Diunduh dari Bahasa! · PDF filesiswi yang dilarang mengikuti uji ... sarna-sarna aktif....

1
Bahasa! Ariel Heryanto Tiduri Aku, Kau Kuhamilkan M INGGU ketiga Aprillalu, di seputar Hari Kartini, ada perdebatan menarik di In- ternet . Pemieunya berita dari Jawa Timur tentang beberapa siswi yang dilarang mengikuti uji- an nasional gara-gara hamil di atas enam bulan. Tidak jelas apakah me- reka ini sudah resmi menikah, dan kapan. Untungnya , sejumlah pihak lain , baik dari kalangan swasta maupun pemerintah, berusaha memperbaiki nasib para siswi hamil ini. Tapi , sewaktu berita itu mulai merebak, para peminat rna salah feminisme dan kesetaraan gender sempat geram. Bukan hanya soal kesusilaan yang dipersoalkan , tapi juga diskriminasi berdasarkan jenis kelamin . " Betapa tidak adil," begitu pandangan seba- gian dari mereka, "bila perempuan harus menanggung sanksi karena hamil, sedangkan pria yang meng- hamilinya bebas sanksi." Salah satu bagian yang menarik: mengapa banyak yang memakai is- tilah "menghamili'; Mengapa bukan "menghamilkan"? Karena istilah yang pertama sudah lazim? Tapi mengapa istilah yang satu ini harus dan sudah menjadi lazim ketimbang yang lain? Karena lebih logis at au sesuai dengan tata bahasa Indonesia? Saya penggemar rna salah bahasa dalam pengertian seluas-luasnya; yakni sebagai sebuah media perga- ulan sosial. Bukan bahasa sebagai satuan-satuan kalimat (apalagi ba- gian lebih keeil dari sebuah kata) di tangan sejumlah ahli linguistik yang menduga ada semaeam kaidah atau logika yang netral dan berada di awang-awang. Para penutur ba- hasa dianggap harus dan hanya bisa tunduk padanya. Bahasa diperlaku- kan seperti angka-angka di tangan seorang ahli matematika. Sebagai media pergaulan sosial, bahasa menjadi eermin dan sekali- gus pereumbuan dan persengketa- 118 I TEMPO 17 MEl 2009 an antar-sosok dan kelompok sosial , rna sing-rna sing dengan kepentingan, ideologi, prasangka , ha rapan yang berbeda-beda . Bahasa mirip dengan media lain seperti lalu lintas di jalan raya, pemilu, pasar malam. Paling tidak di telinga saya, "meng- hamili " agak meleeehkan. Istilah ini memberikan kesan ada satu pihak yang menjadi subyek, aktif, dan ber- kuasa untuk bertindak sesuatu yang bertolak belakang dengan minat atau kepentingan pihak lain yang dijadi- kan obyek. Sang obyek sendiri dike- sankan pasif, dan tidak berdaya. Karena peleeehan seksual memang banyak terjadi , istilah "menghamili " dan "dihamili" dip erlukan. Masa- lahnya , tidak semua kehamilan me- rupakan akibat peleeehan seksual. Istilah "menghamilkan" tidak la- zim. Lebih tepatnya belum lazim. Tapi bukan istilah yang har am. Is- tilah ini memb er ikan peluang bagi makna interaksi dua pihak ya ng sarna-sarna aktif. Mungkin aktivitas dan peran mereka tidak sarna dan setara, tetapi juga tidak sepihak dan semena-mena seperti padanannya yang berawalan "meng- /di-". Istilah "menghamilkan" meng- ungkapkan pengertian adanya kerja sarna di antara dua pihak. Pria yang menghamilkan perempuan diakui ikut aktif , ikut " berjasa " (atau " ber- dosa" - tergantung konteksnya dan diukur siapa dengan ukur an apa) atas tereapainya kehamilan. Tetapi ia tidak sendirian dan bertindak se- maunya. Kontras kedua istilah di atas tidak sarna, tetapi dapat dibandingkan de- ngankerabatmere ka: "meniduri" dan "ditiduri " y ang artinya jauh berbeda dari "menidurkan " at au "ditidur- kan". Bila A "menidurkan" B, mung- kin saja A berusaha keras membuat B tidur. Tetapi pada akhirnya tan- pa peran, kerja sarna, dan kemauan "B" untuk di-tidur-kan , y ang diusa- hakan akan susah tereapai. I ..<' Bukan hanya pria Indonesia yang bisa meniduri , dan perempuan Indo- nesia hanya bisa ditiduri. Bisa t er jadi sebaliknya, kan? Kemungkinan be- sal' sebagian besar dari pasangan h e- teroseks Indonesia saling "bertidur- tiduran " sebelum masing- masing sa- ling " menidurkan '; Masalahnya kese- tara an yang sangat mungkin terjadi dalam praktek di ruang pribadi ini ti- dak dihormati di ruang dan pergaul- an publik yang bernama bahasa. Kesenj anganantara realitas dan ba- hasa itu tidak ada sangkut-pautnya dengan logika atau tata bahasa yang dikeramatkan sejumlah linguis . Da- lam bahas a resmi kita pria , dianggap (dan diharapkan) menjadi subyek yang aktif, agresif, dan berkuasa un- tuk bertindak sesuatu. Tidak peduli apakah ini sesuai dengan minatnya sendiri apalagi minat dan kepenting- an pihak lain yang dijadikan obyek. Mungkin itu sebabnya dalam ba- hasa kita, perempuan lebih lazim "dinikahi " dan pria "menikahi ". Para pener jemah jadi kerepotan jika me- nerj ema hkan kalimat klise dari se- orang pria terhad ap kekasih perem- puannya dalam film-film Hollywood berbahasa Inggris : "will you mar- ry me?" Terjemahan "bersediakah kamu menikah denganku?" akan le- bih lazim ketimbang "maukah kamu menikahi aku? " Menurut logika bahasa Indone- sia, apalagi di bawah bayang-bayang Orde Baru , kalimat ya ng terakhir ini mengandung kontradiksi . Di satu pi- hak, kalimat pasif hanya bisa dita- nyakan seorang pe rempuan pada kekasihnya. Tapi sebagai perempuan Indon es ia ya ng "bers usila". ia tidak boleh bertanya at au meminta. Pe- rempuan diharapkan menja di obyek yang eant ik , tapi bisu, menunggu, pasif, dan tidak berdaya. *)Associate Professor dan K et ua South east Asia Centre, Australian National Univer sity Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Transcript of Diunduh dari Bahasa! · PDF filesiswi yang dilarang mengikuti uji ... sarna-sarna aktif....

Page 1: Diunduh dari  Bahasa! · PDF filesiswi yang dilarang mengikuti uji ... sarna-sarna aktif. Mungkin aktivitas ... 1/24/2016 12:22:38 AM

Bahasa! Ariel Heryanto

Tiduri Aku, Kau Kuhamilkan

M INGGU ketiga Aprillalu, di seputar Hari Kartini, ada perdebatan menarik di In­ternet. Pemieunya berita

dari Jawa Timur tentang beberapa siswi yang dilarang mengikuti uji­an nasional gara-gara hamil di atas enam bulan. Tidak jelas apakah me­reka ini sudah resmi menikah, dan kapan.

Untungnya, sejumlah pihak lain, baik dari kalangan swasta maupun pemerintah, berusaha memperbaiki nasib para siswi hamil ini. Tapi , sewaktu berita itu mulai merebak, para peminat rna salah feminisme dan kesetaraan gender sempat geram. Bukan hanya soal kesusilaan yang dipersoalkan, tapi juga diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. "Betapa tidak adil," begitu pandangan seba­gian dari mereka, "bila perempuan harus menanggung sanksi karena hamil, sedangkan pria yang meng­hamilinya bebas sanksi."

Salah satu bagian yang menarik: mengapa banyak yang memakai is­tilah "menghamili'; Mengapa bukan "menghamilkan"? Karena istilah yang pertama sudah lazim? Tapi mengapa istilah yang satu ini harus dan sudah menjadi lazim ketimbang yang lain? Karena lebih logis at au sesuai dengan tata bahasa Indonesia?

Saya penggemar rna salah bahasa dalam pengertian seluas-luasnya; yakni sebagai sebuah media perga­ulan sosial. Bukan bahasa sebagai satuan-satuan kalimat (apalagi ba­gian lebih keeil dari sebuah kata) di tangan sejumlah ahli linguistik yang menduga ada semaeam kaidah atau logika yang netral dan berada di awang-awang. Para penutur ba­hasa dianggap harus dan hanya bisa tunduk padanya. Bahasa diperlaku­kan seperti angka-angka di tangan seorang ahli matematika.

Sebagai media pergaulan sosial, bahasa menjadi eermin dan sekali­gus pereumbuan dan persengketa-

118 I TEMPO 17 MEl 2009

an antar-sosok dan kelompok sosial, rna sing-rna sing dengan kepentingan, ideologi , prasangka, harapan yang berbeda-beda. Bahasa mirip dengan media lain seperti lalu lintas di jalan raya, pemilu, pasar malam.

Paling tidak di telinga saya, "meng­hamili" agak meleeehkan. Istilah ini memberikan kesan ada satu pihak yang menjadi subyek, aktif, dan ber­kuasa untuk bertindak sesuatu yang bertolak belakang dengan minat atau kepentingan pihak lain yang dijadi­kan obyek. Sang obyek sendiri dike­sankan pasif, dan tidak berdaya.

Karena peleeehan seksual memang banyak terjadi, istilah "menghamili" dan "dihamili" diperlukan. Masa­lahnya, tidak semua kehamilan me­rupakan akibat peleeehan seksual.

Istilah "menghamilkan" tidak la­zim. Lebih tepatnya belum lazim. Tapi bukan istilah yang haram. Is­tilah ini memberikan peluang bagi makna interaksi dua pihak yang sarna-sarna aktif. Mungkin aktivitas dan peran mereka tidak sarna dan setara, tetapi juga tidak sepihak dan semena-mena seperti padanannya yang berawalan "meng-/di-".

Istilah "menghamilkan" meng­ungkapkan pengertian adanya kerja sarna di antara dua pihak. Pria yang menghamilkan perempuan diakui ikut aktif, ikut "berjasa" (atau "ber­dosa" - tergantung konteksnya dan diukur siapa dengan ukuran apa) atas tereapainya kehamilan. Tetapi ia tidak sendirian dan bertindak se­maunya.

Kontras kedua istilah di atas tidak sarna, tetapi dapat dibandingkan de­ngankerabatmereka: "meniduri" dan "ditiduri" yang artinya jauh berbeda dari "menidurkan" at au "ditidur­kan". Bila A "menidurkan" B, mung­kin saja A berusaha keras membuat B tidur. Tetapi pada akhirnya tan­pa peran, kerja sarna, dan kemauan "B" untuk di-tidur-kan, yang diusa­hakan akan susah tereapai.

I ..<'

Bukan hanya pria Indonesia yang bisa meniduri, dan perempuan Indo­nesia hanya bisa ditiduri. Bisa terjadi sebaliknya, kan? Kemungkinan be­sal' sebagian besar dari pasangan he­teroseks Indonesia saling "bertidur­tiduran" sebelum masing-masing sa­ling "menidurkan '; Masalahnya kese­tara an yang sangat mungkin terjadi dalam praktek di ruang pribadi ini ti­dak dihormati di ruang dan pergaul­an publik yang bernama bahasa.

Kesenj anganantara realitas dan ba­hasa itu tidak ada sangkut-pautnya dengan logika atau tata bahasa yang dikeramatkan sejumlah linguis . Da­lam bahasa resmi kita pria, dianggap (dan diharapkan) menjadi subyek yang aktif, agresif, dan berkuasa un­tuk bertindak sesuatu. Tidak peduli apakah ini sesuai dengan minatnya sendiri apalagi minat dan kepenting­an pihak lain yang dijadikan obyek.

Mungkin itu sebabnya dalam ba­hasa kita, perempuan lebih lazim "dinikahi" dan pria "menikahi". Para penerjemah jadi kerepotan jika me­nerjemahkan kalimat klise dari se­orang pria terhadap kekasih perem­puannya dalam film-film Hollywood berbahasa Inggris : "will you mar­ry me?" Terjemahan "bersediakah kamu menikah denganku?" akan le­bih lazim ketimbang "maukah kamu menikahi aku? "

Menurut logika bahasa Indone­sia, apalagi di bawah bayang-bayang Orde Baru, kalimat yang terakhir ini mengandung kontradiksi . Di satu pi­hak, kalimat pasif hanya bisa dita­nyakan seorang perempuan pada kekasihnya. Tapi sebagai perempuan Indonesia yang "bersusila". ia tidak boleh bertanya at au meminta. Pe­rempuan diharapkan menjadi obyek yang eantik, tapi bisu, menunggu, pasif, dan tidak berdaya.

*)Associate Professor dan Ketua Southeast Asia Centre, Australian

National University

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>