staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA...
Transcript of staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/MAKALAH DR... · Web viewUPACARA...
UPACARA WILUJENGAN NEGARI MAESA LAWUNG
DI KARATON SURAKARTA HADININGRAT
Kajian Akulturasi Budaya Demi Mewujudkan Masyarakat Indonesia
Yang Menghormati Multikulturalisme Dan Menjunjung Tinggi
Prinsip Bhinneka Tunggal Ika
Oleh: Purwadi
Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta
ABSTRACT
Every year Surakarta Hadiningrat Kingdom always does the big ritual ceremony.
This is called Sesaji Rajawedha or Wilujengan Nagari Maesa Lawung. According
to Javanese beliefe that environtment need equilibrium between macrocosmos
(jagad gumelar) and microcosmos (jagad gumulung). Krendha Wahana forest in
Gondangrejo Karanganyar, become special sacred place to show of praying.
Spiritual activity is still relevance in global era, so that Indonesian goverment
should give apreciation and protection. Historically Sesaji Rajawedha is took by
the king of Java. The goal of Mahesa Lawung ceremony that people, community
and world will be hope to get welfare and peace.
Keywords: Maesa Lawung, ritual, equilibrium
ABSTRAK
Setiap tahun Karaton Surakarta Hadiningrat selalu mneyelenggarakan upacara
ritual yang disebut Sesaji Rajawedha atau Wilujengan Nagari Maesa Lawung.
Menurut kepercayaan Jawa bahwa lingkungan membutuhkan keseimbangan
antara macrocosmos (jagad gumelar) dan microcosmos (jagad gumulung). Hutan
Krendha Wahana berada di Karanganyar, menjadi tempat semedi dan berdoa yang
dianggap sakral. Aktivitas spiritual yang masih relevan dengan era globalisasi,
1
sehingga pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk memberi apresiasi
dan proteksi. Secara historis Sesaji Rajawedha dilakukan oleh para raja Jawa.
Tujuan upacara Mahesa Lawung yaitu agar manusia, masyarakat dan jagad raya
berharap mendapatkan kesejahteraan dan kedamaian.
A. Pendahuluan
Penyelenggaraan upacara Wilujengan Nagari Maesa Lawung tepat pada
hari Kamis Pahing tanggal 27 Februari 2014 atau 26 Bakda Mulud 1947 Alip
dimulai pukul 09.00 pagi bertempat di Sitihinggil Kraton Surakarta Hadiningrat.
Prosedur serta tata laksananya sudah baku, karena merupakan hajad dalem rutin
dan termasuk acara yang tergolong besar.
Suasana upacara sakral, kalau boleh dibilang spesial. Mengingat beberapa
hari sebelumnya yaitu tanggal 14 Februaru 2014 terjadi pacobaning urip. Gunung
Kelud erupsi. Letusannya dasyat sekali, material yang dikeluarkan lebih besar
daripada letusan Gunung Sinabung dan Gunung Merapi. Semburan Gunung Kelud
merata di tanah Jawi. Hujan abu dimana-mana. Jagad Jawa peteng
dhedhetlelimengan, gelap gulita. Gunung jugrug, wukir moyag-mayig, saking tyas
baliwur, begitulah ucapan ki dalang yang menggambarkan keadaan yang kacau
balau, bagi kalangan kejawen itu merupakan sasmita alam.
Penghayat kepercayaan atau kebatinan menjadikan kejadian mutakhir itu
sebagai sarana refleksi dan introspeksi. Kepustakaan Jawa, sejauh kepustakaan itu
hanya membicarakan hal pengalaman-pengalaman, pemikiran-pemikiran dan
konsepsi agamawi, hampir senantiasa dipengaruhi kebatinan. Oleh karena itu tiada
keberatan untuk berbicara tentang ‘kebatinan Jawa’, yaitu kebatinan seperti yang
dipelajari dan dipraktekkan oleh orang Jawa serta yang mencerminkan pengolahan
Jawa dari bahan-bahan kebatinan yang datang dari luar dengan bahan-bahan
kebatinannya sendiri. Kepustakaan yang muncul sebagai hasil pengolahan Jawa
itu bercirikan suatu kebatinan-persatuan, yaitu mengajarkan kesatuan Tuhan dan
hamba, bersifat radikal dan diwarnai oleh spekulasi, yang dipertahankan oleh
orang Jawa dalam kesinambungan yang terus-menerus bernada sama hingga
berabad-abad, tanpa perubahan yang asasi hingga kini (Harun Hadiwijono, 1983:
12-13).
2
Sesaji Mahesa Lawung dilakukan untuk membangun kekuatan spiritual
Keraton. Sesaji ini dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis terakhir pada bulan
Rabiul akhir di hutan Krendhawahana, sekitar 20 km sebelah utara Solo
(Mulyanto Utomo, dkk, 2004: 113). Mereka datang ke kraton Surakarta untuk
mengikuti rutial kenegaraan Maesa Lawung. Dengan harapan dunia menjadi ayem
tentrem, aman dan damai.
B. Jalannya Upacara Wilujengan di Sitinggil
Peserta upacara Maesa Lawung berasal dari bermacam-macam kalangan.
Tampak hadir abdi dalem yang berasal dari Jakarta, Pekalongan, Surabaya,
Kediri, Semarang dan sebagian luar Jawa. Antusias mereka untuk datang karena
perasaan serta keyakinan yang sama. Keseimbangan alam antara makrokosmos
dan mikrokosmos mesti terjadi. Jagad gumelar dan jagad gumulung tidak boleh
njomplang. Itulah tertib kosmis.
Dengan berbusana Jawa lengkap, sejak pagi mereka bersiap-siap diri. Para
pengageng abdi dalem daerah Subosuka Wonosraten: Surakarta, Boyolali,
Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten, kelihatan sibuk cancut
tali wanda. KRA Probonagoro Klaten, KRA Rawuh Supriyanto Sragen, KRA
Marjito Boyolali, KRA Sutarno Wonogiri dan KRT Sri Renggani Pujangkoro
Pekalongan sudah berkoordinasi. Masing-masing pimpinan cabang abdi dalem
daerah ini beserta dengan rombongan.
Abdi dalem kakung berbusana kejawen jangkep, blangkon, bbedan jarik,
sabuk wala, sabuk timang, beskap, kartu tanda anggota, dan lambang Radya
Laksana. Tidak lupa pusaka keris dhapur ladrangan dan gayaman. Sedangkan para
abdi dalem putri berbusana kebaya warna hitam, sanggulan, nyampingan, sunduk
mentul serta asesoris kraton. Mereka duduk bersila, lenggah sedheku amarikelu.
Khusyuk betul saat seba di Sitinggil Karaton Surakarta.
Dalam sedekah Maesa Lawung abdi dalem karaton membuat sesaji yang
berisi aneka daging. Di antaranya daging kerbau lawung, yaitu kerbau yang tidak
dipekerjakan, kemudian dilengkapi daging hewan yang lain yang pernah tinggal
di hutan seperti kijang, banteng, monyet, jenis hewan merayap, berenang dan
merangkak. Darah dan isi perut kerbau dilabuh dalam upacara resmi di hutan
3
Krendhawahana disajikan untuk Bathari Durga (Bram Setiadi dkk, 2001: 249).
KGPH Puger memimpin jalannya upcara. Ubarampe, sesaji, bunga, bokor
kencana dan perlengkapan upacara diurus oleh abdi dalem Purwo Kinanthi.
Berangkat dari Kraton Kilen, Keputren, Kemandhungan, Lawang Gapit meuju
Sitihinggil, dikawal oleh barisan prajurit. Abdi dalem purwo kinanthi memang
bertugas untuk menyiapkan semua sesaji. Penataan sesaji terletak di atas dhampar
yang diberi alas kain putih.
Posisi wilujengan berada di Sitihinggil. Di sebelahnya tampak kemegahan
pagelaran. Di sebelah timur adalah Bale angun-angun. Abdi dalem kakung duduk
bersila di sebelah timur menghadap ke barat. Sebelah barat adalah abdi dalem
putri yang menghadap ke timur. Di tengah-tengahnya adalah sesaji wilujengan.
KGPA Pugre kali ini didampingi oleh KGPH Nur Cahyo atau Gusti Nur
Muhammad, KP Wirabhumi, KP Brotodiningrat, GKR Galuh Kencono, GKR
Sekar Kencono, GKR Retno Dumilah, GKR Wandansari, GKR Kus Hindriyah
dan GKR Timur. Tidak ketinggalan para sentana.
“Kanjeng Raden Tumenggung Pujosetyodipuro, pekenira kadhawuhan
handongani hajad dalem upacara Maesa Lawung. Tumuli katindakna!”
“Terang dhawuh dalem Gusti Puger, Sendika.”
Begitulah Gusti Puger memberi perintah kepada Kanjeng Raden
Tumenggung Pujosetyodipuro, abdi dalem suranata agar mendoakan wilujengan
Maesa Lawung. Abdi dalem karaton selalu mendoakan dengan perpaduan unsur
ajaran Hindu, Islam, Budha yang diolah menjadi sajian ritual Jawa. Dalam doanya
tak lupa menyebut Nabi Adam, Nabi Suleman, Nabi Muhammad dan dan Nabi
Isa. Para ulama, pendeta, brahmana, wali, ambiya dan manusia sedunia diberi doa.
Ciri khas doanya adalah menyebut kiblat papat lima pancer: lor, kidul, kulon,
wetan dan kraton. Gunung Lawu, Segara Kidul yang dikatakan dikuasai oleh
Sunan Lawu dan Kanjeng Ratu kencanasari.
Kepercayaan tersebut terkait dengan filosofi Jawa Pajupat Kalima Pancer.
Yakni empat sudut mata angin: Selatan, utara, barat, timur yang mengelilingi
Karaton Surakarta dipercayai memberikan kekuatan spiritual. Karena masing-
masing arah mata angin itu memiliki sumber kekuatan spiritual. Di sebelah selatan
dikuasai Kangjeng Ratu Kidul, utara Bathari Durga di hutan Krendhawahana,
4
timur Gunung Lawu dan barat di Gunung Merapi-Merbabu. Empat sumber
kekuatan itu disalurkan ke tengah yakni Karaton Surakarta (Bram Setiadi dkk,
2001: 249).
Doa-doa ke-Islaman disusun sedemikian rupa, sehingga tampah suasana
Jawa. Kreativitas dalam beragama berubah menjadi keimanan yang beriringan
dengan keindahan. Orang Jawa tampak mengolah akulturasi budaya yang semakin
agung dan anggun. Para raja tanah Jawa dimuliakan dengan doa. Prabu Brawijaya,
Sultan Demak, Sultan Pajang, Raja Mataram dan Raja Surakarta yang sudah surud
ing kasedan jati, mangkat di alam kelanggengan, diberi doa secara khusus.
Sinuwun Paku Buwono XIII, garwa, putra, sentana, abdi dalem, kawula dan
rakyat Indonesia juga didoakan, agar mendapat kebahagiaan dan keselamatan.
Semua penyakit, hama dan bencana diharapkan kembali ke tempat semula.
Atas, bawah, kanan, kiri, selatan, utara, timur dan barat. Bencana banjir, gunung
meletus, angin lesus, hama wereng, hama tikus, wabah penyakit sedapat-dapatnya
menyingkir. Rakyat dapat hidup normal, bekerja sesuai dengan profesinya sehari-
hari. Cobaan hidup mesti diterima dengan lapang dada sabar tawakal pasrah dan
sumarah.
Para penganut kepercayaan berdoa bersama dengan penganut beragam
agama. Pesertanya ada yang beragama Islam, Kristen, Hindu dan Budha.
Perwujudan kerukunan beragaam secara nyata. Tidak rasa canggung. Mereka
percaya pada Tuhan, cuma caranya saja yang berbeda. Tradisi ini sudah
berlangsung berabad-abad. Sebenarnya mereka adalah pengamal Pancasila. Tidak
pernah menggugat, tak pernah menuntut, tidak rewel dan tidak mau menyusahkan
pemerintah. Komunitas adat kultural yang mandiri.
Pelaksanaan wilujengan di Sitihinggil paripurna. Lantas sama menuju ke
Alas Krendhawahana. Para pendherek berjalan dengan bus dan kendaraan secara
beriringan. Polisi dan petugas keamanan menjaga sepanjang jalan. Partisipasi
kolektif ini memperlancar jalannya upacara untuk menuju Alas Krendhawahana
Karanganyar.
C. Sesaji di Alas Krendha Wahana
Upacara Maesa Lawung diyakini oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan
5
yang diwariskan turun-temurun. Angger-angger Karaton Surakarta adalah
ketentuan hukum Adat/Adat Karaton yang tidak tertulis, yang merupakan tradisi
yang bersifat turun-temurun yang berlaku sejak dahulu hingga sekarang (Sri
Winarti P, 2005: 17).
Sedekah Maesa Lawung adalah sebuah upacara sakral yang bertujuan
membangun sumber kekuatan spiritual keraton. Upacara ini diselenggarakan
berdasarkan kepercayaan yang dihubungkan dengan Dewi Durga yang
berkedudukan di hutan Krendhawahana, sekitar 20 km utara kota Solo. Pada
zaman Kartasura, selamatan semacam diadakan pada bulan Sura, namun setelah
karaton pindah di Surakarta selamatan diselenggarakan pada hari Senin atau
Kamis terakhir bulan Rabingulakir/Rabiul Tsani (Bram Setiadi dkk, 2001: 248).
Peserta yang kebanyakan dari wilayah Surakarta dan sekitarnya banyak
berdatangan. Menurut astronomi letak Surakartapada7o, 4'0"LintangUtara dan 8o,
10'0" LintangSelatanserta110o,27'0"BujurBarat dan111o,20'0"BujurTimur Batas
alam berupa Gunung Merapi(2875 meter) dan Merbabu (3145 meter) terletak
disebelahbarat,sedangkanpegunungan Kendeng di sebelah utara danGunung
Lawu(3256 meter) di sebelah timur. Antara GunungMerapi danMerbabu dengan
Gunung Lawu membentuk dataran rendah yang luas, meliputi daerah Klaten,
Boyolali danKartasurayangkayasedimen vulkanis (Julianto Ibrahim, 2008: 23-24).
Pohon rindang, tumbuh rimbun dan subur. Sasana persemedian, tempat
berlangsungnya meditasi diberi jalan yang tertata rapi. Tumpeng dan sesaji
dipayungi dan dikawal para prajurit.
“Kanjeng Raden Tumenggung Pujosetyodipuro, pakenira kadhawuhan
handongani hajad dalem wilujengan Maesa Lawung, tumuli tindakna!”
“Sendika dhawuh!”
GKR Wandansari, pengageng Sasana Wilapa memberi aba-aba tanda acara
dimulai. Doanya dimulai dengan lafal ‘Oh awigam astu namas sidham, sekering
bawana langgeng. Kabeh jim pri prayangan datan pareng nggendhak sikara karo
umate Kanjeng Nabi Muhammad.’
Mantra sakti tersebut beserta dengan ngobong dupi, api yang menyala-
nyala. Bau dupa, kemenyan dan kembang serta minyak wangi membuat suasana
hening.
6
Batu berundak bertingkat-tingkat. Satu per satu para pengageng Kraton
Surakarta menjalankan ritual. Kelima putri Sinuhun Paku Buwono XII memimpin
upacara wilujengan Maesa Lawung. Kelihatan khusyuk sekali. Raja yang
merupakan pusat kekuatan gaib komunitas itu, oleh dalang dipandang sebagai
guru yang paling berwenang dalam masalah-masalah kekeramatan itu. Karenanya,
mereka sangat mendambakan kehadirannya (Victoria M Clara van Groenendael,
1987: 302). Kultus raja telah disosialisasikan di rumah tangga seorang calon
priyayi yang berstatus sebagai wong cilik, priyayi rendah maupun priyayi tinggi.
Oleh orang tuanya seorang calon priyayi disuruh suwita (menjadi panakawan)
pada seorang priyayi tinggi. Kenyataan bahwa seseorang dari wong cilik
mendapat tempat suwita adalah kesempatn yang istimewa (Kuntowijoyo, 2006:
71).
Para abdi dalem setia menunggu dan mengikuti dengan duduk tenang dan
rapi. Mereka sama ngalap berkah. Di daerahnya para abdi dalem ini tokoh
berpengalaman dalam bidang spiritual kejawen.
Bebatuan, palereman, lampu ting, pepohonan, sinar matahari dan lebatnya
hutan menjadi saksi sesaji kepala harimau. Bungkusan kain putih itu adalah
kepala kerbau yang dipersembahkan kepada Dewi Kalayuwati, Dewi Uma atau
Bethari Durga, penguasa alam lelembut di alas Krendhawahana, Dhandhang
mangare atau Wanasetra Gandamayit. Diharapkan dengan sesaji ini terjadi
toleransi antar makhluk yang berbeda alam.
Selamatan Maesa Lawung berintikan labuhan kepada Bathari Durga
dilakukan setiap tahun. Sesaji dilangsungkan pada hari Senin atau Kamis terakhir
bulan Rabingulakir. Maksud penyelenggaraan ini ditujukan dalam rangka
keselamatan dan kemakmura Keraton Solo. Pelaksanaan selamatan, sebagaimana
halny bersih desa (AM. Hadisiswaya, 2009: 35). Kisah Bethari Uma terdapat
dalam Serat Kidung Sudamala (Poerbatjaraka, 1957: 71-72).
Keterangan tentang sesaji Maesa Lawung dilakukan oleh Wakil
Pengageng Sasana Wilapa, KP Winarno Kusumo. Dengan suara jelas, runtut, urut
dan patut, ahli kebudayaan Jawa ini memberi ulasan lisan dan tertulis pada peserta
upacara.
Sesaji RajawedhautawiWilujengan Nagari Mahesa Lawung ingkang dipun
7
adani Ing Wanalapan KrendhawahanaGondangrejo, Karanganyar rikala dinten
Kemis Paing, 27 Februari 2014 utawi 26 Bakda Mulud 1947 Alip.
Tatacara punika sejatosipun sampun kalampahan wiwit kina makina
sakderengipun nagari Majapahit, para Nata ing Nusa Jawi nindakaken
wilujengan punika ingkang dipun wastani Rajawedha, inggih punika wilujengan
sedhekahipun para Nata ingkang dipun tindakaken saben kawitaning tahun,
minangka memulya kawilujenganing nagari sak talatahipun.
Nalika hamarengi tahun 387 S, jamanipun Sang Prabu Sintawaka ing
nagari Gilingaya, nembe kataman rubeda mawarni-warni, kathahing sesakit,
reresah, ndadosaken boten tentremipun nagari sak talatahipun.
Sang Prabu lajeng dhawuh dhateng Brahmana radi ing Ngandhong
Dhadhapan, siupados numbali nagari sak talatahipun sami bebarikan hamemulya
ingkang kawastanan Gramawedha.
Sasampunipun katindakaken, sawatawis lajeng ndadosaken nagari sak
talatahipun tata tentrem gemah ripah tulus kang sarwa tinandur.
Kacariyos nalika jamanipun Sri Aji Pamasa ing nagari Pengging badhe
linurugan mengsah denawa saking Ngima Imantaka. Lajeng Sang Prabu ndangu
dhateng Gandarwa Raja Karawu mundhut pamrayogi kados pundi supados saged
nyirnakaken mengsah denawa ingkang sakalangkung nggegirisi. Saking hunjuk
aturipun Gandarawa Raja Karawu langkung prayogi manawi nyuwun
pambiyantu wadya ditya saking Krendhawahana dhumateng Bathari Kalayuwati.
Lajeng Sang Prabu Aji Pamasa karenan ing galih„ lajeng ngutus gandarwa Raja
Karawu dhateng Krendhawahana. sasampunipun dumugi Krendhawahana
munjuk atur ngarsanipun Bathari Kalayuwati bab nyuwun pambiyantunipun.
Lajeng Bathari Kalyuwati paring dhawuh bilih nalika samanten Sang Prabu Aji
Pamasa teka ngantos kabesturon boten nate tetawur, ewadene panyuwunipun
badhe dipun leksanani kanthi pamundhut mugi Sang Prabu kersa tetawur Maesa
Lawung.
Ingkang dipun wastani Maesa Lawung punika, maesa ingkang suluhipun
mripat anujit, kalunging gulu pethak tepung dumugi nginggil, hanging wonten ugi
ingkang tanpa kalung, maesa wau jaler tanpa cacat Ian ingkang dereng kaalap
damelipun, umbaran. Midhanget aturipun gandarwa Raja karawu, Sang Prabu
8
Aji Pamasa kagyat enget ing galih, lajeng dhawuh dhateng Patih Tambakbaya
murih ngupadi maesa lawung sak abon abonipun. Sasampunipun jangkep lajeng
kadhawuhan ngangkataken dhateng Krendhawahana = wana setra ganda
mayit/gandalayu, krendha = bandosa, wahana = sasmita, setra = kubur, ganda
mayit sampun nelakaken ganda ingkang boten eca.
Kasebat ing buku Pararaton mPu Prapanca, nagari Majapahit
ngawontenaken sasaji ingkang nama : Ganacakra, Bawacakra tuwin Mathirta,
kadosdene sasaji Rajawedha = Rajasuya.
Salajengipun dumugining nagari Demak, nalika ingkang jumeneng Sultan
I = R Patah = Sultan Syah Alarn Akbar I Jimbun Sirullah, putra Majapahit,
salaminipun 5 tahun boten ngawontenaken tatacara wilujengan makaten punika,
amargi kaanggep nyulayani kaliyan agami Islam, ndilalah wekdal samanten
nagari Demak kataman tulah / pageblug. Para kawula nandang sangsara, enjing
sakit sonten pejah, sonten sakit enjingipun tilar donya. Kawontenan kalawau
njalari rendhet sumiyaripun agami Islam, sanadyan para ngulama sampun sami
nindakaken dzikir ndedonga mrih tentremipun nagari, nanging boten wonten
sudanipun. Lajeng Sultan Demak nimbali pepatih Tumenggung Amangkurat,
supados ngrembag kaliyan para wali saha narapraja, kados pundi prayoginipun.
Miturut golonging rembag, minangka pamberating pepeteng , kedah linampahan
kalayan tapa brata kinanthenan panalangsa minta aksamaning Pangera,
tumindaking damel katata sapalih saking cacahing narapraja nindakaken
padamelan praja, ingkang sapalih tumindak lelana mesu budi, kalebet Sultan
Demak piyambak. Sasampunipun lumampah sawatawis Sunan Kalijaga tampi
wangsit sasmita, manawi badhe tulus mengku praja tata tentreming nagari,
Sultan Syah Alam Akbar kadhawuhan nulad tatananing nagari Majapahit.
Salajengipun sasmita kala wau karembag dening narapraja miwah para wali,
tatacara Majapahit dipun pendheti/pethiki ingkang kagalih tasih perlu, trep
kangge nagari Demak. Sasampunipun katindakaken sawatawis ingkang dipun
pandhegani donganipun dening Sunan Bonang kaliyan Sunan Giri kanthi donga
Arab, Jawi, Budha, katindakaken wonten ing Redi Muria tuwin Wana Roban.
sasampunipun kalampahan boten dangu nagari Demak saged wangsul dados tata
tentrem manggih ing karaharjan, kasebataken sadumugining nagari Pajang boten
9
dipun cariyosaken.
Lajeng dumugi ing Mataram wiwit K. Panembahan Senopati nindakaken
sesaji punika women hing Merapi.Dumugi ing nagari Kartasura, ugi tetep
lumampah wilujengan nagari punika katindakaken saben kawitaning
tahun.Salajengipun dumugi ing nagari Surakarta Hadiningrat, nalika pindhah
kedhaton saking Kartasura SISKS. PB. II yasa kedhaton ing dhusun Sala, lajeng
kaparingan name : Nagari Surakarta Hadiningrat hamarengi dinten Rebo Pahing
17 Sura Je 1670, lumampah ngantos 100 dinten wilujeng boten wonten rubeda.
Mila PB. II ngarsakaken ngawontenaken wilujengan nagari inggih ingkang
winastan wilujengan nagari MAesa Lawung, 110 dinten saking 17 Sura Je 1670
wau dhawah ing wulan Rabingulakir dinten Kemis. Mila karsadalem PB. H,
saben dinten Kemis utawi Senen pungkasaning wulan Rabingulakir
ngawontenaken wilujengan nagarai Maesa Lawung ngatos dumugi sapriki.
Kados ing dinten punika Karaton Surakarta Hadiningrat, ingkang tasih
tetep ngleluri tatacara adat tradisi tetilaraning para leluhur luhur
panjenengandalem Nata, manawi ing wekdal sapunika ingkang dados tanggel
jawabipun Lembaga Adat sak wetahipun, ingkang dipun pandhegani Dra. GKR.
Wandansari, M.Pd, dipun sengkuyung bebadan Ian para Santanadalem terah
wiwit PB. II - PB. XIII, ugi ginarubyug para abdidalem ingkang tasih setya tuhu
hangedhep dhateng Karaton Surakarta minangka sumbering budaya Jawa,
sadaya tatacara boten wonten ingkang dipun lirwakaken kalebet ing dinten
punika, ingkang mengku pamrih ancas gegayuhanipun boten wonten sanes kajawi
hamung murih tetep jejeg hadeging nagari Karaton Surakarta Hadiningrat sak
wetahipun, enggala manggih tentrem tetep kuncara mangawibawa, mugi sadaya
ingkang tansah damel reribet dhateng Karaton Surakarta kaparingana emut,
pangapura, kasingkirna ingkang tebih, Ian boten nedya damel reribet malih, saha
ndadosna pepenget dhateng sadaya terah tumerah kalebet kula panjenengan
sadaya, emuta bilih pangandikaning para luhur Sapa kang ada ada gawe
wisunaning praja, ing kono wahyune sirna, temah nistha sadina diva tumekeng
pralaya.
Kanthi makaten tumapaking tatacara wilujengan nagari Maesa Lawung
ing dinten punika, saestu handayanana tambahing tentrem wilujeng, wibawa
10
mulyaning Karaton Surakarta Hadiningrat sawetahipun.Makaten mugi tansah
rahayu ingkang sami pinanggih, winantua hing suka rena. Nuwun, mekaten
dhawuh Karaton Surakarta Hadiningrat rikala tanggal 27 Februari 2014 ingkang
kahaturaken /kaserat malih dening:KP. Winarnokusumo lan KRT. Darpo
Arwantopuro ing Kantor Sasana Wilapa Karaton Surakarta.
Terjemahan:
Tatacara ini sebenarnya sudah dijalankan sejak jaman dulu sebelum negeri
Majapahit, para raja di Jawa melaksanakan wilujengan ini, yang disebut
Rajawedha, yaitu wilujengan sedekah para raja yang dilaksanakan setiap awal
tahun untuk memuliakan keselamatan negara.
Pada tahun 387 S, jaman Prabu Sintawaka memerintah di negeri
Gilingaya, saat itu ditimpa berbagai bencana, banyak wabah penyakit dan
kekacauan sehingga negara tidak tentram. Sang prabu kemudian memerintahan
Brahmana Radi di Ngandhong Dhadhapan agar memberi tumbal untuk negeri
yang disebut Gramawedha. Setelah melakukan sesaji, seluruh bencana hilang dan
negeri pun menjadi aman tentram, semua tanaman tumbuh subur.
Diceritakan pada masa pemerintahan Sri Aji Pamasa di Pengging akan
diserang oleh musuh raksasa dari Ngima Imantaka. Lalu sang prabu bertanya pada
Gandarwa Raja Karawu, bagaimana caranya agar bisa menyingkirkan musuh
raksasa yang menakutkan tersebut. Gandarawa Raja Karawu menyarankan agar
meminta bantuan makhluk halus dari Krendhawahana yang dipimpin Bathari
Kalayuwati. Sang Prabu Aji Pamasa merasa senang, lalu mengutus Gandarwa
Raja Karawu untuk pergi ke Krendhawahana. Sesampainya di Krendhawahana
lalu menyampaikan permohonan bantuan pada Bathari Kalayuwati. Bathari
Kalayuwati lalu berkata bahwa permintaan sang prabu akan dilaksanakan
meskipun Prabu Aji Pamasa waktu itu tidak pernah memberi sesaji. Permintaan
sang prabu akan dituruti asal sang prabu mau melakukan sesaji Maesa Lawung.
Maesa Lawung adalah kerbau yang sorot matanya tajam, kalung lehernya
berwarna putih bertemu sampai di atas, tapi juga ada yang tanpa kalung. Kerbau
tersebut jantan tanpa cacat dan belum pernah digunakan untuk bekerja, liar.
Mendengar ucapan gandarwa Raja Karawu, Sang Prabu Aji Pamasa kaget
11
dan teringat dalam hatinya. Ia lalu memerintahkan Patih Tambakbaya agar
mencari maesa lawung beserta persyaratan lainnya. Setelah semua lengkap lalu
diperintahkan untuk mengantar ke Krendhawahana (wana setra ganda
mayit/gandalayu) krendha = keranda, wahana = sarana, setra = kubur, ganda
mayit = bau yang tidak enak.
Disebutkan dalam buku Pararaton mpu Prapanca, negeri majapahit
melaksanakan sesaji yang disebut Ganacakra, Bawacakra tuwin Mathirta, seperti
halnya sesaji Rajawedha atau Rajasurya.
Selanjutnya setelah sampai pada masa negeri Demak, saat pemerintahan
Sultan I, Raden Patah atau Sultan Syah Alam Akbar I Jimbun Sirullah, putra
Majapahit, selama 5 tahun tidak melaksanakan tatacara wilujengan tersebut
karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Kebetulan saat itu negeri
Demak terkena tulah atau wabah penyakit. Rakyat mengalami kesengsaraan, pagi
sakit sore mati, sore sakit paginya meninggal. Keadaan tersebut menyebabkan
penyebaran agama Islam agak terhambat. Meskipun para ulama telah melakukan
zikir dan berdoa demi ketentraman negara, namun keadaan tidak menjadi lebih
baik. Sultan Demak kemudian memanggil patih Tumenggung Amangkurat agar
berunding dengan para wali dan narapraja, bagaimana sebaiknya.
Setelah terjadi kesepakatan, harus dilakukan dengan tapa brata meminta
pertolongan Tuhan. Sebagian narapraja tetap melaksanakan kewajiban mengurus
negara, sebagian lagi melakukan mesu budi, termasuk sang sultan sendiri. Setelah
beberapa lama, Sunan kalijaga menerima wangsit. Jika ingin negara tetap
tenteram, Sultan Syah Alam Akbar harus mengubah pemerintah negara Demak.
Selanjutnya wangsit tersebut dimusyawarahkan oleh para narapraja dan
para wali. Tata pemerintahan Majapahit yang baik dan masih perlu tetap dipakai
oleh negeri Demak. Setelah dilakukan kemudian doa dipimpin oleh Sunan
Bonang dan Sunan Giri dengan bahasa Arab, Jawa dan Budha, dilaksanakan di
Gunung Muria dan Hutan Roban. Tidak lama setelah itu, negeri Demak kembali
tentram dan sejahtera. Kemudian sampai pada masa Pajang tidak diceritakan.
Sampai pada masa Mataram ketika Kanjeng Panenbahan Senopati
bertahta, sesaji dilaksanakan di Merapi. Setelah masa Kertasura, wilujengan
tersebut juga tetap dilaksanakan setiap awal tahun. Sampai pada masa kerajaan
12
Surakarta Hadiningrat yaitu ketika pindah dari Kartasura. SISKS PB II
membangun istana di dusun Sala lalu diberi nama Negeri Surakarta Hadiningrat,
pada hari Rabu Pahing 17 Sura Je 1670. Sampai 100 hari tidak ada hambatan.
Karena itu PB II ingin mengadakan wilujengan nagari yaitu Maesa Lawung, 110
hari sejak 17 Sura Je 1670. Jatuh pada bulan Rabingulakir hari Kamis. Karena itu
PB II, tiap hari Kamis atau Senin terakhir bulan Rabingulakir mengadakan
wilujengan nagari Maesa Lawung sampai sekarang.
Sampai saat ini Karaton Surakarta Hadiningrat masih tetap melestarikan
adat tradisi peninggalan para leluhur. Saat ini pelaksanaan wilujengan seluruhnya
menjadi tanggung jawab Lembaga Adat, yang dipimpin oleh Dra. GKR
Wandansari, M.Pd, didukung badan-badan dan para sentanadalem keturunan PB
II-PB XIII. Juga didukung oleh para abdi dalem yang tetap setia pada Karaton
Surakarta Hadiningrat sebagai sumber Budaya Jawa. Tidak ada tatacara yang
diubah, termasuk pada hari ini. Tujuannya tidak lain adalah agar negeri Karaton
Surakarta Hadiningrat tetap berdiri tegak dan memperoleh ketentraman. Semua
hal yang mengganggu Karaton Surakarta Hadiningrat agar diingatkan, dimaafkan
dan dibuang jauh agar tidak menyebabkan kesengsaraan kembali. Juga agar
menjadi pengingat pada seluruh kerabat termasuk saya dan anda semua, ingatlah
kata-kata para leluhur:Siapa saja yang menyebabkan goyahnya kerajaan, maka
wahyunya akan hilang, menjadi nista sampai mati.
Dengan demikian tatacara wilujengan nagari Maesa Lawung pada hari ini,
semoga menambah ketentraman, kewibawaan dan kemuliaan Karaton Surakarta
Hadiningrat seutuhnya.Demikian, semoga selalu mendapatkan keselamatan dan
kebahagiaan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih. Demikian perintah Karaton
Surakarta Hadiningrat pada tanggal 27 Februari 2014. Disampaikan dan ditulis
kembali oleh:KP. Winarnokusumo dan KRT. Darpo Arwantopuro di Kantor
Sasana Wilapa Karaton Surakarta.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa para raja jaman dulu senantiasa
melaksanakan upacara maesa lawung. Setelah agama Islam datang pun, Raden
Patah yang bergelar Syah Alam Akbar yang menjadi raja Kasultanan Demak
Bintoro pada tahun 1478 juga menyelenggarakan ritual Maesa Lawung
13
(Bratadiningrat, 1990: 19). Tujuannya adalah memperoleh keselamatan lahir
batin.
Dalam masyarakat Jawa kuno ritual juga diwujudkan dalam bentuk pentas
seni pewayangan. Pertunjukan wayang sudah ada sejak abad IX dibuktikan oleh
adanya istilah ‘haringgit’ dalam prasasti Kuti 840 M. Padanan kata ‘haringgit’
adalah ‘awayang’ dijumpai dalam prasasti Tajigunung 910 M. Sampai sekarang
kata ‘ringgit’ dan ‘wayang’ masih digunakan. Pertunjukan wayang tentu saja
menggunakan media (wayang), namun sumber tertulis ketika itu tidak
memberikan keterangan. Barangkali media tertulis ketika itu tidak memberikan
keterangan. Barangkali media dalam pertunjukan wayang pada waktu itu
semacam boneka-boneka kecil. Keterangan menarik diberikan oleh prasasti
Wukajana bahwa pertunjukan wayang waktu itu adalah ‘mawayang buatt hyang’
= pertunjukan wayang untuk hyang. Hyang adalah dihormat yaitu dewa atau
nenek moyang. Hal ini berarti bahwa pertunjukan wayang bukan semata-mata
hiburan tetapi lebih bersifat seremonial keagamaan (Timbul Haryono, 2008: 34).
Setiap penyelenggaraan upacara tradisional senantiasa melibatkan para
kasepuhan yang dianggap mempunyai kewibawaan spiritual. Unsur pimpinan
menduduki tempat terdepan karena pemimpin dipegang oleh seorang guru, dukun,
peramal yang mengaku mendapat wahyu (Suhartono W. Pranoto, 2001: 227).
Upacara tradisional Jawa tetap berlangsung sampai sekarang.
Semenjak dahulu kala salah satu masalah yang menjadi pokok perhatian
bagi para ahli filsafat ialah hubungan antara yang tunggal dan yang jamak.
Masalah ini mereka teliti entah karena dengan permenungannya ingin
memberikan sebuah dasar rasional bagi pendapat-pendapat religius mereka, entah
karena mereka, lepas dari suatu kaitan langsung dengan agama, ingin
menerangkan Yang Ada (Zoetmulder, 2000: 1). Upacara sesaji Maesa Lawung
pun terkait dengan aspek rohani.
D. Penutup
Ungkapan doa-doa wilujengan negeri Maesa Lawung memadukan unsur
Hindu, Budha, Islam da Jawa. Akulturasi budaya ini bentuk yang harmonis dalam
rangka mewujudkan masyarakat plural yang menghargai perbedaan. Kraton
14
Surakarta pada jaman dahulu, kini dan mendatang berperan membentuk
komunitas yang beragam dan saling menghormati.
Tradisi luhur yang berlangsung selama ini menjadi perekat demi
kerukunan umat beragama. Pemerinath hendaknya peduli dan menghormati.
Perlindungan atas adat istiadat tersebut dapat diwujudkan dengan turut serta
menjaga keamanan. Kewajiban pemerintah untuk memberi perlindungan pada
budaya. Sikap toleransi dan saling menghargai perlu dikembangkan.
Nilai kearifan lokal tersebut merupakan sumbangan budaya demi
mengokohkan jatidiri bangsa. Apresiasi dan toleransi hendaknya dikembangkan di
negeri ini, sehingga tercipta kerukunan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
AM. Hadisiswaya, 2009. Keraton Undercover. Yogyakarta: Pinus Book
Publisher.
Bram Setiadi dkk, 2001. Raja di Alam Republik. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Bratadiningrat, 1990. Asalsilah Warni-warni. Surakarta: Sasana Wilapa.
Harun Hadiwijono, 1983. Konsepsi tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa.
Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Julianto Ibrahim, 2008. Kraton Surakarta & Gerakan Anti Swapraja. Yogyakarta:
Malioboro Press.
Kuntowijoyo, 2006. Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta, 1900-1915.
Yogyakarta: Ombak.
Mulyanto Utomo, dkk, 2004. Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat.
Solo: PT Aksara Solopos.
Poerbatjaraka, 1957. Kapustakan Djawi. Jakarta: Djambatan.
Sri Winarti P, 2005, Yang Sah & Yang Resmi Susuhunan Paku Buwono XIII.
Surakarta: Sasana Wilapa.
15
Suhartono W. Pranoto, 2001. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Yayasan
Agastya.
Timbul Haryono, 2008. Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif
Arkeologi Seni. Solo: ISI Press.
Victoria M Clara van Groenendael, 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: PT
Pustaka Utama Grafiti.
Zoetmulder, 2000. Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam
Sastra Suluk Jawa. Jakarta: Gramedia.
BIODATA
Nama : Dr. Purwadi, SS, M. Hum
Tempat/Tgl Lahir : Nganjuk, 16 September 1971.
Pendidikan : Fakultas Sastra UGM tahun 1990-1995
Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998
Program Doktor tahun 1999-2001.
Pekerjaan : Staf Pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa, Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Karya : Seni Kerawitan, Seni Pedhalangan, Seni Macapat, Tembang
Dolanan, Riwayat Sultan Agung, Riwayat Jaka Tingkir,
Riwayat Prabu Jayabaya, Riwayat Paku Buwana X, Babad
Tanah Jawi, Sejarah Majapahit, Sejarah Demak, Sejarah
Mataram, Sejarah Pajang, Sejarah Kraton Surakarta.
Alamat tinggal : Jl. Kakap Raya 36 Minomartani Yogya-karta. Telp. 0274 –
881020. Hp: 081578865170, email: swastimay08
@yahoo.com
16