Dongeng

13
WATU ULO Masyarakat Jember menceritakan bahwa nama pantai Watu Ulo bermula dari kisah berikut. Pada zaman dahulu Ajisaka (baca: Ajisoko) datang ke tanh Jawa. Di Jawa, negeri Medang Kamula, ia mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan kesaktian kepada masyarakat. Saat mengajari murid-muridnya, ilmunya didengar ayam yang sedang mencari makan di bawah pondok perguruannya. Seharusnya, siapapun tidak boleh mendengar ajaran Ajisaka, selain murid yag sudah diijinkan. Karena mendengar matra-mantra yang diajarkan kepada muridya, seekor ayam itu mendadak bertelur yang amat besar, tidak seperti biasanya. Saat telur itu dierami dan menetas, ternyata yang keluar dari cangkang telur bukan anak ayam, tetapi anak naga raksasa, yang mampu berbicara seperti manusia. Anak naga itu bicara terus, dan menanyakan siapa ayahnya. Oleh masyarakat setempat naga itu diberi tahu kalau ingin tahu siapa ayahnya, disuruh tanya ke rang sakti bernama Ajisaka. Lalu, anak naga itu mendatangi Ajisaka dan bertanya siapa ayahnya. Ajisaka tidak terkejut, lalu diberi tahulah anak naga itu bahwa sebenarnya anak naga itu memang anaknya yang tercipta dari telur ayam lewat mantra-mantra. Walaupun mengakui naga itu sebagai anaknya, Ajisaka tidak mengijinkan naga itu ikut dengannya. Ajisaka menyuruh anak naga itu bertapa di pantai laut selatan. Kemudian anak naga itu bertapa di pantai selatan. Saat bertapa, naga itu sesekali bangun dari meditasi untuk makan binatang apa saja di sekitarnya. Ratusan tahun ia bertapa, badannya tambah besar. Badannya di Jember, kepalanya sampai Banyuwangi, dan ekornya memanjang sampai Jawa Tengah. Karena tubuhnya membesar akibatnya makanan di sekitarnya tidak cukup, maka sesekali naga itu mencari makan di tengah laut selatan. Karena lamanya bertapa sampai badannya ditumbuhi lumut seperti kayu. Suatu hari, penduduk di sekitar pertapaan naga kehabisan kayu bakar. Penduduk menemukan kayu besar dan memanjang maka dipotonglah kayu itu. Saat dipotong kayu itu mengeluarkan getah seperti darah, sehingga semua penduduk terheran- heran tetapi penduduk tetap saja mengambilnya sebagai kayu bakar. Sampai sekarang naga yang telah besar itu masih bertapa di pantai laut selatan, tetapi tubuhnya tidak lengkap lagi karena dipotong penduduk untuk kayu bakar, tinggal kepalanya ada di Banyuwangi, badannya di pantai selatan Jember, dan ekornya di Jawa Tengah. Bagian-bagian tubuh itu mengeras seperti batu, dan sampai sekarang masih bisa ditemukan batu-batu seperti sisik kulit ular di pantai selatan Jember. Oleh penduduk, pantai itu disebut pantai “Watu Ulo” (Batu Ular) karena batu-batunya tersusun seperti sisk kulit ular. Konon pada saatnya naga itu akan berubah menjadi manusia yang sakti dan akan menjadi pemipin dan penguasa di tanah Jawa atau Indonesia. (Dikumpulkan dan diceritakan ulang dari cerita masyarakat Jember dan sekitarnya) Disadur sepenuhnya dari buku Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia Karya Dr. Sukatman, M.Pd. halaman 35-36. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai mitos-mitos yang berkembang di masyarakat Indonesia bisa membaca buku tersebut secara langsung. Untuk membeli buku tersebut dan buku lain karya Dr. Sukatman bisa menghubungi saudara muntijo 082330219661 Baca juga tulisan sejenis:

description

Dongeng saja

Transcript of Dongeng

Page 1: Dongeng

WATU ULO

Masyarakat Jember menceritakan bahwa nama pantai Watu Ulo bermula dari kisah berikut.

Pada zaman dahulu Ajisaka (baca: Ajisoko) datang ke tanh Jawa. Di Jawa, negeri Medang

Kamula, ia mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan kesaktian kepada masyarakat. Saat

mengajari murid-muridnya, ilmunya didengar ayam yang sedang mencari makan di bawah

pondok perguruannya. Seharusnya, siapapun tidak boleh mendengar ajaran Ajisaka, selain

murid yag sudah diijinkan. Karena mendengar matra-mantra yang diajarkan kepada muridya,

seekor ayam itu mendadak bertelur yang amat besar, tidak seperti biasanya.

Saat telur itu dierami dan menetas, ternyata yang keluar dari cangkang telur bukan anak

ayam, tetapi anak naga raksasa, yang mampu berbicara seperti manusia. Anak naga itu

bicara terus, dan menanyakan siapa ayahnya. Oleh masyarakat setempat naga itu diberi tahu

kalau ingin tahu siapa ayahnya, disuruh tanya ke rang sakti bernama Ajisaka. Lalu, anak naga

itu mendatangi Ajisaka dan bertanya siapa ayahnya. Ajisaka tidak terkejut, lalu diberi tahulah

anak naga itu bahwa sebenarnya anak naga itu memang anaknya yang tercipta dari telur

ayam lewat mantra-mantra. Walaupun mengakui naga itu sebagai anaknya, Ajisaka tidak

mengijinkan naga itu ikut dengannya. Ajisaka menyuruh anak naga itu bertapa di pantai laut

selatan. Kemudian anak naga itu bertapa di pantai selatan.

Saat bertapa, naga itu sesekali bangun dari meditasi untuk makan binatang apa saja di

sekitarnya. Ratusan tahun ia bertapa, badannya tambah besar. Badannya di Jember,

kepalanya sampai Banyuwangi, dan ekornya memanjang sampai Jawa Tengah. Karena

tubuhnya membesar akibatnya makanan di sekitarnya tidak cukup, maka sesekali naga itu

mencari makan di tengah laut selatan.

Karena lamanya bertapa sampai badannya ditumbuhi lumut seperti kayu. Suatu hari,

penduduk di sekitar pertapaan naga kehabisan kayu bakar. Penduduk menemukan kayu

besar dan memanjang maka dipotonglah kayu itu. Saat dipotong kayu itu mengeluarkan

getah seperti darah, sehingga semua penduduk terheran-heran tetapi penduduk tetap saja

mengambilnya sebagai kayu bakar.

Sampai sekarang naga yang telah besar itu masih bertapa di pantai laut selatan, tetapi

tubuhnya tidak lengkap lagi karena dipotong penduduk untuk kayu bakar, tinggal kepalanya

ada di Banyuwangi, badannya di pantai selatan Jember, dan ekornya di Jawa Tengah. Bagian-

bagian tubuh itu mengeras seperti batu, dan sampai sekarang masih bisa ditemukan batu-

batu seperti sisik kulit ular di pantai selatan Jember. Oleh penduduk, pantai itu disebut pantai

“Watu Ulo” (Batu Ular) karena batu-batunya tersusun seperti sisk kulit ular. Konon pada

saatnya naga itu akan berubah menjadi manusia yang sakti dan akan menjadi pemipin dan

penguasa di tanah Jawa atau Indonesia. (Dikumpulkan dan diceritakan ulang dari cerita

masyarakat Jember dan sekitarnya)

Disadur sepenuhnya dari buku Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia Karya Dr. Sukatman, M.Pd.

halaman 35-36. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai mitos-mitos yang berkembang di

masyarakat Indonesia bisa membaca buku tersebut secara langsung. Untuk membeli buku

tersebut dan buku lain karya Dr. Sukatman bisa menghubungi saudara muntijo

082330219661

Baca juga tulisan sejenis:

Page 2: Dongeng

Sawunggaling (Jawa Timur) Jaka Berek baru saja pulang dari bermain dengan teman-temannya. Ia marah, penasaran bukan kepalang karena teman-temannya selalu mengejek bahwa ia tak punya ayah sah alias anak haram.Sesampai di rumah, Jaka Baerek segera menjumpai ibunya yang saat itu sedang berkumpul dengan kakek dan neneknya.” Biyung (Ibu), aku tak tahan lagi,” ujar Jaka” Ada apa, Anakku ? Kenapa wajahmu cemberut begitu?” tanya ibu Jaka-Dewi Sangkrah.”Biyung harus menjelaskan, siapakah sebenarnya ayahku?..Kalau sudah meninggal dimana kuburnya biar aku mengirim do’a di pusaranya, dan jika masih hidup, sudilah ibu menunjukkan tempatnya padaku.”rengek Joko pada Ibunya.

Hati Dewi sangkrah berdebar, Ia sudah menduga hal ini akan terjadi.Tak bisa tidak dia harus menjawabnya dengan gamblang.”Anakku Jaka Berek, karena kau telah dewasa, sudah sepatutnya kau bertanya tentang ayahmu. Ketahuilah anakku, ayahmu adalah seorang adipati di Kadipaten Surabaya. Namanya Jayengrana. Bila ingin bertemu dengannya datanglah kesana.”   Dengan bekal seadanya, Jaka Berek berangkat ke Kadipaten Surabaya untuk menjumpai ayahnya. Ketika hendak memasuki pintu gapura kadipaten,Jaka Berek dicegat oleh seorang prajurit yang sedang berjaga.”Berhenti kamu!” teriak prajurit itu. ”mau apa berani datang ke kadipaten ini?””Saya ingin bertemu dengan sang adipati..”jawab Jaka dengan wajahnya yang polos sebagaimana kebanyakan pemuda desa.”anak muda ketahuilah aku adalah prajurit yang sedang berjaga. Kau tidak boleh masuk ke kadipaten.kau harus pergi dari sini sebelum kuusir..”bentak prajurit itu.”aku tak mau pergi sebelum bertemu dengan Adipati Jayengrana,jawab Jaka Berek.Prajurit penjaga itu jengkel melihat Jaka Berek yang tak mau pergi.Maka iapun menyerang Jaka Berek agar segera pergi, tetapi Jaka Berek bukannya pergi malah melawan dengan berani. Untunglah perkelahian itu diketahui oleh dua orang putera Adipati Jayengrana yang bernama Sawungsari dan Sawungrana.oleh mereka perkelahian itu dilerai. ”Maaf pangeran, pemuda ini hendak memaksa masuk kadipaten.saya halang-halangi tetapi dia malah melawan.”lapor prajurit itu.Mendengar laporan dari prajuritnya keduanya bertanya pada Jaka Berek,”Maaf, siapakah saudara dan ada keperluan apa hendak memaksa masuk kadipaten?”tanya Sawungrana.”Aku hendak menghadap Adipati Jayengrana. Ada yang ingin ku sampaikan kepada beliau.””Tak ada orang luar yang boleh menemui ayahku. Sebaiknya kau pulang saja atau aku yang memaksamu pulang ..”kata Sawungsari.Aku tetap pada pendirianku, mau menemui Adipati Jayengrana!..”tegas Jaka Berek.Melihat kenekatan Jaka, kedua putera Adipati itupun segera mengeroyoknya, dengan tangkas Jaka Berek melawan.Belum lama perkelahian itu, Adipati Jayengrana keluar dan melihatnya dan iapun segera menghampiri.”Hei..hentikan perkelahian ini!”teriaknya.Adipati menanyakan hal ihwal perkelahian, kedua puteranyapun menjelaskan secara terperinci.”Kamu yang bernama Jaka Berek yang mau menemuiku, sekarang katakan apa keperluanmu?””Hamba hanya ingin mencari ayah hamba yang menjadi adipati di sini yang bernama Adipati Jayengrana.kalau memang tuan orangnya,tentu tuanlah ayah hamba.””Nanti dulu. Siapa nama ibumu dan apa buktinya kalau kau memang anakku?””Hamba adalah putera dari Biyung Dewi Sangkrah. Sebagai buktinya,ibu memberi hamba sebuah selendang Cinde Puspita ini.”Jaka Berek mengeluarkan selendang dari bungkusan yang dibawanya. Ternyata benar selendang itu adalah selendang Cinde Puspita yang dulu oleh Adipati Jayengrana diberikan pada Dewi Sangkrah yang dicintainya.”Kalau begitu kau memang anakku” Adipati memeluk Jaka Berek dan memperkenalkan Jaka pada saudaranya, Sawungrana dan Sawungsari.Jaka Berekpun tinggal di kadipaten dan berganti nama menjadi Sawunggaling.   Suatu hari Kadipaten Surabaya kedatangan kompeni belanda yang dipimpin oleh Kapten Knol yang membawa surat dari Jenderal De Boor yang isinya mengatakan bahwa kedudukan adipati di Surabaya akan dicabut karena Adipati Jayengrana tak mau bekerjasama dengan kompeni belanda. Tetapi pada saat itu,ada pengumuman bahwa di alun-alun Kartasura akan diadakan sayembara sodoran (perang tanding prajurit berkuda dengan bersenjata tombak) dengan memanah umbul-umbul yang bernama umbul-umbul Yunggul Yuda.Adipati Jayengrana yang sudah dicabut kedudukannya itupun menyuruh kedua anaknya agar giat berlatih untuk mengikuti sayembara itu.Pemenang dari sayembara itu akan diangkat menjadi adipati di Surabaya.Pada hari sayembara diadakan, tanpa memberitahu Sawunggaling, Jayengrana dan kedua puteranya pergi ke Kartasura.dan tanpa setahu merekapun Sawunggaling juga pergi ke Kartasura. Sebelum berangkat Sawunggaling pulang ke desa meminta do’a restu dari ibu, kakek dan neneknya.   Sayembara memanah umbul-umbul itu ternyata hanya diikuti oleh Sawungrana dan Sawungsari, tetapi keduanya gagal tak bisa menjatuhkan umbul-umbul Tunggul Yuda yang dipasang di Menara Galah. Karena tak ada pemenangnya, Sosra Adiningrat yang bertindak sebagai panitia pelaksana lomba, segera mengadakan pendaftaran lagi.Pada saat itu ada seorang pemuda yang ikut mendaftar dan ternyata dialah Sawunggaling dan diapulalah satu-satunya yang bisa menjatuhkan umbul-umbul Tunggul Yuda. Dengan kemenangan ini selain diangkat menjadi

Page 3: Dongeng

adipati, Sawunggalingpun mendapatkan puteri dari Amangkurat Agung di Kartasura yang bernama Nini Sekat Kedaton.   Keberhasilan sawunggaling itu membuat iri dua saudaranya.Sawungrana dan sawungsari ingin mencelakakan sawunggaling, pada saat pesta besar-besaran untuk merayakan pengangkatan Sawunggaling sebagai adipati di Surabaya, secara diam-diam mereka memasukkan bubuk racun ke dalam gelas minuman Sawunggaling.namun perbuatan itu diketahui oleh Adipati Cakraningrat dari Madura.Ketika  minuman itu disodorkan pada Sawunggaling,Adipati Cakraningrat pura-pura menubruk Sawunggaling yang mengakibatkan terjatuhnya gelas berisi racun itu. Melihat itu, Sawungrana sangat marah ”Dinda Sawunggaling, lihatlah ulah adipati dari Madura itu, dia tidak menghormatimu karena telah menjatuhkan minuman. Ini penghinaan ”Dengan cepat, disambarnya tangan Adipati Cakraningrat dan ditariknya keluar dari kadipaten. ”mengapa paman menghinaku di hadapan para tamu. Apakah paman ingin menantangku berkelahi?” tanya Sawunggaling. ” tenang anakku, ketahuilah bahwa minuman yang hendak kau minum itu sebenarnya telah diberi racun oleh Sawungrana, aku melihatnya” Sawunggaling merasa menyesal telah tergesa-gesa menuduh Adipati Cakraningrat yang bukan-bukan.”Dan semua itu memang telah direncanakan oleh para kompeni belanda. Kedua kakakmu telah bergabung dengan para kompeni karena menginginkan kedudukan sebagai adipati di Surabaya”jelas Adipati Cakraningrat.   Sejak saat itu Sawunggaling bertekad memerangi belanda, dia selalu menambah kekuatan laskarnya. Dalam suatu peperangan yang sengit Sawunggaling berhasil membunuh Jenderal De Boor.Akhirnya, karena menderita sakit parah, Sawunggaling meninggal dunia di daerah Kupang dan di makamkan di Lidah Wetan- Surabaya.

Page 4: Dongeng

Legenda Telaga Pasir - Pada Suatu Hari di suatu tempat di daerah kaki Gunung lawu daerah Magetan Jawa Timur hiduplah suami istri bernama Kyai Pasir dan Nyai Pasir, Mereka adalah sepasang suami istri yang tinggal di sebuah gubung di tepi hutan. meskipun terbuat dari kayu dan beratap dedaunan namun gubuk mungil itu sudah jukup aman bagi kiyai Pasir dan istrinya. dari gangguan binatang liar dan panasnya terik matahari, dinding gubuk itu terbuat dari kulit kayu yang di ikatkan pada sebuah tiang kayu dengan menggunakan rotan. diantara dinding-dinding kayu itu diberi sedikit celah sebagai ventilasi sehingga udara segar dapat keluar masuk kedalam gubuk yg mereka tempati itu.

Kyai Pasir adalah seorang petani ladang dari hasil ladang itulah ia dan istrinya bisa hidup, walaupun dengan hidup seadanya. ladang milik Kyai pasir terletak di tepi hutan, tidak jauh dari tempat tinggalnya, suatu hari, lelaki tua yg mulai renta itu berangkat keladang dengan mebawa sebuah kapak untuk membabat hutan dan hendak membua ladang baru di dekat ladang miliknya. ketika hendak menebang selah satu pohon besar, tiba-tiba Kyai Pasir melihat sebuah telur besa ter geletak di bawah pohon yang hedak ia tebang itu.

Haaa... telur binatang apa ini gumamnya dengan heran dan kyai Pasir sangat penasaran melihat telur besar itu. dan diambilah telur besar itu seraya diamatinya.Ah... tidak mukin kalo telur ayam, mana mukin telur ayam sebesar ini lagi pula tidak ada ayam di daerah ini''

Kyai pasir ia tidak mau memikirkan itu binatang apa, baginya, itu adalah lauk makan siang oleh karnanya ia pun bergegas membawa telur itu untuk lauk makan siang ia dan istrinya. 

Setelah sampai di rumah ia pun segera menyuruh istrinya, Bu'' tolong masakin telur itu untuk lauk makan siang kita..'' ujar Kyai Pasir.

Wah, besar sekali telur ini, baru pertama kali ini aku melihat telur sebesar ini'' ujar Nyai Pasir dengan heran saat menerima telur itu.. dari mana telur ini pak tanya Nyai pasir pada suaminya.

Kyai pasir pun bercerita bagaimana ia menemukan telur itu, setelah itu ia pun kembali meminta untuk segera memasak telur itu karena sudah kelaparan, ia juga tidak sabar ingin segera menyantap telur itu.

ini telur binatang apa pak'' tanya istrinya.Sudah lah Bu, tidak usah banyak tanya ujar kyai pasir mulai kesel, cepatlah masak telur itu perutku sudah keroncongan.!

Nyai Pasir pun segera kedapur untuk segera memasak telur itu, smbil menunggu telur matang, Kyai pasir pun sambil berabah tubuhnya sejenak karena merasa kecapekan, tak berapa lama isterinya pun selalsai memasak telurnya.

Pak hidangan makan siang telah siap, kita makan dulu, ujar Nyi Pasir.

Kyai pasir pun beranjak dari tidurnya, ia dan isterinya pun segera menyantap telur itu dengan lahap,telur rebus itu pun mereka bagi dua sama rata, usai makan siang ia pun kembali kehutan untuk melanjutkan pekerjaannya, ditengah perjalanan ia pun masih merasakan nikmatnya telur rebus tadi, setelah sesampai diladang, sekujur tubuhnya kaku dan merasa kesakitan.

aduhhh.. kenapa sekujur tubuhku merasa sakit seperti ini'' ratap Kyai Pasir.

semakin lama rasa sakit ditubuhnya semakin menjadi-jadi, Kyai pasir pun tidak kuat menahan rasa sakit itu sehingga rebah ketanah dan berguling-guling kesana kemari, selang beberapa saat kemudian tubuhnya berubah menjadi seekor ular naga besar,

Page 5: Dongeng

sungutnya sangat tajam dan keras Kyai pasir yg berubah menjadi seekor naga jantan pun terus berguling-guling tanpa henti.

pada saat yg bersamaan Nyai Pasir yg berada di rumah pun mengalami nasib yg sama.rupanya telur yg telah makan tadi adalah sebuah telur naga, Nyai pasir yg telah merasa kan kesakitan pun segera berlari keladang untuk minta tolong kepada suaminya. alangkah terkejutnya setelah ia tiba diladang, ia mendapati suaminya yg telah berubah menjadi naga yg sangat menakutkan, ia pun segera berlari merasa ketakutan, namun karena tidak sanggup lagi menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya Nyai pasir pun ahirnya rebah dan berguling-guling ditanah, tak lama kemudian hingga ahirnya sekujur tubuhnya di tumbuhi sisik dan menjadi naga betina.

kedua naga berguling-guling sehingga tanah disekitarnya berserakan dan membentuk cekung seperti habis digali, lama kelamaan cekungan tanah itu pun menjadi luas dan dalam. kemudian muncul sebuah semburan air yang deras dari dasar cekungan itu hingga memenuhi cekungan tersebut semakin deras air yang menyembur dari dasar cekungan, dan ahirnya menjadi sebuah telaga,

oleh masarakat setemat, telaga itu dinamakan telaga pasit yaitu diambil dari nama Kyai dan Nyai Pasir, namun karena lokasinya di sebuah Kelurahan Sarangan telaga ini bisa disebut telaga sarangan.

Nah demikian lah legenda Telaga Pasir dari daerah Jawa Timur, hingga saat ini legenda ini masih digemari masarakat Jawa Timur kususnya masarakat Magetan, kini telaga pasir atau telaga sarangan menjadi salah satu obyek wisata andalan di Kabupaten Magetan..

Page 6: Dongeng

Dahulu kala, ada dua buah kerajaan,  Kediri dan Jenggala. Kedua kerajaan itu berasal dari sebuah kerajaan

yang bernama Kahuripan. Raja Erlangga membagi kerajaan itu menjadi dua untuk menghindari perang

saudara. Namun sebelum meninggal raja Erlangga berpesan bahwa kedua kerajaan itu harus disatukan

kembali.

Maka kedua raja pun bersepakat menyatukan kembali kedua kerajaan dengan menikahkan putera mahkota

Jenggala, Raden Panji Asmarabangun dengan puteri Kediri, Dewi Sekartaji.

Ibu tiri Sekartaji, selir raja Kediri, tidak menghendaki Sekartaji menikah dengan Raden Panji karena ia

menginginkan puteri kandungnya sendiri yang nantinya menjadi ratu Jenggala. Maka ia menyekap dan

menyembunyikan Sekartaji dan ibunya.

Pada saat Raden Panji datang ke Kediri untuk menikah dengan Sekartaji, puteri itu sudah menghilang. Raden

Panji sangat kecewa. Ibu tiri Sekartaji membujuknya untuk tetap melangsungkan pernikahan dengan

puterinya sebagai pengganti Sekartaji, namun Raden Panji menolak.

Raden Panji kemudian berkelana. Ia mengganti namanya menjadi Ande-Ande Lumut. Pada suatu hari ia tiba

di desa Dadapan. Ia bertemu dengan seorang janda yang biasa dipanggil Mbok Randa Dadapan. Mbok Randa

mengangkatnya sebagai anak dan sejak itu ia tinggal di rumah Mbok Randa.

Ande-Ande Lumut kemudian minta ibu angkatnya untuk mengumumkan bahwa ia mencari calon isteri. Maka

berdatanganlah gadis-gadis dari desa-desa di sekitar Dadapan untuk melamar Ande-Ande Lumut. Tak

seorangpun ia terima sebagai isterinya.

Sementara itu, Sekartaji berhasil membebaskan diri dari sekapan ibu tirinya. Ia berniat untuk menemukan

Raden Panji. Ia berkelana hingga tiba di rumah seorang janda yang mempunyai tiga anak gadis, Klething

Abang, Klething Ijo dan si bungsu Klething Biru. Ibu janda menerimanya sebagai anak dan diberi nama

Klething Kuning.

Klething Kuning disuruh menyelesaikan pekerjaan sehari-hari dari membersihkan rumah, mencuci pakaian

dan peralatan dapur. Pada suatu hari karena kelelahan Klething Kuning menangis. Tiba-tiba datang seekor

bangau besar. Klething Kuning hampir lari ketakutan. Namun bangau itu berkata, “Jangan takut, aku datang

untuk membantumu.”

Bangau itu kemudian mengibaskan sayapnya dan pakaian yang harus dicuci Klething Kuning berubah

menjadi bersih. Peralatan dapur juga dibersihkannya. Setelah itu bangau terbang kembali.

Bangau itu kembali setiap hari untuk membantu Klething Kuning. Pada suatu hari bangau menceritakan

tentang Ande-Ande Lumut kepada Klething Kuning dan menyuruhnya pergi melamar.

Klething Kuning minta ijin kepada ibu angkatnya untuk pergi ke Dadapan. Ibunya mengijinkan ia pergi bila

pekerjaannya sudah selesai. Ia pun sengaja menyuruh Klething Kuning mencuci sebanyak mungkin pakaian

agar ia tidak dapat pergi.

Sementara itu ibu janda mengajak ketiga anak gadisnya ke Dadapan untuk melamar Ande-Ande Lumut. Di

perjalanan mereka tiba di sebuah sungai yang sangat lebar. Tidak ada jembatan atau perahu yang melintas.

Mereka kebingungan. Lalu mereka melihat seekor kepiting raksasa menghampiri mereka.

“Namaku Yuyu Kangkang. Kalian mau kuseberangkan?”

Mereka tentu saja mau.

“Tentu saja kalian harus memberiku imbalan.”

“Kau mau uang? Berapa?” tanya ibu janda.

“Aku tak mau uangmu. Anak gadismu cantik-cantik. Aku mau mereka menciumku.’

Page 7: Dongeng

Mereka terperanjat mendengar jawaban Yuyu Kangkang. Namun mereka tidak mempunyai pilihan lain.

Akhirnya mereka setuju. Kepiting raksasa itu menyeberangkan mereka satu persatu dan mereka pun

memberikan ciuman sebagai imbalan.

Sesampainya di rumah mbok Randa, mereka minta bertemu dengan Ande-Ande Lumut.

Mbok Randa mengetuk kamar Ande-Ande Lumut, katanya, “Puteraku, lihatlah, gadis-gadis cantik ini ingin

melamarmu. Pilihlah satu sebagai isterimu.”

“Ibu,” sahut Ande-Ande Lumut, “Katakan kepada mereka, aku tidak mau mengambil kekasih Yuyu Kangkang

sebagai isteriku.”

Ibu Janda dan ketiga anak gadisnya terkejut mendengar jawaban Ande-Ande Lumut. Bagaimana pemuda itu

tahu bahwa mereka tadi bertemu dengan kepiting raksasa itu? Dengan kecewa mereka pun pulang.

Di rumah, Klething Kuning sudah menyelesaikan semua tugasnya berkat bantuan bangau ajaib. Bangau itu

memberinya sebatang lidi.

Ketika ibu angkatnya kembali Klething Kuning sekali lagi meminta ijin untuk pergi menemui Ande-Ande

Lumut. Ibu angkatnya terpaksa mengijinkan, namun ia sengaja mengoleskan kotoran ayam ke punggung

Klething Kuning.

Klething Kuning pun berangkat. Tibalah ia di sungai besar. Kepiting raksasa itu mendatanginya untuk

menawarkan jasa membawanya ke seberang sungai.

“Gadis cantik, kau mau ke seberang? Mari kuantarkan,” kata Yuyu Kangkang

“Tidak usah, terima kasih” kata Klething Kuning sambil berjalan menjauh.

“Ayolah, kau tak perlu membayar,” Yuyu Kangkang mengejarnya.”Cukup sebuah ci... Aduh!”

Klething Kuning mencambuk Yuyu Kangkang dengan lidi pemberian bangau. Kepiting raksasa itu pun lari

ketakutan.

Klething Kuning kemudian mendekati tepi air sungai dan menyabetkan lidinya sekali lagi. Air sungai terbelah,

dan ia pun bisa berjalan di dasar sungai sampai ke seberang.

Klething Kuning akhirnya tiba di rumah Mbok Randa. Mbok Randa menerimanya sambil mengernyitkan

hidung karena baju Klething Kuning bau kotoran ayam. Ia pun menyilakan gadis itu masuk lalu ia pergi ke

kamar Ande-Ande Lumut.

“Ande anakku, ada seorang gadis cantik, tetapi kau tak perlu menemuinya. Bajunya bau sekali, seperti bau

kotoran ayam. Biar kusuruh ia pulang saja.”

“Aku akan menemuinya, Ibu,” kata Ande-Ande Lumut.

“Tetapi... ia...,” sahut Mbok Randa.

“Ia satu-satunya gadis yang menyeberang tanpa bantuan Yuyu Kangkang, ibu. Ialah gadis yang aku tunggu-

tunggu selama ini.”

Mbok Randa pun terdiam. Ia mengikuti Ande-Ande Lumut menemui gadis itu.

Klething Kuning terkejut sekali melihat Ande-Ande Lumut adalah tunangannya, Raden Panji Asmarabangun.

“Sekartaji, akhirnya kita bertemu lagi,” kata Raden Panji.

Raden Panji kemudian membawa Dewi Sekartaji dan Mbok Randa Dadapan ke Jenggala. Raden Panji dan

Dewi Sekartaji pun menikah. Kerajaan Kediri dan Jenggala pun dipersatukan kembali.

Page 8: Dongeng

Bagi warga Jawa Timur, khususnya Kediri, Gunung Kelud mempunyai legenda panjang. Menurut legendanya bukan berasal dari gundukan tanah meninggi secara alami, seperti Gunung Tangkuban Perahu di Bandung, Jawa Barat. Gunung Kelud terbentuk dari sebuah pengkhianatan cinta seorang putri bernama Dewi Kilisuci terhadap dua raja sakti bernama Mahesa Suro dan Lembu Suro. 

Dihimpun merdeka.com dari berbagai sumber, kala itu, dikisahkan Dewi Kilisuci anak putri Jenggolo Manik yang terkenal akan kecantikannya dilamar dua orang raja. Namun yang melamar bukan dari bangsa manusia, karena yang satu berkepala lembu bernama Raja Lembu Suro dan satunya lagu berkepala kerbau bernama Mahesa Suro.

Untuk menolak lamaran tersebut, Dewi Kilisuci membuat sayembara yang tidak mungkin dikerjakan oleh manusia biasa, yaitu membuat dua sumur di atas puncak Gunung Kelud, yang satu harus berbau amis dan yang satunya harus berbau wangi dan harus selesai dalam satu malam atau sampai ayam berkokok.

Akhirnya dengan kesaktian Mahesa Suro dan Lembu Suro, sayembara tersebut disanggupi. Setelah berkerja semalaman, kedua-duanya menang dalam sayembara. Tetapi Dewi Kilisuci masih belum mau diperistri. Kemudian Dewi Kilisuci mengajukan satu permintaan lagi. Yakni kedua raja tersebut harus membuktikan dahulu bahwa kedua sumur tersebut benar benar berbau wangi dan amis dengan cara mereka berdua harus masuk ke dalam sumur. 

Terpedaya oleh rayuan tersebut, keduanya pun masuk ke dalam sumur yang sangat dalam tersebut. Begitu mereka sudah berada di dalam sumur, lalu Dewi Kilisuci memerintahkan prajurit Jenggala untuk menimbun keduanya dengan batu. Maka matilah Mahesa Suro dan Lembu Suro. Tetapi sebelum mati Lembu Suro sempat bersumpah dengan mengatakan. Yoh, wong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yoiku. Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung.

(Ya, orang Kediri besok akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri bakal jadi sungai, Blitar akan jadi daratan dan Tulungagung menjadi danau. Dari legenda ini akhirnya masyarakat lereng Gunung Kelud melakukan sesaji sebagai tolak balak supah itu yang disebut Larung Sesaji.

Acara ini digelar setahun sekali pada tanggal 23 bulan surau oleh masyarakat Sugih Waras. Tapi khusus pelaksanaan tahun 2006 sengaja digebyarkan oleh Bupati Kediri untuk meningkatkan pamor wisata daerahnya. Pelaksanaan acara ritual ini juga menjadi wahana promosi untuk meningkatkan kunjungan wisatawan untuk datang ke Kediri. (Dari berbagai sumber).

Page 9: Dongeng

Di daerah hutan Gunung Lawu dahulu hidup sepasang suami-isteri yang bernama Kyai Pasir dan Nyai Pasir. Mereka tinggal dalam sebuah pondok sederhana berdinding kayu dan beratap dedaunan di sekitar lereng gunung tersebut.

Suatu hari Kyai Pasir pergi ke hutan di sekitar Gunung Lawu untuk membuka ladang dan bercocok tanam. Setelah sampai di lokasi yang dianggap cocok Kyai Pasir mulai membersihkan ladang dengan cara menebangi pepohonan dan semak belukar yang ada di tempat itu.

Pada saat hendak menebang sebuah pohon yang berukuran besar, Kyai Pasir terkejut karena melihat ada sebutir telur berada di sekitar akarnya. Diamatinya telur itu sejenak sambil bertanya dalam hati, “mengapa ada telur di tempat ini, padahal tidak ada seekor unggas pun yang berkeliaran”. Tanpa berpikir panjang lagi, Kyai Pasir segera mengambil telur itu untuk dibawa pulang dan diberikan kepada isterinya.

Page 10: Dongeng

Sesampainya di rumah Kyai Pasir langsung memberikan telur itu kepada isterinya untuk dimasak. Sang isteri kemudian merebus dan membelahnya menjadi dua bagian, setengah untuk dirinya dan setengah lagi untuk Kyai Pasir.

Tidak berapa lama setelah memakan habis telur misterius tersebut Kyai Pasir dan Nyai Pasir merasakan tubuhnya tidak nyaman. Badan mereka terasa panas, mata berkunang-kunang, dan keringat dingin mengucur deras. Mereka pun secara refleks langsung berguling-guling di tanah agar rasa sakitnya segera reda. Namun, semakin mereka berguling rasa sakit yang tiba-tiba itu semakin bertambah.

Beberapa menit kemudian, secara gaib tiba-tiba tubuh mereka mulai berubah wujud menjadi seekor naga yang sangat besar, bersungut, dan terlihat sangat

Page 11: Dongeng

menakutkan. Kedua orang yang telah berubah menjadi naga itu tetap berguling kesana-kemari hingga menyebabkan tanah di sekitarnya menjadi berserakan dan membentuk sebuah cekungan besar yang makin lama makin luas dan dalam, dan cekungan itu akhirnya menjadi sebuah telaga yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Telaga Pasir.