E TABLOID EDISI 2 2012

16
Pebruari | Tahun 2012 www.tabloidgalangkangin.com ; E-mail:[email protected] Edisi 02 TAHUN II Rp. 6.000,- Luar Bali Tambah Ongkos Kirim S ore hari sepulang kerja, Ni Made Sarmini (50 tahun) berhen sejenak di tepian jalan untuk membeli sebungkus canang sari seharga Rp 7.000. Tanpa perlu turun dari sepeda motornya, perempuan yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi Bali itu sudah mendapat sebungkus canang sari berisi 25 buah. Tiba di rumahnya di Banjar Gemeh Denpasar, seusai membersihkan diri, canang-canang itu langsung dihaturkan di merajan dan beberapa pelinggih di rumahnya. Maka menjelang malam, tugas mebanten pun selesai. Praks. Keesokan harinya, hal yang sama pun berulang, berulang, dan berulang. Bedanya hanya pada harga canang sari yang kadang berfluktuasi, menyesuaikan dengan kenaikan harga bahan- bahan pembuatnya seper bunga dan janur. “Karena seap hari kerja, sudah nggak sempat buat canang sari. Lagi pula zaman sekarang sudah praks. Banyak sekali orang jual canang. Tinggal pilih aja,” ujar ibu dua anak itu. Ya, jumlah pedagang canang sari di tepian jalan semakin menjamur sejak beberapa tahun terakhir. Semua canang yang dijual bahkan sudah dikemas dalam plask-plask beragam ukuran, sesuai kebutuhan umum konsumen. Tak cuma canang sari, belakangan canang tangkih yang beralaskan daun pisang pun sudah bisa dibeli dengan mudah. Pada kondisi normal, canang-canang sari itu bisa dibeli dengan harga Rp 7.000 per bungkus berisi 25 buah. Sedangkan canang tangkih bisa dibeli dengan harga Rp 3.000 per bungkus isi 25 buah. Namun bila musim hari raya, di mana harga bahan-bahannya naik, harga canang sari biasanya naik menjadi sekitar Rp 9.000 - Rp 15.000 per bungkus. Toh, pembeli tak terpengaruh. Mereka tetap beli, dan pedagang tetap untung. Menjalani ritual upacara dengan kepraksan sudah jadi tren yang berkembang di masyarakat, menyusul kesibukan masyarakat Hindu di Bali. Banyak perempuan Bali yang dulu menjadi pemegang peran dalam membuat sarana upacara di rumah, kini harus bekerja. Pekerjaan pun menuntut waktu 8 jam sehari, dengan model absensi yang ketat, maka membeli sarana upacara dalam bentuk jadi merupakan pilihan terbaik bagi banyak orang. Perputaran uang dari bisnis sarana upacara itu pun ternyata dak sedikit. Penelian yang dilakukan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Udayana pada tahun 2005 menemukan, biaya upacara run manusia Bali mencapai Rp 1,8 triliun setahun. Jumlah itu hanya untuk upacara- upacara run seper purnama, lem, kajeng kliwon, Galungan, Kuningan, dan lainnya yang rata-rata sebanyak 108 hari dalam setahun. Belum termasuk untuk upacara-upacara khusus seper melaspas, otonan, mepandes, ngaben, potong gigi, atau yang lainnya. Tren serba beli sarana upacara di satu sisi telah mengubah pola ritual keagamaan masyarakat Hindu di Bali. Tapi di sisi lain, tren ini juga menghidupi banyak rumah tangga di Bali. Tidak cuma rumah tangga beragama Hindu. Peluang bisnis sarana upacara ini pun mulai dilirik umat non Hindu. Adakah yang salah dengan tren ini? Lalu bagaimana nasib budaya Bali ke depan bila tren ini terus berkembang? (erv) KETIKA UMAT HINDU MEMILIH PRAKTIS Sebagian besar umat Hindu di Bali kini memilih cara praks untuk menjalankan ritual keagamaannya. Serba beli sarana upacara pun menjadi tren. Perputaran uang dari jual beli sarana upacara mencapai triliunan rupiah setahun. S ampai saat ini, koperasi masih menjadi lembaga keuangan alternaf bagi anggota masyarakat yang ingin meningkatkan kesejahteraannya. Bukan hanya bagi masyarakat yang ada di desa, bahkan mereka yang ada di daerah perkotaan dengan ngkat pendidikan yang cukup nggi, koperasi menjadi tumpuan dalam meningkatkan kesejahteraan. Karyawan Garuda Indonesia, salah satunya. Mereka membentuk sebuah koperasi karyawan Garuda Indonesia Denpasar yang lebih dikenal dengan Kosigarden. Ketua pengurus Kosigareden, IGN Alit Indradhyana, SE menceritakan, sebagai koperasi karyawan, Kosigarden saat didirikan tak langsung seper saat ini. Semua berproses. Saat dibentuk pada 27 Juli 1993, Kosigarden hanya dirins oleh beberapa orang karyawan teknik Garuda. “Koperasi ini memulai dengan usaha jasa fotocopy. Anggotanya juga hanya orang-orang teknik Garuda. Setelah beberapa tahun barulah berkembang, anggotanya meluas hingga ke karyawan Garuda yang ada di Kota Denpasar,” ungkapnya. Sampai akhir 2011, Kosigarden telah memiliki 846 anggota yang terdiri atas karyawan Garuda, Gapura Angkasa dan juga GMFAA. Bidang usaha yang digelu Kosigarden pun bervariasi, mulai yang bersifat internal berupa simpan pinjam dan pertokoan, hingga bidang usaha ekternal yakni mensuplai kebutuhan perusahaan induk. Bersambung Kehalaman 10....... Kosigarden “Manjakan” Anggota SK SAJA CUKUP Tabloid Bulanan

description

mencerahkan, menggerakkan

Transcript of E TABLOID EDISI 2 2012

Page 1: E TABLOID EDISI 2 2012

Pebruari | Tahun 2012 www.tabloidgalangkangin.com ; E-mail:[email protected]

Edisi 02TAHUN II

Rp. 6.000,-Luar Bali Tambah

Ongkos Kirim

Sore hari sepulang kerja, Ni Made Sarmini (50 tahun) berhenti sejenak di tepian jalan untuk membeli sebungkus canang sari seharga Rp 7.000. Tanpa perlu turun

dari sepeda motornya, perempuan yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi Bali itu sudah mendapat sebungkus canang sari berisi 25 buah. Tiba di rumahnya di Banjar Gemeh Denpasar, seusai membersihkan diri, canang-canang itu langsung dihaturkan di merajan dan beberapa pelinggih di rumahnya. Maka menjelang malam, tugas mebanten pun selesai. Praktis.

Keesokan harinya, hal yang sama pun berulang, berulang, dan berulang. Bedanya hanya pada harga canang sari yang kadang berfluktuasi, menyesuaikan dengan kenaikan harga bahan-bahan pembuatnya seperti bunga dan janur. “Karena setiap hari kerja, sudah nggak sempat buat canang sari. Lagi pula zaman sekarang sudah praktis. Banyak sekali orang jual canang. Tinggal pilih aja,” ujar ibu dua anak itu.

Ya, jumlah pedagang canang sari di tepian jalan semakin menjamur sejak beberapa tahun terakhir. Semua canang yang dijual bahkan sudah dikemas dalam plastik-plastik beragam ukuran, sesuai kebutuhan umum konsumen. Tak cuma canang sari, belakangan canang tangkih yang beralaskan daun pisang pun sudah bisa dibeli dengan mudah.

Pada kondisi normal, canang-canang sari itu bisa dibeli dengan harga Rp 7.000 per bungkus berisi 25 buah. Sedangkan canang tangkih bisa dibeli dengan harga Rp 3.000 per bungkus isi 25 buah. Namun bila musim hari raya, di mana harga

bahan-bahannya naik, harga canang sari biasanya naik menjadi sekitar Rp 9.000 - Rp 15.000 per bungkus. Toh, pembeli tak terpengaruh. Mereka tetap beli, dan pedagang tetap untung.

Menjalani ritual upacara dengan kepraktisan sudah jadi tren yang berkembang di masyarakat, menyusul kesibukan masyarakat Hindu di Bali. Banyak perempuan Bali yang dulu menjadi pemegang peran dalam membuat sarana upacara di rumah, kini harus bekerja. Pekerjaan pun menuntut waktu 8 jam sehari, dengan model absensi yang ketat, maka membeli sarana upacara dalam bentuk jadi merupakan pilihan terbaik bagi banyak orang.

Perputaran uang dari bisnis sarana upacara itu pun ternyata tidak sedikit. Penelitian yang dilakukan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Udayana pada tahun 2005 menemukan, biaya upacara rutin manusia Bali mencapai Rp 1,8 triliun setahun. Jumlah itu hanya untuk upacara-upacara rutin seperti purnama, tilem, kajeng kliwon, Galungan, Kuningan, dan lainnya yang rata-rata sebanyak 108 hari dalam setahun. Belum termasuk untuk upacara-upacara khusus seperti melaspas, otonan, mepandes, ngaben, potong gigi, atau yang lainnya.

Tren serba beli sarana upacara di satu sisi telah mengubah pola ritual keagamaan masyarakat Hindu di Bali. Tapi di sisi lain, tren ini juga menghidupi banyak rumah tangga di Bali. Tidak cuma rumah tangga beragama Hindu. Peluang bisnis sarana upacara ini pun mulai dilirik umat non Hindu. Adakah yang salah dengan tren ini? Lalu bagaimana nasib budaya Bali ke depan bila tren ini terus berkembang? (erv)

KETIKA UMAT HINDUMEMILIH PRAKTIS

Sebagian besar umat Hindu di Bali kini memilih cara praktis untuk menjalankan ritual keagamaannya. Serba beli sarana upacara pun menjadi tren. Perputaran uang dari jual beli sarana upacara mencapai

triliunan rupiah setahun.

Sampai saat ini, koperasi masih menjadi lembaga keuangan alternatif bagi anggota masyarakat yang ingin meningkatkan kesejahteraannya. Bukan hanya bagi masyarakat yang ada di desa, bahkan mereka

yang ada di daerah perkotaan dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi, koperasi menjadi tumpuan dalam meningkatkan kesejahteraan. Karyawan Garuda Indonesia, salah satunya. Mereka membentuk sebuah koperasi karyawan Garuda Indonesia Denpasar yang lebih dikenal dengan Kosigarden.

Ketua pengurus Kosigareden, IGN Alit Indradhyana, SE menceritakan, sebagai koperasi karyawan, Kosigarden saat didirikan tak langsung seperti saat ini. Semua berproses. Saat dibentuk pada 27 Juli 1993, Kosigarden hanya dirintis oleh beberapa orang karyawan teknik Garuda.

“Koperasi ini memulai dengan usaha jasa fotocopy. Anggotanya juga hanya orang-orang teknik Garuda. Setelah beberapa tahun barulah berkembang, anggotanya meluas hingga ke karyawan Garuda yang ada di Kota Denpasar,” ungkapnya.

Sampai akhir 2011, Kosigarden telah memiliki 846 anggota yang terdiri atas karyawan Garuda, Gapura Angkasa dan juga GMFAA. Bidang usaha yang digeluti Kosigarden pun bervariasi, mulai yang bersifat internal berupa simpan pinjam dan pertokoan, hingga bidang usaha ekternal yakni mensuplai kebutuhan perusahaan induk.

Bersambung Kehalaman 10.......

Kosigarden “Manjakan” Anggota

SK SAJA CUKUP

Tabloid Bulanan

Page 2: E TABLOID EDISI 2 2012

2 Galang Kangin

Edisi 02/TAHUN II/PEBRUARI 2012

EDITORIAL

Team Redaksi Galang KanginDiterbitkan oleh: KSU Kharisma Madani Badan Hukum No.36/BH/DISKOP.PKM/IV/2006 - Pembina : Prof. DR. I Ketut Rahyuda, SE, MSIE.

- Penasihat : Drh. Komang Suarsana, M.MA - Pimpinan Redaksi : I Gede Sumartana - Redaktur Pelaksana : I Gede Luhur Budiharta- Team Redaksi : Ni Komang Erviani, Kecuk Priambada, Nyoman Sarna, SE, Gusti Ayu M. Eka Putri

- Tata Letak : Ketut Rumiarsa - Photografi & dokumentasi : I Nyoman Sudarma, SE, Agus Gita Saputra - Administrasi Umum : Putu Sri Mulyani, SE - Sirkulasi & Distribusi : I Made Agus Antara, I Kadek Joni Artha, SE, I Gede Ardhi Saputra, SE,

I Made Surya Dharma, Agus Gita Saputra - Administrasi Sirkulasi : Agus Gita Saputra - Teknologi informasi : I Gede Dedy Wijaya, ST, Eka Yudi- Marketing : H. Husni Abdulah, - Periklanan : KSU Kharisma Madani KCP Pakerisan Email : [email protected]

Alamat Redaksi: Jln. Bedugul No.1 Sidakarya - Denpasar Selatan Telp:(0361) 727734 Email: [email protected]

Kritik dan Saran yang bersifat membangun bisa dilayangkan ke alamat email kami

Galang Kangin

Masyarakat Bali, dalam melakoni kehidupannya sarat dengan warna ritual. Ritual-ritual itu merupakan warisan budaya para pendahulu Bali. Ritual yang kemudian menjadi perayaan, dalam perspektif

redaksi, mulanya merupakan salah satu cara peng-ekspresi-an diri dalam menghormati serta menjalani kehidupan yang penuh kebahagiaan. Hanya masyarakat yang berbahagia dan terhormat yang merayakan kehidupan.

Dalam perjalanannya, ritual yang merupakan peng-ekspresi-an diri tersebut mengalami perkembangan sesuai tingkat kecerdasan manusia Bali. Kecerdasan yang mampu melihat aspek-aspek alam yang berpengaruh baik secara positif maupun negatif terhadap kehidupan manusia. Adanya kesadaran bahwa manusia tidak bisa hidup terpisah dari alam, maka munculah simbol-simbol sebagai bentuk penghormatan terhadap aspek-aspek alam semesta. Ritual pun berkembang dan dipenuhi dengan simbol-simbol, yang merupakan hasil olah kecerdasan manusia Bali dalam mengekspresikan dirinya, memberikan penghormatan dan merayakan kehidupan dalam kebahagiaannya.

Salah satu simbol yang masih diwarisi masyarakat Bali adalah banten/bebantenan. Ritual yang dilakukan di Bali hampir tidak bisa lepas dari banten, bahkan sudah merupakan ornamen wajib. Kini banten telah menjadi kebutuhan dalam setiap proses ritual. Dalam skala tertentu, pembuatan sarana banten bahkan melibatkan anggota masyarakat, sehingga proses pembuatan banten juga merupakan ajang bersosialisasi. Masyarakat Bali yang banyak terjun di dunia professional, dituntut untuk tampil profesional. Ini menguras banyak energi dan waktu. Sementara banten sebagai pelengkap ritual juga membutuhkan waktu dan energi. Adanya kebutuhan serta tuntutan dunia profesional telah menciptakan peluang bagi beberapa orang. Banten yang awalnya merupakan ekspresi kebahagiaan dan melibatkan warga masyarakat, kini telah berubah menjadi industri. Yang tadinya diukur dengan nilai, kini diukur dengan nominal. Di satu sisi, tradisi mebanten telah menciptakan lapangan pekerjaan bagi sebagian orang yang menggeluti dunia bebantenan, sementara di sisi lain ada nilai-nilai yang tergerus dari masyarakat Bali.

Bagaimana sebaiknya masyarakat Bali menyikapi fenomena ini?

Dalam rangka perayaan Hari Galungan dan Kuningan, tim Galang Kangin mencoba menelisik fenomena ini dengan mendengar pendapat dari berbagai nara sumber. Silang pendapat tentu bisa terjadi. Dan selayaknya menjadi pemikiran untuk menentukan ke arah mana budaya Bali akan berkembang. Dunia modern menuntut penyederhanaan, sementara budaya yang ada dan sudah mentradisi memiliki tuntutannya sendiri. Dan ini menjadi sajian utama tabloid Galang Kangin untuk edisi kali ini.

Selain memuat “industri banten” masih ada liputan mengenai koperasi karyawan Garuda Denpasar (Kosigarden). Serta profil I Gusti Ngurah Alit Indradhyana, SE selaku ketua. Sedangkan untuk rubrik Potret, kali ini menampilkan Wartha Dihati Sandy, SH selaku ketua PW GP Ansor, Bali. Apa kiat yang akan dilakukan dan bagaimana kiprahnya dalam memimpin sebuah organisasi, layak untuk disimak. Dan bagaimana prediksi pergerakan dunia bisnis di Tahun Naga Air? Paparan Ronal Hikari, seorang praktisi Feng Sui mungkin bisa dijadikan referensi. Sementara rubrik budaya kali ini mencoba mengurai tradisi menyimpan tali pusar ketika seorang anak sudah kepus pungsed (putus tali pusar). Yang menarik adalah, sepanjang pengetahuan redaksi, tradisi ini tidak hanya terjadi di masyarakat Bali, namun juga dilakukan oleh masyarakat modern yang berdasar pada pertimbangan-pertimbangan biologis.

Akhir kata, tak lupa tim redaksi mengucapkan Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan. Semoga alam semesta melimpahkan karunia kebahagiaan kepada semua makhluk.

Editorial

Musda Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Bali I, digelar 11 Januari 2012, dibuka oleh Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Tak kurang 500 orang utusan masing-masing kabupaten dan kota di Bali serta seluruh kepala LPD se Kabupaten Gianyar, menghadiri Musda yang dilaksanakan di Balai Budaya Gianyar itu.

Musda sehari itu berhasil menelorkan pengurus baru dan menetapkan Drs. I Nyoman Cendikiawan, SH. MSi., sebagai Ketua Umum LPD Bali periode 2012 – 2017. Dalam pemilihan yang berlangsung demokratis, Cendikiawan (Kepala LPD Desa Pakraman Talepud Br. Pujung Kaja, Tegallalang, Gianyar) mengalahkan dua calon lainnya, I Made Sugita, S.Sos. (BKS-LPD Kota Denpasar), dan I Gusti Nyoman Wardana, S.Pd. (BKS-LPD Jembrana)

Pada Musda LPD pertama itu mengemuka wacana penggantian nama LPD menjadi LPDP (Lembaga Perekonomian Desa Pakraman). Pun demikian istilah Musda juga lebih klop kalau dipakai istilah Loka Sabha LPDP. Wacana tersebut diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam Perda LPD yang kini masih mengalami revisi di tingkat Pemerintahan Daerah Bali. Perubahan nama itu sempat direkomendasikan saat Pesamuan Agung III Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali.

Pentingnya wacana tersebut, kata Gubernur Bali Made Mangku Pastika, karena dinilai kurang tepat apabila LPD kemudian dimasukkan ke dalam undang-undang lembaga keuangan mikro (LKM). Mengapa demikian? Kata Mangku Pastika, keberadaan LPD yang kegiatannya berupa simpan-pinjam dan menyalurkan pinjaman, gerakannya hanya sebatas lingkungan desa pakraman sendiri, bukan menyalurkan kredit kepada masyarakat umum seperti industri perbankan.

Di samping itu, tugas LPD yang di Bali dimiliki oleh masing-masing desa pakraman (1.422 unit), tidak semata-mata berorientasi profit, akan tetapi memberikan pinjaman kepada krama desa yang bergerak di usaha mikro kecil maupun memberikan pinjaman untuk kegiatan konsumtif dalam rangka memperbaiki perekonomian warga desanya masing-masing. Keuntungan atau profit yang diperoleh, juga bukan dimiliki oleh pengurus LPD maupun perorangan, melainkan untuk krama desa pakraman. Keuntungan LPD, semuanya dibagi untuk kepentingan pembangunan di desa pakraman, berbeda dengan profit di industri perbankan yang hanya dimiliki oleh perorangan atau lembaga sebagai pemegang saham perbankan itu.

“Oleh karena itu, LPD desa pakraman di Bali memiliki dasar hukum yang kuat, sehingga kurang tepat LPD dimasukkan ke dalam undang-undang LKM dan kurang cocok LPD dikenakan pajak,” ungkap Mangku Pastika, sembari menyatakan kekagumannya akan keberadaan dan peran LPD yang merupakan rintisan Gubernur Bali Prof. Ida Bagus Mantra (alm) di zamannya.

LPD se Bali (1.422 unit), per akhir Desember 2011 pengelola asset Rp 6,4 triliun di antaranya Rp 4,7 triliun pinjaman yang disalurkan dalam rangka memperbaiki perekonomian dan pemberdayaan krama desa pakraman di Bali, dan Rp 1, 9 triliun lainnya sebagai dana cadangan yang dititipkan di industri perbankan, terutama di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali, serta perolehan hasil/laba Rp 262 miliar lebih.

Menariknya, suku bunga pinjaman yang diberikan kepada anggotanya yang bergerak di sektor usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) dan masyarakat pakraman konsumtif, sudah berada pada level rata-rata 1,3 - 1,5 persen per bulan menurun.

“Bantuan LPD terhadap ketenagakerjaan di daerah ini juga luar biasa. LPD di Bali secara keseluruhan mampu menampung tenaga kerja 107.097 orang, sehingga bukan main bantuan LPD terhadap pemerintah daerah Bali mengurangi angka pengangguran,” ujar Mangku Pastika. (dra)

ANTARA TRADISI DAN INDUSTRI

Musda LPD Bali 2012NYOMAN CENDIKIAWAN, KETUA UMUM

Gubernur Mangku Pastika menjawab pertanyaan pers seusai membuka Musda LPD Bali pertama di Gianyar

Page 3: E TABLOID EDISI 2 2012

3 Galang Kangin

Edisi 02/TAHUN II/PEBRUARI 2012

untuk melontarkan keluh kesahnya. Penyair Tan Lio Ie lantas menyoroti tentang buruknya manajemen sejumlah even seni budaya di Bali, salah satunya Pesta Kesenian Bali (PKB). Ia menyayangkan PKB tidak dikelola oleh kaum profesional, melainkan dikelola sendiri oleh pemerintah yang notabene personilnya cenderung tidak bisa bekerja profesional. “Bali punya PKB. Tapi maaf, kuratorialnya jelek. PKB bukan pasar malam. Sayang sekali. Padahal ini merupakan investasi cultural yang sangat penting,” ujar penyair yang kerap menghadiri berbagai forum Sastra di beberapa negara Eropa, Afrika dan Asia itu.

DOK sendiri merupakan sebuah komunitas kreatif yang menyediakan wahana bagi lahir, tumbuh dan berkembangnya kreativitas seni di Kota Denpasar. Sejak digelar pertamakali pada 1 Oktober 2011, DOK sudah menjadi ajang pengembangan berbagai bidang kesenian yang setia hadir setiap malam minggu di Warung Tresni.

“Telah terjadi proses hegemoni dan dominasi yang pelan-pelan membuat Bali tidak lagi sebagai sentral kebudayan akibat gempuran pilihan-pilihan budaya yang ditawarkan dari luar. Sementara pragmatisme seni budaya oleh kekuatan modal membuat partisipasi konsep seni budaya masyarakat menurun sehingga menyebabkan public value seni budaya sendiri cenderung luntur dak tak berdaya. Lewat DOK yang dirikan bersama sejumlah kawan yang bersama-sama bertindak sebagai kurator, mencoba membuat jawaban terhadap kondisi tersebut,” Putu Indrawan, ketua DOK, bercerita tentang latar belakang penyelenggaraan even ini. (erv)

Geliat

Gubernur Bali Made Mangku Pastika berjanji akan memproteksi para seniman Bali di tengah serbuan

banyaknya seniman luar Bali yang menyasar pasar potensial pulau ini. Janji itu disampaikannya saat hadir dalam acara Dapur Olah Kreatif (DOK) ke-15 di Warung Tresni Denpasar, 7 Januari lalu.

Pastika berjanji mengeluarkan kebijakan yang pro seniman Bali. “Yang dibutuhkan, ada kebijakan berupa fasilitasi dan proteksi bagi seniman Bali. Tinggal sekarang kita cari bentuknya bersama-sama. Mari kita buat roadmap-nya bersama-sama,” ajaknya.

Janji itu disampaikan Pastika setelah mendengar keluh kesah Ketua Persatuan Artis, Musisi, Pencipta dan Insan Musik (Pramusti) Bali I Gusti Ngurah Murthana. Rahman, sapaan akrab pemilik Jayagiri Record itu, mengungkapkan keluh kesah akibat makin terpinggirkannya musik pop Bali yang sempat booming beberapa tahun lalu.

“Saya belakangan merasa agak patah semangat karena industri musik Bali yang sempat berlomba-lomba buat album, mempopulerkannya. Semua orang bangga karena semakin banyak lagu-lagu Bali yang disukai semua

GUBERNUR JANJI PROTEKSI SENIMAN BALIkalangan termasuk anak-anak. Tapi sekarang, karena maraknya pembajakan, kita tidak bisa berbuat apa-apa,” keluh pria yang akrab disapa Rahman itu.

Tak hanya tentang pembajakan. Rahman juga menilai kini makin banyak event organizer (EO) yang lebih memilih menampilkan penyanyi asal luar Bali, ketimbang penyanyi Bali. Padahal kalau diukur dari antusiasme penonton, Rahman yakin penyanyi Bali jauh lebih diminati. “Untuk itu kami harapkan ada upaya agar kami penyanyi Bali diberi porsi lebih besar,” harapnya.

Pertemuan dengan Pastika itu, juga dimanfaatkan oleh para seniman

Suasana perayaan hari raya Galungan dan Kuningan sudah mulai terasa jauh-jauh hari sebelumnya. Ini terlihat dari

kesibukan masyarakat dalam membeli perlengkapan upacara. Mulai dari sarana penghias rumah, daun janur sampai buah-buahan dan kue-kue pelengkap sarana upacara. Meningkatnya kebutuhan masyarakat Bali akan sarana upacara ini memberikan peluang bisnis bagi sebagaian masyarakat. Maka tak pelak muncul pelaku-pelaku bisnis dadakan. Mulai dari menjual janur, buah kelapa, sampian, pala gantung, pala bungkah, jajanan upacara dan lain-lain. Salah satu yang menarik adalah peluang usaha membuat penjor. Penjor menjadi kebutuhan masyarakat tidak hanya saat ada upacara agama maupun adat, namun juga dibutuhkan saat terjadi acara seremonial yang dilakukan dikalangan pemerintahan dan masyarakat umum.

Salah satu yang menggeluti usaha penjor adalah Jaya, salah satu warga yang bertempat tinggal di jalan raya Sesetan, di depan SMU Harapan Denpasar. Jaya sudah menggeluti usaha pembuatan penjor selama kurang lebih enam tahun. Awalnya dia hanya mencoba-coba, karena melihat peluang tersebut, dimana banyak orang Bali pendatang dari kabupaten

lain tidak memiliki cukup waktu untuk membuat penjor di rumah tinggal mereka di Denpasar karena harus segera pulang kampung. Rupanya pasar merespon dengan baik. Banyak masyarakat yang memesan penjor buatannya. Dan usaha ini ternyata bisa menjadi bisnis yang melibatkan seluruh anggota keluarganya. Disamping dalam keseharian, Jaya juga adalah seorang pelaku penjual mobil bekas. Jaya mematok harga sekitar 350ribu rupiah untuk penjor buatannya. Namun harga bisa berubah tergantung variasi yang diminta oleh konsumen. Dan konsumen utamanya adalah masyarakat Bali yang merayakan Galungan. Selain itu juga masyarakat umum yang memiliki acara-acara tertentu.

“Saya menerima banyak pesanan terutama menjelang hari raya. Dan mencapai puncaknya terutama pada saat hari Penyajaan Galungan (dua hari menjelang Galungan). Sedangkan pada hari biasa, rata-rata lima penjor laku terjual perhari. Namun sekarang sudah mulai banyak masyarakat yang ikut terjun ke bidang usaha ini. Jadi mulai banyak saingan”, paparnya. Selain menjual penjor, Jaya juga menjual Sanggah Cucuk dan perlengkapan upacara lainnya.

MERAUP BERKAH DI HARI RAYA

Gubernur Bali Made Mangku Pastika sebagai pembicara dalam acara Dapur Olah Kreatif.

Kesibukan masyarakat menjelang Hari Raya Galungan

Page 4: E TABLOID EDISI 2 2012

4 Galang Kangin

Edisi 02/TAHUN II/PEBRUARI 2012

Dalam pandangan Ida Pedanda Gede Telaga dari Geriya Telaga Sanur, tren itu menunjukkan adanya pergeseran sosial dari

kehidupan yang selalu gotong-royong menjadi cenderung individualis. “Kalau dulu, sesajen atau banten itu biasanya dibuat secara gotong-royong dengan tetangga atau kerabat sekitar. Kalau untuk upacara yang sangat kecil sekali, cukup diselesaikan secara gotong-royong dengan keluarga sendiri,” kenangnya.

Namun pergeseran itu

menurutnya masih dalam tahap wajar dan harus dimaklumi. “Ini konsekuensi dari perubahan struktur ekonomi masyarakat Bali yang bergeser dari daerah agraris menjadi daerah pariwisata,” tegas Ida Pedanda Gede Telaga.

Menurut Pedanda, sebagian besar masyarakat Bali di masa lalu berprofesi sebagai petani yang bekerja hanya pada jam-jam tertentu saja di pagi dan sore hari. Sebagian lainnya memilih berdagang. Karenanya, banyak waktu yang tersisa untuk melaksanakan berbagai kegiatan adat dan keagamaan, termasuk membuat bebantenan.

Namum kini sebagian besar masyarakat sudah meninggalkan aktivitas pertanian dan beralih ke sektor pariwisata maupun sektor-sektor usaha lain. Sebagian besar masyarakat memilih menjadi pegawai swasta, pegawai negeri, atau pengusaha. “Jadi karena kesibukan mereka yang terikat waktu 8 jam untuk pekerjaan, ya gampang-gampangannya, beli saja semua banten-banten itu. Jadi pergeseran ekonomi itulah yang menyebabkan pergeseran sosial di masyarakat,” katanya.

“Kalau dulu, kalau kita mau bikin upacara, kita bisa minta tolong

ke tetangga. Sekarang karena tetangga sibuk, atau sebaliknya

kalau tetangga punya kerja, kita sibuk dengan pekerjaan kita,

jadi sama-sama nggak bisa membantu. Jadinya semua sendir-sendiri,” tambahnya.

Nilainya SamaLantas bagaimana nilai

canang sari dan bebantenan yang dibeli dalam bentuk jadi itu dalam pandangan Ida Pedanda Gede Telaga? “Tidak ada bedanya. Sama

saja. Hanya saja, rasanya yang berbeda,” tegas dia.

Menurut Ida Pedanda Gede Telaga, masyarakat Hindu

di Bali tentunya tidak sembarangan

memilih

Sajian Utama

tempat membeli banten yang sekarang sudah semakin menjamur. “Masyarakat sudah tahu, mana tukang banten yang profesional dan mana yang masih amatir. Ada orang-orang tertentu yang sudah biasa mengerjakan banten yang baik, dari tingkat nista, madya maupun utama. Jadi tidak ada beda dari sisi nilainya,” jelas Ida Pedanda Gede Telaga.

Namun diakui, ada rasa yang agak berbeda ketika banten dibuat sendiri dengan dibeli dalam bentuk jadi. Masyarakat kurang meresapi makna dari bebantenan tersebut. Apalagi dengan makin menjamurnya pedagang canang sari di tepian jalan. Penjualan canang yang cukup menguntungkan secara ekonomis, kata dia, sekarang banyak juga dilirik oleh masyarakat non Hindu di Bali yang belum tentu paham konsep dasar dari Hindu. Ia mencontohkan, menurut ajaran Hindu orang yang melaksanakan yadnya tidak boleh dalam keadaan “kotor” atau cuntaka.

“Tetapi kalau masyarakat non Hindu, kemungkinan besar tidak mengerti. Di samping mungkin canangnya kurang lengkap, bisa juga canang itu dibuat dalam kondisi dia menstruasi. Sebab dia tidak tahu istilah cuntaka atau kotor dan suci,” Pedanda mengingatkan.

“Tukang banten juga harus membersihkan diri secara ritual seperti mewinten. Nggak boleh sembarang orang. Ini yang membuat mereka berbeda,” tambahnya.

Diperciki Tirta PembersihanMembeli canang sari dari pasar,

warung atau tepian jalan, bukan hal yang salah menurut Ida Pedanda Gede Telaga. Terhadap kemungkinan bahwa canang sari itu dibuat dengan cara yang kurang memenuhi nilai-nilai keagamaan, ternyata ada solusinya. “Agama Hindu kan agama tirta. Segala-galanya yang dibeli dari pasar, harus diperciki tirta pembersihan. Sebelum itu jangan disuguhkan untuk haturan,” ia

menyarankan. Namun yang terpenting dari

semua itu menurutnya adalah keyakinan sendiri. “Kamu rela nggak pakai itu? Kalau rela, silahkan. Kalau nggak rela, ya bikin sendiri. Atau beli dari tempat-tepat tertentu yang sudah dipercaya,” saran Pedanda. (erv)

ATAS berkembangnya tren membeli bebantenan jadi, Ida Pedanda Gede Telaga mengkhawatirkan satu hal, yakni anak muda Bali. “Ratu Peranda khawatir, anak muda sekarang, nanti dia sama sekali tidak bisa buat banten, walau sekecil apapun,” kata dia.

Tak hanya karena kesibukan orangtua bekerja, kecenderungan orangtua yang memanjakan anaknya juga menyebabkan tren ini semakin berkembang dan meluas. Dengan alasan tidak mau merepotkan anak atau menantu yang tidak bekerja misalnya, banyak orangtua yang justru mengajarkan cara-cara praktis dengan membeli banten jadi. “Yang saya khawatirkan, orangtua terlalu memanjakan anak, menantu, dan sebagainya. Jadi semua serba beli, itu yang Ratu Peranda khawatirkan.”

Ida Pedanda Gede Telaga menyarankan agar tiap orangtua di dalam rumah tangga rajin memberitahu cara-cara membuat banten kepada anak-anaknya. Setidaknya, agar mereka bisa membuat banten-banten kecil seperti banten otonan atau sekadar canang sari. “Mestinya di tiap-tiap rumah tangga, pendahulu-pendahulunya yang rajin memberitahu anak-anaknya, tidak akan hilang kebiasaan membuat banten ini. Misalnya untuk otonan anak, mestinya banten dibuat sendiri,” ia mengingatkan. Meski memendam kekhawatiran, namun Ida Pedanda Gede Telaga tetap optimis tradisi membuat banten umat Hindu di Bali tidak akan pernah punah. Pasalnya, banyak anak muda yang semula tidak memahami cara membuat banten, namun kemudian setelah berumah tangga dia belajar dengan sendirinya. Tradisi membuat banten menurutnya akan tetap bertahan secara alamiah, karena sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari jiwa umat Hindu di Bali. (erv)

ANAK MUDA KINI DIMANJA

Membeli perlengkapan upacara dalam bentuk jadi, sudah menjadi tren keseharian umat Hindu di Bali beberapa tahun belakangan ini. Tidak hanya banten-banten untuk

upacara-upacara khusus. Bahkan canang tangkih dan canang sari yang menjadi keperluan sembahyang keseharian pun, kini bisa dibeli dengan mudah di pasar atau pinggir-pinggir jalan. Semuanya sudah dikemas rapi dalam tas-tas plastik berbagai

ukuran. Praktis!

Tren Beli BantenNILAINYA SAMA, RASANYA BEDA

Ida Pedanda Gede Telaga

Page 5: E TABLOID EDISI 2 2012

5 Galang Kangin

Edisi 02/TAHUN II/PEBRUARI 2012

Biaya upacara umat Hindu di Bali ternyata bukan hal sepele. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Prof.

Dr. I Made Sukarsa melalui penelitian yang dilakukannya pada tahun 2005, menemukan biaya upacara rutin manusia Bali mencapai Rp 1,8 triliun setahun. Jumlah itu hanya untuk upacara-upacara rutin seperti purnama, tilem, kajeng kliwon, Galungan, Kuningan, dan lainnya yang rata-rata sebanyak 108 hari dalam setahun.

“Itu belum termasuk untuk upacara-upacara khusus seperti melaspas, otonan, mepandes, ngaben, potong gigi, atau yang lainnya,” jelas Sukarsa yang kini juga menjabat Rektor Universitas Warmadewa, Denpasar.

Penelitian yang mengambil sampel 405 responden kepala keluarga di 9 kabupaten/kota di Bali itu, juga menemukan fakta bahwa setiap rumah tangga beragama Hindu di Bali mengeluarkan pendapatannya untuk keperluan upacara rutin sebanyak Rp 2.650.000 per tahun, atau sekitar 10,54 persen dari total pendapatannya.

Dari 405 kepala keluarga yang disurvei, luas pura merajan yang dimiliki rata-rata 36,65m2 dengan jumlah banten saiban dan canang sari yang dibuat sebanyak 34 per keluarga. Setiap canang sari diasumsikan memerlukan masing-masing 8,5 gram bunga segar dan 15 gram janur. Total asumsi kebutuhan bahan baku canang sari itu, kemudian dikalikan dengan total jumlah rumah tangga yang beragama Hindu yang pada tahun 2005 tercatat 656.734 KK. “Dari hitung-hitungan itu, maka dalam setahun masyarakat Hindu di Bali memerlukan 20.498 ton bunga segar, dan 36.173,91 ton janur,” jelas Sukarsa.

Secara ekonomis, menurut Sukarsa, ada sebuah potensi ekonomi yang sangat besar di balik kegiatan upacara Hindu di Bali. “Kalau dikembangkan, ini bisa menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang dapat menguntungkan masyarakat lokal sebagai pelaku ekonomi yang berbasis keluarga,” tegasnya.

Potensi ekonomi itu, menurutnya, semakin meningkat dengan semakin meluasnya tren di kalangan masyarakat Hindu Bali untuk membeli banten jadi.

“Para antropolog bisa menyebut fenomena ini sebagai komodifikasi budaya. Artinya, nilai-nilai budaya dan perangkat-perangkat budaya ini sudah dikomersialkan, diperjualbelikan,” tambah Sukarsa.

Berkembangnya tren serba beli banten jadi itu, menurutnya terjadi karena banyak faktor. Salah satunya karena faktor waktu. Masyarakat saat ini, terutama yang tinggal di perkotaan, cenderung semakin sibuk berkarir. Hal itu membuat mereka tidak lagi punya waktu untuk membuat sendiri sarana upacaranya. “Memang konsep sebenarnya dari canang itu adalah ikhlas dan ngayah. Tapi karena waktu nggak ada, ya beli saja. Toh uangnya ikhlas. Jadi ya tidak apa-apa,”katanya.

Selain masalah waktu, masalah pengetahuan yang minim juga membuat tren ini semakin meluas di kalangan umat Hindu di Bali. Kalau sekadar membuat canang sari, katanya, kemungkinan besar semua orang bisa. Namun bila diwajibkan membuat banten-banten yang lebih rumit, tidak semua orang paham caranya. “Sekarang cenderung orang tua yang baru pensiun, baru belajar membuat banten untuk mengisi waktu,” ujarnya, sembari menambahkan daya beli masyarakat yang cenderung meningkat juga membuat tren jual beli banten makin marak.

Sebagai salah bentuk potensi ekonomi yang baru berkembang, Sukarsa mengakui prospek bisnis penjualan banten sangat besar. Dikatakan, pihaknya pernah melakukan observasi terhadap sejumlah pedagang canang di Denpasar. Hasilnya, omset penjualan para pedagang canang itu bisa mencapai Rp 2-3 juta per hari. Margin

Sajian Utama

keuntungannya diperkirakan mencapai 30%. “Sekarang banyak masyarakat yang menggantungkan hidup dari berjualan canang. Ini menunjukkan memang hasilnya menjanjikan. Mereka umumnya bisa menyekolahkan anak-anaknya dari usaha itu,” tambahnya.

Meskipun diakui sebagian besar bahan-bahan upacara didatangkan dari luar Bali, seperti janur, pisang, bahkan sanggah crukcuk, namun dengan berkembangnya penjualan canang dan banten di Bali, merupakan sebuah hal yang positif sebagai pengimbang. Pasalnya, para pedagang canang dan banten itu mendapatkan value added dari bahan-bahan baku dari luar Bali itu. “Yang penting kita dapat value added-nya. Asal jangan sampai canangnya didatangkan dari luar Bali,” tambah Sukarsa.

Bali menurutnya tidak perlu “ngoyo” untuk berupaya memenuhi semua kebutuhan bahan baku upacara seperti pisang, janur, kelapa, dan lainnya. Selain tidak cukup menguntungkan secara ekonomis karena harga tanah di Bali yang terlalu mahal, semua daerah juga dipastikan tidak akan mungkin mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. “Tipe perekonomian itu memang begitu. Antar satu daerah dengan daerah lain saling melengkapi, menyesuaikan potensi masing-masing,” tegasnya.

Sayang, kata Sukarsa, saat ini potensi ekonomi dari bisnis banten itu juga sudah mulai dilirik umat lain. Tidak sedikit umat non Hindu yang kini mulai mengais rezeki dari membuat canang sari. “Memang tidak masalah, asalkan mereka memang membuat dengan kaidah-kaidah yang benar. Namun semua tergantung pada keuletan kita sendiri, mampu nggak kita bersaing? Karena pada dasarnya bargaining kita sebagai umat Hindu di Bali jauh lebih kuat untuk menjalankan bisnis ini,” Sukarsa mengingatkan. (erv)

Prof. Dr. I Made Sukarsa

TRILIUNAN RUPIAH BERPUTAR DARI BISNIS BANTEN

Prof. Dr. I Made Sukarsa

Page 6: E TABLOID EDISI 2 2012

6 Galang Kangin

Edisi 02/TAHUN II/PEBRUARI 2012

Menjelang hari hari besar keagamaan seperti Galungan dan Kuningan, kantor-kantor pemerintahan biasanya mulai agak sepi pada

siang atau menjelang sore hari. Jam kerja yang seharusnya habis pada pukul 16.00 wita, oleh sebagian pegawai “digeser” secara sepihak. Beberapa pegawai mulai mencuri-curi waktu, demi menyelesaikan semua banten yang diperlukan. Beberapa orang beralasan, membuat banten sendiri jauh lebih memuaskan dibandingkan harus membeli banten jadi. Karenanya, mereka rela mencuri-curi kesempatan.

Menurut I Made Suasti Puja, Pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, membuat banten dengan tangan sendiri memang jauh lebih baik dibandingkan mengikuti tren serba beli yang berkembang belakangan ini. Namun bila hal itu dilakukan dengan mencuri-curi jam kerja, justru akan berbalik menjadi

yadnya yang percuma. Dijelaskan Suasti Puja, sastra dalam

Kitab Suci Weda menyebutkan persembahan yadnya harus secara tulis ikhlas. “Bekerja juga merupakan bagian dari yadnya. Jadi mereka yang bekerja, agar karma-nya baik, jangan bolos. Kalau bolos, tidak disiplin, walaupun demi membuat banten, ya tidak ada artinya,” ujar Suasti Puja.

Tren serba beli banten upacara di kalangan umat Hindu di Bali, diakui Suasti Puja, merupakan konsekuensi dari semakin banyaknya ibu rumah tangga yang bekerja. Diakui, perempuan merupakan pihak yang memegang peranan paling penting dalam upacara keagamaan Hindu di Bali, terutama dalam penyediaan berbagai sarana upacara. “Tetapi sekarang karena tuntutan ekonomi, kebanyakan ibu-ibu rumah tangga juga berkarir, bekerja. Jadi sudah tidak ada waktu untuk membuat sendiri banten-banten seperti dulu,” kata dia.

Perempuan bekerja menurutnya merupakan salah satu bentuk pengabdian terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan bekerja, perempuan membantu menopang kehidupan keluarga di tengah tuntutan ekonomi yang semakin berat. “Tidak bisa kita hindari, bahkan untuk kelangsungan hidup

rumah tangga kita perlu uang. Jadi perempuan yang bekerja juga merupakan bagian dari yadnya,” tambah dia.

Bentuk pekerjaan yang bergeser dari pertanian ke pekerjaan formal yang menuntut waktu 8 jam dengan absensi yang ketat, menurutnya wajar membuat para ibu rumah tangga tidak sempat lagi membuat banten sendiri. “Situasi yang membuat dia seperti itu. Dan itu sah-sah saja,”katanya.

“Tetapi kalau ibu itu betul-betul jadi ratu rumah tangga saja, diam di rumah, membesarkan anak-anaknya, kan dia punya waktu. Ya sebaiknya wujud baktinya dia membuat sendiri perlengkapan upacara,” tegasnya.

Yadnya PercumaDitegaskan Suasti Puja, nilai yadnya itu tidak

terletak pada banten yang dibuat sendiri atau yang dibeli jadi dari pasar atau warung. Nilai yadnya juga tidak terletak pada proses panjang dan rumit

Sajian Utama

pembuatan banten atau kepraktisannya. Nilai yadnya justru harus dilihat dari ikhlas atau tidaknya seseorang yang menghaturkannya. “Jadi kalau membeli banten dalam bentuk jadi, tidak mengurangi nilai yadnya itu. Nilai yadnya itu sepenuhnya ada dalam ketulusikhlasan,” tegas Suasti Puja.

Banyak kasus, kata dia, persiapan membuat banten hari raya yang terlalu dipaksakan menimbulkan konflik di dalam keluarga. Hal itu terutama dipicu faktor kelelahan, yang justru menimbulkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Dalam kondisi yang dipaksakan seperti itu, menurutnya, yadnya menjadi percuma. “Karena niatnya beryadnya, malah ribut karena semua merasa kelelahan, jadi justru timbul ketidakharmonisan. Jadi percuma juga,” jelasnya.

Cakra YadnyaTren membeli banten jadi , justru menjadi

perputaran cakra yadnya berjalan baik. Karena tren itu membuat banyak umat yang kini mengais rezeki dari berjualan banten. “Ini namanya perputaran yadnya atau cakra yadnya. Ada yang jual banten, ada yang berkarir, ada yang jadi pengusaha. Semuanya saling mendukung. Mereka yang bergaji, atau pengusaha, membeli banten kepada pedagang banten,” ujar Suasti Puja.

“Pengusaha toko misalnya, tidak harus menutup tokonya terlalu lama hanya untuk membuat banten. Karena kalau tokonya ditutup lama, konsumennya akan hilang,” tambahnya.

Beli Yang BenarMeski demkian, ia juga berharap umat lebih

jeli dalam membeli banten maupun sarana upacara lainnya. Pasalnya, prospek keuntungan yang lumayan tinggi membuat pedagang banten semakin menjamur, terutama pedagang canang sari. Ironisnya, sebagian di antaranya tidak memperhatikan kaidah-kaidah dalam ajaran Agama Hindu. “Karena itu, beli banten yang benar. Beli di tempat yang benar,” sarannya.

Sebagai contoh sederhana, canang sari setidaknya harus memilik satu unsur utama yakni porosan atau rangkaian kapur, sirih, dan daun kayu. Menurutnya, tiga unsur dalam porosan itu melambangkan Tri Murti yakni Brahma, Wisnu dan Siwa. “Jadi kalau beli canang sari, pastikan di dalamnya ada porosan. Kalau tidak berisi porosan, itu artinya bukan canang sari, tetapi cuma rangkaian bunga,” ia mengingatkan. (erv)

Masalah jual beli banten buat Ayu Pastika bukanlah hal penting. Bagi istri Gubernur Bali Made Mangku Pastika ini, sarana-sarana upacara itu hanyalah media dan bukan hal utama. “Yang penting di dalam hatinya,” ujar ibu tiga anak itu.

Sebagai istri dari orang nomor satu di Bali, hari-hari Ayu Pastika tentunya cukup padat dengan aktivitas seputar pemerintahan. Mulai sekadar mendampingi suami dalam berbagai kegiatan formal, hingga kegiatan-kegiatan non formal seperti memantau program-program pemerintah ke daerah-daerah.

Berbagai jabatan juga disandangnya, mulai dari Ketua Dharma Wanita Provinsi Bali, Ketua Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BK3S) Provinsi Bali, hingga Ketua Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Bali.Semua jabatan-jabatan itu menuntut porsi waktu yang tidak sedikit dalam kesehariannya.

Sebagai Ketua BK3S Bali misalnya, ia wajib berkeliling ke daerah-daerah untuk memastikan program program peningkatan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan berjalan baik. BK3S Bali merupakan lembaga yang saat ini banyak menghimpun dana dari kalangan swasta untuk disalurkan kepada masyarakat miskin dalam berbagai program, seperti program bedah rumah, program pemberian kursi roda bagi penyandang cacat, program untuk siswa-siswa miskin, hingga program layanan kesehatan ke desa-desa miskin.

Sebagai ketua YKI Bali, Ayu Pastika dituntut untuk seringkali turun ke ibu-ibu rumah tangga maupun siswa sekolah dalam menyosialisasikan bahaya kanker. Belum lagi ia harus mendampingi para istri-istri pejabat dalam peningkatan kapasitas mereka di berbagai bidang keterampilan.

“Sibuk itu biasa. Ini konsekuensi,” katanya. Di sela kesibukannya, Ayu Pastika mengaku terkadang masih sempat membuat banten sederhana. Namun

diakui, tidak banyak waktu untuk itu, sehingga hal itu hanya dilakukan sesekali. “Sepanjang kita mampu, kita laksanakan dengan baik,” ujarnya.

Namun bagi dia, membeli banten jadi bukanlah masalah. Asalkan semua disesuaikan dengan kemampuan masing-masing personal. “ Sebetulnya praktis. Agama kita kan menyesuaikan. Banten juga tidak harus. Bagaimana kalau yang tidak mampu, haruskah mereka ngutang untuk beli banten, kan enggak,” ujarnya.

Ia mencontohkan, saat sang suami harus berdinas di Papua sewaktu masih menjadi anggota polisi, keluarganya bahkan seringkali harus berdoa tanpa sarana apapun. “Saat kami dinas di Papua, di sana nggak ada bunga, masak kita nggak berdoa? Jadi sarana prasarana itu menyesuaikan, yang terpenting di dalam hatinya. Fleksibel sebenarnya agama kita ini,” tambah Ayu. (erv)

I Made Suasti Puja

KUNCINYA TULUS IKHLAS

Ayu Pastika

YANG PENTING HATINYA

I Made Suasti Puja

Ayu Pastika

Page 7: E TABLOID EDISI 2 2012

7 Galang Kangin

Edisi 02/TAHUN II/PEBRUARI 2012

Sajian Utama

Di balik perkembangan tren serba beli banten jadi di kalangan masyarakat Hindu Bali, menjadi peluang bisnis tersendiri

yang digarap sejumlah masyarakat. Tak terkecuali kalangan brahmana dari dalam geriya. Hal itu pula yang dilakukan Ida Ayu Isyawati (50 tahun) dari Geriya Telaga Sanur. Perempuan yang sebenarnya berasal dari Geriya Gelgel Telaga Sanur itu, hampir setiap hari datang ke Geriya Telaga Sanur untuk menggarap pesanan-pesanan banten.

Sudah lebih dari 20 tahun, Isyawati menjalani profesinya sebagai tukang banten. Tak sekadar berbisnis, Dayu mengaku setia pada pekerjaannya karena ingin mengabdi pada Ida Pedanda Gde Telaga sekaligus beryadnya. “Sebenarnya kalau untungnya nggak seberapa. Cuma kita kerja senang. Senang meyadnya. Tiang mengabdi sama ratu peranda,” ujarnya.

Dalam bekerja, Isyawati dibantu oleh 7 orang perempuan yang kesemuanya masih terikat hubungan persaudaraan. Tak

ada gaji tetap yang diberikan kepada ketujuh “pegawainya” itu. Mereka dibayar sesuai dengan keuntungan yang dihasilkan dari penjualan banten. “Berapa ye dapat untung, segitu dibagi. Jadi menyesuaikan. Kadang-kadang banyak, kadang-kadang ya sedikit. Ya, yang penting cukup untuk beli es,” ujarnya bergurau.

Pesanan banten biasanya datang dari berbagai kalangan, mulai dari pribadi-pribadi, rumah tangga, kantor pemerintahan, hingga perhotelan. Pesanan juga datang dari berbagai wilayah mulai dari Denpasar, Kuta, Nusa Dua, Kerobokan, hingga Tanjung Benoa. Isyawati menyebut ada beberapa hotel yang sudah menjadi langganannya seperti Hotel Melia Bali, Hotel Melia Benoa, maupun Kuta Beach Club Hotel. “Jadi setiap ada upacara di hotel-hotel itu, pasti pesan ke sini,” katanya.

Jenis banten yang dipesan juga beragam, tergantung pada kebutuhan. Mulai dari banten otonan, banten ngeteg linggih, banten melaspas, hingga banten piodalan di merajan atau padmasana. Isyawati dan saudara-saudaranya hanya khusus menggarap pesanan, tidak membuat canang sari untuk dijual di pasar atau warung-warung tepi jalan.

Jenis pesanan yang datang, biasanya menyesuaikan dengan hari baik berdasar kepercayaan Hindu Bali. “Kalau hari baiknya untuk manusa yadnya, biasanya pesanan yang banyak datang ya banten otonan, perkawinan. Kalau hari baiknya dewa yadnya, pesanan banten odalan yang banyak,” tambahnya.

Kepercayaan adanya hari baik dan hari buruk untuk kegiatan upacara, juga membuat para pembuat banten mempunyai masa libur tersendiri secara otomatis. Masa liburan itu biasanya datang saat sasih di mana tidak ada hari baik untuk kegiatan upacara. “Biasanya setelah Galungan, tidak ada hari baik. Jadi pesanan nggak ada. Ya, otomatis libur dah sampai menunggu ada hari baik lagi,” ujarnya.

Harga MenyesuaikanMasalah harga, Isyawati mengaku tidak terlalu saklek. Biasanya, biaya yang

dikenakan menyesuaikan dengan budget dan kemampuan dari si pemesan. Menurut dia,

banten pada dasarnya merupakan yadnya yang harus disesuaikan dengan kemampuan, tanpa harus si pemilik gawe upacara memaksakan diri membuat upacara mewah. Itu juga sebabnya, ajaran Hindu memberi ruang bagi upacara dalam berbagai tingkatan, mulai tingkatan nista (paling sederhana), madya (sedang), hingga utama (besar).

Untuk upacara piodalan di merajan misalnya, Isyawati biasanya memberikan alternatif banten seharga Rp 2 juta, Rp 4 juta, dan Rp 8 juta. Penyesuaian harga itu, tentu berpengaruh pada kelengkapan banten. Namun dipastikan tidak akan mempengaruhi nilainya di mata Tuhan. “Karena pada dasarnya adalah ikhlas. Jadi yang penting keikhlasan,” tegasnya.

Harga banten itu pun biasanya menyesuaikan dengan harga bahan-bahan kebutuhan di pasar pada saat yang sama. Pasalnya, harga bahan-bahan kebutuhan banten seperti janur, buah, atau bunga biasanya mengalami kenaikan pada masa-masa tertentu seperti menjelang hari raya. “Ya, kalau nggak disesuaikan harganya, rugi kita,” ujar dia,

Selalu SegarDalam menggarap pesanan, lama waktu yang dihabiskan

beragam. Untuk menggarap banten piodalan merajan misalnya, biasanya harus digarap selama 2 hari hingga lembur sampai tengah malam. Hal itu dilakukan agar banten yang dihasilkan tetap segar saat akan dipersembahkan. “Saya nggak bisa bikin banten jau-jauh hari, nanti hasilnya kering, saya nggak suka ngelihatnya. Saya aja nggak suka ngelihat, gimana yang beli kan? Jadi saya selalu usahakan banten itu dalam kondisi segar,” janjinya.

Jumlah permintaan diakui berfluktuasi dari bulan ke bulan. “Kadang-kadang banyak, kadang-kadang sedikit, kadang-kadang nggak ada.”

Dalam bulan Januari 2011 ini saja, Isyawati mengaku menerima 5 pesanan banten berbagai bentuk dengan omset total mencapai Rp 50 juta. “Tapi untungnya nggak seberapa. Karena untuk belanja bahan saja bisa habis Rp 35 juta. Untungnya nggak seberapa, apalagi harus dibagi dengan 8 orang. Tapi ya kita bersyukur saja. Karena kita di sini untuk meyadnya,” tegasnya. (erv)

Tren serba beli banten jadi dalam pandangan ilmu kajian budaya, merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana yang mendalami ilmu kajian budaya, Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU., menyebutkan tren itu berkembang karena kecenderungan masyarakat sekarang yang suka dengan hal-hal praktis.

“Itu memang kecenderungan yang sudah terjadi dan akan terus terjadi karena orang sekarang sudah cenderung praktis. Kebiasaan bekerjasama, gotong-royong, dan saling membantu, sudah hilang. Orang selalu berpikir waktu adalah uang. Dan itu sekarang sudah dianggap sebagai sesuatu yang tidak salah,” ungkapnya.

Bagi Kutha Ratna, tidak ada jalan untuk menghindar dari kecenderungan itu. Itu terutama karena kesibukan masyarakat yang semakin padat karena pekerjaan yang menuntut waktu 8 jam sehari. “Memang tidak ada jalan untuk menghindar. Karena itu memang dampak globalisasi,” tegasnya.

Banyaknya aktivitas jual beli banten, menurutnya, merupakan bentuk komodifikasi budaya.Hal itu menurutnya memang makin marak di era globalisasi. Tak hanya di Bali, kecenderungan yang sama juga terjadi di luar Bali maupun pada aktivitas agama-agama lain. Namun sebagai kawasan pariwisata yang bersentuhan langsung dengan dunia global, volume komodifikasi yang terjadi di Bali diakui cenderung lebih besar dibandingkan daerah lain.

Kecenderungan yang terjadi saat ini menurutnya memiliki sisi negatif. Pasalnya, proses pembuatan banten di rumah sebenarnya memiliki makna yang spesial, yakni adanya kecenderungan religi yang masuk ke dalam pikiran-pikiran kita. “Tapi sekarang, orang datang dari kerja, di pinggir jalan tinggal keluarkan uang lima ribu rupiah, langsung bisa ambil canang satu tas plastik, lalu sembahyang di rumah. Persentase kekhusukan itu kan berkurang sudah. Nilai yang ada dalam pikiran kita tentu jadi sedikit. Tapi kita tidak bisa menghindar dari itu,” tambahnya.

Bila kondisi serupa dibiarkan terus menerus, ia mengakui akan berdampak buruk pada budaya kita ke depan. Apalagi generasi muda saat ini seakan sudah biasa dengan kepraktisan-kepraktisan itu. “Jelas ini buruk untuk budaya kita ke depan. Jiwa gotong-royong, kebersamaan antara kita, masalah-masalah pemujaan terhadap Tuhan, itu kan sudah agak hambar, tidak seperti dulu lagi. Untuk mengaktifkan kembali, mungkin bidang keagamaan yang harus punya peranan,” harapnya. (erv)

Ida Ayu IsyawatiBERBISNIS SAMBIL BERYADNYA

Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU

TIDAK ADA JALAN MENGHINDAR

Ida Ayu Isyawati

Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU.,

Page 8: E TABLOID EDISI 2 2012

8 Galang Kangin

Edisi 02/TAHUN II/PEBRUARI 2012

Peluang Usaha

Setiap sore, tepian jalan seputaran Denpasar kini tidak hanya padat oleh pedagang makanan kaki lima. Para pedagang canang juga

memadati tepi-tepi jalan. Canang-canang yang dijual, sudah dalam kemasan plastik berbagai ukuran. Jarak antarpedagang bahkan hanya hitungan beberapa meter saja. Warung-warung makan atau kelontong pun tidak mau kalah, menyediakan beberapa bungkus canang di depan warungnya setiap sore hari.

Target pembelinya jelas, para pegawai kantor yang baru pulang bekerja. Pola penjualan canang sari itu beragam. Ada yang membuat sendiri dan kemudian menjualnya langsung kepada konsumen, ada juga yang hanya menjadi “broker” atau pedagang murni. Untuk metode yang kedua, biasanya para pedagang menerima canang sari yang sudah dalam kemasan plastik dari seseorang yang memproduksi.

Pembuat canang sari itu biasanya mengantarkan langsung canang-canang tersebut ke pedagang, dengan memberi keuntungan tertentu. Sistemnya konsinyasi, atau titipan. Jadi, pedagang tidak perlu khawatir bila dagangannya tidak habis terjual, karena canang dapat sewaktu-waktu dikembalikan kepada pembuatnya.

Posisi Menentukan KeuntunganMenjamurnya pedagang canang

sari, mengindikasikan bahwa bisnis ini benar-benar menjanjikan. Ya, bisnis ini memang menawarkan keuntungan lumayan secara ekonomis. Besarnya keuntungan, sangat tergantung di posisi mana Anda berada dalam rantai perdagangan produk ritual ini.

Ada tiga posisi berbeda yang bisa dipilih, sesuai dengan pola penjualan yang umum saat ini. Anda bisa menjadi produsen murni, pedagang murni, atau mengambil posisi kedua-duanya. Bila Anda memilih jadi produsen, maka Anda tinggal memproduksi canang sari tanpa memikirkan sewa tempat dan tenaga untuk menjual. Anda hanya perlu melobi

warung-warung terdekat untuk mau menjualkan canang sari yang Anda buat. Lobi ini tentu saja dilakukan dengan menawarkan keuntungan lumayan kepada mereka, untuk setiap bungkus canang yang terjual.

Salah seorang produsen canang yang tinggal di Jalan Katrangan Denpasar, Kadek Adi, mengaku harus memberikan keuntungan Rp 2.000 untuk setiap bungkus canang sari seharga Rp 7.000 kepada pedagang warung yang menjualkan produksinya. Jadi, siswa salah satu SMA di Denpasar itu hanya mendapat Rp 5.000 rupiah dari sebungkus canang sari seharga Rp 7.000 yang masing-masing berisi 25 buah.

Dari setiap bungkus canangsari dengan harga pokok Rp 5.000 per bungkus itu, Kadek Adi mengaku mendapat keuntungan rata-rata Rp 1.000 per bungkus. “Modalnya mungkin sekitar Rp 4.000. Sedikit sih, tapi kalau dikalikan banyak, kan jadi lumayan,” kata anak kedua dari dua bersaudara itu.

Setiap harinya, Kadek Adi bisa membuat sekitar 100 bungkus canangsari. Artinya, keuntungan yang didapat sekitar Rp 100.000 per hari. “Lumayan buat nambah-nambah uang saku, juga bantu orang tua,” kata laki-laki yang biasa membuat canang sari sepulang sekolah. Untuk mempermudah kerjanya, Kadek Adi mengaku membeli ceper yang sudah jadi dari pasar.

Bila tak ingin repot seperti Kadek Adi, menjadi pedagang saja tentu lebih mudah. Anda tinggal mencari produsen canang sari, dan menawarkan bantuan untuk penjualan dengan imbalan keuntungan. Biasanya, keuntungan yang diperoleh pedagang jauh lebih besar dibandingkan produsen, seperti pengakuan Kadek Adi. Pedagang umumnya mendapat keuntungan Rp 2.000 per bungkus, sedangkan produsen hanya mendapat Rp 1.000 per bungkus. Namun hal ini hanya bisa dilakukan oleh yang punya tempat untuk berjualan, atau ada biaya sewa tempat yang harus dikeluarkan.

Pedagang pun tidak perlu khawatir dengan risiko kerugian, karena sistem kerjasama-kerjasamanya konsinyasi atau titipan. Jadi, tidak ada uang yang harus dibayar dimuka oleh pedagang, dan setiap canang yang tidak laku bisa dikembalikan sewaktu-waktu.

Keuntungan terbesar bisa didapat oleh Anda yang mau menjalani dua-duanya sekaligus, yakni memproduksi dan menjualnya langsung. Untuk ini, Anda harus punya semuanya. Modal untuk membeli bahan baku, tempat berjualan atau biaya sewa tempat jualan, tenaga untuk membuat canang sari sekaligus tenaga untuk memasarkannya. Lebih repot, namun keuntungannya jelas lebih besar karena tidak harus dibagi. Hitungan kasarnya, untuk setiap bungkus canang sari seharga Rp 7.000, keuntungan yang diperoleh bisa mencapai Rp 3.000. Bila terjual sebanyak 100 bungkus canang sari sehari, artinya keuntungan yang diraih bisa mencapai Rp 300.000 sehari.

Berfluktuasi Tanpa ProtesYang istimewa dari bisnis canang

sari, termasuk bisnis banten lainnya, harga dapat berfluktuasi mengikuti harga bahan baku tanpa ada protes. Atau setidaknya, walau dengan sedikit gerundelan, pembeli akan tetap membeli. Menjelang hari Raya Galungan tahun ini misalnya, harga canang sari tiba-tiba melonjak jadi Rp 15.000 per bungkus isi 25 buah. Atau jelang Purnama harganya bisa Rp 12.000. Ini karena harga janur, bunga, dan berbagai bahan bakunya yang tiba-tiba melonjak. Toh, canang sari tetap laku.

MANISNYA SESARI CANANGSARI

Bisnis canang sari menjanjikan keuntungan lumayan. Pasarnya pun semakin luas, seiring makin sempitnya waktu masyarakat Bali untuk “mejejahitan” sendiri.

Selain karena kebutuhan, canang sari juga merupakan produk ritual yang bagi sebagian besar harus didasarkan keikhlasan. Sebuah konsep pemikiran yang berasal dari kearifan lokal Bali, yang memberi keuntungan secara ekonomis kepada pelaku bisnis ini. “Kalau orang beli canang, jarang ada yang nawar. Kadang-kadang ada juga yang nawar,” ujar Komang Eni, salah seorang pedagang canang di kawasan Kreneng Denpasar.

Tentu saja, bisnis ini juga harus dijalankan dengan kejujuran. Ketika semua bahan baku mulai turun ke harga normal, harga canang sari biasanya menyesuaikan. Bila pedagang tidak mengembalikan ke harga normal, maka dijamin akan ditinggal pelanggannya. Karena ada banyak pedagang, ada banyak pilihan bagi konsumen.

Satu hal lagi, bisnis ini harus dijalankan dengan pengetahuan yang benar tentang konsep canang sari, tidak asal-asalan. Pastikan semua detil yang harus ada dalam canang sari, terpenuhi. Misalnya, ada porosan yang merupakan simbol Tri Murthi, yakni Brahma, Wisnu dan Siwa. Kalau tidak, maka yang Anda jual adalah rangkaian bunga dan janur, bukan canang sari.

Peluang usaha canang sari menjadi semakin besar, karena tidak sedikit umat Budha atau warga Tionghoa yang juga menggunakan tradisi canang sari dalam pemujaan di Konco atau Klenteng.

Jadi, sudah terbayang di benak Anda untuk mencoba mencicipi manisnya sesari dari berbisnis canang sari? (erv)

Tradisi canang sari juga di gunakan dalam pemujaan di Konco atau Klenteng.

Page 9: E TABLOID EDISI 2 2012

9 Galang Kangin

Edisi 02/TAHUN II/PEBRUARI 2012

Potret

Tak hanya pembangunan yang bersifat fisik semata. GP Ansor juga turut berperan serta dalam melestarikan kebudayaan yang menjadi kebanggaan masyarakat. Bahkan, GP Ansor Bali berkeinginan menciptakan gerakan yang khas yakni menciptakan pemuda yang bersih dan sehat. Tak hanya dalam artian fisik, menciptakan pemuda yang bersih dan sehat juga dimaknai secara luas.

“Ini sesuai dengan visi dan misi kami selaku pengurus. Kami memiliki visi menjadikan GP Ansor sebagai wadah untuk menyatukan dan memberdayakan pemuda Nahdatul Ulama dalam kemajuan bangsa. Sementara misi kami yakni mengoptimalkan GP Ansor sebagai wadah yang mempersatukan pemuda NU yang memiliki integritas, semangat kebangsaan, berbudi pekerti luhur, humanis, religius, berdaya juang, berjiwa patriot dalam mengantisipasi kompleksitas tantangan nasional dan global,” jelas pemuda yang pernah menjabat ketua Banser Korwil Bali ini.

Jaga KeharmonisanTak hanya sebatas dalam

kegiatan yang berkaitan dengan warga Nahdiyin. Wartha menjelaskan GP Ansor juga berperan dalam menjaga kerukunan di antara warga masyarakat. Terlebih di saat konflik begitu mudah tersulut seperti beberapa waktu belakangan ini. GP Ansor telah berupaya secara aktif terlibat dalam berbagai kegiatan dengan

berkolaborasi dengan OKP lain dalam menjaga ketertiban dan keharmonisan di masyarakat. GP Ansor selalu menjalin kerja sama dan menjadi garda terdepan dalam menjaga keamanan Bali termasuk menghindari terjadinya konflik.

“Konflik terjadi karena adanya miskomunikasi, karena itu kami selalu berusaha menjaga komunikasi dan tali silaturahmi dengan OKP lain yang ada di Bali, demi terjaganya kerukunan. Jika Bali aman, maka kamipun selaku perantauan akan mendapatkan dampak yang positif. Mustahil mencipatakan kesejahteraan jika Bali tidak aman. Sulit menciptakan kemakmuran jika terjadi konflik. Karena itu kami selalu menekankan pentingnya menghargai keanekaragaman seperti yang terkandung dalam dasar negara kita yakni Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Diperlukan kerjasama untuk menciptakan keharmonisan yang nantinya akan menjadi dasar dalam menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran,” jelasnya.

Deden tidak memungkiri antara warga lokal dan kaum pendatang rentan terjadi kecemburuan karena cemburu merupakan sifat dasar manusia. Karena itulah menurutnya para pendatang tidak boleh bersifat eksklusif dan tetap harus menjaga etika serta menempatkan warga lokal secara proporsional.

“Pemuda Ansor selalu ditekankan untuk saling menghormati. Rasa persaudaraan harus selalu ditumbuhkan.

Meskipun sebagai perantauan, jangan merasa sedang

dirantau. Kami selalu berusaha terlibat aktif

dalam kegiatan banjar, teruatama dalam hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan, karena yang berkaitan dengan keagamaan telah ada caranya sendiri-sendiri,” ujarnya. (ayu)

Pelantikan Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda (PW GP) Ansor Provinsi Bali tahun khidmat 2011-2015 bukan

sekadar pengukuhan semata. Lebih dari itu pelantikan pengurus kali ini dijadikan momen meneguhkan semangat persaudaraan bukan hanya di kalangangan warga nahdiyin, akan tetapi semua warga masyarakat Bali.

“Ini sesuai dengan paham yang dianut oleh GP Ansor ,yakni toleransi dan menghargai keberagaman. Ini sesuai dengan semangat menyama braya yang ada di Bali. Tema dalam pelantikan kali ini yakni Meneguhkan Nyama Braya sebagai Perwujudan Aswaja dalam Membangun Kemakmuran dan Kesejahteraan Masyarakat Bali,” ungkap Ketua PW GP Ansor Provinsi Bali Wartha Dihati Sandy, SH.

Semangat menyama braya juga sesuai dengan empat dasar yang dianut oleh GP Ansor yakni kepemudaan, kebangsaan, keagamaan dan kemasyarakatan. Keempat dasar ini yang selalu dijadikan landasan dalam melaksanakan berbagai kegiatan. Karenanya dalam berbagai kegiatan selalu disertai dengan kegiatan sosial yang mampu menumbuhkan rasa persaudaraan.

Wartha D. Sandy menilai, pemuda memiliki peranan yang penting dan strategis dalam masyarakat. Pemuda merupakan unsur yang sangat penting dalam pembangunan bangsa dan sudah semestinya bekerja dan berkontribusi terhadap bangsa. Hal inilah yang tengah diupayakan oleh GP Ansor untuk memaksimalkan peranan pemuda dalam pembangunan.

“Pemuda, termasuk pemuda Ansor, memiliki peranan yang sangat strategis dalam pembangunan. Termasuk di Bali, warga muslim merupakan penduduk kedua terbesar setelah Hindu, sampai tahun 2011 jumlahnya telah mencapai 640 ribu dimana 80% di antaranya merupakan warga nahdiyin. Dari jumlah itu lebih dari 50% merupakan pemuda. Karenanya pemuda meruapakan komponen penting dalam pembangunan,” jelas pemuda yang telah dua kali menjabat sebagai wakil ketua PW GP Ansor Bali ini.

organisasi kepemudaan lain untuk menjaga keharmonisan di masyarakat.

“GP Ansor selalu berupaya terlibat aktif dan menjalin komunikasi dan silaturahmi dengan OKP lain. Bahkan saat ada hari besar agama lain seperti Natal, Banser juga turut terlibat untuk menjaga ketertiban sehingga umat yang ingin beribadah merasa aman dan nyaman. Ini juga merupakan bentuk upaya kami untuk menjaga kerukunan dengan menguatkan semangat

persaudaraan.”Hal senada

disampaikan Wakil Ketua GP Ansor Bali, H. Deden Syaifullah. Sampai saat ini GP Ansor selalu

GP Ansor BaliTEGUHKAN “NYAMA BRAYA”

UNTUK KESEJAHTERAAN BALI

SEBELUM dilantik, para sahabat yang akan menjadi pengurus GP Ansor Bali diberikan pembekalan tentang Kenahdatulan, Keansoran dan Aswaja. Pembekalan diberikan untuk meningkatkan kualitas calon pengurus dan memberikan pemahaman bahwa Ansor bukan hanya sekadar unjuk kekuatan.

Deden yang juga ketua panitia pelantikan menjelaskan bahwa GP Ansor merupakan wadah menciptakan kader penerus bangsa yang berkarakter dan berintegritas. Ansor tak terlibat dalam politik meski tak membatasi para

anggotanya yang memiliki potensi untuk terjun dalam politik. Keberhasilan para anggota akan menjadi bukti keberhasilan dalam pengkaderan.

Pun demikian dengan Barisan Ansor serbaguna yang selama ini dikenal sebagai Banser, sebisa mungkin dihilangkan dari kesan menyeramkan. Banser yang juga difungsikan sebagai pengamanan internal, semakin aktif dalam berbagai kegiatan sosial sehingga jauh dari kesan ugal-ugalan.“Kami tidak asal comot dalam menentukan seorang pengurus. Saat ini Ansor terdiri atas pemuda dengan berbagai latar belakang dengan tingkat pendidikan yang beragam. Kami berniat menjadikan Ansor sebagai contoh organisasi kepemudaan yang elegan, professional dan intelektual, jauh dari kesan ugal-ugalan.” (ayu)

ELEGAN, PROFESSIONAL DAN INTELEKTUAL

Wartha Dihati Sandy, SH.Ketua PW. GP. Ansor Bali

H. Deden Syaifullah, SE.Ketua Panitia Pelantikan PW. GP. Ansor Bali

Page 10: E TABLOID EDISI 2 2012

10 Galang Kangin

Edisi 02/TAHUN II/PEBRUARI 2012

Cermin

Dua bidang usaha yakni simpan pinjam dan suplai kepada perusahaan induk ini menjadi bidang usaha yang memberikan kontribusi terbesar pada Kosigarden. Simpan pinjam menjadi primadona dari anggota. Sementara suplai barang ke perusahaan induk merupakan simbisosis mutualisme antara koperasi dan perusahaan.

“Perusahaan tentunya lebih memilih kami menyediakan kebutuhan mereka, karena akan berdampak pada kesejahteraan para karyawan,” terang Alit Indradhyana.

Tak Perlu TunaiSementara itu untuk bidang

usaha internal yakni pertokoan memang selama ini belum berkontribusi besar. Hanya saja keberadaannya cukup berarti bagi para anggota. Anggota yang memerlukan barang kebutuhan sehari-hari seperti sembako lebih dimudahkan

MESKI telah berkembang dan berhasil mensejahterakan anggotanya, tak lantas membuat pengurus Kosigarden berpuas diri. Walau berawal dari sebuah koperasi karyawan, pengurus Kosigarden berkeinginan agar koperasi ini terus berkembang, dari sisi kualitas layanan maupun bidang usaha yang digeluti. Bahkan dalam beberapa tahun ke depan mereka berencana untuk berkolaborasi dan membentuk koperasi sekunder. Harapannya agar usaha yang dilakukan bisa memberikan dampak yang lebih luas kepada masyarakat.

“Ke depan kami berencana untuk melakukan kolaborasi dengan pihak lain untuk kemudian membentuk koperasi sekunder. Jika memungkinkan, kami juga berencana untuk memperluas keanggotaan dengan harapan mampu mensejahterakan masyarakat lebih luas sesuai dengan prinsip dasar koperasi,” ujar ketua pengurus Kosigareden, IGN Alit Indradhyana.

Tak hanya berfokus dalam meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Sebagai bagian dari masyarakat sosial, Kosigarden juga memiliki kepedulian terhadap permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat sekitar. Dalam beberapa kesempatan mereka melakukan berbagai kegiatan sosial seperti kunjungan dan pemberian sumbangan ke panti asuhan dan panti jompo. (ayu)

dengan keberadaan toko ini. Anggota koperasi tak perlu membawa uang tunai jika ingin berbelanja karena bisa dipotong langsung dari gaji setiap bulannya. Inilah sebabnya mengapa karyawan, para anggota memilih berbelanja di toko milik koperasi.

Demikian halnya dengan bidang usaha simpan pinjam diperuntukkan guna memberikan kemudahan bagi para anggota. Anggota yang melakukan pinjaman akan mendapatkan kemudahan karena setiap bulan angsuran akan dipotong dari gaji. “Anggota yang meminjam angsurannya akan dipotong tiap bulan dari gaji. Jadi mereka tidak perlu repot-repot datang dan mengantre untuk membayar angsuran,” ujarnya.

Tak hanya itu. Jika dibandingkan meminjam uang di bank, para anggota koperasi Garuda Indonesia Denpasar ini lebih memilih meminjam uang di koperasi sendiri, karena Kosigarden menawarkan bunga yang lebih rendah. Bahkan pinjamannya bisa mencapai Rp 150 juta. Untuk anggota yang meminjam juga tak perlu repot-repot memikirkan agunan. SK saja telah cukup dijadikan sebagai jaminan. Di samping itu hasil yang didapat koperasi melalui usaha simpan pinjam juga akan dikembalikan kepada anggota.

“Koperasi ini tidak pure bisnis. Jadi orientasi kami dalam bekerja juga berbeda. Kami tak semata-mata hanya mencari keuntungan, tetapi bagaimana meningkatkan kesejahteraan anggota. Jadi berbeda dengan bank, dalam melayani anggota kami jauh lebih fleksibel,” terangnya. (ayu)

Kosigarden...... Sambungan dari Halaman 1

Dalam Rangka Kegiatan Sosial Pengurus Kosigarden mengadakan kunjungan dan memberikan sumban-gan ke panti asuhan dan panti jompo.

KOLABORASIKEMBANGKAN SAYAP

Page 11: E TABLOID EDISI 2 2012

11 Galang Kangin

Edisi 02/TAHUN II/PEBRUARI 2012

Cermin

Iklan Rupa-rupa

Angkasa, Alit mengaku tak pernah merasa kesulitan. Itu karena di koperasi ia tak hanya bekerja sendiri, melainkan sebagai sebuah teamwork. “Saya selalu bekerja dengan skala prioritas, selalu menjadikan pekerjaan sebagai prioritas utama.”

Quick and QualitySementara itu sebagai seseorang

yang berasal dari kalangan professional, ia memiliki prinsip tersendiri dalam memberikan pelayanan kepada anggota koperasi. “Dalam memberikan pelayanan kepada anggota, kami menerapkan prinsip quick and quality. Kedua hal ini menjadi hal utama yang harus diterapkan koperasi jika tetap ingin bersaing ke depan,” ujarnya.

Dalam penerapan prinsip quick and quality, kecepatan menjadi salah satu unsur yang penting. Jika sebuah pelayanan bisa diberikan dengan cepat maka tidak perlu dibuat lambat. Jika seorang anggota bisa mendapatkan pelayanan secara cepat, maka mereka juga bisa melanjutkan segala kegiatan dengan lebih cepat juga.

Di sisi lain, kecepatan juga harus diimbangi dengan kualitas layanan yang optimal. Kecepatan tanpa diimbangi dengan kualitas layanan, juga tak akan ada artinya. Karenanya kecepatan dan kualitas dinilai sebagai dua hal yang tak terpisahkan dan harus ada serta saling melengkapi.

“Jika anggota telah mendapatkan pelayanan yang cepat dan berkuallitas, bisa dipastikan mereka akan puas. Kepuasan ini bisa

menjadi jaminan mereka akan tetap setia memanfaatkan jasa koperasi. Pada akhirnya koperasi juga ayang akan diuntungkan,” terangnya.

Simbiosis MutualismeJika sebuah usaha termasuk

koperasi ingin berkembang dengan baik, menurut Alit Indradhyana, perlu memiliki hubungan yang baik dengan sektor lain. Hal inilah yang diterapkan Kosigarden melalui bidang usaha ekternal yang

Mengelola koperasi bukanlah perkara mudah. Seorang pengelola keperasi berkewajiban untuk

membesarkan koperasi. Berbeda dengan mengurus sebuah perusahaan, seorang pengelola berkewajiban untuk menjaga agar usaha yang dilakukan tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar koperasi. Mengembangkan koperasi tidak bisa sekadar mencari untung tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat.

Hal inilah yang diterapkan IGN Alit Indradhyana,SE., dalam mengelola koperasi karyawan Garuda Indonesia Denpasar (Kosigarden). Meski sebuah koperasi karyawan yang beranggotakan para karyawan Garuda Indonesia Denpasar, Gapura Angkasa dan GMFAA, bukan berarti koperasi ini tak berkeinginan untuk mengembangkan sayapnya. Kosigarden juga tetap berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya anggota.

Alit menceritakan, memasuki tahun kedua sebagai pengurus koperasi, tak ada kendala yang terlalu besar yang dihadapinya. Sebagai sebuah koperasi yang dikembangkan dengan konsep kebersamaan, segala masalah akan dihadapi dan dipecahkan bersama oleh pengurus. “Kami bekerja sebagai sebuah teamwork. Jadi segala masalah kami hadapi bersama sehingga terasa lebih ringan. Permasalahan yang ada tak dihadapi sendiri, semua berusaha mencarikan solusi yang terbaik.”

Fleksibilitas menjadi sesuatu yang membuat Kosigarden berbeda dengan bank umum. Ini dikarenakan mereka menilai bahwa semua anggota koperasi merupakan keluarga yang wajib dibantu dan ditingkatkan kesejahteraannya. Karena itu jika ada anggota yang memerlukan tambahan modal, lebih memilih meminjam uang di koperasi dibandingkan dengan di bank dengan bunga yang lebih tinggi dan segala persyaratan yang terkadang menyulitkan.

Meski berstatus pengurus koperasi sekaligus menjabat sebagai Kadin Aircraft Maintenance Gapura

digelutinya. Di samping menjadikan usaha simpan pinjam sebagai tumpuan, Kosigarden juga memposisikan diri sebagai suplier dari perusahaan induk.

Kebutuhan yang besar oleh perusahaan induk mampu dimanfaatkan dengan baik sehingga terjalin simbiosis mutualisme antara koperasi karyawan dengan perusahaan induk. Penyediaan barang oleh koperasi karyawan berdampak pada peningkatan kesejahteraan karyawan yang telah menjadi anggota koperasi.

“Jika barang disediakan koperasi, bukan perusahaan lain,

maka dampaknya akan lebih bagus. Keuntungan tidak akan lari keluar

tetapi ke koperasi. Jika koperasi untung maka karyawan yang menjadi anggota juga akan turut menikmatinya. Dengan demikian perusahaan juga turut berkontribusi pada peningkatan

kesejahteraan karyawan. Karena itu perusahaan lebih memilih kami, tentu dengan harga dan kualitas yang juga bersaing,” imbuhnya.(ayu)

IGN Alit Indradhyana, SEPRINSIPNYA, CEPAT DAN BERKUALITAS

TENAGA MARKETING SEBANYAK-BANYAKNYA

Hub:Redaksi Galang Kangin

Jl. Bedugul No.1 Sidakarya - Denpasar SelatanTelp: (0361) 727734 Ext. 106

Email: [email protected]

IGN Alit Indradhyana, SE

DIBUTUHKAN SEGERA

Page 12: E TABLOID EDISI 2 2012

12 Galang Kangin

Edisi 02/TAHUN II/PEBRUARI 2012

Agrobis

Bahan aktif yang dikeluarkan oleh tanaman ini berguna membunuh jamur hingga larva yang dapat merusak tanaman, dan tidak berbahaya bagi lingkungan maupun manusia yang akan mengkonsumsi tanaman tersebut. Hanya saja, efek penggunaan pestisida sintetik memang tidak sama dengan penggunaan pestisida organik. Pestisida nabati memang memerlukan waktu yang lebih lama dan penggunaan yang lebih sering. Di sinilah perlunya petani melakukan kerja ekstra agar mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan.

“Memang jika dibandingkan, efektivitas pestisida nabati yang organik tentu tidak seefektif pestida sintetik. Tetapi jika memang petani memiliki komitmen terhadap kesehatan lingkungan dan kesehatan konsumen, maka tidak akan menjadi masalah. Pestisida organik

besifat degradeble (bisa diuraikan),

karenanya tak akan meninggalkan residu yang berbahaya bagi tubuh

dan lingkungan. Tetapi

karena mudah

terurai maka harus lebih sering diaplikasikan,” jelasnya.

Sementara residu dari penggunaan pestisida sintetis akan menumpuk dalam tubuh. Dalam jumlah yang melebihi batas, akan merusak tubuh dan dapat menimbulkan penyakit seperti kanker. Sementara itu pestisida nabati karena tak akan meninggalkan residu, tak akan berbahaya bagi tubuh.

Tak itu saja. Dampak buruk penggunaan pestisida sintetik dapat membunuh mikroorganisme yang ada di tanah, yang sebenarnya berguna bagi tanaman. Ini sangat berbeda dengan pestisida nabati yang secara spesifik hanya mampu membunuh hama jenis tertentu saja.

“Satu jenis pestisida nabati hanya akan bekerja untuk satu jenis hama ataupun hama lain yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya. Pun demikian dengan tanaman yang menjadi bahan pestisida. Beberapa jenis tanaman yang memiliki hubungan kekerabatan akan memiliki bahan aktif yang sejenis yang memiliki efek yang sama bagi hama. Misalnya saja daun terap dengan daun nangka dan timbul,” terangnya.

Dari penelitian yang dilakukan Suanda, beberapa jenis tanaman bisa digunakan sebagai bahan pestisida. Daun brotowali efektif digunakan pada larva daun kubis, sembung dilan dapat digunakan sebagai

fungisida, daun mimba (intaran) dapat digunakan untuk mengusir kutu beras, daun terap efektif untuk

mengusir rayap dan sereh dapat digunakan untuk

membunuh kecoa. (ayu)

Padahal, dengan sedikit kerja ekstra, para petani sebenarnya dapat mengurangi

ketergantungan terhadap pestisida sintetik ini. Sejatinya, alam telah menyiapkan berbagai hal yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan. Berbagai tanaman bisa dimanfaatkan sebagai bahan pestisida nabati (organik). Selain penggunaan pestisida organik ini bersifat lebih ramah lingkungan, dari sisi pengeluaran juga lebih murah karena bisa didapat petani dari lingkungan sekitarnya.

Dekan FPMIPA IKIP PGRI Bali, Drs. I Wayan Suanda, SP, MSi., menyebut ada beberapa jenis tanaman yang bisa dijadikan sebagai bahan dalam pembuatan pestisida nabati. Mulai dari daun brotowali, sembung dilan, daun sirih, tembakau, hingga daun terap. Semua jenis tanaman ini serta beberapa jenis tanaman lain memiliki senyawa sekunder yang biasanya akan dikeluarkan jika merasa terancam atau dalam kondisi normal. Senyawa sekunder inilah yang berfungsi sebagai bahan aktif yang bisa membantu dalam membunuh hama.

SELAMA ini Anda bermasalah dengan banyaknya kecoak di rumah? Jika ya, maka sekaranga Anda bisa membuat sendiri pestisida untuk menghalau serangga yang kerap membuat rumah terkesan jorok. Sangat mudah. Cukup menggunakan ektrak daun sereh untuk membunuh serangga yang dikenal bandel ini. Ekstrak yang terbuat dari 1 bagian batang sereh, direbus dengan 5 bagian air hingga panas suam-suam kuku.Campuran ini selanjutnya bisa digunakan untuk menyemprot kecoak. Atau bila perlu bisa juga dicampur dengan roti yang selanjutnya digunakan untuk meracuni kecoak. Jika memiliki masalah dengan rayap, Anda bisa menggunakan ekstrak daun terap. “Caranya sama seperti membuat ekstrak sereh. Ekstrak daun terap yang telah didapat selanjutnya bisa disemprotkan pada perabotan kayu. Maka tak akan ada rayap yang memakan perabotan kayu Anda. Hanya saja karena bersifat mudah menguap, harus sering menyemprotkannya,” ungkap dekan FPMIPA IKIP PGRI Bali, I Wayan Suanda. (ayu)

Pestisida Nabati

BIAYA MURAH,SELAMATKAN LINGKUNGAN

USIR RAYAP DAN KECOAK

Biaya penanggulangan hama, selama ini menjadi salah satu pengeluaran yang memberatkan petani dalam berproduksi. Saat hama menyerang tanaman, petani tak hanya harus menanggung mahalnya harga pestisida, akan tetapi juga risiko kegagalan produksi. Dalam penanganan hama, petani lebih banyak bergantung pada pestisida sintetik yang didapat petani dengan cara membeli. Tak hanya tambahan biaya, penggunaan pestisida sintetik pun berdampak buruk bagi lingkungan.

PEMBUATAN pestisida organic dari tanaman terbilang cukup mudah. Suanda menjelaskan tanaman ini cukup dijadikan ekstrak. Misalnya untuk daun brotowali cukup diambil daun yang sudah tua untuk dijadikan ekstrak. Digunakan daun yang agak tua karena kandungan airnya lebih rendah, sementara kandungan bahan aktifnya lebih banyak dibandingkan dengan daun yang muda.

“Daun yang akan digunakan terlebih dulu dikeringanginkan, bukan dengan matahari atau oven. Selanjutnya daun yang sudah kering direbus dengan air. Perbandingannya 1 bagian daun dicampur dengan 5 bagian air. Selanjutnya daun direbus hingga panasnya di bawah 40 derajat Celsius atau suam-suam kuku. Jangan sampai airnya mendidih karena akan dapat merusak bahan aktif yang terkandung di dalamnya,” jelasnya.

Jika akan disemprotkan pada tanaman, ekstrak tersebut dapat dicampur dengan sekitar setengah sendok teh detergen. Penambahan detergen dilakukan untuk menambah daya rekat dari ekstrak pada tanaman, sehingga ekstrak tidak mudah menguap dan bisa bertahan lebih lama.

Sejak pengeringanginan, setidaknya diperlukan waktu satu - dua minggu hingga ekstrak siap digunakan. Karena petisida nabati tak seefektif pestisida sintetik dan mudah menguap, maka penyemprotan harus lebih sering dilakukan. Tetapi penggunaan pestisida nabati hanya membunuh hama dalam batas terkendali dan tak berbahaya bagi tubuh dan lingkungan, sehingga sangat dianjurkan untuk digunakan. (ayu)

MEMBUAT PESTISIDA NABATI

SerehDaun BrotowaliPohon Terap

Drs. I Wayan Suanda, SP, MSi.

Page 13: E TABLOID EDISI 2 2012

13 Galang Kangin

Edisi 02/TAHUN II/PEBRUARI 2012

Rencana pemerintah untuk menghapus subsidi pupuk urea bukannya kabar burung. Nyatanya, memasuki tahun 2012,

pemangkasan sudah dilakukan. Belum lagi, petani mengeluh karena harganya yang melambung di samping pengadaannya yang cukup sulit. “Dari akhir November 2011 permohonan pengadaan pupuk Urea telah diajukan, tapi sampai mendekati akhir bulan Januari 2012 belum juga datang,” keluh beberapa Pekaseh yang ditemui di sela-sela acara pertemuan bulanan yang rutin dilaksanakan. Lantas, kalau terlambat datang pupuknya, bagaimana solusinya?

Akhir November 2011 lalu, terungkap pula hasil aplikasi pupuk kompos yang dibuat kelompok petani melalui proses fermentasi dengan pupuk Agrodyke sebagai penyempurnanya. “Awalnya, karena bantuan pupuk lambat datang, saya memberanikan diri mencoba anjuran dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL)

ikut pelatihan yang dipandu oleh Wayan Sandi, dari unit Agro Koperasi Kharisma Madani,” terang Nyoman Linggih, petani dari salah satu subak di Denpasar Timur. Dikatakan, proses pembuatannya langsung di belakang kandang sapi, sehingga tidak perlu biaya angkut yang tinggi. Hanya saja, hasil pupuk yang telah difermentasi perlu diberi peneduh agar tidak terkena air. Setelah diaplikasikan, hasilnya lebih baik. “Biaya usaha tani lebih murah karena tidak membeli pupuk dasar, cukup hanya Agrodyke saja, gabahnya lebih bernas dan lebih berat, berasnya terlihat lebih bening,” terangnya.

Lain lagi dengan cerita pengalaman Wayan Arya, petani di Singapadu, Gianyar. Saat mengairi sawah setelah selesai panen, kotoran sapi tersebut langsung ikut dialirkan. Selanjutnya disemprot dengan 10 sendok pupuk Agrodyke yang dilarutkan ke dalam satu tangki (14 liter).

“Saya mencoba dengan cara tersebut karena ingin mengetahui hasilnya. Ternyata biaya produksinya lebih murah, dan menurut petunjuk Wayan Sandi, hasil secara kuantitas akan mulai terlihat pada panen ketiga.

Memang seperti itu terobosan yang dilakukan guna mendukung program Yarnen (Bayar Panen) Bali Madani, mengingat banyaknya potensi sumber setempat yang bisa digunakan sebagai bahan dasar. Lain daripada itu, bagi kelompok tani atau subak yang ikut program Yarnen, mampu mendapatkan penghasilan yang layak karena berkurangnya biaya produksi. Yang paling ditekankan, dengan pupuk buatan

sendiri tentu cara pengaplikasiannya tidak berubah-ubah. Dari sinilah petani akan banyak belajar di lapangan sesuai dengan evaluasi atas takaran penggunaan pupuk organik yang diproduksi sendiri.

“Dengan mengikuti program Yarnen Bali Madani, berarti mulai dari pengolahan lahan sampai padi masak susu, menggunakan pupuk Agrodyke. Dan, hasil panennya akan dibeli oleh Koperasi Kharisma Madani,” jelas Wayan Cita, Kepala Bidang Pengkajian Teknologi Dinas Pertanian dan Hortikultura Denpasar.

Dikatakan, kemitraan koperasi dengan Dinas Pertanian Denpasar pada tahun 2011 lalu dimulai dengan mengikutsertakan Unit Agro dalam program Sekolah Lapang Pertanian Tanaman Terpadu (SLPTT). Untuk program tahun 2012, bantuan bibit akan diupayakan, namun petani diwajibkan mengaplikasikan pola tanam Legowo 4 : 1 dengan arah Utara – Selatan. Agar seluruh tanaman padi mendapatkan sinar secara utuh dari pagi hingga sore harinya. Kemudian, dari Unit Agro akan lebih banyak mendorong petani membuat pupuk kompos sendiri. Selain biaya yang dikeluarkan lebih sedikit, kesehatan petani lebih terjaga dengan mengelola yang serba organik.

Keberhasilan Secara TerbukaKeberhasilan Mangku Madri dan

Nyoman Rajin di Subak Margaya di wilayah Denpasar Barat pada panen yang baru saja berlalu, juga memacu keinginan petani dari subak lainnya untuk mengikuti program Yarnen Bali Madani. Hal tersebut terungkap

Agrobis

pada pertemuan seluruh pekaseh yang diadakan di Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Denpasar Barat, 19 Desember 2011 lalu.

“Untuk memudahkan petani, agar pupuk Agrodyke ditempatkan di kantor BPP Denpasar Barat saja,” terang Made Nuana, koordinator BPP Denpasar Barat. Diimbau agar segera menyiapkan waktu untuk mengikuti pelatihan pembuatan kompos fermentasi. Dan juga diingatkan agar menjelang panen nantinya diminta kepada para pekaseh untuk berkoordinasi dengan koperasi, kemana hasil panen tersebut akan diproses. Pasalnya, koperasi juga bekerjasama dengan penyosohan padi untuk mendapatkan berasnya.

Satu hal yang cukup mendasar dari program Yarnen Bali Madani, yakni cara panen dikembalikan kepada keinginan sebagian besar petani. Mekanisme yang terjadi selama ini di mana mereka lebih memercayakan hasil panennya dikelola oleh para tengkulak. Apa yang pernah ditawarkan koperasi dengan cara panen dihargai per kilogram gabah rupanya memerlukan pembuktian secara perlahan. Tujuannya, petani maupun koperasi bekerjasama secara terbuka. Dan yang utama, pembuktian hasil, mana yang lebih menguntungkan apakah dengan dijual sewaktu padi masih berdiri atau dipanen dulu lalu ditimbang?

“Diyakini pada suatu saat nanti tentu akan bisa diubah yakni dengan terus mencoba pola tersebut,” jelas Nyoman Rajin, ketua Unit Prasarana dan Sarana Subak Margaya, Denpasar Barat. (cuk)

Subsidi Pupuk Seret

IKUTI PROGRAM YARNEN BALI MADANI

Page 14: E TABLOID EDISI 2 2012

14 Galang Kangin

Edisi 02/TAHUN II/PEBRUARI 2012

Opini

Hingar bingar pesta perayaan Tahun Baru 2012, mungkin masih bisa kita rasakan. Di tengah masyarakat Cina, 2012 yang dikenal sebagai Tahun Naga Air, dipastikan akan

menjadi tahun yang tak mudah dilalui. “Tantangan akan datang pada semua sisi kehidupan,” teropong ahli Hongsui, Ronal Hikari.

“Perekonomian Bali di tahun 2012, jika bisa tumbuh seperti tahun 2011 saja, maka sudah cukup baik. Kondisi ekonomi Bali tak terlepas dari kondisi umum perkonomian dunia di tahun naga air ini yang memang lambat, dikarenakan pada tahun naga air akan lebih banyak terjadi bencana dan masalah dibandingkan dengan prestasi,” ungkap pemilik Galeri Hongsui di kawasan Kerobokan, Badung ini.

Pada tahun naga air, bisnis yang bersifat jangka pendek dinilai sebagai pilihan yang tepat. Bisnis yang berhubungan dengan keuangan seperti koperasi dan bank akan berkembang baik. Selain itu bisnis yang berkaitan dengan jasa atau pelayanan kemasyarakatan, pemanfaatan lahan juga bisa menjadi pilihan. Tahun 2012 ini profesi seperti dokter, notaris, pengacara dan jenis pekerjaan profesional lainnya juga akan mencapai titik puncak.

Sementara secara umum di Indonesia, bisnis yang terkait dengan industri pengolahan barang setengah jadi menjadi barang jadi, nasibnya dinilai kurang baik. Barang-barang impor yang banyak masuk dengan harga lebih murah akan membuat produk lokal menjadi sulit bersaing. Demikian juga dengan industri alat-alat berat, tak adanya ekspansi akan membuat industri ini mengalami kesulitan.

Dunia kepariwisataan Bali di tahun naga air, kata Ronal, secara umum kelihatan baik , meski

kemungkinan akan mengalami penurunan. Gejolak bisa muncul akibat infrastruktur pendukung yang tidak siap. “Pemerintah terlambat 10 tahun untuk menghadapi permasalahan yang timbul saat ini. Bahkan sejak 2011 masalah ini mulai terlihat nyata seperti terjadinya kemacetan akibat ketiadaan fasilitas umum. Infrastruktur yang ada tidak relevan untuk bersaing sehingga sekarang yang didengar justru banyak complain,” ujarnya.

Secara umum posisi Indonesia bisa lebih rendah dibanding tahun 2011. Pemerintah juga harus menghindari mengambil sebuah keputusan besar pada 1 April. Misalnya Konversi BBM yang rencananya dimulai tanggal 1 April akan membuat Indonesia kembali masuk dalam krisis yang sangat besar. Pemerintah harus bisa membuat keputusan yang bijak dan program yang jelas. Harus diambil win win solution yang tak akan merugikan negara ataupun masyarakat. Penghilangan subsidi berdampak pada naiknya harga barang kebutuhan masyarakat yang akan meperbesar kesenjangan di masyarakat. Ini akan memberikan efek pada emosi dan keserakahan berlebih manusia. Jika kondisi ini bisa dihindari, maka kondisi Indonesia akan cukup baik.

Sementara itu krisis yang terjadi di Eropa juga berdampak luas pada perekonomian dunia mengingat ekonomi Eropa sangat berpengaruh sebagai salah satu pusat demand dan supply di pasaran global. Perekonomian dunia pada 2012 juga harus menghadapi ancaman jika perang antara Amerika Serikat dan Iran benar-benar terjadi yang berakibat pada bergejolaknya harga minyak. Jika ini terjadi, tahun 2012 benar-benar akan menjadi air bah yang airnya menerjang kemana-mana. Tahun 2012 bisa menjadi malapetaka jika sikap manusia terutama para pemimpin bangsa tak bisa mempunyai jiwa besar.

Tahun MenghanyutkanTahun air naga akan menjadi tahun yang

menghanyutkan. Banyak bencana alam akan terjadi seperti gempa, banjir dan tanah longsor. Bahkan Bali diprediksi akan mengalami musibah tsunami, hanya saja seberapa besar bencana ini belum diketahui pasti. Diprediksi tsunami akan terjadi di akhir tahun, sekitar bulan September hingga Desember.

“Meski bencana alam tak dapat dihindari, akan tetapi dampak yang ditimbulkan bisa diminimalisir. Caranya, pemerintah perlu melakukan langkah antisipasi. Sedia payung sebelum hujan. Apa yang terjadi di Bali pada awal tahun 2012 dimana hanya terjadi hujan 2-3 hari, akan tetapi menimbulkan banjir besar bisa menjadi wujud nyata belum siapnya pemerintah dalam mengantisipasi bencana. Banjir terjadi bukan hanya karena curah hujan yang tinggi, melainkan karena buruknya pengelolaan limbah. Tanpa persiapan yang baik, suatu hari bisa saja terjadi kejadian yang lebih buruk,” jelasnya.

Alam juga semakin sulit diprediksi. Ini sebagai akibat dari pemanasan global yang sejak 5 tahun terakhir dampaknya sangat terasa. Alam telah

memberikan peringatan bahwa alam bukan cuma untuk dimanfaatkan, akan tetapi juga dirawat dan dipelihara. Caranya sangat mudah, manusia bisa merawat pohon yang sudah ada dan menanam kembali dan merawatnya, sampah yang tak biasa hancur dan potensial merusak alam harus ditempatkan pada tempat yang semestinya untuk diproses agar tak berbahaya.

Jika manusia bertindak dari hasil proses pikiran yang cenderung mengarah pada tindakan memperkaya diri sendiri, alam justru bergerak dengan siklusnya sendiri. Alam berjalan dengan prinsip keseimbangan.

Dalam beberapa tahun terakhir berbagai peringatan juga telah diberikan oleh alam. Gempa-gempa kecil kerap terjadi di Bali, bahkan beberapa kali ada yang bisa dirasakan oleh masyarakat. Ini sebagai tanda peringatan, suatu hari bisa saja terjadi sesuatu yang lebih besar.

Di tahun naga air ini manusia cenderung menjadi lebih serakah. Manusia bersikap lebih mementingkan diri sendiri. Untuk mengatasinya maka diperlukan penguatan spiritual. Pemerintah juga perlu melakukan pengaturan yang lebih baik terkait infrastruktur dan usaha yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak.

Jika hal ini tidak dilakukan, maka kita semua harus bersiap dengan konflik yang lebih besar. Pun demikian dengan konflik adat yang terjadi di Bali, bisa semakin menjadi-jadi, jika pemerintah tidak bisa mengambil langkah yang tepat dan cepat . Pemerintah harus mempunyai bekal untuk mengantisipasi setelah berbagai peristiwa yang terjadi.

Tahun ini akan menjadi tahun yang baik bagi mereka yang ber-shio tikus dan monyet. Hanya saja pada tahun ini mereka yang ber-shio sapi, kambing, anjing dan naga itu sendiri lebih lemah dan harus lebih waspada. Tak ada yang perlu dihindari, yang terpenting adalah kerja keras untuk melewati rintangan yang akan lebih berat.

Ada empat hal yang harus dilakukan jika ingin tahun 2012 ini dilalui dengan baik. Pertama, senantiasa introspeksi diri sehingga kemampuan diri bisa lebih baik dan lebih baik lagi. Kedua, lengkapi diri dengan kerja yang sungguh-sungguh dan telaten serta terus belajar. Ketiga, perkuat iman dan spiritual, jalani hidup dengan tawakal dan tekun. Keempat, bina keluarga dan diri sendiri, rawat keluarga dan diri sendiri dengan baik.

“Tahun naga air ini meski sulit, akan tetap bisa dihadapi dengan perencanaan dan persiapapan baik fisik maupun mental. Manusia harus membuat rencana, selalu introspeksi dan menjalankan hidup secara sederhana dan positif. Dalam melakukan segala hal, bukan hasil yang menjadi fokus utama, melainkan prosesnya. Hasil merupakan hadiah atas sebuah kerja keras. Apa yang terjadi pada 2012 akan menjadi bekal dalam menghadapi tahun ular air (2013) yang diprediksi akan lebih sulit lagi.”

T :Usaha kami di bidang IT sudah berjalan lama. Kami bermaksud mengembangkan usaha kami, hanya saja terbentur soal modal. Dimanakah kami bisa mengajukan pinjaman modal agar usaha kami dapat berkembang?

I Made BudiasaJl. Nangka UtaraDenpasar

J :Persaingan bisnis di IT sangatlah ketat, segalanya harus dievaluasi jangan sampai terjebak dan telanjur mengucurkan modal besar. Jika hal itu terjadi, maka kemungkinan besar kebangkrutan siap menanti kita

karena produk IT cepat sekali berganti yang tercanggih. Oleh karena itu lakukan market terlebih dahulu. Modal usaha di bidang IT cukup besar. Untuk dapat mengakses dana diperlukan pembukuan yang bagus dan rapi. Bapak bisa coba ke BUMN untuk menjadi mitra usaha karena akan dibina terus dan bunga pinjamannya cukup murah yaitu 6% per tahun.

T :Koperasi kami sudah ada sejak tahun 2003. Kami sebagai pengurus baru, belum ada kejelasan apakah koperasi ini sudah berizin atau belum, karena dokumen yang terdahulu tidak ada. Kemana kami bisa memperoleh informasi mengenai izin koperasi kami?

Suci

Jl.Imam Bonjol,Denpasar

J : Untuk Izin koperasi sebaiknya Ibu menanyakan terlebih dahulu ke pengurus yang lama. Kalau memang belum juga menemukan titik temu, Ibu bisa langsung datang ke Dinas Koperasi dan UKM Kota Denpasar ke bagian kelembagaan/bina usaha koperasi untuk menanyakan apakah ada pengajuan izin dari pengurus sebelumnya. Jika tidak, maka permohonan diulang dan mohon pembinaan karena Ibu tinggal di Kota Denpasar, jika semua anggota Ibu berdomisili di Kota Denpasar. Brosur yang memuat langkah-langkah pendirian koperasi, bisa Ibu lihat pada brosur yang kami sediakan di Klinik KUMKM Bali secara cuma-cuma.

KLINIK KUKM BALI

Tahun Naga Air

BANYAK BENCANA, PERBANYAK SPIRITUAL

Ronal Hikari

Page 15: E TABLOID EDISI 2 2012

15 Galang Kangin

Edisi 02/TAHUN II/PEBRUARI 2012

Bale Bengong

Bicara di depan umum merupakan keterampilan yang sangat berguna dewasa ini. Siapapun perlu memiliki keterampilan ini, terlebih jika kita berada dalam suatu

organisasi. Keterampilan bicara di depan umum tidak muncul begeitu saja, perlu dipelajari dan dilatih.

Berikut langkah praktis yang mungkin dapat membantu untuk meningkatkan kemampuan berbicara efektif, sehingga apabila ada kesempatan ditunjuk menjadi pembicara tidak lagi terjadi ‘demam panggung’, tetapi justru menyenangkanSiap Sebelum Bicara

Ada 6 hal yang perlu disiapkan dalam berbicara efektif, yaitu: mengapa, siapa, di mana, kapan, apa, dan bagaimana.a. Mengapa: Menetapkan Sasaran Hal pertama yang harus jelas dalam pikiran

Anda sebagai pembicara adalah menetapkan sasaran pembicaraan. Penetapan sasaran sangat membantu dalam menentukan arah pembicaraan dan juga bermanfaat dalam memilih bahan yang sesuai dengan sasaran. Pada umumnya sasaran pembicaraan dapat dikelompokkan berdasarkan tujuan, misalnya presentasi tugas, memimpin rapat, mengisi kajian.

b. Siapa: Pendengar Meneliti apa dan siapa pendengar dapat

membantu dalam menetapkan bahan yang akan disampaikan dan meyakinkan diri Anda bahwa Anda menyampaikan bahan pembicaraan kepada pendengar yang tepat.

Hal yang perlu diketahui dari sidang pendengar antara lain :1. Jumlah orang yang hadir?2. Mengapa mereka hadir di ruang tersebut?3. Tingkat pengetahuan peserta atas topik

pembicaraan?4. Harapan mereka atas topik pembicaraan?5. Usia, pendidikan, dan jenis kelamin mereka?

c. Di mana: Tempat dan Sarana Penting bagi Anda untuk

mengetahui dan memperhatikan tempat pembicaraan akan dilaksanakan. Berikut ini beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bagi pembicara :1. Melakukan praktik Apabila pembicaraan dilaksanakan pada

ruang yang besar dan luas, maka akan lebih baik untuk mencoba suara terlebih dahulu, sebelum betul-betul berbicara di depan sidang pendengar.

2. Mempelajari sarana yang tersedia Sangat bermanfaat, bila Anda lebih

dahulu melakukan latihan untuk dapat mengoperasikan tombol-tombol computer dan LCD, atau slide projector dan OHP

3. Meneliti gangguan yang mungkin timbul Anda perlu mewaspadai gangguan yang

mungkin timbul, misalnya pembicaraan dilakukan dekat jalan raya, sehingga suaramu harus dapat mengalahkan suara kendaraan yang lewat.

4. Tata letak tempat duduk Tata letak tempat duduk perlu diperhatikan,

diatur, dipersiapkan, dan dikaitkan dengan sasaran pembicaraan.

d. Kapan: Waktu Berapa lama waktu yang diperlukan dalam

pembicaraan? Anda perlu memperhatikan manajemen waktu.- Waktu penyelenggaraan sangat mempengaruhi Biasanya, waktu sesudah makan siang dikenal

Ritual agama Hindu di Bali sangat identik dengan bebanten. Dalam perjalanan dan perkembangan Hindu sampai di Bali, oleh “manusia” Bali, sesuatu yang awalnya sederhana mulai mendapat sentuhan kreativitas seni. Maka terwujudlah berbagai pernik sarana upacara yang dijadikan simbol mewakili rasa terima kasih kepada Sang Pencipta. Daksina linggih misalnya, terdiri dari kelapa sebagai simbol bumi yang bulat dan unsur isi perut bumi. Oleh karena kekhasannya kala itu, maka disebutlah sebagai agama Hindu Bali.

Pekak Putu langsung teringat pada masa kecilnya ketika pernah bertanya pada kakeknya, mengapa di Bali sedemikian seringnya kita melakukan upacara? Kakek kala itu menjawab dengan sangat bijak, “Kamu paham kenapa disebut Bali? Bebali berarti bebanten; Baan enten (= karena sadar dari tidur). Jadi, banten artinya tersadar. Dengan kata lain, orang Bali melakukan upacara karena adanya kesadaran/eling, yaitu untuk kembali sadar. Semua yang kita lakukan harus dengan kesadaran, tidak karena mabuk, pamer dan sejenisnya. Dan kesadaran, pasti landasannya keikhlasan, bukan keterpaksaan. Bicara keikhlasan, Pekak Putu mulai menimbang-nimbang artinya. Apakah yang dimaksud dengan keikhlasan? Keikhlasan untuk mempersiapkan upacara sendirikah, atau keikhlasan untuk melakukan upacara dengan biaya besar dan semua bebantennya dapat dibeli?

Dengan kondisi seperti sekarang ini, ketika dunia kerja menuntut banyak waktu, seringkali urusan upacara dan bebanten menjadi terasa sangat merepotkan. Terutama ketika rangkaian rerahinan seperti sekarang ini; Tumpek Uduh, Sugian Jawa-Bali, Galungan, Kuningan. Bagi keluarga dengan status ibu bekerja, tentu akan sangat menyita waktu mempersiapkan semua pernik bebanten untuk upacara ini. Jadi kalau bicara kepraktisan, memang lebih mudah membeli. Tapi apakah itu yang dimaksud oleh kata bebanten? Mengenai bebanten, lontar Yadnya Prakerti menyebutkan bahwa kita mempersiapkan banten sesuai dengan desa, kala, dan patra. Yang dimaksud dengan desa adalah menggunakan bahan-bahan banten yang berasal dari lingkungan tempat tinggal kita. Kala adalah waktu yang tersedia untuk menyiapkan banten, dan patra adalah dana yang tersedia untuk membeli bahan-bahan.

Pekak Putu kembali merenung. Bila sastra agama sudah menyebutkan seperti ini, seharusnya tidak ada lagi kata merepotkan untuk mempersiapkan bebanten untuk upacara keagamaan. Bukankah semuanya bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing personal? Ketika seluruh pernik bebantenan bisa dibeli di pasar, bahkan pejati lengkap dengan ayam betutunya juga bisa dipesan, apakah ini yang disebut keikhlasan dari arti mendalam bebanten?

Pada saat begini, Pekak Putu jadi merindukan kedatangan Bli Nyoman Coblong yang sering muncul tiba-tiba. Biasanya Bli Nyoman Coblong selalu punya ide kreatif untuk hal-hal seperti ini? Sayangnya Bli Nyoman Coblong ternyata sedang asyik menemani istrinya ke Pasar Badung untuk membeli bahan-bahan keperluan banten Galungan. Rupanya istri Bli Nyoman memilih keikhlasan untuk membuat sendiri bebanten Galungan. Karena, menurut Bli Nyoman, bebanten, walaupun sederhana bila dibuat dengan ketulusan hati, akan lebih metaksu. Pekak Putu tersenyum senang mendengar cerita Bli Nyoman, walaupun hanya lewat BBM. Mungkin yang penting untuk diingat adalah sesajen atau banten yang sederhana tetapi tidak menyimpang dari sastra-sastra agama akan tetap sarat makna bila dibuat dan dipersembahkan dengan keikhlasan. Sehingga dengan demikian semua umat dapat melaksanakan upacara yadnya sesuai dengan kemampuan keuangannya masing-masing. Mau buat sendiri atau membeli….ya terserah Anda…yang penting ikhlas…hehehe

Potensi

sebagai waktu ‘kuburan’. Pendengar yang sudah makan kenyang, apalagi jika makanan yang disajikan enak rasanya, akan membuat pendengar lebih tertarik untuk ‘berngantuk ria’ daripada mendengarkan pembicaraan.

- Berapa lama waktu yang digunakan Anda perlu memperhatikan waktu, misalnya

waktu untuk pembahasan, waktu istirahat, atau waktu tanya jawab. Agar punya manajemen waktu yang baik, maka perlu latihan terlebih dulu.

- Masalah konsentrasi Sangat sulit bagi pendengar untuk

berkonsentrasi penuh selama lebih dari 2 jam. Apalagi bila mereka merasa bahwa pembicaraan Anda tidak menarik, tidak bermanfaat, dan tidak berminat. Umumnya seseorang dapat berkonsentrasi penuh pada 20 menit di awal pembicaraan, setelah itu konsentrasi akan menurun sedikit demi sedikit.

e. Apa: Bahan yang Akan Digunakan Agar sasaran pembicaraan dapat dicapai, maka

persiapan bahan perlu dilakukan. Berikut ini beberapa saran dalam pemilihan bahan:

1. Menyusun dan memilih bahan Susunlah pokok-pokok pembicaraan. Sebaiknya

pada 10 menit pertama. Jangan terlalu banyak pokok-pokok yang akan disampaikan. Dalam pemilihan bahan perlu diperhatikan: sasaran pembicaraan, waktu yang tersedia, pendengar, mana bahan yang harus diberikan dan bahan yang tidak perlu diberikan.

2. Gunakan contoh Sederhanakan informasi yang sulit dan

kompleks. Gunakan juga contoh-contoh yang benar-benar terjadi dan kaitkan dengan pokok-pokok yang ingin disampaikan.

3. Membuka dan menutup pembicaraan Dalam membuka pembicaraan perlu dirancang

agar dapat menimbulkan minat pendengar, dapat menimbulkan rasa butuh dari pendengar, dapat menjelaskan garis besar dan sasaran pembicaraan. Dalam menutup pembicaraan, Anda harus dapat menyimpulkan hal-hal yang telah dibicarakan.

4. Membuat catatan-catatan apa yang ingin dibicarakan.

Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengingat urut-urutan dalam pembicaraan adalah membuat catatan tertulis dengan menggunakan kartu-kartu atau kertas kecil. Hal yang dituliskan dalam kartu sebaiknya kata-kata kunci saja dan waktu yang digunakan untuk membicarakan apa yang tertulis di setiap kartu.

f. Bagaimana: Teknik Penyampaian Penggunaan kata merupakan basis komunikasi,

tetapi dalam kenyataannya keberhasilan dalam pembicaraan tidak hanya ditentukan dari penggunaan kata saja, tetapi justru penggunaan nonkata. Bicara di depan umum yang berhasil seharusnya memenuhi persentase kontribusi sebagai berikut : sebanyak 7% penggunaan kata. 38% penggunaan nada dan suara, 55% penggunaan ekspresi muka, bahasa tubuh, dan gerakan tubuh1. Pemilihan kata Kata-kata yang digunakan sebaiknya

disesuaikan dengan taraf pendengar, begitu juga penggunaan istilah. Sadari bahwa penggunaan kata-kata yang tidak tepat akan menimbulkan masalah.

2. Teknik penyampaian berita Tidak banyak orang yang mampu

menyampaikan berita dengan efektif. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan berita, antara lain:- Gunakan ekspresi dan intonasi yang tepat.- Diam sejenak untuk membantu peserta

agar dapat mencerna materi yang sudah diterima.

- Bicara dengan jelas dan teratur.- Bicara dengan volume memadai.

3. Bahasa tubuh Di samping penyampaian dengan

menggunakan kata, maka kesuksesan dalam pembicaraan justru bergantung pada hal yang non kata, seperti: gerakan tubuh, tangan, kontak mata, cara berdiri, dan ekspresi muka. Jangan terpaku di satu tempat seperti patung atau sibuk membaca catatan.

Semoga beberapa tips di atas dapat menjadi acuan, sehingga Anda tidak lagi grogi berbicara di depan umum.

Oleh : Geg Aniek

LK Budi Martini, SE.MMDosen Fakultas Ekonomi

Universitas Mahasaraswati Denpasar dan juga seorang

Instruktur Kepribadian, Service Excellent, Komunikasi serta Etika dan Kepribadian

BUAT ATAU BELI,TERGANTUNG IKHLASNYA?

SUKSES BICARA DI DEPAN UMUM

SUKSES BICARA DI DEPAN UMUM

Page 16: E TABLOID EDISI 2 2012

16 Galang Kangin

Edisi 02/TAHUN II/PEBRUARI 2012

Setiap ibu yang pernah melahirkan, pasti mengenal tali pusat (tali pusar), tetapi mungkin tidak semua bapak peduli akan tali pusat. Tali pusat yang terlepas dari sang bayi (umumnya 3 – 7 hari sejak lahir), si ibu (orangtua) akan membungkusnya dengan kain kasa, kemudian mengubur tali pusat itu karena dianggap tak berguna lagi. Ada juga yang menyimpannya dalam sebuah aksesoris (umumnya dari bahan perak), biasanya dalam mainan kalung sang bayi.

Akan tetapi sejak tahun 2000-an muncul trend baru. Tali pusat atau darah tali pusat justru disimpan. Bahkan mulai muncul perusahaan yang menyediakan jasa penyimpanan tali pusat. Penyimpanan dilakukan karena sel yang terkandung dalam darah tali pusat dianggap mampu menyembuhkan beberapa penyakit yang selama ini justru sulit diobati.

Apa sejatinya tali pusat itu? Tali pusat, selama dalam kandungan, berfungsi sebagai penghubung antara janin dan si ibu, menyalurkan makanan dari ibu ke janin. Setelah lahir, fungsi ini akan beralih pada mulut, sehingga tali pusat dianggap tidak berguna lagi.

Bagi masyarakat Bali, menyimpan tali pusat bukanlah sesuatu yang baru. “Orang Bali selalu menyimpan tali pusat si anak setidaknya selama anak masih balita. Tali pusat yang disimpan ini memang sering digunakan untuk mengobati penyakit yang dialami si anak,” ungkap I Gusti Nyoman Tantra, penekun pengobatan tradisional yang juga seorang dalang.

Tak hanya untuk mengobati penyakit, tali pusat bahkan dipercaya menjadi penangkal berbagai ilmu hitam yang dialami seseorang. Bahkan tali pusat bisa digunakan sebagai jimat sejak seseorang lahir hingga mati. “Tali pusat bisa digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, ini telah diketahui orang-orang Bali sejak dahulu. Karena itu jika seorang bayi telah

lepas tali pusatnya, tali pusat tersebut disimpan dan bukannya dikubur, karena memiliki begitu banyak kegunaan dan tak bisa tergantikan,” ujarnya.

Dikasi Anget-angetTali pusat yang disimpan biasanya

akan diawetkan terlebih dahulu. Tali pusat yang telah lepas akan diisi dengan anget-anget (rempah-rempah) agar kering dan awet serta tidak berbau. Selanjutnya tali pusat yang telah diawetkan disimpan di dalam tipat. Selanjutnya tali pusat ini bisa diletakkan di kolong tempat tidur sebagai penangkal ilmu hitam.

Tali pusat dipercaya sebagai pelindung karena sejak dalam kandungan tali pusat menjadi penghubung antara ibu dengan janin. Tali pusat menjadi jalan masuknya makanan pada tubuh bayi. Dengan demikian saat dalam kandungan, tali pusat menjadi sumber kehidupan janin. Bahkan tali pusat dipercaya sebagai penghubung antara manusia dengan empat saudara yang lahir bersamanya (catur sanak).

“Ada beberapa penyakit yang biasa diobati dengan memanfaatkan tali pusat. Misalnya saja sakit perut, biasanya diobati dengan menggunakan air hangat yang telah dicelupi dengan tali pusat. Tali pusat sangat efektif untuk digunakan karena bersumber dari diri sendiri. Sayangnya banyak yang lalai dan kemudian menghilangkannya. Padahal tali pusat bisa bermanfaat sampai mati,” terang sang dalang.

Sembuhkan Penyakit Dalam ilmu pengobatan modern, darah tali pusat (umbilical cord blood) diketahui mengandung stem cell (sel induk) yang mampu memproduksi sel-sel darah baru seperti sel darah merah, sel darah putih, dan keping darah. Stem cell juga mampu memperbaiki sistem

Seni Budaya

kekebalan tubuh sampai menggantikan jaringan yang rusak. Darah tali pusat biasa

digunakan untuk terapi berbagai penyakit.Sel induk yang dikenal juga dengan sel punca, mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk berkembang menjadi banyak jenis sel yang berbeda di dalam tubuh. Sel punca juga berfungsi sebagai sistem perbaikan untuk mengganti sel-sel tubuh yang rusak, demi kelangsungan hidup organisme. Saat sel punca terbelah, sel yang baru mempunyai potensi untuk tetap menjadi sel punca atau menjadi sel dari jenis lain dengan fungsi yang lebih khusus, misalnya sel otot, sel darah merah atau sel otak.Sel punca memiliki sifat penting yang sangat berbeda dengan sel yang lain karena sel punca belum merupakan sel dengan spesialisasi fungsi, tetapi dapat memperbaharui diri dengan pembelahan sel bahkan setelah tidak aktif dalam waktu yang panjang. Dalam situasi tertentu, sel punca dapat diinduksi untuk menjadi sel dengan fungsi tertentu seperti sel jaringan maupun sel organ yang mempunyai tugas tersendiriPenelitian terhadap sel punca, dapat dikatakan dimulai pada tahun 1960-an. Peneliti meyakini bahwa sel punca berpotensi untuk mengubah keadaan penyakit manusia dengan cara

memperbaiki jaringan atau organ tubuh tertentu. Pada tahun 1970-an, para peneliti menemukan bahwa darah tali pusat manusia mengandung sel induk yang sama dengan sel induk yang ditemukan dalam sumsum tulang.

Karena sel induk dari sumsum tulang telah berhasil mengobati pasien-pasien dengan penyakit-penyakit kelainan darah yang mengancam jiwa seperti leukemia dan gangguan-gangguan sistem kekebalan tubuh,

maka para peneliti percaya bahwa mereka juga dapat menggunakan sel induk dari darah tali pusat untuk menyelamatkan jiwa pasien mereka.Darah tali pusat mengandung sejumlah sel induk yang bermakna dan memiliki keunggulan di atas transplantasi sel induk dari sumsum tulang atau dari darah tepi bagi pasien-pasien tertentu. Darah tali pusat dapat digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit dan kelainan genetis seperti thalasemia, leukemia, hemofilia, dan juga dapat digunakan dalam terapi regeneratif yang marak belakangan ini untuk penyakit jantung, stroke, diabetes mellitus. Bahkan darah tali pusat dipercaya tak hanya bermanfaat bagi si pemilik tali pusat, tetapi juga bagi saudara kandungnya.Transplantasi sel punca ini adalah opsi pengobatan yang sangat penting bagi berbagai macam kelainan darah dan kanker. Tanpa sel punca darah, pasien-pasien ini tidak memiliki opsi untuk melakukan transplantasi, dan kemungkinan tidak memiliki kesempatan untuk sembuh.Karena begitu pentingnya sel punca itulah, banyak bank sel punca bermunculan di seluruh dunia untuk menyediakan donor sel punca bagi yang memerlukan. Bank sel punca ini ada dalam bentuk “bone marrow registries” dan bank darah tali pusat. Lalu bagaimana dengan Anda? Tertarik untuk menyimpan tali pusat Anda di bank sel punca atau lebih memilih menyimpannya secara tradisional? (ayu)

TALI PUSAT, JIMAT BEKAL LAHIR