Dmkasi Intr Pti

18
Demokrasi Internal Partai: Pengaruh Kepemimpinan, Bentuk Partai dan Anggota Partai Pendahuluan Partai politik merupakan pilar penting dalam sistem demokrasi. Keberadaan partai politik merupakan hal yang mutlak selama sistem demokrasi berlaku. Namun untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, juga hal yang sangat penting bagi partai untuk mewujudkan demokrasi di internal partai sendiri, sebab hal yang aneh apabila partai sebagai penopang demokrasi namun dalam pengelolaan internalnya tidak demokratis. NDI menawarkan model sederhana tentang intra party democracy, sebuah partai yang tumbuh dari nalar yang demokratis, diisi dengan sumber daya yang demokratis, dan memiliki serangkaian tata laksana program dan organisasi yang demokratis. 1 Maka, kami tertarik untuk membahas demokrasi internal partai pada makalah ini. Tulisan ini akan menjawab beberapa pertanyaan, yaitu apa indikator internal partai yang demokratis? Lalu, akan kami kaitkan dengan apakah bentuk partai – khususnya kartelisasi mempengaruhi demokrasi internal partai? Itu akan dijelaskan melalui analisis dari studi kasus yang dilakukan oleh Karl Loxbo dalam tulisannya yang berjudul “The Fate of Intra-Party Democracy: Leadership Autonomy and Activist Influence in The Mass Party and The Cartel Party” . 1 Dalam Suwandono, Miftah Adi Ikhsanto, dan Andi Ali said dalam Agung Djojosoekarto dan Utama Sandjaja(eds.), Transformasi Demokratis Partai Politik di Indonesia: Model, Strategi dan Praktik (Jakarta: Kemitraan, 2008) hlm.91

description

dmksi int parti ,

Transcript of Dmkasi Intr Pti

Demokrasi Internal Partai: Pengaruh Kepemimpinan, Bentuk Partai dan Anggota Partai

PendahuluanPartai politik merupakan pilar penting dalam sistem demokrasi. Keberadaan partai politik merupakan hal yang mutlak selama sistem demokrasi berlaku. Namun untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, juga hal yang sangat penting bagi partai untuk mewujudkan demokrasi di internal partai sendiri, sebab hal yang aneh apabila partai sebagai penopang demokrasi namun dalam pengelolaan internalnya tidak demokratis. NDI menawarkan model sederhana tentang intra party democracy, sebuah partai yang tumbuh dari nalar yang demokratis, diisi dengan sumber daya yang demokratis, dan memiliki serangkaian tata laksana program dan organisasi yang demokratis.[footnoteRef:1] [1: Dalam Suwandono, Miftah Adi Ikhsanto, dan Andi Ali said dalam Agung Djojosoekarto dan Utama Sandjaja(eds.), Transformasi Demokratis Partai Politik di Indonesia: Model, Strategi dan Praktik (Jakarta: Kemitraan, 2008) hlm.91]

Maka, kami tertarik untuk membahas demokrasi internal partai pada makalah ini. Tulisan ini akan menjawab beberapa pertanyaan, yaitu apa indikator internal partai yang demokratis? Lalu, akan kami kaitkan dengan apakah bentuk partai khususnya kartelisasi mempengaruhi demokrasi internal partai? Itu akan dijelaskan melalui analisis dari studi kasus yang dilakukan oleh Karl Loxbo dalam tulisannya yang berjudul The Fate of Intra-Party Democracy: Leadership Autonomy and Activist Influence in The Mass Party and The Cartel Party.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu terdapat beberapa konsep yang akan kami pakai untuk menjelaskanya, pertama, akan dijelaskan mengenai konsep demokrasi dalam konteks internal partai, ini bertujuan untuk mengetahui indikator demokrasi telah diterapkan atau belum. Kedua, konsep kepemimpinan dan organisasi oleh Robert Michels. Konsep ini dipilih karena kepemimpinan dan keorganisasian adalah faktor penentu suatu partai demokratis atau justru oligarkis.[footnoteRef:2] Ketiga, tentang fungsi rekriutmen partai. Konsep kepemimpinan, organisasi dan rekruitmen saling berhubungan, itu dipakai karena dari ketiga konsep tersbut dapat diketahui tidak hanya praktik demokrasi internal partai juga hubungannya dengan bentuk dan pengelolaan partai. Keempat, konsep kartelisasi partai, ini terkait studi kasus yang akan dibahas. Terakhir, konsep-konsep tersebut akan dibenturkan dengan studi kasus yang telah disebutkan dimuka, ini sekaligus akan membuktikan asumsi di dalam konsep-konsep tersebut apakah sesuai dengan realita atau tidak? [2: Lihat penjelasan Lipset mengenai pemikiran Robert Michels dalam Robert Michels, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi (Jakarta: Rajawali, 1984)]

Demokrasi dalam Konteks Internal PartaiSebagai pembuka pembahasan mengenai demokrasi internal partai perlu diketahui apa yang dimaksud demokrasi khususnya dalam konteks internal partai. Menjawab pertanyaan ini dapat kita pinjam pendapat Rahat.[footnoteRef:3] Ia mengusulkan untuk mempertimbangkan dua presepsi umum terkait demokrasi. Pertama, presepsi positif tentang demokrasi; yakni demokrasi sebagai sebuah sistem yang memungkinkan semua warga berpartisipasi dalam memilih di antara calon dan kelompok yang bersaing, yang mengklaim paling mewakili kepentingan dan nilai mereka. Dalam prespektif ini, sistem yang lebih demokratis adalah yang secara optimal, bukan yang ideal, menyeimbangkan partisipasi, kompetisi, representasi, dan responsivitas; bukan sebuah sistem yang sepenuhnya memenuhi semua tujuan tersebut pada saat yang sama. [3: Rahat dalam Sigit Pamungkas, Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia (Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism (IDW), 2011) hlm.99]

Kedua, dengan pandangan negatif tentang demokrasi. Gagasan negatif tentang demokrasi ini menganggap segala bentuk kekuasaan adalah potensial terjadinya penyimpangan (korup), tidak peduli apakah itu di tangan rakyat atau sebuah oligarki, dan karenanya menekankan pembatasan kekuasaan. Dari sudut pandang tersebut partai disebut lebih demokratis apabila terjadi distribusi kekuasaan sehingga memungkinkan mekanisme checks and balances. Sehingga gagasan utama demokrasi internal partai terletak pada apakah partisipasi di internal partai telah berjalan dan ada tidaknya mekanisme checks and balances melalui pembatasan kekuasaan di dalam partai.Konsep Oligarki Partai Politik : Pengaruh Kepemimpinan dan organisasi Partai PolitikKepemimpinan partai politik sangat berpengaruh dalam pengelolaan partai. Memakai pandangan Robert Michels, kepemimpinan merupakan sebuah kebutuhan dari setiap kehidupan berkelompok dan pemimpin memiliki sifat superioritas (memiliki keunggulan dibanding yang lain). Menurut penjelasan Lipset mengenai pandangan Michel tersebut, selain merupakan kebutuhan alami, posisi unggul yang dimiliki pemimpin itulah yang memungkinkan faktor-faktor teknis-administratif, psikologis, dan intelektualitas yang lebih dikuasai oleh elit.[footnoteRef:4] [4: Robert Michels, Op. cit., hlm. xiii]

Kemudian, dijelaskan bahwa justru keunggulan elit partai dan harapan-harapan masa itulah yang secara bersama-sama membangun situasi bagi tumbuhnya pola tingkah laku oligarkis di dalam partai atau partai dikuasai oleh beberapa orang saja (elit). Sehingga kepemimpinan mempunyai andil yang besar dalam mewujudkan partai tersebut bersifat demokratis atau oligarkis.

Selain itu, domkratis atau tidaknya partai dipengaruhi pula oleh organisasi partai tersebut. Agar lebih jelas mengenai hal itu dapat dilihat dari analisis Michels mengenai apakah partai dinilai demokratis atau oligarkis dengan dua sudut pandang tadi, yaitu kepemimpinan dengan tiga indikatornya yaitu ideologi, pengutamaan kepentingan dan tujuan para pemimpin. Kedua, dari sudut pandang organisasi. Analisis tersebut dapat digambar kan sebagai berikut: [footnoteRef:5] [5: Ibid., hlm. xv]

PEMIMPIN

ProgresifIdeologiKonservatif

Seluruh anggotaDEMOKRATIS

KepentinganElit PartaiOLIGARKIS

PerubahanTujuan Pemimpin/ElitStabilitas

ORGANISASI

RingkasProsedurBirokrasi

Anggota dan yang lainPerhatianKelompok Inti

Sudut Pandang Kepemimpinan 1. IdeologiApabila pemimpin partai menerapkan sifat progresif dari ideologi, maka partai tersebut akan menjadi demokratis karena sifat progresif ideologi membawa partai menjadi dinamis dan memungkinkan partisipasi anggota terwadahi. Sementara itu, apabila sifat konservatif dari ideologi menjadi perhatian utama pemimpin maka partai cenderung oligarkis.Misal, sebagai contoh sederhana, suatu partai berideologi tertentu, jika sifat progresif ideologi tersebut yang diambil maka dapat mendorong partai selalu memperjuangkan tujuan sesuai ideologi dan progresifitas ideologi selalu memunculkan pembaharuan dan kemajuan termasuk dalam hal pergantian kepemimpinan, kaderisasi, arah perjuangan partai dan kebijakan partai. Akan tetapi apabila sifat konservatif dari ideologi yang diambil oleh pemimpin maka hasilnya ideologi tersebut akan digunakan untuk mempertahankan nilai-nilai yang ada atau bisa juga digunakan melanggengkan kekuasaan. Partai akan cenderung menerima keadaan yang telah mapan, keputusan dan nilai-nilai akan memakai ukuran yang telah ditetapkan atau dianggap baik oleh para elit partai. Sifat konservatif tersebut dapat berupa anggapan bahwa nilai-nilai ideologi partai yang diajarkan oleh pendiri partai adalah yang terbaik dan harus dijalankan. Lalu yang menyebabkan partai menjadi oligarkis adalah pandangan tersebut dimanfaatkan untuk melegitimasi kepemimpinan. Misal, yang berhak menafsirkan dan meneruskan kepemimpinan partai adalah keturunan atau orang dekat pendiri partai, ini berarti oligarkis karena sirkulasi kepemimpinan hanya akan berputar pada orang-orang terdekat sementara anggota partai secara keseluruhan tertutup hanya untuk berpartisipasi.

2. Pengutamaan KepentinganPengutamaan kepentingan maksudnya bagaimana kepemimpinan partai mewadahi dan melayani kepentingan anggota partai. Jika kepemimpinan partai politik mampu melayani kepentingan keseluruhan anggota maka demokrasi internal partai akan terjamin. Namun, apabila kepemimpinan partai hanya mengutamakan kepentingan sekelompok kecil atau para elit partai maka partai menjadi oligarkis.

3. Tujuan PemimpinJika tujuan pemimpin adalah merealisir kemajuan dan perubahan maka partai akan terdorong menuju demokratisasi. Sebaliknya jika tujuan pemimpin memelihara stabilitas partai maka mendorong partai menjadi oligarkis.[footnoteRef:6] [6: Ibid., hlm. xiv]

Sudut Pandang Organisasi 1. ProsedurPenjelasan Lipset mengenai gagasan Robert Michels menyebutkan bahwa jika organisasi dikelola dengan disederhanakan dan didasarkan pada saling pengertian maka partai akan mendekati demokratis. Sebaliknya, jika organisasi sudah berkembang menjadi sedemikian besar dan hubungan di dalamnya begitu dikendalikan oleh suatu sistem birokrasi maka partai akan menjadi oligarki.[footnoteRef:7] Jika tata cara organisasi partai dikelola dengan prinsip saling pengertian berarti ada kesetaraan dan penghargaan hak dari setiap anggota di situ, dan hal itu memungkinkan adanya partisipasi dari seluruh anggota, ini sesuai dengan demokrasi. Sebaliknya organisasi partai yang bersifat birokratis, hirarkis dan kaku berpotensi memunculkan penguasaan partai pada pucuk-pucuk struktur tersebut atau elitnya saja, hal ini menyebabkan partai menjadi oligarkis. [7: Loc. Cit.]

2. PerhatianPenjelasannya, suatu organisasi apalagi yang sangat besar akan menggantungkan keputusan pada kelompok inti organisasi atau kepemimpinan pusat. Inilah yang mendorong partai menjadi oligarki (dikuasai oleh beberapa orang).

Mengukur Demokrasi Internal Partai dari Fungsi Rekruitmen Politik

Fungsi Rekruitmen Politik merupakan fungsi yang sangat penting dalam partai politik, demokrasi internal partai, hal itu dikarenakan rekruitmen politik partai dapat menjelaskan banyak hal dari dinamika politik partai,[footnoteRef:8] diantaranya dapat menunjukkan lokus kekuasaan, apakah oligarkis atau menyebar. Kedua,menggambarkan perjuangan kekuasaan internal partai dan distribusi kekuasaan. Ketiga, menunjukkan representasi politik internal partai. Keempat, menggambarkan sirkulasi elit partai terjadi. Kelima, pasca rekruitmen, dapat menggambarkan wajah partai dimata public atau identitas partai.[footnoteRef:9] [8: Sigit Pamungkas, Op. cit., hlm. 90] [9: Ibid., hlm.90-91]

Dalam prosesnya, rekrutmen politik di dalam partai ditentukan oleh agen pembuat keputusan. Norris dan Lovenduski (1995;2-8 dalam Pamungkas, 2011;97) membagi agen pembuat keputusan dalam rekruitmen politik berdasar, yaitu (1) dimensi bagaimana kekuasaan disebarkan, yaitu tersentralisasi di pusat, reginal, atau lokal; dan (2) bagaimana formalisasi keputusan dibuat, apakah secara formal atau informal. Informal berarti tidak ada standar norma yang dibakukan dan terdapat sedikit aturan dan regulasi konstitusional yang mengikat; dan formal berarti terdapat standarisasi prosedur yang dibakukan dan dieksplisitkan dalam proses rekruitmen.Proses rekruitmen : Agen Pembuat KeputusanPusat Regional lokalProses InformalProses Formal (Norris dan Lovenduski, 1995:4 dalam Pamungkas, 2011:97)Apabila dianalisis menggunakan konsep demokrasi yang ditawarkan oleh Rahat seperti yang telah diterangkan pada bab sebelumnya maka proses formal dan terlokal dianggap paling demokratis. Sebab, ketika kekuasaan pemilihan kandidat semakin disebarkan diantara sejumlah actor politik yang berbeda-beda, semakin menciptakan keseimbangan kekuasaan (checks and balances)[footnoteRef:10]. Selain itu adanya standarisasi (formal), rekruitmen yang dilakukan akan berjalan dengan adil dan memperkecil kemungkinan terjadinya kecurangan atau intervensi kekuasaan internal partai. [10: Ibid., hlm. 100]

Partai KartelPartai kartel merupakan penggabungan partai di parlemen atau kekuatan politik diparlemen dan apparatus negara serta kelompok-kelompok kepentingan. Tujuan utamanya adalah mempertahankan kekuasaan eksekutif.[footnoteRef:11]Menurut Wolinezt, orientasi partai ini adalah pencari jabatan (office seeking) sehingga debat internal tentang kebijakan partai terbatas dan kalaupun ada kurang fokus dan terbatas pada pimpinan partai atau komite kebijakan.[footnoteRef:12]Pendapat konsep kartelisasi menunjukkan partai model ini dalam pembuatan kebijakan sangat bergantung pada elit. Dengan kata lain partai kartel cenderung oligarkis dan demokrasi internal partai tidak berjalan. [11: Ibid., 39] [12: Ibid., 40]

Berbicara mengenai perkembangan partai tentu perlu membandingkan antara model partai dalam kasus ini partai model kartel yang dianggap mewakili model partai modern dengan partai pada perkembangan sebelumnya, seperti partai massa. Beberapa sarjana terkemuka berpendapat bahwa organisasi partai yang modern sudah meninggalkan cita-cita dan praktek yang berhubungan dengan partai massa-misalnya partisipasi, musyawarah, dan akuntabilitas kepemimpinan (misalnya Hopkin,2004;645).[footnoteRef:13] Dengan demikian, ketika membandingkan pembuatan kebijakan antara partai massa dengan elit partai kartel, berdasar konsep beberapa ahli menunjukkan ada penurunan demokrasi. [13: Karl Loxbo, The Fate of Intra-Party Democracy: Leadership Autonomy and Activist Influence in The Mass Party and The Cartel Party, Jurnal Sage, Vol. 19(4), 15 Januari 2011, hlm. 538]

Studi Kasus : Partai Sveriges Socialdemokratiska Arbetareparti (SAP)[footnoteRef:14] [14: Bab penjelasan ringkas dari Karl Loxbo, The Fate of Intra-Party Democracy: Leadership Autonomy and Activist Influence in The Mass Party and The Cartel Party, Jurnal Sage, Vol. 19(4), 15 Januari 2011]

Pada tulisan yang berjudul The Fate of Intra-Party Democracy: Leadership Autonomy and Activist Influence in The Mass Party and The Cartel Party, Karl Loxbo mencoba membuktikan hipotesis yang tersebar luas yang menyatakan bahwa demokrasi internal partai telah menurun semenjak perkembangan partai dari model partai massa berubah menjadi partai kartel. Untuk menguji itu ia melakukan penelitian dengan membandingkan antara dua proses pembuatan kebijakan pada partai Partai Sosial Demokrat Swedia (bahasa Swedia : Sveriges socialdemokratiska arbetareparti, SAP), yaitu pada tahun 1950an saat berbentuk partai masa dan pada tahun 1990 yang berubah menjadi model kartel. Hasilnya dapat dapat dilihat dari table ini :

Perkembangan model partaiPembuatan Kebijakan internalPropaganda pers

Partai Massa Pemimpin partai mengesahkan kebijakan resmi partai, padahal para aktivis/anggota sebenarnya memiliki alternatif lain. Tidak ada pertimbangan kritis saat kongres, anggota cenderung menerima saja. Kongres-kongres tidak memberi kesempatan untuk memperdebatkan keputusan Partai memiliki media yang dikontrol pemimpin partai Publikasi hanya menyangkut kebijakan resmi saja Perdebatan ideologi internal partai tidak dipublikasi

Partai Kartel Sama , pemimpin masih berperan dalam menentukan arah kebijakan. Kongres dibanjiri anggota partai, ada kebebasan mengungkapkan pandangan. Pemimpin berusaha kongres menerima keputusan akhir, namun karena terjadi perdebatan akhirnya keputusan diambil setelah berkompromi dengan aktivis/anggota dan pemimpin partai menyetujui tuntutan anggota. Kontrol masih ada tetapi tidak sekuat dulu walau sebenarnya pada masa ini pemimpin partai jauh berpotensi mengontrol, tapi kenyataannya tidak, justru artikel banyak ditulis secara independen dan lebih bebas Artikel tentang kebijakan resmi justru berkurang dan banyak artikel membahas tentang hal lain terkait partai tersebut. Perdebatan ideologi internal partai justru banyak mewarnai tulisan di media partai (62% ditahun 1992 & 1997).

Hasil diatas melemahkan pendapat bahwa semakin kartel suatu partai maka partai tersebut kehilangan sisi demokratis dan mengarah pada olirgakis. Menengok penjelasan mengenai konsep demokrasi internal partai yang bertumpu pada argument bahwa kepemimpinan partai sangat menentukan praktik demokrasi internal partai, sesuai dengan pendapat Robert Michels. Demikian juga pada konsep rekruitmen politik, pada akhirnya rekruitmen pun akan ditentukan oleh agen pembuat keputusan. Pendapat tersebut semakin kuat dalam menjelaskan praktik oligarki ketika dibahas dalam konteks partai kartel. Partai kartel yang mengedepankan niai-nilai konservatis mendukung tumbuh suburnya oligarkis dan menghalangi adanya partisipasi luas dari anggotanya demi perubahan. Namun sekali lagi, penelitian Karl Loxbo melemahkan pendapat-pendapat itu.Studi kasus melihat pada masalah pembuatan kebijakan internal dan propaganda pers di partai SAP. Perbedaan proses pembuatan kebijakan internal antara sebelum menjadi partai kartel dan sesudah kartelisasi. Ketika masih menjadi partai massa, kebijakan internal partai SAP justru lebih didominasi oleh pemimpin partai. Meskipun anggota lain memiliki alternatif lain namun pemimpin partai tetap mengesahkan kebijakan. Anggota partai mengajukan suatu alternatif lain mengenai reformasi pensiun, namun keputusan pemimpin partai tidak dapat diubah dengan alasan partai mencoba menghindari debat internal yang mampu merusak partai.Anggota partai SAP ketika masih berbentuk partai massa cenderung diam saja dan menerima hasil ketika kongres. Anggota partai tidak memberikan pertimbangan yang kritis saat kongres. Hal ini didukung pula dengan tidak diberikannya kesempatan untuk memperdebatkan keputusan oleh kongres. Seharusnya cita-cita partisipasi anggota partai massa dapat diwujudkan oleh partai SAP.Perubahan kemudian terjadi ketika partai SAP mengalami kartelisasi. Meskipiun pemimpin partai masih berperan dalam proses pembuatan kebijakan, setidaknya kran partisipasi anggota mulai terbuka. Kongres partai mulai dibanjiri anggota partai, tidak seperti sebelumnya yang membatasi kebebasan bersuara anggota, kali ini anggota diberikan kebebasan untuk memberikan pandangan mereka. Selain itu, terjadi perdebatan mengenai keputusan kongres yang sebelumnya ketika masih menjadi partai massa perdebatan itu tidak diperbolehkan. Keputusan kali ini tidak hanya ditentukan oleh satu pihak, keputusan kali ini merupakan hasil dari kolaborasi dari tuntutan anggota. Hal-hal tersebut menunjukkan peningkatan partisipasi anggota di parta SAP. Dengan demikian, partai SAP yang merupakan partai kartel ternyata justru masih memiliki nilai demokratis di dalamnya yang mampu mengalahkan dominasi elit partai. Hal penting yang harus dicermati adalah adanya perbedaan antara pemimpin partai era partai massa dan partai kartel. Pemimpin partai pada era partai kartel seharusnya dapat mempengaruhi secara penuh atas pertimbangan kebijakan dan aktivis, namun dari studi kasus terlihat pemimpin partai memiliki pengaruh yang sangat kurang dibandingkan pengaruh aktivis dan anggota partai. Kemudian kontrol proganda pers pun yang seharusnya mampu dijadikan alat pengontrol justru lepas dari tangan pemimpin partai. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk partai tidak selalu berkolerasi pada praktik demokrasi internal partai. Juga dengan pendapat bahwa kepemimpinan akan selalu menjadi kekuatan penentu dalam mengarahkan partai apakah demokratis atau justru oligarkis. Kasus SAP membuktikan bahwa demokrasi internal partai dapat diwujudkan justru dari kekuatan anggota/aktivis partai, meski bentuk partai kartel berpotensi memunculkan oligarki namun bila kekuatan anggota mampu mengimbangi elit dan berhasil melakuan kompromi dan tekanan, demokrasi internal partai dapat didorong. Partipsipasi dapat terwujud dan pembatasan kekuasaan serta checks and balances juga dapat berjalan.Kesimpulan Dari penjelasan konsep dan analisis diatas dapat disimpulkan beberapa hal terutama dalam menjawab pertanyaan yang menjadi rumusan masalah, pertama, indikator demokrasi dapat diukur dari apakah adanya partisipasi bagi seluruh anggota dan adakah pembatasan kekuasaan serta mekanisme checks and balances. Kedua, praktik demokrasi internal partai yang dijelaskan melalui konsep kepemimpinan, organisasi dan rekruitmen politik pada akhirnya ketiganya berargumen bahwa kekuatan pemimpin sangatlah berpengaruh dalam membawa arah partai apakah demokratis atau oligarkis. Pada rekruitmen politik bila dilihat bahwa fungsi ini termasuk dalam mekanisme pembuatan kebijakan internal partai ternyata pada akhirnya akan bermuara pada agen pembuat keputusan, jadi rekruitmen pun tidak bisa lepas dari siapa yang memutuskan. Konsep tersebut semakin kuat apabila digunakan dalam menjelaskan model partai yang berubah menjadi partai kartel. Partai kartel yang dikuasai elit dalam menentukan pembuatan kebijakan sangat sesuai dengan argument dari ketiga konsep diatas.Namun, dari hasil pnelitian Karl Loxbow menunjukkan hipotesis tersebut dapat dilemahkan. Kesimpulan terakhir pada makalah ini bahwa bentuk partai tidak selalu berkolerasi pada praktik demokrasi internal partai. Juga dengan pendapat bahwa kepemimpinan akan selalu menjadi kekuatan penentu dalam mengarahkan partai apakah demokratis atau justru oligarkis. Kasus SAP membuktikan bahwa demokrasi internal partai dapat diwujudkan justru dari kekuatan anggota/aktivis partai, meski bentuk partai kartel dan berpotensi memunculkan oligarki namun bila kekuatan anggota mampu mengimbangi elit dan berhasil melakuan kompromi dan tekanan, demokrasi internal partai dapat didorong. Partipsipasi dapat terwujud dan pembatasan kekuasaan serta checks and balances juga dapat berjalan.

Daftar PustakaLoxbo, Karl. 2011. The Fate of Intra-Party Democracy: Leadership Autonomy and Activist Influence in The Mass Party and The Cartel Party. Jurnal Sage, Vol. 19(4), 15 Januari 2011Djojosoekarto, Agung dan Sandjaja, Utama (eds.). 2008. Transformasi Demokratis Partai Politik di Indonesia: Model, Strategi dan Praktik. Jakarta: KemitraanMichels, Robert. 1984. Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi. Jakarta: RajawaliPamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism (IDW)