Tugas Kelompok 4 - Teknik Tegangan Tinggi - Prof.Ir. Syamsir Abduh , MM, Ph.D - Universitas Trisakti
Download-10. Hasaruddin Abduh
Transcript of Download-10. Hasaruddin Abduh
Pembaharuan Hukum Islam Menurut Pandangan Muhammad Abduh Hasaruddin
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012 333
PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM MENURUT PANDANGAN MUHAMMAD
ABDUH
Hasaruddin Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Abstract
Along with the development of the times, problems and human needs are also being progressed toward the more complex ones, which does not rarely bring up issues that physically looks contradictive with the desire and the messages of the text. Consequently, the question arises, how to bridge the ideal of Islam and the reality of Islam. Talking about reconstruction in the Islamic world especially in Egypt it seems incomplete before presenting the thought of Muhammad Abduh. This thinkers are considered to have academic capacity in almost all areas of Islamic studies, Abduh was known as a reformer in many areas of life, education, social affairs, religion, law and even become the motor of the movement for the eradication of illiteracy. Abduh’s thought appears to be more growing and acceptable for the community of Muslims than the thought of his teacher Jamaluddin al Afghani. However, the brilliant thought of Abduh also got challenges, not also from a group of anti reform in his own country, but also from various countries that have predominantly Islamic populations. In Egypt itself, Abduh must fall up from one position to another position because of his ideas that in one side is very brilliant and needed, but in the other side, it is contrary to the thought of well established group who opposed its renewal movement. Of the two conflicting sides, in one side, he needed and acceptable, but in another side, she is hate and fought. The figure of Abduh as a thinker who has international class in various Islamic studying, it turns out to make so many observers are desirous to know and to deepen up about his thinking. Even, his original thinking about thins renewing of Islami is not just a center for intellectual muslim study, but also for the intellectuals of nonmuslim in various parts of the world. This simple writing will try to examine the thinking of this Egypt people, especially his thoughts on the field of law of reform.
Kata Kunci : Hukum Islam dan Muhammad Abduh
Pembaharuan Hukum Islam Menurut Pandangan Muhammad Abduh Hasaruddin
334
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
PENDAHULUAN
erbicara masalah pembaharuan dalam dunia Islam terutama di Mesir sepertinya belum lengkap sebelum menghadirkan pikiran tokoh Muhammad Abduh. Pemikir ini dianggap mempunyai kapasitas keilmuan
di hampir segala bidang kajian keislaman, Abduh dikenal sebagai pembaharuan di banyak bidang kehidupan, pendidikan, sosial, agama, hukum dan bahkan menjadi motor dalam gerakan pemberantasan buta huruf.
Pemikiran Abduh nampaknya lebih banyak berkembang dan dapat diterima komunitas umat Islam umat Islam dibanding pemikiran gurunya, Jamaluddin al Afghani. Meski demikian, pemikiran Abduh yang cemerlang juga mendapat tantangan bukan saja dari kelompok yang anti reformasi di negerinya sendiri, tetapi juga dari berbagai negara yang mempunyai penduduk yang mayoritas beragama Islam.
Di Mesir sendiri Abduh harus jatuh bangun dari satu jabatan ke jabatan lain karena ide-idenya yang dari satu segi sangat cemerlang dan dubutuhkan, tetapi dari segi lain bertentangan dengan pemikiran kelompok mapan yang menentang kehadiran gerakan pembaharuannya. Dari dua sisi yang bertentangan tersebut, satu segi ia dibutuhkan dan disenangi, namun dari segi lain ia dibenci dan dimusuhi.
Sosok Abduh sebagai pemikir yang mempunyai kelas internasional dalam berbagai kajian keislaman, ternyata membuat banyak pengamat berkeinginan untuk mengetahui dan mendalami pemikirannya. Bahkan pikiran-pikiran orisinilnya tentang pembaharuan Islam ini, bukan saja menjadi pusat kajian bagi intelektual muslim saja, namun juga para intelektual non muslim di berbagai belahan dunia.
Tulisan sederhana ini akan mencoba mengkaji pemikiran tokoh kelahiran Mesir ini, khususnya pemikiran beliau di bidang reformasi hukum. PEMBAHASAN
1. Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di Mesir tahun 1266/18491 di sebuah desa di
propinsi Gharbiyah Mesir. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Khairullah,
sementara ibunya yang bernama Junaynah, seorang janda yang mempunyai
1 Meskipun ada yang menyebutkan bahwa Abduh lahir pada tahun 1842, namun teman
dan pengikut Abduh sepakat dengan tahun di atas. Untuk informasi lebih lanjut tentang kelahiran dan karier Abduh, lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh al Ustadz al Imam Muhammad Abduh, (kairo: Dar al Manar, 1931), khususnya jilid I.
B
Pembaharuan Hukum Islam Menurut Pandangan Muhammad Abduh Hasaruddin
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012 335
silsilah dengan Umar bin Khattab2 berasal dari sebuah desa di propinsi
Gharbiyah.
Kelahiran Abduh bersamaan dengan masa ketidakadilan dan
ketidakamanan di Mesir oleh pemerintah. Ketika itu Mesir di bawah kekuasaan
Muhammad Ali Pasya. Sebagai penguasa tunggal ia tidak mengalami kesukaran
dalam membawa pembaharuan di Mesir, terutama dalam bidang pendidikan,
ekonomi dan militer. ia adalah raja absolut yang menguasai sumbersumber
kekayaan, terutama tanah, pertanian dan perdagangan.
Di daerahdaerah, para pegawainya juga bersikap keras dalam
melaksanakan kehendak dan perintahnya. Rakyat merasa tertindas. Untuk
mengelakkan kekerasan yang dijalankan oleh pemerintah, rakyat terpaksa
berpindahpindah tempat tinggal. Ayah Abduh sendiri termasuk salah seorang
yang tidak setuju dan menentang kebijakan pemerintah yang tiran itu. Salah satu
dari kebijakan pemerintah yang ditentang oleh ayah Abduh adalah tingginya
pajak tanah.
Tahun 1863, setelah berhasil menghafal al Qur’an Abduh dikirim ke Tanta
untuk meluruskan bacaannya di masjid al Ahmadi.3 Dua tahun kemudian, Abduh
meneruskan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Namun Abduh tidak begitu
tertarik untuk belajar di sekolah ini, khususnya terhadap metode pengajaran yang
digunakan oleh para guru. Tentang sistem pendidikan ini Abduh mengatakan
bahwamateri pelajaran dan metode yang diterapkan di sana adalah pelajaran tata
bahasa dan teori hukum Islam yang diberikan secara doktriner dan tidak
dijelaskan dengan alasan yang rasional. Akhirnya pada tahun 1866, Abduh
ekmbali ke desanya Mahallat al Nashr dan menikah dengan seorang gadis
sedesanya.4
Selama waktu transisi ini, paman Abduh Syaikh Darwisy berperan sangat
menentukan bagi langkah dan masa depan Abduh selanjutnya. Dialah yang
mengenalkan ilmu keagamaan kepada Abduh. Salah satu wujudnya adalah
dengan mendorong Abduh untuk bergabung dengan kelompok sufi.5
Atas nasehat ayahnya, Abduh kembali belajar di masjid al Ahmadi dan
berhasil menyelesaikan pelajarannya di sana. Pendidikan Abduh kemudian
dilanjutkannya di al Azhar mulai 1869. Ternyata di Universitas inipun, Abduh
tidak merasa puas. Akibatnya ada semacam krisis dalam batin, yang
menjadikannya pergi mengasingkan diri dari masyarakatnya. Pada saat itu,
2 Firdaus A.N, Syaikh Muhammad Abduh dan Perjuangannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.
17 3 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasuonal Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987),
h. 11 4 Ibid, h. 12 5 Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt diterjemahkan oleh Ismail Jamil, Islam
dan Modernisasi di Mesir, (tk: Dian Rakyat, t.th.), h. 21-3
Pembaharuan Hukum Islam Menurut Pandangan Muhammad Abduh Hasaruddin
336
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
Syaikh Darwis kembali tampil untuk membangkitkan semangat Abduh untuk
kembali belajar di tempat yang sama. Kali ini bukan lagi hanya belajar materi
agama seperti fiqh, tauhid dan semacamnya, tetapi juga mempelajari logika,
matematika, sains dan sebagainya.6 Pengalaman ini menjadikan Abduh sangat
toleran dan bebas berpikir, suatu sikap berfikir yang masih jarang ditemukan
ketika itu.
Ketika belajar di al Azhar ini, Abduh berjumpa dengan Jamaluddin al
Afghani. Afghani disamping sebagai tokoh terkenal di Mesir, juga dikenal sebagai
pengagas kebebasan berfikir dalam bidang agama dan politik. Perjumpaannya
dengan Afghani ini, mempunyai implikasi yang sangat besar bagi perkembangan
pemikiran rasional Abduh. Suatu hal istimewa yang diberikan Afghani kepada
Abduh adalah semangat berbakti kepada masyarakat, menghantam kekolotan dan
taklid.7
Berkat usaha yang keras, Abduh akhirnya lulus ujian dengan mendapat
gelar alimiah dari al Azhar. Kelulusan yang sempat membuat para penguji
berselisih pendapat ini, memakai hak untuk memakai gelar al alim yang berarti
mempunyai hak mengajar.8 Setelah menyelesaikan kuliah di al Azhar, dia mulai
mengajar di bidang logika, ilmu kalam dan moral serta etika. Disamping di al
Azhar, Abduh juga mengajar di Dar al Ulum yang ketika itu masih merupakan
semacam akademi yang didirikan untuk mempersiapkan mereka yang bisa
memberikan pendidikan modern di al Azhar. Di Dar al Ulum ini Abduh
mengajarkan Muqaddimah karya Ibn Khaldun, Tahzib al Ahlaq karya Miskawaih.
Dalam waktu yang sama Abduh diangkat sebagai guru bahasa Arab di sebuah
sekolah bahasa yang didirikan Khedive.9
Ketika Mesir dikuasai Inggris, Abduh bergabung dengan partai nasional
dan aktif melakukan pemberontakan. Ternyata keaktifannya ini membuat Abduh
dihukum berupa pengusiran dari Mesir. Setelah beberapa tahun Abduh tinggl di
Syria dan Beirut, akhirnya ia bergabung dengan gurunya al Afghani di Paris.
Dalam usaha mendapatkan kemerdekaan Mesir, keduanya menerbitkan jurnal al
Urwah al Wustqa’. Secara umum jurnal ini merupakan jurnal mingguan politik,
yang melaporkan dan memberi gambaran tentang keadaan politik dan perjuangan
umat Islam di negaranegara Islam untuk melepaskan diri dari dominasi luar,
dengan tujuan menyatukan mereka. Menurut Ahmad Amin, sebenarnya jiwa dan
pemikiran yang tertuang dalam jurnal tersebut berasal dari gurunya, sementara
6 Harun, Op. Cit, h. 13 7 Firdaus A.N, Op. Cit, h. 18. Lihat juga A. Mukti Ali, Ijtihad Dalam Pandangan Muhammad
Abduh, Ahmad Dahlan dan Muhammad Iqbal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 13 8 Ridha, Op.Cit, h. 102-3 9 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition, ahli bahasa
Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 78
Pembaharuan Hukum Islam Menurut Pandangan Muhammad Abduh Hasaruddin
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012 337
tulisan yang mengungkapkan jiwa dan pemikiran tersebut adalah dari Abduh.10
Dengan demikian Abduh pada hakikatnya tidak mempunyai jiwa revolusioner,
namun ia cenderung menjadi pemikir dan pendidik sebagai terlihat dari
kegiatannya baik ketika di Beirut maupun di Mesir. Abduh ingin mengadakan
perubahan dan pembaharuan lewat pendidikan dan budaya11 bukan melalui
revolusi.
Setelah terbit 18 kali, jurnal ini dilarang beredar di Eropa,12 maka Abduh
kembali ke Beirut untuk mengajar di sekolah teologi. Di sinilah Abduh menulis
bukunya yang berjudul Risalah Tauhid. Dalam karyanya ini Abduh
mengemukakan kembali beberapa tesi fundamental dari kalam sunni abad
pertengahan dengan penekanan baru dan menghidupkan kembali rasionalisme.13
Tahun 1988, oleh Khedive, Abduh diizinkan kembali ke Mesir dan
langsung diangkat menjadi hakim dan tahun berikutnya ia menjadi penasehat
hukum di Mahkamah Agung. Tahun 1894, Abduh diangkat menjadi salah satu
anggota panitia di al Azhar. Posisi ini dipergunakan oleh Abduh untuk
merealisasikan ideide pembaharuannya. Namun perlawanan dari para ulama
tradisional, membuatnya harus bekerja keras.14
Tahun 1899, Abduh disamping terpilih menjadi mufti besar di Mesir, ia
juga diangkat menjadi anggota tetap dewan legislatif. Melalui kedudukannya itu,
ia rupanya tidak jera memperjuangkan pembaharuan di lapangan peradilan
agama. Disamping itu Abduh juga berusaha memperbaiki dan meningkatkan
materi pelajaran kepada para hakim dengan harapan pengetahuan dan intelektual
mereka di masa mendatang akan menjadi lebih komprehensif.
Tanggal 11 juli 1905, tokoh kelas internasional ini menghembuskan nafas
terakhirnya,15 dengan meninggalkan sejumlah ideide yang perlu mendapat
perhatian khusus bagi peneliti yang datang sesudahnya.
2. Metodologi Pemikiran Abduh
Berangkat dari paparan diatas dan setelah memahami ideide
pembaharuannya, penulis berkesimpulan bahwa pendekatan yang dipergunakan
Abduh dalam membangun pemikiran pembaharuannya terutama dalam bidang
hukum Islam adalah pendekatan sosial budaya yang lebih ditekankan kepada
konsep maslahah (kesejahteraan).
10 Ahmad Amin, Muhammad Abduh, (Kairo: AL Khanji, 1960), h. 49 11 Mukti Ali, Op. Cit., h. 105-6 12 Harun Nasution, Op. Cit., h. 20 13 Fazlur Rahman, Op.Cit., h. 118 14 Firdaus A.N, Op.Cit., h. 21 15 Ibid, h. 17
Pembaharuan Hukum Islam Menurut Pandangan Muhammad Abduh Hasaruddin
338
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
Prinsip dasar yang dipegangi Abduh adalah, bahwa kehadiran Muhammad
sebagai Rasul adalah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat secara umum,
baik di kehidupan dunia maupun akhirat, bukan pada masanya saja, tetapi juga
masamasa sesudahnya. Prinsip ini dapat dilihat pada ulasannya ketika
menjelaskan misi yang dibawa Rasul. Agama menurut Abduh, yang tidak lain
demi kesejahteraan manusia.16
Misi ini dapat dilihat dengan menilik pada kondisi masyarakat pada masa
Rasul. Muhammad diutus pada suatu golongan manusia yang acuh, penuh
ketidak adilan, tidak bermoral dan semacamnya. Kemudian Rasul mengubahnya
menjadi masyarakat yang penuh kepedulian, menegakkan dan memperjuangkan
keadilan serta menciptakan masyarakat yang bermoral dan menjunjung tinggi
nilainilai yang mengiringinya.17
Dengan demikian, penetapan hukum Islam terutama yang berkaitan
dengan masalah mua’malah, menurut Abduh, haruslah selaras dengan kondisi
sosial budaya. Suatu hukum bisa saja berubah atau bahkan berbeda antara satu
daerah dengan daerah lain atau antara satu masa dengan masa berikutnya,
tergantung kepada perubahan dan perbedaan budaya masyarakat yang
bersangkutan. Hal ini menurutnya, telah banyak dicontohkan oleh periode awal
terutama masa khilafah rasyidah.
3. Teori Pemikiran Abduh
Berkaitan dengan sumber hukum Islam, Abduh mengakui bahwa al Qur’an
adalah sumber asli yang merupakan dasar utama dan pertama hukum Islam.
Tetapi untuk memahami isinya, kehadiran akal sangat penting dan bahkan
menjadi faktor penentu. Dari sini nampaknya Abduh hendak merekomendasikan
bahwa untuk memahami al Qur’an, keterlibatan akal dalam setiap aspek ajaran
agama sangat diperlukan. Sebab menurutnya, untuk mengerti Islam secara baik,
manusia harus menggunakan akalnya, agar terhindar dari kesulitan dan
mendapatkan manfaat (jalb al mashalih wa dar al mafasid).18
Untuk mendukung konsep di atas, ada dua pokok pikiran yang
diperjuangkan Abduh, yakni:
Pertama : Abduh berusaha untuk menggabungkan pemikiran sekuler yang
murni sciences dengan pemikiran salafiah yang murni agama.
Kedua: dan ini merupakan kelanjutan dari yang pertama, Abduh menolak
anggapan bahwa agama bertentangan dengan science modern, atau agama
sebagai penghambat kemajuan. Menurutnya agama dan science modern
16 Ibid, h. 156-7 17 Ibid, h. 171-8 18 Muhammad Abduh, Tafsir al Manar, jilid II (Kairo: Dar al Manar, t.th.), h. 283
Pembaharuan Hukum Islam Menurut Pandangan Muhammad Abduh Hasaruddin
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012 339
merupakan suatu kesatuan, yang samasama bertujuan untuk kesejahteraan
manusia.19
Dalam sebuah artikelnya, Abduh mengatakan:
Ulama pemimpin bangsa sejauh ini telah gagal menggunakan manfaat dari
science modern. Mereka hanya sibuk dengan urusan masalahmasalah akhirat dan
melupakan bahwa kita sekarang tinggal di dunia nyata. Karenanya, kita harus
mempelajari agama dan negara agar bisa belajar tentang rahasia dari keduanya.
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan science adalah kunci utama untuk
mencapai kemajuan di bidang ekonomi dan mendapatkan kekuatan. Oleh sebab
itu, tugas kita sekarang adalah menyebarluaskan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan science.20
Uraian diatas memberi sedikit gambaran bahwa Abduh berusaha keras
agar ajaran agama Islam tidak terhenti pada teori yang mengawang di angkasa,
melainkan dapat membumi dan dirasakan keindahannya oleh pemeluknya.
Karena teori penetapan hukum merupakan dasar dari aplikasinya, maka Abduh
berusaha agar teori penetapan hukum Islam itu sendiri berorientasi kepada
kesejahteraan.
Seiring dengan perkembangan zaman, masalah dan kebutuhan manusia
juga menjadi berkembang ke arah yang lebih kompleks, yang tidak jarang
memunculkan masalah yang secara lahir nampak bertentangan dengan keinginan
dan pesanpesan teks. Akibatnya, muncul persoalan, bagaimana menjembatani
Islam ideal dan Islam realitas.
Untuk menjawab pertanyaan ini, Abduh tetap berpegang pada prinsip
yang ditulis sebelumnya, bahwa tujuan pokok dari hukum yang dibawa Rasul
adalah sesuai dengan tujuan kerasulan itu sendiri,21yaitu untuk menciptakan
kesejahteraan dan kedamaian umat manusia.22 Dengan kata lain bahwa Abduh
sangat menekankan keharusan hukum yang bertujuan demi tegaknya keadilan
dan kesejahteraan. Menurutnya hukum hanyalah sarana atau jalan untuk
menciptakan kesejahteraan manusia secara umum. Oleh karena itu, hukum sangat
bergantung kepada stuasi dan kondisi tertentu. Inilah –menurut Abduh prinsip
dasar yang diterapkan oleh ulama masa lalu yang akhirnya diabaikan oleh
pemikiran Islam belakangan.
Dalam kaitan dengan keharusan dan pentingnya pertimbangan masa,
tempat, stuasi dan lingkungan yang mengitari, Abduh menyatakan bahwa
19 Fazlur Rahman, Op.Cit., h. 77-9 20 Ridha, Op.Cit., h. 36 21 Albert Hourani, The Arabic Thougght in the Liberal Age, (Cambridge: CUP, 1962), h. 136 22 Konsep ini sesungguhnya merupakan pengembangan dari konsep maslahah mursalah
yang diterapkan Imam Malik. Konsep ini lebih lanjut dikembangkan oleh al Syatibi dalam karya besarnya al Muqafiqat.
Pembaharuan Hukum Islam Menurut Pandangan Muhammad Abduh Hasaruddin
340
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
pemikiran Islam akan menjadi salah manakala dipisahkan dengan kehidupan
kedisinian dan kekinian.
Dalam merumuskan maslahah ini kemudian muncul pemikiran hubungan
antara wahyu (revelation) dengan akal (reason). Abduh berpendapat bahwa
ajaran yang diwahyukan lebih banyak bersifat prinsip dan umum, yang
operasionalisasinya dibutuhkan kehadiran akal manusia. Dalam
operasionalisasinya, khususnya bidang mu’amalah kehadiran konsep maslahah
menjadi penting.
Namun perlu di ingat bahwa dalam merumuskan maslahah, Abduh
memberikan rumusan yang cukup ketat. Menurutnya perumusan masalah untuk
penetapan hukum suatu kasus, ahli hukum harus meninjau dari berbagai aspek;
ekonomi, sosiologi, lingkungan dan sebagainya. Dari sini, Abduh kemudian
menawarkan lembaga legislatif yang berfungsi ganda yaitu sebagai penasehat
pemerintah dan penetap atau perumus kemaslahatan dalam segala urusan .
lembaga ini menurutnya sudah pernah ada pada zaman klasik yang disebut
dengan majlis syura’.23
Selanjutnya Abduh menolak pendapat yang mengatakan bahwa ajaran dan
hukum Islam telah ditetapkan oleh ulama klasik dan pertengahan Islam.24
Menurut Abduh, umat Islam kontemporer harus memformulasikan hukum dan
ajaran yang sesuai dengan tuntutan zaman yang didasarkan pada spirit sumber
aslinya (Qur’an dan Sunnah). Karena itulah Abduh menolak taklid dan sangat
memotivasi penggunaan akal.
Berangkat dari konsep maslahah yang ditawarkannya dalam penetapan
hukum Islam, lewat pendekatan sosial budaya Abduh menawarkan konsep ijma’
yang berbeda dengan ulama klasik. Menurutnya ijma’ merupakan pendapat
umum dari suatu masyarakat pada masa tertentu. Untuk menjembatani ketidak
mungkinan untuk mengumpulkan pendapat masyarakat secara keseluruhan,
sistem perwakilan menjadi alternatif. Masyarakat secara keseluruhan diwakili
oleh pemerintah dalam konteks yang lebih luas, yakni para ahli di bidang
sosiologi, hukum, antropologi, ekonomi dan sebagainya.25 Sementara itu dasar
yang digunakan secara keseluruhan adalah kesejahteraan dari masyarakat atau
negara itu sendiri.26
Dengan demikian, ijma’ terbentuk berdasarkan pada keharusan untuk
menyelesaikan masalahmasalah yang muncul yang bertujuan untuk menciptakan
kesejahteraan. Oleh sebab itu, yang menjadi pokok persoalan bukanlah urusan
23 Muhammad Abduh, Tafsir al Manar, jilid III (Kairo: Dar al Manar, t.th), h. 197 24 HAR Gibb, Modern Trens in Islam, ahli bahasa Mahnun Husain, (Jakarta: Rajawali, 1992),
h. 75 25 Muhammad Abduh, Op.Cit, h. 199 26 Ahmad Hasan, The Doctrine of Ijma’, alih bahasa Rahmani Astuti,(Bandung: Pustaka,
1985), h. 288
Pembaharuan Hukum Islam Menurut Pandangan Muhammad Abduh Hasaruddin
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012 341
benar atau salah sebagaimana pada teori klasik, tetapi lebih banyak terletak pada
mampu atau tidaknya para ahli menyelesaikan persoalan yang muncul. Karena
itu, menurut Abduh, tidak ada keharusan untuk mengambil ijma’ yang
diformulasikan pada masa klasik, bahkan ijma’ mereka bisa dibatalkan.27 Hal
tersebut dikarenakan masalah dan maslahah pada periode klasik berbeda dengan
periode modern. Begitu juga ijma’ yang didapatkan sekarang belum tentu relevan
dan dibutuhkan pada masa yang akan datang, sebab masalah dan maslahahnya
selalu berbeda dari waktu ke waktu.
PENUTUP
Dari paparan di atas, nampaknya Muhammad Abduh ingin lebih
memperjelas dan mempertegas metode berfikir yang secara implisit terkandung
dalam pemikiran Afghani. Abduh jelasjelas menentang jumud, kebekuan berfikir,
dan kestatisan umat Islam. Al Qur’an mengajarkan dinamika bukan kejumudan.
Disamping itu, Abduh juga dengan tegas mengatakan bahwa pintu ijtihad
tidak pernah tertutup dan untuk kemajuan umat islam, zaman modern perlu
diadakan ijtihad terhadap teks. Kalau yang mengenai masalah ibadah secara
tegas, maka nash mengenai mu’amalah dan hidup kemasyarakatan mengandung
hanya prinsipprinsip umum. Interpretasi terhadap prinsipprinsip umum ini –
melalui ijtihad dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Selanjutnya, Abduh menekankan tingkat kekuatan akal terhadap al Qur’an.
Dalam hal ini, nampaknya Abduh lebih cenderung kepada pemikiran aliran dan
teologi mu’tazilah yang lebih mengedepankan rasio.
Demikian ulasan singkat mengenai pemikiran pembaharuan Muhammad
Abduh dalam bidang hukum.
27 Ibid, h. 289
Pembaharuan Hukum Islam Menurut Pandangan Muhammad Abduh Hasaruddin
342
Al-Risalah | Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012
DAFTAR PUSTAKA A. Mukti Ali, Ijtihad Dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan dan
Muhammad Iqbal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 13 Albert Hourani, The Arabic Thougght in the Liberal Age, (Cambridge: CUP, 1962), h.
136 Ahmad Hasan, The Doctrine of Ijma’, alih bahasa Rahmani Astuti,(Bandung:
Pustaka, 1985), h. 288 Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt diterjemahkan oleh Ismail Jamil,
Islam dan Modernisasi di Mesir, (tk: Dian Rakyat, t.th.), h. 213 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition, ahli
bahasa Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 78 Firdaus A.N, Syaikh Muhammad Abduh dan Perjuangannya (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), h. 17 HAR Gibb, Modern Trens in Islam, ahli bahasa Mahnun Husain, (Jakarta: Rajawali,
1992), h. 75 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasuonal Mu’tazilah, (Jakarta: UI
Press, 1987), h. 11 Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh al Ustadz al Imam Muhammad Abduh, (kairo: Dar
al Manar, 1931), khususnya jilid I. Muhammad Abduh, Tafsir al Manar, jilid II (Kairo: Dar al Manar, t.th.), h. 283 Muhammad Abduh, Tafsir al Manar, jilid III (Kairo: Dar al Manar, t.th), h. 197