Dramatugi Teori

25
Ditulis dari berbagai sumber oleh :FX.Atief Poyuono Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Jayabaya A.Teori Interaksi Simbolik Herbert Mead sebagai dasar dari Teori Dramaturgis Titik tolak pemikiran Interaksi simbolik berasumsi bahwa realitas sosial sebagai proses dan bukan sesuatu yang bersifat statis. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada didalamnya. Pada hakikatnya tiap manusia bukanlah “barang jadi” melainkan barang yang “akan jadi” karena itu teori interaksi simbolik membahas pula konsep mengenai “diri” (self) yang tumbuh berdasarkan suatu “negosiasi” makna dengan orang lain. Menurut George Herbert Mead, cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self) menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Mead menambahkan bahwa sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi orang lain dengan harapan-harapan orang lain dan mencoba memahami apa yang diharapkan orang itu (Mulyana, 2007). Konsep diri (self consept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Keunikan konsep diri pada setiap individu pun relatif berbeda-beda karena antara individu satu dengan individu lainnnya mempunyai pola pikir yang berbeda.Konsep diri terbentuk dan dapat berubah karena interaksi dengan lingkungannya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Konsep diri yang dimiliki individu dapat diketahui melalui informasi, pendapat dan penilaian atau evaluasi dari orang lain. Diri juga terdiri 1

Transcript of Dramatugi Teori

Page 1: Dramatugi Teori

Ditulis dari berbagai sumber oleh :FX.Atief Poyuono

Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi

Universitas Jayabaya

A.Teori Interaksi Simbolik Herbert Mead sebagai dasar dari Teori Dramaturgis

Titik tolak pemikiran Interaksi simbolik berasumsi bahwa realitas sosial sebagai proses dan bukan sesuatu yang bersifat statis. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada didalamnya. Pada hakikatnya tiap manusia bukanlah “barang jadi” melainkan barang yang “akan jadi” karena itu teori interaksi simbolik membahas pula konsep mengenai “diri” (self) yang tumbuh berdasarkan suatu “negosiasi” makna dengan orang lain. Menurut George Herbert Mead, cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self) menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Mead menambahkan bahwa sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi orang lain dengan harapan-harapan orang lain dan mencoba memahami apa yang diharapkan orang itu (Mulyana, 2007).

Konsep diri (self consept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Keunikan konsep diri pada setiap individu pun relatif berbeda-beda karena antara individu satu dengan individu lainnnya mempunyai pola pikir yang berbeda.Konsep diri terbentuk dan dapat berubah karena interaksi dengan lingkungannya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Konsep diri yang dimiliki individu dapat diketahui melalui informasi, pendapat dan penilaian atau evaluasi dari orang lain. Diri juga terdiri menjadi dua bagian yaitu diri obyek yang mengalami kepuasan atau kurang mengalami kepuasan dan diri yang bertindak dalam melayani diri obyek yang berupaya memberinya kepuasan.

Menurut Mead, tubuh bukanlah diri dan baru menjadi diri ketika pikiran telah berkembang. Sementara disisi lain bersama refleksivitasnya, diri adalah sesuatu yang mendasar bagi perkembangan pikiran. Tentu saja mustahil memisahkan pikiran dari diri, karena diri adalah proses mental. Namun, meskipun kita bisa saja menganggapnya sebagai proses mental, diri adalah proses sosial. Mekanisme umum perkembangan diri adalah refleksivitas atau kemampuan untuk meletakkan diri kita secara bawah sadar ditempat orang lain serta bertindak sebagaimana mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu menelaah dirinya sendiri sebagaimana orang lain menelaah dia (Ritzer, 2004).

Dengan menyerasikan diri dengan harapan-harapan orang lain, maka dimungkinkan terjadi interaksi, semakin mampu seseorang mengambil alih atau menerjemahkan perasaan-perasaan sosial semakin terbentuk identitas atau kediriannya. Ada tiga premis yang dibangun dalam interaksi simbolik yaitu;

1. manusia bertindak berdasarkan makna-makna,2. makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain, dan

1

Page 2: Dramatugi Teori

3. makna tersebut berkembang dan disempurnakan ketika interaksi tersebut berlangsung (Mulyana, 2001).

Teori interaksi simbolik melihat individu sebagai pelaku aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Teori interaksi simbolik fokus pada soal diri sendiri dengan segala atribut luarnya. Deddy Mulyana mengutip istilah yang digunakan Cooley yaitu looking glass self (Mulyana, 2001). Gagasan diri ala Cooley ini terdiri dari tiga komponen.

1. individu mengembangkan bagaimana dia tampil bagi orang lain;2. individu membayangkan bagaimana peniliaian mereka atas penampilan individu tersebut;

3. individu mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut.

Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya. Littlejohn menyatakan bahwa interaksi simbolik mengandung inti dasar premis tentang komunikasi dan masyarakat (Littlejohn, 1996).

Setiap interaksi manusia selalu dipenuhi dengan simbol-simbol, baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan diri sendiri. Diri tidak terkungkung melainkan bersifat sosial. Orang lain adalah refleksi untuk melihat diri sendiri. Dari penjelasan ini berarti bahwa teori interaksi simbolik merupakan perspektif yang memperlakukan individu sebagai diri sendiri sekaligus diri sosial.

Bagi Mead, “diri” lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan budaya. “Diri” juga merupakan proses sosial, sebuah proses dimana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, didalam situasi dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsirannya atas hal-hal tersebut. Dalam hal ini, aktor atau pelaku yang melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri, menurut Mead dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain, dan bertindak berdasarkan peran tersebut, lalu memberikan respon atas tindakan-tindakan itu. Konsep interaksi pribadi (self interaction) dimana para pelaku menunjuk diri mereka sendiri berdasarkan pada skema Mead mengenai psikologi sosial. “Diri” disini bersifat aktif dan kreatif serta tidak ada satupun variabel-variabel sosial, budaya, maupun psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan “diri.”

Mead menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Pendapat Mead tentang pikiran adalah bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku” dengan “yang lain” pada titik ini, konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya” yang berasal dari “aku.”

Interaksi simbolik sering dikelompokan ke dalam dua aliran (school). Pertama, aliran Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan tradisi humanistis yang dimulai oleh George Herbert Mead. Blumer menekankan bahwa studi terhadap manusia tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama seperti studi terhadap benda. Blumer dan pengikut-pengikutnya menghindari pendekatan-pendekatan kuatitatif dan ilmiah dalam mempelajari tingkah laku

2

Page 3: Dramatugi Teori

manusia. Lebih jauh lagi tradisi Chicago menganggap orang itu kreatif, inovatif, dan bebas untuk mendefinisikan segala situasi dengan berbagai cara dengan tidak terduga. Kedua Iowa School menggunakan pendekatan yang lebih ilmiah dalam mempelajari interaksi. Manford Kuhn dan Carl Couch percaya bahwa konsep-konsep interaksionis dapat dioperasikan. Tetapi, walaupun Kuhn mengakui adanya proses dalam alam tingkah laku, ia menyatakan bahwa pendekatan struktural objektif lebih efektif daripada metode “lemah” yang digunakan oleh Blumer.

Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik, yaitu:

1. Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman. Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol.

2. Berbagai arti dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Arti muncul dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.

3. Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang.

4. Tingkah laku seseorang tidaklah mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja.

5. Pikiran terdiri dari percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.

6. Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi.

7. Kita tidak dapat memahami pengalaman seorang individu dengan mengamati tingkah lakunya belaka. Pengalaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal harus diketahui pula secara pasti.

Pada dasarnya interaksi manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia menggunakan simbol, merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamannya. Itulah interaksi simbolik dan itu pulalah yang mengilhami perspektif dramaturgis, dimana Erving Goffman sebagai salah satu eksponen interaksionisme simbolik, maka hal tersebut banyak mewarnai pemikiran-pemikiran dramaturgisnya.

B.Memahami Pemikiran Erving Goffman Mengenai DRAMATURGI

1. Latar Belakang Pemikiran Erving GoffmanKarya terpenting tentang diri dalam interaksionisme simbolik adalah Presentation of Self in

Everyday Life (1959) oleh Erving Goffman (J. Dowd, 1996; Schwable,1993; Travers,1992; Tseelon, 1992). Konsep diri Goffman sangat dipengaruhi oleh pemikiran Mead, khususnya dalam diskusinya mengenai ketegangan antara diri spontan, “I” dan “me”, diri yang dibatasi oleh kehidupan sosial. Ketegangan ini tercermin dalam pemikiran Goffman tentang apa yang disebut “ketaksesuaian antara diri manusiawi kita dan diri kita sebagai hasil proses sosialisasi” (1959:56). Ketegangan ini disebabkan perbedaan antara apa yang ingin kita lakukan secara spontan dan apa yang diharapkan orang lain untuk kita lakukan.

Kita berhadapan dengan tuntutan untuk melakukan tindakan yang diharapkan dari kita; selain itu, kita diharapkan tak ragu-ragu. Seperti dinyatakan Goffman, “kita tak boleh tunduk pada

3

Page 4: Dramatugi Teori

ketidakstabilan” (1959:56). Untuk mempertahankan kestabilan citra diri, orang melakukan audiensi sosial dengan dirinya sendiri. Goffman memusatkan perhatian pada pelaksanaan audiensi sosial dengan diri sendiri ini. Dalam hal ini Goffman membangun konsep dramaturgi, atau pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama, seperti yang ditampilkan di atas pentas.

2. Konsep DRAMATURGIPandangan Goffman tentang diri dibentuk oleh pendekatan dramaturginya ini. Menurut

Goffman (sebagaimana menurut Mead dan interaksionis simbolik lainnya) diri adalah :

Bukan sesuatu yang bersifat organik yang mempunyai tempat khusus ... Dalam menganalisis diri (self), kita mengambilnya dari pemiliknya ... dari orang yang akan sangat diuntungkan atau dirugikan olehnya, karena ia dan tubuhnya semata hanya menyediakan patokan bagi sesuatu yang menghasilkan kerjasama yang akan tergantung untuk sementara ... Cara menghasilkan dan mempertahankan diri tak terletak pada patokan itu (Goffman, 1959:252-253).

Menurut Goffman, diri bukan milik aktor tetapi lebih sebagai hasil interaksi dramatis antara aktor dan audien. Diri adalah ”pengaruh dramatis yang muncul ... dari suasana yang ditampilkan” (1959:253). Karena diri adalah hasil interaksi dramatis, maka mudah terganggu selama penampilannya (Misztal, 2001). Dramaturgi Goffman memerhatikan proses yang dapat mencegah gangguan atas penampilan diri. Meski bagian terbesar bahasannya ditekankan pada kemungkinan interaksi dramaturgis ini, Goffman menunjukkan bahwa kebanyakan pelaksanaannya adalah sukses. Hasilnya adalah bahwa dalam keadaan biasa diri, yang kokoh serasi dengan pelakunya dan ”penampilannya” berasal dari pelaku.

Goffman berasumsi bahwa saat berinteraksi, aktor ingin menampilkan perasaan diri yang diterima oleh orang lain. Tetapi, ketika menampilkan diri, aktor menyadari bahwa anggota audien dapat mengganggu penampilannya. Karena itu aktor menyesuaikan diri dengan pengendalian audien, terutama unsur-unsurnya yang dapat mengganggu. Aktor berharap perasaan diri yang mereka tampilkan kepada audien akan cukup kuat memengaruhi audien dalam menetapkan aktor sebagai aktor yang dibutuhkan. Aktor pun berharap ini akan menyebabkan audien bertindak secara sengaja seperti yang diinginkan aktor dari mereka. Goffman menggolongkan perhatian sentral ini sebagai ”manajemen pengaruh”. Manajemen ini meliputi teknik yang digunakan aktor untuk mempertahankan kesan tertentu dalam menghadapi masalah yang mungkin mereka hadapi dan metode yang mereka gunakan untuk mengatasi masalah itu.

Dengan mengikuti analog teatrikal ini, Goffman berbicara mengenai panggung depan (front stage). Front adalah bagian pertunjukan yang umumnya berfungsi secara pasti dan umum untuk mendefinisikan situasi bagi orang yang menyaksikan pertunjukan. Dalam front stage, Goffman membedakan antara setting dan front personal. Setting mengacu pada pemandangan fisik yang biasanya harus ada di situ jika aktor memainkan perannya. Tanpa itu biasanya aktor tak dapat memainkan perannya. Sebagai contoh, seorang dokter bedah umumnya memerlukan kamar operasi, sopir taksi memerlukan mobil, dan seorang pemain ski memerlukan es. Front terdiri dari berbagai macam barang perlengkapan yang bersifat menyatakan perasaan yang memperkenalkan penonton dengan aktor dan perlengkapan itu diharapkan penonton dipunyai oleh aktor. Dokter bedah misalnya, diharapkan memakai jubah putih, mempunyai peralatan tertentu, dan seterusnya.

4

Page 5: Dramatugi Teori

Goffman kemudian membagi front personal ini menjadi penampilan dan gaya. Penampilan meliputi berbagai jenis barang yang mengenalkan kepada kita status sosial aktor (misalnya, jubah putih dokter bedah). Gaya mengenalkan pada penonton, peran macam apa yang diharapkan aktor untuk dimainkan dalam situasi tertentu (contoh, menggunakan gaya fisik, sikap). Tingkah laku kasar dan yang lembut menunjukkan jenis pertunjukan yang sangat berbeda. Umumnya kita mengharapkan penampilan dan gaya saling bersesuaian.Meski Goffman mendekati aspek-aspek tersebut sebagai seorang interaksionis simbolik namun ia juga membahas ciri-ciri struktural dari aktor. Misalnya, ia menyatakan front personal cenderung melembaga, karena itu muncul ”representasi kolektif” mengenai apa yang terjadi di front tertentu. Sering terjadi bila aktor mengambil peran yang sudah ditentukan, mereka menemukan bidang tertentu yang telah ditentukan untuk pertunjukkan seperti itu. Akibatnya adalah bahwa bidang itu cenderung dipilih, bukan diciptakan. Gagasan ini membawa lebih banyak citra struktural ketimbang yang dapat kita terima dari kebanyakan teoritis interaksionisme simbolik lainnya.

Meski berpandangan struktural seperti itu, perhatian utama Goffman terletak di bidang interaksi. Ia menyatakan, karena orang umumnya1 mencoba mempertunjukkan gambaran idealis mengenai diri mereka sendiri di depan umum, maka tanpa terelakan mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan sesuatu dalam perbuatan mereka. Pertama, aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan rahasia (misalnya, meminum alkohol) yang menjadi kegemaran di masa lalu (misalnya, sebagai pemabuk) yang bertentangan dengan prestasi mereka. Kedua, aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang telah dilakukan dalam menyiapkan langkah yang telah diambil untuk memperbaiki kesalahan itu. Contoh, seorang sopir taksi mungkin mencoba menyembunyikan fakta bahwa ia berangkat menuju arah yang keliru.

Ketiga, aktor mungkin merasa perlu untuk menunjukkan hasil akhir dan menyembunyikan proses yang terlibat dalam menghasilkannya. Contoh, seorang profesor mungkin menghabiskan waktu beberapa jam untuk menyiapkan bahan kuliah, tetapi ia mungkin ingin berbuat seolah-olah ia selalu mengetahui materi kuliah. Keempat, aktor mungkin merasa perlu menyembunyikan dari audien bahwa dalam membuat suatu produk akhir telah melibatkan ”pekerjaan kotor”. Pekerjaan kotor termasuk tugas-tugas yang tak bersih secara fisik, semilegal, kejam dan cara-cara buruk lainnya (Goffman, 1959:44). Kelima, dalam melakukan perbuatan tertentu, aktor mungkin menyelipkan standar lain. Keenam, aktor mungkin merasa perlu menyembunyikan penghinaan tertentu atau setuju dihina asalkan perbuatannya dapat berlangsung terus. Umumnya aktor mempunyai kepentingan tetap dalam menyembunyikan seluruh faktor seperti itu dari audien mereka.

Aspek dramaturgi lain di front stage adalah aktor sering mencoba menyampaikan kesan bahwa mereka lebih akrab dengan audien ketimbang dalam keadaan yang sebenarnya. Contoh, aktor mungkin mencoba menimbulkan kesan bahwa pertunjukan di mana mereka terlibat di saat itu adalah satu-satunya pertunjukan mereka, atau sekurang-kurangnya merupakan pertunjukan mereka yang penting. Untuk melakukan ini, aktor harus yakin bahwa audien mereka dipisahkan sedemikian rupa sehingga kepalsuan pertunjukan tidak ditemukan. Meskipun ditemukan, Goffman menyatakan audien sendiri mungkin mencoba mengatasi kepalsuan itu agar citra ideal mereka tentang aktor tidak hancur. Ini mengungkap ciri interaksional pertunjukan. Keberhasilan pertunjukan tergantung pada ketertiban semua kelompok. Contoh lain pengelolaan kesan ini adalah upaya seorang aktor untuk menyampaikan gagasan bahwa ada keunikan dalam pertunjukan ini dan keunikan hubungan aktor dengan audien. Audien pun ingin merasakan menerima sebuah pertunjukan yang unik.1.

5

Page 6: Dramatugi Teori

Aktor mencoba meyakinkan bahwa seluruh bagian pertunjukan tertentu saling bercampur menjadi satu. Dalam kasus tertentu, satu aspek yang tidak harmonis dapat mengacaukan pertunjukan. Tetapi, pertunjukan bervariasi dalam jumlah konsisten yang diperlukan. Terlewatkannya suatu upacara suci oleh seorang pendeta akan sangat mengacaukan, tetapi jika seorang sopir taksi melakukan sekali kesalahan berbelok, hal itu tak akan terlalu merusak keseluruhan pertunjukan.

Teknik lain yang digunakan oleh aktor adalah mistifikasi. Aktor sering cenderung memistifikasi pertunjukan mereka dengan membatasi hubungan antara diri mereka sendiri dan audien. Dengan membangun ”jarak sosial” antara diri mereka dengan audien, mereka mencoba menciptakan perasaan kagum di pihak audien. Ini selanjutnya mencegah audien mempertanyakan pertunjukan. Goffman sekali lagi menunjukkan bahwa audien dilibatkan dalam proses ini dan sering dengan sendirinya mencoba mempertahankan keadaan kredibilitas pertunjukan dengan menjaga jaraknya dari pelaku.

Ini menuntun kita ke perhatian Goffman terhadap tim. Menurut Goffman sebagai seorang teoritis interaksionisme simbolik, memusatkan perhatian pada aktor tunggal akan mengaburkan fakta penting tentang interaksi. Unit analisis dasar Goffman bukanlah individu, tetapi tim. Tim adalah sekumpulan individu yang bekerjasama dalam mementaskan rutin masing-masing. Jadi, bahasan terdahulu mengenai hubungan antara aktor dan audien sesungguhnya adalah kerjasama tim.2 Masing-masing anggota tim mengandalkan pihak lain karena semuanya dapat mengacaukan pertunjukan dan semuanya menyadari bahwa mereka mengadakan pertunjukan. Goffman menyimpulkan bahwa tim adalah semacam ”masyarakat rahasia”.

Goffman juga membahas panggung belakang (back stage) di mana fakta disembunyikan di depan atau berbagai jenis tindakan informal mungkin timbul. Back stage biasanya berdekatan dengan front stage, tetapi juga ada jalan memintas antara keduanya. Pelaku tak bisa mengharapkan anggota penonton di depan mereka muncul di belakang. Mereka terlibat dalam berbagai jenis pengelolaan kesan untuk memastikannya.

Pertunjukan mungkin menjadi sulit ketika aktor tak mampu mencegah penonton memasuki pentas belakang. Juga ada bidang ketiga, bidang residual, yang tak termasuk panggung depan atau belakang.

Tak ada bidang yang selalu merupakan salah satu di antara ketiga bidang ini. Juga, bidang tertentu dapat menempati ketiga bidang itu di saat yang berbeda. Kantor profesor adalah panggung depan ketika seorang mahasiswa mendatanginya, panggung belakang ketika mahasiswa itu meninggalkannya dan panggung luar ketika profesor berada di arena pertandingan bola basket unversitas.

Pengelolaan Kesan. Goffman menutup bahasan Presentation of Self in Everyday Life dengan pemikiran tambahan mengenai seni mengelola kesan. Pada umunya, pengelolaan kesan mengarah pada kehati-hatian terhadap serentetan tindakan yang tak diharapkan, seperti gerak-isyarat yang tak diharapkan, gangguan yang menguntungkan dan kesalahan bicara atau bertindak 2 Pelaku dan penonton adalah semacam tim, tetapi Goffman juga berbicara tentang kelompok aktor sebagai satu tim dan penonton sebagai tim lain. Yang menarik, Goffman menyatakan bahwa sebuah tim dapat juga terdiri dari seorang individu. Dengan mengikuti interaksionisme simbolik klasik, logika Goffman adalah bahwa seorang individu dapat menjadi penonton dirinya sendiri-dapat dibayangkan sebagai seorang penonton yang hadir.

6

Page 7: Dramatugi Teori

maupun tindakan yang diharapkan seperti membuat adegan. Goffman tertarik pada berbagai metode yang menjelaskan masalah seperti itu.

Pertama, ada sekumpulan metode yang melibatkan tindakan yang bertujuan menciptakan loyalitas dramaturgis, misalnya dengan memupuk kesetiakawanan dalam kelompok, mencegah anggota tim mengenali penonton, dan mengubah penonton secara periodik sehingga penonton ini tidak terlalu banyak mengetahui mengenai aktor.

Kedua, Goffman menunjukkan berbagai disiplin dramaturgis, seperti menjaga kesadaran untuk menghindari kekeliruan, mempertahankan pengendalian diri, dan mengelola eskpresi muka dan nada suara pertunjukan aktor.

Ketiga, Goffman memperkenalkan berbagai tipe kehati-hatian dramaturgis seperti menentukan terlebih dahulu bagaimana cara pertunjukan diselenggarakan, merencanakan untuk keadaan darurat, memilih teman satu tim yang setia, memilih audien yang baik, keterlibatan dalam tim kecil yang kemungkinan pertikaiannya kecil, hanya membuat penampilan singkat, mencegah penonton mendapatkan informasi pribadi dan menyusun agenda lengkap untuk mencegah kejadian tak terduga. Penonton juga perlu menjadi bahan pertimbangan oleh aktor atau tim aktor dalam mengelola kesan yang berhasil. Penonton sering bertindak membantu pertunjukan melalui muslihat seperti memberikan perhatian besar terhadap pertunjukan, menghindarkan ledakan emosional, tidak menghiraukan kekeliruan, dan memberikan perhatian khusus terhadap pendatang baru.

Dalam tinjauan ringkasan tentang Presentation of Self in Everyday Life, Manning tak hanya menunjukkan peran sentral diri, tetapi juga pandangan sinis Goffman terhadap individu dalam karyanya ini :

Pandangan umum Presentation of Self in Everyday Life terhadap kehidupan manusia, apakah itu secara individu atau dalam kelompok, adalah untuk mengejar tujuan mereka masing-masing dan dengan sinis tak menghiraukan kepentingan-kepentingan pertunjukan orang lain … Di sini individu dipandang sebagai sekumpulan pertunjukan bertopeng yang menyembunyikan diri yang sinis dan manipulatif (Manning, 1992:44).

Manning mengemukakan ”tesis dua diri” untuk melukiskan aspek berpikir Goffman ini, yakni, individu (aktor) mempunyai diri yang dipertontonkan maupun diri sinis yang tersembunyi.

Role Distance. Dalam role distance (1961) Goffman memusatkan perhatian pada derajat pelaksanaan peran tertentu oleh seorang individu (aktor). Menurut pandangan Goffman, karena demikian banyaknya peran, maka hanya sedikit individu yang benar-benar terlibat sepenuhnya dalam peran tertentu. Role distance (jarak jalan) menerangkan derajat pemisahan antara diri individu dengan peran-peran yang diharapkan dimainkannya

Misalnya, bila anak-anak lebih tua menaiki komedi putar, kemungkinan mereka menyadari bahwa mereka benar-benar terlalu tua untuk menikmati pengalaman demikian.

Satu cara untuk mengatasi perasaan ini adalah dengan mempertontonkan jarak dari peran melalui tindakan mengendarainya secara ceroboh, mempertontonkan cara menaikinya dengan lesu, yang tampaknya seperti tindakan yang berbahaya. Dalam melakukan tindakan demikian, anak-anak lebih tua itu menerangkan kepada penontonnya bahwa mereka tidak membenamkan

7

Page 8: Dramatugi Teori

dirinya dalam aktivitas itu sepenuhnya sebagaimana yang dilakukan oleh anak-anak yang lebih kecil, atau jika mereka berbuat demikian, itu disebabkan oleh sesuatu yang khususnya yang sedang mereka lakukan.

Salah satu pemikiran kunci Goffman adalah bahwa jarak peran adalah fungsi status sosial seseorang. Orang yang berstatus sosial tinggi lebih sering menunjukkan jarak sosial karena alasan yang berbeda dengan orang yang berada pada posisi status lebih rendah. Misalnya, dokter bedah yang berstatus sosial tinggi mungkin menunjukkan jarak sosial di kamar operasi untuk menghilangkan ketegangan tim operasi. Orang yang berstatus sosial rendah biasanya menunjukkan sikap yang lebih bertahan dalam mempertontonkan jarak peran. Misalnya, orang yang membersihkan toilet mungkin mengerjakan pekerjaannya dengan sikap lesu dan dengan gaya acuh tak acuh. Mereka mungkin mencoba untuk memberitahukan audiennya bahwa mereka terlalu cakap untuk pekerjaan seperti itu.

Stigma. Goffman (1963) tertarik pada jurang pemisah antara apa yang seharusnya dilakukan seseorang ”identitas virtual”, dan apa yang sebenarnya dilakukan seseorang ”identitas sosial aktual”. Setiap orang yang mempunyai jurang pemisah antara dua identitas ini distigmatisasikan. Buku tersebut memusatkan perhatian pada interaksi dramaturgis antara aktor yang terstigma dan yang normal. Sifat interaksi itu tergantung pada stigma yang mana di antara dua jenis stigma yang terdapat pada diri seorang aktor. Dalam kasus stigma diskredit, aktor menganggap perbedaan telah diketahui oleh anggota penonton atau jelas bagi mereka (contoh, orang yang tubuh bagian bawahnya lumpuh atau yang kehilangan anggota badan). Stigma diskreditabel (discreditable stigma) adalah stigma yang perbedaannya tak diketahui oleh anggota penonton atau tak dapat dirasakan oleh mereka (misalnya, seorang homoseksual). Masalahnya dramaturgis mendasar bagi seseorang yang mempunyai stigma terdiskreditkan adalah pengelolaan ketegangan yang dihasilkan oleh fakta bahwa orang mengetahui masalahnya. Masalah dramaturgis mendasar bagi seseorang yang mempunyai stigma diskreditabel adalah pengelolaan informasi sedemikian rupa sehingga masalahnya tetap tak diketahui oleh orang lain. (Diskusi tentang bagaimana tunawisma menghadapi stigma, lihat Anderson, Snow, dan Cress, 1994).

Kebanyakan teks dari stigma memusatkan perhatian pada orang yang mempunyai stigma nyata, dan sangat aneh (misalnya, kehilangan hidung). Tetapi, ketika buku itu dibuka, pembaca menyadari bahwa Goffman benar-benar menyatakan bahwa kita semua mempunyai stigma di saat tertentu atau di saat yang lain atau dalam satu keadaan atau dalam keadaan lain. Contoh yang dikemukakan Goffman termasuk Yahudi yang ”diterima” dalam komunitas yang dikuasai orang Kristen, orang gemuk dalam kelompok yang beratnya normal, dan individu yang berbohong mengenai masa lalunya dan harus tak henti-hentinya merasa yakin bahwa orang lain tidak mendengar kecurangannya.

Analisis Kerangka (frame analysis). Dalam buku Frame Analysis (1974), Goffman bergeser jauh dari akar interaksionisme simbolik klasik dan mengarah ke studi struktur kehidupan sosial berskala kecil (studi penggunaan gagasan tentang kerangka, lihat McLean, 1998). Meski ia masih memandang bahwa individu mendefinisikan situasi dalam arti yang dimaksudkan oleh William I. Thomas, tetapi kini ia menganggap bahwa definisi seperti itu kurang penting: ”Mendefinisikan situasi sebagai sesuatu yang nyata jelas mempunyai akibat, namun mungkin sumbangannya sangat kecil terhadap kejadian yang sedang berlangsung” (Goffman, 1974:1).

Bahkan ketika individu mendefinisikan situasi, biasanya mereka tidak menciptakan situasi itu. Tindakan lebih banyak ditentukan oleh ketaatan secara mekanik terhadap peraturan ketimbang

8

Page 9: Dramatugi Teori

melalui proses aktif, kreatif, dan perundingan. Goffman menyatakan bahwa tujuannya adalah ”mencoba memisahkan beberapa kerangka analisis mendasar dari pemahaman yang tersedia dalam masyarakat kita untuk memahami kejadian dan menganalisis kelemahan-kelemahan khusus dari kerangka referensi” (1974:10).

Goffman melihat sampai di balik situasi sehari-hari untuk meneliti struktur yang tak kelihatan yang memengaruhi kejadian itu. Ini adalah kerangka penafsiran yang memungkinkan individu menempatkan, merasakan, mengenali dan menamai kejadian-kejadian dalam kehidupan mereka dan dunia pada umumnya. Dengan memberikan makna terhadap kejadian, kerangka (frame) berfungsi mengorganisir pengalaman dan membimbing tindakan individu atau kolektif: (Snow, 1986”464). Kerangka adalah prinsip-prinsip organisasi yang memberi definisi atas pengalaman kita. Kerangka adalah asumsi-asumsi mengenai apa yang sedang kita lihat dalam kehidupan sosial. Tanpa kerangka rujukan, kehidupan kita tak lebih dari sekadar menjadi sejumlah individu yang kacau-balau dan kejadian serta fakta yang tak berhubungan. Gonos mengemukakan ciri-ciri struktural lain dari kerangka.

Dari analisis Goffman tentang aktivitas berkerangka khusus, kita dapat menemukan ciri-ciri mendasar tertentu dari kerangka. Kerangka tak dibayangkan sebagai proses percampuran unsur-unsur yang longgar dan secara kebetulan dalam rentang waktu yang pendek. Kerangka merupakan sejumlah komponen penting yang mempunyai susunan yang definitif dan hubungan yang stabil. Komponen itu tidak dikumpulkan dari sana-sini, seperti unsur suatu situasi, tetapi selalu ditemukan bersama-sama sebagai sebuah sistem. Komponen-komponen standarnya koheran dan lengkap... Komponen lain yang kurang penting hadir dalam keseluruhan kerangka.... dengan demikian kerangka adalah sangat dekat dengan konsepsi ”struktur” (Gonos, 1977:860).

Menurut George Gonos (1980), kerangka sebagian besar adalah peraturan atau hukum yang mengatur interaksi. Peraturan itu biasanya tak disadari dan tak dapat dinegosiasikan. Di antara peraturan yang diidentifikasi oleh Gonos adalah aturan-aturan yang mendefinisikan ”cara menafsirkan tanda-tanda, bagaimana tanda-tanda luar dihubungkan dengan ’diri’ dan pengalaman’ apa yang mengiringi aktivitas” (1980:160). Gonos menyimpulkan, persoalan Goffman adalah upaya memajukan studi tentang interaksi kehidupan sehari-hari yang dapat diamati, tetapi meneliti struktur dan ideologi eksternalnya; bukan situasi interaksi itu, tetapi kerangkanya” (1980:160).

Manning (1992:119) memberikan contoh bagaimana kerangka yang berbeda diaplikasikan pada sekumpulan kejadian yang sama akan dapat membantu memberikan makna yang sangat berbeda atas kejadian yang sama. Contoh, apa yang akan kita lakukan ketika melihat seorang wanita memasukan dua buah arloji ke dalam sakunya dan meninggalkan toko tanpa membayarnya? Dilihat melalui kerangka seorang detektif toko, kejadian ini jelas sebuah kasus pencurian di toko. Tetapi, kerangka legal menyebabkan pengacara si pemaling melihat kejadian ini sebagai tindakan seorang wanita pelupa yang pergi berbelanja untuk memberikan hadiah bagi anak wanitanya. Contoh lain, kerangka medis mungkin menyebabkan wanita melihat tindakan dokter ginekologinya menurut satu cara, tetapi jika wanita itu menggunakan kerangka gangguan seksualitas dan seksual, wanita itu mungkin melihat tindakan yang sama menurut cara yang berbeda.

Perubahan lain yang dinyatakan Manning dengan jelas dalam Frame Analysis, dan yang dibayangkan dalam karya Goffman lainnya, adalah terjadinya pergeseran dari pandangan sinis tentang kehidupan yang terletak di jantung Presentation of Self in Everyday Life. Sebenarnya di halaman pertama Frame Analysis, Goffman menyatakan, ”seluruh dunia bukanlah sebuah pentas – teater jelas bukanlah segala-galanya” (1974:1). Goffman jelas mengakui keterbatasan teater sebagai kiasan dari kehidupan sehari-hari. Meski masih berguna menurut cara tertentu, kiasan ini

9

Page 10: Dramatugi Teori

menyembunyikan aspek kehidupan tertentu meski juga menjelaskan aspek kehidupan yang lain. Selain satu aspek yang disembunyikannya adalah peran penting ritual (upacara keagamaan) dalam kehidupan sehari-hari. Manning melukiskan salah satu peran ritual dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Goffman, ritual adalah penting karena mempertahankan keyakinan kita mengenai lingkungan sosial mendasar. Ritual menyediakan peluang bagi orang lain untuk menguatkan legitimasi posisi kita dalam struktur sosial meski mengharuskan kita menguatkan legitimasi posisi orang lain. Ritual adalah mekanisme penempatan, di mana orang yang berbeda pada posisi bawahan menguatkan posisi lebih tinggi atasan mereka. Tingkatan ritual dalam masyarakat mencerminkan legitimasi struktural sosialnya karena penghormatan yang diberikan kepada individu-individu juga merupakan tanda penghormatan bagi peran yang mereka duduki (Manning, 1992:133). Lebih umum lagi dapat dikatakan bahwa ritual adalah salah satu mekanisme kunci, dan dengan mekanisme itulah kehidupan sehari-hari dan kehidupan sosial pada umumnya menjadi tertib dan solid.

Minat Goffman terhadap ritual menyebabkan ia akrab dengan karya belakangan Durkheim, terutama The Elementary Forms of Regligion Life. Lebih umum lagi, sesuai dengan pengertian Durkheim mengenai fakta sosial, Goffman lalu memusatkan perhatian pada peraturan-peraturan (rules) dan memandangnya sebagai pembatas eksternal atas perilaku sosial. Tetapi, peraturan umumnya hanyalah sebagian saja, tidak bersifat menentukan dalam menuntun perilaku. Meski individu dibatasi, pembatas itu tidak mengesampingkan kemungkinan penggunaan peraturan itu secara berbeda dan imajinatif oleh individu. Seperti dikatakan Manning, ”untuk sebagian besar Goffman berasumsi bahwa peraturan adalah pembatas utama.... tetapi, di kesempatan lain Goffman menekankan keterbatasan gagasan Durkheim yang menyatakan peraturan adalah pembatas yang menentukan perilaku, dan sebaliknya menyatakan bahwa kita sering mengabaikan atau menyalahgunakan peraturan dengan maksud untuk membatasi tindakan kita” (1992”158). Sebenarnya, sejalan dengan pemikiran modern, menurut Goffman peraturan dapat menjadi pembatas dan sekaligus menjadi sumber daya yang dapat kita manfaatkan dalam interaksi sosial.

3.Dramaturgi dalam Politik di Indonesia

3.1 Pencitraan Politik SBY 2009- ...........

Pecitraan pribadi yang dilakukan SBY dalam menjalankan pemerintahan baik pada saat SBY memberikan keterangan pers dihadapan media baik mengenai perlindungan TKI di luar negeri ,serta pencitraan SBY dalam hal pemberantasan korupsi dimana panggung depan yang diperankan SBY bahwa dia seolah olah menjadi satunya president yang akan berada digaris depan dalam pemberantasan korupsi , serta mencitrakan partainya adalah partai yang santun dan bersih (misalnya ketika Partai SBY dituduh mengunakan menerima dana aliran Bank century untuk kepentingan Pemilu dan Pilpres) dan dalam bencana alam di Pulau Mentawai SBY juga memainkan appearance (penampilan) dan manner (gaya) yang sekan akan bersimpatik terhadap korban bencana alam di pulau mentawai dengan cara menanggis dihadapan para korban bencana alam .

Tetapi pencitraan didepan oleh SBY sangat jauh api dari panggang dimana TKI di luar negeri masih terus disiksa dan di hukum mati, serta mega korupsi justru terungkap di partai Demokrat yang jumlahnya trilyunan (dalam kasus Nazarudin) . juga dalam penanganan korban bencana alam di Pulau Mentawai justru Marzuki Ali sebagai orang partai Demokrat meyalahkan

10

Page 11: Dramatugi Teori

penduduk yang tinggal di pesisir pulau Mentawai yang jadi korban Tsunami , serta lambatnya bantuan bagi korban tsunami .

Di panggung depan para pemain ( SBY dan elit Partai Demokrat ) berkesempatan menciptakan image terhadap penampilannya yang skenarionya telah diatur dan sangat berbeda dengan apa yang ada di panggung belakang.

Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukannya. Berdasarkan pandangan Kenneth Burke bahwa pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan, dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia. Burke melihat tindakan sebagai konsep dasar dalam dramatisme. Burke memberikan pengertian yang berbeda antara aksi dan gerakan. Aksi terdiri dari tingkah laku yang disengaja dan mempunyai maksud, gerakan adalah perilaku yang mengandung makna dan tidak bertujuan. Masih menurut Burke bahwa seseorang dapat melambangkan simbol-simbol. Seseorang dapat berbicara tentang ucapan-ucapan atau menulis tentang kata-kata, maka bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk aksi. Karena adanya kebutuhan sosial masyarakat untuk bekerja sama dalam aksi-aksi mereka, bahasapun membentuk perilaku.

Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia, yakni bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku manusia bersifat dramatik. Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan pertunjukan bagi orang lain. Kaum dramaturgis memandang manusia sebagai aktor-aktor di atas panggung metaforis yang sedang memainkan peran-peran mereka.

Pencitraan politik yang dilakukan Presiden SBY ternyata tidak lagi menjadi senjata pamungkas dalam meraih simpati rakyat. Hasil survey LSI baru-baru ini menjadi salah satu pembuktian premis tersebut..

3.2 Dramaturgi Hidup Seorang Pelacur

Kehidupan merupakan festival drama. Banyak ragam karakter yang dimainkan manusia untuk mencerminkan lakon yang sedang dijalani. Festival drama ini terkadang menjadi dramatisasi yang dimainkan penuh misteri. Dramatisasi yang terbentuk dalam lapisan sosial masyarakat berdasatkan potensi sosial yang dimiliki masing-masing manusia. Seorang pelacur sejatinya menjalani drama hidupnya “apa adanya”. Dramatisasi terkadang dipersepsikan orang lain untuk menjustifikasi seorang pelacur dalam lapisan sosial “rendah”. Tanpa terlibat proses persepsi sosial tersebut, pelacur tak berkutik kala berhadapan dengan fakta sosial yang “menegatifkan” perilaku hidup yang dijalankan.

Buku bertajuk “Agama Pelacur: Dramaturgi Transedental” karya Pof Nur Syam mencoba menafsirkan drama kehidupan para pelacur dalam ruang kesadaran eksistensial dalam transedensi ketuhanan. Penulis mencoba melihat “sisi lain” kehidupan para pelacur yang masih bersentuhan dengan drama keberagamaan. Para pelacur masih memiliki kesejatian hidup, bahkan kesejatian terkadang jauh lebih menukik kedalamannya dari para yang dipersepsikan banyak orang. Walaupun berada dalam lubang yang nista, mereka menyimpan bara transedensi yang

11

Page 12: Dramatugi Teori

begitu kuat, sehingga dalam drama kehidupan di kemudian waktu, mereka bisa menjalani drama kehidupan yang lebih teguh dan menyakinkan.

Analisis yang digunakan penulis dalam melihat kehidupan para pelacur ini dalam ruang lingkup teori dramaturgi. Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan. Meski benar, dramaturgi juga digunakan dalam istilah teater namun term dan karakteristiknya berbeda dengan dramaturgi yang akan kita pelajari. Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan oleh Aristoteles.

Aristoteles memaknai dramaturgi dalam konteks seni. Sementara dalam konteks psikologi dan komunikasi, dramaturgi dikembangkan oleh Goffman dalam bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life. Bila Aristoteles mengacu kepada teater maka Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi.

Kenapa komunikasi? Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau.

Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, di mana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu.

Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”.

Seorang pelacur melengkapi kecakapan hidupnya dalam “lubang hitam” yang dipersepsikan negatif publik. Persepsi negatif tak menjadi alang bagi seorang pelacur untuk meneguhkan eksistensi transedentalnya dalam menyelami hekekat kehidupan. Tempat yang

12

Page 13: Dramatugi Teori

“remang-remang”, pekerjaan yang “kotor”, harta yang “rusuh” dan persepsi yang penuh bias tak menjadi halangan seorang pelacur dalam meyakinkan diri atas eksistensinya. Cibiran publik kerap kali menjadi kekuatan pelacur untuk meningkatkan kualitas hidup. Tak pernah putus asa dan kecewa dengan lelaku hidup yang sedang dijalani. Drama hidup yang dijalani benar-benar dijalankan sesuai dengan “amanat” Yang Kuasa.

Penulis melihat bahwa dramaturgi transedental yang dijalani seorang pelacur dalam beragama patut menjadi “catatan kritis” dalam perilaku kehidupan kita agar tidak menjustifikasi secara simplistik. Masih ada nurani yang menancap dalam sanubari pelacur, sehingga keberagamaannya tidak mesti menjadi “kotor” karena dunia remang-remang yang digeluti. Tuhan juga berada dalam setiap lingkup manusia, sehingga manusia dapat mendapatkan cahaya kesejatian dari Tuhan dalam segala tempat yang dikehedaki-Nya. Seorang pelacur hanya “memainkan drama” kehidupan untuk menyelami hakekat yang menancap dalam hati nuraninya.

4. Pembahasan

Presentation of Self in Everyday Life (1959) adalah salah satu karya terkenal dari Erving Goffman, inti dari karya itu adalah tentang SELF. Konsep Goffman tentang Self sangat dipengaruhi oleh George Mead, khususnya dalam diskusi tentang ketegangan antara “I”, (Sebagai aspek diri yang spontan) dan “ME” (sebagai aspek diri yang dibebani oleh norma-norma sosial). Ketegangan itu terjadi karena ada perbedaan antara apa yang orang lain harapkan supaya kita berbuat dengan apa yang ingin kita lakukan secara spontan.

Ada perbedaan antara keinginan pribadi dan keharusan yang diharapkan oleh orang lain atau masyarakat (Raho, SUD;116). Dalam keadaan yang demikian, maka guna mempertahankan gambaran diri yang stabil, manusia cenderung melakukan peran-peran sebagaimana halnya seorang aktor atau aktris memainkan perannya di atas panggung pertunjukan. Karena itu, Erving Goffman cenderung melihat kehidupan sosial sebagai satu seri drama atau seri pertunjukan di mana para aktor memainkan peran-peran tertentu.

Pendekatan itulah yang disebut Goffman dengan pendekatan DRAMATURGI. Dalam pendekatan ini Goffman membandingkan kehidupan sosial sebagai sebuah pertunjukan atau drama. Dalam pertunjukan itu, panggung berarti lokasi atau tempat di mana kehidupan sosial itu berlangsung, drama atau pertunjukan adalah kehidupan sosial, sedangkan aktor-aktris adalah posisi-posisi atau status-status tertentu di dalam masyarakat.

Peran dan gaya pencitraan SBY selama 2004-2009 harus diakui telah membawa dampak bagi sebahagian rakya untuk memberikan rating yang sangat tinggi dalam survey LSI terhadap SBY . tetapi pada pemerintahannya yang sedang berjalan menciptkan impresion bagi rakyat bahwa SBY selama ini hanyalah melakukan pencitraan saja tanpa melakukan tindkan yang konkrit seperti apa yang diperankan oleh SBY

Pencitraan SBY , jika dikaji berlandaskan pemikiran Erving Goffman, maka pencitraan SBY itu tak lain dan tak bukan adalah sebuah drama. Setiap orang yang terlibat dalam pencitraan SBY itu tidak bisa berbuat sesuai peran dan appearance yang dilakukan SBY dan orang orang dibelakang panggung SBY sendiri tidak punya kompentesi dan bersih .Dan SBY sendiri tidak bisa mengaplikasikan pencitraannya dalam menjalankan pemerintahannya ini terbukti bahwa survey LSI terhadap kinerja pemerintah SBY makin menurun dan ternyata pemerintahan SBY justru sangat korup dan dilakukan oleh orang orangnya .

5. Kesimpulan

13

Page 14: Dramatugi Teori

1. Pemikiran Erving Goffman telah mempersiapkan manusia untuk menjalani kehidupan sosial sebagai sebuah drama;

2. Kehidupan sebagai sebuah drama, akan bisa berjalan baik dan menghasilkan sesuatu yang bermakna manakala orang-orang di belakang panggung, di panggung dan di depan panggung memiliki kompetensi dalam perannya masing-masing;

3. Boleh saja SBY berkreasi secara bebas, tetapi tanggung jawab sosialnya kepada khalayak harus merupakan bagian penting dalam menjalankan pemerinthannya yang bersih dan bisa melindungi rakyat Indonesia dimanapun saja

Referensi:

Goffman, Erving, 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. Doubleday Anchor, Garden City, New York.

Littlejohn, Stephen W., 1996. Theories of Human Communication. 5th Edition, Wadsworth, Belmont California.

Mulyana, Deddy dan Solatun, (ed.), 2007. Metode Penelitian Komunikasi; Contoh-contoh Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Praktis. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Mulyana, Deddy, 2004. Komunikasi Populer; Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer. Remaja Rosdakarya, Bandung.

2001. Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Ritzer, George, 2004. Teori Sosiologi. Cetakan Kelima. Kreasi Wacana Offset, Bantul.

14