DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

150
DINAMIKA USAHA MENENGAH KECIL

Transcript of DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

Page 1: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

i

UKM dan Masalahnya

DINAMIKA USAHA

MENENGAHKECIL

Page 2: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

ii

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis ber dasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 ayat [1]).

2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan cip-taan; b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; c. Pener-jemahan ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; e. pendistribusian ciptaan atau salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h. Komuni kasi ciptaan; dan i. Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]).

3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [3]).

4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [4]).

Page 3: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

iii

UKM dan Masalahnya

Saparuddin MRifelly Dewi Astuti

DINAMIKA USAHA

MENENGAHKECIL

Page 4: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

iv

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

© Saparuddin M dan Rifelly Dewi AstutiDinamika Usaha Kecil dan Menengah/ Saparuddin M dan Rifelly Dewi

Astuti.; -- Yogya karta: Samudra Biru, 2017.viii + 142 hlm. ; 16 x 24 cm.ISBN : 978-602-5610-08-0

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau mem per-banyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun juga tanpa izin tertulis dari penerbit.

Cetakan I, Desember 2017

Penulis : Saparuddin M Rifelly Dewi AstutiEditor : Alviana CahyantiDesain Sampul : Muttakhidul FahmiLayout : Jack Riyan

Diterbitkan oleh:Penerbit Samudra Biru (Anggota IKAPI)Jln. Jomblangan Gg. Ontoseno B.15 RT 12/30Banguntapan Bantul DI YogyakartaEmail/FB : [email protected]: www.cetakbuku.biz/www.samudrabiru.co.idPhone: 0813-2752-4748

Page 5: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

v

UKM dan Masalahnya

Kata Pengantar

Sejak dibuatnya buku ini, sampai selesai proses pembuatannya penulis tak henti-hentinya memohon do’a restu dan perlindungan agar diberi kemampuan dalam menyusun buku ini. Oleh karena itu, penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, tidak saja karena penulis dapat menyelesaikan penyusunan buku ini, akan tetapi limpahan nikmat-Nya yang tidak ternilai dan tidak dapat dihitung yang diberikan kepada penulis.

Buku ini disajikan dengan harapan dapat dijadikan sebagai kontribusi terhadap pengembangan ilmu, juga dapat di jadikan bahan bacaan bagi kalangan umum, mahasiswa, dan dosen.

Penulis sadari bahwa sebagai manusia biasa, tidak terlepas dari berbagai keterbatasan dan kelemahan. Kondisi demikian berpengaruh terhadap penulisan buku ini, untuk itu dengan rendah hati dan penuh harapan, penulis mengharapkan kritikan dan saran dari pembacanya. Oleh karena itu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca untuk menyampaikan bahan input yang sangat berharga bagi penulis, guna perbaikan berikutnya.

Jakarta, 2017

Penulis

Page 6: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

vi

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Page 7: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

vii

UKM dan Masalahnya

Daftar Isi

Kata Pengantar ...................................................................................... vDaftar Isi ................................................................................................ vii

BAB 1 UKM dan Masalahnya ............................................................ 1BAB 2 Kemitraan Usaha...................................................................... 13BAB 3 Kebijakan Pemerintah ............................................................ 43BAB 4 Pendidikan dan Pelatihan ...................................................... 59BAB 5 Kesempatan Kerja .................................................................... 73BAB 6 Dinamika Industri Kecil dan Menengah ............................ 77BAB 7 Pemasaran Entrepreneurial ..................................................... 91

Daftar Pustaka ...................................................................................... 125Tentang Penulis .................................................................................... 141

Page 8: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

viii

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Page 9: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

1

UKM dan Masalahnya

Perpaduan ilmu pemasaran dan kewirausahaan telah berkembang dengan signifikan di beberapa penelitian dan literatur pada dekade

terakhir. Area perpaduan antara pemasaran dan entrepreneurship men-cakup 3 hal utama yaitu, fokus terhadap perubahan, peluang, dan inovasi (Collinson dan Shaw, 2001). Perkembangan studi dalam perpaduan ini membuat peneliti berkesempatan melakukan studi dan penelitian bukan hanya di bagian teoritis namun juga di area aplikasi praktik dan implikasinya terhadap kewirausahaan itu sendiri. Perpaduan pun telah berkembang luas mencakup kreativitas, networking, strategi, bahkan pendidikan (Collinson dan Shaw, 2001). Penelitian terkait per-paduan pemasaran dan kewirausahaan sering dibahas dalam konteks perusahaan baru atau usaha kecil, ataupun perusahaan yang me-ngaplikasikan pendekatan entrepreneurial berapapun besarnya usaha, dengan kata lain pemasaran mempengaruhi keberhasilan perusahaan entre preneurial, dan pendekatan entrepreneurial mempengaruhi keber-hasilan pemasaran, sehingga penting bagi pemasaran memahami ke-wirausahaan. (Morris dan Lewis, 1995).

Pemasaran sebagai disiplin ilmu dan riset secara tradisional lebih terfokus pada perusahaan besar atau korporasi yang memiliki

UKM dan Masalahnya

BAB 1

Page 10: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

2

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

sumber daya berlebih, dan sering mengabaikan organisasi kecil atau organisasi entrepreneurial (Hills, Hultman, & Miles, 2008). Melalui AMA, perspektif tersebut mulai berangsur bergeser, dengan lebih me lihat pada keterbatasan sumber daya, keterbatasan kemampuan, tujuan bisnis, dalam konteks perusahaan entrepreneurial; yang lebih menggunakan keahlian serta sumber daya dalam pemasaran untuk mencapai keunggulan bersaing perusahan (Hills, et al, 2008).

Pada perusahaan kecil atau perusahaan baru, pemasaran juga telah dikenal sebagai kunci dalam bertahan, bertumbuh dan sukses. Bahkan Gruber (2004) mengatakan bahwa pemasaran adalah kunci sukses bagi perusahaan baru dan merupakan hal yang sangat dinilai oleh investor. Venture capialist bahkan menilai tingkat kepentingan pemasaran bagi kesuksesan perusahaan baru pada skala 6,7 dari 7, diatas area fungsional manajemen lainnya (Hills & LaForge, 1992). Gilmore (2010), mengungkapkan bahwa upaya pemasaran yang di-laku kan oleh perusahaan kecil atau baru terkait dengan bagaimana pemilik atau manajer perusahaan dalam mengadaptasi prinsip-prinsip pemasaran umum, menggunakan network untuk memperbaiki aktivi-tas bisnis, dan menggunakan atau mengembangkan teknik pemasaran yang inovatif.

Sedangkan kewirausahaan merupakan suatu proses pen cipta-an nilai dengan menggunakan sumber daya terbatas dan unik dalam menemukan dan memanfaatkan peluang yang ada (Stevenson, Roberts, & Grousbeck, 1989). Proses penciptaan nilai itu bukan hanya terjadi dalam perusahaan baru dan berkembang, melainkan juga sebagai stra tegi dari perusahaan yang telah beroperasi (Morris & Kuratko, 2001). Sehingga dapat dikatakan kewirausahaan itu bukan hanya pola pikir atau semangat, melainkan sebagai strategi yang dilakukan oleh perusahaan. Seperti yang diungkapkan oleh Venkataraman (1989) bahwa kewirausahaan dikatakan pula sebagai orientasi strategi perusahaan.

Strategi diinterpretasikan sebagai sebuah perspektif yang men-cakup pola pikir, tindakan, suatu perencanaan (tindakan yang akan dilaku kan), ataupun tindakan yang telah direalisasikan (Mintzberg, 1987). Berbagai tipe dari bentuk orientasi strategi, diantaranya adalah orientasi pada kualitas (quality orientation) (Kotler & Armstrong, 1994), orientasi pada pasar (market orientation) (Narver & Slater, 1990; Kohli

Page 11: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

3

UKM dan Masalahnya

& Jaworski, 1990), atau pun orientasi entrepreneurial (entrepreneurial orientation) (Miller & Friesen, 1983).

Paradigma perpaduan antara pemasaran dan kewirausahaan membawa keuntungan sendiri bagi dunia akademik maupun praktik. Keuntungan tersebut adalah: (1) tidak mengasumsikan pemasaran dan kewirausahaan itu merupakan konstruk yang sama, (2) sehingga kita dapat memberikan definisi dan pengertian terkait pemasaran, ke wira usahaan, dan hubungan antara keduanya (Day, Dean & Reynolds, 1998). Masih menurut Day, et al (1998) ketidaksamaan antara pemasaran dan kewirausahaan menjadikan beberapa peneliti memisahkan antara marketing orientation dan entrepreneurial orientation.

Hubungan sekaligus perbedaan antara Market Orientation (MO) dan Entrepreneurial Orientation (EO) dipertegas oleh Baker & Sinkula (2009) yang menyatakan bahwa MO dan EO saling berkorelasi, namun merupakan konstruk yang berbeda. MO merefleksikan derajat peren canaan strategi pasar perusahaan yang diturunkan dari studi pelang gan dan pesaing, sedangkan EO merefleksikan derajat tujuan pertumbuhan perusahaan yang diturunkan dari indentifikasi dan eksploitasi peluang pasar (Baker & Sinkula, 2009).

Walaupun MO dan EO merupakan dua konstruk yang ber-beda, namun MO dan EO saling melengkapi satu sama lain dalam meningkatkan profitabilitas khususnya di perusahaan kecil (Baker & Sinkula, 2009). Hal ini disebabkan karena MO dan EO merupakan bentuk dari kapabilitas organisasi (Bhuian, Menguc, & Bell, 2005) yang dibutuhkan organisasi dalam menciptakan keunggulan bersaing. Karra, Philips & Tracey (2008) mengusulkan tiga kapabilitas entrepreneurial yang penting bagi perusahaan baru, khususnya perusahaan inter-nasional agar mencapai kesuksesan, yaitu pengetahuan tentang pasar, jaringan, dan evaluasi terhadap potensi peluang yang ada.

Perpaduan antara pemasaran dan kewirausahaan dapat dilihat dalam bentuk identifikasi ide perusahaan baru, inovasi dan eksploitasi peluang, yang secara logis merupakan kesesuaian antara analisis lingku ngan dengan analisis peluang pasar, sama seperti perencanaan bisnis yang mencakup analisis kelayakan pasar dan strategi pemasaran (Morris & Lewis, 1995). Perpaduan tersebut dikenal dengan istilah “Entrepreneurial Marketing” atau pemasaran entrepreneurial.

Page 12: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

4

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Istilah “entrepreneurial marketing” telah digunakan dalam ber-bagai cara, khususnya yang terkait dengan aktivitas pemasaran dari per usahaan kecil yang memiliki sumber daya terbatas, sehingga sangat tergantung dari kreativitas dan taktik pemasaran yang tidak biasa digunakan, serta banyak mengandalkan jaringan personal (Morris, Schindehutte & LaForge, 2002). Penggunaan pemasaran entre preneurial dalam organisasi atau perusahaan kecil diungkapkan dalam definisi berikut yaitu Pemasaran Entrepreneurial sebagai proses pemasaran yang mencoba menekankan pada peluang dalam kondisi pasar tidak pasti, yang terjadi di organisasi yang kecil dan terbatas sumber dayanya (Collinson & Shaw, 2001). Berdasarkan penjelasan di atas dapat terlihat bahwa pemasaran entrepreneurial merupakan per-paduan aktivitas pemasaran dan entrepreneurship pada perusahaan kecil yang memiliki keterbatasan dengan menggunakan cara-cara yang kreatif.

Namun Kraus, Hams & Fink (2010) membantah bahwa pema-saran entrepreneurial hanya diperuntukkan bagi perusahaan kecil, mereka menyatakan bahwa pemasaran entrepreneurial merupakan aktivi tas pemasaran dengan pandangan entrepreneurial yang tidak terkait dengan besaran ataupun usia perusahaan. Hal tersebut didasarkan pada pandangan Kuratko (1995) dalam Collinson & Shaw (2001) yang menyatakan bahwa entrepreneurship itu sesuai baik untuk perusahaan kecil maupun besar. Alasan mengapa hal yang terkait dengan entrepreneurial sangat identik dengan perusahaan kecil, karena pertama aktivitas entrepreneurship sangat terlihat di perusahaan kecil, dan kedua seiring bertumbuhnya sebuah perusahaan akan sulit mem pertahankan focus entrepreneurship (Collinson dan Shaw, 2001). Sehingga pemasaran entrepreneurial itu bisa diperuntukkan bagi perusahaan dalam skala manapun, namun akan lebih sesuai untuk perusahaan kecil.

Pemasaran entrepreneurial terfokus pada pengenalan peluang de-ngan tujuan menciptakan value proposition sebagai hasil inovasi pada produk, proses maupun strategi, serta menciptakan jaringan dan hubu ngan sosial dengan pelanggan dan stakeholder lainnya, sehingga tercipta keunggulan bersaing bagi perusahaan, dilakukan oleh seorang wirausahawan baik pemilik ataupun manajer yang bertanggung jawab dalam mengatur pemasaran sekaligus perusahaan (Hills, et al. 2008).

Page 13: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

5

UKM dan Masalahnya

Hal tersebut berbeda dari pemasaran konvensional yang merupakan fungsi dari perusahaan atau unit bisnis, untuk menciptakan nilai berupa manfaat yang diperoleh pelanggan dibandingkan pengorbanan yang dikeluarkan, serta diukur melalui kinerja keuangan (Hills, et al. 2008).

Morris, et al. (2002) menjelaskan bahwa pemasaran entrepreneurial memiliki tujuh dimensi. Empat diantaranya adalah proactiveness¸ calculated risk taking¸ innovativeness dan opportunity focus merupakan turunan dari EO. Dimensi ke lima yaitu resource leveraging menjadi satu-satunya elemen yang menekankan pada perspektif pemasaran yang sedang berkembang seperti guerilla marketing. Dua dimensi terkahir yaitu customer intensity dan value creation adalah elemen inti yang berasal dari MO. Ketujuh dimensi tersebut tidak berdiri sen-diri, karena dapat saling mempengaruhi satu sama lain, misalnya perusahaan dapat meminimalisasi risiko dengan menggunakan resource leveraging melalui outsourcing. Selain itu ketujuh dimensi ter-sebut tidak perlu digunakan seluruhnya, sebuah perusahaan dapat menekankan penggunaan dimensi apa yang sesuai dengan tahapan perusahaannya (Morris, et.al. 2002).

Terkait dengan perusahaan kecil atau baru yang menjadi objek penelitian ini; Kraus, et al. (2010) mengutarakan beberapa tantangan spesifik yang dihadapi oleh perusahaan kecil atau perusahaan baru, yaitu (1) ukuran perusahaan yang kecil, terbatasnya sumber daya ke uangan dan sumber daya manusia, menyebabkan terbatasnya kekuatan pasar dan jumlah pelanggan yang masih sedikit (Carson, 1985); (2) usia perusahaan yang masih baru terkadang menyebabkan masih terbatasnya hubungan yang telah tercipta dengan mitra usaha dan terbatasnya kegiatan rutin dalam perusahaan (Aldrich & Auster, 1986). Konsekuensi dari dua tantangan tersebut bagi pemasaran adalah perusahaan dihadapkan dengan kurangnya kepercayaan konsumen pada produk mereka karena terbatasnya catatan keberhasilan, belum dikenalnya perusahaan atau merek produk, dan terbatasnya keahlian serta pengalaman dalam pemasaran (Gruber, 2004).

Keterbatasan yang dimiliki oleh perusahaan kecil atau baru tidak meng halangi perusahaan dalam bertindak secara stratejik. Seperti dijelaskan di atas, pengambilan keputusan yang berorientasi pada pasar dan entrepreneurial juga digolongkan dalam strategi.

Page 14: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

6

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Karena keterbatasannya, keputusan stratejik di perusahaan kecil atau baru sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari wirausahawan atau pemiliknya (Becherer, Finch, dan Helms, 2005). Sehingga pengambilan keputusannya dapat menjadi lebih informal dan menelurkan ke putus-an kreatif dalam mensiasati keterbatasan yang ada.

Selain keterbatasan tersebut, ditambah pula dengan kondisi lingkungan yang tidak menentu, ditandai dengan perubahan tekno-logi yang drastis, perilaku konsumen yang sulit diprediksi dalam jangka pendek, serta tren dan perubahan budaya, pasar, dan industri memaksa perusahaan kecil atau baru untuk dapat mengambil ke-putus an yang strategis. Perusahaan harus membangun kapabilitas dan kompetensi unik yang mengarah pada pemuasan kebutuhan pelang-gan melalui inovasi (Duus, 1997), yang dapat memberikan kesuksesan pada perusahaan.

Salah satu strategi fungsional yang memiliki dampak pada pening katan kinerja perusahaan adalah strategi pemasaran. Slater & Olson (2001) telah membuktikan bahwa kinerja pemasaran yang maksi mum dapat dicapai dengan mengimplementasikan kombinasi strategi bisnis dan strategi pemasaran yang tepat. Strategi pemasaran meru pakan sekumpulan cara yang dilakukan perusahaan dalam men -capai tujuan pemasaran terutama terkait dengan pemenuhan ke butuh-an dari target pasarnya (Varadarajan & Clark, 1994). Secara lebih rinci strategi pemasaran terkait dengan segmentasi dan targeting konsumen, pengembangan positioning produk, dan keputusan terkait bauran pemasaran (produk, harga, distribusi, dan promosi (Kotler, 1994).

Namun hasil empiris dari penelitian terkait dengan strategi pe-masaran masih beragam, ada yang tidak signifikan mempengaruhi kinerja organisasi, ada yang kontradiktif, bahkan membingungkan (Theodosiou & Leonidou, 2003; Zou & Cavusgil, 2002). Selain itu penelitian tentang strategi pemasaran masih terpisah-pisah, misal nya hanya meneliti tentang pengaruh pengembangan produk, pro mosi, harga ataupun promosi saja. Masih terbatas penelitian yang mem bahas strategi pemasaran secara keseluruhan (Slater & Olson, 2001). Padahal ada kebutuhan untuk menganalisis keseluruhan bauran pema sar-an secara bersama (Kustin, 2004), karena pada umumnya per usaha an mencari kombinasi strategi pemasaran yang sesuai untuk perusahaannya dengan cara menggabungkan komponen bauran pemasaran.

Page 15: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

7

UKM dan Masalahnya

Keterbatasan penelitian tersebut menyebabkan terbatasnya tipo logi atau klasifikasi strategi pemasaran yang dapat diterima oleh akade misi. Slater & Olson (2001) mencoba untuk menyusun suatu tipologi strategi pemasaran menjadi 4 tipe yaitu Aggressive Marketers, Mass Marketers, Marketing Minimizers, dan Value Marketers. Setelah temuan Slater & Olson (2001) tersebut sangat terbatas peneliti yang meneliti tentang klasifikasi atau tipologi strategi pemasaran, padahal pene litian tentang klasifikasi atau tipologi merupakan satu hal yang penting dalam penelitian ilmiah. Tipologi dan taksonomi membantu peneliti dalam meneliti fenomena yang saling terkait dan kompleks menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami (Ginsberg, 1984 dalam Slater & Olson, 2001).

Perbedaan karakteristik antara UKM dengan perusahaan besar menyebabkan strategi pemasaran yang digunakan oleh perusahaan besar berbeda dengan yang diterapkan oleh UKM. Beberapa karak-teristik UKM adalah memiliki sumber daya terbatas khususnya pada keuangan, pengambilan keputusan yang subjektif dan informal yang tergantung pada pemilik usaha, memiliki mentalitas hanya ber-tahan sehingga sulit untuk bertumbuh, dan bahkan tidak memiliki perencanaan strategi (Gilmore, Carson, O’Donnell & Cummins, 1999). Gilmore, Carson & Rocks (2006) juga mengungkapkan hal yang sama bahwa UMKM memiliki karateristik kunci berupa keterbatasan dalam hal keuangan, waktu, informasi pasar, juga terbatas pada keahlian pema saran karena keterbatasan keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki pemilik atau manajer usaha, sehingga UKM memiliki keter-batasan pada pasar. Berdasarkan keterbatasan di atas menyebabkan pemasaran di UKM pada umumnya bersifat sederhana, tidak ter-organi sasi atau tidak sistematis, dan sering hanya berupa aktivitas yang merespons atau reaktif terhadap aktivitas pesaing (Carson, et al, 2001 dalam Gilmore, Carson & Rocks, 2006).

Namun selain keterbatasan di atas, UKM juga memiliki bebe-rapa kelebihan dibanding perusahaan besar. Kelebihan UKM tersebut di antaranya akan lebih baik dalam melayani pasar yang kecil dan spesifik, dibanding perusahaan besar yang lebih sesuai melayani kebu tuhan pasar yang besar dan masal (Cohn & Lindberg, 1972 dalam Gilmore, et al, 1999). UKM memiliki kunci kekuatan pada semangat entrepreneurial, fleksibilitas, lebih inovatif dan lebih responsive

Page 16: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

8

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

(Munro, 1996 dalam Gilmore, et al, 1999). UKM dipercaya lebih mudah untuk beriorientasi pada pelanggan, memiliki biaya yang efektif, lebih cepat, lebih fleksibel dan selalu berupaya untuk melakukan perbaikan (Blanchard, 1994 dalam Gilmore, et al, 1999). Berdasarkan kekuatan-kekuatan tersebut, hendaknya UKM mampu memberikan nilai tambah bagi pelanggannya melalui strategi dan teknik pemasaran yang kreatif dan inovatif agar dapat bersaing bahkan dengan perusahaan besar.

Berbagai perbedaan UKM dengan perusahaan besar tersebut menyebabkan UKM tidak menggunakan strategi pemasaran yang biasa digunakan oleh perusahaan besar. Perusahaan yang mem praktikan pemasaran entrepreneurial tidak merancang ataupun mengimplemen-tasikan strategi pemasaran yang tradisional/konvensional, melainkan menggunakan cara-cara yang kreatif dan berani mengambil risiko untuk mengejar peluang, misalnya dengan menggunakan toko online dibandingkan toko dengan metode bricks mortar (Becherer, Haynes, & Fletcher, 2006).

Carson & Gilmore (2000) menawarkan suatu konsep pemasaran bagi UKM dengan menggabungkan 4 konsep yaitu: mengadaptasi kerangka pemasaran konvensional, network marketing, competency marketing, dan innovative marketing. Namun pembuktian konsep ini secara menyeluruh masih terbatas bahkan hanya dilakukan secara kualitatif (Jamal, 2005). Beberapa peneliti melakukan pembuktian baik secara kualitatif maupun kuantitatif pada konsep ini secara terpisah-pisah, misalnya adaptasi bauran pemasaran dengan menggunakan pemasaran nilai tambah (Gilmore, et al, 1999), pemasaran innovative (O’Dwyer, Gilmore & Carson, 2009), dan pemasaran dengan meng-gunakan networking (Gilmore, et al, 2006). Oleh karena itu penting kiranya disusun suatu tipologi strategi pemasaran yang memadukan seluruh komponen dalam konsep pemasaran untuk UKM yang dapat memaksimalkan kinerja UKM itu sendiri.

Kinerja perusahaan atau organisasi memiliki banyak dimensi pengukuran, namun yang paling banyak digunakan terkait dengan kinerja keuangan yaitu pertumbuhan bisnis dan profitabilitas (Qureshi & Kratzer, 2010). Pertumbuhan direfleksikan sebagai peningkatan pen­jualan atau pangsa pasar sedangkan profitabilitas direfleksikan sebagai kinerja perusahaan saat ini (Venkataraman, 1989) yang merupakan tujuan utama perusahaan. Selain itu, Clark (1999) menyatakan salah

Page 17: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

9

UKM dan Masalahnya

satu cara untuk mengukur kinerja pemasaran adalah dengan pengu-kuran non finansial, seperti pangsa pasar, kepuasan konsumen, ke­setiaan konsumen, dan ekuitas merek. Hal tersebut diperkuat oleh temuan empiris Ambler, Kokkinaki, & Puntoni (2004) yang telah membuktikan ada 19 ukuran kinerja pemasaran inti yang digunakan oleh perusahaan, diantaranya adalah awareness, perceived quality, customer satisfaction, sales dan profitability. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini akan diukur kinerja perusahaan kecil berdasar kan persepsi perusahaan sendiri terkait pertumbuhan dan profitabilitas dibandingkan dengan pesaingnya.

Penyesuaian antara orientasi pemasaran entrepreneurial dengan stra tegi pemasaran untuk mencapai kinerja pemasaran yang mak-simal dalam penelitian ini akan menggunakan metode concept fit. Venkataraman (1989) mengungkapkan bahwa concept fit adalah se-suatu yang penting dalam diskusi teoritikal maupun riset empiris dalam manajemen stratejik untuk menghubungkan antara konsep dan uji teori. Concept fit merupakan suatu teknik pendekatan yang didasar-kan pada configuration theory, yang mendefinisikan fit sebagai interaksi statistik antara dua variabel (Schoonhoven, 1981 dalam Malhotra, Mavondo, Mukherjee, & Hooley, 2013).

Concept fit pada dasarnya merupakan proses pengambilan kepu-tusan dan aktivitas secara stratejik (strategic fit) dalam perusahaan yang merupakan dasar bagi keunggulan bersaing suatu perusahaan dan juga keberlanjutan dari keunggulan tersebut (Porter, 1996). Keung-gulan yang dimiliki perusahaan tersebut dapat menyulitkan bagi pesaing yang akan meniru baik dari sisi strategi pemasaran, teknologi ataupun fitur produk (Olson, Slater, & Hult, 2005). Karena merupakan keputusan yang bersifat stratejik, metode ini banyak digunakan dalam topik manajemen stratejik, namun peneliti dalam pemasaran juga telah menggunakan metode ini walaupun masih sangat terbatas dalam jumlah.

Ketika fit antara banyak variabel dipertimbangkan akan berjalan secara simultan dan dampak dari variabel dependen akan diukur juga, maka fit yang paling sesuai adalah “profile deviation” (Vorhies & Morgan, 2003). Pada studi ini akan digunakan jenis fit sebagai profile deviation, karena diharapkan dapat menemukan profil ideal penggunaan dimensi pemasaran entrepreneurial dengan tipe strategi

Page 18: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

10

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

pemasaran tertentu yang akan memaksimalkan kinerja pemasaran perusahaan kecil.

Peran penting perusahaan kecil atau lebih sering disebut UKM bagi suatu negara tidak dipungkiri lagi di seluruh dunia. UKM ber-peran penting dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi se buah negara, melalui peningkatan pendapatan negara. Peran penting UKM diinterpretasikan dalam jumlah, penyerapan tenaga kerja, dan kontribusinya pada pendapatan suatu negara. Untuk Indonesia berdasarkan data UKM tahun 2014 dari Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah UKM di Indonesia berkisar 59,2 juta unit, meningkat sebesar 2,28% dari tahun sebelumnya, hal ini menyebabkan peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 6,97% menjadi sekitar 112 juta orang. Sedangkan kontribusi pada PDB tahun 2014 berkisar Rp 6.108 Trilyun atau sekitar 60% dari keseluruhan PDB Indonesia, naik 12,28% dari tahun sebelumnya.

Namun UKM di suatu negara sulit dibandingkan dengan UKM di negara lain. Hal ini disebabkan adanya perbedaan definisi UKM di setiap negara. Perbedaan definisi UKM di beberapa negara dapat dilihat dalam tabel 1.1 di bawah ini. Berdasarkan tabel tersebut, dapat terlihat bahwa Amerika Serikat, China dan Malaysia menggolongkan UKM sesuai dengan sektor industri, sehingga terjadi perbedaan antara industri satu dengan industri lainnya. Sedangkan untuk Uni Eropa dan Indonesia menyeragamkan standar bagi seluruh industri.

Tabel 1.1 – Perbedaan Definisi UMKM di Beberapa Negara

Ukuran Uni Eropa Amerika Serikat China Malaysia Indonesia

Jumlah Tenaga Kerja

Mikro: < 10 orang, Kecil: 10 - 49 orang, Menengah: 50 - 249 orang

Bervariasi sesuai industri. Manufacturing dan pertambangan: < 500 orang. Perdagangan: < 100 orang

Bervariasi sesuai industri. Sektor industri: 200 - 2000 orang, Sektor konstruksi: 600 - 3000 orang. Lebih dari itu masuk usaha menengah

Sektor Pertanian dan Jasa (Kecil: 5-20 orang, Menengah: <50 orang). Sektor Manufacturing (Kecil: 5-19 orang, Menengah: < 150 orang)

Kecil = 5 - 19 orang, Menengah = 20 - 99 orang

Omset tahunan

Kecil: < EUR 10 juta (Rp 150 M), Menengah: < EUR 50 juta (Rp 750 M)

industri ritel dan jasa: ≤ $ 6 juta (Rp 66 M) , industri konstruksi berat: ≤ $ 28,5 juta (Rp 313 M). Industri pertanian; ≤ $ 12 juta (Rp 132 M)

Sektor konstruksi 30 - 300 juta Yuan (Rp 54 - 540 M). Lebih dari itu termasuk usaha menengah

Mikro: RM 200 - 250 ribu (Rp 750 juta), Menengah: RM 1-5 juta (Rp 15 M) (sektor pertanian dan jasa) atau RM 10-25 juta (Rp 75 M) (sektor manufacturing). Diantaranya Usaha Kecil

Kecil = Rp 300 juta - Rp 2,5 Milyar. Menengah = Rp 2,5 - 50 Milyar

Profit

Kecil: < EUR 10 juta (Rp 150 M), Menengah: < EUR 50 juta (Rp 750 M)

Aset

Sektor industri dan sektor konstruksi 40 - 400 juta Yuan (Rp 72 - 720 M). Lebih dari itu termasuk usaha menengah

Kecil = Rp 50 - 500 juta. Menengah = Rp 500 juta - 10 Milyar (tidak termasuk tanah dan bangunan)

Sumber: dari berbagai sumber

Page 19: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

11

UKM dan Masalahnya

Perbedaan yang cukup signifikan terletak pada jumlah tenaga kerja, untuk Uni Eropa dikatakan UKM bila usaha memiliki tenaga kerja <250 orang, sedangkan Amerika Serikat dikatakan UKM bila usaha perdagangan memiliki tenaga kerja <100 orang atau usaha manu-faktur < 500 orang. Berbeda jauh dengan UKM di China, bahkan untuk sektor konstruksi UKM memiliki tenaga kerja sampai 3000 orang. Sedangkan di Malaysia < 150 orang tidak jauh berbeda di Indonesia yaitu < 100 orang. Perbedaan definisi UKM tersebut ditambah dengan per bedaan latar belakang budaya akan menyebabkan perbedaan para wirausahawan dalam menilai instrumen yang terkait dengan entre­preneurial, sehingga penyusunan instrumen entrepreneurial yang sesuai untuk para wirausahawan di suatu negara menjadi penting untuk dilakukan.

Namun sebagian besar studi tentang perpaduan pemasaran dan kewirausahaan ini dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa Barat, masih terbatas studi di Asia, khususnya di Indonesia. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar skala pengukuran dikembangkan di Amerika Serikat, dan masih terbatas buktinya dalam validitas, relia-bilitas dan bebas dari bias budaya (Knight, 1997). Banyak peneliti yang menekankan pentingnya pengukuran reliabilitas dan validitas ins trumen dari berbagai budaya sebelum mengimplementasikan instru men tersebut untuk mengukur fenomena di luar negeri (Davis, Douglas & Silk, 1981). Jika reliabilitas suatu pengukuran telah terbukti di berbagai negara dan budaya, maka dapat disimpulkan bahwa pene litian lintas budaya dapat dilakukan (Knight, 1997). Hal tersebut diperkuat dengan pendapat dari Angelen, Heineman & Bettel (2009) yang menyatakan bahwa ada beberapa kesenjangan metodologi terkait penelitian dalam kewirausahaan, yaitu terkait dengan pengukuran reliabilitas dan validitas, serta ekuivalensi dari instrumen yang telah terbentuk dari berbagai negara atau budaya.

Masih menurut Angelen, et al, (2009) menyatakan tiga hal yang terkait dengan kewirausahaan dalam lintas budaya, yaitu: (1) bagai-mana nilai budaya suatu negara mempengaruhi hubungan dalam dan antar organisasi, (2) bagaimana budaya mempengaruhi indikator kinerja suatu organisasi, dan (3) bagaimana dampak dari anteseden akan berbeda dari berbagai budaya. Berdasarkan penjelasan di atas terlihat signifikansi dari disusunnya kembali suatu pengukuran (skala) yang sesuai dengan budaya suatu negara.

Page 20: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

12

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Page 21: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

13

Kemitraan Usaha

Permasalahan mendasar dalam pengembangan usaha kecil me ne-ngah dan koperasi adalah: Pertama; Kelemahan dalam memperoleh

peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua; Kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga; kelemahan dibidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia. Keempat; iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Keenam; Pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil menengah dan koperasi (Hafsah; 1999:4 dan Kuncoro; 2000:317). Faktor tersebut kadangkala menjadi penghambat berkembangnya usaha kecil dan koperasi dan seringkali menjadi alasan yang logis bagi pengusaha besar untuk tidak melakukan kerjasama dengan pe ngu-saha kecil.

Salah satu upaya yang dianggap tepat untuk memecahkan masa-lah munculnya kesenjangan antara usaha kecil menengah dengan usaha besar adalah dengan melalui kemitraan usaha antara yang besar dan yang kecil dan menengah, anatara yang kuat dan yang lemah.

Kemitraan Usaha

BAB 2

Page 22: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

14

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Melalui kemitraan usaha diharapkan dapat secara cepat ber­simbiose mutualistik sehingga kekurangan dan keterbatasan pengusaha kecil dapat teratasi. Disamping itu sekaligus diharapkan dapat mem-percepat kemampuan golongan ekonomi lemah, memecahkan masalah pengangguran dan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Dampak dari program kemitraan usaha diharapkan tidak hanya menguntungkan para pelaku ekonomi saja melainkan juga harus mem bawa dampak positif bagi seluruh kehidupan bangsa. Karena misi dari kemitraan itu sendiri yang sarat dengan berbagai harapan un tuk memecahkan masalah kesenjangan dalam waktu yang relatif singkat maka tidak heran bila keragaan kemitraan yang ada sekarang ini lebih banyak bernuansa politis dibanding memecahkan masalah yang timbul secara mendasar. Dengan kata lain kemitraan yang ada saat ini pada umumnya belum dapat memenuhi harapan semua pihak untuk mempercepat pemerataan. (Revrisond; 1997: 56)

Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk mewujudkan kemitraan antara lain dengan lahirnya Undang-Undang no. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil khusus mengatur kemitraan usaha dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP). Pemerintah me-lalui berbagai departemen ditugaskan untuk membina dan men dorong terlaksananya kemitraan usaha, demikian pula berbagai organi sasi kemasyarakatan yang bergerak dibidang kemitraan. Namun demikian karena kompleksnya permsalahan yang timbul dan belum ter koordi-nasinya pihak-pihak yang bermitra usaha maka sasaran utama dari upaya-upaya ke arah kemitraan masih perlu pembuktian.

A. Ruang Lingkup Kemitraan usaha

Untuk menghindari salah persepsi, maka berikut ini dikemuka-kan beberapa definisi tentang kemitraan. Walaupun para pakar mem­berikan definisi yang berbeda, namun mempunyai visi yang sama.

Kwik Kian Gie (1997: 217) mendefinisikan kemitraan sebagai hubu ngan bisnis dalam suatu mata rantai. Sedangkan Yuyun Wira-sasmita (1995:4) mendefinisikan:

“Kemitraan adalah merupakan kerjasama usaha antara pengu saha kecil dengan pengusaha besar yang didasarkan adanya prinsip saling menguntungkan, dan juga dapat disertai adanya bantuan pembinaan

Page 23: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

15

Kemitraan Usaha

berupa peningkatan perluasan kualitas sumber daya manusia, pemasaran, teknik produksi, modal kerja dan kredit Bank”.

Demikian pula Hafsah (1999:10) memberikan definisi kemitraan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling menguntungkan dan saling membesarkan.

Pengertian lain yang dapat dijadikan sebagai acuan legalitas dalam membangun kemitraan adalah dapat mengacu pada Undang-Undang (UU) RI. No.9 tahun 1995 serta peraturan pemerintah (PP) nomor 44 tahun 1997 pasal 1 (1) dijelaskan bahwa:

“Kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha me-nengah dan atau dengan usaha besar diserati pembinaan dan pe-ngem bangan oleh usaha menengah dan atau usaha besar dengan prinsip-prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling mengun tungkan”.

Definisi­definisi tersebut di atas memberikan pemahaman, bah­wa kemitraan merupakan interaksi sosial dengan motivasi bisnis antara pihak-pihak yang bermitra, dengan harapan agar terjadi kerja-sama yang saling memenuhi kebutuhan masing-masing, saling me-ngun tungkan, dan tanpa ada pihak yang dirugikan. Jika hal ini bisa dilaksanakan dengan baik oleh pihak-pihak yang bermitra maka tujuan kemitraan akan tercapai secara optimal.

Dalam teori exchange persfective seperti yang dikemukakan oleh Pleffer dan Salancik dalam Hastu (1996:42), bahwa interaksi yang ter­jadi dimaksudkan untuk melakukan pertukaran secara langsung mau-pun secara tidak langsung tentang hal-hal yang dianggap berharga yang dapat berupa materi, informasi maupun lambang-lambang. Selain itu pelaku-pelaku tersebut juga dapat berinteraksi karena ingin mem peroleh penghargaan atau takut karena sanksi-sanksi tertentu. Tentang sanksi-sanksi ini, di negara kita Indonesia tidak diberlakukan bagi kalangan ekonomi kuat misalnya karena tidak ingin terlibat membantu kalangan usaha kecil, sehingga dalam undang-undang usaha kecil yang antara lain mengatur tentang kemitraan, tidak ada satu pasalpun yang mengatur keharusan pengusah besar untuk men-jalin kerjasama dengan usaha kecil; tetapi yang dimuat dalam aturan perundang-undangan tersebut masih lebih bersifat himbauan yang

Page 24: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

16

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

dijembatani oleh pemerintah.

Ketidakseimbangan dalam relasi pertukaran maupun struktur jaringan pertukaran bahkan dapat mendorong terjadinya perubahan-perubahan struktual. Nampak perspektif ini menempatkan jaringan usaha sebagai bagian dari gejala sosial yang lebih luas. Dengan demikian obyek usaha yang menjadi sasaran kerjasama pihak-pihak yang bermitra menempatkan produk/sumber-sumber penting yang dikuasai akan mendorong terciptanya jaringan usaha dengan pihak lain. Begitu jaringan usaha terbentuk, pelaku-pelaku yang terlibat di dalamnya akan berusaha menyesuaikan perilaku mereka dengan mekanisme dan aturan-aturan yang berlaku. Hal ini mengisyaratkan bahwa kerjasama itu dilakukan dengan kehendak yang bersesuaian.

B. Aspek Pembinaan Dalam Kemitraan usaha

Kuncoro (2000:318) mengemukakan strategi pembinaan yang telah diupayakan pada usaha kecil menengah dan koperasi selama ini diklassifikasikan dalam beberapa aspek:

Pertama, aspek managerial yang meliputi: peningkatan produk-tivitas/ omset, meingkatkan kemampuan pemasaran dan pengem-bangan sumber daya manusia. Aspek kedua, yang meliputi: bantuan modal (penyishan 1-5% keuntungan BUMN dankewajiban untuk menyalurkan kredit bagu usaha kecil minimum 20% dari portofolio kredit bank) dan kemudahan kredit (KUPEDES, KUK, KIK, KMKP, KCK, Kredit mini/midi, KKU. Aspek Ketiga ; mengembangkan program kemitraan dengan usaha besar baik lewat sistem Bapak-Anak angkat, PIR, Keterkaitan hulu-hilir (foreward linkage), keterkaitan hilir hulu (backward linkage), modal ventura ataupun sub kontrak. Aspek keempat, pengem bangan sentra industri kecil dalam satu kawasan pakah berbentuk PIK (Permukiman Industri Kecil), LIK (Lingkungan Industri Kecil), SUIK (Sarana Usaha Industri Kecil), yang didukung oleh UPT (Unit Pelayanan Teknis) dan TPI (Tenaga Penyuluh Industri). Aspek Kelima, pembinaan untuk bidang usaha dan daerah tertentu melalui KUB (Kelompok Usaha Bersama), KOPINKRA (Koperasi Industri Kecil dan Kerajinan).

Harus diakui telah cukup banyak upaya pembinaan dan pengem-bangan usaha kecil menengah dan koperasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang concern dengan pengembangan usaha kecil.

Page 25: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

17

Kemitraan Usaha

Hanya saja, upaya pembinaan usaha kecil sering tumpah tindih dan dilaku kan sendiri-sendiri. Dalam konteks inilah usulan Assauri (1993) dalam Kuncoro (2000: 321), untuk mengembangkan interorganizational process dalam pembinaan usaha kecil merupakan solusi untuk dapat didiskusikan lebih lanjut.

Adanya perbedaan persepsi mengenai pengusaha/industri kecil dan menengah pada gilirannya menyebabkan konsep pembinaan masih terkotak-kotak atau sector oriented, dimana masing-masing instansi pembina menekankan pada sektor atau bidang binaannya sendiri-sendiri. Akibatnya terjadilah dua hal: 1). Ketidakfektifan arah pembinaan; 2). Tiadanya indikator keberhasilan yang seragam, karena masing-masing instansi pembina berupaya mengejar target dan sesuai dengan kriteria yang telah mereka tetapkan sendiri. Dikarenakan egosime sektoral/departemen, dalam praktek sering dijumpai terjadi-nya persaingan antar organisasi pembina. Bagi pengusaha kecil pun, mereka sering mengeluh karena hanya dijadikan obyek binaan tanpa ada tindak lanjut atau pemecahan masalah mereka secara langsung.(Kuncoro, 2000: 325).

Dalam kaitannya dengan pembinaan terhadap usaha kecil mene-ngah dan koperasi, sehingga tidak terjadi pembinaan yang terkotak-kotak atau sector oriented maka dilakukan dalam bentuk kerjasama atau keterkaitan dan dibuat dalam satu konsep kemitraan usaha.

Kemitraan usaha dilakukan antara pihak-pihak yang bekerja-sama, tidak hanya memperhatikan unsur-unsur bisnis, tetapi lebih daripada itu berorientasi ke arah pembinaan sebagai upaya untuk men dorong proses sosialisasi sistem bisnis modern dan profesional. Instrumen yang dapat digunakan untuk mencapai hal itu adalah penge tahuan dan pengalaman dari perusahaan besar sebagai mitra usaha. Implementasi asumsi tersebut menurut Thoby Mutis (1992:84) adalah:

Melalui jaringan kerjasama biasanya terjadi transfer yang lugas dari sumber daya, sumber dana, pengalaman, pengetahuan, serta ke teram-pilan teknis, dan aspek-aspkek lainnya yang terkait. Dengan sistem ini akan tercipta manfaat yang lebih besar dalam penataan sistem pen -didikan, pelatihan, promosi, publikasi, tukar-menukar ke ahlian teknis dan pengalaman, konsultasi, manajemen audit, supervisi, moni tor, dan representasi ke badan luar agar memunculkan satu efisiensi yang tepat.

Page 26: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

18

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Pembinaan tersebut di arahkan kepada persiapan secara teknis yang harus dimiliki oleh usaha kecil menengah dan koperasi, namun secara operasional orientasi pembinaan lebih diarahkan pada proses komoditas. Dirjen Pembinaan Pengusaha Kecil dan Koperasi (1995: 8) mengatakan bahwa:

Orientasi pembinaan kemitraan usaha adalah pada pengembangan prospek pasar yang baik, jelas, berulang dan mempunyai keunggulan komparative; bahan baku yang cukup tersedia dan mudah didapat; teknologi industrinya tersedia, telah teruji dan mudah dialihkan.

Harapan yang ingin dicapai dengan adanya pembinaan secara teknis dan non teknis tersebut adalah keberhasilan kemitraan usaha yang lebih baik. Dalam pembinaan usaha kecil dan koperasi untuk mencapai hal tersebut maka ditetapkan unsur-unsur pembinaan seperti yang telah dikemukakan Dirjen Pembinaan Pengusaha Kecil dan Koperasi (1995:8) adalah:

Dalam hubungan kemitraan usaha antara pengusaha besar dan kecil kecuali hubungan bisnis mereka juga memberikan bantuan berupa unsur-unsur:

a. Peningkatan kemampuan managerial, yang menyangkut aspek manajemen usaha, seperti perencanaan usaha, perencanaan ke-uangan, logistik administrasi dan usaha dan sebagainya.

b. Peningkatan kemampuan dalam keterampilan teknik produksi, seperti pelatihan dan bimbingan peningkatan keterampilan mem buat barang komposisi bahan dan lain sebagainya.

c. Peningkatan kemampuan modal kerja, anatar lain bantuan bahan bakudan modal usaha, baik dengan penyediaan langsung bahan baku yang diperlukan atau dengan menghubungkannya dengan pemasok/agen.

d. Peningkatan kemampuan pemasaran.e. Pemberian jaminan untuk mendapatkan kredit perbankan, di-

antara bertindak sebagai penjamin atau bentuk bentuk jaminan lainnya.Strategi usaha kecil menengah dan koperasi dalam membangun

kerjasama dengan lembaga-lembaga ekonomi lainnya, adalah merupa-kan suatu dimensi aktivitas eksternal, yang diharapkan agar usaha kecil menengah dan koperasi mendapatkan formasi baru dalam sistem

Page 27: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

19

Kemitraan Usaha

ketatalaksanaan organisasi. Peranan pihak eksternal diharapkan dapat menjadi motivator, fasilitator serta mitra kerja.

Melalui sistem keterkaitan ini, sangat diharapkan adanya sinergi yang kuat antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil menengah serta koperasi, dan yang dikembangkan adalah keterkaitan dengan motif bisnis murni. Trisura dalam Thee Kian Wie (1995:95) mengatakan bahwa:

Keterkaitan melalui sistem bapak bapak angkat dengan mitra usaha (bisnis) antara pengusaha besar, menengah (sektor produksi mau-pun sektor jasa) dengan industri kecil, tendensi utamanya adalah pemecahan masalah pemasaran disertai dengan pembinaan berupa bimbingan teknis (teknik teknologi dan manajemen dan permodalan)

Asumsi tersebut di atas sangat terkait dengan pandangan Soehar sono (1996:133) dengan meletakkan dasar pemikirannya pada sistem tata organisasi usaha kecil menengah dan koperasi dengan konsen trasi pada kondisi intern dan eksteren usaha kecil menengah dan koperasi yaitu :

Untuk mengatasi problem dasar pengembangan usaha kecil me-nengah dan koperasi diperlukan pembinaan dan pengembangan unit usaha yang diikuti serangkaian aktivitas konsultasi dan bantuan teknis dalam bidang sumber daya manusia meliputi : pelatihan teknis dan manajemen plus, akses pendanaan usaha, pemagangan pada sentra industri besar

Pola tersebut di atas merupakan pola foreward linkage, untuk pola yang lainnya yang dapat dikembangkan adalah pola backward lin kage yakni suatu pola yang mengedepankan prakarsa pengusaha besar dalam menunjuk usaha kecil menengah dan koperasi sebagai pe masok bahan baku yang dibutuhkan dalam proses produksi pabrik.

Bagi usaha kecil menengah dan koperasi segala input yang di-terima sebagai realisasi dari kemitraan usaha dengan pengusaha besar adalah merupakan suatu harapan yang ingin diwujudkan, sebalik-nya pengusaha besar dapat lebih efektif dalam menjalankan aktivi-tas usahanya, sebab kebutuhan industrinya tersedia secara pasti dari mitra bisnisnya (Usaha Kecil Menengah dan Koperasi ). Langkah ini meru pakan salah satu tahapan menuju kesuksesan dalam bersaing,

Page 28: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

20

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

seperti yang dikemukakan oleh John Kay (1996:267) dalam Kalimin (1998:36) mengemukakan bahwa competitive advantage can be advanced by the effective management of relationship with suppliers or distributors.

Hal lainnya yang sangat mendasar bagi usaha kecil menengah dan koperasi dalam kemitraan usaha adalah terbentuknya jaringan usaha. Jaringan usaha (networks) dipahami sebagai suatu tatanan organi sasi ekonomi yang mengatur koordinasi dan kerjasama antar unit usaha. Tatanan tersebut berbeda dengan pengintegrasian unit-unit usaha dalam satu perusahaan (konglomerasi) atau koordinasi antar unit usaha dengan menggunakan isyarat pasar yang terkadang bersifat kolusif (Hastu: 1996: 41).

Kemudian lebih jauh Grandori dan Soda dalam Hastu (1996: 41) mengemukakan bahwa jaringan usaha dapat berbentuk mulai dari yang paling sederhana misalnya, komunikasi informal, agak kompleks seperti asosiasi dan konsorsium sampai yang lebih kompleks seperti joint-venture, sub kontrak ataupun franchising.

Jaringan usaha bukanlah sesuatu yang terjadi demikian saja, tetapi merupakan hasil keputusan dan upaya para usahawan untuk meningkatkan daya saing melalui kerjasama dengan unit-unit usaha lain. Daya saing yang lebih tinggi menurut Marzuki Usman (1997: 35) dapat dicapai karena para pelakunya dapat: 1). Melakukan spesialisasi sehingga lebih efisien, 2). Menekan biaya­biaya transaksi dan, 3). Meningkatkan fleksibilitas karena adanya rekanan yang terpercaya.

Pentingnya jaringan usaha bagi kehidupan usaha dan daya saing menyebabkan usahawan yang terlibat berusaha keras untuk me me liharanya, yang dijadikan pedoman adalah kepentingan jangka panjang, bukan sekedar kepentingan sesaat. Pengikat jaringan usaha tidak selalu berupa aturan-aturan formal saja tetapi dapat pula berupa berupa konvensi-konvensi informal yang dijadikan rule of conduct. Jelas bahwa faktor kepercayaan (trust) dan terkadang juga ikatan-ikatan sosial menjadi amat penting untuk mempertahankan jaringan usaha. Perilaku opurtunistik atau mental hit and run tentu tidak akan men-dapatkan tempat dalam jaringan usaha. (Marzuki Usman; 1997: 37­39)

Terbentuknya jaringan usaha karena adanya relasi-relasi sosial diantara pelaku-pelakunya (dapat berupa perseorangan atau unit-unit usaha). Interaksi yang terjadi dimaksudkan untuk melakukan

Page 29: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

21

Kemitraan Usaha

pertukaran secara langsung maupun secar tidak langsung dengan hal-hal yang dianggap berharga. Selain itu, pelaku-pelaku tersebut berinteraksi dapat juga karena ingin memperoleh penghargaan atau takut terhadap sangsi-sangsi tertentu. Hal lainnya jaringan usaha adalah hasil upaya strategis unit usaha (organisasi) yang beroperasi dalam lingkungan usaha yang tidak stabil untuk mengamankan sumberdaya penting yang dikuasai oleh pihak-pihak lain.

Situasi lingkungan yang selalu berubah mencirikan keadaan umum yang harus dihadapi oleh kebanyakan usaha, namun peru-bahan-perubahan yang berlangsung pada masa mendatang diperkira-kan akan semakin cepat dan dramatis. Melalui kerjasama dengan pihak-pihak lain (yang berarti juga terbentuknya jaringan usaha), pemenuhan kebutuhan sumber daya dapat lebih terjamin

C. Jenis Kemitraan usaha antara Usaha Besar (UB) dengan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Koperasi

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia nomor 44 tahun 1997 bab II pasal (2) tentang pola kemitraan dijelaskan bahwa:

“Kemitraan dalam rangka keterkaitan usaha diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan dengan diberikan peluang kemitraan seluas-luasnya kepada usaha kecil, oleh pemerintah dan dunia usaha.”

Sebagai implementasi dari hubungan kemitraan usaha dapat dilaksanakan melalui pola-pola kemitraan yang sesuai sifat, kondisi dan tujuan usaha yang dimitrakan dengan menciptakan kondisi iklim usaha yang kondusif, baik di dalam pembinaan maupun pelaksanaan operasionalnya. Pembinaan kemitraan tersebut sangat berpengaruh terhadap kebijaksanaan yang berlaku disuatu wilayah, oleh karena itu dukungan kebijaksanaan mutlak perlu diperlukan dalam pelaksanaan kemitraan usaha dan ditunjang operasionalisasi yang baik seperti penjabaran pelaksanaan kemitraan melalui kontrak kerjasama kemitraan dan secara konsisten mengikuti segala kesepakatan yang telah ditetapkan bersama (Ahmad Junaidi 1996: 25).

1. Kemitraan usaha Dalam Bentuk Pola Inti PlasmaPola inti plasma merupakan pola hubungan kemitraan antara

kelom pok mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan inti yang

Page 30: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

22

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

bermitra. Salah satu contoh kemitraan ini adalah pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR), dimana inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengolah dan memasar-kan hasil produksi, disamping itu perusahaan inti tetap memproduksi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah di sepa-kati sehingga hasil yang diciptakan harus mempunyai daya kompetitif dan nilai jual yang tinggi.

Anggapan yang selama ini masih melekat dengan keberadaan pola inti plasma menurut Hafsah (1999: 69) adalah kondisi petani yang masih terhimpit oleh masalah-masalah ekonomi sehingga ke hidu-pannya tak kunjung membaik. Khususnya pada sub-sektor perkebun-an, terkesan selintas bahwa pola inti plasma merupakan modifikasi dari perkebunan di zaman penjajahan dimana plasma hanya merupakan plasma belaka.

Ada beberapa keunggulan kemitraan usaha pola inti plasma menurut Hafsah (1999:69) antara lain adalah : a) Kemitraan inti plasma memberi manfaat timbal balik antara pengusaha besar sebagai inti dengan usaha kecil sebagai plasma melalui cara pengusaha besar memberikan pembinaan serta penyediaan sarana produksi, bimbi-ngan, pengolahan hasil serta pemasaran, b). Kemitraan inti plasma dapat berperan sebagai upaya pemberdayaan (empowernment) pengu-saha kecil di bidang teknologi, modal, kelembagaan dan lain-lain sehingga pasokan bahan baku dapat lebih terjamin dalam jumlah dan kualitas sesuai standar yang diperlukan, c). Dengan kemitraan inti plasma, pengusaha besar mampu memenuhi skala ekonomi, sehing ga dapat dicapai efisiensi, d). Dengan kemitraan inti plasma, pengusaha besar yang mempunyai kemampuan pasar yang lebih luas dapat mengembangkan komoditas, barang produksi yang memunyai keunggulan dan mampu bersaing di pasar nasional, regional maupun pasar internasional, e). Keberhasilan kemitraan usaha inti plasma dapat menjadi daya tarik bagi pengusaha besar lainnya sebagai investor baru untuk membangun kemitraan baru baik investor swasta nasional mau pun investor swasta asing, dan f). Dengan tumbuhnya kemitraan inti plasma akan tumbuh pusat-pusat ekonomi baru yang semakin berkembang sehingga sekaligus dapat merupakan upaya pemerataan pendapatan sehingga dapat mencegah kesenjangan sosial.

Page 31: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

23

Kemitraan Usaha

Selain dari beberapa keunggulan dari pola kemitraan intiplasma maka seperti yang dikemukakan oleh Hafsah (1999: 70) juga telah ditemukan beberapa kendala antara lain adalah:

a. Karena yang bermitra adalah perusahaan besar dan petani yang tergabung dalam kelompok usaha kecil atau koperasi, organisasi petani disni belum solid, belum dapat mewakili aspirasi dan kepen tingan anggotanya.

b. Petani belum memahami hak dan kewajibannya dengan baik.c. Perusahaan mitra sebagai inti belum sepenuhnya memberikan

perhatian dalam memenuhi fungsi dan kewajiban seperti apa yang diharapkan dan,

d. Belum adanya kontrak kemitraan yang benar-benar menjamin hak dan kewajiban dari komoditi yang dimitrakan.Dengan demikian maka dalam pelaksanaan kemitraan dengan

pola intiplasma, maka perlu lebih cermat diperhatikan hubungan kelembagaan antar mitra sebab kedudukan perusahaan inti lebih kuat dan dominan dibanding dengan posisi plasma yang lemah, khususnya didalam pemasaran hasil. Namun demikian langkah positif dari kemitraan ini memberikan motivasi kepada kelompok mitra usaha untuk berusaha lebih profesional dalam menangani jenis usahanya guna menghadapi mitra usaha yang lebih kuat.

2. Kemitraan Usaha dalam Bentuk Pola Sub KontrakPola kemitraan subkontrak menurut Hafsah (1999:72) merupakan

pola hubungan kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan sebagai bagian dari komponen produksinya.

Dalam rangka efisiensi kinerja perusahaan, bentuk kemitraan ini telah banyak diterapkan dalam kemitraan yang dilaksanakan antara pengusaha kecil dengan pengusaha besar. Ciri khas dari pola kemitraan ini adalah membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga dan waktu.

Kemitraan pola subkontrak ini mempunyai keuntungan yang dapat mendorong terciptanya alih teknologi, modal, dan keterampilan serta menjamin pemasaran produk kelompok mitra usaha. Watanabe 1983 dalam Erna 1994 dalam Hafsah (1999: 73) mengatakan bahwa pengalaman di Jepang membuktikan keberhasilan pola subkontrak

Page 32: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

24

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

berupa pengalihan teknologi, modal dan keterampilan dari industri skala besar kepada industri skala kecil serta mendorong industri skala kecil tumbuh dan berkembang.

Oleh karena itu, pembinaan terhadap pelaksanaan pola sub-kontrak sangat dibutuhkan, baik oleh pemerintah yang memberikan pembinaan secara berkelanjutan melalui penerapan kebijaksanaan yang tegas dan tindakan yang konkrit secara konsisten di dalam pelaksanaan kemitraan tersebut, dalam rangka melindungi pengusaha kecil terhadap penyimpangan dari pelaksanaan hubungan kemitraan tersebut. Dukungan dari pihak perusahaan mitra usaha senantiasa menjalin dan menumbuhkan hubungan kemitraan atas asas saling membutuhkan dan saling percaya, sehingga tercipta suatu iklim yang kondusif dalam pengembangan usahanya.

Komponen yang sangat berperan dalam pelaksanaan pola ke mitraan ini adalah sumberdaya manusia dan permodalan bagi pengusaha kecil. Sumberdaya yang terampil dalam penguasaan tekno-logi produksi yang dihasilkan sangat mendorong terhadap pelak-sanaan kemitraan secara berkelanjutan dan didukung oleh pendanaan biaya produksi yang memadai serta manajemen yang baik. Demikian pula sangat diperlukan organisasi dari pengusaha kecil, paling tidak kelompok yang mempunyai posisi tawar dengan mitra usaha, agar dapat menetapkan harga, volume dan waktu yang lebih propefisional ke arah win­win solution.

3. Kemitraan Usaha dalam Bentuk Pola Dagang UmumMenurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 tahun 1997, kemitraan

dengan pola dagang umum merupakan pola hubungan kemitraan dengan mitra usaha yang memasarkan hasil dengan kelompok usaha yang mensuplay kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan.

Oleh karena itu pola kemitraan ini memerlukan struktur pen-danaan yang kuat bagi pihak yang bermitra, baik mitra usaha besar maupun perusahaan mitra usaha kecil, membiayai sendiri-sendiri dari kegiatan usahanya karena sifat dari kemitraan ini pada dasarnya adalah hubungan membeli dan menjual terhadap produk yang dimitra kan. Lembaga penunjang dalam mendukung pembiayaan kegia tan ini sangat mendukung proses pelaksanaan sistem kemitraan pola dagang ini.

Page 33: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

25

Kemitraan Usaha

Menurut Hafsah (1999:75) Keuntungan dari pola kemitraan dagang ini adalah adanya jaminan harga atas produk yang dihasilkan dan kualitas sesuai dengan yang telah ditentukan atau disepakati. Namun demikian dari kemitraan pola dagang ini juga terdapat kelemahan diantaranya adalah pola ini memerlukan permodalan yang kuat sebagai modal kerja dalam menjalankan usahanya baik oleh kelompok mitra usaha maupun perusahaan mitra usaha.

4. Kemitraan Usaha dalam Bentuk Pola Keagenan Kemitraan usaha dalam bentuk pola keagenan merupakan

salah satu bentuk hubungan kemitraan dimana usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa dari usaha besar sebagai mitranya. Usaha besar sebagai mitra bertanggungjawab terhadap produk (barang dan jasa) yang dihasilkan sedangkan usaha kecil se-bagai kelompok mitra diberi kewajiban memasarkan barang atau jasa tersebut, bahkan disertai target-target yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.

Dalam kemitraan usaha dalam bentuk pola keagenan menurut Hafsah (1999:77) antara lain bahwa agen dapat merupakan tulang punggung dan ujung tombak pemasaran usaha besar. Oleh karena itu peranan agen agar dapat memberikan manfaat saling menguntungkan dan saling memperkuat maka agen harus lebih profesional, handal dan ulet dalam pemasaran.

Dalam keadaan perekonomian yang tumbuh dan berkembang maka kegiatan jasa akan berkembang dengan pesat, oleh karena itu sistem keagenan akan berkembang disektor perdagangan, pariwisata, pelayanan telekomunikasi bisnis properti dan lain-lain yang mem-butuhkan jasa keagenan.

Agen akan berhubungan langsung dengan konsumen, ini berarti bahwa keberhasilan para agen sebagai usaha kecil juga merupakan keberhasilan usaha besar sebagai mitra usahanya.

5. Kemitraan usaha Dalam Bentuk atau Pola Waralaba.Pola waralaba merupakan pola hubungan kemitraan usaha

antara kelompok mitra usaha dengan perusahaan mitra usaha yang memberikan hak lisensi, merek dagang saluran distribusi perusaha-annya kepada kelompok mitra usaha sebagai penerima waralaba yang

Page 34: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

26

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

disertai dengan bantuan bimbingan manajemen (Hafsah 1999: 78).

Dalam kemitraan usaha dengan sistem waralaba memberikan ke untungan diantaranya adalah; adanya alternatif sumber dana, penghematan modal, efisinesi serta dalam pola ini dapat membuka kesempatan kerja yang sangat luas

Dalam era persaingan usaha saat ini, perkembangan usaha wara-laba cukup pesat dan dianggap mempunyai prospek di masa depan.

D. Kemitraan usaha yang di Kembangkan di Indonesia

Kuncoro (2000:321) mengemukakan bahwa pola kemitraan usaha di Indonesia saat ini dibagi menjadi dua jenis yaitu : 1) Jenis Keterkaitan langsung, dimana antara usaha besar dengan usaha kecil dan koperasi memiliki hubungan bisnis secara langsung. 2). Jenis Keterkaitan tidak langsung, dan ini merupakan pembinaan murni, tidak ada hubungan bisnis langsung antara usaha besar dengan usaha kecil dan koperasi.

Untuk mengembangkan suatu kemitraan antara pengusaha kecil dengan pengusa besar, hal yang harus diperhatikan sebagai pra-sayarat utama bagi calon pelaku yang akan bermitra adalah kesiap an masing-masing, baik dalam aspek manajerial usaha maupun maupun kemampuan mengembangkan usaha. Artinya, baik pihak pengusaha kecil maupun pengusaha besar, masing-masing harus mempunyai kemampuan daya saing yang kuat dalam bidang yang ditekuninya meskipun pada skala usaha yang berbeda. Dengan menyadari kelebih an dan kekurangan masing-masing pihak, maka selanjutnya ada kmoitmen untuk saling mengisi kekurang tersebut. Dengan demikian diharapkan kemitraan yang terjalin dapat berjalan saling menguntungkan serta dapat bertahan lama.

Hafsah (1999: 88) mengemukakan bahwa kemitraan usaha di Indonesia di bagi kedalam 3 tahapan yaitu :

1. Kemitraan usaha Tahap Sederhana (Pemula)Dalam kemitraan usaha pada tingkatan sederhana (pemula)

adalah pengembangan hubungan bisnis biasa ditingkatkan menjadi hubungan bisnis dengan adanya ikatan tanggungjawab masing-masing pihak yang bermitra dalam mewujudkan kemitraan usaha yang saling

Page 35: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

27

Kemitraan Usaha

membutuhkan, saling menguntungkan dan saling memperkuat.

Dalam kemitraan tersebut secara garis besar perusahaan (pengu saha besar) mempunyai tanggungjawab terhadap pengusaha kecil mitranya dalam memberikan bantuan atau kemudahan mem-peroleh permodalan untuk mengembangkan usahanya, penyediaan sarana produksi yang dibutuhkan, bantuan teknologi (alat mesin) untuk meningkatkan produksi dan mutu produksi. Sedangkan bagi pengusaha kecil yang menjadi mitra mempunyai kewajiban untuk memasokkan hasil produksinya kepada pengusaha besar mitranya dengan jumlah dan standar mutu sesuai dengan standar yang telah disepakati bersama.

Kemitraan usaha dalam tingkatan sederhana (pemula) tersebut dapat digambarkan secara sederhana seperti berikut ini

Kemitra

Pembina/Fasilitator (Pihak Pemerintah)

Perusahaan Besar UKM dan Koperasi

Modal Sarana Produksi Alat dan Mesin Teknologi

Tenaga Kerja

Pada prinsipnya yang membedakan hubungan dagang biasa de ngan kemitraan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap usaha kecil menengah dan koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain dapat berupa pembinaan mutu produksi, peningkatan kemampuan SDM, pem binaan manajamen produksi dan sebagainya.

Untuk mendukung berkembangnya kemitraan usaha ini peran pemerintah dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk pengem-

Page 36: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

28

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

bangan usaha. Wujud dari peran pemerintah tersebut dapat berupa pemberian fasilitas dan kemudahan dalam berinvestasi, penyediaan/pembangunan sarana dan prasarana transportasi, telekomunikasi serta perangkat perundang-undangan yang mendukung kemitraan usaha.

Disamping itu, pemerintah diharapkan dapat berperan pula dalam pembinaan terhadap pelaksanaan kemitraan usaha tersebut un tuk menghindari terjadinya eksploitasi salah satu pihak terhadap pihak lainnya.

2. Kemitraan usaha Tahap Madya Kemitraan usaha pada tahap madya ini merupakan pengem-

bangan dari tahap kemitraan usaha sederhana, dimana peran usaha besar terhadap usaha kecil mitranya semakin berkurang. Bantuan pembinaan usaha besar yang masih sangat diperlukan terutama dalam bantuan teknologi, alat mesin yang dibutuhkan peningkatan produksi dan mutu produksi, industri pengolahan (agroindustri) serta jaminan pemasaran. Dalam aspek penyediaan permodalan pada pola ini pihak usaha besar tidak memberikan bantuan modal, tetapi permodalan, manajemen usaha dan penyediaan sarana produksi disediakan oleh usaha kecil.

Kemitraan usaha tahap madya dapat digambarkan secara seder-hana seperti berikut ini:

Kemitraan

Pembina/Fasilitator (Pihak Pemerintah)

Perusahaan Besar UKM dan Koperasi

Alat dan Mesin Agroindustri Pemasaran Teknologi

Saprodi, Manajemen dan Permodalan

Gambar 2.2. Pola Kemitraan usaha Tahap Madya Sumber (Hafsah 1999:90)

Page 37: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

29

Kemitraan Usaha

Kemitraan usaha tahap madya ini merupakan yang paling ideal untuk dikembangkan, akan tetapi membutuhkan persyaratan yang cukup berat bagi pihak yang bermitra khususnya pihak pengusaha kecil dan koperasi karena tahap ini membutuhkan kemampuan penguasaan manajerial usaha yang memadai serta pengetahuan bisnis yang luas.

3. Kemitraan usaha Tahap UtamaDalam tahap ini pihak pengusaha kecil menengah dan koperasi

secara bersama-sama mempunyai patungan atau menanamkan modal usaha pada usaha besar mitranya dalambentuk saham. De-ngan demikian pemilikan saham dari pengusaha kecil menengah dan koperasi dimungkinkan adanya rasa memiliki terhadap perkem-bangan usaha dari perusahaan besar sebagai mitranya. Demikian pula perusahaan besar mempunyai tanggungjawab yang besar untuk mengembangkan usaha kecil menengah dan koperai sebagai mitra nya. Di samping itu adanya beban resiko bersama dalam pola ini ini menjadikan kemitraan dapat terwujud dengan sinergi saling mem butuhkan, saling menguntungkan dan saling memperkuat sebagaimana yang diharapkan.

Pola kemitraan Tahap Utama dapat digambarkan secara seder-hana seperti berikut ini:

Kemitraan

Pembina/Fasilitator (Pihak Pemerintah)

Perusahaan Besar UKM dan Koperasi

Konsultan

Saham

E. Aspek Hukum Kemitraan usaha

Pelaksanaan kemitraan usaha yang berlangsung di Indonesia tidak hanya berlangsung secara insidentil dan konvensional, tetapi idea lisme tersebut dilaksanakan di atas fundamen yuridis formal yang memandu setiap unsur yang terlibat di dalamnya. Perlunya ke-mitraan usaha dilaksanakan, tidak hanya menjadi kewajiban sosial

Page 38: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

30

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

setiap perusahaan besar untuk mengangkat pengusaha kecil, tetapi menjadi komitmen yang secara psikologis menuntut konsistensi yang penuh tanggung jawab moril agar yang kuat mau berbagi kesempatan dengan pengusaha kecil, dalam memanfaatkan potensi sumber daya yang ada. Agar hal ini dapat berjalan sebagaimana mestinya, dalam arti semua pihak berada pada garis kesepakatan yang telah disetujui dan pengusaha kecil dan menengah lebih terjamin dalam aktivitasnya.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1 telah mem-berikan jaminan bahwa : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Dengan demikian berarti bahwa monopoli/pemusatan kekuatan ekonomi tidak boleh ada dalam praktek perekonomian nasional, semua pihak boleh memanfaatkan peluang yang ada terkecuali untuk kepentingan banyak orang.

Walaupun demikian, berarti jika terjadi kesenjangan maka lem-baga yang merasa memiliki kemampuan lebih sangat perlu untuk ikut bertanggungjawab dalam mengatasi masalah tersebut. Pernyataan ini bukanlah suatu statement tanpa dasar, tetapi dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2, telah menjadi landasan globalnya yakni : Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Manifestasi UUD 1945 pasal 27 ayat 2 tersebut, selanjutnya dijabarkan melalui political will pemerintah dengan hadirnya Undang-Undang no. 5 pasal 3 butir 3,4,5,6 (1984:337) menjelaskan bahwa peran pemerintah adalah:

Meningkatkan kemampuan dan penguasaan serta mendorong ter-ciptanya teknologi yang tepat guna dan menumbuhkan keper cayaan terhadap kemampuan dunia usaha nasional; meningkatkan ke-ikutsertaan masyarakat dan kemampuan golongan ekonomi lemah, termasuk pengrajin agar berperan secara aktif dalam pembangunan industri; memperluas dan memeratakan kesempatan kerja dan kesem patan berusaha, serta meningkatkan koperasi industri; me-ning kat kan penerimaan devisa melalui peningkatan eksport hasil pro duksi nasional yang bermutu, disamping penghematan devisa me lalui pengutamaan pemakaian hasil produksi dalam negeri, guna mengu rangi ketergantungan kepada luar negeri.

Page 39: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

31

Kemitraan Usaha

Guna memberikan suatu tuntunan menuju arah tersebut, secara yuridis formal, program kemitraan usaha melalui suatu perangkat hukum yang termaktub dalam Undang-Undang nomor 5 pasal 10 (1998:339) dinyatakan bahwa:

Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan bagi: 1). Keterkaitan antara bidang-bidang usaha industri untuk mening kat-kan nilai tambah serta sumbangan yang lebih besar bagi pertum-buhan produksi nasional; 2). Keterkaitan antara usaha industri dengan sektor-sektor bidang-bidang ekonomi lainnya yang dapat meningkatkan nilai tambah serta sumbangan yang lebih besar bagi pertumbuhan produksi nansional; 3). Pertumbuhan industri melalui prakarsa, peran serta dan swadaya masyarakat.

Pembinaan tersebut diupayakan agara dapat terjadi hubungan yang sinergi, sustanable dan mendorong kearah tercapainya hakekat kemitraan usaha. Dengan demikian dapat dihindari terjadinya pe-nyalah gunaan kesempatan yang ada oleh pengusaha besar terhadap pengusaha kecil dan menengah. Dalam undang-undang nomor 5, pasal 11 (1984:340) dijelaskan bahwa; pemerintah melakukan pembinaan terhadap perusahaan-perusahaan industri dalam menyelenggarakan kerjasama yang saling menguntungkan, dan mengusahakan pening-katan serta pengembangan kerjasama tersebut.

Kerjasama yang diamaksud tersebut adalah kemitraan usaha menurut undang-undang nomor 9 tahun 1995. Pada pasal 26 butir 1-4 undang-undang ini, menyebutkan bahwa:

1). Usaha menengah dan usaha besar melaksanakan hubungan kemi-traan dengan usaha kecil, baik yang memiliki keterkaitan usaha mau-pun yang tidak memiliki keterkaitan usaha; 2) pelaksanaan hubungan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diupayakan kearah terwujudnya keterkaitan usaha; 3). Kemitraan dilaksanakan atau lebih bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumberdaya manusia dan teknologi; 4). Dalam melakukan hubungan kemitraan, kedua belah pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara.

Kerjasama antara usaha kecil menengah (UKM)dan koperasi dengan usaha besar, secara operasional harus diawali dengan per janji-an tertulis yang mengetengahkan syarat-syarat kerjasama kemitraan

Page 40: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

32

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

usaha serta kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan peluang-peluang baru dan sebagainya yang dipandang perlu. Dalam pasal 30 Undang-undang nomor 9 tahun 1995 disebutkan bahwa:

Pelaksanaan hubungan kemitraan yang berhasil antara usaha me-nengah atau usaha besar dengan usaha kecil ditindak lanjuti dengan kesempatan pemilikan saham usaha menengah atau usaha oleh usaha kecil mitra usahanya dengan harga yang wajar.

F. Kebijakan Pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi.

Pembinaan dan pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi harus lebih diarahkan untuk dapat meningkatkan kemam-puannya dalam bersaing dengan pelaku usaha lainnya. Namun disadari bahwa pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi menghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemampuan, kete-rampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan. Lemahanya kemampuan manajerial dan sumber daya manusia ini mengakibatkan lembaga tersebut tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik. Kuncoro (2000: 341-342) mengemukakan bahwa cecara lebih spesifik, masalah mendasar yang dihadapi pengusaha kecil menengah adalah : Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dana manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pe ngusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Kelima, iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil menengah dan koperasi.

Kebijakan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi pengem-bangan usaha kecil, haruslah dikaitkan dengan pengendalian ekonomi makro secara hati-hati. Berdasarkan prinsip good governance, menurut Boebningar dalam Isono Sadoko (1995:99), kebijakan penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan Usaha Kecil adalah:

1. Terciptanya iklim kebijakan yang positif, tergantung pada ke-mam puan negara dalam menterjemahkan tujuan pembangu nan.

Page 41: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

33

Kemitraan Usaha

2. Memberikan kesempatan formal dalam proses formulasi, imple-mentasi dan evaluasi kebijakan.

3. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat, untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan.Hal ini berarti bahwa termasuk pengusaha kecil memiliki peluang

yang sama dalam proses pembangunan. Namun pengembangan usaha kecil, telah mengalami hambatan utama yaitu : 1) Tidak ada koordinasi diantara institusi pendukung, sehingga pelayanan bersifat sporadis, 2). Adanya keterbatasan sumber daya manusia untuk menjalankan program dan investasi secara kreatif dan fleksibel; 3) tidak ada saluran aspirasi bagi pengusaha kecil.

Telaah yang dilakukan oleh Marzuki Usman (1998:7) menge-muka kan ada empat faktor yang mendorong rapuhnya ekonomi nasio nal sebagai akibat ketidakberdayaan usaha kecil, yaitu:

1. Implikasi kebijakan usaha telah menimbulkan kesenjangan struktual.

2. Dalam pembinaan usaha kecil, belum jelas pemihakan agar bisa memiliki akses dan produktivitas sama dengan usaha besar.

3. Belum sepenuhnya usaha kecil berorientasi bisnis karena jiwa wiraswasta yang rendah.

4. Belum adanya lembaga keuangan yang khusus melayani kepada usaha kecilBerbagai studi tentang pengembangan usaha kecil di Indonesia,

menunjukkan bahwa usaha kecil mengalami kelemahan hampir di seluruh aspek, seperti: pengadaan bahan baku, teknik produksi, manajemen, permodalan, pemasaran dan sumber daya manusia (Marzuki Usman, 1998: 8)

Sejalan dengan harapan agar usaha kecil memperoleh manfaat positif dari era globalisasi perdagangan dunia, paling tidak ada dua dimensi penting yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, yaitu :1). Berkaitan dengan mempersiapkan kondisi internal usaha kecil, agar siap menyongsong peluang pasar yang terbuka. Kebijakan yang perlu dilakukan adalah melakukan koordinasi yang baik antar substansi; 2). Kebijakan pemerintah dalam kerangka makro ekonomi, yakni penciptaan iklim kompetisi yang sehat antara usaha kecil menengah dan koperasi dengan usaha besar dalam bentuk persaingan kebijakan.

Page 42: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

34

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Hal yang diperlukan adalah dorongan pihak pemerintah kepada usaha besar yang selama ini menikmati fasilitas agar dapat lebih serius mengadakan hubungan kemitraan usaha dengan usaha kecil.

Menurut Edi Priyono (1999:91) pola pengembangan usaha kecil dapat dilakukan melalui dua strategi kebijakan, yaitu : kebijakan umum dan kebijakan khusus:

1. Kebijakan Umum yang menekankan pada terciptanya iklim usaha yang kondusif yaitu:a. Pemerintah menjadikan usaha kecil sebagai penyangga

(buffer) perekonomian nasionalb. Mendorong usaha kecil yang berpotensial, sebagai dasar

kebijakan ekonomi (economic policy) untuk pertumbuhan ekonomi dan menolong usaha kecil yang kurang potensial melalui welfare policy.

c. Merestruktur pasar menjadi pasar yang kompetitif,s ehingga usaha kecil mampu bersaing.

2. Kebijakan khusus yang menekankan pada aspek operasionalu usaha kecil; seperti : penyederhanaan perijinan, minimalisasi pungutan, penyerdehanaan skim dan diseminasi informasi kredit, mendorong collective bergaining.Pola kebijakan lainnya, yang bisa dipakai sebagai upaya pem-

berdayaan usaha kecil, adalah seperti yang ditawarkan Hafsah (1999:163) meliputi:

1. Kebijakan makro ekonomi, yang memberi ruang gerak secara optimal kepada usaha kecil dan usaha besar.

2. Kebijakan investasi dan permodalan.3. Kebijakan pengembangan kelembagaan usaha kecil4. Kebijakan pengembangan kelembagaan kemitraan usaha antara

usaha besar dan usaha kecil.5. Kebijakan penerapan peraturan perundangan yang mendukung

kemitraan usaha.Kebijaksanaan tersebut mengarah kepada bagaimana lembaga

kemitraan itu dapat dibangun yaitu memadukan dan mempertemukan dua lembaga yang berbeda kemampuan atau kapasitasnya tetapi out put maupun tujuannya sama yaitu memperoleh keuntungan. Per paduan kedua lembaga ini diharapkan menimbulkan sinergi, untuk memediatori keduanya diperlukan pembinaan dari lembaga

Page 43: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

35

Kemitraan Usaha

pemerintah.

Pemerintah menciptakan iklim yang kondusif berupa model kemitraan atau pola kemitraan, sarana prasarana berupa lembaga kon sultan dan advokasi, menyediakan lembaga pendidikan dan pelatihan guna mempersiapkan usaha kecil dan menengah hingga siap bermitra. Hal ini penting agar supaya usaha besar tidak enggan atau harus bekerja keras membina usaha kecil dan menengah hingga pantas menjadi mitranya.

G. Kinerja Usaha Sebagai Salah Satu Instrumen Pengukuran Prestasi Perusahaan Kecil Menengah dan Koperasi

Untuk mengetahui sejauhmana suatu perusahaan tidak terkecuali usaha kecil menengah dan koperasi mampu mengembangkan usaha-nya, dapat dilihat dari kondisi kinerjanya yang dapat diukur dari berbagai macam pendekatan tergantung dari sisi mana suatu analisa akan digunakan.

Sutyastie dan Hastuti (2002:15) dalam kajian tentang kinerja koperasi di Jawa Barat mengungkapkan pengukuran kinerja koperasi dibagi dalam 2 bagian:

Pertama, menggunakan analisis finansial yang meliputi: rasio likwiditas, rasio solvabilitas, rasio rentabilitas, rasio profitabilitas, kegiatan usaha, permodalan, serta peranan usaha penunjang, sedangkan non-finansial dianalisis melalui: partisipasi anggota, produktivitas karya­wan dan manajer koperasi. Kemudian ditambahkan bahwa dalam suatu analisis tidak diharuskan untuk menggunakan semua rasio yang ada, akan lebih jika dipilih dan didiskusikan rasio apa yang mempunyai pengaruh pada masalah perusahaan.

Perusahaan yang mengukur kinerjanya hanya ditinjau dari sisi finansialnya adalah merupakan suatu ukuran yang sangat terbatas dan sangat tidak refresentatif dalam melihat kemampuan perusahaan dimasa yang akan datang. Karena itu diperlukan pengukuran dengan pendekatan yang intengible (non finansial), dan pendekatan ini mampu mencermati kinerja bisnis perusahaan, yang apabila dipadukan dengan kinerja finansial maka akan mudah mengetahui apakah perusahaan tersebut memiliki kinerja baik atau tidak.

Page 44: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

36

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Dalam pengukuran kinerja tersebut oleh Kaplan dan Norton (1997) telah memberikan solusi baru dengan sistem Balanced Scorecard (BSC) dengan menitikberatkan pada aspek­aspek yang non­finansail sebagai balancing, sehingga penciptaan daya saing perusahaan dapat berkelanjutan. Upaya penyeimbangan ini akan menyangkut pihak-pihak di dalam dan di luar organisasi yang dijadikan tolok ukur guna mengimbangi scorecard yang berdimensi ukuran profitabilitas. Hal tersebut sejalan dengan Martini Huseini (1997:19) yang mengatakan bahwa:

Dalam pengukuran kinerja usaha sebuah perusahaan biasanya tolok ukur yang digunakan adalah aspek kepuasan konsumen (Customer satisfaction), employee retention dan sebagainya. Peningkatan pen-jualan (sales) atau penurunan biaya (cost) tidak artinya apabila menimbulkan ketidapuasan konsumen yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat loyalitas pelanggan. Demikian pula dengan aksi menekan biaya (cost) sehingga pengiritan akan berdampak pada turn-over yang tinggi atau employee retention yang menurun, akibatnya banyak karyawan handal yang meninggalkan organisasi, sehingga untuk recovery memerlukan lagi waktu untuk recruitment, training dan lain sebagainya.

Selanjutnya untuk pengukuran kinerja usaha dengan sistem Balanced Scorecard (BSC) Kaplan dan Norton (1997:21) telah membagi kinerja secara global kedalam empat aspek utama yaitu :

Kinerja Keuangan, pelanggan, proses internal, serta pertum buhan dan pembelajaran. Kinerja pertama adalah keuangan, terdapat tiga hal utama yaitu: 1). Growth dengan tolok ukurnya tingkat pertum-buhan pendapatan/penjualan,. 2). Sustain tolok ukuranya adalah besarnya pendapatan operasional, besarnya laba kotor, tingkat pengem balian investasi dan besarnya nilai tambah ekonomis, serta tingkat pengembalian modal. 3). Harvest, tolok ukurnya adalah besarnya arus kas masuk dari kegiatan operasi perusahaan dan tingkat penurunan kebutuhan modal kerja. Kinerja kedua adalah pelanggan, tolok ukurnya adalah pangsa pasar tingkat peroleh pelanggan baru, kemampuan mempertahankan pelanggan lama, tingkat kepuasan pelanggan, tingkat profitabilitas pelanggan, Kinerja ketiga; proses internal, tolok ukurnya adalah : 1) inovasi, 2) operasi, 3) layanan purna jual. Kinerja keempat adalah Pembelajaran dan Pertumbuhan tolok ukuranya adalah 1) kemampuan dan keahlian karyawan/pegawai, 2).

Page 45: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

37

Kemitraan Usaha

Kemampuan sistem informasi dan 3). Motivasi.

Pencapaian kinerja dalam perusahaan dengan sistem pendekatan Balanced Scorecard ini diharapkan dicapai secara proporsional. Dalam perusahaan yang mengerjakan satu produk misalnya harus dapat mempertimbangkan kemampuan pekerjanya berdasarkan spesialisasi masing-masing yang diselerakan dengan tujuan organisasi perusahaan. Dale Timpe (1997:55) dalam Kalimin (1998) mengemukakan bahwa:

Untuk memperbaiki kinerja, diperlukan tujuan asumsi dasar yaitu : 1). Perbaikan­perbaikan produktivitas yang paling signifikan berasal dari tindakan-tindakan yang diarahkan ke orang-orang yang melakukan pekerjaan tersebut, 2). Pelatihan, reorganisasi, penetapan sasaran, dan dorongan positif adalah intervensi perbaikan kinerja yang efektif, 3). Orang-orang memahami apa yang diharapkan dari mereka dari tempat bekerja. 4) sistem penghargaan organisasi mendukung kinerja produktif berkualitas tinggi. 5). Penilaian kinerja tahunan memberikan umpan balik yang dibutuhkan karyawan untuk memperbaiki dan mempertahankan kinerja, 6). Tidak perlu memperhatikan bagian-bagian organisasi yang memenuhi atau melampaui sasaran-sasaran mereka, 7). Unsur kunci dalam perbaikan kinerja adalah motivasi yang sukar dipahami dan tidak dapat diraba.

Dengan scorecard yang dibalanced ini, pengintegrasian energi serta kemampuan dan pengetahuan organisasi yang spesifik dari organisasi agar dapat mencapai long­term strategic goals. Karena itu perusahaan yang dianggap sukses, salah satu ukurannya harus dapat membuka diri dan mau serta siap menyikapi kondisi luar organisasi. Martini Huseini (1997:20) mengemukakan bahwa :

Karakteristik badan usaha yang mempunyai orientasi ke luar, ukuran-ukuran yang diterapkan untuk menilai kesuksesan badan usaha dengan orientasi tersebut, selain ditekankan pada aspek customer loyality, investor loyality, market share dan lain sebagainya.

Asumsi-asumsi tersebut didasarkan pada pertimbangan sumber daya manusia yang ada yang harus dioptimalkan peran dan fungsinya dengan berbagai pola yang dipandang perlu dan layak untuk digunakan. Goestiandi (1997: 33) dalam Kalimin (1998:48) mengatakan bahwa:

Page 46: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

38

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Secara periodik banyak organisasi/perusahaan yang melakukan kegiatan performance appraisal (PA) terhadap segenap karyawannya. Hasil PA yang baik, akan mendatangkan kegembiraan bawahannya dan juga kegembiraan atasan. Untuk menghindari kegagalan kinerja bawahan, maka diperlukan pengembangan potensi karyawan dengan pelatihan yang efektif gaji yang kompetitif dan demotivating. Agar proses pengelolaan kinerja dapat berhasil dengan baik, diperlukan setidaknya tiga tahapan kegiatan, yakni: 1). Penetapan sasaran kinerja. 2). Pengarahan dan dukungan serta, 3). Penilaian kinerja.

Pengukuran kinerja tersebut di atas, diarahkan agar bisnis perusahaan dapat lebih berkembang dengan menitikberatkan pada upaya memacu peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mampu beraktivitas lebih mandiri dan profesional, sebagaimana yang dikemukakan Marco Sumampouw (1997:20) bahwa:

Perkembangan bisnis ataupun organisasi tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kualitas sumber daya manusia. Perusahaan yang ingin meningkatkan kinerjanya harus mempunyai komitmen terhadap pengembangan kualitas sumber daya manusia. Hal ini berarti bahwa investasi sumber daya manusia melalui pelatihan harus mendapatkan perioritas tinggi di perusahaan/organisasi agar pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sumber daya manusia tidak menjadi usang (absolute).

H. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian terhadap fenomena kemitraan usaha, telah dilakukan oleh beberapa peneliti, baik di lingkungan akademis maupun non akademis. Telah banyak temuan-temuan, yang essensial mengung-kapkan dinamika baru untuk dijadikan kerangka acuan menuju tercip tanya model kemitraan usaha yang konstruktif. Kuncoro dan Bachruddin (1996: 215) hasil penelitiannya pada Daerah Istimewa Yogjakarta mengemukakan bahwa :

Program kemitraan masih kurang dibandingkan dengan jumlah pengusaha kecil menengah yanga ada.Hal ini terbukti karena sebgian besar pengusaha kecil menengah (89%) belum mempunyai bapak angkat, padahal para perajin yang sudah menjalin program kemitraan merasakan manfaat yang besar dalam bidang permodalan, pemasaran, dan yang paling utama adalah manajemen.

Page 47: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

39

Kemitraan Usaha

Hasil penelitian di atas menunjukkan masih tersendatnya implementasi program kemitraan. Deklarasi Jimbaran, bagi pengusaha kecil menengah masih dirasakan lebih besar nada politisnya dibanding realisasinya. Penyebabnya adalah masih banyaknya usaha besar (BUMN, Perusahaan Swasta) belum merasakan kehadiran usaha kecil sebagai bagian langkah manajemen strategiknya.

Yuanita Indrian (1994:47) dari hasil temuannya menjelaskan bahwa:

Kemitraan usaha yang dilaksanakan dengan pola dagang, telah dilakukan dengan langkah-langkah dan strategi bisnis modern yang ditandai dengan adanya memori kesepakatan yang memuat hak-hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang bermitra. Dalam mendorong laju produksi yang disertai tetap terpeliharanya kualitas produk, maka pengusaha besar dalam kapasitasnya sebagai pembina, secara intensif melaksanakan pembinaan teknik produksi. Tidankan ini sebagai manifestasi tanggungjawab sosial pengusaha besar.

Selain kemitraan dalam bentuk pola dagang, pada kemitraan pola sub kontrak bisa meningkatkan efisiensi. Hasil temuan Ahmad Junaidi, (1996:6) mengungkapkan bahwa:

Kemitraan usaha dengan pola sub kontrak, dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi. Sebab dalam sistem pengerjaan produk, main kontraktor dalam mengerjakan produknya menempuh dua cara, yaitu : In-house manufacturer dan out-house manufacture process, yang dikerjakan oleh sub kontrak, dengan menggunakan teknik yang sesuai dengan permintaan main kontraktor.

Dalam rangka implementasi kemitraan usaha dengan pola sub-kontrak, bentuk keterkaitan antara industri besar dengan industri kecil, menurut Ahmad Junaidi (1996:7) dapat diidentifikasi menjadi tiga yaitu:

1. Up­Stream Sub contracting, artinya input atau barang setengah jadi di buat oleh usaha kecil sebagai sub kontaktor, sedangkan finishingnya dikerjakan oleh main kontraktor (usaha besar)

2. Down stream sub conracting, artinya input atau barang setengah jadi dibuat oleh pengusaha besar, sedangkan finishingnya dikerjakan oleh pengusaha kecil.

3. Partial Sub Contracting, artinya sebagian dari mata rantai proses produksi dikerjakan pengusaha kecil atau oleh pengusaha besar.

Page 48: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

40

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Pelaksanaan kemitraan dengan pola sub-kontrak, menurut hasil penelitian Ahmad Junaidi (1996:11) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Faktor-faktor strategis yang mempengaruhi pelaksanaan ke-mitraan ditingkat pengusaha besar sebagai pemberi kerja kepada pengusaha kecil, yaitu: a). kebijakan operasional, b). Minat dan mendukung kemitraan, c). Sarana pendukung kerja, d). Pemenuhan kualitas, biaya dan ketepatan waktu.

b. Faktor-faktor strategis ditingkat pengusaha kecil sebagai penerima sub kontrak.

c. Faktor-faktor kebijakan pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang mendukung pengembangan usaha dengan sub kontrak.

Selain dari hal tersebut hasil penelitian dari Iwan Susilo (1998:60) terungkap bahwa:

Dalam rangka pengembangan keterkaitan model sub kon trak,pada tahap awal usaha besar memberikan kepada usaha kecil berupa: 1)Bantuan modal kerja; 2) pembinaan teknik produksi; 3)manajemen pemasaran; permodalan dan sumber daya manusia; 3). Akses informasi pasar dan 4). Jaminan produk pemasaran.

Laode Kalimin (1998:145) dari hasil penelitiannya pada sensus sepuluh koperasi di kabupaten Bandung, mengungkapkan bahwa: Adanya keterkaitan bisnis, kerjasama yang saling menguntungkan, kerjasama secara sukarela dan pembinaan antara koperasi dengan pelaku usaha lainnya akan berdampak pada peningkatan usaha bisnis koperasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Sukardi Hamdani (1998:171) mengemukakan bahwa:

Adanya pengaruh positif antara variabel nilai-nilai dasar kemitraan, dan sistem pembinaan terhadap pertumbuhan usaha kecil menjadi mitra usaha besar, yaitu pengaruh nilai-nilai dasar kemitraan sebesar P2 =(0,3541)2 = 0,0907, dan pengaruh sistem pembinaan sebesar P2= (0,3541)2= 0,1254.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Ignasius ( 1991:83), menyimpulkan bahwa:

Page 49: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

41

Kemitraan Usaha

1). 60% usaha kecil mengalami produk tidak rutin karena kekurangan modal, sehingga bantuan modal masih diperlukan, 2). Untuk memperlancar produksi, bantuan teknik produksi masih diperlukan, terutama dalam hal kekuatan harga dan untuk memperluas daerah pemasaran.

Dengan demikian untuk dapat mencapai keberhasilan pengem-bangan pola kemitraan usaha di Indonesia, seperti yang dicontohkan para pelaku ekonomi di Jepang, Korsel, Taiwan, Hongkong dan Singapura bantuan perkuatan mutlak diperlukan, yang dilakukan dengan dukungan interpensi pemerintah dengan law enforcement serta instrumen-instrumen kebijakan lainnya yang lebih komprehensif dan komplementer tentunya dengan menerapkan aturan-aturan yang tidak distortif.

Page 50: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

42

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Page 51: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

43

Kebijakan Pemerintah

Kebijakan Pemerintah

BAB 3

ISTILAH kebijakan secara umum dapat diartikan sebagai per-nyataan politis yang menyatakan kehendak, tujuan dan sasaran serta alasan perlunya pencapaian tujuan. Dalam pengertian pragmatis/operasional, yang dimaksud dengan kebijakan adalah intervensi (campur tangan) atau tindakan tertentu dari pemerintah yang diran-cang untuk mencapai suatu hasil tertentu (yang diharapkan). Posisi kebijakan dipengaruhi/berkaitan dengan (dan karenanya tidak dapat mengabaikan) beragam faktor :

• Fakta, menyangkut konteks realitas yang secara faktual dihadapi.• Nilai-nilai (values) yang dianut, yang memberikan arah atau se-

bagai faktor mendasar yang memengaruhi pertimbangan tentang hal ideal, baik-buruk ataupun atribut-atribut lain dalam suatu konteks sosial-budaya.

• Keyakinan (beliefs) yang mencerminkan pandangan, konsepsi ideal dan bersama-sama dengan nilai membentuk paradigma (cara pikir/pandang, sikap dan tindakan) yang diyakini.

• Tujuan yang hendak dicapai dengan memberikan dampak pe-ngaruh melalui proses intervensi (campur tangan) yang dilakukan

Page 52: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

44

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Kesemua faktor tersebut secara bersama biasanya akan meme-ngaruhi posisi kebijakan, termasuk misalnya menyangkut tataran peraturan perundangan, bentuk kebijakan sebagai campur tangan dalam mengubah kondisi status­quo tertentu, respons dari kelompok yang dipengaruhi (termasuk misalnya potensi “ancaman bahaya moral” atau moral hazard yang mungkin muncul dari kelompok yang dipengaruhi maupun dari pembuat kebijakan itu sendiri), dan sebagainya. Suatu kebijakan esensinya akan mencerminkan/ meng-gambarkan strategi, prioritas, tujuan, sasaran, dan hasil (outcome) yang diharapkan. Agar kebijakan berfungsi efektif, diperlukan “instrumen/alat” kebijakannya (policy tools/instruments). Jadi, instrumen kebijakan adalah seperangkat langkah atau tindakan yang dilakukan oleh pe-merintah untuk merealisasikan kebijakan yang ditetapkan. Setiap (atau kombinasi beberapa) instrumen kebijakan biasanya melibatkan (mengandung) setidaknya 3 (tiga) aspek, yaitu:

• Piranti hukum (legal devices): menyangkut aspek legal/hukum yang mendukungnya (melandasinya);

• Tatanan kelembagaan (institutional setting): berkaitan dengan tatanan lembaga (organisasi) yang terlibat, fungsi dan peng-organisasian (struktur dan hubungan atau interaksi antaraktor);

• Mekanisme operasional (operational mechanism): berkaitan dengan pola, cara/metode dan prosedur serta proses pelaksanaan dalam implementasi praktis.

Selain itu, hal yang juga penting dipertimbangkan berkaitan dengan perancangan instrumen kebijakan adalah tatanan sosial (social arrangement) bagi konteks kebijakan tersebut.

1. Berdasarkan bentuk “tujuan utama” kebijakan, terdapat 6 (enam) kelompok tindakan kebijakan (policy actions) yang paling men dasar, yaitu:

2. Regulasi (regulation): merupakan tindakan kebijakan yang ber-sifat penetapan pengaturan (regulatory), dengan esensi dan bentuk tujuan utamanya adalah membuat ketentuan dan batasan atau “rambu-rambu” tertentu dalam konteks bidang/isu yang diatur.

3. Deregulasi (deregulation): merupakan tindakan kebijakan yang bersifat penetapan pengaturan (regulatory), dengan esensi dan bentuk tujuan utamanya adalah membuat penghapusan atau

Page 53: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

45

Kebijakan Pemerintah

pelonggaran ketentuan dan batasan tertentu (atau hal-hal yang sebelumnya dinilai membatasi) dalam konteks bidang/isu yang diatur.

4. Insentif (incentives/rewards): merupakan tindakan kebijakan yang pada dasarnya bukan bersifat penetapan pengaturan (non­regulatory), dengan esensi dan bentuk tujuan utamanya adalah merang sang, mendorong atau mempercepat proses tertentu atau pencapaian hal tertentu dengan memberikan suatu bentuk rangsangan atau imbalan tertentu dalam konteks bidang/isu tertentu.

5. Penyediaan infrastruktur (infrastructure provisions): merupakan tindakan kebijakan yang pada dasarnya bukan bersifat penetapan pengaturan (non­regulatory), dengan esensi dan bentuk tujuan utamanya adalah memberikan/menyediakan hal tertentu yang biasanya bersifat infrastruktural dan barang publik (public goods) dalam konteks bidang/isu tertentu.

6. Informasi/pedoman (information/guidance): merupakan tindakan kebijakan yang pada dasarnya bukan bersifat penetapan pengaturan (non­regulatory), dengan esensi dan bentuk tujuan utama nya adalah memberikan/menyediakan dan menyampaikan hal tertentu yang berupa informasi atau berfungsi sebagai pedoman (panduan) spesifik dalam konteks bidang/isu tertentu.Pengaruh (influence): merupakan tindakan kebijakan yang pada

dasarnya bukan bersifat penetapan pengaturan (non­regulatory), de-ngan esensi dan bentuk tujuan utamanya adalah memengaruhi, atau mendorong terjadinya perubahan atau membantu proses perubahan pada pihak tertentu (atau masyarakat umum) dalam konteks bidang/isu tertentu.

Bentuk 1 dan 2 umumnya sangat erat kaitannya dengan aspek legal (hukum/peraturan perundangan) dan kerangka regulasi (regulatory framework) yang relevan, menyangkut hal/isu yang dinilai mendasar, mempunyai implikasi hukum yang “kuat” dan bersifat mengikat. Sementara bentuk lainnya umumnya bersifat lebih “longgar.” Semua bentuk ini tentu dapat saling melengkapi.

Esensi kepentingannya pada dasarnya kontekstual dengan kete-patan/kesesuaiannya sebagai alat dalam menjawab isu yang hendak diatasi (dan mencapai tujuan yang dikehendaki).

Page 54: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

46

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Kebijakan Berdasarkan Bidang yang Ditangani

Dalam kaitannya dengan sistem inovasi dan kapasitas inovatif, dijumpai beberapa kebijakan “khusus” berdasarkan “bidangnya” yang seringkali dinilai penting, misalnya kebijakan iptek, kebijakan industri, dan kebijakan inovasi.

A. Kebijakan Iptek

Kebijakan IPTEK adalah kebijakan (pernyataan dan tindakan pemerintah) yang berkaitan dengan perkembangan iptek serta pen-dekatan dan kerangka tindak untuk memperkuat penciptaan, penga-lihan, pemanfaatan dan difusi iptek. Karena itu, kebijakan iptek berkaitan terutama dengan aktivitas dan perkembangan:

• Penyediaan atau penciptaan dan pengembangan kemampuan korpus-korpus iptek dan kapasitas absorptif pengguna (industri, sektor publik maupun masyarakat umum), baik yang berkaitan dengan pendidikan (formal), maupun proses pembelajaran dalam arti luas;

• Penelitian dan pengembangan;• Pengalihan, pemanfaatan dan difusi iptek;• Penadbiran iptek (termasuk perlindungannya secara hukum dan

standarisasi).Pada umumnya, kebijakan iptek di suatu negara terdiri atas

bidang-bidang yang saling terkait, terutama ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi, sebagai berikut:

• Kebijakan sains (science policy): merupakan kelompok kebija kan yang bertujuan memperkuat kemampuan dan percepatan perkem-bangan ilmu pengetahuan (sains) serta kemampuan penelitian dan pengembangan. Contoh instrumen kebijakan demikian yang dikem bangkan di lingkungan Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) misalnya adalah Riset Unggulan Terpadu (RUT), Riset Unggulan Ter padu Internasional (RUTI), Riset Unggulan Bidang Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (RUKK).

• Kebijakan teknologi (technology policy): merupakan kelompok kebijakan yang pada dasarnya bertujuan untuk menumbuh-kembangkan kapasitas teknologi, membangun kemampuan dan mempercepat kemajuan teknologi dalam cabang/bidang teknologi tertentu, serta mendorong penciptaan/pengembangan, penerapan,

Page 55: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

47

Kebijakan Pemerintah

pemanfaatan, difusi teknologi untuk memperkuat/memperbaiki proses produktif (atau meningkatkan penciptaan nilai tambah) dalam industri, sektor publik dan masyarakat secara umum, dan mendukung perbaikan dalam berbagai aspek kehidupan bagi kemajuan sosial-ekonomi yang berkelanjutan. Contoh kebijakan demikian misalnya adalah penguatan kelembagaan alih/difusi teknologi, program internal (in­house) pengembangan teknologi (misalnya peningkatan kesiapan teknologi), pengembangan inkubator teknologi-bisnis, skema percepatan difusi teknologi (seperti skema IPTEKDA dari beberapa lembaga litbang non-departemen/LPND di bawah koordinasi KRT), kebijakan impor teknologi, pengembangan pemetarencanaan teknologi (technology roadmapping), mendorong penggalian dan perumusan strategi jangka panjang pengembangan teknologi (misalnya melalui prakarsa technology foresight).

Dalam hal aktivitas penelitian dan pengembangan (litbang) atau research and development (R&D), tanpa maksud membuat “dikotomi” pengkotakan aktivitas, banyak pandangan menempatkan/ mem-per lakukan bahwa kelompok instrumen kebijakan sains biasanya lebih menekankan pada sisi “penelitiannya (R)” dan lebih “hulu” sedangkan kebijakan teknologi biasanya lebih menekankan pada sisi “pengembangannya (D)” dan lebih berorientasi pada “hilir”.

B. Kebijakan Industri

Kebijakan industri (industrial policy) pada dasarnya merupakan kelompok kebijakan yang tujuan utamanya adalah mendorong perkem bangan industri (sektor ekonomi) tertentu. Pengertian industri dalam hal ini adalah sebagai ”sektor ekonomi” (bukan semata industri pengolahan/manufaktur). Oleh karena itu, kelompok kebijakan ini dalam literatur juga sering disebut kebijakan sektoral.

Kebijakan industri/sektoral di berbagai negara pada umumnya ber kembang lebih “pesat” (dalam arti perhatian pemerintah atau upaya pemerintah yang diberikan, keragamannya, pengembangan tataran/instrumen legalnya, dan keluasan implementasinya) dibanding kebijakan iptek. Kebijakan tarif impor dan insentif ekspor komoditas tertentu, penetapan harga dasar, pengadaan oleh pemerintah (government procurement), serta program-program pemerintah sektoral

Page 56: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

48

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

adalah di antara contoh kelompok kebijakan industri.

Dalam sistem yang dianut di Indonesia sejak kemerdekaan, “kebijakan iptek secara sektoral” sebenarnya lebih ditentukan oleh instansi sektoral pemerintah dalam setiap kabinet pemerintahan. Sebagai contoh adalah menyangkut kelembagaan litbang. Kelembagaan litbang sektoral (misalnya balitbang) beserta perangkat alih dan difusi hasil litbangnya (extention services) seperti puslitbang, unit pelayanan teknis (UPT) atau balai-balai, sepenuhnya berada di bawah koordinasi instansi sektoral terkait di tingkat “Pemerintah Pusat.”

C. Kebijakan Inovasi

Perkembangan paradigma kesisteman dalam memperlakukan “inovasi” di satu sisi memberikan suatu landasan bagi pemahaman dan perbaikan kebijakan secara holistik dan terpadu. Namun di sisi lainnya, hal ini menuntut beragam pihak untuk memahami kompleksitas sis-tem demikian beserta dinamikanya dan memainkan peran masing-masing dengan tepat, termasuk bagaimana pemerintah menyikapinya antara lain melalui kebijakan yang dikeluarkannya secara lebih baik. Hal demikian mendorong berbagai negara mengembangkan kebijakan inovasi yang dinilai sesuai bagi konteksnya masing-masing. Keluasan maupun batasan pengertian kebijakan inovasi secara teknis dalam literatur disampaikan agak berbeda, namun intinya secara umum sama. Beberapa sumber menafsirkan kebijakan inovasi seperti berikut ini:

• Elemen kebijakan sains, teknologi dan industri yang secara eksplisit dimaksudkan untuk mendorong pengembangan, penye-bar luasan dan pemanfaatan secara efisien produk, jasa layanan dan proses yang baru dalam pasar atau di dalam organisasi publik dan swasta. Fokus utamanya adalah pada dampak atas kinerja ekonomi dan kohesi sosial. Kebijakan inovasi memiliki tujuan yang lebih luas dari kebijakan sains dan teknologi atau kebijakan iptek (Lundvall dan Borras, 1997).

• Sehimpunan tindakan kebijakan (policy actions) untuk mening-katkan jumlah (kuantitas) dan efisiensi aktivitas inovatif, yaitu penciptaan, adaptasi dan adopsi produk, proses atau jasa yang baru atau yang lebih baik (Cowan dan van de Paal, 2000).

• Tindakan publik yang memengaruhi perubahan teknis (technical

Page 57: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

49

Kebijakan Pemerintah

change) dan bentuk inovasi lainnya. Hal ini mencakup elemen-elemen kebijakan litbang, kebijakan teknologi, kebijakan infrastruktur, kebijakan daerah, dan kebijakan pendidikan. Ini juga berarti bahwa kebijakan inovasi lebih dari sekadar kebijakan iptek, yang utamanya berfokus pada dorongan sains dasar sebagai barang publik dari sisi penyediaan/penawaran (supply side). Kebijakan inovasi juga mencakup tindakan publik yang memengaruhi inovasi dari sisi permintaan (demand side) (Edquist, 2001). Intinya, kebijakan inovasi (innovation policy) merupakan kelompok kebijakan yang memengaruhi kemajuan teknis dan bentuk inovasi lainnya, yang pada dasarnya bertujuan:

• Membangun/mengembangkan kapasitas inovatif setiap “simpul” (fungsi/ kegiatan/proses) dalam sistem inovasi;

• Meningkatkan/memperlancar aliran pengetahuan dalam dan antarfungsi/kegiatan/proses dalam sistem inovasi (ini juga berarti meningkatkan proses pembelajaran dalam sistem); dan

• Memperkuat hubungan dan keterkaitan rantai nilai vertikal dan horisontal antarfungsi/kegiatan/proses produksi, litbang, adopsi dan difusi (termasuk komersialisasi) dan fungsi/kegiatan/proses penunjang dalam sistem inovasi.

Kebijakan inovasi secara “konsep” bertumpu pada pendekatan sistem terhadap proses inovasi (memanfaatkan pendekatan/kerangka sistem inovasi untuk menerjemahkan implikasi kebijakannya). Dalam perkembangan praktiknya, kebijakan inovasi bukan saja menjadi kebija kan horisontal yang terkait dengan bidang “tradisional” lainnya seperti kebijakan ekonomi (secara umum), kebijakan industri (dalam arti sektoral) dan kebijakan iptek.

Kebijakan Berdasarkan Sisi Objek (Kelompok Peran Aktor dan Hubungan yng Terjadi) yang Dipengaruhinya

Dalam hal ini, instrumen kebijakan inovasi dapat dikelompokkan kepada himpunan jenis kebijakan sebagai berikut.

A. Kebijakan pada sisi penyediaan (supply-side policy)

Kebijakan pada sisi penyediaan (supply­side policy) pada dasar-nya merupakan kebijakan yang dampaknya diarahkan untuk me-me ngaruhi kondisi, fungsi dan struktur kegiatan yang berkaitan

Page 58: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

50

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

dengan ketersediaan (atau “penciptaan/pengembangan”) dan kese-suai an pengetahuan/teknologi (atau potensi inovasi) tertentu yang diperkirakan dibutuhkan oleh industri, sektor publik dan/atau masyarakat umum, atau bagi aplikasi tertentu dalam sistem inovasi.

B. Kebijakan pada sisi permintaan (demand-side policy)

Kebijakan pada sisi permintaan (demand­side policy) pada dasar nya merupakan kebijakan yang dampaknya diarahkan untuk memengaruhi kondisi, perilaku (behavior) dan pengambilan keputus-an serta struktur kegiatan/proses penciptaan nilai tambah (di sektor produksi/industri, sektor publik atau masyarakat umum) yang berkaitan dengan penyerapan (absorpsi), pemanfaatan dan difusi inovasi di sisi penggunaan dalam sistem inovasi.

C. Kebijakan pada wilayah/segi keterkaitan (linkage-area policy)

Kebijakan pada wilayah atau segi keterkaitan (lingkage­area policy) pada dasarnya merupakan kebijakan yang dampaknya diarahkan untuk memengaruhi kondisi, perilaku (behavior) dan pengambilan keputusan, struktur kegiatan/proses hubungan dan interaksi para pihak, serta mekanisme alih dan transaksi aset intelektual (jenis potensi inovasi) antarpihak dalam sistem inovasi.

Kebijakan Berdasarkan Karakteristik Pengaruh atau Dampak yang Ingin Ditimbulkannya

A. Kebijakan eksplisit (explicit policy) atau direct measures

Yang dimaksud dengan instrumen kebijakan yang eksplisit (explicit policy) (atau sering juga disebut sebagai direct measures) dalam hal ini adalah kebijakan yang ditujukan untuk memberikan “dampak secara langsung” bagi (variabel yang berpengaruh langsung bagi) perkem bangan fungsi dan proses/aktivitas peningkatan aset intelektual (atau potensi inovasi) baik pada sisi penyediaan, permintaan maupun keterkaitan antarpihak dalam sistem inovasi. Contoh bentuk ini adalah instrumen kebijakan untuk meningkatkan/mendukung pembiayaan litbang (RUT/RUTI, RUK,RUKK, RUSNAS), insentif perpajakan bagi kegiatan litbang, penjaminan risiko pemanfaatan hasil litbang, pengem bangan/pendirian taman iptek, pengembangan inkubator teknologi-bisnis.

Page 59: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

51

Kebijakan Pemerintah

B. Kebijakan implisit (implicit policy) atau indirect measures

Yang dimaksud dengan instrumen kebijakan yang implisit (implicit policy) (atau sering juga disebut sebagai indirect measures) dalam hal ini adalah kebijakan yang ditujukan untuk memberikan “dampak secara tidak langsung” (terkait dengan variabel-variabel yang ber pengaruh tidak langsung) bagi perkembangan fungsi dan proses/aktivitas peningkatan aset intelektual (atau potensi inovasi), akan tetapi hasilnya dapat mendorong kemajuan/perkembangan inovasi, atau mengeliminasi hambatan baik pada sisi penyediaan, permintaan maupun keterkaitan antarpihak dalam sistem inovasi. Contoh bentuk ini misalnya adalah regulasi menyangkut standarisasi, HKI, kebijakan menyangkut persaingan pasar (competition policy), regulasi atau bentuk kebijakan lain menyangkut pembiayaan (misalnya modal ventura) dan pengadaan pemerintah (government procurements).

C. Kebijakan yang Terkait dengan Faktor Kontekstual (contextual factors-related policy)

Kebijakan ini pada dasarnya merupakan kelompok kebija kan yang memberikan dampak pengaruh luas dalam aspek ekonomi, sosial, dan budaya, serta karakteristik kelembagaan yang meling-kungi perkembangan “penyediaan/pasokan, permintaan, dan bidang keterkaitan pemanfaatan dan difusi” aset intelektual atau perkem-bangan inovasi secara umum. Dalam praktik, instrumen kebijakan dalam kelompok faktor kontekstual ini biasanya merupakan instrumen kebijakan implisit atau tidak langsung. Pada prinsipnya, suatu instru-men kebijakan yang bersifat langsung/eksplisit dalam konteks tertentu dapat menjadi instrumen kebijakan tak langsung/implisit dalam konteks yang berbeda, demikian sebaliknya. Dalam kebijakan inovasi, kebijakan/regulasi berkaitan dengan penyediaan pembiayaan berisiko (misalnya menyangkut perusahaan modal ventura beserta insentif perpajakannya) merupakan bentuk instrumen tak langsung. Sistem pembiayaan secara umum (misalnya menyangkut perbankan dan jasa keuangan berisiko dan/atau jasa keuangan lainnya) sekaligus juga sebenarnya merupakan faktor kontekstual penting bagi perkembangan inovasi.

Page 60: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

52

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Kebijakan Berdasarkan Lingkup Tujuan

A. Kebijakan spesifik

Yang dimaksud dengan kebijakan spesifik adalah kebijakan dengan instrumen yang ditujukan untuk memperkuat perkembangan inovasi bidang tertentu, pada suatu bidang iptek tertentu atau pada bidang/sektor produksi (industri) tertentu, dengan pertimbangan atau kriteria pemilihan yang jelas. Sebagai contoh kebijakan demikian adalah skema Program Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) dari KRT, dan pengembangan BUMNIS oleh pemerintah.

B. Kebijakan fungsional

Yang dimaksud dengan kebijakan fungsional dalam hal ini adalah kebijakan dengan instrumen yang ditujukan untuk mem-perkuat fundamental kemampuan iptek, menstimulasi tarikan per-minta an pengetahuan atau pemanfaatan hasil litbang, mendorong hubungan dan interaksi antara penyedia dan pengguna pengetahuan, atau mengembangkan kapasitas inovatif secara umum. Contoh dari kebijakan demikian adalah kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan HKI, beberapa skema insentif dari KRT misalnya seperti RUT/RUTI, RUK, dan SUCP.

Mengapa Perlu “Kebijakan”: Beberapa Perkembangan Pandangan

Alasan “klasik” dari perspektif ekonomi sebagai argumen bagi jastifikasi intervensi pemerintah (kebijakan pemerintah) antara lain dibahas oleh Ken Arrow dalam perspektif neo-klasik. Pada dasarnya, alasan ekonomi bagi intervensi pemerintah berkaitan dengan:

1. Kegagalan pasar (market failures): Hal ini terutama karena sifat non­rivalrous dan nonexcludable dari suatu “produk” (sepenuhnya atau sebagian):21• Non­rivalrous berkaitan dengan konsumsi eksklusif atas suatu

produk. Hal ini terjadi manakala konsumsi produk oleh suatu pihak tidak membuat pihak lain yang berbeda tidak dapat mengkonsumsi produk tersebut secara bersamaan.

• Non­excludable berkaitan dengan kendali kepemilikan/hak eks klusif atas suatu produk.

Page 61: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

53

Kebijakan Pemerintah

Hal ini terjadi apabila dalam praktik tidak dimungkinkan (akan sangat sulit) bagi suatu pihak secara legal memperoleh hak eksklusif atau secara fisik memanfaatkannya secara eksklusif. Dalam pandangan ekonomi neo-klasik, pada dasarnya terdapat empat jenis kegagalan pasar, yaitu: barang publik (public goods), eksternalitas (externalities), monopoli alamiah (natural monopoly), dan asimetri informasi (information asymmetry / ignorance).

2. Kegagalan pemerintah (government failures): Hal ini berkaitan dengan ketidaktepatan upaya pemerintah (yang mengakibatkan distorsi pasar atau membuat pasar semakin terdistorsi) berkaitan dengan industri tertentu atau ekonomi keseluruhan.Alasan atau argumen bagi jastifikasi intervensi pemerintah

(kebijakan pemerintah) khususnya dalam konteks inovasi atau iptek pada dasarnya berkaitan dengan isu berikut:

1. Iptek dan/atau inovasi itu sendiri sebagai “objek”:22 Argumen klasik tentang ini berkaitan dengan sifat barang publik (public goods) dari iptek (atau inovasi), sebagian atau sepenuhnya.

2. Aktivitas/proses dan/atau implikasi atau konsekuensi dari akti-vitas iptek atau inovasi: Ini terutama berkaitan dengan aktivitas litbang atau akvititas inovasi yang seringkali dinilai memiliki sifat berikut:• Indivisibility: karena perlunya skala efisien minimum bagi

kegiatan litbang/inovasi;• Inappropriability: karena tidak sepenuhnya imbalan (keun-

tungan) yang diperoleh dari kegiatan litbang/inovasi dapat dinikmati oleh si pelaku kegiatan tersebut. Karena itu ter-jadi perbedaan antara imbalan sosial (social returns) dan imbalan pribadi (private returns). Hal ini yang biasa disebut ekonomi eksternal (yang positif), yang di satu sisi biasanya menjadi disinsentif bagi pelaku swasta namun di pihak lain tentunya dikehendaki oleh “masyarakat yang lebih luas” atau pemerintah;

• Uncertainty: berkembang karena sifat kegiatan litbang/inovasi itu sendiri memang seringkali mengandung risiko kegagalan dalam memperoleh hasil yang semula diharapkan, atau karena perbedaan persepsi risiko antara pelaku swasta dan publik tentang litbang/inovasi tertentu.

Page 62: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

54

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Argumen ekonomi dari perspektif neo-klasik demikian menjadi dasar bagi keterlibatan tertentu pemerintah (melalui kebijakan) dalam perekonomian hingga pertengahan 1980an, termasuk dalam konteks iptek, kegiatan litbang atau inovasi. Kenyataan bahwa suatu per ekonomian (atau suatu industri) merupakan perkembangan dari waktu ke waktu (tidak terjadi sesaat) mendorong pula argumen kegagalan sistemik, yang pada dasarnya berkaitan dengan kegagalan pasar maupun kegagalan pemerintah yang akumulatif dan meluas kepada (atau disebabkan oleh) beragam aspek/faktor.

Pergeseran pandangan dalam “arus utama ilmu ekonomi” (mainstream economics) tentang iptek (inovasi) dan pesatnya kemajuan/perkembangan iptek membawa pada perkembangan pandangan atas argumen perlunya kebijakan pemerintah dalam konteks pemajuan iptek atau sistem inovasi. Kajian tentang imperfect competition, path dependence dan lainnya adalah di antara perkembangan pandangan dalam konteks ini.

Beberapa hal yang disampaikan berikut ini berkaitan dengan beberapa “karakteristik” penting dari pengetahuan (teknologi/ilmu pengetahuan) dan inovasi terutama karena implikasinya terhadap kebijakan (dari perspektif ekonomi) sebagai berikut:

1. Iptek dan/atau inovasi bersifat atau mempunyai karakteristik (setidaknya sebagian) sebagai “barang publik” (public goods): Dalam arti sebagai objek yang ”dikonsumsi” Walaupun terdapat ketentuan hukum tentang hak kekayaan intelektual (HKI) atau intellectual property rights (IPR), pengetahuan, inovasi atau kekayaan intelektual tidak sepenuhnya (secara sempurna) terlindungi sebagai “barang pribadi” (private goods). Ini juga sering dinilai “berlaku” bagi aktivitas a. non­rivalrous: iptek atau inovasi dapat digunakan berulang

kali dan untuk beragam tujuan/maksud. Proses pembelajaran bahkan dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak dari kegiatan litbang atau inovasi, untuk meningkatkan kapabilitasnya secara langsung ataupun tidak langsung.

b. umumnya/sebagian bersifat non­excludable: dalam arti bahwa sangat sulit untuk pihak yang mengembangkan pengetahuan/inovasi untuk menikmati sendiri manfaatnya dan mencegah pihak lain dari penggunaannya tanpa

Page 63: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

55

Kebijakan Pemerintah

kompensasi kepadanya. Tidak sepenuhnya kemajuan/perkembangan iptek atau inovasi dapat menjadi eksklusif dengan perundangan HKI.

2. Investasi yang ditujukan bagi perolehan inovasi atau perkem-bangan iptek pada dasarnya merupakan sunk costs.

3. Sifat increasing returns: karena merupakan non­rival goods dan sifatnya yang dapat mengubah fundamental proses penciptaan nilai tambah, maka berbeda dengan “faktor produksi” lain, penge tahuan memiliki sifat increasing returns (increasing returns to scale). Implikasi dari hal ini antara lain adalah:• Peluang yang “hampir tanpa batas” bagi pertumbuhan karena

potensi penggunaan yang besar dengan biaya marjinal “nol” (“sangat kecil”).

• Pasar akan cenderung under­invest dalam pengetahuan. Perbedaan antara private benefits dengan social benefits mendorong terjadinya eksternalitas sehingga menurunkan insentif bagi swasta untuk berinvestasi.

• Kecenderungan terjadinya “ketidaksempurnaan persaingan” (imperfect competition). Karena penguasaan pengetahuan (atau inovasi) akan memberikan keunggulan bersaing dan dengan sifat increasing returns biaya bagi “pendatang baru” (new entrants) dalam pasar akan lebih tinggi, maka ini berpotensi “menghambat” masuk ke dalam pasar, sehingga persaingan cenderung “monopolistik.”

• Sifat increasing returns juga mendorong berkembangnya path dependence dalam perkembangan pengetahuan/teknologi. Con toh dari ini misalnya adalah dominant design dalam inovasi seperti susunan abjad/huruf “QWERTY” pada papan kunci (keyboard) komputer.

4. Sifat non­rival dan non­excludable dari pengetahuan (walaupun sebagian) serta adanya keterkaitan dan rangkaian rantai nilai aktivitas produktif mendorong terjadinya eksternalitas ekonomi (positif) berupa knowledge spillover.

5. Pengembangan pengetahuan/inovasi merupakan proses kumu-latif dan ini memengaruhi pula kecenderungan perubahan ekonomi dari masa ke masa. Gelombang perubahan ekonomi terjadi karena didorong oleh perkembangan pengetahuan/inovasi dalam beberapa bidang.

Page 64: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

56

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

6. Kelembagaan turut membentuk insentif bagi perkembangan pengetahuan/inovasi. Bagaimana peraturan perundangan melin-dungi kekayaan intelektual, kelembagaan yang mendorong interaksi antaraktor pengetahuan/inovasi dan lainnya turut memengaruhi perkembangan pengetahuan/inovasi. Asimetri informasi dan pengetahuan antara pengembang dan peng-guna pengetahuan/inovasi adalah di antara isu yang dinilai menen tukan kemajuan pengetahuan/inovasi. Selain itu, penye-suaian secara dinamis dari kelembagaan terhadap per kem-bangan (dalam mengantisipasi perubahan) sangat diper lukan untuk kemajuan yang berkelanjutan. Perkembangan penge-tahuan/inovasi merupakan proses pembelajaran sosial, yang membutuhkan interaksi efektif di antara berbagai aktor. Dalam konteks kemajuan/perkembangan iptek atau inovasi, sifat path dependence bisa bermakna positif (jika menjadi basis bagi pening-katan kinerja organisasi atau penguat bagi perkembangan iptek atau inovasi) ataupun negatif (bila kecenderungannya justru menghambat kinerja organisasi, perkembangan iptek atau inovasi. Fenomena demikian sering disebut locked­in).

7. Perkembangan iptek atau inovasi khususnya sangat erat terkait dengan “tempat.” Kedekatan spasial (spatial proximity) memudahkan sharing pengetahuan dan kapasitas untuk pem-belajaran setempat oleh berbagai aktor, yang mendorong kepada inovasi. Perusahaan dan pihak lain yang relevan yang “menge-lompok” di suatu daerah dan berada dalam kultur daerah serta kerangka kelembagaan serupa akan turut memfasilitasi proses pembelajaran dan memperoleh peluang kemanfaatan dari penge tahuan/inovasi. Oleh karena itu, semakin disadari bahwa interaksi dan terkonsentrasinya berbagai pihak berpotensi men dorong peningkatan kemanfaatan dan imbalan (returns) dari pengetahuan. Sebaliknya, kemanfaatan dan imbalan yang diperoleh dapat menjadi insentif bagi berbagai pihak tertentu untuk mengelompok (“berklaster”).

8. Pengetahuan merupakan kombinasi dari bentuk tacit know ledge dan explicit knowledge. Semakin disadari bahwa tacit knowledge merupakan bagian yang sangat penting baik dalam pengem-bangan pengetahuan maupun untuk kepentingan transfer/difusinya. Karena itu, keterkaitan dan interaksi yang efektif

Page 65: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

57

Kebijakan Pemerintah

antarpihak sangat penting bagi kemajuan pengetahuan dan untuk mendorong dampak kemanfaatan yang lebih besar dari pengetahuan. Smith (2000) menekankan empat jenis kegagalan sistemik yang

mendasari perlunya intervensi pemerintah berdasarkan kerangka pendekatan sistem inovasi, yaitu:

1. Kegagalan dalam penyediaan dan investasi infrastruktur (failures in infrastructural provision and investment): Ini misalnya me-nyangkut infrastruktur fisik (misalnya berkaitan dengan energi dan komunikasi) maupun yang berkaitan dengan iptek seperti misalnya perguruan tinggi, lembaga teknis yang di dukung oleh pemerintah, lembaga kebijakan, perpustakaan dan bank data, atau bahkan kementerian dalam pemerintah.

2. Kegagalan transisi (transition failures): Ini misalnya berkaitan dengan persoalan serius yang dihadapi oleh perusahaan atau sektor secara umum dalam menyesuaikan diri terhadap berbagai transisi seperti perubahan teknologi. Menurut Smith, banyak kebijakan publik yang dalam kenyataannya dimaksudkan untuk mengatasi isu seperti itu namun seringkali tanpa alasan yang eksplisit. 3. Lock­in failures: Ketidakmampuan perusahaan-perusahaan beralih dari teknologi yang digunakannya berkaitan dengan ketidakmampuan industri dan sistem perekonomian secara keseluruhan yang dapat “terkunci atau terperangkap” (locked­in) dalam paradigma teknologi tertentu. Lembaga-lembaga eksternal, dengan kemampuan untuk membangkitkan insentif, untuk mengembangkan alternatif teknologi, dan untuk menumbuhkembangkan sistem teknologi yang baru (emerging) sangat diperlukan. 4. Kegagalan institusional: sehimpunan terpadu dari lembaga publik dan swasta, sistem regulasi (regulatory systems) dan sistem kebijakan yang turut memengaruhi konteks ekonomi dan perilaku teknis secara keseluruhan akan membentuk peluang teknologis dan kapabilitas perusahaan. Kegagalan dalam sistem ini dapat membentuk “kemacetan” (bottlenecks) bagi inovasi yang berperan sebagai alasan bagi tindakan kebijakan, seperti misalnya perubahan dalam perundangan HKI.

Page 66: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

58

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Page 67: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

59

Pendidikan dan Pelatihan

Pendidikan dan Pelatihan

BAB 4

PELATIHAN menjadi salah satu pertimbangan yang signifikan dalam proses fungsi sumber daya manusia organisasi. Pelatihan me mainkan peran kritis dalam memelihara dan mengembangkan kemampuan karyawan secara individual dan organisasi secara ke se-luru han dan memberikan kontribusi dalam proses perubahan orga-nisasi yang penting agar berjalan baik.

Dalam mempelajari proses pelatihan, ada dua perspektif dasar yang dapat diadopsi yaitu internal dan eksternal (Dolan dan Schuler, 1994). Pendekatan pertama berkonsentrasi pada bagaimana me-mahami berbagai elemen yang terlibat dalam pengembangan proses pelatih an (seperti berapa banyak pelatihan, tipe, diperuntukkan bagi siapa, kapan dan bagaimana) ditentukan dan diorganisasi dalam usaha untuk menjamin semua kebutuhan dapat berjalan efisien. Pen­dekatan kedua berkaitan dengan proses orientasi fungsi pelatihan ke dalam perusahaan, berhubungan dengan filosofi dan terutama pada fokus strategisnya. Pendekatan kedua ini mempunyai dua buah sasa-ran yaitu (1) untuk menguji jika orientasi dari sejumlah paramater yang mengkarateristikkan strategi atau kebijakan pelatihan untuk

Page 68: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

60

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

membicarakan keunikan dan perbedaan model, (2) untuk menguji jika model pelatihan berhubungan dalam cara sistematik untuk: (a) strategi bisnis umum yang dirumuskan organisasi; (b) karakteristik proses kerja dan (c) kolaborasi kedua hal tersebut.

Di dalam (Mathew et al., 2001), aktivitas pelatihan dan pengem-bangan (training and development) akan mendukung keberhasilan penerapan dan operasionalisasi total quality management (TQM). Mana­jemen kualitas adalah bagian dari strategi bersaing organisasi yang penting. Pelatihan merupakan penentu bagi manajemen kualitas untuk menjamin efektivitas penerapannya. Strategi ini dipakai oleh pihak manajemen untuk meningkatkan kualitas, keahlian (skill) dan pada akhirnya akan mendorong ke arah perubahan perilaku yang lebih baik dari SDM. Dalam industri jasa ketinggalan dari sektor lain di dalam komitmen mereka untuk menyediakan pelatihan untuk mendukung TQM, walaupun turnover staf lebih tinggi, tetapi dalam industri jasa mungkin akan lebih baik menjelaskan hambatan yang lebih besar bagi manajer untuk menanam modal dalam pelatihan kualitas (Keltner dan Finegold, 1996).

Organisasi dapat tumbuh disebabkan berubahnya lingkungan ekonomi, politis dan sosial, sehingga mereka harus menanamkan modal yang lebih besar dalam sumber daya manusia. Tantangan utama organisasi di antaranya adalah bagaimana mengelola berbagai ke butuhan pengembangan karyawan yang berbeda. Sebagai jawaban atas tantangan ini, ada gagasan dan prakarsa, untuk mencari dan mempromosikan bagaimana cara mengembangkan karyawan agar dapat terintegrasi lebih baik, melalui pengembangan organisasi sebagai bagian dari format strategi perusahaan. Sekarang ini ada kecen-derungan baru terhadap isu ini, terutama dari sudut penekanan untuk membangun pembelajaran organisasi (Senge, 1990). Penekanan pada pembelajaran sebagai sumber yang bermanfaat dalam berkompetisi dengan memperbarui pentingnya self­direction dan tanggung jawab pribadi dalam proses pengembangan.

Kecenderungan baru perusahaan dalam mengembangkan stra-tegi pelatihan diarahkan untuk: (1) pelatihan dikaitkan langsung pada tujuan bisnis jangka pendek dan panjang; (2) manajer lini me-main kan peran lebih besar dalam pelatihan dan pengembangan staf melalui pengenalan sistem penilaian kinerja yang akan menciptakan

Page 69: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

61

Pendidikan dan Pelatihan

kemungkinan yang semakin besar dalam menafsirkan manfaat pelatihan terhadap kinerja; (3) menggunakan berbagai cara penyampaian dalam pelatihan; (4) pengembangan ini disertai dengan pergeseran persepsi tentang pelatihan sebagai investasi jangka panjang, bukan lagi biaya jangka pendek.

Hal ini sangat kontras dengan apa yang terjadi pada sektor bisnis kecil, yang mayoritas karyawannya tidak menerima pelatihan, padahal mereka membutuhkan pelatihan untuk dapat berkompetisi di pasar, dan untuk meningkatkan produktivitas mereka. Sebagian besar fakta menunjukkan bahwa sektor bisnis kecil sering tidak mampu untuk membayar mahal dan mengalokasikan waktu yang digunakan untuk program pelatihan. Banyak organisasi tidak mampu memberikan pe-latihan yang terfokus kepada karyawan secara eksklusif, mereka tidak mampu menyewa konsultan independen untuk melatih karyawan. Sebagai hasilnya, banyak karyawan berkualitas berkurang. Pada waktu yang sama, sektor bisnis kecil bekerja keras untuk meningkatkan produktivitas ketika ada pergerakan pada industri jasa, suatu area yang memerlukan usaha pelatihan dan keterampilan yang lebih besar.

Pelatihan sebagai satu cara penting untuk meningkatkan keteram-pilan karyawan dan meningkatkan produktivitas. Karyawan perlu untuk dilatih dengan baik dalam lingkup keterampilan pekerjaannya, dan belajar keterampilan baru dengan basis kesinambungan dalam rangka berkompetisi dalam lingkungan bisnis. Ada sejumlah metode pelatihan yang tersedia dalam bisnis kecil sekarang ini, misalnya dalam bentuk seminar dalam lingkup terbatas, nasihat (mentoring), video, dan paket program. Kebutuhan bisnis kecil untuk mengidentifikasi metode pelatihan dapat dilakukan oleh organisasi, seperti halnya pertemuan untuk keperluan pelatihan mereka, untuk meningkatkan keterampilan dan produktivitas.

Sifat Dasar Pekerjaan

Mempertemukan karyawan berkualitas dan pekerjaan adalah penting bagi kesuksesan jalannya organisasi. Kebanyakan perusahaan besar mengizinkan kontak antara manajemen puncak dan karyawan. Para manajer dan spesialis sumber daya manusia, pelatihan, dan hubu ngan perburuhan, menyediakan mata rantai ini. pada masa lalu, para karyawan ini telah dihubungkan dengan penyelenggaraan fungsi

Page 70: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

62

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

adminis tratif dari suatu organisasi yang telah dibentuk bersama dengan manajemen puncak.

Dalam usaha untuk meningkatkan produktivitas dan moril serta untuk membatasi turnover karyawan, mereka membantu perusahaan secara efektif dengan menggunakan keterampilan karyawan, me nye-diakan kesempatan pelatihan dan pengembangan untuk mening-katkan keterampilan itu, dan mendorong kepada kepuasan karyawan terhadap kondisi kerja dan pekerjaan mereka.

Dalam organisasi kecil, generalis sumber daya manusia mungkin menangani semua aspek pekerjaan sumber daya manusia, dan memerlukan suatu jangkauan pengetahuan yang luas. Tanggung jawab generalis sumber daya manusia dapat berganti-ganti, tergantung pada kebutuhan karyawan. Pada korporasi besar, eksekutif puncak sumber daya manusia pada umumnya mengembangkan dan mengkoordinasi kebijakan dan program personil. Kebijakan ini pada umumnya diterapkan oleh manajer atau direktur sumber daya manusia dan, direktur operasi.

Direktur sumber daya manusia dapat mengatur beberapa depar-temen, masing-masing dipimpin oleh seorang manajer berpengalaman yang hampir bisa dipastikan mengkhususkan dalam satu aktivitas personal, seperti pekerjaan, kompensasi, manfaat, pelatihan dan pe-ngem bangan, atau hubungan dengan karyawan.

Spesialis kompensasi, manfaat, dan analisis pekerjaan melakukan program untuk penyedia pekerjaan dan mengkhususkan pada area spesifik seperti penggolongan posisi atau pensiun. Analis pekerjaan mengum pulkan dan menguji informasi secara terperinci tentang tugas-tugas pekerjaan dalam rangka menyiapkan deskripsi tugas. Uraian ini menjelaskan tugas-tugas, pelatihan, dan keterampilan yang masing-masing pekerjaan memerlukannya. Kapan organisasi besar memperkenalkan suatu pekerjaan baru atau tinjauan ulang atas pekerjaan yang ada, dengan menghubungi tenaga ahli dari analis pekerjaan.

Para manajer dan spesialis pelatihan melakukan dan mensuper-visi program pelatihan untuk karyawan. Pihak manajemen mengenali pelatihan akan menawarkan cara dalam mengembangkan keterampilan, meningkatkan kualitas dan produktivitas pekerjaan, dan membangun

Page 71: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

63

Pendidikan dan Pelatihan

kesetiaan karyawan kepada perusahaan. Pelatihan secara luas diterima sebagai metode dalam meningkatkan moril karyawan, tetapi ini hanya salah satu dari pertimbangan untuk arti penting pertumbuhan. Faktor lain meliputi kompleksitas dari lingkungan kerja, langkah cepat dari perubahan teknologi dan organisasional, dan tumbuhnya jumlah peker jaan di dalam bidang yang konstan menghasilkan pengetahuan baru. Sebagai tambahan, kemajuan dalam teori pembelajaran sudah menyajikan pengertian yang mendalam pada pembelajaran, dan bagaimana pelatihan dapat diorganisasi secara efektif untuk karyawan.

Manajer pelatihan menyediakan pelatihan karyawan di dalam kelas atau melalui jaringan internet. Ini meliputi penentuan materi pengajaran di kelas, melibatkan kelas, dan pengeluaran sertifikat di akhir kelas.

Spesialis pelatihan merencanakan, mengorganisasi, dan meng-arahkan cakupan yang luas dari aktivitas pelatihan. Pelatih bereaksi terhadap permintaan jasa ini dari karyawan dan perusahaan. Mereka membicarakan dengan para penyelia jaringan internet mengenai jasa peningkatan kinerja dan melakukan sesi orientasi dan menyusun latihan di tempat kerja untuk karyawan baru. Mereka membantu kebanyakan karyawan memelihara dan meningkatkan keterampilan pekerjaan mereka, dan bersiap-siap menghadapi pekerjaan yang menuntut ketram pilan yang lebih besar. Mereka membantu para penyelia mening katkan keterampilan interpersonal mereka dalam rangka meng hadapi keefektivan karyawan. Mereka menyediakan rencana pelatihan dibedakan dari yang lain untuk memperkuat keterampilan karyawan atau memberi pengajaran baru. Spesialis pelatihan di beberapa perusahaan menyediakan program pengembangan eksekutif atau kepemimpinan antar karyawan dalam posisi yang lebih rendah. Program ini dirancang untuk mengembangkan para eksekutif potensial untuk menggantikan posisi tersebut ketika meninggalkan organisasi. Pelatih juga memimpin program untuk membantu karyawan dengan transisi berkaitan dengan diperoleh dan penggabungan, seperti halnya perubahan teknologi. Pemerintah mendukung program pelatihan, spesialis pelatihan berfungsi sebagai manajer kasus. Mereka pertama kali menilai keperluan pelatihan klien, kemudian memandu mereka melalui metode pelatihan yang paling sesuai. Setelah pelatihan, klien disebut wakil pemberi kerja atau menerima bantuan penempatan

Page 72: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

64

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

pekerjaan.

Perencanaan dan program pengembangan adalah bagian penting dari pelatihan pekerjaan spesialis. Dalam rangka mengidentifikasi dan menilai keperluan pelatihan di dalam perusahaan, pelatih berunding dengan para manajer dan para penyelia atau melakukan survai. Mereka pada waktu tertentu mengevaluasi efektivitas pelatihan.

Ketergantungan pada ukuran, tujuan, dan alamiah organisasi, pelatih mungkin berbeda dalam mempertimbangkan tanggung jawab mereka dan dalam metode yang mereka gunakan. Metode pelatih an meliputi pelatihan di tempat kerja; operasi perusahaan yang menyalin dari kondisi-kondisi di tempat kerja untuk mengikuti pelatih-an sebelum menempatkan mereka ditempat kerja; masa magang pelatihan; pelatihan kelas; dan pelajaran elektronik dengan melibat-kan internet interaktif yang mendasarkan pada pelatihan, program multimedia, jarak pembelajaran, pelatihan satelit, teknologi komputer, video, simulator, konferensi, dan tempat kerja.

Eksplorasi Konsep Pengembangan

Perencanaan pengembangan sumber daya manusia telah menjadi salah satu konsep dasar dari sistem manajemen organisasi profesional. Ini sebagai usaha untuk menyatakan bahwa kebijakan yang luas bagi transformasi sejumlah pilihan untuk mengembangkan SDM de-ngan menetapkan pengembangan SDM sebagai penyangga sistem mana jemen organisasi. Pengembangan SDM ini harus direncanakan, tidak semata-mata memberi keramahan di mulut (lips service) saja atau mengharapkan untuk terjadi dengan sendirinya. Pendorong pengem bangan SDM yang utama adalah untuk menekankan bahwa pengembangan SDM menjadi alat terbaik yang tersedia untuk men-capai hasil yang diinginkan organisasi.

Organisasi cenderung untuk melalaikan kebutuhan pengem-bangan individu. Sebagai akibatnya, tidak banyak perangkat penilaian diri (self­assessment) yang dikembangkan untuk maksud pengembangan diri (self­development). Salah satu pertimbangan utamanya adalah bahwa penilaian kebutuhan individu sangat mahal dan dari perspektif perusahaan, bahwa kebutuhan suatu individu bukanlah menjadi isu mendasar. Itu jelas membuktikan bahwa kecenderungan sekarang akan

Page 73: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

65

Pendidikan dan Pelatihan

berkonsentrasi pada efektivitas bisnis dibanding efektivitas personal. Fokus dari pembahasan pelatihan harus menekankan bagaimana cara menyeimbangkan kebutuhan dari individu dan organisasi.

Kebijakan Pengembangan

Di sini akan terlihat bagaimana pimpinan satu perusahaan meng gunakan seperangkat gagasan permanen dengan baik terhadap kebijak an yang dibuat, pada saat memperkenalkan perencanaan pengem bangan karyawan di dalam organisasinya.

• Organisasi menggunakan pendekatan profesional dengan me-ngambil semua aspek pelaksanaan bisnis.

• Manajer memegang peran utama untuk mempertemukan ke-sempatan pertumbuhan dan konsep dasar untuk merealisasi kebutuhan sumber daya lain seperti modal, gagasan dan tanah.

• Pendekatan profesional digunakan untuk membantu pengem-bangan karyawan dalam rangka memaksimalkan potensi mereka seutuhnya, ini akan berdampak langsung pada kebijakan dasar perusahaan.

• Profesionalisme di dalam pengembangan karyawan adalah sama pentingnya dengan tanggung jawab manajer lini seperti program lain yang mereka kejar untuk mencapai hasil yang maksimal.

• Untuk mengembangkan karyawan adalah menjadi tanggung jawab tiap-tiap manajer di dalam perusahaan, hal ini diperuntukkan dalam perencanaan prestasi individu dan sasaran organisasional.

Pelatihan, Kualifikasi Dan Kemajuan

Keanekaragaman tugas-tugas dan tingkat tanggung jawab, latar belakang sumber daya manusia di berbagai bidang, pelatihan, dan pengembangan para manajer serta spesialis hubungan perburuhan sangat dipertimbangkan. Banyak perusahaan mempunyai program yang mendorong ke arah pengembangan personil, sumber daya manusia, atau hubungan perburuhan. Beberapa tingkat program di-tawar kan di dalam administrasi kepegawaian atau sumber daya manusia manajemen, pelatihan dan pengembangan, atau kompensasi dan kesejahteraan. Kebanyakan spesialis calon sumber daya manusia perlu mengambil kursus di bidang kompensasi, perekrutan, pelatihan dan pengembangan, dan pertimbangan prestasi, seperti halnya kursus

Page 74: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

66

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

prinsip manajemen, struktur organisasi, dan psikologi industri. Kursus yang relevan meliputi administrasi perniagaan, administrasi peme-rintahan, psikologi, sosiologi, ilmu pengetahuan politis, ekonomi, dan statistik. Seperti di banyak bidang lain, pengetahuan sistem informasi dan komputer juga bermanfaat.

Banyak pekerjaan khusus di dalam bidang sumber daya manusia yang memerlukan pengalaman sebagai penengah dan arbitrator. Pemberi kerja menyukai para karyawan yang sudah memperoleh beberapa pengalaman melalui masa pelatihan keahlian atau pro gram studi kerja dalam perusahaan. Pengembangan administrasi kepe-gawaian dan sumber daya manusia memerlukan kemampuan bekerja bersama seperti halnya komitmen ke tujuan organisasional.

Sasaran Pelatihan dan Pengembangan

Pada penerapannya Adam Smith dalam American Society for Training and Development ‘Divisi Tenaga Kerja’ menyatakan bahwa peme cahan dan pemisahan aktivitas pelatihan dimulai untuk memas-tikan kelanjutan dari diskualifikasi karyawan dan peningkatan spe­siali sasi tugas. Bartell (1994), Knoke dan Kalleberg (1994) dalam Society for Human Resource Management menemukan bahwa organisasi yang menerapkan program pelatihan akan memperoleh peningkatan dalam produktivitas dan hasil secara organisasional. Semua karyawan mempunyai akses hak untuk memperoleh pelatihan dan pengembangan yang disajikan oleh perusahaan. Tidak ada kategori karyawan yang diperlakukan tidak adil dan menolak akses ke pelatihan dan pengem-bangan yang semata-mata didukung oleh kontrak kerja atau tindakan, atau kesalahan yang disengaja dalam bertindak. Mengenali dan menghargai kontribusi pelatihan dan pengembangan untuk semua karyawan dalam perusahaan adalah sebagai alat untuk memudahkan penyebaran karyawan sesuai dengan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman pribadi mereka serta pengembangan perusahaan untuk membantu mencapai sasaran pribadi dan organisasi.

Kebijakan pelatihan dan pengembangan yang efektif akan me-nemui faktor yang rumit dalam menghadapi perbedaan ras, jenis kelamin dan cacat (ketidakmampuan) yang berhubungan dengan pekerjaan. Ada rekomendasi perusahaan yang menghasilkan rencana pelatihan dan pengembangan, yang bertujuan untuk memberikan

Page 75: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

67

Pendidikan dan Pelatihan

kesempatan bagi semua karyawan untuk menunjukkan peran mereka pada standar yang paling tinggi, dan memberikan kualitas pelayanan tinggi kepada pelanggan.

Pelatihan dan pengembangan secara luas menggambarkan ber-bagai aktivitas yang diarahkan pada peningkatan standar praktik karyawan dan meningkatkan kualitas karyawan dan produk dari perusahaan. Semua aktivitas pelatihan dan pengembangan akan difokus kan ke arah efektivitas dari aktivitas yang akan dievaluasi sesuai dengan tujuan personal dan organisasi, yang dikenali melalui penilaian karyawan dan perencanaan strategis perusahaan.

Petunjuk pelatihan dan pengembangan menyediakan suatu kerangka untuk menetapkan pelatihan dan pengembangan yang men-dukung semua karyawan yang akan dikembangkan dengan serikat buruh yang ada. Ini telah disetujui bersama-sama di antara serikat buruh dan pemerintah. Petunjuk ini mendasari untuk membuat ketetap an pelatihan dan pengembangan yang mendorong semua karya wan perusahaan sesuai dengan keanggotaannya.

Tujuan Pelatihan Dan Pengembangan

Tipe dari tujuan pelatihan dan pengembangan akan tergantung pada sasaran personal dan organisasi yang dikenali melalui proses perencanaan strategis dan prosedur penilaian yang disetujui. Tujuan pelatihan dan pengembangan akan memenuhi standar minimum berikut ini:

Tipe Dukungan Pelatihan Dan Pengembangan

Semua karyawan akan mempunyai akses kepada program pengem bangan staf pada tempatnya di dalam perusahaan. Mereka juga mempunyai kesempatan yang penuh untuk menghadiri konferensi dan kursus untuk mengembangkan keahlian profesional mereka yang relevan pada pemenuhan kebutuhan pekerjaan mereka. Prosedur induksi akan secara penuh terintegrasi ke dalam program pelatihan dan pengembangan untuk karyawan baru.

Penilaian yang disetujui, direncanakan oleh perusahaan untuk mem perlakukan sama bagi semua karyawannya. Semua karyawan diberi peluang untuk menghadiri pertemuan untuk pemenuhan

Page 76: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

68

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

kebutuhan pekerjaan mereka, seperti pertemuan tim dan pertemuan untuk kursus pengembangan.

Para manajer akan mencoba untuk menyusun pertemuan yang menyenangkan bagi semua karyawan. Kehadiran di luar terminologi yang sesuai kontrak akan dibayar sesuai dengan kerja keras mereka. Diperlukan prosedur yang jelas di mana karyawan dapat mengajukan aplikasi pelatihan dan pengembangan, dan pertimbangan yang jelas untuk ditolak atau diterima aplikasi mereka.

Pembelajaran di Tempat Kerja1. Semua karyawan akan didorong untuk belajar secara reguler

dan tetap dari aktivitas di tempat kerja mereka dan berbagi pe-nga laman pembelajaran dan hasil dengan pasangan mereka.

2. Mentoring perubahan pekerjaan dan karyawan baru dihadapi sebagai alat berharga dalam mendukung keberhasilan di tempat kerja, pengalaman bersama dan keunggulan promosi di tempat kerja.Ekspektasi nilai-nilai dari program pelatihan dan pengembangan

karyawan adalah mengupayakan suatu sistem:1. Implementasi dari petunjuk pelatihan dan pengembangan di-

arah kan untuk mendorong ke budaya organisasi di mana pem-belajaran tumbuh dengan subur.

2. Pengakuan akan kualitas yang tinggi dan kesempatan pelatihan yang sesuai akan mendukung prestasi yang sesuai sasaran stra-tegis perusahaan dan memberi kesempatan karyawan untuk mencapai standar yang tinggi.

Aktivitas Pelatihan dan Pengembangan

Dalam Ciu, W., Thompson, D., Mak, W., & K.L. Lo. (1999) diurai-kan bahwa untuk mendesain aktivitas pengembangan, itu menjadi pada kepentingan utama untuk melakukan Training Needs Analysis (TNA) sebelum memulai pengembangan manajemen (Berger, 1993). Walaupun ada suatu perbedaan dari segi label, tetapi keduanya meng-hadirkan usaha sistematis untuk mengumpulkan informasi terhadap permasalahan kinerja di dalam organisasi yang mungkin diperbaiki oleh pelatihan dan pengembangan (Anderson, 1993; Bennett, 1992; Ferdinand, 1988).

Page 77: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

69

Pendidikan dan Pelatihan

Secara tradisional, pelatih bertanggung jawab untuk meng-identifikasi keperluan pelatihan dan lingkup dari penilaian yang meli­puti berbagai tingkatan dalam organisasi. Untuk menilai keperluan pelatihan, bukan merupakan praktik yang luar biasa bagi pelatih untuk mengadopsi suatu taksonomi atau model keterampilan sebagai kerangka untuk membantu menyusun daftar tugas, dan pertanyaan mengenai pekerjaan yang mengindikasikan adanya keperluan pelatihan mereka untuk tiap-tiap item tugas tersebut. Bagaimanapun, pendekatan ini tanpa disadari memperkenalkan permasalahan untuk kebutuhan penilaian. Pelatih sering kurang pengalaman dalam manajemen lini dan tidak memahami isu operasional yang riil (Bucalo, 1984). Program pelatihan dan pengembangan dilakukan tiap tahun, dapat dipraktikkan, dijadwalkan dengan fleksibel untuk mengakomodasi secara aktif pola keteladanan dari semua karyawan, mengizinkan mereka untuk melakukan aktivitas selama kontrak kerja normal mereka.

Ferdinard (1988) menguraikan TNA sebagai proses yang rasional di mana suatu organisasi menentukan bagaimana cara mengembangkan atau memperoleh keahlian personal dalam rangka mencapai sasaran bisnisnya; oleh karena itu, sebagai langkah antisipasinya harus dapat mempertemukan dengan sasaran organisasional jangka panjang (Snape et al., 1994). Rekomendasi perusahaan harus mengidentifikasi jumlah anggaran belanja tahunan untuk pelatihan dan pengembangan dan menetapkan sejumlah hari untuk aktivitas pelatihan dan pe ngem-bangan perusahaan. Aktivitas perencanaan pelatihan dan pengem-bangan akan tunduk kepada konsultasi dengan serikat buruh yang ada. Karyawan perusahaan perlu didukung untuk mengambil bagian dalam konsultasi untuk menetapkan aktivitas pelatihan dan pengem-bangan tahun yang akan datang.

Tinjauan ulang dari tiap individu karyawan terhadap aktivitas pelatihan dan pengembangan harus dilaksanakan tiap tahun sesuai dengan skala penilaian perusahaan. Aktivitas pelatihan dan pengem-bangan jabatan dan profesional untuk karyawan harus dipetakan relevan dengan standar. Standar penilaian perlu diinformasikan, dengan me nyediakan ukuran pembanding, karyawan dapat melihat kekuat an dan keterampilan mereka, pembelajaran dan pelatihan diperlu kan dalam kaitan dengan peningkatan profesionalisme mereka

Page 78: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

70

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

serta tanggung jawab pada jabatan dan tujuan.

Beberapa praktik terbaik yang pernah dilakukan, antara lain :1. Berbagi praktik terbaik di dalam dan di luar perusahaan secara

perorangan dikenali sebagai biaya efektif untuk memaksimalkan nilai tambah yang dapat dicapai dari aktivitas pelatihan dan pengembangan. Banyak peluang muncul di dalam perusahaan, termasuk mengorganisasi pertemuan-pertemuan, buletin, pe-nga matan tempat kerja dan kelas, bayang-bayang pekerjaan.

2. Pengaturan standar perusahaan untuk berbagi dalam praktik dengan rekan kerja dari perusahaan lain harus dimaksimalkan untuk mengembangkan aktivitas berikut ini:• Pemeriksaan tim antarperusahaan• Benchmarking antarperusahaan• Kolaborasi seminar dan workshop• PertukaranImplementasi dari rencana pelatihan dan pengembangan peru-

sahaan akan dimonitor dan dievaluasi dengan kriteria yang jelas. Hasil dari evaluasi harus tersedia untuk semua staf dan mengakui keberadaan serikat buruh dan menginformasikan siklus perencanaan pelatihan dan pengembangan selanjutnya. Ada tiga karakteristik penting dari strategi evaluasi yaitu (1) Besarnya evaluasi (magnitude of the evaluation), (2) desain riset yang digunakan, dan (3) kriteria pelatihan yang dikumpulkan. Sementara untuk melihat hasil dari pelatihan yang diberikan akan membawa dampak atau tidak ada beberapa strategi yang digunakan yaitu:

• No evaluation strategy: pelatihan diberikan tetapi tidak ada usaha yang dibuat untuk mengumpulkan informasi mengenai apakah pelatihan tersebut efektif.

• Reaction only strategy: data reaksi tidak dapat dikumpulkan se-belum pelatihan sehingga perbandingan perbedaan antara se-belum pelatihan dengan sesudah pelatihan tidak dapat diketahui.

• Basic evaluation strategy: strategi ini memberikan hasil yang lebih kuat daripada reaction only strategy, strategi ini hanya sedikit mem beritahukan akibat atau kegunaan dari pelatihan sulit untuk menentukan apakah pelatihan tercapai, gagal atau tidak berpengaruh pada pengetahuan dan kinerja peserta pelatihan.

• Intermediate evaluation strategy: strategi ini memberikan hasil

Page 79: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

71

Pendidikan dan Pelatihan

yang lebih berguna dan valid serta memberikan informasi yang mudah diinterpretasikan dan dipertanggungjawabkan. Evaluasi yang memiliki kriteria berganda, mengumpulkan informasi dari banyak peserta, dan menggunakan desain yang lebih unggul dan analisis yang menghasilkan kepercayaan yang lebih besar dalam hasilnya, tetapi lebih banyak mendatangkan perlawanan.

• Advanced evaluating strategy: strategi evaluasi yang mempergunakan sistem acak untuk menentukan peserta pelatihan dan adanya kelompok kontrol serta mengumpulkan data dari kelompok yang belum mengikuti pelatihan.

Kepedulian tertentu harus diambil dalam proses monitoring dan evaluasi untuk memastikan bahwa tidak ada diskriminasi atas dasar jenis kelamin, ras atau cacat (ketidakmampuan), dan bahwa semua staf, baik part­time maupun penuh, mempunyai akses yang sama untuk memperoleh kesempatan pelatihan dan pengembangan.

Page 80: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

72

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Page 81: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

73

Kesempatan Kerja

Kesempatan Kerja

BAB 5

MODEL kesempatan kerja dapat dijelaskan dari dua sudut pandang, yaitu dari teori klasik dan teori Keynes. Teori klasik menge-muka kan pandangan mereka mengenai kesempatan kerja, yaitu bahwa tingkat output dan harga keseimbangan hanya bisa dicapai kalau perekonomian berada pada tingkat kesempatan kerja penuh (full employment). Sementara, keseimbangan dengan tingkat kesempatan kerja penuh (equilibrium with full employment) hanya bisa dicapai me-lalui bekerjanya mekanisme pasar bebas. Jadi, adanya mekanisme pasar yang bekerja secara bebas tanpa campur tangan pemerintah itu merupakan necessary condition bagi tercapainya keseimbangan dengan ke sempatan kerja penuh. Keseimbangan dengan kesempatan kerja penuh tersebut menurut kaum klasik merupakan kondisi yang ideal atau normal dari suatu perekonomian. Jika sampai terjadi pengang-guran di dalam perekonomian, maka hal tersebut hanyalah gejala atau fenomena yang bersifat sementara, bahwa dalam jangka panjang akan hilang dengan sendirinya melalui bekerjanya secara bebas mekanisme pasar.

Page 82: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

74

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Dalam pandangan klasik, perekonomian tidak akan kekurangan permintaan agregat, yang berarti segala barang yang diproduksikan akan dapat dijual, sedangkan tingkat produksi nasional dan kegiatan ekonomi ditentukan oleh faktor produksi yang digunakan. Atas dasar tersebut jumlah produksi sebagai dasar untuk menentukan kesempatan kerja. Fungsi produksi yaitu suatu fungsi yang menggambarkan hubu-ngan antara jumlah produksi yang akan dihasilkan dengan jumlah faktor produksi yang digunakan dalam suatu proses produksi.

Masih dalam pandangan klasik, tingkat harga dan upah di dalam perekonomian dianggap cukup fleksibel, artinya harga­harga barang dan upah tenaga kerja sewaktu-waktu dengan cepat disesuaikan. Adanya fleksibilitas tingkat harga dan upah inilah menurut kaum klasik yang menjamin selalu tercapainya keseimbangan dengan kesem-patan kerja penuh di dalam perekonomian. Oleh karena itu, menurut pandangan klasik, yang langsung menentukan volume employment dan output bukanlah tingkat harga tetapi struktur intern dari harga. Tegasnya keputusan produsen mengenai output dan employment ada-lah tergantung pada hubungan antara ongkosnya (upah) dan harga yang dibayar oleh pembeli outputnya. Setiap penjual menghasilkan output sampai pada tingkat ongkos marginalnya sama dengan harga yang sudah tertentu dan produsen akan mempekerjakan tenaga kerja sampai pada titik di mana produk marginal sama dengan upah riil yaitu upah uang yang dinilai menurut tingkat harga output.

Sementara dari sisi penawaran, individu pekerja di pan dang menganut prinsip maksimisasi kepuasan. Mereka akan memper-timbangkan penggunaan waktu mereka antara bekerja atau santai. Meningkatnya upah identik dengan meningkatnya harga santai, se-bagai mana hukum permintaan bahwa kenaikan harga suatu barang atau faktor akan cenderung menurunkan jumlah barang atau faktor yang diminta, akan banyak jasa pekerja yang ditawarkan pada tingkat upah tinggi.

Sedangkan kesempatan kerja menurut pandangan Keynes, ber beda dengan klasik. Menurut Keynes, kegiatan perekonomian tergantung pada segi permintaan, yaitu tergantung kepada per belanja-an atau pengeluaran agregat yang dilakukan perekonomian pada suatu waktu tertentu. Diartikan dengan pengeluaran agregat adalah penge luaran yang dilakukan untuk membeli barang dan jasa yang

Page 83: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

75

Kesempatan Kerja

dihasilkan oleh sesuatu perekonomian dalam suatu periode tertentu, dan hanya bisa diukur untuk suatu tahun tertentu.

Semakin besar perbelanjaan agregat (permintaan agregat) yang dilakukan dalam perekonomian, semakin tinggi tingkat kegiatan eko-nomi dan kesempatan kerja yang dicapai. Permintaan agregat yang wujudnya tidak selalu mencapai tingkat permintaan yang diperlukan untuk mencapai tingkat kesempatan kerja penuh. Oleh sebab itu, pengangguran akan selalu berlaku. Untuk mengatasinya, pemerintah perlu memengaruhi permintaan agregat, yang dilakukan dengan menjalankan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.

Dalam hal ini, diasumsikan bahwa terdapat hubungan antara output nasional dan kesempatan kerja nasional. Apabila pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan maka kesempatan kerja mengalami kenaikan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan maka kesempatan kerja pun akan mengalami penurunan.

Pandangan mainstream economy terhadap permintaan tenaga kerja adalah sebagaimana permintaan terhadap faktor produksinya, dianggap sebagai permintaan turunan (derived demand), yaitu penuru-nan dari fungsi perusahaan. Meskipun fungsi perusahaan cukup bervariasi, meliputi memaksimumkan keuntungan, memaksimumkan penjualan atau perilaku untuk memberikan kepuasan kepada konsu-men, namun maksimisasi keuntungan sering dijadikan dasar analisis dalam menentukan penggunaan tenaga kerja.

Dengan pertimbangan tersebut (maksimisasi keuntungan), dan dengan asumsi perusaha beroperasi dalam sistem pasar persaingan, maka perusahaan cenderung untuk mempekerjakan tenaga kerja dengan tingkat upah sama dengan nilai produk marginal tenaga kerja (ValueMarginal Product of Labor, VMPL) VMPL menunjukkan tingkat upah maskimum yang mau dibayarkan oleh perusahaan agar keuntungan perusahaan maksimum.

Analisis tradisional terhadap penawaran tenaga kerja sering didasar kan atas mengalokasikan waktunya, yaitu antara waktu kerja dan waktu nonkerja, dalam hal ini meliputi segala kegiatan yang tidak mendatangkan pendapatan secara langsung, seperti istirahat, merawat anak-anak, bersekolah, dan sebagainya. Pilihan tenaga kerja dalam mengalokasikan waktu dari dua jenis kegiatan ini yang akan

Page 84: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

76

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

menempatkan berapa tingkat imbalan (upah) yang diharapkan oleh tenaga kerja. Preferensi subjektif seseorang yang akan menentukan berapa besar jam kerja optimal yang ditawarkan dan tingkat upah yang diharapkan.

Ekonom memandang bahwa leisure merupakan kebutuhan pokok manusia, sementara upah juga merupakan barang normal (semakin banyak semakin disukai). Tenaga kerja dianggap tidak suka pada jam bekerja namun suka pada pendapatan dan leisure. Oleh karena itu penawaran tenaga kerja berhubungan positif dengan tingkat upah, namun karena leisure juga diinginkan oleh tenaga kerja, maka penawaran tenaga kerja bersifat backward bending (beng kok ke belakang). Pada tingkat upahnya meningkat karena ingin mempertahankan jam leisure-nya (untuk mengurusi keluarga dan sebagainya). Pemberian kemudahan modal pemerintah untuk pengem bangan sektor UKM, akan mampu mengatasi levelling off dan meningkatkan keuntungan. Pergeseran Agregat Supply, secara teoritis dapat diturunkan dari fungsi produksi agregat dan keseimbangan pasar tenaga kerja, yang secara matematis ditulis:

Y = f ( N, T, K, SDM, INF)

Peningkatan teknologi, sumber daya manusia dan infra struktur produksi akan menyebabkan fungsi produksi meningkat sehingga

agregat supply juga meningkat. (Kajian Ekonomi dan Keuangan, 2003)

Page 85: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

77

Dinamika Industri Kecil dan Menengah

Dinamika Industri Kecildan Menengah

BAB 6

KELOMPOK ekonomi Marxis mengemukakan beberapa alasan mengapa industri kecil dikembangkan dan bisa berkembang. Alasan tersebut bukan hanya merupakan alasan idealis tapi karena alasan-alasan yang rasional baik secara ekonomis maupun sosial yaitu, a) Industri kecil memperkuat kedudukan penguasa nasional yang sudah bergerak di lapangan dan merupakan modal bagi pembangunan yang mendasar dari sumber bahan pertanian dan bahan lokal lainnya, b) Industri kecil membutuhkan modal yang relatif kecil sehingga memudahkan para pengusaha untuk mendirikan usaha dengan hanya menggunakan mesin-mesin yang sederhana, c) Industri kecil umumnya mengkhususkan diri pada produksi barang konsumsi dan ini dalam batas-batas tertentu melepaskan sebagian beban import dan devisa.

M. Dawam Rahardjo (1986) mengemukakan :”Pengembangan industri kecil juga bisa mengurangi tendensi monopoli merupakan cara yang efektif untuk pembentukan kapital dan bagi perencana, sektor ini sejalan dengan usaha mempertahankan dan mengembangkan unsur-unsur tradisi dan kebudayaan”.

Page 86: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

78

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Dari beberapa pendapat diatas maka dapat dilihat dengan jelas bahwa industri kecil mempunyai peranan yang sangat penting atau vital dalam kehidupan ekonomi atau pembangunan eko nomi Indonesia. Dalam hal permodalan bagi industri kecil ini peme-rintah memberikan perhatiannya. Agar langkah permodalan dan pengembangan mencapai hasil, maka pemerintah membuat UU tentang usaha kecil secara realistis merumuskan bagaimana dan dari-mana usaha kecil mendapatkan biaya baik sebagai modal dasar juga dalam langkah-langkah pengembangan usaha. Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dilibatkan dalam penyediaan pembiayaan yang meliputi : a) Kredit perbankan, b) Pinjaman lembaga keuangan bukan bank, c) Modal Ventura, d) Pinjaman dari dana penyisihan sebagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pengembangan IKM penggerak perekonomian daerah diarahkan pada : 1) Menetapkan suatu kerangka kebijakan pengembangan IKM penggerak perekonomian daerah yang selaras antara kebijakan pengem bangan IKM nasional dan kebijakan pembangunan di daerah, 2) Meningkatkan IKM penggerak pembangunan daerah di bidang teknologi, manajemen dan kualitas SDM yang didukung oleh berbagai pihak: Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD dan lembaga terkait, 3) Memperluas kesempatan berusaha dan kesempatan kerja di daerah sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya di daerah, 4) Memperluas jangkauan pasar, dari lokal menjadi pasar antar provinsi bahkan pasar ekspor melalui peningkatan daya saing dan informasi pasar luar negeri. (Kementrian KUKM, 2008)

Untuk mewujudkan visi, misi dan arah pengembangan IKM penggerak perekonomian daerah ditetapkan kebijakan sebagai berikut:

“1) Pengembangan industri ditekankan pada upaya optimalisasi penggunaan sumber daya alam lokal untuk meningkatkan nilai tambah, memperkuat struktur industri, memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan memperkuat daya saing produk terutama dalam pasar bebas AFTA Tahun 2003, 2) Selalu mengacu kepada pengaruh lingkungan internal dan eksternal, yaitu faktor kekuatan dan kelema-han serta peluang dan ancaman yang dimiliki masing-masing komo-ditas terpilih dari kelompok IKM penggerak perekonomian daerah, 3) Memperkuat struktur industri melalui hubungan vertikal hulu

Page 87: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

79

Dinamika Industri Kecil dan Menengah

hilir antara pemasok/penghasil dengan pengguna bahan baku dan hubungan kemitraan antara lembaga terkait dengan IKM atau antara perusahaan besar dengan IKM terpilih, 4) Menciptakan iklim usaha yang semakin kondusif, antara lain: kemudahan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, fasilitasi untuk dukungan akses permodalan, akses pasar, akses teknologi informasi, peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan.”

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Industri Kecil dan Menengah

Menurut Mintaroem, et al (2002) bahwa dalam rangka pembinaan dan pengembangan industri kecil perlu adanya modal kerja dan investasi, salah satunya dengan melalui pengembangan kredit usaha kecil perbankan, dan sejenisnya. Selain itu juga perlunya kemampuan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan bagi pelaku ekonomi industri kecil.

Kuncoro (2000) mengemukakan bahwa pembinaan dan pengem-bangan usaha kecil menengah dan koperasi harus lebih diarahkan untuk dapat meningkatkan kemampuannya dalam bersaing dengan pelaku usaha lainnya. Namun disadari bahwa pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi menghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemampuan, keterampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dan sumber daya manusia ini mengakibatkan lembaga tersebut tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik. Selanjutnya Kuncoro (2000) mengemukakan bahwa cecara lebih spesifik, masalah mendasar yang dihadapi pengusaha kecil menengah adalah : Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur per-modalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dana manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerja sama antarpengusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Kelima, iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masya-rakat terhadap usaha kecil menengah dan koperasi.

Page 88: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

80

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Menurut Jafar Hafsah (2004) bahwa Pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) pada hakikatnya merupakan tang gung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Dengan men-cermati permasalahan yang dihadapi oleh IKM, maka ke depan perlu diupayakan pemerintah di antaranya adalah perlu meningkatkan pelatihan bagi IKM baik dalam aspek kewira swastaan, manajemen, administrasi dan pengetahuan serta keterampilannya dalam pengem-bangan usahanya. Di samping itu juga, perlu diberi kesempatan untuk menerapkan hasil pelati han di lapangan untuk mempraktikkan teori melalui pengembangan kemitraan rintisan.

Kebijakan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi pengem-bangan usaha kecil, haruslah dikaitkan dengan pengendalian ekonomi makro secara hati-hati. Berdasarkan prinsip good gover nance, menurut Boebningar dalam Isono Sadoko (1995), kebijakan penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan Industri Kecil dan Menengah adalah:

1. Terciptanya iklim kebijakan yang positif, tergantung pada ke-mampuan negara dalam menerjemahkan tujuan pem bangu nan.

2. Memberikan kesempatan formal dalam proses formulasi, imple-mentasi dan evaluasi kebijakan.

3. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat, untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan.Hal ini berarti bahwa termasuk pengusaha kecil memiliki peluang

yang sama dalam proses pembangunan. Namun pengembangan usaha kecil, telah mengalami hambatan utama yaitu : 1) Tidak ada koordinasi di antara institusi pendukung, sehingga pelayanan bersifat sporadis, 2). Adanya keterbatasan sumber daya manusia untuk menjalankan program dan investasi secara kreatif dan fleksibel; 3) tidak ada saluran aspirasi bagi pengusaha kecil.

Langkah strategis pengembangan IKM dalam rangka pengem-bangan IKM dilakukan langkah strategis yang meliputi : a) Per-kuatan program, b) Perkuatan Sumber Daya Manusia, c) Perkuatan kelembagaan, d) Perkuatan operasional pendampingan perusahaan dan sentra IKM Perkuatan jejaring kerja, e) Peningkatan anggaran dan efisiensi pelaksanaannya. (Laporan pengembangan sektor IKM Depperindag, 2007)

Page 89: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

81

Dinamika Industri Kecil dan Menengah

Telaah yang dilakukan oleh Marzuki Usman (1998) menge muka-kan ada empat faktor yang mendorong rapuhnya ekonomi nasional sebagai akibat ketidakberdayaan usaha kecil, yaitu:

1. Implikasi kebijakan usaha telah menimbulkan kesenjangan struktural.

2. Dalam pembinaan usaha kecil, belum jelas pemihakan agar bisa memiliki akses dan produktivitas sama dengan usaha besar.

3. Belum sepenuhnya usaha kecil berorientasi bisnis karena jiwa wiraswasta yang rendah.

4. Belum adanya lembaga keuangan yang khusus melayani kepada usaha kecilBerbagai studi tentang pengembangan usaha kecil di Indonesia,

me nunjukkan bahwa usaha kecil mengalami kelemahan hampir di seluruh aspek, seperti: pengadaan bahan baku, teknik produksi, mana-jemen, permodalan, pemasaran dan sumber daya manusia (Marzuki Usman; 1998)

Sejalan dengan harapan agar usaha kecil memperoleh manfaat positif dari era globalisasi perdagangan dunia, paling tidak ada dua dimensi penting yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, yaitu, 1). Berkaitan dengan mempersiapkan kondisi internal usaha kecil, agar siap menyongsong peluang pasar yang terbuka. Kebijakan yang perlu dilakukan adalah melakukan koordinasi yang baik antarsubstansi; 2). Kebijakan pemerintah dalam kerangka makro ekonomi, yakni penciptaan iklim kompetisi yang sehat antara usaha kecil menengah dan koperasi dengan usaha besar dalam bentuk persaingan kebijakan. Hal yang diperlukan adalah dorongan pihak pemerintah kepada usaha besar yang selama ini menikmati fasilitas agar dapat lebih serius mengadakan hubungan kemitraan usaha dengan usaha kecil.

Menurut Edi Priyono (1999) pola pengembangan usaha kecil dapat dilakukan melalui dua strategi kebijakan, yaitu : kebijakan umum dan kebijakan khusus:

1. Kebijakan Umum yang menekankan pada terciptanya iklim usaha yang kondusif yaitu:a. Pemerintah menjadikan usaha kecil sebagai penyangga

(buffer) perekonomian nasionalb. Mendorong usaha kecil yang berpotensial, sebagai dasar

Page 90: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

82

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

kebijakan ekonomi (economic policy) untuk pertumbuhan ekonomi dan menolong usaha kecil yang kurang potensial melalui welfare policy.

c. Merestruktur pasar menjadi pasar yang kompetitif sehingga usaha kecil mampu bersaing.

2. Kebijakan khusus yang menekankan pada aspek operasional usaha kecil; seperti : penyederhanaan perizinan, minimalisasi pungutan, penyerdehanaan skim dan diseminasi informasi kredit, mendorong collective bargaining.Pola kebijakan lainnya, yang bisa dipakai sebagai upaya

pemberdayaan usaha kecil, adalah seperti yang ditawarkan Hafsah (1999) meliputi: 1). Kebijakan makro ekonomi, yang memberi ruang gerak secara optimal kepada usaha kecil dan usaha besar, 2). Kebijakan investasi dan permodalan, 3). Kebijakan pengembangan kelembagaan usaha kecil, 4). Kebijakan pengembangan kelembagaan kemitraan usaha antara usaha besar dan usaha kecil, 5). Kebijakan penerapan peraturan perundangan yang mendukung kemitraan usaha.

Pembangunan Industri Jangka Panjang

Era globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pem-baruan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Dampak yang paling dirasakan adalah semakin ketatnya persaingan di sektor industri. Untuk membangun sektor industri agar mampu berkembang dalam arena persaingan seperti saat ini dan sekaligus menjadikannya se bagai motor penggerak perekonomian nasional di masa depan, maka sektor industri perlu memiliki daya saing yang tinggi yaitu daya saing karena kuatnya struktur, tingginya peningkatan nilai tambah dan produkti-vitas di sepanjang rantai nilai produksi, dan dukungan dari seluruh sumber daya produktif yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Peningkatan daya saing industri secara berkelanjutan mem-bentuk landasan ekonomi yang kuat berupa stabilitas ekonomi makro, iklim usaha dan investasi yang sehat. Pada masa depan, tumbuh maju nya industri nasional akan dibarengi dengan pemberian manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, tanpa merongrong kedaulatan bangsa serta mengorbankan kepentingan nasional, dan tetap melestarikan nilai-nilai budaya bangsa yang

Page 91: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

83

Dinamika Industri Kecil dan Menengah

dicermin kan oleh terbangunnya kerja sama ekonomi secara setara dengan negara-negara lain.

Pembangunan industri merupakan bagian dari pembangunan nasional, sehingga derap pembangunan industri harus mampu mem-berikan sumbangan yang berarti terhadap pembangunan ekonomi, budaya maupun sosial politik. Oleh karenanya, dalam penentuan tujuan pembangunan sektor industri jangka panjang, bukan hanya dituju kan untuk mengatasi permasalahan dan kelemahan di sektor industri saja, tetapi sekaligus juga harus mampu turut mengatasi permasalahan nasional. Masalah Nasional yang sedang mengemuka di antaranya: tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, rendah-nya pertumbuhan ekonomi, melambatnya perkembangan ekspor Indonesia, lemahnya sektor infrastruktur, dan tertinggalnya kemam-puan nasional di bidang penguasaan teknologi.

Berbagai masalah pokok yang sedang dihadapi oleh sektor industri yaitu: Pertama, ketergantungan yang tinggi terhadap impor baik berupa bahan baku, bahan penolong, barang setengah jadi dan komponen. Kedua, keterkaitan antara sektor industri dan sektor industri dengan sektor ekonomi lainnya relatif masih lemah. Ketiga, struk tur industri hanya didominasi oleh beberapa cabang industri yang tahapan proses industrinya pendek. Keempat, ekspor produk industri di dominasi oleh hanya beberapa cabang industri. Kelima, lebih dari 60% kegiatan sektor industri terletak di Pulau Jawa. Keenam, masih lemahnya peranan kelompok industri kecil dan menengah (IKM) dalam sektor perekonomian.

Pengembangan Industri Kecil dan Menengah

Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan dan peranan IKM di sektor industri maupun perekonomian nasional, serta untuk meng-antisipasi perkembangan pada masa mendatang, perlu dilakukan langkah intensif pembinaan yang lebih terarah dan fokus melalui program pembinaan dan pengembangan IKM yang lebih mendasar, menyentuh dan efektif dengan memperhatikan kondisi spesifik objek binaan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan aktual yang terjadi. Pembaruan langkah-langkah pembinaan IKM yang ditempuh, adalah seiring dengan kebijakan pokok pengembangan industri nasional maupun kebijakan IKM yang ditetapkan. Secara teknis, modus

Page 92: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

84

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

yang dilakukan semakin diperkaya dengan pilihan alternatif sistem pembinaan yang terus berkembang di antaranya dengan menerapkan mekanisme umpan-balik dari kegiatan pengendalian (kontrol) dengan titik berat meningkatkan efektivitas program yang kini semakin difungsikan di lingkungan Ditjen Industri Kecil dan Menengah.

Kebijakan Pengembangan IKM

Pengembangan IKM ditujukan agar IKM menjadi penggerak utama perekonomian nasional di mana pada tahun 2025 diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada PDS Industri sebesar 54 persen dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 12,2 persen.

Program dan Sasaran Pengembangan IKM

Di bawah ini adalah bagian program dan sasaran pengembangan IKM pada periode tahun 2005-2009 dengan sasaran tercapainya IKM yang berdaya saing kuat.

Langkah Strategis dalam Pengembangan IKM

Dalam rangka pengembangan IKM dilakukan langkah strategis yang meliputi :

• Perkuatan program• Perkuatan Sumber Daya Manusia• Perkuatan kelembagaan• Perkuatan operasional pendampingan perusahaan dan sentra

IKM• Perkuatan jejaring kerja• Peningkatan anggaran dan efisiensi pelaksanaannya

Langkah-Iangkah tersebut sebagai berikut :a. Perkuatan Program meliputi perkuatan program pengembangan

6 (enam) klaster IKM, program pengembangan IKM pendukung 10 (sepuluh) klaster industri prioritas dan industri andalan masa depan, program pengembangan IKM berbasis komoditas ung-gulan daerah, program pengembangan IKM di daerah tertinggal, perbatasan, pascakonflik dan bencana, program pendukung dan program pemecahan masalah aktual yang menghambat pengembangan IKM.

b. Perkuatan SDM yang dilaksanakan bagi aparat pembina Tenaga

Page 93: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

85

Dinamika Industri Kecil dan Menengah

Penyuluh Perindustrian maupun para pengusaha IKM melalui pemberian pelatihan manajemen dan teknik (AMT, GKM, CEFE, ISO, dsb), magang, pendampingan bagi perusahaan IKM oleh konsultan, penciptaan konsultan diagnosis IKM (Shindan), seminar, workshop, studi banding.

c. Perkuatan kelembagaan melalui pembentukan Unit Pendam-pingan Langsung (UPL) IKM di Dinas yang membidangi perindustrian di seluruh Provinsi maupun Kab/Kota di Indonesia, demikian juga pendirian Klinik Desain dan Kemasan, Klinik HaKI, pembiayaan, pemasaran, Klinik SDM, serta revitalisasi Unit Pelayanan Teknis (UPT) dan pendirian UPT baru, revitalisasi LPT Indak, serta pengembangan jasa konsultansi IKM.

d. Perkuatan operasional pendampingan perusahaan dan sentra IKM melalui penyediaan sarana dan dana operasional UPL-IKM untuk pendampingan langsung perusahaan dan sentra IKM oleh Tenaga Penyuluh Perindustrian, penggunaan pihak ketiga seperti (perusahaan, konsultan perguruan tinggi, LSM, dsb) dalam pendampingan langsung ke perusahaan dan sentra IKM.

e. Perluasan jejaring kerja melalui: (1) pembentukan forum klaster pada tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan sentra IKM di desa-desa; (2) Produktivitas, teknologi peman-faatan tenaga ahli baik dalam maupun luar negeri di bidang desain, mutu dll; (3) Kerja sama dengan lembaga, perguruan tinggi, lembaga konsultansi, LSM dll; (4) Fasilitasi aliansi strategis antar- pengusaha/asosiasi IKM dengan mitranya di dalam dan di luar negeri serta lembaga lainnya di luar negeri dalam peningkatan bisnis dan daya saing.

f. Perkuatan anggaran untuk pembinaan IKM melalui pemanfaatan dana dari dalam maupun luar negeri dalam hal ini termasuk menggali dan memfasilitasi sumber pembiayaan (investasi dan modal kerja) bagi perusahaan IKM serta kemudahan akses ke-pada sumber pembiayaan (Bank dan Non Bank).

Pelaksanaan Program Pengembangan IKM

Pelaksanaan program pengembangan IKM dapat dibagi dalam pelaksanaan program utama dan pelaksanaan program pendukung.

Page 94: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

86

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

1. Pelaksanaan Program Utamaa. Program pengembangan 6 (enam) Klaster IKM meliputi

klaster IKM kerajinan gerabah/keramik hias, batu mulia dan perhiasan, kerajinan anyaman, garam rakyat, makanan ringan dan minyak atsiri. Keenam program tersebut dituju-kan untuk membentuk dan memperkuat klaster IKM dalam rangka peningkatan daya saing yang pada gilirannya mening-katkan penyerapan tenaga kerja baru dan jumlah perusahaan IKM.

b. Program pengembangan IKM penunjang (supporting industry) 10 klaster industri prioritas, yaitu antara lain IKM mesin peralatan, kapal rakyat, elektronika, industri komponen oto-motif, industri mesin listrik, sutera alam, sepatu dan alas kaki.

c. Program pengembangan IKM Unggulan Daerah, ditujukan untuk mengembangkan IKM yang mengolah sumber daya alam maupun sumber daya produktif lainnya unggulan daerah yang merupakan kompetensi inti daerah yang ber-sang kutan.

d. Program pengembangan IKM di daerah tertinggal dan perbatasan, serta pascakonflik dan pascabencana. Program ini bertujuan untuk memacu penumbuhan IKM di daerah tertinggal dan perbatasan serta melakukan rehabilitasi secara cepat kerusakan sarana produksi IKM yang disebabkan oleh bencana atau konflik.

2. Pelaksanaan Kegiatan Pendukunga. Program Pengembangan Promosi dan Informasi. Program

ini ditujukan untuk mempromosikan IKM dan penyediaan informasi bagi IKM dalam rangka peningkatan dan pengem-bangan akses pasar, akses modal, dan lain-lain.

b. Program Peningkatan SDM IKM. Program ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan para pengusaha IKM dan aparat pembina.

c. Program Peningkatan Kerja sama Industri. Program ini dituju kan untuk mewujudkan sinkronisasi program serta kerja sama antara Departemen Perindustrian dengan instansi/lem baga pembina terkait, asosiasi, perbankan, lembaga non-bank.

Page 95: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

87

Dinamika Industri Kecil dan Menengah

d. Program Peningkatan Standarisasi dan Teknologi. Program ini ditujukan pada peningkatan kualitas produksi untuk memenuhi standar dalam rangka meningkatkan daya saing dan perlindungan terhadap konsumen sehingga produk IKM dapat diterima oleh pasar yang luas di dalam dan luar negeri.

e. Program Pengkajian. Program ini ditujukan untuk melakukan kajian melalui identifikasi dan menganalisa perkembangan dan permasalahan IKM yang berkaitan dengan pemasaran, teknologi, keuangan, SDM, kebutuhan bahan baku.

f. Program Pengkajian. Program ini ditujukan untuk melakukan kajian melalui identifikasi dan menganalisis perkembangan dan permasalahan IKM yang berkaitan dengan pemasaran, teknologi, keuangan, SDM, kebutuhan bahan baku.

g. Program Pengkajian. Program ini ditujukan untuk melakukan kajian melalui identifikasi dan menganalisis perkembangan dan permasalahan IKM yang berkaitan dengan pemasaran, teknologi, keuangan, SDM, kebutuhan bahan baku dan lain-lain.

Pola Pembinaan Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi dalam Rang-ka Otonomi Daerah

Kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi merupakan wujud kehidupan ekonomi sebagian besar rakyat Indonesia . Kebe-rada an kelompok ini tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan per ekonomian secara nasional. Kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi mampu menyerap lebih dari 64 juta tenaga kerja dan memberikan kontribusi sebesar lebih kurang 58,2 persen dalam pembentukan Produk Domestika Bruto.

Jumlah kelompok usaha kecil, m eneng ah dan koperasi dan daya serap tenaga kerja yang cukup besar ternyata perkembangannya masih jauh dari yang diharapkan. Kelompok ini hanya selalu menjadi sasaran pro gram pengembangan dari berbagai institusi pemerintah, namun program pengembangan tersebut belum menunjukkan terwujudnya pemberdayaan terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi tersebut.

Page 96: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

88

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah serta dalam hubu ngan antara Pusat dengan Daerah. Kebijakan Otonomi Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam rangka implementasi kebijakan Otonomi Daerah, pem-binaan terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi perlu menjadi perhatian. Pembinaan terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi bukan hanya menjadi tanggung jawab Pusat tetapi juga menjadi kewajiban dan tanggung jawab Daerah. Bagai-manakah pola pembinaan terhadap usaha kecil, menengah dan koperasi dalam rangka otonomi Daerah ?

Kebijakan Otonomi Daerah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai salah satu perwujudan reformasi pemerintahan telah melahirkan paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selama ini penyelenggaraan pemerintahan di daerah sebagai mana diatur UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah mengandung asas dekonsentrasi, desen-tralisasi dan pembantuan. Pada masa itu penyelenggaraan otonomi daerah menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan ber-tanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupa-kan kewajiban daripada hak. Hal ini mengakibatkan dominasi pusat terhadap daerah sangat besar, sedangkan daerah dengan segala ketidak berdayaannya harus tunduk dengan keinginan pusat tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat daerah.

Dengan UU 22/1999 pemberian otonomi kepada Daerah Kabu-paten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Daerah memiliki kewenangan yang mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama. Dengan demikian daerah mempunyai kewenangan

Page 97: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

89

Dinamika Industri Kecil dan Menengah

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan pera-turan perundang-undangan.

Jadi UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan hak kepada daerah berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat tersebut merupakan prakarsa daerah sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan bukan lagi merupakan instruksi dari pusat. Sehingga daerah dituntut untuk responsif dan akomodatif terhadap tuntutan dan aspirasi masyarakatnya.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 ditetapkan ke wenangan Pemerintah (Pusat) di bidang perkoperasian yang meli-puti:

1. Penetapan pedoman akuntansi koperasi dan pengusaha kecil dan menengah.

2. Penetapan pedoman tatacara penyertaan modal pada koperasi. 3. Fasilitasi pengembangan sistem distribusi bagi koperasi dan

pengusaha kecil dan menengah. 4. Fasilitasi kerja sama antarkoperasi dan pengusaha kecil dan

menengah serta kerjasama dengan badan usaha lain.

Page 98: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

90

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Page 99: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

91

Pemasaran Entrepreneurial

Pemasaran Entrepreneurial

BAB 7

A. Pengertian dan Perkembangan Pemasaran Entrepreneurial (EM)

Pemasaran entrepreneurial (EM) merupakan aktivitas dalam mengimplementasikan strategi berdasarkan landasan proaktif, ber orientasi pada pertumbuhan, berani mengambil keputusan, inovatif dan berorientasi pada peluang, dalam menginterpretasi dan menganalisis lingkungan bisnis, agar dapat tercapai kinerja pema-saran yang maksimal. (Hills & Hultman, 2011). Selain terkait dengan aktivitas usahanya, EM adalah perpaduan antara dua orientasi yang biasanya dilakukan oleh perusahaan, yaitu entrepreneurial orientation dan customer orientation (Eggers, Hansen & Davis, 2012), hal tersebut tercermin dalam definisi Entrepreneurial Marketing menurut Hills, Hultman, Kraus & Schulte (2010) yang menyatakan bahwa EM dapat didefinisikan sebagai orientasi atau proses perusahaan dalam menangkap peluang, menjalin hubungan dengan pelanggan, melalui cara yang inovatif dan kreatif. Kraus, et al. (2010) memperluas fokus perusahaan bukan saja menciptakan nilai kepada pelanggan namun juga stakeholders perusahaan dengan cara inovatif, kreatif dan berani mengambil risiko.

Page 100: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

92

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Pemasaran entrepreneurial merupakan perpaduan antarmuka pemasaran dan kewirausahaan, diperkuat dengan definisi EM dari Kraus, et al. (2010) yang menggabungkan definisi pemasaran dari AMA dengan definisi kewirausahaan, sebagai berikut: “Pemasaran entrepreneurial adalah fungsi organisasi dan sekumpulan proses dalam menciptakan, mengkomunikasikan dan menyampaikan nilai pada pelanggan dalam mengelola hubungan dengan pelanggan yang bermanfaat bagi organisasi dan stakeholder, dikarakteristikan dengan inovatif, risk taking, proaktive dan berkinerja tanpa sumber daya yang dimiliki saat ini”. Senada dengan definisi tersebut, Hills & LaForge (1992) mengidentifiksi beberapa hal terkait perpaduan antarmuka pemasaran dan kewirausahaan, diantaranya identifikasi, inovasi, dan eksploitasi peluang perusahaan dalam bentuk analisis logis antara audit lingkungan dan analisis peluang pasar.

Pemasaran dan kewirausahaan bukan hanya berinteraksi namun pemasaran menjadi “rumah” atau dasar bagi proses kewira-usahaan di organisasi (Morris dan Lewis, 1995). Semakin tinggi tingkatan kewirausahaan suatu perusahaan, maka perusahaan tersebut akan menghasilkan produk dan jasa baru, siklus hidup produk yang se makin pendek, menuju pasar baru atau ceruk pasar baru, atau mengimplementasikan metode distribusi dan promosi yang baru, semua hal tersebut hanya dapat difasilitasi oleh fungsi pemasaran dalam organisasi (Morris dan Lewis, 1995).

Pemasaran entrepreneurial (EM) sendiri telah dimulai sejak 1982 dimulai dengan diadakannya konferensi pertama mengenai pemasaran dan kewirausahaan oleh Gerard Hills, dilanjutkan dengan berbagai penelitian dan studi mengenai penggabungan dua ilmu tersebut. Bahkan berbagai pertemuan dan jurnal ilmiah pun berkembang. Tahun 1999 mulai diterbitkannya jurnal pertama di bidang ini dengan nama Journal of Research in Marketing and Entrepreneurship. Konsep ini pun lebih berkembang sejak tahun 2000 dengan diterbitkannya beberapa buku mengenai pemasaran entrepreneurial.

Page 101: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

93

Pemasaran Entrepreneurial

Tabel 7.1 – Milestone Perkembangan Pemasaran Entrepreneurial

Tahun Milestones Dampak1982 Konferensi pertama penelitian pema-

saran dan kewirausahaanDimulainya gerakan pemasaran dan kewirausahaan dalam pemasaran

1985 Studi empiris pertama tentang perpaduan pemasaran dan kewirausahaan

Dimulainya penelitian empiris dibidang perpaduan pemasaran dan kewirausahaan

1986 Simposium penelitian pertama dalam pemasaran dan kewirausahaan di Universitas Illinois, Chicago / Ulangtahun AMA ke-20.Diterbitkannya artikel berjudul ”Missing the boat and sinking the boat: a conceptual model of entrepreneurial risk”, Journal of Marketing, 50, 58-70

Diterbitkannya pertama kali artikel yang fokus pada kewirausahaan pada Journal of Marketing

1987 Diterbitkannya artikel ”The relationship between entrepreneurship and marketing in established firms”, Journal of Business Venturing (Morris and Paul)

Penelitian empiris tentang hubungan antara pemasaran dan kewirausahaan, membawa EM pada penerimaan para akademisi

1 9 8 9 -1991

Adanya tim dari AMA dan Special interest group untuk perpaduan pemasaran dan kewirausahaan.

Meligitimasi kewirausahaan di akademisi pemasaran

1995 Carson, Cromie, McGowan, dan Hill mempublikasikan buku teks berjudul Marketing and Entrepreneurship in SMEs: An Innovative Approach

Membantu penyusunan isi dan struktur EM dalam mata kuliah

1995 Simposium akademi pemasaran pertama di UK dan dipublikasikannya artikel ”market orientation and the learning organization” di Journal of marketing (Slater dan Narver)

Lebih mengarahkan para akademisi pemasaran untuk melihat kemiripan antara pemasaran dan kewirausahaan

Page 102: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

94

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Tahun Milestones Dampak1999 Diciptakannya Journal of Research in

Marketing and EntrepreneurshipJRME didedikasikan pada artikel ilmiah EM, meningkatkan penerimaan beasiswa terkait dengan EM

2000 Special issue di Journal of Marketing Theory and Practice khusus mengenai perpaduan antara pemasaran dan kewirausahaan

Tersedianya jurnal yang bergengsi untuk para akademisi EM

2001 Lodish, Morgan dan Kallianpur mempublikasikan sebuah buku berdasarkan mata kuliah MBA yang pertama tentang EM

Buku ini meningkatkan kredibilitas EM karena reputasi sekolah bisnis Wharton

2002 Bjerke dan Hultman mempublikasikan buku Entrepreneurial marketing: The growth of small firms in the New Economic Era.Morris, Schindehutte, LaForge mempublikasikan sebuah buku berjudul Entrepreneurial marketing: A construct for integrating an emerging entrepreneurship and marketing perspective

Buku-buku tersebut menyediakan panduan tambahan mengenai isi dan konteks EM sehingga meningkatkan kelayakan dan kredibilitas konstruk EM dalam penelitian

2004 Buskirk dan Lavik mempublikasikan buku Entrepreneurial marketing

Buku teks EM menjadi pihan utama dalam pasar Amerika Serikat

Sumber: Hills, Hultman dan Miles, 2008

Seiring perkembangan studi dan penelitian di konsep pemasaran entrepreneurial, American Marketing Association (AMA) sebagai pusat referensi ilmu pemasaran di dunia telah mendefinisikan pemasaran baru dalam konteks konvensional dan entrepreneurial, yang dapat dilihat dalam tabel 8.2 berikut.

Page 103: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

95

Pemasaran Entrepreneurial

Tabel 7.2 – Implikasi Definisi Pemasaran Baru dari AMA dalam Pemasaran Konvensional dan Pemasaran Entrepreneurial

Definisi pemasaran AMA:Komponen Pemasaran

Implikasi bagi perusahaan besar atau publik

Implikasi bagi perusahaan yang menganut Pemasaran Entrepreneurial

Pemasaran adalah sebuah fungsi dari organisasi

Pemasaran adalah fungsi dari Perusahaan dan unit bisnis

Wirausahawan, pemilik / manajer adalah Chief Marketing Officer (CMO) sekaligus CEO. Komponen utama adalah pengenalan peluang

Pemasaran adalah sebuah proses menciptakan, mengkomunikasikan, dan mengantarkan nilai kepada pelanggan

Nilai merupakan manfaat yang diperoleh pelanggan, dibandingkan dengan pengorbanan atau biaya

Menggunakan inovasi, produk, proses dan strategi untuk menciptakan value proposition yang baru untuk pelanggan, dan menciptakan keunggulan bersaing bagi perusahaan

Pemasaran adalah sebuah kumpulan proses mengelola hubungan pelanggan, sehingga bermanfaat bagi perusahaan dan stakeholder

Pemasar menggunakan ukuran keuangan sebagai indikator kesuksesan

Jaringan dan hubungan sosial dengan pelanggan dan stakeholder lainnya adalah landasan bagi entrepreneurial marketing dan bahkan menjadi keunggulan bersaing perusahaan.

Sumber: Hills, Hultman dan Miles (2008)

Berdasarkan tabel tersebut setiap definisi pemasaran oleh AMA memiliki implikasi bagi perusahaan besar atau publik yang meng-gunakan pemasaran konvensional atau tradisional, bahwa pemasaran merupakan fungsi dari perusahaan atau unit bisnis, untuk menciptakan nilai berupa manfaat yang diperoleh pelanggan dibandingkan pengorbanan yang dikeluarkan, dengan diukur melalui kinerja ke-uangan. Sedangkan implikasi pada perusahaan yang menganut pemasaran entrepreneurial bahwa seorang wirausahawan baik pemilik ataupun manajer adalah seorang yang bertanggung jawab dalam me-ngatur pemasaran sekaligus perusahaan, terfokus pada pengenalan peluang dengan tujuan menciptakan value proposition sebagai hasil inovasi pada produk, proses maupun strategi, serta menciptakan

Page 104: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

96

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

jaringan dan hubungan social dengan pelanggan dan stakeholder lainnya, sehingga tercipta keunggulan bersaing bagi perusahaan.

Selain perbedaan aplikasi dalam definisi AMA antara pemasaran konvensional dengan pemasaran entrepreneurial, Duus (1997) mem-bedakan pula antara konsep pemasaran konvensional dengan konsep pemasaran entrepreneurial. Konsep pemasaran konvensional merupa-kan konsep yang berdasarkan perubahan teknologi moderat yang perilaku konsumennya masih dapat diprediksi, sehingga desain pe-masaran perusahaan mengarah pada pemenuhan kepuasan kebutuhan pelanggannya. Sedangkan konsep pemasaran entrepreneurial adalah konsep yang berdasarkan perubahan teknologi yang signifikan, perilaku pelanggannya tidak dapat diprediksi karena perubahan yang cepat, sehingga desain strategi perusahaan terfokus pada penciptaan inovasi yang dapat mengarahkan masa depan demi pemenuhan kebutuhan pelanggan di masa mendatang.

Sedangkan perbedaan antara pemasaran konvensional dengan pemasaran entrepreneurial pada tingkatan aktivitas pemasaran terletak pada proses bukan isinya, karena memiliki tujuan yang sama yaitu memuaskan kebutuhan pelanggan (Lowe, Lowe, & Lynch, 2010). Misalnya dalam pemasaran entrepreneurial menggunakan networking, responsive terhadap kebutuhan pelanggan, lebih dekat dengan pelanggan, dan menggunakan aktivitas yang berbiaya rendah seperti word of mouth. Perbedaan antara pemasaran konvensional dengan pemasaran entrepreneurial lebih jelas lagi dapat dilihat dalam tabel 8.3 di bawah ini.

Tabel 7.3 – Perbedaan Pemasaran Konvensional dan EM

Pemasaran Konvensional

Pemasaran Entrepreneurial

Premis dasar Memfasilitasi transaksi dan pengawasan pasar

Competitive advantage yang berkelanjutan melalui penciptaan nilai yang inovatif

Orientasi Pemasaran sebagai tujuan, sebagai disspasionate science

Peran utama dalam pemasaran adalah hasrat, tidak mudah menyerah dan kreatif

Konteks Pasar atau pelanggan sudah ada dan relatif stabil

Pasar atau pelanggan yang berkembang, terpisah-pisah dengan tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi

Page 105: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

97

Pemasaran Entrepreneurial

Pemasaran Konvensional

Pemasaran Entrepreneurial

Peran pemasar Sebagai koordinator bauran pemasaran, mengembangkan merek

Agen perubah baik internal atau ekstenal, dan pencipta dalam kategori tertentu

Pendekatan pasar

Pendekatan reaktif dan adaptif tergantung situasi pasar saat ini dengan sedikit inovasi

Pendekatan proaktif, memimpin pelanggan dengan inovasi yang dinamis

Kebutuhan pelanggan

Kebutuhan pelanggan telah dapat diartikulasikan, diasumsikan, dan diekspresikan melalui riset pemasaran

Kebutuhan pelanggan belum diartikulasi, penemuan dan pengidentifikasian kebutuhan melalui lead users.

Perspektif terhadap risiko

Meminimalkan risiko dalam aktivitas pemasaran

Pemasaran sebagai kendaraan dalam menghitung risiko dalam setiap keputusan dan aktivitas, menekankan pada pencarian cara untuk menemukan, atau membagikan risiko

Manajemen sumber daya

Penggunaan sumber daya yang ada dengan efisien, karena percaya akan adanya kelangkaan sumber daya

Berusaha menambah sumber daya dengan cara-cara yang kreatif, aktivtias tidak dibatasi oleh adanya sumber daya yang ada

Produk baru/ pengembangan jasa

Pemasaran mendukung aktivitas pengembangan produk/jasa baru melalui departemen R&D atau teknis lainnya

Pemasaran adalah rumah bagi inovasi, pelanggan merupakan partner produsen secara aktif menciptakan produk/jasa baru

Page 106: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

98

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Pemasaran Konvensional

Pemasaran Entrepreneurial

Peran pelanggan

Sebagai sumber intelijen eskternal yang diharapkan umpan baliknya

Sebagai partisipan yang aktif dalam proses pengambilan keputusan perusahaan, mendifinisikan produk, harga, distribusi dan pendekatan komunikasi

Sumber: Morris, Schindehutte, dan LaForge (2002)

Berdasarkan tabel 2.3 diatas semakin jelaslah perbedaan antara pemasaran konvensional dengan pemasaran entrepreneurial. Walaupun kita menyadari bahwa ilmu pemasaran berkembang terus secara dinamis dan tidak ada general theory yang melingkupinya. Oleh karena itu kedua konsep dapat berkembang dengan lebih jauh lagi.

Perbedaan antara pemasaran konvensional dengan pemasaran entrepreneurial lebih jauh dijelaskan dalam manajemen entrepreneurial berdasarkan Collinson & Shaw (2001) berikut ini:

1. Proses mengelola pemasaran entrepreneurial berbeda dari penge-lolaan pemasaran secara konvensional. Hal ini dikarenakan lingkungan yang lebih tidak pasti dan kondisi persaingan yang semakin sengit membutuhkan pengelolaan yang tidak seperti biasa, yaitu membutuhkan kompetensi-kompetensi entrepreneurial seperti inovatif, kreatif, tidak takut mengambil risiko, dan selalu mengejar peluang.

2. Terkait posisi pemasaran dalam organisasi. Pada organisasi yang entrepreneurial, pemasaran diposisikan sebagai filosofi organisasi yang berorientasi pada pelanggan dan pasar, dengan kata lain organisasi entrepreneurial selalu memiliki orientasi pemasaran yang terfokus pada pemenuhan kebutuhan pelanggan. Walau-pun terkadang tidak memiliki bagian atau departemen pema-saran tersendiri, dikarenakan ukuran organisasi yang lebih kecil, ataupun karena keinginan organisasi untuk lebih dekat dengan pelanggannya.

3. Pada pemasaran entrepreneurial pendekatan pemasaran yang informal sering digunakan dibanding pendekatan formal. Hal ini disebabkan komitmen organisasi yang ingin selalu memahami dan mengantisipasi perubahan di pasar yang tidak pasti, se-

Page 107: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

99

Pemasaran Entrepreneurial

hingga dibutuhkan pendekatan atau pengelolaan pemasaran yang fleksibel dan dilakukan oleh seluruh anggota organisasi.Pada prinsipnya pemasaran entrepreneurial paling sesuai diguna-

kan untuk perusahaan kecil dan menengah (UMKM), karena pemasaran entrepreneurial melakukan aktivitas pemasaran, pengambilan keputus-an, berdasarkan berbagai keterbatasan yang dimiliki, seperti keter-batasan sumber daya, keahlian, dampak dan ukuran usaha (Gilmore, 2011). Oleh karena itu Gilmore (2011) mengemukakan bahwa pema-saran entrepreneurial merupakan kombinasi dari adaptasi buku-buku teks pemasaran standar yang disesuaikan dengan usaha kecil atau aktivitas entrepreneurial; pemasaran dengan menggunakan network untuk memperbaiki aktivitas pemasaran, pengembangan dan peng -gunaan kompetensi pemasaran; serta menggunakan strategi pema-saran yang inovatif.

B. Dimensi Pemasaran Entrepreneurial

Morris, et.al. (2002) menjelaskan bahwa pemasaran entre­preneurial memiliki tujuh dimensi. Empat diantaranya adalah proactive­ness¸calculated risk taking¸ innovativeness dan opportunity focus didorong oleh orientasi wirausaha dari perusahaan. Dimensi ke lima yaitu resource leveraging menjadi satu-satunya elemen yang menekankan pada perspektif pemasaran yang sedang berkembang seperti guerilla marke ting. Dua dimensi terakhir yaitu customer intensity merupakan komponen yang mengandung unsur emosional; dan penciptaan nilai value creation adalah elemen inti yang umum diterima pada definisi kewirausahaan. Berikut adalah penjelasan masing-masing dimensi entrepreneurial marketing.

Proactiveness

Adalah suatu tindakan perusahaan yang berusaha untuk meng-antisipasi seluruh tantangan. Proaktif merupakan kebalikan dari reaktif, yaitu tindakan inisiatif dan agresif yang berupaya membentuk lingkungan sehingga bermanfaat bagi perusahaan (Knight, 2000). Ber dasarkan perspekstif kewirausahaan, proaktif dideskripsikan sebagai tindakan pemasaran dari perusahaan yang mencoba mere-difinisi kondisi eksternalnya untuk mengurangi ketidakpastian dan ketergantungan (Morris, et.al. 2002). Bateman dan Crant (1993)

Page 108: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

100

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

mendefinisikan proaktif sebagai perilaku seseorang dalam mengambil tindakaan untuk mempengaruhi lingkungan. Lebih lanjut proactiveness merupakan kemampuan perusahaan untuk berinisiatif mengejar peluang pasar, dapat berupa konsep first mover, konsep prospecting, atau konsep lain yang pada dasarnya kemampuan perusahaan untuk mengantisipasi perubahan pasar di masa mendatang (Baker & Sinkula, 2009).

Opportunity focus

Merupakan kemampuan perusahaan untuk memilih peluang yang tepat sebagai penunjang keberhasilan (Hamel dan Prahalad, 1994). Untuk memperoleh peluang diperlukan komitmen sumber daya yang substansial yang terkadang sulit untuk dipenuhi oleh pemilik usaha kecil (Morris, et.al. 2002). Dimensi ini terkait dengan bagaimana perusahaan fokus pada mengenali, mengejar, bahkan terus mengejar atau mewujudkan peluang sebelum pesaing lain mewujudkannya. Ardichvili, et al (2003) membuktikan bahwa dibutuhkan entrepreneurial alertness dalam proses identifikasi peluang yang terdiri dari pengenalan, pengembangan dan evaluasi peluang.

Calculated risk taking

Bukan hanya mengenai kesediaan untuk mengambil kesempatan dari sebuah peluang, namun kemampuan perusahaan untuk meng-hitung tindakan dan risiko yang terkait dengan pemanfatan peluang (Becherer, et al. 2008). Dimensi ini juga berarti kemampuan perusahaan atau orang dalam mengambil tindakan yang terkalkulasi dalam memahami peluang (Morris, et.al. 2002).

Innovativeness

Merupakan kondisi perusahaan yang berkonsentrasi pada ide-ide baru pada pasar, produk ataupun proses (Becherer, et.al. 2008). Tingkatan inovasi dapat bervariasi dari inovasi tinggi atau penciptaan baru atau hanya perbaikan. Inovasi yang baik harus didukung penuh oleh segenap pihak dalam perusahaan, karena inovasi terkait dengan penciptaan ide-ide baru, eksperimen, proses kreatif yang nantinya terwujud dalam produk, teknik ataupun teknologi baru (Knight, 2000). Innovativeness merefleksikan kesediaan untuk lepas dari status

Page 109: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

101

Pemasaran Entrepreneurial

quo dan menerima ide-ide baru, diukur secara objektif berdasarkan biaya R&D yang berasal dari persentase penjualan, dan secara subjektif berdasarkan kesediaan manajer dalam meninggalkan kepercayaan lama (Baker & Sinkula, 2009).

Customer intensity

Adalah pendekatan yang berfokus pada customer centric dengan menggunakan cara yang inovatif untuk mencipakan, membangun dan mempertahankan hubungan dengan pelanggan (Becherer, et.al. 2008). Entrepreneurial marketing memerlukan kedua pendekatan entrepreneur maupun customer centric dalam pendekatan-pendekatan stratejiknya atau yang dimaksud dengan strategi berimbang (Morrish, 2011).

Resource Leveraging

Bukan hanya berkisar pada penggunaan sumber daya yang terbatas secara efektif, namun sebuah proses yang sinergi dan kreatif dalam memberdayakan sumber daya terbatas yang dimiliki usaha kecil (Becherer, et.al. 2008). Sebuah usaha kecil yang sukses daripada hanya terhambat dengan sumber daya yang terbatas, lebih baik mencari dan menggunakan strategi pemasaran yang inovatif. Ada beberapa cara untuk meningkatkan sumber daya, antara lain: menggunakan sumber daya yang biasanya tidak digunakan oleh orang lain, menggunakan sumber daya orang lain untuk mencapai tujuan kita, melengkapi sumber daya yang satu dengan yang lainnya sehingga memiliki nilai yang lebih tinggi, dan menggunakan sumber daya untuk memperoleh sumber daya lain (Morris, et.al. 2002).

Value creation

Merupakan persyaratan terjadinya transaksi, perusahaan yang sukses menekankan aktivitasnya untuk menciptakan nilai yang sesuai dengan strategi mereka agar dapat memenangkan persaingan (Miller & Floricel, 2004). Dalam entrepreneurial marketing, nilai yang diciptakan adalah nilai yang inovatif (Morris, et.al. 2002) sehingga menjadi competitive advantage perusahaan. Wirausahawan akan memperoleh pencapaian yang lebih baik jika dapat menemukan suatu cara baru yang lebih baik.

Page 110: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

102

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Pengaplikasian setiap dimensi dalam pemasaran entrepreneurial dapat berbeda sesuai tingkatan pemasaran, yaitu tingkatan pemasaran sebagai budaya, strategi, dan taktik. Tabel 8.4 berikut adalah perbedaan aplikasi dimensi pemasaran entrepreneurial untuk setiap tingkatan pemasaran.

Tabel 7.4 – Aplikasi Pemasaran Entrepreneurial (EM) dalam 3 Tingkatan

Dimensi EM Pemasaran sebagai Budaya

Pemasaran sebagai strategi

Pemasaran sebagai taktik

Opportunity focus

Sebuah filosofi dalam pengenalan dan mengejar peluang tanpa dibatasi sumber daya yang ada

Strategi fokus pada produk dan pasar baru berdasar ada peluang

Suatu cara untuk menemukan peluang yang belum dipenuhi secara real time.

Proactiveness Orientasi tindakan, organisasi sebagai agen perubah.

Mendefiniskan posisi pasar, kepemimpinan terhadap pelanggan dan pasar

Pengembangan dan launching produk baru secara cepat, atau menggunakan viral

Innovation focus

Sebuah filosofi yang mempromosikan solusi baru dan berbeda

Mendefinisikan produk dan konteks pasar secara terus-menerus, mengelola portofolio inovasi

Partisipasi aktif dalam mengembangkan inovasi penting dalam produk atau jasa

Customer intensity

Hasrat terhadap pelanggan, pemasar sebagai agen bagi pelanggan

Strategi terfokus pada interaksi dengan pelanggan ke dalam perencanaan dan operasi

Customization melalui segmentasi dan niche, taktik kretif membangun relasi dengan pelanggan

Risk management

Tingkatan variasi ketidakpastian dan ambiguitas

Mengelola risiko melalui inovasi dan learning

Inisiatif pegawai untuk memitigasi risiko melalui aliansi, tes pasar

Page 111: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

103

Pemasaran Entrepreneurial

Dimensi EM Pemasaran sebagai Budaya

Pemasaran sebagai strategi

Pemasaran sebagai taktik

Resource leveraging

Melakukan hal yang lebih banyak dengan sumber daya terbatas

Strategi dan keputusan mengungkit sumber daya mellaui aliansi strategis, outsourcing

Mengeksploitasi sumber daya yang tidak terutilisasi, metode kreatif dalam barter, sharing, meminjam, menyewa sumber daya

Value creation Mencari sumber nilai yang asli dan berbeda

Mendesain strategi berdasarkan nilai untuk menciptakan intimasi dengan pelanggan

Eksplorasi berkelanjutan sumber nilai yang beda diimplementasikan pada setiap elemen bauran pemasaran

Sumber: Morris, Schindehutte, LaForge (2002)

Pada tabel 8.4 di atas, pemasaran entrepreneurial sebagai budaya mendorong proaktif, inovatif dan berani mengambil risiko menjadi nilai dalam perusahaan, sehingga perusahaan dapat mendesain strategi yang tepat dalam menciptakan keunggulan bersaing yang ber-kelanjutan (sebagai strategi). Hal tersebut diimplementasikan dalam aktivitas pemasaran sehari-hari yang terus bertindak kreatif dalam mengelola sumber daya dan menciptakan inovasi baru yang dapat memberikan nilai unik dan berbeda bagi pelanggan.

D. Dasar Teori Pemasaran Entrepreneurial

Serupa dengan perencanaan bisnis yang mencakup analisis kelaya kan pasar dan strategi pemasaran. Perpaduan pemasaran dengan kewirausahaan juga telah membuat dua jalur penelitian yang sama-sama berkembang dengan baik, yaitu yang terkait dengan orien tasi pemasaran dan orientasi entrepreneurial pada perusahaan. Pemasaran dan kewirausahaan pada dasarnya berbeda namun saling melengkapi dalam pandangannya memenuhi kebutuhan pelanggan (Webb, Ireland, Hitt, Kistruck, & Tihanyi, 2011).

Page 112: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

104

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

1. Market Orientation (MO)Kohli dan Jaworski (1990) berpendapat bahwa Market Orientation

(MO) merupakan strategi perusahaan yang berorientasi pada kebutu-han pelanggan saat ini dan dimasa depan, disebarkan dan menjadi tanggung jawab seluruh bagian dalam perusahaan. Menurut pan-dangan ini, MO dilihat sebagai atribut organisasi yang dapat diukur dari derajat rendah ke derajat tinggi sebagai kontribusi akhir organisasi, sedangkan konsep pemasaran dianggap sebagai filosofi bisnis yang dianjurkan oleh peneliti, konsultan atau menejer (Duus, 1997). Sedangkan menurut Narver & Slater (1990), MO didefinisikan sebagai budaya organisasi yang secara efektif dan efisien membentuk perilaku dalam menciptakan nilai lebih bagi pelanggan dibandingkan pesaing, sehingga dapat menghasilkan kinerja bisnis yang lebih baik secara berkelanjutan.

Perbandingan antara penelitian pemasaran yang terfokus pada market orientation (MO) dengan kewirausahaan, dapat dilihat dalam tabel 8.5. Tabel tersebut memperlihatkan penelitian antara pemasaran dan kewirausahaan yang saling melengkapi namun memiliki kesen-jangan dalam ilmu pengetahuan dikarenakan terbatasnya integrasi antara kedua ilmu tersebut (Webb, et.al. 2011).

Tabel 7.5 – Perbandingan Proses Penelitian Pemasaran dan Kewirausahaan

Pemasaran KewirausahaanIde penelitian Kinerja perusahaan yang

dipengaruhi integrasi orientasi pelanggan, orientasi pesaing, respons organisasi, dan koordinasi antar fungsi dalam differensiasi produk perusahaan dalam memuaskan kebutuhan pelanggan

Kinerja perusahaan yang dipengaruhi kemampuan dalam mengenali dan mengeksploitasi peluang melalui penciptaan proses atau produk akhir yang efisien dan efektif

Penciptaan peluang

Didasarkan pada kebutuhan pelanggan

Didasarkan pada perubahan lingkungan, mis kemajuan teknologi, perubahan peraturan, dsb

Page 113: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

105

Pemasaran Entrepreneurial

Pemasaran KewirausahaanFaktor-faktor mempengaruhi pengenalan peluang

Orientasi pasar (MO), atau tendensi perusahaan dalam mendukung pemahaman organisasi terhadap pasar dan pesaing, diperoleh melalui proses intelijen, diseminasi, dan respons organisasi

Kewaspadaan, atau motivasi individu untuk mencari pengetahuan, membuat hubungan antar pengetahuan, dan mengevaluasi pengetahuan baru.

Pengenalan peluang

Merupakan kesadaran perusahaan terhadap kebutuhan sekelompok pelanggan yang belum terpenuhi

Merupakan proses kognisi yang difasilitasi interaksi sosial terkait individu yang dapat menghubungkan berbagai hal

Inovasi Berasal dari pengembangan internal dan adopsi produk yang dianggap baru oleh perusahaan

Sama seperti dalam pemasaran berasal dari pengembangan internal dan adopsi produk yang dianggap baru oleh perusahaan

Eksploitasi peluang

Terfokus pada bagaimana perusahaan berkomunikasi tentang produk pada pelanggan secara efektif, mis melalui bauran pemasaran

Merupakan penciptaan organisasi baru untuk menciptakan inovasi, terfokus pada model bisnis, manajemen sumber daya.

Variabel Dependen (terpengaruhi)

Kepuasan pelanggan, pelanggan yang membeli kembali, pangsa pasar, inovasi, dan pengenalan peluang

Profit, pertumbuhan, survival atau kegagalan, pengenalan peluang

Sumber: Webb, et.al (2011)

Berdasarkan tabel 8.5 tersebut, proses penelitian kewirausahaan terfokus pada aktivitas yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan dengan tujuan memuaskan kebutuhan pelanggan melalui inovasi pada proses ataupun produk akhir. Individu tersebut adalah wirausahawan yang menjadi sentral dalam perusahaan, bisa saja sebagai CEO, atau pun karyawan, tenaga penjual, dan sebagainya, yang memiliki kapasitas untuk bertindak bagi keberhasilan perusahaan (Webb, et.al.

Page 114: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

106

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

2011). Sedangkan penelitian dalam pemasaran tidak memfokuskan pada proses kognisi dari individu tersebut melainkan sebagai sebuah perusahaan sebagai sebuah organisasi. Sehingga dibanding terfokus pada “entrepreneur” fokus pemasaran adalah pada “entrepreneurial firm” (Webb, et al. 2011). Pemasaran sebagai sebuah aktivitas organisasi dengan tujuan kepuasan kebutuhan pelanggan melalui penciptaan inovasi yang bersumber pada proses pengenalan, penelitian, dan diseminasi informasi, berdasarkan orientasi perusahaan pada pasar yang telah ditentukan.

Penelitian terkait orientasi pemasaran telah terbukti memiliki dampak pada kinerja perusahaan, khususnya tingkat kesuksesan atau kegagalan produk ataupun bisnis baru (Cooper, 1979). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kohli & Jaworski (1990) menemukan bahwa orientasi pasar dianggap sebagai sebuah aktivitas intelijen pemasaran dalam mengumpulkan dan membagikan informasi yang terkait de-ngan kebutuhan pelanggan saat ini ataupun di masa mendatang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan pelanggan tersebut, yang sebaiknya menjadi fokus dari setiap individu dan bagian dalam perusahaan agar dapat mencapai kinerja yang superior. Selain pelanggan, orientasi pemasaran juga terkait dengan orientasi pada pesaing dan persaingan, yaitu perusahaan melakukan penilaian dan evaluasi pada kekuatan pesaing saat ini maupun pesaing potensial terkait tujuan, strategi, penawaran, sumber daya, dan kapabilitas pesaing (Kohli & Jaworski, 1990). Tujuan penilaian tersebut adalah agar perusahaan dapat menyesuaikan, bahkan melebihi kekuatan para pesaing (Slater, Hult, & Olson, 2007).

Pada konteks UMKM, Raju, Lonial & Crum (2011) juga me-ngung kapkan bahwa orientasi pemasaran (MO) mempengaruhi positif kinerja perusahaan. Anteseden MO yaitu variabel struktur yang terkait dengan aspek-aspek organisasi, dan variabel budaya terkait dengan aspek norma dan nilai yang ada dalam anggota organisasi, sedangkan MO sendiri adalah customer orientation, competitor orientation, responsiveness, dan koordinasi antar fungsi dalam organisasi; yang akan mempengaruhi kinerja orgnasasi dalam bentuk product development, market development, kesetiaan pelanggan, dan kinerja keuangan; hubu-ngan tersebut dimoderasi oleh kondisi lingkungan dan dimediasi oleh inovasi dan kualitas (Raju, et al. 2011).

Page 115: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

107

Pemasaran Entrepreneurial

2. Entrepreneurial Orientation (EO)Namun perusahaan yang berorientasi pada pasar terkadang

menim bulkan ketidakefektivan dalam pemenuhan kebutuhan pelang-gan (Webb, et.al. 2011). Hal tersebut disebabkan terkadang perusahaan tidak mampu mengadaptasi perubahan yang terlalu cepat dan radikal yang terjadi di pasar, sehingga inovasi yang diciptakan terkadang tidak terlalu memenuhi kebutuhan pelanggannya. Oleh karena itu dibutuhkan orientasi suatu proses kognisi dalam yang melibatkan individu-individu dalam organisasi untuk menciptakan inovasi-ino-vasi yang tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan pelanggan, melain kan juga mampu mengarahkan kebutuhan pelanggan.

Ketidakefektifan tersebut dapat difasilitasi dengan mengubah orientasi perusahaan bukan hanya sekedar berorientasi pada pasar, namun berorientasi pada entrepreneurship pula, sehingga organi-sasi menjadi entrepreneurial firm. Hal tersebut diperkuat dari bebe-rapa penelitian yang terkait orientasi entrepreneurial yang telah mem-buktikan bahwa orientasi tersebut secara signifikan dan positif terkait dengan kinerja keuangan, pasar, tenaga kerja, khususnya pada kondisi lingkungan yang berfluktuasi (Covin & Slevin, 1989; Miller & Freisen, 1983).

Proses entrepreneurial memiliki komponen sikap dan perilaku. Secara sikap merupakan keinginan individu atau organisasi untuk mengambil peluang baru dan bertanggung jawab dalam membuat peru bahan yang kreatif, sikap ini dinamakan entrepreneurial orientation (EO) (Miller & Freisen, 1983). Sedangkan secara perilaku merupakan kumpulan aktivitas dalam mengevaluasi peluang, mendefinisikan bisnis model, menilai dan menggunakan sumber daya yang ada, serta mengelola dan mengambil manfaat dari perusahaan (Stevenson, et.al., 1989).

Tiga dimensi dasar dalam sikap dan perilaku entrepreneurial orientation (EO) yaitu inovasi, risk taking dan proaktif (Covin & Slevin, 1989). Inovasi terkait dengan mencari solusi atas masalah dengan cara kreatif, tidak seperti pada umumnya yang terkadang memer lukan bentuk teknologi, proses, ataupun produk dan jasa baru. Sedang kan risk taking mencakup kesediaan untuk berkomitmen dalam meng-alokasikan sumber daya untuk peluang walaupun berpeluang adanya

Page 116: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

108

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

kesalahan yang moderate dan dapat diperhitungkan. Terakhir proaktif terkait dengan implementasi mencari peluang dengan melibatkan sifat tidak mudah menyerah, mampu beradaptasi, bersedia, dan ber-tanggung jawab terhadap kesalahan yang diperbuat (Morris & Lewis, 1995). Sehingga pada dasarnya EO merupakan refleksi prioritas peru saha an pada identifikasi dan eksploitasi peluang (Shane & Venkataraman, 2000).

Sedangkan menurut Lumpkin & Dess (1996) EO memiliki lima dimensi yang memiliki hasil berbeda pada ukuran kinerja dan tahapan pertumbuhan perusahaan, yaitu risk taking, innovativeness, proactiveness, competitive aggressiveness, dan autonomy. Untuk dimensi risk taking, inno vativeness, dan proactiveness memiliki pengertian hampir sama dengan penjelasan ketiga dimensi dari Covin dan Slevin (1989) di atas. Sedangkan competitive aggresiveness merupakan intensitas perusahaan untuk bersaing dengan pesaingnya, dan autonomy menggambarkan otoritas dan kemandirian yang diberikan pada individu atau tim dalam perusahaan untuk mengembangkan dan mencapai visi dan konsep bisnis (Hughes & Morgan, 2007). Dari kelima dimensi ter-sebut bahwa proactiveness dan innovtiveness memiliki pengaruh positif pada kinerja bisnis, sementara risktaking memiliki hubungan yang negatif, sedangkan competitive aggresiveness dan autonomy tidak mempengaruhi kinerja perusahaan (Hughes & Morgan, 2007). Hal ini semakin memperkuat bahwa hanya ada tiga dimensi dasar EO yaitu innovativeness, proactiveness, dan risk taking.

Beberapa studi empiris juga telah membuktikan bahwa EO membuat UMKM atau perusahaan baru berkinerja lebih baik dari pesaingnya (Yong.-H. Li et al. 2009). Pengaruh antara EO dengan kinerja perusahaan yang dilakukan oleh Morris & Sexton (1996) menemukan bahwa EO memiliki pengaruh positif pada lima dari enam ukuran kinerja perusahaan, dan hubungan tersebut akan lebih kuat dengan meningkatkan penggunaan EO. Begitu pula Kocak & Abimbola (2009) yang telah membuktikan bahwa EO yang diadopsi perusahaan bersama dengan MO dan orientasi belajar, merupakan faktor penentu kesuksesan dari perusahaan baru. EO juga meningkatkan kinerja perusahaan dan hubungan tersebut diperkuat dengan adanya proses penciptaan knowledge dalam perusahaan (Yong.-H.Li, et al, 2009).

Page 117: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

109

Pemasaran Entrepreneurial

3. Resource Based View Theory (RBV)Morris, et.al. (2002) memberikan pandangannya tentang ke-

dudu kan Pemasaran Entrepreneurial Marketing sebagai sebuah teori berdasarkan skema yang dikemukakan Hunt (1976), yaitu profit/non profit, mikro/makro, dan positif/normatif. Pemasaran entrepreneurial dapat diimplementasikan pada organisasi baik profit maupun non profit, dapat diaplikasikan pada tingkatan micro yaitu diaplikasikan oleh individu dalam organisasi, ataupun pada tingkatan macro diaplikasikan secara bersama oleh anggota dalam saluran nilai. Selain itu pemasaran entrepreneurial juga merupakan teori yang positif karena menggambarkan, menjelaskan, memprediksi dan memahami bagai mana individu, perusahaan, perkumpulan, ataupun masyarakat secara keseluruhan menciptakan nilai bagi pelanggannya melalui perilaku inovatif, risk taking, dan proaktif; dan juga memenuhi syarat normatif, karena menjelaskan perilaku entrepreneurial dalam pemasaran, menentukan bagaimana organisasi sebaiknya didesain agar dapat mengimplementasikan kewirausahaan dalam pemasaran, dan memfasilitasi perilaku inovatif dalam organisasi.

Salah satu dasar teori yang melandasi pemasaran entrepreneurial adalah RBV. Barney (1991) menyatakan bahwa perusahaan dengan sumber daya yang bernilai, langka, tidak mudah ditiru, dan tidak ada substitusinya merupakan sumber dari keunggulan bersaing perusahaan yang akan meningkatkan kinerja perusahaan. RBV telah digunakan secara luas di dunia akademisi sebagai landasan bagaimana sumber daya dapat mempengaruhi kinerja, namun banyak pula akademisi yang berpendapat bahwa kapabilitas yang menjadi unsur penting dalam mengelola sumber daya yang menghasilkan kinerja (Sok, et al, 2013). Kapabilitas perusahaan adalah sekelompok proses yang saling berhubungan untuk menghasilkan kinerja tugas tertentu (O’Cass & Sok, 2012). Sehingga sangat penting untuk dapat membangun kapabilitas yang superior untuk menghasilkan kinerja yang superior pula (Sok, et al, 2013).

Seperti dijelaskan di atas bahwa komponen pemasaran entre­preneurial adalah orientasi pemasaran (MO) dan orientasi entrepreneurial (EO). Bhuian, et al (2005) menyatakan bahwa MO dan EO merupakan kapabilitas dari sebuah organisasi. MO merupakan budaya perusahaan yang secara efektif dan efisien akan menciptakan nilai bagi pelanggan

Page 118: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

110

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

lebih baik dibanding pesaing, sehingga mewujudkan kinerja bisnis yang lebih baik secara berkelanjutan (Narver & Slater, 1990). Sedang-kan perusahaan yang memiliki orientasi entrepreneurial akan memiliki kapabilitas untuk menemukan dan mengeksploitasi peluang pasar baru, sehingga dapat merespon lingkungan yang kompetitif dan tidak pasti dengan perubahan yang lebih baik (Yong.-H.Li, et al, 2009). Kapabilitas tersebut akan membantu perusahaan mencapai keunggulan bersaing yang sulit ditiru pesaingnya. Berdasarkan penjelasan tersebut semakin jelas bahwa MO dan EO yang keduanya merupakan komponen pemasaran entrepreneurial merupakan kapa-bilitas yang penting bagi perusahaan khususnya UMKM dalam mengelola sumber daya yang biasanya terbatas untuk menghasilkan kinerja yang superior, berbeda dari pesaing.

4. Resource Advantage Theory (RA)Menurut Morris, et.al. (2002), EM sesuai dengan beberapa teori

seperti Resource Based theory, transaction cost theory, strategic adaptation theory, namun landasan teori yang paling sesuai dengan EM adalah Resource­Advantage (RA) Theory dari Hunt (1997). RA teori adalah sebuah general teori persaingan yang menjelaskan tentang proses persaingan, dengan 9 premis dasar, yang menekankan pada (1) segmen pasar, (2) sumber daya perusahaan yang heterogen, (3) keunggulan dan ketidakunggulan komparatif dalam sumberdaya, dan (4) posisi pasar keunggulan dan ketidakunggulan bersaing (Hunt, 2011). Dasar dari keunggulan bersaing perusahaan yang berkelanjutan terletak pada bagaimana organisasi mengelola dan me-leverage sumber daya mereka (Hunt & Morgan, 1995).

Berdasarkan perspektif RA teori, EO merupakan sumber daya yang memfasilitasi perusahaan untuk berkinerja lebih baik dibanding pesaing sehingga dapat menciptakan keunggulan bersaing sebagai posisi superior di pasar (Yong.-H.Li, et al, 2009). RA teori konsisten dengan prinsip-prinsip dalam Pemasaran Entrepreneurial, antara lain (1) melalui leverage, perusahaan dapat meningkatkan sumber daya yang dimilikinya saat ini dan menciptakan sumber daya baru yang dapat menjadi competitive advantage menuju superior performance peru-sahaan, (2) kombinasi sumber daya tersebut dapat dicapai melalui proses penciptaan inovasi, dan inovasi berkelanjutan yang merupakan inti dari teori persaingan RA-Theory (Morris, et. al. 2002).

Page 119: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

111

Pemasaran Entrepreneurial

Entrepreneurial firm, khususnya UMKM merupakan perusahaan yang memiliki keterbatasan sumber daya sehingga harus melakukan pengelolaan dengan mengungkit sumber daya yang dimilikinya, baik itu yang berwujud ataupun tidak berwujud, sehingga dapat tercapai keunggulan bersaing menuju kinerja perusahaan yang maksimal. Selain itu perusahaan saat ini berada dalam era persaingan tidak terkecuali UMKM yang harus bersaing bukan hanya dengan sesama UMKM, melainkan juga dengan perusahaan besar yang memiliki sumber daya yang banyak. Oleh karena itu inovasi dan diferensiasi menjadi satu-satunya yang bisa diandalkan dari UMKM untuk dapat bersaing. Sehingga Pemasaran Entrepreneurial berperan dalam pengembangan budaya dan kompetensi organisasi dalam mengatasi persaingan menuju penciptaan keunggulan bersaing setiap perusahaan (Morris, et.al. 2002). Melalui penelitian kualitatif, Miles & Darroch (2006) membuktikan bahwa perusahaan menggunakan dimensi-dimensi dalam pemasaran entrepreneurial, seperti customer intensity, value creation, resource leveraging¸ risk management, innovation, opportunity driven, dan proactive dalam memperoleh keunggulan bersaingnya, sehingga dapat menciptakan nilai superior bagi pelanggan dan pemilik perusahaan.

E. Strategi Pemasaran

Pemasaran sebagai sebuah fungsi dalam manajemen, berperan penting dalam pencapaian kesuksesan sebuah perusahaan, bahkan pemasaran dianggap sebagai ujung tombak dari keberhasilan peru-sahaan. Peran pemasaran bukan hanya sebagai alat dalam mencapai pendapatan perusahaan, namun lebih luas daripada itu pemasaran mampu membedakan satu perusahaan dengan pesaingnya dengan menciptakan keunggulan bersaing. Oleh karenanya dalam pemasaran bukan hanya dibuat cara-cara pemasaran dalam jangka pendek, namun juga direncanakan cara-cara pemasaran yang berorientasi pada jangka panjang dalam mencapai keunggulan bersaing perusahaan. Dengan kata lain tidak hanya dibutuhkan taktik melainkan juga strategi yang tepat. Strategi pemasaran terkait dengan seluruh aktivitas dan pengambilan keputusan perusahaan dalam menciptakan dan mempertahankan keunggulan bersaing perusahaan di dalam bisnis (Day, Weitz, & Wensley, 1990 dalam Varadarajan, Jayachandran & White, 2001).

Page 120: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

112

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Perencanaan strategi pemasaran didasarkan pada 3 komponen penting, yaitu Customer, Competitor¸ dan Corporate (3C), sehingga strategi pemasaran didefinisikan sebagai sebuah upaya perusahaan dalam membedakan dirinya dengan pesaingnya, dengan menggunakan kekuatan-kekuatan perusahaan dalam rangka memuaskan kebutuhan pelanggannya dengan lebih baik (Jain, 1992). Ketiga komponen tersebut membentuk hubungan dinamis yang saling berinteraksi dalam mewujudkan hubungan jangka panjang yang lebih baik. Jain, 1992 memberikan karakteristik strategi pemasaran yang baik adalah yang (a) memiliki definisi pasar yang jelas; (b) memiliki kesesuaian antara kekuatan perusahaan dengan kebutuhan pasar; dan (3) menghasilkan kinerja superior relatif terhadap pesaingnya.

Namun strategi pemasaran bukan sekedar merupakan orientasi perusahaan pada 3C di atas, melainkan sebagai sekumpulan pengam-bilan keputusan dan tindakan terintegrasi dalam upaya mencapai tujuan pemasaran yang telah ditetapkan perusahaan (Varadarajan & Clark, 1994). Pengambilan keputusan dalam strategi pemasaran berupaya menjawab 3 pertanyaan dasar yaitu; dimana, bagaimana, dan kapan waktu yang tepat untuk bersaing (Jain, 1992). Pertanyaan pertama terkait dengan pasar mana yang akan dilayani perusahaan, keputusan ini terkait dengan proses segmentasi dan targeting perusahaan. Pertanyaan kedua terkait dengan bagaimana perusahaan melayani target pasar yaitu dengan mengambil keputusan yang terkait dengan bauran pemasaran (produk, harga, distribusi, dan promosi). Sedangkan pertanyaan ketiga terkait dengan waktu dalam mengimplementasikan strategi pemasaran yang telah ditetapkan.

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ruang ling-kup keputusan dalam perencanaan strategi pemasaran yaitu terkait dengan segmentasi pasar, targeting serta positioning, yang diwujudkan dalam keputusan produk, harga, distribusi dan promosi (Kotler, 1994). Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Perreault, Cannon & McCarthy (2014) yang menyatakan bahwa strategi pemasaran merupakan spesifikasi dari target pasar dan bauran pemasaran.

Riset Pasar dan Segmentasi

Riset pasar dan segmentasi merupakan dasar dari keputusan target pasar (Slater & Olson, 2001). Segmentasi pasar merupakan

Page 121: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

113

Pemasaran Entrepreneurial

pembagian atau pengelompokkan dari total pasar yang heterogen permintaannya menjadi kelompok-kelompok pasar yang memiliki permintaan spesifik dan unik sehingga menjadi dasar bagi strategi pemasaran perusahaan (Slater, et al, 2007). Kelompok pelanggan yang lebih homogen atau mirip yang akan menjadi target perusahaan itulah yang disebut dengan target pasar, sedangkan bauran pemasaran adalah variabel yang dapat dikontrol perusahaan untuk memuaskan kebutuhan target pasar tersebut (Perreault, et al, 2014).

Strategi Produk

Keputusan produk terkait dengan pengembangan produk yang tepat dan dapat memuaskan target pasar yang dituju, penawaran produk dalam bentuk barang, jasa, ataupun kombinasi keduanya (Perrault, et al, 2014). Keputusan mengenai penentuan kualitas produk, pengem bangan lini produk, merek, kemasan, dan garansi merupakan keputusan penting yang diambil pemasar terkait produk (Perrault, et al, 2014). Di antara keputusan penting tersebut, keputusan tentang lini produk merupakan keputusan produk yang terpenting, apakah seharusnya lini produk itu sempit terfokus ataukah luas mencakup sekumpulan produk yang saling melengkapi (Slater & Olson, 2001).

Keputusan pengembangan lini produk terkait dengan issue innovativeness, karena inovatif atau tidaknya suatu produk akan mem-pengaruhi keunggulan bersaing dari perusahaan (Kerin, Varadarajan, & Peterson, 1992), apalagi untuk perusahaan yang berorientasi entre­preneurial, innovativeness merupakan salah satu ciri terpenting dari perusahaan (Covin & Slevin, 1989). Selain inovatif, produk yang dikem bangkan selayaknya memiliki persepsi kualitas baik yang dapat memuaskan kebutuhan dan persyaratan pelanggan (Perrault, et al, 2014).

Terakhir, perusahaan diharapkan dapat mengembangkan ber-bagai pelayanan atau jasa yang berkualitas bagi pelanggan yang dapat melengkapi penawaran produknya, karena intensi perilaku pelanggan seperti kesetiaan pelanggan dipengaruhi oleh kualitas pelayanan atau jasa yang ditawarkan (Zeithaml, Berry, & Parasuraman, 1996).

Page 122: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

114

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Strategi Harga

Keputusan paling mendasar pada keputusan harga adalah apakah perusahaan sebaiknya menetapkan harga premium atau tidak (Slater & Olson, 2001), harga premium dapat diterapkan perusahaan pada produk yang inovatif (Kerin, et al, 1992), produk dengan persepsi kualitas yang superior (Perrault, et al, 2014), atau produk yang memiliki pelayanan yang berkualitas tinggi (Zeithaml, et al, 1996). Jika perusahaan memiliki tujuan ingin meraih pangsa pasar atau pertumbuhan penjualan yang lebih besar, atau ketika produk perusahaan tidak memiliki keunggulan bersaing, perusahaan dapat menerapkan strategi harga yang lebih rendah dibanding pesaing (Slater & Olson, 2001).

Strategi Distribusi

Keputusan paling umum dalam strategi distribusi adalah me-mutuskan untuk menggunakan sistem distribusi intensif, selektif atau eksklusif (Perrault, et al, 2014). Produk yang diposisikan sebagai produk yang prestisius, yang memerlukan biaya tinggi terkait dengan penyimpanan dan penjualan lebih sesuai menggunakan sistem yang selektif, namun produk yang relatif harganya rendah dan berbiaya rendah dalam hal pelayanan, akan lebih efisien menggunakan strategi distribusi intensif (Kotler, 1994).

Strategi Promosi

Iklan dan personal selling merupakan dua bentuk utama dalam strategi promosi (Slater & Olson, 2001). Iklan pada umumnya memiliki tujuan menciptakan awareness dan interest konsumen yang dapat menjangkau pasar secara lebih luas, sedangkan personal selling lebih sesuai untuk konsumen yang memerlukan informasi yang lebih dalam pada saat itu juga (Slater & Olson, 2001).

F. Strategi Pemasaran UKM

Pada literatur, topik tentang pemasaran di UKM masih terbatas karena keterbatasan konsep dan terori pemasaran, serta keterbatasan yang dimiliki UKM dalam hal sumber daya pemasaran (Gilmore et al, 1999). Jelas terlihat bahwa ada perbedaan antara teori pemasaran yang ditemukan di buku-buku teks pemasaran dengan pendekatan terapan

Page 123: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

115

Pemasaran Entrepreneurial

pemasaran yang dilakukan oleh UMKM, sehingga pemasaran UKM memiliki gaya pemasaran yang khusus, salah satunya perencanaan dalam pemasaran UKM bersifat informal dan berorientasi jangka pendek, dan dikembangkan berdasarkan pendekatan pemasaran commen sense (Gilmore, et al, 2006).

Carson & Gilmore (2000) menawarkan suatu konsep pemasaran bagi UKM dengan menggabungkan 4 konsep yaitu: mengadaptasi kerangka pemasaran konvensional, network marketing, competency marketing, dan innovative marketing. Kerangka pemasaran konvensional yang digunakan adalah bauran pemasaran atau 4P karena UMKM memiliki produk atau jasa yang mereka tawarkan dengan harga tertentu, melalui cara distribusi tertentu, dan melakukan promosi. Kompetensi pemasaran yang digunakan oleh UMKM adalah dengan mengkombinasikan antara pengalaman, pengetahuan, komuni-kasi dan penilaian dari wirausahawan. Networking juga meru-pakan keahlian dan kompetensi wirausahawan yang penting bagi pengembangan usaha dari UKM. Terakhir adalah penciptaan produk dan proses yang inovatif. Ketiga dimensi tersebut (networking¸ kompe-tensi, dan inovasi) akan digunakan secara komprehensif yang akan mempengaruhi cara pengadaptasian alat dan teknik pemasaran untuk menyesuaikan dengan karakteristik UKM atau disebut dengan “pemasaran kontekstual UKM” (Carson & Gilmore, 2000).

Terkait dengan model yang dikemukakan oleh Carson & Gilmore (2000) di atas, Jamal (2005) melakukan studi eksplorasi kualitatif terhadap UKM di Inggris yang pemiliknya berasal dari etnis tertentu, seperti China, India. Berdasarkan temuan pada bauran pemasaran yang digunakan, kompetensi dan networking menghasilkan suatu praktik pemasaran yang spesifik untuk UKM etnis yaitu dimensi “ambivalence”, adalah hubungan antara pemilik bisnis minoritas dengan pelanggan yang berasal dari etnis yang sama. Dimensi tersebut menjadi kunci keberhasilan bagi UKM yang berasal dari etnis tertentu di Inggris.

Terkait dengan konsep yang ditawarkan oleh Carson & Gilmore (2000), konsep tersebut diperkuat oleh Gilmore (2011) dan menjadikan konsep tersebut sebagai konsep strategi pemasaran entrepreneurial yang digunakan pada UKM. Hal tersebut didasarkan pada ungkapan bahwa pemahaman pada pemasaran entrepreneurial didasarkan

Page 124: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

116

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

pada pengetahuan bagaimana pemilik atau manajer UKM atau para entrepreneur melakukan bisnis mereka, dan bagaimana mereka mengambil keputusan, menyampaikan penawaran pada pasar dengan keterbatasan sumber daya, keahlian, dampak dan ukuran bisnis yang mereka miliki (Gilmore & Carson, 2007 dalam Gilmore, 2011). Konsep tersebut digambarkan berikut.

Gambar 7.1 Strategi Pemasaran EntrepreneurialSumber: Gilmore (2011)

Berdasarkan gambar di atas, menurut Gilmore (2011) pemasaran entrepreneurial bagi UMKM merupakan kombinasi dari empat kompo-nen, yaitu adaptasi dari framework pemasaran dasar dalam buku-buku teks, pemasaran dengan menggunakan networking, membangun kompetensi pemasaran bagi UKM, dan menggunakan pemasaran inovatif dalam menerapkan strategi dan teknik pemasaran. Berikut penjelasan masing-masing komponen tersebut:

Pemasaran yang mengadaptasi framework standard dalam buku-buku teks pemasaran

Seperti telah dijelaskan pada bab-bab awal, bahwa pemasaran entrepreneurial bagi UKM sangat tergantung dengan individu pemilik atau manajer UKM, dan pada umumnya mereka akan melakukan adaptasi dari konsep-konsep pemasaran tradisional sehingga sesuai

Page 125: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

117

Pemasaran Entrepreneurial

dengan usaha yang mereka lakukan. Entrepreneur melakukan adap-tasi pada konsep-konsep pemasaran dalam melakukan aktivitas pemasaran mereka, yang terfokus dalam memberikan nilai tambah atau added value dari produk dan jasa yang dimiliki dengan meng-kombinasikan fleksibilitas, pelayanan superior, dan hubungan dekat dengan pelanggan, sehingga mereka dapat memenuhi harapan pe-langgan secara penuh dibandingkan pesaing mereka (Gilmore, 2011). Nilai tambah dapat dicapai melalui pemasaran yang lebih baik, yang melingkupi seluruh aspek dalam bauran pemasaran sehingga dapat menjadi keunggulan bersaing dari UKM tersebut (Gilmore et al, 1999).

Berikut adalah konsep bauran pemasaran yang sesuai untuk UKM entrepreneurial menurut Gilmore (2011) yang dipadukan dengan konsep nilai tambah bagi pemasaran UKM menurut Gilmore et al (1999).

• Produk/Jasaa. Produk yang dihasilkan merupakan produk yang spesifik,

atau menawarkan selling proposition yang unik. b. Menawarkan jenis produk atau jasa yang berbeda dari pesaingc. Menawarkan range produk atau jasa yang lebih luas dibanding

pesaing untuk memenuhi permintaand. Menawarkan paket produk atau jasa yang dibutuhkan atau

diminta oleh pelanggan, seperti menwarkan produk inti beserta kelengkapannya dengan tujuan memenuhi permin-taan pelanggan dan meningkatkan penjualan produk inti itu sendiri.

e. Secara berkelanjutan selalu merubah atau mengembangkan produk atau jasa yang ditawarkan

f. Kemasan produk juga sangat penting karena terkait dengan keseluruhan citra merek dari perusahaan.

• Hargaa. Fokus pada value for money dengan menawarkan hal selain

harga, seperti kualitas produk dan pelayanan yang terbaik. b. Menetapkan harga yang kompetitif dengan menetapkan harga

yang sama, lebih murah, atau bahkan lebih mahal diban-dingkan pesaing mereka.

c. Penetapan harga lebih tinggi untuk produk yang superiord. Penetapan harga dengan menyeimbangkan harga dan dimensi

Page 126: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

118

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

lain selain harga• Distribusi

a. Penyampaian produk yang memenuhi harapan pelanggan b. Berusaha selalu menyampaikan produk sesuai dengan janji

yang diberikanc. Memberi nilai tambah bagi konsumen dengan menyampaikan

produk melebihi harapan pelanggan. d. Sistem delivery produk yang efisien akan membantu per­

masalahan arus kas akibat kelebihan atau kekurangan per-sediaan.

• Promosi dan Penjualana. Mengandalkan promosi word of mouthb. Melakukan promosi below the line. c. Menggunakan joint promotion, seperti hadiah, bonus, dan

sebagainya. • Pelayanan pada pelanggan

a. Memberikan pelayanan pada pelanggan sesuai kebutuhannya. b. Menyediakan produk atau pelayanan yang customized untuk

tetap mempertahankan loyalitas pelanggannya, seperti pesan-an dalam jumlah kecil

c. Berusaha agar pelanggan tidak merasa direpotkand. Adanya interaksi dengan pelanggane. Selalu menjaga hubungan baik dengan pelangan

• Reputasi dan rekomendasia. Menjaga reputasi perusahaan agar selalu baikb. Rekomendasi word of mouth yang positif

• E-marketinga. Mengiklankan produk dan pelayanan secara luas dengan

biaya rendah, seperti menggunakan surat elektronik dan website;

b. Menggunakan e­marketing untuk mengumpulkan informasi terkait pasar.

c. Menjaga keterbaruan informasi bagi pelanggand. Menyediakan informasi yang relevan bagi pelanggane. Menyediakan jasa konsultan atau spesialis untuk e­marketing f. Mempekerjakan karyawan khusus untuk mengelola e­marke­

ting perusahaan.

Page 127: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

119

Pemasaran Entrepreneurial

Pemasaran dengan Networking

Untuk melancarkan proses kegiatan bisnisnya, para entrepreneur sering menggunakan jaringan dan melakukan networking, saling berbagi aktivitas bisnis dan saling mengumpulkan informasi. Network dan networking merupakan hal yang fundamental dan harus men-jadi nilai bagi para entrepreneur, networking merupakan bagian dari aktivitas bisnis sehari-hari dan dapat membantu entrepreneur dalam mengumpulkan informasi yang berguna dalam pengambilan kepu tusan yang terkait pasar. (Gilmore, 2011). Proses networking berlangsung di seputar individu entrepreneur, dapat bersifat informal, interaktif, spontan, individualistic, dan opportunis, dengan berbagai pendekatan, dapat merupakan aktivitas sadar ataupun bawah sadar, proaktif atau pasif, dilakukan terang-terangan ataupun tersembunyi, dan dapat berkelanjutan maupun waktu tertentu saja (Gilmore, 2011).

Proses networking di UKM akan bervariasi tergantung dari tahapan usaha, apakah pada tahapan set­up, tahap pengembangan bisnis, tahap mapan, ataupun pada tahap berganti kepemilikan (Gilmore, Carson, & Grant, 2000). Pada tahapan set­up, networking digunakan entrepreneur untuk menghubungi atau menciptakan hubungan dengan orang-orang yang pernah terlibat dengan dirinya pada pengalaman bisnis yang lalu. Sedangkan pada tahapan pengembangan bisnis, biasanya entrepreneur akan melakukan hubungan dengan asosiasi perdagangan atau organisasi dalam industry yang sama. Sedangkan pada tahapan mapan atau berganti kepemilikan, entrepreneur akan mencoba untuk memotivasi karyawan yang lebih muda untuk melakukan networking dan menciptakan kolaborasi dan aliansi yang lebih kuat di dalam industry (Gilmore, et al, 2000).

Proses networking yang terjadi pada pemasaran di UKM merupa-kan upaya para pemilik/manajer UKM berbicara dengan pemilik/manajer UKM lainnya yang berada dalam saluran distribusi yang sama, menghadiri event pameran dagang, mengumpulkan infor-masi yang terkait dengan pengambilan keputusan pemasaran, dan mengimplementasikan aktivitas pemasaran (Gilmore, et al, 2006). Dengan kata lain networking digunakan oleh pemilik dan manajer UKM untuk merencanakan dan mengimplementasikan aktivtias pemasaran dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dari UKM itu sendiri.

Page 128: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

120

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Kompetensi Manajemen Pemasaran

Peningkatan kompetensi pemasaran merupakan hal yang pen-ting bagi entrepreneurs, karena sebagian besar keputusan pemasaran berada di tangan entrepreneurs, yang bukan hanya berdampak pada pemasaran namun juga keberlanjutan bisnis itu sendiri. Salah satu keterbatasan UKM adalah terbatasnya kompetensi pemasaran yang dimiliki para pemilik atau pengelola UKM. Kompetensi penting dan relevan yang harus dimiliki para entrepreneur adalah pengetahuan, pengalaman, komunikasi dan penilaian (Gilmore, 2011).

Pemilik atau pengelola UKM juga diharapkan dapat mengem-bangkan experiential knowledge seiring dengan waktu (Carson & Gilmore, 2000). Experiential knowledge yang dikembangkan para entre­preneur dapat berwujud dalam penyediaan produk atau jasa yang lebih baik dibandingkan pesaing, memiliki kebijakan harga yang stabil, sistem delivery dan pelayanan pelanggan yang baik, teknik promosi dan penjualan yang baik, dan terfokus pada penggunaan sumber daya yang ada (Gilmore, 2011).

Wirausahawan dapat menggunakan networks dalam upaya pe ning katan kompetensi mereka, khususnya dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan aktivitas pemasaran. Cara lain adalah dengan mempekerjakan para ahli untuk mengelola hal yang tidak dikuasai pemilik/ pengelola UKM, misalnya dalam pengelolaan website (Gilmore, 2011).

Pemasaran Inovatif

Dalam praktiknya, pemilik atau pengelola UKM mencoba untuk melakukan aktivitas dan teknik pemasaran yang inovatif, karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya, terutama tidak adanya sumber daya keuangan yang dapat membantu dalam penggunaan aktvitas pemasaran yang biasa dilakukan perusahaan besar. Pemasaran inovatif disini tidak hanya terbatas pada pengembangan produk atau jasa yang baru, melainkan mencakup seluruh aktivitas pemasaran yang ada dalam perusahaan (Cummins, Gilmore, Carson, & O’Donnell, 2009).

O’Dwyer, et al, (2009) mengemukakan bahwa pemasaran inovatif yang sesuai bagi UKM memiliki beberapa komponen, yaitu:

Page 129: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

121

Pemasaran Entrepreneurial

• Variabel pemasaran (marketing variables) Inovasi dilakukan dengan cara memperbaiki produk dan jasa

yang ditawarkan, mengubah bauran pemasaran yang dilakukan, ataupun mengubah saluran distribusi yang digunakan, agar UMKM dapat melakukan diferensiasi pada produk dan jasa yang ditawarkan untuk ceruk pasar dibanding dengan penawaran standard pada pasar yang luas.

• Modifikasi Inovasi yang dilakukan tidak harus original ataupun baru,

melain kan perubahan yang sesuai dengan UKM itu sendiri dalam merespons perubahan yang terjadi. Selain reaktif merespons perubahan, UKM juga diharapkan proaktif dengan menyediakan kebutuhan yang sekiranya dibutuhkan dan diminta pasar secara inovatif.

• Fokus terhadap pelanggan Lebih berorientasi pada pelanggan dan kepuasan pelanggan

merupakan kunci kesuksesan dari UKM. UKM dapat meng-identifikasi kelompok pelanggan dengan cara mengeliminir kelom pok yang tidak dapat dipenuhi kebutuhannya, dibanding dengan melakukan proses pemasaran tradisional, segmentasi, targeting dan positioning. Pemasaran yang interaktif dan terintegrasi menjadi kunci UKM dalam melakukan diferensiasi produk dan jasa.

• Fokus terhadap pasar Upaya UKM dalam fokus terhadap pasar tercermin dalam visi

dan tujuan pemasaran. Agar UKM dapat meraih keuntungan finansial dari pasar, UKM harus memiliki keunggulan bersaing yang dapat dicapai melalui pemasaran yang inovatif.

• Unique Proposition Pemasaran inovatif dapat dilakukan UKM apabila memiliki

propo sisi yang unik, baru dan tidak seperti biasa.

F. Kinerja Perusahaan

Kinerja perusahaan dapat diukur dengan menggunakan ber-bagai dimensi dan indikator, penggunaannya bervariasi tergantung pada kelompok stakeholder yang menjadi target (pelanggan, investor, atau karyawan), dan pandangan hasil apakah jangka pendek atau jangka panjang (Walker, Jr. & Ruekert, 1987). Masih menurut Walker,

Page 130: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

122

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Jr. & Ruekert (1987), dimensi kinerja perusahaan terbagi menjadi 3 kelompok yaitu: Efektivitas (keberhasilan perusahaan dibanding pesaingnya), Efisiensi (hasil perusahaan dibanding dengan sumber daya yang digunakan), dan Adaptability (keberhasilan perusahaan dalam merespon perubahan kondisi dan peluang dalam lingkungan).

Dari ketiga dimensi tersebut ada dua komponen penting dalam mengukur kinerja adalah efektivitas, yaitu tingkatan pencapaian tujuan bisnis; dan efisiensi, yaitu rasio kinerja yang diukur dari capaian output berbanding dengan sumber daya yang digunakan (Burton, et al. 2002 dalam Yarbrough, Morgan, & Vorhies, 2011). Pe-nilaian efektivitas dan efisiensi di perusahaan salah satunya diukur dari bagaimana pencapaian strategi pemasaran (Slater & Olson, 2001). Namun dua ukuran efektif dan efisien tersebut merupakan dimensi yang berbeda dan tidak dapat disatukan apalagi dalam jangka waktu pendek (Vorhies & Morgan, 2003). Sehingga perusahaan terkadang dihadapkan pada trade off tujuan pemasaran antara memilih pencapaian yang efisien atau efektif.

Indikator penting dalam pengukuran efektivitas bisnis adalah bagaimana perusahaan dapat memuaskan kebutuhan pelanggannya (Day & Wensley, 1988 dalam Yarbrough, et al. 2011). Peningkatan kepuasan pelanggan merupakan kunci keberhasilan perusahaan karena menjadi salah satu tolak ukur dalam penciptaan keunggulan bersaing suatu perusahaan dibandingkan pesaingnya (Mittal & Kamakura, 2001). Kepuasan adalah konsep yang multidimensi dan bertingkat, bisa berupa evaluasi pelanggan terhadap produk, terhadap kinerja penjual, bahkan kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan oleh perusahaan (Homburg & Gierin, 2001).

Selain kepuasan pelanggan ukuran efektivitas yang penting adalah persepsi pada pertumbuhan pasar, pertumbuhan penjualan, dan profitabilitas perusahaan (Clark, 2000 dalam Vorhies & Morgan, 2003; Qureshi & Kratzer, 2010). Pertumbuhan direfleksikan sebagai peningkatan penjualan atau pangsa pasar sedangkan profitabilitas direfleksikan sebagai kinerja perusahaan saat ini (Venkatraman, 1989). Profitabilitas merupakan tujuan utama perusahaan.

Ukuran kinerja berupa pertumbuhan dan profit dapat diukur berdasarkan persepsi dirinya dibandingkan pesaing utama mereka,

Page 131: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

123

Pemasaran Entrepreneurial

apakah lebih baik atau lebih buruk. Ukuran persepsi terhadap kinerja telah memperlihatkan hasil yang reliabel dan valid, sehingga diterima untuk digunakan pada riset empiris (Dess & Robinson, 1984). Morgan, et.al., (2009) telah mengembangkan instrumen pengukuran kinerja perusahaan kecil berdasarkan persepsi tersebut dan telah terbukti dapat mengukur kinerja perusahaan kecil secara empiris (Sok, et al, 2013).

Sedangkan dari perspektif efisiensi, yang sering digunakan adalah ukuran-ukuran keuangan dan akuntansi, misalnya cash flow (Yarbrough, et al. 2011). Ukuran finansial objektif seperti pendapatan, ROA, ROE, dan sebagainya itu perlu namun tidak cukup untuk melihat kinerja perusahaan secara keseluruhan (Aggarwal & Gupta, 2006). Sehingga beberapa studi menyarankan untuk menggunakan kombinasi ukuran finansial maupun non finansial (Venkataraman & Ramanujam, 1986). Ukuran subjektif non fnansial misalnya indikator pangsa pasar, persepsi pertumbuhan penjualan, kepuasan pelanggan, loyalitas, ekuitas merek, dan sebagainya (Haber & Reichel, 2005). Pendekatan dan upaya pemasaran entrepreneurial dapat mempengaruhi output secara finansial maupun non finansial (Morris, et.al. 2002).

Page 132: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

124

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Page 133: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

125

UKM dan Masalahnya

Daftar Pustaka

Aggarwal, N., & Gupta, M. (2006). Marketing performance measures: Current status in Indian companies. Decision. 33(1). 47-74.

Aldrich, H.E., & Auster, E. (1986). Even dwarfs started small: liabilities of age and size and their strategic implication. Organizational Behavior. 8(2). 165-198.

Ambler, T., Kokkinaki, F., & Puntoni, S., (2004). Assessing marketing performance: reason for metric selection. Journal of Marketing Management. 20. 475-498.

Angelen, A., Heinemann, F., & Brettel, M. (2009). Cross cultural entrepreneurship research: current status and framework for future studies. Journal Inernational Entrepreneurship. 7. 163-189.

Ardichvili, A., Cardozo, R., & Ray, S. (2003). A theory of entrepreneurial opportunity identification and development. Journal of Business Venturing. 18. 103-123.

Babakus, E., Cravens, D., Grant, K., Ingram, T., & LaForge, R. (1996). Investigating the relationship among sales, management control, sales territory design, salesperson peformance, and sales

Page 134: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

126

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

organization effectiveness. International Journal of Research in Marketing. 13(4). 345-363.

Badan Pusat Statistik. 1997. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

_________________. 2000. National Labour Force Survey 1997, 1998 and 1999. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

_________________. 2007. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Sulawesi SelatanBagi, F.S. and I.J. Singh. 1974. A Microeconemic Model of Farm Decisions in an LDC: A Simultaneous Equation Approach. Department of Agricultural Economics and Rural Sociology, The Ohio University, Ohio.

Baker, W.E. & Sinkula, J.M. (2009). The Complementary Effects of Market Orientation and Entrepreneurial Orientation on Profitability in Small Business. Journal of Small Business Management, 47.

Baltagi, Badi H, 2001, Econometric Analysis of Panel Data, Secon Edition, New York, John Willey & Son, Ltd.

Barney, J.B. (1991). Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of Management. 17(1). 99-120.

Bateman, T.S., & Crant, M.J. (1993). The proactive component of organizational behavior: A measure and correlates. Journal of Organizational Behavior, 14(2), 103-118.

Becherer, R.C., Finch, J.H., & Helms, M.M. (2005). The influence of entrepreneurial motivation and new business acquisition on strategic decision making.Journal of Small Business Strategy.16(2). 1-13.

Becherer, R.C., Haynes, P.J., & Fletcher, L.P. (2006). Paths to profitability in owner-operated firms: the role of entrepreneurial marketing. Journal of Business and Entrepreneurship. 18(1). 17-31.

Becherer, R.C., Haynes, P.J., & Helms, M.M. (2008). An exploratory investigation of entrepreneurial marketing in SMEs: The influence of the owner/operator. Journal of Business and Entrepreneurship, 20(2). 44-63.

Becker, G.S. 1965. A Theory of Allocation of Time. Economic Journal, 299 (75): 493–517.

Bhuian, S.N., Menguc, B., & Bell, S.J. (2005). Just Entrepreneurial

Page 135: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

127

UKM dan Masalahnya

enough: the moderating effect of entrepreneurship on the relationship between market orientation and performance. Journal of Business Research. 58(1). 9-17.

Boso, N., Cadogan, J.W., & Story, V.M. (2012). Complementary effect of Entrepreneurial and Market Orientations on export new product success under differing levels of competitive intensity and financial capital. International Business Review. 21. 667-681.

Boso, N., Story, V.M., Cadogan, J.W. (2013). Entrepreneurial orientation, market orientation, network ties, and performance: Study of entrepreneurial firms in developing economy. Journal of Business Venturing. 28.708-727.

Carson, D. J. (1985). The evolution of marketing in small firms. European Journal of Marketing, 19(5), 7–16.

Carson, D., & Gilmore, A. (2000). Marketing at the interface: Not ‘What’ but ‘How’. Journal of Marketing Theory and Practice. 8(2). 1-7.

Cavusgil, S.T. & Zou, S. (1994). Marketing Strategy Performance Relationship: an investigation of the empirical link in export market ventures. Journal of Marketing. 58(1), 1-21.

Chenery, Hollis. and Moises Syrquin (1975), Patterns of Development, 1950-1970, Oxford University Press, London.

Clark, B. H. (1999). Marketing performance measures: History and interrelationships. Journal of Marketing Management, 15, 711−732.

Collinson, E., & Shaw, E. (2001). Entrepreneurial marketing - a historical perspective on development and practice. Management Decision, 39(9), 761-766.

Cooper, R.G. (1979). The Dimensions of industrial new product success and failure. Journal of Marketing. 43. 93-103.

Covin, J.G. & Slevin, D.P. (1989). Strategic management of small firms in hostile and benign environments. Strategic Management Journal. 10. 75-87.

Cummins, D., Gilmore, A., Carson, D., & O’Donnell. A. (2009). What is innovative marketing in SME? Towards a conceptual and descriptiveframework. AMA Conference Proceedings. July.

Davis, H., Douglas, S., & Silk, A. (1981). Measure unreliability: A hidden threat to cross national marketing research? Journal of

Page 136: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

128

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Marketing. 45. 98-109.Dawam Rahardjo, 1996, Faktor-faktor Keuangan yang Mempengaruhi

Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia, dalam aspek-aspek Finansial Usaha Kecil dan Menengah (Studi Kasus Asean), LP3ES, Jakarta.

Day, J., Dean, A.A, & Reynolds, P.L. (1998) Relationship Marketing: Its Key Role in Entrepreneurship. Long Range Planning. 31(6), 828-837.

Departemen Koperasi dan UKM, 2007. Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah. Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia, Jakarta.

Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, 2003, Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah 2002 – 2004 Buku II Program Pengembangan Industri Kecil Menengah. Jakarta

Deshpande, R., Farley, J., & Webster, Jr.F. (1993). Corporate culture, customer orientation and innovativeness. Journal of Marketing. 57(1). 23-37.

Dess, G., Lumpkin, G., & Covin, J. (1997) Entrepreneurial Strategy Making and Firm Performance: Tests of contingency and configurational models. Strategic Management Journal. 18(1), 2-23.

Dess, G.G., & Robinson, R.B.Jr. (1984). Measuring organizational performance in the absence of objective measures: the case of the privately-held firm and conglomerate business unit. Strategic Management Journal. 5, 265-273.

Didit Cahyono, Pengaruh Investasi Dan Perubahan Hasil Produksi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Pada Sub Sektor Industri Kecil Di Kabupaten Malang. Universitas Merdeka Malang Fakultas Ekonomi

Duus, H.J. (1997). Economic Foundations for an Entrepreneurial Marketing Concept. Scandinavian Journal Management. 13(3), 297-305.

Eggers, F., Hansen, D.J., & Davis, A.E. (2012). Examining the relationship between customer and entrepreneurial orientation on nascent firms’ marketing strategy. International Entrepreneurship Management Journal. 8. 203-222.

Gary, Dessler, 1997, Manajemen Sumberdaya Manusia, Edisi Bahasa Indonesia Jilid I, PT, Prenhallindo, Jakarta.

Page 137: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

129

UKM dan Masalahnya

Gilmore, A. (2010). Reflections on methodologies for research at the marketing/ entrepreneurship interface. Journal of Marketing and Entrepreneurship. 12(1). 11-20.

Gilmore, A. (2011). Entrepreneurial and SME Marketing. Journal of Research in Marketing and Entrepreneurship. 13(2). 137 – 145

Gilmore, A., Carson, D., & Grant, K. (2000). Managing change in SMEs: how do owner/managers hand over their networks. Journal Strategic Change. 9(7). 415-426.

Gilmore, A., Carson, D., & Rocks, S. (2006). Networking in SME’s: Evaluation its contribution to marketing activity. International Business Review. 15. 278-293.

Gilmore, A., Carson, D., O’Donnell, A., & Cummins, D. (1999). Added value: A qualitative assessment of SME marketing. Irish Marketing Review. 12(1). 27.

Green, K.M., Covin, J.G., & Slevin, D.P. (2008). Exploring the relationship between strategi reactiveness and entrepreneurial orientation: the role of structure-style fit. Journal of Business Venturing. 23, 356-383.

Gruber, M. (2004). Marketing in new ventures: theory and empirical evidence. Schmalenbach Business Review. 56(2), 164.

Gujarati, N.D, 1997, Basic Econometrics, Mc. Graw-Hill Book Company, Singapore.

Haber, S., & Reichel, A. (2005). Identifying performance measures of small ventures: The case of tourism industry. Journal of Small Business Management. 43(3). 257-286.

Hailuddin, 2006, Faktor-Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Akses Industri Kecil Manufaktur terhadap Perkreditan Lembaga Keuangan Perbankan (Studi pada Industri Kecil di Lombok Nusa Tenggara Barat) Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung

Hair, J.F., Black, W.C., Babin, B.J., Anderson, R.E. (2010). Multivariate Data Analysis A Global Perspective. Ed. 7. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Hamel, G. & Prahalad, C.K. (1994). Competing for the future. Harvard Business Review, 72(4),122-129.

Handrimurtjahyo, dkk, 2007, Faktor-Faktor Penentu Pertumbuhan

Page 138: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

130

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Usaha Industri Kecil: Kasus Pada Industri Gerabah Dan Keramik Kasongan, Bantul, Yogyakarta

Hau, L.N., Evangelista, F., & Thuy, P.N. (2013). Does it pay for firms in Asia’s emerging market to be market oriented? Evidence from Vietnam. Journal of Business Research. 66. 2412-2417.

Henry, Simamora, 1995, Manajemen Sumberdaya Manusia, STIE – YKPN, Yogyakarta.

Hills, G. E., Hultman, C. M., & Miles, M.P. (2008). The evolution and development of entrepreneurial marketing. Journal of Small Business Management, 46(1), 99-112

Hills, G.E. & Hultman, C.M. (2011). Academic roots: The past and present of entrepreneurial marketing. Journal of Small Business and Entrepreneurship, 24(1), 1-10,152.

Hills, G.E., & LaForge, R.W. (1992). Research at the marketing interface to advance entrepreneurship theory. Entrepreneurship: Theory & Practice. 16(3). 91-100.

Hills, G.E., Hultman, C. M., Kraus, S., & Schulte, R. (2010). History, theory and evidence of entrepreneurial marketing—an overview. International Journal of Entrepreneurship and Innovation Management, 11(1), 3–18.

Homburg, C., & Gierin, A. (2001). Personal characteristics as moderators of the relationship between customer satisfaction and loyalty – An empirical analysis. Psychology & Marketing. 18(1). 43-66.

Hubeis, M. 1997. Manajemen Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi Melalui Pemberdayaan Manajemen Industri. Orasi Ilmiah. Institut Pertanian Bogor.

Hughes, M. & Morgan, R.E. (2007). Deconstructing the relationship between entrepreneurial orientation and business performance at the embriyonic stage of firm growth. Industrial Marketing Management. 36, 651-661.

Hunt, S.D. (1976). The Nature and Scope of Marketing. Journal of Marketing. 40(30, 17-28.

Hunt, S.D. (1995). The Resource-Advantage Theory of Competition: toward explaining productivity and economic growth. Journal of Management Inquiry, 4, December, 317-332.

Page 139: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

131

UKM dan Masalahnya

Hunt, S.D. (1997). Resource-advantage theory: An evolutionary theory of competitive firm behavior. Journal of Economic Issue. 31(1). 59-77

Hunt, S.D., & Morgan, R.M. (1995). The comparative advantage theory of competition. Journal of Marketing. 59(2). 1-15

Ionita, D. (2012). Entrepreneurial Marketing: A new approach for challenging times. Management & Marketing Challenges for the Knowledge Society, 7(1), 131-150

Jain, S.C. (1992). Strategic Marketing: Evolution, Integration and Managerial Implicatins. Journal of Managerial Issues, 4(4), 510-532.

Jamal, A. (2005). Playing to win: an explortive study of marketing strategies of small ethnic retail entrepreneurs in the UK. Journal of Retailing and Consumer Services. 12. 1-13.

Jaworski, B. & Kohli, A. (1993) Marketing orientation: Antecendents and Consequences. Journal of Marketing. 57(3), 53-71.

Jhingan, ML, 1994. Perencanaan Ekonomi Pembangunan, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta.

Karjadi Mintaroem, Nurtjahja Moegni, Imam Syafi’I, 2002. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Industri Kecil Di Wilayah Segitiga Industri Di Jawa Timur, Unair Jawa Timur, Unair Jawa Timur

Karra, N., Phillips, N., & Tracey, P. (2008). Building the born global firm: developing entrepreneurial capabilities for international new venture success. Long Range Planning. 41. 440-458.

Kasim, A. & Altinay, L. (2016). How does firm strategy affect the relationship between Entrepreneurial Strategic Orientation and firm gwoth? A prelimenary analysis on small and medium size hotels in Peninsular Malaysia. Internasional Review of Management and Marketing, 6(S7). 116 – 120.

Keh, H.T., Nguyen, T.T.M., & Ng, H.P. (2007). The effects of entrepreneurial orientation and marketing information on the performance of SMEs. Journal of Business Venturing. 22. 592 – 611.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2003, Laporan Akhir Pengkajian Strategis Tahap Lanjut Sentra Bisnis Ukm Pasca Dukungan Program Perkuatan

Page 140: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

132

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2008, UKM butuh dukukngan IPTEK.

Kerin, R.A., Varadarajan, P.R., & Peterson, R.A. (1992). First mover advantage: a synthesis, conceptual, framework, and research propositions. Journal of Marketing, 56. 33-52.

Knight, G. (2000). Entrepreneurship and Marketing Strategy: The SME under Globalization. Journal of International Marketing. 8(2).12-32.

Knight, G.A. (1997). Cross-cultural reliability and validity of a scale to measure firm entrepreneurial orientation. Journal Business Venturing. 12, 213–225.

Kocak, A. & Abimbola, T. (2009). The effects of entrepreneurial marketing on born global performance. International Marketing Review. 26(4/5), 439-452.

Kohli, A. & Jaworski, B. (1990). Market Orientation: The Construct, Research Propositions, and Managerial Implications. Journal of Marketing. 54, 1-18.

Kollmann, T., Christofer, J., & Kuckertz, A. (2007). Explaining individual entrepreneurial orientation: Conceptualisation of a cross-cultural research framework. International Journal of Entrepreneurship and Small Business, 4(3), 325–340.

Kotler, P. & Armstrong, G. (1994). Principles of Marketing, 6th Ed, London: Prentice Hall

Kotler, P. (1994). Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control. 8th Ed, Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Kraus, S., Harms, R., & Fink, M. (2010). Entrepreneurial marketing: Moving beyond marketing in new ventures. International Journal of Entrepreneurship and Innovation Management, 11(1), 19–34.

Kurgun, H., Bagiran, D., Ozeren, E., and Maral, B. (2011). Entrepreneurial marketing – the interface between marketing and entrepreneurship: A qualitative research on boutique hotels. European Journal of Social Sciences, 26(3), 340-357.

Kustin, R. A. (2004). Marketing mix standardization: A cross cultural study of four countries. International Business Review, 13(5), 637–649.

Page 141: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

133

UKM dan Masalahnya

Lembaga Demografi UI dan ILO Manila, 2002. Dimensi Gender dalam Krisis Ekonomi, Jakarta,

Lestari, Kajian Model Penumbuhan Unit Usaha Baru, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK

Li, Y., Zhao, Y., Tan, J., & Liu, Y. (2008). Moderating effects of Entrepreneurial orientation on Market orientation – performance linkage: Evidence from Chinese small firms. Journal of Small Business Management. 46(1). 113-133.

Lincolin Arsyad, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Daerah, BPFE, Yogyakarta.

Lowe, B., Lowe, J., & Lynch, D. (2010). A case study and some propositions about marketing in a fast growth SME: Is entrepreneurial marketing different? Journal of Strategic Management Education, 6(4), 283-292.

Lubis, S.B. Hari. 1986. Manajemen Usaha Kecil. Diktat Kuliah : Program Magister Teknik dan Manajemen Industri. Institut Teknologi Bandung.

Lumpkin, G.T., & Dess, G.G. (1996). Enriching the entrepreneurial orientation construct – a reply to entrepreneurial orientation or pioneer advantage. The Academy of Management Review. 21(3). 114-17.

Malhotra, N., Mavondo, F., Mukherjee, A., & Hooley, G., (2013). Service quality of frontline employees: A profile deviation analysis. Journal of Business Research. 66. 1338-1344.

Malhotra, N.K. (2010). Marketing Research: An Applied Orientation. 6th Ed. New Jersey: Prentice Hall.

Mangkuprawira, S. 1985. Alokasi Waktu dan Kontribusi Kerja Anggota Rumahtangga dalam Kegiatan Ekonomi Rumahtangga: Studi Kasus di Dua Tipe Desa di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Maritz, A. (2010). A discursive approach to entrepreneurial marketing: integrating academic and practice theory. Australian Graduate School of Entrepreneurship (AGSE).

Matsuno, K., Mentzer, J.T., & Ozsomer, A. (2002). The effects of entrepreneurial proclivity and market orientation on business performance. Journl of Marketing. 66 (3). 18 – 22.

Page 142: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

134

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

McDaniel, S.W. & Kolari, J.W. (1987). Marketing strategy implications of the Miles and Snow strategy typology. Journal of Marketing. 51(4), 19-30.

Meyer, A.D., Tsui, A.S., & Hinings, C.R. (1993). Configurational approaches to organizational analysis. Academy Management Journal. 36(6), 1175-1195.

Miles, M.P. & Darroch, J. (2006). Large firms, entrepreneurial processes, and the cycle of competitive advantage. European Journal of Marketing. 40(5/6), 485-501.

Miller, D. & Freisen, P.H. (1983). Innovation in Conservative and Entrepreneurial Firms: Two Model of Strategic Momentum. Strategic Management Journal. 3(1), 1-25.

Miller, D. (1981). Toward a new contingency approach: The search for organizational gestalts. Journal of Management Studies. 18 (1). 1 – 26.

Miller, R., & Floricel, S. (2004). Value creation and games of innovation.Research Technology Management, 47(6), 25-37.

Mintzberg, H. (1987). The Strategy Concept I: Five Ps for Strategy. California Management Review, 30 (1), 11-24

Mitsuhiro Hayashi, 2000 Development of SMEs in the Indonesian Economy School of Economics, Faculty of Economics and Commerce, Australian National University

Mittal, V. & Kamakura, W.A. (2001). Satisfaction, repurchase intent, and repurchase behavior: Investigating the moderating effect of customer characteristics. Journal of Marketing Research. 38(1). 131-142.

Morgan, N.A., Vorhies, D.W. & Mason, C.H. (2009). Market orientation, marketing capabilities, and firm performance. Strategic Management Journal. 30, 909-920.

Morris, M.H. & Kuratko, D. (2001) Corporate Entrepreneurship: Entrepreneurial Development Inside Organizations. Dallas: Harcort Publishers.

Morris, M.H. & Lewis, P.S. (1995). The determinants of entrepreneurial activity implications for marketing. European Journal of Marketing. 29(7). 31-48.

Page 143: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

135

UKM dan Masalahnya

Morris, M.H. & Sexton, D.L. (1996). The concept of entrepreneurial intensity implications for company performance. Journal of Business Research. 36, 5-13.

Morris, M.H., Schindehutte, M., & LaForge, R. W. (2002). Entrepreneurial marketing: A construct for integrating emerging entrepreneurship and marketing perspectives. Journal of Marketing Theory and Practice, 10(4), 1-19.

Morrish, S.C. (2011). Entrepreneurial marketing: A strategy for the twenty first century.Journal of Research in Marketing and Entrepreneurship. 13(2), 110-119

Morrish, S.C., Miles, M.P., & Deacon, J.H. (2010). Entrepreneurial marketing: acknowledging the entrepreneur and customer-centric interrelationship. Journal of Strategic Marketing. 18 (4). 303 – 16S.

Mudrajat Kuncoro, 2000, Ekonomi Pembangunan, Akademi Manajemen Perusahaan YKPN

Muhibbullah Azfa Manik, Strategi Pemberdayaan Industri Kecil Berbasis Agroindustri di Pedesaan, Universitas Bung Hatta Padang,

Naman, J.L. & Slevin, D.P (1993). Entrepreneurship and the Concept of Fit: A Model and Empirical Test. Strategic Management Journal, 14(2), 137-153.

Narver, J.C. & Slater, S.F. (1990). The Effect of Market Orientation on Business Profitability. Journal of Marketing. Vol. 54, No. 4. 20-35.

Nelson, Robert., 2001, Economics as Religion. University Park PA, The Pennsylvania State University Press.

O’Cass, A., & Sok, P. (2012). Examining the role of within functional area resource-capability complementarity in achieving customer and product-based performance outcomes. Journal of Strategic Marketing. 20(4), 345-363.

O’Dwyer, M., Gilmore, A., & Carson, D. (2009). Commentary innovative marketing in SMEs. European Journal of Marketing. 43(1/2). 46-61.

Olson, E.M., Slater, S.F., & Hult, G.T.M. (2005). The performance implications of fit among business strategy, marketing organization structure, and strategic behavior. Journal of Marketing. 69. 49-65.

Page 144: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

136

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Pardede, F.R. 2000. Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Kecil di Indonesia. Program Studi Teknik dan Manajemen Industri. Institut Teknologi Bandung

Pearce, J.A., & Michael, S.C. (1997). Marketing strategies that make entrepreneurial firms recession-resisstant. Journal of Business Venturing. 12, 301-314.

Perreault, W.D., Cannon, J.P., & McCarthy, E.J. (2014). Basic Marketing: A marketing Strategy Planning Approach. Ed. 19. NY: McGraw-Hill.

Pindyck, R. S. and D. L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forcasts. Third Edition. McGraw-Hill Inc, New York.

Polachek, Solomon W. 2004. How the Human Capital Model Explains Why the Gender Wage Gap Narrowed. State University of New York at Binghamton and IZA Bonn Discussion Paper No. 1102. p.1-46.

Porter, M.E. (1996), “What Is Strategy?” Harvard Business Review, 74 (November-December), 61-78.

Qureshi, S. & Kratzer, J. (2010). An investigation of antecedents and outcomes of marketing capabilities in entrepreneurial firms: An empirical study of small technology-based firms in Germany. Journal of Small Business and Entrepreneurship. 24(1). 49-66.

Raju, P.S., Lonial, S.C., & Crum, M.D. (2011). Market orientation in the context of SME’s: A conceptual framework. Journal of Business Research. 64, 1320-1326.

Renstra Provinsi Sulawesi Selatan, 2004. Rencana Strategis Provinsi Sulawesi Selatan. Makasar

Riana Panggabean, 2002, Membangun Paradigma Baru dalam Mengembangkan UKM, Dep. Kemetrian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta

Samuelson P.A, 1995, Makro Ekonomi, Gelora Aksara, Jakarta.Schumpeter, J.A. (1934), The Theory of Economic Development, Cambridge,

MA: Harvard University PressShane, S. & Venkataraman, S. (2000). The promise of entrepreneurship

as a field of research. Academy of Management Review. 25. 217-226.Sheth, J., & Sisodia, R.S. (1999). Revisiting marketing’s lawlike

generalization. Journal of the Academy of Marketing Science. 27(1). 71-87.

Page 145: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

137

UKM dan Masalahnya

Simanjuntak P. 1998. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua. LP-FE. Universitas Indonesia, Jakarta.

Sinaga B.M. 1997. Pendekatan Kuantitatif dalam Agribisnis. Jurnal Sosial Ekonomi, 10 (1): 48–64.

Singh, I., L. Squire and J. Strauss. 1986. Agricultural Household Models: Extension, Application and Policy. The John Hopkins University Press, Baltimore.

Slater, S.F & Olson, E.M. (2001). Marketing’s Contribution to the Implementation of business strategy: an empirical analysis. Strategic Management Journal. 22, 1055-1067.

Slater, S.F., Hult, G.T.M. & Olson, E.M. (2007). On the importance of matching strategic behavior and target market selection to business strategy in high-tech markets. Journal of the Academic Marketing Science. 35: 5-17.

Sok, P., O’Cass, A., & Sok, K.M. (2013). Achieving superior SME performance: Overarching role of marketing, innovation and learning capabilities. Australasian Marketing Journal. 21. 161-167.

Sondang P. Siagian, 1997, Manajemen Sumberdaya Manusia, Gunung Agung, Jakarta.

Steinbach, M., Karypis, G., Kumar, V. (2000). A comparison of document clustering techniques. KDD Workshop on textmining.

Stevenson, H.H., Roberts, M.J., Grousbeck, H.I. (1989) Business Ventures and the Entrepreneur, Homewood, IL, Richard D Irwin Publishing.

Tajeddini, K., Elg, U., & Trueman, M. (2013). Efficiency and effectivness of small retailers: The role of customer and entrepreneurial orientation. Journal of Retailing and Consumer Services. 20. 453-462.

Tati Suhartati J. 2003. Teori Ekonomi Mikro, Salemba Empat JakartaTheodosiou, M., & Leonidou, L. C. (2003). Standardization versus

adaptation of international marketing strategy: An integrative assessment of the empirical research. International Business Review, 12(2), 141–171.

Tjiptoherijanto, Prijono. 1996. Kesiapan pekerja dalam Peningkatan Kualitas Hasil Industri/Jasa Menghadapi Persaingan Pasar Bebas. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Vol. XLIV. No. 3.

Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi. Penerjemah: Aris

Page 146: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

138

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Munandar. Edisi Kelima. PT. Bumi Aksara. JakartaTulus Tambunan, 2004, Development Of Small And Medium Enterprises

In Indonesia. Faculty of Economics, University of TrisaktiTulus Tambunan, M. dan B. White. 1991. Perkembangan dan

Permasalahan Industri Rotan di Indonesia Pasca Larangan Ekspor dengan Kasus Industri Rotan Tegalwangi, Jawa Barat. Kerjasama Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor dan Instititut of Social Studies the Hague, Bogor. Thomas, R.L. 1997. Modern Econometrics an Introduction. Addison Wesley

Varadarajan, P.R & Clark, T. (1994) Delineating the scope of corporate, business, and marketing strategy. Journal of Business Research. 31. 93-105.

Varadarajan, P.R, Jayachandran, S., & White, J.C. (2001) Strategic interdependence in organizations: Deconglomeration and Marketing Strategy. Journal of Marketing. 65(1). 15-28.

Vega-Vásquez, M, Cossío-Silva, F-J, Revilla-Camacho, M-Á. (2016). Entrepreneurial Orientation-hotel performance: Has market orientation anything to say? Journal of Business Research. 69. 5089 – 5094.

Venkataraman, N. & Prescott, J.E. (1990). Environment – Strategy coalignment: An empirical test of its performance implications. Strategic Management Journal. 11. 1–23.

Venkataraman, N. (1989). The concept of fit in strategy research: toward verbal and statistical correspondence. Academy of Management Review. 14(3). 423-444.

Venkataraman, N., & Ramanujam, V. (1986). Measurement of business performance in strategy research: A comparison of approaches. Academy of Management Review. 11(4). 801-814.

Vorhies, D.W. & Morgan, N.A. (2003). A configuration theory assessment of marketing organization fit with business strategy and its relationship with marketing performance. Journal of Marketing.67(1).100-115.

Wahyuni, S. (2011). Qualitative Research Method: Theory and Practice. Jakarta: Salemba Empat

Walker, Jr., O.C., & Ruekert, R.W. (1987). Marketing’s role in the implementation of business strategies: A critical review and

Page 147: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

139

UKM dan Masalahnya

conceptual framework. Journal of Marketing. 51(3), 15-33.Webb, J.W., Ireland, R.D., Hitt, M.A., Kistruck, G.M., & Tihanyi, L.

(2011). Where is the opportunity without the customer? An integration of marketing activities, the entrepreneurship process, and institutional theory. Journal of the Academic Marketing Science. 39. 537-554.

Wiklund, J., & Shepherd, D. (2005). Entrepreneurial orientation and small business performance: A configurational approach. Journal of Business Venturing. 20. 71-91.

Yarbrough, L., Morgan, N.A. & Vorhies, D.W. (2011). The impact of product market strategy-organizational culture fit on business performance. Journal of the Academic Marketing Science. 39. 555-573

Yen, C.C., Po, C.L., & Evans, K.R. (2012). Effects of interaction and entrepreneurial orientation on organizational performance: insights into market driven and market driving. Industrial Marketing Management. 41. 1019-1034.

Yong-Hui, L., Jin, W.H., & Ming, T.T. (2009). Entrepreneurial orientation and firm performance: The role of knowledge creation process. Industrial Marketing Management. 38. 440-449.

Yotopoulus, P.A. and L.J. Lau. 1974. On Modeling the Agricultural Sector in Developing Economies. Journal of Development Economics, (1): 105–127.

Yue-Yang Chen, & Hui-Ling Huang (2012). Knowledge management fit and its implications for business performance: A profile deviation analysis. Knowledge-Based Systems. 27. 262-270.

Yuyun Wirasasmita, 2000, Micro Economic Aspects of Small Scale Tradisional Family Enterprise, Wacana Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni Guru Besar Universitas Padjadjaran, Bandung.

Yuyun Wirasasmita, 2004, Kumpulan Makalah Penulisan Disertasi.Zeithaml, V.A., Berry, L.L. & Parasuraman, A. (1996). The behavioral

consequences of service quality. Journal of Marketing. 60(2). 31-46.Zou, S., & Cavusgil, T. (2002). The GMS: A broad conceptualization of

global market- ing strategy and its effects on firm performance. Journal of Marketing, 66(4), 40–56.

Page 148: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

140

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Page 149: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

141

UKM dan Masalahnya

Tentang Penulis

Saparuddin M lahir 15 Januari 1977 di Bontomanai Kabupaten Jeneponto, yang

berjarak kira-kira 90 km dari Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan.

Menyelesaikan pendidikan di Universitas Negeri Haluoleo pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan hingga memperoleh

gelar sarjana strata satu (S1) pada tahun 2000. Kemudian pada tahun 2001 melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana Univer sitas Padjadjaran dengan Bidang kajian utama Ekonomi Pembangunan dan memperoleh gelar Magister Sains (S2) pada tahun 2004. Kemudian pada tahun 2010 menyelesaikan pendidikan Doktor Ilmu Ekonomi di Universitas Padjadjaran Bandung.

Karya Publikasi Buku antara lain: “Analisis PDB Nasional dan PDRB Jawa Barat”, “Komposisi Ekonomi Jawa Barat”, “Belajar Berwirausaha”, “Pertumbuhan Ekonomi dan Dinamika Industri Kecil dan Menengah”, “Pengantar Bisnis”.

Page 150: DINAMIKA USAHA - sipeg.unj.ac.id

142

Dinamika Usaha Kecil & Menengah

Rifelly Dewi Astuti, Lahir di Palembang 11 September 1978. Pendidikan Sarjana Manajemen

di Universitas Indonesia diselesaikan pada tahun 2001, kemudian pendidikan Magister Manajemen diselesaikan di program MM UI tahun 2003. Pada tahun 2017 menyelesaikan program Doktor Ilmu Manajemen.

Karya Publikasi Buku antara lain : “Pengantar Bisnis”.