duA BELAS

12
12 SEPOTONG CINTA DI UJUNG SENJA Saat-saat Ririn masih hidup, kenangan terhadap Hanna tak pernah muncul. Sosok Ririn mampu memenuhi angannya. Sebagai seorang wanita sekaligus seorang istri, Ririn adalah sosok yang sempurna. Wajah yang cantik, penuh pengabdian, setia, dan sabar pada suami. Pembawaan yang selalu tersenyum lembut membuat Ir. Setto tidak memiliki kesempatan melirik wanita lain. Apalagi berpikir untuk macam-macam dengan perempuan lain. Semakin tua semakin matang cintanya pada sang istri. Sayang dari jalinan cinta kasih yang suci yang mereka lewati, Ririn hanya mampu mempersembahkan seorang anak laki-laki. Setto ingin memiliki dua atau tiga anak. Ada rasa kasihan pada Wandra Samudra nanti jika tidak memiliki saudara. Ia sendiri mengalami susahnya menjadi anak tunggal. Semula keduanya tak mau menyerah, berbagai cara telah dilakukan agar Wandra Samudra memiliki adik, tetapi hasilnya tetap nihil. 89

description

dua belas lah

Transcript of duA BELAS

12

SEPOTONG CINTA DI UJUNG SENJA

Saat-saat Ririn masih hidup, kenangan terhadap Hanna tak pernah muncul. Sosok Ririn mampu memenuhi angannya. Sebagai seorang wanita sekaligus seorang istri, Ririn adalah sosok yang sempurna. Wajah yang cantik, penuh pengabdian, setia, dan sabar pada suami. Pembawaan yang selalu tersenyum lembut membuat Ir. Setto tidak memiliki kesempatan melirik wanita lain. Apalagi berpikir untuk macam-macam dengan perempuan lain. Semakin tua semakin matang cintanya pada sang istri. Sayang dari jalinan cinta kasih yang suci yang mereka lewati, Ririn hanya mampu mempersembahkan seorang anak laki-laki. Setto ingin memiliki dua atau tiga anak. Ada rasa kasihan pada Wandra Samudra nanti jika tidak memiliki saudara. Ia sendiri mengalami susahnya menjadi anak tunggal. Semula keduanya tak mau menyerah, berbagai cara telah dilakukan agar Wandra Samudra memiliki adik, tetapi hasilnya tetap nihil. Ir. Setto baru sadar, jika semua itu adalah kehendak Illahi. Semua ini sudah takdir, kehendak Allah, agar aku bisa bersatu dengan Hanna, seperti yang pernah kuucapkan janji waktu muda dulu. pikirnya dalam hati. Tuhan telah membuat jalan berliku, indah, dan romantis untuk menyatukan dirinya dengan Hanna. Tetapi sekarang, Setto sendiri menjadi ragu. Ia khawatir Hanna akan mengatakan cinta tetapi menolak untuk menjadi istri seperti dahulu.

Ir. Setto bingung dari mana harus memulai semua itu? Dulu masih mudah. Apa yang dilakukan semua wajar karena darah muda. Masalah adat-istiadat tidak menjadi permasalahan. Jika sekarang ia mengulangi cara-cara seperti dulu, apa kata Hanna?

Setiap kali terngiang pengakuan dan permintaan Hanna pada pertemuan yang terakhir ia semakin minder. Mas Setto, jujur saja Hanna, mencintai Mas Setto. Tetapi Hanna juga sangat mencintai Mas Cipto sebagai calon suami Hanna. Karena itu Hanna minta ajari Hanna untuk menjadi seorang wanita, seorang ibu sekaligus seorang istri yang baik. Biarkan cinta yang kupersembahkan pada suamiku tidak tersisipi cinta yang lain. Maafkan Hanna Mas, jika Hanna tidak menerima Mas.

Sejak itu dirinya tidak lagi mengganggu Hanna. Perasaannya kecewa, sakit, dan putus asa. Sebagai lelaki sejati, ia tidak akan merebut Hanna. Ia ingin orang yang dicintai bahagia bersama pilihannya. Dirinya juga tidak pernah mengabarkan keadaan Hanna, bila kebetulan bertemu dengan kawan sekelas Hanna.

Selama menjalani kuliah, Setto terus belajar tidak lagi memikirkan wanita. Baginya cukup Hanna saja yang ia icintai. Sebagai anak tunggal Setto memiliki kewajiban yang lebih besar. Usaha yang dirintis orang tuanya harus berkembang. Semua itu memerlukan tenaga dan konsentrasi optimal agar usaha orang tuanya mampu berkembang lebih maju.

Bila akhirnya ia jatuh cinta pada Ririn sekretarisnya, kebetulan Ririn memiliki sikap dan wajah hampir sama dengan Hannna. Tinggi semampai, tubuhnya padat berisi, berambut lebat dan panjang. Senyumnya manis sekali, menyerupai senyum Hanna. Semuanya adalah milik Hanna. Hanya satu yang tidak dimiliki Hanna, yakni gelar sarjana.

Kehadiran Ririn menyadarkan dirinya untuk memiki penerus hidupnya. Ririn mampu menumbuhkan rasa itu sehingga mengubur bayangan Hanna dalam hidupnya. Kini Ririn telah tiada, kemesraan dilewati seperti mimpi indah. Beberapa hari lagi sudah peringatan seratus hari istri dan anak tercintanya.

Lelaki setengah tua itu terus menimbang dan menghitung dari berbagai segi semua positif. Toh, akhirnya setelah dikaji ulang berujung pada ketumpulan dan keraguan. Ir. Setto menyerah kalah. Pikirannya macet bak jalan Jakarta. Yang bisa dilakukan hanya menanti waktu. Jika jodoh, tak akan ke mana.

Sementara di desa, perasaan Bu Hanna tidak jauh beda dengan apa yang dirasakan Ir. Setto. Bedanya, kekhawatiran tidak hanya bertumpu pada Ir. Setto . yang anak tuggal sebatang kara. Dirinya, selain memiliki saudara, juga harus menjaga perasaan Naya. Setuju kah Naya jika dirinya menikah lagi? Sudah berkali-kali lelaki yang mengajak berumah tangga, semuanya selalu ditolak, selain tiada cinta juga rata-rata mereka kurang menerima kehadiran Naya. Ditambah lagi penilaian Mbah Jarwo terhadap dirinya istri yang tidak setia. Hanna seperti orang ling-lung dalam penantian yang tak kujung tiba.

Untung ia segera terbangun dari khayalannya. Diambilnya nafas dalam-dalam untuk merenung kembali. Seharusnya dirinya bersyukur terlepas dari derita. Bukan terus menderita seperti ketika Naya belum sembuh, utang menggunung, dan rumah tempat beteduh pun akan terjual. Astagfirullah, Ya... Allah ampuni hambamu yang tak bisa mensyukuri rahmadMU. Ketika masalah menindihku tidak bersyukur itu wajar. Kini semua telah Engkau angkat hingga hamba terlepas dari semua derita, tetapi mengapa hamba masih belum bisa bersyukur juga? Gusti.... Ajari hamba bersyukur padaMu, agar tidak menjadi khufur. Tumbuhkan rasa cinta padaMu, agar Hamba selalu di sisiMu. selesai mengucap istigfar Bu Hanna teringat jika dirinya belum membayarkan uang ke Bu Nasri. Bu Hanna bergegas, dengan tak henti-hentinya menyalahkan diri sendiri. Akibat terlau melambung dalam lamunan semua rencana terlupakan. Padahal menurut rencana begitu Naya berangkat ke Semarang,dirinya akan segera membayar utang, takut ada apa-apa dengan uang tersebut.

Diputarnya kunci almari, masih terlihat beberapa bendel uang. Segara diraih dan dimasukkan dalam kantong terigu. Dihimpitnya kantong tersebut lalu menarik kain untuk menggedongnya, agar tak terlepas dari tubuhnya. Bu Hanna bergegas mengambil sepeda setelah gendongan kainnya rapat dan kencang. Tak ada yang mengetahui bila dirinya membawa uang puluhan juta rupiah, kepergiannya seperti hendak mengambil kapuk di rumah Bu Nasri.

Bu Hanna tidak langsung menuju gudang kapuk yang berada di belakang rumah Pak Hartoyo. Sampai di jalan samping rumah menuju gudang Bu Hanna menghentikan sepeda. Disandarkan sepeda di tembok samping kemudian melangkah duduk di lantai beranda, untuk menanti Bu Nasri menemuinya.

Bu Nasri yang sejak tadi melihat kedatangan Bu Hanna, telah mengetahui kebiasaan perempuan cantik itu. Jika ada kepentingan, dengan dirinya selalu ke rumah utama, sambil istirahat di lantai berada depan.

Pasti, lho, Bu Hanna itu duduk di lantai? Mbok langsung masuk saja, seperti ke rumah siapa. Ayo masuk! tegur Bu Nasri sambil tersenyum ramah.

Sudahlah, Bu, di sini rasanya enak bisa melihat orang lewat. Sambungnya selalu merendah dan halus. Bu Hanna berdiri kemudian melangkah masuk. Bagaimana Naya, sudah sehat seperti sedia kala ?

Berkat doa Bu Nasri. Tapi belum bisa saya ajak membuat kasur seperti dulu. Sekarang sebentar saja sudah mengeluh capek!

Ya, jangan dipaksa dulu. Biarlah kesehatannya dijaga dulu, itu lebih penting. Nah, ada perlu apa?

Iya, Bu. Sangat penting. Anu, Bu ....? agak sungkan juga Bu Hanna berterus terang. Ia takut dengan bayangannya sendiri, bila sampai ditanya dari mana uang diperoleh.

Sudah, tidak perlu sungkan! Bu Hanna ini kok, ya, masih menganggap saya orang lain. Ayo bicara saja, Bu?

Itu, lho, Bu, saya mau bayar utang, nanti jika butuh kembali bisa utang lagi?

Lho, rumah Bu Hanna jadi dijual...?

Tidak, Bu. Saya tetap patuh pada Bu Nasri. Uang ini bukan uang rumah, tetapi bantuan dari orang yang menabrak Naya.

Bu Nasri tertegun, ada orang sedermawan itu. Padahal sudah beberapa bulan polisi tidak mampu menemukan. Pura-pura tidak tahu pun sudah aman.

Di meja tamu Bu Hanna membuka kantong, dan menyerahkan beberapa bendel uang. Silahkan Bu Nasri hitung, untuk sementara hanya ini yang dapat saya kembalikan! ujarnya takut jika uang tersebut berbunga.

Lho, kok banyak sekali. Ini untuk apa, utang Bu Hanna hanya empat puluh lima juta. Bukan lima puluh lima juta! jelasnya sambil mengembalikan sisa.

Maaf Bu, sekali lagi Maaf. Itu sebagai jasa.

Bu Nasri tersenyum lembut. Bu Hanna, tidak ada jasanya. Jangankan dengan sampean dengan orang lain pun saya tak pernah mengambil jasa! Biarlah kita apa adanya, jangan tercampur dengan riba.

Agak lama keduanya ngobrol. Bu Hanna tetap hati-hati agar tidak terlontar. Ir. Setto biarlah jadi misteri buat Bu Nasri. Akhirnya Bu Hanna mengambil kapuk lebih banyak untuk mengatasi kesepiannya. Untuk pertama kalinya Naya bermalam di rumah orang tanpa ibundanya. Naya sudah kangen dengan ibunya. Untuk menghilang rasa bosan dan sepi, ia membuka facebook milik Wandra Samudra yang diserahkan padanya. Naya membuka nama Nuri, ia melihat Nuri tersenyum manja dan cantik jelita. Beberapa foto kawan Nuri terpampang. Naya membuka sesuatu yang dirahasiakan. Begitu terbuka Naya tersenyum kecut melihat fotonya.

Setelah semua terbaca, Naya segera membuka milik Sanita. Naya terperangah karena semua foto bersamanya saat duta wisata tngkat kabupaten dan provinsi dipampangkan. Tak henti-hentinya Naya mengamati fotonya sebelum kecelakaan. Sampai tak sadar Ir. Setto berdiri di belakangnya.

Wah, lagi asyik rupanya. Tegur Pak Setto dari jauh.

Baru ngontek kawan, Pak.

Pacar, ya! Pasti pacarmu banyak, ya... Naya?

Mosok si pengrajin kasur punya pacar, Pak? Kamu ganteng, pandai dan flamboyan. Bapak yakin gadis-gadis akan berebut untuk mendapatkan cintamu. Zamannya beda dengan zaman Bapak muda dulu. Sekarang yang dicari pria bermotor dan bermobil. Bukan ganteng atau pandai. Tak laku, Pak? sambung Naya diiringi derai tawa.

Kamu bisa saja berkilah, Nay.

Ini fakta Pak. Mungkin waktu muda bapak yang pacarnya banyak?

Deg! hati Ir. Seto berdetak kencang. Ini kesempatan untuk menyampaikan isi hatinya. Sebagai pengusaha yang jeli memanfaatkan peluang, kesempatan itu tidak disia-siakan.

Jujur sajalah, Pak. Tak usah malu. Naya mau belajar dengan Bapak! goda Naya.

Bapak ini pencinta yang gagal. Tak ada yang dapat kau pelajari tentang cinta dengan Bapak! jawabnya sambil memancing Naya bertanya lebih menjurus.

Ceritakan, Pak. Tidak apa-apa, Naya sudah bisa memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk Naya!

Ok, sekarang kamu sudah besar. Bapak akan jujur tetapi kamu jangan tersinggung dan jangan marah dulu. Sebab cerita kisah cinta saya berkaitan dengan orang tuamu!

Naya setengah tidak percaya mendengarnya. Segera ia palingkan wajahnya menghadap Pak Setto. Kok, bisa begitu Pak?

Kamu siap mendengarnya?

Pasti sangat menarik. Naya tidak akan bicara pada siapapun!

Ibumu adalah adik kelas Bapak. Waktu itu Bapak menjadi Ketua OSIS. Meskipun begitu Bapak tidak punya pacar. Entahlah Bapak tidak pernah jatuh cinta sebelum bertemu dengan ibumu. Waktu itu sekolah mengadakan masa orentasi, yang sekarang terkenal dengan MOS. Waktu itu pertama kali Bapak melihat Ibumu. Singkat serita Bapak jatuh cinta. Berbagai usaha bapak lakukan untuk menundukkan hati Ibumu. Namun, hingga bapak kuliah, cinta Bapak bertepuk sebelah tangan. Rupanya Ibumu sudah mempunyai pacar, Dia adalah ayahmu, Mas Cipto.

Bapak putus asa, stres. Tetapi demi kebahagiaan orang yang Bapak cintai, Bapak rela. Sekalipun sampai beberapa tahun menderita. Sejak Ibumu menikah, Bapak tidak pernah lagi mendengar kabar. Dan semua derita Bapak berakhir ketika Bapak bertemu dengan Ririn yang akhirnya menjadi istri Bapak. Sayang umurnya terlalu pendek.

Ir. Setto bercerita dengan jujur, kecuali sumpahnya yang tetap disimpan rapat. Bahkan beberapa peristiwa naas mulai dari truk-truknya yang tenggelam, istri dan anaknya mengalami kecelakaan, dan sampai Kia Subhan.

Nah, itulah untuk pertama kalinya bapak bertemu kembali dengan Ibumu sejak dua puluh tahun berpisah. Jadi Bapak adalah pecinta yang gagal. Jelas Ir. Setto mengakhiri ceritanya.

Maaf, Pak, kalau pertanyaan ini menyinggung perasaan Bapak. Naya diam sejenak.Boleh saya ajukan, Pak?

Kenapa tidak boleh? Kita hanya berdua, kan? tantang Ir. Setto.

Dari cerita Bapak tadi, berarti Bapak tidak akan menikah lagi!

Lihat situasi dan kondisi. Selain itu lihat dulu siapa wanita itu. Sebab bapak sekarang sudah bisa dikatakan tua.

Kalau begitu yang tua sama yang tua, Pak!

Ir. Setto tersenyum. Perangkapnya masuk. Tinggal mengikat dengan satu kunci.

Ia yakin jika Naya menyetujui, pasti Hanna tak punya alasan lagi untuk menolak cintanya.

Nah, sekarang begini saja. Bagaimana kalau seandainya Bapak melamar ibu. Kan tua sama tua.

Naya tersenyum. Wuah, ini yang sulit Naya jawab. Secara pribadi Naya senang. Dengan alasan Bapak mencintai ibu saya secara utuh. Sebab ibu tidak secerdas Bu Ririn.

Naya, ada satu rahasia yang tadinya ingin Bapak simpan. Tetapi setelah Bapak menyimak bicaramu, Bapak menganggap kamu sudah dewasa. Biar nanti kamu tidak menyalahkan Bapak. Terakhir kali Bapak menemui Ibumu, ibumu mengakui cintanya pada Bapak. Tetapi ibumu juga sangat mencitai calon suaminya. Waktu itu ibumu memnta agar Bapak membantunya agar dirinya menjadi istri yang sholehah.

Demi melihat kebahagiaan ibumu, Bapak berjanji membantunya, dengan cara tidak menemuinya kembali. Entah bisikan apa yang ada pikiran Bapak , waktu itu Bapak bersumpah. Jika pada suatu saat nanti kita akan hidup sebagai suami istri. Bapak tidak menyangka jika akhirnya kamu harus kehilangan orang tua yang kamu cintai, sedangkan bapak harus kehilangan anak dan istri yang bapak cintai. Dari kejadian ini, bapak yakin ini sudah takdir. Mekipun begitu Bapak minta maaf!

Tak ada yang dimaafkan, semua adalah kehendak Allah, Pak. Jika demikian, sebaiknya Bapak menemui Ibu. Naya rela. Teralu lama Ibu menjanda. Naya sudah dewasa. Jika Bapak benar-benar tulus, Naya akan mendukung!

Jika kamu sudah mengizinkan, nanti Bapak akan mengirim utusan melamar ibumu, setelah peringatan keseratus harinya istri dan anakku. Keduanya kemudian berjabat tangan dan berpelukan.

Dua hari kemudian Naya pulang diantar sopir kantor. Ia pulang sebagai anak dan duta Ir. Setto. Setelah ada kesempatan yang tepat Naya, berhasil mengorek isi hati ibunya. Apa yang diceritakan Ir. Setto diakui dengan jujur.

Seandainya nanti beliau datang melamar Ibu, apakah Ibu bersedia menerimanya? tanyanya setengah bergurau agar ibunya tidak terpojok.

Sebelum pertanyaan itu Ibu jawab, Kamu harus menjawab pertanyaan Ibu dulu! setuju..? balasB u Hanna tak kalah cerdiknya.

Setuju, ibuku yang cantik!

Masihkan di hatimu ada cinta pada Ibu?

Cintaku pada Ibu tidak akan hilang sampai mati.

Jika Ibu menikah, apakah Engkau mau menerima suami Ibu dengan tulus seperti orang tua kandungmu sendiri?

Bersedia!

Jika demikian, Ibu tidak akan keberatan menerima lamaran Pak Setto!

Naya mengulurkan tangan untuk memberikan ucapan selamat pada Bu Hanna. Keduanya berjabat tangan. Terimakasih, Bu. Bukan berarti Naya tidak mencintai Bapak. Naya cinta dengan Bapak. Tetapi Ibu harus melanjutkan hidup. Semoga Ibu bahagia, dan memberikan seorang adik buat Naya!

Bu Hanna menarik tangan Naya, dalam pelukan kasih. Terimakasih, Nak jawabnya dengan berlinang air mata. 90