dieng

25
3 dieng Dataran Tinggi Dieng (Dieng Plateau) merupakan wilayah yang masuk dalam kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Selain terkenal dengan komplek candi yang sangat megah, ditambah telaga warna yang indah, telaga pengilon yang bening, dan sumber air panas geothermal yang ada di kawah sikidang dan kawah sileri . Ternyata Dieng juga menyimpan keindahan yang lain, yaitu kondisi sosial kultur masyarakat Dieng (Kejajar, Dieng Timur, Dieng Barat). Dalam dua coretan yang lain tentang Dataran Tinggi Dieng telah mengupas yang pertama tentang Alam , dan kedua tentang Budaya dan Candi-candi yang ada di Dieng . Maka coretan yang ketiga (terakhir) ini akan mengupas sisi lain Dieng, yaitu keadaan masyarakat Dieng (Peoples of Dieng) yang ramah dan hidup berdampingan dengan alam. Kondisi Geografis Dataran Tinggi Dieng yang berada di lebih dari 2000 DPL (Diatas Permukaan Laut) menjadikan mata pencaharian masyarakat Dieng cenderung homogen. Wilayah dieng juga digolongkan dalam wilayah hutan pegunungan atas yang terdapat banyak lumut dan cuaca eksrim dingin yang panjang. Jenis pohon dan tanaman juga cenderung sama dibandingkan dengan hutan pegunungan bawah sehingga sangat mempengaruhi keanekaragaman hasil alam yang ada di Dieng. Ciri khas pohon yang ada di Dieng adalah Pohonnya pendek, ukurannya kecil dan berdaun tebal. Oleh karena itu, masyarakat Dataran Tinggi Dieng lebih banyak menjadi petani Kentang (Solanum tuberosum L.) dari pada sayuran yang lain. Hampir semua lahan persawahan dipenuhi oleh tanaman kentang. Karena memang, tanaman kentang cocok ditanam di daerah yang sejuk dan tinggi.

description

dieng

Transcript of dieng

3 dieng

Dataran Tinggi Dieng (Dieng Plateau) merupakan wilayah yang masuk dalam kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Selain terkenal dengan komplek candi yang sangat megah, ditambah telaga warna yang indah, telaga pengilon yang bening, dan  sumber air panas geothermal yang ada di kawah sikidang dan kawah sileri. Ternyata Dieng juga menyimpan keindahan yang lain, yaitu kondisi sosial kultur masyarakat Dieng (Kejajar, Dieng Timur, Dieng Barat). Dalam dua coretan yang lain tentang Dataran Tinggi Dieng telah mengupas yang pertama tentang Alam, dan kedua tentang Budaya dan Candi-candi yang ada di Dieng. Maka coretan yang ketiga (terakhir) ini akan mengupas sisi lain Dieng, yaitu keadaan masyarakat Dieng (Peoples of Dieng) yang ramah dan hidup berdampingan dengan alam.

Kondisi Geografis Dataran Tinggi Dieng yang berada di lebih dari 2000 DPL (Diatas Permukaan Laut) menjadikan mata pencaharian masyarakat Dieng cenderung homogen. Wilayah dieng juga digolongkan dalam wilayah hutan pegunungan  atas yang terdapat banyak lumut dan cuaca eksrim dingin yang panjang. Jenis pohon dan tanaman juga cenderung sama dibandingkan dengan hutan pegunungan bawah sehingga sangat mempengaruhi keanekaragaman hasil alam yang ada di Dieng. Ciri khas pohon yang ada di Dieng adalah Pohonnya pendek, ukurannya kecil dan berdaun tebal. Oleh karena itu, masyarakat Dataran Tinggi Dieng lebih banyak menjadi petani Kentang (Solanum tuberosum L.) dari pada sayuran yang lain. Hampir semua lahan persawahan dipenuhi oleh tanaman kentang. Karena memang,  tanaman kentang cocok ditanam di daerah yang sejuk dan tinggi.

Selain menaman kentang di persawahan, masyarakat Dieng juga melakukan penanaman pohon yang lain yang sangat terkenal, seperti

pohon Purwoceng ( Pimpinella Alpina (Zoll) atau P. Pruacan Molk). Tanaman ini sangat langkan karena hanya bisa hidup di dataran tinggi seperti Dieng. Dalam banyak coretan, tanaman purwoceng merupakan tanaman pengganti gingseng. Karena tanaman ini yang terdapat di daun dan akar mengandung steorid (stigmasterol dan sitosterol), kumarin dan vitamin e. Beberapa tanaman lain yang merupakan hasil pertanian masyarakat Dieng adalah buah Carica dan lombok Dieng. Carica ini mirip dengan buah pepaya hanya ukuranya lebih kecil. Kebanyakan buah ini dimanfaatkan untuk manisan yang lezat, untuk ukuran 1 botol Petualang dapat membeli dengan kisaran harga antara Rp. 8.000 – 10.000,-. Sedangkan lombok Dieng bentuknya gemuk (bogel), pendek dan berwarna hijau dengan garis merah kehitaman. Kedua tanaman tersebut hampir menyebar diseluruh perbukitan Dieng.

Selain bertani kentang, masyarakat dieng juga mempunyai bisnis sepeti warung makan, pertokoan kelontong dan penyewaan homestay dan hotel. Homestay ini banyak bertebaran di Dataran Tinggi Dieng, untuk 1 kali sewa dikenakan biaya sekitar Rp. 200.000 ,- hingga Rp. 300.000,- tergantung kondisi homestay-nya. Namun secara keseluruhan masyarakat Dieng lebih mengabdikan diri hidup berdampingan dengan alam yaitu bertani kentang. Baik laki-laki maupun perempuan bekerja dan berdedikasi menjadi petani kentang yang tangguh. Itulah kenapa di dataran tinggi Dieng terhampar luas sawah-sawah kentang dari kaki bukit hingga puncak pegunungan yang tinggi.

Persawahan kentang menyebar di sekitar area wisata dari komplek candi-candi arjuna, Dieng Plateau Theater, Sumur Jalatunda dan Kawah Candradimuka. Ketika Petualang bertanya tentang kentang yang terbaik, maka orang-orang akan mengatakan bahwa kentang Dieng adalah yang terbaik di Jawa Tengah. Sebagian yang lain berprofesi sebagai ojek panggilan, ojek ini bisa Petualang sewa dengan memberikan ongkos sebesar sekitar Rp. 125.000,- untuk mengantar pelancong menuju tempat-tempat wisata di

Dataran Tinggi Dieng selama 2 (dua) hari. Harga tersebut sudah termasuk tiket masuk. Namun tidak semua tempat dikunjungi ketika petualang menggunakan jasa ojek tersebut. Hari pertama hanya Telaga warna, Telaga Pengilon, Kawah Sikidang, Komplek candi Arjuna. Hari kedua Sikunir Sunrise, Sumur Jalatunda, Kawah Sileri, Kawah Candradimuka yang memang letaknya lebih jauh.

Sebagian masyarakat Dieng juga mengelola beberapa pengunungan yang landai menjadi sebuah lahan pertanian kentang yang subur, tidak hanya pegunungan yang datar saja, namun juga puncak pegunungan dan bukit-bukit yang mempunyai kemiringan sangat curam dan terjal. Secara bersama-sama mereka membuat dan memotong bukit yang curam menjadi lahan pertanian yang subur. Alat yang digunakanpun tidak terlalu modern, hanya menggunakan cangkul, kayu tajam dan sekop. Perbukitan tersebut secara normal memang tidak bisa dijadikan lahan persawahan yang aktif, kerena letaknya yang curam, sedikit air dan berbahaya. Namun masyarakat Dieng menjadikannya lahan yang subur dan produktif untuk bertani. Selain air yang melimpah dibukit yang lain,cara yang mereka lakukan dengan menyalurkan air dibukit yang melimpah airnya menyebar keseluruh persawahan yang ada di dataran tinggi Dieng dengan mengunakan pipa pralon yang sangat panjang.

Pekerjaan yang dilakukan bersama-sama tidak hanya ketika pembuatan lahan saja, namun juga dilakukan ketika melakukan proses penanaman pohon kentang. Baik ibu-ibu atau bapak-bapak, usia muda maupun tua bekerja menanam bibit kentang dari sawah yang datar hingga persawahan yang curam lagi terjal. Mereka bekerja sekitar 8 hingga 10 orang secara berjalan mundur bersama. Kegiatan ini memang mirip dengan persawahan pada umumnya di dataran rendah seperti petani padi dan jagung. Yang membedakan hanya letak tanahnya saja yang terjal di atas pegunungan. Para Petani kentang ini memulai pekerjaannya dari pagi sekali sebelum matahati terbit ketika udara sangat-sangat dingin mencekam hingga sore hari yang mulai sejuk dan siulet.

Selain para petani pembuat sawah dan petani yang menanam bibit kentang, masyakarat Dieng juga ada yang bekerja sebagai pemikul. Pemikul ini ada beberapa macam seperti pemikul kentang dan pupuk. Para pemikul kentang di Dieng berjalan dari persawahan di atas bukit menuruni jalan setapak menuju tempat tengkulak berkumpul. Mereka berjalan beberapa kilometer panjangnya dengan memikul kentang yang beratnya hampir 40kg lebih. Mereka bolak-balik membawa panen kentang dengan kekuatan yang sangat luar biasa. Mereka mengangkut kentang dengan menggunakan kekuatan pundak di bantu alat pemikul seperti rombong (karung yang terbuat dari anyaman bambu lalu di antara keduanya diberi bambu dibagian tengah untuk memikul).

Pemikul pupuk juga sangat luar biasa, mereka membawa pupuk yang sangat berat dari atas bukit menuruni jalanan terjal menuju persawahan dengan kekuatan punggung mereka. Pupuk-pupuk ini di angkut oleh truk dari luar Dieng menuju jalanan terdekat dari persawahan. Walaupun secara nyata tidak bisa dikatakan terdekat, karena dari perhentian truk tersebut para pemikul harus membawa lagi jauh ke dalam persawahan. Memang, jalur truk hanya bisa sampai di sekitar pos penurunan pupuk, selebihnya adalah jalan setapak yang medaki lagi terjal yang hanya bisa di jangkau dengan berjalan kaki.

Ketika Petualang berada di area wisata Dataran Tinggi Dieng, jangan heran ketika bertemu dengan banyak kelompok pengamen yang terdiri dari anak-anak muda yang membawakan lagu sesuai keinginan mereka sendiri. Biasanya pengamen ini berada dipintu masuk area wisata seperti Telaga Warna, Komplek Candi Arjuna, Sumur jalatunda, Kawah Sikidang dan beberapa tempat yang lain. Mereka hanya bernyanyi dan tidak meminta upah seperti pengamen jalanan yang lain. Namun mereka menyediakan tempat khusus yang terbuat dari kardus atau kaleng sebagai tempat para Petualang memberikan uang receh hingga ribuan. Tak ada salahnya Para Petualang memberikan uang seribu sambil menikmati pemandangan yang indah di Dieng dengan alunan musik jalanan yang menarik.

Alat musik yang digunakanpun tidak canggih, hanya gitar yang paling utama dan beberapa alat musik seadanya. Namun pembawaan para pengamen jalanan ini merupakan sumber mata pencaharian yang lain yang bisa dilakukan oleh masyarakat Dieng terurama oleh kaum muda yang bersemangat.

Selain bertani, masyarakat Dieng juga memiliki keunikan seperti fenomena anak berambut gimbal (keriting gembel). Banyak dari anak-anak yang lahir memiliki rambut gimbal, penduduk Dieng menghubungkan fenomena ini dengan hal-hal spiritual di lingkungan Dieng. Masyarakat Dieng berangapan bahwa anak berambut gimbal merupakan keturunan dari leluhur atau pepunden (pemimpin) Dieng jaman dulu kala. Rambut gimbal ini dipercaya tidak dapat dihilangkan begitu saja dengan mudah, keinginan untuk memotong rambut ini harus sesuai keinginan sang bocah dengan meminta hadiah tertentu. Dan kemudian upacara tertentu di adakan untuk melakukan prosesi pemotongan rambut tersebut.

Bertanam adalah aktivitas sehari-hari masyarakat Dieng, namun di Dieng juga sangat kental dengan kesenian dan budaya yang ada di sekitarnya. Beragam budaya kesenian muncul seperti Tari golek Gendong, yaitu sebuah kesenian mencari siapa yang digendong dan siapa yang mengendong. Kesenian masyarakat Dieng dimainkan dari kampung ke kampung disertai gending musik instrumental bende dan kendang yang menarik. Selain itu, ada kesenian yang lain seperti Tari Barongan macan, tari ini ada di dalam pertunjukan Lengger. Yang menarik dari Barongan Macan adalah daya tarik magic yang timbul ketika memainkan tarian ini dengan cara dirasuki sesuatu yang ghoib pada pemain Barongan Macan. Ketika membuat Barongan Macan, maka kepala barongan di semayamkan dahulu di salam wingit (tempat pemujaan) untuk mendapat kekuatan magis.

Kesenian lain yang ada di masyarakat Dieng adalah Tari Topeng. Tari Topeng dipentaskan saat perayaan tertentu atau ritual yang telah dijadwalkan. Dengan mengunakan topeng, para pemain membawakan cerita lokal yang berjudul Panji. Cerita Panji ini berisikan tentang pengembaraan Panji Asmarabangun atau Inukertopati dari kerajaan Kahuripan yang berkelana dan menyamar untuk mencari cinta atau kekasih. Kekasih itu tak lain adalah Dewi Candrakirana atau Sekartaji dari kerajaan Daha. Cerita Panji ini merupakan cerita asli dari Jawa, yang merupakan kisah dari kerajaan kuno jawa seperti Daha, Kediri, kahuripan, dan Panjalu. Dalam Tari topeng, disajikan lengkap dengan tari jaran kepang (kuda lumping) dan lengger. Tari jaran kepang mengambarkan tentang kejadian peperangan yang besar sedangkan

tari lengger mengambarkan tentan suka cita dan kegembiraan karena telah memenangkan peperangan.

2 dieng

ataran Tinggi Dieng, dengan semua ragam budaya dan keadaan alam yang sangat indah mengugah semua Petualang untuk menjadikan tempat ini menjadi salah satu jejak yang harus di torehkan di antara semua tempat yang menarik. Setelah sedikit mengulas tentang Dataran Tinggi Dieng (Dieng Plateau) tentang alam, sejenak untuk lebih menjelajah tentang budaya dan berbagai macam penginggalan sejarah yang sangat memukau dan luar biasa untuk disaksikan. Tidak ada salahnya sebentar untuk menenggok tentang Dataran Tinggi Dieng. Dieng adalah dataran tinggi di Jawa Tengah, yang merupakan wilayah Kabupaten Banjarnegara dan sebagian masuk di Kabupaten Wonosobo. Letaknya hanya beberapa kilometer ke arah barat dari kompleks gunung kembar Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Nama Dieng sendiri berasal dari Bahasa Kawi (jawa kuno) : “di” yang bermakna “tempat” atau “gunung” dan “Hyang” yang bermakna Dewa. Maka Dieng bisa berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam.

Dataran Tinggi Dieng selain alam yang indah, beberapa tempat menarik yang berkait dengan budaya dan candi bisa didapatkan di Dieng. Tempat tersebut berkumpul dalam satu komplek disekitar Kejajar. Sebelum mengulas tentang candi ada beberapa tempat tentang alam yang sangat bagus untuk dikunjungi, simak dulu.

Goa Jaran dan Goa Sumur, Goa Jaran dan Goa Sumur merupakan obyek yang terdapat disekitar kawasan Telaga warna. Goa jaran bentuknya sangat sempit sehingga tidak cukup muat ketika 2 orang berpapasan ketika dalam goa. Goa ini cenderung terbuka di bandingkan dengan goa-goa yang lain seperti goa semar dan gua sumur. Bisa jadi goa ini mempunyai ujung yang berada di sebelah belakangnya. Memang beberapa orang mencoba untuk masuk, dilihat dari beberapa jejak kaki yang terdapat di mulut gua hingga agak masuk ke dalam goa. Walaupun aktivitas tersebut tidak terlalu di anjurkan karena ketidaktauan medan goa. Sementara Goa sumur juga tertutup untuk umum, pintu goa yang di

kunci rapat sedemikan rupa sehingga Petualang hanya bisa melihat dari mulut gua. Namun itu tidak menjadi masalah karena memang kondisi Goa yang sangat gelap dan sempit untuk menjelajah masuk. Toh keindahan alam telaga warna dan Telaga Pengilon bisa menjadi pengobat yang sangat manjur.

Kawah Candradimuka. Kawah ini letaknya agak jauh dari Kejajar dan komplek candi. Candradimuka merupakan nama kawah dari cerita pewayangan mahabharata dalam kisah Gatotkaca Lahir. Dimana dalam cerita tersebut, kawah candradimuka letaknya di atas gunung dan sangat panas, yang digunakan untuk tempat pengemblengan (drill) Gatotkaca muda. Hampir sama seperti cerita tersebut maka Kawah Candradimuka juga berada di tempat tinggi dan sangat panas karena mengeluarkan asap belerang dari kawahnya. Kawah Candradimuka berbentuk memanjang  dan mengikuti aliran sungai. Kawah ini berasal dari sesar yang mengeluarkan uap panas, air panas, belerang dan lumpur. Aktivitas pemanasan berasal dari hidrotermal sisa gunung Jimat yang diperkirakan tidak aktif lagi ketika jaman kuarter tengah. Kawah ini sangat mirip dengan kawah yang berada di Candi Gedong Songo Ungaran.

Hampir sama dengan kawah Sikidang, yang mengeluarkan asap pada bebatuan sekitarnya dan memunculkan air panas yang berbau belerang. Kawah Candradimuka juga menunjukan aktivitas yang sama. Untuk mencapai Kawah Candradimuka tidak di anjurkan untuk memakai mobil (daily car). Kondisi ketika terakhir penulis kesana (2011) jalannya memang sangat tidak layak untuk dilewati kecuali kendaraan bermotor roda 2 dan sejenis jeep, itupun kendaraannya harus benar-benar dalam kondisi yang fit dan prima. Petualangpun harus ekstra hati-hati dan sabar ketika hendak menuju kesana. Jalannya merupakan jalanan berbatu yang sangat keras dan kasar. Tikungan yang tajam dan menanjak juga merupakan hambatan yang menarik untuk  diperhatikan. Beberapa truk pengangkut pupuk

juga lalu lalang menghantarkan dari bawah ke atas gunung, memang jalanan ini sangat layak untuk sejenis kendaraan seperti truk.

Sumur Jalatunda. Hanya beberapa menit dari komplek utama dan Kejajar, petualang bisa menemukan sumur berwarna hijau lumut dan besar. Cukup mudah untuk menuju ke Sumur Jalatunda, jalanan yang layak dan mulus untuk dilewati semua pengendara. Untuk tiket masukpun murah hanya sekitar Rp. 3.000,- dan ditambah biaya parkir. Hanya melangkah melewati tangga beberapa meter Petualang bisa mendapati sebuah sumur yang sangat eksotis. Diperkirakan sumur ini juga merupakan sebuah cekungan kawah air panas hanya saja sudah mengalami masa aktif sehingga hanya tersisa genangan air yang tidak panas. Karena bentuknya memang mirip sumur makan Petualang tidak bisa masuk mendekati sumur dan hanya bisa menikmati keindahan sumur dari atas bibir sumur saja. Tidak masalah bukan, pemandangan disekitarnya juga apik untuk dilihat.

Walaupun menjadi tempat andalan Dataran Tinggi Dieng, Sumur Jalatunda tidak terlalu ramai seperti di Dieng 1. Bisa jadi karena letaknya yang relatif sangat jauh dari Kejajar dibandingkan tempat yang lainnya. Di sumur Jalatunda memang tidak seperti tempat yang lain bebas melihat dari berbagai sisi. Sementara di sumur Jalatunda sendiri hanya disediakan ruangan sekitar 10 meter sebagai tempat untuk melihat keadaan sumur Jalatunda tersebut.

Candi-Candi Di Dataran Tinggi Dieng. Candi merupakan tempat untuk melakukan persembahan dan berdoa kepada dewa kala itu. Beberapa prasasti yang ditemukan menunjukan bahwa masyarakat ketika itu merupakan penganut Siwa. Salah satunya adalah prasasti Widihati yang ditemukan di Gunung Pangonan. Prasasti ini menorehkan beberapa coretan kecil bahwa tanah di Dieng merupakan Sima (tanah merdeka), maksudnya adalah hasil bumi diperuntukkan untuk Siwa. Dilihat dari bentuknya hampir semua candi di Dataran Tinggi Dieng merupakan candi Hindu. Hal itu bisa dilihat dari bentuknya yang mengkerucut kecil ke atas dan beberapa ornamen yang berada di dalamnya. Berbeda dengan kabanyakan bentuk candi-candi Budha yang tersebar di Jawa, dimana bentuk candi Budha lebih cenderung datar dan melebar walaupun mengkerucut ke atas seperti candi Borobudur di Magelang dan Candi Sari di Jogjakarta.

Ciri khas bentuk kebudayaan candi hindu adalah ornamen yang menghiasi bangunan candi tersebut seperti pipi tangga yang berada di kanan dan kiri anak tangga. Makara, adalah hiasan yang berada di sebelah kanan dan kiri bawah letaknya berada di pintu masuk. Kala, merupakan ornamen yang berada persis di atas pintu candi biasanya bentuknya wajah raksasa. Yoni dan Lingga, Yoni merupakan pengambaran dari aspek feminim atau wanita sementara Lingga merupakan simbol dari maskulin lelaki dimana keduanya merupakan pengambaran atas kesuburan dan simbol penciptaan, yoni dan Lingga tersebut bermakna bahwa di tanah tersebut berharap untuk selalu mendapat kesuburan. Biasanya Yoni dan Lingga ditempatkan dalam satu tempat berada di dalam tengah candi sementara di antara keduanya terdapat aliran air di bawahnya yang disebut dengan sumuran. Selain itu ciri yang lain adanya menara sudut yang berada di atas pojok 4 bagian dari badan candi bersebelahan dengan relung atap candi (atasnya kala). Juga kemuncak yang merupakan ujung paling atas sebuah candi.

Candi Bima. Bentuknya sangat besar dan tinggi, candi ini berbeda bentuknya dengan candi-candi di Dataran Tinggi Dieng yang lainnya yang mengkerucut kecil ke atas. Sementara candi Bima lebih datar di bagian atas. Candi Bima merupakan candi yang sangat tua, diperkirakan dibangun sekitar abad ke 7 sampai 8. Dilihat dari bentuknya candi Bima sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India. Bentuk candi Bima hampir mirip dengan candi Bubhaneswar yang berada di India. Bentuknya yang lebih cenderung kotak diyakini merupakan hasil perkembangan dari kuil dengan bentuk shikara (menara bertingkat).

Candi Bima letaknya sangat dekat dengan Kejajar. Petualang akan menemukan candi ini ketika hendak menuju ke kawah Sikidang persis di pertigaan antara komplek candi Arjuna dan Kawah Sikidang. Candi Bima ini hanya berdiri sendiri berjauhan dengan candi-candi yang lain yang berada di Dataran Tinggi Dieng. Walaupun begitu candi Bima sangat eksotis dan menarik, bentuk dan arsitektur yang sangat mengah merupakan nilai tersendiri dari sebuah bangunan sejarah. Pintu candi bima yang berbeda dengan candi yang lain juga menjadi keunikan tersendiri. Beberapa Petualang lebih banyak melewatkan situs candi Bima ini, sehingga terkesan menjadi situs candi yang tidak terlalu fenomenal.

Candi Gatotkaca. Hampir sama dengan ayahnya, candi Bima. Candi Gatotkaca juga memiliki ciri yang sangat unik dan berbeda dengan candi yang lain. Hal itu nampak berbeda dilihat dari ciri-ciri candi Hindu kebanyakan yang mengkerucut (kemuncak) ke atas. Dilihat dari bantuknya candi Gatotkaca besar dan kotak seperti situs Bima namun lebih kecil dan ramping. Candi ini mudah ditemukan karena letaknya persis di pinggir jalan berseberangan dengan Museum Kaliasa yang berada di depannya. Letaknya juga berada di pintu masuk candi komplek candi Arjuna. Sama dengan kondisi ayahnya, candi Gatotkaca juga bukan merupakan tempat pilihan utama dari Dataran Tinggi Dieng. Walaupun begitu, candi Gatotkaca sangat indah untuk dilewatkan begitu saja oleh para Petualang.

Candi Setiyaki. Candi ini hanya beberapa meter dari candi Gatotkaca dan Komplek candi Arjuna. Apabila petualang hendak menuju komplek candi Arjuna,disarankan untuk mampir melihat eloknya candi Setiyaki. Bentuknya lebih persegi dan kecil dibandingkan dengan candi Gatotkaca. Beberapa bangunan candi ini nampaknya telah tidak berada di tempatnya, entah belum di temukan atau di bawa ke museum. Candi Setiyaki merupakan perpaduan yang khas, bentuknya kotak namun cenderung mengkerucut ke atas. Mirip dengan situs candi Gebang yang berada di Jogjakarta. Untuk menuju candi Setiyaki memang harus melangkah dan berjalan kaki lebih jauh. Bukan jadi masalah, terik matahari yang silau terkalahkan dengan sejuknya alam dan udara Dieng.

Candi Arjuna. Komplek candi Arjuna berada persis di tengah Kejajar bersebelahan dengan Candi Gatotkaca, Museum Kaliasa, Candi Setiyaki dan Desa Kejajar. Candi ini berjumlah 5 buah dengan arsitektur yang sangat indah. Bentuk candi arjuna sangat umum di temui pada ciri khas kebudayaan candi Hindu di Jawa. Jumlanya yang banyak menjadikan candi Arjuna sangat menarik untuk di kujungi. Persamaan jumlah dan bentuk candi arjuna bisa di temukan di situs Candi Gedong Songo Ungaran tepatnya berada di candi ke-3 dan candi Ijo yang berada di Jogjakarta. Dimana di Candi 3 Gedong Songo nampak 2 buah candi Utama didepanya terdapat tempat pemujaan yang lain yang berbentuk balok persegi panjang. Sementara Candi Ijo juga nampak sama dengan 1 buah candi utama yang besar di depannya terdapat 3 candi kecil yang berbentuk kotak namun lebih mengkerucut ke atas.

Candi Arjuna merupakan tempat utama perjalanan ke Dataran Tinggi Dieng, istilanya candi arjuna menjadi persingahan yang utama dibandingkan dengan tempat yang lain. Candi ini berada di lingkaran Dieng 1. Dikelilingi oleh danau dan persawahan kentang menambah daya tarik tersendiri. Tempatnya sangat bersih dan nyaman untuk di kunjungi.

Dieng Plateau Theater (DPT). Merupakan pengambaran sederhana tentang Dataran Tinggi Dieng. Didalamnya Petualang bisa melihat film dokumenter tentang sejarah terbentuknya Dataran Tinggi Dieng dan Kebudayaannya. Masuk ke DPT, petualang akan lebih memahami tentang Dataran Tinggi Dieng secara umum. Untuk masuk ke DPT petualang hanya menunjukan Tiket Terusan yang di beli ketika akan masuk ke komple Dieng 1 seharga Rp. 12.000,-. Namun apabila Petualang lupa untuk membeli tiket terusan, bisa juga membeli tiket di DPT seharga Rp. 5.000,-. Masih banyak tempat menarik yang berada di Dataran Tinggi Dieng yang terlewatkan. Petualang bisa menjelajah dan eksplore suka-suka disekitar Dieng Plateau.

1 dieng

Dieng, biasa di sebut dengan Dieng Plateau (dataran tinggi) merupakan jajaran pegunungan berapi yang telah mengalami masa surut atau mati.  Dieng terletak di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Untuk wisata di Dieng sendiri terletak di Kejajar, Dieng Kulon ( barat) dan Dieng Wetan (timur). Dataran tinggi Dieng terletak di koordinat 7°12″ Lintang Selatan dan 109°55” Bujur Timur , berdekatan dengan pegunungan kembar Sindoro dan Sumbing yang terletak di kabupaten Wonosobo. Dalam sejarahnya Dataran Tinggi dieng adalah kawah mati yang terisi air dan terjadi pengendapan serta pengeringan tanah. Dan setelah terjadi pengeringan Dataran Tinggi Dieng menjadi tempat suci wangsa Sanjaya, sekitar abad ke-6 M. Dalam coretan ini dibagi menjadi tiga bahagian karena banyaknya cerita dan gambar dari Dataran Tinggi Dieng yang sangat menarik untuk para petualang. Dan ini adalah coretan yang pertama dari tiga bagian (Trilogy of Dieng Plateau) : Alam Dieng :

Kondisi alam di Dataran Tinggi Dieng sangat sejuk bahkan teramat dingin untuk sebagian orang yang tak pernah menginjakan kaki di pegunungan. Untuk mencapai Dataran Tinggi Dieng, Petualang hanya perlu menyempatkan beberapa jam perjalanan yang menyenangkan. Beberapa bisa jadi altenatif, baik naik angkutan umum atau kendaraan pribadi. Jika Petualang memulai dari Jogja dengan menggunakan kendaraan pribadi,  jalur altenatif bisa melewati Ring Road Utara – Melewati jalur alternatif langsung ke Kretek Wonosobo – Kalibawang – Salaman Magelang – Kajoran – Wadas Lintang – Kali Kajar – Kretek – Kota Wonosobo – Dieng Plateau. Perkiraan waktu sekitar 3-4 jam. Untuk yang dari Semarang bisa mengikuti jalur : Semarang – Ungaran – Bandungan atau Ambarawa – Sumowono – Kaloran – Kota Temanggung – Kretek – Kota Wonosobo – Dieng Plateau. Waktu tempuh juga hampir sama sekitar 4 jam dengan kondisi jalan normal.

Dataran Tinggi Dieng cuacanya sangat dingin, jadi Petualang siapkan jaket yang mampu menahan dinginnya udara Dieng. Ketika musim kemarau, suhu malam hari bisa mencapai 5°C, apalagi ketika musim penghujan bisa mencapai suhu dibawah 0°C.  Kondisi ekstrim ini dimulai pukul 4pm hingga pagi jam 9am. Beberapa masyarakat sudah terbiasa dengan cuaca dingin, hal itu terlihat dari pakaian pertanian yang dipakai menutupi hampir semua badan sehingga mudah untuk bertahan di cuaca Dingin.

Petualang bisa jalan-jalan dalam sehari di tempat-tempat yang termasuk wisata Dieng 1 (satu), dikatakan demikian karena masyarakat Kejajar biasa menyebut lokasi yang dekat dengan komplek candi dengan sebutan Dieng 1. Atau alternatif lain dengan menginap dan melanjutkan hari esok ke Dieng 2 (Lokasi yang agak jauh dengan komplek candi) plus melihat sunrise di bukit Sikunir. Banyak Hotel dan Homestay yang tersedia dengan harga kompetitif. Untuk harga sewa homestay untuk satu kali chek in sekitar Rp. 250.000,-  hingga Rp. 350.000,-. Petualang bisa memilih homestay tergantung selera yang di inginkan, salah satunya adalah Homestay Dieng Pass kontak yang bisa dihubungi di nomor HP 085291250250 (Mas Agus) yang berada di pertigaan Kejajar,  persis di dekat komplek Candi Dataran Tinggi Dieng. # Tips Memilih Hotel.

Untuk memudahkan penjelajahan dieng, maka lokasi Dataran Tinggi Dieng (anggap saja) terbagi menjadi dua : Pertama, Dieng 1 : Telaga Warna, Telaga Pengilon, Goa Semar, Goa Jaran, Kawah Sikidang, Candi Bima, Komplek Candi Arjuna, Candi Setyaki, dan Dieng Plateau Teather.  Kedua, Dieng 2 : Sunrise Bukit Sikunir, Museum Kaliasa, Telaga Merdada, Kawah Candradimuka, Sumur Jalatunda, Telaga Drigo, Air terjun Sirawe, dan Telaga Swiwi. Atau Petualang juga bisa merubah tempat yang dikunjungi sesuka hati menurut keinginan selama masih sama atau berdekatan dengan obyek yang lain. Untuk harga tiket masuk (khusus untuk lokasi di Dieng 1 : Telaga Warna-Pengilon-Goa goa, Kawah Sikidang, Dieng Plateau Teather, Komplek Candi Arjuna) cukup murah hanya Rp.

15.000,- /orang dengan membeli tiket terusan di loket yang letaknya tak jauh dari Kejajar atau jalan yang akan ke Telaga Warna. Cukup murah bukan?

Nah, Berbicara tentang Dataran Tinggi Dieng tidak lepas dari keadaan alam yang mempengaruhi kultur budaya masyarakat dan tempat-tempat yang akan dikunjungi terutama kondisi alam Di Dieng. Dimulai dari Telaga Warna, hanya dengan menunjukan tiket terusan dan tambahan biaya wisata Rp. 3.000,- karena merupakan tempat wisata dan belum termasuk biaya parkir, Petualang bisa menikmati keindahan tersembunyi dari Telaga yang mampu berubah-ubah warnanya. Dalam satu paket petualangan mengintari cekungan Telaga Warna dan Pengilon, ditambah juga jajaran Goa seperti Goa Semar, Goa Jaran (ina : kuda), Goa Sumur, dan Batu Tulis. Telaga Warna sendiri terbentuk karena depresi di daerah antara gunung Prau dan Igir Binem sehingga menghasilkan cekungan luas yang berisikan material halus. Material halus ini diperkirakan dari berbagai tempat yang berkumpul jadi satu, seperti material halus yang berasal dari Kawah Sikidang yang berwarna putih. Sementara Piroklastik Igir memberikan material halus berwarna abu-abu, sedangkan gunung Pangonan menempatkan lumpurnya yang berwarna abu-abu kehitaman. Warna endapan material, kedalaman air telaga, ditambah pantulan dari sinar matahari menyebabkan air telaga berwarna-warni. Hmm, Nampak indah.

Sedang Telaga Pengilon letaknya persis disebelah Telaga Warna. Kalau air yang dihasilkan Telaga Warna bisa berubah-ubah, untuk telaga Pengilon airnya jenih dan sangat bagus ketika mata memandang. Bayangan tumbuhan bisa memantul di air telaga yang menciptakan ke unikkan alam yang sangat menajubkan. Pengilon (bahasa jawa) dari kata ngilo yang berati berkaca atau bercermin (bahasa indonesia). Pengilon bisa diartikan tempat bercermin atau cermin atau orang yang sedang bercermin. Bisa jadi karena telaga Pengilon sangat bersih dan bening jadi bisa untuk bercermin wajah (pengilon). Atau

definisi lain adalah sesuatu yang memancarkan pantulan sinar matahari secara khas sehingga membentuk pantulan (pengilon) yang sangat indah. Letak telaga Warna, Pengilon dan Goa berada di Dieng  1 (Satu) Sekitar 5 menit dari Tiket Terusan di sebelah kiri jalan dekat dengan pasar dan tempat parkir.

Goa-goa di sekitarnya juga merupakan cekungan batu yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Karena tempat goa ini menjadi satu kesatuan jalur. Hampir semua goa oleh Dinas Kebudayaan nampaknya di tutup untuk umum karena memang goa ini sangat sempit untuk dimasuki orang serta kondisinya yang sangat gelap ketika masuk tanpa penerangan sama sekali. Bisa jadi, goa tersebut menjadi daerah terlarang untuk dimasuki kecuali dalam prosesi tertentu atau orang tertentu. Masyarakat Dieng masih melakukan berbagi ritual yang bersumber dari mitos dan kepercayaan dari jaman kerajaan wangsa Sanjaya tersebut. Namun tak usah berkecil hati, karena disekitar goa disediakan banyak gazebo sebagai tempat duduk dan istirahat setelah kaki lelah menyusuri Telaga Warna. Tempatnya sejuk dan rindang, jadi petualag bisa nyaman dan enjoy menikmati alam Dataran Tinggi Dieng.

Kawah Sikidang, Kawah ini merupakan bagian wilayah dari Gunung Pangonan yang tertutup material disekitarnya dan bercampur dengan lumpur hidrotermal yang mempunyai kadar gas dan mineral tinggi terutama belerang. Umur kawah Sikidang Cukup lama, bermula dari jaman Plesitosen atas atau sekitar 250.000 – 10.000 tahun yang lalu. Hingga sekarang mineral ini masih aktif dan muncul di permukaan. Pemerintah

memanfaatkan kondisi tersebut untuk sumber energi bumi yang digunakan sebagai pembangkit listrik. Untuk masuk ke kawah Sikidang Petualang hanya menunjukan tiket terusan yang di beli tadi.

Letaknya hanya beberapa menit dari Telaga Warna melewati komplek Candi Bima yang berada di sebelah kiri jalan. Disebut kawah Sikidang karena letupan material panas yang di keluarkan dari dalam bumi bisa berpindah tanpa aturan mirip seperti Kidang (Ina : Kijang). Untuk mencapai Kawah Sikidang, Petualang silakan jalan lurus dari Telaga Warna lalu setelah bertemu pertigaan, belok kiri didekat sana ada Candi Bima, lalu tunjukan tiket terusan beberapa saat kemudian, sampai di area parkir dan pasar.  Tips : Belerang di Kawah Sikidang sangat keras dan berbau tajam, silakan untuk membawa masker. Kalau tidak bawa, di sekitar Kawah Sikidang menyediakan masker sederhana yang di jual seharga Rp. 5.000,- untuk 2 (dua) buah masker.

Telaga Merdada, Telaga ini merupakan bekas kepundan yang berisi air, sekaligus telaga yang luas di Dataran Tinggi Dieng. Airnya biru dan mempersona. Telaga Merdada sendiri berbentuk relatif lebih bulat dari pada telaga-telaga yang lainnya, hal ini dikarenakan Telaga Merdada merupakan sisa sebuah kawah dari Gunung Pangonan yang terbentuk sekitar zaman Plesitosen atau sekitar 500.00 – 250.000 tahun yang lalu. Kemudian tertutup oleh material yang ada disekitarnya, lama kelamaan menjadi tandon (tempat) air. Telaga Merdada ini letaknya agak jauh dari pusat komplek candi. Untuk menuju ke Telaga Merdada Petualang harus keluar dari Dieng 1 atau sekitar kawasan komplek Candi (Tulisan selanjutnya) menuju kelurahan Karang Tengah. Lalu berbelok ke arah kiri, jalanan memang tidak terlalu bagus dan mulus, namun Petualang bisa melewati dengan mudah.

Ketika Petualang memasuki Telaga Merdada, setiap pandangan adalah takjub. Karena Telaga Merdada benar-benar di kelilingi oleh perbukitan yang melingkar. Telaga ini seperti mirip dengan mangkok yang terisi air setengah, dengan bukit-bukit yang sangat tinggi dan curam. Air di Telaga Merdada sangat-sangat bening, hingga petualang dapat melihat tumbuhan yang ada di dalam telaga. Ganggang-ganggang tersebut nampak meliuk-liuk ketika air bergerak karena dorongan angin di atasnya. Luas, Bening, Indah, dan Menajubkan itulah kata yang tepat untuk menyebut Telaga Merdada di Dataran Tinggi Dieng.

Kawah Sileri, Kawah ini memiliki air yang berwarna keputih-putihan bening. Masyarakat Dieng biasa menyebutnya Sileri karena airnya memang mirip seperti Leri (air bekas mencuci beras). Kawah Sileri relatif bulat walaupun tidak sepenuhnya, kawah tersebut terjadi akibat sisa lubang kepunden dari gunung Sipandu yang muncul pada masa Pleistosen tengah sekitar 500.000 – 250.000 tahun yang lalu. Sisa kawah tersebut perlahan ditutup oleh material sekitarnya yang bercampur dengan lumpur hidrotermal. Patahan-patahan yang mengelilingi kawah Sileri sampai sekarang masih ada dan mengeluarkan gas dan larutan hidrotermal, gas ini lah yang digunakan untuk pembangkit listrik.  Apabila musim hujan, kawah sileri menjadi meningkat aktivitasnya karena banyaknya air yang masuk ke dalam kawah.

Beberapa keindahan alam yang lain seperti Kawah Candradimuka dan Sumur Jalatunda juga nampak sangat indah (Tulisan Selanjutnya). Dataran Tinggi Dieng juga mempunyai keindahan yang lain, keindahan yang tersembunyi walaupun sebenarnya nampak, yaitu jajaran pegunungan yang sangat indah dan menajubkan. Seperti ketika Petualang berada di Dieng Plateau Teather, dihadapan terhampar pegunungan melikuk yang sangat sejuk lagi indah. Juga hamparan sawah-sawah yang tertata rapi sedemikian rupa, dengan semua aktivitas masyarakat Dieng yang grapyak dan  sumeh.

Nah, Apabila Petualang masih pening dan belum faham dengan berbagai tempat yang menarik di Dataran Tinggi Dieng,