disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

315
DISERTASI WACANA TRADISI LISAN VERA ETNIK RONGGA DI MANGGARAI TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR NI WAYAN SUMITRI NIM 1090171009 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Transcript of disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

Page 1: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

1

DISERTASI WACANA TRADISI LISAN VERA

ETNIK RONGGA DI MANGGARAI TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR

NI WAYAN SUMITRI NIM 1090171009

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015

Page 2: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

2

WACANA TRADISI LISAN VERA ETNIK RONGGA DI MANGGARAI TIMUR

NUSA TENGGARA TIMUR

NI WAYAN SUMITRI NIM 1090171009

PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015

ii

Page 3: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

3

WACANA TRADISI LISAN VERA

ETNIK RONGGA DI MANGGARAI TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR

Disertasi untuk memperoleh Gelar Doktor

Pada Program Doktor, Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI WAYAN SUMITRI NIM 1090171009

PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015 iii

Page 4: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

4

Lembar Pengesahan

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 21 NOVEMBER 2014

Promotor

Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S NIP 195706181983031001

Kopromotor I, Kopromotor II,

Prof.Dr.I Nyoman Suarka,M.S Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib. NIP 196101121988031001 NIP 1956042419088031001

Mengetahui

Ketua Program Doktor Linguistik Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjan Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Prof. Dr. Aron Meko Mbete Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.K(K) NIP 195902151985102001 NIP 195902151985102001 iv

Page 5: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

5

Panitia Ujian Disertasi, Berdasarkan SK Rektor Universitas

Udayana Nomor : 2668 Tanggal 14 Agustus 2014

Ketua : Prof. Dr. Aron Meko Mbete

Anggota :

1. Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S (Promotor) 2. Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum (Promotor I) 3. Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib (Promotro II) 4. Prof. Dr. I Wayan Cika,M.S 5. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U 6. Prof. Dr. I Made Suastika, S.U 7. Prof. Dr. Nyoman Darma Putra v

Page 6: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

6

SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Ni Wayan Sumitri NIM : 1090171009 Program Studi : Program Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana Konsentrasi : Kajian Wacana Sastra Alamat : Jalan Padma Gang I/A1 No 4 Penatih Denpasar Timur Telepon/HP : (0361) 481831; 081213668662 Dengan ini menyatakan karya ilmiah disertasi ini bebas plagiat. Apabila di

kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya

bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan mendikbud RI No. 17 tahun

2010 dan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, November 2014

Yang membuat pernyataan,

Ni Wayan Sumitri

vi

Page 7: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

7

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa,

Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya berupa kesehatan dan

kekuatan, sehingga disertasi dengan judul “Wacana Tradisi Lisan Vera Etnik

Rongga di Manggarai Timur Nusa Tenggara Timur” dapat diselesaikan. Kajian ini

merupakan suatu upaya untuk menelaah tradisi lisan vera sebagai produk dan

praktik budaya etnik Rongga yang memiliki karakteristik struktur teks, fungsi,

makna dan mekanisme pewarisannya.

Disertasi ini dapat diselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, pada kesempatan ini dengan tulus dan kerendahan hati disampaikan

penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada:

Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi yang telah memberikan bantuan finansial berupa bantuan

BPPS dan Hibah Disertasi Doktor tahun 2013 sehingga meringankan beban

penulis dalam menyelesaikan studi ini, serta memberikan kesempatan mengikuti

Program Sandwich ke Leiden-Belanda tahun 2011 dalam rangka pendalaman

proposal disertasi ini.

Tim pembimbing Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma M.S. promotor utama

yang dengan sabar dan penuh perhatian telah memberikan dorongan semangat,

bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti progran doktor, khususnya dalam

menyelesaikan disertasi ini. Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum dan Dr.

Fransiskus Bustan, M.Lib, Kopromotor I dan Kopromotor II yang dengan penuh

perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan, mendorong, dan

memberikan masukan yang sangat berharga ide-ide kritisnya. Koreksi, dan

komentar-komentar yang diberikan demi percepatan penulisan disertasi ini.

Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. Dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD

atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan doktor di Universitas Udayana. Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), Prof.

Dr. Made Budiarsa, MA selaku Asisten Direktur I, dan Prof. Made Sudiana

vii

Page 8: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

8

Mahendra, Ph.D selaku Asisten Direktur II atas kesempatan yang diberikan

kepada penulis menjadi mahasiswa Program Doktor Universitas Udayana. Ketua

Program Studi Doktor Linguitik Universitas Udayana Prof. Dr. Aron Meko Mbete,

dan Sekretaris Program Studi Doktor Linguistik Universitas Udayana Dr. A.A.

Putu Putra, M.S, yang telah membantu segala hal dan memfasilitasi penulis dalam

menyelesaikan studi ini.

Ketua ATL Pusat Jakarta Prof. Dr. Pudentia MPPS dan ketua ATL

Universitas Udayana Prof. Dr. I Made Suastika, S.U atas bimbingan, masukan,

kritikan saat penulisan proposal awal serta rekomendasinya memberikan

kesempatan untuk mengikuti Program Sandwich ke Leiden-Belanda

Rektor IKIP PGRI Bali atas izin yang diberikan kepada penulis untuk

mengikuti pendidikan doktor.

Drs. I Wayan Arka, M.S, M.Phil, Ph.D, yang telah meluangkan waktunya

memberikan sumbangan pemikiran, yang berkaitan dengan etnik Rongga, ide dan

data awal penelitian ini, referensi, masukan, konsultasi dalam aspek kebahasaan,

dengan penuh kesabaran dan ketulusan baik langsung maupun tidak langsung

melalui email memberikan kritik dan saran yang bermanfaat dan kontributif dalam

penulisan disertasi ini. Terima kasih pula atas motivasi dan dorongan semangat

untuk menyelesaikan penelitian ini.

Prof. Drs. I Ketut Artawa, Ph.D, yang telah meluangkan waktu dengan

tulus memberikan masukan, kesempatan berkonsultasi, kritik dan saran khususnya

dalam aspek linguistik yang bermanfaat dan kontributif dalam penulisan disertasi

ini. Terima kasih yang dalam penulis sampaikan pula atas motivasi dan dorongan

semangat untuk menyelesaikan penelitian ini.

Prof. Dr. Aron Meko Mbete yang memberikan motivasi, untuk

melanjutkan pendidikan, serta bimbingan, masukan, kritikan, saran dan

pemikiran kritis yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian disertasi ini.

Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M. Litt, yang telah meluangkan waktu

dengan tulus memberikan arahan cara berpikir logis, bimbingan, berbagai

pertanyaan kritis dan saran melalui diskusi yang sangat bermanfaat dan

kontributif dalam penulisan disertasi ini.

viii

Page 9: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

9

Prof. Dr. Mathhew Isaac Cohen dari Royal Holloway University of

London, ucapan terima kasih khusus penulis sampaikan atas bimbingan metode

penelitian, referensi, masukan, kritikan, dan saran yang sangat berharga saat

penulis mengikuti Program Sandwich di Leiden-Belanda dan juga memberikan

masukan melalui email dalam melakukan penelitian lapangan penelitian di

lapangan.

Tim penguji ungkapan terima kasih yang paling dalam penulis sampaikan

kepada Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S, Prof. Dr. I Nyoman

Suarka,M.Hum, Dr. Frasnsiskus Bustan,M’Lib, Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S,

Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, Prof. Dr. I Made Suastika, SU, Prof. Dr. I

Nyoman Darma Putra, M.Litt, Prof. Dr. Aron Meko Mbete, yang telah

memberikan kritik, saran, dan masukan pemikiran yang sangat berarti demi

kesempurnaan disertasi ini.

Almarhum Prof. Dr. I Wayan Bawa mentor yang selalu memberi penulis

motivasi untuk melanjutkan pendidikan, nasihat, dan petuah dalam menghadapi

tantangan hidup yang senantiasa penulis ingat.

Gubernur Provinsi Nusa TenggaraTimur, Bupati Kabupaten Manggarai

Timur, Camat Kecamatan Kota Komba, Lurah Tanarata, atas izin yang diberikan

kepada penulis untuk mengadakan penelitian.

Bapak Paulus M. Tasman sekeluarga yang sangat baik sudah seperti

keluarga sendiri memberikan penulis pemondokan di Borong selama penelitian.

Bapak Alfridus Ndolu sekeluraga, Bapak Markus Bana sekeluarga, bapak

Thomas Ola sekeluarga, Bapak david Lombe sekeluarga, Bapak welhem Roma

sekeluarga, Bapak Hendrikus Tanggang, Ibu Regina sekeluarga dan semua

infroman yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan atas bantuan data dan

informasi yang telah diberikan kepada penulis, sehingga data dan infromasi itu

dapat dianalisis menjadi suatu karya tulis dalam bentuk disertasi ini.

Bapak I Nyoman Sukarta, Hamirudin Udu, I Made Suyasa, Aswandikari, I

Nyoman Tingkat, I Gede Subawa Mas, I. B Mantra, dan Ni Nyoman Astini,

teman seperjuangan yang ikut mendorong terselesainya disertasi ini.

ix

Page 10: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

10

Bapak Syahrial, Katubi, Trias yusuf, Sainul Hermawan, Hamirudin Udu,

Yon Adlis, Muhamad Isman, Muhamad Ali Prawiro, Sumiman Udu, La Aso,

Polumun Ginting, Lies Mariani, Mariana Liwier, Jultje Aneka Rattu, Siti Gomo

attas, Retty Esnendes, Maria Maltindis Banda, teman KTL seperjuangan Program

Sandwich di Leiden-Belanda angkatan 2011 yang ikut memberikan dorongan

semangat terselsaikannya disertasi ini.

Akhirnya kepada suamiku tercinta I Wayan Widjasa, S.H dan anak-anakku

tercinta Ni Wayan Septyawini, Ni Made Dwi Aksami, dan Ni Nyoman Ciptaning

Trisamini yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan disertasi ini. Kepada kedua

orangtua, dan mertua penulis yang ikut memberikan dorongan semangat. Ucapan

terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua anggota keluarga besar

lainnya kakak, adik, dan ipar yang telah memberikan semangat untuk

menyelesaikan studi ini.

Semoga Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Mahaesa selalu

melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan

dan penyelesaian disertasi ini, serta kepada kelurga penulis.

Denpasar, Januari 2015

Penulis

x

Page 11: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

11

ABSTRAK

WACANA TRADISI LISAN VERA ETNIK RONGGA DI MANGGARAI TIMUR

NUSA TENGGARA TIMUR

Penelitian ini mengkaji wacana tradisi lisan vera haimelo mbuku sa’o mbasa wini (WVHMM). Tradisi tersebut merupakan ritual pertanian yang masih hidup dan berkembang pada etnik Rongga di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Kepesatan arus balik budaya global mengakibatkan tradisi itu terancam kelestariannya dan tidak diminati lagi oleh sebagian besar etnik Rongga terutama generasi muda. Fenomena itu salah satu yang melatarbelakngi perlunya dilakukan penelitian tentang tradisi lisan vera haimelo mbuku sa’o mbasa wini. Fokus kajian mencakupi struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisan WVHMM. Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif analitik. Data dianalisis secara kualitatif dibantu dengan tabel sederhana. Teori yang digunakan adalah teori formula, teori fungsi, teori semiotik, dan teori perubahan kebudayaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa WVHMM merupakan wacana tradisi lisan bergaya sastra dengan karakteristik struktur, fungsi, dan makna khas. Kekhasan WVHMM tercermin dalam struktur formal dan struktur naratif. Struktur formal meliputi: (1) Struktur makro, yakni makna global WVHMM berupa doa permohonan kepada Tuhan, roh leluhur, dan roh alam agar tahun musim tanam yang akan datang berjalan dengan baik; (2) Superstruktur yang terdiri atas : bagian pendahuluan yang disebut wacana ti’i ka berupa ritual pemberian makanan kepada roh leluhur; bagian isi adalah inti vera; dan penutup adalah tetendere; (3) Struktur mikro yang terwujud dalam (a) aspek kebahasaan: satuan bunyi, kata, frasa, klausa/kalimat, hubungan baris secara sintaktis, dan kohesi wacana terdapat dalam baris-baris dalam bait, (b) sistem formula: formula satu kata dan formula frasa/ setengah baris, dan (c) gaya bahasa: gaya bahasa paralelisme dan gaya bahasa kias. Sementara itu, struktur naratif berdasarkan suasana hati yang mencakupi suasana hati tuturan dan suasana hati perspektif. WVHMM mengemban fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes meliputi : fungsi referensial, emotif, konatif, dan puitik. Fungsi laten: sebagai pranata religius, sistem pengetahuan, sarana pemersatu, kontrol sosial/kritik sosial/himbauan, sarana pendidikan, pengesahan kebudayaan, dan media hiburan. Sesuai dengan konteks sosial budaya etnik Rongga yang melatarinya, WVHM menyiratkan makna religius, sosiologis, ekonomis, historis, politis, estetis, dan didaktis. Mekanisme pewarisan WVHMM melalui mekanisme pewarisan alamiah yang berlangsung secara turun-temurun, secara lisan, melalui unjuk libat tari dalam kegiatan vera dan mekanisme pewarisan non-alamiah melalui pelatihan yang bersifat tradisional, sporadis, dan temporal berdasarkan kebutuhan tertentu. Sebagai tradisi lisan yang mewadahi pandangan dunia etnik Rongga, WVHMM juga mengemban peran sebagai wahana rekonsiliasi dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam; antarsesama, baik dengan lingkungan sosial budaya maupun lingkungan alam fisik yang melingkupi kehidupannya. Kata kunci: wacana, tradisi lisan, vera, etnik Rongga

xi

Page 12: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

12

ABSTRACT

THE TRADITIONAL ORAL DISCOURSE OF VERA OF THE ETHNIC RONGGA IN EAST MANGGARAI

IN EAST NUSA TENGGARA

This study examines the traditional oral discourse of vera haimelo mbuku sa'o mbasa wini (WVHMM). The tradition is an agricultural ritual still alive and practiced by the ethnic in Rongga in East Manggarai regency, East Nusa Tenggara. The rapid impact of modern global culture has threatened the tradition, and it is no longer of interest to most of the Rongga people, especially the younger generation. This phenomenon is one of the reasons for the need to do research on this oral tradition. The focus of the study includes the structure, function, meaning, and the mechanism of inter-generational transmission of the WVHMM. This research is a descriptive analytic study. Data were analysed qualitatively aided by simple tables. The theory used are the formula theory, function theory, semiotic theory, and the theory of cultural change. The results show that WVHMM is an oral traditional discourse in literary style with unique characteristics in terms of structure, function, and meanings. The uniqueness of WVHMM is reflected in the formal and structural narrative structure. Its formal structure includes: (1) The macro structure encoding the global meanings of the WVHMM such as the prayer requests to God, ancestral spirits, and spirits of the nature wishing to have good outcomes of the up-coming harvests of the seasons; (2) Superstructure, consisting of the introductory section ti'i ka in the form of offering ritual to ancestral spirits; the main part of vera; and the closing part called tetendere; (3) The microstructure shows up in (a) aspects of language: the unit sounds, words, phrases, clauses / sentences, syntactic relationships are in rows in stanzas, and discourse cohesion, (b) the system formula: formula of words and phrases / half line , and (c) language style: parallelism and figurative style. Meanwhile, the narrative structure is based on the subtle feeling and mood, as manifested in speech and inner personal perspectives. WVHMM bears the manifest and latent functions. Manifest functions include referential, emotive, conative, and poetic functions. Latent functions include its functions in relation to religious institution, knowledge system, uniting function, social control/social critic /advice, educational function, cultural validation, and entertainment media. In line with the socio-cultural context of the ethnic Rongga, WVHM carries religious meaning, sociological, economic, historical, political, aesthetic, and didactic. The transmission of WVHMM is done through natural oral intergenerational inheritance mechanism in the form of real vera performances in regular rituals, and also through non-natural mechanisms such as training practices, usually sporadic, and temporal in nature based on specific needs. As an oral tradition that embodies the worldview of the Rongga people, WVHMM also serves as the means for reconciliation with God, the ancestral spirits, and the spirits of nature as well as with fellow human beings, both in socio-cultural contexts and in physical natural environments. Keywords: discourse, oral tradition, Vera and Ethnic Rongga

xii

Page 13: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

13

RINGKASAN DISERTASI

WACANA TRADISI LISAN VERA ETNIK RONGGA

DI MANGGARAI TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Etnik Rongga adalah salah satu etnik minoritas di Indonesia yang berdiam

di wilayah Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa

Tenggara Timur (NTT). Etnik Rongga yang terdiri atas 22 suku (clan) memiliki

kebudayaan sendiri dengan corak khas, sebagaimana tercermin dalam berbagai

tradisi. Salah satu tradisi yang mencoraki kebudayaan etnik Rongga adalah vera,

yakni pertunjukan tarian tradisional yang disertai dengan nyanyian dalam bahasa

Rongga. Vera merupakan bagian dari ritual yang tidak saja berkaitan dengan

pertanian dan kehidupan manusia, tetapi juga berfungsi sebagai perekat rasa

kebersamaan dalam ikatan komunitas etnik Rongga. Berdasarkan konteksnya,

vera terdiri atas beberapa jenis, termasuk vera haimelo mbuku sa’o mbasa wini

(ritual berkaitan dengan pertanian) yang menjadi fokus penelitian ini.

Pengaruh arus balik budaya global sebagai dampak kepesatan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang

teknologi informasi, di samping masuknya agama Katolik dan pendidikan modern

terasa saat ini. Pengaruh tersebut menyebabkan kebudayaan etnik Rongga terus

mengalami perubahan dalam tataran tertentu. Perubahan itu menyebabkan daya

hidup wacana tradisi lisan vera terancam kelestarian serta terus mengalami

penyusutan fungsi dan pergeseran makna karena tidak dipahami lagi oleh

sebagian besar warga etnik Rongga terutama generasi muda. Fenomena itu

merupakan salah satu alasan yang melatarbelakangi perlunya dilakukan penelitian

tentang tradisi lisan vera etnik Rongga di Kabupaten Manggarai Timur.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi, menganalisis dan

menjelaskan struktur wacana tradisi lisan vera; (2) menafsirkan,

mengidentifikasi dan menjelaskan fungsi wacana tradisi lisan vera; dan (3)

xiii

Page 14: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

14

menelaah, menafsirkan, dan menjelaskan makna wacana tradisi lisan vera; (4)

mengidentifikasi, menganalisis, dan menjelaskan mekanisme pewarisan wacana

tradisi lisan vera.

2. Kajian Pustka, Konsep, dan Landasan Teori

2.1 Kajian Pustaka

Beberapa pustaka yang mengkaji tentang bahasa Rongga dan budaya

Rongga yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut. Porat (1997), dalam penelitiannya berjudul “Struktur Bahasa Ngada

Dialek Rongga”, mengkaji aspek sintaksis bahasa Ngada dialek Rongga dengan

menggunakan teori strukural. Kajian yang sangat rinci memaparkan tentang

struktur frasa, struktur klausa, dan struktur kalimat bahasa Ngadha dialek Rongga.

Dalam penelitian itu dipaparkan pula mengenai kategori kata yang meliputi: (1)

kategori leksikal yang terdiri atas verba, adjektiva, nomina, pronomina, numeralia,

dan adverbia; dan (2) kelas kata tugas yang terdiri atas konjungsi, preposisi,

partikel, dan interjeksi.

Arka, Kosmas, dan Suparsa (2007), dalam penelitian mereke berjudul

“Tata Bahasa Rongga”, menghasilkan temuan yang komprehensif mengenai aspek

fonologi, morfologi, dan sintaksis bahasa Rongga. Selain itu, dalam penelitian itu

dipaparkan pula konteks ekologis, historis, dan sosiokultural etnik Rongga.

Arya Wibawa (2008), dalam penelitian berjudul “Semantic Typologi:

Semantics of Locative Relations in Rongga”, mengkaji tipologi semantik relasi

lokatif bahasa Rongga dan implikasinya terhadap universalisme hubungan lokatif.

Dalam penelitian itu dipaparkan bahwa hubungan fungsional antara objek sangat

penting di Rongga dan hubungan tersebut digunakan untuk memisahkan

hubungan fungsional dan lokatif.

Kosmas (2008), dalam penelitiannya berjudul “Klausa Bahasa Rongga:

Sebuah Analisis Leksikal-Fungsional, menelaah tipologi bahasa dan bahasa

Rongga. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bahasa Rongga tergolong

bahasa akusatif. Bahasa Rongga sebagai bahasa akusatif mempunyai alternasi

struktur klausa, yaitu aktif dan pasif. Struktur pasif dalam bahasa Rongga adalah

xiv

Page 15: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

15

pasif yang bersifat sintaktis karena bahasa Rongga tergolong bahasa isolatif yang

tidak mempunyai pemarkah morfologis terutama afiks. Disamping itu, penelitian

Kosmas membahas pula aspek fungsi gramatikal. Bahasa Rongga mempunyai

fungsi gramatikal inti, yaitu subjek, predikat dan objek dan fungsi gramatikal di

luar inti, yaitu OBL, KOMP, dan ADJUNG.

Suparsa (2008) dalam penelitiannya berjudul “Fonologi Bahasa Rongga,

Sebuah Kajian Transformasi Generatif”, mengkaji fonologi bahasa Rongga

dengan menggunakan teori Transformasi Generatif. Temuan yang sangat lengkap

telah dipaparkan yang berupa segmen-segmen vokal dan segmen konsonan.

Dijelaskannya bahwa bahasa Rongga tidak mengenal rangkaian segmen konsonan

pada morfem pangkal karena bahasa Rongga tersebut merupakan bahasa vokalik.

Dijelaskannya pula bahwa bahasa Rongga tidak mempunyai sistem tulisan

sehingga bahasa itu menggunakan huruf Latin.

Tarno dkk. (2009), dengan penelitian berjudul “Pemakaian Skema Citra

Kinestetik sebagai Sumber Peregangan Metafora Nominal dalam Guyub Tutur

Rongga di Kabupaten Manggarai Timur”, menyatakan bahwa ditinjau dari

perspektif antropologi atau linguistik kebudayaan penggunaan anggota tubuh

manusia dan hewan sebagai sumber peregangan atau perluasan bentuk metafora

nominal dalam bahasa Rongga.

Paulus (1993), dalam penelitiannya berjudul “Pandangan Hidup Orang

Rongga Menjadi Locus Evangelisasi Gereja”, mengkaji pandangan hidup etnik

Rongga berdasarkan ungkapan-ungkapan tradisional bahasa Rongga dan menelaah

hubungan antara wahyu purba dan wahyu Kristiani dalam rangka inkulturasi.

Fokus penelitian itu berkaitan dengan evangelisasi gereja Katolik yang dipotret

melalui pandangan hidup orang Rongga.

Sumitri (2005) dengan hasil penelitian berjudul “Ritual Dhasa Jawa pada

Masyarakat Petani di Rongga, Manggarai, NTT” menerapkan teori semiotik,

fungsi, dan teori perubahan kebudayaa. Hasil temuannya memaparkan secara

lengkap mengenai struktur upacara dhasa jawa yang terdiri atas beberapa

komponen, yaitu struktur upacara, pelibat upacara, tempat dan waktu pelaksanaan

xv

Page 16: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

16

upacara, sarana upacara dan bahasa yang digunakan. Ritual dhasa jawa

mempunyai makna dan fungsi yang sangat dalam pada masayarakat Rongga.

Dalam dinamika menuju ke tatananan kehidupan yang maju terlihat adanya

perubahan ritual dhasa jawa yang merengkuh pola pikir, sikap, perilaku, dan

orientasi hidup.

Arka (2010), dalam penelitiannya berjudul “Maintaining Vera in Rongga

and Struggle Over Culture, Tradition and Language in Modern Manggarai-

Indonesia”. membahas definisi, jenis, keberadaan vera dan tantangannya dalam

konteks modern. Dalam penelitian itu dipaparkan bahwa vera dalam konteks

modern dinyatakan kehilangan daya tarik dari generasi muda, dan vera merupakan

ritual yang terancam punah. Lebih jauh dijelaskan bahwa perlu adanya

dokumentasi bahasa dan budaya dalam konteks modern, serta kompleksitas

tantangan dan prospeknya dalam mempertahankan vera dalam pemeliharaan

bahasa dan revitalisai yang lebih luas.

Robertus Se dkk (2011), dengan hasil penelitian berjudul “Karakteristik

Sistem Ekonomi dalam Realitas Sosial Guyub Budaya Rongga”, mengkaji

tentang sistem ekonomi budaya Rongga. Temuan yang lengkap telah dipaparkan

bahwa sistem eknonomi dalam guyub budaya Rongga berkaitan dengan sistem

pertanian, sistem peternakan, dan sistem perdagangan, yang hidup dan

berkembang dalam realitas sosial guyub budaya Rongga pada masa silam.

Terdapat pula beberapa pustaka lain yang tidak berkaitan dengan masalah

bahasa dan kebudayaan Rongga yang digunakan sebagai sumber rujukan dalam

melakukan penelitian ini. Penelitian-penelitian yang dimaksud antara lain sebagai

berikut.

Yapi Taum (1999), dengan penelitian berujudl “Kajian Paralelisme dalam

Tradisi Masyarakat Flores Timur (dalam Sastra Lisan)”, memaparkan tentang

fenomena paralelisme dalam sastra lisan masyarakat Flores Timur yang

diciptakan untuk memberikan efek estetis, tetapi juga mengemban fungsi sebagai

media pewarisan sistem nilai dalam masyarakat yang berlangsung secara turun-

temurun. Sastra lisan tidak hanya diciptakan, tetapi juga membentuk kebudayaan

lisan. Beberapa fakta yang ditemukan adalah, (a) sastra lisan Flores Timur

xvi

Page 17: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

17

masih hidup dan memiliki dinamika tersendiri, namun sudah mulai ada gejala

tergusur; (b) ungkapan pasangan paralelisme sastra dalam tradisi masyarakat

Flores Timur merupakan bahasa ritual yang dalam dirinya mengandung hubungan

internal dalam kesatuan semantis; dan (c) pengulangan semantis tidak seluruhnya

menunjukkan mentalitas “suka mengulang”, tetapi pengulangan itu memiliki

kaitan dengan licensia poetika yang di dalamnya terkandung gambaran tentang

sistem nilai masyarakat.

Fox (1986) dalam penelitiannya berjudul “Kajian Sastra dan Sejarah

(kumpulan karangan) tentang masyarakat Pulau Rote”, memaparkan tentang

sastra dan sejarah masyarakat Rote, dengan menggunakan teori paralelisme

semantik yang dikembangkan oleh Roman Jakobson. Temuannya menunjukkan

bahwa (a) bahasa ritual Roti berbentuk puisi lisan dan bercirikan penyepasangan

wajib pada semua unsur semantik dengan penataan bahasa yang bersifat formal

mengikuti aturan-aturan dan paralelistik; (b) penggunaan unsur-unsur semantik

yang terdiri atas perangkat diad yang sudah baku dan bersifat tetap menghasilkan

suatu komposisi berupa lirik-lirik puisi paralel; dan (c) kemungkinan

pengembangan stilistik dalam teks wacana tersebut cukup banyak walaupun

ditampilkan dengan struktur yang tampak sederhana dalam tataran permukaan.

Marsel Robot dkk. (1996) dengan penelitian berjudul “Tola Kaba Sastra

Lisan Manggarai dengan Lokasi di Manggarai Timur”, menelaah hubungan

bahasa dengan kebudayaan Manggarai berdasarkan fenomena kebahasaan yang

digunakan dalam upacara tola kaba atau tudak kaba dilihat dari dimensi

kesastraan. Lingkup kajiannya menyangkut bentuk tekstual dan kontekstual

wacana budaya tola kaba dalam ritus kelas mese, seser tompok, dan randang uma.

Badrun (2002) dalam penelitiannya berjudul “Patu Mbojo: Struktur,

Konteks Pertunjukan, Proses Penciptaan dan Fungsi”, menggunakan teori yang

bersifat eklektik dengan lebih berorientasi pada teori Lord menyangkut formula

dan tema sebagai acuannya. Salah satu gagasan menarik yang diungkap bahwa

teori Lord tentang formula dan tema tidak berlaku sepenuhnya pada patu karena

patu adalah sejenis sastra lisan yang cukup fleksibel sehingga dapat disajikan

pada peristiwa apa saja.

xvii

Page 18: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

18

Tuloli (1991) dalam penelitiannya berjudul “Tanggomo Sastra Lisan di

Gorontalo” yang menelaah struktur, variasi, nilai, dan fungsi Tanggomo dengan

menggunakan penedekatan formula dan sosiologi sastra yaitu analisis teks sastra

tanpa mengabaikan konteksnya. Dalam penelitiannya dipaparkan bahwa

Tanggomo adalah ragam sastra lisan yang mempunyai sistem yang teratur yang

diciptakan berdasarkan peristiwa nyata, oleh masayarakat yang di dalamnya

terdapat pengulangan pola formula memiliki kesamaan dengan konsep Lord

(1976). Sistem formula ini tidak dihubungkan dengan matra tetapi dengan irama.

Selain itu dipaparkannya pula bahwa tanggomo memiliki fungsi untuk

menyimpan, meneruskan, dan memberikan informasi tentang peristiwa masa lalu.

Hutomo (1987), dalam penelitiannya berjudul “Cerita Kentrung

Sarahwulan di Tuban”, mengungkapkan kegunaan dan fungsi cerita rakyat

Kentrung. Dalam penelitian itu bahwa kegunaan ceritra rakyat itu dihubungkan

dengan pendidikan, yaitu pesan nilai budaya yang terdapat pada cerita itu yang

ditujukan kepada pendengar. Penelitian tersebut ini menggunakan teori folklor

humanistis atau folklor berlatar belakang sastra serta didukung konsep dan

peralatan folklor.

2.2 Konsep

Konsep-konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini adalah tradisi

lisan dan sastra lisan, ritual, vera, wacana, teks, dan konteks, dan pewarisan.

Semua konsep tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

2.2.1 Tradisi lisan dan Sastra Lisan

Tradisi lisan diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan meliputi

yang lisan dan yang beraksara (Pudentia, 1988:vii). Menurut Danandjaja (1986:2),

tradisi merupakan sebagian dari kebudayaan suatu kolektif macam apa saja, secara

kolektif tradisional tampil dalam versi berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun

contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat

(mnemonic device). Sementara itu, sastra lisan adalah jenis kesusastraan yang

mengungkap ekspresi kesusastraan dalam suatu kebudayaan yang disebarkan

secara lisan, baik dalam bentuk suatu pertunjukan seni maupun di luarnya

xviii

Page 19: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

19

Hutomo (1991:1-3). Dalam konteks tertentu, istilah sastra lisan disebut sastra

rakyat (folk literature) yang biasanya tampil dalam bentuk ungkapan tradisional,

puisi, prosa, dan nyanyian.

2.2.2 Ritual

Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan

dengan beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan adanya sifat

khusus yang menimbulkan rasa hormat dengan yang luhur karena dalam ritual

manusia diajak dan diarak masuk ke dalam suatu situasi pengalaman yang suci

(Hadi,1999/2000: 29-30).

2.2.3 Vera

Vera adalah tarian ritual tradisional etnik Rongga yang disertai dengan

nyanyian yang berkaitan dengan pertanian dan kehidupan manusia. Vera adalah

sebuah pertunjukan tradisional yang dibawakan oleh penari dewasa, baik laki-laki

maupun perempuan, dalam bentuk dua baris dengan seorang pemimpin tarian

yang disebut noa lako yang dipertunjukan pada malam hari dan berakhir pada

pagi hari menjelang matahari terbit ( Arka, 2010:93).

2.2.4 Wacana, Teks, dan Konteks

Wacana sebagai suatu bentuk praktik sosial pada kenyataannya dapat

berupa ujaran, respons atau aksi dari masyarakat terhadap lingkungan sosialnya

Fairclough (1997:63). Menurut Osch (1988:8), wacana merupakan seperangkat

makna yang menghubungkan struktur bahasa dengan konteks yang melatarainya,

yang dirajut penutur dan pendengar dalam proses memproduksi dan menafsirkan

makna.

Teks merupakan produk dalam arti teks merupakan keluaran, sesuatu yang

sudah direkam dan dipelajari karena mempunyai susunan tertentu yang dapat

diungkapkan dengan istilah yang sistematis (Halliday dan Hasan, 1994:13-14).

Teks merupakan tenunan atau rajutan makna dalam satu kesatuan wacana yang

utuh dengan memanfaatkan unit mulai dari bunyi sampai dengan satuan yang

lebih besar daripada kalimat (Djawanai,1995:64). Sementara itu, konteks adalah

keseluruhan lingkungan tempat teks terbentang dan dapat ditafsirkan (Halliday

dan Hasan 1994:6).

xix

Page 20: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

20

2.2.5 Pewarisan

Pewarisan adalah proses pemindahan hak dari seseorang kepada orang lain.

Dalam pengertian secara umum pewarisan adalah pemindahan hak dari orang tua

kepada anaknya atau keluarganya (Jendra, 2002:19). Di pihak lain, Agussalim

(2006:155) mengatakan bahwa pewarisan merupakan suatu proses untuk

memberikan pengetahuan berupa ilmu, keterampilan, sikap dan perilaku, serta

harta pustaka dari pemilik kepada penerima waris.

2.3 Landasan Teori

Terkait dengan karakter fokus masalah yang ditelaah, penelitian ini

menerapkan beberapa teori sebagai pedoman dan panduan, yakni teori formula,

teori fungsi, teori semiotik, dan teori perubahan kebudayaan. Analisis struktur

wacana tradisi lisan Vera dikaji dari beberapa unsur yang membentuknya.

Permasalahan dalam penelitian ini dikaji dengan menggunakan teori formula

Lord. Untuk mengetahui kegunaan wacana tradisi lisan Vera dalam konteks

kehidupan etnik Rongga digunakan teori fungsi yang dikemukakan oleh Merton

dalam mengkaji fungsi manifes serta teori Bascom dan Dundes dalam mengkaji

fungsi laten. Untuk menganalisis makna tanda dalam wacana tradisi lisan Vera,

digunakan teori semiotik yang dikembangkan oleh Eco. Analisis mekanisme

pewarisan wacana tradisi lisan Vera berpedoman pada teori perubahan

kebudayaan yang dikemukakan oleh Geertz dan Bourdieu.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif analitik dengan

menggunakan ancangan fenomenologis sebagai landasan filosofisnya. Lokasi

penelitian adalah wilayah Rongga yang tersebar di dua kelurahan, yakni

KelurahanTanarata, dan Kelurahan Watu Nggene dan di dua desa yakni, Desa

Bamo dan Desa Komba. Namun, yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah

Kelurahan Tanarata tepatnya kampung Sambi. Sumber data adalah peristiwa

tradisi vera yang dipraktikkan oleh etnik Rongga. Data tersebut berupa rekaman

video, audio visual dan data lisan, hasil wawancara dari informan kunci dan

xx

Page 21: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

21

informan pembanding. Pengumpulan data dilakukan dengan metode pengamatan,

wawancara, diskusi kelompok terarah, dan studi dokumentasi.

Data dianalisis secara kualitatif-analitik dengan cakupan data utama yang

meliputi wacana Vera dan hubungan kontekstual dengan kebudayaan Rongga

secara keseluruhan sebagai lingkungan nonverbal yang mendasari pemberian

makna terhadap wacana tradisi lisan Vera. Data dianalisis secara induktif, dimulai

dengan menelaah seluruh data dari berbagai sumber, dan hasil analisis disajikan

secara formal dan non formal.

4. Hasil Penelitian

4.1 Struktur Teks Wacana Vera Haimelo Mbuku Sa’o Mbasa wini

4.1.1 Struktur Formal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur formal teks WVHMM terdiri

atas struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Berdasarkan hubungan

topik dari berbagai komponen pesannya, struktur makro atau tema sentral teks

WVHMM adalah doa kepada Tuhan, roh leluhur, dan roh alam agar mereka

(etnik Rongga) diberikan kesejahteraan hidup pada musim tanam yang akan

datang. Doa permohonan ini disertai dengan penyembelihan ayam merah sebagai

sarana persembahan kepada leluhur.

Superstruktur atau Skema teks WVHMM terbentuk dari tiga bagian, yakni

pendahuluan, isi, dan penutup. Bagian pendahuluan berupa ritual ti’i ka, yakni

ritual pemberian makanan kepada roh leluhur (embu nusi). Bagian isi juga terdiri

atas tiga bagian, yakni pendahuluan, isi, dan penutup. Bagian pendahuluan adalah

tora loka, yakni acara pembersihan arena tempat upacara vera dengan tujuan

untuk memohon kepada Tuhan agar tempat berlangsungnya pertunjukan vera

bebas dari berbagai ganggguan. Bagian inti adalah upacara vera berupa

pertunjukan tarian dan nyanyian yang dibawakan oleh kelompok penari dewasa

yang terdiri atas woghu ‘penari laki-laki’ dan daghe ‘penari perempuan’ dan

pemimpin tarian disebut noa lako. Sambil menari mereka mendendangkan syair-

syair lagu vera, dengan esensi pesannya yang mengandung nilai sejarah dan

filosofis sebagai penuntun moral dan pedoman etika bagi etnik Rongga dalam

xxi

Page 22: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

22

menata pola perilaku hidup mereka sehari-hari. Bagian akhir (tangi jo) adalah

tanda berakhirnya pertunjukan vera, yang ditandai dengan pelemparan selendang

oleh seorang daghe. Bagian penutup adalah tetendere. Tetendere yakni upacara

tabuh gendang berirama yang dilaksanakan oleh woghu dan daghe sebagai

rangkaian kegiatan upacara vera mbuku sa’o mbasa wini sudah berakhir.

Sesuai dengan kenyataan bentuk tekstual yang tampak secara fisik,

kekhasan karakteristik struktur mikro teks WVHMM sebagai sebuah wacana

bergaya sastra secara formal tercermin dalam (1) aspek kebahasaan yang

mencakupi: satuan bunyi, kata, frasa, klausa atau kalimat, hubungan baris secara

sintaksis; dan kohesi wacana (2) sistem formula, dan (3) gaya bahasa.

Secara umum, satuan bunyi dalam bahasa Rongga terdiri atas enam fonem

vokal dan dua puluh lima fonem konsonan. Satuan bunyi yang terdapat pada teks

WVHMM selain terdiri atas fonem segmental juga terdiri atas fonem

suprasegmental. Fonem tersebut tidak berbeda dengan fonem yang digunakan

dalam kehidupan sehari-hari etnik Rongga. Fonem suprasegmental ditandai oleh

intonasi atau modulasi. Fitur suprasegmental yang paling menonjol adalah

penggunaan intonasi lembut. Kedua aspek bunyi tersebut memiliki peran sangat

penting untuk membangun daya estetis teks WVHMM melalui permainan bunyi

dengan memanfaatkan fitur paralelisme sebagai penciri kaidah bahasa bergaya

sastra.

Realitas penggunaan kata sebagai penciri karakteristik teks WVHMM

ditandai dengan pola suku kata yang bervariasi antarbaris, antara 8 sampai 17

suku kata, dengan jumlah terbanyak adalah 12 suku kata. Jumlah kata yang

membentuk baris teks WVHMM bervariasi antara 4 sampai 8 kata tiap baris, dan

yang paling banyak ditemukan terdiri atas 6 kata dalam baris. Dilihat dari struktur

kata, semua kata yang membentuk baris dalam teks WVHMM berciri

monomorfemis atau hanya berbentuk kata dasar. Penggunaan kata yang berciri

monomorfemis terkait dengan tipologi bahasa Rongga yang tidak memiliki afiks

seperti halnya bahasa Indonesia. Semua kata dalam teks WVHMM dapat

diklasifikasi atas lima kategori, yakni nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan kata

tugas berupa preposisi, konjungsi, dan partikel. Kelas kata yang dominan adalah

xxii

Page 23: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

23

nomina karena esensi isi pesan utama teks WVHMM berkaitan dengan dunia

kebendaan. Sebagai wacana bergaya sastra, teks WVHMM menggunakan kata-

kata arkais yang tidak mudah dimengerti sehingga membutuhkan keterampilan

lingual yang tinggi untuk mengerti dan menggunakannya. Kata-kata arkais yang

ditemukan sebanyak 36 kata dari 1.896 jumlah kata yang digunakan. Meskipun

berkaitan dengan konteks pertanian, tidak banyak ditemukan kata yang

berhubungan dengan pertanian, kecuali kata-kata yang bermakna filosofis dengan

inti ajarannya berisi nilai-nilai luhur. Dalam baris-baris teks WVHMM, formula

awal ditemukan lebih banyak diawali nomina yang diikuti verba, adjektiva,

adverbia, partikel dan konjungsi, seperti terlihat pada data, lako kolo rongo ndau,

lau wena watu ‘anjing menggongong kambing itu di selatan bawah batu’.

Nomina yang digunakan pada formula awal juga dapat dalam bentuk kata atau

frasa.

Frasa yang membentuk teks WVHMM meliputi frasa nominal (FN), frasa

verbal (FV), frasa adjektival (Fadj), frasa adverbial (F-adv), dan frasa

preposisional (Fprep). Seperti halnya dalam tataran kata dari semua jenis frasa

tersebut, frasa nominal paling banyak digunakan karena esensi isi pesannya

berkaitan dengan dunia kebendaan.

Secara sintaktis, klausa/kalimat dalam teks WVHMM memiliki pola yang

dapat berfungsi sebagai pembentuk kalimat majemuk. Pola-pola klausa yang

ditemukan adalah Subjek-Predikat (S-P) dan Subjek-Predikat-Objek (S-P-O)

dengan berbagai variasinya. Dari pola itu, pola klausa yang paling banyak adalah

pola S-P. Berdasarkan struktur kalimatnya, kalimat yang terdapat dalam teks

WVHMM terdiri atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk, namun kalimat

tunggal lebih banyak. Lebih banyaknya kalimat tunggal terutama berkaitan

dengan struktur puitis yang paralel dalam satuan baris dan bait, di samping

bermaksud menjaga keseimbangan dalam pengaturan nafas sesuai dengan irama

syair lagu dan gerakan tarian. Penggunaan kalimat pendek berkaitan dengan ciri

kelisanan sebagai perangkat pengingat (mnemonic devices).

Baris-baris yang membentuk satuan bait dalam teks WVHMM memiliki

hubungan antarbaris berupa hubungan sintaktis berdasarkan susunan kata,

xxiii

Page 24: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

24

hubungan sintaktis berdasarkan struktur yang sama, dan hubungan berdasarkan

struktur yang sama dengan posisi berselang-seling. Terdapat hubungan sebab-

akibat berdasarkan konstruksi sintaktis yang membentuk hubungan antarfrasa dan

hubungan antarklausa yang menyiratkan adanya hubungan sebab-akibat dan

berfungsi mempertegas makna.

Wacana sebagai bentuk pemakaian bahasa dalam komunikasi, baik lisan

maupun tertulis didukung oleh berbagai unsur sebagai satu kesatuan yang utuh

dan padu seperti halnya dalam teks WVHMM. Kepaduan teks WVHMM

didukung oleh kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal yang

terdapat dalam teks WVHMM mencakupi (1) pengacuan (referensi) yang

diklasifikasikan menjadi dua yakni pengacuan persona dan pengacuan

demonstratif; dan (2) perangkaian (konjungsi). Kohesi leksikal mencakupi repetisi

(perulangan), sinonim dan antonim.

Sistem formula yang membentuk teks WVHMM adalah formula kata dan

formula frasa atau setengah baris. Dalam sistem formula ditemukan kekhasan

formula yang unsur-unsur pembentuknya tidak teratur, seperti penggunaan kata-

kata dan frasa yang sama, jika diulang posisinya berselang-seling atau tidak pada

matra yang sama. Temuan yang berbeda dengan Lord yang mengatakan bahwa

formula adalah kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra

yang sama untuk mengungkapkan ide pokok tertentu formula bisa berbentuk

frasa, klausa, dan baris. Dari 163 jumlah bait yang membentuk teks WVHMM,

hanya 60 bait mengandung pola formula yang terdiri atas formula kata dan

formula frasa atau formula setengah baris.

Gaya bahasa dalam teks WVHMM tampil dalam baris dan bait. Gaya

bahasa paralelisme sebagai penciri bahasa bercorak puitis terdiri atas paralelisme

fonologis yang berupa asonansi, aliterasi, rima, bentuk gramatikal, dan

paralelisme leksikosemantik antara butir-butir leksikal yang bersinonim,

berantonim, dan bersintesis. Gaya bahasa kias yang digunakan dalam WVHMM

terdiri atas persamaan atau smile, metafora, personifikasi, dan sindiran.

Penggunaan gaya bahasa dalam teks WVHMM terbanyak adalah metafora.

Banyaknya penggunaan gaya bahasa metafora berkaitan dengan fenomena alam

xxiv

Page 25: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

25

seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, binatang, dan benda-benda lainnya

sebagai acuan dan perbandingan etnik Rongga dalam berkomunikasi.

4.1.2 Struktur Naratif

Struktur naratif teks WVHMM dapat dilihat dari segi suasana hati (mood).

Unsur tersebut merupakan unsur dominan dalam teks WVHMM yang meliputi

suasana hati tuturan dan suasana hati perspektif. Suasana hati tuturan dalam teks

WVHMM ada empat, yakni (1) suasana hati khusuk yang berkaitan dengan

yang transendental; (2) suasana hati cemas yang berkaitan dengan berbagai

gangguan yang mengganggu kelancaran upacara; (3) suasana hati gembira yang

berkaitan dengan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan roh leluhur terhadap

kehidupan etnik Rongga sebagai manusia dan anggota masyarakat; dan (4)

suasana hati kebahagiaan karena sudah dapat melaksanakan upacara dengan

lancar.

Suasana hati perspektif merupakan sudut pandang narator atau penutur

sendiri, dan sudut pandang narator sebagai tokoh di dalam peristiwa atau tuturan.

Suasana perspektif dalam teks WVHMM dapat dilihat dari (1) penutur sebagai

tokoh dalam tuturan yang dimarkahi oleh pronomina pertama jamak kami dan (2)

penutur tidak sebagai tokoh dalam tuturan yang dimarkahi oleh penggunaan

pronomina kedua tunggal, kau.

4.2 Fungsi WVHMM

Teks WVHMM sebagai sebuah tradisi ritual milik sosial-kolektif etnik

Rongga menyimpan berbagai informasi yang berfungsi sebagai pedoman dalam

menata pola hidup dan kehidupanya. Fungsi tersebut meliputi fungsi manifes dan

fungsi laten. Secara tekstual, aspek bahasa yang tampak secara fisik berkaitan

dengan fungsi manifes yang banyak bersentuhan dengan fungsi referensial,

emotif, konatif, dan puitik. Fungsi puitik paling dominan, yakni sebanyak 115 bait

dari 163 jumlah bait karena terkait dengan komunikasi vertikal-transendental

dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Sebagai bagian ritual, WVHMM

mengemban fungsi magis-religius yang dikemas dalam satu kesatuan dengan daya

estetis bahasa yang digunakan. Berdasarkan konteks yang melatarinya, fungsi

xxv

Page 26: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

26

laten WVHMM adalah sebagai pranata religius, sistem pengetahuan, pemersatu,

sarana kontrol/kritik sosial/himbauan, sarana pendidikan, pengesahan

kebudayaan, sarana ekonomis, dan sarana hiburan.

4.3 Makna WVHMM

Berdasarkan fungsi Teks WVHMM dalam tautannya dengan konteks

sosial budaya tenik Rongga WVHMM mengemban makna filosofis. Makna

filosofis yang dimaksud meliputi makna religius, sosiologis, historis, politis,

estetis, dan didaktis. Makna religius bergayut dengan kepercayaan etnik Rongga

tentang eksistensi Tuhan, roh leluhur, dan roh alam sebagai kekuatan moral dan

spiritual utama yang sangat menentukan keberadaan dan kebertahanan hidup

mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Tuhan dipahami sebagai Wujud

Tertinggi, Penguasa Alam Semesta, Pengasih dan Penyayang. Roh leluhur

dipahami sebagai perantara doa dan permohonan kepada Tuhan. Roh alam yang

dipahami sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang bertugas menunggu dan menjaga

lingkungan agar tetap lestari. Makna sosial bertalian dengan kesucian sosial etnik

Rongga demi penciptaan dan pemertahanan keselarasan hubungan sosial

kemasyarakatan. Makna historis berkaitan dengan ikatan batin yang kuat sebagai

warga masayarakat Rongga yang berasal dari satu keturunan. Fungsi WVHMM

adalah sebagai pengikat dan perajut rasa kebersamaan dalam ikatan komunitas

etnik atau sub etnik Rongga. Makna ekonomis bertalian dengan sistem ekonomi

dan mata pencaharian hidup yang digeluti etnik Rongga, yakni sistem pertanian

dan sistem peternakan. Makna politis berkaitan dengan kekuasaan yang

berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap tatanan kehidupan etnik

Rongga. Makna estetis tercermin dalam pilihan kata-kata dan cara pengungkapan

melalui penggunaan paralelisme fonologis. Secara dasariah, WVHMM

mengemban makna didaktis karena di dalamnya terkandung seperangkat norma

dan nilai pendidikan dan pengajaran tentang pengetahuan keagamaan,

kemasyarakatan, hukum, adat, politik ekonomi, dan kesenian.

xxvi

Page 27: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

27

4.4 Mekanisme Pewarisan WVHMM

Sebagai salah satu produk dan praktek budaya Rongga WVHMM dapat

memperkuat dan meneruskan nilai tradisi warisan leluhur etnik Rongga.

Mekanisme pewarisan teks WVHMM berlangsung secara alamiah yang ditandai

dengan pementasan vera karena tuntutan ritual melalui mekanisme unjuk libat tari

tari dalam kegiatan vera. Mekanisme pewarisan non-alamiah melalui pelatihan

yang bersifat tradisional, sporadis, dan temporal berdasarkan kebutuhan tertentu.

4.5 Temuan Penelitian

Penelitian ini menyajikan temuan-temuan yang dilandasi dengan teori

yang dipakai sebagai kerangka acuan. Secara teoretis, penelitian ini memadukan

wilayah kajian sastra lisan dan ekspresi linguistik. Di samping membedah aspek

kesastraan penelitian ini juga membedah dan mengelaborasi elemen-elemen

linguistik struktur teks. Kajian ini dapat dikatakan kajian inovatif karena

sepanjang pengetahuan peneliti penelitian sastra lisan dengan tetap menggunakan

teori sastra, tetapi juga memanfaatkan kemajuan teori linguistik secara teritegrasi

dan ekplisit belum ditemukan.

Terkait dengan dimensi kebaruan dalam temuannya, kajian ini berpilar pada

analisis struktur teks WVHMM dengan menggunakan paradigma analisis wacana

kritis sesuai dengan paradigma yang dikembangkan oleh van Dijk. Secara

dasariah, penerapan paradigma ini bertujuan untuk membongkar aspek-aspek

pembentuk struktur internal teks WVHMM sebagai satu kesatuan yang utuh.

Aspek-aspek yang dimaksud berkaitan dengan daya lingual dan daya sastra

sebagai perajut teks WVHMM. Dengan melihat sinergisitas berbagai unsur yang

membingkai teks WVHMM dapat disingkap secara komprehensif berbagai

informasi budaya etnik Rongga yang tersembunyi di balik ungkapan-ungkapan

yang digunakan dalam teks WVHMM.

Dalam penerapan teori terdapat ketidaksesuaian dengan teori Lord, yakni

formula dan tema. Teks WVHMM yang dituturkan secara lisan tidak hanya

didasarkan pada kaidah formula, tetapi lebih cenderung menggunakan fitur

paralelisme, sebagai ciri khas bahasa ritual di kawasan Indonesia Timur, seperti

xxvii

Page 28: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

28

yang diungkap oleh Fox (1974). Fitur paralelisme ini memegang peranan penting

dalam merajut struktur teks WVHMM untuk menciptakan makna estetis sebagai

ciri yang paling menonjol. Meskipun teori Lord tidak sepenuhnya berlaku dalam

teks WVHMM, teori itu telah memberikan sumbangan pemikiran dalam

penelitian tardisi lisan.

Sisi kebaruan dalam kajian fungsi mengacu pada pendapat Merton dengan

memilah fungsi teks WVHMM atas fungsi manifes dan fungsi laten.

Sepengetahuan peneliti kajian fungsi yang dilakukan oleh penelitian yang setipe

dengan penelitian ini hanya pada kajian fungsi laten. Fungsi manifes yang

identik dengan fungsi tekstual bergayut dengan telaah bahasa pada tataran mukaan

sesuai yang dikemukkakn oleh Jakobson. Fungsi laten yang identik dengan fungsi

kontekstual beraras pada fungsi tradisi lisan sebagaimana yg tersirat dalam

pandangan Bascom dan Dundes. Oleh karena itu, kajian fungsi dalam penelitian

ini lebih komprehensif.

Dimensi kebaruan dalam aspek metodologis dalam penelitian ini ditandai

dengan penggunaan pendekatan etnografis dialogis dalam persfektif emik.

Artinya, analisis fungsi dan makna teks WVHMM bersumber pada sudut pandang

etnik Rongga sebagai pemilik dan penghayat teks WVHMM. Selain itu,

pemahaman dari sudut pandang emik (native’s point of view) akan memperkaya

wawasan peneliti tentang keberadaan tradisi lisan atau sastra lisan yang diteliti.

Secara emperik, dalam teks WVHMM ditemukan fenomena menarik

sebagai kekhasan produk budaya etnik Rongga. Dalam penelitian ini ditemukan

bahwa secara dasariah konteks penuturan teks WVHMM berkenaan dengan

pertanian, tetapi tidak banyak kosakata yang berkaitan dengan kosakata pertanian.

Kosakata yg banyak digunakan dalam teks WVHMM adalah jagung (jawa) dan

padi (pare) karena selain sebagai makanan pokok etnik Rongga, kedua tanaman

tersebut adalah jenis tanaman yang diwariskan dari leluhurnya secara turun

temurun. Selain itu, ditemukan juga kosakata babi (wawi) dan ayam (manu)

karena keduanya banyak digunakan sebagi sarana persembahan utama dalam

berbagai ritual, dan bersentuhan langsung dengan kebutuhan hidup sehari-hari

etnik Rongga.

xxviii

Page 29: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

29

DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL ................................................................................... i PRASYARAT GELAR ............................................................................... iii LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................... iv PENETAPAN PANITIA UJIAN ................................................................. v SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .............................................. vi UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... vii ABSTRAK ................................................................................................... xi ABSTRACT ................................................................................................ xii RINGKASAN .............................................................................................. xiii DAFTAR ISI ............................................................................................... xxviii DAFTAR BAGAN ...................................................................................... xxxiv DAFTAR TABEL ........................................................................................ xxxv DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xxxvi

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 11

1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 12

1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 13

1.4.1 Manfaat Teoritis .................................................................................. 13

1.4.2 Manfaat Praktis ...................................................................................... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DASAR, LANDASAN

TEORI, DAN MODEL PENELITIAN ...................................... 16

2.1 Kajian Pustaka........................................................................................ 16

2.2 Konsep ................................................................................................... 24

2.2.1 Tradisi Lisan dan Sastra Lisan ... .......................................................... 24

2.2.2 Ritual ............... ................................................................................... 26

2.2.3 Vera ..................................................................................................... 27

2.2.4 Wacana, Teks, dan Konteks.......... ........................................................ 28

2.2.5 Pewarisan ................... ......................................................................... 31

2.3 Landasan Teori ..................................................................................... 32

2.3.1 Teori Formula ..................................................................................... 33

2.3.2 Teori Fungsi ..................................................................................... 35

2.3.3 Teori Semiotik ..................................................................................... 37

xxix

Page 30: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

30

2.3.4 Teori Perubahan Kebudayaan .............................................................. 39

2.4 Model Penelitian .................................................................................... 41

BAB III METODE PENELITIAN .......................................................... 43

3.1 Rancangan Penelitian ............................................................................. 43

3.2 Lokasi Penelitian .................................................................................... 44

3.3 Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 46

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data .................................................... 48

3.5 Proses Analisis Data..... ........................................................................... 53

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ............................................................ 56

3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Penelitian ........................................ 57

BAB IV KARAKTERISTIK TRADISI LISAN VERA ........................... 59

4.1 Pengantar ......................................................................... ......................... 59

4.2 Pengertian Vera ..................................................................................... 59

4.3 Klasisfikasi Vera ..................................................................................... 61

4.3.1 Vera Sarajawa ..................................................................................... 61

4.3.2 Vera Haimelo ..................................................................................... 63

4.3.2.1 Vera Saju .... ..................................................................................... 64

4.3.2.2 Vera Dheke Ra’a ............................................................................... 65

4.3.2.3 Vera Dheke Sa’o ............................................................................... 66

4.3.2.4 Vera Gha’u Gha’a ............................................................................ 68

4.3.2.5 Vera Mbasa Wini ............................................................................... 69

4.4 Karakteristik Teks Vera ........................................................................... 71

4.4.1 Jenis Teks Wacana Vera ........................................................................ 71

4.4.2 Isi Teks Wacana Vera .......... ............................................................... 72

4.4.3 Amanat Teks Wacana Vera . ................................................................. 74

4.4.4 Konteks Teks Vera ... ........................................................................... 75

4.4.5 Latar ................ .................................................................................... 77

4.4.5.1 Latar Waktu ..................................................................................... 77

4.4.5.2 Latar Tempat .................................................................................... 77

xxx

Page 31: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

31

4.4.5.3 Pelibat………. ................................................................................... 78

4.4.6 Tujuan ........... ..................................................................................... 81

4.4.7 Urutan Tindakan ................................................................................. 82

4.5 Bahasa Vera ...... .................................................................................. 92

4.6 Perbandingan Teks Vera ......................................................................... 94

4.6.1 Persamaan Teks Vera ..... ...................................................................... 94

4.6.2 Perbedaan Teks Vera ........................................................................... 96

4.7 Rangkuman ............................................................................................. 98

BAB V STRUKTUR TEKS WACANA VERA HAIMELO MBUKU

SA’O MBASA WINI .. ................................................................. 99

5.1 Pengantar .......................................................................... ........................ 99

5.2 Struktur Formal ................................................................................ ......... 100

5.2.1 Struktur Makro ................................................................................... 100

5.2.2 Superstruktur ... .................................................................................. 103

5.2.2.1 Pendahuluan..... ................................................................................ 103

5.2.2.2 Isi ..................................................................................................... 104

5.2.2.3 Penutup ........ .................................................................................... 104

5.2.3 Struktur Mikro..................................................................................... 104

5.2.3.1 Aspek Kebahasaan : Satuan Bunyi, Kata, Frasa, Klausa/Kalimat,

Hubungan Baris Secara Sintaksis, dan Kohesi Wacana ...................... 105

1) Satuan Bunyi.......................................................................................... 105

2) Kata ....................................................................................................... 107

3) Frasa........................................................................................................ 120

4) Klausa/Kalimat ...................................................................................... 122

5) Hubungan Sintaksis dalam Baris ............................................................ 125

6) Kohesi Wacana ............................. .......................................................... 127

5.2.3.2 Sistem Formula ........ ........................................................................ 134

5.2.3.3 Gaya Bahasa ............... ..................................................................... 139

1) Gaya Bahasa Paralelisme ....................................................................... 139

a) Paralelisme Fonologis ............................................................................ 141

xxxi

Page 32: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

32

(1) Asonansi ................................................................................................ 141

(2) Aliterasi ................................................................................................. 143

(3) Rima ...................................................................................................... 144

b) Paralelisme Gramatikal ......................................................................... 145

c) Paralelisme Leksikosemantis .................................................................. 150

2) Gaya bahasa Kias..... ......................... ..................................................... 151

(1) Persamaan ......................................... ..................................................... 152

(2) Metafora ................................................................................................ 153

(3) Personifikasi .......................................................................................... 153

(4) Sindiran ................................................. ................................................. 154

5.3 Struktur Naratif ...................................................................................... 155

5.3.1 Suasana Hati Tuturan ............................................................................ 155

5.3.2 Suasana Hati Perspektif ........................................................................ 161

5.3.2.1 Penutur Sebagai Tokoh dalam Tuturan ........................................ ....... 162

5.3.2.2 Penutur Tidak Sebagai Tokoh dalam Tuturan ............................... ...... 163

5.4 Rangkuman ........................................ ...................................................... 163

BAB VI FUNGSI WACANA TRADSI LISAN VERA MBUKU SA’O

MBASA WINI .............................................................................. 166

6.1 Pengantar ............................................................................................... 166

6.2 Fungsi Manifes ....................................................................................... 166

6.2.1 Fungsi Referensial ................................................................................ 168

6.2.2 Fungsi Emotif ...................................................................................... 169

6.2.3 Fungsi Konatif ..................................................................................... 170

6.2.4 Fungsi Puitik ....................................................................................... 170

6.3 Fungsi Laten........................................................................................... 171

6.3.1 Fungsi Pranata Religius ....................................................................... 173

6.3.2 Fungsi proyeksi dan Refleksi Sistem Pengetahuan ............................... 176

6.3.3 Fungsi Sarana Pemersatu ................................................................... 177

6.3.4 Fungsi Sarana Kontrol dan Kritik Sosial .............................................. 179

6.3.5 Fungsi Sarana Pendidikan .................................................................. 180

xxxii

Page 33: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

33

6.3.6 Fungsi Sarana Pengesahan Kebudayaan .............................................. 182

6.3.7 Fungsi Sarana Pengesahan Sistem Ekonomi ........................................ 184

6.3.8 Fungsi Media Hiburan ....................................................................... 185

6.4 Rangkuman ............................................................................................. 186

BAB VII MAKNA WACANA TRADISI LISAN VERA HAIMELO

MBUKU SA’O MBASA WINI ..................................................... 188

7.1 Pengantar ................................................................................................ 188

7.2 Makna Religius........................ ................................................................ 189

7.2.1 Konseptualisasi Tentang Eksisntensi Tuhan .................................... ....... 190

7.2.2 Konseptualisasi Tentang Eksistensi Roh Leluhur .................................. 196

7.2.3 Konseptualisasi Tentang Eksistensi Roh Alam ...................................... 197

7.3 Makna Sosial ........................................................................................... 199

7.4 Makna Historis dan Identitas .................................................................. 201

7.5 Makna Ekonomis .................................................................................... 202

7.6 Makna Politis ......................................................................................... 202

7.7 Makna Estetis .......................................................................................... 205

7.8 Makna Didaktis. ...................................................................................... 207

7.9 Rangkuman ............................................................................................. 209

BAB VIII MEKANISME PEWARISAN WACANA VERA HAIMELO

MBUKU SA’O MBASA WINI ................................................... 211

8.1 Pengantar ................................................................................................ 211

8.2 Mekanisme Pewarisan Alamiah ............................................................... 215

8.3 Mekanisme Pewarisan Nonalamiah ......................................................... 220

8.4 Rangkuman ............................................................................................. 224

BAB X SIMPULAN, TEMUAN, DAN SARAN ......................................... 227

9.1 Simpulan ................................................................................................. 227

9.2 Temuan ................................................................................................... 224

9.3 Saran ....................................................................................................... 232

xxxiii

Page 34: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

34

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 235

LAMPIRAN ................................................................................................ 243

1) Glosarium .............................................................................................. 243

2) Data Acuan Analisis ............................................................................... 246

3) Asal-Usul Sejarah Vera .......................................................................... 265

4) Data Pendukung ..................................................................................... 268

5) Daftar Informal ...................................................................................... 276

xxxiv

Page 35: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

35

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 : Model Penelitian .................................................................. 42

Bagan 4.1 : Klasifikasi Vera ................................................................... 71

Bagan 5.1 : Struktur Teks WVHMM........................................................ 99

Bagan 7.1 : Cakupan Makna Wacana Tradisi Lisan Vera (WVHMM) .. 209

xxxv

Page 36: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

36

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Perbandingan Struktur Internal : Teks Vera Sarajawa dan Vera Haimelo .................................................................................... 95

Tabel 4.2 Korpus Data Terkumpul ............................................................. 97

Tabel 5.1 Jenis dan Frkuensi Penggunaan Intonasi ............... ..................... 107

Tabel 5.2 Jumlah dan Frekuensi Penggunaan Suku Kata dalam Baris. ....... 108

Tabel 5.3 Jumlah dan Frekuensi Penggunaan Kata dalam Baris ............... 110

Tabel 5.4 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kelas Kata ............................ 111

Tabel 5.5 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kelas Kata Berkategori Nomina .................................................................................... 114

Tabel 5.6 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kelas Kara Verba ................... 115

Tabel 5.7 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kata Arkais ........................... 117

Tabel 5.8 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Istilah Pertanian ..................... 118

Tabel 5.9 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kata sebagai Formula Awal ... 119

Tabel 5.10 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Frasa Berdasarkan Struktur Infrafrasal ................................................................................. 121

Tabel 5.11 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Pola Klausa ............................ .. 124

Tabel 5.12 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kalimat Berdasarkan Struktur Pembentuk ............................................................................... 125

Tabel 5.13 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kategori Formula. .................. 135

Tabel 5.14 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Formula Frase ........ ................ 136

Tabel 5.15 Jenis dan Frekuesni Penggunaan Fonem Vokal Beransonansi .... 142

Tabel 5.16 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Aliterasi pada Posisi Awal dan Tengah ...................................................................................... 144

Tabel 5.17 Posisi dan Frekuensi Penggunaan Rima .................................... 144

xxxvi

Page 37: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

37

Tabel 5.18 Jenis dan Frekuensi Ekuivalensi Kelas Kata Perangkat Diad ..... 146

Tabel 5.19 Jensis dan Frekuensi Penggunaan Modus Kalimat ................... 147

Tabel 5.20 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Paralelisme Leksikosemantis . 150

Tabel 5.21 Jenis dan Prekuensi Penggunaan Gaya Bahasa Kias ................. 152

Tabel 6.1 Jenis dan Frekuensi Fungsi Manifes ........................................ 167

Tabel 6.2 Fungsi Laten WVHMM ............................................................. 172

Tabel 7.1 Jenis dan Frekuensi Makna dalam Teks WVHMM ................... 188

Tabel 7.2 Jenis dan Frekuensi Makna Religius dalam Teks WVHMM ...... 190

xxxvii

Page 38: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

38

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1: Peta Rongga : Lokasi penelitian ............................................. 45

Gambar 4.1: Pemeriksaan hati ayam (ngilo ura manu) dalam konteks vera Mbuku sao’o mbasa wini ....................................................... 83

Gambar 4.2 : Formasi penari sebelum pertunjukan Vera ............................. 88

Gambar 4.3 : Alur gerakan kaki penari Vera .............................................. 89

Gambar 8.1 : Pertunjukan Vera Heimelo Mbuku Sa’o Mbasa Wini ............. 219

Gambar 8.2 : Pertunjukan Vera Haimelo Mbuku Sa’o Mbasa Wini .............. 219

Gambar 8.3 : Latihan Tarian dan Nyanyian Vera Haimelo oleh Anak-anak.. .................................................................................... 221

Gambar 8.4 : Latihan Tarian dan Nyanyian Vera oleh Orang Dewasa ......... 222 Gambar 8.5 : Pentas Tarian dan Nyanyian Vera oleh Anak-anak ................. 222

xxxviii

Page 39: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Etnik Rongga adalah salah satu etnik di wilayah Kecamatan Kota Komba,

Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).1 Penduduk

etnik Rongga diperkirakan berjumlah 8.000 jiwa (dari jumlah 11.957 penduduk

(Statistik Kecamatan Kota Komba 2011).2 Selain dilihat dari besaran

penduduknya, etnik Rongga diidentifikasi sebagai etnik minoritas. Etnik Rongga

tergolong sebagai etnik minoritas karena tidak memiliki daya dan peluang yang

sama dengan warga kelompok etnik Manggarai sebagai kelompok dominan dalam

mengakses dan menduduki posisi kekuasaan dalam struktur politik pemerintahan

di wilayah Manggarai (lihat Arka, 2013:75).3

Wilayah sebaran etnik Rongga meliputi beberapa kampung di Kelurahan

Tanarata, Kelurahan Watu Nggene, Desa Bamo, dan Desa Komba. Etnik Rongga

adalah satu kelompok etnik yang terdiri atas 22 suku (clan)4, termasuk suku Liti,

1 Etnik lain yang ada di wilayah Kecamatan Kota Komba yang hidup berdampingan dengan

etnik Rongga adalah etnik Waerana atau etnik Kolor. 2 Menurut Sumitri (2005) dan Arka (2007), fakta sejarah asal-usul etnik Rongga umumnya

bersumber pada vera. Menurut tuturan ritual vera, nama Rongga terkait dengan orang asli sebagai leluhur etnik Rongga, yakni pasanga suami-istri bernama Tete dan Re, yang tinggal di Wolo Rongga (gunung Rongga). Keturunannya tinggal dan menyebar ke daerah sekitarnya, dari Watu Lamba sampai ke Lia Mabha. Mereka diperkirakan hidup di gua-gua di sekitar batu besar, seperti terekam dalam ungkapan watu susu Rongga yang terdapat dalam teks wacana tradisi lisan vera.

3 Kelompok etnik Manggarai mendiami sebagian besar wilayah pulau Flores bagian barat dengan batas utara Laut Flores, batas selatan Laut Sawu, batas timur Wae Mokel, dan batas barat Selat Sape.

4 Penggunaan istilah suku dalam bahasa Rongga yang mempunyai pengertian lebih sempit daripada dalam bahasa Indonesia. Istilah suku dalam bahasa Rongga mempunyai pengertian kelompok komunitas yang memiliki kesamaan sejarah keturunan dalam bentuk kesamaan

Page 40: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

2

Motu, Laja, Lowa, Nggeli, Sawu, Raghi, Sera, Sui, Wio, Naru, Nggenga, Nggejo,

Tanda, Roka, Ramba, Ria, Kewi, Pau, Poso, Langgo, dan Wake.5 Dilihat dari

besaran jumlah penduduknya, dua suku terbesar adalah suku Motu dan Lowa

(Sumitri, 2005:36; Arka, 2007:4; Sumitri dan Arka, 2013:733).6 Peran suku dalam

kehidupan etnik Rongga pada masa sekarang lebih banyak berkaitan dengan

urusan ritual adat warisan leluhur. Hal ini disebabkan oleh pola kepemimpinan

yang diterapkan sudah mengikuti pola kepemimpinan birokrasi modern yang

berlaku umum di Indonesia melalui sistem pemerintahan desa dan kelurahan.7

Seperti halnya etnik-etnik yang lain, etnik Rongga memiliki kebudayaan

sendiri dengan corak khas dalam dimensi wujud dan isi. Kekhasan corak

kebudayaan etnik Rongga dalam dimensi isi tercermin dalam bahasa Rongga,

yang dalam konteks tertentu, bahasa Rongga sering pula disebut dengan istilah

identitas, termasuk kesamaan bahasa, rumah gendang (adat), dan tradisi vera. Meskipun terdiri atas 22 suku (clan), etnik Rongga merupakan kesatuan masyarakat yang terikat secara geneologis dalam sistem kekerabatan patrilineal dengan konfigurasi sistem pewarisan harta dan tanggungjawab sosial dirunut menurut garis keturunan laki-laki (Bustan, 2013). Pengertian istilah suku dalam bahasa Rongga berpadanan makna dengan istilah ‘wa’u’ dalam bahasa Manggarai yang menunjuk pada klen patrilineal-genealogis.

5 Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu dan Bapak Thomas Ola di Paundoa, Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba, pada tanggal 29 Oktober 2012. Hasil wawancara dengan Bapak Markus Bana pada tanggal 1 November 2012 di Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur.

6 Berapa besaran populasi setiap suku masih merupakan sebuah pertanyaan karena belum ada data hasil penelitian yang dapat mencerahkan. Dalam Arka dkk. (2007:4), tidak disebut secara rinci nama 22 suku yang termasuk dalam etnik Rongga. Setiap suku mempunyai rumah adat (dilengkapi dengan gong, gendang, dan barang pusaka lain seperti emas yang biasa diupacarai di rumah adat (sa’o). Kebanyakan warga etnik Rongga tinggal di rumah biasa yang disebut mbo. Masing-masing suku memiliki sejarahnya sendiri yang terekam dalam ritual vera, meskipun tidak semua suku atau klan mengetahui sejarah sukunya sendiri.

7 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu dan Bapak Thomas Ola di Paundoa, Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba, pada tanggal 29 Oktober 2012, serta hasil wawancara dengan Bapak Markus Bana pada tanggal 1 November 2012 di Borong, Ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, penerapan sistem pemerintahan birokrasi menyebabkan terjadinya penyusutan peran fungsionaris adat dalam realitas kehidupan etnik Rongga.

Page 41: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

3

bahasa Mbiwa.8 Kata mbiwa merupakan salah satu pemarkah sangkalan dalam

bahasa Rongga yang berarti ‘tidak’ atau ‘bukan’ (Verheijen, 1991; Se dkk, 2011;

Arka 2007:1; Bustan, 2013). Selain tercemin dalam bahasa Rongga, kekhasan

corak kebudayaan etnik Rongga dapat dilihat dalam berbagai tradisi ritual warisan

leluhurnya.9

Salah satu tradisi ritual warisan leluhur yang hidup dan berkembang dalam

realitas sosial budaya etnik Rongga adalah vera10, sebuah tarian tradisional yang

disertai dengan nyanyian. Dilihat dari esensi isi pesan yang terkandung di

dalamnya, vera merupakan salah satu bagian tradisi ritual warisan leluhur yang

mencirikan sistem keyakinan atau religi asli etnik Rongga. Selain menjadi fakta

budaya yang mencirikan sistem keyakinan atau religi asli etnik Rongga, tradisi

ritual vera juga memiliki efektivitas sosial karena berfungsi sebagai simpul

perekat rasa kebersamaan dan kohesivitas sosial sebagai suatu komunitas

budaya.11

Sesuai dengan konteks dengan situasi ritual yang melatari pelaksanaannya,

secara umum, tradisi ritual vera yang hidup dan berkembang dalam realitas sosial

8 Istilah bahasa mbiwa sebagai padanan istilah bahasa Rongga digunakan oleh Verheijen (1991)

guna membedakannya dengan beberapa bahasa yang termasuk dalam kelompok bahasa Manggarai, seperti bahasa Manggarai Tengah (bahasa Toe), bahasa Waerana (bahasa Mbaen), dan sebagainya (Bustan, 2005).

9 Pelaksanaan ritual warisan leluhur itu terkait erat dengan kegiatan di rumah (sa’o), kebun (uma), dan kampung (nua), yang menyiratkan pentingnya peran, restu, dan perlindungan leluhur sebagai salah satu kekuatan adikodrati yang sangat menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat.

10 Pengertian istilah wacana tradisi lisan vera dalam penelitian ini secara khusus menunjuk pada wacana tradisi lisan vera yang dituturkan dalam konteks ritual vera haimelo mbuku sa’o mbasa wini yang disingkat WVHMM, sebagaimana dijelaskan dalam bab IV pada bagian perbandingan.

11 Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu dan Bapak Thomas Ola di Kampung Paundoa, Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba, pada tanggal 29 Oktober 2012, serta hasil wawancara dengan Bapak Markus Bana di Kota Borong, Ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, pada tanggal 1 Nopember 2012.

Page 42: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

4

etnik Rongga dapat diklasifikasi atas dua kelompok, yakni vera sarajawa (vera

sedih) dan vera haimelo (vera gembira). Terlepas dari vera sarajawa, beberapa

jenis Vera yang termasuk dalam kelompok Vera haimelo adalah (1) vera saju

(berkaitan dengan hal-hal ganjil dalam kehidupan manusia), (2) vera dheke ra’a

(berkaitan dengan pemulihan nama baik seseorang), (3) vera dheke sa’o

(berkaitan dengan upacara masuk rumah adat yang baru), (4) vera gha’u gha’a

(dipertunjukkan sebagai sarana hiburan), dan (5) vera mbuku sa’o (berkaitan

dengan kegiatan dalam bidang pertanian) yang di dalamnya terdapat beberapa

jenis vera dan salah satu di antaranya adalah vera mbasa wini.

Kata vera dalam bahasa Rongga berasal dari kata pera “wasiat leluhur”

(Arka, 2010:93). Wasiat leluhur tersebut merupakan bagian dari kesalehan ritual

vera, yang kebermaknaan esensi isi pesannya ditakar secara empiris dalam

kesucian sosial etnik Rongga. Kesucian sosial vera diharapkan mewujud secara

empiris dalam pola perilaku hidup mereka sebagai manusia dan anggota

masyarakat demi pemertahanan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan, di

samping keselarasan hubungan dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam.

Sesuai dengan kenyataan yang tampak secara fisik, vera sebagai bagian

dari ritual merupakan sebuah petunjukan tarian tradisional yang disertai dengan

nyanyian. Tarian itu dibawakan oleh penari dewasa, baik laki-laki maupun

perempuan dalam bentuk dua baris di bawah panduan seorang pemimpin tarian

yang disebut noa lako. Penari perempuan yang disebut daghe berdiri di barisan

depan dan penari laki-laki yang disebut woghu berdiri di barisan belakang12.

12 Sesuai dengan aturan adat yang berlaku, masing-masing barisan, baik barisan penari laki-laki maupun barisan penari perempuan, minimal harus diisi oleh sepuluh orang penari, serta pemimpin yang disebut noa lako diisi oleh seorang woghu (penari laki-laki).

Page 43: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

5

Semua penari menari dan menyanyi dalam bentuk dua baris dan saling

berpegangan tangan mengikuti rambu-rambu yang dipandu oleh noa lako.

Pertunjukan vera dilaksanakan di rumah adat suku, pemilik gendang. Pertunjukan

dimulai tengah malam dan berakhir pagi hari menjelang matahari terbit yang

ditandai dengan pendendangan lagu tangi jo sebagai bagian penutup.

Selain menjadi kekhasan identitas internal atau pemarkah keidentitasan

etnik Rongga, vera juga menjadi kekhasan identitas eskternal atau fitur pembeda

etnik Rongga. Mengingat tidak ada etnik lain yang memiliki tradisi ritual vera,

maka tradisi ritual vera identik dengan etnik Rongga, seperti halnya tradisi ritual

penti (ritual pergantian tahun musim atau tahun baru adat Manggarai) yang

menjadi kekhasan identitas budaya etnik Manggarai (Bustan, 2005:11). Identitas

menunjuk pada esensi yang bisa dibedakan dengan tanda-tanda seperti keyakinan,

sikap, dan gaya hidup, yang bersifat personal dan sosial karena menandai

seseorang sebagai orang yang sama dan sekaligus berbeda dengan orang lain

(Barker, 2005:218).

Tradisi ritual vera sebagai sebuah tradisi ritual milik sosial-kolektif etnik

Rongga memiliki struktur atau bentuk, fungsi, dan makna khas karena di

dalamnya terkandung seperangkat sistem sosial budaya yang berfungsi sebagai

penuntun moral dan pedoman etika bagi etnik Rongga dalam menata pola

perilaku. Istilah “tradisi” bertalian dengan pandangan Purwasito (2003:229) yang

menyatakan bahwa tradisi merupakan adat kebiasaan yang diproduksi oleh suatu

masyarakat yang biasanya diwujudkan dalam bentuk aturan atau kaidah yang

tidak tertulis. Meskipun tidak diwujudkan dalam bentuk tertulis, aturan atau

Page 44: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

6

kaidah adat tersebut dipatuhi warga masyarakat bersangkutan karena di dalamnya

berisi pola untuk berperilaku (pattern for behavior). Oleh karena itu, barang siapa

melanggar aturan atau kaidah adat itu niscaya mendapat sanksi sesuai dengan

konvensi sosial yang berlaku secara mentradisi sejak dari leluhurnya.

Seperti disinggung sebelumnya, vera tidak saja berfungsi sebagai peranti

pemertahanan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan etnik Rongga, tetapi

juga menjadi media pemertahanan keselarasan hubungan vertikal-transendental

dengan kekuatan adikodrati, yakni Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Sesuai

dengan konseptualisasi budaya yang terpatri dalam peta pengetahuan etnik

Rongga, ketiga kekuatan adikodrati itu merupakan sumber kekuatan spiritual

utama yang sangat menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan

hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Terkait dengan

kebermaknaannya sebagai penuntun moral dan pedoman etika dalam menata pola

perilaku hidup etnik Rongga, maka vera perlu diwariskan secara turun-temurun

dari satu generasi ke generasi berikut demi pemertahanan identitas mereka sebagai

suatu kelompok masyarakat adat atau guyub budaya.

Mengingat mekanisme pewarisannya disampaikan secara lisan sesuai

dengan kaidah adat yang sudah terpola pada etnik Rongga, maka vera dapat

diidentifikasi sebagai tradisi lisan. Hal ini selaras dengan pandangan Sedyawati

(1996:5) yang menyatakan bahwa tradisi lisan adalah segala wacana yang

disampaikan secara lisan dan mengikuti cara atau adat-istiadat tertentu yang sudah

berpola dalam suatu masyarakat. Sehubungan dengan itu, wacana tradisi lisan

vera dicirikan sebagai sebuah produk sastra lisan karena karakteristik bentuk

tekstual satuan kebahasannya paling menonjol bercorak puitis. Corak puitis

Page 45: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

7

tersebut ditandai antara lain, dengan penggunaan bentuk paralelisme yang berupa

asonansi, rima, dan aliterasi yang mengandung keindahan bentuk dan kenikmatan

indrawi ketika disimak. Pencirian wacana tradisi lisan vera sebagai sastra lisan

bertalian erat dengan pandangan Hutomo (1991:95) yang menyatakan bahwa

suatu tradisi lisan dapat disebut sastra lisan apabila mengandung beberapa unsur

estetis atau keindahan, seperti asonansi, aliterasi, dan perlambang lainnya.

Kepesatan arus-balik budaya global sebagai dampak perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dalam beberapa

dasawarna terakhir, menyebabkan etnik Rongga mengalami dinamika. Meskipun

kedalaman dan arah pengaruh dinamika tersebut berbeda dari masyarakat dan

kebudayaan Manggarai pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, masuknya

agama Katolik sebagai sistem religi baru atau agama wahyu pada tahun 1955 yang

disebarkan oleh seorang misionaris Katolik bernama Daem (Arka, 2010:92) dan

pendidikan modern, telah mengubah pengetahuan, cara berpikir, cara pandang,

dan pola perilaku etnik Rongga.13 Perubahan aspek rohaniah turut memengaruhi

aspek fisik-material, adat, dan tradisi etnik Rongga. Tradisi ritual vera sebagai

salah satu produk dan praktik budaya warisan leluhur etnik Rongga tidak imun

dari sentuhan perubahan itu. Meskipun tidak terjadi serta merta, perubahan itu

menyebabkan daya hidup tradisi ritual vera dengan berbagai teks wacana yang

terkandung di dalamnya mengalami pergeseran di luar bingkai fungsi dan pigura

makna yang diamanatkan oleh leluhur etnik Rongga pada masa sekarang.

Beberapa fakta menunjukkan bahwa praktik kehidupan sebagian besar

warga etnik Rongga pada masa sekarang cenderung bergeser dari nilai-nilai 13 Tuan Daem adalah seorang imam atau misionaris Katolik berkebangsaan Swiss yang bertugas

di Paroki Waerana, yang terletak beberapa kilometer dari Kelurahan Tanarata. Paroki adalah pembagian wilayah tugas pastoral dalam satu wilayah keuskupan.

Page 46: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

8

tradisional warisan leluhurnya. Nilai-nilai tradisional yang sebelumnya menjadi

pola dasar penataan pola perilaku hidup mereka cenderung bergeser di luar

bingkai fungsi dan pigura makna yang diamanatkan oleh leluhurnya. Akibat

perubahan kebudayaan dan kurangnya kesiapan etnik Rongga untuk menyikapi

kondisi perubahan itu ”dikhawatirkan” mereka mengalami alienasi budaya atau

ketercerabutan dari akar budaya asli Rongga. Sebagai bukti, sebagian besar warga

etnik Rongga, terutama generasi muda terdidik, lebih tertarik menonton

pertandingan sepak bola piala dunia yang disiarkan melalui media elektronik

(televisi), mendengar musik gaya barat yang modern, dan menari tarian populer,

seperti break dance daripada mempelajari dan mempraktikkan tradisi ritual vera

warisan leluhurnya (Arka, 2010:96-97).14

Beberapa fenomena perubahan yang diulas di atas menggambarkan bahwa

kekuatan komunikatif wacana tradisi ritual vera terancam kelestariannya.

Tampilan pola perilaku etnik Rongga yang cenderung bergeser dari kaidah adat

warisan leluhurnya menandakan adanya perubahan konseptualisasi budaya etnik

Rongga dalam memandang dunia. Pada sisi lain, perubahan pola perilaku itu

menggambarkan pula keterbatasan kemampuan etnik Rongga dalam

menginterpretasi kebermaknaan tradisi ritual vera sebagai salah satu produk dan

praktik budaya warisan leluhur yang sangat berharga.

Dengan merujuk pada beberapa fakta dan fenomena yang dipaparkan di

atas sebagai latar pikir, penelitian ini mengkaji secara khusus dan mendalam 14 Hasil penelitian Arka (2007) tersebut diperkuat pula oleh hasil wawancara dengan Bapak

Alfridus Ndolu dan Bapak Thomas Ola di Pandoa, Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba pada tanggal 29 Oktober 2012, serta hasil wawancara dengan Bapak Markus Bana pada tanggal 1 November 2012 di Borong.

Page 47: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

9

tentang wacana vera dengan fokus kajian adalah vera haimelo (vera gembira),

khususnya vera haimelo mbuku sa’o mbasa wini15, yang selanjutnya disingkat

WVHMM. Teks WVHMM dipilih menjadi fokus kajian dalam penelitian ini

karena tradisi ritual vera mbuku sa’o mbasa wini sebagai konteks situasi ritual

yang melatarinya masih dilaksanakan secara rutin dan intensif setiap tahun pada

setiap awal musim tanam, sekitar Oktober dan November, oleh warga etnik

Rongga sebagai tanda pergantian tahun musim (Se dkk. 2011; Bustan dan

Robertus, 2013).16

Mengingat masalah wacana tradisi lisan vera etnik Rongga memiliki

cakupan begitu luas, maka beberapa aspek yang menjadi sasaran dan lingkup

kajian dalam penelitian ini meliputi struktur teks, fungsi, makna, dan mekanisme

pewarisannya. Analisis mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera merujuk

pada hasil analisis struktur teks, fungsi, dan makna, dalam tautan dengan adanya

fenomena perubahan kebudayaan dalam konteks kehidupan etnik Rongga pada

masa sekarang sebagai dampak dari pengaruh modernisasi dan globalisasi.

Peneliti tertarik melakukan penelitian khusus dan mendalam tentang

wacana tradisi lisan vera etnik Rongga dengan beberapa alasan. Pertama, wacana

tradisi lisan vera memiliki struktur teks, fungsi, dan makna khas sebagai lambang

identitas internal atau permarkah kedirian dan lambang identitas eksternal atau

fitur pembeda etnik Rongga dengan etnik-etnik lain, terutama beberapa etnik yang

tercakup dalam kelompok etnik Manggarai. Kedua, wacana tradisi lisan vera

15 Alasan lebih rinci secara khusus menunjuk pada wacana vera haimelo mbasa wini dijelaskan

pada bab IV, bagian perbandingan teks. 16 Hal itu dapat pula dilihat dalam hasil penelitian Se dkk (2011) menyangkut kalender adat

pertanian etnik Rongga.

Page 48: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

10

merupakan sebuah wacana bergaya sastra yang ditandai dengan penggunaan

bahasa bercorak puitis dengan penggunaan bentuk formulasi ekspresi-ekspresi

kebahasaan yang mengandung keindahan ritme kata-kata dengan memanfaatkan

fitur paralelisme fonologis, morfologis, dan leksikosemantis. Ketiga, meskipun

wacana tradisi lisan vera adalah produk dan praktek budaya lokal milik sosial-

kolektif etnik Rongga, di dalamnya terkandung seperangkat sistem nilai universal

seperti nilai kejujuran yang dapat digunakan sebagai ramuan dasar dalam

merancang model pendidikan karakter bangsa Indonesia berbasis kearifan budya

lokal etnik Rongga. Keempat, keberadaan wacana tradisi lisan vera sebagai

lambang identitas internal dan eksternal etnik Rongga terancam kelestariannya

karena cenderung mengalami penyusutan fungsi dan pergeseran makna di luar

bingkai fungsi dan pigura makna yang diamanatkan oleh leluhur sebagai dampak

modernisasi dan globalisasi. Kelima, wacana tradisi lisan vera sudah tidak

diminati lagi oleh sebagian besar warga etnik Rongga, terutama kelompok

generasi muda terdidik, karena mereka tergerus oleh pengaruh modernisasi dan

globalisasi di samping pengaruh masuknya agama Katolik sebagai agama wahyu

yang dianut mayoritas etnik Rongga saat ini dan pendidikan modern17 (Sumitri,

2005:4; Arka 2007:3; Arka, 2010). Keenam, peneliti sudah membangun rapport

dengan sejumlah warga etnik Rongga dalam penelitian ritual dhasa jawa,

penelitian tesis Magister (S-2) Kajian Budaya, Program Pascasarjana, Universitas

17 Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu dan Bapak Thomas Ola di Pandoa, Desa

Bamo, Kecamatan Kota Komba pada tanggal 29 Oktober 2012, serta hasil wawancara dengan Bapak Markus Bana pada tanggal 1 November 2012 di Borong. Berkaitan dengan pendidikan, diinformasikan bahwa pada tahun 1955 didirikan Seminari Menengah St. Pius XII di Kisol (termasuk wilayah Kelurahan Tanarata sekarang), sebagai lembaga pendidikan formal calon imam/misionaris gereja Katolik Romawi.

Page 49: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

11

Udayana.18 Ketujuh, belum ada hasil penelitian yang mengkaji secara khusus dan

mendalam tentang karakteristik wacana tradisi lisan vera etnik Rongga dengan

sasaran kajiannya meliputi aspek struktur teks, fungsi, makna, dan mekanisme

pewarisannya.19

1.2 Rumusan Masalah

Masalah utama yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah

wacana tradisi lisan vera etnik Rongga sebagai sebuah teks wacana bergaya sastra.

Sehubungan itu, masalah utama yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini

dapat dirumuskan dalam pertanyaan berikut. “Bagaimanakah karakteristik wacana

tradisi lisan vera etnik Rongga?” sementara itu sesuai dengan cakupan aspek yang

menjadi sasaran pemerian maka dapat dirumuskan sub masalah penelitian ini

sebagai berikut.

1) Bagaimanakah struktur teks wacana tradisi lisan vera?

2) Bagaimanakah fungsi wacana tradisi lisan vera?

3) Bagaimanakah makna wacana tradisi lisan vera?

4) Bagaimanakah mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera?

18 Hal itu menyebabkan peneliti tidak menemukan kesulitan berarti dalam menjaring dan memilih

informan kunci yang menjadi sumber data utama atau data primer untuk menjawab masalah yang ditelaah dalam penelitian ini menyangkut wacana tradisi lisan vera. Ritual dhasa jawa adalah salah satu produk dan praktik budaya warisan leluhur yang mencirikan keberadaan etnik Rongga sebagai suatu kelompok masyarakat adat pengemban budaya pertanian dengan sistem perladangan berpindah-pindah.

19 Arka (2010) memang menulis tentang vera, namun sasaran pemeriannya terbatas pada pengelompokan jenis-jenis vera yang hidup dan berkembang dalam realitas sosial budaya etnik Rongga. Analisis struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera, khususnya menyangkut WVHMM, tidak dikaji secara khusus dan mendalam. Alasan tersebut merupakan salah satu bukti yang menunjukkan dimensi kebaruan (novelty dimension) dan keaslian hasil penelitian ini.

Page 50: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

12

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Sesuai dengan karakter masalah yang ditelaah, secara umum, penelitian ini

dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tentang kekahasan budaya daerah di

Indoensia dalam usaha memperkokoh persatuan nasional dan memperkaya

khazanah budaya nasional. Selain itu, secara umum penelitian ini juga bertujuan

untuk mencermati dan memahami keberagaman budaya etnik dan sub-etnik

Nusantara, memahami kondisi dan vitalitasnya, serta tantangan perkembangannya,

baik berhubungan dengan sikap generasi mudanya maupun dari luar dalam

kerangka kebudayaan di Indonesia.

1.3.2 Tujuan Khusus

Sesuai dengan masalah yang dirumuskan di atas, secara khusus, penelitian

ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut.

1) memaparkan dan menjelaskan struktur teks wacana tradisi lisan vera yang

ditelaah berdasarkan struktur formal dan struktur naratif. Strtuktur formal

terdiri atas tiga tataran yang mencakup struktur makro, superstruktur, dan

struktur mikro, sedangkan struktur naratif dilihat dari suasana hati

mencakup suasana hati tuturan dan suasana hati perspektif;

2) memaparkan, menafsirkan, dan menjelaskan fungsi wacana tradisi lisan

vera yang ditelaah berdasarkan fungsi manifes atau fungsi tekstual dan

fungsi laten atau fungsi kontekstual;

3) memaparkan, menafsirkan, dan menjelaskan makna wacana tradisi lisan

vera dengan sasaran kajian meliputi makna religius, sosiologis, ekonomis,

historis, politis, estetis, dan didaktis;

Page 51: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

13

4) memaparkan dan menjelaskan mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan

vera dengan sasaran kajian mencakup dua bentuk mekanisme pewarisan:

pewarisan alamiah dan non-alamiah.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini tidak saja bermanfaat secara teoretis (kontribusi

ontologis dan epistemologis), tetapi juga bermanfaat secara praktis (kontribusi

aksiologis). Selain itu,penelitian ini juga bermanfaat untuk menunjang program

pembangunan masyarakat berbasis budaya lokal, terutama budaya lokal etnik

Rongga sebagai etnik minoritas.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Beberapa manfaat teoretis yang dapat dicapai dari hasil penelitian ini

adalah sebagai berikut.

1) Sebagai tambahan acuan pustaka, hasil penelitian yang memuat gambaran

objektif tentang struktur teks, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisan

wacana tradisi lisan vera sebagai lambang identitas internal (pemarkah

kedirian) dan lambang identitas eksternal (fitur pembeda) etnik Rongga,

dapat diperbandingkan dan diterjemahkan dalam konteks penelitian sejenis

pada latar setipologi dengan kebudayaan etnik Rongga atau pada latar lain

yang tidak setipologi dengan kebudayaan etnik Rongga dilakukan

modifikasi dalam tataran tertentu agar sesuai dengan latar baru yang diteliti.

Page 52: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

14

2) Sebagai tambahan acuan pustaka yang memperkuat posisi wacana sastra

sebagai salah satu perspektif teoretis dan orientasi metodologis dalam

analisis wacana yang menelaah hubungan wacana dan sastra.

3) Sebagai tambahan khasanah hasil penelitian yang menggunakan teori

folklor dan teori tradisi lisan dalam memerikan etnografi budaya yang

bersifat lokal-ideografis, yakni perian etnografi, budaya lokal budaya

Rongga yang dibuat berdasarkan sudut pandang etnik Rongga.

1.4.2 Manfaat Praktis

Beberapa manfaat praktis yang dapat dicapai dari hasil penelitian ini,

adalah:

1) sebagai salah satu sumber rujukan bagi Pemerintah Kabupaten Manggarai

Timur dalam menyusun materi Mata Pelajaran Muatan Lokal (MULOK)

dan pendidikan karakter bangsa Indonesia berbasis kearifan budaya lokal

etnik Rongga untuk diajarkan pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD)

dan Sekolah Menengah (SM) yang ada di wilayah sebaran etnik Rongga20;

2) sebagai salah satu sumber rujukan bagi Pemerintah Kabupaten Manggarai

Timur dalam upaya merancang program pembangunan masyarakat berbasis

budaya atau kebudayaan lokal, khususnya budaya atau kebudayaan lokal

etnik Rongga.

20 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu di kampung Paundoa, Desa Bamo,

Kecamatan Kota Komba pada tanggal 29 oktober 2012, sampai sekarang belum ada upaya dari pihak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur untuk menyusun materi Muatan Lokal dalam bahasa Rongga. Penggunaan bahasa Manggarai Tengah, selain bahasa Indonesia, masih mendominasi wacana interaksional kelas dalam proses pembelajaran di Sekolah Dasar di wilayah sebaran etnik Rongga.

Page 53: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

15

3) sebagai salah satu upaya penyelamatan dan pemeliharaan wacana tradisi

lisan vera sebagai lambang identitas internal atau pemarkah kedirian dan

lambang identitas eksternal atau fitur pembeda etnik Rongga, dari ancaman

kepunahan sebagai dampak modernisasi dan globalisasi21;

4) sebagai salah satu sumber rujukan bagi peneliti lain yang ingin merancang

model pewarisan wacana tradisi lisan vera yang bersifat sinergis dengan

memadukan nilai lama dan nilai baru dalam satu kesatuan, agar berterima

untuk seluruh lapisan dan komponen masyarakat etnik Rongga, baik

kelompok generasi tua maupun kelompok generasi muda.

21 Dikatakan terancam punah karena kekhasan struktur teks, fungsi, dan makna wacana tradisi

lisan vera hanya dipahami kelompok generasi tua etnik Rongga. Fakta awal yang dipaparkan Arka (2007) merupakan bukti empiris yang menggambarkan adanya fenomena perubahan yang mengarah pada kepunahan tradisi ritual vera.

Page 54: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DASAR, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Dalam penelitian ini, hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti

terdahulu dikaji berkaitan dengan bahasa dan kebudayaan etnik Rongga. Tujuan

kajian hasil penelitian itu untuk mengetahui temuan-temuan yang telah dicapai

dan sekaligus memberikan peluang untuk mengkaji wacana tradisi lisan vera

dengan pendekatan beberapa teori. Hasil penelitian tersebut juga dimanfaatkan

sebagai sumber rujukan dalam mengkaji wacana tradisi lisan vera. Penelitian

terdahulu yang dihasilkan itu dipetakan menjadi dua kelompok, yakni pustaka

yang mengkaji tentang bahasa Rongga dan pustaka yang mengkaji bidang budaya.

Beberapa pustaka yang mengkaji bidang bahasa Rongga, antara lain.

seperti. Porat (1997) dalam penelitiannya yang berjudul “Struktur Bahasa Ngada

Dialek Rongga” mengkaji tentang aspek sintaksis dengan menggunakan teori

strukural. Temuan yang sangat rinci dipaparkan mengenai struktur frasa,

struktur klausa, dan struktur kalimat bahasa Ngadha dialek Rongga. Selain itu,

dipaparkan pula kategori kata yang meliputi: (1) kategori leksikal yang terdiri atas

verba, adjektiva, nomina, pronomina, numeralia, dan adverbia; (2) kelas kata tugas

yang terdiri atas konjungsi, preposisi, partikel, dan interjeksi. Hasil penelitian itu

mengilhami peneliti dalam menelaah karakteristik struktur teks wacana tradisi

lisan vera, terutama dalam tataran struktur mikro sebagai wadah makna yang

menyingkap pikiran dan gambaran pandangan dunia etnik Rongga.

16

Page 55: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

17

Penelitian Arka, Kosmas, dan Suparsa (2007) yang berjudul “Tata Bahasa

Rongga” memaparkan hasil temuan yang komprehensif mengenai aspek fonologi,

morfologi, dan sintaksis bahasa Rongga. Penelitian ini memberikan sumbangan

sangat berarti dalam menelaah karakteristik struktur mikro teks wacana tradisi

lisan vera. Beberapa informasi menyangkut konteks ekologis, historis, dan

sosiokultural yang dikaji dalam penelitian itu juga digunakan sebagai dasar

rujukan dalam menelaah konteks situasi ritual vera sebagai latar nirkata yang

melatari kehadiran dan kebermaknaan peran bahasa yang digunakan dalam teks

wacana tradisi lisan vera etnik Rongga yang mencirikan keberadaannya sebagai

sebuah wacana budaya bergaya sastra.

Penelitian yang berjudul “Semantic Typologi: Semantics of Locative

Relations in Rongga” yang dilakukan oleh Arya Wibawa (2008) mengkaji tentang

tipologi semantik relasi lokatif bahasa Rongga yang memiliki implikasi terhadap

universalisme hubungan lokatif. Dipaparkan bahwa hubungan fungsional antara

objek sangatlah penting dalam bahasa Rongga, dan hubungan tersebut digunakan

untuk memisahkan hubungan fungsional dan hubungan lokatif. Penelitian tersebut

sangat bermanfaat sebagai bahan kaji banding dalam menganalisis data

kebahasaan dalam tataran struktur mikro penelitian ini. Kajian mikro yang

dilakukan itu berkenaan dengan penggunaan adverbia pemarkah lokatif sebagai

bagian dari fitur kebahasaan yang mencirikan karakteristik struktur teks wacana

tradisi lisan vera.

Kosmas (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Klausa Bahasa

Rongga: Sebuah Analisis Leksikal-Fungsional” menelaah tentang aspek tipologi

Page 56: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

18

bahasa dan bahasa Rongga. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bahasa

Rongga tergolong bahasa akusatif. Bahasa Rongga sebagai bahasa akusatif

mempunyai alternasi struktur klausa, yaitu aktif dan pasif. Struktur pasif dalam

bahasa Rongga adalah pasif yang bersifat sintaktis karena bahasa Rongga

tergolong bahasa isolatif yang tidak mempunyai pemarkah morfologi, terutama

afiks. Di samping itu, penelitian Kosmas membahas pula aspek fungsi

gramatrikal. Bahasa Rongga mempunyai fungsi gramatikal inti yaitu subjek, objek

dan objek dan fungsi gramatikal di luar inti, yaitu OBL, KOMP, dan ADJUNG..

Beberapa pokok pikiranmya berkenaan dengan fitur sintaksis bahasa Rongga

menjadi acuan perbandingan dalam mengkaji bentuk tekstual satuan kebahasaan

yang membentuk dan mencirikan karakteristik struktur teks wacana tradisi lisan

vera.

Suparsa (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Fonologi Bahasa

Rongga, Sebuah Kajian Transformasi Generatif’ mengkaji fonologi bahasa

Rongga dengan menggunakan teori Transformasi Generatif. kajian yang sangat

lengkap telah dipaparkan mengenai segmen-segmen vokal dan segmen konsonan.

Dijelaskan bahwa bahasa Rongga tidak mengenal rangkaian segmen konsonan

pada fonologi pangkal, karena bahasa Rongga merupakan bahasa vokalik, dan

dijelaskan pula bahwa bahasa Rongga menggunakan huruf latin karena bahasa

Rongga tidak mempunyai sistem tulisan. Hasil penelitian itu menjadi salah satu

sumber rujukan dalam menelaah aspek fonologis atau aspek bunyi sebagai satuan

kebahasaan terkecil yang mencirikan karakteristik struktur teks dan yang

menentukan kebermaknaan bahasa yang digunakan dalam teks wacana tradisi

lisan vera.

Page 57: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

19

Penelitian dengan judul “Pemakaian Skema Citra Kinestetik sebagai

Sumber Peregangan Metafora Nominal dalam Guyub Tutur Rongga di Kabupaten

Manggarai Timur” yang dilkukan oleh Tarno dkk. (2009) menunjukkan bahwa

dari perspektif antropologi atau linguistik kebudayaan penutur menggunakan

anggota tubuh manusia dan hewan sebagai sumber peregangan atau perluasan

bentuk metafora nominal dalam bahasa Rongga. Beberapa pokok pikiran dalam

kerangka teori yang digunakan dalam penelitian tersebut menjadi sumber rujukan

dalam mengkaji relasi bahasa dan kebudayaan Rongga yang terdapat dalam teks

wacana tradisi lisan vera terutama dalam kaitan dengan penggunaan gaya bahasa

sebagai salah satu fitur kebahasaan yang mencirikan struktur wacana tradisi lisan

vera.

Beberapa pustaka yang mengkaji masalah budaya Rongga, antara lain

sebagai berikut:

Nggoi Paulus (1993) dalam penelitiannya yang berjudul “Pandangan Hidup Orang

Rongga Menjadi Locus Evangelisasi Gereja” memaparkan pandangan hidup etnik

Rongga berdasarkan ungkapan-ungkapan tradisional bahasa Rongga. Selain itu

memaparkan hubungan antara wahyu purba dan wahyu Kristiani dalam rangka

inkulturasi. Fokus penelitian itu berkaitan dengan evangelisasi gereja Katolik yang

dipotret melalui pandangan hidup orang Rongga. Beberapa ungkapan tradisional

yang dipilih sebagai potret data penafsirannya menjadi bahan kaji banding dalam

menganalisis struktur teks, fungsi, dan makna wacana tradisi lisan vera.

Penelitian Sumitri (2005) berjudul “Ritual Dhasa Jawa pada Masyarakat

Petani di Rongga, Manggarai, NTT”, dengan menerapkan teori semiotik, teori

Page 58: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

20

fungsi dan perubahan kebudayaan, memaparkan secara komprehensif mengenai

struktur ritual dhasa jawa yang terdiri atas beberapa komponen, yaitu struktur

upacara, pelibat upacara, tempat dan waktu pelaksanaan upacara, sarana upacara

dan bahasa yang digunakan. Diuraikannya pula bahwa ritual dhasa jawa

merupakan ritual tahunan yang bertujuan untuk menyatukan manusia dengan

penguasa adikodrati khususnya penghuni gaib. Ritual dhasa jawa mempunyai

makna dan fungsi yang sangat dalam pada masayarakat Rongga dan sebagai

pedoman etikan moral untuk bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-

hari. Selain sebagai wahana rekonsiliasi dengan Tuhan, roh alam, dan roh leluhur,

ritual dhasa jawa juga merupakan ajang rekonsiliasi antarsesama khususnya

keluarga dan warga yang masih dalam satu klen, manusia dengan alam. Penelitian

tersebut digunakan sebagai rujukan terutama yang berkaitan dengan aspek

kebudayaan.

Arka (2010) dengan penelitiannya berjudul “Maintaining Vera in Rongga

and Struggle Over Culture, Tradition and Language in Modern Manggarai-

Indonesia” membahas tentang definisi, jenis, keberadaan vera, dan tantangannya

dalam konteks modern. Dipaparkannya bahwa vera dalam konteks modern

dinyatakan telah kehilangan daya tarik dari generasi muda sehingga menjadi

ritual yang terancam punah. Lebih jauh dijelaskannya bahwa perlu adanya

dokumentasi bahasa dan budaya dalam konteks modern, serta kompleksitas

tantangan dan prospeknya dalam mempertahankan vera dalam pemeliharaan

bahasa dan revitalisai yang lebih luas. Penelitian itu menjadi pijakan dasar bagi

peneliti dalam melakukan kajian terhadap wacana tradisi lisan vera guna

Page 59: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

21

menampilkan hasil penelitian yang lebih komprehensif tentang karakteristik

struktur teks, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya.

Penelitian Robertus Se dkk. (2011) berjudul “Karakteristik Sistem

Ekonomi dalam Realitas Sosial Guyub Budaya Rongga” mengkaji tiga aspek

yang berkaitan dengan sistem ekonomi, yakni sistem pertanian, sistem peternakan,

dan sistem perdagangan, yang hidup dan berkembang dalam realitas sosial guyub

budaya Rongga pada masa silam. Beberapa gagasan yang diulas berkenaan

dengan ritual pertanian dan sistem pengetahuan tentang taksonomi klasifikasi

musim digunakan sebagai anjungan berpikir dalam mengkaji wacana tradisi lisan

vera karena berkaitan dengan konteks ritual pertanian.

Terdapat pula beberapa pustaka lain yang tidak berkaitan dengan masalah

bahasa dan kebudayaan Rongga yang digunakan peneliti sebagai sumber rujukan

dalam melakukan penelitian ini. Penelitian-penelitian yang dimaksud antara lain

seperti berikut.

Yapi Taum (1999) dalam penelitiannya berjudul “Kajian Paralelisme

dalam Tradisi Masyarakat Flores Timur (dalam Sastra Lisan)” mengulas tentang

fenomena paralelisme dalam sastra lisan masyarakat Flores Timur diciptakan

tidak hanya untuk memberikan efek estetis, tetapi juga mengemban fungsi sebagai

media pewarisan sistem nilai dalam masyarakat yang berlangsung secara turun-

temurun. Sastra lisan tidak hanya diciptakan, tetapi juga terbentuk dari

kebudayaan lisan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ditemukan

beberapa fakta sebagai berikut: (a) sastra lisan Flores Timur masih hidup dan

memiliki dinamika tersendiri, namun sudah mulai ada gejala ketergusuran; (b)

Page 60: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

22

ungkapan pasangan paralelisme sastra dalam tradisi masyarakat Flores Timur

merupakan bahasa ritual yang dalam dirinya mengandung hubungan internal

dalam kesatuan semantis; dan (c) pengulangan semantis tidak seluruhnya

menunjukkan mentalitas “suka mengulang”, tetapi pengulangan itu memiliki

kaitan dengan lesensia poetika yang di dalamnya terkandung gambaran tentang

sistem nilai masyarakat. Beberapa temuan yang dikemukan di atas mengilhami

peneliti untuk melakukan penelitian tentang wacana tradisi lisan vera dalam

kaitan dengan keberadaannya sebagai wacana budaya bergaya sastra.

Penelitian Fox (1986) yang berjudul “Kajian Sastra dan Sejarah (kumpulan

karangan) tentang masyarakat Pulau Rote” memaparkan tentang sastra dan

sejarah masyarakat Rote, dengan menggunakan teori paralelisme semantik yang

dikembangkan oleh Roman Jakobson. Beberapa gagasan menarik yang dikaji dan

disajikan dalam penelitian itu, digunakan sebagai acuan pembanding dalam

mengkaji wacana tradisi lisan vera adalah sebagai berikut: (a) bahasa ritual Roti

adalah bentuk puisi lisan dan bercirikan penyepasangan wajib pada semua unsur

semantik dengan penataan bahasa yang bersifat formal mengikuti aturan-aturan

dan paralelistik; (b) penggunaan unsur-unsur semantik yang terdiri atas perangkat

diad yang sudah baku dan bersifat tetap menghasilkan suatu komposisi berupa

lirik-lirik puisi paralel; dan (c) kemungkinan pengembangan stilistik dalam teks

wacana tersebut cukup banyak walaupun ditampilkan dengan struktur yang

tampak sederhana dalam tataran permukaan.

Marsel Robot dkk. (1996) dengan penelitian berjudul “Tola Kaba Sastra

Lisan Manggarai dengan Lokasi di Manggarai Timur” menelaah hubungan

Page 61: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

23

bahasa dan kebudayaan Manggarai berdasarkan fenomena kebahasaan yang

digunakan dalam upacara tola kaba atau tudak kaba dilihat dari dimensi

kesastraan. Lingkup kajiannya menyangkut bentuk tekstual dan kontekstual

wacana budaya tola kaba dalam ritus kelas mese, seser tompok, dan randang uma.

Terdapat gagasan menyangkut bentuk tekstual dan kontekstual tola kaba yang

dapat diterjemahkan dan diperbandingkan dalam menelaah wacana tradisi lisan

vera sebagai masalah pokok yang menjadi fokus utama penelitian ini.

Badrun (2002) dalam penelitiannya berjudul “Patu Mbojo: Struktur,

Konteks Pertunjukan, Proses Penciptaan dan Fungsi” menggunakan teori yang

bersifat eklektik dengan lebih berorientasi pada teori Lord yang menyangkut

formula dan tema sebagai acuannya. Salah satu gagasan menarik yang

diungkapkannya, yakni teori Lord tentang formula dan tema tidak berlaku

sepenuhnya pada patu karena patu adalah sejenis sastra lisan yang cukup fleksibel

sehingga dapat disajikan pada peristiwa apa saja. Gagasan tersebut digunakan

sebagai panduan dalam melakukan analisis karakteristik struktur mikro wacana

tradisis lisan vera.

Penelitian Tuloli (1991) yang berjudul “Tanggomo Sastra Lisan di

Gorontalo” berfokus pada kajian mengenai struktur, variasi, nilai, dan fungsi

Tanggomo. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan formula dan sosiologi

sastra, yakni analisis teks sastra tanpa mengabaikan konteksnya karena munculnya

sebuah karya sastra memiliki hubungan dengan masayarakat dan budaya sebagai

faktor eksternal. Beberapa gagasan tentang pendekatan formula dan sosiologi

sastra dalam penelitiannya dipakai sebagai panduan teoretis dalam mengkaji

dimensi kesastraaan wacana tradisi lisan vera.

Page 62: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

24

Hutomo (1987) dalam penelitiannya berjudul “Cerita Kentrung

Sarahwulan di Tuban” mengungungkapkan kegunaan dan fungsi cerita rakyat

Kentrung. menjelaskan bahwa kegunaan ceritra rakyat itu dihubungkan dengan

pendidikan, yaitu pesan nilai budaya yang terdapat pada cerita itu yang ditujukan

kepada pendengar. Penelitian itu menggunakan teori folklor humanistis atau

folklor berlatar belakang sastra serta didukung konsep dan peralatan foklor. Teori

dan konsep tersebut digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini karena

wacana tradisi lisan vera, meskipun bukan berbentuk cerita rakyat, mengemban

fungsi didaktis sebagai sarana pendidikan dan pengajaran bagi etnik tentang

bagaimana semestinya berperilaku sesuai dengan kaidah leluhur.

2.2 Konsep

Dalam melakukan penelitian ini perlu dijelaskan terlebih dahulu sejumlah

konsep dalam rangka membantu pemahaman. Uraian konsep-konsep tersebut

diuraikan berikut ini.

2.2.1 Tradisi Lisan dan Sastra Lisan

2.2.1.1 Tradisi Lisan

Tradisi lisan adalah segala wacana yang diucapkan, meliputi yang lisan

dan yang beraksara atau sebagai sistem wacana yang bukan aksara (Pudentia,

1998 :vii) . Sejalan dengan itu, Ong (1988:3) menyatakan “kelisanan suatu budaya

yang sepenuhnya tak tersentuh pengetahuan apa pun mengenai tulisan atau

cetakan sebagai kelisanan primer” Dalam pandangan Vansina (1985:27--28),

tradisi lisan merupakan pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa

Page 63: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

25

silam kepada generasi masa kini, yang kemungkinan dituturkan atau dinyanyikan

dengan atau tanpa diiringi musik.

Berdasarkan makna leksikalnya, tradisi lisan dapat diartikan sebagai

sebagian kebudayaan suatu kolektif macam apa saja, secara tradisional tampil

dalam versi berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan

gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)

(Danandjaja,1986:2). Bertolak dari batasan pengertian itu, beberapa ciri utama

tradisi lisan adalah sebagai berikut: (1) penyebaran dan pewarisan secara lisan; (2)

bersifat tradisional; (3) ada dalam versi-versi dan varian berbeda; (4) bersifat

anonim; (5) mempunyai bentuk berumus atau berpola; (6) mempunyai kegunaan

(fungsi) dalam kehidupan bersama kolektifnya; (7) bersifat pralogis, artinya

mempunyai logikanya sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum; (8) menjadi

milik bersama suatu masyarakat; dan (9) bersifat polos dan lugu (Danandjaja,

1986:3--4).

Berdasarkan pengertian dan ciri-ciri yang dikemukakan di atas,

pertunjukan vera pada etnik Rongga dapat diartikan sebagai sebuah tradisi lisan

yang merupakan paduan antara tarian dan nyanyian.

2.2.1.2 Sastra Lisan

Sastra lisan sebagai bagian dari tradisi lisan merupakan salah satu gejala

kebudayaan yang terdapat pada masyarakat terpelajar dan belum terpelajar. Tiap-

tiap ragam itu mempunyai banyak variasi dengan esensi dan orientasi isinya

berkenaan dengan berbagai peristiwa yang terjadi atau kebudayaan masyarakat

pemilik sastra lisan tersebut Finnegan (1979:3). Sastra lisan adalah jenis

Page 64: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

26

kesusastraan yang mengungkap ekspresi kesusastraan dalam suatu kebudayaan

yang disebarkan secara lisan, baik dalam bentuk suatu pertunjukan seni maupun di

luarnya Hutomo (1991:1-3). Dalam konteks tertentu, istilah sastra lisan disebut

sastra rakyat (folk literature) yang biasanya tampil dalam bentuk ungkapan

tradisional, puisi, prosa, dan nyanyian. Dalam penelitian ini tradisi lisan vera

dipahami sebagai sastra lisan dalam pertunjukan tarian dan nyanyian.

2.2.2 Ritual

Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan

dengan beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan adanya sifat

khusus yang menimbulkan rasa hormat dengan yang luhur karena dalam ritual

manusia diajak dan diarak masuk ke dalam suatu situasi pengalaman yang suci

(Hadi,1999/2000:29-30).

Dalam pengertian luas, menurut Eliade (dalam Dhavamony, 1997:183),

ritual adalah bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan

kepercayaan atau agama yang ditandai dengan adanya sifat khusus yang

menimbulkan rasa hormat dengan yang luhur karena, dalam ritual, manusia diarak

masuk ke dalam situasi pengalaman yang suci. Lebih jauh dijelaskan bahwa ritual

dapat menimbulkan dan mengakibatkan perubahan ontologis pada manusia dan

mentransformasikannya pada situasi keberadaan baru karena, selain mengingatkan

peristiwa-peristiwa primordial, ritual bertujuan memelihara dan menyalurkan

dasar masyarakat.

Ritual yang hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat merupakan

cerminan konsep dan kondisi kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, karena

Page 65: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

27

pada dasarnya, ritual merupakan tindakan ragawi yang berkaitan dengan simbol-

simbol. Ritual memperlihatkan tatanan simbol-simbol yang diobjekkan guna

mengungkap perilaku dan perasaan, di samping membentuk disposisi pribadi para

pemuja sesuai dengan modelnya masing-masing. Pengobjekan simbol-simbol

dalam ritual merupakan suatu hal penting demi keberlanjutan rasa kebersamaan

mereka sebagai anggota kelompok keagamaan (Langer dalam Dhavamony,

1997:174). Terkait dengan pelaksanaan, menurut Dhavamony (1997:172), ritual

dapat dibedakan atas: (1) tindakan magi yang berkaitan dengan penggunaan

bahan-bahan yang memiliki daya mistis; (2) tindakan religius yang berkenaan

dengan kultus kepada leluhur; (3) ritual konstitutif yang mengubah hubungan

sosial dengan merujuk pada pengertian mistis sehingga kehidupan menjadi khas;

dan (4) ritual faktitif yang bertujuan meningkatkan produktivitas, kekuatan,

pemurnian, dan perlindungan, di samping meningkatkan kesejahteraan jasmaniah

atau kesejahteraan material.

2.2.3 Vera

Vera adalah bagian dari ritual yang berupa pertunjukan tarian tradisional

etnik Rongga yang disertai dengan nyanyian yang berkaitan dengan ritual

pertanian dan kehidupan manusia. Vera dibawakan oleh penari dewasa, baik laki-

laki maupun perempuan, dalam bentuk dua baris dengan seorang pemimpin tarian

yang disebut noa lako. Semua penari menari dan menyanyi dalam bentuk dua

baris saling berpegangan tangan serta mengikuti rambu-rambu sebagai aturan

yang berlaku dalam pertunjukan vera. Pertunjukan vera dimulai pada tengah

malam dan berakhir pagi hari menjelang matahari terbit (lihat Arka, 2010:93).

Page 66: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

28

Sesuai dengan gagasan yang dipaparkan di atas, dalam pengertian sempit,

vera dapat diartikan sebagai pertunjukan, sedangkan dalam pengertian luas vera

adalah wacana tradisi lisan dalam konteks ritual vera.

2.2.4 Wacana, Teks, dan Konteks

2.2.4.1 Wacana

Wacana sebagai suatu bentuk praktik sosial, yang pada kenyataannya

dapat berupa ujaran, respon, atau aksi dari masyarakat terhadap lingkungan

sosialnya (Fairclough 1997:63). Menurut Osch (1988:8), wacana merupakan

seperangkat makna yang menghubungkan struktur bahasa dengan konteks yang

melatarinya, yang dirajut oleh penutur dan pendengar dalam proses memproduksi

dan menafsirkan makna. Van Dijk (1985) menyatakan bahwa struktur suatu

wacana dapat dipilah atas tiga tataran, yakni (1) struktur makro, (1) superstruktur,

dan (3) struktur mikro. Struktur makro berkenaan dengan makna global atau

makna umum suatu teks. Superstruktur berkenaan dengan kerangka dasar suatu

teks dalam tautan dengan sususan atau rangkaian struktur atau elemen suatu teks

dalam membentuk satu kesatuan bentuk yang koheren. Struktur mikro bergayut

dengan unsur-unsur intrinsik suatu teks yang mencakup unsur semantik, unsur

sintaksis, unsur stilistik, dan unsur retoris.

Berkaitan dengan jenis wacana, Kridalaksna (1993:231) mengatakan

bahwa wacana penuturan ‘narrative disccourse’ adalah wacana yang

mementingkan uraian waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam

waktu tertentu, berorientasi pada pelaku, dan seluruh bagiannya yang diikat oleh

kronologi.

Page 67: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

29

Gerard Genette (1980:35--85) menyatakan ada lima komponen utama

dalam wacana penuturan atau naratif, yaitu (1) Susunan cerita (order) yang

merupakan dasar analisis, yaitu perihal rangkaian yang dinarasikan oleh penutur

melalui tokoh-tokohnya yang dikaitkan dengan waktu naratif. Waktu naratif yang

dimaksudkan meliputi anakroni atau rangkaian peristiwa; (2) Durasi (duration)

yang merupakan dasar dasar analsis novel atau genre yang lain dalam hal waktu

cerita berlangsung dan panjang cerita serta elipsis (potongan sebagian cerita) yang

dinarasikan oleh pengarangnya; (3) Frekuensi (frequency), yakni dasar analisis

tingkat pengulangan peristiwa dalam narasi; (4) Suasana hati (mood), yakni dasar

analisis visi narator tentang peristiwa atau kejadian dalam cerita, makna cerita,

persepsi, inti cerita, dan suasana cerita. Dalam suasana hati terdapat: (a) suasana

hati naratif atau tuturan), yaitu cara menyampaikan cerita kepada pembaca; (b)

jarak, yaitu jarak antara pencerita atau penutur dengan pembaca atau pendengar;

(c) narasi peristiwa, yaitu transisi suatu peritiwa ke tulisan atau ke lisan di dalam

narasi; (d) kata-kata naratif, yaitu beberapa cara pengarang atau penutur

menyampaikan kata-kata melalui tokoh-tokoh dan narator; (e) perspektif, yaitu

sudut pandang narator sebagai narator dalam tuturan; (f) fokus cerita atau tuturan,

yaitu sudut pandang penutur, (g) modalitas ganda, yaitu narator berbicara sebagai

tokoh pertama ; (5) Suara (voice), yakni dasar analisis perihal penceritaan,

tingkat naratif, metalipsis dan person (pencerita sebagai orang pertama atau orang

ketiga) yang berfungsi sebagai narator dalam narasi.

Merujuk pada pandangan di atas, tradisi lisan vera adalah wacana

penuturan dengan menggunakan bahasa Rongga. Vera sebagai sastra lisan

Page 68: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

30

diaktualisasikan sebagai peristiwa. Dengan kedudukan seperti itu, tradisi lisan

vera dapat bermakna dan berfungsi bagi masyarakat pendukungnya.

2.2.4.2 Teks

Secara fungsional, teks berarti bahasa yang sedang melaksanakan tugas

tertentu dalam suatu konteks situasi (Halliday dan Hasan, 1994:13--14)). Teks

merupakan produk atau keluaran yang berupa sesuatu yang sudah direkam dan

dipelajari karena mempunyai susunan tertentu yang dapat diungkapkan dengan

istilah yang sistemik. Teks adalah sebuah wadah makna yang terajut dalam satu

kesatuan dengan tata bunyi, tata kata, tata frasa, tata kalimat, dan wacana secara

keseluruhan (Djawanai, 1995:64).

Sebagai wadah makna yang memaparkan dunia ide, dalam setiap teks

terdapat seperangkat hubungan internal yang mengatur koherensinya, hubungan

asosiatif yang menghubungkannya dengan teks-teks lain dalam sebuah korpus

budaya, acuan yang menunjuk pada satuan-satuan tertentu, dan kondisi di luar

teks itu sendiri. Koherensi internal, pola asosiatif, dan tata acuannya membentuk

struktur komunikatif teks dan interaksi yang rumit antara hubungan teks yang satu

dan hubungan teks yang lain itu berdasarkan asumsi budaya para penuturnya

(Fox, 1986:44).

Berdasarkan uraian di atas maka konsep teks dalam penelitian ini mengacu

pada teks wacana tradisi lisan vera. Tradisi lisan vera merupakan salah satu

produk penggunaan bahasa Rongga yang mencerminkan seperangkat norma dan

nilai sosial budaya yang dianut oleg etnik Rongga dalam menghadapi realitas

kehidupan setiap hari.

Page 69: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

31

2.2.4.3 Konteks

Konteks adalah keseluruhan lingkungan tempat teks terbentang dan dapat

ditafsirkan (Halliday dan Hasan, 1994:6). Konteks memainkan peranan penting

dalam pengkajian makna sebuah teks wacana. Zoest (1992:94) mengidentifikasi

konteks atas konteks verbal dan konteks nonverbal, di samping konteks linguistik

dan konteks nonlinguistik. Konteks linguistik sudah mencukupi dan mencakupi

untuk mencapai interpretasi yang baik terhadap sebuah kata dalam sebuah teks.

Konteks dapat dipilah atas konteks situasi dan konteks budaya. Konteks

situasi adalah lingkungan langsung tempat sebuah teks berfungsi dengan unsur

pembentuknya mencakupi pembicara dan pendengar, pesan, latar atau situasi,

saluran, dan kode. Konteks budaya merujuk pada kumpulan pengetahuan, sikap

dan perilaku bahasa milik bersama suatu kelompok masyarakat sebagai suatu

keseluruhan yang sistematis dari prinsip-prinsip budaya, pola komunikasi

antaranggota masyarakat, wujud sikap dan pola perilaku lain secara bersama-sama

beterima dan berlaku dalam realitas kehidupan suatu guyub budaya tertentu

(Hesslgrave dan Edward, 1996:200).

Bertalian dengan fungsinya dalam konteks, menurut Osch (1988:8),

wacana merupakan seperangkat makna yang menghubungkan struktur bahasa

dengan konteks yang melatarinya yang dirajut oleh penutur dan pendengar dalam

proses memproduksi dan menafsirkan makna. Konteks yang melatari tradisi lisan

vera adalah kebudayaan etnik Rongga.

Page 70: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

32

2.2.5 Pewarisan

Pewarisan adalah proses pemindahan hak dari seseorang kepada orang

lain. Dalam pengertian secara umum pewarisan adalah pemindahan hak dari orang

tua kepada anaknya atau keluarganya (Jendra, 2002:19). Suatu pemindahan hak

yang konsisten dikatakan sebagai sistem pewarisan. Di pihak lain Agussalim

(2006:155) mengatakan bahwa pewarisan merupakan suatu proses untuk

memberikan pengetahuan yang berupa ilmu, keterampilan, sikap dan perilaku,

serta harta pusaka dari pemilik kepada penerima waris. Lebih jauh dijelaskan oleh

Agussalim bahwa untuk mencapai tujuan pewarisan tradisi yang diharapkan,

masyarakat tradisi dapat menggunakan pendekatan manajemen organisasi seni

pertunjukan, misalnya, baik pewarisan yang dilakukan di lingkungan keluarga, di

lemabaga-lembaga pelatihan milik masyarakat, ataupun pemerintah.

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini pada dasarnya mengkaji hubungan secara fungsional antara

bahasa dan kebudayaan etnik Rongga berdasarkan satuan kebahasaan yang

digunakan dalam wacana vera sebagai tradisi lisan. Terkait dengan karakter fokus

masalah yang ditelaah, penelitian ini menggunakan beberapa teori sebagai

pedoman, yaitu teori formula, teori fungsi, teori semiotik, dan teori perubahan

kebudayaan. Analisis karakteristik struktur wacana tradisi lisan vera dikaji dari

beberapa unsur yang membentuknya. Tolok ukur permasalahan dikaji dengan

menggunakan teori formula Lord. Untuk mengetahui kegunaan wacana tradisi

lisan vera dalam konteks kehidupan etnik Rongga penelitian ini meggunakan teori

fungsi yang dikemukakan oleh Jakobson sebagai panduan dalam mengkaji fungsi

Page 71: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

33

tekstual atau fungsi manifes serta teori Bascom dan Alan Dundes sebagai panduan

dalam mengkaji fungsi kontekstual atau fungsi laten. Analisis makna tanda dalam

wacana tradisi lisan vera, menggunakan teori semiotik yang dikembangkan Eco.

Terakhir, analisis mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera berpedoman

pada teori perubahan kebudayaan yang dikemukakan Geertz dan Bourdieu.

Keempat teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.

2.3.1 Teori Formula

Karakteristik teks wacana vera memiliki relevansi dengan pendekatan atau

teori formula yang dikembangkan oleh Lord. Pendekatan ini bertumpu pada cerita

lisan yang didasarkan pada formula dengan bertolak pada suatu asumsi bahwa

setiap pencerita lisan telah menguasai bentuk-bentuk formula yang siap untuk

dioperasionalkan dalam proses penciptaan cerita lisan dimaksud. Menurut Sweeny

(1987:33-34), pencerita tidak menghafalkan model komposisi tertentu, tetapi

pencerita berangkat dari formula cerita yang telah dimilikinya. Teknik formula itu

dikembangkan untuk melayani dirinya sendiri sebagai seorang ahli seni atau

seniman (Lord, 2000:54; Finnegan, 1979:63). Pencerita mencoba mengingat frasa-

frasa yang telah berkali-kali digunakannya dengan memberdayakan ingatan

(remembering), seperti halnya penggunaan ungkapan-ungkapan yang dilakukan

tanpa disadari, sehingga muncul sebagai ucapan biasa yang bukan berdasarkan

hafalan (memorization).

Dalam pandangan Lord (2000:30), yang dimaksud dengan formula adalah

kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama

untuk mengungkapkan suatu ide hakiki. Formula muncul berulang-ulang dalam

Page 72: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

34

tuturan yang terdiri atas frasa dan klausa atau larik (baris). Menurut Sudikan

(1993:80), untuk menghasilkan frasa, ada dua cara yang ditempuh oleh pencerita

atau penutur ialah mengingat frasa-frasa itu dan menciptakannya melalui analogi

dengan frasa-frasa lain yang telah ada. Pola-pola formula tercipta menjadi

susunan yang formulaik dan ekspresi formulaik yang berupa larik atau separuh

larik disusun atas dasar formula. Dengan formula sebagai dasar, pencerita atau

penutur dapat menyusun baris-baris dengan rapi dan tepat pada posisi tertentu.

Dalam penyusunan baris dengan pola formula, terjadi proses pergantian,

kombinasi, pembentukan model, dan penambahan kata atau ungkapan baru pada

formula yang ada sesuai dengan kebutuhan pada pencerita atau penutur.

Pencerita, menurut Lord (2000:47), dapat membuat baris-baris secara

terus-menerus sesuai dengan keinginan dan kreativitasnya karena tidak ada

sesuatu pun dalam puisi yang bukan formulaik. Berdasarkan hasil penelitiannya,

Tuloli (1991:339) menemukan bahwa formula adalah unsur linguistik, berupa

afiks, kata, frasa, klausa, baris, dan struktur, yang dipakai dalam pola sintaksis,

ritme, dan posisi tertentu. Pola formula merupakan pola baris yang mengikuti

sistem sintaksis dan ritme tertentu untuk menciptakan baris-baris formulaik yang

salah satu unsur atau semua unsurnya sama.

Tema adalah peristiwa atau adegan yang diulang dan bagian-bagian

deskriptif dalam suatu cerita. Tema merupakan kelompok ide yang secara teratur

digunakan pada penciptaan suatu cerita dalam gaya formulaik. Tema tersusun dari

adegan-adegan yang telah ada dalam pikiran pencerita dan digunakan untuk

merakit cerita itu. Tema dapat berkembang, artinya tema bukan hasil kreasi seni

Page 73: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

35

yang benar-benar statis, melainkan hasil kreasi seni yang hidup dan berubah

sesuai dengan situasi (Lord, 2000:86).

Penciptaan baris-baris berurutan dengan menggunakan formula

menimbulkan aspek kepuitisan yang meliputi gaya bahasa, kata, frasa, kalimat,

dan bunyi. Penguasaan formula dan tema merupakan syarat utama dalam

mengungkap tuturan dengan mudah dan lancar. Dalam hubungan ini, menurut

Ikram (1980:76), sastra merupakan sumber yang tidak ternilai bagi pemahaman

aspek kebudayaan suatu masyarakat. Pemahaman aspek kebudayaan suatu

masyarakat dapat dilakukan dengan menelaah sastra yang hidup dan berkembang

dalam masyarakat yang bersangkutan.

2.3.2 Teori Fungsi

Prinsip-prinsip fungsional yang digunakan sebagai acuan dalam mengkaji

fungsi wacana tradisi lisan vera adalah teori fungsi sosial folklor yang

dikembangkan oleh Bascom dan Dundes. Menurut Bascom (1965b:279--298),

suatu tradisi lisan atau folklor diminati oleh para pemiliknya karena dianggap

berguna untuk menunjang keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan kehidupan

mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Beberapa fungsi folklor dalam

tautan dengan konteks sosial budaya masyarakat yang menjadi pemiliknya adalah

sebagai (1) sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan

pemiliknya; (2) alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga

kebudayaan; (3) alat pendidikan anak; dan (4) alat pemaksa dan pengawas agar

norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Terkait dengan hal

itu, Dundes (1965:270) mengemukakan pula bahwa fungsi-fungsi folklor yang

Page 74: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

36

bersifat umum adalah sebagai berikut (1) membantu pendidikan anak muda; (2)

meningkatkan perasaan solidaritas suatu kelompok; (3) memberi sanksi sosial

agar berperilaku baik atau memberi hukuman; (4) menjadi sarana kritik sosial; (5)

memberikan suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan, dan (6)

mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi permainan.

Kedua pendapat di atas digunakan sebagai dasar dalam menganalisis

fungsi wacana tradisi lisan vera karena analisisnya tidak hanya terbatas pada

bahasa yang menjadi media pengungkapnya, tetapi juga menggali lebih jauh

gejala-gejala budaya yang tersimpan sampai dengan gejala-gejala yang transendal

dalam suatu tradisi melalui pemahaman konteksnya. Dengan kata lain, analisis

fungsi wacana tradisi lisan vera ditentukan beradasarkan karakteristik struktur

wacana teks vera sebagai sebuah teks sastra tanpa mengabaikan etnik Rongga

sebagai pemilik, pendukung, dan penghayatnya. Alasan yang mendasarinya ialah

tradisi ritual vera merupakan milik kolektif yang tumbuh dan berkembang dalam

konteks budaya etnik Rongga. Karena tradisi yang diamati berada dalam konteks

budaya, analisis fungsi tersebut disasarkan pada upaya meneropong realitas tradisi

ritual vera dalam konteks kehidupan etnik Rongga sebagai pemilik dan penghayat

vera.

Hal itu dikaitkan dengan pandangan Merton (dalam Kaplan dan Manners,

1999:79) yang menyatakan bahwa fungsi perilaku budaya sebagai cerminan

perilaku bahasa dapat dibedakan atas fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi

manifes adalah konsekuensi objektif yang memberikan sumbangan pada

penyesuaian sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan dalam sistem

Page 75: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

37

tersebut. Fungsi laten menunjuk pada konsekuensi objektif suatu ikhwal budaya

yang tidak dikehendaki dan bahkan tidak disadari oleh warga masyarakatnya. Hal

itu dikaitkan dengan pandangan Maliknowski (dalam Halliday dan Hasan,

(1994:20) bahwa fungsi magis atau fungsi ritual berkaitan dengan pemakaian

bahasa dalam kegiatan seremonial atau ritual keagamaan dalam suatu kebudayaan

(Duranti, 1997:201). Teks wacana tradisi lisan vera merupakan sebuah teks

wacana budaya bergaya sastra yang sarat dengan penggunaan fitur kebahasaan

bercorak puitis dalam membentuk struktur teks, merajut fungsi, dan menganyam

makna pesan yang terkandung di dalamnya.

Analisis fungsi wacana tradisi lisan vera sebagai wacana bergaya sastra

berpilar pada konsep fungsi puitik. Menurut Jakobson (1992:70-79), fungsi puitik

berfokus pada cara isi berita dibahasakan yang tidak dapat ditelaah tanpa

menyentuh masalah umum bahasa. Analisis fungsi puitik melampui batas puisi

atau pengkajian linguistik terhadap puisi tidak terbatas pada fungsi puitik.

Kekhasan jenis puisi yang berbeda menyiratkan kehadiran fungsi bahasa

yang berbeda, namun fungsi puitik paling dominan. Fungsi puitik

memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari poros seleksi kata (paradigmatis)

menuju ke poros kombinasi (sintagmatis) (Levinson, 1989:41; Leech, 2003:20;

Cook, 1994:39--154).

2.3.3 Teori Semiotik

Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda dengan berpilar pada suatu

anggapan dasar bahwa fenomena sosial dan fenomena kebudayaan merupakan

tanda-tanda. Tanda adalah sesuatu yang merepresentasikan seseorang atau sesuatu

Page 76: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

38

yang lain dalam kapasitas atau pandangan tertentu. Pengertian ini mengisyaratkan

bahwa semiotik mempelajari sistem-sistem, atauran-aturan, konvensi-konsvensi

yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Pradopo, 2001:71;

Danesi, 2012:8).

Menurut Eco (1979:8), semiotik adalah suatu disiplin ilmu yang mengkaji

semua proses budaya sebagai proses komunikasi. Terkait dengan itu, Segers

(1978:4) mengatakan bahwa semiotik adalah suatu disiplin yang menyelidiki

semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs ‘tanda-tanda’ dan

berdasarkan pada sign system (sistem tanda). Hal itu selaras dengan pandangan

Priminger (1985:89) yang menyatakan bahwa semiotik mempelajari sistem-

sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda

tersebut mempunyai makna. Semiotik berkaitan dengan análisis makna dan pesan

dalam semua bentuk dan konteks. Semiotik memandang fenomena sosial budaya

sebagai sistem tanda yang mengandung makna. Budaya dapat dikaji sepenuhnya

dengan menggunakan semiotik, tetapi entitas budaya dapat dipertimbangkan dari

sudut nonsemiotik (Eco, 1979:26).

Teori semiotik yang dikembangkan oleh Eco digunakan sebagai panduan

analisis wacana tradisi lisan vera karena teori tersebut berpijak pada suatu prinsip

dasar bahwa semiotik berurusan dengan segala sesuatu yang bisa dianggap

sebagai tanda. Tanda adalah segala sesuatu yang bisa dianggap menggantikan

sesuatu yang lain dan sesuatu yang lain tidak harus ada atau benar-benar ada pada

saat suatu tanda mewakilinya. Fungsi tanda merupakan interaksi antara berbagai

norma, kode memberikan kondisi untuk hubungan timbal balik fungsi-fungsi

tanda secara kompleks (Eco, 1979:49).

Page 77: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

39

Teori semiotik budaya Levi Strauss (1963:68-69) juga digunakan sebagai

panduan analisis wacana tradisi lisan vera, karena dalam teori ini, kebudayaan

dipahami sebagai suatu sistem tanda yang menggambarkan kategori dunia

berdasarkan oposisi biner atau kebudayaan merupakan sistem simbol atau

konfigurasi sistem perlambangan. Asumsi yang mendasarinya, ialah pikiran

manusia di mana-mana sama, tetapi kebudayaan sebagai implementasi pikiran

manusia yang bersifat abstrak berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk memahami

seperangkat simbol budaya tertentu, yang di dalamnya termasuk bahasa, pertama-

tama harus dilihat dalam keseluruhan sistem tempat sistem perlambangan itu

digunakan sebagai salah satu bagian.

2.3.4 Teori Perubahan Kebudayaan

Pengkajian masalah mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera

berpedoman pada teori perubahan kebudayaan. Menurut Geertz (1973:89) dan

Bourdieu (1977:83), perubahan kebudayaan berlangsung sesuai dengan perguliran

waktu dan kemajemukan realitas sosial budaya yang dihadapi pendukungnya.

Kebudayaan, selain dipahami sebagai proses sosial, juga merupakan produk sosial

yang dibentuk dan dipengaruhi oleh keseluruhan proses sosial tersebut. Sebagai

produk yang dikonstruksi secara sosial, dalam kebudayaan terpancar beraneka

kepentingan agen sosial yang terlibat yang membentuk sebuah jaringan makna

yang dinamis melalui proses negosiasi yang intensif dan berkelanjutan.

Perubahan kebudayaan dapat terjadi sebagai akibat perubahan lingkungan,

keragaman individual dalam memahami karakteristik kebudayaannya sendiri,

serta kontak dan komunikasi dengan kelompok etnik lain. Wujud perubahan itu

Page 78: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

40

dapat terjadi dalam bentuk penemuan baru, difusi, hilangnya unsur kebudayaan,

dan akulturasi. Perubahan kebudayaan bergantung pada kelenturan dan kebutuhan

kebudayaan itu pada waktu tertentu, dan kesesuaian antara unsur-unsur baru dan

matrik, kebudayaan yang ada. Perubahan itu biasanya berlangsung seiring dengan

pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya sesuai dengan kemajemukan

realitas yang dihadapinya. Kebudayaan sebagai aspek kehidupan manusia bukan

merupakan sistem terbuka sehingga tidak imun dari perubahan, yang bersumber

dari dalam lingkup kehidupan masyarakatnya sendiri (faktor internal) dan dari luar

(faktor eksternal), yakni pengaruh kontak dengan kebudayaan dan kelompok

masyarakat lain (Haviland, 1988:252--253).

Menurut Tylor (dalam Pals, 2001:30--31), tidak semua bentuk dan aspek-

aspek kebudayaan mengalami perkembangan dalam fase yang sama.

Perkembangan beberapa bentuk kebudayaan dalam masa tertentu dapat saja

tertinggal jauh. Seperti yang disingkapnya dalam “doktrin keberlangsungan

hidup”, berbicara tentang kemajuan dalam setiap peradaban tidak dapat

mengesampingkan hal-hal yang berada dalam kondisi keterbelakangan. Analisis

perubahan kebudayaan harus mengacu pada realitas masa lalu ketika masih berada

dalam tingkatan sederhana (primitif), karena dalam semua kebudayaan, setiap

generasi belajar dari generasi sebelumnya serta memiliki kemampuan sosial dan

intelektual sendiri untuk mengembangkan apa yang sudah dicapai generasi

sebelumnya.

Perubahan kebudayaan, selain berdampak positif berupa kemajuan dan

pembaruan, juga berdampak negatif berupa pergeseran nilai yang selama ini

Page 79: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

41

menjadi sumber rujukan bersama bagi para pendukung kebudayaan tersebut

dalam menata sikap dan pola perilakunya. Hal ini selaras dengan pandangan

Wallace (dalam Kaplan dan Albert, 1999:191) yang menyatakan bahwa pengaruh

kondisi perubahan budaya yang begitu pesat dan kontak budaya yang begitu

intensif menyebabkan struktur kelembagaan yang ada cenderung mengalami

kemacetan. Hal itu terjadi karena skemata budaya lama yang memuat gambaran

cara pandang mereka tentang dunia sudah tidak lagi berfungsi secara optimal

sebagai penuntun yang memadai dalam mendekati realitas yang ada.

Situasi dan kondisi ketidakselarasan itu mendorong mereka melakukan

penataan ulang terhadap pengalamannya menjadi satu kesatuan yang utuh dan

lebih berarti, yang pada taraf budaya disebut revitalisasi. Revitalisasi adalah suatu

bentuk gerakan sosial untuk memberi arti pada sesuatu yang untuk masyarakat

bersangkutan sudah menjadi sebuah dunia yang tercerai-berai dan kehilangan

makna. Sasarannya bermuara pada penghidupan kembali perangkat makna budaya

yang sudah mengalami kekeroposan, baik dalam kandungan ajaran maupun dalam

jumlah dan intensitasnya, demi penciptaan kembali suatu tatanan kehidupan

masyarakat yang serasi, selaras, dan seimbang (Sudikan, 2001:55).

2.4 Model Penelitian

Selaras dengan konsep dasar dan landasan teori yang memayunginya,

dalam bagian ini disajikan model penelitian sebagai kerangka acuan. Model

penelitian ini dirancang dengan beraras pada pemahaman bahwa etnik adalah

suatu kelompok masyarakat yang terikat kesadaran pada kesatuan kebudayaan

yang diperkuat oleh kesatuan bahasanya. Oleh karena itu, dalam model ini,

Page 80: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

42

masalah pokok yang menjadi objek adalah hubungan antara etnik Rongga,

kebudayaan Rongga, dan bahasa Rongga dengan sasaran pemeriannya mencakup

karakteristik struktur teks, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya, seperti

tampak pada bagan di bawah ini.

Bagan 2.1 Model Penelitian Catatan: Anak panah ( ) menunjukkan arah analisis wacana tradisi lisan Vera.

Etnik Rongga

Kebudayaan Rongga

Karakteristik Wacana Trasisi Lisan Vera

Struktur

Teks

Teori Formula

Temuan (Struktur Teks, Fungsi, Makna, dan Mekanisme Pewarisan)

Tradisional Modern/Global

Fungsi

Makna

Mekanisme Pewarisan

Teori Fungsi

Teori Semiotik

Teori Perubahan Kebudayaan

Page 81: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

43

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini diulas beberapa ikhwal yang berkenaan dengan metode

penelitian yang diterapkan untuk menjawab masalah yang ditelaah dalam

penelitian ini. Aspek yang menjadi sasaran pemeriannya mencakup rancangan

penelitian, pendekatan penelitian, lokasi penelitian, jenis data, sumber data dan

informan, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data,

dan uji keabsahan hasil penelitian.

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif analitik yang berlandaskan

pada filsafat fenomenologi (lihat Widyastoto, 2010:757; Moleong, 2006:6). Sesuai

dengan landasan filosofisnya, data wacana tradisi lisan vera dipaparkan dalam

bentuk verbal atau berupa kata-kata. Analisis makna data tersebut bersifat khusus

dan mendalam karena memerikan langsung sasaran dengan menarik realitas

wacana tradisi lisan vera ke permukaan sehingga peneliti membutuhkan waktu

relatif lama untuk memahami makna data tersebut. Terkait dengan itu, alasan lain

adalah satuan kebahasaan yang digunakan dalam wacana tradisi lisan vera, selain

merupakan realitas, juga merupakan wadah makna yang memuat realitas lain

tentang gambaran pandangan dunia etnik Rongga.

Dalam menjawab masalah yang ditelaah dalam penelitian ini diperlukan

pemahaman mendalam (verstehen) dan menyeluruh (holistic) guna menghasilkan

43

Page 82: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

44

simpulan sesuai dengan konteks waktu dan situasi ritual vera yang di dalamnya

terdapat wacana tradisi lisan vera. Penelitian ini dilakukan berdasarkan data

faktual menyangkut wacana tradisi lisan vera dan data tersebut dipaparkan seperti

apa adanya sesuai dengan realitas yang dialami etnik Rongga.

Penelitian ini mencirikan penelitian etnografi karena memaparkan suatu

simpulan konseptualisasi budaya sesuai yang dilakukan dan dikatakan oleh etnik

Rongga, cara etnik Rongga bertindak dalam konteks tradisi ritual vera, dan

artefak atau sarana yang mereka gunakan. Dengan demikian, peneliti menangkap

pandangan penutur asli etnik Rongga, hubungan dengan kehidupan mereka, dan

realisasi visinya terhadap dunia yang tergambar dalam teks wacana budaya tradisi

lisan vera. Esensi isi pesannya menyingkap konseptualisasi etnik Rongga tentang

eksistensi Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, selain eksistensi diri mereka sebagai

manusia dan masyarakat dalam hubungan dengan ketiga kekuatan adikodrati

dimaksud.

3.2 Lokasi Penelitian

Tradisi ritual vera tersebar di beberapa tempat pada komunitas etnik

Rongga di Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa

Tenggara Timur meliputi Kelurahan Tanarata, Kelurahan Watu Nggene, Desa

Bamo, dan Desa Komba. Etnik Rongga yang tersebar di daerah tersebut memiliki

keseragaman ciri yang membangun kesadaran kolektif terhadap kesatuan budaya

yang disebut sebagai budaya etnik Rongga. Keseragaman ini terutama pada

bahasa Rongga yang digunakan sebagai wahana komunikasi intraetnik. Dari segi

Page 83: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

45

pengelompokan etnik, mereka adalah subbudaya dari keseluruhan budaya etnik

Rongga yang tersebar itu. Dalam penelitian ini dipilih satu kelurahan sebagai

lokasi penelitian, yaitu Kelurahan Tanarata kongkretnya Kampung Sambi. Daerah

tersebut dijadikan lokasi penelitian dengan beberapa pertimbangan, yaitu sebagai

berikut. Pertama Kelurahan Tanarata, khususnya kampung Sambi merupakan

kampung tertua dan pusat kebudayaan Rongga. Kedua, di Kelurahan Tanarata

sebagian besar masyarakatnya masih mempertahankan kehidupan tradisi ritual tak

terkecuali tardisi lisan vera sesuai dengan kalender adat, dan berinteraksinya

berbagai etnik sebagai lalu lintas Bajawa-Ruteng. Ketiga, Kelurahan Tanarata

adalah tempat tinggalnya para tetua adat dan pemimpin adat karena situasi

kehidupan masyarakat yang masih mempertahankan tradisi. Keempat, dari segi

kemudahan komunikasi, Kelurahan Tanarata letaknya sangat strategis dan mudah

dijangkau oleh peneliti. Selain itu, pilihan dan lokasi tersebut didukung pula oleh

tersedianya sarana transportasi umum yang cukup memadai. Lokasi penelitian ini

dapat disimak pada peta di bawah ini.

Gambar 3.1 Peta Rongga : Lokasi Penelitian Sumber: Arka 2005

Page 84: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

46

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan

data sekunder. Data primer adalah data hasil penelitian lapangan yang

menyangkut wacana tradisi lisan vera yang diperoleh melalui pertunjukan vera

mbuku sa’o mbasa wini yang dilaksanakan etnik Rongga pada saat penelitian ini

dilaksanakan yakni pada tanggal 27 Oktober 2012. Selain diperoleh melalui

pelaksanaan ritual yang berlangsung di dalam rumah adat dan pertunjukan vera

yang dipentaskan di halaman rumah adat tersebut, sumber data primer tersebut

digali dan dijaring pula dari warga etnik Rongga yang diwakili oleh empat orang

informan kunci yang dipilih sesuai kriteria ideal yang dipersyaratkan .

Pemilihan keempat informan kunci itu dilakukan dengan menggunakan

sistem jaringan, yakni penggunaan tokoh kunci dan penerapan teknik bola salju.

Sebelum menentukan informan kunci, pertama-tama peneliti melakukan

konsultasi tidak resmi dengan Lurah Tanarata, Bapak Yonanes Loni dan tokoh

masyarakat, Bapak Alfridus Ndolu, karena mereka mengetahui secara pasti siapa

yang pantas dan layak dipilih sesuai dengan kriteria ideal yang dipersyaratkan

menjadi informan kunci dalam penelitian ini. Sebelum konsultasi dimulai,

pertama-tama peneliti menyampaikan maksud kedatangannya. Merujuk pada

kebiasaan yang berlaku secara mentradisi pada etnik Rongga, penyampaian

maksud itu diwahanai melalui ritual kepok (upacara penerimaan tamu) dengan

menggunakan sarana satu botol bir dan satu bungkus rokok. Hal yang

disampaikan ialah memohon kesediaan mereka memberi informasi tentang siapa

yang pantas menjadi informan kunci dalam penelitian ini.22

22 Bahasa yang digunakan peneliti dalam ritual kepok tersebut adalah bahasa Indonesia sesuai

dengan terjemahan dari bahasa Rongga yang dibuat oleh Bapak Alfridus Ndolu.

Page 85: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

47

Merujuk pada pandangan Faisal (1990:44--45), Spradley (1997:35--52),

dan Sudikan (2001:9), kriteria utama sebagai pedoman pemilihan keempat

informan kunci tersebut adalah sebagai berikut: (1) warga etnik Rongga atau

penutur asli bahasa Rongga yang berdomisili di lokasi utama penelitian; (2) tokoh

masyarakat dan tokoh adat Rongga; (3) wawasan pengetahuan relatif luas dan

mendalam tentang wacana tradisi lisan vera; (4) laki-laki dewasa berusia minimal

40 tahun; dan (5) kondisi kesehatan jasmaniah dan rohaniah yang baik.

Berdasarkan kriteria tersebut, keempat informan kunci yang dipilih

menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1)

Bapak Thomas Ola, tetua adat Kampung Paundoa. Penelitian di Kampung

Paundoa di Desa Komba diawali dengan pembukaan (kepok) malam hari pada

tanggal 02 September 2012, dilanjutkan pada tanggal 07 sampai 09 September

2012; (2) Bapak Markus Bana, tetua adat Kampung Leko Lembo, Kelurahan Watu

Nggene. Penelitian di kelurahan Watu Nggene diawali dengan pembukaan (kepok)

malam hari pada tanggal 16 September 2012, dilanjutkan pada tanggal 23 sampai

24 September 2012; (3) Bapak David Lombe, tetua adat Kampung Wolomboro.

Penelitian di Kampung Wolomboro diawali dengan pembukaan (kepok) malam

hari pada tanggal 02 Oktober 2012, dilanjutkan pada tanggal 09 sampai 10

Oktober 2012 ; dan (4) Bapak Alfridus Ndolu, tetua adat Kampung Leke,

Kelurahan Tanarata. Penelitian di Kampung Leke diawali dengan pembukaan

(kepok) pada tanggal 17 Oktober 2012, dilanjutkan pada tanggal 26 sampai 29

Oktober 2012. Selain keempat informan kunci tersebut, peneliti juga melakukan

wawancara dengan sejumlah informan pembanding (daftar informan pembanding

terlampir) yang dipilih secara acak.

Page 86: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

48

Data sekunder adalah data diperoleh dari teks-teks tertulis seperti teks-teks

ritual vera yang ditulis oleh pemuka adat setempat. Karakteristik jenis data

tersebut terdiri atas tuturan para pelaku vera yang diekpsresikan dalam bentuk

syair-syair yang dinyanyikan secara bergantian dan berkesinambungan antara noa

lako, woghu, dan daghe pada saat pertunjukan vera. Data wacana tradisi lisan

vera direalisasikan dalam bahasa Rongga melalui penggunaan satuan kebahasaan

berbentuk larik puisi yang diperikan lebih lanjut menjadi fragmen bait, baris,

klausa/kalimat, frasa, kata, dan bunyi.

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Metode Pengumpulan Data

Beberapa metode pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini

adalah pengamatan, wawancara, diskusi kelompok terarah, dan studi dokumenter.

Keempat metode tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

3.4.1.1 Metode Pengamatan

Penerapan metode pengamatan lapangan dalam penelitian ini bertujuan

memperoleh gambaran utuh dan menyeluruh tentang konteks ritual vera mbuku

sa’o mbuku mbasa wini dan wacananya. Dalam kaitan ini peneliti berada dalam

jangka waktu yang lama di lapangan. Peneliti tinggal di Rongga selama kurang

lebih enam bulan efektif dengan rincian, dua bulan untuk penelitian awal (06 Juni

s.d. 8 Juli 2012), dua bulan pengumpulan data (02 September s.d. 5 November

2012 seperti yang sudah di sebutkan di depan), dan dua bulan (12 Nopember s.d.

19 Januari 2013) melakukan pengecekan ulang data hasil analisis peneliti melalui

Page 87: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

49

diskusi dan negosiasi dengan informan demi menjaga objektivitas hasil penelitian

sesuai dengan kekhasan ancangan etnografi dialogis dalam perspektif emik.

Teknik pengamatan yang diterapkan adalah pengamatan terlibat atau

pengamatan berperan serta karena peneliti berperan serta secara langsung sebagai

pelibat aktif dalam seluruh rangkaian ritual vera mbuku sa’o mbuku mbasa wini

pada tanggal 27 Oktober 2012. Peneliti terlibat sebagai peserta ritus dalam ritual

pemberian makan leluhur (ti’i ka) dan pemercikan darah ayam pada bibit (mbasa

wini) yang berlangsung pada malam hari di dalam rumah adat.23 Setelah acara

makan bersama di dalam rumah adat, peneliti ikut menari vera bersama warga

etnik Rongga di halaman depan rumah adat sampai selesai pada pagi hari

menjelang matahari terbit. Pengamatan terlibat di lapangan didukung pula dengan

perekaman data dengan menggunakan rekaman video oleh pembantu peneliti yang

bernama Robertus Alang yang berkerja sebagai tenaga paruh waktu.

3.4.1.2 Metode Wawancara

Berdasarkan data hasil pengamatan, peneliti melakukan wawancara

dengan keempat informan kunci yang mewakili etnik Rongga, dengan

menggunakan teknik wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Sebagai dialog

verbal yang bersifat langsung dan bersemuka, wawancara terstruktur digunakan

untuk mengeksplorasi budaya etnik Rongga, khsusunya tradisi ritual vera yang

mencakup bentuk atau strukturnya, misalnya tata urut ritual, fungsi yang berkaitan

dengan keberadaan dan daya hidupnya, serta makna-makna yang tersirat di balik

perilaku verbal dan nonverbal. Semua hal itu berasal dari perasaan-perasaan, 23 Peneliti mengenakan sarung adat Manggarai (songket) sesuai dengan petunjuk Bapak Alfridus

Ndolu sebelum berangkat menuju ke rumah adat tempat berlangsungnya ritual mbuku sa’o mbuku mbasa wini tersebut.

Page 88: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

50

sikap-sikap, dan kepercayaan masyarakat. Wawancara difokuskan pada

pengetahuan dan pengalaman pribadi infroman tentang tradisi ritual vera.

Wawancara dilakukan peneliti dengan tujuan untuk menggali dan

menjaring pengalaman, pengetahuan, dan pandangan mereka tentang wacana

tradisi lisan vera, terutama yang menyangkut struktur, fungsi, makna, dan

mekanisme pewarisannya. Kegiatan wawancara dilakukan selama beberapa kali

dari satu informan kunci ke informan kunci yang lain, sebagai suatu bentuk

pengecekan silang guna menjaga keabsahan data yang dikumpulkan.24 Wawancara

dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia karena semua informan kunci

bisa berbahasa Indonesia.

Untuk menunjang kelancaran dan keterarasan proses pelaksanaan kegiatan

wawancara, peneliti menyiapkan pedoman wawancara yang berisi sejumlah

pertanyaan tertulis yang berisi beberapa pokok pikiran menyangkut karakteristik

struktur, fungsi, makna, dan sistem pewarisan wacana tradisi lisan vera.

Meskipun demikian, daftar pertanyaan tersebut hanya digunakan sebagai

pedoman umum bagi peneliti agar alur komunikasi selama wawancara dengan

informan tidak membias di luar lingkup masalah yang ditelaah.

Selain wawancara semuka, peneliti menerapkan wawancara tansemuka

dengan informan kunci selama proses analisis data. Wawancara tansemuka

dilakukan dengan menggunakan perangkat teknologi informasi, terutama

24 Waktu pelaksanaan wawancara dengan informan ditentukan sesuai dengan hasil kesepakatan

dan lebih banyak berlangsung pada malam hari karena pada siang hari mereka pergi bekerja di kebun. Beberapa foto kegiatan wawancara semuka peneliti dengan informan kunci dapat dilihat pada lampiran.

Page 89: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

51

handphone,25 untuk mengkorfirmasi dan menegosiasi hasil analisis data yang

dibuat peneliti agar kadar kebenaran penafsiran makna data sesuai dengan

konseptualisasi yang terbingkai dalam peta pengetahuan atau skemata budaya

etnik Rongga.

3.4.1.3 Metode diskusi kelompok terarah

Untuk melengkapi data hasil pengamatan dan wawancara, peneliti

melakukan diskusi kelompok terarah (focused-group discussion) dengan informan

kunci dan beberapa informan pembanding.26 Kegiatan diskusi kelompok terarah

itu dilaksanakan dengan tujuan untuk menggali dan menjaring secara lebih

mendalam lagi pandangan informan tentang struktur, fungsi, makna, dan

mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera.27

3.4.1.4 Metode Studi Dokumentasi

Metode studi dokumentasi berupa pengumpulan data yang tersedia dalam

berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik digunakan dalam

penelitian ini dengan tujuan untuk mendapatkan data sekunder yang dipandang

relevan dengan karakter masalah yang ditelaah dalam penelitian ini. Data tersebut

dipakai pula sebagai latar pikir bagi peneliti dalam melakukan penelitian lapangan

untuk mengetahui struktur, fungsi, makna dan sistem pewarisan wacana tradisi

lisan vera. Secara umum, dua jenis dokumen sebagai sumber rujukan terdiri atas:

(1) acuan umum berupa buku-buku, dan (2) acuan khusus berupa hasil penelitian,

25 Penggunaan perangkat teknologi informasi, dalam hal ini, HP, sebagai sarana dalam melakukan

wawancara tansemuka dengan informan adalah salah satu dimensi kebaruan (novelty) penelitian ini (Bungin, 2007 dan Mashun, 2007). Wawancara tansemuka dengan informan sering kali mengalami hambatan karena gangguan signal di lokasi tempat informan berdomisili.

26 Kegiatan diskusi kelompok terarah dilakukan di rumah Bapak Alfridus Ndolu di Kampung Waekorok, Kelurahan Tanarata.

27 Foto kegiatan wawancara semuka dan diskusi kelompok terarah dengan informan dapat dilihat dalam lampiran.

Page 90: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

52

disertasi, tesis, monograf, artikel dan makalah. Selain data dalam media cetak,

peneliti juga menggunakan data dalam media elekronik sebagai sumber rujukan

dalam pemerolehan data menyangkut wacana tradisi lisan vera.

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data

Selaras dengan penggunaan beberapa metode di atas, teknik pengumpulan

data yang diterapkan dalam penelitian adalah teknik rekam dan simak-catat.

Kedua teknik pengumpulan data tersebut dapat diuraikan di bawah ini.

3.4.2.1 Teknik rekam

Selama melakukan pengamatan dan wawancara, peneliti merekam data

dengan menggunakan perangkat media pandang-dengar yang berupa tustel, video

camera, dan tape recorder. Perekaman itu bertujuan untuk memperoleh gambaran

secara utuh dan menyeluruh berbagai interaksi yang menyangkut perilaku verbal

dan nonverbal yang ditampilkan, di samping perangkat kebendaan yang

digunakan dalam konteks ritual vera mbuku sa’o mbasa wini. Agar keterlibatan

bersifat penuh, kegiatan perekaman dilakukan dengan bantuan dua orang tenaga

pembantu yang memiliki keterampilan dan pengalaman dalam melakukan

perekaman dengan menggunakan perangkat fisik yang baik, termasuk tidak cacat

wicara. Tenaga pembantu yang bersangkutan memiliki sikap terbuka, sabar,

ramah, dan tidak mudah tersinggung, serta yang bersangkutan mengetahui seleuk

beluk tradisi lisan vera. Perekaman data dilakukan sebagai pembantu peneliti agar

tidak mengganggu kelancaran proses pelaksanaan pengamatan dan wawancara

yang sedang dilakukan peneliti.28

28 Pembantu peneliti adalah Bapak Robertus Alang dan Bapak Paulus Tasman yang bekerja sebagai tenaga paruh waktu dalam penelitian ini.

Page 91: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

53

3.4.2.2 Teknik simak-catat

Selama melakukan kegiatan pengamatan dan wawancara, peneliti

mencatat data dalam bentuk catatan deskriptif dan reflektif. Catatan deskriptif

dibuat pada saat kegiatan pengamatan dan wawancara berlangsung. Catatan

tersebut berisi rincian tentang apa yang dilihat, dialami, dan disimak, yang dicatat

sebagaimana adanya. Catatan reflektif berisi kerangka pikir, ide, dan komentar

peneliti sendiri yang dibuat segera setelah setiap kegiatan pengumpulan data

tersebut dilaksanakan guna mencegah terjadinya kealpaan. Cakupan materi utama

yang dicatat meliputi struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisan wacana

tradisi lisan vera.29

3.5 Proses Analisis Data

Teknik analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini bersifat induktif

karena analisis bergerak dari data menuju ke konsep atau teori. Proses analisis

data diawali dengan telaah seluruh data hasil pengamatan, wawancara, dan studi

dokumenter. Data tersebut dianalisis secara kualitatif disertai dengan penggunaan

tabel sederhana untuk melihat frekuensi kemunculan data yang dijaring. Prosedur

analisis data dilakukan secara bertahap dengan tata-urut kegiatannya sebagai

berikut: seleksi data, transkripsi data, pemilihan korpus data, terjemahan, analisis

data, dan laporan, sebagaimana dipaparkan dan dijelaskan di bawah ini.

29 Catatan reflektif yang dibuat oleh peneliti dikonfirmasi dengan catatan yang dibuat oleh

pembantu peneliti.

Page 92: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

54

3.5.1 Seleksi Data

Mengingat data tentang wacana tradisi lisan vera beragam, maka langkah

pertama yang dilakukan oleh peneliti ialah melakukan seleksi data, dengan tujuan

untuk mendapatkan data wacana tradisi lisan vera yang baik dan jelas sebagai data

dasar, di samping untuk mengurangi kemungkinan ambiguitas makna dalam

proses penafsiran. Kriteria umum yang menjadi parameter dalam melakukan

seleksi data tersebut adalah keaslian, kesesuaian data dengan konseptualisasi etnik

Rongga, keterkaitan data dengan wacana tradisi lisan vera, di samping dokumen

pribadi, foto, gambar, peta bahasa dan kebudayaan Rongga. Data utama yang

diseleksi adalah teks wacana tradisi lisan vera,30 hasil pengamatan, hasil

wawancara, berbagai catatan lapangan, dan dokumen resmi. Komponen data yang

diseleksi mencakup latar yang di dalamnya termasuk jenis tuturan, topik, maksud,

dan fungsi, partisipan, bentuk dan isi pesan, urutan tindakan, kaidah interaksi, dan

norma penafsiran.

3.5.2 Transkripsi Data

Teks wacana tradisi lisan vera yang sudah diseleksi itu ditranskripsi dari

bentuk lisan ke dalam bentuk tertulis agar mudah dianalisis. Data wacana tradisi

lisan vera yang ditranskripsi memang sudah tidak persis sama dengan pada saat

pengumpulannya karena aspek lahiriah data yang disajikan berbeda dengan aspek

batiniah (Sudaryanto, 1990:74). Dengan transkripsi tersebut, wacana tradisi lisan

vera berubah menjadi sebuah dunia teks sehingga mudah dianalisis. Transkripsi

30 Beberapa teks wacana tradisi lisan vera yang terkumpul disajikan pada bab IV, bagian

perbandingan teks.

Page 93: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

55

data teks wacana tradisi lisan vera tersebut dilakukan dengan bantuan informan

kunci, yakni Bapak Alfridus Ndolu karena dia memiliki pengetahuan relatif luas

dan mendalam tentang wacana tradisi lisan Vera.31

3.5.3 Pemilihan Korpus Data

Dari beberapa teks wacana tradisi lisan vera yang sudah ditranskripsi,

peneliti memilih satu teks berdasarkan hasil perbandingan teks (teks yang sudah

direkam dan ditranskripsi). Berdasarkan hasil perbandingan teks, peneliti memilih

teks wacana vera mbuku sa’o mbasa wini sebagai korpus atau potret data utama

untuk menjawab masalah penelitian ini yang menyangkut struktur, fungsi, makna,

dan mekanisme pewarisannya.

3.5.4 Terjemahan

Setelah membuat transkripsi, teks wacana vera mbuku sa’o mbasa wini yang

sudah ditranskripsi dan dipilih menjadi korpus data diterjemahkan dari bahasa

Rongga ke dalam bahasa Indonesia. Seperti halnya dalam kegiatan transkripsi,

terjemahan data dilakukan dengan bantuan informan kunci, yakni Bapak Alfridus

Ndolu. Agar hasil terjemahan lengkap dan mudah dipahami, dua ancangan

diterapkan, yakni (1) terjemahan kata demi kata yang langsung diletakkan di

bawah teks asli dengan tujuan untuk menunjukkan makna leksikal kata-kata

tersebut dalam bahasa Indonesia32, dan (2) terjemahan bebas dalam bahasa

Indonesia dengan tujuan untuk mengetahui makna kata-kata tersebut, di samping

31 Bapak Afridus Ndolu adalah Pengawas Sekolah Dasar di Kantor Dinas PPO Kabupaten

Manggarai Timur di Borong, yang berdomisili di Kampung Wae Korok, Kelurahan Tanarata. 32 Terjemahan kata tersebut menggunakan teknik morfologis dalam bentuk glos sesuai dengan

konvensi yang berlaku dalam dunia kelinguistikan.

Page 94: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

56

menerangjelaskan makna kias dari ungkapan-ungkapan dan istilah-istilah bahasa

Rongga yang tidak menyandang makna leksikal tertentu.33

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data

Data dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode induksi,

artinya analisis bergerak dari data menuju ke abstraksi dan konsep tentang wacana

tradisi lisan vera, terutama yang menyangkut struktur, fungsi, makna, dan

mekanisme pewarisan. Dengan merujuk pada pandangan Sudikan (2005:105),

teknik analisis data yang diterapkan adalah teknik penandaan, yang dilaksanakan

melalui beberapa tahapan secara berurut, yaitu (1) pemerolehan data sebanyak

mungkin yang menyangkut struktur, fungsi, makna, dan sistem pewarisan wacana

tradisi lisan vera dengan berbagai variasi yang prosedur pelaksanaan analisisnya

mengikuti proses yang berikut secara berurut: (1) pemerincian, pemeriksaan,

konseptualisasi, dan pengategorian data wacana tradisi lisan vera dilihat dari

aspek struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya; (2) penataan

kembali data hasil pengodean sesuai dengan kategori yang sudah dibuat untuk

dikembangkan ke arah proposisi dan analisis hubungan antarkategori yang ada

menyangkut struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisan wacana tradisi

lisan vera; dan (3) klasifikasi dan pemeriksaan kategori inti melalui perbandingan

hubungan dengan kategori-kategori lain guna menghasilkan simpulan umum tang

berupa rancangan umum (general design) tentang karakteristik wacana tradisi

lisan vera, terutama yang menyangkut struktur, fungsi, makna, dan mekanisme

pewarisannya.

33 Kegiatan terjemahan dibuat oleh informan kunci, Bapak Alfridus Ndolu, dan dibantu oleh

Bapak Markus Bana, karena mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman relatif mendalam tentang wacana tradisi lisan vera.

Page 95: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

57

Proses analisis data dilakukan secara berkelanjutan sejak pengumpulan

data awal sampai dengan laporan hasil penelitian selesai ditulis, dengan tujuan

untuk memperoleh pengertian komprehensif tentang karakteristik wacana tradisi

lisan vera, khususnya struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya, guna

pemahamannya secara holistik. Hasil analisis data yang dibuat peneliti

dinegosiasikan dan didiskusikan secara terus-menerus dengan informan guna

memperoleh kesesuaian dengan konseptualisasi mereka tentang wacana tradisi

lisan vera. Selain sebagai bentuk triangulasi data dan sumber data, negosiasi dan

diskusi tersebut bertalian dengan penerapan pendekatan etnografi dialogis

berperspektif emik, yakni penafsiran makna data wacana tradisi lisan Vera

berdasarkan sudut pandang etnik Rongga.34

3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Penelitian

Hasil analisis disajikan dengan metode formal dan informal. Metode

formal adalah penyajian hasil analisis dengan menggunakan tanda-tanda seperti

tanda kurung, tanda panah, dan sebagainya, sedangkan metode informal adalah

penyajian hasil analisis dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami

dalam bentuk uraian-uraian yang berupa perian verbal yang tertata secara

sistematis dan terstruktur sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

34 Etnografi dialogis dengan menggunakan ancangan emik (analisis makna data berdasarkan

sudut pandang penutur asli) adalah ciri utama etnografi baru yang dikembangkan oleh Spradley (2007) menggantikan etnografi lama, yakni etnografi analogis dengan menggunakan ancangan etik (analisis makna data berdasarkan sudut pandang peneliti). Hasil penafsiran makna data dengan menggunakan etnografi dialogis dan ancangan emik bersifat objektif karena pemaknaan data berdasarkan sudut pandang penutur asli, sedangkan hasil penafsiran makna data dengan menggunakan etnografi analogis bersifat subjektif karena pemaknaan data berdasarkan sudut pandang peneliti.

Page 96: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

58

Data-data grafis berupa tabel, peta, dan foto-foto aktivitas sosial yang

diteliti berkenaan dengan wacana tradisi lisan vera diletakkan di bagian akhir

sebagai lampiran. Hasil penelitian ini ditata secara sistematis dan terstruktur guna

menunjukkan hubungan antara fokus dan aspek yang menjadi sasaran kajian,

tujuan penelitian, perspektif teoritik, dan metode yang digunakan.

Page 97: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

59

BAB IV

KARAKTERISTIK TRADISI LISAN VERA

4.1 Pengantar

Bab ini mengulas karaktersistik vera sebagai salah satu tradisi lisan milik

sosial-kolektif etnik Rongga, berupa tarian tradisional disertai dengan nyanyian

dalam bahasa Rongga. Beberapa aspek yang dikaji mencakup pengertian dan

konsep vera, klasifikasi vera, karakteristik teks vera, bahasa vera, dan

perbandingan teks.

4.2 Pengertian Vera

Secara etimologis, kata atau istilah vera berasal dari kata (verba) pera

yang berarti ’mempertunjukkan’, ’memperlihatkan’ atau ’memberitahukan’.

Sesuai dengan makna leksikalnya, kata atau istilah vera berarti mempertunjukkan

dengan cara menari sambil menyanyi. Secara konseptual, yang dimaksud dengan

vera adalah pertunjukan tarian yang diiringi nyanyian tradisional dalam bahasa

Rongga. Nyanyian itu berbentuk puisi dengan nada dan irama khas sesuai dengan

konteks situasi ritual dan konteks sosial budaya etnik Rongga yang melatarinya.

Esensi isi pesannya mengandung nilai sejarah, nasihat, ajaran, dan nilai filosofis

sebagai pedoman hidup etnik Rongga. Selain mengemban fungsi komunikatif,

vera juga menyandang fungsi integratif dengan menggunakan sumber daya

bahasa Rongga sebagai media penyampaian pesan. Seperti telah disinggung

sebelumnya, kebermaknaan vera tidak dapat dipisahkan dengan konteks situasi

ritual dan konteks sosial budaya etnik Rongga yang melatarinya. Hal ini selaras

59

Page 98: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

60

dengan pandangan Ben-Amos (1991:112) yang menyatakan bahwa sifat

pertunjukan cerita lisan bergantung pada konteks yang di dalamnya terdapat

beberapa variabel seperti pendengar dan kesempatan bercerita.

Dalam perkembangan selanjutnya, kata vera mengalami perluasan makna

menjadi ‘petuah/nasihat’ atau ‘wasiat leluhur’ (Arka, 2010:93). Perubahan itu

terjadi karena esensi isi pesan yang terkandung dalam petuah leluhur berfungsi

sebagai penuntun moral dan pedoman etika bagi warga etnik Rongga dalam

penataan pola perilaku hidup mereka sehari-hari. Esensi isi pesan yang

terkandung dalam petuah itu bermuara pada pemertahanan keselarasan hubungan

dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Petuah yang terkandung dalam wacana

tradisi lisan vera itu mempunyai efektivitas sosial bagi etnik Rongga sebagai

simpul dasar yang menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan

hidup mereka sebagai suatu kelompok masyarakat adat yang terikat dalam satu

kesatuan suku. Kerangka pemahaman itu menggambarkan bahwa dalam peta

pengetahuan etnik Rongga, terpatri konseptualisasi tentang adanya kekuatan lain

di luar dirinya sangat menentukan keberadaan, kebertahananan, dan keberlanjutan

hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Hal itu tercermin dalam

struktur, fungsi, dan makna wacana tradisi lisan vera sebagai produk dan praktek

budaya warisan leluhur yang menyingkap wujud tindakan religius sebagai penciri

keberagamaan etnik Rongga.

Wacana tradisi lisan vera merupakan media komunikasi nilai sosialbudaya

warisan leluhur kepada generasi penerusnya. Pelaksanaan vera dengan cara yang

benar, selain menjamin kesinambungan tradisi warisan leluhur, juga memberikan

Page 99: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

61

kedamaian, ketenteraman, dan kemakmuran hidup bagi etnik Rongga. Dalam

konseptualisasi etnik Rongga, pertunjukan vera merupakan media penerusan nilai

sosial budaya warisan leluhur berupa nilai pengetahuan tentang sejarah suku,

norma, dan nilai filosofis yang berfungsi sebagai penunutun moral dan pedoman

etika dalam menata pola perilaku hidup mereka sehari-hari.

4.3 Klasisfikasi Vera

Kebermaknaan peran vera bertalian dengan konseptualisasi etnik Rongga

bahwa kehidupan manusia bersifat dialektis karena di dalamnya bergayut dua

dimensi makna yang berhubungan secara oposisional, yakni makna kehidupan dan

makna kematian sebagai bukti keberhinggaan eksistensial manusia. Kedua

dimensi makna tersebut tercermin dalam konteks situasi peristiwa yang melatari

kehadiran vera dalam realitas kehidupan etnik Rongga. Sesuai dengan konteks

situasi ritual peristiwa yang melatarinya, secara umum, vera dapat diklasifikasi

atas vera sara jawa (vera sedih) dan vera haimelo (vera gembira).

4.3.1 Vera Sara Jawaa

Seperti telah disinggung sebelumnya, vera sara jawa disebut vera sedih

karena konteks situasi yang melatari pelaksanaannya adalah peristiwa sedih,

seperti peristiwa kematian kepala suku, dengan tujuan untuk menghormati orang

yang meninggal. Dalam teks wacana vera sara jawa dikisahkan kebajikan,

kebaikan, dan keberhasilan yang dicapai selama masa hidupnya. Pertunjukan vera

sara jawaa pada saat orang meninggal dunia berlangsung di halaman rumah adat

selama empat hari (putu lelu) dan di pekuburan yang dikenal dengan sebutan atau

istilah vera maki polo atau vera nggili rate. Mekanisme pertunjukan jenis vera ini

Page 100: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

62

ditandai dengan gerakan kaki arah ke kiri sebanyak tujuh kali. Tujuannya agar

setan tidak mengganggu keluarga yang ditinggalkan dan semua dosa dan

kesalahan yang dibuat orang yang meninggal itu tidak terwarisi secara turun-

menurun kepada semua anggota keluarga yang ditinggalkannya. Oleh karena itu,

selaras dengan tujuannya, vera maki polo disebut vera pemurnian diri bagi semua

anggota keluarga yang ditinggalkan.

Sesuai dengan konteks situasi yang melatarinya, vera sara jawaa termasuk

jenis vera khusus karena berlaku khusus untuk orang-orang tertentu, seperti

kepala suku yang meninggal. Selain kepala suku, vera sara jawaa dapat pula

dilaksanakan bagi orang biasa yang meninggal dalam usia seratus tahun atau lebih

apabila keluarga yang bersangkutan mampu membiayainya (hongga Rongga).

Seperti telah disinggung sebelumnya, hal-hal yang dikisahkan melalui tuturan

ritual vera sara jawa adalah keberadaan orang yang meninggal sebagai orang

yang dihormati karena kebajikan dan kebaikan yang telah dilakukan selama masa

hidupnya, di samping keberhasilan yang dicapainya terutama dalam bidang

ekonomi. Berikut adalah beberapa contoh fragmen teks wacana tradisi lisan vera

sara jawa.

(4-01) Embu mata, sara jawa nenek mati nama upacara (sara jawa) ‘ Nenek mati dibuatkan upacara sara jawa’.

Pota nangi, tei vera hilang ratap muncul tarian dan nyanyian ‘Pertunjukan tarian dan nyanyian untuk menghilangkan ratapan’

(4-02) Ema po soro, ma’e rero ma’e ghewo Bapak beri nasihat jangan ribut jangan lupa ‘ Bapak memberi nasihat janganlah ribut dan jangan lupa’ Ine reku lelu, ma’e rero ma’e ghewo ibu beri nasihat jangan ribut jangan lupa’ ‘Ibu memberi nasihat janganlah ribut dan jangan lupa’

Page 101: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

63

(4-03) Loka jere olo, olo horha loka tempat datar depan, depan tengah tempat ‘Tempat datar yang di depan, yang di depan tengah’ Watu ture tana, tana tendole batu susun tanah, tanah lapis ‘Batu bersusun tanah, dengan tanah yang berlapis’ Kata embu ‘nenek’ dalam ungkapan syair (4-01) di atas adalah sebutan

etnik Rongga kepada roh nenek moyang mereka yang telah meninggal. Secara

maknawi, hal itu merupakan penghormatan kepada roh nenek moyang mereka

dalam wujud rasa cinta dan kasih sayang dengan melaksanakan upacara vera sara

jawa (pertunjukan tarian dan nyanyian pada upacara kematian). Syair pada data

(4-02), secara maknawi, esensi pesannya mengandung nasihat seorang anak

hendaknya patuh atau taat kepada orang tua, dengan tidak meremehkan nasihat-

nasihatnya. Pada data (4-03), syair tersebut menyiratkan makna segala persoalan

sebaiknya diselesaikan secara bersama-sama di depan umum untuk mencapai

kespakatan.

4.3.2 Vera haimelo

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, vera haimelo adalah vera gembira

yang dilaksanakan dengan tujuan untuk menyampaikan ucapan syukur kepada

Tuhan dan roh leluhur atas semua penyelenggaraan dalam kehidupan mereka

sebagai manusia dan anggota masyarakat35. Beberapa jenis vera yang termasuk

dalam kelompok vera haimelo adalah sebagai berikut: (1) vera saju, (2) vera

dheke ra’a, (3) vera dheke sa’o, (5) vera gha’u gha’a, dan (6) vera mbuku sa’o.

Agar lebih jelas, jenis vera tersebut masing-masing dijelaskan seperti berikut.

35 Hasil wawancara dengan Bapak Thomas Ola dan Bapak Alfridus Ndolu di Kampung

Paundoa, serta Bapak Markus Bana di Borong pada tanggal 29 Oktober 2012.

Page 102: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

64

4.3.2.1 Vera saju

Secara leksikal, kata atau istilah saju berarti ‘ane’ atau ‘ganjil’. Vera saju

adalah jenis vera haimelo yang dilaksanakan apabila terjadi peristiwa aneh atau

ganjil, peristiwa kelahiran bayi kembar dengan jenis kelamin berbeda (laki-laki

dan perempuan), dan anak yang tumbuh gigi sejak lahir. Sesuai dengan

kepercayaan etnik Rongga, apabila terjadi peristiwa kelahiran bayi kembar dengan

jenis kelamin berbeda (laki-laki dan perempuan), maka mereka mesti

melaksanakan ritual vera saju yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.

Kerbau berwarna merah sebagai sarana persembahan melambangkan

keberanian menolak bala yang akan menimpa bayi kembar itu dan seluruh

anggota keluarganya. Vera saju dilaksanakan dengan tujuan untuk menolak bala

karena diyakini bahwa keganjilan semacam itu dapat mendatangkan marabahaya

bagi keluarga bersangkutan. Melalui pelaksanaan vera saju, mereka berharap agar

bayi kembar itu terbebas dari segala malapetaka sehingga bisa menjalani

kehidupan normal dengan perasaan nyaman, aman, dan damai.

Vera saju dilaksanakan tidak saja pada saat terjadi peristiwa kelahiran bayi

kembar, tetapi juga ketika mereka berusia empat atau lima tahun yang

berlangsung selama tujuh hari. Pada hari ketujuh, diadakan upacara

penyembelihan hewan korban sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas

peristiwa yang mereka alami. Di samping itu, mereka juga memohon

perlindungan kepada Tuhan agar terbebas dari berbagai bencana dan malapetaka

sehingga mereka dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik dalam kehidupan

selanjutnya. Di Bawah ini adalah contoh fragmen wacana tradisi lisan vera saju:

Page 103: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

65

(4-04) Mbu’e mai, Liti mai gadis datang, Liti datang ‘Gadis datang dari suku Liti’ Nawu na’a, ndia Nggeli antar untuk ini Nggeli (nama suku di Rongga)’ ‘Antar ini untuk nggeli (suku Nggeli)’

(4-05) Dheke ndeta wau ndale, kapu tei ana saju naik atas turun bawah, lahir lihat anak aneh. ‘Naik ke atas dan turun ke bawa, melihat anak yang lahir aneh’ tawa ragha kapu ana, weta nara tertawa riang lahir anak wanita laki ‘Anak laki dan wanita lahir dengan tertawa riang’

Ungkapan syair pada data (4-04) di atas esensi pesannya menyiratkan

makna kebersamaan, saling menghormati satu dengan yang lain meskipun dari

suku yang berbeda. Hal ini merefleksikan aktivitas sosial mereka dalam

kehidupan sehari-hari. Pada data (4-05) esensi pesannya menyiratkan makna

hidup penuh dengan semangat meskipun banyak tantangan.

4.3.2.2 Vera dheke ra’a

Secara umum, vera dheke ra’a adalah vera yang dilaksanakan untuk

memulihkan nama baik seseorang yang telah dianiaya sehingga yang

bersangkutan bisa menjalani kehidupannya dengan normal kembali. Vera dheke

ra’a biasa dilaksanakan oleh orang berstatus sosial tinggi dan berkemampuan

ekonomi kuat. Tujuan vera dheke ra’a ialah memohon kepada Tuhan agar yang

bersangkutan diberi kekuatan dan perlindungan dalam menjalani kehidupan

selanjutnya. Melalui permohonan itu diharapkan pula agar perlakuan tidak wajar

itu tidak akan terulang lagi, terpulih kembali wibawa dan harga diri, serta status

sosialnya terangkat kembali. Di bawah ini fragmen wacana tradisi lisan vera

dheke ra’a:

Page 104: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

66

(4-06) Hongga mai, Liti mai pemuda datang, Liti datang ‘Pemuda datang dari suku Liti’

Pui e pui wasi, ata zhaki sapu e sapu bersih yang kotor ‘Sapu yang kotor supaya bersih’ Kapu kanggo, ramba walo ndia sa’o gendong peluk supaya pulang sini rumah’. ‘Gendong dan peluk supaya pulang ke rumah sini’

(4-07) Mai mbeja-mbeja, ramba pui ata perha datang semua-semua supaya bersih yang miang (sejenis rumput yang menyebabkan gatal) ‘Semua datang supaya miang bersih’

Utu ulu moko lo, ramba mbeja ko mbojo bersatu kepala berada badan, supaya hilang letih capek ‘Kepala dan badan bersatu supaya hilang letih dan capek’

Tampak pada data (4-06) dan (4-07) secara maknawi esensi pesannya

menyiratkan bahwa kebersamaan adalah suatu pengharapan untuk bisa berkumpul

bersatu kembali bersama sanak keluarga dengan penuh kasih sayang baik suka

maupun duka seia sekata. Dengan rasa kebersamaan ini mereka menunjukkan diri

sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai sebuah komunitas etnik yaitu etnik

Rongga.

4.3.2.3 Vera dheke sa’o

Secara leksikal, kata (verba) dheke berarti ‘naik/masuk’ dan kata (nomina)

sa’o berarti ‘rumah adat’. Vera dheke sa’o berkaitan dengan keberhasilan

membangun rumah adat yang baru bagi seluruh warga suku, yang dilaksanakan

ketika memasuki rumah adat baru. Pelaksanaan vera ini dihadiri oleh seluruh

warga dalam satu suku, termasuk ana haki (pihak saudara laki-laki ibu), ana fai

(pihak saudara perempuan ayah), dan tetangga sekitar. Jenis hewan korban yang

Page 105: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

67

disembelih sebagai sarana persembahan adalah babi, kambing, ayam, atau kerbau

bagi keluarga yang berkemampuan ekonomi kuat.

Sesuai dengan konteks yang melatarinya, vera dheke sa’o dilaksanakan

dengan tujuan: (1) menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan atas keberhasilan

mereka dalam membangun rumah adat baru; (2) memohon kepada Tuhan, yang

disampaikan dengan perantaraan roh leluhur, agar memberikan keselamatan dan

kebahagiaan hidup bagi seluruh warga suku, baik ana haki maupun ana fai; (3)

meresmikan rumah baru itu sebagai rumah adat (sa’o merhe/ sa’o lamba); dan (4)

mempererat tali persaudaraan warga satu suku serta antara ana haki dan ana fai.

Ritual vera dheke sa’o diawali dengan upacara penyembelihan babi dan

ayam sebagai sarana persembahan utama. Sebelum disembelih, babi dan ayam

persembahan itu didoakan guna memberitahukan kepada roh leluhur maksud

ritual tersebut dan sekaligus mengundang roh leluhur untuk menyaksikan dan

merestui penggunaan rumah adat itu. Di bawah ini adalah contoh fragmen wacana

vera dheke sa’o:

(4-08) Embu ndeta mata rangga, ma’e ti’i rara kasa leluhur atas tempat tinggi jangan beri panas badan ‘Leluhur di tempat yang tinggi jangan member panas badan’

Embu ndia papa bhoko, baghi kami lombo wombo leluhur sini bagian bawah beri kami ujung tinggi dan besar ‘Leluhur di sini yang di bagian bawah berkati kami yang tinggi besar’

(4-09) Arhi ka’e woso, moe kolo setoko ‘adik kakak banyak seperti penjolok sebatang Adik dan kakak banyak seperti penjolok sebatang

Kita sebija ate, ma’e baghi ngia kita sesuku hati, jangan bagi tempat ‘Kita satu suku dan satu hati jangan berbagi tempat’

Ungkapan syair pada (4-08) esensi pesannya menyiratkan permohonan doa

perlindungan kepada Tuhan melalui perantaraan leluhur mereka supaya tidak ada

Page 106: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

68

yang mengganggu hidup mereka (etnik Rongga) di dunia ini. Sementara itu, pada

data (4-09), secara maknawi menyiratkan persatuan dan kesatuan sebagai salah

satu wujud rasa persaudaraan. Rasa persatuan dan kesatuan ini merupkan kesucian

sosial yang menjadi pedoman moral etika bagi masyarakat Rongga dalam

bersikap dan berperilaku, demi pemertahanan keharmonisan hubungannya dalam

kehidupan bermasyarakat.

4.3.2.4 Vera gha’u gha’a

Vera gha’u gha’a adalah suatu bentuk pertunjukan dengan tujuan untuk

ditonton oleh masyarakat umum dengan bentuk tekstual satuan kebahasaan yang

digunakan tidak bersifat sakral. Pertunjukan vera gha’u gha’a biasanya diadakan

pada saat penyambutan tamu, pelantikan pejabat baru, atau peresmian gedung

baru, di samping sebagai ajang unjuk kebolehan menari dan menyanyi. Jenis vera

ini tidak terikat pada urutan tindakan upacara adat tertentu, seperti yang biasa

diselenggarakan di rumah adat. Beberapa contoh fragmen wacana vera gha’u

gha’a adalah sebagai berikut.

(4-10) Ema Ki Hajar, Ki Hajar Dewantara bapak Ki Hajar, Ki Hajar Dewantara ‘Bapak Ki Hajar Dewantara’ Pera ndara maki embu ana beri cahaya bagi cucu anak ‘Memberikan cahaya kepada cucu dan anak’

(4-11) Ema guru, pera letu letu bapak guru tunjuk sungguh-sungguh ‘Bapak guru memberi petunjuk dengan sunguh-sungguh’ Ana woso, hewe molo molo anak banyak dengar baik – baik ‘Kalian dengarlah baik-baik’

Page 107: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

69

(4-12) Tabhe ema tabhe kami, pu’u one ate hormat bapa hormat kami dari dalam hati ‘Kami menghormati bapa dari dalam hati’ Ana kio renge, mesi ema no hewe anak rengek bersama, semoga bapa sangat dengar ‘Anak merengek bersama semoga bapak mendengar’

Ungkapan syair pada (4-10) secara maknawi, esensi pesannya menyiratkan bahwa

ilmu pengetahuan sebagai suluh hidup yang memberikan penerangan bagi

kehidupan manusia di dunia. Data (4-11) dan (4-12) esensi pesannya menyiratkan

makna kepatuhan terhadap orang tua dengan menaati semua nasihatnya dan

menghormati mereka dengan penuh kasih sayang.

4.3.2.5 Vera mbasa wini

Vera mbasa wini adalah bagian dari vera mbuku sa’o atau vera gembira.

Secara leksikal, kata mbasa berarti ‘basah’ dan kata wini berarti ‘bibit’. Istilah

mbasa wini berarti memerciki bibit dengan darah korban (ayam atau babi) sebagai

ungkapan permohonan kepada Tuhan yang disampaikan dengan perantaraan

leluhur supaya memberkati bibit yang telah disiapkan untuk ditanam agar

bertumbuh subur dan memberikan hasil berlimpah pada tahun musim yang akan

datang. Sesuai dengan kalender adat yang hidup dan berkembang dalam realitas

sosial budaya etnik Rongga, vera mbasa wini dilaksanakan pada awal musim

tanam, yang biasanya jatuh pada sekitar bulan Oktober.

Vera mbasa wini dilaksanakan pada malam hari sampai dengan pagi hari

menjelang matahari terbit, dengan tujuan sebagai berikut: (1) memberi

makanan/sesajian kepada leluhur; (2) memohon berkat kepada Tuhan dan roh

leluhur agar bibit-bibit yang akan ditanam di lahan pada tahun musim yang baru

Page 108: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

70

bertumbuh subur dan mendatangkan hasil berlimpah; (3) mengingatkan kepada

seluruh warga suku supaya bekerja keras dalam mengolah lahan jika ingin

memperoleh hasil panen berlimpah; (4) memupuk rasa persatuan dan kesatuan

antarwarga yang tercakup dalam satu suku; dan (5) menciptakan suatu tatanan

kehidupan yang sehat dan sejahtera karena mendapat rejeki berlimpah. Di bawah

ini adalah contoh fragmen wacana vera mbasa wini :

(4-13) Rau Kala tata weta, nara ndua sama tebang hutan tata adik perempuan saudara pergi sama ‘Adik perempuan saudara pergi bersama tebang hutan tata’ Na’a pare jawa ramba mbiwa tona ka

tanam padi jagung supaya tidak kurang makan ‘ Menanam padi dan jagung supaya tidak kekurangan makan’

(4-14) Su’a kuku gheli weta, pengga hoa wini kayu kukun lurus adik perempuan, tikam tanam bibit ‘Adik perempuan menikam dan tanam bibit dengan kayu kukun lurus’ Nara wetu jomi weta, nggoti do ndomi saudara tajamkan ujungnya adik perempuan, tanam lebih cepat ‘Saudara tajamkan ujungnya sehingga adik perempuan bisa tanam

lebih banyak’

Ungkapan syair pada (4-13) dan (4-14) esensi pesannya menyiratkan

makna giat bekerja untuk mendapatkan hasil yang berlimpah dengan menanam

padi dan jagung. Padi dan jagung merupakan jenis tanaman yang diwariskan

secara turun temurun dari nenek moyang etnik Rongga yang dikembangkan secara

tradisional.

Page 109: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

71

Bagan 4.1 Klasifikasi Vera

4.4 Karakteristik Teks Wacana Vera

Berikut dipaparkan karakteristik teks vera yang dirunut menurut jenis teks,

isi pesan yang terkandung di dalamnya, dan amanat yang disampaikan.

Karakteristik teks tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.

4.4.1 Jenis Teks Wacana Vera

Wacana tradisi lisan vera memiliki bentuk satuan kebahasaan yang diracik

secara khusus berupa penggunaan ungkapan berpasangan dan kata-kata arkais

yang maknanya sulit dipahami.36 Ditilik dari ragam bahasanya, wacana tradisi

lisan vera digolongkan sebagai sastra lisan karena disebarkan dan diwariskan

secara lisan atau dari mulut ke mulut. Dilihat dari medium penyampaian, wacana

36 Penggunaan kata-kata arkais tersebut dapat diidentifikasi sebagai fenomena retak dalam teks dengan

tujuan untuk menunjang kesakralan fungsi dan makna wacana tradisi lisan vera.

Vera (Tarian & Nyanyian)

Vera Sara jawa (Vera Sedih)

Vera Haimelo (Vera Gembira)

Vera Dheke Ra’a (pemulihan nama baik)

Vera Ghau Gha (sebagai media

hiburan)

Vera Dheke Sa’o

(masuk rumah adat baru)

Vera mboku sa’o

Mbasa Wini (pemberkatan

bibit)

Vera Saju (tolak bala)

Page 110: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

72

tradisi lisan vera termasuk folklor campuran verbal (verbal mixed-folklor atau

partly verbal folklore) karena memadukan tarian dan nyanyian. Ditelaah dari

aspek bentuk, wacana tradisi lisan vera merupakan puisi rakyat berbentuk syair

sebagai model ekspresi gagasan yang ingin disampaikan. Sebagai puisi rakyat,

wacana tradisi lisan vera memiliki struktur tersendiri yang memadukan sistem

bunyi yang teratur dan terpola dengan formulasi ekspresi-ekspresi dan kata-kata

yang diseleksi dengan guratan makna khas sesuai dengan kekhususan konteks

ritual yang melatarinya.

Ditilik dari perspektif linguistik formal, satuan kebahasaan wacana tradisi

lisan vera tampil dalam bentuk baris dan bait yang berupa perpaduan leksem dan

pengulangan dengan memanfaatkan fitur paralelisme sebagai ciri utama.

Kekhasan fitur paralelisme tersebut tercermin dalam paralelisme fonologis yang

ditandai dengan penggunaan asonansi, aliterasi, rima. Paralelisme leksiko-

semantik ditandai dengan sinonim dengan tujuan untuk mempertegas makna

pesan yang ingin disampaikan.37

4.4.2 Isi Teks Wacana Vera Teks vera merupakan produk dan praktik budaya warisan leluhur yang

berperan sebagai peranti untuk mempererat rasa kebersamaan dalam ikatan

komunitas etnik Rongga, di samping mencirikan identitas keyakinan etnik Rongga

sebagai suatu kelompok masyarakat adat. Sesuai dengan esensi isi pesan yang

terkandung di dalamnya, teks vera mengulas kisah sejarah asal usul suku yang

tercakup dalam kelompok etnik Rongga.

37 Hal ini mendukung pandangan Fox (1974:73) dan Grimes (1997) yang menyatakan bahwa paralelisme

merupakan salah satu ciri khas dan menonjol tuturan ritual di kawasan timur Indonesia.

Page 111: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

73

Seperti telah disinggung sebelumnya, kelompok etnik Rongga terdiri atas

22 suku yang terdiri atas suku Liti, Motu, Lowa, Nggeli, Sawu, Nggana, Raghi,

Sui, Wio, Naru, Sera, Mbula, Kenge, Tanda, Ramba, Ria, Kewi, Poso, Ngenga,

Nggejo, Roka, dan Ramba (Sumitri dan Arka, 2013:10). Suku-suku tersebut

terbentuk berdasarkan hubungan kekerabatan darah dan kekerabatan perkawinan,

di samping kesamaan rumah induk sebagai rumah asal. Sebagai suatu masyarakat

adat, enik Rongga memiliki tata susunan masyarakat yang berpijak di atas norma-

norma adat, kekeluargaan, dan kebersamaan yang terbentuk sesuai dengan kaidah

sosial budaya warisan leluhurnya.

Kandungan makna historis dalam wacana tradisi lisan vera sebagai sumber

pengetahuan tentang asal muasal untuk memupuk semangat sosial-kolektif dan

menciptakan kerukunan hidup etnik Rongga. Kerukumam itu dilandasi dengan

nilai rasa kebersamaan sebagai saudara hidup dalam kenersamaan. Wacana tradisi

lisan vera menyiratkan kekayaan intelektual etnik Rongga yang sarat nilai

filosofis yang dikemas dalam satu kesatuan dengan gaya bahasa persamaan,

metafora, personifikasi, dan sindiran. Nilai filosofis wacana tradisi lisan vera

terkait dengan eksistensi diri etnik Rongga sebagai makhluk individu, makhluk

sosial, dan makhluk berbudaya. Salah satu nilai filosofis penting dalam vera

adalah agar dalam keseharian hidupnya, etnik Rongga mesti menampilkan pola

perilaku yang baik demi pemertahanan keselarasan hubungan dengan lingkungan

sosial-budaya dan lingkungan alam fisik. Sesuai dengan konseptualisasi yang

terbingkai dalam peta pengetahuan etnik Rongga, setiap bencana alam yang

terjadi bertalian secara maknawi dengan perilaku manusia. Malapetaka yang

Page 112: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

74

dialami dipahami sebagai imbalan atas kesalahan yang sudah dibuat dalam

kehidupannya. Malapetaka merupakan ganjaran dari nenek moyang dan Tuhan

atas perilaku menyimpang dari kaidah budaya leluhur.

Sebagai sebuah produk dan praktik budaya warisan leluhur, dalam wacana

tradisi lisan vera tersirat keyakinan akan kemahabesaran Tuhan, di samping

signifikansi peran leluhur sebagai perantara dan sandaran untuk mendapatkan

perlindungan ketika warga etnik Rongga menghadapi beragam tantangan hidup.

4.4.3 Amanat Teks Wacana Vera

Amanat utama yang terkandung dalam wacana tradisi lisan vera bergayut

dengan konseptualisasi etnik Rongga tentang eksistensi Tuhan, roh leluhur, dan

roh alam, di samping eksistensi diri mereka sebagai manusia dan anggota

masyarakat dalam hubungannya dengan ketiga kekuatan adikodrati tersebut.

Meskipun pelaksanaan vera sara jawa hanya diperuntukkan bagi orang-orang

tertentu, amanat yang terkandung di dalamnya, selain berkaitan dengan hakikat

kematian sebagai bukti keberhinggaan eksistensial manusia di hadapan Tuhan,

juga mempunyai efektivitas sosial menyangkut pentingnya memberi

penghormatan kepada orang yang meninggal. Dengan mengisahkan perjalanan

hidup, jasa-jasa, dan perbuatan baik yang pernah dilakukan semasa masa

hidupnya, tersirat amanat yang patut diteladani dalam konteks kehidupan setiap

hari. Penghormatan terhadap orang yang meninggal, sebagaimana

dimanifestasikan melalui vera sara jawa, merupakan refleksi nilai sosial-budaya

tentang pentingnya menghargai jasa dan menghormati keteladanan sosok

tokohnya.

Page 113: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

75

Sesuai dengan konseptualisasi yang tertera dalam peta pengetahuan etnik

Rongga, siratan amanat yang terkandung dalam vera haimelo tidak saja bermuara

pada rekonsiliasi transendental dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, tetapi

juga rekonsiliasi sosial mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat demi

pemertahanan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan. Substansi amanat

vera mbasa wini ialah memohon kepada Tuhan dan roh leluhur agar bibit yang

akan ditanam di ladang terbebas dari hama penyakit sehingga dapat bertumbuh

subur dan memperoleh hasil berlimpah. Esensi isi pesan tersebut

terkonseptualisasi dalam peta pengetahuan atau skemata budaya etnik Rongga

sesuai dengan pengalaman yang pernah mereka hadapi sebelumnya.

4.4.4 Konteks Teks Vera

Pertunjukan sebagai sebuah aktivitas ekspresif tidak saja memberikan

kenikmatan dan mengundang tanggapan, tetapi juga membutuhkan partisipan

(Sims dan Stephens, 2005:128-129). Pertunjukan vera sebagai aktivitas ekspresif

yang menyingkap sosok kebudayaan etnik Rongga membutuhkan partisipan yang

berperan sebagai penari dan penyanyi. Hal ini bertalian dengan pandangan

Finnegan (1992a:94-98) yang menyatakan bahwa dalam sebuah pertunjukan dua

unsur yang berperan adalah penyaji dan penonton. Penyaji menentukan

keberhasilan pertunjukan karena merangsang penonton untuk memberikan respon

terhadap pertunjukan. Interaksi antara penyaji dan penonton merupakan salah satu

persyaratan yang menentukan keberhasilan dan kualitas sebuah pertunjukan.38

38 Pandangan di atas diperkuat dengan pendapat Mathew Isaac Cohen, Professor of International

Theatre Department of Drama and Theathre, dari University of London Egham dalam wawancara yang berlangsung di Leiden, Belanda, tanggal 4 dan 25 November 2011.

Page 114: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

76

Unsur lain yang menentukan keberhasilan sebuah pertunjukan adalah

situasi dan media. Beberapa aspek yang tercakup dalam unsur situasi adalah

sebagai berikut: (1) waktu, tempat, dan jarak; (2) susunan dan organisasi

pertunjukan; (3) perilaku khalayak; dan (4) pandangan masyarakat. Beberapa

aspek yang tercakup dalam unsur media adalah sebagai berikut: (1) saluran

akuistik (bunyi bahasa, musik, dan akuistik seperti bunyi yang dihasilkan alat-alat

tubuh); (2) saluran visual dan material (warna kostum, perhiasan, alat musik,

aransemen, sistem tanda, dan simbol); (3) kinesik (bahasa tubuh dan proksemik -

jarak antarpartisipan dalam komunikasi); dan (4) perasaan yang muncul selama

proses pertunjukan.

Unsur pertunjukan di atas berkaitan erat dengan komponen dalam

etnografi komunikasi (Hymes, 1972:35-37). Etnografi komunikasi mengkaji peran

bahasa dalam perilaku komunikatif, yakni bagaimana bahasa digunakan dalam

masyarakat yang berbeda-beda kebudayan, dan sebagai salah satu ancangan dan

pisau analisis dalam membedah sebuah peristiwa tutur. Merujuk pada pandangan

tersebut, dalam bagian ini, dipaparkan dan dijelaskan beberapa komponen utama

vera haimelo, khususnya vera mbuku sa’o mbasa wini, yang mencakup latar,

pelibat, tujuan, urutan tindakan, dan bahasa.39

39 Ritual vera mbasa wini diambil sebagai contoh karena termasuk ritual musiman yang

dilaksanakan secara rutin dan intensif setiap tahun oleh etnik Rongga sampai sekarang.

Page 115: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

77

4.4.5 Latar

Pengertian latar di sini menunjuk pada konteks waktu, tempat, dan suasana

psikologis sebagai lingkungan nirkata yang melatari pelaksanaan vera mbasa

wini. Berikut dijelaskan masing-masing latar tersebut.

4.4.5.1 Latar waktu

Vera mbasa wini termasuk ritual musiman yang dilaksanakan secara rutin

dan intensif setiap tahun, sebelum musim tanam atau sekitar Oktober sampai

November. Akan tetapi, pada masa sekarang, waktu pelaksanaannya bergantung

pada kesiapan keluarga yang bersangkutan. Vera mbasa wini dilaksanakan pada

malam hari sampai dengan pagi menjelang matahari terbit sesuai dengan

konseptualisasi etnik Rongga bahwa malam hari adalah waktu yang tepat untuk

berkomunikasi dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Malam hari merupakan

kesempatan yang baik bagi orang tua untuk memberikan nasihat kepada anak-

anaknya yang masih membutuhkan bimbingan dalam proses pembentukan watak

dan kepribadian mereka. Waktu pelaksanaan ritual tersebut bersesuaian dengan

keberadaan mereka sebagi petani ladang, yang pada siang hari bekerja di kebun

dan sore hari baru pulang ke rumah, sehingga pada malam hari, mereka

berkumpul bersama dengan seluruh anggota keluarga di rumah.

4.4.5.2 Latar tempat

Ritual mbuku sa’o mbasa wini dilaksanakan di halaman rumah adat yang

disebut dengan istilah sa’o lamba. Panggung tempat pelaksanaan vera terletak di

halaman terbuka dengan posisi penari membentuk barisan tepat di depan halaman

Page 116: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

78

rumah adat. Panggung dibuat di luar rumah adat guna memberikan keleluasaan

kepada pelibat upacara dalam menari dan menyanyi.

4.4.5.3 Pelibat

Setiap orang bisa terlibat dalam acara vera, kecuali dalam acara inti hanya

bisa dilakukan oleh orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut

konseptualisasi etnik Rongga, pertunjukan vera harus dilakukan oleh orang

dewasa karena memiliki kestabilan emosi dan mampu menari sambil melantunkan

syair-syair vera dengan baik sesuai dengan kaidah leluhur. Selain memiliki rasa

tanggungjawab atas keberlangsungan hidup vera, pertunjukan vera dilaksanakan

oleh orang dewasa agar dapat berjalan lancar karena vera merupakan produk dan

praktik budaya warisan leluhur yang bersifat sakral-magis. Tiga kelompok pelibat

yang mengemban peran sebagai pelaku utama dalam pertunjukani vera adalah

nua lako, woghu, dan daghe. Masing-masing pelibat pertunjukan vera adalah

sebagai berikut.

1) Noa Lako

Noa lako adalah seorang laki-laki dewasa yang berperan sebagai

pemimpin dan pemandu tarian vera yang berposisi paling depan dalam barisan

penari berhadapan dengan daghe. Sesuai an denkonseptualisasi etnik Rongga,

laki-laki tidak saja memiliki kemampuan fisik yang kuat, tetapi juga mampu

mengendalikan dan membangunkan semangat para penari untuk tetap bertahan

karena pelaksanaan vera berlangsung dalam waktu relatif panjang dan sangat

melelahkan.

Page 117: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

79

Orang yang berperan sebagai noa lako adalah orang yang telah dikenal

masyarakat karena memiliki keahlian melantunkan syair-syair vera. Selain

memiliki keahlian melantunkan syair-syair vera, seorang noa lako mesti memiliki

kemampuan menyemarakkan vera dengan membalas syair-syair atau berbalas

pantun dari posa pata dengan sikap sopan dan santun. Yang bersangkutan mesti

memiliki kemampuan membangkitkan semangat para penari dengan hentakan

kaki dan lantunan suara merdu sehingga membakar semangat para penari dalam

menampilkan gerakan tari dan menyanyi, teristimewa pada saat gerakan tari

berlari mengelilingi arena pertunjukan. Gerakan tari sambil berlari secara

berulang tanpa henti mengiringi lantunan syair-syair lagu yang dinyanyikan

bersama menambah maraknya suasana pertunjukan vera.

2) Woghu dan Daghe

Partisipan lain yang mengemban peran penting dalam konteks pertunjukan

tarian vera adalah woghu (penari laki-laki) dan daghe (penari perempuan).

Kelompok woghu yang berjumlah minimal sepuluh orang dan berada di barisan

paling belakang dari barisan daghe membentuk posisi melengkung serta berperan

sebagai penari dan penyanyi. Seorang woghu yang mengemban tugas khusus

untuk melantunkan syair-syair nyanyian yang dibalas oleh noa lako dan diiringi

sahutan sayir-syair nyanyian dari daghe, yang sarat pesan moral, disebut posa

pata ‘tunjuk pesan’. Salah satu contoh syair yang dilantunkan oleh posa pata yang

menyiratkan makna kemahakuasaan Tuhan yang menciptakan manusia di dunia

tiada yang lain dapat dilihat dan disimak pada fragmen berikut.

Page 118: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

80

(4-15) Kau kau ja’o, kau mendu sei kamu-kamu saya kamu bukan siapa ‘Kamu dan saya, kamu bukan siapa’

Kau kau ja’o, kaju jawa mendu ata kamu-kamu saya, kayu jawa bukan orang lain ‘Kamu dan saya bukan orang lain’

Pada pelaksanaan acara inti vera, seorang woghu yang mengemban tugas

khusus untuk melantunkan syair-syair vera memberi aba-aba tari dalam gerakan

tari sambil berlari disebut posa jara ‘tunjuk langkah’. Salah satu contoh syair di

bawah ini yang dilantunkan posa jara secara maknawi menyiratkan makna

sindiran kepada orang yang tidak mandiri dan selalu bergantung pada orang lain.

(4-16) Ana niu embu, kana nderi-nderi anak panggil nenek, selalu nderi nderi (nama orang)

‘Anak memanggil nenek selalu nderi nderi (nama orang)’ Embu niu nusi, kana nderi-nderi nenek panggil moyang selalu nderi nderi (nama orang) ‘Memangil nenek moyang dengan nderi nedri (nama orang)’

Kelompok dhage yang berjumlah minimal sepuluh orang berposisi di

depan barisan woghu dan saling berpegangan tangan berangkai. Barisan diatur

oleh seorang daghe yang berada pada posisi paling depan, yang disebut ana ulu

‘anak kepala’. Seorang penari dari barisan daghe yang berada pada posisi paling

ujung akhir disebut ana eko ‘anak akhir’. Seorang daghe yang bertugas melempar

selendang sebagai tanda selesainya vera disebut pani ‘umpan’. Semua penari

mesti menunjukkan dan menampilkan kekompakan dalam menari dan menyanyi

tanpa henti mengelilingi arena sampai pertunjukan vera selesai pada pagi hari

menjelang matahari terbit.

Page 119: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

81

4.4.6 Tujuan

Komunitas etnik Rongga mengenal berbagai kebiasaan yang dipegang

teguh demi mencapai ketenteraman dan kerukunan hidup mereka sebagai manusia

dan anggota masyarakat. Kesamaan pola pikir religius tentang eksistensi Tuhan,

roh leluhur, dan roh alam tampak secara eksplisit dan implisit dalam struktur vera

mbuku sa’o mbasa wini. Hal itu menunjukkan adanya ketergantungannya sebagai

manusia dan anggota masyarakat dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam.

Sebagai manusia, mereka perlu melakukan pengendalian diri secara sosial

dengan mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku sesuai dengan

konvensi sosial yang sudah digariskan dan diwariskan leluhurnya. Ritual vera

merupakan media dan sarana bagi etnik Rongga untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya dengan berpilar pada keyakinan akan adanya kekuatan adikodrati yang

sangat menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlangsungan hidup sebagai

manusia dan anggota masyarakat. Dalam perspektif ini, ritual sebagai praktik

peribadatan tidak saja mengekpresikan emosi spiritual dengan guratan makna

magis, tetapi juga mengikat para pelakunya ke dalam ikatan komunitas. Ritual

vera yang sudah terpola dalam tatanan kehidupan etnik Rongga memberikan

identitas keyakinan yang kemudian dicerap menjadi ciri-ciri individu. Keyakinan

yang terpancar melalui ritual vera merupakan sumber daya bagi warga etnik

Rongga agar mereka bisa bertahan hidup dalam dunia, baik dalam dunia faktual

maupun dalam dunia simbolis.

Ritual vera mbuku sa’o mbasa wini berfungsi sebagai wahana

penyembahan terhadap Tuhan dan pernghormatan terhadap roh leluhur sebagai

Page 120: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

82

sumber kekuatan spiritual utama yang sangat menentukan keberadaan dan

kebertahanan hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Dalam

wacana tradisi lisan vera, termuat resapan keinginan dan harapan etnik Rongga

agar roh leluhur selalu melindungi mereka dalam menghadapi tantangan hidupnya

di dunia. Dengan dilaksanakan ritual vera, diharapkan semua anggota suku

terbebas dari berbagai malapetaka. Sesuai dengan konseptualisasi etnik Rongga,

Pelaksanaan vera sebagai sebuah ritual yang disertai dengan iringan tarian dan

nyanyian memiliki tujuan khusus yang tidak terpisahkan dari kepercayaan asli

mereka. Oleh karena itu, pelaksanaan ritual vera tidak saja memperkuat dan

meneruskan nilai tradisi budaya warisan leluhur, tetapi juga mengesahkan sistem

kepercayaan atau agama lokal yang dianut oleh etnik Rongga.

4.4.7 Urutan Tindakan

Dilihat dari urutan tindakannya, secara umum, struktur ritual vera terdiri

atas tiga bagian upacara yang berhubungan secara organis dan saling terkait dalam

satu kesatuan struktur dan tekstur. Ketiga bagian upacara sebagai unsur bawahan

yang membentuk struktur ritual vera meliputi bagian pembukaan (ti’ika), inti

(vera), dan penutup (tetendere). Masing-masing bagian ini dapat diuraikan seperti

berikut.

1. Bagian Pembukaan

Upacara bagian pembukaan adalah pemotongan ayam persembahan (pau

manu). Pemotongan ayam itu untuk memberi makan kepada roh leluhur (ti’i ka

embu nusi) dengan urutan tindakan upacaranya sebagai berikut.

Page 121: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

83

a) Ti’i Ka

Secara etimologis, ti’i ka terbentuk dari kata (verba) ti’i ‘beri’ dan kata

(nomina) ka ‘makanan’. Ritual ti’ika adalah ritual pemberian makanan kepada roh

leluhur (embu nusi) dengan tujuan untuk memberitahukan kepada roh leluhur

bahwa mereka akan melaksanakan ritual vera dan memohon agar tidak ada

halangan dalam proses pelaksanaannya. Jenis hewan yang menjadi sarana

persembahan adalah dua ekor ayam jantan berwarna merah. Pertama-tama, kedua

ayam itu disembelih dan dibakar (tunu). Setelah dibakar, ayam itu dipotong-

potong dan diambil hatinya untuk diperiksa urat (ngilo ura manu), sebagaimana

dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 4.1 Pemeriksaan Hati Ayam (ngilo ura manu) dalam Konteks Vera mbuku sao’o mbasa wini (Dokumen Sumitri, 2012)

Gambar 4.1 di atas adalah pemeriksaan hati ayam untuk mengetahui

apakah musim tanam pada tahun musim yang akan datang mendapatkan hasil

berlimpah atau tidak. Apabila hati ayam sehat, itu berarti mereka akan mendapat

hasil berlimpah, atau sebaliknya, apabila tidak sehat, itu berarti panennya akan

gagal. Setelah dilaksanakan pemeriksaan hati ayam, sebagian isi dan hatinya

Page 122: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

84

dibakar lalu dicuil sebagai lauk untuk dipersembahkan kepada roh leluhur. Setelah

pemberian makan kepada leluhur, acara selanjutnya adalah acara makan malam

bersama untuk semua peserta vera.

b) Mbata

Mbata adalah acara menyanyi bersama yang diiringi pemukulan gong dan

gendang dengan tujuan mengundang para peserta vera untuk melakukan persiapan

karena pertunjukan vera akan segera dimulai. Kelompok pelibat adalah semua

orang yang hadir pada malam itu, baik anggota suku maupun di luar suku, yang

memiliki keterampilan mbata. Lagu-lagunya diambil dari teks mbata yang sudah

biasa didendangkan oleh pecinta mbata, sebagaimana dapat dilihat dan disimak di

bawah ini.

(4-22) Romalu totoro, romalu totoro oooooo Semua leluhur hadir semua roh leluhur hadir ‘Semua roh leluhur hadir’

Seperti tampak pada data (4.22) di atas, esensi isi pesan yang tergurat

dalam syair itu ialah mengundang roh leluhur agar hadir dalam rangkaian upacara

vera dan memohon perlindungan agar proses pelakasanaan vera berjalan lancar.

2. Bagian Inti (Vera)

Bagian inti adalah pertunjukan tarian vera yang membawahi beberapa

bagian yang berhubungan secara organis dan saling terkait dalam satu kesatuan

struktur dan tekstur.

a) Nggo Lau Tolo

Sebelum acara vera dipentaskan di halaman rumah, diawali dengan acara

nggo lau tolo. Kata (nomina) nggo berarti ‘gong’ atau ‘gendang’ dan kata

Page 123: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

85

(nomina) lau tolo berarti ‘loteng’, tempat khusus untuk menyimpan gong-

gendang. Acara ini bertujuan memberitahukan bahwa acara mbata telah berakhir

dan gong-gendang disimpan lagi di loteng (lau tolo) karena pertunjukan tarian

vera akan segera dimulai. Bunyi syair lagu dalam acara nggo lau tolo adalah

sebagai berikut.

(4-17) Nggo lau tolo, e e lau tolo wonga Gong gendang loteng ya ya loteng tempat ‘Gong gendang tempatnya di loteng’ (4-18) Sese ana manu, ana manu kero

Kuning anak ayam. anak ayam kuning ‘Anak ayam berwarna kuning’

Data (4-17) menyiratkan makna bahwa acara mbata sudah selesai dan

gong- gendang segera disimpan kembali di loteng rumah adat. Data (4-18) berisi

sanjungan kepada penari wanita yang cantik-cantik dan berkulit putih kekuning-

kuningan. Syair di atas diulang tiga atau empat kali oleh penari sambil berjalan

menuju ke arena dan bernyanyi bersahutan antara penari laki-laki dan perempuan.

b) Tora Loka

Tora loka adalah acara pembersihan arena dari gangguan roh jahat dan

sesama manusia agar tarian vera berjalan lancar dan sukses dengan memohon

kehadiran leluhur. Para penari laki-laki (woghu) dan penari perempuan (daghe)

berbaris dalam posisi berpegangan tangan sambil mengayunkan badan ke kiri dan

ke kanan mengikuti irama lagu. Noa lako melantunkan syair-syair yang langsung

dijawab oleh woghu. Berikut adalah syair yang didendangkan dalam acara tora

loka dengan durasi waktu kurang lebih tiga menit.

Page 124: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

86

(4-19) O a o Embu mai o o a o leluhur datang A a o a sama neki o o a o o sama kumpul A a o o a ‘Kumpul bersama mengundang kehadiran leluhur’ Songgo bondo o o a o o pinjam lumbung A a o o a nggelu bhondo o o a o o kembali lumbung A a o o a songgo kamba o o a o o pinjam kerbau A a o o a nggelu kamba o o a o o kembali kerbau A a o o a

Peringatan jika memiliki hutang hendaknya dibayar.

Selaras dengan makna leksikal kata-kata dalam data (4-19) di atas, tujuan acara

tora loka ialah mengundang roh leluhur agar hadir bersama dalam kegiatan vera.

Selain itu, acara tora loka juga mengingatkan kepada sesama jika mereka

mempunyai utang agar segera dibayar atau dilunasi.

c) Ngga’e

Ngga’e adalah acara pemaparaan sejarah asal usul suku yang

melaksanakan vera. Masing-masing suku memiliki vera, tetapi pada dasarnya

semua vera sama, kecuali bagian ngga’e. Berikut adalah contoh ngga’e suku

Motu yang dituturkan dalam konteks vera mbasa wini.

(4-20) Motu weka ndili mai, weka ndili mai Jawa suku Motu nama turun datang, nama turun datang Jawa ‘Nama suku motu turun dan datang dari Jawa’

Page 125: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

87

Rajo ngazha Milo Motu, tu ndele Sarikondo perahu nama Milo Motu tanah utara Sarikondo ‘Nama perahu Milo Motu dari tanah utara Sarikondo’ (4-21) Sarikondo mosa me’a, tei Motu stana mezhe

nama laki dewasa sendiri lihat nama Motu sangat besar ‘Sarikondo sendiri sangat dikenal dan pertumbuhan Motu sangat

besar’ Motu woe limazhua, embu me’a Sunggisina motu suku tujuh nenek sendiri Sunggisina’. ‘Motu adalah tujuh bersaudara keturunan dari Sunggisina’ Motu woe limazhua, beka sogho wae kodhe

motu suku tujuh pecah sebab air kera’. ‘Motu adalah tujuh bersaudara tetapi mereka pecah belah karena

berjuang untuk memperebutkan sup kera’

Ungkapan (4-20) dan (4-21) di atas esensi pesannya menyitakan makna sejarah

orang Rongga khususnya suku Motu yang merupakan suku terbesar berasal dari

tanah Jawa.

d) Vera (Acara Inti)

Vera sebagai acara inti adalah pertunjukan tarian yang diiringi nyanyian,

dengan karakteristik unik karena hanya menampilkan gerakan kaki sambil

bergoyang dengan posisi tangan selang berangkai dan tarik-tarikan tatkala syair-

syair dinyanyikan. Seperti telah disinggung sebelumnya, tarian vera dibawakan

oleh penari dewasa (laki-laki dan perempuan), yang terdiri atas noa lako

(pemimpin tarian), daghe (penari perempuan), dan woghu (penari laki-laki).

Tarian vera diragakan dalam posisi berdiri dengan membentuk dua barisan, yakni

barisan depan adalah daghe yang berpegangan tangan merentang setinggi ulu hati

dan barisan belakang adalah woghu, dan noa lako sebagai pemimpin berada di

depan daghe. Formasi penari vera (woghu, dhage, noa lako) sebagai kelompok

pelibat utama dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Page 126: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

88

Gambar 4.2: Formasi Penari Vera (noa lako, daghe, woghu) (Dokumen Sumitri, 2012)

Gambar 4.2 di atas adalah formasi penari vera sebelum dimulai dengan

membentuk dua barisan. Barisan depan diisi oleh daghe (penari perempuan)

dengan tangan berpegangan dalam bentuk saling-silang. Para penari menari dan

menyanyi bersama dengan gerakan kaki serentak. Kekuatan tarian vera tidak saja

ditentukan oleh kepekatan pesan yang terungkap dalam syairnya, tetapi juga

gerakan tari yang ditampilkan oleh penarinya, sebagaimana tercermin dari

ketaatan penari dalam membawakan perannya masing-masing. Gerakan kaki

penari mulai pelan dan siap-siap lari dalam posisi baris berangkai di bawah

panduan penari paling depan (ana ulu). Gerakan kaki disesuaikan dengan irama

lagu berpantun yang dinyanyikan oleh woghu dan dibalas oleh noa lako. Syair

nyanyian vera yang berisi pesan moral dan etika kehidupan seperti imbauan

jangan mencampuri urusan orang lain, dapat disimak dalam syair berikut.

(4-21) eu lako seku, ma’e hewe hale kende lolongan anjing seku, jangan dengar sana kende Anjing seku melolong, jangan dengar di Kende (nama tempat) kolo waeko, ma’e paru mabha landu gonggong waeko, jangan lari padang landu Gonggongan waeko padang landu jangan lari

Page 127: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

89

Woghu yang mengemban tugas khusus untuk melantunkan syair vera

memberikan aba-aba kepada penari untuk mulai menari sambil berlari pelan

disebut posa jara ‘petunjuk langkah’. Noa lako yang berada pada barisan paling

depan menghadap daghe adalah pemandu yang bertugas membalas pantun dari

posa pata. Ana ulu ‘anak kepala’ adalah seorang penari perempuan yang berada di

barisan ujung paling depan yang bertugas menarik dan mengarahkan para penari

yang lain pada saat gerakan tari berlari mengelilingi arena. Ana eko ‘anak akhir’

bersama ana ulu ‘anak kepala’ membentuk barisan yang kuat agar tidak putus atau

pisah. Sambil menari dan menyanyi, para penari berpegangan tangan menari

sambil bergerak ke depan dan ke belakang, berjalan berkeliling secara berulang-

ulang. Semua gerakan disesuaikan dengan gerakan kaki dan badan seiring dengan

irama lagu, namun tetap bernuansa sakral. Gambaran alur gerakan kaki dan badan

sesuai dengan irama lagu yang didendangkan dapat dilihat pada gambar 4-3 di

bawah ini.

Gambar 4.3. Alur gerakan kaki daghe/penari vera perempuan (Dokumen Sumitri, 2012)

Page 128: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

90

Gambar 4-3 di atas menunjukkan alur gerak kaki penari vera yang dipandu

oleh noa lako. Nilai seni vera itu terletak pada keharmonisan gerak penari,

lantunan lagu, dan kepiawaian pemimpin dalam memandu. Kreasi seni vera

menuntut penari untuk memiliki kemampuan memainkan keharmonisan bersama

secara lingual dan seni gerak dalam menyanyikan syair-syair dengan pola-pola

bahasa yang khas bergaya sastra menambah kedinamisan tarian vera (Sumitri dan

Arka, 2013:6). Sinergisitas semua unsur menambah keindahan dan keharmonisan

gerak tari vera, di samping nyanyian yang didendangkan menambah maraknya

suasana pertunjukan vera.

Berikut adalah contoh syair lagu vera yang dinyanyikan dan didendangkan

pada saat acara inti berlangsung.

(4-23) Kowa ko sapa, lau lema lema lau perahu kecil atau sampan, ke (selatan) dalam dalam ke (selatan) ‘Perahu kecil atau sampan ke arah selatan yang dalam’ Tewa laja lewa ramba pere angi merhe kibar layar panjang supaya lindung angin besar ‘Kibar layar yang panjang supaya terlindung dari angin besar’

(4-24) Ngguru tara woso, woso arhi woso ka’e aur ranting banyak, banyak adik banyak kakak ‘Aur (sejenis pohon bambu) ranting banyak, banyak adik dan banyak kakak’ Bhesi singga lina lina riwu lina ngasu saudara banyak sekali sekali orang banyak sekali seratus ‘Bersaudara banyak orang;

Teks vera di atas tersusun dalam baris yang berhubungan secara

fungsional dan maknawi berdasarkan susunan kata, struktur yang sama, struktur

yang sama berselang-seling, pertukaran kata pada posisi berbeda dan bait yang

Page 129: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

91

menunjukkan perpaduan secara leksikal melalui pengulangan dengan

memanfaatkan fitur paralelisme sebagai salah satu ciri khas rajutan bahasa

bergaya sastra. Penggunaan paralelisme dalam teks wacana mbuku sa’o mbasa

wini, selain menyentuh tataran formal yang berupa paralelisme fonologis,

asonansi, aliterasi, rima, dan bentuk gramatikal yang lain, juga merengkuh tataran

leksikosemantik berupa penggunaan butir-butir leksikal yang saling berhubungan

secara semantis demi menunjang dan mempertegas makna pesan. Uraian lebih

rinci dapat dilihat pada bab V.

e) Tangi Jo

Tangi jo adalah tarian penutup yang ditandai dengan pelemparan

selendang oleh daghe. Pada tahap ini, noa lako bergabung kembali ke barisan

woghu dan posisinya diganti oleh seorang daghe yang disebut pani ‘umpan’.

Woghu menyanyikan syair-syair lagu secara berulang pada saat acara tangi jo,

yang esensi isi pesannya menyiratkan makna kegembiraan. Setelah usai

pertunjukan mereka kembali ke rumah, seperti dapat dilihat pada fragmen berikut.

(4-25) jo jodo na tangi jo e jona pasang tangga kami mau masuk rumah ‘ Anak tangga dipasang agar kami bisa masuk ke rumah’ Jo jodo na tangi jo e jona pasang tangga kami mau masuk rumah ‘Anak tangga dipasang agar kami bisa masuk ke rumah’

Syair di atas diulang empat sampai lima kali oleh woghu, sementara penari

perempuan hanya menari dan tidak ikut menyanyi. Pada saat dinyanyikan jo jodo,

selempang dari seorang pani dan ana ulu bersentuhan dan kemudian keduanya

berpelukan sebagai tanda perdamaian. Hal itu menandakan bahwa tarian vera

Page 130: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

92

sudah selesai. Vera ditutup dengan acara tetendere, yakni pemukulan gong dan

tambur oleh woghu dan daghe, dengan durasi waktu kurang lebih sepuluh menit.

Acara selanjutnya adalah acara minum kopi bersama dan sesudah itu semua

peserta vera bubar dan pulang ke rumah masing-masing.

Urutan tindakan upacara tersebut merupakan bagian dari kaidah warisan

leluhur yang diterima oleh etnik Rongga sebagai norma sosial yang patut ditaati.

Jika tidak ditaati, diyakini bahwa roh leluhur akan marah dan sebagai

konsekuensinya mereka akan mendapat sanksi adikodrati seperti sakit dan

sebagainya. Sanksi tersebut dipahami oleh etnik Rongga sebagai media peringatan

atas kesalahan yang dibuatnya pada saat pelaksanaan vera. Oleh karena itu,

selama upacara vera berlangsung, semua pelibat mesti berperilaku santun dalam

tuturan dan perbuatan.

3. Penutup (Tetendere)

Bagian penutup dengan upacara tetendere. Upacara tetendere adalah

upacara tabuh gendang berirama yang dilakukan oleh woghu dan daghe, guna

menandakan bahwa seluruh rangkaian kegiatan upacara ritual vera mbuku sa’o

mbasa wini berakhir.

4.5 Bahasa Vera

Seperti telah dijelaskan di atas, vera adalah bagian ritual berupa

pertunjukan tarian yang disertai dengan nyanyian dalam bahasa Rongga. Syair

nyanyian vera tampil dalam bentuk puisi yang mengandung keindahan bentuk dan

Page 131: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

93

kenikmatan inderawi.40 Bahasa vera adalah bahasa ritual yang dirakit secara apik

dalam wujud frasa, klausa, larik, dan bait. Kata-kata dipilih secara cermat demi

terciptanya suasana sakral-magis dalam satu kemasan bahasa beragam sastra dan

bermakna estetis.41 Suasana sakral-magis itu memiliki keterkaitan dengan emosi

para pelaku dan penonton, terutama ketika jejak sejarah asal usulnya (leluhur)

dituturkan pada acara ngga’e, yakni penuturan silsilah suku.

Pemanfaatan diksi dalam teks vera juga berkaitan dengan lingkungan

alam, sebagaimana tercermin dalam penggunaan kata nunu ‘pohon beringin’ yang

dalam konseptualisasi etnik Rongga dipahami sebagai pohon sakral karena dihuni

kekuatan gaib. Kerimbunan dahan, ranting, daun, dan akarnya diyakini sebagai

simbol pengayoman, perlindungan, kenyamanan, dan kesejukan bagi semua

mahkluk hidup. Sifat pohon beringin diandaikan dengan sifat Tuhan sebagai

sumber kehidupan bagi semua mahkluk dan menjadi tempat manusia bersandar

jika mengalami kesulitan. Secara ekologis, pohon beringin memiliki sejumlah

fungsi atau kegunaan. Kemampuan akarnya menyimpan dan meresap air

menjadikan pohon beringin sebagai sumber air, di samping rimbunnya dahan,

daun, dan ranting sebagai tempat berbagai fauna dapat menikmati suasana

kehidupan nyaman. Situasi demikian mencerminkan pola perilaku yang setia

menjaga dan melestarikan lingkungan alam.

40 Penggunaan bahasa beragam sastra dalam syair-syair vera merupakan bagian dari kesalehan

ritual vera. 41 Hasil wawancara dengan Bapak Markus Bana di Waelengga, pada tanggal 18 November 2012.

Hasil wawancara ini didiskusikan dan dinegosiasi lebih lanjut dengan Bapak Wilhelmus Roma, Bapak Agustinus Roka, Bapak Paulus Meka, dan Bapak Antonius Salo.

Page 132: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

94

Kata jawa ‘jagung’ adalah salah satu media untuk mengekspresikan

keyakinan etnik Rongga akan kemahabesaran Tuhan sebagai pencipta alam

semesta. Dalam konseptualisasi etnik Rongga, jawa ‘jagung’ bersifat sakral karena

memiliki kekuatan yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia.

Konseptualisasi itu terbentuk karena jagung adalah makanan pokok bagi etnik

Rongga pada masa silam, di samping padi dan kacang-kacangan. Jagung dipahami

etnik Rongga sebagai manifestasi kasih Tuhan terhadap mereka sebagai manusia

dan anggota masyarakat, sehingga jagung mendapat perlakuan khusus dan

istimewa dalam konteks kehidupan etnik Rongga, seperti dapat disaksikan dalam

vera mbasa wini.

4.6 Perbandingan Teks Vera

Berikut dipaparkan teks vera sara jawa yang disanding dalam tolok

bandingan dengan teks vera haimelo, khususnya vera mbuku sa’o mbasa wini.

Perbandingan ini bertujuan untuk mengetahui sisi persamaan dan perbedaannya

sebagai basis argumentasi yang mendasari pemilihan teks vera sebagai sumber

data utama dalam menjawab masalah yang ditelaah dalam penelitian ini.

4.6.1 Persamaan Teks Vera

Jumlah teks vera yang terkumpul dalam penelitian ini sebanyak dua buah

yang direkam lebih dari satu kali. Ada yang direkam secara langsung pada saat

pertunjukan vera berlangsung dan ada yang direkam pada saat kegiatan

wawancara dengan informan. Berdasarkan konteks yang melatarinya, vera dapat

diklasifikasi atas vera sara jawa (vera sedih) dan vera haimelo (vera gembira).

Page 133: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

95

Vera sara jawa berkaitan dengan kematian, sedangkan vera haimelo berkaitan

dengan syukuran, yang di dalamnya tercakup vera saju, vera dheke ra’a, vera

dheke sa’o, vera gha’u gha’a, dan vera mbuku sa’o mbasa wini.

Sebagai ragam puisi, vera tersebut mempunyai ciri-ciri yang sama, di

samping ciri-ciri khusus berkaitan dengan jumlah baris dan bait. Vera sara jawa

dan vera haimelo memiliki persamaan dalam struktur internal, sebagaimana

tercermin dalam jumlah baris dalam bait, jumlah kata dalam baris, jumlah kata

arkais, keterikatan jumlah suku kata tiap baris, sistem bunyi, dan paralelisme.

Perbandingan struktur internal teks vera sara jawa dan vera haimelo dapat dilihat

pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.1 Perbadingan Struktur Internal

Teks Vera Sara jawa dan Vera Haimelo

No.

Perbandingan Struktur Internal Frekwensi Kemunculan

Vera Sara jawa Vera Haimelo

1. Baris 1).panjang baris terdiri atas 2-8 2) kata-kata arkais dalam satu baris dan bait 3) hubungan baris berdasarkan susunan kata dengan pola

S - P dan S - P - O dengan berbagai variasi 4) hubungan struktur yang sama pada posisi berbeda: awal, tengah, dan akhir

6 kata

satu baris

S-P

akhir

128 39

166

22

131 36

170

20 2. Sistem Formula:

satu baris, setengah baris, dan kata

setengah baris

29

32

3. Gaya Bahasa: 1) Paralelisme Fonologis: asonansi, aliterasi, dan sajak 2) Paralelisme Leksikosemantis:

Hubunagan makna kata Hubungan antarunsur perangkat diad: sinonim, antonim, dan sinetsis

3) Metafora 4) Perbandingan 5) Personifikasi

fonologis

antonim

metafora

132 9

71

139

13

74

Page 134: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

96

4.6.2 Perbedaan Teks Vera

Beberapa aspek yang menandai perbedaan antara teks vera sara jawa dan

teks vera haimelo dapat dilihat pada aspek struktur, sebagaimana tercermin dari

tema, bagian upacara, dan latar, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya.

Dilihat dari struktur makro, tema utama atau makna global teks vera sara jawa

adalah peristiwa sedih, sedangkan tema utama atau makna global teks vera

haimelo adalah peristiwa gembira. Dilihat dari superstruktur, jumlah bagian

upacara yang tercakup dalam vera sara jawa lebih kurang daripada vera haemelo.

Teks vera sara jawa bersifat insidental dan nonrepetitif, sedangkan teks vera

haimelo khususnya vera mbasa wini bersifat rutin dan intensif setiap tahun.

Suasana psikologis yang tercipta dalam teks vera sara jawa bersifat sedih,

sedangkan suasana psikologis teks vera haimelo bersifat gembira. Dilihat dari

struktur mikro, teks wacana vera sara jawa lebih singkat daripada teks wacana

vera haimelo. Fungsi vera sara jawa lebih kurang, terutama fungsi laten,

dibandingkan dengan vera haimelo karena di dalamnya tercakup beberapa jenis

vera, termasuk vera saju, vera dheke ra’a, dheke sa’o, vera gha’u gha’a, dan vera

mbuku sa’o atau vera mbasa wini (lihat bagian 4.2.2). Medan makna vera sara

jawa lebih sempit karena berkaitan dengan peristiwa kematian, sedangkan medan

makna vera haimelo lebih luas karena membawahi beberapa jenis vera.

Mekanisme pewarisan vera sara jawa bersifat alamiah, sedangkan mekanisme

pewarisan vera haimelo bersifat nonalamiah karena berberpeluang dirancang

menjadi model buatan dalam bentuk revitalisasi dan inovasi.

Page 135: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

97

Berdasarkan hasil perbandingan di atas, peneliti memilih wacana vera

mbuku sa’o mbasa wini sebagai fokus penelitian dengan sasaran kajian mencakup

struktur teks, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya. Korpus data lapangan

yang terkumpul berisi hasil perbandingan vera sara jawa dan vera haimelo

menurut sumber data dan frekuensi rekaman, jumlah rekaman, jumlah baris, dan

jumlah bait, sebagaimana dapat dilihat di bawah ini.

Tabel 4.2 Korpus Data yang Terkumpul

Jenis Vera Sumber dan Frekwensi

Rekaman

Jumlah Rekaman

Jumlah Baris

Jumlah

Bait Peristiwa Pertunjukan

Vera

Informan Kunci

Vera Sara jawa 1 4 5 314 157 Vera Haimelo

1. Vera Saju

2. Vera Dheke Ra’a

3. Vera Dheke Sa’o

4. Vera Gha’u Gha’a

5. Vera Mbuku Sa’o

Mbasa Wini

-

-

-

1

1

4

4

4

4

5

4

4

4

5

6

318

310

312

316

326

159

155

156

158

163

Jumlah 3 25 28 1.896 948

Seperti tampak pada data dalam tabel 4.2 di atas, wacana vera haimelo

mbuku mbasa wini (yang selanjutnya disingkat WVHMM) dipilih menjadi fokus

utama penelitian karena memiliki jumlah baris dan bait paling banyak. Sesuai

engan dsasaran kajian, gambaran peta masalah yang dibahas pada beberapa bab

selanjutnya adalah sebagai berikut: (1) Bab V: Struktur Teks WVHMM, (2) Bab

VI: Fungsi WVHMM, (3) Bab VII: Makna WVHMM, dan (4) Bab VIII:

Mekanisme Pewarisan WVHMM.

Page 136: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

98

4.7 Rangkuman

Vera adalah pertunjukan tarian yang diiringi dengan nyanyian berbahasa

Rongga berbentuk puisi, yang didendangkan dengan nada dan irama khas sesuai

dengan konteks situasi ritual dan konteks sosial budaya etnik Rongga yang

melatarinya. Vera dapat diklasifikasi atas vera sara jawa dan vera haimelo. Vera

sara jawa adalah vera sedih yang dilaksanakan apabila ada orang yang meninggal

dunia, khususnya kepala suku dan orang biasa yang meninggal dalam usia lebih

dari seratus tahun dan keluarga yang bersangkutan mampu membiayainya

(hongga rongga). Vera haimelo adalah vera gembira yang dilaksanakan untuk

menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan dan roh leluhur atas

penyelenggaraan vera dan terhadap kehidupan mereka sebagai manusia dan

anggota masyarakat. Vera haimelo membawahi beberapa jenis vera, termasuk

vera saju, vera dheke ra’a, vera dhekhe sa’o, vera ghau gha’a, dan vera mbuku

sa’o atau mbasa wini. Teks wacana tradisi lisan vera merupakan sastra lisan

dengan isi pesan yang berkenaan dengan sejarah asal-usul suku. Vera sara jawa

memiliki efektivitas sosial tentang pentingnya memberi penghormatan kepada

orang yang meninggal. Vera sebagai media komunikasi yang menyingkap

gambaran pandangan dunia etnik Rongga berlangsung dalam konteks tertentu

dengan urutan tindakannya terdiri atas pembukaan (ti’ika), inti (vera), dan

penutup (tetendre). Ditilik dari struktur internal, wacana tradisi lisan vera

mempunyai persamaan dan perbedaan dalam fitur satuan kebahasaan yang

digunakan.

Page 137: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

99

BAB V

STRUKTUR TEKS

WACANA VERA HAIMELO MBUKU SA’O MBASA WINI

5.1 Pengantar

Pada bab ini dipaparkan dan dijelaskan struktur teks wacana vera mbuku

sa’o mbasa wini yang selanjutnya disingkat (WVHMM) sebagai wacana bergaya

sastra. Teks WVHMM diungkap dalam bentuk bahasa puisi dengan

memanfaatkan fitur paralelisme dan menggunakan pola-pola formula sebagai

pemarkah kelisanan. Teks WVHMM terpapar dalam 326 baris dan 163 bait.

Esensi isi pesannya menyingkap konseptualisasi budaya etnik Rongga tentang

dunia. Analisis struktur teks WVHMM yang dibahas dalam penelitian ini dikaji

dari dua segi yakni analisis struktur formal dan analisis struktur naratif.

Perspektif teoretis digunakan sebagai panduan dalam menganalisis struktur formal

teks WVHMM adalah model atau paradigma analisis wacana kritis (Van Dijk,

1985a:1-8), dengan sasaran kajian meliputi struktur makro, superstruktur, dan

struktur mikro seperti dipetakan pada bagan di bawah ini.

Struktur Wacana Elemen Formula

Struktur Makro Makna global teks ditelaah sesuai topik/gagasan inti yang terkandung di dalam teks WVHMM.

Kaidah Tema

Superstruktur Kerangka teks meliputi pendahuluan, isi, dan penutup, yang berhubungan secara organis dengan ritual dan wacananya masing-masing.

Kaidah skema

Struktur Mikro Struktur teks berdasarkan satuan linguistik seperti bunyi, kata, frasa, klausa/ kalimat, hubungan sintaktis, kohesi wacana, sistem formula, dan gaya bahasa.

Kaidah bahasa sehari-hari dan bahasa susastra

Bagan 5.1 Struktur Teks WVHMM

99

Page 138: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

100

Analisis struktur naratif menggunakan konsep yang dikemukakan oleh

Genette (1980:35-85) yang menyatakan bahwa ada lima komponen utama yang

terdapat dalam wacana naratif yakni susunan cerita (order), durasi (duration),

frekuensi (prequency), suasana hati (mood), dan suara (voice). Kelima komponen

di atas tidak sepenuhnya diterapkan dalam menganalisis teks WVHMM, karena

teks WVHMM bukan merupkan cerita panjang yang mempunyai episode. Untuk

teks WVHMM dianalisis hanya difokuskan pada komponen utama yang keempat,

yaitu suasana hati (mood), hal ini terkait dengan unsur mood yang dominan

terkandug dalam teks WVHMM. Fokus kajian pada komponen suasana hati

(mood) bertujuan untuk mengetahui pendapat, sikap dan keadaan penutur,

bagaimana penutur mengatur dan menyampaikan tuturannya kepada pendengar,

serta untuk mengetahui posisi penutur dalam penuturan teks WVHMM. Kedua

struktur teks WVHMM tersebut akan diuraikan di bawah ini.

5.2 Struktur Formal Teks WVHMM

5.2.1 Struktur Makro

Analisis struktur makro teks WVHMM bertujuan untuk mengetahui makna

global atau tema sentral yang ditelaah berdasarkan hubungan topik berbagai

komponen pesan yang terkandung di dalamnya. Dilihat dari struktur makro,

makna global atau tema sentral teks WVHMM adalah doa permohonan kepada

Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, agar tahun musim yang akan datang berjalan

baik. Doa permohonan ini disertai dengan penyembelihan ayam merah sebagai

sarana persembahan kepada roh leluhur. Beberapa fragmen yang esensi isi

pesannya menyingkap makna global atau tema sentral teks WVHMM adalah

sebagai berikut.

Page 139: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

101

(5-01) Renge meu embu nusi, ndia kami dhete manu dengar kamu nenek moyang, sekarang kami pegang ayam ‘Dengarlah kamu para leluhur, sekarang kami memegang ayam’ Nunu meu, ramba tau ti’i kamu meu bhate

beritahu kamu supaya buat beri kamu kamu semua ‘Untuk memberitahukan kamu (leluhur) semua untuk hadir makan’ (5-02) Komba ndia, kami tau adha

malam ini kami buat upacara adat ‘Malam ini kami akan membuat upacara adat’ Ko adha, kau mbasa wini tentang adat engkau basah bibit ‘Tentang upacara adat kamu (leluhur) untuk pemberkatan benih/ bibit’

(5-03) Ramba tau nggoti, ne’e mula bhate one uma kami supaya mau tanam dan tanam semua di kebun kami ‘Supaya mau menanam semua di kebun kami’ dhengi ne kami, mai sama pa’o ka nake manu ndia minta dengan kami, mari sama duduk makan daging ayam ini ‘Minta dengan kami mari duduk bersama makan daging ayam ini’

Fragmen (5.01) berisi pemberitahuan kepada roh leluhur bahwa mereka mau

mempersembahkan ayam untuk makanan roh leluhur. Fragmen wacana tersebut

terbentuk dari dua kalimat majemuk bertingkat. Kalimat majemuk pada baris

pertama terdiri atas dua kluasa. Klausa pertama adalah Renge meu embu nusi

‘dengar kamu nenek moyang’ sebagai induk kalimat dan klausa ndia kami dhete

manu ‘sekarang kami pegang ayam‘ sebagai anak kalimat. Induk kalimat

bermodus imperatif ditandai dengan distribusi penempatan kata (verba) renge

‘dengar’ sebagai predikat yang berdistribusi pada awal kalimat. Kata renge

berdistribusi pada posisi awal mendahului kata (pronomina persona kedua jamak)

meu ‘kamu’ sebagai subjek dengan aposisinya adalah embu nusi ‘roh leluhur’,

sebagai pihak penerima pesan dan perantara doa permohonan yang mereka

sampaikan kepada Tuhan. Esensi isi pesannya adalah agar roh leluhur sudi

Page 140: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

102

mendengar doa permohonan yang disampaikan melalui teks WVHMM. Penuturan

doa permohonan itu diawali dengan penyembelihan ayam berwarna merah sebagai

sarana persembahan, seperti terlihat dalam klausa ndia kami dhete manu ‘sekarang

kami pegang ayam’. Sesuai dengan konteks yang melatarinya, yang dimaksud

dengan dhete manu ‘pegang ayam’ adalah persembahan ayam guna memberi

makanan kepada roh leluhur. Kalimat majemuk bertingkat pada baris kedua terdiri

atas dua klausa. Klausa pertama nunu meu ‘beritahu kamu’ sebagai induk kalimat

dan klausa ramba tau ti’i kamu meu bhate ‘supaya buat beri makan kamu semua’

sebagai anak kalimat. Kata (pronomina persona kedua jamak) meu ‘kamu’

didahului kata (verba) nunu ‘beritahu’ sebagai pihak penerima pesan.

Fragmen (5-02) menginformasikan kepada roh leluhur bahwa persembahan

ayam itu dilaksanakan melalui ritual mbasa wini sesuai dengan kaidah adat

warisan leluhur. Fragmen (5-02) merupakan sebuah kalimat tunggal bermodus

indikatif. Esensi isi pesan yang terkandung di dalamnya ialah memberitahukan

kepada roh leluhur bahwa pada malam ini (komba ndia) mereka melaksanakan

upacara adat (adha) Mbasa Wini. Upacara adat ini dilaksanakan oleh etnik

Rongga bukan atas kemauan sendiri, tetapi menuruti kaidah budaya yang sudah

digariskan dan diwariskan leluhurnya. Pelaksanaan upacara adat Mbasa Wini

merupakan bentuk dan wujud penghormatan mereka terhadap leluhurnya.

Fragmen (5-03) memuat informasi bahwa mereka akan menanam di semua

lahan yang mereka miliki pada tahun musim tanam yang baru dan memohon

kehadiran roh leluhur duduk bersama (sama pa’o) makan daging ayam

persembahan. Fragmen (5-03) dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk setara yang

Page 141: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

103

terbentuk dari dua klausa independen yang berhubungan secara sintaksis dan

semantis. Kedua klausa itu adalah Ramba tau nggoti, ne mula bhate one uma kami

‘Supaya mau tanam, tanam semua di kebun kami’ dan Dhengi ne kami mai sama

po’o, ka nake manu ndia ‘Minta dengan kami mari sama-sama duduk, makan

daging ayam ini.’ Klausa pertama berisi pemberitahuan kepada roh leluhur bahwa

mereka mau menanam di semua lahan yang mereka miliki. Klausa kedua berisi

permohonan kepada roh leluhur agar duduk bersama (sama po’o) makan daging

ayam persembahan.

Secara keseluruhan ada beberapa tahapan pelaksanaan ritual mbasa wini

yang merupakan skema sebagai satu kesatuan organis dalam istilah Van Dijk

(1985) disebut superstruktur, yang akan diuraikan di bawah ini.

5.2.2 Superstruktur

Superstruktur adalah pengkajian kerangka dasar atau skema teks WVHMM

yang terdiri atas pendahuluan, isi, dan penutup, dengan ritual dan wacananya

masing-masing. Ketiga bagian tersebut berhubungan secara organis dengan

kerangka makna yang saling terkait dalam satu kesatuan dalam menyingkap

konseptualisasi budaya etnik Rongga tentang dunia, seperti uraian di bawah ini.

5.2.2.1 Pendahuluan: upacara ki’i ka

Bagian pendahuluan adalah upacara ti’i ka dengan wacananya disebut

wacana ti’i ka. Secara leksikal, kata (verba) ti’i berarti ‘beri’ dan kata (nomina) ka

berarti ‘makanan’. Upacara ti’i ka adalah upacara pemberian makanan kepada roh

leluhur dengan tujuan untuk memberitahukan roh leluhur bahwa mereka akan

melaksanakan ritual mbasa wini.

Page 142: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

104

5.2.2.2 Isi: upacara vera

Bagian isi adalah upacara vera yang terdiri atas pembukaan, inti, dan

penutup, yang berhubungan secara organis. Bagian pembukaan adalah tora loka

dengan wacananya disebut wacana tora loka. Kata (verba) tora berarti ‘merintis’

dan kata (nomina) loka berarti ‘arena danding atau tempat pementasan vera’.

Upacara tora loka adalah upacara pembersihan tempat pementasan vera agar para

penari terbebas dari berbagai gangguan. Bagian inti adalah upacara vera dengan

wacananya disebut wacana vera. Upacara ini terdiri atas tiga bagian upacara yang

meliputi pembukaan (nggae), inti (vera), dan penutup (tangi jo), yang

berhubungan seara organis. Bagian pembukaan (nggae) adalah periwayatan

sejarah asal usul suku yang melaksanakan vera. Bagian inti (vera) adalah

pertunjukan tarian yang disertai dengan nyanyian. Bagian penutup (tangi jo)

adalah pelemparan selendang oleh daghe sebagai tanda akhir pementasan vera.

5.2.2.3 Penutup: upacara tetendere

Bagian penutup adalah tetendere dengan wacananya disebut wacana

tetendere. Upacara tetendere adalah upacara tabuh gendang berirama yang

dilakukan oleh woghu dan daghe, guna menandakan bahwa seluruh rangkaian

kegiatan upacara ritual vera mbasa wini berakhir.

5.2.3 Struktur Mikro

Teks WVHMM dalam penelitian ini dipandang sebagai bahasa yang dapat

dikaji dari struktur mikronya. Analisis struktur mikro mencirikan struktur teks

WVHMM yang bertujuan untuk mengkaji teks secara internal yang secara

linguistik teoretis mencakup tataran bahasa seperti bunyi (fonologis), kata

Page 143: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

105

(morfologi), kalimat (sintaksis), wacana (diskusrsus), makna (semantik), maksud

(pragmatik), gaya bahasa (stilistika), dan bahasa kias (figuratif). Kajian teks

secara mikro tersebut dapat dilakukan bersama-sama dan akan merumuskan pola

formula sesuai dengan karakteristik teks tradisi lisan atau satra lisan yang dikaji

(Sibarani, 2012:316).

Berdasarkan hal tersebut uraian struktur mikro dianalisis dari bentuk-

bentuk baris pembentuk teks WVHMM yang mencakupi tiga aspek utama, yakni

(1) aspek lingual atau kebahasaan tercermin dalam satuan bunyi, kata, frasa,

klausa/kalimat, hubungan sintaksis baris-baris dan kohesi wacana sebagai struktur

dasar teks WVHMM; (2) sistem formula teks WVHMM yang menciptakan aspek-

aspek puisitas menjadi pemarkah kelisanan; dan (3) gaya bahasa, adalah cara

pengungkapan pesan dan menambah kualitas estetis. Ketiga aspek kebahasaan itu

merupakan peranti kebahasaan sebagai pembingkai daya estetis teks WVHMM

sebagai wacana bergaya sastra. Selain itu, aspek kebahasaan tersebut juga

menyingkap fungsi dan makna teks WVHMM yang hidup dan berkembang

dalam realitas sosial budaya etnik Rongga. Ketiga aspek kebahasaan itu dapat

diuraikan sebagai berikut.

5.2.3.1. Aspek Kebahasaan : satuan bunyi, kata, frasa, klausa/kalimat,

hubungan baris secara sintaksis, dan kohesi wacana

1) Satuan bunyi

Satuan bunyi yang terdapat dalam teks WVHMM terdiri atas fonem

segmental dan suprasegmental. Sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa

Rongga, menurut Arka dkk (2007:16), fonem segmental terdiri atas enam fonem

Page 144: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

106

vokal, yakni / i/, /u/, /e/,/o/, /ə/, /a / dan dua puluh lima fonem konsonan, yakni /p/

, /b/, /t/, /d/, /k/, /g/, /ɓ/, /ɗ/, /ɠ/, /ᵐb/, /ⁿd/, /ⁿg/, /m/, /n/, /ƞ/, /f/, /v/, /s/, /y/, /h/, /r/,

/l/, /w/, /ɹ /. Semua fonem segmental yang digunakan dalam teks WVHMM tidak

berbeda dengan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari etnik Rongga.

Kombinasi fonem segmental tersebut membentuk ragam bahasa bercorak puitis

guna menciptakan rasa kedalaman dan suasana khusus karena komunikasi melalui

teks WVHMM bersifat vertikal-transendental. Komunikasi melalui teks

WVHMM ditujukan kepada Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, yang dipahami oleh

etnik Rongga sebagai sumber kekuatan moral utama yang menentukan

keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan hidup mereka sebagai manusia dan

anggota masyarakat.

Penggunaan fonem segmental ditandai dengan penggunaan bentuk

paralelisme fonologis atau fenomena permainan bunyi yang berupa asonansi,

aliterasi, dan rima yang dibahas secara rinci pada sub gaya bahasa. Penggunaan

fonem suprasegmental ditandai dengan intonasi naik dan panjang serta intonasi

lembut dan panjang. Penggunaan intonasi panjang dan lembut tercermin dalam

data (5-01), Renge meu embu nusi, ndia kami dhete manu ‘Dengar kamu nenek

moyang, sekarang kami pegang ayam’, yang esensi isi pesannya adalah

permohonan kepada Tuhan dan roh leluhur. Penggunaan intonasi naik dan panjang

terdapat pada data (5-01), Nunu meu ramba tau ti’i kamu meu bhate ‘Beri tahu

kamu, kami mau beri makan kamu semua’. Jenis dan frekuensi penggunaan

intonasi dalam teks WVHMM dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Page 145: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

107

Tabel 5.1

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Intonasi

No. Jenis Intonasi Jumlah Persentase (%)

1. Intonasi naik dan panjang 24 14,72

2. Intonasi lembut dan panjang 139 85, 28

Jumlah 163 100

Seperti tampak pada tabel 5.1 di atas, dari 163 jumlah jenis intonasi yang

terdapat dalam teks WVHMM menunjukkan jumlah intonasi naik dan panjang

sebanyak 24 (14%) dan intonasi panjang dan lembut sebanyak 139 (85,28%).

Dominasi intonasi panjang dan lembut bertujuan menampilkan ekspresi keindahan

bunyi dan kesantunan berbahasa dalam komunikasi lisan karena Tuhan, roh

leluhur, dan roh alam memiliki struktur kekuasaan lebih tinggi daripada manusia.

2) Kata

Kata adalah satuan atau bentuk bebas dalam tuturan (Verhaar, 1996:97).

Sebagai bentuk yang bebas, kata merupakan salah satu unsur dasar pembentuk

struktur mikro suatu teks wacana, dalam hal ini, teks WVHMM. Secara tekstual

kata-kata yang diungkapkan dalam teks WVHMM mengemban pesa-pesan yang

berkaitan dengan kehidupan manusia, seperti perasaan, tindakan, atau aksi,

keyakinan, alam lingkungan, dan sebagainya. Penggunaan kata sebagai unsur

dasar pembentuk struktur mikro teks WVHMM terwujud dalam tata kata, pola

suku kata dalam baris, jumlah kata dalam baris, kelas kata pembentuk baris,

istilah pertanian, kata arkais, pemanfaatan kata pada posisi tertentu dalam baris.

Masing-masing perwujudan kata itu diuraikan seperti berikut

Page 146: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

108

a) Tata kata dalam Baris

Tata kata dalam baris teks WVHMM terdiri atas suku kata dengan struktur

beragam. Sebagian besar suku kata tersebut terdiri atas sebuah konsonan dan

sebuah vokal, seperti kata tibo ‘kambing’ terdiri atas dua suku kata, yakni suku

kata pertama ti (KV) dan suku kata kedua bo (KV).

b) Pola suku kata dalam baris

Semua pola suku kata dalam baris teks WVHMM bersifat terbuka karena

bahasa Rongga merupakan bahasa vokalik atau bersuku terbuka. Pola suku kata

dalam baris teks WVHMM adalah sebagai berikut: V pada kata /e/ ‘partikel’, KV

pada kata bha ‘piring’, VV pada kata ua ‘rotan’, VKV pada kata ema ‘ayah’,

KVKV pada kata jawa ‘jagung’, KVKVKV pada kata sewunu ‘sehelai’,

KVKVKVV pada kata lukamai ‘besok’. Jumlah dan frekuensi penggunaan suku

kata dalam baris teks WVHMM dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.2

Jumlah dan Frekuensi Penggunaan Suku Kata dalam Baris

No. Jumlah Suku Kata Jumlah Baris Persentase (%)

1. 8 13 3,99

2. 9 3 0,92

3. 10 31 9,51

4. 11 28 8,59

5. 12 112 34,36

6. 13 31 9,51

7. 14 86 26,38

8. 15 6 1,84

9. 16 14 4,29

10. 17 2 0,61

Jumlah 326 100

Page 147: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

109

Seperti terlihat pada tabel 5.2 di atas, dari 326 jumlah baris yang terdapat

dalam teks WVHMM, pola 8 suku kata tersebar dalam 13 baris (3,99%), pola 9

suku kata tersebar dalam 3 baris (0,92%), pola 10 suku kata tersebar dalam 31

baris (9,51%), pola 11 suku tersebar dalam 28 baris (8,59%), pola 12 suku kata

tersebar dalam 112 baris (34,36%), pola 13 suku kata tersebar dalam 31 baris

(9,51%), pola 14 suku kata tersebar dalam 86 baris (26,38%), pola 15 suku kata

tersebar dalam 6 baris (1,84%), pola 16 suku kata tersebar dalam 14 baris

(4,29%), dan pola 17 suku kata tersebar dalam 2 baris (0,61%),

Dominasi penggunaan pola 12 suku kata dalam baris bertujuan untuk

menciptakan keharmonisan estetis dan mempertahankan sinergisitas gerak tari dan

lagu. Penggunaan kata dan pola suku kata dalam baris yang mencirikan kekhasan

struktur teks WVHMM dapat dilihat dalam data berikut.

(5-04) Keti nata logho-logho Molosoli = 5 kata 2 2 2 2 4 = 12 suku kata petik sirih logho-logho Molosoli ‘Petik daun sirih logho-logho Molosoli’ (5-05) Mbako ghembe Kende wunu ghebhage = 5 kata

3 2 2 2 3 = 12 suku kata tembakau tebing Kende daun lebar-lebar ‘Tembakau di tebing kende daunnya lebar-lebar’

Seperti tampak pada data (5-04) dan (5-05), masing-masing baris kalimat

tersebut terbentuk dari 5 kata dengan pola 12 suku kata. Kesamaan jumlah kata

dan pola suku kata tersebut menjalin keseimbangan irama, tempo, dan gerak tari.

c) Jumlah kata dalam baris

Teks WVHMM disusun berdasarkan bait yang terdiri atas dua baris dan

setiap baris berisi beberapa kata dengan jumlah bervariasi antara empat sampai

delapan kata. Sebagian besar kata tersebut adalah kata dasar atau morfem bebas

Page 148: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

110

karena bahasa Rongga tidak memiliki afiks (Arka dkk, :20017:57). Jumlah dan

frekuensi penggunaan kata dalam baris teks WVHMM dapat dilihat pada tabel di

bawah ini.

Tabel 5.3

Jumlah dan Frekuensi Penggunaan Kata dalam Baris

No. Jumlah Kata

Tiap Baris

Frekuensi Penggunaan

dalam Baris

Persentase (%)

1 4 18 5,52

2 5 58 17,80

3 6 136 41,70

4 7 102 31,29

5 8 11 3,40

Jumlah 326 100

Data pada tabel 5.3 di atas menunjukkan bahwa penggunaan kata

didominasi jumlah 6 kata tiap baris tersebar dalam 136 baris dari 326 total

jumlah baris. Dominasi jumlah 6 kata dalam tiap baris mempertimbangkan

keseimbangan dengan irama, gerak tari, dan lagu untuk mencapai keharmonisan

estetis.

d) Kelas kata pembentuk baris

Kategori kelas kata pembentuk baris sebagai unsur pembentuk struktur teks

WVHMM terdiri atas nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan kata tugas berupa

preposisi, konjungsi dan partikel. Kategori kelas kata sebagai struktur dasar

pembentuk teks WVHMM tersebut juga berfungsi sebagai perakit makna dan

daya estetis struktur teks WVHMM. Berdasarkan analisis data, jenis dan frekuensi

penggunaan kelas kata dalam teks WVHMM dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Page 149: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

111

Tabel 5.4

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kelas Kata

No. Kelas Kata Jumlah Persentase (%)

1. Nomina 1.104 58,30

2. Verba 392 20,67

3. Adjektiva 173 9,12

4. Adverbia 67 3,54

5. Kata Tugas (preposisi 66, konjungsi 33, dan partikel 61)

160 8,44

Jumlah 1.896 100

Data pada tabel 5.4 di atas menunjukkan hal sebagai berikut: dari 1.896 kata

dalam teks WVHMM, jumlah nomina sebanyak 1.104 (58,30%), verba sebanyak

392 (20,67%), adjektiva sebanyak 173 (9.12%), adverbia sebanyak enam puluh

tujuh (3,54%), dan kata tugas sebanyak 160 (8.44%). Kelas kata yang terbanyak

digunakan adalah nomina. Hal tersebut berkaitan dengan aktivitas etnik Rongga

dalam mengerjakan dan menghasilkan sesuatu sebagai salah satu penopang hidup

mereka lebih banyak berkaitan dengan dunia kebendaan.

Kelas kata berkategori nomina yang digunakan dalam teks WVHMM

terdiri atas dua kelompok, yakni yang berkaitan dengan makhluk hidup dan yang

berkaitan dengan benda mati. Dari 1.104 kategori nomina yang digunakan,

sebanyak 212 nomina (19,21%) berkaitan dengan makhluk hidup dan sebanyak

892 nomina (80,79%) (lihat tabel 5.5 di bawah) berkaitan dengan benda mati atau

tanbernyawa.

Kelas kata nomina yang menunjuk pada makhluk hidup dan benda mati

dapat dilihat pada fragmen berikut.

Page 150: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

112

(5-06) Lako kongo rongo ndau, lau wena watu anjing gonggong kambing itu, di (selatan) bawah batu ‘Anjing menggonggong kambin itu, ke selatan di bawah batu’ Tibo miri kembi ndau, lau wena watu kambing sandar dinding itu, di (selatan) bawah batu ‘Kambing bersandar di dinding itu, di selatan bawah batu’ (5-07) Embo sosa ndau, lau wiri nanga ombak bunyi itu ke (selatan) batas pantai ‘Ombak berbunyi itu ke selatan batas pantai’ Meti ndili seli, meti reta wiri penda surut bawah gelap surut henti batas pandan ‘Surut dan gelap di bawah, berhenti di batas pandan’ Seperti tampak pada data (5-06), nomina yang menunjuk pada makhluk

hidup berupa hewan adalah lako ‘anjing’, rongo ‘kambing’, tibo ‘kambing’.

Penggunaan nomina lako (anjing) dan tibo (kambing) banyak ditemukan dalam

teks WVHMM selain wawi (babi) dan manu (ayam). Hal ini berkaitan pula

dengan sebagian besar mata pencaharian penduduk etnik Rongga adalah di sektor

pertanian sebagai sektor andalan pekerjaan utama, di samping pertanian ladang

dan perkebunan sebagai sumber kehidupannya. Etnik Rongga juga mengenal

sistem peternakan berupa pemeliharaan binatang dan hewan seperti anjing (lako),

kambing (tibo), selain jenis ternak utama yang dipelihara yakni babi (wawi) dan

ayam (manu) merupakan hewan kurban dalam berbagai upacara ritual.

Lako (anjing) adalah binatang peliharaan etnik Rongga yang bernilai

ekonomis karena selain digunakan untuk berburu, juga sebagai penjaga rumah,

dan pengusir hewan yang mengganggu kebun atau ladang yang mereka miliki.

Bahkan, anjing juga bisa dijual untuk meningkatkan kesejatraan hidup etnik

Rongga. Penggunaan noimna tibo,rongo, ‘kambing’ banyak ditemukan dalam teks

WVHMM. Ternak jenis kambing wajib dipelihara dalam budaya Rongga untuk

Page 151: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

113

kebutuhan adat sebagai sarana upacara dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi

selain babi dan ayam. Misalnya, jika ada upacara kematian kambing adalah hewan

kurban yang digunakan selain babi dan ayam.

Nomina berupa benda mati atau makhluk tanbernyawa sangat dominan

digunakan dalam teks WVHMM seperti terlihat pada (5-06) dan (5-07), yakni

watu ‘batu’ pada (5-06). Dalam kebudayaan etnik Rongga watu ‘batu’ memiliki

makna penting berkaitan dengan identitas mereka secara sosio-kolektif sebagai

satu kesatuan etnik di Manggarai. Berdasarkan penuturan para tetua adat etnik

Rongga dari versi cerita lisan masyarakat setempat, bahwa alasan pemberian nama

orang Rongga bentuk perkampungannya berbentuk pondo ‘priuk’ dikelilingi oleh

beberapa gunung berbatu. Konon sebelum mengenal budaya membuat rumah

mereka tinggal di goa-goa di sekeliling batu besar. Dari kebiasaan hidup seperti

itu muncul istilah dalam bahasa Rongga, yakni watu susu Rongga, yang terekam

dalam vera‘ artinya orang-orang tidur di sekeliling batu besar pada malam harinya

seperti menyusui batu, seakan-akan batu itu memberikan kehidupan pada etnik

Rongga (Sumitri, 2005:39). Selain itu, batu juga selalu hadir dalam berbagai

kegiatan ritual, karena dipahami memiliki kekuatan tertentu yang selalu menyertai

kehidupan mereka. Misalnya, dalam upacara membuat tempat penguburan orang

yang meninggal, bahan dibuat dari batu setinggi satu meter yang disebut

sesendepo ‘tekan ke bawah’.42 Pada data (5-7), nomina yang menunjuk pada

benda mati adalah kembi ‘dinding’, watu ‘batu’, dan nanga ’pantai’. Jalinan

kelas kata nomina tersebut yang berdistribusi dengan kategori kelas kata lain,

42 Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu dan Bapak Markus Bana di Kampung Leke Kelurahan Tanarata, tanggal 29 Oktober 2012.

Page 152: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

114

seperti verba, adjektiva, adverbia, dan kata tugas membentuk daya estetis dengan

memanfaatkan fitur paralelisme fonologis seperti permainan bunyi vokal o-o pada

kelas kata (verba) kolo ‘gonggong’ dan kata (nomina) rongo ‘kambing’.

Jenis dan frekuensi penggunaan kelas kata berkategori nomima, baik

mahkluk hidup maupun benda mati, yang terdapat dalam teks WVHMM dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.5

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kelas Kata Berkategori Nomina

No. Jenis Kategori Nomina Jumlah Persentase (%)

1. Mahkluk hidup 212 19,21

2. Benda mati 892 80,79

Jumlah 1.104 100

Seperti tampak pada data dalam tabel 5.5 di atas, dari jumlah 1.104 nomina

yang terdapat dalam teks WVHMM, sebanyak 212 (19,21%) menunjuk pada

makhluk hidup dan 892 (80,79%) menunjuk pada benda mati atau takbernyawa

sebagai kategori yang dominan. Dominannya penggunaan nomina takbernyawa

dalam teks WVHMM berkaitan dengan aktivitas kehidupan etnik Rongga.

Dalam memenuhi kebutuhan hidup etnik Rongga secara faktual lebih banyak

berkaitan dengan benda mati atau makhluk takbernyawa. Gambaran keadaan

sistem ekologi yang melingkupi kehidupan etnik Rongga tercermin dalam kata-

kata yang diciptakan dan digunakannya, sebagaimana tercermin dalam teks

WVHMM.

Sementara itu, kelas kata berkategori verba yang digunakan dalam teks

WVHMM terdiri atas verba aksi atau verba tindakan seperti kata kolo’ gonggong’

Page 153: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

115

miri ’bersandar’ pada data (5-06), verba proses meti ‘surut’, dan verba keadaan

seli ‘gelap’ pada data (5-06). Jenis dan frekuensi penggunaan verba tersebut dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.6

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kategori Verba

No. Jenis Verba Jumlah Persentase (%)

1. Verba aksi 314 80,10

2. Verba proses 42 10,70

3. Verba keadaan 36 9,20

Jumlah 392 100

Pada tabel 5.6 di atas, terlihat dari jumlah 392 verba yang digunakan

dalam teks WVHMM, verba aksi sebanyak 314 (80,10%), verba proses sebanyak

42 (10.70%), dan verba keadaan sebanyak 36 (9,20%) dan jumlah persentasenya

100%. Data tersebut menunjukkan bahwa peran verba sebagai unsur pembentuk

struktur teks WVHMM lebih banyak menampilkan dimensi aksi atau tindakan

yang berkaitan dengan ritual vera.

Seeperti telah di singgung di atas bahwa penggunaan kelas kata

berkategori adjektiva ditemukan dalam teks WVHMM. Dari 1.896 kata yang

digunakan sebanyak 173 (9,12%) berkategori adjektiva seperti kata ghebage

‘lebar-lebar’ pada data (5-05) dan seli ‘gelap’ pada data (5-07).

Seperti halnya adjektiva, penggunaan kelas kata berkategori adverbia

ditemukan dalam teks WVHMM sebanyak 67 (3,54%) dari 1.896 jumlah kata

yang digunakan. Kelas kata yang berkategori adverbia adalah kata ko’e ‘sisa’ pada

data (5-09).

Page 154: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

116

Selain itu, kelas kata tugas digunakan pula dalam teks WVHMM.

Berdasarkan analisis data yang dilakukan, kelas kata tugas yang ditemukan

sebanyak 160 (8,44%) dari 1.896 jenis kata yang digunakan dalam teks

WVHMM. Jenis kata tugas tersebut terdiri atas preposisi, konjungsi, dan partikel

dengan jumlah bervariasi dalam penggunaannya. Dari 160 kata tugas yang

ditemukan dalam teks WVHMM, jumlah konjungsi sebanyak 33 (1,74%) partikel

sebanyak 61 (3,22%) dan preposisi sebanyak 66 (3,48%)

Dari jenis penggunaan kata tugas yang digunakan dalam teks WVHMM,

penggunaan jenis preposisi terutama yang menyatakan latar tempat paling banyak

ditemukan yang membantu memberi makna teks WVHMM secara utuh. Selain

itu, pemaknaan terkait pula dengan sejarah asal usul etnik Rongga yang mendiami

beberapa kampung di Manggarai Timur. Beberapa contoh kata tugas yang

digunakan dalam teks WVHMM adalah preposisi lau ‘ke (selatan)’, di (selatan)

seperti terlihat pada data (5-06) dan (5-07), konjungsi ramba’ supaya’, na’a

‘dan’, dan partikel seperti ma’e ‘jangan’.

e) Kata Arkais

Kekhasan struktur teks WVHMM ditandai dengan penggunaan kata arkais

yang ditransmisikan dalam stansa yang ketat. Keberadaan dan kebermaknaan

WVHMM sebagai sebuah wacana budaya lisan memiliki aspek historis-linguistis

yang tidak mudah dimengerti sehingga membutuhkan tingkat keterampilan lingual

yang tinggi untuk mengerti dan menggunakannya (Sumitri dan Arka, 20013:732).

Meskipun jumlahnya terbatas, kata arkais yang digunakan mengandung makna

estetis seperti kata nange ‘pantai’, ndili ‘di‘, ndala ‘bintang’, ndeta ‘di atas, seke

Page 155: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

117

‘gelang’, teki ‘petik’, mona ‘goyang’, nderi ‘selalu’, dan peka ‘sudah’. Jenis dan

frekuensi penggunaan kata arkais tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.7

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kata Arkais

No. Jenis Kata Arkais Jumlah Persentase (%)

1.

2.

3.

4.

5.

Nomina

Verba

Adjektiva

Adverbia

Preposisi

15

8

5

3

5

41,67

22,22

13,89

8,33

13,89

Jumlah 36 100

Seperti tampak pada tabel 5.7 di atas, dari jumlah 36 kata arkais yang

digunakan dalam teks WVHMM, jumlah nomina sebanyak 15 (41,67%), verba

sebanyak 8 (22,22%), adjektiva sebanyak 5 (13,89%), dan preposisi sebanyak 5

(13,89%) dan persentasenya sebanyak 100%. Penggunaan kata arkais berkategori

nomina terbanyak karena esensi isi pesan utama WVHMM lebih banyak berkaitan

dengan dunia kebendaan sesuai dengan realitas faktual yang dihadapi dan dialami

etnik Rongga.

f) Istilah Pertanian

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, konteks ritual yang melatari kehadiran

teks WVHMM adalah ritual mbasa wini, yakni ritual pemercikan darah ayam

pada bibit sebelum ditanam. Meskipun demikian, tidak banyak kata berkaitan

dengan istilah pertanian. Kata-kata yang digunakan lebih banyak didominasi kata-

kata bermakna filosofis karena vera yang dilaksanakan, baik yang berkaitan

Page 156: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

118

dengan pertanian maupun kehidupan manusia, pada intinya adalah sama yaitu

sebagai warisan nilai-nilai luhur para leluhur (berdasarkan wawancara dengan

tetua adat di Rongga). Artinya, nilai budaya (cultural value) netral terhadap fisik

berbagai kegiatan ritual (pertanian, kelautan, kehidupan manusia) hanyalah

sebagai media penyampaian. Dalam konseptualisasi etnik Rongga, vera dipahami

sebagai peranti agama lokal yang dianutnya. Dengan demikian, dapat diprediksi

nilai-nilai kultural yang sama akan didapat pada berbagai jenis vera, dibungkus

dengan cara-cara yang berbeda atau leksikal yang berbeda, Jenis dan frekuensi

penggunaan istilah pertanian dalam teks WVHMM dapat dilihat pada tabel di

bawah ini.

Tabel 5.8

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Istilah Pertanian

No. Jenis Istilah Pertanian Jumlah Persentase (%)

1.

2.

Nomina

Verba

19

2

90,50

9,50

Jumlah 21 100

Seperti tampak pada tabel 5.8 di atas, dari jumlah 21 istilah pertanian yang

terdapat dalam teks WVHMM, nomina sebanyak 19 (90,505%) dan verba

sebanyak 2 (9,50%). Meskipun jumlahnya terbatas, istilah pertanian yang

digunakan itu memiliki makna filosofis karena di dalamnya tergurat seperangkat

nilai budaya sebagai panduan perilaku hidup dan kesucian sosial etnik Rongga.

g) Pemanfaatan kata pada posisi tertentu dalam baris

Baris-baris dalam teks WVHMM menggunakan sejumlah kata sebagai dasar

pembentuk pola formula awal dalam baris. Menurut Lord (1976:41-42), banyak

Page 157: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

119

formula awal dimulai dengan konjungsi atau verba bantu yang diikuti verba atau

nomina. Pola formula yang terdapat dalam teks WVHMM lebih banyak diisi oleh

nomina yang diikuti verba, adjektiva, adverbia, partikel, dan konjungsi.

Dari 163 bait dan 326 baris yang membentuk teks WVHMM,

kecenderungan formula baris diawali oleh penggunan kata berkategori nomina.

Seperti terlihat pada data (5-06), Lako kolo rongo ndau, lau wena ‘Anjing

gonggong kambing itu di selatan bawah batu’ dan Tibo miri kembi ndau, lau

wena watu ‘Kambing bersandar di dinding itu di selatan bawah batu’. Formula

awal baris pertama diisi oleh kata berkategori noimna lako ‘anjing’ berdistribusi

dengan verba ‘kolo’ gonggong’ diikuti oleh noimna rongo ‘kambing dan

determinator ndau ‘itu’. Pada baris kedua nomina tibo ‘kambing’ berdistribusi

dengan verba miri ‘sandar’ diikuti oleh nomina kembi ‘dinding’, serta

determinator ndau ‘itu’ membentuk kelompok kata berupa frasa nominal. Jenis

dan frekuensi penggunaan kategori kata sebagai formula awal dalam baris teks

WVHMM dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.9

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kategori Kata sebagai Formula Awal

No Kategori Kelas Kata sebagai

Formula Awal dalam Baris Jumlah Baris Persentase (%)

1. Nomina 200 61,35

2. Verba 82 25,15

3. Adverbia 22 6,74

4. Adjektiva 14 4,29

5. Kata Tugas 8 2,45

Jumlah 326 100

Page 158: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

120

Seperti tampak pada tabel 5.9 di atas, dari jumlah 326 baris dalam teks

WVHMM, penggunaan nomina sebagai formula awal tersebar dalam 200 baris

(61,35%), verba tersebar dalam 82 baris (25,15%), adverbia tersebar dalam 22 dua

baris (6,74%), adjektiva tersebar dalam 8 baris (4,29%), dan kata tugas tersebar

dalam 8 (2,45%). Kecenderungan penggunaan nomina paling dominan karena

realitas faktual banyak diakrabi dan dialami oleh etnik Rongga dalam kehidupan

sehari-hari berkaitan dengan dunia kebendaan.

3) Frasa

Sebagian kata yang digunakan dalam teks WVHMM berbentuk frasa atau

kelompok kata dengan kandungan pesan yang berkaitan dengan kehidupan etnik

Rongga. Frasa sebagai bagian fungsional dari sebuah tuturan yang lebih panjang

berkaitan dengan struktur infrafrasal dan ekstrafrasal (Verhaar, 1999:291-292).

Berdasarkan struktur infrafrasal, jenis frasa dalam teks WVHMM terdiri atas: (1)

frasa nominal (FN), seperti ana embu ‘anak cucu’ yang mengacu pada pelaku

dengan struktur nomina + nomina (N+N); (2) frasa verbal (FV), seperti la’a

lerha ‘jalan panas’ dengan struktur verba + adjektiva (V + Adj) yang mengacu

pada tindakan; (3) frasa adjektival (FAdj) seperti nggote nunu ‘kasihan beringin’

dengan struktur adjektiva + nomina (Adj + N) yang menunjuk pada situasi atau

keadaan; (4) frasa adverbial (F-Adv) seperti ko’e serotu ‘tersisa kumpulan kecil’

dengan struktur adverbia + nomina (Adv + N) untuk memperjelas informasi; (5)

frasa preposisional (F-prep) seperti lau alo ‘di (selatan) kali’ dengan struktur

preposisi + nomina (Prep + N) sebagai pemarkah lokatif, sebagaimana dapat

dilihat pada fragmen berikut.

Page 159: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

121

(5-08) Nggote nunu merhe, nggote nunu kasihan beringin besar kasihan beringin ‘Kasihan beringinyang besar’ Ana embu la’a lerha, nde jono mawo nde anak cucu jalan panas mana berteduh di pohon rindang mana ‘Anak cucu berjalan di bawah panas, berteduh dipohon yang rindang’ (5-09) Nangge lau alo, lau alo nangge halo pohon asam di (selatan) kali, di (selatan) kali pohon asam piatu ‘Pohon asam di selatan adalah pohon asam piatu’ Ko’e serotu, serotu ko’e sendu tersisa kumpul kecil kumpul kecil tersisa tunas ‘Tersisa sisa tunas kumpulan kecil” Berdasarkan analisis data yang dilakukan, penggunaan frasa nominal sangat

produktif dalam teks WVHMM. Jenis dan frekuensi penggunaan frasa dalam teks

WVHMM seperti terlihat pada tabel bawah ini.

Tabel 5.10

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Frasa Berdasarkan Struktur Infrafrasal

No. Jenis Frasa Jumlah Persentase (%)

1.

2.

3.

4.

5.

Frasa Nominal

Frasa Verbal

Frasa Adjektival

Frasa Adverbial

Frasa Preposisional

385

168

51

19

24

59,50

25,97

7,88

2,94

3,71

Jumlah 647 100

Seperti tampak pada tabel 5.10 di atas, dari jumlah 647 frasa yang terdapat

dalam teks WVHMM, jumlah frasa nominal sebanyak 385 (59,50%), frasa verbal

sebanyak 168 (25,97%), frasa adjektival sebanyak 51 (7,88%), frasa adverbial

sebanyak 19 (2,94%), dan frasa preposisional sebanyak 24 (3,71%) dan jumlah

persentase penggunaannya 100%. Dilihat dari frekuensi kemunculannya dalam

Page 160: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

122

teks WVHMM, frasa nominal paling dominan karena dalam kegiatan berbahasa

warga etnik Rongga sering menggunakan perbandingan fenomena alam yang

hidup di sekitarnya. Pemanfaatan perbandingan fenomena alam berupa nomina

dalam kehidupan berbahasa adalah salah satu cara mendidik masyarakat untuk

menaati norma-norma yang berlaku.

4) Klausa/Kalimat

Baris-baris dalam teks WVHMM menggunakan klausa/kalimat tunggal

sederhana sebagai satu kesatuan gramatikal yang terdiri atas subjek dan predikat

(Verhaar,1996:162). Klausa/kalimat itu merupakan wadah makna yang

menggambarkan cara pengungkapan pikiran dan perasaan etnik Rongga dalam

memaknai arti kehidupan mereka. Pola klausa/kalimat yang digunakan adalah

subjek-predikat (S-P) dan subjek-predikat-objek (S-P-O) dengan berbagai

variasinya seperti terlihat pada fragmen berikut.

(5-10) Mbali azi Rani, mai mbana Mbali adik Rani, datang ramai ‘Mbali adiknya Rani datang ikut meramaikan’ Rae ka’e lawe, lawe mai mbana Rae kakak Lawe, Lawe datang ramai ‘Rae kakak Lawe datang ikut meramaikan’ (5-11) Jara mosa bhara raru, peko maju kuda jantan putih mata kabur, kejar rusa ‘Kuda jantan putih matanya kabur mengejar rusa’ Langa kara mesi, wa’i teki pasang kekang semoga kaki angkat turun ‘Memasang kekang semoga kakinya angkat turun’ Pola klausa S-P terdapat pada data (5-10), Mbali azi Rani, mai mbana

‘Mbali adik Rani datang meramaikan’. Frasa nominal (FN), Mbali azi Rani,

menduduki fungsi subjek (S) yang menjadi pokok pembicaraan dan frasa verbal

Page 161: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

123

(FV), mai mbana ‘datang meramaikan’, menduduki fungsi predikat (P) yang

memberi penjelasan terhadap pokok pembicaraan.

Pola klausa subjek-predikat-objek (S-P-O) terdapat pada data (5-11), Jara

mosa bhara raru peko maju ‘Kuda jantan putih mata kabur kejar rusa’. Gugus

kata Jara mosa bhara raru ‘Kuda jantan putih matanya kabur’ adalah frasa

nominal (FN) yang menduduki fungsi subjek (S) sebagai pokok pembicaraan, kata

(verba) peko ‘kejar’ menduduki fungsi predikat (P), dan (nomina) maju ‘rusa’

yang menduduki fungsi objek (O) yang memberi penjelasan terhadap pokok

pembicaraan.

Klausa berpola S-P-K sebagai salah satu variasi dari klausa berpola S-P

dapat dilihat pada data (5-07), Embo sosa ndau lau wiri nanga ‘Ombak berbunyi

itu ke selatan batas pantai’. Kata (nomina) embo ‘ombak’ menduduki fungsi

subjek (S), frasa nominal (FN) sosa ndau ‘berbunyi itu’ menduduki fungsi

predikat ((P), frasa adverbial (F-Ad.) lau wiri nanga ‘ke selatan batas pantai’

menduduki fungsi keterangan sebagai pemarkah lokatif.

Klausa berpola S-P-O-K sebagai salah satu variasi klausa berpola S-P-O

dapat dilihat pada data (5-06), Lako kongo rongo ndau lau wena watu ‘Anjing

menggonggong kambing itu ke selatan bawah batu’. Kata (nomina) lako ‘anjing’

menduduki fungsi subjek (S), kata (verba) kongo ‘gonggong’ menduduki fungsi

predikat (P), frasa nominal (FN), rongo ndau ‘kambing itu’, menduduki fungsi

objek (O), dan frasa preposisional (F-Prep), lau wena watu ‘ke selatan bawah

batu’ sebagai pemarkah lokatif. Jenis dan frekuensi penggunaan pola klausa dalam

teks WVHMM dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Page 162: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

124

Tabel 5.11

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Pola Klausa

No. Pola Klausa Jumlah Persentase (%)

1. S-P 299 88,46

2. S-P-O 39 11,54

Jumlah 338 100

Seperti tampak pada tabel 5.11 di atas, dari jumlah 338 pola klausa yang

digunakan dalam teks WVHMM, jumlah klausa berpola S-P sebanyak 299

(88,46%) dan klausa berpola S-P-O sebanyak 39 (11,54%) dengan jumlah

persentase sebanyak 100%. Penggunaan klausa berpola S-P lebih produktif

daripada klausa berpola S-P-O bertujuan untuk menjaga keseimbangan dalam

penuturan dan mempertahankan keselarasan irama gerak tari dan lagu yang

dilantunkan.

Berdasarkan struktur pembentuk, jenis kalimat yang digunakan dalam teks

WVHMM terdiri atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal

adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa dan kalimat majemuk adalah kalimat

yang terdiri atas dua klausa atau lebih (Verhaar, 1996:275). Kedua jenis kalimat

tersebut dapat dilihat pada data (5-10) yang masing-masing baris terdiri atas satu

klausa, Mbali azi Rani, mai mbana ‘Mbali adik Rani datang meramaikan’, pada

baris pertama dan klausa kedua pada baris kedua, Rae ka’e Lawe, Lawe mai

mbana ‘Rae kakak Lawe datang meramaikan’, yang esensi pesannya adalah hidup

dalam kebersamaan.

Kalimat majemuk bertingkat yang terbentuk dari dua klausa sebagai

jalinan daya estetis bahasa dalam teks WVHMM dapat dilihat pada data (5-01),

Page 163: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

125

Renge meu embu nusi, ndia kami dhete manu ‘Dengar, kamu nenek moyang

sekarang kami pegang ayam’. Kalimat baris kedua adalah Nunu meu ramba tau

ti’i kamu meu bhate ‘Beri tahu disediakan makanan untuk kamu semua’. Esensi

pesannya pemberitahuan kepada roh leluhur bahwa mereka mau

mempersembahkan ayam untuk makanan roh leluhur. Jenis dan frekuensi

penggunaan kalimat dalam teks WVHMM berdasarkan struktur pembentukmya

dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.12

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kalimat Berdasarkan Struktur Pembentuk

No. Jenis Kalimat Jumlah Persentase (%)

1. Kalimat tunggal 272 80,47

2. Kalimat majemuk 66 19,53

Jumlah 338 100

Seperti tampak pada tabel 5.12 di atas, dari jumlah 338 kalimat yang

digunakan dalam teks WVHMM, jumlah kalimat tunggal sebanyak 272 (80,47%)

dan kalimat majemuk sebanyak 66 (19,53%) dan jumlah persentasenya sebanyak

100%. Penggunaan kalimat tunggal lebih poduktif karena berkaitan dengan

struktur puitis yang paralel dalam satuan baris dan bait. Selain menjaga

keseimbangan dalam pengaturan nafas, penggunaan kalimat tunggal itu juga

bertujuan menjaga kesesuaian irama, tempo, gerak kaki, dan agar mudah diingat

ketika dituturkan.

5) Hubungan baris teks WVHMM

Baris-baris yang membentuk satuan bait dalam teks WVHMM memiliki

hubungan antarbaris. Meskipun tidak selalu tampil dalam bentuk berjajar,

Page 164: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

126

hubungan struktur baris tersebut bersifat sintaktis dan semantis. Kata-kata yang

diulang sebagai peranti perekat hubungan antarbaris merupakan hubungan

sintaktis berdasarkan susunan kata yang sama dan struktur yang sama dengan

posisi berselang-seling.

a) Hubungan Sintaktis berdasarkan susunan kata yang sama

Satuan bait yang digunakan dalam teks WVHMM terdiri atas baris-baris

yang memiliki hubungan sintaktis dalam kalimat. Dilihat dari unsur

pembentuknya, satu baris terdiri atas beberapa bagian yang tampil berupa frasa

dan klausa. Dilihat dari susunan katanya, jalinan bagian-bagian dalam satu baris

membentuk hubungan sintaktis berupa hubungan antarklausa. Seperti terlihat pada

data (5-10), klausa pada baris pertama, Mbali azi Rani mai mbana ‘Mbali adik

Rani datang meramaikan’, dan klausa pada baris kedua, Rae ka’e Lawe mai

mbana, ‘Rae adik Lawe datang meramaikan’, kedua klausa tersebut memiliki

hubungan sintaktis dan semantis yang menyatakan kesamaan makna.

b) Hubungan baris berdasarkan struktur yang sama dengan posisi berselang-

seling

Selain hubungan sintaktis berdasarkan susunan kata atau struktur yang

sama, dalam teks WVHMM ditemukan hubungan baris berdasarkan struktur yang

sama pada posisi berbeda, sebagaimana terlihat pada fragmen berikut.

(5-12) Uma lange rhua, ma’e nggari mae kodhi kebun batas dua jangan lewat jangan sebelah ‘Kebun yang berbatasan dua jangan lewat ke sebelah’ Tunu manu kau ka sande uma lange bakar ayam kau makan beri kebun batas ‘Kamu membakar ayam beri juga tetnagga kebun

Page 165: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

127

Seperti tampak pada data (5-12) di atas, baris pertama klausa pertama,

uma lange ‘kebun berbatasan’, terletak pada posisi awal kalimat, sedangkan pada

baris kedua terletak pada posisi akhir dengan makna yang sama. Dari kedua

hubungan baris tersebut, hubungan baris berdasarkan struktur yang sama lebih

banyak digunakan. Hubungan baris menurut struktur yang sama ditandai dengan

penggunaan kata-kata yang sama dan perulangan kata-kata yang memiliki

kemiripan makna. Hubungan baris berdasarkan pertukaran kata atau berselang-

seling bertujuan mempertegas makna pesan yang disampaikan, yaitu hidup tolong

menolong dan saling mengasihi.

Dilihat dari kedua hubungan baris tersebut, hubungan baris berdasarkan

struktur yang sama paling produktif dalam teks WVHMM dan kedua hubungan

itu sering tidak memiliki hubungan sintaktis dan semantis. Baris-baris dengan

struktur yang sama pada dasarnya terdiri atas dua baris dengan mengulang salah

satu struktur yang sama pada baris kedua dalam bentuk paralelisme demi

menampilkan dimensi estetis. Perulangan itu bertujuan mempermudah

pengungkapan dan memperkuat jalinan bentuk dan makna pesan.

6) Kohesi wacana

Wacana yang baik dan padu di dalamnya selalu mengandung kohesi dan

koherensi demikian pula halnya dengan teks WVHMM. Kohesi merupakan

keserasian hubungan unsur-unsur dalam wacana, sedangkan koherensi merupakan

kepaduan wacana sehingga membawa ide tertentu yang dipahami khalayak

(Eriyanto, 2001:4-5). Analisis wacana dilihat dari segi bentuk disebut aspek

gramatikal wacana, sedangkan dari segi makna disebut aspek leksikal wacana

(Sumarlan, 2003:23).

Page 166: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

128

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa Kohesi wacana sebagai

peranti pembentuk keutuhan wacana teks WVHMM memiliki karaktersitik yang

khas. Kekhasan karakteristik kohesi wacana sebagai keutuhan teks WVHMM

tercermin dalam kohesi gramatikal dan kohesi leksikal sebagai unsur yang

dominan. Kedua kohesi tersebut menjalin kepaduan dan keutuhan wacana teks

WVHMM yang diuraikan di bawah ini.

1) Kohesi gramatikal

Aspek kohesi gramatikal sebagai peranti keutuhan teks WVHMM meliputi

pengacuan atau referensi dan perangkaian. Kedua kohesi gramatikal tersebut

dapat diuraikan sebagai berikut .

a) Pengacuan atau referensi

Pengacuan atau referensi merupakan salah satu jenis aspek gramatikal yang

berupa satuan lingual tertentu mengacu pada satuan lingual lain yang mengikuti

dan mendahuluinya (Sumarlan, 2003:23). Pengacuan atau referensi dalam teks

WVHMM mencakupi: (a) persona, dan (b) demonstratif yang terdiri atas

pronomina demonstratif tempat dan pronomina demonstratif waktu. Seperti uraian

berikut ini.

(i) Pengacuan atau referensi persona

Pengacuan atau referensi persona yang terdapat dalam teks WVHMM

meliputi pengacuan atau referensi pada persona pertama dan kedua yang bersifat

eksoforis dan endoforis dalam bentuk bebas maupun terikat. Realitas penggunaan

pengacuan atau referensi sebagai pemarkah kohesi gramatikal yang membentuk

keutuhan teks WVHMM, sebagai suatu peristiwa komunikasi seperti terlihat pada

fragmen berikut.

Page 167: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

129

(5-13) Kau kau ja’o mendu sei kamu kamu saya bukan orang lain ‘Kamu dan saya bukan orang lain melainkan keluarga’ Kau kau ja’, kaju jawa mendu ata kamu kamu saya pohon jagung bukan orang lain ‘Kamu dan saya bukan orang lain melainkan masih keluarga’ (5-14) Dhengi ne kami, mae sama pa’o minta dengan kami, mari sama-sama duduk ‘Mintalah dengan kami marilah duduk bersama’ Ka nake manu ndia makan daging ayam ini ‘Makanlah suguhan daging ayam ini’ Seperti tampak pada data (5-13), segmen wacana tuturan itu merupakan

suatu peristiwa komunikasi yang terbentuk dari dua buah kalimat tunggal yang

saling berhubungan secara dialogis dengan kerangka makna yang saling

menunjang. Di dalam tuturan itu terdapat dua orang pelibat utama, yaitu sebagai

penutur atau sebagai sumber informasi dan sebagai petutur atau penerima

informasi. Dalam kalimat tunggal pada baris pertama dan kedua pada data (5-13)

terdapat kata kau ‘kamu’ yang merupakan bentuk pengacuan pronomina persona

kedua tunggal dan kata ja’o ‘saya’ merupakan bentuk pengacuan atau referensi

pada pronomina persona pertama tunggal yang bersifat eksoforis karena yang

diacu di luar teks. Meskipun demikian, tetap terjalin kesamaan pemahaman antara

penutur dan petutur terhadap predikat, yaitu mendu sei ‘bukan orang lain’,

maksudnya masih dalam satu keluarga.

Pada segmen (5-14) dibentuk oleh dua kalimat tunggal yang saling

berhubungan makna. Dalam kalimat tunggal pada baris pertama terdapat kata

kami ‘kami’ sebagai pronomina persona pertama jamak yang menunjuk pada

penutur sebagai sumber informasi dan bersifat eksoforis karena yang diacu juga

berada di luar teks.

Page 168: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

130

Referensi persona terlihat juga pada data (5-02), segmen wacana itu

dibentuk oleh dua kalimat tunggal yang saling berhubungan secara dialogis

dengan kerangka makna yang saling menunjang dan menegaskan satu sama lain

demi mempertahankan keutuhan makna. Pada kalimat tunggal baris pertama

terdapat kata kami ‘kami’ yang menunjuk pada penutur sebagai sumber informasi

dan bersifat eksoforis karena yang diacu pula berada di luar teks. Kata kau ‘kamu’

pada baris kedua merupakan bentuk pengacuan pronomina persona kedua tunggal

sebagai penerima informasi yang merupakan bentuk penunjukan pada leluhur dan

bersifat endoforis karena yang diacu terdapat dalam teks.

(ii) Pengacuan demonstratif

Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) yang terdapat dalam teks

WVHMM dapat dibedakan menjadi dua, yakni pronomina demonstratif waktu

(temporal) dan pronomina demonstratif tempat (lokasional). Kedua pengacuan

demonstratif tersebut secara eksplisit tampak pada fragmen berikut.

(5-15) Manu polu kau, dhanga peni romba maru. ayam peliharaaan kamu, biasa beri makan pagi sore ‘Ayam peliharaan kamu, biasa diberi makan pagi dan sore’ Peni manu mila, kau mila ja’o mila beri makan ayam liar, kau liar saya liar Memberi makan ayam liar, kau liar dan saya juga liar (5-16) Kodhe mbeke ko’e lau wena watu kera jantan sebelum ke selatan bawah batu ‘ Kera jantan sebelum keselatan berada di bawah batu’ Kodhe mbeke merhe ramba otu mbesi mbolu kera jantan besar agar lihat kayu besi katela rambat yang masih muda ‘Kera jantan besar melihat kayu besi dan ketela rambat yang masih muda’

Page 169: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

131

Data (5-15), yaitu pengacuan pronomina demonstratif waktu sekarang,

seperti terlihat pada baris pertama yaitu berupa frasa romba maru ‘pagi sore’.

Dalam wacana tersebut waktu terjadinya peristiwa adalah pada pagi hari sesudah

matahari terbit dan sore hari sebelum matahari terbenam. Suatu kebiasaan bagi

masyarakat etnik Rongga memberikan makan pada ayam peliharaannya dua kali

sehari, yakni pada pagi hari dan sore hari. Kebiasaan tersebut sesuai pula dengan

keberadaan mereka selain sebagai petani ladang juga sebagai pemelihara ternak

seperti ayam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pada data (5-16) baris pertama lau wena watu ‘ke selatan bawah batu’

tampak mengacu pada realitas tempat (ruang) yang dekat dengan penutur. Dengan

kata lain, penutur ketika menuturkan peristiwa itu sedang berada di tempat yang

dekat dengan tempat yang dimaksudkan yaitu dekat dengan batu.

b) Perangkaian (konjungsi)

Perangkaian atau konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang

dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain

dalam sebuah wacana. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual

kata, frasa, klausa, kalimat dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar misalnya

alenea. Dalam teks WVHMM perangkaian terdapat dalam baris-baris dalam bait

berupa konjungsi, seperti tampak pada fragmen berikut.

(5-17) Mbesi tonggu mberi ma’e we’e ame dhenge katela bersusun sanding jangan dengan si jamur Ketela bersusun jangan bersanding dengan si jamur We’e dhenge ame dhenge ata rhe’e dengan jamur si jamur orang jelek ‘Karena si jamur orang yang jelek’

Page 170: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

132

Pada (5-17) baik baris pertama maupun baris kedua terdapat konjungsi

aditif we’e ‘dengan’ yang didahului oleh penggunaan kata berupa kata sangkalan

ma’e ‘jangan’ yang menunjukkan hubungan penolakan antara mbesi ‘buah

kastela ‘ dan ame dhenge ‘si jamur’ yang dianggap membahayakan. Dengan

penggunaan konjungsi we’e tersebut hubungan kalimat itu lebih ekplisit dan

menjadi lebih jelas jika dibandingkan dengan hubungan yang tanpa konjungsi.

Makna dari ungkapan tersebut ialah menyatakan sebuah imbauan penutur kepada

pendengar hendaknya berhati-hati terhadap orang yang jahat, dalam hal ini

adalah penari vera sebagai penutur terhadap penonton atau pendengarnya. Selain

konjungsi ne’e ‘dan’ terdapat pula wujud konjungsi lain seperti kata ramba

‘supaya’, ele ‘walaupun’ dan ko ‘atau’ yang menyatakan tujuan suatu peristiwa

secara ekplisit, seperti terlihat pada fragmen berikut.

(5-18) Ngamba ele lewa ja’o pale kiru tole jurang walaupun panjang saya mendaki dekat melereng ‘Walaupun jurang panjang saya mendekat mendaki melereng’ Tiwu ele lema ja’o nangu kiru watu kolam walaupun dalam saya berenang dekat batu ‘Walaupun kolam dalam saya tetap berenang dekat batu’ (5-19) Kowa ko sapa lau lema lema lau sampan sederhana sampan ke selatan dalam dalam ke selatan ‘Sampan sederhana menuju ke selatan yang dalam’ Tewa laja lewa ramba pere angi merhe kibar layar panjang supaya terlindung angin besar ‘Kibarkan layar yang panjang supaya terlindung dari angin yang

besar’ Dari 33 jumlah jenis konjungsi yang digunakan dalam teks WVHMM

(lihat tabel 5.04), yang terbanyak digunakan adalah konjungsi dalam wujud ne’e

‘dan’. Dominannya penggunaan konjungsi dalam bentuk ne’e ‘dengan’ ialah

Page 171: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

133

untuk memperpanjang intonasi penuturan dalam mencapai kesesuaian estetis

antara gerakan tari dan intonasi lagu yang dilantunkan oleh penari vera.

2) Kohesi Leksikal

Kepaduan wacana selain didukung oleh kohesi gramatikal juga didukung

oleh kohesi leksikal. Kohesi leksikal adalah hubungan antarunsur dalam wacana

secara semantis (Sumarlan, 2008;169). Analisis kohesi leksikal berfungsi untuk

menandai koherensi teks WVHMM sebagai peranti bahasa dalam mendukung

keutuhan wacana. Kohesi leksikal yang terdapat dalam teks WVHMM adalah

repetisi (perulangan), sinonim (padan kata), dan antonim. Ketiga aspek leksikal

tersebut bersinergi mendukung kepaduan teks WVHMM. Berikut contoh

penggunaan kohesi leksikal dalam teks WVHMM berupa perulangan satuan

lingual berupa kata atau frasa, sinonim dan antonim.

(5-20) Ana halo pae, raku ne’e arhe waru yatim piatu miskin jahit dengan tali waru ‘Yatim piatu miskin, menjahit dengan tali waru’ Ana halo pae, dhepe ne’e arhe tere yatim piatu miskin jahit dengan tali sukun hutan ‘Yatim piatu miskin menjahit dengan tali sukun hutan’ (5-21) Ana halo pae, pae pine tona anak yatim piatu miskin miskin ibu berkekurangan ;Anak yatim piatu miskin tidak memiliki ibu’ Ana halo pae, pae ema tona anak yatim piatu miskin, miskin ayah berkekurangan ‘Anak yatim piatu miskin, tidak mempunyai ayah’ Dalam teks WVHMM repetisi atau perulangan satuan lingual berupa kata

atau frasa memiliki peran sangat penting untuk memberi tekanan dalam sebuah

konteks yang tampak menonjol penggunaannya. Realitas penggunaan repetisi

atau perulangan, seperti tampak pada data (5-20) dan (5-21), merupakan repetisi

Page 172: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

134

(perulangan) anafora, yaitu pengulangan kata atau frasa awal pada baris, ana halo

pae ‘anak yatim piatu miskin’, yang diulang pada frasa awal baris kedua. Tujuan

dari perulangan frasa itu ialah untuk menekankan bahwa anak yatim piatu itu

selain miskin juga tidak memiliki orang tua yaitu ayah dan ibu.

Pada data (5-20) dan (5-21), selain terdapat aspek leksikal berupa

perulangan juga terdapat aspek leksikal berupa sinonim dan antonim seperti kata

raku ‘jahit’ yang bersinonim dengan kata dhepe 'jahit’ pada data (5-20). Kedua

kata tersebut merujuk pada jenis verba yang sama yakni jahit. Pada data (5-21)

kata pine ‘ibu’ baris pertama berantonim dengan kata ema ‘ayah’ pada baris

kedua. Kata pine ‘ibu’ merujuk pada wanita dewasa yang sudah berumah tangga

dan mempunyai anak, yang berlawanan makna dengan kata ayah yang merujuk

pada laki-laik dewasa yang sudah berumah tangga dan mempunyai anak.

Pemanfaatan kata-kata bersinonim dapat berfungsi untuk menjalin hubungan

makna yang sepadan dan kata yang satu dengan kata yang lain, dan antonim

adalah satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan

lingual yang lain. Uraian kohesi leksikal yang berkaitan dengan perulangan

berupa kata atau frasa secara lebih rinci dapat disimak pada 5.2.1.4, sedangkan

kohesi leksikal yang berkaitan dengan sinonim dan antonim secara rinci dapat

disimak pada 5.2.1.5.

5.2.3.2 Sistem formula

Kekhasan struktur teks WVHMM ditandai dengan penggunaan baris-baris

dengan tatanan kata atau kelompok kata berbentuk pola formula dengan posisi

bervariasi sesuai dengan tuntutan irama. Baris-baris berurutan dengan pola

Page 173: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

135

formula menimbulkan aspek kepuitisan sebagai ciri khas sastra lisan. Formula

adalah kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang

sama untuk mengungkap ide pokok tertentu yang terdiri atas frasa, klausa, larik

atau baris (Lord, 2000:30). Matra adalah sebuah irama yang tetap sehingga jika

terjadi penggantian, maka pergantian tersebut sudah tetap menurut pola tertentu.

Dengan kata lain, matra adalah distribusi tekanan teratur pada suku kata atau

bunyi dalam larik-larik (Luxemburg, 1989:100). Dalam berbagai sastra lisan,

kondisi matra tidak sama seperti halnya pola susunan baris-baris yang

menentukan bentuk-bentuk formula dan pola formulanya mempunyai hubungan

yang erat dengan sistem bahasa (Lord, 2000:32). Penggunaan bentuk formula

dalam teks WVHMM terdiri atas formula kata, frasa, atau setengah baris, seperti

pada tabel berikut.

Tabel 5.13

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kategori Formula

No Kategori Formula Jumlah Persentase (%)

1. Formula frasa 37 61,67

2. Formula kata 23 38,33

Jumlah 60 100

Seperti tampak pada tabel 5.13 di atas, dari jumlah enam puluh kategori

formula yang terdapat dalam teks WVHMM formula frasa yang dominan

sebanyak 37 (61.67%) dan formula kata sebanyak 37 (61,67%). Dominannya

pemakaian pola formula frasa untuk menjaga keseimbangan gerak, tari dan lagu

untuk mencapai keharmonisan estetis. Meskipun demikian, kedua pola formula itu

mempunyai peran yang penting dalam merajut makna teks WVHMM. Selain

Page 174: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

136

untuk menjaga keseimbangan gerak tari dan lagu, pengulangan pola formula juga

berfungsi untuk: (1) memberikan penekanan makna secara semantis pada

permasalahan yang dituturkan oleh penutur; (2) menciptakan suasana tertentu

untuk menggugah emosi bagi pendengar maupun penutur; (3) daya pengingat ke

unsur tuturan yang lain; dan (4) mempertahankan dan mengharmonisan gerak tari

dan irama lagu yang dilantunkan.

Pola formula frasa yang digunakan lebih banyak diisi pola formula frasa

nominal (FN), sebagaimana dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.14

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Formula Frasa

No. Jenis Formula Frasa Jumlah Persentase%

1. Formula frasa nominal (FN) 21 56,76

2. Formula frasa verbal (FV) 6 16,22

3. Formula frasa adjektival (F-Adj) 2 5,40

4. Formula frasa perposisional (F-Prep) 8 21,62

Jumlah 37 100

Seperti tampak pada tabel 5.14 di atas, dari jumlah 37 pola formula frasa

yang terdapat dalam teks WVHMM, frasa nominal sebanyak 21 (56,76%), frasa

verbal sebanyak 6 (16,22%) frasa adjektival sebanyak dua (5,40%), dan frasa

preposisional sebanyak delapan (21,62%). Dominannya penggunaan pola formula

frasa nominal tersebut berkaitan dengan fenomena alam sekitar lingkup kehidupan

etnik Rongga yang lebih banyak berhubungan dengan dunia kebendaan.

Untuk memudahkan pemahaman, pola formula yang diulang dalam kalimat

pada matra yang sama, baik formula kata maupun frasa atau setengah baris,

Page 175: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

137

ditandai dengan cetak tebal yang diberi garis bawah dengan titik untuk menandai

pengulangan formula. Untuk pengulangan satu kata dan frasa atau setengah baris

yang letaknya tidak teratur ditandai dengan cetak tebal, seperti terlihat pada

fragmen di bawah ini.

(5-22) Ramba ma’e menge bhate meu embu woso .................................................................... supaya jangan lapar semua kamu leluhur banyak ‘Supaya jangan lapar kamu semua leluhur’ Dhengi ne’e kami ana embu woso .................................................. minta dengan kami anak cucu banyak ‘Mintalah dengan kami beserta anak cucu yang banyak’ (5-23) Nderhe Wolomete ne kau pumbu manu kerdil Wolomete karena kau rumput manu ‘Wolomete kerdil karena rumput manu’ Ne kau pumbu manu na’a se’e laki resa karena kau ramput manu dengan patah tersangkut resa ‘Karena tersangkut rumput manu resa patah’ (5-24) Iu pale sighu melo lombo embo hiu liar karena tumben gulung ombak ‘Ikan hiu liar karena tumben digulung ombak’ Embo lana gheo , ena tuku tendo ombak pasang jelajah, pasir terus menindih ‘Ombak pasang menjelajah terus menindih pasir ’ (5-25) Uma rhele ghembe uma merhe ................................................ kebun lahan lereng kebun besar Lahan kebun di lereng kebun besar Nara ma’e lere dhuku kumba olo merhe ................................................................ saudara jangan lengah sampai rumput lebih besar ‘Saudara jangan lengah sehingga rumput sampai lebih besar’ (5-26) Ndala ndau ndeta, ndeta ndala ndoa

bintang itu atas, atas bintang kembar ‘Bintang di atas itu, bintang kembar’ ‘Seke ndia lima, ndia lima seke ndake’. gelang ini tangan ini tangan gelang kembar ‘Gelang di tangan gelang kembar’

Page 176: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

138

Seperti tampak pada data (5-22) di atas, unsur pembentuk pola formula

frasa embu woso ‘leluhur banyak’ diulang pada kalimat kedua baris kedua pada

posisi sama di akhir kalimat, sehingga kalimat pertama dan kalimat kedua

mengandung pola formula. Ungkapan tersebut mengandung makna penghormatan

kepada leluhur. Pada data (5-23) dan (5-24), unsur pembentuk formula kata dan

frasa tidak teratur karena kata atau frasa yang diulang pada kalimat berikutnya

tidak terletak pada posisi yang sama sehinnga kalimat pertama dan kedua tidak

mengandung pola formula. Pada data (5-25), unsur pembentuk pola formula kata

diulang pada kalimat kedua pada posisi yang sama di akhir kalimat sehingga

kalimat tersebut mengandung pola formula. Pada data (5-26), dalam kalimat

pertama terdapat pengulangan kata di tengah kalimat, yakni kata ndeta ‘di atas

sana’ kata ndala ‘bintang’, namun tidak terletak pada posisi yang sama. Pada

kalimat kedua, terdapat frasa yang diulang di tengah kalimat, yakni seke ndia

lima, ndia lima seke ndake ‘Gelang ini tangan, ini tangan gelang kembar’, dan

tidak mengandung formula karena pengulangan terletak pada posisi berbeda.

Berdasarkan uraian di atas, kata atau frasa sebagai unsur pembentuk pola

formula yang diulang pada matra yang sama hanya ditemukan dalam 60 bait dari

163 jumlah bait, yang terdiri atas 37 formula frasa dan 23 formula kata.

Ditemukan kekhasan formula teks WVHMM yang unsur-unsur pembentuknya

tidak teratur, seperti penggunaan kata-kata dan frasa yang sama jika diulang

posisinya berselang-seling atau tidak pada matra yang sama (data 5-26). Temuan

ini berbeda dengan Lord yang mengatakan bahwa formula adalah kelompok kata

yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk

Page 177: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

139

mengungkapkan ide pokok tertentu, formula bisa berbentuk frasa, klausa, dan

baris.

Fenomena terpenting dalam teks WVHMM adalah tampilan pola-pola

bunyi bahasa, seperti asonansi, aliterasi, dan rima sebagai peranti linguistik

perajut daya estetis. Temuan ini terkait pula bahwa Indonesia yang terdiri atas

berbagai etnik memiliki berbagai ragam sastra lisan. Ragam sastra lisan itu tentu

memiliki sistem bahasa sendiri-sendiri sebagai ciri keberbedaan dengan etnik

yang lain. Selain memiliki keberbedaan, sistem bahasa itu juga sering

menunjukkan adanya persamaan sebagai kekayaan budaya sastra lisan.

5.2.3.3 Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara penggunaan bahasa, terutama kosakata yang khas

untuk menyatakan pikiran atau perasaan sehingga lebih efektif dan terasa lebih

indah (Sibarani, 2004:164). Gaya bahasa yang digunakan dalam teks WVHMM

bertujuan untuk menciptakan keindahan penuturan dan memperkuat makna pesan.

Sehubungan dengan itu gaya bahasa yang terdapat dan digunakan sebagai unsur

pembentuk unsur daya estetis teks WVHMM, antara lain, berupa gaya bahasa

paralelisme dan gaya bahasa kiasan.

1) Gaya bahasa paralelisme

Bahasa dalam teks WVHMM termasuk jenis bahasa ritual khususnya ritual

pertanian. Sebagai bahasa ritual, teks WVHMM dielaborasi secara baik dan

disusun dalam bentuk formula yang memiliki kesamaan dalam pemakaian bentuk

paralelisme yang menurut Fox (1974:73); Fox, (1982); Grimes, (1997:15);

Engelenhoven, (1997); Arka, (2010:95) adalah bagian dari karakteristik bahasa

Page 178: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

140

ritual di Indonesia Timur.43 Pemakaian strukur peralelisme terkait dengan

transmisi nilai dan identitas budaya. Oleh karena itu budaya dari wilayah

Indoensia Timur termasuk etnik Rongga, terkenal dengan tradisi lisan yang sangat

kental. Transmisi nilai budaya, asal leluhur, dan norma perilaku semuanya

diasosiasikan dengan bentuk paralelisme sebagai salah satu bentuk budaya

kelisanan, seperti resitasi ritual dari sejarah klan yang dinyanyikan sepanjang

malam (lihat Grimes, 1997: 16-17).

Paralelisme merupakan salah satu genre (gaya) berbahasa. Studi awal

tentang paralelisme sebagai fenomena linguistik terfokus secara ekslusif dalam

syair bahasa Hebrew oleh Roberth Lowth (dalam Fox, 1986, 204-205; 282-283;

Grimes, 1997:15) yang dikenal dengan sebutan atau istilah paralelisme

membrorum. Paralelisme membrorum adalah kata-kata atau kalimat yang saling

bersahutan dalam larik yang berkaitan (dalam Fox, 1986:66-67). Teori Lowth itu

masih terbatas pada pengungkapan bentuk fonologis, gramatikal, dan

leksikosemantis. Dalam kaitannya dengan makna dikemukakan tiga macam

hubungan semantis antarperangkat diad paralelisme, yaitu hubungan paralel

sinonim, antitesis, dan hubungan sinstesis (dalam Fox, 1986:132-133).

Teori paralelisme dielaborasi lebih jauh oleh Jakobson (dalam Foley,

1997:366-370), terutama dalam tataran leksikosemantis, yang melahirkan fungsi

dan makna bahasa yang berlatarkan kebudayaan masyarakat pendukung

paralelisme. Jakobson melihat paralelisme sebagai fungsi puitis (poetic function)

yang memproyeksikan prinsip kesepadanan antara seleksi dan kombinasi atau

43 Karaktersitik ini juga ditemukan di luar Indonesia, dan mungkin tidak terbatas pada bahasa ritual

seperti contoh cerita yang dinyanyikan di Papua Nugini Rumsey (dalam Arka, 2010).

Page 179: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

141

mengenai kesamaan dan kedekatan. Penyingkapan dan pengungkapan paralelisme

dilakukan melalui bentuk atau struktur sistem kebahasaan pada tataran fonologis,

gramatikal, dan leksikosemantis untuk mengidentifikasi sifat paralelisme

fonologis, paralelisme gramatikal, dan paralelisme semantisnya. Paralelisme

semantis mencapai perluasannya dalam bahasa-bahasa ritual. Berkaitan dengan

itu, berikut dipaparkan dan dijelaskan gaya bahasa paralelisme yang digunakan

dalam WVHMM dilihat dari tataran fonologis, gramatikal, dan leksikosemantis.

a) Gaya Bahasa Paralelisme Fonologis

Karakteristik penggunaan bahasa dalam teks WVHMM tersusun dalam baris

dan bait sebagai perpaduan leksikal melalui perulangan dan pemanfaatan satuan

kebahasaan bercorak paralelisme. Keindahan bahasa yang digunakan dipengaruhi

kehadiran gaya bahasa paralelisme fonologis yang mewujud dalam bentuk

asonansi, aliterasi, dan rima, selain perulangan bentuk gramatikal dan

leksikosemantis.

(1) Asonansi

Penggunaan pola bunyi berasonansi adalah ciri paralelisme fonologis yang

paling menonjol dalam teks WVHMM. Pola bunyi berasonansi pada tataran kata

merupakan perangkat diad dasar dengan salah satu kata atau lebih sebagai

perluasannya menyebabkan teks WVHMM menjadi sebuah teks yang utuh,

sebagaimana terlihat pada fragmen berikut.

(5-27) Jara mosa bhara posa jara ngarha kuda jantan putih katanya kuda ternama ‘Kuda jantan berwarna putih katanya kuda ternama’ Peko maju pengga, mbau-mbau pengga kejar rusa tikam, tidak jadi tidak jadi tikam ‘Mengejar rusa ingin menikam tetapi tidak jadi’

Page 180: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

142

Seperti tampak pada data (5-27) di atas, jenis asonansi yang digunakan

adalah asonansi berstruktur simetris dan asimetris. Asonansi berstruktur simetris

adalah vokal a-a dalam kata (nomina) jara ‘kuda’ dalam sandingan dengan kata

(adjektiva) bhara ‘putih’ dan kata (adjektiva) ngarha ‘ternama’. Asonansi

berstruktur asimetris adalah vokal o-a dalam kata (adjektiva) mosa ‘jantan’ dalam

sandingan dengan kata (verba) posa ‘kata’. Jenis dan frekuensi penggunaannya

dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.15

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Fonem Vokal Berasonansi

No. Jenis Asonansi Jenis Fonem Vokal Berasonansi

Jumlah Persentase (%)

1. Berstruktur simetris a-a = 37 i-i = 3 e-e = 36 u-u = 3 o-o = 20

99 40,23

2. Berstruktur asimetris a-e = 38 a-i = 24 a-u = 16 a-o = 14 o-i = 6 e-i = 10 e-u = 6 i-u = 7 e-o = 18

139 59,77

Jumlah 238 100

Seperti tampak pada tabel 5.15 di atas, frekuensi kemunculan asonansi

berstruktur asimetris lebih dominan daripada asonansi berstruktur simetris. Dari

jumlah 138 asonansi yang terdapat dalam teks WVHMM, jumlah asonansi

berstruktur simetris sebanyak 99 (40,23%) dan asonansi bertstruktur asimetris

sebanyak 139 (59,77%), dan jumlah presentase seluruhnya adalah 100%. Pada

Page 181: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

143

dominasi asonansi berstruktur asimetris terjadi pengaruh pilihan kata guna

menampilkan keindahan bentuk dan menimbulkan efek musikal ketika dituturkan.

(2) Aliterasi

Aliterasi berkaitan dengan permainan bunyi berupa pengulangan konsonan

atau kelompok konsonan pada awal suku kata atau kata secara berurutan

memperdalam rasa, menampilkan nuansa orkestra dan memperlancar ucapan

(Kridalaksana, 1984:9, Pradopo,1987:37). Jenis aliterasi dalam teks WVHMM

beragam sehingga sulit dikaidahkan. Kekhasan aliterasi tersebut ditandai dengan

letaknya pada kata unsur perangkat yang dijadikan dasar dengan salah satu kata

atau lebih sebagai perluasan, sebagaimana terlihat pada fragmen di bawah ini.

(5-28) Kowa saka sapa lau lema lau perahu kecil bonceng sampan ke (selatan) dalam ke (selatan) ‘Perahu kecil bonceng sampan ke selatan di laut yang dalam’ Wesa mani lai tenge tuu-tuu tenge dayung begitu lincah sendiri betul-betul sendiri ‘Betul-betul sendiri mendayung dengan lincah’ (5-29) Mbata sosa mbata mbale bunyi ombak gelegar sahut ‘Bunyi ombak bergelegar saling bersahutan’ Ture watu lamba ture tepe

susun batu gendang susun dengan rapi.’. ‘ Batu bersusun dengan rapi berupa gendang’

Seperti dilihat pada fragmen (5-28), aliterasi konsonan s berdistribusi pada

posisi awal dalam kata saka dan sapa, aliterasi konsonan l berdistribusi pada

posisi awal dalam kata lau dan lema, aliterasi konsonan t berdistribusi pada posisi

awal dalam kata tenge dan tuu. Pada fragmen (5-29), aliterasi konsonan mb

berdistribusi pada posisi awal dalam kata mbata dan mbale, serta aliterasi

konsonan t berdistribusi pada posisi awal dalam kata ture dan tepe. Jenis dan

Page 182: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

144

frekuensi penggunaan aliterasi dalam teks WVHMM seperti tampak pada tabel

berikut.

Tabel 5.16

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Aliterasi pada Posisi Awal dan Tengah

No. Jenis Aliterasi Jumlah Persentase (%)

1. Posisi Awal 76 82,61

2. Posisi Tengah 16 17,39

Jumlah 92 100

Seperti tampak pada tabel 5.16 di atas, dari jumlah 92 aliterasi yang

terdapat dalam teks WVHMM, sebanyak 76 (82,61%) berdistribusi pada posisi

awal dan 16 (17,39%) berdistribusi pada posisi tengah, dan jumlah persentasenya

sebanyak 100%. Tidak terdapat aliterasi yang berdistribusi pada posisi akhir

karena bahasa Rongga merupakan bahasa vokalik atau bersuku terbuka.

(3) Rima

Rima adalah pola perulangan bunyi yang sama, yang muncul secara

berurutan pada kata, frasa, atau klausa. Berdasarkan posisinya, jenis rima yang

terdapat dalam teks WVHMM terdiri atas rima awal, tengah, dan akhir, dengan

frekuensi penggunaannya bervariasi, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.17

Posisi dan Frekuensi Penggunaan Rima

No Posisi Jumlah Persentase (%)

1 Posisi awal 80 32,39

2 Posisi tengah 75 30,36

3 Posisi akhir 92 37,25

Jumlah 247 100

Page 183: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

145

Seperti tampak pada tabel 5.17 di atas, dari jumlah 247 rima yang terdapat

dalam teks WVHMM, jumlah rima awal sebanyak 92 (37,25%), rima tengah

sebanyak 80 (32,39%), dan rima akhir sebanyak 75 (30,36%), dan jumlah

persentasenya sebanyak 100%. Variasi penggunaannya bertujuan untuk

menciptakan efek musikal dan keharmonisan estetis bunyi. Realitas penggunaan

rima tersebut dapat dilihat pada fragmen di bawah ini.

(5-30) Kojo paka ghara lau tolo namba kepiting rangkak rayap ke selatan sembarang tanah putih ‘Kepiting merayap merangkak sembarangan ke tanah putih’

Kima mata mite ngata lau wena watu siput mata hitam saja(lah) ke selatan bawah batu ‘Siput bermata hitam sajalah yang ke selatan di bawah batu’ Seperti tampak pada data (5-30), frasa nominal (FN) mata mite ‘mata

hitam’, terdapat pada rima awal dan tengah. Rima awal ditandai dengan

permainan fonem konsonan m dan rima tengah ditandai dengan permainan fonem

konsonan t. Dalam frasa nominal (FN), wena watu, terdapat rima awal yang

ditandai dengan permainan fonem konsonan w. Ungkapan di atas memiliki makna

imbauan kepada siapa pun agar dalam mengerjakan sesuatu apa pun itu tetap

berhati-hati dan waspada.

b) Paralelisme Gramatikal

Paralelisme gramatikal yang terdapat dalam teks WVHMM meliputi

ekuivalensi kelas kata perangkat diad dasar dan modus kalimat, kesemuanya

ditandai dengan kesepadanan kelas kata atau penyepasangan kelas kata.

(1) Ekuivalensi kelas kata perangkat diad

Ekuivalensi kelas kata perangkat diad adalah penyepasangan kelas kata

yang sama sebagai bentuk paralelisme gramatikal, seperti terlihat dalam fragmen

di bawah ini.

Page 184: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

146

(5-31) Kamba ko jara wa’i nd’a ndoro sala kerbau atau kuda kaki kembar gelincir salah ‘Kerbau atau kuda kakinya berkembaran tergelincir salah’

Renggo mesi mbe’o tetemu ndi’i mema mengganggu semoga tahu tepat duduk jatuh memang ‘Mengganggu semoga tahu tempat duduk jatuh’ (5-32) Lerha mbo mena mbena sama mbesi wonga romba matahari terbit di Mbena seperti bunga kastela pagi hari ‘Matahari yang terbit di Mbena seperti bunga kastela pada pagi hari’ Lerha ko’e nggoru maru kau menga palu wau matahari sebelum sore bunga kamu sudah terlanjur layu ‘Matahari sebelum terbenam sore bungamu sudah terlanjur layu’ Pada data (5-31), kata kamba ‘kerbau’ berekuivalensi dengan kata jara

‘kuda’. Pada data (5-27), kata bhara ‘putih’ berekuivalensi dengan kata ngarha

‘ternama’. Pada data (5-32), kata ko’e ‘sebelum’ berekuevalensi dengan kata

nggore ‘sore’. Kelas kata berkategori nomina paling banyak berekuivalensi,

seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.18

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Ekuivalensi Kelas Kata Perangkat Diad

No. Ekuivalensi Kelas Kata Jumlah Persentase (%)

1. Nomina + Nomina 84 58,74

2. Verba + Verba 29 20,28

3. Adjektiva + Adjektiva 21 14,68

4. Adverbia + Adverbia 9 6,30

Jumlah 143 100

Seperti tampak pada tabel 5.18 di atas, dari 143 ekuivalensi kelas kata

perangkat diad yang terdapat dalam teks WVHMM, jumlah ekuivalensi kelas kata

Page 185: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

147

nomina sebanyak 84 (58,74%), ekuivalensi kelas kata verba sebanyak 29

(20,28%), ekuivalensi kelas kata adjektiva sebanyak 21 (14,68%), dan ekuivalensi

kelas kata adverbia sebanyak 9 (6,30%) dan jumlah persentasenya sebanyak

100%. Penggunaan kelas kata nomina paling banyak karena esensi pesan yang

disampaikan lebih banyak bergayut dengan dunia kebendaan sesuai dengan

realitas faktual yang dihadapi dan dialami oleh etnik Rongga.

(b) Modus kalimat

Modus kalimat yang digunakan dalam teks WVHMM terdiri atas modus

desideratif, indikatif, imperatif, dan interogatif. Jenis dan frekuensi penggunaan

modus kalimat dalam teks WVHMM dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.19

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Modus Kalimat

No. Modus Kalimat Jumlah Persentase (%)

1. Modus kalimat desideratif 19 5,62

2. Modus kalimat imperatif 43 12,72

3. Modus kalimat indikatif 271 80,18

4. Modus kalimat interogatif 5 1,48

Jumlah 338 100

Seperti dilihat pada tabel 5.19 di atas, dari 238 modus kalimat yang terdapat

dalam teks WVHMM, jumlah modus indikatif sebanyak 271 (80,18 %), modus

imperatif sebanyak 43 (12,72%), modus desideratif sebanyak 19 (5,62%), dan

modus interogatif sebanyak 5 (1,48%), dan jumlah persentase seluruhnya 100%.

Dominasi penggunaan kalimat bermodus indikatif menunjukkan bahwa struktur

Page 186: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

148

kalimat yang digunakan dalam teks WVHMM cenderung mendeskripsikan

tentang sesuatu sesuai dengan realitas faktual yang dialami oleh etnik Rongga.

(i) Modus Desideratif

Modus desideratif adalah modus yang menyatakan keinginan atau harapan

penutur terhadap mitra tutur. Realitas penggunaan modus desideratif dalam teks

WVHMM dapat dilihat dan disimak pada data berikut.

(5-33) Li ti’i ko rebha bhagi ko pawa ayo beri yang baik bagi yang baik juga ‘ Ayo berikanlah dan bagikan yang baik’ Ndoa one uma, mae nduta’. pergi ke kebun jangan ada rintangan ‘Pergi ke kebun jangan sampai ada rintangan’ Fragmen (5-33) di atas menyingkap resapan keinginan dan harapan etnik

Rongga agar mereka diberkahi, sebagaimana terekspresi dalam kalimat, Li ti’i ko

rebha bhagi ko pawa ‘Ayo beri yang baik bagi yang baik’. Kalimat ini diawali

dengan partikel li ‘ayo’ sebagai pemarkah desideratif guna menyatakan

keingingan dan harapan mereka kepada Tuhan yang disampaikan melalui roh

leluhur sebagai perantara untuk permohonan perlindungan.

(ii) Modus Imperatif

Modus imperatif adalah modus yang menyatakan perintah atau larangan

dari penutur terhadap mitra tutur. Realitas penggunaan kalimat bermodus

imperatif dalam teks WVHMM dapat dilihat dalam fragmen berikut.

(5-34) Nuka one sa’o karo mae ro’i pulang ke rumah duri jangan duri ‘Jika pulang ke rumah jangan sampai kena duri’ Sambu ata bho menggi polo wura ‘Mungkin orang iri hati cemburu dan dengki setan’. ‘Mungkin ada yang iri hati, cemburu dan dengki seperti setan’

Page 187: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

149

Seperti tampak pada data (5-35), modus imperatif tercemin dalam klausa

pertama, Nuka one sa’o karo mae ro’i ‘Pulang ke rumah duri jangan kena duri’,

yang ditandai dengan penggunaan pemarkah sangkalan mae ‘jangan’ yang

berdistribusi mendahului kata (verba) ro’i ‘kena’. Perintah ini ditujukan kepada

roh alam agar mereka terbebas dari rintangan dan halangan dalam perjalanan

pulang ke rumah pada sore hari setelah mereka bekerja di kebun.

(iii) Modus Indikatif

Modus indikatif adalah modus kalimat yang menyatakan sifat kenetralan

penutur. Dalam teks WVHMM, penutur tidak menginginkan sesuatu dari mitra

tutur, kecuali untuk menyampaikan fakta. Realitas penggunaan kalimat bermodus

indikatif dapat dilihat pada fragmen di bawah ini.

(5-35) Ngguru tara woso, woso arhi woso ka’e aur ranting banyak banyak adik banyak kakak ‘Aur (sejenis bambu) dengan ranting banyak adik dan kakak’ Besi singga lina, lina riwu lina ngasu banyak wajah bersih, bersih banyak bersih ratus ‘Banyak sampai ratusan wajah yang bersih’

Klausa pertama dalam fragmen (5-35) tampil dalam modus indikatif

karena penutur menyampaikan sesuatu kepada orang lain tentang sifat ngguru

‘aur’ yang beranting banyak dan bisa hidup bersama. Modus kalimat ini

merupakan analogi yang mengias mengenai suasana kehidupan bersama dalam

bingkai persaudaraan.

(iv) Modus Interogatif

Modus interogatif adalah modus yang menyatakan pertanyaan dari penutur

kepada mitra tutur. Realitas penggunaan kalimat bermodus interogatif dalam teks

WVHMM dapat dilihat pada fragmen di bawah ini.

Page 188: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

150

(5-36) Sei nunu kau, ma’e rewo ko’e siapa beritahu kamu jangan bohong lagi ‘Siapa yang memberitahukan kamu jangan bohong lagi’ Sei posa kau ma’e mbaje ko’e ‘siapa beritahu kamu jangan bohong lagi’. ‘Siapa yang memberitahukan kamu jangan bohong lagi’ Kedua kalimat pada fragmen (5-36) di atas tampil dalam modus interogatif

yang ditandai dengan adanya tindakan penutur bertanya kepada mitra tutur.

Modus tersebut ditandai dengan penggunaan kata tanya sei ‘siapa’ yang

berdistribusi pada posisi awal mendahului verba nunu ‘beri tahu’ pada klausa

pertama dan verba posa ‘beritahu’ pada klausa kedua. Pertanyaan itu bersifat

retoris karena tidak memerlukan jawaban langsung dari mitra tutur, tetapi hanya

bertujuan menampilkan keindahan bentuk tuturan.

c) Paralelisme leksikosemantis

Analisis paralelisme leksikosemantis diarahkan pada sifat hubungan makna

kata sebagai unsur perangkat diad dan sifat hubungan makna antarunsur kata,

frasa, dan kalimat. Karakter tipikal paralelisme adalah struktur dalam dari baris

yang menunjukkan perpaduan leksikal melalui perulangan, sinonim, dan antonim.

Penggunaan bentuk paralelisme leksikosemantis dalam teks WVHMM tidak

begitu produktif, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.20

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Paralelisme Leksikosemantis

No. Jenis Jumlah Peresentase (%)

1. Sinonim 11 35,48

2. Antonim 13 41,94

3. Sintesis 7 22,58

Jumlah 31 100

Page 189: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

151

Seperti tampak pada tabel 5.20 di atas, dari 31 bentuk paralelisme

leksikosemantis digunakan dalam teks WVHMM, jumlah sinonim sebanyak 11

(35,48%), antonim sebanyak 13 (41,94%), dan sintesis sebanyak 7 (22,58%), dan

jumlah persentasenya sebanyak seratus persen. Realitas penggunaan paralelisme

leksikosemantis dalam teks WVHMM dapat terlihat pada fragmen di bawah ini.

(5-37) Ine po soro kau rero ma’e ghewo ibu nasihat bicara kamu ribut jangan lupa ‘Ibu bicara memberi nasihat kamu jangan ribut dan lupa’ Ema reku lelu, kau rero ma’e ghewo

ayah nasihat bicara beri nasihat kamu ribut jangan lupa ‘Ayah bicara memberi nasihat kamu jangan ribut dan jangan lupa’

Seperti tampak pada data (5-37) di atas, klausa kau rero ma’e ghewo

‘jangan ribut jangan lupa’ dalam baris pertama diulangi pada baris kedua. Baris

pertama menunjukkan keterpaduan dengan menggunakan sinonim dan antonim,

seperti kata po ‘nasihat’ pada klausa ine po soro ‘ibu menasihati’ bersinonim

dengan kata reku ‘nasihat’ pada klausa ema reku lelu ‘bapak menasihati’.

Perpaduan sinonim dan antonim pada data (5-37) merupakan sintesis karena

keduanya membangun makna. Esensi isi pesannya ialah jangan meremehkan

nasihat orang tua atau nasihat itu sebaiknya ditaati.

2) Gaya Bahasa Kias

Gaya bahasa kias merupakan jenis gaya bahasa yang paling produktif dalam

teks WVHMM. Jenis gaya bahasa kias yang digunakan terdiri atas persamaan,

metafora, personifikasi, dan sindiran, dengan frekuensi penggunaannya dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.

Page 190: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

152

Tabel 5.21

Jenis dan Frekuensi Penggunaan Gaya Bahasa Kias

No Jenis Gaya Bahasa Kias Jumlah Persentase (%)

1. Persamaan 51 25,12

2. Personifikasi 48 23,65

3. Metafora 74 36,45

4. Sindiran 30 14,78

Jumlah 203 100

Seperti tampak dalam tabel 5.21 di atas, dari jumlah 203 gaya bahasa kias

yang digunakan dalam teks WVHMM, jumlah gaya bahasa kias metafora

sebanyak 74 (36,45%), gaya bahasa kias personifikasi sebanyak 48 (23,65%),

gaya bahasa kias perbandingan sebanyak 51 (51,25%), dan gaya bahasa kias

sindiran sebanyak 30 (14,78%), dan jumlah persentasenya sebanyak 100%. Gaya

bahasa kias metafora paling produktif karena etnik Rongga sering menggunakan

fenomena alam sekitar seperti tumbuh-tumbuhan atau buah-buahan, binatang, dan

benda lainnya, sebagai acuan perbandingan dalam berkomunikasi.

a) Persamaan

Gaya bahasa kias persamaan adalah teknik mengias gagasan melalui

perbandingan yang dinyatakan secara eskplisit, artinya seseorang langsung

menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain, dengan menunjukkan kesamaan

melalui penggunaan kata-kata seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan

sebagainya (Keraf, 2006:138). Realitas penggunaan gaya bahasa kias persamaan

dapat dilihat pada data (5-33). Seperti tampak pada fragmen (5-33), gaya bahasa

Page 191: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

153

kias persamaan tercemin dalam klausa, Lerha mbo mena Mbena sama mbesi

wonga romba ‘Matahari terbit di Mbena sama dengan bunga kastela pagi hari.’

Hal yang disamakan adalah cahaya matahari terbit di Mbena dengan warna bunga

kestela pada pagi hari.

b) Metafora

Metafora adalah kiasan yang membandingkan dua hal secara langsung,

tetapi dalam bentuk yang singkat dalam gaya berbahasa. Metafora dapat berdiri

sendiri sebagai kata. Gaya bahasa kias metafora banyak ditemukan dalam teks

WVHMM, yang salah satu contohnya dapat dilihat pada fragmen di bawah ini.

(5-38) Ua ndele poso Lando sorhi ndewa rotan di atas gunung Lando pucuk tangkap dewa ‘Rotan di atas gunung Lando ujungnya mengarah dewa (Tuhan)’

To’e lau rha kamu lore nitu pohon to’e di selatan akar kamu lilit penunggu ‘Pohon to’e di selatan akarnya melilit penunggu (roh alam)

Seperti tampak pada fragmen (5-38) di atas, gaya bahasa metafora

tercermin dalam baris pertama, Ua ndele poso Lando sorhi ndewa ‘Rotan di

gunung Lando pucuknya tangkap dewa’, yang mengias permohonan kepada dewa

(Tuhan). Artinya, setinggi apa pun kekuasaan manusia, diharapkan selalu

menyembah Tuhan karena Dia adalah Sang Mahakuasa.

c) Personifikasi

Personifikasi adalah gaya bahasa kias yang menggambarkan benda-benda

mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-seolah memiliki sifat

kemanusiaan, yang dapat bertindak, berbuat, dan berbicara (Keraf, 2006:140).

Realitas penggunaan gaya bahasa kias personifikasi dalam teks WVHMM dapat

dilihat pada fragmen di bawah ini.

Page 192: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

154

(5-39) Sambi waja radha weo mona mendo sambi keras sekali digoyang tidak tumbang ‘Sambi (nama tempat) keras sekali digoyang namun tidak tumbang’ Wara tumbu kembi ate mona leli topan hantam dinding hati tidak gentar ‘Topan menghantam dinding tetapi hati tidak gentar’

Seperti tampak pada data (5-39) di atas, gaya bahasa kias personifikasi

tercermin dalam baris pertama, Sambi waja radha ’Sambi keras sekali digoyang

tidak tumbang’. Frasa nominal sambi waja radha adalah gaya bahasa

personifikasi yang mengias seseorang yang memiliki sifat kuat. Esensi pesannya

adalah bahwa dalam kehidupan nyata keteguhan hati mesti dimiliki setiap orang

sebagai modal dasar dalam mengarungi hidup yang begitu sarat dengan tantangan.

d) Sindiran

Sindiran atau ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu

dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian

kata-katanya. Realitas penggunaan gaya bahasa sindiran dalam teks WVHMM

dapat dilihat pada fragmen di bawah ini.

(5-40) Jawa sowo bhara sambo’e rheta one jagung kulit putih seikat simpan kamar ‘ Satu ikat tagung berkulit putih disimpan di dalam kamar’ Pembe sesewe tungga pere maki tenge goreng satu kuali khusus untuk sendiri

‘Digoreng satu kuali hanya untuk sendiri’

Bentuk tekstual satuan kebahasaan dalam fragmen (5-40) menyindir

seseorang yang kikir dan rakus. Sifat itu dikiasi dengan menyimpan seikat jagung

putih di dalam kamar, seperti terlihat dalam baris pertama, Jawa sowo bhara

sambo’e rheta one ‘Jagung kulit putih seikat disimpan dalam kamar’ dan dalam

baris kedua, Pembe sesewe tungga pere maki tenge ‘Goreng sekuali khusus makan

untuk sendiri.

Page 193: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

155

5.3 Strukutur Naratif Teks WVHMM

Struktur naratif melihat teks berdasarkan urutan waktu. Unsur naratif yang

dikaji dalam teks WVHMM dilihat dari segi suasana hati. Suasana hati merupakan

bagian yang sangat penting dan dominan dalam teks WVHMM. Suasana hati

dapat menjelaskan dan menggambarkan pendapat, sikap dan keadaan penutur

tentang peristiwa vera mbuku sa’o mbasa wini. Selain itu, sauasaa hati juga

menggambarkan sudut pandang penutur sebagai penutur dan sebagai tokoh

dalam peristiwa guyub tutur masyarakat etnik Rongga. Aspek naratif dalam teks

WVHMM diwarnai dengan jenis tuturan dialog dari tokoh dengan tuturan

langsung kepada partisipan. Semua elemen baik partisipan maupun tuturan sangat

menentukan keutuhan struktur wacana teks WVHMM. Dalam penelitian ini,

suasana hati naratif yang dikaji meliputi suasana hati tuturan dan suasana hati

perspektif yang dapat diuraikan sebagai berikut.

5.3.1 Suasana Hati Tuturan

Suasana hati tuturan dalam teks WVHMM yang diungkapkan oleh penutur

terdiri atas empat tahapan. Pada tahapan pertama yakni pembukaan berupa ti’ika

(pemberian makanan kepada leluhur) yang ditujukan kepada roh leluhur dengan

suasana hati yang khusuk. Penuturan diungkapkan dengan menggunakan kalimat

majemuk bertingkat bermoduskan instruksi yang ditandai dengan distribusi

penempatan kata (verba) renge ‘dengar’ pada posisi awal mendahului (pronomina)

persona kedua jamak) meu ‘kamu’ seperti terlihat pada data (5-01), renge meu

embu nusi ndia kami dhete manu ‘dengar kamu nenek moyag, sekarang kami

pegang ayam’ nunu meu ramba tau ti’i kamu meu bhate ’beritahu kamu supaya

Page 194: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

156

buat beri makan kamu semua’. Isi pesan yang disampaikan adalah pemberitahuan

kepada roh leluhur bahwa mereka mau mempersembahkan ayam untuk makanan

roh leluhur melalui upacara adat mbasa wini (upacara pemercikan darah ayam

pada bibit) sesuai dengan kaidah adat yang sudah digariskan.

Data (5-02), Komba ndia kami tau adha ‘malam ini kami buat adat’, Ko

adha kau mbasa wini ‘adat kamu basah bibit’ dan pada data (5-33) Li ti’i ko

rebha, bhagi ko pawa‘ayo’ beri yang baik, bagi yang baik juga’, Ndoa one uma,

mae nduta ‘pergi ke kebun jangan ada rintangan’. Ungkapan li ti’i ko rebha, bhagi

ko pawa ‘ayo beri yang baik, bagi yang baik juga’ pada data (5-33) di atas

merupakan instruksi atau perintah yang ditandai dengan penggunaan kata

(partrikel) li ‘ayo’ yang berposisi mendahului kata (verba) ti’i ‘beri’. Ungkapan

tersebut menunjukkan harapan agar roh leluhur mendengar doa permohonan

yang mereka sampaikan dengan harapan bibit yang mereka akan tanam diberkati.

Esensi isi pesan yang terkandung adalah permohonan kepada roh leluhur agar sudi

membagi hal-hal yang baik dan harapan agar memberikan perlindungan tanpa ada

halangan.

Pada tahapan kedua, ungkapan penutur diungkapkan dengan suasana hati

yang cemas yakni pada upacara tora loka. Seperti yang sudah dijelaskan di

depan, secara kontekstual, tora loka adalah tindakan upacara permulaan dalam

pelaksanaan Vera, yakni upacara pembersihan tempat vera akan dilangsungkan.

Upacara tora loka dilaksanakan dengan tujuan memohon kepada Tuhan agar sudi

membersihkan tempat dilaksanakan vera dari berbagai gangguan yang dapat

mengganggu kelancaran pelaksanaan upacara tersebut, seperti terlihat dan disimak

dalam fragmen teks wacana tora loka berikut.

Page 195: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

157

(5-41) Lewa rae lembe lewa Sayap burung elang sayap panjang ‘Sayap burung elang panjang’

Nila lau oooo tana tonggi dunia ini ooh tanah kesejahtraan manusia ‘Dunia ini untuk kesejahteraan manusia’.

Pui e pui wasi ata rhaki Sapu e sapu bersihkan hati kotor ‘Sapu bersihkan hati yang kotor’

Seperti tampak pada data (5-41), fragmen di atas terdiri atas tiga

kalimat/klausa dengan esensi isi pesan yang saling berhubungan secara sintaksis

dan semantis. Kalimat pertama, Lewa rae lembe lewa ‘Sayap burung elang sayap

panjang’, adalah sebuah kalimat tunggal yang terbentuk dari dua komponen, yakni

frasa nominal (FN) lewa rae ‘sayap burung elang’, sebagai subjek dan frasa

nomina (FN) lembe lewa ‘sayap panjang’, sebagai predikat nominal. Kalimat

tersebut berisi simbol kemahakuasaan Tuhan yang dikiasi secara metaforis dengan

sayap burung elang yang panjang, yang bisa mengusir orang jahat atau roh jahat

yang suka mengganggu kehidupan manusia. Kalimat kedua, Nila lau oooo tana

tonggi ‘Dunia ini untuk kesejahteraan manusia’, adalah sebuah kalimat tunggal

bermodus indikatif dengan subjeknya adalah frasa nominal (FN), nila lau ‘dunia

ini’ dan frasa nominal (FN) tana tonggi ‘tanah kesejahteraan manusia’ sebagai

predikat nominal. Kalimat di atas berisi informasi tentang keberadaan dunia ini

sebagai tempat untuk mencapai kesejahteraan manusia sehingga berbagai tindakan

yang dapat merusak kesejahteraan hidup manusia di dunia mesti dibasmi dan

dibersihkan. Kalimat ketiga, Pui e pui wasi ata rhaki ‘Sapu bersihkan yang kotor’,

adalah sebuah kalimat tunggal bermodus imperatif yang ditandai dengan

penggunaan kata (verba) pui ‘sapu’. Kata ini digunakan secara berulang dalam

Page 196: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

158

susunan beruntun dengan kata (verba) wasi ‘cuci’ sebagai predikat dengan frasa

nominal (FN) ata rhaki ‘yang kotor’ sebagai objek/komplemen. Kata (verba) pui

dan kata (verba) wasi ‘bersihkan’ berhubungan secara sinonimis yang digunakan

secara bersama-sama dalam susunan beruntun untuk mempertegas makna pesan

yang disampaikan.

Esensi isi pesan yang terkandung dalam fragmen teks wacana tora loka di

atas adalah permohonan kepada roh leluhur agar sudi membersihkan “yang kotor”

di arena atau lapangan tempat dilaksanakan vera. Sesuai dengan persepsi dan

konsepsi etnik Rongga, yang dimaksud dengan “yang kotor” dalam fragmen di

atas adalah berbagai bentuk gangguan manusia dan roh jahat yang dapat

menghalangi kelancaran pelaksanaan pertunjukan vera.44

Pada tahapan ketiga terdapat penuturan yang menyatakan suasana hati

gembira, yakni pada upacara inti Vera mbuku sa’o mbasa wini. Penuturan suasana

hati kegembiraan adalah ungkapan yang sangat dominan dalam teks WVHMM.

Hal ini terkait dengan Vera mbuku sa’o mbasa wini adalah jenis vera haimelo.

Vera haimelo adalah vera gembira yang dilaksanakan untuk menyampaikan

ucapan syukur kepada Tuhan dan roh leluhur atas penyelenggaraan terhadap

kehidupan mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Selain itu,

penuturan teks WVHMM juga berfungsi sebagai sarana hiburan yang tercermin

dalam pilihan kata dan penataan kata-kata bercorak puitis yang mengandung

keindahan. Keindahan yang dimaksud menunjuk pada nilai rasa seni dan

44 Hasil wawancara dengan Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu di Wae Kutung pada

tanggal 15 Mei 2012 dan hasil wawancara dengan Bapak Markus Bana di Watu Nggene pada tanggal 16 Mei 2012.

Page 197: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

159

memberikan suasana kenikmatan kepada masyarakat etnik Rongga sebagai

penghayat dan penikmat teks WVHMM

Vera mbuku sa’o adalah acara inti dari semua rangkaian acara berupa

pertunjukan tarian yang diiringi dengan nyanyian. Vera sebagai salah satu bentuk

tarian yang disertai dengan nyanyian menunjukkan karakteristik unik karena

hanya menampilkan gerakan-gerakan kaki sambil bergoyang dengan posisi tangan

selang berangkai. Keunikan lain terlihat pada gerakan kaki penari dalam posisi

tarik-tarikan tatkala syair-syair dinyanyikan secara bersama-sama dengan riang

gembira. Seperti telah disinggung sebelumnya, tarian vera dibawakan oleh penari

dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, yang terdiri atas tiga kelompok pelibat

yang terdiri atas (1) Noa lako, yakni pemimpin tarian yang berada pada barisan

paling depan, yang diperankan oleh seorang laki-laki; (2) daghe adalah barisan

penari perempuan yang berada di tengah di antara noa lako dan woghu dengan

jumlah penari minimal sepuluh orang; dan (3) barisan woghu (penari laki-laki)

yang berada di belakang barisan daghe dengan jumlah penari minimal sepuluh

orang.

Tarian vera ditarikan dalam posisi berdiri dengan membentuk dua barisan,

yakni barisan depan yang diisi oleh daghe dengan posisi berpegangan tangan

merentang setinggi ulu hati dan barisan belakang yang diisi oleh woghu. Posisi

noa lako yang betindak sebagai pemimpin atau pemandu mengambil posisi di

depan berhadapan dengan daghe. Posisi kelompok penari vera, baik kelompok

penari laki-laki (woghu) maupun kelompok penari perempuan (dhage), dan posisi

pemimpin tari (noa lako). Suasana hati gembira tercermin dalam penuturan pada

fragmen berikut.

Page 198: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

160

(5-42) ndili no ndele moe kowa palo rajo bawah dan atas seperti perahu kecil beriringan sampan ‘Di bawah dan di atas seperti perahu kecil beriringan sampan’ Ndeta no ndale moe bondo wa’u waju bawah dan atas seperti lumbung turun tumbuk ‘Di bawah dan di atas seperti menumbuk’ (5-43) Rota poka woa ramba tei pare tongga Menggali terbenam sumur supaya dapat padi lumbung ‘Terbenam menggali sumur supaya mendapat padi lumbung’ Ma’e ghia perha ramba tei jawa kela Jangan takut miang supaya dapat jagung banyak ‘Jangan takut miang supaya dapat jagung banyak Ungkapan penuturan pada (5-42) diungkapkan dalam bentuk dua buah klausa

bermoduskan indikatif. Ungkapan penuturan tersebut menunjukkan betapa

pentingnya kebersamaan dalam menapaki hidup di dunia. Berat ringan suatu

pekerjaan dikerjakan secara bersama-sama baik suka maupun duka dan hidup

selalu berdampingan adalah dambaan setiap orang. Data (5-43) juga diungkapkan

dalam bentuk dua buah klausa bermoduskan indikatif. Klausa itu yang

mencerminkan sifat pekerja keras sehingga menghasilkan hasil yang melimpah.

Selain itu, penuturan teks WVHMM menyatakan suasana kenikmatan,

berfungsi sebagai sarana hiburan. Kenikmatan tercermin dalam pilihan kata dan

penataan kata-kata bercorak puitis yang mengandung keindahan. Keindahan yang

dimaksud menunjuk pada nilai rasa seni dan memberikan suasana kenikmatan

kepada masyarakat etnik Rongga sebagai penghayat dan penikmat teks WVHMM,

seperti terlihat pada penuturan data (5-27), Jara mosa bhara posa jara ngarha

‘kuda jantan putih katanya kuda nama’, peko maju pengga mbau-mbau pengga

‘kejar rusa mau tikam tidak jadi tikam’. Pada data tersebut terdapat berupa

asonansi a-a dalam kata jara ‘kuda’ dan bhara ‘putih’ pada klausa pertama dan

Page 199: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

161

kata jara ‘kuda’ dengan kata ngarha ‘ternama pada klausa kedua, serta asonansi

o-a pada kata mosa ‘jantan’ dan posa ‘katanya'. Data (5-27) mengandung suasana

kenikmatan indrawi yang tercipta ketika para penari menuturkan teks dengan

sangat mengesankan.

Pada tahapan keempat penuturan menyatakan suasana kebahagiaan, yakni

acara penutupan tarian vera yang disebut tangi jo yang ditandai dengan

pelemparan selendang oleh daghe (penari perempuan). Syair-syair lagu yang

didendangkan dalam acara tangi jo sebagai acara penutupan pertunjukan vera

seperti terlihat pada fragmen di bawah ini.

(5-44) jo na tangi jo e jona Pasang tangga kami mau masuk rumah ‘Pasanglah tangga kami mau masuk ke rumah’ Jo jodo tangi jo e jodo Pasang tangga kami mau masuk rumah ‘Pasanglah tangga kami mau masuk ke rumah’ Data (5-44) di atas dinyanyikan secara berulang sekitar empat sampai

lima kali. Adapun esensi isi pesan yang terkandung dalam syair tersebut adalah

permintaan memasang tangga karena mereka ingin masuk kembali ke dalam

rumah dengan suasana hati bahagia.

5.3.2 Suasana Hati Perpektif

Unsur suasana hati naratif yang lain terdapat pula dalam teks WVHMM,

yaitu suasana hati perspektif. Perspektif merupakan sudut pandang narator atau

penutur sendiri dan sudut pandang nanartor sebagai tokoh di dalam peristiwa atau

tuturan. Adapun suasana hati perspektif teks WVHMM yang dibahas dalam

penelitian ini adalah penutur sebagai tokoh dalam tuturan, dan penutur tidak

sebagai tokoh di dalam tuturan atau peristiwa.

Page 200: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

162

5.3.2.1 Penutur sebagai tokoh dalam tuturan

Pada penuturan suasana perspektif, penutur sebagai tokoh dalam teks

WVHMM dimarkahi oleh penggunaan pronomina persona pertama, yaitu kami.

Penuturan ini terdapat dalam tahap pembukaan yang bermoduskan kalimat

imperatif, seperti terlihat pada data (5-01) dan (5-02); data (5-01), yakni renge

meu embu nusi ndia kami dhete manu ‘dengar kamu para leluhur, sekarang kami

pegang ayam’, nunu meu ramba tau ti’i kamu meu bhate ’beritahu kamu supaya

buat beri makna kamu semua’. Esensi pesan yang disampaikan adalah agar roh

leluhur mendengar doa permohonan yang mereka sampaikan. Penuturan doa

permohonan itu diawali dengan penyembelihan ayam berwarna merah sebagai

sarana persembahan seperti terlihat dalam klausa ndia kami dhete manu. Sesuai

dengan konteks yang melatarinya, yang dimaksud dengan dhete manu ‘pegang

ayam’ adalah persembahan ayam guna memberi makan kepada roh leluhur.

Data (5-02), yakni komba ndia kami tau adha ‘malam ini kami buat adat’,

ko adha kau mbasa wini ‘adat engkau basah bibit’. Isi pesan pesan yang

terkandung ialah memberitahukan kepada roh leluhur bahwa pada malam ini

(komba ndia) mereka melaksanakan upacara adat (adha). Kedua tuturan di atas

menjelaskan bahwa penutur termasuk dalam proses penuturan. Penutur

memberitahukan kepada leluhur bahwa mereka akan menyuguhkan makanan dan

akan membuat upacara adat. Upacara yang dimaksud adalah upacara mbasa wini.

Upacara adat ini dilaksanakan oleh etnik Rongga bukan atas kemauan mereka

sendiri, tetapi merupakan suatu kaidah budaya yang sudah digariskan dan

diwariskan leluhur. Pelakasanaan upacara mbasa wini tersebut merupakan suatu

bentuk dan wujud penghormatan mereka terhadap leluhurnya.

Page 201: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

163

5.3.2.2 Penutur tidak sebagai tokoh dalam tuturan

Suasana hati perspektif penutur tidak sebagai tokoh dalam tuturan

terdapat dalam tahap inti upacara Vera mbuku sa’o mbasa wini. seperti terlihat

pada data (5-36) Sei nunu kau, ma’e rewo ko’e ‘siapa beri tahu kamu jangan

bohong lagi’ Sei posa kau ma’e mbaje ko’e ‘siapa beri tahu kamu jangan bohong

lagi’ dan data (5-37), Ine po soro kau rero ma’e ghewo ’ibu nasihati kamu jangan

ribut jangan lupa’ Ema reku lelu kau rero ma’e ghewo’ ayah nasihati kamu jangan

ribut jangan lupa. Suasana hati tersebut secara ekplisit dimarkahi oleh pronomina

persona kedua tunggal, yaitu kau.

Data (5-36) di atas penutur mengungkapkan pendidikan tentang kejujuran

yang dituturkan dengan menggunakan gaya bahasa bentuk perulangan dalam

bnetuk frasa mae rewo koe ‘jangan bohong lagi’. Jujur sebagai nilai dasar

kehidupan dan dasar kemanusiaan. Kejujuran merupakan sifat naluriah manusia

dan hal itu harus dilakukan dalam kehidupan sebagai manusia dan anggota

masyarakat. Data (5-37) penutur mengungkapkan peringatan agar semua warga

mematuhi dan mengindahkan norma-norma etika yang berlaku sebagai pedoman

dalam menjalankan kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat.

5.4 Rangkuman

Teks WVHMM memiliki struktur formal dan struktur naratif. Struktur

formal teks WVHMM memiliki susunan yang teratur terdiri atas tataran struktur

makro, superstruktur, dan struktur mikro.

Dilihat dari struktur makro, makna global atau tema sentral teks WVHMM

adalah doa permohonan kepada Tuhan agar musim tanam yang akan datang

Page 202: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

164

berjalan baik. Dilihat dari superstruktur, skema teks WVHMM terdiri atas tiga

bagian, yakni pendahuluan, isi, dan penutup, yang berhubungan secara organis.

Struktur mikro atau struktur internal teks WVHMM mencakupi tiga aspek

yang terikat utama pertama aspek kebahasaan terpapar dalam: (a) satuan bunyi

yang terdiri atas bunyi segmental dan suprasegmental; (b) kata meliputi tata kata,

pola suku kata, jumlah kata dalam baris, kelas kata pembentuk baris, kata arkais,

kata istilah pertanian, dan pemanfaatan kata pada posisi tertentu dalam baris; (c)

frasa meliputi frasa nominal, verbal, adjektival, adverbial, dan preposisional; dan

(d) klausa/kalimat meliputi pola klausa/kalimat subjek-predikat (S-P) dan subjek-

predikat-objek (S-P-O) dengan berbagai variasi, kalimat berdasarkan struktur

pembentuknya meliputi kalimat tunggal dan majemuk; (e) hubungan baris

meliputi hubungan sintaktis berdasarkan susunan kata, struktur yang sama, dan

posisi berselang-seling; (f) kohesi wacana meliputi kohesi gramatikal dan leksikal.

Kedua, penggunaan sistem formula yang mencoraki kepuitisan sebagai ciri khas

sastra lisan meliputi formula kata dan frasa. Ketiga gaya bahasa atau stilistik

meliputi: (a) gaya bahasa paralelisme, yakni paralelisme fonologis, gramatikal,

leksikosemantis, dan (b) gaya bahasa kias meliputi persamaan, metafora,

personifikasi, dan sindiran.

Teks WVHMM sebagai wacana naratif dituturkan pada saat vera mbuku

sa’o mbasa wini. Tahap tuturan terdiri atas empat tahap, yaitu (1) suasana hati

khusuk yang berkaitan dengan yang transendental pada tahap pembukaan; (2)

suasana hati cemas berkaitan dengan berbagai gangguan yang mengganggu

kelancaran upacara pada tahap kedua, yaitu ti’ika; (3) suasana hati gembira

Page 203: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

165

berkaitan dengan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan roh leluhur terhadap

kehidupan etnik Rongga sebagai manusia dan anggota masyarakat pada tahap inti

vera; dan (4) suasana hati kebahagiaan karena sudah dapat melaksanakan upacara

dengan lancar pada tahap akhir yaitu tangi jo.

Teks WVHMM sebagai wacana naratif mengandung suasana hati tuturan

dan suasana perspektif. Suasana tuturan meliputi suasana hati khusuk, suasanan

hati cemas, suasana hati gembira, dan suasana hati bahagia. Suasana hati yang

dominan adalah suasana hati gembira yang terdapat pada tahap inti. Suasana hati

perspektif meliputi penutur sebagai tokoh dalam tuturan dimarkahi oleh

penggunaan pronomina persona pertama jamak kami, dan penutur tidak sebagai

tokoh dalam tuturan dimarkahi oleh pemakaian pronomina persona kedua tunggal

kau.

Page 204: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

166

BAB VI

FUNGSI WACANA TRADISI LISAN VERA MBUKU SA’O MBASA WINI

6.1 Pengantar

Berdasarkan hasil analisis struktur teks, peneliti yang mengkaji fungsi

WVHMM dengan berpedoman pada pandangan Merton (dalam Kaplan dan

Manners, 1999:79) melihat adanya perbedaan fungsi perilaku budaya

sebagaimana tercermin dalam perilaku bahasa atas fungsi manifes dan fungsi

laten. Fungsi manifes adalah konsekuensi objektif yang memberi sumbangan pada

penyesuaian sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan sistem tersebut.

Fungsi laten menunjuk pada konsekuensi objektif ikhwal budaya yang tidak

dikehendaki dan tidak disadari sama sekali oleh warga masyarakat yang

bersangkutan. Fungsi manifes berpadanan dengan fungsi tekstual dan fungsi laten

berpadanan dengan fungsi kontekstual (Schiffirin, 1994:22). Fungsi tekstual

menunjuk pada penataan bahasa atau teks yang berkaitan dengan satuan

kebahasaan yang digunakan, seperti kata, frasa, dan klausa/kalimat, agar pesannya

mudah dipahami. Fungsi kontekstual berkenaan dengan peran eksternal di luar

sistem bahasa dengan merujuk pada lingkungan sosial budaya yang melatari

penggunaan bahasa.

6.2 Fungsi Manifes

Analisis fungsi manifes WVHMM berpedoman pada pandangan Jakobson

(1992:70--79) yang memilah dan membedakan fungsi bahasa yang digunakan

dalam suatu peristiwa komunikasi atas beberapa fungsi, termasuk fungsi

166

Page 205: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

167

referensial, emotif, konatif, metalinguistik, fatik, dan puitik (Levinson, 1989:41;

Leech, 2003:20; Cook, 1994:39-154). Fungsi manifes WVHMM terdiri atas

fungsi referensial, emotif, konatif, dan puitik, yang frekuensi kemunculannya

dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 6.01

Fungsi Manifes

No Jenis Fungsi Manifes Jumlah Persentase (%)

1. Fungsi Referensial 12 7,60

2. Fungsi Emotif 19 9,40

3. Fungsi Konatif 17 10,70

4. Fungsi Puitik 115 72,30

Jumlah 163 100

Seperti tampak pada tabel 6.28 di atas, dari jumlah 326 baris dalam teks

WVHMM, terdapat 163 bait yang menampilkan fungsi manifes. Dengan rincian:

fungsi referensial sebanyak 12 (7,60%), fungsi emotif sebanyak 19 (9,40%),

fungsi konatif sebanyak 17 (10,705), dan fungsi puitik sebanyak 115 (72,30%)

dan jumlah persentase 100%. Dominasi fungsi puitik berkaitan erat dengan

kebermaknaan WHMM sebagai media komunikasi vertikal-transendental dengan

Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Fungsi puitik tersebut ditandai dengan

penggunaan ragam bahasa bercorak puitis yang disasarkan pada pemertahanan

kesantunan berbahasa dan demi penghormatan terhadap ketiga kekuatan

supranatural tersebut. Penggunaan ragam bahasa bercorak puitis mencirikan

Page 206: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

168

keberadaan WHMM sebagai wacana tradisi lisan bergaya sastra.45 Keempat

fungsi manifest tersebut akan diuraikan dibawah ini.

6.2.1 Fungsi Referensial

Seperti telah disinggung sebelumnya, fungsi referensial berfokus pada

makna referensial berita yang disampaikan. Meskipun lebih banyak berorientasi

pada konteks, fungsi-fungsi lain tetap diperhitungkan dalam pengkajian. Bentuk

tekstual satuan kebahasaan WVHMM mengemban fungsi referensial yang dapat

dilihat dalam klausa, Komba ndia kami tau adha ‘Malam ini, kami buat upacara

adat’ pada data (5-02). Klausa ini memuat berita kepada roh leluhur bahwa pada

malam ini (komba nia), “kami” merayakan upacara adat (adha). Kata (pronomina

persona kedua jamak) “kami” di sini menunjuk pada etnik Rongga atau secara

lebih khusus suku yang merayakan upacara adat tersebut.46 Roh leluhur sebagai

pihak penerima pesan direpresentasikan dalam pronimina persona kedua jamak

“kamu” pada klausa, Ko adha kamu mbasa wini ‘Upacara adat kamu mbasa wini.’

Klausa ini memuat berita bahwa upacara adat dimaksud adalah ritual mbasa wini

yang dilaksanakan bukan atas kemauan mereka sendiri, tetapi menuruti kaidah

yang sudah diwariskan dan digariskan oleh leluhur kepada mereka.47 Klausa itu

menyiratkan mekanisme pewarisan alamiah tradisi tradisi ritual mbasa wini yang

di dalamnya terdapat pelantunan wacana tradisi lisan vera.

45 Penggunaan ragam bahasa bercorak puitis dalam WVHMM merupakan bagian dari kesalehan

ritual mbasa wini karena WVHMM merupakan media komunikasi dengan kekuatan adikodrati. 46 Sesuai dengan data rekaman yang terkumpul, suku yang merayakan ritual mbasa wini adalah

suku Motu sebagai suku terbesar dalam kelompok etnik Rongga, di samping suku Lowa. 47 Pronomina persona pertama jamak, kami, dan pronomina persona kedua jamak, kamu, dalam

bahasa Rongga memiliki kesamaan bentuk dan makna dengan pronomina persona pertama tunggal dan pronomina persona kedua jamak dalam bahasa Indonesia. Apakah kedua kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Indonesia masih merupakan sebuah pertanyaan karena belum ada bukti yang dapat mencerahkannya.

Page 207: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

169

6.2.2 Fungsi Emotif

Fokus emotif berfokus pada keadaan penutur sebagai sumber informasi atau

pihak pengirim pesan, seperti terlihat dalam penggunaan bentuk kata seru yang

dipandang sebagai strata emotif paling murni dalam bahasa. Selain berbeda

dengan sarana referensial bahasa, baik melalui pola bunyi maupun melalui pesan

sintaksis, fungsi emotif terbentang secara nyata dengan tanda seru yang gaungnya

terasa pada seluruh tuturan, baik pada tataran bunyi dan gramatikal maupun pada

tataran leksikal.

Bentuk tekstual satuan kebahasaan dalam WVHMM mengemban fungsi

emotif yang tersebar dalam sembilan belas bait. Salah satu contoh dapat disimak

pada fragmen (5-01), Renge meu embu nusi, ndia kami dhete manu ‘Dengar kamu

leluhur, sekarang kami pegang ayam ‘ dan Nunu meu ramba tau ti’i, kamu meu

bhate ’Beri tahu kamu leluhur supaya buat beri makan kamu semua.’ Maksudnya,

beritahu leluhur, ini makanan untuk semua leluhur. Fragmen ini adalah sebuah

kalimat majemuk setara sebagai hasil perpaduan dua klausa independen, yakni

Renge meu embu nusi ‘Dengarlah para leluhur’ dan ndia kami dhete manu

‘sekarang kami memegang ayam’, nunu meu ramba tau ti’i ‘Beri tahu kamu

leluhur supaya buat beri makan,’ kamu meu bhate ‘kamu leluhur semua’ Fungsi

emotik terbentang pada tataran bunyi, gramatikal, dan leksikal, dalam klausa

pertama yang gaungnya terasa pada seluruh klausa tersebut. Pengaruh pengucapan

kata renge ‘dengar’ dengan intonasi tinggi menggugah emosi religius pelibat ritual

untuk segera masuk dalam situasi sakral-magis karena seolah-olah roh leluhur

sudah hadir bersama mereka pada saat itu.

Page 208: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

170

6.2.3 Fungsi Konatif

Fungsi konatif berfokus pada keinginan penutur agar mitra tutur melakukan

atau berpikir demikian. Fungsi ini menghasilkan ekspresi gramatikal paling murni

dalam bentuk vokatif dan imperatif yang secara sintaktis, morfologis, dan yang

secara fonemis menyimpang dari kategori nomina dan verba lainnya. Bentuk

tekstual satuan kebahasaan dalam WVHMM yang menunjukkan fungsi konatif

tersebar dalam tujuh belas bait dan salah satu contohnya dapat dilihat pada data

(5-34), Li ti’i ko rebha, bhagi ko pawa. ‘Ayo beri yang baik, bagi yang baik” dan

Ndoa one uma, ma’e nduta ‘Pergi ke kebun, supaya tidak ada rintangan’

Fungsi konatif tercermin dalam kalimat pertama, Li ti’i ko rebha, bhagi ko

pawa, dan kalimat kedua, Ndoa one uma, ma’e nduta, yang tampil dalam bentuk

vokatif dan imperatif secara sintaktis. Bentuk vokatif dan imperatif ditandai

dengan penggunaan kata seru, li ‘ayo’, yang berposisi mendahului verba ti’i

‘beri’. Bentuk vokatif dan imperatif ditandai dengan penggunaan kata seru, ma’e

‘ayo’ sebagai pemarkah sangkalan yang berposisi mendahului nomina nduta.

Seruan dan perintah ditujukan kepada roh alam agar memberi dan membagi hal-

hal yang baik kepada mereka. Hal baik dimaksud adalah pada saat mereka pergi

ke kebun, tidak ada rintangan dan halangan seperti gangguan roh jahat atau setan

dalam perjalanan.

6.2.4 Fungsi Puitik

Fungsi puitik berfokus pada bagaimana isi berita dibahasakan, yang tidak

dapat ditelaah tanpa menyentuh masalah umum bahasa. Hal ini berarti bahwa

analisis fungsi puitik melampui batas puisi atau pengkajian linguistik terhadap

Page 209: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

171

puisi tidak terbatas pada fungsi puitik. Kekhasan jenis puisi yang berbeda

menyiratkan kehadiran fungsi bahasa yang lain, namun fungsi puitik dipandang

paling dominan yang memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari poros seleksi atau

pilihan kata (paradigmatis) menuju ke poros kombinasi (sintagmatis). Bentuk

tekstual satuan kebahasaan dalam WVHMM menampilkan fungsi puitik tersebat

dalam 115 bait dan salah satu contohnya adalah kalimat, Ndoa one uma, ma’e

nduta, pada data (6-01). Fungsi puitik ditandai dengan penggunaan asonansi

berstruktur asimetris berupa fenomena permainan fonem vokal tidak sepadan, /a-

u/ - /a-u/, pada kata uma “kebun” dalam klausa pertama, Ndoa one uma, dalam

sandingan dengan kata nduta “rintangan”dalam klausa kedua, ma’e nduta ‘jangan

ada rintangan’.

6.3 Fungsi Laten

Seperti yang sudah dijelaskan di depan bahwa fungsi laten berpadanan

dengan fungsi kontekstual. Fungsi kontekstual berkenaan dengan peran eksternal

di luar sistem bahasa dengan merujuk pada lingkungan sosial budaya sebagai

lingkungan nonverbal yang melatarinya. Meskipun demikian, analisis fumgsi

kontekstual tidak terlepas dari analisis fungsi tekstual karena wacana merupakan

perpaduan teks dan konteks yang selalu hadir mendahului teks. Oleh karena itu,

analisis fungsi laten teks WVHMM tetap merujuk pada bentuk tekstual satuan

kebahasaan yang digunakan sebagai wadah yang mewahanai kebermaknaan

fungsi tersebut.

Sesuai dengan konteks sosial budaya etnik Rongga yang melatarinya, fungsi

laten WVHMM adalah sebagai pranata religius, proyeksi, dan refleksi

Page 210: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

172

pengetahuan, sarana pemersatu, sarana kontrol sosial, sarana pendidikan, sarana

ekonomis, dan media hiburan. Sesuai dengan kenyataan bentuk tekstual yang

tampak secara fisik, ragam fungsi laten WVHMM dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 6.02

Fungsi Laten WVHMM

No Fungsi Laten Jumlah Persentase (%)

1. Fungsi pranata religius 14 4.40

2. Fungsi proyeksi dan refleksi pengetahuan 30 11.43

3. Fungsi sarana pemersatu 12 3.17

4. Fungsi sarana kontrol sosial/ kritik sosial 53 28.88

5 Fungsi sarana pendidikan 15 6.66

6 Fungsi pengesahan kebudayaan 7 2.20

7 Fungsi sarana pengesahan sistem ekonomi 11 6.66

8 Fungsi media hiburan 21 36.50

Jumlah 163 100

Seperti tampak pada tabel 6.02 di atas, fungsi laten yang paling menonjol

adalah sebagai sarana kontrol sosial atau kritik sosial yang sebagiannya mewujud

dalam bentuk imbauan. Fungsi tersebut pada dasarnya bertujuan untuk

memberikan pencerahan etika dan moral bagi warga etnik Rongga agar pola

perilaku mereka tidak menyimpang dari kaidah warisan leluhur. Pencerahan itu

disasarkan pada pemertahanan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan dan

hubungan transendental dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Seperti telah

dijelaskan sebelumnya, dalam konseptualisasi etnik Rongga, Tuhan, roh leluhur,

dan roh alam dipahami sebagai sumber kekuatan moral utama yang sangat

Page 211: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

173

menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan hidup mereka sebagai

manusia dan masyarakat.

6.3.1 Fungsi Pranata Religius

WVHMM berfungsi sebagai pranata religius karena di dalamnya tersirat

kepercayaan etnik Rongga tentang eksistensi Tuhan, roh leluhur, dan roh alam

sebagai kekuatan supranatural yang sangat menentukan keberadaan, kebertahanan,

dan keberlanjutan hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Bentuk

tekstual satuan kebahasaan yang menyiratkan fungsi WVHMM sebagai pranata

religius bagi etnik Rongga dapat dilihat dan disimak pada fragmen berikut.

(6-01) Ua ndele poso land, sorhi ndewa ‘ rotan di atas gunung lando tangkap dewa ‘Rotan di gunung lando pucuknya ke atas menghadap dewa’ To’e lau rha kamu lore nitu pohon to’e di selatan akar kamu lilit roh halus ‘ Pohon toe sejenis bambu huran berduri di selatan akarnya melilit roh halus’ Data (6-01) di atas berisi ajaran bagi warga etnik Rongga agar mereka

selalu menyembah Tuhan, seperti halnya pucuk rotan di gunung selalu mengarah

ke atas karena Tuhan adalah hakikat tertinggi. Sebutan dan atribut yang

menggambarkan sosok dan eksistensi Tuhan sebagai Hakikat Tertinggi adalah

ndewa dalam gugus kata sorhi ndewa ‘tangkap dewa’.

Selain dipahami sebagai hakikat tertinggi, Tuhan dipahami pula sebagai

Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sebagaimana terlihat pada fragmen

berikut.

Page 212: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

174

(6-02) Nunu po poso, po poso nunu merhe beringin hutan poso hutan poso beringin besar ‘Pohon Beringin di hutan poso adalah pohon beringin yang besar’ Embu la’a lerha, jono mawo merhe nenek jalan siang teduh pohon rindang besar ‘Nenek berjalan siang hari berteduh di pohon rindang yang besar’

Seperti tampak pada data (6--02), eksistensi Tuhan sebagai Maha Pengasih

dan Maha Penyayang dikiasi secara metaforis dengan nunu merhe ‘beringin

besar’. Sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Tuhan selalu memberikan

perlindungan kepada manusia ibarat sebuah pohon beringin berdaun rindang yang

memberikan keteduhan bagi semua makhluk hidup.

Konseptualisasi etnik Rongga tentang eksistensi Tuhan sebagai Maha

Pengasih dan Maha Penyayang dapat pula dilihat dan disimak dalam klausa,

Embu ndeta mata rangga, ma’e ti’i rara kasa ‘Leluhur di atas tempat tinggi,

jangan beri panas badan’ dan dalam klausa, Embu ndia papa bhoko baghi kami

lombo-wombo ’Leluhur di sini bagian bawah beri kami berkat‘ pada data (4--10).

Klausa pertama berisi permohonan kepada Tuhan agar mereka terbebas dari sakit

(ma’e ti’i rasa kasa). Klausa kedua berisi permohonan kepada roh leluhur agar

mereka diberi berkat. Sebagai petani ladang, wujud berkat yang diharapkan adalah

kesuburan pertumbuhan jagung dan padi ladang sehingga memperoleh panen

berlimpah.

Bentuk tekstual satuan kebahasaan yang digunakan dalam beberapa fragmen

di atas menyiratkan bahwa WVHMM berfungsi sebagai wahana rekonsiliasi

antara mereka sebagai manusia dan masyarakat dengan Tuhan dan roh leluhur.

Pemertahanan keselarasan hubungan dengan Tuhan dan roh leluhur menjamin

kedamaian dan kesejahteraan hidup mereka sebagai manusia dan masyarakat di

Page 213: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

175

dunia. Wujud penghormatan terhadap roh leluhur sebagai pengantara doa

permohonan kepada Tuhan diwahanai melalui upacara pemberian makan kepada

roh leluhur.

Di samping itu, WVHMM mengemban fungsi sebagai media penghormatan

terhadap roh alam yang ditugasi Tuhan secara khusus untuk menjaga lingkungan,

seperti tanah dan batu lingkungan yang perlu dijaga, sebagaimana terlihat dalam

fragmen berikut.

(6-03) Ndau meu nitu, tana mori watu itu kamu mahkluk halus, tanah pemilik batu ‘kamu makhluk halus pemilik tanah dan batu itu’ Tii kami ko mboo bhaghi kami ko nandi beri kami yang kenyang bagi kami yang banyak ‘Berikanlah kami kekenyangan dan bagikanlah kami yang banyak’

(6-04) Watu susu Rongga, rhua ndoa ndoa rhua batu susu Rongga dua pasang pasang dua ‘Batu susu Rongga kembar dua pasang’ Leke ema Komba, rhua ndoa ndoa rhua tinggal bapa Komba dua pasang pasang dua ‘Hanya bapak Komba berpasangan dua’

Seperti tampak pada data (6-03), roh alam disapa dengan nitu yang diyakini

etnik Rongga sebagai pemilik tanah (nitu tana) dan pemilik batu (mori watu).

Esensi isi permohonan kepada roh alam sebagai penguasa lingkungan alam fisik

adalah agar mereka memperoleh panenan melimpah (mboo dan nandi) pada tahun

musim yang akan datang. Data (6-04) berisi gambaran kesejahteraan dan

keharmonisan hidup yang diharapkan etnik Rongga, yang dikiasi secara analogis

dengan kehidupan bapa Komba (ema Komba) di Gunung Komba (watu susu

Rongga).

Page 214: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

176

6.3.2 Fungsi Proyeksi dan Refleksi Pengetahuan

Berpedoman pada pemahaman bahwa kebudayaan adalah peta pengetahuan

milik bersama suatu masyarakat, maka WVHMM dipandang sebagai proyeksi dan

refleksi pengetahuan milik bersama etnik Rongga. Proyeksi dan refleksi

pengetahuan tersebut tidak saja berkenaan dengan kebermaknaan perilaku hidup

mereka sebagai manusia dan masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan pertanian

sebagai sumber mata pencaharian hidup mereka yang utama.

Pengetahuan tentang kebermaknaan hidup mereka sebagai manusia dan

anggota masyarakat berkaitan dengan pembentukan budi pekerti, seperti

keteguhan hati, optimis, dan bijaksana. Butir pengetahuan itu disingkap, antara

lain, pada data berikut.

(6-05) Ngambe ele lewa ja’o pale kiru tole jurang biar panjang, saya melereng miring ‘Jurang walaupun panjang saya tetap melereng miring Tiwu ele lema ja’o nagu kiru watu kolam biar dalam saya berenang dekat batu ‘Kolam meskipun dalam saya tetap berenag dekat batu’

Pada data (5-40), Sambi waja radha weo mona nendo “Sambi keras sekali

digoyang tidak tumbang’ dan Wara tumbu kembi ate mona leli “Topan

menghantam dinding hati tidak gentar’, menyiratkan karakter budaya etnik

Rongga yang teguh hati dan sabar dalam menghadapi berbagai tantangan hidup

seperti terlihat pula pada data (6-05).

Demi mencapai kesejahteraan hidup jasmaniah, mereka diimbau untuk

bekerja keras meskipun banyak tantangan, sebagaimana disingkap dalam fragmen

di bawah ini:

Page 215: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

177

(6-06) Rota poka woa ramba tei pare tongga kerja matahari terbenam kebun supaya dapat padi lumbung ‘Bekerja di kebunsampai matahari terbenam supaya dapat padi untuk lumbung’ Ma’e ghia perha ramba tei jawa kela jangan takut miang supaya dapat jagung banyak ‘Jangan takut dengan miang (sejenis rumput) supaya dapat jagung yang banyak’

Data (6-06) di atas menyiratkan makna bahwa sebagai petani mereka mesti kerja

di kebun dan tidak boleh takut terkena miang jika ingin memperoleh panen jagung

dan padi berlimpah. Sikap yang mesti ditampilkan oleh warga etnik Rongga

dalam menghadapi dan mengatasi berbagai tantangan hidup adalah arif dan

bijaksana, sebagaimana disingkap dalam fragmen berikut.

(6-07) Bha ndili Jawa bha bhara piring bawah Jawa piring putih ‘Piring Jawa di bawah sana berwarna putih’

Moku lau Sumba moku milo. piring di sana Sumba piring besih ‘Piring Sumba di sana piring bersih’

6.3.3 Fungsi Sarana Pemersatu

Dalam kaitan dengan fungsinya sebagai pranata religius, WVHMM

mempunyai efektivitas sosial bagi etnik Rongga. Hal itu tercermin dalam

fungsinya sebagai peranti pemersatu dan pemerkokoh solidaritas sosial dalam

lingkup kehidupan etnik Rongga, terutama dalam lingkup kehidupan suku.

Kebermaknaan fungsi laten WVHMM sebagai peranti pemersatu dan pemerkokoh

solidaritas etnik Rongga dimungkinkan karena mereka mempunyai ikatan batin

yang kuat sebagai saudara yang berasal dari satu keturunan dan juga rumah induk

yang sama. Ungkapan rasa pemersatu dan rasa solidaritas dapat dilihat pada data

Page 216: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

178

(5-12), Uma lange rhua ma’e ndari ma’e kadhi ‘Kebun yang berbatasan jangan

diliwatkan ke sebelah’ dan Tunu manu kau, ka sande uma lange ‘ Bakaran ayam

kau makan dan berikan juga pada kebun yang berbatasan’, pada data (5-36),

Ngguru tara woso, woso arhi woso ka’e, ‘Aur ranting banyak, banyak adik

banyak kakak’ dan Bhesi singgalina lina riwu lina ngasu’ Kesukuan dan

persaudaraan menjadikan satu himpunan besar’. Hal itu dapat pula dilihat pada

pada (5-26), Ndala ndau ndeta, ndeta ndala ndoa ‘Bintang di atas sana, atas sana

bintang kembar’ dan Seke ndia lima, ndia lima seke ndake ‘Gelang/perhiasan di

tangan bertingakat-tingkat/kembar.

Sesuai dengan kenyataan bentuk tekstual yang tampak secara fisik, satuan

kebahasaan dalam data (5-12) Uma lange rhua ma’e ndari ma’e kadhi ‘Kebun

yang berbatasan jangan diliwatkan ke sebelah’, Tunu manu kau, ka sande uma

lange’ Bakaran ayam kau makan dan suguhkan juga pada kebun yang berbatasan’.

Klausa itu mengemban fungsi sebagai peranti pemersatu dan pemerkokoh

solidaritas bagi warga etnik Rongga yang selalu mendambakan kebersamaan,

hidup selalu berdampingan satu dengan yang lain dengan semangat tolong-

menolong dan saling mengasihi. Data (5-26) adalah kalimat majemuk yang terdiri

atas dua klausa, yakni klausa Ndala ndau ndeta ndala ndoa ‘Bintang di atas sana,

di atas sana bintang kembar dan klausa Seke ndia lima, ndia lima seke ndake

gelang/perhiasan di tangan bertingkat-tingkat/kembar. Kedua klausa ini

menyiratkan fungsi persatuan dalam kebersamaan sebagai saudara sesulur.

Seperti tampak pada data (5-36), baris pertama terdiri atas dua klausa yang

berhubungan secara maknawi. Klausa pertama, Ngguru tara woso ‘Aur ranting

Page 217: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

179

banyak’, dan klausa kedua Woso arhi woso ka’e “Banyak adik banyak kakak”

menegaskan makna klausa pertama. Klausa ini menyiratkan fungsi persatuan dan

kesatuan walaupun mereka bersaudara banyak, mereka bisa bersatu. Baris kedua

terdiri atas satu klausa Bhesi singgalina lina riwu lina ngasu ‘Kesukuan dan

persaudaraan menjadikan satu himpunan besar’. Klausa ini menyiratkan rasa

kebersamaan mereka sebagai etnik Rongga.

6.3.4 Fungsi Sarana Kontrol dan Kritik Sosial

Sebagai salah satu produk dan praktik budaya Rongga, WVHMM berfungsi

sebagai sarana kontrol dan kritik sosial bagi etnik Rongga. WVHMM berfungsi

sebagai sarana kontrol dan kritik sosial untuk bersikap menghargai gagasan dan

nilai-nilai kebenaran. Fungsi kontrol berkaitan dengan kesucian sosial karena

WVHMM ada dalam masyarakat dan menjadi bagian dari sebuah ritual. Secara

tidak langsung mengendalikan masyarakat dan pembimbing masyarakat untuk

memahami tentang etika moral, sopan santun, saling menghargai satu sama lain.

Mereka diharapkan memiliki kesadaran untuk saling menghargai dan

menghormati satu sama lain, termasuk orang yang sudah meninggal dan

lingkungan. Secara transendental, penghormatan terhadap orang yang sudah

meninggal adalah simbolisasi penghormatan kepada leluhur yang selalu

mendampingi kehidupan mereka.

Fungsi WVHMM sebagai kontrol sosial atau kritik sosial itu terwujud oleh

bahasa yang digunakan oleh penutur dalam hal ini penari yang diungkapkan

dalam bentuk syair-syair nyanyian, yaitu bahasa yang sederhana tetapi

mementingkan estetika dengan memanfaatkan fitur paralelisme dalam bentuk

Page 218: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

180

kata, frasa, klausa, bunyi dan gaya bahasa. Esensi isi pesan yang menyingkap

fungsi WVHMM sebagai sarana kontrol dan kritik sosial tersirat pada fragmen

berikut.

(6-08) Peko lako lau kau mae tolo paru’ kejar anjing ke selatan kamu jangan sembarang lari ‘Mengejar anjing ke selatan kamu jangan sembarang berlari’

Peko lako zele kau mae tolo hewe kejar anjing di atas kamu jangan sembarang dengar ‘Mengejar anjing ke atas kamu jangan sembarangan mendengar’

(6-09) Ka’e kasa olo soro ma’e mbai woso Kakak di depan omong jangan terlalu banyak ‘Kakak jangan berbicara terlalu banyak di depan’

Arhi kasa murhi soro ma’e nggetu nggemu’ Adik di belakang omong jangan panjang lebar ‘Adik jangan ngomong panjang dan lebar di belakang’

Ungkapan (6-08) dan (6-09) menyiratkan bahwa, dalam hidup bermasyarakat,

mereka dituntut agar selalu menjaga sikap dan perilaku sesuai dengan tata krama

hidup bermasyarakat yang berlaku. Jangan cepat percaya akan informasi dari

orang lain yang belum jelas kebenarannya. Jangan sering mencemarkan nama

orang karena hal itu merupakan fitnah. Sikap saling menghormati dan menghargai

pendapat orang lain perlu dijaga sesuai dengan etika hidup bermasayarakat

sehingga jalinan hubungan antarmanusia tetap harmonis.

6.3.5 Fungsi Sarana Pendidikan

WVHMM mempunyai fungsi sebagai sarana pendidikan sebagaimana

fungsi kebudayaan pada umumnya. WVHMM merupakan bentuk ekspresi budaya

yang mengandung nilai pendidikan bagi warga etnik Rongga. Nilai pendidikan itu

disampaikan secara langsung melalui ungkapan-ungkapan yang esensi isi

pesannya mengandung norma-norma kehidupan bermasyarakat menuju pada

Page 219: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

181

kebaikan dan kesejahteraan bersama. WVHMM berfungsi sebagai sarana

pendidikan karena di dalamnya berisi nasihat dan ajaran bagi warga etnik Rongga

tentang bagaimana semestinya mereka bersikap dan berperilaku untuk menjaga

dan mempertahankan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan, sebagaimana

dapat disimak pada data (5-37), Sei nunu kau ma’e rewo ko’e ‘Siapa

memberitakan kau jangan berbohong lagi’ dan Sei posa kau ma’e mabaje ko’e

‘Siapa beritahu kau jangan bohong lagi’. Fungsi WVHMM sebagai sarana

pendidikan dapat pula disimak pada fragmen berikut.

(6-09) Ema po soro ma’e, rero ma’e ghewo bapa nasihat berbicara jangan ribut jangan lupa ‘Bapak berbicara tentang nasihat jangan lupa’ Ine reku lelu ma’e, rero ma’e ghewo mama beri nasihat jangan ribut jangan lupa ‘Ibu memberi nasihat jangan ribut dan lupa’

Pada bentuk verbal fungsi teks WVHMM sebagai fungsi pendidikan (5--27)

dan (6-10) di atas diungkapkan dalam bentuk klausa bermoduskan imbauan atau

harapan. Ungkapan ini menggambarkan fungsi peringatan agar seseorang

mematuhi dan mengindahkan norma-norma etika yang berlaku dalam masyarakat

sebagai hukum adat yang ditetapkan sebagai pedoman dalam menjalankan

aktivitas kehidupan di dalam msayarakat. Data (5-37) menyiratkan fungsi

pendidikan tentang kejujuran diungkapkan dengan menggunakan gaya bahasa

perulangan dalam bentuk frasa ma’e rewo koe ‘jangan berbohong lagi’.

Data (5-37) di atas adalah sikap terhadap benar dan salah sebagai apa

adanya, hendaknya menjadilah orang yang jujur, tidak boleh bohong terhadap

siapa pun karena hal ini merupakan nilai dasar kelompok etnik Rongga yang

Page 220: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

182

memosisikan kebenaran dan kemurnian jiwa sebagai dasar kehidupan dan dasar

kemanuisaan. Jujur merupakan sifat naluriah manusia dan hal itu harus dilakukan.

Manusia hendaknya berkata yang baik dan tidak asal bicara saja. Bagi etnik

Rongga sifat jujur itu harus dilakukan karena perbuatan bohong atau tidak jujur

bisa mendatangkan hal-hal yang negatif bagi kehidupan manusia itu sendiri. Pada

(5-37) dan (6-09) terdapat ungkapan yang menyiratkan tentang fungsi tanggung

jawab dan sifat menghargai orang lain.

Etnik Rongga sebagai makhluk yang berbudaya yang ingin hidup

harmonis dengan orang lain dan bertanggung jawab dari apa yang sudah

dikerjakannya. Etnik Rongga dalam melakukan aktivitas apa pun selalu dituntut

tanggung jawab sebagai konsekuensi bagian dari hidup yang penuh tanggung

jawab terhadap pekerjaan yang dilakukan sebagai tanggung jawab moral

berkaitan dengan kehidupan.

6.3.6 Fungsi Pengesahan Kebudayaan

Sebagai salah satu produk dan praktik budaya warisan leluhur, WVHMM

berfungsi sebagai sarana pengesahan kebudayaan Rongga. Hal ini selaras dengan

kebermaknaan WVHMM sebagai pemarkah kedirian dan fitur pembeda etnik

Rongga. Walaupun tidak terdapat peranti linguistik khusus yang menyatakan

fungsi WVHMM sebagai sarana pengesahan kebudayaan, mekanisme pengucapan

tuturan ritual dinyatakan sah menurut tata cara keadatan sesuai dengan tradisi

etnik Rongga. Sebagai contoh tuturan kepada embu nusi ‘roh leluhur’ dinyatakan

sah apabila tercipta suasana sakral melalui pengucapan mantra doa dan para

peserta yang ikut dalam upacara itu mengambil sikap tenang dan diam dengan

memusatkan perhatian pada tuturan yang diucapkan itu.

Page 221: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

183

Tindakan nonverbal berupa sikap tenang dan diam dan mencurahkan

perhatian pada pembawa upacara merupakan petunjuk adanya suasana sakral dan

magis. Fungsi pengesahan kebudayaan didasarkan pada pengukuhan atas sarana

yang digunakan, pelaku ritual, dan ritual itu sendiri, seperti dapat disimak pada (5-

01), Renge meu embu nusi, ndia kami dhete manu ‘Dengalah para leluhur,

sekarang kami memegang ayam’, Nunu meu ramba tau ti’i, kamu meu bhate

‘Beritahulah leluhur supaya para leluhur makan semua. Hal ini dapat dilihat pada

Data (5-02) Komba ndia kami tau adha, ko adha kau mbasa wini ‘’Malam ini

kami buat adat, adat kau mbasa wini ’tentang adat kau basah bibit‘ pada (5-03),

Ramba tau nggoti ne mula bhate one uma kami ‘Supaya mau tanam dengan

tanam semua di kebun kami’, Dhengi ne kami mai sama pa’o ka nake manu ndia

‘Minta dengan kami mari sama-sama duduk makan daging ayam ini’

Beberapa fragmen di atas menyandang fungsi pengesahan kebudayaan.

Sarana upacara berupa manu ‘ayam’ sebagai sarana pengesahan adat ini

disampaikan saat pemimpin upacara memberitahukan kepada leluhur bahwa akan

diadakan upacara. Kata kami ’kami’ sebagai pelaku upacara menyiratkan

pengesahan terhadap objek ritual dengan ungkapan mbasa wini ‘pembasahan

bibit’. Pengesahan melalui ungkapan verbal sebagai sarana komunikasi, selain

diwujudkan dalam bentuk nonverbal, ditandai pula dengan penyembelihan seekor

ayam jantan berwarna merah dengan memercikkan darahnya pada bibit padi dan

jagung yang akan ditanam.

Page 222: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

184

6.3.7 Fungsi Sarana Pengesahan Sistem Ekonomi

Fungsi ekonomi yang tersirat dalam teks WVHMM berkaitan dengan mata

pencaharian dan sistem ekonomi yang menjadi pekerjaan etnik Rongga unuk

menopang kesejahteraan hidupnya. Sistem mata pencaharian yang digeluti etnik

Rongga pada masa silam adalah pertanian ladang berpindah-pindah. Fenomena

ungkapan verbal secara kebahasaan yang menunjukkan bahwa etnik Rongga

mengembangkan budaya pertanian dengan sistem perladangan yang berpindah-

pindah dengan adanya kata uma ‘kebun’, su’a kuku ‘sejenis kayu keras untuk

menanam jagung dan padi, bhondo ‘lumbung tempat menyimpan padi’, wati

‘bakul’ mbere’ keranjang. Jenis tanaman yang ditanam berupa tanaman musiman

seperti jawa ‘jagung’ pare ‘padi’ dan dao ‘ubi’ sebagai makanan pokok etnik

Rongga.

Selain berladang, mereka juga memelihara binatang ternak secara sederhana

untuk menunjang kesejahteraan hidupnya, seperti manu ‘ayam’ wawi ‘babi’, jara

‘kuda’, dan kamba ‘kerbau’. Fungsi ekonomi dapat pula disimak pada beberapa

fragmen berikut.

(6-10) Nggoti uma nggoli wawi ka manu ka tanam kebun Nggoli daging babi makan daging ayam dimakan ‘Tanam di kebung Nggoli daging babi dan daging ayam dimakan’ Ndua uma waru wawi ka manu ka pergi kerja kebun waru daging babi dimakan daging ayam

dimakan’ ‘Pergi kerja ke kebun waru daging babi dan daging ayam dimakan’

(6-11) Tibho lau wio tibho milo kambing selatan Sumba kambing gagah ‘Kambing di selatan sumba kambing gagah’ Bhara tuka lirhu bhara bengge putih perut kemilau putih bulat-bulat ‘ Perutnya kemilau putih bulat-bulat’

Page 223: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

185

Fragmen di atas menggunakan nama ternak yang mempunyai fungsi

ekonomis. Nama/ Jenis ternak tersebut juga digunakan sebagai sarana

persembahan dalam upacara. Jenis ternak utama yang dipelihara adalah babi dan

ayam, walaupun ada jenis lain seperti kambing dan kuda, jumlahnya sangat

terbatas. Babi dan ayam tersebut di atas merupakan hewan kurban dalam berbagai

upacara ritual termasuk ritual vera walaupun hewan lain juga digunakan seperti

kerbau, tetapi tergantung juga pada alasan dan tujuan. Persembahan kerbau

sebagai sarana ritual menunjukkan status sosial atau prestise.

6.3.8 Fungsi Media Hiburan

Fungsi WVHMM sebagai media hiburan tercermin dalam pilihan dan

penataan kata-kata bergaya sastra dan bercorak puitis yang mengandung dimensi

keindahan. Keindahan yang dimaksudkan menunjuk pada nilai rasa seni yang

memberikan kenikmatan kepada masyarakat etnik Rongga sebagai penghayat dan

penikmat teks WVHMM. Selain mengandung keindahan bentuk, kata-kata yang

digunakan dalam teks WVHMM juga mengundang kenikmatan inderawi ketika

diucapkan dan disimak. Bagi penutur, WVHMM merupakan media dan wadah

untuk menampung ekpresi estetisnya melalui penggunaan bahasa bercorak puitis

melaui penggunaan asonansi, rima, aliterasi, pengulangan, perlambang, dan

sebagainya. Bagi pendengar, WVHMM dapat menimbulkan suasana syahdu, dan

sendu yang mampu menumbuhkan emosi pendengar. Fungsi WVHMM sebagai

sarana hiburan dapat disimak pada (5-11), Jara mosa bhara, posa jara ngarha

‘Kuda jantan putih, katanya kuda ternama’, Peko maju pengga, mbau-mbau

pengga ‘Kejar rusa mau tikam tidak jadi tikam’. Makna ungkapan tersebut

ditujukan kepada orang yang tidak serius mengerjakan suatu pekerjaan.

Page 224: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

186

Pilihan dan tatanan kata pada (5-11) di atas mengandung keindahan bentuk

yang mengundang kenikmatan indrawi ketika disimak. Dimensi keindahan itu

ditandai dengan penggunaan beberapa fenomena berikut: (1) asonansi simetris a-a

dalam kata jara ‘kuda’ dan bhara ‘putih’ pada klausa pertama serta kata jara

‘kuda’ dan ngarha ‘ternama pada klausa kedua, dan asonansi asimetri o-a dalam

kata mosa ‘jantan’ dan posa ‘katanya’; (2) aliterasi fonem konsonan /r/ dalam

posisi tengah pada kata jara ‘kuda’ dan bhara ‘putih, aliterasi fonem /s/ dalam

posisi tengah pada kata mosa ‘jantan’ dan posa ‘katanya’ serta aliterasi fonem /p/

dalam posisi awal pada kata peko ‘kejar’ dan pengga ‘tikam’ pada klausa pertama

baris kedua.

6.4 Rangkuman

Vera sebagai sebuah tradisi ritual milik etnik Rongga mengemban fungsi

manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes adalah konsekuensi objektif yang

memberikan sumbangan pada penyesuaian sistem yang dikehendaki dan disadari

oleh partisipan dari sistem tersebut. Sementara itu, fungsi laten menunjuk pada

konsekuensi objektif ihwal budaya yang tidak dikehendaki bahkan tidak disadari

oleh masyarakat, dalam hal ini, masyarakat etnik Rongga. Fungsi manifes

WVHMM meliputi fungsi referensial, emotif, konatif, dan puitik. Fungsi puitik

paling dominan karena terkait dengan komunikasi yang dilakukan melalui

WVHMM merupakan komunikasi vertikal-transendental dengan Tuhan, roh

leluhur, dan roh alam. Teks WVHMM memiliki struktur teks yang unik sebagai

corak bahasa ritual di kawasan Indonesia Timur, yang diungkapkan dalam bentuk

bahasa puisi dalam ragam bahasa sastra dengan memanfaatkan fitur paralelisme.

Page 225: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

187

Berdasarkan konteks yang melatarinya, fungsi laten WVHMM adalah

sebagai pranata religius, sebagai sistem pengetahuan, pemersatu, sarana kontrol

sosial/kritik sosial/imbauan, sarana pendidikan, pengesahan kebudayaan, sarana

ekonomis, dan media hiburan. Sebagai salah satu produk dan praktik budaya

Rongga, WVHMM berfungsi sebagai sarana kontrol, kritik sosial dan imbauan

bagi warga etnik Rongga. Fungsi kontrol berkaitan dengan sosial budaya

masyarakat karena teks WVHMM merupakan bagian dari sebuah ritual. Fungsi

sebagai sarana pendidikan disampaikan secara langsung melalui penggunaan

ungkapan-ungkapan sebagai mediasi pendidikan pada masyarakat sebagai upaya

untuk mengukuhkan, sebagai penjabaran norma-norma kehidupan. Fungsi sebagai

sarana pengesahan diidentifikasi berdasarkan ciri bentuk upacara dan melalui

bentuk lingual yang digunakan, walaupun tidak terdapat peranti linguistik khusus

yang menyatakan fungsi pengesahan kebudayaan, dengan pengucapan tuturan

ritual upacara dinyatakan sah menurut tata cara. Fungsi pengesahan ekonomi

berkaitan dengan mata pencaharian dan sistem ekonomi yang menjadi pekerjaan

etnik Rongga untuk menopang kesejahteraan hidupnya. Fungsi sebagai sarana

hiburan tercermin dalam pilihan dan penataan kata-kata bergaya sastra dan

bercorak puitis.

Page 226: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

188

BAB VII

MAKNA WACANA TRADISI LISAN

VERA HAIMELO MBUKU SA’O MABASA WINI

7.1 Pengantar

Bertolak dari hasil analisis fungsi pada bab VI, dalam bab ini dipaparkan

dan dijelaskan makna WVHMM dengan merujuk pada bahasa, tindakan, dan

sarana yang digunakan sebagai kerangka acuan dalam penafsiran. Analisis makna

tersebut berpilar pada asumsi bahwa fungsi bahasa dalam penggunaannya sebagai

sarana komunikasi merupakan refleksi makna sesuai dengan konseptualisasi yang

terpatri dalam peta pengetahuan etnik Rongga. Sesuai dengan konseptualisasi

yang terpatri dalam peta pengetahuan etnik Rongga, WVHMM mengemban

seperangkat makna filosofis yang meliputi makna religius, sosial, historis, politis,

estetis, dan didaktis. Jenis makna tersebut tersebar dalam bait-bait yang terdapat

dalam teks WVHMM dengan frekuensi kemunculannya bervariasi, sebagaimana

dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 7.1

Jenis Makna Filosofis WVHMM

No. Jenis Makna Jumlah Persentase (%)

1. Makna Religius 15 9,00 2. Makna Sosial 27 16,50 3. Makna Ekonomis 11 6,70 4. Makna Historis 8 5,00 5. Makna Politis 8 5,00 7. Makna Estetis 21 13,00 8. Makna Didaktis 73 44,80

Jumlah 163 100

188

Page 227: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

189

Seperti tampak pada Tabel 7.1 di atas, jumlah makna yang terkandung

dalam WVHMM sebanyak 163. Dilihat dari frekuensi kemunculannya, jumlah

makna religius sebanyak 15 (19%), makna sosial sebanyak 27 (16,50%), makna

ekonomis sebanyak 11 (6,70%), makna historis sebanyak 8 (5%), makna politis

sebanyak 8 (5%), makna estetis sebanyak 21 (13%), dan makna didaktis sebanyak

73 (44,80%) dan jumlah persentase sebanyak 100%. Makna didaktis paling

dominan karena makna tersebut membawahi beberapa jenis makna yang lain.

7.2 Makna Religius

Selaras dengan pemahaman bahwa ritual merupakan fakta pertama dalam

setiap agama, tidak terkecuali dalam religi asli etnik Rongga, maka makna religius

merupakan dimensi makna paling utama WVHMM. Makna religius tersebut

berkenaan dengan konseptualisasi etnik Rongga tentang eksistensi Tuhan, roh

leluhur, dan roh alam, dalam hubungan dengan eksistensi diri mereka sebagai

manusia dan anggota masyarakat. Ketiga kekuatan adikodrati tersebut dipahami

etnik Rongga sebagai sumber kekuatan moral utama yang sangat menentukan

keberadaan, kebertahanan, dan keberlangsungan hidupnya sebagai manusia dan

anggota masyarakat di dunia dan akkirat. Sesuai cakupan makna yang tertera

dalam konseptualisasi tersebut, rincian aspek makna religius yang terkandung

dalam WVHMM dapat dilihat pada table 7.2 di bawah ini.

Page 228: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

190

Tabel 7.2 Jenis dan Frekuensi Makna Religius dalam Teks WVHMM

No. Makna Religius Jumlah Persentase (%)

1. Konseptualisasi tentang eksistensi Tuhan 4 25,00 2. Konseptualisasi tentang eksistensi roh

leluhur 9 62,50

3. Konseptualisasi tentang eksistensi roh alam

2 12,50

Jumlah 15 100

Seperti tampak pada Tabel 7.2 di atas, dari ketiga aspek makna religius

yang terkandung dalam WVHMM, konseptualisasi tentang eksistensi Tuhan

sebanyak 4 (25%), konseptualisasi tentang eksistensi roh leluhur sebanyak 9

(62,50%), dan konseptualisasi tentang eksistensi roh alam sebanyak 2 (12,50) dan

jumlah persentase seluruhnya adalah 100%. Seperti tampak pada data,

konseptualisasi tentang eksistensi roh leluhur merupakan aspek makna religius

yang paling menonjol karena roh leluhur dipahami oleh etnik Rongga sebagai

perantara doa permohonan kepada Tuhan.48

7.2.1 Konseptualisasi tentang Eksistensi Tuhan

Dalam konseptualisasi etnik Rongga, Tuhan dipahami sebagai Penguasa Alam

Semesta, sebagaimana dapat disimak dalam fragmen (6-01) Ua ndele poso, lando

sorhi ndewa ‘ Rotan di gunung, pucuk ke atas tangkap dewa’, To’e lau rha

kamu lore nitu ‘ Pohon to’e (sejenis bambu hutan berduri) akar lilit penunggu

(roh alam) dan (6-02), Nunu po poso, po poso nunu merhe 48 Konseptualisasi etnik Rongga tentang eksistensi roh leluhur sebagai perantara doa permohonan

kepada Tuhan memiliki kemiripan dengan konseptualisasi etnik Manggarai yang kemungkinan terjadi karena adanya paralelisme perkembangan budaya yang sama (Bustan, 2005). Kemungkinan akan adanya kemiripan itu tentu masih perlu dikaji lebih jauh melalui penelitian kaji banding demi memperoleh pencerahan.

Page 229: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

191

‘Beringin hutan poso hutan poso beringin besar’ Embu la’a lerha, jono

mawo merhe ‘ Nenek jalan siang teduh pohon rindang besar’49. Sesuai

dengan kenyataan bentuk tekstual satuan kebahasaan yang tampak secara fisik,

kedua fragmen tersebut menyiratkan makna bahwa dalam konseptualisasi etnik

Rongga Tuhan dipahami sebagai wujud tertinggi karena Dia adalah pemilik dan

penguasa alam semesta. Bertolak dari pemahaman itu, setiap usaha yang

dilakukan dalam konteks kehidupannya di dunia akan mencapai keberhasilan

apabila direstui Tuhan. Artinya, manusia boleh berusaha sekuat tenaga dalam

bekerja, namun Tuhanlah yang menentukan keberhasilannya karena Dia adalah

sumber kekuatan moral yang menjadi penguasa alam semesta. Sesuai dengan

esensi isi pesan yang terkandung di dalam fragmen tersebut, etnik Rongga

diingatkan untuk selalu menyembah, memuji, dan memuliakan Tuhan dalam

konteks kehidupannya setiap hari. Setinggi apa pun cita-cita dan harapan yang

ingin dicapai dalam kehidupan mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat

di dunia akan menuai kesia-siaan jika tidak mendapat berkat dan rahmat dari

Tuhan.

Kata atau istilah bahasa Rongga yang menyingkap konseptualisasi etnik

Rongga tentang eksistensi Tuhan sebagai penguasa alam semesta adalah ndewa.

Kata atau istilah ini adalah sebutan atau atribut untuk Tuhan dalam bahasa

Rongga, sebagaimana dapat disimak dalam klausa, Ua ndele poso, lando sorhi

ndewa ‘Rotan di gunung, pucuknya ke atas tangkap dewa’. Maksud dari ungkapan

tersebut ialah seseorang memiliki cita-cita yang tinggi ingatlah menyembah Tuhan

49 Hasil diskusi dan negosiasi dengan Bapak Alfridus Ndolu, Bapak Markus Bana, Bapak Thomas

Ola, Bapak David Lombe pada bulan Mei 2012.

Page 230: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

192

sebagai penguasa alam semseta yang juga sangat menentukan keberadaan dan

keberlanjutan hidup manuisa. Selain sebagai penguasa langit, Tuhan juga

dipahami pula sebagai penguasa bumi dengan segala isinya, baik yang kelihatan

maupun yang tidak kelihatan, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam klausa, To’e

leu rhe, kamu lore mitu ‘Aur di padang, akarnya tembus jauh ke bawah’.

Pengertian kata mitu “bawah” sebagai adverbia pemarkah lokatif dalam

klausa tersebut menunjuk pada bumi, yang penggunaannya dalam konteks ritual

selalu hadir secara berpasangan dengan kata rhe ‘atas’ sebagai adverbia pemarkah

lokatif. Keduanya muncul dalam suatu konstruksi kata berpasangan dengan

kerangka makna yang saling beroposisi satu sama lain. Penggunaan adverbia

pemarkah lokatif tersebut menyiratkan makna bahwa, dalam konseptualisasi etnik

Rongga, rentangan kekuasaan Tuhan sebagai penguasa alam semesta meliputi

langit dan bumi dengan segala isinya, termasuk manusia sebagai makhluk ciptaan-

Nya yang paling mulia jika disanding dalam tolok bandingan dengan spesies

hewani yang lain.

Selain dipahami sebagai penguasa alam semesta, dalam konseptualisasi

etnik Rongga, Tuhan dipahami pula sebagai Sang Pengasih dan Penyayang yang

menjadi sumber kasih dan sayang bagi manusia. Seandainya manusia menemukan

masalah dan kesulitan dalam konteks kehidupannya Tuhan menjadi tempat

bersandar karena Tuhan adalah Sang Pengayom yang penuh kasih dan sayang.

Bentuk tekstual satuan kebahasaan yang menyingkap konseptualisasi etnik

Rongga tentang eksistensi Tuhan sebagai Sang Pengasih dan Penyayang

dianalogikan secara metaforis melaui frasa nominal (FN), nunu merhe ‘beringin

Page 231: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

193

besar’, sebagaimana dapat disimak, data (6-02) pada klausa, Nunu po poso, po

poso nunu merhe ‘Beringin hutan poso, hutan poso terdapat beringin besar’.

Pohon beringin menjadi tempat berteduh yang menyejukkan ketika seseorang

kepanasan, terutama di siang bolong setelah lelah berjalan jauh, sebagaimana

dapat disimak pada klausa, Embu la’a lerha, jono mawo merhe Nenek berjalan

siang hari, berteduh di naungan besar.” Kata atau istilah embu ‘nenek’ menunjuk

pada leluhur atau nenek moyang yang menjadi pengasal suku yang bersangkutan

(suku yang merayakan ritual vera). Makna tersebut menunjukkan bahwa leluhur

yang menjadi pengasal pertama suku bersangkutan berada dalam satu kesatuan

kosmis dengan Tuhan, seperti yang dianalogikan secara metaforis dalam klausa,

jono mawo merhe Berteduh di naungan besar’. Meskipun demikian, untuk

mencapai kehidupan kekal dan abadi dalam lingkaran kasih Sang Ilahi

memerlukan suatu proses perjalanan panjang yang begitu sarat dengan beragam

tantangan. Hal itu diisyaratkan dalam frasa verbal (FV), la’a lerha ‘jalan siang

hari’ dalam klausa, Embu la’a lerha ‘Nenek jalan siang hari’. Frasa verbal (FV)

la’a lerha terbentuk dari kata (verba) la’a ‘jalan’ sebagai konstituen inti dan kata

(adverbia) lerha ‘siang hari’ sebagai konstituen bawahan yang berfungsi sebagai

pemarkah temporal. Frasa verbal (FV) ini menggambarkan secara metaforis

bahwa kehidupan manusia di dunia merupakan suatu ziarah menuju ke kehidupan

kekal dan abadi. Ziarah kehidupan manusia itu merupakan suatu perjalanan yang

panjang dan melelahkan (perjalanan siang hari) sehingga memerlukan kepesertaan

Tuhan sebagai pengayom (pohon beringin).

Page 232: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

194

Manifestasi penyembahan kepada Tuhan sebagai penguasa alam semesta,

selain tercermin dalam pilihan kata-kata, juga direpresentasikan dalam cara

pengungkapan bahasanya. Seperti telah disinggung sebelumnya, ragam bahasa

yang digunakan dalam WVHMM memiliki struktur, fungsi, dan makna khas

sebagai kekhususan pembeda dari ragam bahasa yang biasa digunakan etnik

Rongga dalam konteks kehidupan sehari-hari. Kekhasan sebagai kekhususan

pembeda WVHMM dapat dilihat dari penggunaan ragam bahasa ritual yang

bersifat formal dan baku. Ragam bahasa ritual yang digunakan dalam WVHMM

tertata secara apik yang terajut dalam satu kesatuan struktur dan kesetalian tekstur

dengan kerangka makna yang bersifat saling menunjang dan menegaskan.

Mengingat WVHMM berfungsi sebagai media komunikasi vertikal-

transendental dengan Tuhan sebagai penguasa alam Semesta, maka rajutan dan

anyaman bahasa yang digunakan tertata secara estetis dengan memanfaatkan

beragam perangkat bahasa ragam sastra sebagai ornamen. Ragam bahasa sastra

yang digunakan itu tidak saja mengandung keindahan bentuk ketika dilihat, tetapi

juga mengundang kenikmatan inderawi ketika disimak. Realitas penggunaan

bahasa ragam sastera dalam WVHMM, selain bermaksud untuk menciptakan efek

musikal dan menunjang kelancaran dalam penuturan, juga bertujuan agar doa

permohonan yang mereka kumandangkan kepada Tuhan terdengar santun dan

tidak terkesan memaksa. Kesantunan bahasa merupakan bagian dari kesalehan

ritual WVHMM yang menyiratkan makna bahwa Tuhan memiliki struktur

kekuasaan lebih tinggi daripada manusia.

Page 233: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

195

Selain diungkap secara verbal dengan menggunakan bahasa ragam sastra

dengan tuntutan perilaku nonverbal tertentu, manifestasi penyembahan kepada

Tuhan diwahanai pula melalui persembahan hewan korban seperti babi dan ayam.

Seperti yang sudah dijelaskan di depan bahwa hewan yang menjadi sarana

persembahan harus berkondisi fisik sehat dan berwarna tertentu seperti warna

merah (toro) dengan asumsi jika kondisi fisik hewan yang menjadi sarana

persembahan sehat, maka kondisi urat dan hatinya baik.

Sesuai dengan konseptualisasi yang terbingkai dalam peta pengetahuan

etnik Rongga, berkenan tidaknya doa permohonan yang mereka kumandangkan

kepada Tuhan dapat dilihat dari kondisi hewan yang menjadi sarana persembahan.

Jika kondisi urat dan hati hewan persembahan baik, maka itu merupakan tanda

awal bahwa doa permohonan yang mereka sampaikan berkenaan di hadapan

Tuhan. Demikian pula sebaliknya, jika kondisi urat dan hati hewan persembahan

tidak baik, maka hal itu merupakan suatu tanda awal bahwa doa permohonan yang

mereka sampaikan melalui WVHMM tidak berkenan di hadapan Tuhan.50

Manifestasi penghormatan terhadap Tuhan sebagai penguasa alam semesta

direpresentasikan pula dalam acara makan bersama dalam konteks ritual vera

yang dipahami oleh etnik Rongga sebagai wahana rekonsiliasi dengan Tuhan.

Kebermaknaan rekonsiliasi itu didukung dengan fakta bahwa jenis makanan yang

disantap adalah makanan sakral karena merupakan bagian sisa dari sarana

persembahan untuk Tuhan dan penghormatan terhadap roh leluhur. Makanan yang

50 Untuk mencegah terjadinya marabahaya tersebut, mereka melakukan ritual khusus sesuai

dengan petunjuk dukun yang disampaikan roh leluhur karena, dalam konseptualisasi etnik Rongga, mereka memiliki kemampuan indrawi untuk melakukan komunikasi dengan roh leluhur.

Page 234: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

196

disantap itu dimasak dengan menggunakan wadah yang sama dan dicedok dengan

menggunakan sendok yang sama.

7.2.2 Konseptualisasi tentang Eksistensi Roh Leluhur

Seperti telah disinggung sebelumnya, selain menyingkap tentang eksistensi

Tuhan sebagai penguasa alam semesta, WVHMM menyiratkan pula

konseptualisasi etnik Rongga tentang eskistensi roh leluhur sebagai dimensi

makna yang paling menonjol. Dilihat dari struktur herarkis kekuasaannya,

eksistensi roh leluhur tidak berada dalam posisi sama dan sejajar dengan Tuhan.

Dalam konseptualisasi etnik Rongga, roh leluhur dipahami sebagai perantara doa

permohonan kepada Tuhan sebagai penguasa alam semesta. Konseptualisasi ini

memberikan suatu ketegasan bahwa etnik Rongga tidak menyembah roh leluhur,

tetapi menghormati roh leluhur dalam tautan dengan perannya sebagai perantara

doa permohonan kepada Tuhan51, sebagaimana dapat dilihat dan disimak pada

data (5-01), (5-02), dan (5-03). Etnik Rongga memberi penghormatan khusus

terhadap roh leluhur karena leluhur merupakan cikal-bakal keberadaan,

kebertahanan, dan keberlanjutan hidup mereka sebagai warga satu suku. Salah

satu manifestasi penghormatan terhadap roh leluhur ditandai dengan pemberian

sesajen melalui ritual ti’i ka. Bahan sesajen yang disajikan sebagai santapan roh

leluhur memang sedikit, namun diambil dari bagian hewan persembahan yang

dipandang paling enak seperti hati dan isi.52

51 Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu pada tanggal 12 Mei 2012 di Kampung Wae

Korok Kelurahan Tanarata, Kecamatan Kotakomba Kabupaten Manggarai Timur. 52 Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu pada tanggal 12 Mei 2012 di Kampung Wae

Korok Kelurahan Tanarata, Kecamatan Kotakomba Kabupaten Manggarai Timur.

Page 235: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

197

Seperti halnya penyembahan terhadap Tuhan, manifestasi penghormatan

terhadap roh leluhur tercemin pula dalam acara makan bersama dalam ritual

haimelo mbuku sa’o mbasa wini sebagai konteks situasi yang melatari kehadiran

dan kebermaknaan WVHMM. Acara makan bersama ini dipahami sebagai

wahana rekonsiliasi dengan roh leluhur karena, dalam konseptualisasi etnik

Rongga, acara makan bersama itu merupakan sarana adat untuk membina

kedekatan dan keselarasan hubungan dengan roh leluhur. Resapan harapan yang

tersirat di balik itu adalah agar roh leluhur sebagai perantara doa permohonan

kepada Tuhan selalu melindungi mereka dari segala macam marabahaya yang

akan dihadapi dan dialami dalam konteks kehidupannya sebagai manusia dan

anggota masyarakat.53

7.2.3 Konseptualisasi tentang Eksistensi Roh Alam

Seperti telah disinggung sebelumnya, dalam konseptualisasi etnik Rongga,

roh alam dipahami sebagai salah satu sumber kekuatan moral dan spiritual yang

turut menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan hidupnya sebagai

manusia dan anggota masyarakat, di samping Tuhan dan roh alam. Akan tetapi,

eksistensi roh alam dipahami etnik Rongga bukan sebagai kekuatan spiritual yang

berdiri sendiri, melainkan dilihat dari hubungan dengan Tuhan sebagai pencipta

alam semesta. Dalam konseptualisasi etnik Rongga, roh alam dipahami sebagai

makhluk ciptaan Tuhan yang mendiami sisi lain dunia masyarakat manusiawi.

Roh alam ditugasi Tuhan untuk menunggu dan menjaga lingkungan alam agar

tetap lestari adanya dan tidak dimanfaatkan oleh manusia secara tidak beraturan.

53 Acara makan bersama dilangsungkan segera setelah upacara pemberian sesajen kepada roh

leluhur dilaksanakan.

Page 236: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

198

Selain sebagai penghuni dunia seberang, dalam konseptualisasi etnik

Rongga, roh alam dipahami pula sebagai suatu paguyuban mistis dengan

distribusi peran masing-masing. Sebagian mengemban peran menjaga kampung,

sedangkan sebagian yang lain mengemban peran menjaga sumber mata air. Etnik

Rongga tidak menyembah roh alam, tetapi menghormati roh alam sesuai dengan

kapasitas tugas yang diperaninya dalam hubungan dengan eksistensi Tuhan

sebagai penguasa alam semesta. Terkait dengan itu, dalam realitas kehidupan etnik

Rongga pada masa silam, mereka dilarang membabat hutan secara sembarangan

agar flora dan fauna yang ada di dalamnya tidak musnah.54

Konseptualisasi etnik Rongga tentang eksistensi roh alam sebagai penjaga

lingkungan alam disingkap, antara lain dalam fragmen (6-03), yakni Ndau meu

nitu tana mori watu. Ti’i kami ko mbo’o, bhagi kami ko nandi ‘‘Itu kamu makhluk

halus yang memiliki tanah dan batu. Berikan kami yang kekenyangan, bagilah

dengan kami dengan baik’. Fragmen ini menyiratkan makna bahwa etnik Rongga

mesti menjaga dan memelihara hubungan yang harmonis dengan kekuatan alam,

seperti watu ‘batu’ yang berada di lingkungan mereka. Selain sebagai penghuni

dunia seberang, dalam konseptualisasi etnik Rongga, roh alam dipahami sebagai

suatu peguyuban mistis dengan distribusi peran dan tanggung-jawabnya masing-

masing sesuai dengan penugasan Tuhan sebagai penguasa alam semesta. 55

54 Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu di Kampung Wae Korok, Kelurahan Tanarata pada

tanggal 12 Mei 2012. Hasil wawancara ini didiskusi dan dinegosiasi lebih lanjut dengan Bapak Markus Bana di Borong, pada tanggal 13 Mei 2013 sebagai suatu bentuk pengecekan silang antarinforman. Ini merupakan suatu masalah yang dihadapi etnik Rongga karena kebermaknaan larangan itu sudah tidak menyata lagi dalam realitas kehidupan mereka pada masa sekarang (bdk Se dkk. 2012).

55 Hasil diskusi dan negosiasi dengan Bapak Alfridus Ndolu, Bapak Markus Bana, Bapak Thomas Ola, Bapak David Lombe di Borong pada bulan Mei 2012.

Page 237: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

199

7.3 Makna Sosial

Setiap jenis ritual yang dilaksanakan suatu masyarakat niscaya mempunyai

efektivitas sosial tersendiri bagi warga masyarakat bersangkutan. Efektivitas

sosial suatu ritual tercermin dalam makna sosial yang bertautan dengan kesucian

sosial yang mesti dipatuhi warga etnik Rongga demi penciptaan dan

pemertahanan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan. Kebermaknaan

kesalehan ritual tersebut mengejawantah dalam efektivitas sosial yang ditakar

secara empiris dalam kesucian sosial etnik Rongga. Guratan makna sosial yang

terkandung dan diamanatkan dalam WVHMM dapat dilihat dalam beberapa

fragmen di bawah ini:

(7-01) Ndili no ndete, moe kowa palo rajo bawah dan atas seperti sampan iring dengan perahu ‘Bawah dan atas seperti sampan yang beriringan dengan perahu’ Ndeta no ndale moe’ bondo wa’u waju atas dan bawah seperti lumbung turun tumbuk ‘Atas dan bawah seperti lumbung padi diturunkan dan ditumbuk’

(7-02) Nggoti uma Nggoli, wawi ka manu ka tanam kebun Nggoli daging babi makan daging ayam makan ‘Menanam di kebun nggoli daging babi dan ayam di makan’ Ndua uma waru, wawi ka manu ka pergi kerja kebun waru daging babi makan daging ayam makan ‘Pergi ke kebun waru makan daging babi dan ayam’

(7-03) Loka jere olo, olo horha loka tempat yang rata depan, depan tengah tempat ‘Depan tengah tempat yang rata’ Watu ture tana tana tendole batu susun tanah tanah berlapis ‘Batu bersusun tanah, dengan tanah yang berlapis’.

Data (7-01) menyiratkan makna bahwa warga etnik Rongga harus selalu

seia-sekata dalam bekerja atau mereka dituntut untuk selalu bekerja sama yang

dipilari semangat kekeluargaan dan gotong royong. Makna tersebut disingkap

Page 238: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

200

secara analogis-metaforis melalui penggunaan kata sampan (kowa) dan perahu

(rajo) yang selalu beriringan ke bawah (ndili) dan ke atas (ndete), kata lumbung

(bondo) dan tumbuk (waju) yang turun (wa’u) dari atas (ndeta) dan ke bawah

(ndale).

Data (7-02) menyiratkan makna bahwa, demi penciptaan dan

pemertahanan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan, warga etnik Rongga

dituntut agar mereka selalu hidup rukun dan damai dalam bingkai persaudaraan

sebagai warga satu suku. Sesuai dengan konseptualisasi yang terpatri dalam peta

pengetahuan etnik Rongga, kebermaknaan tuntutan hidup rukun dan damai tidak

saja menyatu dalam kata-kata, tetapi juga mewujud secara empiris dalam

tindakan. Sebagai pengemban budaya pertanian ladang, perwujudan makna

dimanifestasikan ketika menanam padi dan jagung di kebun atau ketika pergi

berkerja di kebun. Resapan keinginan dan harapan akan adanya suasana rukun dan

damai ketika mereka menanam di kebun disingkap dalam klausa, Nggoti uma

Nggoli wawi ka, manu ka ‘Tanamlah kebun Nggoli, daging babi dimakan, daging

ayam dimakan’. Resapan harapan akan adanya suasana rukun dan damai ketika

mereka pergi bekerja ke kebun disingkap dalam klausa, Ndua uma Waru, wawi ka,

manu ka ‘Pergilah bekerja di kebun Waru, daging babi dimakan, daging ayam

dimakan’.

Data (7-03) menyiratkan makna bahwa demi penciptaan dan pemertahanan

keselarasana hubungan sosial kemasyarakatan, warga etnik Rongga dituntut agar

ketika mereka menghadapi masalah dalam konteks kehidupan bermasyarakat,

sebaiknya masalah itu dipecahkan atau dimusyawarahkan bersama di depan

Page 239: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

201

umum. Makna tersebut disingkap secara analogis-metaforis dalam klausa, (a)

Loka jere olo, olo horha olo loka ‘Tempat rata di depan, tempat di depan dan

tengah depan’ dan (b) Watu ture tana tana tendole ‘Batu tersusun berlapis tanah’.

Dengan dipecahkan dan dimusyarahkan di depan umum, maka masalah yang

mereka hadapi itu dapat diselesaikan secara cepat karena melibatkan banyak

pikiran dalam mencari langkah pemecahan.

7.4 Makna Historis

WVHMM menyiratkan makna historis karena di dalamnya diulas secara

khusus tentang jejak sejarah asal-usul suku, sebagaimana disingkap dalam upacara

ngga’e ‘silsilah asal-usul suku’ sebagai bagian pendahuluan ritual vera, seperti

dapat dilihat pada data (4-26), Motu weka ndili mai, weka ndili mai Jawa. Rajo

ngazha Milo Motu, tu ndele Sarikondo’ Suku Motu nama turun datang, nama

turun datang Jawa. Perahu nama Milo Motu, tanah utara Sarikondo’, mengisahkan

jejak sejarah asal-usul suku Motu. Dikisahkan bahwa suku Motu berasal dari Jawa

denga menumpang perahu bernama Milo Motu yang mendarat di wilayah Utara

bernama Sarikondo. Data (4-27), Sarikondo mosa me’a, tei Motu setana mezhe.

Motu woe limazhua, embu me’a Sunggisina. Motu woe limazhua, beka sogho wae

kodhe ‘Nama laki dewasa sendiri, lihat nama Motu sangat besar. Nama tujuh

teman, nenek nama sendiri, Motu adalah tujuh bersaudara, keturunan dari

Sunggisina. Suku Motu ada tujuh terpecah pecah karena sup kera’, merupakan

fakta lingual yang menggambarkan kisah sejarah asal-usul suku Motu yang pada

awalnya bersaudara tujuh, kemudian pecah karena merebut sup kera. Perpecahan

tujuh bersaudara menyebabkan suku Motu menyebar di beberapa tempat di

Page 240: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

202

wilayah Rongga.56 Makna historis WVHMM tidak saja menjadi simpul perekat

rasa kebersamaan (sense of belonging) dalam ikatan komunitas etnik atau sub-sub

etnik Rongga, tetapi juga menjadi wadah makna untuk mencari, membangun, dan

memelihara identitas bersama sebagai saudara seketuruan.

7.5 Makna Ekonomis

WVHMM menyiratkan makna ekonomis berkenaan dengan sistem

ekonomi dan mata pencaharian yang digeluti oleh etnik Rongga. Sesuai dengan

fakta lingual yang digunakan dalam WVHMM, sistem ekonomi dan mata

pencaharian utama etnik Rongga adalah sistem pertanian dan sistem peternakan.

Sistem pertanian yang digeluti oleh etnik Rongga adalah sistem pertanian lahan

kering dengan jenis tanaman utama yang ditanam adalah padi (pare) dan jagung

(jawa). Sistem peternakan yang digeluti etnik Rongga ditandai dengan

pemeliharaan babi (wawi), kambing (tibho), dan ayam (manu). Selain dipelihara

untuk memenuhi kepentingan konsumsi sehari-hari, ketiga jenis hewan itu

digunakan sebagai sarana persembahan utama dalam berbagai ritual, tidak

terkecuali dalam ritual haimelo mbuku sa’o mbasa wini sebagai konteks situasi

ritual yang melatari kehadiran WVHMM.

7.6 Makna Politis

Makna politis WVHMM berkaitan dengan dimensi kekuasaan yang

berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap tatanan kehidupan

kemasyarakatan etnik Rongga. Pengertian istilah ‘politis’ di sini identik dengan

56 Wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu di Kampung Leke,Kelurahan Tanarata pada tanggal

29 Oktober 2012 dan wawancara dengan Bapak Thomas Ola di Kampung Paundoa pada tanggal 16 Oktober 2012.

Page 241: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

203

‘kekuasaan’ yang dikemukakan oleh Foucault (1984:227), yang menunjuk pada

kemampuan seseorang untuk mengatur dan menata pola perilaku orang lain.

Orientasi makna kekuasaan yang terkandung dalam WVHMM bermuara pada

penciptaan dan pemertahanan tatanan kehidupan etnik Rongga yang harmonis

sesuai dengan konvensi sosial yang sudah digariskan dan dikaidahkan secara

mentradisi sejak leluhurnya. Guratan makna politis yang terkandung dalam

WVHMM dapat disimak dalam beberapa fragmen berikut.

(7-04) Putungguru luw, nggera rhele Lena bakar aur luwu terang di atas Lena ‘Membakar aur luwu yang terang di atas’ Renggo bheto tenggo, ndara lau arha ‘lindungi betung Tenggo terang di sana’ ‘Melindungi betung tenggo yang terang di sana’

(7-05) Ika matalina neo, mbiwa mbe’o

ikan matalina intai tidak tahu ‘Tidak tahu mengintai Ikan matalina’ Mbawu mbata lau neo, mebiwa mbe’o belanak di laut intai tidak tahu ‘Tidak tahu mengintai belanak di laut’

(7-06) Nggote ana lobu, nggote lo

kasihan ikan lumba-lumba kasihan badan ‘Kasihan badan ikan lumba-lumba’ La’i lema mbata, la’i sala jilat jenis kerang jilat salah ‘Menjilat jenis kerang dengan menjilat yang salah’

(7-07) Watu waewar, ruku raka pau batu waewaru ribut/huru hara duluan ‘Batu Waewaru sudah rebut duluan’ Nggola mbeja jere eke du nde guling habis rata tunggu sampai kapan ‘sampai kapan menunggu guling habis’

Seperti tampak pada data (7-04), fragmen tersebut menyiratkan makna

bahwa, dalam menjalankan roda kekuasaan yang dipercayakan masyarakat,

seorang pemimpin mesti berperan sebagai pengayom masyarakat demi terciptanya

Page 242: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

204

suatu tatanan kehidupan masyarakat yang aman dan damai. Pengejawantahan

peran seorang pemimpin sebagai pengayom masyarakat dianalogikan secara

metaforis dengan cahaya yang membawa terang. Bentuk tekstual satuan

kebahasaan yang menyingkap peran pemimpin sebagai cahaya yang membawa

terang kepada masyarakat adalah kata nggera dan ndara yang berarti terang.

Kedua kata tersebut berhubungan secara sinonimis yang digunakan dengan tujuan

untuk mempertegas makna pesan tentang pentingnya peran seorang pemimpin

sebagai pengayom masyarakat.

Data (7-05) menyiratkan makna bahwa seorang pemimpin masyarakat

dituntut untuk selalu bijaksana dalam bertindak dan mengambil keputusan agar

tidak merugikan masyarakat. Bentuk tekstual satuan kebahasaan dalam WVHMM

yang menyingkap perilaku pemimpin yang tidak bijaksana dalam bertindak dan

mengambil keputusan dianalogikan secara metaforis dengan perilaku ikan

matalina (ika matalina) dan mbawu (belanak). Perilaku ikan matalina dan ikan

belanak merupakan metafora binatang yang digunakan etnik Rongga untuk

menggambarkan karakter seorang pemimpin yang tidak bijaksana dalam bertindak

dan mengambil keputusan. Dalam konseptualisasi etnik Rongga, seseorang

pemimpin mesti tegas dalam bertindak dan mengambil keputusan demi

kesejahteraan masyarakat banyak.

Mengingat seorang pemimpin mesti menjadi model anutan bagi

masyarakat, maka dia tidak boleh terpengaruh oleh orang lain dalam bertindak

dan mengambil keputusan. Seperti diisyaratkan dalam data (7-06), gambaran

perilaku seorang pemimpin yang tidak tegas dalam bertindak dan mengambil

Page 243: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

205

keputusan dianalogikan secara metaforis dengan perilaku ikan lumba-lumba (ana

lobu) dan kerang (lema).

Data (7-07) menyiratkan makna bahwa, dalam menjalankan roda

kekuasaan yang dipercayakan kepadanya, seorang pemimpin tidak boleh

mengumbar janji- janji muluk kepada masyarakat. Seorang pemimpin mesti lebih

banyak berbuat daripada berbicara karena perbuatan berbicara lebih keras

daripada perkataan, artinya seorang pemimpin harus lebih banyak bekerja

daripada berbicara. Dengan perkataan lain, dalam menjalankan kekuasaan yang

dipercayakan masyarakat kepadanya, seorang pemimpin tidak boleh melakukan

pembohongan terhadap masyarakat melalui janji yang muluk-muluk. Tindakan

pembohongan terhadap masyarakat melalui umbaran janji yang muluk-muluk

dianalogikan secara metaforis dengan bunyi batu di Waewaru yang disingkap

dalam klausa, Watu Waewaru ruku rapa raku ‘Batu Waewaru bunyi duluan’. Fakta

lingual yang menyingkap kebohongan itu diisyaratkan dalam klausa, Nggola

mbeja jere eke du nde ‘Guling habis rata tunggu sampai kapan’, yang menyiratkan

makna bahwa janji-janji yang disampaikan oleh seorang pemimpin tidak pernah

diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata.

7.7 Makna Estetis

Makna estetis WVHMM tercermin dalam pilihan kata dan cara

pengungkapan bahasanya yang mengandung keindahan bentuk dan kenikmatan

inderawi ketika disimak. Makna estetis tersebar secara meluas dalam keseluruhan

WVHMM karena komunikasi yang disampaikan melalui WVHMM merupakan

komunikasi yang bersifat vertikal-transendental dengan kekuatan adikodrati,

Page 244: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

206

yakni Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Hal ini berimplikasi bahwa guratan

makna estetis tersebut bertalian erat dengan makna religius sebagai dimensi

makna yang paling menonjol yang terkandung dalam WVHMM. Makna estetis

tersebut dipahami sebagai manifestasi dari kesalehan ritual WVHMM karena

komunikasi melalui WVHMM bersifat vertikal-transendental dengan kekuatan

adikodrati, yakni Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, yang memiliki struktur

kekuasaan lebih tinggi daripada manusia.

Resapan pikiran, perasaan, dan pengalaman hidup etnik Rongga yang

diwahanai melalui WVHMM dikemas melalui pilihan kata-kata dan cara

pengungkapannya yang mengandung makna estetis. Makna estetis WVHMM

ditandai, antara lain dengan penggunaan paralelisme fonologis dan

leksikosemantis, sebagaimana dilihat dalam fragmen di bawah ini.

(7-08) Bha ndili Jawa, bha bhara piring sana Jawa piring putih ‘Piring di Jawa piring yang bersih’ Mako lao Wio, mako milo’. piring sana Sumba piring bersih ‘Piring di Sumba piring yang bersih’

Seperti tampak pada fragmen (7-08) di atas, memiliki makna seorang

pemimpin yang bijaksana dungkapkan dengan menggunakan gaya bahasa dengan

memanfaatkan fitur paralelisme fonologis yang ditandai dengan asonansi,

aliterasi, dan rima. Sesuai dengan kenyataan bentuk tekstual yang tampak secara

fisik, dua jenis asonansi yang digunakan adalah asonansi berstruktur simetris dan

asimetris. Asonansi berstruktur simetris ditandai dengan fenomena permainan

fonem vokal yang sama dan asonansi berstruktur asimetris ditandai dengan

Page 245: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

207

permainan fonem vokal yang tidak sama. Asonansi berstruktur simetris ditandai

dengan permainan fonem vokal a-a dalam kata Jawa ‘Jawa’ dan bhara ‘putih’.

Asonansi berstruktur simetris ditandai dengan permainan fonem vokal a-o dalam

kata mako ‘piring’ dan lao ‘di sana’ serta permainan fonem vokal i-o dalam kata

Wio ‘Sumba’ dan milo ‘bersih’. Aliterasi berupa pengulangan fonem konsona

ditandai dengan pengulangan fonem konsonan m dalam mako ‘piring’ dan milo

‘putih’. Paralelisme leksikosemantis ditandai dengan penggunaan kata-kata yang

berhubungan secara sinonimis, seperti kata bha ‘piring’ bersinonim dengan kata

mako ‘piring’ dan kata bhara ‘putih’ berhubungan secara sinonimis dengan kata

milo ‘bersih’ dalam suatu medan makna yang bersifat kolokatif.57

7.8 Makna Didaktis

Berdasarkan esensi isi pesan yang terkandung di dalamnya, WVHMM

sesungguhnya mengemban makna didaktis berupa seperangkat nilai pendidikan

dan pengajaran yang menjadi penuntun moral dan pedoman etika dalam penataan

perilaku hidup etnik Rongga. Sesuai dengan kandungan makna didaktis yang

tercakup di dalamnya, siratan nilai pendidikan dan pengajaran yang diamanatkan

melalui WVHMM meliputi nilai pengetahuan keagamaan, kemasyarakatan,

sejarah, hukum adat, politik, ekonomi, dan kesenian. Salah satu fragmen

WVHMM yang esensi isi pesannya menyiratkan makna didaktis bagi warga etnik

Rongga adalah sebagai berikut.

57 Wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu di Kampung Leke,Kelurahan Tanarata pada tanggal

29 Oktober 2012 dan wawancara dengan Bapak Thomas Ola di Kampung Paundoa pada tanggal 16 Oktober 2012.

Page 246: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

208

(7-09) Ema po soro, ma’e rero ma’e ghewo ayah beri nasihat jangan ribut jangan lupa ‘Ayah memberikan nasihat janganlah rebut dan jangan lupa’ Ine reku lelu, ma’e rero ma’e ghewo mama beri nasihat jangan ribut jangan lupa Ibu memberikan nasihat jangalah ribut dan jangan lupa’

Fragmen (7-09) di atas menyiratkan makna didaktis berupa nilai

pendidikan dan pengajaran bagi warga etnik Rongga agar mereka selalu

menghormati orang-tua atau ayah-ibunya. Manifestasi penghormatan itu ialah

mendengar dan menyimak secara cermat dan saksama nasihat atau petuah dari

orang tua atau ayah-ibu. Setelah mendengar dan menyimak nasihat tersebut, anak-

anak mesti melaksanakannya karena nasihat tersebut merupakan pedoman dan

panduan dalam penataan pola perilaku demi mencapai kebaikan dan kesejahteraan

hidup di dunia dan di akhirat.58

58 Wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu di Kampung Leke Kelurahan Tanarata pada tanggal

29 Oktober 2012 dan wawancara dengan Bapak Thomas Ola di Kampung Paundoa pada tanggal 16 Oktober 2012.

Page 247: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

209

Bagan 7.1 Cakupan Makna Wacana Tradisi Lisan Vera Haimelo Mbuku Sa’o Mbasa Wini (WVHMM)

7.8 Rangkuman

Merujuk fungsi yang diemban dan diperaninya dalam konteks sosial

budaya etnik Rongga, WVHMM menyiratkan seperangkat makna yang meliputi

makna religius, sosiologis, historis, politis, estetis, dan didaktis. Makna religius

bergayut dengan konseptualisasi etnik Rongga tentang eksistensi kekuatan

adikodrati, yakni Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, yang dipahami sebagai sumber

kekuatan moral dan spiritual utama yang sangat menentukan keberadaan,

kebertahanan, dan kebertahanan hidup mereka sebagai manusia dan anggota

masyarakat. Dalam konseptualisasi etnik Rongga, Tuhan dipahami sebagai wujud

Makna Wacana Tradisi Lisan Vera (WVHMM)

Makna Sosiologis (Efektivitas Sosial)

Makna Religius Konseptualisasi tentang Eksistensi

Tuhan, Roh Leluhur, dan Roh Alam,

Makna Ekonomis

Makna Politis

Makna Historis

Makna Estetis

Makna Didaktis

Page 248: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

210

tertinggi, penguasa alam semesta, pengasih dan penyayang. Roh leluhur dipahami

sebagai kekuatan adikodrati yang berperan sebagai perantara doa dan permohonan

kepada Tuhan. Roh alam dipahami sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang ditugasi

Tuhan untuk menunggu dan menjaga lingkungan. Makna sosiologis berkaitan

dengan efektivitas sosial WVHMM yang termanifestasi dalam kesucian sosial

etnik Rongga demi penciptaan dan pemertahanan keselarasan hubungan sosial

kemasyarakatan. Makna historis bertalian dengan keterikatan warga etnik Rongga

sebagai suatu komunitas etnik, yang terbentuk dari 22 suku dengan jejak sejarah

asal usulnya masing-masing. Makna ekonomis menyingkap sistem ekonomi dan

mata pencaharian hidup yang digeluti oleh etnik Rongga, yakni pertanian dan

sistem peternakan. Makna politis WVHMM berkaitan dengan kekuasaan secara

langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap tatanan kehidupan etnik

Rongga, terutama yang menyangkut karakteristik seorang pemimpin. Makna

didaktis WVHMM menyiratkan seperangkat nilai pendidikan dan pengajaran bagi

warga etnik Rongga tentang pengetahuan keagamaan, kemasyarakatan, hukum,

adat istiadat, politik, ekonomi, dan kesenian.

Page 249: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

211

BAB VIII

MEKANISME PEWARISAN WACANA VERA HAIMELO

MBUKU SA’O MBASA WINI

8.1 Pengantar

Seperti telah disinggung sebelumnya, vera adalah tradisi ritual yang

tercipta dari pengalaman hidup etnik Rongga pada masa lalu yang sampai kini

masih tetap dilaksanakan. Vera disebut tradisi karena keberadaannya terkait

dengan konsep kepercayaan (belief) dan perilaku (behavior) etnik Rongga dengan

siratan makna simbolis dan peran kultural yang bermuasal pada realitas masa

lampau. Tradisi ritual vera merupakan produk dan praktik budaya warisan leluhur

milik sosial-kolektif etnik Rongga yang dimanifestasikan dalam bentuk tarian

disertai nyanyian. Sebagai sebuah tradisi, vera sarat nilai sosial budaya sebagai

pengikat rasa kebersamaan dalam ikatan komunitas etnik atau sub-etnik Rongga.

Vera merupakan bagian integral dari budaya Rongga yang menyoroti

bagian penting dari ikatan dan berkat Tuhan dan leluhur dalam menafasi relung

kehidupan etnik Rongga sehari-hari. Tradisi ritual vera adalah milik etnik Rongga

berupa pertunjukan tarian dan nyanyian yang dipertunjukkan secara berkelompok

untuk kegiatan-kegiatan ritual tertentu. Tarian dan nyanyian yang ditampilkan

memiliki nilai estetis sebagai wujud kreativitas para pendukung vera sebagai

pelaku seni. Bagi warga komunitas etnik Rongga, pertunjukan sebuah ritual yang

diselingi dengan nyanyian dan tarian adalah suatu kewajiban budaya demi

kesinambungan tradisi, di samping pemenuhan kehendak Tuhan dan roh leluhur.

Mempraktekkan sebuah ritual yang diselingi tarian dan nyanyian memiliki tujuan

211

Page 250: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

212

khusus yang menyatu dalam satu kesatuan dengan sistem kepercayaan asli

setempat. Tarian ritual vera sebagai salah satu produk dan praktek budaya etnik

Rongga dapat memperkuat dan meneruskan nilai tradisi warisan leluhurnya. Hal

ini selaras dengan pandangan Simaptupang (2013:204--205) yang menyatakan

bahwa warisan adalah sesuatu yang berasal dari masa lampau yang dimiliki,

digunakan, dan dihargai oleh orang-orang dewasa. Oleh karena itu, kehadiran dan

keberadaan WVHMM memiliki fungsi dan makna pewarisan agar tetap hidup dan

berkembang dalam realitas kehidupan etnik Rongga pada masa kini dan masa

akan datang sesuai dengan konvensi sosial yang diamanatkan oleh leluhurnya.

Mempertahankan vera sebagai budaya asli bertujuan agar generasi muda etnik

Rongga tetap mengetahui tradisi warisan leluhurnya. Sesuai dengan realitas

faktual yang ditemukan pada saat penelitian ini dilakukan, tradisi ritual vera

cenderung sudah mulai mengalami perubahan dan pergeseran dalam tataran

tertentu.

Terkait dengan perubahan itu, menurut Arka (2010), ada empat faktor yang

menyebabkan praktek vera berada di bawah ancaman kepunahan. Faktor pertama

adalah munculnya penyebaran agama Katolik dan pendidikan modern. Kedua hal

itu mengikis pondasi kepercayaan tradisional yang sangat penting untuk

meneruskan vera. Generasi muda etnik Rongga yang dididik dalam iklim

Indonesia modern tidak memiliki kesempatan membagi kewajiban tradisional

mengenai praktik vera. Ketika orang muda bertanya tentang signifikansi vera

sebagai bagian dari warisan leluhur, para orang tua memberikan jawaban

beragam, sementara mereka mengakui bahwa vera menandakan identitasnya

Page 251: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

213

sebagai warga etnik Rongga. Dewasa ini banyak orang dewasa tidak peduli lagi

tentang keberadaan dan kebermaknaa vera sehingga tidak perlu menjaga

keberlangsungan hidupnya.

Faktor kedua adalah adanya pergeseran minat warga etnik Rongga karena

terbingkai dalam konteks kehidupan modern. Pada zaman dahulu, ketika orang-

orang tua masih muda, mereka sangat antusias belajar dan menari vera karena

tidak ada media hiburan yang lain. Sekarang, media hiburannya sudah berbeda,

beragam, dan mudah diperoleh seperti dalam bentuk siaran radio, televisi, dan

CD. Ketersediaan dan kemudahan mendapatkan media hiburan semacam itu

memengaruhi pola pikir mereka.

Faktor ketiga berhubungan dengan isi ritual vera yang dipandang tidak

memiliki nilai pertunjukan sehingga anak muda tidak tertarik untuk

mempelajarinya. Tarian vera sangat membosankan karena diulang-ulang, panjang,

dan lama, sehingga tidak menarik bagi generasi muda etnik Rongga. Bahasa yang

digunakan dalam teks vera bersifat baku dan beku sehingga tidak ada ruang untuk

kreativitas pribadi. Vera gha’u gha’a memang dapat dipentaskan kapan dan di

mana saja sebagai media hiburan, namun belum ada usaha untuk

mengembangkannya secara kreatif sesuai dengan kebudayaan pop lokal dan

nasional.

Faktor keempat adalah faktor bahasa vera yang menuntut kecakapan

khusus karena adanya kata-kata arkais. Generasi muda etnik Rongga tidak

memiliki keterampilan bahasa dan menari vera, di samping penguasaan format

upacara dalam bahasa Rongga.

Page 252: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

214

Seperti telah disinggung sebelumnya, sebagian besar warga etnik Rongga,

terutama kelompok generasi muda terdidik, cenderung sudah memiliki kerangka

pemahaman dan pemaknaan yang kurang tepat terhadap kebermaknaan fungsi dan

peran tradisi ritual vera. Beberapa fakta menunjukkan bahwa mereka cenderung

lebih senang menonton dan menyaksikan pertunjukan bernuansa modern seperti

breakdance, sepak bola dunia daripada menonton dan menyaksikan pertunjukan

vera (Arka, 2010).

Dalam upaya pemberdayaan vera sebagai salah satu aset budaya milik

sosial-kolektif yang menjadi lambang identitas internal dan eksternal etnik

Rongga perlu dilakukan penyadaran terhadap seluruh warga etnik Rongga,

terutama kelompok generasi muda, yang saat ini hampir semuanya menganut

agama Kristen. Sistem pewarisan WVHMM dari generasi ke generasi adalah

salah satu upaya penerusan nilai tradisi yang sudah diamanatkan oleh leluhurnya.

Simatupang (2013:234) mengatakan bahwa :

“Tradisi tidak mampu mengembangkan dirinya sendiri. Hanya manusia-manusia masa kini yang hidup, mengetahui, dan mnginginkannya sajalah yang dapat menghidupkan tradisi dengan cara menyesuaikannya pada kondisi yang berlaku di masa kini. Tradisi dapat rusak atau hansur bila pewarisnya tidak lagi melakukannya, menggelarnya entah dengan cara dan dalam bentuk apa pun, karena hanya dengan dipraktikkan maka tradisi itu diberi kehidupannya di masa kini”.

Tradisi lisa vera merupakan produk dan praktik budaya warisan leluhur

etnik Rongga. Vera masih tetap hidup dan berkembang sampai saat ini karena

masih tetap dilaksanakan oleh pendukungnya sebagai salah satu bentuk pewarisan

budaya. Pewarisan adalah proses pemindahan hak dari seseorang kepada orang

lain (Jendra, 2002:19). Dalam pengertian umum, pewarisan adalah pemindahan

Page 253: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

215

hak dari orang tua kepada anaknya atau keluarganya. Suatu pemindahan hak yang

teratur dan konsisten dikatakan sebagai sistem pewarisan. Pewarisan budaya

tradisi vera merupakan suatu proses pemindahan hak atas nilai-nilai dan norma-

norma yang diberikan oleh generasi tua etnik Rongga kepada generasi yang lebih

muda. Proses pemindahan ini diwahanai melalui proses pembelajaran atau proses

pendidikan dengan tujuan untuk memahami nilai-nilai kehidupan, norma budaya,

dan adat istiadat, demi terciptanya kondisi kehidupan yang harmonis kepada

generasi muda.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, terdapat dua model

mekanisme pewarisan WVHMM yang dilaksanakan etnik Rongga. Kedua

mekanisme pewarisan itu meliputi mekanisme pewarisan alamiah dan mekanisme

pewarisan nonalamiah.

8.2 Mekanisme Pewarisan Alamiah

Mekanisme pewarisan alamiah adalah cara pewarisan tradisi budaya dalam

suatu masyarakat yang berlangsung secara turun-menurun dalam konteks asli

sesuai dengan kaidah yang digariskan denga leluhur. Beberapa karakteristik yang

berkenaan dengan mekanisme pewarisan alamiah tradisi budaya suatu masyarakat

adalah sebagai berikut: (1) berlangsung secara turun-temurun dari generasi ke

generasi, (2) dalam konteks tradisional atau asli, dan (3) sesuai dengan kaidah

yang digariskan oleh leluhur sebagai rujukan.

Merujuk pada kebiasaan yang sudah berlaku secara mentradisi sejak dari

leluhurnya, mekanisme pewarisan alamiah tradisi budaya vera yang dilakukan

etnik Rongga adalah dengan cara berperan serta sebagai pelibat dalam konteks

Page 254: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

216

ritual vera. Sesuai dengan realitas faktual yang dihadapi dan dialami oleh etnik

Rongga selama ini, vera hanya dilaksanakan oleh kelompok generasi tua (orang

tua) karena mereka dianggap memiliki kestabilan emosi, di samping karena

mereka menguasai vera, sehingga dapat melaksanakan dengan baik dan lancar

sesuai dengan ketentuan dan kaidah adat yang sudah digariskan dan diwariskan

oleh leluhurnya.59

Berdasarkan pengalaman di lapangan, kelompok generasi muda etnik

Rongga tidak berperan aktif dan tidak tertarik dalam mengikuti kegiatan vera

karena tarian vera sangat membosankan. Selain karena bahasanya diulang-ulang,

pementasan juga berlangsung dalam rentang waktu yang relatif lama (mulai

tengah malam sampai dengan matahari terbit). Meskipun demikian, mereka yakin

bahwa tanpa adanya keterlibatan langsung dari generasi muda dalam pertunjukan

vera, mereka bisa meneruskan tradisi vera karena tuntutan ritual dan kewajiban

adat demi kepatuhan terhadap pesan dan amanat leluhur. Sesuai dengan

konseptualisasi yang tertera dalam peta pengetahuan etnik Rongga, pelaksanaan

vera merupakan perwujudan kehendak dan harapan para leluhur dengan tujuan

untuk mencapai kedamaian, kesejahteraan, keberhasilan, dan kemakmuran hidup

mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat di dunia. Seandainya vera tidak

dilaksanakan dengan baik sesuai dengan kaidah yang sudah digariskan dan

diwariskan oleh leluhur, maka diyakni oleh etnik Rongga akan terjadi hal-hal

yang tidak diinginkan, sebagaimana dituturkan oleh nara sumber di bawah ini.

59 Wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu dan Bapak William Roma di Kampung Leke, pada

tanggal 12 Oktober 2012.

Page 255: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

217

“Kami rutin melaksanakan vera, setiap ada acara kematian (yang disebut vera sarajawa) khususnya kepada kepala suku, acara syukuran yang disebut vera haimelo seperti syukuran setelah panen, syukuran musim panen, syukuran penempatan rumah baru, ada hal-hal yang bersifat ganjil dan aneh. Kami merasa takut kalau tidak melaksanakan vera, para leluhur bisa marah, kami bisa mendapatkan marabahaya, bisa sakit, jatuh, dan bahkan kematian.”60

Mekanisme pewarisan alamiah memiliki peran penting dan strategis bagi

etnik Rongga demi keberlanjutan dan keberlangsungan hidup tradisi vera pada

masa yang akan datang. Mekanisme pewarisan alamiah adalah cara pewarisan

turun-temurun secara lisan melalui mekanisme unjuk libat tari dalam kegiatan

pertunjukan vera. Keterlibatan dalam pertunjukan vera terkait dengan pementasan

vera karena tuntutan ritual yang melatarinya, dan praktik budaya. Hal ini

merupakan kewajiban yang terkait dengan kejadian-kejadian tertentu seperti

kegiatan pertanian dan upacara kematian. Kewajiban semacam ini merupakan cara

dan bentuk alamiah transmisi pewarisan vera untuk sebagian besar jenis vera

yang hidup dan berkembang dalam realitas sosial budaya etnik Rongga.

Mekanisme pewarisan alamiah memberikan kesempatan kepada orang tua

yang sudah mahir untuk menunjukkan kecakapan dan kebolehannya menari vera,

selain memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk melihat, belajar, dan

ikut menari vera. Kejadian alamiah yang berlangsung secara beruntun dan

berulang merupakan peluang terjadinya proses alih keterampilan dari satu

generasi ke generasi berikut. Proses alih keterampilan melalui pemberdayaan

gerak tari sambil mendendangkan nyanyian dapat menjadi media yang mewahanai

proses pewarisan nilai-nilai yang terkandung dalam WVHMM.

60 Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu, di Kampung Leke, Kelurahan Tanara, pada

tanggal 15 Agustus 2013.

Page 256: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

218

Mekanisme pewarisan alamiah masih dipandang efektif untuk

memberikan penyadaran kepada masyarakat, terutama kelompok generasi muda,

tentang pentingnya nilai-nilai budaya warisan leluhur sebagai panduan moral dan

pedoman etika. Namun penerusan vera dapat diaktegorikan lemah dan terancam.

Keterancaman terlihat secara kenyataan bahwa kemampuan untuk

mempertunjukkan vera kurang baik yang diperoleh generasi muda dan sebagai

orang tua memang diakui bahwa kualitas vera dewasa ini mengalami

kemerosotan. Selain itu, ada beberapa hal praktek budaya vera berada di bawah

ancaman seperti yang sudah diuraikan di depan. Ancaman yang dimaksud seperti

munculnya penyebaran agama Katolik dan pendidikan modern, pergeseran minat

dalam kehidupan modern, tarian vera dianggap membosankan karena diulang-

ulang, tidak aktraktif, dan bahasa yang banyak berisi ungkapan yang bersifat

arkais sehingga susah dipahami terutama para generasi muda. Semua orang tua

etnik Rongga mengatakan pentingnya pemeliharaan dan penerusan vera,

hilangnya vera berarti hilang pula identitas, nilai tradisional dan pengetahuan

masyarakat pribumi. Selain sebagai kewajiban budaya yang harus dilaksanakan,

vera juga sebagai identitas dan kebanggaan etnik Rongga, mengemban tanggung

jawab menjaga tradisi, diyakini memberi kedamaian hidup, kesejahteraan,

kemakmuran hidup di dunia, dan jika tidak dilaksanakan dengan baik mereka

dihantui oleh rasa takut yang akan menimpa mereka.

Gambar di bawah ini contoh mekanisme pewarisan alamiah vera yang

dipentaskan sesuai dengan tuntutan ritual.

Page 257: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

219

Gambar 8.1 Pertunjukan Vera Haimelo Mbuku Sa’o Mbasa wini Dokumen Sumitri 2012

Gambar 8.2 Pertunjukan Vera Haimelo Mbuku Sa’o Mbasa Wini

Gambar. 8.2 Pertunjukan Vera Haimelo Mbuku Sa’o Mbasa Wini Dokumen Sumitri 2012

Page 258: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

220

Gambar 8.1 dan 8.2 di atas adalah rekaman gambar pertunjukan vera

dalam konteks ritual mbuku sa’o mbasa wini. Kegiatan ini dilaksanakan secara

turun-menurun dalam wujud lisan sesuai dengan tradisi yang berlaku dalam

realitas kehidupan etnik Rongga dan tuntutan ritual yang melatarinya. Aktivitas

pertunjukan tersebut merupakan pengejawantahan produk dan praktik budaya

etnik Rongga dengan memberikan kesempatan kepada tetua adat menunjukkan

kemahiran menari dan menyanyikan, di samping memberikan kesempatan kepada

kelompok generasi muda untuk melihat dan belajar menari. Pertunjukan vera di

atas dilaksanakan di Kampung Sambi, Kelurahan Tanarata, pada tanggal 27

Oktober 2012, yang berlangsung di halaman rumah ketua suku pemilik gendang.

Seperti tampak pada gambar di atas, peneliti (dengan tanda X) ikut berpartisipasi

secara langsung sebagai daghe (penari perempuan) dalam pertunjukan vera

tersebut.

8.3 Mekanisme Pewarisan Non-alamiah

Mekanisme pewarisan nonalamiah adalah cara pewarisan melalui

pelatihan secara tradisional dan bersifat sporadis sesuai dengan kebutuhan

tertentu. Pada saat ini, kelompok generasi muda etnik Rongga ikut terlibat secara

langsung dalam kegiatan latihan menari dan menyanyi vera yang dibawakan oleh

kelompok generasi tua di bawah panduan orang yang sudah mahir vera.

Keterampilan olah fisik tari dilatih secara tradisional dengan meniru dan ikut

menari sambil menyanyi. Vera gembira bisa dilatih secara inovatif dengan

mencatat dan menghafal syair lagunya serta tariannya dilatih secara intensif

dengan melakukan modifikasi verbal sesuai dengan konteks pertunjukan.

Page 259: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

221

Sampai saat ini, belum ada sanggar khusus untuk tarian vera dalam rangka

pemberdayaan dan pewarisan budaya lokal etnik Rongga. Oleh karena itu,

mekanisme pewarisan nonalamiah ini tidaklah efektif karena dilaksanakan sesuai

dengan kebutuhan. Upaya pemberdayaan vera sebagai salah satu aset budaya

lokal etnik Rongga memerlukan dukungan yang sinergis dari berbagai pihak, baik

pelaku vera, tetua adat, masyarakat maupun pemerintah, dalam rangka

keberlangsungan vera ke depan. Bentuk dukungan itu bisa diwujudkan dengan

membentuk sanggar-sanggar budaya sebagai wadah pengembangan kreativitas

masyarakat, terutama kelompok generasi muda, dalam berekspresi karena selama

ini vera hanya dimainkan oleh kelompok generasi tua atau para orang tua. Berikut

adalah gambar latihan tarian dan nyanyian vera ghau gha’a yang menunjukkan

mekanisme transmisi pewarisan nonalamiah.

Gambar. 8.3 Latihan Tarian dan Nyanyian Vera Haimelo oleh anak-anak

Sumber: Fransiscus Seda (2005)

Page 260: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

222

Gambar 8.4 Latihan Tarian dan Nyanyian Vera Haimelo oleh orang dewasa Dokumen Sumitri 2012

Gambar 8.5 Pentas Tarian dan Nyanyian Vera Haimelo oleh anak-anak Dokumen: Fransiscus Seda 2005

Page 261: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

223

Gambar 8.3 dan 8.4 di atas adalah latihan tarian dan nyanyian vera oleh

anak-anak dan orang dewasa yang dilaksanakan sebelum pementasan vera

haimelo. Dalam hal ini, vera dipertunjukkan dengan fungsi sebagai hiburan

(gha’u gha’a). Pada saat ini, generasi muda etnik Rongga terlibat langsung dalam

latihan vera di bawah panduan orang tua yang sudah mahir dalam pertunjukan

vera. Latihan vera ini dilakukan untuk menyambut peringatan hari Pendidikan

Nasional pada bulan Mei tahun 2005. Gambar 8-4 adalah latihan vera untuk

hiburan di Kelurahan Tanarata oleh orang dewasa dalam rangka peresmian

Gedung Bupati Manggarai Timur, 27 November 2012. Gambar 8-5 adalah acara

pementasan vera untuk hiburan (gha’u gha’a) di Kampung Waerana, pada

tanggal 2 Mei 2005.

Mekanisme pewarisan tradisi lisan vera, baik secara alamiah maupun

non-alamiah seperti tersebut di atas adalah sebagai upaya untuk memperkuat dan

meneruskan nilai tradisi sebagai warisan leluhur. Dalam dinamika budaya etnik

Rongga meskipun penerusan vera sangat lemah dan terancam, vera masih

menunjukkan prospek yang masih potensial untuk tetap lestari sebagai sebuah

tradisi lisan yang didasari atas: (1) eksistensinya sebagai identitas etnik; (2)

kehadirannya sebagai kebanggaan dan rasa hormat terhadap tarian dan nyanyian;

(3) eksistensinya sebagai bagian dari ritual tradisional; (4) keterkaitannya dengan

kewajiban dan kepatuhan terhadap adat istiadat; (5) fungsinya untuk mengemban

tanggungjawab menjaga tradisi, memenuhi kehendak Tuhan dan nenek moyang;

(6) keyakinan dapat memberi kedamaian, kesejahtraan, keberhasilan dan

kemamkuran dalam hidup di dunia; dan (7) kepercayaan jika tidak dilaksanakan

(dengan baik) sesuai dengan kaidah adat, ada rasa takut yang akan menimpa

Page 262: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

224

mereka, misalnya mendapatkan marabahaya seperti bisa sakit, jatuh tanpa sebab,

dan bahkan ditimpa kematian seperti yang sudah disinggung di depan.

Pada hakikatnya, pewarisan tradisi vera sebagai bagian ritual dipahami

oleh etnik Rongga sebagai budaya pertanian warisan leluhur yang sudah

mentradisi. Makna ritual tersebut ialah untuk menanamkan nilai-nilai spiritual

kepada generasi penerus agar tumbuh kesadaran betapa pentingnya nilai-nilai

budaya warisan leluhur sebagai pedoman etika dan moral di dalam diri mereka.

Dengan kesadaran itu, mereka melakukan upaya untuk menjaga keseimbangan

dan keharmonisan antara manusia dan Tuhan sebagai pencipta alam semesta,

manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan sesamanya. Ketiga

hubungan tersebut harus menyatu secara sinergis untuk membentuk sikap dalam

konsep keseimbangan.

Selain itu, kesadaran etnik Rongga tentang keberadaan dan kebermaknaan

vera sebagai salah satu permadani budaya nusantara dan miniatur etnografi

budaya yang menandakan kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia yang

multi-etnik dan multikultural. Dalam perspektif ekologis yang lebih luas, vera

yang berupa tarian dan nyanyian berisi nilai keselamatan khususnya kelompok

asli minoritas sangat penting dilakukan dalam rangka memelihara

keanekaragaman budaya.

8.4 Rangkuman

Vera adalah salah satu wacana tradisi lisan warisan leluhur etnik Rongga

yang tampil dalam bentuk pertunjukan tarian disertai nyanyian dan memiliki nilai

filosofis dan estetis tinggi dalam menyingkap pandangan mereka tentang dunia.

Page 263: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

225

Kebermaknaan wacana tradisi lisan vera sebagai wadah penyingkap pandangan

dunia etnik Rongga tercermin dalam WVHMM sehingga perlu diwariskan agar

tetap hidup dan berkembang dalam realitas kehidupan etnik Rongga pada masa

kini dan masa yang akan datang. Mekanisme pewarisan WVHMM yang dilakukan

etnik Rongga selama ini bersifat alamiah melalui pementasan vera sesuai dengan

tuntutan latar ritual, sedangkan mekanisme pewarisan nonalamiah dilaksanakan

melalui pelatihan yang berlangsung secara tradisional dan sporadis berdasarkan

kebutuhan tertentu.

Mekanisme pewarisan vera seperti itu menunjukkan prospek yang

potensial tetap lestari sebagai sebuah tradisi lisan yang hidup dan berkembang

dalam realitas kehidupan etnik Rongga sebagai identitas dan kebanggaan etnik,

terkait dengan kewajiban dan kepatuhan terhadap adat istiadat, pengemban

tanggung jawab menjaga tradisi, pemenuhan kehendak Tuhan dan nenek moyang.

Ada keyakinan mendapatkan kedamaian, kesejahteraan, keberhasilan dan

kemakmuran dalam hidup di dunia, dan kalau tidak dilaksanakan (dengan baik)

sesuai dengan kaidah adat, ada rasa ketakutan yang akan menimpa mereka.

Pada hakikatnya, pewarisan ritual vera dipahami sebagai budaya pertanian

yang memiliki peranan yang penting untuk menanamkan nilai-nilai spiritual

kepada generasi penerus agar tumbuh kesadaran di dalam diri mereka. Kesadaran

menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara manusia dan Tuhan sebagai

pencipta alam semesta, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan

sesamanya, ketiganya perlu dijaga agar menyatu secara sinergis untuk membentuk

Page 264: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

226

sikap dalam konsep keseimbangan. Keberadaan dan kebermaknaan vera sebagai

salah satu permadani budaya nusantara dan miniatur etnografi budaya yang

menandakan kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia yang multi-etnik dan

multikultural.

Page 265: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

227

BAB IX

SIMPULAN, TEMUAN, DAN SARAN

9.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis karakteristik struktur, fungsi, makna, dan

mekanisme pewarisan teks WVHMM dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

berikut. Teks WVHMM merupakan sebuah wacana tradisi lisan bergaya sastra.

Karakteristik satuan kebahasaan teks WVHMM paling menonjol bercorak puitis

dengan memanfaatkan fitur paralelisme yang membangun efek musikalitas dan

mengundang kenikmatan indrawi.

Teks WVHMM sebagai wacana bergaya sastra memiliki struktur yang

khas dan teratur yang didukung oleh struktur formal dan struktur naratif. Struktur

formal mencakupi tiga komponen dasar, yakni struktur makro, superstruktur, dan

struktur mikro. Struktur makro atau tema sentral teks WVHMM adalah doa

permohonan kepada Tuhan agar pada musim tanam yang akan datang berjalan

dengan baik. Superstruktur atau skema teks WVHMM terdiri atas tiga bagian,

yaitu pendahuluan, yang disebut ti’ika, inti Vera dan penutup yang disebut

tetendere. Struktur mikro atau struktur dasar teks WVHMM terdiri atas struktur

formal dan struktur naratif. Struktur formal teks WVHMM memiliki karakteristik

bentuk tekstual satuan kebahasaan bercorak puitis yang mencirikan keberadaan

teks WVHMM. Dimensi kesastraan mewujud secara emperis dalam satuan

kebahasaan meliputi : bunyi, kata, frasa, klausa/kalimat, dan hubungan baris

secara sintaktis sebagai satu kesatuan. WVHMM memiliki pengulangan pola-

227

Page 266: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

228

pola, baik pengulangan kata maupun pengulangan frasa, juga memiliki kesamaan

dalam tataran tertentu dengan pola formula Lord. Pengulangan pola formula itu

berguna untuk menunjang kelancaran pelantunan syair-syair WVHMM yang

disesuaikan dengan gerak tari dan lagu. Ditemukan kekhasan pola-pola formula

dalam WVHMM meskipun tampil tidak teratur atau dalam pola matra yang sama

seperti yang dikemukakan oleh Lord, namun tetap menunjukkan keteraturan

karena mempertimbangkan posisi dan irama. Keteraturan pengungkapan pola-pola

itu dikemas dengan menggunakan berbagai gaya bahasa, baik gaya bahasa

paralelisme maupun gaya bahasa kias yang sarat makna estetis yang menunjang

keberadaan WVHMM sebagai wacana tradisi lisan bergaya sastra. Struktur naratif

teks WVHMM dapat dilihat berdasarkan suasana hati yang mencakupi suasana

hati tuturan dan suasana hati perspektif. Kedua struktur naratif tersebut sebagai

penggambaran sikap, pandangan dan keadaan penutur sebagai guyub tutur dalam

satu kesatuan masyarakat etnik.

Dalam tautan itu dengan karakteristik teks dan konteks sosial budaya etnik

Rongga yang melatarinya, WVHMM mengemban berbagai fungsi. Fungsi

tersebut sebagai media untuk menyimpan dan memberikan informasi realitas

budaya masa lalu berkenaan dengan ajaran etika moral yang mewujud secara

emperis dalam fungsi manifes dan fungsi laten. Dalam kenyataannya, bentuk

tekstual yang tampak secara fisik dalam struktur permukaan (surface structure)

yakni fungsi manifes yang diperani oleh fungsi referensial, fungsi emotif, fungsi

konatif, dan fungsi puitik sebagai dimensi fungsi yang paling menonjol.

Mencermati karakateristik struktur dalam (deep structure), fungsi laten yang

Page 267: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

229

diperani WVHMM adalah sebagai pranata religius, sistem pengetahuan, sarana

pemersatu, sarana kontrol sosial, sarana pendidikan, sarana ekonomis, dan media

hiburan.

Teks WVHMM sebagai dokumetasi tradisi lisan merupakan wadah untuk

mewahanai dan melestarikan peristiwa sosiokultural masa silam. Teks WVHMM

sarat dengan makna filosofis sebagai pedoman bagi etnik Rongga dalam menapaki

ziarah kehidupannya sebagai manusia dan anggota masyarakat. Guratan makna

filosofis teks WVHMM bersifat multidimensional karena tercerap dalam satu

kesatuan dengan makna religius, sosiologis, ekonomis, historis dan identitas,

politis, estetis dan didaktis. Sesuai dengan keberadaan dan kebermaknaannya,

mekanisme pewarisan WVHMM yang berlangsung selama ini bersifat alamiah

dan non-alamiah. Mekanisme pewarisan alamiah dilakukan dengan unjuk libat

tari dalam kegiatan pertunjukan vera. Mekanisme pewarisan nonalamiah

diwahanai melalui pelatihan yang berlangsung secara tradisional dan bersifat

sporadis berdasarkan kebutuhan tertentu yang bersifat temporal.

9.2 Temuan

Dengan merujuk pada hasil penelitian yang telah dipaparkan dan

dijelaskan dalam beberapa bab sebelumnya, berikut dipaparkan dan dijelaskan

beberapa temuan penelitian yang menampilkan dimensi kebaruan dan hubungan

yang bersifat dialektis. Temuan penelitian yang dipaparkan dan dijelaskan dalam

bab ini ditelaah dari aspek teoretis (temuan teoretis), aspek metodologis (temuan

metodologis), dan aspek empiris (temuan empiris), yang dapat dideskripsikan

sebagaimana berikut.

Page 268: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

230

9.2.1 Temuan Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini memadukan wilayah kajian sastra lisan dan

ekspresi linguistik. Di samping aspek kesastraan, juga dibedah dan dielaborasi

elemen-elemen linguistik struktur teks WVHMM. Kajian ini dapat dikatakan

inovatif karena sepanjang pengetahuan penulis, penelitian sastra lisan dengan

tetap menggunakan teori sastra, tetapi juga memanfaatkan kemajuan teori

linguistik secara teritegrasi dan ekplisit belum ditemukan.

Terkait dengan dimensi kebaruan dalam temuannya, kajian ini berpilar

pada analisis struktur teks WVHMM dengan menggunakan paradigma analisis

wacana kritis sesuai dengan paradigma yang dikembangkan oleh van Dijk. Secara

dasariah, penerapan pendekatan ini bertujuan untuk membongkar aspek-aspek

pembentuk struktur internal teks WVHMM sebagai satu kesatuan yang utuh.

Aspek-aspek yang dimaksud berkaitan dengan daya lingual dan daya sastra

sebagai perajut teks WVHMM. Dengan melihat sinergisitas berbagai unsur yang

membingkai teks WVHMM, dapatlah disingkap secara komprehensif berbagai

informasi budaya etnik Rongga yang tersembunyi di balik ungkapan-ungkapan

yang digunakan dalam teks WVHMM.

Dalam penerapan teori, ada ketidaksesuaian antara penelitian ini dan teori

Lord, yakni pola formula dan tema. Teks WVHMM yang dituturkan secara lisan

tidak hanya didasarkan pada kaidah formula, tetapi lebih cenderung menggunakan

fitur paralelisme, sebagai ciri khas bahasa ritual di kawasan Indonesia Timur,

seperti yang diungkap oleh Fox (1974). Fitur paralelisme ini memegang peranan

penting dalam merajut struktur teks WVHMM untuk menciptakan makna estetis

Page 269: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

231

sebagai ciri yang paling menonjol. Meskipun teori Lord tidak sepenuhnya berlaku

dalam teks WVHMM, teori itu telah memberikan sumbangan pemikiran dalam

penelitian tardisi lisan.

Sementara itu, tema yang dikemukakan oleh Lord yakni kelompok ide

yang secara teratur digunakan pada penciptaan suatu cerita dalam gaya formulaik.

Tema tersusun dari adegan-adegan yang telah ada dalam pikiran pencerita dan

digunakan untuk merakit cerita itu (Lord, 1976a:68). Tema yang dimaksud oleh

Lord tidak cocok dengan karaktersitik teks WVHMM. Hal ini mungkin

disebabkan struktur WVHMM tidak panjang dan lebih cenderung menggunakan

struktur yang paralel dengan membentuk pola formula tertentu sehingga tidak

terjadi pengulangan.

Sisi kebaruan dalam kajian fungsi mengacu pada pendapat Merton dengan

memilah fungsi teks WVHMM atas fungsi manifes dan fungsi laten.

Sepengetahuan peneliti kajian fungsi yang dilakukan oleh penelitian yang setipe

dengan penelitian ini hanya pada kajian fungsi laten. Fungsi manifes yang

identik dengan fungsi tekstual bergayut dengan telaah bahasa pada tataran

permukaan sesuai yang dikemukkakn oleh Jakobson. Fungsi laten yang identik

dengan fungsi kontekstual beraras pada fungsi tradisi lisan sebagaimana yg

tersirat dalam pandangan Bascom dan Dundes. Oleh karena itu, kajian fungsi

dalam penelitian ini lebih komprehensif.

9.2.2 Temuan Metodologis

Dimensi kebaruan dalam aspek metodologis dalam penelitian ini ditandai

dengan penggunaan pendekatan etnografis dialogis dalam perspektif emik.

Page 270: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

232

Artinya, analisis fungsi dan makna teks WVHMM bersumber pada sudut pandang

etnik Rongga sebagai pemilik dan penghayat teks WVHMM. Selain itu,

pemahaman dari sudut pandang emik (native’s point of view) akan memperkaya

wawasan peneliti tentang keberadaan tradisi lisan atau sastra lisan yang diteliti.

9.2.3 Temuan Emperis

Secara emperis, dalam teks WVHMM ditemukan fenomena menarik

sebagai kekhasan produk budaya etnik Rongga. Temuan menunjukkan bahwa

secara dasariah konteks penuturan teks WVHMM berkenaan dengan pertanian,

tetapi tidak banyak kosakata yang berkaitan dengan kosakata pertanian. Di antara

kosa kata yang banyak digunakan dalam teks WVHMM adalah jagung (jawa)

dan padi (pare) karena selain sebagai makanan pokok etnik Rongga, kedua

tanaman tersebut adalah jenis tanaman yang diwariskan dari leluhurnya secara

turun temurun. Selain itu, ditemukan juga kosakata babi (wawi) dan ayam (manu)

karena keduanya banyak digunakan sebagi sarana persembahan utama dalam

berbagai ritual, dan bersentuhan langsung dengan kebutuhan hidup sehari-hari

etnik Rongga.

9.3 Saran

Peran WVHMM dalam kerangka penanaman norma-norma dan nilai-nilai

kehidupan bagi masyarakat etnik Rongga. Sehubungan dengan itu, di bawah

disampaikan beberapa saran. Saran-saran tersebut adalah seperti di bawah ini.

Page 271: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

233

1) Untuk Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur

Disarankan kepada pihak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur melalui

beberapa instansi terkait, seperti Dinas Pendidikan dan Olahraga, dan Dinas

Pariwisata dan Kebudayaan agar mencanangkan dan merancang program

revitalisasi norma-norma dan nilai kehidupan yang terkandung dalam ritual vera

dan WVHMM dalam suatu mekanisme program yang sistemis, terstruktur, dan

sinergis dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat, termasuk LSM

(Lembaga Swadaya Masyarakat) dan Lembaga Pendidikan Tinggi.

2) Untuk Masyarakat Etnik Rongga

Disarankan kepada warga masyarakat etnik Rongga, baik generasi tua

maupun generasi muda agar menjaga kelestarian budaya Vera dengan berbagai

unsur terkait di dalamnya karena Vera merupakan aset budaya yang mencirikan

identitas etnik Rongga sebagai suatu kelompok masyarakat berbudaya, meskipun

dilihat dari besaran penduduknya termasuk etnik minoritas.

3) Untuk Lembaga Pendidikan Formal

Disarankan kepada Lembaga Pendidikan Formal, khususnya jenjang

pendidikan dasar di wilayah sebaran etnik Rongga untuk merancang model

pembelajaran mata pelajaran Muatan Lokal dan Pendidikan Karakter Berbasis

Kearifan Lokal Etnik Rongga, dengan memanfaatkan bentuk lingual yang

digunakan dalam Vera sebagai percontoh.

Page 272: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

234

4) Untuk Peneliti dan Pemerhari Masalah Budaya Lokal

Disarankan kepada kelompok peneliti dan pemerhati masalah budaya lokal

untuk meningkatkan upaya pendokumentasian produk dan praktek budaya lokal

etnik Rongga yang sudah berada di ambang kepunahan. Hal itu sebagai dampak

dari gerusan arus balik globalisasi dan modernisasi, agar dapat hidup dan

berkembang pada masa sekarang dan masa akan datang. Upaya

pendokumentasian itu sebagai salah satu bentuk pelestarian budaya lokal sebagai

pendukung kekayaan budaya nasional.

Page 273: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

235

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. ”Dekonstruksi dan Proses Pemaknaan Teks” Untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa. Dalam Kaswanti Purwo, Bambang (Ed), Kajian Serba Linguistik Jakarta: Gunung Mulia.

Arka, I Wayan. 2004 Palatography in fieldwork setting: investigating and analysing alveolar continuant [r] and [ɹ] in Rongga. Dalam I Wayan Pastika dan I.Nyoman. Darma Putra (Ed), Wibawa Bahasa 40-50. Denpasar : Program Pascasarjana (S-2 – S-3) Linguistik, Universitas Udayana dan Bali Mangsi, hal 40-50

Arka, I Wayan. 2005 “Challenges and prospect of maintataining Rongga: a preliminary ethnographic report”. Dalam Ilana Mushin (ed) . Proceedings of the 2004 Conference of the Australian Linguistics Society.

Arka, I. Wayan, dkk. 2007. Bahasa Rongga: Tatabahasa Acuan Ringkas. Jakarta. Penerbit Universitas Atma Jaya.

Arka, I Wayan. 2010. “Maintaning Vera in Rongga: Struggle over Culture, Tradition, and Language in Modern Manggarai, Flores, Indonesia”. Dalam Margaret Florey (ed) Endangered Languages Of Austronesia. Oxford University Press, hal 90-109

Arka, I Wayan. 2012. Kamus : Bahasa Rongga-Indonesia dengan Pelacak Kata Bahasa Indonesia-Rongga. Jakarta. Penerbit Universitas Atma Jaya. Arka, I Wayan. 2013. “Language management and minority language maintenance in (eastern) Indonesia”: Strategic issues. Language Documentation and Conservation,7:74-105. Arya, I Nyoman, 2008. “Semantic Typology : Semantic of Locative Relation in

Rongga”. Submitted to the Departemen of Linguistic and the Graduate Faculty of the University of Kansas in partial fulfillment the requirement for the for the degree of master arts.

Badrun, Ahmad.2003. “Patu Mbojo” : Struktur, Konteks Pertunjukan, Proses

Penciptaan, dan Fungsi. (Disertasi). Depok: Ilmu Pengetahuan Budaya Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Barker, Ch. 2004 Cultural Studies : Teori dan Parktek. Diterjemahkan oleh

Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta.

Page 274: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

236

Barker. Ch. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Diterjemahkan oleh Tim KUNCI Cultural Studies Center. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Bascom, William R. 1965ª “Folklor and Anthropology” dalam Alan Dundes The Study of Folklor. Englewood Clifft : Prentice Hall Inc.

Bascom, William R. 1965b. “Four Functions of Folklor dalam Alan Dundes The Study of Folklor. Englewood Cliff Prentice Hal Inc.

Bauman, R. 1977. Verbal Art as Performance. Prospect Heights, Illinois: Wafeland Press.

Bauman, R.1992. “Performance”. Dalam Bauman Richard (Ed). Foklor, Cultural Performance, and Popular Entertainment. New York : Oxford University Press,

Ben-Amos, Dan. 1992. “Fokltale”. Dalam Richard Bauman (Ed). 1992.Folklore, Cultural Performance and Popular Entertainments. New York : Oxford University Press.

Bourdieu, P. 1977. Outline of Theory of Practice. Cmbridge University Press

Bungin, B. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.

Brunvand, Jan Harold. 1968. The Study of Amercian Folklore. New York: W.W. Norton & Company Inc.

Bustan, Frans. 2005. Wacana Budaya Tudak Dalam Ritual Penti Pada Kelompok Etnik Manggarai, di Flores Barat : Sebuah Kajian Linguistik Kebudayaan. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Chaer, Abdul. 2011. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. (Edisi Revisi). Jakarta. Rineka Cipta.

Cook, G. 1994. Discourse and Literatur : The Interplay and Mind. Oxford : Oxford University Press

Danandjaya, James. 1991. Foklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta: Temprit.

Danesi, Marcel. 2012. Pesan, Tanda, dan Makna : Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. (diterjenmahkan oleh Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantari). Yogyakarta : Jala Sutra.

Page 275: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

237

Djawanai, Stephanus, 1995. “Tata Bahasa Teks Lisan Bahasa Ngadha”. Buletein Humaniora Edisi II.Yogyakarta UGM

Dhavamony, M. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakrta.Kanisius.

Dundes, A. (ed). 1965. The Study of Folklore. Englewood Cliff: Prentice Hall.

Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology: A Reader. Massachussets: Blackwell. Endraswara, S. 2009. Metodelogi Penelitian Folklor : Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta, Medpress Eco, U. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.

Eco, U. 1986. Semiotic and the Philosophy of language. Bloomington: Indiana University Press.

Eco, Umberto. 1992. “Sebuah Pengantar menuju Logika Kebudayaan” Dalam Serba-serbi Semiotika. Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (Ed). Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.

Eriyanto, 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS

Fairclough dan Wodak 1997 “Critical Discourse Analysis” dalam Teun A.Van Dijk (ed.), Discourse an Social Interaction: Discourse Studies a Multidisciplinary Intruduction. Vo 2 London:: Sage publication.

Faisal, S.1990. Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang:Yayasan Asih Asah Asuh

Finnegan, Ruth. 1997. Oral Poetry: Its nature, significance and Social Context. London-New York: Cambridge University Press. Foley, John Miles. Foley, John Miles. 1981. “The Oral Theory in Context”, Dalam John Mile Foley

(Ed.) 1981. Oral Tradition Literature. Colombus: Stavica Publishers.

Foley, John Miles. 1986.Oral Tradition in Literature : Interpretation in Context. London.Cambridge University Press. Foley, W.A.1997. Anthropological Linguistics: an Introduction. Oxford : Blackwell. Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai

Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Djambatan.

Page 276: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

238

Fox, James J. (ed). 1997. The Poetic Power of Place: Comparative Perspectives On Austronesian Idea Of Locality. London.Cambridge University Press.

Fox, James J. 1974. Our Ancestors Spoke in Pairs in J Scherzer (ed), Eksplorations in the Etnography: of Speaking 65-85. Cambridge University Press

Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra, dan Sejarah : Kumpulan Karangan mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta : Penerbit Djambatan. Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Geertz. Clifford. 2001. “Agama Sebagai Sistem kebudayaan” Dalam Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama. Daniel L. Pals (Ed). Diterjemahkan oleh I.R Muzir dan M. Syukri Yogyakarta : IRCISoD

Grimes, Barbara. 1997. “Knowing your Place, Representing Relations of Precedence and Origin on The Buru Landscape, J.J.Fox (ed), The Poitic Power of place: Comparative Perspectives on Austronesian Idea of Locality :116-31. Canberra: Departement of Anthropology, Research School of Pasifik and Asian Studies, Australian National University.

Haliday, 1997. Exploration in the function of Language. London : Edwar arnold

Haliday, M.A. K. dan Hasan 1989. Language, Context, and text : aspects of Language in a Social-Semiotic Perspective. Geelong: Deakin University Press.

Haliday, M.A.K dan Hasan R. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial.Diterjemahkan oleh Asrudin Barori Tou dan M. Ramlan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Hasan, R. 1989. Lingusistics, Language, and Verbal Art. Victoria:Deakin University

Hesselgrave, D. J. dan Edward, R. 1996. Kontekstualisasi, Makna, Metode, dan Model. Diterjemahkan oleh Stephen Suleman. Jakarta: Gunung

Hoed, Beny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial.Jakarta Komunitas Bambu

Hidayah, Zulyani. 1999. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES

Hutomo, Sadi Suripan. 1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Jawa Timur: HISKI.

Hutom, Sadi Suripan. 1993. Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban. Jakarta: P3B

Page 277: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

239

Jakobson, Roman. 1992 ”Linguistik dan Bahasa Puitik”. Dalam Serba-serbi Semiotika. Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (Ed). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kaplan, David. Dan Albert, A.M. 1999. Teori Budaya. Diterjemahkan oleh Landung Simatupang. Yogyakarta : Pusat Pelajar

Keraf, Gorys. 1999. Diksi dan Gaya bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat, 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Kleden, Ignatius, 1996. Pergeseran Nilai Moral, Perkembangan Kesenian dan Perubahan Sosial. Kolom 8, 5-6

Kosmas, Jeladu. 2008. Sintaksis Bahasa Rongga. Disertasi Program Doktor Linguistik Pasacasarjana Universitas Udayana

Kutha Ratna, I Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Posstrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Levinson, S.C. 1989. Pragmatics. Cambridge : Cambridge University Press.

Leech, G. 2003. Semantik. Diterjemahkan oleh Paina Partana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Levi-Strauss, C.1963. Structural Anhtropology. Translated by Claire Jacobson and Booke Grundfest Schopf. New York: Basic Books.

Levi-Strauss, C. 1970. The Savage Mind. Chicago: The University of Chicago Press.

Lord, Albert B. 1976a. The singer of Tales. New York: Atheneum.

Lord, Albert B. 1976b. “The Traditional Song”, dalam Benjamin A. Stolz dan Richard S. Shannon (ed) 1976:1-5

Moleong. Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Muhadjir, Noeng. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif: Telaah Positvistik, Rasionalistik, Phenomenologik, Realism Metaphisik. Yogyakarta: RakeSarasi

Ochs, E. 1988. Culture and Language Development: a Language Acquisition in a Samoan Village. Cambridge: Cambridge Unive rsity Press.

Page 278: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

240

Pals, D. L (Ed). 2001. Dekonstruksi Kebenaran : Kritik Tujuh Toeri Agama. Diterjemahkan oleh I.R. Muzir dan M.Syukri. Yogyakarta: IRCISoD.

Parera, J.D. 1990. Teori Semantik. Jakarta : Erlangga

Paulus, Nggoi, 1993. Pandangan Hidup Orang Rongga Menjadi Lokus Evangelisasi Gereja. Skripsi Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende-Flores.

Porat, dkk, 1997.Strukutr Bahasa Ngada Dialek Rongga.Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Pudentia, M. P. P. S. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi Analisis Strata Norma dan Analisis Strukturaldan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Preminger, Alex (ed).1974. “Semiotics” Encyclopedia of Poetry and Poetics. Princeton : Princeton University Press

Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi multikultural. Surakarta Universitas Muhamadyah.

Ricoeur, Paul. 1996. Interpretation Theory. Discourese and Surplus Meaning. Diterjemahkan oleh Haniah. Jakarta: Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaa.

Robot, Marsel, dkk. 1997. Kajian Tola Kaba : Sastra Lisan Manggarai. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sairin. Sjafri, 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta : Pustaka pelajar.

Se, Robertus dkk. 2011. Karakteristik Sistem Ekonomi dalam Realitas Sosial Guyub Budaya Rongga. Hasil Penelitian

Sedyawati, Edi. 1996. Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-ilmu Sosialdan Ilmu-ilmu Budaya. Dalam Warta ATL, Jurnal Pengetahuan dan Komunikasi Peneliti dan pemerhati Tradisi Lisan. Edisi II/Maret/1996 Jakarta

Sibarani, Robert.2012. Kearifan Lokal : Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta. Diterbitkan oleh ATL.

Segers, Rien T.1978. The Evaluation of Literary Texts. Lisse: The Peter de Ridder Press.

Page 279: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

241

Sims. Martha C, dan Stephens Martine.2005. Living Foklor : an Introduction to the Study of People and their Tradition. Utah State University Press. Simatupang, Lono.2013 Pergelaran : Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya.

Yogyakarta : Jalasutra.

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Pengantar Amri Marzali. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sobur, A. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung PT Remaja Rosdakarya.

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin.2003. Dasar-dasar penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritisasi data. Yogyakarta: Pustka Pelajar

Sudikan, Setya Yuwana, 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Unesa Unipress bekerjasama dengan Citra Wacana

Sujiman, Panuti dan Zoest, Aart Van. 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sumarlan, editor. 2008. Analisis Wacana : Iklan, Lagu, Puisi, Cerpen, Novel, Drama. Surakarta. Penerbit Buku Katta.

Sumitri, Ni Wayan. 2005. “Ritual Dhasa Jawa Pada Masyarakat Etnik Rongga, Manggarai, Nusa Tenggara Timur”. Tesis Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar

Sumitri, Ni Wayan dan Arka, I Wayan. 2013. Folklor Ritual Vera dari Etnik

Rongga Flores : Jendela Kini untuk Masa lalu dan Masa Depan dalam Endraswara, Suwardi dkk. (ed) Folklor dan Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern : Kesatuan dan Keberagaman. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sumitri, Ni Wayan. 2013. “Harmonisasi Estetis dan Komoditas Seni Tradisi Vera

Etnik Rongga”. Makalah disajikan dalam The 5th International Conperence on Indonesian Studies 2013. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas IndonesiaTanggal 13--14 Juni 2013 di Yogyakarta.

Sumitri, Ni Wayan. 2013. “Bahasa Vera : Sebagai Pengungkap Pola Pikir Etnik

Rongga di Manggarai Timur, NTT”. Dalam Katubi dan Patji (ed) Prosiding Seminar Nasional Bahasa Dalam Dimensi Kemasyarakatan dan Kebudayaan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta.

Suparsa, I Nyoman.2008. Fonologi Bahasa Rongga Sebuah Kajian Transformasi

Generatif. Disertasi Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana

Page 280: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

242

Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing. London, England: University of California Press.

Tarno, dkk. 2009. Pemakaian Skema Citra Kinestetik sebagai Sumber Peregangan Metafora Nominal dalam Guyub Tutur Rongga di Kabupaten Manggarai Timur. Hasil Penelitian.

Taum, Yoseph Yapi. 1999. Sastra dan Bahasa Ritual dalam dalam Tradisi Lisan Masyarakat Flores Timur. Dalam Rasmanto, B dan purwo, B. Kaswanti (ed) Sastra Lisan: Pemahaman dan Intrepretasi. Jakarta : Mega Media Abadi

Teeuw.A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya-Girimmukti Pasaka.

Tuloli, Nani. 1990. Tanggomo Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Intermasa.

Ochs, E. 1988. Culture and Language Development: a Language Acquisition in a Samoan Village. Cambridge: Cambridge University Press.

Van Dijk, Teun A. 1985a. Handbook of Discourse Analysis. Volume1. Disciplines of Discourse. London: Academic Press.

Van Dijk, Teun A. 1985b. Handbook of Discourse Analysis Volume 2. Dimensions of Discourse London : Academic Press.

Van Dijk, Teun A. 1985 c. Handbook of Discourse Analysis.Volume 3. Discourse and Dialogue. London: Academic Press.

Van Dijk, Teun A. 1985 d.Handbook of Discourse Analyisis Volume 4. Discourse Analysis in Society. London: Academic Press

Vansina, Jan. 1985 Oral Tradition as History. Wisconsin:The University of Wisconsin Press

Verheijen, A. J. 1991. Manggarai dan Wujud Tertinggi. Jilid I. Jakarta: LIPI-RUL.

Zoest, Aart Van. 1993 Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1977. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Page 281: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

243

Lampiran: 01 GLOSARIUM

Ana eko : Penari perempuan berada pada posisi paling ujung

akhir Ana haki : Pihak saudara laki-laki dari ibu Ana fai : Pihak saudara perempuan dari ayah Ana Ulu : Anak kepala /Penari perempuan sebagai pengatur

barisan berada pada barisan paling depan Daghe : Penari perempuan Embu Nusi : Roh leluhur Ja’o : Saya Jawa : Jagung Manu : Ayam Mbasa wini : Memerciki bibit dengan darah korban (ayam dan

babi) Mbata : Acara menyanyi bersama yang diiringi dengan

pemukulan gong dan gendang ndale : bawah Ndeta : atas Ndili : bawah Ngga’e : Acara periwayatan sejarah asal-usul suku yang

melaksanakan pertujukan vera Nggua mezhe : Kenduri atau pesta besar Nggo lau tolo : Tempat khusus untuk menyimpan gong dan

gendang Ngilo ura manu : Pemeriksaan hati ayam Noa lako : Seorang laki-laki dewasa berperan sebagai

pemimpin dan pemandu tarian vera Pani : umpan Pare : Padi Posa jara : Seorang woghu (penari laki-laki) mengemban

tugas khusus untuk melantunkan syair-syair vera memberi aba-aba tari dalam tarian vera

Posa pata : Seorang woghu (penari laki-laki) mengemban tugas khusus untuk melantunkan syair-syair nyanyian yang dibalas noa lako

Putu lelu : Pertunjukan vera pada saat orang meninggal berlangsung di halaman rumah adat selama empat hari

Sa’o lamba : Mengesahkan atau meresmikan rumah baru sebagai rumah adat

Tangi jo : Tarian penutup sebagai tanda berakhirnya tarian vera

Ti’i ka : Pemberian makanan kepada roh leluhur Tetendere : Bagian pembukaan

Page 282: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

244

Tora loka : Acara pembersihan arena dari gangguan roh-roh jahat dan sesama manusia agar tarian vera berjalan lancar dan suskes

Vera : Pertunjukan tarian diiringi dengan nyanyian tradisional etnik Rongga

Vera dheke ra’a : Pertunjukan vera yang dilaksanakan untuk memulihkan nama baik seseorang

Vera dheke sa’o : Pertunjukan vera yang dilaksanakan berkaitan dengan keberhasilan membangun rumah adat yang baru

Vera gha’u gha’a : Pertunjukan vera untuk ditonton, biasanya untuk penyambutan tamu, peresmian gedung baru, peringatan hari rayan besar dan lain sebagainya

Vera haemelo : Jenis vera gembira yang dilaksanakan etnik Rongga untuk menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan dan roh leluhur atas penyelenggaraan terhadap kehidupan mereka sebagai manusia dan masyarakat.

Vera maki polo : Vera yang dilaksanakan di pekuburan Vera mbuku sa’o : Vera yang dilaksanakan pada musim tanam Vera saju : Jenis vera haemelo yang dilaksanakan apabila

terjadi peristiwa aneh Vera sarajawa : Jenis vera sedih yang dilaksanakan apabila ada

orang yang meninggal dunia seperti kepala suku Woghu : Penari vera laki-laki

Page 283: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

245

Lampiran : 02 Data Acuan Analisis

Teks Pembukaan : Pau Manu : Pengucapan Mantra Beri Makan Leluhur

1. Renge meu embu nusi, ndia kami dhete manu dengar kamu nenek moyang, sekarang kami pegang ayam Nunu meu ramba tau ti’i, kamu meu bhate beritahu leluhur supaya buat beri makan kamu semua

2. Meu embu woso, kami ngge ndiwa nge kamu leluhur banyak kami itu tidak bisa Ire mona mona ngala, li ma’i kaheke manu ndia bantah tidak tidak bisa, ayo datang makan daging ayam ini

3. Ramba ma’e menge bhate meu embu woso supaya jangan lapar semua kamu leluhur banyak

Dhengi ne kami ana embu woso minta dengan kami anak cucu banyak

4. Li ti’i ko rebha, bhagi ko pawa ayo beri yang baik, bagi yang baik juga Ndoa one uma, mae nduta

pergi ke kebun, jangan ada rintangan

5. Nuka one sa’o, karo mae roi pulang ke rumah, duri jangan kena duri Sambu ata bho menggi polo wrha mungkin orang irihati cemburu dan dengki Setan

6. Sambu ata bho, menggi polo wrha rase mata mungkin orang cemburu, dengki setan ibuang jauh

Mala a....a.....a.....a.....a.....a.....a ya ...a....a...a...a...a...a

7. Ndia tara dhete, kau manu Ini sebab pegang kamu ayam Tau nunu meu, embu nusi mau beri tahu kamu para leluhur

8. Komba ndia kami, tau adha malam ini kami buat upacara Ko adha kau mbasa wini upacara mbasa wini

Page 284: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

246

9. Ramba tau nggoti, ne mula bhate on supaya mau tanam (biji-bijian) dan tanam semua di kebun e uma kami, one uma kami di kebun kami, semua di kebun kami

10. Dhengi ne kami, mae sama po’o minta dengan kami, mari sama-sama duduk ka nake manu ndia makan daging ayama ini

Pembukaan Mbata Tahapan Nggo Lau Tolo (Gong disimpan)

11. Nggo lau tolo, lau tolo wonga gong disimpan, disimpan pada tempatnya Sese ana manu , ana manu kero kuning anak ayam, anak ayam kuning

II Inti Tora Loka :bersihkan arena

12. o ...a......o ....songgo bondo nggelu bondo ....................pinjam lumbung kembali lumbung/pinjam padi satu lumbung kembali satu lumbung juga o.....a.........nggelu walo ndeka rhua kembalikan dua kali lipat

13. o..... a......o songgo kamba nggelu kamba Pinjam kerbau kembali kerbau

o.......a......o wiko wolo sama-sama ukuran sama-sama besar Nggai : Sejarah riwayat suku

14. Motu weak ndili mai, weak ndili mai Jawa nama-nama turun datang nama turun datang Jawa Motu weak yang datang di sana adalah motu weak yang berasal dari Jawa Rajo ngazha milo motu, tu ndele Sarikondo perahu nama milo motu, tanah utara Sarikondo perahu mereka disebut Milo berlabuh di sarikondo

15. Sarikondo mosa me’a, tei motu stana mezhe Sarikondo sendiri sangat dikenal dan pertumbuhan motu sangat besar Motu woe limazhua, embu me’a Sunggisina Nama teman tuju, nenek sendiri nama Sunggisina Motu adalah tuju bersaudara, keturunan dari Sunggisina

Page 285: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

247

Motu wae limazhua, beka sogho wae kodhe nama teman tuju, pecah sebab air kera Motu adalah tujuh bersaudara tetapi mereka terpecah belah karena berjuang memperebutkan sup kera

16. Uma rhele ghembe uma merhe lahan /kebun di lereng kebun besar Nara ma’e lere dhuku kumba olo merhe Saudara jangan lengah jangan sampai rumput lebih besar

17. Su’a kuku gheli wera pengga hoa wini kayu kukuu (sejenis kayu keras untuk menanam padi/jagung) saudara tikam untuk tanam bibit Nara wetu jomi weta, nggoti do ndomi saudara tajamkan ujungnya saudara tanam lebih cepat /ngebut

18. Mbali azi Rani mai mbana

Mbali adik Rani, datang meramaikan. Rae ka’e lawe, lawe mai mbana Rae kakak Lawe, Lawe datang meramaikan 19. Ngguru tara woso,woso arhi woso ka’e

aur (bambu hutan)ranting banyak,banyak adik banyak kakak Besi singga lina, lina riwu lina ngasu kesukuan dan persaudaraan menjadikan kita satu himpunan yg besar

20. Jara mosa bhara, posa jara ngarha kuda jantan putih, katanya kuda ternama

Peko maju pengga, mbau-mbau pengga kejar rusa mau tikam, tidak jadi tikam

21. Maghi Kopambaja, Kopambaja maghi randa

lontar Kopambaja(nama tempat), lontar lebat daunnya Nganda ghi, ndeta toa ghele ghoma

lihat rangke atas potong sulit sekali

22. Embo sosa ndau, lau wiri nanga ombak berbunyi, di laut batas pantai

Meti ndili seli meti reta wiri penda surut/kering surut di bawah, gelap surut berhenti dibatas pandan

23. Mbawarani nggana, rie pimbe inerie Bintang pagi berdampingan, dengan gunung Inerie Bhutu ndala nu, rie pimbe Inerie muncul bintang lain, berdampingan dengan Inere

Page 286: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

248

24. U napu nio nio mboko tei mbua sangat terkenal, terkenal himpunan kelapa buahnya gugur mbua mboko mbiwa mbiwa naa li’e gugur buah muda tidak, tidak simpan buah

25. Sambi waja radha weo, mona nendo sambi keras sekali digoyang, tidak tumbang Wara tumbu kembi, ate mona leli topan menghantam dinding, hati tidak gentar

26. Uma kopo longgo longgosa’o, ngedho tewu

pekarangan belakang rumah, lihat tebu Nara la’a dhiri pagha rura, ko kelo sala pemuda jalan pinggir pagar, buat salah

27. Nggote ko nio, setoko mona ndoa

kasihan kelapa satu batang saja tidak punya kembar Mudha ngata muku, ne ana pimbe ine untung sipisang, ada anak menemani mama

28. Mbe’o mbe’o pau ja’o sadho maru ndau

sudah tahu, saya tiba sore itu Ika kima ndia ja’o hadho maki lako ikan siput ini saya buang kasi anjing

29. Peko lako lau, kau ma’e tolo paru

kejar anjing di sana, kau jangan sembarang lari Peko lako rhele, kau ma’e tolo hewe kejar anjin di atas, kau jangan sembarang dengar

30. Jawa sowo bhara, sembo’e rheta one

jagung kulit putih, seikat dalam rumah Pembe sesewe tungga, pere maki tenge rendang/goreng setembikar, khusus makan untuk sendiri

31. Mbako ghembe kende, wunu ghebhaghe Tembakau tebing Kende, daun lebar-lebar Keti sewunu, mbingu toto riwu Petik sehelai, gila semua orang

32. Lako kolo rongo, ndau lau wena watu anjing gonggong kambing, itu di sebelah batu Tibo miri kembi, ndau lau wena watu kambing sandar dinding, itu di sebelah batu

Page 287: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

249

33. Nggurumoma ndia rongga, longgo pangga lima rhua Nggurumoma (nama orang) di Rongga, punggungnya selebar tujuh jengkal Mbu’e mbila mena Kenge, longgo pangga limarhua Mbu’e Mbila (isteri Nggurumoma) di Kenge punggungnya selebar tujuh jengkal

34. Watu susu rongga rhua ndoa ndoa rhua batu susu rongga(naa batu di gunung Komba,) dua berpasangan berpasangan dua Leke ema Komba rhua ndoa ndoa rhua Menetap bapa komba, berpasangan berpasnagan dua

35. Ere- ere eje eje, du nde tunggu-tunggu semangka semangka, sampai kapan

Napa- napa ndaka ndaka du mata tunggu-tunggu mendike mendike (sejenis mentimun), akhirnya mati Ingkar janji

36. Teo resi kanda , teo ja’o ngedo

gantung sisa keranjang, gantung saya lihat Ambo pinga pao, ambo ja’o pango Gantung sisa keranjang, gantung saya lihat

37. Nggote nunu merhe, nggote nunu kasihan beringin besar, kasihan beringin

Ana embu la’a, lerha nde jono mawo nde anak cucu jalan panas, berteduh di naungan mana

38. Ame- ame upe ine mona ana Si piatu, mama tidak punya anak

Nda’a dhorho mbata, mbata nda’a so cabang menjorok laut, laut cabang tada

39. Nangge lau alo, lau alo nangge halo pohon asam di kali, di kali asam piatu

Ko’e serotu. Sekumpulan serotu ko’e sendu sisa sekumpulan kecil sisa tunas

40. Nggoe nggina nggoe, ma’e nggoe jatuh jatuh, jangan jatuh

Tudharaja bhuja , ndawi wake wali tombak ingin berdiri lagi

Page 288: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

250

41. Ana halo pae, pae pine tona yatim piatu miskin, miskin tanta berkekurangan

Ana halo pae , pae ema tona yatim piatu miskin, miskin bapa berkekurangan

42. Ana halo pae, raku ne arhe waru yatim piatu miskin, jahit pakai tali waru

Ana halo pae dhepe , ne arhe tere yatim piatu miskin, jahit pakai tali sukun hutan

43. Kowa ko sapa lau lema lema lau

sampan sederhana di laut, sampan di laut lepas Tewa laja lewa, ramba pere angi merhe

kibar layar panjang, supaya terlindung dari angin besar

44. Ngamba ele lewa, ja’o pale kiru tole jurang biar panjang/dalam, saya mendaki melereng

Tiwu ele lema, ja’o nangu kiru watu kolam biar dalam, saya berenang dekat batu

45. Kowa saka sapa lau lema lema lau

sampan kecil bonceng sampan di laut lepas Poke watu nodho kau mona sei sodho buang batu permohonan engkau tidak ada yg beri

46. Kowa saka sapa lau lema lema lau perahu kecil bonceng sampan di laut lepas

Wesa mani lai tenge tuu tuu tenge dayung begitu lincah sendiri betul betul sendiri

47. Lerha mbo mena mbena , sama mbesi wonga romba matahari terbit di mbena, seperti bunga kastela pagi hari Lerha ko’e ghoru , maru kau wonga meupau matahari sebelum sore, bungamu kastela terlanjur layu

48. Heu lau redhu , wunu penggu melu pinang di tempat yang menurun, daunnya pura-pura layu

Sadho wara angi, wunu ngeta wali datang angin kencang daunnya segar kembali

49. Ika sara kiku, penggu me’u me’u penggu ikan sara kiku, pura- pura tidak mau

Ika ana mbawu, ndai fonga wali ikan anak belana ingin jadi lagi

Page 289: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

251

50. Lo resi mbojo, mudha ngata lima lua badan gerimis cape untung orang tangan rambut

Weki resi semi, mudha ngata lima lua badan gerimis cape untung orang tangan rambut

51. Mbu’e Mbero gheno lau, gheno lau ghae gadis kampung Mbero gheno sana, Gheno sana Hongga

Watu ata , kau radho rheleLando pemuda Watuata, kau duduk santai di Lando

52. Nunu po poso po, poso nunu merhe beringin hutan gunung, hutan gunung beringin besar

Embu la’a lerha, jono rhele mawo merhe anak cucu jalan, panas terik matahari

53. Uma lange rhua ma’e nggari ma’e kadhi kebun yg berbatasan, jangan lewat jangan kesebelah

Tunu manu kau ka, sande uma lange bakar ayam kau makan berikan juga kepada kebun yang berbatasan

54. Loka jere olo, olo horha loka tempat/arena yg rata di depan, di depan tengah depan arena

Watu ture tana, tana tendole batu tersusun bersama dan dilapisi tanah

55. Kau- kau ja’o, kau mendu sei kau- kau saya kau bukan orang lain

Kau- kau ja’o , kaju jawa mendu ata kau- kau saya kayu jawa bukan orang lain

56. Ndala ndau ndeta, ndeta ndala ndoa bintang di atas sana, atas sana bintang kembar

Seke ndia lima, ndia lima seke ndake gelang/perhiasan di tangan bertingkat-tingkat/kembar

57. Koru mbutu , peni manu foke mojo ma’e tawa keluarkan manik- manik , beri makan ayam kerongkongan lucu jangan tertawa

Nggedo demi doe, foke mojo ma’e tawa Nggedo minum seteguk kerongkongan lucu jangan tertawa

58. Tepo ndili po, mara ngo’i sedho

tepo ( nama burung ) di bawah hutan, semua berkicau sedih More kaju ala, kio mara renge mengeluhkan penderitaan, berkicau ramai- ramai

Page 290: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

252

59. Maghi lau wio maghi lewa pohon lontar di Wio ( P.Sumba ) pohon lontar tinggi

Radhi toko lelu, radhi wa’i tangga batang kapas tangga kaki

60. Mbere rie- rie, rie kombere tas/ keranjang lurik-lurik, lurik tas/keranjang

Kele kasa, nanggo kele wa’o gantung di samping, lengan gantug cocok

61. Nggote ana lobu , nggote lo kasihan lumba- lumba ( ikan ), kasihan badan

La’i lema mbata, la’i sala jilat lemambata ( sejenis kerang ), jilat salah

62. Ndili no ndele moe kowa palo rajo bawah dan atas, seperti sampan beriringan dengan perahu

Ndeta no ndale, moe bondo wa’u waju atas dan bawah, seperti lumbung (tempat simpan turun tumbuk

63. Maghi Poma Sambi , tau ngambu nana wati

lontar Poma Sambi (nama tempat), lumayan buat ayam bakul Maghi Poma Merhe tau ngambu nana mbere lontar Poma merhe (nama tempat), lumayan buat ayam keranjang

64. Maghi Poma Sambi maghi lewa lontar sambi lontar panjang

Hebe arhe embe rheta kera mboru ngera tali panjatan(hebe) dari embe (nama tumbuhan bertali yang biasa

digunakan untuk ikat pagar, panjat pinang di atas puncak terlepas jatuh

65. Iu pale sighu melo, lombo embo ikan iu berkeliaran/ramai berkejar-kejaran, karena gulungan ombak

Embo lana gheo, ena tuku tendo ombak pasang menghempas pasir berserakan

66. Nderu tenggu- tenggu lau lema lau Bunyi guntur bersahut- sahutan, di laut lepas

Nurha re- re, ndele poso merhe Hujan kedengan bunyinya, di atas gunung besar

67. Keka Lekosui, keka kea burung kakatua Lekosui (nama tempat) kakatua ribut

Nggo’a tara nganga, nggo’a legho hinggap di ranting nganga(nama pohon), hinggap sampai rantingnya

melengkung

Page 291: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

253

68. Embo lau numba, embo tumba ombak di laut numba(nama tempat), ombak besar

Li sara mboro, li rhenge bunyinya menggelegar, bunyi kedengaran

69. Mbata so sa, mbata mbale bunyi ombak, menggelegar bersahutan

Ture watu lamba turetepe perintang batu(susunan batu) disusun rapi

70. Soka loka ena nggeo ghere gheo bongkar tempat pasir(pantai), kepiting ancang- ancang mendekat

Peka pondo loko, nete ghere ghe rebus periuk besar, siput menghindar

71. Tibho lau wio tibho milo

kambing di laut Sumba, kambing gagah Bhara tuka lirhu, bhara bengge putih perutnya, putih bulat- bulat

72. Bha ndili Jawa, bha bhara

piring di sana Jawa, piring putih Mako lau wio, mako milo piring di sana Sumba piring bersih

73. Lako mosa toro, ndai tendu longgo anjing jantan merah, ingin ikut dari belakang

Walo pita sa’o, tana eko mbiwa mbe’o kembali ke rumah tanya ekornya tidak tahu

74. Mbesi mena Mbena, sama mbesi wonga romba kastela di Mbena seperti kastela berbunga pagi hari

Lerha tangga rheta, sewunu melume’a matahari beranjak tinggi sehelai daunnya layu sendiri

75. Paru meti lau, mbodha ine ngata si’e pergi ke pantai, menangkap ikan musti ada garam untuk mengawetkannya

Ghambo lako rhale mbodha ine ngata si’e berburu anjing di sana( arah barat ), musti ada garam

76. Jara moka toro, ndedho ndai ndai ndedho kuda betina muda merah, lari ingin ingin lari

Ndai pami arhi dhepa, longgo mojo bholo ingin cari perhatian raba punggungnya rasa lucu

Page 292: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

254

77. Jara mosa bhara, raru peko maju kuda jantan putih, sangat bersemangat kejar rusa

Langa kara, mesi wa’i to teki pasang kekang baru, kaki angkat turun- angkat turun

78. Topo lira mbao ra’a mbiwa ra

parang kilatan dara tidak turun Wara tumbu kembi, ate mbiwa leli

angin kencang menghantam dinding hati tidak gentar

79. Nggoti uma Nggoli wawi ka, manu ka tanam kebun Nggoli daging babi dimakan, daging ayam dimakan

Ndua uma Waru wawi ka manu ka pergi kerja kebun Waru daging babi dimakan, daging ayam dimakan

80. Tambiraja tana Mana nua ngamba kana tambiraja dan Mana(namatempat) kampung jurang semua

Serha Waru Pede sele kami wae sehra, Waru, Pede(nama tempat) sili air mau lewat

81. Bhaso Mboparho Waerena, napa peka bhaso Mboparho(nama tempat) Waerena(nama tempat), sudah tunggu

Wete Sambilele Waerena, napa peka berhalangan Sambilele (nama tempat) Waerena sudah tunggu

82. Seku- seku sebha sebha randanganga

nama tempat, Sebha Randanganga Sebha Randanganga sele, kasa nde sebha randanganga sili bagian mana

83. Jo ngodho Mboro Mboro Ndeki tei Mendaki dari Mboro(nama tempat), Mboro gunung Ndeki kelihatan Tei Posokota kota, Enga Bangga Kelihatan Poso kota (nama tempat) dan Enga Bangga (nama tempat)

84. Tero nee Nelo mbodha wo’a Waepoa

tero dan Nelo(nama tempat), musti sumur Waepoa (nama tempat) Watu api Waelai mbodha wo’a Waepoa watuapi Waelai (nama tempat), musti sumur waepoa

85. Kasimbolai , raka nata kasimbo(nama tumbuhan), dijadikan siri

Tere pale nggoma raka nggobha tere pale nggoma (nama tumbuhan), dijadikan pinang

Page 293: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

255

86. Hongga lari- lari, lari huki sapi pemuda gantang- ganteng, ganteng karena kulit sapi

Mbu’e milo- milo, milo wae nio gadis cantik cantik, cantik karena air kelapa/santan kelapa

87. Kolo nggada tara, isesie wedi we’o perkutut loncat ranting, srigunting goyang ekor

Kodhe ndaro kaju, isesie wedi we’o kera jalan di dahan, srigunting goyang ekor

88. Pako lambo rajo kesa rhenge peka tara kayu buat perahu, bunyinya kedengaran

Ponggo ele rhoko kete ngai rhenge potong biar sembunyi, bunyinya kedengaran

89. Faru muku natu lau kopo , te’a tolo harum pisang beranga di sana kebun, masak di pohon

Te’a muku bhela piu ata riwu masak pisang muda (yg belum tua betul) untuk banyak orang

90. Faru muku natu, ndau ngia kau harum pisang beranga(yg masak) di mukamu Ka sesepi ma’e dholo dheli makan sesisir jangan sulitmengunyah

91. Ndeki ele seri Pora, ghele ghoma

Ndeki (nama gunung) biar minta, Pora tidak terima Lando ele gharo Pora ghele ghoma Lando (nama gunung) biar bujuk, Pora tidak mau

92. Nggo Lesa Keta, nggo bhenggo molo gong Lesa keta(nama tempat) gong bunyi bagus

Rubha Kekalela piangia rhi’a rubha Kekalela (nama tempat), taruh tempat baik

93. Nurha re- re, ndele poso mese hujan berbunyi, di atas gunung

Bhela pa- pa mena Komba, toka ola petir menggelegar di sana(arah timur), tahan hujan

94. Rau kala Tata, ndepe kadhe lange ma’e

tebas hutan Tata, tanam tanda batas jangan Piu pare jawa, piu sama atur makan padi jagung, atur sama

Page 294: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

256

95. Ana niu embu, kana nderi- nderi sudah berstatus nenek/kakek, selalu tidak bisa/tidak mau

Embu niu nusi, kana nderi- nderi nenek berstatus moyang, tapi selalu tidak bisa/tidak mau

96. Bho were longgo, moe muku te’a tolo di pandang dari belakang, seperti pisang masak di pohon

Pale ngia sare, moe muku mbui hate ketika berhadapan, seperti pisang bakar angus

97. Apa mba- mba, mba ko apa apa cari- cari, cari barang apa

Tudhi ito kau ndau ndusu lapu pisau kecil engkau di situ, sudut tempat perapian

98. Mbu’e Dende Mando Lena milo me’a gadis Dende Mando(nama tempat), gadis Lena lebih cantik

Hongga Keli Kewo nua Sare pala ghae pemuda Keli Kewo, kampung Sare berkeliaran

99. Ila Watu irha posa, ila rhi’a

buluh Watunirha(nama tempat) katanya, buluh baik Nanga tau pate no pili no ghale begitu mau potong, dipilih- pilih 100.jawa sowo bhara, sembo’e rheta one

jagung kulit putih, seikat dalam rumah Pembe sesewe, tungga maki tenge goreng/rendang satu tembikar untuk sendiri

101. Ua ndele poso, lando sorhi ndewa

rotan di gunung, pucuknya tangkap dewa To’e lau rha kamu, lore nitu pohon to’e (sejenis bambuhutan yang berduri) akarnya melilit penunggu 102. Mbere tapa dende , kele do we’e

tas kayu dende(nama kayu yg sangat baik dibuat papan), digantung dekat- dekat lengan

Topo dhupa heu senggu, do rheu parang bersarung pelepah pinang, buang jauh- jauh 103.Eo Wolo Nggedho, seeko eo erho

kucing gunung Nggedho, sekor kucing melarat Woe ne bheku, sekombe woe welu

berteman dengan musang semalam teman lepas

Page 295: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

257

104.Lai ame Lai mesi, ma’e rewo wali benar si Lai maunya, jangan bohong lagi

Rembu lau, tajo sa sama rhua rumput muda di sana Tajo semua sama 105. Ema po soro, ma’e rero ma’e ghewo

Bapa memberi nasihat, jangan ribut jangan lupa Ine reku leluma’e rero ma’e ghewo

Mama memberi nasihat jangan ribut jangan lupa 106.Kami ndia tanah, molo sala ko molo

kami di luar(arena vera) benar sala atau benar Meu rheta one mali sala rengga mema kamu di dalam rumah, kalau kami salah tegur memang 107.Sike ne Temendu rheu merhe nde

sike dan Te (namatempat), bukan seberapa jauh Pada radhi Nusa lau wo’a Waerua

pasang tangga Nusa (nama tempat), di sana (arah selatan) sumur Waerua 108.Nggere nggete-nggete ndai dhawi wali

nggere nggete(bunyi-bunyian), ingin sambung lagi Nggere nggete-nggete mbeta ndai dawi wali bunyi-bunyian putus, ingin sambung lagi 109.Ari- ari aja aja, ko ngata berpenampilan aduhai, ternyata punya orang Siwe meme-meme meme ko tenge

bertahanlah kencang /kuat, kuat dengan milik sendiri

110.Eu lako seku ma’e hewe rhale Kende salak anjing seku(nama anjing) jangan dengar sana Kende

Kolo waeko ma’e paru mabha landu gonggong Waeko (nama tempat) jangan lari padang landu (nama tempat)

111. Keti nata Logho, Logho Molosoli petik siri Logho, Logho Molosoli (nama tempat) Wae mange pale sare melereng Waemange melereng baik 112. Kamba ko jara wa’i ndo ndoro sala kerbau atau kuda, kaki tergelincir sala Renggo mesi mbe’o tetemu ndi’i mema menjatuhkan coba tahu tepat duduk/jatuhmemang

Page 296: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

258

113.Kadha ngguru anda ghole laki kodhe pasang aur anda (nama tempat), menjebak si kera Supi sealu, ndai sabhi wali sumpit seruas, ingin coba lagi 114.Nderhe Wolomete , ne kau pumbu manu

kerdil Wolomete(nama tempat) karena kau pumbu manu (sejenis rumput) Ne kau pumbu manu, na’a sea laki resa karena kau pumbu manu, fatallah si resa (nama jenis rumput) 115.Dhero mesi menge koka ngo’i ngo’a (jenis tanaman dadap yg berbunga) harum, koka (jenis burung) gembira ria Keti sewunu mbingu toto riwu petik sehelai, gila semua orang 116. Roke mawe lama ma’e roke roe supaya jangan cepat, jangan supaya cepat Mero pondo merhe we'e mero pau atur periuk besar(kegiatan masak), masih sementara atur 117.Mesi si’e Keli wae ko’e ngape asin garam Keli (nama tempat), air belum rasa Koro Nderuwowo wae ko’e ngape lombok Nderuwowo(nama tempat) air belum rasa 120.Watu Waewaru ruku raka pau batu Waewaru (nama tempat), bunyi duluan Nggola mbeja jere ere du nde guling habis rata, tunggu sampai kapan 121.Pale ghae mena rhale, ne ate ngitu ngape berkeliaran sana sini, dengan hati waspada Dhoma romba nggesu maru ,ne ate ngitu ngape biasa pagi akrab sore, dengan hati waspada 122. Putungguru Luwu nggera rhele Lena bakar aur Luwu (nama tempat) terang di atas lena (nama tempat) Renggo bheto tenggo ndara lau arha lindungi betung Tenggo (nama tempat) terang di sana 123. Tere- tere membe membe ko tere membagi alat makan, alat makan dalam jumlah banyak Teka torha ndari wati membe tere ko membe

jual torha (alat makan dari buah sejenis labu), baris bakul berjajar banyak

Page 297: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

259

124. Rongga dhoi, oka sambu lau ma’u orang Rongga, pikul kapur bertemu di pantai Bhai kele mbere sambu lau ma’u orang Bhai (etnis), bawa keranjang bertemu di pantai 125.Teki mbesi Keli hudhu Waengguru kumpul Waengguru (nama tempat) Ka’i penda Sambi hudhu Waengguru anakan nenas Sambi kumpul Waengguru 126.Mota ndori kodhi gaga dheke pagha babi hutan kecil, paksa naik pagar Jodho tena nggoko rete ata hende maju pasang jerat jerat orang lain 127.Mbesi tonggu mberi dhatu, mbau mbau dhatu buah kastela besar rebus, tidak tidak rebus Sadho tudhi rande selae marha ngande

datang/tiba pisau jitu sepotong (sebagian kecil), haus kerongkongan 128.Kojo paka ghara, lau tolo namba kepiting merayap di atas cadas Kima mata mite ngata lau wena watu siput mata mite di sana sebelah batu 129.Ika mata lina neno mbiwa mbe’o ikan mata lina, (nama ikan) intai tidak tahu Mbawu mbata lau, neno mbiwa mbe’o

belanak di laut, intai tidak tahu 130.Kaju molo padha ma’e widhi ma’e wadha kayu yg sudah diatur baik jangan dibongkar Arhe molo tendi ma’e reta ma’e rata

tali yg sudah direntang jangan putuskan jangan putuskan 131.Oka riku timu timu riku oka kapur lurik timun, timun lurik kapur Molu wa’i boba boba molu pota tenggelam kaki, kaki tenggelam hilang 132.Pou lika Mbero Mbero pou pedha bunyi ( jatuh) tungku Mbero (namatempat) Mbero bunyi tarik Li’e tutu wunu, wunu li’e kembo buah tutup daun, daun buah mengkudu

Page 298: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

260

133. Nata ghembe kende nata ndere sirih tebing kende, siri kekuning-kuningan Keti sepongo ramba ndero mbu’e Mbero petik seikat, supaya jatuh hati gadis Mbero 134.Ka’e kasa olo sor, ma’e mbai woso kakak di depan omomg, jangan terlalu banyak Arhi kasa murhi soro, ma’e nggetu nggemu adik di belakang omomg, jangan panjang lebar 135.Peko lako ana kita tau rame tawa kejar anjing anak kita, buat ramai tawa Peko lako lesa kita, tau degha- degha

kejar anjing lesa (nama anjing) kita, buat main-main 136.Mbata so sa, kau meta wiri penda ombak besar kau cukup batas pandan Embo lau mai kau lange wiri maghi

ombak dari sana, kau batas sampai lontar 137.Maghi Sa’opai Sa’o pai , maghi randa lontar Sa’o pai (nama tempat), lontar lebat daunnya Randi senggai, tau ngambu nana wati potong sehelai lumayan untuk anyam bakul 138.Manu laki erho, lorha lau hombo seso

ayam merana ,berjalan sana lembah seso (nama tempat) Keto kau mbe’o , nggare kau ghewo kotek kau tahu kais kau lupa 139.Mena nggore, ndale nggare di sana(arah timur) kais, disana(arah barat) kais Ndia nggose, ndawi kole sini tanam, berdiri lah 140.Sei nunu kau ma’e rewo ke’o siapa beri tahu kau jangan bohong Sei posa kau ma’e mbaje kae Siapa beri tahu, kau jangan bohong lagi 141.Pui nua Sui , Sui pui se bersih kampung Sui Sui , tidak sisa Sele Ranggangali, sele wa’i biarkan Ranggangali, biarkan lah

Page 299: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

261

142.Mbeki manu bhara, bhara liko wali di Mbeki ayam putih, putih dikepung lagi Eru tangi watu watu liko wali kampung Eru Tangi batu-batu dikeliling lagi 143.Leko ne sui, leko sui sola tangi bambu dan para-para, bambu para-para bergerak tangga Kali ngali ngali, tangi tana gali parit parit, tangga tana 144.Pepa ana pena pena regho ragho goyang batu ukuran kecil, goyang kentongan dari bambu Senda ngguru tonda tonda regho ragho tarik serentak bambu ditancap ditancap kentongan dari bambu 145.Manu polu kau dhanga peni romba maru ayam kesayangan kau, biasa beri makan pagi sore Peni manu mila ,kau mila ja’o mila beri makan ayam liar, saya liar kau liar 146.Peri wolowoko, wolowoko peri moro bambu gunung Woko, woko bambu obat Leo kodhe bangga, mbura ana keo kana berburu kera bangga (nama tempat), sumpit anak belok semua (tidak lurus 147.Manu saju ndili Motu, tembu tara toko longgo ayam ganjil/aneh di bawah Motu, tumbuh susuh di punggung Manu saju ndili Motu, peni riri wai kepi

ayam ganjil di bawah Motu, beri makan pakai emas 148.Kodhe mbeke ko’e lau wena watu kera jantan belum, di lauti sebelah batu Kodhe mbeke merhe, ramba otu mbesi mbolu

kera jantan besar, lirik buah muda kastela 149.Keka dhela- dhela kiru, lirhu lau kakak tua terbang-terbang tinggi, di angkasa Keka dhela- dhela, gheme dhea tu kakak tua terbang-terbang, berlabuh lirik beras 150.Rota poka ,woa ramba tei pare tongga kerja kebun, supaya dapat padi lumbung Ma’e ghia perha, ramba tei jawa kela jangan takut miang, supaya dapat jagung banyak

Page 300: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

262

151.Supi rande- rande , dhama peo kolo ndele sumpit jitu jitu, coba bidik perkutut di atas Supi rande- rande, dhama dhangga kaka rharha sumpit jitu jitu, coba bidik apa di sana 152.Mbesi tonggu mberi, ma’e we’e ame dhenge buah kastela besar bersusun, jangan dekat si jamur We’e ne dhenge ame, dhenge ata rhe’e dekat dengan jamur, sijamur orang jelek 153.Kembu lau lema lau lema kembu mbeta rumput laut di laut, di laut lepas putus Gha’o ana ghejo ana ghejo gha’o ghe tangkap ana ghejo, anak ghejo (sejenis ikan) sulit 154.Mboru mboku Nggonu lau Nggeno le ngedho terlepas destar Nggonu , sana laut Nggeno hanya lihat Mesu pondi Nggeno, lau larha le napa kasihan Sanggul Nggeno, sana jalan sudah tunggu 155.Jara jaja pagha ndia mori ngai nongi kuda berusaha loncat pagar, ini tuannya masih intai Jara dhesi jaja ina tende olo mbere kuda sehingga berusaha loncat, karena angkat keranjang 156.Bidhi wele kau, koro wele kau belimbing kau suka, lombok kau suka Ro koro wolowae, ko’e ngape pedas lombok gunung air belum rasa 157.Ngodho poma toro, ngande marha wae mendaki Poma toro(nama tempat), kerongkongan haus air Wae kasa nde, one tere toko rhua air sebelah mana? Di tere ( sukun hutan ) batang dua 158.Ki’o lombe dao, su kau ne ja’o petik pucuk ubi, hanya kau dgn saya Kerhu lombe kua su, kita tau rhua cabut pucuk rotan hanya kiat dua 159.Kumba lo’a Rumba, kana kumba ngurha rumput tempat istirahat Rumba (nama orang), semuanya rumput muda Maghi Mabhandata, kana maghi kara lontar Mabhandata, semua daunnya tua

Page 301: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

263

160. Lombe lima mani ghae lima pucuk baik sekali Ghae mani lombe lima baik sekali limapucuk 161. Liko mawo rongga rongga, liko reke pagar naungan rongga, pagar terbaik Lombe lima mani, ghae ghae mani lima pucuk baik sekali 162. Peko lako ona wa’e kia tau rame-rame kejar anjing ana woe (nama anjing), kita mau reme-rame Peko lako lesa, kita tau degha-dhega kejar anjing lesa, kita tahu main-main Penutup 163. jo jodo na, tangi jo e jona pasang tangga kami mau masuk rumah Jo jodo na,tangi jo e jona pasang tangga kami mau masuk rumah .

Page 302: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

264

Lampiran : 03 Asal-usul Sejarah Vera

“Alkisah di suatu kampung, hidup sepasang suami isteri, Saru dan

Walu, dengan kondisi yang sangat miskin. Mereka hidup sangat bergantung kepada buah-buahan hutan serta umbi-umbi yang mereka cari dan dapatkan setiap hari untuk dijadikan bahan makanan. Beras dan jagung boleh dikatakan sangat langka bagi kedua orang ini, demikian juga dengan pakaian yang dimiliki seadanya saja. Namun hidup mereka selalu rukun.

Karena ketergantungan hidup mereka terhadap hutan terlalu besar, maka mereka berniat untuk menyingkir dari kampung dan pindah ke hutan. Keduanya berunding dengan baik, mempertimbangkan untung ruginya serta kenyamanan setelah pisah dari orang-orang sekampung karena kalah bersaing. Mereka ingin menyendiri di hutan agar kebutuhan makanan terpenuhi dengan mudah, serta mengucilkan diri dari pergaulan dengan masyarakat banyak karena ketiadaan pakaian yang layak.

Pada suatu hari, Saru sang suami pergi ke hutan untuk mencari tempat yang baik guna mereka tempati.Setelah mendapatnya, kembalilah ia ke rumah menemui isteri tercinta, Walu. Saru menceriterakan semua hal ikhwal tempat yang akan mereka tempati dan disambut baik oleh sang isteri. Niat untuk berpindah ke hutan pun semakin membara di dalam dada kedua insan papa ini. Keduanya menentukan waktu yang tepat untuk segera meninggalkan kampung untuk pergi menuju ke tempat baru, tempat yang pasti memberikan harapan baru bagi kehidupan selanjutnya. Disepakati bahwa mereka akan berangkat malam hari ketika seisi kampung dalam keadaan tidur lelap.

Ketika malam yang telah ditetntukan tiba, maka berangkatlah mereka dengan hati berbunga-bunga sambil mengharapkan kehidupan yang lebih baik akan segera mereka dapatkan di sana, di hutan yang menjanjikan itu. Tidak seorang pun yang tahu akan keberangkatan mereka. Setibanya di hutan, sangat gembiralah hati sang isteri karena keadaan tempat itu benar- benar sesuai dengan cita- cita dan keinginannya. Selain letaknya jauh dari kampung, di tempat itu mengalir pula sebuah sungai yang jernih dan terdapat banyak ikan, udang dan belut di dalamnya. Hiduplah mereka di situ dalam sebuah gubuk yang sangat sederhana hasil buatan Bapa Saru. Mereka hidup dari buah-buahan dan umbi-umbian hutan. Mereka mendapatkan lauk dari hasil tangkapan dari sungai, berupa ikan, udang dan belut yang sangat lezat.

Sewaktu Bapa Saru pergi ke kampung untuk menjual rotan kepada penduduk, hasilnya dibelikan makanan dan pakaian seadanya. Semua ini dilakukan Bapa Saru dengan sangat rahasia agar tidak diketahui orang banyak sehingga keduanya merasa aman dan nyaman.

Setelah beberapa lama hidup di hutan,mereka dikaruniai seorang anak laki- laki yang rupawan. Alangkah bahagia dan senangnya hati ayah dan ibu berdua. Anak itu diasuh dan dipelihara dengan penuh kasih sayang yang luar biasa. Tidaklah mengherankan kalau pertumbuhan anak itu begitu cepat.

Page 303: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

265

Pada masa itu, populasi manusia hutan yang oleh penduduk setempat dinamakan embu ngiu masih terlalu banyak. Diceritakan bahwa embu ngiu memiliki tubuh pendek dan susunya sangat panjang. Saking panjangnya, susu tersebut dapat membelit/melilit anak manusia sehingga ditakuti oleh orang- orang pada masa itu. Untuk menghindari gangguan embu ngiu, biasanya orang memelihara anjing karena makhluk tersebut takut akan anjing. Bapa Saru dan mama Walu juga memelihara seekor anjing yang diberi nama nao talo. Anjing inilah yang menghalau embu ngiu dari gubuk mereka.

Nasib sial menimpa keluarga ini, ketika mereka mengejar seekor belut besar di kali yang keracunan tuba buatan Bapa saru di sebuah kolam besar dan agak jauh dari gubuk mereka. Anjing nao talo juga ikut mereka, sedangkan anak kesayangan mereka tertidur di gubuk sendirian. Pada saat yang baik inilah embu ngiu datang ke gubuk tanpa ada hambatan dari nao talo anjing piaraan yang berguna untuk menghalau embu ngiu. Dengan senang hati, embu ngiu mengambil anak dari Saru dan Walu dan ditukar dengan anak embu ngiu. Anak embu ngiu yang masih kecil itu mereka baringkan di gubuk itu dalam keadaan tidur, diselimuti dengan rapi oleh ibunya, sedangkan Jawu dibawa pergi. Begitu Saru dan Walu tiba di gubuk, diperhatikan anak mereka yang masih tidur lalu dibangunkan. Alangkah terperanjatnya mereka ketika melihat anak yang sedang tidur itu ternyata bukan Jawu, melainkan anak embu ngiu. Hiruk-pikuk mereka dalam kebingungan mencari ke sana kemari sambil memanggil-manggil nama anak kesayangan mereka. Namun sia-sialah usaha mereka karena Jawu anak kesayangan tak kunjung ditemukan. Anjing nao talo juga kesana kemari mencari sambil melolong dalam kesedihan.

Hilanglah segala harapan mereka dan hanya tangis pilu kedua orangtua itu serta lolongan nao talo yang memenuhi gubuk yang reot itu. Ketika dipastikan si Jawu anak kesayangan itu tidak mungkin ditemukan lagi, akhirnya mereka kembali ke gubuk dengan duka yang mendalam bersama anjing nao talo.

Anak embu ngiu akhirnya mereka pelihara sebagaimana memelihara anak kandung mereka. Anak embu ngiu pun bertumbuh dengan sehat, tetapi perasaan mereka tidak bisa melupakan Jawu anak kandung mereka.Tidak lama kemudian anak embu ngiu itu pun mati, lalu mereka kubur sebagaimana mereka menguburkan manusia.

Sepeninggal Jawu dan anak embu ngiu, hidup mereka merana dalam kedukaan. Suatu malam, Saru bermimpi yang aneh. Ia melihat sejumlah orang hutan (embu ngiu) datang membawa mayat Jawu anaknya ke gubuk mereka dalam keadaan menari sambil menyanyi. Mimpi itu menjadi kenyataan ketika ia terjaga oleh lolongan nao talo anjing kesayangan karena melihat sesosok mayat di depan gubuk mereka. Begitu keduanya turun dari gubuk dan melihat mayat itu, langsung mereka merangkulnya karena mayat itu ternyata Jawu anak mereka yang hilang. Mereka baringkan mayat Jawu dalam gubuk selama tujuh hari tujuh malam. Selama itu, mereka menangis dan meratap mengungkapkan kata- kata, syair-syair yang indah. Kata-kata

Page 304: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

266

indah yang dilantunkan Saru dan Walu itulah menjadi lagu Vera sekarang ini. Mayat dari Jawu dibawa oleh embu ngiu ke gubuk dengan tujuan untuk menunjuk/memberitahukan kepada Saru dan Walu bahwa inilah Jawu yang kamu cari selama ini. Tunjuk/beritahu yang artinya sama dengan pera dalam bahasa Rongga.

Selama tujuh malam, gubuk Saru dan Walu kedatangan orang-orang sekampungnya dulu untuk turut mengambil bagian dalam kedukaan dengan ratap tangis yang memilukan. Melihat kedatangan banyak orang, nao talo anjing kesayangan mereka melolong terus sepanjang malam selama tujuh malam. Ratapan Saru, Walu, lolongan anjing, dan ratapan para sahabat waktu itu, menjadi cikal bakal Vera yang ada sekarang ini.”61

61 Berdasarkan hasil rekaman dan catatan yang dibuat Bapak Alfridus Ndolu di Waekorok pada

tanggal 15 Mei 2013.

Page 305: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

267

LAMPIRAN 04 DATA PENDUKUNG

Gambar 1.

Bersama Bapak Lurah Tanah Rata X (Yohanes Loni) Beserta Staf setelah Diskusi dan Wawancara Studi Pendahuluan (Dokumen Sumitri 2012)

Gambar 2

Pertemuan dengan Tetua Adat untuk Menentukan Informan Kunci di Sambi Kelurahan Tanah Rata (Dokumen Sumitri 2012)

X

Page 306: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

268

Gambar 3

Wawancara dengan Informan Kunci Bapak Al Fridus Ndolu di Kisol Kelurahan Tanah Rata (Dokumen Sumitri 2012)

Gambar 4

Wawancara dengan Informan Kunci Bapak William Roma di Kampung Lekeng Kelurahan Tanah Rata (Dokumen Sumitri 2012)

Page 307: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

269

Gambar 5

Wawancara dengan Informan Kunci Bapak Markus Bana di Kampung Leko Lembo Kel. Watu Nggene (Dokumen Sumitri 2012)

Gambar 6

Diskusi dengan Informan Kunci dan informan pembanding dalam Bentuk Check Silang Data di Kampung Leke Kelurahan Tanah Rata

(Dokumen Sumitri 2012)

Page 308: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

270

Gambar 7

Persiapan Pertunjukan Vera Gha’u gha’a DI Kelurahan Tanarata (Dokumen Sumitri 2012)

Gambar 8

Wawancara dengan beberapa Informan Pembanding di Bamo (Dokumen Sumitri 2012)

Page 309: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

271

Gambar 9

Upacara Penerimaan Tamu Sebelum Wawancara dan Diskusi di Mulai dengan Informan Kunci Bapak Thomas Ola di Paundoa

(Dokumen Sumitri 2012)

Gambar 10

Wawancara dengan Informan Kunci Bapak Thomas Ola dan Informan Pembanding di Paundoa

(Dokumen Sumitri 2012)

X

X

Page 310: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

272

Gambar 11

Wawancara dan Diskusi dengan beberapa Informan di Desa Bamo (Dokumen Sumitri 2012)

Gambar 12

Wawancara, Diskusi, Croscek Data dengan Informan Kunci dan Informan Pembanding di Kampung Ngembu

(Dokumen Sumitri 2012)

Page 311: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

273

Gambar 13

Diskusi Kelompok Terarah dengan Informan Kunci Bapak Alfridus Endolu dan Informan Pemanding di Kampung Leke

(Dokumen Sumitri 2012)

Gambar 14

Upacara Pemercikan Darah Ayam pada Bibit Padi dan Jagung di Kampung Sambi Kelurahan Tanarata

(Dokumen Sumitri 2012)

X

Page 312: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

274

Gambar 15

Setelah wawancara dengan Informan Kunci Bapak David Lombe di Kampung Wolomboro, Desa Bama

(Dokumen Sumitri 2012)

Gambar 16

Bentuk Rumah Gendang Etnik Rongga (Dokumen Sumitri 2012)

Page 313: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

275

Lampiran : 05

Daftar Informan

I. Nama Nara Sumber Utama 1. Nama : Thomas ola

Umur : 71 tahun Pekerjaan Petani : Petani Alamat : Kampung Paondoa, desa Komba

2. Nama : Afridus Ndolu Umur : 55 tahun Pekerjaan : Guru Alamat : Kampung, Waikorok, Tanarata

3. Nama : Markus Bana Umur : 70 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Watu Nggene

4. Nama : David Lombe Umur : 71 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Kampung Wolomboro, Bamo

II. Nara Sumber Pembanding 1. Nama : Wilhelmus Roma

Umur : 60 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Kampung leke, Kisol, Kelurahan Tanarata

2. Nama : Agus Roka Umur : 69 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Kampung Paondoa, desa Komba

3. Nama : Yohanes Nerdi Umur : 38 tahun Pendidikan : D3 Pekerjaan : Pegawai Alamat : Watu Nggene, kelurahan Watu Nggene

Page 314: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

276

4. Paulus meka : Paulus Meka Umur : 64 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Kampung Sambi, desa Bamo

5. Nama : Qwintus Beos Umur : 54 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Kampung Paondoa, desa Komba

6. Nama : Iginasius Ndoi Umur : 55 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Kampung Paondoa, desa Komba

7. Nama : Anton Salo Umur : 61 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Kampung Leke, kelurahan Tanarata

8. Nama : Meteus Watu : Umur : 60 Tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Kisol, Kelurahan Tanarata

9. Nama : Fabianus Sofi Umur : 57 tahun Pekerjaan :Guru SD Alamat : Nangarawa,drsa Bamo

10. Nama : Maria Nughung Umur : 70 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Kampung Paondoa, Desa Komba

III. Informan 1. Yacobbus Dado 2. Mausnetus Jala 3. Donatus Jabur 4. Maria Nughung 5. Yohana Fransiska Anda 6. Ester Daghe 7. Maria Densi Daghe 8. Regina

Page 315: disertasi wacana tradisi lisan vera etnik rongga di manggarai timur ...

277

9. Herman Rami 10. Yerona Nggue 11. Skolastika Jehaut 12. Frans Ogis 13. Hiron Lagung 14. Ffrans Nggoro 15. Yohanes Nerdi 16. Hendrikus Tanggang 17. Lambertus Jaik 18. Petrus Pengi 19. Ivan Ture 20. Frans Nggoro 21. Kanis Bana 22. Iginasius Ndoi