DISKRIMINASI TERHADAP TOKOH TOKUE SEBAGAI PENDERITA KUSTA …repository.ub.ac.id/171/1/Rizki...
Transcript of DISKRIMINASI TERHADAP TOKOH TOKUE SEBAGAI PENDERITA KUSTA …repository.ub.ac.id/171/1/Rizki...
DISKRIMINASI TERHADAP TOKOH TOKUE SEBAGAI PENDERITA KUSTA YANG TERCERMIN
DALAM FILM AN KARYA SUTRADARA NAOMI KAWASE
SKRIPSI
OLEH:
RIZKI FIDAYATI 135110200111036
PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG JURUSAN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
i
DISKRIMINASI TERHADAP TOKOH TOKUE SEBAGAI PENDERITA KUSTA YANG TERCERMIN
DALAM FILM AN KARYA SUTRADARA NAOMI KAWASE
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Brawijaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
OLEH:
RIZKI FIDAYATI 135110200111036
PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG JURUSAN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
v
ABSTRAK
Fidayati, Rizki. 2017. Diskriminasi Terhadap Tokoh Tokue Sebagai Penderita Kusta yang Tercermin dalam Film An Karya Sutradara Naomi Kawase. Program Studi Sastra Jepang. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Brawijaya. Pembimbing: Ni Made Savitri Paramita Kata Kunci: sosiologi sastra, diskriminasi, kusta, prasangka, stereotip.
Sastra memiliki hubungan yang sangat dekat dengan manusia karena sastra merupakan hasil karya manusia. Sastra dibuat berdasarkan kehidupan masyarakat yang melatar belakanginya. Salah satunya dalam Film An tokoh Tokue mengalami diskriminasi oleh masyarakat sekitar karena penyakit kusta yang dideritanya. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah apa saja penyebab terjadinya diskriminasi terhadap tokoh Tokue sebagai penderita kusta dan bagaimana bentuk diskriminasi terhadap tokoh Tokue sebagai penderita kusta dalam film An karya sutradara Naomi Kawase.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Sosiologi Sastra Ian Watt dalam Wiyatmi poin kedua yaitu sastra sebagai cerminan masyarakat. Penulis juga menggunakan teori prasangka dan diskriminasi milik Putra, teori diskriminasi milik Hartomo, teori tokoh penokohan, serta teori mise en scene dan sinematografi sebagai teori pendukung dalam penelitian ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis oleh Ratna.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya diskriminasi yang dialami oleh tokoh Tokue sebagai penderita kusta dalam film An karya sutradara Naomi Kawase adalah karena adanya stereotip dan prasangka yang telah melekat pada para penderita kusta. Stereotip yang didasarkan pada keadaan fisik penderita kusta yang kurang sempurna dan mengerikan menjadi penyebab terjadinya diskriminasi. Selain itu, prasangka yang didasarkan pada anggapan yang buruk dan tidak mendasar, serta prasangka yang bersifat keras yang sulit untuk berubah juga menjadi penyebab terjadinya diskriminasi. Diskriminasi yang terjadi dalam berbagai bidang seperti dalam bidang pekerjaan, politik, dan tempat tinggal dialami oleh tokoh Tokue dalam film An karya sutradara Naomi Kawase.
vi
7
:
Wiyatmi Ian Watt Putra
Hartomo mise-en-scene Ratna
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Diskriminasi Terhadap Tokoh Tokue Sebagai Penderita Kusta yang Tercermin
dalam Film An .
Penyusunan skripsi ini tidak mungkin dapat penulis selesaikan dengan
baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin berterima
kasih kepada Ibu Ni Made Savitri Paramita, M.A. selaku dosen pembimbing yang
telah sabar membimbing saya dan Ibu Nadya Inda Syartanti, M.Si selaku dosen
penguji yang telah memberi kritik, saran, masukan dan pengarahan sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga atas doa dan
dukungan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di
Universitas Brawijaya. Terima kasih kepada ayah, ibu, kakak, adik, dan empat
keponakan saya yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis dalam
mengerjakan skripsi.
Selain itu, penulis juga berterimakasih kepada Ayu, Unka, Rosta, dan
Bakatachu yang telah memberikan semangat dan masukan kepada penulis dalam
mengerjakan skripsi ini. Dan untuk seluruh teman-teman angkatan 2013 Sastra
Jepang Universitas Brawijaya yang telah memberikan bantuan beserta doanya,
penulis menyampaikan terimakasih. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat tidak hanya bagi penulis sendiri
tetapi juga bagi pembaca.
Malang, 21 Juni 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iv ABSTRAK BAHASA INDONESIA ........................................................... v ABSTRAK BAHASA JEPANG .................................................................. vi KATA PENGANTAR .................................................................................. vii DAFTAR ISI ................................................................................................ viii DAFTAR TRANSLITERASI .................................................................... x DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi DAFTAR TABEL ....................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 5 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................. 5 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................ 6 1.5 Definisi Istilah Kunci ........................................................... 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi Sastra .................................................................... 8 2.2 Prasangka dan Diskriminasi ................................................. 10 2.3 Bentuk-bentuk Diskriminasi ................................................ 13 2.4 Sejarah Penyakit Kusta di Jepang ........................................ 15 2.4.1 Periode Nara (710-794) sampai Edo (1603-1868) ..... 15 2.4.2 Era Meiji (1868-1912) ................................................ 17 2.4.3 Era Showa (1926-1989) sampai Sekarang ................. 18 2.5 Jumlah Penderita Kusta di Jepang ........................................ 23 2.6 Tokoh dan Penokohan .......................................................... 26 2.7 Mise en Scene ....................................................................... 27 2.8 Sinematografi ....................................................................... 35 2.9 Penelitian Terdahulu ............................................................ 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ..................................................................... 41 3.2 Sumber Data ......................................................................... 41 3.3 Teknik Pengumpulan Data ................................................... 42 3.4 Teknik Analisis Data ............................................................ 43 BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Tokoh dan Penokohan dalam Film An ................................. 45 4.2 Penyebab Terjadinya Diskriminasi terhadap Tokoh Tokue . 56 4.2.1 Stereotip terhadap Tokoh Tokue ................................ 57 4.2.2 Prasangka terhadap Tokoh Tokue .............................. 61 4.3 Bentuk-bentuk Diskriminasi terhadap Tokoh Tokue ........... 66 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ........................................................................... 77 5.2 Saran ..................................................................................... 78
ix
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 79 LAMPIRAN ................................................................................................. 81
x
DAFTAR TRANSLITERASI
a i u e o ka ki ku ke ko sa shi su se so ta chi tsu te to na ni nu ne no ha hi fu he ho ma mi mu me mo ya yu yo ra ri ru re ro wa ga gi gu ge go za ji zu ze zo da ji zu de do ba bi bu be bo pa pi pu pe po
kya kyu kyo sha shu sho cha chu cho nya nyu nyo mya myu myo rya ryu ryo gya gyu gyo ja ju jo ja ju jo bya byu byo pya pyu pyo
n, m, N. menggandakan konsonan berikutnya, misal: pp/tt/kk/ss.
Bunyi vokal panjang hiragana /a/, /i/, /u/ ditulis ganda. Bunyi vokal panjang hiragana e ditulis dengan penambahan (i) atau (e). Bunyi vokal panjang hiragana o ditulis dengan penambahan (u) atau (o). Bunyi vokal panjang katakana ditulis dengan penambahan tanda garis tengah [ ]. (ha) dibaca sebagai partikel (wa). (wo) dibaca sebagai partikel (wo). (he) dibaca sebagai partikel (e).
xi
DAFTAR GAMBAR Gambar Hal 2.1 MDT (multi drug therapy) ................................................................... 21 4.1 Tokoh Tokue ........................................................................................ 45 4.2 Tokue melamar pekerjaan di kedai dorayaki milik Sentaro ................ 46 4.3 Tokoh Sentaro ...................................................................................... 48 4.4 Sentaro berbicara dengan Tokue di depan kedai dorayaki .................. 49 4.5 Sentaro sedang bekerja untuk membuat dorayaki ............................... 50 4.6 Tokoh Wakana ..................................................................................... 51 4.7 Wakana kesepian di rumah dan ia juga harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian ................................................................................... 52 4.8 Tokoh Miyoko ..................................................................................... 54 4.9 Miyoko memberitahu Sentaro bahwa ia akan merenovasi kedainya ... 54 4.10 Miyoko memberitahu Sentaro tentang keadaan penderita kusta ......... 57 4.11 Wakana dan Taiga membaca buku tentang keadaan fisik penderita Kusta .................................................................................................... 59 4.12 Miyoko memberitahu Sentaro tentang anggapannya terhadap Tokue . 61 4.13 Miyoko memberitahu Sentaro tentang keadaan penderita kusta pada zaman dahulu ....................................................................................... 65 4.14 Miyoko menyuruh Sentaro untuk memecat Tokue ............................. 67 4.15 Wakana dan Taiga membaca buku tentang para penderita kusta ........ 70 4.16 Tokue bercerita bahwa ia harus tinggal di sanatorium dari kecil dan harus berpisah dengan keluarganya ..................................................... 73
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Hal 2.1 Jumlah pasien penderita kusta di Jepang dan rasio kejadian pada tahun 1964-2008 .................................................................................. 23 2.2 Jumlah dan rasio penderita kusta di Jepang berdasarkan jenis kelamin ................................................................................................. 25
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Hal Sinopsis ......................................................................................................... 81 Curriculum Vitae (CV) ................................................................................. 82 Berita Acara Bimbingan Skripsi ................................................................... 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jepang adalah negara maju dengan segala penemuan di bidang teknologi
yang luar biasa. Di balik semua prestasi yang telah dicapai oleh Jepang tersebut,
Jepang secara etnis dan bahasa adalah negara homogen dengan sedikit penduduk
asing yang tinggal di Jepang. Dalam artikel di situs Britanica yang ditulis oleh
Latz menyatakan bahwa total keseluruhan jumlah penduduk Jepang sebanyak
98,4% adalah penduduk asli Jepang dan sisanya adalah penduduk asing yang
berasal dari China, Korea, Filipina, Brazil dan lain-lain. Total jumlah penduduk
yang didominasi oleh penduduk asli Jepang inilah, yang membuat negara Jepang
menjadi negara homogen di mana masyarakatnya tidak menghendaki adanya
perbedaan yang mencolok dari segi ras, bahasa, serta kelompok masyarakat.
Mouer dan Sugimoto (1986: 406 via Burgess) mengatakan bahwa
masyarakat Jepang memiliki dua paham utama, yaitu: (a) paham bahwa
masyarakat Jepan dan (b) orientasi masyarakat
Jepang adalah pada kelompok. Jepang berusaha menciptakan keunikannya sendiri
dengan mencoba untuk menjadi negara yang seragam, tanpa kelas, harmonis
dengan sedikit variasi yang ada dalam negaranya. Selain itu, orientasi pada
kelompok telah menjadi pola kebudayaan dominan masyarakat Jepang. Hal ini
membentuk perilaku masyarakat Jepang untuk mendahulukan kelompoknya
daripada kelompok yang lain. Kedua konsep inilah yang mendorong masyarakat
2
Jepang tidak menginginkan adanya perbedaan di antara masyarakat. Hal ini
mendorong terjadinya diskriminasi di Jepang karena masyarakat Jepang belum
bisa menerima perbedaan. Diskriminasi di Jepang tercermin dalam berbagai karya
sastra, salah satunya dalam film An karya sutradara Naomi Kawase.
Film An karya sutradara Naomi Kawase yang dirilis pada tahun 2015 ini
berhasil masuk dalam jajaran film yang diputar di 2015 Cannes Film Festival dan
2015 Toronto International Film Festival. Film An bercerita tentang seorang
tokoh bernama Sentaro yang bekerja sebagai penjual dorayaki di sebuah toko
kecil. Toko milik Sentaro ini tidak berjalan dengan baik karena ia tidak bisa
membuat pasta kacang merah yang merupakan isi dari dorayaki dengan rasa yang
enak. Suatu hari ada seorang wanita tua bernama Tokue yang menghampiri toko
Sentaro karena ingin bekerja paruh waktu di toko Sentaro. Pada awalnya Sentaro
menolak karena melihat keadaan Tokue yang sudah tua dan memiliki cacat di
salah satu tangannya. Tetapi Tokue tidak pernah menyerah untuk meyakinkan
Sentaro bahwa ia mampu bekerja di tokonya, kemudian Tokue memberikan
Sentaro pasta kacang merah buatannya. Ternyata pasta kacang merah buatan
Tokue sangat enak, akhirnya Sentaro menerima Tokue untuk bekerja di tokonya
sebagai pembuat pasta kacang merah. Berkat pasta kacang merah buatan Tokue
toko dorayaki milik Sentaro menjadi populer dan ramai, setiap hari sebelum toko
buka terdapat banyak antrian untuk membeli dorayaki. Namun, tidak lama
kemudian muncul rumor bahwa Tokue menderita penyakit kusta. Seketika itu
pemilik toko dorayaki yang merupakan bos dari Sentaro menghampirinya dan
3
menyuruhnya untuk memecat Tokue karena banyak orang terganggu dengan
penyakit yang diderita Tokue.
Dalam film ini, tokoh Tokue mengalami diskriminasi dari masyarakat
sekitar karena penyakit kusta yang dideritanya. Dalam website resmi The Nippon
Foundation pada November 2011 dijelaskan mengenai penyakit kusta atau yang
biasa dikenal dengan sebutan Hansen Disease sebagai penyakit yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium leprae yang menyerang kulit dan sistem saraf.
Penyakit ini mengakibatkan kerusakan pada kulit dan sistem saraf serta dapat
menyebabkan cacat permanen. Keadaan semacam ini dapat menyebabkan
penderita penyakit kusta menjadi target diskriminasi. Dalam artikel situs berita
Nippon pada 17 Agustus 2016 menjelaskan bahwa pemerintah Jepang mulai
memberlakukan sistem isolasi bagi penderita kusta pada tahun 1907 sampai tahun
1996. Ini berarti bahwa para penderita penyakit kusta tidak diperbolehkan untuk
memiliki anak dan harus menghabiskan seluruh hidup mereka di sanitarium.
Kebijakan isolasi ini akhirnya diakhiri pada tahun 1996. Namun,
penghapusan kebijakan isolasi tersebut tidak memiliki banyak dampak yang
berarti bagi para penderita kusta yang telah tinggal di sanatorium selama lebih
dari 50 tahun, karena saat ini usia rata-rata penderita kusta yang tinggal di
sanatorium sekarang adalah lebih dari 80 tahun yang berarti bahwa penderita
kusta tidak punya pilihan selain tetap tinggal di sanatorium. Sudah sangat
terlambat bagi penderita kusta untuk memulai hidup baru. Namun, kenyataan ini
tidak membuat warga Jepang berhenti mendiskriminasi para penderita kusta,
karena dampak kebijakan isolasi terhadap penderita kusta yang telah diterapkan
4
lebih dari 50 tahun tersebut membuat warga Jepang terus mengganggap bahwa
penyakit kusta adalah penyakit yang memalukan dan tidak layak bagi penderita
kusta untuk hidup di sekitar masyarakat normal pada umumnya.
Diskriminasi yang dialami oleh sebagian besar penderita kusta di Jepang
ini, juga dialami oleh tokoh Tokue sebagai penderita kusta. Theodorson dan
Theodorson (dalam Danandjaja, 2003: 470) mendefinisikan diskriminasi sebagai
perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan
sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti
berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial.
Istilah tersebut biasanya digunakan untuk menggambarkan suatu tindakan dari
pihak mayoritas yang dominan terhadap pihak minoritas yang lemah, sehingga
dapat dikatakan bahwa perilaku pihak mayoritas bersifat tidak bermoral dan tidak
demokrasi. Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa diskriminasi
adalah perilaku tidak adil oleh pihak mayoritas yang dominan terhadap pihak
minoritas yang lemah. Pemberian perlakuan tidak adil tersebut didasarkan pada
warna kulit, golongan, suku etnis, agama, bangsa, jenis kelamin, dan sebagainya.
Dari paparan di atas, penelitian ini akan meneliti tentang penyebab
terjadinya diskriminasi dan bagaimana bentuk-bentuk diskriminasi terhadap tokoh
Tokue sebagai penderita kusta dalam film An karya sutradara Naomi Kawase.
Film An karya sutradara Naomi Kawase dipilih sebagai sumber data penelitian ini
karena ingin mengetahui penyebab terjadinya diskriminasi serta bentuk-bentuk
diskriminasi yang dialami oleh tokoh Tokue sebagai penderita kusta yang sempat
mengalami isolasi selama puluhan tahun. Penelitian ini akan menggunakan
5
pendekatan Sosiologi Sastra Ian Watt dan didukung oleh teori diskriminasi dan
prasangka.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan penulis
bahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa saja penyebab terjadinya diskriminasi terhadap tokoh Tokue sebagai
penderita kusta dalam film An karya sutradara Naomi Kawase?
2. Bagaimana bentuk diskriminasi terhadap tokoh Tokue sebagai penderita kusta
dalam film An karya sutradara Naomi Kawase?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan penyebab diskriminasi terhadap tokoh Tokue sebagai
penderita kusta dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra serta teori
diskriminasi dan prasangka yang tercermin dalam film An karya sutradara
Naomi Kawase.
2. Mendeskripsikan bentuk diskriminasi terhadap tokoh Tokue sebagai
penderita kusta dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra serta teori
diskriminasi yang tercermin dalam film An karya sutradara Naomi Kawase.
6
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dibagi menjadi sebagai berikut:
a. Segi Teoritis
Dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat menambah wawasan
pembaca dalam bidang literatur pendekatan sosilologi sastra, khususnya
sosiologi sastra dalam film dan mise en scene sebagai teori pendukung.
b. Segi Praktis
Penelitian ini dilakukan agar pembaca dapat mengetahui bentuk-bentuk
diskriminasi terhadap penderita kusta dan sejarah penyakit kusta di Jepang
yang tercermin dalam film An karya sutradara Naomi Kawase.
1.5 Definisi Istilah Kunci
Beberapa definisi istilah kunci yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Diskriminasi: perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau
kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-
atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau
keanggotaan kelas-kelas sosial (Theodorson dan Theodorson dalam Danandjaja,
2003: 470).
2. Kusta: biasa dikenal dengan sebutan Hansen Disease adalah penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang menyerang kulit dan
sistem saraf. Penyakit ini mengakibatkan kerusakan pada kulit dan sistem saraf
serta dapat menyebabkan cacat permanen (The Nippon Foundation, 2011).
7
3. Prasangka: diartikan sebagai sebuah sikap negatif terhadap suatu kelompok
atau terhadap anggota kelompok (Stangor dalam Putra, 2017: 7).
4. Sosiologi Sastra: pemahaman terhadap karya sastra dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan (Ratna, 2003: 2).
5. Stereotip: suatu keyakinan yang diolah dalam struktur kognitif mengenai
karakteristik sekelompok orang, seperti penampilan fisik, sifat, kemampuan,
sikap, emosi, intensi, dan perilaku (Bar-Tal dan Teichman dalam Putra, 2012:
8).
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Ratna (2003: 1)
menyatakan bahwa:
Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataaan, peruumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, ssoio/socious berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruh jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Sastra disampaikan kepada pembaca dengan tujuan dapat mengarahkan pembaca pada tujuan yang baik. Dari pendapat Ratna tersebut, dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah
ilmu yang membahas tentang masyarakat dan mempelajari keseluruhan jaringan
hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sedangkan sastra adalah kumpulan
alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik dan
disampaikan kepada pembaca dengan tujuan dapat mengarahkan pembaca pada
tujuan yang baik. Ratna (2003: 2) mendefinisikan sosiologi sastra sebagai
pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek
kemasyarakatan. Dari kutipan Ratna tersebut dapat disimpulkan bahwa sastra dan
masyarakat memiliki hubungan yang sangat dekat, karena sebuah karya sastra
diciptakan oleh pengarang berdasarkan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
9
Ian Watt (dalam Wiyatmi, 2013: 25-27) berpendapat bahwa pendekatan
sosiologi sastra dibedakan menjadi tiga cara, yaitu :
1. Konteks sosial pengarang
Sosiologi pengarang berhubungan dengan posisi sosial pengarang dalam
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Seperti bagaimana cara
pengarang mencari nafkah, sejauh mana tingkat profesionalisme seorang
pengarang dalam menjalankan pekerjaannya, dan masyarakat seperti apa yang
dituju oleh pengarang dalam membuat karya sastra.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat
Sejauh mana sebuah karya sastra dianggap sebagai cerminan keadaan
masyarakat. Sastra dikatakan sebagai cerminan masyarakat karena menampilkan
ciri-ciri masyarakat pada waktu karya itu ditulis. Namun tidak semua ciri-ciri
masyarakat ada pada saat karya sastra itu ditulis. Karya sastra berusaha
menampilkan keadaan masyarakat dengan secermat-cermatnya.
3. Fungsi sosial
Fungsi sosial sastra mengkaji sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan
dengan nilai sosial. Dalam hal ini, Ian Watt membedakan adanya tiga pandangan
yang berhubungan dengan fungsi sosial sastra, yaitu (1) pandangan kaum
romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau
nabi, sehingga sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak; (2)
pandangan yang melihat sastra sebagai penghibur belaka; (3) pandangan yang
bersifat kompromis, di satu sisi sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara
menghibur.
10
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan sosiologi sastra menurut Ian
Watt poin kedua, yaitu sastra sebagai cerminan masyarakat untuk menjabarkan
bagaimana bentuk-bentuk diskriminasi dan penyebab terjadinya diskriminasi
terhadap tokoh Tokue sebagai penderita kusta yang tercermin dalam film An
karya sutradara Naomi Kawase.
2.2 Prasangka dan Diskriminasi
Diskriminasi bisa disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah
adanya prasangka. Menurut Hartomo dan Aziz (2011: 259), prasangka diartikan
sebagai sebuah sikap perasaan orang-orang terhadap manusia tertentu, golongan
ras atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka.
Prasangka yang pada awalnya hanya sikap perasaan terhadap manusia tertentu
maupun anggota kelompok tertentu ini, lambat laun dapat berubah mejadi
tindakan-tindakan diskriminasi. Menurut Augostinos dan Reynolds (dalam Putra,
2012: 7-8), hal yang mendasari prasangka dapat disimpulkan sebagai upaya atau
keinginan merendahkan individu atau kelompok lain. Hal ini menjadi dan akan
menjadi masalah, karena sangat rentan menimbulkan konflik dan kebencian
antarkelompok dan individu sebagai perwakilan kelompok. Dalam hal ini,
setidaknya ada empat hal penting yang dapat dijadikan sebagai karakteristik dari
prasangka, yaitu :
1. Orientasi yang lebih bersifat negatif terhadap suatu anggota kelompok.
Meskipun prasangka dapat bersifat positif, akan tetapi sebagian besar
prasangka cenderung menilai hal yang negatif. Bahkan sebenarnya, meskipun
11
tendensi prasangka diarahkan pada hal yang positif, dengan sendirinya
seseorang juga menilai pada hal yang negatif sebagai perbandingan (Stangor
via Putra, 2012: 8). Orientasi pemikiran yang negatif ini, pada akhirnya akan
menimbulkan konflik dan kebencian antarkelompok dan individu.
2. Anggapan yang buruk dan tidak mendasar. Prasangka lebih banyak berangkat
dari penilaian atau kesimpulan yang tidak mendasar atau berangkat dari data-
data yang tidak akurat. Sifat prasangka lebih dekat pada penilaian yang
dilandasi oleh emosional negatif. Sifat penilaian ini menjadi buruk karena terus
dipertahankan dan dijaga.
3. Pemikiran yang irasional dapat menimbulkan banyak kekeliruan atau kesalahan.
Karena prasangka muncul akibat penilaian cepat, dan tidak didasari oleh bukti-
bukti kuat, maka kesalahan menilai pada suatu kelompok lebih banyak terjadi.
4. Pemikiran yang rigid (keras). Prasangka bersifat rigid (keras) karena sebagian
besar prasangka sulit untuk berubah. Pemikiran yang keras ini sulit untuk
berubah karena sudah tertanam sejak lama dan berubah menjadi suatu
keyakinan yang sulit untuk diubah.
Prasangka muncul didasari oleh keyakinan yang ada sebelumnya.
Keyakinan ini berupa gambaran mengenai sekelompok orang atau individu yang
diatributkan pada label-label tertentu. Kondisi ini dinamakan sebagai stereotip.
Bar-Tal dan Teichman (dalam Putra, 2012: 8) mengartikan stereotip sebagai suatu
keyakinan yang diolah dalam struktur kognitif mengenai karakteristik sekelompok
orang, seperti penampilan fisik, sifat, kemampuan, sikap, emosi, intensi, dan
perilaku. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa prasangka atau
12
anggapan muncul karena didasari oleh stereotip atau keyakinan yang telah
tertanam dalam diri seseorang sejak lama. Hartomo dan Aziz (2011: 265)
menyatakan bahwa prasangka merupakan suatu sikap, sedangkan diskriminasi
merupakan suatu pola perilaku yang mengarah pada perlakuan yang tidak adil
atau tidak menyenangkan terhadap kelompok lain. Dari pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa stereotip merupakan dasar dari timbulnya prasangka,
sedangkan diskriminasi adalah tindakan nyata yang mengarah pada perilaku yang
tidak adil dan tidak menyenangkan terhadap kelompok lain.
Prasangka dan diskriminasi merupakan lingkaran setan (the vicious cycle).
Disebut demikian karena dalam kehidupan masyarakat selalu ada prasangka dan
diskriminasi, di mana keduanya saling menguatkan selama ada prasangka, di sana
akan ada diskriminasi (Liliweri 2005: 218). Jika prasangka peduli pada sikap atau
keyakinan tertentu, maka diskriminasi mengacu pada perilaku tertentu.
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa prasangka dan diskriminasi
saling berkaitan satu sama lain, jika prasangka merupakan suatu sikap dan
keyakinan seseorang untuk bertindak maka diskriminasi merupakan tindakan
nyata dari suatu sikap dan keyakinan tersebut.
Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan teori prasangka dan
diskriminasi untuk menganalisis penyebab terjadinya diskriminasi terhadap tokoh
Tokue sebagai penderita kusta yang tercermin dalam film An karya sutradara
Naomi Kawase.
13
2.3 Bentuk Tindakan Diskriminasi di Berbagai Bidang
Hartomo dan Aziz (2011: 265) menyatakan bahwa diskriminasi terhadap
suatu kelompok atau pihak yang lain pasti merugikan pihak yang dikenai
diskriminasi. Diskriminasi dapat terjadi pada beberapa bidang, yaitu:
1. Pekerjaan, yang berarti anggota kelompok tertentu tidak diterima untuk
mendapatkan pekerjaan. Anggota kelompok tersebut tidak bisa mendapatkan
pekerjaan karena berbeda dari anggota kelompok masyarakat pada umumnya.
Di dalam bidang pekerjaan anggota kelompok tertentu tersebut mendapatkan
perlakuan yang berbeda dari anggota kelompok masyarakat pada umumnya.
2. Politik, yang berarti anggota kelompok tertentu tidak mendapatkan hak di
pemerintahan. Dalam bidang politik anggota kelompok tertentu tidak
mendapatkan hak yang seharusnya diterima sebagai anggota masyarakat.
Diskriminasi yang terjadi dalam bidang ini misalnya, tidak mendapatkan hak
memilih di pemerintahan, peraturan pemerintah yang timpang, dan lain-lain.
3. Diskriminasi yang terjadi di tempat umum, yang berarti anggota kelompok
tertentu tidak mendapat kesempatan untuk menikmati tempat tertentu
(misalnya tempat hiburan, sekolah, rumah sakit dan lain-lain). Anggota
kelompok tertentu tidak bisa mendapatkan kesempatan seperti masyarakat pada
umumnya yang dapat menikmati fasilitas umum dengan bebas.
4. Perumahan atau tempat tinggal, anggota suatu kelompok tertentu tidak
mendapatkan kesempatan untuk menikmati tempat tinggal atau perumahan
tempat sebagian besar masyarakat pada umumnya tinggal. Perumahan atau
pemukiman yang merupakan tempat tinggal masyarakat pada umumnya
14
tersebut tidak bisa menjadi tempat tinggal anggota suatu kelompok tertentu
karena perbedaan yang dimiliki, sehingga harus tinggal di tempat yang berbeda.
Tindakan diskriminasi yang terjadi dalam berbagai bidang, seperti
pekerjaan, politik, di tempat umum, dan tempat tinggal yang dilakukan oleh suatu
kelompok atau individu pasti merugikan pihak yang dikenai diskriminasi karena
pada dasarnya tindakan diskriminasi selalu mengarah pada tindakan negatif dan
tidak seimbang. Hal ini sejalan dengan konsep diskriminasi oleh Gerungan (1988:
167) yang diartikan sebagai tindakan yang bercorak menghambat, merugikan
perkembangan potensi manusia, bahkan mengancam kehidupan pribadi orang-
orang hanya karena kebetulan termasuk golongan yang diprasangkai. Tindakan
diskriminasi yang didasari oleh prasangka dapat menghambat dan merugikan
perkembangan potensi-potensi manusia dalam masyarakat. Dengan adanya sikap
menghambat, mematikan, dan mencemoohkan suatu kelompok lain akan
menimbulkan rasa antipati dan permusuhan antarkelompok yang merupakan
manifestasi konflik. Dari pernyataan Gerungan dan diskriminasi yang terjadi
dalam berbagai bidang oleh Hartomo tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan
diskriminasi yang dilakukan dalam berbagai bidang, seperti pekerjaan, politik, di
tempat umum, dan tempat tinggal dapat merugikan individu atau kelompok yang
dapat menghambat, merugikan, bahkan mengancam kehidupan pribadi seseorang
atau kelompok.
Penelitian ini akan menggunakan teori tindakan diskriminasi yang terjadi
dalam berbagai bidang oleh Hartomo dan Aziz untuk menganalisis bentuk
15
tindakan diskriminasi yang terjadi pada tokoh Tokue sebagai penderita kusta yang
tercermin dalam film An karya sutradara Naomi Kawase.
2.4 Sejarah Penyakit Kusta di Jepang
Dalam website resmi The Nippon Foundation pada November 2011
dijelaskan mengenai penyakit kusta atau yang biasa dikenal dengan sebutan
Hansen Disease sebagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
leprae yang menyerang kulit dan sistem saraf. Penyakit ini mengakibatkan
kerusakan pada kulit dan sistem saraf serta dapat menyebabkan cacat permanen.
Keadaan semacam ini dapat menyebabkan penderita penyakit kusta menjadi target
diskriminasi. Penyakit kusta bukanlah jenis penyakit baru di Jepang, penyakit
kusta mulai masuk di Jepang sekitar periode Nara. Sejak saat itu penyakit kusta
mulai menyebar dan masyarakat mulai merasa gelisah karena penyakit ini dapat
menimbulkan kerusakan fisik penderitanya. Hal ini membuat masyarakat Jepang
takut dan memilih untuk mengucilkan para penderita kusta tersebut. Bahkan
pemerintah memberlakukan kebijakan isolasi bagi para penderita kusta di Jepang.
Penelitian ini memaparkan sejarah penyakit kusta Kikuchi (1997: 629-633).
Sejarah penyakit kusta dibagi ke dalam tiga periode, yaitu periode Nara sampai
Edo, era Meiji, dan Showa sampai sekarang. Dalam tiga periode itulah terjadi
peristiwa-peristiwa penting dalam perkembangan sejarah penyakit kusta di Jepang.
2.4.1 Periode Nara (710-794) sampai Edo (1603-1868)
Awal mula penyakit kusta di Jepang masih menjadi misteri, tetapi penyakit
ini tampaknya telah muncul sekitar periode Nara. Dalam sebuah buku koleksi
16
pemerintah Jepang yang ditulis pada tahun 833 Masehi, kusta digambarkan
sebagai "penyakit ganas" yang disebabkan oleh bakteri yang memakan lima organ
tubuh. Bakteri ini menyebabkan alis dan bulu mata lepas, serta hidung menjadi
cacat, selain itu penyakit ini juga membuat suara menjadi serak, dan
mengharuskan penderita untuk diamputasi jari tangan dan kakinya. Dalam buku
ini juga memberikan peringatan untuk tidak tidur dengan pasien penderita kusta,
karena penyakit ini dapat menular ke orang-orang terdekat.
Para penderita kusta mengalami diskriminasi oleh masyarakat sekitar.
Penderita kusta diharuskan untuk hidup terpisah dari daerah tempat tinggal utama
masyarakat desa. Diskriminasi terjadi karena keyakinan terhadap ajaran Budha
yang menyatakan bahwa "mereka yang tidak menghormati ajaran ini akan terkena
penyakit kusta di kehidupan berikutnya." Karena ajaran Budha yang telah diyakini
oleh masyarakat pada saat itu membuat masyarakat mempercayai bahwa penyakit
kusta adalah penyakit kutukan yang diderita oleh seseorang karena orang tersebut
tidak menghormati ajaran tersebut. Masyarakat sekitar mempunyai keyakinan
bahwa penderita kusta tersebut adalah orang yang berdosa di kehidupan
sebelumnya dan akhirnya mendapatkan hukumannya saat ini. Hal inilah yang
mendorong masyarakat untuk mendiskriminasi para penderita kusta.
Pada tahun 1549-1611 ketika pemeluk agama Katolik diizinkan untuk
menyebarkan ajaran agama katolik, saat mengetahui penderita kusta yang
mengalami tindak diskriminasi dari masyarakat sekitar, para pemeluk agama
katolik merasa kasihan dan membangun rumah sakit khusus untuk merawat para
penderita kusta. Namun tak lama kemudian, kegiatan ini dihentikan oleh
17
Pemerintahan Tokugawa yang memberlakukan hukuman mati bagi seluruh
penganut agama Katolik, peraturan ini menyebabkan beberapa pasien penyakit
kusta dihukum mati untuk "kejahatan" menjadi seorang Katolik.
2.4.2 Era Meiji (1868-1912)
Setelah 250 tahun akhirnya Jepang membuka kembali pintu untuk
berinteraksi dengan dunia luar. Pada tahun 1871 pemerintah menghapuskan pos
pemeriksaan antar daerah sehingga masyarakat dapat bebas bepergian ke seluruh
daerah di Jepang. Penderita kusta juga bisa bebas bepergian di negara ini. Pada
tahun yang sama, pasien kusta mulai berkumpul di jalan menuju Honmyoji sebuah
kuil Budha di prefektur Kumamoto, bagian tengah Kyushu, untuk mengemis.
Pada tahun 1904 survei nasional pertama menunjukkan sekitar 30.359 pasien
penderita kusta menjadi pengemis. Tetapi karena keterbatasan metode untuk
melakukan survei pada saat itu, angka itu masih diragukan.
Melihat para penderita kusta yang mengemis untuk mendapatkan uang di
kuil atau di tempat-tempat banyak orang berkumpul sudah menjadi pemandangan
yang biasa bagi masyarakat Jepang, tetapi hal ini menjadi suatu peristiwa yang
langka dan sangat mengejutkan bagi masyarakat Eropa. Salah satunya adalah
Pastor Testevuide yang merupakan seorang tokoh penyebar agama Katolik
berkebangsaan Perancis merasa sedih dan bersimpati setelah melihat seorang
wanita penderita kusta menyedihkan yang masih berumur 30 tahun ditinggalkan
begitu saja di dekat kincir air oleh seseorang. Setelah melihat kejadian itu, Pastor
Testevuide bertekad untuk membangun fasilitas untuk orang-orang yang
mengalami kejadian serupa. Pada tahun 1889, ia mulai mendirikan Rumah Sakit
18
Kohyama Fukusei di prefektur Shizuoka. Rumah sakit ini menjadi rumah sakit
untuk penderita kusta tertua yang masih beroperasi. Tindakan Pastor Testevuide
ini diikuti oleh Kate Youngman yang membangun rumah sakit untuk penderita
kusta di Tokyo, Hannah Riddell dan Pastor Jean Marie Corre membangun rumah
sakit di Kumamoto. Relawan yang memiliki konstribusi besar dalam sejarah
penanggulangan penyakit kusta selanjutnya adalah Hannah Riddell seorang
relawan asal Inggris yang membangun rumah sakit untuk pasien penderita kusta
pada tahun 1895. Ia membangun rumah sakit Kaishun untuk para penderita kusta
dan menjalankannya sendiri. Ia mendapatkan dana untuk menjalankan rumah
sakitnya melalui bantuan dari investor asal luar negeri maupun Jepang.
Pada tahun 1905 pemerintah Jepang mulai menaruh minat pada masalah
penyakit kusta akhirnya mengumumkan peraturan pencegahan kusta pertama pada
tahun 1907 dan mulai membuka lima rumah sakit publik untuk penderita kusta
pada tahun 1909.
2.4.3 Era Showa (1926-1989) sampai Sekarang
Awalnya, rencana kebijakan Pemerintah Jepang yang telah ditetapkan
pada tahun 1907 adalah untuk memberlakukan isolasi bagi pasien penderita kusta
yang berkeliaran di jalan saja. Namun, saat kebijakan ini berjalan dan rumah sakit
bagi penderita kusta semakin berkembang dan mulai bermunculan di berbagai
daerah, warga mulai mengeluh karena tidak setuju dengan adanya pembangunan
rumah sakit kusta di wilayahnya. Karena hal itulah dokter Mitsuda pergi ke
daerah Okinawa untuk menemukan sebuah pulau yang cocok bagi tempat untuk
mengisolasi para pasien penyakit kusta. Meskipun tidak ditemukan lokasi yang
19
cocok di Okinawa, sebuah pulau kecil di Inland Sea di prefektur Okayama dipilih
sebagai rumah sakit nasional penderita kusta pertama di Jepang yang didirikan
pada tahun 1931. Dr. Mitsuda menjadi direktur pertama rumah sakit tersebut. Dr.
Kensuke Mitsuda dikenal sebagai bapak pengendali penyakit kusta (father of
Hansen's disease control) di Jepang.
Dr. Mitsuda menginginkan adanya isolasi penuh terhadap penderita
penyakit kusta di Jepang karena dikhawatirkan jika Jepang akan menjadi negara
dengan jumlah penderita penyakit kusta terbesar kedua di dunia. Hukum
pencegahan kusta diberlakukan pada tahun 1931 yang mengharuskan pasien untuk
dirawat di rumah sakit khusus penderita kusta dan dilarang untuk terlibat interaksi
yang dapat menyebabkan penularan penyakit kusta. Dengan kata lain, penderita
kusta harus terus berada di dalam rumah sakit dan tidak diijinkan untuk keluar
selama proses penyembuhan.
Kebijakan isolasi yang sudah bermasalah sejak sekitar tahun 1931,
kembali menuai protes dari para penderita kusta. Peraturan pemerintah yang
mengakibatkan pasien penyakit kusta harus tinggal secara terpisah dari
masyarakat pada umumnya dan harus terpisah dari keluarga dan kerabat ini,
menimbulkan berbagai kesalahan presepsi dalam masyarakat. Banyak masyarakat
menganggap bahwa penyakit kusta adalah penyakit menular sehingga pemerintah
perlu memberlakukan kebijakan isolasi tersebut.
Setelah sekian lama para penderita kusta harus mematuhi kebijakan isolasi
yang ditetapkan oleh pemerintah, pada akhirnya di tahun 1995 Japanese Leprosy
Association (Asosiasi Penyakit Kusta di Jepang) menyatakan akan menghapus
20
kebijakan isolasi yang telah diberlakukan sejak tahun 1931 tersebut. Pada tahun
1996, hukum pencegahan kusta di Jepang telah dihapuskan dan undang-undang
baru disahkan, pemerintah akan menjamin peningkatan kualitas hidup bagi pasien
yang selama ini hidup di dalam 13 rumah sakit kusta nasional, di dalam dua
rumah sakit kusta pribadi, serta pasien yang tinggal di rumah mereka sendiri.
Pasien-pasien ini sudah cukup menderita selama lebih dari 50 tahun. Selama lebih
dari 50 tahun pasien-pasien ini harus tinggal terpisah dari kehidupan masyarakat
pada umumnya, dan tidak bisa merasakan kehidupan normal seperti masyarakat
biasa, serta harus bertarung melawan penyakit yang diderita, ditambah pandangan
miring masyarakat sekitar terhadap penderita kusta.
Dalam website resmi The Nippon Foundation menjelaskan bahwa penyakit
kusta diperkirakan dapat menular jika terjadi kontak intim dengan penderita kusta
yang tidak pernah diobati. Penularan tersebut diperkirakan melalui cipratan air di
udara yang keluar dari hidung dan mulut penderita yang terinfeksi kusta.
Sebaliknya, kusta kadang disebut penyakit infeksi menular yang paling tidak
menular. Tubuh manusia memiliki sistem kekebalan tubuh yang alami dan
ketahanan terhadap penularan penyakit kusta, karena itulah kusta disebut penyakit
menular yang paling tidak menular. Lebih dari 99% orang memiliki kekebalan
alami atau ketahanan terhadap penyakit kusta. Selain itu, lebih dari 85% kasus
kusta dinyatakan tidak menular dan tidak menularkan penyakit. Tanda pertama
yang muncul saat orang pertama terinfeksi kusta biasanya adalah munculnya
bercak pada kulit. Bercak ini mengakibatkan penderita kehilangan sensasi atau
mati rasa di daerah yang terinfeksi tesebut. Kusta bukan penyakit turun temurun.
21
Kusta dapat didiagnosis dan dirawat di rumah sakit terdekat karena layanan
pengobatan kusta telah diintegrasikan ke dalam layanan kesehatan umum di setiap
negara.
Pada pertengahan abad ke-20 terjadi terobosan nyata pertama pada
pengobatan kusta. Obat dapson merupakan obat pertama yang mulai digunakan
untuk mengobati penyakit kusta. Pada tahun 1960an ditemukan dua obat baru,
yakni rifampisin dan klofazimin. Bersama dengan dapson, ini menjadi komponen
pengobatan baru yang disebut sebagai MDT (multi drug therapy).
Gambar 2.1 MDT (multi drug therapy) (http://obatkusta.com/obat-kusta-mdt/)
Pada tahun 1981, Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan MDT sebagai
cara terbaik untuk mengobati penyakit kusta. MDT dapat menyembuhkan pasien
kusta dalam waktu 6 sampai 12 bulan. Bakteri yang ada dalam tubuh penderita
akan hilang dengan mengkonsumsi obat tersebut, namun jika ada saraf tubuh yang
rusak juga bisa disembuhkan melalui terapi dan membutuhkan waktu yang cukup
22
lama untuk sembuh secara total. Sejak 1995, WHO telah memasok MDT secara
gratis ke semua pasien kusta di seluruh dunia.
Sementara upaya medis untuk mengobati penyakit kusta telah mencapai
kemajuan yang luar biasa dalam beberapa dekade terakhir, namun karena
ketidaktahuan masyarakat umum, kesalahpahaman, ketidakpedulian atau
ketakutan masyarakat, jutaan orang yang sembuh dari penyakit kusta masih harus
menderita dan mengalami diskriminasi karena stigma masyarakat yang terlanjut
melekat dalam diri mereka. Sebagian besar pasien kusta harus mengalami isolasi
paksa, terbatas atau tidak ada akses terhadap layanan sosial, diskriminasi di
tempat kerja, hambatan dalam mendapatkan pendidikan, dan masalah mencari
tempat tinggal. Meskipun kebijakan isolasi telah dihapuskan pada tahun 1996,
namun pada kenyataannya diskriminasi terhadap penderita kusta masih terjadi.
Sejarah penyakit kusta yang dipaparkan oleh Kikuchi (1997: 629-633)
tersebut menunjukkan bahwa diskriminasi yang dialami oleh para penderita kusta
sudah terjadi sejak zaman Nara. Sejarah penyakit kusta di Jepang menggiring
pandangan masyarakat Jepang tentang para penderita kusta pada stereotip yang
negatif. Stereotip yang telah diberikan pada penderita kusta sejak lama akan
menjadi prasangka yang pada akhirnya mendorong seseorang untuk melakukan
diskriminasi. Meskipun saat ini peraturan isolasi telah dicabut oleh pemerintah,
masyarakat Jepang belum sepenuhnya menerima keberadaan para penderita kusta.
Diskriminasi terhadap penderita kusta yang masih banyak terjadi di Jepang ini,
juga dialami oleh Tokue dalam film An karya sutradara Naomi Kawase sebagai
salah satu penderita kusta di Jepang.
23
2.5 Jumlah Penderita Kusta di Jepang
Seiring dengan perkembangan dunia pengobatan penyakit kusta di Jepang,
ternyata pada kenyataanya penyakit ini tidak dapat menghilang secara keseluruhan.
Penyakit kusta masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama di Jepang,
dengan jumlah penderita baru sebanyak 70 orang per 100.000 penduduk pada
tahun 1990. Pada tahun 1907 pemerintah mulai memberlakukan peraturan untuk
penderita kusta agar tinggal di rumah sakit khusus untuk mengobati kusta. Pada
tahun itu, penderita kusta yang wajib tinggal dan diobati di rumah sakit khusus
adalah para penderita kusta yang menjadi gelandangan dan tidak punya tempat
tinggal. Bagi pasien yang masih memiliki kelurga tidak diwajibkan unuk tinggal
di rumah sakit khusus penderita kusta. Pada tahun 1931 pemerintah
memberlakukan peraturan baru yang mewajibkan seluruh penderita kusta untuk
tinggal di sanitarium yang disediakan oleh pemerintah. Tabel berikut
menunjukkan penurunan jumlah penderita penyakit kusta tiap tahunnya.
Tabel 2.1 Jumlah pasien penderita kusta di Jepang dan rasio kejadian pada tahun 1964 2008
* Per 100,000 populasi
(Sumber: A. Koba et al, 2009)
Periode Jumlah Pasien Rasio Kejadian
1964 1973
1661
0·16
1974 1983
572
0·05
1984 1993
222
0·02
1994 2003
59
0·005
2004 2008
9
0·0007
24
Tabel 2.1 menunjukkan jumlah penderita kusta baru yang terdaftar setiap
tahunnya dengan indeks per 100.000 penduduk di seluruh Jepang. Dari tahun
1964 sampai 1973, menunjukkan penambahan penderita kusta baru setiap
tahunnya dengan lebih dari 0-16 kasus per 100.000 penduduk. Penurunan terus
terjadi setiap tahunnya hingga mencapai rasio kejadian kurang dari 0-001 kasus
per 100.000 penduduk pada periode 2004-2008. Tabel di atas menunjukkan
penurunan jumlah penderita kusta di Jepang tiap tahunnya. Dari tabel di atas
menunjukkan bahwa jumlah pasien tiap tahunnya terus mengalami penurunan,
tahun 1974-1983 menunjukkan penurunan jumlah pasien baru yang pada tahun
sebelumnya sebanyak 1661 pasien baru tercatat menderita penyakit kusta tapi
pada tahun berikutnya hanya 572 pasien baru tercatat menderita penyakit kusta.
Begitupun pada tahun berikutnya jumlah pasien baru penderita kusta terus
mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena fasilitas pengobatan yang disediakan
pemerintah semakin memadai. Pada tahun 1960an ditemukan dua obat baru yakni,
rifampisin dan klofazimin. Bersama dengan dapson, ini menjadi komponen
pengobatan baru yang disebut sebagai MDT (multi drug therapy). Selanjutnya,
pada tahun 1981 Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan MDT sebagai
cara terbaik untuk mengobati penyakit kusta. MDT dapat menyembuhkan pasien
kusta dalam waktu 6 sampai 12 bulan. Sejak 1995, WHO telah memasok MDT
secara gratis ke semua pasien kusta di seluruh dunia. Penemuan obat yang
semakin berkembang dan juga pemberian obat gratis oleh WHO inilah yang
berdampak besar pada pengurangan jumlah pasien baru tiap tahunnya.
25
Tabel 2.2 Jumlah dan rasio penderita kusta di Jepang berdasarkan jenis kelamin
Total
Laki-laki
Perempuan Rasio
berdasarkan jenis kelamin (95%CI)
1964 1980 Total 1185 705 480 1·47 (1·31, 1·65) 1981 1994 Okinawa 223 136 87 1·56 (1·20, 2·07)
Mainland 123 74 49 1·51 (1·06, 2·21) Total 346 210 136 1·54 (1·25, 1·93)
1995 2008 Okinawa 35 24 11 2·18 (1·14, 5·23) Mainland 24 12 12 1·00 (0·43, 2·33) Total 59 36 23 1·57 (0·94, 2·77)
(Sumber: A. Koba et al, 2009)
Jepang dibagi menjadi delapan wilayah yakni, Hokkaido, Tohoku, Kanto,
Chubu, Kinki, Chushikoku, Kyushu, dan Okinawa. Wilayah Okinawa berada di
selatan, Tohoku yang berada di utara, selain dua daerah tersebut keenam daerah
lainnya disebut mainland (daratan utama). Tabel 2.2 menunjukkan rasio total
jumlah penderita penyakit kusta berdasarkan jenis kelamin, dalam tabel di atas
tidak disebutkan secara pasti berapa jumlah penderita kusta laki-laki dan
perempuan. Tabel di atas menunjukkan penurunan jumlah penderita kusta di
Jepang. Dari total penderita laki-laki dan perempuan pada tahun 1964-1980 yang
sebelumnya berjumlah 1185 turun menjadi 346 pada tahun 1981-1994. Daerah
Okinawa selalu memiliki jumlah penderita kusta yang lebih tinggi daripada
daratan utama Jepang. Pada tahun 1981-2008, penderita jenis kelamin laki-laki
selalu lebih banyak daripada penderita kusta wanita. Sejak diadakannya survei
pertama pada tahun 1900, Okinawa selalu menjadi daerah tertinggi dengan jumlah
penderita kusta terbanyak daripada daerah lainnya. Faktor yang menyebabkan
Okinawa selalu menjadi daerah dengan jumlah penderita kusta tertinggi adalah
kurangnya rumah sakit khusus bagi penderita kusta. Pada tahun 1909 pemerintah
26
membangun lima rumah sakit untuk penderita kusta di daerah utama Jepang,
sedangkan di Okinawa pembangunan rumah sakit baru dilakukan pada tahun 1938.
Hal tersebut terjadi karena warga Okinawa melakukan protes keras dan
memberikan penolakan atas pembangunan rumah sakit di Okinawa. Sementara
pasien di daerah utama Jepang mendapatkan pengobatan yang intensif selama 30
tahun, di Okinawa baru dibuka rumah sakit. Pengobatan pasien yang telat selama
30 tahun inilah yang membuat Okinawa selalu menjadi daerah dengan jumlah
penderita kusta tertinggi.
Penurunan jumlah penderita kusta selama beberapa dekade terakhir,
menunjukkan bahwa pengobatan yang diberikan oleh WHO berhasil. Pengobatan
tersebut berperan penting dalam penurunan jumlah penderita kusta, namun
penurunan jumlah penderita kusta tersebut tidak membuat masyarakat berhenti
melakukan diskriminasi terhadap penderita kusta. Masyarakat masih belum bisa
menerima keberadaan penderita kusta yang merupakan minoritas diantara
masyarakat mayoritas.
2.6 Tokoh dan Penokohan
Menurut Aminudin (2002: 79), tokoh adalah pelaku yang mengemban
peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita.
Istilah tokoh mengacu pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 1995: 165).
Tokoh adalah salah satu unsur yang penting dalam suatu novel atau cerita rekaan.
Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang
atau benda yang diinsankan.
27
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 165) tokoh cerita
merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama
oleh pembaca kualitas moral dan kecenderungan-kecenderungan tertentu seperti
yang diekspresikan dalam ucapan dan dilakukan dalam tindakan. Berdasarkan
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah orang yang ditampilkan
dalam sebuah karya naratif atau drama, di mana kehadirannya memberi pengaruh
pada jalan cerita.
Penokohan dan perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik
keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berubah, pandangan hidupnya,
sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan sebagainya. Menurut Jones (dalam
Nurgiyantoro, 1995: 165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Tokoh dan Penokohan merupakan teori yang digunakan untuk meniliti
keadaan, watak, sikap, asal, pandangan hidup, dan sebagainya dari tokoh-tokoh
yang ada dalam suatu cerita. Penulis menggunakan teori tokoh dan penokohan
untuk meneliti watak, sikap, keadaan, dan sebagainya dari tokoh-tokoh yang ada
dalam film An karya sutradara Naomi Kawase.
2.7 Mise en Scene
Mise en scene adalah sebuah istilah dari bahasa Perancis yang digunakan
untuk menjelaskan semua hal yang terletak di depan kamera dalam pembuatan
drama atau film. Menurut Pratista dalam buku Memahami Film (2008)
28
menjelaskan tentang beberapa aspek utama dalam mise en scene yang digunakan
dalam pembuatan sebuah film atau drama yaitu:
1. Setting
Setting adalah seluruh latar bersama dengan propertinya. Properti dalam
hal ini adalah semua benda tidak bergerak seperti, perabot, pintu, jendela, kursi,
lampu, pohon, dan sebagainya. Setting yang digunakan dalam sebuah film
umumnya dibuat senyata mungkin dengan konteks ceritanya. Setting dibagi
menjadi 3 yaitu :
a. Set Studio
Set studio digunakan sejak pertama kali sinema ditemukan. Penemu
sinema Thomas A.Edison memproduksi film-filmnya dalam studio
tertutup yang ia beri nama Black Maria. Selama era kejayaan Hollywood
klasik, sebagian besar produksi film menggunakan set studio, baik indoor
maupun outdoor.
b. Shoot on Location
Shot on Location merupakan produksi film dengan menggunakan lokasi
film yang sesungguhnya. Shot on Location belum tentu mengambil lokasi
yang sama persis dalam cerita namun dapat pula menggunakan lokasi yang
mirip atau mendekati lokasi cerita sesungguhnya.
c. Set Virtual
Teknologi digital yang semakin canggih memungkinkan para pembuat
film membangun latar apapun sesuai dengan tuntutan cerita filmnya. Di
era modern ini, teknologi CGI (Computer Generated Imagery) digunakan
29
untuk memanupulasi latar dalam sebuah film. Tidak hanya latar dalam
film yang dapat dimanipulasi menggunakan teknologi CGI ini, bahkan
karekter dalam sebuah film juga dapat dimanipulasi.
Setting adalah salah satu hal utama yang mendukung cerita dalam film.
Tanpa setting cerita film tidak dapat berjalan. Salah satu fungsi setting adalah
sebagai penunjuk ruang dan waktu. Setting yang digunakan harus mampu
meyakinkan penonton bahwa seluruh peristiwa dalam filmnya benar-benar terjadi
dalam lokasi cerita yang sesungguhnya. Setting juga harus mampu memberikan
informasi waktu, era, atau musim sesuai konteks cerita. Unsur waktu keseharian,
yakni pagi, siang, petang, dan malam mutlak harus dipenuhi untuk menjelaskan
konteks cerita dalam film. Selain itu setting juga dapat berfungsi sebagai,
penunjuk status sosial, pembangun mood, penunjuk motif tertentu, dan pendukung
aktif adegan. Dekor setting bersama dengan kostum dapat menentukan status
sosial para pelaku ceritanya. Untuk membangun mood dan suasana, setting
seringkali berhubungan erat dengan tata cahaya. Setting dapat memiliki motif atau
simbol tertentu sesuai tuntutan cerita film. Dalam film aksi serta komedi, properti
juga dapat berfungsi aktif untuk mendukung adegan aksinya.
2. Kostum dan tata rias
Kostum adalah segala sesuatu yang dikenakan pemain bersama seluruh
aksesorisnya seperti topi, perhiasan, jam tangan, kacamata, sepatu, tongkat, dan
sebagainya. Dalam sebuah film busana tidak hanya sekedar sebagai pentup tubuh
semata namun juga memiliki beberapa fungsi sesuai dengan konteks naratifnya.
Fungsi kostum dibagi menjadi 6 yaitu:
30
a. Penunjuk Ruang dan Waktu
Kostum bersama setting adalah aspek yang paling mudah diidentifikasi,
untuk menentukan periode (waktu) dan wilayah (ruang). Setiap periode
dan wilayah pasti memiliki kostum yang khas. Kostum masa silam
berbeda dengan kostum masa kini.
b. Penunjuk Status Sosial
Kostum dapat digunakan untuk menentukan kelas atau status sosial para
pelaku cerita. Kostum karakter yang berstatus sosial tinggi umumnya
menggunakan busana lebih mewah, mahal, serta aksesoris yang lengkap.
Berbeda dengan karakter yang memiliki status sosial rendah umumnya
menggunakan kostum yang sederhana tanpa aksesoris yang lengkap.
Secara umum kostum dapat pula menunjukkan profesi pelaku cerita,
seperti seorang dokter, tentara, polisi, pengacara, koki, dan lainnya yang
masing-masing memiliki atribut yang khas.
c. Penunjuk Kepribadian Pelaku
Busana dan aksesoris dapat memberikan gambaran umum tentang karakter
atau kepribadian dari pelaku cerita. Dalam film-film bertema remaja hal
ini sering kali tergambar dengan jelas. Dalam film remaja, kelompok
remaja baik-baik berbusana lebih rapi sementara kelompok remaja nakal
berbusana sekenanya.
31
d. Warna Kostum sebagai Simbol
Penggunaan warna kostum sering kali memiliki motif atau simbol tertentu.
Warna hitam (gelap) biasanya menjadi simbol kejahatan sementara warna
putih (terang) sebagai simbol kebajikan.
e. Motif Penggerak Cerita
Kostum dan aksesorisnya juga dapat berfungsi sebagai motif penggerak
cerita. Dalam trilogi film The Lord of The Rings, sebuah cincin ajaib
menjadi sumber masalah utama yang menjadi penggerak cerita filmnya.
f. Image (citra)
Kostum dapat menjadi image pelaku cerita atau seorang bintang. Kostum
yang menjadi image tampak jelas dalam film-film superhero populer,
seperti Batman, Superman, Spiderman, masing-masing memiliki kostum
serta atribut khas yang telah dikenal luas.
Tata rias wajah dalam sebuah film sangat penting karena dapat
menunjukkan karakter tokoh. Tata rias wajah secara umum memiliki dua fungsi,
yakni untuk menunjukkan usia dan untuk menggambarkan wajah nonmanusia.
Dalam sebuah produksi film, sering aktor atau aktris bermain sebagai karakter
yang berusia lebih tua atau lebih muda dari umur mereka sebenarnya. Tata rias
wajah lazimnya digunakan karena wajah pemain tidak seperti yang diharapkan
seperti dalam cerita filmnya. Tata rias wajah nonmanusia banyak digunakan
dalam film-film berjenis fantasi, fiksi ilmiah, dan horor.
32
3. Pencahayaan
Tanpa cahaya sebuah film tidak akan terwujud. Seluruh gambar yang ada
dalam film bisa dikatakan merupakan hasil manipulasi cahaya. Tata cahaya dalam
film dapat dikelompokkan menjadi empat unsur yaitu:
a. Kualitas Cahaya
Kualitas cahaya merujuk pada besar kecilnya intensitas pencahayaan.
Cahaya terang cenderung menghasilkan bentuk obyek serta bayangan yang
jelas. Cahaya yang lembut cenderung menyebarkan cahaya sehingga
menghasilkan bayangan yang tipis.
b. Arah Pencahayaan
Arah cahaya merujuk pada posisi sumber cahaya terhadap obyek yang
dituju. Obyek yang dituju biasanya adalah pelaku cerita dan paling sering
adalah bagian wajah. Arah cahaya dapat dibagi menjadi lima jenis yakni,
arah depan (frontal lighting) cenderung menghapus bayangan dan
menegaskan bentuk sebuah obyek atau wajah karakter, arah samping (side
lighting) menampilkan bayangan ke arah samping tubuh karakter atau
bayangan pada wajah, arah belakang (back lighting) mampu menampilkan
bentuk siluet sebuah obyek atau karakter, arah bawah (under lighting)
digunakan untuk mendukung efek horor atau sekedar untuk mempertegas
sumber cahaya alami, dan arah atas (top lighting) sangat jarang digunakan
dan umumnya untuk mempertegas sebuah benda atau karakter.
33
c. Sumber Cahaya
Sumber cahaya merujuk pada karakter sumber cahaya, yakni pencahayaan
buatan dan pencahayaan natural seperti apa adanya di lokasi. Dua sumber
cahaya yang sering digunakan dalam pembuatan film adalah cahaya utama
(key light) merupakan cahaya utama serta paling kuat menghasilkan
bayangan dan cahaya pengisi (fill light) digunakan untuk melembutkan
atau menghilangkan bayangan. Pengaturan kombinasi kedua cahaya ini
akan menghasilkan tata cahaya yang dinginkan.
d. Warna Cahaya
Warna cahaya secara natural hanya terbatas pada dua warna saja, yakni
putih (sinar matahari) dan kuning muda (lampu). Namun dengan
menggunakan filter, sineas dapat menghasilkan warna tertentu sesuai
keinginannya.
4. Pemain dan pergerakannnya
Karakter merupakan pelaku cerita yang memotivasi naratif dan selalu
bergerak dalam melakukan sebuah aksi. Adapun pelaku cerita dapat
dikelompokkan menjadi beberapa jenis sesuai tuntutan dan fungsinya dalam
sebuah film, jenis pemain dapat dibagi menjadi 6 kelompok yaitu:
a. Figuran
Karakter figuran dalam sebuah film adalah karakter di luar para pelaku
cerita utama. Pemain figuran sering digunakan untuk adegan-adegan
yang bersifat masal, seperti perang serta aksi-aksi di ruang publik yang
ramai.
34
b. Aktor Amatir
Aktor amatir biasa digunakan bukan karena kemampuan akting mereka
namun karena otentitas mereka dengan karakter yang diperankan.
c. Aktor Profesional
Aktor profesional adalah seorang aktor yang sangat terlatih dan mampu
bermain dalam segala jenis peran yang diberikan pada mereka dengan
berbagai macam gaya.
d. Bintang
Seorang bintang dipilih karena nama besar mereka di mata publik.
Penggunaan seorang bintang dalam sebuah film biasanya menjadi kunci
sukses sebuah film. Seorang bintang umumnya lahir setelah ia sukses
berperan dalam sebuah film.
e. Superstar
Superstar adalah seorang bintang yang sangat populer. Film yang
dibintangi seorang superstar selalu laku sukses luar biasa secara
komersil. Superstar mampu menarik jutaan penonton datang ke bioskop
hanya karena sosok atau figur mereka.
f. Cameo
Cameo adalah penampilan sesaat seorang bintang ternama atau
seseorang yang populer di mata publik.
Penulis menggunakan teori mise en scene untuk meniliti adegan-adegan
yang ada dalam film An karya sutradara Naomi Kawase. Mise en scene mampu
35
mendukung naratif serta membangun suasana atau mood sebuah film, teori ini
dapat membantu penulis dalam memahami dan menganalisis setiap adegan yang
ada dalam film An karya sutradara Naomi Kawase.
2.8 Sinematografi
Menurut Pratista dalam buku Memahami Film (2008) menjelaskan bahwa
sinematografi mencakup perlakuan sineas terhadap kamera serta stok filmnya.
Seorang sineas tidak hanya sekedar merekam sebuah adegan semata namun juga
harus mengontrol dan mengatur bagaimana adegan tersebut diambil, seperti jarak,
ketinggian, sudut, lama pengambilan, dan sebagainya. Sebuah film hampir tidak
pernah terus menerus memperlihatkan para karakter lengkap dengan seluruh
latarnya dalam jarak yang sama sepanjang film. Tuntutan naratif serta estetik
membuat sineas membatasi mise en scene sesuai dengan kebutuhannya.
Pembatasan gambar oleh kamera inilah yang sering dikenal dengan istilah
pembingkaian atau framing. Framing sangat penting dalam sebuah film, karena
melalui inilah penonton disuguhkan semua jalinan peristiwa. Kontrol sineas
terhadap framing akan sangat menentukan presepsi penonton terhadap sebuah
gambar atau shot. Adapun aspek penting dalam framing yakni, sudut, kemiringan,
tinggi dan jarak terhadap objek serta point of view shot (POV) dan handheld
camera.
1. Sudut
Sudut kamera adalah sudut pandang kamera terhadap obyek yang berada
dalam frame. Untuk menunjukkan sebuah obyek yang posisinya lebih tinggi
36
maupun lebih rendah dari posisi kamera sineas biasa menggunakan dua sudut
yakni:
a. High angle: sudut kamera high angle mampu membuat sebuah obyek
seolah tampak lebih kecil, lemah, serta terintimidasi.
b. Low angle: membuat sebuah obyek seolah tampak lebih besar (raksasa),
dominan, percaya diri, serta kuat.
2. Kemiringan
Kemiringan kamera adalah kemiringan terhadap garis horizontal obyek
dalam sebuah frame. Teknik ini jarang digunakan oleh para sineas namun Orson
Walles, Carol Reed, serta Wong Kar Wai tercatat sering kali menggunakannya
dalam film-film mereka. Secara sederhana teknik ini boleh kita katakan
merupakan gaya dari seorang sineas, namun terkadang juga memiliki motif-motif
simbolik tertentu.
3. Ketinggian
Ketinggian kamera adalah tinggi kamera terhadap obyek dalam frame.
Tinggi kamera yang sering digunakan dalam sebuah film adalah sejajar dengan
mata manusia. Sudut kamera tentu saja terkait erat dengan ketinggian kamera.
High angle hanya bisa dicapai jika kemera lebih tinggi dari obyeknya demikian
pula sebaliknya.
4. Jarak
Adapun dimensi jarak kamera terhadap objek dapat dikelompokkan
menjadi tujuh yaitu:
37
a. Extreme Long Shot (ELS): merupakan jarak kamera yang paling jauh
dari obyeknya. Wujud fisik manusia nyaris tidak tampak. Teknik ini
umumnya untuk menggambarkan sebuah objek sangat jauh atau
panorama yang luas.
b. Long Shot (LS): pada jarak ini tubuh fisik manusia telah tampak jelas
namun latar belakang masih dominan. Long shot sering kali digunakan
sebagai establishing shot, yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-
shot yang berjarak lebih dekat.
c. Medium Long Shot (MLS): pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari
bawah lutut sampai ke atas. Tubuh fisik manusia dan lingkungan sekitar
relatif seimbang.
d. Medium Shot (MS): pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari
pinggang ke atas. Gestur serta ekspresi wajah mulai tampak. Sosok
manusia mulai dominan dalam frame.
e. Medium Close Up (MCU): pada jarak ini memperlihatkan tubuh
manusia dari dada ke atas. Sosok tubuh manusia mendominasi frame
dan latar belakang tidak lagi dominan. Adegan percakapan normal
biasanya menggunakan jarak medium close up.
f. Close Up (CU): teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah
dengan jelas serta gestur yang mendetil. Close up biasanya digunakan
untuk adegan dialog yang lebih intim.
38
g. Extreme Close Up (ECU): pada jarak terdekat ini mampu
memperlihatkan lebih mendetil bagian dari wajah, seperti telinga, mata,
hidung, dan lainnya atau bagian dari sebuah obyek.
5. Point of View Shot (POV)
Kamera subyektif atau juga diistilahkan POV (point of view) shot
merupakan arah pandang kamera persis seperti apa yang dilihat karakter atau
obyek dalam filmnya. Seperti contoh pada adegan pertandingan tinju, sang musuh
mengarahkan pukulannya persis ke arah kamera (wajah pelaku utama), pukulan
tersebut juga seolah mengarah ke kita. Fungsi penggunaan teknik ini adalah agar
penonton mampu melihat dan merasakan sensasi sama seperti karakter dalam
cerita filmnya.
6. Handheld Camera.
Salah satu teknik kamera yang kini tengah menjadi tren adalah gaya
kamera dokumenter (handheld camera). Seperti layaknya sineas dokumenter,
kamera dibawa atau dijinjing langsung oleh operator kamera tanpa menggunakan
alat bantu seperti tripod. Gaya handheld camera memiliki beberapa karakteristik
yang khas yakni, kamera bergerak dinamis dan bergoyang, serta gambar yang
Penulis menggunakan teori sinematografi untuk meneliti adegan dalam
film An karya sutradara Naomi Kawase dari aspek sudut, kemiringan, tinggi dan
jarak terhadap objek serta point of view shot (POV) dan handheld camera. Teori
sinematografi ini digunakan penulis agar lebih memahami peristiwa yang terjadi
dalam
39
2.9 Penelitian Terdahulu
Penulis menggunakan beberapa penelitian terdahulu sebagai referensi
dalam penulisan skripsi. Penelitian-penelitian tersebut adalah penelitian yang
dilakukan oleh Faridatul Muffidah dari Universitas Brawijaya (2015) yang
berjudul Diskriminasi terhadap Minoritas Korea di Jepang yang Tercermin
Dalam Film Anata wo Wasurenai Karya Sutradara Junji Hanado dan skripsi
milik Nikita Amalia Darius Universitas Bina Nusantara (2014) yang berjudul
Diskriminasi Hibakusha dalam Novel Kuroi Ame karya Ibuse Masuji.
Penelitian terdahulu milik Faridatul Muffidah meneliti tentang berbagai
bentuk diskriminasi yang dialami oleh minoritas Korea di Jepang. Persamaan
dalam penelitian ini adalah penulis sama-sama meneliti fenomena yang terjadi
dalam tatanan masyarakat Jepang saat ini. Penulis dan peneliti terdahulu Faridatul
Muffidah menggunakan pendekatan yang sama, yakni pendekatan sosiologi sastra
untuk membantu meneliti objek penelitian. Selanjutnya, penulis sama-sama
meneliti bentuk-bentuk diskriminasi. Perbedaan dalam penelitian ini dengan
penelitian terdahulu terletak pada media penelitian yang digunakan, peneliti
terdahulu Faridatul Muffidah menggunakan media penelitian film Anata wo
Wasurenai Karya Sutradara Junji Hanado. Sementara, media penelitian yang
penulis gunakan adalah film An karya sutradara Naomi Kawase. Peneliti terdahulu
dan penulis menggunakan teori diskriminasi yang berbeda untuk meneliti objek
penelitian. Peneliti terdahulu Faridatul Muffidah menggunakan teori diskriminasi
milik Blank dan Dabady, sedangkan penulis menggunakan teori diskriminasi dan
prasangka milik Putra serta teori diskriminasi milik Hartomo dan Aziz untuk
40
membantu dalam meneliti bentuk-bentuk diskriminasi dan penyebab terjadinya
diskriminasi..
Selain penelitian yang dilakukan oleh Faridatul Muffidah, penulis juga
menggunakan penelitian milik Nikita Amalia Darius yang meneliti tentang
masalah diskriminasi pada hibakusha yang terdapat dalam novel Kuroi Ame karya
Ibuse Masuji. Persamaan dalam penelitian ini adalah penulis sama-sama meneliti
fenomena yang terjadi dalam tatanan masyarakat Jepang saat ini. Selain itu,
penulis dan peneliti terdahulu menggunakan pendekatan yang sama, yakni
pendekatan sosiologi sastra untuk membantu meneliti objek penelitian.
Selanjutnya, penulis sama-sama meneliti bentuk-bentuk diskriminasi. Perbedaan
dalam penelitian ini terletak pada media penelitian yang digunakan. Penelitian
terdahulu menggunakan media penelitian berupa novel, sedangkan penulis
menggunakan film. Selanjutnya, Nikita Amalia Darius menggunakan teori
diskriminasi milik Aminah dan juga teori diskriminasi milik Suzuki untuk
meneliti objek penelitian, sedangkan penulis menggunakan teori diskriminasi dan
prasangka milik Putra serta teori diskriminasi milik Hartomo dan Aziz untuk
membantu dalam meneliti bentuk-bentuk diskriminasi dan penyebab terjadinya
diskriminasi.
41
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif analisis untuk
menganalisis penelitian ini. Menurut Ratna (2004: 53) metode penelitian dapat
juga diperoleh melalui gabungan dua metode, dengan syarat kedua metode tidak
bertentangan. Salah satu metode tersebut yaitu metode deskriptif analisis.
Deskriptif analisis merupakan metode yang dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.
Metode penelitian ini dipilih penulis untuk meneliti bentuk-bentuk
diskriminasi dan penyebab terjadinya diskriminasi dalam film An, yang akan
dianalisis dan dijelaskan secara deskriptif dalam penelitian ini. Dalam penelitian
ini, penulis menjabarkan fakta-fakta yang ada dalam obyek penelitian, kemudian
dijelaskan dengan menggunakan analisis untuk memberikan pemahaman terhadap
objek penelitian.
3.2 Sumber Data
Berdasarkan jenisnya sumber data dibagi menjadi dua yaitu data primer
dan data sekunder.
a. Data primer, yakni film An karya sutradara Naomi Kawase. Film yang dirilis
pada 30 Mei 2015 ini, berhasil masuk dalam jajaran film yang diputar di 2015
Cannes Film Festival dan 2015 Toronto International Film Festival. Film ini
42
bercerita tentang tokoh Tokue seorang penderita kusta yang mengalami
diskriminasi oleh masyarakat sekitar.
b. Data sekunder, terdiri dari referensi-referensi yang mendukung dalam
penyusunan skripsi ini. Referensi tersebut berasal dari buku tentang prasangka
dan diskriminasi, buku-buku yang berkaitan dengan penelitian, jurnal ilmiah,
artikel dari website resmi dan situs berita resmi, serta situs-situs lain yang
berkaitan dengan penelitian ini.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah studi
kepustakaan. Studi kepustakaan ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan
dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta
mengolah bahan penelitian (Zed, 2008: 3). Studi kepustakaan dilakukan dengan
cara mengumpulkan informasi dari berbagai sumber data pustaka, yang dilakukan
dengan cara membaca dan mencatat seluruh bahan serta mengolah bahan
penelitian. Penelitian ini mengambil data dari buku tentang prasangka dan
diskriminasi, buku-buku yang berkaitan dengan penelitian, jurnal ilmiah, artikel
dari website resmi dan situs berita resmi.
Selanjutnya penulis melakukan proses pengumpulan data dalam beberapa
tahap, antara lain:
1. Observasi
Penulis menonton film An karya sutradara Naomi Kawase dari awal
sampai akhir.
43
2. Identifikasi
Melakukan identifikasi data dengan memilah adegan dan dialog yang
berhubungan dengan diskriminasi yang tercermin dalam film An karya sutradara
Naomi Kawase.
3. Klasifikasi
Melakukan klasifikasi data atas adegan dan dialog yang telah diidentifikasi
yang berhubungan dengan penyebab diskriminasi dan bentuk-bentuk diskriminasi
yang tercermin dalam film An karya sutradara Naomi Kawase.
3.4 Teknik Analisis Data
Adapun langkah-langkah analisis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Menonton film An karya sutradara Naomi Kawase dari awal sampai akhir.
2. Melakukan identifikasi data dengan memilah adegan dan dialog yang
berhubungan dengan diskriminasi yang tercermin dalam film An karya
sutradara Naomi Kawase.
3. Melakukan klasifikasi data atas adegan dan dialog yang telah diidentifikasi
yang berhubungan dengan penyebab diskriminasi dan bentuk-bentuk
diskriminasi yang tercermin dalam film An karya sutradara Naomi Kawase.
4. Melakukan analisis data atas adegan yang telah diklasifikasikan yang
berhubungan dengan penyebab diskriminasi menggunakan teori prasangka
dan diskriminasi milik Putra dan bentuk-bentuk diskriminasi milik Hartomo.
44
5. Mendeskripsikan penyebab terjadinya diskriminasi menggunakan teori
prasangka dan diskriminasi milik Putra dan bentuk-bentuk diskriminasi
menggunakan teori diskriminasi milik Hartomo yang terdapat dalam film An
karya sutradara Naomi Kawase.
6. Menyimpulkan dan melaporkan hasil penelitian dari film An karya sutradara
Naomi Kawase.
45
BAB IV
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Tokoh dan Penokohan dalam Film An
Istilah tokoh mengacu pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 1995:
165). Tokoh adalah salah satu unsur yang penting dalam suatu novel atau cerita
rekaan. Dalam bab ini penulis akan menganalisis dan mendeskripsikan tokoh yang
ada pada film An karya sutradara Naomi Kawase. Penulis juga akan membahas
perwatakan para tokoh yang ada dalam film An.
Penokohan dan perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik
keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berubah, pandangan hidupnya,
sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan sebagainya. Menurut Jones (dalam
Nurgiyantoro, 1995: 165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Berdasarkan pendapat
dari Jones analisis dan deskripsi perwatakan para tokoh dilakukan penulis untuk
mengetahui sifat dari masing-masing tokoh yang ada dalam film.
1. Tokue
Gambar 4.1 Tokoh Tokue
46
Tokue adalah tokoh utama dalam film ini. Ia adalah seorang wanita
berumur 76 tahun. Tokue pernah terkena penyakit kusta pada saat ia berusia muda,
meskipun saat ini penyakitnya sudah sembuh namun cacat di tangannya akibat
penyakit kusta tersebut belum hilang. Karena cacat di tangannya itulah ia
mengalami tindak diskriminasi oleh masyarakat sekitar. Tokue adalah seorang
wanita yang gigih dan tidak mudah menyerah untuk mencapai keinginannya.
Meskipun usianya sudah tua Tokue tetap memiliki semangat untuk mengejar
keinginannya.
Data 1 (menit ke 07:17-09:31)
Gambar 4.2 Tokue melamar pekerjaan di kedai dorayaki milik Sentaro
:
:
47
:
: :
: :
Tokue : Kore, Arubaitotte, hontouni nenreiseigen de nai nano
Sentaro : Hai. Tokue : Atashi, anone...dekiruka? Atashi ha itsumo kono
shigoto wo yattemitakatta. Sentaro : Jikyuu yasui desu. 600 yen nandesu. Tokue : Nee. 300 yen mo iine. Sentaro : 300 yen? Demo, murida to omou. Tokue : Arigatou. Mata kurune.
Tokue : Aku melihat pengumuman lowongan pekerjaan paruh waktu. Apakah benar tidak ada batas usia?
Sentaro : Ya Tokue : Apa menurutmu aku bisa? Aku selalu ingin
melakukan pekerjaan seperti ini. Sentaro : Kami tidak membayar banyak, hanya 600 yen. Tokue : 300 yen per jam saja sudah banyak. Sentaro : 300 yen? kurasa tidak bisa. Tokue : Terima kasih, aku akan datang lagi besok.
Dari potongan adegan pada gambar 4.2 dan dialog di atas, terlihat
keinginan kuat Tokue agar diterima bekerja di kedai milik Sentaro. Bahkan ia
mengatakan pada Sentaro bahwa ia bersedia untuk dibayar dengan murah.
Meskipun Sentaro mengatakan bahwa ia tidak bisa menerima Tokue bekerja di
kedainya, namun Tokue tidak menyerah dan mengatakan pada Sentaro akan
kembali lagi ke kedai milik Sentaro. Mimik wajah Tokue menunjukkan bahwa ia
benar-benar menginginkan pekerjaan tersebut. Pada saat ia mendapat penolakan
dari Sentaro mimik wajahnya tidak terlihat putus asa, sebaliknya ia terlihat ceria
dan melambaikan tangannya dan mengatakan akan datang kembali.
48
Dalam adegan 4.2 Properti dan tata letak jendela tempat bertemu Tokue
dan Sentaro menunjukkan bahwa latar dalam adegan ini adalah di kedai dorayaki
Sentaro. Dari segi pencahayaan dalam adegan 4.2 menunjukkan bahwa saat itu
adalah siang hari. Dalam adegan ini jarak pengambilan gambar yang digunakan
adalah medium close up shot, pada jarak ini ekspresi wajah Tokue dan Sentaro
terlihat dengan jelas. Ekspresi Tokue yang tetap tersenyum dan melambaikan
tangannya saat akan pergi dari kedai menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang
tidak mudah menyerah. Dari sikap Tokue tersebut dapat disimpulkan bahwa
Tokue memiliki sifat pantang menyerah dan juga memiliki semangat untuk
bekerja di usianya yang terbilang sudah tua, selain itu Tokue juga merupakan
sosok yang hangat ditunjukkan dari sikapnya yang selalu tersenyum kepada
semua orang.
2. Sentaro
Gambar 4.3 Tokoh Sentaro
Sentaro juga merupakan tokoh utama dalam film ini. Sentaro adalah
seorang penjual dorayaki di sebuah kedai kecil. Ia memiliki masa lalu yang kelam,
Sentaro merupakan seorang mantan narapidana. Sentaro tidak menyukai makanan
manis, meskipun begitu ia tetap bertanggung jawab atas pekerjaannya sebagai
49
penjual dorayaki karena rasa balas budinya kepada pemilik kedai. Pemilik kedai
pernah menolongnya pada saat ia berada dalam masa sulit.
Data 2 (menit ke 25:03-25:22)
Gambar 4.4 Sentaro berbicara dengan Tokue di depan kedai dorayaki
: :
: :
Sentaro : Ohayou gozaimasu. Tokue : Ohayou gazaimasu. Sentaro : Ba-su ga arimasuka? Konna jikan kara. Tokue : Aa..Ii to omou. Ki ni sinaide
Sentaro : Selamat pagi. Tokue : Selamat pagi. Sentaro : Apakah bus sudah ada sepagi ini? Tokue : Ada..Tidak apa-apa. Tidak usah dipikirkan. Dari cuplikan adegan dan dialog pada gambar 4.4 terlihat Sentaro
memberikan perhatian kepada Tokue. Sentaro bertanya kepada Tokue apa ada bus
yang lewat di pagi buta. Perhatian yang ditunjukkan oleh Sentaro menunjukkan
bahwa ia adalah sosok pria yang peduli terhadap keadaan orang di sekitarnya.
Pencahayaan yang minim dengan hanya diterangi oleh lampu jalan, suasana di
jalan yang masih sepi, serta ucapan selamat pagi yang dilontarkan oleh Sentaro
menunjukkan bahwa saat itu adalah pagi hari sebelum matahari terbit.
50
Data 3 (menit ke 25:57-34:18)
Gambar 4.5 Sentaro sedang bekerja untuk membuat dorayaki
Pada adegan yang terjadi pada gambar 4.5 terlihat Sentaro sedang
melakukan persiapan untuk membuat isian dorayaki bersama dengan Tokue.
Sentaro dan Tokue mulai bekerja dari pagi hari sebelum matahari terbit untuk
mempersiapkan dorayaki. Properti seperti wajan, tempat adonan dorayaki, panci,
serta kompor, menunjukkan bahwa latar tempat dalam adegan ini adalah di kedai
dorayaki. Kostum Sentaro dan Tokue yang memakai celemek serta penutup
kepala memperlihatkan bahwa mereka berdua adalah seorang koki yang membuat
dorayaki. Kostum dan properti yang digunakan semakin memperjelas bahwa latar
dalam adegan ini adalah di dapur kedai dorayaki milik Sentaro.
51
Dalam adegan ini terlihat perubahan cahaya mulai dari gelap sampai
terang. Perubahan cahaya tersebut menunjukkan perubahan waktu yang terjadi
mulai dari fajar sampai matahari terbit. Medium close up shot dipakai untuk
memperlihatkan ekspresi Sentaro dan Tokue agar lebih jelas dan memperjelas
adegan saat mereka memasak dorayaki. Dari cuplikan adegan tersebut dapat
diketahui bahwa Sentaro merupakan seorang pria pekerja keras dan juga
bertanggung jawab atas pekerjaan yang ia miliki. Sentaro mulai bekerja untuk
mempersiapkan dorayaki sebelum toko buka mulai dari pagi buta sebelum
matahari terbit. Sentaro bekerja dari pagi buta sampai toko buka ia masih terus
bekerja untuk melayani pembeli. Sentaro tidak kenal lelah meskipun ia harus
mempersiapkan adonan dorayaki mulai dari pagi buta sampai matahari terbit. Hal
ini menunjukkan bahwa Sentaro adalah sosok pria pekerja keras.
3. Wakana
Gambar 4.6 Tokoh Wakana
Wakana adalah seorang gadis SMP yang kesepian. Ia tidak memiliki
banyak teman dan ibunya merupakan seorang single mother yang tidak pernah
memberi perhatian kepadanya. Wakana adalah pelanggan tetap kedai dorayaki
Sentaro. Sentaro sering memberikan Wakana sisa dorayaki dari kedainya. Wakana
52
dekat dengan Tokue meskipun Tokue adalah penderita kusta, ia tidak merasa jijik
malah sebaliknya ia menjadikan Tokue temannya.
Data 4 (menit ke 39:46-41:30)
Gambar 4.7 Wakana kesepian di rumah dan ia juga harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian
:
: :
Ibu Wakana : Aa..Koboreda. Wakana : Nande? Ibu Wakana : Kobore chatta kono hon. Ibu Wakana : Wah..Aku menumpahkannya. Wakana : Ada apa? Ibu Wakana : Aku menumpahkannya pada buku ini.
53
Pada cuplikan adegan dan dialog gambar 4.7 terlihat Wakana yang sedang
di rumah sendirian pada saat ia pulang sekolah. Medium shot digunakan saat
mengambil adegan Wakana yang berdiri menatap dari jendela di dalam rumah
menunjukkan bahwa Wakana merasa kesepian. Jarak ini memperlihatkan keadaan
rumah Wakana yang sepi dan semakin memperjelas bahwa Wakana sedang
kesepian. Properti kursi, lemari, sofa, meja, dll menunjukkan latar tempat pada
saat itu adalah di rumah. Cahaya yang tidak terlalu terang dan seragam sekolah
yang dipakai Wakana menunjukkan bahwa saat itu adalah sore hari saat Wakana
pulang sekolah. Pada adegan saat Wakana sedang memakan dorayaki jarak
pengambilan gambar medium close up shot digunakan utntuk memperjelas
ekspresi Wakana yang muram. Mimik wajah Wakana terlihat muram dan tidak
bersemangat saat ia harus makan seorang diri sepulang sekolah.
Wakana sudah terbiasa tinggal di rumah sendirian bahkan ia harus
melakukan pekerjaan rumah seorang diri. Ibu Wakana selalu sibuk diluar rumah
dan tidak pernah memperhatikan Wakana. Pada cuplikan gambar 4.7
menampilkan adegan saat Wakana sedang mencuci piring sendiri meskipun
ibunya ada di rumah. Saat ibunya menumpahkan bir Wakana dengan sigap
membersihkan meja tersebut tanpa harus menunggu perintah dari ibunya. Dari
cuplikan gambar 4.7 dapat disimpulkan bahwa Wakana adalah sosok remaja putri
yang mandiri karena ia mampu membersihkan rumah sendiri tanpa bantuan dari
orang tua meskipun ibunya sedang berada di rumah, ia tetap melakukan pekerjaan
rumah sendirian, selain itu Wakana juga digambarkan sebagai sosok remaja yang
kesepian.
54
4. Miyoko Asada
Gambar 4.8 Tokoh Miyoko
Miyoko adalah istri dari pemilik kedai milik Sentaro. Semenjak
suaminya meninggal, Miyokolah yang memegang kendali atas kedai
dorayaki Sentaro.
Data 5 (menit ke 1:32:30-1:34:10)
Gambar 4.9 Miyoko memberitahu Sentaro bahwa ia akan merenovasi
kedainya
:
55
: ? :
Miyoko : Kyuude waruin dakedo, Sentarosan kono koto to isshoni hataraitaimoraitaiyo. Oikkonano. Resutoran de hataraitandakedone, nankainingenkankei de maichatta dayo. Tene, raigetsu koko kaishoshite, okonomiyaki to dorayaki wo ryouhou dasaremasendeshita. Amai mono mo karai mono mo ryouhou arimasuyo to itte koto da.
Sentaro : Kaisho? Ano chotto matte. Miyoko : Wakatteru..Wakatterutte.
Miyoko : Ini sangat mendadak aku ingin kau bekerja dengan
anak ini. Dia keponakanku. Dia dulu pernah bekerja di restoran, namun dia tersandung masalah pribadi. Jadi aku ingin membuka bisnis baru di toko ini bulan depan, dan ingin menambahkan menu okonomiyaki berdampingan dengan dorayaki. Kue manis dan pedas dapat berdampingan bersama itulah idenya
Sentaro : Membuka bisnis baru? Tunggu sebentar Miyoko : Aku tahu..Aku tahu... Dari cuplikan adegan dan dialog pada gambar 4.9 tersebut terlihat sikap
Miyoko yang suka bertindak sesuka hatinya terhadap Sentaro tanpa memikirkan
keadaan orang lain. Pada cuplikan adegan dan dialog gambar 4.9 terlihat Miyoko
memberitahu Sentaro bahwa ia akan membuka bisnis baru di kedainya dengan
menyuruh Sentaro untuk bekerja dengan keponakannya dan menambahkan menu
okonomiyaki di kedai barunya. Meskipun Sentaro belum memberikan
persetujuannya, Miyoko tetap menyuruh Sentaro untuk mematuhi perintahnya.
Jarak pengambilan gambar dalam adegan ini adalah medium close up shot, jarak
ini dapat memperjelas ekspresi Sentaro dan Miyoko. Ekspresi Sentaro tampak
kebingungan dalam adegan ini, sedangkan Miyoko tampak ceria dan tersenyum
56
karena merasa keinginannya pasti akan terwujud. Ekspresi Miyoko saat menyuruh
Sentaro untuk bekerja sama dengan keponakannya tampak seperti orang yang
sedang memaksa bawahannya. Jaket dari bulu binatang yang dikenakan oleh
Miyoko menunjukkan bahwa ia berasal dari kelas atas yang membuatnya
memiliki sikap arogan dan suka memaksakan kehendaknya. Tanpa mempedulikan
pendapat Sentaro sebagai pengelola kedai dorayaki tersebut, Miyoko tetap
memaksakan kehendakknya terhadap Sentaro. Dari cuplikan adegan dan dialog
pada gambar 4.9 dapat disimpulkan bahwa Miyoko adalah tokoh yang suka
berbuat sesuka hatinya tanpa mempedulikan pendapat orang lain.
4.2 Penyebab Terjadinya Diskriminasi terhadap Tokoh Tokue
Diskriminasi bisa disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah
adanya stereotip dan prasangka. Menurut Augostinos dan Reynolds (dalam Putra,
2012: 7-8) hal yang mendasari prasangka dapat disimpulkan sebagai upaya atau
keinginan merendahkan individu atau kelompok lain. Prasangka muncul didasari
oleh keyakinan yang ada sebelumnya. Keyakinan ini berupa gambaran mengenai
sekelompok orang atau individu yang diatributkan pada label-label tertentu.
Kondisi ini dinamakan sebagai stereotip. Bar-Tal dan Teichman (dalam Putra,
2012: 8) mengartikan stereotip sebagai suatu keyakinan yang diolah dalam
struktur kognitif mengenai karakteristik sekelompok orang, seperti penampilan
fisik, sifat, kemampuan, sikap, emosi, intensi, dan perilaku.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prasangka atau anggapan
muncul karena didasari oleh stereotip atau keyakinan yang telah tertanam dalam
57
diri seseorang sejak lama. Pada bab ini penulis membahas penyebab diskriminasi
yang terjadi pada Tokue yang diakibatkan oleh stereotip dan prasangka terhadap
tokoh Tokue sebagai penderita kusta.
4.2.1 Stereotip terhadap Tokoh Tokue
Stereotip adalah salah satu hal yang mendasari adanya prasangka terhadap
seseorang. Dalam film An terdapat beberapa stereotip terhadap penderita kusta
yang menimbulkan adanya prasangka yang muncul pada tokoh Tokue sebagai
penderita kusta. Bar-Tal dan Teichman (dalam Putra, 2012: 8) mengartikan
stereotip sebagai suatu keyakinan yang diolah dalam struktur kognitif mengenai
karakteristik sekelompok orang, seperti penampilan fisik, sifat, kemampuan, sikap,
emosi, intensi, dan perilaku. Sesuai dengan pendapat dari Bar-Tal dan Teichman
tersebut, berikut adalah potongan adegan yang menunjukkan stereotip masyarakat
terhadap penderita kusta berdasarkan kondisi fisik mereka.
Data 6 (menit ke 46:33-46:48)
Gambar 4.10 Miyoko memberitahu Sentaro tentang kondisi fisik
penderita kusta
58
:
: ,
Miyoko : Shitteru. Raibyouttesa, hidoi ni naruto, yubi ga ochitta suruyo. Hana toka mo toketeshimashite.
Sentaro : Tokue san, yubi ga arimasuyo. Hana mo arimasuyo.
Miyoko : Apa kau tahu, dalam kasus-kasus serius penyakit kusta jari-jari mereka akan terputus dan hidung mereka lepas.
Sentaro : Tokue masih mempunyai jari dan mulut. Berdasarkan adegan dan diolog pada gambar 4.10 Miyoko menjelaskan
tentang keadaan fisik seorang penderita kusta. Dari pendapat Miyoko terhadap
penderita kusta tersebut dapat dikategorikan dalam stereotip berdasarkan keadaan
fisik seseorang. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Bar-Tal dan Teichman (dalam
Putra, 2012: 8) mengartikan stereotip sebagai suatu keyakinan yang diolah dalam
struktur kognitif mengenai karakteristik sekelompok orang, seperti penampilan
fisik, sifat, kemampuan, sikap, emosi, intensi, dan perilaku.
Dalam gambar 4.10 Miyoko menemui Sentaro di kedainya, dari segi
pencahayaan yang gelap di sekitar kedai menunjukkan bahwa saat itu adalah
malam hari. Miyoko menceritakan tentang keadaan fisik seorang penderita kusta
yang menyebabkan penderitanya kehilangan jari-jari mereka dan juga hidung
lepas. Miyoko memberi label kepada penderita kusta bahwa kusta adalah penyakit
yang mengerikan, karena dapat merusak bentuk fisik seseorang. Ekspresi Miyoko
saat membicarakan tentang keadaan fisik seorang penderita kusta terlihat seperti
orang yang jijik. Ekspresesi Miyoko tampak jelas dengan jarak pengambilan
gambar medium close up yang menampilkan ekspresi wajah Miyoko saat
59
berbicara tentang penderita kusta, ia menaikkan alis dan menaikkan sedikit sudut
kanan bibirnya yang menunjukkan bahwa saat itu ia merasa jijik. Ekspresi jijik
terhadap penderita kusta yang ditunjukkan oleh Miyoko menunjukkan bahwa ia
memiliki stereotip negatif terhadap penderita kusta, stereotip ini didasarkan pada
keadaan fisik seseorang yang menuntun Miyoko untuk memberi label negitif.
Pemberian label tersebut sesuai dengan konsep stereotip menurut Putra (2012: 8)
bahwa stereotip adalah keyakinan yang berupa gambaran sekelompok orang atau
individu yang diatributkan pada label-label tertentu.
Data 7 (menit ke 1:05:40-1:06:11)
Gambar 4.11 Wakana dan Taiga membaca buku tentang keadaan fisik penderita kusta
:
:
Taiga : Te to ka ashi ga nugechatta, magachatta toka, Hana ga mugete, kao ni henka gattechattan toka, souiu no osoreraretan hito da to omou.
60
Wakana : Watashi tachi mo hi no ataru shakai de ikitai.
Taiga : Mereka kehilangan tangan atau kaki mereka, atau menjadi lumpuh. Mereka kehilangan hidung dan wajah mereka menjadi seperti hantu yang membuat orang takut pada mereka.
Wakana : Kami juga ingin hidup di dalam masyarakat, di mana matahari bersinar.
Pada gambar adegan 4.11 memperlihatkan adegan saat Taiga dan Wakana
membaca buku tentang penderita kusta. Latar dalam adegan ini adalah di
perpustakaan, rak-rak buku yang berjajar di belakang Wakana dan Taiga
menunjukkan bahwa mereka sedang berada di perpustakaan. Dalam adegan 4.11
memperlihatkan adegan saat Wakana dan Taiga sedang membaca sebuah buku,
adegan tersebut memperlihatkan detil gambar fisik penderita kusta. Jarak
pengambilan gambar yang digunakan adalah close up dan penambahan cahaya
dari belakang aktor memberikan penerangan saat adegan membaca buku,
sehingga tampak jelas detil gambar dalam buku tersebut. Dalam buku tersebut
dijelaskan bahwa penderita kusta memiliki fisik yang mengerikan yang membuat
masyarakat sekitar takut terhadap penderita kusta, mereka digambarkan tidak
memiliki kaki dan tangan atau lumpuh dan wajah mereka menjadi cacat karena
kehilangan hidung mereka. Keadaan fisik yang digambarkan dalam adegan ini
dapat dikategorikan dalam stereotip berdasarkan keadaan fisik seseorang.
Keyakinan terhadap keadaan fisik seseorang yang tergambar dalam adegan
tersebut sesuai dengan pendapat Bar-Tal dan Teichman (dalam Putra, 2012: 8)
mengartikan stereotip sebagai suatu keyakinan yang diolah dalam struktur
61
kognitif mengenai karakteristik sekelompok orang, seperti penampilan fisik, sifat,
kemampuan, sikap, emosi, intensi, dan perilaku.
4.2.2 Prasangka terhadap Tokoh Tokue
Film An adalah film yang menceritakan tentang diskriminasi yang terjadi
pada tokoh Tokue. Salah satu hal yang mendasari diskriminasi adalah prasangka.
Menurut Augostinos dan Reynolds (dalam Putra, 2012: 7-8) hal yang mendasari
prasangka dapat disimpulkan sebagai upaya atau keinginan merendahkan individu
atau kelompok lain. Dalam hal ini Putra membagi beberapa hal penting yang
dapat dijadikan sebagai karakteristik dari prasangka. Penulis akan menganalisis
dan mendeskripsikan karakteristik dari prasangka yang terdapat dalam film An
yang tercermin dalam beberapa adegan dan dialog.
1. Anggapan yang buruk dan tidak mendasar
Anggapan yang buruk dan tidak mendasar merupakan salah satu
karakteristik prasangka. Berikut merupakan cuplikan adegan yang menunjukkan
karakteristik prasangka berdasarkan anggapan yang buruk dan tidak mendasar.
Data 8 (menit ke 45:10-47:00)
62
Gambar 4.12 Miyoko memberitahu Sentaro tentang anggapannya terhadap Tokue
:
: :
: ( ) :
: , :
Miyoko : Shiri agai iu ha ne rai janaikatte. Ima hansen byou to kaku yone. Ano hito ha ikutsu nano?
Sentaro : 70 nakama desuga, sono owari genki okute. Miyoko : Doko ni sunde nano hito? Sentaro : (Kami wo ageru) Miyoko : Aa..Kore raibyou kanja wo kakurishite tokoro. Shitteru.
Raibyouttesa, hidoi ni naruto, yubi ga ochitta suruyo. Hana to mo toketeshimashite.
Sentaro : Tokue san, yubi ga arimasuyo. Hana mo arimasuyo. Miyoko : Wakanai kedo, mukashi ha sa ishhomo ishho kagimono
no byoukidattan dayo raibyoutte.
63
Miyoko : Kata temanku mungkin itu adalah penyakit kusta. Berapa usianya? Sentaro : Pertengahan 70-an, tapi dia sehat. Miyoko : Dimana dia tinggal? Sentaro : (Memberikan kertas kepada Miyoko) Miyoko : Ini adalah tempat tinggal pasien kusta.
Apa kau tahu, dalam kasus-kasus serius penyakit kusta jari-jari mereka akan terputus dan hidung mereka lepas.
Sentaro : Tokue masih mempunyai jari dan mulut. Miyoko : Aku tidak tahu tapi, dulu kehidupan pasien akan
dibatasi ketika mereka menderita kusta. Dari potongan adegan dan dialog pada gambar 4.12 menampilkan adegan
Miyoko ketika menceritakan kepada Sentaro tentang seorang temannya yang
memberikan informasi bahwa ada seorang penderita kusta yang bekerja di toko
miliknya. Latar tempat pada adegan ini adalah di kedai dorayaki milik Sentaro.
Pemberian cahaya yang minim dan cahaya dari lampu-lampu di jalan
menunjukkan bahwa saat itu adalah malam hari. Ekspresi serius yang ditunjukkan
oleh Miyoko serta tindakan Miyoko saat memakai kacamata sebelum ia membaca
kertas yang berisi tentang informasi tempat tinggal Tokue menunjukkan bahwa ia
memiliki prasangka yang buruk dan tidak mendasar terhadap Tokue, sehingga
membuatnya bertindak seakan semua informasi yang berkaitan dengan Tokue
harus ia lihat dengan teliti. Jarak pengambilan gambar yang dipakai dalam adegan
ini adalah medium close up, sehingga perubahan ekspresi yang Miyoko tunjukkan
terlihat sangat jelas dalam adegan tersebut.
Perubahan ekspresi Miyoko mulai dari biasa saja, ekspresi penasaran akan
suatu hal, sampai pada ekspresi tidak menyukai sesuatu yang Miyoko tunjukkan
dengan cara mengangkat sedikit alisnya tersebut, terlihat jelas dengan jarak
pengambilan gambar medium close up. Anggapan yang buruk dan tidak mendasar
ditunjukkan oleh sikap Miyoko yang beranggapan bahwa penderita kusta yang
64
tinggal di sanatorium tidak diperbolehkan berinteraksi dengan masyarakat luas
karena kegiatannya harus dibatasi. Miyoko beranggapan bahwa tidak layak bagi
penderita kusta untuk keluar dari atau bahkan bekerja. Karena anggapan yang
tidak mendasar yang sudah ia yakini sejak lama, Miyoko tidak dapat menerima
kehadiran Tokue yang telah keluar dari sanatorium dan menjalani kehidupan
layaknya masyarakat biasanya. Anggapan tersebut dinilai tidak mendasar karena
tidak ada fakta yang mendukung pernyataan dari Miyoko. Miyoko hanya
mendengarkan cerita dari orang lain yang belum tentu teruji kebenarannya.
Dari dialog di atas Miyoko bahkan menyatakan ketidaktahuannya akan
kebenaran tentang keadaan penderita kusta, namun ia tetap meyakini berita yang
belum jelas kebenaranya tersebut. Sikap Miyoko tersebut sesuai dengan
karakteristik prasangka menurut Putra (2012: 7-8) yakni anggapan yang buruk dan
tidak mendasar termasuk dalam prasangka yang lebih banyak berangkat dari
penilaian atau kesimpulan yang tidak mendasar atau berangkat dari data-data yang
tidak akurat. Sifat prasangka lebih dekat pada penilaian yang dilandasi oleh
emosional negatif. Sifat penilaian ini menjadi buruk karena terus dipertahankan
dan dijaga.
2. Pemikiran yang bersifat rigid (keras)
Prasangka bersifat rigid (keras) terjadi karena sebagian besar prasangka
sulit untuk berubah. Pemikiran ini sudah tertanam sejak lama sehingga sulit untuk
diubah. Berikut adalah adegan yang menampilkan karakteristik prasangka berupa
pemikiran yang bersifat keras.
65
Data 9 (menit ke 47:01-47:23)
Gambar 4.13 Miyako memberitahu Sentaro tentang keadaan penderita kusta pada zaman dahulu
:
Miyoko : Watashi ha chiisai toki mita koto mo aruno, otera
no kaika de sa, ano hito tachi ga itte, sorede souiu hito tachi ga deteto, hokenjo ga shoudokuzai wo funmu shita.
Miyoko : Aku pernah melihatnya waktu aku kecil, orang-
orang itu berada di lantai kuil, setelah mereka pergi petugas kesehatan menyemprotkan disinfektan.
Pada gambar 4.13 menampilkan cuplikan adegan dan dialog ketika
Miyoko bercerita kepada Sentaro tentang keadaan penderita kusta pada saat ia
masih kecil. Latar dalam adegan ini adalah di kedai dorayaki Sentaro pada malam
hari, karena pencahayaan yang minim memberi petunjuk bahwa saat itu adalah
malam hari. Pengambilan gambar medium close up menampilkan ekspresi
Miyoko yang sedang bercerita sambil mengingat kenangan masa lalu. Miyoko
66
memegang dagu dan melihat ke bawah seolah-olah ia sedang berusaha mengingat
suatu hal di masa lalu. Miyoko berkata bahwa pada zaman dahulu banyak
penderita kusta yang mendatangi kuil dan ketika mereka pergi petugas kuil
menyemprotkan disinfektan untuk membersihkan kuil dari bakteri. Miyoko telah
memiliki prasangka negatif terhadap penderita kusta sejak ia masih muda. Dari
dialog di atas terlihat bahwa Miyoko menganggap bahwa penderita kusta sangat
berbahaya karena ia pernah melihat sendiri petugas kuil membersihkan dan
menyemprotkan disinfektan untuk menghilangkan bakteri dari tempat tersebut.
Keyakinan Miyoko yang sudah tertanam sejak ia masih muda sampai
sekarang sulit untuk berubah, karena keyakinan tersebut sudah berubah menjadi
keyakinan yang kuat dan sulit untuk dihilangkan. Keyakinan yang kuat tersebut
mendorong Miyoko untuk berprasangka buruk kepada Tokue. Sikap Miyoko
tersebut masuk dalam karakteristik prasangka yang bersifat keras yaitu keyakinan
yang tertanam sejak lama dan sulit untuk diubah. Hal ini sesuai dengan
karakteristik prasangka milik Putra (2012: 7-8) yaitu pemikiran yang rigid (keras).
Prasangka bersifat rigid (keras) karena sebagian besar prasangka sulit untuk
berubah. Pemikiran yang keras ini sulit untuk berubah karena sudah tertanam
sejak lama dan berubah menjadi suatu keyakinan yang sulit untuk diubah.
4.3 Bentuk-bentuk Diskriminasi terhadap Tokoh Tokue
Ian Watt (dalam Wiyatmi, 2013: 25-27) berpendapat bahwa karya sastra
dapat dilihat sebagai cerminan masyarakat. Sejauh mana karya sastra dianggap
sebagai cerminan keadaan masyarakat. Dalam hal ini cerminan yang tampak
67
dalam film An adalah keadaan saat terjadinya diskriminasi terhadap Tokue
sebagai penderita kusta. Diskriminasi merupakan fenomena yang terjadi dalam
masyarakat. Diskriminasi menjadi cerminan keadaan masyarakat dalam
memperlakukan penderita kusta yang ada dalam kehidupannya.
Hartomo dan Aziz (2011: 265) menyatakan bahwa diskriminasi terhadap
suatu kelompok atau pihak yang lain pasti merugikan pihak yang dikenai
diskriminasi. Subbab ini akan membahas bentuk-bentuk diskriminasi dalam
berbagai bidang yang terjadi pada Tokue.
1. Pekerjaan
Menurut Hartomo dan Aziz (2011: 265) diskriminasi yang terjadi dalam
bidang pekerjaan adalah keadaan di mana anggota kelompok tertentu tidak
diterima untuk mendapatkan pekerjaan. Anggota kelompok tersebut tidak bisa
mendapatkan pekerjaan karena mereka berbeda dari anggota kelompok
masyarakat pada umumnya. Berikut merupakan cuplikan adegan dan dialog yang
menunjukkan diskriminasi yang terjadi pada Tokue dalam bidang pekerjaan.
Data 10 (menit ke 47:29-48:03)
68
Gambar 4.14 Miyoko menyuruh Sentaro untuk memecat Tokue
:
:
:
:
Sentaro : Yottemo, Okusan, Kono mise ha Tokue san no an de, an
no okagede konna ni anjou shitan desuyo. Miyoko : Sore ha wakatteru kedo...
Demo yo. Atashi ni ossharu hito ga hoka no hito ni shabechattara, kono mise mo owariyo.
Sentaro : Dare no to tsukemasuka? Miyoko : Konna koto donannte ii desuyo. Tonikaku, yamete
moraenai hito. Sentaro : Tapi, nyonya, kedai ini sedang terkenal dan itu karena
selai kacang buatan Tokue. Miyoko : Aku tahu.
Tapi, jika orang yang memberitahuku berbicara pada orang lain. Itu juga akan menjadi akhir bagi kedai ini.
Sentaro : Siapa yang memberitahumu tentang Tokue? Miyoko : Tidak penting siapa yang memberitahuku.
Bagaimanapun dia harus berhenti. Pada gambar 4.14 menampilkan cuplikan adegan dan dialog ketika
Miyoko menyuruh Sentaro untuk segera memecat Tokue, karena ia tidak ingin
ada seorang penderita kusta yang bekerja di kedainya. Latar tempat dalam adegan
ini adalah di kedai doryaki Sentaro. Berkat isi dorayaki yang dibuat oleh Tokue
kedai dorayaki Sentaro menjadi ramai, namun karena Tokue adalah seorang
penderita kusta, ada pihak yang tidak menginginkannya untuk bekerja di kedainya.
69
Salah satunya adalah Miyoko yang merupakan bos Sentaro yang tidak
menginginkan kehadiran Tokue di kedainya karena Tokue adalah seorang
penderita kusta.
Miyoko memperlakukan Tokue dengan tidak adil hanya karena Tokue
adalah seorang penderita kusta, Miyoko ingin segera memecatnya. Teknik
pengambilan gambar medium close up memperlihatkan ekspresi Miyoko dengan
jelas, ekspresi tegas ditunjukkan oleh Miyoko dalam adegan 4.14 saat ia
menyuruh Sentaro untuk memecat Tokue. Tokue tidak melakukan kesalahan
selama bekerja di kedai Sentaro, namun pekerjaannya tidak dihargai hanya karena
penyakit yang dideritanya. Hal ini sesuai dengan bentuk diskriminasi yang terjadi
dalam berbagai bidang menurut Hartomo dan Aziz (2011: 265), yaitu di dalam
bidang pekerjaan anggota kelompok tertentu mendapatkan perlakuan yang
berbeda dari anggota kelompok masyarakat pada umumnya. Salah satu perlakuan
yang berbeda adalah tidak adanya pengakuan atas pekerjaannya yang baik, seperti
yang dialami oleh Tokue. Ia harus menerima perlakuan yang berbeda yakni ia
harus dipecat hanya karena ia adalah seorang penderita kusta dan pekerjaannya
yang baik tidak diakui oleh beberapa pihak yang tidak menyukainya. Alasan
pemecatan Tokue bukan karena ia tidak bisa bekerja namun karena penyakit yang
dideritanya.
2. Politik
Menurut Hartomo dan Aziz (2011: 265) diskriminasi yang terjadi dalam
bidang politik yakni keadaan di mana anggota kelompok tertentu tidak
mendapatkan hak di pemerintahan. Dalam bidang politik anggota kelompok
70
tertentu tidak mendapatkan hak yang seharusnya mereka terima sebagai anggota
masyarakat. Diskriminasi yang terjadi dalam bidang ini misalnya, tidak
mendapatkan hak memilih, peraturan pemerintah yang timpang, dan lain-lain.
Cuplikan adegan dan dialog berikut menampilkan diskriminasi yang terjadi pada
tokoh Tokue dalam bidang politik.
Data 11 (menit ke 1:05:21-1:05:56)
Gambar 4.15 Wakana dan Taiga membaca buku tentang para
penderita kusta
: :
Wakana : Shita de tenji wo yonde. Taiga : Un, raibyou no yobouhou ga haishi saretan
no wa 1996, soremade kyouseikaku ni saratekitan dakedo.
Wakana : Membaca teks braille menggunakan lidah? Taiga : Ya, Undang-undang pencegahan penyakit
kusta dicabut pada tahun 1996. Sampai saat itu, mereka harus hidup dalam isolasi.
71
Pada gambar 4.15 menampilkan cuplikan adegan dan dialog ketika Taiga
membaca buku tentang para penderita kusta. Rak-rak buku yang berjajar di
belakang aktor menunjukkan bahwa latar tempat pada adegan ini adalah di
perpustakaan. Untuk memperlihatkan gambar yang ada di dalam buku,
pengambilan gambar menggunakan close up shot. Arah pengambilan gambar dan
cahaya dari belakang aktor yang membuat seakan buku tersebut sedang dibaca
oleh Taiga dan Wakana. Dalam buku tersebut Taiga menemukan fakta bahwa para
penderita kusta harus menjalani isolasi dan harus hidup di dalam sanatorium.
Pasien penderita kusta harus menjalani hidup di dalam sanatorium sampai tahun
1996.
Peraturan pemerintah yang membuat para penderita kusta harus terkurung
selama puluhan tahun di sanatorium tersebut, dinilai merugikan para penderita
kusta karena kehidupan penderita kusta dibatasi dan tidak bisa melakukan
kegiatan seperti masyarakat normal pada umumnya. Para penderita kusta tidak
bisa keluar dari sanatorium dan harus menjalani hidup seperti dalam penjara, di
mana semua hak sebagai masyarakat dirampas. Seperti hak untuk berkeluarga dan
hak untuk bekerja, hak-hak dasar sebagai manusia tersebut tidak bisa mereka
dapatkan karena harus hidup dalam sanatorium dan tidak bisa keluar samapai
peraturan tersebut dicabut. Meskipun ada beberapa sanatorium yang
memperbolehkan pasiennya untuk menikahi sesama pasien dalam sanatorium,
namun sebagian besar sanatorium tidak mengijinkan pasiennya menikahi sesama
pasien karena takut akan kemungkinan jika keturunan mereka dapat terjangkit
penyakit kusta juga.
72
Peraturan pencegahan kusta yang dicabut pada tahun 1996 yang terdapat
dalam adegan dan dialog 4.15 tersebut sesuai dengan sejarah kusta dalam buku
Kikuchi (1997: 629-633) yakni para penderita kusta harus mematuhi kebijakan
isolasi yang ditetapkan oleh pemerintah, yang pada akhirnya di tahun 1995
Japanese Leprosy Association (Asosiasi Penyakit Kusta di Jepang) menyatakan
akan menghapus kebijakan isolasi yang telah diberlakukan sejak tahun 1931
tersebut. Pada tahun 1996, hukum pencegahan kusta di Jepang telah dihapuskan.
Pencabutan peraturan pemerintah pada tahun 1996 tersebut dinilai terlambat
karena pada saat pasien penderita kusta keluar dari sanatorium rata-rata usia
mereka lebih dari 80 tahun. Di usia mereka yang sudah tua tersebut, sudah
terlambat bagi mereka untuk memulai kehidupan baru. Usia yang sudah tua
membuat mereka tidak bisa memuali kehidupan berkeluarga ataupun bekerja,
keterbatasan fisik karena usia membuat mereka tetap tinggal di sanatorium.
Dalam cuplikan adegan tersebut terlihat bahwa pemerintah
memberlakukan peraturan yang timpang. Pemerintah mengesahkan peraturan
untuk pencegahan penyakit kusta dengan menempatkan penderita kusta di dalam
sanatorium. Peraturan tersebut dinilai timpang karena merugikan salah satu
anggota kelompok. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hartomo dan Aziz (2011:
265) bahwa diskriminasi yang terjadi dalam bidang politik yakni keadaan di mana
anggota kelompok tertentu tidak mendapatkan hak di pemerintahan. Penderita
kusta tidak mendapatkan haknya sebagai masyarakat. Mereka tidak diijinkan
untuk keluar dari sanatorium dan harus menjalani hidup terisolasi dari kehidupan
masyarakat normal pada umumnya.
73
3. Perumahan atau tempat tinggal
Menurut Hartomo dan Aziz (2011: 265) diskriminasi yang terjadi dalam
bidang tempat tinggal adalah keadaan di mana anggota suatu kelompok tertentu
tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmati tempat tinggal atau perumahan
tempat sebagian besar masyarakat pada umumnya tinggal. Perumahan atau
pemukiman yang merupakan tempat tinggal masyarakat pada umumnya tersebut
tidak bisa menjadi tempat tinggal anggota suatu kelompok tertentu karena
perbedaan yang mereka miliki, mereka harus tinggal di tempat yang berbeda.
Cuplikan adegan dan dialog berikut menampilkan diskriminasi yang terjadi pada
tokoh Tokue dalam bidang tempat tinggal.
Data 12 (menit ke 1:23:40-1:24:18)
Gambar 4.16 Tokue bercerita bahwa ia harus tinggal di sanatorium dari kecil dan harus terpisah dengan keluarganya.
:
:
74
Wakana : Tokue san ha itsukara koko ni irun desuka? Tokue : Wakana chan gurai no ko you. Soune, zuibun
mukashine. Ani to futari de koko made kite. Eki de oita tokoro, Ani ha ne
to itta karatte. Wakana : Tokue, sejak kapan anda mulai tinggal di sini? Tokue : Ketika aku kira-kira seusia dirimu. Jadi, sudah lama
sekali ya. Aku datang kesini dengan kakakku. Ketika
terkena kusta, kalau itu benar aku akan meninggalkanmu,
Pada cuplikan adegan dan dialog 4.16 Tokue bercerita pada Wakana dan
Sentaro bahwa ia harus tinggal di sanatorium sejak ia seusia dengan Wakana.
Latar tempat dalam adegan ini adalah di sanatorium yang menjadi tempat tinggal
Tokue. Kostum yang dikenakan oleh Tokue adalah baju sehari-hari. Raut wajah
dan bibir Tokue terlihat pucat, yang menunjukkan bahwa Tokue sedang tidak
sehat. Ekspresi Tokue dapat tertangkap dengan jelas dengan menggunakan
medium close up shot. Tokue memperlihatkan ekspresi sedih ketika mengenang
saat pertama kali kakaknya meninggalkanya untuk tinggal di sanatorium dan
harus berpisah dari orang tuanya saat ia masih muda. Ekspresi sedih tersebut
ditunjukkan Tokue dengan cara menatap ke bawah dengan tatapan mata yang
terlihat sedih saat ia mulai bercerita tentang kehidupannya. Ia bercerita bahwa
dahulu kakaknya sendiri yang mengantarkan Tokue untuk tinggal di sanatorium
karena penyakit kusta yang dideritanya. Tokue tinggal di sanatorium sejak ia
masih muda sampai di usia 76 tahun.
75
Dalam dialog pada adegan 4.16 terlihat Tokue bercerita bahwa kakaknya
meninggalkannya sendiri di sanatorium dan kemudian kembali pulang ke rumah.
Sejak saat itulah Tokue tidak bisa lagi untuk tinggal dengan keluarganya di
rumahnya melainkan harus tinggal terpisah, yakni di sanatorim. Kakak Tokue
seperti tidak menginginkan lagi kehadiran Tokue sebagai keluarganya. Tokue
seperti kehilangan tempat untuk pulang, satu-satunya tempat yang dapat ia
kunjungi sebagai penderita kusta adalah sanatorium.
Peraturan pemerintah yang mengharuskan para penderita kusta untuk
tinggal di sanatorium membuat para penderita kusta tidak mempunyai pilihan lain
selain tinggal di sanatorium. Tinggal di sanatorium membuat para penderita kusta
tidak dapat kembali untuk tinggal bersama keluarganya. Para penderita kusta tidak
bisa keluar dari sanatorium sebelum sembuh. Kegiatannya dibatasi hanya di
dalam sanatorium saja, sehingga para penderita kusta tidak bisa bebas tinggal
dimanapun yang diinginkan. Tinggal di sanatorium membuat para penderita kusta
tidak bisa berinteraksi dengan masyarakat normal pada umumnya karena tempat
tinggal yang berbeda. Anggapan masyarakat bahwa penyakit kusta adalah
penyakit yang berbahaya membuat masyarakat sekitar tidak mau tinggal bersama
penderita kusta.
Dalam adegan ini, kakak Tokue yang merupakan keluarga Tokue pun
tidak menginginkannya untuk tinggal bersamanya, karena anggapan yang buruk
terhadap penderita kusta itulah yang membuat keluarga dan masyarakat sekitar
tidak ingin tinggal bersama penderita kusta. Keadaan tersebut membuat penderita
kusta harus tinggal di tempat yang berbeda, tempat tersebut adalah sanatorium.
76
Hal ini sesuai dengan pernyataan Hartomo dan Aziz (2011: 265) bahwa
diskriminasi yang terjadi dalam bidang tempat tinggal adalah keadaan di mana
anggota suatu kelompok tertentu tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmati
tempat tinggal atau perumahan tempat sebagian besar masyarakat pada umumnya
tinggal.
77
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian diskriminasi yang
terjadi pada tokoh Tokue sebagai penderita kusta dalam film An karya sutradara
Naomi Kawase adalah sebagai berikut:
1. Penyebab diskriminasi yang dialami Tokue sebagai penderita kusta adalah
karena adanya stereotip dan prasangka yang telah melekat pada para penderita
kusta. Stereotip yang didasarkan pada keadaan fisik penderita kusta yang
kurang sempurna dan mengerikan menjadi penyebab terjadinya diskriminasi
pada Tokue. Prasangka yang didasarkan pada anggapan yang buruk dan tidak
mendasar, serta prasangka yang bersifat keras yang sulit untuk berubah
menjadi penyebab terjadinya diskriminasi terhadap Tokue sebagai penderita
kusta. Stereotip dan prasangka menjadi penyebab utama terjadinya
diskriminasi terhadap Tokue.
2. Diskriminasi yang terjadi dalam berbagai bidang seperti dalam bidang
pekerjaan, politik, dan tempat tinggal dialami Tokue karena ia merupakan salah
satu penderita kusta. Diskriminasi dalam bidang pekerjaan dialami Tokue yang
harus berhenti dari pekerjaannya karena ia pernah menderita penyakit kusta
bukan karena hasil kerjanya yang buruk. Diskriminasi dalam bidang politik
terjadi pada Tokue karena peraturan pemerintah yang timpang, peraturan
tersebut mengharuskan penderita kusta untuk hidup di sanatorium selama
78
puluhan tahun tanpa kontak dengan masyarakat normal pada umumnya.
Peraturan tersebut dinilai timpang karena merugikan salah satu pihak.
Diskriminasi dalam bidang tempat tinggal dialami oleh Tokue yang harus
tinggal di sanatorium dan tidak bisa merasakan kehidupan normal dengan
keluarganya, ia harus tinggal di tempat yang berbeda dengan masyarakat
normal pada umumnya.
5.2 Saran
Selama meneliti film An karya sutradara Naomi Kawase penulis
menyadari bahwa masih ada aspek yang bisa diteliti dalam film ini. Penulis
menyarankan untuk penelitian selanjutnya agar menggunakan teori psikologi
sastra untuk meneliti dampak psikologi yang terjadi pada tokoh Tokue dalam film
An karya sutradara Naomi Kawase akibat dari stereotip, prasangka, dan
diskriminasi yang timbul karena Tokue menderita penyakit kusta.
79
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Ai, Koba et.al. 2009. The decline of leprosy in Japan: patterns and trends 19642008. Jepang: Leprosy Research Center.
Amalia, Nikita Darius. 2014. Diskriminasi Hibakusha dalam Novel Kuroi Ame karya Ibuse Masuji. Skripsi. Jakarta, Universitas Bina Nusantara.
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Danandjaja, James. Diskriminasi Terhadap Minoritas Masih Masih merupakan Masalah Aktual di Indonesia Sehingga Perlu Ditanggulangi Segera. Jakarta: Percetakan Negara RI.
Gerungan,W.,A. Dr. Dilp. 1988. Psikologi Sosial. Jakarta: Eresco.
Hartomo, dan Armicun Aziz. 2011. MKDU: Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Kikuchi. Ichiro et.al. 1997. Hansen's disease in Japan: a brief history. Jepang: Blackwell Science Ltd.
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik : Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta : LKIS.
Muffidah, Faridatul. 2015. Diskriminasi terhadap Minoritas Korea di Jepang yang Tercermin Dalam Film Anata wo Wasurenai Karya Sutradara Junji Hanado. Skripsi tidak diterbitkan. Malang, Universitas Brawijaya.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Putra, Idhamsyah Eka dan Ardiningtiyas Pitaloka. 2012. Psikologi Prasangka Sebab, Dampak, dan Solusi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, M. Atar. 2012. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa.
80
Wiyatmi. 2013. Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
Sumber Internet: Burgess, Chris. 2004. Maintaining Identities: Discourses of Homogeneity in a
Rapidly Globalising Japan. Electronic Journal of Contemporary Japanese Studies. Diakses pada 18 Maret 2017.
The Nippon Foundation. 2011. Leprosy in Our Time. (online) sumber elektronik dari http://www.nipponfoundation.or.jp/en/what/projects/leprosy/Leprosy_in_Our_Time2014.pdf. Diakses pada 18 Maret 2017.
. 2016.
(online) sumber elektronik dari http://www.nippon.com/en/features/c02703/. Diakses pada 18 Maret 2017.
Litz, Gil. Japan. (online) sumber elektronik
https://www.britannica.com/place/Japan/People#toc23249 Diakses pada 10 April 2017.