Dilema dan Ambivalensi dalam Desain Intervensi

5
DILEMA DAN AMBIVALENSI DALAM DESAIN INTERVENSI oleh Andi Tenripada PENDAHULUAN Desain intervensi menempatkan manusia sebagai bagian dari proses yang harus dilibatkan agar mampu mencapai tujuan organisasi yang diharapkan. Proses tersebut meliputi problem solving, pengambilan keputusan team, komunikasi, maupun kepemimpinan. Setiap tipologi intervensi yang akan diberikan tentu berakar dari diagnosis OD mengenai fungsi- fungsi yang berjalan maupun yang belum maksimal di tataran organisasi, group hingga individu. Para praktisi menerapkan intervensi ini secara umum dengan melihat terpenuhi tidaknya nilai-nilai yang ada di diri individu, team maupun organisasi dan mengekspektasikan seperti apa organisasi mampu berjalan secara efektif dengan mengikuti pengembangan fungsi dan proses yangberlangsung baik pada orang-orang yang ada di organisasi maupun pada organisasi itu sendiri secara menyeluruh. Intervensi organisasi dapat dikategorikan menjadi empat jenis, yaitu : Strategic Change Interventions, Technostructural Interventions, Human Resource Management Interventions, dan Human Process Interventions (Cummings & Worley, 2009). Topik yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini adalah mengenai human process intervention dengan pendekatan individu atau kelompok. Human process intervention adalah jenis intervensi yang fokus pada peningkatan efektivitas hubungan antar manusia atau bagaimana agar relasi antar pegawai dapat dikembangkan secara produktif. Tentu saja, kajian psikologi akan sangat membantu para scholars maupun praktisi untuk dapat mengupas dinamika hubungan antar manusia yang ada di dalam organisasi dan tentu saja itu menjadi skill dasar yang harus dimiliki oleh para praktisi OD dalam menjalankan program perubahan. Pendekatan interpersonal maupun group dalam mendesain human process intervention terurai dalam tiga model mendasar yaitu: 1. Proses konsultasi, berguna untuk membantu anggota grup memahami, mendiagnosa dan meningkatkan perilaku kerja mereka. Dalam proses konsultasi, grup harus menjadi lebih baik dalam menggunakan sumber daya mereka guna mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang terkait interpersonal dan perlu membatasinya dengan wilayah yang terkait dengan kerja. 2. Third party intervention, fokus pada konflik yang melibatkan dua atau lebih anggota dalam satu organisasi yang sama atau terjadi disfungsional interpersonal conflict .

description

Desain Intervensi

Transcript of Dilema dan Ambivalensi dalam Desain Intervensi

Page 1: Dilema dan Ambivalensi dalam Desain Intervensi

DILEMA DAN AMBIVALENSI DALAM DESAIN INTERVENSI

oleh

Andi Tenripada

PENDAHULUAN

Desain intervensi menempatkan manusia sebagai bagian dari proses yang harus

dilibatkan agar mampu mencapai tujuan organisasi yang diharapkan. Proses tersebut meliputi

problem solving, pengambilan keputusan team, komunikasi, maupun kepemimpinan. Setiap

tipologi intervensi yang akan diberikan tentu berakar dari diagnosis OD mengenai fungsi-

fungsi yang berjalan maupun yang belum maksimal di tataran organisasi, group hingga

individu. Para praktisi menerapkan intervensi ini secara umum dengan melihat terpenuhi

tidaknya nilai-nilai yang ada di diri individu, team maupun organisasi dan

mengekspektasikan seperti apa organisasi mampu berjalan secara efektif dengan mengikuti

pengembangan fungsi dan proses yangberlangsung baik pada orang-orang yang ada di

organisasi maupun pada organisasi itu sendiri secara menyeluruh.

Intervensi organisasi dapat dikategorikan menjadi empat jenis, yaitu : Strategic

Change Interventions, Technostructural Interventions, Human Resource Management

Interventions, dan Human Process Interventions (Cummings & Worley, 2009). Topik yang

akan menjadi fokus dalam tulisan ini adalah mengenai human process intervention dengan

pendekatan individu atau kelompok. Human process intervention adalah jenis intervensi yang

fokus pada peningkatan efektivitas hubungan antar manusia atau bagaimana agar relasi antar

pegawai dapat dikembangkan secara produktif. Tentu saja, kajian psikologi akan sangat

membantu para scholars maupun praktisi untuk dapat mengupas dinamika hubungan antar

manusia yang ada di dalam organisasi dan tentu saja itu menjadi skill dasar yang harus

dimiliki oleh para praktisi OD dalam menjalankan program perubahan.

Pendekatan interpersonal maupun group dalam mendesain human process

intervention terurai dalam tiga model mendasar yaitu:

1. Proses konsultasi, berguna untuk membantu anggota grup memahami, mendiagnosa

dan meningkatkan perilaku kerja mereka. Dalam proses konsultasi, grup harus

menjadi lebih baik dalam menggunakan sumber daya mereka guna mengidentifikasi

dan menyelesaikan masalah yang terkait interpersonal dan perlu membatasinya

dengan wilayah yang terkait dengan kerja.

2. Third – party intervention, fokus pada konflik yang melibatkan dua atau lebih anggota

dalam satu organisasi yang sama atau terjadi disfungsional interpersonal conflict.

Page 2: Dilema dan Ambivalensi dalam Desain Intervensi

Pendekatan ini hanya digunakan pada saat kedua belah pihak terikat dalam proses

maupun konfrontasi yang terjadi secara langsung.

3. Team building, fokus pada pengembangan kinerja team secara lebih baik dan

memusakan kebutuhan individu, dalam aktvitas team building, tujuan dan norma yang

ada dalam grup harus jelas guna menhadapi sejumlah kesulitan maupun masalah

dengan tetap memahami peran individu masing-masing

Harapan dari adanya program perubahan yang dilakukan oleh organisasi dari

intervensi tersebut tentu saja guna membantu orang-orang mendapatkan kompetensi

interpersonalnya dan bekerja berdasarkan kemampuannya mengatasi konflik interpersonal

serta membangun sebuah grup yang efektif.

Dilemma dan Ambivalensi: Tantangan Mendesain Intervensi Perubahan Organisasi

Reaksi karyawan terhadap perubahan mungkin akan jauh lebih kompleks

dibandingkan apa yang kita pahami selama ini. Paradoks yang menghadapkan hitam-putih,

support-resisten, kawan-lawan terkadang menjadi jebakan yang menyesatkan bagi setiap

pengambil kebijakan. Padahal, pergulatan psikologis yang ada dalam diri masing-masing

individu mampu menciptakan berbagai respon / reaksi yang mungkin saja tidak terduga

sebelumnya. Dua artikel yang menguraikan tentang ambivalensi menuju perubahan serta

dilemma management membantu kita memahami konflik-konflik yang timbul sehingga

desain intervensi dapat berjalan sebagaimana yang kita harapkan.

Ambivalensi pada dasarnya adalah sikap yang “memperbandingkan” reaksi positif

dan negatif terhadap suatu objek. Dalam menyikapi perubahan, mereka tidak berada dalam

posisi mendukung ataupun menolak. Sikap ini seringkali menjadi sebuah pengalaman yang

tidak menyenangkan. Kegagalan dalan memahami kemungkinan ambivalensi ini seringkali

mengarahkan pengambil kebijakan mengalami misinterpretasi atas reaksi karyawan dalam

melihat perubahan, konflik terbuka berpotensi terjadi utamanya ketika segelintir karyawan

memiliki persepsi berbeda dengan apa yang menjadi “pandangan umum” di organisasi.

Sebagai pemegang manajemen yang bijak, tentu saja tidak serta merta menghukumi bahwa

perbedaan itu buruk, sebaliknya laku ambivalence harus dimaknai sebagai sikap kritis

karyawan. Laku ambivalence menyediakan berbagai alternatif sudut pandang yang seringkali

dikaburkan oleh apa yang menjadi meanstreem selama ini.

Ambivalensi sesungguhnya sangat berbeda dengan resistensi, utamanya dalam hal

penerimaan informasi baru. Karyawan yang mengalami “kegamangan” sangat membutuhkan

informasi dan dukungan organisasi agar bisa dilibatkan dalam perubahan organisasi. Reaksi

Page 3: Dilema dan Ambivalensi dalam Desain Intervensi

karyawan terhadap perubahan organisasi sesunggguhnya bergantung pada bagaimana

karyawan memandang konsep perubahan dan bagaimana karyawan itu sendiri memandang

tentang agen perubahan. Dua faktor ini dapat melahirkan konflik dalam konteks perubahan

organisasi dan akhirnya karyawan mengalami “kegamangan” mendukung perubahan dan di

sisi lainnya memiliki pertimbangan untuk mempertahankan status quo.

Karyawan yang diidentifikasi secara sistematis mengalami ambivalensi tentu saja

harus dikelola dan dipersiapkan desain intervensinya. Hal itu didasari oleh kebutuhan mereka

atas dukungan dan arahan tentang perubahan serta potensi “perspektif dua sisi” yang mereka

miliki dapat membantu mendesain dan mengimplementasikan perubahan. Eksistensi

ambivalensi diidentifikasi sebagai sumber yang potensial dalam pengelolaan informasi secara

sistematis, berimbang dan akurat bagi manajemen. Maka dari itu, konsultasi adalah salah satu

keran pemecahan masalah ambivalensi dalam organisasi.

Di sisi lain, proses menuju transformasi perubahan organisasi kerapkali membuka

ruang terciptanya paradox dalam pengambilan keputusan. Tidak semudah membalikkan sisi

mata uang. Ketika seorang Jokowi diperhadapkan pada situasi pengambilan keputusan

pengalihan subsidi BBM yang berakibat naiknya harga BBM bersubsidi tidak lebih dari dua

bulan masa jabatannya, diperhadapkan pada kondisi dilematis untuk mengambil keputusan

sekarang atau menunda tahun depan, bahwa kebijakan itu populer atau tidak, mengumumkan

sendiri atau diwakilkan kepada menteri, konteks tersebut sangat tepat menggambarkan

dilema yang dihadapi oleh setiap pemegang kebijakan. Dilema menempatkan kita harus

menghadapi dua hal yang secara alternatif nilainya berimbang atau dua sisi yang sangat

ektrem. Dilema yang dimaksud dalam konteks manajemen perubahan utamanya terkait

dengan dilema operasional dan kepemimpinan dalam pengambilan keputusan. Pengambilan

keputusan merupakan proses pengetahuan (kognitif) yang berjalan dan keputusan lebih lanjut

akan membutuhkan sebuah jalan tengah. Langkah dalam pengambilan keputusan terbaik

biasanya dengan memfasilitasi metode yang disebut dilemma-rekonsiliasi.

Dalam artikel yang ditulis oleh Kuoppakangas (2013), penulis mengidentifikasi tiga

core dilemma dalam institusi utamanya yang bergerak dalam organisasi sektor publik. Kita

ketahui bahwa pengelolaan sektor publik melibatkan tiga unsur penting yaitu pasar,

pemerintah dan institusi itu sendiri. Dilema pertama disebut dengan Normative and Coercive

Isomorphic Forces, sebuah kondisi yang mengasumsikan dilema pengambilan keputusan

secara fleksibel dan efisien pada tataran operasional organisasi yang memperhadapkan

tekanan public governance yang tidak sefleksibel dan seefisien dengan pengambilan

keputusan di sektor privat. Esensinya adalah, normative isomorphins mengarahkan organisasi

Page 4: Dilema dan Ambivalensi dalam Desain Intervensi

lebih fleksibel dan efisien dan diwaktu bersamaan coercive isomorphic menguatkan

pemerintahan publik juga masuk kedalamnya. Dilemma kedua, disebut The quasi – Market

and Real Market. Dilema ini memperhadapkan sebuah kondisi quasi-market yang siap

beroperasi, mengadopsi orientasi pasar dan terikat dalam business –like action dan diwaktu

yang bersamaan pula organisasi beroperasi di real market yang tentu saja menuai kritik atas

campur tangan pasar. Isomorphic terjadi disini, ketika normative force mendorong pengambil

keputusan untuk terlibat dalam laku bisnis, dan coercive force mencegah laku tersebut dari

aktivitas di luar real market yang menghasilkan profit. Dilema ketiga yaitu The Municipal

Enterprise Form and Public Limited Liability Company. Sebagaimana diketahui, tahun 2007

Komisi Uni Eropa membuat sebuah konstitusi yang mengatur tentang monopoli. Aturan

tersebut menghadirkan dua opsi yaitu perusahaan bertransformasi menjadi public limited

company atau pull out pada pasar bebas. Tentu saja ini melahirkan sebuah tekanan dan

membutuhkan kompromi politik dibelakang proses transformasi. Kompromi itu berhubungan

dengan teori institusional yang merasionalisasikan isomorphic force berpengaruh terhadap

pengambilan keputusan dan di waktu bersamaan normative isomorphic mendorong sebuah

bentuk organisasi yang dikelola ala bisnis.

Ketiga dilema itu tentu saja menhadirkan kontradiksi dalam proses transformasi.

Prediksi lebih awal atas terjadinya dilema dapat membantu meminimumkan paradoxial

terhadap outcome utamanya yang berkaitan dengan legitimasi. Ketika outcome menghadapi

situasi yang paradoks dan tidak bisa dihindari, intervensi berupa manajemen strategi dilemma

dapat berkontribusi untuk solusi yang inovatif dan mengelola dilemma menjadi lebih

bermanfaat bagi kepentingan organisasi. Hal itu berarti, pendekatan manajemen dilema

menumbuhkan kesadaran bahwa manajemen sektor publik terikat pada situasi politis yang

mampu meningkatkan resitensi dan tekanan.

Interview-based analysis pada organisasi mengidentifikasi core dilemma dan

menghubungkannya dengan nilai dan tujuan organisasi. Tujuan utama organisasi adalah

membuat keputusan operasional dan menyediakan layanan yang lebih efisien daripada apa

yang telah dilakukan sebelumnya. Pemenuhan tujuan tersebut akan memberi dampak pada

municipal enterprises sebagai subjek dari perubahan sektor publik yang mana tidak

membolehkan terlalu banyaknya fleksibilitas atau terlalu efisien seperti pada sektor swasta.

Selain itu, keterikatan pada laku bisnis dan operasi real market pada organisasi seringkali

menghadapi sistem birokrasi yang keras. Intinya, setiap upaya baik kontekstual maupun

institusional tentu tidak boleh statis dan mutlak. Komplekstitas dan dinamika alamiah dalam

organisasi dibutuhkan guna memahami dan merespon proses dari rekonsiliasi dilema. Melalui

Page 5: Dilema dan Ambivalensi dalam Desain Intervensi

pemahaman ini, kita dapat belajar bahwa kemampuan mendesain intervensi merupakan

sebuah kompetensi yang strategis. Organisasi adalah organisme hidup yang dinamis,

mengelolanya tidak membutuhkan kompetensi ala “palu melihat paku” tetapi melalui

kemampuan melihat “bahaya”, “ancaman” sebagai peluang untuk diintervensi menjadi

kekuatan yang bermanfaat bagi kelangsungan organisasi dan menghasilkan relasi antar

karyawan lebih produktif.

Daftar pustaka

1. Cummings, Thomas G. and Christopher G. Worley. 2009. Organization Development and Change, International Student Edition. Mason: South-Western Cengage Learning

(CC). 2. Kuoppakangas, Paivikki. 2013. Adopting the Municipal Enterprise Form in Finland:

Core Dilemmas in the Tranformation of Public Healthcare Organization. Public

Organizational Review pp. 155-165 3. Oreg,Shaul and Noga Sverdlik. 2011. Ambivalence Toward Imposed Change: The

Conflict Between Dispositional Resistance to Change and the Orientation Toward the Change. Journal of Applied Psychology pp. 337-349