DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER DI PERDESAAN · melatarbelakangi pentingnya penelitian difusi ......
Transcript of DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER DI PERDESAAN · melatarbelakangi pentingnya penelitian difusi ......
1
DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER DI PERDESAAN
(Kasus Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur,
Provinsi Jawa Barat)
Oleh:
Laras Sirly Safitri
I34070035
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
2
ABSTRACT
LARAS SIRLY SAFITRI. DIFUSION OF INNOVATION MOBILE PHONE IN
THE RURAL AREA (Case in Kemang Village, Bojongpicung Sub-district,
Kabupaten Cianjur District, West Java Province). Supervised by SITI SUGIAH
MUGNIESYAH.
By referring to the diffusion of innovation theory, this study found that the
adoption rates of mobile phone among the adopters in the two hamlets are low; it is
about 28 per cent and 17 per cent for Beber and Cikupa hamlets respectively.
Although the mobile phone exposure of Kemang Village community started about 15
years ago, the majority of people in Kemang Village adopted the mobile phone since
the Base Transceiver Stations (BTS) of XL and Telkomsel were constructed in this
village, in 2008 and 2010 respectively.
The plot result of mobile phone adopter of the two hamlets was in S Curve
shape. On the other hand, as not all the mobile phone adopters of the two hamlets
were surveyed, the mobile phone adopters’ categories are not in normal distribution.
It caused the plot of adopters categories is not in Bell-shaped curve. Therefore, the
distribution of the mobile phone adopter categories did not support the theory of
adopters’ category as stated by Rogers and Shoemaker (1971). However, this study
supported another Rogers and Shoemaker’s generalization with regard to the fact
that the individual characteristic of innovator category is higher than that of the
other adopters’ categories. There are each four independent variables which
significantly related to the rate of innovativeness as well as adoption rates at the
significance level of 0.05. The independent variables which related to
innovativeness rate were the level of relative advantage, the individual integration
level, the formal educational level and the level of individual need toward the mobile
phone innovation, while for the adoption rate were the level of observability, the
interpersonal communication individual level, the meeting frequency, and the
promotion of mobile phone agency/seller.
There were five of nine mobile phone use patterns which developed
dominantly by the adopters in the two hamlets, especially phone call/text messages
to: the nucleus family (22,67 per cent) peer group and the combination of peer
group and business partner, and distance relatives (each 17,33 per cent), only
distance relatives (16 per cent), as well as phone call/text messages to business
partner only, and the combination of nucleus family and peer group (each 9,33
percent). It seems that this mobile phone use patterns caused the irrational over
adoption of mobile pone is dominant, especially for those who used the mobile phone
only for consumptive activities.
Key words: Mobile Phone Adoption Rate, Mobile phone innovativeness
Rate, Mobile phone adopter category, mobile phone use pattern.
3
RINGKASAN
LARAS SIRLY SAFITRI. DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER DI
PERDESAAN. Kasus Desa Kemang Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten
Cianjur, Provinsi Jawa Barat. (Di bawah bimbingan SITI SUGIAH
MUGNIESYAH).
Meningkatnya pelayanan infrastruktur jaringan telepon baik oleh pemerintah
maupun swasta telah memasilitasi warga masyarakat perdesaan untuk akses terhadap
telepon seluler. Dominannya penelitian tentang adopsi inovasi pertanian di pedesaan
serta masih relatif terbatasnya penelitian difusi inovasi telepon seluler di perdesaan
melatarbelakangi pentingnya penelitian difusi inovasi telepon seluler atau ponsel di
kalangan masyarakat perdesaan.
Penelitian ini dilakukan di dua kampung di Desa Kemang, Kecamatan
Bojongpicung, Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Penentuan desa dipilih
secara sengaja dengan pertimbangan bahwa di desa ini dibangun dua buah menara
BTS dari Perusahaan XL dan Telkomsel, dan bahwa desa ini merupakan desa lahan
kering yang relatif terisolir. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang
dalam pelaksanaannya dilakukan melalui metode survei; serta pendekatan kualitatif,
berupa wawancara mendalam dan observasi. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk
mengumpulkan data primer yang mencakup sejumlah variabel bebas dan variabel
tidak bebas berkenaan tingkat keinovativan dan laju adopsi ponsel; sementara
pendekatan kualitatif untuk memperoleh gambaran adopsi berlebihan dan pola
pemanfaatan ponsel di kalangan adopter. Penelitian ini juga menggunakan data
sekunder yang bersumber dari monografi desa dan dokumen berupa laporan
penelitian serta kebijakan pemerintah yang terkait dengan penelitian ini.
Pengumpulan data berlangsung selama 30 hari dari minggu kedua bulan April hingga
minggu kedua bulan Mei 2011.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju adopsi ponsel di Kampung Beber
dan Cikupa tergolong rendah, berturut-turut sebanyak 28 persen dan 17 persen.
Lebih tingginya laju adopsi ponsel di Kampung Beber berhubungan dengan lebih
tingginya karakteristik sumberdaya pribadi dan rumahtangga adopter di Kampung
Beber, yang dicirikan oleh tingginya persentase adopter yang bekerja sebagai PNS,
pedagang dan pelajar dan pedagang di kampung tersebut. Meskipun diantara warga
Desa Kemang mulai terdedah informasi ponsel sejak 15 tahun yang lalu, namun
sebagian besar warga desa ini menjadi adopter ponsel berdirinya BTS XL dan BTS
Telkomsel yang dibangun berturut-turut pada tahun 2008 dan 2010. Adopsi ponsel
oleh warga di kedua kampung semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya
waktu dari mulai tahun 1995 sampai 2011.
Meskipun secara akumulatif “plot” adopter ponsel membentuk kurva
penerimaan inovasi ponsel yang membentuk kurva S, namun adopter ponsel
terbanyak terjadi pada tahun 2010. Di pihak lain, karena tidak semua adopter ponsel
di dua kampung menjadi responden dalam penelitian ini, menjadikan kategori adopter
ponsel tidak mengikuti sebaran normal, sehingga “plot” atas kategori adopter tidak
berhasil membentuk kurva berbentuk Genta. Dengan berbasis interval waktu selang
tiga tahun, dalam penelitian ini menemukan hanya terdapat masing-masing satu
persen mereka yang tergolong innovator dan early majority; early adopter
sebanyak lima persen, sementara late majority dan laggards berturut-turut sebesar
4
29 persen dan 64 persen. Penelitian ini menguatkan pendapat Rogers dan Shoemaker
(1971), yakni adopter yang tergolong inovator memiliki karakteristik pribadi yang
lebih tinggi dibanding semua kategori adopter lainnya.
Dari 14 variabel bebas yang diduga berhubungan dengan Tingkat
Keinovativan, hanya enam variabel yang berhubungan nyata dengan tingkat
keinovativan pada taraf α= 0,05, yaitu: Tingkat Keuntungan Relatif, Tingkat Integrasi
Individu, Tingkat Pendidikan Formal, Pola Perilaku Komunikasi, dan Tingkat
Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel. Variabel-variabel Tingkat
Kemungkinan Diamati, dan Tingkat Status Sosial Ekonomi berhubungan dengan
tingkat Tingkat Keinovativan pada taraf α= 0,10. Sementara Tipe Pengambilan
Keputusan Inovasi Ponsel dan Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel
berhubungan dengan Tingkat Keinovativan pada taraf α= 0,20-0,30. Hanya empat
variabel bebas yang berhubungan dengan Laju Adopsi pada taraf α= 0,05, yakni
Tingkat Kemungkinan Diamati, Tingkat Ketaatan Individu, Frekuensi Pertemuan
dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel, dan Tingkat Status Sosial Ekonomi. Tiga variabel
bebas lainnya berhubungan berhubungan dengan Laju Adopsi pada taraf α= 0,10,
yaitu Tingkat Keuntungan Relatif, Tingkat Kesesuaian,dan Tingkat Pendidikan
Formal. Adapun Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel berhubungan
pada taraf α= 0,20-0,30. Selainnya, yakni Tingkat Kerumitan. Tipe Pengambilan
Keputusan Inovasi, Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel, Tingkat
Integrasi Individu dan Pola Perilaku Komunikasi tidak berhubungan dengan Laju
Adopsi.
Terdapat sembilan pola pemanfaatan ponsel di kalangan adopter ponsel di dua
kampung, diantaranya yang dominan adalah untuk berbagi informasi atau menelepon
dan mengirim pesan singkat (sms) kepada berturut-turut: keluarga inti (22,67 persen),
teman sebaya serta kombinasi antara rekan bisnis, teman sebaya dan saudara jauh
(masing-masing 17,33 persen), saudara jauh saja (16 persen), serta kepada rekan
bisnis saja dan kombinasi kepada keluarga inti dan teman sebaya masing-masing 9,33
persen.
Penelitian ini menemukan bahwa mayoritas adopter ponsel memanfaatkan
ponsel hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, bukan produktif; sehingga dari
total adopter ponsel di dua kampung di Desa Kemang, terdapat 31 persen adopter
rasional dan 69 persen adopter ponsel yang tidak rasional.
5
DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER DI PERDESAAN
(Kasus Desa Kemang Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur,
Provinsi Jawa Barat)
Oleh:
Laras Sirly Safitri
I34070035
Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
6
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh :
Nama Mahasiswa : Laras Sirly Safitri
NRP : I34070035
Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul : Difusi Inovasi Telepon Seluler di Perdesaan (Kasus Desa
Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur,
Provinsi Jawa Barat)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS.
NIP. 19512111 197903 2 003
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS.
NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus:
7
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER DI PERDESAAN (KASUS DESA
KEMANG KECAMATAN BOJONGPICUNG, KABUPATEN CIANJUR,
PROVINSI JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA
PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK
TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA
MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA
SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG
PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI
SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
BOGOR, AGUSTUS 2011
LARAS SIRLY SAFITRI
I34070035
8
RIWAYAT HIDUP
Laras Sirly Safitri lahir di Subang pada tanggal 6 Mei 1989. Penulis
merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara yang lahir dari ayah bernama Wawan
Darmawan Madiana dan ibu bernama Nyimas Haroka Kemora. Pendidikan formal
ditempuh penulis di TK Kemala Bhayangkari, Subang pada periode tahun 1994-
1995, sementara tingkat sekolah dasar di SD Negeri Dewi Sartika Subang pada
periode tahun 1995-2001. Penulis kemudian melanjutkan sekolah tingkat lanjutan,
berturut-turut di SLTP Negeri I Subang (2001-2004) dan di SMA Negeri I Subang
(2004-2007). Setelah lulus SMA, penulis menempuh pendidikan di Institut
Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan kemudian
memilih mayor (program studi) Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat (SKPM) di Departemen SKPM, Fakutas Ekologi Manusia.
Selama menempuh studi, penulis pernah menjadi asisten dosen dalam
Mata Kuliah Komunikasi Kelompok (KPM 212) pada semester 6 dan Mata
Kuliah Perubahan Sosial (KPM 330) pada semester 7 tahun ajaran 2010/2011.
Bersamaan dengan itu, sejak semester 5 tahun ajaran 2009/2010 sampai dengan
semester 7 tahun ajaran 2010/2011 penulis menjadi asisten dosen pada MK Ilmu
Penyuluhan (KPM 211). Pada semester 8 TA 2010/2011 penulis menjadi asisten
MK Pendidikan Orang Dewasa (KPM 310). Selain itu, penulis juga aktif
mengikuti kegiatan non-akademik, yakni sebagai anggota dalam organisasi
Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
(HIMASIERA), Organisasi Desa Mitra Fakultas Ekologi Manusia
(SAMISAENA), dan organisasi mahasiswa daerah, yakni di Forum Komunikasi
Kulawarga Subang (FOKKUS).
9
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Difusi Inovasi Telepon Seluler di Perdesaan (Kasus Desa Kemang, Kecamatan
Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat)”. Penulisan skripsi ini
ditujukan untuk memenuhi syarat dalam perolehan gelar Sarjana Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini disusun sebagai hasil penelitian penulis di Desa Kemang,
Kecamatan Bojongpicung, yang menerapkan teori difusi inovasi dalam mengkaji
fenomena meningkatnya penggunaan media komunikasi ponsel di kalangan
masyarakat perdesaan. Dalam skripsi ini penulis menjelaskan proses bagaimana
inovasi ponsel dikomunikasikan kepada anggota-anggota suatu sistem sosial
melalui saluran-saluran tertentu dalam suatu periode waktu tertentu, dan juga pola
pemanfaatan ponsel di kalangan masyarakat perdesaan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Agustus 2011
Laras Sirly Safitri
10
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sembah
sujud kepada-Mu yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah, serta
curahan kasih sayang-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Terdapat sejumlah pihak yang telah memasilitasi penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada mereka.
Terima kasih nan tulus ditujukan kepada Ibu Ir. Siti Sugiah Mugniesyah,
M.S. yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam berbagi
ilmu dan pengalaman, serta atas dukungan moril dan materil selama melakukan
pembimbingan kepada penulis, sejak penyusunan proposal dan pelaksanaan
penelitian di lapangan hingga selesainya penulisan skripsi ini. Selanjutnya, kepada
Ibu Dr. Sarwititi S. Agung, MS dan Ibu Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS, penulis
berterima kasih atas kesediaannya, berturut-turut sebagai Dosen Penguji Utama
dan dosen penguji kedua, yang mewakili Komisi Pendidikan, Departemen SKPM,
FEMA.
Penulis berterima kasih kepada Kepala Desa Kemang, Bapak Dadan R.
Subarna, serta kepada aparat Desa Kemang, khususnya Bapak Saepuloh atas
bantuannya yang memudahkan penulis dalam pengumpulan data di lapangan.
Penulis sangat berhutang budi dan berterima kasih kepada sejumlah orang,
khususnya warga di Kampung Beber dan Cikupa yang tidak dapat disebut
namanya satu per satu, yang telah menjadi responden dan informan serta berbagi
pengalaman yang berguna bagi penelitian ini. Selain itu, kepada Ibu Dra. Eti
Maryati, M.Pd penulis berterima kasih atas izinnya untuk menempati
kediamannya selama penulis melaksanakan penelitian di lapangan.
Dalam penyelesaian skripsi inipun, penulis mendapat bantuan dari banyak
pihak. Salah satunya, penulis berterima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Machfud, M.S
atas bimbingannya mengajarkan penulis mengolah data penelitian.
Terima kasih pula kepada berbagai pihak yang memasilitasi penulis untuk
akses terhadap berbagai referensi, seperti buku, jurnal, tesis, disertasi, dan laporan
penelitian lainnya; penulis berterima kasih kepada staf penunjang perpustakaan di
11
lingkungan Departemen SKPM, FEMA IPB, Perpustakaan LSI IPB, dan
Perpustakaan Pusat LIPI. Demikian halnya kepada staf penunjang kependidikan
di Departemen SKPM FEMA, yang senantiasa membantu penyelesaian segala
urusan administrasi selama penulis menjalani studi di departemen yang sama.
Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada dua orang rekan
khususnya Asri Sulistiawati dan Dedi Kurniawan, yang telah berbagi pengalaman
melalui diskusi-diskusi, dan atas dukungan mereka yang senantiasa menyemangati
penulis dalam menyusun skripsi ini, serta untuk kebersamaan kita selama
mengerjakan tugas akademik di bawah bimbingan dosen pembimbing, sejak
penyelesaian studi pustaka, penulisan proposal, hingga penulisan skripsi. Penulis
juga berterima kasih kepada sejumlah rekan: Ayu, Kak Gilang, Bio, Pia, Asih,
Isma, Dinda, Karin, Wawa, Chae, Ochi, Tya, Nene, Laila, dan Dimit; atas
kesediaan mereka untuk berbagi pengalaman yang bermanfaat bagi penulis.
Sahabat-sahabat SMA penulis: Imel, Boir, Yulia, Babon, Dara, Deni,
Jantan, Aris, dan Rindu; atas persahabatan yang tetap terjalin sampai saat ini.
Tidak lupa kepada Luthfi Ahmad Hikmat, terima kasih atas dukungan yang sangat
berarti.
Dari lubuk hati nan dalam, penulis berterima kasih kepada kedua orangtua:
ibunda tersayang, Nyimas Haroka Kemora -atas doanya yang tidak pernah putus
dan kasih sayangnya yang tidak pernah hilang- dan ayahanda Wawan Darmawan
Madiana- atas semua cucuran keringat dan perjuangan tiada henti untuk
mendukung semangatku dalam melangkah guna melalui segala tantangan selama
penyelesaian studi.
Last but not least, penulis berterima kasih kepada semua kakanda: Hegar
Widya Safarina, Trias Rizalis Desfansa, Ganjar Putra Panggalih, dan Erma Rosa
Ergandia, atas pemberian laptop bagi penulis, sehingga penulis sangat terbantu
dalam menyelesaikan studi ini, serta atas semangat dan kasih sayang yang
senantiasa mereka curahkan kepada penulis.
Skripsi ini penulis dedikasikan kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini dan kepada mereka yang berminat
atas studi difusi inovasi di kalangan masyarakat perdesaan.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................................ i
DAFTAR TABEL .....................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6
1.4. Kegunaan Penelitian................................................................................... 6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ................................................................... 7
2.1. Konsep Difusi Inovasi ................................................................................ 7
2.2. Konsep Adopsi Berlebihan (Over Adoption) ........................................... 12
2.3. Hasil-hasil Studi Adopsi dan Difusi Inovasi di Indonesia ....................... 13
2.4. Kerangka Pemikiran ................................................................................. 14
2.5. Hipotesis Pengarah ................................................................................... 17
2.6. Definisi Operasional................................................................................. 17
BAB III METODOLOGI ..................................................................................... 23
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 23
3.2. Teknik Pengambilan Data ........................................................................ 24
3.3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ..................................................... 25
3.4. Kelemahan Penelitian............................................................................... 26
BAB IV KEADAAN UMUM DESA KEMANG ................................................ 27
4.1. Kondisi Geografis dan Luas Wilayah Desa ............................................. 27
4.2. Keadaan Umum Penduduk ....................................................................... 39
4.3. Kelembagaan Formal dan Informal ........................................................ 33
4.4. Sarana dan Prasarana................................................................................ 35
BAB V PROFIL RUMAHTANGGA ADOPTER TELEPON SELULER DI
KAMPUNG BEBER DAN KAMPUNG CIKUPA.............................. 37
5.1. Karakteristik Individu Anggota Rumahtangga Adopter Ponsel.............. 37
5.2. Karakteristik Sumberdaya Rumahtangga Adopter Ponsel ....................... 43
BAB VI UNSUR-UNSUR DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER ........... 46
6.1. Proses Difusi Inovasi Ponsel ................................................................... 46
6.2. Kurva Penerimaan dan Kategori Adopter Inovasi Ponsel di Kampung
Beber dan Cikupa ..................................................................................... 52
6.3. Laju Adopsi Inovasi Ponsel ..................................................................... 57
ii
BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT
KEINOVATIVAN DAN LAJU ADOPSI INOVASI TELEPON
SELULER ............................................................................................... 58
7.1. Hubungan antara Karakteristik Inovasi dengan Tingkat Keinovativan
dan Laju Adopsi ....................................................................................... 58
7.2. Hubungan antara Pengambilan Keputusan dengan Tingkat
Keinovativan dan Laju Adopsi ................................................................ 61
7.3. Hubungan antara Saluran Komunikasi dengan Tingkat Keinovativan
dan Laju Adopsi ....................................................................................... 62
7.4. Hubungan antara Karakteristik Sistem Sosial dengan Tingkat
Keinovativan dan Laju Adopsi ................................................................ 63
7.5. Hubungan antara Promosi oleh Agen Perubah dengan Tingkat
Keinovativan dan Laju Adopsi ................................................................ 65
7.6. Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Tingkat Keinovativan
dan Laju Adopsi ....................................................................................... 66
BABVIII POLA PEMANFAATAN DAN ADOPSI BERLEBIHAN INOVASI TELEPON SELULER ........................................................................... 68
8.1. Pola Pemanfaatan Ponsel di Kalangan Masyarakat Desa Kemang .......... 68
8.2. Adopter Berlebihan (Over Adoption) Ponsel di Desa Kemang ............... 70
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 73
9.1. Kesimpulan .............................................................................................. 73
9.2. Saran ......................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 76
LAMPIRAN .............................................................................................................. 79
iii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Karakteristik Saluran Komunikasi Interpersonal dan Media Massa ................... 9
2 Rasionalitas dan Irasionalitas dalam Adopsi dan Menolak Penanaman
Jagung-4 Baris di Kalangan Petani Indian, Amerika Serikat ............................ 12
3. Distribusi Wilayah Desa Kemang menurut Penggunaannya Tahun 2009 ........ 28
4 Distribusi Penduduk Desa Kemang menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin Tahun 2009 ......................................................................................... 39
5 Penduduk Desa Kemang menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan
Tahun 2009 ....................................................................................................... 30
6 Penduduk Desa Kemang menurut Matapencaharian Tahun 2009 (dalam
jumlah dan persen) ............................................................................................ 32
7 Jumlah Penduduk Berdasarkan Kepemilikan Lahan Tahun 2009 .................... 33
8 Distribusi ART Adopter Ponsel Menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin di Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2011 (dalam persen) ............. 38
9 Distribusi ART Adopter Ponsel menurut Pekerjaan dan Jenis Kelamin
Tahun 2011 (dalam persen) ............................................................................... 39
10 Distribusi ART Adopter Ponsel menurut Kelompok Umur dan Status
Perkawinan Tahun 2011 (dalam persen) ........................................................... 41
11 Distribusi ART Adopter Ponsel menurut Tingkat Pendidikan Formal dan
Jenis Kelamin Tahun 2011 (dalam persen) ....................................................... 42
12 Rata-rata Kepemilikan Ternak pada Rumahtangga Adopter Ponsel di
Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) ............. 43
13 Rata-rata Kepemilikan Benda Teknologi Rumahtangga Adopter Ponsel
di Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) ......... 44
14 Distribusi Rumahtangga Adopter Ponsel menurut Penguasaan Lahan
Usahatani (dalam jumlah dan persen) ............................................................... 45
15 Distribusi Adopter menurut Sumber Informasi tentang Inovasi Ponsel di
Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2011 (dalam persen) ................................ 48
16 Jumlah Individu yang menerapkan inovasi ponsel di Kampung Beber
dan Cikupa di setiap tahun (dalam persen) ....................................................... 49
iv
17 Ciri-ciri Kategori Adopter Inovasi Ponsel Dilihat menurut Kategori
Penerima di Kampung Beber dan Kampung Cikupa Tahun 2011 .................... 56
18 Laju Adopsi Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa
pada Tahun 2011 ............................................................................................... 57
19 Hubungan antara Variabel-variabel Karakteristik Inovasi Ponsel dengan
Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen) ........... 60
20 Hubungan antara Tipe PK Inovasi Ponsel dengan Tingkat Keinovativan
dan Laju Adopsi (dalam persen) ....................................................................... 62
21 Hubungan antara Saluran Komunikasi dengan Tingkat Keinovativan dan
Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen)...................................................... 63
22 Hubungan antara Karakteristik Sistem Sosial dengan Tingkat
Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel(dalam persen) ......................... 64
23 Hubungan antara Promosi oleh Agen Perubah dengan Tingkat
Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen) ........................ 65
24 Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Tingkat Keinovativan
dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen) ............................................... 66
25 Distribusi Adopter menurut Pola Pemanfaatan Ponsel di Desa Kemang
Tahun 2011 (dalam persen) ............................................................................... 68
26 Pengeluaran Pulsa Adopter Ponsel menurut Pola Pemanfaatan Ponsel di
Desa Kemang Tahun 2011 (dalam rupiah) ....................................................... 70
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Paradigma Laju Adopsi Inovasi ........................................................................ 11
2 Hubungan antara Variabel Pengaruh (Independent Variables) dengan
Variabel Terpengaruh (Dependent Variables) dalam Difusi Inovasi
Ponsel ................................................................................................................ 16
3 Kurva Akumulasi Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan
Cikupa pada Periode Tahun 1995-2011 ............................................................ 53
4 Kurva Kategori Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan
Kampung Cikupa pada Tahun 2011 .................................................................. 54
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Difusi Inovasi Telepon Seluler di
Kalangan Masyarakat Perdesaan Tahun 2011 ................................................. 79
2 Peta Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur ................ 80
3 Adopter Inovasi Ponsel Menurut Kategori Kriteria dari Semua Variabel
Pengaruh dan Variabel Terpengaruh ................................................................. 81
4 Hasil Uji Korelasi Rank Spearmen antara Variabel-variabel Pengaruh
dengan Variabel Terpengaruh ........................................................................... 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Skala prioritas utama dan strategi Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 ditujukan untuk lebih memantapkan
penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan pada upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia, termasuk pengembangan kemampuan
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta penguatan daya saing
perekonomian. Adapun misi pembangunan nasionalnya diarahkan untuk
mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera, aman dan damai, serta meletakkan
fondasi yang lebih kuat bagi Indonesia yang adil dan demokratis (BAPPENAS
2010).
Selanjutnya pemerintah menyatakan bahwa untuk mewujudkan misi
pembangunan tersebut di atas diperlukan sarana dan prasarana, di antaranya
adalah berupa jaringan komunikasi dan informatika, yang selain memungkinkan
pertukaran informasi secara cepat (real time) menembus batas ruang dan waktu,
juga berperan sangat penting, baik dalam proses produksi maupun dalam
menunjang distribusi komoditi ekonomi. Bersamaan dengan itu, telekomunikasi
juga dipandang sebagai elemen yang sangat penting dalam proses produksi dari
sektor-sektor ekonomi, seperti perdagangan, industri, dan pertanian.
Upaya pemerintah dalam mengembangkan infrastruktur jaringan
komunikasi dan informatika serta telekomunikasi juga menjadi penting, karena
sebagaimana dikemukakan Mugniesyah (2009) ada dua komitmen yang harus
dipenuhi pemerintah Indonesia. Pertama, merespon United Nation Development
Programme (UNDP) yang telah menetapkan bahwa akses penduduk terhadap
teknologi yang berperan dalam proses difusi dan penciptaan menjadi salah satu
indikator keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia di sebuah negara.
Kedua, pemerintah Indonesia tunduk pada komitmen untuk mencapai Tujuan
Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals atau MDGs), khususnya
rumusan tujuan kedelapan, yaitu mengembangkan suatu kerja sama global untuk
pembangunan; yang salah satu targetnya adalah bekerja sama dengan sektor
swasta, guna memberikan manfaat teknologi baru, khususnya informasi dan
2
komunikasi bagi masyarakat luas. Terdapat tiga indikator dari target tersebut,
yaitu (1) jaringan telepon dan subscriber seluler per 1000 orang, (2) komputer
personal (personal computer atau PC) per 100 orang, dan (3) pengguna internet
per 1000 orang.
Semakin berkembangnya infrastruktur telekomunikasi baik yang
dilakukan pemerintah maupun swasta, disertai meningkatnya pendapatan pada
warga masyarakat di lain pihak, telah berdampak pada meluasnya jaringan telepon
seluler (selanjutnya ditulis ponsel) sekaligus meningkatnya pengguna ponsel.
Hasil studi lembaga penelitian ROA (Research On Asia) Group menyatakan
bahwa pengguna ponsel di Indonesia tercatat sebanyak 68 juta pada akhir tahun
2006. Kondisi ini menjadikan Indonesia akan menempati peringkat ketiga pasar
ponsel terbesar di Asia setelah Cina dan India (Novita 2010). Selanjutnya,
data lembaga riset Wireless Intelligence Global Comms, menunjukkan bahwa
sampai dengan kuartal I-2010 lalu total konsumen ponsel mencapai 171 juta
pelanggan, atau 72,3 persen terhadap total penduduk Indonesia yang tersebar di
perkotaan dan perdesaan (Haraito dan Hidayat 2010). Dengan demikian, ponsel
menjadi inovasi bagi masyarakat perdesaan.
Penduduk di perdesaan Indonesia umumnya dominan terdiri atas
rumahtangga pertanian. Menurut Badan Pusat Statistik, terdapat 25,4 juta
rumahtangga pertanian di perdesaan Indonesia pada tahun 2003, yang terdiri dari
54,9 persen di Jawa dan 45,1 persen di luar Jawa. Sebagaimana diketahui, sejak
diintroduksikannya Revolusi Hijau, inovasi yang diintroduksikan kepada
masyarakat petani umumnya berupa teknologi pertanian, baik berupa teknologi
produksi maupun pasca panen beragam komoditi. Teknologi pertanian sebagai
inovasi dipandang mampu meningkatkan produktivitas usahatani, yang pada
gilirannya diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Dalam konteks
tersebut, sebagaimana dikutip oleh Mugniesyah (2006), Rogers dan Shoemaker
(1971) serta Rogers (1995) mengembangkan konsep difusi inovasi, yang diartikan
sebagai proses melalui mana suatu inovasi dikomunikasikan kepada anggota-
anggota sistem sosial melalui saluran-saluran komunikasi tertentu dalam suatu
periode waktu tertentu. Berdasar definisi tersebut, difusi inovasi mencakup empat
unsur penting: inovasi, saluran komunikasi, sistem sosial, dan waktu. Selanjutnya,
3
kedua ahli menyatakan bahwa waktu tersebut eksis dalam proses difusi khususnya
pada tiga aspek, yaitu: (1) proses keputusan inovasi, dimana individu
melangsungkan proses dari tahap pengenalan suatu inovasi sampai kepada
menolak atau menerima inovasi, (2) keinovativan individu atau unit pengambilan
keputusan inovasi lainnya -yang diartikan sebagai keterdinian atau keterlambatan
relatif di mana suatu inovasi diadopsi- dibandingkan dengan anggota sistem sosial
lainnya, dan (3) laju adopsi inovasi dalam suatu sistem sosial.
Telah ada sejumlah penelitian berkenaan difusi inovasi pertanian di
Indonesia, namun demikian, sebagian besar peneliti lebih memfokuskan pada
aspek yang pertama, yakni proses keputusan inovasi. Hal tersebut sebagaimana
dijumpai pada beberapa penelitian, dintaranya adalah: (a) Studi Hubungan Tipe
Pengambilan Keputusan Inovasi Supra Insus dengan Adopsi Supra Insus di
Tingkat Petani dan Kelompok Tani (Mugniesyah dan Lubis 1990), (b) “Adopsi
Inovasi Teknologi Tabela bagi Petani Padi Sawah” (Novarianto 1999), (c)
“Tingkat Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani” di Kabupaten
Karawang (Sadono 1999), (d) “Kemandirian Petani dalam Pengambilan
Keputusan Adopsi Inovasi” (Agussabti 2002), dan (e) ”Jaringan Komunikasi
Petani dalam Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian” (Rangkuti 2007).
Meskipun sejumlah penelitian tersebut di atas merujuk pada Teori
Pengambilan Keputusan Inovasi dari Rogers dan Shoemaker (1971), kecuali
penelitian Mugniesyah dan Lubis, penelitian selainnya hanya berfokus pada
adopsi inovasi pada tingkat individu petani, tidak mempertimbangkan aspek
sistem sosial dimana inovasi tersebut diintroduksikan; sementara penelitian
mengenai aspek difusi inovasi lainnya, yakni laju difusi dan kategori adopter,
belum banyak dilakukan. Hal ini setidaknya, setelah penelitian rintisan yang
dilakukan Soewardi (1972) dalam Sajogyo dan Sajogyo (1982) dan
Sastramihardja dan Veronica (1976) baru dijumpai adanya studi laju adopsi,
sebagaimana dilakukan oleh Nugraha (2010) dalam studinya yang berjudul
“Studi Difusi Inovasi System of Rice Intensification (SRI) di Kabupaten
Tasikmalaya”.
Berdasar penjelasan di atas, sejumlah penelitian tentang adopsi dan difusi
inovasi, hampir semuanya berkenaan dengan inovasi teknologi pertanian. Di pihak
4
lain, meskipun telah ada sejumlah studi berkenaan ponsel, namun belum
menggunakan teori difusi inovasi, karena fokusnya lebih kepada aspek sikap dan
perilaku individu dalam penggunaan ponsel; sebagaimana dijumpai pada sejumlah
studi, di antaranya pada penelitian: (a) “Pengaruh Penggunaan Ponsel pada
Remaja terhadap Interaksi Sosial Remaja” (Utaminingsih 2006), (b) “Sikap dan
Perilaku Mahasiswa terhadap Penggunaan Ponsel” (Mulyandari 2006), (c)
“Persepsi dan Perilaku Remaja dalam Menggunakan Ponsel” (Lutfiyah 2007), dan
(d) “Sikap dan Perilaku Remaja Desa dalam Menggunakan Ponsel” (Prayifto
2010). Meningkatnya pengguna ponsel di kalangan masyarakat perdesaan
mencerminkan adanya penerimaan anggota masyarakat akan pentingnya ponsel
sebagai bagian dari perilaku komunikasi mereka. Kondisi tersebut menjadi
menarik untuk diteliti, mengingat hampir semua penelitian tersebut di atas
berfokus pada inovasi pertanian yang bersumber dari pemerintah, sementara
ponsel bersumber dari pihak pengusaha yang diadopsi oleh individu tanpa ada
campur tangan langsung pemerintah. Di pihak lain, para ahli dan peneliti
terdahulu mengemukakan bahwa masyarakat perdesaan pada umumnya, dicirikan
oleh pola komunikasi lokalit, dimana komunikasi interpersonal dominan berperan
sebagai media sekaligus sumber informasi bagi mereka. Sehubungan dengan itu,
penelitian difusi inovasi dan pola pemanfaatan ponsel di kalangan masyarakat
perdesaan menjadi penting.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Merespon ajakan pemerintah terhadap pihak swasta untuk membangun
infrastruktur telekomunikasi guna meningkatkan akses masyarakat terhadap
informasi yang mereka butuhkan, pihak Perusahaan Telekomunikasi XL dan
Telkomsel telah membangun masing-masing satu menara Base Transceiver
Stations (BTS) di Desa Kemang Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur,
berturut-turut pada tahun 2008 dan 2010. Sebagaimana dikemukakan Mugniesyah
(2007), Desa Kemang tergolong desa yang terisolir, karena letaknya ada di sekitar
wilayah hutan, baik itu hutan lindung maupun hutan produksi milik Perhutani.
Kehadiran dua menara BTS ini telah mendorong warga Desa Kemang untuk
memiliki ponsel sesuai dengan motivasinya masing-masing. Merujuk pendapat
5
Rogers dan Shoemaker (1971), khususnya pada dua aspek dalam difusi inovasi,
bagaimanakah laju adopsi inovasi ponsel dan pola kategori adopter ponsel di
kalangan masyarakat Desa Kemang?
Berdasar pada paradigma laju adopsi menurut Rogers dan Shoemaker
(1971), terdapat sejumlah variabel dari lima faktor yang dianggap mempengaruhi
laju adopsi, yaitu: pendapat individu terhadap karakteristik inovasi, saluran
komunikasi, tipe pengambilan keputusan inovasi, karakteristik sistem sosial, dan
promosi oleh agen promosi. Sehubungan dengan itu, variabel-variabel apa
sajakah (dari kelima faktor tersebut) yang mempengaruhi laju adopsi
inovasi ponsel di masyarakat Desa Kemang?
Sebagaimana dikemukakan Rogers dan Shoemaker, laju difusi inovasi
diukur oleh jumlah orang yang mengadopsi inovasi sejak inovasi tersebut
diintroduksikan sampai pada suatu periode tertentu. Cepat lambatnya laju adopsi
tersebut berhubungan dengan keinovativan (innovativeness), yakni derajat dimana
seorang individu akan mengadopsi inovasi lebih dini dibanding anggota sistem
sosial lainnya. Berdasar tingkat keinovativan tersebut, kedua ahli merumuskan
sebaran kategori adopter ke dalam lima kategori: inovator, penganut dini,
penganut awal terbanyak, penganut lambat terbanyak, dan kaum kolot, masing-
masing memiliki karakteristik sosial-ekonomi, perilaku komunikasi dan pribadi
tertentu. Adakah sebaran kategori adopter yang terjadi di Desa Kemang
mengikuti pola sebaran sebagaimana dikemukakan Rogers dan Shoemaker?
Bagaimanakah karakteristik kelima kategori adopter ponsel di Desa Kemang
tersebut?
Sebagaimana dikutip Mugniesyah (2006), Rogers dan Shoemaker (1971)
juga mengemukakan konsep adopsi berlebihan (over adoption) yang diartikan
sebagai individu yang mengadopsi suatu inovasi padahal seharusnya ia
menolaknya, atau sebaliknya. Sehubungan dengan itu, apakah gejala adopsi
berlebihan ponsel terjadi di masyarakat Desa Kemang?
Mengingat bahwa masyarakat perdesaan, khususnya masyarakat petani
dominan dicirikan oleh pola komunikasi lokalit -dimana komunikasi interpersonal
dominan berperan sebagai media sekaligus sumber informasi bagi mereka- maka
komunikasi melalui media ponsel menjadi suatu hal yang baru. Sehubungan
6
dengan hal tersebut, bagaimanakah pola pemanfaatan ponsel menurut
karakteristik kategori adopter yang ada di masyarakat Desa Kemang?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasar perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini terutama untuk
mengetahui:
1. Laju adopsi inovasi ponsel pada warga masyarakat di Desa Kemang, sejak
pertama ponsel tersebut masuk di desa ini sampai dengan penelitian
dilaksanakan, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2. Tingkat keinovativan dan karakteristik adopter ponsel serta hubungannya
dengan pola sebaran kategori adopter ponsel pada warga masyarakat Desa
Kemang.
3. Pola pemanfaatan ponsel menurut karakteristik kategori adopter yang ada
di masyarakat Desa Kemang.
Ada tidaknya fenomena adopsi berlebihan (over adoption) ponsel di
kalangan masyarakat Desa Kemang.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Bagi penulis, penelitian ini memberikan pengalaman dalam menerapkan
sejumlah konsep dan teori berkenaan proses difusi inovasi untuk
menganalisis fenomena meningkatnya penggunaan media komunikasi
ponsel pada masyarakat perdesaan.
2. Bagi Pemda Tingkat II Cianjur, khususnya Dinas Pertanian Kabupaten
Cianjur, diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat menjadi masukan bagi
pemanfaatan ponsel sebagai media penyuluhan pertanian dan
pengembangan cyber extension di perdesaan.
3. Bagi pihak lain, khususnya para peneliti di bidang riset difusi, penelitian
ini diharapkan dapat menjadi masukan informasi awal bagi studi difusi
inovasi ponsel di berbagai wilayah perdesaan lainnya, sehingga diharapkan
dapat berkontribusi pada pengembangan komunikasi pembangunan
pertanian di Indonesia.
8
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep Difusi Inovasi
Sejumlah konsep dan teori mengenai difusi inovasi yang dirujuk dari
Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995) yang dikemukakan dalam sub-
bab ini dikutip dari Mugniesyah (2006). Rogers dan Shoemaker (1971) dan
Rogers (1995) mendefinisikan difusi inovasi sebagai suatu proses melalui mana
inovasi dikomunikasikan kepada anggota-anggota sistem sosial melalui saluran-
saluran tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Hasil empiris menunjukkan
bahwa adopsi terhadap teknologi baru tidak terjadi serempak, karena seseorang
bisa menerima lebih cepat atau lebih lambat dari orang lain. Hal ini ditunjukkan
oleh Soewardi (1972) yang dalam penelitiannya menemukan bahwa warga petani
pada lapisan atas cenderung lebih responsif terhadap inovasi Panca Usaha
Pertanian dibanding mereka yang berasal dari lapisan bawah. Selanjutnya, warga
lapisan atas ini menyebarkan inovasi tersebut melalui pergaulan sehari-hari
kepada warga lapisan bawah. Juga dikemukakan bahwa pada kasus petani lapisan
bawah tidak aktif bertanya, namun mereka meniru secara diam-diam suatu inovasi
dari petani lapisan atas tersebut.
Sebagaimana dikemukakan Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers
(1995), proses difusi inovasi terdiri dari empat unsur yang mempengaruhinya.
Unsur pertama adalah inovasi, yang diartikan sebagai suatu gagasan, praktek atau
objek yang dipandang sebagai baru oleh seorang individu. Terdapat sejumlah
karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi petani dalam pengambilan
keputusan untuk menerima atau menolak inovasi, yaitu: keuntungan relatif
(relative advantages), kompatibilitas (compatibility), kompleksitas (complexity),
kemudahan untuk dicoba (trialability), dan kemudahan untuk diamati
(observability). Unsur kedua adalah saluran komunikasi, yaitu cara-cara melalui
mana sebuah pesan diperoleh penerima dari sumber, yang dibedakan ke dalam
saluran interpersonal dan media massa. Saluran komunikasi interpersonal lebih
efektif membangun dan mengubah sikap, sementara saluran media massa efektif
mengubah pengetahuan tentang inovasi. Selain itu, media massa memiliki
9
keunggulan dalam hal kecepatan dan jumlah khalayak yang bisa dijangkau. Pada
Tabel 1 disajikan perbedaan karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan
media massa.
Tabel 1 Karakteristik Saluran Komunikasi Interpersonal dan Media Massa
No. Karakteristik Saluran Interpersonal Saluran Media
Massa
1. Arus pesan Cenderung dua arah Cenderung searah
2. Konteks komunikasi Tatap muka Melalui media
3. Tingkat umpan balik Tinggi Rendah
4. Kemampuan mengatasi
tingkat selektivitas *)
Tinggi Rendah
5. Kecepatan jangkauan
terhadap khalayak banyak
Relatif lambat Relatif cepat
6. Efek yang mungkin terjadi Perubahan dan
pembentukan sikap
Perubahan
pengetahuan Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Mugniesyah (2006)
Keterangan:
*) Terutama selektivitas (untuk) terdedah atau selective exposure
Unsur yang ketiga dalam difusi inovasi adalah waktu. Dalam hal waktu,
ada tiga aspek penting yang berhubungan dengan proses difusi, yakni: (1) proses
pengambilan keputusan inovasi (the innovation-decision process), (2)
keinovativan (innovativeness), dan (3) laju adopsi suatu inovasi (innovation’s rate
of adoption) dalam sistem sosial.
Proses pengambilan keputusan inovasi (selanjutnya ditulis PK Inovasi)
yang terdiri dari lima tahapan, yaitu pengenalan, persuasi, keputusan,
implementasi dan konfirmasi, melibatkan waktu karena setiap tahapannya biasa
terjadi dalam serangkaian tatanan waktu. Terdapat empat tipe proses PK Inovasi,
yaitu opsional, kolektif, otoritas, dan kontingensi, dimana keempatnya dibedakan
berdasarkan unit pengambil keputusan dan unit adopsi dalam PK Inovasi tersebut.
Pada PK Inovasi opsional, individu merupakan unit pengambil keputusan dan unit
adopsi inovasi, sedangkan pada PK Kolektif, baik unit pengambil keputusan
maupun unit adopsi inovasinya adalah kelompok atau suatu sistem sosial. Berbeda
dengan tipe sebelumnya, pada tipe otoritas, PK Inovasi dilakukan oleh seseorang
yang mempunyai posisi kekuasaan atasan (superordinat) sedangkan unit
adopsinya adalah anggota sistem sosial bawahannya (subordinat). Adapun pada
10
tipe kontingensi, pengambilan keputusan merupakan kombinasi dari dua atau
lebih keputusan inovasi, atau keputusan inovasi dibuat setelah ada keputusan tipe
lain yang mendahuluinya.
Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) keinovativan (innovativeness)
adalah derajat dimana seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya)
secara relatif lebih dini atau lebih dahulu mengadopsi sesuatu inovasi daripada
rata-rata anggota sistem sosial dimana dia menjadi anggotanya. Keinovativan
yang berbeda tersebut memungkinkan untuk melihat kategori adopter suatu
inovasi tertentu, yang dibedakan ke dalam inovator (innovator), penganut dini
(early adopter), penganut dini terbanyak (early majority), penganut lambat
terbanyak (late majority) dan penolak (laggards).
Laju adopsi adalah kecepatan relatif dimana suatu inovasi diadopsi oleh
anggota-anggota suatu sistem sosial. Laju adopsi ini biasanya diukur sebagai
jumlah penerima yang mengadopsi inovasi dalam periode waktu tertentu.
Terdapat sejumlah faktor yang menentukan laju adopsi, dan masing-masing
variabel meliputi satu atau lebih unsur. Adapun hubungan beberapa variabel yang
menentukan laju adopsi (independent variables) dan laju adopsi inovasinya
(dependent variable) digambarkan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1.
Unsur keempat dalam difusi inovasi adalah sistem sosial, yang diartikan
suatu seperangkat unit-unit (kolektivitas) yang berhubungan satu sama lain dalam
upaya mencapai tujuan bersama, khususnya dalam penyelesaian masalah.
Anggota-anggota sistem sosial bisa terdiri dari individu, kelompok informal,
organisasi, dan/atau subsistem-subsistem. Sistem sosial memiliki seperangkat
batasan di dalam mana inovasi menyebar. Itu sebabnya penting untuk memahami
pengaruh struktur sosial dalam sistem yang mempengaruhi pola-pola difusi
inovasi. Rogers dan Shoemaker, menyatakan bahwa struktur sosial mempengaruhi
difusi inovasi melalui beberapa cara, di antaranya peranan tokoh pemuka
pendapat dan agen perubah. Dalam konteks peranan pemuka pendapat,
dimungkinkan adanya individu yang mengembangkan struktur komunikasi
homofili dan heterofili. Homofili adalah derajat dimana dua orang atau lebih
individu yang berinteraksi memiliki kesamaan atribut atau karakteristik tertentu,
seperti kepercayaan, pendidikan, status sosial, dan lainnya. Adapun heterofili
11
adalah derajat dimana pasangan individu-individu yang berinteraksi memiliki
karakteristik yang berbeda. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), komunikasi
interpersonal yang homofili dapat menghambat proses difusi, karena
memungkinkan penyebaran inovasi hanya secara horizontal, baik hanya di
kalangan lapisan atas atau hanya di kalangan lapisan bawah.
Variabel-variabel Pengaruh Variabel Terpengaruh
Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995) dalam Mugniesyah
(2006)
Gambar 1 Paradigma Laju Adopsi Inovasi
I. KARAKTERISTIK INOVASI
Keuntungan Relatif
Kompabilitas
Kompleksitas
Kemungkinan Dicoba
Kemungkinan Diamati Hasilnya
II. TIPE KEPUTUSAN INOVASI
Opsional
Kolektif
Otoritas
III. SALURAN KOMUNIKASI
Interpersonal
Media Massa
IV. CIRI SISTEM SOSIAL
Tradisional vs Modern
Derajat Integrasi Komunikasi
Dan lain-lain
V. UPAYA PROMOSI OLEH
AGEN PERUBAH
LAJU ADOPSI
INOVASI
12
2.2 Konsep Adopsi Berlebihan (Over Adoption)
Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa pada masa lalu
banyak peneliti yang secara implisit mengasumsikan bahwa adopsi inovasi oleh
responden mereka merupakan perilaku yang diinginkan, dan sebaliknya jika
mereka menolak menjadi perilaku yang kurang diinginkan. Pendapat ini menurut
mereka tidak selamanya benar, karena adanya gejala adopsi berlebihan (over
adoption) yaitu adanya adopsi suatu inovasi yang dilakukan oleh seorang individu
padahal menurut ahli seharusnya dia menolaknya.
Terdapat beberapa alasan mengapa terjadi adopsi yang berlebihan, di
antaranya adalah: (1) adopter memiliki pengetahuan yang kurang lengkap tentang
inovasi tersebut, (2) ketidakmampuan adopter meramalkan konsekuensi yang
terjadi, dan (3) maniak inovasi. Namun demikian, dikemukakan bahwa sulit untuk
menentukan apakah seseorang harus atau tidak harus mengadopsi inovasi, karena
kriteria rasionalitas tidak mudah diukur. Selain itu, seringkali yang menjadi dasar
para peneliti dalam membedakan hal itu cenderung didasarkan pada faktor
ekonomi, dengan alasan rasionalitasnya lebih objektif. Selanjutnya, pada Tabel 2
di bawah ini ditunjukkan hasil studi Goldstein dan Eichhorn (1961) yang
menelaah rasionalitas dan irasionalitas adopsi budidaya jagung-4 baris di kalangan
petani Indian, Amerika (Rogers dan Shoemaker 1971).
Tabel 2 Rasionalitas dan Irasionalitas dalam Adopsi dan Menolak Penanaman
Jagung-4 Baris di Kalangan Petani Indian
Keputusan Inovasi
pada Individu
Rekomendasi Ahli Bagi Individu
Adopsi Menolak
Adopsi Pengadopsi Rasional
(37%)
Pengadopsi Berlebihan
yang Irasional
(11%)
Menolak Penolak Irasional (19%) Penolak yang Rasional
(33%) Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Mugniesyah (2006)
Dalam hal faktor yang menentukan rasionalitas dan irasionalitas, Goldstein
dalam Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa tipe rasional berbeda
dari yang irasional oleh karena tingkat pendidikan mereka berbeda dan mereka
tidak dipengaruhi kepercayaan tradisional. Dengan perkataan lain, tingkat
13
pendidikan menjadi salah satu faktor yang membawa individu untuk lebih rasional
dan bisa membedakan penting atau tidaknya untuk memutuskan adopsi inovasi.
2.3 Hasil-hasil Studi Penggunaan Ponsel
Terdapat sejumlah studi berkenaan penggunaan teknologi komunikasi,
khususnya ponsel. Studi Mulyandari (2006) menemukan bahwa karakteristik
personal mahasiswa, khususnya jenis kelamin, status ekonomi dan tingkat terpaan
media massa, tidak berhubungan dengan sikap mahasiswa terhadap penggunaan
ponsel, namun tujuan mahasiswa dalam penggunaan ponsel berhubungan dengan
sikapnya terhadap ponsel. Mahasiswa yang membutuhkan ponsel untuk
kepentingan yang menyangkut keluarga dan kegiatan kampus cenderung memiliki
sikap positif terhadap ponsel. Berbeda dengan Mulyandari, Lutfiyah (2007)
menemukan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan persepsi remaja terhadap
ponsel, dimana remaja laki-laki memiliki persepsi yang lebih sesuai terhadap
ponsel dibandingkan dengan remaja perempuan. Adapun hasil studi Prayifto
(2010) menunjukkan bahwa sikap remaja desa terhadap ponsel tidak berhubungan
nyata dengan perilakunya dalam menggunakan ponsel baik untuk memperoleh
informasi, berintegrasi, berinteraksi sosial dan memperoleh hiburan, karena
penggunaan ponsel oleh mereka tergantung pada faktor situasional. Selanjutnya
dikemukakan bahwa walaupun mereka memiliki sikap positif terhadap ponsel
belum tentu tingkat perilakunya dalam menggunakan ponsel menjadi tinggi.
Berbeda dari Lutfiyah yang melaporkan bahwa status ekonomi tidak
berhubungan dengan persepsi remaja terhadap ponsel, hasil studi Utaminingsih
(2006) menemukan bahwa tingkat penggunaan ponsel oleh remaja berhubungan
positif dengan status ekonomi keluarga; semakin tinggi status ekonomi keluarga
semakin memungkinkan peningkatan penggunaan ponsel terutama dalam hal
penggunaan pulsa. Yang menarik, studi Utaminingsih menemukan bahwa tujuan
penggunaan ponsel (faktor internal) serta keberadaan teman dekat dan kelompok
sebaya (peer group), pengaruhnya sangat kuat terhadap penggunaan ponsel di
kalangan remaja. Temuan lainnya adalah bahwa tingkat penggunaan ponsel oleh
remaja tersebut tidak mempengaruhi interaksi sosial (tatap muka) mereka dengan
lingkungan sosialnya.
14
2.4 Kerangka Pemikiran
Penelitian yang berjudul Difusi Inovasi Ponsel di Perdesaan” ini dilandasi
sejumlah konsep dan teori difusi inovasi dari Rogers dan Shoemaker (1971) serta
Rogers (1995), khususnya berkenaan keinovativan dan laju adopsi. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini, variabel Tingkat Keinovativan (Y1) dan Laju Adopsi
Inovasi Ponsel (Y2) dipandang sebagai variabel terpengaruh. Mengacu pada
paradigma laju adopsi inovasi (Gambar 1), diduga terdapat sejumlah faktor yang
mempengaruhi laju adopsi ponsel, di antaranya adalah penerimaan individu
terhadap karakteristik inovasi ponsel (yang selanjutnya disingkat menjadi
karakteristik inovasi ponsel), tipe pengambilan keputusan inovasi, saluran
komunikasi, karakteristik sistem sosial, dan promosi oleh agen promosi.
Pada faktor karakteristik inovasi ponsel terdapat lima variabel yang diduga
mempengaruhi kedua variabel terpengaruh dalam penelitian ini (Y1 dan Y2),
yaitu: Tingkat Keuntungan Relatif (X1), Tingkat Kesesuaian (X2), Tingkat
Kerumitan (X3), Tingkat Kemungkinan Dicoba (X4), dan Tingkat Kemungkinan
Diamati (X5). Oleh karena di kalangan masyarakat perdesaan dimungkinkan
adanya keragaman unit adopsi dan unit pengambilan keputusan ponsel, Tipe
Pengambilan Keputusan Inovasi (Tipe PK Inovasi) (X6) juga diduga
mempengaruhi kedua variabel terpengaruh di atas.
Dengan merujuk pada paradigma PK Inovasi dan sejumlah hasil penelitian
terdahulu variabel pada saluran komunikasi yang diduga berpengaruh adalah
Tingkat Keragaman Sumber Informasi (X7). Selanjutnya, sebagaimana diketahui,
komunikasi interpersonal merupakan bagian integral dari komunikasi masyarakat
perdesaan. Di pihak lain, para ahli tersebut di atas menyatakan bahwa salah satu
indikator pembeda sistem sosial tradisional dan modern adalah tinggi rendahnya
integrasi anggota sistem sosial yang tercermin dari keanggotaan mereka dalam
beragam kelompok/organisasi serta status mereka di dalamnya. Berdasar hal itu,
dalam penelitian ini terdapat dua variabel pada sistem sosial yang diduga
mempengaruhi difusi inovasi ponsel, yaitu Tingkat Ketaatan Individu dalam
Aktivitas Komunikasi Interpersonal –disingkat Tingkat Ketaatan Individu- (X8)
dan Tingkat Integrasi Sosial Individu (X9). Selanjutnya, oleh karena fakta di
lapangan ada para agen penjual/jasa ponsel yang juga berperan mempromosikan
15
ponsel guna mempengaruhi warga masyarakat untuk membelinya (mengadopsi
ponsel), maka Frekuensi Kunjungan/Pertemuan dengan Penjual/Jasa Ponsel
(X10) merupakan variabel pada aspek promosi oleh agen ponsel yang juga diduga
mempengaruhi difusi inovasi ponsel (Y1 dan Y2).
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tingkat keinovativan diukur oleh
jumlah individu anggota suatu sistem sosial yang mengadopsi inovasi dalam
satuan waktu tertentu. Sehubungan dengan itu, karakteristik individu diduga juga
mempengaruhi difusi inovasi ponsel (Y1 dan Y2). Merujuk pada pendapat kedua
ahli di atas dan hasil beberapa penelitian terdahulu, variabel-variabel pada
karakteristik individu yang diduga mempengaruhi tingkat keinovativan adalah
Tingkat Pendidikan Formal (X11), Pola Perilaku Komunikasi (X12), Status
Sosial-ekonomi (X13), dan Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi (X14).
Adapun mengenai tujuan penelitian untuk mengetahui adanya gejala adopsi
berlebihan (over adoption), hal tersebut akan ditelaah secara kualitatif, karena
adopsi berlebihan tidak termasuk dalam unsur-unsur difusi inovasi.
Berdasar pada kerangka pemikiran tersebut di atas, hubungan antara
variabel pengaruh (independent variables) dan terpengaruh (dependent variables)
dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
16
KARAKTERISTIK INOVASI
PONSEL
X1: Tingkat Keuntungan Relatif
X2: Tingkat Kompabilitas
X3: Tingkat Kerumitan
X4: Tingkat Kemungkinan Dicoba
X5: Tingkat Kemungkinan Diamati
KARAKTERISTIK SISTEM SOSIAL
X8 : Tingkat Ketaatan Individu
X9 : Tingkat integrasi individu
X6: Tipe PK Inovasi
PROMOSI OLEH AGEN
PERUBAH
X10: Frekuensi Pertemuan dengan
Agen Penjual /Jasa Ponsel
KARAKTERISTIK INDIVIDU
X11: Tingkat Pendidikan Formal
X12: Pola Perilaku Komunikasi
X13: Tingkat Status Sosial-ekonomi
X14: Tingkat Kebutuhan Individu
Gambar 2 Hubungan antara variabel pengaruh (independent variables) dengan variabel terpengaruh (dependent variables)
dalam Difusi Inovasi Ponsel
DIFUSI INOVASI PONSEL
Y1: Tingkat Keinovativan Individu
Y2: Laju Adopsi Inovasi Ponsel
SALURAN KOMUNIKASI
X7: Tingkat Keragaman Sumber Informasi
Inovasi Ponsel
Keterangan: Hubungan Pengaruh yang Diuji
17
2.5 Hipotesis Penelitian
Terdapat sejumlah hipotesis dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Semakin tinggi semua variabel pada tingkat penerimaan individu terhadap
karakteritik inovasi ponsel -kecuali pada tingkat kerumitan-, semakin
tinggi tingkat keinovativan individu dan laju adopsi inovasi ponsel.
2. Tipe pengambilan keputusan inovasi opsional berhubungan positif dengan
tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel.
3. Semakin tinggi tingkat keragaman sumber informasi inovasi ponsel
semakin tinggi tingkat keinovativan individu dan laju adopsi inovasi
ponsel.
4. Semakin tinggi tingkat ketaatan individu dalam berkomunikasi secara
interpersonal, maka semakin rendah tingkat keinovativan dan laju adopsi
inovasi ponsel.
5. Semakin tinggi tingkat integrasi individu dalam kelompok/individu,
semakin tinggi tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel.
6. Semakin tinggi frekuensi pertemuan individu dengan agen penjual/ jasa
ponsel, semakin tinggi tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi
ponsel.
7. Semakin tinggi semua variabel pada karakteristik individu semakin tinggi
tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel.
2.6 Definisi Operasional
1. Tingkat Keinovativan (Y1) adalah waktu (tahun) yang dibutuhkan individu
sejak mendengar atau mengenal inovasi ponsel sampai dengan
menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Merujuk kepada
fakta bahwa inovasi ponsel telah dikenal warga masyarakat Desa Kemang,
sejak tahun 1995 atau sekitar 15 tahun yang lalu, ketika salah seorang
warga mempunyai ponsel untuk pertama kalinya, variabel ini dibedakan ke
dalam tiga kategori: (1) rendah, jika individu mengadopsi inovasi ponsel
setelah lebih dari 10 tahun sejak digunakan warga Kemang (setelah tahun
2006) (2) sedang, jika individu mengadopsi inovasi ponsel setelah lebih
18
dari lima tahun sejak digunakan warga (periode tahun 2000-2005), dan (3)
tinggi, jika individu mengadopsi inovasi ponsel pada lima tahun pertama
sejak ponsel digunakan warga kemang (periode 1995-1999).
2. Laju Adopsi Inovasi Ponsel (Y2) adalah jumlah individu yang mengadopsi
inovasi ponsel dalam periode waktu (tahun), sejak masuknya ponsel
sampai dengan digunakannya oleh sebagian besar anggota sistem sosial
(kampung). Dari hasil perhitungan diperoleh laju adopsi sebesar 28 persen
dan 17 persen berturut-turut untuk di Kampung Beber dan Kampung
Cikupa. Berdasar hal tersebut, Laju Adopsi dibedakan ke dalam kategori:
(1) rendah (skor 1), untuk responden yang berasal dari Kampung Cikupa
dan (2) tinggi (skor 2), untuk responden yang berasal dari Kampung
Beber.
3. Tingkat Keuntungan Relatif Inovasi Ponsel (X1) adalah derajat dimana
inovasi ponsel dipandang memberikan keuntungan pada individu, berupa:
mengurangi biaya transportasi untuk berhubungan jarak jauh, efisiensi
waktu dalam berkomunikasi, meningkatkan prestise dalam pergaulan,
memperlancar urusan bisnis/pekerjaan, dan menghemat biaya pencarian
informasi; dibedakan dalam tiga kategori: (1) rendah, jika individu
memperoleh satu sampai dua jenis keuntungan atau tidak sama sekali, (2)
sedang, jika individu memperoleh tiga sampai empat jenis keuntungan,
dan (3) tinggi, jika individu memperoleh seluruh jenis keuntungan.
4. Tingkat Kesesuaian Inovasi Ponsel (X2) adalah derajat dimana aktivitas
komunikasi antar individu menggunakan inovasi ponsel dipandang sesuai
dengan nilai-nilai sosial budaya, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan
terhadap inovasi ponsel, yang meliputi: menjalin hubungan interpersonal
antar individu, menyampaikan pesan secara efektif, dan memenuhi
kebutuhan komunikasi. Berdasar hal tersebut, variabel ini dibedakan ke
dalam kategori-kategori: (1) rendah, jika ada satu jenis kesesuaian atau
tidak ada sama sekali, (2) sedang, jika ada dua jenis kesesuaian, dan (3)
tinggi, jika ada tiga jenis kesesuaian.
5. Tingkat Kerumitan Inovasi Ponsel (X3) adalah derajat dimana sejumlah
fitur pada inovasi ponsel dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan
19
digunakan oleh individu. Fitur pada ponsel di antaranya: telepon, SMS,
MMS, game, MP3, kamera, video, internet. Mengacu pada jenis fitur
tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika
individu menilai sulit menggunakan satu jenis fitur atau tidak sama sekali,
(2) sedang, jika individu menilai sulit menggunakan dua jenis fitur, dan (3)
tinggi, jika individu menilai sulit dalam menggunakan tiga dan/atau lebih
jenis fitur.
6. Tingkat Kemungkinan Dicobanya Inovasi Ponsel (X4) adalah derajat
dimana inovasi ponsel dianggap relatif mudah diaplikasikan oleh individu
karena tersedianya sarana pendukung: jaringan ponsel, penjual pulsa, dan
aliran listrik; dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika hanya satu
sarana pendukung yang tersedia atau tidak sama sekali, (2) sedang, jika
dua sarana pendukung yang tersedia, dan (3) tinggi, jika seluruh sarana
pendukung tersedia.
7. Tingkat Kemungkinan Diamatinya Inovasi Ponsel (X5) adalah derajat
dimana hasil-hasil penggunaan inovasi ponsel dapat diamati (dirasakan
manfaatnya oleh individu), yang meliputi: memperluas pergaulan, update
akan informasi, dan bergengsi. Berdasar hal ini, variabel ini dibedakan ke
dalam kategori-kategori: (1) rendah, jika hanya memperoleh satu jenis
manfaat atau tidak sama sekali, (2) sedang, jika memperoleh dua jenis
manfaat yang dapat diamati, dan (3) tinggi, jika memperoleh semua
manfaat..
8. Tipe PK Inovasi Ponsel (X6) adalah keterlibatan individu sebagai unit
pengambil keputusan dan/atau unit adopsi dalam PK Inovasi Ponsel,
dibedakan ke dalam (1) opsional, jika individu berperan sebagai unit
pengambil keputusan sekaligus unit adopsi inovasi ponsel, (2) kolektif,
jika individu bersama-sama anggota keluarganya menjadi unit pengambil
keputusan dan unit adopsi inovasi ponsel, dan (3) otoritas, jika unit
pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas
(instruksi dari pihak di luar keluarga atau atasan di tempat individu
bekerja). Berdasar kondisi tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam tiga
kategori: (1) rendah, jika tipe pengambilan keputusan otoritas, (2) sedang,
20
jika tipe pengambilan keputusan kolektif, dan (3) tinggi, jika tipe
pengambilan keputusan opsional.
9. Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel (X7) adalah total
skor dari jumlah sumber informasi inovasi ponsel bagi individu, yang
meliputi saluran komunikasi interpersonal dan media massa. Dengan
menetapkan bahwa setiap jenis sumber informasi baik dari saluran
interpersonal maupun media massa diberi skor satu; maka variabel ini
dibedakan ke dalam tiga kategori : (1) rendah, jika hanya satu jenis sumber
informasi inovasi ponsel, (2) sedang, jika ada dua jenis sumber informasi
inovasi ponsel, dan (3) tinggi, jika ada tiga jenis atau lebih sumber
informasi inovasi ponsel.
10. Tingkat Ketaatan Individu Pada Aktivitas Komunikasi Interpersonal (X8)
adalah derajat dimana setelah individu mengadopsi ponsel, dia cenderung
mempertahankan aktivitas komunikasi interpersonalnya. Berdasar batasan
tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam kategori-kategori: (1) rendah,
jika individu memutuskan hubungan komunikasi interpersonal, (2) sedang,
jika individu mengurangi hubungan komunikasi interpersonal, dan (3)
tinggi, jika individu tetap berhubungan melalui komunikasi interpersonal.
11. Tingkat Integrasi Individu (X9) adalah total skor dari jumlah kelompok
dan/atau organisasi yang aktivitasnya diikuti oleh individu dan “status”
individu dalam kelompok dan/ atau organisasi tersebut. Keikutsertaan pada
setiap kelompok diberi skor satu; sementara untuk status dalam
kelompok/organisasi pemberian skornya berturut-turut: satu jika berstatus
anggota, dua untuk pengurus namun bukan berstatus ketua dan tiga jika
berstatus ketua. Berdasar hal tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam
tiga kategori: (1) rendah, jika total skor keikutsertaan dan status individu
dalam kelompok/organisasi kurang dari 3; (2) sedang, jika total skor
keikutsertaan dan status individu dalam kelompok/ organisasi antara 3-6,
dan (3) tinggi, jika total skor keikutsertaan dan status individu dalam
kelompok lebih dari 6.
12. Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/ Jasa Ponsel (X10) adalah total
pertemuan dalam sebulan yang dilakukan antara individu dengan agen
21
penjual/ jasa ponsel; dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika
pertemuan individu dengan agen penjual/ jasa ponsel sebanyak kurang
dari lima kali; (2) sedang, jika pertemuan individu dengan agen penjual/
jasa ponsel antara 5-10 kali; dan (3) tinggi, jika pertemuan individu
dengan agen penjual/jasa ponsel lebih dari 10 kali.
13. Tingkat Pendidikan Formal (X11) adalah jenjang pendidikan formal
tertinggi yang pernah diikuti individu, dibedakan ke dalam kategori: (a)
rendah, jika tamat dan/atau sedang SD/sederajat, (2) sedang, jika tamat
dan/atau sedang SLTP/sederajat, dan (3) tinggi, jika tamat dan/atau sedang
SLTA/ sederajat.
14. Pola Perilaku Komunikasi (X12) adalah akumulasi interaksi individu
dengan beragam sumber informasi baik melalui komunikasi interpersonal
lokalit, kosmopolit maupun bermedia. Pada komunikasi interpersonal
lokalit diukur dari pola interaksi dengan sumber-sumber informasi yang
berdomisili sama dengan individu dalam jenjang lingkup wilayah: RT,
RW, kampung, dusun, dan desa. Pada komunikasi interpersonal
kosmopolit diukur dari status sumber informasi yang berinteraksi dengan
individu-individu dari lingkungan pemerintahan dan kontak tani/tokoh
masyarakat di lima tingkatan wilayah administratif: desa, kecamatan,
kabupaten, provinsi, dan nasional. Baik bagi komunikasi interpersonal
maupun kosmopolit, pemberian skornya adalah satu sampai dengan lima
berturut-turut dari jenjang yang terendah ke tertinggi. Untuk komunikasi
bermedia dibedakan menurut jenis medianya: radio, surat kabar, telepon,
televisi, dan internet; dengan pemberian skor satu jika individu
berkomunikasi dengan pihak lain melalui salah satu jenis media atau tidak
sama sekali; skor dua jika individu berkomunikasi dengan memanfaatkan
lebih dari dua jenis media; skor 3, jika individu berkomunikasi dengan
memanfaatkan tiga dan/atau lebih jenis media. Selanjutnya, variabel ini
dibedakan ke dalam tiga kriteria: (1) rendah, jika total skor kurang dari
11, (2) sedang, jika total skor antara 11-19, dan (3) tinggi, jika total skor
lebih dari 19.
22
15. Tingkat Status Sosial Ekonomi (X14) adalah kumulatif dari faktor-faktor:
status penguasaan lahan, pemilikan media elektronik dan pemilikan
kendaraan bermotor. Merujuk pada Mugniesyah (2007), status penguasaan
lahan dibedakan ke dalam: (1) stratum I adalah golongan rumahtangga
yang tidak berlahan, (2) stratum II adalah golongan rumahtangga yang
menguasai 0,1 - 0,7 ha lahan, (3) stratum III adalah golongan rumahtangga
yang menguasai 0,7 - 1,5 ha lahan, dan (4) stratum IV adalah golongan
rumahtangga yang menguasai lebih dari 1,5 ha lahan. Adapun skor yang
diberikan berturut-turut satu sampai dengan empat untuk Stratum I, II, III,
dan IV. Skor untuk pemilikan media elektronik sebesar satu sampai
dengan empat untuk berturut-turut media radio, ponsel, TV berwarna, dan
jaringan internet. Masing-masing diberi skor 1, 2, 3, 4. Pemilikan
kendaraan bermotor dibedakan antara motor dan mobil. Skor masing-
masing adalah 1 dan 2. Berdasar hal tersebut, variabel ini dibedakan ke
dalam tiga kriteria: (1) rendah, jika total skor yang diperoleh individu
kurang dari 7, (2) sedang, jika total skor yang diperoleh individu antara 7–
10, dan (3) tinggi, jika total skor yang diperoleh individu lebih dari 10.
16. Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel (X16) adalah
motivasi atau alasan individu dalam konteks tujuan individu untuk
mengadopsi inovasi ponsel. Dengan merujuk pada pendapat Berlo (1960)
dan Tubs dan Moss (1983) dalam Lubis (2009), tujuan komunikasi
meliputi: memperoleh informasi, mendapatkan hiburan, menjalin
hubungan dan membantu bisnis/pekerjaan. Berdasar hal tersebut, variabel
ini dibedakan ke dalam tiga kategori, (1) rendah, jika bermotivasikan satu
tujuan komunikasi atau tidak sama sekali, 2) sedang, jika bermotivasikan
dua tujuan komunikasi, dan (3) tinggi, bermotivasikan tiga atau lebih
tujuan komunikasi.
23
BAB III
PENDEKATAN LAPANGAN
3.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Desa Kemang yang berada di Kecamatan
Bojongpicung Kabupaten Cianjur. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja
(purposive) dengan pertimbangan bahwa di wilayah ini telah terdapat dua buah
menara BTS dari Perusahaan XL dan Telkomsel. Selain itu, sebagaimana
dikemukakan Mugniesyah (2007) desa ini merupakan desa lahan kering yang
berlokasi di sekitar area hutan milik Perhutani dan mengembangkan sistem
agroforestri, sehingga diduga pekerjaan warga masyarakat dan materi pesan yang
dipertukarkan mereka melalui ponsel juga beragam. Dari hasil observasi diketahui
dua BTS yang dibangun di desa ini terletak di dua kampung yang ada di Dusun I,
karenanya kedua kampung tersebut menjadi representasi dua sub sistem sosial
yang ada di desa Kemang. Pertimbangan lainnya adalah bahwa di dua kampung
tersebut telah tersedia data sekunder mengenai profil rumahtangga yang
dikumpulkan dalam periode 1998-2005, melalui kegiatan penelitian “Group 3:
Socioeconomic Studies on Sustainable Development in Rural Indonesia”, suatu
bagian dari penelitian “Toward Harmonization between Development and
Environmental Conservation in Biological Production“ yang merupakan
penelitian kerjasama bernama “The JSPS-DGHE Core University Program in
Applied Biosciences between the University of Tokyo and Bogor Agricultural
University (IPB)”.
Pelaksanaan penelitian di lapangan berlangsung selama satu bulan,
dimulai pada minggu kedua bulan April sampai dengan minggu kedua bulan Mei
2011 (tiga puluh hari). Adapun penelitian secara keseluruhan dilaksanakan selama
enam bulan, meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal,
pengumpulan data di lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft
skripsi, bimbingan skripsi, sidang skripsi, serta perbaikan laporan penelitian.
Rincian jadwal penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
24
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini tergolong penelitian penjelasan (explanatory research) yang
menggunakan pendekatan kuantitatif, khususnya metode survei (Singarimbun dan
Efendi 1989), yang ditujukan untuk mengumpulkan data primer dalam penelitian
ini. Survei ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang profil rumahtangga
dan difusi inovasi ponsel. Survei profil rumahtangga dilakukan untuk
mengumpulkan aspek demografi sosial dan kepemilikan media komunikasi,
termasuk ponsel. Mengingat penelitian ini dilakukan dalam waktu relatif singkat
(hanya satu bulan), pengumpulan data profil rumahtangga dilakukan dengan
berbasis pada data yang tercantum pada kuesioner Profil Rumahtangga yang
sudah dikumpulkan oleh Mugniesyah dkk. pada tahun 2005 dalam penelitian
tersebut di atas. Dengan demikian, dalam survei rumahtangga dilakukan
“penyesuaian data dalam profil rumahtangga”. Adapun survei tentang difusi
inovasi ponsel dilakukan dengan menggunakan kuesioner tertsruktur yang di
dalamnya memuat sejumlah pertanyaan untuk mengukur semua variabel bebas
(independent variables) dan variabel tidak bebas (dependent variables). Selain
survei, juga dilakukan wawancara mendalam, khususnya untuk mengetahui pola-
pola pemanfaatan ponsel di kalangan masyarakat desa serta untuk mengetahui
permasalahan dan dampak yang terjadi sebagai akibat diintroduksikannya
jaringan ponsel di desa penelitian.
Selain mengumpulkan data primer, dalam penelitian ini juga dilakukan
pengumpulan data sekunder, khususnya data monografi desa (untuk mengetahui
kondisi umum lokasi penelitian), data berkenaan ketersediaan infrastruktur di
desa, kebijakan pemerintah, sejumlah laporan, dan dokumen yang terkait dengan
penelitian ini. Data berkenaan ketersediaan infrastruktur juga didapatkan melalui
observasi selama di lapangan.
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Kemang di
Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur. Adapun populasi contohnya
(sampling population) adalah individu dalam rumahtangga pengguna ponsel di
Kampung Beber dan Kampung Cikupa, yang didapatkan dari teknik pengambilan
sampel secara tidak sengaja (accidental sampling). Menurut Sugiyono (2004),
melalui teknik ini peneliti mengambil responden sebagai contoh berdasarkan
25
kebetulan, yaitu mereka yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat
digunakan sebagai contoh bila orang yang kebetulan ditemui cocok sebagai
sumber data. Teknik ini biasanya dilakukan karena keterbatasan waktu, tenaga,
dan dana, sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh.
Pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mendatangi
sejumlah rumahtangga dan menemui sejumlah orang yang sedang berkumpul di
warung yang berdasar informan atau hasil observasi diantara mereka
menggunakan ponsel. Setiap individu yang mengaku menggunakan ponsel
langsung diwawancarai peneliti, karena dianggap sesuai dalam memberikan
informasi terkait difusi inovasi ponsel. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
pada beberapa rumahtangga, ditemukan lebih dari seorang individu yang
menggunakan ponsel, sehingga dalam satu rumahtangga dimungkinkan ada
beberapa orang yang menjadi responden. Dari proses tersebut, didapatkan
sebanyak 75 orang responden dari 58 rumahtangga, yang terdiri dari 48 orang
perempuan dan 27 orang laki-laki. Di Kampung Beber terdapat 42 orang
responden dari 33 rumahtangga, sedangkan di Kampung Cikupa terdapat 33
orang responden dari 25 rumahtangga. Unit analisis dalam penelitian ini adalah
individu dan sistem sosial. Unit analisis individu untuk mengukur tingkat
keinovativan, sementara unit analisis sistem sosial digunakan untuk mengukur
laju adopsi.
3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data primer yang telah dikumpulkan diedit terlebih dahulu untuk
kemudian dientry dengan menggunakan Program Microsoft Excel 2007. Data
tersebut kemudian diolah dan dianalisis ke dalam bentuk tabulasi frekuensi dan
tabulasi silang dengan menggunakan program PIVOT, khususnya untuk
mendeskripsikan profil individu dan rumahtangga, serta semua variabel yang ada
dalam penelitian ini. Untuk menganalisis hubungan antar variabel sebagaimana
disajikan pada Gambar 2 dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini digunakan
program SPSS 16 for windows. Adapun pengujian hipotesis penelitian dilakukan
dengan menggunakan statistik non parametrik Uji Korelasi Rank Spearman (rs).
Uji korelasi Rank Spearman dipilih dengan pertimbangan bahwa variabel-
26
variabel bebas dan tidak bebas dalam penelitian ini menggunakan pengukuran
dalam skala ordinal. Dalam interpretasi hasil uji statistik, digunakan interpretasi
menurut Purnaningsih (2006), dimana jika hasil korelasi (rs) yaitu: (1)
signifikansi α= 0,05, artinya mempengaruhi dan signifikan, (2) signifikansi α=
0,10, artinya cukup mempengaruhi dan cukup signifikan, (3) signifikansi α= 0,20
sampai α= 0,30, artinya kurang baik mempengaruhi dan tidak signifikan, dan (4)
signifikansi α> 0,30, artinya tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan.
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada
Pedoman Teknik Penulisan Laporan Studi Pustaka (Wahyuni forthcoming).
3.4 Kelemahan Penelitian
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian difusi inovasi
tidak hanya berfokus pada adopsi pada tingkat individu, akan tetapi harus pula
mempertimbangkan aspek sistem sosial dimana inovasi tersebut diintroduksikan
karena sebagaimana dikemukakan di atas, sistem sosial merupakan salah satu
unsur difusi inovasi (Rogers dan Shoemaker 1971). Namun demikian, penelitian
ini masih belum mampu mempertimbangkan aspek sistem sosial secara sempurna,
dikarenakan terdapat berbagai kesulitan dan kendala saat pengambilan data di
lapangan. Bagaimanapun, waktu penelitian selama sebulan dirasakan tidak
mencukupi apabila peneliti harus mewawancarai seluruh pengguna ponsel di dua
kampung. Untuk diketahui, jumlah rumahtangga di Kampung Beber dan Cikupa
sekitar 300 rumahtangga (Mugniesyah dkk. 2005). Di pihak lain, karena pengguna
ponsel mayoritasnya di kalangan anak muda, dan bahwa lokasi desa yang relatif
terisolir menjadikan perilaku komunikasi interpersonal lokalit mereka dominan,
sebagian besar mereka kurang responsif kepada peneliti dengan alasan “malu”
diwawancarai.
27
BAB IV
KEADAAN UMUM DESA KEMANG
4.1 Kondisi Geografis dan Luas Wilayah Desa
Desa Kemang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan
Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Desa ini berbatasan
dengan sejumlah desa baik yang berada di Kabupaten Cianjur maupun Kabupaten
Bandung. Terdapat dua desa di wilayah Kecamatan Bojongpicung, masing-
masing satu desa yang berbatasan dengan desa ini di sebelah Utara dan Barat,
yaitu Desa Sukaratu dan Desa Sukarama. Selainnya, Desa Cihea di Kecamatan
Haurwangi, Kabupaten Cianjur dan Desa Cibitung Kecamatan Rongga Kabupaten
Bandung berbatasan dengan Desa Kemang, berturut-turut di sebelah Selatan dan
Timur.
Lokasi desa ini berturut-turut dari sekitar 7 km dari ibukota kecamatan,
24 km dari ibukota kabupaten, dan 62 km dari ibukota propinsi Jawa Barat
(Bandung) dengan kendaraan bermotor, akses ke ibukota kecamatan, kabupaten
dan propinsi dapat ditempuh berturut-turut sekitar 1 jam, 3,8 jam dan 4 jam
Adapun menurut Potensi Desa (2009), apabila ditempuh dengan berjalan kaki
atau kendaraan non bermotor berturut-turut sekitar 3 jam, 6 jam menit dan 12 jam.
Dalam hal topografinya, Desa Kemang berada di ketinggian antara 400-
800 meter di atas permukaan laut (mdpl), dengan curah hujan sebesar 1945 mm
per tahun dan jumlah bulan hujan sebanyak 6 bulan per tahun dengan suhu rata-
rata harian sekitar 25C (Mugniesyah dan Mizuno (2003).
Secara administratif, Desa Kemang memiliki 33 Rukun Tetangga (RT)
yang terdistribusi dalam 6 Rukun Warga (RW) yang tersebar di tiga dusun yang
ada di desa ini. Kecuali di Dusun II, terdapat masing-masing delapan kampung di
Dusun I dan III. Kampung-kampung yang ada di Dusun I adalah Kalapa Condong,
Beber, Cikupa, Kawung Luwuk, Pasir Jati, Cibentang, Mujit, dan Muncang
Nunggal, sementara di Dusun III meliputi Legok Nangka, Jakapari, Jaringao,
Cikoneng, Citangkil, Cigunung, Babakan Sawah Girang, dan Cimurah. Adapun di
Dusun II terdiri dari kampung-kampung: Rawa Sampih, Babakan Sawah Hilir,
28
Cimenteng, Kopeng, Kemang, dan Cibuluh. Setiap dusun terdiri dari dua RW,
yaitu RW 1 dan RW 2 di Dusun I, RW 3 dan RW 4 di Dusun II, serta RW 5 dan
RW 6 di Dusun III. Adapun jumlah RT di tiga dusun tersebut berturut-turut
sebanyak 12 RT, 11 RT, dan 10 RT.
Desa Kemang memiliki luas wilayah 2.499,21 hektar dengan distribusi
penggunaan lahan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Distribusi Wilayah Desa Kemang menurut Penggunaannya Tahun 2009
Penggunaan Lahan Luas (ha) Persen (%)
Hutan 1250,00 50,02
Tegal/ladang 994,45 39,79
Sawah irigasi setengah teknis 82,78 3,31
Kebun 20,00 0,80
Sawah tadah hujan 11,33 0,45
Pekarangan 12,41 0,50
Pemukiman 88,51 3,54
Kuburan 10,02 0,40
Perkantoran 4,21 0,17
Lainnya 25,51 1,02
Total 2499,21 100,00
Sumber: Potensi Desa Kemang 2009
Mayoritas wilayah di Desa Kemang berupa lahan pertanian dengan luas
2358,56 ha atau 94,37 persen dari total luas desa. Seperti yang terlihat pada Tabel
3, persentase luas lahan pertanian tersebut, dari yang tertinggi sampai terendah
berturut-turut adalah lahan hutan milik Perhutani, tegal/ladang, sawah irigasi
setengah teknis, kebun, dan sawah tadah hujan. Selain sebagai lahan pertanian,
terdapat pula wilayah Desa Kemang yang dimanfaatkan sebagai pekarangan.
Namun, dari hasil observasi di lapangan, diduga pekarangan tersebut banyak
terdapat di luar kedua kampung yang menjadi fokus penelitian, yaitu Kampung
Beber dan Cikupa. Hal tersebut dikarenakan, kedua kampung tersebut merupakan
kampung yang cukup padat, dimana jarak antar rumah pun sangat berdekatan dan
jarang sekali ditemukan rumah yang memiliki pekarangan.
29
Terkait dengan pemanfaatan lahan sebagai perkantoran, diketahui dari
hasil pengamatan bahwa di Desa Kemang terdapat beberapa bangunan, di
antaranya kantor desa, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP),
dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), yang akan dijelaskan lebih jelas
pada sub bab sarana dan prasarana. Pada Tabel 3 di atas, dapat dilihat pula
pemanfaatan lahan sebagai lainnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan lainnya
adalah pemanfaatan lahan sebagai lapangan olahraga, menara BTS, tempat
pembuangan sampah, dan daerah tangkapan air.
4.2 Keadaan Umum Penduduk
Data distribusi penduduk di Desa Kemang menurut kelompok umur dan
jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4 Distribusi Penduduk Desa Kemang menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin Tahun 2009 (dalam persen)
Kelompok Umur (tahun) Laki-laki Perempuan Total
0-4 2,51 2,69 5,20
5-9 7,54 7,71 15,25
10-14 7,33 6,67 14,00
15-19 8,05 7,45 15,51
20-24 4,73 4,45 9,18
25-29 2,38 2,53 4,91
30-34 3,56 3,73 7,29
35-39 2,53 2,62 5,14
40-44 1,89 1,64 3,53
45-49 2,16 2,33 4,49
50-54 1,38 1,76 3,14
55-59 1,76 2,13 3,89
60-64 1,58 1,67 3,25
65-69 1,22 1,51 2,73
70-74 0,91 1,04 1,95
75+ 0,31 0,24 0,55
Total (persen) 49,85 50,15 100,00
Total (jiwa) 2742 2759 5501 Sumber: Potensi Desa Kemang 2009
30
Jumlah penduduk Desa Kemang berdasarkan Potensi Desa Kemang Tahun
2009 sebanyak 5501 jiwa, mayoritasnya terdiri atas perempuan sebanyak 2759
jiwa (50,15 persen). Terdapat 1514 kepala keluarga (KK) di desa ini, sehingga
rata-rata jumlah anggota per keluarga lebih rendah dari 4 orang. Kepadatan
penduduk Desa Kemang sebesar 1417 jiwa/km.
Berdasar data pada Tabel 4, terhadap total penduduk Desa Kemang,
diketahui bahwa mayoritas penduduk desa ini tergolong usia kerja (usia 15-60
tahun) yaitu 57,08 persen. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa penduduk usia
sekolah adalah mereka yang ada pada kelompok umur 5-19 tahun, maka mereka
jumlahnya sekitar 44,76 persen dari total penduduk Desa Kemang. Adapun
penduduk usia lanjut (kelompok umur 60-64 tahun dan di atasnya) sekitar 8,47
persen. Dalam hal penduduk usia kerja, diketahui bahwa persentase penduduk
perempuan pada kelompok tersebut sekitar 28,63 persen atau sedikit lebih tinggi
(0,18 persen) dibanding penduduk laki-laki. Begitu pula pada kelompok umur usia
lanjut, persentase penduduk perempuan sedikit lebih tinggi sebesar 0,44 persen
dibanding penduduk laki-laki. Yang menarik, khusus pada kelompok usia sekolah,
diketahui bahwa persentase penduduk laki-laki lebih tinggi sekitar 1,09 persen
dibanding persentase penduduk perempuan.
Distribusi penduduk Desa Kemang menurut tingkat pendidikan dan jenis
kelamin disajikan pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5 Distribusi Penduduk menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan dan
Jenis Kelamin di Desa Kemang Tahun 2009 (dalam persen)
Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin
Total Laki-laki Perempuan
Tamat SD/Sederajat 40,53 40,95 81,48
Tamat SMP/Sederajat 7,35 5,09 12,44
Tamat SMA/Sederajat 2,67 1,65 4,33
Tamat D1-D3/Sederajat 0,64 0,32 0,95
Tamat S1- S2/Sederajat 0,64 0,16 0,80
Total (persen) 51,83 48,17 100,00
Total (jiwa) 1629 1514 3143
Sumber: Potensi Desa Kemang 2009
31
Berdasar data pada Tabel 5, diketahui bahwa mayoritas warga masyarakat
Desa Kemang, baik laki-laki maupun perempuan, terdiri atas mereka yang
berpendidikan tamat Sekolah Dasar atau sederajat. Dominannya penduduk yang
berpendidikan tamat SD tampaknya juga berhubungan dengan dilaksanakannya
Program Wajib Belajar 9 tahun. Kecenderungan umum adalah bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan semakin menurun persentase jumlah penduduk yang
menikmatinya.
Hal yang menarik adalah hanya pada tingkat pendidikan dasar dimana
persentase penduduk perempuan sedikit lebih tinggi (0,42 persen) dibanding laki-
laki. Adapun pada jenjang pendidikan selanjutnya persentase mereka yang
menikmati pendidikan cenderung lebih rendah dibanding laki-laki, yakni berturut-
turut lebih rendah sekitar: 2,26 persen pada jenjang pendidikan SLTP, sekitar satu
persen pada jenjang SLTA, dan berturut-turut sekitar 0,32 dan 3,66 persen pada
jenjang pendidikan diploma dan perguruan tinggi. Secara umum, selain
berhubungan dengan relatif dominannya penduduk desa yang tergolong miskin,
kondisi tersebut tampaknya juga merefleksikan fenomena, dimana perempuan
cenderung memasuki jenjang perkawinan setamatnya SD atau menjadi buruh
migran. Selain itu, diduga juga kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak
perempuannya ke jenjang sekolah menengah dan pendidikan tinggi masih relatif
rendah.
Matapencaharian pokok masyarakat Desa Kemang cukup beragam. Total
penduduk yang bekerja adalah sebanyak 3781 orang atau 68,73 persen dari
keseluruhan total penduduk Desa Kemang. Secara lebih lengkap dapat dilihat
pada Tabel 6.
Berdasar pada Tabel 6, mayoritas penduduk Desa Kemang bekerja di
sektor pertanian, yakni sekitar 84,72 persen. Selanjutnya diikuti oleh mereka yang
bekerja pada sektor perdagangan sekitar 6,32 persen. Sektor lainnya yang
merupakan matapencaharian masyarakat Desa Kemang adalah sektor industri dan
jasa dengan persentase beturut-turut 2,57 persen dan 6,40 persen. Tingginya
jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian dikarenakan Desa Kemang
merupakan salah satu daerah yang mengembangkan sistem agroforestri huma
32
talun, sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan kompleks. Jenis
buah-buahan merupakan komoditas utama dalam kebun talun masyarakat.
Tabel 6 Penduduk Desa Kemang menurut Matapencaharian Tahun 2009 (dalam
jumlah dan persen)
Mata Penceharian Jumlah Persen
Petani 2481 65,62
Buruh tani 722 19,1
Pengusaha Kecil dan Menengah 127 3,36
Pedagang Keliling 112 2,96
Buruh Migran 110 2,91
Pengrajin/Industri Rumahtangga 97 2,57
Pembantu Rumahtangga 52 1,38
Pegawai Negeri Sipil 47 1,24
Pensiunan PNS/TNI/POLRI 22 0,58
Dukun Kampung Terlatih 6 0,16
TNI/POLRI 3 0,08
Montir 2 0,05
Total 3781 100,00
Sumber: Potensi Desa Kemang 2009
Komoditas buah-buahan yang banyak dibudidayakan di Desa Kemang
adalah pisang dengan luas 66 hektar dan hasil produksi lima ton per hektar.
Pemasaran hasil kebun tersebut dilakukan dengan berbagai cara, seperti dijual
langsung ke konsumen, pasar, melalui tengkulak atau melalui pengecer.
Masyarakat yang bekerja di sektor pertanian, tidak semuanya memiliki lahan yang
luas, akan tetapi terdapat pula sejumlah petani gurem dan buruh tani, sebagaimana
terlihat pada Tabel 7 di bawah ini.
33
Tabel 7 Jumlah Penduduk Berdasarkan Luas Kepemilikan Lahan di Desa
Kemang Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen)
Kriteria Luas Lahan Jumlah Persen
Tidak memiliki (tuna kisma) 228 15,06
Memiliki kurang 1 ha 739 48,81
Memiliki 1,0-5,0 ha 394 26,02
Memiliki 5,0-10 ha 150 9,91
Memiliki lebih dari 10 ha 3 0,20
Total Pemilik Lahan 1514 100,00
Sumber: Potensi Desa Kemang 2009
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa di Desa Kemang terdapat 1.514
kepala keluarga. Dengan demikian, data yang disajikan pada Tabel 7 bukanlah
data kepemilikan lahan menurut individu penduduk, tetapi berbasis rumahtangga.
Dengan merujuk pendapat Sayogyo (1990) tentang stratifikasi di kalangan
masyarakat petani, sebagian besar masyarakat Desa Kemang (63,87 persen) tergolong
lapisan bawah, karena rata-rata luas lahan yang mereka miliki seluas di bawah 0,5
hektar.
4.3 Kelembagaan
Kelembagaan di Desa Kemang terdiri dari kelembagaan formal dan
informal. Kelembagaan formal terdiri dari Lembaga Pemerintahan (Pemerintahan
Desa, Badan Permusyawaratan Desa), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
(LPM) dan Lembaga Kemasyarakatan Desa (kelompok PKK, Rukun Warga
(RW), Rukun Tetangga (RT), Karang Taruna, Posyandu, Koperasi dan Kelompok
Tani).
Terdapat empat unit Posyandu di Desa Kemang yang tersebar di setiap
dusun. Di Dusun I terdapat Posyandu Anggrek. Posyandu Mawar berada di Dusun
II, sedangkan di Dusun III terdapat dua unit Posyandu, yaitu Teratai I di Kampung
Jaringao dan Teratai II di Kampung Cikoneng. Kegiatan Posyandu dilaksanakan
secara rutin sebulan sekali. Selain Posyandu, terdapat pula kelembagaan Bina
Keluarga Balita (BKB) dan Bina Keluarga Lansia (BKL) yang kegiatannya
bersatu dengan Posyandu. Adapun kegiatan dalam BKB adalah penimbangan dan
34
pemberian makanan tambahan pada anak usia 0-5 tahun, sedangkan pada BKL,
kegiatannya berupa penimbangan, pengukuran tekanan darah, dan pemeriksaan
kesehatan lainnya. Selain itu, terdapat pula Bina Keluarga Remaja yang
kegiatannya berupa penyuluhan-penyuluhan dari kecamatan, seperti penyuluhan
tentang Narkoba.
Kelembagaan lainnya di Desa Kemang adalah Koperasi Kemang Lestari
yang berdiri sejak tahun 2008. Tujuan dibentuknya adalah untuk menampung
barang-barang yang diproduksi oleh masyarakat setempat dan kemudian
dipasarkan melalui koperasi tersebut. Adapun jenis barangnya tidak terbatas,
apapun dapat diterima oleh koperasi ini. Oleh karena itu, koperasi ini disebut
sebagai koperasi serba usaha. Selain itu, dalam koperasi ini juga terdapat kegiatan
simpan pinjam anggota. Perlu diketahui, anggota koperasi ini tidak terbatas hanya
masyarakat Desa Kemang, melainkan ada anggota dari luar desa, seperti dari Desa
Sukaratu dan Desa Cihea.
Selanjutnya, terdapat kelembagaan pertanian di Desa Kemang, yaitu
Kelompok Wanita Tani yang dibentuk pada tahun 2010. Kelompok ini
membudidayakan Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Adapun pembentukan
kelompok ini dilakukan atas dasar adanya lomba antar desa.
Terkait kelembagaan yang berhubungan dengan jejaring pengaman sosial,
terdapat beberapa program, seperti Bantuan Langsung Tunai yang dimulai pada
tahun 2008. Akan tetapi BLT tersebut hanya diberikan sebanyak dua kali dan saat
ini sudah dihapuskan. Tiap bulannya rumahtangga miskin di desa ini juga
mendapatkan beras melalui Program Beras Miskin atau Raskin. Selanjutnya, ada
juga Program Jaminan Kesehatan Masyarakat yang diberikan kepada setiap
individu yang membutuhkan. Untuk mendapatkan kartu Jamkesmas, setiap warga
dapat mengajukannya ke kantor desa.
Kelembagaan informal yang terdapat di Desa Kemang adalah
kelembagaan keagamaan (pengajian) keuangan (arisan), dan olahraga. Terdapat
beberapa kelompok pengajian yang tersebar di setiap kampung. Rata-rata setiap
kampung memiliki satu kelompok pengajian. Hanya saja di Kampung Jaringao
terdapat dua kelompok dan di Kampung Cikupa terdapat tiga kelompok.
Kelompok pengajian yang dikenal aktif adalah Kelompok Pengajian Miftahunnaja
35
di Kampung Kopeng. Dalam hal arisan, terdapat banyak kelompok arisan yang
umumnya diikuti oleh kaum perempuan. Biasanya kelompok arisan itu dibentuk
di dalam sebuah kelembagaan lain. Misalnya kelompok arisan kader Posyandu,
kelompok arisan ibu-ibu pengajian, dan sebagainya. Selanjutnya, terdapat pula
kelompok olahraga, seperti bola voli yang biasanya akan bertanding pada acara-
acara tertentu antar RT.
4.4 Sarana dan Prasarana
Desa Kemang memiliki sejumlah sarana dan prasarana yang menunjang
berbagai kegiatan masyarakat desa. Prasarana transportasi darat yang tersedia
berupa jalan desa sepanjang 1000 meter untuk jalan aspal dan 2600 meter jalan
tanah, namun keduanya dalam keadaan rusak. Selain itu, tersedia pula jalan aspal
antar desa sepanjang 1850 meter dalam keadaan baik dan 3000 meter dalam
keadaan buruk. Untuk menempuh perjalanan tersebut, tersedia sarana transportasi
darat berupa ojek sebanyak 35 unit.
Sarana dan prasarana lainnya berupa Balai Desa/Kantor Desa yang
memiliki fasilitas berupa tujuh ruang kerja, tiga unit mesin tik, tiga belas unit
meja, 83 unit kursi, tiga unit almanar arsip, tiga unit komputer, dan dua unit
kendaraan dinas, serta dilengkapi pula oleh ketersediaan aliran listrik, telepon, dan
air bersih. Selain itu, terdapat prasarana peribadatan berupa 21 unit masjid dan 31
unit langgar/surau/mushola. Dalam hal prasarana olahraga, terdapat enam
lapangan bulutangkis dan 37 lapangan voli, serta sepuluh buah meja pingpong.
Adapun prasarana pendidikan yang ada di desa ini di antaranya satu unit PAUD
yang merupakan hasil dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
(PNPM), lima unit Sekolah Dasar (SD), satu unit Sekolah Menengah Pertama
(SMP), dan satu unit Sekolah Menengah Atas (SMA).
Terdapat pula prasarana komunikasi dan informasi di Desa Kemang.
Untuk komunikasi, terdapat dua buah BTS ponsel dari perusahaan swasta, XL dan
Telkomsel. Jumlah pelanggan GSM sebesar 1895 pelanggan atau 34,45 persen
dari total penduduk desa. Selanjutnya, prasarana informasi yang tersedia berupa
721 unit televisi dan delapan unit parabola, serta koran dan majalah.
36
Prasarana penting lainnya adalah prasarana air bersih dan sanitasi.
Terdapat 284 unit sumur pompa dan 397 unit sumur gali. Sumber air bersih juga
didapatkan dari sembilan mata air yang berada di desa ini. Di samping itu, tersedia
pula delapan unit MCK umum sebagai prasarana sanitasi masyarakat. Sarana dan
prasarana kesehatan yang terdapat di Desa Kemang antara lain empat unit
Posyandu dan satu unit Puskesmas pembantu. Prasarana tersebut juga didukung
oleh enam orang dukun bersalin terlatih, lima orang dukun pengobatan alternatif,
dan seorang bidan.
37
BAB V
PROFIL RUMAHTANGGA ADOPTER TELEPON SELULER DI
KAMPUNG BEBER DAN CIKUPA
Bab ini menguraikan karakteristik individu anggota rumahtangga
(selanjutnya ditulis ART) dan rumahtangga masyarakat adopter ponsel.
Karakteristik individu ART meliputi jenis kelamin, umur, jenis pekerjaan, status
perkawinan, dan tingkat pendidikan formal. Adapun karakteristik rumahtangga
masyarakat adopter ponsel mencakup: penguasaan lahan, kepemilikan ternak dan
benda-benda berharga. Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya,
total rumahtangga masyarakat adopter ponsel yang disurvei dalam penelitian ini
sebanyak 58 rumahtangga yang berdomisili di dua kampung, yakni Beber dan
Cikupa.
5.1 Karakteristik Anggota Rumahtangga Adopter Ponsel
5.1.1 Rata-rata Jumlah Anggota Rumahtangga dan Jenis Kelamin
Hasil survei rumahtangga menunjukkan bahwa jumlah ART dari total
rumahtangga masyarakat adopter ponsel sebanyak 269 orang, atau rata-rata
terdapat sekitar 5 orang per rumahtangga. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata
jumlah ART pada rumahtangga adopter ponsel lebih tinggi dibanding rata-rata
jumlah ART penduduk di Desa Kemang yang hanya empat orang per
rumahtangga. Menurut jenis kelaminnya, ART adopter ponsel terdiri atas 144
orang laki-laki (53,53 persen) dan 125 orang perempuan (46,47 persen). Kondisi
ini pun berbeda dengan kondisi umum penduduk Desa Kemang, dimana
persentase penduduk laki-lakinya sedikit lebih rendah dibanding penduduk
perempuan sebagaimana telah dikemukan pada bab sebelumnya.
5.1.2 Anggota Rumahtangga Menurut Kelompok Umur
Tabel 8 di bawah ini menyajikan data komposisi ART adopter ponsel
menurut kelompok umur dan jenis kelamin.
38
Tabel 8 Distribusi ART Adopter Ponsel menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin di Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2011 (dalam persen)
Kelompok Umur
(Tahun) Laki-laki Perempuan Total
<15 21,19 17,10 38,29
15-19 4,83 4,46 9,29
20-24 1,86 2,97 4,83
25-29 3,72 3,72 7,43
30-34 2,97 2,23 5,20
35-39 2,60 2,23 4,83
40-44 2,97 5,20 8,18
45-49 4,46 3,72 8,18
50-54 4,46 1,86 6,32
55-59 1,86 1,86 3,72
60-64 0,74 0,00 0,74
65+ 1,86 1,12 2,97
Total (persen) 53,53 46,47 100,00
Total (jumlah) 144 125 269
Berdasar pada Tabel 8 diketahui bahwa secara umum terdapat sekitar 59 persen
ART adopter ponsel yang tergolong usia produktif (15-64 tahun). Adapun sisanya
adalah mereka yang tidak produktif. Terhadap total rumahtangga contoh, diketahui pula
bahwa ART laki-laki menunjukkan persentase sekitar 30,47 persen, atau sekitar dua
persen lebih tinggi dari ART perempuan. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan data
penduduk di Desa Kemang (Tabel 4) yang menunjukkan bahwa persentase penduduk
laki-laki sedikit lebih tinggi dibanding perempuan pada kelompok umur bukan produktif.
Berdasar pada pendapat Rusli (1995) tentang rumus analisis ketergantungan
individu (dependency ratio)1, dapat diketahui besaran beban tanggungan setiap
rumahtangga dengan cara menghitung rasio ART usia muda dan lanjut usia (lansia)
dengan jumlah ART usia produktif. Dari data pada Tabel 8 di atas diperoleh nilai
dependency ratio sebesar 70. Artinya setiap 100 orang ART usia produktif harus
menanggung 70 orang ART usia tidak produktif. Dengan perkataan lain, analisis
ketergantungan individu menunjukkan bahwa adopter ponsel di Kampung Beber
1 Rumus dependency ratio = Jumlah penduduk umur 0-14 tahun dan 65+
Jumlah penduduk umur 15-64 tahun
39
dan Cikupa mempunyai tingkat ketergantungan yang rendah, yakni sekitar 0,7
atau kurang dari satu.
5.1.3 Anggota Rumahtangga Menurut Jenis Pekerjaan
Dari total ART adopter ponsel terdapat 154 orang di antaranya tidak
bekerja, karena sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 8 di atas, terdapat ART
yang tergolong anak di bawah usia lima tahun dan usia sekolah sebesar 47,6
persen. Selainnya adalah mereka yang tergolong usia lanjut (lansia), sekitar empat
persen. Sehubungan dengan itu, data yang disajikan pada sub-bab ini hanya
merujuk pada ART yang bekerja saja (115 orang). Tabel 9 menyajikan secara
rinci jenis pekerjaan ART adopter ponsel di dua kampung, Beber dan Cikupa.
Tabel 9 Distribusi ART Adopter Ponsel menurut Pekerjaan dan Jenis Kelamin
Tahun 2011 (dalam persen)
Jenis Pekerjaan Utama Laki-laki Perempuan Total
Petani pemilik dan
penggarap 18,26 13,04 31,30
Petani penggarap 5,22 3,48 8,70
Buruh tani 4,35 3,48 7,83
Petani pemilik 0,87 0,87 1,74
Pedagang 8,70 6,96 15,65
Industri rumahtangga 1,74 4,35 6,09
Buruh non-tani 6,09 0,00 6,09
PNS 2,61 2,61 5,22
Pensiunan PNS 0,87 0,00 0,87
Lainnya 9,57 6,96 16,52
Total (persen) 58,26 41,74 100,00
Total (jumlah) 67 48 115
Diketahui bahwa jenis pekerjaan ART adopter ponsel pada umumnya dapat
dikategorikan ke dalam tiga sektor, yakni pertanian, perdagangan dan jasa.
Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 9, diantara mereka yang bekerja di sektor
pertanian terdiri atas mereka yang bekerja sebagai petani pemilik, petani pemilik
dan penggarap, petani penggarap, dan buruh tani. Adapun mereka yang bekerja di
40
sektor jasa terdiri atas mereka yang bekerja selaku PNS dan pensiunan PNS, serta
buruh non-tani.
Berdasar data pada Tabel 9, diketahui bahwa mayoritas ART adopter ponsel
bekerja di sektor pertanian yakni sebesar 49,57 persen. Menurut jenis kelaminnya,
persentase ART laki-laki yang bekerja disektor ini sebesar 28,7 persen, atau
delapan persen lebih tinggi dibanding ART perempuan. Hal ini terjadi karena
ART laki-laki umumnya berperan sebagai kepala keluarga, sehingga mereka
memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk mencari nafkah bagi anggota
keluarganya.
Lebih lanjut diketahui bahwa ART yang bekerja sebagai pedagang relatif
tinggi (sekitar 16 persen). Hal ini dimungkinkan karena diantara rumahtangga
adopter ponsel terdapat mereka yang memiliki warung, dan sekaligus menjadi
pedagang pengumpul daun pisang serta gula aren, dua komoditi unggulan yang
dikembangkan masyarakat di desa Kemang.
Diantara mereka yang bekerja di sektor jasa, selain mereka bekerja sebagai
buruh non-tani, juga meliputi mereka yang bekerja selaku PNS, dan pensiunan
PNS. Buruh non-tani semuanya laki-laki, diantara mereka bekerja sebagai buruh
bangunan dan buruh angkut kayu. Mereka yang tergolong lainnya adalah mereka
yang bekerja selaku guru honorer dan tukang ojeg. Guru honorer tergolong relatif
banyak, karena dewasa ini di Desa Kemang telah memiliki sekolah menengah,
baik Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas
(SMA), dimana guru-gurunya terdiri atas warga di dua kampung tersebut. Tukang
ojeg juga relatif banyak, karena sebagaimana dikemukakan sebelumnya, desa ini
relatif terisolir, dimana jumlah angkutan pedesaan yang melayani trayek ke desa
ini relatif terbatas. Selainnya adalah ART perempuan yang bekerja sebagai
penjahit yang menerima sejumlah pelanggan baik dari dalam maupun luar desa.
Khusus mereka yang bekerja pada industri rumahtangga, mayoritas
dilakukan oleh ART perempuan, dimana jumlah mereka sebanyak dua setengah
kali lipatnya ART laki-laki. Hal ini dimungkinkan, sebagaimana dikemukakan
Mugniesyah dan Mizuno (2003), diantara warga mengembangkan industri gula
aren baik gula cetak maupun gula semut, yang diproduksi warga dari pohon aren
yang tumbuh di lahan “pasir” mereka.
41
5.1.4 Status Perkawinan Anggota Rumahtangga
Secara umum proporsi ART adopter ponsel yang berstatus kawin dan
belum kawin tidak berbeda jauh, dengan selisih persentase sekitar enam persen,
seperti terlihat pada Tabel 10 di bawah ini.
Tabel 10. Distribusi ART Adopter Ponsel menurut Kelompok Umur dan Status
Perkawinan, Tahun 2011 (dalam persen)
Kelompok Umur Kawin Belum Kawin
<16 0,00 39,78
16-19 0,00 8,92
>19 46,84 4,46
Total (persen) 46,84 53,16
Total (jumlah) 126 143
Menurut Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
diketahui bahwa batas usia pernikahan bagi laki-laki adalah jika sudah mencapai
umur 19 tahun dan bagi perempuan jika sudah mencapai umur 16 tahun, seperti
yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1). Hal menarik yang didapat dari data pada
Tabel 10 adalah bahwa tidak ditemukan ART adopter ponsel yang telah kawin
pada umur di bawah 16 tahun maupun 19 tahun. Ini artinya, meskipun
sebelumnya banyak temuan yang menggambarkan bahwa ART di perdesaan
cenderung melakukan pernikahan di usia muda, maka untuk saat sekarang
keadaan tersebut telah mengalami perubahan.
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa dari total ART yang berstatus kawin,
terdapat empat orang atau sekitar tiga persen ART yang telah berstatus
janda/duda. Mereka yang berstatus janda/duda adalah ART adopter ponsel yang
telah bercerai atau ditinggal meninggal oleh pasangannya. Janda/duda yang
ditinggal pasangannya meninggal dunia paling banyak dialami oleh ART pada
kelompok usia 65 tahun ke atas. Kondisi ini menunjukkan bahwa ART pada usia
lanjut lebih memilih untuk hidup sendiri daripada menikah kembali, meskipun
sebelumnya, dari hasil wawancara dan observasi banyak temuan ART yang
mengalami perceraian dan menikah kembali, bahkan lebih dari satu kali.
42
5.1.5 Tingkat Pendidikan Formal Anggota Rumahtangga
Pada Tabel 11 di bawah ini dikemukakan tingkat pendidikan formal ART
adopter ponsel, yang meliputi jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 11, pendidikan formal ART adopter ponsel
tergolong rendah, karena persentase tertinggi diantara mereka berpendidikan
tamatan SD/sederajat. Hal ini diduga karena adanya program wajib belajar
sembilan tahun dan tipikal masyarakat perdesaan di Indonesia yang pada
umumnya merasa sudah cukup dengan hanya mengenyam pendidikan hingga
tamat SD.
Tabel 11 Distribusi ART Adopter Ponsel menurut Tingkat Pendidikan Formal
dan Jenis Kelamin Tahun 2011 (dalam persen)
Tingkat Pendidikan Formal Laki-laki Perempuan Total
Bersekolah di SD/sederajat 9,29 12,83 22,12
Tamat SD/sederajat 28,32 25,22 53,54
Bersekolah di SLTP/sederajat 1,33 3,10 4,42
Tamat SLTP/sederajat 3,98 1,77 5,75
Bersekolah di SMA/sederajat 1,77 2,21 3,98
Tamat SMA/sederajat 2,65 2,65 5,31
Perguruan Tinggi 2,65 2,21 4,87
Total (persen) 50,00 50,00 100,00
Total (jumlah) 113 113 226
Berdasar data pada tabel di atas, diketahui bahwa ART perempuan dan
ART laki-laki yang bersekolah memiliki persentase yang sama. Jika dilihat dari
perbandingan tingkat pendidikan formal dan jenis kelamin, pada jenjang sekolah
dasar, baik yang masih bersekolah maupun yang sudah tamat, persentase ART
perempuan (38,05 persen) cenderung sedikit lebih tinggi dibanding ART laki-laki
(37,61 persen). Begitu juga pada jenjang sekolah menengah atas, dimana
persentase ART perempuan sedikit lebih tinggi dibanding ART laki-laki. Namun,
pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan perguruan tinggi,
persentase ART perempuan sedikit lebih rendah dibanding ART laki-laki.
Hal yang menarik adalah bahwa pada persentase ART perempuan yang
sedang bersekolah, baik di jenjang pendidikan SD, SLTP maupun SMA
43
menunjukkan persentase yang lebih tinggi dibanding ART laki-laki. Data tersebut
menunjukkan bahwa nilai-nilai yang menganggap anak laki-laki lebih
didahulukan dalam mendapatkan pendidikan, tidak terjadi lagi pada masa
sekarang. Kondisi ini diduga dapat terjadi karena zaman yang sudah semakin
modern, sehingga pola pikir masyarakat pun semakin maju.
5.2 Karakteristik Rumahtangga Adopter Ponsel
5.2.1 Kepemilikan Benda Berharga
Kepemilikan benda berharga di kalangan rumahtangga adopter ponsel
mencakup kepemilikan atas ternak, alat transportasi, dan alat-alat atau perabot
rumahtangga.
Terdapat empat jenis ternak yang dimiliki oleh rumahtangga adopter
ponsel, yakni kambing, domba, ayam dan bebek. Tidak satu rumahtanggapun
yang memiliki ternak besar, seperti sapi dan kerbau. Sebagaimana dapat dilihat
pada Tabel 12, rata-rata kepemilikan ternak ayam menunjukkan jumlah tertinggi,
sementara pada ternak domba menunjukkan jumlah paling rendah. Hal ini terkait
dengan lahan pekarangan yang sempit di kedua kampung. Ternak domba dan
kambing memerlukan kandang dan lahan pekarangan yang cukup luas dalam
perawatannya. Begitu juga untuk ternak besar, seperti sapi dan kerbau. Oleh
karena itu, rumahtangga adopter ponsel mayoritas berternak ayam dan bebek,
yang dalam perawatannya tidak memerlukan kandang khusus serta lahan
pekarangan yang luas.
Tabel 12 Rata-rata Kepemilikan Ternak pada Rumahtangga Adopter Ponsel di
Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen)
Jenis Ternak Jumlah
(ekor)
Rata-rata kepemilikan per
rumahtangga Kambing 18 0,31 Domba 12 0,21 Ayam 160 2,76 Bebek 53 0,91 Selanjutnya pada Tabel 13 disajikan data berkenaan benda berharga yang
dimiliki rumahtangga adopter ponsel. Diketahui bahwa persentase tertinggi ada
pada kepemilikan ponsel (HP) dengan rata-rata sebesar 1,8 per rumahtangga.
44
Kepemilikan HP ini paling banyak dibandingkan barang teknologi lainnya, karena
masyarakat telah memposisikan HP sebagai kebutuhan primer dalam
kehidupannya. Selain itu, kepemilikan HP dalam satu rumahtangga sangat
dimungkinkan lebih dari satu buah dibanding dengan teknologi lainnya.
Tabel 13 Rata-rata Kepemilikan Benda Teknologi Rumahtangga Adopter Ponsel
di Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen)
Kepemilikan Teknologi
Rumahtangga Jumlah (unit)
Rata-rata kepemilikan per
rumahtangga
Mobil 5 0.09
Motor 28 0.48
Sepeda 30 0.52
TV Berwarna 53 0.91
Ponsel 105 1.81
Radio/Kaset 30 0.52
DVD/VCD 26 0.45
Kulkas 21 0.36
Penanak Nasi Elektrik (Rice
Cooker) 40 0.69
Dispenser 17 0.29
Mesin Cuci 2 0.03
Komputer/ Laptop 3 0.05
Lainnya 8 0.14
Kemudian rata-rata kepemilikan benda teknologi rumahtangga lainnya
secara berturut-turut adalah televisi, rice cooker, radio/kaset, sepeda, motor,
DVD/VCD, kulkas, dispenser, mobil, komputer dan yang terakhir adalah mesin
cuci. Pada kategori lainnya, terdapat kepemilikan benda-benda teknologi yang
khas hanya dimiliki oleh satu rumahtangga, seperti play station, modem, printer,
mesin fotocopy, mesin jahit, mesin obras, mesin penggiling, dan blender.
5.2.1 Luas Lahan Usahatani
Merujuk pada data sekunder (Mugniesyah dkk. 2007), luas lahan (sawah,
kebun pasir, pekarangan dan kolam) yang dikuasai rumahtangga adopter ponsel
berkisar antara 0,07 ha sampai 8,76 ha, dengan rata-rata penguasaan lahan seluas
45
0,84 ha. Selanjutnya, dengan merujuk pada kriteria stratifikasi penguasaan lahan
menurut Sayogyo (1990), diketahui bahwa mayoritas rumahtangga adopter
tergolong lapisan atas, yaitu pada kisaran > 0,5 ha sebanyak 32,20 persen.
Tabel 14 Distribusi Rumahtangga Adopter Ponsel Menurut Penguasaan Lahan
Usahatani di Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2011 (dalam jumlah
dan persen)
Kategori Luas Lahan (Ha) Jumlah (jiwa) Persen (%)
Tidak berlahan (tunakisma) 19 32,20
<0,25 6 10,17
0,25-0,5 15 25,42
>0,5 19 32,20
Total 59 100
Namun demikian, lahan yang dikuasai rumahtangga adopter ponsel yang
paling dominan adalah berupa kebun pasir, sebesar 88,87 persen, sedangkan lahan
sawah hanya 10,97 persen saja. Lebih luasnya penguasaan kebun pasir sesuai
dengan kondisi Desa Kemang, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3. Dengan
demikian, meskipun tergolong strata lapisan atas, dimungkinkan tidak berkorelasi
positif dengan tingkat sosial ekonomi mereka, sebagaimana tercermin dari tingkat
pendidikan ART serta kepemilikan ternak dan benda berharga sebagaimana
dikemukakan di atas.
46
BAB VI
UNSUR-UNSUR DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER
Merujuk pada definisi difusi inovasi menurut Rogers dan Shoemaker
(1971), terdapat empat unsur dalam proses difusi, yaitu: (1) inovasi, (2) saluran
komunikasi, (3) waktu, dan (4) sistem sosial. Sehubungan dengan itu, bab ini
akan menjelaskan keempat unsur difusi tersebut, diikuti kemudian dengan
penjelasan karakteristik adopter dan laju adopsi inovasi ponsel di Kampung Beber
dan Kampung Cikupa.
6.1 Proses Difusi Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa
6.1.1 Inovasi Ponsel
Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, inovasi adalah
suatu gagasan, praktek atau objek yang dipandang sebagai baru oleh individu.
Inovasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ponsel. Pada umumnya,
khususnya bagi masyarakat perkotaan, ponsel bukan merupakan suatu hal yang
baru. Namun, bagi sebagian besar masyarakat perdesaan, terutama desa-desa yang
terpencil, ponsel merupakan hal yang masih baru. Begitupun bagi masyarakat di
Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, ponsel dianggap
sebagai sebuah inovasi. Hal tersebut dikarenakan, sebagian besar penduduk di
Desa Kemang dapat mengakses ponsel baru setelah berdirinya BTS XL pada
tahun 2008, meskipun sebelumnya mereka telah mendengar/mengenal ponsel.
Terkait hal tersebut, sekitar 93 persen adopter menggunakan kartu XL sebagai
provider ponsel mereka.
Adapun merek ponsel yang sebagian besar digunakan oleh adopter adalah
Nokia, yaitu sekitar 76 persen, sementara sisanya adalah ponsel-ponsel produksi
Cina (MITO, VISIO, CROSS, dan NEXIAN). Harga ponsel yang dibeli adopter
berkisar antara Rp 100.000,00 sampai Rp 2.000.000,00 , dengan harga rata-rata
Rp 570.000,00. Secara umum, jenis fitur/fasilitas yang tersedia di dalam ponsel
adopter bervariasi, tidak hanya dapat digunakan untuk telepon dan SMS, namun
sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti kamera, video, radio, MP3
player, game, dan internet.
47
Sekitar 48 persen adopter, belum pernah mengganti ponselnya dari awal
pembelian sampai penelitian dilakukan. Namun demikian, terdapat pula adopter
yang telah mengganti ponselnya satu sampai dengan empat kali, dengan
persentase berturut-turut sekitar 16 persen (sekali ganti ponsel), 25,33 persen (dua
kali ganti ponsel), 6,67 persen (tiga kali ganti ponsel), dan 5,33 persen (empat kali
ganti ponsel). Hal tersebut, dilakukan karena ponsel yang digunakan adopter rusak
atau hilang. Alasan lainnya adalah mengikuti perkembangan model ponsel yang
semakin canggih dan modern, serta ada yang sengaja menjual kembali ponselnya
dan menggantinya dengan harga yang lebih murah, khususnya karena masalah
ekonomi.
6.1.2 Saluran Komunikasi
Mengacu pada Rogers dan Shoemaker (1971), saluran komunikasi adalah
cara-cara melalui mana sebuah pesan diperoleh penerima dari sumber, yang
dibedakan ke dalam saluran komunikasi interpersonal dan media massa. Tabel 15
di bawah ini menjelaskan tentang sejumlah sumber informasi inovasi ponsel di
kalangan adopter.
Ditinjau dari penyebarannya, informasi berkenaan inovasi ponsel lebih
banyak diterima adopter dari saluran komunikasi interpersonal, yaitu kelurga inti,
teman, dan/atau kombinasi keduanya dengan persentase sekitar 43 persen. Namun
demikian, secara umum persentase tertinggi sumber informasi inovasi ponsel bagi
para adopter di kedua kampung berasal dari teman serta kombinasi antara teman,
media elektronik, dan media cetak dengan persentase yang hampir sama sekitar 24
persen. Sementara, jika dilihat per kampung, sumber informasi inovasi ponsel di
Kampung Beber mayoritas berasal dari kombinasi antara teman, media elektronik,
dan media cetak, sedangkan di Kampung Cikupa mayoritas berasal dari teman
saja. Hal ini karena tingkat status sosial ekonomi adopter di Kampung Beber lebih
tinggi dibanding dengan adopter di Kampung Cikupa, sehingga kepemilikan
media massa elektronik lebih banyak dimiliki oleh adopter di Kampung Beber.
48
Tabel 15 Distribusi Adopter menurut Sumber Informasi tentang Inovasi Ponsel di
Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2011 (dalam persen)
Sumber Informasi Beber Cikupa Total
Keluarga Inti 5,33 6,67 12,00
Teman 12,00 12,00 24,00
Media Elektronik 1,33 1,33 2,67
Media Cetak 0,00 1,33 1,33
Keluarga Inti+Teman 5,33 1,33 6,67
Keluarga Inti+Teman+Media Elektronik 4,00 10,67 14,67
Keluarga Inti+Teman+Media
Elektronik+Media Cetak 1,33 0,00 1,33
Keluarga Inti+Media Elektronik 10,67 1,33 12,00
Teman +Media Elektronik+Media Cetak 15,99 8,00 23,99
Media Elektronik+Media Cetak 0,00 1,33 1,33
Total (persen) 56,00 44,00 100,00
Total (jumlah) 42 33 75
Selanjutnya, jika dilihat dari akumulasi saluran komunikasi interpersonal
dan media massa, data di atas menunjukkan bahwa saluran komunikasi
interpersonal lebih dominan dibanding saluran media massa. Hal ini sesuai dengan
pendapat Rogers dan Shoemaker yang menyatakan bahwa saluran komunikasi
interpersonal lebih efektif membangun dan mengubah sikap, sementara saluran
media massa efektif mengubah pengetahuan tentang inovasi.
6.1.3 Waktu
Inovasi ponsel telah dikenal oleh masyarakat di Kampung Beber dan
Cikupa sejak sekitar 15 tahun lalu, yang ditandai oleh kepemilikan salah satu
warga akan ponsel yang pertama kali pada tahun 1995. Warga tersebut adalah
mereka yang berhubungan dengan orang di luar desa khususnya di perkotaan,
seperti pengusaha. Tabel 16 di bawah ini menunjukkan jumlah individu yang
mengadopsi inovasi ponsel setiap tahunnya di kedua kampung.
49
Tabel 16 Jumlah Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa menurut
Tahun Adopsinya (dalam persen)
Tahun menerapkan inovasi ponsel Beber Cikupa Total
1995 1 0 1
1999 0 1 1
2000 3 1 4
2003 0 1 1
2005 5 1 7
2006 3 0 3
2007 4 15 19
2008 16 3 19
2009 5 11 16
2010 15 7 21
2011 4 4 8
Total (persen) 56 44 100
Total (jumlah) 42 44 75
Jika dilihat dari penyebarannya di tiap kampung, data pada Tabel 16
menunjukkan warga yang pertama kali mengadopsi ponsel berasal dari Kampung
Beber. Selanjutnya warga di Kampung Cikupa mulai mengadopsi inovasi ponsel
meskipun persentasenya sangat rendah. Diketahui pula bahwa adopter ponsel di
kedua kampung meningkat sejak memasuki tahun 2005. Hal ini dikarenakan
munculnya ponsel dengan berbagai merek, tipe, dan harga, semakin
mempermudah akses individu terhadap ponsel. Di samping itu, peningkatan
jumlah adopter ponsel dikarenakan banyaknya masyarakat desa yang mulai
melakukan migrasi sirkuler2 ke perkotaan, baik untuk urusan pekerjaan atau
sekolah, kemudian mereka menggunakan ponsel di tempat perantauan.
Selanjutnya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada tahun
2008, tepatnya pada bulan Agustus, perusahaan XL mendirikan BTS di Desa
Kemang, yang letaknya di Kampung Beber. Kehadiran BTS ini telah membuka
akses masyarakat setempat terhadap jaringan ponsel dan kemudian memicu
masyarakat untuk menggunakan ponsel.
2 Menurut Zelinsky (1986) dalam Rusli (1995), sirkulasi atau migrasi sirkuler adalah berbagai
macam gerak penduduk yang biasanya berciri jangka pendek, repetitif, atau siklikal dan mempunyai
kesamaan dalam hal tidak adanya niat yang jelas untuk mengubah tempat tinggal permanaen. Sirkulasi
merupakan gerak “berselang” antara tempat tinggal dan tempat tujuan baik untuk bekerja maupun untuk
tujuan lain seperti sekolah.
50
6.1.4 Sistem Sosial
Difusi inovasi terjadi dalam suatu sistem sosial, karenanya struktur sosial
dalam sistem mempengaruhi pola-pola difusi inovasi. Selanjutnya, di dalam
struktur sosial tersebut terdapat peranan-peranan yang dimainkan oleh individu-
individu tertentu, khususnya pemuka pendapat (tokoh masyarakat) dan agen
perubah. Dalam konteks peranan tokoh masyarakat, dimungkinkan adanya
individu yang mengembangkan struktur komunikasi homofili dan heterofili.
Semakin homofili struktur komunikasi, semakin cepat laju adopsi, dan sebaliknya.
Tokoh masyarakat yang berperan penting dalam penyebaran inovasi
ponsel di Kampung Beber dan Cikupa adalah para pemilik lahan yang meyewakan
lahannya kepada perusahaan XL dan Telkomsel sebagai tempat berdirinya BTS,
karena mereka telah membuka akses masyarakat setempat terhadap jaringan
ponsel.
Salah seorang pemilik lahan di Kampung Cikupa yang lahannya disewa
oleh perusahaan XL adalah Bapak JLN, Pertama kali perusahaan XL masuk ke
Desa Kemang adalah untuk mencari lahan dimana terdapat titik sinyal. Namun,
yang datang ke desa bukanlah pihak langsung perusahaan, akan tetapi melalui
calo. Sebenarnya, titik sinyal itu berada di area Kantor Desa Kemang, akan tetapi
lahan tersebut milik pemerintah. Pihak perusahaan menyatakan malas jika harus
berurusan dengan pemerintah, karena prosedurnya yang rumit. Akhirnya, calo
yang mewakili perusahaan tersebut mencari lahan kosong yang berjarak sekitar
100 meter dari titik sinyal dan menemukan lahan sawah milik Bapak JLN..
Proses negosiasi pun dimulai antara calo dan Bapak JLN yang diwakili
oleh anaknya, Bapak HRL. Penawaran harga sewa tanah pertama adalah 75 juta
rupiah per lima belas tahun, akan tetapi pada saat penandatanganan perjanjian di
depan notaris, 24 Mei 2008, harga yang disepakati adalah 65 juta rupiah per lima
belas tahun. Hal itupun sampai saat ini masih menjadi misteri, namun diduga telah
terjadi kecurangan pada pihak perusahaan, karena tidak lama dari proses tersebut,
penanggungjawab dari pihak perusahaan dipecat dari pekerjaannya. Proses
perjanjian ini juga melibatkan pihak kecamatan dan desa. Setelah
penandatanganan perjanjian, pembangunan menara BTS pun dimulai. Tenaga
kerja yang digunakan adalah dari masyarakat setempat, akan tetapi untuk bagian
51
konstruksi tenaganya disiapkan dari perusahaan. Proses pembangunan pun
berjalan kurang lebih selama empat bulan, dari bulan Mei hingga Agustus 2008.
Selain itu, pihak perusahaan pun mengadakan sosialisasi akan bahaya-bahaya
yang mungkin ditimbulkan oleh menara BTS kepada warga masyarakat yang
berdomisili pada radius 60 meter dari wilayah menara BTS. Selanjutnya, kepada
mereka diberi uang kompensasi oleh perusahaan sebesar Rp 250.000,00 per jiwa.
Selain itu, kepada mereka perusahaan juga memberikan jaminan untuk mengganti
atau memperbaiki alat-alat elektronik milik mereka yang rusak akibat berdirinya
menara BTS tersebut. Untuk pemeliharaan menara BTS XL, perusahaan
menunjuk Bapak HRL dengan memberikan insentif setiap bulannya.
Sebagaimana diketahui, di Kampung Beber terdapat dua buah BTS, selain
BTS XL berdiri pula BTS Telkomsel yang didirikan di lahan milik Bapak HAS.
Proses negosiasi antara perusahaan Telkomsel dan Bapak HAS tidak jauh berbeda
dengan yang dilakukan antara perusahaan XL dan Bapak JLN. Lahan tersebut
dipilih karena titik sinyal Telkomsel berada tepat di lahan itu. Penawaran harga
sewa pada mulanya sebesar 70 juta rupiah per sepuluh tahun, akan tetapi pada
akhirnya harga sewa menjadi 60 juta rupiah per sepuluh tahun, karena sisa dana
yang sebesar 10 juta rupiah digunakan untuk insentif tim survei dan dana
kompensasi bagi warga masyarakat yang berdomisili di sekitar lahan yang akan
dijadikan tempat pembangunan BTS. Proses survei hingga pembangunan selesai
telah menghabiskan waktu sekitar tiga bulan, dari bulan Mei sampai dengan
Agustus 2010.
Selain berperan dalam menyewakan lahannya, Bapak HAS juga
merupakan tokoh masyarakat yang memiliki ponsel pertama kali di Kampung
Beber dan Cikupa. Beliau adalah seorang pengusaha daun pisang yang banyak
membantu masyarakat dalam pembangunan desa. Meskipun Bapak HAS
berpendidikan tamat Sekolah Dasar (SD), tetapi dia lebih terdedah terhadap media
massa, lebih kosmopolit karena lebih sering berkomunikasi dengan agen perubah
(perusahaan provider), dalam hal aksesibilitas, serta memiliki partisipasi sosial
yang lebih tinggi dibanding masyarakat lainnya dan lebih inovatif.
Secara umum, sebagaimana dijelaskan di atas, terdapat heterogenitas
karakteristik anggota sistim sosial di dua kampung, Beber dan Cikupa, namun
52
demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Mugniesyah (2007), sebagian besar
warga di dua kampung tersebut memiliki hubungan sistim kekerabatan yang kuat,
baik karena faktor genealogis (keturunan) maupun melalui sistim perkawinan.
Hasil studi Mugniesyah tersebut melaporkan bahwa dari total 125 anggota
rumahtangga di dua kampung tersebut di atas, terdapat 50,4 persen pasangan
suami isteri yang berasal dari kampung yang berbeda dan sekitar 16 persen
menikah dengan pasangan yang berasal dari kampung yang sama di Desa
Kemang.
6.2 Kurva Penerimaan dan Kategori Adopter Inovasi Ponsel di Kampung
Beber dan Cikupa
6.2.1 Kurva Penerimaan Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa
Sebagaimana dikutip Mugniesyah (2006), Rogers dan Shoemaker (1971)
menyatakan bahwa adanya variabel waktu dalam difusi inovasi memungkinkan
para peneliti menglasifikasikan kategori adopter dan membuat plot kurva difusi.
Dinyatakan oleh kedua ahli komunikasi tersebut, bahwa secara umum jika suatu
inovasi diintroduksikan kepada suatu sistem sosial, maka dengan berjalannya
waktu, kita akan menemukan bahwa jumlah orang yang mengadopsi inovasi akan
semakin bertambah banyak. Secara empiris -walaupun tidak semua hasil
penelitian demikian- diketahui bahwa jika pengadopsi (adopter) dalam suatu
periode waktu tertentu diplotkan menurut frekuensi akan membentuk suatu kurva
berbentuk genta (Bell-shape curve), sementara jika diplotkan secara kumulatif
akan menghasilkan kurva berbentuk S.
Gambar 3 di bawah ini menyajikan kurva penerimaan inovasi ponsel di
kalangan adopter, yang dibuat berdasar data pada Tabel 16 di atas.
53
Gambar 3 Kurva Akumulasi Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan
Cikupa pada Periode Tahun 1995-2011
Hasil penelitian yang dilakukan di Kampung Beber dan Cikupa
menunjukkan bahwa penerimaan inovasi ponsel menyerupai bentuk Kurva-S
(cumulative S-curve). Sebagaimana terihat pada gambar di atas, distribusi adopter
ponsel meningkat sangat lambat dari tahun 1995 sampai pada tahun 2007. Hal
tersebut dimungkinkan karena pada periode tersebut, akses adopter terhadap
ponsel masih sangat terbatas, salah satunya dari aspek jaringan ponsel. Di
samping itu, harga ponsel, kartu, dan pulsa masih relatif mahal di kala itu,
sedangkan secara umum adopter ponsel di kedua kampung tergolong miskin.
Selanjutnya, pada periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2010. terjadi
percepatan peningkatan adopter ponsel sampai maksimum –sampai penelitian
berlangsung- ketika hampir separuh dari individu-individu dalam sistem sosial
telah mengadopsi inovasi ponsel. Kondisi ini terjadi karena dipicu oleh hadirnya
BTS XL dan BTS Telkomsel yang telah membuka akses masyarakat setempat
terhadap jaringan ponsel yang memadai. Selain itu, semakin tahun, harga ponsel,
kartu, dan pulsa semakin dapat dijangkau oleh masyarakat.
1 2 6 7
14 17
36
55
71
92
100
0
20
40
60
80
100
120
1995 1999 2000 2003 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Ind
ivid
u y
an
g m
ener
ap
ka
n i
no
va
si p
on
sel
Tahun menerapkan inovasi ponsel
Persen
54
6.2.2 Kategori Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa
Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan adanya lima kategori
adopter dalam setiap sistem sosial yang ditentukan berdasarkan tingkat
keinovativannya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, tingkat keinovativan
adalah waktu (tahun) yang dibutuhkan individu sejak mendengar atau mengenal
inovasi ponsel sampai dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari-harinya.
Dengan mempertimbangkan kurun waktu sejak diintroduksikannya ponsel ke
warga masyarakat (tahun 1995) sampai dengan penelitian ini berlangsung (2011),
pengategorian adopter dalam penelitian ini ditetapkan sebagai berikut: (a)
inovator (innovator), adalah adopter inovasi ponsel pada periode tahun 1995-
1998, (b) Penganut Dini (early adopter), adalah adopter inovasi ponsel pada
periode tahun 1999-2001, (c) Penganut Dini Terbanyak (early majority), yakni
mereka yang mengadopsi ponsel pada periode tahun 2002-2004, (d) Penganut
Lambat Terbanyak (late majority), adalah adopter inovasi ponsel pada periode
2005-2007, dan (e) Penolak (laggards), yakni mereka yang mengadopsi inovasi
ponsel pada periode 2008-2011. Dengan kategori tersebut di atas, maka
didapatkan jumlah dan kategori golongan penerima inovasi ponsel di kedua
kampung seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 4 Kurva Kategori Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan
Kampung Cikupa pada Tahun 2011
1 5
1
29
64
0
10
20
30
40
50
60
70
Innovator Early
Adopter
Early
Majority
Late
Majority
Laggards
Ind
ivid
u y
an
g M
ener
ap
ka
n I
no
va
si
Po
nse
l
Kategori Adopter
persen
55
Kurva kategori adopter yang terbentuk pada Gambar 4 tidak membentuk
genta (Bell-shape curve), karena tidak mengikuti suatu sebaran normal, sehingga
tidak sejalan dengan asumsi bahwa jika suatu inovasi diperkenalkan kepada suatu
sistem sosial, maka dengan berjalannya waktu akan menemukan bahwa individu
yang mengadopsi inovasi akan semakin bertambah banyak. Hal ini dimungkinkan
karena belum semua warga di dua kampung disurvei, sebagaimana yang telah
dijelaskan pada sub-bab 3.4 tentang Kelemahan Penelitian.
Persentase pada kategori adopter innovator sebesar satu persen, lebih
rendah jika dibandingkan dengan acuan baku Rogers dan Shoemaker (1971), yaitu
2,5 persen. Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi nasional pada saat itu (tahun
1995-1998) sedang mengalami krisis moneter, dimana harga berbagai kebutuhan
pokok melonjak tajam. Kondisi tersebut berdampak pada keadaan perekonomian
masyarakat Desa Kemang yang semakin lemah. Harga ponsel pun saat itu masih
relatif mahal dan hanya terdapat di pusat-pusat kota, sehingga sebagian besar
masyarakat tidak mengenal ponsel, kecuali mereka yang tergolong kaya dan
berhubungan dengan orang-orang di luar desa.
Kategori adopter innovator merupakan golongan yang pertama
menerapkan inovasi ponsel dalam kehidupan sehari-harinya. Dia adalah seorang
pengusaha daun pisang setempat yang telah berhasil memenuhi kebutuhan para
konsumen daun pisang hingga ke luar provinsi. Dari total adopter di kedua
kampung, dia tergolong orang paling kaya dengan penguasaan lahan lebih dari
lima hektar dan kepemilikannya atas beberapa benda elektronik dan kendaraan
bermotor. Selanjutnya, pada golongan early adopter terjadi peningkatan
persentase adopter ponsel sekitar empat persen. Namun kategori ini bukan terdiri
dari tokoh masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Rogers dan Shoemaker
(1971). Mereka ini adalah pedagang dan PNS yang memiliki tingkat pendidikan
dan tingkat sosial ekonomi yang tinggi, serta berhubungan dengan orang di luar
desa. Kemudian, terjadi penurunan persentase adopter pada kategori early
majority yang diduga disebabkan oleh kemampuan adopter ponsel pada saat itu,
baik secara finansial maupun informasi terkait ponsel masih sangat terbatas.
Selanjutnya, pada kategori late majority dan laggards, terjadi peningkatan
persentase adopter yang tinggi. Dimungkinkan hal ini terjadi karena, beberapa
56
dari mereka melakukan migrasi ke luar desa, baik untuk urusan pekerjaan maupun
sekolah. Kondisi tersebut didukung oleh masuknya Sekolah Menengah Pertama
dan Sekolah Menengah Atas di Desa Kemang, yang memungkinkan para pelajar
SMP dan SMA memiliki informasi tentang inovasi ponsel dari peer group
mereka. Di samping itu, sarana dan prasarana di Desa Kemang semakin memadai,
dengan dibangunnya BTS yang telah membuka akses adopter ponsel akan
jaringan ponsel itu sendiri. Ponsel dengan berbagai merek dan harga, dari yang
murah hingga yang mahal juga sudah dapat diakses oleh para adopter, sehingga
adopter dengan kondisi ekonomi yang rendah pun dapat menjangkaunya
Setiap kategori adopter memiliki ciri-ciri khusus dan berbeda satu sama
lain, kecuali kategori adopter early majority, late majority, dan laggards yang
memiliki kesamaan baik status sosial ekonomi, pola hubungan maupun sumber
informasi inovasi ponsel, seperti yang terlihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Ciri-ciri Kategori Adopter Inovasi Ponsel Dilihat Menurut Kategori
Penerima di Kampung Beber dan Kampung Cikupa Tahun 2011
Ciri-ciri
Kategori Adopter Inovasi Ponsel
Innovator Early
Adopter
Early
Majority
Late
Majority Laggards
Tahun
Mengadopsi
inovasi ponsel
1995-1998 1999-2001 2002-2004 2005-2007 2008-2011
Status sosial
dan ekonomi
tinggi sedang sedang sedang sedang
Pola hubungan
komunikasi
lebih
kosmopolit
dari
kategori lain
lebih lokalit
daripada
innovator,
lebih
kosmopolit
dari kategori
lainnya
lokalit lokalit lokalit
Sumber
informasi
inovasi ponsel
rekan bisnis
di perkotaan
rekan bisnis,
kerja, dan
atau sekolah
di perkotaan
rekan bisnis,
kerja, dan
atau sekolah
di perkotaan
keluarga,
teman
sebaya,
tetangga,
dan media
massa
keluarga,
teman
sebaya,
tetangga,
dan media
massa
Secara umum Rogers dan Shoemaker (1971) membuat generalisasi bahwa
kategori adopter innovator memiliki karakteristik pribadi (variabel pengaruh)
yang lebih tinggi dibanding kategori adopter early adopter dan kemudian diikuti
57
oleh kategori adopter lainnya. Berdasarkan Tabel 17 dan penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa kategori adopter inovasi ponsel di Kampung Beber dan
Kampung Cikupa sesuai dengan generalisasi Rogers dan Shoemaker, karena pada
kategori innovator, status sosial ekonomi berada pada kategori tinggi –yang
dilihat dari penguasaan lahan dan kepemilikan sejumlah benda berharga-, pola
hubungan lebih kosmopolit, dan sumber informasi inovasi ponsel berasal dari
rekan bisnis di perkotaan. Berbeda dengan kategori adopter early adopter, dimana
status sosial ekonominya berada pada kategori sedang, pola hubungannya lebih
lokalit daripada innovator akan tetapi lebih kosmopolit dibanding kategori adopter
lain, dan sumber informasi inovasi ponsel berasal dari rekan bisnis, kerja dan atau
sekolah di perkotaan. Sama halnya dengan kategori early adopter, pada kategori
early majority, late majority, dan laggards status sosial ekonominya berada pada
kategori sedang, namun pola hubungannya lokalit, dan sumber informasi inovasi
ponsel memiliki kesamaan, yaitu: keluarga, teman sebaya, tetangga, dan media
massa. Kecuali pada kategori early majority sumber informasi inovasi ponselnya
sama dengan pada kategori early adopter.
6.3 Laju Adopsi Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa
Sebagaimana dikemukakan Rogers dan Shoemaker (1971), laju adopsi
adalah kecepatan relatif dimana suatu inovasi diadopsi oleh anggota-anggota suatu
sistem sosial. Laju adopsi ini diukur sebagai jumlah adopter inovasi dalam suatu
sistem sosial pada periode waktu tertentu. Tabel 18 di bawah ini menyajikan data
adopter di Kampung Beber dan Kampung Cikupa.
Tabel 18 Laju Adopsi Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa
pada Tahun 2011
Kampung
Jumlah
Rumahtangga
Adopter Ponsel
Total
Rumahtangga
Laju Adopsi Ponsel
(dalam persen)
Beber 33 118 28
Cikupa 25 150 17
Data pada Tabel 18 menunjukkan bahwa laju adopsi di kedua kampung
rendah, akan tetapi laju adopsi di Kampung Beber lebih tinggi sekitar 11 persen
dibanding adopter yang berada di Kampung Cikupa. Hal ini disebabkan karena
58
Kampung Beber merupakan pusat kegiatan pemerintahan dan perdagangan di
Desa Kemang, di mana warga masyarakat yang bekerja sebagai PNS dan
pensiunan PNS serta pedagang pengumpul kelas desa berlokasi. sehingga
masyarakatnya diduga lebih terdedah akan berbagai informasi. Selain itu,
masyarakat di Kampung Beber sebagian besar berstatus sosial ekonomi menengah
sampai tinggi. Akses masyarakat terhadap jaringan ponsel pun lebih terbuka,
karena letak BTS XL dan BTS Telkomsel dekat dengan kampung ini. Selanjutnya,
Kampung Cikupa memiliki laju adopsi yang lebih rendah diduga karena sebagian
besar masyarakatnya berstatus sosial ekonomi menengah ke bawah dan wilayah
kampung ini cukup padat penduduk.
59
BAB VII
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT
KEINOVATIVAN DAN LAJU ADOPSI INOVASI TELEPON SELULER
Bab ini mengemukakan deskripsi serta hasil uji statistik atas sejumlah
hipotesis berkenaan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat
keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel yang meliputi: karakteristik inovasi
ponsel, tipe PK inovasi ponsel, saluran komunikasi, karakteristik sistem sosial,
promosi oleh agen perubah dan karakteristik individu.
7.1 Hubungan antara Karakteristik Inovasi Ponsel dengan Tingkat
Keinovativan dan Laju Adopsi
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa dalam penelitian ini diduga
terdapat hubungan positif antara variabel-variabel pengaruh pada karakteristik
inovasi ponsel –kecuali pada Tingkat Kerumitan dengan Tingkat Keinovativan
dan Laju adopsi. Namun demikian, untuk variabel Tingkat Kemungkinan Dicoba
tidak dapat dilihat hubungannya dengan kedua variabel terpengaruh dalam
penelitian ini, karena data tentang hal tersebut tergolong homogen. Sebagaimana
dikemukakan di depan, hal ini terjadi karena ponsel sudah sangat mudah
dicobakan di Desa Kemang, baik dari ketersediaan jaringan ponsel (adanya 2
BTS), infrastruktur listrik, maupun agen penjual pulsa.
Data berkenaan hubungan antara empat variabel pengaruh pada
karakteristik inovasi ponsel dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi
ponsel di dua kampung di Desa Kemang disajikan pada Tabel 19. Adapun data
pendukung berkenaan semua variabel pengaruh dan terpengaruh dalam penelitian
ini, khususnya menurut tiga kriteria sebagaimana dikemukakan dalam definisi
operasional serta parameter statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 3.
60
Tabel 19 Hubungan antara Karakteristik Inovasi Ponsel dengan Tingkat
Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen) Variabel-
variabel Karakteristik
Inovasi
Ponsel
Tingkat Keinovativan (Y1)
Total
Laju Adopsi
(Y2) Total
Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi
Tingkat Keuntungan Relatif (X1)
Rendah 5,33 6,67 0,00 12,00 4,00 8,00 12,00
Sedang 21,33 33,33 5,33 60,00 33,33 26,67 60,00
Tinggi 5,33 16,00 6,67 28,00 6,67 21,33 28,00
Total 32,00 56,00 12,00 100,0 44,00 56,00 100,0
Tingkat Kesesuaian (X2)
Rendah 5,33 8,00 0,00 13,33 4,00 9,33 13,33
Sedang 8,00 17,33 4,00 29,33 10,67 18,67 29,33
Tinggi 18,67 30,67 8,00 57,33 29,33 28,00 57,33
Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00 100,00
Tingkat Kerumitan (X3)
Rendah 17,33 34,67 5,33 57,33 26,67 30,67 57,33
Sedang 10,67 14,67 2,67 28,00 10,67 17,33 28,00
Tinggi 4,00 6,67 4,00 14,67 6,67 8,00 14,67
Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00 100,00
Tingkat Kemungkinan Diamati (X5)
Rendah 9,33 9,33 0,00 18,67 10,67 8,00 18,67
Sedang 9,33 18,67 5,33 33,33 20,00 13,33 33,33
Tinggi 13,33 28,00 6,67 48,00 13,33 34,67 48,00
Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00 100,00
Berdasarkan data pada Tabel 19 di atas diketahui bahwa secara umum
mayoritas Tingkat Keinovativan adopter ponsel di dua kampung berada pada
kategori sedang, sementara Laju Adopsinya tergolong tinggi, dengan persentase
yang sama untuk kedua variabel terpengaruh tersebut (56 persen). Data pada tabel
di atas memperlihatkan bahwa mayoritas adopter menyatakan bahwa tingkat
kesesuaian dan tingkat kemungkinan diamati inovasi ponsel tergolong tinggi,
dengan persentase berturut-turut sekitar 57 persen dan 48 persen. Sebaliknya,
dalam hal tingkat kerumitan, mayoritas menganggapnya tergolong rendah (57
persen). Namun demikian, adopter yang menyatakan bahwa keuntungan relatif
mengadopsi ponsel tergolong sedang dan tinggi (88 persen). Kondisi ini
mendukung hasil uji korelasi rank Spearman dari empat variabel pengaruh
61
tersebut dengan Tingkat Keinovativan sebagaimana disajikan pada Lampiran 4.
Pada Lampiran 4 diketahui Tingkat Keinovativan berhubungan nyata dengan
Tingkat Keuntungan Relatif dengan nilai rs= 0,249 pada taraf α= 0,05; sedangkan
Tingkat Kemungkinan Diamati (rs =0,157) dan Tingkat Kerumitan (rs= 0,040)
berhubungan nyata dengan Tingkat Keinovativan berturut-turut pada taraf α= 0,10
dan α= 0,30. Dengan perkataan lain, merujuk pada Purnaningsih (2006), hal
tersebut berarti dengan tingkat signifikansi sebesar 0,05 variabel Tingkat
Keuntungan Relatif dianggap berhubungan dengan Tingkat Keinovativan. Adapun
Tingkat Kemungkinan Diamati (α= 0,10) dan Tingkat Kerumitan (α= 0,30)
berturut-turut dianggap cukup berhubungan dan kurang baik berhubungan dengan
Tingkat Keinovativan.
Dalam hal Laju Adopsi data pada Lampiran 4 memperlihatkan hasil uji
korelasi rank Spearman yang menunjukkan bahwa Tingkat Kemungkinan Diamati
(rs= 0,289) berhubungan nyata dengan Laju Adopsi pada taraf α= 0,05, sedangkan
Tingkat Keuntungan Relatif (rs= 0,162) dan Tingkat Kesesuaian (rs= -0,172)
berhubungan nyata dengan Laju Adopsi pada taraf α= 0,10. Hanya Tingkat
Kerumitan (rs= 0,045) yang berhubungan dengan Laju Adopsi pada taraf α >
0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), dapat diartikan bahwa Tingkat
Kemungkinan Diamati dengan signifikansi 0,05 dianggap berhubungan dengan
Laju Adopsi. Selanjutnya, variabel-variabel dengan tingkat signifikansi 0,10,
yakni Tingkat Keuntungan Relatif dan Tingkat Kesesuaian dianggap cukup
berhubungan dengan Laju Adopsi. Adapun Tingkat Kerumitan dengan
signifikansi lebih dari 0,30 dianggap sangat tidak berhubungan dengan Laju
Adopsi.
7.2 Hubungan antara Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Ponsel
dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi
Tabel 20 menyajikan data berkenaan hubungan antara variabel Tipe PK
Inovasi Ponsel (X6) dengan Tingkat Keinovativan (Y1) dan Laju Adopsi (Y2).
Sebagaimana terlihat pada tabel tersebut, persentase mereka yang mengadopsi
ponsel karena pihak otoritas sangat rendah; karena mayoritas diantara mereka
memutuskan mengadopsi ponsel atas dasar keputusan kolektif diantara keluarga
inti mereka, diikuti oleh keputusan yang opsional. Sebagaimana telah
62
dikemukakan sebelumnya, inovasi ponsel bukan inovasi yang diintroduksikan
melalui program pemerintah, sehingga Tipe PK Inovasi Ponsel pada kategori
otoritas tergolong rendah (menjadi minoritas).
Tabel 20 Hubungan antara Tipe PK Inovasi Ponsel dengan Tingkat Keinovativan
dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen)
Tipe PK Inovasi
Ponsel (X6)
Tingkat Keinovativan (Y1) Total
Laju Adopsi (Y2) Total
Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi
Otoritas 0,00 1,33 0,00 1,33 1,33 0,00 1,33
Kolektif 20,00 37,33 2,67 60,00 25,33 34,67 60,00
Opsional 12,00 17,33 9,33 38,67 17,33 21,33 38,67
Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00 100,00
Berdasar data pada tabel di atas, diketahui bahwa Tipe PK Inovasi Ponsel
di kalangan adopter ponsel mayoritas tergolong Tipe PK Kolektif, diikuti oleh
Tipe PK Opsional. Hal ini tampaknya berhubungan dengan fakta bahwa mereka
dengan PK Inovasi tipe kolektif terdiri atas adopter yang tidak bekerja, yakni
pelajar dan pekerja keluarga yang memerlukan persetujuan keluarga inti untuk
mengadopsi ponsel, sementara pada mereka dengan Tipe PK opsional sebagian
besar adalah kepala keluarga yang bekerja sebagai PNS, petani dan pedagang.
Hasil uji statistik menunjukkan hubungan Tipe PK Inovasi Ponsel (rs=
0,131) dengan Tingkat Keinovativan menunjukkan hubungan positif pada taraf α=
0,20. Sementara, Tipe PK Inovasi Ponsel (rs= 0,006) berhubungan dengan Laju
Adopsi pada taraf α> 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal
tersebut berarti bahwa Tipe PK Inovasi Ponsel dianggap kurang baik berhubungan
dengan Tingkat Keinovativan dan sangat tidak baik berhubungan dengan Laju
Adopsi.
7.3 Hubungan antara Saluran Komunikasi dengan Tingkat Keinovativan
dan Laju Adopsi
Diduga terdapat hubungan postif antara variabel pada saluran komunikasi,
yaitu Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel (X7) dengan Tingkat
Keinovativan (Y1) dan Laju Adopsi (Y2). Tabel 21 memperlihatkan data
berkenaan hubungan antar variabel tersebut di atas.
63
Tabel 21 Hubungan antara Saluran Komunikasi dengan Tingkat Keinovativan
dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen)
Tingkat
Keragaman
Sumber
Informasi (X7)
Tingkat Keinovativan (Y1)
Total
Laju Adopsi (Y2)
Total Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi
Rendah 10,67 16,00 6,67 33,33 16,00 17,33 33,33
Sedang 13,33 22,67 4,00 40,00 14,67 25,33 40,00
Tinggi 8,00 17,33 1,33 26,67 13,33 13,33 26,67
Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00 100,00
Berdasar data tabel di atas, dapat dilihat bahwa Tingkat Keragaman
Sumber Informasi inovasi ponsel bagi adopter ponsel terdistribusi pada ketiga
kelas, meskipun persentase tertinggi berada pada kategori sedang. Sementara itu,
jika dilihat dari hasil uji statistik, Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi
Ponsel (rs= -0,067) berhubungan nyata dengan Tingkat Keinovativan pada taraf
α= 0,30 dan berhubungan dengan Laju Adopsi pada taraf α> 0,30 dengan nilai rs=
-0,003. Dengan perkataan lain, merujuk pada Purnaningsih (2006), Tingkat
Keragaman Sumber Informasi dianggap kurang baik berhubungan dengan Tingkat
Keinovativan dan sangat tidak baik berhubungan dengan Laju Adopsi. Hal
tersebut dimungkinkan karena, sebagian besar masyarakat di kedua kampung
membutuhkan waktu dari mulai mendengar hingga memutuskan untuk
mengadopsi ponsel. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kondisi ekonomi
adopter ponsel di kedua kampung tergolong menengah ke bawah, sehingga
apapun sumber informasinya, tidak berhubungan dengan Tingkat Keinovatifan
dan Laju Adopsi ponsel.
7.4 Hubungan antara Karakteristik Sistem Sosial dengan Tingkat
Keinovativan dan Laju Adopsi
Salah satu faktor yang diduga berhubungan positif dengan kedua variabel
terpengaruh (Y1 dan Y2) adalah variabel-variabel pengaruh pada karakteristik
sistem sosial, yakni Tingkat Ketaatan Individu (X8) dan Tingkat Integrasi
Individu (X9). Data berkenaan dua variabel pengaruh tersebut disajikan pada
Tabel 22 di bawah ini.
64
Tabel 22 Hubungan antara Karakteristik Sistem Sosial dengan Tingkat
Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen)
Variabel-variabel
Karakteristik Sistem
Sosial
Tingkat Keinovativan (Y1) Total
Laju Adopsi (Y2) Total
Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi
Tingkat Ketaatan Individu (X8)
Rendah 6,67 9,33 4,00 20,00 6,67 13,33 20,00
Sedang 21,33 41,33 6,67 69,33 29,33 40,00 69,33
Tinggi 4,00 5,33 1,33 10,67 8,00 2,67 10,67
Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00 100,00
Tingkat Integrasi Individu (X9)
Rendah 30,67 42,67 8,00 81,33 36,00 45,33 81,33
Sedang 1,33 12,00 2,67 16,00 8,00 8,00 16,00
Tinggi 0,00 1,33 1,33 2,67 0,00 2,67 2,67
Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00 100,00
Tabel 22 menunjukkan bahwa mayoritas adopter ponsel memiliki Tingkat
Ketaatan Individu dan Tingkat Integrasi Individu yang berturut-turut tergolong
sedang dan rendah. Kondisi ini mendukung hasil uji korelasi rank Spearman pada
Lampiran 4 yang menunjukkan bahwa Tingkat Ketaatan Individu (rs= -0,048)
berhubungan dengan Tingkat Keinovativan pada taraf α> 0,30. Lain halnya
dengan Tingkat Integrasi Individu (rs= 0,270) yang berhubungan dengan Tingkat
Keinovativan pada taraf α= 0,05. Dengan demikian, merujuk pada Purnaningsih
(2006), Tingkat Ketaatan Individu tidak baik berhubungan dengan Tingkat
Keinovativan. Hal ini diduga karena secara umum, adopter ponsel , masih tetap
berkomunikasi secara interpersonal, khususnya dengan sesama anggota
rumahtangga. Rata-rata ponsel hanya digunakan untuk berkomunikasi dengan
saudara, kerabat, dan atau teman yang jaraknya berjauhan dari tempat mereka
tinggal.
Adapun dua variabel karakteristik sistem sosial, yakni Tingkat Ketaatan
Individu (rs= -0,196) berhubungan nyata dengan Laju Adopsi pada taraf α= 0,05
dan Tingkat Integrasi Individu (rs= 0,022) berhubungan dengan Laju Adopsi
pada taraf α> 0,30. Dengan merujuk Purnaningsih (2006), hal tersebut
menggambarkan bahwa Tingkat Ketaatan Individu berhubungan dan signifikan
terhadap Laju Adopsi, sedangkan Tingkat Integrasi Individu tidak baik
65
berhubungan dan sangat tidak signifikan terhadap Laju Adopsi. Hal ini diduga
karena mayoritas adopter ponsel tidak aktif dalam kelompok /organisasi
kemasyarakatan di desa.
7.5 Hubungan antara Promosi oleh Agen Perubah dengan Tingkat
Keinovativan dan Laju Adopsi
Faktor lainnya yang diduga berhubungan dengan Tingkat Keinovativan
dan Laju Adopsi adalah promosi oleh agen perubah. Adapun variabel pada
promosi oleh agen perubah dalam penelitian ini adalah Frekuensi Pertemuan
dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel. Berikut ini disajikan Tabel 23 berkenaan
hubungan Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel dengan kedua
variabel terpengaruh.
Tabel 23 Hubungan antara Promosi oleh Agen Perubah dengan Tingkat
Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen)
Frekuensi
Pertemuan dengan
Agen Penjual/Jasa
Ponsel (X10)
Tingkat Keinovativan (Y1)
Total
Laju Adopsi (Y2)
Total Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi
Rendah 25,33 40,00 9,33 74,67 38,67 36,00 74,67
Sedang 2,67 8,00 1,33 12,00 4,00 8,00 12,00
Tinggi 4,00 8,00 1,33 13,33 1,33 12,00 13,33
Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00 100,00
Berdasar tabel di atas, Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa
Ponsel mayoritas berada pada kategori rendah, yaitu sekitar 75 persen. Hasil uji
statistik (Lampiran 4) memperlihatkan bahwa Frekuensi Pertemuan dengan Agen
Penjual/Jasa Ponsel (rs= 0,040) berhubungan dengan Tingkat Keinovativan pada
taraf α> 0,30. Merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti variabel
Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel dianggap tidak baik
berhubungan dan sangat tidak signifikan terhadap Tingkat Keinovativan. Hal ini
dikarenakan para agen penjual/ jasa ponsel, seperti penjual ponsel, penjual pulsa,
penjual aksesosris ponsel, dan tukang service ponsel, tidak aktif memberikan
informasi tentang ponsel. Dalam hal ini, justru individu adopter yang aktif
mencari informasi ketika membutuhkan jasa mereka, misalnya ketika
66
membutuhkan pulsa atau ketika ponsel yang digunakan mengalami kerusakan.
Sementara, variabel Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel (rs=
0,284) berhubungan nyata dengan Laju Adopsi pada taraf α= 0,05, yang berarti
sangat signifikan berhubungan dengan Laju Adopsi.
7.6 Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Tingkat
Keinovativan dan Laju Adopsi
Diduga terdapat hubungan positif antara variabel-variabel pengaruh pada
karakteristik individu, yakni Tingkat Pendidikan Formal, Pola Perilaku
Komunikasi, Tingkat Status Sosial Ekonomi, dan Tingkat Kebutuhan Individu
terhadap Inovasi Ponsel dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi. Tabel 24
memperlihatkan data berkenaan hubungan antar variabel tersebut.
Tabel 24 Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Tingkat Keinovativan
dan Laju Adopsi (dalam persen)
Variabel-variabel
Karakteristik
Individu
Tingkat Keinovativan (Y1) Total
Laju Adopsi (Y2) Total
Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi
Tingkat Pendidikan Formal (X11)
Rendah 20,00 34,67 2,67 57,33 29,33 28,00 57,33
Sedang 8,00 9,33 1,33 18,67 8,00 10,67 18,67
Tinggi 4,00 12,00 8,00 24,00 6,67 17,33 24,00
Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00 100,00
Pola Perilaku Komunikasi (X12)
Rendah 9,33 21,33 0,00 30,67 13,33 17,33 30,67
Sedang 18,67 24,00 5,33 48,00 21,33 26,67 48,00
Tinggi 4,00 10,67 6,67 21,33 9,33 12,00 21,33
Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00 100,00
Tingkat Status Sosial Ekonomi (X13)
Rendah 2,67 10,67 0,00 13,33 6,67 6,67 13,33
Sedang 28,00 36,00 8,00 72,00 36,00 36,00 72,00
Tinggi 1,33 9,33 4,00 14,67 1,33 13,33 14,67
Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00 100,00
Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel (X14)
Rendah 8,00 8,00 0,00 16,00 4,00 12,00 16,00
Sedang 8,00 14,67 0,00 22,67 12,00 10,67 22,67
Tinggi 16,00 33,33 12,00 61,33 28,00 33,33 61,33
Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00 100,00
67
Berdasarkan data pada Tabel 24 di atas, diketahui bahwa variabel Tingkat
Pendidikan Formal pada karakteristik individu adopter ponsel di kedua kampung
mayoritas tergolong rendah. Adapun variabel-variabel lain pada karakteristik
individu, yaitu Pola Perilaku Komunikasi dan Tingkat Status Sosial Ekonomi
mayoritas tergolong sedang, sedangkan Tingkat Kebutuhan Individu terhadap
Inovasi Ponsel tergolong tinggi.
Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 4) menunjukkan bahwa
Tingkat Pendidikan Formal (rs= 0,233), Pola Perilaku Komunikasi (rs= 0,194),
dan Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel (rs= 0,265)
berhubungan nyata dengan Tingkat Keinovativan pada taraf α= 0,05. Dengan
demikian, merujuk pada Purnaningsih (2006), dapat dikatakan bahwa ketiga
variabel tersebut berhubungan dan signifikan terhadap Tingkat Keinovativan.
Kecuali Tingkat Status Sosial Ekonomi (rs= 0,155) berhubungan dengan Tingkat
Keinovativan pada taraf α= 0,10, yang berarti Tingkat Status Sosial Ekonomi
dianggap cukup baik berhubungan dan cukup signifikan terhadap Tingkat
Keinovativan.
Selanjutnya, hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 4) menunjukkan
bahwa Tingkat Status Sosial Ekonomi (rs= 0,227) dan Tingkat Pendidikan Formal
(rs= 0,188) berhubungan nyata dengan Laju Adopsi berturut-turut pada taraf α=
0,05 dan α= 0,10. Sementara itu, Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi
Ponsel (rs= -0,081) dan Pola Perilaku Komunikasi (rs= -0,003) berhubungan
dengan Laju Adopsi berturut-turut pada taraf α= 0,30 dan α> 0,30. Dengan
merujuk Purnaningsih (2006), variabel Tingkat Stastus Sosial Ekonomu dan
Tingkat Pendidikan Formal berhubungan dan signifikan terhadap Laju Adopsi.
Adapun variabel Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel dianggap
kurang baik berhubungan dengan Laju Adopsi, sedangkan Pola Perilaku
Komunikasi dianggap sangat tidak baik berhubungan dengan Laju Adopsi.
68
BAB VIII
POLA PEMANFAATAN DAN ADOPSI BERLEBIHAN TELEPON
SELULER
Penggunaan ponsel di kalangan masyarakat Desa Kemang, khususnya di
Kampung Beber dan Kampung Cikupa, dimanfaatkan secara berbeda oleh setiap
individu adopter. Sehubungan dengan hal tersebut, bab ini akan menjelaskan pola
pemanfaatan ponsel menurut karakteristik kategori adopter yang ada di kalangan
masyarakat Kampung Beber dan Kampung Cikupa, serta memaparkan fenomena
adopsi berlebihan (over adoption) yang terjadi di kalangan masyarakat tersebut.
8.1 Pola Pemanfaatan Ponsel di Kalangan Masyarakat Desa Kemang
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, ponsel dimanfaatkan oleh
setiap individu dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-
masing. Tabel 25 di bawah ini, menjelaskan penggunaan ponsel yang berulang-
ulang dan telah menjadi suatu kebiasaan, sehingga disebut pola pemanfaatan
ponsel di Desa Kemang.
Tabel 25 Distribusi Adopter Ponsel menurut Pola Pemanfaatan Ponsel di Desa
Kemang Tahun 2011 (dalam persen)
Pola Pemanfaatan Ponsel Persen
Menelepon/SMS Keluarga Inti 22,67
Menelepon/SMS Teman Sebaya 17,33
Menelepon/SMS Rekan Bisnis/Kerja, Teman Sebaya dan
Saudara Jauh 17,33
Menelepon/SMS Saudara Jauh 16,00
Menelepon/SMS Rekan Bisnis/Kerja 9,33
Menelepon/SMS Keluarga Inti dan Teman Sebaya 9,33
Menelepon/SMS Rekan Bisnis/Kerja dan Keluarga Inti 4,00
Menelepon/SMS Keluarga Inti dan Saudara Jauh 2,67
Mendengar Radio dan Main Game 1,33
Total (persen) 100,00
Total (jumlah) 75
Berdasar pada data tabel di atas, diketahui bahwa mayoritas adopter ponsel
memanfaatkan ponsel untuk berhubungan melalui telepon/SMS dengan keluarga
69
inti mereka. Dalam hal ini keluarga inti adalah orang tua, suami/istri, kakak/adik,
dan anak yang tinggal di luar desa. Dapat dijumpai beberapa orang istri yang
ditinggal suaminya bekerja di luar kota/negeri atau sebaliknya. Begitu juga antara
orang tua dan anak, dimana terdapat orang tua yang ditinggal anaknya bekerja di
luar kota/negeri atau sebaliknya. Pengeluaran mereka untuk pulsa rata-rata sekitar
Rp 40.000,00 per bulan, akan tetapi untuk adopter yang memiliki keluarga inti
yang menjadi buruh migran di Arab Saudi pengeluarannya dapat mencapai Rp
100.000,00 per bulan. Selanjutnya, di kalangan adopter yang memanfaatkan
ponsel untuk berhubungan dengan teman sebaya saja dan kombinasi antara rekan
bisnis/kerja, teman sebaya, dan saudara jauh memiliki persentase yang sama (17
persen). Mereka biasanya menggunakan ponsel untuk berhubungan dengan
teman sebaya (sesama remaja) yang masih duduk di bangku sekolah untuk
mengobrol seputar kehidupan remaja dan sekolah. Oleh karena rata-rata kartu
provider yang mereka gunakan sama, mereka ini lebih banyak berhubungan
melalui SMS, yang mana provider tersebut memberikan fasilitas paket SMS
sepuasnya ke sesama pengguna dengan tarif Rp 5.000,00 per minggu, sehingga
pulsa yang bisa mereka habiskan dalam sebulan yaitu sekitar Rp 20.000,00
Telepon seluler juga dimanfaatkan oleh sebagian adopter (16 persen)
untuk berhubungan dengan saudara jauh. Biasanya, mereka yang memanfaatkan
ponsel untuk berhubungan dengan saudara jauh, hanya menelepon/SMS untuk
sekedar berbincang-bincang dan saling menanyakan kabar. Sementara itu, adopter
yang memanfaatkan ponsel untuk menelepon/SMS rekan bisnis/kerja saja dan
kombinasi antara keluarga inti dan teman sebaya, memiliki persentase yang sama,
sekitar 9 persen. Mereka terdiri dari adopter yang bekerja sebagai penjahit, guru,
pedangang (pemilik warung) dan pengusaha setempat. Bagi pengusaha setempat,
ponsel sangat berguna bagi mereka untuk berhubungan dengan rekan bisnis di luar
kota, seperti Bandung dan Jakarta. Pengeluaran mereka untuk membeli pulsa pun
terbilang cukup tinggi, yakni sekitar Rp 200.000,00 sampai dengan Rp
1.000.000,00 setiap bulannya, terutama untuk menelepon. Begitu pula bagi
pemilik warung, ponsel bermanfaat untuk berhubungan dengan pasar induk
berkenaan informasi harga barang, sedangkan bagi penjahit, ponsel digunakan
untuk berhubungan dengan para pelanggan yang menggunakan jasa mereka. Di
70
Kampung Beber terdapat dua orang penjahit, sedangkan di Kampung Cikupa
terdapat tiga orang penjahit. Ponsel juga dimanfaatkan oleh para guru dan kepala
sekolah untuk berhubungan dengan sesama mereka, khususnya untuk
membicarakan sejumlah permasalahan dan kegiatan di sekolah. Setiap bulannya,
pengeluaran mereka untuk pulsa rata-rata sebesar Rp 20.000,000 sampai Rp
50.000,00. Secara rinci, rata-rata pengeluaran pulsa untuk setiap pola
pemanfaatan, dapat dilihat pada Tabel 26 di bawah ini.
Tabel 26 Pengeluaran Pulsa Adopter Ponsel menurut Pola Pemanfaatan Ponsel
di Desa Kemang Tahun 2011 (dalam rupiah)
Pola Pemanfaatan Ponsel Pengeluaran Pulsa
Menelepon/SMS Keluarga Inti 40000-100000
Menelepon/SMS Teman Sebaya 20000-25000
Menelepon/SMS Saudara Jauh 20000-50000
Menelepon/SMS Rekan Bisnis/Kerja 20000-1000000
Selain mereka yang menggunakan ponsel untuk berkomunikasi dengan
individu lain, dalam penelitian ini juga ditemukan adanya adopter ponsel yang
memanfaatkan ponsel sebagai media bisnis, yaitu untuk berdagang pulsa elektrik.
Selain itu, terdapat adopter ponsel yang hanya memanfaatkan ponsel sebagai
media hiburan, yaitu mendengarkan radio dan bermain game.
Berdasar penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pola pemanfaatan
ponsel oleh para adopter di Desa Kemang, khususnya di kedua kampung tersebut
di atas, merupakan kegiatan konsumtif semata. Hanya sebagian kecil dari adopter
yang memanfaatkan ponsel sebagai pendukung kegiatan produktifnya (31 persen).
8.2 Adopsi Berlebihan (Over Adoption) Ponsel di Desa Kemang
Semakin membaiknya kondisi infrastruktur yang didukung oleh
ketersediaan ponsel dengan berbagai merek dan harga, serta masuknya informasi
terkait ponsel dari berbagai tontonan di televisi, telah mampu membuka akses
masyarakat di Kampung Beber dan Kampung Cikupa, untuk mengadopsi ponsel.
Sebagaimana telah dijelaskan di depan, dalam penelitian ini ditemukan
karakteristik adopter ponsel yang heterogen, baik dari kelompok umur, tingkat
pendidikan, jenis pekerjaan serta status bekerja mereka.
71
Dari observasi diketahui bahwa tidak setiap individu di dua kampung
tersebut menjadi adopter, sementara di pihak lain diantara para adopter ponsel
dimungkinkan ada yang seharusnya tidak mengadopsi ponsel. Kondisi ini
sebenarnya memungkinkan peneliti untuk menganalisis kemungkinan adanya
fenomena adopsi berlebihan di kalangan warga Kampung Beber dan Kampung
Cikupa. Namun demikian, oleh karena dalam penelitian ini peneliti tidak
mewawancarai semua warga yang ada di dua kampung, yaitu Kampung Beber
dan Cikupa, maka pembahasan tentang adopsi berlebihan tidak dapat dilakukan
dengan sempurna. Dengan berbasis pada data berupa adopter ponsel di dua
kampung tersebut, untuk menganalisis ada tidaknya adopsi berlebihan dilakukan
secara kualitatif, yakni dengan menghubungkan kesesuaian pemanfaatan ponsel
(Tabel 25) dengan jenis pekerjaan dan/atau kegiatan produktif dari para adopter
ponsel. Lebih lanjut, berdasar fakta bahwa ada dua kebutuhan yang terpenuhi oleh
adopter ponsel, yakni kebutuhan konsumtif dan produktif, sehingga dengan
demikian, pertimbangan untuk menentukan ada tidaknya kategori adopter
berlebihan adalah dengan menghubungkan penggunaan ponsel, jenis pekerjaan,
dan kategori pemenuhan kebutuhan yang mereka capai. Sehubungan dengan hal
ini, bagi adopter yang memanfaatkan ponsel hanya untuk kegiatan konsumtif
dianggap tidak sesuai dan kemudian dikategorikan sebagai adopter irasional,
sementara bagi adopter yang menggunakan ponsel untuk mendukung kegiatan
produktif dianggap sesuai, dan kemudian dikategorikan sebagai adopter rasional..
Berdasar Tabel 25, telah diketahui terdapat sekitar 31 persen adopter
ponsel yang dapat dikategorikan sebagai adopter rasional. Mereka memanfaatkan
ponsel untuk berhubungan dengan rekan bisnis/kerja saja maupun kombinasinya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mereka ini adalah para pengusaha,
pemilik warung, guru (baik PNS maupun honor), dan penjahit. Ponsel sangat
membantu mereka dalam melaksanakan pekerjaannya. Oleh sebab itu,
pemanfaatan ponsel oleh adopter tersebut dianggap sesuai dengan jenis
pekerjaannya yakni ponsel dimanfaatkan untuk kegiatan produktif.
Sebenarnya, dalam penelitian ini dijumpai sejumlah remaja yang
memanfaatkan ponsel untuk berhubungan dengan teman sekolahnya berkenaan
dengan urusan sekolah, seperti berbagi informasi tentang pekerjaan atau tugas
72
rumah. Akan tetapi, persentase mereka terbilang kecil (23 persen) dibanding
mereka yang memanfaatkan ponsel untuk mengobrol dan bergosip. Yang menarik
adalah adanya sejumlah orangtua mereka yang mengeluh terkait persoalan
pengeluaran rumahtangga untuk pulsa yang sangat tinggi. Ini berarti bahwa
pemanfaatan ponsel di kalangan remaja cenderung tergolong konsumtif.
Penelitian ini juga menemukan seorang pelajar sekolah dasar yang telah
memiliki dan menggunakan ponsel, namun ia jarang menggunakan ponselnya
untuk menghubungi teman-teman sebayanya, karena ia tidak memiliki ponsel.
Sebenarnya adopter ini juga tidak mampu membeli pulsa untuk ponselnya, karena
ia berasal dari keluarga yang kondisi ekonominya kurang. Kemampuannya
mengoperasikan berbagai fitur dalam ponselnya pun terbatas, sehingga pola
pemanfaatan ponsel tidak terlalu jelas. Di samping itu, terdapat pula adopter
ponsel remaja yang tidak melanjutkan sekolahnya, namun juga tidak bekerja.
Dalam kesehariannya, mereka hanya diam di rumah atau sekedar ngobrol-ngobrol
di warung. Biasanya ponsel digunakan untuk berhubungan dengan teman-teman
mereka, akan tetapi obrolan yang dilakukan baik melalui telepon atau SMS lebih
pada kepentingan “curhat” dan bergosip . Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa
mereka ini belum sesuai dalam memanfaatkan ponsel.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat sekitar 19 persen adopter
yang memanfaatkan ponsel untuk berhubungan dengan saudara jauh saja maupun
kombinasinya dengan keluarga inti. Berhubungan dengan saudara jauh merupakan
kebutuhan mendasar bagi mereka, karena hanya dengan melalui ponsel, mereka
dapat menjalin silaturahmi dengan baik. Sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnya, bahwa Desa Kemang merupakan desa yang terpencil, sehingga
sebelum menggunakan ponsel, para adopter kesulitan untuk berhubungan dengan
saudara mereka yang berada di luar desa. Mereka hanya bisa bertemu setahun
sekali, ketika merayakan hari raya. Oleh karena itu, golongan ini dapat
dikategorikan sebagai adopter rasional.
73
BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju adopsi ponsel di Kampung Bebr
dan Cikupa tergolong rendah, namun laju adopsi ponsel di Kampung Beber
sekitar 22 persen, atau lebih tingi 11 persen dibandingkan adopter di Kampung
Cikupa. Hal ini berhubungan dengan perbedaan karakteristik adopter di kedua
kampung tersebut, di mana adopter di Kampung Beber terdiri atas mereka yang
berstatus sosial ekonomi lebih tinggi dibanding mereka yang ada di Kampung
Cikupa; sebagian besar diantara mereka bekerja sebagai PNS, pedagang dan
pelajar dan pedagang.
Meskipun diantara warga Desa Kemang mulai terdedah informasi ponsel
sejak 15 tahun yang lalu, namun sebagian besar warga desa ini menjadi adopter
ponsel sejak berdirinya BTS XL dan BTS Telkomsel yang dibangun berturut-
turut pada tahun 2008 dan 2010. Adopsi ponsel oleh warga di kedua kampung
semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya waktu dari mulai tahun 1995
sampai 2011. Meskipun secara akumulatif “plot” adopter ponsel membentuk
kurva penerimaan inovasi ponsel yang membentuk kurva S, namun adopter
ponsel terbanyak terjadi pada tahun 2010.
Dalam penelitian ini “plot” atas kategori adopter tidak berhasil membentuk
kurva berbentuk Genta, antara lain karena contoh dalam penelitian ini tidak
mencakup semua adopter ponsel di dua kampung. Hal ini menyebabkan kategori
adopter ponsel yang tidak mengikuti sebaran normal. Berbasis interval waktu
selang tiga tahun, inovator (adopter pada periode tahun 1995-1998) dan penganut
awal terbanyak atau early majority (adopter periode tahun 2002-2004) masing-
masing sebesar satu persen. Sementara penganut dini atau early adopter (adopter
pada periode tahun 1999-2001) sebesar lima persen. Adapun penganut lambat
terbanyak atau late majority (adopter pada periode tahun 2005-2007) dan kaum
penolak laggards (periode tahun 2008-2011) berturut-turut sebesar 29 persen dan
64 persen. Namun demikian, kategori adopter di dua kampung menunjukkan
karakteristik yang cenderung sesuai dengan generalisasi Rogers dan Shoemaker
74
(1971), dimana adopter yang tergolong inovator memiliki karakteristik pribadi
yang lebih tinggi dibanding semua kategori adopter lainnya.
Dari 14 variabel bebas yang diduga berhubungan dengan Tingkat
Keinovativan, hanya enam variabel yang berhubungan nyata dengan tingkat
keinovativan pada taraf α= 0,05, yaitu Tingkat Keuntungan Relatif (rs= 0,249),
Tingkat Integrasi Individu (rs= 0,270), Tingkat Pendidikan Formal (rs= 0,233),
Pola Perilaku Komunikasi (rs= 0,194), dan Tingkat Kebutuhan Individu terhadap
Inovasi Ponsel (rs= 0,265). Adapun sejumlah variabel lainnya yang berhubungan
dengan Tingkat keinovativan pada taraf α= 0,10 adalah Tingkat Kemungkinan
Diamati (rs= 0,157) dan Tingkat Status Sosial Ekonomi (rs= 0,155). Sementara itu,
Tipe PK Inovasi Ponsel (rs= 0,131) dan Tingkat Keragaman Sumber Informasi
Inovasi Ponsel (rs= -0,067) berhubungan dengan Tingkat Keinovativan pada taraf
α= 0,20-0,30. Variabel bebas selainnya, yakni Tingkat Kesesuaian, , Tingkat
Kerumitan, Tingkat Ketaatan Individu , dan Frekuensi Pertemuan dengan Agen
Penjual/Jasa Ponsel tidak berhubungan dengan Tingkat Keinovativan.
Hanya empat variabel bebas yang berhubungan dengan Laju Adopsi pada
taraf α= 0,05, yakni Tingkat Kemungkinan Diamati (rs= 0,289), Tingkat Ketaatan
Individu (rs= -0,196), Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel (rs=
0,284), dan Tingkat Status Sosial Ekonomi (rs= 0,227). Tiga variabel bebas
lainnya berhubungan berhubungan dengan Laju Adopsi pada taraf α= 0,10, yaitu
Tingkat Keuntungan Relatif (rs= 0,162), Tingkat Kesesuaian (rs= -0,172), dan
Tingkat Pendidikan Formal (rs= 0,188). Adapun Tingkat Kebutuhan Individu
terhadap Inovasi Ponsel berhubungan pada taraf α= 0,20-0,30 (rs= -0,081).
Selainnya, yakni Tingkat Kerumitan. Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi,
Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel, Tingkat Integrasi Individu
dan Pola Perilaku Komunikasi tidak berhubungan dengan Laju Adopsi.
Terdapat sembilan pola pemanfaataran ponsel dikalangan adopter ponsel
di dua kampung. Persentase tertingi (22 persen) adalah adopter ponsel yang
memanfaatkan ponsel untuk menilpon dan/atau SMS dengan keluarga inti.
Selainnya menelepon/SMS kepada teman sebaya serta kombinasi antara rekan
bisnis, teman sebaya dan saudara jauh (masing-masing 17,33 persen), saudara
75
jauh saja (16 persen), serta kepada rekan bisnis saja dan kombinasi kepada
keluarga inti dan teman sebaya masing-masing 9,33 persen.
Secara umum, adopter ponsel memanfaatkan ponsel hanya untuk
memenuhi kebutuhan konsumtif. Oleh karena itu, hanya terdapat 31 persen yang
tergolong adopter rasional, yakni mereka yang mengadopsi ponsel semata-mata
untuk kebutuhan produktif; sementara 69 persen tergolong tidak rasional.
9.2 Saran
Adanya pola pemanfaatan ponsel yang belum optimal dan adanya gejala
adopsi berlebihan (over adoption) ponsel menunjukkan masih rendahnya
pemanfaatan ponsel oleh masyarakat perdesaan, khususnya di Desa Kemang..
Oleh karena itu perlu adanya pemangku kepentingan (stakeholders) yang dapat
memasilitasi warga untuk memanfaatkan ponsel secara lebih produktif, seperti
Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur yang dapat memasilitasi warga untuk akses
terhadap aplikasi ponsel yang menyediakan berbagai informasi terkait kegiatan
produktif masyarakat Kemang dan meningkatkan pemanfaatan ponsel dalam
jaringan yang lebih mapan, yakni sebagai bagian dari cyber extension bagi
masyarakat petani.
Adanya adopter ponsel yang belum akses terhadap beragam fitur, misalnya
internet, memungkinkan dilakukannya sosialisasi pemanfaatan fitur tersebut ,
terutama bagi para guru sekolah dan murid SLTP dan SMU yang dapat
meningkatkan akses mereka terhadap ilmu pengetahuan.
Menyadari adanya keterbatasan waktu pelaksanaan penelitian (hanya
sebulan) dan perlunya waktu untuk membina hubungan baik dengan subyek
penelitian (rapport) yang menghambat terhadap penerapan metodologi penelitian
terkait studi difusi inovasi ponsel ini, diperlukan suatu kebijakan Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, FEMA IPB yang memberi
izin waktu penelitian yang sesuai dengan kebutuhan peneliti.
76
DAFTAR PUSTAKA
[BAPPENAS] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2010. Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. [Internet].
[dikutip 21 Januari 2011]. Dapat diunduh dari:
http://www.scribd.com/doc/57733200/buku-i-20100205103521-0
[MENDAGRI] Menteri Dalam Negeri. 2009. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 12 Tahun 2007 tentang Daftar Isian Potensi Desa Kemang. Cianjur [ID]:
MENDAGRI.
Agussabti. 2002. Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan Adopsi
Inovasi (Kasus Petani Sayuran di Propinsi Jawa Barat). [disertasi]. Bogor [ID].
Institut Pertanian Bogor. 325 hal.
Efendi S, Singarimbun M. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta [ID]: LP3ES.
329 hal.
Haraito G, Hidayat SN. 2010 3 Des. Operator Tetap Andalkan Pelanggan Pra
Bayar. [Internet]. [diunduh 7 Februari 2011]. Kontan. Industri: [tidak ada nomor
halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari:
http://industri.kontan.co.id/v2/read/industri/53737/Operator-tetap-andalkan-
pelanggan-prabayar
Lubis DP. 2009. Pendahuluan. Dalam (?) Hubeis AVS, editor. Dasar-Dasar
Komunikasi. Cetakan ke-1. Bogor [ID]: SKPM IPB Press. 381 hal.
Lutfiyah U. 2007. Persepsi dan Perilaku Remaja dalam Menggunakan Ponsel
(Kasus: Remaja SMA Kornita Bogor). [skripsi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian
Bogor. 53 hal.
Mugniesyah SSM. 2006. Materi Bahan Ajar Ilmu Penyuluhan. Bogor [ID]: Sains
KPM IPB Press. 235 hal.
. 2007 . Access to Land in Sundanese Community: A Case
Study of Upland Peasant Households in Kemang Village, West Java, Indonesia.
Southeast Asian Studies. 44(44): 519-544
.2007. Sundanese Kinship: A Case in an Upland Peasant
Community in Kemang Village, West Java, Indonesia . Paper presented at the
Group III Workshop : Socio economic Studies on Sustainable Development in
Rural Indonesia. A Cooperative Research on Harmonization Between
Development and Environment in Biological Production between the University
of Tokyo and and Bogor Agricultural University (IPB), Tokyo 11-12 Februari
2007. Tokyo [JP]: The JSPS-DGHE Core University Program.
77
Mugniesyah SSM 2009. Media Komunikasi dan Komunikasi Massa. Dalam
Hubeis AVS, editor. Dasar-dasar Komunikasi Cetakan ke-1. Bogor [ID]: SKPM
IPB Press. 381 hal.
Mugniesyah SS, Lubis DP. 1990. Studi Hubungan Tipe Pengambilan Keputusan
Inovasi Supra Insus dengan Adopsi Supra Insus di Tingkat Petani dan Kelompok
Tani (Studi Kasus di WKPP Tambakdahan dan WKPP Mariuk, KPP Binong
Subang Jawa Barat). Bogor [ID]: Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian
IPB.
Mugniesyah SSM, Mizuno K. 2003. Gender in Sustainability of Local
Organizations and Institutions (A Case In Two Upland Village of West Java).
Hayashi Y, Manuwoto S, Hartono S, editor. Sustainable Agricultural in Rural
Indonesia. Yogyakarta [ID]: Gadjah Mada University Press. 468 hal.
Mulyandari. 2006. Sikap dan Perilaku Mahasiswa terhadap Penggunaan Ponsel
(Kasus: Mahasiswa Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Institut Pertanian Bogor). [skripsi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. 80 hal.
Novarianto R. 1999. Adopsi Inovasi Teknologi TABELA bagi Petani Padi Sawah
(Kasus Petani Padi Sawah di Kecamatan Tapa, Kabupaten Gorontalo, Sulawesi
Utara). [tesis]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. 97 hal.
Novita A. 2010 23 Okt. Bahaya Penggunaan Handphone. [Internet]. [diunduh 15
Februari 2011]. Kompasiana. Teknologi: [tidak ada nomor halaman dan kolom].
Dapat diunduh dari: http://teknologi.kompasiana.com/gadget/2010/10/23/bahaya-
penggunaan-handphone/
Nugraha GK. 2010. Studi Difusi Inovasi System of Rice Intensification (SRI) di
Kabupaten Tasikmalaya (Kasus di Dusun Muhara Desa Banjarsari Kecamatan
Sukaresik Provinsi Jawa Barat). [skripsi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. 82
hal.
Prayifto R. 2010. Sikap dan Perilaku Remaja Desa dalam Menggunakan Ponsel
(Studi Kasus Remaja Desa Cihideung Ilir Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor
Provinsi Jawa Barat). [skripsi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. 107 hal.
Purnaningsih N. 2006. Adopsi Inovasi Kemitraan Agribisnis Sayuran di Propinsi
Jawa Barat.[disertasi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. 240 hal.
Rangkuti PA. 2007. Jaringan Komunikasi Petani dalam Adopsi Inovasi Teknologi
Pertanian (Kasus Adopsi Inovasi Traktor Tangan di Desa Neglasari, Kecamatan
Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat). [tesis]. Bogor [ID]
Institut Pertanian Bogor. 150 hal.
Rusli S. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. Edisi Revisi. Jakarta [ID]: PT.
Pusaka LP3ES. 173 hal.
78
Sadono D. 1999. Tingkat Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani
(Kasus di Kabupaten Karawang, Jawa Barat). [tesis]. Bogor [ID]. Institut
Pertanian Bogor. 93 hal.
Sastramihardja H, Veronica A. 1976. Adopsi Panca Usaha Pertanian di Desa
Babakan. Gunardi, editor. Kumpulan Bahan Bacaan Dasar-dasar Penyuluhan
Pertanian. Bogor [ID]: Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian IPB. 245
hal.
Soewardi H. 1972. Penyebaran Inovasi dari Lapisan Atas ke Lapisan Bawah.
Sayogyo, Sayogyo P. Sosiologi Pedesaan: Kumpulan Bacaan Jilid 1. Yogyakarta
[ID]: Gadjah Mada University Press. 205 hal.
Sugiyono 2004. Accidental Sampling. [Internet]. [diunduh 11 Agustus 2011].
Infoskripsi. Glossary: [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari:
http://www.infoskripsi.com/component/option,com_glossary/Itemid,62/catid,24/f
unc,view/term,accidental%20sampling/
Utaminingsih IA. 2006. Pengaruh Penggunaan Ponsel pada Remaja terhadap
Interaksi Sosial Remaja (Kasus SMUN 68, Salemba Jakarta Pusat, DKI Jakarta).
[skripsi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. 90 hal.
Wahyuni ES. forthcoming. Pedoman Teknik Penulisan Laporan Studi Pustaka.
Bogor [ID]: Sains KPM IPB Press. 49 hal.
79
Lampiran 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Difusi Inovasi Telepon Seluler di Kalangan Masyarakat Perdesaan Tahun 2011
Kegiatan Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus
Keterangan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan Proposal
Skripsi
Kolokium
Perbaikan Proposal
Pengumpulan Data di
Lapangan
Pengolahan dan Analisis
Data
Penulisan Draft Skripsi
Konsultasi dan Perbaikan
Skripsi
Uji Petik
Ujian Skripsi
Perbaikan dan
Penggandaan Skripsi
80
Kabupaten Bandung
Lampiran 2. Denah Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur
81
Lampiran 3. Adopter Inovasi Ponsel Menurut Kategori Kriteria dari Semua Variabel Pengaruh dan Variabel Terpengaruh
Variabel-variabel
Kategori (dalam persen) Parameter Statistik
Rendah Sedang Tinggi Minimal Maksimal Rata-
rata
St.
deviasi
Tingkat Keuntungan Relatif (X1) 12 60 28
Tingkat Kesesuaian (X2) 14 29 57
Tingkat Kerumitan (X3) 57 28 15
Tingkat Kemungkinan Dicoba (X4) 100
Tingkat Kemungkinan Diamati (X5) 19 33 48
Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Ponsel (X6) 1 60 39
Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel (X7) 33 40 27
Tingkat Ketaatan Individu terhadap Komunikasi Interpersonal
(X8) 20 69 11
Tingkat Integrasi Individu (X9) 81 16 3 2 8 3 2
Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel (X10) 75 12 13 0 30 5 5
Tingkat Pendidikan Formal (X11) 16 23 61
Pola Perilaku Komunikasi (X12) 31 48 21 3 28 15 6
Tingkat Status Sosial Ekonomi (X13) 57 19 24 4 12 8 2
Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel (X14) 13 77 10
Tingkat Keinovativan (Y1) 32 56 12 0 16 13 3
Laju Adopsi (Y2) 44 56
82
Lampiran 4. Hasil Uji Korelasi Rank Spearmen antara Variabel-variabel Pengaruh dengan
Variabel Terpengaruh
Variabel-variabel
Difusi Inovasi Ponsel
Tingkat Keinovativan
(Y1) Laju Adopsi (Y2)
rs sig rs sig
Karakteristik Inovasi Ponsel)
Tingkat Keuntungan Relatif (X1) 0,249 0,016* 0,162 0,082**
Tingkat Kesesuaian (X2) 0,049 0,339 -0,172 0,070**
Tingkat Kerumitan (X3) 0,040 0,367 0,045 0,351
Tingkat Kemungkinan Diamati (X5) 0,157 0,089** 0,289 0,006*
Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Ponsel
Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Ponsel (X6) 0,131 0,131*** 0,006 0,480
Saluran Komunikasi
Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel (X7) -0,067 0,284*** -0,003 0,489
Karakteristik Sistem Sosial
Tingkat Ketaatan Individu terhadap Komunikasi
Interpersonal (X8) -0,048 0,342 -0,196 0,046*
Tingkat Integrasi Individu (X9) 0,270 0,010* 0,022 0,426
Promosi oleh Agen Perubah
Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel
(X10) 0,040 0,368 0,284 0,007*
Karakteristik Individu
Tingkat Pendidikan Formal (X11) 0,233 0,022* 0,188 0,054**
Pola Perilaku Komunikasi (X12) 0,194 0,048* -0,003 0,489
Tingkat Status Sosial Ekonomi (X13) 0,155 0,093** 0,227 0,025*
Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel (X14) 0,265 0,011* -0,081 0,244***
Keterangan: * Signifikansi α= 0,05 (mempengaruhi dan signifikan)
** Signifikansi α= 0,10 (cukup mempengaruhi dan cukup signifikan)
*** Signifikansi α= 0,20 sampai α= 0,30 (kurang baik mempengaruhi dan tidak signifikan)
Signifikansi α> 0,30 (tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan)