perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KONFLIK BATIN .../Konflik...PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA...
Transcript of perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KONFLIK BATIN .../Konflik...PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KONFLIK BATIN TOKOH-TOKOH
DALAM KUMPULAN CERITA MADRE KARYA DEWI LESTARI
(PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA)
SKRIPSI
OLEH:
JATMIKO
K1208028
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
KONFLIK BATIN TOKOH-TOKOH
DALAM KUMPULAN CERITA MADRE KARYA DEWI LESTARI
(PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA)
Oleh:
JATMIKO
K1208028
Skripsi
diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRAK
Jatmiko. KONFLIK BATIN TOKOH-TOKOH DALAM KUMPULAN
CERITA MADRE KARYA DEWI LESTARI (PENDEKATAN PSIKOLOGI
SASTRA). Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta. Juni 2012.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan kepribadian tokoh-tokoh
dalam cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang; (2) mendeskripsikan konflik
batin yang dialami tokoh-tokoh di dalam cerpen Madre dan Menunggu Layang-
layang berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud; (3) mendeskripsikan
bagaimana persepsi pembaca terhadap cerpen Madre dan Menunggu Layang-
layang.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan psikologi sastra karena penelitian ini berfokus pada
konflik batin yang dialami oleh tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Penelitian ini
mengambil sampel dua buah cerpen, yaitu Madre dan Menunggu Layang-layang
karena dua cerpen tersebut merupakan cerpen yang sama-sama memiliki konflik
batin mengingat kumpulan cerita Madre ini terdiri dari cerpen, puisi, dan lagu.
Sumber data berasal dari dokumen dan informan. Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik pustaka dan wawancara. Validitas data menggunakan teknik
triangulasi teori dan sumber. Analisis data di dalam penelitian ini menggunakan
analisis data interaktif.
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan tiga hal berikut ini.
Pertama, tokoh Tansen sebagai sosok pria yang bertanggung jawab dan pekerja
keras; Pak Hadi sebagai sosok pria yang memegang teguh prinsip; Mei sebagai
wanita pekerja keras meskipun dibayangi rasa bersalah; Bu Cory dan Bu Sum
sebagai pekerja yang memiliki loyalitas tinggi kepada pemimpinnya; Christian
sebagai pria pekerja keras dan memiliki kehidupan teratur; Starla sebagai wanita
pekerja keras yang tidak diimbangi dengan kepribadian yang baik; dan Rako
sebagai pria yang takut dengan komitmen. Kedua, konflik batin yang dialami
tokoh: Tansen karena ketidakjelasan silsilah keluarga dan pemerolehan warisan
dari orang yang tidak dikenal; Pak Hadi sebagai orang yang mengetahui sejarah
kehidupan Tansen; Mei terhadap kesalahan masa kecil; Christian yang takut
perubahan dan ketidakpastian; Starla yang takut dengan komitmen; keinginan
Rako untuk memiliki Starla tidak tercapai. Ketiga, konflik batin yang terjadi di
dalam cerpen tersebut dapat terjadi di dunia nyata dan Madre lebih memiliki nilai
perjuangan daripada Menunggu Layang-layang.
Kata kunci: cerita, tokoh, konflik batin, psikologi sastra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Sekali dalam hidup orang harus menentukan sikap
Kalau tidak, dia takkan menjadi apa-apa.
(Pramoedya Ananta Toer)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Dengan rasa syukur kepada Allah, kupersembahkan skripsi ini untuk:
1. Bapak dan Ibu, yang selalu mendukung dan menyemangatiku untuk dapat
memberikan yang terbaik dalam hidup;
2. Mbak Sirih Purwanti, Mas Maryanto, Mas Joko Nofianto yang selalu
memberikan semangat di setiap langkahku untuk menggapai impian;
3. Kawan-kawanku di Lembaga Pers Mahasiswa Motivasi FKIP UNS;
4. Bastind’08; terima kasih telah memberikan warna hidupku untuk menempuh
jalan ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna
memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak.
Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof.Dr.H.M.Furqon Hidayatullah,M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan yang telah memberikan izin penulisan skripsi;
2. Dr.Muh.Rohmadi,M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni yang
telah memberikan persetujuan skripsi;
3. Dr.Kundharu Saddhono,S.S.,M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Seni yang telah memberikan izin penulisan skripsi;
4. Dra.Sumarwati,M.Pd. selaku Pembimbing I dan Dra. Raheni Suhita, M.Hum.
selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan
dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
lancar;
5. Dr.Andayani,M.Pd., Pembimbing Akademik yang telah memberikan
bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa di Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia FKIP UNS;
6. Bapak dan Ibu dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang
telah membantu penulis selama menimba ilmu di FKIP UNS;
7. Dewi Lestari, Dra.Murtini,M.S., Amiliya S.H., Christin C., Aprilia P.S., Nurul
R., Retno P.L., Arnellis M. yang telah bersedia menjadi narasumber penelitian
skripsi ini;
8. Bapak, Ibu, Mas Maryanto, Mas Joko, Mbak Sirih, dan saudara di rumah yang
selalu memberikan semangat untukku;
9. Helmi, Cini, Rina, Ellysa, Norma, Alfira, Erma, Santi, Fitri, dan teman-teman
Bastind 2008 yang telah memberikan warna di perjalanan ini;
10. Mbak Nisa, Mbak Tutut, Mbak Septi, Mas Hanif, Mas Tisna, Mas Anjar, Mas
Djoko, Mbak Duwi, Ahmad, Farra, Yui, Fitria, Qodri, Imron, Lutfi, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
kawan-kawan lainnya di LPM Motivasi yang telah membuatku menjadi orang
yang kuat.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah pengetahuan bagi pembaca.
Surakarta, Juni 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ v
HALAMAN ABSTRAK .................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO ........................................................................................ vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan ................................. 6
B. Kerangka Berpikir ................................................................................ 18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 19
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian ....................................................... 20
C. Data dan Sumber Data ......................................................................... 20
D. Teknik Sampling .................................................................................. 21
E. Pengumpulan Data ............................................................................... 21
F. Uji Validitas Data ................................................................................ 22
G. Analisis Data ........................................................................................ 22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
H. Prosedur Penelitian .............................................................................. 23
BAB IV PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data ...................................................................................... 25
B. Kepribadian Tokoh-tokoh dalam Cerpen ............................................. 26
C. Konflik Batin yang Dialami oleh Tokoh ............................................. 41
D. Persepsi Pembaca terhadap Konflik ..................................................... 68
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan .............................................................................................. 72
B. Implikasi .............................................................................................. 74
C. Saran .................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 76
LAMPIRAN ....................................................................................................... 78
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Bagan 1. Kerangka Berpikir ............................................................................ 18
Bagan 2. Analisis Interaktif (Miles & Huberman) .......................................... 23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian .......................................................... 19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Profil Dewi Lestari ................................................................ 76
Lampiran 2. Sinopsis Madre ..................................................................... 78
Lampiran 3. Sinopsis Menunggu Layang-layang ......................................... 82
Lampiran 4. Transkrip Wawancara Dewi Lestari ........................................ 84
Lampiran 5. Daftar Pertanyaan untuk Dra.Murtini,M.S. .............................. 87
Lampiran 6. Transkrip Wawancara Dra.Murtini,M.S. .................................. 89
Lampiran 7. Daftar Pertanyaan untuk April dkk .......................................... 93
Lampiran 8. Transkrip Wawancara Aprilia ................................................ 94
Lampiran 9. Transkrip Wawancara Nurul .................................................. 97
Lampiran 10. Transkrip Wawancara Retno ................................................ 99
Lampiran 11. Transkrip Wawancara Christin ............................................. 102
Lampiran 12. Transkrip Wawancara Amiliya ............................................. 105
Lampiran 13. Transkrip Wawancara Arnellis .............................................. 110
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Novel atau cerpen sebagai bagian bentuk sastra merupakan jagad realita
yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat oleh
manusia (tokoh) (Siswantoro, 2005:29). Sebagai bagian dari karya sastra, novel
atau cerpen yang muncul tak hanya digunakan sebagai hiburan, tetapi novel atau
cerpen tersebut dapat juga digunakan sebagai media pendidikan. Kehadiran novel
atau cerpen sebagai bagian karya sastra tak terlepas dari unsur intrinsik. Unsur
intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri
(Nurgiyantoro, 2009:23). Unsur tersebut, misalnya plot, penokohan, tema, latar,
sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa.
Sastra adalah hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia
dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Sebagai seni
kreatif yang mengungkapkan kehidupan manusia, karya sastra tidak hanya
merupakan media untuk menyampaikan ide, teori, atau sistem berpikir, tetapi juga
merupakan media untuk menampung ide, teori serta sistem berpikir manusia. Oleh
karena itu, sebagai karya kreatif, sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi
yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia. Di samping
itu, sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan
dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia (Semi, 1993:8).
Sebuah karya sastra akan menjadi lebih hidup ketika didukung dengan
kehadiran tokoh-tokoh di dalamnya. Setiap tokoh dilengkapi dengan jiwa dan raga
untuk mendukung cerita, meskipun cerita tersebut fiktif. Hal ini terlihat dari sifat
atau karakter yang melekat pada tokoh tersebut. Meskipun masing-masing tokoh
memiliki karakter pribadi, dalam kehidupannya tokoh-tokoh tersebut senantiasa
berhubungan dengan tokoh yang lain. Tak jarang hubungan tersebut dapat
menimbulkan sebuah konflik, baik konflik antarindividu, konflik antarkelompok,
bahkan konflik pribadi yang sering disebut sebagai konflik batin. Seperti
disebutkan oleh Wellek dan Warren dalam Nurgiyantoro (2009:122) bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
konflik merupakan sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua
kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan. Dengan
kata lain, manusia selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup. Di dalam
menghadapi persoalan tersebut, manusia tidak akan terlepas dari jiwa manusia itu
sendiri.
Tokoh-tokoh sebagai pemegang alur akan menghidupkan peristiwa atau
kejadian di dalam cerita tersebut. Seperti disebutkan oleh Nurgiyantoro
(2009:167) bahwa tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan
penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan
kepada pembaca. Melalui tokoh-tokoh inilah pengarang akan melukiskan
kehidupan manusia dengan segala problematikanya dan konflik-konfliknya.
Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2009:165), tokoh cerita merupakan orang-
orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas nilai moral dan kecenderungan tertentu yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan selalu menampilkan tokoh
yang memiliki karakter sehingga karya sastra tersebut menggambarkan tentang
kejiwaan manusia, walaupun pengarang hanya menampilkan tokoh itu secara
fiktif. Dengan kenyataan tersebut, karya sastra selalu terlibat dalam segala aspek
kehidupan, tidak terkecuali ilmu jiwa atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari
pandangan dualisme yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas
jiwa dan raga.
Penelitian yang menggunakan pendekatan psikologi terhadap karya sastra
merupakan bentuk pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi psikologi.
Alasan ini didorong karena tokoh-tokoh dalam karya sastra dimanusiakan, mereka
semua diberi jiwa, mempunyai raga bahkan untuk manusia yang disebut
pengarang mungkin memiliki penjiwaan yang lebih bila dibandingkan dengan
manusia lainnya terutama dalam hal penghayatan mengenai hidup dan kehidupan
(Hardjana, 1985:60).
Hartoko dalam Endraswara (2008:70) menyebutkan bahwa psikologi sastra
adalah ilmu sastra yang mendekati karya sastra dari sudut psikologi. Dasar konsep
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
dari psikologi sastra adalah munculnya jalan buntu dalam memahami sebuah
karya sastra, sedangkan pemahaman dari sisi lain dianggap belum bisa mewadahi
tuntutan psikis. Oleh karena itu, muncullah psikologi sastra yang berfungsi
sebagai jembatan dalam interpretasi. Penelitian psikologi sastra memfokuskan
pada aspek-aspek kejiwaan. Artinya, dengan memusatkan perhatian pada tokoh-
tokoh penelitian dapat mengungkap gejala-gejala psikologis tokoh, baik yang
tersembunyi atau sengaja disembunyikan pengarang (Ratna, 2009:350).
Di dalam ilmu psikologi, terdapat teori yang mengusulkan bagaimana
mempelajari tentang aspek kejiwaan maupun penokohan dalam karya sastra. Teori
ini digunakan untuk mempelajari tentang kesadaran dan ketidaksadaran pada
manusia. Teori psikologi tersebut diperkenalkan oleh Sigmund Freud.
Menurutnya, semua gejala mental bersifat tak sadar yang tertutup oleh alam
kesadaran (Schellenberg dalam Ratna, 2009:62). Freud membagi teori kepribadian
menjadi tiga, yaitu id atau es; ego atau ich; dan superego atau uber ich. Selain itu,
psikologi Freud juga memanfaatkan mimpi, fantasi, dan mite. Hal tersebut
merupakan masalah pokok dalam sastra. Ratna (2009:342) juga menyebutkan
bahwa secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek
kejiwaan yang terkandung di dalam sebuah karya sastra.
Kumpulan cerita Madre adalah sebuah kumpulan cerita yang ditulis oleh
Dewi Lestari. Sebagai seorang penulis dan penyanyi, Dee, sapaan akrab Dewi
Lestari dapat dikatakan sebagai seorang penyanyi yang sukses di bidang
kepenulisan. Novel pertamanya Supernova mampu menembus angka penjualan
75.000 eksemplar yang pada akhirnya mengantarkan novel ini untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Supernova pun masuk dalam nominasi
Katulistiwa Literary Award (KLA) yang diadakan oleh QB World Books.
Bersaing dengan sastrawan kenamaan, seperti Goenawan Mohamad, Danarto,
Sutardji Calzoum Bachri, dan Hamsad Rangkuti. Tahun 2009, Dee menerbitkan
novel Perahu Kertas. Tahun 2011, kumpulan cerita Madre pun terbit.
Kumpulan cerita Madre ini menyampaikan cerita yang lebih detil dan
ringkas, tidak seperti sebuah novel yang panjang. Konflik batin yang dihadirkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
oleh penulis tidak berbelit-belit karena tokoh yang dihadirkan dalam cerita pun
tidak terlalu banyak.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti terdorong untuk meneliti
tentang konflik batin yang dialami tokoh dari sisi psikologi sebagai bagian dari
sastra. Judul penelitian ini, yaitu “Konflik Batin Tokoh-tokoh dalam Kumpulan
Cerita Madre Karya Dewi Lestari (Pendekatan Psikologi Sastra)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dirumuskan permasalahan
sebagai berikut.
1. Bagaimana penggambaran kepribadian tokoh-tokoh dalam cerpen Madre dan
Menunggu Layang-layang?
2. Bagaimana konflik batin yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalam cerpen
Madre dan Menunggu Layang-layang berdasarkan teori kepribadian
psikoanalisis Sigmund Freud?
3. Bagaimana persepsi pembaca terhadap konflik batin yang digambarkan dalam
cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Menggambarkan kepribadian tokoh-tokoh dalam cerpen Madre dan
Menunggu Layang-layang.
2. Menggambarkan konflik batin yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalam cerpen
Madre dan Menunggu Layang-layang berdasarkan teori kepribadian
psikoanalisis Sigmund Freud.
3. Menggambarkan persepsi pembaca terhadap konflik batin dalam cerpen
Madre dan Menunggu Layang-layang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis
maupun praktis.
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai studi sastra Indonesia
khususnya dengan pendekatan psikologi sastra. Penelitian ini juga diharapkan
dapat digunakan sebagai pemacu di bidang pendidikan untuk mulai
menggunakan cerpen sebagai media pendidikan di sekolah. Selain itu juga
untuk memberikan sumbangan dalam teori sastra dan teori psikologi dalam
mengungkap konflik batin tokoh-tokoh dalam kumpulan cerita Madre.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA
Penelitian ini diharapkan mampu digunakan untuk menggambarkan
bagaimana contoh penganalisisan sebuah karya sastra sehingga dapat
mendorong peserta didik untuk meningkatkan pemahaman terhadap karya
sastra.
b. Bagi Siswa
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan contoh oleh siswa bagaimana
cara menganalisis konflik yang dialami oleh tokoh di dalam karya sastra.
Hal ini dimaksudkan untuk mendorong siswa menjadi produktif untuk
menghasilkan karya.
c. Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang
penelitian dalam multidisiplin ilmu. Selain itu, penelitian ini dapat
dijadikan sebagai acuan untuk melaksanakan penelitian-penelitian
selanjutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan
1. Hakikat Cerpen
Munculnya berbagai karya sastra saat ini menunjukkan bahwa
perkembangan dunia sastra Indonesia kian membaik. Karya sastra yang
banyak bermunculan merupakan karya-karya fiksi. Fiksi merupakan hasil
dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan
kehidupan (Nurgiyantoro, 2009:3). Tarigan (1991:120) juga menyebutkan
bahwa fiksi adalah sesuatu yang dibentuk; sesuatu yang dibuat; sesuatu yang
diciptakan; sesuatu yang diimajinasikan. Karya fiksi sering disebut sebagai
karya rekaan yang digunakan oleh pengarang untuk menghidupkan tokoh-
tokoh yang ada di dalamnya. Cerita rekaan tersebut menyaran pada sesuatu
yang tidak nyata dan tidak terjadi sungguh-sungguh. Namun, sebagai sebuah
cerita, fiksi tetap memiliki tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca
di samping tujuan estetik. Contoh cerita fiksi, yaitu novel dan cerpen. Namun,
cerpen dan novel memiliki berbagai perbedaan. Menurut Nurgiyantoro
(2009:10) perbedaan antara novel dengan cerpen yang pertama (dan yang
terutama) dapat dilihat dari segi formalitas bentuk dan segi panjang cerita.
Stanton pun menyatakan hal yang sama bahwa perbedaan yang paling jelas
adalah dari segi panjang (1965:37).
Marsli (2008) menyebutkan bahwa cerpen adalah sebuah dunia baru
yang dibangunkan dari himpunan realita yang dibaur dan dicernakan di dalam
imajinasi pengarang. Beach (Tarigan, 1991:176) menyatakan bahwa
mengingat batas-batasnya maka cerita pendek termasuk bentuk yang
sederhana dari fiction. Namun, berbeda dengan buku roman, cerita pendek
kurang tepat untuk memecahkan suatu keadaan yang ruwet. Dari pengertian
tersebut jelas bahwa cerpen merupakan hasil olahan ide yang didapatkan dari
kehidupan nyata yang dipadukan dengan imajinasi pengarang sehingga
menghasilkan cerita yang menarik dan tidak terlalu panjang. Cerita yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
disampaikan di dalam cerpen pun lebih ringkas dan tidak berbelit-belit.
Namun, berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak
ada satu kesepakatan di antara pengarang dan para ahli (Nurgiyantoro,
2009:10).
Poe dalam Nurgiyantoro (2009:10) menyebutkan bahwa cerpen adalah
sebuah cerita yang dibaca selesai dalam sekali duduk, kira-kira berkisar
antara setengah sampai dua jam. Sementara itu, Camby (Tarigan, 1991:176)
mengatakan bahwa kesan yang satu dan hidup, itulah seharusnya hasil dari
cerita pendek. Pengertian tersebut menyiratkan bahwa sebuah cerita pendek
haruslah singkat, padat, dan jelas. Konflik yang disajikan pun tidak melebar
dan fokus pada sebuah permasalahan sehingga penyelesaian cerita yang
hendak disampaikan penulis tidak berbelit-belit. Secara tidak langsung, hal
tersebut akan menyebabkan singkatnya membaca cerita.
Cerita pendek sebagai bagian dari fiksi tidak hanya memiliki satu
bentuk. Namun, cerita pendek juga memiliki berbagai macam bentuk. Bentuk
cerita pendek tersebut dapat dibagi menjadi beberapa, yaitu (a) short short
story (Berkisar 500 kata); (b) midle short story; (c) long short story
(Nurgiyantoro, 2009:10). Berbeda dengan Nurgiyantoro yang menyatakan
short short story berkisar 500 kata, pendapat lain muncul dari Tarigan.
Menurut Tarigan (1991:178), short short story adalah cerita pendek yang
jumlah kata-katanya pada umumnya di bawah 5000 kata, maksimum 5000
kata, atau kira-kira 16 halaman kuarto spasi rangkap yang dapat dibaca kira-
kira seperempat jam. Namun, meskipun kedua pendapat tersebut berbeda,
dinyatakan bahwa maksimal 5000 kata dan 500 berada di bawah 5000.
Setidaknya, pengertian yang dimaksud oleh Nurgiyantoro dapat dimasukkan
ke dalam pengertian cerita pendek menurut Tarigan. Selain itu, sebuah cerita
pendek tidak hanya dilihat dari panjang pendeknya cerita maupun jumlah
suku kata. Lebih dari itu, cerita pendek juga tetap memiliki unsur-unsur
pembangun cerita yang padu. Unsur-unsur tersebut sering disebut struktur di
dalam karya sastra. Unsur-unsur pembangun dari dalam (intrinsik) yang
dimaksud, yaitu tema, plot, tokoh dan penokohan, amanat, dan latar. Menurut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Abbasi (2011:51), strukturalisme telah didefinisikan sebagai ilmu yang
digunakan sebagai landasan untuk memahami secara sistematis semua
pengalaman manusia, termasuk tingkah lakunya. Secara tersirat pendapat
tersebut menggambarkan tentang penokohan yang ada di dalam karya sastra.
Penokohan sebagai bagian dari karya sastra merupakan bagian dari cipta
pengarang termasuk tingkah laku dan pengalaman yang ada di dalam cerita.
2. Unsur Tokoh dan Penokohan
Kehadiran tokoh-tokoh di dalam sebuah karya sastra sangat penting
terutama untuk menghidupkan cerita yang ada di dalamnya. Tokoh-tokoh
dalam karya sastra memiliki karakter yang berbeda-beda sehingga membentuk
sebuah jalinan cerita dan konflik yang padu.
Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Tokoh dalam suatu cerita
rekaan merupakan unsur penting yang menghidupkan cerita. Di dalam sebuah
karya sastra biasanya terdapat beberapa tokoh. Namun, di antara beberapa
tokoh tersebut, salah satu tokoh akan berperan menjadi tokoh utama. Tokoh
utama ialah tokoh yang sangat penting dalam mengambil peranan di dalam
karya sastra. Kehadiran tokoh dalam cerita berkaitan dengan terciptanya
konflik, dalam hal ini tokoh berperan membuat konflik dalam sebuah cerita
rekaan (Nurgiyantoro, 2009:164).
Pembicaraan mengenai penokohan dalam cerita rekaan tidak dapat
dilepaskan hubungannya dengan tokoh. Istilah ‘tokoh’ menunjuk pada pelaku
dalam cerita, sedangkan ‘penokohan’ menunjukkan pada sifat, watak atau
karakter yang melingkupi diri tokoh yang ada. Penokohan adalah pelukisan
gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita
(Jones dalam Nurgiyantoro, 2009:165). Penokohan dapat juga dikatakan
sebagai proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak tokoh dalam
suatu cerita. Stanton (1965:17) juga menyebutkan bahwa di dalam fiksi yang
baik, setiap perkataan, setiap tindakan tidak hanya mendukung plot, tetapi
juga penjelmaan dari penokohan atau karakter. Tihenea (2011:59) juga
menyebutkan bahwa mental, kelas sosial, jenis kelamin, dan bangsa dapat
memengaruhi tingkah laku sosial setiap individu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan
merupakan cara pengarang untuk menggambarkan dan mengembangkan
watak tokoh yang mendukung cerita. Watak yang ditampilkan merupakan
keinginan pengarang yang disesuaikan dengan jalan cerita yang diinginkan.
Watak yang dimiliki setiap tokoh akan memacu timbulnya perilaku tokoh di
dalam cerita karena watak dan tokoh dapat berjalan secara beriringan.
Pengarang memiliki beberapa teknik atau cara-cara untuk menampilkan
tokoh, yaitu teknik ekspositori (teknik analitis) dan teknik dramatik
(Nurgiyantoro, 2009:195). Pertama, teknik analitis, yaitu cara menampilkan
tokoh secara langsung melalui uraian pengarang. Jadi pengarang menguraikan
ciri-ciri tokoh tersebut secara langsung. Pengarang memberikan komentar
tentang kedirian tokoh cerita berupa lukisan sikap, sifat, watak, tingkah laku,
bahkan ciri fisiknya. Kedua, cara dramatik, yaitu cara menampilkan tokoh
tidak secara langsung, tetapi melalui gambaran ucapan, perbuatan, dan
komentar atau penilaian pelaku atau tokoh dalam suatu cerita. Metode tidak
langsung (dramatik) adalah teknik pengarang mendeskripsikan tokoh dengan
membiarkan tokoh-tokoh tersebut saling menunjukkan kediriannya masing-
masing, melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal maupun
nonverbal, seperti tingkah laku, sikap, dan peristiwa yang terjadi.
Setiap tokoh mempunyai wataknya sendiri-sendiri. Satoto dalam
Parwanti (2006:12) menyatakan,
Tokoh adalah bahan yang paling aktif menjadi penggerak jalan cerita
karena tokoh ini berpribadi, berwatak, dan memiliki sifat-sifat
karakteristik tiga dimensional, yaitu :
1) Dimensi fisiologis ialah ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat
kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuhnya, ciri-ciri muka dan ciri-
ciri badani yang lain.
2) Dimensi sosiologis ialah ciri-ciri kehidupan masyarakat, misalnya
status sosial, pekerjaan, jabatan atau peran dalam masyarakat, tingkat
pendidikan, pandangan hidup, agama, aktivitas sosial, suku bangsa,
dan keturunan.
3) Dimensi psikologis ialah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas,
ukuran moral, temperamen, keinginan, perasaan pribadi, IQ, dan
tingkat kecerdasan keahlian khusus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Tokoh berkaitan dengan orang atau seseorang sehingga perlu
penggambaran yang jelas mengenai posisi tokoh tersebut. Jenis-jenis tokoh
menurut Nurgiyantoro (2009:176-190) dapat dibagi menjadi beberapa jenis,
yaitu berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya; berdasarkan segi
fungsi penampilan tokoh; berdasarkan segi perwatakan; berdasarkan segi
berkembang atau tidaknya perwatakan; berdasarkan segi kemungkinan
pencerminan tokoh.
Berdasarkan segi peranannya, tokoh dibagi menjadi tokoh utama dan
tokoh tambahan. Tokoh utama, yaitu tokoh yang diutamakan penceritaannya
dalam novel dan sangat menentukan perkembangan alur secara keseluruhan.
Sedangkan tokoh tambahan, yaitu tokoh yang permunculannya lebih sedikit
dan kehadirannya jika hanya ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara
langsung atau tidak langsung.
Berdasarkan segi fungsi penampilan tokoh, tokoh dibagi menjadi tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis, yaitu tokoh utama yang
merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang ideal bagi pembaca. Sedangkan
tokoh antagonis, yaitu tokoh penyebab terjadinya konflik. Antara tokoh
protagonis dan antagonis ini saling mengimbangi dan biasanya memiliki
watak yang berbeda sehingga mengimbangi jalannya cerita.
Berdasarkan segi perwatakan, tokoh dibagi menjadi tokoh sederhana
dan tokoh bulat atau kompleks. Tokoh sederhana (simple atau flat character),
yaitu tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-
watak tertentu saja. Tokoh bulat (complex atau round character), yaitu tokoh
yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi
kepribadian dan jati dirinya.
Berdasarkan segi berkembang atau tidaknya perwatakan, penokohan
dapat dibagi menjadi tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis (static
character), yaitu tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami
perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya
peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang, yaitu tokoh cerita yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan
perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan.
Berdasarkan segi pencerminan tokoh, tokoh dibagi menjadi tokoh
tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal, yaitu tokoh yang hanya sedikit
ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas
pekerjaan atau kebangsaannya atau sesuatu yang lain yang bersifat mewakili.
Sedangkan tokoh netral, yaitu tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu
sendiri.
Tokoh-tokoh yang disebutkan di atas memainkan perannya sendiri-
sendiri untuk mendukung jalannya cerita. Setiap tokoh akan dilengkapi
dengan watak, jiwa, dan raga yang berbeda-beda tiap individunya oleh
pengarang. Seperti disebutkan oleh Banda (1999:49) bahwa pengarang
merupakan suatu respon terhadap berbagai persoalan dalam kehidupan.
Kondisi sosial sebagai bagian dari dimensi sosiologis pun diberikan oleh
pengarang untuk mendukung berbagai karakter yang muncul. Hal ini
bertujuan untuk melahirkan sebuah karya yang baik dengan adanya
pengimbangan berbagai unsur dan karakter.
3. Pendekatan Psikologi Sastra
a. Pengertian Psikologi
Psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche yang artinya jiwa dan
logos yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi, secara etimologis (menurut arti
kata) psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai
macam-macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya (Ahmadi,
1979:1).
Walgito mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang
membicarakan tentang jiwa. Ia merupakan suatu ilmu yang menyelidiki
serta mempelajari tingkah laku serta aktivitas itu sebagai manifestasi hidup
kejiwaan (1997:9). Siswantoro (2005:26) menyebutkan bahwa psikologi
sebagai ilmu jiwa yang menekankan perhatian studinya pada manusia,
terutama pada perilaku manusia (human behaviour or action). Kamus
Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa pengertian psikologi adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
ilmu yang berkaitan dengan dengan proses-proses mental baik normal
maupun abnormal yang pengaruhnya pada perilaku atau ilmu pengetahuan
tentang gejala dan kegiatan jiwa (2008:1109).
Jadi, berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia baik
gejala, proses, maupun latar belakang yang berpengaruh pada perilaku
manusia tersebut.
b. Pengertian Psikologi Sastra
Psikologi sastra merupakan suatu pendekatan yang
mempertimbangkan segi-segi kejiwaan dan menyangkut batiniah manusia
di dalam sebuah karya sastra. Hadirnya psikologi sastra dapat digunakan
untuk memahami karakter-karakter tokoh di dalam sebuah karya sastra.
Lewat tinjauan psikologi akan nampak bahwa fungsi dan peran sastra
adalah untuk menghidangkan citra manusia yang seadil-adilnya dan
sehidup-hidupnya atau paling sedikit untuk memancarkan bahwa karya
sastra pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan kehidupan manusia
(Hardjana, 1985:66). Psikologi sastra sebagai cabang ilmu sastra yang
mendekati sastra dari sudut psikologi. Psikologi mencoba memahami
karya sastra dari sudut yang berbeda, mulai dari karakter sampai dengan
konflik yang dialami tokoh karena ilmu psikologi sangat erat dengan
kondisi kejiwaan. Perhatiannya dapat diarahkan kepada pengarang dan
pembaca (psikologi komunikasi sastra) atau kepada teks itu sendiri
(Hartoko & Rahmanto, 1986:126). Apabila seorang pengarang mencipta-
kan karya sastra, karya tersebut merupakan monumentalisasi verbal dari
aktivitas budaya pengarang (Banda, 1999:46). Jadi, baik secara langsung
ataupun tidak, kondisi pengarang dapat memengaruhi karya sastra yang
akan ditulisnya.
Psikologi sastra bertujuan untuk memahami aspek-aspek kejiwaan
yang terkandung dalam suatu karya. Meskipun demikian, bukan berarti
bahwa psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat.
Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, masyarakat dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain
yang terjadi dalam masyarakat, khususnya yang terkait dengan kejiwaan
(Ratna, 2009:342-343).
Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan
antara psikologi dan sastra, yaitu (1) memahami unsur-unsur kejiwaan
pengarang sebagai penulis, (2) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-
tokoh fiksional dalam karya sastra, dan (3) memahami unsur-unsur
kejiwaan pembaca. Pembicaraan pertama berhubungan dengan peranan
pengarang sebagai pencipta. Jadi, karya sastra dibicarakan sebagai hal
yang berhubungan dengan proses kreatif. Oleh karena itu, Wellek dan
Warren membedakan analisis psikologis yang pertama ini menjadi dua
macam, yaitu studi psikologi yang semata-mata berkaitan dengan
pengarang dan studi yang berhubungan dengan inspirasi, ilham, dan
kekuatan supernatural lainnya.
Psikologi sastra sebenarnya lebih memberikan perhatiannya pada
masalah yang kedua, yaitu pembicaraan yang berhubungan dengan unsur-
unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra.
Sebagai dunia dalam kata, karya sastra memasukkan berbagai aspek
kehidupan ke dalamnya, khususnya manusia. Pada umumnya, aspek-aspek
kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra, sebab
semata-mata dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh, aspek kejiwaan
diinvestasikan dan dicangkokkan. Di dalam analisis, pada umumnya yang
menjadi tujuan adalah tokoh utama, tokoh kedua, tokoh ketiga, dan
seterusnya (Ratna, 2009:343).
Psikologi sastra adalah model penelitian interdisiplin dengan
menetapkan karya sastra dengan posisi yang lebih dominan. Cerpen tidak
melukiskan tokoh-tokoh dari semestaan yang sama. Cerpen juga tidak
menampilkan tokoh sebagai manusia secara individual. Sebagai sistem
simbol, dalam cerpen terkandung keberagaman tokoh sebagai representasi
mutikultural dan tokoh-tokoh sebagai spesies. Pada gilirannya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
karakterisasi dibangun atas dasar dan dipahami melalui hakikat
multikultural dan spesies.
Psikologi sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan
relevansi dan peranan studi psikologis. Dengan memusatkan perhatian
pada tokoh-tokoh maka akan dapat dianalisis konflik batin yang mungkin
saja bertentangan dengan teori psikologis.
Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian,
yaitu (1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pembeda, (2) Studi
proses kreatif, (3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan
pada karya sastra, dan (4) Studi yang mempelajari dampak sastra pada
pembaca atau psikologi pembaca (Wellek & Warren, 1990:90).
Berdasarkan pendapat Wellek dan Warren di atas, penelitian pada
kumpulan cerita Madre ini mengarah pada pengertian ketiga, yaitu
pendekatan psikologi sebagai studi tipe dan hukum-hukum yang
diterapkan pada karya sastra. Secara spesifik dapat dijelaskan, bahwa
analisis yang akan dilakukan terutama diarahkan pada kondisi kejiwaan
tokoh-tokoh yang berperan dalam cerita untuk mengungkap
kepribadiannya secara menyeluruh.
4. Teori Kepribadian
Teori kepribadian merupakan sebuah teori yang digunakan untuk
memahami kondisi kejiwaan seseorang. Di dalam psikologi banyak teori yang
memberikan pemahaman terhadap teori kepribadian. Teori psikologi yang
paling dominan dalam analisis karya sastra adalah teori psikologi yang
disampaikan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Freud adalah psikolog
pertama yang menyelidiki aspek ketidaksadaran dalam jiwa manusia. Freud
mengibaratkan kesadaran manusia sebagai gunung es, sedikit yang terlihat di
permukaan adalah menunjukkan kesadaran, sedangkan bagian tidak terlihat
yang lebih besar menunjukkan aspek ketidaksadaran. Dalam daerah
ketidaksadaran yang sangat luas ini ditemukan dorongan-dorongan, nafsu-
nafsu, ide-ide dan perasaan-perasan yang ditekan, suatu dunia dalam yang
besar dan berisi empat belas kekuatan vital yang melaksanakan kontrol
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
penting atas pikiran-pikiran dan perbuatan sadar manusia (Hall & Gardner,
1993:60).
Ajaran-ajaran Freud di atas, dalam dunia psikologi lazim disebut
sebagai psikoanalisis yang menekankan penyelidikannya pada proses
kejiwaan dalam ketidaksadaran manusia. Di dalam ketidaksadaran inilah
menurut Freud berkembang insting hidup yang paling berperan dalam diri
manusia, yaitu insting seks dan selama tahun-tahun pertama perkembangan
psikoanalisis, segala sesuatu yang dilakukan manusia dianggap berasal dari
dorongan ini. Seks dan insting-insting hidup yang lain, mempunyai bentuk
energi yang menopangnya, yaitu libido (Hall & Gardner, 1993:73).
Freud mendeskripsikan kepribadian menjadi tiga, yaitu struktur
kepribadian, dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian.
Selanjutnya, Freud membagi struktur kepribadian menjadi tiga sistem, yaitu
id, (das es), ego (das ich), dan superego (das ueber ich). Perilaku manusia
pada hakikatnya merupakan hasil interaksi substansi dalam kepribadian
manusia id, ego, dan superego yang ketiganya selalu bekerja, jarang salah satu
di antaranya terlepas atau bekerja sendiri. Penjelasan dari tiga sistem tersebut
adalah sebagai berikut.
a. Id adalah sistem kepribadian yang asli yang dibawa sejak lahir (Alwisol,
2011:14). Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologi yang diturunkan,
seperti insting, impuls, dan drives. Dari sini aspek kepribadian yang lain
tumbuh yang kemudian muncul ego dan superego. Id berfungsi untuk
menghindarkan diri dari ketidakenakan dan mengejar kenikmatan. Untuk
mengejar kenikmatan itu id mempunyai dua cara, yaitu tindakan refleks
dan proses primer, tindakan refleks seperti bersin atau berkedip, sedangkan
proses primer seperti saat orang lapar membayangkan makanan. Alwisol
(2011:15) juga menyebutkan bahwa id hanya mampu membayangkan
sesuatu tanpa mampu membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang
benar-benar memuaskan kebutuhan.
b. Ego berkembang dari id agar orang mampu menangani realita sehingga ego
beroperasi mengikuti prinsip realita (reality principle) (Alwisol, 2011:15).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Hal ini menyebabkan aspek psikologis dari kepribadian timbul karena
kebutuhan individu untuk berhubungan baik dengan dunia nyata. Ego dapat
pula dipandang sebagai aspek eksekutif kepribadian karena ego mengontrol
jalan yang ditempuh, memilih kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi
serta cara-cara memenuhinya. Dalam fungsinya seringkali ego harus
mempersatukan pertentangan-pertentangan antara id dan superego. Peran
ego ialah menjadi perantara antara kebutuhan-kebutuhan instingtif dan
keadaan lingkungan.
c. Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian yang beroperasi
memakai prinsip idealistik (idealistic principle) (Alwisol, 2011:16). Aspek
kepribadian ini, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita
masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orang tua kepada anaknya lewat
perintah-perintah atau larangan-larangan. Superego dapat pula dianggap
sebagai aspek moral kepribadian, fungsinya menentukan apakah sesuatu itu
baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak, sesuai dengan
moralitas yang berlaku di masyarakat. Fungsi pokok superego adalah
merintangi dorongan id terutama dorongan seksual dan agresif yang
ditentang oleh masyarakat. Mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal
yang moralistis dari pada realistis dan mengejar kesempurnaan. Jadi,
superego cenderung untuk menentang id maupun ego dan membuat
konsepsi yang ideal.
Demikianlah struktur kepribadian menurut Freud, yang terdiri dari
tiga aspek, yaitu id, ego, dan superego yang ketiganya tidak dapat
dipisahkan. Secara umum, id bisa dipandang sebagai komponen biologis
kepribadian, ego sebagai komponen psikologisnya, sedangkan superego
adalah komponen sosialnya.
5. Penelitian yang Relevan
Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini, yaitu penelitian
dengan judul Konflik Tokoh Utama dalam Kumpulan Novelet Tulalit Karya
Putu Wijaya: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra oleh Rosid Wuryanto
tahun 2007 (UNS). Hasil penelitian menyebutkan bahwa antara tema dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
amanat terdapat jalinan erat dan bermakna. Adanya konflik menyebabkan
tokoh utama dipojokkan oleh pikiran dalam lamunan. Tokoh mempunyai
naluri dan kecemasan. Kecemasan yang terjadi pada tokoh meliputi
kecemasan realitas, neurotik, dan moral.
Penelitian yang lain, yaitu Religiositas dalam Novel Fatimah Chen
Chen Karya Motinggo Busye (Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra) oleh
Indah Kusumaningtyas tahun 2002 (UNS). Hasil penelitian menyebutkan
bahwa melalui pendekatan struktural dapat diperoleh kesimpulan adanya
unsur-unsur pembangun novel FCC, yaitu penokohan, alur, latar, tema, dan
amanat. Dalam analisis psikologi sastra dapat disimpulkan bahwa tokoh-
tokohnya mengalami fase perkembangan yang berbeda-beda, dimulai fase
pubertas sampai dengan mengalami kedewasaan. Dengan demikian, watak
dasar yang dimiliki juga berbeda.
Penelitian dengan judul Aspek Penokohan dalam Cerbung Tembang
Katresnan Karya Atas S. Danusubroto (Tinjauan Psikologi Sastra) oleh
Syamsul Huda tahun 2010 juga menjadi bagian dari penelitian yang relevan.
Menurut penelitian ini, unsur-unsur yang terdiri dari tema, alur, penokohan,
latar, dan amanat tersebut bersama-sama membentuk totalitas makna. Selain
itu, penelitian ini mengungkapkan tentang dinamika dan proses kejiwaan
tokoh-tokoh yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial kehidupan
seseorang yang berlatar belakang masyarakat desa.
B. Kerangka Berpikir
Kumpulan cerita Madre merupakan kumpulan cerita yang terdiri dari
puisi, lagu, dan cerpen. Penelitian ini akan membahas cerpen Madre dan
Menunggu Layang-Layang yang merupakan bagian dari kumpulan cerita terbaru
Dewi Lestari tersebut. Cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang merupakan
totalitas yang dibangun secara koherensif.
Pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan psikologi sastra.
Pendekatan psikologi sastra merupakan sebuah pendekatan yang memandang
karya sastra dari sisi-sisi kemanusian dan kejiwaan yang dimiliki tokoh-tokohnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung
dalam suatu karya (Ratna, 2009:342). Analisis yang dilakukan berada pada tiga
aspek, yakni (1) kepribadian tokoh-tokoh dalam cerpen Madre dan Menunggu
Layang-layang, (2) konflik batin yang dialami tokoh-tokoh tersebut, dan (3)
persepsi pembaca terhadap konflik yang muncul.
Untuk lebih jelasnya, kerangka berpikir tersebut dapat dilihat dalam
bagan berikut.
Bagan 1. Kerangka Berpikir
Cerpen Madre
Konflik batin yang dialami
tokoh.
Persepsi pembaca
terhadap konflik.
Kepribadian tokoh-
tokoh cerpen.
Cerpen Menunggu
Layang-layang
Kumpulan Cerita
Madre
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan karya sastra sebagai
objek kajiannya sehingga penelitian ini tidak ada pembatasan khusus terhadap
tempat dan waktu. Peneliti menggunakan kajian pustaka dan interpretasi atau
penafsiran sehingga penelitian dapat dilakukan kapan saja tanpa harus terikat
dengan tempat penelitian.
Penelitian ini direncanakan dilaksanakan selama empat bulan dengan
menggunakan analisis dokumen kumpulan cerita Madre pada bulan Maret-Juni
2012 sebagai data utama. Selain itu, untuk mendukung data yang diperoleh dan
penguatan analisis, peneliti juga melakukan wawancara terhadap beberapa
narasumber.
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Mar April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
A. Persiapan
1. Penyusunan proposal
dan revisi.
2. Pengumpulan data
(dokumen)
B. Pelaksanaan penelitian
1. Analisis dokumen
2. Wawancara
C. Penyusunan laporan
D. Pelaksanaan ujian skripsi
dan revisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan oleh peneliti di dalam penelitian ini adalah
pendekatan psikologi sastra. Hardjana (1985:60) mengatakan bahwa dalam sastra,
psikologi merupakan ilmu bantu dan memasuki sastra di dalam bahasan tentang
ajaran dan kaidah yang dapat ditimba dari karya sastra. Pendekatan psikologi
dilakukan untuk mengetahui psikologi tokoh-tokoh dalam kumpulan cerita Madre
yang berkaitan dengan kepribadian, konflik yang dihadapi, serta persepsi pembaca
terhadap konflik tersebut.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode yang digunakannya
pun metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
tentang sifat-sifat suatu individu, keadaan atau gejala dari kelompok tertentu yang
dapat diamati. Hal tersebut seperti pendapat dari Moleong (2005:6) berikut ini.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah.
Data deskriptif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data yang
dikumpulkan berbentuk kata-kata, frasa, klausa, kalimat atau paragraf dan bukan
angka-angka. Dengan demikian, hasil penelitian ini berisi analisis data yang
sifatnya menuturkan, memaparkan, memerikan, menganalisis, dan menafsirkan.
C. Data dan Sumber Data
Kumpulan cerita yang menjadi sumber data, yaitu kumpulan cerita Madre
karya Dewi Lestari yang merupakan cetakan pertama bulan Juni 2011. Kumpulan
cerita Madre ini diterbitkan oleh Penerbit Bentang Yogyakarta. Objek penelitian
ini lebih menitikberatkan pada kepribadian tokoh-tokoh dalam cerita Madre dan
Menunggu Layang-layang, konflik yang dihadapi, serta persepsi pembaca
terhadap konflik di dalam cerita tersebut.
Dokumen utama yang menjadi kajian adalah cerpen Madre dan Menunggu
Layang-layang. Selain itu, data juga diperoleh dari wawancara terhadap beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
narasumber sebagai bentuk penguatan analisis peneliti. Dokumen-dokumen lain
berupa buku-buku penunjang materi dan tulisan atau artikel ilmiah yang didapat
dari studi pustaka maupun internet pun digunakan untuk melengkapi penelitian
ini.
D. Teknik Sampling
Kumpulan cerita Madre adalah kumpulan cerita yang memiliki beberapa
genre, yaitu puisi, lagu, dan cerpen. Untuk menganalisis tentang konflik batin
yang dialami oleh tokoh maka peneliti memfokuskan penelitiannya pada genre
cerpen. Teknik pengambilan sampel yang digunakan di dalam penelitian ini, yaitu
purposive sampling. Purposive sampling, yaitu pengambilan cuplikan yang
didasarkan atas berbagai pertimbangan tertentu (Sutopo, 2002:64). Dengan
menggunakan teknik purposive sampling maka cerpen yang dikaji dalam
penelitian ini, yaitu Madre dan Menunggu Layang-layang.
E. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pustaka, yaitu
pengumpulan data yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh
data. Selain itu, peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode
analisis dokumen. Metode ini diambil peneliti karena data utama yang dikumpulkan
berupa teks-teks yang terdapat dalam cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang.
Selain itu, teknik pengumpulan data yang lain, yaitu dengan menggunakan
wawancara terhadap informan. Informan-informan tersebut, yaitu Dewi Lestari
(Penulis Madre), Dra.Murtini,M.S. (Dosen Psikologi Sastra pada Fakultas Sastra dan
Seni Rupa UNS), Amiliya Setiya Rina H. (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia), dan Christin Cahyoningrum (Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia),
Aprilia Puspita S. (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), Nurul
Rismayanti (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), Retno Puji L.
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), dan Arnellis Mellema (Penulis
novel Now and Then). Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan penguatan dan
keabsahan analisis yang dilakukan. Wawancara terhadap penulis dan dosen
digunakan untuk memperkuat hasil analisis rumusan masalah kedua, sedangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
wawancara terhadap mahasiswa digunakan untuk memperkuat hasil analisis rumusan
masalah pertama dan ketiga.
F. Uji Validitas Data
Uji validitas data dilakukan dengan mengumpulkan data di lapangan yang
kemudian dilanjutkan dengan melihat teori-teori yang telah berkembang. Untuk
menentukan keabsahan sebuah data digunakan teknik triangulasi. Menurut
Moleong (2005:330) triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap data itu.
Denzin dalam Moleong (2005:330) menyebutkan ada empat macam
triangulasi sebagai teknik pemeriksaan, yaitu: (1) pemanfaatan menggunakan
sumber; (2) metode; (3) penyidik; (4) teori. Triangulasi sumber berarti
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton
dalam Moleong, 2005:330). Triangulasi metode menurut Patton (Moleong,
2005:331), yaitu pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian
beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa
sumber data dengan metode yang sama. Triangulasi penyidik (Moleong,
2005:331) ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk
keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data. Triangulasi teori
menurut Lincoln dan Guba (Moleong, 2005:331), yaitu berdasarkan anggapan
bahwa fakta tidak dapat diperiksa dengan satu atau lebih teori.
Di dalam penelitian ini, uji validitas data yang digunakan adalah teknik
triangulasi teori dan sumber. Triangulasi teori diperoleh dari teori-teori yang
digunakan dalam penelitian ini. Triangulasi sumber diperoleh dari dokumen dan
wawancara dengan informan.
G. Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul. Data utama di dalam
penelitian ini adalah teks cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang. Teknik
analisis data yang digunakan, yaitu model analisis interaktif seperti yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992:15-21). Langkah-langkah analisis,
yaitu sebagai berikut.
1. Pengumpulan data, yaitu kegiatan pengumpulan data dengan mengadakan kajian
pustaka. Selain itu, data juga didapatkan dari wawancara dengan narasumber.
2. Reduksi data, yaitu kegiatan pengumpulan data yang hasilnya berupa catatan
lengkap dan akan direduksi yang hasilnya akan direduksi menjadi inti temuan
dengan rumusan pendek.
3. Sajian data, yaitu proses pendeskripsian lengkap berupa narasi dengan bahasa
kalimat peneliti sehingga dapat ditarik simpulan awal yang bersifat sementara.
4. Verifikasi merupakan langkah lanjutan dari simpulan awal tersebut untuk
semakin memantapkan atau menguji kebenaran informasinya.
Secara lebih jelas, model analisis data tersebut dapat disajikan dalam bagan
berikut.
Bagan 2. Analisis Interaktif (Miles & Huberman, 1992:20)
H. Prosedur Penelitian
Tahapan-tahapan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Pengumpulan Data
Peneliti mengumpulkan data untuk menganalisis tentang konflik batin dari
kumpulan cerita Madre. Selain itu, data juga diperoleh dari hasil wawancara
terhadap beberapa narasumber.
Pengumpulan data
Reduksi data
Penyajian
data
Penarikan
simpulan/verifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
2. Reduksi Data
Peneliti menyederhanakan tentang data yang didapat untuk dapat direduksi
sehingga memperjelas tentang permasalahan yang dikaji, yaitu konflik batin
tokoh dalam kumpulan cerita Madre.
3. Penyajian Data
Setelah dilakukan reduksi data, peneliti menyusun data-data yang
diperoleh kemudian mengklasifikasikan data-data tersebut.
4. Penarikan Simpulan
Penarikan simpulan merupakan langkah terakhir dari proses penelitian.
Setelah semua data dikumpulkan dan dianalisis serta dicek kebenarannya maka
langkah berikutnya, yaitu penarikan simpulan berdasarkan data-data yang
diperoleh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
Cerpen selalu identik dengan cerita yang singkat, padat, dan jelas. Konflik-
konflik yang terjadi pun disampaikan dengan ringkas, tetapi tidak berbelit-belit.
Oleh karena itu, setiap penulis cerpen harus mampu mengubah konflik yang
panjang menjadi ringkas. Adanya konflik yang padat membuat sebuah cerpen
menjadi menarik karena selesai dalam sekali baca.
Pengarang di dalam menulis sebuah cerpen harus mampu memunculkan hal-
hal baru yang tidak diketahui oleh pembaca sebelumnya. Pengarang harus mampu
membawa pembaca sehingga seolah-olah pembaca masuk di dalam cerita tersebut
meskipun sebenarnya pembaca tidak terlibat secara langsung. Hal ini bukanlah
sesuatu yang mudah bagi pengarang. Namun, Dewi Lestari mencoba menawarkan
sesuatu yang baru di dalam kumpulan cerita Madre.
Di dalam kumpulan cerita Madre ini, Dewi Lestari mencoba memberikan
hal-hal baru yang mungkin tidak pernah terlintas di dalam pikiran pembaca.
Diawali dengan Madre, Dewi Lestari mencoba menyampaikan sebuah kisah
perjuangan anak muda dengan menggunakan bahasa yang ringan dan mudah
dipahami. Tak hanya itu, Dewi Lestari juga mencoba menuliskan sebuah kisah
yang banyak dialami remaja, yaitu cinta.
Madre dan Menunggu Layang-layang sebagai bagian dari kumpulan cerita
Madre sama-sama memiliki konflik batin yang berkaitan dengan kondisi kejiwaan
tokohnya. Konflik batin-konflik batin yang dialami tokoh digambarkan oleh Dewi
Lestari dengan sangat baik. Setiap tokoh yang ditampilkan memiliki karakternya
masing-masing untuk mendukung jalannya cerita.
Madre dan Menunggu Layang-layang ini dianalisis berdasarkan pendekatan
psikologi sastra. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengetahui konflik batin
yang terjadi pada tokoh-tokoh di dalam cerita karena setiap konflik batin
berkaitan dengan kejiwaan yang dimiliki oleh tokoh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Kajian ini menitikberatkan pada analisis teks dengan didukung hasil
wawancara untuk menguatkan data yang diperoleh. Unsur-unsur intrinsik, yaitu
tema, tokoh dan penokohan, latar, alur, sudut pandang, dan amanat tidak
semuanya dianalisis dan dideskripsikan oleh peneliti karena penelitian ini
menggunakan pendekatan psikologi sastra. Namun, peneliti hanya memfokuskan
analisis unsur intrinsik pada tokoh dan penokohan cerpen Madre dan Menunggu
Layang-layang.
B. Kepribadian Tokoh-tokoh dalam Cerpen
Tokoh dan penokohan sebagai bagian dari karya sastra memiliki perannya
sendiri di dalam mendukung alur dan jalannya cerita. Tokoh di dalam sebuah
cerita memiliki karakternya masing-masing. Karakter-karakter tersebut diciptakan
oleh pengarang untuk menyampaikan pesan dari cerita. Dari tokoh dan karakter
inilah sebuah konflik mampu tercipta sehingga pembaca bisa masuk ke dalam
cerita meskipun tidak mengalaminya secara langsung.
Cerpen Madre karya Dewi Lestari memiliki beberapa tokoh sentral, yaitu
Tansen, Pak Hadi, dan Mei. Tokoh-tokoh tersebut memiliki banyak pengaruh
terhadap jalannya cerita. Konflik yang muncul juga lebih banyak dilakukan oleh
tokoh-tokoh tersebut. Di samping tokoh-tokoh sentral tersebut, cerpen Madre juga
didukung oleh tokoh-tokoh yang lain, yaitu Pak Joko, Bu Dedeh, Bu Cory, Bu
Sum, dan pengacara.
1. Tokoh Tansen
Dewi Lestari menggambarkan tokoh Tansen sebagai orang yang
memiliki tanggung jawab terhadap kehidupannya meskipun di Bali tansen
hidup bebas. Tanggung jawab Tansen terhadap kehidupannya ini terlihat
ketika Tansen rela untuk tinggal di Jakarta sampai urusannya dengan Mei
selesai. Selain itu, Tansen juga digambarkan sebagai orang yang pekerja
keras. Tansen berusaha sekuat tenaga untuk menghidupkan toko roti tersebut
meskipun hal itu dilakukan dengan bantuan dan dukungan Mei.
Penggambaran tokoh Tansen dalam tiga dimensi, yaitu sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
a. Dimensi fisiologis, yaitu dimensi yang berhubungan dengan fisik. Tokoh
Tansen di dalam cerpen Madre digambarkan sebagai sosok pria yang
memiliki kulit gelap, rambut gimbal, hidung panjang, mata besar berbulu
lentik. Hal tersebut dapat dibuktikan pada bagian kutipan cerita berikut ini.
Keganjilan itu sebegitu mencoloknya. Di tengah TPU etnis Tionghoa,
muncul seorang pria berkulit gelap, rambut gimbal, kaus tanpa lengan,
jins sobek-sobek. Sendirian. ... Jadilah aku. Tansen Roy Wuisan.
Kulitku menggelap lebih karena jejak matahari. Nama “Tansen”,
hidung panjang, dan mata besar berbulu lentik, adalah jejak India yang
tersisa padaku. (Lestari, 2011:3)
b. Dimensi sosiologis, yaitu dimensi yang berhubungan dengan kehidupan
sosial tokoh di dalam cerita. Tokoh Tansen di dalam cerita memiliki
kehidupan yang bebas dan tidak terikat pada siapapun, bahkan dalam hal
pekerjaan. Namun, kehidupan bebas itu memang harus berubah ketika
Tansen memperoleh warisan untuk merawat madre. Hal tersebut dapat
seperti terlihat dalam kutipan berikut ini.
Ayahku, seorang yang berjiwa bebas, melepasku besar begitu saja.
Seolah aku ini anak tumbuhan yang bisa cari makan sendiri tanpa
diurusi. Masa remaja hingga kini kuhabiskan di Bali. Sendirian. Aku
mewarisi jiwa bebas ayahku, kata orang-orang. Kendati batas antara
kebebasan dan ketidakpedulian terkadang saru. (Lestari, 2011:3)
Seolah membaca muka laparku, Pak Hadi mengiriskan roti lagi.
“Kerjamu apa di Bali?” ia bertanya.
“Macam-macam. Guide, ngajar surfing, desainer lepasan, penulis
kadang-kadang, ... .”
“Oh. Serabutan.” Dengan datar Pak Hadi menyimpulkan. (Lestari,
2011:15)
Dalam kasusku, “serabutan” adalah gaya hidup. Menclok dari satu
pekerjaan ke pekerjaan lain, satu tempat ke tempat lain, tidak ingin
terikat. Aku selalu punya masalah dengan rutinitas. Mungkin aku
belajar dari ayahku, atau mungkin aku justru berontak atas
ketidakjelasannya. Tidak tahu pasti. (Lestari, 2011:17)
Kutipan di atas menegaskan secara tersirat bahwa Tansen memiliki
kehidupan yang bebas, seperti ayahnya. Tansen pun memiliki protes
terhadap tingkah laku yang dilakukan oleh ayahnya terhadap dirinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Tansen menganalogikan hal tersebut seolah-olah dirinya adalah sebuah
tumbuhan. Namun, Tansen tetap menjalani apa yang memang telah
menjadi jalan hidupnya.
c. Dimensi psikologis, yaitu sebuah dimensi yang mana digunakan untuk
menggambarkan tentang kejiwaan tokoh di dalam cerita. Di dalam cerpen
Madre, Tansen digambarkan memiliki jiwa yang kuat. Kondisi kejiwaan
tersebut digambarkan ketika Tansen memang harus hidup sendiri. Tansen
pun mencoba untuk tetap maju setelah ia mengalami kebingungan
terhadap warisan yang baru diperolehnya dari orang yang tak pernah dia
kenal sebelumnya. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut ini.
Tepat saat aku tiba di pemakaman orang yang tak kukenal. Siapa aku?
Itu pertanyaan pertamaku. Kenapa aku? Itu pertanyaanku berikutnya.
(Lestari, 2011:1)
“Nak Tansen ndak pulang ke Bali, toh?” tanya Pak Joko.
“Saya bakal tinggal sampai semua urusan lancar antara Pak Hadi dan
Mei,” jawabku. “Saya juga masih harus tanggung jawab soal modal
produksi. Terus terang, modal uang saya nggak punya, Pak. Tapi
mungkin saya bisa cari pinjaman ke teman-teman saya di Bali.”
(Lestari, 2011:36)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Tansen tetap berusaha untuk
menghidupkan kembali toko roti meskipun sebenarnya ia tidak memiliki
cukup modal untuk melakukan itu. Namun, kelemahan dalam hal modal
tersebut tidak menyurutkan niat Tansen untuk menghidupkan kembali toko
roti. Hal ini dibuktikan dengan usahanya untuk mencari pinjaman.
Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden, kepribadian
Tansen disebutkan sebagai orang yang bebas dan mengalir. Selain itu,
pertemuannya dengan Pak Hadi dan Mei juga membuat Tansen menjadi orang
yang bertanggung jawab dan mau belajar. Responden pun menyebutkan
bahwa Tansen memiliki keinginan yang kuat untuk menghidupkan kembali
toko roti itu.
2. Tokoh Pak Hadi
Selain Tansen, tokoh lain di dalam cerpen Madre, yaitu Pak Hadi. Pak
Hadi inilah yang sebenarnya mengetahui semua tentang Tansen, termasuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
latar belakang tentang kehidupan Tansen yang justru tidak pernah diketahui
oleh Tansen sebelumnya. Di dalam cerpen tersebut, Pak Hadi digambarkan
sebagai orang yang pekerja keras, sabar, dan ulet untuk menjalani
kehidupannya. Itu ia buktikan dengan baktinya kepada Tuan Tan dan tetap
mempertahankan untuk merawat madre di usia senjanya. Penggambaran Pak
Hadi di dalam cerpen tersebut, yaitu sebagai berikut.
a. Dimensi fisiologis yang berkaitan dengan fisik, Pak Hadi digambarkan
sebagai seseorang yang sudah tua, berusia sekitar 80 tahun, memiliki muka
yang mulai keriput, kedua cuping telinga yang melebar, di seputar pipi
terdapat vlek, dan memiliki tubuh yang kurus, tetapi tegap. Hal tersebut
dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
Laki-laki Cina tua berbaju olahraga menyambutku. Usianya mungkin
sudah 80-an, terbaca dari keriput mukanya yang sudah menyerupai
lipatan, taburan vlek di seputar pipinya, dan kedua cuping telinga yang
melebar. Meski bola matanya mulai kelabu, sorot tatapannya tetap
tajam. Tubuhnya kecil ramping dan posturnya tegap. Anehnya, ia
melihatku dengan muka bosan seolah kami sudah bertemu ratusan
kali, atau sudah ratusan hari dia menungguku. (Lestari, 2011:6)
“Baru bangun? Waduh. Kalau tukang bikin roti harusnya bangun dari
Subuh.”
“Anak muda itu, kalau pekerjaannya bukan satpam shift malam ya,
bangun pagilah. Ikut tai chi dulu sama saya di lapangan dekat sini.”
“Rajin juga Pak Hadi,” aku nyengir. (Lestari, 2011:19)
b. Dimensi sosiologis yang berkaitan dengan tingkah laku sosial Pak Hadi di
dalam cerpen Madre digambarkan sebagai orang yang memiliki prinsip
dan sabar. Selain itu, Pak Hadi merupakan seorang yang beretnis Cina.
Sikap taat dan patuh pada pemimpinnya juga melekat dalam diri Pak Hadi.
Namun, di sisi lain Pak Hadi juga memiliki sifat sebagai pengalah ketika
memang sesuatu bukan lagi menjadi haknya. Kutipan yang menegaskan
penjelasan tersebut adalah sebagai berikut.
“Kan saya udah bilang. Buat Pak Hadi aja.”
“Ndak bisa. Cuma kamu yang boleh mengurus madre.” (Lestari,
2011:12)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
“Besok saya ajarken bikin roti. Sayang. Sudah punya madre tapi ndak
dijadiken apa-apa. Nih, tolong kembaliken ke kulkas.” (Lestari,
2011:16)
“Semua harus ditimbang. Persis. Kalau mau rasa konsisten, jangan
pakai ilmu kira-kira. Ayo, kamu yang timbang.”
“Berapa roti yang kamu tahu?” tanya Pak Hadi.
“Roti keju, cokelat, kacang, susu, ... .”
“Itu isinya!” Pak Hadi setengah mengomel. “Yang saya maksud itu:
roti putih, roti gandum utuh, bagel, foccacia, pita, baguette... tahu
ndak?
“Nggak,” jawabku ketus, “Terus, habis ini apa?”
“Kita campur semua.”
“Pakai itu, Pak?” Aku melirik mixer besar yang nganggur di pojok
lemari.
“Pakai tangan. Kamu harus belajar nguleni. Madre juga perlu kenal
tanganmu.” (Lestari, 2011:21)
Penjelasan di atas menegaskan bahwa meskipun Pak Hadi sudah tua,
ia tetap mengajari Tansen untuk membuat roti sebagaimana mestinya. Hal
itu menunjukkan bahwa Pak Hadi seorang penyabar. Model didikan yang
kuat pun diberikan Pak Hadi kepada Tansen dengan tegas, terutama dalam
hal membuat roti.
c. Dimensi psikologis berkaitan dengan kejiwaan tokoh. Pak Hadi memiliki
jiwa yang setia kepada pemimpinnya. Hal itu dibuktikannya selama
bertahun-tahun kepada Tan meskipun kerja tanpa digaji ketika memang
omzet Tan de Bakker sudah tak banyak. Tan juga mau menjaga madre
sampai menemukan keturunan Tan, Tansen. Dia rela untuk menetap di
ruko tua itu sendirian. Namun, Tan memiliki karakter yang tegas. Hal
tersebut dibuktikan dalam bagian kutipan berikut ini.
“Toko sudah ndak ada untung, cuma cukupan buat gaji pegawai, tapi
Tan terus bertahan. Katanya, madre jangan dibikin nganggur.”
“Madre?”
“Karyawan di sini cuma lima orang. Bisnis nyusut terus. Lama-lama
kami kerja ndak digaji. Akhirnya nyerah juga dia. Ndak tega sama
kami,” Pak Hadi tersenyum kecut. “Yang penting, madre jangan
mati. Itu saja yang kami jaga.” (Lestari, 2011: 7)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
“Kamu bodoh kalau tergiur dengan seratus juta. Uang segitu ndak
ada artinya dibandingken yang madre bisa kasih untukmu. Kamu
jual madre sekarang, lalu apa? Kalau kamu yang pelihara madre,
kamu bisa punya usaha sampai anak cucu. Ngerti?”
“Bertahun-tahun kami menunggu orang yang bisa menghidupkan
tempat ini lagi. Kami pikir orang itu kamu,” Pak Hadi menyahut
murung. “Ya, sudah. Terserah sajalah. Lupa saya. Madre itu hakmu.”
(Lestari, 2011:30)
Kutipan di atas menjelaskan ketegasan Pak Hadi ketika madre hendak
dijual oleh Tansen. Pak Hadi menyadari betul tentang keberadaan dan
bagaimana madre sehingga ia bersi keras supaya Tansen tidak menjual madre
tersebut. Namun, pada akhirnya Pak Hadi sadar bahwa madre sekarang adalah
hak Tansen sehingga Pak Hadi menyerah.
Hasil wawancara yang dilakukan pun menegaskan bahwa Pak Hadi
memiliki kepribadian yang santai. Pak Hadi juga merupakan orang yang
pantang menyerah serta sosok yang gigih dalam mempertahankan madre.
Madre dinilai Pak Hadi sebagai titipan yang harus dijaga dan bukan untuk
dijual.
3. Tokoh Mei
Tokoh lain yang juga memegang peranan penting di dalam cerpen
Madre, yaitu Mei. Ketika toko roti Tan de Bakker masih hidup, Mei
merupakan salah satu pelanggan setia toko roti tersebut. Mei selalu diajak oleh
ayahnya untuk membeli roti di Tan de Bakker. Ketika kecil, Mei memiliki sifat
yang hiperaktif hingga Mei pernah memecahkan biang roti kakeknya dengan
menggunakan sepeda. Dimensi tentang karakter Mei di dalam cerita, yaitu
sebagai berikut.
a. Dimensi fisiologis Mei di dalam cerita, yaitu Mei digambarkan memiliki
mata besar dan bulat, kulitnya kuning bersih, rambutnya dicat kepirangan,
dan memiliki betis yang mungil. Kutipan yang mendukung penjelasan
tersebut adalah sebagai berikut.
Untuk ukuran etnis Tionghoa, mata Mei terbilang besar dan bulat.
Yang tipikal darinya hanya warna kulitnya yang kuning bersih dan
warna rambut yang dicat kepirangan. Ia berpakaian sepuluh tahun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
lebih tua dari umurnya; sepatu setebal batu bata menopang betisnya
yang mungil, terusan dengan kain berkilau dan tas tangan haute
couture yang entah asli atau KW-aku tak bisa membedakan. (Lestari,
2011:25)
b. Dimensi sosiologis Mei digambarkan sebagai wanita yang berdarah etnis
Tionghoa. Selain itu, Mei merupakan seorang pemilik bakery yang sukses
dengan memiliki beberapa cabang. Usaha tersebut merupakan warisan dari
keluarga Mei yang kini ia kembangkan sehingga menjadi berhasil. Hal
tersebut seperti terlihat dalam bagian kutipan berikut ini.
“Sekarang kami sudah ganti konsep, Pak. Yang di Bogor masih ada,
tapi fokus kami sekarang di Jakarta. Kami sudah buka outlet di lima
mal. Cabang keenam segera menyusul,” Mei menjelaskan dengan
bangga. “Sekarang saya in-charge gantikan Papi.” (Lestari, 2011:26)
c. Dimensi psikologis Mei digambarkan sebagai orang yang pekerja keras dan
menggapai kesuksesan, ia tetap memiliki perasaan bersalah. Perasaan
bersalah itu ketika Mei dewasa, ia mengetahui betapa berharga biang madre
kakeknya yang ia pecahkan sewaktu kecil. Dulu, Mei tidak tahu apa-apa,
yang ia tahu biang itu adalah adonan biasa. Perasaan bersalah itu terbawa
hingga ia dewasa dan sampai-sampai Mei pernah menawar untuk membeli
biang madre. Kutipan yang menegaskan penjelasan di atas adalah sebagai
berikut.
“Dari dulu produksi bakery kami memang sudah campur dengan ragi
instan. Nggak semua pakai adonan biang. Jadi kami nggak simpan
banyak-banyak. Cuma ada dua stoples. Dua-duanya ...,” Mei menelan
ludah, “Nggak sengaja saya pecahkan. Umur saya masih tujuh tahun
waktu itu. Saya tubruk meja pakai sepeda. Dua stoples isi adonan
biang yeye ambruk ke lantai. Lagi nggak ada siapa-siapa di dapur.
Karena nggak ngerti dan takut dimarahin, saya lap sendiri adonan
yang tumpah. Saya buang.” Suara Mei tercekat. (Lestari, 2011:64-65)
“Lha. Adonan itu kan bisa dibuat lagi?”
“Pak Hadi bisa bayangkan kalau adonan itu madre?” sahut Mei getir.
“Apa bisa madre dibuat lagi?”
Pak Hadi terdiam.
“Betul, Yeye bikin adonan biang lagi. Tapi buat dia nggak pernah
sama.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
“Saya sedih karena saya menghancurkan sejarah Yeye,” kata Mei
pelan. (Lestari, 2011:65-66)
Dari hasil wawancara pun disebutkan bahwa kepribadian Mei
digambarkan sebagai orang yang tekun dan mau berjuang untuk toko rotinya.
Toko roti sebagai turunan dari ayahnya itu Mei kembangkan menjadi besar.
Selain tiga tokoh utama di atas, di dalam cerpen Madre ini didukung
beberapa tokoh yang memiliki hubungan langsung dengan toko roti Tan de
Bakker kala itu. Tokoh-tokoh tersebut, yaitu Bu Cory, Bu Sum, Bu Dedeh, dan
Pak Joko. Mereka semua adalah karyawan-karyawan Tan Sin Gie kala itu.
Penggambaran tentang karakter tokoh-tokoh tersebut di dalam cerita tidak
terlalu banyak. Hanya sedikit kisah yang disampaikan oleh pengarang
mengenai para karyawan Tan Sin Gie, terutama ketika madre hendak dijual
oleh Tansen.
4. Tokoh Bu Cory
Bu Cory adalah salah satu pegawai Tan Sin Gie yang paling lama. Ketika
toko roti tidak begitu banyak mendapatkan omzet, Bu Cory pun rela bekerja
tanpa digaji.
a. Dimensi fisiologis, Bu Cory digambarkan sebagai wanita yang sudah tua,
memiliki tubuh tinggi, kurus, memakai kacamata untuk membantu
penglihatannya, dan memiliki rambut ikal yang sudah memutih. Kutipan
yang menegaskan penjelasan tersebut adalah sebagai berikut.
Seorang nenek bertubuh tinggi kerempeng dengan rambut putih ikal
menoleh padaku, senyumnya langsung mengembang. Ia membetulkan
letak kacamatanya sambil menghampiriku, “Oh, ini cucunya
Lakshmi? Gagah sekali!” (Lestari, 2011:33)
b. Dimensi sosiologis, Bu Cory digambarkan sebagai seorang pekerja toko roti
Tan de Bakker. Di toko roti tersebut, Bu Cory bekerja di bagian depan. Hal
itu, dikarenakan Bu Cory tidak ahli di dalam membuat roti dengan
menggunakan biang. Bagian yang menjelaskan hal tersebut adalah kutipan
berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Nenek yang pertama kali menyapaku adalah Bu Cory, pegawai tertua
yang telah bekerja untuk Pak Tan selama lima puluh tahun lebih.
(Lestari, 2011:33)
Dari gambaran tersebut dapat kita ketahui bagaimana loyalitas Bu
Cory kepada Tan Sin Gie selaku pemilik toko roti Tan de Bakker. Meski
Tan tak mampu menggaji dan toko roti juga tidak berproduksi secara
maksimal, Bu Cory tetap bekerja di sana.
c. Dimensi psikologis yang berkaitan Bu Cory dijelaskan sebagai orang yang
pantang menyerah dan loyal terhadap atasan. Ketika bekerja dengan Tan,
meskipun tak digaji, Bu Cory rela tetap bekerja di toko roti tersebut. Hal
tersebut menggambarkan bahwa Bu Cory memiliki mental dan loyalitas
yang baik. Bahkan, Bu Cory merupakan pegawai tertua di toko tersebut.
Penjelasan tersebut dipertegas dengan kutipan berikut ini.
Mereka berlima adalah pegawai-pegawai terakhir toko roti Tan.
Seperti ceritanya Pak Hadi, mereka sempat bertahan bekerja tanpa
digaji sampai akhirnya Pak Tan tak tega dan menutup usahanya.
Kemarin, begitu Pak Hadi mengabarkan bahwa madre akan dijual,
mereka memutuskan untuk berkumpul. (Lestari, 2011:34)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bagaimana rasa cintanya
pegawai-pegawai Tan terhadap biang roti, madre. Mereka rela berkumpul
untuk melepaskan madre sebelum akhirnya dijual. Itu merupakan salah satu
bukti bagaimana madre sangat berharga bagi mereka.
5. Tokoh Bu Sum
Selain Bu Cory, salah satu karyawan Tan yang juga teman seperjuangan
Bu Dedeh, Pak Joko, dan Pak Hadi, yaitu Bu Sum. Meskipun peran Bu Sum di
dalam cerita ini tidak banyak, tapi kehadirannya cukup memberi warna baru
jalannya cerita. Tak berbeda dengan Bu Cory, Bu Sum juga memiliki loyalitas
yang tinggi kepada Tan Sin Gie. Dimensi sebagai penggambaran dari Bu Sum,
yaitu sebagai berikut.
a. Dimensi fisiologis, yaitu dimensi yang berkaitan dengan ciri-ciri badan. Di
dalam cerpen tersebut, Bu Sum digambarkan sebagai wanita yang memiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
tubuh pendek dan gemuk, rambutnya sering disanggul. Kutipan yang
mendukung penjelasan tersebut adalah berikut ini.
Bu Sum, yang berperawakan gemuk-pendek dengan rambut
disanggul, masa pengabdiannya hanya beberapa tahun saja dengan
Bu Cory. (Lestari, 2011:33)
b. Dimensi sosiologis, yaitu dimensi yang berkaitan dengan status sosial,
pekerjaan, jabatan, tingkat pendidikan, dan keturunan. Di dalam cerpen
Madre, Bu Sum hanya digambarkan sebagai seseorang yang telah lama
bekerja di toko Tan de Bakker. Di Tan de Bakker, Bu Sum bekerja di
bagian depan. Hal yang tersebut didukung dengan kutipan berikut ini.
Bu Sum, yang berperawakan gemuk-pendek dengan rambut
disanggul, masa pengabdiannya hanya beberapa tahun saja dengan
Bu Cory. Keduanya dulu bekerja di bagian depan, bertugas melayani
pembeli dan menjadi kasir. (Lestari, 2011:33)
c. Dimensi psikologis, yaitu dimensi yang berkaitan dengan keinginan,
mentalitas, dan perasaan pribadi. Di dalam dimensi ini, Bu Sum
digambarkan sebagai orang yang loyal terhadap pemimpinnya. Meski tak
dibayar, ia tetap bekerja di Tan de Bakker. Penulis tak banyak
menggambarkan dimensi ini di dalam cerpen Madre. Kutipan yang menjadi
bukti dari penjelasan tersebut adalah sebagai berikut.
Mereka berlima adalah pegawai-pegawai terakhir toko roti Tan.
Seperti cerita Pak Hadi, mereka sempat bertahan bekerja tanpa digaji
sampai akhirnya Pak Tan tak tega dan menutup usahanya. (Lestari,
2011:34)
Tokoh pendukung lainnya, yaitu Bu Dedeh. Tak banyak cerita mengenai
Bu Dedeh. Penulis hanya menggambarkan bahwa Bu Dedeh merupakan
pegawai termuda yang telah bekerja selama tiga puluh tahunan. Dari dimensi
fisiologis, Bu Dedeh pun tidak digambarkan secara jelas oleh penulis. Penulis
hanya menceritakan bahwa Bu Dedeh berasal dari Tasikmalaya. Bu Dedeh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
juga digambarkan sebagai sosok yang memiliki kesetiaan terhadap
pemimpinnya.
Tak jauh berbeda dengan Bu Dedeh, tokoh Pak Joko juga tidak
digambarkan secara jelas. Namun, dari sisi fisiologis, Pak Joko digambarkan
sebagai orang yang pendiam dan bersuara lembut serta memiliki badan yang
tinggi. Secara sosiologis, Pak Joko bekerja di toko roti bagian belakang, yaitu
sebagai pembuat kue. Masa kerjanya sudah sekitar empat puluh tahunan.
Namun, dari sisi psikologis, penulis tidak menggambarkan secara eksplisit,
tetapi implisit bahwa Pak Joko merupakan seseorang yang memiliki keloyalan
terhadap atasannya.
Satu-satunya eks pegawai pria selain Pak Hadi adalah Pak Joko, yang
berkopiah, bersuara lembut, dan cenderung pendiam. Tubuhnya tinggi
dengan bahu condong ke dalam seolah senantiasa memberi tanda
“permisi”. Pak Joko mengabdi empat puluh tahunan di sana, bertugas
bersama Pak Hadi dan Bu Dedeh di dapur sebagai pembuat roti. (Lestari,
2011:34)
Berbeda dengan cerpen Madre, cerpen Menunggu Layang-layang
memiliki dua tokoh utama dan satu tokoh pendukung. Ada tokoh lain yang
mencoba dihadirkan oleh penulis, tetapi itu hanya sebuah namanya saja.
Karakter dan kegiatan tokoh tersebut tidak diceritakan secara kompleks. Tokoh
utama di dalam cerita tersebut, yaitu Christian dan Starla, sedangkan tokoh
pendukung cerita, yaitu Rako. Kemunculan Rako hanya beberapa bagian saja,
tetapi cukup untuk memunculkan konflik antara Christian dan Starla.
6. Tokoh Christian
Sosok Christian merupakan teman dari Starla. Awalnya mereka bekerja di
sebuah perusahaan yang sama. Namun, beberapa tahun terakhir mereka
memiliki pekerjaan yang berbeda dan berbeda kantor pula. Karakter dari
masing-masing tokoh pun berbeda-beda. Berikut adalah karakter yang dimiliki
oleh Cristian dari segi fisiologis, sosiologis, dan psikologis.
a. Dimensi fisiologis. Di dalam cerpen ini, penulis tidak menggambarkan
sosok Christian secara spesifik. Tidak ada penjelasan mengenai ciri-ciri
Christian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
b. Dimensi sosiologis, yaitu dimensi yang berkaitan dengan jabatan dan
pendidikan. Sosok Christian digambarkan sebagai seorang arsitek. Secara
otomatis, ketika seseorang telah mendapatkan predikat sebagai seorang
arsitek, pendidikan minimal yang telah ditempuh, yaitu tingkat sarjana.
Berikut ini adalah kutipan yang mendukung penjelasan tersebut.
“Selamat pagi.” Suara Starla yang khas menyapaku. Merdu, tapi
mengganggu. Enak didengar, tapi selalu berbuntut kurang enak.
Berdasarkan statistikku, dia lebih sering menelepon untuk minta
tolong. Sedikit mengenai Starla: aku dan dia berkenalan ketika masih
baru sama-sama meniti karier. Aku seorang arsitek dan dia desainer
interior, dan selama beberapa tahun kami bekerja di biro konsultan
yang sama. (Lestari, 2011:128)
Selain itu, sosok Christian merupakan tipe orang yang memiliki
kehidupan teratur. Setiap hari, Christian dengan menggunakan bantuan
beker, ia bangun tidur untuk memulai aktivitasnya. Lagu-lagu favoritnya
pun ia coba susun di daftar lagu secara rapi karena itu merupakan
kesukaannya. Hal tersebut didukung dengan kutipan berikut ini.
Sebagaimana hari kemarin dan kemarinnya lagi, dan entah, berapa
banyak kemarin yang telah lewat, pukul 5.45 bekerku berdering.
“Kring” bukan “bip-bip”. Bagiku, kebisingan suara beker klasik punya
daya tembus lebih tajam ke alam bawah sadar. Bukan pukul 5.30 atau
6.00, tapi lima-empat-lima pas. Saat itu matahari benar-benar
misterius. Pagi yang menyisakan sejumput malam sekaligus
menjanjikan siang. (Lestari, 2011:126)
Christian adalah sosok lelaki yang belum pernah memiliki kekasih.
Selama hidupnya ia menghabiskan waktunya dengan sendiri. Starlalah
wanita yang paling dekat dengan Christian.
c. Dimensi psikologis Christian digambarkan memiliki mental sebagai sosok
yang pekerja keras. Christian juga sebagai sosok penyayang, terutama
terhadap sahabatnya. Hal itu dibuktikannya ketika sahabatnya, Rako akan
jatuh ke pelukan Starla mengingat Christian mengetahui karakter Starla.
Berikut ini adalah kutipan yang mendukung penjelasan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
“Kita tahu sama tahu modus operandi-mu. Nggak lama lagi, dia bakal
ngajak kamu serius. Dan segampang itu kamu bakal buang badan. Ya
kan?” tudingku. “Dia sahabatku dari kecil. Aku kenal baik Rako, dan
aku tahu sehancur apa dia nanti. Please. Sudahi ini semua. Bilang aja
terus terang kalau kamu nggak pernah niat serius.” (Lestari, 2011:138)
Dari hasil wawancara yang dilakukan, tokoh Christian memiliki pola
hidup yang monoton dan kaku. Kemonotonan dalam hidup itu pun
menjadikan sosok Christian sebagai pribadi yang membosankan. Namun,
keteraturan dalam hidup Christian pun dinilai baik oleh responden.
Selain terhadap Rako, Christian pun memiliki perasaan untuk
melindungi Starla meskipun Starla telah menyakiti sahabatnya, Rako.
Christian terlihat memiliki mental yang kuat karena dia tidak mudah sakit hati
terhadap apa yang dilakukan oleh temannya.
Nama baru lagi. Aku menghela napas. “Kamu sudah lapor polisi?”
Starla menggeleng. “Tadi aku lawan dia. Terus dia kabur. Tapi aku
nggak mau di sini dulu. Aku takut.” Perempuan tangguh ini mendadak
bagai kucing kecil yang baru tercebur ke kolam, meringkuk tak
berdaya.
Aku tak punya pilihan lain. Malam itu Starla menginap di apartemenku.
(Lestari, 2011:143)
Dari kutipan di atas ditegaskan bahwa Christian tetap menolong Starla
di saat Starla terkena musibah. Christian melupakan segala kejadian yang
telah dilakukan oleh Starla terhadap Rako, sahabat Christian. Di sini jelas
bahwa Christian memiliki mental yang baik untuk menjadi seorang pemaaf
dan tidak pendendam.
7. Tokoh Starla
Selain Christian, tokoh lain di dalam cerpen Menunggu Layang-layang,
yaitu Starla. Starla merupakan teman kerja Christian. Namun, setelah beberapa
tahun, Starla pindah kerja dan tidak satu kantor lagi dengan Christian lagi.
Namun, persahabatan mereka tetap seperti sebelumnya meskipun mereka
sudah tidak sama-sama lagi. Berikut adalah penggambaran karakter Starla dari
tiga dimensi, yaitu fisiologis, sosiologis, dan psikologis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
a. Dimensi fisiologis Starla tidak digambarkan secara jelas di dalam cerpen
ini, baik dari ciri-ciri rambutnya, tinggi badannya, dan warna kulitnya.
Dimensi fisiologis yang jelas tentang Starla di dalam cerpen Menunggu
Layang-layang hanyalah pada jenis kelamin, yaitu Starla adalah seorang
perempuan. Kutipan yang mendukung penjelasan tersebut adalah sebagai
berikut.
Starla kemudian permisi cuci tangan. Begitu ia berdiri, mataku
memandang berkeliling. Selalu sama. Setiap mata laki-laki terpusat
padanya. Banyak perempuan cantik di belantara Jakarta ini, tapi
rasanya tidak ada yang memiliki efek pengisap perhatian seperti
Starla. (Lestari, 2011:131)
b. Dimensi sosiologis Starla digambarkan sebagai seorang desainer interior
yang pada akhirnya menjadi freelancer. Kondisi ini sekaligus menjelaskan
bahwa pendidikan Starla minimal adalah seorang sarjana meskipun di
cerpen tersebut tidak dijelaskan secara langsung. Di dalam hidupnya,
Starla sering berganti-ganti pacar. Hal itu dilakukannya karena dia tidak
mau terikat komitmen. Hal tersebut didukung dengan kutipan berikut ini.
Starla hanya mengangkat alis, lalu menyeruput tehnya.
“Kamu, kok, kayaknya nggak terlalu semangat.”
“Perasaanku nggak enak. Kayaknya dia bakal sama dengan yang lain-
lain.”
“Nggak usah, pergilah.”
“Udah kepalang janji.” (Lestari, 2011:131)
c. Dimensi psikologis dalam diri Starla digambarkan sebagai perempuan
yang memiliki rasa kesepian. Untuk mengusir rasa kesepian itu, Starla
melampiaskannya dengan berganti pacar. Starla juga digambarkan sebagai
sosok yang keras kepala. Starla tidak terlalu memperhatikan kritik dan
saran orang lain. Hal tersebut seperti yang disebutkan dalam bagian
kutipan berikut ini.
Posisi duduk Starla langsung menegak. “Kami dua orang dewasa yang
bisa tanggung jawab atas keputusan masing-masing, oke? Apa
salahnya saling suka, jatuh cinta, mencoba-coba? Semua yang di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
dunia ini juga dilewati pakai proses itu. Mau pilih mobil kek, mau
pilih baju … .” (Lestari, 2011:132)
Dari hasil wawancara dijelaskan bahwa sosok Starla sebagai orang yang
bebas. Hal itu berakibat seringnya Starla berganti-ganti pasangan. Selain itu,
Starla pun dinilai sebagai sosok wanita metropolis yang memiliki gaya hidup
bebas.
8. Tokoh Rako
Tokoh ketiga di dalam cerpen ini, yaitu Rako. Rako ini merupakan
sahabat Christian sejak kecil dari TK-SMA. Namun, setelah SMA mereka
berpisah karena Rako melanjutkan sekolahnya ke luar negeri. Karakter tentang
Rako digambarkan dalam tiga dimensi berikut.
a. Dimensi fisiologis Rako tidak dijelaskan di dalam cerpen tersebut secara
lengkap, misalnya warna kulit dan tinggi badan. Penulis hanya
menjelaskan bahwa Rako berjenis kelamin laki-laki melalui kutipan
percakapan berikut. Kutipan tersebut adalah sebagai berikut.
“Gue mau cari cewek bule aja, Chris. Bertahun-tahun gaul sama
cewek sini, jarang banget ada yang cocok. Cewek-cewek sini tuh
luarannya aja modern, dalamnya sih sama aja. Konvensional. Belum
apa-apa udah ngomongin kawinlah, tunanganlah, padahal gue belum
siap ke arah sana. Gue maunya traveling dulu, lihat dunia dulu … .”
(Lestari, 2011:135)
b. Dimensi sosiologis Rako digambarkan sebagai orang yang mempunyai
kemampuan material lebih. Penulis tidak menyebutkan secara langsung
tentang status tersebut, tetapi dengan cerita bahwa Rako melanjutkan
sekolah ke Inggris sudah cukup digunakan sebagai bukti. Dari keadaan
tersebut pun dapat disimpulkan bahwa Rako memiliki tingkat pendidikan
yang baik. Kutipan yang mendukung penjelasan tersebut adalah sebagai
berikut.
Rutinitasku terguncang. Guncangan yang menyenangkan. Sahabat
lamaku, Rako, yang selama ini bersekolah di Inggris tiba-tiba muncul
di kantor. Rako termasuk satu dari sedikit sahabatku di dunia ini.
Kami berteman sejak dari TK sampai SMA. Selalu bersaing dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
pelajaran, tapi selalu kompak dalam segala perkara di luar itu.
Terutama masalah cinta. (Lestari, 2011:134)
c. Dimensi psikologis Rako digambarkan sebagai laki-laki yang tidak mau
terikat komitmen lebih awal. Jika dilihat dari tingkat kecerdasan, Rako
dapat digolongkan sebagai anak yang cerdas karena Rako mampu
melanjutkan sekolahnya ke luar negeri. Namun, di dalam hal percintaan,
mental Rako tidak begitu baik. Hal tersebut dapat dilihat ketika Rako
ditolak oleh Starla dan itu menyebabkan Rako frustasi berat hingga
akhirnya Rako memutuskan dan memilih untuk kembali ke Inggris.
Berikut adalah kutipan yang mendukung penjelasan tersebut.
Namun bicara memang gampang. Sementara cinta luar biasa
kompleks. Rako tak sanggup mengalahkan teori layang-layang. Ia
memilih kembali ke Inggris. Dan kembali memanggilku “Chris”.
(Lestari, 2011:140)
Dari hasil wawancara yang dilakukan, sosok Rako dinilai sebagai orang
yang tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Rako pun tidak mau
mendengarkan nasihat yang disampaikan oleh sahabatnya sehingga Rako
melakukan pembuktian tentang sosok Starla secara langsung.
C. Konflik Batin yang Dialami oleh Tokoh
1. Ketidakjelasan Silsilah Keluarga Tansen; Mendapatkan Warisan dari
Orang yang Tidak Dikenal
Menurut Meredith dan Fitzgerald dalam Nurgiyantoro (2009:122)
konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan
yang terjadi dan dialami tokoh(-tokoh) cerita, yang, jika tokoh(-tokoh) itu
mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih
peristiwa itu menimpa dirinya. Hal tersebut juga terjadi terhadap tokoh Tansen
di dalam cerpen Madre.
Konflik yang dialami Tansen, yaitu Tansen tidak begitu mengenal latar
belakang keluarganya secara jelas. Tansen hanya mengetahui bahwa ia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
memiliki darah keturunan India dari neneknya, Lakshmi. Namun, Tansen juga
tidak pernah bertemu dengan neneknya secara langsung karena neneknya telah
meninggal ketika melahirkan ibunya Tansen. Begitu pun dengan ibunya
Tansen pun meninggal ketika melahirkan Tansen. Keadaan tersebut dapat
dilihat dalam kutipan berikut ini.
Semasa kecil, aku punya beberapa teman dari keluarga dari India asli.
Mereka jauh berbeda. Keluargaku seperti tercerabut dari akarnya.
Ditambah lagi ada semacam kutukan umur pendek atas perempuan
dalam garis keluargaku. Nenek meninggal setelah melahirkan ibu. Ibu,
anak nenek satu-satunya, meninggal tak lama setelah melahirkan aku,
anak satu-satunya. (Lestari, 2011:3)
Tansen memiliki kehidupan yang bebas. Kehidupan bebas itu dinilai
Tansen sebagai sebuah turunan dari ayahnya. Menurut banyak orang, ayah
Tansen pun memiliki kehidupan yang bebas. Namun, Tansen juga meragukan
tentang arti kebebasan. Tansen menilai kebebasan itu benar-benar sebuah
turunan dari ayahnya atau memang ayahnya yang tidak mau merawat Tansen
untuk tumbuh dan berkembang. Sebuah pemikiran itu muncul sebagai bentuk
protes Tansen tentang arti kebebasan yang ditujukan kepada ayahnya. Kutipan
yang menjelaskannya, yaitu sebagai berikut.
Ayahku, seorang yang berjiwa bebas, melepasku besar begitu saja.
Seolah aku ini anak tumbuhan yang bisa cari makan sendiri tanpa
diurusi. Masa remaja hingga kini kuhabiskan di Bali. Sendirian. Aku
mewarisi jiwa bebas ayahku, kata orang-orang. Kendati batas antara
kebebasan dan ketidakpedulian terkadang saru. (Lestari, 2011:3)
Freud (Hall & Lindzey, 1993:64) menyebutkan bahwa id “kenyataan
psikis yang sebenarnya” karena id merepresentasikan dunia batin pengalaman
subjektif dan tidak mengenal kenyataan objektif. Id yang merupakan sistem
kepribadian yang paling dasar dalam diri Tansen memiliki naluri-naluri
bawaan untuk hidup diperhatikan oleh keluarganya. Kehidupan bebas yang
dimilikinya sekarang ini seolah dianggapnya tanpa perhatian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Ayahku, seorang yang berjiwa bebas, melepasku besar begitu saja.
Seolah aku ini anak tumbuhan yang bisa cari makan sendiri tanpa
diurusi. (Lestari, 2011:3)
Namun, Tansen tetap tidak dapat berlari dari keadaan itu karena
memang Tansen hidup sendiri. Di tengah dorongan id yang tidak realistis
untuk mendapatkan perhatian, dibutuhkan ego untuk melampiaskan keinginan
Tansen.
Ego yang lebih berprinsip pada prinsip realitas (reality principle) ini
membuat Tansen tetap menjalani hidupnya yang bebas. Penyaluran kehidupan
Tansen dilakukan dengan bekerja di Bali guna menopang kehidupannya. Di
dalam kehidupannya di Bali, Tansen pun tidak memiliki pekerjaan yang tetap.
Keadaan ini, tidak akan mengubah naluri id Tansen yang ingin mempunyai
pekerjaan yang tetap. Namun, ego Tansen tetap mengedepankan prinsip
realitas, yaitu ketika memang tidak ada tempat untuk mendapatkan perhatian,
Tansen tetap menjalani kehidupan tersebut, yaitu dengan bekerja tidak tetap
atau freelance. Prinsip realitas itu dikerjakan melalui proses sekunder
(secondary process), yakni berpikir realistis menyusun rencana apakah
rencana itu menghasilkan objek yang dimaksud (Alwisol, 2011:15-16).
“Macam-macam. Guide, ngajar surfing, desainer lepasan, penulis
kadang-kadang, ....”
“Oh. Serabutan.” Dengan datar Pak Hadi menyimpulkan.
(Lestari, 2011:15)
Sebagai bentuk pemuasan id dan ego yang dimiliki Tansen, superego
yang memiliki peranan sebagai pengendali terhadap id dan ego Tansen pun
tidak memberikan rintangan yang berarti terhadap kehidupan Tansen. Seperti
disebutkan Alwisol (2011:16) bahwa superego pada hakikatnya merupakan
elemen yang mewakili nilai-nilai orang tua atau interpretasi orang tua
mengenai standar sosial yang diajarkan kepada anak melalui berbagai larangan
dan perintah. Superego memiliki prinsip untuk memberikan rintangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
terhadap id dan ego dalam pemuasan apa yang diinginkan oleh id jika
memang pemuasan yang akan dilakukan tidak sesuai dengan moral dan aturan
yang berlaku di masyarakat. Namun, Tansen tidak melakukan hal-hal yang a-
moral karena pekerjaan yang Tansen lakukan tidak merugikan orang lain mau-
pun masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dalam cuplikan dialog berikut ini.
Seolah membaca muka laparku, Pak Hadi mengiriskan roti lagi.
“Kerjamu apa di Bali?” ia bertanya.
“Macam-macam. Guide, ngajar surfing, desainer lepasan, penulis
kadang-kadang, ... .”
“Oh. Serabutan,” dengan datar Pak Hadi menyimpulkan. (Lestari,
2011:15)
Masa remaja Tansen dihabiskan di Bali. Namun, setelah itu, Tansen
tiba-tiba mendapatkan warisan dari orang yang tak dikenalnya di Jakarta.
Nama orang tak dikenal itu muncul secara tiba-tiba di dalam kehidupan
Tansen. Bahkan, hanya warisannya saja karena orang tersebut telah
meninggal.
Mendapatkan warisan dari orang yang tak dikenalnya, naluri id Tansen
mendorongnya untuk mengetahui tentang hal tersebut. Tansen pun
memutuskan untuk pergi ke tempat pemakaman sehingga dapat mengetahui
siapa pewaris tersebut. Apa yang dilakukan Tansen tersebut merupakan
penyaluran dari ego yang dimilikinya untuk mengetahui bagaimana realitas
tersebut sebenarnya terjadi. Ego sesungguhnya bekerja untuk memuaskan id
karena itu ego yang tidak memiliki energi sendiri akan memperoleh energi
dari id (Alwisol, 2011:16). Ego ini digunakan sebagai upaya pemuasan
kebutuhan untuk mengurangi tegangan yang didapatkan oleh Tansen dalam
kehidupan nyata. Namun, Tansen tidak mendapatkan apa yang dia inginkan
di pemakaman. Tansen hanya mendapatkan sebuah nama “Tan Sin Gie.”
Di tengah kebingungan Tansen, seorang pengacara sewaan Tan Sin Gie
muncul. Tansen pun tidak menolak ajakan sang pengacara karena dorongan
ego yang dimilikinya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Superego yang dimilikinya pun tidak memberikan rintangan karena Tansen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
mengikuti ajakan pengacara untuk mengetahui seluk beluk warisan yang
ditujukan kepadanya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Kamu ini benar-benar nggak kenal sama Pak Tan?”
“Sama sekali enggak.”
“Tapi namamu seperti nama Tionghoa. Tansen Wuisan.” Ia lalu
menghamparkan berkas-berkas di atas meja.
“Wuisan itu fam Manado, Pak. Tansen itu nama India.” (Lestari,
2011:3)
Tansen mengetahui tempat tinggal Tan dari pengacara tersebut. Di
sebuah ruko tua itulah Tansen bertemu dengan Pak Hadi. Keinginan Tansen
untuk mengetahui tentang warisan itu semakin memuncak. Di antara
kebingungan mengapa dan kenapa dia, id Tansen mendorongnya untuk
menggali tentang asal muasal warisan tersebut kepada Pak Hadi. Di dalam
menjalankan fungsinya ini, id didorong maksud untuk mendapatkan alasan
mengapa warisan tersebut ditujukan kepada Tansen. Id mencoba
menghadirkan keadaan dan alasan yang nyata bagaimana warisan itu dapat
ditujukan kepada Tansen. Hal tersebut seperti yang terlihat dalam kutipan
dialog berikut.
“Madre itu siapa, Pak?” tanyaku lagi
“Tan bilang, madre mesti dirawat orang muda yang semangatnya baru.
Orang ndak sembarangan, yang memang punya hubungan langsung
sama madre,” Pak Hadi terus mengoceh seperti tak mendengar
pertanyaanku. (Lestari, 2011:7)
Di dalam keadaan ini, peran ego dan superego Tansen berjalan
seimbang. Ego berusaha untuk merealisasikan apa yang diinginkan oleh id
untuk mendapatkan cerita yang sebenarnya tentang warisan melalui Pak Hadi.
Cerita tentang asal warisan itu memang akhirnya didengar oleh Tansen dari
Pak Hadi. Namun, id yang dimiliki Tansen menganggapnya itu adalah sebuah
kekonyolan hidup yang bisa berubah dalam sekejap. Untuk memuaskan dan
mengurangi tegangan yang dibutuhkan oleh id sehingga seimbang dengan
ego, Tansen memerlukan superego. Superego tersebut dimaksudkan supaya
Tansen mampu mengetahui tentang kekonyolan itu dengan cara-cara yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
diterima oleh moral dan hati nurani. Pelaksanaannya dilakukan oleh ego,
yaitu untuk mengetahui tentang silsilah keluarganya yang selama ini tidak
diketahui oleh Tansen melalui Pak Hadi. Di sinilah terlihat bahwa Tansen
masih memedulikan aktivitas superego-nya untuk mengetahui tentang Tan
Sin Gie dan warisan yang diberikan kepadanya, seperti dalam kutipan dialog
berikut ini.
“Pak Hadi, saya nggak ngerti apa madre ini?” kututup pintu kulkas itu,
“Saya nggak pernah kenal yang namanya Pak Tan. Makin ke sini saya
makin yakin dia salah orang. Saya pamit pulang, Pak.”
“Nenekmu namanya Lakshmi?”
Aku menatapnya curiga, “Iya.”
“Ibumu namanya Kartika?”
Aku mengangguk lagi.
“Ndak mungkin salah orang.” Pak Hadi menunjuk kulkas itu, “Ini
hakmu.”
“Saya hibahkan untuk Pak Hadi,” sahutku cepat. “Beres, kan?” (Lestari,
2011:9-10).
Silsilah keluarga Tansen yang tak pernah dia ketahui selama ini
akhirnya diketahui oleh Tansen. Hidup Tansen yang selama ini sudah bebas
dan tidak terikat, setelah mendapat warisan madre, hidup Tansen akan terikat
dengan madre. Dalam keadaan seperti itu, Tansen ingin segera pergi dan
meninggalkan madre supaya tidak ada keterikatan. Id Tansen yang
merupakan bawaan memiliki sifat dasar untuk tidak terikat. Oleh karena itu,
Tansen berusaha untuk memberikan warisan tersebut kepada Pak Hadi.
Namun, Pak Hadi menolaknya, seperti dalam kutipan berikut.
“Saya hibahkan untuk Pak Hadi,” sahutku cepat. “Beres, kan?”
“Benar-benar ndak ngerti kamu ini rupanya.” Tangannya lalu mengibas
seperti menghalau ayam. “Sana. Duduk. Saya bikinken kopi lagi.”
(Lestari, 2011:10)
Penolakan dari Pak Hadi membuat Tansen tetap tinggal di Jakarta. Di
Jakarta itulah Tansen bertemu dengan Mei, seorang wanita pengusaha bakery
yang sukses. Id Tansen yang merupakan naluri dasar tidak ingin hidup terikat
itu akhirnya melampiaskannya keinginannya melalui Mei. Id tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
memang dapat menurunkan tegangan pada Tansen, tetapi hanya bersifat
sementara. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
“Kalau gitu saya akan buat proposal untuk membeli madre. Akan saya
hargai tinggi. Saya jamin,” Mei berkata mantap.
Otot-otot di muka keriput Pak Hadi tampak mengencang. “Madre ndak
dijual,” ia berkata. Garang. (Lestari, 2011:28)
Id tersebut mendorong ego untuk melakukan suatu hal yang benar-
benar nyata untuk menghilangkan ketegangan yang dialami sehingga
tegangan itu benar-benar mereda. Dalam keadaan seperti ini, Tansen
mengalami tekanan batin sehingga id akan berusaha meredakan tegangan
tersebut. Untuk meredakan tegangan yang dialami Tansen karena memiliki
biang roti dan dia tidak dapat membuat roti. Selain itu, warisan tersebut dia
peroleh dari orang yang tak dikenalnya. Tansen memerlukan sebuah perantara
untuk menghilangkan ketegangan yang dia alami, yaitu ego.
Ego pun bekerja untuk merealisasikan apa yang diinginkan oleh id. Ego
yang berpegang pada prinsip realitas ini mencoba untuk mewujudkan
dorongan id untuk memperoleh kebebasan kembali, yaitu dengan menjual
madre kepada Mei. Dalam keadaan seperti ini, apa yang dilakukan oleh
Tansen mampu meredakan tegangan dan pikiran-pikiran yang dia miliki
terhadap madre. Tansen berpikir bahwa penjualan madre kepada Mei adalah
cara yang tepat. Keadaan tersebut dipertegas dengan kutipan berikut ini.
“Saya bukan tukang roti, Pak. Ngulen adonan saja seumur hidup baru
tadi. Madre jauh lebih berguna di tangan orang kayak Bapak atau Mei.
Buat apa ada di saya? Buat jadi sarapan tiap pagi?”
“Tan kasih madre untukmu karena dia punya maksud yang lebih besar.
Tinggal kamu yang menentuken.” (Lestari, 2011:30)
Keadaan tersebut menjelaskan bahwa Tansen hanya memperhatikan id
dan ego-nya, aspek superego yang merupakan landasan moral belum
diperhatikan Tansen. Tansen belum memiliki kesiapan untuk menerima
madre, yang Tansen pikirkan masih sebatas kesenangan dan kebebasannya.
Namun, setelah Tansen memutuskan hendak menjual madre kepada Mei,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
justru tegangan dan konflik batin barulah yang muncul. Id yang sempat
meredakan tegangan sementara itu pada akhirnya akan muncul kembali
dengan situasi yang berbeda. Keputusan menjual madre membuat Tansen
memiliki konflik batin terhadap Pak Hadi.
“Orang-orang yang selama ini madre nafkahi. Orang-orang yang ndak
akan melepas madre apapun yang terjadi. Sayangnya keputusan itu
ndak ada di tangan kami.” Suara Pak Hadi bergetar. Dan tubuh itu pun
sedikit gemetar ketika bangkit berdiri. “Kamu orang pertama setelah
Lakshmi yang bisa langsung membuat roti dari madre tanpa gagal.
Semua pekerja di sini harus mencoba berkali-kali baru berhasil. Madre
sudah memilihmu. Sayangnya kamu ndak paham.” (Lestari, 2011:32)
Di dalam keadaan tersebut, ego mulai bekerja untuk mewujudkan
pemikiran id supaya dapat mengurangi tegangan, yaitu dengan
memperhatikan efek yang terjadi pada Pak Hadi ketika madre dijual. Ego
yang berprinsip untuk mengejar kenikmatan dengan disesuaikan realitas akan
memengaruhi pemikiran id. Id yang sebelumnya memikirkan bagaimana cara
terbebas dari madre dengan prinsip mengejar kebebasan dan kenikmatan kini
dipengaruhi oleh ego berdasarkan keadaan Pak Hadi ketika madre hendak
dijual.
Tansen mulai memperhatikan superego-nya. Superego yang berfungsi
untuk melaksanakan tindakan berdasarkan moral ini akhirnya dapat
diperhatikan oleh Tansen. Bentuk moral dari superego yang tak lain sebagai
rintangan terhadap apa yang akan dilaksanakan oleh ego, yaitu rasa
menghormati Tansen terhadap apa yang disampaikan oleh Pak Hadi. Pesan
Pak Hadi kepada Tansen tentang madre membuat Tansen mengurungkan
niatnya untuk menjual madre. Penjelasan tersebut didukung dengan kutipan
berikut ini.
Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang persis terjadi padaku pagi tadi. Aku
bahkan tidak yakin kami akan sanggup mengerjakan order dari Mei.
Yang jelas bagiku hanyalah: aku dan atau uang seratus juta tak pantas
menggusur madre keluar dari sini. Tempat tua ini adalah rumahnya.
Orang-orang tua ini adalah keluarga sejatinya. (Lestari, 2011:39)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Setelah kejadian tersebut, Tansen lebih memperhatikan superego-nya,
yaitu bagaimana cara mendapatkan kenikmatan dan kebebasan tanpa melukai
dan merugikan orang lain. Perwujudan dari id, ego, dan superego tersebut,
yaitu tanpa menjual biang madre dan berusaha untuk menghidupkan kembali
toko roti yang telah mati selama bertahun-tahun dengan dibantu Mei.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan disebutkan bahwa di alam
bawah sadar/id Tansen menginginkan untuk menjual madre karena Tansen
ingin menjadi dirinya sendiri. Tansen tidak ingin dibayang-bayangi oleh
kakeknya tentang kesuksesan yang ia dapat. Tansen ingin memperoleh
kesuksesan hidupnya itu dengan potensi yang ia miliki. Namun, di wilayah
Asia, silsilah keluarga dianggap sebagai sesuatu yang penting sehingga
Tansen mulai menyingkirkan ego pribadi dan mulai masuk ke ego keluarga
sehingga akhirnya Tansen mempertahankan madre tersebut untuk
menghidupkan kembali toko roti yang telah mati. Hal tersebut seperti dalam
kutipan berikut.
“Tansen tiba-tiba seperti ditendang dari zona nyamannya. Dari orang
yang hidup bebas dan sudah terbiasa tidak memiliki "akar", tiba-tiba
Tansen merasa terancam karena muncul ikatan yang tidak ia duga yakni
Madre. Madre berpotensi menghancurkan kebebasannya dan menjadi
ikatan yang tidak ia harapkan.” (Dewi Lestari)
2. Pak Hadi karena Mengetahui Sejarah Keluarga Tansen dan Harus
Bercerita; Konflik Batin karena Madre Hendak Dijual
Pak Hadi adalah lelaki etnis Cina yang penyabar. Seluruh sisa hidupnya
ia abdikan kepada Tan Sin Gie, pemilik toko Tan de Bakker kala itu. Namun,
Tan akhirnya meninggal dan Pak Hadi pun tetap setia untuk menjaga madre
dan toko roti tua itu. Bahkan, kesetiaan Pak Hadi pernah dibuktikannya
bekerja untuk Tan tanpa digaji. Keinginan Pak Hadi tidaklah begitu banyak, ia
ingin menemukan pemuda yang diberi warisan oleh Tan, yaitu Tansen. Hal
tersebut seperti dalam kutipan berikut ini.
“Kamu yang bernama Tan-sen?” ucapnya canggung, “Saya Hadi.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
“Tansen.” Kusebut namaku sekali lagi seraya menjabat tangan
keriputnya. (Lestari, 2011:6)
Tak berapa lama setelah kematian Tan, Pak Hadi bertemu dengan
Tansen di ruko tua itu, bekas toko roti Tan de Bakker. Pak Hadi menginginkan
Tansen supaya Tansen tetap merawat madre sampai kapanpun. Namun,
keinginan Pak Hadi tersebut memunculkan konflik batin ketika Tansen kaget
mendengar tentang silsilah keluarganya yang sebenarnya. Id yang mendorong
Pak Hadi untuk segera memberi tahu Tansen itu memunculkan konflik
batinnya sendiri. Hal tersebut didukung dengan kutipan berikut ini.
“Yang kamu sebut „aki‟ itu sebetulnya karyawan Tan dan Lakshmi.
Sahabat saya juga. Kami dulu sama-sama kerja di Tan de Bakker,”
ucapnya berat. “Saya kasihan sama kamu, mesti tahu ini semua
sekarang. Saya juga kasihan sama diri saya karena jadi saya yang mesti
cerita. Harusnya Si Tan yang ketemu kamu langsung.” (Lestari,
2011:11)
Kutipan di atas menjelaskan bagaimana perasaan batin yang dialami
oleh Pak Hadi ketika harus menjelaskan kepada Tansen tentang semua kisah
antara Tan Sin Gie dan Tansen. Jika kutipan di atas diperhatikan lebih
mendalam, id Pak Hadi telah mendorongnya untuk bercerita kepada Tansen
karena memang dia yang lebih tahu tentang sejarah kehidupan Tan Sin Gie
dan Lakshmi. Pak Hadi tidak begitu memperhatikan apa yang akan terjadi
kepada Tansen setelah mendengar cerita tersebut. Hal tersebut dapat dilihat
pada bagian kutipan berikut ini.
“Benar-benar ndak ngerti kamu ini rupanya.” Tangannya lalu mengibas
seperti menghalau ayam. “Sana. Duduk. Saya bikinken kopi lagi.
Cangkir keduaku hampir tak tersentuh. Cerita Pak Hadi membuat
kerongkonganku tercekat, tak sanggup dilalui apa-apa, termasuk
kopinya yang padahal sangat enak itu. (Lestari 2011:10)
Ego di dalam diri Pak Hadi terdorong untuk segera menyampaikan
cerita tersebut kepada Tansen. Hal ini merupakan cara Pak Hadi untuk
memberitahukan kepada Tansen bagaimana cerita sebenarnya sehingga
warisan tersebut bisa sampai kepada Tansen. Setelah Pak Hadi cerita,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
ketegangan-ketegangan yang ada di dalam diri Pak Hadi akan berkurang
karena telah membuka sisi lain dari sejarah kehidupan Tansen. Superego yang
merupakan pengendali terhadap id dan ego pun tidak terlalu banyak
mengambil peran. Sebenarnya superego Pak Hadi sempat memberikan
dorongan, tetapi ternyata sia-sia karena memang satu-satunya yang
mengetahui tentang cerita tersebut adalah Pak Hadi. Akhirnya, diceritakanlah
sejarah kehidupan Tansen oleh Pak Hadi, seperti dalam kutipan berikut ini.
Tan bertemu dengan nenekmu, Lakshmi, waktu mereka masih muda.
Mereka sama-sama bekerja di sebuah toko roti. “Kata Tan, roti buatan
Lakshmi pasti rasanya beda dengan pegawai lain. Padahal adonan yang
diuleninya sama.” Demikian bagian awal yang dikisahkan Pak Hadi.
(Lestari, 2011:10)
Setelah ketegangan yang dialami Pak Hadi terhadap Tansen reda,
kehidupan Pak Hadi mulai beralih bagaimana mendidik Tansen untuk mampu
membuat roti dengan biang madre. Tansen yang tidak pernah membuat roti itu
memang mau belajar membuat roti kepada Pak Hadi. Namun, setelah
pembuatan roti itu justru muncul ketegangan baru dalam diri Pak Hadi.
Tansen tiba-tiba berkeinginan untuk menjual madre. Jiwa Pak Hadi seperti
tergoncang. Madre yang sempat menghidupinya hendak dijual oleh pewaris
Tan. Penjelasan tersebut dipertegas dengan kutipan berikut ini.
“Kalau gitu saya akan mengajukan proposal untuk membeli madre.
Akan saya hargai tinggi. Saya jamin,” Mei berkata mantap.
Otot-otot di muka keriput Pak Hadi tampak mengencang. “Madre ndak
dijual,” ia berkata. Garang.
Seketika Mei melirikku. Dan aku tersadar berapa tidak meng-
enakkannya suasana ini. Sebagai pembaca blogku, aku berasumsi Mei
sudah tahu bahwa hak milik madre ada di tanganku. (Lestari, 2011:28)
Id dalam diri Pak Hadi menginginkan supaya madre tetap dirawat oleh
Tansen. Id yang merupakan dorongan dari dalam diri ini sebagai bentuk
konflik batin yang dialami Pak Hadi. Untuk merealisasikan apa yang
dipikirkan id, Pak Hadi memerlukan ego sebagai penyalur dari pikiran ke
dunia nyata. Ego yang memiliki reality principle ini mencari cara bagaimana
supaya madre tidak dijual. Cara yang diperlukan tentulah cara yang diterima
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
masyarakat dan sesuai dengan moral. Di sini peran superego diperlukan
bagaimana cara-cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan madre
yang akan direalisasikan oleh ego. Ketika madre hendak dijual, Pak Hadi
membuat semacam pesta perpisahan kecil yang dihadiri oleh beberapa mantan
pegawai Tan. Di pesta perpisahan itu, superego Pak Hadi menjadi dominan
karena Pak Hadi justru tidak bersedih, tetapi seperti sudah rela melepaskan
madre untuk dimiliki oleh orang lain. Hal tersebut seperti terlihat dalam
bagian kutipan berikut ini.
Pagi ini memang tidak seperti acara perpisahan yang muram. Pak Hadi
tampak cerah di tengah keluarga Tan de Bakker. Begitu hidup dan
bersemangat. Satu-satunya yang muram di tempat itu justru aku.
(Lestari, 2011:35)
Superego Pak Hadi menjadi dorongan utama dan dominan karena Pak
Hadi menyadari bahwa madre sudah tidak menjadi haknya. Untuk itulah
superego Pak Hadi mendorongnya untuk tetap ceria meskipun madre akan
dijual. Apa yang dilakukan oleh Pak Hadi tersebut tidak melanggar norma
maupun moral yang berlaku di masyarakat.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, Pak Hadi di dalam
alam bawah sadarnya mengalami konflik dan beban batin ketika tidak
menyampaikan apa yang dia ketahui tentang silsilah keluarga Tansen.
Namun, Pak Hadi juga menyesal mengapa justru dia yang harus
menyampaikannya. Menurut responden, yang namanya sebuah rahasia pada
titik tertentu memang harus diungkapkan. Setelah ada pengungkapan itu,
psikis Pak Hadi lega. Id Pak Hadi yang memang sudah memendam itu selama
bertahun-tahun memang berharap untuk mengungkapkan sehingga melalui
ego dan superego Pak Hadi mewujudkan hal itu untuk mengurangi
ketegangan. Hal tersebut didukung kutipan berikut ini.
“Bagi Pak Hadi, Madre adalah identitas dan hidupnya. Ia percaya pada
kesetiaan dan dedikasi. Ia mendedikasikan hidupnya pada toko yang
dipercayakan Tan kepadanya. Ini yang kontras dengan Tansen yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
semasa hidupnya justru tidak mengenali kualitas-kualitas tersebut.
Ketika Madre hendak dijual, bagi Pak Hadi itu adalah berakhirnya
kehidupan yang ia tahu. Kehidupan sebagai pembuat roti.” (Dewi
Lestari)
3. Mei karena Kesalahan Masa Kecil
Mei adalah keturunan etnis Cina. Kini dia menjadi seorang pemilik
bakery yang sukses dengan memiliki beberapa cabang toko roti. Kesetiaannya
membaca blog Tansen pada akhirnya mempertemukan mereka berdua.
Pertemuan itu lebih didorong tentang cerita madre yang diunggah di blog
Tansen. Selain keberuntungan, pertemuan Mei dengan Tansen juga membawa
konflik batin terhadap Mei. Hal tersebut dipertegas dengan kutipan berikut ini.
“Buat saya, ngikutin blog kamu itu kayak berlibur,” Mei nyengir. “Nah,
jadi bisa dibayangin kan gimana kagetnya saya waktu baca kamu cerita
tentang roti, tentang madre? Saya langsung niat dalam hati, pokoknya
harus ketemu kamu selama kamu masih di Jakarta.”
“Aha,” aku manggut-manggut, “Jadi alasan menghubungi saya waktu
itu bukan cuma madre?”
“Delapan puluh persen karena madre. Dua puluh persen karena saya
nge-fans sama kamu.” Mei berkata lugas. (Lestari, 2011:46)
Rasa bersalah Mei terhadap kakeknya sewaktu kecil mendorong Mei
untuk menebusnya. Id dalam diri Mei memberikan dorongan-dorongan
bagaimana Mei meredakan ketegangan-ketegangan rasa bersalahnya terhadap
kakeknya. Rasa bersalah itu, yaitu ketika masih kecil Mei pernah memecahkan
biang roti kakeknya. Namun, ketika kecil Mei tidak paham dengan biang. Mei
baru sadar bahwa biang adalah sejarah ketika telah dewasa dan sukses. Id di
dalam diri Mei seolah menemukan jalan keluar bagaimana meredakan
tegangan yang dialami oleh Mei, yaitu dengan membeli Madre. Ego Mei
mulai melaksanakan apa yang diinginkan oleh id, yaitu dengan membeli
madre. Namun, ketika hendak membeli madre, bukanlah kesenangan yang
Mei peroleh, tetapi justru ketegangan. Hal tersebut seperti dalam bagian
kutipan berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
“ … . Di Indonesia saya belum pernah ketemu yang kayak gini, Pak,”
Mei geleng-geleng kepala, ia seperti pening saking terpukaunya. “Ini
bikinan Bapak?”
“Si Tansen yang bikin.”
“Wow.” Dan Mei menatapku seolah menemukan rockstar berikutnya.
“Oke. Berapa banyak yang bisa kalian produksi?”
“Kami berdua?” tanya Pak Hadi, “Ya, ndak banyak.”
“Kalau gitu, saya akan mengajukan proposal untuk membeli madre.
Akan saya hargai tinggi. Saya jamin,” Mei berkata mantap.
Otot-otot di muka keriput Pak Hadi tampak mengencang. “Madre ndak
dijual,” ia berkata. Garang. (Lestari, 2011:28).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa sebenarnya superego di dalam diri
Mei sudah memberikan langkah yang terbaik dan sesuai dengan moral, yaitu
dengan rencana memesan roti ke Tansen dan Pak Hadi. Namun, ketika
langkah tersebut tidak mewujudkan kesenangan yang diharapkan oleh Mei
untuk memesan roti, id di dalam diri Mei memberontak. Pemberontakan itu
dilaksanakan oleh ego, yaitu membeli madre.
Untuk mendapatkan kesenangan yang diinginkan, id di dalam diri Mei
tidak berhenti begitu saja. Ketika suasana perbincangan dengan Pak Hadi dan
Tansen sudah tidak kondusif lagi, melalui ego-nya, Mei tetap bersikeras
dengan cara lain untuk mendapatkan madre. Superego di dalam diri Mei saat
itu tidak mendominasi.
“Nanti saya kirim e-mail,” kata Mei padaku seraya meletakkan
selembar lima puluh ribuan di atas meja. “Permisi,” ia lalu pergi tanpa
sempat menyentuh kopinya. Pak Hadi bergeming di kursi. Wajahnya
ditekuk.
Di depan pintu, Mei berkata, “Kalau baca e-mail saya nanti, kamu pasti
berubah pikiran.” Dan dengan langkah mengentak karena hak
sepatunya yang menjulang, ia berjalan masuk ke mobil Mercedes perak,
menenteng bungkusan roti. Roti pertamaku. Bahkan belum sempat
kucicipi. (Lestari, 2011:29)
Namun, di sisi lain sebenarnya Mei juga tidak berharap Tansen akan
menjual madre tersebut kepadanya. Id yang menginginkan kesenangan itu
dirintangi oleh superego Mei. Superego memberikan arahan bahwa sejarah
tak seharusnya dijual dan Mei pun yakin bahwa tanpa artisan yang andal,
bakery-nya akan berhasil. Meski begitu, melalui ego-nya, Mei tetap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
memberikan penawaran untuk membeli madre melalui e-mail. Penawaran itu
benar-benar direalisasikan. Di sini, id masih mendominasi di dalam diri Mei
meskipun superego juga mengambil peran. Namun, peran superego ini
muncul ketika terjadi penolakan dari Tansen terhadap penjualan madre,
seperti kutipan berikut ini.
“Kamu pasti mau bilang, saya nggak jadi melepas madre adalah sebuah
kebodohan,” kataku getir. “Di tangan kamu, madre nggak akan sia-sia.
Ya, kan?”
Mei menggeleng pelan. “Sebetulnya saya agak lega kamu nggak jadi
melepas madre. Biar madre di tangan saya, tetap saya nggak punya
artisan dengan kemampuan kayak Pak Hadi. Dan biar ditawari gaji
tinggi, saya yakin mereka nggak akan pernah mau ninggalin Tan de
Bakker.” (Lestari, 2011:48)
Mei pun akhirnya melakukan kerja sama pembuatan roti dengan Tansen
dan Pak Hadi, tanpa membeli madre, untuk dipasok ke bakery-bakery-nya.
Pesanan yang banyak dari Mei membuat Tansen dan Pak Hadi kewalahan.
Mei pun akhirnya mengusulkan untuk menanam sahamnya ke toko roti Tan
de Bakker dengan usulan nama baru Tansen de Bakker karena pemilik toko
roti tersebut adalah Tansen. Manajemennya pun diperbarui demi kelancaran
pesanan.
“Saya sih mengusulkan namanya diganti supaya nggak ada masalah
dengan keluarga Pak Tan,” Mei tersenyum, “Tapi, ya, saya akan tanam
modal di toko Bapak. Kita buka lagi tempat itu. (Lestari, 2011:67)
Id Mei tetap berpikir untuk mencari kesenangan dan meredakan
ketegangan yang dimilikinya. Tegangan-tegangan itu membuat Mei khawatir
kalau dia tak akan mendapatkan roti seenak roti yang dibuat oleh Pak Hadi
dan Tansen dengan menggunakan biang madre. Ego yang berperan untuk
melaksanakan perintah id pun merealisasikannya dengan memperhatikan
superego. Superego di dalam diri Mei memberikan impuls bagaimana supaya
produksi roti tidak terhenti dan Pak Hadi tetap bekerja sesuai dengan
porsinya. Hal tersebut berhasil dilaksanakan dengan baik oleh ego. Di dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
kondisi ini, antara id, ego, dan superego dalam diri Mei dapat berjalan
beriringan untuk mendapatkan kesenangan dan meredakan ketegangan-
ketegangan yang dimiliki serta menggunakan cara-cara yang baik.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, sebenarnya Mei ingin
menebus kesalahan yang Mei lakukan di masa kecil karena di masa kecil,
ego-lah yang baru berkembang dalam diri Mei. Setelah dewasa, Mei mulai
menyadari tentang arti biang sebagai sejarah. Secara alam bawah sadar, id
dan ego, Mei ingin menyambung sejarah dengan cara membeli madre karena
pembelian madre ini sebagai kekuatan superego Mei. Namun, di sisi lain
ketika Tansen tak jadi menjual madre, akhirnya Mei melakukan kerjasama
dengan Tansen. Kerjasama ini sebagai bentuk perantara untuk menyambung
sejarah yang telah hilang. Penjelasan tersebut diperkuat dengan kutipan
berikut ini.
“Mei menyimpan penyesalan sejak kecil ketika ia "membinasakan"
adonan biang kakeknya. Ia kemudian mengembangkan bisnis roti
keluarganya masih dengan rasa penyesalan tersebut, dan karena itulah
ia sangat tertarik dengan Madre. Madre merupakan jalan keluarnya
untuk membayar penyesalannya.” (Dewi Lestari)
4. Ketakutan Christian akan Perubahan dan Ketidakpastian yang
Dialaminya
Christian digambarkan sebagai sosok laki-laki yang pendiam dan tidak
memiliki seorang kekasih. Di dalam kesendiriannya itu, Christian selalu
mengalihkan kesepiannya kepada musik. Selain itu, Christian juga mempunyai
seorang sahabat perempuan yang sangat dekat dengannya, yaitu Starla. Starla
ini merupakan rekan kerjanya di biro konsultan yang sama selama beberapa
tahun.
Kedekatannya dengan Starla sebagai sahabat akhirnya memunculkan
konflik batin dalam diri Christian. Diam-diam, Christian tidak menyukai
karakter yang dimiliki oleh Starla. Starla memiliki karakter sebagai
perempuan yang sering berganti-ganti pacar, seperti dalam kutipan berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Sekembalinya Starla, CD yang ia minta sudah kuletakkan manis di atas
meja. Plus: sebuah pertanyaan klasik: “Jadi, siapa laki-laki sial itu?
Starla tersenyum. “Dia kontraktor, lagi ada proyek hotel di daerah
Carita. Aku ikut nemenin. (Lestari, 2011:131).
Kutipan di atas menegaskan seringnya Starla berganti-ganti pacar
sampai-sampai Christian menyebut laki-laki itu sebagai laki-laki sial.
Awalnya, Christian memang tidak terlalu memedulikan terhadap karakter
Starla yang sering berganti pacar, tetapi rasa ketidakpedulian itu berubah
menjadi rasa peduli ketika yang menjadi target Starla adalah teman Christian,
Rako. Dalam keadaan ini, id Christian mulai memikirkan untuk meredakan
ketegangan yang dialami olehnya, yaitu supaya Rako tidak menjadi target
Starla berikutnya. Id yang merupakan bawaan sejak lahir ini menginginkan
supaya Rako tidak sakit hati. Penjelasan itu didukung kutipan berikut ini.
“Tumben, Che. Kayaknya penting banget sampai ngajak ketemuan
segala,” sambut Starla.
“Rako.” Aku tidak berbasa-basi. “Jangan dia, Star.”
“Maksud kamu?”
“Kita tahu sama tahu modus operandi-mu. Nggak lama lagi dia bakal
ngajak kamu serius. Dan segampang itu kamu bakal buang badan. Ya
kan?” tudingku. “Dia sahabatku dari kecil. Aku kenal baik Rako dan
aku tahu sehancur apa dia nanti. Please. Sudahi ini semua. Bilang aja
terus terang kalau kamu nggak pernah serius.” (Lestari, 2011:138)
Apa yang didorong oleh id pada akhirnya memang direalisasikan oleh
ego untuk mengurangi ketegangan yang ada di dalam diri Christian. Ego
sebagai bentuk media untuk menyalurkan apa yang dipikirkan oleh id
menyalurkan peringatan tersebut kepada Starla secara langsung. Di sisi lain,
Superego yang berfungsi memberikan rintangan dan halangan terhadap
sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan dan moral seolah-olah menilai apa
yang dilakukan oleh Christian sebagai bentuk perwujudan rasa kasih kepada
sahabatnya, Rako. Superego pun cemas antara Christian tidak setia kawan
dengan Starla atau Christian rela Rako menjadi korban Starla. Namun, justru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
setelah perwujudan id melalui ego itu, terjadi pertentangan-pertentangan dan
ketegangan baru yang seharusnya bisa reda.
“Jadi, selama ini kamu pikir aku ngasih harapan kosong ke orang-
orang? Aku nggak pernah ngasih apa-apa selain jadi diriku sendiri.
Mereka kepengen serius atau enggak, itu urusan mereka dan urusanku.
Rako bukan anak kecil, Che. Dia butuh supporter, bukan babysitter.”
“Kadang-kadang… kamu itu …,” gumamku, gusar, dan gemas.
“Kadang-kadang saya ini kenapa?” tantang Starla.
“Nggak tahu diri.” Aku berbalik meninggalkannya.
(Lestari, 2011:138-139).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa setelah apa yang dirasakan oleh
Christian dan disampaikan kepada Starla justru membuat mereka berdua
bertengkar. Saling mempertahankan ego-nya masing-masing. Christian
menganggap apa yang dilakukan Starla selama ini salah. Dalam keadaan ini,
ego yang dimiliki Christian lebih dominan. Kemarahan yang diungkapkan
oleh Christian dipertegas dengan kutipan berikut.
Ada rasa muak yang tahu-tahu menyeruak.
“Sebelum kamu cerita apa-apa, aku mau kasih tahu sesuatu,” potongku.
“Mulai sekarang, nggak ada lagi nge-burn CD. Nggak ada lagi cerita
layang-layang.”
“Layang-layang … ?”
“Urus diri kamu sendiri, Starla. Kamu butuh audiens, bukan teman.”
(Lestari, 2011:141).
Satu bulan setelah pertengkaran itu, hidup Christian dan Tansen justru
saling berjauhan. Mereka tidak berkomunikasi lagi seperti biasanya.
Komunikasi itu terjalin kembali setelah Starla mengalami musibah. Setelah
musibah malam itu, hubungan persahabatan mereka pun terjalin kembali. Di
sinilah sebenarnya konflik batin dalam diri Christian muncul kembali.
Id Christian yang sebelumnya berpikir bagaimana untuk mengamankan
Starla dari musibah tersebut, yaitu dengan membawa Starla ke apartemen
Christian. Ego pun melaksanakan apa yang diinginkan oleh id. Mulai malam
itu, Christian menjadi dekat kembali dengan Starla. Kedekatan-kedekatan itu
justru memunculkan perasaan lain yang menjadikannya seolah lebih dari
sahabat. Semua hidup Christian menjadi berubah, tak seperti dulu lagi. Mulai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
jadwal kerja, racikan kopi, dan bahkan suhu air untuk mandi. Hal tersebut
seperti pada bagian kutipan berikut ini.
“Untuk menggenapi keganjilan hari ini, kuikuti usul sableng Starla
untuk pulang lebih cepat. Dan anehnya lagi aku merasa … senang.
Senang berada di mobil sebelum waktunya. Senang berada di jalan
sebelum orang bubar kantor. Saking senangnya, aku tak mendengarkan
lagi kompilasiku. Aku hanya mengemudi dan mengemudi. (Lestari,
2011:145)
Kedekatan-kedekatan yang terjadi antara Christian dan Starla akhir-
akhir ini membuat mereka menjadi lebih banyak berkomunikasi. Starla
tinggal di apartemen Christian. Dorongan-dorongan nafsu yang sebenarnya
dirintangi oleh superego pun muncul. Christian tidak dapat menolak itu. Id
dan ego-nya lebih dominan daripada superego. Superego menyadari bahwa
apa yang dilakukan oleh Christian dan Starla sebenarnya tidaklah sesuai
dengan norma dan aturan yang berlaku di masyarakat, tinggal seatap berdua
dengan orang yang bukan istrinya. Penjelasan tersebut diperkuat kutipan
berikut ini.
Tangannya tiba-tiba meraih tanganku. Hangat. Impuls listrik. Dari sana
yang terjadi adalah reaksi kimia. Yang bahkan aku, atau Starla, tidak
punya kendali lagi atasnya. (Lestari, 2011:151)
Di dalam hubungannya dengan Starla, Christian justru mendapatkan
tegangan-tegangan baru. Id di dalam diri Christian memberontak untuk
menolak kedekatan itu. Id berusaha untuk meredakan yang dialami oleh
Christian. Starla meninggalkan apartemen Christian.
Rako lebih beruntung. Dia bisa jatuh tanpa perlu mengantisipasi apa-
apa. Sementara di sini, aku memaki, berontak, melawan gravitasi,
berteriak dalam sunyi: aku tidak mau menjadi layang-layang! (Lestari,
2011:153).
Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa sebenarnya Christian
memiliki kebimbangan terhadap kedekatannya dengan Starla. Setelah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
kejadian di apartemen itu, justru bermunculan konflik batin yang dialami oleh
Christian. Id Christian menolak hubungan dengan Starla. Id ini berusaha
untuk mencari kebebasan hubungan Christian dari Starla. Untuk melakukan
hal itu, id memerlukan ego sebagai bentuk realisasinya. Ego merealisasikan
itu dengan langsung berbicara kepada Starla.
“Star….” aku melihat sekeliling. Haruskah ini terjadi di koridor
apartemen? Kelihatannya tidak ada pilihan lain. “Dua hari kemarin
adalah kesalahan terbesar dalam hidupku,” berat mulutku membuka.
“Kita sama-sama tahu ini akan berakhir seperti apa. Aku bukan yang
kamu cari. Kamu bukan yang aku cari. Kita kembali kayak dulu lagi.
Oke?” (Lestari, 2011:154)
Apa yang dialami Christian tersebut menjelaskan bahwa Christian
mengalami konflik batin yang mana ia tidak berharap untuk membina
hubungan dengan Starla ke arah yang lebih serius. Di dalam hal ini, superego
di dalam diri Christian menyadari bahwa hubungan yang akan dijalani dengan
Starla tidaklah bertentangan dengan norma, tetapi Christian justru takut
dengan apa yang akan terjadi jika hubungan serius itu benar-benar terjadi. Di
dalam keadaan ini, antara id, ego, dan superego pada diri Christian dapat
berjalan secara beriringan, tidak ada yang dominan di sana.
Setelah kejadian itu, hubungan antara Christian dan Starla tidak
membaik. Namun, disaat itulah Christian merasakan bahwa ia sebenarnya
merasa kehilangan Starla. Id Christian mulai berpikir bagaimana mengurangi
ketegangan yang dialaminya. Konflik batin pun dialami Christian, seperti
dalam kutipan berikut.
Ada kekosongan yang tak bisa kujelaskan. Aku berfungsi, tapi sebagian
diriku seperti bermutasi menjadi zombie.
Rasanya aku tahu penyebabnya, walau enggan mengakuinya. Aku
kehilangan Starla. Dan apakah Starla juga merasakan hal yang sama,
menjadi pertanyaan yang menghantuiku. (Lestari, 2011:155)
Untuk mengurangi ketegangan-ketegangan yang dialami oleh batin
Christian, ia mencoba menghilangkannya dengan melakukan hal-hal yang
dulu menjadi kebiasaannya dengan Starla. Ego sebagai bagian struktur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
kepribadian yang berprinsip pada realitas mewujudkan apa yang dipikirkan
oleh id. Perwujudan untuk meredakan ketegangan yang dialami Christian,
yaitu dengan menonton bioskop.
“Studio 1, kursi A1,” aku memasan bangku bioskop sembari memeluk
popcorn dan teh kotak, teman-teman setia yang bahkan kubeli duluan
sebelum membeli tiket. (Lestari, 2011:156)
Justru di saat Christian ingin mengurangi ketegangan yang dialaminya
dengan menonton bioskop, di bioskop itulah ia bertemu kembali dengan
Starla. Christian pun akhirnya mengungkapkan apa yang dirasakan setelah
Starla pergi dari dirinya. Ketegangan yang dialaminya pun reda setelah
berbicara jujur kepada Starla. Superego tidak banyak berperan dalam hal ini
karena apa yang dilakukan oleh Christian tidak merugikan orang lain dan
tidak menyalahi aturan.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, ego Christian ingin
melakukan pembuktian bahwa dia mampu menaklukkan Starla. Namun, di
sisi lain, ego Christian juga khawatir dengan kondisi tersebut mengingat
Starla sering berganti-ganti pacar. Namun, di akhir Christian berhasil untuk
menaklukkan Starla. Hal tersebut seperti dikutip dari wawancara berikut.
“Sebagai seseorang yang mengamati dinamika hidup Starla dari jarak
yang dianggapnya aman, Che merasa terguncang ketika ia sadar bahwa
ia telah kehilangan posisi aman tersebut. Baginya, selama ini hidup
Starla adalah hidup yang berbahaya, yang selalu berusaha ia hindari.
Sebetulnya yang ia hadapi adalah ketakutannya sendiri akan perubahan
dan ketidakpastian, karena Che adalah orang yang sangat takut
kehilangan kendali hidupnya.” (Dewi Lestari)
5. Starla yang Tidak Ingin Terikat dengan Komitmen
Starla di dalam cerpen Menunggu Layang-layang digambarkan sebagai
sosok wanita karir yang sering berganti-ganti pacar. Kebiasaan berganti-ganti
pacar itu disebabkan karena tidak inginnya Starla memiliki ikatan terhadap
seorang pria. Jika seorang pria yang sedang dekat dengannya dan mengajak
untuk berkomitmen, justru Starla akan menjauh. Namun, kebiasaan Starla itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
justru menimbulkan konflik batin-konflik batin bermunculan dalam dirinya,
terutama dengan sahabatnya, Christian.
“Kami dua orang dewasa yang bisa tanggung jawab atas keputusan
masing-masing, oke? Apa salahnya saling suka, jatuh cinta, mencoba-
coba? Semua yang di dunia ini juga dilewati pakai proses itu. Mau pilih
mobil kek, mau pilih baju … .” (Lestari, 2011:132)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa sebenarnya Starla juga memiliki
kebimbangan dengan apa yang dilakukannya. Untuk mengurangi ketegangan
yang dimiliki, yaitu kesepian, id Starla mendorongnya untuk mencari pacar.
Ego yang berperan mewujudkan apa yang diinginkan oleh id pun
melaksanakannya. Namun, ketika pacaran, Starla tidak ingin terikat dan
berkomitmen. Superego yang memberikan impuls atau rintangan-rintangan
terhadap apa yang diinginkan id tidak memiliki peran dominan pada Starla
dalam keadaan ini. Id Starla lebih dominan untuk mengejar kesenangannya
dan tidak memperhatikan aspek superego yang dimilikinya. Starla tetap
mengejar kesenangannya untuk memiliki pacar dan tidak pernah mau terikat
komitmen.
“Perasaanku nggak enak. Kayaknya dia bakal sama dengan yang lain-
lain.”
“Nggak usah, pergilah.”
“Udah kepalang janji.”
“Tenang aja. Kamu kan pasti udah punya SOP-nya.”
Starla menggeleng. “Biar ending-nya sama, respons mereka beda-beda.
Ada yang gentleman, ada yang tahu-tahu nangis semalam suntuk, ada
yang ngambek terus banting-banting barang. Aku nggak pernah tahu
pasti, Che. Nggak ada SOP untuk menghadapi yang beginian.”
(Lestari, 2011:132)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa sebenarnya superego Starla juga
khawatir dengan apa yang dilakukannya. Di sisi lain, superego juga tidak
ingin menghianati janji yang telah diucapkan. Kekhawatiran-kekhawatiran itu
ditunjukkan Starla dengan keraguannya untuk menemui cowok tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Namun, id Starla di sini terlalu kuat sehingga Starla harus tetap menemui
cowok itu.
Setelah sempat mengalami kekhawatiran itu, Starla tetap melakukan
kebiasaannya seperti sediakala, berganti-ganti pacar. Id yang selalu mencoba
untuk mencari kesenangan dan direalisasikan oleh ego itu pada akhirnya
menimbulkan ketegangan dan permasalahan baru. Ketegangan dalam diri
Starla muncul, yaitu ketika target Starla adalah teman Christian, Rako.
Christian menentang keinginan Starla itu. Namun, Starla tidak terlalu
memperhatikannya. Superego di dalam diri Starla juga sadar bahwa ia tidak
bisa berkomitmen dan sudah seharusnya meninggalkan kebiasaan itu. Namun,
id Starla terlalu dominan sehingga mengalahkan superego. Ego tetap
mewujudkan keinginan id untuk tetap mencari kesenangan, yaitu
berhubungan dengan Rako. Kutipan yang mendukung penjelasan di atas
sebagai berikut.
“Siapa bilang aku nggak serius?”
“Jadi kamu siap berkomitmen sama dia?”
“Kenapa serius harus dihubungkan dengan siap berkomitmen?”
“Udahlah, Star?” decakku kesal, “Apa sih arti seorang Rako buat
kamu? Cuma satu dari seribu? Buat dia, kamu itu seribu satu. Ngerti?
Sekali ini, nggak usahlah ngasih harapan kosong lagi.”
Starla menatapku tajam. “Jadi, selama ini kamu pikir aku ngasih
harapan kosong ke orang-orang? Aku nggak pernah ngasih apa-apa
selain jadi diriku sendiri. Mereka kepengen serius atau enggak, itu
urusan mereka dan urusanku. Rako bukan anak kecil, Che. Dia butuh
supporter, bukan babysitter. (Lestari, 2011:138-139)
Kutipan di atas menegaskan bahwa meskipun Starla sudah
mendapatkan rintangan atau impuls dari sahabat dan superego-nya, id Starla
tetap dominan untuk mencari kesenangan sesaat. Kesenangan yang justru
menimbulkan konflik dengan sahabatnya sendiri, Christian. Ego Starla yang
memegang reality principle tetap mendekati Rako untuk mencari kesenangan.
Rako bukanlah satu-satunya pria yang didekati oleh Starla. Masih banyak pria
yang lain. Id tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan Starla dapat
menimbulkan konflik-konflik baru. Id lebih mengedepankan aspek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
kesenangan semata. Namun, justru apa yang dilakukan Starla itu
mengakibatkan ketegangan baru yang mengganggu batinnya karena salah
satu pria itu ada yang psikopat, yaitu Andi. Di suatu malam pria itu hendak
membunuh Starla, tetapi Starla mampu untuk bertahan dan meminta
pertolongan pada Christian, seperti dalam kutipan berikut ini.
“Tadi Andi ke sini. Dia nyerang saya. Dia psikopat, Che,” jelasnya di
antara sedu sedan.
Nama baru lagi. Aku menghela napas. “Kamu sudah lapor polisi?”
Starla menggeleng. “Tadi aku lawan dia. Terus dia kabur. Tapi aku
nggak mau di sini dulu. Aku takut.” Perempuan tangguh ini mendadak
bagai kucing kecil baru tercebur ke kolam, meringkuk tak berdaya.
(Lestari, 2011:143)
Pertemuan dengan Christian malam itu menjadikan hubungan mereka
semakin dekat kembali. Superego di dalam diri Starla mulai menjadi dominan
bahwa apa yang dilakukan selama ini hanya menuruti id-nya saja untuk
mencari kesenangan. Namun, Starla tidak menaruh perhatian lebih pada
superego-nya. Setelah kejadian malam itu, Starla mulai sadar bahwa apa yang
dilakukan saat itu dengan seringnya berganti-ganti pacar tidaklah dibenarkan.
Superego dalam diri Starla menjadi dominan setelah kejadian itu.
“Aku nggak bisa kayak begini lagi, Che,” bisiknya. “Aku capek, Che.
Makin lama mereka semua menyeramkan.” (Lestari, 2011:143)
Kutipan di atas menegaskan bagaimana konflik batin yang dialami oleh
Starla. Id mulai memikirkan bagaimana meredakan tegangan yang dialami
oleh Starla. Ego merealisasikan apa yang dipikirkan oleh id, yaitu dengan
mendekat kepada Christian. Malam itu, setelah kejadian itu, Starla menginap
di apartemen Christian untuk mengurangi ketegangan yang Starla alami.
Setelah kejadian itu, Starla mulai menaruh hati kepada Christian. Starla
mencoba untuk mengubah gaya hidup Christian. Id Starla mulai berpikir
bagaimana untuk bisa menjadi dekat dengan Christian. Namun, konflik batin
justru dialami oleh Starla setelah Christian menolaknya untuk memiliki
hubungan yang lebih serius. Ego secara terang-terangan menyampaikan apa
yang dipikirkan oleh Starla kepada Christian. Namun, superego di dalam diri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Starla sebenarnya juga meragukan bahwa apa yang dilakukan itu benar dan
Christian tak akan menolaknya. Id Starla lebih dominan saat keadaan ini,
yaitu untuk memiliki hubungan serius dengan Christian.
“Come on, Che. Apa yang kamu cari sih sebetulnya?”
Kali ini kunyahanku berhenti. “Kriteriaku kompleks. Oke?” Kutantang
matanya dengan harapan ia bakal gentar bertanya lebih lanjut.
“Apa aja?” Starla malah makin tertarik.
“Buat apa kamu tahu?”
“Siapa tahu aku bisa mencalonkan diri.”
Aku tergelak, “Starla, kalau memang benar aku ini pintar, keren, dan
apapun itu, nggak bakal kamu nunggu empat tahun untuk mencalonkan
diri, tauk!”
“Soalnya selama ini, aku selalu yakin kamu nggak pernah mau sama
aku.” Starla menjawab tenang. (Lestari, 2011:147)
Kutipan di atas menegaskan bahwa sebenarnya Starla ragu dengan apa
yang dilakukannya. Starla cukup menyadari bahwa sifatnya yang sering
berganti-ganti pacar tidak akan diterima oleh Christian. Namun, meski begitu,
Starla tetap berjuang untuk mendekati Christian.
Perjuangan Starla sebagai bentuk realisasi yang dipikirkan oleh id justru
membuat Starla semakin terpuruk. Keterpurukan itu terjadi saat Christian
menolak terhadap apa yang diinginkan oleh Starla. Untuk mengurangi
ketegangan itu, Ego Starla tetap menginginkannya dekat dengan Christian.
Setelah itu, ketegangan baru pun muncul sampai akhirnya untuk
menghilangkan ketegangan itu Starla menghilang dari kehidupan Christian
sebagai perwujudan dari id yang dilaksanakan oleh ego.
“Dan ... kamu lebih memilih jadi ... tempat sampah?” Starla terbata.
“Posisi itu sudah kujalani dengan baik selama empat tahun. Aku nggak
pernah keberatan. Cuma dengan begitu kita nggak saling menyakiti.
Jadi, iya, lebih baik kita kembali kayak dulu.”
Matahari di bola mata itu padam seketika. Berganti dengan air yang
menumpuk di pelupuk, terus membuncah hingga menetes satu demi
satu, dan akhirnya membanjir. Inilah kali kedua aku melihat Starla
menangis. Namun baru kali ini aku melihat ia begitu kesakitan.
Terpaksa aku menunduk. Tidak sanggup melihat.
“Perlu aku antar ke tempat parkir?” tanyaku menggumam.
“Segitu takutnya kamu, Che?” Starla berbisik. “Segitu nggak
percayanya?” (Lestari, 2011:155)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Kutipan di atas menggambarkan bagaimana konflik batin yang dialami
oleh Starla setelah terjadi penolakan dari Christian. Untuk mengurangi
ketegangan dan mencari kesenangan diri Starla, akhirnya dia menghilang dari
kehidupan Christian sampai akhirnya mereka dipertemukan kembali di
bioskop. Starla dan Christian menyadari bahwa mereka berdua ternyata saling
membutuhkan. Hal itu dirasakan ketika Starla dan Christian berpisah setelah
terjadi penolakan itu.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, pengalaman buruk yang
terjadi pada Starla membuat ego Starla sulit untuk mengembangkan diri. Id
Starla sebenarnya tidak nyaman dengan kondisinya yang sering berganti-ganti
pacar sehingga Starla takut untuk melakukan hubungan yang serius. Dalam
keadaan ini, Starla mengalami trauma dan trauma ini akan sembuh ketika
Starla bertemu dengan orang yang pas. Pada akhirnya sesuai dengan
perjalanan waktu ego Starla mau membuka diri untuk menemukan orang
yang cocok.
6. Rako karena Keinginannya Memiliki Starla Tidak Tercapai
Di dalam cerpen Menunggu Layang-layang, Rako dijelaskan sebagai
sahabat Christian sejak kecil. Dari TK sampai SMA mereka menuntut ilmu di
sekolah yang sama. Namun, setelah SMA Rako melanjutkan sekolahnya ke
Inggris. Permasalahan yang selalu dialami oleh Rako dari dulu, yaitu untuk
mendapatkan pacar yang cocok itu sulit. Permasalahan itu lebih diakibatkan
karena Rako belum siap untuk memiliki komitmen. Rako selalu mundur
ketika pacarnya mengajak untuk menjalani hubungan ke arah yang lebih
serius. Penjelasan tersebut dipertegas dengan kutipan berikut.
“Gue mau cari cewek bule aja, Chris. Bertahun-tahun gaul sama cewek
sini, jarang banget ada yang cocok. Cewek-cewek sini tuh luarannya aja
modern, dalamnya sih sama aja. Konvensional. Belum apa-apa udah
ngomongin kawinlah, tunanganlah, padahal gue belum siap ke arah
sana. Gue maunya travelling dulu, lihat dunia dulu…,” (Lestari,
2011:135)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Kutipan di atas sebenarnya menjelaskan tentang konflik batin yang
dialami oleh Rako. Rako menginginkan seorang pacar, tetapi hal tersebut sulit
untuk diwujudkan. Untuk mengurangi ketegangan-ketegangan yang
dialaminya, id Rako mengharapkan untuk mencari solusi lain, yaitu mencari
pacar bule. Apa yang diinginkan oleh id ini hanya untuk mencari kesenangan
dalam diri Rako.
Keinginan Rako untuk memiliki pacar bule tersebut belum terwujud,
Rako pulang ke Indonesia. Di Indonesia, Rako bertemu dengan Christian.
Pertemuannya dengan Christian ini membawa Rako bertemu dengan Starla,
sahabat Christian. Perkenalan antara Rako dengan Starla membuat id yang
sebelumnya berpikir bahwa Rako akan mencari pacar seorang bule,
digagalkannya. Id berpikir bahwa Starla adalah perempuan yang tepat bagi
Rako. Di dalam keadaan ini, id dalam diri Rako memiliki peran dominan. Id
tetap mengejar kesenangan untuk mengurangi ketegangan yang dialami oleh
Rako. Untuk mewujudkan apa yang diinginkan oleh id, Rako memerlukan
ego-nya. Ego yang berprinsip realitas ini akan merealisasikan apa yang
menjadi pikiran id. Rako akan menjadikan Starla sebagai pacarnya. Rako
menilai Starla adalah perempuan yang dia cari-cari selama ini.
“Che, gue mau ngenalin Starla ke bokap-nyokap. Doain, ya,” tutur
Rako satu hari. Matanya bersinar. Dan dia memanggilku “Che” dengan
fasihnya, seolah sudah melakukannya puluhan tahun.
“Lo yakin? Nggak kecepetan?” tanyaku.
“Starla adalah perempuan yang selama ini gue cari. Lo tahu sendiri, gue
gerah banget sama yang namanya komitmen. Tapi, dia lain, Che.”
(Lestari, 2011:137)
Di saat seperti itu, superego seharusnya memberikan impuls atau
rintangan terhadap apa yang diinginkan oleh id. Melalui Christian, saran
terhadap apa yang akan dilakukan oleh Rako disampaikan. Namun, superego
tidak memberikan perannya. Id tetap menjadi dominan.
Rako tetap mengejar Starla untuk menjadi pacarnya. Namun, justru itu
menimbulkan permasalahan baru dalam hidupnya, konflik batin dialami Rako
kembali. Konflik batin itu muncul setelah Rako menginginkan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
memiliki hubungan yang lebih jauh dengan Starla. Namun, setelah
permintaan itu, justru Starla semakin menjauh dari Rako.
“Gue benar-benar nggak ngerti! Apa salah gue?” berondongnya.
(Lestari, 2011:139)
Untuk mengurangi ketegangan dalam diri Rako, ia akan membatalkan
apa yang telah diucapkan dan ditawarkan kepada Starla. Hal tersebut sebagai
bentuk pengurangan terhadap ketegangan yang dialami oleh id-nya. Namun,
hal itu juga tidak mungkin dilakukan oleh Rako karena Starla memiliki
karakter yang berbeda. Pengurangan ketegangan id dalam hal ini gagal karena
ego tak mampu mewujudkannya.
Rako menyeka keringat dingin di dahinya. “Jadi… oke, oke… gue
bakal datengin dia lagi, gue cabut semua yang gue bilang.”
“Terlambat.” Aku menggeleng. “Sekali langkah satu itu diambil, dia
nggak akan pernah mau balik lagi.”
Rako bengong sejenak. Lalu ia pun berseru, panik, “Bisa! Pasti bisa!
Gue yakin! Gue sama dia tuh udah cocok banget! (Lestari, 2011:140)
Ketegangan-ketegangan yang dialami oleh Rako tak dapat diredakan
oleh id melalui ego-nya ketika memang Rako masih tinggal di Indonesia dan
bertemu dengan Starla. Akhirnya, untuk meredakan ketegangan yang dialami
id-nya, Rako memilih untuk kembali ke Inggris. Dari hasil wawancara yang
dilakukan pun ditegaskan bahwa kehadiran Rako di dalam cerita ini
digunakan untuk mematangkan ego dan superego dalam diri Starla.
D. Persepsi Pembaca terhadap Konflik
Karya sastra adalah artefak, adalah benda mati, baru mempunyai makna dan
menjadi objek estetik bila diberi arti oleh manusia pembaca sebagaimana artefak
peninggalan manusia purba mempunyai arti bila diberi makna oleh arkeolog
(Pradopo, 2005:106). Pengertian tersebut berarti bahwa sebuah karya sastra akan
memiliki makna apabila dimaknai oleh pembaca itu sendiri. Tanggapan pembaca
terhadap karya sastra pun berbeda-beda sehingga dapat menambah kelengkapan
makna yang muncul. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Jauss dalam Pradopo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
(2005:234) bahwa karya sastra selalu memberikan wajah yang lain kepada
pembaca yang lain, dari generasi yang satu ke generasi yang lain selalu
memberikan orkestrasi yang berbeda.
Persepsi, tanggapan, dan apresiasi terhadap cerpen Madre dan Menunggu
Layang-layang pun juga bermunculan dari pembaca. Hal tersebut dimaksudkan
untuk memberikan pemaknaan yang utuh terhadap cerpen tersebut.
1. Konflik Batin yang Dialami Tokoh Bisa Terjadi di Dunia Nyata
Munculnya konflik-konflik yang kompleks di dalam cerita dapat
digunakan untuk mematangkan alur sehingga cenderung disenangi pembaca.
Bahkan sebenarnya, yang dihadapi dan menyita perhatian pembaca sewaktu
membaca suatu karya naratif adalah (terutama) peristiwa-peristiwa konflik,
konflik yang semakin memuncak, klimaks, dan kemudian penyelesaian
(Nurgiyantoro, 2009:122).
Konflik-konflik di dalam cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang
pun banyak bermunculan. Konflik yang dimunculkan oleh Dewi Lestari pun
menurut seluruh informan sangat mungkin terjadi di dunia nyata. Cerpen
Madre dan Menunggu Layang-layang dinilai masuk akal untuk dapat terjadi di
dunia nyata. Kehadiran cerpen sebagai sebuah karya sastra pun muncul karena
adanya fenomena yang terjadi sehingga kepribadian-kepribadian yang ada di
dunia nyata dimunculkan ke dalam sebuah karya.
Cuma kalau cerpenkan lebih dikembangkan, lebih didramatisir melalui
bahasanya. (Nurul Rismayanti).
Pendapat tersebut juga diperkuat dengan pendapat Retno Puji Lestari
yang menyatakan, “Bisa karena kepribadian-kepribadian itu ya ada di dunia
nyata.” Hal serupa juga diungkapkan oleh Arnellis Melema. Menurut Arnelis,
konflik yang ada di dalam kedua cerpen tersebut jelas sangat mungkin terjadi
di dunia nyata karena cerpen ini masuk akal untuk bisa hadir di kehidupan
nyata.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
2. Perjuangan dalam Madre Lebih Kentara, sedangkan Menunggu Layang-
layang Soal Percintaan Biasa
Menurut Murtini, di dalam cerpen Madre, Dewi Lestari ingin
mengungkapan bagaimana peranan ibu yang sebenarnya, „ibu‟ di luar negeri
yang diwakili Spanyol dan „ibu‟ di Indonesia. Menurutnya, Dewi Lestari
ingin memadukan „ibu‟ di Spanyol dan „ibu‟ di Indonesia dengan tetap
memegang pandangan nilai-nilai kebebasan orang Timur. Hal berbeda
diungkapkan oleh Retno. Retno mengungkapkan bahwa pada awalnya ia
mengira madre adalah sebuah nama orang, tetapi ternyata madre adalah
sebuah biang roti.
Isi cerpen Madre menurut sebagian besar informan, yaitu
mengungkapkan bagaimana kerja keras untuk mewujudkan dan
mempertahankan biang madre oleh beberapa tokoh di cerpen tersebut yang
masing-masing memiliki karakter berbeda. Kehadiran tokoh-tokoh ini antara
yang satu dengan yang lain saling memberikan pengaruh baik secara
langsung ataupun tidak.
Dia tahu, sebenarnya dia merasa nggak punya ikatan sama madre, tapi
di sisi lain dia itu kasihan sama Pak Hadi, sudah lanjut usia tapi masih
berjuang mati-matian untuk mempertahankan si madre ini. Akhirnya itu
dia peka, merasa kasihan. (Retno Puji L.)
Beberapa responden mengaku lebih menyukai cerpen Madre. Dari hasil
wawancara, sejumlah responden menyatakan bahwa banyak nilai positif dan
pesan yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, misalnya anjuran
untuk selalu berusaha dan menjaga apa yang telah diamanahkan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa Dewi Lestari berhasil menciptakan tokoh yang menjadi
nilai lebih di dalam kumpulan cerita Madre.
Saya lebih suka dari Madrenya sendiri mas, banyak sekali nilai-nilai
positif, kayak kita diajarkan untuk terus berusaha, menjaga apa yang
diwariskan kepada kita, lebih ke nilai-nilai pendidikannya. (Aprilia P.)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Selain itu, beberapa responden pun menyatakan lebih menyukai cerpen
Menunggu Layang-layang. Hal ini dikarenakan cerpen tersebut menggunakan
tema yang biasa terjadi di dalam kehidupan remaja. Hal tersebut seperti yang
diungkapkan oleh Retno, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, “Kalau Menunggu Layang-layang ini sebenarnya cerita biasa,
tetapi penulis ini membuat cerita yang sebenarnya biasa menjadi luar biasa
dengan penyajiannya.”
Komentar dan tanggapan yang beragam tersebut membuktikan bahwa
Dewi Lestari berhasil memberikan sesuatu yang baru dalam dunia sastra.
Komentar dan tanggapan tersebut dapat memberikan timbal balik yang
positif, baik bagi penulis maupun pembaca. Dengan adanya komentar
maupun tanggapan, penulis dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan
terhadap karya sastra yang diciptakannya. Di sisi lain, pembaca dapat
meningkatkan kemampuan dan pemahamannya untuk mengapresiasi karya
sastra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan data dan hasil analisis yang telah didapat maka penelitian ini
dapat ditarik simpulan, yaitu sebagai berikut.
1. Penggambaran tokoh dilakukan oleh pengarang dengan menggunakan tiga
dimensi, yaitu dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis.
a) Tansen dalam dimensi fisiologis digambarkan sebagai sosok pria yang
memiliki kulit gelap, rambut gimbal, hidung panjang, mata besar berbulu
lentik. Dimensi sosiologis tokoh Tansen digambarkan sebagai orang yang
bebas sampai akhirnya terikat dengan warisan madre. Dimensi psikologis
Tansen digambarkan sebagai orang yang kuat menjalani hidupnya sendiri.
b) Pak Hadi dalam dimensi fisiologis digambarkan sebagai seseorang yang
sudah tua, berusia sekitar 80 tahun, memiliki muka yang mulai keriput,
kedua cuping telinga yang melebar, di seputar pipi terdapat vlek, dan
memiliki tubuh yang kurus, tetapi tegap. Dimensi sosiologisnya
digambarkan sebagai orang Cina yang berprinsip dan sabar serta taat dan
patuh. Dimensi psikologis Pak Hadi digambarkan sebagai seseorang yang
setia kepada pemimpinnya.
c) Mei dalam dimensi fisiologis digambarkan memiliki mata besar dan bulat,
kulitnya kuning bersih, rambutnya dicat kepirangan, dan memiliki betis
yang mungil. Dimensi sosiologis Mei, yaitu sebagai wanita yang berdarah
etnis Tionghoa dan memiliki bisnis bakery yang sukses. Dimensi
psikologis Mei digambarkan sebagai orang yang pekerja keras dan
menggapai kesuksesan, ia tetap memiliki perasaan bersalahnya di masa
kecil.
d) Bu Cory dalam dimensi fisiologis digambarkan sebagai wanita yang sudah
tua, memiliki tubuh tinggi, kurus, memakai kacamata untuk membantu
penglihatannya, dan memiliki rambut ikal yang sudah memutih. Dimensi
sosiologisnya, yaitu digambarkan sebagai seorang pekerja toko roti Tan de
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Bakker. Dimensi psikologisnya digambarkan sebagai orang yang pantang
menyerah dan loyal terhadap atasan.
e) Bu Sum dalam dimensi fisiologis digambarkan sebagai wanita yang
memiliki tubuh pendek dan gemuk, rambutnya sering disanggul. Dimensi
sosiologisnya digambarkan sebagai seseorang yang telah lama bekerja di
toko Tan de Bakker. Dimensi psikologisnya digambarkan sebagai orang
yang loyal terhadap pemimpinnya.
f) Christian dalam dimensi fisiologis tidak digambarkan secara jelas oleh
pengarang, hanya jenis kelaminnya saja, laki-laki. Dalam dimensi
sosiologis, Christian digambarkan sebagai seorang arsitek, sedangkan
dimensi psikologisnya, yaitu memiliki mental sebagai sosok yang pekerja
keras.
g) Starla dalam dimensi fisiologis tidak digambarkan secara jelas. Starla
berjenis kelamin perempuan. Dimensi sosiologis Starla digambarkan
sebagai seorang desainer interior yang pada akhirnya menjadi freelancer.
Dimensi psikologisnya digambarkan sebagai perempuan yang memiliki
rasa kesepian.
h) Rako dalam dimensi fisiologis adalah seorang laki-laki. Tidak ada
penjelasan lainnya tentang dimensi ini. Dimensi sosiologis Rako
digambarkan sebagai laki-laki yang memiliki memiliki kelebihan dalam
materi dan tingkat pendidikan yang baik. Dimensi psikologisnya
digambarkan sebagai laki-laki yang tidak mau terikat komitmen lebih
awal.
2. Konflik batin yang dialami Tansen, yaitu ketidakjelasan silsilah keluarganya
dan warisan mendadak dari orang yang tidak pernah dia kenal sebelumnya.
Konflik batin dalam diri Pak Hadi, yaitu karena dialah orang yang mengetahui
tentang sejarah keluarga Tansen dan harus bercerita kepada Tansen. Selain itu
Pak Hadi juga memiliki konflik batin karena madre hendak dijual, madre
merupakan identitas hidup Pak Hadi. Konflik batin Mei, yaitu terhadap
kesalahan yang dilakukan semasa kecil, yaitu memecahkan biang milik
kakeknya. Konflik batin yang dialami Christian, yaitu ketakutannya sendiri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
akan perubahan dan ketidakpastian. Konflik batin yang dialami Starla, yaitu
karena Starla tidak ingin terikat dengan komitmen. Konflik batin yang dialami
Rako, yaitu karena keinginannya untuk memiliki Starla tidak tercapai.
3. Persepsi pembaca terhadap kumpulan cerita, yaitu bahwa konflik batin yang
muncul di dalam cerpen tersebut dapat terjadi di dunia nyata. Selain itu,
pembaca menilai bahwa perjuangan di cerpen Madre lebih kentara daripada
Menunggu Layang-layang karena cerpen Menunggu Layang-layang hanya
menampilkan cerita percintaan biasa.
B. IMPLIKASI
Sebuah karya sastra tidak hanya menyajikan cerita, tetapi sebuah karya
sastra juga memiliki nilai-nilai pendidikan yang sarat akan makna. Melalui karya
sastra inilah penulis dapat menuangkan gagasan dan ide-ide cemerlangnya untuk
dapat disampaikan kepada pembaca. Penelitian ini, yang menggunakan objek
kajian karya sastra (cerpen) dengan menggunakan pendekatan psikologis memiliki
implikasi yang positif terhadap bidang lain.
Implikasi dari segi teoretis, yaitu penelitian ini dapat digunakan untuk
memperkaya khasanah keilmuan tentang teori-teori psikologi yang digunakan
untuk menganalisis tokoh dan konflik di dalam sebuah karya sastra. Hal ini
membuktikan bahwa penelitian antarmultidisiplin ilmu pun dapat dilakukan
terhadap sebuah karya sastra. Selain itu, penelitian ini dapat menambah referensi
pembaca tentang beragamnya cerpen yang dapat digunakan sebagai media
pembelajaran.
Implikasi praktis dari penelitian ini, yaitu penelitian ini dapat digunakan
sebagai contoh dalam penganalisisan tentang tokoh maupun konflik di dalam
sebuah karya sastra (cerpen). Selain itu, cerpen Madre dan Menunggu Layang-
layang pun dapat dijadikan sebagai bahan ajar untuk materi SMA kelas XII
dengan standar kompetensi memahami pembacaan cerpen karena kedua cerpen
tersebut sarat akan makna maupun nilai-nilai perjuangan dan kerja keras.
Kesulitan dalam menganalisis konflik batin yang dapat muncul dan dialami
oleh siswa, yaitu membedakan antara id, ego, dan superego. Oleh karena itu, guru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
harus menjelaskan tentang pengertian id, ego, dan superego tersebut secara
lengkap serta memberikan contoh tentang penerapannya di dalam penganalisisan
sebuah karya sastra.
C. SARAN
Sebuah karya sastra yang baik harus mampu memberikan pembelajaran
terhadap pembaca-pembacanya. Begitu pula dengan sebuah karya sastra yang
muncul. Karya sastra yang muncul tak lepas dari kontroversi dari tiap-tiap
pembaca. Kritik dan saran yang membangun harus membuat seorang penulis
untuk lapang dada karena memang penilaian pembaca terhadap sebuah karya
sastra berbeda-beda. Penilaian beragam ini diharapkan mampu menambah
kematangan pembaca di dalam menilai sebuah karya sastra.
Saran peneliti terhadap komponen-komponen terkait, yaitu sebagai berikut.
1. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia harus mampu membuat situasi
pembelajaran sastra di kelas menarik. Hal ini dimaksudkan supaya siswa lebih
tertantang dalam mengikuti pembelajaran yang berlangsung. Selain itu, guru
juga harus memberikan dorongan kepada siswa untuk dapat menyukai karya
sastra yang ada. Setelah siswa menyukai setiap karya sastra yang ada,
diharapkan hal ini dapat memacu siswa untuk produktif di dalam menulis.
2. Siswa
Pembelajaran sastra yang ada di kelas seharusnya mampu dijadikan
siswa sebagai pemacu dalam bidang kepenulisan. Siswa pun dapat mengambil
makna dari setiap karya sastra yang diajarkan. Apresiasi sastra sebagai bagian
dari pembelajaran sastra sudah seharusnya dapat memacu kekritisan siswa
terhadap sebuah karya sehingga siswa dapat dan mampu memberikan
penilaiannya.
3. Peneliti Lain
Penelitian-penelitian yang dilaksanakan setelah penelitian ini
diharapkan dapat dilakukan secara mendalam dan kreatif. Penemuan-
penemuan baru pun diharapkan dapat muncul untuk melengkapi penelitian ini.