(Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

96

Transcript of (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Page 1: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara
Page 2: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

i

ISSN 2252-4401

INFO BPK MANADO Vol. 1 No. 1, November Tahun 2011 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO MANADO – SULAWESI UTARA

INFO BPK MANADO VOL. 1 No. 1 Hal 1-87 Manado,

November 2011 ISSN

2252-4401 ISSN

Page 3: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi INFO BPK MANADO mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah analisa/naskah yang dimuat pada edisi Vol. 1 No. 1 tahun 2012:

1. Dr. Ir. Martina Langi, M.Sc. (Program Studi Kehutanan UNSRAT, Manado)

2. Dr. Ir. John S. Tasirin, M.Sc. (Program Studi Kehutanan UNSRAT, Manado)

3. Ir. Hengky Walangitan, MP. (Program Studi Kehutanan UNSRAT, Manado)

Page 4: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

iii

ISSN 2252-4401

INFO BPK MANADO Vol. 1 No. 1, November 2011

DAFTAR ISI Avifauna Penghuni Hutan Kobe Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata Provinsi Maluku Utara Diah Irawati Dwi Arini ............................................................................ 1-20 Potensi Permudaan Alami Jenis-jenis Eboni (Diospyros spp.) di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara Ady Suryawan, Julianus Kinho dan Anita Mayasari ................................ 21-34 Karakteristik Morfologi Zingiberaceae di Cagar Alam Gunung Ambang Sulawesi Utara Julianus Kinho ......................................................................................... 35-50 Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi terhadap Keberadaan Anoa di Kompleks Gunung Poniki Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara Arif Irawan .............................................................................................. 51-70 Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat Sekitar Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Lis Nurrani .............................................................................................. 71-87

Page 5: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

iv

INFO BPK MANADO

ISSN 2252-4401 Vol. 1 No. 1, November 2011

ABSTRAK Diah Irawati Dwi Arini (Balai Penelitin Kehutanan Manado) Avifauna Penghuni Hutan Kobe Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata Provinsi Maluku Utara INFO BPK MANADO. November. 2011, Vol.1 No. 1, hlm. 1 – 20

Melalui pengamatan langsung dengan menggunakan metode jalur dan pemasangan jaring kabut (Mistnet), diperoleh hasil sebanyak 39 jenis burung, dimana 14 jenis diantaranya merupakan jenis endemik, 23 diantaranya adalah burung penetap dan dua lainnya merupakan jenis burung pengunjung. Habitat alami sebagai tempat hidup jenis-jenis burung di kawasan ini umumnya berada pada hutan sekunder serta pinggiran hutan dan hanya sebagian kecil saja yang dijumpai pada hutan-hutan primer.

Kata kunci : Avifauna, habitat, hutan kobe, taman nasional, Maluku Utara

Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari (Balai Penelitian Kehutanan Manado) Potensi Permudaan Alami Jenis-jenis Eboni (Diospyros spp.) di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara INFO BPK MANADO. November. 2011, Vol.1 No. 1, hlm. 21 – 34

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi permudaan alami jenis-jenis eboni yang ada di CA Tangkoko. Hasil penelitian diketahui ada 90 jenis anakan yang didominasi oleh jenis Drypethes neglecta dan Koordersiodendron pinnatum. Potensi permudaan alam D. minahassae 197 pohon/ha, D. pilosanthera 178 pohon/ha, D. cauliflora 104 pohon/ha, D. marritima 32pohon/ha, D. hebecarpa 16 pohon/ha, D. malabarica 10 pohon/ha, dan D. ebenum 5 pohon/ha. Jumlah permudaan ini relatif rendah. Beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain sifat biji rekalsitran, persaingan /kompetisi yang kuat oleh jenis-jenis yang lain dan sebaran daerah yang cukup spesifik, sehingga keberhasilan permudaan eboni menjadi rendah. Kata kunci : Eboni, Diospyros, CA Tangkoko, permudaan alami

Page 6: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

v

Julianus Kinho (Balai Penelitian Kehutanan Manado) Karakteristik Morfologi Zingiberaceae di Cagar Alam Gunung Ambang Sulawesi Utara INFO BPK MANADO. November. 2011, Vol.1 No. 1, hlm. 35 – 50

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi jahe-jahean di sekitar Danau Alia di Kabupaten Bolaang Mongondow sampai Danau Iloloi di Kabupaten Minahasa Selatan pada kawasan Cagar Alam Gunung Ambang di Sulawesi Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 (enam) jenis jahe-jahean yang merupakan tumbuhan herba terrestrial dari famili Zingiberaceae. Jenis-jenis tersebut adalah Alpinia rubricaulis K. Schum., Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen., Etlingera sp., Alpinia eremochlamys K. Schum., Etlingera sp., dan Alpinia monopleura K. Schum.

Kata kunci : Jahe, jenis, morfologi, melindungi, identifikasi, menjelajah

Arif Irawan (Balai Penelitian Kehutanan Manado) Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi terhadap Keberadaan Anoa di Kompleks Gunung Poniki Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara INFO BPK MANADO. November. 2011, Vol.1 No. 1, hlm. 51 – 70

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi di Kompleks Gunung Poniki, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone serta kaitannya dengan keberadaan anoa pada kawasan ini. Dari hasil uji korelasi dapat diketahui bahwa ketiga variabel struktur dan komposisi vegetasi memiliki nilai signifikansi lebih besar dari 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa variabel kerapatan, dominasi, dan keragaman pohon tidak mempengaruhi keberadaan anoa di kawasan ini. Kata kunci :Vegetasi, struktur, komposisi, anoa

Lis Nurrani (Balai Penelitian Kehutanan Manado) Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone INFO BPK MANADO. November. 2011, Vol.1 No. 1, hlm. 71 – 87

Pola pemanfaatan lahan yang diterapkan oleh masyarakat sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone berupa kebun polikultur (85%) dan ladang monokultur maupun polikultur. Kebun didominasi oleh tanaman tahunan seperti kelapa, coklat, cengkeh, kopi dan vanili, sedangkan ladang didominasi oleh tanaman musiman jagung dan kedelai. Hasil analisis tabulasi silang yang dilanjutkan dengan uji chi square test menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel asal-usul penduduk dengan status kepemilikan lahan demikian juga untuk variabel luas lahan dengan pendapatan petani. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat masih dibawah UMP Sulawesi Utara sebanyak 72%. Kebun polikultur memberikan fungsi produksi dan fungsi relatif seimbang sedangkan ladang hanya memiliki fungsi produksi. Kata kunci : Pemanfaatan lahan, masyarakat, Taman Nasional

Page 7: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

vi

Page 8: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

1

AVIFAUNA PENGHUNI HUTAN KOBE KAWASAN TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA

PROVINSI MALUKU UTARA Avifauna of Kobe Forest in Aketajawe Lolobata National Park

North Maluku Province

Diah Irawati Dwi Arini

Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado

Telp : (0431) 3666683 Email : [email protected]

ABSTRACT

Halmahera is the second largest island in the Maluku Province keeps potential wildlife diversity that has characterized the characters closer to the fauna Australia. The presence of Aketajawe Lolobata National Park is a concept of the conservation of species of forest ecosystems which is devoted to the conservation of species of birds beak is hooked in the province of North Maluku. Lack of data and information on the potential of biodiversity in the region make this research is important in order to obtain the validation data related to diversity of fauna, especially species of avifauna. Through direct observation method using line and installation of fog nets (Mistnet), retrieved results by as much 39 species of birds, of which 14 are endemic species, among species, of which 23 are bird and two other settlers is a type of bird visitors. Natural Habitat as a place of living species of birds in the area is generally located in the secondary forest and forest edges and only a small percentage are found in old-growth forests

Keywords : Avifauna, habitat, kobe forest, national park, North Maluku

ABSTRAK

Halmahera merupakan pulau terbesar kedua di Kepulauan Maluku menyimpan potensi keanekaragaman satwa yang memiliki ciri lebih dekat dengan karakter fauna di kawasan Australia. Kehadiran Taman Nasional Aketajawe Lolobata merupakan sebuah konsep pelestarian ekosistem hutan yang dikhususkan pada konservasi terhadap jenis-jenis burung paruh bengkok di Provinsi Maluku Utara. Minimnya data dan informasi mengenai potensi hayati di wilayah ini membuat penelitian ini penting guna memperoleh validasi data terkait keanekaragaman fauna terutama jenis-jenis avifauna. Melalui pengamatan langsung dengan menggunakan metode jalur dan pemasangan jaring kabut (Mistnet), diperoleh hasil

Page 9: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

2

sebanyak 39 jenis burung, dimana 14 jenis diantaranya merupakan jenis endemik, 23 diantaranya adalah burung penetap dan dua lainnya merupakan jenis burung pengunjung. Habitat alami sebagai tempat hidup jenis-jenis burung di kawasan ini umumnya berada pada hutan sekunder serta pinggiran hutan dan hanya sebagian kecil saja yang dijumpai pada hutan-hutan primer.

Kata kunci : Avifauna, Habitat, Hutan Kobe, Taman Nasional, Maluku Utara

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kawasan Wallacea yang terdiri dari ribuan pulau termasuk wilayah Maluku Utara memiliki keanekaragaman hayati yang mengagumkan. Keragaman ini dicirikan oleh tingkat endemisitas spesies yang begitu tinggi terutama pada jenis burung (avifauna). Avifauna kawasan Wallacea sangat kaya, paling sedikit ada 249 jenis yang terdapat di kawasan ini, yang merupakan 36 % dari 698 jenis yang tercatat di kawasan ini, selain itu terdapat 27 jenis endemik Indonesia (Coates et al, 2000).

Sebagai bagian dari wilayah paling timur garis Wallace, Kepulauan Maluku khususnya Maluku Utara menjadi tempat hidup berbagai satwa campuran Oriental dan Australia serta menjadi arena evolusi berbagai jenis burung endemik. Kekayaan jenis fauna endemik Maluku Utara dan pulau-pulau lainnya di Indonesiai merupakan sebuah kebanggaan tersendiri, namun di sisi lain menjadi sebuah amanah besar untuk dikelola dengan baik agar dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.

Sebagai bagian dari upaya melestarikan kekayaan burung-burung endemik khususnya burung paruh bengkok (Psittacidae) dan habitatnya di Maluku Utara, Pemerintah telah menetapkan hutan Aketajawe-Lolobata sebagai kawasan Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 397/Kpts-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Taman Nasional Aketajawe-Lolobata (TNAL) merupakan kawasan konservasi di Indonesia yang mewakili keanekaragaman hayati Bioregion Wallacea bagian timur. Kawasan ini menyimpan variasi kekayaan fauna yang sangat beragam dan potensial, namun hingga kini belum banyak informasi dan publikasi terkait potensi hayati utamanya penyebaran jenis-jenis burung endemik di

Page 10: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

3

kawasan ini. Oleh karena itu dipandang perlu untuk melakukan kajian terkait keanekaragaman fauna khususnya jenis-jenis avifauna endemik di kawasan TN. Aketajawe-Lolobata. Penunjukan kawasan Aketajawe-Lolobata menjadi Taman Nasional, selain sebagai tempat pelestarian bagi flora dan fauna juga secara langsung ditujukan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat sekitar melalui perlindungan kawasan sebagai water catchment area, setidaknya puluhan sungai dan anak sungai berhulu di kawasan ini menjadi pasokan air bersih bagi masyarakat sekitar kawasan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi keragaman jenis fauna khususnya jenis-jenis burung endemik di Kawasan Hutan Blok Aketajawe pada Taman Nasional Aketajawe Lolobata yang diharapkan dapat menambah khasanah dan informasi guna melengkapi database bioekologi di kawasan ini serta dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan bagi kehidupan jenis-jenis burung Maluku.

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kawasan Hutan Blok Aketajawe yang merupakan wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTNW) I Weda. Secara administrasi lokasi ini masuk dalam wilayah pemerintahan Desa Kobe Kecamatan Weda Kabupaten Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009, di sekitar Desa Kobe dan Sungai Kaligoro pada ketinggian tempat 150-380 m dpl.

Page 11: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

4

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain teropong/binoculer, jaring kabut (mistnet), jaring perangkap nylon, Global Positioning System (GPS), kamera digital dilengkapi dengan lensa tele dengan ukuran 55 – 200 mm, handycam, alat ukur diameter/kaliper, mistar, tali tambang, meteran, tali rafia, bambu, lembar isian data, alat tulis menulis, larutan alkohol 70 % dan 95 % untuk pengawetan spesimen, toples, minor surgery set. Buku Panduan Lapang Burung Wallacea (Coates et al, 2000).

C. Prosedur Penelitian

Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer berupa jenis burung, aktivitas dan waktu perjumpaan diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan. Metode yang digunakan adalah metode jalur dibantu dengan pemasangan jaring kabut (mistnet) (Boer, 1993). Data sekunder berupa kondisi umum kawasan serta data-data hasil-

: TN. Aketajawe - Lolobata

Page 12: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

5

hasil penelitian dan kajian diperoleh dari Balai TN. Aketajawe-Lolobata maupun penelusuran literatur lainnya.

Penempatan jalur pengamatan dilakukan secara purposive random sampling yaitu pada lokasi-lokasi yang menjadi habitat utama burung. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu pengamatan secara langsung atau visual dan pemasangan jaring kabut yang berfungsi untuk menangkap burung guna pengukuran morfometri tubuh satwa. Jenis-jenis burung yang terjaring selanjutnya dilakukan pengukuran sampel tubuh mencakup panjang paruh, lebar paruh, tebal paruh, panjang kepala, lebar kepala, lebar badan, panjang sayap, lebar sayap, panjang tungkai, panjang total, panjang ekor, lebar ekor, panjang sayap, lebar sayap. Setelah dilakukan pengukuran kemudian burung tersebut dilepaskan kembali. Pemasangan jaring kabut dilakukan sepanjang 50 meter untuk lima buah mistnet yang dipasang sejajar dengan menggunakan tiang bambu atau diikat pada pohon. Pengamatan dengan metode jalur dilakukan pada pagi hingga sore hari yang dimulai pukul 07.00 - 17.00 WITA, dan merekam setiap jenis satwa yang dijumpai. mencakup jenis burung, jumlah individu burung, serta aktivitas burung.

D. Analisis Data

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan data yang telah dikumpulkan kemudian disajikan dalam bentuk tabel serta grafik.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Aketajawe Lolobata adalah Taman Nasional pertama yang berada di wilayah administrasi Provinsi Maluku Utara, merupakan wilayah daratan yang terdiri dari ekosistem dengan tipe hutan hujan dataran rendah, hutan hujan perbukitan, hutan hujan sub montana dan hutan rawa air tawar. Ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri

Page 13: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

6

Kehutanan Nomor : 397/Kpts-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Sebagian Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Produksi Tetap seluas ± 167.300. Taman Nasional Aketajawe-Lolobata (TNAL) merupakan kawasan konservasi yang mengkombinasikan dua kawasan inti yang terpisah yaitu kawasan hutan Aketajawe (77.100 Ha) sebagai bagian dari administrasi pemerintahan Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Sedangkan kawasan hutan Lolobata (90.200 Ha) seutuhnya menjadi bagian administrasi Kab. Halmahera Timur. Perlindungan yang diharapkan dari kombinasi dua kawasan ini adalah perlindungan terhadap perwakilan keanekaragaman ekosistem dan rangkaian habitat yang lengkap mulai dari dataran rendah sampai pegunungan, perlindungan daerah resapan air yang penting bagi kawasan sekitarnya atau di bawahnya untuk kebutuhan air masyarakat, pertanian, industri dan lainnya (Dephut, 2009).

Topografi TNAL berdasarkan klasifikasi USDA Soil Taxonomy (1998) memiliki kemiringan lereng di wilayah ini terdiri dari datar (0-3 %), bergelombang (8-15 %), hingga bergunung (15-30 %). Topografi merupakan salah satu faktor penentu terhadap variasi vegetasi, hal ini dapat dibuktikan dari variasi hutan yang membentuk Halmahera khususnya Kawasan Aketajawe mulai dari hutan mangrove, hutan dataran rendah dan pegunungan (Dephut, 2007).

Tanah utama pembentuk Pulau Halmahera adalah jenis-jenis tanah vulkanis yang terbentuk dari endapan lava beberapa gunung berapi. Tanah vulkanis (inceptisol) adalah tanah yang terbentuk akibat sedimentasi vulkanik dan berasal dari endapan batu berlapis-lapis, bahan organik jumlahnya berubah tidak teratur dengan kedalaman. Vulkanis yang sangat subur merupakan pusat utama industri rempah-rempah di Wilayah Maluku, hal ini jugalah yang membuat vegetasi pembentuk hutan Halmahera tumbuh dengan cepat dengan tegakan-tegakan besar. Tanah disini mengandung banyak batu kapur koral dan batuan ultrabasa yang sekarang membentuk bukit-bukit karst dan gunung-gunung batuan beku yang tinggi (Coates et al., 2000).

Page 14: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

7

Dalam hal iklim, Wilayah Maluku Utara dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim musim, oleh karena itu iklimnya sangat dipengaruhi lautan dan bervariasi antara wilayah, yaitu daerah iklim Halmahera Utara, iklim Halmahera Tengah/Barat, iklim Bacan dan daerah iklim Kepulauan Sula. Kawasan Aketajawe dan Lolobata berada pada wilayah iklim Halmahera Tengah dan Barat dengan musim hujan pada bulan Oktober-Maret dengan musim pancaroba pada bulan April, dan musim kemarau pada bulan April-September yang diselingi angin Timur dan perubahan cuaca pada bulan September. Curah hujan rata-rata antara 2.000 – 2.500 mm per tahun (Dephut, 2009).

B. Keragaman Jenis Burung Hutan Kobe Kawasan TNAL Hasil penelitian para ahli ornithologi terhadap kelompok avifauna

menyimpulkan bahwa sebanyak 213 jenis burung yang tercatat di Halmahera, 126 jenis diantaranya merupakan burung penetap. Burung penetap dianggap penting bagi konservasi dan saat ini diperkirakan terancam punah secara global (Poulsen et al, 1999).

Pulau Halmahera adalah pulau terbesar kedua di Maluku setelah Seram dan merupakan miniatur yang secara fisik paling mirip dengan Sulawesi. Kemiripan tidak saja dalam hal sejarah terbentuknya kedua pulau yang notabene sebuah busur pulau, tetapi fisiografi dan bentuknya juga sangat mirip. Walaupun kekayaan jenisnya tidak setinggi di sub kawasan Sulawesi, namun Kepulauan Maluku mendukung enam marga endemik dan 64 jenis endemik (Coates & Bishop, 2000).

Hasil eksplorasi jenis avifauna dan mamalia pada hutan kawasan TN. Aketajawe-Lolobata menemukan sebanyak 39 jenis burung yang dijumpai melalui perjumpaan secara langsung. Dari semua jenis tersebut dikelompokkan ke dalam 22 famili, sebanyak 17 jenis merupakan burung endemik, 20 jenis burung penetap dan dua jenis burung pengunjung. Perjumpaan didominasi oleh kelompok julang irian (Rhyticeros plicatus) dan dua jenis burung paruh bengkok yaitu nuri pipi merah (Geoffroyus geoffroyi) serta nuri bayan (Eclectus roratus) dengan frekuensi perjumpaan rata-rata 5-10 menit per hari.

Page 15: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

8

Columbidae merupakan marga dengan jenis yang paling banyak ditemukan, sebanyak tujuh spesies dijumpai dan tiga diantaranya adalah endemik Maluku Utara yaitu walik dada merah (Ptilinopus bernsteinii), walik kepala kelabu (Ptilinopus hyogaster) dan pergam boke (Ducula basilica). Sedangkan empat jenis lainnya bersifat umum antara lain pergam mata putih (Ducula perspicillata), uncal ambon (Macropygia amboinensis amboinensis), pergam laut (Ducula bicolor) dan tekukur biasa (Streptopelia chinensis).

Dari keluarga Pssitacidae sebanyak enam jenis terdiri atas nuri Kalung ungu (Eos squamata), nuri pipi merah (Geoffroyus geoffroyi), nuri bayan (Ecletus roratus) dan kakatua putih (Cacatua alba) yang sesekali terlihat melintas di lokasi pengamatan. Perjumpaan dengan Cacatua alba pada lokasi penelitian di hutan Kobe, agak berbeda karena hanya terlihat beberapa kali saja, berbeda dengan dua tempat penelitian sebelumnya yaitu Kawasan Tayawi dan hutan di sekitar sungai Yomoyomoto dimana intensitas pertemuan dengan jenis endemik ini sangat tinggi. Lokasi penelitian yang masih dekat dengan wilayah pantai menjadi alasan mengapa jenis burung Cacatua alba jarang ditemukan pada kawasan ini. Marga Pssitacidae merupakan penciri khusus dari avifauna kawasan timur Indonesia, marga ini juga dikenal sebagai keluarga burung paruh bengkok dan merupakan ekosistem asli Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Jenis endemik lain dari marga Pssitacidae yaitu kasturi ternate (Lorius garulus), ciri khusus sebagai indikator untuk mengenali jenis ini adalah bulu dominan merah dan sayap berwarna hijau.

Dari famili Campephagidae juga ditemukan sebanyak tiga jenis, dimana satu jenis adalah endemik yaitu kapasan halmahera (Lalage aurea) dan dua lainnya terdiri atas Kepudang Sungu Kartula (Coracina papuensis) dan kepudang sungu miniak (Coracina tenuirostris). Perbandingan jumlah jenis berdasarkan familinya dapat dilihat dalam Gambar 2.

Page 16: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

9

Gambar 2. Grafik perbandingan jumlah jenis burung berdasarkan famili yang dijumpai di TNAL.

Jenis-jenis burung endemik lainnya yang dijumpai pada lokasi pengamatan antara lain cikuakua halmahera (Melitograis gilolensis), brinji emas (Ixos affinis), bubut goliath (Centropus goliath), elang alap halmahera (Accipiter henicogrammus), cendrawasih halmahera (Lycocorax pyrrhopterus), bubut kai (Centropus spilopterus), cikuakua hitam (Philemon fuscicapillus), cikuakua halmahera (Melitograis gilolensis), kepudang halmahera (Oriolus phaeochromus) dan paok halmahera (Pitta maxima). Jenis-jenis burung yang dijumpai dalam pengamatan disajikan dalam Gambar 3.

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat sekitar, beberapa jenis burung maupun satwa terestrial tertentu diburu untuk keperluan konsumsi atau diperjual belikan, terutama yang mudah ditangkap dengan jerat. Jenis burung berukuran besar seperti pergam (Ducula sp) dan julang irian (Aceros plicatus) jarang diburu karena sebagian besar masyarakat tidak memiliki senapan angin sedangkan perburuan burung-burung kecil biasanya hanya menggunakan lem perekat atau jaring perangkap. Masalah yang kini menjadi kekhawatiran adalah meningkatnya penggunaan pestisida komersial untuk meracuni ikan pada sungai-sungai yang notabene sebagai

Page 17: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

10

tempat dimana satwa mencari air. Fakta yang cukup mengejutkan lagi adalah jenis burung paruh bengkok terutama kasturi ternate (Lorius garulus), kakatua putih (Cacatua alba), nuri bayan (Eclectus roratus) dan nuri kalung ungu (Eos squamata) banyak ditangkap oleh Suku Togutil untuk dijual kepada para penambang emas. Kondisi ini diperparah dengan perilaku ma

Masyarakat di desa-desa sekitar yang juga sering kali menangkap jenis tersebut untuk binatang peliharaan ataupun untuk diperdagangkan secara ilegal baik domestik maupun internasional. Burung dijual dengan harga antara Rp. 10.000 - 45.000 per ekor atau terkadang hanya ditukar dengan jam tangan, rhum, dan komoditi lainnya kepada nelayan Filipina. Kemungkinan tingkat penangkapan burung paruh bengkok telah melebihi kuota dan sistem perijinan legal.

Salah satu keunikan yang dijumpai pada saat penelitian adalah penemuan burung yang diperkirakan bubut kai (Centropus spilopterus) jenis ini dinyatakan endemik Pulau Kai, namun ditemukan pada kawasan pinggiran hutan di luar batas kawasan taman nasional. Bubut Kai memiliki karakteristik morfologi hampir sama dengan bubut goliath (Centropus goliath) mulai dari warna bulu dan ukuran tubuhnya. Yang membedakan adalah garis putih pada kedua sayap bagian samping sedangkan bubut kai yang dijumpai berbulu hitam pada seluruh bagian tubuhnya. Kegiatan eksplorasi fauna pada tahun 2008 juga menemukan jenis ini yaitu pada lokasi penelitian di Desa Tomares (S. Yomoyomoto) dan sekitarnya. Namun tentunya perlu dilakukan kajian lebih mendalam lagi untuk memastikan apakah jenis tersebut memang dapat dijumpai di luar Pulau Kai.

Page 18: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

11

Rhyticeros plicatus Geoffroyus geoffroyi Eclectus roratus

Cacatua alba

Ptilinopus bernsteinii

Lorius garulus

Centropus goliath

Ixos affinis

Lalage aurea

Eos squamata

Heliastur indus

Dicrurus bracteatus

Gambar 3. Jenis burung yang dijumpai di Kawasan TNAL

Page 19: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

12

C. Penggunaan Habitat Burung di Kawasan TNAL

Penutupan vegetasi pada lokasi penelitian didominasi oleh hutan primer yang sebagian telah terfragmentasi menjadi mosaik-mosaik kecil. Fragmentasi habitat disebabkan oleh adanya pembukaan hutan menjadi jalan logging oleh perusahaan-perusahaan kayu yang dulunya beroperasi di sekitar kawasan TNAL. Secara umum, tipe habitat di lokasi penelitian dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu habitat hutan primer, semak belukar, hutan sekunder serta pinggiran hutan. Hutan sekunder dan pinggiran hutan didefinisikan sebagai habitat yang sangat bervariasi, pada awalnya berupa lahan yang ditumbuhi semak sampai hutan-hutan berpohon tinggi, sering ditumbuhi banyak pohon tinggi yang diantaranya merupakan sisa hutan aslinya. Tipe hutan ini juga mencakup tumbuhan hasil regenerasi yang lebat di tepi hutan, seperti di sepanjang jalan, jalan setapak, jalur pembalakan, anak-anak sungai dan sungai-sungai cabang.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar burung dapat dijumpai pada bagian hutan sekunder dan pinggiran hutan dan hanya beberapa jenis saja yang dijumpai di habitat hutan primer diantaranya walik dada merah (Ptilinopus bernsteinii), julang irian (Rhyticeros plicatus), kakatua putih (Cacatua alba) dan lainnya. Jenis-jenis burung paruh bengkok seperti nuri pipi merah (Geoffroyus geoffroyi), nuri bayan (Eclectus roratus) banyak menggunakan pohon-pohon tinggi terutama bagian tajuk paling atas untuk melakukan aktivitas hariannya. Persentase penggunaan habitat berdasarkan perjumpaan oleh kelompok burung di lokasi penelitian dapat dilihat dalam Gambar 4.

Page 20: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

13

Gambar 4. Grafik perbandingan penggunaan habitat oleh burung pada kawasan konservasi Taman Nasional Aketajawe Lolobata

D. Keragaman Satwa Lain di TNAL Hutan Kobe kawasan TNAL juga menyimpan kekayaan satwa lain selain burung. Hasil perjumpaan menemukan sebanyak tiga jenis mamalia yang terdiri atas rusa sambar (Cervus timorensis), babi hutan (Sus scrofa) dan satu jenis kelelawar (Fooradoxous sp). Babi hutan (Sus scrofa) teramati ketika sedang mencari makan di sekitar bekas jalan sarad dengan mengagali-gali tanah untuk mendapatkan larva ataupun umbi-umbian. Jumlah individu yang teramati sebanyak tiga ekor, dimana dua ekor merupakan anak dan seekor lainnya adalah induk babi. Keberadaan Sus scrofa juga terlihat dari jejak-jejak kaki yang banyak ditemukan dalam kawasan taman nasional. Pada pemukiman warga yang berada di sekitar Taman Nasional, beberapa masyarakat terlihat melakukan penangkapan dengan tujuan untuk memelihara satwa tersebut.

Secara umum babi hutan maluku mempunyai ciri-ciri morfologi yang sama dengan Sus celebensis namun pada babi maluku terdapat janggut putih pada rahang. Satwa ini memiliki penciuman yang sangat tajam sehingga mampu mengidentifikasi kehadiran makhluk asing dengan cepat, sehingga babi hutan senang hidup pada hutan-hutan primer. Mamalia ini sering kali ditangkap oleh masyarakat sekitar untuk dipelihara kemudian

Page 21: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

14

dikonsumsi oleh sebagian besar warga Desa Kobe yang beragama Kristen. Perburuan terhadap jenis ini akan meningkat ketika menjelang hari-hari besar keagamaan. Perburuan babi dan rusa semakin hari dirasakan semakin meningkat seiring dengan berkembangnya pasar lokal di lokasi-lokasi transmigrasi dan tempat pendulangan emas ilegal.

Mamalia lainnya yang ditemukan adalah rusa sambar (Cervus timorensis). Indikasi keberadaan mamalia bertanduk indah ini dilihat dari banyaknya jejak kaki yang ditemukan pada kawasan. Pengamatan dilakukan pada ketinggian tempat antara 150-380 mdpl. Rusa sambar (Cervus timorensis) yang merupakan jenis introduksi sama dengan babi hutan (Sus scrofa) (Poulsen et al, 1999). Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan TNAL, biasanya melakukan perburuan kedua jenis tersebut untuk dikonsumsi dagingnya ataupun untuk dijual. Daging rusa biasanya dijual dengan harga Rp. 15.000 per lembarnya (rata-rata 1-2 kg). Jika masih hidup harga jualnya bisa mencapai Rp. 300.000 - 600.000 per ekor. Metode perburuan terhadap jenis ini dilakukan dengan cara memasang perangkap dan kadang kala menggunakan jasa anjing sebagai pemburu. Kobe merupakan salah satu daerah di Maluku Utara yang dikenal sebagai pemasok jenis Rusa sebagai satwa peliharaan maupun untuk kepentingan suplai daging rusa. Mamalia lainnya yang berada dalam kawasan Taman Nasional adalah kuskus beruang halmahera (Ailurops ornatus. Keberadaan satwa marsupialia ini diketahui berdasarkan informasi masyarakat sekitar yang sering kali menangkap satwa tersebut untuk dikonsumsi.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan sebanyak 39 jenis burung, 14 jenis merupakan jenis endemik Maluku Utara, 23 jenis dikelompokkan sebagai burung penetap dan dua lainnya adalah jenis burung pengunjung.

2. Berdasarkan penggunaan habitatnya, sebanyak 45% burung ditemukan pada habitat hutan sekunder dan pinggiran hutan, 23%

Page 22: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Avifauna Penghuni Hutan Kobe…… Diah Irawati Dwi Arini

15

ditemukan pada habitat semak belukar, 19% pada hutan primer, 8% ditemukan pada habitat lahan pertanian dan atau pemukiman serta 5% ditemukan di kawasan perairan (danau).

B. Saran

1. Melihat potensi yang ada, diperlukan suatu penetapan prioritas terkait dengan kegiatan penelitian satwa. Penelitian lebih lanjut mengenai populasi dan habitat khususnya bagi satwa-satwa endemik yang saat ini sudah mulai terancam keberadaannya sangat diperlukan guna mencegah kepunahannya di alam khususnya untuk jenis avifauna .

2. Kerusakan habitat dan perburuan satwa merupakan permasalahan utama yang dihadapi Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Konsep pengelolaan kolaboratif dengan melibatkan beberapa pihak terutama masyarakat baik yang berada di dalam maupun disekitar kawasan diharapkan dapat menjadi alternatif solusi untuk dapat mempertahankan keberadaan hutan dan keberlangsungan satwa penghuninya.

DAFTAR PUSTAKA

Boer, Chandradewana. 1993. “Studi Tentang Keragaman Jenis Burung Berdasarkan Tingkat Pemanfaatan Hutan Hujan Tropis di Kalimantan Timur Indonesia”. Disertasi. Universitas Wuerzburg.

Coates, B.J. dan K.D. Bishop. 2000. Panduan Lapangan Burung-Burung di Kawasan Wallace. BirdLife International –Indonesia Programme & Dove Publication. Bogor.

Departemen Kehutanan. 2009. Buku Statistik Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Ternate.

. 2007. Buku Statistik Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Ternate.

. 2004. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 397/Kpts-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Tentang Penetapan Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Maluku Utara. Jakarta.

Page 23: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

16

Poulsen, Michael K., Frank R. L., dan Yusup C. 1999. Evaluasi Terhadap Usulan Taman Nasional Lalobata dan Ake Tajawe. BirdLife. Bogor.

Suyanto, A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bogor.

Undang-Undang No 5 Tahun 1999. Tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Jakarta

Monk, K.A., Y. D. Fretes, and G.R. Lilley. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Seri Ekologi Indonesia Buku V. Prenhallindo. Jakarta.

Whitten, A.J. Mustafa, F. and G.S. Hendersen. 1987. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada Press Yogyakarta.

Page 24: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Avif

auna

Pen

ghun

i Hut

an K

obe…

Dia

h Ir

awat

i Dwi

Arin

i

17

Lam

pira

n 1

. Da

ftar j

enis-

Jeni

s bur

ung

hasil

pen

gam

atan

pad

a Ta

man

Nas

iona

l Ake

taja

we-

Lolo

bata

No

Fam

ili

Nam

a Lo

kal

Nam

a Ilm

iah

Seba

ran

Habi

tat

1 Ac

cipi

trid

ae

1 El

ang

Alap

Hal

mah

era

Acci

pite

r hen

icog

ram

mus

E

S

2 El

ang

bond

ol

Halia

stur

indu

s <R

> S

2 Al

cedi

nida

e 3

Ceka

kak

pita

bia

sa

Tany

sipte

ra g

alat

ea

R>

L

3 Ar

deid

ae

4 Ku

ntul

Ker

bau

Bubu

lcus

ibis

< R,

V?

> Sb

, A

4 Bu

cero

tidae

5

Jula

ng Ir

ian

Rhyt

icer

os p

licat

us

R>

P, S

5 Ca

mpe

phag

idae

6

Kepu

dang

Sun

gu K

artu

la

Cora

cina

pap

uens

is R

S, A

7 Ke

puda

ng su

ngu

min

iak

Cora

cina

tenu

irost

ris

R>

S

8 Ka

pasa

n Ha

lmah

era

Lala

ge a

urea

E

S, A

6 Co

lum

bida

e

9 U

ncal

Am

bon

Mac

ropy

gia

ambo

inen

sis a

mbo

inen

sis

R>

P, S

, A, S

b

10

Perg

am M

ata

Putih

Du

cula

per

spic

illat

a R>

S

11

Perg

am L

aut

Ducu

la b

icol

or

<R>

P, S

12

Wal

ik K

epal

a Ke

labu

Pt

ilino

pus h

yoga

ster

E

S

13

Wal

ik D

ada

Mer

ah

Ptili

nopu

s ber

nste

inii

E P

14

Perg

am b

oke

Ducu

la b

asili

ca

E P

15

Teku

kur b

iasa

St

rept

opel

ia c

hine

nsis

<R

L

Page 25: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info

BPK

Man

ado

Volu

me

1 N

o 1,

Nov

embe

r 201

1

18

No

Fam

ili

Nam

a Lo

kal

Nam

a Ilm

iah

Seba

ran

Habi

tat

7 Co

rvid

ae

16

Cend

raw

asih

hal

mah

era

Lyco

cora

x py

rrho

pter

us

E (M

U)

S

8 Cu

culid

ae

17

Bubu

t Gol

iath

Ce

ntro

pus g

olia

th

E P,

Sb

18

Bubu

t Kai

Ce

ntro

pus s

pilo

pter

us

E Sb

9 Di

crur

idae

19

Sr

igun

ting

Lenc

ana

Dicr

urus

bra

ctea

tus

<R>

P, S

20

Wal

et S

api

Collo

calia

esc

ulen

ta

<R>

S, S

b

10

Hem

ipro

cnid

ae

21

Tepe

kong

Kum

is

Hem

ipro

cne

mys

tace

a R>

S,

Sb

11

Hiru

ndin

idae

22

La

yang

-laya

ng a

pi

Hiru

ndo

rust

ica

<V>

S, S

b

12

Meg

apod

idae

23

Go

song

Kel

am

Meg

apod

ius f

reyc

inet

R>

S

13

Mel

ipha

gida

e 24

Ci

kuak

ua h

itam

Ph

ilem

on fu

scic

apill

us

E S

25

Ciku

akua

Hal

mah

era

Mel

itogr

ais g

ilole

nsis

E

Sb

14

Mus

cica

pida

e 26

Si

kata

n Be

lang

Fi

cedu

la w

este

rman

ni

<R

S, S

b

15

Nec

tarin

iidae

27

Bu

rung

Mad

u Sr

igan

ti N

ecta

rinia

jugu

laris

<R

> S

28

Buru

ng m

adu

hita

m

Nec

tarin

ia a

spas

ia

R>

S, S

b

16

Orio

lidae

29

Ke

puda

ng H

alm

aher

a O

riolu

s pha

eoch

rom

us

E S

17

Pitt

idae

30

Pa

ok H

alm

aher

a Pi

tta

max

ima

E P,

S

Page 26: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Avif

auna

Pen

ghun

i Hut

an K

obe…

Dia

h Ir

awat

i Dwi

Arin

i

19

No

Fam

ili

Nam

a Lo

kal

Nam

a Ilm

iah

Seba

ran

Habi

tat

18

Psitt

acid

ae

31

Nur

i Pip

i Mer

ah

Geo

ffroy

us g

eoffr

oyi

R>

P, S

32

Nur

i Bay

an

Ecle

ctus

rora

tus

R>

P,S

33

Nur

i Kal

ung

Ung

u Eo

s squ

amat

a R>

S

34

Kast

uri T

erna

te

Loriu

s gar

rulu

s E

S

35

Kaka

tua

Putih

Ca

catu

a al

ba

E S,

P

36

Perk

ici d

agu

mer

ah

Char

mos

yna

plac

entis

R>

S

19

Pycn

onot

idae

37

Br

inji

Emas

Ix

os a

ffini

s E

S

20

Rhip

idur

idae

38

Ki

pasa

n Ke

bun

Rhip

idur

a ru

fiven

tris

R>

L,

A

21

Stur

nida

e 39

Pe

rling

Ung

u Ap

loni

s met

allic

a R>

Sb

, S

Kete

rang

an S

ebar

an :

R : P

enet

ap

E : E

ndem

ik

V : P

engu

njun

g In

t : I

ntro

duks

i <

: Seb

aran

diju

mpa

i pul

a di

sebe

lah

Bara

t Mal

uku

(Uta

ra)

>

: Seb

aran

diju

mpa

i pul

a di

sebe

lah

Tim

ur M

aluk

u (U

tara

)

Kete

rang

an P

enut

upan

Lah

an :

P

: Hut

an P

rimer

S

: Hut

an S

ekun

der d

an P

ingg

iran

Huta

n

A : P

emuk

iman

dan

Lah

an P

erta

nian

L

: Per

aira

n (D

anau

/Sun

gai)

Sb

: Sem

ak B

eluk

ar

Page 27: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

20

Page 28: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari

21

POTENSI PERMUDAAN ALAMI JENIS-JENIS EBONI (Diospyros spp.) DI CAGAR ALAM TANGKOKO, BITUNG, SULAWESI UTARA.

Natural Regeneration of Diospyros species in Tangkoko Nature Reserve, Bitung, North Sulawesi

Ady Suryawan, Julianus Kinho dan Anita Mayasari

Balai Penelitian Kehutanan Manado. Jl Raya Adipura, Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget, Manado, Sulawesi Utara.

[email protected]

ABSTRACT

Ebony is a type of wood due to its beautiful luxury fiber and high quality wood and has become primadona export from Indonesia of Sulawesi. The conservation area is an area source of germplasm. However, deforestation, land use, and function of disaster are factor that threatens sustainability of biodiversity. This research aims to find out potential natural regeneration of diospyros species in tangkoko nature reserve. Data retrieval method is using the nedsted method of sampling with an area of 6 ha on two observation blocks. Research results known there are 90 kinds of chicks dominated by species of Drypethes and Koordersiodendron pinnatum neglecta. The potential of natural regeneration, D. minahassae 197 trees/ha, D. pilosanthera 178 trees/ha, D. cauliflora 104 trees/ha, D. marritima 32 trees/ha, D. hebecarpa 16 trees/ha, D. malabarica 10 trees/ha, and D. ebenum 5 trees/ha. This number regeneration is relatively low. Several factors influence it seeds rekalsitran, among others of the nature of competition/competition strong by the kinds of the other and to scatter an area sufficiently species, so the success of ebony regeneration is low.

Keywords: Ebony, Diospyros, Tangkoko Nature Reserve, natural regeneration

ABSTRAK

Eboni merupakan kayu jenis mewah karena seratnya indah dan kualitas kayunya tinggi serta telah menjadi primadona ekspor Indonesia yang berasal dari Sulawesi. Kawasan konservasi merupakan kawasan sumber plasma nutfah. Deforestasi, alih fungsi lahan, dan bencana merupakan faktor yang mengancam kelestarian jenis keanekaragaman hayati. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi

Page 29: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

22

permudaan alami jenis-jenis eboni yang ada di CA Tangkoko. Metode pengambilan data menggunakan metode nedsted sampling dengan luas 6 ha pada dua blok pengamatan. Hasil penelitian diketahui ada 90 jenis anakan yang didominasi oleh jenis Drypethes neglecta dan Koordersiodendron pinnatum. Potensi permudaan alam D. minahassae 197 pohon/ha, D. pilosanthera 178 pohon/ha, D. cauliflora 104 pohon/ha, D. marritima 32pohon/ha, D. hebecarpa 16 pohon/ha, D. malabarica 10 pohon/ha, dan D. ebenum 5 pohon/ha. Jumlah permudaan ini relatif rendah. Beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain sifat biji rekalsitran, persaingan /kompetisi yang kuat oleh jenis-jenis yang lain dan sebaran daerah yang cukup spesifik, sehingga keberhasilan permudaan eboni menjadi rendah.

. Kata kunci : Eboni, Diospyros, CA Tangkoko, permudaan alami

I. PENDAHULUAN

Salah satu jenis kayu perdagangan yang termasuk dalam kayu kelas mewah dan banyak tumbuh di Sulawesi adalah eboni. Menurut Suriarahardja dan Wasono (1996) dalam Hendromono (2007) eboni merupakan salah satu jenis pohon andalan di Sulawesi Selatan, Tengah dan Utara yang mulai langka dan merupakan jenis yang secara alami hanya tumbuh di Sulawesi serta sangat diminati oleh mancanegara sebagai mebel, hiasan, ukiran, konstruksi, alat rumah tangga dan alat musik.

Eboni merupakan anggota suku Ebenacea, Marga Diospyros termasuk Lissocarpa dan Maba, memiliki antara 400 hingga 500 jenis yang tersebar di daerah pantropis (Sunaryo, 2003). Menurut catatan Holtus dan Lam (1942) , Clayton dkk (1991), Lee dkk (1998, 1999, 2000, 2001), dan Djamaludin (1999) dalam Kinho dkk (2010) di wilayah Sulawesi Utara terdapat sepuluh jenis eboni yaitu Diospyros celebica, Diospyros buxifolia, Diospyros hebecarpa, Diospyros javanica, Diospyros korthalsiana, Diospyros macrophylla, Diospyros maritime, Diospyros minahassae, Diospyros rumphii dan Diospyros sp yang tersebar di kawasan konservasi baik yang dikelola oleh BKSDA Sulawesi Utara maupun Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Pemungutan eboni khususnya jenis D. celebica menurut Sanusi (2002) telah dilakukan sejak abad ke-18 dalam jumlah yang besar dan

Page 30: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari

23

mengalami penurunan sejak tahun 1955. Penurunan ini disebabkan oleh tegakan eboni di alam berkurang drastis karena pemungutan berlebihan dan tidak diimbangi dengan permudaannya. Volume tebangan kayu eboni yang berhasil tercatat selama kurun waktu 1969 sampai 1982 sebesar 114.341,678 m3. Hal ini menyebabkan populasi eboni semakin terbatas.

Kawasan konservasi merupakan sumber plasma nutfah berbagai keanekeragaman hayati. Adanya deforestasi, alih fungsi lahan, bencana alam dan berbagai aktivitas manusia lainnya telah menjadi ancaman bagi kelestariannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika anakan dan potensi permudaan alam jenis – jenis eboni di Cagar Alam Tangkoko. Diharapkan kajian ini dapat memberikan gambaran kelestarian jenis eboni serta menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan kawasan konservasi khususnya CA Tangkoko.

II. KONDISI UMUM CAGAR ALAM TANGKOKO

Cagar Alam Tangkoko dilindungi sejak pemerintah kolonial Belanda sebagai kawasan hutan dengan fungsi Cagar Alam berdasarkan Besluit Van den Governeur Nederlands Indie (GB) No.6 Stbl.90 tanggal 12 Pebruari 1919 dengan luas 4.446 ha. Topografi landai sampai bergunung dengan ketinggian mencapai 1.109 m dpl. Berdasarkan Shcmidth dan Ferguson curah hujan 2.500 – 3.000 mm/tahun, dengan temperatur rata-rata 20o – 25o C. Bentang alam terdiri dari pantai hingga pegunungan dan tipe ekosistem hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan serta hutan lumut. Menurut Kinho dkk (2010) sedikitnya terdapat 140 jenis pohon yang tediri dari 102 marga dan 44 suku serta 8 jenis dari marga Diospyros. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Kegiatan

Penelitian dilakukan di Cagar Alam Tangkoko pada tanggal 18 sampai 27 Agustus 2010 dengan metode nedsted sampling seluas 6 ha.

Page 31: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

24

Pengamatan pertama berada pada ketinggian antara 127-194 meter dpl bertopografi landai sampai jurang dan kedua pada ketinggian 504 – 564 meter dpl dengan topografi yang relatif landai.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah koran, alkohol 70 % dan tally sheet. Alat yang digunakan ialah meteran roll, solatip, plastik, tali, gunting stek, kamera, peta kerja, GPS, parang, kompas dan alat tulis.

C. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian menggunakan metode nedsted sampling seluas 6 ha. Pada setiap ketinggian dibuat 5 jalur pengamatan dengan base line searah garis kontur dan arah rintisan memotong kontur. Setiap jalur memiliki petak pengamatan 15 buah berukuran 5x5 meter diletakan pada kiri dan kanan arah rintisan. Pengamatan dilakukan dengan melihat semua jenis anakan tingkat semai sampai pancang dan dihitung jumlahnya. Jenis yang belum bisa diidentifikasi secara langsung, lebih lanjut diidentifikasi di Herbarium Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor. Selanjutnya data dianalisa menurut Indriyanto (2010) dengan indeks nilai penting (INP) dan indeks keanekaragaman Shannon (H) yaitu. INP = DR+ FR + KR; DR (dominasi relatif), FR (Frekuensi relatif) dan KR (kerapatan relatif)

; H’ = Indeks Shannon, N = Total nilai

penting, n.i = Nilai penting dari tiap spesies

Page 32: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Poten

si Pe

rmud

aan

Alam

i Jen

is-Je

nis E

boni…

..

Ady

Sur

yawa

n, J

ulian

us K

inho &

Anit

a M

ayas

ari

25

IV.

HAS

IL D

AN P

EMBA

HAS

AN

A.

Kean

ekar

agam

an Je

nis -

Jeni

s Per

mud

aan

Jeni

s-je

nis p

erm

udaa

n ya

ng b

erha

sil d

item

ukan

ters

aji d

alam

Tab

el 1

. Ta

bel 1

. Daf

tar j

enis

perm

udaa

n al

am d

i CA

Tang

koko

N

o.

Nam

a Je

nis

No.

N

ama

Jeni

s N

o.

Nam

a Je

nis

1 Ac

alyp

ha c

atur

us B

l. 31

Di

ospy

ros m

alab

aric

a 61

Le

ocos

iche

sapi

tela

ta

2 Ag

laia

cor

tals

iana

32

Di

ospy

ros m

ariti

ma

Blum

e.

62

Lits

ea sp

.

3 Ag

laia

mac

roca

rpa

33

Dios

pyro

s min

ahas

sae

Bakh

. 63

M

acar

anga

map

a

4 Al

ectr

ion

sp.

34

Dios

pyro

s pilo

sant

hera

Bla

nco

64

Mal

lotu

s ric

inoi

des M

uell.

Arg.

5 Al

ston

ia sc

hola

ris R

. Br.

35

Drac

onto

mel

on d

ao M

err.e

t Rol

fe

65

Mel

anol

epis

mul

tigla

ndul

osa

Rich

.f.et

.Zol

l

6 Al

ston

ia su

mat

rana

36

Dr

acon

tom

elon

man

gife

rum

BI

66

Mal

otus

col

umna

ris

7 An

tides

ma

cele

bicu

m M

iq.

37

Dryp

etes

neg

lect

a 67

M

elio

sma

pinn

ata

8 Ap

ocyn

a ja

smin

e 38

Dy

soxy

lum

mol

isim

um

68

Mor

inda

bra

ctea

ta R

oxb.

9 Ar

disi

a sp

. 39

Er

ythr

ina

subu

mbr

ans

(Has

sk.)

Mer

r. 69

O

croc

ia a

cum

inat

isim

a

10

Arto

carp

us d

ada

40

Eugi

nia

acum

inat

isim

a 70

Pa

laqu

ium

obt

usifo

lium

11

Aver

o be

limbi

ng

41

Ficu

s pu

bine

rvis

Bl.

71

Pipe

r adu

ncum

12

Barin

gton

ia a

cuta

ngul

a G

aert

n.

42

Ficu

s sp.

72

Pi

ptur

us a

rgen

tus

13

Buch

anan

ia a

rbor

esce

ns B

l 43

Fi

cus

varie

gata

Bl.

73

Piso

nia

umbe

llife

ra S

eem

.

14

Calo

phyl

lum

saul

attr

i Bur

m B

l. 44

G

arci

nia

daed

alan

ther

a Pi

erre

74

Po

lyal

thia

lat

eric

ia

15

Cana

nga

odor

ata

Hook

.f.et

Th

45

Gar

cini

a te

tran

da

75

Poly

alth

ia g

lauc

a Bo

erl.

Page 33: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info

BPK

Man

ado

Volu

me

1 N

o 1,

Nov

embe

r 201

1

26

No.

N

ama

Jeni

s N

o.

Nam

a Je

nis

No.

N

ama

Jeni

s

16

Cana

rium

asp

erum

Ben

th.

46

Glo

chid

ion

phili

picu

m

76

Poly

alth

ia la

teric

ia

17

Cana

rium

chr

ysan

um

47

Gne

tum

gne

mon

L.

77

Poly

scia

s nod

osa

Seem

18

Cana

rium

hirs

utum

Will

d 48

G

ymna

cran

ther

a fo

rbes

ii (K

ing)

War

b.

78

Pom

etia

cur

iace

a

19

Capa

ris m

icra

cant

a 49

G

ymna

cran

ther

a pa

nicu

lata

War

b.

79

Prun

us a

rbor

ea

20

Chis

oche

ton

king

ee

50

Hom

aliu

m c

eleb

icum

Kds

80

Pt

eros

perm

um c

eleb

icum

Miq

.

21

Cler

oden

dron

min

ahas

a 51

Ho

mal

ium

foet

idum

Ben

th.

81

Sand

oric

um c

oetja

pi

22

Crat

oxyl

on c

eleb

icum

Bl.

52

Hors

field

ia b

race

ata

82

Sant

iria

23

Crat

oxyl

on sp

. 53

Io

nim

us ja

vani

cum

83

Si

phon

odon

cel

astr

inew

Grif

f.

24

Cryp

toca

rya

bico

lor

54

Ixor

a sp

. 84

Sp

atud

ea

25

Cryp

toca

rya

sp.

55

Kjel

lber

giod

endr

on c

eleb

icum

Mer

r. 85

St

ercu

lia in

sula

ris

26

Dend

roni

cde

mic

rost

ikm

a 56

Ko

orde

rsio

dend

ron

pinn

atum

Mer

r.

86

Syzi

gium

sp.

27

Dille

nia

ochr

eata

T.e

t B.

57

Lea

acul

eata

Bl.

87

Term

inal

ia c

eleb

ica

28

Dios

pyro

s cau

liflo

ra B

l. 58

Le

a in

dica

88

Tr

ical

ichi

a m

inah

asa

29

Dios

pyro

s ebe

num

Kin

g.

59

Lea

rubr

a 89

Vi

lebr

unia

rube

scen

s

30

Dios

pyro

s heb

ecar

pa C

unn.

60

Le

a sp

. 90

Vi

tex

quin

ata

F.N

.Vill

.

Page 34: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari

27

Hasil pengamatan pada plot pertama ditemukan 88 jenis pancang dan 69 jenis tingkat semai, pada plot kedua 76 jenis pancang dan 58 jenis semai, hasil rekapitulasi jenis yang ditemukan telah tersaji pada Tabel 1 di atas. Perhitungan indeks Shannon (H) menunjukan bahwa plot di bawah 500 mdpl mempunyai nilai 2,868 sedangkan di atas 500 mdpl 2,777. Indeks Shannon merupakan indeks keanekaragaman dan sebagai indikator kestabilan ekosistem. Semakin tinggi nilai H maka mengindikasikan semakin tinggi jumlah spesies dan semakin tinggi kelimpahan relatifnya.

B. Dinamika Permudaan Alam di CA Tangkoko Perhitungan INP dapat menunjukan dinamika populasi vegetasi

dalam suatu ekosistem sebagaimana pada Tabel 2 dan 3 di bawah ini.

Tabel 2. Hasil tabulasi INP tingkat semai disusun mulai dari yang tertinggi Tinggi (mdpl)

Nama Ilmiah Famili FR (%)

KR (%)

INP (%)

< 500

Drypetes neglecta (Koord.) Pax et Hoffim Euphorbiaceae 9,33 10,32 19,65

Koordersiodendron pinnatum Merr. Anacardiaceae 7,18 7,57 14,75

Polyalthia glauca Boerl. Annonaceae 5,5 5,39 10,89

Baringtonia acutangula Gaertn. Lecythidaceae 4,78 4,36 9,14 Palaquium obtusifolium Burk Sapotaceae 5,26 3,67 8,93

> 501

Drypetes neglecta (Koord.) Pax et Hoffim Euphorbiaceae 9,33 10,32 19,65

Koordersiodendron pinnatum Merr. Anacardiaceae 7,18 7,57 14,75 Homalium foetidum Benth. Flacourtiaceae 4,07 6,88 10,95

Polyalthia glauca Boerl. Annonaceae 5,5 5,39 10,89 Garcinia daedalanthera Pierre Guttiferae 5,26 4,93 10,19

Keterangan : FR = Frekuensi relatif, KR = Kerapatan relatif, INP = Indek nilai penting

Page 35: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

28

Tabel 3. Hasil tabulasi INP tingkat pancang disusun mulai dari yang tertinggi Tinggi (mdpl)

Nama Ilmiah Famili FR (%)

KR (%)

INP (%)

< 500

Drypetes neglecta (Koord.) Pax et Hoffim Euphorbiaceae 9,33 10,32 19,65

Koordersiodendron pinnatum Merr. Anacardiaceae 7,18 7,18 14,75

Polyalthia glauca Boerl. Annonaceae 5,5 5,39 10,89

Baringtonia acutangula Gaertn. Lecythidaceae 4,78 4,36 9,14

Palaquium obtusifolium Burk Sapotaceae 5,26 3,67 8.93

> 501

Siphonodon celastrinew Griff. Celastraceae 7,62 10,43 18.06

Dysoxylum molisimum Meliaceae 6,93 9,42 16,35 Vilebrunia rubescens Urticaceae 5,77 6,38 12,15

Lea indica Leaceae 4,16 6,81 10,97

Achtonoides sp Mrtaceae 4,39 6,52 10,91 Keterangan : FR = Frekuensi relatif, KR = Kerapatan relatif, INP = Indek nilai penting

Berdasar hasil perhitungan di atas diketahui bahwa Drypetes neglecta merupakan jenis paling dominan dengan INP tertinggi disusul Koordersiodendron pinnatum. Hasil analisis pada tingkat pancang menunjukan D. neglecta dan K. pinnatum merupakan jenis dominan. Kedua jenis ini sebagai pohon dominan pada tingkat pancang dan semai. Hal ini menunjukkan bahwa permudaan alami CA Tangkoko didominasi oleh D. nelecta dan K. pinnatum. Sebaran kedua jenis ini memiliki cukup luas pada kedua plot pengamatan karena frekuensi perjumpaan petak ukur yang berisi kedua jenis relatif paling tinggi dibandingkan jenis lain. Berdasar nilai KR, kedua jenis tersebut memiliki kerapatan paling tinggi di setiap petak ukur. Dominasi akan memberikan sifat negatif terhadap jenis yang lainnya karena faktor persaingan akan semakin tinggi.

Tingkat dominasi pada tingkat anakan ini berbeda dengan dominasi pada tingkat pohon. Penelitian Kurniawan dkk (2008) menyebutkan bahwa asosiasi pohon di CA Tangkoko didominasi oleh pohon dengan jenis Palaquium sp dan Cananga odorata. Palaquium sp atau dikenal dengan nama lokal Nyatoh menurut Cendrawasih dalam Kurniawan dkk 2008 merupakan salah satu jenis yang berpotensi dan endemik di Sulawesi,

Page 36: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari

29

sehingga pada hutan alam dataran rendah di Sulawesi Utara banyak dijumpai dalam jumlah yang tinggi.

Penelitian ini memberikan informasi bahwa dinamika hutan di CA Tangkoko nampak jelas terjadi. Permudaan akan sangat mempengaruhi dinamika hutan di masa yang akan datang. Semakin tinggi jumlah atau kerapatan, sebaran dan penguasaan daerah suatu jenis anakan vegetasi, maka peluang keberhasilan menjadi pohon akan semakin tinggi. Hal ini seperti dikatakan oleh Soerianegara dan Indrawan, 1982 dalam Indriyanto (2010) bahwa komunitas hutan merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh karena komunitas itu terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tetumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Perubahan dalam komunitas selalu terjadi bahkan dalam komunitas hutan yang stabil pun akan selalu mengalami perubahan, misalnya ada pohon-pohon yang tumbang maka akan memberikan peluang dan ruang tumbuh bagi tumbuhan lain.

C. Potensi Permudaan Jenis-Jenis Eboni Permudaan eboni yang berhasil dijumpai ada 8 jenis, 1 jenis berada di

luar petak pengamatan yaitu Diospyros korthalsiana dan 7 jenis di dalam petak pengamatan yaitu Diospyros cauliflora, Diospyros ebenum, Diospyros hebecarpa, Diospyros malabarica, Diospyros maritima, Diospyros minahassae dan Diospyros pilosanthera. Menurut Lee dkk (2001) di CA Tangkoko ada 6 jenis eboni yang ditemukan yaitu D. celebica, D. javanica, D. korthalsiana, D. maritima, D. minahassae dan D. rumphii, beberapa jenis eboni yang tidak dijumpai yaitu D. celebica, D. javanica dan D. rumphii. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga jenis tersebut mengalami pengurangan populasi di habitat alaminya. Namun ada eboni jenis lain yang berhasil ditemukan yaitu D. malabarica, dan D. pilosanthera. Jumlah individu ketujuh jenis eboni dalam plot pengamatan disajikan dalam Gambar 1.

Page 37: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

30

Gambar 1. Jenis dan jumlah permudaan eboni di Cagar Alam Tangkoko

Total permudaan didalam petak ukur yaitu D. minahassae 74 pohon, D. pilosanthera 67 pohon, D. cauliflora 39 pohon, D. maritima 12 pohon, D. hebecarpa 6 pohon, D. malabarica 4 pohon dan D. ebenum 2 pohon. Permudaan D. ebenum, D. hebecarpa dan D. malabarica sangat minim karena hanya ditemukan dalam kondisi tingkat vegetasi tertentu saja dan pada ketinggian tertentu di bawah 500 mdpl.

Ketinggian tempat tumbuh mempengaruhi populasi jenis, hal ini ditunjukkan dengan permudaan D. minahassae dan D. pilosanthera dimana populasi semai di atas 500 mdpl lebih banyak dibanding dengan populasi permudaan di bawah 500 mdpl. Ketinggian tempat akan mempengaruhi kondisi iklim suatu tempat. Kemungkinan D. minahassae dan D. pilosanthera lebih dapat beradaptasi pada daerah dengan kelembaban yang lebih tinggi dan temperatur lebih rendah. D. hebecarpa, D. maritima dan D. malabarica merupakan jenis eboni yang hanya ditemukan di dataran rendah sedangkan D. cauliflora merupakan jenis yang memiliki tingkat permudaan paling lengkap dan tersebar merata di kedua ketinggian.

Bila dibandingkan jenis-jenis eboni dengan lima jenis permudaan dominan plot pengamatan sebelumnya, maka eboni pada plot pengamatan

Page 38: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari

31

ini berada dalam kondisi tertekan. Hasil perhitungan INP, ketujuh jenis eboni disajikan pada gambar 2.

Gambar 2. Hasil perhitungan INP jenis jenis eboni di CA Tangkoko.

Hasil perhitungan INP rata-rata menunjukkan D. minahassae saja

yang memiliki nilai INP rata-rata paling tinggi, sedangkan yang lain relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan jenis dominan seperti D. neglecta dan K. pinnatum. Faktor permudaan ini sangat mempengaruhi kelestarian suatu jenis di habitat aslinya. Menurut Mueller et. all (1974) kecenderungan jumlah yang tinggi pada tingkat permudaan menandakan terpeliharanya populasi di habitatnya, dan sangat mungkin di waktu yang akan datang jumlah populasi akan terus berkembang. Namun pada penelitian ini jenis-jenis eboni yang dijumpai cenderung memiliki permudaan dalam jumlah minim.

Kondisi permudaan alam yang minim menurut Hani dan Effendi (2009) disebabkan anakan yang tumbuh di bawah tegakan mengalami pertumbuhan yang kurang optimal, karena akan mengalami persaingan yang cukup ketat dalam mendapatkan unsur hara dan cahaya. Menurut Alrasyid (2002) biji eboni bersifat rekalsitran atau daya perkecambahan

Page 39: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

32

cepat menurun dan mudah terserang jamur Penicillopsis clavariaeformis. Hal ini ditunjukkan pada waktu penelitian dilakukan banyak ditemukan buah eboni yang jatuh mengalami kebusukan. Sedangkan bila buah eboni dijemur menurut Alrasyid (2002) daya perkecambahan akan menurun hingga menjadi 0%. Upaya yang mungkin dilakukan menurut Yuniarti (2002) biji hendaknya disimpan menggunakan wadah yang porositasnya tinggi misalnya kantong kain blacu dengan ruangan bersuhu 18-20oC dan kelembaban 50-60%. Selain beberapa pendapat tersebut, Eboni merupakan jenis yang memiliki pertumbuhan lambat, sehingga untuk melakukan reproduksi menurut taksiran yang dilakukan Steup dan Beversluis dalam Alrasyid (2002) menyebutkan bahwa MAI (Mean Annual Increment) dari diameter dan volumenya berkisar 0,5 cm/th dan 0,5 m3/ha/th.

Populasi suatu jenis vegetasi dipengaruhi oleh kompetisi dan distribusi. Semai yang tumbuh pada daerah yang padat maka faktor kompetisi tinggi, kemungkinan keberhasilan berkembang menjadi pohon lebih rendah. Sedangkan distribusi wilayah yang luas akan memberikan kesempatan lebih tinggi bagi keberhasilan permudaan alam. Bila suatu jenis tumbuh hanya pada daerah yang spesifik maka bila tumbuh bukan pada daerahnya akan mengalami pertumbuhan yang tidak optimal.

Hasil kajian ini menunjukkan bahwa dinamika hutan menjadi penting karena ada beberapa jenis tertentu yang mengalami tekanan sehingga kelimpahan di alam mengalami penurunan serta adanya jenis-jenis dengan status kritis, langka dan atau terancam punah. Hal inilah yang perlu mendapatkan kajian dan pengelolaan yang lebih intensif, sehingga kelestarian jenis (conservasi species) dapat berhasil. Upaya pelestarian jenis dapat dilakukan dengan berbagai metode baik secara insitu maupun exsitu.

V. KESIMPULAN DAN SARAN Potensi permudaan alam jenis-jenis eboni sangat rendah yaitu

D. minahassae 197 pohon/ha, D. pilosanthera 178 pohon/ha, D. cauliflora 104 pohon/ha, D. marritima 32pohon/ha, D. hebecarpa 16 pohon/ha, D. malabarica 10 pohon/ha, dan D. ebenum 5 pohon/ha. Faktor yang dominan terhadap perkembangbiakan eboni di CA Tangkoko dipengaruhi

Page 40: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Potensi Permudaan Alami Jenis-Jenis Eboni….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari

33

oleh sifat biji eboni yang rekalsitran, daerah sebaran yang tidak luas dan adanya persaingan yang kuat dengan jenis lain. Perlu adanya upaya konservasi terhadap beberapa jenis eboni di CA Tangkoko.

DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid, H. 2002. Kajian Budidaya Pohon Eboni. Berita Bilogi Volume 6, Nomor 2. Halaman 219-225. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor.

BKSDA, 2010. Profil Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara. Manado. BPKH Wil VI. 2009. Profil Kawasan Konservasi. Manado. Diakses dari

http://bpkh6.blogspot.com/ pada tanggal 17 januari 2011 Hani, A. dan Effendi, R. 2009. Potensi Permudaan Alam Tingkat Semai (Khaya

antotecha) di Hutan Penelitian Pasir Hantap, Sukabumi, Jawa Barat. Bogor. Mitra Hutan Tanaman Vol 4 No 2 Hal 49-56

Hendromono. 2007. Teknik Pembibitan Eboni Dari Anakan Hasil Permudaan Alam. Jurnal Hutan Tanaman Vo 4 No 2 Halaman 91- 98. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor

Kinho, J., dkk. 2010. Kajian Habitat dan Populasi Eboni (Diospyros spp.) Pada Kawasan Konservasi di Cagar Alam Tangkoko, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado

Kurniawan, A., Undaharta, N.K.E. dan Pendit, I.M.R. 2008. Asosiasi Jenis-Jenis Pohon Dominan di Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. Biodiversitas Vol 9 No 3 halaman 199-203

Lee, R.J., J. Riley, dan R. Merrill. 2001. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Di Sulawesi Bagian Utara. WCS-IP dan NRM. Jakarta.

Mueller-Dumbois, D. dan H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley & Sons, Inc. Canada

Sinombor, S.H. 2008. Kawasan Konservasi Tangkoko : Aset Sejarah Alam Dunia dan Rumah Satwa Sulawesi. Kompas 30 April 2008 | 01:51 WIB diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2008/04/30/01515048/aset.sejarah.alam.dunia.dan.rumah.satwa.sulawesi

Sunaryo. 2003. Tingkat Kualitas Kayu Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Berdasarkan Komposisi Serat Gelap dan Terang. Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor.

Page 41: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

34

Page 42: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Morfologi Zingiberaceae….. Julianus Kinho

35

KARAKTERISTIK MORFOLOGI ZINGIBERACEAE DI CAGAR ALAM GUNUNG AMBANG SULAWESI UTARA

Morphological Characteristics of Zingiberaceae in Gunung Ambang Nature Reserve in North Sulawesi

Julianus Kinho

Balai Penelitian Kehutanan Manado

d/a : Jln. Raya Adipura Kel.Kima Atas, Kec.Mapanget - Manado Tlp. (0431) 3666683 e-mail :[email protected]

ABSTRACT

Ginger group is herbaceous plant from Zingiberaceae family. The plants are cultivated and have been developed for pharmacy industries since a long time age. Most of them have beautiful ornament in appearance. They are potential plants to use as ornamental plants. Wild species are abundant in tropical forests of Indonesian. In the northern part of Sulawesi,gingers are widely found from lowland to mountain forests. To develop the plants for the future they need to be preserved and identified. This research was to recognize the morphologic characteristics of gingers around Alia Lake in Bolaang Mongondow regency and Iloloi Lake in South of Minahasa regency in Mount Ambang Nature Reserve in North Sulawesi. Study is done by exploring the hole area using iregular transect to cover the potential growing sites. The results show that sixtypes of gingers were found. They are Alpinia rubricaulisK.Schum., Etlingera heliconiifolia (K.Schum.)A.D.Poulsen., Etlingera sp. Alpinia eremochlamysK.Schum., Etlingera sp., and Alpinia monopleura K.Schum.

Keyword: Ginger, species, morphologic, preserved, identified, exploring

ABSTRAK

Kelompok jahe-jahean merupakan tumbuhan herba dari famili Zingiberaceae. Jenis tumbuhan ini sudah dibudidayakan dan dikembangkan dalam industri farmasi sejak lama. Beberapa jenis dari famili ini memiliki keindahan arsitektur dan ornamen. Banyak dari jenis tumbuhan ini memiliki ornamen yang indah dalam penampilannya. Beberapa jenis diantaranya sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai tanaman hias. Jahe-jahean memiliki kerabat liar yang hidup di hutan-hutan tropis Indonesia. Jenis-jenis ini tumbuh dan tersebar luas mulai dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan di bagian utara Sulawesi. Jahe-

Page 43: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

36

jahean penting untuk diketahui sehingga dapat dilestarikan dan dikembangkan selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi jahe-jahean di sekitar Danau Alia di Kabupaten Bolaang Mongondow sampai Danau Iloloi di Kabupaten Minahasa Selatan pada kawasan Cagar Alam Gunung Ambang di Sulawesi Utara. Penelitian ini dilakukan dengan cara menjelajah seluruh area menggunakan transek iregular untuk mewakili daerah-daerah yang potensial sebagai tempat tumbuhnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 (enam) jenis jahe-jahean yang merupakan tumbuhan herba terrestrial dari famili Zingiberaceae. Jenis-jenis tersebut adalah Alpinia rubricaulis K. Schum., Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen., Etlingera sp., Alpinia eremochlamys K. Schum., Etlingera sp., dan Alpinia monopleura K. Schum.

Kata kunci : Jahe, jenis, morfologi, melindungi, identifikasi, menjelajah

I. PENDAHULUAN

Pulau Sulawesi sebagai hasil dari suatu proses geologi yang kompleks, merupakan muara tempat bercampurnya (harbors a melange) berbagai spesies hewan dan tumbuhan dalam persentase besar yang tidak dapat ditemukan di tempat manapun di dunia (Lee,R.J, et.al 2001). Sulawesi sejak diperkenalkan oleh Wallace, banyak peneliti yang kagum dengan ekologinya sebagai kumpulan ekosistem yang sangat beragam dan kompleks sehingga banyak ditemukan flora dan fauna yang unik dan endemik. Pengetahuan ini kemudian menjadikan Sulawesi sebagai ekoregion prioritas bagi pelestarian keanekaragaman hayati. Sebagai ekoregion prioritas di bioregion Wallaceae, Sulawesi juga tidak luput dari berbagai tekanan dan ancaman terhadap kelestarian keanekaragaman hayati.

Luas pembukaan kawasan hutan di Sulawesi cukup tinggi. Hal ini dapat terlihat bahwa dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini, 21% area hutan di Sulawesi bagian utara telah berubah fungsi atau ditebang, karena pembalakan, pertambangan, kebakaran, pertanian dan perluasan wilayah (Lee,R.J, et.al 2001). Semua itu secara drastis telah mengurangi habitat flora maupun fauna. Hal ini sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan karena baik flora maupun fauna yang endemik ataupun potensial yang belum dikenal akan mengalami penyusutan secara kuantitas maupun kualitas.

Page 44: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Morfologi Zingiberaceae….. Julianus Kinho

37

Penelitian dasar mengenai keanekaragaman jenis flora di Sulawesi masih sangat diperlukan. Apabila dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia, jumlah spesimen tumbuhan (herbarium) yang telah dikoleksi dari Pulau Sulawesi masih sangat sedikit kira-kira 23 spesimen per 100 km2, sedangkan di Pulau Jawa tercatat hampir 1.000 spesimen/100 km2 (Whitten et al., 1987). Aktifitas geologi pada masa lalu menyebabkan Pulau Sulawesi secara biogeografi terisolasi dari pulau-pulau di sebelah barat (Asiatis), maupun di sebelah timur (Australis). Isolasi geografi dan kondisi lingkungan seperti variasi topografi, gradien elevasi, dan variasi jenis tanah menyebabkan flora dan fauna di bioregion ini berkembang secara khas (Siebert, 2000). Struktur dan komposisi biota pulau ini sangat unik, walaupun jumlah jenisnya relatif sedikit, dimana jumlah jenis tumbuhan tinggi diperkirakan hanya 5.000 spesies, termasuk 2.100 tumbuhan berkayu (Whitten et al., 1987; Keβler et al., 2002). Jumlah spesimen tumbuhan yang telah dikoleksi dari Pulau Sulawesi diperkirakan sebanyak 32.500 spesimen (Keβler et al., 2002 dalam Pitopang, 2004).

Jenis tumbuhan yang telah dikoleksi dari Pulau Sulawesi diantaranya adalah jenis-jenis herba. Tumbuhan herba memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung ekosistem hutan. Salah satu fungsi tumbuhan herba dalam ekosistem hutan yaitu untuk menghambat limpasan permukaan pada lantai hutan yang dapat menyebabkan erosi permukaan pada saat musim hujan. Tumbuhan herba juga banyak digunakan dalam pengobatan tradisional, bahkan tidak sedikit dari jenis-jenis herba dari hutan, telah didomestikasi dan dikembangkan. Jenis-jenis tumbuhan herba dari famili Zingiberaceae (jahe-jahean) merupakan tanaman multiguna yang sudah banyak dibudidayakan dan dikembangkan baik sebagai tanaman hias, maupun sebagai tanaman obat. Anggota dari famili ini masih memiliki kerabat liar yang hidup di hutan-hutan tropis Indonesia, khususnya di Sulawesi Utara yang belum banyak diketahui jenis dan manfaatnya.

Data dan informasi tentang jenis-jenis tumbuhan dari famili Zingiberaceae di kawasan Cagar Alam Gunung Ambang, Sulawesi Utara belum banyak diketahui. Eksplorasi dan identifikasi perlu dilakukan untuk

Page 45: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

38

mengetahui karakteristik morfologi setiap jenisnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi jenis-jenis Zingiberaceae di CA. Gunung Ambang. II. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di sekitar Danau Alia sampai Danau Iloloi pada kawasan Cagar Alam Gunung Ambang pada tanggal 21 Nopember - 4 Desember 2008. B. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah roll meter, mistar, minicaliper, cutter, gunting stek, parang, kamera digital, camcorder dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan terdiri dari alkohol 70%, kertas koran, tali raffia, selotip dan kantong spesimen. C. Prosedur Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Survey ini dilaksanakan dengan melakukan eksplorasi di semua situs yang berpotensi ditemukannya jenis-jenis target bertumbuh secara alami. Pengambilan data dilakukan dengan cara pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan, pengambilan dokumentasi dan pengambilan spesimen herbarium. Spesimen yang dikumpulkan selanjutnya diidentifikasi di Herbarium Bogoriense (BO) dan Herbarium Royal Botanical Garden Edinburgh (E). D. Analisa Data

Data hasil identifikasi dan karakterisasi yang dikumpulkan, selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kawasan hutan di sekitar

Danau Alia di Kabupaten Bolaang Mongondow sampai Danau Iloloi di

Page 46: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Morfologi Zingiberaceae….. Julianus Kinho

39

Kabupaten Minahasa Selatan terdapat sedikitnya 6 jenis tumbuhan dari famili Zingiberaceae yang hidupnya menyebar pada ketinggian 478-1.480 m dpl. Jenis-jenis ini banyak dijumpai hidup berkoloni dan lebih banyak dijumpai pada daerah terbuka atau daerah-daerah dengan tutupan tajuk yang tidak terlalu rapat. Jenis yang paling sering dijumpai adalah Tu’is (Alpinia monopleura), sedangkan jenis yang jarang dijumpai adalah Tu’is sarewou (Etlingera sp.).

Tu’is (A. monopleura) memiliki ciri khas yang dapat dibedakan dari jenis lainnya yaitu jenis ini umumnya tumbuh berumpun dengan perawakan yang cukup besar, pembungaan (inflorescence) dan pembuahan (infructescence) selalu muncul pada bagian ujung dari cabang daun (terminal of leaf). Tangkai bunga dan buah dari jenis Tu’is (A. monopleura) memiliki ukuran yang cukup panjang yang bisa mencapai lebih dari 50 cm.

Tu’is sarewou (Etlingera sp.) merupakan jenis dengan ciri khas yang unik dan berbeda dari jenis-jenis Tu’is lainnya (Zingberaceae) yang ditemukan di CA. Gunung Ambang, khususnya disekitar Danau Alia sampai Danau Iloloi. Jenis ini memiliki ciri yang sangat khas yaitu pada permukaan kulit buahnya selalu basah karena terdapat cairan berlendir. Jenis ini umumnya ditemukan pada daerah yang lembab dengan tutupan tajuk hutan yang tidak terlalu rapat sekitar 60-70%.

Daftar jenis Zingiberaceae yang dijumpai pada kawasan CA. Gunung Ambang, di sekitar Danau Alia Kabupaten Bolaang Mongondow sampai Danau Iloloi, Kabupaten Minahasa Selatan ditampilkan dalam Tabel 1.

Page 47: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

40

Tabel 1. Daftar jenis Zingiberaceae di sekitar Danau Alia sampai Danau Iloloi pada kawasan Cagar Alam Gunung Ambang

No

Nama Botani Nama Daerah Keterangan

1 Alpinia rubricaulis K.Schum Tu’is (Bahasa Totabuan dan Bahasa Minahasa)

2 Etlingera heliconiifolia (K.Schum.)A.D. Poulsen

Tu’is (Bahasa Totabuan dan Bahasa Minahasa)

3 Etlingera sp. 1. Tu’is sarewou

(Bahasa Tontemboan)

4 Alpinia eremochlamys K.Schum Tu’is (Bahasa Minahasa)

5 Etlingera sp. 2. Tu’is (Bahasa Tontemboan)

6 Alpinia monopleura K.Schum Tu’is (Bahasa Minahasa)

Deskripsi Jenis Zingiberaceae Deskripsi jenis-jenis Zingiberaceae di sekitar Danau Alia Kabupaten

Bolaang Mongondow sampai Danau Iloloi Kabupaten Minahasa Selatan pada kawasan Cagar Alam Gunung Ambang adalah sebagai berikut :

1. Alpinia rubricaulis K. Schum.

Nama Daerah : Tu’is (Bahasa Totabuan dan Bahasa Minahasa)

Ciri Morfologi

Perawakan : Herba terestrial, tinggi 2-3,5 m. Hidup berkelompok atau berumpun.

Daun : Daun majemuk dengan panjang 2-3 m, lebar bentangan daun 1-1,5m.

Anak Daun : Bentuk anak daun memanjang dengan panjang ± 67 cm, lebar anak daun 13,5 cm; panjang tangkai anak daun 12 cm, permukaan anak daun bergelombang, pinggiran anak daun bergelombang dangkal.

Page 48: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Morfologi Zingiberaceae….. Julianus Kinho

41

Bunga : Bunga majemuk, terletak pada bagian ujung dari cabang daun (terminal on leafy shoot), panjang tangkai bunga 30-50 cm, bunga berwarna merah muda, kelopak berwarna putih, tangkai putik berwarna merah muda.

Buah : Banyak dalam satu kumpulan bertangkai, buah oval tidak berekor, jumlah buah 46 atau lebih, warna buah merah sampai merah tua, warna tangkai buah merah dengan panjang 30 cm, permukaan kulit buah mengkilap, berbulu halus dengan ciri utama tangkai buah berwarna merah.

Habitat : Tanah berpasir dan tanah berbatu, dengan solum sedang, cukup bahan organik, di daerah perbukitan dan daerah lembab dengan sedikit pencahayaan.

Perbanyakan : Dapat diperbanyak dengan menggunakan buah maupun dengan rimpang yang bertunas.

Ciri Utama : Tangkai bunga dan atau tangkai buah berwarna merah, permukaan daun bergelombang

Gambar 1. Bunga dan buah Alpinia rubricaulis K.Schum

Keterangan : a,b,c : Perbungaan (inflorescense) d,e : Perbuahan (infructescence) f : Buah (fruit)

Page 49: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

42

3. Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen

Nama Daerah : Tu’is (Bahasa Totabuan dan Bahasa Minahasa)

Ciri Morfologi Perawakan : Herba terestrial,tinggi 3-6 m. Hidup berkelompok

atau berumpun.

Daun : Daun majemuk,panjang daun 4-6 m, lebar daun 2-3 m, permukaan daun licin, ujung daun tumpul

Anak Daun : Bentuk anak daun memanjang, dengan panjang 131 cm, lebar 16 cm, panjang tangkai anak daun 1-2 cm, duduk anak daun selang seling.

Bunga : Bunga majemuk, berwarna merah dengan sedikitwarna putih dibagian tengah

Buah : Buah berasal dari rhizome,diatas permukaan tanah,banyak dalam satu kumpulan bertangkai (tandan), bentuk dasar buah seperti jantung dengan permukaan buah bersisik, jumlah tandan buah 2, kadang-kadang lebih, panjang buah 25,3 cm dengan lebar 10,3 cm, warna buah merah.

Habitat : Hidup di tanah alvisol dan tanah berbatu dengan solum sedang, cukup bahan organik, di daerah lereng (slope).

Perbanyakan : Dapat diperbanyak dengan menggunakan buah maupun dengan rimpang yang bertunas

Ciri Utama : Permukaan anak daun licin mengkilap, buah berbentuk jantung, permukaan kulit buah bersisik kasar

Page 50: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Morfologi Zingiberaceae….. Julianus Kinho

43

Gambar 2. Bunga, buah dan daun Etlingera heliconiifolia.

3. Etlingera sp. 1.

Nama Daerah : Tu’is sarewou (Bahasa Tontemboan) Ciri Morfologi Perawakan : Herba terestrial, tinggi 4-5 m. Hidup

berkelompok atau berumpun.

Daun : Panjang daun 3-5 m, lebar bentangan daun 1-3 m.

Anak Daun : Letak anak daun selang seling, bentuk anak daun memanjang, panjang anak daun 53 cm, lebar anak daun 11 cm, panjang tangkai anak daun 2-5 cm.

Bunga : Berasal dari rhizome, bunga majemuk, berwarna kuning, dengan lingkar putih, perhiasan bunga ada, bau khas tidak ada.

Buah : Berwarna merah, banyak dalam satu kumpulan bertangkai, permukaan buah berlendir, bentuk buah bulat telur, jumlah buah 5 atau lebih dalam satu rumpun, panjang buah 4,5 cm-13 cm dengan lebar 5,2-6,8 cm.

Habitat : Hidup di tanah liat, dengan solum sedang, cukup bahan organik, di daerah lereng yang agak

Perbungaan Perbuahan

Daun

Page 51: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

44

lembab

Perbanyakan : Dapat dilakukan dengan menggunakan buah maupun dengan rimpang yang bertunas.

Ciri Utama : Buahnya berlendir .

Gambar 3. Daun, bunga dan buah Etlingera sp.

4. Alpinia eremochlamys K. Schum.

Nama Daerah : Tu’is (Bahasa Minahasa) Ciri Morfologi Perawakan : Herba terestrial,tinggi 2-3 m. Hidup berkelompok atau

berumpun.

Daun : Panjang daun 3-5 m, lebar bentangan daun 2-2,5 m, permukaan daun licin mengkilap, ujung daun runcing.

Anak Daun : Letak anak daun selang seling, bentuk anak daun memanjang, panjang anak daun 40-57 cm, lebar anak

Perbuahan Daun

Perbungaan

Perbungaan Belahan Buah

Page 52: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Morfologi Zingiberaceae….. Julianus Kinho

45

daun 9-11,5 cm. Panjang tangkai anak daun 3-7 cm.

Bunga : Terletak pada bagian tengah ujung daun (terminal on leafy shoot), dalam satu tangkai bunga.

Buah : Berwarna hijau sampai hijau tua, banyak dalam satu kumpulan bertangkai, bentuk buah bulat berekor, jumlah buah dalam satu tangkai 35, diameter buah 1,7 cm.

Habitat : Hidup di tanah alvisol dan tanah berbatu dengan solum sedang, cukup bahan organik, di daerah lembah.

Perbanyakan : Dapat dilakukan dengan menggunakan buah maupun dengan rimpang yang bertunas.

Ciri Utama : Buah bulat berekor, dengan tangkai anak buah yang pendek, permukaan kulit buah licin dan terdapat garis yang nyata.

Gambar 4. Daun dan buah Alpinia eremochlamys K.Schum.

Daun (leaf) Perbuahan (infructescence)

Page 53: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

46

5. Etlingera sp. 2. Nama Daerah : Tuis (Bahasa Tontemboan) Ciri Morfologi Perawakan : Herba terestrial,tinggi 2-3 m. Hidup berkelompok atau

berumpun

Daun : Panjang daun 1-2 m, lebar bentangan daun 80-100 cm, permukaan daun licin mengkilap berwarna hijau, belakang daun berwarna merah bata.

Anak Daun : Bentuk anak daun memanjang, panjang anak daun 46 cm, lebar anak daun 13 cm, panjang tangkai anak daun 4-6 cm, duduk anak daun selang-seling, belakang anak daun muda berwarna merah bata, anak daun tua berwarna merah kecoklatan, berbulu halus, pinggiran anak daun bergelombang.

Bunga : Tidak tampak pada saat penelitian

Buah : Tidak tampak pada saat penelitian

Habitat : Hidup di tanah alvisol, dengan solum dalam, cukup bahan organik, di daerah lembah yang agak lembab.

Perbanyakan : Dapat dilakukan dengan menggunakan rimpang yang bertunas.

Ciri Utama : Tepi anak daun bergelombang, belakang anak daun muda berwarna merah bata, belakang anak daun tua berwarna merah kecoklatan, berbulu halus.

Page 54: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Morfologi Zingiberaceae….. Julianus Kinho

47

Gambar 5. Tampak belakang dan depan daun Etlingera sp2.

6. Alpinia monopleura K. Schum.

Nama Daerah : Tu’is (Bahasa Minahasa) Ciri Morfologi Perawakan : Herba terestrial,tinggi 4-6 m. Hidup berkelompok atau

berumpun.

Daun : Daun majemuk dengan panjang 2-3 m, lebar bentangan daun 1-1,5 cm.

Anak Daun : Duduk anak daun selang seling, bentuk anak daun memanjang dengan panjang 115-120 cm, lebar anak daun 15-20 cm, panjang tangkai anak daun 12-13 cm, belakang anak daun berbulu halus agak lebat.

Bunga : Terletak pada bagian ujung dari cabang daun (terminal on leavy shoot), bunga majemuk dengan panjang tangkai bunga 95-100 cm (kadang labih). Panjang tangkai anak bunga 5-7 cm berwarna putih krem kecoklatan, perhiasan bunga ada, tangkai bunga berwarna hijau muda kekuningan, bunga berwarna putih.

Tampak belakang daun Tampak depan daun

Page 55: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

48

Buah : Buah banyak dalam satu kumpulan bertangkai, panjang tangkai buah 97 cm, dengan jumlah buah 77 buah, panjang tangkai anak buah 5 cm, tangkai buah berwarna hijau muda, buah tersusun ganjil genap 1-2-1-2, dst. Satu tangkai anak buah terdiri dari 2 bulir namun hanya satu yang berhasil menjadi buah, satu bulir lainnya kadang-kadang masih berbunga bulir yang satunya sudah menjadi buah dengan diameter 1,6-1,9 cm.

Habitat : Hidup di tanah aluvial, solum sedang, cukup bahan organik, di daerah lembah yang terbuka.

Perbanyakan : Dapat dilakukan dengan menggunakan buah dan rimpang yang bertunas.

Ciri Utama : buah bulat, berekor, dalam satu tangkai anak buah terdapat dua bulir namun hanya satu yang menjadi buah.

Gambar 6. Daun dan buah Alpinia monopleura K.Schum.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat 2 jenis jahe hutan yang memiliki perawakan yang cukup besar yaitu Etlingera heliconiifolia (K.Schum.) A.D. Poulsen dan Alpinia monopleura K.Schum dengan tinggi bisa mencapai 6 m atau lebih. Perbedaan utama pada kedua jenis ini yaitu pada letak perbungaan (inflorescence) dan perbuahan (infructescence) dimana untuk jenis Etlingera heliconiifolia (K.Schum.) A.D. Poulsen., bunga dan buahnya keluar dari rimpang atau rhizome dan terkadang tertimbun oleh serasah atau tanah sedangkan untuk jenis Alpinia monopleura K. Schum bunga dan buahnya terletak padabagian ujung dari cabang daun (terminal of leaf). Perbungaan dan perbuahan pada Alpinia

Daun Perbungaan Daun dan buah

Page 56: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Morfologi Zingiberaceae….. Julianus Kinho

49

monopleura cukup panjang dan menjuntai sehingga mudah dikenal. Selain kedua ciri di atas, terdapat ciri lainnya yang dapat membedakan keduanya yaitu pada tulang primer anak daun untuk jenis Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen tidak kaku sehingga tidak mudah patah sedangkan pada jenis Alpinia monopleura K. Schum tulang primer anak daunnya sangat kaku sehingga mudah patah.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

1. Terdapat 6 (enam) jenis dari famili Zingiberacae yang terdapat di sekitar Danau Alia sampai dengan Danau ilIoloi pada kawasan Cagar Alam Gunung Ambang.

2. Jenis-jenis Zingiberaceae yang terdapat di sekitar Danau Alia sampai Danau Iloloi adalah Alpinia rubricaulis K. Schum., Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen., Etlingera sp., Alpinia eremochlamys K. Schum., Etlingera sp., dan Alpinia monopleura K. Schum.

3. Terdapat 2 (dua) jenis Zingiberaceae yang memiliki perawakan yang cukup besar yaitu Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen dan Alpinia monopleura K. Schum dengan tinggi bisa mencapai 6 m atau lebih. Perbedaan utama pada kedua jenis ini yaitu pada letak bunga dan buah, dimana untuk jenis Etlingera heliconiifolia (K. Schum.) A.D. Poulsen., bunga dan buahnya keluar dari rimpang atau rhizome dan terkadang tertimbun oleh serasah atau tanah sedangkan untuk jenis Alpinia monopleura K. Schum bunga dan buahnya terletak pada bagian ujung dari cabang daun dengan ukuran yang cukup panjang dan menjuntai sehingga mudah dikenal.

Page 57: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

50

DAFTAR PUSTAKA

Kinnaird,M.F.1997. Sulawesi Utara Sebuah Panduan Sejarah Alam. Yayasan Pengembangan Wallacea. Jakarta.

Keβler, P.J.A., M.Bos, S.E.C. Sierra Daza, L.P.M.Willemse, R.Pitopang, and S.R.Gradstein. 2002. Checklist of Woody Plants of Sulawesi, Indonesia. Blumea Suplement 14:1-160.

Lee,R.J. 1998. Ecological Assessments and Recomendations for Gunung Ambang Nature Reserve in North Sulawesi, Indonesia. WCS. New York,USA.

Lee, R.J., J. Riley, dan R. Merrill. 2001. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Di Sulawesi Bagian Utara. WCS-IP dan NRM. Jakarta.

Poulsen,A.D. 2006. Gingers of Sarawak.A Pocket Guide.Natural History Publication (Borneo). Kota Kinabalu,Sabah,Malaysia in association with Royal Botanical Garden Edinburgh,Scotland.

Ramadhanil, P., dan R.Gradstein. 2004. Herbarium Celebense (CEB) dan Peranannya Dalam Menunjang Penelitian Taksonomi Tumbuhan di Sulawesi. Jurnal Biodiversitas Volume 5, Nomor 1. Hal 36-41.

Siebert, S.F. 1998. Rattan Use, Economics, Ecology and Management in the Southern Lore Lindu National Region of Sulawesi Indonesia. Missoula: School of Forestry. University Montana, Missoula.

Tjitrosoepomo, G. 1997. Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Whitten, A.J., M. Mustafa and G.S. Henderson. 1987. The Ecology of Sulawesi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Page 58: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi….. Arif Irawan

51

KETERKAITAN STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI TERHADAP KEBERADAAN ANOA DI KOMPLEKS GUNUNG PONIKI

TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE SULAWESI UTARA The Relations of Vegetation Structure and Composition

to the Presence of Anoa in Mount Poniki, Bogani Nani Wartabone National Park, North Sulawesi

Arif Irawan

Balai Penelitian Kehutanan Manado

Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec.Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email : [email protected]

ABSTRACT

Sulawesi is an island with arichbiodiversity and high level of endemicity. Anoa (Bubalus sp.) is one of the mammals currently of concern to many parties because their existence is increasingly threatened. This study is aimed to investigate the vegetation structure and composition of Mount Poniki, an area Bogani Nani Wartabone National Park, and their relation to the presence of anoa. The vegetation was recorded using circular plot methods with radius r= 17.8 meter. The study employed correlation analysis between density, dominance, and diversity and anoa’s foot print found in the area. The collected data include all plant species within the sampling plot. The tree curve structure at Mount Poniki similar is an inverse “J” shape and the vegetation consist of a complete stage A, B, C, D, and E stratification. The species composition at sapling and pole is dominated with Orophea sp. with Importance Value Index (IVI) 57.8% and 51.7%. Tree level is dominated by Calophyllum soulattri Burm.f (IVI=32.1%). The result of correlation test showed that three variables of vegetation structure and composition have significance value greater than 0.05 or in the other words the variables of density, dominance, and tree diversity do not influence the presence of anoa in this area.

Keywords: Vegetation, structure, composition, anoa

Page 59: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

52

ABSTRAK

Pulau Sulawesi merupakan wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya yang sebagian besarnya adalah jenis endemik. Anoa (Bubalus spp.) merupakan salah satu mamalia yang saat ini sedang menjadi perhatian banyak pihak karena keberadaannya yang semakin terancam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi di Kompleks Gunung Poniki, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone serta kaitannya dengan keberadaan anoa pada kawasan ini. Pencatatan vegetasi menggunakan metode circular plot dengan data yang dikumpulkan meliputi semua jenis vegetasi yang terdapat di dalam plot lingkaran yang memiliki jari-jari 17,8 meter. Analisis data menggunakan uji korelasi antara variabel kerapatan, dominasi, dan keragaman pohon dengan jumlah jejak anoa yang ditemukan. Struktur sebaran kurva pohon di Kompleks Gunung Poniki menyerupai huruf “J” terbalik dan tingkat stratifikasi vegetasi tersusun atas stratum yang lengkap yaitu stratum A, B, C, D, dan E, Komposisi jenis di kawasan ini didominasi jenis Orophea sp. pada tingkat anakan pohon dan pohon muda dengan nilai INP sebesar 57.8% dan 51.7% , sedangkan pada tingkat pohon didominasi oleh jenis Calophyllum soulattri Burm.f (INP=32.1%). Selanjutnya dari hasil uji korelasi dapat diketahui bahwa ketiga variabel struktur dan komposisi vegetasi memiliki nilai signifikansi lebih besar dari 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa variabel kerapatan, dominasi, dan keragaman pohon tidak mempengaruhi keberadaan anoa di kawasan ini. Kata kunci :Vegetasi, struktur, komposisi, anoa

I. PENDAHULUAN

Pulau Sulawesi merupakan salah satu wilayah penting, karena secara geografis terletak di antara Paparan Sunda dan Sahul, sehingga menyebabkan pulau ini dihuni oleh banyak perwakilan keanekaragaman hayati dunia yang sebagian besar diketahui merupakan jenis endemik. Adapun tingkat endemisitas yang dimaksud diantaranya terdapat pada kelompok mamalia dimana dari 114 jenis yang ditemukan di pulau ini 60% (53 jenis) adalah endemik, dari kelompok aves 380 jenis dimana 25% atau (96 jenis) diantaranya adalah endemik, dari kelompok serangga, khususnya kupu-kupu Sulawesi memiliki 560 jenis dengan 235 jenis (42%) adalah endemik, dari kelompok reptilia tercatat 46 jenis kadal Sulawesi dan 18 jenis diantaranya adalah endemik.1

Page 60: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi….. Arif Irawan

53

Anoa (Bubalus spp.) merupakan salah satu mamalia endemik Sulawesi yang saat ini sedang menjadi perhatian banyak pihak karena keberadaannya yang semakin terancam. Sebenarnya anoa merupakan satwa langka endemik sulawesi yang statusnya sudah dilindungi sejak tahun 1931 berdasarkan ordonansi peraturan perlindungan binatang Liar 1931 No. 134 dan 266, kemudian diperkuat dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 yang dipertegas dengan surat Keputusan Menteri Kehutanan No.301/Kpts-II/1991 dan No. 882/Kpts-II/1992 serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.2 IUCN (International Union For Conservation Of Natural Resources) memasukkan anoa ke dalam red data book dengan kategori endangered.3 Sedangkan CITES (Convention of International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan anoa dalam Appendiks I, yaitu lampiran dari memorandum yang dikeluarkan CITES yang berisi jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang dilarang untuk ditangkap, dibunuh dan diperdagangkan di seluruh dunia.4Namun tidak berjalannya penegakan aturan tersebut selama ini menyebabkan seolah peraturan-peraturan yang telah dibuat menjadi tidak berarti.

Bedasarkan hasil kajian Mustari5 banyak kawasan hutan yang dahulunya dikenal sebagai habitat anoa sudah tidak dijumpai kembali keberadaan satwa ini didalamnya. Seperti yang terjadi di Cagar Alam Tangkoko Batuangus di Bitung Sulawesi Utara, anoa punah secara lokal. Hal ini merupakan salah satu akibat dari konversi kawasan hutan baik legal maupun illegal menjadi lahan pertanian, perkebunan, pemukiman dan lain-lain. Selain itu menurunnya kualitas habitat ini juga diakibatkan oleh kerusakan vegetasi (misalnya penebangan yang tidak terkendali, pembakaran atau bencana alam).

Salah satu tempat yang menjadi habitat anoa di Sulawesi Utara yang semakin terancam keberadaannya adalah di bagian pedalaman Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Hasil wawancara dengan masyarakat yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado pada tahun 2009, di kawasan Desa Toraut tepatnya di Kompleks Gunung Poniki satwa ini masih dapat dijumpai walaupun diperkirakan jumlahnya terus menurun. Hal

Page 61: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

54

ini dapat diindikasikan melalui frekuensi perjumpaan masyarakat dengan satwa ini yang sudah semakin jarang.

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) yang semula bernama Taman Nasional Dumoga Bone ditetapkan sebagai taman nasional oleh Menteri Kehutanan tahun 1990 dengan luas ± 287.115 hektar. Secara administratif wilayah ini terletak pada dua provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo. Topografi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone beragam mulai dari datar, bergelombang ringan sampai berat dan berbukit terjal dengan ketinggian tempat berkisar antara 50 - 1.970 m dpl dengan kawasan terbagi menjadi hutan lumut, hutan hujan pegunungan rendah, hutan hujan dataran rendah dan hutan sekunder.6 Luasnya wilayah dan bervariasinya topografi mengakibatkan masih banyak hal yang belum tergali dari kawasan ini, salah satunya terkait informasi vegetasi yang merupakan salah satu data dasar untuk digunakan dalam pengelolaannya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi di kawasan Kompleks Gunung Poniki, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan kaitannya dengan keberadaan anoa di dalamnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan dalam mengembangkan pelestarian anoa dan kawasan TNBNW secara komprehensif.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yaitu pada Kompleks Gunung Poniki. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data struktur dan komposisi vegetasi serta jejak anoa yang ditemukan di Kompleks Hutan Gunung Poniki. Pencatatan struktur dan komposisi vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode circular plot. Data yang dikumpulkan meliputi semua jenis vegetasi yang terdapat di dalam plot lingkaran yang berjari-jari 17,8 m dan jumlahnya sebanyak 18 plot. Penempatan titik pusat lingkaran dilakukan pada lokasi yang banyak di dalamnya ditemukan jejak kaki anoa. Pencatatan vegetasi dilakukan untuk tingkat anakan pohon atau

Page 62: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi….. Arif Irawan

55

sapling (diameter < 10 cm), pohon muda atau poles (diameter 10-35 cm) dan tingkat pohon atau trees (> 35 cm).

Pencatatan data dilakukan terhadap semua jumlah, jenis, diameter serta tinggi pohon yang terdapat dalam plot penelitian. Data tersebut digunakan untuk mendapatkan dominasi berdasarkan kerapatan, frekuensi, dan dominasi (Persamaan 1, 3, 5) yang selanjutnya dijumlahkan untuk memperoleh indeks nilai penting (Persamaan 7) masing-masing jenis pohon7.

Tingkat keanekaragaman jenis (diversitas) dihitung dengan menggunakan persamaan Shannon Index of Diversity (Persamaan 8)8 sebagai berikut :

(H’) =

………………………(1)

………(2)

…(4)

…………………(5)

…(6)

……………………………………(8)

……...…(3)

Page 63: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

56

dimana nilai H’ merupakan Indeks Keanekaragaman Shannon (Shannon Index of Diversity), adalah Proporsi individu jenis ke-I terhadap semua

jenis, adalah Jumlah individu suatu jenis, dan adalah Jumlah individu

seluruh jenis. Selanjutnya untuk mengetahui kaitan antara struktur dan komposisi vegetasi terhadap keberadaan anoa (jumlah jejak kaki yang ditemukan) digunakan uji korelasi dengan tingkat kepercayaan yang digunakan sebesar 95 %. III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang dilakukan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone pada kawasan Kompleks Gunung Poniki diketahui bahwa jumlah pohon yang ditemukan adalah 98 jenis (95 jenis telah teridentifikasi) yang berasal dari 48 famili dengan jumlah individu sebanyak 4.762. Jumlah tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Gunawan,10 pada lokasi yang sama ditemukan jenis pohon sebanyak 107 jenis. Hasil pencatatan di Kompleks Gunung Poniki tersebut juga sesuai dengan yang dinyatakan Vickery dalam Indriyanto7 bahwa jumlah jenis pohon yang ditemukan dalam hutan hujan tropis lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada ekosistem lainnya, seperti jika dibandingkan dengan hasil komposisi vegetasi pada blok Adudu di SM Nantu Gorontalo yang merupakan hutan dataran rendah, tercatat sebanyak 61 jenis10

Hasil tabulasi menunjukkan bahwa jumlah individu terbanyak yang ditemukan yaitu jenis Orophea sp dengan jumlah individu 1.039, diikuti oleh Calophyllum soulattri Burm.f.dan Psychotria sp masing-masing sebanyak 532 dan 251 individu.

Page 64: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi….. Arif Irawan

57

Tabel 1. Sepuluh jenis dominan di petak contoh Kompleks Gunung Poniki TNBNW

No Nama Latin Family Jumlah Individu

1 Orophea sp. Annonaceae 1039 2 Calophyllum soulattri Burm.f. Clusiaceae 532 3 Psychotria sp. Rubiaceae 251 4 Meliosma nitida Blume. Sabiaceae 207 5 Alangium javanicum Wang. Alangiaceae 194 6 Aphanamixis grandifolia Blume. Meliaceae 173 7 Crypteronia griffithii Clarke. Crypteroniaceae 161 8 Cratoxylum celebicum Blume. Hypericaceae 157 9 Antidesma montanum Blume. Euphorbiaceae 142

10 Tricalysia minahasae Comb. Rubiaceae 130

Selanjutnya dari tabel 2 dapat diketahui keragaman famili

berdasarkan perbandingan antara jumlah jenis dan jumlah individu pohon yang terdapat di lokasi. Tabel 2. Sepuluh famili dominan di petak contoh Kompleks Gunung Poniki

TNBNW

No Famili Jumlah Individu

Prosentase (%)

Jumlah Jenis

Prosentase (%)

1 Annonaceae 1095 22.99 5 5.26 2 Euphorbiaceae 345 7.24 9 9.47 3 Lauraceae 57 1.20 5 5.26 4 Meliaceae 252 5.29 6 6.32 5 Moraceae 55 1.15 4 4.21 6 Myristicaceae 73 1.53 4 4.21 7 Rubiaceae 521 10.94 5 5.26 8 Anacardiaceae 5 0.10 3 3.16 9 Elaeocarpaceae 30 0.63 3 3.16

10 Sapindaceae 85 1.78 3 3.16

Page 65: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

58

Jumlah jenis tertinggi yang ditemukan pada Kompleks Gunung Poniki adalah dari famili Euphorbiaceae dengan jumlah jenis sebanyak 9 (sembilan) jenis (9,47%) dan jumlah individu 345 individu, diikuti Famili Meliaceae sebanyak 6 (enam) jenis (6,32%) dengan jumlah individunya 252 individu.

Struktur tegakan pohon di Kompleks Gunung Poniki dibagi berdasarkan kelas diameter < 10 cm, 10-20 cm, 20-30 cm, 30-40 cm dan diameter > 40 cm. Struktur tegakan pohon adalah hubungan antara banyaknya pohon dengan kelas diameter dan tinggi dalam suatu plot penelitian.11 Nilai ini diharapkan dapat menggambarkan keadaan tegakan yang berada di suatu wilayah tertentu secara umum. Kelas diameter yang mendominasi tegakan di Kompleks Gunung Poniki adalah tingkat diameter < 10 cm dan semakin menurun pada kelas diameter selanjutnya. Grafik struktur tegakan secara lengkap dapat ditampilkan pada Gambar 1.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran pohon di lokasi kawasan Kompleks Gunung Poniki menyerupai huruf “J” terbalik (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa populasi pohon yang berdiameter besar

Gambar 1. Struktur tegakan berdasarkan hubungan antara kelas diameter dengan jumlah pohon di Kompleks Gunung Poniki.

Page 66: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi….. Arif Irawan

59

relatif menurun drastis seiring dengan pohon yang berdiameter kecil sehingga secara umum mengakibatkan jumlah pohon menurun secara drastis seiiring dengan pertumbuhan kelas diameter. Kondisi tersebut merupakan hal yang normal bagi keberadaan suatu hutan alam, karena biasanya komposisi pohon berdiameter kecil lebih banyak jumlahnya dari pohon berdiameter besar. Hal ini dimungkinkan adanya tingkat persaingan antar individu tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berupa cahaya, air tanah, oksigen, unsur hara, dan karbon dioksida.

Struktur tinggi pohon di Kompleks Gunung Poniki diperoleh dengan membagi berdasar stratifikasi tajuk yang merupakan susunan tumbuhan secara vertikal di dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Tiap lapisan dalam stratifikasi itu disebut stratum. Stratifikasi tajuk komunitas hutan di Kompleks Gunung Poniki tersusun atas stratum yang lengkap mulai stratum A hingga E. Secara lengkap jumlah pohon pada masing-masing tingkatan stratum dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Tingkat stratifikasi pohon di Kompleks Gunung Poniki.

A : Tinggi tegakan ≥ 30 m; B : Tinggi tegakan 20-30 m; C : Tinggi tegakan 4-20 m; D : Tinggi tegakan 1-4 m; E : Tinggi tegakan 0-1 m

Page 67: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

60

Indriyanto8 menjelaskan bahwa adanya tingkat stratum dikarenakan persaingan antar tumbuhan serta sifat toleransi spesies pohon terhadap radiasi matahari. Selain itu stratum juga menunjukkan kelas umur dari masing-masing vegetasi penyusun hutan. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari tidak seragamnya tajuk-tajuk pohon (stratum) di Komplek Gunung Poniki, atau dengan kata lain di hutan ini terdapat perbedaan kelas umur dari setiap vegetasi. Hal ini disebabkan karena pada hutan hujan tropis, faktor lingkungan berfluktuasi. Seperti yang umum dijumpai pada tegakan hutan alam di hutan hujan tropis bahwa stratifikasi (pelapisan tajuk hutan) berkembang dengan baik sehingga hutan hujan tropis yang sempurna akan memiliki lima strata atau lapisan tajuk hutan, yaitu strata A, B, C, D dan E. Kondisi seperti ini mencerminkan tegakan hutan tidak seumur.7 Selanjutnya untuk mengetahui tingkat komposisi suatu habitat digunakan analisis vegetasi, yaitu suatu cara untuk mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara bentuk vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan. Dengan analisis vegetasi diharapkan dapat diketahui komposisi vegetasi suatu ekosistem yang merupakan keseluruhan genetik dan jenis-jenis tumbuhan di dalam kawasan suatu ekosistem.

Hasil analisis vegetasi terhadap semua jumlah jenis yang ada di lokasi Kompleks Gunung Poniki diperoleh jumlah masing-masing tingkatan pohon sebanyak 89 jenis untuk anakan pohon, 66 jenis untuk tingkat pohon muda dan 37 jenis untuk tingkat pohon. Untuk menggambarkan secara kuantitatif keadaan vegetasi dari hasil analisis vegetasi digunakan parameter Kerapatan relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Dominasi Relatif (DR) dan Indeks Nilai Penting (INP).

Berdasarkan hasil perhitungan (Tabel 3) didapatkan nilai KR dominan di Kompleks Gunung Poniki untuk tingkat anakan pohon adalah jenis Orophea sp. dan Calophyllum soulattri Burm. Selanjutnya diketahui jenis Orophea sp, C. soulattri, Iilex cymosa Lamk, merupakan jenis yang paling tersebar karena ketiganya memiliki nilai FR yang terbesar. Untuk nilai Dominasi di Kompleks Gunung Poniki pada tingkatan ini jenis yang menonjol adalah jenis Orophea sp, C. soulattri dan Psychotria sp. Indeks Nilai Penting (INP) untuk tingkat anakan pohon di Kompleks Gunung Poniki

Page 68: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi….. Arif Irawan

61

tertinggi adalah Orophea sp., diikuti jenis C. soulattri dan Psychotria sp. Urutan nilai INP (Tabel 2) menggambarkan secara berurutan bahwa jenis-jenis tersebut merupakan jenis yang memiliki tingkat kepentingan yang lebih tinggi pada Kompleks Gunung Poniki dibandingkan jenis pohon yang lainnya atau dengan kata lain Kompleks Gunung Poniki merupakan habitat yang penting bagi keberadaan jenis-jenis tersebut. Dominasi tingkat anakan kelima jenis tersebut menunjukkan kemampuannya untuk mencapai lokasi distribusi dibandingkan jenis-jenis yang lain.

Tabel 3. Lima Jenis dominan pada tingkat anakan pohon (sapling) di petak

contoh Kompleks Gunung Poniki TNBNW

No Jenis

(Species) Famili

KR (%)

FR (%)

DR (%)

INP (%)

1 Orophea sp. Annonaceae 21.318 3.502 33.015 57.835 2 Calophyllum

soulattri Burm.f. Guttiferae 11.843 3.502 5.799 21.145 3 Psychotria sp. Rubiaceae 5.844 3.113 5.778 14.735 4 Meliosma nitida

Blume. Sabiaceae 4.403 2.335 4.482 11.219 5 Alangium

javanicum Wang. Alangiaceae 3.193 3.307 4.090 10.590

Selanjutnya dari hasil perhitungan (Tabel 4) diketahui nilai Kerapatan Relatif (KR) tingkat pohon muda didominasi oleh jenis Orophea sp. diikuti oleh jenis A. javanicum dan C soulattri. Sedangkan nilai Frekuensi Relatif (FR) pada tingkatan pohon muda didominasi secara berturut-turut adalah jenis Orophea sp., A. javanicum dan C. soulattri. Jenis Orophea sp. dan C. soulattri merupakan jenis yang tetap konsisten untuk tetap dominan seperti pada tingkatan anakannya. Hal ini berarti bahwa kedua jenis tersebut memiliki tingkat persaingan yang lebih menonjol terhadap jenis lainnya atau juga karena faktor regenerasi yang sangat baik. Untuk nilai Dominasi Relatif (DR) pada tingkatan pohon muda didominasi jenis Orophea sp., A.

Ket :KR=Kerapatan Relatif; FR=Frekuensi Relatif; DR=Dominasi Relatif; INP=Indeks Niai Penting

Page 69: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

62

javanicum,C. soulattri . Tidak seperti halnya pada tingkatan anakan sebelumnya nilai Dominasi Relatif untuk Orophea sp pada tingkatan ini tidak terlampau jauh dengan nilai Dominasi Relatif kedua. Hal ini dikarenakan selain faktor jumlah individunya yang semakin berkurang dibanding tingkatan sebelumnya juga karena jenis ini bukan merupakan jenis pohon yang berdiameter besar dibanding jenis pohon yang lain seperti Ficus sp., A. javanicum, dan C. soulattri. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon muda masih didominasi oleh jenis-jenis yang mendominasi pada tingkat anakan pohon. Selain jenis A. javanicum dan jenis pohon lain yang mendominasi antara lain Orophea sp. dan C. soulattri. Berdasarkan hasil ini dapat diketahui bahwa tingkat kepentingan jenis pohon tertinggi terhadap Kompleks Gunung Poniki adalah jenis Orophea sp. Dominasi pada tahap pohon muda ini menunjukkan kemampuan jenis tersebut untuk beradaptasi lebih baik dibandingkan jenis lainnya.

Tabel 4. Lima jenis dominan pada tingkat pohon muda (Poles) di petak

contoh Kompleks Gunung Poniki TNBNW

No Jenis

(Species) Famili

KR (%)

FR (%)

DR (%)

INP (%)

1 Orophea sp. Annonaceae 27.563 6.391 17.788 51.742 2 Alangium

javanicum Wang. Alangiaceae 8.123 6.015 8.569 22.706 3 Calophyllum

soulattri Burm.f. Guttiferae 6.258 5.263 6.379 17.901 4 Antidesma

montanum Blume. Euphorbiaceae 4.794 4.511 6.024 15.328

5 Meliosma nitida Blume. Sabiaceae 4.394 4.511 3.999 12.904

Ket :KR=Kerapatan Relatif; FR=Frekuensi Relatif; DR=Dominasi Relatif; INP=Indeks Niai Penting

Page 70: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi….. Arif Irawan

63

Hasil perhitungan pada tingkat pohon (Tabel 5) dapat diketahui bahwa jenis C. soulattri, Chionanthus macrophylla Wall., dan A. javanicum merupakan jenis yang mempunyai nilai Kerapatan Relatif (KR) lebih dominan dibandingkan jenis lainnya. Jenis Orophea sp., yang sebelumnya sangat menonjol sudah tidak mendominasi lagi. Hal ini disebabkan jenis Orophea sp. jarang ditemukan memiliki diameter di atas 35 cm, sehingga hanya jenis-jenis pohon yang berdiameter besar akan memiliki perbandingan lurus dengan jumlah individunya pada tingkat pohon.

Nilai Frekuensi Relatif (FR) dominan untuk tingkat pohon secara berurutan adalah jenis C. soulattri, Ficus sp, jenis C. macrophylla dan Dillenia serrata Thunb. D. serrata atau dikenal dengan nama leler, memilki nilai Kerapatan Relatif yang cukup tinggi. Jenis tersebut merupakan salah satu pohon yang dimanfaatkan buahnya oleh anoa sebagai pakan. Selanjutnya nilai Dominasi Relatif (DR) dominan adalah jenis Ficus sp., C. soulattri, Michelia alba Dc. Jenis Ficus sp. secara individu lebih jarang ditemukan, tetapi jenis ini memiliki nilai diameter lebih besar per individunya, sehingga nilai Dominasi Relatif (DR) jenis ini merupakan jenis yang dominan.

Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon didominasi oleh C. soulattri, Ficus sp., dan diikuti jenis C. macrophylla. Pada tingkat pohon jenis C. soulattri memiliki tingkat kepentingan terhadap Kompleks Gunung Poniki bukan lagi jenis Orophea sp. Dominasi terhadap jenis-jenis pada tingkat pohon menunjukkan bahwa jenis tersebut mampu beradaptasi dan beregenerasi pada habitatnya.

Page 71: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

64

Tabel 5. Lima jenis dominan pada tingkat pohon (trees) di petak contoh Kompleks Gunung Poniki TNBNW

No Jenis

(Species) Famili

KR (%)

FR (%)

DR (%)

INP (%)

1 Calophyllum soulattri Burm.f. Guttiferae 10.853 10.101 11.152 32.106

2 Ficus sp. Moraceae 6.202 7.071 17.312 30.584 3 Chionanthus

macrophylla Wall. Oleaceae 6.977 6.061 6.561 19.599

4 Michelia alba Dc.

Magnoliaceae 4.651 5.051 9.705 19.406

5 Ardisia villosa Roxb.

Myrsinaceae 6.202 4.040 8.594 18.836

Hasil analisis vegetasi dari ketiga tingkatan yang telah diuraikan di atas mengindikasikan bahwa regenerasi vegetasi di Kompleks Gunung Poniki tergolong cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari dominasi jenis yang sama pada tingkat anakan dan pohon muda, sedangkan pada tingkat pohon didominasi jenis berbeda dipengaruhi karakteristik jenis pohon. Berdasarkan nilai INP tersebut dapat diketahui bahwa Kompleks Gunung Poniki merupakan tipe hutan dengan klasifikasi hutan campuran.

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai korelasi (r) untuk mengetahui keterkaitan kerapatan pohon terhadap keberadaan anoa adalah sebesar 0,072 dengan nilai signifikasi sebesar 0,778. Nilai tersebut lebih besar dari 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada keterkaitan atau hubungan yang signifikan antara tingkat kerapatan pohon terhadap keberadaan anoa. Sedangkan nilai korelasi (r) untuk mengetahui hubungan dominasi pohon terhadap keberadaan anoa adalah sebesar 0,119 dengan besaran nilai signifikansinya adalah 0,638. Berdasarkan nilai tersebut maka dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel

Ket :KR=Kerapatan Relatif; FR=Frekuensi Relatif; DR=Dominasi Relatif; INP=Indeks Niai Penting

Page 72: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi….. Arif Irawan

65

tingkat dominasi pohon terhadap keberadaan anoa. Untuk nilai keragaman jenis pohon dalam suatu wilayah dapat diketahui melalui nilai indeks keanekaragaman jenis. Nilai ini merupakan gambaran tingkat keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas tumbuhan. Jika nilainya semakin tinggi maka semakin meningkat pula tingkat keanekaragaman komunitas tersebut. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai korelasi (r) adalah 0,009 dengan nilai signifikansi sebesar 0,972. Berdasarkan nilai tersebut karena signifikansi yang lebih besar dari 0,05 maka tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel keragaman jenis pohon terhadap keberadaan anoa di Kompleks Gunung Poniki.

Hasil perhitungan pengaruh ketiga variabel struktur dan komposisi tersebut dapat diketahui bahwa dalam memilih daerah habitat dan juga daerah jelajahnya (home range), satwa ini tidak berdasarkan faktor tingkat kerapatan, tingkat dominasi, dan tingkat keragaman jenis pohon yang ada pada wilayah tersebut. Dari pengamatan di lapangan dimungkinkan terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh, sehingga disinyalir keberadaan anoa di suatu lokasi di Kompleks Gunung Poniki dipengaruhi gabungan beberapa faktor yang terkait dengan kebutuhannya dalam bertahan hidup. Beberapa faktor lain yang mungkin menjadi pendorong anoa menempati suatu habitat tertentu tersebut antara lain faktor akses manusia ke lokasi, keberadaan sumber pakan, ketersediaan garam mineral, kerapatan tajuk pohon, kerapatan tumbuhan bawah dan jarak lokasi dari sungai. IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Struktur dan komposisi vegetasi yang meliputi variabel kerapatan, dominasi, dan keragaman pohon tidak dapat dijadikan ukuran parameter keberadaan anoa pada kawasan ini. Jumlah jenis pohon yang ditemukan di TN Bogani Nani Wartabone pada kawasan kompleks Gunung Poniki sebanyak 98 jenis (95 jenis telah teridentifikasi) berasal dari 48 famili, dengan jumlah individu dan famili yang mendominasi adalah jenis Orophea sp dan famili Euphorbiaceae. Sebaran kurva pohon di lokasi Kompleks

Page 73: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

66

Gunung Poniki menyerupai huruf “J” terbalik dan tingkat stratifikasi vegetasi tersusun atas stratum tajuk lengkap. Komposisi jenis di kawasan ini didominasi jenis Orophea sp. pada tingkat anakan pohon dan pohon muda, sedangkan pada tingkat pohon yang didominasi oleh jenis Calophyllum soulattri Burm.f. Saran berdasarkan hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan Anoa di kompleks Gunung Poniki dapat diketahui pada lokasi-lokasi yang dimungkinkan memilki kecenderungan faktor akses manusia ke lokasi, keberadaan sumber pakan, ketersediaan garam mineral, kerapatan tajuk pohon, kerapatan tumbuhan bawah dan dimungkinkan pula jarak lokasi tersebut dari sungai.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut dan Lis Nurrani, S.Hut atas ijin penggunaan data untuk bahan analisis dalam tulisan ini serta kepada Yermias Kafiar, Sumarno N. Patandi, Harwiyaddin Kama, dan Syamsir Shabri yang telah banyak membantu pekerjaan di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

1Marthen. T.L 2003 “Fauna Endemik Sulawesi : Permasalahan dan Usaha Konservasi”

2Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Satwa Tumbuhan tanggal 27 Januari 1999

3IUCN. 2010. The IUCN Red List of Threatened Species www.iucnredlist.org. Diakses 28 Maret 2011

4Convention on International Trade in Endangared Species of Wild Fauna and Flora. www.cites.org. Diakses 28 Maret 2011

5Mustari, A.H. 2003. Ecology and conservation of lowland Anoa (Bubalus depressicornis) in Sulawesi, Indonesia. Disertasi. University of New England. England.

6Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. 2006. Revisi Zonasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Kotamobagu, Sulawesi Utara.

7Indriyanto. 2010. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.

Page 74: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi….. Arif Irawan

67

8Irwanto. 2007. Analisis Vegetasi untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Sekolah Pasca Sarjana UGM Yogyakarta.

9Gunawan, H. 1998. Struktur Vegetasi dan Status Populasi Satwaliar di Kompleks Hutan Gunung Poniki Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara.Buletin Penelitian Kehutanan 3(2):66-84.

10Arini, Irawan, Nurrani, Kafiar, Patandi, Kama, Shabri. 2010. Kajian populasi dan Habitat Anoa (Bubalus spp) pada Kawasan Konservasi di provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado.

11Samsoedin I. N.M,Heriyanto, dan E. Subiandono. 2010. Struktur dan Komposisi Jenis Tumbuhan Hutan Pamah di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita, Provinsi Banten, Jurnal Penelitian dan Konservasi Alam 8 (2) :134-148.

Page 75: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

68

Lampiran 1 Tabel 1. Struktur vegetasi masing-masing plot dan data jejak anoa yang dicatat

Plot Tingkat

Kerapatan Tingkat Dominasi

Tingkat Keragaman

Jumlah Jejak

1 161.8289 493.4956 2.74 3 2 212.0863 422.6847 3.15 4 3 284.4571 523.6259 3.22 6 4 266.3644 317.0591 2.26 2 5 332.7042 755.3141 2.47 4 6 270.385 257.584 2.52 2 7 329.6888 322.3943 3.15 6 8 230.179 487.0555 2.79 7 9 352.8072 392.15216 2.75 3

10 293.5034 353.6909 2.59 7 11 249.2769 492.3722 2.39 15 12 213.0915 168.6085 2.26 2 13 281.4416 452.655 2.97 4 14 226.1584 200.5552 2.71 3 15 319.6373 535.7021 2.52 7 16 176.9061 326.1399 2.66 2 17 255.3077 238.7066 2.75 15 18 330.6939 385.3639 2.88 3

Page 76: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Keterkaitan Struktur dan Komposisi Vegetasi….. Arif Irawan

69

Co

rrel

atio

ns

1.0

72.0

09.1

19.7

78.9

72.6

3818

1818

18.0

721

.107

.285

.778

.674

.252

1818

1818

.009

.107

1.1

29.9

72.6

74.6

1018

1818

18.1

19.2

85.1

291

.638

.252

.610

1818

1818

Pea

rson

Cor

rela

tion

Sig

. (2

-tai

led)

N Pea

rson

Cor

rela

tion

Sig

. (2

-tai

led)

N Pea

rson

Cor

rela

tion

Sig

. (2

-tai

led)

N Pea

rson

Cor

rela

tion

Sig

. (2

-tai

led)

N

jum

lah_

jeja

k

Ker

apat

an

Ker

agam

an

Dom

inas

i

jum

lah_

jeja

kK

erap

atan

Ker

agam

anD

omin

asi

Tabe

l 2. O

utpu

t Kor

elas

i Jej

ak A

noa

terh

adap

Tin

gkat

Ker

apat

an, D

omin

asi,

dan

Ker

agam

an

Poho

n di

Kom

plek

s Gun

ung

Poni

ki

Page 77: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

70

Page 78: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat….. Lis Nurrani

71

KARAKTERISTIK PEMANFAATAN LAHAN HUTAN OLEH MASYARAKAT SEKITAR KAWASAN TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE

The Characteristic of Using Land by communities about Bogani Nani Wartabone National Park

Lis Nurrani

Balai Penelitian Kehutanan Manado

Jalan Raya Adipura Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget-Manado. Telp. (0431) 3666683 Email : [email protected]

ABSTRACT

Research patterns of forest land use by local communities within the National Park Bogani Nani Wartabone conducted in four villages namely Mengkang, Lolanan, matayangan and Toraut Village. The purposed of this studied was identified patterns of forest land use and its impact on socio-economic and forest communities. The method of collected data through interviews using questionnaires list of people who make land use, the respondents in each village as many as 30 people. The majority rural communities as farmers and farm workers as a result of lack livelihood in rural and other low skills in the field of community is one of the causes of forest land into agricultural land. The result showed that the applied pattern of society in the form of polyculture gardens (85%) and the fields of monoculture or polyculture. Garden dominated by annual crops such as coconut, chocolate, clove, coffee and vanilla, while the field is dominated by corn and soybean crops. The result of cross tabulation, followed by chi square test showed that there was no causal relationship between the origins population variables of the status of land ownership and also there is no causal linkage between the variable area of the average revenue per in the community. Incomes are still below the minimum wage as much as 72% of North Sulawesi. Polyculture garden gives the production function and the function is relatively balanced, while the field has only the production function. Keywords : Land use, community, national parks

Page 79: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

72

ABSTRAK

Penelitian pola pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat lokal di dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dilaksanakan pada empat desa yaitu Desa Mengkang, Desa Lolanan, Desa Toraut dan Desa Matayangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola-pola pemanfaatan lahan hutan dan dampak ekologis terhadap hutan serta sosial ekonomi masyarakat setempat. Metode pengumpulan data menggunakan daftar kuesioner terhadap masyarakat yang melakukan pemanfaatan lahan di dalam kawasan. Responden diambil secara purposive random sampling sebanyak 30 orang tiap desa. Analisis data menggunakan analisis tabulasi silang (cross tab) yang dilanjutkan dengan uji chi square test. Kondisi masyarakat desa yang mayoritas sebagai petani dan buruh tani sebagai akibat dari kurangnya mata pencaharian di desa serta rendahnya keterampilan masyarakat di bidang lainnya merupakan salah satu penyebab adanya pemanfaatan lahan hutan menjadi lahan pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola yang diterapkan masyarakat berupa kebun polikultur (85%) dan ladang monokultur maupun polikultur. Kebun didominasi oleh tanaman tahunan seperti kelapa, coklat, cengkeh, kopi dan vanili, sedangkan ladang didominasi oleh tanaman musiman jagung dan kedelai. Hasil analisis tabulasi silang yang dilanjutkan dengan uji chi square test menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel asal-usul penduduk dengan status kepemilikan lahan demikian juga untuk variabel luas lahan dengan pendapatan petani. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat masih dibawah UMP Sulawesi Utara sebanyak 72%. Kebun polikultur memberikan fungsi produksi dan fungsi relatif seimbang sedangkan ladang hanya memiliki fungsi produksi. Kata kunci : Pemanfaatan lahan, masyarakat, Taman Nasional

I. PENDAHULUAN

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) termasuk dalam tipe ekosistem hutan dataran rendah dan dataran tinggi. Memiliki keanekaragaman jenis yang sangat tinggi sehingga menjadi kantong kawasan konservasi darat bagi tumbuhan dan satwa yang sangat potensial di sepanjang jazirah pulau Sulawesi. Satwa endemik yang menghuni diantaranya adalah maleo, babirusa, rangkong sulawesi, tarsius dan monyet sulawesi. Sedangkan jenis tumbuhan endemik antara lain kayu matayangan, kayu inggris, eboni dan berbagai jenis anggrek (BTNBNW, 2006)

Page 80: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat….. Lis Nurrani

73

Tekanan penduduk terhadap lahan yang semakin meningkat didorong oleh adanya potensi kawasan hutan seperti kayu, lahan subur dan potensi lainnya menyebabkan tingkat kerusakan ekosistem TNBNW tergolong tinggi.

Adanya benturan kepentingan antara pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar kawasan dengan kepentingan konservasi dapat menimbulkan konflik yang akan berakibat buruk pada kelestarian hutan itu sendiri. Untuk mengetahui sejauh mana dampak dari pemanfaatan lahan hutan ini maka perlu dilakukan penelitian bentuk-bentuk pemanfaatan lahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat di dalam kawasan TNBNW. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi pemanfaatan lahan hutan dan dampaknya terhadap kelestarian hutan.

II. METODE PENELITIAN

A. Risalah Lokasi Penelitian 1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2010 di empat desa yang berada di sekitar kawasan TNBNW yaitu Desa Mengkang, Kecamatan Lolayan; Desa Lolanan, Kecamatan Sang Tombolang; Desa Toraut, dan Desa Matayangan, Kecamatan Dumoga Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow-Sulawesi Utara.

2. Letak dan Luas Taman Nasional Bogani Nani Wartabone secara geografis terletak

antara 0°20’ – 0°5’ LU dan 123° 0’ – 124°18’ BT. Secara administratif wilayah ini terletak pada dua provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Utara (Kabupaten Bolaang Mongondow, meliputi 14 kecamatan) dan Provinsi Gorontalo (Kabupaten Bone Bolango, meliputi 4 kecamatan). Kawasan ini ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 724/Kpts-II/1993 tanggal 8 Nopember 1993 dengan luas 287.115 ha dengan perincian seluas 170.115 ha di Provinsi Sulawesi Utara dan 110.000 ha terletak di Provinsi Gorontalo.

Page 81: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

74

3. Keadaan Topografi, Tanah dan Iklim Kondisi topografi kawasan TNBNW bervariasi mulai dari datar,

bergelombang, sampai berbukit dan bergunung pada ketinggian 50-1.970 mdpl. Sebagian besar wilayah atau sekitar 90% luas TNBNW mempunyai kelerengan 25-45%. Jenis-jenis tanah yang ditemukan di kawasan TNBNW meliputi latosol, podsolik, renzina, aluvial dan andosol. Bahan induk tanah terutama berasal dari bahan vulkanis (BTNBNW, 2006). Pada kawasan yang mengandung batuan kapur dan vulkanik biasanya bertopografi terjal dengan tanah dangkal bertekstur sedang dan peka terhadap erosi.

Tipe iklim di kawasan TNBNW berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson tergolong tipe A, B dan C. Curah hujan relatif merata sepanjang tahun dengan periode musim penghujan di bulan Nopember-Januari dan Maret-Mei, sedangkan periode kering pada bulan agustus-September. Secara umum curah hujan rata-rata tahunan di Lembah Dumoga sebesar 1.700 - 2.200 mm/th, sedangkan di wilayah Gorontalo sebesar 1.200 mm/th. Kelembaban udara disekitar kawasan pada umumnya tinggi.

4. Kondisi Ekosistem dan Zonasi Keragaman tipe ekosistem pada kawasan TN BNW dibagi menjadi 4

tipe ekosistem utama, yaitu ekosistem hutan sekunder pada daerah bekas penambangan, perambahan yang tidak terpelihara; ekosistem hutan hujan dataran rendah (hutan pamah) ditemukan pada ketinggian 300-1000 m dpl, umumnya terletak di atas batuan vulkanis; ekosistem hutan hujan pegunungan rendah terdapat pada ketinggian 1000-1600 m dpl, kanopi rendah dan sedikit terbuka, vegetasi bawah cukup tebal dengan jenis-jenis rotan, pandan, dan paku-pakuan; dan ekosistem hutan lumut pada ketinggian di atas 1600 m dpl, disekitar puncak pegunungan (BTNBNW, 2006).

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone terbagi menjadi empat zona (revisi tahun 2006) yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona rehabilitasi. Zona rehabilitasi diperuntukkan pada lokasi-lokasi yang mengalami kerusakan atau perubahan fungsi. Zona ini diarahkan untuk

Page 82: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat….. Lis Nurrani

75

pengembalian ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alaminya dengan melibatkan masyarakat.

B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sebagian

kawasan TNBNW beserta masyarakat sekitarnya yang beraktivitas didalam kawasan tersebut.

Alat yang digunakan adalah Peta kerja, GPS, kamera, Tally sheet, kuesioner, milimeter blok, tali plastik, voice recorder, papan data dan alat tulis.

C. Prosedur Penelitian Metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah dengan

wawancara, kuesioner, observasi dan studi literatur. Penarikan sampel secara purposive random sampling, setiap desa dipilih 30 KK sebagai responden. Sehingga jumlah responden keseluruhan ada 120 KK yang tersebar di empat desa. Untuk menggambarkan struktur dan komposisi lahan digambarkan melalui sketsa dengan ukuran 20 x 50 m.

D. Analisa Data � Data dan informasi hasil pengamatan dikompilasi dalam bentuk tabel

frekuensi, kemudian dideskripsikan dan diinterpretasikan menggunakan analisis deskriptif untuk menggambarkan pola pemanfaatan lahan, jenis tanaman, potensi lahan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan taman nasional.

� Analisis tabulasi silang (crosstab) dengan pengujian chi square test dilakukan pada variabel asal-usul penduduk terhadap status kepemilikan serta variabel luas lahan terhadap pendapatan yang diperoleh untuk mengetahui pengaruh hubungan antar variabel tersebut.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar TN. Bogani Nani Wartabone

Kondisi sosial masyarakat di empat desa sekitar kawasan taman nasional dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 83: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

76

Table 1. Kondisi sosial masyarakat di empat desa sekitar kawasan TNBNW

Karakteristik Lokasi Desa

Desa Mengkang

Desa Lolanan

Desa Toraut Desa

Matayangan

Asal - usul penduduk

Asli (100%) Asli (83%) Pendatang

(17%)

Asli (63%) Pendatang

(37%)

Asli (20%) Pendatang

(80%)

Jumlah KK 55 228 926 214

Pekerjaan :

Petani dan buruh tani

( 98%) Pedagang

(2%)

Petani dan buruh tani

(90%) Pedagang

(10%)

Petani dan buruh tani

(78%) Pedagang (10%) Pertambangan

(12 %)

Petani dan buruh tani

(90%) buruh panjat kelapa (10%)

Bahan utama perumahan

Kayu Kayu, Bata Kayu Kayu

Jarak ke - hutan 0,5 - 4 km 1 - 2 km * * - lahan garapan 0,5 - 6 km 4 - 5 km 0 – 30 km 1 – 6 km

(*) tidak ada data

Keterangan :

� Penduduk asli merupakan masyarakat suku Mongondow yang merupakan suku asli di Sulawesi Utara khususnya di Bolaang Mongondow.

� Penduduk pendatang merupakan masyarakat yang berasal dari luar suku Mongondow seperti suku lain di wilayah Silawesi Utara dan transmigran dari Jawa dan Bali.

Masyarakat sekitar kawasan TNBNW di empat desa didominasi oleh

suku asli Mongondow. Suku pendatang berasal dari Minahasa, Sanger dan Bugis serta transmigran dari Jawa dan Bali sejak tahun 1970-an (transmigran khusus di desa Matayangan). Mata pencaharian utama mereka adalah petani dan buruh tani bagi mereka yang tidak memiliki lahan garapan sendiri. Pekerjaan sampingan yang sering dilakukan adalah sebagai buruh panjat kelapa, buruh petik cengkeh, buruh angkut peralatan tambang dari desa ke lokasi galian, dan buruh angkut tanah yang mengandung emas

Page 84: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat….. Lis Nurrani

77

dari lokasi galian menuju tempat pengolahan emas. Pekerjaan sampingan dilakukan pada masa jeda setelah masa tanam selesai dan sebelum datang masa panen. Penghasilan dari pekerjaan sampingan ini sangat bermanfaat membantu pemenuhan kebutuhan hidup karena hasil panen tidak memadai, serta dijadikan sebagai modal yang digunakan sebagai biaya pada masa tanam dan panen nanti.

Hasil pengamatan terhadap responden pada empat desa sekitar TNBNW menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat berpenghasilan di atas Rp. 1.000.000 sebesar 28 %, 48% berpenghasilan antara Rp 500.000 – Rp. 1.000.000, dan 24% yang masih di bawah Rp. 500.000 (Grafik 1). Menurut Sukanto (2000) dalam buku ekonomi perkotaan, ukuran kemiskinan bermacam-macam ada yang berdasarkan penghasilan, ada yang berdasarkan konsumsi dan ada yang didasarkan pada luas perumahan. Namun kemiskinan pada hakikatnya merupakan perbedaan antara penghasilan dan standard hidup minimum. Sayogjo menetapkan batas kemiskinan dengan menggunakan ekuivalen konsumsi beras sebanyak 360 kg per kapita per tahun. Jika dibandingkan dengan standar upah minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara melalui Peraturan Gubernur No. 33A Tahun 2011 tentang Upah Minimum Provinsi sebesar Rp. 1.050.000,-, maka hanya 28% masyarakat sekitar TNBNW yang berpenghasilan di atas UMP. Sedangkan 72% masyarakat masih di bawah UMP, ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan TNBNW masih rendah.

Page 85: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

78

Grafik 1. Persentase rata-rata pendapatan hasil panen per bulan responden.

Salah satu penyebab rendahnya penghasilan petani adalah adanya

sistem ijon oleh tengkulak. Petani sangat bergantung pada tengkulak yang menyediakan bibit, pupuk, dan insektisida dengan konsekuensi mereka harus menjual hasil ladang terutama jagung kepada tengkulak tersebut. Melalui sistem paket, yaitu tiap 1 hektar lahan terdiri dari 4 paket, tiap paket memuat bibit, pupuk dan pembasmi hama yang digunakan selama masa tanam hingga panen tiba. Harga bibit, pupuk, insektisida dan hasil panen juga dikendalikan oleh tengkulak, sehingga pendapatan yang diperoleh petani hanyalah sisanya. Ini menjadi kerugian yang besar bagi taman nasional. Disamping perambahan kawasan terus berlanjut, kesejahteraan masyarakat pun tetap terpuruk. Hanya segelintir orang saja yang bisa menikmati hasilnya.

2. Latar Belakang Adanya Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat

Lokal Beberapa hal yang perlu dicermati adalah latar belakang masyarakat

mengolah lahan (memanfaatkan lahan hutan) di dalam kawasan Taman Nasional, dapat digolongkan menjadi beberapa yaitu :

a) Masyarakat lokal telah mengolah lahan sejak sebelum ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan Taman Nasional.

Page 86: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat….. Lis Nurrani

79

b) Semakin berkurangnya lahan garapan dan jenis mata pencaharian di desa sekitar kawasan Taman Nasional.

c) Potensi lahan hutan lebih subur/produktif dibandingkan dengan lahan yang berada di desa serta bebas biaya pajak kepemilikan lahan garapan.

d) Adanya lahan-lahan terbuka, kritis dan terlantar bekas HPH dan penebangan liar (illegal logging) mengundang masyarakat untuk masuk dan mengolah disana.

Beberapa sebab adanya ketimpangan adalah kurangnya koordinasi antara pengelola Taman Nasional, Pemda setempat serta masyarakat lokal. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya informasi dan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai batas-batas kawasan dan pengaturan pengelolaan bersama. Kurangnya sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu hal yang harus segera ditindak lanjuti selain peningkatan pengamanan oleh petugas taman nasional, sebab pembangunan hutan tidak akan pernah tercapai selama kesejahteraan masyarakat terabaikan. 3. Luas Pemilikan Lahan Garapan Masyarakat

Luas lahan garapan masyarakat yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan luas pemilikan lahan garapan

Luas lahan Jumlah persen (%) tiap desa Jumlah

Total (%)

Desa Mengkang

Desa Lolanan

Desa Toraut

Desa Matayangan

< 2 ha 54 33 40 64 47,75

antara 2 - 4 ha

43 64 52 33 48

> 4 ha 3 3 8 3 4,25

Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas pemilikan lahan masyarakat dari empat desa sekitar TNBNW dibagi menjadi tiga kategori, yaitu pemilikan lahan sempit (< 2 Ha), pemilikan lahan sedang (antara 2 – 4

Page 87: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

80

Ha) dan pemilikan lahan luas/besar (> 4 Ha) dengan persentasi berturut-turut sebesar 47,75%, 48% dan 4,25%. Lahan yang dimiliki oleh masyarakat berasal dari membuka hutan/belukar dengan cara sistem tebas bakar.

Hasil analisis tabulasi silang (crosstab) yang kemudian dilanjutkan dengan pengujian chi square test terhadap variabel luas lahan garapan masyarakat terhadap rata-rata pendapatan per bulan yang didapatkan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan saling mempengaruhi diantara keduanya (Tabel 3). Artinya seberapapun luas masyarakat membuka hutan untuk dijadikan lahan garapan ternyata tidak memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan taraf kehidupan mereka. Hal ini disebabkan karena ada sistem ijon yang sudah membudaya di masyarakat. Tabel 3. Nilai uji chi square test terhadap variabel luas lahan garapan

masyarakat terhadap rata-rata pendapatan masyarakat per bulan 4. Pola Pemanfatan Lahan Garapan yang Diterapkan Oleh Masyarakat

Pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh masyarakat di empat desa sekitar TNBNW dapat dilihat dalam Tabel 4.

Chi-Square Tests

7.257a 4 .1238.610 4 .072

2.089 1 .148

120

Pearson Chi-SquareLikelihood RatioLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases

Value dfAsy mp. Sig.

(2-sided)

3 cells (33.3%) hav e expected count less than 5. Theminimum expected count is 1.45.

a.

Page 88: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat….. Lis Nurrani

81

Tabel 4. Pola pemanfaatan lahan garapan yang diterapkan oleh masyarakat

Indikator

Distribusi frekuensi tiap desa (%) Rata-rata

jumlah (%)

Desa Mengkang

Desa Lolanan

Desa Toraut

Desa Matayangan

a. Kebun 70 100 70 100 85 b. Ladang 3 0 30 0 8,25

c. Kombinasi antara keduanya

27 0 0 0 6,75

Mayoritas masyarakat dari empat desa sekitar TN. Bogani Nani

Wartabone memanfaatkan lahan hutan di dalam kawasan taman nasional untuk dijadikan sebagai lahan pertanian kering berupa kebun sebanyak 85%. Pola pertanian lainnya adalah ladang dan kombinasi diantara keduanya dengan prosentase 8,25% dan 6,75%.

Kebun dikelola secara polikultur artinya dalam satu bentang lahan garapan lebih dari dua jenis tanaman. Baik itu antar tanaman tahunan seperti coklat, kelapa, cengkeh, kopi dan vanili maupun antara tanaman tahunan dengan tanaman musiman seperti jagung, dan cabe (rica-Manado). Tanaman buah-buahan lokal seperti durian, matoa, langsat, dan rambutan juga ditanam diantara tanaman kebun, meskipun persentasenya sangat sedikit. Ladang masyarakat didominasi oleh tanaman jagung, baik ditanam secara monokultur maupun polikultur. Secara polikultur jagung ditanam bersama-sama dengan tanaman tahunan seperti kelapa dan coklat dalam satu bentang lahan.

Pola ladang polikultur selain menambah pendapatan secara ekonomi juga berperan dalam perlindungan tanah terutama kesuburan dan erosi. Adanya naungan akan menjaga kestabilan tanah dari ancaman erosi permukaan tanah dan kehilangan hara tanah yang lebih banyak lagi bila dibandingkan dengan pola ladang monokultur.

Page 89: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

82

5. Struktur dan Komposisi Jenis Tanaman Penyusun Lahan Garapan Masyarakat

Lahan garapan masyarakat disusun oleh beberapa jenis tanaman berdasarkan pola pemanfaatan lahan yang diterapkan, dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi jenis tanaman yang menyusun lahan garapan

masyarakat

Indikator Gambaran komposisi tanaman tiap lokasi

Desa Mengkang

Desa Lolanan

Desa Toraut

Ds. Matayangan

Jenis Tanaman Penyusun Kebun

- Perkayuan Nantu,

Mahoni, Cempaka

Kayu sirih Nantu, sengon,

pala

dadap, pala, nantu

- Tanaman perkebunan

coklat, kelapa, kopi, cengkeh

cengkeh, coklat, kelapa

coklat, kelapa, panili

coklat, kelapa, panili

- MPTS kemiri, durian,

rambutan, langsat, matoa

durian, langsat

rambutan, nanas, pisang, mangga

rambutan, langsat, durian matoa, kemiri, nangka, nanas,

langsat, rambutan,

nangka, matoa, durian,

- Palawija - Jagung jagung, cabe jagung, cabe

- Sayuran

-

Gedi, tomat, cabe,

terong

- -

Indikator Gambaran komposisi tanaman tiap lokasi

Ds. Mengkang Ds.

Lolanan Ds. Toraut Ds. Matayangan

Jenis Tanaman Penyusun Ladang

- Perkayuan - -

nantu, sengon

-

- Tanaman perkebunan

- - kelapa, coklat

-

- MPTS - - Durian -

Page 90: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat….. Lis Nurrani

83

- Palawija jagung,

kedelai kacang - jagung -

Cengkeh merupakan komoditi utama yang dibudidayakan

masyarakat Lolanan, disamping karena memiliki nilai ekonomi tinggi, juga karena lahan garapan masyarakat yang terletak pada ketinggian ± 635 mdpl sesuai dengan syarat tumbuh tanaman ini. Kelapa merupakan salah satu komoditi unggulan Sulawesi Utara dengan produk utama penghasil kopra sebagai bahan baku pembuatan minyak kelapa dan produk turunan lainnya. Masyarakat menanam kopi dan coklat disertai dengan pohon pelindung/naungan, yang biasanya dipilih jenis dadap (Erythrina subumbrans Merr). Selain berfungsi sebagai naungan, pohon ini juga dapat menjaga kesuburan tanah.

Gambar 1. Struktur tanaman yang menyusun kebun polikultur.

Nantu, cempaka dan mahoni merupakan tanaman hasil dari

pengkayaan yang merupakan salah satu program dari pengelola TNBNW ataupun tanaman yang memang sudah ada di lahan tersebut yang tidak ditebang pada saat pembukaan/pembersihan lahan. Sedangkan kayu sirih (Piper sp) banyak ditemui di kebun sebagai tanda adanya perubahan fungsi

Ket Gambar: Ne (Nangka) Kp (Kopi) Ki (Kemiri) Ka (Kelapa) Ck (Cokelat) Mt (Matoa) Du (Durian) Rb (Rambutan)

Page 91: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

84

hutan dari ekosistem hutan dataran rendah menjadi ekosistem hutan sekunder yang dimanfaatkan masyarakat sebagai kayu bakar.

Komposisi jenis tanaman kebun yang dibudidayakan masyarakat terdiri lebih dari 4 macam tanaman keras yang dapat dibagi kedalam tiga stratum tajuk lihat Gambar 1. Stratum atas dihuni oleh MPTS yang didominasi oleh tanaman buah-buahan seperti durian, kelapa, rambutan dan kemiri. Dengan ciri tajuknya tidak terlalu rimbun, secara ekologi menaungi tanaman yang ada di bawahnya dan salah satu keuntungan dari durian adalah daunnya mudah busuk terdekomposisi mikroorganisme. Stratum tengah dihuni oleh tanaman kopi, coklat, cengkeh, jeruk dan pisang. Sedangkan stratum bawah dihuni oleh semak belukar, rumput dan tanaman semusim seperti cabe, jagung dan sayuran sebagai bahan makanan tambahan petani. Pengaturan tataruang pola ladang yang sering diterapkan oleh masyarakat dapat dilihat pada Gambar 2 dengan tanaman utama yang dibudidayakan adalah tanaman jagung.

Gambar 2. Ladang masyarakat.

6. Fungsi Ekonomi dan Ekologi Tiap Pola Pemanfaatan Lahan

Siklus tanam jagung dua kali dalam setahun. Setelah masa panen selesai biasanya masyarakat membersihkan lahan dengan cara dibakar. Kebiasaan tersebut dapat menyebabkan dampak buruk seperti peningkatan suhu udara, polusi asap hingga hilangnya atau berkurangnya nutrient dalam

Page 92: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat….. Lis Nurrani

85

hara tanah dan penimbunan kandungan karbon (C) dalam tanah yang akan menurunkan produktivitas lahan dan tentu saja mengganggu ekosistem kawasan disekitarnya.

Potensi tanaman kayu disekitar kebun ditemui jenis kayu sirih (Piper sp), yang dimanfaatkan masyarakat sebagai kayu bakar dan kayu dadap (Erythrina subumbrans Merr) yang berfungsi sebagai naungan tanaman coklat dan kopi. Umumnya masyarakat masih enggan menanam tanaman pohon di lahan mereka karena beranggapan bahwa pohon akan mengurangi ruang bagi tanaman musiman, sehingga akan mengurangi hasil panen. Padahal justru sebenarnya dengan adanya pohon maka akan semakin meningkatkan produktivitas tanah. Menurut Suharjito. (2003) keberadaan pohon dalam ladang/kebun mempunyai dua peranan utama. Pertama, pohon dapat mempertahankan produksi tanaman semusim dan memberikan pengaruh positif pada lingkungan fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan hara dan energi, dan menahan daya perusak air dan angin. Kedua, hasil dari pohon berperan dalam ekonomi rumah tangga petani.

Jenis tanaman serba guna (MPTS) yang banyak dibudidayakan di keempat desa adalah tanaman buah-buahan yang merupakan buah lokal Wilayah Bolaang Mongondow yaitu durian, matoa, langsat, rambutan, nangka, mangga dan pisang. Tanaman buah-buahan dapat memberikan manfaat secara ekonomi maupun secara ekologi. Secara ekonomi tanaman ini menghasilkan buah yang dapat memberikan nilai tambah bagi pendapatan masyarakat, sedangkan secara ekologi tanaman ini dapat menjaga keseimbangan hara tanah yang dibutuhkan tanaman disekitarnya dalam pertumbuhan dan produktivitasnya serta mengurangi erosi permukaan tanah.

7. Dampak Ekologis Alih Fungsi Kawasan Hutan TNBNW

Perubahan fungsi lahan di Toraut-Matayangan sangat berpengaruh pada kondisi fisik wilayah disekitarnya. Perubahan suhu udara, berkurangnya mata air dan semakin keruhnya air sungai yang mengalir

Page 93: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Info BPK Manado Volume 1 No 1, November 2011

86

disekitar desa merupakan salah satu indikator yang langsung dirasakan oleh masyarakat.

Dampak lain dari semakin terbukanya lahan hutan menjadi lahan pertanian adalah semakin terdesaknya habitat satwa liar penghuni kawasan Taman Nasional. Satwa liar yang dulu sering ditemui di hutan dekat desa seperti anoa, babi, babi rusa dan beberapa burung sekarang mulai berkurang. Kebiasaan masyarakat lokal Sulawesi Utara yang suka berburu satwa liar ini juga menambah semakin berkurangnya populasi satwa tersebut. Saat ini masyarakat yang berburu harus menempuh jarak jauh (sampai menginap) untuk mencapai lokasi buruannya. IV. KESIMPULAN

Pola pemanfaatan lahan hutan menjadi lahan pertanian yang diterapkan oleh masyarakat sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakatnya. Sehingga kesejahteraan hidup yang didapatkan tidak sebanding dengan kerusakan hutan yang ditimbulkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Upah Minimum Propinsi Sulawesi Utara. www.suarakita-manado.com diakses tanggal 28 Februari 2011.

Arganita, E. 2010. Tipologi Sistem Tegalan Pada Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Merapi di Desa Glagaharjo, Kec. Cangkringan, Kab. Sleman, Yogyakarta. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta (tidak dipublikasikan).

Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. 2006. Revisi Zonasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Kotamobagu. Sulawesi Utara.

Benyamine, H.E. 2009. Perladangan Berpindah : Bentuk Pertanian Konservasi pada Wilayah Tropis Basah. http://borneojarjua2008.wordpress.com/2009/05/28/ di unduh tanggal 14 Desember 2010.

Bismark, M. Dan Reny S. 2008. Pengelolaan Lahan dan Hutan Rakyat Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka, jawa Barat. Info Hutan Vol. V No. 4 Tahun 2008. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Page 94: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

Karakteristik Pemanfaatan Lahan Hutan oleh Masyarakat….. Lis Nurrani

87

Hairiah, K., dkk. 2003. Pengantar Agroforestri. World Agroforestri Center (ICRAF). Bogor.

Iqbal Hasan. 2008. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Cetakan Ketiga. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Isw. 2010. Pertanian Tradisional + Polikultur = Ekologis dan Ekonomis. Bitra Indonesia. http://www.bitra.or.id/index.php?option=com_content&view=article. Diunduh tanggal 7 Desember 2010.

Suharjito, D., dkk. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestri. World Agroforestri Center (ICRAF). Bogor.

Wiratno, dkk. 2004. Berkaca di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Departemen Kehutanan, The Gibbon Foundation, Forest Press, dan PILI-NGO Movement.

Page 95: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

INFO BPK MANADO ISSN Vol. 1 No. 1, November Tahun 2011

INFO BPK Manado memuat karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, karya ilmiah atau pandangan ilmiah bidang kehutanan. Majalah ini terbit secara berkala dua kali dalam setahun.

Susunan Dewan Redaksi ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado No. SK. 15/VIII/BPKMND-3/2011 Tanggal 2 Mei 2011

Penanggung Jawab : Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado

Dewan Redaksi

Ketua Merangkap anggota : Dr. Ir. J.S. Tasirin, M.Sc. Anggota : 1. Dr. Ir. Martina A. Langi, M.Sc.

2. Ir. H. Walangitan, MP 3. Kristian Mairi, S.Hut, M.Sc. 4. Ir. La Ode Asir Tira, M.Si.

Sekretariat Redaksi

Ketua merangkap anggota : Kepala Seksi Data, Informasi dan Kerjasama Anggota : 1. Lulus Turbianti, S.Hut

2. M. Farid Fahmi, S.Kom

Diterbitkan oleh: Balai Penelitian Kehutanan Manado Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Alamat : Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Manado 95119 Telepon : (0431) 3666683 Email : [email protected] Website : www.bpk-manado.litbang.dephut.go.id Percetakan : IPB Press

Page 96: (Diospyros spp.) Di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara

PETUNJUK PENULISAN NASKAH “INFO BPK MANADO”

1. Judul harus jelas dan menggambarkan isi tulisan, ringkas tidak lebih dari

dua baris (tidak lebih dari 13 kata), ditulis dengan huruf Times New Roman font 12 dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

2. Naskah yang dikirim terdiri dari 10-20 halaman, 2 spasi, ukuran kertas A4 dan font ukuran 12.

3. Nama penulis ditulis dibawah judul dan dicantumkan tanpa gelar, dicantumkan pula alamat instansi, No. Telp/faks serta alamat email penulis.

4. Abstrak tidak lebih dari 200 kata, berisi intisari secara menyeluruh mengenai permasalahan, tujuan, metodologi dan hasil yang dicapai, dapat merangsang pembaca untuk mendapat informasi lebih lanjut, diketik dengan font 10 spasi satu. Ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

5. kata kunci ditulis di bawah abstrak dan maksimal lima kata kunci diketik miring dengan jarak satu spasi.

6. Tubuh naskah, diatur dalam Bab dan Sub bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan. Semua nomor ditulis rata di batas kiri tulisan, seperti: I,II,III, dst untuk Bab A, B, C, dst untuk Sub Bab 1, 2, 3, dst untuk Sub subbab a, b, c, dst untuk Sub sub subbab

7. Sistematik penulisan adalah sebagai berikut: Judul : Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris Abstrak : Bahasa Inggris Abstrak : Bahasa Indonesia I. Pendahuluan II. Bahan dan Metode III. Hasil dan Pembahasan IV. Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka

8. Tabel, gambar, grafik dan sejenisnya diberi nomor, judul dan keterangan. Penomoran tabel dan gambar digunakan angka internasional secara berurutan. Hanya kata pertama dari nama tabel dan gambar dimulai dengan huruf besar. Dibawah tabel atau gambar dicantumkan sumber data atau gambar.

9. Daftar pustaka merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah dan disajikan secara alphabetik nama belakang penulis pertama. Pustaka yang dirujuk diusahakan terbitan paling lama sepuluh tahun terakhir. Pustaka dapat berasal antara lain dari buku, jurnal, prosiding dan internet.