Dilema Etika dan “Simbolisme” Kode Etik Akuntan Manajemen … · 2015. 5. 11. · berbagai...
Transcript of Dilema Etika dan “Simbolisme” Kode Etik Akuntan Manajemen … · 2015. 5. 11. · berbagai...
1782
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
Dilema Etika dan “SIMBOLISME” Kode Etik Akuntan Manajemen
Perspektif Kualitatif – Fenomenologis
(Studi pada sebuah BUMN di Indonesia)
Erlina Diamastuti
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
ABSTRACT
The purpose of this study is to describe and interpret the ethical practice of management
accountants in an BUMN in Indonesia.
This study uses qualitative-phenomenological approach to look at the social reality of
the object of study. Qualitative-phenomenological approach aims to understand the
phenomenon of what is experienced by research subjects, for example, behavior, perception,
action and so the whole depicted in the form of words and language in the context of natural.
The results obtained in this study is the first, reconstruction of reality created by
management accountants to prove that the financial statements and accounting systems have
ethical consequences contained therein. Secondly, ethical practices that occur in the activity
accountant management accountant in the state is less understood by management accountants.
This is due mandulnya its code of ethics. Although there is no code of ethics of a company that
specialized in shaded the accountant in the state, but they have their own code of conduct. The
codes are only showing the rights and obligations without any concrete manifestation of the
practice of those rights and obligations. That is, there is no ethical character that represents a
true picture of those rights and obligations. As a result, some management accountants who
work in BUMN perform denial of the existing code of ethics.
The findings of this study indicate that the presence of a code of conduct for them not
only normative reflective so that researchers interpret that ethical practices are carried out is
merely symbolism. The findings stated that the existence of a code of ethics in a company is
not color management accountants to behave ethically. Code of conduct also not been able to
guide the employee or the company to behave ethically, as expected by its stakeholders. That
is, many companies treat the symbolism of the ethical code of conduct as a company.
Keywords: ethics, management accountants, ethical dilemma, ethical codes
PENDAHULUAN
Tema tentang etika dalam profesi akuntan tidak pernah habis. Tema ini memiliki
pemahaman yang sangat penting dan mendalam. Sorotan masyarakat terhadap profesi akuntan
sangatlah besar sebagai dampak dari beberapa skandal yang terjadi baik di Indonesia maupun
di negara lain seperti kasus Enron (2001), WorldCom dan Global Crossing di Amerika, Bank
Lippo, PT. Kimia Farma dan kasus pajak PT. Bumi Resources (2010) di Indonesia. Dari
berbagai skandal yang berkaitan dengan etika tersebut, skandal Enron menjadi sorotan yang
memengaruhi berkembangnya berbagai penelitian mengenai arti penting etika terhadap profesi
akuntan. Sedangkan untuk kasus di Indonesia, skandal akuntan pada bank Lippo sebagai salah
satu contoh pelanggaran yang dilakukan manajemen Lippo yang dikerjakan oleh akuntan
manajemen. Pelanggaran tersebut dilakukan dengan cara membuat laporan keuangan ganda,
manipulasi saham di pasar modal dan pelanggaran peraturan perbankan. Akibat skandal bank
1783
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
Lippo ini negara mengalami kerugian sebesar Rp. 5,4 triliun yang sangat berdampak pada
masyarakat. Menurut Suratman (1998: 40):
“skandal akuntansi yang ada dalam perusahaan sebenarnya diketahui oleh pihak
akuntan manajemen perusahaan, tapi karena mereka mempunyai tanggung jawab
kepada pihak top manajemen perusahaan maka mereka tidak bisa berbuat apa-apa”.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa akuntan manajemen sering mengalami
sebuah dilema etika. Dilema etika yang dialami akuntan manajemen menyebabkan sebuah
skandal akuntan. Akibatnya semakin rendah kepercayaan publik terhadap laporan keuangan.
Skandal tersebut membuat banyak kalangan bertanya, apakah laporan keuangan masih bisa
dipercaya? Apakah akuntan manajemen sebagai penyedia laporan keuangan juga masih bisa
dipercaya?. Dua pertanyaan ini tentunya akan saling terkait jika kita melihat keberadaan
laporan keuangan tidak akan terbit tanpa adanya peran akuntan manajemen. Keadaan ini
tentunya menyebabkan krisis kepercayaan pada masyarakat.
Kemampuan akuntan manajemen untuk membuat keputusan berdasarkan laporan
keuangan yang diambil ketika menghadapi situasi dilema akan sangat bergantung kepada
berbagai hal karena keputusan yang diambil oleh akuntan manajemen juga akan berpengaruh
pada organisasi di mana dia berada (Arnold dan Ponemon, 1991). Dalam berbagai peristiwa
yang ada, tampak bahwa laporan keuangan yang andal menjadi sangat penting. Namun dalam
praktiknya, manipulasi laporan keuangan yang dilakukan akuntan manajemen sering terjadi
dalam dunia bisnis pada saat ini. Tekanan organisasional-profesional adalah salah satu alasan
yang muncul pada saat kondisi ini terjadi. Adanya tekanan ini memang sering menyebabkan
akuntan tidak independen dalam menjalankan profesinya. Akibatnya, situasi ini merujuk pada
satu pilihan yaitu perilaku menyimpang dan tindakan tidak etis.
Potensi konflik organisasional-profesional mengenai perilaku etis telah dikembangkan
dalam literatur akuntansi. Namun, mayoritas permasalahan ini lebih berfokus pada karyawan
kantor akuntan publik maupun akuntan publiknya bukan akuntan manajemen. Perilaku etis
akuntan publik menjadi tonggak dalam penciptaan nilai-nilai moral yang diharapkan oleh setiap
organisasi tidak akan menimbulkan konflik dalam implementasinya, tetapi pada kenyataannya
realitas bisnis jarang menengok adanya kemungkinan konflik organisasi-profesional lebih besar
yang dialami oleh akuntan manajemen. Sumber konflik yang terjadi antara organisasi-
profesional pada umumnya adalah tekanan pihak manajemen perusahaan untuk melakukan
perilaku tidak etis, seperti manipulasi hasil laporan keuangan.
Arranya dan Ferris (1984) menemukan bahwa akuntan manajemen sesungguhnya
mengalami level konflik organisasional-profesional lebih tinggi dibandingkan mereka yang
bekerja dalam kantor akuntan publik. Temuan ini menunjukkan bahwa akuntan manajemen
seringkali merasakan perbedaan antara nilai organisasional dengan profesional, sehingga
tekanan untuk melakukan perilaku tidak etis tampaknya menjadi satu sumber konflik. Hal
senada juga diungkapkan oleh Weaver (1995) dalam studinya yang menemukan bahwa perilaku
tidak etis yang dilakukan oleh akuntan manajemen ini sering terjadi karena pemilik sebagai
pemegang saham berkepentingan terhadap keuntungan akibatnya tindakan tidak etis dapat
dilakukan salah satu contohnya manipulasi data.
Hasil penelitian dari Arranya dan Ferris (1984) dan Weaver (1995) menperlihatkan
kepada peneliti bahwa perilaku etis sangat dibutuhkan akuntan manajemen dalam menjalankan
profesinya. Untuk membingkai perilaku tersebut beberapa pengamat dan peneliti merasa perlu
1784
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
untuk menerbitkan sebuah kode etik (Steven,1994). Pernyataan ini juga berdasarkan pendapat
dari Kjonstad & Willmott (1995) yang mengatakan bahwa kode etik mempunyai efek positif
terhadap perilaku.
1.1. Pertanyaan Penelitian
Berkaitan dengan uraian di atas maka peneliti melakukan sebuah penelitian dengan
pendekatan kualitatif-fenomenologis untuk mendeskripsikan dan memaknai praktik etika yang
dilakukan oleh akuntan manajemen pada sebuah BUMN di Indonesia. Akuntan manajemen
sebagai informan diharapkan dapat memberikan gambaran sesungguhnya mengenai
implementasi kode etik yang dijalankan oleh akuntan manajemen tersebut. Untuk itu,
pertanyaan penelitian yang timbul dari uraian di atas adalah bagaimana praktik etika dan
implementasi kode etik akuntan manajemen pada salah satu BUMN di Indonesia
1.2. Motivasi dan Tujuan Penelitian
Motivasi dan tujuan penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa 1) Penelitian
dengan pendekatan kualitatif-fenomenologis mengenai praktik etika dan kode etik akuntan
manajemen di Indonesia belum banyak dilakukan. 2) Gap antara perilaku akuntan manajemen
dengan praktik etika akuntan manajemen masih sering timbul pada saat akuntan menjalankan
profesinya
PENJELAJAHAN DENGAN PENDEKATAN KUALITATIF-FENOMENOLOGIS
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-fenomenologis dengan alasan
melalui pendekatan ini peneliti lebih mudah mendekati informan. Teori kualitatif-
fenomenologis melihat aspek manusia pada prinsipnya berkaitan erat dengan beberapa
indikator termasuk: a) apa yang menjadi perilaku, b) apa yang dikatakan dan c) apa yang
diperbuat oleh seseorang atau sekelompok. Tugas seorang peneliti dalam menggunakan teori
fenomenologis adalah menangkap gejala tersebut dari sumbernya secara alami,
mengadministrasi gejala dan kemudian mengumpulkan untuk merefleksikannya kembali atas
dasar pandangan seseorang atau kelompok masyarakat tersebut, dan langkah berikutnya adalah
menjadikannya sebagai acuan dalam melaporkan hasil penelitian.
Informan penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai
pelaku maupun orang lain yang memahami rumusan masalah penelitian. Dalam studi ini,
peneliti menentukan informan yang digunakan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan
peneliti adalah tingkat kepala departemen sampai dengan kepala seksi pada departemen
akuntansi, keuangan dan satuan pengawas internal (SPI) pada sebuah BUMN di Indonesia yang
mempunyai gelar kesarjanaan berasal dari fakultas ekonomi jurusan akuntansi.
Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, penelitian ini menggunakan key person
dalam mendekati informan penelitian. Alasannya, peneliti sudah memahami informasi awal
sehingga peneliti dapat langsung mengadakan wawancara dengan Kepala Bagian/Biro
akuntansi sebagai key person dalam penelitian ini. Sedangkan, dalam penyebutan nama
informan, penulis menggunakan pseudonym, yang berarti penulis tidak akan menggunakan
nama asli informan, melainkan nama samaran atau inisial. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga
kerahasiaan identitas informan. Selain untuk menjaga kerahasiaan, penggunaan nama samaran
juga dilakukan sebagai strategi agar informan tidak keberatan atau memberi informasi yang
tidak sesuai selama penelitian berlangsung. Teknik analisis data yang digunakan dalam
1785
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
penelitian ini adalah analisis data kualitatif, mengikuti konsep yang diberikan Miles &
Huberman, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing / verification.
AKUNTAN MANAJEMEN DAN DILEMA ETIKA
3.1. Etika
Dalam penelitian ini, etika dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari segala
kebaikan dalam hidup manusia semuanya, mengenai gerakan pikiran dan rasa yang merupakan
pertimbangan perasaan sampai dengan mengenai tujuan yang diaplikasikan dalam perbuatan.
Bertens (2000) melihat etika sebagai praksis yang mempunyai arti nilai-nilai dan norma moral
yang dipraktekkan atau tidak dipraktekkan walaupun seharusnya dipraktekkan.
3.2. Peran Akuntan Manajemen
Akuntan manajemen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah akuntan yang bekerja
pada departemen/bagian akuntansi pada suatu organisasi atau perusahaan (Agoes dan Ardana,
2009). Tugas pokok yang diemban akuntan manajemen adalah melakukan proses pencatatan
transaksi keuangan, memelihara catatan atas semua transaksi perusahaan serta membuat
laporan akuntansi secara periodik untuk disampaikan kepada manajemen organisasi.
Andayani (2002) menyatakan bahwa peran akuntan manajemen saat ini mengalami
pergeseran dan ternyata tidak dibarengi dengan kemampuan akuntan manejemen sebagai
pelaku bisnis untuk bertanggungjawab dengan tugas yang diembannya, sehingga akuntan
manajemen harus melakukan suatu perubahan dan perbaikan kualitas dirinya. Hal ini
merupakan tantangan bagi akuntan manajemen dan harapan baru bagi perkembangan akuntansi
manajemen yang bebas dari tekanan yang menyebabkan dilema etika
Machfoedz (2004) menyatakan tantangan pertama yang dihadapi akuntan manajemen
adalah tantangan globalisasi yang menyebabkan informasi akuntansi manajemen menjadi
semakin rumit dan kompleks. Tantangan kedua adalah meningkatnya skandal korporasi yang
sering terjadi dalam praktik. Banyak sekali contoh skandal korporasi yang melibatkan akuntan
manajemen. Akibatnya akuntan manajemen tidak dapat merancang informasi akuntansi
manajemen secara tepat dan akurat. Hal ini juga menyebabkan laporan akuntansi manajemen
di masa yang akan datang harus dapat mengakomodasi bidang lainnya seperti psikologi,
sosiologi, politik dan lain-lain. Tantangan-tantangan yang sudah diuraikan di atas adalah dilema
yang sering dialami para akuntan manajemen, sehingga sangat memengaruhi akuntan
manajemen dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada keputusan etis.
3.3. Dilema Etika Akuntan Manajemen
Peran yang diemban oleh akuntan manajemen memang sangat strategis. Namun, peran
tersebut sering digunakan akuntan manajemen untuk melakukan tindakan tidak etis. Dalam
kondisi ini sangat memungkinkan terbukanya suatu peluang untuk melakukan hal-hal yang
tidak memenuhi persyaratan legal dan etika. Akibatnya, banyak sekali skandal akuntansi yang
dilakukan oleh akuntan manajemen. Suratman (1998: 40) menyatakan:
Skandal akuntansi yang ada dalam perusahaan sebenarnya diketahui oleh pihak akuntan
manajemen perusahaan, tetapi karena mereka mempunyai tanggungjawab kepada
pihak top manajemen perusahaan maka mereka tidak bisa berbuat apa-apa
1786
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
Hal ini dapat kita lihat dari akibat yang ditimbulkan pada beberapa perusahaan yang
mengalami skandal seperti Enron, Worldcom dll. Akibat gagalnya laporan keuangan
menggambarkan kondisi perusahaan yang sesungguhnya akan mengakibatkan hancurnya harga
saham 25 perusahaan besar (75%) di dunia selama tahun 1999 sampai dengan 2002.Hal ini
mengakibatkan kerugian kurang lebih 23 milyar US dollar (Fortune,2 September 2002).
Diskripsi kejadian di atas menunjukkan bahwa keputusan etis yang diambil
berdasarkan keakuratan laporan keuangan seakan musnah karena kegagalan penyusunan
laporan keuangan. Kejadian ini mengakibatkan para pemilik modal mulai hengkang dan tidak
mau berinvestasi lagi. Akibatnya, kelangkaan modal terjadi dan berakibat menurunnya
produktifitas ekonomi dan merosotnya kepercayaan masyarakat
Merosotnya kepercayaan masyarakat yang telah digambarkan oleh peneliti di atas
adalah salah satu penyebab dilema etika yang dialami akuntan manajemen. Situasi dilema
menurut Gunz et al. (2002) adalah situasi yang timbul sebagai alternatif pilihan etis yang sulit
dan harus diambil oleh seorang profesional. Artinya, dilema etika adalah situasi yang dihadapi
oleh seseorang di mana ia harus mengambil keputusan tentang perilaku yang tepat. Sedangkan,
jika kita melihat dari kondisi dan posisi akuntan manajemen di dalam perusahaan, maka dilema
etika adalah sebuah keadaan yang tidak dapat dihindari oleh akuntan manajemen. Sementara
itu, Belkaoui (1989) dalam tulisannya yang berjudul The Coming Crisis in Accounting
menyebutkan salah satu penyebab munculnya dilema etika adalah banyak tindakan kecurangan
maupun fraud dilakukan manajemen perusahaan yang melibatkan akuntan. Hal ini terjadi
karena secara kontraktual akuntan manajemen mempunyai tanggung jawab profesi kepada
manajemen dan pemegang saham. Untuk itu, pada tahapan pelaksanaan, pihak manajemen atau
pemegang saham akan membuat berbagai aturan agar terjadi suatu keselarasan dalam mencapai
tujuan bersama.
MENGGALI INFORMASI DALAM SEBUAH REALITAS
4.1. Aktivitas Profesi Akuntan Manajemen
Peran akuntan manajemen memang sangat strategis, tapi peran tersebut sering
digunakan untuk melakukan tindakan yang tidak etis. Dalam kondisi ini sangat mungkin
terbukanya peluang untuk melakukan hal-hal yang tidak memenuhi persyaratan legal dan etika.
Akibatnya, banyak skandal akuntansi yang dilakukan oleh akuntan manajemen.
Hampir setiap skandal yang terjadi merupakan akumulasi dari kegagalan bisnis,
kegagalan manajerial dan kegagalan pelaporan. Ketidakakuratan dalam penyajian laporan
keuangan dan tidak tepatnya penyajian laporan keuangan mengakibatkan adanya penundaan
dalam pengambilan keputusan yang penting. Berikut Informasinya:
“saya sangat sepakat apabila informasi akuntansi relevan dengan pengambilan
keputusan pada perusahaan ini. Tanpa adanya informasi tersebut maka laporan
keuangan tidak mungkin terbit dan pihak manajemen tidak dapat memutuskan sesuatu
yang tepat. Sepertinya hal ini juga berakibat pada produktifitas perusahaan”
(pernyataan AZ sebagai kepala divisi keuangan BUMN).
1787
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
Pernyataan ini dilanjutkan oleh Bapak HS:
“Walaupun sudah tersistem, proses penyajian laporan keuangan pada BUMN
membutuhkan energi yang tidak sedikit. Banyak hal-hal yang harus kita putuskan
supaya laporan keuangan tersebut mencerminkan keadaan yang sesungguhnya dari
perusahaan ini. Namun, tak jarang juga saya harus mengambil keputusan tanpa harus
mempertimbangkan informasi akuntansi yang telah dibuat. Hal ini dapat dilakukan
apabila ada keadaan mendesak dan pihak manajemen membutuhkan keputusan ini
untuk mengambil keputusan yang lebih besar”.
Pernyataan kedua informan menunjukkan bahwa informasi akuntansi sangat
dibutuhkan dalam sebuah keputusan yang besar, namun dalam praktiknya beberapa keputusan
tidak harus didasarkan pada informasi akuntansi dan ternyata keputusan tersebut
mengakibatkan sebuah dilema. Salah satu dilema lagi yang sering dialami oleh akuntan
manajemen di BUMN adalah ketepatan waktu dalam penyajian laporan keuangan yang
menyebabkan mereka merasa di bawah tekanan. Seperti kita ketahui, kegiatan perusahaan
berjalan terus dari satu periode ke periode yang lain dengan volume dan laba yang berbeda.
Laporan keuangan ini harus dibuat tepat waktu, agar berguna bagi berbagai pihak.
“satu hal yang membuat kami stress adalah saat harus melaporkan laporan keuangan
konsolidasi. Kalo anak usaha ngak cepat melaporkan kepada kita, kami kelabakan”
(Pernyataan Bapak HA).
Ungkapan Pak HA di atas menunjukkan bahwa proses penyusunan laporan keuangan
membutuhkan kecermatan, kerjasama, kejujuran dan akuntabilitas. Satu hal yang tidak dapat
dihindari dalam proses penyusunan laporan keuangan ini adalah perilaku etis dari si penyusun
dalam menjalankan aktivitas profesinya.
4.2. Dilema Etika Sang Akuntan Manajemen BUMN
Pada proses penyusunan dan penyajian laporan keuangan di BUMN banyak pihak
berperan dan berkepentingan terhadap laporan keuangan. Banyaknya pihak berkepentingan
terhadap laporan keuangan seringkali menyebabkan akuntan manajemen sebagai penyedia
informasi tersebut merasa berada di bawah tekanan.
Tekanan akan selalu menciptakan konflik dan ketegangan. Ketegangan dapat
menimbulkan rasa emosional (Goleman, 1998: 84). Seseorang yang diliputi rasa emosional
yang tinggi, tidak menutup kemungkinan akan melakukan tindakan atau keputusan di luar
batas-batas etis. Potret mengenai fenomena ini dapat kita lihat dari informasi Bapak RA dan
Bapak S selaku staf penyusunan laporan keuangan.
“kami di bagian akuntansi sangat merasakan pentingnya laporan keuangan untuk
membuat keputusan. Oleh karena itu, kami menyadari betul apabila pihak manajemen
sangat marah kalo laporan keuangannya belum bisa terbit sampai dengan tanggal yang
telah ditentukan. Momen-momen seperti ini, biasanya kami bagian penyusun laporan
keuangan menjadi stres dan merasa di bawah tekanan. Tapi kami sadar betul memang
itu adalah tugas kami dan tanggung jawab kami kepada manajemen BUMN”.
1788
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
“Pernah saya mengalami konflik internal dengan rekan sekerja, akibatnya pekerjaan
saya sedikit terganggu. Untung saja, apa yang terjadi tidak menganggu proses
penyusunan laporan keuangan yang harus diterbitkan setiap tanggal 5 tiap bulannya”.
Pernyataan dari kedua informan tersebut menunjukkan bahwa proses penyusunan dan
penyajian laporan keuangan di salah satu BUMN ini membutuhkan energi yang tidak sedikit.
Energi berupa tenaga dan pikiran dibutuhkan dalam proses penyusunan laporan keuangan ini
terkadang menimbulkan gesekan atau konflik di antara para akuntan manajemen atau antara
staf dengan pimpinan yang menimbulkan tekanan. Tekanan jika tidak dikelola dengan
profesional akan berdampak pada perilaku. Contoh, peristiwa yang terjadi pada Bapak RA jika
tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan rasa malas dan rasa enggan untuk menyelesaikan
tugas-tugasnya. Untuk itu, dibutuhkan sebuah profesionalisme yang tinggi dan kepribadian
yang tangguh dalam menjalankan aktivitas profesi ini.
Para akuntan manajemen di BUMN tidak memungkiri bahwa selama praktik
penyusunan dan penyajian laporan keuangan tidak pernah terhindar dari tekanan dan konflik
internal. Konflik internal ataupun tekanan yang terjadi dalam suatu organisasi adalah hal yang
pasti terjadi, karena organsasi merupakan kumpulan dari individu yang mempunyai karakter
berbeda-beda. Walaupun mereka menyadari bahwa konflik internal ataupun tekanan
organisasional cenderung menyebabkan dilema etika.
Dilema etika menurut Arens & Loebbecke (2000) adalah situasi di mana terjadi
pertentangan batin yang disebabkan ia mengerti bahwa keputusan yang diambilnya salah.
Lebih lanjut, Kieso et al. (2007) juga menyatakan bahwa konsentrasi perusahaan yang
ditujukan pada memaksimumkan bottom line akan menghadapi persaingan dan kinerja jangka
pendek telah menempatkan akuntan dalam lingkungan yang berisi konflik dan tekanan. Hal ini
dapat kita pahami karena akuntan manajemen adalah agen diberi amanah oleh principal untuk
menjalankan aktivitas penyusunan dan penyajian laporan keuangan. Dengan kondisi ini, praktik
pelaporan keuangan sering menimbulkan ketidaktransparanan yang dapat menimbulkan
konflik antara prinsipal dan agen (Sulistyanto, 2008). Akibat adanya perilaku akuntan
manajemen yang tidak transparan dalam penyajian informasi ini akan menjadi penghalang
adanya praktik etika pada perusahaan tersebut.
4.2.1. Faktor Penyebab Timbulnya Dilema Etika
Realitas penelitian ini menunjukkan bahwa praktik akuntansi di BUMN bersifat
rutinitas. Namun, ada saat-saat di mana praktik ini akan sangat membutuhkan kekuatan (power)
untuk mencegah berbagai kemungkinan yang menganggu praktik akuntansi. Salah satunya
tekanan organisasi dan konflik internal antara akuntan manajemen dengan pemegang saham
ataupun akuntan manajemen sebagai staf dengan pimpinan/top manajemen.
Arens (1997) menyatakan faktor penyebab timbulnya dilema etika yaitu lingkungan
budaya, lingkungan organisasi dan lingkungan profesi serta pengalaman pribadi. Faktor
tersebut juga turut berpengaruh dalam pembentukan perilaku etis akuntan. Lebih lanjut, White
dan Lam (2000) menyatakan individu lebih mungkin menghadapi dilema etika jika 1)
organisasi tidak memberikan means untuk mencegah perilaku tidak etis, 2) individu
mempunyai motivation personal untuk diuntungkan dari tindakan etis, 3) posisi pekerjaan
memberikan opportunity untuk terlibat praktik tidak etis. Untuk itu White dan Lam (2000)
menggambarkan dalam skema berikut:
1789
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
Sumber: White dan Lam (2000: 38)
Gambar 1
Komponen Dilema Etika
Skema di atas menunjukkan ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang
mengalami dilema etika, salah satunya adalah means. Means merupakan alat infrastruktur
organisasi yang terdiri dari sistem, kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan. Ludigdo
(2007: 48) menyebutkan bahwa kode etik termasuk di dalam arti means. Jika means yang
dimaksud oleh White dan Lam (2000) ataupun Ludigdo (2007) adalah kode etik, maka means
di BUMN adalah standar akuntansi, kebijakan perusahaan (disiplin pegawai) dan kode etik
perusahaan.
Berdasarkan refleksi yang telah dijabarkan pada sub bab sebelumnya, nampak bahwa
akuntan manajemen di BUMN dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan sudah
berdasarkan standar keuangan dan PABU serta kebijakan dan aturan yang ditetapkan bersama
oleh pihak manajemen. Di samping itu di BUMN juga mempunyai kode etik perusahaan.
4.3. Perspektif Kode Etik bagi Akuntan di BUMN
Beberapa informan yang telah memberikan informasinya menyatakan bahwa memang
benar di BUMN mempunyai kode etik tapi itu kode etik perusahaan, bukan kode etik akuntan
manajemen. Artinya, tidak ada kode etik yang mengatur secara khusus tentang aturan dan
perilaku bagi akuntan manajemen. Kode etik BUMN tersebut berisi empat pokok bahasan
utama yaitu 1) kebijakan umum kode etik di BUMN yang berisi pedoman kode etik perusahaan
dan integritas pengelolaan, 2) kebijakan perilaku perusahaan,3) internalisasi, penerapan dan
pemantauan, 4) pelaporan pelanggaran kode etik dan pernyataan kepatuhan. Kode etik tersebut
dinyatakan secara tertulis agar tidak melanggar norma perusahaan yang ditujukan sebagai
keterikatkan dalam pelaksanaan Good Corporate Governance. Berikut pernyataan dari Ibu ES
dan Ibu AW sebagai informan mengenai keberadaan kode etik bagi akuntan manajemen:
Organizational climate
Means
Individual Needs
Opportunity
Dilema Etika
Motivations
Job Positions
1790
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
“Saya tidak pernah tahu kalau akuntan yang ada di perusahaan itu mempunyai kode
etik sendiri, yang sering saya dengar adalah kode etik akuntan publik”.
“...saya pernah tahu dan membaca pada saat saya kuliah di PPAK, tapi di sini
sepertinya ngak ada atau mungkin merasa tidak diperlukan oleh perusahaan. Setiap
tahun kita harus menandatangani pernyataan tidak melanggar kode etik, tapi itu untuk
Good Corporate Governance.”
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa informan tidak pernah mengetahui jika perilaku dirinya
sebagai seorang akuntan manajemen dibatasi oleh kode etik akuntan yang diterbitkan oleh IAI.
Pernyataan informan tersebut juga membenarkan bahwa kode etik yang mereka anut adalah
kode etik perusahaan. Kode etik ini tidak hanya diperuntukkan bagi akuntan manajemen saja,
namun bagi seluruh karyawan BUMN.
Lebih lanjut, beberapa informan mengutarakan keberadaan kode etik bagi mereka
dinyatakan beragam, ada yang percaya bahwa kode etik dapat memandu mereka dalam
beraktivitas dan ada yang merasa hal tersebut buang-buang waktu saja. Menurut mereka, kode
etik memang sangat dibutuhkan karena hal itu dapat digunakan untuk mengarahkan individu
yang tergabung dalam profesi akuntan manajemen untuk selalu bertindak secara etis atau
berperilaku etis. Perilaku etis perlu dikedepankan oleh akuntan manajemen agar keputusan
yang dibuat juga keputusan yang etis. Namun, permasalahannya mereka merasa tidak tahu kode
etik apa yang seharusnya ada dan dilaksanakan oleh akuntan manajemen yang berada di BUMN
ini. Berikut ini pernyataan Bapak IR dan Ibu ES mengenai keberadaan kode etik di BUMN,
“ ...terkadang saya merasa sangat membutuhkan aturan yang jelas dan khusus yang
berkaitan dengan aktivitas yang saya lakukan. Saya merasa bahwa aturan perusahaan
terkadang hanya untuk orang-orang seperti saya, tapi tidak untuk atasan”.
“...kode etik itu hanya lips service aja bu...yang berlaku disini bukan kode etik tapi
aturan dari atasan. Maksud saya aturan atasan tersebut yang dijadikan pedoman. lha
kalo nggak ikut perintah atasan meskipun melanggar, ya besok siap-siap di pindah aja”.
Informasi dari beberapa informan tersebut menunjukkan di BUMN tersebut masih belum ada
kode etik yang khusus menaungi para akuntan manajemennya. Sikap pesimis yang ditunjukkan
oleh informan menunjukkan bahwa kode etik itu tidak perlu, jika yang lebih berlaku adalah
perintah pimpinan. Artinya, yang mengatur tingkah dan polah akuntan manajemen dalam
melakukan aktivitas profesinya lebih condong pada suatu ketaatan kepada pimpinan bukan
suatu aturan tertulis. Informasi sedikit berbeda dinyatakan oleh Ibu TM,
“Kode etik secara kelembagaan dibutuhkan sebagai pedoman dalam melaksanakan
kegiatan atau aktivitas perusahaan. Demikian pula dengan dengan kode etik akuntan
manajemen, harus bisa dijadikan pijakan bagi akuntan manajemen, sehingga setiap
akuntan manajemen di perusahaan mempunyai kewajiban untuk mentaati semua aturan
yang ada di dalam kode etik tersebut. Untuk dapat menaati aturan tersebut, setiap
pelaku minimal harus mengenal nilai etika yang ada dalam perusahaan”.
1791
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
Informasi di atas menunjukkan bahwa kode etik memang dibutuhkan dan berguna bagi akuntan
manajemen dalam menjalankan aktivitasnya. Tindakan ini akan mempunyai nilai moral apabila
berdasarkan suatu tuntunan atau nilai etika yang dijadikan pedoman bersama pada akuntan
manajemen.
Ahmad (1996: 205) juga menyatakan bahwa kode etik adalah aturan yang mengatur
tingkah laku dalam satu kelompok khusus, sudut pandangnya hanya ditujukan pada hal-hal
prinsip dalam bentuk ketentuan tertulis. Artinya, ketentuan yang tertera pada kode etik
diharapkan dapat mengatur dan membatasi tingkah laku individu atau kelompok yang berada
di dalam suatu organisasi.
Berdasarkan uraian mengenai kode etik dan bertolak dari beberapa pernyataan
informan, maka realitas praktik menunjukkan bahwa kode etik hanyalah alat yang digunakan
untuk membatasi perilaku supaya tidak lepas dari batas-batas etis. Alat ini bersifat mengikat
siapa saja yang bersedia bergabung dengan BUMN. Alat yang bagus adalah alat yang dapat
digunakan oleh siapa saja, bukan alat yang diciptakan untuk kepentingan kelompok tertentu
saja. Namun dalam praktiknya, ternyata alat tersebut hanya dapat membingkai perilaku
sebagian orang saja, tidak seluruhnya, walaupun alat tersebut memang digunakan untuk semua.
Artinya, kode etik di BUMN hanya mengena pada sebagian orang saja, hanya pegawai tertentu
yang harus taat, pegawai lainnya boleh taat boleh tidak, tergantung bagaimana evaluasi
terhadap implementasi kode etik tersebut. Berikut informasi dari Ibu N sebagai kepala bagian
pengelolaan hutang piutang BUMN yang menyatakan sikap optimis bahwa kode etik dapat
membingkai perilakunya
“Saya mengibaratkan perusahaan sebagai sebuah kapal besar, di mana di dalamnya
terdapat berbagai macam individu dengan berbagai macam perilaku. Untuk itu
sebaiknya perusahaan menggunakan satu standar atau kode etik agar bisa
menyelaraskan menjadi satu perilaku untuk menciptakan iklim yang kondusif. Dengan
terciptanya iklim yang kondusif tersebut, maka tujuan perusahaan dapat dengan mudah
tercapai”
Sikap optimis yang diungkapkan oleh informan menunjukkan harapannya bahwa dengan
keberadaan kode etik dapat menyelaraskan berbagai macam perilaku individu. Pernyataan
“sebaiknya” yang diungkapkan oleh Ibu N mengisyaratkan sebagai sebuah anjuran bukan suatu
keharusan. Padahal maksud dibuatnya kode etik pada umumnya digunakan sebagai suatu
aturan yang wajib dan harus ditaati oleh individu yang yang tergabung di dalamnya. Artinya,
kode etik yang diterbitkan oleh BUMN masih belum dapat menyelaraskan dalam satu perilaku
untuk menciptakan satu iklim yang kondusif, walaupun Ibu N sangat yakin jika kode etik dapat
menyatukan seluruh perilaku individu dalam satu wadah perilaku yang sama. Sekarang coba
kita kembali mengulas pernyatan dari Ibu ES yang menyatakan bahwa kode etik itu hanya lips
service saja
“...kode etik itu hanya lip service aja bu...yang berlaku disini bukan kode etik tapi
aturan dari atasan. Maksud saya aturan atasan tersebut yang dijadikan pedoman. lha
kalo nggak ikut perintah atasan meskipun melanggar, ya besok siap-siap di pindah aja.
Pernyataan dari Ibu ES tersebut menunjukkan sikap yang berseberangan dengan Ibu N. Ibu ES
merasa tidak pernah mendapatkan sisi baik dengan keberadan kode etik bagi dirinya, bahkan
1792
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
dia pesimis keberadaan kode etik dapat memandu perilaku akuntan manajemen di BUMN
meskipun yang dimaksud adalah kode etik perusahaan.
Kode etik menurutnya hanya “pemanis” saja atau bersifat “basa basi”, hanya tulisan
tanpa makna. Artinya, keberadaan kode etik di BUMN bagi informan tidak berpengaruh pada
perilakunya. Informasi yang diungkapkan oleh Ibu ES menunjukkan bahwa kode etik
perusahaan tidak dapat memainkan fungsinya sebagai alat pemandu perilaku bagi akuntan
manajemen.
Berdasarkan penyataan ketiga informan di atas, kondisi yang nampak adalah ada atau
tidak adanya kode etik tergantung bagaimana individu tersebut memaknainya. Ibu N lebih
berharap dengan adanya kode etik tersebut dapat tercipta iklim organsiasi yang lebih sehat,
sedangkan Ibu ES lebih cenderung merasa “masa bodoh”. Pendapat Pak IR lebih berbeda
dengan yang lain, menurutnya kode etik hanya untuk pihak tertentu saja, misalnya pegawai
bawahan.
Harapan yang dikemukakan oleh Ibu N, juga ditemukan oleh Adams et al. (2001)
dalam penelitiannya. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa kode etik diterbitkan oleh
perusahaan sebagai satu upaya untuk memperbaiki iklim organisasi sehingga individu dapat
berperilaku etis. Kode etik dapat juga dipandang sebagai upaya menginstitusionalisasikan
moral dan nilai-nilai pendiri perusahaan, sehingga kode etik tersebut menjadi bagian dari
budaya perusahaan dan membantu sosialisasi individu baru dalam memasuki budaya tersebut.
Berbeda dengan Ibu N, dalam benak Ibu ES yang penting dia menjalankan aktivitasnya
sesuai dengan aturan pimpinan. Ketaatannya pada aturan hanya disebabkan karena rasa
takutnya terhadap jabatan yang diembannya. Permasalahannya, bagaimana jika pimpinan
tersebut justru melakukan tindakan menyimpang?. Menurut Sihwahyuni dan Gudono (2000),
kode etik sering mempunyai kelemahan karena kode etik sulit diawasi. Temuan yang
dihasilkan oleh Sihwahyuni dan Gudono, juga ditunjukkan oleh Bapak HS, Pak IR, Ibu N
berikut ini:
“secara fully evaluasi terhadap kode etik belum ada, tapi jika memang terjadi
pelanggaran baru ditindaklanjuti. Masalahnya memang tidak ada reward dan
punishment yang jelas jika terjadi suatu pelanggaran. Contohnya begini, suatu
pelanggaran dapat diketahui jika ada pihak lain yang melaporkan pelanggaran tersebut.
Jika tidak ada reward yang diperoleh pihak lain tersebut, tentu tidak ada orang yang
mau melaporkan, karena adanya sikap toleransi yang ditanamkan antara sesama. Trus
bagaimana kita bisa memberikan punishment jika tidak ada yang lapor.”
“selain itu di sini tidak ada bagian yang khusus pemantau perilaku pegawai BUMN,
walaupun hal ini memang merupakan koordinasi oleh bagian sekretaris perusahaan,
dinas hukum dan manajemen risiko.
“Setahu saya tidak ada evaluasi mengenai pelaksanaan kode etik perusahaan dan setahu
saya tidak ada sosialisasi. Jadi ya cuma dibagikan aja bukunya ke seluruh karyawan
BUMN. Tidak ada sosialisasi dan belum ada evaluasi...”
1793
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
Berdasarkan beberapa pernyataan di atas nampak jelas bahwa pelaksanaan kode etik
perusahaan belum dibarengi dengan pelaksanaan evaluasi. Di samping itu tidak adanya
sosialisasi menyebabkan mereka kurang begitu peduli dengan keberadaan kode etik tersebut.
Bahkan salah satu informan menyatakan bahwa sampai sekarang belum memahami sepenuhnya
apa yang terkandung dalam pedoman kode etik perusahaan tersebut.
4.3.1. Kode Etik: Refleksi Etis Akuntan Manajemen
Akuntan sebagai sebuah profesi yang penting bagi masyarakat seharusnya
mengedepankan kaidah dalam melaksanakan profesinya. Refleksi etis profesi akuntan
manajemen pada umumnya dituang dalam kode etik akuntan manajemen (Duska dan Duska,
2003). Seorang akuntan pasti membutuhkan kode etik. Kode etik tersebut mempunyai tujuan
utama untuk mempresentasikan gambaran secara gamblang mengenai laporan keuangan suatu
perusahaan yang meliputi auditing, managerial accounting, tax accounting, financial planning
dan consulting. Duska melanjutkan, profesi akuntan harus dapat memberikan memberikan
gambaran yang benar dan akurat mengenai financial affairs dari perusahaan-perusahaan dan
keakuratan tersebut sangat krusial. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menciptakan suatu
legitimasi kebenaran agar dapat mengetahui gambaran yang akurat dan secara struktural dapat
menjauhkan dari tindakan yang tidak etis.
Dalam implementasinya, dampak keberadaan kode etik di perusahaan masih
diperdebatkan. Beberapa hasil studi dalam tataran positivistik/kuantitatif menunjukkan adanya
suatu perbedaan. Hasil penelitian Adam et al. (2001) menunjukkan bahwa perusahaan yang
berkode etik formal mempunyai lebih besar dukungan melakukan tindakan etis dibandingkan
dengan perusahaan yang tidak mempunyai kode etik formal. Weaver (1995), kode etik
mempunyai pengaruh terhadap perilaku.
Studi dengan hasil berbeda antara lain Kohut dan Corriher (1994), Cressey dan Moore
(1983), Soutar et al. (1994) dengan hasil temuan tidak ada hubungan antara eksistensi kode
etik dengan jawaban responden dan tidak ada hubungan antara perilaku etis dengan eksistensi
kode etik. Temuan Marnburg (2000) menunjukkan bahwa eksistensi kode etik tidak
mempunyai efek perilaku terhadap profesi di Norwegia. Jika kode etik mempunyai beberapa
pengaruh terhadap perilaku, pengaruh ini tidak dijelaskan oleh kode itu sendiri tetapi oleh
proses yang menjadi simbol kode. Sedangkan Scwhartz (2002) menyatakan keberadaan kode
etik dalam perusahaan tidak berdampak signifikan terhadap perilaku etis dan belum dapat
menuntun karyawan perusahaan berperilaku etis sebagaimana diharapkan oleh stakeholders.
Untuk di Indonesia, baik akuntan publik maupun akuntan manajemen untuk sementara
waktu berpedoman pada kode etik yang diterbitkan oleh IAI pada tahun 1998 yang mempunyai
empat kebutuhan dasar yaitu 1) kredibilitas, 2) profesionalisme, 3) kualitas jasa dan 4)
kepercayaan. Kode etik sebagai refleksi etis akuntan manajemen dimaksudkan oleh peneliti
sebagai gambaran bahwa akuntan manajemen sebenarnya mempunyai kode etik yang sama
dengan profesi lainnya. Hanya saja dalam praktiknya akuntan manajemen sering keluar dari
batas yang telah digariskan oleh kode etik tersebut, bahkan ada akuntan manajemen yang tidak
pernah tahu bahwa perilakunya harus sesuai dengan kode etik yang ada.
1794
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
KOMPARASI DAN PEMAKNAAN TEMUAN
5.1. Praktik Akuntansi dalam Organisasi
5.1.1. Temuan
Laporan keuangan dibuat oleh akuntan manajemen BUMN bertujuan untuk
memberikan informasi akuntansi yang akurat dan berguna bagi pihak yang berkepentingan.
Dalam praktiknya penyusunan dan penyajian laporan keuangan yang dibatasi dengan standar
yang telah ditetapkan terkadang menyebabkan adanya tekanan dan konflik internal. Contoh,
ketepatan waktu penyajian laporan keuangan. Tekanan dan konflik ini jika tidak dapat dikelola
dengan baik maka akan dapat menimbulkan dilema. Dilema yang sering terjadi adalah cara atau
tindakan yang harus diambil pada saat terjadi tekanan atau konflik internal tersebut. Untuk hal
ini, salah seorang informan menyatakan tingkat ketidakakuratan rata-rata hanya disebabkan
karena user kurang teliti dalam melakukan entry data-data, bukan permasalahan ketidakjujuran
dalam pencatatan angka-angka tersebut. Namun, beberapa aktor atau informan menyatakan
proses tersebut sering menyebabkan sebuah tekanan dan dilema yang bersifat organisasional
ataupun psikologis (stres).
5.1.2. Analisis dan Konsep Dilema Etika dalam Praktik Akuntansi
Berdasarkan temuan di atas menunjukkan bahwa praktik akuntansi di BUMN tersebut
menimbulkan dilema etika. Dilema etika yang dialami akuntan manajemen lebih sering
disebabkan karena adanya tekanan di dalam perusahaan. Studi ini melihat bahwa tekanan demi
tekanan yang terjadi menyebabkan akuntan manajemen terjebak dalam sebuah konflik
organisasional-profesional. Konflik organisasi-profesi yang sering terjadi pada saat
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh level manajer ke atas dan selalu berdasarkan
musyawarah. Namun, dalam praktiknya pengambilan keputusan ini sering menimbulkan
sebuah dilema bagi mereka.
Temuan ini ditunjukkan oleh Arranya dan Ferris (1984) dalam penelitian positivist
yang menyatakan bahwa akuntan manajemen mempunyai tingkat konflik yang lebih tinggi
dibandingkan akuntan publik. Akuntan manajemen sering merasakan adanya perbedaan nilai
antara organisasional dan profesional, namun perbedaan tersebut sampai saat ini kurang
dipahami. Akibatnya, sampai saat ini permasalahan tersebut masih tetap ada.
Sejalan dengan beberapa penelitian yang telah dijabarkan di atas, maka studi ini
menggarisbawahi bahwa tekanan organisasional-profesional dan dilema etika akan selalu ada
dalam sebuah hubungan kerja di perusahaan manapun. Satu hal yang dapat dilakukan oleh
perusahaan adalah meminimalisasi tekanan dan dilema etika tersebut, karena setiap organisasi
terdiri dari berbagai karakter individu dengan nilai dan motivasi yang berbeda-beda. Meskipun
mereka mempunyai tujuan yang sama, namun mereka berangkat dari arah dan kepentingan
yang berlainan. Secara skematis praktik akuntansi yang dilakukan oleh akuntan manajemen
dapat dilihat pada gambar berikut ini:
1795
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
Tinggi
Rendah
Sumber: Peneliti
Gambar 2
Dilema Etika dalam Praktik Akuntansi
Skema pada gambar 2 menunjukkan bahwa praktik akuntansi yang dilakukan oleh
akuntan manajemen di dalam suatu organisasi tidak pernah terlepas dari adanya konflik.
Keberadaan akuntan manajemen sebagai bagian dari struktur organisasi tidak terlepas dari
kerangka agensi. Dillart dan Yuthas (2002) menyatakan bahwa perubahan dalam suatu
organisasi dapat terjadi melalui tindakan agen sebagai upaya adanya integrasi sosial. Dalam
studi ini, akuntan manajemen adalah aktor sosial yang secara kodrati mempunyai kehendak
sebagai manusia yang tidak terbelenggu. Berdasarkan pemikiran tersebut akuntan manajemen
dapat mempunyai pemikiran yang spesifik dan berbeda dengan organisasinya.
Spesifikasi pemikiran tersebut menyebabkan adanya pembingkaian perilaku yang
membedakan individu sebagai akuntan manajemen (agent) dengan individu sebagai pemegang
saham (principal) dalam suatu organisasi. Hal ini akan membedakan wewenang yang harus
dipikul oleh keduanya. Pemegang saham sebagai pemilik modal akan mengutamakan
pemikiran mengenai bagaimana meraih keuntungan yang sebesar-besarnya melalui penanaman
modal pada suatu organisasi, sedangkan akuntan manajemen sebagai pengelola modal juga
mempunyai keinginan mendapatkan keuntungan dari aktivitas profesinya. Pemikiran ini yang
menyebabkan pemisahan tanggung jawab di antara keduanya.
Pemisahan tanggung jawab ini memunculkan suatu perjanjian kontraktual antara agent
dan principal. Principal sebagai pemilik modal mempunyai kewajiban untuk menyediakan
fasilitas dan sumber daya dalam organisasi agar dapat dikelola oleh manajemen/akuntan
manajemen, sedangkan akuntan manajemen mempunyai tanggung jawab untuk mengelola
Manajemen/pimpinan
Rekan sekerja
Konflik Organisasional -profesional
Dilema Etika
Akuntan Manajemen
Praktik Akuntansi
Konflik kepentingan
Pemegang
Saham
1796
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
modal dan memberikan gambaran yang sebenarnya tentang kondisi perusahaan melalui
perspektif keuangan.
Dua individu, dua kewajiban dan dua kepentingan bersatu untuk mencapai tujuan
bersama. Inilah gambaran mengenai perspektif keagenan. Perspektif ini akan menjadi lebih
utuh jika dikaitan dengan motivasi dari tiap-tiap individu yang berbeda dalam melakukan
interaksi dengan organisasi sebagai lingkungan sosialnya. Adanya pemisahan wewenang antara
akuntan manajemen dengan pemegang saham menyebabkan pemegang saham memiliki rasa
ketidakpercayaan bahwa apa yang dilakukan oleh akuntan manajemen adalah benar. Dalam
benak pemegang saham, akuntan manajemen dapat menyembunyikan informasi dari dirinya
dan berperilaku opportunistik sehingga dapat mengurangi keuntungan. Ketidakpercayaan dan
perilaku opportunistik ini yang terkadang menyebabkan sebuah tekanan dan berakibat pada
timbulnya konflik kepentingan (Sulistyanto, 2008: 73).
Dalam sebuah organisasi, akuntan manajemen sebagai karyawan sering bertindak
berdasarkan perintah pimpinan. Organisasi pada umumnya memiliki sebuah struktur otoritas
hirarkis mengenai struktur jabatan yang ada. Berdasarkan struktur tersebut tanggung jawab
moral terkadang ditanggung oleh sepenuhnya oleh atasan, akibatnya karyawan akan merasa
terbebas dari tanggung jawab moral (Velasquez, 1996). Hal ini yang sering menyebabkan
akuntan manajemen sebagai agen menyalahi tanggung jawab moral yang dibebankan
kepadanya. Sebaliknya jika atasan memerintahkan karyawan untuk berbuat kesalahan yang
secara tindakan bertentangan dengan moral maka kewajiban tanggunjawabnya dibebankan
kepada bawahan. Kondisi ini sering memunculkan konflik organisasional-profesional.
Fenomena realitas praktik yang terjadi mengenai hubungan keagenan antara pegawai
dengan atasan ternyata lebih kompleks dibandingkan dengan hubungan keagenan antara
pemegang saham dengan akuntan manajemen sebagai manajer. Realitas praktik menunjukkan
tekanan yang sangat kuat dan dilakukan pihak atasan lebih membuat mereka merasakan
ketidaknyamanan dalam melakukan aktivitasnya dan hal ini sangat memengaruhi bawahan
untuk melakukan suatu perilaku etis. Artinya, semakin tinggi tekanan organisasional
profesional yang dilakukan pihak manajemen atau pimpinan terhadap akuntan manajemen,
maka semakin tinggi dilema etika dialami oleh pihak akuntan manajemen dan sebaliknya.
Shafer (2002) menyatakan, jika pegawai tidak mempunyai standar etis tinggi, maka
mereka akan merasionalkan perilaku tidak etis sebagai bagian yang dibutuhkan dalam
pekerjaannya. Di samping itu, semakin tinggi konflik kepentingan yang terjadi pada akuntan
manajemen yang berperilaku opportunistik dengan pemegang saham menyebabkan semakin
tingginya dilema etika yang terjadi. Jika pemegang saham membantu pegawai memenuhi
pengharapan mereka dengan memberikan lingkungan yang mendukung nilai profesional dan
perkembangan pribadi, maka konflik kepentingan dapat diminimalisasi sehingga pegawai
tersebut kemungkinan lebih komitmen terhadap organisasi. Sebaliknya, jika pemegang saham
membuat tuntutan terhadap individual yang bertentangan dengan nilai profesional mereka,
maka pegawai tersebut kemungkinan tidak akan memenuhi tuntutan pemegang saham dan
menyebabkan mereka melakukan tindakan tidak etis (Noreen, 1988).
Akuntan manajemen sebagai pegawai yang mempunyai tingkat kesadaran diri tinggi
untuk melakukan tindakan tidak menyimpang lebih mudah untuk melepaskan diri dari jerat
konflik organisasional-profesional dan konflik kepentingan. Komitmen yang kuat dan
tingginya nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya menjadikan mereka sosok yang taat aturan,
mempunyai integritas dan obyektifitas yang tidak perlu diragukan lagi.
1797
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
5.1.3. Makna temuan
Akuntan manajemen yang mempunyai tanggung jawab secara profesional terhadap
pihak manajemen dan pemegang saham lebih sulit untuk bertindak independen dibandingkan
dengan akuntan publik. Hal ini disebabkan segala aktivitasnya diperuntukkan bagi pemegang
saham, di mana pemegang saham lebih bertujuan untuk mencari keuntungan dibandingkan
tujuan lainnya. Oleh karena itu, perusahaan harus mampu untuk meminimalisasi berbagai
konflik dan tekanan yang ada agar tercipta suatu iklim organisasi yang sehat. Untuk itu
dibutuhkan suatu alat dan dukungan dari organisasi untuk membatasi perilaku karyawannya
agar mempunyai perilaku etis. Alat tersebut dapat berupa kode etik atau corporate credo.
5.2 Keberadaan Kode Etik
5.2.1. Temuan
Berdasarkan realitas yang ada, maka studi ini menggarisbawahi beberapa temuan: 1)
Beberapa informan tidak menyadari bahwa mereka berprofesi sebagai akuntan manajemen,
sehingga mereka juga tidak menyadari bahwa dirinya terikat dengan kode etik akuntan
Indonesia, 2) Akuntan manajemen BUMN tidak mengetahui bahwa mereka dibatasi oleh kode
etik akuntan sehingga peneliti mempersepsikan bahwa mereka tidak mempunyai kode etik
khusus bagi akuntan manajemennya, sehingga mereka berpedoman pada kode etik perusahaan.
Meskipun seharusnya tidak hanya taat pada kode etik perusahaan, namun juga kode etik
akuntan Indonesia yang diterbitkan oleh IAI.
5.2.2 Analisis dan Konsep Kode etik dalam Praktik Etika Akuntan Manajemen
Duska dan Duska (2003) menyatakan bahwa seorang akuntan membutuhkan kode etik.
Kode etik merupakan sebuah pendekatan yang memasukkan sistem etis dalam perilaku individu
yang berada dalam organisasi (White dan Lam, 2000), oleh sebab itu kode etik adalah pedoman
yang paling populer di berbagai organisasi. Perusahaan dengan kode etik secara formal
mempunyai dukungan yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak (Adam et al., 2001)
dan mempunyai pengaruh terhadap perilaku (Weaver, 1995).
Bertolak dari realitas yang ada, ternyata beberapa informan menyatakan tidak
merasakan keberadaan kode etik sebagai aturan yang berpengaruh pada perilaku mereka.
Beberapa informan menyatakan kode etik perusahaan tidak pernah disosialisasikan, tidak ada
evaluasi untuk menilai dan memantau pelaksanaan kode etik serta tidak sesuai dengan aspirasi
akuntan manajemen di BUMN tersebut. Tidak ada sanksi yang jelas jika terjadi pelanggaran
kode etik. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa keberadaan kode etik di BUMN hanya bersifat
normatif belum sampai pada pengaplikasiannya. Artinya, kode etik hanya sebagai simbolisme
semata.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan simbolisme sebagai kata, tanda isyarat
yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain seperti arti, kualitas, abstraksi, gagasan dan
objek. Dengan kata lain simbolisme adalah apapun yang diberikan arti dengan kesepakatan dan
kebiasaan yang dibangun oleh masyarakat atau individu dengan arti tertentu yang disepakati
dan dipakai oleh masyarakat itu sendiri.
Dalam studi ini simbolime dimaknai sebagai tanda pengenal berupa kata atau kalimat
yangg menjelaskan dan mengaktualisasikan sesuatu dan kebersamaan didasarkan oleh
kewajiban atau perjanjian. Bentuknya adalah 1) tanda indrawi, barang atau tindakan yang
menyatakan realitas lain di luar dirinya, 2) sarana paling tepat untuk mengungkapkan sebuah
tindakan, namun simbol juga terbuka terhadap arti dan tafsiran tergantung bagaimana setiap
1798
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
individu memaknainya. Berdasarkan penjabaran tersebut, makna simbolisme kode etik dalam
studi ini adalah sebuah sarana yang tepat untuk mengatualisasikan sebuah tindakan dan
disepakati bersama di antara kelompok masyarakat atau pelaku organisasi namun mereka
mempunyai sebuah makna atau tafsiran yang berbeda-beda dalam mengaktualisasikan tindakan
tersebut.
5.2.3. Makna Temuan
Keberadaan kode etik di BUMN secara reflektif tidak banyak memengaruhi praktik
etika akuntan manajemen, sehingga tidak begitu berdampak terhadap perilaku akuntan
manajemen dikarenakan tidak adanya evaluasi dan pemantauan terhadap implementasi kode
etik tersebut. Artinya, Kode etik bagi para akuntan manajemen di salah satu BUMN di
Indonesia hanya merupakan simbolisme semata.
Temuan ini selaras dengan hasil penelitian yang ditunjukkan oleh Scwhartz (2002)
dalam tataran positivist yang menyatakan keberadaan kode etik dalam perusahaan tidak
berdampak terhadap perilaku etis dan kode etik belum dapat menuntun karyawan atau
perusahaan untuk berperilaku etis sebagaimana diharapkan oleh stakeholders-nya. Artinya,
banyak perusahaan mengkondisikan kode etik hanya sebagai simbolisme etis perusahaan.
Realitas praktik juga menunjukkan kode etik tetap dibutuhkan sebagai dimensi
organisasi dalam menciptakan iklim organisasi yang sehat. Artinya, kode etik tetap digunakan
sebagai landasan hukum atau aturan yang mengikat antara akuntan manajemen dengan
organisasi untuk mengarahkan pada tujuan bersama. Kode etik tetap menjadi unsur yang
penting dalam praktik etika akuntan manajemen jika dibarengi dengan evaluasi pelaksanaan
dan adanya pemantauan dari pihak yang independen.
6. MENYIMPULKAN BENANG MERAH PENELITIAN
Studi ini bermula dari maraknya skandal akuntansi pada perusahaan-perusahaan besar
di dunia maupun di Indonesia. Salah satu penyebab yang berhasil terdeteksi adalah adanya
manipulasi laporan keuangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan akuntan manajemen
dengan pihak manajemen dan diamini oleh akuntan publik. Namun, realitas ini sangat jarang
terekspos di masyarakat. Hal ini disebabkan karena yang sering dijadikan pesakitan dalam hal
ini adalah para akuntan publik.
Akuntan manejemen adalah profesi yang ikut andil dalam perkembangan suatu
organisasi. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk lebih mendalami pedoman dan koridor apa
yang dibutuhkan akuntan manajemen agar tidak melakukan skandal tersebut. Peneliti merasa
perlu untuk melakukan penelitian dengan menggunakan metode kualitatif-fenomenologis
untuk melihat, mendeskripsikan dan memaknai realitas apa yang terjadi di balik aktivitas
akuntan manajemen.
Studi ini melakukan beberapa langkah agar mendapatkan informasi dari informan
akuntan manajemen yang berada di salah satu BUMN di Indonesia. Peneliti menggunakan
perusahaan tersebut bukan berarti perusahaan tersebut melakukan skandal akuntansi. Peneliti
hanya menelusur persepsi, perspektif dan informasi mengenai perilaku yang mendasari para
akuntan manajemen mengenai skandal akuntansi tersebut.
Rekonstruksi realitas yang diciptakan oleh akuntan manajemen membuktikan bahwa
laporan keuangan dan sistem akuntansi mempunyai konsekuensi etis yang terdapat di
1799
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
dalamnya. Contoh, angka akuntansi yang nampak pada laporan keuangan akan mengarahkan
individu untuk melakukan pengambilan keputusan berdasarkan angka-angka tersebut. Kondisi
ini menunjukkan bahwa adanya ketergantungan yang kuat antara pengambil keputusan dengan
angka akuntansi, jika kita cermati kembali akuntan adalah pencipta realitas akuntansi, maka
hasil ciptaannya adalah sesuatu yang penting dan sangat menentukan langkah individu
selanjutnya. Seandainya akuntan sebagai pencipta realitas tidak menginput nilai-nilai etis
dalam praktik akuntansinya, maka realitas yang diciptakan bukanlah realitas kebenaran dan hal
ini tentu akan menjerumuskan orang lain dalam mengambil keputusan. Triyuwono
(2000:268) menyatakan bahwa akuntansi bisa secara sederhana dibayangkan sebagai mata air
yang mengalir dari mata air menuju ke danau.
sepanjang mata air dan airnya terbebas dari polusi, makhluk apapun yang ada di danau
dan aliran tersebut akan mendapatkan manfaat dari air yang segar dan bersih itu.
Seballiknya, bila mata airnya terkontaminasi oleh benda-benda beracun, makhluk yang
menggunakan air tersebut akan terjangkiti penyakit
Berpangku pada pernyataan di atas menunjukkan bahwa akuntansi memang dibangun dengan
dasar dan tujuan yang baik. Akuntansi dibangun dengan asumsi bahwa individu yang
menciptakan ataupun individu yang mempraktikkan mempunyai sebuah nilai-nilai dalam
dirinya.
Nilai-nilai ini yang nantinya akan menentukan bagaimana hasil ciptaan tersebut. Jika
akuntansi dibangun dengan nilai yang buruk, maka buruk pulalah hasilnya dan sebaliknya.
Demikian pula dalam proses penyusunan dan penyajian laporan keuangan sebagai bentuk dari
praktik akuntansi. Hal ini akan sangat berpengaruh pada kepercayaan publik. Oleh sebab itu,
menurut beberapa peneliti, akuntansi tidak pernah terlepas dari nilai-nilai dan nilai adalah
bagian dari etika (Francis 1990; Belkaoui 1992; Chua dan Degeling 1993).
Jika akuntansi merupakan praktik moral dan diskursif (Francis, 1990) karena
melibatkan manusia sebagai agent of development dalam proses penciptaanya, maka praktik
akuntansi yang dijalankan oleh akuntan juga sarat akan praktik moral. Akuntan sebagai
penyusun laporan keuangan, menginginkan orang lain atau pihak lain untuk memahami tentang
apa yang dilakukannya. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa dirinya terlibat di
dalamnya (Triyuwono, 2000: 269), sehingga moral keagenannya akan menggerakkan dirinya
dalam penciptaan laporan keuangan. Artinya, laporan ini dibuat dan digunakan untuk tujuan
publik, nampak bahwa akuntan dalam hal ini yang melakukan penciptaan realitas sebagai
rekonstruksi realitas (Morgan, 1988: 482).
Bercermin dari penjelasan di atas, maka realitas praktik menunjukkan bahwa
perusahaan membutuhkan corporate credo yaitu kode etik. Belkaoui (1992:30) menguraikan
argumentasinya bahwa kode etik ini pada umumnya berisi tanggung jawab akuntan sebagai
bagian dari sebuah kelompok yang melayani kepentingan publik dan menjaga integritas,
independensi, memperluas kepercayaan dan bersikap objektif. Namun secara praktis,
menerjemahkan etika ke dalam kode etik akan menemui kesulitan karena kode etik merupakan
peraturan tanpa memilliki karakter etis atau moral.
Selaras dengan pendapat Belkaoui (1992), praktik etika akuntan yang terjadi dalam
aktivitas akuntan manajemen di BUMN kurang berdampak. Hal ini disebabkan mandulnya
kode etik yang dimilikinya. Walaupun tidak ada kode etik dari perusahaan yang khusus
menaungi para akuntan di BUMN, namun mereka mempunyai kode etik perusahaan. Kode etik
1800
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
ini hanya menampilkan hak dan kewajiban tanpa adanya wujud kongkrit dari praktik hak dan
kewajiban tersebut. Artinya, tidak ada karakter etis yang mewakili gambaran sesungguhnya
dari hak dan kewajiban tersebut. Akibatnya, beberapa akuntan manajemen yang bekerja di
BUMN melakukan pengingkaran terhadap kode etik yang ada. Hasil studi ini menunjukkan
bahwa keberadaan kode etik bagi mereka hanya bersifat normatif bukan reflektif. Artinya,
BUMN ini memperlakukan kode etik sebagai simbolisme etis perusahaan.
Kembali pada bukti yang ditemui di lapangan, keberadaan kode etik perusahaan
menjadi tidak penting bagi mereka karena tidak adanya evaluasi terhadap refleksi dari kode etik
tersebut. Akibatnya, timbul perasaan apatis dan pesimis. Apa yang terjadi di BUMN juga
diutarakan oleh Sihwahyuni dan Gudono (2000) dalam penelitiannya yaitu kode etik sering
mempunyai kelemahan karena kode etik sulit diawasi.
Tidak adanya evaluasi terhadap praktik etika di BUMN menyebabkan beberapa
akuntan manajemen cenderung mengabaikan atau mengingkari keberadaan kode etik yang ada.
Evaluasi kode etik sangat dibutuhkan di BUMN sebagai wujud komitmen perusahaan pada
karyawannya, sehingga setiap penyimpangan yang terjadi akan nampak jelas di hadapan
mereka, tidak lagi berada pada posisi grey area.
Pengingkaran akuntan manajemen terhadap kode etik perusahaan menyebabkan
akuntan manajemen mencari aturan lain yang bisa digunakan sebagai pedoman dalam
menuntun langkahnya. Salah satu penyebab lain terjadinya pengingkaran kode etik perusahaan
adalah tidak adanya pemantauan secara langsung mengenai implementasi kode etik tersebut
dalam praktik etika yang ada di perusahaan. Akibatnya, ketidakjujuran masih bersemayam di
ranah BUMN, walaupun studi ini tidak menafikkan bahwa kejujuran masih merupakan nilai
yang digenggam oleh akuntan manajemen di BUMN tersebut.
6.1. Perjalanan Studi ke Depan
Setiap perjalanan dalam sebuah studi akan selalu berada pada ambang pemberhentian.
Namun, setiap peneliti akan selalu berharap agar studi yang telah dilakukan masih dapat
berkembang dan bermanfaat bagi pihak lain. Walaupun masih terdapat banyak keterbatasan
yang dialami oleh peneliti dalam penelitian ini, namun peneliti sangat berharap agar studi ini
dapat menjadi langkah awal untuk mengembangkan penelitian akuntansi keperilakuan di masa
mendatang yang dilakukan dengan pendekatan non positivitik/kualitatif.
Manfaat penelitian ini adalah pertama, bagi para peneliti, berdasarkan informasi dari
beberapa informan yang ada, adanya suatu keyakinan bahwa dalam suatu situs sosial yang
bersifat lokal pasti akan memunculkan suatu kearifan lokal. Kearifan lokal ini tidak mungkin
kita hindari, tidak mungkin kita hilangkan. Namun, kearifan lokal tersebut bisa kita gali sebagai
nilai lebih yang tentunya dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Kedua, bagi profesi akuntan manajemen di BUMN, studi ini diharapkan dapat memicu
dan menyebarkan semanggat bagi akuntan manajemen di BUMN untuk segera
mengembangkan nilai etika bagi akuntan manajemennya. Ketiga, studi ini diharapkan
mempunyai implikasi bagi kalangan profesional akuntan dan akademisi akuntansi.
Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat diambil suatu benang merah untuk mengkaji
lebih mendalam studi yang berkaitan dengan etika akuntan, sehingga kita dapat mengetahui
seberapa penting pengaplikasian etika dan kode etik bagi akuntan.
1801
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J.S., A. Tashchian and T.H. Shore. 2001. Codes of Ethics as Signals for Ethical
Behavior, Journal of business Ethics 29: 199:211.
Agoes, Sukrisno dan I.C. Ardana. 2009. Etika Bisnis dan Profesi. Salemba Empat. Jakarta.
Ahmadi, R. 2005. Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit Universitas Negeri
Malang (UM Press). Malang.
Ahmad, H. 1996. Kamus Pintar Bahasa Indonesia. Fajar Mulya. Surabaya
Andayani, Wuryan. 2002. Persaingan Kelas Dunia Menuntut Perbaikan Berkelanjutan yang
Menyebabkan Timbulnya Sistem Manajemen Biaya Baru. Media Akuntansi Edisi
28/September. pp. 66-68
Arens, A.A and J.K. Loebecke. 2003. Auditing: an Integrated Approach. 3rd Ed. Prentice Hall
Inc. Englewood Cliffs. New Jersey.
Arnold, D and L. Ponemon. 1991. “Internal Auditors Perceptions of whistle-blowing and the
influence of moral reasoning: An Eperiment”. Auditing: A Journal of Theory and
Practice. pp. 1-15.
Arranya, N. and K. Ferris. 1984. A Reexamination of Accountants Organizational–Profesional
Conflict., The Accounting Review 69 (1). pp.1-15
Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Kanisius Yogyakarta.
Belkaoui, A.R. 1989. The Coming Crisis in Accounting, New York; Quorum Books.
Belkaoui, A.R. 1992. Morality in Accounting. London: Quorum Books.
http://www.googlebooks.com diakses 13 Agusutus 2009
Chua, W.F. and P. Degeling. 1993. Interrogating an Accounting Based Intervention on Three
Axes: Instrumental, Moral and Aesthetic, Accounting, Organizations and Society. 18
(4): 291-318.
Cressey, D.R and C.A. Moore. 1983. Managerial Values and Corporate Codes of Ethics,
California Management Review. 25. pp.53-77.
Duska, R. F and B.S. Duska. 2003. Accounting Ethic, Blackwell Publishing Ltd. USA
Dillard JF and K. Yuthas. 2002. Ethical Audit Decisions: A Structuration Perspective, Journal
of Business Ethics 36: 49-64
Francis, J.R. 1990. After Virtue? Accounting as moral and discursive practice. Accounting,
Auditing and Accountability Journal 3. (3): 5-17
Griffin, R.W. dan R.J. Ebert. 1998. Business, Fourth Edition. Prentice Hall Inc. Englewood.
Clift.
Goleman, D. 1998. Working with Emotional Intelligence, New York: Bantam Book.
Gunz, H.P., S.P. Gunz and J.C. McCutcheon. 2002. Organizational Influences on Approaches
to Ethical Decisions by Professionals: the Case of Public Accountants. Canadian
Journal Of Administrative Sciences. Vol. 19 No. 1. 76-91
1802
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
Kieso, D., J.J. Weygandt and T.D. Warfield. 2007. Intermediate Accounting. 12th. Terj. Emil
Salim. PT. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Kjonstad, B and H. Willmott. 1995. Business Ethics: Restrictive or Empowering?. Journal of
Business Ethics. 14. 445-464.
Kohut, G. E. and S.E.Corriher. 1994. The Relationship of Age, Gender, Experiance and
Awereness of written Ethics Policies to Business decision Making. SAM Advance
Management Journal. Winter. 32-39.
Ludigdo, U. 2007. Paradoks Etika Akuntan. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Machfoedz, M. 2004. The Role of Management Accounting Profession in Value Reporting.
Media Akuntansi 38/Maret/Tahun XI.
Marnburg, E. 2000. The Behavioural Effects of Corporate Ethical codes: Empirical Findings
and Discussion. Journal of Accounting Ethic. Vol. 9 No.3. pp. 200-208.
Morgan, G. 1988. Accounting as Reality Construction: Towards a New Epistemology for
Accounting Practice, Accounting, Organizations and Society 13 (5): 477-485.
Noreen, E. 1988. The Economics of Ethics: A New Perspective on agency Theory. Accounting,
Organizations and Society 13. 359-369.
Scwhartz, M.S. 2002. “A Code of Ethics for Corporate Code of Ethics”. Journal of Business
Ethics 41: 27-43.
Shafer, W.E. 2002. Ethical Pressure, Organizational-Professional Conflict and Related Work
Outcomes Among Management Accountants. Journal of Business Ethics (38). pp. 263.
Sihwahyuni dan Gudono. 2000. Persepsi Akuntan Terhadap Kode Etik Akuntan. Jurnal Riset
Akuntansi Indonesia. Vol. 3 No. 2; pp. 168-184
Stevens, B. 1994. “An Analysis of Corporate Ethical Code Studies: Where do We Go From
Here?”. Journal of Business Ethics. 13. 327-329.
Soutar, G., McNeil, M.M. and Molster, C. 1994. The Impact of Work Environment on ethical
Decision Making: Some Australian Evidence. Journal of Business Ethics. 13. pp. 327-
329
Sulistyanto, Sri. 2008. Manajemen Laba. Teori dan Model Empiris. Penerbit PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Suratman, A. 1998. “Mark up” Dilema Bagi Akuntan Publik”. Media Akuntansi. Penerbit PT.
Intitama Artha Indonusa. Jakarta. Edisi 28/V/Agustus.
Triyuwono, I. 2000. Organisasi dan Akuntansi Syariah.LkiS. Yogyakarta.
Velasquez, M.G. 1996. “Why ethics Matters: A Defense of Ethics in Business Organizations”.
Business Ethics Quarterly. Vol. 6 No.2. pp. 201-222
1803
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival
13 November 2014
Weaver, G.R. 1995. Does ethics Code design matter? Effects of ethic code rationales and
sanctions on recipient’s justice perceptions and content recall. Journal of Business
Ethics. 14. 367-385.
White, L.P and L.W. Lam. 2000. “A Proposed Infrastructural Model for the Establishment of
Organizational Ethical Systems”. Journal of Business Ethics 28: pp 35-42