2010.

Wearing S dan Neil J. Ecotourism: Impact, Potentials and Possibilities. 2009. Oxford:

Elsevier Ltd.

Weiler B. dan Ham SH. 2001. Tour Guide and Interpretation. Encyclopedia of Tourism

[editor: David B. Weaver]: 549-561. United Kingdom: Cabi Publishing.

Wijaya KT, et al. 2007. Analisa Persepsi masyarakat terhadap keberadaan

mangrove di Segoro Anak TNAP. The Mangrove Information Center.

Tidak Dipublikasikan.

Yuniake. 2003. Kajian Pengembangan Ekowisata Mangrove dan Partisipasi Masyarakat

di Kawasan Nusa Lembongan Bali. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut

Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.