Draft Lengkap (Minus Lampiran)

133
FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT : STUDI KUALITATIF PADA PASIEN HIV/AIDS DEWASA DENGAN TERAPI ANTI RETROVIRAL (ARV) LINI PERTAMA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA SKRIPSI Oleh Resa Ansi Rengganis 10/301607/FA/08587 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA

description

Draft

Transcript of Draft Lengkap (Minus Lampiran)

Page 1: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT KEPATUHAN

PENGGUNAAN OBAT : STUDI KUALITATIF PADA PASIEN HIV/AIDS

DEWASA DENGAN TERAPI ANTI RETROVIRAL (ARV) LINI

PERTAMA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

SKRIPSI

Oleh

Resa Ansi Rengganis

10/301607/FA/08587

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014

Page 2: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT KEPATUHAN

PENGGUNAAN OBAT : STUDI KUALITATIF PADA PASIEN HIV/AIDS

DEWASA DENGAN TERAPI ANTI RETROVIRAL (ARV) LINI

PERTAMA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai

Derajat Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta

OlehResa Ansi Rengganis10/301607/FA/08587

FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA2014

ii

Page 3: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

PENGESAHAN SKRIPSI

Berjudul

FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT KEPATUHAN

PENGGUNAAN OBAT : STUDI KUALITATIF PADA PASIEN HIV/AIDS

DEWASA DENGAN TERAPI ANTI RETROVIRAL (ARV) LINI

PERTAMA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

Oleh

Resa Ansi Rengganis

10/301607/FA/08587

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji SkripsiFakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

Pada tanggal : … Mei 2014MengetahuiFakultas FarmasiUniversitas Gadjah Mada

Pembimbing Dekan,

Anna Wahyuni W., MPH., Apt. Prof. Dr. Subagus Wahyuono, M.Sc., Apt.

Penguji:1. Anna Wahyuni W., MPH., Apt.

2. Nanang Munif Yasin., M.Pharm. Apt.

3. Septimawanto Dwi P., M.Si.,Apt.

iii

Page 4: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Resa Ansi Rengganis

NIM : 10/301607/FA/08587

Judul Penelitian : Faktor Pendukung dan Penghambat Kepatuhan

Penggunaan Obat : Studi Kualitatif pada Pasien

HIV/AIDS Dewasa dengan Terapi Anti Retroviral (ARV)

Lini Pertama di Provinsi D.I. Yogyakarta

Menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajuakn

untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang

pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau

diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan

disebutkan di daftar pustaka.

Yogyakarta, 10 Mei 2014

(Resa Ansi Rengganis)

iv

Page 5: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan penulis untuk

Keluarga tercinta, Bapak, Alm. Ibu, Mas Rendra, dan Bulik

Serta untuk agama, Bangsa dan Negara

v

Page 6: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-

Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penulisan skripsi yang

berjudul: “Faktor Pendukung dan Penghambat Kepatuhan Penggunaan Obat :

Studi Kualitatif pada Pasien HIV/AIDS Dewasa dengan Terapi Anti Retroviral

(ARV) Lini Pertama di Provinsi D.I. Yogyakarta.” Skripsi ini diajukan untuk

memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 pada Fakultas

Farmasi Universitas Gadjah Mada.

Terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan,

bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Subagus Wahyuono, M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas

Farmasi UGM, beserta staf pengajar, akademik, tata usaha, dan

perpustakaan yang sangat berperan selama masa perkuliahan hingga

penyusunan skripsi di Fakultas Farmasi UGM.

2. Ibu Anna Wahyuni W., S.Farm., MPH., Apt., selaku dosen pembimbing

skripsi yang senantiasa memberikan waktu, ilmu, bimbingan, dan arahan

sejak awal hingga tersusunnya skripsi ini.

3. Bapak Nanang Munif Yasin, M.Pharm., Apt., selaku dosen penguji atas

masukan dan arahan yang diberikan kepada penulis

4. Bapak Septimawanto Dwi P., M.Si., Apt., selaku dosen penguji atas

masukan dan arahan yang diberikan kepada penulis

vi

Page 7: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

5. Ibu Woro Hardjaningsih, Sp.FRS., Apt., selaku dosen pembimbing

akademik yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan dalam hal

perkuliahan.

6. Lembaga Swadaya Masyarakat Victory Plus atas izin, bantuan, dan

kemudahan selama penelitian bersama anggota LSM Victory Plus.

7. Keluarga yang selalu memberikan dukungan, doa dan pertanyaan terkait

kuliah dan skripsi yang selama ini saya jalani.

8. Sahabat yang bersama sejak awal perkuliahan hingga bersama melakukan

penelitian untuk skripsi ini, Tintani Bunga Restika dan Indah Shintawati.

9. Segenap keluarga besar Unit Kesehatan Mahasiswa (UKESMA) UGM,

Unit Kesenian Jawa Gaya Surakarta (UKJGS) UGM, KKN KTM-01,

Farmasi B ’10, FKK ’10, dan Arpa-Net yang memberikan banyak

dukungan dan bantuan dalam proses penulisan skripsi ini.

10. Triyogo Reko Pamungkas, atas banyak doa dan dukungan yang diberikan

selama penyusunan skripsi ini

11. Segenap pihak yang telah membantu dalam kelancaran pendidikan dan

penyusunan skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna sehingga

kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga karya ini

memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan khusunya ilmu pengobatan dan

kesehatan masyarakat.

Yogyakarta, 10 Mei 2014

Penulis

vii

Page 8: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

DAFTAR ISI

Halaman Sampul .............................................................................................. i

Halaman Judul .................................................................................................ii

Halaman Pengesahan........................................................................................ iii

Halaman Pernyataan ........................................................................................ iv

Halaman Persembahan ..................................................................................... v

Kata Pengantar .................................................................................................vi

Daftar Isi ..........................................................................................................viii

Daftar Tabel ..................................................................................................... xi

Daftar Gambar ................................................................................................. xii

Daftar Lampiran ............................................................................................... xiv

Intisari .............................................................................................................. xiii

BAB I. Pendahuluan

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 4

C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 4

D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 4

E. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 5

1. Kepatuhan ...................................................................................... 5

2. HIV ................................................................................................ 7

3. AIDS .............................................................................................. 9

4. ARV ............................................................................................... 11

viii

Page 9: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

4.1....................................................................................................Zido

vudine ....................................................................................... 14

4.2....................................................................................................Lami

vudine ....................................................................................... 16

4.3....................................................................................................Nevir

apine ......................................................................................... 17

4.4....................................................................................................Efavi

renz ........................................................................................... 18

5. Health Belief Model ....................................................................... 19

F. Kerangka Konsep Penelitian ................................................................ 25

G. Keterangan Empiris ............................................................................. 26

BAB II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian ........................................................................... 27

B. Subjek Penelitian ................................................................................. 27

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ............................................. 28

D. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 29

E. Jalannya Penelitian ............................................................................... 31

F. Analisis Data ........................................................................................ 33

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Karakteristik Responden .................................................... 36

1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ........................ 37

2. Distribusi Responden Berdasarkan Usia ........................................ 37

3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir .............. 37

ix

Page 10: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

4. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ............................... 37

5. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Positif HIV/AIDS ........ 38

6. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Menggunakan ARV Lini

Pertama .......................................................................................... 38

B. Pengetahuan dan Perilaku Minum Obat .............................................. 39

1. Pengetahuan Responden tentang Penyakit yang Diderita .............. 39

2. Pengetahuan Responden tentang Pengobatan yang Diterima ........ 41

3. Pengalaman Responden dalam Menggunakan ARV Lini Pertama 45

4. Pola Pengetahuan dan Perilaku Minum Obat Berdasarkan Karakteristik

Responden ...................................................................................... 48

C. Faktor Pendukung dan Penghambat Kepatuhan Berdasarkan Teori Health

Belief Model ......................................................................................... 50

1. Perceived Severity .......................................................................... 50

2. Perceived Susceptibility ................................................................. 52

3. Perceived Benefits .......................................................................... 54

4. Perceived Barriers ......................................................................... 56

5. Cues to Action ................................................................................ 61

6. Self Efficacy ................................................................................... 64

7. Gambaran Umum dari Faktor Pendukung dan Penghambat Kepatuhan

Berdasarkan Teori HBM ................................................................ 65

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan .......................................................................................... 67

B. Saran .................................................................................................... 67

x

Page 11: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

Daftar Pustaka .................................................................................................. 69

Lampiran

DAFTAR TABEL

Tabel I. Daftar paduan obat ARV untuk terapi lini pertama (Kemenkes RI, 2011) ................................................................................................ 13

Tabel II. Data karakteristik responden ........................................................... 36

Tabel III. Data pengetahuan responden terkait HIV/AIDS yang diderita ....... 40Tabel IV. Pemahaman Responden tentang Pengobatan yang Diterima .......... 42Tabel V. ARV Lini Pertama yang Digunakan dan Waktu Minum ARV ....... 43

Tabel VI. Perilaku Minum Obat Responden Selama Menggunakan ARV ..... 45

Tabel VII. Jenis Ketidakpatuhan yang Dilakukan oleh Respoden .................... 47

Tabel VIII. Tabel hubungan antara karakteristik responden dengan pengetahuan dan perilaku minum obat ................................................................. 48

Tabel IX. Persepsi tentang keparahan HIV/AIDS dari responden .................. 51Tabel X. Persepsi tentang akan kerentanan .................................................... 53Tabel XI. Persepsi tentang manfaat penggunaan ARV .................................. 54Tabel XII. Persepsi tentang hambatan dalam menggunakan ARV ................... 56

Tabel XIII. Dorongan dalam menggunakan ARV ............................................. 62Tabel XIV. Komitmen dalam menggunakan ARV ............................................ 64

Tabel XV. Gambaran umum persepsi responden berdasarkan teori HBM ....... 65

xi

Page 12: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

DAFTAR GAMBAR

Gambar I. Hubungan Antarvariabel pada Health Belief Model ..................... 23

Gambar II. Kerangka konsep penelitian faktor pendukung dan penghambat penggunaan ARV lini pertama ....................................................... 26

Gambar III. Pola variabel pada HBM dari Ketujuh Responden dalam Terapi

ARV Lini Pertama ......................................................................... 66

xii

Page 13: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Farmasi UGM

Lampiran 2. Surat Keterangan Selesai Penelitian dari LSM Victory Plus

Lampiran 3. Panduan Wawancara

Lampiran 4. Formulir Kesediaan/ Informed Consent

Lampiran 5. Transkrip dan Rekaman Hasil Wawancara (dalam CD)

xiii

Page 14: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

INTISARI

Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi isu global dan menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia. Belum terdapat obat yang dapat menyembuhkan infeksi HIV secara total. Salah satu pengobatan yang dapat dilakukan oleh Orang Hidup Dengan HIV/AIDS (ODHA) yaitu dengan menjalani Anti Retroviral Therapy (ART). ODHA yang menjalani ART diharuskan untuk menggunakan obat Anti Retroviral (ARV) secara teratur sepanjang hidupnya. ARV tidak dapat menyembuhkan pasien secara total, namun ARV berfungsi untuk menekan pertumbuhan HIV sehingga dapat meningkatkan jumlah CD4 dari ODHA. Oleh karena itu, kepatuhan pasien dalam menggunakan obat menjadi faktor penting untuk mencapai keberhasilan terapi sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi oportunistik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung kepatuhan pasien dalam penggunaan ARV, khususnya kepada ODHA yang menjalani terapi ARV lini pertama. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode survey dengan responden ODHA yang memperoleh pendampingan dari LSM Victory Plus yang sedang menjalani terapi ARV lini pertama di Yogyakarta. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam terhadap responden di sekretariat LSM Victory Plus Yogyakarta. Analisa data dilakukan dengan metode analisis konten konvensional (coventional content analysis).

Persepsi dalam teori Health Belief Model memiliki hubungan dengan kepatuhan penggunaan ARV. Dari data yang diperoleh dari tujuh responden, faktor pendukung dalam terapi ARV lini pertama antara lain persepsi tentang kondisi tubuh yang akan memburuk tanpa ARV (perceived susceptibility); kesehatan yang lebih baik dengan ARV (perceived benefits); dukungan dari lingkungan sekitar (cues to action); serta komitmen dari diri sendiri untuk tetap menggunakan ARV seumur hidup (self efficacy). Sementara itu, faktor penghambat kepatuhan pengobatan ARV lini pertama antara lain pekerjaan responden; akses mendapatkan ARV, merasakan efek samping obat, merasa jenuh, dan aktifitas rutin (perceived barriers).

Kata kunci: HIV/AIDS, kepatuhan, ARV

xiv

Page 15: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

xv

Page 16: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome

(HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi perbincangan

masyarakat di seluruh dunia dewasa ini. Pandemi HIV juga dikatakan sebagai

permasalahan kesehatan masyarakat yang paling menarik pasca Perang Dunia II,

di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus penyakit infeksi mulai

berkurang. Data dari UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV and

AIDS) menyebutkan bahwa sekitar 5 juta orang baru terinfeksi HIV selama tahun

2001 dan sekitar 3 juta meninggal karena AIDS di seluruh dunia (Fleming, 2004).

Sementara itu, epidemi HIV/AIDS di Asia sendiri menunjukkan keanekaragaman

yang tinggi, baik dari tingkat keparahan maupun lama terinfeksi. Epidemi

HIV/AIDS di Asia masih jauh dari kata selesai; bahkan Indonesia, China, dan

Vietnam memiliki kenaikan jumlah infeksi (Ruxrungtham, 2004).

Di Indonesia, pengamatan terhadap HIV baru di mulai tahun 1988 dengan

dua daerah pengamatan, yaitu Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 1989, Bali dan

Yogyakarta juga menjadi daerah pengamatan, kemudian daerah pengamatan HIV

di Indonesia semakin diperluas. Dari data yang diperoleh hingga tahun 2001,

diketahui bahwa dari tahun 1987 hingga 2000, ditemukan 5.056 kasus AIDS di

Indonesia, dan 3.856 orang meninggal akibat AIDS di Indonesia (Hugo, 2001).

1

Page 17: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

2

Data terbaru dari Ditjen Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan

Kemenkes RI (yang dilaporkan 1 Januari s.d. 30 Juni 2013) menunjukkan jumlah

penderita HIV positif sebanyak 10.210 penderita dan penderita AIDS sebanyak

780 penderita. Sedangkan jumlah penderita HIV dan AIDS secara kumulatif sejak

1 April 1987 sampai 30 Juni 2013 yaitu 108.600 penderita HIV positif, 43.667

penderita AIDS dan 8.340 kematian. Dari jumlah kumulatif sejak 1 April 1987

hingga 30 Juni 2013, D.I Yogyakarta menempati urutan 14 dari 33 propinsi yang

tercatat, dengan jumlah penderita HIV sebanyak 1.693 dan penderita AIDS

sebanyak 782. Sedangkan dari data Prevalensi Kasus AIDS per 100.000 Penduduk

dari Ditjen PP & PL Kemenkes RI, D. I Yogyakarta menempati urutan ke 7 dari

33 propinsi dengan prevalensi kasus sebesar 26,42 (Spiritia, 2013).

Sampai saat ini, belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan infeksi

HIV. Obat yang tersedia untuk penderita HIV/AIDS hingga saat ini adalah Anti

Retroviral (ARV) yang berfungsi mengurangi viral load atau jumlah virus dalam

tubuh penderita. Pengobatan ARV terbukti berperan dalam pencegahan penularan

HIV, karena obat ARV memiliki mekanisme kerja mencegah replikasi virus yang

secara bertahap menurunkan jumlah virus dalam darah (Kemenkes RI, 2011).

Dengan rendahnya jumlah virus, diharapkan dapat tetap mempertahankan

imunitas dari penderita. Menurut pedoman WHO, penderita HIV/AIDS dapat

memulai terapi ARV atau Anti Retroviral Teraphy (ART) sebelum jumlah CD4 di

bawah 350 (Anonim, 2013).

Terapi dengan obat ARV terdiri dari gabungan beberapa golongan obat

ARV, dan biasanya terdiri dari tiga obat atau biasa disebut triple therapy, atau

Page 18: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

3

sering disebut pula sebagai Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART)

(WHO, 2010). Di Indonesia sendiri, obat ARV bisa didapatkan secara gratis sejak

tahun 2006, dan dapat diakses di 25.384 pemberi layanan HIV (UNESCO, 2010).

Terapi HIV/AIDS dengan ARV dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu lini pertama

dan lini kedua. Terapi ARV lini pertama merupakan terapi ARV yang diberikan

kepada pasien HIV/AIDS untuk pertama kalinya ketika jumlah CD4 kurang dari

350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. Sementara terapi ARV lini

kedua merupakan terapi ARV yang dilakukan apabila terjadi gagal terapi pada

penggunaan kombinasi obat ARV lini pertama. (Kemenkes RI, 2011).

Terapi ARV harus dijalani seumur hidup oleh pasien HIV/AIDS untuk

tetap mempertahankan imunitas pasien. Oleh karena itu penggunaan ARV

memerlukan kepatuhan yang tinggi untuk mencapai keberhasilan terapi dan

mencegah resistensi (Bachmann, 2006). Penggunaan obat ARV yang dilakukan

dalam jangka waktu sangat panjang, bahkan seumur hidup, serta masih

terdapatnya stigma negatif terhadap pasien HIV/AIDS memberikan tanggung

jawab pemberi layanan kesehatan untuk memberikan fasilitas lain yang

mendukung pengobatan pasien HIV/AIDS sendiri, terutama dalam monitoring

kepatuhan pasien dalam menggunakan obat.

Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini akan dilakukan dengan metode

kualitatif dengan tujuan untuk mengetahui kepatuhan pasien HIV/AIDS yang

menjalani terapi ARV lini pertama di DIY dan menganalisis faktor yang menjadi

penghambat dan pendukung perilaku kepatuhan pada pasien tersebut sehingga

Page 19: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

4

dapat menjadi acuan pemberi pelayanan kesehatan dalam mendorong kepatuhan

pasien HIV/AIDS untuk rutin menggunakan obat ARV.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam menggunakan obat Anti

Retroviral (ARV) lini pertama?

2. Apa sajakah yang menjadi faktor penghambat dan pendukung kepatuhan

penggunaan obat ARV lini pertama bagi penderita HIV/AIDS?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kepatuhan pasien HIV/AIDS di DIY dalam menggunakan obat

ARV.

2. Mengetahui faktor penghambat dan pendukung terhadap kepatuhan

penggunaan obat ARV.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi responden dan masyarakat: penelitian ini memberikan informasi kepada

masyarakat bahwa stigma negatif terkait HIV/AIDS yang beredar selama ini

tidak sepenuhnya benar. Masyarakat tidak perlu mendiskriminasikan para

ODHA, bahkan masyarakat dapat ikut mendukung terapi ARV yang dijalani

ODHA, karena ODHA juga bagian dari kehidupan sosial kita.

2. Bagi LSM Victory Plus: dapat memberikan gambaran kepada para

pendukung sebaya terkait faktor pendukung dan penghambat dalam

Page 20: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

5

pengobatan ARV sehingga dapat membantu dalam proses pendampingan

terhadap ODHA.

3. Bagi peneliti (farmasis): hasil dari penelitian ini dapat menggambarkan faktor

apa saja yang berperan dalam pengobatan ARV, baik dari faktor pendukung

maupun penghambatnya. Dari data tersebut farmasis dapat mencari celah

untuk ikut berperan aktif dalam mendulung pengobatan pasien HIV/AIDS,

karena dalam pengobatan ARV yang dijalani seumur hidup dibutuhkan

komitmen untuk patuh dari pasien.

E. Tinjauan Pustaka

1. Kepatuhan

Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah kedaan di mana pasien

melakukan pengobatan yang dianjurkan dengan patuh atas kehendak dan

kesadaran pasien sendiri. (Kemenkes RI, 2011). Menurut kamus Oxford,

kepatuhan (compliance) merupakan tindakan mematuhi suatu aturan atau

permintaan yang dibuat oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri (Oxford

Advanced Learner’s Dictionary of Curent English). Kepatuhan (adherence, yang

sering digunakan bergantian dengan compiance) dapat pula diartikan sebagai

kemauan dan kemampuan untuk mematuhi regimen terapi yang diresepkan

(Inkster, 2006). Kebalikan dari kepatuhan, sebuah ketidakpatuhan terjadi ketika

seorang pasien merubah perilakunya (yang terkait kesehatan) menjadi tidak sesuai

dengan kesepakatan bersama petugas pemberi layanan kesehatan (Jin et al, 2008).

Berikut merupakan tipe ketidakpatuhan yang sering dilakukan oleh pasien:

Page 21: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

6

a. Tidak menebus resep yang diterima

b. Menggunakan obat dengan dosis yang salah

c. Menggunakan obat pada waktu yang salah

d. Menambah atau mengurangi frekuensi atau dosis pengobatan

e. Menghentikan pengobatan terlalu dini

f. Menunda menghubungi penyedia layanan kesehatan

g. Tidak melakukan pemeriksaan rutin

h. Tidak mengikuti instruksi dokter

i. Sempat menghentikan pengobatan, kemudian memulai kembali

j. Patuh saat mendekati waktu kontrol rutin saja

(Jin et al, 2008)

Pada kasus HIV sendiri, di mana regimen terapi ARV sangatlah kompleks,

tercapainya tujuan terapi sangat dipengaruhi oleh kepatuhan dari pasien.

Penggunaan regimen terapi ARV yang tidak teratur, terputus-putus, dan terjadinya

underdose sangat mendukung terjadinya resistensi (DD, 1996). Kurangnya

kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam menggunakan ARV dapat disebabkan oleh

beberapa hal, antara lain kelupaan, kurangnya motivasi dan timbulnya efek

samping obat. (Morse, et al, 1991). Pencapaian outcome terapi ARV yang

diharapkan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain yaitu aksesibilitas ARV

terhadap pasien, serta kepatuhan yang sempurna atau hampir sempurna dari

semua dosis ARV yang diberikan (Friedland et al,2001).

Di negera berkembang, kepatuhan penggunaan ARV merupakan

permasalahan utama (Friedland et al, 2001). Kepatuhan pada terapi ARV akan

Page 22: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

7

sangat mendukung proses supresi virologis, di mana setidaknya 95% dari semua

dosis tidak boleh terlupakan (Kemenkes RI, 2011). Dari sebuah penelitian,

diperoleh beberapa penyebab pasien HIV kurang patuh dalam meminum obat

ARV yaitu kelupaan, tertidur ketika waktu minum obat, sedang bepergian jauh,

perubahan rutinitas harian, terlalu sibuk untuk minum obat, merasa sakit (akibat

efek samping), serta perasaan depresi (Hecth, 1997). Untuk itulah perlu adanya

kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dan pasien untuk memberikan

motivasi sehingga membantu pasien patuh dalam minum obat. Tiga langkah yang

harus dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pasien yaitu:

a. Memberikan informasi dasar tentang pengobatan ARV, rencana terapi,

kemungkinan munculnya efek samping, serta konsekuensi dari

ketidakpatuhan dalam pengobatan.

b. Konseling kepada pasien untuk mengeksplorasi tentang kesiapan dan

permasalahan dalam pengobatan yang dilakukan.

c. Diskusi antara petugas dan pasien untuk mencari penyelesaian

permasalahan dan membuat rencana terapi yang praktis.

(Kemenkes RI, 2011)

2. HIV

HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu

virus penyebab AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome. HIV termasuk

ke dalam genus Lentivirus, yang mana termasuk ke dalam family Retroviridae

(Thormar, 2013). Infeksi virus tersebut pada manusia akan menyebabkan

Page 23: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

8

menurunnya sistem imun secara progresif yang menjadi penyebab terjadinya

berbagai macam infeksi oleh agen oportunistik, bahkan akan berlanjut ke

kematian akibat infeksi tersebut (Yengkopiong, et al, 2013). Rute utama

penularan dan infeksi HIV antara lain hubungan seksual yang tidak terlindungi,

jarum suntik yang terkontaminasi, transfer ASI dan ibu ke anaknya dan transmisi

ke janin (Luo, et al, 2013). Penularan infeksi HIV mayoritas disebabkan oleh

hubungan seksual yang tidak aman (Hu et al, 1998).

Terdapat dua tipe HIV yaitu HIV tipe 1 (HIV-1) dan HIV tipe 2 (HIV-2).

Infeksi HIV-1 dan HIV-2 banyak di temukan di AFrika Tengah dan Afrika Barat.

Infeksi HIV-1 tersebar luar di seluruh dunia, sedangkan HIV-2 baru ditemukan

pada beberapa orang di Afrika Barat (Clavel F et al, 1986 dan De Cock et al,

1993).

Mekanisme infeksi imunopatogenik HIV ke tubuh manusia sangatlah

komplek dan multifasik. Segera setelah HIV masuk ke tubuh manusia, virus

tersebut segera disebarkan ke seluruh tubuh, dan jaringan limfoid merupakan

jaringan yang paling banyak diinfeksi oleh HIV (Fauci, 1993). Selain menjadi

tempat penyimpanan utama bagi HIV, jaringan limfoid juga merupakan tempat

replikasi virus, bahkan pada awal infeksi, atau selama periode laten. Adanya

replikasi virus tersebut ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 sel T (Pantaleo

et al, 1993). Transmisi HIV diketahui paling banyak melalui membran mukosa,

seperti mukosa anorektal atau vagina; dapat pula melalui jalur parenteral seperti

penggunaan jarum suntik yang bergantian pada pecandu narkoba (Dandekar et al,

2008).

Page 24: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

9

Secara klinis, infeksi HIV dapat dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama

disebut infeksi akut. Pada tahap ini terjadi penyebarluasanan virus di dalam tubuh,

yang terjadi selama 1-4 minggu pertama setelah infeksi. Respon imun tubuh akan

terinduksi, kemudian akan timbul gejala-gejala klinis yang terkait dengan infeksi

primer. Tahap ini ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 T sel, serta kenaikan

nilai viral copy dalam plasma akibat tingginya produksi virus. Pasien yang

terinfeksi kemudian masuk ke tahap kedua, yaitu memasuki periode laten atau

tahap kronis infeksi HIV. Lamanya periode laten dipengaruhi oleh beberapa

faktor, salah satunya yaitu usia. Selama periode laten, HIV mulai aktif dalam

organ limfoid, dimana virus dalam jumlah besar berada dalam jaringan dendritik

sel folikuler. Jaringan sekitar organ limfoid akan terinfeksi dan virus akan

terakumulasi dalam jaringan tersebut sebagai virus bebas. Tahap terakhir dari

infeksi HIV adalah AIDS yang ditandai dengan infeksi oportunistik akibat

kerusakan sistem imun. Hal ini disebabkan oleh jumlah CD4 sel T yang menurun

dan semakin meningkatnya aktivitas virus. (De Biasi et al, 2011).

3. AIDS

AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah kumpulan

infeksi oportunistik akibat semakin rendahnya jumlah sel T CD4 dalam jaringan

limfoid yang melemahkan sistem imun pasien HIV. Pada pasien HIV dengan

infeksi oportunistik, selain penggunaan ARV, pasien juga harus menggunakan

obat-obat antiinfeksi/antibakteri lainnya untuk mengatasi infeksi yang diderita

pasien.

Page 25: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

10

Beberapa penyakit infeksi yang sering diderita oleh pasien HIV yaitu

disfagia, limfadenopati, diare kronik, gangguan pernafasan, masalah neurologis,

dll. Tatalaksana terapi pasien HIV dengan penyakit infeksi tertentu memerlukan

obat antiinfksi lain untuk mengatasinya. Sebab, penyebab kematian pada pasien

HIV bukan HIV itu sendiri, melainkan penyakit infeksi yang menyertainya

(Kemenkes RI, 2011).

Patogenensis infeksi HIV memiliki perbedaan antar usia (anak dan

dewasa), yang ditandai dengan lebih tingginya kadar muatan virus serta

progresifitas penyakit. Pada anak, sistem imun masih belum matang. Progersi

infeksi HIV pada bayi dan anak tidak dapat ditentukan dengan pasti, sekitar 15-

20% anak memiliki perjalanan penyakit yang cepat dengan AIDS dan kematian di

dalam 4 (empat) tahun pertama (Notoatmodjo, 2010).

Infeksi bakteri pada saluran pernafasan merupakan salah satu penyebab

utama masalah saluran pernafasan pada pasien yang positif HIV. Community-

acquired pneumonia (CAP) merupakan penyebab keparahan yang paling sering

muncul dari infeksi HIV, dan berhubungan dengan meningkatnya kematian pada

pasien HIV positif. Selain pneumonia, Tuberculosis (TB) menjadi salah satu

penyakit yang memperparah dan menyebabkan kematian pada pasien yang

terinfeksi HIV, di mana TB paru merupakan infeksi akibat mikobakteri yang

paling sering muncul. Pada infeksi jamur, Pneumocystis pneumonia akibat dari

jamur Pneumocystis jiroveci, masih menjadi penyebab utama infeksi oportunistik

pada pasien HIV. Selain itu, untuk virus yang sering menyebabkan infeksi

Page 26: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

11

oportunistik pada pasien HIV adalah cytomegalovirus (CMV) yang merupakan

agen penyebab viral pneumonia (Ciledag et al, 2011).

Selama satu dekade pertama sejak HIV/AIDS menjadi epidemi,

perkembangannya di bidang kesehatan semakin meningkat, meliputi

berkembangnya pengenalan terhadap proses infeksi oportunistik, termasuk

komplikasi akut dan kronis, serta pengenalan terhadap agen-agen kemoprofilaksis.

Pada dekade kedua, kemajuan HIV/AIDS di bidang kesehatan semakin pesat, di

mana highly active antiretroviral therapies (HAART) berkembang, serta semakin

berkembang pula pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik. HAART

mengurangi jumlah kejadian infeksi oportunistik dan meningkatkan angka

harapan hidup pasien HIV/AIDS (Masur et al, 2002).

4. ARV

Terapi ARV atau antiretroviral merupakan agen yang secara langsung

mempengaruhi siklus replikasi HIV, yang ditujukan untuk mengurangi jumlah

virus dari tubuh pasien. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat ARV

dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu Reverse Nucleoside Transcriptase Inhibitor

(NRTI), Nonnucleoside-Based Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI), dan

Protease Inhibitor (PI). (Schooley, 2004).

Obat ARV golongan NRTI, seperti Zidovudine dan analog nukleosida

lainnya, bekerja sebagai inhibitor kompetitif enzim reverse transcriptase pada

HIV, sehingga menghambat replikasi virus tersebut. Analog nukleosida ditangkap

oleh sel yang rentan diserang HIV, kemudian terfosforilasi oleh kinase menjadi

Page 27: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

12

turunan trifosfat. Nukleotida (turunan trifosfat) tersebut kemudian dimasukkan

sebagai template RNA dari HIV oleh enzim reverse transcriptase sehingga

terbentuk DNA komplementer yang berbeda dari DNA HIV. DNA yang berbeda

inilah yang menyebabkan penghentian proses transkripsi dan pencegahan terhadap

proses elongasi. Pada jenis Tenovovir, zat aktif sudah dalam bentuk nukleotida,

sehingga tidak perlu dilakukan fosforilasi. Contoh obat yang termasuk golongan

ini adalah Zidovudine, Zalcitabine, Didanosine, Stavudin, Lamivudin, Abacavir

dan Tenofovir., (Schooley, 2004).

Mekansme kerja golongan NNRTI tidak begitu berbeda dengan golongan

RTI. Kombinasi antara NNRTI dan RTI memberikan aktivitas antiretroviral yang

sinergis. Obat ARV yang masuk pada golongan ini antara lain Nevirapine,

Delavirdine, dan Efavirenz. ARV golongan Protease Inhibitor (PI) bekerja

dengan menghambat enzim protease yang berfungsi dalam proses pembelahan

(cleavage) sel virus. Contoh obat yang masuk golongan ini antara lain Saquinavir,

Ritonavir, Indinavir, Nelfinavir, Amprenavir, Lopinavir, dan Atazanavir

(Schooley, 2004).

Inisisasi terapi ARV ditentukan dengan mengukur derajat dan kecepatan

perkembangan kerusakan system imun (Schooley, 2004). Pelaksanaan terapi ARV

di Indonesia, berdasarkan Pedoman Tatalaksana Klinik Infeksi HIV dan Terapi

Antiretroviral pada orang Dewasa tahun 2011, dimulai setelah dilakukan

pemeriksaan terhadap jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinik

infeksi HIV pada pasien. Ketika tidak terdapat pemeriksaan terhadap jumlah CD,

maka terapi RV dimulai berdasar pada penilaian klinis saja. Apabila tersedia

Page 28: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

13

pemeriksaan CD4, maka terapi ARV dimulai pada semua pasien dengan julah

CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya; serta dianjurkan untuk

semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan koinfeksi Hepatitis B tanpa

memandang jumlah CD4 (Kemenkes RI, 2011).

Terapi ARV di Indonesia diberikan dalam paduan beberapa jenis obat.

Penetapan paduan obat pada terapi ARV harus didasarkan pada efektivitas, efek

samping/ toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, serta harga obat. Pada tahap awal

pengobatan, pasien HIV diberikan terapi ARV lini pertama. Paduan obat ARV lini

pertama berupa 2 NRTI + 1 NNRTI. Paduan obat untuk terapi ARV lini pertama

dimulai dengan salah satu opsi dari paduan berikut:

Tabel I. Daftar paduan obat ARV untuk terapi lini pertama (Kemenkes RI, 2011)

AZT + 3TC + NVPATAU

Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine

AZT + 3TC + EFVATAU

Zidovudine + Lamivudine + Evafirenz

TDF + 3TC (atau FTC) + NVPATAU

Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Nevirapine

TDF + 3TC (atau FTC) + EFV

Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz

Pasien yang menjalani terapi ARV lini pertama dapat mengalami kondisi

yang disebut dengan gagal terapi. Gagal terapi merupakan kondisi dimana tidak

terjadi respon terapi ARV yang diharapkan setelah pasien memulai terapi minimal

6 bulan dengan kepatuhan yang cukup tinggi (Kemenkes RI, 2011). Pada kondisi

Page 29: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

14

gagal terapi, produksi virus akan meningkat sehingga viral load juga akan

bertambah.

Menurut WHO, terdapat dua kriteria gagal terapi, yaitu kegagalan klinis

dan kegagalan imuologis. Pada kegagalan klinis, infeksi oportunistik akan muncul

pada kelompok stadium 4 setelah minimal 6 bulan terapi ARV. Penyakit yang

termasuk dalam stadium klinis 3 (TB paru, infeksi bekteri berat) dapat menjadi

petunjuk adanya kegagalan terapi. Sementara kegagalan imunologis adalah

kegagalan dalam mencapai atau mempertahankan jumlah CD4 yang adekuat

walaupun jumlah virus (viral load) sudah tertekan (Kemenkes RI, 2011).

Pada kasus gagal terapi, maka pasien HIV direkomendasikan untuk

mengganti pengobatan sebelumnya dengan paduan obat lini kedua. Rekomendasi

paduan lini kedua yaitu 2 NRTI + boosted-PI. Boosted PI merupakan golongan

Protease Inhibitor yang sudah ditambah (boost) dengan Ritonavir, dan biasa

ditulis dengan symbol /r (LPV/r = Lopinavir/ritonavir). Penggunaan booster

dimaksudkan untuk mengurangi dosis penggunaan PI yang sangat besar bila

digunakan tanpa ritonavir. Sedangkan paduan lini kedua yang disediakan gratis

oleh pemerintah yaitu TDF atau AZT + 3TC + LPV/r (Tenofovir atau Zidovudine

+ Lamivudine + Lopinavir/ritonavir) (Kemenkes RI, 2011).

4.1. Zidovudine

Zidovudine, disebut juga AZT, termasuk ke dalam golongan NRTI.

Zidovudine merupakan analog timidine, di mana pada bagian 3-hidroksil

digantikan dengan kelompok azido (Gennaro, 1995). Dosis AZT untuk

Page 30: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

15

dewasa yang dianjurkan yaitu 500 – 600 mg per hari, dibagi dalam dua

dosis. Pada tahun 2011, tersedia zidovudine dalam bentuk tabel

effervescent yang telah disetujui oleh Food and Drug Association (FDA).

Di Indonesia, zidovudine tersedia dalam bentuk kombinasi bersama

lamivudine (300 mg Zidovudine + 150 mg Lamivudine), yaitu Duviral dari

Kimia Farma atau Combivir dari GSK (Spiritaa, 2013).

Efek samping dari zidovudine terkadang tidak dapat dibedakan dari

kenampakan akibat infeksi virus HIV (Styrt et al, 1996). Efek samping

dari zidovudine sering timbul pada saat pertama kali pemakaian, dan efek

tersebut hanya bersifat sementara. Efek samping yang sering dirasakan

antara lain sakit kepala, darah tinggi, atau seluruh badan terasa tidak enak.

Efek samping tersebut akan menghilang seiring berjalannya wktu. Namun

pada beberapa pasien, efek mual, muntah, sakit kepala, dan kelelahan terus

dirasakan (Spiritaa, 2013). Efek lain yang jarang muncul, tapi cukup berat,

yaitu anemia dan meningkatnya enzim hati. Namun efek tersebut bersifat

reversibel, dan akan kembali normal beberapa saat setelah pemakaian

zidovudine dihentikan (Jacobson et al, 1996). Kombinasi Zidovudine

(AZT), Lamivudine (3TC), dan Nevirapine (NVP) merupakan pilihan

utama untuk terapi ARV lini pertama. Zidovudine dapat menyebabkan

anemia, oleh karena itu pasien dianjurkan untuk rutin memantau kadar

Haemoglobin. Namun zidovudine lebih disukai daripada stavudin karena

efek lipoatrofi, asidosis laktat, neuropati perifer yang sering timbul akibat

penggunaan stavudin (DepKes RI, 2007).

Page 31: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

16

4.2. Lamivudine

Lamivudine, disebut juga 3TC, merupakan ARV golongan NRTI

yang menghambat enzim reverse transcriptase. Pada sebuah studi in vitro

menggunakan enzim cytochrome P450 (CYP450) menunjukkan bahwa

lamivudine memiliki kemungkinan yang kecil untuk berinteraksi pada fase

metabolisme dengan obat-obat lain (Johnson et al, 1999).

Lamivudine tersedia dalam bentuk tunggal maupun kombinasi

bersama zidovudine. Lamivudine 150 mg diberikan setiap 12 jam,

sedangkan untuk lamivudine 300 mg diberikan setiap 24 jam (Kemenkes

RI, 2011). Salah satu contoh lamivudine sediaan tunggal yaitu Hiviral dari

Kimia Farma, sedangkan untuk kombinasi bersama zidovudine yaitu

Duviral (Kimia Farma) dan Combivir (Glaxo Smith Kline). Lamivudine

juga digunakan pada pasien HIV yang memiliki koinfeksi Hepatitis B

karena lamivudine memiliki antivitas terhadap Hepatitis B virus (HBV)

dan HIV. Pada pengobatan koinfeksi Hepatitis B, digunakan kombinasi

tenofovir (TDF) dan lamivudine atau emtricitabine (FTC).

Efek samping yang sering muncul pada penggunaan lamivudine

adalah mual, muntah, kelelahan, dan sakit kepala (Spiritiab, 2013). Efek

samping lain yang jarang terjadi antara lain asidosis laktat dengan stenosis

hepatitis, serta kerontokan rambut (DepKes RI, 2007) (Spiritiab, 2013).

Pada penggunaan awal, mungkin akan muncul efek seperti sakit kepala,

Page 32: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

17

tekanan darah tinggi, dan tidak enak badan. Namun efek-efek tersebut

hanya mucul sementara, lambat laun hilang dan membaik (Spiritiab, 2013).

Pada pasien dengan masalah pada ginjal, lamivudine diberikan

dalam dosis yang lebih rendah. Lamivudine serupa dengan emtricitabine,

oleh karena itu penggunaan keduanya secara bersama-sama sebaiknya

dihindari karena tidak memiliki manfaat. Penggunaan lamivudine bersama

kotrimoxazol perlu dilakukan pemantauan karena kadar lamivudine dalam

darah akan meningkat (Spiritiab, 2013).

4.3. Nevirapine

Nevirapine (NVP), merupakan ARV yang termasuk ke dalam

golongan NNRTI yang memiliki aktifitas melawan virus HIV-1.

Nevirapine akan secara langsung berikatan dengan enzim reverse

transcriptase dan menghambat aktifitas DNA polimerase tipe RNA

dependent dan DNA dependent dengan merusak sisi katalistik enzim

tersebut. Nevirapine tidak bersifat kompetitif terhadap nukleosida

trifosfatase, HIV-2 reverse transkirptase dan eukariotik DNA polimerase

tidak bisa dihambat oleh nevirapine (Dept. Of Health and Ageing, 2012).

Bersama zidovudine dan lamivudine, nevirapine menjadi first line

untuk terapi ARV lini pertama. Dosis awal untuk memulai terapi

nevirapine yaitu 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari pertama, bersama

zidovudine atau tenofovir + lamivudine. Setelah penggunaan tersebut,

diamati apakah terdapat tanda toksisitas hati. Pada 14 hari pemakaian,

Page 33: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

18

nevirapine akan menginduksi metabolismenya sendiri sehingga dimulai

dengan dosis kecil terlebih dahulu. Dosis permulaan tersebut juga

dmaksudkan untuk menurangi risiko ruam dan hepatitis yang muncul dini.

Bila tidak ditemukan tanda-tanda toksisitas hati, dosis dapat dinaikkan

menjadi 200 mg setiap 12 jam (Kemenkes RI 2011).

Efek samping yang sering muncul dari pemakaian nevirapine yaitu

hepatotoksis, Steven-Johnson syndrome, reaksi hepar atau kulit yang berat.

Ketika penggunaan nevirapine menyebabkan peningkatan > 5 kali dari

baseline, maka penggunaan nevirapine harus dihentikan. Selain itu ketika

muncul Steven-Johnson syndrome, maka penggunaan nevirapine harus

dihentikan dan tidak boleh diulang kembali. Efek samping lain yang sering

muncul yaitu alergi apabila nevirapine digunakan pada wanita dengan

CD4 > 250 dan pria dengan CD4 > 400, sehingga perlu dilakukan

pemantauan ketat pada pemakaiannya (Kemenkes RI, 2011).

4.4. Efavirenz

Efavirens (EFV) termasuk ke dalam golongan NNRTI, yang

menghambat kerja enzim reverse transcriptase. Kombinasi antara efavrens

dengan zidovudine, didanosine, atau indinavir menghasilkan efek inhibisi

yang sinergis terhadap HIV-1 (Adkins et al, 1998). Efavirens tidak

dianjjurkan untuk anak usia di bawah 3 tahun (Spiritiac, 2013).

Di Indonesia, efavirenz tersedia dalam bentuk kaplet 600 mg dan

kapsul 50 mg, 100 mg,200 mg. Pada dewasa dosis efavirenz yang

Page 34: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

19

dianjurkan yaitu 600 mg, biasa digunakan satu kali sehari sebelum tidur.

Salah satu contoh efavirenz yan beredar di Indonesia adalah Efavir dari

Cipla.

Peningkatan serum lipid pada penderita HIV sering dikaitkan

dengan penggunaan efavirenz, sehingga terkadang membutuhkan agen

penurun kadar lipid (Gerber et al, 2005). Efek samping yang sering

dirasakan ketika awal menggunakan efavirenz antara lain sakit kepala,

tekanan darah tinggi, atau tidak enk badan. Namun efek tersebut akan

hilang dan membaik. Efek samping yang sering dirasakan oleh pasien HIV

antara lain pusing, mengantuk, sukar tidur, bingung, halusinasi, agitasi,

susah konsentrasi, insomnia, depresi, skizofrenia, mimpi buruk (Spiritiac,

2013) (Kemenkes RI, 2011). Pasien biasanya memilih minum efavirenz

tepat sebelum tidur untuk menghindari rasa pusing yang biasanya segera

mucul setelah minum efavirenz. Peneitian terhadap kera menunjukkan

bahwa penggunaan efavirenz pada wanita hamil dapat menyebabkan

kelahiran cacat. Pasien HIV yang menggunakan efavirenz dapat

menuunjukkan hasil positif palsu pada tes ganja atau obat goongan

benzodiazepine (Spiritiac, 2013). Efavirenz, kombinasi bersama

zidovudine atau stavudine dan lamivudine merupakan obat pilihan untuk

penderita HIV dengan koinfeksi TB (Kemenkes RI, 2011).

5. HEALTH BELIEF MODEL (HBM)

Page 35: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

20

Health Belief Model (HBM) merupakan sebuah teori tentang faktor-faktor

intrapersonal yang berpengaruh terhadap health behavior yang kemudian

digunakan dalam penyusunan program kesehatan, baik dalam hal intervensi

maupun prefensi (Burke, 2013). Konsep dasar dari teori HBM yaitu persepsi

individu penyakit yang diderita, serta keyakinan individu terhadapt cara untuk

meringankan penyakit tersebut (Hochbaum, 1958). Pada HBM, perubahan sikap

terhadap kesehatan didasari oleh tiga hal yang muncul pada waktu yang

bersamaan, yaitu:

a. Individu tersebut menemukan bahwa ada alasan untuk fokus terhadap

masalah kesehatannya

b. Individu tersebut mengerti akan kerentanan serta efek negatif dari penyakit

yang diderita

c. Individu tersebut menydari bahwa perubahan perilaku dapat bermanfaat

untuk kesehatannya, serta menjadikan proses penyembuhan lebih cost

effective

(Burke, 2013)

Namun, ketiga hal tersebut juga dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap

ancaman dari penyakit, serta harapan untuk sembuh; yang juga secara tidak

langsung dapat mempengaruhi seorang individu untuk mengambil sikap

protective health behavior (Redding et al, 2000).

Teori HBM menjelaskan ketiga hal di atas menjadi enam poin pentng,

yaitu perceived susceptibility (persepsi akan kerentanan), perceived severity

(persepsi akan keparahan), perceived barriers (persepsi akan penghalang),

Page 36: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

21

perceived benefits (persepsi akan manfaat), cues to action (isyarat untuk

melakukan tindakan), dan self efficacy (kepercayaan diri untuk bertindak).

a. Perceived susceptibility

Susceptibility atau kerentanan, memiliki maksud seberapa besar

kerentanan individu terhadap suatu kondisi. Persepsi terhadap sebuah

kerentanan merupakan salah satu faktor yang mendorong individu untuk

berlaku lebih sehat. Semakin kuat persepsi individu akan kerentanannya

terhadap suatu penyakit, maka semakin besar pula tindakan individu untuk

mengurangi risiko terkena suatu penyakit; begitu juga sebaliknya. (de Wit et

al, 2005; Rose 1995). Sebagai contoh, individu yang merasa rentan

terinfeksi HIV akan menggunakan kondom untuk mengurangi risiko

penularan HIV.

b. Perceived severity

Perceived severity merupakan persepsi individu akan keparahan

dari kondisi yang diderita dan bagaimana akibatnya pada kehidupan individu

tersebut (Hochbaum, 1958). Individu akan mengambil tindakan untuk

mencegah infeksi HIV ketika individu tersebut mengerti efek negatif yang

akan dia rasakan ketika terinfeksi HIV.

c. Perceived benefits

Perceived benefits merupakan persepsi individu tentang manfaat

yang dia peroleh dari perilaku baru yang dia lakukan untuk mengurangi

risiko perkembangan suatu kondisi, terutama penyakit. Persepsi akan

manfaat dari suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang individu dapat

Page 37: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

22

menjadikannya sebagai motivasi untuk tetap melakukan tindakan tersebut

(Redding et al, 2000). Sebagai contoh, individu yang memiliki persepsi

bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan kondom dengan pencegahan

terhadap infeksi HIV, akan lebih memilih untuk tidak menggunakan

kondom karena individu terssebut percaya bahwa kondom tidak dapat

mencegah penularan HIV.

d. Perceived barriers

Perceived barrier merupakan penghalang, dapat pula kelemahan,

yang dirasakan oleh individu atas perubahan perilaku kesehatan yang

dijalaninya. Misal pada penggunaan kondom, seseorang merasa kurang

nyaman dalam menggunakannya, sehingga individu tersebut menjadi

enggan untuk menggunakan kondom kembali.

e. Cues to action

Cues to action merupakan stimulus yang mendorong individu

untuk menjalani perubahan perilakunya, terutama yang terkait masalah

kesehatan. Stimulus tersebut dapat berasal dari diri individu itu sendiri,

maupun dari luar individu. Pada kasus pencegahan penularan HIV dengan

menggunakan kondom, stimulus internal dapat berupa keinginan diri sendiri

untuk tetap sehat, sedangkan stimulus eksternal dapat berupa semangat dan

himbauan dari pasangan untuk tetap menggunakan kondom.

f. Self efficacy

Self efficacy merupakan kepercayaan diri individu bahwa dia

memiliki keyakinan dan kemampuan untuk tetap menjalani perubahan

Page 38: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

23

perilaku kesehatan. Self efficacy merupakan kunci dari kelima faktor

lainnya karena komitmen dari pribadi individu sangatlah diperlukan untuk

menjaga perilaku sehat yang harus dijalani individu terseut ke depannya.

Hubungan dari keenam faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar I. Hubungan Antarvariabel pada Health Belief Model

a. Persepsi individu

Persepsi individu menjelaskan secara langsung apa yang individu percaya

dan pengetahuannya tentang suatu kondisi serta perilaku yang akan

mempengaruhi kondisi tersebut. Pada teori health belief model, perceived

Persepsi individu Kemungkinan untuk bertindak

Faktor modifikasi

Usia, jenis kelamin, suku, sosioekonomi, pengetahuan

Perceived susceptibility/

perceived severity

Persepsi akan ancaman

Perceived benefits minus perceived

barriers

Cues to action

Kemungkinan untuk bertindak

Page 39: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

24

susceptibility dan perceived severity termasuk ke dalam persepsi tiap

individu (Burke, 2013). Setiap individu memiliki persepsi tersendiri akan

kondisi yang dirasakannya, dari persepsi itulah individu akan berpengaruh

terhadap tindakan apa yang akan diambilnya untuk memperbaiki kondisi

tersebut. Namun tindakan yang diambil juga dipenaruhi oleh faktor-faktor

lain yang pada tabel tersebut disebut faktor modifikasi.

b. Faktor modifikasi

Berbeda dengan persepsi yang berada dalam diri individu sendiri, faktor

modifikasi merupakan faktor yang bukan berasal dari dalam diri individu,

yang kemudian akan mengevaluasi ada atau tidaknya ancaman saat individu

tersebut melakukan suatu perilaku secara terus menerus.

1) Faktor-faktor luar

Faktor-faktor dari luar, misal faktor demografi, akan mepengaruhi

apakah individu tersebut lebih rentan terhadap ancaman suatu penyakit.

Sebagai contoh, jenis kelamin seseorang dapat menjadikannya lebih

berisiko menderita suatu peyakit, seperti kanker serviks yang hanya

diderita oleh kaum perempuan.

2) Perceived Threat (persepsi terhadap ancaman)

Berbeda dengan kerentanan yang berarti apakah individu akan lebih

mudah terkena suatu kondisi (penyakit), ancaman berarti apakah kondisi

(penyakit) yang telah dirasakan individu tersebut akan lebih mudah

Page 40: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

25

berkembang. Sebagai contoh, individu dengan perilaku berisiko akan

rentan terhadap infeksi HIV, namun individu dengan perilaku berisiko

dan sudah positif HIV akan merasa terncam terkena infeksi oportuistik.

3) Cues to action

c. Kemungkinan untuk bertindak

Ketika individu sudah merasa waspada akan perkembangan kondisinya

(penyakit) bila tidak adnya perubahan perilaku, maka ndividu tersebut akan

mempertimbangkan kelebihan dan penghalang yang akan diterimanya saat

melakukan perubahan perilaku tersebut.

F. Kerangka Konsep Penelitian

Dari data penelitian yang diperoleh, kerangka konsep untuk faktor

pendukung dan penghambat penggunaan ARV lini pertama dapat digambarkan

sebagai berikut:

Page 41: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

26

Gambar II. Kerangka konsep penelitian faktor pendukung dan penghambat penggunaan

ARV lini pertama

G. Keterangan Empiris

Dari teori Health Belief Model tersebut, keterangan empiris yang diperoleh

dari penelitian ini adalah persepsi akan keparahan HIV/AIDS; persepsi akan

kerentanan, persepsi manfaat, persepsi hambatan, dorongan untuk bertindak serta

keyakinan diri dalam penggunaan ARV menjadi faktor-faktor pendukung maupun

penghambat dalam penggunaan ARV.

Kepatuhan penggunaan

ARV lini pertama

Faktor penghambat

Faktor pendukung

Health Belief Model

Perceived severityPerceived susceptibility

Perceived benefitsPerceived barriers

Cues to actionSelf efficacy

Karakteristik Responden

Janis kelaminUmur

Pendidikan terakhirPekerjaan

Lama Positif HIVLama Menggunakan ARV

Page 42: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

27

Page 43: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan metode survey.

Pada penelitian yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat, metode kualitatif

mengisi gap yang tidak bisa dilakukan oleh metode kuantitatif, karena

permasalahan kesehatan masyarakat merupakan permasalahan yang kompleks,

tidak hanya karena penyebabnya yang bervariasi, tapi juga karena munculnya

permasalahan baru dalam kesehatan masyarakat baik lingkungan nasional maupun

internasional (Ulin et al., 2005). Penelitian kualitatif sangat memperhatikan

proses, peristiwa serta otentitas. Karakteristik dari penelitian kualitatif yaitu

mengonstruksi realita kemudian memahami maknanya (Somantri, 2005).

B. Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini merupakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Victory Plus. LSM

Victory Plus bergerak dalam penanganan dini HIV/AIDS. LSM Victory Plus juga

merupakan kelompok penggagas dukungan sebaya dan pemberdayaan ODHA.

ODHA yang tergabung dalam LSM Victory Plus meliputi ODHA yang ada di D.

I. Yogyakarta dan sekitarnya (Klaten, Magelang) yang mengakses ARV di RSUP

27

Page 44: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

29

Sardjito ataupun rumah sakit lain di Yogyakarta. Subjek pada penelitian ini

memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut:

1. berusia 20 – 65 tahun;

2. penderita HIV/AIDS yang menggunakan ARV lini pertama;

3. mampu berkomunikasi dengan baik;

4. berdomisili di D.I Yogyakarta;

5. bersedia menjadi responden dalam penelitian dan menandatangani

informed consent.

Kriteria ekslusi responden yaitu responden pengguna ARV lini pertama yang

berusia dibawah 20 tahun atau diatas 65 tahun, menderita penyakit kejiwaan, serta

memiliki kesulitan dalam berkomunikasi. Kriteria inklusi dan ekslusi ditetapkan

agar diperoleh informasi yang cukup tentang kepatuhan dan kendala pengobatan

menggunakan ARV yang dialami sendiri oleh responden.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu purposive sampling.

Jumlah sampel tidak ditentukan oleh rumus kuantitatif. Sampel dianggap cukup

apabila peneliti telah merasa bahwa data yang diperoleh cukup kaya dan cukup

meliputi dimensi-dimensi yang diteliti (Murti, 2006). Pada penelitian ini, pola

jawaban yang sama (data jenuh) pada subjek penelitian ke-7, sehingga

pengambilan data disudahi pada responden ke-7.

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Kepatuhan pada terapi adalah kedaan di mana pasien melakukan pengobatan

yang dianjurkan dengan patuh atas kehendak dan kesadaran pasien sendiri.

Page 45: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

30

2. Faktor penghambat adalah faktor yang menyebabkan pasien kesulitan atau

menghambat pasien dalam menggunakan regimen terapi

3. Faktor pendukung adalah faktor yang dapat membantu pasien untuk patuh

dalam menggunakan regimen terapi

4. Dewasa adalah manusia yang berada pada rentang usia 20 hingga 65 tahun.

5. Perceived severity (persepsi akan keparahan) merupakan pernyataan

responden yang menjelaskan pendapatnya terkait keparahan penyakit

HIV/AIDS.

6. Perceived susceptibility (persepsi akan kerentanan) merupakan pernyataan

responden yang menjelaskan kerentanan akan kondisi kesehatannya bila

tidakmenggunakan ARV.

7. Perceived benefits (persepsi manfaat) merupakan pernyataan responden

tentang keuntungan yang dirasakan setelah menggunakan ARV.

8. Perceived barriers (persepsi hambatan) merupakan pernyataan responden

tentang hal-hal apa saja yang memberikan kesulitan dalam mengakses ARV

maupun saat menggunakan ARV.

9. Cues to action (dorongan untuk bertindak) merupakan dorongan atau

dukungan apa saja yang diperoleh responden untuk menggunakan ARV.

10. Self efficacy (keyakinan diri) merupakan komitmen dari responden untuk

tetap melanjutkan pengobatan ARV seumur hidup.

Page 46: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

31

D. Metode Pengumpulan Data

Bahan untuk penelitian adalah responden dengan kriteria inklusi yang

didapatkan dengan berdiskusi dengan Koordinator Pendukung Sebaya LSM

Victory Plus, yang untuk selanjutnya dihubungi oleh pihak Victory Plus guna

memastikan kesediaan untuk menjadi responden dalam penelitian. Sebelum

dilakukan wawancara untuk mengumpulkan data, responden terlebih dahulu

dimintai persetujuannya untuk berpartisipasi dalam penelitan dengan formulir

pernyataan kesediaan untuk berpartisipasi dalam penelitian (informed consent)

yang ditandatangani oleh pasien dan peneliti. Pengambilan data kemudian

dilakukan dengan wawancara mendalam secara langsung (face to face) dan one by

one terhadap responden sesuai pedoman wawancara. Proses wawancara direkam

dengan voice recorder untuk lebih memfokuskan perhatian peneliti terhadap

responden, serta memudahkan peneliti dalam membuat tranksrip.

Berikut pertanyaan yang diajukan untuk menggali informasi terkait

kepatuhan pasien terhadap pengobatan dengan regimen ARV lini pertama yang

telah dijalani oleh penderita HIV/AIDS :

1. Pertanyaan data demografi responden :

a. Umur

b. Jenis Kelamin

c. Pekerjaan

d. Pendidikan terakhir

2. Panduan Pertanyaan Inti Wawancara :

a. Pertanyaan yang mengacu pada behavior dan pengetahuan :

Page 47: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

32

1) Sejak kapan bapak/ibu direkomendasikan untuk cek HIV (VCT) ?

2) Kapan bapak/ibu memutuskan untuk bergabung di Victory Plus?

3) Apa yang bapak/ibu ketahui tentang sakit yang bapak/ibu alami?

4) Apa saja obat yang bapak/ibu terima?

5) Sejak kapan bapak/ibu menggunakan obat?

6) Tolong ceritakan pengalaman bapak/ibu dalam meminum obat?

b. Pertanyaan tentang faktor penghambat dan pendukung behavior :

1) Mengapa Bapak/Ibu menggunakan obat demikian?

a) Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang keparahan penyakit yang

sedang diserita?

b) Bagaimana akibat apabila Bapak/Ibu tidak menggunakan obat?

Terutama untuk keluarga.

2) Bagaimana perkembangan sakit Bapak/Ibu setelah Bapak/Ibu

menggunakan obat?

3) Apakah ada hambatan dalam mendapatkan obat antiretroviral dan obat

lain?

4) Apa kesulitan yang Bapak/Ibu alami dalam menggunakan obat?

5) Apakah petugas kesehatan memberikan informasi dalam menggunakan

obat?

6) Bagaimanakah dukungan keluarga dan orang-orang lingkungan sekitar

terhadap Bapak/Ibu dalam menggunakan obat?

7) Apakah yang Bapak/Ibu rasakan ketika tahu harus meminum obat

yang kompleks?

Page 48: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

33

8) Apakah Bapak/Ibu merasa sanggup menjalani pengobatan sesuai

rekomendasi petugas kesehatan?

9) Manfaat apa yang Bapak/Ibu rasakan setelah bergabung di Victory

Plus?

E. Jalannya Penelitian

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu :

1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan terdiri dari proses perizinan untuk penelitian,

diskusi bersama dosen pembimbing dan diskusi dengan pihak LSM Victory

Plus. Perizinan yang dibutuhkan adalah surat izin dari Fakultas Farmasi

UGM yang ditandatangani oleh Dekan Fakultas Farmasi UGM. Surat izin

tersebut ditujukan kepada pihak LSM Victory Plus Yogyakarta. Surat izin

dan proposal penelitian diberikan kepada pihak LSM Victory Plus untuk

keperluan penelitian karena responden untuk penelitian merupakan anggota

dari Victory Plus. Tahap berikutnya yaitu diskusi dengan pihak LSM

Victory Plus, yang diwakili oleh Koordinator Pendukung Sebaya, guna

membicarakan kriteria responden yang termasuk dalam kriteria inklusi

penelitian. Responden yang sesuai dengan kriteria inklusi yang ditetapkan

oleh peneliti kemudian di hubungi lebih lanjut oleh Koordinator Pendukung

Sebaya dari Victory Plus guna memastikan kesediaan menjadi responden.

Sebelum dilakukan proses wawancara, peneliti melakukan diskusi dengan

Page 49: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

34

pihak pembimbing dan pewawancara lain guna memastikan kembali

pedoman wawancara untuk proses pengambilan data.

2. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan terdiri dari proses pengambilan data dengan

wawancara mendalam, secara langsung (face to face), dan one by one

bersama responden. Proses wawancara direkam menggunakan voice

recorder. Dalam proses wawancara, peneliti dibantu oleh dua orang peneliti

lain. Peneliti mengumpulkan data sesuai jadwal yang diberikan oleh pihak

LSM Victory Plus. Pengambilan data dilakukan selama satu hari di

Sekretariat LSM Victory Plus untuk memudahkan pertemuan antara peneliti

dan responden. Proses pengambilan dilaksanakan pada 16 Januari 2014.

Secara keseluruhan, mulai dari proses perizinan hingga pengambilan data,

dilakukan selama 1 bulan, yaitu bulan Desember 2013 hingga Januari 2014.

3. Tahap Pengolahan Data dan Penyusunan Laporan Penelitian

Data yang diperoleh dari hasil wawancara dibuat dalam bentuk

transkrip, kemudian dilakukan pengelompokkan isi wawancara dari setiap

responden untuk mempermudah proses analisis. Data kualitatif hasil

wawancara disajikan dalam bentuk tabel. Data yang diperoleh antara lain

data tentang karakteristik pasien berdasarkan data demografi pasien, data

tentang pengetahuan dan behaviour pasien, serta data tentang faktor

penghambat dan pendukung pasien. Data tentang pengetahuan dan

behaviour pasien; serta faktor penghambat dan pendukung pasien

dikelompokkan pula dalam tabel sesuai Health Believe Model meliputi

Page 50: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

35

percieved susceptibility, perceived severuty, perceived benefit, percieved

barrier, cues to action, dan self efficacy.

F. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil wawancara terhadap responden kemudian

dikelompokkan menjadi beberapa tema, dan diolah dengan analisis tema meliputi:

1. Data demografi responden. Data demografi dari tujuh responden ditampilkan

dalam bentuk tabel dengan kolom berisi kode responden, jenis kelamin, usia,

pendidikan terakhir, pekerjaan,lama positif HIV, dan lama menggunakan

ARV.

2. Pengetahuan dan behavior responden. Pada bagian ini terbagi menjadi tiga

subtema, yaitu terkait pengetahuan responden tentang penyakit yang diderita,

pengetahuan pasien tentang pengobatan yang diterima dan pengalaman

responden dalam menggunakan ARV lini pertama. Pada subtema

pengetahuan terkait penyakit dan pengobatan, peneliti menganalisis sejauh

mana pengetahuan responden terkait penyakit yang diderita dan ARV yang

digunakan, yang kemudian akan dikaitkan dengan kepatuhan responden

dalam menjalani pengobatan ARV. Pada pengalaman responden dalam

menggunakan ARV, peneliti menganalisis apakah ada perilaku yang

mengarah ketidakpatuhan dalam penggunaan ARV.

3. Faktor penghambat dan pendukung dalam menggunakan ARV. Pada tema

ini, faktor-faktor dikelompokkan ke dalam enam subjek menurut health belief

model; yaitu perceived severity, perceived susceptibility, perceived benefits,

Page 51: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

36

perceived barriers, cues to action, dan self efficacy. Pada tiap responden,

dibuat tabel yang terdiri dari enam poin tersebut. Ketujuh tabel dari ketujuh

responden kemudian ditarik garis besarnya dan disajikan menjadi sebuah

tabel dengan enam poin dari health belief model

Page 52: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Karakteristik Responden

Karakteristik responden meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir,

pekerjaan, lama positif atau didiagnosis HIV/AIDS, dan lama menggunakan ARV

lini pertama.

Tabel II. Data karakteristik responden

R Jenis Kelamin

Usia (tahun)

Pendidikan Terakhir

Pekerjaan Lama Positif HIV

Lama Menggunakan

ARV1 Perempuan 31 SMA atau

sederajatIbu rumah tangga 6 bulan 6 bulan

2 Laki-laki 38 SMP atau sederajat

Pendukung sebaya, pekerja

sosial

8 tahun 2 tahun

3 L 25 D3 atau sederajat

Pendukung sebaya

2,5 tahun 2,5 tahun

4 L 29 SMA atau sederajat

Wiraswasta 8 bulan 1 bulan

5 P 28 SMA atau sederajat

Pendukung sebaya

7 tahun 5 tahun

6 P 30 SMP atau sederajat

Ibu rumah tangga 3 tahun 3 tahun

7 L 37 SMK atau sederajat

Wiraswasta 2 tahun 6 bulan

Keterangan : R = kode responden

1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Pada penelitian ini tidak ditetapkan kriteria khusus untuk jenis

kelamin, dari 7 orang responden, 3 orang berjenis kelamin perempuan, 4

orang berjenis kelamin laki-laki. Pada sebuah studi terhadap pasien HIV,

pasien dengan jenis kelamin laki-laki, memiliki kepatuhan yang rendah

36

Page 53: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

38

(Kissinger et al, 1995; Daniels et al, 1994). Namun pada studi lain

menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin

laki-laki dan menurunnya kepatuhan (Kissinger et al, 1995).

2. Distribusi Responden Berdasarkan Usia

Kriteria inklusi yang ditetapkan pada penelitian ini adalah pasien

dewasa, yaitu pada rentang umur 20 – 65 tahun. Pada penelitian ini,

responden berada pada rentang usia 25 – 37 tahun. Kepatuhan semakin

meningkat selaras dengan usia, kecuali pada pasien yang sudah sangat tua

(lebih dari 75 tahun) (Fedder, 1984).

3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Dari tujuh orang responden, 1 responden memiliki pendidikan

terakhir di bangku SMP, 1 orang tamatan SMK dan 5 orang lainnya

merupakan tamatan SMA atau sederajat. Daya serap akan sebuah instruksi,

termasuk aturan dalam pengobatan, dipengaruhi oleh tingkat pendidikan

seseorang, yang lebih jauh akan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam

menggunakan obat. Semakin rendah tingkat pendidikan pasien,

kecenderungan untuk tidak patuh semakin tinggi (Budiman et al, 2013).

4. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan

Dari data yang diperoleh peneliti, sebanyak 2 orang responden

merupakan ibu rumah tangga, 2 orang responden berwiraswasta, dan 3 orang

lainnya bekerja sebagai pekerja sosial dan atau pendukung sebaya. Masalah

pekerjaan berkaitan erat dengan masalah ekonomi seseorang, yang kemudian

akan berkaitan dengan pendapatan seseorang. Semakin rendah tigkat sosial

Page 54: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

39

ekonomi individu, semakin tidak patuh individu tersebut (Budiman et al,

2013).

5. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Positif atau Didiagnosis HIV/AIDS

Lamanya responden didiagnosis bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga

8 tahun. Pada penelitian ini tidak ditetapkan kritera inklusi untuk lamanya

responden mengidap HIV/AIDS. Lamanya responden mengetahui tentang

penyakitnya akan berpengaruh pula pada pemahaman responden mengenai

penyakit tersebut.

6. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Menggunakan ARV Lini Pertama

Setiap responden memiliki pengalaman masing-masing dalam

menggunakan ARV lini pertama, di mana tidak setiap responden segera

menggunakan ARV ketika responden didiagnosis positif HIV/AIDS. Lama

penggunaan ARV lini pertama responden pada penelitian ini sangat

bervariasi, dari satu bulan hingga 5 tahun. Lama waktu penggunaan ARV lini

pertama ini akan sangat berpengaruh pada kepatuhan. Masalah

ketidakpatuhan pada pengobatan dalam jangka waktu lama, seperti halnya

ARV, merupakan salah satu masalah kesehatan dunia. Di negara maju,

kepatuhan pada pengobatan dalam jangka waktu lama sekitar 50%, dan jauh

lebih rendah pada negara berkembang (WHO, 2003).

Page 55: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

40

B. Pengetahuan dan Perilaku Kepatuhan Minum Obat

1. Pengetahuan Responden tentang Penyakit yang Diderita

Pengetahuan responden terkait penyakit yang sedang dideritanya akan

dianalisis perihal keterkaitannya dengan kepatuhan responden dalam

menggunakan ARV lini pertama. Pengetahuan responden terkait HIV/AIDS

yang diderita ditanyakan oleh peneliti melalui sebuaah open question, yaitu

“Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang sakit yang Bapak/Ibu alami?”. Peneliti

menggunakan open question bertujuan agar responden dapat membeikan

jawaban yang lebih luas, tanpa dibatasi oleh beberapa hal saja terkait

HIV/AIDS.

Pertanyaan mengenai pengetahuan responden terhadap HIV/AIDS ini

ditanyakan peneliti pada bagian awal proses wawancara. Hal tersebut

bertujuan agar peneliti lebih mudah menyesuaikan responden dalam hal

pemilihan kata yang akan digunakan dalam proses wawancara, karena dari

jawaban responden atas pertanyaan ini peneliti mendapatkan gambaran dari

health literacy responden.

Pada subtema ini, responden dikategorikan memahami penyakit yang

diderita apabila responden mampu bercerita tentang hal terkait HIV/AIDS

dengan tepat. Beberapa responden sudah memiliki pengetahuan yang baik

terhadap penyakit karena juga bekerja sebagai pendukung sebaya.

Page 56: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

41

Tabel III. Data pengetahuan responden terkait HIV/AIDS yang diderita

R Pengetahuan tentang penyakit1 Paham. Responden dapat menjelaskan cara penularan HIV dan mengatakan bahwa HIV

menyerang sel darah putih.2 Paham. Responden berprofesi sebagai pendukung sebaya yang sudah sangat memahami

HIV/AIDS3 Paham. Responden berprofesi sebagai pendukung sebaya yang sudah sangat memahami

HIV/AIDS4 Paham. Responden sangat memahami tentang penularan HIV dan dapat menjelaskan

akibat dari putus obat.

5 Paham. Responden berprofesi sebagai pendukung sebaya yang sudah sangat memahami HIV/AIDS

6 Tidak paham. Responden ragu-ragu dalam menjawab pertanyaan, bahkan jawaban tidak berhubungan dengan pertanyaan peneliti

7 Tidak paham. Pemahaman responden sebatas HIV/AIDS adalah penyakit yang menakutkan dan bisa menular.

Tabel III menunjukkan data bahwa lima responden memahami tentang

HIV/AIDS yang sedang diderita. Tiga dari lima responden yang dikategorikan

paham bekerja sebagai pendukung sebaya sudah sangat mengerti perihal

HIV/AIDS, karena bekal untuk menjadi seorang pendukung sebaya adalah

pengetahuan tentang HIV/AIDS; mulai dari penularan, perkembangan

penyakit, hingga pengobatannya. Satu orang responden lain (R6) yang

memahami HIV/AIDS disebabkan oleh lingkungan pergaulan responden,

dimana responden biasa bergaul dengan ODHA. Namun 2 responden yang

lain tidak memahami tentang penyakit karena responden tidak dapat

menjelaskan tentang penyakit HIV/AIDS, dimana para responden tersebut

menjelaskan HIV/AIDS sebagaimana yang diketahui oleh masyarakat awam.

“Karena HIV itu penyakit yang menakutkan katanya. Saya sendiri juga merasakan begitu. Karena belum ditemukan obatnya juga. Saya merasa takut juga. Makanya virusnya bahaya, bisa menular. Kalau sudah minum ARV gak bisa menular.” (Responden 7)

Page 57: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

42

“Pertama itu ya sempat tidak percaya aja kalau positif gitu. Terus ke Sardjito, cek CD4, terus hasilnya saya ambil, terus udah saya gak ada pikiran untuk pengobatan, wong ya masih sehat aja gitu lho.” (Responden 6)

Dari lima responden yang paham tentang HIV/AIDS, dua diantaranya

tidak berprofesi sebagai pendukung sebaya.

“Iya, indikasi TB tapi gak positif, negatif. Cuma indikasi negatif. Tapi kan walaupun indikasi negatif tetap harus diobati. Karena kita ada virus HIV-nya. Takutnya virus HIV-nya itu semakin berkembang biak, itu semakin berkembang. Dari yang negatif jadi positif. Makanya tetap disarankan pengobatan secara positif.” (Responden 4)

“Iyalah Mbak. Dari aku yang gak ngerti apa-apa jadi dikasih tahu sama temen, sering di sms, sering di ajak ke sana. Bayak lah manfaat buat aku. Kayak aku gak perlu menyendiri kaya kemarin, ternyata ga menular kalau gak melalui transfusi darah, hubungan seks. Tapi dokter itu bilang ke aku kalau seseorang itu sehat-sehat aja tapi sel darah putih kita yang diserang. Makanya badan kita sering lemes, loyo.” (Responden 1)

2. Pengetahuan Responden tentang Pengobatan yang Diterima

Pada penelitian ini, peneliti tidak menetapkan kriteria inklusi tertentu

untuk jenis ARV lini pertama yang digunakan oleh responden. Oleh karena

itu, terdapat berbagai macam ARV lini pertama yang digunakan oleh masing-

masing responden, dengan aturan pakai berbeda-beda pula tiap individunya.

Data mengenai aturan pakai pada pengobatan yang dijalani kemudian akan

dinilai terkait pengaruhnya terhadap kepatuhan. Informasi terkait ARV lini

pertama yang digunakan oleh responden diperoleh dengan menanyakan,”Apa

saja obat yang Bapak/Ibu terima?”, yang biasanya diteruskan peneliti dengan

pertanyaan,”Kapan obat tersebut Bapak/Ibu minum?”

Page 58: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

43

Tabel IV. Pemahaman responden tentang pengobatan yang diterima

R Pengetahuan tentang ARV yang digunakan1. Tidak Paham. Dapat menyebutkan obatnya, namun menyebut Duviral dengan Deviral2 Paham. Responden dapat menyebutkan jenis ARV lini pertama yang pernah digunakan,

dan mengerti alasan dilakukan pergantian3 Paham. Responden berprofesi sebagai pendukung sebaya yang sudah sangat memahami

HIV/AIDS4 Tidak paham. Responden tidak dapat menyebutkan salah satu obat yang lain selain

Efavirenz.

5 Paham. Responden berprofesi sebagai pendukung sebaya yang sudah sangat memahami HIV/AIDS

6 Tidak paham, responden mengatakan bahwa cotrimoxazol termasuk ke dalam ARV7 Paham. Responden langsung dapat menyebutkan ARV yang diminum.

Pada jawaban tentang obat yang diterima, tiga responden merasa sulit untuk

mengingatnya, ragu-ragu dalam mengatakan nama obatnya, bahkan terkadang

salah menyebutkan namanya. Bagi responden yang bekerja sebagai

pendukung sebaya (R2, R3, dan R5), sudah memahami ARV apa yang

digunakannya. Responden 2 sempat beberapa kali berganti jenis ARV dan

responden 2 dapat menjelaskan kenapa ARV tersebut harus diganti.

Pengetahuan terkait ARV tidak hanya dipahami oleh pendukung sebaya saja.

Responden 7 dapat mengingat dengan baik ARV apa yang diminumnya.

“Duviral, Neviral. Kalau dulu aku sempat dapat tambahan Cotrimoxazol, karena CD4 nya kan dibawah 200.” (Responden 5)

“Yang pertama saya minum Neviral, Duviral.” (Responden 2)

Responden 1 masih sulit untuk mengerti nama dari ARV yang diminumnya,

dan salah menyebutkan nama salah satu ARV, yang seharusnya Duviral,

disebutkannya Deviral.

Page 59: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

44

“Tenofovir, deviral sama efavirens.” (Responden 1)

Responden 6 juga dikategorikan tidak memahami tentang ARV apa saja yang

diterimanya. Responden 6 menyebutkan terdapat 4 ARV, termasuk di

dalamnya cotrimoxazol.

“Berapa ya, itu ada Tenofovir, Neviral, Duviral, Cotri. Yang ARV itu 4, terus masih ada yang lainnya juga itu. Terus ada obat TB, terus obat yang buat ini kan minum TB itu efeknya mual, ada anti mual. Kan udah keluar jamur juga kemarin, ada anti jamur juga.”

Responden 4 lupa salah satu ARV yang diminumnya.

“Aku pakai, (kemudian bertanya kepada ODHA di sebelahnya) Mbak D, yang ijo itu apa ya? Yang ijo itu apa ya? Duviral ya? Yang satu kan Efavirenz. Iya, Duviral, Evavirenz.”

Tabel V. ARV lini pertama yang digunakan dan waktu minum ARV

R ARV Lini Pertama Waktu Minum ARV yang Dipilih Responden

1 TenofovirDuviral

Evavirens

09.00, 21.0021.0021.00

2 NeviralTenofovir

Hiviral

07.00, 19.0007.00, 19.00

19.00

3 EvavirensDuviral

01.0001.00, 13.00

4 EvavirensDuviral

21.0009.00. 21.00

5 NeviralDuviral

09.00, 21.0009.00, 21.00

6 TenofovirNeviralDuviral

09.30, 21.3009.30, 21.3009.30, 21.30

7 Duviral 08.00, 20.00

Page 60: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

45

Neviral 08.00, 20.00

Pada pemakaian ARV, pasien dapat memilih sendiri waktu yang dirasa

cocok untuk minum obat. Pemilihan waktu minum obat biasanya didasari oleh

aktivitas ataupun efek samping yang dirasakan pasien. Begitu pula responden

pada penelitian ini, para responden memilih waktu minum obat berdasarkan

aktivitas serta efek samping yang dirasa dapat mengganggu aktivitas

responden. ARV biasa diminum setiap 12 jam atau 24 jam, sehingga para

pasien HIV lebih mudah untuk mengingat jam minum obatnya.

“Kalau efavirenz tiap jam 1 malem, soalnya kan aku kalau pagi-pagi susah bangun dan aku kan emang aktifitasnya kalau malem, jam 10. Jadi ya mending jam-jam 1 pas aku udah mau tidur. Makanya kalau aku habis minum itu langsung tidur. Kalau gak langsung tidur mesti langsung gak enak banget rasanya, kayak orang mabok minuman gitu lho.” (Responden 3)

“Tidak, kalau saya sendiri dulu jam 8, saya rubah jadi jam 7. Kenapa saya rubah, karena jam kerja saya jam 8. Karena saya tidak mau menunjukkan kalau saya minum obat di depan umum.”

Dari penjelasan responden, nampak bahwa semua responden mengerti

arti dari minum dua kali atau satu kali setiap harinya. Tiap responden sudah

paham bawah untuk dua kali sehari, berarti diminum setiap 12 jam dan

diminum pada jam yang sama setiap harinya, begitu pula untuk ARV yang

diminum sekali sehari.

“Kalau Duviral itu tiap 12 jam sekali, kalau Efavirenz tiap 24 jam sekali. Kalau Duviral itu tiap jam 1 siang sama jam 1 malem.” (Responden 3)

“Kalau tenofovir itu jam 9 pagi sama jam 9 malam, efavirenz 9 malam, kalau yang deviral juga jam 9 malam.” (Responden 1)

Page 61: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

46

3. Pengalaman Responden dalam Menggunakan ARV Lini Pertama

Informasi lain terkait responden yang perlu diketahui adalah hal terkait

behavior (perilaku) responden dalam menggunakan ARV. Untuk mengetahui

perilaku minum obat ditanyakan pengalaman responden selama menggunakan

ARV lini pertama, apabila belum didapatkan jawaban yang jelas maka

responden diarahkan dengan pertanyaan “Apakah Bapak/Ibu pernah kelupaan

minum obat?”. Dari pertanyaan tersebut, peneliti juga terkadang mendapatkan

jawaban responden yang menceritakan ketidakpatuhannya dalam minum ARV

sesuai aturan yang sudah responden sepakati di awal.

Tabel VI. Perilaku minum obat responden selama menggunakan ARV

R Pengalaman saat minum ARV

1 Pernah mencoba untuk tidak minum ARV selama 2 minggu hingga merasakan penurunan kondisi kesehatan. Merasakan efek samping pada awal pemakaian ARV.

2 Terkadang lupa apakah sudah minum obat, sehingga meminum kembali ARV-nya. Selalu tertib minum ARV pada jam yang dipilih.

3 Sering menunda untuk minum Efavirenz karena merasakan efek sampingnya. Namun tidak pernah absen minum ARV tiap harinya.

4 Sering merasa malas minum ARV, terutama karena efek samping Efavirenz. Terkadang menunda waktu minum obat karena pekerjaan atau aktivitas lain bersama

teman.

5 Merasakan banyak efek samping sejak 3 hari hingga 3 bulan pemakaian. Sering menunda waktu minum obat.

6 Sering merasa malas dan bosan. Namun tetap minum ARV walaupun terkadang terlambat. Merasakan mual setelah minum cotrimoxazol.

7 Merasakan efek samping pada 3 minggu pertama pemakaian. Namun tetap patuh dan mengatakan tidak pernah merasa malas

Page 62: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

47

Pada subtema ini, semua responden sudah memahami bahwa

diperlukan ketepatan waktu dalam minum ARV setiap harinya. Hal tersebut

dapat dilihat dari subtema sebelumnya, di mana setiap responden sudah

memiliki jadwal minum obat masing-masing yang juga sudah disesuaikan

dengan aktivitas setiap responden. Namun, beberapa responden mengeluh

bahwa mereka sering malas minum ARV, terutama Efavirenz karena efek

sampingnya, yaitu pusing seperti halnya menggunakan narkoba. Responden

yang menggunakan Efavirenz sebelumnya sudah mengatur jadwal minumnya

tepat sebelum tidur. Namun aktifitas yang terkadang melampaui jam minum

obat membuat responden enggan menggunakan efavirenz karena akan

mengganggu aktifitas mereka.

“Kalau efavirenz tiap jam 1 malem, soalnya kan aku kalau pagi-pagi susah bangun dan aku kan emang aktifitasnya kalau malem, jam 10. Jadi ya mending jam-jam 1 pas aku udah mau tidur. Tapi kadang kalau efavirenz aku akalin juga. Kalau Duviralnya tetep aku minum jam 1 ya. Kalau Evavirensnya kan kemarin aku pernah denger kalau efeknya bisa sampai 2-3 hari, jadi telat-telat dikit gak papa lah ya. Ya daripada aku gak bisa aktifitas sama sekali. Kan ya orang berpikiran mending gak minum obat dong daripada gak bisa beraktifitas. Kalau aku ngakalinnya, misal aku tidur jam 4, Duviral tetep aku minum jam 1, tapi efavirenz-nya aku majuin. Jadi sebelum aku naik ke kasur baru aku telen efavirenznya, baru langsung tidur.” (Responden 3)

“Iya. Kalau aku inget efek samping Efavirenz itu tu aku jadi, aduh, males minum. Apalagi kalo pas lagi ada kerjaan banyak, pas lagi ada acara keluarga, lagi ngumpul gitu ya yang acaranya malem, aku tu jadi kaya suka aduh. Nanti kalau aku minum ini jadi kaya mabok, kalau ditanya gimana ya.” (Responden 4)

Berbeda dengan responden 3 dan 4, responden 6 dan 7 tetap mersa tidak malas

minum obat walaupun merasakan efek samping dari ARV yang digunakan.

Peneliti (P) : “Kalau keluhan yang lain, selain mual, ada tidak yang dirasakan sejak April itu?”

Responden 6 (R) : “Ya mual itu. Itu kan sempat, apa itu, vertigo.”P : “Terus kalau merasakan itu jadi malas minum obat atau tidak?”

Page 63: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

48

R : “Nggak.”

Responden 1, yang baru 6 bulan menggunakan ARV, sempat mencoba untuk

menghentikan ARV selama 2 minggu dengan alasan ingin tahu apakah tanpa

ARV dapat membuatnya meninggal dunia.

“Seumur hidup, empat, terus aku mikirnya gini Mbak, kalau gak tak mium satu minggu, dua minggu, mati gak ya. Terus aku nyoba 2 minggu itu, kakiku nggak bisa diangkat sama sekali, tubuhku lemes baget.” (Responden 1)

Pada subtema ini, ternyata dapat menggambarkan beberapa

ketidakpatuhan yang pernah, bahkan sering dilakukan oleh para responden,

baik itu disengaja ataupun tidak. Responden 2 pernah melakukan salah satu

jenis ketidapatuhan, yaitu menambah dosis pengobatan, yang dilakukan tanpa

kesengajaan. Berikut tabel tentang tipe ketidakpatuhan yang pernah dilakukan

responden.

Tabel VII. Jenis ketidakpatuhan yang dilakukan oleh respoden

R Pengalaman saat minum ARV

1 Sempat menghentikan pengobatan, kemudian memulai kembali

2 Menambah atau mengurangi frekuensi atau dosis pengobatan

3 Menggunakan obat pada waktu yang salah

4 Menggunakan obat pada waktu yang salah

5 -

6 -

7 -

Page 64: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

49

4. Pola Pengetahuan dan Perilaku Minum Obat Berdasarkan Karakteristik

Responden

Dari pengeahuan terkait HIV/AIDS dan pengobatan ARV, serta

perilaku minum obat yang dijalani setiap responden; kemudian dihubungkan

dengan karakteristik masing-masing responden, disajikan dalam tabel berikut:

Tabel VIII. Tabel hubungan antara karakteristik responden dengan pengetahuan dan perilaku minum obat

R S1 S2 S3 Jenis Kelamin

Usia* Tingkat Pendidikan

Pekerjaan Lama HIV

Lama ARV

1 √ x x P 31 SMA Ibu rumah tanga

6 bln 6 bln

2 √ √ x L 38 SMP Pendukung sebaya

8 thn 2 thn

3 √ √ x L 25 D3 Pendukung sebaya

1,5 thn 2,5 thn

4 √ x x L 29 SMA Wiraswasta 8 bln 1 bln

5 √ √ √ P 28 SMA Pendukung sebaya

7 thn 5 thn

6 x x √ P 30 SMP Ibu rumah tangga

3 thn 3 thn

7 x √ √ L 37 SMK Wiraswasta 2 thn 6 bln

Keterangan: R=kode responden; S1=pengetahuan penyakit; S2= pengetahuan obat; S3=kepatuhan; √ pada S1 dan S2=paham, pada S3=patuh; x pada S1 dan S2= tidak paham, pada S3= tidak patuh*) dalam tahun

Pada tabel VIII tersebut, hanya responden 5 yang paham tentang

penyakit dan pengobatan, serta patuh terhadap pengobatan dengan ARV.

Responden 5 berjenis kelamin perempuan, bekerja sebagai pendukung

sebaya, tamatan SMA, dan sudah menggunakan ARV selama 5 tahuun. Dua

orang responden (responden 2 dan 3), yang juga berprofesi sebagai

Page 65: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

50

pendukung sebaya, memahami tentang penyakit dan pengobatannya, namun

tidak patuh terhadap regimen ARV. Responden 1, ibu rumah tangga, dan

responden 4 seorang wiraswasta, memahami tentang HIV/AIDS, dan

menggunakan ARV kurang dari 1 tahun melakukan ketidakpatuhan dalam

pengobatan ARV. Responden 6 dan 7 yang tidak memahami tentang

HIV/AIDS, namun kedua responden tersebut patuh terhadap pengobatan

ARV.

Dari hasil penelitian ini, pendidikan tidak memiliki andil dalam

menentukan pengetahuan dan kepatuhan responden. Pada pasien HIV/AIDS

yang bergabung dalam LSM Victory Plus, tentu mendapatkan pendampingan

dari pendukung sebaya yang juga memberikan pengetahuan terkait

HIV/AIDS. Selain itu, lama menggunakan ARV juga tidak berpengaruh pada

kepatuhan, karena dari hasil tersebut responden yang menggunakan ARV

paling lama (responden 5) selalu mematuhi regimen pengobatannya

walaupun sering mengeluh jenuh. Dalam hal kepatuhan, tampak bahwa

responden pria lebih banyak melakukan ketidakpatuhan daripada responden

wanita (3 : 1). Selain itu, pekerjaan juga salah satu alasan lain dari

ketidakpatuhan yang dilakukan responden. Namun dalam hal usia, tidak ada

pengaruh untuk kepatuhan setiap responden. Dari hasil tersebut, diperlukan

penelitian lebih lanjut secara kuantitatif menggunakan statistik untuk

membuktikannya.

Hasil penelitian Shanti (2012) yang menguji keterkaitan faktor

demografi dengan kepatuhan menggnakan uji statistik menyebutkan bahwa

Page 66: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

51

pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kepatuhan. Semakin baik

pendidikan individu, perilaku terkait kesehatan juga semakin meningkat.

Pada penelitian Ubra (2012) terkait kepatuhan penggunaan ARV yang diuji

dengan statistic menyebutkan bahwa pekerjaan, tingkat pendidikan, suku,

pengetahuan pengobatan, riwayat ganti ARV, dan riwayat efek samping obat

merupakan faktor-faktor yang berpengaruh pada kepatuhan penggunaan

ARV. Sedangkan usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh pada kepatuhan

pasien HIV/AIDS dalam menggunakan ARV.

C. Faktor Pendukung dan Penghambat Kepatuhan Berdsarkan Teori Health

Belief Model

Pada tema ini, faktor pendukung dan penghambat dalam pengobatan

disajikan dalam subtema perceived severity, perceived susceptibility, perceived

benefits, perceived barriers, cues to action, dan self efficacy sebagaimana teori

HBM. Dari keenam subtema tersebut, diperolwh gambaran umum terkait faktor-

faktor apa saja yang mendukung maupun menghambat dalam penggunaan ARV

lini pertama.

1. Perceived Severity (Persepsi tentang Keparahan)

Persepsi akan keparahan penyakit yang diderita responden

ditanyakan dengan open question, yaitu “Bagaimana pendapat Bapak/Ibu

tentang keparahan penyakit yang sedang diderita?” Tujuan diketahuinya

persepsi tentang keparahan penyakit yang diderita oleh responden adalah

Page 67: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

52

apakah persepsi mereka berpengaruh terhadap kepatuhan dalam menggunakan

ARV lini pertama.

Tabel IX. Persepsi tentang keparahan HIV/AIDS dari respondenR Persepsi Keparahan terhadap HIV/AIDS1 HIV/AIDS bukan penyakit yang parah2 HIV/AIDS bukan penyakit yang parah3 HIV/AIDS bukan penyakit yang parah4 HIV/AIDS bukan penyakit yang parah

5 HIV/AIDS bukan penyakit yang parah

6 HIV/AIDS bukan penyakit yang parah7 HIV/AIDS adalah penyakit yang parah, menjadi pendukung untuk menggunakan ARV.

Tabel IX menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki

persepsi bahwa HIV/AIDS bukan penyakit yang parah, dan persepsi mereka

tidak ada hubungannya dengan kepatuhan minum obat. Namun satu responden

memiliki persepsi bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang parah karena belum

ada obatnya dan dapat menular. Dari persepsi tersebut, responden merasa

harus selalu menggunakan ARV.

“Karena HIV itu penyakit yang menakutkan katanya. Saya sendiri juga merasakan begitu. Karena belum ditemukan obatnya juga. Saya merasa takut juga. Makanya virusnya bahaya, bisa menular. Kalau sudah minum ARV gak bisa menular.” (Responden 7)

Enam responden lainnya memiliki persepsi bahwa HIV/AIDS

bukanlah penyakit yang parah, walaupun pada awalnya mereka memiliki

persepsi bahwa mereka akan segera meninggal setelah terinfeksi HIV.

Persepsi tersebut berubah ketika mereka mendapat penjelasan dari tenaga

kesehatan maupun pendukung sebaya dari LSM Victory Plus bahwa mereka

Page 68: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

53

dapat tetap sehat dengan menggunakan ARV walaupun terinfeksi HIV.

Penjelasan bahwa HIV/AIDS bukanlah penyakityang parah dari petugas

kesehatan maupun pendukung sebaya bertujuan untuk membangkitkan

semangat hidup penderita HIV/AIDS kembali, bukan malah membuat

meremehkan HIV/AIDS. Dari munculnya semangat hidup tersebut, responden

kemudian menjadi mengerti kenapa harus patuh menggunakan ARV.

“Kita harus buktiin ke mereka, kalo ternyata, ngapain stress, kalo kita bisa. Aku dulu kurus, bisa jadi segemuk ini, aku dulu drop CD4 tinggal 48 sekarang jadi hampir 500, kenapa gak?” (Responden 3)

“Aku sih sampai detik ini merasa tubuh aku masih bisa menjalaninya dengan baik. Aku punya kekuatan buat aku sehat. Aku sih kembali ke diri aku. Kalau aku punya semangat, spirit yang bagus, selalu punya motivasi buat diri aku sendiri.” (Responden 4)

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori HBM (Rosenstock, 1982

dalam Fibriana, 2013) yang menyatakan bahwa dalam melakukan tindakan dalam

mencegah terjadinya suatu penyakit maupun mencari pengobatan dipengaruhi oleh

persepsi keparahan yang mungkin dirasakan bila menderita suatu penyakit. Pada

penelitian ini, dorongan untuk patuh mmenggunakan ARV bukan karena merasa

bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang parah, namun berasal dari persepsi bahwa

HIV/AIDS bukan penyakit yang parah dan dapat tetap hidup sehat dengan

menggunakan ARV. Mayoritas responden memiliki persepsi tersebut terutama dari

pendukung sebaya LSM Victory Plus yang mendampingi mereka sejak pertama kali

divonis positif HIV hingga menjadi seorang pasien yang berdaya.

2. Perceived Suscetibility (Persepsi akan Kerentanan)

Subtema ini membahas tentang persepsi para responden terkait

kerentanan kondisi kesehatan mereka ketika tidak menggunakan ARV.

Page 69: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

54

Persepsi akan kerentanan yang dirasakan responden diperoleh dengan

memberikan pertanyaan, “Bagaimana akibat apabila Bapak/Ibu tidak

menggunakan obat?” Dari diketahuinya persepsi responden akan kerentanan

kondisi tubuh mereka bila tidak menggunakan ARV, dapat diketahui apakah

persepsi tersebut berpengaruh terhadap kepatuhan dalam menggunakan ARV.

Tabel X. Persepsi tentang akan kerentanan R Persepsi Kerentanan1. Rentan, tidak menggunakan ARV membuat kondisi tubuhnya buruk2 Rentan, tanpa ARV kesehatannya akan menurun dan meninggal dunia3 Rentan, ARV mencegah kembalinya infeksi oportunistik4 Rentan, ARV menjaga kekebalan tubuh dan pergantian ke ARV lini 2

5 Rentan, ARV mencegah infeksi oporunistik

6 Rentan, ketidakpatuhan menggunakan ARV membuat kondisi tubuhnya buruk7 Rentan, meninggalkan ARV dapat menyebabkan kematian

Dari hasil penelitian, semua responden memiliki persepsi yang

sama, yaitu tanpa ARV kondisi kesehatannya akan menjadi buruk, baik itu

akan terkena infeksi oportunistik, maupun kematian. Persepsi tersebut

mendorong responden untuk terus menggunakan ARV. Empat responden

mengetahui bahwa dirinya positif setelah terkena infeksi oportunistik, oleh

karena itu mereka merasa rentan kondisinya akan kembali seperti dulu apabila

tidak menggunakan ARV.

“Iya. Ya aku mikirnya daripada aku drop kayak kemarin.” (Responden 3)

“Maksudnya ketika seseorang yang sudah positif HIV dan dia putus obat, banyak indikasi dan faktor yang mempengaruhi sistem metabolism tubuh pasien. Baik itu dari penyakit-penyakit kecil penyertanya, maupun dari pengobatannya juga. Untuk pengobatannya sendiri pasti berubah, tidak seperti yang dulu lagi, tapi menjadi tingkatan yang dosisnya lebih tinggi (lini 2). Dan untuk kekebalan tubuhnya sendiri pasti menurun, dan penyakit-penyakit pasti lebih mudah lagi untuk masuk.” (Responden 4)

Page 70: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

55

“Waktu itu tetep minum saya, karena saya merasa takut juga, kalau saya tinggalkan obat nanti saya mati.” (Responden 7)

Persepsi akan kerentanan menjadi salah satu faktor pendukung dalam

kepatuhan menggunakan ARV. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Santhi,

2012 terkait penggunaan obat filariasis, bahwa terdapat hubungan yang bermakna

pada persepsi kerentanan dengan kepatuhan responden menggunakan obat. Hal ini

juga sesuai dengan teori Health Belief Model (Rosenstock, 1982 dalam Fibrina, 2013)

yang menyatakan bahwa persepsi individu akan kerentanan terkena suatu penyait

mempengaruhi perilaku terhadap dilakukannya pencegahan atau mencari pengobatan.

3. Perceived Benefits (Persepsi tentang Manfaat)

Pada subtema ini, persepsi tentang manfaat dari penggunaan ARV

lini pertama tiap responden diperoleh dengan menanyakan “Bagaimana

perkembangan sakit Bapak/Ibu setelah Bapak/Ibu menggunakan obat?” atau

“Apakah Bapak/Ibu merasakan perbedaan sebelum dan setelah menggunakan

ARV?”. Persepsi tiap responden akan manfaat yang dirasakan dari

penggunaan ARV dapat menjadi salah satu faktor pendukung penggunaan

ARV.

Tabel XI. Persepsi tentang manfaat penggunaan ARV R Persepsi tentang Manfaat Penggunaan ARV1. Bermanfaat, gejala awal infeksi HIV hilang dan kondisi tubuhnya lebih baik2 Tidak bermanfaat, tidak ada perbedaan yang dirasakan setelah menggunakan ARV3 Bermanfaat, CD4 meningkat dan tubuhnya lebih sehat4 Bermanfaat, kondisi tubuhnya lebih baik

5 Bermanfaat, CD4 meningkat dan tubuhnya lebih sehat

6 Bermanfaat, infeksi oportunistiknya membaik7 Bermanfaat, tubuhnya lebih sehat dan perasaannya lebih senang

Page 71: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

56

Dari tabel IX, tampak bahwa terdapat satu responden yang tidak

merasakan manfaat setelah menggunakan ARV karena responden tersebut

tidak pernah merasakan penurunan kondisi kesehatan sejak terinfeksi HIV.

Namun responden lain mengatakan bahwa ARV sangat bermanfaat untuk

kesehatannya, yaitu merasakan kondisi tubuhnya lebih sehat, gejala awal

infeksi HIV membaik, serta infeksi oportunistiknya membaik. Dari pemaparan

setiap responden, dapat dikatakan bahwa setiap responden memiliki persepsi

ARV memberikan manfaat bagi kesehatan mereka.

“Tidak, nggak ada beda. Perasaan saya sama, ya karena saya gak pernah sakit. Jangankan sakit, meriang aja gak pernah. Jadi saya ya selalu fit. Jujur dari awal, sebelum saya kena HIV saya minum vitamin, gak tahu itu sebagai vitamin penunjang atau bagaimana. Tiap pagi saya juga makan pisang pasti, pepaya gitu, mungkin gaya hidup sehat itu mungkin.” (Responden 2)

“Jadi jelas terasa sih, kalau minum obat jadi merasa lebih baik. CD4 ku juga naiknya drastis dari 48, trus 300, 300 lebih, terus kemarin 490 dalam waktu 2 tahun. Jadi kalo sehat ya sehat, malah merasa sehat banget.” (Responden 3)

“Aku pakai herbal mudah sakit. Misal cuacanya gak enak gini, aku mudah sakit, walaupun CD4-ku udah 300. Tapi pas aku minum ARV itu aku merasa sehat banget. Kalau duu itu gampang sakit, loyo, sekarang gak.” (Responden 5)

“Bedanya ya, waktu dulu saya merasa gak enaklah, tapi setelah minum obat saya selalu merasa sehat, merasa senang juga” (Responden 7)

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori HBM (Rosenstock, 1982

dalam Fibrina, 2013) yang menyatakan bahwa tindakan pencegahan ataupun

pengobatan akan dilakukan ketika individu memiliki persepsi terkait manfaat

dari tindakan yang dilakukannya. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian

Shanti, 2012, yang menyebutkan bahwa persepsi manfaat memiliki hubungan

yang signifikan dengan kepatuhan. Dari penelitian lain menyatakan bahwa

Page 72: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

57

semakin tinggi persepsi akan manfaat suatu tindakan, maka semakin baik pula

perilaku pencegahan atau pengobatan suatu penyakit (Widodo, 2009).

4. Perceived Barriers (Persepsi tentang Hambatan)

Persepsi akan hambatan suatu tindakan dapat menjadi salah satu

faktor penghambat dalam proses pengobatan. Pada subtem ini, hambatan yang

dirasakan responden selama menjalani terapi ARV diketahui dari pertanyaan,

“Apakah ada hambatan dalam mendapatkan obat antiretroviral dan obat lain?”

dan “Apa kesulitan yang Bapak/Ibu alami dalam menggunakan obat?”. Dari

pertanyaan tersebut, dapat diketahui apakah ada hambatan dalam mengakses

ARV maupun hambatan saat menggunakan ARV itu sendiri.

Tabel XII. Persepsi tentang hambatan dalam menggunakan ARV R Persepsi tentang Hambatan dalam Menggunakan ARV1. Masalah ekonomi membuat pasien merasa berat (biaya pendaftaran di RS)2 Merasakan efek samping obat yang terkadang membuatnya minum dua kali dosis ARV

yang seharusnya3 Merasakan efek samping dari ARV yang menganggu aktifitas

Tidak ingin orang lain tahu akan statusnya4 Merasakan efek samping dari ARV yang menganggu aktifitas

Tidak ingin orang lain tahu akan statusnya dan mendapat diskriminasi

Birokrasi RS untuk pengambilan ARV dirasa cukup merepotkan

5 Merasa jenuh dengan pengobatan sehingga sering menunda minum obat

6 Merasa bosan terhadap pengobatanAktifitas sehari-hari membuat waktu minum obat sering terlambat

7 Tidak ada hambatan

Pada subtema ini, tiap responden memiliki persepsi berbeda terkait

terapi ARV lini pertama yang dijalaninya. Dari berbagai macam hambatan

tersebut, dapat dikelompokkan sebagi berikut:

a. Hambatan dalam akses ARV di RS

Page 73: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

58

Responden 1 mengatakan bahwa masalah ekonomi merupakan

hambatan dalam terapi ARV. Responden 1 yang merupakan ibu rumah

tangga yang sudah tidak lagi bersuami dan tidak memiliki penghasilan

tetap. Selain itu, Responden 1 juga tidak terdaftar sebagai pasien

Jamkesmas sehingga harus membayar biaya pendaftaran di RS untuk

mengambil ARV setiap bulannya.

“Ya kalau jauh sih jauh Mbak, apalagi aku gak ada motor, kadang ya nebeng temen. Apalagi sekarang aku udah gak kerja,pengennya bikin Jamkesmas, jujur aku merasa keberatan soal keuangan.” (Responden 1)

Responden 4 juga mengeluhkan bahwa birokrasi untuk pengambilan ARV

dirasa cukup merepotkan. Responden 4 merupakan wiraswastawan yang

sering pergi ke luar kota dalam jangka waktu lama. Dari apa yang

diketahuinya, responden 4 merasa bahwa birokrasi untuk pengambilan

ARV di luar kota cukup merepotkan.

“Kalau masalah biaya gak ada ya. Cuma sekarang peraturan pemerintahnya itu lebih rumit dibanding dulu. Maksudnya prosedurnya lebih rumit di banding dulu. Kalau untuk mendapatkannya gak. Cuma yang aku masih bingung, misalnya ada pekerjaan yang menuntut aku keluar kota, obat yang sampai dua bulan, itu katanya bisa, cuma aku belum pernah coba, katanya memang agak susah.” (Responden 4)

b. Efek samping

Efek samping obat yang dirasakan oleh tiga orang responden

menjadi alasan lain terjadinya ketidakpatuhan dalam penggunaan ARV lini

pertama. Responden 3 dan 4 merasakan efek samping obat yang dapat

mengganggu aktifitasnya, sehingga sering merasa malas dan akhirnya

menunda waktu minum obat.

Page 74: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

59

“Kalau Evavirensnya kan kemarin aku pernah denger kalau efeknya bisa sampai 2-3 hari, jadi telat-telat dikit gak papa lah ya. Ya daripadaaku gak bisa aktifitas sama sekali. Kan ya orang berpikiran mending gak minum obat dong daripada gak bisa beraktifitas.” (Responden 3)

“Iya. Kalau aku inget efek samping Evavirens itu tu aku jadi, aduh, males minum. Apalagi kalo pas lagi ada kerjaan banyak, pas lagi ada acara keluarga, lagi ngumpul gitu ya yang acaranya malem, aku tu jadi kaya suka aduh. Nanti kalau aku minum ini jadi kaya mabok, kalau ditanya gimana ya.” (Responden 4)

Pada responden 2, pernah minum ARV dua kali dosis seharusnya

karena lupa apakah sudah minum atau belum. Lupa yang dialami oleh

responden 2 merupakan efek samping dari ARV yang digunakannya. Rasa

lupa tersebut dirasa responden 2 cukup menggangu dalam pengobatan

yang diijalaninya.

“Kadang gini, saya bingung, saya sudah minum obat atau belum. Tapi daripada saya gak minum obat, akhirnya saya minum lagi. Kadang bisa dobel juga. Tapi kadang ya, apakah saya memang pelupa, memang ada efek dari obat ini, saya jadi agak pelupa sekarang. Kalau dulu saya, apa yang saya bicarakan sampai rumah masih ingat. Tapi kalau sekarang, sampai rumah kadang agak lupa. Dari obat ini mungkin.” (Responden 2)

c. Rasa jenuh

Rasa jenuh atau bosan dirasakan oleh dua orang responden, yaitu

Responden 5 dan Responden 6. Dari data karakteristik responden, kedua

responden tersebut merupakan responden yang sudah lama menggunakan

ARV dibanding kelima responden lainnya. Rasa bosan yang dirasakan

oleh kedua responden tersebut membuat mereka sering menunda waktu

minum obat.

Page 75: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

60

“Tapi yang aku rasakan yang namanya kejenuhan pasti ada. Akau kan sudah minum obat 5 tahun ya, kalau dulu di tahu pertama, tahun kedua, ketiga, alarm jam 9 pagi langsung ambil minum, minum obat. Kalau sekarang, tar dulu deh, 5 menit, 10 ment baru ambil.” (Responden 5)

“Bosen. Tapi kadang-kadang malah anak-anak yang ngingetin. Kan biasanya pake alarm HP itu. Kalau HP udah bunyi, Buk, minum obat, gitu.” (Responden 6)

d. Aktifitas rutin

Hal lain yang dirasakan oleh Responden 6 sebagai hambatan dalam

penggunaan ARV adalah aktifitas sehari-harinya. Responden 6 sering

terlambat minum ARV karena aktifitas rutinnya yang tidak bisa ditunda.

“Gak. Kalau molor iya, tapi kalau lupa gak. Kadang kan saya kerja to Mbak. Kadang kan saya gak bawa obatnya. Pulangnya gak tentu, kadang jam 10, kadang jam setengah sepuluh, gak mesti. Tapi nanti kalau pulang ya langsung diminum, walaupun perut kosong, belum makan itu ya langsung minum.” (Responden 6)

e. Kerahasiaan statusnya

Banyak dari penderita HIV/AIDS merahasiakan statusnya, begitu

juga responden pada penelitian ini. Namun yang memiliki persepsi bahwa

kerahasiaan statusnya menjadi hambatan dalam menggunakan ARV hanya

responden 3 dan 4. Mereka sering menunda minum ARV karena tidak

ingin orang lain melihatnya minum obat yang kemudian akan bertanya dan

mungkin akan mengetahui bahwa mereka adalah penderita HIV/AIDS.

Lebih jauh lagi, mereka tidak ingin mendapatkan diskriminasi dari

lingkungan merekakerika orang lain tahu bahwa mereka positif HIV.

“Iya. Kalau aku inget efek samping Evavirens itu tu aku jadi, aduh, males minum. Apalagi kalo pas lagi ada kerjaan banyak, pas lagi ada acara

Page 76: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

61

keluarga, lagi ngumpul gitu ya yang acaranya malem, aku tu jadi kaya suka aduh. Nanti kalau aku minum ini jadi kaya mabok, kalau ditanya gimana ya. Takutnya nanti kalau ngasih argumen kan salah gitu kan. Sedangkan keadaan sakit kaya gitu kan gak semua orang bisa terima, di Indonesia terutama. Karena memang penetahuan mereka, dan sistem budaya mereka, jadi indikasi penerimaan mereka itu, ya dari 100% , 40-60% belum ya.” (Responden 4)

“Kalau lupa sih ga pernah. Tapi kalau berada di keadaan yang gak bisa minum obat, ya pernah. Misal gak ada air, atau lagi kumpul sama temen-temen, ya pernah. Tapi kalau habis pulang nongkrong, kalau udah pulang, ya minum walaupun telat. Ya diakalin tadi. Ya kan daripada ditanya-tanya harus minum obat kayak gitu, ya mending telatin dikit gak apa-apa.” (Responden 3)

Bagi responden yang merasakan efek samping obat yang

mengganggu aktifitas mereka, efek samping obat merupakan hambatan utama

yang dirasakan oleh responden. Responden yang telah lama menggunakan

ARV mengatakah bahwa rasa jenuh adalah hambatan mereka untuk

menggunakan ARV tepat waktu. Beberapa responden mengatakan aktifitas

membuat mereka tidak tepat minum ARV. Bagi salah satu responden, masalah

ekonomi merupakan hambatan dalam terapi ARV, namun hal tersebut dapat

teratasi ketika responden tersebut mendaftarkan diri sebagai pasien

Jamkesmas. Responden lain mengatakan bahwa tidak ada hambatan baginya

dalam terapi ARV. Dari pemaparan tersebut, didapatkan gambaran bahwa

hambatan yang dialami tidaklah sama, namun hambatan utama yang sering

dirasakan oleh responden adalah efek samping obat, aktifitas yang tidak dapat

ditunda, dan rasa jenuh.

Hasil penelitian Ubra (2012) menyatakan bahwa efek samping

pengobatan dan pekerjaan (aktifitas sehari-hari) merupakan salah faktor yang

mempengaruhi kepatuhan pengobatan dengan ARV. Kendala individu di

negara maju maupun berkembang pada pemakaian ARV memiliki kesamaan,

Page 77: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

62

yaitu lupa minum obat karena sibuk ataupun mengganggu aktifitas sehari-hari.

Selain itu, jaminan kesehatan yang kemudian terkait masalah ekonomi,

merupakan faktor lain yang juga berpengaruh terhadap kepatuhan penggunaan

ARV (Alcorn, 2007 dalam Ubra, 2012). Pada penelitian ini, kerahasiaan akan

statusnya merupakan salah satu faktor penghambat penggunaan ARV, namun

hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Ubra (2012) yang

menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara stigma terhadap penderita

HIV/AIDS dengan kepatuhan menggunakan ARV. Hasil pada penelitian ini

sesuai dengan hasil penelitian dalam Journal of General Internal Medicine

(2009) yang menyatakan bahwa pasien HIV/AIDS yang mendapat stigma tiga

kali lebih mungkin melaporkan kurang patuh pada pengobatan ARV.

5. Cues to Action (Dorongan untuk Bertindak)

Subtema ini menjelaskan hal-hal apa saja yang membuat responden

terus menggunakan ARV. Dorongan yang dimiliki responden diketahui

dengan memberikan pertanyaan, “Bagaimanakah dukungan keluarga dan

orang-orang lingkungan sekitar terhadap Bapak/Ibu dalam menggunakan

obat?”. Dari jawaban tersebut, dapat diketahui dorongan utama apakah yang

dapat meningkatkan kepatuhan penggunaan ARV, serta apakah tenaga

kesehatan sudah memiliki peran dalam memberikan semangat kepada pasien

HIV/AIDS untuk mematuhi regimen pengobatan yang diberikan.

Page 78: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

63

Tabel XIII. Dorongan dalam menggunakan ARV R Persepsi tentang Hambatan dalam Menggunakan ARV1. Dukungan dari pendukung sebaya dan semangat untuk tetap sehat2 Semangat dari diri sendiri dan dukungan dari teman-teman sesama pendukung sebaya3 Dukungan dari keluarga dan teman-teman sesama pendukung sebaya4 Dukungan dari keluarga dan teman-teman sesama ODHA (termasuk pendukung

sebaya)

5 Dukungan dari keluarga, teman-teman sesama ODHA dan dukungan dari apoteker yang memberikan konseling

6 Dukungan dari keluarga7 Dukungan dari pendukung sebaya dan teman-teman dari komunitas yang diikutinya

Dari tabel XIII dapat dilihat bahwa kepatuhan menggunakan ARV

didorong oleh semangat dari diri sendiri, dukungan dari keluarga, dukungan

dari sesama ODHA dan pendukung sebaya, serta dukungan dari apoteker yang

memberikan konseling mempengaruhi para pasien HIV/AIDS untuk patuh

terhadap regimen ARV. Namun dari keempat faktor tersebut, dukungan dari

keluarga dan dukungan dari pendukung sebaya merupakan faktor yang paling

dominan dari ketujuh responden tersebut. Dukungan yang diberikan biasanya

berupa mengingatkan ketika sudah waktunya minum obat atau mengambil

obat di rumah sakit, ataupun dorongan untuk tetap semangat hidup sehat

dengan menggunakan ARV.

“Ya cuma sms gak boleh telat minum ARV-nya, harus rutin, gak boleh bolong-bolong, kalau ga diri kamu yang rugi, diri kamu yang sakit sendiri, kan nanti efek sampingnya bisa kanker, kena ginjal, ke mata.” (Responden 1)

“Pertama, setelah aku bertemu temen-temen ODHA, semangatku langsung naik tinggi, aku gak putus asa, aku melihat teman-teman ODHA lain, dia bisa bahagia lho hidupnya. Walaupun jaman dulu itu ODHA masih sedikit, beda sama jaman sekarang ODHA-nya banyak banget. Terus apa ya, aku mendapat dukungan dari teman-teman yang lain, aku bisa semangat. Dulu kan mikirnya kalau ODHA itu umurnya pendek, jadi menghitung-hitung umur. Kalau sekarang sih positif thinking, aku bisa umur panjang.” (Responden 5)

Page 79: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

64

“Oo, sangat bermanfaat. Ya kalau dari Victory itu banyak teman-teman yang mendukung, ada yang ngasih dorongan.” (Responden 7)

“Kadang ya sambil nelfon itu ngingetin buat minum obat. Atau pas jamnya minum obat, jam 10itu, soalnya dulu aku pertama kali minum jam 10 terus pindah jam 1, tapi mereka gak tahu, itu mereka ngingetin buat minum obat.” (Responden 3)

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Ubra (2012)

yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara faktor dukungan keluarga

dan kepatuhan pengobatan ARV. Selain itu, hasil ini juga menunjukkan bahwa

sudah diterapkannya pedoman pengobatan ARV menurut Kemenkes RI, yaitu

pasangan dan keluarganya diharapkan akan memberikan dukungan dan

perawatan. Prinsip dasar pasangan dan keluarga disini adalah orang terdekat

dari ODHA (Kemenkes RI, 2011).

Peran pendukung sebaya dari LSM Victory Plus memang sangat

besar untuk membangkitkan semangat hidup par pasien HIV/AIDS dan

membuat mereka menjadi pasien berdaya. Para pendukung sebaya dari LSM

Victory Plus, yang juga seorang ODHA, mendapingi para pasien HIV/AIDS

sejak awal mereka mengetahui bahwa positif HIV, menjelaskan dan

mendampingi akses mendapatkan ARV serta cek kesehatan rutin, dan selalu

mengingatkan mereka untuk minum ARV dan rutin mengambil ARV di

rumah sakit. Namun dari ketujuh responden tersebut hanya satu yang

merasakan peran petugas kesehatan dalam memberikan dukungan untuk patuh

menggunakan ARV. Hal ini menjadi salah satu koreksi untuk para petugas

kesehatan, dan apoteker pada khususnya, untuk ikut berperean aktif dalam

Page 80: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

65

mendukung kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam menggunakan ARV yang

merupakan obat seumur hidup.

6. Self Efficacy

Self efficacy yang dimaksud pada subtema ini adalah keyakinan

dari diri sendiri untuk tetap melanjutkan pengobatan, yang kemudian akan

ditanyakan komitmen mereka untuk menjalani pengobatan ARV seumur

hidup. Komitmen dari responden ditanyakan dengan pertanyaan, “Apakah

Bapak/Ibu merasa sanggup menjalani pengobatan sesuai rekomendasi petugas

kesehatan?”.

Tabel XIV. Komitmen dalam menggunakan ARV R Persepsi tentang Hambatan dalam Menggunakan ARV1. Komitmen untuk melakukan pengobatan seumur hidup2 Komitmen untuk melakukan pengobatan seumur hidup3 Komitmen untuk melakukan pengobatan seumur hidup4 Komitmen untuk melakukan pengobatan seumur hidup5 Komitmen untuk melakukan pengobatan seumur hidup6 Komitmen untuk melakukan pengobatan seumur hidup7 Komitmen untuk melakukan pengobatan seumur hidup

Dari tabel tersebut, nampak bahwa seluruh responden memiliki

keyakinan untuk menjalani regimen pengobatan ARV seumur hidup. Semua

responden beromitmen untuk tetap menggunakan ARV, namun setiap

responden memiliki alasan berbeda-beda, bisa disebabkan pernah merasakan

kondisi tubuh yang buruk, mengetahui sebab bila tidak menggunakan ARV,

ataupun karena tetap ingin sehat seumur hidup.

“Iya. Itu tadi tak jadiin pelajaran berharga. Sampai berdiri pun aku gak bisa sama sekali, langsung terkapar jatuh, sampai muntah terus.” (Responden 1)

“Sudah. Dengan saya melihat contoh banyak temen-temen yang meninggal karena gak minum obat, terlambat minum obat, tidak patuh dengan obat. Ya kepatuhan itu, banyak yang melanggar, kemudian meninggal.” (Responden 2)

Page 81: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

66

“Yang pasti aku sudah tahu ya efek kalau gakminum obat apa, jadi aku ya. Kenapa aku menunda 2 tahun, proses yang panjang sampai aku memutuskan, yak aku terapi, jadi emang bener gak main-main gitu lho. Walaupun rasa jenuh ada, rasa bosan ada, tapi aku harus minum.” (Responden 5)

Self efficacy sangat diperlukan untuk menghasilkan perubahan perilaku

seorang undividu (Rosentock et al, 1988). Pada umumnya, individu tidak aka

mencoba perilaku yang baru kecuali mereka berpikir bahwa mereka bisa

melakukannya. Jika seseorang percaya bahwa perilaku yang baru tersebut berguna

(perceived benefits) tetapi tidak berpikir dia mampu melakukannya (perceived

barriers), maka besar kemungkinan individu tersebut tidak akan mencobanya

(Bandura, 1977).

7. Gambaran Umum dari Faktor Pendukung dan Penghambat Keptuhan

berdasarkan Teorii HBM

Dari uraian terkait perceived severity, perceived susceptibility, perceived

barriers, perceived benefits, cues to action, dan self efficacy masing-masing

responden; dapat diketahui gambaran umum terkait tiap variabel dalam HBM. Dari

gambaran umum tersebut kemudian dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang

mendukung maupun mengahambat kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam menggunakan

ARV lini pertama.

Tabel XV. Gambaran umum persepsi responden berdasarkan teori HBM

Variabel HBM Persepsi responden

Perceived severity HIV/AIDS bukan penyakit yang parah

Perceived susceptibility Tanpa ARV kondisi tubuh akan menjadi buruk

Perceived benefits ARV bermanfaat dan membuat tubuh lebih sehat

Perceived barriers Akses untuk mendpatkan ARV, efek samping, rasa jenuh, dan aktifitas rutin menjadi hambatan dalam menggunakan ARV

Page 82: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

67

Cues to action Dukungan dari keluarga, teman-teman sesama ODHA, dan pendukung sebaya

Self eficacy Komitmen untuk melakukan pengobatan seumur hidup

Berdasarkan tabel diatas, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan

pengobatan dapat digambarkan dalam gambar berikut:

Kepatuhan penggunaan

ARV lini pertama

Faktor penghambat

PekerjaanPerceived barriers

Faktor pendukung

Perceived susceptibilityPerceived benefitsCues to avtionSelf efficacy

Health Belief Model

Perceived severityHIV/AIDS bukan penyakit yang parah

Perceived susceptibilityTanpa ARV kondisi tubuh akan menjadi buruk

Perceived benefitsARV bermanfaat dan membuat tubuh lebih sehat

Perceived barriersAkses untuk mendpatkan ARV, efek samping, rasa jenuh, dan aktifitas rutin menjadi hambatan dalam menggunakan ARV

Cues to actionDukungan dari keluarga, teman-teman sesama ODHA, dan pendukung sebaya

Self efficacyKomitmen untuk melakukan pengobatan seumur hidup

Karakteristik Responden

Janis kelaminUmur

Pendidikan terakhirPekerjaan

Lama Positif HIVLama Menggunakan ARV

Page 83: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

68

Gambar III. Pola variabel pada HBM dari Ketujuh Responden dalam Terapi ARV Lini

Pertama

Page 84: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pada penelitian ini, yang merupakan faktor pendukung bagi pasien

HIV/AIDS untuk patuh terhadap pengobatan ARV lini pertama yaitu persepsi

tentang kondisi tubuh yang akan memburuk tanpa ARV (perceived susceptibility);

kesehatan yang lebih baik dengan ARV (perceived benefits); dukungan dari

lingkungan sekitar (cues to action); serta komitmen dari diri sendiri untuk tetap

menggunakan ARV seumur hidup (self efficacy). Sementara itu, faktor

penghambat kepatuhan pengobatan ARV lini pertama antara lain pekerjaan

responden; akses mendapatkan ARV, merasakan efek samping obat, merasa

jenuh, dan aktifitas rutin (perceived barriers).

B. Saran

Bagi Pemberi Layanan Kesehatan (Khususnya Apoteker)

1. Apoteker lebih aktif dalam mendukung kepatuhan pengobatan ARV.

Kepedulian dan keikutsertaan apoteker dapat ditunjukkan dengan

menyediakan fasilitas konseling kepada pengguna ARV sehingga pasien

HIV/AIDS merasa lebih diperhatikan dan dipantau terkait pengobatannya.

2. Sikap diskriminatif terhadap pasien HIV/AIDS sebaiknya dihilangkan

karena pemberi layanan kesehatan adalah orang-orang yang akan sering

67

Page 85: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

70

ditemui oleh pasien HIV/AIDS. Pemberian dukungan dan semangat jauh

lebih bermanfaat daripada sikap menjauhi.

3. Pemberian informasi terkait ARV yang akan digunakan sangat penting

untuk diberikan kepada pasien HIV/AIDS untuk mengantisipasi

munculnya perilaku tidak patuh.

Bagi Masyarakat secara Umum

1. Masyarakat harus memiliki pengetahuan yang benar dan cukup terkait

HIV/AIDS. Pengetahuan yang salah terkait HIV/AIDS memicu timbulnya

stigma negatif yang kemudian akan mengarah ke diskriminasi terhadap

pasien HIV/AIDS.

Bagi Peneliti

1. Diperlukan penelitian lebih lanjut terkait kepatuhan pengobatan ARV yang

juga dapat digunakan uji statistik untuk lebih meyakinakan hasil penelitian

ini.

Page 86: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

DAFTAR PUSTAKA

Adkins, JC., Nooble, S., 1998, Efavirenz, Drugs Vol 55 pgs 1055-1064

Budiman, A., Khambri, D., Bachtiar, H., 2013, Faktor yang Mempengruhi Kepatuhan Berobat Pasien yang DIterapi dengan Tamoxifen Setelah Operasi Kanker Payudara, Jurnal Kesehatan Andalas Vol 2

Burke, E., 2013, The Health Belief Model, diunduh dari http://www.iccwa.org.au /useruploads/files/soyf/2013_resources_videos/the_health_belief_model.pdfevan_burke.pdf pada 19 Maret 2014 pukul 13.29 WIB

Clavel F, Guetard D, Brun-Vezinet F, Chamaret, S., Rey, M.A., Santos-Ferreira, M.O., Laurent, A.G., Dauguet, C., Katlama, C., Rouzioux, C., 1986, Isolation of A New Retrovirus from West African Patients with AIDS, Science pgs 343–346.

Dandekar S, Sankaran S, Glavan T, 2008, HIV And The Mucosa: No Safe Haven, Springer, Berlin

Daniels, D, Rene, A, Daniels, V, 1994, Race: An Explanation of Patient Compliance - Fact or Fiction?, Journal National Medical Association Vol 86, pgs 20-25

Departement of Health and Ageing, 2012, Australian Public Assesment Report of Nevirapine, Department of Health and Ageing Australian Government, Canberra

DepKes (Departemen Kesehatan) RI, 2007, Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral, Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada Orang Dewasa dan Remaja, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

De Biasi S, Pinti, M., Nasi, M., Gibelleni, L., Bertoncelli, L., Manzini, S., Mussini, C., Cossarizza, A., 2011, HIV-1 Invection and the Aging of the Immune System: Facts, SImilarities and Perspective, Journal of Experimental and Clinical Medicine 3 (4) pgs 143-150

De Cock, K.M., Adjorlolo, G., Ekpini, E., Sibailly, T., Kouadio, J., Maran, M., Brattegaard, K., Vetter, K.M., Doorly, R., Gayle, H.D., 1993, Epidemiology and transmission of HIV-2: Why there is no HIV-2 Pandemic, JAMA 270 pgs 2083–2086.

De Wit, J.E.F., Vet, R., Schutten, M., Van Steenbergen, J., 2005, Social Cognitive Determination of Vaccination Behavior Againts Hepatitis B: An Assesment Amon Men Who Have Sex With Men, Preventive Medicine 40, pgs 795-832

70

Page 87: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

72

Fauci AS, 1993, Multifactorial Nature of Human Immunodeficiency Virus Disease: Implications for Therapy, Science Magazine

Fedder, D.O, 1984, Drug Use in The Elderly: Issues of Noncompliance, Drug Intell Clin Pharm Vol. 18 pgs 158-162

Fibriana, A. I, 2013, Determinan Keikutsertaan Pelngan Wanita Pekerja Seks (WPS) dalam Program Vountary Conseling and Testing (VCT), Jurnal Kesehatan Masyarakat Kemas Vol. 8 hal 146-151.

Fleming, Patricia L, 2004, The Epidemology HIV and AIDS, AIDS and Other Manifestations of HIV Infection Fourth Edition, Elseiver, USA

Friedland, Gerald H. and Laurie A.Andrews, 2011, Adherence to Antiretroviral Therapy, AIDS Review (3) pgs 111-120

Gennaro, A.R, 1995, Remington: The Science and Practice of Pharmacy 19th

edition, Mack Publishing, Easton

Gerber, JG., Rosenkranz, SL., Fichtenbaum, CJ., Vega, Jm., Yang, A., Alston BL., Brobst, SW., Segal, Y., Aberg, JA., 2005, Effect of Efavirenz on The Pharmacokinetics of Simvastatin, Atorvastatin, and Pravastatin : Results of AIDS Clinical Trials Group 5108 Study, Journal of Acquired Immune Deficiency Syndrome Vol. 39 pgs 307-317

Hecth, FM, 1997, Adherence to HIV Treatment, Presented at the Meeting of Clinical Care of the AIDS Patients, San Fransisco

Hochbaum, G.M., 1958, Public Participation in Medical Screening Programs: A Socio-psychological Study, Public Helath Service Publication, Washington D.C.

Hugo, Graeme, 2001, Population Mobility and HIV/AIDS in Indonesia, UNDP South East Asia, UNAIDS INdonesia, ILO Indonesia

Hu DJ, Dondero TJ, Mastro TD, Gayle HD, Global and Molecular Epidemiology of HIV ed. AIDS and Other Manifestations of HIV Infection 3rd edition, Lippincott- Raven Publishers, Philadelphia

Jacobson, M.A., Gundacker, H., Hughes, M., Fischl, M., Volberding, P., 1996, Zidovudine Side Effect as Reported by Black, Hispanic, and White/Non-Hispanic Patients with Early HIV Disease: Combined Analysis of Two Multicenter Placebo-Controlled Trials, Journal Acquired Immune Deficiency Syndrome Human Retrovirol Vol 11, pgs 45-52

Jin, J, Sklar, GE, Oh, VMS, Li, SC, 2008, Factors Affecting Therapeutic Compliance: A Review From The Patient's Perspective, Therapeutics and Clinical Risk Management Vol 4 pgs 269-286.

Page 88: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

73

Johnson, MA, Moore, KH., Yuen, GJ., Bye, A., Pakes GE., 1999, Clinical Pharmacokinetics of Lamivudine, Clinical Pharmacokinetics Vol 36 pgs 41-66.

Kalichman, Seth C, et al, 1999, Adherence to Combination ANtiretroviral Therapies in HIV Patients of Low Literacy, Journal of General Internal Medicine Vol 4pgs 267-273

Kemenkes RI, 2011, Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Aniretroviral pada Orang Dewasa, Kemenkes RI, Jakarta

Kissinger, P, Cohen D, Brandon, W, Rice, J, Morse, A, Clark, R, 1995, Compliance with Public Sector HIV Medical Care, Journal of National Medical Association Vol. 87 pgs 19-24

Masur, H., Kaplan,JE., Holmes, KK., 2002, Guidelines for Preventing Opportunistic Infection among HIV-Infected Persons-2002, Annals of Internal Medicine Vol. 137 pgs 478

Morse, E.V., Simon, P.M., Coburn, M., Hyslop, N., Greenspan, D., Balson, P. M., 1991, Determinant of Subject Compliance within An Experimental anti-HIV Drug Protocol, Social Science & Medicine Vol 32 pgs 1161-1167

Murti, B., 2006, Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

M. Luo, C. Czarnecki, S. Ramdahin, J. Embree, F.A. Plummer, 2013, HLA-G And Mother-Child Perinatal HIV Transmission, Hum. Immunol. 74 pgs 459–463.

Notoatmodjo, S 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, 5th ed, PT Rineka Cipta, Jakarta, p.1-16, 120-121.

Pantaleo G, Graziosi C, Demarest JF, Butini L, Montroni M, Fox CH, et al., 1993, HIV Infection is Active and Progressive In Lymphoid Tissue During The Clinically Latent Stage Of Disease, Nature, pgs 355-362

Redding, C.A., Rossi, J.S., Rossi, S.R., Velicer, W.F., Prochaska, J.O., 2000, Health Behavior Model, The International Electronic Journal of Health Education pgs 180-193.

Rosenstock, I.M, Strecher, V.J, Becker, M.H., 1988, Social Learning Theory and the Health Belief Model, Health Education Behavior Vol. 15

Rose, M.A., 1995, Knowledge of Human Immunodeficiency Virus and Acquire Immunodeficiency Syndrome, Perception of Risk, and Behavior Among Older Adults, Holistic Nursing Practice 10, pgs 10-17

Page 89: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

74

Ruxrungtham, Kiat, Tim Brown dan Praphan Phanuphak, 2004, HIV/AIDS in Asia, The Lancet, Vol 364 pgs. 69 – 92

Santhi, F., 2012, Kepatuhan Minum Obat Filariasis pada Pengobatan Massal Berdasarkan Teori Health Belief Model di Kelurahan Limo Depok Tahun 2011, Digital Library Universitas Indonesia, Jakarta

Schooley, Robert T, 2004, Antiretroviral Chemoterapy, AIDS and Other Manifestations of HIV Infection 4th Ed, Elseiver ch 31, USA

Somantri, GR., 2005, Memahami Metode Kualitatif, Makara, Sosial Humaniora Vol.9 pgs 57-65.

Spiritia, 2013, Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Dilapor s/d Desember 2013, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta

Spiritiaa, 2013, AZT (Zidovudine), Lembaran Informasi 411, diunduh dari http://spiritia.or.id/li/pdf/LI411.pdf pada 9 Maret 2014 pukul 14.21 WIB

Spiritiab, 2013, 3TC (Lamivudine), Lembaran Informasi 415, diunduh darii http://spiritia.or.id/li/pdf/LI415.pdf pada 9 Maret 2014 pukul 14.23 WIB

Spiritiac, 2013, Efavirenz, Lembaran Informasi 432, diunduh dari http://spiritia.or.id/li/pdf/LI432.pdf pada 9 Maret 2014 pukul 14.30

Styrt. B.A, Paizza-Hepp, T.D., Chikami, G.K, 1996, Clinical Toxicity of ANtiretroviral Nucleoside Analogs, Antiviral Res. Vol 31, pgs 121-135

Thormar, H, 2013, The Origin Of Lentivirus Research: Maedi-Visna Virus, Curr. HIV Res.11 pgs 2–9.

Ubra, R.R, 2012, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Pengobatan Minum ARV pada Pasien HIV di Kabupaten Mimika-Provinsi Papua tahun 2012, Digital Library Universitas Indonesia, Jakarta

UNESCO, 2010, Education Sector Response to HIV, Drugs and Sexuality in Indonesia, UNESCO, Jakarta

Widodo, E, 2009, Prakatik Wnita Pekerja Seks (WPS) dalam Pencegahan Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS di Lokalisasi Koplak, Kabupaten Grobogan, Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol.4

WHO, 2003, Adherence to Long-Term Therapies “Evidence for Action”, World Health Organization, Geneva

WHO, 2010, Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and Adolescent, World Health Organization, Wina.

Page 90: Draft Lengkap (Minus Lampiran)

75

Yengkopiong, Y.P,Joseph Danial Wani Lako,Lilly Tosiki, 2013, Human Immunodeficiency Viral Infection in The Republic of South Sudan: A Paradigm Beyond Normality, HIV & AIDS Review 12 pgs 55-62