BAB III -...
Transcript of BAB III -...
PROPOSAL DISERTASI
KONTESTASIPENGETAHUAN LOKAL DAN PENGETAHUAN MODERN
DALAM PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KABUPATEN BARRU
NURDIAH HUSNAH
P0100309040
AH
A. AMIDAH AMRAWATY
PROGRAM STUDI ILMU PERTANIANPROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2013
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................. 14
C. Tujuan Penelitian................................................................... 15
D. Kegunaan Penelitian............................................................. 16
BAB II. STUDI PUSTAKA
A. Pengetahuan & Pembentukan Pengetahuan Lokal............... 17
B. Pertautan Pengetahuan Lokal & Pengetahuan Ilmiah........... 25
C. Sistem Kemasyarakatan Lokal.............................................. 34
D. Kerangka Konseptual............................................................ 36
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Paradigma, Jenis & Pendekatan Ilmiah................................. 42
B. Pengelolaan Peran Sebagai Penelitian................................. 44
C. Lokasi & Waktu Penelitian..................................................... 44
D. Jenis & Sumber Data............................................................. 45
1. Jenis Data................................................................... 46
2. Sumber Data............................................................... 47
E. Teknik Analisis....................................................................... 49
F. Metode Pengambilan Data.................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 55
DAFTAR GAMBAR
1. Kaitan Keempat Entitas dalam Paradigma Pengembangan Komunitas Lokal.............................................. 35
2. Relasi Antar Pihak dalam Pengembangan Komunitas Lokal..... 36
3. Kerangka Pikit Penelitian........................................................... 41
DAFTAR TABEL
1. Substansi Pengetahuan dalam Konstruksi Berbasis Pengalaman (sehari-hari) dan Konstruksi Berbasis (Metode) Ilmiah........................................................................ 31
2. Matriks Jenis & Sumber Data.................................................. 47
3. Matriks Jenis, Sumber Data & Teknik Analisis......................... 50
4. Matriks Sumber Data, Teknik Pengambilan Data.................... 53
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian tentang pertautan antara pengetahuan lokal dengan pengetahuan
ilmiah dibidang peternakan telah banyak dilakukan di beberapa negara, baik di
Indonesia maupun di negara lain. Beberapa penelitian tersebut umumnya terbatas
pada aspek teknis dari pengetahuan tradisional yang diimplementaskan pada usaha
ternak dan usaha taninya, mendeskripsikan kedua pengetahuan tersebut dengan
segala keunggulan dan kelemahannya, belum ada penelitian yang mengungkap
bagaimana pengetahuan tradisional peternak sapi potong berkontestasi dengan
pengetahuan ilmiah, dan bagaimana respon sistem lokalitas (local societal system)
dari pertautan kedua pengetahuan tersebut.
Penelitian tentang pengetahuan lokal dibidang peternakan telah banyak
dilakukan. Ratnada et al (2004) melaporkan bahwa budaya lokal, dalam banyak hal
telah memberikan tuntunan bagi masyarakat, termasuk dalam bidang pertanian
seperti halnya sistem integrasi tanaman-ternak yang pemahaman dasarnya telah
mengakar dalam budaya petani. Dalam kaitan sistem usaha tanaman-ternak, hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sudaratmaja et al (2004) menunjukkan bahwa dalam
budaya Bali yang bersumber dari Weda dan kearifan lokal secara khusus
memandang sapi, tanah atau tanaman, petani, dan teknologi sebagai “ibu” yang
dihormati karena jasanya. Ini berarti Weda dan kearifan lokal sejak dulu telah
mengisyaratkan betapa pentingnya sistem integrasi tanaman ternak. Bahkan bila
diaktualisasikan dalam konsep pembangunan berkelanjutan, keempat “ibu” tersebut
dalam konteks sistem integrasi juga berperan sangat dominan, baik menyangkut
aspek kelestarian, kesejahteraan, sosial, dan kreativitas.
Penelitian tentang peran pengetahuan tradisional di Papua melaporkan
bahwa ternak babi di Papua dan kerbau di Sumatra merupakan alat penarik bajak
dan sumber tabungan petani. Semula berperan sebagai tenaga bantu manusia yang
utama dalam mengolah sawah, sekarang menjadi kurang diperhatikan lagi. Hal ini
berakibat terhadap menurunnya populasi ternak itu. Akibat selanjutnya adalah
menurunnya sumber pupuk kandang yang murah serta produk lain dari hewan
tersebut yang bisa menunjang pendapatan dan sumber daya investasi bagi petani
(Adimihardja, 2004)
Studi yang dilakukan oleh Mashur et al (2004) menyangkut peranan adat
kelembagaan komunal dalam penggembalaan ternak melaporkan bahwa dalam
kelembagaan kandang komunal, suku atau adat termotivasi, memberi legitimasi, dan
menegakkan aturan atau norma-norma yang berlaku. Sebagai contoh adalah
pendinginan sapi supaya sehat, aman, dan baik. Di kalangan masyarakat, cara ini
dikenal sebagai HAINIK, selain itu suku atau adat berperan penting dalam
pengambilan keputusan jika terjadi pelanggaran atau norma-norma yang berlaku.
Survey yang dilakukan oleh Angassa dan Beyone (2003) dilaksanakan di
Borana mengenai kondisi range (padang penggembalaan) di Ethiopia Selatan
melaporkan bahwa praktek penggembalaan tradisional, meskipun efektif bagi
pengguna sumberdaya berkelanjutan, menjadi sangat termarjinalkan karena
terdesaknya perkembangan ranch, alokasi padang rumput komunal untuk investor
swasta, kultivasi dan area padang rumput yang disewa secara pribadi. Peningkatan
populasi ternak dan penurunan padang penggembalaan, telah mengurangi
keefektifan manajemen tradisional untuk mencegah resiko kehilangan ternak di
musim kering sehingga menimbulkan dampak terhadap peternak. Survei ini
merekomendasikan perencanaan partisipatif dan strategi intervensi pembangunan
berbasis pengetahuan tradisional dan nilai-nilai disarankan untuk pembangunan dan
penggunaan sumberdaya berkelanjutan.
Peranan pengetahuan tradisional semakin penting dalam mengidentifikasi
intervensi berkelanjutan yang memungkinkan konservasi lingkungan yang disertai
dengan perkembangan sosial-ekonomi masyarakat lokal. Studi kasus di pedalaman
Trans Himalaya, India (Chandrasekara, et al, 2007) yang mengevaluasi implikasi
ekologi peternakan tradisional dan praktek-praktek penggunaan lahan menjelaskan
bahwa kebutuhan mempertahankan keragaman ternak pada sistem penggembalaan
tradisional berasal dari ketergantungan penduduk lokal terhadap berbagai jenis
produk ternak. Dari segi ekologi, sistem penggembalaan ternak yang beragam
(tradisional) cenderung lebih berkelanjutan jika kerapatan stock rendah dan tiap jenis
ternak menggunakan habitat yang berbeda.
Penelitian yang dilakukan oleh Diana dan Davis (2007) mengeksplorasi
bagaimana praktek dan pengetahuan ethnoveteriner yang mempengaruhi
penggunaan sumberdaya padang penggembalaan di Maroko. Studi ini melaporkan
bahwa para pastoralis di wilayah Aarib, Maroko bertindak dengan cara-cara rasional
dan menerapkan manajemen ternak lokal yang sangat cocok dengan lingkungan
mereka yang kering dan stokastik. Perlakuan etnoveteriner digunakan secara aktif,
dan pengembala menyiapkan tumbuhan lokal untuk mengobati penyakit ternak.
Sebagai contoh sheeba (artemisia absinthum) digunakan untuk obat cacing perut
juga digunakan bersama dengan harmel (peganum harmala) sebagai pengobatan
untuk mengobati ulat di paru dan hidung; keduanya dibakar bersama sebagai
fumigan. Obat dibuat dari juniper (juniperus phoenica) digunakan untuk prolapse
uterine dan mempertahankan plasenta. Henna (lawsonia inermis) dioleskan di
sekitar luka terbuka untuk mempercepat pertumbuhan.. Henna dan resin dari
pohon-pohon konifer seperti juniper mengandung antimikroba seperti halnya
sp.stermedia diketahui memiliki sifat anti parasit.
Sebuah studi menguraikan pendekatan sistem untuk membandingkan
pengetahuan ilmiah dan tradisional dan melihat konsistensi dan kekuatan
diskriminatif assesment laboratorium pada peternak tradisional di Nepal. Penelitian
ini memberikan dasar-dasar evaluasi kompatibilitas dan sifat komplementer
pengetahuan ilmiah dan tradisional mengenai pohon pakan. Hasilnya menunjukkan
bahwa assesment laboratorium (pengetahuan ilmiah) kualitas pohon pakan tropis
dapat digunakan utuk membentuk dan meningkatkan klasifikasi tradisional dan
bukan menggantikannya (Walker, et al, 1999)
Beberapa tahun terakhir, asumsi dalam riset dan pengembangan pertanian
bahwa pengetahuan ilmiah dapat atau harus menggantikan pengetahuan tradisional
telah ditantang oleh pandangan baru yang muncul bahwa pengetahuan tradisional
sebagai komponen kunci sistem pertanian. Saat ini pengetahuan tradisional
dianggap sangat penting di atas semuanya dalam diskusi-diskusi mengenai
penggunaan sumberdaya berkelanjutan dan pembangunan yang berimbang
(Agrawal, 1993).
Kajian mengenai kontestasi pengetahuan lokal peternak dan pengetahuan
ilmiah dalam pengembangan sapi potong menjadi penting untuk dilakukan
mengingat dari sisi pembangunan ekonomi nasional, bukti empiris menunjukan
bahwa sub sektor peternakan memiliki peran cukup strategis. Dalam buku Pedoman
Pelaksanaan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012)
dinyatakan bahwa peran strategis sub sektor peternakan utamanya dari kontribusi
terhadap produk domestik bruto, penyerapan tenaga kerja, penyedia bahan pangan,
bahan energi, pakan dan bahan baku industri, serta sumber pendapatan di
pedesaan.
Strategi pembangunan pertanian belum menempatkan sumber pangan
hewani sebagai komoditas strategis. Sasaran pembangunan pertanian masih
difokuskan pada pemenuhan kebutuhan karbohidrat (beras dan jagung), padahal
jika dilihat dari pangsa konsumsi, 48,30% masyarakat mengonsumsi daging unggas,
26,10% daging sapi, dan 25,60% daging ternak lain. Ini berarti permintaan
masyarakat akan produk peternakan sangat besar. Jika dikaitkan dengan pola
pangan harapan, tingkat konsumsi daging masyarakat Indonesia seharusnya
mencapai 10,10 kg/kapita/tahun. Dengan demikian, pengembangan peternakan
memiliki potensi untuk ditingkatkan (Wahyono dan Hardianto 2004).
Mersyah (2005) mengemukakan, ada dua faktor yang menyebabkan
lambannya perkembangan sapi potong di Indonesia. Pertama, sentra utama
produksi sapi potong di Pulau Jawa yang menyumbang 45% terhadap produksi
daging sapi nasional sulit untuk dikembangkan karena: a)ternak dipelihara menyebar
menurut rumah tangga peternakan (RTP) di pedesaan, b) ternak diberi pakan
hijauan pekarangan dan limbah pertanian, c) teknologi budi daya rendah, d) tujuan
pemeliharaan ternak sebagai sumber tenaga kerja, perbibitan (reproduksi) dan
penggemukan (Roessali et al. 2005), dan e) budi daya sapi potong dengan tujuan
untuk menghasilkan daging dan berorientasi pasar masih rendah. Kedua, pada
sentra produksi sapi di kawasan timur Indonesia dengan porsi 16% dari populasi
nasional, serta memiliki padang penggembalaan yang luas, pada musim kemarau
panjang sapi menjadi kurus, tingkat mortalitas tinggi, dan angka kelahiran rendah.
Kendala lainnya adalah berkurangnya areal penggembalaan, kualitas sumber daya
rendah, akses ke lembaga permodalan sulit, dan penggunaan teknologi rendah
(Syamsu et al. 2003; Isbandi 2004; Ayuni 2005; Rosida 2006). .
Faktor pendorong pengembangan sapi potong adalah permintaan pasar
terhadap daging sapi makin meningkat, ketersediaan tenaga kerja besar, adanya
kebijakan pemerintah yang mendukung upaya pengembangan sapi potong, hijauan
pakan dan limbah pertanian tersedia sepanjang tahun, dan usaha peternakan sapi
lokal tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi global (Kariyasa 2005; Gordeyase et al.
2006; Rosida 2006; Nurfitri 2008).
Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan yang dikonsumsi oleh
rakyat Indonesia. Data dari Direktorat Jendral Peternakan tahun 2012 melaporkan
bahwa konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun
peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang
memadai. Laju peningkatan populasi sapi potong relatif lamban, yaitu 4,23%
(Statistik Peternakan, 2011). Kondisi tersebut menyebabkan sumbangan sapi potong
terhadap produksi daging nasional rendah. Pada tahun 2011, tingkat konsumsi
daging sapi diperkirakan 6.953 kg/kapita/tahun, atau setara dengan 1,70−2 juta ekor
sapi sementara produksi hanya 294.45 ton (Direktorat Jendral Peternakan dan
Kesehatan Hewan, 2012),
Pada tahun 2011 produksi daging lokal meningkat cukup tajam dari 195,82
ribu ton tahun 2010 menjadi 294,45 ribu ton tahun 2011 atau terjadi peningkatan
sebesar 98,63 ribu ton (50,37%). Peningkatan produksi daging lokal ini telah dapat
menekan proporsi daging impor dari semula 53.0 % terhadap total konsumsi daging
sapi nasional pada tahun 2010 menjadi hanya 34,9 % pada tahun 2011.
Pengembangan peternakan sangat terkait dengan pengembangan suatu
wilayah. Sulawesi Selatan sebagai salah satu propinsi di Indonesia memiliki potensi
cukup besar dalam pengembangan peternakan. Propinsi ini pernah dikenal sebagai
lumbung ternak, dengan kemampuan memasok ternak ke daerah lain dalam rangka
pengadaan ternak nasional. Bahkan pernah diadakan ekspor ternak ke luar negeri
pada tahun 1960 sampai tahun 1970-an. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1990 jumlah
pengeluaran ternak sapi adalah 65.804 ekor dan kerbau 17.443 ekor, dan angka
tersebut masih jauh lebih tinggi dibanding jumlah pengeluaraan ternak pada tahun
2003 yaitu sapi sebanyak 6.449 ekor dan kerbau sebanyak 143 ekor (Dinas
Peternakan Sulawesi Selatan, 2004).
Suksesnya pembangunan peternakan sangat bergantung bagaimana ilmu
dan teknologi maju dapat diadopsi oleh masyarakat peternak. Indonesia sebagai
negara sedang berkembang telah banyak menyerap teknologi dari negara-negara
maju, sebagian memperlihatkan hasil yang baik tetapi sebagain lainnya kurang
sesuai dengan kondisi yang ada. Titilola (1990), mengingatkan bahwa transfer
teknologi dari negara maju ke negara sedang berkembang bisa menghambat
pengembangan teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan. Dalam hal ini
program pengembangan inovasi teknologi harus betul-betul sesuai dengan kendala
spesifik seperti kondisi sosial dan lingkungan. Aplikasi teknologi yang tidak
memperhatikan kondisi sosial dan hanya memperhatikan faktor ekologi malah
merusak lingkungan.
Sebaliknya di masyarakat peternak sendiri sebetulnya sudah ada teknologi
asli atau indigenous teknologi (IT) sebagai milik masyarakat yang sudah diterapkan
dan menyatu dengan budaya setempat (Warren, 1992, dan Adnyana dkk. 2000).
Pentingnya teknologi indigenous dikemukakan oleh Titilola (1990) bahwa hanya satu
hal yang bisa membantu upaya peningkatan pendapatan peternak yaitu dengan
pemahaman terhadap sistem pengetahuan lokal dan struktur kelembagaannya yang
ada. Teknologi indigenous sudah berdasarkan pengalaman dan percobaan yang
berulang-ulang sesuai kemampuan masyarakat. Masyarakat dengan mudah
menerapkan teknologi asli karena input relatif rendah, resiko kecil dan cukup ramah
lingkungan, sedangkan teknologi introduksi umumnya menggunakan input tinggi,
resiko besar dan sering tidak ramah lingkungan (De Walt, 1994).
Pandangan teoritis yang menjelaskan pertautan antara dua pengetahuan
dikemukakan oleh Foucault (2012) pendekatan Arkeologi Pengetahuan digunakan
untuk melihat suatu sistem pemikiran, atau dalam istilah Foucault disebut formasi
diskursif (lebih dikenal dengan "wacana"). Wacana/pengetahuan membentuk dan
mengkonstruksikan peristiwa tertentu, dan gabungan dari peristiwa-peristiwa
tersebut membentuk narasi yang dapat dikenali. Dalam suatu masyarakat biasanya
terdapat berbagai macam wacana/pengetahuan yang berbeda satu sama lain,
namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana/pengetahuan tertentu sehingga
wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan
terpinggirkan (marginalized) atau terpendam (submerged).
Foucault (2012) berpendapat bahwa manusia, pengetahuan, dan kebenaran
merupakan produksi dari relasi dominasi yang inheren dalam pluralitas relasi
kekuasaan. Menurutnya subjek tidak muncul dari kekosongan tapi muncul dari
relasi dominasi yang ada disekitarnya. Berbagai wacana/pengetahuan yang ada
dan berbeda tersebut bukan saja merefleksikan atau mempresentasikan entitas-
entitas dan relasi-relasi sosial, melainkan juga mengkonstruksikan atau membentuk
hal itu. Selanjutnya dikatakan bahwa pembentukan wacana dan pengetahuan yang
bersumber dari dalam komunitas ataupun dari luar komunitas dapat dipresentasikan
melalui penyebaran diskursus atau pengetahuan yang mendistribusikan proses
seleksi, control, dan ekslusi (penyingkiran) yang melestarikan rezim kebenaran,
termasuk pada level institusional pengetahuan.
Sesuai yang diungkapkan oleh Pieterse (2001), bahwa globalisasi justru
memunculkan heterogenitas masyarakat global didunia ini. Adanya globalisasi
secara otomatis membuahkan perkembangan baru. Pieterse mengkonsepkan
dampak-dampak globalisasi melalui hibridisasi, global mélange¸ creolization,
orientalisasi dan juga mestizaje.
Dalam hal ini dapat dilihat bahwa globalisasi mencoba untuk meleburkan hal-
hal yang lama (dalam hal ini dispesifikkan budayanya) untuk digabungkan bersama
bentuk-bentuk budaya baru yang mengikuti perkembangan sehingga akan muncul
suatu bentuk budaya baru. Hibridisasi ini juga dapat didukung dengan adanya
migrasi yang akan memindahkan suatu masyarakat kedalam masyarakat baru yang
mempunyai budaya yang berbeda. Namun, Pieterse mengutarakan kekhawatirannya
mengenai adanya peleburan ini karena dengan adanya globalisasi demografi dapat
memicu adanya kosongnya patriotisme seseorang terhadap budaya asalnya
(Pieterse, 2004). Hibridisasi atau sinergi adalah suatu bentuk peleburan dari suatu
bentuk lama yang dipisahkan dari tempat asalnya, kemudian digabungkan dengan
bentuk baru dalam penerapan yang baru pula.
Peleburan bentuk lama yang digabungkan dengan bentuk baru sejalan
dengan gambaran Long (2004) mengenai 'medan perang pengetahuan' atau
“battlefield of knowledge” yang dipilih untuk menyampaikan gagasan pada arena
kontestasi di mana pemahaman, kepentingan dan nilai-nilai aktor yang bermakna
terhadap satu sama lain. Dalam hal ini intervensi menjadi utama, meskipun tidak
secara eksklusif karena dilema pengetahuan dan kontroversi juga membentuk
tulisan dan analisis dokumen kebijakan dan laporan. Selain itu juga temuan
penelitian yang berjuang atas makna sosial dan praktik berlangsung, yang tidak
terbatas pada adegan lokal atau dibingkai oleh pengaturan institusional tertentu
seperti proyek-proyek pembangunan atau program kebijakan yang lebih luas.
Interaksi-interaksi tidak dibatasi oleh 'penerima' dan 'pelaksana', tetapi merangkul
berbagai macam pelaku sosial yang berkomitmen.
Terkait dengan pertautan dua pengetahuan, Salman (2012) berpandangan
ketika variabel lokal semakin berinteraksi dengan variabel non lokal, maka
pengetahuan yang diaplikasikan bukan hanya diproduksi oleh desa, melainkan juga
pengetahuan yang datang dari luar. Dalam situasi yang demikian itulah
persentuhan, kerjasama, saling rujuk, persaingan dan konflik antar substansi dan
produsen dan pengusung pengetahuan berlangsung. Keseluruhan fenomena inilah
yang dimaksud sebagai kontestasi pengetahuan.
Pola kontestasi antara pengetahuan lokal yang dikonstruksi berbasis
pengalam sehari-hari dan pengetahuan modern yang dikonstruksi berbasis metode
ilmiah sangat kompleks. Kompleksitas tersebut melahirkan tiga alternatif
rekonstruksi pengetahuan yang digambarkan oleh Salman (2012) sebagai
rekonstruksi berpola (1)zero sum game berlangsung ketika terjadi saling
meniadakan di dalam kontestasi antara narasi, (2) hibridisasi berlangsung ketika
terjadi pencampuran lalu melahirkan fitur baru pengetahuan dalam kontestasi antara
narasi; rekonstruksi berpola (3)koeksistensi berlangsung ketika terjadi kehadiran
bersama tanpa saling pengaruh dalam kontestasi antar narasi.
Hasil penciuman lapangan yang telah dilakukan sebelumnya, secara faktual
bahwa teknologi introduksi hasil penelitian telah banyak disosialisasikan dan diuji
kembangkan melalui program-program pembangunan pertanian. Semua program
mengintroduksikan teknologi untuk peningkatan produksi dan pendapatan
petani/peternak. Teknologi yang diintroduksikan sudah melalui pengujian secara
laboratorium, kebun percobaan atau di lahan petani/peternak (on farm research) dan
dihitung kelayakan ekonominya sebelum dikembangkan ke masyarakat luas (FAO,
1994). Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa banyak teknologi introduksi yang
belum diadopsi petani/peternak secara berkelanjutan (De Walt, 1994).
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, menunjukkan bahwa
aktivitas yang dilakukan dalam mengintroduksi teknologi baru melalui program
Agropolitan yang pelaksanaannya dimulai tahun 2002, intervensi yang dilakukan
antara lain introduksi teknologi reproduksi pada sapi potong, teknologi pakan dan
introduksi manajemen pemeliharaan dan pemasaran sapi potong. Sementara
petani/peternak juga memiliki pengetahuan yang diperoleh secara empiris antara
lain teknologi reproduksi yang menerapkan perkawinan alami, namun butuh waktu
yang relatif lama, demikian juga dengan pengetahuan tentang pakan yang masih
didominasi dengan pemberian pakan hijauan berupa rumput dan jerami secara utuh.
Melalui program agropolitan yang digulirkan pemerintah antara lain Sistem Integrasi
Tanaman Ternak (SITT) yang diintroduksi penggemukan sapi dan pembuatan
kompos dari kotoran ternak. Pada aspek perbibitan adalah kegiatan kawin suntik
(Inseminasi Buatan), bantuan calon induk dalam bentuk Bantuan Langsung
Masyarakat (BLM). Bantuan ini diberikan dengan beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi oleh penerima. Pada aspek pakan, teknologi yang diintroduksi pengelolaan
hijauan dalam bentuk silase dan hay, pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan,
sedangkan pada aspek manajemen adalah manajemen perkandangan, yang
dimaksudkan agar ternak dengan mudah dapat ditangani, sehingga kotorannya
dapat dikumpulkan untuk pembuatan kompos dan biogas, pendeteksian birahi lebih
mudah, dan pengendalian penyakit ternak dapat ditangani dengan baik. Pemberian
bantuan dalam bentuk modal usaha juga diberikan kepada peternak, melaui Pola
Kredit Usaha Rakyat yang dikeluarkan dari Bank BRI unit Kecamatan dan diberikan
kepada beberapa Kelompok Ternak.
Di kalangan peternak sendiri berkembang pengetahuan yang dimiliki secara
turun temurun yang merupakan warisan dari nenek moyangnya dan telah sekian
lama diterapkan dalam manajemen peternakannya. Mereka memiliki pengetahuan
seleksi bibit dengan cara hanya menilik penampilan ternak tersebut. Sedangkan
untuk perkawinan dilakukan kawin alam. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak,
terutama pada musim kering, dimana rumput hijauan tidak mencukupi kebutuhan
pakan, mereka memanfaatkan pohon tanaman di sekitar lingkungan tempat
tinggalnya yang kemudian diberikan kepada ternak. Demikian juga dalam
manajemen pengendalian penyakit, sebagian besar peternak memanfaatkan
tanaman yang ada di sekitarnya. Untuk manajemen pemasaran ternak sapi potong
pengetahun lokal petani masih mendominasi pengetahuan baru yang diintroduksi,
karena petani pada umumnya masih melakukan penjualan ternak dengan hanya
menaksir harga berdasarkan performa ternak bukan berdasarkan berat ternak.
Dalam hal pemberian modal usaha kepada sesama peternak, pola tesang
masih berkembang. Pola ini merupakan bagi hasil bagi peternak yang sapinya
digembalakan oleh orang lain, dan apabila terjadi kelahiran anak pertama, maka
sapi tersebut masih milk peternak, sedangkan kelahiran anak kedua adalah milik
pengembala.
Kondisi tersebut menimbulkan semacam kesenjangan antara kemampuan
petani yang terbatas dan kebutuhan input tinggi dari teknologi introduksi.
Berdasarkan hal itu, maka perlu upaya memantapkan suatu kerangka kerja untuk
lebih efektif dan kreatif antara teknologi indigenous dan teknologi hasil penelitian,
kekuatan dan kelemahan dari kedua sumber teknologi tersebut yang mengarah
kepada pentingnya kerjasama yang erat antara ilmuwan (teknis dan sosial ekonomi)
dengan petani/peternak untuk mengembangkan sistem pengelolaan peternakan dan
sumberdaya alamnya.
Sepanjang perjalanan waktu, para peternak sapi lokal yang umumnya
mereka adalah petani padi, telah cukup lama dan memilki pengalaman dalam
mengelola dan mengembangakan usaha ternaknya. Usaha tersebut dikelola
dengan nilai-nilai budaya yang berlaku dan menghasilkan pengetahuan spesifik
lokal. Mereka bertindak dengan cara-cara rasional dan menerapkan manajemen
ternak lokal yang sangat cocok dengan lingkungannya. Di samping pengetahuan
lokal yang diproduksi sendiri, mereka juga mengadopsi dan mengaplikasikan
pengetahuan lain dari luar yang dihantarkan oleh penyuluh pertanian/peternakan.
Perpaduan antara pengetahuan lokal yang telah lama dimiliki oleh
masyarakat petani/peternak dengan pengetahuan ilmiah yang diintroduksi dari luar
akan menimbulkan perubahan-perubahan dan respon bagi sistem lokalitas yakni
pemerintah lokal, pasar lokal, komintas peternak lokal dan sampai ke rumah tangga
peternak.
Sistem usaha peternakan sapi yang masih tradisional dengan sistem sosial
yang bersifat lokal dalam menghadapi keselarasan dengan alam ini penting untuk
dikaji terutama dalam menghadapi isu global. Hal ini juga terkait dengan eksistensi
pengetahuan lokal itu ketika pengetahuan lokal berkontestasi dengan pengetahuan
ilmiah menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan masalah yang menjadi isu
global.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh suatu masyarakat didapatkan
melalui pengalaman hidup di suatu tempat tertentu terkait hubungan manusia
dengan lingkungannya sebagai suatu pengetahuan ekologis dalam arti luas. Usaha
ternak sapi potong yang telah digeluti oleh masyarakat secara turun temurun
membentuk sistem pengetahuan mereka melalui pengalaman dan berbagai
percobaan sehingga merupakan suatu proses yang adaptif terhadap lingkungan
sekitar. Kemampuan adaptasi tersebut membuat pengetahuan lokal ini mampu
bertahan hingga sekarang.
Introduksi pengetahuan yang berasal dari luar masyarakat Peternak Sapi
potong di kabupaten Barru telah dilakukan, mulai dari aspek pembibitan yang
menyangkut seleksi bibit, sistem reproduksi, aspek pakan yang menyangkut
pengolahan rumput hiajauan dan jerami serta pohon pakan, pengelolaan limbah
pertanian untuk pakan serta aspek manajemen termasuk manajemen perkandangan
dan pengendalian penyakit dan permodalan. Di satu sisi usaha ternak secara
tradisional berdampak positif terhadap kelanggengan nilai-nilai sosial dan budaya
dengan kearifan lokal yang telah mengakar di masyarakat, di sisi lain
pengembangan usaha ternak dihadapkan pada berbagai kendala, terutama alih
fungsi lahan penggembalaan, penyempitan kepemilikan lahan usaha, rendahnya
tingkat kesuburan lahan yang berkaitan dengan iklim dan berkurangnya
ketersediaan air dan hijauan pakan pada musim kemarau sehingga mempengaruhi
kemampuan produksi dan reproduksi ternak sapi. Karena itu, terjadi interaksi
antara pengetahuan eksperiensial/tradisional/lokal yang dimiliki oleh peternak
setempat dan pengetahuan ilmiah/modern/global yang diintroduksikan dari luar.
Penelitian ini berfokus pada kontestasi antara pengetahuan ilmiah/modern/global
dengan pengetahuan eksperiensial/tradisional/lokal dalam konteks dinamika sistem
kemasyarakatan lokal (local societal system) berbasis mata pencaharian
peternakan.
Untuk menelaah permasalahan ini maka disusunlah pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana substansi dan aplikasi sistem pengetahuan lokal (indigenous
knowledge) pada peternakan sapi potong di Kabupaten Barru.
2. Bagaimana pola kontestasi antara sistem pengetahuan lokal dengan sistem
pengetahuan ilmiah dalam perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten
Barru?
3. Bagaimana sistem kemasyarakatan lokal (lokal societal system) merespon
terjadinya kontestasi antara pengetahuan lokal dengan pengetahuan ilmiah
dalam perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Barru.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis eksistensi pengetahuan lokal peternak
sapi potong dan perpaduannya dengan pengetahuan ilmiah yang berasal dari luar
komunitas. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Mendeskripsikan secara analitis taksonomi sistem pengetahuan lokal
(indigenous knowledge) dan aplikasi sistem pengetahuan lokal tersebut pada
proses produksi peternakan sapi potong di Kabupaten Barru.
2. Menjelaskan pola kontestasi antara sistem pengetahuan lokal dengan sistem
pengetahuan ilmiah
3. Menjelaskan respon sistem kemasyarakatan lokal (locality system: local
community system, local government system, local market system dan local
household system) terhadap kontestasi antara sistem pengetahuan lokal dengan
pengetahuan ilmiah dalam pengembangan peternakan sapi potong di
Kabupaten Barru.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan,
pemahaman pentingnya pengembangan pengetahuan lokal di bidang peternakan
dan menciptakan suatu teknologi efektif berbasis pengetahuan lokal. Secara
praktis, diharapkan dapat memberi kontribusi bagi pengembangan pengetahuan
lokal yang telah ada di komunitasnya, pengembangan dua sistem pengetahuan
yang setara dan saling melengkapi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti kajian yang sama dengan
ruang lingkup dan pendekatan yang berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengetahuan dan Pembentukan Pengetahuan Lokal
Pengetahuan adalah informasi yang telah dikombinasikan dengan
pemahaman dan potensi untuk menindaki; yang lantas melekat di benak seseorang.
Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu
sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Manakala informasi dan data sekedar
berkemampuan untuk menginformasikan atau bahkan menimbulkan kebingungan,
maka pengetahuan berkemampuan untuk mengarahkan tindakan. Dalam
pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh
manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang
menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang
belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.
Sebuah pengetahuan terbentuk dari proses berawal dari alam yang banyak
menyediakan fenomena, bisa akan menjadi fakta bagi mereka yang dapat
memungutnya. Fakta-fakta bila terkumpul akan menjadi data. Data yang diolah dan
dianalisis akan menjadi informasi, dan informasi akan diserap dalam otak manusia
menjadi pengetahuan (knowledge). Pengetahuan dibedakan menjadi 2, yaitu (1)
pengetahuan tersembunyi dalam otak manusia (tacit knowledge) yang sulit untuk
ditransfer ke orang lain; dan (2) pengetahuan yang berwujud secara ekplisit (nyata)
dalam rumus, sketsa, tulisan, gambar, dan sebagainya (explicit knowledge) yang
relatif lebih mudah untuk dipindahtangankan ke orang lain (Syukri, 2006).
Pengetahuan mempunyai makna hanya setelah ia ditempatkan di dalam jaringan
sosial tertentu (Collins, 1990; Collins dan Pinch, 1998; Jasanoff, 1990) dalam
Carolan (2006). Jadi, jika kita percaya bahwa suatu jaringan sosial dapat dipercaya,
kita akan merasakan hal yang sama mengenai pengetahuan yang berasal dari
jaringan sosial tersebut – yaitu, kita akan cenderung menganggap pengetahuan
tersebut benar.
Menurut Lyotard (2009) pengetahuan adalah “sesuatu yang menjadikan
seseorang berkapabilitas menyatakan ucapan “baik”. Ia tidak hanya mencakupi
ucapan denotatif yang “baik”, tetapi juga mencakupi ungkapan konotatif yang “baik”,
ucapan evaluatif yang “baik, ucapan preskriptif yang “baik, dan ucapan transformatif
yang “baik”. Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ucapan yang
“baik” tentang denotasi, konotasi, evaluasi, preskripsi dan transformasi yang “baik”
adalah kebersesuaiannya dengan kriteria kebenaran, keindahan, keadilan, kebajikan
yang terterima oleh lingkungan sosial dimana permainan bahasa itu berlangsung
pada pentas dimana teman bicara “saling mengetahui”. Pengetahuan bukanlah
sekedar kompetensi relatif pada golongan khusus dari ucapan, sebaliknya ia mebuat
performa “baik” dalam semua relasi dengan suatu varietas obyek wacana yang
mungkin terjadi : obyek yang diketahui, obyek yang disimbolisasi, obyek yang
diputuskan, obyek yang dievaluasi, obyek yang ditransformasi.
Pengetahuan adalah landasan kualitas dari suatu tatanan, dan pengetahuan
menjadi landasan kualitas tatanan karena ia menjadikan seseorang berkapabilitas
menyatakan ucapan yang baik dalam permainan bahasa pada sebuah tatanan. Apa
yang dimaksud dengan ucapan yang ‘baik’; tentang denotasi, konotasi, evaluasi,
preskripsi dan transformasi yang ‘baik’; adalah kebersesuaiannya dengan kriteria
kebenaran, keindahan, keadilan, kebajikan; yang terterima oleh lingkungan sosial
dimana permainan bahasa itu berlangsung, pada pentas dimana teman bicara
“saling mengetahui” (Lyotard, 2009). Bila tatanan merupakan interkoneksitas dari
entitas lokal dan non-lokal; maka kriteria baik atas ucapan dapat bersumber dari
lingkungan sosial lokal/spesifik dan lingkungan sosial global/universal. Ada
pengetahuan yang bersesuai dengan kriteria baik pada skala global/universal; ada
pengetahuan yang bersesuai dengan kriteria baik pada skala lokal/spesifik; dimana
kriteria baik pada skala global/universal pada hakekatnya adalah jelmaan kesamaan
dari kriteria baik pada berbagai skala lokal/spesifik seantero dunia.
Pengetahuan dapat disamakan dengan knowledge yang dapat diperoleh dari
berbagai sumber seperti media massa ataupun cerita orang lain sehingga mudah
dilupakan, sedangkan pengalaman atau memory, relatif permanen sifatnya,
terutama karena ia berkaitan dengan pengalaman langsung (direct experiences)
dalam perjalanan hidup manusia (Sairin, 2006).
Pengetahuan didefenisikan oleh Drucker (1998) sebagai informasi yang
mengubah sesuatu atau seseorang, sehingga pengetahuan dianggap sebagai
kekuasaan untuk menguasai yang lain. Berdasarkan itu maka ketika informasi
menjadi dasar untuk bertindak, dan memampukan seseorang atau institusi untuk
mengambil tindakan sebelumnya. Dengan demikian pengetahuan dapat diartikan
sebagai informasi yang dapat ditindaklanjuti atau digunakan sebagai dasar untuk
bertindak, mengambil keputusan dan menempuh arah atau strategi tertentu.
Sejalan dengan pendapat Drucker tersebut, Sveiby (1997) mendefinisikan
pengetahuan sebagai kapasitas untuk bertindak. Kapasitas untuk bertindak
seseorang yang diciptakan secara berkelanjutan melalui proses mendapatkan
pengetahuan (process-of-knowing). Dengan kata lain, pengetahuan tidak dapat
dipisahkan dari konteksnya.
Foucault (2012), menjelaskan bahwa kekuasaan menciptakan pengetahuan
dan kekuasaan dan pengetahuan saling mempengaruhi secara langsung satu sama
lain. Filsafat ini jelas tampak relevan bagi zaman informasi sekarang ini, dimana
pengetahuan dan kekuasaan keduanya berjalan bersama-sama. Kekuasaan
didefenisikan oleh Foucault (2012) bukanlah merupakan suatu entitas atau kapasitas
yang dimiliki oleh satu lembaga melainkan dapat diibaratkan dengan sebuah
jaringan yang tersebar di mana-mana Jadi kekuasaan tidak datang secara vertikal
dari penguasa terhadap yang ditindas, dari pemerintah kepada rakyat, melainkan
datang dari semua lapisan masyarakat dan menyebar secara kompleks kepada
segenap individu sebagai subyek yang kecil dan menyebabkan praktek kuasa ada di
mana-mana.
Kearifan (wisdom) adalah buah dari pengetahuan (knowledge)) dan
pengetahuan dihasilkan dari persepsi manusia tentang dunianya melalui
penangkapannya dengan menggunakan indera ataupun intuisi. (Geertz, 1983) .
Selanjutnya Kenickie and Mphahlele (2002) menyatakan bahwa Indigenous
knowledge adalah akumulasi pengetahuan yang telah diciptakan selama beberapa
dekade, yang mencerminkan pemikiran kreatif dan aksi berbagai generasi dalam
individu komunitas, dalam ekosistem tempat tinggal yang permanen dalam usaha
menghadapi lingkungan agroekologi dan sosioekonomi yang selalu berubah.
Manusia yang membuahkan pengetahuan selalu mengorganisir diri dalam
suatu komunitas dan dengan itu kearifan lokal adalah hasil konstruksi sebuah
komunitas, ia dikonstruksi secara sosial budaya. Karena dikonstruksi secara sosial
budaya, kearifan lokal selalu bersifat dinamis, substansi dan konteksnya berubah
mengikuti perubahan spirit zaman. Mengapa? karena dibalik konstruksi itu menurut
pemikiran Berger (2012) terdapat dialektika antara individu/aktor dengan
struktur/sistem, yang integrasinya dibangun dalam rangkaian proses internalisasi
(proses individu/aktor mengetahui nilai, norma dan kondisi dari struktur/sistem
tempat ia hidup), objektivasi (proses individu/aktor menimbang dan mendefenisikan
kehendak/struktur/sistem), dan eksternalisasi (proses individu/aktor bertindak dalam
kesesuaian ataupun bertentangan dengan kehendak struktur/sistemnya)
Pengetahuan lokal adalah informasi dasar bagi suatu masyarakat yang
memudahkan komunikasi dan pengambilan keputusan. Pengetahuan lokal adalah
bagian sistematis dari pengetahuan yang diperoleh oleh masyarakat lokal melalui
akumulasi pengalaman-pengalaman informal, dan pemahaman mendalam tentang
lingkungan sebagai suatu kultur. Kadang-kadang persepsi tentang pengetahuan
lokal ini berbeda dengan orang luar (di luar komunitas bersangkutan). Menurut
Geertz (2003), bahasa sebagai sistem simbol dan dialektika diperlukan untuk
memahami tentang pengetahuan lokal ini karena pengertian ‘benar’ dan ‘salah’
haruslah dipahami dalam konstruksi kebahasaan mengenai apa yang ‘benar’ dan
apa yang disebut ‘salah’ dalam konteks komunitas lokal. Senada dengan hal
tersebut Warren (1993), menyatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan
sesuatu yang unik yang terdapat dalam suatu kultur atau masyarakat.
Pengembangan pengetahuan lokal dalam sebuah komunitas masyarakat,
terutama masyarakat yang menjadikan pertanian sebagai fokus utama mata
pencaharian pada saat ini cukup urgen. Kondisi alam yang tidak menentu akibat dari
perubahan iklim dan pemanasan global memaksa masyarakat, khususnya petani
melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi tersebut. (Patinduka, 2012).
Pengembangan teknologi berbasis pengetahuan lokal setempat, dianggap akan
lebih mudah teradopsi oleh masyarakat, karena sejatinya teknologi tersebut berasal
dari masyarakat setempat, kebiasaan setempat, dan kebudayaan setempat,
sehingga masyarakat sekitar juga memiliki semangatdan kesadaran untuk menjaga
hal tersebut.
Terkait dengan adanya dikotomi antara masyarakat modern dengan
masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, masyarakat
lokal dianggap lebih mengetahui kondisi lingkungannya secara lebih baik. Mereka
mengatur dan mengelola alam dengan cara yang mereka anggap sesuai untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Mereka menggunakan rasionalitas dengan caranya
sendiri yang dalam pandangan masyarakat modern sering dianggap tidak rasional.
Dalam pandangan mereka terdapat hubungan saling ketergantungan antara
manusia dan alam/lingkungan dan menganggap bahwa alam merupakan dunia
kehidupan bagi mereka, sehingga merusak alam berarti merusak kehidupan mereka
Little (2000) dalam Hidayat, 2010). Oleh karena itu dalam segala tindakannya selalu
mengarah pada strategi bertahan hidup dan hidup selaras dengan alam.
Pemaknaan terhadap alam dengan cara demikian melahirkan bentuk pengetahuan
yang disebut pengetahuan lokal (local knowledge).
Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan
pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah
budaya masyarakat tertentu. Definisi ini bisa jadi setara dengan definisi mengenai
Indigenous psychology yang didefinisikan sebagai usaha ilmiah mengenai tingkah-
laku atau pikiran manusia yang asli (native) yang tidak ditransformasikan dari luar
dan didesain untuk orang dalam budaya tersebut. Hasil akhir dari indigenous
psychology adalah pengetahuan yang menggambarkan tentang kearifan lokal, yaitu
gambaran mengenai sikap atau tingkah-laku yang mencerminkan budaya asli
(Ridwan, 2006).
Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan
masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan
pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat
dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis
karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem
pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem
solving)
Ali (2000) menyatakan bahwa pengetahuan yang dimiliki petani diberi nama
oleh para ahli dengan nama yang berbeda-beda. Ada yang menyebutnya sebagai
pengetahuan lokal (Chambers, 1986), pengetahuan indigenous (Warren, 1989; Bell,
1979; Thrupp, 1989; Compton, 1989, Ali, 1999), pengetahuan asal mula jadi (Radi,
1999), pengetahuan tradisional (Swift, 1979, Norgaard, 1984) dan sebagainya.
Apapun namanya, pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang dikembangkan
melalui pengalaman (experential learning) tentang suatu realita tertentu. Prosesnya
melalui pengamatan dan percobaan dalam rentang waktu yang cukup panjang dan
karenanya perkembangannya tidak secepat dengan perkembangan pengetahuan
modern. Beberapa ahli memberikan terminologi yang berbeda untuk menjelaskan
definisi ini dan cenderung mengalami perluasan terminologi seperti : pengetahuan
yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge), pengetahuan tradisional
(traditional knowledge), pengetahuan teknis yang berasal dari pribumi (indigenous
technical knowledge), sistem pengetahuan yang berasal dari pribumi (indigenous
knowledge system)
Kearifan lokal (local genius/local wisdom) merupakan kearifan yang tercipta
dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang
dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, kearifan lokal
mengandung pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan
hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan,
norma, budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam
jangka waktu yang lama. Proses regenerasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi
lisan (cerita rakyat) dan karya-karya sastra, seperti babad, suluk, tembang, hikayat,
lontarak dan lain sebagainya ( Gunawan, 2008). Oleh karena itu pengetahuan
indigenous ini tidak dapat diartikan sebagai pengetahuan kuno, terbelakang, statis
atau tak berubah (Johnson (1992) dalam Sunaryo dan Joshi, 2003).
Sistem pengetahuan lokal juga membentuk dasar untuk pengambilan
keputusan, yang diterapkan melalui organisasi-organisasi lokal, dan menyediakan
pondasi bagi inovasi-inovasi dan percobaan lokal. Sistem pengetahuan lokal berupa
keterampilan-keterampilan adaptif dari masyarakat setempat, biasanya diperoleh
dari pengalaman yang lama, yang sering dikomunikasikan melalui "tradisi-tradisi
lisan" dan pembelajaran melalui para anggota keluarga dan generasi ke generasi.
Oleh karena itulah dalam pandangan Kalland (2005), pengetahuan lokal sebenarnya
bukan merupakan mitos, karena juga memiliki sifat sebagai pengetahuan empiris
(menyangkut persepsi tentang lingkungan), pengetahuan paradigmatik
(pemahaman), dan pengetahuan institusional (keterlekatan dengan institusi sosial).
Sunaryo dan Joshi (2003)) mengatakan pengetahuan lokal merupakan
konsep yang lebih luas yang merujuk pada pengetahuan yang dimiliki oleh
sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu untuk jangka waktu yang lama.
Pada pendekatan ini, kita tidak perlu mengetahui apakah masyarakat tersebut
penduduk asli atau tidak. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana suatu
pandangan masyarakat dalam wilayah tertentu dan bagaimana mereka berinteraksi
dengan lingkungannya, bukan apakah mereka itu penduduk asli atau tidak. Hal ini
penting dalam usaha memobilisasi pengetahuan mereka untuk merancang
intervensi yang lebih tepat-guna.
Kearifan lokal merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai
kehidupan yang menyatu dalam bentuk sosial budaya, religi dan adat istiadat. Dalam
perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dengan
mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan,
dipadu dengan norma adat, nilai budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna
mencukupi kebutuhan hidupnya (Suhartini 2009).
Sistem pengetahuan lokal juga membentuk dasar untuk pengambilan
keputusan, yang diterapkan melalui organisasi-organisasi lokal, dan menyediakan
pondasi bagi inovasi-inovasi dan percobaan lokal. Sistem pengetahuan lokal berupa
keterampilan-keterampilan adaptif dari masyarakat setempat, biasanya diperoleh
dari pengalaman yang lama, yang sering dikomunikasikan melalui "tradisi-tradisi
lisan" dan pembelajaran melalui para anggota keluarga dan generasi ke generasi.
Oleh karena itulah dalam pandangan Kalland (2005), pengetahuan lokal sebenarnya
bukan merupakan mitos, karena juga memiliki sifat sebagai pengetahuan empiris
(menyangkut persepsi tentang lingkungan), pengetahuan paradigmatik
(pemahaman), dan pengetahuan institusional (keterlekatan dengan institusi sosial).
Pengetahuan lokal adalah informasi dasar bagi suatu masyarakat yang
memudahkan komunikasi dan pengambilan keputusan. Pengetahuan lokal adalah
bagian sistematis dari pengetahuan yang diperoleh oleh masyarakat lokal melalui
akumulasi pengalaman-pengalaman informal, dan pemahaman mendalam tentang
lingkungan sebagai suatu kultur. Kadang-kadang persepsi tentang pengetahuan
lokal ini berbeda dengan orang luar (di luar komunitas bersangkutan). Menurut
Geertz (2003), bahasa sebagai sistem simbol dan dialektika diperlukan untuk
memahami tentang pengetahuan lokal ini karena pengertian ‘benar’ dan ‘salah’
haruslah dipahami dalam konstruksi kebahasaan mengenai apa yang ‘benar’ dan
apa yang disebut ‘salah’ dalam konteks komunitas lokal. Senada dengan hal
tersebut Warren (1993), menyatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan
sesuatu yang unik yang terdapat dalam suatu kultur atau masyarakat.
Dalam konteks antropologi, Wahyu (2007) menggunakan konsep kearifan
lokal, yang dalam terminologi budaya dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan
yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan dengan
alam dalam sejarah panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat
dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Berdasarkan
definisi di atas dapat dikatakan bahwa pengetahuan lokal meliputi tradisi-tradisi dan
praktik-praktik sudah berlangsung lama dan berkembang di wilayah tertentu, asli
berasal dari tempat tersebut atau masyarakat-masyarakat lokal yang terwujud dalam
kebijaksanaan, pengetahuan, dan pembelajaran masyarakat. Dalam banyak hal
pengetahuan lokal ini disampaikan antar generasi secara lisan dari orang ke orang
dan dapat berbentuk kisah-kisah, legenda-legenda, dongeng-dongeng, upacara
agama, lagu-lagu, dan bahkan hukum.
B. Pertautan Pengetahuan Lokal dengan Pengetahuan Ilmiah
Menurut Forsyth (2004), makna lokal dalam pengertian pengetahuan lokal
merujuk pada pengetahuan yang dibatasi ruang dalam suatu wilayah tertentu, atau
mungkin juga didasarkan pada aspek budaya dan etnis tertentu. Ini berarti bahwa
pengetahuan lokal merupakan sesuatu yang secara khusus terikat dengan orang
atau tempat tertentu. Menurut Chamber (1987), pengetahuan lokal sering juga
disebut sebagai ilmu rakyat, ethnoscience, ilmu pedesaan, dan ada juga yang
menggunakan istilah ilmu pengetahuan teknis asli. Tidak ada definisi tunggal tentang
terminologi pengetahuan lokal (local knowledge). Beberapa ahli memberikan
terminologi yang berbeda untuk menjelaskan definisi ini dan cenderung mengalami
perluasan terminologi seperti : pengetahuan yang berasal dari pribumi ( indigenous
knowledge), pengetahuan tradisional (traditional knowledge), pengetahuan teknis
yang berasal dari pribumi (indigenous technical knowledge), sistem pengetahuan
yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge system).
Beberapa pengertian dari masing-masing terminologi ini antara lain (Muyungi
and Tillya 2003) : (a). Vlaenderen (1999) menggambarkan indigenous knowledge
sebagai suatu koleksi gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi yang digunakan untuk
memandu, mengendalikan dan menjelaskan tindakan-tindakan di dalam suatu
pengaturan yang spesifik berdasar pada sistim nilai (religi dan kepercayaan
terhadap hal-hal yang gaib) dan epistemologi. Ia selanjutnya juga memberikan
tentang pengertian indigenous knowledge system sebagai pengetahuan yang dimiliki
dan dikuasai oleh masyarakat asli/pribumi dengan cara yang sistematis; (b) Brouwer
(1998) menggambarkan traditional knowledge sebagai kemampuan-kemampuan
kuno, adat-istiadat yang asli dan khusus, konvensi-konvensi dan rutinitas-rutinitas
yang mewujudkan suatu pandangan statis dari kultur masyarakat. Traditional
knowledge beroperasi pada level praktis tindakan-tindakan yang diulangi yang
didasarkan pada pendapatpendapat dan kepercayaan-kepercayaan;(c). Kajembe
(1999) mendeskripsikan indigenous technical knowledge meliputi pengetahuan
tentang perkakas dan teknik-teknik untuk penilaian/penaksiran, kemahiran,
perubahan bentuk dan pemanfaatan sumber daya yang spesifik untuk lokasi
tertentu.
Perhatian atas kearifan lokal muncul sejak tersadari bahwa proses
modernisasi yang menempatkan "semua ketradisionalan adalah tidak baik dan harus
menggantinya dengan "kemoderenan yang dianggap baik", ternyata salah kaprah.
Pandangan manusia tentang kosmosnya yang ingin dikosongkan dari hal-hal magis,
mistik dan mitos serta menggantinya dengan hal-hal rasional dan masuk akal,
terutama sains dan teknologi, dihadapkan pada kenyataan bahwa sains dan
teknologi tersebut ternyata menjelma menjadi mitos, mistik dan magis itu sendiri.
Pada tataran praktis, kesadaran ini juga didorong oleh fakta bahwa memang
mustahil modernisasi menghapus tuntas ketradisionalan. Perpaduan antara
ketradisionalan dengan kemoderenan, antara pandangan dunia yang berciri magis,
mitos, mistik dengan yang berciri rasional-masuk akal-empiris, dianggap lebih tepat
dan realistis dengan sistem kehidupan (Salman, 2006), karena dipelajari dari
generasi ke generasi dan dianggap cocok untuk pengelolaan lingkungan secara
lestari (Hijjang dan Basrah, 2007)
Agrawal (1995) menyatakan bahwa pengetahuan lokal berbeda dengan
pengetahuan Barat atau Ilmiah dalam hal (i) Landasan substantif – karena
perbedaan subyek dan karakteristik pengetahuan lokal dengan pengetahuan barat
(ii) Landasan metodologi dan epistomologi– karena bentuk-bentuk pengetahuan
menggunakan metode yang berbeda-beda untuk meneliti kenyataan; (iii) Landasan
kontekstual – karena pengetahuan lokal/tradisional berakar lebih dalam pada
lingkungan.
Beberapa ahli pengetahuan lokal berpendapat bahwa sains bersifat terbuka,
sistematis, obyektif dan analitis. Ia dapat berkembang dengan membangun
pengetahuan berdasarkan pencapaian sebelumnya. Namun, pengetahuan lokal
bersifat tertutup, tidak sistematis, holistik, kurang analitis, perkembangannya
berdasarkan pengalaman-pengalaman baru, bukan pada logika deduktif (Banuri and
apffel-Marglin 1993; Howes and Chamber 1980 dalam Agrawal (2010).
Kebanyakan petani di negara berkembang menerapkan sistem pertanian
berinput rendah (kurang lebih 80 % dari pertanian) (Mella, Kulindwa, Shechambo,
& Mesaki, 2007). Hal ini menunjukkan adanya potensi pengetahuan lokal untuk
penerapan pertanian berkelanjutan. Statistik menunjukkan bahwa sekurang-
kurangnya 50 % penduduk dunia tergantung pada pengetahuan lokal untuk suplai
pangan dan tanaman (Hart dan Vorster, 2006).
Sejumlah program pembangunan di mana pengetahuan lokal telah
memberikan dorongan untuk menghasilkan teknologi telah meningkat beberapa
tahun terakhir ini. Keberhasilan program pembangunan karena penggabungan
pengetahuan indigenous telah banyak didokumentasikan. Warren (1991)
menyajikan studi kasus di mana pengetahuan lokal dalam perbaikan pengelolaan
sumber daya alam jauh lebih penting dibandingkan teknologi proyek.
Pengetahuan lokal umumnya digambarkan sebagai romantika masa lalu,
sebagai penghambat utama dalam pembangunan, bukan merupakan sebuah isu
penting dan bukan sebagai obat mujarab bagi transaksi dengan permasalahan-
permasalahan lingkungan yang utama, dan juga bukan sebagai komponen kritis
budaya alternatif dalam modernisasi. Oleh karena itu Nyangren (1999) mengatakan
bahwa dalam pandangan ahli-ahli pembangunan, pengetahuan lokal dianggap
penghambat dalam kemajuan, dan penduduk lokal hidup dibatasi oleh gagasan atau
pemikiran tradisional mereka. Dalam pandangan Sillitoe (1998), pengetahuan lokal
merupakan pengetahuan praktis masyarakat yang diperoleh secara turun temurun
dari nenek moyang mereka dan didasarkan atas pengalaman dan pembelajaran
terhadap fenomena alam dan melekat dalam kehidupan sosial budaya mereka.
Pengetahuan lokal ini bersifat spesifik secara budaya, lokasi geografi, dan
sering meliputi regional ekosistem tertentu. Oleh karena itu dalam menyikapi krisis
lingkungan dan pembangunan, pengetahuan lokal memiliki keterbatasan dalam
memecahkan isu-isu global dan isu lingkungan atau isu pembangunan pada lokasi
atau masyarakat yang berbeda. Sistem pengetahuan lokal sangat jarang dijadikan
sebagai dasar dalam pertarungannya dengan sains. Masyarakat lokal akan
menggabungkan dan menginterpretasi kembali aspek-aspek pengetahuan dan
praktik modern ke dalam tradisi mereka sebagai bagian dari proses globalisasi yang
sedang berlangsung. Melalui cepatnya perubahan ini dalam jangka panjang sistem
pengetahuan lokal ini mengalami proses modifikasi ke arah perpektif ilmiah.
Berbeda halnya dalam pandangan Escobar (1999), di mana pengetahuan
lokal dalam pertarungan politiknya dengan kepentingan kaum kapitalis dan pakar
teknologi (scientist) akan membentuk suatu hibrid melalui proses hibridisasi budaya
(cultural hybridization). Dengan kata lain masing-masing pihak yang memiliki basis
budaya pemikiran dan basis kepentingan yang berbeda pada akhirnya akan
membentuk satu regim politik tunggal menuju kesatuan pandangan politik tentang
alam. Oleh karena itulah dalam pandangan Forsyth (2004) , konsep hibridisasi
antara pengetahuan lokal dengan sains merupakan pengintegrasian keduanya untuk
mencari penjelasan secara lokal terkait dengan permasalahan lingkungan. Tujuan
hibridisasi ini bukan untuk mengungkap perubahan biofisik secara lengkap, tetapi
untuk mengungkapkan seberapa jauh wacana hegemonik permasalahan lingkungan
tersebut sesuai dengan pengalaman orang-orang dalam wilayah tertentu.
Foucault (2012), mengatakan bahwa wacana/pengetahuan membentuk dan
mengkonstruksikan peristiwa tertentu, dan gabungan dari peristiwa-peristiwa
tersebut membentuk narasi yang dapat dikenali. Dalam suatu masyarakat biasanya
terdapat berbagai macam wacana/pengetahuan yang berbeda satu sama lain,
namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana/pengetahuan tertentu sehingga
wacana/pengetahuan tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-
wacana/pengetahuan lainnya akan terpinggirkan (marginalized) atau terpendam
(submerged).
Long (2001) menyatakan bahwa pengetahuan muncul dari fusi (penyatuan)
berbagai horison, karena proses dan absorpsi item-item informasi baru dan diskursif
baru atau kerangka kognitif hanya dapat terjadi berdasrkan evaluasi dan moda-
moda pengetahuan yang sudh ada, yang dibentuk kembali oleh pengalaman
komunikatif. Selanjutnya, meskipun diseminasi/kreasi pengetahuan merupakan
esensi proses kognitif dan interpretatif yang memerlukan penjembatanan jurang
antara pembentukan makna dunia yang familiar dan kurang familiar (atau bahkan
asing) . Pengetahuan dibangun di atas akumulasi pengalaman sosial, komitmen dan
disposisi yang diperlukan secara kultural dari para pelaku yang terlibat di dalamnya.
Studi-studi interface menurut Long (2001) secara esensial berfokus pada
analisis diskontinuitas dalam kehidupan sosial. Diskontinuitas seperti itu dicirikan
oleh perbedaan dalam hal nilai-nilai, kepentingan, pengetahuan dan kekuasaan.
Interface secara tipikal terjadi pada titik-titik dimana kehidupan atau bidang sosial
yang berbeda dan seringkali bertentangan, besinggungan. Lebih konkrit, ia
mencirikan lembaga-lembaga sosial (atau apa yang disebut Giddens “lokal”) dimana
interaksi antara pelaku berorientasi di sekitar problem mencari cara menjembatani,
mengakomodasi atu melawan setiap perbedaan sosial dan kognitif. Analisis
interface bertujuan untuk menjelaskan tipe-tipe diskontinuitas sosial yang ada pada
situasi seperti itu dan untuk mengkarakterisasi jenis yang berbeda dari bentuk-
bentuk budaya dan organisasi yang mereproduksi atau mentransformasinya.
Untuk memberi konteks dari berbagai kepentingan yang berkontestasi dalam
dinamika pembangunan pertanian, perlu digambarkan keterkaitan pengetahuan lokal
dan pengetahuan modern bidang pertanian dengan berbagai konteks yang lainnya.
Mulai dari sejarah, penciptaan, pembentukan, pendistribusian dan pemanfaatannya
yang membentuk pola pikir dan tindakan. Foucault (2012) menyatakan setiap
tindakan yang dilakukan oleh individu pada dasarnya justru memproduksi
pengetahuan baru bagi pelaku yang lain. Selanjutnya dikatakan bahwa hal tersebut
berlangsung terus menerus hingga membentuk struktur sosial berupa kaidah-kaidah,
konvensi, aturan dan norma-norma, akan tetapi semuanya itu tidak selamanya
bertahan, sehingga butuh diperbaharui dan ditransformasikan sejalan dengan
pengetahuan yang terus berkembang.
Perpaduan pengetahuan lokal/tradisional dengan pengetahuan
ilmiah/global/modern digambarkan oleh Salman (2012) bahwa ketika variabel lokal
desa semakin berinteraksi dengan variabel non lokal, maka pengetahuan yang
diaplikasikan di bukan hanya diproduksi oleh desa, melainkan juga pengetahuan
yang datang dari luar desa. Dalam situasi yang demikian itulah persentuhan,
kerjasama, saling rujuk, persaingan dan konflik antar substansi, produsen dan
pengusung pengetahuan berlangsung di desa. Keseluruhan fenomena inilah yang
dimaksud sebagai kontestasi pengetahuan.
Pola kontestasi antara pengetahuan lokal yang dikonstruksi berbasis
pengalam sehari-hari dan pengetahuan modern yang dikonstruksi berbasis metode
ilmiah sangat kompleks. Kompleksitas tersebut melahirkan tiga alternatif
rekonstruksi pengetahuan yang digambarkan oleh Salman (2012) sebagai
rekonstruksi berpola (1) zero sum game berlangsung ketika terjadi saling
meniadakan di dalam kontestasi antara narasi, rekonstruksi berpola (2) hibridisasi
berlangsung ketika terjadi pencampuran lalu melahirkan fitur baru pengetahuan
dalam kontestasi antara narasi; rekonstruksi berpola (3) koeksistensi berlangsung
ketika terjadi kehadiran bersama tanpa saling pengaruh dalam kontestasi antar
narasi.
Pengetahuan yang berkontestasi tersebut dapat dilihat dalam lima substansi
yakni: pengetahuan prkatikal-denotatif; pengetahuan simbolis-konotatif;
pengetahuanpreskriptif-normatif; pengetahuan intervensionis-transformatif (Lyotard,
2009). Dalam kontestasinya di desa, lima substansi pengetahuan tersebut
mengkapaistasi manusia dalam konstruksi ontologis, epistemologis dan aksiologis,
yakni : konstruksi pengetahuan berbasis pengalaman (sehari-hari) dan konstruksi
pengetahuan berbasis (metode) ilmiah (Salman, 2012). Substansi pengetahuan
dalam konstruksi berbasis pengalaman sehari-hari dan konstruksi berbasis metode
ilmiah dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini :
Tabel 1. Substansi Pengetahuan dalam Konstruksi Berbasis Pengalaman (sehari-hari) dan Konstruksi Berbasis (Metode) Ilmiah
Konstruksi Pengetahuan Berbasis Pengalaman
Sehari-hari
Jembatan Kontestasi Pengetahuan
Konstruksi Pengetahuan Berbasis Metode Ilmiah
Spesifik
Praktikal – Denotatif
Simbolis – Konotatif
Preskriptif – Normatif
Intervensionis - Transformatif
Universal
Lokal Global
Asli Ilmiah
Aplikasi sambil Percobaan Percobaan lalu Aplikasi
Produksi : narasi-narasi kecil postmodernitas
Produksi : narasi-narasi besar modernitas
Kontestasi yang terjadi memperlihatkan masalah- masalah dari berbagai
perspektif yang berbeda dan saling bersaing. Pertama, apakah setiap aktor
menggunakan kata untuk pengertian yang sama dan apa saja yang ada di dalam
pemikiran mereka (Vancil,1993). Kedua, mencakup siapa-siapa yang pro dan dan
siapa-siapa yang kontra (agents). Ketiga, melakukan identifikasi terhadap sebab-
sebab kontorversi yang berguna untuk memperdalam dan mempertajam motif-motif.
Keempat, mencermati tentang karakteristik dan sejarah keyakinan dan kebijakan
yang ada sekaligus mempertimbangkan nilai dan kebijakan yang seperti apa yang
ditawarkan di dalam kontestasi tersebut.
Di dalam lingkup kontestasi, ada pertukaran yang saling bersaing terhadap
nilai, fakta dan kebijakan terhadap sumber-sumber masalah yang memotivasi
tindakan-tindakan. Sementara akseptasi mengandung pengertian bahwa ada
berbagai pihak atau dua sisi yang menerima sisi-sisi yang disepakati atau disetujui
(Vancil, 1993).
Istilah kontestasi memberi peluang gambaran dinamis dan berubah-ubah.
Ia dipahami sebagai suatu cerminan bermacam hubungan kekuatan yang saling
mendukung, berjuang dan bersaing bahkan menghancurkan justru akan
mempertajam jaringan sosial yang selama ini dijadikan salah satu perspektif kajian
antropologi.
C. Sistem Kemasyarakatan Lokal
Menurut Parson (1965), sistem adalah interdependensi antar bagian,
komponen & proses yang mengatur hubungan-hubungan tersebut Interdepensi
berarti tanpa1 bagian /komponen maka akan mengalami guncangan. Suatu sistem
akan terintegrasi ke suatu equilibrium. Teori Sibenertika Parson menyatakan sistem
sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial yang saling
mengalami ketergantungan dan keterkaitan. Adanya hubungan yang saling
keterkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.
Pandangan Ohama (2001) mengenai sistem kemasyarakatan lokal (Local
Societal System) mengemukakan bahwa rumah tangga sebagai unit dasar atau
sebagai pelaku dalam mengelola kelestarian dan reproduksinya, ada tiga saluran
dimana sebuah rumah tangga bisa memperoleh dan mengabaikan elemen-elemen
sumberdaya, yaitu, komunitas local (local community), dimana rumah tangga
merupakan anggotanya, administrasi local (local administration), yang bertanggung
jawab untuk mengawasi dan mengontrol komunitas lokal, dan pasar local (local
market) dimana rumah tangga bertransaksi dan melakukan pertukaran sumberdaya.
Pada kenyataannya, sebuah rumah tangga melakukan aktivitas lingkungannya dari
hari ke hari dengan cara yang yang mereka punyai, menggunakan dan mengelola
sumberdaya yang diperlukan, baik secara individu mapun secara kolektif bersama-
sama dengan rumah tangga lain, melalui berbagai berbagai macam saluran ini
sesuai dengan karakteristik sumberdaya dan besarnya peran mereka terhadap
situasi dan kondisi sosial yang ada. Ilustrasi berikut menunjukkan kaitan konseptual
antara keempat entitas tersebut.
Local Administration
Household Local Market
Local Community
Gambar 1. Kaitan Keempat Entitas dalam Pengembangan Komunitas Lokal
Seperti yang jelas terlihat pada gambar 2 di bawah, sebuah sistem
masyarakat lokal terdiri atas empat entitas ini, dan tiap entitas dapat dipahami
sebagai sebuah sub-sistem yang memiliki mekanisme respektif dan orientasi nilai.
Hal ini perlahan-lahan akan membentuk unit tertentu dari sebuah sistem
masyarakat lokal. Lagi-lagi, ketika memandang dari sisi rumah tangga, sistem
masyarakat lokal ini dapat dibagi menjadi dua kelompok sistem, yakni sistem internal
dan sistem eksternal. Sistem internal adalah sistem dimana rumah tangga memiliki
akses langsung, keterlibatan dan kontrol dalam kehidupan sehari-hari dan
bertanggung jawab terhadap beberapa aktivitas yang terjadi di situ, sedangkan
sistem eksternal adalah sistem dimana rumah tangga memiliki akses terbatas untuk
memperoleh dan mengabaikan sumberdaya tetapi tidak memiliki kontrol secara
langsung dalam hal pengelolaan sistem. Dalam konteks sosial ini, rumah tangga
menggunakan saluran-saluran terbaik yang ada untuk memenuhi kebutuhan sehari-
harinya, sesuai dengan kapabilitas dan kondisi sistem yang ada.
Iner
InnerSystem
HouseHold
Community
OuterSystem
LocalAdministration
Local Market
Gambar 2. Relasi Antar Pihak Dalam Pengembangan Komunitas Lokal
D. Kerangka Konseptual
Pengembangan Sapi potong mencakup tiga aspek yaitu (1) breeding atau
pembibitan antara lain bagaimana seleksi bibit yang berkualitasl (2) feeding atau
pakan mencakup pemberian dalam hal kualitas dan kuantitas, serta manajemen
termasuk manajemen perkandangan, pengembangbiakan, manajemen reproduksi
dan pengendalian penyakit (Saragih, 2000). Pengembangan pada aspek ini
mengaplikasikan berbagai jenis pengetahuan dan bisa dikategorikan sebagai (1)
pengetahuan lokal seperti yang didefenisikan oleh beberapa sumber antara lain
Chamber (1987), menyatakan pengetahuan lokal sering juga disebut sebagai ilmu
rakyat, ethnoscience, ilmu pedesaan, dan ada juga yang menggunakan istilah ilmu
pengetahuan teknis asli. Beberapa ahli memberikan terminologi yang berbeda untuk
menjelaskan definisi ini dan cenderung mengalami perluasan terminologi seperti :
pengetahuan yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge), pengetahuan
tradisional (traditional knowledge), pengetahuan teknis yang berasal dari pribumi
(indigenous technical knowledge), sistem pengetahuan yang berasal dari pribumi
(indigenous knowledge system). Dalam pandangan Sillitoe (1998), pengetahuan
lokal merupakan pengetahuan praktis masyarakat yang diperoleh secara turun
temurun dari nenek moyang mereka dan didasarkan atas pengalaman dan
pembelajaran terhadap fenomena alam dan melekat dalam kehidupan sosial budaya
mereka. Sedangkan pengetahuan ilmiah menurut (Warren, 1991), yaitu
pengetahuan dikembangkan oleh universitas, pusat penelitian pemerintah, dan
perusahaan swasta. Laksono (1998), menjelaskan bahwa pengetahuan ilmiah
mempunyai sifat-sifat : (1) sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang
tersusun sebagai suatu system (2) Objektif; atau dikatakan pula sebagai
intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk diteliti oleh orang lain/ahli lain,
sehingga hasil penelitian bersifat universal (3) dapat dipertanggungjawabkan; yaitu
mengandung kebenaran yang bersifat universal, dengan kata lain dapat diterima
oleh orang-orang lain/ahli-ahli lain.
Pada kasus pengembangan peternakan sapi potong berbasis Agropolitan di
kabupaten Barru, berkembang upaya-upaya terkait Breeding yaitu pendistribusian
bibit melalui Bantuan Langsug Masyarakat (BLM), introduksi teknologi Kawin Suntik
(Inseminasi Buatan), pada aspek pakan yaitu pengelolaan hijauan dalam bentuk
silase dan hay, penggunaan limbah pertanian sebagai bahan pakan, terutama pada
musim kering dimana rumput segar sulit didaptkan, serta aspek manajemen
menyangkut manajemen perkandangan, manajemen reproduksi seperti penanganan
ternak selama masa kebuntingan, penanganan sapi melahirkan, dan juga
manajemen pengendalian penyakit menyangkut kegiatan vaksinansi, pemberian
obat-obatan. Alam hal pemasaran ternak, diberikan bantuka berupa tibangan ternak
kepada setiap kelompk, dan digunakan oleh semua peternak yang ingin menjual
ternaknya. Melalui Program Agropolitan, diberikan bantuan kredit berupa Kredit
Usaha Rakyat yang dikucurkan oleh BRI unit Kecamatan.
Dengan demikian dapat diduga bahwa dalam pengembangan peternakan di
kabupaten Barru, berlangsung aplikasi dua jenis pengetahuan yakni pengetahuan
yang dikembangkan sendiri oleh masyarakat atau pengetahuan lokal dan
pengetahuan yang ilmiah yang dihantarkan oleh penyuluh pada program yang
berjalan.
Menurut Faucoult (2012), Long (2001) dan Salman (2012) bahwa dalam
kondisi berbagai pengetahuan diaplikasikan dalam suatu realitas sosial maka akan
berlangsung persentuhan antar pengetahuan atau knowledge interface atau yang
lebih umum disebut sebagai kontestasi pengetahuan.
Dalam kontestasi pengetahuan tersebut ada 3 kemungkinan pola yang
berjalan yaitu (1) pola zero sum game berlangsung ketika terjadi saling meniadakan
di dalam kontestasi antara narasi, (2) pola hibridisasi berlangsung ketika terjadi
pencampuran lalu melahirkan fitur baru pengetahuan dalam kontestasi antara
narasi; (3) pola koeksistensi berlangsung ketika terjadi kehadiran bersama tanpa
saling pengaruh dalam kontestasi antar narasi.
Dalam realitas pengembangan sapi potong di kabupaten Barru baik dalam hal
perbibitan, pakan maupun manajemen, pengetahuan ilmiah dan pengetahuan lokal
masing-masing diaplikasikan dan melahirkan wacana dari berbagai pihak yang
terlibat terutama wacana yang dikembangkan oleh penyuluh dan lembaga penelitian
nerhadapan dengan yang dikembangkan oleh peternak dan kearifan lokal setempat.
Dengan demikian dalam pengembangan sapi potong di kabupaten Barru
dapat diduga terjadinya kontestasi pengetahuan dalam berbagai bentuk.
Kemungkinan ada pengetahuan lokal yang berjalan bersama yang tetap eksis, ada
pengetahuan yang berjalan bersama dengan pengetahuan ilmiah yang dihantarkan
oleh program Agropolitan. Ada kondisi dimana antara pengetahuan lokal dan
pengetahuan ilmiah saling mendominasi atau saling menghilangkan dan ada kondisi
kedua jenis pengetahuan tersebut saling bersinergi atau berhibridisasi satu sama
lain.
Menurut Ohama (2011) dinamika dalam suatu sitem sosial akan melibatkan
respon dari subsistem-subsistem dalam sistem sosial. Dalam hal ini terdapat 4
subsistem yakni subsistem Rumah Tangga (household), subsistem Pemerintah
(administrasi) lokal (Local Administration), Komunitas Lokal (Local Community) dan
Pasar Lokal (Lokal Market).
Dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Barru terdapat unsur Local
Government yaitu seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan unsur Local
Community antara lain pedagang ternak lokal dan pedagang ternak antar pulau ,
juga termasuk lembaga pemberi kredit, dalam hal ini Bank BRI dan Gapoktan, dan
Local Household yakni rumah tangga peternak itu sendiri. Keempat subsistem
tersebut saling berikteraksi dalam perkembangan sapi potong.
Dengan demikian kontestasi pengetahuan yang berlangsung dalam
pengembangan sapi potong, baik pada aspek pembibitan (breeding), pakan, dan
manajemen diduga melibatkan respon dari setiap subsistem lokal yakni Rumah
Tangga, Lokal Administrasi (pemerintah), Lokal Komunitas (local community) dan
Pasar Lokal (Local Market). Secara bervariasi sesuai kepentingan masing-masing.
Secara skematis kerangka pemikiran yang disusun untuk membingkai
penelitian ini tersusun seperti pada diagram berikut :
PENGEMBANGAN SAPI POTONG
PENGETAHUAN LOKAL(PETERNAK SAPI
POTONG)
PENGETAHUAN ILMIAH(PENYULUHAN)
KONTESTASI PENGETAHUAN
ZERO-SUM GAME HIBRIDISASI KOEKSISTENSI
RESPON LOCALITY SYSTEM LOCAL GOVERNMENT LOCAL MARKET LOCAL COMMUNITY HOUSEHOLD
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Paradigma, Jenis dan Pendekatan Penelitian
Paradigma penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme dimana
wacana dan pengetahuan dilihat sebagai realitas sosial. Realitas dikontruksi dalam
suatu konteks dan kehidupan sosial, bersifat eksploratif, teori lahir dan berkembang
di lapangan, lebih menekankan pada makna dan nilai serta mengandalkan
kecermatan dalam pengumpulan data untuk mengungkap keadaan yang
sesungguhnya di lapangan secara tepat.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah
penelitian kualitatif (qualitative research) yang merupakan metode-metode untuk
mengeksplorasi dan memahami makna yang–oleh sejumlah individu atau
sekelompok orang-dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan,
bertujuan untuk mengungkapkan proses, interpretasi makna dan mengarah pada
pengungkapan keadaan atau perilaku individu yang terobsesi secara holistik.
Dengan pendekatan kualitatif tersebut, maka dideskripsikan mengenai taksonomi
pengetahuan lokal, identifikasi pengetahuan lokal, sejarah terbentuknya
pengetahuan lokal, dan peran berbagai stakeholder dalam peternakan sapi potong.
Selain itu pula deskripsi mengenai pengetahuan dari luar yang diintroduksi oleh
agen penyuluh/pemerintah/swasta, serta sinergitas kedua pengetahuan tersebut
yang selanjutnya dijelaskan bagaimana respon sistem lokalitas terhadap sinergitas
tersebut yang didekati secara kualitatif.
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang
merupakan salah strategi dalam penelitian kualitatif di mana di dalamnya peneliti
menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktifitas, proses, atau
sekelompok individu. Tujuannya untuk memperoleh diskripsi yang utuh dan
mendalam dari sebuah entitas. Studi kasus mendeskripsikan suatu fokus penelitian
dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan
menyertakan berbagai sumber data serta berbagai teknik pengumpulan dan
pengolahan data.
Menurut Yin (2004), studi kasus memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan
dengan strategi penelitian lainnya, yakni bahwa studi kasus adalah suatu inkuiri
empiris yang menyeldiki fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas, dan
menggunakan banyak sumber untuk memperoleh data. Kasus-kasus dibatasi oleh
waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan
menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah
ditentukan. Untuk memperkuat kedalaman data, juga akan digunakan data-data
kuantitatif, tetapi pendekatan keseluruhan penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif.
Unit kasus dalam penelitian ini komunitas peternak sapi potong, dalam
kawasan Agropolitan dalam satu wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Barru yang
terbagi dalam 4 desa yang secara administratif berbasis desa. Di dalam komunitas
tersebut tercakup rumah tangga peternak sapi potong secara individu dan peternak
sapi yang berkelompok, pedagang sapi, kelompok/organisasi yang terlibat dalam
usaha peternakan sapi potong, kelompok/organisasi lain yang terkait, kelembagaan
dalam peternakan sapi potong dan kelembagaan lain yang terkait pada level lokal.
B. Pengelolaan Peran Peneliti
Peran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai instrumen, yakni bagaimana
peneliti menjaga validitas dan reliabilitas serta transferabilitas dari realitas yang
diteliti. Prinsip peneliti sebagai instrumen. Beberapa kriteria validitas dan reabilitas
yang digunakan dalam kajian ini, diantaranya adalah : (1) standar kredibilitas,
dengan cara memperpanjang keikutsertaan dalam proses pengumpulan data di
lapangan, melakukan dan terlibat langsung dalam observasi secara terus menerus
dan sungguh-sungguh, melakukan triangulasi (metode, sumber data, dan
pengumpulan data), dan melibatkan teman sejawat untuk berdiskusi/memberikan
masukan, (2) transferabilitas, yang dinilai oleh para pembaca laporan penelitian.
Nilai transferabilitas tinggi jika para pembaca laporan penelitian memperoleh
gambaran dan pemahaman yang jelas tentang konteks dan fokus penelitian, (3)
standar dependabilitas, yaitu ketepatan dalam mengkonseptualisasikan apa yang
diteliti (4) standar konfirmabilitas, dalam hal ini terfokus pada pemeriksaan kualitas
dan kepastian hasil penelitian.
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di kawasan Agropolitan di Kecamatan Barru,
Kabupaten Barru. Kawasan Agropolitan dipilih 4 desa, yaitu desa Palakka, desa
Tompo, desa Galung dan desa Anabanua sebagai desa sebagai pusat
pengembangan dengan berbasis komoditas lokal unggulan Sapi Potong. Untuk
mendapatkan gambaran yang akurat dan representatif lokasi, maka akan dipilih
keseluruhan 4 desa tersebut.
Analisis dalam penelitian ini adalah pada tingkat household (rumah tangga)
peternak sapi potong, tingkat local government adalah, seluruh Satuan Kerja
Perangkat Daerah yaitu perangkat desa dan kecamatan (Pemerintah Kecamatan,
pemerintah Desa, LPM, BPD dan Koperasi Desa), tingkat local community antara
lain pedagang Ternak, kelompok peternak sapi potong, pedagang sarana Produksi
Peternakan, koperasi, lembaga peminjam (kredit), Lembaga perbankan (Bidang
perkreditan BRI cabang Barru, BRI unit desa, BRI cabang lainnya yang
mengucurkan dananya untuk peternak dan pedagang sapi potong). Instansi terkait
di Kabupaten Barru (Dinas Peternakan, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa,
Dinas Koperasi dan UKM) dan pada tingkat local market adalah pedagang ternak
lokal dan antar pulau.
Penelitian ini akan berlangsung selama 6 (enam) bulan) terhitung sejak
mendapatkan persetujuan proposal dari promotor dan co-promotor.
D. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berasal dari hasil wawancara
dengan sejumlah informan. Partisipan/Informan adalah orang (pelaku) yang
mempunyai banyak pengalaman dan pengetahuan lokal atau pengetahuan modern
serta mempraktekkannya dalam usaha beternak sapi potong. Informan yang
mempunyai banyak pengetahuan tentang cara-cara lokal beternak sapi potong
disebut sebagai ahli pengetahuan lokal, sedangkan informan yang mempunyai
pengetahuan dan pengalaman dalam mempraktekkan pengetahuan modern dalam
usaha ternak sapi potong dan terlibat dalam program Kawasan Agropolitan dan
dipandang banyak mengetahui tentang pelaksanaan program ini di Kabupaten
Barru. Pada tingkat pemerintah, informan yang dipilih adalah dari aparat
pemerintah tingkat provinsi (Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan), tingkat
kabupaten (Badan Penyuluh Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten
Barru) dan Dinas-dinas dalam lingkup pertanian dan peternakan, tingkat kecamatan
(kelompok peternak sapi potong), dan tingkat desa (kelompok ternak sapi potong).
Pada tingkat peneliti (Perguruan Tinggi, BPTP, dll) Pada tingkat penyuluh, informan
yang dipilih adalah bersumber dari aparat penyuluh tingkat provinsi, kabupaten,
kecamatan, dan desa dalam hal ini dikoordinir melalui Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Barru. Sedangkan pada tingkat
peternak, informan yang dipilih mulai dari individu peternak sampai pada
kelompoknya. Informan yang telah diwawancarai ditanyakan tentang komunitas
informan lain yang dapat dijadikan informan berikutnya, tetapi ada juga informan
yang ditentukan sendiri oleh peneliti.
1. Jenis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder, yang terdiri atas:
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara mendalam ( indepth
interview) dengan menggunakan alat bantu daftar pertanyaan atau kuesioner di
samping itu dilakukan juga pengamatan langsung. Jenis data primer yang
diperlukan dalam penelitian ini dimulai dari pengetahuan tentang persiapan,
pemeliharaan, pengambilan hasil dalam proses produksi sapi potong baik yang
dilakukan oleh peternak yang menggunakan pengetahuan lokal maupun
pengetahuan ilmiah.
2. Data Sekunder, adalah data yang menjadi penunjang dalam penelitian ini yang
diperoleh dari hasil kajian pustaka. Agar semua data atau informasi yang
dibutuhkan dapat dikumpulkan dengan baik, maka sebelum dilaksanakan
penelitian terlebih dahulu ditetapkan data-data yang dibutuhkan, sumber-sumber
yang dapat ditelaah, juga instansi-instansi mana saja yang harus dihubungi
untuk mengumpulkan data dan atau informasi yang dibutuhkan itu. Data-data
sekunder diantaranya adalah dokumen laporan-laporan yang ada pada berbagai
instansi seperti Dinas Peternakan Provinsi dan Kabupaten, Balai Penyuluhan
Pertanian, Kantor Bupati, Kecamatan, Desa, atau instansi lain yang relevan
dengan penelitian.
2. Sumber Data
Adapun jenis data dan sumber data yang meliputi aspek-aspek dan sub
aspek yang akan dikaji dalam penelitian ini seperti pada Tabel 2 sebagai berikut.
Tabel 2. Matriks Jenis dan Sumber Data
No Tujuan Aspek yang Diteliti Sumber Data1 Mendeskripsikan secara analitis
taksonomi sistem pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan aplikasi sistem pengetahuan lokal tersebut pada proses produksi peternakan sapi potong
Taksonomi Pengetahuan Lokal
Dokumen dan hasil penelitian sebelumnya pada Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP), Dinas Peternakan propinsi dan kabupaten
Identifikasi pengetahuan local
Tokoh masyarakat seperti kepala desa, atau mantri ternak dan peternak yang mengetahui tentang sejarah pengembangan pengetahuan lokal dan sejarah lokal peternakan sapi potong
Aplikasi Pengetahuan lokal sapi potong
Rumah tangga peternak
Ketua kelompok ternak dan anggotanya
Sejarah pembentukan pengetahuan local
Rumah tangga peternak yang telah lama beternak sapi secara turun temurun
Peternak yang
mengetahui sejarah pengembangan pengetahuan lokal
2 Menjelaskan pola sinergi antara sistem pengetahuan lokal dengan sistem pengetahuan modern dan efeknya terhadap perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Barru
Kontestasi pengetahuan lokal dengan pengetahuan modern (Zero-sum gameHibridisasi dan koeksistensi)
Informan (ketua kelompok ternak, dan anggotanya, pedagang ternak)
Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru
Informan (ketua kelompok ternak, dan anggotanya, pedagang ternak)
Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru
3 Menjelaskan respon sistem lokalitas (locality system; Local community system; lokal government system, lokalmarket system, dan lokal household system) terhadap sinergi antara sistem pengetahuan lokal dengan pengetahuan modern dalam perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Barru
Analisa struktural fungsional untuk melihat struktur maupun fungsi dari Sistem Kemasyarakatan Lokali
Informan (ketua kelompok ternak, dan anggotanya, pedagang ternak)
Seluruh SKPD Kabupaten Barru
Lembaga Kredit (BRI unit Desa dan GAPOKTAN)
Identifikasi Sistem lokalitas (Local community system; local government ystem, local market system, dan lokal household system)
Peternak secara individu
Ketua Kelompok Ternak dan anggotanya
Seluruh SKPD Pedagang
Ternak Lembaga
Pemberi Kredit (BRI Unit Desa dan GAPOKTAN)
Identifikasi respon sistem lokalitas terhadap Kontestasi pengetahuan
Peternak secara individu
Ketua Kelompok Ternak dan anggotanya
Seluruh SKPD Pedagang
Ternak Lembaga
Pemberi Kredit (BRI Unit Desa dan GAPOKTAN)
E. Teknik Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah (1) wacana/pengetahuan yang
berkembang baik pengetahuan lokal maupun pengetahuan ilmiah, dan (2) Local
Household (rumah tangga), (3) Local Government (Pemerintah Lokal), (4)Local
Community (Komunitas Lokal) dan Local Market (Pasar Lokal).
Dalam penelitian kualitatif, setidak-tidaknya terdapat lima jenis teknik analisa
yang banyak dipergunakan yakni (1) observasi terlibat; (2) analisis percakapan; (3)
analisis wacana; (4) analisis wacana; (4) analisis isi; dan (5) pengambilan data
etnografi. Dalam penelitian ini teknik analisis dilakukan dengan cara :
1. Observasi terlibat
Melibatkan peneliti langsung dalam setting sosial. Peneliti mengalam secara
lebih kurang ‘terbuka’ di dalam aneka ragam keanggotaan dari peranan subyek
yang diteliti.
2. Analisis Percakapan dan Analisis Wacana (discourse Analysis)
Memusatkan perhatian pada percakapan dalam sebuah interaksi. Peneliti
memperhatikan analisis dan kompetensi-kompetensi komunikatif yang mendasari
aktivitas sosial. Analisis wacana menekankan pada penggunaan bahasa.
Peneliti, dalam kaitan ini, mempunyai perhatian yang besar pada praktik dan
konstektualisasi
3. Analisis Isi (content analysis) mengkaji dokumen-dokumen berupa kategori
umum dan makna. Peneliti menganalis aneka ragam dokumen, dari mulai kertas
pribadi (surat, laporan).
4. Analisis Struktural-Fungsional. Menganalisis fungsi yang dijalankan oleh
struktur.
Tabel 3. Matriks Jenis, Sumber Data, Teknik Analisis
No Tujuan Aspek yang Diteliti Sumber Data Teknik Analisis1 Mendeskripsikan
secara analitis taksonomi sistem pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan aplikasi sistem pengetahuan lokal tersebut pada proses produksi peternakan sapi potong
Taksonomi Pengetahuan Lokal
Dokumen dan hasil penelitian sebelumnya pada Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP), Dinas Peternakan propinsi dan kabupaten
Analisis Wacana (discourse analysis)
Analisis Isi (content analysis
Observasi Terlibat
Analisis Percakapan
Identifikasi pengetahuan local
Tokoh masyarakat seperti kepala desa, atau mantri ternak dan peternak yang mengetahui tentang sejarah pengembangan pengetahuan lokal dan sejarah lokal peternakan sapi potong
Analisis Wacana (discourse analysis)
Analisis Isi (content analysis)
Observasi Terlibat
Analisis Percakapan
Aplikasi Pengetahuan lokal sapi potong
Rumah tangga peternak
Ketua kelompok ternak dan anggotanya
Analisis Wacana (discourse analysis)
Analisis Isi (content analysis
Observasi Terlibat
Analisis Percakapan
Sejarah pembentukan pengetahuan local
Rumah tangga peternak yang telah lama beternak sapi secara turun temurun
Peternak yang
Analisis Wacana (discourse analysis)
Analisis Isi (content
mengetahui sejarah pengembangan pengetahuan lokal
analysis Observasi
Terlibat Analisis
Percakapan2 Menjelaskan pola
sinergi antara sistem pengetahuan lokal dengan sistem pengetahuan modern dan efeknya terhadap perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Barru
Kontestasi pengetahuan lokal dengan pengetahuan modern (Zero-sum game Hibridisasi dan koeksistensi)
Informan (ketua kelompok ternak, dan anggotanya, pedagang ternak)
Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru
Analisis Wacana (discourse analysis)
Analisis Isi (content analysis)
Observasi Terlibat
Analisis Percakapan
Rumah Tangga Peternak
ketua kelompok ternak, dan anggotanya, pedagang ternak)
Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru
Analisis Wacana (discourse analysis)
Analisis Isi (content analysis)
Observasi Terlibat
Analisis Percakapan
3 Menjelaskan respon sistem lokalitas (locality system; Local community system; lokal goverment ystem, lokalmarket system, dan lokal household system) terhadap sinergi antara sistem pengetahuan lokal dengan pengetahuan ilmiah dalam perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Barru
Sistem lokalitas (locality system; Local community system; lokal goverment system, lokal market system, dan lokal household system)
Rumah Tangga Peternak
ketua kelompok ternak, dan anggotanya, pedagang ternak)
Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru
Analisis Struktur
Analisis Fungsi
E. Metode Pengambilan Data
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara :
1. Wawancara
Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara. Wawancara kepada
informan dilakukan untuk memperoleh pemahaman mendalam yang menyangkut
pengetahuan lokal dan pengetahuan modern yang dimanfaatkan oleh peternak sapi
potong dan proses sosial yang terjadi dengan adanya kontestasi antara
pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman di lapangan. Secara garis
besar, teknik wawancara yang dilakukan pada informan peternak menyangkut
informasi mengenai dirinya (aktivitas usaha ternak, kehidupan keluarga, atau
pandangannya terhadap program-program pemerintah), informasi di luar dirinya:
menyangkut peran pemerintah, lembaga/instituasi sumber teknologi/Penyuluh
Pertanian Lapangan, serta lembaga lain (misalnya: Perbankan, swasta, LSM),
hubungannya dengan lembaga/institusi penelitian/pengkajian, penyuluh pertanian,
swasta, dan lain-lain. Untuk informan lembaga/institusi penghasil teknologi dan
penyuluh pertanian lapangan menyangkut informasi mengenai pandangan mereka
terhadap program-program pemerintah yang telah dilancarkan di Kabupaten Barru,
dan bagaimana pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah digunakan oleh
masyarakat setempat.
2. Observasi/Pengamatan.
Pengamatan dilakukan terhadap obyek yang diteliti dengan menggunakan
metode pengamatan berperanserta (partisipant-observation). Jenis peran serta
peneliti adalah peran serta moderat (moderate participation) yaitu peran serta yang
memelihara kesinambungan posisi sebagai orang luar dan orang dalam, dan
sebagai pengamat sekaligus partisipan. Pendekatan dilakukan mulai dari tingkat
pemerintah, peneliti, penyuluh, peternak dan swasta. Sebelum dilakukan
pengamatan berperan terlebih dahulu menciptakan situasi saling percaya dan
menganggap peneliti sebagai bagian dari mereka.
3. Dokumentasi
Dilakukan dalam bentuk pengambilan gambar guna menunjang visualisasi
data-data yang telah diperoleh dari berbagai teknik pengumpulan data.
4. Rekaman Arsip
Dilakukan untuk menelusuri data-data yang telah tersedia ditingkat
organisasi, misalnya peta lokasi, jumlah kelompok ternak, jumlah anggota kelompok
ternak, kelompok ternak penerima bantuan (kredit).
Matrik sumber data dan Teknik Pengambilan Data dapat dilihat pada Tabel 4
berikut ini :
Tabel 4. Matriks Sumber data dan Teknik Pengambilan Data
No Tujuan Aspek yang Diteliti
Sumber Data Teknik Pengambilan
Data1 Mendeskripsikan
secara analitis taksonomi sistem pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan aplikasi sistem pengetahuan lokal tersebut pada proses produksi peternakan sapi potong
Taksonomi Pengetahuan Lokal
Dokumen dan hasil penelitian sebelumnya pada Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP), Dinas Peternakan propinsi dan kabupaten
Wawancara mendalam
Penelusuran Dokumen
Dokumentasi
Identifikasi pengetahuan local
Tokoh masyarakat seperti kepala desa, atau mantri ternak dan peternak yang mengetahui tentang sejarah pengembangan pengetahuan lokal dan sejarah lokal peternakan sapi potong
Wawancara mendalam
Penelusuran Dokumen
Aplikasi Pengetahuan lokal sapi potong
Rumah tangga peternak Ketua kelompok ternak
dan anggotanya
Wawancara mendalam
Dokumentasi
2 Menjelaskan pola sinergi antara sistem pengetahuan lokal
Taksonomi Pengetahuan Lokal
Informan (ketua kelompok ternak, dan anggotanya, pedagang
Wawancara Mendalam
Dokumentasi
dengan sistem pengetahuan modern dan efeknya terhadap perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Barru
ternak) Penyuluh, aparat dinas
peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru
Identifikasi pengetahuan local
Rumah Tangga Peternak ketua kelompok ternak,
dan anggotanya, pedagang ternak)
Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten
Wawancara Mendalam
Dokumentasi Rekaman
Arsip
Aplikasi Pengetahuan lokal sapi potong
Rumah Tangga Peternak ketua kelompok ternak,
dan anggotanya, pedagang ternak)
Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru
Wawancara Mendalam
Dokumentasi Rekaman
Arsip
3 Menjelaskan respon sistem lokalitas (locality system; Local community system; lokal goverment ystem, lokalmarket system, dan lokal household system) terhadap sinergi antara sistem pengetahuan lokal dengan pengetahuan modern dalam perkembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Barru
Sistem lokalitas (locality system; Local community system; lokal goverment system, lokal market system, dan lokal household system)
Rumah Tangga Peternak ketua kelompok ternak,
dan anggotanya, pedagang ternak)
Penyuluh, aparat dinas peternakan propinsi Sulsel dan Kabupaten Barru
Wawancara Mendalam
Dokumentasi Rekaman
Arsip
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S. 1999. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Sekretariat Badan Pengendali Bimas Departemen Pertanian, Jakarta.
Adimihardja, K. 1999. Petani : Merajut Tradisi Era Globalisasi : Pendayagunaan Sistem Pengetahuan Lokal dalam Pembangunan. Cet.1. Bandung Humaniora Utama Press, Bandung.
Agrawal, Arun. 1995. Indigenous and Scientific Knowledge : Some Critical Comments. IK Monitor 3(3), in http://www.nuffic.nl/ciran/ikdm/3-3/articles/agrawal.html Diakses tanggal 14 Juni 2012.
__________. 2002. Indigenous Knowledge and the Politics of Classification. Oxford: Blackwell Publishers.
Ali, M. Saleh S. 2000. Pengetahuan Lokal dan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan : Perspektif dari Kaum Marjinal. Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar. 25 Maret 2000.
Anonim, 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,. Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan usaha sapi potong. Pusat penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
Anonim. 2011. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Anonim. 2012. Laporan Kinerja Kementerian Pertanian 2011. Kementrian Pertanian, Jakarta. Tersedia pada http://www.deptan.go.id/pengumuman/berita/2012/Laporan-kinerja-kementan2011.pdf. Diakses tanggal 25 Juli 2012
Ar-Riza, I., H.Dj. Noor dan N. Fauziaty. 2007. Kearifan lokal dalam budidaya padi di lahan rawa lebak. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.
Angassa. A,and F. Beyone. 2003. Current Range Condition in Southern Ethiopia in Relation to Traditional Management Strategies: The Perceptions of Borana pastoralists. Tropical Grasslands volume 37, 53–59
Ayuni, N. 2005. Tata Laksana Pemeliharaan dan Pengembangan Ternak Sapi Potong Berdasarkan Sumber Daya Lahan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Berger, P.L, and T. Luckmann. 2012. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. LP3ES, Jakarta
Carolan, M.S. 2006. Social Change and the Adoption and Adaptation of Knowledge claims: Whose truth do you trust in regard to sustainable agriculture?. Journal Agriculture and Human Values. 23:325–339.
Chamber R. 1987. Pembangunan Desa: Mulai Dari Belakang. Pepep Sudrajat, Penerjemah, Jakarta. LP3ES. Terjemahan daari: Rural Development: Putting The Last First.
Chandrasekhara, K. K.S. Raob, R.K. Maikhuric, K.G. Saxenaa. 2007. Ecological Implications of Traditional Livestock Husbandry and Associated Landuse Practices: A case study from the trans-Himalaya, India. Journal of Arid Environments 69. P. 299–314
Clarke J. 1991. Participatory technology development in agroforestry: methods from a pilot project in Zimbabwe. Agroforestry Systems, 15: 217-228.
Cottier, T. 1998. The Protection of Genetic Resources and Traditional Knowledge : Towards More-Specific Rights and Obligations in the World Trade Law. Journal of International Economic Law, Vol. 1 No. 1, p. 558.
Davis, Diana. 1996. Gender, indigenous knowledge, and pastoral Resource Use in Morocco. Geographical Review;86, 2; ProQuest Central. pg. 284
Den Biggelaar C. 1991. Farming systems development: synthesising indigenous and scientific knowledge systems. Agriculture and Human Values, 8 (1/2): 25-36.
Denzin, N.K, and Y.S. Lincoln. The Sage Handbook of Qualitative Research 1. Edisi Ketiga. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
De Walt,B.R. 1994. Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and Natural Resource Management. In : Human Organization Vol.53. No. 2. Center for Latin American Studies.
Durning, A.T. 1995. Mendukung Penduduk Asli dalam Lester R. Brown. Masa Depan Bumi, Hermoyo. Penerjemah, Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari : State of the Word.
FAO. 1994. Farming Systems Development. A Participatory Approach to Helping Small-scale Farmers. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
Escobar A. 1999. After Nature : Steps to an Antiessntialis Political Ecology. CSIS : 6 – 440-450
Forsyth, T. 2004. Challenges to Local Knowledge. Training Manual “Building on Gender, Agrobiodiversity and Local Knowledge”. FAO, 2004, http:www.fao.org/sd/LINKS/documentsdownload/FS10ChallengestoLK.pdf . Diakses tanggal 30 Agustus 2012-10-08
Foucault, M. 2012. Arkeologi Pengetahuan. IRCiSoD, Jogyakarta.
Geertz, Clifford, 1983. Local Knowledge, Further Essays in Interpretative. Anthropology. Basic Book 50 Years, United State of America
Gunawan, A., M. Sulistyati. Budiman, M. Sulaiman, dam K. Hidayat. 2000. Sistem Pengetahuan Lokal Cara Seleksi Ayam Buras dan Uji Coba Potensi dan Produktivitasnya. Prosiding Seminar Peternakan dan Veteriner.
Gunawan, Restu, 2008. Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan dan Karya Sastra, Makalah disampaikan dalam Kongres Bahasa, Tanggal 28-31 Oktober 2008, di Jakarta
Grandstaff, TB and SW Grandstaff. 1986. Choice of rice technologi: a farmer perspective. In: Korten, D.C. (ed.) Community management: Asian experince and perspective, West Hartford: Kumarian, pp. 51-61.
Hardiman, F.B. 1990. Kritik Ideologi. Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Kanisius, Yogyakarta
Hart, T. and Vorster, I. 2006. Indigenous knowledge on the South African landscape: potentials for agricultural development. Urban, Rural and Economic Development Research Programme Occasional paper 1. Cape Town: Human Sciences Research Council. http://www.prolinnova.net/South_Africa/a%20%20indigenous_knowledge~952006100711A M1.pdf. Diakses tanggal 21 September 2012.
Kalland.A. 2005. Indigenous Knowledge: Prospects and Limitations dalam Ellen, R., P. Parker, and A. Bicker. Indigenous Environmental Knowledge and its Transformation. Critical Anthropological Perspectives. Francis : The Taylor & Francis e-Library
Hidayat, T. 2000. Studi Kearifan Budaya Petani Banjar Dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut. Jurnal Kalimantan Agrikultura 7(3), Desember 2000. Hlm. 105-111. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
_______. 2010. Kontestasi Sains Dengan Pengetahuan Lokal Petani Dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang surut Kalimantan Selatan. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi. Bogor.
Hijjang, Gising, Basrah. 2007. Pasang Ri Kajang, Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Adat Kawasan Adat Ammatoa di Kabupaten Bulukumba dalam Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi, Maluku Papua. Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Masagena Press, Makassar.
Isbandi. 2004. Pembinaan Kelompok Petani-Ternak dalam Usaha Ternak Sapi Potong. Jurnal .lndonesian. Tropic . Anim. Agric. 29(2): 106−114.
Kenickie, A.M. and Mphahlele,K.M.E. 2002. Indigenous Knowledge for the Benefit of All : Can Knowledge Management Principles Be used Effectively? South African Journal of Libraries and Information Science, 68 (1).
Kariyasa, K. 2005. Sistem integrasi tanaman-ternak dalam Perspektif Reorientasi Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 3(1): 68−80.
Kariyasa 2006; Gordeyase, I.K.M., R. Hartanto, dan W.D. Pratiwi. Proyeksi daya Dukung Pakan Limbah Tanaman Pangan untuk Ternak Ruminansia di Jawa Tengah. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 32(4): 285−292.
Long, N. 2001. Development Sociology. Routledge, Newyok.
Mashur, A. Muzani., Y. G. Bulu. 2004. Kelembagaan Lahan Komunal di NTB : Kasus Kabupaten Sumbawa. Prosiding Seminar Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Mella, E., Kulindwa, K., Shechambo, F.,& Mesaki, S. 2007. The Integrated Assessment of Organic Agriculture in Tanzania. Policy Options for Promoting Production and Trading Opportunities of Organic Agriculture.
Mersyah, R. 2005. Desain Sistem Budi Daya Sapi Potong Berkelanjutan untuk Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan. Disertasi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Miles, N.B. dan A.M.Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Tjetjep Rohendi Rohidi, penerjemah Jakarta UI Press. Terjemahan Dari : Qualitative Data Analysis.
Mulyadi, B. Ginting, sugihen, P. S. Asngari, D. Susanto. Kearifan Lokal dan Hambatan Inovasi Pertanian Suku Pedalaman Arfak di Kabupaten Manokwari - Papua Barat (Local Wisdom and Agriculture Innovation obstacle of the upland arfak tribal group in manokwari regent, west papua).
Muyungi & A.F. Tillya. 2003. Appropriate Institutional Framework for Coordination of Indigenous Knowledge. Links Project Gender, biodiversity and Local Knowledge System for Food Security.
Noor, M. M. Alwi, dan K. Anwar 2007. Kearifan Budaya Lokal dalam Perspektif Kesuburan Tanah dan Konservasi Air di Lahan Gambut. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.
Noor, H.Dj., S.S. Antarlina dan I. Noor. 2007. Kearifan Lokal dalam Budidaya Jeruk di Lahan Rawa. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.
Noor, M dan Achmadi Jumberi,. 2008. Kearifan Budaya Lokal Dalam Perspektif Pengembangan Pertanian Di Lahan Rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjar Baru. Banjarmasin.
Noorginayuwati dan A. Rafieq. 2007. Kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan lebak untuk pertanian di Kalimantan. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.
Noorginayuwati, A. Rafieq, M. Noor, dan A. Jumberi. 2007. Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pertanian di Kalimantan. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.
Nurfitri, E. 2008. Sistem Pemeliharaan dan Produktivitas Sapi Potong pada Berbagai Kelas Kelompok Peternak di Kabupaten Ciamis. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Nyangren, A. 1999. Local Knowledge in the Environment-Development Discourse. Critique of Antropology 19:267-268; http:www.fao.org/sd/LINKS/documents download/Rep%209%20TILLA,pdf. Diakses tanggal 2 April 2012
Ohama, Yutaka, 2001, Conceptual Framework of Participatory Local Social Development, Nagoya:JICA.
Peterse, J. N. 1995. Globalization as Hybridization. dalam Global Modernities. SAGE Publication, London.
Ratnada, M., S. Ratnawaty., J. Nulik. 2004. Kelembagaan Komunal Penggembalaan Ternak : Studi Kasus di Timur Tengah Utara Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Roessali, W., B.T. Eddy, dan A. Murthado. 2005. Upaya pengembangan usaha sapi potong melalui entinitas agribisnis “corporate farming” di Kabupaten Grobogan. Jurnal Sosial Ekonomi Peternakan 1(1): 25−30
Rosida, I. 2006. Analisis Potensi Sumber Daya Peternakan Kabupaten Tasikmalaya sebagai Wilayah Pengembangan Sapi Potong. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Ridwan, N. A. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal . Jurnal Studi Islam dan Budaya . Ibda` Vol. 5. No. 1. Jan-Jun.
Ritzer G, Goodman DJ. 2011. Teori Sosiologi Modern. Prenada. Jakarta
Ruddell E, J Beingolea and H Beingolea. 1997. Empowering farmers to conduct experiments. In: Veldhuizen L vans, Waters-Bayer A, Ramirez R, Johnson DA and Thompson J (eds) Farmers’ research in practice: lessons from the field. Intermediate Technology Publications, London: 199-208.
Rogers, E.M. 2003. Diffusion of Innovation. New York : Free Press.
Salman, D, 2006. Belajar dari Konsep Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan. Makalah, Dipresentasikan dalam seminar nasional "Tinjauan Hukum, Kajian Ekologi Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat (Community Development) dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Makassar, 13 Desember 2006.
________, 2012. Sosiologi Desa. Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas. Ininnawa Press, Makassar.
Santi, W.P. 2008. Respons Penggemukan Sapi PO dan Persilangannya sebagai hasil IB terhadap Pcmberian Jerami Padi Fermentasi dan Konsentrat di Kabupaten Blora. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Saragih, B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Kumpulan Pemikiran. Pustaka Wirausaha Muda, Bogor.
Setiono. 2002. Pengembangan Psikologi Indigenous di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Psikologi: Kognisi UMS, Vol. 6, Nomor 2, hal. 87.
Setiyono, P.B.W.H.E., Suryahadi, T. Torahmat, dan R. Syarief. 2007. Strategi Suplementasi Protein Ransum Sapi Potong Berbasis Jerami dan Dedak Padi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan 30(3): 207−217
Sillitoe Paul, 1998. The Development of Indigenous Knowledge. Current Anthropology, Vol. 39, No. 2. April, 223-247.
Sudaratmaja IGAK., I. N. Suyasa, IGK Dana Arsana. 2004. Isyarat Weda dan Kearifan Lokal dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak di Bali. Prosiding Seminar Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Suhartini. 2009. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009
Sumaryo dan Joshi, 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal dalam Sistem Agroforestri. Bahan Ajar Groforestri. WORLD AGROFORESTRY CENTRE (ICRAF), Southeast Asia.
Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis dengan Pola Kemitraan. Jurnal Litbang Pertanian, 28(1),
Syukri, F.A. 2006. Studi Awal Knowledge Based Society di Indonesia—Metoda perhitungan distorsi informasi dalam budaya lisan--prosiding konferensi nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia 3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung
Syamsu, J.A, L.A. Sofyan, K. Mudikdjo, dan G.Said. 2003. Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia. Wartazoa 13(1): 30−37.
Titilola, S.O. 1990. The Economic of Incorporating Indigenous Knowledge System Into Agricultural Development. A Model and Analytical Framework. In : Studies in Technology and Social Change, No.17. Iowa State University Research Foundation.
Vancil, David L., 1993. Rhetoric and Argumentation, Allyn and Bacon, Boston.
Wahyono, D.E. dan R. Hardianto. 2004. Pemanfaatan Sumber Daya Pakan Pokal untuk Pengembangan Usaha Sapi Potong. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 66−76.
Wahyu. 2007. Makna Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Kalimantan Selatan, dalam Soendjoto, M.A. dan Wahyu 2007. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Budaya dan Kearifan Lokal. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.
Walker, D.H., P.J. Thorne, F.L. Sinclair, B. Thapa C.D. Word, D.B. Subba. 1999. A System Approach to Comparing Indogenous and Sientific Knowledge : Consistency and Discriminatory Power of Indigenous and Laboratory Assesment of The Nutrive Value of Tree Fodder. Journal of Agricultural Systems 62 (87-103).
Warren. 1993. Using IK for Agriculture and Rural Development. Current Issues and Studies. In : Indigenous knowlede and Development Monitor Vol. 1 No. 1 CIKARD.
Yin R.K. 2004. Studi Kasus. Desain dan Metode. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Terjemahan dari : Case Study Research Design and Methods.