staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA...

25
UPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi Budaya Demi Mewujudkan Masyarakat Indonesia Yang Menghormati Multikulturalisme Dan Menjunjung Tinggi Prinsip Bhinneka Tunggal Ika Oleh: Purwadi Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRACT Every year Surakarta Hadiningrat Kingdom always does the big ritual ceremony. This is called Sesaji Rajawedha or Wilujengan Nagari Maesa Lawung. According to Javanese beliefe that environtment need equilibrium between macrocosmos (jagad gumelar) and microcosmos (jagad gumulung). Krendha Wahana forest in Gondangrejo Karanganyar, become special sacred place to show of praying. Spiritual activity is still relevance in global era, so that Indonesian goverment should give apreciation and protection. Historically Sesaji Rajawedha is took by the king of Java. The goal of Mahesa Lawung ceremony that people, community and world will be hope to get welfare and peace. 1

Transcript of staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA...

Page 1: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

UPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG

DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT

Kajian Akulturasi Budaya Demi Mewujudkan Masyarakat Indonesia

Yang Menghormati Multikulturalisme Dan Menjunjung Tinggi

Prinsip Bhinneka Tunggal Ika

Oleh: Purwadi

Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah

Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta

ABSTRACT

Every year Surakarta Hadiningrat Kingdom always does the big ritual ceremony.

This is called Sesaji Rajawedha or Wilujengan Nagari Maesa Lawung. According

to Javanese beliefe that environtment need equilibrium between macrocosmos

(jagad gumelar) and microcosmos (jagad gumulung). Krendha Wahana forest in

Gondangrejo Karanganyar, become special sacred place to show of praying.

Spiritual activity is still relevance in global era, so that Indonesian goverment

should give apreciation and protection. Historically Sesaji Rajawedha is took by

the king of Java. The goal of Mahesa Lawung ceremony that people, community

and world will be hope to get welfare and peace.

Keywords: Maesa Lawung, ritual, equilibrium

ABSTRAK

Setiap tahun Karaton Surakarta Hadiningrat selalu mneyelenggarakan upacara

ritual yang disebut Sesaji Rajawedha atau Wilujengan Nagari Maesa Lawung.

Menurut kepercayaan Jawa bahwa lingkungan membutuhkan keseimbangan

antara macrocosmos (jagad gumelar) dan microcosmos (jagad gumulung). Hutan

Krendha Wahana berada di Karanganyar, menjadi tempat semedi dan berdoa yang

dianggap sakral. Aktivitas spiritual yang masih relevan dengan era globalisasi,

1

Page 2: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

sehingga pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk memberi apresiasi

dan proteksi. Secara historis Sesaji Rajawedha dilakukan oleh para raja Jawa.

Tujuan upacara Mahesa Lawung yaitu agar manusia, masyarakat dan jagad raya

berharap mendapatkan kesejahteraan dan kedamaian.

A. Pendahuluan

Penyelenggaraan upacara Wilujengan Nagari Maesa Lawung tepat pada

hari Kamis Pahing tanggal 27 Februari 2014 atau 26 Bakda Mulud 1947 Alip

dimulai pukul 09.00 pagi bertempat di Sitihinggil Kraton Surakarta Hadiningrat.

Prosedur serta tata laksananya sudah baku, karena merupakan hajad dalem rutin

dan termasuk acara yang tergolong besar.

Suasana upacara sakral, kalau boleh dibilang spesial. Mengingat beberapa

hari sebelumnya yaitu tanggal 14 Februaru 2014 terjadi pacobaning urip. Gunung

Kelud erupsi. Letusannya dasyat sekali, material yang dikeluarkan lebih besar

daripada letusan Gunung Sinabung dan Gunung Merapi. Semburan Gunung Kelud

merata di tanah Jawi. Hujan abu dimana-mana. Jagad Jawa peteng

dhedhetlelimengan, gelap gulita. Gunung jugrug, wukir moyag-mayig, saking tyas

baliwur, begitulah ucapan ki dalang yang menggambarkan keadaan yang kacau

balau, bagi kalangan kejawen itu merupakan sasmita alam.

Penghayat kepercayaan atau kebatinan menjadikan kejadian mutakhir itu

sebagai sarana refleksi dan introspeksi. Kepustakaan Jawa, sejauh kepustakaan itu

hanya membicarakan hal pengalaman-pengalaman, pemikiran-pemikiran dan

konsepsi agamawi, hampir senantiasa dipengaruhi kebatinan. Oleh karena itu tiada

keberatan untuk berbicara tentang ‘kebatinan Jawa’, yaitu kebatinan seperti yang

dipelajari dan dipraktekkan oleh orang Jawa serta yang mencerminkan pengolahan

Jawa dari bahan-bahan kebatinan yang datang dari luar dengan bahan-bahan

kebatinannya sendiri. Kepustakaan yang muncul sebagai hasil pengolahan Jawa

itu bercirikan suatu kebatinan-persatuan, yaitu mengajarkan kesatuan Tuhan dan

hamba, bersifat radikal dan diwarnai oleh spekulasi, yang dipertahankan oleh

orang Jawa dalam kesinambungan yang terus-menerus bernada sama hingga

berabad-abad, tanpa perubahan yang asasi hingga kini (Harun Hadiwijono, 1983:

12-13).

2

Page 3: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

Sesaji Mahesa Lawung dilakukan untuk membangun kekuatan spiritual

Keraton. Sesaji ini dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis terakhir pada bulan

Rabiul akhir di hutan Krendhawahana, sekitar 20 km sebelah utara Solo

(Mulyanto Utomo, dkk, 2004: 113). Mereka datang ke kraton Surakarta untuk

mengikuti rutial kenegaraan Maesa Lawung. Dengan harapan dunia menjadi ayem

tentrem, aman dan damai.

B. Jalannya Upacara Wilujengan di Sitinggil

Peserta upacara Maesa Lawung berasal dari bermacam-macam kalangan.

Tampak hadir abdi dalem yang berasal dari Jakarta, Pekalongan, Surabaya,

Kediri, Semarang dan sebagian luar Jawa. Antusias mereka untuk datang karena

perasaan serta keyakinan yang sama. Keseimbangan alam antara makrokosmos

dan mikrokosmos mesti terjadi. Jagad gumelar dan jagad gumulung tidak boleh

njomplang. Itulah tertib kosmis.

Dengan berbusana Jawa lengkap, sejak pagi mereka bersiap-siap diri. Para

pengageng abdi dalem daerah Subosuka Wonosraten: Surakarta, Boyolali,

Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten, kelihatan sibuk cancut

tali wanda. KRA Probonagoro Klaten, KRA Rawuh Supriyanto Sragen, KRA

Marjito Boyolali, KRA Sutarno Wonogiri dan KRT Sri Renggani Pujangkoro

Pekalongan sudah berkoordinasi. Masing-masing pimpinan cabang abdi dalem

daerah ini beserta dengan rombongan.

Abdi dalem kakung berbusana kejawen jangkep, blangkon, bbedan jarik,

sabuk wala, sabuk timang, beskap, kartu tanda anggota, dan lambang Radya

Laksana. Tidak lupa pusaka keris dhapur ladrangan dan gayaman. Sedangkan para

abdi dalem putri berbusana kebaya warna hitam, sanggulan, nyampingan, sunduk

mentul serta asesoris kraton. Mereka duduk bersila, lenggah sedheku amarikelu.

Khusyuk betul saat seba di Sitinggil Karaton Surakarta.

Dalam sedekah Maesa Lawung abdi dalem karaton membuat sesaji yang

berisi aneka daging. Di antaranya daging kerbau lawung, yaitu kerbau yang tidak

dipekerjakan, kemudian dilengkapi daging hewan yang lain yang pernah tinggal

di hutan seperti kijang, banteng, monyet, jenis hewan merayap, berenang dan

merangkak. Darah dan isi perut kerbau dilabuh dalam upacara resmi di hutan

3

Page 4: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

Krendhawahana disajikan untuk Bathari Durga (Bram Setiadi dkk, 2001: 249).

KGPH Puger memimpin jalannya upcara. Ubarampe, sesaji, bunga, bokor

kencana dan perlengkapan upacara diurus oleh abdi dalem Purwo Kinanthi.

Berangkat dari Kraton Kilen, Keputren, Kemandhungan, Lawang Gapit meuju

Sitihinggil, dikawal oleh barisan prajurit. Abdi dalem purwo kinanthi memang

bertugas untuk menyiapkan semua sesaji. Penataan sesaji terletak di atas dhampar

yang diberi alas kain putih.

Posisi wilujengan berada di Sitihinggil. Di sebelahnya tampak kemegahan

pagelaran. Di sebelah timur adalah Bale angun-angun. Abdi dalem kakung duduk

bersila di sebelah timur menghadap ke barat. Sebelah barat adalah abdi dalem

putri yang menghadap ke timur. Di tengah-tengahnya adalah sesaji wilujengan.

KGPA Pugre kali ini didampingi oleh KGPH Nur Cahyo atau Gusti Nur

Muhammad, KP Wirabhumi, KP Brotodiningrat, GKR Galuh Kencono, GKR

Sekar Kencono, GKR Retno Dumilah, GKR Wandansari, GKR Kus Hindriyah

dan GKR Timur. Tidak ketinggalan para sentana.

“Kanjeng Raden Tumenggung Pujosetyodipuro, pekenira kadhawuhan

handongani hajad dalem upacara Maesa Lawung. Tumuli katindakna!”

“Terang dhawuh dalem Gusti Puger, Sendika.”

Begitulah Gusti Puger memberi perintah kepada Kanjeng Raden

Tumenggung Pujosetyodipuro, abdi dalem suranata agar mendoakan wilujengan

Maesa Lawung. Abdi dalem karaton selalu mendoakan dengan perpaduan unsur

ajaran Hindu, Islam, Budha yang diolah menjadi sajian ritual Jawa. Dalam doanya

tak lupa menyebut Nabi Adam, Nabi Suleman, Nabi Muhammad dan dan Nabi

Isa. Para ulama, pendeta, brahmana, wali, ambiya dan manusia sedunia diberi doa.

Ciri khas doanya adalah menyebut kiblat papat lima pancer: lor, kidul, kulon,

wetan dan kraton. Gunung Lawu, Segara Kidul yang dikatakan dikuasai oleh

Sunan Lawu dan Kanjeng Ratu kencanasari.

Kepercayaan tersebut terkait dengan filosofi Jawa Pajupat Kalima Pancer.

Yakni empat sudut mata angin: Selatan, utara, barat, timur yang mengelilingi

Karaton Surakarta dipercayai memberikan kekuatan spiritual. Karena masing-

masing arah mata angin itu memiliki sumber kekuatan spiritual. Di sebelah selatan

dikuasai Kangjeng Ratu Kidul, utara Bathari Durga di hutan Krendhawahana,

4

Page 5: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

timur Gunung Lawu dan barat di Gunung Merapi-Merbabu. Empat sumber

kekuatan itu disalurkan ke tengah yakni Karaton Surakarta (Bram Setiadi dkk,

2001: 249).

Doa-doa ke-Islaman disusun sedemikian rupa, sehingga tampah suasana

Jawa. Kreativitas dalam beragama berubah menjadi keimanan yang beriringan

dengan keindahan. Orang Jawa tampak mengolah akulturasi budaya yang semakin

agung dan anggun. Para raja tanah Jawa dimuliakan dengan doa. Prabu Brawijaya,

Sultan Demak, Sultan Pajang, Raja Mataram dan Raja Surakarta yang sudah surud

ing kasedan jati, mangkat di alam kelanggengan, diberi doa secara khusus.

Sinuwun Paku Buwono XIII, garwa, putra, sentana, abdi dalem, kawula dan

rakyat Indonesia juga didoakan, agar mendapat kebahagiaan dan keselamatan.

Semua penyakit, hama dan bencana diharapkan kembali ke tempat semula.

Atas, bawah, kanan, kiri, selatan, utara, timur dan barat. Bencana banjir, gunung

meletus, angin lesus, hama wereng, hama tikus, wabah penyakit sedapat-dapatnya

menyingkir. Rakyat dapat hidup normal, bekerja sesuai dengan profesinya sehari-

hari. Cobaan hidup mesti diterima dengan lapang dada sabar tawakal pasrah dan

sumarah.

Para penganut kepercayaan berdoa bersama dengan penganut beragam

agama. Pesertanya ada yang beragama Islam, Kristen, Hindu dan Budha.

Perwujudan kerukunan beragaam secara nyata. Tidak rasa canggung. Mereka

percaya pada Tuhan, cuma caranya saja yang berbeda. Tradisi ini sudah

berlangsung berabad-abad. Sebenarnya mereka adalah pengamal Pancasila. Tidak

pernah menggugat, tak pernah menuntut, tidak rewel dan tidak mau menyusahkan

pemerintah. Komunitas adat kultural yang mandiri.

Pelaksanaan wilujengan di Sitihinggil paripurna. Lantas sama menuju ke

Alas Krendhawahana. Para pendherek berjalan dengan bus dan kendaraan secara

beriringan. Polisi dan petugas keamanan menjaga sepanjang jalan. Partisipasi

kolektif ini memperlancar jalannya upacara untuk menuju Alas Krendhawahana

Karanganyar.

C. Sesaji di Alas Krendha Wahana

Upacara Maesa Lawung diyakini oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan

5

Page 6: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

yang diwariskan turun-temurun. Angger-angger Karaton Surakarta adalah

ketentuan hukum Adat/Adat Karaton yang tidak tertulis, yang merupakan tradisi

yang bersifat turun-temurun yang berlaku sejak dahulu hingga sekarang (Sri

Winarti P, 2005: 17).

Sedekah Maesa Lawung adalah sebuah upacara sakral yang bertujuan

membangun sumber kekuatan spiritual keraton. Upacara ini diselenggarakan

berdasarkan kepercayaan yang dihubungkan dengan Dewi Durga yang

berkedudukan di hutan Krendhawahana, sekitar 20 km utara kota Solo. Pada

zaman Kartasura, selamatan semacam diadakan pada bulan Sura, namun setelah

karaton pindah di Surakarta selamatan diselenggarakan pada hari Senin atau

Kamis terakhir bulan Rabingulakir/Rabiul Tsani (Bram Setiadi dkk, 2001: 248).

Peserta yang kebanyakan dari wilayah Surakarta dan sekitarnya banyak

berdatangan. Menurut astronomi letak Surakartapada7o, 4'0"LintangUtara dan 8o,

10'0" LintangSelatanserta110o,27'0"BujurBarat dan111o,20'0"BujurTimur Batas

alam berupa Gunung Merapi(2875 meter) dan Merbabu (3145 meter) terletak

disebelahbarat,sedangkanpegunungan Kendeng di sebelah utara danGunung

Lawu(3256 meter) di sebelah timur. Antara GunungMerapi danMerbabu dengan

Gunung Lawu membentuk dataran rendah yang luas, meliputi daerah Klaten,

Boyolali danKartasurayangkayasedimen vulkanis (Julianto Ibrahim, 2008: 23-24).

Pohon rindang, tumbuh rimbun dan subur. Sasana persemedian, tempat

berlangsungnya meditasi diberi jalan yang tertata rapi. Tumpeng dan sesaji

dipayungi dan dikawal para prajurit.

“Kanjeng Raden Tumenggung Pujosetyodipuro, pakenira kadhawuhan

handongani hajad dalem wilujengan Maesa Lawung, tumuli tindakna!”

“Sendika dhawuh!”

GKR Wandansari, pengageng Sasana Wilapa memberi aba-aba tanda acara

dimulai. Doanya dimulai dengan lafal ‘Oh awigam astu namas sidham, sekering

bawana langgeng. Kabeh jim pri prayangan datan pareng nggendhak sikara karo

umate Kanjeng Nabi Muhammad.’

Mantra sakti tersebut beserta dengan ngobong dupi, api yang menyala-

nyala. Bau dupa, kemenyan dan kembang serta minyak wangi membuat suasana

hening.

6

Page 7: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

Batu berundak bertingkat-tingkat. Satu per satu para pengageng Kraton

Surakarta menjalankan ritual. Kelima putri Sinuhun Paku Buwono XII memimpin

upacara wilujengan Maesa Lawung. Kelihatan khusyuk sekali. Raja yang

merupakan pusat kekuatan gaib komunitas itu, oleh dalang dipandang sebagai

guru yang paling berwenang dalam masalah-masalah kekeramatan itu. Karenanya,

mereka sangat mendambakan kehadirannya (Victoria M Clara van Groenendael,

1987: 302). Kultus raja telah disosialisasikan di rumah tangga seorang calon

priyayi yang berstatus sebagai wong cilik, priyayi rendah maupun priyayi tinggi.

Oleh orang tuanya seorang calon priyayi disuruh suwita (menjadi panakawan)

pada seorang priyayi tinggi. Kenyataan bahwa seseorang dari wong cilik

mendapat tempat suwita adalah kesempatn yang istimewa (Kuntowijoyo, 2006:

71).

Para abdi dalem setia menunggu dan mengikuti dengan duduk tenang dan

rapi. Mereka sama ngalap berkah. Di daerahnya para abdi dalem ini tokoh

berpengalaman dalam bidang spiritual kejawen.

Bebatuan, palereman, lampu ting, pepohonan, sinar matahari dan lebatnya

hutan menjadi saksi sesaji kepala harimau. Bungkusan kain putih itu adalah

kepala kerbau yang dipersembahkan kepada Dewi Kalayuwati, Dewi Uma atau

Bethari Durga, penguasa alam lelembut di alas Krendhawahana, Dhandhang

mangare atau Wanasetra Gandamayit. Diharapkan dengan sesaji ini terjadi

toleransi antar makhluk yang berbeda alam.

Selamatan Maesa Lawung berintikan labuhan kepada Bathari Durga

dilakukan setiap tahun. Sesaji dilangsungkan pada hari Senin atau Kamis terakhir

bulan Rabingulakir. Maksud penyelenggaraan ini ditujukan dalam rangka

keselamatan dan kemakmura Keraton Solo. Pelaksanaan selamatan, sebagaimana

halny bersih desa (AM. Hadisiswaya, 2009: 35). Kisah Bethari Uma terdapat

dalam Serat Kidung Sudamala (Poerbatjaraka, 1957: 71-72).

Keterangan tentang sesaji Maesa Lawung dilakukan oleh Wakil

Pengageng Sasana Wilapa, KP Winarno Kusumo. Dengan suara jelas, runtut, urut

dan patut, ahli kebudayaan Jawa ini memberi ulasan lisan dan tertulis pada peserta

upacara.

Sesaji RajawedhautawiWilujengan Nagari Mahesa Lawung ingkang dipun

7

Page 8: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

adani Ing Wanalapan KrendhawahanaGondangrejo, Karanganyar rikala dinten

Kemis Paing, 27 Februari 2014 utawi 26 Bakda Mulud 1947 Alip.

Tatacara punika sejatosipun sampun kalampahan wiwit kina makina

sakderengipun nagari Majapahit, para Nata ing Nusa Jawi nindakaken

wilujengan punika ingkang dipun wastani Rajawedha, inggih punika wilujengan

sedhekahipun para Nata ingkang dipun tindakaken saben kawitaning tahun,

minangka memulya kawilujenganing nagari sak talatahipun.

Nalika hamarengi tahun 387 S, jamanipun Sang Prabu Sintawaka ing

nagari Gilingaya, nembe kataman rubeda mawarni-warni, kathahing sesakit,

reresah, ndadosaken boten tentremipun nagari sak talatahipun.

Sang Prabu lajeng dhawuh dhateng Brahmana radi ing Ngandhong

Dhadhapan, siupados numbali nagari sak talatahipun sami bebarikan hamemulya

ingkang kawastanan Gramawedha.

Sasampunipun katindakaken, sawatawis lajeng ndadosaken nagari sak

talatahipun tata tentrem gemah ripah tulus kang sarwa tinandur.

Kacariyos nalika jamanipun Sri Aji Pamasa ing nagari Pengging badhe

linurugan mengsah denawa saking Ngima Imantaka. Lajeng Sang Prabu ndangu

dhateng Gandarwa Raja Karawu mundhut pamrayogi kados pundi supados saged

nyirnakaken mengsah denawa ingkang sakalangkung nggegirisi. Saking hunjuk

aturipun Gandarawa Raja Karawu langkung prayogi manawi nyuwun

pambiyantu wadya ditya saking Krendhawahana dhumateng Bathari Kalayuwati.

Lajeng Sang Prabu Aji Pamasa karenan ing galih„ lajeng ngutus gandarwa Raja

Karawu dhateng Krendhawahana. sasampunipun dumugi Krendhawahana

munjuk atur ngarsanipun Bathari Kalayuwati bab nyuwun pambiyantunipun.

Lajeng Bathari Kalyuwati paring dhawuh bilih nalika samanten Sang Prabu Aji

Pamasa teka ngantos kabesturon boten nate tetawur, ewadene panyuwunipun

badhe dipun leksanani kanthi pamundhut mugi Sang Prabu kersa tetawur Maesa

Lawung.

Ingkang dipun wastani Maesa Lawung punika, maesa ingkang suluhipun

mripat anujit, kalunging gulu pethak tepung dumugi nginggil, hanging wonten ugi

ingkang tanpa kalung, maesa wau jaler tanpa cacat Ian ingkang dereng kaalap

damelipun, umbaran. Midhanget aturipun gandarwa Raja karawu, Sang Prabu

8

Page 9: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

Aji Pamasa kagyat enget ing galih, lajeng dhawuh dhateng Patih Tambakbaya

murih ngupadi maesa lawung sak abon abonipun. Sasampunipun jangkep lajeng

kadhawuhan ngangkataken dhateng Krendhawahana = wana setra ganda

mayit/gandalayu, krendha = bandosa, wahana = sasmita, setra = kubur, ganda

mayit sampun nelakaken ganda ingkang boten eca.

Kasebat ing buku Pararaton mPu Prapanca, nagari Majapahit

ngawontenaken sasaji ingkang nama : Ganacakra, Bawacakra tuwin Mathirta,

kadosdene sasaji Rajawedha = Rajasuya.

Salajengipun dumugining nagari Demak, nalika ingkang jumeneng Sultan

I = R Patah = Sultan Syah Alarn Akbar I Jimbun Sirullah, putra Majapahit,

salaminipun 5 tahun boten ngawontenaken tatacara wilujengan makaten punika,

amargi kaanggep nyulayani kaliyan agami Islam, ndilalah wekdal samanten

nagari Demak kataman tulah / pageblug. Para kawula nandang sangsara, enjing

sakit sonten pejah, sonten sakit enjingipun tilar donya. Kawontenan kalawau

njalari rendhet sumiyaripun agami Islam, sanadyan para ngulama sampun sami

nindakaken dzikir ndedonga mrih tentremipun nagari, nanging boten wonten

sudanipun. Lajeng Sultan Demak nimbali pepatih Tumenggung Amangkurat,

supados ngrembag kaliyan para wali saha narapraja, kados pundi prayoginipun.

Miturut golonging rembag, minangka pamberating pepeteng , kedah linampahan

kalayan tapa brata kinanthenan panalangsa minta aksamaning Pangera,

tumindaking damel katata sapalih saking cacahing narapraja nindakaken

padamelan praja, ingkang sapalih tumindak lelana mesu budi, kalebet Sultan

Demak piyambak. Sasampunipun lumampah sawatawis Sunan Kalijaga tampi

wangsit sasmita, manawi badhe tulus mengku praja tata tentreming nagari,

Sultan Syah Alam Akbar kadhawuhan nulad tatananing nagari Majapahit.

Salajengipun sasmita kala wau karembag dening narapraja miwah para wali,

tatacara Majapahit dipun pendheti/pethiki ingkang kagalih tasih perlu, trep

kangge nagari Demak. Sasampunipun katindakaken sawatawis ingkang dipun

pandhegani donganipun dening Sunan Bonang kaliyan Sunan Giri kanthi donga

Arab, Jawi, Budha, katindakaken wonten ing Redi Muria tuwin Wana Roban.

sasampunipun kalampahan boten dangu nagari Demak saged wangsul dados tata

tentrem manggih ing karaharjan, kasebataken sadumugining nagari Pajang boten

9

Page 10: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

dipun cariyosaken.

Lajeng dumugi ing Mataram wiwit K. Panembahan Senopati nindakaken

sesaji punika women hing Merapi.Dumugi ing nagari Kartasura, ugi tetep

lumampah wilujengan nagari punika katindakaken saben kawitaning

tahun.Salajengipun dumugi ing nagari Surakarta Hadiningrat, nalika pindhah

kedhaton saking Kartasura SISKS. PB. II yasa kedhaton ing dhusun Sala, lajeng

kaparingan name : Nagari Surakarta Hadiningrat hamarengi dinten Rebo Pahing

17 Sura Je 1670, lumampah ngantos 100 dinten wilujeng boten wonten rubeda.

Mila PB. II ngarsakaken ngawontenaken wilujengan nagari inggih ingkang

winastan wilujengan nagari MAesa Lawung, 110 dinten saking 17 Sura Je 1670

wau dhawah ing wulan Rabingulakir dinten Kemis. Mila karsadalem PB. H,

saben dinten Kemis utawi Senen pungkasaning wulan Rabingulakir

ngawontenaken wilujengan nagarai Maesa Lawung ngatos dumugi sapriki.

Kados ing dinten punika Karaton Surakarta Hadiningrat, ingkang tasih

tetep ngleluri tatacara adat tradisi tetilaraning para leluhur luhur

panjenengandalem Nata, manawi ing wekdal sapunika ingkang dados tanggel

jawabipun Lembaga Adat sak wetahipun, ingkang dipun pandhegani Dra. GKR.

Wandansari, M.Pd, dipun sengkuyung bebadan Ian para Santanadalem terah

wiwit PB. II - PB. XIII, ugi ginarubyug para abdidalem ingkang tasih setya tuhu

hangedhep dhateng Karaton Surakarta minangka sumbering budaya Jawa,

sadaya tatacara boten wonten ingkang dipun lirwakaken kalebet ing dinten

punika, ingkang mengku pamrih ancas gegayuhanipun boten wonten sanes kajawi

hamung murih tetep jejeg hadeging nagari Karaton Surakarta Hadiningrat sak

wetahipun, enggala manggih tentrem tetep kuncara mangawibawa, mugi sadaya

ingkang tansah damel reribet dhateng Karaton Surakarta kaparingana emut,

pangapura, kasingkirna ingkang tebih, Ian boten nedya damel reribet malih, saha

ndadosna pepenget dhateng sadaya terah tumerah kalebet kula panjenengan

sadaya, emuta bilih pangandikaning para luhur Sapa kang ada ada gawe

wisunaning praja, ing kono wahyune sirna, temah nistha sadina diva tumekeng

pralaya.

Kanthi makaten tumapaking tatacara wilujengan nagari Maesa Lawung

ing dinten punika, saestu handayanana tambahing tentrem wilujeng, wibawa

10

Page 11: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

mulyaning Karaton Surakarta Hadiningrat sawetahipun.Makaten mugi tansah

rahayu ingkang sami pinanggih, winantua hing suka rena. Nuwun, mekaten

dhawuh Karaton Surakarta Hadiningrat rikala tanggal 27 Februari 2014 ingkang

kahaturaken /kaserat malih dening:KP. Winarnokusumo lan KRT. Darpo

Arwantopuro ing Kantor Sasana Wilapa Karaton Surakarta.

Terjemahan:

Tatacara ini sebenarnya sudah dijalankan sejak jaman dulu sebelum negeri

Majapahit, para raja di Jawa melaksanakan wilujengan ini, yang disebut

Rajawedha, yaitu wilujengan sedekah para raja yang dilaksanakan setiap awal

tahun untuk memuliakan keselamatan negara.

Pada tahun 387 S, jaman Prabu Sintawaka memerintah di negeri

Gilingaya, saat itu ditimpa berbagai bencana, banyak wabah penyakit dan

kekacauan sehingga negara tidak tentram. Sang prabu kemudian memerintahan

Brahmana Radi di Ngandhong Dhadhapan agar memberi tumbal untuk negeri

yang disebut Gramawedha. Setelah melakukan sesaji, seluruh bencana hilang dan

negeri pun menjadi aman tentram, semua tanaman tumbuh subur.

Diceritakan pada masa pemerintahan Sri Aji Pamasa di Pengging akan

diserang oleh musuh raksasa dari Ngima Imantaka. Lalu sang prabu bertanya pada

Gandarwa Raja Karawu, bagaimana caranya agar bisa menyingkirkan musuh

raksasa yang menakutkan tersebut. Gandarawa Raja Karawu menyarankan agar

meminta bantuan makhluk halus dari Krendhawahana yang dipimpin Bathari

Kalayuwati. Sang Prabu Aji Pamasa merasa senang, lalu mengutus Gandarwa

Raja Karawu untuk pergi ke Krendhawahana. Sesampainya di Krendhawahana

lalu menyampaikan permohonan bantuan pada Bathari Kalayuwati. Bathari

Kalayuwati lalu berkata bahwa permintaan sang prabu akan dilaksanakan

meskipun Prabu Aji Pamasa waktu itu tidak pernah memberi sesaji. Permintaan

sang prabu akan dituruti asal sang prabu mau melakukan sesaji Maesa Lawung.

Maesa Lawung adalah kerbau yang sorot matanya tajam, kalung lehernya

berwarna putih bertemu sampai di atas, tapi juga ada yang tanpa kalung. Kerbau

tersebut jantan tanpa cacat dan belum pernah digunakan untuk bekerja, liar.

Mendengar ucapan gandarwa Raja Karawu, Sang Prabu Aji Pamasa kaget

11

Page 12: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

dan teringat dalam hatinya. Ia lalu memerintahkan Patih Tambakbaya agar

mencari maesa lawung beserta persyaratan lainnya. Setelah semua lengkap lalu

diperintahkan untuk mengantar ke Krendhawahana (wana setra ganda

mayit/gandalayu) krendha = keranda, wahana = sarana, setra = kubur, ganda

mayit = bau yang tidak enak.

Disebutkan dalam buku Pararaton mpu Prapanca, negeri majapahit

melaksanakan sesaji yang disebut Ganacakra, Bawacakra tuwin Mathirta, seperti

halnya sesaji Rajawedha atau Rajasurya.

Selanjutnya setelah sampai pada masa negeri Demak, saat pemerintahan

Sultan I, Raden Patah atau Sultan Syah Alam Akbar I Jimbun Sirullah, putra

Majapahit, selama 5 tahun tidak melaksanakan tatacara wilujengan tersebut

karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Kebetulan saat itu negeri

Demak terkena tulah atau wabah penyakit. Rakyat mengalami kesengsaraan, pagi

sakit sore mati, sore sakit paginya meninggal. Keadaan tersebut menyebabkan

penyebaran agama Islam agak terhambat. Meskipun para ulama telah melakukan

zikir dan berdoa demi ketentraman negara, namun keadaan tidak menjadi lebih

baik. Sultan Demak kemudian memanggil patih Tumenggung Amangkurat agar

berunding dengan para wali dan narapraja, bagaimana sebaiknya.

Setelah terjadi kesepakatan, harus dilakukan dengan tapa brata meminta

pertolongan Tuhan. Sebagian narapraja tetap melaksanakan kewajiban mengurus

negara, sebagian lagi melakukan mesu budi, termasuk sang sultan sendiri. Setelah

beberapa lama, Sunan kalijaga menerima wangsit. Jika ingin negara tetap

tenteram, Sultan Syah Alam Akbar harus mengubah pemerintah negara Demak.

Selanjutnya wangsit tersebut dimusyawarahkan oleh para narapraja dan

para wali. Tata pemerintahan Majapahit yang baik dan masih perlu tetap dipakai

oleh negeri Demak. Setelah dilakukan kemudian doa dipimpin oleh Sunan

Bonang dan Sunan Giri dengan bahasa Arab, Jawa dan Budha, dilaksanakan di

Gunung Muria dan Hutan Roban. Tidak lama setelah itu, negeri Demak kembali

tentram dan sejahtera. Kemudian sampai pada masa Pajang tidak diceritakan.

Sampai pada masa Mataram ketika Kanjeng Panenbahan Senopati

bertahta, sesaji dilaksanakan di Merapi. Setelah masa Kertasura, wilujengan

tersebut juga tetap dilaksanakan setiap awal tahun. Sampai pada masa kerajaan

12

Page 13: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

Surakarta Hadiningrat yaitu ketika pindah dari Kartasura. SISKS PB II

membangun istana di dusun Sala lalu diberi nama Negeri Surakarta Hadiningrat,

pada hari Rabu Pahing 17 Sura Je 1670. Sampai 100 hari tidak ada hambatan.

Karena itu PB II ingin mengadakan wilujengan nagari yaitu Maesa Lawung, 110

hari sejak 17 Sura Je 1670. Jatuh pada bulan Rabingulakir hari Kamis. Karena itu

PB II, tiap hari Kamis atau Senin terakhir bulan Rabingulakir mengadakan

wilujengan nagari Maesa Lawung sampai sekarang.

Sampai saat ini Karaton Surakarta Hadiningrat masih tetap melestarikan

adat tradisi peninggalan para leluhur. Saat ini pelaksanaan wilujengan seluruhnya

menjadi tanggung jawab Lembaga Adat, yang dipimpin oleh Dra. GKR

Wandansari, M.Pd, didukung badan-badan dan para sentanadalem keturunan PB

II-PB XIII. Juga didukung oleh para abdi dalem yang tetap setia pada Karaton

Surakarta Hadiningrat sebagai sumber Budaya Jawa. Tidak ada tatacara yang

diubah, termasuk pada hari ini. Tujuannya tidak lain adalah agar negeri Karaton

Surakarta Hadiningrat tetap berdiri tegak dan memperoleh ketentraman. Semua

hal yang mengganggu Karaton Surakarta Hadiningrat agar diingatkan, dimaafkan

dan dibuang jauh agar tidak menyebabkan kesengsaraan kembali. Juga agar

menjadi pengingat pada seluruh kerabat termasuk saya dan anda semua, ingatlah

kata-kata para leluhur:Siapa saja yang menyebabkan goyahnya kerajaan, maka

wahyunya akan hilang, menjadi nista sampai mati.

Dengan demikian tatacara wilujengan nagari Maesa Lawung pada hari ini,

semoga menambah ketentraman, kewibawaan dan kemuliaan Karaton Surakarta

Hadiningrat seutuhnya.Demikian, semoga selalu mendapatkan keselamatan dan

kebahagiaan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih. Demikian perintah Karaton

Surakarta Hadiningrat pada tanggal 27 Februari 2014. Disampaikan dan ditulis

kembali oleh:KP. Winarnokusumo dan KRT. Darpo Arwantopuro di Kantor

Sasana Wilapa Karaton Surakarta.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa para raja jaman dulu senantiasa

melaksanakan upacara maesa lawung. Setelah agama Islam datang pun, Raden

Patah yang bergelar Syah Alam Akbar yang menjadi raja Kasultanan Demak

Bintoro pada tahun 1478 juga menyelenggarakan ritual Maesa Lawung

13

Page 14: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

(Bratadiningrat, 1990: 19). Tujuannya adalah memperoleh keselamatan lahir

batin.

Dalam masyarakat Jawa kuno ritual juga diwujudkan dalam bentuk pentas

seni pewayangan. Pertunjukan wayang sudah ada sejak abad IX dibuktikan oleh

adanya istilah ‘haringgit’ dalam prasasti Kuti 840 M. Padanan kata ‘haringgit’

adalah ‘awayang’ dijumpai dalam prasasti Tajigunung 910 M. Sampai sekarang

kata ‘ringgit’ dan ‘wayang’ masih digunakan. Pertunjukan wayang tentu saja

menggunakan media (wayang), namun sumber tertulis ketika itu tidak

memberikan keterangan. Barangkali media tertulis ketika itu tidak memberikan

keterangan. Barangkali media dalam pertunjukan wayang pada waktu itu

semacam boneka-boneka kecil. Keterangan menarik diberikan oleh prasasti

Wukajana bahwa pertunjukan wayang waktu itu adalah ‘mawayang buatt hyang’

= pertunjukan wayang untuk hyang. Hyang adalah dihormat yaitu dewa atau

nenek moyang. Hal ini berarti bahwa pertunjukan wayang bukan semata-mata

hiburan tetapi lebih bersifat seremonial keagamaan (Timbul Haryono, 2008: 34).

Setiap penyelenggaraan upacara tradisional senantiasa melibatkan para

kasepuhan yang dianggap mempunyai kewibawaan spiritual. Unsur pimpinan

menduduki tempat terdepan karena pemimpin dipegang oleh seorang guru, dukun,

peramal yang mengaku mendapat wahyu (Suhartono W. Pranoto, 2001: 227).

Upacara tradisional Jawa tetap berlangsung sampai sekarang.

Semenjak dahulu kala salah satu masalah yang menjadi pokok perhatian

bagi para ahli filsafat ialah hubungan antara yang tunggal dan yang jamak.

Masalah ini mereka teliti entah karena dengan permenungannya ingin

memberikan sebuah dasar rasional bagi pendapat-pendapat religius mereka, entah

karena mereka, lepas dari suatu kaitan langsung dengan agama, ingin

menerangkan Yang Ada (Zoetmulder, 2000: 1). Upacara sesaji Maesa Lawung

pun terkait dengan aspek rohani.

D. Penutup

Ungkapan doa-doa wilujengan negeri Maesa Lawung memadukan unsur

Hindu, Budha, Islam da Jawa. Akulturasi budaya ini bentuk yang harmonis dalam

rangka mewujudkan masyarakat plural yang menghargai perbedaan. Kraton

14

Page 15: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

Surakarta pada jaman dahulu, kini dan mendatang berperan membentuk

komunitas yang beragam dan saling menghormati.

Tradisi luhur yang berlangsung selama ini menjadi perekat demi

kerukunan umat beragama. Pemerinath hendaknya peduli dan menghormati.

Perlindungan atas adat istiadat tersebut dapat diwujudkan dengan turut serta

menjaga keamanan. Kewajiban pemerintah untuk memberi perlindungan pada

budaya. Sikap toleransi dan saling menghargai perlu dikembangkan.

Nilai kearifan lokal tersebut merupakan sumbangan budaya demi

mengokohkan jatidiri bangsa. Apresiasi dan toleransi hendaknya dikembangkan di

negeri ini, sehingga tercipta kerukunan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA

AM. Hadisiswaya, 2009. Keraton Undercover. Yogyakarta: Pinus Book

Publisher.

Bram Setiadi dkk, 2001. Raja di Alam Republik. Jakarta: Bina Rena Pariwara.

Bratadiningrat, 1990. Asalsilah Warni-warni. Surakarta: Sasana Wilapa.

Harun Hadiwijono, 1983. Konsepsi tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa.

Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Julianto Ibrahim, 2008. Kraton Surakarta & Gerakan Anti Swapraja. Yogyakarta:

Malioboro Press.

Kuntowijoyo, 2006. Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta, 1900-1915.

Yogyakarta: Ombak.

Mulyanto Utomo, dkk, 2004. Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat.

Solo: PT Aksara Solopos.

Poerbatjaraka, 1957. Kapustakan Djawi. Jakarta: Djambatan.

Sri Winarti P, 2005, Yang Sah & Yang Resmi Susuhunan Paku Buwono XIII.

Surakarta: Sasana Wilapa.

15

Page 16: staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT Kajian Akulturasi

Suhartono W. Pranoto, 2001. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Yayasan

Agastya.

Timbul Haryono, 2008. Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif

Arkeologi Seni. Solo: ISI Press.

Victoria M Clara van Groenendael, 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: PT

Pustaka Utama Grafiti.

Zoetmulder, 2000. Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam

Sastra Suluk Jawa. Jakarta: Gramedia.

BIODATA

Nama : Dr. Purwadi, SS, M. Hum

Tempat/Tgl Lahir : Nganjuk, 16 September 1971.

Pendidikan : Fakultas Sastra UGM tahun 1990-1995

Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998

Program Doktor tahun 1999-2001.

Pekerjaan : Staf Pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa, Fakultas

Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Karya : Seni Kerawitan, Seni Pedhalangan, Seni Macapat, Tembang

Dolanan, Riwayat Sultan Agung, Riwayat Jaka Tingkir,

Riwayat Prabu Jayabaya, Riwayat Paku Buwana X, Babad

Tanah Jawi, Sejarah Majapahit, Sejarah Demak, Sejarah

Mataram, Sejarah Pajang, Sejarah Kraton Surakarta.

Alamat tinggal : Jl. Kakap Raya 36 Minomartani Yogya-karta. Telp. 0274 –

881020. Hp: 081578865170, email: swastimay08

@yahoo.com

16