Dialog Sessi - tarjih.or.id

31
Dialog Sessi II I Ahmad Muhsin Kamaludiningrat: Bagaimana menyikapi budaya dalam kaitannya dengan syariah Islam, surat al-Maidah ayat 48 menegaskan bahwa Allah menurunkan kitab suci al-Qur'an untuk mendukung, membenarkan kitab yang lalu, tetapi Allah juga mengingatkan kepada Nabi Muhammad untuk tidak mengikuti keinginan mereka untuk menyimpang dari kebenaran al-Qur'an. Dan dalam ayat itu juga Allah menjelaskan bahwa masing-masing umat ini diberikan syir'ah wa minhaj. Syir'ah adalah jalan menuju kebenaran dan minhaj adalah metode untuk melaksanakan jalan itu atau untuk mencapai tujuan itu. Di sini juga ditegaskan kalau Allah dapat saja menjadikan umat manusia itu satu, namun Dia tidak menghendaki demikian dengan tujuan untuk menguji pelaksanaan minhaj dan syir'ah masing-masing umat itu. Oleh karena itu, Allah menggarisbawahi pentingnya fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan. Dengan demikian, Islam merespon keragaman dengan sangat baik dan mengakomodasi perbedaan jalan dan cara meraih tujuan hidup. Sessi ini akan didahului oleh prasaran dari Fathurahman Djamil dan Samsu Rizal Panggabean (keduanya menyampaikan makalah). lsmail Thaib: Islam itu mula-mula datang dalam keadaan asing, kemudian jadi biasa dan tidak asing lagi. Namun pada akhimya Islam akan menjadi asing keinbali. Kapan Islam menjadi asing lagi belum diketahui, hanya Nabi pernah katakan, "alangkah baiknya orang- orang yang asing itu tadi". Istilah asing sekarang ini mungkin wujudnya adalah fundamentalisme dan semacamnya. Mereka

Transcript of Dialog Sessi - tarjih.or.id

Page 1: Dialog Sessi - tarjih.or.id

Dialog Sessi II I

Ahmad Muhsin Kamaludiningrat:

Bagaimana menyikapi budaya dalam kaitannya dengan syariah Islam, surat al-Maidah ayat 48 menegaskan bahwa Allah menurunkan kitab suci al-Qur'an untuk mendukung, membenarkan kitab yang lalu, tetapi Allah juga mengingatkan kepada Nabi Muhammad untuk tidak mengikuti keinginan mereka untuk menyimpang dari kebenaran al-Qur'an. Dan dalam ayat itu juga Allah menjelaskan bahwa masing-masing umat ini diberikan syir'ah w a minhaj. Syir'ah adalah jalan menuju kebenaran dan minhaj adalah metode untuk melaksanakan jalan itu atau untuk mencapai tujuan itu. Di sini juga ditegaskan kalau Allah dapat saja menjadikan umat manusia itu satu, namun Dia tidak menghendaki demikian dengan tujuan untuk menguji pelaksanaan minhaj dan syir'ah masing-masing umat itu. Oleh karena itu, Allah menggarisbawahi pentingnya fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan. Dengan demikian, Islam merespon keragaman dengan sangat baik dan mengakomodasi perbedaan jalan dan cara meraih tujuan hidup. Sessi ini akan didahului oleh prasaran dari Fathurahman Djamil dan Samsu Rizal Panggabean (keduanya menyampaikan makalah).

lsmail Thaib:

Islam itu mula-mula datang dalam keadaan asing, kemudian jadi biasa dan tidak asing lagi. Namun pada akhimya Islam akan menjadi asing keinbali. Kapan Islam menjadi asing lagi belum diketahui, hanya Nabi pernah katakan, "alangkah baiknya orang- orang yang asing itu tadi". Istilah asing sekarang ini mungkin wujudnya adalah fundamentalisme dan semacamnya. Mereka

Page 2: Dialog Sessi - tarjih.or.id

memperbaiki apa yang dirusak oleh manusia atas nama dinamisme. Menurut saya, syariat Islam itu tidak dinamis, statis. Misalnya, shalat itu tidak dinamis, karenanya syariat tidak berkembang, apa adanya kita laksanakan sampai kiamat. Tapi memang ada tempat-tempat bisa dipanggang dinamis, yakni bidang-bidang muamalah. Akan tetapi moral bukan termasuk wilayah dinamis, ia absolut dan tidak berubah. Orang jujur kapanpun itu bagus, memang ada waktu tertentu yang dibenarkan oleh agama untuk berbohong, misalnya waktu berperang. Jika kita memahami syariah itu dinamis, nanti berubah semua syariah. Ada yang namanya ta'abud, itu tidak berobah. Ada ibadah khas dan 'am itu, dimana dalam ibadah 'am hanya diatur prinsip-prinsipnya saja.

Dalarn persoalan agama, ad-din itu satu adanya. Sejak Nabi Nuh sampai Nabi Musa tidak pernah berubah, itu yang diwasiatkan betul kepada Nabi Muhammad, mungkin kaifiyahnya yang berubah- ubah, tapi syariahnya tidak tetap. Misalnya, kurban pada masa Nabi Ibrahim dengan roti, namun oleh beliau diganti karnbing, sekarang kita mengikuti contoh itu. Apa yang dilakukan Umar bin Khattab sebenarnya tidak mengubah apapun, tapi dengan mempertimbang- kan situasi budaya ia melakukan perubahan dalam penerapan syariah, tatbiqunnas. Ketika Umar tidak memberi zakat kepada orang muallaf, itu bukan mengubah nash tapi konteksnya, karena pada waktu itu orang muallaf tidak ada lagi, yang muallaf tidak ada lagi sifat muallafnya. Demikian juga dalam hal ghanimah.

Syariah memang normatif tapi juga memiliki etik, sebagaimana hukum memiliki moral. Ayat-ayat hukum memang sedikit, karena ia menyangkut soal-soal yang ta'abudi, sod-sod pokok yang dirinci oleh al-Qur'an. Tidak semua ayat hukum ada sabab nuzulnya. Kalau kita cenderung pada pikiran Ibnu Taimiyah, maka sabab nuzul itu hanya sekedar untuk memahami ayat kalau diperlukan, kalau tidak perlu maka kita kembali pada teks. Memang betul jalan pikiran al- ibrah bi 'umumil lafdhi dan itu lebih singkat jalannya itu, walaupun memang ini persoalan besar. Firman qul ya ayyuhal kafirun, menurut kaidah ini kafirun tidak semata orang-orang kafir yang hidup pada masa Nabi, seperti Abu Lahab, Abu Jahal, dan sebagainya, namun juga termasuk semua orang kafir hingga sekarang.

Apakah at-ta'addud fil 'ibadah dibolehkan? Keberagaman dalam ibadah boleh tidak? Muhammadiyah sudah memiliki kaidah

Page 3: Dialog Sessi - tarjih.or.id

at-tanawwu' fil 'ibadah, asal punya argumentasi tidak hanya asal- asalan.

Abdurrahim:

Saya menilai uraian Fathurrahman Djamil terlalu menukik kepada syariahnya sehingga permasalahan bagaimana Islam itu menghadapi multikulturalisme kurang disentuh. Oleh sebab itu, sebaiknya kita jadikan Islam itu sebagai satu prinsip, keseluruhan- nya dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat. Multikultural itu memang ada dalam masyarakat, dan melekat di dalamnya. Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah disebutkan bahwa manusia itu menurut tabiatnya, menurut kodratnya memang sudah madani, budayawan, termasuk orang Islam itu madani. Fungsi wahyu adalah kontrol atas fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Kalau dilihat dari segi tekstual rasa-rasanya sulit untuk menemukan, tetapi kalau kita menggunakan pendekatan kontekstual atau falsafah, sejarah, dan fenomenologi, kita akan temukan kontrol itu. Islam pada waktu datang, kehidupan manusia berprinsip pada adat istiadat, adat yang dijadikan ukuran. Jadi dikatakan umpamanya dalam al-Qur'an: "mengapa anak laki-laki itu kamu sandarkan kepada Tuhan sedangkan anak-anak perempuan tidak, itu karena kamu senang kepada anak laki-laki". Adat istiadat saat itu membuat orang malu punya anak perempuan, tidak keluar beberapa hari. Punya anak perempuan itu hanya bikin masalah. Islam memberikan suatu pedoman bahwa adat semacam itu tidak benar. Salah hanya mengikuti apa yang sudah te jadi pada nenek moyang. What was good enough for my father was good enough for me, apa yang ditinggalkan oleh nenek moyang sudah cukup untuk kami. Seperti juga dialami oleh Muhammadiyah ketika menghadapi masyarakat pada waktu berdiri. Karena itu ungkapan di atas diganti dengan "what was good enough for my father was not good enough for me." Jadi, meskipun sekarang ada multikulturalisme dan sebagai- nya, jangan hanya diambil polos-polos, kita kasih bungkus, kita isi, kita suntik kalau perlu supaya dinamis dan dapat dipakai bersama- sama dengan masyarakat.

Kedua, dalam masyarakat yang terus berkembang yang tidak baik hams diganti, yang baik diteruskan sehingga terjadilah apa

Page 4: Dialog Sessi - tarjih.or.id

DIALOG SESSI Ill

yang diqaulkan para ulama al-muhafadlah ala al-qadim al-shalih wal akhdz bi al-jadid al-ashlah, prinsip mengubah apa yang tidak baik, dan mengambil yang terbaik. Misalnya, usturah atau cerita dari mulut ke mulut, legenda, kadang-kadang mengalpakan manusia. Di dalam al-Qur'an disebutkan tilka asatirul awwalin, yang disebut dengan asatirul awwalin adalah bahwa pada saat itu yang dijadikan dasar oleh orang Arab adalah keyakinan bahwa Tuhan itu mempunyai istri dan anak-anak perempuan, lalu Tuhan kawin dengan Malaikat dan mempunyai anak-anak yang disebut Latta, Uzza, dan Manat. "Apakah kamu tidak melihat Latta, Uzza, dan Manat sebagai simbol-simbol Tuhan". Nah, ini kan budaya. Inilah yang dimusyrikan oleh Islam. Segala sesuatu yang bersifat syirik meskipun itu sudah turun temurun di masyarakat dan sudah menjadi sesuatu yang merasuk dalam pikiran perlu dihindarkan. Sebagai gantinya al-Qur'an menyuruh kita memperhatikan ayat-ayat kauniyah, w a qul undzuru madza fis sama'i wama fil ardl. Coba lihat bintang-bintang di malam hari, berapa galon minyak dibutuh- kan untuk mengganti bintang-bintang dalam satu malam saja. Itu merupakan satu ayat bagi kamu kalau kamu mau berpikir. Jadi untuk mendapatkan kebenaran kita perlu mengadakan penelitian-peneliti- an di mana saja. Untuk menemukan prinsip-prinsip kehidupan dalam pluralitas, pengalaman periode Mekkah dapat dijadikan landasan untuk menyusun prinsip-prinsip hidup bersama, prinsip- prinsip untuk mengendalikan pluralisme dalam budaya. Dalam periode Madinah pun dapat dijumpai peristiwa-peristiwa yang bisa diambil hikmahnya tentang masalah ini, seperti fa 'fu anhum w a sawirhum fil amri: prinsip "pengampunan" dan musyawarah. Maka, orang berijtihad itu tidak boleh dihukum fa ashaba falahu ajrani fa akhtha'a falahu ajrun wahid. Nah, inilah prinsip demokrasi yang hams menjadi dasar kehidupan bermasyarakat.

Allah memberitahukan bahwa manusia itu sudah diberi hidayah, atau empat potensi yang dapat dikembangkan untuk meng- hadapi multikulturalisme. Pertama, hidayah fitriyah yang diberikan secara umum kepada manusia, seperti bayi lapar menangis, air susu ibu dihisap. Manusia kalau menggunakan ini dapat menyelamatkan komunitasnya di tengah-tengah kehidupan komunitas yang lain. Kedua, hidayah hissiyah, visible guidance dalam bahasa Inggrisnya. Disini manusia diberi kemampuan untuk mengamati apa yang di

Page 5: Dialog Sessi - tarjih.or.id

luar dengan panca indera. Ketiga, intellectual guidance, hidayah aqliyah. Semua yang dilihat oleh mata itu dinilai oleh akal. Orang mencelupkan batang kayu ke air kelihatannya bengkok, menurut akal itu pembiasan. Jadi, kalau kita melihat sesuatu jangan percaya dulu, perlu dipikir dulu. Terakhir adalah hidayah diniyah, yaitu kemampuan seseorang untuk menganalisis firman-firman Allah. Lha ini penunggu gawangnya.

Maryadi:

Fathurrahman Djamil di muka menyebutkan bahwa agama itu hakekatnya satu, yang berbeda adalah syariahnya. Kemudian disebutkan juga bahwa syariah itu dipengaruhi oleh kondisi objektif budaya. Katakanlah, syariahnya Rasulullah berada dalam konteks budaya Arab, apakah itu berarti syariah Islam dipenuhi oleh budaya- budaya Arab, atau dibalik budaya-budaya Arab itu sudah diislam- kan. Akhirnya ada orang-orang diantara kita yang Islam belum tahu pasti sebetulnya yang disebut Islam itu seperti apa. Misalnya, apakah yang dimaksudkan pakaian islam itu adalah jubah yang dikenakan oleh orang-orang Arab yang beriman dan juga kafir seperti Abu Jahal, Abu Lahab? Oleh orang Islam jubah digunakan sebagai simbol keislamannya, ketika shalat hams pakai jubah, apa itu juga Islam? Apa bukan Arab? Contoh lain, berbuka dengan kurma, apa semacam itu Islam atau budaya? Makan dengan tiga jari, tidak pakai sendok, apakah itu budaya atau Islam? Nah, ha1 semacam mi terjadi di lingkungan Solo. Ada kelompok-kelompok, kalau makan harus pakai tangan saja tidak pakai sendok. W u k a h kita pernilahan apa yang normatif, yang agama, yang syariah, dari yang budaya? Apakah kita bisa bicara demikian, karena ada yang mengatakan begini bahwa sebetulnya semua perilaku nabi dan apa saja yang dikatakan adalah wahyu. Sementara, sebagian orang membatasi bahwa nabi benar dalam semua masalah keagamaan, tapi kalau sudah bicara masalah keduniaan dia tidak maksum sehingga nabi bisa salah menasehati orang menanam kurma. Akhirnya nabi mengatakan antum ailamu bi umur dunyakum.

Pertanyaan kedua, apakah budaya Islam semasa nabi itu juga sudah diislamkan semua, termasuk budaya arab yang sekarang ini? Apakah kita disarankan untuk memproses budaya lokal ditempat

Page 6: Dialog Sessi - tarjih.or.id

kita hidup ini dengan syariah, pokoknya yang bukan model Islam ditolak, atau kita biarkan saja? Ini terkait dengan kasus yang disampaikan oleh Samsu Rizal Panggabean di muka bahwa pada hakekatnya kita melihat budaya itu memang plural baik internal maupun ekstemal. Apakah dengan adanya budaya yang multi itu sekedar kita ketahui secara kognitif, atau harus ada usaha-usaha untuk mengelola budaya itu?

Mujiono Abdillah:

Saya sependapat dengan Samsu Rizal Panggabean, bahwa multikultural itu adalah objective reality Pada saat yang sama saya merasa senang dan bahagia ketika Abdurrahim sudah mulai menampakkan wawasan multikulturalnya, secara kognitif beliau tadi sangat enjoy ketika menjelaskan bahwa multikultural merupakan suatu keniscayaan termasuk internal Islam. Persoalannya adalah bagaimana wawasan multikultural individu dapat dibahasakan secara institusional. Ini tentu saja memerlukan perangkat yang bisa menampung multikulturalisme dalam kehidupan imperium ke- muhammadiyahan. Nah, yang saya maksud adalah kita perlu pe- rangkat lunak berupa manhaj berbasis multikultural. Langkah strategis baik secara konseptual maupun praktis dibutuhkan secara bersama-sama agar Muhammadiyah tidak gamang. Kenyataan lapangan memang masih muncul konspirasi-konspirasi untuk menentang atau menghalangi kalau ada perbedaan.

Saya berpendapat bahwa ketika kita menangkap Islam, baik itu hukum ataupun ajaran, ada yang menggunakan pendekatan yuris-legis dan ada yang menganut pendekatan yuris-empiris. Selama ini yang berkembang dan populer itu adalah pendekatan pertama, yang selalu berpikiran nomatif, konseptual ideal tetapi mengesampingkan kenyataan empirisnya di lapangan. Sekarang memang ada trend baru, yaitu pendekatan yuris-empiris. Ketika kita hendak menggagas syariah multikultural, metodologi apa yang digunakan? Usul saya adalah bahwa perangkat metodologisnya adalah menggunakan usul fikih modem bahwa "perubahan sosial menuntut hukum Islam wajib berubah". Misalnya, undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang hukum perkawinan, menurut saya belum multikultural, karena di Indonesia hidup juga paham-paham

Page 7: Dialog Sessi - tarjih.or.id

RElNVENSl ISLAM MUCIIKUC[UML

semacam Syiah yang belum diwadahi sehingga kawin kontrak menjadi satu hal yang tabu. Apakah mungkin kita merevisi undang- undang nomor 1 tahun 1974 bahwa ragam perkawinan mencakup rumah tangga yang abadi dan rumah tangga relatif. Ini contoh syariah berbasis multikultural.

Wawan:

Menurut Sarnsu Rizal Panggabean, termasuk dalam semangat multikulturalisme apabila kita mempunyai satu sikap eksklusif terhadap keberagamaan kita. Saya sangat setuju dengan pemyataan itu. Sesungguhnya Rasulullah Muhammad Saw adalah model manusia multlkulturalis. Kita bisa melihat ketika beliau diberi label sebagai huluqun 'adzim, bagaimana kita memilah nabi sebagai se- orang manusia Arab dan nabi sebagai seorang manusia yang mere- presentasikan rahmatan lil alamin. Saya ingin menyampaikan ha1 ini karena ada kesulitan yang bisa jadi genting di lingkungan Muhammadiyah sendiri. Misalnya, dalam pengajian ranting Muhammadiyah di Kalasan, saya melihat orang Muhammadiyah menganggap bahwa mandi Jumat itu wajib berdasarkan Himpunan Putusan Ta rjih. Yang ingin saya katakan, kalau kita membaca hadis nabi berdasarkan pembacaan literal memang benar, cuma kita kan bisa membaca lebih dalam. Dengan pembacaan lain, mandi Jumat adalah wajib dalam konteks kultur Arab karena saat itu memang orang Arab jarang mandi. Rasulullah seolah ingin mengatakan kepada masyarakat Arab jahiliyah yang transisi ke Islam, "anda sekali seminggu mandilah". Dan mandinya dilakukan pada waktu tertentu, yaitu sayyidul ayyam, pada hari jumat. Man arada ahadukum an ya'tiyal jum'ata falyaghsil, dengan merujuk pada paham dzahiriyah, lam amar cendemng wajib, padahal sesungguh- nya pendapat jumhur tidak dernikian. Nah, kalau kita baca secara multikultural, dengan semangat usul fikih multikultural, maka akan muncul satu pemaharnan bisa jadi mandi Jumat itu tidak sunnah, karena kita orang Indonesia sudah terbiasa mandi sehari 2 kali. Ketika orang Arab tahu bahwa kita mandi sehari 2 kali bahkan 3 kali, mereka terkejut seraya bilang, "al-indonesiun kassamak", orang Indonesia itu ikan, pulang pergi ke air. Ketika air sekarang sudah ada pun orang Arab tetap mandi satu kali. Maka jangan heran kalau

Page 8: Dialog Sessi - tarjih.or.id

di sana minyak wangi sangat laku. Jadi, pakai minyak wangi pun perlu dibaca dalam konteks semacam itu. &ta menganggap pakai minyak wangi itu sunnah, karena nabi mengatakannya, padahal minyak wangi itu kamuflase karena jarang mandi. Kita menjumpai ha1 seperti itu dalam teks-teks keagamaan dan perlu kita pilah. Maka saya sepakat dengan Samsu Rizal, kita memang perlu membaca HPT tapi dalam implementasi ke bawah harus disadari banyak orang Muhammadiyah yang bacaannya juga beragam, luas, di sinilah muncul keragaman ber-Muhammadiyah.

Isteri saya semula berpaham keagamaan Persatuan Islam (PERSIS). Sampai sekarang jika tasyahud dalam shalat digerakkan telunjuknya. Namun ia berorganisasi Aisyiyah, politiknya PKS, ibadahnya PERSIS. Saya tidak bisa menentang karena dia punya pendapat itu. Kami lebaran 2 kali. Bagi kebanyakan orang itu aneh termasuk mertua saya sendiri. Untuk mempraktekkan ha1 seperti itu dibutuhkan semangat multikultural dalam diri kita. Hanya yang saya ingin sampaikan adalah ketika masalah ini dibaca oleh kaum awam, termasuk dalam Muhammadiyah, memang tidak mudah. Saya melihat ada proses penyadaran yang tidak mudah terhadap mereka.

Tadi secara berulang-ulang dikutip dari pendapat asy-Syatibi, saya ingin menyampaikan bahwa kalau tidak salah pernah mengatakan bahwa syariah yang muncul di Mekkah itu adalah syari- ah yang universal, bahasa yang digunakannya adalah ushuliyah, as-suwar wa ayyatul Makkiyah ushuliyah, wa qath'iyah. Sementara hukum atau syariah yang muncul di Madinah adalah partikular, juz'iyah. Nah, kalau kita berangkat dari semangat itu, saya kira kita akan bisa menempatkannya dalam kontek kekinian di Indonesia, bahwa memang dari awal praktek-praktek hukum yang di Madinah itu adalah sebagai praktek hukum yang bisa dan sangat mungkin kontekstual, apalagi kalau dibawa dalam konteks keindonesian. Persoalannya adalah ketika itu dibawa dalam konteks keindonesiaan dan saya berangkat dari semangat bahwa kita harus eksklusif dalam beberapa ha1 sebagai bagian dari multikulturalisme, berarti kita juga boleh menawarkan satu semangat Islam yang kontekstual di dalam bahasa hukum nasional. Dengan demikian, kita sudah memasuki wilayah politik hukum sehingga ada warna Islam di dalam hukum positif kita. Kuntowijoyo pernah menawarkan strategi objektivikasi.

Page 9: Dialog Sessi - tarjih.or.id

RElNVENSl ISLAM MULTIKULTURAL

Dahwan:

Pertama kami menyampaikan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada pemrasaran berdua atas makalah yang ditulis secara baik sehingga saya mengatakan enak dan perlu dibaca. Demikian pula penyampaiannya perlu dan enak untuk disimak. Dalam rangka mencari format syariah multikultural, sesungguhnya yang diupayakan itu "mencari format" ataukah "memformat kembali"? Menurut saya, karena ada perubahan-perubahan sosial, perubahan- perubahan kultur, ini mengharuskan kita sekarang untuk mernformat kembali. Namun dalam konteks ini pula saya agak gelisah dengan sebuah adagium yang mengatakan bahwa al-hukmu taghayyur bi at- taghayyur al-azminah wal amkinah wal a w a ' i d (hukum itu berubah seiring berubahnya zaman dan tempat), karena ia seolah- olah akan memposisikan syariah hanya sebagai dependent variable. Dan budayalah yang punya pengaruh dominan dalam penetapan- penetapan hukum syariah. Namun setelah diuraikan secara lisan oleh Fathurrahman Djamil, bahwa ada juga posisi syariah itu sebagai independent variable, maka kegelisahan ini menjadi semakin hilang. Karena memang, kalau kita baca dalam kitab Asais Tarikh Fiqh al- Islami atau dalam kitab lain Nash 'a t al-Fiqh al-Ij t ihadi w a Tathawwuruhu, salah satu penetapan hukum Islam itu adalah untuk mengubah perilaku sosial. Jadi, saya sepakat dengan dua macam variable di atas. Cuma persoalan yang akan muncul adalah dimana- kah letak batas dua variabel ini? Menurut saya, ada persamaan antara keduanya, yakni bemuatan dan mewujudkan kemaslahatan. Namun ketika kita akan mencoba menginterpretasikan kemaslaha- tan yang cocok bagi masing-masing tampaknya di sinilah kita perlu untuk berdiskusi lebih cermat sehingga jelas ciri-ciri maslahah yang hams menjadikan syariah sebagai independent variable dan ciri- ciri maslahah yang menjadikan syariah itu sebagai dependent variable. Apakah seperti yang dikatakan oleh asy-Syatibi dengan membedakan antara al-'ibadah w a al- 'adah, atau mungkin mem- bedakan antara ta 'abbudi wa ta 'aqquli, atau membedakan antara qath'i dan zhanny. Misalnya, shalat dikatakan sebagai ta 'abbudi, namun tidak berarti tidak ada unsur-unsur yang masuk wilayah ta 'aqquli di dalam shalat. Ketika orang menutup aurat dalarn shalat, tentu kita akan bisa menerima orang Solo menggunakan beskap, orang Jogja menggunakan surjan, orang Melayu menggunakan

Page 10: Dialog Sessi - tarjih.or.id

kerudung dan sejenisnya. Sehingga dalam masalah ta ' a b b u d i sekalipun ada unsur-unsur yang memungkinkan bercampur kuat dengan unsur-unsur budaya.

Sebagian besar negeri-negeri Muslim sekarang ini telah menjadi negara bangsa. Yang ingin kami tanyakan adalah apakah dasar dari kebangsaan ini, apakah kesukuan, ras, atau kekauman atau yang sejenis dengan ini, ataukah keagamaan seperti Islam misalnya. Namun saya percaya bahwa apapun dasar kebangsaan, pada tahap implikasinya tetap akan majemuk dan bervariasi. Demikian pula Islam, Islam itu majemuk, ada Sunni dan Syi'i, dan seterusnya.

M. Jandra:

Dalam rangka menemukan syariah untuk masyarakat multikultural, perlu ditegaskan fungsi pokok dari syariah, dimana letaknya al-Our'an sebagai hudan atau petunjuk dan pedoman. Karena di dalam masalah ini kita tidak hanya bicara apa yang senyatanya tapi juga berbicara tentang apa yang semestinya yang dapat memberikan tuntunan kepada masyarakat awam terutama. Keanekaragaman pasti membawa kepada perbedaan, dan perbedaan dapat membawa konflik, dan konflik bisa membawa kepada kekerasan. Tetapi perlu dicatat bahwa tidak semua konflik adalah kekerasan, karena perbedaan biasa saja merupakan konflik juga. Posisi syariah perlu dijelaskan di sini agar tidak seperti gerbong yang bisa ditarik-tarik oleh zaman dan budaya. Syariah harus menyesuaikan dengan budaya baik dengan pendekatan antro- pologis maupun sosiologis. Syariah seyogyanya memberikan tuntunan atau menjadi lokomotif bagi perubahan masyarakat dari yang biadab kepada yang beradab atau adat istiadat lama diganti dengan adat istiadat yang baik. Syariah perlu dipilah antara syariah yang tetap dan syariah yang berubah, ta'aqquli dan ta'abbudi. Jadi dalam hal ini, saya ingin mengetahui dari pengertian syariah yang lebih tegas agar dapat menyikapi kehidupan multikultural tanpa hams te jebak pada sikap toleran terhadap percampuran ritual, adat dan perayaan agama. Karena dalam al-Qur'an ada ayat-ayat yang mengatakan kita tidak boleh mengikuti adat istiadat orang-orang terdahulu

Page 11: Dialog Sessi - tarjih.or.id

RElNVENSl ISLAM MLILTIKULTUML

kehidupan multikultural bisa membawa konflik. Bagaimana solusi untuk mengelola ketegangan. Tadi disebut-sebut sistem millet, sebagai rejim multikultural untuk suatu negara kesatuan. Dengan multikulturalisme internal atau eksternal kita tetap berbeda tetapi dengan satu sistem tertentu kita bisa bersatu. Mungkin kita bisa arnbil contoh Pancasila. Pancasila adalah alat pemersatu bagi orang yang berbeda agama, suku dan paham. Walaupun dengan sistem itu ada satu pemaksaan untuk orang bersatu, seperti indoktrinasi P4 selama Orde Baru, sekarang Pancasila masih tetap menjadi dasar negara. Terhadap praktek-praktek di kalangan internal kita sendiri, perlu penafsiran-penafsiran dalam berpakaian, dalam makan dan segala macam. Nah, di sinilah kita perlu dialog untuk menemukan titik temu.

Yunahar Ilyas:

Seperti telah dijelaskan di muka bahwa syariah itu ada yang universal, substantif dan kultural, lokal, dan regional. Kalau di dalam kitab-kitab fikih klasik kita tentu saja tidak bisa menemukan pemilahan-pemilahan itu, padahal sekarang yang jadi pegangan masyarakat adalah kitab-kitab fikih itu. Oleh karena itu, mungkin kerja ke depan tidak hanya pada dataran yang paradigmatis tapi harus ada contoh. Kita mulai dari kitab fikih - tentang berbagai persoalan dari thaharoh, shalat, zakat, puasa, haji, perkawinan, warisan, harta benda, pidana, kenegaraan, dan lain-lain - manakah yang dapat dikatakan universal substantif dan mana yang di- pengaruhi oleh kultur lokal, regional, mana yang tetap dan mana yang berubah. Sebab dari makalah-makalah yang disampaikan umumnya miskin dengan contoh-contoh padahal kita perlu menerapkan teori itu dalam contoh. Misalnya, Paramadina sudah membuat fik~h lintas agama terlepas dari setuju atau tidak setuju. Nah, mungkin bisa juga dibuat contoh oleh Majelis Tarjih ini semacam fikih multikultural. Mulai dari shalat misalnya. Perlu dijelaskan di sana mana unsur shalat yang universal dan mana yang kultural. Waktu shalat 5 kali sehari semalam adalah universal, kaifiyahnya anggaplah bagian dari yang tetap, tapi pakaian dalam sholat, bangunan masjid, pengeras suara, bentuk mirnbar, sajadah itu adalah kultural, lokal dan regional. Mungkin bagi bapak-bapak

Page 12: Dialog Sessi - tarjih.or.id

yang mendalami fikih sangat mudah untuk membedakannya, tapi di lapangan terjadi problem demikian. Ada sebagian kelompok masyarakat menganggap jubah itu universal substantif, jadi kalau tidak pakai jubah berarti sudah melanggar. Jadi jubah tidak diakui sebagai bagian dari kultur orang Arab. Bahkan di Amerika sendiri orang-orang Arab di suatu negara bagian Dallas, bertengkar masalah karpet yang diberi garis untuk meluruskan shaf. Pada zaman nabi tidak ada garis-garis seperti itu. Nah akhirnya yang menang adalah yang tidak membolehkan pakai garis, lalu mereka yang bemazhab pakai garis keluar dari masjid itu dan membangun masjid baru yang memakai garis. Nah, perbedaan ini telah memperbanyak jumlah mesjid, jadi ada juga sisi positifnya, semakin berbeda semakin banyak masjid di Amerika.

Pakaian misalnya, mana yang substantif dan mana yang kultural. Kalau bagi Fazlur Rahman yang substantif dari pakaian wanita adalah menjaga kehormatan seorang perempuan. Terserah menurut kultur masing-masing mendefisinikan mana yang terhormat, kalau suatu masyarakat memandang rok mini yang terhormat, maka rok mini itu islami; kalau pakai cadar dianggap yang terhormat maka cadar itulah pakaian yang islami. Tapi pendapat yang lain mengatakan tidak demikian. Istilah "menjaga kehormatan" itu sangat relatif, tetapi menutup aurat itu konkret. Jadi, yang universal adalah menutup aurat, sedangkan model dan bahan bagian dari kultur. Dalam menyusun fikih multikultural itu seperti yang disampaikan oleh beberapa orang tadi, membutuhkan acuan. Tentu saja al-Qur'an dan sunnah, melalui penafsiran yang dianut. Perlu juga dijelaskan metode dalam merumuskannya, memilah-milah mana yang universal dan mana yang kultural. Kalau pertanyaannya sekedar makan dengan tiga jari itu terlalu mudah untuk dijawab, ada masalah-masalah yang lebih rumit lagi menyangkut harta benda, kenegaraan, bunga dan sebagainya. Apakah larangan bunga yang paling substantif itu adalah la tazhlimun wala tuzhlamun atau ziadahnya. Kalau ziadah 1% pun haram, tapi kalau la tazhlimun wala tuzhlamun itu relatif. Jadi tantangan adalah uji coba membuat eksperimen satu bab saja, tentang fikih yang multikultural.

Samsu Rizal Panggabean telah mengungkapkan bagaimana mengelola multikulturalisme internal dan eksternal itu sehingga

Page 13: Dialog Sessi - tarjih.or.id

RElNVENSl ISLAM MULTIKULTURAL

tidak menimbulkan konflik. Pertanyaannya adalah siapa berhak yang mengatur, otoritas itu diberikan kepada siapa? Paris dan Jerman melarang jilbab, sementara Iran mewajibkan jilbab. Indonesia mem- persilahkan sesuai pilihan mau jilbab atau tidak. Amerika melarang memakai jilbab didalam kelas sekolah pemerintah, kalau sekolah swasta dibolehkan. Dapatkah organisasi sosial seperti Muharnrnad- iyah atau masyarakat memperoleh mandat untuk mengelola multikulturalisme? Saya yakin kalau otoritas ini diserahkan kepada organisasi sosial, tentu hanya efektif untuk anggota organisasi itu semata.

Fathurrahman Djamil:

Ada banyak ha1 yang memungkinkan berbeda diantara kita dalam memahami satu masalah dengan pendekatan yang berbeda bahkan juga analisis dan spesifikasi metodologi yang mungkin berbeda pula. Berkaitan dengan klasifikasi tentang ibadah dengan muamalah, atau ibadah mahdlah dengan ghairu mahdlah, saya melihat bahwa didalam aspek ibadah mahdlah pun ada aspek-aspek yang memerlukan perhatian khusus dalam kaitan dengan multi- kulturalisme ini. Sebagai contoh, tentang uswah kepada rasul. Bagaimana cara membedakan rasul dalam kapasitas sebagai orang Arab dengan posisinya sebagai rahmatan lil alamin. Saya ingin membuat ilustrasi. Saya pernah membaca buku usul fikih ditulis oleh seorang Mu'tazilah Abu Husein al-Basri al-Mu'tazili. Dia mem- beri contoh ketika membahas at-ta'asi, cara-cara beruswah kepada rasul. Ilustrasinya begini: sahabat pernah shalat bersama nabi di suatu tempat yang tidak memakai atap, tentu di situ ada pasir begitu cukup panas, maka mereka biasa menggunakan sendal atau sepatu atau terompah, walaupun menurut sebagian yang lain katanya tidak boleh pakai sepatu. Ketika nabi di pertengahan shalat, diceritakan bahwa beliau mencopot sandalnya, sahabat di belakang otomatis ikut mencopot sandalnya, karena ada dalil idza raka'a farka'u (jika rukuk maka rukuklah mereka) demikian seterusnya semua harus mengikuti nabi. Ketika rasul mencopot sandal maka jamaah di belakang juga mencopot sandal. Kemudian nabi merasa kok sahabat saya ikut-ikutan. Selesai shalat langsung nabi menghadap kepada sahabat, "Kalian ngerjain apa tadi?". Kata sahabat, "Kami mengikuti

Page 14: Dialog Sessi - tarjih.or.id

engkau karena engkau mencopot sandal maka karnipun mencopot sandal". Apa kata rasul, "Saya dibisiki Malaikat Jibril, "dalam sandal saya ada kotoran". Nabi berkata, "bagaimana dengan sandal kalian, apa ada kotoran atau tidak?" "Tidak", jawab mereka. "Kalau begitu jangan h t - h t a n , " kata nabi. Ini sebagai ilustrasi betapa rasional- nya visi dari teks tadi, dan ingin menggambarkan bahwa tidak semua yang disarnpaikan oleh nabi, dan dilakukan oleh nabi itu ternyata harus diikuti.

Abu Hanifah tidak mensyariatkan duduk istirahah ketika berdiri dari sujud. Tapi Abu Hanifah mengatakan itu tidak masyru', mengapa? Karena menurut analisis rasional beliau bahwa yang dimaksud duduk istirahah adalah semata-mata dilakukan nabi ketika berumur sudah diatas 50-an tahun. Jadi harus ancang-ancang, dari bawah harus duduk dulu baru berdiri. Dengan analisis semacam ini sangat mungkin dalam bidang ibadah mahdlahpun banyak hal yang perlu kita lihat kembali. Dan ini tentu saja berimplikasi pada masalah bid'ah dan sunnah. Konon kabarnya Muhammadiyah generasi sekarang sudah tidak terlalu risau dengan bid'ah. Jadi, kalau memang ini te rjadi, saya kira ini merupakan peke rjaan rumah. Barangkali perlu ada semacam upaya untuk merumuskan ulang tentang bagaimana posisi sunnah dan kaitannya dengan aspek- aspek yang hams ditekuni.

Kedua, ada teori tasharrufaturrasul. Teori ini beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh Muhammad itu bisa multidimensi, multifungsi, baik dalam kapasitas sebagai rasul, sebagai manusia biasa, atau sebagai imam, sebagai kadi dan seterusnya. Saya kira pertanyaan yang pokok adalah bagairnana cara membedakannya? Ada teori lanjutannya yang mengatakan bahwa kalau perbuatan rasul dikukuhkan dengan qaul atau ucapan, itu pasti dalam kapasitas sebagai rasul, dan itu harus sami'na wa atha'na, tidak boleh menyirnpang sedikitpun. Tapi kalau perbuatan beliau tidak dikukuh- kan dengan pemyataan lisan maka itu dimungkinkan untuk berbeda dan itu hanya sekedar irsyadat atau petunjuk. Kita ambil contoh dalam shalat. Dalam sholat memang rasul mengatakan, setelah melaksanakan shalat beliau mengatakan shallu kama roaitumuni ushalli. Begitu juga haji, khudz 'anni manasikakum. Tapi berbicara tentang cara makan dan minurn, berpakaian, alhamdulillah sampai saat ini saya belum menemukan hadis yang berbunyi kulu kama

Page 15: Dialog Sessi - tarjih.or.id

akaltu misalnya, makanlah kalian sebagaimana aku makan. Bersyukurlah karena rasul memiliki visi multikultural, beliau temyata tidak ikut campus dalam masalah seperti itu. Nah, dalam aspek moralnya, sebelum makan membaca basmallah saya kira bersifat universal karena setiap agama apapun menganjurkan demikian. Tapi yang aneh justru kita jumpai orang Kristen Maluku misalnya, mungkin lebih sering berdoa sebelum makan daripada umat Islam, padahal Islam memberikan petunjuk yang jelas tentang masalah doa dan seterusnya.

Oleh karena itu, menurut saya teori tasharrufaturrasul dengan segala kelebihan dan kekurangannya mungkin bisa dipertimbang- kan, baik berkaitan dengan persoalan sekarang, atau mungkin kaitan dengan syariah di Mekkah dan Madinah.

Benar bahwa asy-Syatibi mengatakan ayat-ayat makkiyah itu universal, ushuliyah dan kulliyah, sedangkan ayat-ayat Madinah bersifat juz'iyah. Pendapat ini kemudian diadopsi dan diintrodusir lagi oleh para pemikir Muslim kontemporer yang mengatakan bahwa kalau umat Islam berhadapan dengan masyarakat yang beragam maka barangkali aspek Makkiyah yang hams dimunculkan ketimbang aspek Madaniyah. Tetapi sekali lagi tidak berarti bahwa kita tidak punya standar, standar yang saya tawarkan tadi itu kaitannya dengan al-kulliyatul khams, kemudian bagaimana cita moral dan cita etik yang ada di dalam al-Qur'an dan sunnah. Hanya saja kalau ditanya bagaimana metodologi yang perlu dikernbangkan, saya secara pribadi memandang manhaj tarjih sudah cukup. Misalnya, bayani yang selama ini dipakai oleh Majelis Tarjih, sekarang sudah mulai dilengkapi dengan burhani bahkan 'irfani. Bayangan saya, yang burhani itu adalah analisis seperti sosiologis, fenomenologis dan seterusnya. Dan karena itu tidak menutup kemungkinan penyelesaian masalah dengan manhaj tarjih yang ada, tinggal kita pikirkan implementasinya lebih jauh. Sekali lagi, secara metodologi saya kira kita sudah punya ushul fikih yang khas, walaupun mungkin belum begitu sempurna. Pandangan asy- Syatibi yang saya sebutkan tadi bisa juga dijadikan sebagai salah satu titik tolak untuk melihat persoalan-persoalannya secara lebih arif, dengan tetap punya konsistensi. Asy-Syatibi betapapun dia terkesan bermazhab substantif, saya kira ketika beliau menulis al-l'tisham , masih mengklasifikasikan bid'ah dan sunnah secara ketat juga. Saya

Page 16: Dialog Sessi - tarjih.or.id

kira ini menunjukkan bahwa beliau sendiri ingin membedakan bahwa dalam bidang ibadah mahdlah kita masih bisa jumpai bid'ah, sementara diluar ibadah mahdlah tidak ada bid'ah karena masuk katagori maslahah. Namun demikian bagaimana kita bisa menerima pandangan itu, saya kira kita tidak perlu ragu-ragu meski harus selektif dalam melihat persoalan ini sehingga kita mempunyai rumusan yang jelas.

Pada dasarnya fungsi al-Our'an dan sunnah adalah sebagai hudan dan orientasi rahmatan lil alaminnya akan tetap berlaku. Karena kalau tidak, ada semacam guilty feeling di kalangan masyarakat Muslim seolah-olah ini melanggar syariah normatif, padahal sangat mungkin banyak nuansa syariah historis dalam kehidupan beragama. Dulu kita mernbedakan antara fikih dengan syariah. Tetapi lebih dari itu kalau kita menggunakan pendekatan asy-Syatibi, syariah itu sendiri bisa dibedakan antara Madaniyah dan Makkiyah. Darinya kita mulai bisa melihat mana yang universal dan berlaku umum, dan mana yang regional atau lokal. Pada saat yang sama masih mungkin kita memberikan spesifikasi masing- masing sehingga ketika kita beramal dengan mengamalkan syariah yang normatif, tidak kehilangan identitas atau aspek-aspek yang sifatnya regional dan lokal.

Mengenai ad-din wahid wa syarai' mukhtalifah, saya kira ini bukan hadis, tetapi adagium yang pada dasarnya secara umum bisa diterima. Kita tahu bahwa agama samawi memiliki misi sama, tauhid. Bahwa masing-masing agama dan masing-masing nabi mempunyai syariat itu sebuah keniscayaan dan kenyataan. Pada masa nabi Adam kita tahu tidak ada syariat yang mengharamkan saudara menikahi atau menikahkan saudaranya yang lain. Tapi syariat nabi Muhammad dalam surat an-Nisa ayat 23 jelas tindakan itu haram. Oleh karena itu, menurut hemat saya ini mungkin kita perlu l~ha t lagi apakah, misalnya, sabab nuzul itu menjadi bagian dari proses pemahaman. Ibnu Taimiyah mengatakan sabab nuzul memang hanya sekedar membantu. Tapi apa tidak lebih baik bila kita coba renungkan kembali bahwa sabab nuzul itu juga bisa difungsikan untuk memahami setting sosial dan historis pada saat itu. Apalagi kalau pakai metode double movementnya Fazlur Rahman, akan semakin terlihat relasi antara sabab nuzul dengan kondisi sekarang sehingga konklusinya menyatakan Islam bisa diaplikasikan

Page 17: Dialog Sessi - tarjih.or.id

RElNVENSl ISLAM MULTIKULTURAL

walaupun mungkin berbeda dengan masyarakat yang ada pada ketika al-Our'an turun. Tapi sekali lagi ini memang perlu ada kesepakat an-kesepakat an walaupun mungkin akhirnya kita sepakat untuk tidak sepakat. Jadi, inilah ciri dari Muhammadiyah, kalau sepakat semua saya kira kurang pas. Oleh karena itu, saya setuju perlu ada ketegasan tentang masalah syariah yang bagaimana, dan aplikasinya dan kalau perlu Majelis Tarjih sudah mulai melihat persoalan ini secara lebih jernih termasuk perkawinan antaragama. Kalau baca fikih lintas agama, sudah mulai ada gambaran bahwa perkawinan semacam ini tidak lagi dilarang. Kita jangan apriori dan perlu mengkaji bagaimana posisinya, apakah larangan itu semata- mata larangan yang berdasarkan zatnya atau larangan karena saddudz dzari'ah misalnya. Ini perlu ada pemikiran yang seksama, termasuk dalam masalah bunga bank. Kalau memakai format yang saya gambarkan di muka, kecenderungan pelarangan bunga bank bukan pada ziadahnya tapi zhulmnya. Walaupun mungkin ini juga bisa diperdebatkan. Dan warga muhammadiyah mungkin juga bisa berbeda dalam masalah ini, namun demikian sekali lagi kita bisa mencoba melihat ini sebagai tahap awal untuk merumuskan posisi Muhammadiyah dalam konteks sekarang ini, termasuk merurnuskan manhaj yang multikultural.

Samsu Rizal Panggabean:

Menyikapi multikulturalisme internal dan eksternal kita mungkin perlu kembali kepada dasar-dasar yang sifatnya etis atau filosofis, dan ini memang pembicaraan yang agak rumit tetapi sangat jelas implikasi praktisnya. Pada tingkat etis dan filosofis kita masih harus terus galakkan pembicaraan mengenai bagaimana kita menyikapi keanekaragaman, apakah dengan pandangan absolutis, hanya ada satu kebenaran dan kebenaran itu ada di kita. Pandangan absolutis bisa saja dijumpai di Muhamrnadiyah, seperti kalau ada yang bertentangan dengan kita, misalnya cara istri kita shalat berbeda, kita pasti merasa terganggu baik secara sikap maupun secara emosi. "Oh, saya hams ubah cara istri saya shalat yang tidak benar, ngapain itu jari kok diputar-putar". Bagi penganut absolutis- me, hanya ada satu kebenaran dimana kita lahir, dibesarkan, disosialisasikan, diajari, Islam misalnya dan lebih spesifik lagi Muhammadiyah. Itu kebenaran yang akrab dengan kita, cocok, dan

Page 18: Dialog Sessi - tarjih.or.id

melekat. Sebaliknya, bagi pluralis orang lain juga punya kebenaran, namun bukan kebenaran milik saya karena saya tidak disosialisasi- kan di sana. Saya menganggap bahwa mereka absah dan benar, mereka bisa hidup, berhak hidup dan berhak menjalankan kebenarannya. Nah, posisi etis kita berada diantara yang absolutis dan yang pluralis, yaitu toleran. Jadi sikap toleran seringkali dianggap sebagai etika antara, antara absolutisme dan pluralisme, yaitu bahwa sebenamya bagi saya yang benar itu Muhamrnadiyah atau Islam, namun saya tetap mentolerir Kristen dan NU, membiar- kan mereka. Mungkin saya bisa berkenalan dengan mereka, bisa be rjualan dengan mereka, bisa membuat perusahaan atau pacaran atau apa dengan mereka tetapi sebenarnya itu hanya mentolerir mereka. Nah, kita masih hams perlu membicarakan masalah ini. Majelis Tarjih masih perlu membicarakan secara serius apakah secara etis sebenamya sikap kita terhadap perbedaan - absolutis, pluraliskah atau toleran. Kalau sikap absolutis yang diambil, sejauh manakah sikap absolut tersebut dapat ditolerir, apakah hanya menyangkut masalah-masalah ushul, sementara dalam masalah furu'iyah kita sangat pluralis misalnya. Nah, itu masih harus dibicarakan dan saya tidak berhak mendiktekan jawaban apa yang tepat untuk itu. Jadi kemungkinan-kemungkinan tetap ada dan itu harus dibicarakan. Karena kehidupan nyata sangat mendesak jawaban konkret. Seperti kasus natalan di Ambon, kalau orang Kristen merayakan natalan, panitia natalnya adalah orang Muslim. Mereka ini secara kultural sudah embedded didalam budaya Ambon termasuk hubungan antar umat beragamanya. Apakah harus seragam seperti itu? Mungkin untuk konteks komunitas Islam di Ambon hal seperti di atas mungkin dilakukan, namun tidak mungkin dilakukan di Jawa. Apa yang pantas di sana namun tidak pantas di sini. Jadi, seberapa jauh kita dapat memberi keleluasaan kepada perbedaan dalam praktek kehidupan. Nah, bagi mereka yang terbiasa natal bersama, mereka tidak merasa bersalah apalagi menganggap dirinya akan masuk neraka. Bahkan ada inovasi baru dalam hubungan antarumat beragama di Ambon, ada takbiran bersama antara Kristen dan Muslim. Jadi, sebenarnya pada tingkat ini sikap etis yang dikehendaki seperti apa? Saya tidak mau mem- berikan jawaban karena mungkin jawaban saya tidak relevan, tapi yang jelas kita hams mernikirkannya untuk mencapai kesepakatan,

Page 19: Dialog Sessi - tarjih.or.id

RElNVENSl ISLAM MULTIKULTURAL

setelah itu baru didakwahkan, bagaimana mendakwahkannya kepada orang awam. Mungkinkah ini masuk kedalam kurikulum kemuhammadiyahan misalnya, dari TK hingga universitas.

Persoalan kedua adalah bagaimana menyikapi keragaman pada tingkat sosiologis. Ada beberapa hasil riset yang menarik, salah satunya mengatakan bahwa pada tingkat sosial bagus sekali kalau kemajemukan, kelompok-kelompok multikultural dapat dijembatani oleh berbagai pola interaksi yang formal dan informal. Yang formal itu berupa assosiasi-assosiasi atau organisasi-organisasi yang anggotanya berasal dari kalangan multikultural. Sanagat bagu jika anggota partai, club-club masyarakat di bidang olahraga, di bidang bisnis, di bidang kegiatan-kegiatan sosial, bersumber dari keanekaragaman, karena kemungkinan untuk cross cutting, saling bertemu dan berjumpa, saling berbicara satu sama lain, dan kontak menjadi lebih besar. Pada tingkat sosiologis juga penting sekali apa yang disebut dengan interaksi-interaksi yang informal, seperti di pasar orang Batak tidak peduli paa siapa mereka membeli barang, kadang-kadang beli di toko Cina, kadang-kadang di toko Jawa, dan seterusnya. Pada tingkat masyarakat juga harus ada kemungkinan mendefinisikan pola-pola interaksi yang formal melalui assosiasi, organisasi, partai politik, karena banyak sekali partai politik membatasi multikulturalisme eksternal, bahkan internal. Pada tingkat ini cross cutting juga perlu sebab tidak bagus kalau misalnya saya sebagai orang Muhamrnadiyah, sekolah di sekolah Muhammad- iyah, belanja di warung atau tokonya orang Muhammadiyah, beristrikan orang Muhammadiyah, dan seterusnya. Kapan saya bertemu dengan orang yang bukan Muhammadiyah? Apa yang mereka pelajari dan bagaimana sikap mereka terhadap kemajemuk- an atau multikulturalisme internal dan eksternal itu harus kita bicarakan. Pendidikan multikultural perlu didiskusikan pada tingkat negara.

Sejarah negara-negara modern, dulu mereka menyebutnya negara bangsa sampai sekarang, asumsinya adalah satu bangsa, satu kultur punya satu negara. Jerman adalah negara, sekaligus bangsa. Perancis adalah negara dan bangsa. Sekarang mereka repot, di Inggris banyak sekali warga negara yang bukan Anglo Saxon tetapi orang India, Pakistan, Bangladesh dan mereka ini macam- macam, seperti kita juga, ada yang sekolah, terdidik, pencopet, tapi

Page 20: Dialog Sessi - tarjih.or.id

ada juga yang pintar sekali, kaya, politisi dan seterusnya. Mereka hams mendefinisikan kebangsaan Inggris itu apakah berdasarkan ras Anglo Saxon semata, atau juga meliputi orang-orang keturunan Asia Selatan. Apakah mereka yang non Anglo Saxon berhak disebut english? Sekarang diakui bahwa mereka juga termasuk english. Jadi, ada transformasi ketika kebangsaan itu meluas dari basis nation atau kultur menjadi citizenship. Perkembangan selanjutnya memang mengarah agar sebaiknya kebangsaan itu adalah citizenship basis- nya, kewarganegaraan, tidak peduli warna kulit, agama, suku, dan sebagainya. Mereka yang warga negara berhak diperlakukan sama oleh negara. Tetapi dengan munculnya multikulturalisme, kalau semua warganegara diperlakukan secara sama padahal senyatanya mereka tidak sama, persoalan ini menjadi rumit. Misalnya, di Inggris ada beberapa kasus mengenai shalat pada saat hari Jumat. Orang Muslim hanya diperkenankan istirahat selama 1 jam, sementara mereka harus shalat jumatan, dan makan siang, belum lagi jika khutbahnya panjang. Dalam konteks ini, mungkin negara harus lebih bersikapi multikultural juga, harus ada perlindungan terhadap yang minoritas. Kalau kita menganggap orang Indonesia itu hanya orang Islam, lalu dikemanakan orang lain agama? Saya pernah ke Bima itu, pesawat saya mendarat jam 12. Saya sebelumnya di SMS oleh teman, pak nanti kami baru bisa menjemput bapak jam 2 karena di Bima sekarang, berdasarkan surat edaran dari bupati, bahwa pada hari Jumat antara jam 10 sampai jam 2 siang mobil tidak boleh ber- keliaran karena shalat Jumat. Padahal bandara di sana tidak memiliki free shops, tidak ada tempat minum kopi yang enak, tidak ada tempat lukisan untuk dilihat-lihat. Jadi kita memang perlu hati-hati, bagaimana dengan orang yang sedang musafir, wong agama kita memiliki ketentuan untuk yang musafir. Orang Hindu juga begitu, mereka tiru-tiru, kalau hari nyepi maka tidak boleh ada pesawat yang mendarat di Ngurah Rai, baik untuk connecting flight bahkan mengisi bahan bakar sekalipun. "Kalau nyepi, ya hams sepi", kata orang Hindu. Lalu bagaimana kalau orang Muhammadiyah di Bali, atau orang Islam mau jalan-jalan, ya tetap tidak boleh karena ada perda yang melarangnya. Sebagian orang Islam ingin kalau orang mencuri dipotong tangannya, kalau tidak Jumatan 3 kali dicambuk. Seperti dalam rancangan qanun Aceh, ketika masih draf rancangan disebutkan bahwa cambuknya berdiameter 1 centimeter, dari rotan,

Page 21: Dialog Sessi - tarjih.or.id

RElNVENSl ISLAM MUISIKLILTURAL

meniru Kelantan dan Trengganu. Tapi ketika menjadi qanun atau perda, ketentuan diameter cambuk berkurang menjadi 0,75 cm. Bagaimana kalau ada orang Muhammadiyah dan NU tidak mau dicambuk? Boleh tidak bersikap seperti itu? Dalam multikluturalisme mestinya ha1 itu hams dibolehkan sehingga orang-orang yang ingin menerapkan syariah juga plkir-pikir karena, dalam bayangan saya, mereka sebenarnya ingin menerapkan syariat itu dalam pengertian mereka ingin mengambil alih perangkat-perangkat negara untuk mendesakkan pandangan-pandangan sektoral atau pandangan- pandangan eksklusif mereka. Ini tentu saja bisa mengganggu multikulturalisme.

Page 22: Dialog Sessi - tarjih.or.id
Page 23: Dialog Sessi - tarjih.or.id

lndeks

absolutisme 31, 64, 250 acceptance 189 agama Barat 61 agama cinta 16 agama egalitarian 37 agama general 22 agama Jawa 286 agama kemarahan 16 agama lokal 287 agama monoteisme 44 agama murni 287 agama otentik 284 agama progress 282, 284 agama progresif-populer 281, 283 agama resmi 284 agama sintesis 237 agama universal 22 agree in disagreement 67, 238 ah1 Dzimmah 162, 163 Ahrnadiyah 223 Aisyiyah 179 aktivisme sosial 108 akulturasi 144 al-asma al-husna 122 amarma'ruf nahi munkar 263, 276 anarki sosial 71 anti-kekerasan 41, 46 antropologi agama 141 asimilasi 144, 227 Asya'irah 12 'Asy'ariyyah 159

badui 28 bahsul Masail 114 baku Bae 173 bayani 105, 112, 315 bhinneka tunggal ika 75, 164, 243 budaya dialog 252 budaya hinduisme-jawaisme 263 budaya Jawa 70 budaya konsumen 88, 97 budaya lokal 145, 167, 263 budaya media 89 budaya priyayi 70 bughot 110 burhani 105, 315

chauvinisme 246 chauvinisme rasial 34 civil religion 241 civil society 7, 247 clash of civilization 103 community development 273 consociation 237 counter-hegemony 8 cultural struggle 9

dakwah kultural 167,129, 138, 168, 261, 262, 264, 277

dar al-barb 163 dekonsentrasi tafsir Islam 283 dernitologisasi 272

Page 24: Dialog Sessi - tarjih.or.id

demohasi 202, 210, 239 demohasi sosial 247 depolitisasi 76 desentralisasi fikih 113 determinasi historis 107 determinasi kultural 107 determinisme kultural 109 dhamma 60, 62 diakonia 232 dialog 100 dialog agama 251 dialog antaragama 77, 78, 82, 235 dialog antarbudaya 224 dialog koeksistensial 257 dialog kultural 103 dialog seremonial 179 dialog sosial 79 dialogue of civilization 103 DIAN Interfidei 78 differance 6 dinamika sosial 254 disintegritas sosial 233 distributive justice 247 doa antariman 80 dunia multikultural 25 dzimmi 222

E

egalitarianisme 202, 246 egosentrisme 180 ekosistem 38 eksklusifisme 17, 100 eksklusifisme absolut 234 elan vital 87 emansipasi sosial 127 emosi nasionalisme 241 episteme 31 epistemologi posmodernisme 252 equal treatment 285 eros 14 esoterisme Islam 13 etatisme 110 etatisme agarna 11 1

etika Islam 101 etika lintas budaya 163, 165 etika multikultural 197 etika sosial 108, 148, 162, 188 etika sosial baru 108 etika sosial lama 108 etnisitas 241, 243 etno-phobia 243 etnosentrisme 36, 165 evolusi historis 235 evolusi kebudayaan 21, 26

fanatisme 31 fenomenologi agama 13 feodalisme 194, 246 fikih angkasa luar 113 Nuh demokrasi 113 fikih gender 114 fikihHAM 113 f i k h internet 113 fikihKKN 113 filuh lingkungan hidup 1 13 fikihlintas agama 311, 317 fikih multikultural 31 1, 312 fikih perburuhan 114 fikih pertanahan 114 fMh pluralisme 196 fikih struktural 113 fikih strukturalistik 113 formalisasi syariah 269 freedulent misrepresentation 92 fulfillment 189 fundamentalis 146 fundamentalisme 165, 244 furu'iyyah 159

gerakan sosial 281 gerakan transformatif 276 ghetto kultural 222 globaliasi 99 globalisasi 21, 232, 266

Page 25: Dialog Sessi - tarjih.or.id

globalitas Islam 100, 104 gnomologis 203 gnotisme 58

H

halaqah shalawat 169 harmoni 42 harmonisasi sosial 172 hedonisme 87 hegemoni 27 hermeneutika 188 hermeneutika dialektik 132 hermeneutika dialektika sosial 125 hermeneutika teks 125 heterofobia 160, 168 hijra council 236 hizbut tahrir 160 human agency 124 humanism 117 humanisme 178, 205, 206 hyleomorfis 212

I

ibadah ritual 167 ibadah sosial 167 ideologi membenci 39 imanensi 121 imperium multinasional 225 indeterminisme kultural 108 indikator iman 118 inklusivisme 100, 175, 201, 202 inklusivisme hegemonistik 234 interpersonal trust 35 'irfani 105, 128, 132, 315 islam abangan 286 islam altematif 3 islam garis keras 164 islam Inklusif 3, 6 islam jawa 159, 286, 287 islam liberal 160 islam modemis 264 islam multikultural 23 islam mumi 168

RElNVENSl ISLAM MULTIKULTUUL

islam Pluralis 201 islam populer 287, 288 islam priyayi 286 Islam progresif 281, 282 islam resmi 287, 288 islam santri 286 islam tradisionalis 3 islam transformatif 7, 8, 123, 124,

128 islarnic left 104 islamisasi 218, 224 islamisasi kebudayaan 22 istihsan 164 istislahi 164

jalal 14, 15 jalaliyah 15, 117, 135 Jamaah Islamiyah 161 jamal 14 jamaliyah 15, 117, 135 jihad 110 JIL 160

K

kalimah sawa' 25, 26 kapitalisme global 123, 125,

130, 133 karma 59 karma-samsara 60 keadilan gender 179 keadilan restoratif 43, 44 keadilan retributif 47 keadilan sosial 7, 239 kebijakan anti SARA 75 kebudayaan global 270 kejahatan hudud 219 kejahatan qisas 219 kejahatan ta'zir 219 kejawen 236 kekerasan 40 kekerasan langsung 39 kekerasan tak langsung 39

Page 26: Dialog Sessi - tarjih.or.id

kemusrikan sosial 123, 130 kerukunan antarumat beragama 77 kesadaran imajinatif 281 kesadaran kolektif 272 kesadaran kolektif 281 kesalehan sosial 105 kesatuan objektif 248 kesatuan primer 248 kesatuan subjektif 248 kiai internet 106 ko-eksistensi 31 koeksistensi damai 256 koeksistensi religius 237 kohesi sosial 38, 254 kolonialisme 236 KOMNAS Perempuan 78 komunitas basis 273 konflik agama 71 konflik politik vertikal 292 kon£lik rasial anti Cina 74 konflik sosial 243 konsosiasionalisme 226 konsultasi antaragama 77 kulturalisasi Islam 104

legal normatif 146 legal substantif 146 local knowledge 126 local wisdom 9, 126 Logos 59 lokalisasi akidah 112, 113 lokalisasi Islam 104

MADLA 78, 79 Madia Sin 95 mahabbah 117 Majelis Mujahidin Indonesia 160 Majelis'hqih 114, 119, 130, 134 Malino 72 manajemen multikulturalilsme 226 manhaj tarjih 315

ma'rifah 117 Mantis lama 238 maslahah 164 masyarakat bo juis 266 melting-pot 9 millet 162, 225, 311 minoritas non-Muslim 223 minority rights 227 miskin kultural 11 1 miskin struktural 11 1 missi 77 mitologi 272 Mocopat Syafaat 106 modal sosial 34 modernisasi 6 modernisme 99, 244 moksa 60 monokultural 178 monolog syariah 22 1 monopoli kepercayaan 88 moralitaskomunal 109 moralitas personal 109 moralitas publik 109 Muhammadiyah 35, 37, 158, 160,

167, 179 multikulturalis 30, 32, 38, 41, 59 multikulturalisme 5, 7, 17, 125,

158 multikulturalisme eksternal 221,

222, 319 multikulturalisme internal 217, 319 multikulturalisme revolusioner 175 multipartisme 216 Muslim bemawasan multikultural

172 Muslim lokal 286 Muslim modem 104 Muslim multikulturalis 37 Muslim tradisional 104 mutakallirnin 159 Mu'tazilah 13, 159 mutual respect 29 mutual trust 33 mutual understanding 29

Page 27: Dialog Sessi - tarjih.or.id

RElNVENSl ISLAM MULTIKULTUML

mutualisme 189 mysterium fascinocum 13 mysterium tremendum 13

Naqsyabadiyyah 160 nasionalisme 239 natal bersama 173 negara dua bangsa 226 negara multinasional 226 negara tiga bangsa 226 negosiasi kultural 287 neo-liberalisme 7 new social movement 8, 9 nirkekerasan 23, 26 normatifitas 3 1 N U 35, 37, 160

orthodox marxism 8 otonomi keberagamaan 107 otoritarianisme negara 284 otoritas agama 274

Padhang Bulan 106 Pancasila 243 paradigma multikultural 288 paraji 70 Paramadina 79 Parlemen Agama-agama Dunia

235, 236 parlementarisme 217 pasivisme 250 patrimonialisme 34 pemaafan 47 pernbunuhan antaragama 81 pengalaman antarkultural 25 pengampunan 47, 48, 50, 51 penjajahan kultural 129 penyadaran kolektif 277 peran subversif 193 perang salib 231

perempuan antariman 81 pe jumpaan multikultural 27 Persetujuan Addis Ababa 223 pertelingkahan 89 Piagam Madinah 246, 253 pluralisasi 232 pluralisme 5, 99, 125, 252 pluralisme agama 233, 250, 253,

255, 256 pluralisme baru 244 pluralisme budaya 162 pluralisme indifferent 100 pluralisme keagamaan 59, 61, 64 pluralisme kepartaian 2 17 pluralisme kritis 100 pluralisme posmodern 31 pluralisme realistik 235 pluralisme regulatif 235 pola pikir egosentris 26 pola pikir monolog 26 politik multikulturalisme 165, 168 politik pengakuan 188 politik polietnis 165 pornografi 109, 167 POS-Islam 283 posmodemis 6, 7 posmodemisme 7, 8, 99, 125,

174, 252 Possosialisme 7 posstrukturalisme 6, 125 pranata sosial 142 prasangka 33 pribumisasi Islam 22, 107 primordialisme 31 privatisasi 232 privatisasi Islam 107, 109 priyayi 191, 194 progresivitas 281 propaganda iklan 90 provokasi irnan 126 purifikasi 159

quick fix 221

Page 28: Dialog Sessi - tarjih.or.id

radikalisme 31 raja-sentris 34 Ratu Adil 271, 272 reaktualisasi makna agama 244 reality-centredness 30 reconception 237 redistribusi sosial 9 rejim multikultural 225, 226, 311 rekonsiliasi 26, 42, 44, 46 relativisme 64, 252 relativisme absolut 234 relativisme internal 252 relativitas fikih 147 repetisi televisi 96 replacement 188 Republik Islam Indonesia 172 resiprositas 163 resolusi konflik 42, 44 revivalisme Islam 224 revolusi kesadaran 272, 273 revolusi Perancis 233 risk society 265, 266 rukun iman sosial 131 Ryobu Shinto 62

sakralisasi kekerasan 41 san chiao 62 SARA 168, 179 sektarianisme 165 seMarisme 233, 244 self-centredness 30 sensibilitas ekurnene 23 separatisme 164 Seruan Perempuan Antariman 80 shalawatan 104 simbol-simbol agama 95 sinkretisme 101, 236, 286 sistem budaya 141 sistem kredo 97 skripturalis 30 SMU Rekonsiliasi 173

social security 247, 248 solidaritas sosial 38 spiral kekerasan 47 spiritual laundry 124 spiritualisme 99 Spiritualitas 96 strict separations 285 Suara Ibu Peduli 80 sufisme 63 sulh pribadi 43, 44 syariah demokratik 276 syariah historis 146, 316 syariah lokal 144, 145 syariah Madinah 148 syariah Modem 163 syariah multikultural 309 syariahnormatif 146, 147, 316

t a ' an f 32 tabayyun 33 tahajjud call 107 tahlilan 104 tajdid 167 takbiran bersama 173 tasawuf pembebasan 19 tauhid horisontal 131 tauhid keberpihakan 168 tauhidsosial 4, 5,115, 117, 119,

123, 124, 125, 130 tele-dialog 212 teologi 121 teologi al-Asma al-Husna 117 teologi antroposentris 263 teologi cinta 17 teologi dogmatis 27 teologi feminisme 176 teologi Islam tradisional 1 11 teologi kerakyatan 131 teologi minoritas 227 teologi Muharnmadiyah 123 teologi multikultural 196 teologi multikulturalis 24

Page 29: Dialog Sessi - tarjih.or.id

teologi pernbebasan 19 teologi pluralis 3 1, 201 teologi pluralisme 196 teologi su'uzhan 36 toleransi 202, 207 toleransi eukumenik 252 tradisi Arab 144 tradisi lokal 101 tradisi perdamaian 41 tradisi Victorian 194 tradisionalis 146 tradisionalisme 13 trafficking 130 transformasi sosial 128, 167, 238,

281 transformasi teologis 201 transrnisi global 232 tribal society 102

RElNVENSl ISLAM MUCllKULTURAL

universalitas syariah 142 usul fikih multikultural 307 utopian social 4

visi multikultural 3 15

Wadah Musawarah Antarumat Beragama 77

wahyu progresif 25, 284 westemisasi 263 Wulang Reh 193

yasinan 104 Yudaisme 58

Page 30: Dialog Sessi - tarjih.or.id
Page 31: Dialog Sessi - tarjih.or.id