Dimensi - Dimensi Agama

16
Pendahuluan Dalam hal ini, kita akan mengkaji dimensi agama menurut pemeluknya atau menurut manusia tentang agamanya, atau agama menurut di luar diri agama itu sendiri. Supaya lebih mengkerucut, maka pembahasan ini akan difokuskan pada dimensi agama menurut Ninian Smart dan penjabaran singkatnya. Studi agama pada intinya adalah belajar atau mempelajari, memahami, dan mendalami gejala-gejala agama, baik gejala keragaan maupun kejiwaan. Sebab, dalam realitasnya bagi kehidupan manusia, kehadiran agama adalah sebatas pada gejala-gejala agama dan keagamaannya itu, yang dari gejala agama serta fenomena keagamaan itulah manusia mengekspresikan religiusitasnya sehingga ia kemudian disebut “beragama”. Hal ini mengharuskan adanya unsur penelitian atas aspek-aspek suatu agama secara mendalam, terutama yang terkait dengan simbolitas keagamaan. Dalam bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang digunakan orang untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Sebab, agama sebagai refleksi tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, tetapi juga terwujud dalam tindakan kolektivitas dan bangunan peribadahan. Perwujudan tersebut sebagai bentu dari keberagamaan, sehingga agama diuraikan menjadi beberapa dimensi religiositas, yaitu : 1. Emosi Keagamaan, ialah aspek agama yang paling mendasar, yang ada dalam lubuk hati manusia, yang menyebabkan manusia beragama menjadi religious atau tidak religious.

description

agama islam

Transcript of Dimensi - Dimensi Agama

Page 1: Dimensi - Dimensi Agama

Pendahuluan

Dalam hal ini, kita akan mengkaji dimensi agama menurut pemeluknya atau menurut

manusia tentang agamanya, atau agama menurut di luar diri agama itu sendiri. Supaya lebih

mengkerucut, maka pembahasan ini akan difokuskan pada dimensi agama menurut Ninian Smart

dan penjabaran singkatnya.

Studi agama pada intinya adalah belajar atau mempelajari, memahami, dan mendalami

gejala-gejala agama, baik gejala keragaan maupun kejiwaan. Sebab, dalam realitasnya bagi

kehidupan manusia, kehadiran agama adalah sebatas pada gejala-gejala agama dan

keagamaannya itu, yang dari gejala agama serta fenomena keagamaan itulah manusia

mengekspresikan religiusitasnya sehingga ia kemudian disebut “beragama”. Hal ini

mengharuskan adanya unsur penelitian atas aspek-aspek suatu agama secara mendalam, terutama

yang terkait dengan simbolitas keagamaan.

Dalam bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang digunakan orang

untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Sebab, agama sebagai refleksi tidak hanya terbatas

pada kepercayaan saja, tetapi juga terwujud dalam tindakan kolektivitas dan bangunan

peribadahan. Perwujudan tersebut sebagai bentu dari keberagamaan, sehingga agama diuraikan

menjadi beberapa dimensi religiositas, yaitu :

1. Emosi Keagamaan, ialah aspek agama yang paling mendasar, yang ada dalam lubuk hati

manusia, yang menyebabkan manusia beragama menjadi religious atau tidak religious.

2. System Kepercayaan, yang mengandung satu set keyakinan tentang adanya wujud dan sifat

Tuhan, tentang keberadaan alam gaib, makhluk halus, dan kehidupan abadi setelah kematian.

3. System Upacara Keagamaan yang dilakukan oleh para penganut system kepercayaan dengan

bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dan Tuhan, dewa atau makhluk halus.

4. Umat atau Kelompok Keagamaan, ialah kesatuan-kesatuan sosial yang menganut system

kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara keagamaan.

Page 2: Dimensi - Dimensi Agama

Dimensi – dimensi agama

Setiap agama, apapun nama agama itu, pasti mempunyai empat dimensi, Pertama,

dimensi spiritual. Kedua, dimensi ritual. Ketiga, dimensi sosial dan yang keempat, dimensi

kemanusian atau humanitas.

Berkenaan dengan masalah spiritual. Spiritualitas adalah hubungan antara individu

dengan Tuhan yang diyakininya. Spiritualitas itu juga sangat privasi, tidak boleh disentuh

oleh pihak lain, kecuali dengan kesadaran/ Tidak boleh disentuh dengan paksaan atau

ajakanajakan yang bersifat menipu. Spiritualitas merupakan hak hubungan individu dengan Yang

Maha Kuasa semata.

Sedangkan dimensi ritual biasanya mempunyai dua aspek. Pertama, aspek hubungan

antara individu dengan Yang Maha Kuasa, sekaligus (kedua) untuk membangun kepribadian

yang kondusif dengan prilaku budi luhur. Jadi ada aspek duniawinya dan ada aspek

ukhrawinya.

Sedangkan pada dimensi sosial, seluruh agama mempunyai hal yang sama, tapi

mempunyai strategi dan formasi yang berbeda di dalam mendukung soal itu. Seluruh agama

akan mengharapkan masyarakat yang tentram, aman, makmur dan adil. Hanya bagaimana

startegi menuju kemakmuran ini berbeda, dan formasinya pun berbeda. Mungkin

Islamdengan zakat, sedekah dan lainnya, sementara agama lain dengan bentuk-bentuk yang

lain, tapi dalam esensi yang sama.

Maka sesungguhnya, antara spiritual dan ritual harus terbangun sebuah sosial yang

sehat dan sinergis. Hal tersebut seperti bangunan piramida. Kalau tidak terbnagun sebuah

1 Tulisan ini hasil transkip dari uraian presentasi Hasyim Muzadi di acara seminar international

“Islam and Universal Values: Islam’s Contribution to the Construction of a Pluralistic World”

yang diadakan oleh Kedutaan Swiss bekerjasama dengan International Center For Islam and

Pluralism (ICIP) serta pewakilan diplomat dari negara-negara anggota Organization

Internationale de la Francoponie di Jakarta, pada 18 Maret 2004. tatanan sosial yang sehat

sinergis, maka bearti piramida itu tebalik.. Khususnya untuk masalah-masalahyang menyangkut

kemanusiaan, hampir terdapat di seluruh agama-agama, misalnya mengenai masalah keadilan,

kejujuran, belas kasih, amanat dan sebagainya.

Maka ketika agama berbenturan dengan agama lain, pasti karena tatanan piramida itu

Page 3: Dimensi - Dimensi Agama

terbalik. Ini mungkin terjadi pada semua agama , baik Islam di daerah tertentu, Hindu yang di

Ayodhya, Kristen yang di Irlandia Utara, mungkin ini terjadi juga di Sudan Selatan atau di

agama-agama yang lain. Ketika agama itu terbalik piramidanya, maka seluruhnya akan

rusak. Maka merupakan kewajiban kita untuk menata empat dimensi ini sebaik-baiknya.

Islam di Indonesia mempunyai pengalaman yang cukup panjang didalam menata keempat

dimensi ini. Sehingga masyarakat Islam tidak pernah ada perang agama pada waktu yang

lalu. Perang yang bertema agama merupakan hal yang baru, tapi sesungguhnya beresebsi

politik, yakni perang kepentingan yang menggunakan tema agama pada 4-5 tahun

belakangan ini.

Indonesia mempunyai pengalaman sangat panjang, karena sebelum proses islamisasi

di Indonesia, terlebih dahulu ada Hindu dan Buddha. Proses rai Hindu ke Buddha ke Islam

tidak melalui perang, tetapi melalui akulturasi budaya. Karena akulturasi budaya, maka

jadilah 90 % orang beragama Islam, tanpa ada sejarah perang antar agama di dalamnya. Ini

mernunjukkan bahwa akulturasi budaya adalah baik.

Saya mengambil contoh satu kerajaan yang ada di Demak, Ketika itu yang

memimpin eksukutifnya adalah Raden Patah, legislatifnya Sunan Kudus Karena di daerah

itu banyak orang Hindu, dilarang orang Islam menyembelih sapi pada waktu kurban, lebih

dianjurkan untuk menyembelih sapi atau kerbau. Ini untuk menghindari rasa sakit hati, karena

sapi ini mempunyai kedudukan tertentu pada orang Hindu.

Proses akulturasi ini begitu bagus, sehingga hampir disebut Indonesia itu adalah

(1)sebuah negeri muslim terbesar di dunia yang bersifat kultural, dan

(2) bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia tidak menghendaki formalisme pada tingkat

nation state, tetapi menhendaki pelaksanaan agama pada tingkat kemasyarakatan (civil society).

Oleh karenanya, ketika umat muslim mencapai 90%, sekarang 87%, umat muslim tersebut tidak

serta merta menyatakan Islam secara formal, tetapi mereka cukup menyatakan diri sebagai

neagra Pancasila yang berundang-undang dasar 45.

Hal ini karena dari proses akulturasi Indonesia tersebut mengakibatkan pada

kesadaran umat Islam Indonesia yang lebih menyukai nilai daripada legal formal. Misalnya

bila kita membuat rencana undang-undang nati korupsi, UU tersebut cukup isinya saja yang

cocok dengan Islam, tidak perlu disebut Undang-Undang Islam Anti Korupsi. Sehingga

dengan demikian, masing-masing orang bisa menjalankan agamanya masing-masing.

Page 4: Dimensi - Dimensi Agama

Sementara negara, terutama pada kontribusi dan hukum, dia harus memayungi seluruh

pluralismr yang ada. Itu dilakukan oleh masyarakat Islam di Indonesia sekarang.

Hal tersebut sudah berjalan beratus-ratus tahun. Tetapi dengan mendadak, mulai tahun

1994 sampai 2003, terjadi pertikaian-pertikaian yang menggunakan isu agama. Oleh

karenanya, Nahdlatul Ulama (NU) bersama-sama dengan organisasi agama lain –

Muhammadiyah, Kristen Katolik, Hindu, Protestan – datang ke Bali dan Maluku. Ternyata

kita melihat tidak ada konflik agama, yang ada adalah konflik kepentingan dan menggunakan

umat beragama sebagai umpan isu-isu itu.

Dengan demikian, kita semakin erat dalam hubungan lintas agama di Indonesia, dan

hal ini kita beritahukan pada tingkat global. Pada tingkat global pun kita juga melihat sangat

sedikit konflik yang murni atas nama agama. Yang banyak terjadi adalah konflik

ketifakadilan yang terdapat pada sebuah komunitas tersebut, tentu dengan menggunakan

bendera-bendera agama.

Dalam konteks Indonesia sendiri, kita melihat sebetulnya Belanda tidak menyerang

agama, tetapi menjajah Indonesia. Tetapi perlawanan terhadap penjajahan oleh setiap umat

beragama selalu dikumandangankan dengan ayat-ayat agamanya. Jadi di sini konflik

sebenarnya bukan konflik agama, tapi ketidakadilan yang ada dimana-mana. Oleh karenanya,

maka di dalam konferensi internasional para alim ulama, rektor serta cendekiawan muslim

sedunia, yang baru kita selenggarakan, kita mengambil satu tema bahwa agama harus

dikembalikan kepada agama sebagai potensi perdamaian dan persatuan, bukan sebagai

potensi konflik. Dunia harus memahami bahwa ketidakadilan yang ada di banyak negara

menciptakan kerawanan-kerawanan yang kadang-kadang digeserkan menjadi isu-isu agama.

Dari Timur kita harapkan untuk mengembalikan agama sebagai agama, sementara dari Barat

kita harapkan agar tidak menutup mata terhadap ketidakadilan yang ada di mana-mana.

Dimensi agama menurut Ninian smart

Ninian Smart dalam menganalisis dimensi agama, ia menggunakan analisis pandangan-

dunia untuk menggali dimensi-dimensi agama, yang dipandang sebagai suatu pandangan-dunia.

Page 5: Dimensi - Dimensi Agama

Ninian Smart dalam karyanya The Religious Experience Of Mankind (1967) menyebutkan,

bahwa dimensi agama terdapat tujuh bagian, yaitu

1) dimensi praktis atau ritual,

2) naratif atau mistis (Narrative and Mythic),

3) pengalaman dan emosional (Experiential and emotional),

4) dimensi sosial atau organisasional/institusional (Social and Institutional),

5) etis atau legal (Ethical and legal),

6) doktrinal atau filosofis (Doctrinal and philosophical),

7) dan material/bahan.

Dimensi pertama adalah dimensi praktis-ritual yang sebagaimana tampak dalam upacara

suci, perayaan hari besar, pantang dan puasa untuk pertobatan, doa, kebaktian, dan sebagainya

yang berkenaan dengan ritualiatas agama.

Dimensi emosional-eksperiensial menunjuk pada perasaan dan pengalaman para

penganut agama, dan tentunya bervariasi. Peristiwa-peristiwa khusus, gaib, luar biasa yang

dialami para penganut menimbulkan berbagai macam perasaan dari kesedihan dan kegembiraan,

kekaguman dan sujud, ataupun ketakutan yang membawa pada pertobatan. Topik yang penting

dalam dimensi pengalaman keagamaan antara lain yang disebut mistik, di mana si pemeluk

merasakan kesatuan erat dengan ilahi.

Dimensi naratif atau mistik menyajikan kisah atau cerita-cerita suci, untuk direnungkan,

dicontoh, karena di situ ditampilkan tokoh-tokoh suci, pahlawan ataupun kejadian-kejadian yang

penting dalam pembentukan agama yang bersangkutan.

Dimensi filosofis-doktrinal adalah dimensi agama yang menyajikan pemikiran rasional,

argumentasi, dan penalaran terutama menyangkut ajaran-ajaran agama, pendasaran hidup, dan

pengertian dari konsep-konsep yang dianut oleh agama itu. Dimensi legal-etis menyangkut tata

tertib hidup dalam agama itu, pengaturan bersama, dengan norma-norma dan pengaturan, tidak

jarang disertai pula dengan system penghukuman kalau terjadi pelanggaran.

Dimensi sosial-institusional mengatur kehidupan bersama menyangkut kepemerintahan

keorganisasian, pemilihan dan penahbisan pemimpin, kejemaatan, dan penggembalaan. Akhirnya

dimensi material menyangkut barang-barang, alat-alat yang digunakan untuk pemujaan atau

untuk pelaksanaan kehidupan agama itu. Termasuk di sini bangunan-bangunan, tempat-tempat

ibadah.

Page 6: Dimensi - Dimensi Agama

Ketujuh dimensi ini dapat diamati dan diteliti dalam perspektif pengalaman keagamaan. Akan

tetapi, dalam rangka perubahan budaya dewasa ini, di mana persaingan nilai-nilai dalam

masyarakat begitu gencar, maka dimensi filosofis-doktriner yang beraturan dengan fungsi

apologetic (penjelasan) kiranya merupakan dimensi yang paling penting perannya. Posisi agama

dewasa ini berbeda dalam dua hal dari agama-agama primitif menyangkut kepentingan dimensi

filosofis-doktriner. Pertama, agama primitif lebih bersifat pragmatis, sekedar diperlukan untuk

menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari yang konkret “hic et nunc”, sementara agama

dewasa ini lebih ekspansif ke masa depan karena menyangkut prospek dan proyek ke kemajuan

sosial dan ke masa lampau (wahyu) untuk merenungkan asal usulnya agar tidak bergeser dari

keasliannya. Bagi agama primitif, barangkali dimensi legal-etis lebih banyak diperlukan untuk

pedoman kehidupan. Oleh karenanya, wajar kiranya kalau kita berkesan agama primitif lebih

banyak tabu, larangan, dan perintah.

Perbedaan agama primitif dan agama kekinian (dewasa ini) tidak serta merta

menyudutkan agama primitive itu sendiri. Pada saat ini agama kekinian (dewasa ini) menghadapi

kemajemukan nilai-nilai dalam masyarakat. Artinya, meskipun dimensi legal-etis tetap relevan,

akan tetapi perintah dan larangan itu tidak dikemukakan begitu saja. Melainkan disertai dengan

penjelasan nilai-nilai lain yang ditawarkan masyarakat majemuk. Dalam arti inilah agama perlu

mengembangkan teologi dan teodicea yang memadai. Bidang-bidang ini kiranya merupakan

bagian dari dimensi filosofis-doktiner yang perlu untuk mendukung eksistensi agama.

Seorang fenomenolog dan filosof keagamaan tersebut, Ninian Smart, mengidentifikasikan tujuh

dimensi agama sebagai manifestasi agama, dari tataran normatif menjadi historis, yang kemudian

memungkinkannya untuk melakukan semua jenis pendekatan pada studi agama, dan juga dalam

cara meraih kebenaran dalam berbagai macam agama yang ada.

Dimensi agama menurut Sartono Kartodirjo

Sartono Kartodirjo, seorang peneliti studi agama di Indonesia, yaitu pembahasannya tentang

dimensi-dimensi religiositas. Kartodirjo menyebutkan, bahwa dimensi religiositas sebagai

berikut:

Page 7: Dimensi - Dimensi Agama

1. Dimensi pengalaman keagamaan mencakup semua perasaan, persepsi, dan sensasi yang

dialami ketika berkomunikasi dengan realitas supernatural.

2. Dimensi ideology mencakup satu set kepercayaan terhadap makhluk gaib dan

kehidupan setelah kematian.

3. Dimensi ritual mencakup semua aktivitas, seperti upacara keagamaan, berdoa, dan

berpartisipasi dalam berbagai kewajiban agama.

4. Dimensi intelektual ialah berhubungan dengan pengetahuan tentang agama.

Pengetahuan agama didapatkan melalui proses belajar dari pemimpin agama atau berupa

ilham langsung dari Tuhan yang dipercayai sebagai wahyu.

5. Dimensi consequensial ialah mencakup semua efek dari kepercayaan, praktek, dan

pengetahuan dari orang yang menjalankan agama. Dengan perkataan lain, semua

perbuatan dan sikap sebagai konsekuensi beragama.

Dimensi agama secara kajian agama

Dalam bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang digunakan orang

untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Sebab, agama sebagai refleksi tidak hanya terbatas

pada kepercayaan saja, tetapi juga terwujud dalam tindakan kolektivitas dan bangunan

peribadahan. Perwujudan tersebut sebagai bentu dari keberagamaan, sehingga agama diuraikan

menjadi beberapa dimensi religiositas, yaitu :

1. Emosi Keagamaan, ialah aspek agama yang paling mendasar, yang ada dalam lubuk hati

manusia, yang menyebabkan manusia beragama menjadi religious atau tidak religious.

2. System Kepercayaan, yang mengandung satu set keyakinan tentang adanya wujud dan sifat

Tuhan, tentang keberadaan alam gaib, makhluk halus, dan kehidupan abadi setelah kematian.

3. System Upacara Keagamaan yang dilakukan oleh para penganut system kepercayaan dengan

bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dan Tuhan, dewa atau makhluk halus.

4. Umat atau Kelompok Keagamaan, ialah kesatuan-kesatuan sosial yang menganut system

kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara keagamaan.

Page 8: Dimensi - Dimensi Agama

Dimensi agama menurut keprcayaan Kristen

Stark dan Glock berpendapat bahwa spiritualitas tidak lain adalah suatu komitmen religius, suatu

tekad dan itikad yang berkaitan dengan hidup keagamaan. Dalam hal ini Stark dan Glock

mempunyai pendapat yang merangkum baik pendapat Eka maupun Ioanes Rakhmat. Dalam

uraiannya itu Stark dan Glock menyebutkan adanya 5 dimensi dari komitmen religious dalam

kristen, yaitu:

1. Dimensi kepercayaan (belief), yaitu keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran

imannya. Tak pelak lagi, ini merupakan unsur yang amat penting dalam kekristenan,

bahkan juga di agama-agama lain. Tanpa keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok

ajaran iman, tentu seseorang tidak akan menjadi bagian dari komunitas orang beriman

tersebut, misalnya bila seseorang tidak percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat

manusia, maka tidak mungkin ia menjadi seorang anggota gereja.

2. Dimensi praktis, terdiri dari dua aspek yaitu ritual dan devosional. Ritual diuraikan

sebagai suatu ibadah yang formal, seperti menghadiri kebaktian Minggu, menerima

sakramen, melangsungkan pernikahan di gereja. Secara asasi ritual adalah bentuk

pengulangan sebuah pengalaman agama yang pernah terjadi pada masa awal

pembentukan agama itu sendiri. Sedangkan yang dimaksudkan dengan devotional adalah

ibadah yang dilakukan secara pribadi dan informal, seperti misalnya berdoa, berpuasa,

membaca Alkitab.

3. Dimensi pengalaman (experience), yaitu pengalaman berjumpa secara langsung dan

subyektif dengan Allah. Atau dengan kata lain, mengalami kehadiran dan karya Allah

dalam kehidupannya. Pengalaman keagamaan ini (religious experience) bisa menjadi

awal dari keimanan seseorang, tetapi juga bisa terjadi setelah seseorang mengimani suatu

agama tertentu. Entahkah pengalaman itu berada di awal ataupun di tengah-tengah,

pengalaman ini berfungsi untuk semakin meneguhkan iman percaya seseorang.

4. Dimensi pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan tentang elemen-elemen pokok

dalam iman keyakinannya, atau yang sering kita kenal dengan dogma, doktrin atau ajaran

gereja. Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan dimensi pertama (kepercayaan).

Seseorang akan terbantu untuk menjadi semakin yakin dan percaya apabila ia mengetahui

apa yang dipercayainya.

Page 9: Dimensi - Dimensi Agama

5. Dimensi etis, di mana umat mewujudkan tindakan imannya (act of faith) dalam

kehidupan sehari-harinya. Dimensi etis ini mencakup perilaku, tutur kata, sikap dan

orientasi hidupnya. Dan hal ini tentu saja dilandasi pada pengenalan atau pengetahuan

tentang ajaran agamanya dan percaya bahwa apa yang diajarkan oleh agamanya adalah

benar adanya.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian sekilas tentang dimensi agama tersebut, tampak bahwa semua

agama, memiliki dua aspek penting, yaitu aspek normatif dan aspek historis. Barangkali dalam

bahasa Mercia Eliade, adalah yang sakral dan yang profan. untuk mempertemukan dua hal yang

saling bertolak belakang itu diperlukan suatu penghubung, yang kemudian bisa disebut realitas

tengah.

Setiap agama, apapun nama agama itu, pasti mempunyai empat dimensi,

Pertama, dimensi spiritual.

Kedua, dimensi ritual.

Ketiga, dimensi sosial

keempat, dimensi kemanusian atau humanitas.

Studi agama pada intinya adalah belajar atau mempelajari, memahami, dan mendalami gejala-

gejala agama, baik gejala keragaan maupun kejiwaan. Sebab, dalam realitasnya bagi kehidupan

manusia, kehadiran agama adalah sebatas pada gejala-gejala agama dan keagamaannya itu,

yang dari gejala agama serta fenomena keagamaan itulah manusia mengekspresikan

religiusitasnya sehingga ia kemudian disebut “beragama”.

Spiritualitas adalah hubungan antara individu dengan Tuhan yang diyakininya.

Spiritualitas itu juga sangat privasi, tidak boleh disentuh

oleh pihak lain, kecuali dengan kesadaran/ Tidak boleh disentuh dengan paksaan atau

ajakanajakan yang bersifat menipu. Spiritualitas merupakan hak hubungan individu dengan

Yang Maha Kuasa semata.