DISKUSI
-
Upload
itho-supril -
Category
Documents
-
view
216 -
download
0
Transcript of DISKUSI
1. Persalinan normal adalah bila persalinan seluruhnya berlangsung selama 24 jam tanpa ada
luka dan robekan robekan. pertanyannya adalah : bila terjadi robekan atau episiotomy apakah
masih bias dikatakan persalinan normalkah atau apa?
jawab :
Perlu dijelaskan sebelumnya : bahwa Episiotomi adalah pengguntingan kulit dan otot antara
vagina dan anus. Tujuannya untuk melebarkan jalan lahir. Biasanya dokter akan memberikan
anestesi lokal untuk menghilangkan nyeri. Namun, dalam keadaan darurat episotomi
dilakukan tanpa anestesi lokal. Episiotomi dilakukan untuk melebarkan jalan lahir, jika:
Dokter memperkirakan memang diperlukan, misalnya jika bahu bayi tersangkut dan
dokter atau bidan memperkirakan bahu tetap tersangkut jika tidak dibantu dengan
episiotomi.
Janin dalam keadaan stres dan dokter menginginkan persalinan berlangsung lebih cepat.
Episiotomi merupakan bagian dari persalinan yang dibantu dengan forsep atau vakum.
Daerah otot-otot perineum sangat kaku, sehingga kemungkinan Anda akan mengalami
luka yang lebih luas diperineum atau labia (lipatan disisi kanan dan kiri vagina) jika tidak
dilakukan episiotomi.
Sedangkan persalinan normal adalah proses pengeluaran yang terjadi pada kehamilan
cukup bulan, lahir spontan dengan persentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18
jam tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin. (Sarwono,2002).
Saat proses persalian normal, masalah yang sering terjadi adalah terjadinya robekan pada
area vagina, labia dan perineum yang disebabkan oleh kelahiran yang terlalu cepat. Dengan
kata lain disaat crowning (kepala bayi mulai terlihat), Ibu tidak memberikan jeda mengejan
yang memberikan kesempatan pada vagina dan perineum meregang secara perlahan-lahan
untuk menghindari robekan spontan.
Selain itu penyebab lain dari robeknya area vagina, labia dan perineum yaitu pada saat
proses mengejan Ibu mengangkat pantat atau panggulnya. Ini biasanya terjadi ketika Ibu
takut fesesnya ikut keluar saat mengejan, sehingga menahan pengejanan dengan mengangkat
pantat atau panggul. Dengan adanya tekanan yang sangat kuat, dan kemudian mengangkat
pantat atau panggul, ini yang sebenarnya dapat menimbulkan luka robekan perineum atau
robekan yang mencapai anus.
Tetapi bukan hanya robekan yang tidak disengaja saat proses persalinan seperti yang
disebutkan diatas, pengguntingan atau sayatan (irisan) mulut rahim yang dikenal dengan
tindakan “Episiotomi” sering kali juga perlu dilakukan.
Selain beberapa faktor diatas, umumnya tindakan Episiotomi ini dilakukan pada Ibu yang
baru pertama kali melahirkan. Hal ini dikarenakan pada kelahiran yang pertama jalan lahir
belum pernah dilewati bayi, sehingga biasanya jalan lahir masih sedikit kecil dan sulit
meregang. Walaupun ini tidak menutup kemungkinan pada proses melahirkan anak yang
kedua maupun ketiga tindakan Episiotomi juga perlu dilakukan.
Jadi kesimpulannya adalah jika terjadi robekan tanpa ada episiotomy maka tergolong
persalinan normal dengan alasan yang dikemukakan diatas. namun jika sudah dilakukan
tindakan epid dg alasan diatas maka ini sdh dikategorikan bukan persalinan normal.
2. Tindakan apa yang dilakukan jika terjadi pengeluaran janin primi kurang lebih 50 menit dan
multi kurang lebih 20 menit
Jawab :
Para primigravida, fase aktif yang lebih panjang dari 12 jam merupakan keadaan
abnormal,
Fase laten yang melampaui waktu 20 jam pada primigravida atau waktu 14 jam pada
multipara merupakan keadaan abnormal. Sebab-sebab fase laten yang panjang
mencakup :
Serviks belum matang pada awal persalinan
Posisi janin abnormal
Disproporsi fetopelvik
Persalinan disfungsional
Fase aktif pada multipara yang berlangsung lebih dari 6 jam (rata-rata 2,5 jam) dan laju
dilatasi serviks yang kurang dari 1,5 cm per jam merupakan keadaan abnormal.
Tindakan yang harusnya dilakukan :
Penanganan secara umum (menurut Sarwono Prawirohardjo)
Nilai secara cepat keadaan umum wanita hamil tersebut termasuk tanda-tanda
vital dan tingkat hidrasinya. Apakah ia kesakitan dan gelisah, jika ya
pertimbangkan pemberian analgetik.
Tentukan apakah pasien benar-benar inpartu
Upaya mengedan ibu menambah resiko pada bayi karena mengurangi jumlah O2
ke plasenta, maka dari itu sebaiknya dianjurkan mengedan secara spontan dan
mengedan dengan tidak menahan napas terlalu lama
Perhatikan DJJ
Penanganan secara khusus
Apabila ibu berada dalam fase laten lebih dari 8 jam dan tidak ada tanda-tanda
kemajuan, lakukan pemeriksaan dengan jalan penilaian ulang serviks :
Bila tidak ada perubahan penipisan dan pembukaan serviks serta tak didapatkan
tanda gawat janin, kaji ulang diagnosisnya kemungkinan ibu belum dalam
keadaan inpartu
Bila ada kemajuan dalam pendataran dan pembukaan serviks lakukan amniotomi
dan induksi persalinan dengan oksitosin atau prostoglandin. Lakukan drip
oksitosin dengan 5 unit dalam 500 cc dekstrose atau NaCl mulai dengan 8 tetes
per menit, setiap 30 menit ditambah 4 tetes sampai His adekuat (maksimum 40
tetes/menit) atau diberikan preparat prostaglandin. Lakukan penilaian ulang setiap
4 jam. Bila ibu tidak masuk fase aktif setelah dilakukan pemberian oksitosin
lakukan seksio sesarea.
Pada daerah yang prevelensi HIV tinggi, dianjurkan membiarkan ketuban tetap
utuh, selama pemberian oksitosin untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
penularan HIV
Bila didapatkan tanda-tanda infeksi (demam, cairan vagina berbau) lakukan
akselerasi persalinan dengan oksitosin 5 unit dalam 500 cc dekstrose atau NaCl
mulai dengan 8 tetes permenit setiap 15 menit ditambah 4 tetes sampai his
adekuat (maksimum 40 tetes/menit atau diberikan preparat prostaglandin, serta
berikan antibiotika kombinasi sampai persalinan yaitu amplisilin 29 gr IV.
Sebagai dosis awal dan 1 gr IV setiap 6 jam ditambah dengan gestamisin setiap 24
jam.
Jika terjadi persalinan pervaginam stop antibiotika pasca persalinan
Jika dilakukan seksiosesarea, lanjutkan antibiotika ditambah metronidazol 500 mg
IV setiap 8 jam sampai ibu bebas demam selama 48 jam.
3. Faktor eksternal yang dapat menyebabkan terjadinya persalinan :
Jawab :
Keadaan psikologis ibu mempengaruhi proses persalinan. Ibu bersalin yang didampingi
oleh suami dan orang yang dicintainya cenderung mengalami proses persalinan yang lebih
lancer dibanding dengan ibu bersalin tanpa pendamping. Ini menunjukkan bahwa dukungan
mental berdampak positif bagi keadaan psikis ibu, yang berpengaruh tehadap kelancaran
proses persalinan (Asrinah, 2010:21).
Bahwa faktor psikologis mempengaruhi proses persalinan, hal ini sesuai dengan teori
yang disampaikan Rustam Mochtar (1988) bahwa faktro psikologis berperan dalam proses
persalinan. Salah satu faktor psikologis tersebut adalah kecenasan yang merupakan segala
seuatu yang mengganggu seseorang mencapai tujuan. Kecemasan tersebut antara lain cemas
apakah dapat mengatasi kesukaran yang dihadapi, cemas apakah janin yang dikandungnya
tidak cacat dan cemas menghadapi sakit. Rasa takut yang akhirnya menimbulkan kecemasan
ini menyebabkan rasa sakit. Pada proses persalinan serviks harus melunak sehingga dapat
diregangkan dan membuka. Fundus mejadi organ dengan kontraksi hebat mampu mendorong
janin melaui servik dan jalan lahir. Kegagalan servik dan fundus yang diakibatkan oleh
spasme otot-otot jaringan menyebabkan servik tidak dapat membuka, sehingga proses
persalinan menjadi lambat.
Perubahan psikologis dan prilaku ibu, terutama yang terjadi selama fase laten, aktif, dan
transisi pada kala 1 persalinan memiliki karakteristik masing-masing. Sebagian besar ibu
hamil yang memasuki masa persalinan akan merasa takut. Apalagi untuk seorang
primigravida yang pertama kali beradaptasi dengan ruang bersalin. Hal ini harus disadari dan
tidak boleh diremehkan oleh petugas kesehatan yang akan memberikan pertolongan
persalinan. Ibu hamil yang akan bersalin mengharapkan penolong yang dapat dipercaya dan
dapat memberikan bimbingan dan informasi mengenai kedaannya.
Kondisi psikologis ibu bersalin dapat juga dipengaruhi oleh dukungan dari pasangannya,
orang terdekat, keluarga, penolong, fasilitas dan lingkungan tempat bersalin, bayi yang
dikandungnya merupakan bayi yang diharapkan atau tidak.