Dialektika Hadis dan Budaya Jawa dalam Pandangan Orang...
Transcript of Dialektika Hadis dan Budaya Jawa dalam Pandangan Orang...
1
Dialektika Hadis dan Budaya Jawa dalam Pandangan Orang Jawa
Bermanhaj Salaf di Kota Salatiga
Oleh: Miftachurrif’ah dan Muhammad Irfan Helmy
IAIN Salatiga Jawa Tengah
Abstrak:
Ajaran utama manhaj salaf adalah penerapan Al Qur’an dalam kehidupan
dan menghidupkan sunnah Nabi (ihyaus sunnah) dalam perilaku keseharian.
Pada sisi lain beberapa tradisi daur kehidupan khas Jawa, sudah terbudayakan
dengan pendekatan keislaman. Bertemunya pemikiran purifikasi Islam, dengan
tradisi Islam orang Jawa ini menarik untuk diteliti; Bagaimana pemikiran orang
Salafi Jawa tentang implementasi hadis sebagai sumber agama Islam;
Bagaimana pandangan orang Salafi Jawa terhadap tradisi kehidupan budaya
masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari; Bagaimana cara orang Salafi
Jawa mengompromikan pandangan Salaf-nya dengan tradisi budaya masyarakat
di Jawa. Dengan menggunakan pendekatan living hadis, penelitian ini sampai
kepada kesimpulan; pertama, orang Jawa bermanhaj Salaf sepakat dengan
kedudukan hadis Nabi sebagai sumber hukum pendamping Al-Qur’an. Mereka
sepakat menjadikan hadis sebagai tuntunan hidup, dan sebagai contoh
pengambilan sikap terhadap apa pun, termasuk sikap terhadap masyarakat yang
dihadapinya. Kedua, pandangan orang Jawa bermanhaj salafi terhadap budaya
Jawa terbagi dua hal. (1) Pada umumnya ada nilai-nilai budaya Jawa yang
luhur, dan bersesuaian dengan wahyu Ilahi serta hadis Nabi, yakni budaya-
budaya lokal seperti sikap ramah tamah, kebiasaan silaturahim, memberi nasihat
yang baik pada anak keturunan, suka bekerjasama, gugur gunung, menengok
bayi lahir, dan sebagainya. (2) ada pula sebagian budaya Jawa yang
mengandung kesyirikan, talbis, atau mencampur adukkan kebaikan dengan
muatan kepercayaan pra Islam. Ketiga, ada peluang mengkompromikan ajaran
keislaman yang difahami para penganut manhaj salaf dengan budaya
masyarakat Jawa yang berkembang di sekitarnya. Mereka bersepakat
melestarikan budaya baik yang berguna dalam muamalah kemasyarakatan,
menjunjung tinggi adat kebiasaan masyarakat Jawa yang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam yang diyakini. Seperti unggah ungguh, sopan santun,
silaturahim di hari raya, dan lain semacamnya. Tapi untuk yang bertentangan
dengan akidah Islam, maka harus ada perubahan. Meskipun bukan dengan serta
merta dihapuskan, tetapi masyarakat perlu edukasi mengenainya.
Kata kunci: Hadis; budaya Jawa; Salaf;
Pendahuluan
Gerakan pemurnian Islam berkembang pesat di dunia Timur Tengah,
dimulai masa akhir abad 18. Kesadaran keterpurukan Islam baik secara syariat
dan politis dalam waktu lama, telah membangunkan para pemikir keislaman yang
mengajak kembali kepada purifikasi Islam. Mereka berkeyakinan bahwa
kejayaan Islam akan kembali saat umat islam kembali pada pedoman Al Qur’an
2
dan Sunnah. Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim Al Jauziyah, Jamaluddin Al Afghani,
Rasyid Ridho adalah nama-nama yang populer sebagai penggerak purifikasi
Islam. Kemudian kolaborasi pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab dengan
pemerintahan Ibn Saud di Arab Saudi makin memperkuat percepatan
perkembangan pemikiran gerakan salaf.
Pada masa penjajahan Belanda, gerakan ini akhirnya masuk ke Indonesia
lewat para pelajar Indonesia yang belajar di Makkah. Dari sana muncullah
semangat pembaharuan Islam dan perlawanan adat, serta peperangan terhadap
penjajah seperti yang dilakukan kaum Paderi di Sumatera. Ia juga menginspirasi
pembentukan berbagai organisasi Islam di Indonesia.
Periode pasca kemerdekaan, penyebaran pemikiran purifikasi Islam neo-
wahabi atau lebih dikenal dengan manhaj salafi cukup leluasa di Indonesia.
Pemikiran ini terus dikembangkan dengan melalui lembaga syiar keislaman
bermanhaj salaf. Pada awalnya, dakwah manhaj salafi dikembangkan melalui
pengajian-pengajian. Semakin lama semakin berkembang pemahaman di unit
terkecil ini hingga peserta dan peminat pun makin banyak. Lalu muncullah
alternatif wasilah dakwah dengan membentuk lembaga formal atau yayasan
yang mengelola sekolah dan pesantren. (Muh Ali Chozin, 2013)
Ketika era kertas masih berlangsung, jamaah salafi mengembangkan
pemikiran purifikasi Islam dengan mencetak buletin-buletin dan majalah. Awal
pertengahan tahun 1990an ada majalah Salafy, majalah As Sunnah, majalah Al
Furqon, dan lain sebagainya. Hal ini diikuti pula dengan berdirinya percetakan
buku-buku manhaj salafi. Media penunjang dakwah manhaj salaf semakin
berkembang seiring kemajuan media teknologi. Akses dakwah dan informasi
diperluas dengan menciptakan blog-blog salafi di dunia maya, hingga media
whatsapp grup. Pendirian stasiun radio, pendirian stasiun televisi, Radio Roja
Jakarta, Bazz FM di Salatiga, Roja TV, Yufid TV, Insan TV, dan banyak lagi
yang lainnya.
Ajaran utama manhaj salaf adalah penerapan Al Qur’an dalam kehidupan
dan menghidupkan sunnah Nabi (ihyaus sunnah/living hadis) dalam perilaku
keseharian. Perilaku dan tampilan fisik ditekankan sebagai bagian dari kesadaran
pemurnian Islam. Berjenggot, bergamis, isbal (celana di atas mata kaki), bercadar
bagi perempuan, adalah salah satunya. Meluruskan akidah dan menjauhi perkara
baru yang dianggap bid’ah adalah hal lainnya.
3
Sebagaimana diketahui, pulau Jawa adalah pulau terpadat di Indonesia, dan
suku Jawa adalah suku terbesar di nusantara. Islam di Jawa sudah berkembang
sekian abad berselang oleh Walisongo, dimana dalam penyebaran Islam di pulau
Jawa ini banyak menggunakan pendekatan budaya. Akulturasi budaya Jawa pada
khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya dengan syariat Islam
sedemikian rupa sehingga memunculkan term Islam Nusantara.
Beberapa tradisi daur kehidupan khas Jawa, sudah terbudayakan dengan
pendekatan keislaman. Slametan (dari kata salam atau selamat), brokohan (dari
kata barokah atau berkah), klubanan (dari kata qulub atau hati) misalnya menjadi
keseharian masyarakat Jawa berkait dengan kelahiran. Begitu juga daur kematian
yang sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat Islam Jawa. Bentuknya antara
lain yasinan, pengajian tahlilan, baik tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, dan
sebagainya. Pada dasarnya, lantunan Al Qur’an dan ajaran keislaman menyatu
dengan budaya Jawa, sehingga pada titik tertentu ada persinggungan Islam dan
Jawa
Bertemunya pemikiran purifikasi Islam, dengan tradisi Islam orang Jawa
ini menarik untuk diteliti. Faktanya, meskipun banyak benturan di sana-sini,
tetapi manhaj Salafi berhasil berkembang, diterima dan menarik minat orang
Jawa. Dari latar belakang tersebut, maka peneliti mengajukan beberapa rumusan
masalah; 1). Bagaimana pemikiran orang Salafi Jawa tentang implementasi hadis
sebagai sumber agama Islam?; 2). Bagaimana pandangan orang Salafi Jawa
terhadap tradisi kehidupan budaya masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-
hari?; 3). Bagaimana cara orang Salafi Jawa mengompromikan pandangan Salaf-
nya dengan tradisi budaya masyarakat di Jawa?
Berbagai penelitian tentang jamaah salafi telah dilakukan oleh para peneliti
dan penulis buku. Baik dengan kata salafi, wahabi, maupun Islam murni. Bahkan
beberapa memakai istilah Islam radikal yang ujungnya pun tak jauh dari
pemikiran manhaj salaf yang khas.
Yudian Wahyudi (ed) pada tahun 2009 telah menerbitkan buku yang
berupa kumpulan penelitian berbagai gerakan keislaman yang terangkum dalam
judul Gerakan Wahabi di Indonesia (Dialog dan Kritik). Buku ini menyorot
secara umum analisis fenomenologis sekaligus telaah genealogi sejarah tentang
bagaimana gerakan Wahabi termanifestasi ke dalam berbagai bentuk institusi
pergerakan (harakah) yang bermain di wilayah publik umum di Indonesia.
4
Dimulai dari masa Padri hingga pelebarannya saat ini di dalam institusi-institusi
pendidikan, dari pesantren-pesantren di tanah Jawa sampai universitas-universitas
tertentu di berbagai belahan Indonesia.
Nur Khalik Ridwan (2004) menyusun karya Agama Borjuis: Kritik atas
Nalar Islam Murni. Buku ini membahas tentang Islam Murni, satu julukan yang
disematkan kepada mereka yang memegang jargon kembali kepada Al Qur’an
dan Hadis secara rigid dan konsekuen. Ia menulis tentang sejarah pemahaman
keagamaan gerakan pemurnian Islam di Indonesia dengan memakai pisau bedah
struktur borjuis dan proletar, dimana penulis mengkritisi aliran pemurnian Islam
sebagai gerakan yang melapangkan jalan bagi kalangan borjuis.
Islam dan Radikalisme di Indonesia,(2004), adalah buku yang merupakan
bunga rampai penelitian keagamaan Islam yang mengususng banyak ragam
gerakan radikal yang merujuk pada gerakan Islam politis yng berkonotasi negatif:
ekstrim, militan dan non toleran. Termasuk dalam pembahasan buku ini adalah
Jamaah Salafi yang mana menmbil sampel khusus wilayah Bandung.
Penelitian tantang jaringan lembaga pendidikan Salafi telah dilakukan oleh
Suhanah (2012) dengan judul Manhaj Salafi di Indonesia. Sebuah penelitian
yang berfokus pada jaringan intelektual, lembaga dan funding jamaah Salafi
dengan fokus jamaah yang berada di kota Bogor. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa salafi dibangun dan berkembang dengan melalui jaringan pendidikan.
Penelitian dari Muhammad Ali Chozin (2013) tentang Strategi Dakwah
Manhaj Salafi memaparkan secara lebih luas model perkembangan media
dakwah Salafi di Indonesia. Dimulai dari Yayasan, Pesantren, sekolah, hingga
media massa visual dan audio visula baik berupa TV, Radio, media cetak berupa
buletin, majalah dan buku-bulu keislaman. Salafi juga tidak melupakan media
dunia maya dengan membuat situs-situs faham keislaman yang mereka kelola.
Dari semua buku dan penelitian yang sudah dicari, ternyata belum
ditemukan satu pun yang membahas tentang konsep living hadis bagi orang Jawa
yang bermanhaj salafi. Inilah titik beda dari penelitian yang telah dilakukan ini.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif yang mengambil
model penelitian living hadis dengan pendekatan fenomenologi yang
5
mengawasi langsung bagaimana satu hadis atau lebih dipraktekkan oleh
masyarakat muslim. Penelitian ini berbasis pada pemahaman hadis yang
subyeknya adalah praktik pengamalan hadis dalam kehidupan sehari-hari.
Subyek penelitian ini adalah masyarakat Jawa di Salatiga dan
sekitarnya, khususnya mereka yang menganut manhaj Salafi dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sedang obyeknya adalah
proses implementasi hadis-hadis Nabi Muhammad dalam kehidupan
keseharian mereka sebagai orang Jawa yang bermanhaj salafi.
Sumber data dalam penelitian ini ada dua yaitu: pertama, sumber
data primer yang didapatkan dari hasil wawancara langsung kepada nara
sumber, yakni orang Jawa yang bermanhaj Salafi di sekitar Salatiga.
Sumber data juga didapatkan dari wawancara key person sebagai penguat
dan pembanding. Kedua, sumber data sekunder adalah data yang bisa
diamati di lokasi penelitian maupun data-data lain yang mendukung
proses penelitian. Baik data berupa gambar, dokumen, arsip, dan lain
sebagainya.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan
dokumentasi. Adapun analisa data dilakukan melalui tahapan-tahapan
reduksi data, klasifikasi data, display data dan interpretasi data. Sementara
itu dalam pengecekan keabsahan data ada empat macam triangulasi yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik pemeriksaan dengan
triangulasi sumber, triangulasi metode, triangulasi penyidik dan
triangulasi teori.
Salafi di Indonesia: Sejarah dan Ide Dasar Ajaran
Sejarah salafi di Indonesia nampaknya dimulai dengan kemunculan
gerakan dengan kembalinya beberapa pemuda Sumatera Barat yang pergi haji
sekaligus menuntut ilmu di Kerajaan Arab Saudi pada awal abad ke-19.
Sebagaimana di uraikan oleh Ubaydillah (2012) pada masa itu Saudi tengah
meneguhkan diri sebagai penyebar ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan
oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Pemuda itu
adalah Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif. Mereka
mempelajari dan menekuni deologi salafi dan kemudian menyebarkannya ketika
mereka tiba di tanah air. Inilah gerakan Salafiy pertama di tanah air yang
6
kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yangpernah berjaya dalam
kurun waktu 1803-1832 M.
Selanjutnya dijabarkan oleh Yudian (2009: iii) tentang pengaruh
nyata pemikiran salafi Wahabi sejak masa penjajahan Belanda yang
dimulai kaum Padri ini. Setidaknya ada lima gelombang pengaruh
pemikiran ini di Indonesia:
a. Gelombang pengaruh Wahabi yang melahirkan perang Padri (1821-1837) di
Sumatra Barat dan berbanding dengan Perang Diponegoro di Jawa Tengah
(1825). Masyarakat Sumatera Barat adalah masyarakat beragama Islam.
Tetapi, perilaku masyarakat yang meskipun beragama Islam sangat suka
tahayul, khurafat dan memiliki akhlak yang bertentangan dengan ajaran
agama, seperti kesukaan pesta sabung ayam, berjudi dan lain-lain. Pada saat
yang sama datanglah tiga haji yang pernah bermukim di Mekah yang saat
itu sedang maraknya pemahaman Wahabi. Ketika paham purifikasi
dikembangkan, maka terdapat perlawanan dari masyarakat adat. puncaknya
kemudian, ketika masyarakat adat terdesak, mereka meminta Belanda untuk
ikut melawan Padri dengan kompensasi ketunduikan masyarakat pada
Belanda. Demikian paparan Muh. Ikhsan & DR. Muhammad Lutfi Zuhdi
(2012).
b. Pemberontakan Banten (1888) yang terinspirasi pan Islamisme yang sudah
di internasionalisasi secara formal oleh Al Afghani dalam majalahnya Al
Urwatul Wutsqo.
c. Berdirinya organisasi massa berbasis pan islam dan purifikasi sebagai
bentuk nasionalisasi pan Islam. Di awali oleh Syarikat Islam (1905)
Muhammadiyah (1912) Al Irsyad (1914), dan Persatuan Islam (1923)
khususnya dalam masalah aqidah dan fikih.
d. Gerakan DI/TII yang dimulai Kartosuwiryo dan berkembang pada tahun
1948 -1962 dan mengakar hingga sekarang
e. Pengaruh wahabi dalam bentuk munculnya gerakan salafi yang pada dekade
90 an sudah membentuk lembaga pesantren salafi wahabi yang puritan
fundamentalis.
Perkembangan dakwah salaf yang disebarkan oleh gerakan salafi di
Indonesia nampaknya mengalami perkembangan pesat. Penyebaran
pemikiran neo wahabi atau lebih dikenal dengan gerakan salafi cukup
7
leluasa di Indonesia, terbukti dengan perkembangan penerimaan
masyarakat yang semakin hari makin meluas.
Keberadaan jamaah salafi di Indonesia pasca kemerdekaan tak bisa
dilepaskan dari peran Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). DDII ini
dibentuk pada masa awal Orde Baru oleh Muhammad Natsir sebagai tokoh
utama, yang dibantu para mantan pengelola partai Masyumi yang
dibubarkan oleh penguasa orde baru. Salah satu keistimewaan Natsir adalah
koneksinya dengan jaringan Islam di Timur Tengah khususnya Saudi
Arabia yang membawanya pada sejumlah posisi penting.
Lewat DDII-nya ia menginisiasi pengiriman pelajar ke Saudi Arabia
dan menjembatani berdirinya lembaga pendidikan LPBA -yang kemudian
berubah menjadi LIPIA- di Jakarta pada tahun 1980. LIPIA adalah sekolah
tinggi yang merupakan cabang dari universitas Muhammad Ibn Sa’ud yang
ada di Saudi Arabia. Dengan managemen dan kurikulum pembelajaran
sesuai kurikulum yang diterapkan Universitas induknya. Dosen-dosen pun
didatangkan mayoritas dari Saudi Arabia. Patut diduga, kedatangan para
dosen langsung dari negeri Arab Saudi ini menularkan keilmuan dan
penanaman pemikiran salafi di Indonesia.
Alumni-alumni LIPIA yang kemudian belajar di Saudi pada akhirnya
menjadi tokoh-tokoh sentral penyebaran dakwah salaf dengan membuka
berbagai pesantren di Indonesia. Misalnya Ustadz Yazid Abdul Qadir
Jawaz di Bogor setelah sebelumnya pada awal tahun 1990-an membina di
Al Irsyad Tengaran Salatiga bersama Ust Ja’far Umar Thalib dan Yusuf
Usman Baisa, Abu Nida yang membidani lembaga pendidikan Bin Baz di
Yogyakarta, dan Ahmad Faiz Asifuddin mendirikan Pesantren Imam
Bukhari di Solo. Aunur Rafiq membentuk pesantren Al Furqon di Gresik.
Masing-masing lembaga berkembang cukup pesat dan menghadirkan
kesuksesan dakwah manhaj salafi di Indonesia, yang menyebar meluas ke
berbagai wilayah nusantara.
Pada perkembangan salafi di Indonesia, mereka mengalami fase kritis
dengan ketidak-sepahaman antara para penyebar manhaj dakwah salafi.
Perbedaan ini muncul berkait dengan konsep organisasi, permasalahan
politik pemerintah, hingga masalah donatur dari timur tengah. Hal ini
8
kemudian membuat awal terbentuknya beberapa faksi salafi di Indonesia.
Faksi-faksi ini memunculkan kelompok aliran salafi yang berbeda,
berkaitan dengan perbedaan konsep politik, organisasi, bahkan beda
pendapat masalah funding. Mereka juga tak bersepakat dengan pilihan
radikalisme yang dikembangkan oleh sesama salafi misalnya salafi jihadi
yaitu para pengikut wahabiyah yang memiliki faham kekerasan dalam
penyebarannya dengan berbagai hal yang menebar teror berkedok jihad.
Pemilahan lain pun muncul di kalangan salafi sendiri berkait jalur
keilmuan dan pilihan politik sehingga memunculkan istilah salafi Yamani,
salafi Haraki dan lain-lain. Akan tetapi, meskipun ada perbedaan masalah
teknis, tetapi ide dasar purifikasi Islam khas ajaran Muhammad bia Abdul
Wahab sama-sama mereka kembangkan.( Abu Umar Basyir: 2009)
Pada umumnya, salafi bersifat apolitis dan tak mau mengakui
berdirinya orgaanisasi, dan mereka tak sepakat dengan radikalisme yang
dikembangkan –biasanya- oleh sesama salafi, tetapi salafi jihadi yaitu para
pengikut wahabiyah yang memiliki faham kekerasan dalam penyebarannya
dengan berbagai hal yang menebar teror berkedok jihad. Nampaknya
perkembangan neo wahabi atau salafi cukup leluasa di Indonesia, terbukti
dengan perkembangan penerimaan masyarakat yang semakin hari makin
meluas.
Ide Dasar Ajaran Salafi
Ide dasar manhaj Salafi di Indonesia dipengaruhi oleh ide dan
gerakan pembaruan pemikiran Islam dengan bentuk purifikasi Islam.
Dakwah salaf bukanlah hal yang baru. Ia adalah dakwah ahlussunnah yaitu
dakwah haq yang dilakukan para sahabat. Dakwah manhaj salaf berusaha
mengajak umat muslim untuk kembali kepada al Qur’an dan sunnah
menurut pemahaman salafus-salih. Pemikiran ini muncul dilandasi
kenyataan bahwa masyarakat Islam saat itu dianggap sudah menyimpang
jauh dari ajaran murni Islam itu sendiri.
Ajaran ini mengadopsi pemikiran Ibnu Taimiyah, baik berkaitan
dengan aqidah, dan ibadah. Ibnu Taymiah menegaskan bahwa dasar
keislaman dan pemahaman terhadap akidah Islam hanya benar bila
mengikuti jejak nabi dan salafushalih. Tidak ada jalan memahami Islam,
9
mengetahui aqidah, hukum-hukum, dan segala sesuatu yang berhubungan
dengannya baik masalah keyakinan dan dalil-dalilnya kecuali dengan
kembali kepada penjelasan Al Qur’an dan Sunnah, sesuai pemahaman
salafusshalih. Apa saja yang dijelaskan Al Qura’an dan apa saja yang
diterangkan As-Sunnah harus diterima, tidak boleh ditolak, guna
menghilangkan keragu-raguan. Akal manusia tidak memiliki otoritas untuk
mentakwil, dan menginteroretasi Al Qur’an, kecuali sekedar yang
ditunjukkan oleh kalimat dalam Al Qur’an dan hadis saja. Akal ada
dibelakang naql, akal hanya sebagai bukti, bukan pemutus, penegas dan
penguat bukan pembatal atau penolak, akal bertugas mendukung dan
menguatkan. (Muhammad Abu Zahrah: 1996: 227)
Manhaj dakwah salafi menurut Yazid Jawwas adalah upaya mengajak
manusia ke jalan Allah mengimani Allah dan Rasul-Nya, melaksanakan
rukun Iman dan rukun Islam, dan melaksanakan syariat Allah,
mentauhidkan Allah, melarang syirik, mengajak manusia untuk ittiba
(meneladani) Rasulullah, dan melarang berbuat bid’ah. Dakwah manhaj
salafi adalah mengajak manusia ke jalan yang benar agar manusia selamat
di dunia dan di akhirat yakni dengan mengikuti Rasulullah dan para sahabat
beliau.(Yazid: tt: 26)
Yazid kemudian menjelaskan mengapa manhaj salafi adalah murni
sebagai ahlussunnah wal jamaah karena mereka menempuh seperti apa
yang pernah ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Disebut Ahlus
Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti)
Sunnah Nabi dan para sahabatnya. Mengutip Ibnu Rajab al Hanbali (wafat
795 H) dalam tulisan Yazid Jawwaz, beliau mengatakan: “As-Sunnah ialah
jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa
yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya
yang terpimpin dan lurus, berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan
perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, generasi Salaf
terdahulu tidak menamakan as-Sunnah, kecuali kepada apa saja yang
mencakup ketiga aspek tersebut.”
Sedangkan kata al-Jama’ah, disematkan karena mereka bersatu di
atas kebenaran. Tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul
di bawah kepemimpinan para imam (yang berpegang kepada) al haq
10
(kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka, dan mengikuti apa
yang telah menjadi kesepakatan Salaful-Ummah.
Ada dua manhaj dakwah Ahlus sunnah, meliputi: (1) Dakwah yang
haq harus dengan bekal ilmu syar’i. Syarat seseorang berdakwah harus
berilmu dan faham tentang ilmu syar’i, yang dengan ilmunya tersebut, ia
dapat mengajak ummat kepada agama Islam yang benar. Mengutip
pendapat Syaikh Ali bin Hasan bin Ali L Haabiy, dijelaskan bahwa metode
ilmiah ini dibangun di atas tiga dasar: pertama, al ‘Ilmu yaitu mengetahui
al haq (kebenaran). Kedua, dakwah menuju al haq (mengajak manusia
kepada kebenaran). Ketiga, teguh dan istiqamah di atas kebenaran. (2)
Ahlus sunnah berdakwah mengajak manusia dengan jalan yang hikmah,
sebagaimana perintah Allah dalam Al Qur’an surat An Nahl ayat 125.
(Yazid: 30).
Muhammaddin ( 2013: 147) menjelaskan bahwa ada lima prinsip
faham manhaj salafi, yaitu:
a. Sumber aqidah adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang shahih dan ijma’
salaful shalih. Sumber rujukan dalam memahami aqidah dalam manhaj
salaf hanya terbatas pada tiga, yaitu al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’ salaful
shalih. Menurut manhaj ini dalil naqli harus lebih didahulukan dari
pada dalil aqli.
b. Wajib taat kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak
memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan. Apabila mereka
memerintahkan untuk berbuat maksiat, dikala itu tidak boleh mentaati
namun tetap wajib taat dalam kebenaran lainnya. Menukil dari tulisan
Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang mengambil pendapat Ibnu ‘Abil
‘Izz berpendapat bahwa hukum mentaati ulil amri adalah wajib selama
tidak dalam kemaksiatan meskipun mereka berbuat zalim, karena kalau
ke luar dari ketatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang
berlipat ganda dibandingkan dengan kezhaliman penguasa itu sendiri.
Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-
dosa dan dapat melipargandakan pahala.
c. Tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslim kecuali apabila dia
melakukan perbuatan yang membatalkan aqidah atau keimanan dan
keislaman.
11
d. Al-wala’ wal bara’, yakni ekspresi cinta karena Allah dan benci karena
Allah, yaitu mencintai dan memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum
muslimin, dan membenci kaum musyrikin serta orang- orang kafir
dengan bara’ (berpaling) dari mereka. Setiap muslim yang beragama
dengan prinsip aqidah ini wajib mencintai orang-orang yang memegang
teguh aqidah Islam dan membenci orang-orang yang memusuhi aqidah
Islam. Wala’ dan bara’menurut manhaj salafi, adalah dibangun di atas
asas al-Qur’an dan Sunnah, bukan yang lainnya.
e. Ahlul Sunnah senantiasa menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang
munkar menurut ketentusan syari’at. Yang dimaksud al-ma’ruf ialah
semua ketaatan baik yang wajib maupun yang sunnah, dimana ketaatan
tertinggi adalah beribadah kepada Allah satu-satunya, tidak
menyekutukanNya, mengikhlaskan ibadah kepada-Nya. Sedangkan al-
munkar adalah semua yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, termasuk di
dalamnya kemaksiatan, kebid’ahan, dan kemunkaran.
Manhaj salafi senantiasa meletakkan prinsip tauhid sebagai dasar
awal semua penjelasan tentang amal keislaman. Tauhid yang dimaksudkan
adalah pengabdian (ibadah) hanya kepada Allah dengan cara-cara yang
benar-benar mengesakan-Nya. Tauhid terbagi menjadi tiga: tauhid
rububiyah, uluhiyah dan tauhid asma wasshifat. Tauhid rububiyah
menekankan pada pengesaan Allah sebagai Dzat Maha Pencipta segala
sesuatu terlepas dari segala pengaruh dan sebab. Tauhid uluhiyah
menekankan keesaan Allah sebagai satu-satunya dzat yang disembah.
Tauhid asma wa shifat berhubungan dengan nama dan sifat Allah yang
mana tak ada yang semisal dengan-Nya. Tidak perlu ada penggambaran,
atau penjelasan atas apa dan bagaimana yang menjadi sifat Allah, karena
cukup Al Qur’an dan hadis menggambarkan hal itu Allah disifati atas apa
yang disifatkan-Nya adats diri-Nya sendiri, atau disifatkan oleh Rasul-Nya,
tanpa melampaui Al Qur’an dan Hadis.
Penyembahan kepada Allah dengan tindakan tidak menyembah
kepada selain-Nya, tidak mengakui ketuhanan selain Dia. Barangsiapa yang
mengakui ketuhanan lain, atau mempersamakan Allah dengan makhluknya
maka ia menjadi musyrik. Termasuk rusak akidahnya adalah meminta
pertolongan dan mendekatkan diri kepada Allah dengan tawassul, meminta
12
pertolongan dengan tawassul, serta ziarah ke makam orang-orang saleh dan
para Nabi untuk meminta berkah dan mengkultuskannya.
Berkaitan dengan masalah sosial kemasyarakatan, mereka percaya
bahwa semua aturan kehidupan sudah dicontohkan oleh Rasulullah,
sehingga diharapkan seluruh masyarakat muslim merujukkan perilakunya
seperti yang dicontohkan Rasulullah. Termasuk dalam bidang politik
pemerintahan. Bagi salafi, pemerintahan yang sah hanya satu dan
masyarakat tak boleh melakukan oposisi terhadapnya. Dari sini pula, salafi
tidak membenarkan pembentukan organisasi, apalagi partai politik. Bahkan
demonstrasi pun dilarangnya.
Pemikiran dan pergerakan salafi menyebar ke berbagai belahan
dunia, meskipun banyak pula gerakan yang terbentuk sebagai resistensi
atasnya. Hal ini banyak terbantu dengan internasionalisasi formal gerakan
salafi wahabi di tangan Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al Afghani.
Pada umumnya, salafi bersifat apolitis dan tak mau mengakui berdirinya
orgaanisasi. Para pengikut aliran salaf atau salafi selalu menegaskan bahwa
mereka bukanlah kelompok terorganisir, ataupun hizb. Tetapi mereka
adalah atsar lanjutan dari yang sudah lama ada dari zaman Rasulullah.
Pengaruh Islam pada budaya Jawa dan Peran Dakwah Walisongo
Penelitian sejarah menyebutkan bahwa Islam masuk ke Jawa dengan cara
damai dan alami. Penyebaran agama Islam melalui hubungan dagang, dan
pengembaraan para ulama sufi yang merupakan juru dakwah yang paling
semangat di era setelah keruntuhan Baghdad pertengahan abad 13 masehi. Pada
dasarnya, watak dasar masyarakat timur sendiri adalah penduduk yang toleran,
bisa menerima kedatangan orang asing dari berbagai wilayah, sekaligus mudah
bersosialisasi dengan mereka.
Masyarakat Jawa adalah suku bangsa Jawa, yakni mereka yang hidup dalam
kesehariannya dalam bahasa Jawa, tinggal di Jawa terutama Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Masyarakat Jawa pada saat itu bukanlah masyarakat baru yang tanpa
budaya. Mereka sudah mengalami masa panjang bersama para pemimpin Budha
maupun Hindu. Pada saat yang sama perkembangan aliran kepercayaan animisme
dan dinamisme juga berkembang di masyarakat jawa secara umum.
Budaya masyarakat Jawa memiliki kebiasaan unik berupa kekerabatan yang
kental, kemasyarakatan yang guyup, dan unggah ungguh yang dijaga benar dalam
13
kesehariannya. Bahkan dalam bahasa Jawa, terdapat strata bahasa yang
membedakan diksi bahasa untuk kalangan sebaya sesama, kalangan tua pada yang
muda, hingga kalangan muda pada yang tua, maupun kalangan rakyat pada
tuannya. Penghormatan yang muda kepada yang tua, penghormatan kepada
keluarga bangsawan, serta ketokohan, menjadi khas dalam tradisi kemasyarakatan
di Jawa.
Ciri lain dalam masyarakat Jawa adalah adanya kepercayaan kepada adanya
Dzat Yang Lebh dari dirinya. Animisme, ataukepercayaan pada roh-roh atau jiwa
pada benda-benda, tumbuhan, hewan dan pada manusia itu sendiri. Dan ada roh
terkuat yang menguasai antara mereka, sehingga dengan kepercayaan itu mereka
mengadakan berbagai upacara dengan sesaji agar terlindung dari roh jahat. Inilah
cikal bakal beragam upacara sesaji yang berkembang di dataran tanah Jawa.
Diantaracontohnya adalah slametan surtanah, geblak, dan berbagai upacara
kematian. Lalu adanya sesajen untuk yang mbahurekso, danyang, dan
semacamnya.
Disamping itu, masyarakat juga mempercayai adanya kekuatan alam yang
menjadikan penentu bagi keberhasilah sebuah usaha. Inilah cikal kepercayaan
dinamisme yang kemudian melahirkan beberapa kegiatan laku batin agar kuat
bertahan dengan kekuatan alam. Ini juga mengahsilkan kepercayaan untuk
melakukan laku prihatin, dan kepercayaan pada jimat-jimat sebagai penambah
kekuatan untuk berkolaborasi dengan kekuatan alam. ( Ismawati dalam Darori
Amin: 2002: 7-9).
Kepercayaan ini nampaknya berkembang dan makin pesat pada saat Jawa di
bawah kekuasaan Hindu dan Budha. Karena beberapa kepercayaan animisme dan
dinamisme kemudian diwarnai dengan tradisi Hindu Budha yang tak jauh
berbeda. Inovasi kepercayaan lama masyarakat Jawa dikembangkan dengan
beberapa tradisi Hindu Budha sehingga menambah panjang daftar upacara-
upacara ritual keagamaan pada masyarakat Jawa. Diantara upacara-upacara
korban kerbau, pagelaran wayang kulit, gerebeg, dan lain sebagainya.
Dakwah Walisongo
Islam masuk ke Jawa, pada kondisi masyarakat yang sudah memiliki
budaya beragam. Baik hasil kepercayaan dasar animisme dan dinamisme, maupun
kolabirasai kepercayaan Hindu Budha. Tokoh-tokoh pembawa masuknya Islam
ke Indonesia pun beragam. Ada pendapat bahwa Islam masuk Indonesia sejak
14
abad pertama kekuasaan Muawiyah yang berarti abad 7 Masehi. Ada pula yang
menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dalam kurun abad belasan dengan
dibawa para pedagang Gujarat.
Pada abad 12-14, ada beberapa bukti sejarah tentang hubungan Majapahit
dengan Cempa Thailand yang Muslim. Hubungan baik ini berawal dari hubungan
perdagangan yang dilanjutkan dengan hubungan kekerabatan dengan pernikahan
putri Champa dengan Raja Jawa. Disinilah kemudian lahir bangsawan-bangsawan
Muslim keturunan Jawa Campa, ditambah dengan kedatangan ulama dari Cempa-
, mereka berkembang menjadi cikal bakal barisan ulama yang dikenal dengan
sebutan walisongo. Merekalah para penyiar agama terpenting dalam sejarah Islam
di Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Mengutip dari Masyhur Amin dalam Ridin Shofwan (2004:248) tujuan
dakwah Islam oleh walisongo adalah: pertama menanamkan akidah yang mantab
di hati setiap orang, sehingga tidak ada keraguan didalamnya; kedua tujuan
kepatuhan terhadap hukum yang telah disyariatkan Allah dalam agama Islam.
Ketiga menanamkan nilai-nilai akhlak pada masyarakat Jawa sehingga menjadi
pribadi mudlim yang berbudi luhur.
Untuk mencapai tujuan ini, berbagai upaya dilakukan dimana salah satunya
menggunakan pendekatan seni pewayangan dengan mengubah muatan isi sesuai
ajaran yang dikehendaki. Dalam penataan keislaman Jawa yang telah dipenuhi
unsur budaya masa lalu yang terlanjur lekat, Walisongo menggunakan
perombakan halus dengan merubah sedikit demi sedikit tatacaranya. Misalnya:
a. Kebiasaan semedi sebagai sarana memuji dan mengheningkan cipta,
dirubah menjadi ritual shalat wajib
b. Kebiasaan sesaji dirubah menjadi budaya shadaqah
c. Kebiasaan khas memuja dan meniru dewa dalam upacara perkawinan
dirubah dengan cara yang bijaksana tanpa menyinggung rakyat banyak.
Di samping itu, walisongo juga bergerak aktif menata organisasi dakwah.
Mereka menyatu dalam organisasi penataan keagamaan yang saling bertemu,
mengingatkan, bermusyawarah dan berkumpul membicarakan perkembangan
dakwah antar mereka. Sejarah membuktikan bahwa ada pertemuan rutin para wali
songo untuk membahas upaya pengislaman tanah Jawa.
Metode dakwah pun berkembang dengan berbagai variannya. Wali songo
memanfaatkan segala lini kehidupan untuk mempercepat gerak laju pengislaman
15
tanah Jawa. Mengutip dari tulisan Ridin Sofyan dkk (2004: 271) , setidaknya ada
lima metode dakwah walisono yang sukses mengislamkan tanah Jawa.
a. Berdakwah melalui jalur keluarga dan perkawinan
b. Mengembangkan pendidikan pesantren
c. Mengembangkan kebudayaan Jawa
d. Mengembangkan sarana prasarana yang berkaitan dengan perekonomian
rakyat
e. Memanfaatkan sarana kekuasaan politik dengan menyususn peraturan
ketatanegaraan.
Berkat usaha yang sungguh sungguh, penataan rapi, serta kemampuan
memanage semua kekuatan dakwah, maka para walisongo sukses mengislamkan
tanah Jawa, bahkan pengaruhnya hingga ke luar Jawa.
Kajian Manhaj Salaf di Salatiga dan sekitarnya
Manhaj Salaf di Salatiga, dikenal dan mulai berkembang seiring
dengan perkembangan pesantren Islam Al Irsyad di batas kota Salatiga
dengan kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang. Beberapa pengusung
dakwah Salafi di Salatiga adalah orang yang memiliki sejarah kedekatan
dengan pengasuh pesantren Islam Al Irsyad. Disamping kemudian
ditambah dengan para mahasiswa dan mereka yang pulang kampung ke
Salatiga setelah mengembara mencari ilmu di berbagai kota di Indonesia.
Sepulang mereka ke Salatiga, mereka mengembangkan dakwah Salafi
di beberapa tempat. Di Blotongan, pada masjid Al Burhan yang merupakan
masjid masyarakat, beberapa aktivis perintis dakwah salafi membeli lahan
dan mendirikan perumahan di sekitar masjid. Mereka kemudain aktif dalam
pengembangan kemakmuran masjid yang kemudian menjadikannya
sebagai tempat mengaji bersama dan menebarkan dakwah salafi. Sedikit
demi sedikit, merebaklah pemahaman salafi di sekitar masjid ini.
Di wilayah Tingkir, pengembangan dakwah Salafi juga digawangi
oleh warga lokal yang membawa fahamnya setelah kuliah dari Yogyakarta.
Bersama jamaah yang sefikroh, mereka mendirikan kajian-kajian Salafi
yang diikuti kalangan yang sepakat dengan ajaran mereka. Mengingat
kecamatan Tingkir adalah kantung pesantren salafiyah yang berafiliasi
dengan pemahaman nahdhiyyin.
Berbatasan langsung dengan kelurahan Tingkir, ada gerakan salafi
yang sedang berkembang dengan pesat. Ia adalah desa Tegalwaton yang
16
meskipun secara administratif masuk wilayah kabupaten Semarang, tetapi
menempel dengan wilayah kota Salatiga. Dengan sentral kegiatan di masjid
Al Barokah, gerakan Salafi di desa ini dimotori oleh anak-anak almarhum
tokoh agama setempat yang telah mewakafkan masjid untuk masyarakat.
Karena masjid pusat kegiatan masyarakat itu merupakan wakaf dari
keluarganya, maka para perintis dakwah salafi di desa ini memiliki
keleluasaan gerak lebih sempurna.
Berjalannya waktu membuat Al Barokah menjadi pusat kegiatan
jamaah Salafi yang tinggal di Salatiga dan sekitarnya. Apalagi setelah
kemudian mereka mendirikan Yasayan pendidikan dan mendirikan
lembaga pendidikan TK dan MI AL Barokah yang bermanhaj salaf. Banyak
warga salafi yang berasal dari Salatiga dan sekitarnya menyekolahkan
anaknya di sana.
Keberhasilan dakwah manhaj Salafi di Salatiga didukung oleh
perilaku perintis dakwah yang tidak konfrontatif dan bisa meredan emosi
masyarakat Islam kota Salatiga pada umumnya. Mereka bergerak dengan
diam tetapi massif menebarkan ajarannya, bekerjasama dengan serta
mendatangkan dai-dai salafi lain dari beberapa pesantren salafi sekitar
Salatiga. Acara pengajian akbar sering digelar di beberapa masjid besar di
kota Salatiga, seperti masjid Darul Amal yang dikelola pemerintah kota
Salatiga, maupun masjid Makutarama yang dikelola ABRI Salatiga. Pada
era penyiaran, maka jamaah salafi Salatiga berhasil mendirikan radio Bass
FM yang menjadi media dakwah salafi.
Budaya Jawa dalam Pandangan Orang Jawa bermanhaj Salaf
Setelah melakukan wawancara, observasi dan studi lapangan, maka
dapat diungkap bagaimana cara pandang orang Jawa yang menjadi
penganut manhaj salaf terhadap budaya Jawa itu sendiri. Wawancara yang
dilakukan menunjukkan bahwa pada umumnya mereka memiliki
pandangan yang hampir sama mengenai budaya Jawa, dalam balutan
pemikiran mereka yang memilih bermanhaj salaf. Mereka memiliki
pandangan yang beragam meski beberapa hal prinsipnya adalah sama.
Uraian pembahasan di bawah akan lebih memperdalam masalah tersebut.
17
a. Pandangan orang Jawa bermanhaj Salaf terhadap hadis Nabi
Responden pertama menjelaskan bahwa Rasulullah adalah
tuntunan di setiap amal perbuatan yang menjadi landasan perilaku
keseharian. Hadis adalah pendamping Al Qur’an yang harus dipegang
teguh. Dengan berbekal pengalaman Rasulullah menghadapi
masayarakat jahiliyah yeng menjadi obyek dakwahnya, maka para dai
salaf berpijak untuk mengambil sikap yang sama terhadap masyarakat
yang dihadapinya. Beliau mencontohkan bagaimana Rasulullah saw
melarang kepercayaan masyarakat saat itu tentang jimat dan tathoyyur
sebagai bukti cara bersikap Rasulullah yang sangat hati-hati, tegas, dan
selektif terhadap kepercayaan kepada selain Allah SWT meskipun
dalam masalah yang kelihatannya sepele.
Responden kedua menegaskan hadis Rasulullah adalah tuntunan
hidup, sumber hukum yang kedua setelah Al Qur’an. Rasulullah juga
mengajarkan cara menjalani hidup yang sebenarnya, cara pandang
terhadap dunia, cara beramal, dan cara mendapatkan keselamatan
dunia dan akhirat. Dalam kesehariannya, hadis menjadi penuntun
hidup sebagaimana ajarannya tentang menahan marah, memiliki rasa
malu, peduli dan empati kepada sesama makhlukNya. “Ajaran beliau
ballighuu anniy walau aayat, adalah inspirasi bagi kami untuk selalu
belajar dan mengajar, menyampaikan kebenaran dan menyebarkan
kebaikan.”
Sedang responden ketiga menjelaskan bahwa pemahaman
terhadap isi hadis sebagai sumber hukum, seharusnya mememilih
pemahaman salafi dalam memaknai ayat atau hadis. Karena merekalah
khoirul qurun, sebagaimana yang disampaikan Nabi saw.
Dari semua pendapat para responden, bisa disimpulkan bahwa
semua nara sumber orang Jawa bermanhaj Salaf sepakat dengan
kedudukan hadis Nabi sebagai sumber hukum pendamping Al Qur’an.
Mereka sepakat menjadikan hadis sebagai tuntunan hidup, dan sebagai
contoh pengambilan sikap terhadap apa pun, termasuk sikap terhadap
masyarakat yang dihadapinya. Penjelasan lanjutnya adalah bahwa,
pemahaman yang paling benar menurut mereka terhadap hadis Nabi,
adalah melalui pemahaman salafus shalih, yakni tiga generasi pertama
yang bersama Rasulullah.
18
b. Pandangan orang Jawa bermanhaj salaf terhadap budaya Jawa
Pada umumnya, pandangan orang Jawa bermanhaj salaf terhadap
budaya Jawa adalah, menganggap bahwa ada nilai-nilai budaya Jawa
yang luhur, dan bersesuaian dengan wahyu Ilahi serta hadis Nabi.
Tetapi, ada pula sebagian budaya Jawa yang mengandung kesyirikan,
talbis, atau muatan kepercayaan pra Islam. Untuk model yang begini,
maka pelaku budaya, yakni masyarakat harus dialihkan, disadarkan,
dan diberi pembelajaran kembali kepada masyarakat bahwa budaya.
”Prinsip pemahaman salaf dalam menghadapi kebiasaan-kebiasaan
kemasyarakatan adalah dengan ilmu yang berdasarkan wahyu.
Sedangkan ada sebagian budaya Jawa yang hanya merupakan hasil
renungan akal yang kemudian dijadikan tuntunan. Bila renungan ini
bertentangan dengan wahyu, maka harus didahulukan wahyu.”
Sepakat dengan pendapat sebelumnya, responden kedua juga
menyatakan bahwa ajaran hikmat dalam masyarakat Jawa memiliki
semangat mengajak pada kebaikan, yang patut diduga disemangati
dengan ajaran Islam. Hanya saja ada campur aduk antara tradisi baik
dan buruk, antara doa dan perilaku mistis. Meski demikian, reponden
mengaku masih berbaik sangka dengan budaya yang ada. “Saya
berbaik sangka bahwa setiap upacara slametan, brokohan dan
semacamnya diawali niat baik berdoa dan bersyukur kepada Allah.
Maka tidaklah perlu ditambah dengan kegiatan-kegiatan mistis yang
mengandung kesyirikan”.
Di sisi lain, cara pandang orang Jawa bermanhaj salaf terhadap
budaya Jawa tidak terlepasa dari keyakinannya bahwa Al Qur’an dan
hadis adalah ajaran yang selalu sesuai dengan tempat dan waktu.
Ulama berijtihad menjadikan budaya yang ada sesuai dengan ajaran
sunnah Rasulullah. Menjadi tugas kami adalah menyampaikan
kebenaran kepada masyarakat. Meskipun banyak diantara masyarakat
yang masih menolak datangnya hidayah.
Dari berbagai jawaban di atas, bisa disimpulkan bahwa orang
salafi Jawa, memandang budaya Jawa yang berkembang di
masyarakat itu ada dua macam. Ada budaya-budaya lokal yang baik
yang sangat sesuai dengan ajaran-ajaran kenabian. Seperti sikap ramah
tamah, kebiasaan silaturahim, memberi nasihat yang baik pada anak
19
keturunan, suka bekerjasama, gugur gunung, menengok bayi lahir, dan
sebagainya. Ada pula budaya yang sebaiknya dihindari, seperti budaya
ritual-ritual yang bernuansa hindu dan kepercayaan pra Islam.
c. Cara mengkompromikan pemahaman manhaj salaf terhadap budaya
Jawa
Semua nara sumber dalam wawancara penelitian ini sepakat
dengan satu kata bahwa selalu ada peluang mengkompromikan ajaran
keislaman dengan budaya masyarakat. Mereka bersepakat melestarikan
budaya baik yang berguna dalam muamalah kemasyarakatan. “Saya
akan menjunjung tinggi adat kebiasaan masyarakat jawa yang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam yang saya yakini. Seperti unggah
ungguh, sopan santun, silaturahim di hari raya, dan lain
semacamnya.”
Tapi untuk yang bertentangan dengan akidah Islam, maka harus
ditinggalkan, dalam bahasa lain: tidak ada toleransi. Meskipun bukan
dengan serta merta dihapuskan, tetapi masyarakat perlu edukasi
mengenainya. Tugas para dai adalah mengajak masyarakat belajar,
memahami dengan ilmu, dan tak lupa selalu memberi contoh dengan
perilaku. Ada beberapa cara merubah budaya masyarakat dengan tanpa
gejolak di masyarakat adalah dengan:
1) Tak henti menyebarkan ilmu dan pemahaman yang benar kepada
masyarakat. Selalu menganggap masyarakat adalah korban
pendahulu mereka yang membutuhkan siraman ilmu.
2) Berperilaku dengan menjunjung adab dan akhlak yang baik. Tidak
perlu sarkasme dalam menghadapi masayarakat.
3) Selalu bergaul bersama masyarakat pada budaya Jawa yang
disepakati kebaikannya. Seperti adat nengok bayi lahir,
menyumbang yang walimahan, menghormati kematian, gugur
gunung, silaturahim lebaran, dan lain sebagainya.
Penutup
Berdasarkan data penelitian yang telah dilakukan, maka didapatkan
kesimpulan berupa:
1. Semua nara sumber orang Jawa bermanhaj Salaf sepakat dengan kedudukan
hadis Nabi sebagai sumber hukum pendamping Al Qur’an. Mereka sepakat
20
menjadikan hadis sebagai tuntunan hidup, dan sebagai contoh pengambilan
sikap terhadap apa pun, termasuk sikap terhadap masyarakat yang
dihadapinya. Penjelasan lanjutnya adalah bahwa, pemahaman yang paling
benar menurut mereka terhadap hadis Nabi, adalah melalui pemahaman
salafus shalih, yakni tiga generasi pertama yang bersama Rasulullah.
2. Pada umumnya, pandangan orang Jawa bermanhaj salafi terhadap budaya
Jawa terbagi dua hal. (1) Pada umumnya ada nilai-nilai budaya Jawa yang
luhur, dan bersesuaian dengan wahyu Ilahi serta hadis Nabi, yakni budaya-
budaya lokal seperti sikap ramah tamah, kebiasaan silaturahim, memberi
nasihat yang baik pada anak keturunan, suka bekerjasama, gugur gunung,
menengok bayi lahir, dan sebagainya. (2) ada pula sebagian budaya Jawa
yang mengandung kesyirikan, talbis, atau mencampur adukkan kebaikan
dengan muatan kepercayaan pra Islam.
3. Ada peluang mengkompromikan ajaran keislaman yang difahami para
penganut manhaj salaf dengan budaya masyarakat Jawa yang berkembang
di sekitarnya. Mereka bersepakat melestarikan budaya baik yang berguna
dalam muamalah kemasyarakatan, menjunjung tinggi adat kebiasaan
masyarakat Jawa yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang
diyakini. Seperti unggah ungguh, sopan santun, silaturahim di hari raya,
dan lain semacamnya. Tapi untuk yang bertentangan dengan akidah Islam,
maka harus ada perubahan. Meskipun bukan dengan serta merta
dihapuskan, tetapi masyarakat perlu edukasi mengenainya. Adapun
beberapa cara merubah budaya masyarakat dengan tanpa gejolak di
masyarakat adalah dengan: (1) Tak henti menyebarkan ilmu dan
pemahaman yang benar kepada masyarakat. (2) Berperilaku dengan
menjunjung adab dan akhlak yang baik. Dan (3) selalu bergaul bersama
masyarakat pada budaya Jawa yang disepakati kebaikannya.
Temuan penelitian ini menjelaskan bahwa orang Jawa penganut manhaj
Salafi bukanlah seorang yang anti terhadap budaya masyarakat Jawa. Hal ini
menjadi salah satu data awal yang barangkali bisa menjawab anggapan
masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa penelitian ini
barulah penelitian pemula, yang harus dikembangkan secara lebih mendalam
untuk mengetahui perilaku penganut manhaj Salafi dalam keseharian
kehidupannya. Karena bisa jadi ada juga mereka yang keras dan susah
berkompromi dengan budaya masyarakatnya.
21
Daftar pustaka
A.Sudiarja, Agama di Zaman Yang Berubah, Yogyakarta: Kanisius, 2006
Abu Aman, (ed) Tim Jazera, Subhat Salafi, Solo: Jazera, 2001
Abu Umar Basyir, Aku bukan Salafi?, Solo: Uzainah Media, 2009
Afifuddin, 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Pustaka Setia
Ahmadi Alsa, 2007, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif serta Kombinasinya
dalam Penelitian Psikologi, Yogyakarta: pustaka Pelajar Akh Minhaji,
Sejarah Sosial dalam Studi Islam, Yogyakarta: sunan Kalijogo Pers, 2010
Ali Abdul Halim Mahmud, dkk, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: tinjauan
Antar Disiplin Ilmu, Bandung: Nuansa, 2001
Briyan S Turner, Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer, terj. Inyiak
ridwan M, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003
Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera
Thawalib, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995
Darori Amin, (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gema Media,
2002.
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES,
1996
M. Atho’ Mudhor, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Musa Asy’arie, , Filsafat Islam tentang Kebudayaan, Yogyakarta: LESFI, 1999
Nanih Machendrawaty, Pengembangan Masyarakat Islam, Bandung: remaja
Rosdakarya, 2001
Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis: Kritik atasNalar Islam Murni, Yogyakarta:
Ar Ruzz, 2004
......., Wahhabi seri 3, Yogyakarta: Ar Ruzz, 2009
Ridin Sofwan dkk, Islamisasi di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2004
Sartono Kartodirjo, Kuntowijoyo, Bambang Purwanto dkk, Sejarah Sosial:
Konseptualisasi, Model, dan Tantangannya, Yogyakarta: Ombak, 2013
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-
negara Islam di Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 2007
22
Syeh Muhammad bin Jamil Zainu, Jalan Golongan yang selamat, terj Ainul
Haris, Jakarta: Darul Haq, 2004
Taufik Abdullah (ed), Metodologi Penelitian agama, Yogyakarta: Tiara Wacana ,
2004
Widji Saksoni, Mengislamkan tanah Jawa, Bandung: Mizan, 1995
Yudian Wahyudi, (ed), Gerakan Wahabi di Indonesia (Dialog dan Kritik),
Yogyakarta: Bina Harfa, 2009
Sumber internet:
Andik Wahyun Muqoyyidin, “Dialektika Islam dan Budaya Lokal dalam bidang
sosial sebagai salah satu wajah Islam Jawa, dalam Jurnal Al Harakah,Vol
14 no 1 tahun 2012
Deni Miharja, “Persentuhan Agama Islam dengan Budaya Asli Bangsa
Indonesia” dalam Jurnal Miqoot edisi 38 no 1 tahun 2014
Miftahuddin Azmi, ”Sejarah Pergumulan Hukum Islam dengan Budaya,” dalam
Jurnal Al Qonun vol 13 no 1 tahun 2010
Muhammaddin, “Manhaj Salafiyah,” artikel dalam Jurnal Ilmu Agama (JIA) UIN
Raden Fatah Palembang/ Desember 2013/th.XIV/Nomor 2/147-161.
Muh. Ikhsan & Muhammad Lutfi Zuhdi, Gerakan Salafi Modern di Indonesia,
http://wahdah.or.id/gerakan-salafi-modern-di-indonesia/5/08/2012, diakses
tanggal 20 Maret 2017.
Suhanah, Manhaj Salaf di Indonesia, 2012. http://majelispenulis.blogspot.co.id
Ubaidillah, “Global Salafism Dan Pengaruhnya Di Indonesia”, dalam Jurnal
Thaqãfiyyãt, Vol. 13, No. 1, Juni 2012