DINAMIKA-INTEGRASI-KEBIJAKAN-PERTAHANAN-DAN-KEAMANAN-UNI-EROPA.docx
-
Upload
tomy-satria-wardhana -
Category
Documents
-
view
42 -
download
1
description
Transcript of DINAMIKA-INTEGRASI-KEBIJAKAN-PERTAHANAN-DAN-KEAMANAN-UNI-EROPA.docx
DINAMIKA INTEGRASI KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN UNI EROPA
Disusun guna memenuhi tugas akhir mata kuliah European Governance semester genap 2010
Disusun oleh :
Bayu Prajanto (08/265216/SP/22661)
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2010
DINAMIKA INTEGRASI KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN UNI
EROPA
Uni Eropa adalah sebuah organisasi antar-pemerintahan dan supra-nasional, yang terdiri
dari negara-negara Eropa, yang sejak 1 Januari 2007 telah memiliki 27 negara anggota.
Persatuan Uni Eropa ini didirikan pada saat Perjanjian Uni Eropa (yang lebih dikenal dengan
Perjanjian Maastricht) pada 1992. Untuk menjadi anggota Uni Eropa, suatu negara harus
memiliki demokrasi yang stabil yang menjamin supremasi hukum, hak-hak azasi manusia dan
perlindungan kaum minoritas. Dan negara-negara Anggota yang terikat di dalam Uni Eropa telah
menandatangani berbagai traktat yang telah di sepakati dan diratifikasi oleh masing-masing
Negara anggota.
Uni Eropa berdiri atas kerjasama dalam tiga pilar yaitu European Communities,
Commond Foreign Security Policy (CFSP), dan Justice and Home Affairs (JHA). CFSP
mempunyai lembaga militer yaitu ESDP (European security and defence policy) yang
merupakan kebijakan utama Uni Eropa yang meliputi pertahanan dan aspek-aspek militer.
Didalam ESDP, Uni Eropa melakukan militer dan operasi manajemen krisis sipil di luar wilayah
Uni Eropa, mengamati prinsip-prinsip Piagam PBB mengenai perdamaian, pencegahan konflik
dan konsolidasi perdamaian internasional. ESDP sendiri merupakan penerus keamanan dan
pertahanan Eropa yang dibuat oleh para elit Uni Eropa untuk menjadi identitas militer yang
independen dan berbeda dengan NATO. ESDP bekerja dibawah yuridiksi Uni Eropa dan juga
termasuk Negara-negara yang tidak terikat dalam NATO. Munculnya ESDP ini merupakan
pertama kalinya Eropa dalam merumuskan strategi keamanan bersama. Hal ini telah menjadi alat
untuk memproyeksikan kekuatan Eropa di dunia dan mempromosikan Uni Eropa sebagai aktor
global.
Sebagai kumpulan negara-negara yang memiliki persamaan latar belakang sejarah dan
identitas, tidaklah sulit bagi negara-negara Eropa untuk membentuk berbagai kebijakan bersama.
Pembentukan kerjasama ekonomi, misalnya, relatif tidak menemui hambatan mengingat sudah
samanya perspektif negara-negara Eropa tentang pentingnya kerjasama antar mereka demi
mencapai kesejahteraan bersama. Hal yang berbeda terjadi pada pembentukan Kebijakan
Pertahanan dan Keamanan Eropa (ESDP), yang dipenuhi berbagai intrik dan persaingan
kepentingan antara negara dominan Eropa kala itu. Pembentukan ESDP sendiri menempuh
proses diplomatik yang panjang, dimulai dari proses Saint-Malo yang disebut-sebut sebagai
cikal-bakal terbentuknya (ESDP).
Di bentuknya badan Uni Eropa ini karena Negara-negara yang terletak dikawasan Eropa
beranggapan bahwa tidak ada satupun Negara yang mampu menyelesaikan masalah yang sangat
kompleks baik eksternal maupun internal di era globalisasi ini. Selain itu, banyak ancaman
terhadap Uni Eropa seperti banyak berurusan dengan terorisme, proliferasi senjata pemusnah
massal, konflik daerah, Negara gagal, dan kejahatan terorganisir.
Jika dilihat dari perjalanan sejarahnya, gagasan bagi pembentukan suatu Kebijakan
Pertahanan Eropa sudah sejak lama ada hampir bersamaan waktunya dengan awal terbentuknya
Masyarakat Eropa di awal tahun 1950-an. Ketika itu muncul keinginan untuk membentuk suatu
European Defense Community (1954) namun gagal diwujudkan karena ada Perang Dingin dan
sudah ada NATO yang terbentuk pada tahun 1949 sebagai pilar pertahanan utama Eropa barat
dalam menghadapi Uni Soviet. Sejalan dengan robohnya komunisme di akhir tahun 1980-an,
paradigma pertahanan Eropa juga mulai berubah. Eropa tidak lagi menghadapi ancaman oleh
Uni Soviet dan para sekutunya di Eropa Timur, tetapi adanya berbagai fenomena baru seperti
konflik antaretnis, failed states, kejahatan terorganisir, terorisme, proliferasi persenjataan
pemusnah massal dan lain-lain.
Dari sini, peranan dari lembaga bentukan Uni Eropa yang ditujukan untuk menangani
masalah pertahanan dan keamanan mulai terlihat. Perkembangan Kebijakan Pertahanan dan
Keamanan Eropa (European Security and Defence Policy/ESDP) yang mandiri diluncurkan
secara resmi pada KTT Dewan Eropa di Cologne (Jerman) tahun 1999. Traktat Maastricht
(1992) sebenarnya sudah menyebutkan aturan-aturan yang merujuk pada tanggungjawab Uni
Eropa atas semua masalah yang berkaitan dengan keamanan, termasuk pembentukan suatu
Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Bersama (Common Security and Defence Policy), sebagai
bagian dari Kebijakan Bersama di bidang Keamanan dan Hubungan Luar Negeri (Common
Foreign and Security Policy/CFSP). Traktat Maastricht juga menyebutkan bahwa
mengingat belum mempunyai kapabilitas militer sendiri, maka Uni Eropa akan meminta
Western European Union (WEU) untuk menjalankan langkah-langkah militer atas nama Uni
Eropa.
Sama seperti kemajuan integrasi kebijakan luar negeri bersama, kebijakan keamanan dan
pertahanan juga mengalami perkembangan yang lambat dalam Uni Eropa. Penyebabnya hampir
serupa dengan hal-hal yang menghambat perkembangan kebijakan luar negeri bersama, yaitu
Uni Eropa bukan sebuah entitas negara yang berdaulat. Kemudian, terdapat perbedaan
kapabilitas militer antara negara anggota, dan perbedaan dalam hal kesiapan dan keinginan di
antara mereka untuk menggunakan kekuatan militer dalam menyelesaikan konflik. Selain itu,
dari dibentuknya ESDP ini, memunculkan wacana baru bahwa sudah saatnya Uni Eropa menjadi
otonom. Ini merupakan reaksi dari beberapa negara anggota Uni Eropa yang menilai bahwa
selama ini, Uni Eropa dan ESDP selalu dibawah bayang-bayang NATO. Dari munculnya wacana
mengenai Uni Eropa yang otonom, terutama mengenai ESDP, hal ini masih menyisakan
beberapa tantangan.
Kondisi otonom atau tidaknya suatu negara sebenarnya ditentukan oleh kondisi
masyarakatnya sendiri. Negara yang otonom tentunya akan tersusun dari masyarakat homogen
yang memiliki rasa persatuan yang kuat, hal yang menurut Jenderal de Gaulle dari Perancis tidak
dimiliki oleh masyarakat Eropa. De Gaulle menyebutkan bahwa masyarakat Eropa “memiliki
jiwanya sendiri, sejarahnya sendiri, bahasanya sendiri, kegagalan-kegagalan, kemenangan-
kemenangan, ambisi-ambisinya sendiri”1. Senada dengan pernyataan de Gaulle, Arnulf Baring
menyatakan bahwa “tidak ada kesatuan Eropa sekarang dan tidak akan ada kesatuan Eropa
dalam waktu-waktu mendatang”2, karena menurutnya, orang-orang Eropa tidak pernah bersatu.
Penyebab tidak pernah bersatunya orang-orang Eropa tersebut adalah karena
heterogenitas masyarakat Eropa sendiri, “ide bahwa dia itu merupakan orang Eropa adalah suatu
pertimbangan yang sekunder ... yang dipaksakan atas kesetiaannya kepada tanah airnya sendiri”.3
Satu-satunya pemersatu masyarakat Eropa kala itu justru datang dari dunia luar, yaitu dari Uni
Soviet dan Amerika Serikat, di mana ketika itu masyarakat Eropa terpaksa harus bersatu guna
menangkal pengaruh kedua negara adidaya tersebut. Tanpa adanya ancaman itu, orang-orang
Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia menganggap dirinya sebagai orang Inggris, Perancis,
Jerman, atau Italia, baru sesudah itu sebagai orang Eropa. Kurangnya rasa persatuan dalam diri
masyarakat Eropa inilah, yang menurut penulis, dapat berakibat fatal bagi perkembangan konsep
1 C.P.F. Luhulima. Eropa sebagai Kekuatan Dunia, Lintasan Sejarah dan Tantangan Masa Depan. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 118. 2 Ibid, hal. 119. 3 Ibid, hal. 115.
Eropa secara keseluruhan karena tanpa adanya kesatuan dari dalam, tentunya akan sulit bagi
Eropa untuk mewujudkan suatu kondisi pertahanan dan keamanan yang otonom.
Terlepas dari kurangnya rasa kesatuan sebagai Bangsa Eropa dalam diri masyarakat
negara-negara Eropa, negara-negara Eropa yang tergabung dalam European Community (EC)
telah menyatakan akan tunduk pada aturan finalite politique4 yang mengharuskan negara-negara
anggota EC untuk siap bertempur menghadapi kemungkinan serangan pada Eropa. Penulis
berpendapat, kesediaan negara Eropa untuk tunduk pada aturan tersebut merupakan hal yang
sangat baik bagi perkembangan kebijakan pertahanan Eropa yang otonom. Negara-negara netral
seperti Swedia dan Norwegia (yang juga merupakan anggota EC) pun menyatakan komitmennya
untuk siap bertempur membela Eropa5, dan hal tersebut tentunya merupakan hal yang positif bagi
sisi pertahanan dan keamanan Eropa. Penulis berpendapat adanya kesediaan setiap negara Eropa
untuk senantiasa membela wilayah Eropa dapat semakin mengurangi masuknya campur tangan
asing (terutama AS) dalam usaha pertahanan dan keamanan Eropa, langkah yang dapat semakin
mendorong terwujudnya Eropa yang otonom dari segi pertahanan dan keamanan.
Kemudian, lambannya perkembangan kebijakan keamanan dan pertahanan ini juga
disebabkan oleh keengganan elit AS untuk melepaskan dominasi mereka dalam urusan
keamanan di Eropa khususnya ketika peluang untuk peningkatan kapabilitas substantif sangat
kecil. Meskipun berbagai komplikasi tadi, Uni Eropa mulai membahas isu-isu yang mengarah
pada integrasi kebijakan keamanan dan pertahanan sejak awal tahun 1990-an.
Selanjutnya, munculnya konflik Kosovo. Banyak pakar berpendapat bahwa konflik di
Kosovo telah menyadarkan para pemimpin Uni Eropa bahwa kapabilitas militernya saat itu
masih lemah.6 Tetapi krisis di Balkan tersebut tidak seluruhnya menjadi motivasi bagi cita-cita
untuk bekerjasama dalam bidang pertahanan. Secara historis, pembentukan Pakta Brussel oleh
Prancis, Inggris, dan negara-negara Benelux tahun 1948 memperkuat argumen ini. Setahun
kemudian NATO berdiri. Inisiatif semakin serius diambil sejalan dengan semakin mengentalnya
integrasi Eropa. Tahun 1952, traktat pembentukan Masyarakat Pertahanan Eropa (European
4 Hugh Miall. Shaping the New Europe. (London: Royal Institute of International Affairs, 1993), hal. 995.Ibid6 Lihat E.G. Gunning Jr. (Juli 2001). The Common European Security and Defense Policy (ESDP) (Executive Summary), The INSS Occasional Paper 41, Regional Security Series, USAF Institute for National Security Studies, USAF Academy, Colorado, hal. vii-ix.
Defence Community – EDC) ditandatangani. Tetapi EDC gagal karena Parlemen Prancis
(Assemblee nationale) menolak meratifikasi traktat itu dua tahun kemudian. Penolakan Prancis
menyiratkan bahwa kerjasama pertahanan terlalu cepat atau terlalu dini.
Tahun 1955, Uni-Eropa Barat (WEU) dibentuk. Sayangnya, organisasi ini dianggap
kurang relevan lebih dari selama tiga dekade hingga lahirnya Traktat Masstricht tahun 1992 yang
menyatakan tanggung jawab EU dalam bidang keamanan ditempatkan dalam kerangka CFSP
dan diuraikan dalam Deklarasi Petersberg (Petersberg Declaration). Untuk mengakomodasi
aspirasi Eropa, dalam Pertemuan Dewan Atlantik Utara di Berlin tahun 1996, NATO
memutuskan untuk mendirikan Identitas Keamanan dan Pertahanan Eropa (European Security
and Defence Identity – ESDI) dalam EU. Traktat Amsterdam tahun 1997 mencakup lebih banyak
regulasi yang mengikat di dalam Uni Eropa termasuk penggabungan Misi Petersberg ke dalam
Traktat Uni Eropa.
Selanjutnya, tahun 1999, Dewan Keulen (Cologne Council) mengumumkan “Deklarasi
untuk Memperkuat ESDP” di mana negara-negara anggota menegaskan tujuan penguatan CFSP
dengan memberikan EU kapabilitas untuk bertindak dalam situasi krisis. Dalam tahun yang
sama, Dewan Helsinki (Helsinki Council) menyatukan negara-negara anggota untuk membentuk
mulai tahun 2003 Pasukan Reaksi Cepat (RRF) yang mampu melaksanakan semua misi yang
diemban oleh Misi Petersberg. Pasukan ini akan terdiri dari 50.000-60.000 personil tempur.
Traktat Nice tahun 2000 membuat beberapa penyesuaian institusional. Tahun 2001, Dewan
Laeken (Laeken Council) mendeklarasikan bahwa Uni Eropa kini memiliki “kapabilitas
melakukan operasi-operasi krisis-manajemen”.7
Namun demikian, Laeken juga menekankan bahwa kemajuan yang substansial harus
dilakukan dalam bidang pengembangan yang seimbang dalam kapabilitas sipil dan militer,
finalisasi penataan aturan dengan NATO, dan penerapan pasal-pasal Traktat Nice dengan mitra-
mitra Uni Eropa. Regulasi baru tersebut bertujuan agar Uni Eropa memiliki struktur yang tepat
dan kemampuan sipil dan militer operasional yang memadai untuk melaksanakan dan
mengimplementasi keputusan-keputusan dalam semua aspek pencegahan konflik dan penugasan
7 Neil Winn, Neil. CFSP, ESDP, and the Future of European Security: Whither NATO?. University of Leeds, 2003. Hal 154
manajemen krisis yang diatur dalam Traktat Uni Eropa. Dengan demikian, ESDP dianggap
sebagai sebuah instrumen untuk merealisasikan tujuan-tujuan CFSP.8
Traktat Maastricht memberikan kerangka bagi CFSP dan menjadikannya sebagai sebuah
wahana terhadap “usaha-usaha untuk membangun sebuah kebijakan pertahanan bersama, menuju
terciptanya sebuah mekanisme pertahanan bersama,9 Uni-Eropa Barat (WEU) dalam hal ini
diminta untuk mengkaji dan mengimplementasikan keputusan dan aksi Uni Eropa yang memiliki
implikasi pertahanan”.10 Namun, kewajiban negara anggota yang kebetulan juga anggota NATO
tetap dihormati, dan kebijakan Uni Eropa “setara dengan kebijakan keamanan dan pertahanan
yang tercantum dalam kerangka NATO”.11 Pada saat yang sama, Final Act dari Traktat
Maastricht memasukkan sebuah deklarasi oleh 9 anggota WEU bahwa negara anggota WEU
menyambut baik perkembangan identitas keamanan dan pertahanan Eropa.12
Untuk menyiapkan kapabilitas militer dari ESDP negara-negara anggota Uni Eropa
menyusun sebuah ‘Headline Goal’, di mana mereka sepakat bahwa mulai 2003, mereka akan
secara sukarela bekerjasama untuk menyiapkan pasukan yang mandiri dengan kekuatan
mencapai level korps atau hingga 15 brigade. Selain itu, jika memungkinkan, mereka harus
mampu mengerahkan elemen angkatan laut dan angkatan udara dalam waktu 60 hari dan
mempertahankan pengerahan tersebut minimal selama satu tahun. Mereka juga memutuskan
untuk mengembangkan Collective Capability Goals dalam bidang komando dan pengendalian,
intelijen, dan transportasi strategis. Untuk menjaga keseimbangan yang pelik dengan NATO,
implementasi dari Headline Goal dan Collective Capability Goals bukan merupakan
pembentukan sebuah Angkatan Bersenjata Eropa ataupun pembentukan pasukan tambahan.
Tujuan tersebut akan dicapai cukup dengan reorganisasi pasukan (standing army) yang telah ada
di masing-masing negara anggota.
Melalui mekanisme ESDP tersebut, EU hanya akan melancarkan operasi militer jika
NATO secara keseluruhan menolak melakukan tindakan operasi. Dengan demikian, untuk
8 Greece’s Initial Contribution to Post-Amsterdam Reflections on the Development of a Common Defence Policy by the E.U., (Diserahkan kepada General Affairs Council tanggal 17-18 Mei 1999), diunduh dari http://www.hri.org. pada 16 Juni 2010 pukul 22.019 Pasal J.4.1., Title V: Provisions on a Common Foreign and Security Policy of the Maastricht Treaty, 1992.10 Ibid., Pasal J.4.2.11 Ibid., Pasal J.4.2.12 Traktat Amsterdam melangkah lebih maju daripada Traktat Maastricht, dengan merujuk pada “pengembangan yang progresif dari kebijakan pertahanan bersama .. .yang mengarah pada sebuah pertahanan bersama, jika itu diputuskan oleh Dewan Eropa”. Traktat Amsterdam dengan demikian memberikan “kemungkinan integrasi WEU ke dalam EU, jika itu diputuskan oleh Dewan Eropa”.
operasi militer, Uni Eropa bisa memilih tiga alternatif: (1) Operasi Uni Eropa dengan
menggunakan perlengkapan dan kapabilitas NATO; (2) Operasi Uni Eropa dengan hanya
menggunakan kapabilitas perencanaan NATO; atau (3) Operasi Uni Eropa secara otonom tanpa
menggunakan fasilitas dan kapabilitas NATO sama sekali.13 ESDP merefleksikan sebuah
keseimbangan baru antara Uni Eropa dan AS. Hubungan Transatlantik tersebut sangat penting
bagi kepentingan keamanan Eropa. Dan kepentingan AS bisa dicapai melalui stimulasi
pengembangan kapabilitas pertahanan Eropa yang lebih ototnom. Dengan demikian, AS akan
lebih bisa menerima posisi yang lebih seimbang dalam bidang keamanan Eropa.
Pengerahan ESDP telah mulai menjadi realitas. Operasi pertamanya di lancarkan tanggal
1 Januari 2003 di bawah payung Misi Kepolisian Uni Eropa di Bosnia-Herzegovina. European
Union Police Mission (EUPM) di Bosnia dan Herzegovina (BDH) tanggal 1 Januari 2003 secara
resmi telah mengambil tugas international police task force (IPTF) yang sudah bertugas
di sana sejak tahun 1996. Namun demikian, peresmiannya baru dilakukan pada tanggal 15
Januari 2003 di Sarajevo.14 EUPM merupakan operasi manajemen krisis sipil pertama yang
dilakukan di bawah ESDP. Selain di bidang militer, ESDP juga dimaksudkan untuk
memperkuat kapabilitas operasi-operasi sipil. Hal ini mengingat bahwa untuk bisa berhasil
menghindari konflik-konflik dan mengelola krisis (conflict prevention and crises management)
diperlukan suatu kombinasi dari instrumen-instrumen militer dan sipil. Dalam kaitan ini, EUPM
merupakan komponen penting bagi kelancaran pelaksanaan program-program Uni Eropa
lainnya di BDH seperti institution building, rekonstruksi, dan diharapkan dapat membantu
pencapaian tujuan kebijakan Uni Eropa secara keseluruhan di kawasan Balkan barat, yang sering
disebut sebagai Stabilisation and Association Process (SAP). 15
Uni Eropa juga memutuskan untuk mengerahkan pasukan dalam operasi militer pertama
di Macedonia tanggal 18 Maret 2003. Kemudian diikuti dengan operasi perdamaian otonom
ESDP yang pertama kali di Republik Demokratik Kongo dengan nama sandi ARTEMIS.
Mandat bagi penggelaran pasukan Uni Eropa ini berasal dari resolusi DK-PBB No. 1484 (30
Mei 2003) dan kemudian disahkan oleh Uni Eropa melalui Council Joint Action pada tanggal 5
13 Herolf, Gunilla and Diedrichs, Udo. ESDP : The Challenges Ahead .Discussion Paper Panel Session at the FORNET Plenary Meeting in Brussels, 22-23 April 2005. Hal 614 Gya, Giji. ESDP and EU Mission Update. European Security Review. 2007. Hal 815 diunduh dari http://www.ambsarajevo.esteri.it/Ambasciata_Sarajevo/Archivio_News/visita+frattini.htm. Pada 16 Juni 2010 20.31
Juni 2003. Selanjutnya, pada tanggal 12 Juni 2003, Dewan UE mensahkan Rencana Operasi dan
keputusan untuk menggelar operasi militer Uni Eropa di Congo. Penggelaran pasukan Uni
Eropa di Congo yang merupakan pertama kali di luar Eropa dan tanpa keterlibatan NATO
tersebut akan bertugas sampai dengan 1 September 2003 dan berkoordinasi penuh dengan the
United Nations Mission in the Democratic Republic of Congo (MONUC).16 Tujuannya
adalah untuk memberikan kontribusi bagi stabilisasi atas kondisi-kondisi keamanan dan
perbaikan-perbaikan atas situasi di bidang kemanusiaan di Bunia. Beberapa langkah yang
dilakukan oleh ESDP ini tidak saja merefleksikan bahwa cita-cita ESDP sudah mulai menjadi
kenyataan tetapi juga merupakan sebuah langkah yang luar biasa dalam perkembangan
selanjutnya dari ESDP.
Untuk mengakhiri tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam bidang pertahanan dan
keamanan, Eropa belum dapat sampai pada suatu program kebijakan bersama. Hal ini
dikarenakan masalah identitas masyarakat Eropa yang belum cukup solid, kepentingan-
kepentingan nasional setiap negara Eropa yang belum dapat dipertemukan, serta karena faktor
interdependensi Eropa dengan Amerika Serikat yang sudah terjalin dalam waktu lama. Walaupun
menemui berbagai halangan dan hambatan, proses pembentukan kebijakan pertahanan dan
keamanan Eropa harus diakui terus menunjukkan kemajuan yang berarti. Hal ini ditandai dengan
kesediaan negara-negara Eropa untuk siap bertempur membela wilayah Eropa apabila suatu saat
mendapat serangan dari luar. Adanya kesediaan bertempur inilah yang, menurut penulis, harus
dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengurangi masuknya campur tangan asing dalam masalah
pertahanan dan keamanan Eropa. Permasalahan identitas masyarakat Eropa juga harus diatasi
dengan baik.
Catatan penting yang bisa didapatkan adalah, bahwa Uni Eropa merespon berbagai
tantangan yang dihadirkan terhadap kelangsungan ESDP dengan baik. Berbagai misi yang
diemban oleh ESDP terbukti menghasilkan pencapaian yang menggembirakan. Memang, jalan
yang harus dihadapi ESDP masih panjang, akan tetapi dengan pencapaiannya tersebut diatas
paling tidak membut ESDP memiliki tempat tersendiri pada tingkat Global. Pada saat-saat
tertentu, dapat dilihat bahwa ESDP mampu menggantikan NATO dengan baik, terutama pada
beberapa konflik yang berada di wilayah regional Eropa. Apabila hambatan mengenai identitas
16 Gya, Giji. ESDP and EU Mission Update. European Security Review. 2007. Hal 6
dapat diatasi, kemudian peranan ESDP semakin ditingkatkan dan mampu menyelesaikan misinya
dengan baik, bukan tidak mungkin di kemudian hari akan tercipta suatu masyarakat Eropa yang
solid, yang memiliki kebijakan pertahanan dan keamanan yang otonom tanpa banyak campur
tangan asing.
Seperti halnya dengan proses perluasan keanggotaan UE, ESDP akan mempunyai
peranan penting di masa mendatang dalam proses unifikasi Eropa selanjutnya. Apabila negara-
negara UE berhasil menggalang kerjasama di bidang ESDP, hal ini akan menciptakan suatu
identitas bersama UE dan juga memperdalam tingkat integrasi UE. Tanpa ESDP, integrasi Eropa
tidak akan pernah selesai, khususnya karena CFSP dalam prakteknya belum menjadi suatu
kenyataan dalam waktu dekat ini. Selain itu, tanpa adanya ESDP yang melengkapi CFSP, UE
juga tidak akan bisa memainkan peranan secara penuh di dunia internasional.