BAB III -...

94
PROPOSAL DISERTASI KONTESTASI PENGETAHUAN LOKAL DAN PENGETAHUAN MODERN DALAM PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KABUPATEN BARRU NURDIAH HUSNAH P0100309040 AH A. AMIDAH AMRAWATY PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

Transcript of BAB III -...

Page 1: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

PROPOSAL DISERTASI

KONTESTASIPENGETAHUAN LOKAL DAN PENGETAHUAN MODERN

DALAM PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KABUPATEN BARRU

NURDIAH HUSNAH

P0100309040

AH

A. AMIDAH AMRAWATY

PROGRAM STUDI ILMU PERTANIANPROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2013

Page 2: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................... 1

B. Rumusan Masalah................................................................. 14

C. Tujuan Penelitian................................................................... 15

D. Kegunaan Penelitian............................................................. 16

BAB II. STUDI PUSTAKA

A. Pengetahuan & Pembentukan Pengetahuan Lokal............... 17

B. Pertautan Pengetahuan Lokal & Pengetahuan Ilmiah........... 25

C. Sistem Kemasyarakatan Lokal.............................................. 34

D. Kerangka Konseptual............................................................ 36

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Paradigma, Jenis & Pendekatan Ilmiah................................. 42

B. Pengelolaan Peran Sebagai Penelitian................................. 44

C. Lokasi & Waktu Penelitian..................................................... 44

D. Jenis & Sumber Data............................................................. 45

1. Jenis Data................................................................... 46

2. Sumber Data............................................................... 47

E. Teknik Analisis....................................................................... 49

F. Metode Pengambilan Data.................................................... 51

DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 55

Page 3: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

DAFTAR GAMBAR

1. Kaitan Keempat Entitas dalam Paradigma Pengembangan Komunitas Lokal.............................................. 35

2. Relasi Antar Pihak dalam Pengembangan Komunitas Lokal..... 36

3. Kerangka Pikit Penelitian........................................................... 41

Page 4: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

DAFTAR TABEL

1. Substansi Pengetahuan dalam Konstruksi Berbasis Pengalaman (sehari-hari) dan Konstruksi Berbasis (Metode) Ilmiah........................................................................ 31

2. Matriks Jenis & Sumber Data.................................................. 47

3. Matriks Jenis, Sumber Data & Teknik Analisis......................... 50

4. Matriks Sumber Data, Teknik Pengambilan Data.................... 53

Page 5: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian tentang pertautan antara pengetahuan lokal dengan pengetahuan

ilmiah dibidang peternakan telah banyak dilakukan di beberapa negara, baik di

Indonesia maupun di negara lain. Beberapa penelitian tersebut umumnya terbatas

pada aspek teknis dari pengetahuan tradisional yang diimplementaskan pada usaha

ternak dan usaha taninya, mendeskripsikan kedua pengetahuan tersebut dengan

segala keunggulan dan kelemahannya, belum ada penelitian yang mengungkap

bagaimana pengetahuan tradisional peternak sapi potong berkontestasi dengan

pengetahuan ilmiah, dan bagaimana respon sistem lokalitas (local societal system)

dari pertautan kedua pengetahuan tersebut.

Penelitian tentang pengetahuan lokal dibidang peternakan telah banyak

dilakukan. Ratnada et al (2004) melaporkan bahwa budaya lokal, dalam banyak hal

telah memberikan tuntunan bagi masyarakat, termasuk dalam bidang pertanian

seperti halnya sistem integrasi tanaman-ternak yang pemahaman dasarnya telah

mengakar dalam budaya petani. Dalam kaitan sistem usaha tanaman-ternak, hasil

penelitian yang dilakukan oleh Sudaratmaja et al (2004) menunjukkan bahwa dalam

budaya Bali yang bersumber dari Weda dan kearifan lokal secara khusus

memandang sapi, tanah atau tanaman, petani, dan teknologi sebagai “ibu” yang

dihormati karena jasanya. Ini berarti Weda dan kearifan lokal sejak dulu telah

mengisyaratkan betapa pentingnya sistem integrasi tanaman ternak. Bahkan bila

diaktualisasikan dalam konsep pembangunan berkelanjutan, keempat “ibu” tersebut

dalam konteks sistem integrasi juga berperan sangat dominan, baik menyangkut

aspek kelestarian, kesejahteraan, sosial, dan kreativitas.

Page 6: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Penelitian tentang peran pengetahuan tradisional di Papua melaporkan

bahwa ternak babi di Papua dan kerbau di Sumatra merupakan alat penarik bajak

dan sumber tabungan petani. Semula berperan sebagai tenaga bantu manusia yang

utama dalam mengolah sawah, sekarang menjadi kurang diperhatikan lagi. Hal ini

berakibat terhadap menurunnya populasi ternak itu. Akibat selanjutnya adalah

menurunnya sumber pupuk kandang yang murah serta produk lain dari hewan

tersebut yang bisa menunjang pendapatan dan sumber daya investasi bagi petani

(Adimihardja, 2004)

Studi yang dilakukan oleh Mashur et al (2004) menyangkut peranan adat

kelembagaan komunal dalam penggembalaan ternak melaporkan bahwa dalam

kelembagaan kandang komunal, suku atau adat termotivasi, memberi legitimasi, dan

menegakkan aturan atau norma-norma yang berlaku. Sebagai contoh adalah

pendinginan sapi supaya sehat, aman, dan baik. Di kalangan masyarakat, cara ini

dikenal sebagai HAINIK, selain itu suku atau adat berperan penting dalam

pengambilan keputusan jika terjadi pelanggaran atau norma-norma yang berlaku.

Survey yang dilakukan oleh Angassa dan Beyone (2003) dilaksanakan di

Borana mengenai kondisi range (padang penggembalaan) di Ethiopia Selatan

melaporkan bahwa praktek penggembalaan tradisional, meskipun efektif bagi

pengguna sumberdaya berkelanjutan, menjadi sangat termarjinalkan karena

terdesaknya perkembangan ranch, alokasi padang rumput komunal untuk investor

swasta, kultivasi dan area padang rumput yang disewa secara pribadi. Peningkatan

populasi ternak dan penurunan padang penggembalaan, telah mengurangi

keefektifan manajemen tradisional untuk mencegah resiko kehilangan ternak di

musim kering sehingga menimbulkan dampak terhadap peternak. Survei ini

merekomendasikan perencanaan partisipatif dan strategi intervensi pembangunan

Page 7: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

berbasis pengetahuan tradisional dan nilai-nilai disarankan untuk pembangunan dan

penggunaan sumberdaya berkelanjutan.

Peranan pengetahuan tradisional semakin penting dalam mengidentifikasi

intervensi berkelanjutan yang memungkinkan konservasi lingkungan yang disertai

dengan perkembangan sosial-ekonomi masyarakat lokal. Studi kasus di pedalaman

Trans Himalaya, India (Chandrasekara, et al, 2007) yang mengevaluasi implikasi

ekologi peternakan tradisional dan praktek-praktek penggunaan lahan menjelaskan

bahwa kebutuhan mempertahankan keragaman ternak pada sistem penggembalaan

tradisional berasal dari ketergantungan penduduk lokal terhadap berbagai jenis

produk ternak. Dari segi ekologi, sistem penggembalaan ternak yang beragam

(tradisional) cenderung lebih berkelanjutan jika kerapatan stock rendah dan tiap jenis

ternak menggunakan habitat yang berbeda.

Penelitian yang dilakukan oleh Diana dan Davis (2007) mengeksplorasi

bagaimana praktek dan pengetahuan ethnoveteriner yang mempengaruhi

penggunaan sumberdaya padang penggembalaan di Maroko. Studi ini melaporkan

bahwa para pastoralis di wilayah Aarib, Maroko bertindak dengan cara-cara rasional

dan menerapkan manajemen ternak lokal yang sangat cocok dengan lingkungan

mereka yang kering dan stokastik. Perlakuan etnoveteriner digunakan secara aktif,

dan pengembala menyiapkan tumbuhan lokal untuk mengobati penyakit ternak.

Sebagai contoh sheeba (artemisia absinthum) digunakan untuk obat cacing perut

juga digunakan bersama dengan harmel (peganum harmala) sebagai pengobatan

untuk mengobati ulat di paru dan hidung; keduanya dibakar bersama sebagai

fumigan. Obat dibuat dari juniper (juniperus phoenica) digunakan untuk prolapse

uterine dan mempertahankan plasenta. Henna (lawsonia inermis) dioleskan di

sekitar luka terbuka untuk mempercepat pertumbuhan.. Henna dan resin dari

Page 8: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

pohon-pohon konifer seperti juniper mengandung antimikroba seperti halnya

sp.stermedia diketahui memiliki sifat anti parasit.

Sebuah studi menguraikan pendekatan sistem untuk membandingkan

pengetahuan ilmiah dan tradisional dan melihat konsistensi dan kekuatan

diskriminatif assesment laboratorium pada peternak tradisional di Nepal. Penelitian

ini memberikan dasar-dasar evaluasi kompatibilitas dan sifat komplementer

pengetahuan ilmiah dan tradisional mengenai pohon pakan. Hasilnya menunjukkan

bahwa assesment laboratorium (pengetahuan ilmiah) kualitas pohon pakan tropis

dapat digunakan utuk membentuk dan meningkatkan klasifikasi tradisional dan

bukan menggantikannya (Walker, et al, 1999)

Beberapa tahun terakhir, asumsi dalam riset dan pengembangan pertanian

bahwa pengetahuan ilmiah dapat atau harus menggantikan pengetahuan tradisional

telah ditantang oleh pandangan baru yang muncul bahwa pengetahuan tradisional

sebagai komponen kunci sistem pertanian. Saat ini pengetahuan tradisional

dianggap sangat penting di atas semuanya dalam diskusi-diskusi mengenai

penggunaan sumberdaya berkelanjutan dan pembangunan yang berimbang

(Agrawal, 1993).

Kajian mengenai kontestasi pengetahuan lokal peternak dan pengetahuan

ilmiah dalam pengembangan sapi potong menjadi penting untuk dilakukan

mengingat dari sisi pembangunan ekonomi nasional, bukti empiris menunjukan

bahwa sub sektor peternakan memiliki peran cukup strategis. Dalam buku Pedoman

Pelaksanaan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012)

dinyatakan bahwa peran strategis sub sektor peternakan utamanya dari kontribusi

terhadap produk domestik bruto, penyerapan tenaga kerja, penyedia bahan pangan,

Page 9: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

bahan energi, pakan dan bahan baku industri, serta sumber pendapatan di

pedesaan.

Strategi pembangunan pertanian belum menempatkan sumber pangan

hewani sebagai komoditas strategis. Sasaran pembangunan pertanian masih

difokuskan pada pemenuhan kebutuhan karbohidrat (beras dan jagung), padahal

jika dilihat dari pangsa konsumsi, 48,30% masyarakat mengonsumsi daging unggas,

26,10% daging sapi, dan 25,60% daging ternak lain. Ini berarti permintaan

masyarakat akan produk peternakan sangat besar. Jika dikaitkan dengan pola

pangan harapan, tingkat konsumsi daging masyarakat Indonesia seharusnya

mencapai 10,10 kg/kapita/tahun. Dengan demikian, pengembangan peternakan

memiliki potensi untuk ditingkatkan (Wahyono dan Hardianto 2004).

Mersyah (2005) mengemukakan, ada dua faktor yang menyebabkan

lambannya perkembangan sapi potong di Indonesia. Pertama, sentra utama

produksi sapi potong di Pulau Jawa yang menyumbang 45% terhadap produksi

daging sapi nasional sulit untuk dikembangkan karena: a)ternak dipelihara menyebar

menurut rumah tangga peternakan (RTP) di pedesaan, b) ternak diberi pakan

hijauan pekarangan dan limbah pertanian, c) teknologi budi daya rendah, d) tujuan

pemeliharaan ternak sebagai sumber tenaga kerja, perbibitan (reproduksi) dan

penggemukan (Roessali et al. 2005), dan e) budi daya sapi potong dengan tujuan

untuk menghasilkan daging dan berorientasi pasar masih rendah. Kedua, pada

sentra produksi sapi di kawasan timur Indonesia dengan porsi 16% dari populasi

nasional, serta memiliki padang penggembalaan yang luas, pada musim kemarau

panjang sapi menjadi kurus, tingkat mortalitas tinggi, dan angka kelahiran rendah.

Kendala lainnya adalah berkurangnya areal penggembalaan, kualitas sumber daya

Page 10: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

rendah, akses ke lembaga permodalan sulit, dan penggunaan teknologi rendah

(Syamsu et al. 2003; Isbandi 2004; Ayuni 2005; Rosida 2006). .

Faktor pendorong pengembangan sapi potong adalah permintaan pasar

terhadap daging sapi makin meningkat, ketersediaan tenaga kerja besar, adanya

kebijakan pemerintah yang mendukung upaya pengembangan sapi potong, hijauan

pakan dan limbah pertanian tersedia sepanjang tahun, dan usaha peternakan sapi

lokal tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi global (Kariyasa 2005; Gordeyase et al.

2006; Rosida 2006; Nurfitri 2008).

Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan yang dikonsumsi oleh

rakyat Indonesia. Data dari Direktorat Jendral Peternakan tahun 2012 melaporkan

bahwa konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun

peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang

memadai. Laju peningkatan populasi sapi potong relatif lamban, yaitu 4,23%

(Statistik Peternakan, 2011). Kondisi tersebut menyebabkan sumbangan sapi potong

terhadap produksi daging nasional rendah. Pada tahun 2011, tingkat konsumsi

daging sapi diperkirakan 6.953 kg/kapita/tahun, atau setara dengan 1,70−2 juta ekor

sapi sementara produksi hanya 294.45 ton (Direktorat Jendral Peternakan dan

Kesehatan Hewan, 2012),

Pada tahun 2011 produksi daging lokal meningkat cukup tajam dari 195,82

ribu ton tahun 2010 menjadi 294,45 ribu ton tahun 2011 atau terjadi peningkatan

sebesar 98,63 ribu ton (50,37%). Peningkatan produksi daging lokal ini telah dapat

menekan proporsi daging impor dari semula 53.0 % terhadap total konsumsi daging

sapi nasional pada tahun 2010 menjadi hanya 34,9 % pada tahun 2011.

Pengembangan peternakan sangat terkait dengan pengembangan suatu

wilayah. Sulawesi Selatan sebagai salah satu propinsi di Indonesia memiliki potensi

Page 11: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

cukup besar dalam pengembangan peternakan. Propinsi ini pernah dikenal sebagai

lumbung ternak, dengan kemampuan memasok ternak ke daerah lain dalam rangka

pengadaan ternak nasional. Bahkan pernah diadakan ekspor ternak ke luar negeri

pada tahun 1960 sampai tahun 1970-an. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1990 jumlah

pengeluaran ternak sapi adalah 65.804 ekor dan kerbau 17.443 ekor, dan angka

tersebut masih jauh lebih tinggi dibanding jumlah pengeluaraan ternak pada tahun

2003 yaitu sapi sebanyak 6.449 ekor dan kerbau sebanyak 143 ekor (Dinas

Peternakan Sulawesi Selatan, 2004).

Suksesnya pembangunan peternakan sangat bergantung bagaimana ilmu

dan teknologi maju dapat diadopsi oleh masyarakat peternak. Indonesia sebagai

negara sedang berkembang telah banyak menyerap teknologi dari negara-negara

maju, sebagian memperlihatkan hasil yang baik tetapi sebagain lainnya kurang

sesuai dengan kondisi yang ada. Titilola (1990), mengingatkan bahwa transfer

teknologi dari negara maju ke negara sedang berkembang bisa menghambat

pengembangan teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan. Dalam hal ini

program pengembangan inovasi teknologi harus betul-betul sesuai dengan kendala

spesifik seperti kondisi sosial dan lingkungan. Aplikasi teknologi yang tidak

memperhatikan kondisi sosial dan hanya memperhatikan faktor ekologi malah

merusak lingkungan.

Sebaliknya di masyarakat peternak sendiri sebetulnya sudah ada teknologi

asli atau indigenous teknologi (IT) sebagai milik masyarakat yang sudah diterapkan

dan menyatu dengan budaya setempat (Warren, 1992, dan Adnyana dkk. 2000).

Pentingnya teknologi indigenous dikemukakan oleh Titilola (1990) bahwa hanya satu

hal yang bisa membantu upaya peningkatan pendapatan peternak yaitu dengan

pemahaman terhadap sistem pengetahuan lokal dan struktur kelembagaannya yang

Page 12: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

ada. Teknologi indigenous sudah berdasarkan pengalaman dan percobaan yang

berulang-ulang sesuai kemampuan masyarakat. Masyarakat dengan mudah

menerapkan teknologi asli karena input relatif rendah, resiko kecil dan cukup ramah

lingkungan, sedangkan teknologi introduksi umumnya menggunakan input tinggi,

resiko besar dan sering tidak ramah lingkungan (De Walt, 1994).

Pandangan teoritis yang menjelaskan pertautan antara dua pengetahuan

dikemukakan oleh Foucault (2012) pendekatan Arkeologi Pengetahuan digunakan

untuk melihat suatu sistem pemikiran, atau dalam istilah Foucault disebut formasi

diskursif (lebih dikenal dengan "wacana"). Wacana/pengetahuan membentuk dan

mengkonstruksikan peristiwa tertentu, dan gabungan dari peristiwa-peristiwa

tersebut membentuk narasi yang dapat dikenali. Dalam suatu masyarakat biasanya

terdapat berbagai macam wacana/pengetahuan yang berbeda satu sama lain,

namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana/pengetahuan tertentu sehingga

wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan

terpinggirkan (marginalized) atau terpendam (submerged).

Foucault (2012) berpendapat bahwa manusia, pengetahuan, dan kebenaran

merupakan produksi dari relasi dominasi yang inheren dalam pluralitas relasi

kekuasaan. Menurutnya subjek tidak muncul dari kekosongan tapi muncul dari

relasi dominasi yang ada disekitarnya. Berbagai wacana/pengetahuan yang ada

dan berbeda tersebut bukan saja merefleksikan atau mempresentasikan entitas-

entitas dan relasi-relasi sosial, melainkan juga mengkonstruksikan atau membentuk

hal itu. Selanjutnya dikatakan bahwa pembentukan wacana dan pengetahuan yang

bersumber dari dalam komunitas ataupun dari luar komunitas dapat dipresentasikan

melalui penyebaran diskursus atau pengetahuan yang mendistribusikan proses

Page 13: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

seleksi, control, dan ekslusi (penyingkiran) yang melestarikan rezim kebenaran,

termasuk pada level institusional pengetahuan.

Sesuai yang diungkapkan oleh Pieterse (2001), bahwa globalisasi justru

memunculkan heterogenitas masyarakat global didunia ini. Adanya globalisasi

secara otomatis membuahkan perkembangan baru. Pieterse mengkonsepkan

dampak-dampak globalisasi melalui hibridisasi, global mélange¸ creolization,

orientalisasi dan juga mestizaje.

Dalam hal ini dapat dilihat bahwa globalisasi mencoba untuk meleburkan hal-

hal yang lama (dalam hal ini dispesifikkan budayanya) untuk digabungkan bersama

bentuk-bentuk budaya baru yang mengikuti perkembangan sehingga akan muncul

suatu bentuk budaya baru. Hibridisasi ini juga dapat didukung dengan adanya

migrasi yang akan memindahkan suatu masyarakat kedalam masyarakat baru yang

mempunyai budaya yang berbeda. Namun, Pieterse mengutarakan kekhawatirannya

mengenai adanya peleburan ini karena dengan adanya globalisasi demografi dapat

memicu adanya kosongnya patriotisme seseorang terhadap budaya asalnya

(Pieterse, 2004). Hibridisasi atau sinergi adalah suatu bentuk peleburan dari suatu

bentuk lama yang dipisahkan dari tempat asalnya, kemudian digabungkan dengan

bentuk baru dalam penerapan yang baru pula.

Peleburan bentuk lama yang digabungkan dengan bentuk baru sejalan

dengan gambaran Long (2004) mengenai 'medan perang pengetahuan' atau

“battlefield of knowledge” yang dipilih untuk menyampaikan gagasan pada arena

kontestasi di mana pemahaman, kepentingan dan nilai-nilai aktor yang bermakna

terhadap satu sama lain. Dalam hal ini intervensi menjadi utama, meskipun tidak

secara eksklusif karena dilema pengetahuan dan kontroversi juga membentuk

tulisan dan analisis dokumen kebijakan dan laporan. Selain itu juga temuan

Page 14: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

penelitian yang berjuang atas makna sosial dan praktik berlangsung, yang tidak

terbatas pada adegan lokal atau dibingkai oleh pengaturan institusional tertentu

seperti proyek-proyek pembangunan atau program kebijakan yang lebih luas.

Interaksi-interaksi tidak dibatasi oleh 'penerima' dan 'pelaksana', tetapi merangkul

berbagai macam pelaku sosial yang berkomitmen.

Terkait dengan pertautan dua pengetahuan, Salman (2012) berpandangan

ketika variabel lokal semakin berinteraksi dengan variabel non lokal, maka

pengetahuan yang diaplikasikan bukan hanya diproduksi oleh desa, melainkan juga

pengetahuan yang datang dari luar. Dalam situasi yang demikian itulah

persentuhan, kerjasama, saling rujuk, persaingan dan konflik antar substansi dan

produsen dan pengusung pengetahuan berlangsung. Keseluruhan fenomena inilah

yang dimaksud sebagai kontestasi pengetahuan.

Pola kontestasi antara pengetahuan lokal yang dikonstruksi berbasis

pengalam sehari-hari dan pengetahuan modern yang dikonstruksi berbasis metode

ilmiah sangat kompleks. Kompleksitas tersebut melahirkan tiga alternatif

rekonstruksi pengetahuan yang digambarkan oleh Salman (2012) sebagai

rekonstruksi berpola (1)zero sum game berlangsung ketika terjadi saling

meniadakan di dalam kontestasi antara narasi, (2) hibridisasi berlangsung ketika

terjadi pencampuran lalu melahirkan fitur baru pengetahuan dalam kontestasi antara

narasi; rekonstruksi berpola (3)koeksistensi berlangsung ketika terjadi kehadiran

bersama tanpa saling pengaruh dalam kontestasi antar narasi.

Hasil penciuman lapangan yang telah dilakukan sebelumnya, secara faktual

bahwa teknologi introduksi hasil penelitian telah banyak disosialisasikan dan diuji

kembangkan melalui program-program pembangunan pertanian. Semua program

mengintroduksikan teknologi untuk peningkatan produksi dan pendapatan

Page 15: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

petani/peternak. Teknologi yang diintroduksikan sudah melalui pengujian secara

laboratorium, kebun percobaan atau di lahan petani/peternak (on farm research) dan

dihitung kelayakan ekonominya sebelum dikembangkan ke masyarakat luas (FAO,

1994). Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa banyak teknologi introduksi yang

belum diadopsi petani/peternak secara berkelanjutan (De Walt, 1994).

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, menunjukkan bahwa

aktivitas yang dilakukan dalam mengintroduksi teknologi baru melalui program

Agropolitan yang pelaksanaannya dimulai tahun 2002, intervensi yang dilakukan

antara lain introduksi teknologi reproduksi pada sapi potong, teknologi pakan dan

introduksi manajemen pemeliharaan dan pemasaran sapi potong. Sementara

petani/peternak juga memiliki pengetahuan yang diperoleh secara empiris antara

lain teknologi reproduksi yang menerapkan perkawinan alami, namun butuh waktu

yang relatif lama, demikian juga dengan pengetahuan tentang pakan yang masih

didominasi dengan pemberian pakan hijauan berupa rumput dan jerami secara utuh.

Melalui program agropolitan yang digulirkan pemerintah antara lain Sistem Integrasi

Tanaman Ternak (SITT) yang diintroduksi penggemukan sapi dan pembuatan

kompos dari kotoran ternak. Pada aspek perbibitan adalah kegiatan kawin suntik

(Inseminasi Buatan), bantuan calon induk dalam bentuk Bantuan Langsung

Masyarakat (BLM). Bantuan ini diberikan dengan beberapa persyaratan yang harus

dipenuhi oleh penerima. Pada aspek pakan, teknologi yang diintroduksi pengelolaan

hijauan dalam bentuk silase dan hay, pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan,

sedangkan pada aspek manajemen adalah manajemen perkandangan, yang

dimaksudkan agar ternak dengan mudah dapat ditangani, sehingga kotorannya

dapat dikumpulkan untuk pembuatan kompos dan biogas, pendeteksian birahi lebih

mudah, dan pengendalian penyakit ternak dapat ditangani dengan baik. Pemberian

Page 16: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

bantuan dalam bentuk modal usaha juga diberikan kepada peternak, melaui Pola

Kredit Usaha Rakyat yang dikeluarkan dari Bank BRI unit Kecamatan dan diberikan

kepada beberapa Kelompok Ternak.

Di kalangan peternak sendiri berkembang pengetahuan yang dimiliki secara

turun temurun yang merupakan warisan dari nenek moyangnya dan telah sekian

lama diterapkan dalam manajemen peternakannya. Mereka memiliki pengetahuan

seleksi bibit dengan cara hanya menilik penampilan ternak tersebut. Sedangkan

untuk perkawinan dilakukan kawin alam. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak,

terutama pada musim kering, dimana rumput hijauan tidak mencukupi kebutuhan

pakan, mereka memanfaatkan pohon tanaman di sekitar lingkungan tempat

tinggalnya yang kemudian diberikan kepada ternak. Demikian juga dalam

manajemen pengendalian penyakit, sebagian besar peternak memanfaatkan

tanaman yang ada di sekitarnya. Untuk manajemen pemasaran ternak sapi potong

pengetahun lokal petani masih mendominasi pengetahuan baru yang diintroduksi,

karena petani pada umumnya masih melakukan penjualan ternak dengan hanya

menaksir harga berdasarkan performa ternak bukan berdasarkan berat ternak.

Dalam hal pemberian modal usaha kepada sesama peternak, pola tesang

masih berkembang. Pola ini merupakan bagi hasil bagi peternak yang sapinya

digembalakan oleh orang lain, dan apabila terjadi kelahiran anak pertama, maka

sapi tersebut masih milk peternak, sedangkan kelahiran anak kedua adalah milik

pengembala.

Kondisi tersebut menimbulkan semacam kesenjangan antara kemampuan

petani yang terbatas dan kebutuhan input tinggi dari teknologi introduksi.

Berdasarkan hal itu, maka perlu upaya memantapkan suatu kerangka kerja untuk

lebih efektif dan kreatif antara teknologi indigenous dan teknologi hasil penelitian,

Page 17: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

kekuatan dan kelemahan dari kedua sumber teknologi tersebut yang mengarah

kepada pentingnya kerjasama yang erat antara ilmuwan (teknis dan sosial ekonomi)

dengan petani/peternak untuk mengembangkan sistem pengelolaan peternakan dan

sumberdaya alamnya.

Sepanjang perjalanan waktu, para peternak sapi lokal yang umumnya

mereka adalah petani padi, telah cukup lama dan memilki pengalaman dalam

mengelola dan mengembangakan usaha ternaknya. Usaha tersebut dikelola

dengan nilai-nilai budaya yang berlaku dan menghasilkan pengetahuan spesifik

lokal. Mereka bertindak dengan cara-cara rasional dan menerapkan manajemen

ternak lokal yang sangat cocok dengan lingkungannya. Di samping pengetahuan

lokal yang diproduksi sendiri, mereka juga mengadopsi dan mengaplikasikan

pengetahuan lain dari luar yang dihantarkan oleh penyuluh pertanian/peternakan.

Perpaduan antara pengetahuan lokal yang telah lama dimiliki oleh

masyarakat petani/peternak dengan pengetahuan ilmiah yang diintroduksi dari luar

akan menimbulkan perubahan-perubahan dan respon bagi sistem lokalitas yakni

pemerintah lokal, pasar lokal, komintas peternak lokal dan sampai ke rumah tangga

peternak.

Sistem usaha peternakan sapi yang masih tradisional dengan sistem sosial

yang bersifat lokal dalam menghadapi keselarasan dengan alam ini penting untuk

dikaji terutama dalam menghadapi isu global. Hal ini juga terkait dengan eksistensi

pengetahuan lokal itu ketika pengetahuan lokal berkontestasi dengan pengetahuan

ilmiah menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan masalah yang menjadi isu

global.

Page 18: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

B. Rumusan Masalah Penelitian

Pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh suatu masyarakat didapatkan

melalui pengalaman hidup di suatu tempat tertentu terkait hubungan manusia

dengan lingkungannya sebagai suatu pengetahuan ekologis dalam arti luas. Usaha

ternak sapi potong yang telah digeluti oleh masyarakat secara turun temurun

membentuk sistem pengetahuan mereka melalui pengalaman dan berbagai

percobaan sehingga merupakan suatu proses yang adaptif terhadap lingkungan

sekitar. Kemampuan adaptasi tersebut membuat pengetahuan lokal ini mampu

bertahan hingga sekarang.

Introduksi pengetahuan yang berasal dari luar masyarakat Peternak Sapi

potong di kabupaten Barru telah dilakukan, mulai dari aspek pembibitan yang

menyangkut seleksi bibit, sistem reproduksi, aspek pakan yang menyangkut

pengolahan rumput hiajauan dan jerami serta pohon pakan, pengelolaan limbah

pertanian untuk pakan serta aspek manajemen termasuk manajemen perkandangan

dan pengendalian penyakit dan permodalan. Di satu sisi usaha ternak secara

tradisional berdampak positif terhadap kelanggengan nilai-nilai sosial dan budaya

dengan kearifan lokal yang telah mengakar di masyarakat, di sisi lain

pengembangan usaha ternak dihadapkan pada berbagai kendala, terutama alih

fungsi lahan penggembalaan, penyempitan kepemilikan lahan usaha, rendahnya

tingkat kesuburan lahan yang berkaitan dengan iklim dan berkurangnya

ketersediaan air dan hijauan pakan pada musim kemarau sehingga mempengaruhi

kemampuan produksi dan reproduksi ternak sapi. Karena itu, terjadi interaksi

antara pengetahuan eksperiensial/tradisional/lokal yang dimiliki oleh peternak

setempat dan pengetahuan ilmiah/modern/global yang diintroduksikan dari luar.

Page 19: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Penelitian ini berfokus pada kontestasi antara pengetahuan ilmiah/modern/global

dengan pengetahuan eksperiensial/tradisional/lokal dalam konteks dinamika sistem

kemasyarakatan lokal (local societal system) berbasis mata pencaharian

peternakan.

Untuk menelaah permasalahan ini maka disusunlah pertanyaan penelitian

sebagai berikut :

1. Bagaimana substansi dan aplikasi sistem pengetahuan lokal (indigenous

knowledge) pada peternakan sapi potong di Kabupaten Barru.

2. Bagaimana pola kontestasi antara sistem pengetahuan lokal dengan sistem

pengetahuan ilmiah dalam perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten

Barru?

3. Bagaimana sistem kemasyarakatan lokal (lokal societal system) merespon

terjadinya kontestasi antara pengetahuan lokal dengan pengetahuan ilmiah

dalam perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Barru.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis eksistensi pengetahuan lokal peternak

sapi potong dan perpaduannya dengan pengetahuan ilmiah yang berasal dari luar

komunitas. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai adalah :

1. Mendeskripsikan secara analitis taksonomi sistem pengetahuan lokal

(indigenous knowledge) dan aplikasi sistem pengetahuan lokal tersebut pada

proses produksi peternakan sapi potong di Kabupaten Barru.

2. Menjelaskan pola kontestasi antara sistem pengetahuan lokal dengan sistem

pengetahuan ilmiah

Page 20: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

3. Menjelaskan respon sistem kemasyarakatan lokal (locality system: local

community system, local government system, local market system dan local

household system) terhadap kontestasi antara sistem pengetahuan lokal dengan

pengetahuan ilmiah dalam pengembangan peternakan sapi potong di

Kabupaten Barru.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan,

pemahaman pentingnya pengembangan pengetahuan lokal di bidang peternakan

dan menciptakan suatu teknologi efektif berbasis pengetahuan lokal. Secara

praktis, diharapkan dapat memberi kontribusi bagi pengembangan pengetahuan

lokal yang telah ada di komunitasnya, pengembangan dua sistem pengetahuan

yang setara dan saling melengkapi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti kajian yang sama dengan

ruang lingkup dan pendekatan yang berbeda.

Page 21: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengetahuan dan Pembentukan Pengetahuan Lokal

Pengetahuan adalah informasi yang telah dikombinasikan dengan

pemahaman dan potensi untuk menindaki; yang lantas melekat di benak seseorang.

Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu

sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Manakala informasi dan data sekedar

berkemampuan untuk menginformasikan atau bahkan menimbulkan kebingungan,

maka pengetahuan berkemampuan untuk mengarahkan tindakan. Dalam

pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh

manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang

menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang

belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.

Sebuah pengetahuan terbentuk dari proses berawal dari alam yang banyak

menyediakan fenomena, bisa akan menjadi fakta bagi mereka yang dapat

memungutnya. Fakta-fakta bila terkumpul akan menjadi data. Data yang diolah dan

dianalisis akan menjadi informasi, dan informasi akan diserap dalam otak manusia

menjadi pengetahuan (knowledge). Pengetahuan dibedakan menjadi 2, yaitu (1)

pengetahuan tersembunyi dalam otak manusia (tacit knowledge) yang sulit untuk

ditransfer ke orang lain; dan (2) pengetahuan yang berwujud secara ekplisit (nyata)

dalam rumus, sketsa, tulisan, gambar, dan sebagainya (explicit knowledge) yang

relatif lebih mudah untuk dipindahtangankan ke orang lain (Syukri, 2006).

Page 22: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Pengetahuan mempunyai makna hanya setelah ia ditempatkan di dalam jaringan

sosial tertentu (Collins, 1990; Collins dan Pinch, 1998; Jasanoff, 1990) dalam

Carolan (2006). Jadi, jika kita percaya bahwa suatu jaringan sosial dapat dipercaya,

kita akan merasakan hal yang sama mengenai pengetahuan yang berasal dari

jaringan sosial tersebut – yaitu, kita akan cenderung menganggap pengetahuan

tersebut benar.

Menurut Lyotard (2009) pengetahuan adalah “sesuatu yang menjadikan

seseorang berkapabilitas menyatakan ucapan “baik”. Ia tidak hanya mencakupi

ucapan denotatif yang “baik”, tetapi juga mencakupi ungkapan konotatif yang “baik”,

ucapan evaluatif yang “baik, ucapan preskriptif yang “baik, dan ucapan transformatif

yang “baik”. Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ucapan yang

“baik” tentang denotasi, konotasi, evaluasi, preskripsi dan transformasi yang “baik”

adalah kebersesuaiannya dengan kriteria kebenaran, keindahan, keadilan, kebajikan

yang terterima oleh lingkungan sosial dimana permainan bahasa itu berlangsung

pada pentas dimana teman bicara “saling mengetahui”. Pengetahuan bukanlah

sekedar kompetensi relatif pada golongan khusus dari ucapan, sebaliknya ia mebuat

performa “baik” dalam semua relasi dengan suatu varietas obyek wacana yang

mungkin terjadi : obyek yang diketahui, obyek yang disimbolisasi, obyek yang

diputuskan, obyek yang dievaluasi, obyek yang ditransformasi.

Pengetahuan adalah landasan kualitas dari suatu tatanan, dan pengetahuan

menjadi landasan kualitas tatanan karena ia menjadikan seseorang berkapabilitas

menyatakan ucapan yang baik dalam permainan bahasa pada sebuah tatanan. Apa

yang dimaksud dengan ucapan yang ‘baik’; tentang denotasi, konotasi, evaluasi,

preskripsi dan transformasi yang ‘baik’; adalah kebersesuaiannya dengan kriteria

Page 23: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

kebenaran, keindahan, keadilan, kebajikan; yang terterima oleh lingkungan sosial

dimana permainan bahasa itu berlangsung, pada pentas dimana teman bicara

“saling mengetahui” (Lyotard, 2009). Bila tatanan merupakan interkoneksitas dari

entitas lokal dan non-lokal; maka kriteria baik atas ucapan dapat bersumber dari

lingkungan sosial lokal/spesifik dan lingkungan sosial global/universal. Ada

pengetahuan yang bersesuai dengan kriteria baik pada skala global/universal; ada

pengetahuan yang bersesuai dengan kriteria baik pada skala lokal/spesifik; dimana

kriteria baik pada skala global/universal pada hakekatnya adalah jelmaan kesamaan

dari kriteria baik pada berbagai skala lokal/spesifik seantero dunia.

Pengetahuan dapat disamakan dengan knowledge yang dapat diperoleh dari

berbagai sumber seperti media massa ataupun cerita orang lain sehingga mudah

dilupakan, sedangkan pengalaman atau memory, relatif permanen sifatnya,

terutama karena ia berkaitan dengan pengalaman langsung (direct experiences)

dalam perjalanan hidup manusia (Sairin, 2006).

Pengetahuan didefenisikan oleh Drucker (1998) sebagai informasi yang

mengubah sesuatu atau seseorang, sehingga pengetahuan dianggap sebagai

kekuasaan untuk menguasai yang lain. Berdasarkan itu maka ketika informasi

menjadi dasar untuk bertindak, dan memampukan seseorang atau institusi untuk

mengambil tindakan sebelumnya. Dengan demikian pengetahuan dapat diartikan

sebagai informasi yang dapat ditindaklanjuti atau digunakan sebagai dasar untuk

bertindak, mengambil keputusan dan menempuh arah atau strategi tertentu.

Sejalan dengan pendapat Drucker tersebut, Sveiby (1997) mendefinisikan

pengetahuan sebagai kapasitas untuk bertindak. Kapasitas untuk bertindak

seseorang yang diciptakan secara berkelanjutan melalui proses mendapatkan

Page 24: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

pengetahuan (process-of-knowing). Dengan kata lain, pengetahuan tidak dapat

dipisahkan dari konteksnya.

Foucault (2012), menjelaskan bahwa kekuasaan menciptakan pengetahuan

dan kekuasaan dan pengetahuan saling mempengaruhi secara langsung satu sama

lain. Filsafat ini jelas tampak relevan bagi zaman informasi sekarang ini, dimana

pengetahuan dan kekuasaan keduanya berjalan bersama-sama. Kekuasaan

didefenisikan oleh Foucault (2012) bukanlah merupakan suatu entitas atau kapasitas

yang dimiliki oleh satu lembaga melainkan dapat diibaratkan dengan sebuah

jaringan yang tersebar di mana-mana Jadi kekuasaan tidak datang secara vertikal

dari penguasa terhadap yang ditindas, dari pemerintah kepada rakyat, melainkan

datang dari semua lapisan masyarakat dan menyebar secara kompleks kepada

segenap individu sebagai subyek yang kecil dan menyebabkan praktek kuasa ada di

mana-mana.

Kearifan (wisdom) adalah buah dari pengetahuan (knowledge)) dan

pengetahuan dihasilkan dari persepsi manusia tentang dunianya melalui

penangkapannya dengan menggunakan indera ataupun intuisi. (Geertz, 1983) .

Selanjutnya Kenickie and Mphahlele (2002) menyatakan bahwa Indigenous

knowledge adalah akumulasi pengetahuan yang telah diciptakan selama beberapa

dekade, yang mencerminkan pemikiran kreatif dan aksi berbagai generasi dalam

individu komunitas, dalam ekosistem tempat tinggal yang permanen dalam usaha

menghadapi lingkungan agroekologi dan sosioekonomi yang selalu berubah.

Manusia yang membuahkan pengetahuan selalu mengorganisir diri dalam

suatu komunitas dan dengan itu kearifan lokal adalah hasil konstruksi sebuah

komunitas, ia dikonstruksi secara sosial budaya. Karena dikonstruksi secara sosial

budaya, kearifan lokal selalu bersifat dinamis, substansi dan konteksnya berubah

Page 25: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

mengikuti perubahan spirit zaman. Mengapa? karena dibalik konstruksi itu menurut

pemikiran Berger (2012) terdapat dialektika antara individu/aktor dengan

struktur/sistem, yang integrasinya dibangun dalam rangkaian proses internalisasi

(proses individu/aktor mengetahui nilai, norma dan kondisi dari struktur/sistem

tempat ia hidup), objektivasi (proses individu/aktor menimbang dan mendefenisikan

kehendak/struktur/sistem), dan eksternalisasi (proses individu/aktor bertindak dalam

kesesuaian ataupun bertentangan dengan kehendak struktur/sistemnya)

Pengetahuan lokal adalah informasi dasar bagi suatu masyarakat yang

memudahkan komunikasi dan pengambilan keputusan. Pengetahuan lokal adalah

bagian sistematis dari pengetahuan yang diperoleh oleh masyarakat lokal melalui

akumulasi pengalaman-pengalaman informal, dan pemahaman mendalam tentang

lingkungan sebagai suatu kultur. Kadang-kadang persepsi tentang pengetahuan

lokal ini berbeda dengan orang luar (di luar komunitas bersangkutan). Menurut

Geertz (2003), bahasa sebagai sistem simbol dan dialektika diperlukan untuk

memahami tentang pengetahuan lokal ini karena pengertian ‘benar’ dan ‘salah’

haruslah dipahami dalam konstruksi kebahasaan mengenai apa yang ‘benar’ dan

apa yang disebut ‘salah’ dalam konteks komunitas lokal. Senada dengan hal

tersebut Warren (1993), menyatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan

sesuatu yang unik yang terdapat dalam suatu kultur atau masyarakat.

Pengembangan pengetahuan lokal dalam sebuah komunitas masyarakat,

terutama masyarakat yang menjadikan pertanian sebagai fokus utama mata

pencaharian pada saat ini cukup urgen. Kondisi alam yang tidak menentu akibat dari

perubahan iklim dan pemanasan global memaksa masyarakat, khususnya petani

melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi tersebut. (Patinduka, 2012).

Pengembangan teknologi berbasis pengetahuan lokal setempat, dianggap akan

Page 26: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

lebih mudah teradopsi oleh masyarakat, karena sejatinya teknologi tersebut berasal

dari masyarakat setempat, kebiasaan setempat, dan kebudayaan setempat,

sehingga masyarakat sekitar juga memiliki semangatdan kesadaran untuk menjaga

hal tersebut.

Terkait dengan adanya dikotomi antara masyarakat modern dengan

masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, masyarakat

lokal dianggap lebih mengetahui kondisi lingkungannya secara lebih baik. Mereka

mengatur dan mengelola alam dengan cara yang mereka anggap sesuai untuk

memenuhi kebutuhan hidup. Mereka menggunakan rasionalitas dengan caranya

sendiri yang dalam pandangan masyarakat modern sering dianggap tidak rasional.

Dalam pandangan mereka terdapat hubungan saling ketergantungan antara

manusia dan alam/lingkungan dan menganggap bahwa alam merupakan dunia

kehidupan bagi mereka, sehingga merusak alam berarti merusak kehidupan mereka

Little (2000) dalam Hidayat, 2010). Oleh karena itu dalam segala tindakannya selalu

mengarah pada strategi bertahan hidup dan hidup selaras dengan alam.

Pemaknaan terhadap alam dengan cara demikian melahirkan bentuk pengetahuan

yang disebut pengetahuan lokal (local knowledge).

Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan

pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah

budaya masyarakat tertentu. Definisi ini bisa jadi setara dengan definisi mengenai

Indigenous psychology yang didefinisikan sebagai usaha ilmiah mengenai tingkah-

laku atau pikiran manusia yang asli (native) yang tidak ditransformasikan dari luar

dan didesain untuk orang dalam budaya tersebut. Hasil akhir dari indigenous

psychology adalah pengetahuan yang menggambarkan tentang kearifan lokal, yaitu

Page 27: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

gambaran mengenai sikap atau tingkah-laku yang mencerminkan budaya asli

(Ridwan, 2006).

Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan

masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan

pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat

dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis

karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem

pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem

solving)

Ali (2000) menyatakan bahwa pengetahuan yang dimiliki petani diberi nama

oleh para ahli dengan nama yang berbeda-beda. Ada yang menyebutnya sebagai

pengetahuan lokal (Chambers, 1986), pengetahuan indigenous (Warren, 1989; Bell,

1979; Thrupp, 1989; Compton, 1989, Ali, 1999), pengetahuan asal mula jadi (Radi,

1999), pengetahuan tradisional (Swift, 1979, Norgaard, 1984) dan sebagainya.

Apapun namanya, pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang dikembangkan

melalui pengalaman (experential learning) tentang suatu realita tertentu. Prosesnya

melalui pengamatan dan percobaan dalam rentang waktu yang cukup panjang dan

karenanya perkembangannya tidak secepat dengan perkembangan pengetahuan

modern. Beberapa ahli memberikan terminologi yang berbeda untuk menjelaskan

definisi ini dan cenderung mengalami perluasan terminologi seperti : pengetahuan

yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge), pengetahuan tradisional

(traditional knowledge), pengetahuan teknis yang berasal dari pribumi (indigenous

technical knowledge), sistem pengetahuan yang berasal dari pribumi (indigenous

knowledge system)

Page 28: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Kearifan lokal (local genius/local wisdom) merupakan kearifan yang tercipta

dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang

dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, kearifan lokal

mengandung pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan

hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan,

norma, budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam

jangka waktu yang lama. Proses regenerasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi

lisan (cerita rakyat) dan karya-karya sastra, seperti babad, suluk, tembang, hikayat,

lontarak dan lain sebagainya ( Gunawan, 2008). Oleh karena itu pengetahuan

indigenous ini tidak dapat diartikan sebagai pengetahuan kuno, terbelakang, statis

atau tak berubah (Johnson (1992) dalam Sunaryo dan Joshi, 2003).

Sistem pengetahuan lokal juga membentuk dasar untuk pengambilan

keputusan, yang diterapkan melalui organisasi-organisasi lokal, dan menyediakan

pondasi bagi inovasi-inovasi dan percobaan lokal. Sistem pengetahuan lokal berupa

keterampilan-keterampilan adaptif dari masyarakat setempat, biasanya diperoleh

dari pengalaman yang lama, yang sering dikomunikasikan melalui "tradisi-tradisi

lisan" dan pembelajaran melalui para anggota keluarga dan generasi ke generasi.

Oleh karena itulah dalam pandangan Kalland (2005), pengetahuan lokal sebenarnya

bukan merupakan mitos, karena juga memiliki sifat sebagai pengetahuan empiris

(menyangkut persepsi tentang lingkungan), pengetahuan paradigmatik

(pemahaman), dan pengetahuan institusional (keterlekatan dengan institusi sosial).

Sunaryo dan Joshi (2003)) mengatakan pengetahuan lokal merupakan

konsep yang lebih luas yang merujuk pada pengetahuan yang dimiliki oleh

sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu untuk jangka waktu yang lama.

Pada pendekatan ini, kita tidak perlu mengetahui apakah masyarakat tersebut

Page 29: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

penduduk asli atau tidak. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana suatu

pandangan masyarakat dalam wilayah tertentu dan bagaimana mereka berinteraksi

dengan lingkungannya, bukan apakah mereka itu penduduk asli atau tidak. Hal ini

penting dalam usaha memobilisasi pengetahuan mereka untuk merancang

intervensi yang lebih tepat-guna.

Kearifan lokal merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai

kehidupan yang menyatu dalam bentuk sosial budaya, religi dan adat istiadat. Dalam

perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dengan

mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan,

dipadu dengan norma adat, nilai budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna

mencukupi kebutuhan hidupnya (Suhartini 2009).

Sistem pengetahuan lokal juga membentuk dasar untuk pengambilan

keputusan, yang diterapkan melalui organisasi-organisasi lokal, dan menyediakan

pondasi bagi inovasi-inovasi dan percobaan lokal. Sistem pengetahuan lokal berupa

keterampilan-keterampilan adaptif dari masyarakat setempat, biasanya diperoleh

dari pengalaman yang lama, yang sering dikomunikasikan melalui "tradisi-tradisi

lisan" dan pembelajaran melalui para anggota keluarga dan generasi ke generasi.

Oleh karena itulah dalam pandangan Kalland (2005), pengetahuan lokal sebenarnya

bukan merupakan mitos, karena juga memiliki sifat sebagai pengetahuan empiris

(menyangkut persepsi tentang lingkungan), pengetahuan paradigmatik

(pemahaman), dan pengetahuan institusional (keterlekatan dengan institusi sosial).

Pengetahuan lokal adalah informasi dasar bagi suatu masyarakat yang

memudahkan komunikasi dan pengambilan keputusan. Pengetahuan lokal adalah

bagian sistematis dari pengetahuan yang diperoleh oleh masyarakat lokal melalui

akumulasi pengalaman-pengalaman informal, dan pemahaman mendalam tentang

Page 30: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

lingkungan sebagai suatu kultur. Kadang-kadang persepsi tentang pengetahuan

lokal ini berbeda dengan orang luar (di luar komunitas bersangkutan). Menurut

Geertz (2003), bahasa sebagai sistem simbol dan dialektika diperlukan untuk

memahami tentang pengetahuan lokal ini karena pengertian ‘benar’ dan ‘salah’

haruslah dipahami dalam konstruksi kebahasaan mengenai apa yang ‘benar’ dan

apa yang disebut ‘salah’ dalam konteks komunitas lokal. Senada dengan hal

tersebut Warren (1993), menyatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan

sesuatu yang unik yang terdapat dalam suatu kultur atau masyarakat.

Dalam konteks antropologi, Wahyu (2007) menggunakan konsep kearifan

lokal, yang dalam terminologi budaya dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan

yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan dengan

alam dalam sejarah panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat

dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Berdasarkan

definisi di atas dapat dikatakan bahwa pengetahuan lokal meliputi tradisi-tradisi dan

praktik-praktik sudah berlangsung lama dan berkembang di wilayah tertentu, asli

berasal dari tempat tersebut atau masyarakat-masyarakat lokal yang terwujud dalam

kebijaksanaan, pengetahuan, dan pembelajaran masyarakat. Dalam banyak hal

pengetahuan lokal ini disampaikan antar generasi secara lisan dari orang ke orang

dan dapat berbentuk kisah-kisah, legenda-legenda, dongeng-dongeng, upacara

agama, lagu-lagu, dan bahkan hukum.

B. Pertautan Pengetahuan Lokal dengan Pengetahuan Ilmiah

Menurut Forsyth (2004), makna lokal dalam pengertian pengetahuan lokal

merujuk pada pengetahuan yang dibatasi ruang dalam suatu wilayah tertentu, atau

mungkin juga didasarkan pada aspek budaya dan etnis tertentu. Ini berarti bahwa

pengetahuan lokal merupakan sesuatu yang secara khusus terikat dengan orang

Page 31: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

atau tempat tertentu. Menurut Chamber (1987), pengetahuan lokal sering juga

disebut sebagai ilmu rakyat, ethnoscience, ilmu pedesaan, dan ada juga yang

menggunakan istilah ilmu pengetahuan teknis asli. Tidak ada definisi tunggal tentang

terminologi pengetahuan lokal (local knowledge). Beberapa ahli memberikan

terminologi yang berbeda untuk menjelaskan definisi ini dan cenderung mengalami

perluasan terminologi seperti : pengetahuan yang berasal dari pribumi ( indigenous

knowledge), pengetahuan tradisional (traditional knowledge), pengetahuan teknis

yang berasal dari pribumi (indigenous technical knowledge), sistem pengetahuan

yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge system).

Beberapa pengertian dari masing-masing terminologi ini antara lain (Muyungi

and Tillya 2003) : (a). Vlaenderen (1999) menggambarkan indigenous knowledge

sebagai suatu koleksi gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi yang digunakan untuk

memandu, mengendalikan dan menjelaskan tindakan-tindakan di dalam suatu

pengaturan yang spesifik berdasar pada sistim nilai (religi dan kepercayaan

terhadap hal-hal yang gaib) dan epistemologi. Ia selanjutnya juga memberikan

tentang pengertian indigenous knowledge system sebagai pengetahuan yang dimiliki

dan dikuasai oleh masyarakat asli/pribumi dengan cara yang sistematis; (b) Brouwer

(1998) menggambarkan traditional knowledge sebagai kemampuan-kemampuan

kuno, adat-istiadat yang asli dan khusus, konvensi-konvensi dan rutinitas-rutinitas

yang mewujudkan suatu pandangan statis dari kultur masyarakat. Traditional

knowledge beroperasi pada level praktis tindakan-tindakan yang diulangi yang

didasarkan pada pendapatpendapat dan kepercayaan-kepercayaan;(c). Kajembe

(1999) mendeskripsikan indigenous technical knowledge meliputi pengetahuan

tentang perkakas dan teknik-teknik untuk penilaian/penaksiran, kemahiran,

Page 32: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

perubahan bentuk dan pemanfaatan sumber daya yang spesifik untuk lokasi

tertentu.

Perhatian atas kearifan lokal muncul sejak tersadari bahwa proses

modernisasi yang menempatkan "semua ketradisionalan adalah tidak baik dan harus

menggantinya dengan "kemoderenan yang dianggap baik", ternyata salah kaprah.

Pandangan manusia tentang kosmosnya yang ingin dikosongkan dari hal-hal magis,

mistik dan mitos serta menggantinya dengan hal-hal rasional dan masuk akal,

terutama sains dan teknologi, dihadapkan pada kenyataan bahwa sains dan

teknologi tersebut ternyata menjelma menjadi mitos, mistik dan magis itu sendiri.

Pada tataran praktis, kesadaran ini juga didorong oleh fakta bahwa memang

mustahil modernisasi menghapus tuntas ketradisionalan. Perpaduan antara

ketradisionalan dengan kemoderenan, antara pandangan dunia yang berciri magis,

mitos, mistik dengan yang berciri rasional-masuk akal-empiris, dianggap lebih tepat

dan realistis dengan sistem kehidupan (Salman, 2006), karena dipelajari dari

generasi ke generasi dan dianggap cocok untuk pengelolaan lingkungan secara

lestari (Hijjang dan Basrah, 2007)

Agrawal (1995) menyatakan bahwa pengetahuan lokal berbeda dengan

pengetahuan Barat atau Ilmiah dalam hal (i) Landasan substantif – karena

perbedaan subyek dan karakteristik pengetahuan lokal dengan pengetahuan barat

(ii) Landasan metodologi dan epistomologi– karena bentuk-bentuk pengetahuan

menggunakan metode yang berbeda-beda untuk meneliti kenyataan; (iii) Landasan

kontekstual – karena pengetahuan lokal/tradisional berakar lebih dalam pada

lingkungan.

Beberapa ahli pengetahuan lokal berpendapat bahwa sains bersifat terbuka,

sistematis, obyektif dan analitis. Ia dapat berkembang dengan membangun

Page 33: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

pengetahuan berdasarkan pencapaian sebelumnya. Namun, pengetahuan lokal

bersifat tertutup, tidak sistematis, holistik, kurang analitis, perkembangannya

berdasarkan pengalaman-pengalaman baru, bukan pada logika deduktif (Banuri and

apffel-Marglin 1993; Howes and Chamber 1980 dalam Agrawal (2010).

Kebanyakan petani di negara berkembang menerapkan sistem pertanian

berinput rendah (kurang lebih 80 % dari pertanian) (Mella, Kulindwa, Shechambo,

& Mesaki, 2007). Hal ini menunjukkan adanya potensi pengetahuan lokal untuk

penerapan pertanian berkelanjutan. Statistik menunjukkan bahwa sekurang-

kurangnya 50 % penduduk dunia tergantung pada pengetahuan lokal untuk suplai

pangan dan tanaman (Hart dan Vorster, 2006).

Sejumlah program pembangunan di mana pengetahuan lokal telah

memberikan dorongan untuk menghasilkan teknologi telah meningkat beberapa

tahun terakhir ini. Keberhasilan program pembangunan karena penggabungan

pengetahuan indigenous telah banyak didokumentasikan. Warren (1991)

menyajikan studi kasus di mana pengetahuan lokal dalam perbaikan pengelolaan

sumber daya alam jauh lebih penting dibandingkan teknologi proyek.

Pengetahuan lokal umumnya digambarkan sebagai romantika masa lalu,

sebagai penghambat utama dalam pembangunan, bukan merupakan sebuah isu

penting dan bukan sebagai obat mujarab bagi transaksi dengan permasalahan-

permasalahan lingkungan yang utama, dan juga bukan sebagai komponen kritis

budaya alternatif dalam modernisasi. Oleh karena itu Nyangren (1999) mengatakan

bahwa dalam pandangan ahli-ahli pembangunan, pengetahuan lokal dianggap

penghambat dalam kemajuan, dan penduduk lokal hidup dibatasi oleh gagasan atau

pemikiran tradisional mereka. Dalam pandangan Sillitoe (1998), pengetahuan lokal

merupakan pengetahuan praktis masyarakat yang diperoleh secara turun temurun

Page 34: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

dari nenek moyang mereka dan didasarkan atas pengalaman dan pembelajaran

terhadap fenomena alam dan melekat dalam kehidupan sosial budaya mereka.

Pengetahuan lokal ini bersifat spesifik secara budaya, lokasi geografi, dan

sering meliputi regional ekosistem tertentu. Oleh karena itu dalam menyikapi krisis

lingkungan dan pembangunan, pengetahuan lokal memiliki keterbatasan dalam

memecahkan isu-isu global dan isu lingkungan atau isu pembangunan pada lokasi

atau masyarakat yang berbeda. Sistem pengetahuan lokal sangat jarang dijadikan

sebagai dasar dalam pertarungannya dengan sains. Masyarakat lokal akan

menggabungkan dan menginterpretasi kembali aspek-aspek pengetahuan dan

praktik modern ke dalam tradisi mereka sebagai bagian dari proses globalisasi yang

sedang berlangsung. Melalui cepatnya perubahan ini dalam jangka panjang sistem

pengetahuan lokal ini mengalami proses modifikasi ke arah perpektif ilmiah.

Berbeda halnya dalam pandangan Escobar (1999), di mana pengetahuan

lokal dalam pertarungan politiknya dengan kepentingan kaum kapitalis dan pakar

teknologi (scientist) akan membentuk suatu hibrid melalui proses hibridisasi budaya

(cultural hybridization). Dengan kata lain masing-masing pihak yang memiliki basis

budaya pemikiran dan basis kepentingan yang berbeda pada akhirnya akan

membentuk satu regim politik tunggal menuju kesatuan pandangan politik tentang

alam. Oleh karena itulah dalam pandangan Forsyth (2004) , konsep hibridisasi

antara pengetahuan lokal dengan sains merupakan pengintegrasian keduanya untuk

mencari penjelasan secara lokal terkait dengan permasalahan lingkungan. Tujuan

hibridisasi ini bukan untuk mengungkap perubahan biofisik secara lengkap, tetapi

untuk mengungkapkan seberapa jauh wacana hegemonik permasalahan lingkungan

tersebut sesuai dengan pengalaman orang-orang dalam wilayah tertentu.

Page 35: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Foucault (2012), mengatakan bahwa wacana/pengetahuan membentuk dan

mengkonstruksikan peristiwa tertentu, dan gabungan dari peristiwa-peristiwa

tersebut membentuk narasi yang dapat dikenali. Dalam suatu masyarakat biasanya

terdapat berbagai macam wacana/pengetahuan yang berbeda satu sama lain,

namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana/pengetahuan tertentu sehingga

wacana/pengetahuan tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-

wacana/pengetahuan lainnya akan terpinggirkan (marginalized) atau terpendam

(submerged).

Long (2001) menyatakan bahwa pengetahuan muncul dari fusi (penyatuan)

berbagai horison, karena proses dan absorpsi item-item informasi baru dan diskursif

baru atau kerangka kognitif hanya dapat terjadi berdasrkan evaluasi dan moda-

moda pengetahuan yang sudh ada, yang dibentuk kembali oleh pengalaman

komunikatif. Selanjutnya, meskipun diseminasi/kreasi pengetahuan merupakan

esensi proses kognitif dan interpretatif yang memerlukan penjembatanan jurang

antara pembentukan makna dunia yang familiar dan kurang familiar (atau bahkan

asing) . Pengetahuan dibangun di atas akumulasi pengalaman sosial, komitmen dan

disposisi yang diperlukan secara kultural dari para pelaku yang terlibat di dalamnya.

Studi-studi interface menurut Long (2001) secara esensial berfokus pada

analisis diskontinuitas dalam kehidupan sosial. Diskontinuitas seperti itu dicirikan

oleh perbedaan dalam hal nilai-nilai, kepentingan, pengetahuan dan kekuasaan.

Interface secara tipikal terjadi pada titik-titik dimana kehidupan atau bidang sosial

yang berbeda dan seringkali bertentangan, besinggungan. Lebih konkrit, ia

mencirikan lembaga-lembaga sosial (atau apa yang disebut Giddens “lokal”) dimana

interaksi antara pelaku berorientasi di sekitar problem mencari cara menjembatani,

mengakomodasi atu melawan setiap perbedaan sosial dan kognitif. Analisis

Page 36: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

interface bertujuan untuk menjelaskan tipe-tipe diskontinuitas sosial yang ada pada

situasi seperti itu dan untuk mengkarakterisasi jenis yang berbeda dari bentuk-

bentuk budaya dan organisasi yang mereproduksi atau mentransformasinya.

Untuk memberi konteks dari berbagai kepentingan yang berkontestasi dalam

dinamika pembangunan pertanian, perlu digambarkan keterkaitan pengetahuan lokal

dan pengetahuan modern bidang pertanian dengan berbagai konteks yang lainnya.

Mulai dari sejarah, penciptaan, pembentukan, pendistribusian dan pemanfaatannya

yang membentuk pola pikir dan tindakan. Foucault (2012) menyatakan setiap

tindakan yang dilakukan oleh individu pada dasarnya justru memproduksi

pengetahuan baru bagi pelaku yang lain. Selanjutnya dikatakan bahwa hal tersebut

berlangsung terus menerus hingga membentuk struktur sosial berupa kaidah-kaidah,

konvensi, aturan dan norma-norma, akan tetapi semuanya itu tidak selamanya

bertahan, sehingga butuh diperbaharui dan ditransformasikan sejalan dengan

pengetahuan yang terus berkembang.

Perpaduan pengetahuan lokal/tradisional dengan pengetahuan

ilmiah/global/modern digambarkan oleh Salman (2012) bahwa ketika variabel lokal

desa semakin berinteraksi dengan variabel non lokal, maka pengetahuan yang

diaplikasikan di bukan hanya diproduksi oleh desa, melainkan juga pengetahuan

yang datang dari luar desa. Dalam situasi yang demikian itulah persentuhan,

kerjasama, saling rujuk, persaingan dan konflik antar substansi, produsen dan

pengusung pengetahuan berlangsung di desa. Keseluruhan fenomena inilah yang

dimaksud sebagai kontestasi pengetahuan.

Pola kontestasi antara pengetahuan lokal yang dikonstruksi berbasis

pengalam sehari-hari dan pengetahuan modern yang dikonstruksi berbasis metode

ilmiah sangat kompleks. Kompleksitas tersebut melahirkan tiga alternatif

Page 37: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

rekonstruksi pengetahuan yang digambarkan oleh Salman (2012) sebagai

rekonstruksi berpola (1) zero sum game berlangsung ketika terjadi saling

meniadakan di dalam kontestasi antara narasi, rekonstruksi berpola (2) hibridisasi

berlangsung ketika terjadi pencampuran lalu melahirkan fitur baru pengetahuan

dalam kontestasi antara narasi; rekonstruksi berpola (3) koeksistensi berlangsung

ketika terjadi kehadiran bersama tanpa saling pengaruh dalam kontestasi antar

narasi.

Pengetahuan yang berkontestasi tersebut dapat dilihat dalam lima substansi

yakni: pengetahuan prkatikal-denotatif; pengetahuan simbolis-konotatif;

pengetahuanpreskriptif-normatif; pengetahuan intervensionis-transformatif (Lyotard,

2009). Dalam kontestasinya di desa, lima substansi pengetahuan tersebut

mengkapaistasi manusia dalam konstruksi ontologis, epistemologis dan aksiologis,

yakni : konstruksi pengetahuan berbasis pengalaman (sehari-hari) dan konstruksi

pengetahuan berbasis (metode) ilmiah (Salman, 2012). Substansi pengetahuan

dalam konstruksi berbasis pengalaman sehari-hari dan konstruksi berbasis metode

ilmiah dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1. Substansi Pengetahuan dalam Konstruksi Berbasis Pengalaman (sehari-hari) dan Konstruksi Berbasis (Metode) Ilmiah

Konstruksi Pengetahuan Berbasis Pengalaman

Sehari-hari

Jembatan Kontestasi Pengetahuan

Konstruksi Pengetahuan Berbasis Metode Ilmiah

Spesifik

Praktikal – Denotatif

Simbolis – Konotatif

Preskriptif – Normatif

Intervensionis - Transformatif

Universal

Lokal Global

Asli Ilmiah

Aplikasi sambil Percobaan Percobaan lalu Aplikasi

Produksi : narasi-narasi kecil postmodernitas

Produksi : narasi-narasi besar modernitas

Page 38: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Kontestasi yang terjadi memperlihatkan masalah- masalah dari berbagai

perspektif yang berbeda dan saling bersaing. Pertama, apakah setiap aktor

menggunakan kata untuk pengertian yang sama dan apa saja yang ada di dalam

pemikiran mereka (Vancil,1993). Kedua, mencakup siapa-siapa yang pro dan dan

siapa-siapa yang kontra (agents). Ketiga, melakukan identifikasi terhadap sebab-

sebab kontorversi yang berguna untuk memperdalam dan mempertajam motif-motif.

Keempat, mencermati tentang karakteristik dan sejarah keyakinan dan kebijakan

yang ada sekaligus mempertimbangkan nilai dan kebijakan yang seperti apa yang

ditawarkan di dalam kontestasi tersebut.

Di dalam lingkup kontestasi, ada pertukaran yang saling bersaing terhadap

nilai, fakta dan kebijakan terhadap sumber-sumber masalah yang memotivasi

tindakan-tindakan. Sementara akseptasi mengandung pengertian bahwa ada

berbagai pihak atau dua sisi yang menerima sisi-sisi yang disepakati atau disetujui

(Vancil, 1993).

Istilah kontestasi memberi peluang gambaran dinamis dan berubah-ubah.

Ia dipahami sebagai suatu cerminan bermacam hubungan kekuatan yang saling

mendukung, berjuang dan bersaing bahkan menghancurkan justru akan

mempertajam jaringan sosial yang selama ini dijadikan salah satu perspektif kajian

antropologi.

C. Sistem Kemasyarakatan Lokal

Menurut Parson (1965), sistem adalah interdependensi antar bagian,

komponen & proses yang mengatur hubungan-hubungan tersebut Interdepensi

berarti tanpa1 bagian /komponen maka akan mengalami guncangan. Suatu sistem

akan terintegrasi ke suatu equilibrium. Teori Sibenertika Parson menyatakan sistem

sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial yang saling

Page 39: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

mengalami ketergantungan dan keterkaitan. Adanya hubungan yang saling

keterkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.

Pandangan Ohama (2001) mengenai sistem kemasyarakatan lokal (Local

Societal System) mengemukakan bahwa rumah tangga sebagai unit dasar atau

sebagai pelaku dalam mengelola kelestarian dan reproduksinya, ada tiga saluran

dimana sebuah rumah tangga bisa memperoleh dan mengabaikan elemen-elemen

sumberdaya, yaitu, komunitas local (local community), dimana rumah tangga

merupakan anggotanya, administrasi local (local administration), yang bertanggung

jawab untuk mengawasi dan mengontrol komunitas lokal, dan pasar local (local

market) dimana rumah tangga bertransaksi dan melakukan pertukaran sumberdaya.

Pada kenyataannya, sebuah rumah tangga melakukan aktivitas lingkungannya dari

hari ke hari dengan cara yang yang mereka punyai, menggunakan dan mengelola

sumberdaya yang diperlukan, baik secara individu mapun secara kolektif bersama-

sama dengan rumah tangga lain, melalui berbagai berbagai macam saluran ini

sesuai dengan karakteristik sumberdaya dan besarnya peran mereka terhadap

situasi dan kondisi sosial yang ada. Ilustrasi berikut menunjukkan kaitan konseptual

antara keempat entitas tersebut.

Local Administration

Household Local Market

Local Community

Page 40: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Gambar 1. Kaitan Keempat Entitas dalam Pengembangan Komunitas Lokal

Seperti yang jelas terlihat pada gambar 2 di bawah, sebuah sistem

masyarakat lokal terdiri atas empat entitas ini, dan tiap entitas dapat dipahami

sebagai sebuah sub-sistem yang memiliki mekanisme respektif dan orientasi nilai.

Hal ini perlahan-lahan akan membentuk unit tertentu dari sebuah sistem

masyarakat lokal. Lagi-lagi, ketika memandang dari sisi rumah tangga, sistem

masyarakat lokal ini dapat dibagi menjadi dua kelompok sistem, yakni sistem internal

dan sistem eksternal. Sistem internal adalah sistem dimana rumah tangga memiliki

akses langsung, keterlibatan dan kontrol dalam kehidupan sehari-hari dan

bertanggung jawab terhadap beberapa aktivitas yang terjadi di situ, sedangkan

sistem eksternal adalah sistem dimana rumah tangga memiliki akses terbatas untuk

memperoleh dan mengabaikan sumberdaya tetapi tidak memiliki kontrol secara

langsung dalam hal pengelolaan sistem. Dalam konteks sosial ini, rumah tangga

menggunakan saluran-saluran terbaik yang ada untuk memenuhi kebutuhan sehari-

harinya, sesuai dengan kapabilitas dan kondisi sistem yang ada.

Iner

InnerSystem

HouseHold

Community

OuterSystem

LocalAdministration

Local Market

Page 41: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Gambar 2. Relasi Antar Pihak Dalam Pengembangan Komunitas Lokal

D. Kerangka Konseptual

Pengembangan Sapi potong mencakup tiga aspek yaitu (1) breeding atau

pembibitan antara lain bagaimana seleksi bibit yang berkualitasl (2) feeding atau

pakan mencakup pemberian dalam hal kualitas dan kuantitas, serta manajemen

termasuk manajemen perkandangan, pengembangbiakan, manajemen reproduksi

dan pengendalian penyakit (Saragih, 2000). Pengembangan pada aspek ini

mengaplikasikan berbagai jenis pengetahuan dan bisa dikategorikan sebagai (1)

pengetahuan lokal seperti yang didefenisikan oleh beberapa sumber antara lain

Chamber (1987), menyatakan pengetahuan lokal sering juga disebut sebagai ilmu

rakyat, ethnoscience, ilmu pedesaan, dan ada juga yang menggunakan istilah ilmu

pengetahuan teknis asli. Beberapa ahli memberikan terminologi yang berbeda untuk

menjelaskan definisi ini dan cenderung mengalami perluasan terminologi seperti :

pengetahuan yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge), pengetahuan

tradisional (traditional knowledge), pengetahuan teknis yang berasal dari pribumi

(indigenous technical knowledge), sistem pengetahuan yang berasal dari pribumi

(indigenous knowledge system). Dalam pandangan Sillitoe (1998), pengetahuan

lokal merupakan pengetahuan praktis masyarakat yang diperoleh secara turun

temurun dari nenek moyang mereka dan didasarkan atas pengalaman dan

pembelajaran terhadap fenomena alam dan melekat dalam kehidupan sosial budaya

mereka. Sedangkan pengetahuan ilmiah menurut (Warren, 1991), yaitu

Page 42: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

pengetahuan dikembangkan oleh universitas, pusat penelitian pemerintah, dan

perusahaan swasta. Laksono (1998), menjelaskan bahwa pengetahuan ilmiah

mempunyai sifat-sifat : (1) sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang

tersusun sebagai suatu system (2) Objektif; atau dikatakan pula sebagai

intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk diteliti oleh orang lain/ahli lain,

sehingga hasil penelitian bersifat universal (3) dapat dipertanggungjawabkan; yaitu

mengandung kebenaran yang bersifat universal, dengan kata lain dapat diterima

oleh orang-orang lain/ahli-ahli lain.

Pada kasus pengembangan peternakan sapi potong berbasis Agropolitan di

kabupaten Barru, berkembang upaya-upaya terkait Breeding yaitu pendistribusian

bibit melalui Bantuan Langsug Masyarakat (BLM), introduksi teknologi Kawin Suntik

(Inseminasi Buatan), pada aspek pakan yaitu pengelolaan hijauan dalam bentuk

silase dan hay, penggunaan limbah pertanian sebagai bahan pakan, terutama pada

musim kering dimana rumput segar sulit didaptkan, serta aspek manajemen

menyangkut manajemen perkandangan, manajemen reproduksi seperti penanganan

ternak selama masa kebuntingan, penanganan sapi melahirkan, dan juga

manajemen pengendalian penyakit menyangkut kegiatan vaksinansi, pemberian

obat-obatan. Alam hal pemasaran ternak, diberikan bantuka berupa tibangan ternak

kepada setiap kelompk, dan digunakan oleh semua peternak yang ingin menjual

ternaknya. Melalui Program Agropolitan, diberikan bantuan kredit berupa Kredit

Usaha Rakyat yang dikucurkan oleh BRI unit Kecamatan.

Dengan demikian dapat diduga bahwa dalam pengembangan peternakan di

kabupaten Barru, berlangsung aplikasi dua jenis pengetahuan yakni pengetahuan

yang dikembangkan sendiri oleh masyarakat atau pengetahuan lokal dan

Page 43: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

pengetahuan yang ilmiah yang dihantarkan oleh penyuluh pada program yang

berjalan.

Menurut Faucoult (2012), Long (2001) dan Salman (2012) bahwa dalam

kondisi berbagai pengetahuan diaplikasikan dalam suatu realitas sosial maka akan

berlangsung persentuhan antar pengetahuan atau knowledge interface atau yang

lebih umum disebut sebagai kontestasi pengetahuan.

Dalam kontestasi pengetahuan tersebut ada 3 kemungkinan pola yang

berjalan yaitu (1) pola zero sum game berlangsung ketika terjadi saling meniadakan

di dalam kontestasi antara narasi, (2) pola hibridisasi berlangsung ketika terjadi

pencampuran lalu melahirkan fitur baru pengetahuan dalam kontestasi antara

narasi; (3) pola koeksistensi berlangsung ketika terjadi kehadiran bersama tanpa

saling pengaruh dalam kontestasi antar narasi.

Dalam realitas pengembangan sapi potong di kabupaten Barru baik dalam hal

perbibitan, pakan maupun manajemen, pengetahuan ilmiah dan pengetahuan lokal

masing-masing diaplikasikan dan melahirkan wacana dari berbagai pihak yang

terlibat terutama wacana yang dikembangkan oleh penyuluh dan lembaga penelitian

nerhadapan dengan yang dikembangkan oleh peternak dan kearifan lokal setempat.

Dengan demikian dalam pengembangan sapi potong di kabupaten Barru

dapat diduga terjadinya kontestasi pengetahuan dalam berbagai bentuk.

Kemungkinan ada pengetahuan lokal yang berjalan bersama yang tetap eksis, ada

pengetahuan yang berjalan bersama dengan pengetahuan ilmiah yang dihantarkan

oleh program Agropolitan. Ada kondisi dimana antara pengetahuan lokal dan

pengetahuan ilmiah saling mendominasi atau saling menghilangkan dan ada kondisi

kedua jenis pengetahuan tersebut saling bersinergi atau berhibridisasi satu sama

lain.

Page 44: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Menurut Ohama (2011) dinamika dalam suatu sitem sosial akan melibatkan

respon dari subsistem-subsistem dalam sistem sosial. Dalam hal ini terdapat 4

subsistem yakni subsistem Rumah Tangga (household), subsistem Pemerintah

(administrasi) lokal (Local Administration), Komunitas Lokal (Local Community) dan

Pasar Lokal (Lokal Market).

Dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Barru terdapat unsur Local

Government yaitu seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan unsur Local

Community antara lain pedagang ternak lokal dan pedagang ternak antar pulau ,

juga termasuk lembaga pemberi kredit, dalam hal ini Bank BRI dan Gapoktan, dan

Local Household yakni rumah tangga peternak itu sendiri. Keempat subsistem

tersebut saling berikteraksi dalam perkembangan sapi potong.

Dengan demikian kontestasi pengetahuan yang berlangsung dalam

pengembangan sapi potong, baik pada aspek pembibitan (breeding), pakan, dan

manajemen diduga melibatkan respon dari setiap subsistem lokal yakni Rumah

Tangga, Lokal Administrasi (pemerintah), Lokal Komunitas (local community) dan

Pasar Lokal (Local Market). Secara bervariasi sesuai kepentingan masing-masing.

Secara skematis kerangka pemikiran yang disusun untuk membingkai

penelitian ini tersusun seperti pada diagram berikut :

Page 45: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

PENGEMBANGAN SAPI POTONG

PENGETAHUAN LOKAL(PETERNAK SAPI

POTONG)

PENGETAHUAN ILMIAH(PENYULUHAN)

KONTESTASI PENGETAHUAN

ZERO-SUM GAME HIBRIDISASI KOEKSISTENSI

RESPON LOCALITY SYSTEM LOCAL GOVERNMENT LOCAL MARKET LOCAL COMMUNITY HOUSEHOLD

Page 46: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Paradigma, Jenis dan Pendekatan Penelitian

Paradigma penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme dimana

wacana dan pengetahuan dilihat sebagai realitas sosial. Realitas dikontruksi dalam

suatu konteks dan kehidupan sosial, bersifat eksploratif, teori lahir dan berkembang

di lapangan, lebih menekankan pada makna dan nilai serta mengandalkan

kecermatan dalam pengumpulan data untuk mengungkap keadaan yang

sesungguhnya di lapangan secara tepat.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah

penelitian kualitatif (qualitative research) yang merupakan metode-metode untuk

mengeksplorasi dan memahami makna yang–oleh sejumlah individu atau

sekelompok orang-dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan,

bertujuan untuk mengungkapkan proses, interpretasi makna dan mengarah pada

pengungkapan keadaan atau perilaku individu yang terobsesi secara holistik.

Dengan pendekatan kualitatif tersebut, maka dideskripsikan mengenai taksonomi

pengetahuan lokal, identifikasi pengetahuan lokal, sejarah terbentuknya

pengetahuan lokal, dan peran berbagai stakeholder dalam peternakan sapi potong.

Selain itu pula deskripsi mengenai pengetahuan dari luar yang diintroduksi oleh

agen penyuluh/pemerintah/swasta, serta sinergitas kedua pengetahuan tersebut

yang selanjutnya dijelaskan bagaimana respon sistem lokalitas terhadap sinergitas

tersebut yang didekati secara kualitatif.

Page 47: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang

merupakan salah strategi dalam penelitian kualitatif di mana di dalamnya peneliti

menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktifitas, proses, atau

sekelompok individu. Tujuannya untuk memperoleh diskripsi yang utuh dan

mendalam dari sebuah entitas. Studi kasus mendeskripsikan suatu fokus penelitian

dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan

menyertakan berbagai sumber data serta berbagai teknik pengumpulan dan

pengolahan data.

Menurut Yin (2004), studi kasus memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan

dengan strategi penelitian lainnya, yakni bahwa studi kasus adalah suatu inkuiri

empiris yang menyeldiki fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas, dan

menggunakan banyak sumber untuk memperoleh data. Kasus-kasus dibatasi oleh

waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan

menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah

ditentukan. Untuk memperkuat kedalaman data, juga akan digunakan data-data

kuantitatif, tetapi pendekatan keseluruhan penelitian ini menggunakan pendekatan

kualitatif.

Unit kasus dalam penelitian ini komunitas peternak sapi potong, dalam

kawasan Agropolitan dalam satu wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Barru yang

terbagi dalam 4 desa yang secara administratif berbasis desa. Di dalam komunitas

tersebut tercakup rumah tangga peternak sapi potong secara individu dan peternak

sapi yang berkelompok, pedagang sapi, kelompok/organisasi yang terlibat dalam

usaha peternakan sapi potong, kelompok/organisasi lain yang terkait, kelembagaan

dalam peternakan sapi potong dan kelembagaan lain yang terkait pada level lokal.

B. Pengelolaan Peran Peneliti

Page 48: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Peran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai instrumen, yakni bagaimana

peneliti menjaga validitas dan reliabilitas serta transferabilitas dari realitas yang

diteliti. Prinsip peneliti sebagai instrumen. Beberapa kriteria validitas dan reabilitas

yang digunakan dalam kajian ini, diantaranya adalah : (1) standar kredibilitas,

dengan cara memperpanjang keikutsertaan dalam proses pengumpulan data di

lapangan, melakukan dan terlibat langsung dalam observasi secara terus menerus

dan sungguh-sungguh, melakukan triangulasi (metode, sumber data, dan

pengumpulan data), dan melibatkan teman sejawat untuk berdiskusi/memberikan

masukan, (2) transferabilitas, yang dinilai oleh para pembaca laporan penelitian.

Nilai transferabilitas tinggi jika para pembaca laporan penelitian memperoleh

gambaran dan pemahaman yang jelas tentang konteks dan fokus penelitian, (3)

standar dependabilitas, yaitu ketepatan dalam mengkonseptualisasikan apa yang

diteliti (4) standar konfirmabilitas, dalam hal ini terfokus pada pemeriksaan kualitas

dan kepastian hasil penelitian.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di kawasan Agropolitan di Kecamatan Barru,

Kabupaten Barru. Kawasan Agropolitan dipilih 4 desa, yaitu desa Palakka, desa

Tompo, desa Galung dan desa Anabanua sebagai desa sebagai pusat

pengembangan dengan berbasis komoditas lokal unggulan Sapi Potong. Untuk

mendapatkan gambaran yang akurat dan representatif lokasi, maka akan dipilih

keseluruhan 4 desa tersebut.

Analisis dalam penelitian ini adalah pada tingkat household (rumah tangga)

peternak sapi potong, tingkat local government adalah, seluruh Satuan Kerja

Perangkat Daerah yaitu perangkat desa dan kecamatan (Pemerintah Kecamatan,

pemerintah Desa, LPM, BPD dan Koperasi Desa), tingkat local community antara

Page 49: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

lain pedagang Ternak, kelompok peternak sapi potong, pedagang sarana Produksi

Peternakan, koperasi, lembaga peminjam (kredit), Lembaga perbankan (Bidang

perkreditan BRI cabang Barru, BRI unit desa, BRI cabang lainnya yang

mengucurkan dananya untuk peternak dan pedagang sapi potong). Instansi terkait

di Kabupaten Barru (Dinas Peternakan, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa,

Dinas Koperasi dan UKM) dan pada tingkat local market adalah pedagang ternak

lokal dan antar pulau.

Penelitian ini akan berlangsung selama 6 (enam) bulan) terhitung sejak

mendapatkan persetujuan proposal dari promotor dan co-promotor.

D. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berasal dari hasil wawancara

dengan sejumlah informan. Partisipan/Informan adalah orang (pelaku) yang

mempunyai banyak pengalaman dan pengetahuan lokal atau pengetahuan modern

serta mempraktekkannya dalam usaha beternak sapi potong. Informan yang

mempunyai banyak pengetahuan tentang cara-cara lokal beternak sapi potong

disebut sebagai ahli pengetahuan lokal, sedangkan informan yang mempunyai

pengetahuan dan pengalaman dalam mempraktekkan pengetahuan modern dalam

usaha ternak sapi potong dan terlibat dalam program Kawasan Agropolitan dan

dipandang banyak mengetahui tentang pelaksanaan program ini di Kabupaten

Barru. Pada tingkat pemerintah, informan yang dipilih adalah dari aparat

pemerintah tingkat provinsi (Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan), tingkat

kabupaten (Badan Penyuluh Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten

Barru) dan Dinas-dinas dalam lingkup pertanian dan peternakan, tingkat kecamatan

(kelompok peternak sapi potong), dan tingkat desa (kelompok ternak sapi potong).

Pada tingkat peneliti (Perguruan Tinggi, BPTP, dll) Pada tingkat penyuluh, informan

Page 50: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

yang dipilih adalah bersumber dari aparat penyuluh tingkat provinsi, kabupaten,

kecamatan, dan desa dalam hal ini dikoordinir melalui Badan Pelaksana Penyuluhan

Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Barru. Sedangkan pada tingkat

peternak, informan yang dipilih mulai dari individu peternak sampai pada

kelompoknya. Informan yang telah diwawancarai ditanyakan tentang komunitas

informan lain yang dapat dijadikan informan berikutnya, tetapi ada juga informan

yang ditentukan sendiri oleh peneliti.

1. Jenis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data

sekunder, yang terdiri atas:

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara mendalam ( indepth

interview) dengan menggunakan alat bantu daftar pertanyaan atau kuesioner di

samping itu dilakukan juga pengamatan langsung. Jenis data primer yang

diperlukan dalam penelitian ini dimulai dari pengetahuan tentang persiapan,

pemeliharaan, pengambilan hasil dalam proses produksi sapi potong baik yang

dilakukan oleh peternak yang menggunakan pengetahuan lokal maupun

pengetahuan ilmiah.

2. Data Sekunder, adalah data yang menjadi penunjang dalam penelitian ini yang

diperoleh dari hasil kajian pustaka. Agar semua data atau informasi yang

dibutuhkan dapat dikumpulkan dengan baik, maka sebelum dilaksanakan

penelitian terlebih dahulu ditetapkan data-data yang dibutuhkan, sumber-sumber

yang dapat ditelaah, juga instansi-instansi mana saja yang harus dihubungi

untuk mengumpulkan data dan atau informasi yang dibutuhkan itu. Data-data

sekunder diantaranya adalah dokumen laporan-laporan yang ada pada berbagai

Page 51: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

instansi seperti Dinas Peternakan Provinsi dan Kabupaten, Balai Penyuluhan

Pertanian, Kantor Bupati, Kecamatan, Desa, atau instansi lain yang relevan

dengan penelitian.

2. Sumber Data

Adapun jenis data dan sumber data yang meliputi aspek-aspek dan sub

aspek yang akan dikaji dalam penelitian ini seperti pada Tabel 2 sebagai berikut.

Tabel 2. Matriks Jenis dan Sumber Data

No Tujuan Aspek yang Diteliti Sumber Data1 Mendeskripsikan secara analitis

taksonomi sistem pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan aplikasi sistem pengetahuan lokal tersebut pada proses produksi peternakan sapi potong

Taksonomi Pengetahuan Lokal

Dokumen dan hasil penelitian sebelumnya pada Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP), Dinas Peternakan propinsi dan kabupaten

Identifikasi pengetahuan local

Tokoh masyarakat seperti kepala desa, atau mantri ternak dan peternak yang mengetahui tentang sejarah pengembangan pengetahuan lokal dan sejarah lokal peternakan sapi potong

Aplikasi Pengetahuan lokal sapi potong

Rumah tangga peternak

Ketua kelompok ternak dan anggotanya

Sejarah pembentukan pengetahuan local

Rumah tangga peternak yang telah lama beternak sapi secara turun temurun

Peternak yang

Page 52: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

mengetahui sejarah pengembangan pengetahuan lokal

2 Menjelaskan pola sinergi antara sistem pengetahuan lokal dengan sistem pengetahuan modern dan efeknya terhadap perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Barru

Kontestasi pengetahuan lokal dengan pengetahuan modern (Zero-sum gameHibridisasi dan koeksistensi)

Informan (ketua kelompok ternak, dan anggotanya, pedagang ternak)

Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru

Informan (ketua kelompok ternak, dan anggotanya, pedagang ternak)

Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru

3 Menjelaskan respon sistem lokalitas (locality system; Local community system; lokal government system, lokalmarket system, dan lokal household system) terhadap sinergi antara sistem pengetahuan lokal dengan pengetahuan modern dalam perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Barru

Analisa struktural fungsional untuk melihat struktur maupun fungsi dari Sistem Kemasyarakatan Lokali

Informan (ketua kelompok ternak, dan anggotanya, pedagang ternak)

Seluruh SKPD Kabupaten Barru

Lembaga Kredit (BRI unit Desa dan GAPOKTAN)

Identifikasi Sistem lokalitas (Local community system; local government ystem, local market system, dan lokal household system)

Peternak secara individu

Ketua Kelompok Ternak dan anggotanya

Seluruh SKPD Pedagang

Ternak Lembaga

Pemberi Kredit (BRI Unit Desa dan GAPOKTAN)

Page 53: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Identifikasi respon sistem lokalitas terhadap Kontestasi pengetahuan

Peternak secara individu

Ketua Kelompok Ternak dan anggotanya

Seluruh SKPD Pedagang

Ternak Lembaga

Pemberi Kredit (BRI Unit Desa dan GAPOKTAN)

E. Teknik Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah (1) wacana/pengetahuan yang

berkembang baik pengetahuan lokal maupun pengetahuan ilmiah, dan (2) Local

Household (rumah tangga), (3) Local Government (Pemerintah Lokal), (4)Local

Community (Komunitas Lokal) dan Local Market (Pasar Lokal).

Dalam penelitian kualitatif, setidak-tidaknya terdapat lima jenis teknik analisa

yang banyak dipergunakan yakni (1) observasi terlibat; (2) analisis percakapan; (3)

analisis wacana; (4) analisis wacana; (4) analisis isi; dan (5) pengambilan data

etnografi. Dalam penelitian ini teknik analisis dilakukan dengan cara :

1. Observasi terlibat

Melibatkan peneliti langsung dalam setting sosial. Peneliti mengalam secara

lebih kurang ‘terbuka’ di dalam aneka ragam keanggotaan dari peranan subyek

yang diteliti.

2. Analisis Percakapan dan Analisis Wacana (discourse Analysis)

Memusatkan perhatian pada percakapan dalam sebuah interaksi. Peneliti

memperhatikan analisis dan kompetensi-kompetensi komunikatif yang mendasari

aktivitas sosial. Analisis wacana menekankan pada penggunaan bahasa.

Page 54: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Peneliti, dalam kaitan ini, mempunyai perhatian yang besar pada praktik dan

konstektualisasi

3. Analisis Isi (content analysis) mengkaji dokumen-dokumen berupa kategori

umum dan makna. Peneliti menganalis aneka ragam dokumen, dari mulai kertas

pribadi (surat, laporan).

4. Analisis Struktural-Fungsional. Menganalisis fungsi yang dijalankan oleh

struktur.

Tabel 3. Matriks Jenis, Sumber Data, Teknik Analisis

No Tujuan Aspek yang Diteliti Sumber Data Teknik Analisis1 Mendeskripsikan

secara analitis taksonomi sistem pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan aplikasi sistem pengetahuan lokal tersebut pada proses produksi peternakan sapi potong

Taksonomi Pengetahuan Lokal

Dokumen dan hasil penelitian sebelumnya pada Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP), Dinas Peternakan propinsi dan kabupaten

Analisis Wacana (discourse analysis)

Analisis Isi (content analysis

Observasi Terlibat

Analisis Percakapan

Identifikasi pengetahuan local

Tokoh masyarakat seperti kepala desa, atau mantri ternak dan peternak yang mengetahui tentang sejarah pengembangan pengetahuan lokal dan sejarah lokal peternakan sapi potong

Analisis Wacana (discourse analysis)

Analisis Isi (content analysis)

Observasi Terlibat

Analisis Percakapan

Aplikasi Pengetahuan lokal sapi potong

Rumah tangga peternak

Ketua kelompok ternak dan anggotanya

Analisis Wacana (discourse analysis)

Analisis Isi (content analysis

Observasi Terlibat

Analisis Percakapan

Sejarah pembentukan pengetahuan local

Rumah tangga peternak yang telah lama beternak sapi secara turun temurun

Peternak yang

Analisis Wacana (discourse analysis)

Analisis Isi (content

Page 55: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

mengetahui sejarah pengembangan pengetahuan lokal

analysis Observasi

Terlibat Analisis

Percakapan2 Menjelaskan pola

sinergi antara sistem pengetahuan lokal dengan sistem pengetahuan modern dan efeknya terhadap perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Barru

Kontestasi pengetahuan lokal dengan pengetahuan modern (Zero-sum game Hibridisasi dan koeksistensi)

Informan (ketua kelompok ternak, dan anggotanya, pedagang ternak)

Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru

Analisis Wacana (discourse analysis)

Analisis Isi (content analysis)

Observasi Terlibat

Analisis Percakapan

Rumah Tangga Peternak

ketua kelompok ternak, dan anggotanya, pedagang ternak)

Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru

Analisis Wacana (discourse analysis)

Analisis Isi (content analysis)

Observasi Terlibat

Analisis Percakapan

3 Menjelaskan respon sistem lokalitas (locality system; Local community system; lokal goverment ystem, lokalmarket system, dan lokal household system) terhadap sinergi antara sistem pengetahuan lokal dengan pengetahuan ilmiah dalam perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Barru

Sistem lokalitas (locality system; Local community system; lokal goverment system, lokal market system, dan lokal household system)

Rumah Tangga Peternak

ketua kelompok ternak, dan anggotanya, pedagang ternak)

Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru

Analisis Struktur

Analisis Fungsi

E. Metode Pengambilan Data

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara :

Page 56: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

1. Wawancara

Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara. Wawancara kepada

informan dilakukan untuk memperoleh pemahaman mendalam yang menyangkut

pengetahuan lokal dan pengetahuan modern yang dimanfaatkan oleh peternak sapi

potong dan proses sosial yang terjadi dengan adanya kontestasi antara

pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah. Wawancara dilakukan dengan

menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman di lapangan. Secara garis

besar, teknik wawancara yang dilakukan pada informan peternak menyangkut

informasi mengenai dirinya (aktivitas usaha ternak, kehidupan keluarga, atau

pandangannya terhadap program-program pemerintah), informasi di luar dirinya:

menyangkut peran pemerintah, lembaga/instituasi sumber teknologi/Penyuluh

Pertanian Lapangan, serta lembaga lain (misalnya: Perbankan, swasta, LSM),

hubungannya dengan lembaga/institusi penelitian/pengkajian, penyuluh pertanian,

swasta, dan lain-lain. Untuk informan lembaga/institusi penghasil teknologi dan

penyuluh pertanian lapangan menyangkut informasi mengenai pandangan mereka

terhadap program-program pemerintah yang telah dilancarkan di Kabupaten Barru,

dan bagaimana pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah digunakan oleh

masyarakat setempat.

2. Observasi/Pengamatan.

Pengamatan dilakukan terhadap obyek yang diteliti dengan menggunakan

metode pengamatan berperanserta (partisipant-observation). Jenis peran serta

peneliti adalah peran serta moderat (moderate participation) yaitu peran serta yang

memelihara kesinambungan posisi sebagai orang luar dan orang dalam, dan

sebagai pengamat sekaligus partisipan. Pendekatan dilakukan mulai dari tingkat

pemerintah, peneliti, penyuluh, peternak dan swasta. Sebelum dilakukan

Page 57: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

pengamatan berperan terlebih dahulu menciptakan situasi saling percaya dan

menganggap peneliti sebagai bagian dari mereka.

3. Dokumentasi

Dilakukan dalam bentuk pengambilan gambar guna menunjang visualisasi

data-data yang telah diperoleh dari berbagai teknik pengumpulan data.

4. Rekaman Arsip

Dilakukan untuk menelusuri data-data yang telah tersedia ditingkat

organisasi, misalnya peta lokasi, jumlah kelompok ternak, jumlah anggota kelompok

ternak, kelompok ternak penerima bantuan (kredit).

Matrik sumber data dan Teknik Pengambilan Data dapat dilihat pada Tabel 4

berikut ini :

Tabel 4. Matriks Sumber data dan Teknik Pengambilan Data

No Tujuan Aspek yang Diteliti

Sumber Data Teknik Pengambilan

Data1 Mendeskripsikan

secara analitis taksonomi sistem pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan aplikasi sistem pengetahuan lokal tersebut pada proses produksi peternakan sapi potong

Taksonomi Pengetahuan Lokal

Dokumen dan hasil penelitian sebelumnya pada Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP), Dinas Peternakan propinsi dan kabupaten

Wawancara mendalam

Penelusuran Dokumen

Dokumentasi

Identifikasi pengetahuan local

Tokoh masyarakat seperti kepala desa, atau mantri ternak dan peternak yang mengetahui tentang sejarah pengembangan pengetahuan lokal dan sejarah lokal peternakan sapi potong

Wawancara mendalam

Penelusuran Dokumen

Aplikasi Pengetahuan lokal sapi potong

Rumah tangga peternak Ketua kelompok ternak

dan anggotanya

Wawancara mendalam

Dokumentasi

2 Menjelaskan pola sinergi antara sistem pengetahuan lokal

Taksonomi Pengetahuan Lokal

Informan (ketua kelompok ternak, dan anggotanya, pedagang

Wawancara Mendalam

Dokumentasi

Page 58: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

dengan sistem pengetahuan modern dan efeknya terhadap perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Barru

ternak) Penyuluh, aparat dinas

peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru

Identifikasi pengetahuan local

Rumah Tangga Peternak ketua kelompok ternak,

dan anggotanya, pedagang ternak)

Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten

Wawancara Mendalam

Dokumentasi Rekaman

Arsip

Aplikasi Pengetahuan lokal sapi potong

Rumah Tangga Peternak ketua kelompok ternak,

dan anggotanya, pedagang ternak)

Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru

Wawancara Mendalam

Dokumentasi Rekaman

Arsip

3 Menjelaskan respon sistem lokalitas (locality system; Local community system; lokal goverment ystem, lokalmarket system, dan lokal household system) terhadap sinergi antara sistem pengetahuan lokal dengan pengetahuan modern dalam perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Barru

Sistem lokalitas (locality system; Local community system; lokal goverment system, lokal market system, dan lokal household system)

Rumah Tangga Peternak ketua kelompok ternak,

dan anggotanya, pedagang ternak)

Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru

Wawancara Mendalam

Dokumentasi Rekaman

Arsip

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, S. 1999. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Sekretariat Badan Pengendali Bimas Departemen Pertanian, Jakarta.

Page 59: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Adimihardja, K. 1999. Petani : Merajut Tradisi Era Globalisasi : Pendayagunaan Sistem Pengetahuan Lokal dalam Pembangunan. Cet.1. Bandung Humaniora Utama Press, Bandung.

Agrawal, Arun. 1995. Indigenous and Scientific Knowledge : Some Critical Comments. IK Monitor 3(3), in http://www.nuffic.nl/ciran/ikdm/3-3/articles/agrawal.html Diakses tanggal 14 Juni 2012.

__________. 2002. Indigenous Knowledge and the Politics of Classification. Oxford: Blackwell Publishers.

Ali, M. Saleh S. 2000. Pengetahuan Lokal dan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan : Perspektif dari Kaum Marjinal. Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar. 25 Maret 2000.

Anonim, 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,. Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan usaha sapi potong. Pusat penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Anonim. 2011. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Anonim. 2012. Laporan Kinerja Kementerian Pertanian 2011. Kementrian Pertanian, Jakarta. Tersedia pada http://www.deptan.go.id/pengumuman/berita/2012/Laporan-kinerja-kementan2011.pdf. Diakses tanggal 25 Juli 2012

Ar-Riza, I., H.Dj. Noor dan N. Fauziaty. 2007. Kearifan lokal dalam budidaya padi di lahan rawa lebak. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.

Angassa. A,and F. Beyone. 2003. Current Range Condition in Southern Ethiopia in Relation to Traditional Management Strategies: The Perceptions of Borana pastoralists. Tropical Grasslands volume 37, 53–59

Ayuni, N. 2005. Tata Laksana Pemeliharaan dan Pengembangan Ternak Sapi Potong Berdasarkan Sumber Daya Lahan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Berger, P.L, and T. Luckmann. 2012. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. LP3ES, Jakarta

Carolan, M.S. 2006. Social Change and the Adoption and Adaptation of Knowledge claims: Whose truth do you trust in regard to sustainable agriculture?. Journal Agriculture and Human Values. 23:325–339.

Chamber R. 1987. Pembangunan Desa: Mulai Dari Belakang. Pepep Sudrajat, Penerjemah, Jakarta. LP3ES. Terjemahan daari: Rural Development: Putting The Last First.

Chandrasekhara, K. K.S. Raob, R.K. Maikhuric, K.G. Saxenaa. 2007. Ecological Implications of Traditional Livestock Husbandry and Associated Landuse Practices: A case study from the trans-Himalaya, India. Journal of Arid Environments 69. P. 299–314

Clarke J. 1991. Participatory technology development in agroforestry: methods from a pilot project in Zimbabwe. Agroforestry Systems, 15: 217-228.

Page 60: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Cottier, T. 1998. The Protection of Genetic Resources and Traditional Knowledge : Towards More-Specific Rights and Obligations in the World Trade Law. Journal of International Economic Law, Vol. 1 No. 1, p. 558.

Davis, Diana. 1996. Gender, indigenous knowledge, and pastoral Resource Use in Morocco. Geographical Review;86, 2; ProQuest Central. pg. 284

Den Biggelaar C. 1991. Farming systems development: synthesising indigenous and scientific knowledge systems. Agriculture and Human Values, 8 (1/2): 25-36.

Denzin, N.K, and Y.S. Lincoln. The Sage Handbook of Qualitative Research 1. Edisi Ketiga. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

De Walt,B.R. 1994. Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and Natural Resource Management. In : Human Organization Vol.53. No. 2. Center for Latin American Studies.

Durning, A.T. 1995. Mendukung Penduduk Asli dalam Lester R. Brown. Masa Depan Bumi, Hermoyo. Penerjemah, Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari : State of the Word.

FAO. 1994. Farming Systems Development. A Participatory Approach to Helping Small-scale Farmers. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.

Escobar A. 1999. After Nature : Steps to an Antiessntialis Political Ecology. CSIS : 6 – 440-450

Forsyth, T. 2004. Challenges to Local Knowledge. Training Manual “Building on Gender, Agrobiodiversity and Local Knowledge”. FAO, 2004, http:www.fao.org/sd/LINKS/documentsdownload/FS10ChallengestoLK.pdf . Diakses tanggal 30 Agustus 2012-10-08

Foucault, M. 2012. Arkeologi Pengetahuan. IRCiSoD, Jogyakarta.

Geertz, Clifford, 1983. Local Knowledge, Further Essays in Interpretative. Anthropology. Basic Book 50 Years, United State of America

Gunawan, A., M. Sulistyati. Budiman, M. Sulaiman, dam K. Hidayat. 2000. Sistem Pengetahuan Lokal Cara Seleksi Ayam Buras dan Uji Coba Potensi dan Produktivitasnya. Prosiding Seminar Peternakan dan Veteriner.

Gunawan, Restu, 2008. Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan dan Karya Sastra, Makalah disampaikan dalam Kongres Bahasa, Tanggal 28-31 Oktober 2008, di Jakarta

Grandstaff, TB and SW Grandstaff. 1986. Choice of rice technologi: a farmer perspective. In: Korten, D.C. (ed.) Community management: Asian experince and perspective, West Hartford: Kumarian, pp. 51-61.

Hardiman, F.B. 1990. Kritik Ideologi. Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Kanisius, Yogyakarta

Hart, T. and Vorster, I. 2006. Indigenous knowledge on the South African landscape: potentials for agricultural development. Urban, Rural and Economic Development Research Programme Occasional paper 1. Cape Town: Human Sciences Research Council. http://www.prolinnova.net/South_Africa/a%20%20indigenous_knowledge~952006100711A M1.pdf. Diakses tanggal 21 September 2012.

Page 61: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Kalland.A. 2005. Indigenous Knowledge: Prospects and Limitations dalam Ellen, R., P. Parker, and A. Bicker. Indigenous Environmental Knowledge and its Transformation. Critical Anthropological Perspectives. Francis : The Taylor & Francis e-Library

Hidayat, T. 2000. Studi Kearifan Budaya Petani Banjar Dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut. Jurnal Kalimantan Agrikultura 7(3), Desember 2000. Hlm. 105-111. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

_______. 2010. Kontestasi Sains Dengan Pengetahuan Lokal Petani Dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang surut Kalimantan Selatan. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi. Bogor.

Hijjang, Gising, Basrah. 2007. Pasang Ri Kajang, Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Adat Kawasan Adat Ammatoa di Kabupaten Bulukumba dalam Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi, Maluku Papua. Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Masagena Press, Makassar.

Isbandi. 2004. Pembinaan Kelompok Petani-Ternak dalam Usaha Ternak Sapi Potong. Jurnal .lndonesian. Tropic . Anim. Agric. 29(2): 106−114.

Kenickie, A.M. and Mphahlele,K.M.E. 2002. Indigenous Knowledge for the Benefit of All : Can Knowledge Management Principles Be used Effectively? South African Journal of Libraries and Information Science, 68 (1).

Kariyasa, K. 2005. Sistem integrasi tanaman-ternak dalam Perspektif Reorientasi Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 3(1): 68−80.

Kariyasa 2006; Gordeyase, I.K.M., R. Hartanto, dan W.D. Pratiwi. Proyeksi daya Dukung Pakan Limbah Tanaman Pangan untuk Ternak Ruminansia di Jawa Tengah. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 32(4): 285−292.

Long, N. 2001. Development Sociology. Routledge, Newyok.

Mashur, A. Muzani., Y. G. Bulu. 2004. Kelembagaan Lahan Komunal di NTB : Kasus Kabupaten Sumbawa. Prosiding Seminar Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Mella, E., Kulindwa, K., Shechambo, F.,& Mesaki, S. 2007. The Integrated Assessment of Organic Agriculture in Tanzania. Policy Options for Promoting Production and Trading Opportunities of Organic Agriculture.

Mersyah, R. 2005. Desain Sistem Budi Daya Sapi Potong Berkelanjutan untuk Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan. Disertasi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Miles, N.B. dan A.M.Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Tjetjep Rohendi Rohidi, penerjemah Jakarta UI Press. Terjemahan Dari : Qualitative Data Analysis.

Mulyadi, B. Ginting, sugihen, P. S. Asngari, D. Susanto. Kearifan Lokal dan Hambatan Inovasi Pertanian Suku Pedalaman Arfak di Kabupaten Manokwari - Papua Barat (Local Wisdom and Agriculture Innovation obstacle of the upland arfak tribal group in manokwari regent, west papua).

Page 62: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Muyungi & A.F. Tillya. 2003. Appropriate Institutional Framework for Coordination of Indigenous Knowledge. Links Project Gender, biodiversity and Local Knowledge System for Food Security.

Noor, M. M. Alwi, dan K. Anwar 2007. Kearifan Budaya Lokal dalam Perspektif Kesuburan Tanah dan Konservasi Air di Lahan Gambut. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.

Noor, H.Dj., S.S. Antarlina dan I. Noor. 2007. Kearifan Lokal dalam Budidaya Jeruk di Lahan Rawa. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.

Noor, M dan Achmadi Jumberi,. 2008. Kearifan Budaya Lokal Dalam Perspektif Pengembangan Pertanian Di Lahan Rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjar Baru. Banjarmasin.

Noorginayuwati dan A. Rafieq. 2007. Kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan lebak untuk pertanian di Kalimantan. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.

Noorginayuwati, A. Rafieq, M. Noor, dan A. Jumberi. 2007. Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pertanian di Kalimantan. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.

Nurfitri, E. 2008. Sistem Pemeliharaan dan Produktivitas Sapi Potong pada Berbagai Kelas Kelompok Peternak di Kabupaten Ciamis. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Nyangren, A. 1999. Local Knowledge in the Environment-Development Discourse. Critique of Antropology 19:267-268; http:www.fao.org/sd/LINKS/documents download/Rep%209%20TILLA,pdf. Diakses tanggal 2 April 2012

Ohama, Yutaka, 2001, Conceptual Framework of Participatory Local Social Development, Nagoya:JICA.

Peterse, J. N. 1995. Globalization as Hybridization. dalam Global Modernities. SAGE Publication, London.

Ratnada, M., S. Ratnawaty., J. Nulik. 2004. Kelembagaan Komunal Penggembalaan Ternak : Studi Kasus di Timur Tengah Utara Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Roessali, W., B.T. Eddy, dan A. Murthado. 2005. Upaya pengembangan usaha sapi potong melalui entinitas agribisnis “corporate farming” di Kabupaten Grobogan. Jurnal Sosial Ekonomi Peternakan 1(1): 25−30

Rosida, I. 2006. Analisis Potensi Sumber Daya Peternakan Kabupaten Tasikmalaya sebagai Wilayah Pengembangan Sapi Potong. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Ridwan, N. A. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal . Jurnal Studi Islam dan Budaya . Ibda` Vol. 5. No. 1. Jan-Jun.

Page 63: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Ritzer G, Goodman DJ. 2011. Teori Sosiologi Modern. Prenada. Jakarta

Ruddell E, J Beingolea and H Beingolea. 1997. Empowering farmers to conduct experiments. In: Veldhuizen L vans, Waters-Bayer A, Ramirez R, Johnson DA and Thompson J (eds) Farmers’ research in practice: lessons from the field. Intermediate Technology Publications, London: 199-208.

Rogers, E.M. 2003. Diffusion of Innovation. New York : Free Press.

Salman, D, 2006. Belajar dari Konsep Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan. Makalah, Dipresentasikan dalam seminar nasional "Tinjauan Hukum, Kajian Ekologi Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat (Community Development) dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Makassar, 13 Desember 2006.

________, 2012. Sosiologi Desa. Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas. Ininnawa Press, Makassar.

Santi, W.P. 2008. Respons Penggemukan Sapi PO dan Persilangannya sebagai hasil IB terhadap Pcmberian Jerami Padi Fermentasi dan Konsentrat di Kabupaten Blora. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Saragih, B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Kumpulan Pemikiran. Pustaka Wirausaha Muda, Bogor.

Setiono. 2002. Pengembangan Psikologi Indigenous di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Psikologi: Kognisi UMS, Vol. 6, Nomor 2, hal. 87.

Setiyono, P.B.W.H.E., Suryahadi, T. Torahmat, dan R. Syarief. 2007. Strategi Suplementasi Protein Ransum Sapi Potong Berbasis Jerami dan Dedak Padi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan 30(3): 207−217

Sillitoe Paul, 1998. The Development of Indigenous Knowledge. Current Anthropology, Vol. 39, No. 2. April, 223-247.

Sudaratmaja IGAK., I. N. Suyasa, IGK Dana Arsana. 2004. Isyarat Weda dan Kearifan Lokal dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak di Bali. Prosiding Seminar Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Suhartini. 2009. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009

Sumaryo dan Joshi, 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal dalam Sistem Agroforestri. Bahan Ajar Groforestri. WORLD AGROFORESTRY CENTRE (ICRAF), Southeast Asia.

Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis dengan Pola Kemitraan. Jurnal Litbang Pertanian, 28(1),

Syukri, F.A. 2006. Studi Awal Knowledge Based Society di Indonesia—Metoda perhitungan distorsi informasi dalam budaya lisan--prosiding konferensi nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia 3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung

Syamsu, J.A, L.A. Sofyan, K. Mudikdjo, dan G.Said. 2003. Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia. Wartazoa 13(1): 30−37.

Page 64: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu

Titilola, S.O. 1990. The Economic of Incorporating Indigenous Knowledge System Into Agricultural Development. A Model and Analytical Framework. In : Studies in Technology and Social Change, No.17. Iowa State University Research Foundation.

Vancil, David L., 1993. Rhetoric and Argumentation, Allyn and Bacon, Boston.

Wahyono, D.E. dan R. Hardianto. 2004. Pemanfaatan Sumber Daya Pakan Pokal untuk Pengembangan Usaha Sapi Potong. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 66−76.

Wahyu. 2007. Makna Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Kalimantan Selatan, dalam Soendjoto, M.A. dan Wahyu 2007. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Budaya dan Kearifan Lokal. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

Walker, D.H., P.J. Thorne, F.L. Sinclair, B. Thapa C.D. Word, D.B. Subba. 1999. A System Approach to Comparing Indogenous and Sientific Knowledge : Consistency and Discriminatory Power of Indigenous and Laboratory Assesment of The Nutrive Value of Tree Fodder. Journal of Agricultural Systems 62 (87-103).

Warren. 1993. Using IK for Agriculture and Rural Development. Current Issues and Studies. In : Indigenous knowlede and Development Monitor Vol. 1 No. 1 CIKARD.

Yin R.K. 2004. Studi Kasus. Desain dan Metode. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Terjemahan dari : Case Study Research Design and Methods.

Page 65: BAB III - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4311/PROPOSAL... · Web viewDalam buku Pedoman Pelaksanaan ... maka perlu upaya memantapkan suatu