Dm Pada Lansia

17
Kasus Besar Interna – qqiute DIABETES MELITUS TIPE 2 Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Secara klinis terdapat 2 macam diabetes, DM tipe 1 yaitu Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan DM tipe 2 yaitu Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). DM tipe 1 adalah kekurangan insulin pankreas akibat destruksi autoimun sel B pankreas, berhubungan dengan HLA tertentu pada suatu kromosom 6 dan beberapa autoimunitas serologik dan cell mediated, DM yang berhubungan dengan malnutrisi dan berbagai penyebab lain yang menyebabkan kerusakan primer sel beta sehingga membutuhkan insulin dari luar untuk bertahan hidup. Infeksi virus pada atau dekat sebelum onset juga disebut-sebut berhubungan dengan pathogenesis diabetes. Diabetes tipe 2 tidak mempunyai hubungan dengan HLA, virus atau auto imunitas. Terjadi akibat resistensi insulin pada jaringan perifer yang diikuti produksi insulin sel beta pankreas yang cukup. DM tipe 2 sering memerlukan insulin tetapi tidak bergantung kepada insulin seumur hidup. 1,2 Diagnosis DM didasarkan atas pemeriksaan kadar gula darah. Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dengan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mereka yang tidak 1

description

diabetes melitus pada lansia

Transcript of Dm Pada Lansia

Page 1: Dm Pada Lansia

Kasus Besar Interna – qqiute

DIABETES MELITUS TIPE 2

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin atau kedua-duanya. Secara klinis terdapat 2 macam diabetes, DM tipe

1 yaitu Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan DM tipe 2 yaitu Non

Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). DM tipe 1 adalah kekurangan

insulin pankreas akibat destruksi autoimun sel B pankreas, berhubungan dengan

HLA tertentu pada suatu kromosom 6 dan beberapa autoimunitas serologik dan

cell mediated, DM yang berhubungan dengan malnutrisi dan berbagai penyebab

lain yang menyebabkan kerusakan primer sel beta sehingga membutuhkan insulin

dari luar untuk bertahan hidup. Infeksi virus pada atau dekat sebelum onset juga

disebut-sebut berhubungan dengan pathogenesis diabetes. Diabetes tipe 2 tidak

mempunyai hubungan dengan HLA, virus atau auto imunitas. Terjadi akibat

resistensi insulin pada jaringan perifer yang diikuti produksi insulin sel beta

pankreas yang cukup. DM tipe 2 sering memerlukan insulin tetapi tidak

bergantung kepada insulin seumur hidup.1,2

Diagnosis DM didasarkan atas pemeriksaan kadar gula darah. Ada perbedaan

antara uji diagnostik DM dengan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM

dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM, sedangkan

pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mereka yang tidak bergejala, yang

mempunyai risiko DM. Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan

salah satu risiko DM sebagai berikut: 1.) Usia . 45 tahun, 2.) Berat badan lebih:

BBR >110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2, 3.) Hipertensi >140/90 mmHg, 4.)

Riwayat DM dalam garis keturunan, 5.) Riwayat abortus berulang, melahirkan

bayi cacat atau BB lahir bayi >4000 gram; 6.) Kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau

trigliserid > 250 mg/dl.2

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas

berupa poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dapat dikemukakan pasien

adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta

pruritus vulva pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah

sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk

kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah yang

1

Page 2: Dm Pada Lansia

Kasus Besar Interna – qqiute

baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.

Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal,

baik kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl atau glukosa darah sewaktu > 200

mg/dl pada hari lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan

kadar glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dl.2

DIABETES MELITUS PADA LANJUT USIA

Prevalensi DM pada lanjut usia cenderung meningkat, hal ini dikarenakan

DM pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dipengaruhi faktor intrinsik dan

ekstrinsik.1 Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri

dalam pengaruhnya terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa.

Umumnya pasien diabetes dewasa 90% termasuk diabetes tipe 2. Dari jumlah

tersebut dikatakan 50% adalah pasien berumur > 60 tahun.2

Untuk menentukan diabetes usia lanjut baru timbul pada saat tua, pendekatan

selalu dimulai dari anamnesis, yaitu tidak adanya gejala klasik seperti poliuri,

polidipsi atau polifagi. Demikian pula gejala komplikasi seperti neuropati,

retinopati dan sebagainya, umumnya bias dengan perubahan fisik karena proses

menua, oleh karena itu memerlukan konfirasi pemeriksaan fisik, kalau perlu

pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik, pasien diabetes yang timbul pada

usia lanjut kebanyakan tidak ditemukan adanya kelainan-kelainan yang

sehubungan dengan diabetes seperti misalnya kaki diabetik, serta tumbuhnya

jamur pada tempat-tempat tertentu.2

Kriteria diagnosis DM dapat mengacu pada rekomendasi ADA (American

Diabetes Association) yang tidak menunjukkan adanya pertimbangan spesifik

umur. Diagnosis DM dibuat setelah dua kali pemeriksaan gula darah puasa > 126

mg/dl (dengan sebelumnya puasa paling sedikit 8 jam). Pasien perlu dipastikan

tidak dalam kondisi infeksi aktif atau sakit akut dalam pemeriksaan ini. Atau gula

darah acak > 200 mg/dl dengan gejala-gejala diabetes.1,2 Pengukuran hemoglobin

terglikosilasi (HbA1c ) tidak direkomendasikan sebagai alat diagnostik, tetapi

dipakai secara luas untuk memantau efektifitas pengobatan.1

Penampilan klinis DM pada lanjut usia1

Berbagai perubahan karena proses menua dapat mempengaruhi penampilan

klinis DM pada lanjut usia. Gejalanya dapat sangat tidak khas dan menyelinap.

Dikatakan paling sedikit separuh dari populasi lanjut usia tidak tahu bahwa

2

Page 3: Dm Pada Lansia

Kasus Besar Interna – qqiute

mereka terkena DM. Keluhan tradisional dari hiperglikemia seperti polidipsi dan

poliuria sering tidak jelas, karena penurunan respon haus dan peningkatan nilai

ambang ginjal untuk pengeluaran glukosa urin. Penurunan berat badan, kelelahan

dan kencing malam hari dianggap hal yang biasa pada lanjut usia, berakibat

tertundanya deteksi adanya DM. Penampilan klinis seperti dehidrasi, konfusio,

inkontinentia dan komplikasi-komplikasi yang berkaitan DM merupakan gejala-

gejala yang tampak.

Komplikasi mikrovaskuler seperti neuropati dapat berupa kesulitan untuk

bangkit dari kursi atau menaiki tangga. Pandangan yang kabur atau diplopia juga

dapat dikeluhkan, akibat mononeuropati yang mengenai syaraf kranialis yang

mengatur okulomotorik. Proteinuria tanpa adanya infeksi, harus dicari

kemungkinan adanya DM.1

Infeksi khusus yang sering berkaitan dengan DM, lebih banyak dijumpai

pada lanjut usia antara lain otitis eksterna maligna dan kandidiasis urogenital.

Sebaliknya adanya penyakit-penyakit akut seperti bronkopneumoni, infark

miokard atau stroke dapat meningkatkan kadar glukosa sehingga berakibat

tercapainya kriteria diagnosis DM, pada mereka yang telah ada peningkatan kadar

intoleransi glukosa. Beberapa gejala unik yang dapat terjadi pada penderita lanjut

usia antara lain adalah: neuropati diabetika dengan kaheksia, neuropati diabetic

akut, amiotropi, otitis eksterna maligna, nekrosis papilaris dari ginjal dan

osteoporosis.

Bila terlambat diketahui adanya penyakit diabetes pada lanjut usia, penderita

mungkin sudah dalam keadaan status dekompensasi dari sistem metabolik seperti

hiperglikemi, hiperosmolaritas, sindroma non ketotik atau ketoasidosis diabetik.

Penderita juga dapat dijumpai gejala-helaja hipoglikemi, yang biasanya

disebabkan oleh obat-obat antidiabetik. Penampilan klinis hipoglikemia yang khas

tampak sebagai perubahan status mental dan status neurologi seperti penurunan

fungsi kognitif, konfusio, kjang, diaphoresis dan bradikadi.

Keadaan yang menyertai hiperglikemi seperti hiponatremia

(pseudohiponatremi), kondisi dehidrasi dan hipomagnesia (akibat diuresis

osmotik) dapat juga terjadi. Profil lipid pada umunya menunjukkan peningkatan

trigliserid, penurunan HDL sedangkan LDL kolesterol tidak selalu meningkat

tetapi terisi oleh small dense LDL yang lebih banyaj, yang lebih aterogenik.

3

Page 4: Dm Pada Lansia

Kasus Besar Interna – qqiute

Patofisiologi DM pada lanjut usia

Patofisiologi diabetes melitus pada usia lanjut belum dapat diterangkan

seluruhnya, namun didasarkan atas faktor-faktor yang muncul oleh perubahan

proses menuanya sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain perubahan komposisi

tubuh, menurunnya aktifitas fisik, perubahan life style, faktor perubahan

neurohormonal khusunya penurunan kadar DHES dan IGF-1 plasma, serta

meningkatnya stres oksidatif. Pada usia lanjut diduga terjadi age related metabolic

adaptation, oleh karena itu munculnya diabetes pada usia lanjut kemungkinan

karena aged related insulin resistance atau aged related insulin inefficiency

sebagai hasil dari preserved insulin action despite age.3

Berbagai faktor yang mengganggu homeostasis glukosa antara lain faktor

genetik, lingkungan dan nutrisi. Berdasarkan pada faktor-faktor yang

mempengaruhi proses menua, yaitu faktor intrinsik yang terdiri atas faktor

genetikdan biologik serta faktor ekstrinsik seperti faktor gaya hidup, lingkungan,

kultur dan sosial ekonomi, maka timbulnya DM pada lanjut usia bersifat

muktifaktorial yang dapat mempengaruhi baik sekresi insulin maupun aksi insulin

pada jaringan sasaran.1

Faktor resiko diabetes melitus akibat proses menua:1,2

Penurunan aktifitas fisik

Peningkatan lemak

Efek penuaan pada kerja insulin

Obat-obatan

Genetik

Penyakit lain yang ada

Efek penuaan pada sel

Menyebabkan resistensi insulin dan penurunan sekresi insulin gangguan

toleransi glukosa dan diabetes melitus tipe 2.

Perubahan progresif metabolisme karbohidrat pada lanjut usia meliputi

perubahan pelepasan insulin yang dipengaruhi glukosa dan hambatan pelepasan

glukosa yang diperantarai insulin. Besarnya penurunan sekresi insulin lebih

tampak pada respon pemberian glukosa secara oral dibandingkan dengan

pemberian intravena. Perubahan metabolisme karbohidrat ini antara lain berupa

hilangnya fase pertama pelepsan insulin. Pada lanjut usia sering terjadi

4

Page 5: Dm Pada Lansia

Kasus Besar Interna – qqiute

hiperglikemia (kadar glukosa darah >200 mg/dl) pada 2 jam setelah pembebanan

glukosa dengan kadar gula darah puasa normal (<126 mg/dl) yang disebut

Isolated Postchallenge Hyperglikemia (IPH) 1

Pengelolaan DM pada lanjut usia

Langkah I: Menentukan tujuan pelaksanaan, yaitu:

1. Mempertahankan kesehatan badan dan kualitas hidup

2. Meniadakan hiperglikemi dan gejalanya

3. Mengkaji dan menerapi penyakit komorbid seperti hipertensi, penyakit

kardiovaskuler, Alhzeimer, dan lain-lain

4. Meniadakan efek samping obat terutama hipoglikemi

5. Membuat berat badan menjadi ideal

6. Mencegah kalau mungkin dan menerapi komplikasi

7. Mengenali disabilitas dan mengurangi hendaya sosial yang terjadi

Langkah II: Melakukan assesement untuk mengetahui kapasitas penderita baik

fisik, psikologis, fungsional, lingkungan, sosial dan ekonomi. Pemeriksaan mulai

dari anamnesis, pemeriksaan fisik, psikologis, fungsional, pemeriksaan

penunjang sebaiknya dilakukan oleh suatu tim multidisiplin yang bekerja secara

interdisiplin dan terpadu.

Langkah III: Melakukan terapi dan rehabilitasi pada penderita DM usia lanjut.

Target yang ingin dicapai tetap dama dengan usia dewasa muda yaitu HbA1c

<7%, dan ini sangat sulit pada lansia karena terdapat berbagai macam kendala

seperti:

- Adanya berbagai penurunan fungsi organ karena proses menua

- Adanya penyakit komorbid

- Penuruan kapasitas fungsional yang menyebabkan penurunan aktifitas fisik

- Penurunan fungsi kognitif penderita meningkatnya resiko hipoglikemi

- Adanya polifarmasi meningkatkan efek samping dan interaksi obat lain

dengan obat-obat antihiperglikemik

Pilihan utama terapi diabetes pada lansia adalah terapi tanpa ibat atau

sering disebut sebagai perubahan gaya hidup yang meliputi:

5

Page 6: Dm Pada Lansia

Kasus Besar Interna – qqiute

Diet

Diberikan diet dengan jumlah kalori sesuai BMI, dengan pembatasan sesuai

penyakit komorbid atau faktor resiko atherosklerosis lain yang ada. Komposisi

normal biasanya 60-65% karbohidrat komplek, 20% protein dan 15-20% lemak.

Disamping itu juga diberikan suplemen dan vitamin A, C, B komplek, E, Ca,

selenium, zinc dan besi.

Untuk hasil yang baik pada terapi diet ini perlu perhatian khusus pemberian

makanan pada lansia dengan diabetes:

Akses terhadap makanan:

- Disabilitas fungsional

o Keterampilan menyapkan makanan yang kurang/jelek

o Dukungan formal maupun informal yang buruk untuk

mendapatkan makanan

- Sumber daya keuangan yang terbatas

- Asupan makanan:

o Apresiasi terhadap bau dan rasa yang menurun

o Gigi yang buruk dan atau xerostomia

- Kebiasaan makan yang sudah berakar

- Kesukaan atas makanan masa lalu atau masakan tradisional

Fungsi kognitif yang menurun

Olahraga

Disesuaikan dengan kapasitas fungsionalnya. Bila masih bisa berjalan disuruh

berjalan, bila hanya bisa duduk olahraga dengan duduk. Apabila tidak dapat, bisa

dilakukan dengan gerakan atau latihan pasif di tempat tidur. Prinsip terapi

olahraga adalah dengan memperbaiki aktifitas fisik, menurunkan kadar gula

darah, mencegah terjadinya imobilitas yang mempercepat munculnya kompliasi

makrovaskuler diabetes.

Apabila dengan terapi tanpa obat di atas gula darah atau HbA1c belum turun atau

terkendali, sesuai dengan target makan diberikan terapi dengan obat

antihiperglikemik.

6

Page 7: Dm Pada Lansia

Kasus Besar Interna – qqiute

Obat

Terutama obat untuk menurunkan gula darah harus dipilih yang bekerja pendek,

mempertimbangkan kapasitas ginjal, hepar dan saluran cerna agar tidak terjadi

efek samping. Patut juga diperhatikan status sosial ekonomi penderita dalam

memilih obat mengingat obat ini biasanya dipakai dalam jangka waktu lama

bahkan dapat seumur hidup. Obat yang dipilih apakah obat anti diabetik oral atau

insulin disesuaikan dengan klisifikasi DMnya dan keadaan klinisnya seperti

penyakit komorbid atau BMI nya.

Untuk penderita diabetes lansia gemuk, obat hiperglikemik oral yang dipilih

adalah inhibitor alfa Glukosidase (acarbose), biguanide atau thiazolidinedione,

karena obat-obat ini selain menurunkan kadar gula darah juga dapat menuurnkan

berat badan, tetapi bila terdapat ganguan fungsi hati atau ginjal baik biguanide

atau thiazolodinedione tidak boleh dipakai. Sebaliknya penderita yang kurus

sebaiknya dipilih terapi dengan insulin karena dapat menungkatkan berat badan.

Sulfoniuria dan non sulfoniuria insulin secretagoue (repaglinide/nateglinide)

lebih tepat dipilih untuk penderita dengan berat badan normal.

Indikasi penggunaan insulin pada penderita diabetes antara lain: DM tipe 1,

DM tipe 2 yang tidak bisa dikontol dengan obat oral, DM tipe 2 dengan penyakit

akut berulang dan berhubungan dengan hiperglikemi, DM tipe 2 dengan penyakit

komorbid yang merupakan kontraindikasi OHO, DM tipe 2 dengan operasi yang

lama (pre/pascaoperatif), DM tipe 2 dengan malnutrisi/kurus dan malaise berat,

koma diabetik (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar nonketotik dan asidosis

laktat) dan perempuan hamil.1,4,5

Penatalaksanaan DM pada lanjut usia tidak akan berhasil bila tidak

melakukan langkah beriuktnya setelah diet, olahraga dan obat, yaitu melakukan

edukasi, evaluasi dan rehabilitasi pada penderita.

Edukasi: memberikan penjelasan mengania DM dan komplikasi yang akan terjadi

sampai kepada apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh

penderita dan keluarganya. Pada edukasi perlu dibuat komitmen antara dokter,

penderita dan keluarganya mengenai tujuan akhir terapi yang diberikan, bukan

hanya sekedar mengontrol gula darah tetapi juga mencegah komplikasi dengan

mengeliminir semua faktor resiko atherosclerosis yang dimiliki oleh penderita

dan sekaligus menerapi komorbid yang ada.

7

Page 8: Dm Pada Lansia

Kasus Besar Interna – qqiute

Evaluasi: evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan terutama untuk:

evaluasi status fungsional penderita, harapan hidup, support social dan financial

serta hasrat/ kemauan lansia itu sendiri untuk berobat. Bila tidak memperhatikan

hal-hal tersebut biasanya akan terjadi kegagalan terapi atau kebosanan penderita

diabetes untuk terus berobat.

Rehabilitasi: sangat penting dilakukan dengan program individual untuk tiap

penderita, tergantung kepada kapasitas fungsional penderita, komplikasi DM dan

penyakit komorbid yang diderita. Pada prinsipnya rehabilitasi harus dilakukan

secepatnya tidak perlu menunggu kondisi pasien stabil, tetapi harus sesuai dengan

keadaan penderita saat itu.

Komplikasi DM pada lanjut usia

Berbagai komplikasi akibat DM sering diklasifikasikan secara berbeda, antara

lain penggolongan antara komplikasi akut (ketoasidosis, koma hiperosmolar non

ketotk) dan kronik (retinopati diabetika, neuropati diabetika, nefropati diabetika dan

penyakit kardiovaskuler), klasifikasi berdasarkan komplikasi spesifik dari

diabetesnya (nephropati, retinopati dan neuropati) dan komplikasi makrovaskuler

(penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan penyakit perifer) yang

mungkin terjadi pada penderita non diabetik aan tetapi tampil lebih dini dan lebih

berat pada penderita diabet.

Prognosis DM pada lanjut usia

Kesehatan penderita usia 75 tahun mempunyai harapan hidup sekitar 10

tahun, oleh karen aitu harus diterapi secara agresif seperti pada penderita usia muda

untuk menurunkan resiko komplikasi. Bagaimanapun juga harapan hidup penderita

lebih pendek, tujuan terapi adalah untuk mengurangi gejala, mencegah komplikasi

akut, yang mana terutama terjadi pada penderita lanjut usia.

Pada pasien ini, dari anamnesis yang mengarah ke gejala kencing manis

hanya didapatkan keluhan poliuri (buang air kecil banyak). Dari pemeriksaan fisik

tidak didapatkan pemeriksaan yang mengarah pada gejala diabetes melitus, hanya

didapatkan tanda komplikasi diabetes, yaitu infeksi saluran nafas (ronkhi basah

halus) dan adanya infeksi saluran kemih (nyeri kostovertebra).

8

Page 9: Dm Pada Lansia

Kasus Besar Interna – qqiute

DAFTAR PUSTAKA

1. Martono H, Pranaka K, Rahayu RA, Joni B, Huda IS, Murti Y. Diabetes melitus

pada lanjut usia. Dalam : Darmono, Suhartono T, dkk (editor). Naskah lengkap

diabetes melitus. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 :

301-16

2. Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam : Sudoyo AW,

Setiyohadi B, dkk (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2006: 1879-1885

3. Rochmah W. Diabetes melitus pada usia lanjut. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi

B, dkk (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta : Balai

Penerbit FKUI, 2006: 1937-9

4. Darmono. Seri kuliah endokrinologi-metabolik. Semarang: Laboratorium Ilmu

Penyakit Dalam FK UNDIP, 1991. Foster DW.

5. Sidartawan, Pradana, Imam Subekti, dkk. Petunjuk praktis pengelolaan diabetes

mellitus tipe 2. Jakarta : PB Perkeni, 2002.

6. Soegondo S, Rudianto A, Manaf A, Imam Subekti, dkk. Konsensus pengelolaan

dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di indonesia. Jakarta : PB Perkeni, 2006.

7. Sofro MAU. Infeksi yang biasa menyerang pada DM. Dalam : Darmono,

Suhartono T, dkk (editor). Naskah lengkap diabetes melitus. Semarang : Badan

Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 : 178

8. Wibisono BH. Komplikasi paru pada DM. Dalam : Darmono, Suhartono T, dkk

(editor). Naskah lengkap diabetes melitus. Semarang : Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, 2007 : 97

9. Mubin H. Paduan praktis ilmu penyakit dalam diagnosis dan terapi. Jakarta :

EGC, 2001 : 201

10. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL.

Harrison’s manual of medicine 16th ed. McGraw-hill international edition.

Boston. 2002: 679

9