Diakonos

40

description

Buletin perdana Diakonia PMK ITB

Transcript of Diakonos

Page 1: Diakonos
Page 2: Diakonos

Ayat ini sudah sangat sering kita dengar. Layaknya sebuah benda yang biasa dipakai akan menjadi kurang berharga, demikianlah ayat ini sedikit demi sedikit kehilangan dengungnya di hati banyak orang. Begitu pula denganku, sering menyampaikan ayat ini. Tapi setelah kusadari, ternyata aku belum benar-benar mengerti apa yang aku ucapkan. Tapi itu dulu. Semua berubah ketika Tuhan memanggilku menjadi pelayan-Nya di PMK ITB, tepatnya sebagai koordinator umum.

Satu tahun melayani di PMK adalah hal yang sangat luar biasa bagiku. Salah satu hal yang paling membuatku bersyukur adalah karena Tuhan mengizinkanku melihat apa yang dimaksud oleh Pengkhotbah dengan “waktunya”. Pada masa kepengurusan kami, aku melihat fakultas satu persatu mulai memiliki perseku-tuan doa, suatu hal yang belum pernah aku temui sebelumnya. Tidak hanya itu, Diakonia, yang sempat “mati suri”-paling tidak selama dua setengah tahun- Dia bangkitkan juga pada masa kepengurusan kami. Aku tidak tahu bagaimana kondisi PMK ITB masa lalu, tapi yang aku tahu, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, belum pernah PMK ITB se-“sehat” seperti yang aku temui saat ini.

Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan kalau kebangkitan PMK ini terjadi karena aku sebagai pemimpinnya. Justru inilah yang selalu menjadi pengalaman manis buatku, yaitu ketika sebenarnya aku tidak melakukan apapun yang berhubungan dengan kebangkitan itu tetapi Tuhan mengizinkanku melihat karya-Nya selama masa kepengurusanku. Aku seringkali bertanya dalam hati, “ya Tuhan, kok semuanya terjadi pada tahun ini yah? Kenapa ga satu persatu Tuhan? Tahun ini Tuhan bangkitkan PD

fakultas yang satu, trus tahun depan fakultas berikutnya, tahun depannya lagi Diakonia, atau sebaliknya. Tapi kok PD semua fakultas bahkan Diakonia, Tuhan bangkitkan di tahun yang sama seolah-olah Tuhan ingin berbicara sesuatu?”

Di tengah-tengah keherananku, Tuhan menjawab dengan Pengkhotbah 3:11 itu. Sungguh benar, aku bisa mengatakan bahwa tahun kepengurusanku adalah “waktunya”, yaitu waktu Tuhan menjawab doa anak-anak PMK yang memohon kebang-kitan rohani di ITB. Aku belum pernah mendoakan secara spesifik untuk kebangkitan PD-PD fakultas, apalagi Diakonia. Tetapi, Tuhan menyediakannya pada saat ini.

Ya, kebangkitan ini bukan hasil dari doaku atau doa dari pengurus yang lain, tetapi hasil dari doa orang-orang di masa silam yang setia untuk berdoa dan bergumul akan hal ini. Mungkin benar pada masa itu mereka belum melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa Diakonia bangkit, sama seperti Abraham yang hingga matinya tidak sempat melihat Allah menggenapi janji-Nya untuk memberikan keturunan yang sangat besar jumlahnya. Tapi aku percaya bahwa Abang-abang dan Kakak-kakak pada masa itu pasti dengan iman dan kesetiaan yang teguh berdoa tanpa jemu-jemu agar Diakonia tumbuh menjadi pelayanan yang besar. Saat ini pun, aku percaya bahwa ada alumni-alumni Diakonia yang masih setia berdoa untuk Diakonia. Di sini kita bisa belajar satu hal, yaitu Tuhan memiliki waktu-Nya sendiri, yang tidak sama dengan waktu kita, yang mungkin tidak sesuai dengan yang kita minta, tapi satu hal yang pasti, semua indah pada waktunya (waktu-Nya).

Kita sering berdoa pada Tuhan namun beberapa permohonan kita tidak Dia kabulkan. Kita mungkin kecewa karena Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, apa yang kita kira baik bagi kita. Tetapi percayalah, ketika Tuhan tidak memberi-kan apa yang kita minta, itu bukan karena Dia tidak bisa, bukan karena Dia pelit, bukan karena Dia benci kepada kita, tetapi karena begitu besar kasih-Nya kepada kita, maka Dia lebih memilih untuk memberikan kepada kita kesabaran. Dan pasti ini yang dialami oleh Abang dan Kakak di masa lalu. Mereka tidak melihat Diakonia bangkit, justru mereka melihat bahwa secara perlahan Diakonia semakin lama semakin hilang, bahkan ”mati suri”, tetapi mereka bersabar dan setia mendo-akan hingga akhirnya tahun 2011, Tuhan membangkitkan Diakonia kembali.

Sekarang pun penuai telah menerima upahnya dan ia meng-umpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: “Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka". (Yohanes 4:36-38)

Ya, suatu kehormatan dan berkat yang luar biasa ketika aku dan rekan-rekan pelayan di Diakonia saat ini boleh menjadi penuai-penuai itu. Kami bukan penaburnya, hanya dilayakkan menjadi orang yang menuai buah dari pelayanan yang telah dibangun, didoakan, dan digumulkan oleh anak-anak Tuhan di masa lampau. Demikianlah aku berharap bahwa saat ini kami bisa menanam sesuatu hingga suatu saat di masa depan nanti ada adik-adik kami yang akan menuai buah dari pelayanan yang kami tanam. Suatu sukacita yang luar biasa ketika di masa depan nanti, ada generasi baru yang mengatakan, “kebangkitan ini bukan karena kami, tapi karena Abang dan Kakak di masa lalu yang setia mendoakan dan menggumulkannya”….. “sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita”.

Terakhir, seperti jawaban Tuhan atas semua pertanyaan di hatiku, aku yakin, tahun 2011 dan seterusnya merupakan tahun-tahun di mana Tuhan akan semakin menyatakan keagungan-Nya. Tidak hanya PMK, PD fakultas, atau Diakonia, tetapi Tuhan akan membangkitkan semua lini kekuatan-Nya. Anak-anakNya, terkhusus anak PMK ITB, akan akan bangkit menjadi pejuang-pejuang yang akan Dia utus untuk mengalah-kan dunia dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Tuhan akan menghapuskan perpecahan di antara umat-Nya dan menanamkan kesaksian di dalam setiap tutur kata dan tindak-tanduk anak-anak-Nya. Maukah Anda ikut serta dalam keger-akan ini?

“Oleh darah Anak Domba dan oleh kesaksian kita, iblis dikalahkan” (Wahyu 12:11)

Soli Deo Gloria, JBU! (ras)

Dari RedaksiOleh: Linda Agustina SuronoPimpinan Redaksi Diakonos dan Anggota Internal Diakonia 2012-2013

Buletin DiakonosEdisi #1 01

Setelah sekian lama, akhirnya terbit juga buletin perdana Diakonia ini. Tentu hal ini tak terlepas dari penyertaan Tuhan dalam pembuatannya.

Diakonos (dee-ah'-koh-nos) berasal dari Bahasa Yunani, atau dalam Bahasa Inggris, Deacon yang berarti “orang yang melayani”. Kami, sebagai orang-orang yang terpanggil untuk melayani, berharap keberadaan buletin ini menjadi media penghubung antara pelayanan kami dengan Kakak dan Abang yang juga melayani lewat divisi ini.

Terbitan perdana ini akan membahas tentang keberadaan Diakonia sebagai sebuah divisi dari awal terbentuknya, hingga perkembangannya. Ada saat-saat Diakonia sempat “tenggelam” beberapa tahun kemarin, hingga kondisi Diakonia sekarang.

Ada juga kesaksian dari anggota Diakonia, alumni, hingga mantan koordinator umum PMK yang menceritakan kebangkitan komisi ini kembali. Selain itu, juga ada resensi buku dan artikel rohani yang membangun tentunya.

Mungkin masih banyak kekurangan yang terdapat di buletin perdana ini. Namun, kami berharap semoga memberkati para pembaca.

DIAKONOS #1Buletin Diakonia PMK ITB

Pimpinan Redaksi : Linda Agustina SuronoEditor & Desainer : Arnold SaputraKontributor : Richard A.S., Laura M.M.S.,Theresa Monica G., Destry Siagian, Mega Sari P., Listra Endenta, Yunika Yap, Agastia Cestyakara S., Andrew S. Tarigan, Regina Angeline, Hanni Manta M., Okihita H.S., Wetha Sinaga dan segenap keluarga Diakonia tercinta

Page 3: Diakonos

Ayat ini sudah sangat sering kita dengar. Layaknya sebuah benda yang biasa dipakai akan menjadi kurang berharga, demikianlah ayat ini sedikit demi sedikit kehilangan dengungnya di hati banyak orang. Begitu pula denganku, sering menyampaikan ayat ini. Tapi setelah kusadari, ternyata aku belum benar-benar mengerti apa yang aku ucapkan. Tapi itu dulu. Semua berubah ketika Tuhan memanggilku menjadi pelayan-Nya di PMK ITB, tepatnya sebagai koordinator umum.

Satu tahun melayani di PMK adalah hal yang sangat luar biasa bagiku. Salah satu hal yang paling membuatku bersyukur adalah karena Tuhan mengizinkanku melihat apa yang dimaksud oleh Pengkhotbah dengan “waktunya”. Pada masa kepengurusan kami, aku melihat fakultas satu persatu mulai memiliki perseku-tuan doa, suatu hal yang belum pernah aku temui sebelumnya. Tidak hanya itu, Diakonia, yang sempat “mati suri”-paling tidak selama dua setengah tahun- Dia bangkitkan juga pada masa kepengurusan kami. Aku tidak tahu bagaimana kondisi PMK ITB masa lalu, tapi yang aku tahu, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, belum pernah PMK ITB se-“sehat” seperti yang aku temui saat ini.

Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan kalau kebangkitan PMK ini terjadi karena aku sebagai pemimpinnya. Justru inilah yang selalu menjadi pengalaman manis buatku, yaitu ketika sebenarnya aku tidak melakukan apapun yang berhubungan dengan kebangkitan itu tetapi Tuhan mengizinkanku melihat karya-Nya selama masa kepengurusanku. Aku seringkali bertanya dalam hati, “ya Tuhan, kok semuanya terjadi pada tahun ini yah? Kenapa ga satu persatu Tuhan? Tahun ini Tuhan bangkitkan PD

fakultas yang satu, trus tahun depan fakultas berikutnya, tahun depannya lagi Diakonia, atau sebaliknya. Tapi kok PD semua fakultas bahkan Diakonia, Tuhan bangkitkan di tahun yang sama seolah-olah Tuhan ingin berbicara sesuatu?”

Di tengah-tengah keherananku, Tuhan menjawab dengan Pengkhotbah 3:11 itu. Sungguh benar, aku bisa mengatakan bahwa tahun kepengurusanku adalah “waktunya”, yaitu waktu Tuhan menjawab doa anak-anak PMK yang memohon kebang-kitan rohani di ITB. Aku belum pernah mendoakan secara spesifik untuk kebangkitan PD-PD fakultas, apalagi Diakonia. Tetapi, Tuhan menyediakannya pada saat ini.

Ya, kebangkitan ini bukan hasil dari doaku atau doa dari pengurus yang lain, tetapi hasil dari doa orang-orang di masa silam yang setia untuk berdoa dan bergumul akan hal ini. Mungkin benar pada masa itu mereka belum melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa Diakonia bangkit, sama seperti Abraham yang hingga matinya tidak sempat melihat Allah menggenapi janji-Nya untuk memberikan keturunan yang sangat besar jumlahnya. Tapi aku percaya bahwa Abang-abang dan Kakak-kakak pada masa itu pasti dengan iman dan kesetiaan yang teguh berdoa tanpa jemu-jemu agar Diakonia tumbuh menjadi pelayanan yang besar. Saat ini pun, aku percaya bahwa ada alumni-alumni Diakonia yang masih setia berdoa untuk Diakonia. Di sini kita bisa belajar satu hal, yaitu Tuhan memiliki waktu-Nya sendiri, yang tidak sama dengan waktu kita, yang mungkin tidak sesuai dengan yang kita minta, tapi satu hal yang pasti, semua indah pada waktunya (waktu-Nya).

Kita sering berdoa pada Tuhan namun beberapa permohonan kita tidak Dia kabulkan. Kita mungkin kecewa karena Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, apa yang kita kira baik bagi kita. Tetapi percayalah, ketika Tuhan tidak memberi-kan apa yang kita minta, itu bukan karena Dia tidak bisa, bukan karena Dia pelit, bukan karena Dia benci kepada kita, tetapi karena begitu besar kasih-Nya kepada kita, maka Dia lebih memilih untuk memberikan kepada kita kesabaran. Dan pasti ini yang dialami oleh Abang dan Kakak di masa lalu. Mereka tidak melihat Diakonia bangkit, justru mereka melihat bahwa secara perlahan Diakonia semakin lama semakin hilang, bahkan ”mati suri”, tetapi mereka bersabar dan setia mendo-akan hingga akhirnya tahun 2011, Tuhan membangkitkan Diakonia kembali.

Sekarang pun penuai telah menerima upahnya dan ia meng-umpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: “Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka". (Yohanes 4:36-38)

Ya, suatu kehormatan dan berkat yang luar biasa ketika aku dan rekan-rekan pelayan di Diakonia saat ini boleh menjadi penuai-penuai itu. Kami bukan penaburnya, hanya dilayakkan menjadi orang yang menuai buah dari pelayanan yang telah dibangun, didoakan, dan digumulkan oleh anak-anak Tuhan di masa lampau. Demikianlah aku berharap bahwa saat ini kami bisa menanam sesuatu hingga suatu saat di masa depan nanti ada adik-adik kami yang akan menuai buah dari pelayanan yang kami tanam. Suatu sukacita yang luar biasa ketika di masa depan nanti, ada generasi baru yang mengatakan, “kebangkitan ini bukan karena kami, tapi karena Abang dan Kakak di masa lalu yang setia mendoakan dan menggumulkannya”….. “sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita”.

Terakhir, seperti jawaban Tuhan atas semua pertanyaan di hatiku, aku yakin, tahun 2011 dan seterusnya merupakan tahun-tahun di mana Tuhan akan semakin menyatakan keagungan-Nya. Tidak hanya PMK, PD fakultas, atau Diakonia, tetapi Tuhan akan membangkitkan semua lini kekuatan-Nya. Anak-anakNya, terkhusus anak PMK ITB, akan akan bangkit menjadi pejuang-pejuang yang akan Dia utus untuk mengalah-kan dunia dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Tuhan akan menghapuskan perpecahan di antara umat-Nya dan menanamkan kesaksian di dalam setiap tutur kata dan tindak-tanduk anak-anak-Nya. Maukah Anda ikut serta dalam keger-akan ini?

“Oleh darah Anak Domba dan oleh kesaksian kita, iblis dikalahkan” (Wahyu 12:11)

Soli Deo Gloria, JBU! (ras)

Dari RedaksiOleh: Linda Agustina SuronoPimpinan Redaksi Diakonos dan Anggota Internal Diakonia 2012-2013

Buletin DiakonosEdisi #1 01

Setelah sekian lama, akhirnya terbit juga buletin perdana Diakonia ini. Tentu hal ini tak terlepas dari penyertaan Tuhan dalam pembuatannya.

Diakonos (dee-ah'-koh-nos) berasal dari Bahasa Yunani, atau dalam Bahasa Inggris, Deacon yang berarti “orang yang melayani”. Kami, sebagai orang-orang yang terpanggil untuk melayani, berharap keberadaan buletin ini menjadi media penghubung antara pelayanan kami dengan Kakak dan Abang yang juga melayani lewat divisi ini.

Terbitan perdana ini akan membahas tentang keberadaan Diakonia sebagai sebuah divisi dari awal terbentuknya, hingga perkembangannya. Ada saat-saat Diakonia sempat “tenggelam” beberapa tahun kemarin, hingga kondisi Diakonia sekarang.

Ada juga kesaksian dari anggota Diakonia, alumni, hingga mantan koordinator umum PMK yang menceritakan kebangkitan komisi ini kembali. Selain itu, juga ada resensi buku dan artikel rohani yang membangun tentunya.

Mungkin masih banyak kekurangan yang terdapat di buletin perdana ini. Namun, kami berharap semoga memberkati para pembaca.

DIAKONOS #1Buletin Diakonia PMK ITB

Pimpinan Redaksi : Linda Agustina SuronoEditor & Desainer : Arnold SaputraKontributor : Richard A.S., Laura M.M.S.,Theresa Monica G., Destry Siagian, Mega Sari P., Listra Endenta, Yunika Yap, Agastia Cestyakara S., Andrew S. Tarigan, Regina Angeline, Hanni Manta M., Okihita H.S., Wetha Sinaga dan segenap keluarga Diakonia tercinta

08

Artikel:Apa itu Diakonia?

37

Puisi:Dia tak pernah bosan

29

Kontak Diakonia:Bagaimana menghubungi kami

33

Resensi Buku:Decision Making

Ayat ini sudah sangat sering kita dengar. Layaknya sebuah benda yang biasa dipakai akan menjadi kurang berharga, demikianlah ayat ini sedikit demi sedikit kehilangan dengungnya di hati banyak orang. Begitu pula denganku, sering menyampaikan ayat ini. Tapi setelah kusadari, ternyata aku belum benar-benar mengerti apa yang aku ucapkan. Tapi itu dulu. Semua berubah ketika Tuhan memanggilku menjadi pelayan-Nya di PMK ITB, tepatnya sebagai koordinator umum.

Satu tahun melayani di PMK adalah hal yang sangat luar biasa bagiku. Salah satu hal yang paling membuatku bersyukur adalah karena Tuhan mengizinkanku melihat apa yang dimaksud oleh Pengkhotbah dengan “waktunya”. Pada masa kepengurusan kami, aku melihat fakultas satu persatu mulai memiliki perseku-tuan doa, suatu hal yang belum pernah aku temui sebelumnya. Tidak hanya itu, Diakonia, yang sempat “mati suri”-paling tidak selama dua setengah tahun- Dia bangkitkan juga pada masa kepengurusan kami. Aku tidak tahu bagaimana kondisi PMK ITB masa lalu, tapi yang aku tahu, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, belum pernah PMK ITB se-“sehat” seperti yang aku temui saat ini.

Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan kalau kebangkitan PMK ini terjadi karena aku sebagai pemimpinnya. Justru inilah yang selalu menjadi pengalaman manis buatku, yaitu ketika sebenarnya aku tidak melakukan apapun yang berhubungan dengan kebangkitan itu tetapi Tuhan mengizinkanku melihat karya-Nya selama masa kepengurusanku. Aku seringkali bertanya dalam hati, “ya Tuhan, kok semuanya terjadi pada tahun ini yah? Kenapa ga satu persatu Tuhan? Tahun ini Tuhan bangkitkan PD

fakultas yang satu, trus tahun depan fakultas berikutnya, tahun depannya lagi Diakonia, atau sebaliknya. Tapi kok PD semua fakultas bahkan Diakonia, Tuhan bangkitkan di tahun yang sama seolah-olah Tuhan ingin berbicara sesuatu?”

Di tengah-tengah keherananku, Tuhan menjawab dengan Pengkhotbah 3:11 itu. Sungguh benar, aku bisa mengatakan bahwa tahun kepengurusanku adalah “waktunya”, yaitu waktu Tuhan menjawab doa anak-anak PMK yang memohon kebang-kitan rohani di ITB. Aku belum pernah mendoakan secara spesifik untuk kebangkitan PD-PD fakultas, apalagi Diakonia. Tetapi, Tuhan menyediakannya pada saat ini.

Ya, kebangkitan ini bukan hasil dari doaku atau doa dari pengurus yang lain, tetapi hasil dari doa orang-orang di masa silam yang setia untuk berdoa dan bergumul akan hal ini. Mungkin benar pada masa itu mereka belum melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa Diakonia bangkit, sama seperti Abraham yang hingga matinya tidak sempat melihat Allah menggenapi janji-Nya untuk memberikan keturunan yang sangat besar jumlahnya. Tapi aku percaya bahwa Abang-abang dan Kakak-kakak pada masa itu pasti dengan iman dan kesetiaan yang teguh berdoa tanpa jemu-jemu agar Diakonia tumbuh menjadi pelayanan yang besar. Saat ini pun, aku percaya bahwa ada alumni-alumni Diakonia yang masih setia berdoa untuk Diakonia. Di sini kita bisa belajar satu hal, yaitu Tuhan memiliki waktu-Nya sendiri, yang tidak sama dengan waktu kita, yang mungkin tidak sesuai dengan yang kita minta, tapi satu hal yang pasti, semua indah pada waktunya (waktu-Nya).

Kita sering berdoa pada Tuhan namun beberapa permohonan kita tidak Dia kabulkan. Kita mungkin kecewa karena Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, apa yang kita kira baik bagi kita. Tetapi percayalah, ketika Tuhan tidak memberi-kan apa yang kita minta, itu bukan karena Dia tidak bisa, bukan karena Dia pelit, bukan karena Dia benci kepada kita, tetapi karena begitu besar kasih-Nya kepada kita, maka Dia lebih memilih untuk memberikan kepada kita kesabaran. Dan pasti ini yang dialami oleh Abang dan Kakak di masa lalu. Mereka tidak melihat Diakonia bangkit, justru mereka melihat bahwa secara perlahan Diakonia semakin lama semakin hilang, bahkan ”mati suri”, tetapi mereka bersabar dan setia mendo-akan hingga akhirnya tahun 2011, Tuhan membangkitkan Diakonia kembali.

Sekarang pun penuai telah menerima upahnya dan ia meng-umpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: “Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka". (Yohanes 4:36-38)

Ya, suatu kehormatan dan berkat yang luar biasa ketika aku dan rekan-rekan pelayan di Diakonia saat ini boleh menjadi penuai-penuai itu. Kami bukan penaburnya, hanya dilayakkan menjadi orang yang menuai buah dari pelayanan yang telah dibangun, didoakan, dan digumulkan oleh anak-anak Tuhan di masa lampau. Demikianlah aku berharap bahwa saat ini kami bisa menanam sesuatu hingga suatu saat di masa depan nanti ada adik-adik kami yang akan menuai buah dari pelayanan yang kami tanam. Suatu sukacita yang luar biasa ketika di masa depan nanti, ada generasi baru yang mengatakan, “kebangkitan ini bukan karena kami, tapi karena Abang dan Kakak di masa lalu yang setia mendoakan dan menggumulkannya”….. “sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita”.

Terakhir, seperti jawaban Tuhan atas semua pertanyaan di hatiku, aku yakin, tahun 2011 dan seterusnya merupakan tahun-tahun di mana Tuhan akan semakin menyatakan keagungan-Nya. Tidak hanya PMK, PD fakultas, atau Diakonia, tetapi Tuhan akan membangkitkan semua lini kekuatan-Nya. Anak-anakNya, terkhusus anak PMK ITB, akan akan bangkit menjadi pejuang-pejuang yang akan Dia utus untuk mengalah-kan dunia dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Tuhan akan menghapuskan perpecahan di antara umat-Nya dan menanamkan kesaksian di dalam setiap tutur kata dan tindak-tanduk anak-anak-Nya. Maukah Anda ikut serta dalam keger-akan ini?

“Oleh darah Anak Domba dan oleh kesaksian kita, iblis dikalahkan” (Wahyu 12:11)

Soli Deo Gloria, JBU! (ras)

Kesaksian:Nostalgia Diakonia

11

Diakonosedisi perdana

Renungan:Indah pada waktunya

04

Update Diakonia:Perjalanan kita masih panjang

23

Kesaksian:Diakonia family in Christ

15

Page 4: Diakonos

Ayat ini sudah sangat sering kita dengar. Layaknya sebuah benda yang biasa dipakai akan menjadi kurang berharga, demikianlah ayat ini sedikit demi sedikit kehilangan dengungnya di hati banyak orang. Begitu pula denganku, sering menyampaikan ayat ini. Tapi setelah kusadari, ternyata aku belum benar-benar mengerti apa yang aku ucapkan. Tapi itu dulu. Semua berubah ketika Tuhan memanggilku menjadi pelayan-Nya di PMK ITB, tepatnya sebagai koordinator umum.

Satu tahun melayani di PMK adalah hal yang sangat luar biasa bagiku. Salah satu hal yang paling membuatku bersyukur adalah karena Tuhan mengizinkanku melihat apa yang dimaksud oleh Pengkhotbah dengan “waktunya”. Pada masa kepengurusan kami, aku melihat fakultas satu persatu mulai memiliki perseku-tuan doa, suatu hal yang belum pernah aku temui sebelumnya. Tidak hanya itu, Diakonia, yang sempat “mati suri”-paling tidak selama dua setengah tahun- Dia bangkitkan juga pada masa kepengurusan kami. Aku tidak tahu bagaimana kondisi PMK ITB masa lalu, tapi yang aku tahu, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, belum pernah PMK ITB se-“sehat” seperti yang aku temui saat ini.

Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan kalau kebangkitan PMK ini terjadi karena aku sebagai pemimpinnya. Justru inilah yang selalu menjadi pengalaman manis buatku, yaitu ketika sebenarnya aku tidak melakukan apapun yang berhubungan dengan kebangkitan itu tetapi Tuhan mengizinkanku melihat karya-Nya selama masa kepengurusanku. Aku seringkali bertanya dalam hati, “ya Tuhan, kok semuanya terjadi pada tahun ini yah? Kenapa ga satu persatu Tuhan? Tahun ini Tuhan bangkitkan PD

fakultas yang satu, trus tahun depan fakultas berikutnya, tahun depannya lagi Diakonia, atau sebaliknya. Tapi kok PD semua fakultas bahkan Diakonia, Tuhan bangkitkan di tahun yang sama seolah-olah Tuhan ingin berbicara sesuatu?”

Di tengah-tengah keherananku, Tuhan menjawab dengan Pengkhotbah 3:11 itu. Sungguh benar, aku bisa mengatakan bahwa tahun kepengurusanku adalah “waktunya”, yaitu waktu Tuhan menjawab doa anak-anak PMK yang memohon kebang-kitan rohani di ITB. Aku belum pernah mendoakan secara spesifik untuk kebangkitan PD-PD fakultas, apalagi Diakonia. Tetapi, Tuhan menyediakannya pada saat ini.

Ya, kebangkitan ini bukan hasil dari doaku atau doa dari pengurus yang lain, tetapi hasil dari doa orang-orang di masa silam yang setia untuk berdoa dan bergumul akan hal ini. Mungkin benar pada masa itu mereka belum melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa Diakonia bangkit, sama seperti Abraham yang hingga matinya tidak sempat melihat Allah menggenapi janji-Nya untuk memberikan keturunan yang sangat besar jumlahnya. Tapi aku percaya bahwa Abang-abang dan Kakak-kakak pada masa itu pasti dengan iman dan kesetiaan yang teguh berdoa tanpa jemu-jemu agar Diakonia tumbuh menjadi pelayanan yang besar. Saat ini pun, aku percaya bahwa ada alumni-alumni Diakonia yang masih setia berdoa untuk Diakonia. Di sini kita bisa belajar satu hal, yaitu Tuhan memiliki waktu-Nya sendiri, yang tidak sama dengan waktu kita, yang mungkin tidak sesuai dengan yang kita minta, tapi satu hal yang pasti, semua indah pada waktunya (waktu-Nya).

Kita sering berdoa pada Tuhan namun beberapa permohonan kita tidak Dia kabulkan. Kita mungkin kecewa karena Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, apa yang kita kira baik bagi kita. Tetapi percayalah, ketika Tuhan tidak memberi-kan apa yang kita minta, itu bukan karena Dia tidak bisa, bukan karena Dia pelit, bukan karena Dia benci kepada kita, tetapi karena begitu besar kasih-Nya kepada kita, maka Dia lebih memilih untuk memberikan kepada kita kesabaran. Dan pasti ini yang dialami oleh Abang dan Kakak di masa lalu. Mereka tidak melihat Diakonia bangkit, justru mereka melihat bahwa secara perlahan Diakonia semakin lama semakin hilang, bahkan ”mati suri”, tetapi mereka bersabar dan setia mendo-akan hingga akhirnya tahun 2011, Tuhan membangkitkan Diakonia kembali.

Sekarang pun penuai telah menerima upahnya dan ia meng-umpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: “Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka". (Yohanes 4:36-38)

Ya, suatu kehormatan dan berkat yang luar biasa ketika aku dan rekan-rekan pelayan di Diakonia saat ini boleh menjadi penuai-penuai itu. Kami bukan penaburnya, hanya dilayakkan menjadi orang yang menuai buah dari pelayanan yang telah dibangun, didoakan, dan digumulkan oleh anak-anak Tuhan di masa lampau. Demikianlah aku berharap bahwa saat ini kami bisa menanam sesuatu hingga suatu saat di masa depan nanti ada adik-adik kami yang akan menuai buah dari pelayanan yang kami tanam. Suatu sukacita yang luar biasa ketika di masa depan nanti, ada generasi baru yang mengatakan, “kebangkitan ini bukan karena kami, tapi karena Abang dan Kakak di masa lalu yang setia mendoakan dan menggumulkannya”….. “sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita”.

Terakhir, seperti jawaban Tuhan atas semua pertanyaan di hatiku, aku yakin, tahun 2011 dan seterusnya merupakan tahun-tahun di mana Tuhan akan semakin menyatakan keagungan-Nya. Tidak hanya PMK, PD fakultas, atau Diakonia, tetapi Tuhan akan membangkitkan semua lini kekuatan-Nya. Anak-anakNya, terkhusus anak PMK ITB, akan akan bangkit menjadi pejuang-pejuang yang akan Dia utus untuk mengalah-kan dunia dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Tuhan akan menghapuskan perpecahan di antara umat-Nya dan menanamkan kesaksian di dalam setiap tutur kata dan tindak-tanduk anak-anak-Nya. Maukah Anda ikut serta dalam keger-akan ini?

“Oleh darah Anak Domba dan oleh kesaksian kita, iblis dikalahkan” (Wahyu 12:11)

Soli Deo Gloria, JBU! (ras)

Buletin Diakonos dibagikan secara gratis kepada para alumni dan donatur (kalangan terbatas). Dilarang mengutip, menyadur, menyalahgunakan isi dan gambar, memperbanyak, merusak tanpa izin.

Page 5: Diakonos

Indah Pada WaktunyaSebuah perenungan akan rencana Tuhan dalam kehidupan kita. Oleh: Richard Arnold Simbolon Koordinator Umum PMK 2011-2012

Ayat ini sudah sangat sering kita dengar. Layaknya sebuah benda yang biasa dipakai akan menjadi kurang berharga, demikianlah ayat ini sedikit demi sedikit kehilangan dengungnya di hati banyak orang. Begitu pula denganku, sering menyampaikan ayat ini. Tapi setelah kusadari, ternyata aku belum benar-benar mengerti apa yang aku ucapkan. Tapi itu dulu. Semua berubah ketika Tuhan memanggilku menjadi pelayan-Nya di PMK ITB, tepatnya sebagai koordinator umum.

Satu tahun melayani di PMK adalah hal yang sangat luar biasa bagiku. Salah satu hal yang paling membuatku bersyukur adalah karena Tuhan mengizinkanku melihat apa yang dimaksud oleh Pengkhotbah dengan “waktunya”. Pada masa kepengurusan kami, aku melihat fakultas satu persatu mulai memiliki perseku-tuan doa, suatu hal yang belum pernah aku temui sebelumnya. Tidak hanya itu, Diakonia, yang sempat “mati suri”-paling tidak selama dua setengah tahun- Dia bangkitkan juga pada masa kepengurusan kami. Aku tidak tahu bagaimana kondisi PMK ITB masa lalu, tapi yang aku tahu, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, belum pernah PMK ITB se-“sehat” seperti yang aku temui saat ini.

Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan kalau kebangkitan PMK ini terjadi karena aku sebagai pemimpinnya. Justru inilah yang selalu menjadi pengalaman manis buatku, yaitu ketika sebenarnya aku tidak melakukan apapun yang berhubungan dengan kebangkitan itu tetapi Tuhan mengizinkanku melihat karya-Nya selama masa kepengurusanku. Aku seringkali bertanya dalam hati, “ya Tuhan, kok semuanya terjadi pada tahun ini yah? Kenapa ga satu persatu Tuhan? Tahun ini Tuhan bangkitkan PD

fakultas yang satu, trus tahun depan fakultas berikutnya, tahun depannya lagi Diakonia, atau sebaliknya. Tapi kok PD semua fakultas bahkan Diakonia, Tuhan bangkitkan di tahun yang sama seolah-olah Tuhan ingin berbicara sesuatu?”

Di tengah-tengah keherananku, Tuhan menjawab dengan Pengkhotbah 3:11 itu. Sungguh benar, aku bisa mengatakan bahwa tahun kepengurusanku adalah “waktunya”, yaitu waktu Tuhan menjawab doa anak-anak PMK yang memohon kebang-kitan rohani di ITB. Aku belum pernah mendoakan secara spesifik untuk kebangkitan PD-PD fakultas, apalagi Diakonia. Tetapi, Tuhan menyediakannya pada saat ini.

Ya, kebangkitan ini bukan hasil dari doaku atau doa dari pengurus yang lain, tetapi hasil dari doa orang-orang di masa silam yang setia untuk berdoa dan bergumul akan hal ini. Mungkin benar pada masa itu mereka belum melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa Diakonia bangkit, sama seperti Abraham yang hingga matinya tidak sempat melihat Allah menggenapi janji-Nya untuk memberikan keturunan yang sangat besar jumlahnya. Tapi aku percaya bahwa Abang-abang dan Kakak-kakak pada masa itu pasti dengan iman dan kesetiaan yang teguh berdoa tanpa jemu-jemu agar Diakonia tumbuh menjadi pelayanan yang besar. Saat ini pun, aku percaya bahwa ada alumni-alumni Diakonia yang masih setia berdoa untuk Diakonia. Di sini kita bisa belajar satu hal, yaitu Tuhan memiliki waktu-Nya sendiri, yang tidak sama dengan waktu kita, yang mungkin tidak sesuai dengan yang kita minta, tapi satu hal yang pasti, semua indah pada waktunya (waktu-Nya).

Kita sering berdoa pada Tuhan namun beberapa permohonan kita tidak Dia kabulkan. Kita mungkin kecewa karena Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, apa yang kita kira baik bagi kita. Tetapi percayalah, ketika Tuhan tidak memberi-kan apa yang kita minta, itu bukan karena Dia tidak bisa, bukan karena Dia pelit, bukan karena Dia benci kepada kita, tetapi karena begitu besar kasih-Nya kepada kita, maka Dia lebih memilih untuk memberikan kepada kita kesabaran. Dan pasti ini yang dialami oleh Abang dan Kakak di masa lalu. Mereka tidak melihat Diakonia bangkit, justru mereka melihat bahwa secara perlahan Diakonia semakin lama semakin hilang, bahkan ”mati suri”, tetapi mereka bersabar dan setia mendo-akan hingga akhirnya tahun 2011, Tuhan membangkitkan Diakonia kembali.

Sekarang pun penuai telah menerima upahnya dan ia meng-umpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: “Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka". (Yohanes 4:36-38)

Ya, suatu kehormatan dan berkat yang luar biasa ketika aku dan rekan-rekan pelayan di Diakonia saat ini boleh menjadi penuai-penuai itu. Kami bukan penaburnya, hanya dilayakkan menjadi orang yang menuai buah dari pelayanan yang telah dibangun, didoakan, dan digumulkan oleh anak-anak Tuhan di masa lampau. Demikianlah aku berharap bahwa saat ini kami bisa menanam sesuatu hingga suatu saat di masa depan nanti ada adik-adik kami yang akan menuai buah dari pelayanan yang kami tanam. Suatu sukacita yang luar biasa ketika di masa depan nanti, ada generasi baru yang mengatakan, “kebangkitan ini bukan karena kami, tapi karena Abang dan Kakak di masa lalu yang setia mendoakan dan menggumulkannya”….. “sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita”.

Terakhir, seperti jawaban Tuhan atas semua pertanyaan di hatiku, aku yakin, tahun 2011 dan seterusnya merupakan tahun-tahun di mana Tuhan akan semakin menyatakan keagungan-Nya. Tidak hanya PMK, PD fakultas, atau Diakonia, tetapi Tuhan akan membangkitkan semua lini kekuatan-Nya. Anak-anakNya, terkhusus anak PMK ITB, akan akan bangkit menjadi pejuang-pejuang yang akan Dia utus untuk mengalah-kan dunia dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Tuhan akan menghapuskan perpecahan di antara umat-Nya dan menanamkan kesaksian di dalam setiap tutur kata dan tindak-tanduk anak-anak-Nya. Maukah Anda ikut serta dalam keger-akan ini?

“Oleh darah Anak Domba dan oleh kesaksian kita, iblis dikalahkan” (Wahyu 12:11)

Soli Deo Gloria, JBU! (ras)

“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya” (Pengkhotbah 3:11)

Buletin DiakonosEdisi #1 04

Page 6: Diakonos

Ayat ini sudah sangat sering kita dengar. Layaknya sebuah benda yang biasa dipakai akan menjadi kurang berharga, demikianlah ayat ini sedikit demi sedikit kehilangan dengungnya di hati banyak orang. Begitu pula denganku, sering menyampaikan ayat ini. Tapi setelah kusadari, ternyata aku belum benar-benar mengerti apa yang aku ucapkan. Tapi itu dulu. Semua berubah ketika Tuhan memanggilku menjadi pelayan-Nya di PMK ITB, tepatnya sebagai koordinator umum.

Satu tahun melayani di PMK adalah hal yang sangat luar biasa bagiku. Salah satu hal yang paling membuatku bersyukur adalah karena Tuhan mengizinkanku melihat apa yang dimaksud oleh Pengkhotbah dengan “waktunya”. Pada masa kepengurusan kami, aku melihat fakultas satu persatu mulai memiliki perseku-tuan doa, suatu hal yang belum pernah aku temui sebelumnya. Tidak hanya itu, Diakonia, yang sempat “mati suri”-paling tidak selama dua setengah tahun- Dia bangkitkan juga pada masa kepengurusan kami. Aku tidak tahu bagaimana kondisi PMK ITB masa lalu, tapi yang aku tahu, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, belum pernah PMK ITB se-“sehat” seperti yang aku temui saat ini.

Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan kalau kebangkitan PMK ini terjadi karena aku sebagai pemimpinnya. Justru inilah yang selalu menjadi pengalaman manis buatku, yaitu ketika sebenarnya aku tidak melakukan apapun yang berhubungan dengan kebangkitan itu tetapi Tuhan mengizinkanku melihat karya-Nya selama masa kepengurusanku. Aku seringkali bertanya dalam hati, “ya Tuhan, kok semuanya terjadi pada tahun ini yah? Kenapa ga satu persatu Tuhan? Tahun ini Tuhan bangkitkan PD

fakultas yang satu, trus tahun depan fakultas berikutnya, tahun depannya lagi Diakonia, atau sebaliknya. Tapi kok PD semua fakultas bahkan Diakonia, Tuhan bangkitkan di tahun yang sama seolah-olah Tuhan ingin berbicara sesuatu?”

Di tengah-tengah keherananku, Tuhan menjawab dengan Pengkhotbah 3:11 itu. Sungguh benar, aku bisa mengatakan bahwa tahun kepengurusanku adalah “waktunya”, yaitu waktu Tuhan menjawab doa anak-anak PMK yang memohon kebang-kitan rohani di ITB. Aku belum pernah mendoakan secara spesifik untuk kebangkitan PD-PD fakultas, apalagi Diakonia. Tetapi, Tuhan menyediakannya pada saat ini.

Ya, kebangkitan ini bukan hasil dari doaku atau doa dari pengurus yang lain, tetapi hasil dari doa orang-orang di masa silam yang setia untuk berdoa dan bergumul akan hal ini. Mungkin benar pada masa itu mereka belum melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa Diakonia bangkit, sama seperti Abraham yang hingga matinya tidak sempat melihat Allah menggenapi janji-Nya untuk memberikan keturunan yang sangat besar jumlahnya. Tapi aku percaya bahwa Abang-abang dan Kakak-kakak pada masa itu pasti dengan iman dan kesetiaan yang teguh berdoa tanpa jemu-jemu agar Diakonia tumbuh menjadi pelayanan yang besar. Saat ini pun, aku percaya bahwa ada alumni-alumni Diakonia yang masih setia berdoa untuk Diakonia. Di sini kita bisa belajar satu hal, yaitu Tuhan memiliki waktu-Nya sendiri, yang tidak sama dengan waktu kita, yang mungkin tidak sesuai dengan yang kita minta, tapi satu hal yang pasti, semua indah pada waktunya (waktu-Nya).

Kita sering berdoa pada Tuhan namun beberapa permohonan kita tidak Dia kabulkan. Kita mungkin kecewa karena Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, apa yang kita kira baik bagi kita. Tetapi percayalah, ketika Tuhan tidak memberi-kan apa yang kita minta, itu bukan karena Dia tidak bisa, bukan karena Dia pelit, bukan karena Dia benci kepada kita, tetapi karena begitu besar kasih-Nya kepada kita, maka Dia lebih memilih untuk memberikan kepada kita kesabaran. Dan pasti ini yang dialami oleh Abang dan Kakak di masa lalu. Mereka tidak melihat Diakonia bangkit, justru mereka melihat bahwa secara perlahan Diakonia semakin lama semakin hilang, bahkan ”mati suri”, tetapi mereka bersabar dan setia mendo-akan hingga akhirnya tahun 2011, Tuhan membangkitkan Diakonia kembali.

Sekarang pun penuai telah menerima upahnya dan ia meng-umpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: “Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka". (Yohanes 4:36-38)

Ya, suatu kehormatan dan berkat yang luar biasa ketika aku dan rekan-rekan pelayan di Diakonia saat ini boleh menjadi penuai-penuai itu. Kami bukan penaburnya, hanya dilayakkan menjadi orang yang menuai buah dari pelayanan yang telah dibangun, didoakan, dan digumulkan oleh anak-anak Tuhan di masa lampau. Demikianlah aku berharap bahwa saat ini kami bisa menanam sesuatu hingga suatu saat di masa depan nanti ada adik-adik kami yang akan menuai buah dari pelayanan yang kami tanam. Suatu sukacita yang luar biasa ketika di masa depan nanti, ada generasi baru yang mengatakan, “kebangkitan ini bukan karena kami, tapi karena Abang dan Kakak di masa lalu yang setia mendoakan dan menggumulkannya”….. “sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita”.

Terakhir, seperti jawaban Tuhan atas semua pertanyaan di hatiku, aku yakin, tahun 2011 dan seterusnya merupakan tahun-tahun di mana Tuhan akan semakin menyatakan keagungan-Nya. Tidak hanya PMK, PD fakultas, atau Diakonia, tetapi Tuhan akan membangkitkan semua lini kekuatan-Nya. Anak-anakNya, terkhusus anak PMK ITB, akan akan bangkit menjadi pejuang-pejuang yang akan Dia utus untuk mengalah-kan dunia dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Tuhan akan menghapuskan perpecahan di antara umat-Nya dan menanamkan kesaksian di dalam setiap tutur kata dan tindak-tanduk anak-anak-Nya. Maukah Anda ikut serta dalam keger-akan ini?

“Oleh darah Anak Domba dan oleh kesaksian kita, iblis dikalahkan” (Wahyu 12:11)

Soli Deo Gloria, JBU! (ras)

Buletin DiakonosEdisi #1 05

Page 7: Diakonos

Ayat ini sudah sangat sering kita dengar. Layaknya sebuah benda yang biasa dipakai akan menjadi kurang berharga, demikianlah ayat ini sedikit demi sedikit kehilangan dengungnya di hati banyak orang. Begitu pula denganku, sering menyampaikan ayat ini. Tapi setelah kusadari, ternyata aku belum benar-benar mengerti apa yang aku ucapkan. Tapi itu dulu. Semua berubah ketika Tuhan memanggilku menjadi pelayan-Nya di PMK ITB, tepatnya sebagai koordinator umum.

Satu tahun melayani di PMK adalah hal yang sangat luar biasa bagiku. Salah satu hal yang paling membuatku bersyukur adalah karena Tuhan mengizinkanku melihat apa yang dimaksud oleh Pengkhotbah dengan “waktunya”. Pada masa kepengurusan kami, aku melihat fakultas satu persatu mulai memiliki perseku-tuan doa, suatu hal yang belum pernah aku temui sebelumnya. Tidak hanya itu, Diakonia, yang sempat “mati suri”-paling tidak selama dua setengah tahun- Dia bangkitkan juga pada masa kepengurusan kami. Aku tidak tahu bagaimana kondisi PMK ITB masa lalu, tapi yang aku tahu, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, belum pernah PMK ITB se-“sehat” seperti yang aku temui saat ini.

Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan kalau kebangkitan PMK ini terjadi karena aku sebagai pemimpinnya. Justru inilah yang selalu menjadi pengalaman manis buatku, yaitu ketika sebenarnya aku tidak melakukan apapun yang berhubungan dengan kebangkitan itu tetapi Tuhan mengizinkanku melihat karya-Nya selama masa kepengurusanku. Aku seringkali bertanya dalam hati, “ya Tuhan, kok semuanya terjadi pada tahun ini yah? Kenapa ga satu persatu Tuhan? Tahun ini Tuhan bangkitkan PD

fakultas yang satu, trus tahun depan fakultas berikutnya, tahun depannya lagi Diakonia, atau sebaliknya. Tapi kok PD semua fakultas bahkan Diakonia, Tuhan bangkitkan di tahun yang sama seolah-olah Tuhan ingin berbicara sesuatu?”

Di tengah-tengah keherananku, Tuhan menjawab dengan Pengkhotbah 3:11 itu. Sungguh benar, aku bisa mengatakan bahwa tahun kepengurusanku adalah “waktunya”, yaitu waktu Tuhan menjawab doa anak-anak PMK yang memohon kebang-kitan rohani di ITB. Aku belum pernah mendoakan secara spesifik untuk kebangkitan PD-PD fakultas, apalagi Diakonia. Tetapi, Tuhan menyediakannya pada saat ini.

Ya, kebangkitan ini bukan hasil dari doaku atau doa dari pengurus yang lain, tetapi hasil dari doa orang-orang di masa silam yang setia untuk berdoa dan bergumul akan hal ini. Mungkin benar pada masa itu mereka belum melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa Diakonia bangkit, sama seperti Abraham yang hingga matinya tidak sempat melihat Allah menggenapi janji-Nya untuk memberikan keturunan yang sangat besar jumlahnya. Tapi aku percaya bahwa Abang-abang dan Kakak-kakak pada masa itu pasti dengan iman dan kesetiaan yang teguh berdoa tanpa jemu-jemu agar Diakonia tumbuh menjadi pelayanan yang besar. Saat ini pun, aku percaya bahwa ada alumni-alumni Diakonia yang masih setia berdoa untuk Diakonia. Di sini kita bisa belajar satu hal, yaitu Tuhan memiliki waktu-Nya sendiri, yang tidak sama dengan waktu kita, yang mungkin tidak sesuai dengan yang kita minta, tapi satu hal yang pasti, semua indah pada waktunya (waktu-Nya).

Kita sering berdoa pada Tuhan namun beberapa permohonan kita tidak Dia kabulkan. Kita mungkin kecewa karena Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, apa yang kita kira baik bagi kita. Tetapi percayalah, ketika Tuhan tidak memberi-kan apa yang kita minta, itu bukan karena Dia tidak bisa, bukan karena Dia pelit, bukan karena Dia benci kepada kita, tetapi karena begitu besar kasih-Nya kepada kita, maka Dia lebih memilih untuk memberikan kepada kita kesabaran. Dan pasti ini yang dialami oleh Abang dan Kakak di masa lalu. Mereka tidak melihat Diakonia bangkit, justru mereka melihat bahwa secara perlahan Diakonia semakin lama semakin hilang, bahkan ”mati suri”, tetapi mereka bersabar dan setia mendo-akan hingga akhirnya tahun 2011, Tuhan membangkitkan Diakonia kembali.

Sekarang pun penuai telah menerima upahnya dan ia meng-umpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: “Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka". (Yohanes 4:36-38)

Ya, suatu kehormatan dan berkat yang luar biasa ketika aku dan rekan-rekan pelayan di Diakonia saat ini boleh menjadi penuai-penuai itu. Kami bukan penaburnya, hanya dilayakkan menjadi orang yang menuai buah dari pelayanan yang telah dibangun, didoakan, dan digumulkan oleh anak-anak Tuhan di masa lampau. Demikianlah aku berharap bahwa saat ini kami bisa menanam sesuatu hingga suatu saat di masa depan nanti ada adik-adik kami yang akan menuai buah dari pelayanan yang kami tanam. Suatu sukacita yang luar biasa ketika di masa depan nanti, ada generasi baru yang mengatakan, “kebangkitan ini bukan karena kami, tapi karena Abang dan Kakak di masa lalu yang setia mendoakan dan menggumulkannya”….. “sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita”.

Terakhir, seperti jawaban Tuhan atas semua pertanyaan di hatiku, aku yakin, tahun 2011 dan seterusnya merupakan tahun-tahun di mana Tuhan akan semakin menyatakan keagungan-Nya. Tidak hanya PMK, PD fakultas, atau Diakonia, tetapi Tuhan akan membangkitkan semua lini kekuatan-Nya. Anak-anakNya, terkhusus anak PMK ITB, akan akan bangkit menjadi pejuang-pejuang yang akan Dia utus untuk mengalah-kan dunia dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Tuhan akan menghapuskan perpecahan di antara umat-Nya dan menanamkan kesaksian di dalam setiap tutur kata dan tindak-tanduk anak-anak-Nya. Maukah Anda ikut serta dalam keger-akan ini?

“Oleh darah Anak Domba dan oleh kesaksian kita, iblis dikalahkan” (Wahyu 12:11)

Soli Deo Gloria, JBU! (ras)

Buletin DiakonosEdisi #1 05

Ayat ini sudah sangat sering kita dengar. Layaknya sebuah benda yang biasa dipakai akan menjadi kurang berharga, demikianlah ayat ini sedikit demi sedikit kehilangan dengungnya di hati banyak orang. Begitu pula denganku, sering menyampaikan ayat ini. Tapi setelah kusadari, ternyata aku belum benar-benar mengerti apa yang aku ucapkan. Tapi itu dulu. Semua berubah ketika Tuhan memanggilku menjadi pelayan-Nya di PMK ITB, tepatnya sebagai koordinator umum.

Satu tahun melayani di PMK adalah hal yang sangat luar biasa bagiku. Salah satu hal yang paling membuatku bersyukur adalah karena Tuhan mengizinkanku melihat apa yang dimaksud oleh Pengkhotbah dengan “waktunya”. Pada masa kepengurusan kami, aku melihat fakultas satu persatu mulai memiliki perseku-tuan doa, suatu hal yang belum pernah aku temui sebelumnya. Tidak hanya itu, Diakonia, yang sempat “mati suri”-paling tidak selama dua setengah tahun- Dia bangkitkan juga pada masa kepengurusan kami. Aku tidak tahu bagaimana kondisi PMK ITB masa lalu, tapi yang aku tahu, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, belum pernah PMK ITB se-“sehat” seperti yang aku temui saat ini.

Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan kalau kebangkitan PMK ini terjadi karena aku sebagai pemimpinnya. Justru inilah yang selalu menjadi pengalaman manis buatku, yaitu ketika sebenarnya aku tidak melakukan apapun yang berhubungan dengan kebangkitan itu tetapi Tuhan mengizinkanku melihat karya-Nya selama masa kepengurusanku. Aku seringkali bertanya dalam hati, “ya Tuhan, kok semuanya terjadi pada tahun ini yah? Kenapa ga satu persatu Tuhan? Tahun ini Tuhan bangkitkan PD

fakultas yang satu, trus tahun depan fakultas berikutnya, tahun depannya lagi Diakonia, atau sebaliknya. Tapi kok PD semua fakultas bahkan Diakonia, Tuhan bangkitkan di tahun yang sama seolah-olah Tuhan ingin berbicara sesuatu?”

Di tengah-tengah keherananku, Tuhan menjawab dengan Pengkhotbah 3:11 itu. Sungguh benar, aku bisa mengatakan bahwa tahun kepengurusanku adalah “waktunya”, yaitu waktu Tuhan menjawab doa anak-anak PMK yang memohon kebang-kitan rohani di ITB. Aku belum pernah mendoakan secara spesifik untuk kebangkitan PD-PD fakultas, apalagi Diakonia. Tetapi, Tuhan menyediakannya pada saat ini.

Ya, kebangkitan ini bukan hasil dari doaku atau doa dari pengurus yang lain, tetapi hasil dari doa orang-orang di masa silam yang setia untuk berdoa dan bergumul akan hal ini. Mungkin benar pada masa itu mereka belum melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa Diakonia bangkit, sama seperti Abraham yang hingga matinya tidak sempat melihat Allah menggenapi janji-Nya untuk memberikan keturunan yang sangat besar jumlahnya. Tapi aku percaya bahwa Abang-abang dan Kakak-kakak pada masa itu pasti dengan iman dan kesetiaan yang teguh berdoa tanpa jemu-jemu agar Diakonia tumbuh menjadi pelayanan yang besar. Saat ini pun, aku percaya bahwa ada alumni-alumni Diakonia yang masih setia berdoa untuk Diakonia. Di sini kita bisa belajar satu hal, yaitu Tuhan memiliki waktu-Nya sendiri, yang tidak sama dengan waktu kita, yang mungkin tidak sesuai dengan yang kita minta, tapi satu hal yang pasti, semua indah pada waktunya (waktu-Nya).

Kita sering berdoa pada Tuhan namun beberapa permohonan kita tidak Dia kabulkan. Kita mungkin kecewa karena Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, apa yang kita kira baik bagi kita. Tetapi percayalah, ketika Tuhan tidak memberi-kan apa yang kita minta, itu bukan karena Dia tidak bisa, bukan karena Dia pelit, bukan karena Dia benci kepada kita, tetapi karena begitu besar kasih-Nya kepada kita, maka Dia lebih memilih untuk memberikan kepada kita kesabaran. Dan pasti ini yang dialami oleh Abang dan Kakak di masa lalu. Mereka tidak melihat Diakonia bangkit, justru mereka melihat bahwa secara perlahan Diakonia semakin lama semakin hilang, bahkan ”mati suri”, tetapi mereka bersabar dan setia mendo-akan hingga akhirnya tahun 2011, Tuhan membangkitkan Diakonia kembali.

Sekarang pun penuai telah menerima upahnya dan ia meng-umpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: “Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka". (Yohanes 4:36-38)

Ya, suatu kehormatan dan berkat yang luar biasa ketika aku dan rekan-rekan pelayan di Diakonia saat ini boleh menjadi penuai-penuai itu. Kami bukan penaburnya, hanya dilayakkan menjadi orang yang menuai buah dari pelayanan yang telah dibangun, didoakan, dan digumulkan oleh anak-anak Tuhan di masa lampau. Demikianlah aku berharap bahwa saat ini kami bisa menanam sesuatu hingga suatu saat di masa depan nanti ada adik-adik kami yang akan menuai buah dari pelayanan yang kami tanam. Suatu sukacita yang luar biasa ketika di masa depan nanti, ada generasi baru yang mengatakan, “kebangkitan ini bukan karena kami, tapi karena Abang dan Kakak di masa lalu yang setia mendoakan dan menggumulkannya”….. “sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita”.

Terakhir, seperti jawaban Tuhan atas semua pertanyaan di hatiku, aku yakin, tahun 2011 dan seterusnya merupakan tahun-tahun di mana Tuhan akan semakin menyatakan keagungan-Nya. Tidak hanya PMK, PD fakultas, atau Diakonia, tetapi Tuhan akan membangkitkan semua lini kekuatan-Nya. Anak-anakNya, terkhusus anak PMK ITB, akan akan bangkit menjadi pejuang-pejuang yang akan Dia utus untuk mengalah-kan dunia dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Tuhan akan menghapuskan perpecahan di antara umat-Nya dan menanamkan kesaksian di dalam setiap tutur kata dan tindak-tanduk anak-anak-Nya. Maukah Anda ikut serta dalam keger-akan ini?

“Oleh darah Anak Domba dan oleh kesaksian kita, iblis dikalahkan” (Wahyu 12:11)

Soli Deo Gloria, JBU! (ras)

“Ketika Tuhan tidak memberikan apa yang kita minta, itu bukan karena Dia tidak bisa, bukan karena Dia pelit, bukan karena Dia benci kepada kita, tetapi karena begitu besar kasih-Nya kepada kita, maka Dia lebih memilih untuk memberikan kepada kita ‘kesabaran’ itu”.

Buletin DiakonosEdisi #1 06

Page 8: Diakonos

Ayat ini sudah sangat sering kita dengar. Layaknya sebuah benda yang biasa dipakai akan menjadi kurang berharga, demikianlah ayat ini sedikit demi sedikit kehilangan dengungnya di hati banyak orang. Begitu pula denganku, sering menyampaikan ayat ini. Tapi setelah kusadari, ternyata aku belum benar-benar mengerti apa yang aku ucapkan. Tapi itu dulu. Semua berubah ketika Tuhan memanggilku menjadi pelayan-Nya di PMK ITB, tepatnya sebagai koordinator umum.

Satu tahun melayani di PMK adalah hal yang sangat luar biasa bagiku. Salah satu hal yang paling membuatku bersyukur adalah karena Tuhan mengizinkanku melihat apa yang dimaksud oleh Pengkhotbah dengan “waktunya”. Pada masa kepengurusan kami, aku melihat fakultas satu persatu mulai memiliki perseku-tuan doa, suatu hal yang belum pernah aku temui sebelumnya. Tidak hanya itu, Diakonia, yang sempat “mati suri”-paling tidak selama dua setengah tahun- Dia bangkitkan juga pada masa kepengurusan kami. Aku tidak tahu bagaimana kondisi PMK ITB masa lalu, tapi yang aku tahu, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, belum pernah PMK ITB se-“sehat” seperti yang aku temui saat ini.

Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan kalau kebangkitan PMK ini terjadi karena aku sebagai pemimpinnya. Justru inilah yang selalu menjadi pengalaman manis buatku, yaitu ketika sebenarnya aku tidak melakukan apapun yang berhubungan dengan kebangkitan itu tetapi Tuhan mengizinkanku melihat karya-Nya selama masa kepengurusanku. Aku seringkali bertanya dalam hati, “ya Tuhan, kok semuanya terjadi pada tahun ini yah? Kenapa ga satu persatu Tuhan? Tahun ini Tuhan bangkitkan PD

fakultas yang satu, trus tahun depan fakultas berikutnya, tahun depannya lagi Diakonia, atau sebaliknya. Tapi kok PD semua fakultas bahkan Diakonia, Tuhan bangkitkan di tahun yang sama seolah-olah Tuhan ingin berbicara sesuatu?”

Di tengah-tengah keherananku, Tuhan menjawab dengan Pengkhotbah 3:11 itu. Sungguh benar, aku bisa mengatakan bahwa tahun kepengurusanku adalah “waktunya”, yaitu waktu Tuhan menjawab doa anak-anak PMK yang memohon kebang-kitan rohani di ITB. Aku belum pernah mendoakan secara spesifik untuk kebangkitan PD-PD fakultas, apalagi Diakonia. Tetapi, Tuhan menyediakannya pada saat ini.

Ya, kebangkitan ini bukan hasil dari doaku atau doa dari pengurus yang lain, tetapi hasil dari doa orang-orang di masa silam yang setia untuk berdoa dan bergumul akan hal ini. Mungkin benar pada masa itu mereka belum melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa Diakonia bangkit, sama seperti Abraham yang hingga matinya tidak sempat melihat Allah menggenapi janji-Nya untuk memberikan keturunan yang sangat besar jumlahnya. Tapi aku percaya bahwa Abang-abang dan Kakak-kakak pada masa itu pasti dengan iman dan kesetiaan yang teguh berdoa tanpa jemu-jemu agar Diakonia tumbuh menjadi pelayanan yang besar. Saat ini pun, aku percaya bahwa ada alumni-alumni Diakonia yang masih setia berdoa untuk Diakonia. Di sini kita bisa belajar satu hal, yaitu Tuhan memiliki waktu-Nya sendiri, yang tidak sama dengan waktu kita, yang mungkin tidak sesuai dengan yang kita minta, tapi satu hal yang pasti, semua indah pada waktunya (waktu-Nya).

Kita sering berdoa pada Tuhan namun beberapa permohonan kita tidak Dia kabulkan. Kita mungkin kecewa karena Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, apa yang kita kira baik bagi kita. Tetapi percayalah, ketika Tuhan tidak memberi-kan apa yang kita minta, itu bukan karena Dia tidak bisa, bukan karena Dia pelit, bukan karena Dia benci kepada kita, tetapi karena begitu besar kasih-Nya kepada kita, maka Dia lebih memilih untuk memberikan kepada kita kesabaran. Dan pasti ini yang dialami oleh Abang dan Kakak di masa lalu. Mereka tidak melihat Diakonia bangkit, justru mereka melihat bahwa secara perlahan Diakonia semakin lama semakin hilang, bahkan ”mati suri”, tetapi mereka bersabar dan setia mendo-akan hingga akhirnya tahun 2011, Tuhan membangkitkan Diakonia kembali.

Sekarang pun penuai telah menerima upahnya dan ia meng-umpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: “Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka". (Yohanes 4:36-38)

Ya, suatu kehormatan dan berkat yang luar biasa ketika aku dan rekan-rekan pelayan di Diakonia saat ini boleh menjadi penuai-penuai itu. Kami bukan penaburnya, hanya dilayakkan menjadi orang yang menuai buah dari pelayanan yang telah dibangun, didoakan, dan digumulkan oleh anak-anak Tuhan di masa lampau. Demikianlah aku berharap bahwa saat ini kami bisa menanam sesuatu hingga suatu saat di masa depan nanti ada adik-adik kami yang akan menuai buah dari pelayanan yang kami tanam. Suatu sukacita yang luar biasa ketika di masa depan nanti, ada generasi baru yang mengatakan, “kebangkitan ini bukan karena kami, tapi karena Abang dan Kakak di masa lalu yang setia mendoakan dan menggumulkannya”….. “sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita”.

Terakhir, seperti jawaban Tuhan atas semua pertanyaan di hatiku, aku yakin, tahun 2011 dan seterusnya merupakan tahun-tahun di mana Tuhan akan semakin menyatakan keagungan-Nya. Tidak hanya PMK, PD fakultas, atau Diakonia, tetapi Tuhan akan membangkitkan semua lini kekuatan-Nya. Anak-anakNya, terkhusus anak PMK ITB, akan akan bangkit menjadi pejuang-pejuang yang akan Dia utus untuk mengalah-kan dunia dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Tuhan akan menghapuskan perpecahan di antara umat-Nya dan menanamkan kesaksian di dalam setiap tutur kata dan tindak-tanduk anak-anak-Nya. Maukah Anda ikut serta dalam keger-akan ini?

“Oleh darah Anak Domba dan oleh kesaksian kita, iblis dikalahkan” (Wahyu 12:11)

Soli Deo Gloria, JBU! (ras)

Page 9: Diakonos

Apa itu Diakonia?Sebuah penjelasan divisi Oleh: Theresa Monica GintingKoordinator Divisi Diakonia 2012-2013

Ayat ini sudah sangat sering kita dengar. Layaknya sebuah benda yang biasa dipakai akan menjadi kurang berharga, demikianlah ayat ini sedikit demi sedikit kehilangan dengungnya di hati banyak orang. Begitu pula denganku, sering menyampaikan ayat ini. Tapi setelah kusadari, ternyata aku belum benar-benar mengerti apa yang aku ucapkan. Tapi itu dulu. Semua berubah ketika Tuhan memanggilku menjadi pelayan-Nya di PMK ITB, tepatnya sebagai koordinator umum.

Satu tahun melayani di PMK adalah hal yang sangat luar biasa bagiku. Salah satu hal yang paling membuatku bersyukur adalah karena Tuhan mengizinkanku melihat apa yang dimaksud oleh Pengkhotbah dengan “waktunya”. Pada masa kepengurusan kami, aku melihat fakultas satu persatu mulai memiliki perseku-tuan doa, suatu hal yang belum pernah aku temui sebelumnya. Tidak hanya itu, Diakonia, yang sempat “mati suri”-paling tidak selama dua setengah tahun- Dia bangkitkan juga pada masa kepengurusan kami. Aku tidak tahu bagaimana kondisi PMK ITB masa lalu, tapi yang aku tahu, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, belum pernah PMK ITB se-“sehat” seperti yang aku temui saat ini.

Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan kalau kebangkitan PMK ini terjadi karena aku sebagai pemimpinnya. Justru inilah yang selalu menjadi pengalaman manis buatku, yaitu ketika sebenarnya aku tidak melakukan apapun yang berhubungan dengan kebangkitan itu tetapi Tuhan mengizinkanku melihat karya-Nya selama masa kepengurusanku. Aku seringkali bertanya dalam hati, “ya Tuhan, kok semuanya terjadi pada tahun ini yah? Kenapa ga satu persatu Tuhan? Tahun ini Tuhan bangkitkan PD

fakultas yang satu, trus tahun depan fakultas berikutnya, tahun depannya lagi Diakonia, atau sebaliknya. Tapi kok PD semua fakultas bahkan Diakonia, Tuhan bangkitkan di tahun yang sama seolah-olah Tuhan ingin berbicara sesuatu?”

Di tengah-tengah keherananku, Tuhan menjawab dengan Pengkhotbah 3:11 itu. Sungguh benar, aku bisa mengatakan bahwa tahun kepengurusanku adalah “waktunya”, yaitu waktu Tuhan menjawab doa anak-anak PMK yang memohon kebang-kitan rohani di ITB. Aku belum pernah mendoakan secara spesifik untuk kebangkitan PD-PD fakultas, apalagi Diakonia. Tetapi, Tuhan menyediakannya pada saat ini.

Ya, kebangkitan ini bukan hasil dari doaku atau doa dari pengurus yang lain, tetapi hasil dari doa orang-orang di masa silam yang setia untuk berdoa dan bergumul akan hal ini. Mungkin benar pada masa itu mereka belum melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa Diakonia bangkit, sama seperti Abraham yang hingga matinya tidak sempat melihat Allah menggenapi janji-Nya untuk memberikan keturunan yang sangat besar jumlahnya. Tapi aku percaya bahwa Abang-abang dan Kakak-kakak pada masa itu pasti dengan iman dan kesetiaan yang teguh berdoa tanpa jemu-jemu agar Diakonia tumbuh menjadi pelayanan yang besar. Saat ini pun, aku percaya bahwa ada alumni-alumni Diakonia yang masih setia berdoa untuk Diakonia. Di sini kita bisa belajar satu hal, yaitu Tuhan memiliki waktu-Nya sendiri, yang tidak sama dengan waktu kita, yang mungkin tidak sesuai dengan yang kita minta, tapi satu hal yang pasti, semua indah pada waktunya (waktu-Nya).

Kita sering berdoa pada Tuhan namun beberapa permohonan kita tidak Dia kabulkan. Kita mungkin kecewa karena Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, apa yang kita kira baik bagi kita. Tetapi percayalah, ketika Tuhan tidak memberi-kan apa yang kita minta, itu bukan karena Dia tidak bisa, bukan karena Dia pelit, bukan karena Dia benci kepada kita, tetapi karena begitu besar kasih-Nya kepada kita, maka Dia lebih memilih untuk memberikan kepada kita kesabaran. Dan pasti ini yang dialami oleh Abang dan Kakak di masa lalu. Mereka tidak melihat Diakonia bangkit, justru mereka melihat bahwa secara perlahan Diakonia semakin lama semakin hilang, bahkan ”mati suri”, tetapi mereka bersabar dan setia mendo-akan hingga akhirnya tahun 2011, Tuhan membangkitkan Diakonia kembali.

Sekarang pun penuai telah menerima upahnya dan ia meng-umpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: “Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka". (Yohanes 4:36-38)

Ya, suatu kehormatan dan berkat yang luar biasa ketika aku dan rekan-rekan pelayan di Diakonia saat ini boleh menjadi penuai-penuai itu. Kami bukan penaburnya, hanya dilayakkan menjadi orang yang menuai buah dari pelayanan yang telah dibangun, didoakan, dan digumulkan oleh anak-anak Tuhan di masa lampau. Demikianlah aku berharap bahwa saat ini kami bisa menanam sesuatu hingga suatu saat di masa depan nanti ada adik-adik kami yang akan menuai buah dari pelayanan yang kami tanam. Suatu sukacita yang luar biasa ketika di masa depan nanti, ada generasi baru yang mengatakan, “kebangkitan ini bukan karena kami, tapi karena Abang dan Kakak di masa lalu yang setia mendoakan dan menggumulkannya”….. “sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita”.

Terakhir, seperti jawaban Tuhan atas semua pertanyaan di hatiku, aku yakin, tahun 2011 dan seterusnya merupakan tahun-tahun di mana Tuhan akan semakin menyatakan keagungan-Nya. Tidak hanya PMK, PD fakultas, atau Diakonia, tetapi Tuhan akan membangkitkan semua lini kekuatan-Nya. Anak-anakNya, terkhusus anak PMK ITB, akan akan bangkit menjadi pejuang-pejuang yang akan Dia utus untuk mengalah-kan dunia dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Tuhan akan menghapuskan perpecahan di antara umat-Nya dan menanamkan kesaksian di dalam setiap tutur kata dan tindak-tanduk anak-anak-Nya. Maukah Anda ikut serta dalam keger-akan ini?

“Oleh darah Anak Domba dan oleh kesaksian kita, iblis dikalahkan” (Wahyu 12:11)

Soli Deo Gloria, JBU! (ras)

Buletin DiakonosEdisi #1 08

Ketika saya masih berstatus mahasiswa Tahap Persiapan Bersama—atau Tahap Paling Bahagia, apapun kepanjangan dari TPB—saya melihat sembilan divisi di PMK dan terkagum-kagum. Masing-masing divisi di tersebut memberikan pelayanannya masing-masing dengan satu tujuan: memuliakan nama Tuhan. Saya melihat Divisi Eksternal yang mengurus hubungan PMK dengan organisasi lain di ITB dan luar ITB, Divisi Intern yang menjaga agar pemuridan jemaat PMK berjalan baik, sungguh pelayanan yang luar biasa.

Akan tetapi, sebagian besar jemaat PMK tidak mengetahui satu lagi bentuk pelayanan lain di sini. Dalam pelayanan ini, nama pelayan-pelayannya dirahasiakan dan para pelayan itu bekerja sebagai perpanjangan tangan PMK bagi mereka yang membutuh-kan bantuan ekonomi khususnya untuk biaya hidup.

PMK ITB merupakan sebuah persekutuan, persekutuan dari orang-orang percaya, atau dapat pula kita sebut gereja (ekklêsia, sekumpulan orang yang dipanggil keluar). Seperti gereja lain, PMK ITB memiliki tiga tugas utama yaitu bersekutu (koinonia), bersaksi (marturia), serta melayani (diakonia). Melihat ketiga tugas ini, sudah selayaknya Diakonia PMK ITB ada dan memberi-kan pelayanannya (dalam hal ini berbentuk dana) bagi jemaat PMK ITB yang membutuhkan.

Apa sebenarnya yang melatarbelakangi berdirinya Diakonia PMK ITB? Kerinduan untuk membentuk Diakonia PMK ITB dimulai pada tahun 1997-1998. Saat itu, terjadi krisis ekonomi di Indonesia. Hal ini berdampak cukup besar bagi mahasiswa di ITB, termasuk mahasiswa Kristen. Krisis ini menyebabkan beberapa mahasiswa memilih untuk mundur dari studinya dengan alasan ekonomi. Melihat hal ini, beberapa dosen Kristen serta pengurus PMK ITB pada saat itu berpikiran untuk membentuk suatu komisi (tim

kerja) yang bertugas untuk membantu mahasiswa, khususnya mahasiswa Kristen, yang membutuhkan. Akhirnya, setelah mempertimbangkan berbagai hal, dibentuklah Diakonia PMK ITB di bawah arahan koordinator umum PMK ITB.

Tugas utama dari Diakonia adalah menyalurkan bantuan dari penderma yang merupakan alumni PMK ITB kepada jemaat PMK ITB yang membutuhkan. Untuk menjalankan tugas itu, Diakonia mencari alumni baru untuk menjadi penderma serta menentukan jemaat PMK yang akan dibantu. Para pelayan Diakonia tidak diketahui oleh jemaat PMK ITB sehingga kerahasiaan para jemaat yang dibantu tetap terjaga.

Diakonia juga memiliki beberapa pelayan yang bertugas sebagai pemerhati. Mereka memberikan secara langsung bantuan dana kepada jemaat PMK dan menjadi pembimbing rohani bagi anak yang diperhatikannya. Hingga saat ini, Diakonia PMK ITB terus melayani jemaat PMK yang membutuhkan bantuan biaya kehidu-pan sehari-hari. (tmg)

Page 10: Diakonos

Ayat ini sudah sangat sering kita dengar. Layaknya sebuah benda yang biasa dipakai akan menjadi kurang berharga, demikianlah ayat ini sedikit demi sedikit kehilangan dengungnya di hati banyak orang. Begitu pula denganku, sering menyampaikan ayat ini. Tapi setelah kusadari, ternyata aku belum benar-benar mengerti apa yang aku ucapkan. Tapi itu dulu. Semua berubah ketika Tuhan memanggilku menjadi pelayan-Nya di PMK ITB, tepatnya sebagai koordinator umum.

Satu tahun melayani di PMK adalah hal yang sangat luar biasa bagiku. Salah satu hal yang paling membuatku bersyukur adalah karena Tuhan mengizinkanku melihat apa yang dimaksud oleh Pengkhotbah dengan “waktunya”. Pada masa kepengurusan kami, aku melihat fakultas satu persatu mulai memiliki perseku-tuan doa, suatu hal yang belum pernah aku temui sebelumnya. Tidak hanya itu, Diakonia, yang sempat “mati suri”-paling tidak selama dua setengah tahun- Dia bangkitkan juga pada masa kepengurusan kami. Aku tidak tahu bagaimana kondisi PMK ITB masa lalu, tapi yang aku tahu, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, belum pernah PMK ITB se-“sehat” seperti yang aku temui saat ini.

Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan kalau kebangkitan PMK ini terjadi karena aku sebagai pemimpinnya. Justru inilah yang selalu menjadi pengalaman manis buatku, yaitu ketika sebenarnya aku tidak melakukan apapun yang berhubungan dengan kebangkitan itu tetapi Tuhan mengizinkanku melihat karya-Nya selama masa kepengurusanku. Aku seringkali bertanya dalam hati, “ya Tuhan, kok semuanya terjadi pada tahun ini yah? Kenapa ga satu persatu Tuhan? Tahun ini Tuhan bangkitkan PD

fakultas yang satu, trus tahun depan fakultas berikutnya, tahun depannya lagi Diakonia, atau sebaliknya. Tapi kok PD semua fakultas bahkan Diakonia, Tuhan bangkitkan di tahun yang sama seolah-olah Tuhan ingin berbicara sesuatu?”

Di tengah-tengah keherananku, Tuhan menjawab dengan Pengkhotbah 3:11 itu. Sungguh benar, aku bisa mengatakan bahwa tahun kepengurusanku adalah “waktunya”, yaitu waktu Tuhan menjawab doa anak-anak PMK yang memohon kebang-kitan rohani di ITB. Aku belum pernah mendoakan secara spesifik untuk kebangkitan PD-PD fakultas, apalagi Diakonia. Tetapi, Tuhan menyediakannya pada saat ini.

Ya, kebangkitan ini bukan hasil dari doaku atau doa dari pengurus yang lain, tetapi hasil dari doa orang-orang di masa silam yang setia untuk berdoa dan bergumul akan hal ini. Mungkin benar pada masa itu mereka belum melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa Diakonia bangkit, sama seperti Abraham yang hingga matinya tidak sempat melihat Allah menggenapi janji-Nya untuk memberikan keturunan yang sangat besar jumlahnya. Tapi aku percaya bahwa Abang-abang dan Kakak-kakak pada masa itu pasti dengan iman dan kesetiaan yang teguh berdoa tanpa jemu-jemu agar Diakonia tumbuh menjadi pelayanan yang besar. Saat ini pun, aku percaya bahwa ada alumni-alumni Diakonia yang masih setia berdoa untuk Diakonia. Di sini kita bisa belajar satu hal, yaitu Tuhan memiliki waktu-Nya sendiri, yang tidak sama dengan waktu kita, yang mungkin tidak sesuai dengan yang kita minta, tapi satu hal yang pasti, semua indah pada waktunya (waktu-Nya).

Kita sering berdoa pada Tuhan namun beberapa permohonan kita tidak Dia kabulkan. Kita mungkin kecewa karena Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, apa yang kita kira baik bagi kita. Tetapi percayalah, ketika Tuhan tidak memberi-kan apa yang kita minta, itu bukan karena Dia tidak bisa, bukan karena Dia pelit, bukan karena Dia benci kepada kita, tetapi karena begitu besar kasih-Nya kepada kita, maka Dia lebih memilih untuk memberikan kepada kita kesabaran. Dan pasti ini yang dialami oleh Abang dan Kakak di masa lalu. Mereka tidak melihat Diakonia bangkit, justru mereka melihat bahwa secara perlahan Diakonia semakin lama semakin hilang, bahkan ”mati suri”, tetapi mereka bersabar dan setia mendo-akan hingga akhirnya tahun 2011, Tuhan membangkitkan Diakonia kembali.

Sekarang pun penuai telah menerima upahnya dan ia meng-umpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: “Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka". (Yohanes 4:36-38)

Ya, suatu kehormatan dan berkat yang luar biasa ketika aku dan rekan-rekan pelayan di Diakonia saat ini boleh menjadi penuai-penuai itu. Kami bukan penaburnya, hanya dilayakkan menjadi orang yang menuai buah dari pelayanan yang telah dibangun, didoakan, dan digumulkan oleh anak-anak Tuhan di masa lampau. Demikianlah aku berharap bahwa saat ini kami bisa menanam sesuatu hingga suatu saat di masa depan nanti ada adik-adik kami yang akan menuai buah dari pelayanan yang kami tanam. Suatu sukacita yang luar biasa ketika di masa depan nanti, ada generasi baru yang mengatakan, “kebangkitan ini bukan karena kami, tapi karena Abang dan Kakak di masa lalu yang setia mendoakan dan menggumulkannya”….. “sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita”.

Terakhir, seperti jawaban Tuhan atas semua pertanyaan di hatiku, aku yakin, tahun 2011 dan seterusnya merupakan tahun-tahun di mana Tuhan akan semakin menyatakan keagungan-Nya. Tidak hanya PMK, PD fakultas, atau Diakonia, tetapi Tuhan akan membangkitkan semua lini kekuatan-Nya. Anak-anakNya, terkhusus anak PMK ITB, akan akan bangkit menjadi pejuang-pejuang yang akan Dia utus untuk mengalah-kan dunia dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Tuhan akan menghapuskan perpecahan di antara umat-Nya dan menanamkan kesaksian di dalam setiap tutur kata dan tindak-tanduk anak-anak-Nya. Maukah Anda ikut serta dalam keger-akan ini?

“Oleh darah Anak Domba dan oleh kesaksian kita, iblis dikalahkan” (Wahyu 12:11)

Soli Deo Gloria, JBU! (ras)

Buletin DiakonosEdisi #1 09

Ketika saya masih berstatus mahasiswa Tahap Persiapan Bersama—atau Tahap Paling Bahagia, apapun kepanjangan dari TPB—saya melihat sembilan divisi di PMK dan terkagum-kagum. Masing-masing divisi di tersebut memberikan pelayanannya masing-masing dengan satu tujuan: memuliakan nama Tuhan. Saya melihat Divisi Eksternal yang mengurus hubungan PMK dengan organisasi lain di ITB dan luar ITB, Divisi Intern yang menjaga agar pemuridan jemaat PMK berjalan baik, sungguh pelayanan yang luar biasa.

Akan tetapi, sebagian besar jemaat PMK tidak mengetahui satu lagi bentuk pelayanan lain di sini. Dalam pelayanan ini, nama pelayan-pelayannya dirahasiakan dan para pelayan itu bekerja sebagai perpanjangan tangan PMK bagi mereka yang membutuh-kan bantuan ekonomi khususnya untuk biaya hidup.

PMK ITB merupakan sebuah persekutuan, persekutuan dari orang-orang percaya, atau dapat pula kita sebut gereja (ekklêsia, sekumpulan orang yang dipanggil keluar). Seperti gereja lain, PMK ITB memiliki tiga tugas utama yaitu bersekutu (koinonia), bersaksi (marturia), serta melayani (diakonia). Melihat ketiga tugas ini, sudah selayaknya Diakonia PMK ITB ada dan memberi-kan pelayanannya (dalam hal ini berbentuk dana) bagi jemaat PMK ITB yang membutuhkan.

Apa sebenarnya yang melatarbelakangi berdirinya Diakonia PMK ITB? Kerinduan untuk membentuk Diakonia PMK ITB dimulai pada tahun 1997-1998. Saat itu, terjadi krisis ekonomi di Indonesia. Hal ini berdampak cukup besar bagi mahasiswa di ITB, termasuk mahasiswa Kristen. Krisis ini menyebabkan beberapa mahasiswa memilih untuk mundur dari studinya dengan alasan ekonomi. Melihat hal ini, beberapa dosen Kristen serta pengurus PMK ITB pada saat itu berpikiran untuk membentuk suatu komisi (tim

kerja) yang bertugas untuk membantu mahasiswa, khususnya mahasiswa Kristen, yang membutuhkan. Akhirnya, setelah mempertimbangkan berbagai hal, dibentuklah Diakonia PMK ITB di bawah arahan koordinator umum PMK ITB.

Tugas utama dari Diakonia adalah menyalurkan bantuan dari penderma yang merupakan alumni PMK ITB kepada jemaat PMK ITB yang membutuhkan. Untuk menjalankan tugas itu, Diakonia mencari alumni baru untuk menjadi penderma serta menentukan jemaat PMK yang akan dibantu. Para pelayan Diakonia tidak diketahui oleh jemaat PMK ITB sehingga kerahasiaan para jemaat yang dibantu tetap terjaga.

Diakonia juga memiliki beberapa pelayan yang bertugas sebagai pemerhati. Mereka memberikan secara langsung bantuan dana kepada jemaat PMK dan menjadi pembimbing rohani bagi anak yang diperhatikannya. Hingga saat ini, Diakonia PMK ITB terus melayani jemaat PMK yang membutuhkan bantuan biaya kehidu-pan sehari-hari. (tmg)

Page 11: Diakonos

Ayat ini sudah sangat sering kita dengar. Layaknya sebuah benda yang biasa dipakai akan menjadi kurang berharga, demikianlah ayat ini sedikit demi sedikit kehilangan dengungnya di hati banyak orang. Begitu pula denganku, sering menyampaikan ayat ini. Tapi setelah kusadari, ternyata aku belum benar-benar mengerti apa yang aku ucapkan. Tapi itu dulu. Semua berubah ketika Tuhan memanggilku menjadi pelayan-Nya di PMK ITB, tepatnya sebagai koordinator umum.

Satu tahun melayani di PMK adalah hal yang sangat luar biasa bagiku. Salah satu hal yang paling membuatku bersyukur adalah karena Tuhan mengizinkanku melihat apa yang dimaksud oleh Pengkhotbah dengan “waktunya”. Pada masa kepengurusan kami, aku melihat fakultas satu persatu mulai memiliki perseku-tuan doa, suatu hal yang belum pernah aku temui sebelumnya. Tidak hanya itu, Diakonia, yang sempat “mati suri”-paling tidak selama dua setengah tahun- Dia bangkitkan juga pada masa kepengurusan kami. Aku tidak tahu bagaimana kondisi PMK ITB masa lalu, tapi yang aku tahu, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, belum pernah PMK ITB se-“sehat” seperti yang aku temui saat ini.

Aku sama sekali tidak bermaksud mengatakan kalau kebangkitan PMK ini terjadi karena aku sebagai pemimpinnya. Justru inilah yang selalu menjadi pengalaman manis buatku, yaitu ketika sebenarnya aku tidak melakukan apapun yang berhubungan dengan kebangkitan itu tetapi Tuhan mengizinkanku melihat karya-Nya selama masa kepengurusanku. Aku seringkali bertanya dalam hati, “ya Tuhan, kok semuanya terjadi pada tahun ini yah? Kenapa ga satu persatu Tuhan? Tahun ini Tuhan bangkitkan PD

fakultas yang satu, trus tahun depan fakultas berikutnya, tahun depannya lagi Diakonia, atau sebaliknya. Tapi kok PD semua fakultas bahkan Diakonia, Tuhan bangkitkan di tahun yang sama seolah-olah Tuhan ingin berbicara sesuatu?”

Di tengah-tengah keherananku, Tuhan menjawab dengan Pengkhotbah 3:11 itu. Sungguh benar, aku bisa mengatakan bahwa tahun kepengurusanku adalah “waktunya”, yaitu waktu Tuhan menjawab doa anak-anak PMK yang memohon kebang-kitan rohani di ITB. Aku belum pernah mendoakan secara spesifik untuk kebangkitan PD-PD fakultas, apalagi Diakonia. Tetapi, Tuhan menyediakannya pada saat ini.

Ya, kebangkitan ini bukan hasil dari doaku atau doa dari pengurus yang lain, tetapi hasil dari doa orang-orang di masa silam yang setia untuk berdoa dan bergumul akan hal ini. Mungkin benar pada masa itu mereka belum melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa Diakonia bangkit, sama seperti Abraham yang hingga matinya tidak sempat melihat Allah menggenapi janji-Nya untuk memberikan keturunan yang sangat besar jumlahnya. Tapi aku percaya bahwa Abang-abang dan Kakak-kakak pada masa itu pasti dengan iman dan kesetiaan yang teguh berdoa tanpa jemu-jemu agar Diakonia tumbuh menjadi pelayanan yang besar. Saat ini pun, aku percaya bahwa ada alumni-alumni Diakonia yang masih setia berdoa untuk Diakonia. Di sini kita bisa belajar satu hal, yaitu Tuhan memiliki waktu-Nya sendiri, yang tidak sama dengan waktu kita, yang mungkin tidak sesuai dengan yang kita minta, tapi satu hal yang pasti, semua indah pada waktunya (waktu-Nya).

Kita sering berdoa pada Tuhan namun beberapa permohonan kita tidak Dia kabulkan. Kita mungkin kecewa karena Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, apa yang kita kira baik bagi kita. Tetapi percayalah, ketika Tuhan tidak memberi-kan apa yang kita minta, itu bukan karena Dia tidak bisa, bukan karena Dia pelit, bukan karena Dia benci kepada kita, tetapi karena begitu besar kasih-Nya kepada kita, maka Dia lebih memilih untuk memberikan kepada kita kesabaran. Dan pasti ini yang dialami oleh Abang dan Kakak di masa lalu. Mereka tidak melihat Diakonia bangkit, justru mereka melihat bahwa secara perlahan Diakonia semakin lama semakin hilang, bahkan ”mati suri”, tetapi mereka bersabar dan setia mendo-akan hingga akhirnya tahun 2011, Tuhan membangkitkan Diakonia kembali.

Sekarang pun penuai telah menerima upahnya dan ia meng-umpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: “Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka". (Yohanes 4:36-38)

Ya, suatu kehormatan dan berkat yang luar biasa ketika aku dan rekan-rekan pelayan di Diakonia saat ini boleh menjadi penuai-penuai itu. Kami bukan penaburnya, hanya dilayakkan menjadi orang yang menuai buah dari pelayanan yang telah dibangun, didoakan, dan digumulkan oleh anak-anak Tuhan di masa lampau. Demikianlah aku berharap bahwa saat ini kami bisa menanam sesuatu hingga suatu saat di masa depan nanti ada adik-adik kami yang akan menuai buah dari pelayanan yang kami tanam. Suatu sukacita yang luar biasa ketika di masa depan nanti, ada generasi baru yang mengatakan, “kebangkitan ini bukan karena kami, tapi karena Abang dan Kakak di masa lalu yang setia mendoakan dan menggumulkannya”….. “sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita”.

Terakhir, seperti jawaban Tuhan atas semua pertanyaan di hatiku, aku yakin, tahun 2011 dan seterusnya merupakan tahun-tahun di mana Tuhan akan semakin menyatakan keagungan-Nya. Tidak hanya PMK, PD fakultas, atau Diakonia, tetapi Tuhan akan membangkitkan semua lini kekuatan-Nya. Anak-anakNya, terkhusus anak PMK ITB, akan akan bangkit menjadi pejuang-pejuang yang akan Dia utus untuk mengalah-kan dunia dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Tuhan akan menghapuskan perpecahan di antara umat-Nya dan menanamkan kesaksian di dalam setiap tutur kata dan tindak-tanduk anak-anak-Nya. Maukah Anda ikut serta dalam keger-akan ini?

“Oleh darah Anak Domba dan oleh kesaksian kita, iblis dikalahkan” (Wahyu 12:11)

Soli Deo Gloria, JBU! (ras)

Nostalgia Diakonia:Rubrik ini membahas bagaimana keadaan Diakonia yang terdahulu dan segala curahan hati dari pengurus terdahulu kepada para adik-adik yang meneruskan pelayanan ini.

Page 12: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1 11

Nostalgia DiakoniaKesaksian dan pesan kepada para penerus Diakonia.Oleh: Destry M. SiagianKoordinator Divisi Diakonia 2009-2010

Syallom, teman-teman terkasih..

Perkenalkan, nama saya Destry M. Siagian. Dulu saya kuliah di jurusan Teknik Kelautan angkatan 2005 (masih muda, kan :D). Dulu juga nih, saya pernah diberi kesempatan melayani di Diakonia sebagai koordinator pada periode 2009-2010.

Kali ini, saya diberi kesempatan juga untuk berbagi sedikit dari pengalaman saya selama saya berkecimpung di pelayanan ini. Saya dengar-dengar anggota divisi Diakonia lagi buat buletin ya? Wah,saya salut bangatlah sama kalian, pada angkatan saya belum ada yang begini-beginian. Terima kasih ya buat kerja kerasnya!

Sedikit bercerita nih, dulu saya tahu ada Diakonia saat saya menjadi PK putera di PMK, saat itu Bang Mike [TL ’04] mengajak saya untuk ikut dalam pelayan ini. Pertama kali masuk saya sedikit kaget karena anak-anak Diakonia pada zaman itu mayoritas teman-teman bermain saya. Salah satu hal yang membuat saya kaget juga adalah ada pelayanan seperti ini (yang concern menangani biaya hidup dan memperhatikan hidup teman-teman yang kurang mampu dalam hal finansial) di PMK ITB.

Dalam perkembangannya di dalam pelayanan ini, saya diperca-yakan sebagai pemerhati. Awalnya saya kira tugasnya hanya atur janji dengan sang penerima beasiswa, berikan duit, udah selesai. Namun sedikit demi sedikit saya sedikit mengerti bahwa saya belajar banyak dari teman-teman yang saya perhatikan. Bagaimana mereka hidup bersyukur dan mengatur keuangan dengan bijak.

Saya akui saat itu walaupun saya tidak banyak duit, saya sering hidup boros. Kalau memikirkan hal itu sekarang, saya malu. Hal ini dikarenakan saya merasa gagal dalam mengatur gaya hidup saya. Tentu teman-teman juga menyaksikan bagaimana teman-teman yang kita layani berjuang dengan hebatnya untuk

memenuhi kebutuhan mereka tia hari. Sungguh saat itu saya sering diingatkan ketika saya merengek apabila uang bulanan saya telat barang satu hari saja.

Pada saat menjadi koordinator Diakonia, jujur saya kebingungan. Okelah, saya tahu sedikit mengenai apa yang dikerjakan oleh anak-anak Diakonia, namun jujur saya masih banyak bingungnya dan masih sangat labil. Tapi syukurlah, mantan ketua sebelumnya selalu ada untuk mendukung saya, mengajari saya bagaimana menjalankan kepengurusan ini. Padahal, yang kami lakukan saat itu tidak banyak bila dibandingkan dengan yang teman-teman sedang kerjakan saat ini.

Kegiatan kami saat itu hanya seputar pembagian bea, pemerhati memperhati-kan teman-teman penerima (yang sayapun tidak yakin hal itu dilakukan dengan benar dan baik) dan pendataan penerima baru atau wawancara dengan calon penerima (kalau tidak salah hanya 1-2 kali deh) dan ada persekutuan doa yang hanya beberapa kali diadakan dan sedikit juga yang menghadirinya. Hanya itu pun saya bingung... hehehhe. Teringat bahwa saya pun menerima pelayanan ini pastinya bukan karena kapasitas saya, namun karena pelayanan ini adalah anugerah bagi kita.

Selama saya menjadi koordinator di pelayanan ini, saya banyak belajar tentang bagaimana saya harus dekat dan mengerti dengan teman-teman Diakonia lainnya. Kita mengetahui betapa sibuknya teman-teman tingkat 3 dan betapa tidak mau diganggunya karena sedang berkutat dengan tugas akhir. Seringkali hal ini menjadi kendala tersendiri bagi saya untuk mengatur jadwal rapat. Namun lagi-lagi, Tuhan yang merupakan partner kerja kita itu memampukan kami melewati ketidaksesuaian jadwal di antara kami. Saya juga yakin, kecintaan teman-teman Diakonia pada masa kepengurusan itu terhadap pelayanan ini jugalah yang membuat kami mampu menyediakan waktu di tengah berbagai kesibukan.

Saya yakin kita mau dan mampu melakukan ini semua karena Allah sudah lebih dahulu melakukannya bagi kita (1 Yoh 4:19).Selain itu, saya belajar bagaimana mendengarkan padahal saya biasanya lebih sering didengarkan loh. Saya cenderung suka berbicara, berisik, dan suka cari perhatian (hahahhaha).. Namun

ketika saya jadi koordinator di pelayanan ini, saya banyak mendengarkan bagaimana keluh kesah teman-teman penerima bea, bagaimana kesulitan mereka, dan juga keluh kesah teman-teman pemerhati. Terkadang ada juga penerima bea yang sedikit bandel (tapi pemerhatinya juga banyak yang berperilaku bandel, hehehe). Disini juga saya belajar bagaimana merendahkan hati saya, bagaimana mengutamakan orang lain, lebih mengerti bukan malah harus dimengerti. Bagaimana saya melihat teman-teman penerima bea menggantungkan hidup mereka sepenuhnya pada anugerah Bapa. Benar-benar menjadi pelajaran bagi saya untuk melakukan hal yang sama. Pelayanan ini banyak membentuk saya menjadi pribadi yang lebih baik.

Pokoknya banyaklah belajar tentang hidup di pelayanan ini. Mungkin sekian dulu dari saya. Saya yakin teman-teman sekalian akan mengalami pembelajaran yang tidak kalah menakjubkan selama melayani di divisi ini. Akhir kata saya ucapkan selamat melayani dan Tuhan memberkati. (dms)

Syalom semua, salam kenal.

Tahun ini merupakan kali kedua aku melayani di Diakonia. Aku diajak bergabung di Diakonia 2 tahun lalu, setelah itu aku vakum setahun, kemudian diajak bergabung lagi tahun lalu oleh Arnold.

So, let me start from two years ago. Dua tahun lalu, pertama kali direkrut oleh Bang Destry, aku sama sekali gak tau, gak kenal, dan gak ngerti apa itu Diakonia. Setelah bergabung, aku pun hanya jadi anggota pasif yang cuma ikut satu kali pertemuan. Itu pengalaman jadi diaken di tahun pertama.

Setelah di 2010 aku vakum kegiatan Diakonia, aku bergabung lagi di tahun 2011. Selama 5 bulan pertama, aku hanya menjadi anggota pasif, karena ada beberapa kegiatan yang padat dan mendesak.

Di Diakonia, aku belajar banyak hal tentang memperhatikan jemaat PMK yang menghadapi kesulitan keuangan. Aku kaget, banyak orang yang kukenal ternyata juga mendaftar menjadi penerima bantuan hidup Diakonia. Orang yang kukenal dekat, ternyata mempunyai masalah keuangan yang gak aku sadari. Ini menegurku dengan keras, betapa aku tidak peduli terhadap lingkungan terdekatku, betapa aku terlalu asik dengan kehidupan perkuliahan. Kadang kita terlalu “asik” sama perkuliahan, himpu-nan, unit dan gak sadar ada orang-orang yang sangat dekat dengan kita sedang dalam masalah.

Tuhan bener-bener menegurku yang telalu cuek dengan lingkun-gan sekitarku. Bahkan Tuhan menempatkanku di Diakonia di masa-masa paling sibuk (read: tingkat 4). Di sini aku dibentuk Tuhan, diajar cara memberi perhatian kepada sekitarku di tengah kesibukan tugas akhirku.

Satu ayat yang kuinget dari Matius 25:40, yang berbunyi demikian:

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah

seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melaku-kannya untuk Aku“.

Pelayanan seperti itulah yang Tuhan harapkan ada di Diakonia.

Dulu aku mengharap orang-orang melihat setiap perbuatan baik yang kukerjakan, tapi lagi-lagi di sini Tuhan mengajariku hal lain. Diakonia adalah suatu divisi yang tidak diketahui orang, benar-benar suatu tempat untuk menguji ketulusan pelayananku. Aku sungguh banyak belajar akan hal ini. Tuhan mempersiapkanku untuk menghadapi hidup di dunia luar sana tepat sebelum aku melangkahkan kakiku keluar dari ITB.

Selain itu, di Diakonia, aku merasa punya sebuah keluarga rohani baru. Mulai dari jarkom doa sampai KTB bikin aku lebih merasa memiliki Diakonia itu sendiri. Jarkom doa adalah hal utama yang membentuk kekeluargaan ini. Jarkom doa ini membuat aku merasa ada seorang sahabat yang terus mendoakanku dan segala pergumulanku, ada seseorang yang sangat perhatian sama aku dan mau meluangkan waktunya untuk mendoakanku. Inilah family in Christ yang sangat terasa di Diakonia.

Di Diakonia, hati untuk melayani Tuhanku diuji keras. Di sini, ketika aku melayani, justru aku yang merasa amat sangat terber-kati Tuhan. Semoga itu juga yang dirasakan semua diakonia dan semua donatur yang terus mendukung Diakonia. Semangat selalu keluarga Diakoniaku. (ran)

Let God be glorified by what we do.

Page 13: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1 11

Nostalgia DiakoniaKesaksian dan pesan kepada para penerus Diakonia.Oleh: Destry M. SiagianKoordinator Divisi Diakonia 2009-2010

Syallom, teman-teman terkasih..

Perkenalkan, nama saya Destry M. Siagian. Dulu saya kuliah di jurusan Teknik Kelautan angkatan 2005 (masih muda, kan :D). Dulu juga nih, saya pernah diberi kesempatan melayani di Diakonia sebagai koordinator pada periode 2009-2010.

Kali ini, saya diberi kesempatan juga untuk berbagi sedikit dari pengalaman saya selama saya berkecimpung di pelayanan ini. Saya dengar-dengar anggota divisi Diakonia lagi buat buletin ya? Wah,saya salut bangatlah sama kalian, pada angkatan saya belum ada yang begini-beginian. Terima kasih ya buat kerja kerasnya!

Sedikit bercerita nih, dulu saya tahu ada Diakonia saat saya menjadi PK putera di PMK, saat itu Bang Mike [TL ’04] mengajak saya untuk ikut dalam pelayan ini. Pertama kali masuk saya sedikit kaget karena anak-anak Diakonia pada zaman itu mayoritas teman-teman bermain saya. Salah satu hal yang membuat saya kaget juga adalah ada pelayanan seperti ini (yang concern menangani biaya hidup dan memperhatikan hidup teman-teman yang kurang mampu dalam hal finansial) di PMK ITB.

Dalam perkembangannya di dalam pelayanan ini, saya diperca-yakan sebagai pemerhati. Awalnya saya kira tugasnya hanya atur janji dengan sang penerima beasiswa, berikan duit, udah selesai. Namun sedikit demi sedikit saya sedikit mengerti bahwa saya belajar banyak dari teman-teman yang saya perhatikan. Bagaimana mereka hidup bersyukur dan mengatur keuangan dengan bijak.

Saya akui saat itu walaupun saya tidak banyak duit, saya sering hidup boros. Kalau memikirkan hal itu sekarang, saya malu. Hal ini dikarenakan saya merasa gagal dalam mengatur gaya hidup saya. Tentu teman-teman juga menyaksikan bagaimana teman-teman yang kita layani berjuang dengan hebatnya untuk

memenuhi kebutuhan mereka tia hari. Sungguh saat itu saya sering diingatkan ketika saya merengek apabila uang bulanan saya telat barang satu hari saja.

Pada saat menjadi koordinator Diakonia, jujur saya kebingungan. Okelah, saya tahu sedikit mengenai apa yang dikerjakan oleh anak-anak Diakonia, namun jujur saya masih banyak bingungnya dan masih sangat labil. Tapi syukurlah, mantan ketua sebelumnya selalu ada untuk mendukung saya, mengajari saya bagaimana menjalankan kepengurusan ini. Padahal, yang kami lakukan saat itu tidak banyak bila dibandingkan dengan yang teman-teman sedang kerjakan saat ini.

Kegiatan kami saat itu hanya seputar pembagian bea, pemerhati memperhati-kan teman-teman penerima (yang sayapun tidak yakin hal itu dilakukan dengan benar dan baik) dan pendataan penerima baru atau wawancara dengan calon penerima (kalau tidak salah hanya 1-2 kali deh) dan ada persekutuan doa yang hanya beberapa kali diadakan dan sedikit juga yang menghadirinya. Hanya itu pun saya bingung... hehehhe. Teringat bahwa saya pun menerima pelayanan ini pastinya bukan karena kapasitas saya, namun karena pelayanan ini adalah anugerah bagi kita.

Selama saya menjadi koordinator di pelayanan ini, saya banyak belajar tentang bagaimana saya harus dekat dan mengerti dengan teman-teman Diakonia lainnya. Kita mengetahui betapa sibuknya teman-teman tingkat 3 dan betapa tidak mau diganggunya karena sedang berkutat dengan tugas akhir. Seringkali hal ini menjadi kendala tersendiri bagi saya untuk mengatur jadwal rapat. Namun lagi-lagi, Tuhan yang merupakan partner kerja kita itu memampukan kami melewati ketidaksesuaian jadwal di antara kami. Saya juga yakin, kecintaan teman-teman Diakonia pada masa kepengurusan itu terhadap pelayanan ini jugalah yang membuat kami mampu menyediakan waktu di tengah berbagai kesibukan.

Saya yakin kita mau dan mampu melakukan ini semua karena Allah sudah lebih dahulu melakukannya bagi kita (1 Yoh 4:19).Selain itu, saya belajar bagaimana mendengarkan padahal saya biasanya lebih sering didengarkan loh. Saya cenderung suka berbicara, berisik, dan suka cari perhatian (hahahhaha).. Namun

ketika saya jadi koordinator di pelayanan ini, saya banyak mendengarkan bagaimana keluh kesah teman-teman penerima bea, bagaimana kesulitan mereka, dan juga keluh kesah teman-teman pemerhati. Terkadang ada juga penerima bea yang sedikit bandel (tapi pemerhatinya juga banyak yang berperilaku bandel, hehehe). Disini juga saya belajar bagaimana merendahkan hati saya, bagaimana mengutamakan orang lain, lebih mengerti bukan malah harus dimengerti. Bagaimana saya melihat teman-teman penerima bea menggantungkan hidup mereka sepenuhnya pada anugerah Bapa. Benar-benar menjadi pelajaran bagi saya untuk melakukan hal yang sama. Pelayanan ini banyak membentuk saya menjadi pribadi yang lebih baik.

Pokoknya banyaklah belajar tentang hidup di pelayanan ini. Mungkin sekian dulu dari saya. Saya yakin teman-teman sekalian akan mengalami pembelajaran yang tidak kalah menakjubkan selama melayani di divisi ini. Akhir kata saya ucapkan selamat melayani dan Tuhan memberkati. (dms)

Syalom semua, salam kenal.

Tahun ini merupakan kali kedua aku melayani di Diakonia. Aku diajak bergabung di Diakonia 2 tahun lalu, setelah itu aku vakum setahun, kemudian diajak bergabung lagi tahun lalu oleh Arnold.

So, let me start from two years ago. Dua tahun lalu, pertama kali direkrut oleh Bang Destry, aku sama sekali gak tau, gak kenal, dan gak ngerti apa itu Diakonia. Setelah bergabung, aku pun hanya jadi anggota pasif yang cuma ikut satu kali pertemuan. Itu pengalaman jadi diaken di tahun pertama.

Setelah di 2010 aku vakum kegiatan Diakonia, aku bergabung lagi di tahun 2011. Selama 5 bulan pertama, aku hanya menjadi anggota pasif, karena ada beberapa kegiatan yang padat dan mendesak.

Di Diakonia, aku belajar banyak hal tentang memperhatikan jemaat PMK yang menghadapi kesulitan keuangan. Aku kaget, banyak orang yang kukenal ternyata juga mendaftar menjadi penerima bantuan hidup Diakonia. Orang yang kukenal dekat, ternyata mempunyai masalah keuangan yang gak aku sadari. Ini menegurku dengan keras, betapa aku tidak peduli terhadap lingkungan terdekatku, betapa aku terlalu asik dengan kehidupan perkuliahan. Kadang kita terlalu “asik” sama perkuliahan, himpu-nan, unit dan gak sadar ada orang-orang yang sangat dekat dengan kita sedang dalam masalah.

Tuhan bener-bener menegurku yang telalu cuek dengan lingkun-gan sekitarku. Bahkan Tuhan menempatkanku di Diakonia di masa-masa paling sibuk (read: tingkat 4). Di sini aku dibentuk Tuhan, diajar cara memberi perhatian kepada sekitarku di tengah kesibukan tugas akhirku.

Satu ayat yang kuinget dari Matius 25:40, yang berbunyi demikian:

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah

seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melaku-kannya untuk Aku“.

Pelayanan seperti itulah yang Tuhan harapkan ada di Diakonia.

Dulu aku mengharap orang-orang melihat setiap perbuatan baik yang kukerjakan, tapi lagi-lagi di sini Tuhan mengajariku hal lain. Diakonia adalah suatu divisi yang tidak diketahui orang, benar-benar suatu tempat untuk menguji ketulusan pelayananku. Aku sungguh banyak belajar akan hal ini. Tuhan mempersiapkanku untuk menghadapi hidup di dunia luar sana tepat sebelum aku melangkahkan kakiku keluar dari ITB.

Selain itu, di Diakonia, aku merasa punya sebuah keluarga rohani baru. Mulai dari jarkom doa sampai KTB bikin aku lebih merasa memiliki Diakonia itu sendiri. Jarkom doa adalah hal utama yang membentuk kekeluargaan ini. Jarkom doa ini membuat aku merasa ada seorang sahabat yang terus mendoakanku dan segala pergumulanku, ada seseorang yang sangat perhatian sama aku dan mau meluangkan waktunya untuk mendoakanku. Inilah family in Christ yang sangat terasa di Diakonia.

Di Diakonia, hati untuk melayani Tuhanku diuji keras. Di sini, ketika aku melayani, justru aku yang merasa amat sangat terber-kati Tuhan. Semoga itu juga yang dirasakan semua diakonia dan semua donatur yang terus mendukung Diakonia. Semangat selalu keluarga Diakoniaku. (ran)

Let God be glorified by what we do.

Buletin DiakonosEdisi #1

Syallom, teman-teman terkasih..

Perkenalkan, nama saya Destry M. Siagian. Dulu saya kuliah di jurusan Teknik Kelautan angkatan 2005 (masih muda, kan :D). Dulu juga nih, saya pernah diberi kesempatan melayani di Diakonia sebagai koordinator pada periode 2009-2010.

Kali ini, saya diberi kesempatan juga untuk berbagi sedikit dari pengalaman saya selama saya berkecimpung di pelayanan ini. Saya dengar-dengar anggota divisi Diakonia lagi buat buletin ya? Wah,saya salut bangatlah sama kalian, pada angkatan saya belum ada yang begini-beginian. Terima kasih ya buat kerja kerasnya!

Sedikit bercerita nih, dulu saya tahu ada Diakonia saat saya menjadi PK putera di PMK, saat itu Bang Mike [TL ’04] mengajak saya untuk ikut dalam pelayan ini. Pertama kali masuk saya sedikit kaget karena anak-anak Diakonia pada zaman itu mayoritas teman-teman bermain saya. Salah satu hal yang membuat saya kaget juga adalah ada pelayanan seperti ini (yang concern menangani biaya hidup dan memperhatikan hidup teman-teman yang kurang mampu dalam hal finansial) di PMK ITB.

Dalam perkembangannya di dalam pelayanan ini, saya diperca-yakan sebagai pemerhati. Awalnya saya kira tugasnya hanya atur janji dengan sang penerima beasiswa, berikan duit, udah selesai. Namun sedikit demi sedikit saya sedikit mengerti bahwa saya belajar banyak dari teman-teman yang saya perhatikan. Bagaimana mereka hidup bersyukur dan mengatur keuangan dengan bijak.

Saya akui saat itu walaupun saya tidak banyak duit, saya sering hidup boros. Kalau memikirkan hal itu sekarang, saya malu. Hal ini dikarenakan saya merasa gagal dalam mengatur gaya hidup saya. Tentu teman-teman juga menyaksikan bagaimana teman-teman yang kita layani berjuang dengan hebatnya untuk

memenuhi kebutuhan mereka tia hari. Sungguh saat itu saya sering diingatkan ketika saya merengek apabila uang bulanan saya telat barang satu hari saja.

Pada saat menjadi koordinator Diakonia, jujur saya kebingungan. Okelah, saya tahu sedikit mengenai apa yang dikerjakan oleh anak-anak Diakonia, namun jujur saya masih banyak bingungnya dan masih sangat labil. Tapi syukurlah, mantan ketua sebelumnya selalu ada untuk mendukung saya, mengajari saya bagaimana menjalankan kepengurusan ini. Padahal, yang kami lakukan saat itu tidak banyak bila dibandingkan dengan yang teman-teman sedang kerjakan saat ini.

Kegiatan kami saat itu hanya seputar pembagian bea, pemerhati memperhati-kan teman-teman penerima (yang sayapun tidak yakin hal itu dilakukan dengan benar dan baik) dan pendataan penerima baru atau wawancara dengan calon penerima (kalau tidak salah hanya 1-2 kali deh) dan ada persekutuan doa yang hanya beberapa kali diadakan dan sedikit juga yang menghadirinya. Hanya itu pun saya bingung... hehehhe. Teringat bahwa saya pun menerima pelayanan ini pastinya bukan karena kapasitas saya, namun karena pelayanan ini adalah anugerah bagi kita.

Selama saya menjadi koordinator di pelayanan ini, saya banyak belajar tentang bagaimana saya harus dekat dan mengerti dengan teman-teman Diakonia lainnya. Kita mengetahui betapa sibuknya teman-teman tingkat 3 dan betapa tidak mau diganggunya karena sedang berkutat dengan tugas akhir. Seringkali hal ini menjadi kendala tersendiri bagi saya untuk mengatur jadwal rapat. Namun lagi-lagi, Tuhan yang merupakan partner kerja kita itu memampukan kami melewati ketidaksesuaian jadwal di antara kami. Saya juga yakin, kecintaan teman-teman Diakonia pada masa kepengurusan itu terhadap pelayanan ini jugalah yang membuat kami mampu menyediakan waktu di tengah berbagai kesibukan.

Saya yakin kita mau dan mampu melakukan ini semua karena Allah sudah lebih dahulu melakukannya bagi kita (1 Yoh 4:19).Selain itu, saya belajar bagaimana mendengarkan padahal saya biasanya lebih sering didengarkan loh. Saya cenderung suka berbicara, berisik, dan suka cari perhatian (hahahhaha).. Namun

ketika saya jadi koordinator di pelayanan ini, saya banyak mendengarkan bagaimana keluh kesah teman-teman penerima bea, bagaimana kesulitan mereka, dan juga keluh kesah teman-teman pemerhati. Terkadang ada juga penerima bea yang sedikit bandel (tapi pemerhatinya juga banyak yang berperilaku bandel, hehehe). Disini juga saya belajar bagaimana merendahkan hati saya, bagaimana mengutamakan orang lain, lebih mengerti bukan malah harus dimengerti. Bagaimana saya melihat teman-teman penerima bea menggantungkan hidup mereka sepenuhnya pada anugerah Bapa. Benar-benar menjadi pelajaran bagi saya untuk melakukan hal yang sama. Pelayanan ini banyak membentuk saya menjadi pribadi yang lebih baik.

Pokoknya banyaklah belajar tentang hidup di pelayanan ini. Mungkin sekian dulu dari saya. Saya yakin teman-teman sekalian akan mengalami pembelajaran yang tidak kalah menakjubkan selama melayani di divisi ini. Akhir kata saya ucapkan selamat melayani dan Tuhan memberkati. (dms)

“Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita”.(1 Yoh 4:19)

Syalom semua, salam kenal.

Tahun ini merupakan kali kedua aku melayani di Diakonia. Aku diajak bergabung di Diakonia 2 tahun lalu, setelah itu aku vakum setahun, kemudian diajak bergabung lagi tahun lalu oleh Arnold.

So, let me start from two years ago. Dua tahun lalu, pertama kali direkrut oleh Bang Destry, aku sama sekali gak tau, gak kenal, dan gak ngerti apa itu Diakonia. Setelah bergabung, aku pun hanya jadi anggota pasif yang cuma ikut satu kali pertemuan. Itu pengalaman jadi diaken di tahun pertama.

Setelah di 2010 aku vakum kegiatan Diakonia, aku bergabung lagi di tahun 2011. Selama 5 bulan pertama, aku hanya menjadi anggota pasif, karena ada beberapa kegiatan yang padat dan mendesak.

Di Diakonia, aku belajar banyak hal tentang memperhatikan jemaat PMK yang menghadapi kesulitan keuangan. Aku kaget, banyak orang yang kukenal ternyata juga mendaftar menjadi penerima bantuan hidup Diakonia. Orang yang kukenal dekat, ternyata mempunyai masalah keuangan yang gak aku sadari. Ini menegurku dengan keras, betapa aku tidak peduli terhadap lingkungan terdekatku, betapa aku terlalu asik dengan kehidupan perkuliahan. Kadang kita terlalu “asik” sama perkuliahan, himpu-nan, unit dan gak sadar ada orang-orang yang sangat dekat dengan kita sedang dalam masalah.

Tuhan bener-bener menegurku yang telalu cuek dengan lingkun-gan sekitarku. Bahkan Tuhan menempatkanku di Diakonia di masa-masa paling sibuk (read: tingkat 4). Di sini aku dibentuk Tuhan, diajar cara memberi perhatian kepada sekitarku di tengah kesibukan tugas akhirku.

Satu ayat yang kuinget dari Matius 25:40, yang berbunyi demikian:

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah

seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melaku-kannya untuk Aku“.

Pelayanan seperti itulah yang Tuhan harapkan ada di Diakonia.

Dulu aku mengharap orang-orang melihat setiap perbuatan baik yang kukerjakan, tapi lagi-lagi di sini Tuhan mengajariku hal lain. Diakonia adalah suatu divisi yang tidak diketahui orang, benar-benar suatu tempat untuk menguji ketulusan pelayananku. Aku sungguh banyak belajar akan hal ini. Tuhan mempersiapkanku untuk menghadapi hidup di dunia luar sana tepat sebelum aku melangkahkan kakiku keluar dari ITB.

Selain itu, di Diakonia, aku merasa punya sebuah keluarga rohani baru. Mulai dari jarkom doa sampai KTB bikin aku lebih merasa memiliki Diakonia itu sendiri. Jarkom doa adalah hal utama yang membentuk kekeluargaan ini. Jarkom doa ini membuat aku merasa ada seorang sahabat yang terus mendoakanku dan segala pergumulanku, ada seseorang yang sangat perhatian sama aku dan mau meluangkan waktunya untuk mendoakanku. Inilah family in Christ yang sangat terasa di Diakonia.

Di Diakonia, hati untuk melayani Tuhanku diuji keras. Di sini, ketika aku melayani, justru aku yang merasa amat sangat terber-kati Tuhan. Semoga itu juga yang dirasakan semua diakonia dan semua donatur yang terus mendukung Diakonia. Semangat selalu keluarga Diakoniaku. (ran)

Let God be glorified by what we do.

12

Page 14: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1 13

Syallom, teman-teman terkasih..

Perkenalkan, nama saya Destry M. Siagian. Dulu saya kuliah di jurusan Teknik Kelautan angkatan 2005 (masih muda, kan :D). Dulu juga nih, saya pernah diberi kesempatan melayani di Diakonia sebagai koordinator pada periode 2009-2010.

Kali ini, saya diberi kesempatan juga untuk berbagi sedikit dari pengalaman saya selama saya berkecimpung di pelayanan ini. Saya dengar-dengar anggota divisi Diakonia lagi buat buletin ya? Wah,saya salut bangatlah sama kalian, pada angkatan saya belum ada yang begini-beginian. Terima kasih ya buat kerja kerasnya!

Sedikit bercerita nih, dulu saya tahu ada Diakonia saat saya menjadi PK putera di PMK, saat itu Bang Mike [TL ’04] mengajak saya untuk ikut dalam pelayan ini. Pertama kali masuk saya sedikit kaget karena anak-anak Diakonia pada zaman itu mayoritas teman-teman bermain saya. Salah satu hal yang membuat saya kaget juga adalah ada pelayanan seperti ini (yang concern menangani biaya hidup dan memperhatikan hidup teman-teman yang kurang mampu dalam hal finansial) di PMK ITB.

Dalam perkembangannya di dalam pelayanan ini, saya diperca-yakan sebagai pemerhati. Awalnya saya kira tugasnya hanya atur janji dengan sang penerima beasiswa, berikan duit, udah selesai. Namun sedikit demi sedikit saya sedikit mengerti bahwa saya belajar banyak dari teman-teman yang saya perhatikan. Bagaimana mereka hidup bersyukur dan mengatur keuangan dengan bijak.

Saya akui saat itu walaupun saya tidak banyak duit, saya sering hidup boros. Kalau memikirkan hal itu sekarang, saya malu. Hal ini dikarenakan saya merasa gagal dalam mengatur gaya hidup saya. Tentu teman-teman juga menyaksikan bagaimana teman-teman yang kita layani berjuang dengan hebatnya untuk

memenuhi kebutuhan mereka tia hari. Sungguh saat itu saya sering diingatkan ketika saya merengek apabila uang bulanan saya telat barang satu hari saja.

Pada saat menjadi koordinator Diakonia, jujur saya kebingungan. Okelah, saya tahu sedikit mengenai apa yang dikerjakan oleh anak-anak Diakonia, namun jujur saya masih banyak bingungnya dan masih sangat labil. Tapi syukurlah, mantan ketua sebelumnya selalu ada untuk mendukung saya, mengajari saya bagaimana menjalankan kepengurusan ini. Padahal, yang kami lakukan saat itu tidak banyak bila dibandingkan dengan yang teman-teman sedang kerjakan saat ini.

Kegiatan kami saat itu hanya seputar pembagian bea, pemerhati memperhati-kan teman-teman penerima (yang sayapun tidak yakin hal itu dilakukan dengan benar dan baik) dan pendataan penerima baru atau wawancara dengan calon penerima (kalau tidak salah hanya 1-2 kali deh) dan ada persekutuan doa yang hanya beberapa kali diadakan dan sedikit juga yang menghadirinya. Hanya itu pun saya bingung... hehehhe. Teringat bahwa saya pun menerima pelayanan ini pastinya bukan karena kapasitas saya, namun karena pelayanan ini adalah anugerah bagi kita.

Selama saya menjadi koordinator di pelayanan ini, saya banyak belajar tentang bagaimana saya harus dekat dan mengerti dengan teman-teman Diakonia lainnya. Kita mengetahui betapa sibuknya teman-teman tingkat 3 dan betapa tidak mau diganggunya karena sedang berkutat dengan tugas akhir. Seringkali hal ini menjadi kendala tersendiri bagi saya untuk mengatur jadwal rapat. Namun lagi-lagi, Tuhan yang merupakan partner kerja kita itu memampukan kami melewati ketidaksesuaian jadwal di antara kami. Saya juga yakin, kecintaan teman-teman Diakonia pada masa kepengurusan itu terhadap pelayanan ini jugalah yang membuat kami mampu menyediakan waktu di tengah berbagai kesibukan.

Saya yakin kita mau dan mampu melakukan ini semua karena Allah sudah lebih dahulu melakukannya bagi kita (1 Yoh 4:19).Selain itu, saya belajar bagaimana mendengarkan padahal saya biasanya lebih sering didengarkan loh. Saya cenderung suka berbicara, berisik, dan suka cari perhatian (hahahhaha).. Namun

ketika saya jadi koordinator di pelayanan ini, saya banyak mendengarkan bagaimana keluh kesah teman-teman penerima bea, bagaimana kesulitan mereka, dan juga keluh kesah teman-teman pemerhati. Terkadang ada juga penerima bea yang sedikit bandel (tapi pemerhatinya juga banyak yang berperilaku bandel, hehehe). Disini juga saya belajar bagaimana merendahkan hati saya, bagaimana mengutamakan orang lain, lebih mengerti bukan malah harus dimengerti. Bagaimana saya melihat teman-teman penerima bea menggantungkan hidup mereka sepenuhnya pada anugerah Bapa. Benar-benar menjadi pelajaran bagi saya untuk melakukan hal yang sama. Pelayanan ini banyak membentuk saya menjadi pribadi yang lebih baik.

Pokoknya banyaklah belajar tentang hidup di pelayanan ini. Mungkin sekian dulu dari saya. Saya yakin teman-teman sekalian akan mengalami pembelajaran yang tidak kalah menakjubkan selama melayani di divisi ini. Akhir kata saya ucapkan selamat melayani dan Tuhan memberkati. (dms)

PS: Saya kurang bisa merangkai kata-kata lewat tulisan, kalo ada kesempatan untuk ngobrol secara langsung dengan senang hati saya akan berbagi dengan teman-teman Diakonia sekalian.

Syalom semua, salam kenal.

Tahun ini merupakan kali kedua aku melayani di Diakonia. Aku diajak bergabung di Diakonia 2 tahun lalu, setelah itu aku vakum setahun, kemudian diajak bergabung lagi tahun lalu oleh Arnold.

So, let me start from two years ago. Dua tahun lalu, pertama kali direkrut oleh Bang Destry, aku sama sekali gak tau, gak kenal, dan gak ngerti apa itu Diakonia. Setelah bergabung, aku pun hanya jadi anggota pasif yang cuma ikut satu kali pertemuan. Itu pengalaman jadi diaken di tahun pertama.

Setelah di 2010 aku vakum kegiatan Diakonia, aku bergabung lagi di tahun 2011. Selama 5 bulan pertama, aku hanya menjadi anggota pasif, karena ada beberapa kegiatan yang padat dan mendesak.

Di Diakonia, aku belajar banyak hal tentang memperhatikan jemaat PMK yang menghadapi kesulitan keuangan. Aku kaget, banyak orang yang kukenal ternyata juga mendaftar menjadi penerima bantuan hidup Diakonia. Orang yang kukenal dekat, ternyata mempunyai masalah keuangan yang gak aku sadari. Ini menegurku dengan keras, betapa aku tidak peduli terhadap lingkungan terdekatku, betapa aku terlalu asik dengan kehidupan perkuliahan. Kadang kita terlalu “asik” sama perkuliahan, himpu-nan, unit dan gak sadar ada orang-orang yang sangat dekat dengan kita sedang dalam masalah.

Tuhan bener-bener menegurku yang telalu cuek dengan lingkun-gan sekitarku. Bahkan Tuhan menempatkanku di Diakonia di masa-masa paling sibuk (read: tingkat 4). Di sini aku dibentuk Tuhan, diajar cara memberi perhatian kepada sekitarku di tengah kesibukan tugas akhirku.

Satu ayat yang kuinget dari Matius 25:40, yang berbunyi demikian:

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah

seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melaku-kannya untuk Aku“.

Pelayanan seperti itulah yang Tuhan harapkan ada di Diakonia.

Dulu aku mengharap orang-orang melihat setiap perbuatan baik yang kukerjakan, tapi lagi-lagi di sini Tuhan mengajariku hal lain. Diakonia adalah suatu divisi yang tidak diketahui orang, benar-benar suatu tempat untuk menguji ketulusan pelayananku. Aku sungguh banyak belajar akan hal ini. Tuhan mempersiapkanku untuk menghadapi hidup di dunia luar sana tepat sebelum aku melangkahkan kakiku keluar dari ITB.

Selain itu, di Diakonia, aku merasa punya sebuah keluarga rohani baru. Mulai dari jarkom doa sampai KTB bikin aku lebih merasa memiliki Diakonia itu sendiri. Jarkom doa adalah hal utama yang membentuk kekeluargaan ini. Jarkom doa ini membuat aku merasa ada seorang sahabat yang terus mendoakanku dan segala pergumulanku, ada seseorang yang sangat perhatian sama aku dan mau meluangkan waktunya untuk mendoakanku. Inilah family in Christ yang sangat terasa di Diakonia.

Di Diakonia, hati untuk melayani Tuhanku diuji keras. Di sini, ketika aku melayani, justru aku yang merasa amat sangat terber-kati Tuhan. Semoga itu juga yang dirasakan semua diakonia dan semua donatur yang terus mendukung Diakonia. Semangat selalu keluarga Diakoniaku. (ran)

Let God be glorified by what we do.

Buletin DiakonosEdisi #1

Syalom semua, salam kenal.

Tahun ini merupakan kali kedua aku melayani di Diakonia. Aku diajak bergabung di Diakonia 2 tahun lalu, setelah itu aku vakum setahun, kemudian diajak bergabung lagi tahun lalu oleh Arnold.

So, let me start from two years ago. Dua tahun lalu, pertama kali direkrut oleh Bang Destry, aku sama sekali gak tau, gak kenal, dan gak ngerti apa itu Diakonia. Setelah bergabung, aku pun hanya jadi anggota pasif yang cuma ikut satu kali pertemuan. Itu pengalaman jadi diaken di tahun pertama.

Setelah di 2010 aku vakum kegiatan Diakonia, aku bergabung lagi di tahun 2011. Selama 5 bulan pertama, aku hanya menjadi anggota pasif, karena ada beberapa kegiatan yang padat dan mendesak.

Di Diakonia, aku belajar banyak hal tentang memperhatikan jemaat PMK yang menghadapi kesulitan keuangan. Aku kaget, banyak orang yang kukenal ternyata juga mendaftar menjadi penerima bantuan hidup Diakonia. Orang yang kukenal dekat, ternyata mempunyai masalah keuangan yang gak aku sadari. Ini menegurku dengan keras, betapa aku tidak peduli terhadap lingkungan terdekatku, betapa aku terlalu asik dengan kehidupan perkuliahan. Kadang kita terlalu “asik” sama perkuliahan, himpu-nan, unit dan gak sadar ada orang-orang yang sangat dekat dengan kita sedang dalam masalah.

Tuhan bener-bener menegurku yang telalu cuek dengan lingkun-gan sekitarku. Bahkan Tuhan menempatkanku di Diakonia di masa-masa paling sibuk (read: tingkat 4). Di sini aku dibentuk Tuhan, diajar cara memberi perhatian kepada sekitarku di tengah kesibukan tugas akhirku.

Satu ayat yang kuinget dari Matius 25:40, yang berbunyi demikian:

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah

seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melaku-kannya untuk Aku“.

Pelayanan seperti itulah yang Tuhan harapkan ada di Diakonia.

Dulu aku mengharap orang-orang melihat setiap perbuatan baik yang kukerjakan, tapi lagi-lagi di sini Tuhan mengajariku hal lain. Diakonia adalah suatu divisi yang tidak diketahui orang, benar-benar suatu tempat untuk menguji ketulusan pelayananku. Aku sungguh banyak belajar akan hal ini. Tuhan mempersiapkanku untuk menghadapi hidup di dunia luar sana tepat sebelum aku melangkahkan kakiku keluar dari ITB.

Selain itu, di Diakonia, aku merasa punya sebuah keluarga rohani baru. Mulai dari jarkom doa sampai KTB bikin aku lebih merasa memiliki Diakonia itu sendiri. Jarkom doa adalah hal utama yang membentuk kekeluargaan ini. Jarkom doa ini membuat aku merasa ada seorang sahabat yang terus mendoakanku dan segala pergumulanku, ada seseorang yang sangat perhatian sama aku dan mau meluangkan waktunya untuk mendoakanku. Inilah family in Christ yang sangat terasa di Diakonia.

Di Diakonia, hati untuk melayani Tuhanku diuji keras. Di sini, ketika aku melayani, justru aku yang merasa amat sangat terber-kati Tuhan. Semoga itu juga yang dirasakan semua diakonia dan semua donatur yang terus mendukung Diakonia. Semangat selalu keluarga Diakoniaku. (ran)

Let God be glorified by what we do.

Kesaksian Pengurus Diakonia:Rubrik ini membahas apa sa ja yang dialami selama kepengurusan Diakonia 2010-2011 dan bagaimana Diakonia mempengaruhi hidup para anggotanya.

Page 15: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Syalom semua, salam kenal.

Tahun ini merupakan kali kedua aku melayani di Diakonia. Aku diajak bergabung di Diakonia 2 tahun lalu, setelah itu aku vakum setahun, kemudian diajak bergabung lagi tahun lalu oleh Arnold.

So, let me start from two years ago. Dua tahun lalu, pertama kali direkrut oleh Bang Destry, aku sama sekali gak tau, gak kenal, dan gak ngerti apa itu Diakonia. Setelah bergabung, aku pun hanya jadi anggota pasif yang cuma ikut satu kali pertemuan. Itu pengalaman jadi diaken di tahun pertama.

Setelah di 2010 aku vakum kegiatan Diakonia, aku bergabung lagi di tahun 2011. Selama 5 bulan pertama, aku hanya menjadi anggota pasif, karena ada beberapa kegiatan yang padat dan mendesak.

Di Diakonia, aku belajar banyak hal tentang memperhatikan jemaat PMK yang menghadapi kesulitan keuangan. Aku kaget, banyak orang yang kukenal ternyata juga mendaftar menjadi penerima bantuan hidup Diakonia. Orang yang kukenal dekat, ternyata mempunyai masalah keuangan yang gak aku sadari. Ini menegurku dengan keras, betapa aku tidak peduli terhadap lingkungan terdekatku, betapa aku terlalu asik dengan kehidupan perkuliahan. Kadang kita terlalu “asik” sama perkuliahan, himpu-nan, unit dan gak sadar ada orang-orang yang sangat dekat dengan kita sedang dalam masalah.

Tuhan bener-bener menegurku yang telalu cuek dengan lingkun-gan sekitarku. Bahkan Tuhan menempatkanku di Diakonia di masa-masa paling sibuk (read: tingkat 4). Di sini aku dibentuk Tuhan, diajar cara memberi perhatian kepada sekitarku di tengah kesibukan tugas akhirku.

Satu ayat yang kuinget dari Matius 25:40, yang berbunyi demikian:

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah

seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melaku-kannya untuk Aku“.

Pelayanan seperti itulah yang Tuhan harapkan ada di Diakonia.

Dulu aku mengharap orang-orang melihat setiap perbuatan baik yang kukerjakan, tapi lagi-lagi di sini Tuhan mengajariku hal lain. Diakonia adalah suatu divisi yang tidak diketahui orang, benar-benar suatu tempat untuk menguji ketulusan pelayananku. Aku sungguh banyak belajar akan hal ini. Tuhan mempersiapkanku untuk menghadapi hidup di dunia luar sana tepat sebelum aku melangkahkan kakiku keluar dari ITB.

Selain itu, di Diakonia, aku merasa punya sebuah keluarga rohani baru. Mulai dari jarkom doa sampai KTB bikin aku lebih merasa memiliki Diakonia itu sendiri. Jarkom doa adalah hal utama yang membentuk kekeluargaan ini. Jarkom doa ini membuat aku merasa ada seorang sahabat yang terus mendoakanku dan segala pergumulanku, ada seseorang yang sangat perhatian sama aku dan mau meluangkan waktunya untuk mendoakanku. Inilah family in Christ yang sangat terasa di Diakonia.

Di Diakonia, hati untuk melayani Tuhanku diuji keras. Di sini, ketika aku melayani, justru aku yang merasa amat sangat terber-kati Tuhan. Semoga itu juga yang dirasakan semua diakonia dan semua donatur yang terus mendukung Diakonia. Semangat selalu keluarga Diakoniaku. (ran)

Let God be glorified by what we do.

Kesaksian Pengurus Diakonia:Rubrik ini membahas apa sa ja yang dialami selama kepengurusan Diakonia 2010-2011 dan bagaimana Diakonia mempengaruhi hidup para anggotanya.

Page 16: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Diakonia Family in ChristSebuah Kesaksian Tentang PelayananOleh: Regina AngelineKetua Pemerhati khusus 2010-2011 & Anggota divisi Internal Diakonia 2011-2012

Syalom semua, salam kenal.

Tahun ini merupakan kali kedua aku melayani di Diakonia. Aku diajak bergabung di Diakonia 2 tahun lalu, setelah itu aku vakum setahun, kemudian diajak bergabung lagi tahun lalu oleh Arnold.

So, let me start from two years ago. Dua tahun lalu, pertama kali direkrut oleh Bang Destry, aku sama sekali gak tau, gak kenal, dan gak ngerti apa itu Diakonia. Setelah bergabung, aku pun hanya jadi anggota pasif yang cuma ikut satu kali pertemuan. Itu pengalaman jadi diaken di tahun pertama.

Setelah di 2010 aku vakum kegiatan Diakonia, aku bergabung lagi di tahun 2011. Selama 5 bulan pertama, aku hanya menjadi anggota pasif, karena ada beberapa kegiatan yang padat dan mendesak.

Di Diakonia, aku belajar banyak hal tentang memperhatikan jemaat PMK yang menghadapi kesulitan keuangan. Aku kaget, banyak orang yang kukenal ternyata juga mendaftar menjadi penerima bantuan hidup Diakonia. Orang yang kukenal dekat, ternyata mempunyai masalah keuangan yang gak aku sadari. Ini menegurku dengan keras, betapa aku tidak peduli terhadap lingkungan terdekatku, betapa aku terlalu asik dengan kehidupan perkuliahan. Kadang kita terlalu “asik” sama perkuliahan, himpu-nan, unit dan gak sadar ada orang-orang yang sangat dekat dengan kita sedang dalam masalah.

Tuhan bener-bener menegurku yang telalu cuek dengan lingkun-gan sekitarku. Bahkan Tuhan menempatkanku di Diakonia di masa-masa paling sibuk (read: tingkat 4). Di sini aku dibentuk Tuhan, diajar cara memberi perhatian kepada sekitarku di tengah kesibukan tugas akhirku.

Satu ayat yang kuinget dari Matius 25:40, yang berbunyi demikian:

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah

seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melaku-kannya untuk Aku“.

Pelayanan seperti itulah yang Tuhan harapkan ada di Diakonia.

Dulu aku mengharap orang-orang melihat setiap perbuatan baik yang kukerjakan, tapi lagi-lagi di sini Tuhan mengajariku hal lain. Diakonia adalah suatu divisi yang tidak diketahui orang, benar-benar suatu tempat untuk menguji ketulusan pelayananku. Aku sungguh banyak belajar akan hal ini. Tuhan mempersiapkanku untuk menghadapi hidup di dunia luar sana tepat sebelum aku melangkahkan kakiku keluar dari ITB.

Selain itu, di Diakonia, aku merasa punya sebuah keluarga rohani baru. Mulai dari jarkom doa sampai KTB bikin aku lebih merasa memiliki Diakonia itu sendiri. Jarkom doa adalah hal utama yang membentuk kekeluargaan ini. Jarkom doa ini membuat aku merasa ada seorang sahabat yang terus mendoakanku dan segala pergumulanku, ada seseorang yang sangat perhatian sama aku dan mau meluangkan waktunya untuk mendoakanku. Inilah family in Christ yang sangat terasa di Diakonia.

Di Diakonia, hati untuk melayani Tuhanku diuji keras. Di sini, ketika aku melayani, justru aku yang merasa amat sangat terber-kati Tuhan. Semoga itu juga yang dirasakan semua diakonia dan semua donatur yang terus mendukung Diakonia. Semangat selalu keluarga Diakoniaku. (ran)

Let God be glorified by what we do.

15

Page 17: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Diakonia Family in ChristSebuah Kesaksian Tentang PelayananOleh: Regina AngelineKetua Pemerhati khusus 2010-2011 & Anggota divisi Internal Diakonia 2011-2012

Syalom semua, salam kenal.

Tahun ini merupakan kali kedua aku melayani di Diakonia. Aku diajak bergabung di Diakonia 2 tahun lalu, setelah itu aku vakum setahun, kemudian diajak bergabung lagi tahun lalu oleh Arnold.

So, let me start from two years ago. Dua tahun lalu, pertama kali direkrut oleh Bang Destry, aku sama sekali gak tau, gak kenal, dan gak ngerti apa itu Diakonia. Setelah bergabung, aku pun hanya jadi anggota pasif yang cuma ikut satu kali pertemuan. Itu pengalaman jadi diaken di tahun pertama.

Setelah di 2010 aku vakum kegiatan Diakonia, aku bergabung lagi di tahun 2011. Selama 5 bulan pertama, aku hanya menjadi anggota pasif, karena ada beberapa kegiatan yang padat dan mendesak.

Di Diakonia, aku belajar banyak hal tentang memperhatikan jemaat PMK yang menghadapi kesulitan keuangan. Aku kaget, banyak orang yang kukenal ternyata juga mendaftar menjadi penerima bantuan hidup Diakonia. Orang yang kukenal dekat, ternyata mempunyai masalah keuangan yang gak aku sadari. Ini menegurku dengan keras, betapa aku tidak peduli terhadap lingkungan terdekatku, betapa aku terlalu asik dengan kehidupan perkuliahan. Kadang kita terlalu “asik” sama perkuliahan, himpu-nan, unit dan gak sadar ada orang-orang yang sangat dekat dengan kita sedang dalam masalah.

Tuhan bener-bener menegurku yang telalu cuek dengan lingkun-gan sekitarku. Bahkan Tuhan menempatkanku di Diakonia di masa-masa paling sibuk (read: tingkat 4). Di sini aku dibentuk Tuhan, diajar cara memberi perhatian kepada sekitarku di tengah kesibukan tugas akhirku.

Satu ayat yang kuinget dari Matius 25:40, yang berbunyi demikian:

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah

seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melaku-kannya untuk Aku“.

Pelayanan seperti itulah yang Tuhan harapkan ada di Diakonia.

Dulu aku mengharap orang-orang melihat setiap perbuatan baik yang kukerjakan, tapi lagi-lagi di sini Tuhan mengajariku hal lain. Diakonia adalah suatu divisi yang tidak diketahui orang, benar-benar suatu tempat untuk menguji ketulusan pelayananku. Aku sungguh banyak belajar akan hal ini. Tuhan mempersiapkanku untuk menghadapi hidup di dunia luar sana tepat sebelum aku melangkahkan kakiku keluar dari ITB.

Selain itu, di Diakonia, aku merasa punya sebuah keluarga rohani baru. Mulai dari jarkom doa sampai KTB bikin aku lebih merasa memiliki Diakonia itu sendiri. Jarkom doa adalah hal utama yang membentuk kekeluargaan ini. Jarkom doa ini membuat aku merasa ada seorang sahabat yang terus mendoakanku dan segala pergumulanku, ada seseorang yang sangat perhatian sama aku dan mau meluangkan waktunya untuk mendoakanku. Inilah family in Christ yang sangat terasa di Diakonia.

Di Diakonia, hati untuk melayani Tuhanku diuji keras. Di sini, ketika aku melayani, justru aku yang merasa amat sangat terber-kati Tuhan. Semoga itu juga yang dirasakan semua diakonia dan semua donatur yang terus mendukung Diakonia. Semangat selalu keluarga Diakoniaku. (ran)

Let God be glorified by what we do.

15 Buletin DiakonosEdisi #1

Syalom semua, salam kenal.

Tahun ini merupakan kali kedua aku melayani di Diakonia. Aku diajak bergabung di Diakonia 2 tahun lalu, setelah itu aku vakum setahun, kemudian diajak bergabung lagi tahun lalu oleh Arnold.

So, let me start from two years ago. Dua tahun lalu, pertama kali direkrut oleh Bang Destry, aku sama sekali gak tau, gak kenal, dan gak ngerti apa itu Diakonia. Setelah bergabung, aku pun hanya jadi anggota pasif yang cuma ikut satu kali pertemuan. Itu pengalaman jadi diaken di tahun pertama.

Setelah di 2010 aku vakum kegiatan Diakonia, aku bergabung lagi di tahun 2011. Selama 5 bulan pertama, aku hanya menjadi anggota pasif, karena ada beberapa kegiatan yang padat dan mendesak.

Di Diakonia, aku belajar banyak hal tentang memperhatikan jemaat PMK yang menghadapi kesulitan keuangan. Aku kaget, banyak orang yang kukenal ternyata juga mendaftar menjadi penerima bantuan hidup Diakonia. Orang yang kukenal dekat, ternyata mempunyai masalah keuangan yang gak aku sadari. Ini menegurku dengan keras, betapa aku tidak peduli terhadap lingkungan terdekatku, betapa aku terlalu asik dengan kehidupan perkuliahan. Kadang kita terlalu “asik” sama perkuliahan, himpu-nan, unit dan gak sadar ada orang-orang yang sangat dekat dengan kita sedang dalam masalah.

Tuhan bener-bener menegurku yang telalu cuek dengan lingkun-gan sekitarku. Bahkan Tuhan menempatkanku di Diakonia di masa-masa paling sibuk (read: tingkat 4). Di sini aku dibentuk Tuhan, diajar cara memberi perhatian kepada sekitarku di tengah kesibukan tugas akhirku.

Satu ayat yang kuinget dari Matius 25:40, yang berbunyi demikian:

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah

seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melaku-kannya untuk Aku“.

Pelayanan seperti itulah yang Tuhan harapkan ada di Diakonia.

Dulu aku mengharap orang-orang melihat setiap perbuatan baik yang kukerjakan, tapi lagi-lagi di sini Tuhan mengajariku hal lain. Diakonia adalah suatu divisi yang tidak diketahui orang, benar-benar suatu tempat untuk menguji ketulusan pelayananku. Aku sungguh banyak belajar akan hal ini. Tuhan mempersiapkanku untuk menghadapi hidup di dunia luar sana tepat sebelum aku melangkahkan kakiku keluar dari ITB.

Selain itu, di Diakonia, aku merasa punya sebuah keluarga rohani baru. Mulai dari jarkom doa sampai KTB bikin aku lebih merasa memiliki Diakonia itu sendiri. Jarkom doa adalah hal utama yang membentuk kekeluargaan ini. Jarkom doa ini membuat aku merasa ada seorang sahabat yang terus mendoakanku dan segala pergumulanku, ada seseorang yang sangat perhatian sama aku dan mau meluangkan waktunya untuk mendoakanku. Inilah family in Christ yang sangat terasa di Diakonia.

Di Diakonia, hati untuk melayani Tuhanku diuji keras. Di sini, ketika aku melayani, justru aku yang merasa amat sangat terber-kati Tuhan. Semoga itu juga yang dirasakan semua diakonia dan semua donatur yang terus mendukung Diakonia. Semangat selalu keluarga Diakoniaku. (ran)

Let God be glorified by what we do.

Kadang kita terlalu “asyik” sama perkuliahan, himpunan, unit dan ga sadar ada orang – orang yang sangat dekat dengan kita sedang dalam masalah.

“Harta yang paling berharga adalah keluarga...”Itulah penggalan lirik lagu pembuka sinetron “Keluarga Cemara” sebuah Sinetron yang terkenal pada tahun 1990-an. Keluarga adalah lingkungan pertama di mana Anda dan saya hidup serta berinteraksi dengan individu lainnya. Di dalam keluarga kita semua bertumbuh, belajar dan mengalami keterikatan emosional. Keluarga merupakan lingkungan pertama kita dibentuk.

Fase Awal Kehidupanku:

Saya sendiri termasuk orang yang beruntung. Saya dilahirkan di keluarga yang tidak sepenuhnya Kristen. Ayah saya memeluk agama Budha dan Ibu saya memeluk agama Kristen. Saya beruntung bisa tahu tentang Tuhan Yesus dari sekolah minggu. Ibu sayalah yang mengajarkan anak-anaknya berdoa tiap pagi kepada Tuhan dan sebelum tidur. Pada umur 5 tahun saat saya masuk TK kecil, Ayah dan Ibu saya bercerai. Sempat saya bertanya, berdoa dan menangis kepada Tuhan. “Tuhan kenapa kau izinkan ini terjadi?” Itulah pertanyaan saya yang berumur 5 tahun. Sejak umur 5 tahun saya bertumbuh tanpa peran seorang Ibu. Saya dan kakak-kakak tinggal bersama Ayah saya. Sejak umur 5 tahunlah saya mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Ayah saya adalah orang yang amat demokratis, walaupun ia beragama Budha namun setiap Minggu Ayah saya mengantarkan kami ke gereja atau sekolah minggu. Selama saya bersekolah minggu hingga kelas 4 SD saya terus bertanya kepada Tuhan “Tuhan mau-Mu apa sih? Kenapa Tuhan biarkan Ayah dan Ibu saya bercerai?” Hingga pada kelas 5 SD saya memutuskan dan

bilang ke ayah saya bahwa saya tak mau sekolah minggu lagi. Saya pun bertumbuh dengan kondisi keluarga yang tak lengkap dan makin lama saya makin menjauh dari Tuhan, begitu pula kakak-kakak saya. Hubungan kami bersaudara tidaklah rukun, hampir setiap hari pasti terjadi pertengkaran di antara kami. Dari kelas 1 SMA sampai lulus SMA saya tak pernah pergi ke gereja dan hidup saya kacau. Mungkin beberapa dari Anda pernah mengalaminya juga dan setuju bahwa, lingkungan keluarga amatlah membentuk kepribadian seseorang.

Masa-masa Sebagai Mahasiswa:

Diterima sebagai mahasiswa ITB merupakan salah satu titik balik saya. Saya yang nakal dan hidupnya jauh dari Tuhan di ITB ini saya mengenal Kristus dan mengalami lahir baru. Di PMK saya banyak dibimbing dan bertumbuh sebagai orang Kristen. Bertumbuhnya saya tetap menyisakan banyak pertanyaan salah satunya adalah “Tuhan, keluarga itu apa sih secara Kristen? Aku gak tahu dan gak pernah mengalaminya”.

Awal tahun saya di ITB, Tuhan langsung memberi saya 3 orang saudara PA yang berkomitmen untuk saling menolong layaknya saudara, selalu available, dan setia dalam mengasihi. Selama 3 tahun kami berempat bermain, curhat dan banyak melakukan aktivitas bersama. Saya pun lebih banyak cerita kepada saudara PA saya dibandingkan saudara kandung saya. Pada tahun 2011 dua saudara PA saya berangkat keluar negeri untuk menjalani beasiswa di Jepang dan Australia.

Pertemuan dengan Diakonia:

Saat saya merasa akan mengalami kesepian dan kekosongan dalam keluarga PA, Bang Theo Amudi menawarkan saya melay-ani di Diakonia. Sebuah divisi yang saya sendiri baru dengar dari Bang Theo. Motivasi awal saya melayani divisi ini adalah untuk membantu adik-adik kelas yang tak berkecukupan dalam hal ekonomi. Sesederhana itu saja motivasi saya dalam melayani di Diakonia. Saat saya diserahi tugas sebagai ketua Diakonia tujuan awal saya adalah menghidupkan divisi ini kembali. Pada tahun 2010/2011 divisi ini mengalami “mati suri”.

Saya sendiri kurang tahu jelas mengapa hal ini bisa terjadi. Untuk menghidupkan divisi ini saya dan Bang Theo pun merekrut beberapa anggota 2008 dan 2009. Usaha untuk menghidupkan divisi menurut saya amatlah sulit apalagi keadaannya saya bukan anggota Diakonia dan tak tahu apa-apa tentang divisi ini. Saya pun mulai banyak bertanya kepada para senior dan mengumpul-kan data-data yang ada. Terima kasih kepada senior-senior seperti Bang Pudji, Destry dan Kak Kartini banyak membantu saya dalam melakukan hal ini.

Satu semester berlalu sejak saya memimpin Diakonia. Divisi ini Puji Tuhan sudah hidup kembali kami sudah mewawancara lebih dari 40 orang lalu, memilihnya menjadi 8 orang sesuai urgen-sinya untuk menjadi anak penerima bantuan dan berhasil menambah alumni sebagai penderma.

Kekeluargaan yang terhilang:

Di akhir semester pertama saya memimpin saya pun menyadari hal yang amat penting. Divisi ini memang sudah berfungsi kembali namun anggotanya tak dekat satu sama lain. Menurut saya hal ini adalah hal yang berbahaya karena di Diakonia kedekatan dan kepercayaan antar anggota merupakan hal yang penting bagi divisi ini.

Apalagi di divisi ini hal yang kita bicarakan lebih banyak menyangkut hidup orang lain dan uang. Dua hal yang amat penting dan sensitif. Tapi bagaimana mungkin saya membuat divisi ini dekat bagaikan keluarga? Keluarga saya saja tak dekat satu sama lain? Saya benar-benar bingung dan selama 2 minggu. Saya terus berpikir dan berdoa kepada Tuhan bagaimana caranya.

Di saat itu sayapun berpikir bahwa ”Bagaimana mungkin mereka dekat satu sama lain kalau saya saja tidak dekat kepada mereka?” Ditambah lagi saya bukanlah orang yang berasal dari keluarga yang harmonis sehingga sulit bagi saya untuk menjalin kedeka-tan dengan orang lain. Saya pun mulai mengajak mereka bertemu satu per satu mengajak para anggota Diakonia yang beranggota 11 orang untuk berbagi hidup. Di saat itu saya berpikir “yang penting berusaha daripada banyak berpikir namun tak ada keputusan? Itu akan lebih buruk”.

Saya pun mencoba bercerita satu sama lain dengan para anggota secara empat mata dan saya mulai mengenal mereka satu per satu. Sebelum saya bertemu mereka di dalam hati saya selalu berdoa supaya Tuhan yang bimbing dan arahkan saya untuk melakukan pendekatan ke tiap-tiap anggota.

Di awal pembicaraan saya selalu pertama yang bertanya tentang kepribadian, masalah, visi hidup, dan lebih banyak mendengar-kan. Pendekatan kepada anggota Diakonia satu per satu saya lakukan. Di saat teman-teman seangkatan saya 2008 yang tingkat 3 sibuk menger-jakan tugas dan mengejar berbagai lomba saya sibuk melakukan pendekatan ke anggota divisi. Sebuah hal yang tak lazim dilakukan anak tingkat 3. Hal ini amatlah menyita waktu tapi Tuhan yang mampukan saya melakukan hal ini dan saya senang menjalaninya.

Titik Balik dari Kekeluargaan:

Selama 2 bulan saya melakukan pendekatan personal dan mulai membawanya kepada rapat Diakonia. Secara perlahan-lahan anggota Diakonia pun menjadi dekat satu sama lain dan kami pun mulai membuat jarkom doa dimana kami akan didoakan dan mendoakan orang lain. Hal ini mendorong anggota untuk bercerita satu sama lain. Dari titik inilah saya amat menyadari bahwa Tuhan itu amatlah baik!

Mungkin saya bercerita kepada Anda tentang bagaimana saya meluangkan banyak waktu untuk melakukan pendekatan kepada para anggota namun yang Tuhan berikan amatlah indah. Dalam dua bulan, beberapa dari kami mulai berani membagikan hidup kepada sesama anggota. Dua bulan merupakan waktu yang singkat untuk merubah perilaku orang atau lingkungan. Di sini kami pun menjadi keluarga dalam pelayanan ini. Kami tertawa, menangis, susah, dan senang bersama dalam divisi ini. Jumlah anggota yang sedikit dan divisi yang rahasia atau tak ter-ekspos orang-orang membuat kami makin dekat satu sama lain.

Segala usaha yang saya lakukan amatlah tak sebanding dengan yang Tuhan berikan kepada saya sekarang. Saya juga berterima kasih atas kepercayaan dan keterbukaan para anggota yang mendorong anggota lain untuk semakin terbuka juga. Di divisi ini

saya banyak dibangun, dikuatkan, dan yang terpenting saya mengerti bahwa Tuhan mengizinkan saya memiliki keluarga yang bernama Diakonia.

Terima Kasih Semuanya:

Saya amat bersyukur atas anugerah Tuhan yang mempercayakan kepemimpinan divisi ini kepada saya. Di akhir masa saya sebagai mahasiswa ini saya banyak menerima banyak kasih sayang, perhatian dan semangat dari divisi ini. Bersyukur juga kepada semua anggota Diakonia yang sudah setia dan melayani bersama selama satu tahun ini.

Diakonia adalah bentuk kegiatan organisasi terkakhir saya selama di kampus ITB dan ini adalah kepanitaan terindah yang pernah saya alami di ITB. Terima kasih untuk setiap kerja keras, waktu, doa, dan semangat kalian selama satu tahun ini. Saya meminta maaf atas segala kesalahan saya dan ketidaksempur-naan saya dalam memimpin. Kalianlah anugerah bagi kehidu-panku. Jika melihat hidup saya dari awal hingga sekarang saya percaya bahwa Tuhan itu baik dan Ia memiliki rencana yang indah bagi saya dan Anda sekalian. Saya berharap kehangatan kekeluargaan ini tak hanya dialami para anggota Diakonia tapi juga dapat dirasakan oleh adik-adik yang kita bantu dan kakak-kakak alumni sebagai donatur Diako-nia. Semoga kita semua baik itu anggota divisi, anak penerima dan kakak alumni bisa menjalin hubungan layaknya keluarga karena kita semua adalah bagian dari pelayanan ini. Sehingga dari Diakonia bisa tercipta suatu siklus di mana mungkin yang dulunya penerima atau anggota divisi kelak bisa menjadi donatur yang akan membantu lebih banyak adik-adik yang membutuhkan bantuan ekonomi. Semoga jalinan kekeluargaan kita bisa terus terjalin dengan berlandaskan kasih. Seperti kutipan ayat Ibrani 2:11 bahwa kita semua bersaudara dan satu dalam Kristus. Semua bagi kemuliaan-Nya! (ars)

Tulisan ini saya persembahkan kepada:Eca, Agast, Yunika, Laura, Wetha, Oki, Linda, Mega, Listra, dan Ghina.

Kalianlah inspirasiku menulis kesaksian ini. Semangaaaaattt!!!!!

16

Page 18: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Syalom semua, salam kenal.

Tahun ini merupakan kali kedua aku melayani di Diakonia. Aku diajak bergabung di Diakonia 2 tahun lalu, setelah itu aku vakum setahun, kemudian diajak bergabung lagi tahun lalu oleh Arnold.

So, let me start from two years ago. Dua tahun lalu, pertama kali direkrut oleh Bang Destry, aku sama sekali gak tau, gak kenal, dan gak ngerti apa itu Diakonia. Setelah bergabung, aku pun hanya jadi anggota pasif yang cuma ikut satu kali pertemuan. Itu pengalaman jadi diaken di tahun pertama.

Setelah di 2010 aku vakum kegiatan Diakonia, aku bergabung lagi di tahun 2011. Selama 5 bulan pertama, aku hanya menjadi anggota pasif, karena ada beberapa kegiatan yang padat dan mendesak.

Di Diakonia, aku belajar banyak hal tentang memperhatikan jemaat PMK yang menghadapi kesulitan keuangan. Aku kaget, banyak orang yang kukenal ternyata juga mendaftar menjadi penerima bantuan hidup Diakonia. Orang yang kukenal dekat, ternyata mempunyai masalah keuangan yang gak aku sadari. Ini menegurku dengan keras, betapa aku tidak peduli terhadap lingkungan terdekatku, betapa aku terlalu asik dengan kehidupan perkuliahan. Kadang kita terlalu “asik” sama perkuliahan, himpu-nan, unit dan gak sadar ada orang-orang yang sangat dekat dengan kita sedang dalam masalah.

Tuhan bener-bener menegurku yang telalu cuek dengan lingkun-gan sekitarku. Bahkan Tuhan menempatkanku di Diakonia di masa-masa paling sibuk (read: tingkat 4). Di sini aku dibentuk Tuhan, diajar cara memberi perhatian kepada sekitarku di tengah kesibukan tugas akhirku.

Satu ayat yang kuinget dari Matius 25:40, yang berbunyi demikian:

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah

seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melaku-kannya untuk Aku“.

Pelayanan seperti itulah yang Tuhan harapkan ada di Diakonia.

Dulu aku mengharap orang-orang melihat setiap perbuatan baik yang kukerjakan, tapi lagi-lagi di sini Tuhan mengajariku hal lain. Diakonia adalah suatu divisi yang tidak diketahui orang, benar-benar suatu tempat untuk menguji ketulusan pelayananku. Aku sungguh banyak belajar akan hal ini. Tuhan mempersiapkanku untuk menghadapi hidup di dunia luar sana tepat sebelum aku melangkahkan kakiku keluar dari ITB.

Selain itu, di Diakonia, aku merasa punya sebuah keluarga rohani baru. Mulai dari jarkom doa sampai KTB bikin aku lebih merasa memiliki Diakonia itu sendiri. Jarkom doa adalah hal utama yang membentuk kekeluargaan ini. Jarkom doa ini membuat aku merasa ada seorang sahabat yang terus mendoakanku dan segala pergumulanku, ada seseorang yang sangat perhatian sama aku dan mau meluangkan waktunya untuk mendoakanku. Inilah family in Christ yang sangat terasa di Diakonia.

Di Diakonia, hati untuk melayani Tuhanku diuji keras. Di sini, ketika aku melayani, justru aku yang merasa amat sangat terber-kati Tuhan. Semoga itu juga yang dirasakan semua diakonia dan semua donatur yang terus mendukung Diakonia. Semangat selalu keluarga Diakoniaku. (ran)

Let God be glorified by what we do.

“Harta yang paling berharga adalah keluarga...”Itulah penggalan lirik lagu pembuka sinetron “Keluarga Cemara” sebuah Sinetron yang terkenal pada tahun 1990-an. Keluarga adalah lingkungan pertama di mana Anda dan saya hidup serta berinteraksi dengan individu lainnya. Di dalam keluarga kita semua bertumbuh, belajar dan mengalami keterikatan emosional. Keluarga merupakan lingkungan pertama kita dibentuk.

Fase Awal Kehidupanku:

Saya sendiri termasuk orang yang beruntung. Saya dilahirkan di keluarga yang tidak sepenuhnya Kristen. Ayah saya memeluk agama Budha dan Ibu saya memeluk agama Kristen. Saya beruntung bisa tahu tentang Tuhan Yesus dari sekolah minggu. Ibu sayalah yang mengajarkan anak-anaknya berdoa tiap pagi kepada Tuhan dan sebelum tidur. Pada umur 5 tahun saat saya masuk TK kecil, Ayah dan Ibu saya bercerai. Sempat saya bertanya, berdoa dan menangis kepada Tuhan. “Tuhan kenapa kau izinkan ini terjadi?” Itulah pertanyaan saya yang berumur 5 tahun. Sejak umur 5 tahun saya bertumbuh tanpa peran seorang Ibu. Saya dan kakak-kakak tinggal bersama Ayah saya. Sejak umur 5 tahunlah saya mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Ayah saya adalah orang yang amat demokratis, walaupun ia beragama Budha namun setiap Minggu Ayah saya mengantarkan kami ke gereja atau sekolah minggu. Selama saya bersekolah minggu hingga kelas 4 SD saya terus bertanya kepada Tuhan “Tuhan mau-Mu apa sih? Kenapa Tuhan biarkan Ayah dan Ibu saya bercerai?” Hingga pada kelas 5 SD saya memutuskan dan

bilang ke ayah saya bahwa saya tak mau sekolah minggu lagi. Saya pun bertumbuh dengan kondisi keluarga yang tak lengkap dan makin lama saya makin menjauh dari Tuhan, begitu pula kakak-kakak saya. Hubungan kami bersaudara tidaklah rukun, hampir setiap hari pasti terjadi pertengkaran di antara kami. Dari kelas 1 SMA sampai lulus SMA saya tak pernah pergi ke gereja dan hidup saya kacau. Mungkin beberapa dari Anda pernah mengalaminya juga dan setuju bahwa, lingkungan keluarga amatlah membentuk kepribadian seseorang.

Masa-masa Sebagai Mahasiswa:

Diterima sebagai mahasiswa ITB merupakan salah satu titik balik saya. Saya yang nakal dan hidupnya jauh dari Tuhan di ITB ini saya mengenal Kristus dan mengalami lahir baru. Di PMK saya banyak dibimbing dan bertumbuh sebagai orang Kristen. Bertumbuhnya saya tetap menyisakan banyak pertanyaan salah satunya adalah “Tuhan, keluarga itu apa sih secara Kristen? Aku gak tahu dan gak pernah mengalaminya”.

Awal tahun saya di ITB, Tuhan langsung memberi saya 3 orang saudara PA yang berkomitmen untuk saling menolong layaknya saudara, selalu available, dan setia dalam mengasihi. Selama 3 tahun kami berempat bermain, curhat dan banyak melakukan aktivitas bersama. Saya pun lebih banyak cerita kepada saudara PA saya dibandingkan saudara kandung saya. Pada tahun 2011 dua saudara PA saya berangkat keluar negeri untuk menjalani beasiswa di Jepang dan Australia.

Pertemuan dengan Diakonia:

Saat saya merasa akan mengalami kesepian dan kekosongan dalam keluarga PA, Bang Theo Amudi menawarkan saya melay-ani di Diakonia. Sebuah divisi yang saya sendiri baru dengar dari Bang Theo. Motivasi awal saya melayani divisi ini adalah untuk membantu adik-adik kelas yang tak berkecukupan dalam hal ekonomi. Sesederhana itu saja motivasi saya dalam melayani di Diakonia. Saat saya diserahi tugas sebagai ketua Diakonia tujuan awal saya adalah menghidupkan divisi ini kembali. Pada tahun 2010/2011 divisi ini mengalami “mati suri”.

Saya sendiri kurang tahu jelas mengapa hal ini bisa terjadi. Untuk menghidupkan divisi ini saya dan Bang Theo pun merekrut beberapa anggota 2008 dan 2009. Usaha untuk menghidupkan divisi menurut saya amatlah sulit apalagi keadaannya saya bukan anggota Diakonia dan tak tahu apa-apa tentang divisi ini. Saya pun mulai banyak bertanya kepada para senior dan mengumpul-kan data-data yang ada. Terima kasih kepada senior-senior seperti Bang Pudji, Destry dan Kak Kartini banyak membantu saya dalam melakukan hal ini.

Satu semester berlalu sejak saya memimpin Diakonia. Divisi ini Puji Tuhan sudah hidup kembali kami sudah mewawancara lebih dari 40 orang lalu, memilihnya menjadi 8 orang sesuai urgen-sinya untuk menjadi anak penerima bantuan dan berhasil menambah alumni sebagai penderma.

Kekeluargaan yang terhilang:

Di akhir semester pertama saya memimpin saya pun menyadari hal yang amat penting. Divisi ini memang sudah berfungsi kembali namun anggotanya tak dekat satu sama lain. Menurut saya hal ini adalah hal yang berbahaya karena di Diakonia kedekatan dan kepercayaan antar anggota merupakan hal yang penting bagi divisi ini.

Apalagi di divisi ini hal yang kita bicarakan lebih banyak menyangkut hidup orang lain dan uang. Dua hal yang amat penting dan sensitif. Tapi bagaimana mungkin saya membuat divisi ini dekat bagaikan keluarga? Keluarga saya saja tak dekat satu sama lain? Saya benar-benar bingung dan selama 2 minggu. Saya terus berpikir dan berdoa kepada Tuhan bagaimana caranya.

Di saat itu sayapun berpikir bahwa ”Bagaimana mungkin mereka dekat satu sama lain kalau saya saja tidak dekat kepada mereka?” Ditambah lagi saya bukanlah orang yang berasal dari keluarga yang harmonis sehingga sulit bagi saya untuk menjalin kedeka-tan dengan orang lain. Saya pun mulai mengajak mereka bertemu satu per satu mengajak para anggota Diakonia yang beranggota 11 orang untuk berbagi hidup. Di saat itu saya berpikir “yang penting berusaha daripada banyak berpikir namun tak ada keputusan? Itu akan lebih buruk”.

Saya pun mencoba bercerita satu sama lain dengan para anggota secara empat mata dan saya mulai mengenal mereka satu per satu. Sebelum saya bertemu mereka di dalam hati saya selalu berdoa supaya Tuhan yang bimbing dan arahkan saya untuk melakukan pendekatan ke tiap-tiap anggota.

Di awal pembicaraan saya selalu pertama yang bertanya tentang kepribadian, masalah, visi hidup, dan lebih banyak mendengar-kan. Pendekatan kepada anggota Diakonia satu per satu saya lakukan. Di saat teman-teman seangkatan saya 2008 yang tingkat 3 sibuk menger-jakan tugas dan mengejar berbagai lomba saya sibuk melakukan pendekatan ke anggota divisi. Sebuah hal yang tak lazim dilakukan anak tingkat 3. Hal ini amatlah menyita waktu tapi Tuhan yang mampukan saya melakukan hal ini dan saya senang menjalaninya.

Titik Balik dari Kekeluargaan:

Selama 2 bulan saya melakukan pendekatan personal dan mulai membawanya kepada rapat Diakonia. Secara perlahan-lahan anggota Diakonia pun menjadi dekat satu sama lain dan kami pun mulai membuat jarkom doa dimana kami akan didoakan dan mendoakan orang lain. Hal ini mendorong anggota untuk bercerita satu sama lain. Dari titik inilah saya amat menyadari bahwa Tuhan itu amatlah baik!

Mungkin saya bercerita kepada Anda tentang bagaimana saya meluangkan banyak waktu untuk melakukan pendekatan kepada para anggota namun yang Tuhan berikan amatlah indah. Dalam dua bulan, beberapa dari kami mulai berani membagikan hidup kepada sesama anggota. Dua bulan merupakan waktu yang singkat untuk merubah perilaku orang atau lingkungan. Di sini kami pun menjadi keluarga dalam pelayanan ini. Kami tertawa, menangis, susah, dan senang bersama dalam divisi ini. Jumlah anggota yang sedikit dan divisi yang rahasia atau tak ter-ekspos orang-orang membuat kami makin dekat satu sama lain.

Segala usaha yang saya lakukan amatlah tak sebanding dengan yang Tuhan berikan kepada saya sekarang. Saya juga berterima kasih atas kepercayaan dan keterbukaan para anggota yang mendorong anggota lain untuk semakin terbuka juga. Di divisi ini

“Sebab Ia yang menguduskan dan mereka yang dikuduskan,mereka semua berasal dari Satu; Itulah sebabnya Ia tidak malu menyebut mereka saudara”

Ibrani 2:11

Hidupku & DiakoniaSebuah kesaksian tentang pelayananOleh: Arnold SaputraKoordinator divisi Diakonia 2011-2012

saya banyak dibangun, dikuatkan, dan yang terpenting saya mengerti bahwa Tuhan mengizinkan saya memiliki keluarga yang bernama Diakonia.

Terima Kasih Semuanya:

Saya amat bersyukur atas anugerah Tuhan yang mempercayakan kepemimpinan divisi ini kepada saya. Di akhir masa saya sebagai mahasiswa ini saya banyak menerima banyak kasih sayang, perhatian dan semangat dari divisi ini. Bersyukur juga kepada semua anggota Diakonia yang sudah setia dan melayani bersama selama satu tahun ini.

Diakonia adalah bentuk kegiatan organisasi terkakhir saya selama di kampus ITB dan ini adalah kepanitaan terindah yang pernah saya alami di ITB. Terima kasih untuk setiap kerja keras, waktu, doa, dan semangat kalian selama satu tahun ini. Saya meminta maaf atas segala kesalahan saya dan ketidaksempur-naan saya dalam memimpin. Kalianlah anugerah bagi kehidu-panku. Jika melihat hidup saya dari awal hingga sekarang saya percaya bahwa Tuhan itu baik dan Ia memiliki rencana yang indah bagi saya dan Anda sekalian. Saya berharap kehangatan kekeluargaan ini tak hanya dialami para anggota Diakonia tapi juga dapat dirasakan oleh adik-adik yang kita bantu dan kakak-kakak alumni sebagai donatur Diako-nia. Semoga kita semua baik itu anggota divisi, anak penerima dan kakak alumni bisa menjalin hubungan layaknya keluarga karena kita semua adalah bagian dari pelayanan ini. Sehingga dari Diakonia bisa tercipta suatu siklus di mana mungkin yang dulunya penerima atau anggota divisi kelak bisa menjadi donatur yang akan membantu lebih banyak adik-adik yang membutuhkan bantuan ekonomi. Semoga jalinan kekeluargaan kita bisa terus terjalin dengan berlandaskan kasih. Seperti kutipan ayat Ibrani 2:11 bahwa kita semua bersaudara dan satu dalam Kristus. Semua bagi kemuliaan-Nya! (ars)

Tulisan ini saya persembahkan kepada:Eca, Agast, Yunika, Laura, Wetha, Oki, Linda, Mega, Listra, dan Ghina.

Kalianlah inspirasiku menulis kesaksian ini. Semangaaaaattt!!!!!

17

Page 19: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Syalom semua, salam kenal.

Tahun ini merupakan kali kedua aku melayani di Diakonia. Aku diajak bergabung di Diakonia 2 tahun lalu, setelah itu aku vakum setahun, kemudian diajak bergabung lagi tahun lalu oleh Arnold.

So, let me start from two years ago. Dua tahun lalu, pertama kali direkrut oleh Bang Destry, aku sama sekali gak tau, gak kenal, dan gak ngerti apa itu Diakonia. Setelah bergabung, aku pun hanya jadi anggota pasif yang cuma ikut satu kali pertemuan. Itu pengalaman jadi diaken di tahun pertama.

Setelah di 2010 aku vakum kegiatan Diakonia, aku bergabung lagi di tahun 2011. Selama 5 bulan pertama, aku hanya menjadi anggota pasif, karena ada beberapa kegiatan yang padat dan mendesak.

Di Diakonia, aku belajar banyak hal tentang memperhatikan jemaat PMK yang menghadapi kesulitan keuangan. Aku kaget, banyak orang yang kukenal ternyata juga mendaftar menjadi penerima bantuan hidup Diakonia. Orang yang kukenal dekat, ternyata mempunyai masalah keuangan yang gak aku sadari. Ini menegurku dengan keras, betapa aku tidak peduli terhadap lingkungan terdekatku, betapa aku terlalu asik dengan kehidupan perkuliahan. Kadang kita terlalu “asik” sama perkuliahan, himpu-nan, unit dan gak sadar ada orang-orang yang sangat dekat dengan kita sedang dalam masalah.

Tuhan bener-bener menegurku yang telalu cuek dengan lingkun-gan sekitarku. Bahkan Tuhan menempatkanku di Diakonia di masa-masa paling sibuk (read: tingkat 4). Di sini aku dibentuk Tuhan, diajar cara memberi perhatian kepada sekitarku di tengah kesibukan tugas akhirku.

Satu ayat yang kuinget dari Matius 25:40, yang berbunyi demikian:

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah

seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melaku-kannya untuk Aku“.

Pelayanan seperti itulah yang Tuhan harapkan ada di Diakonia.

Dulu aku mengharap orang-orang melihat setiap perbuatan baik yang kukerjakan, tapi lagi-lagi di sini Tuhan mengajariku hal lain. Diakonia adalah suatu divisi yang tidak diketahui orang, benar-benar suatu tempat untuk menguji ketulusan pelayananku. Aku sungguh banyak belajar akan hal ini. Tuhan mempersiapkanku untuk menghadapi hidup di dunia luar sana tepat sebelum aku melangkahkan kakiku keluar dari ITB.

Selain itu, di Diakonia, aku merasa punya sebuah keluarga rohani baru. Mulai dari jarkom doa sampai KTB bikin aku lebih merasa memiliki Diakonia itu sendiri. Jarkom doa adalah hal utama yang membentuk kekeluargaan ini. Jarkom doa ini membuat aku merasa ada seorang sahabat yang terus mendoakanku dan segala pergumulanku, ada seseorang yang sangat perhatian sama aku dan mau meluangkan waktunya untuk mendoakanku. Inilah family in Christ yang sangat terasa di Diakonia.

Di Diakonia, hati untuk melayani Tuhanku diuji keras. Di sini, ketika aku melayani, justru aku yang merasa amat sangat terber-kati Tuhan. Semoga itu juga yang dirasakan semua diakonia dan semua donatur yang terus mendukung Diakonia. Semangat selalu keluarga Diakoniaku. (ran)

Let God be glorified by what we do.

“Harta yang paling berharga adalah keluarga...”Itulah penggalan lirik lagu pembuka sinetron “Keluarga Cemara” sebuah Sinetron yang terkenal pada tahun 1990-an. Keluarga adalah lingkungan pertama di mana Anda dan saya hidup serta berinteraksi dengan individu lainnya. Di dalam keluarga kita semua bertumbuh, belajar dan mengalami keterikatan emosional. Keluarga merupakan lingkungan pertama kita dibentuk.

Fase Awal Kehidupanku:

Saya sendiri termasuk orang yang beruntung. Saya dilahirkan di keluarga yang tidak sepenuhnya Kristen. Ayah saya memeluk agama Budha dan Ibu saya memeluk agama Kristen. Saya beruntung bisa tahu tentang Tuhan Yesus dari sekolah minggu. Ibu sayalah yang mengajarkan anak-anaknya berdoa tiap pagi kepada Tuhan dan sebelum tidur. Pada umur 5 tahun saat saya masuk TK kecil, Ayah dan Ibu saya bercerai. Sempat saya bertanya, berdoa dan menangis kepada Tuhan. “Tuhan kenapa kau izinkan ini terjadi?” Itulah pertanyaan saya yang berumur 5 tahun. Sejak umur 5 tahun saya bertumbuh tanpa peran seorang Ibu. Saya dan kakak-kakak tinggal bersama Ayah saya. Sejak umur 5 tahunlah saya mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Ayah saya adalah orang yang amat demokratis, walaupun ia beragama Budha namun setiap Minggu Ayah saya mengantarkan kami ke gereja atau sekolah minggu. Selama saya bersekolah minggu hingga kelas 4 SD saya terus bertanya kepada Tuhan “Tuhan mau-Mu apa sih? Kenapa Tuhan biarkan Ayah dan Ibu saya bercerai?” Hingga pada kelas 5 SD saya memutuskan dan

bilang ke ayah saya bahwa saya tak mau sekolah minggu lagi. Saya pun bertumbuh dengan kondisi keluarga yang tak lengkap dan makin lama saya makin menjauh dari Tuhan, begitu pula kakak-kakak saya. Hubungan kami bersaudara tidaklah rukun, hampir setiap hari pasti terjadi pertengkaran di antara kami. Dari kelas 1 SMA sampai lulus SMA saya tak pernah pergi ke gereja dan hidup saya kacau. Mungkin beberapa dari Anda pernah mengalaminya juga dan setuju bahwa, lingkungan keluarga amatlah membentuk kepribadian seseorang.

Masa-masa Sebagai Mahasiswa:

Diterima sebagai mahasiswa ITB merupakan salah satu titik balik saya. Saya yang nakal dan hidupnya jauh dari Tuhan di ITB ini saya mengenal Kristus dan mengalami lahir baru. Di PMK saya banyak dibimbing dan bertumbuh sebagai orang Kristen. Bertumbuhnya saya tetap menyisakan banyak pertanyaan salah satunya adalah “Tuhan, keluarga itu apa sih secara Kristen? Aku gak tahu dan gak pernah mengalaminya”.

Awal tahun saya di ITB, Tuhan langsung memberi saya 3 orang saudara PA yang berkomitmen untuk saling menolong layaknya saudara, selalu available, dan setia dalam mengasihi. Selama 3 tahun kami berempat bermain, curhat dan banyak melakukan aktivitas bersama. Saya pun lebih banyak cerita kepada saudara PA saya dibandingkan saudara kandung saya. Pada tahun 2011 dua saudara PA saya berangkat keluar negeri untuk menjalani beasiswa di Jepang dan Australia.

Pertemuan dengan Diakonia:

Saat saya merasa akan mengalami kesepian dan kekosongan dalam keluarga PA, Bang Theo Amudi menawarkan saya melay-ani di Diakonia. Sebuah divisi yang saya sendiri baru dengar dari Bang Theo. Motivasi awal saya melayani divisi ini adalah untuk membantu adik-adik kelas yang tak berkecukupan dalam hal ekonomi. Sesederhana itu saja motivasi saya dalam melayani di Diakonia. Saat saya diserahi tugas sebagai ketua Diakonia tujuan awal saya adalah menghidupkan divisi ini kembali. Pada tahun 2010/2011 divisi ini mengalami “mati suri”.

Saya sendiri kurang tahu jelas mengapa hal ini bisa terjadi. Untuk menghidupkan divisi ini saya dan Bang Theo pun merekrut beberapa anggota 2008 dan 2009. Usaha untuk menghidupkan divisi menurut saya amatlah sulit apalagi keadaannya saya bukan anggota Diakonia dan tak tahu apa-apa tentang divisi ini. Saya pun mulai banyak bertanya kepada para senior dan mengumpul-kan data-data yang ada. Terima kasih kepada senior-senior seperti Bang Pudji, Destry dan Kak Kartini banyak membantu saya dalam melakukan hal ini.

Satu semester berlalu sejak saya memimpin Diakonia. Divisi ini Puji Tuhan sudah hidup kembali kami sudah mewawancara lebih dari 40 orang lalu, memilihnya menjadi 8 orang sesuai urgen-sinya untuk menjadi anak penerima bantuan dan berhasil menambah alumni sebagai penderma.

Kekeluargaan yang terhilang:

Di akhir semester pertama saya memimpin saya pun menyadari hal yang amat penting. Divisi ini memang sudah berfungsi kembali namun anggotanya tak dekat satu sama lain. Menurut saya hal ini adalah hal yang berbahaya karena di Diakonia kedekatan dan kepercayaan antar anggota merupakan hal yang penting bagi divisi ini.

Apalagi di divisi ini hal yang kita bicarakan lebih banyak menyangkut hidup orang lain dan uang. Dua hal yang amat penting dan sensitif. Tapi bagaimana mungkin saya membuat divisi ini dekat bagaikan keluarga? Keluarga saya saja tak dekat satu sama lain? Saya benar-benar bingung dan selama 2 minggu. Saya terus berpikir dan berdoa kepada Tuhan bagaimana caranya.

Di saat itu sayapun berpikir bahwa ”Bagaimana mungkin mereka dekat satu sama lain kalau saya saja tidak dekat kepada mereka?” Ditambah lagi saya bukanlah orang yang berasal dari keluarga yang harmonis sehingga sulit bagi saya untuk menjalin kedeka-tan dengan orang lain. Saya pun mulai mengajak mereka bertemu satu per satu mengajak para anggota Diakonia yang beranggota 11 orang untuk berbagi hidup. Di saat itu saya berpikir “yang penting berusaha daripada banyak berpikir namun tak ada keputusan? Itu akan lebih buruk”.

Saya pun mencoba bercerita satu sama lain dengan para anggota secara empat mata dan saya mulai mengenal mereka satu per satu. Sebelum saya bertemu mereka di dalam hati saya selalu berdoa supaya Tuhan yang bimbing dan arahkan saya untuk melakukan pendekatan ke tiap-tiap anggota.

Di awal pembicaraan saya selalu pertama yang bertanya tentang kepribadian, masalah, visi hidup, dan lebih banyak mendengar-kan. Pendekatan kepada anggota Diakonia satu per satu saya lakukan. Di saat teman-teman seangkatan saya 2008 yang tingkat 3 sibuk menger-jakan tugas dan mengejar berbagai lomba saya sibuk melakukan pendekatan ke anggota divisi. Sebuah hal yang tak lazim dilakukan anak tingkat 3. Hal ini amatlah menyita waktu tapi Tuhan yang mampukan saya melakukan hal ini dan saya senang menjalaninya.

Titik Balik dari Kekeluargaan:

Selama 2 bulan saya melakukan pendekatan personal dan mulai membawanya kepada rapat Diakonia. Secara perlahan-lahan anggota Diakonia pun menjadi dekat satu sama lain dan kami pun mulai membuat jarkom doa dimana kami akan didoakan dan mendoakan orang lain. Hal ini mendorong anggota untuk bercerita satu sama lain. Dari titik inilah saya amat menyadari bahwa Tuhan itu amatlah baik!

Mungkin saya bercerita kepada Anda tentang bagaimana saya meluangkan banyak waktu untuk melakukan pendekatan kepada para anggota namun yang Tuhan berikan amatlah indah. Dalam dua bulan, beberapa dari kami mulai berani membagikan hidup kepada sesama anggota. Dua bulan merupakan waktu yang singkat untuk merubah perilaku orang atau lingkungan. Di sini kami pun menjadi keluarga dalam pelayanan ini. Kami tertawa, menangis, susah, dan senang bersama dalam divisi ini. Jumlah anggota yang sedikit dan divisi yang rahasia atau tak ter-ekspos orang-orang membuat kami makin dekat satu sama lain.

Segala usaha yang saya lakukan amatlah tak sebanding dengan yang Tuhan berikan kepada saya sekarang. Saya juga berterima kasih atas kepercayaan dan keterbukaan para anggota yang mendorong anggota lain untuk semakin terbuka juga. Di divisi ini

“Sebab Ia yang menguduskan dan mereka yang dikuduskan,mereka semua berasal dari Satu; Itulah sebabnya Ia tidak malu menyebut mereka saudara”

Ibrani 2:11

Hidupku & DiakoniaSebuah kesaksian tentang pelayananOleh: Arnold SaputraKoordinator divisi Diakonia 2011-2012

saya banyak dibangun, dikuatkan, dan yang terpenting saya mengerti bahwa Tuhan mengizinkan saya memiliki keluarga yang bernama Diakonia.

Terima Kasih Semuanya:

Saya amat bersyukur atas anugerah Tuhan yang mempercayakan kepemimpinan divisi ini kepada saya. Di akhir masa saya sebagai mahasiswa ini saya banyak menerima banyak kasih sayang, perhatian dan semangat dari divisi ini. Bersyukur juga kepada semua anggota Diakonia yang sudah setia dan melayani bersama selama satu tahun ini.

Diakonia adalah bentuk kegiatan organisasi terkakhir saya selama di kampus ITB dan ini adalah kepanitaan terindah yang pernah saya alami di ITB. Terima kasih untuk setiap kerja keras, waktu, doa, dan semangat kalian selama satu tahun ini. Saya meminta maaf atas segala kesalahan saya dan ketidaksempur-naan saya dalam memimpin. Kalianlah anugerah bagi kehidu-panku. Jika melihat hidup saya dari awal hingga sekarang saya percaya bahwa Tuhan itu baik dan Ia memiliki rencana yang indah bagi saya dan Anda sekalian. Saya berharap kehangatan kekeluargaan ini tak hanya dialami para anggota Diakonia tapi juga dapat dirasakan oleh adik-adik yang kita bantu dan kakak-kakak alumni sebagai donatur Diako-nia. Semoga kita semua baik itu anggota divisi, anak penerima dan kakak alumni bisa menjalin hubungan layaknya keluarga karena kita semua adalah bagian dari pelayanan ini. Sehingga dari Diakonia bisa tercipta suatu siklus di mana mungkin yang dulunya penerima atau anggota divisi kelak bisa menjadi donatur yang akan membantu lebih banyak adik-adik yang membutuhkan bantuan ekonomi. Semoga jalinan kekeluargaan kita bisa terus terjalin dengan berlandaskan kasih. Seperti kutipan ayat Ibrani 2:11 bahwa kita semua bersaudara dan satu dalam Kristus. Semua bagi kemuliaan-Nya! (ars)

Tulisan ini saya persembahkan kepada:Eca, Agast, Yunika, Laura, Wetha, Oki, Linda, Mega, Listra, dan Ghina.

Kalianlah inspirasiku menulis kesaksian ini. Semangaaaaattt!!!!!

17 Buletin DiakonosEdisi #1 18

Syalom semua, salam kenal.

Tahun ini merupakan kali kedua aku melayani di Diakonia. Aku diajak bergabung di Diakonia 2 tahun lalu, setelah itu aku vakum setahun, kemudian diajak bergabung lagi tahun lalu oleh Arnold.

So, let me start from two years ago. Dua tahun lalu, pertama kali direkrut oleh Bang Destry, aku sama sekali gak tau, gak kenal, dan gak ngerti apa itu Diakonia. Setelah bergabung, aku pun hanya jadi anggota pasif yang cuma ikut satu kali pertemuan. Itu pengalaman jadi diaken di tahun pertama.

Setelah di 2010 aku vakum kegiatan Diakonia, aku bergabung lagi di tahun 2011. Selama 5 bulan pertama, aku hanya menjadi anggota pasif, karena ada beberapa kegiatan yang padat dan mendesak.

Di Diakonia, aku belajar banyak hal tentang memperhatikan jemaat PMK yang menghadapi kesulitan keuangan. Aku kaget, banyak orang yang kukenal ternyata juga mendaftar menjadi penerima bantuan hidup Diakonia. Orang yang kukenal dekat, ternyata mempunyai masalah keuangan yang gak aku sadari. Ini menegurku dengan keras, betapa aku tidak peduli terhadap lingkungan terdekatku, betapa aku terlalu asik dengan kehidupan perkuliahan. Kadang kita terlalu “asik” sama perkuliahan, himpu-nan, unit dan gak sadar ada orang-orang yang sangat dekat dengan kita sedang dalam masalah.

Tuhan bener-bener menegurku yang telalu cuek dengan lingkun-gan sekitarku. Bahkan Tuhan menempatkanku di Diakonia di masa-masa paling sibuk (read: tingkat 4). Di sini aku dibentuk Tuhan, diajar cara memberi perhatian kepada sekitarku di tengah kesibukan tugas akhirku.

Satu ayat yang kuinget dari Matius 25:40, yang berbunyi demikian:

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah

seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melaku-kannya untuk Aku“.

Pelayanan seperti itulah yang Tuhan harapkan ada di Diakonia.

Dulu aku mengharap orang-orang melihat setiap perbuatan baik yang kukerjakan, tapi lagi-lagi di sini Tuhan mengajariku hal lain. Diakonia adalah suatu divisi yang tidak diketahui orang, benar-benar suatu tempat untuk menguji ketulusan pelayananku. Aku sungguh banyak belajar akan hal ini. Tuhan mempersiapkanku untuk menghadapi hidup di dunia luar sana tepat sebelum aku melangkahkan kakiku keluar dari ITB.

Selain itu, di Diakonia, aku merasa punya sebuah keluarga rohani baru. Mulai dari jarkom doa sampai KTB bikin aku lebih merasa memiliki Diakonia itu sendiri. Jarkom doa adalah hal utama yang membentuk kekeluargaan ini. Jarkom doa ini membuat aku merasa ada seorang sahabat yang terus mendoakanku dan segala pergumulanku, ada seseorang yang sangat perhatian sama aku dan mau meluangkan waktunya untuk mendoakanku. Inilah family in Christ yang sangat terasa di Diakonia.

Di Diakonia, hati untuk melayani Tuhanku diuji keras. Di sini, ketika aku melayani, justru aku yang merasa amat sangat terber-kati Tuhan. Semoga itu juga yang dirasakan semua diakonia dan semua donatur yang terus mendukung Diakonia. Semangat selalu keluarga Diakoniaku. (ran)

Let God be glorified by what we do.

“Harta yang paling berharga adalah keluarga...”Itulah penggalan lirik lagu pembuka sinetron “Keluarga Cemara” sebuah Sinetron yang terkenal pada tahun 1990-an. Keluarga adalah lingkungan pertama di mana Anda dan saya hidup serta berinteraksi dengan individu lainnya. Di dalam keluarga kita semua bertumbuh, belajar dan mengalami keterikatan emosional. Keluarga merupakan lingkungan pertama kita dibentuk.

Fase Awal Kehidupanku:

Saya sendiri termasuk orang yang beruntung. Saya dilahirkan di keluarga yang tidak sepenuhnya Kristen. Ayah saya memeluk agama Budha dan Ibu saya memeluk agama Kristen. Saya beruntung bisa tahu tentang Tuhan Yesus dari sekolah minggu. Ibu sayalah yang mengajarkan anak-anaknya berdoa tiap pagi kepada Tuhan dan sebelum tidur. Pada umur 5 tahun saat saya masuk TK kecil, Ayah dan Ibu saya bercerai. Sempat saya bertanya, berdoa dan menangis kepada Tuhan. “Tuhan kenapa kau izinkan ini terjadi?” Itulah pertanyaan saya yang berumur 5 tahun. Sejak umur 5 tahun saya bertumbuh tanpa peran seorang Ibu. Saya dan kakak-kakak tinggal bersama Ayah saya. Sejak umur 5 tahunlah saya mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Ayah saya adalah orang yang amat demokratis, walaupun ia beragama Budha namun setiap Minggu Ayah saya mengantarkan kami ke gereja atau sekolah minggu. Selama saya bersekolah minggu hingga kelas 4 SD saya terus bertanya kepada Tuhan “Tuhan mau-Mu apa sih? Kenapa Tuhan biarkan Ayah dan Ibu saya bercerai?” Hingga pada kelas 5 SD saya memutuskan dan

bilang ke ayah saya bahwa saya tak mau sekolah minggu lagi. Saya pun bertumbuh dengan kondisi keluarga yang tak lengkap dan makin lama saya makin menjauh dari Tuhan, begitu pula kakak-kakak saya. Hubungan kami bersaudara tidaklah rukun, hampir setiap hari pasti terjadi pertengkaran di antara kami. Dari kelas 1 SMA sampai lulus SMA saya tak pernah pergi ke gereja dan hidup saya kacau. Mungkin beberapa dari Anda pernah mengalaminya juga dan setuju bahwa, lingkungan keluarga amatlah membentuk kepribadian seseorang.

Masa-masa Sebagai Mahasiswa:

Diterima sebagai mahasiswa ITB merupakan salah satu titik balik saya. Saya yang nakal dan hidupnya jauh dari Tuhan di ITB ini saya mengenal Kristus dan mengalami lahir baru. Di PMK saya banyak dibimbing dan bertumbuh sebagai orang Kristen. Bertumbuhnya saya tetap menyisakan banyak pertanyaan salah satunya adalah “Tuhan, keluarga itu apa sih secara Kristen? Aku gak tahu dan gak pernah mengalaminya”.

Awal tahun saya di ITB, Tuhan langsung memberi saya 3 orang saudara PA yang berkomitmen untuk saling menolong layaknya saudara, selalu available, dan setia dalam mengasihi. Selama 3 tahun kami berempat bermain, curhat dan banyak melakukan aktivitas bersama. Saya pun lebih banyak cerita kepada saudara PA saya dibandingkan saudara kandung saya. Pada tahun 2011 dua saudara PA saya berangkat keluar negeri untuk menjalani beasiswa di Jepang dan Australia.

Pertemuan dengan Diakonia:

Saat saya merasa akan mengalami kesepian dan kekosongan dalam keluarga PA, Bang Theo Amudi menawarkan saya melay-ani di Diakonia. Sebuah divisi yang saya sendiri baru dengar dari Bang Theo. Motivasi awal saya melayani divisi ini adalah untuk membantu adik-adik kelas yang tak berkecukupan dalam hal ekonomi. Sesederhana itu saja motivasi saya dalam melayani di Diakonia. Saat saya diserahi tugas sebagai ketua Diakonia tujuan awal saya adalah menghidupkan divisi ini kembali. Pada tahun 2010/2011 divisi ini mengalami “mati suri”.

Saya sendiri kurang tahu jelas mengapa hal ini bisa terjadi. Untuk menghidupkan divisi ini saya dan Bang Theo pun merekrut beberapa anggota 2008 dan 2009. Usaha untuk menghidupkan divisi menurut saya amatlah sulit apalagi keadaannya saya bukan anggota Diakonia dan tak tahu apa-apa tentang divisi ini. Saya pun mulai banyak bertanya kepada para senior dan mengumpul-kan data-data yang ada. Terima kasih kepada senior-senior seperti Bang Pudji, Destry dan Kak Kartini banyak membantu saya dalam melakukan hal ini.

Satu semester berlalu sejak saya memimpin Diakonia. Divisi ini Puji Tuhan sudah hidup kembali kami sudah mewawancara lebih dari 40 orang lalu, memilihnya menjadi 8 orang sesuai urgen-sinya untuk menjadi anak penerima bantuan dan berhasil menambah alumni sebagai penderma.

Kekeluargaan yang terhilang:

Di akhir semester pertama saya memimpin saya pun menyadari hal yang amat penting. Divisi ini memang sudah berfungsi kembali namun anggotanya tak dekat satu sama lain. Menurut saya hal ini adalah hal yang berbahaya karena di Diakonia kedekatan dan kepercayaan antar anggota merupakan hal yang penting bagi divisi ini.

Apalagi di divisi ini hal yang kita bicarakan lebih banyak menyangkut hidup orang lain dan uang. Dua hal yang amat penting dan sensitif. Tapi bagaimana mungkin saya membuat divisi ini dekat bagaikan keluarga? Keluarga saya saja tak dekat satu sama lain? Saya benar-benar bingung dan selama 2 minggu. Saya terus berpikir dan berdoa kepada Tuhan bagaimana caranya.

Di saat itu sayapun berpikir bahwa ”Bagaimana mungkin mereka dekat satu sama lain kalau saya saja tidak dekat kepada mereka?” Ditambah lagi saya bukanlah orang yang berasal dari keluarga yang harmonis sehingga sulit bagi saya untuk menjalin kedeka-tan dengan orang lain. Saya pun mulai mengajak mereka bertemu satu per satu mengajak para anggota Diakonia yang beranggota 11 orang untuk berbagi hidup. Di saat itu saya berpikir “yang penting berusaha daripada banyak berpikir namun tak ada keputusan? Itu akan lebih buruk”.

Saya pun mencoba bercerita satu sama lain dengan para anggota secara empat mata dan saya mulai mengenal mereka satu per satu. Sebelum saya bertemu mereka di dalam hati saya selalu berdoa supaya Tuhan yang bimbing dan arahkan saya untuk melakukan pendekatan ke tiap-tiap anggota.

Di awal pembicaraan saya selalu pertama yang bertanya tentang kepribadian, masalah, visi hidup, dan lebih banyak mendengar-kan. Pendekatan kepada anggota Diakonia satu per satu saya lakukan. Di saat teman-teman seangkatan saya 2008 yang tingkat 3 sibuk menger-jakan tugas dan mengejar berbagai lomba saya sibuk melakukan pendekatan ke anggota divisi. Sebuah hal yang tak lazim dilakukan anak tingkat 3. Hal ini amatlah menyita waktu tapi Tuhan yang mampukan saya melakukan hal ini dan saya senang menjalaninya.

Titik Balik dari Kekeluargaan:

Selama 2 bulan saya melakukan pendekatan personal dan mulai membawanya kepada rapat Diakonia. Secara perlahan-lahan anggota Diakonia pun menjadi dekat satu sama lain dan kami pun mulai membuat jarkom doa dimana kami akan didoakan dan mendoakan orang lain. Hal ini mendorong anggota untuk bercerita satu sama lain. Dari titik inilah saya amat menyadari bahwa Tuhan itu amatlah baik!

Mungkin saya bercerita kepada Anda tentang bagaimana saya meluangkan banyak waktu untuk melakukan pendekatan kepada para anggota namun yang Tuhan berikan amatlah indah. Dalam dua bulan, beberapa dari kami mulai berani membagikan hidup kepada sesama anggota. Dua bulan merupakan waktu yang singkat untuk merubah perilaku orang atau lingkungan. Di sini kami pun menjadi keluarga dalam pelayanan ini. Kami tertawa, menangis, susah, dan senang bersama dalam divisi ini. Jumlah anggota yang sedikit dan divisi yang rahasia atau tak ter-ekspos orang-orang membuat kami makin dekat satu sama lain.

Segala usaha yang saya lakukan amatlah tak sebanding dengan yang Tuhan berikan kepada saya sekarang. Saya juga berterima kasih atas kepercayaan dan keterbukaan para anggota yang mendorong anggota lain untuk semakin terbuka juga. Di divisi ini

saya banyak dibangun, dikuatkan, dan yang terpenting saya mengerti bahwa Tuhan mengizinkan saya memiliki keluarga yang bernama Diakonia.

Terima Kasih Semuanya:

Saya amat bersyukur atas anugerah Tuhan yang mempercayakan kepemimpinan divisi ini kepada saya. Di akhir masa saya sebagai mahasiswa ini saya banyak menerima banyak kasih sayang, perhatian dan semangat dari divisi ini. Bersyukur juga kepada semua anggota Diakonia yang sudah setia dan melayani bersama selama satu tahun ini.

Diakonia adalah bentuk kegiatan organisasi terkakhir saya selama di kampus ITB dan ini adalah kepanitaan terindah yang pernah saya alami di ITB. Terima kasih untuk setiap kerja keras, waktu, doa, dan semangat kalian selama satu tahun ini. Saya meminta maaf atas segala kesalahan saya dan ketidaksempur-naan saya dalam memimpin. Kalianlah anugerah bagi kehidu-panku. Jika melihat hidup saya dari awal hingga sekarang saya percaya bahwa Tuhan itu baik dan Ia memiliki rencana yang indah bagi saya dan Anda sekalian. Saya berharap kehangatan kekeluargaan ini tak hanya dialami para anggota Diakonia tapi juga dapat dirasakan oleh adik-adik yang kita bantu dan kakak-kakak alumni sebagai donatur Diako-nia. Semoga kita semua baik itu anggota divisi, anak penerima dan kakak alumni bisa menjalin hubungan layaknya keluarga karena kita semua adalah bagian dari pelayanan ini. Sehingga dari Diakonia bisa tercipta suatu siklus di mana mungkin yang dulunya penerima atau anggota divisi kelak bisa menjadi donatur yang akan membantu lebih banyak adik-adik yang membutuhkan bantuan ekonomi. Semoga jalinan kekeluargaan kita bisa terus terjalin dengan berlandaskan kasih. Seperti kutipan ayat Ibrani 2:11 bahwa kita semua bersaudara dan satu dalam Kristus. Semua bagi kemuliaan-Nya! (ars)

Tulisan ini saya persembahkan kepada:Eca, Agast, Yunika, Laura, Wetha, Oki, Linda, Mega, Listra, dan Ghina.

Kalianlah inspirasiku menulis kesaksian ini. Semangaaaaattt!!!!!

Page 20: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Syalom semua, salam kenal.

Tahun ini merupakan kali kedua aku melayani di Diakonia. Aku diajak bergabung di Diakonia 2 tahun lalu, setelah itu aku vakum setahun, kemudian diajak bergabung lagi tahun lalu oleh Arnold.

So, let me start from two years ago. Dua tahun lalu, pertama kali direkrut oleh Bang Destry, aku sama sekali gak tau, gak kenal, dan gak ngerti apa itu Diakonia. Setelah bergabung, aku pun hanya jadi anggota pasif yang cuma ikut satu kali pertemuan. Itu pengalaman jadi diaken di tahun pertama.

Setelah di 2010 aku vakum kegiatan Diakonia, aku bergabung lagi di tahun 2011. Selama 5 bulan pertama, aku hanya menjadi anggota pasif, karena ada beberapa kegiatan yang padat dan mendesak.

Di Diakonia, aku belajar banyak hal tentang memperhatikan jemaat PMK yang menghadapi kesulitan keuangan. Aku kaget, banyak orang yang kukenal ternyata juga mendaftar menjadi penerima bantuan hidup Diakonia. Orang yang kukenal dekat, ternyata mempunyai masalah keuangan yang gak aku sadari. Ini menegurku dengan keras, betapa aku tidak peduli terhadap lingkungan terdekatku, betapa aku terlalu asik dengan kehidupan perkuliahan. Kadang kita terlalu “asik” sama perkuliahan, himpu-nan, unit dan gak sadar ada orang-orang yang sangat dekat dengan kita sedang dalam masalah.

Tuhan bener-bener menegurku yang telalu cuek dengan lingkun-gan sekitarku. Bahkan Tuhan menempatkanku di Diakonia di masa-masa paling sibuk (read: tingkat 4). Di sini aku dibentuk Tuhan, diajar cara memberi perhatian kepada sekitarku di tengah kesibukan tugas akhirku.

Satu ayat yang kuinget dari Matius 25:40, yang berbunyi demikian:

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah

seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melaku-kannya untuk Aku“.

Pelayanan seperti itulah yang Tuhan harapkan ada di Diakonia.

Dulu aku mengharap orang-orang melihat setiap perbuatan baik yang kukerjakan, tapi lagi-lagi di sini Tuhan mengajariku hal lain. Diakonia adalah suatu divisi yang tidak diketahui orang, benar-benar suatu tempat untuk menguji ketulusan pelayananku. Aku sungguh banyak belajar akan hal ini. Tuhan mempersiapkanku untuk menghadapi hidup di dunia luar sana tepat sebelum aku melangkahkan kakiku keluar dari ITB.

Selain itu, di Diakonia, aku merasa punya sebuah keluarga rohani baru. Mulai dari jarkom doa sampai KTB bikin aku lebih merasa memiliki Diakonia itu sendiri. Jarkom doa adalah hal utama yang membentuk kekeluargaan ini. Jarkom doa ini membuat aku merasa ada seorang sahabat yang terus mendoakanku dan segala pergumulanku, ada seseorang yang sangat perhatian sama aku dan mau meluangkan waktunya untuk mendoakanku. Inilah family in Christ yang sangat terasa di Diakonia.

Di Diakonia, hati untuk melayani Tuhanku diuji keras. Di sini, ketika aku melayani, justru aku yang merasa amat sangat terber-kati Tuhan. Semoga itu juga yang dirasakan semua diakonia dan semua donatur yang terus mendukung Diakonia. Semangat selalu keluarga Diakoniaku. (ran)

Let God be glorified by what we do.

“Harta yang paling berharga adalah keluarga...”Itulah penggalan lirik lagu pembuka sinetron “Keluarga Cemara” sebuah Sinetron yang terkenal pada tahun 1990-an. Keluarga adalah lingkungan pertama di mana Anda dan saya hidup serta berinteraksi dengan individu lainnya. Di dalam keluarga kita semua bertumbuh, belajar dan mengalami keterikatan emosional. Keluarga merupakan lingkungan pertama kita dibentuk.

Fase Awal Kehidupanku:

Saya sendiri termasuk orang yang beruntung. Saya dilahirkan di keluarga yang tidak sepenuhnya Kristen. Ayah saya memeluk agama Budha dan Ibu saya memeluk agama Kristen. Saya beruntung bisa tahu tentang Tuhan Yesus dari sekolah minggu. Ibu sayalah yang mengajarkan anak-anaknya berdoa tiap pagi kepada Tuhan dan sebelum tidur. Pada umur 5 tahun saat saya masuk TK kecil, Ayah dan Ibu saya bercerai. Sempat saya bertanya, berdoa dan menangis kepada Tuhan. “Tuhan kenapa kau izinkan ini terjadi?” Itulah pertanyaan saya yang berumur 5 tahun. Sejak umur 5 tahun saya bertumbuh tanpa peran seorang Ibu. Saya dan kakak-kakak tinggal bersama Ayah saya. Sejak umur 5 tahunlah saya mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Ayah saya adalah orang yang amat demokratis, walaupun ia beragama Budha namun setiap Minggu Ayah saya mengantarkan kami ke gereja atau sekolah minggu. Selama saya bersekolah minggu hingga kelas 4 SD saya terus bertanya kepada Tuhan “Tuhan mau-Mu apa sih? Kenapa Tuhan biarkan Ayah dan Ibu saya bercerai?” Hingga pada kelas 5 SD saya memutuskan dan

bilang ke ayah saya bahwa saya tak mau sekolah minggu lagi. Saya pun bertumbuh dengan kondisi keluarga yang tak lengkap dan makin lama saya makin menjauh dari Tuhan, begitu pula kakak-kakak saya. Hubungan kami bersaudara tidaklah rukun, hampir setiap hari pasti terjadi pertengkaran di antara kami. Dari kelas 1 SMA sampai lulus SMA saya tak pernah pergi ke gereja dan hidup saya kacau. Mungkin beberapa dari Anda pernah mengalaminya juga dan setuju bahwa, lingkungan keluarga amatlah membentuk kepribadian seseorang.

Masa-masa Sebagai Mahasiswa:

Diterima sebagai mahasiswa ITB merupakan salah satu titik balik saya. Saya yang nakal dan hidupnya jauh dari Tuhan di ITB ini saya mengenal Kristus dan mengalami lahir baru. Di PMK saya banyak dibimbing dan bertumbuh sebagai orang Kristen. Bertumbuhnya saya tetap menyisakan banyak pertanyaan salah satunya adalah “Tuhan, keluarga itu apa sih secara Kristen? Aku gak tahu dan gak pernah mengalaminya”.

Awal tahun saya di ITB, Tuhan langsung memberi saya 3 orang saudara PA yang berkomitmen untuk saling menolong layaknya saudara, selalu available, dan setia dalam mengasihi. Selama 3 tahun kami berempat bermain, curhat dan banyak melakukan aktivitas bersama. Saya pun lebih banyak cerita kepada saudara PA saya dibandingkan saudara kandung saya. Pada tahun 2011 dua saudara PA saya berangkat keluar negeri untuk menjalani beasiswa di Jepang dan Australia.

Pertemuan dengan Diakonia:

Saat saya merasa akan mengalami kesepian dan kekosongan dalam keluarga PA, Bang Theo Amudi menawarkan saya melay-ani di Diakonia. Sebuah divisi yang saya sendiri baru dengar dari Bang Theo. Motivasi awal saya melayani divisi ini adalah untuk membantu adik-adik kelas yang tak berkecukupan dalam hal ekonomi. Sesederhana itu saja motivasi saya dalam melayani di Diakonia. Saat saya diserahi tugas sebagai ketua Diakonia tujuan awal saya adalah menghidupkan divisi ini kembali. Pada tahun 2010/2011 divisi ini mengalami “mati suri”.

Saya sendiri kurang tahu jelas mengapa hal ini bisa terjadi. Untuk menghidupkan divisi ini saya dan Bang Theo pun merekrut beberapa anggota 2008 dan 2009. Usaha untuk menghidupkan divisi menurut saya amatlah sulit apalagi keadaannya saya bukan anggota Diakonia dan tak tahu apa-apa tentang divisi ini. Saya pun mulai banyak bertanya kepada para senior dan mengumpul-kan data-data yang ada. Terima kasih kepada senior-senior seperti Bang Pudji, Destry dan Kak Kartini banyak membantu saya dalam melakukan hal ini.

Satu semester berlalu sejak saya memimpin Diakonia. Divisi ini Puji Tuhan sudah hidup kembali kami sudah mewawancara lebih dari 40 orang lalu, memilihnya menjadi 8 orang sesuai urgen-sinya untuk menjadi anak penerima bantuan dan berhasil menambah alumni sebagai penderma.

Kekeluargaan yang terhilang:

Di akhir semester pertama saya memimpin saya pun menyadari hal yang amat penting. Divisi ini memang sudah berfungsi kembali namun anggotanya tak dekat satu sama lain. Menurut saya hal ini adalah hal yang berbahaya karena di Diakonia kedekatan dan kepercayaan antar anggota merupakan hal yang penting bagi divisi ini.

Apalagi di divisi ini hal yang kita bicarakan lebih banyak menyangkut hidup orang lain dan uang. Dua hal yang amat penting dan sensitif. Tapi bagaimana mungkin saya membuat divisi ini dekat bagaikan keluarga? Keluarga saya saja tak dekat satu sama lain? Saya benar-benar bingung dan selama 2 minggu. Saya terus berpikir dan berdoa kepada Tuhan bagaimana caranya.

Di saat itu sayapun berpikir bahwa ”Bagaimana mungkin mereka dekat satu sama lain kalau saya saja tidak dekat kepada mereka?” Ditambah lagi saya bukanlah orang yang berasal dari keluarga yang harmonis sehingga sulit bagi saya untuk menjalin kedeka-tan dengan orang lain. Saya pun mulai mengajak mereka bertemu satu per satu mengajak para anggota Diakonia yang beranggota 11 orang untuk berbagi hidup. Di saat itu saya berpikir “yang penting berusaha daripada banyak berpikir namun tak ada keputusan? Itu akan lebih buruk”.

Saya pun mencoba bercerita satu sama lain dengan para anggota secara empat mata dan saya mulai mengenal mereka satu per satu. Sebelum saya bertemu mereka di dalam hati saya selalu berdoa supaya Tuhan yang bimbing dan arahkan saya untuk melakukan pendekatan ke tiap-tiap anggota.

Di awal pembicaraan saya selalu pertama yang bertanya tentang kepribadian, masalah, visi hidup, dan lebih banyak mendengar-kan. Pendekatan kepada anggota Diakonia satu per satu saya lakukan. Di saat teman-teman seangkatan saya 2008 yang tingkat 3 sibuk menger-jakan tugas dan mengejar berbagai lomba saya sibuk melakukan pendekatan ke anggota divisi. Sebuah hal yang tak lazim dilakukan anak tingkat 3. Hal ini amatlah menyita waktu tapi Tuhan yang mampukan saya melakukan hal ini dan saya senang menjalaninya.

Titik Balik dari Kekeluargaan:

Selama 2 bulan saya melakukan pendekatan personal dan mulai membawanya kepada rapat Diakonia. Secara perlahan-lahan anggota Diakonia pun menjadi dekat satu sama lain dan kami pun mulai membuat jarkom doa dimana kami akan didoakan dan mendoakan orang lain. Hal ini mendorong anggota untuk bercerita satu sama lain. Dari titik inilah saya amat menyadari bahwa Tuhan itu amatlah baik!

Mungkin saya bercerita kepada Anda tentang bagaimana saya meluangkan banyak waktu untuk melakukan pendekatan kepada para anggota namun yang Tuhan berikan amatlah indah. Dalam dua bulan, beberapa dari kami mulai berani membagikan hidup kepada sesama anggota. Dua bulan merupakan waktu yang singkat untuk merubah perilaku orang atau lingkungan. Di sini kami pun menjadi keluarga dalam pelayanan ini. Kami tertawa, menangis, susah, dan senang bersama dalam divisi ini. Jumlah anggota yang sedikit dan divisi yang rahasia atau tak ter-ekspos orang-orang membuat kami makin dekat satu sama lain.

Segala usaha yang saya lakukan amatlah tak sebanding dengan yang Tuhan berikan kepada saya sekarang. Saya juga berterima kasih atas kepercayaan dan keterbukaan para anggota yang mendorong anggota lain untuk semakin terbuka juga. Di divisi ini

saya banyak dibangun, dikuatkan, dan yang terpenting saya mengerti bahwa Tuhan mengizinkan saya memiliki keluarga yang bernama Diakonia.

Terima Kasih Semuanya:

Saya amat bersyukur atas anugerah Tuhan yang mempercayakan kepemimpinan divisi ini kepada saya. Di akhir masa saya sebagai mahasiswa ini saya banyak menerima banyak kasih sayang, perhatian dan semangat dari divisi ini. Bersyukur juga kepada semua anggota Diakonia yang sudah setia dan melayani bersama selama satu tahun ini.

Diakonia adalah bentuk kegiatan organisasi terkakhir saya selama di kampus ITB dan ini adalah kepanitaan terindah yang pernah saya alami di ITB. Terima kasih untuk setiap kerja keras, waktu, doa, dan semangat kalian selama satu tahun ini. Saya meminta maaf atas segala kesalahan saya dan ketidaksempur-naan saya dalam memimpin. Kalianlah anugerah bagi kehidu-panku. Jika melihat hidup saya dari awal hingga sekarang saya percaya bahwa Tuhan itu baik dan Ia memiliki rencana yang indah bagi saya dan Anda sekalian. Saya berharap kehangatan kekeluargaan ini tak hanya dialami para anggota Diakonia tapi juga dapat dirasakan oleh adik-adik yang kita bantu dan kakak-kakak alumni sebagai donatur Diako-nia. Semoga kita semua baik itu anggota divisi, anak penerima dan kakak alumni bisa menjalin hubungan layaknya keluarga karena kita semua adalah bagian dari pelayanan ini. Sehingga dari Diakonia bisa tercipta suatu siklus di mana mungkin yang dulunya penerima atau anggota divisi kelak bisa menjadi donatur yang akan membantu lebih banyak adik-adik yang membutuhkan bantuan ekonomi. Semoga jalinan kekeluargaan kita bisa terus terjalin dengan berlandaskan kasih. Seperti kutipan ayat Ibrani 2:11 bahwa kita semua bersaudara dan satu dalam Kristus. Semua bagi kemuliaan-Nya! (ars)

Tulisan ini saya persembahkan kepada:Eca, Agast, Yunika, Laura, Wetha, Oki, Linda, Mega, Listra, dan Ghina.

Kalianlah inspirasiku menulis kesaksian ini. Semangaaaaattt!!!!!

19

Page 21: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Syalom semua, salam kenal.

Tahun ini merupakan kali kedua aku melayani di Diakonia. Aku diajak bergabung di Diakonia 2 tahun lalu, setelah itu aku vakum setahun, kemudian diajak bergabung lagi tahun lalu oleh Arnold.

So, let me start from two years ago. Dua tahun lalu, pertama kali direkrut oleh Bang Destry, aku sama sekali gak tau, gak kenal, dan gak ngerti apa itu Diakonia. Setelah bergabung, aku pun hanya jadi anggota pasif yang cuma ikut satu kali pertemuan. Itu pengalaman jadi diaken di tahun pertama.

Setelah di 2010 aku vakum kegiatan Diakonia, aku bergabung lagi di tahun 2011. Selama 5 bulan pertama, aku hanya menjadi anggota pasif, karena ada beberapa kegiatan yang padat dan mendesak.

Di Diakonia, aku belajar banyak hal tentang memperhatikan jemaat PMK yang menghadapi kesulitan keuangan. Aku kaget, banyak orang yang kukenal ternyata juga mendaftar menjadi penerima bantuan hidup Diakonia. Orang yang kukenal dekat, ternyata mempunyai masalah keuangan yang gak aku sadari. Ini menegurku dengan keras, betapa aku tidak peduli terhadap lingkungan terdekatku, betapa aku terlalu asik dengan kehidupan perkuliahan. Kadang kita terlalu “asik” sama perkuliahan, himpu-nan, unit dan gak sadar ada orang-orang yang sangat dekat dengan kita sedang dalam masalah.

Tuhan bener-bener menegurku yang telalu cuek dengan lingkun-gan sekitarku. Bahkan Tuhan menempatkanku di Diakonia di masa-masa paling sibuk (read: tingkat 4). Di sini aku dibentuk Tuhan, diajar cara memberi perhatian kepada sekitarku di tengah kesibukan tugas akhirku.

Satu ayat yang kuinget dari Matius 25:40, yang berbunyi demikian:

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah

seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melaku-kannya untuk Aku“.

Pelayanan seperti itulah yang Tuhan harapkan ada di Diakonia.

Dulu aku mengharap orang-orang melihat setiap perbuatan baik yang kukerjakan, tapi lagi-lagi di sini Tuhan mengajariku hal lain. Diakonia adalah suatu divisi yang tidak diketahui orang, benar-benar suatu tempat untuk menguji ketulusan pelayananku. Aku sungguh banyak belajar akan hal ini. Tuhan mempersiapkanku untuk menghadapi hidup di dunia luar sana tepat sebelum aku melangkahkan kakiku keluar dari ITB.

Selain itu, di Diakonia, aku merasa punya sebuah keluarga rohani baru. Mulai dari jarkom doa sampai KTB bikin aku lebih merasa memiliki Diakonia itu sendiri. Jarkom doa adalah hal utama yang membentuk kekeluargaan ini. Jarkom doa ini membuat aku merasa ada seorang sahabat yang terus mendoakanku dan segala pergumulanku, ada seseorang yang sangat perhatian sama aku dan mau meluangkan waktunya untuk mendoakanku. Inilah family in Christ yang sangat terasa di Diakonia.

Di Diakonia, hati untuk melayani Tuhanku diuji keras. Di sini, ketika aku melayani, justru aku yang merasa amat sangat terber-kati Tuhan. Semoga itu juga yang dirasakan semua diakonia dan semua donatur yang terus mendukung Diakonia. Semangat selalu keluarga Diakoniaku. (ran)

Let God be glorified by what we do.

“Harta yang paling berharga adalah keluarga...”Itulah penggalan lirik lagu pembuka sinetron “Keluarga Cemara” sebuah Sinetron yang terkenal pada tahun 1990-an. Keluarga adalah lingkungan pertama di mana Anda dan saya hidup serta berinteraksi dengan individu lainnya. Di dalam keluarga kita semua bertumbuh, belajar dan mengalami keterikatan emosional. Keluarga merupakan lingkungan pertama kita dibentuk.

Fase Awal Kehidupanku:

Saya sendiri termasuk orang yang beruntung. Saya dilahirkan di keluarga yang tidak sepenuhnya Kristen. Ayah saya memeluk agama Budha dan Ibu saya memeluk agama Kristen. Saya beruntung bisa tahu tentang Tuhan Yesus dari sekolah minggu. Ibu sayalah yang mengajarkan anak-anaknya berdoa tiap pagi kepada Tuhan dan sebelum tidur. Pada umur 5 tahun saat saya masuk TK kecil, Ayah dan Ibu saya bercerai. Sempat saya bertanya, berdoa dan menangis kepada Tuhan. “Tuhan kenapa kau izinkan ini terjadi?” Itulah pertanyaan saya yang berumur 5 tahun. Sejak umur 5 tahun saya bertumbuh tanpa peran seorang Ibu. Saya dan kakak-kakak tinggal bersama Ayah saya. Sejak umur 5 tahunlah saya mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Ayah saya adalah orang yang amat demokratis, walaupun ia beragama Budha namun setiap Minggu Ayah saya mengantarkan kami ke gereja atau sekolah minggu. Selama saya bersekolah minggu hingga kelas 4 SD saya terus bertanya kepada Tuhan “Tuhan mau-Mu apa sih? Kenapa Tuhan biarkan Ayah dan Ibu saya bercerai?” Hingga pada kelas 5 SD saya memutuskan dan

bilang ke ayah saya bahwa saya tak mau sekolah minggu lagi. Saya pun bertumbuh dengan kondisi keluarga yang tak lengkap dan makin lama saya makin menjauh dari Tuhan, begitu pula kakak-kakak saya. Hubungan kami bersaudara tidaklah rukun, hampir setiap hari pasti terjadi pertengkaran di antara kami. Dari kelas 1 SMA sampai lulus SMA saya tak pernah pergi ke gereja dan hidup saya kacau. Mungkin beberapa dari Anda pernah mengalaminya juga dan setuju bahwa, lingkungan keluarga amatlah membentuk kepribadian seseorang.

Masa-masa Sebagai Mahasiswa:

Diterima sebagai mahasiswa ITB merupakan salah satu titik balik saya. Saya yang nakal dan hidupnya jauh dari Tuhan di ITB ini saya mengenal Kristus dan mengalami lahir baru. Di PMK saya banyak dibimbing dan bertumbuh sebagai orang Kristen. Bertumbuhnya saya tetap menyisakan banyak pertanyaan salah satunya adalah “Tuhan, keluarga itu apa sih secara Kristen? Aku gak tahu dan gak pernah mengalaminya”.

Awal tahun saya di ITB, Tuhan langsung memberi saya 3 orang saudara PA yang berkomitmen untuk saling menolong layaknya saudara, selalu available, dan setia dalam mengasihi. Selama 3 tahun kami berempat bermain, curhat dan banyak melakukan aktivitas bersama. Saya pun lebih banyak cerita kepada saudara PA saya dibandingkan saudara kandung saya. Pada tahun 2011 dua saudara PA saya berangkat keluar negeri untuk menjalani beasiswa di Jepang dan Australia.

Pertemuan dengan Diakonia:

Saat saya merasa akan mengalami kesepian dan kekosongan dalam keluarga PA, Bang Theo Amudi menawarkan saya melay-ani di Diakonia. Sebuah divisi yang saya sendiri baru dengar dari Bang Theo. Motivasi awal saya melayani divisi ini adalah untuk membantu adik-adik kelas yang tak berkecukupan dalam hal ekonomi. Sesederhana itu saja motivasi saya dalam melayani di Diakonia. Saat saya diserahi tugas sebagai ketua Diakonia tujuan awal saya adalah menghidupkan divisi ini kembali. Pada tahun 2010/2011 divisi ini mengalami “mati suri”.

Saya sendiri kurang tahu jelas mengapa hal ini bisa terjadi. Untuk menghidupkan divisi ini saya dan Bang Theo pun merekrut beberapa anggota 2008 dan 2009. Usaha untuk menghidupkan divisi menurut saya amatlah sulit apalagi keadaannya saya bukan anggota Diakonia dan tak tahu apa-apa tentang divisi ini. Saya pun mulai banyak bertanya kepada para senior dan mengumpul-kan data-data yang ada. Terima kasih kepada senior-senior seperti Bang Pudji, Destry dan Kak Kartini banyak membantu saya dalam melakukan hal ini.

Satu semester berlalu sejak saya memimpin Diakonia. Divisi ini Puji Tuhan sudah hidup kembali kami sudah mewawancara lebih dari 40 orang lalu, memilihnya menjadi 8 orang sesuai urgen-sinya untuk menjadi anak penerima bantuan dan berhasil menambah alumni sebagai penderma.

Kekeluargaan yang terhilang:

Di akhir semester pertama saya memimpin saya pun menyadari hal yang amat penting. Divisi ini memang sudah berfungsi kembali namun anggotanya tak dekat satu sama lain. Menurut saya hal ini adalah hal yang berbahaya karena di Diakonia kedekatan dan kepercayaan antar anggota merupakan hal yang penting bagi divisi ini.

Apalagi di divisi ini hal yang kita bicarakan lebih banyak menyangkut hidup orang lain dan uang. Dua hal yang amat penting dan sensitif. Tapi bagaimana mungkin saya membuat divisi ini dekat bagaikan keluarga? Keluarga saya saja tak dekat satu sama lain? Saya benar-benar bingung dan selama 2 minggu. Saya terus berpikir dan berdoa kepada Tuhan bagaimana caranya.

Di saat itu sayapun berpikir bahwa ”Bagaimana mungkin mereka dekat satu sama lain kalau saya saja tidak dekat kepada mereka?” Ditambah lagi saya bukanlah orang yang berasal dari keluarga yang harmonis sehingga sulit bagi saya untuk menjalin kedeka-tan dengan orang lain. Saya pun mulai mengajak mereka bertemu satu per satu mengajak para anggota Diakonia yang beranggota 11 orang untuk berbagi hidup. Di saat itu saya berpikir “yang penting berusaha daripada banyak berpikir namun tak ada keputusan? Itu akan lebih buruk”.

Saya pun mencoba bercerita satu sama lain dengan para anggota secara empat mata dan saya mulai mengenal mereka satu per satu. Sebelum saya bertemu mereka di dalam hati saya selalu berdoa supaya Tuhan yang bimbing dan arahkan saya untuk melakukan pendekatan ke tiap-tiap anggota.

Di awal pembicaraan saya selalu pertama yang bertanya tentang kepribadian, masalah, visi hidup, dan lebih banyak mendengar-kan. Pendekatan kepada anggota Diakonia satu per satu saya lakukan. Di saat teman-teman seangkatan saya 2008 yang tingkat 3 sibuk menger-jakan tugas dan mengejar berbagai lomba saya sibuk melakukan pendekatan ke anggota divisi. Sebuah hal yang tak lazim dilakukan anak tingkat 3. Hal ini amatlah menyita waktu tapi Tuhan yang mampukan saya melakukan hal ini dan saya senang menjalaninya.

Titik Balik dari Kekeluargaan:

Selama 2 bulan saya melakukan pendekatan personal dan mulai membawanya kepada rapat Diakonia. Secara perlahan-lahan anggota Diakonia pun menjadi dekat satu sama lain dan kami pun mulai membuat jarkom doa dimana kami akan didoakan dan mendoakan orang lain. Hal ini mendorong anggota untuk bercerita satu sama lain. Dari titik inilah saya amat menyadari bahwa Tuhan itu amatlah baik!

Mungkin saya bercerita kepada Anda tentang bagaimana saya meluangkan banyak waktu untuk melakukan pendekatan kepada para anggota namun yang Tuhan berikan amatlah indah. Dalam dua bulan, beberapa dari kami mulai berani membagikan hidup kepada sesama anggota. Dua bulan merupakan waktu yang singkat untuk merubah perilaku orang atau lingkungan. Di sini kami pun menjadi keluarga dalam pelayanan ini. Kami tertawa, menangis, susah, dan senang bersama dalam divisi ini. Jumlah anggota yang sedikit dan divisi yang rahasia atau tak ter-ekspos orang-orang membuat kami makin dekat satu sama lain.

Segala usaha yang saya lakukan amatlah tak sebanding dengan yang Tuhan berikan kepada saya sekarang. Saya juga berterima kasih atas kepercayaan dan keterbukaan para anggota yang mendorong anggota lain untuk semakin terbuka juga. Di divisi ini

saya banyak dibangun, dikuatkan, dan yang terpenting saya mengerti bahwa Tuhan mengizinkan saya memiliki keluarga yang bernama Diakonia.

Terima Kasih Semuanya:

Saya amat bersyukur atas anugerah Tuhan yang mempercayakan kepemimpinan divisi ini kepada saya. Di akhir masa saya sebagai mahasiswa ini saya banyak menerima banyak kasih sayang, perhatian dan semangat dari divisi ini. Bersyukur juga kepada semua anggota Diakonia yang sudah setia dan melayani bersama selama satu tahun ini.

Diakonia adalah bentuk kegiatan organisasi terkakhir saya selama di kampus ITB dan ini adalah kepanitaan terindah yang pernah saya alami di ITB. Terima kasih untuk setiap kerja keras, waktu, doa, dan semangat kalian selama satu tahun ini. Saya meminta maaf atas segala kesalahan saya dan ketidaksempur-naan saya dalam memimpin. Kalianlah anugerah bagi kehidu-panku. Jika melihat hidup saya dari awal hingga sekarang saya percaya bahwa Tuhan itu baik dan Ia memiliki rencana yang indah bagi saya dan Anda sekalian. Saya berharap kehangatan kekeluargaan ini tak hanya dialami para anggota Diakonia tapi juga dapat dirasakan oleh adik-adik yang kita bantu dan kakak-kakak alumni sebagai donatur Diako-nia. Semoga kita semua baik itu anggota divisi, anak penerima dan kakak alumni bisa menjalin hubungan layaknya keluarga karena kita semua adalah bagian dari pelayanan ini. Sehingga dari Diakonia bisa tercipta suatu siklus di mana mungkin yang dulunya penerima atau anggota divisi kelak bisa menjadi donatur yang akan membantu lebih banyak adik-adik yang membutuhkan bantuan ekonomi. Semoga jalinan kekeluargaan kita bisa terus terjalin dengan berlandaskan kasih. Seperti kutipan ayat Ibrani 2:11 bahwa kita semua bersaudara dan satu dalam Kristus. Semua bagi kemuliaan-Nya! (ars)

Tulisan ini saya persembahkan kepada:Eca, Agast, Yunika, Laura, Wetha, Oki, Linda, Mega, Listra, dan Ghina.

Kalianlah inspirasiku menulis kesaksian ini. Semangaaaaattt!!!!!

”Bagaimana mungkin mereka dekat satu sama lain? kalau saya saja tidak dekat kepada mereka?”

20

Page 22: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

“Harta yang paling berharga adalah keluarga...”Itulah penggalan lirik lagu pembuka sinetron “Keluarga Cemara” sebuah Sinetron yang terkenal pada tahun 1990-an. Keluarga adalah lingkungan pertama di mana Anda dan saya hidup serta berinteraksi dengan individu lainnya. Di dalam keluarga kita semua bertumbuh, belajar dan mengalami keterikatan emosional. Keluarga merupakan lingkungan pertama kita dibentuk.

Fase Awal Kehidupanku:

Saya sendiri termasuk orang yang beruntung. Saya dilahirkan di keluarga yang tidak sepenuhnya Kristen. Ayah saya memeluk agama Budha dan Ibu saya memeluk agama Kristen. Saya beruntung bisa tahu tentang Tuhan Yesus dari sekolah minggu. Ibu sayalah yang mengajarkan anak-anaknya berdoa tiap pagi kepada Tuhan dan sebelum tidur. Pada umur 5 tahun saat saya masuk TK kecil, Ayah dan Ibu saya bercerai. Sempat saya bertanya, berdoa dan menangis kepada Tuhan. “Tuhan kenapa kau izinkan ini terjadi?” Itulah pertanyaan saya yang berumur 5 tahun. Sejak umur 5 tahun saya bertumbuh tanpa peran seorang Ibu. Saya dan kakak-kakak tinggal bersama Ayah saya. Sejak umur 5 tahunlah saya mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Ayah saya adalah orang yang amat demokratis, walaupun ia beragama Budha namun setiap Minggu Ayah saya mengantarkan kami ke gereja atau sekolah minggu. Selama saya bersekolah minggu hingga kelas 4 SD saya terus bertanya kepada Tuhan “Tuhan mau-Mu apa sih? Kenapa Tuhan biarkan Ayah dan Ibu saya bercerai?” Hingga pada kelas 5 SD saya memutuskan dan

bilang ke ayah saya bahwa saya tak mau sekolah minggu lagi. Saya pun bertumbuh dengan kondisi keluarga yang tak lengkap dan makin lama saya makin menjauh dari Tuhan, begitu pula kakak-kakak saya. Hubungan kami bersaudara tidaklah rukun, hampir setiap hari pasti terjadi pertengkaran di antara kami. Dari kelas 1 SMA sampai lulus SMA saya tak pernah pergi ke gereja dan hidup saya kacau. Mungkin beberapa dari Anda pernah mengalaminya juga dan setuju bahwa, lingkungan keluarga amatlah membentuk kepribadian seseorang.

Masa-masa Sebagai Mahasiswa:

Diterima sebagai mahasiswa ITB merupakan salah satu titik balik saya. Saya yang nakal dan hidupnya jauh dari Tuhan di ITB ini saya mengenal Kristus dan mengalami lahir baru. Di PMK saya banyak dibimbing dan bertumbuh sebagai orang Kristen. Bertumbuhnya saya tetap menyisakan banyak pertanyaan salah satunya adalah “Tuhan, keluarga itu apa sih secara Kristen? Aku gak tahu dan gak pernah mengalaminya”.

Awal tahun saya di ITB, Tuhan langsung memberi saya 3 orang saudara PA yang berkomitmen untuk saling menolong layaknya saudara, selalu available, dan setia dalam mengasihi. Selama 3 tahun kami berempat bermain, curhat dan banyak melakukan aktivitas bersama. Saya pun lebih banyak cerita kepada saudara PA saya dibandingkan saudara kandung saya. Pada tahun 2011 dua saudara PA saya berangkat keluar negeri untuk menjalani beasiswa di Jepang dan Australia.

Pertemuan dengan Diakonia:

Saat saya merasa akan mengalami kesepian dan kekosongan dalam keluarga PA, Bang Theo Amudi menawarkan saya melay-ani di Diakonia. Sebuah divisi yang saya sendiri baru dengar dari Bang Theo. Motivasi awal saya melayani divisi ini adalah untuk membantu adik-adik kelas yang tak berkecukupan dalam hal ekonomi. Sesederhana itu saja motivasi saya dalam melayani di Diakonia. Saat saya diserahi tugas sebagai ketua Diakonia tujuan awal saya adalah menghidupkan divisi ini kembali. Pada tahun 2010/2011 divisi ini mengalami “mati suri”.

Saya sendiri kurang tahu jelas mengapa hal ini bisa terjadi. Untuk menghidupkan divisi ini saya dan Bang Theo pun merekrut beberapa anggota 2008 dan 2009. Usaha untuk menghidupkan divisi menurut saya amatlah sulit apalagi keadaannya saya bukan anggota Diakonia dan tak tahu apa-apa tentang divisi ini. Saya pun mulai banyak bertanya kepada para senior dan mengumpul-kan data-data yang ada. Terima kasih kepada senior-senior seperti Bang Pudji, Destry dan Kak Kartini banyak membantu saya dalam melakukan hal ini.

Satu semester berlalu sejak saya memimpin Diakonia. Divisi ini Puji Tuhan sudah hidup kembali kami sudah mewawancara lebih dari 40 orang lalu, memilihnya menjadi 8 orang sesuai urgen-sinya untuk menjadi anak penerima bantuan dan berhasil menambah alumni sebagai penderma.

Kekeluargaan yang terhilang:

Di akhir semester pertama saya memimpin saya pun menyadari hal yang amat penting. Divisi ini memang sudah berfungsi kembali namun anggotanya tak dekat satu sama lain. Menurut saya hal ini adalah hal yang berbahaya karena di Diakonia kedekatan dan kepercayaan antar anggota merupakan hal yang penting bagi divisi ini.

Apalagi di divisi ini hal yang kita bicarakan lebih banyak menyangkut hidup orang lain dan uang. Dua hal yang amat penting dan sensitif. Tapi bagaimana mungkin saya membuat divisi ini dekat bagaikan keluarga? Keluarga saya saja tak dekat satu sama lain? Saya benar-benar bingung dan selama 2 minggu. Saya terus berpikir dan berdoa kepada Tuhan bagaimana caranya.

Di saat itu sayapun berpikir bahwa ”Bagaimana mungkin mereka dekat satu sama lain kalau saya saja tidak dekat kepada mereka?” Ditambah lagi saya bukanlah orang yang berasal dari keluarga yang harmonis sehingga sulit bagi saya untuk menjalin kedeka-tan dengan orang lain. Saya pun mulai mengajak mereka bertemu satu per satu mengajak para anggota Diakonia yang beranggota 11 orang untuk berbagi hidup. Di saat itu saya berpikir “yang penting berusaha daripada banyak berpikir namun tak ada keputusan? Itu akan lebih buruk”.

Saya pun mencoba bercerita satu sama lain dengan para anggota secara empat mata dan saya mulai mengenal mereka satu per satu. Sebelum saya bertemu mereka di dalam hati saya selalu berdoa supaya Tuhan yang bimbing dan arahkan saya untuk melakukan pendekatan ke tiap-tiap anggota.

Di awal pembicaraan saya selalu pertama yang bertanya tentang kepribadian, masalah, visi hidup, dan lebih banyak mendengar-kan. Pendekatan kepada anggota Diakonia satu per satu saya lakukan. Di saat teman-teman seangkatan saya 2008 yang tingkat 3 sibuk menger-jakan tugas dan mengejar berbagai lomba saya sibuk melakukan pendekatan ke anggota divisi. Sebuah hal yang tak lazim dilakukan anak tingkat 3. Hal ini amatlah menyita waktu tapi Tuhan yang mampukan saya melakukan hal ini dan saya senang menjalaninya.

Titik Balik dari Kekeluargaan:

Selama 2 bulan saya melakukan pendekatan personal dan mulai membawanya kepada rapat Diakonia. Secara perlahan-lahan anggota Diakonia pun menjadi dekat satu sama lain dan kami pun mulai membuat jarkom doa dimana kami akan didoakan dan mendoakan orang lain. Hal ini mendorong anggota untuk bercerita satu sama lain. Dari titik inilah saya amat menyadari bahwa Tuhan itu amatlah baik!

Mungkin saya bercerita kepada Anda tentang bagaimana saya meluangkan banyak waktu untuk melakukan pendekatan kepada para anggota namun yang Tuhan berikan amatlah indah. Dalam dua bulan, beberapa dari kami mulai berani membagikan hidup kepada sesama anggota. Dua bulan merupakan waktu yang singkat untuk merubah perilaku orang atau lingkungan. Di sini kami pun menjadi keluarga dalam pelayanan ini. Kami tertawa, menangis, susah, dan senang bersama dalam divisi ini. Jumlah anggota yang sedikit dan divisi yang rahasia atau tak ter-ekspos orang-orang membuat kami makin dekat satu sama lain.

Segala usaha yang saya lakukan amatlah tak sebanding dengan yang Tuhan berikan kepada saya sekarang. Saya juga berterima kasih atas kepercayaan dan keterbukaan para anggota yang mendorong anggota lain untuk semakin terbuka juga. Di divisi ini

saya banyak dibangun, dikuatkan, dan yang terpenting saya mengerti bahwa Tuhan mengizinkan saya memiliki keluarga yang bernama Diakonia.

Terima Kasih Semuanya:

Saya amat bersyukur atas anugerah Tuhan yang mempercayakan kepemimpinan divisi ini kepada saya. Di akhir masa saya sebagai mahasiswa ini saya banyak menerima banyak kasih sayang, perhatian dan semangat dari divisi ini. Bersyukur juga kepada semua anggota Diakonia yang sudah setia dan melayani bersama selama satu tahun ini.

Diakonia adalah bentuk kegiatan organisasi terkakhir saya selama di kampus ITB dan ini adalah kepanitaan terindah yang pernah saya alami di ITB. Terima kasih untuk setiap kerja keras, waktu, doa, dan semangat kalian selama satu tahun ini. Saya meminta maaf atas segala kesalahan saya dan ketidaksempur-naan saya dalam memimpin. Kalianlah anugerah bagi kehidu-panku. Jika melihat hidup saya dari awal hingga sekarang saya percaya bahwa Tuhan itu baik dan Ia memiliki rencana yang indah bagi saya dan Anda sekalian. Saya berharap kehangatan kekeluargaan ini tak hanya dialami para anggota Diakonia tapi juga dapat dirasakan oleh adik-adik yang kita bantu dan kakak-kakak alumni sebagai donatur Diako-nia. Semoga kita semua baik itu anggota divisi, anak penerima dan kakak alumni bisa menjalin hubungan layaknya keluarga karena kita semua adalah bagian dari pelayanan ini. Sehingga dari Diakonia bisa tercipta suatu siklus di mana mungkin yang dulunya penerima atau anggota divisi kelak bisa menjadi donatur yang akan membantu lebih banyak adik-adik yang membutuhkan bantuan ekonomi. Semoga jalinan kekeluargaan kita bisa terus terjalin dengan berlandaskan kasih. Seperti kutipan ayat Ibrani 2:11 bahwa kita semua bersaudara dan satu dalam Kristus. Semua bagi kemuliaan-Nya! (ars)

Tulisan ini saya persembahkan kepada:Eca, Agast, Yunika, Laura, Wetha, Oki, Linda, Mega, Listra, dan Ghina.

Kalianlah inspirasiku menulis kesaksian ini. Semangaaaaattt!!!!!

21 Buletin DiakonosEdisi #1

“Harta yang paling berharga adalah keluarga...”Itulah penggalan lirik lagu pembuka sinetron “Keluarga Cemara” sebuah Sinetron yang terkenal pada tahun 1990-an. Keluarga adalah lingkungan pertama di mana Anda dan saya hidup serta berinteraksi dengan individu lainnya. Di dalam keluarga kita semua bertumbuh, belajar dan mengalami keterikatan emosional. Keluarga merupakan lingkungan pertama kita dibentuk.

Fase Awal Kehidupanku:

Saya sendiri termasuk orang yang beruntung. Saya dilahirkan di keluarga yang tidak sepenuhnya Kristen. Ayah saya memeluk agama Budha dan Ibu saya memeluk agama Kristen. Saya beruntung bisa tahu tentang Tuhan Yesus dari sekolah minggu. Ibu sayalah yang mengajarkan anak-anaknya berdoa tiap pagi kepada Tuhan dan sebelum tidur. Pada umur 5 tahun saat saya masuk TK kecil, Ayah dan Ibu saya bercerai. Sempat saya bertanya, berdoa dan menangis kepada Tuhan. “Tuhan kenapa kau izinkan ini terjadi?” Itulah pertanyaan saya yang berumur 5 tahun. Sejak umur 5 tahun saya bertumbuh tanpa peran seorang Ibu. Saya dan kakak-kakak tinggal bersama Ayah saya. Sejak umur 5 tahunlah saya mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Ayah saya adalah orang yang amat demokratis, walaupun ia beragama Budha namun setiap Minggu Ayah saya mengantarkan kami ke gereja atau sekolah minggu. Selama saya bersekolah minggu hingga kelas 4 SD saya terus bertanya kepada Tuhan “Tuhan mau-Mu apa sih? Kenapa Tuhan biarkan Ayah dan Ibu saya bercerai?” Hingga pada kelas 5 SD saya memutuskan dan

bilang ke ayah saya bahwa saya tak mau sekolah minggu lagi. Saya pun bertumbuh dengan kondisi keluarga yang tak lengkap dan makin lama saya makin menjauh dari Tuhan, begitu pula kakak-kakak saya. Hubungan kami bersaudara tidaklah rukun, hampir setiap hari pasti terjadi pertengkaran di antara kami. Dari kelas 1 SMA sampai lulus SMA saya tak pernah pergi ke gereja dan hidup saya kacau. Mungkin beberapa dari Anda pernah mengalaminya juga dan setuju bahwa, lingkungan keluarga amatlah membentuk kepribadian seseorang.

Masa-masa Sebagai Mahasiswa:

Diterima sebagai mahasiswa ITB merupakan salah satu titik balik saya. Saya yang nakal dan hidupnya jauh dari Tuhan di ITB ini saya mengenal Kristus dan mengalami lahir baru. Di PMK saya banyak dibimbing dan bertumbuh sebagai orang Kristen. Bertumbuhnya saya tetap menyisakan banyak pertanyaan salah satunya adalah “Tuhan, keluarga itu apa sih secara Kristen? Aku gak tahu dan gak pernah mengalaminya”.

Awal tahun saya di ITB, Tuhan langsung memberi saya 3 orang saudara PA yang berkomitmen untuk saling menolong layaknya saudara, selalu available, dan setia dalam mengasihi. Selama 3 tahun kami berempat bermain, curhat dan banyak melakukan aktivitas bersama. Saya pun lebih banyak cerita kepada saudara PA saya dibandingkan saudara kandung saya. Pada tahun 2011 dua saudara PA saya berangkat keluar negeri untuk menjalani beasiswa di Jepang dan Australia.

Pertemuan dengan Diakonia:

Saat saya merasa akan mengalami kesepian dan kekosongan dalam keluarga PA, Bang Theo Amudi menawarkan saya melay-ani di Diakonia. Sebuah divisi yang saya sendiri baru dengar dari Bang Theo. Motivasi awal saya melayani divisi ini adalah untuk membantu adik-adik kelas yang tak berkecukupan dalam hal ekonomi. Sesederhana itu saja motivasi saya dalam melayani di Diakonia. Saat saya diserahi tugas sebagai ketua Diakonia tujuan awal saya adalah menghidupkan divisi ini kembali. Pada tahun 2010/2011 divisi ini mengalami “mati suri”.

Saya sendiri kurang tahu jelas mengapa hal ini bisa terjadi. Untuk menghidupkan divisi ini saya dan Bang Theo pun merekrut beberapa anggota 2008 dan 2009. Usaha untuk menghidupkan divisi menurut saya amatlah sulit apalagi keadaannya saya bukan anggota Diakonia dan tak tahu apa-apa tentang divisi ini. Saya pun mulai banyak bertanya kepada para senior dan mengumpul-kan data-data yang ada. Terima kasih kepada senior-senior seperti Bang Pudji, Destry dan Kak Kartini banyak membantu saya dalam melakukan hal ini.

Satu semester berlalu sejak saya memimpin Diakonia. Divisi ini Puji Tuhan sudah hidup kembali kami sudah mewawancara lebih dari 40 orang lalu, memilihnya menjadi 8 orang sesuai urgen-sinya untuk menjadi anak penerima bantuan dan berhasil menambah alumni sebagai penderma.

Kekeluargaan yang terhilang:

Di akhir semester pertama saya memimpin saya pun menyadari hal yang amat penting. Divisi ini memang sudah berfungsi kembali namun anggotanya tak dekat satu sama lain. Menurut saya hal ini adalah hal yang berbahaya karena di Diakonia kedekatan dan kepercayaan antar anggota merupakan hal yang penting bagi divisi ini.

Apalagi di divisi ini hal yang kita bicarakan lebih banyak menyangkut hidup orang lain dan uang. Dua hal yang amat penting dan sensitif. Tapi bagaimana mungkin saya membuat divisi ini dekat bagaikan keluarga? Keluarga saya saja tak dekat satu sama lain? Saya benar-benar bingung dan selama 2 minggu. Saya terus berpikir dan berdoa kepada Tuhan bagaimana caranya.

Di saat itu sayapun berpikir bahwa ”Bagaimana mungkin mereka dekat satu sama lain kalau saya saja tidak dekat kepada mereka?” Ditambah lagi saya bukanlah orang yang berasal dari keluarga yang harmonis sehingga sulit bagi saya untuk menjalin kedeka-tan dengan orang lain. Saya pun mulai mengajak mereka bertemu satu per satu mengajak para anggota Diakonia yang beranggota 11 orang untuk berbagi hidup. Di saat itu saya berpikir “yang penting berusaha daripada banyak berpikir namun tak ada keputusan? Itu akan lebih buruk”.

Saya pun mencoba bercerita satu sama lain dengan para anggota secara empat mata dan saya mulai mengenal mereka satu per satu. Sebelum saya bertemu mereka di dalam hati saya selalu berdoa supaya Tuhan yang bimbing dan arahkan saya untuk melakukan pendekatan ke tiap-tiap anggota.

Di awal pembicaraan saya selalu pertama yang bertanya tentang kepribadian, masalah, visi hidup, dan lebih banyak mendengar-kan. Pendekatan kepada anggota Diakonia satu per satu saya lakukan. Di saat teman-teman seangkatan saya 2008 yang tingkat 3 sibuk menger-jakan tugas dan mengejar berbagai lomba saya sibuk melakukan pendekatan ke anggota divisi. Sebuah hal yang tak lazim dilakukan anak tingkat 3. Hal ini amatlah menyita waktu tapi Tuhan yang mampukan saya melakukan hal ini dan saya senang menjalaninya.

Titik Balik dari Kekeluargaan:

Selama 2 bulan saya melakukan pendekatan personal dan mulai membawanya kepada rapat Diakonia. Secara perlahan-lahan anggota Diakonia pun menjadi dekat satu sama lain dan kami pun mulai membuat jarkom doa dimana kami akan didoakan dan mendoakan orang lain. Hal ini mendorong anggota untuk bercerita satu sama lain. Dari titik inilah saya amat menyadari bahwa Tuhan itu amatlah baik!

Mungkin saya bercerita kepada Anda tentang bagaimana saya meluangkan banyak waktu untuk melakukan pendekatan kepada para anggota namun yang Tuhan berikan amatlah indah. Dalam dua bulan, beberapa dari kami mulai berani membagikan hidup kepada sesama anggota. Dua bulan merupakan waktu yang singkat untuk merubah perilaku orang atau lingkungan. Di sini kami pun menjadi keluarga dalam pelayanan ini. Kami tertawa, menangis, susah, dan senang bersama dalam divisi ini. Jumlah anggota yang sedikit dan divisi yang rahasia atau tak ter-ekspos orang-orang membuat kami makin dekat satu sama lain.

Segala usaha yang saya lakukan amatlah tak sebanding dengan yang Tuhan berikan kepada saya sekarang. Saya juga berterima kasih atas kepercayaan dan keterbukaan para anggota yang mendorong anggota lain untuk semakin terbuka juga. Di divisi ini

Update Diakonia:Perjalanan Kami M�ih Panjang

saya banyak dibangun, dikuatkan, dan yang terpenting saya mengerti bahwa Tuhan mengizinkan saya memiliki keluarga yang bernama Diakonia.

Terima Kasih Semuanya:

Saya amat bersyukur atas anugerah Tuhan yang mempercayakan kepemimpinan divisi ini kepada saya. Di akhir masa saya sebagai mahasiswa ini saya banyak menerima banyak kasih sayang, perhatian dan semangat dari divisi ini. Bersyukur juga kepada semua anggota Diakonia yang sudah setia dan melayani bersama selama satu tahun ini.

Diakonia adalah bentuk kegiatan organisasi terkakhir saya selama di kampus ITB dan ini adalah kepanitaan terindah yang pernah saya alami di ITB. Terima kasih untuk setiap kerja keras, waktu, doa, dan semangat kalian selama satu tahun ini. Saya meminta maaf atas segala kesalahan saya dan ketidaksempur-naan saya dalam memimpin. Kalianlah anugerah bagi kehidu-panku. Jika melihat hidup saya dari awal hingga sekarang saya percaya bahwa Tuhan itu baik dan Ia memiliki rencana yang indah bagi saya dan Anda sekalian. Saya berharap kehangatan kekeluargaan ini tak hanya dialami para anggota Diakonia tapi juga dapat dirasakan oleh adik-adik yang kita bantu dan kakak-kakak alumni sebagai donatur Diako-nia. Semoga kita semua baik itu anggota divisi, anak penerima dan kakak alumni bisa menjalin hubungan layaknya keluarga karena kita semua adalah bagian dari pelayanan ini. Sehingga dari Diakonia bisa tercipta suatu siklus di mana mungkin yang dulunya penerima atau anggota divisi kelak bisa menjadi donatur yang akan membantu lebih banyak adik-adik yang membutuhkan bantuan ekonomi. Semoga jalinan kekeluargaan kita bisa terus terjalin dengan berlandaskan kasih. Seperti kutipan ayat Ibrani 2:11 bahwa kita semua bersaudara dan satu dalam Kristus. Semua bagi kemuliaan-Nya! (ars)

Tulisan ini saya persembahkan kepada:Eca, Agast, Yunika, Laura, Wetha, Oki, Linda, Mega, Listra, dan Ghina.

Kalianlah inspirasiku menulis kesaksian ini. Semangaaaaattt!!!!!

Page 23: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

“Harta yang paling berharga adalah keluarga...”Itulah penggalan lirik lagu pembuka sinetron “Keluarga Cemara” sebuah Sinetron yang terkenal pada tahun 1990-an. Keluarga adalah lingkungan pertama di mana Anda dan saya hidup serta berinteraksi dengan individu lainnya. Di dalam keluarga kita semua bertumbuh, belajar dan mengalami keterikatan emosional. Keluarga merupakan lingkungan pertama kita dibentuk.

Fase Awal Kehidupanku:

Saya sendiri termasuk orang yang beruntung. Saya dilahirkan di keluarga yang tidak sepenuhnya Kristen. Ayah saya memeluk agama Budha dan Ibu saya memeluk agama Kristen. Saya beruntung bisa tahu tentang Tuhan Yesus dari sekolah minggu. Ibu sayalah yang mengajarkan anak-anaknya berdoa tiap pagi kepada Tuhan dan sebelum tidur. Pada umur 5 tahun saat saya masuk TK kecil, Ayah dan Ibu saya bercerai. Sempat saya bertanya, berdoa dan menangis kepada Tuhan. “Tuhan kenapa kau izinkan ini terjadi?” Itulah pertanyaan saya yang berumur 5 tahun. Sejak umur 5 tahun saya bertumbuh tanpa peran seorang Ibu. Saya dan kakak-kakak tinggal bersama Ayah saya. Sejak umur 5 tahunlah saya mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Ayah saya adalah orang yang amat demokratis, walaupun ia beragama Budha namun setiap Minggu Ayah saya mengantarkan kami ke gereja atau sekolah minggu. Selama saya bersekolah minggu hingga kelas 4 SD saya terus bertanya kepada Tuhan “Tuhan mau-Mu apa sih? Kenapa Tuhan biarkan Ayah dan Ibu saya bercerai?” Hingga pada kelas 5 SD saya memutuskan dan

bilang ke ayah saya bahwa saya tak mau sekolah minggu lagi. Saya pun bertumbuh dengan kondisi keluarga yang tak lengkap dan makin lama saya makin menjauh dari Tuhan, begitu pula kakak-kakak saya. Hubungan kami bersaudara tidaklah rukun, hampir setiap hari pasti terjadi pertengkaran di antara kami. Dari kelas 1 SMA sampai lulus SMA saya tak pernah pergi ke gereja dan hidup saya kacau. Mungkin beberapa dari Anda pernah mengalaminya juga dan setuju bahwa, lingkungan keluarga amatlah membentuk kepribadian seseorang.

Masa-masa Sebagai Mahasiswa:

Diterima sebagai mahasiswa ITB merupakan salah satu titik balik saya. Saya yang nakal dan hidupnya jauh dari Tuhan di ITB ini saya mengenal Kristus dan mengalami lahir baru. Di PMK saya banyak dibimbing dan bertumbuh sebagai orang Kristen. Bertumbuhnya saya tetap menyisakan banyak pertanyaan salah satunya adalah “Tuhan, keluarga itu apa sih secara Kristen? Aku gak tahu dan gak pernah mengalaminya”.

Awal tahun saya di ITB, Tuhan langsung memberi saya 3 orang saudara PA yang berkomitmen untuk saling menolong layaknya saudara, selalu available, dan setia dalam mengasihi. Selama 3 tahun kami berempat bermain, curhat dan banyak melakukan aktivitas bersama. Saya pun lebih banyak cerita kepada saudara PA saya dibandingkan saudara kandung saya. Pada tahun 2011 dua saudara PA saya berangkat keluar negeri untuk menjalani beasiswa di Jepang dan Australia.

Pertemuan dengan Diakonia:

Saat saya merasa akan mengalami kesepian dan kekosongan dalam keluarga PA, Bang Theo Amudi menawarkan saya melay-ani di Diakonia. Sebuah divisi yang saya sendiri baru dengar dari Bang Theo. Motivasi awal saya melayani divisi ini adalah untuk membantu adik-adik kelas yang tak berkecukupan dalam hal ekonomi. Sesederhana itu saja motivasi saya dalam melayani di Diakonia. Saat saya diserahi tugas sebagai ketua Diakonia tujuan awal saya adalah menghidupkan divisi ini kembali. Pada tahun 2010/2011 divisi ini mengalami “mati suri”.

Saya sendiri kurang tahu jelas mengapa hal ini bisa terjadi. Untuk menghidupkan divisi ini saya dan Bang Theo pun merekrut beberapa anggota 2008 dan 2009. Usaha untuk menghidupkan divisi menurut saya amatlah sulit apalagi keadaannya saya bukan anggota Diakonia dan tak tahu apa-apa tentang divisi ini. Saya pun mulai banyak bertanya kepada para senior dan mengumpul-kan data-data yang ada. Terima kasih kepada senior-senior seperti Bang Pudji, Destry dan Kak Kartini banyak membantu saya dalam melakukan hal ini.

Satu semester berlalu sejak saya memimpin Diakonia. Divisi ini Puji Tuhan sudah hidup kembali kami sudah mewawancara lebih dari 40 orang lalu, memilihnya menjadi 8 orang sesuai urgen-sinya untuk menjadi anak penerima bantuan dan berhasil menambah alumni sebagai penderma.

Kekeluargaan yang terhilang:

Di akhir semester pertama saya memimpin saya pun menyadari hal yang amat penting. Divisi ini memang sudah berfungsi kembali namun anggotanya tak dekat satu sama lain. Menurut saya hal ini adalah hal yang berbahaya karena di Diakonia kedekatan dan kepercayaan antar anggota merupakan hal yang penting bagi divisi ini.

Apalagi di divisi ini hal yang kita bicarakan lebih banyak menyangkut hidup orang lain dan uang. Dua hal yang amat penting dan sensitif. Tapi bagaimana mungkin saya membuat divisi ini dekat bagaikan keluarga? Keluarga saya saja tak dekat satu sama lain? Saya benar-benar bingung dan selama 2 minggu. Saya terus berpikir dan berdoa kepada Tuhan bagaimana caranya.

Di saat itu sayapun berpikir bahwa ”Bagaimana mungkin mereka dekat satu sama lain kalau saya saja tidak dekat kepada mereka?” Ditambah lagi saya bukanlah orang yang berasal dari keluarga yang harmonis sehingga sulit bagi saya untuk menjalin kedeka-tan dengan orang lain. Saya pun mulai mengajak mereka bertemu satu per satu mengajak para anggota Diakonia yang beranggota 11 orang untuk berbagi hidup. Di saat itu saya berpikir “yang penting berusaha daripada banyak berpikir namun tak ada keputusan? Itu akan lebih buruk”.

Saya pun mencoba bercerita satu sama lain dengan para anggota secara empat mata dan saya mulai mengenal mereka satu per satu. Sebelum saya bertemu mereka di dalam hati saya selalu berdoa supaya Tuhan yang bimbing dan arahkan saya untuk melakukan pendekatan ke tiap-tiap anggota.

Di awal pembicaraan saya selalu pertama yang bertanya tentang kepribadian, masalah, visi hidup, dan lebih banyak mendengar-kan. Pendekatan kepada anggota Diakonia satu per satu saya lakukan. Di saat teman-teman seangkatan saya 2008 yang tingkat 3 sibuk menger-jakan tugas dan mengejar berbagai lomba saya sibuk melakukan pendekatan ke anggota divisi. Sebuah hal yang tak lazim dilakukan anak tingkat 3. Hal ini amatlah menyita waktu tapi Tuhan yang mampukan saya melakukan hal ini dan saya senang menjalaninya.

Titik Balik dari Kekeluargaan:

Selama 2 bulan saya melakukan pendekatan personal dan mulai membawanya kepada rapat Diakonia. Secara perlahan-lahan anggota Diakonia pun menjadi dekat satu sama lain dan kami pun mulai membuat jarkom doa dimana kami akan didoakan dan mendoakan orang lain. Hal ini mendorong anggota untuk bercerita satu sama lain. Dari titik inilah saya amat menyadari bahwa Tuhan itu amatlah baik!

Mungkin saya bercerita kepada Anda tentang bagaimana saya meluangkan banyak waktu untuk melakukan pendekatan kepada para anggota namun yang Tuhan berikan amatlah indah. Dalam dua bulan, beberapa dari kami mulai berani membagikan hidup kepada sesama anggota. Dua bulan merupakan waktu yang singkat untuk merubah perilaku orang atau lingkungan. Di sini kami pun menjadi keluarga dalam pelayanan ini. Kami tertawa, menangis, susah, dan senang bersama dalam divisi ini. Jumlah anggota yang sedikit dan divisi yang rahasia atau tak ter-ekspos orang-orang membuat kami makin dekat satu sama lain.

Segala usaha yang saya lakukan amatlah tak sebanding dengan yang Tuhan berikan kepada saya sekarang. Saya juga berterima kasih atas kepercayaan dan keterbukaan para anggota yang mendorong anggota lain untuk semakin terbuka juga. Di divisi ini

saya banyak dibangun, dikuatkan, dan yang terpenting saya mengerti bahwa Tuhan mengizinkan saya memiliki keluarga yang bernama Diakonia.

Terima Kasih Semuanya:

Saya amat bersyukur atas anugerah Tuhan yang mempercayakan kepemimpinan divisi ini kepada saya. Di akhir masa saya sebagai mahasiswa ini saya banyak menerima banyak kasih sayang, perhatian dan semangat dari divisi ini. Bersyukur juga kepada semua anggota Diakonia yang sudah setia dan melayani bersama selama satu tahun ini.

Diakonia adalah bentuk kegiatan organisasi terkakhir saya selama di kampus ITB dan ini adalah kepanitaan terindah yang pernah saya alami di ITB. Terima kasih untuk setiap kerja keras, waktu, doa, dan semangat kalian selama satu tahun ini. Saya meminta maaf atas segala kesalahan saya dan ketidaksempur-naan saya dalam memimpin. Kalianlah anugerah bagi kehidu-panku. Jika melihat hidup saya dari awal hingga sekarang saya percaya bahwa Tuhan itu baik dan Ia memiliki rencana yang indah bagi saya dan Anda sekalian. Saya berharap kehangatan kekeluargaan ini tak hanya dialami para anggota Diakonia tapi juga dapat dirasakan oleh adik-adik yang kita bantu dan kakak-kakak alumni sebagai donatur Diako-nia. Semoga kita semua baik itu anggota divisi, anak penerima dan kakak alumni bisa menjalin hubungan layaknya keluarga karena kita semua adalah bagian dari pelayanan ini. Sehingga dari Diakonia bisa tercipta suatu siklus di mana mungkin yang dulunya penerima atau anggota divisi kelak bisa menjadi donatur yang akan membantu lebih banyak adik-adik yang membutuhkan bantuan ekonomi. Semoga jalinan kekeluargaan kita bisa terus terjalin dengan berlandaskan kasih. Seperti kutipan ayat Ibrani 2:11 bahwa kita semua bersaudara dan satu dalam Kristus. Semua bagi kemuliaan-Nya! (ars)

Tulisan ini saya persembahkan kepada:Eca, Agast, Yunika, Laura, Wetha, Oki, Linda, Mega, Listra, dan Ghina.

Kalianlah inspirasiku menulis kesaksian ini. Semangaaaaattt!!!!!

21 Buletin DiakonosEdisi #1

“Harta yang paling berharga adalah keluarga...”Itulah penggalan lirik lagu pembuka sinetron “Keluarga Cemara” sebuah Sinetron yang terkenal pada tahun 1990-an. Keluarga adalah lingkungan pertama di mana Anda dan saya hidup serta berinteraksi dengan individu lainnya. Di dalam keluarga kita semua bertumbuh, belajar dan mengalami keterikatan emosional. Keluarga merupakan lingkungan pertama kita dibentuk.

Fase Awal Kehidupanku:

Saya sendiri termasuk orang yang beruntung. Saya dilahirkan di keluarga yang tidak sepenuhnya Kristen. Ayah saya memeluk agama Budha dan Ibu saya memeluk agama Kristen. Saya beruntung bisa tahu tentang Tuhan Yesus dari sekolah minggu. Ibu sayalah yang mengajarkan anak-anaknya berdoa tiap pagi kepada Tuhan dan sebelum tidur. Pada umur 5 tahun saat saya masuk TK kecil, Ayah dan Ibu saya bercerai. Sempat saya bertanya, berdoa dan menangis kepada Tuhan. “Tuhan kenapa kau izinkan ini terjadi?” Itulah pertanyaan saya yang berumur 5 tahun. Sejak umur 5 tahun saya bertumbuh tanpa peran seorang Ibu. Saya dan kakak-kakak tinggal bersama Ayah saya. Sejak umur 5 tahunlah saya mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Ayah saya adalah orang yang amat demokratis, walaupun ia beragama Budha namun setiap Minggu Ayah saya mengantarkan kami ke gereja atau sekolah minggu. Selama saya bersekolah minggu hingga kelas 4 SD saya terus bertanya kepada Tuhan “Tuhan mau-Mu apa sih? Kenapa Tuhan biarkan Ayah dan Ibu saya bercerai?” Hingga pada kelas 5 SD saya memutuskan dan

bilang ke ayah saya bahwa saya tak mau sekolah minggu lagi. Saya pun bertumbuh dengan kondisi keluarga yang tak lengkap dan makin lama saya makin menjauh dari Tuhan, begitu pula kakak-kakak saya. Hubungan kami bersaudara tidaklah rukun, hampir setiap hari pasti terjadi pertengkaran di antara kami. Dari kelas 1 SMA sampai lulus SMA saya tak pernah pergi ke gereja dan hidup saya kacau. Mungkin beberapa dari Anda pernah mengalaminya juga dan setuju bahwa, lingkungan keluarga amatlah membentuk kepribadian seseorang.

Masa-masa Sebagai Mahasiswa:

Diterima sebagai mahasiswa ITB merupakan salah satu titik balik saya. Saya yang nakal dan hidupnya jauh dari Tuhan di ITB ini saya mengenal Kristus dan mengalami lahir baru. Di PMK saya banyak dibimbing dan bertumbuh sebagai orang Kristen. Bertumbuhnya saya tetap menyisakan banyak pertanyaan salah satunya adalah “Tuhan, keluarga itu apa sih secara Kristen? Aku gak tahu dan gak pernah mengalaminya”.

Awal tahun saya di ITB, Tuhan langsung memberi saya 3 orang saudara PA yang berkomitmen untuk saling menolong layaknya saudara, selalu available, dan setia dalam mengasihi. Selama 3 tahun kami berempat bermain, curhat dan banyak melakukan aktivitas bersama. Saya pun lebih banyak cerita kepada saudara PA saya dibandingkan saudara kandung saya. Pada tahun 2011 dua saudara PA saya berangkat keluar negeri untuk menjalani beasiswa di Jepang dan Australia.

Pertemuan dengan Diakonia:

Saat saya merasa akan mengalami kesepian dan kekosongan dalam keluarga PA, Bang Theo Amudi menawarkan saya melay-ani di Diakonia. Sebuah divisi yang saya sendiri baru dengar dari Bang Theo. Motivasi awal saya melayani divisi ini adalah untuk membantu adik-adik kelas yang tak berkecukupan dalam hal ekonomi. Sesederhana itu saja motivasi saya dalam melayani di Diakonia. Saat saya diserahi tugas sebagai ketua Diakonia tujuan awal saya adalah menghidupkan divisi ini kembali. Pada tahun 2010/2011 divisi ini mengalami “mati suri”.

Saya sendiri kurang tahu jelas mengapa hal ini bisa terjadi. Untuk menghidupkan divisi ini saya dan Bang Theo pun merekrut beberapa anggota 2008 dan 2009. Usaha untuk menghidupkan divisi menurut saya amatlah sulit apalagi keadaannya saya bukan anggota Diakonia dan tak tahu apa-apa tentang divisi ini. Saya pun mulai banyak bertanya kepada para senior dan mengumpul-kan data-data yang ada. Terima kasih kepada senior-senior seperti Bang Pudji, Destry dan Kak Kartini banyak membantu saya dalam melakukan hal ini.

Satu semester berlalu sejak saya memimpin Diakonia. Divisi ini Puji Tuhan sudah hidup kembali kami sudah mewawancara lebih dari 40 orang lalu, memilihnya menjadi 8 orang sesuai urgen-sinya untuk menjadi anak penerima bantuan dan berhasil menambah alumni sebagai penderma.

Kekeluargaan yang terhilang:

Di akhir semester pertama saya memimpin saya pun menyadari hal yang amat penting. Divisi ini memang sudah berfungsi kembali namun anggotanya tak dekat satu sama lain. Menurut saya hal ini adalah hal yang berbahaya karena di Diakonia kedekatan dan kepercayaan antar anggota merupakan hal yang penting bagi divisi ini.

Apalagi di divisi ini hal yang kita bicarakan lebih banyak menyangkut hidup orang lain dan uang. Dua hal yang amat penting dan sensitif. Tapi bagaimana mungkin saya membuat divisi ini dekat bagaikan keluarga? Keluarga saya saja tak dekat satu sama lain? Saya benar-benar bingung dan selama 2 minggu. Saya terus berpikir dan berdoa kepada Tuhan bagaimana caranya.

Di saat itu sayapun berpikir bahwa ”Bagaimana mungkin mereka dekat satu sama lain kalau saya saja tidak dekat kepada mereka?” Ditambah lagi saya bukanlah orang yang berasal dari keluarga yang harmonis sehingga sulit bagi saya untuk menjalin kedeka-tan dengan orang lain. Saya pun mulai mengajak mereka bertemu satu per satu mengajak para anggota Diakonia yang beranggota 11 orang untuk berbagi hidup. Di saat itu saya berpikir “yang penting berusaha daripada banyak berpikir namun tak ada keputusan? Itu akan lebih buruk”.

Saya pun mencoba bercerita satu sama lain dengan para anggota secara empat mata dan saya mulai mengenal mereka satu per satu. Sebelum saya bertemu mereka di dalam hati saya selalu berdoa supaya Tuhan yang bimbing dan arahkan saya untuk melakukan pendekatan ke tiap-tiap anggota.

Di awal pembicaraan saya selalu pertama yang bertanya tentang kepribadian, masalah, visi hidup, dan lebih banyak mendengar-kan. Pendekatan kepada anggota Diakonia satu per satu saya lakukan. Di saat teman-teman seangkatan saya 2008 yang tingkat 3 sibuk menger-jakan tugas dan mengejar berbagai lomba saya sibuk melakukan pendekatan ke anggota divisi. Sebuah hal yang tak lazim dilakukan anak tingkat 3. Hal ini amatlah menyita waktu tapi Tuhan yang mampukan saya melakukan hal ini dan saya senang menjalaninya.

Titik Balik dari Kekeluargaan:

Selama 2 bulan saya melakukan pendekatan personal dan mulai membawanya kepada rapat Diakonia. Secara perlahan-lahan anggota Diakonia pun menjadi dekat satu sama lain dan kami pun mulai membuat jarkom doa dimana kami akan didoakan dan mendoakan orang lain. Hal ini mendorong anggota untuk bercerita satu sama lain. Dari titik inilah saya amat menyadari bahwa Tuhan itu amatlah baik!

Mungkin saya bercerita kepada Anda tentang bagaimana saya meluangkan banyak waktu untuk melakukan pendekatan kepada para anggota namun yang Tuhan berikan amatlah indah. Dalam dua bulan, beberapa dari kami mulai berani membagikan hidup kepada sesama anggota. Dua bulan merupakan waktu yang singkat untuk merubah perilaku orang atau lingkungan. Di sini kami pun menjadi keluarga dalam pelayanan ini. Kami tertawa, menangis, susah, dan senang bersama dalam divisi ini. Jumlah anggota yang sedikit dan divisi yang rahasia atau tak ter-ekspos orang-orang membuat kami makin dekat satu sama lain.

Segala usaha yang saya lakukan amatlah tak sebanding dengan yang Tuhan berikan kepada saya sekarang. Saya juga berterima kasih atas kepercayaan dan keterbukaan para anggota yang mendorong anggota lain untuk semakin terbuka juga. Di divisi ini

Update Diakonia:Perjalanan Kami M�ih Panjang

saya banyak dibangun, dikuatkan, dan yang terpenting saya mengerti bahwa Tuhan mengizinkan saya memiliki keluarga yang bernama Diakonia.

Terima Kasih Semuanya:

Saya amat bersyukur atas anugerah Tuhan yang mempercayakan kepemimpinan divisi ini kepada saya. Di akhir masa saya sebagai mahasiswa ini saya banyak menerima banyak kasih sayang, perhatian dan semangat dari divisi ini. Bersyukur juga kepada semua anggota Diakonia yang sudah setia dan melayani bersama selama satu tahun ini.

Diakonia adalah bentuk kegiatan organisasi terkakhir saya selama di kampus ITB dan ini adalah kepanitaan terindah yang pernah saya alami di ITB. Terima kasih untuk setiap kerja keras, waktu, doa, dan semangat kalian selama satu tahun ini. Saya meminta maaf atas segala kesalahan saya dan ketidaksempur-naan saya dalam memimpin. Kalianlah anugerah bagi kehidu-panku. Jika melihat hidup saya dari awal hingga sekarang saya percaya bahwa Tuhan itu baik dan Ia memiliki rencana yang indah bagi saya dan Anda sekalian. Saya berharap kehangatan kekeluargaan ini tak hanya dialami para anggota Diakonia tapi juga dapat dirasakan oleh adik-adik yang kita bantu dan kakak-kakak alumni sebagai donatur Diako-nia. Semoga kita semua baik itu anggota divisi, anak penerima dan kakak alumni bisa menjalin hubungan layaknya keluarga karena kita semua adalah bagian dari pelayanan ini. Sehingga dari Diakonia bisa tercipta suatu siklus di mana mungkin yang dulunya penerima atau anggota divisi kelak bisa menjadi donatur yang akan membantu lebih banyak adik-adik yang membutuhkan bantuan ekonomi. Semoga jalinan kekeluargaan kita bisa terus terjalin dengan berlandaskan kasih. Seperti kutipan ayat Ibrani 2:11 bahwa kita semua bersaudara dan satu dalam Kristus. Semua bagi kemuliaan-Nya! (ars)

Tulisan ini saya persembahkan kepada:Eca, Agast, Yunika, Laura, Wetha, Oki, Linda, Mega, Listra, dan Ghina.

Kalianlah inspirasiku menulis kesaksian ini. Semangaaaaattt!!!!!

Page 24: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

“Harta yang paling berharga adalah keluarga...”Itulah penggalan lirik lagu pembuka sinetron “Keluarga Cemara” sebuah Sinetron yang terkenal pada tahun 1990-an. Keluarga adalah lingkungan pertama di mana Anda dan saya hidup serta berinteraksi dengan individu lainnya. Di dalam keluarga kita semua bertumbuh, belajar dan mengalami keterikatan emosional. Keluarga merupakan lingkungan pertama kita dibentuk.

Fase Awal Kehidupanku:

Saya sendiri termasuk orang yang beruntung. Saya dilahirkan di keluarga yang tidak sepenuhnya Kristen. Ayah saya memeluk agama Budha dan Ibu saya memeluk agama Kristen. Saya beruntung bisa tahu tentang Tuhan Yesus dari sekolah minggu. Ibu sayalah yang mengajarkan anak-anaknya berdoa tiap pagi kepada Tuhan dan sebelum tidur. Pada umur 5 tahun saat saya masuk TK kecil, Ayah dan Ibu saya bercerai. Sempat saya bertanya, berdoa dan menangis kepada Tuhan. “Tuhan kenapa kau izinkan ini terjadi?” Itulah pertanyaan saya yang berumur 5 tahun. Sejak umur 5 tahun saya bertumbuh tanpa peran seorang Ibu. Saya dan kakak-kakak tinggal bersama Ayah saya. Sejak umur 5 tahunlah saya mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Ayah saya adalah orang yang amat demokratis, walaupun ia beragama Budha namun setiap Minggu Ayah saya mengantarkan kami ke gereja atau sekolah minggu. Selama saya bersekolah minggu hingga kelas 4 SD saya terus bertanya kepada Tuhan “Tuhan mau-Mu apa sih? Kenapa Tuhan biarkan Ayah dan Ibu saya bercerai?” Hingga pada kelas 5 SD saya memutuskan dan

bilang ke ayah saya bahwa saya tak mau sekolah minggu lagi. Saya pun bertumbuh dengan kondisi keluarga yang tak lengkap dan makin lama saya makin menjauh dari Tuhan, begitu pula kakak-kakak saya. Hubungan kami bersaudara tidaklah rukun, hampir setiap hari pasti terjadi pertengkaran di antara kami. Dari kelas 1 SMA sampai lulus SMA saya tak pernah pergi ke gereja dan hidup saya kacau. Mungkin beberapa dari Anda pernah mengalaminya juga dan setuju bahwa, lingkungan keluarga amatlah membentuk kepribadian seseorang.

Masa-masa Sebagai Mahasiswa:

Diterima sebagai mahasiswa ITB merupakan salah satu titik balik saya. Saya yang nakal dan hidupnya jauh dari Tuhan di ITB ini saya mengenal Kristus dan mengalami lahir baru. Di PMK saya banyak dibimbing dan bertumbuh sebagai orang Kristen. Bertumbuhnya saya tetap menyisakan banyak pertanyaan salah satunya adalah “Tuhan, keluarga itu apa sih secara Kristen? Aku gak tahu dan gak pernah mengalaminya”.

Awal tahun saya di ITB, Tuhan langsung memberi saya 3 orang saudara PA yang berkomitmen untuk saling menolong layaknya saudara, selalu available, dan setia dalam mengasihi. Selama 3 tahun kami berempat bermain, curhat dan banyak melakukan aktivitas bersama. Saya pun lebih banyak cerita kepada saudara PA saya dibandingkan saudara kandung saya. Pada tahun 2011 dua saudara PA saya berangkat keluar negeri untuk menjalani beasiswa di Jepang dan Australia.

Pertemuan dengan Diakonia:

Saat saya merasa akan mengalami kesepian dan kekosongan dalam keluarga PA, Bang Theo Amudi menawarkan saya melay-ani di Diakonia. Sebuah divisi yang saya sendiri baru dengar dari Bang Theo. Motivasi awal saya melayani divisi ini adalah untuk membantu adik-adik kelas yang tak berkecukupan dalam hal ekonomi. Sesederhana itu saja motivasi saya dalam melayani di Diakonia. Saat saya diserahi tugas sebagai ketua Diakonia tujuan awal saya adalah menghidupkan divisi ini kembali. Pada tahun 2010/2011 divisi ini mengalami “mati suri”.

Saya sendiri kurang tahu jelas mengapa hal ini bisa terjadi. Untuk menghidupkan divisi ini saya dan Bang Theo pun merekrut beberapa anggota 2008 dan 2009. Usaha untuk menghidupkan divisi menurut saya amatlah sulit apalagi keadaannya saya bukan anggota Diakonia dan tak tahu apa-apa tentang divisi ini. Saya pun mulai banyak bertanya kepada para senior dan mengumpul-kan data-data yang ada. Terima kasih kepada senior-senior seperti Bang Pudji, Destry dan Kak Kartini banyak membantu saya dalam melakukan hal ini.

Satu semester berlalu sejak saya memimpin Diakonia. Divisi ini Puji Tuhan sudah hidup kembali kami sudah mewawancara lebih dari 40 orang lalu, memilihnya menjadi 8 orang sesuai urgen-sinya untuk menjadi anak penerima bantuan dan berhasil menambah alumni sebagai penderma.

Kekeluargaan yang terhilang:

Di akhir semester pertama saya memimpin saya pun menyadari hal yang amat penting. Divisi ini memang sudah berfungsi kembali namun anggotanya tak dekat satu sama lain. Menurut saya hal ini adalah hal yang berbahaya karena di Diakonia kedekatan dan kepercayaan antar anggota merupakan hal yang penting bagi divisi ini.

Apalagi di divisi ini hal yang kita bicarakan lebih banyak menyangkut hidup orang lain dan uang. Dua hal yang amat penting dan sensitif. Tapi bagaimana mungkin saya membuat divisi ini dekat bagaikan keluarga? Keluarga saya saja tak dekat satu sama lain? Saya benar-benar bingung dan selama 2 minggu. Saya terus berpikir dan berdoa kepada Tuhan bagaimana caranya.

Di saat itu sayapun berpikir bahwa ”Bagaimana mungkin mereka dekat satu sama lain kalau saya saja tidak dekat kepada mereka?” Ditambah lagi saya bukanlah orang yang berasal dari keluarga yang harmonis sehingga sulit bagi saya untuk menjalin kedeka-tan dengan orang lain. Saya pun mulai mengajak mereka bertemu satu per satu mengajak para anggota Diakonia yang beranggota 11 orang untuk berbagi hidup. Di saat itu saya berpikir “yang penting berusaha daripada banyak berpikir namun tak ada keputusan? Itu akan lebih buruk”.

Saya pun mencoba bercerita satu sama lain dengan para anggota secara empat mata dan saya mulai mengenal mereka satu per satu. Sebelum saya bertemu mereka di dalam hati saya selalu berdoa supaya Tuhan yang bimbing dan arahkan saya untuk melakukan pendekatan ke tiap-tiap anggota.

Di awal pembicaraan saya selalu pertama yang bertanya tentang kepribadian, masalah, visi hidup, dan lebih banyak mendengar-kan. Pendekatan kepada anggota Diakonia satu per satu saya lakukan. Di saat teman-teman seangkatan saya 2008 yang tingkat 3 sibuk menger-jakan tugas dan mengejar berbagai lomba saya sibuk melakukan pendekatan ke anggota divisi. Sebuah hal yang tak lazim dilakukan anak tingkat 3. Hal ini amatlah menyita waktu tapi Tuhan yang mampukan saya melakukan hal ini dan saya senang menjalaninya.

Titik Balik dari Kekeluargaan:

Selama 2 bulan saya melakukan pendekatan personal dan mulai membawanya kepada rapat Diakonia. Secara perlahan-lahan anggota Diakonia pun menjadi dekat satu sama lain dan kami pun mulai membuat jarkom doa dimana kami akan didoakan dan mendoakan orang lain. Hal ini mendorong anggota untuk bercerita satu sama lain. Dari titik inilah saya amat menyadari bahwa Tuhan itu amatlah baik!

Mungkin saya bercerita kepada Anda tentang bagaimana saya meluangkan banyak waktu untuk melakukan pendekatan kepada para anggota namun yang Tuhan berikan amatlah indah. Dalam dua bulan, beberapa dari kami mulai berani membagikan hidup kepada sesama anggota. Dua bulan merupakan waktu yang singkat untuk merubah perilaku orang atau lingkungan. Di sini kami pun menjadi keluarga dalam pelayanan ini. Kami tertawa, menangis, susah, dan senang bersama dalam divisi ini. Jumlah anggota yang sedikit dan divisi yang rahasia atau tak ter-ekspos orang-orang membuat kami makin dekat satu sama lain.

Segala usaha yang saya lakukan amatlah tak sebanding dengan yang Tuhan berikan kepada saya sekarang. Saya juga berterima kasih atas kepercayaan dan keterbukaan para anggota yang mendorong anggota lain untuk semakin terbuka juga. Di divisi ini

Perjalanan Kami Masih PanjangDeskripsi keadaan Diakonia saat iniOleh: Yunika YapBendahara Diakonia 2010-2012

Puji Tuhan, Diakonia boleh bangkit lagi tahun ini, di bawah kepemimpinan Arnold [DKV ‘08]. Hal tersebut tentu tidak lepas dari kerja tangan Tuhan. Saya percaya bahwa Diakonia dihidupkan lagi untuk memuliakan nama-Nya lebih lagi. Sebagian orang sudah mengetahui bahwa Diakonia pernah berada di “masa kelam”. Saat itu, alumni yang ingin membantu mahasiswa Kristen ITB pun tidak dapat menyalurkan bantuan ke mana dan kepada siapa, mereka tidak tahu. Sekarang, Diakonia sudah bangkit lagi dan alumni tidak perlu pusing mewujudkan keinginan mereka untuk membantu mahasiswa Kristen ITB yang kekurangan secara finansial.

Saat ini Diakonia berada dalam keadaan stabil. Bila dilihat dari keadaan keuangan, Diakonia tidak mengalami defisit. Puji Tuhan, semoga Diakonia tidak akan defisit karena Diakonia akan selalu dipelihara oleh Tuhan melalui tangan-tangan alumni. Menurut laporan keuangan bulan Maret lalu, dana Diakonia berjumlah sekitar 17 juta. Tiap bulan, bendahara menggunakan sekitar 1,6 juta untuk diberikan kepada 8 orang mahasiswa Kristen ITB yang Diakonia bantu.

Kedelapan orang penerima itu adalah orang-orang yang dipilih berdasarkan hasil wawancara. Ketika Diakonia membuka peluang beasiswa di kepengurusan ini, ada sekitar 30 orang yang menga-jukan diri untuk menerima bantuan dari Diakonia. Dengan terbatasnya keuangan Diakonia waktu itu, hanya 7 orang saja yang diputuskan menjadi penerima.

Para pengaju memiliki masalah keuangan yang berbeda-beda. Ada dari mereka yang mengalami kekurangan karena ayahnya telah meninggal. Ada juga yang kedua orangtuanya bekerja, hanya saja tidak dapat mencukupi biaya mereka di Bandung, belum lagi masih banyak saudara yang masih ditanggung orang-tua.

Beberapa dari mereka pun ternyata menantikan keputusan beasiswa bidik misi gelombang dua yang saat itu belum keluar. Dengan banyaknya pengaju yang kami wawancarai, kami pun membawanya dalam rapat Diakonia. Kami mempertimbangkan apakah mahasiswa tersebut layak dibantu dengan melihat seluruh aspek yang kami dapatkan dari hasil wawancara. Semua pengaju memiliki kondisi ekonomi yang berkekurangan, tapi pasti ada mahasiswa yang keadaannya lebih kekurangan ketimbang pengaju-pengaju yang lain.

Mahasiswa yang memiliki kriteria seperti itulah yang kita pilih dengan berbagai pertimbangan yang dirundingkan secara bersama. Semua berpendapat tentang calon penerima yang mengajukan. Jadi, bisa dikatakan, kami sedapat mungkin objektif dalam menentukan penerima.

Setelah satu semester, semuanya makin membaik. Berdasarkan laporan keuangan Maret 2012, ada 7 orang alumni yang menjadi penyantun dengan total bantuan 7,8 juta. Awalnya, penyantun yang ada hanya sekitar 2-3 orang. Namun, sekarang jumlah itu telah bertambah menjadi 7 orang dan pasti akan bertambah lagi. Tuhan bekerja begitu luar biasa dalam menggerakkan hati para alumni untuk mau menjadi penyantun Diakonia. Tidak menjadi soal berapa besar nominal yang diberikan oleh alumni. Ketika ada alumnusyang berkomitmen untuk menjadi penyantun Diakonia, itu sudah merupakan hal yang luar biasa.

Tidak berarti juga ketika mencari penyan-tun, kami langsung mendapatkan penyan-tun yang membuka tangan. Tidak sedikit alumni yang menolak untuk menjadi penyantun dengan pertimbangan mereka masing-masing. Akan tetapi, hal itu tidak membuat kami kecil hati dan berhenti mencari penyantun. Kami tetap menghargai alasan alumni dan mengerti jika mereka memiliki prioritas lain. Tentu, kami pun berterima kasih untuk alumni yang telah menjadi penyantun di Diakonia.

Semua penerima (delapan orang) yang dibantu oleh Diakonia pun memiliki ‘pemerhati’ masing-masing. ‘Pemerhati’ini merupakan anggota Diakonia sendiri. Sesuai namanya, tugas utama pemer-hati adalah memperhatikan kehidupan para penerima, baik kehidupan di kampus, kehidupan rohani, maupun kehidupan sehari-harinya.

Selain memperhatikan kehidupan para anak penerima, tentunya tugas pemerhati adalah menjalin komunikasi dan tetap meman-tau agar dana yang mereka terima pun tidak disalahgunakan. Intinya, pemerhati memiliki tugas untuk menjadi penghubung antara penerima dan Diakonia.

Mungkin hal itu bisa menggambarkan keadaan Diakonia yang sekarang. Tapi, tentunya keadaan stabil yang sekarang bukan berarti membuat kami diam. Sasaran kami selanjutnya adalah menambah penerima dan tentunya penyantun di semester depan, agar semakin banyak lagi mahasiswa yang terberkati dan alumni yang menabur berkat. Mohon doa dan dukungan juga dari Kakak dan Abang sekalian. (yun)

Tuhan yang memberkati dan memampukan kita

saya banyak dibangun, dikuatkan, dan yang terpenting saya mengerti bahwa Tuhan mengizinkan saya memiliki keluarga yang bernama Diakonia.

Terima Kasih Semuanya:

Saya amat bersyukur atas anugerah Tuhan yang mempercayakan kepemimpinan divisi ini kepada saya. Di akhir masa saya sebagai mahasiswa ini saya banyak menerima banyak kasih sayang, perhatian dan semangat dari divisi ini. Bersyukur juga kepada semua anggota Diakonia yang sudah setia dan melayani bersama selama satu tahun ini.

Diakonia adalah bentuk kegiatan organisasi terkakhir saya selama di kampus ITB dan ini adalah kepanitaan terindah yang pernah saya alami di ITB. Terima kasih untuk setiap kerja keras, waktu, doa, dan semangat kalian selama satu tahun ini. Saya meminta maaf atas segala kesalahan saya dan ketidaksempur-naan saya dalam memimpin. Kalianlah anugerah bagi kehidu-panku. Jika melihat hidup saya dari awal hingga sekarang saya percaya bahwa Tuhan itu baik dan Ia memiliki rencana yang indah bagi saya dan Anda sekalian. Saya berharap kehangatan kekeluargaan ini tak hanya dialami para anggota Diakonia tapi juga dapat dirasakan oleh adik-adik yang kita bantu dan kakak-kakak alumni sebagai donatur Diako-nia. Semoga kita semua baik itu anggota divisi, anak penerima dan kakak alumni bisa menjalin hubungan layaknya keluarga karena kita semua adalah bagian dari pelayanan ini. Sehingga dari Diakonia bisa tercipta suatu siklus di mana mungkin yang dulunya penerima atau anggota divisi kelak bisa menjadi donatur yang akan membantu lebih banyak adik-adik yang membutuhkan bantuan ekonomi. Semoga jalinan kekeluargaan kita bisa terus terjalin dengan berlandaskan kasih. Seperti kutipan ayat Ibrani 2:11 bahwa kita semua bersaudara dan satu dalam Kristus. Semua bagi kemuliaan-Nya! (ars)

Tulisan ini saya persembahkan kepada:Eca, Agast, Yunika, Laura, Wetha, Oki, Linda, Mega, Listra, dan Ghina.

Kalianlah inspirasiku menulis kesaksian ini. Semangaaaaattt!!!!!

23

Page 25: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

“Harta yang paling berharga adalah keluarga...”Itulah penggalan lirik lagu pembuka sinetron “Keluarga Cemara” sebuah Sinetron yang terkenal pada tahun 1990-an. Keluarga adalah lingkungan pertama di mana Anda dan saya hidup serta berinteraksi dengan individu lainnya. Di dalam keluarga kita semua bertumbuh, belajar dan mengalami keterikatan emosional. Keluarga merupakan lingkungan pertama kita dibentuk.

Fase Awal Kehidupanku:

Saya sendiri termasuk orang yang beruntung. Saya dilahirkan di keluarga yang tidak sepenuhnya Kristen. Ayah saya memeluk agama Budha dan Ibu saya memeluk agama Kristen. Saya beruntung bisa tahu tentang Tuhan Yesus dari sekolah minggu. Ibu sayalah yang mengajarkan anak-anaknya berdoa tiap pagi kepada Tuhan dan sebelum tidur. Pada umur 5 tahun saat saya masuk TK kecil, Ayah dan Ibu saya bercerai. Sempat saya bertanya, berdoa dan menangis kepada Tuhan. “Tuhan kenapa kau izinkan ini terjadi?” Itulah pertanyaan saya yang berumur 5 tahun. Sejak umur 5 tahun saya bertumbuh tanpa peran seorang Ibu. Saya dan kakak-kakak tinggal bersama Ayah saya. Sejak umur 5 tahunlah saya mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Ayah saya adalah orang yang amat demokratis, walaupun ia beragama Budha namun setiap Minggu Ayah saya mengantarkan kami ke gereja atau sekolah minggu. Selama saya bersekolah minggu hingga kelas 4 SD saya terus bertanya kepada Tuhan “Tuhan mau-Mu apa sih? Kenapa Tuhan biarkan Ayah dan Ibu saya bercerai?” Hingga pada kelas 5 SD saya memutuskan dan

bilang ke ayah saya bahwa saya tak mau sekolah minggu lagi. Saya pun bertumbuh dengan kondisi keluarga yang tak lengkap dan makin lama saya makin menjauh dari Tuhan, begitu pula kakak-kakak saya. Hubungan kami bersaudara tidaklah rukun, hampir setiap hari pasti terjadi pertengkaran di antara kami. Dari kelas 1 SMA sampai lulus SMA saya tak pernah pergi ke gereja dan hidup saya kacau. Mungkin beberapa dari Anda pernah mengalaminya juga dan setuju bahwa, lingkungan keluarga amatlah membentuk kepribadian seseorang.

Masa-masa Sebagai Mahasiswa:

Diterima sebagai mahasiswa ITB merupakan salah satu titik balik saya. Saya yang nakal dan hidupnya jauh dari Tuhan di ITB ini saya mengenal Kristus dan mengalami lahir baru. Di PMK saya banyak dibimbing dan bertumbuh sebagai orang Kristen. Bertumbuhnya saya tetap menyisakan banyak pertanyaan salah satunya adalah “Tuhan, keluarga itu apa sih secara Kristen? Aku gak tahu dan gak pernah mengalaminya”.

Awal tahun saya di ITB, Tuhan langsung memberi saya 3 orang saudara PA yang berkomitmen untuk saling menolong layaknya saudara, selalu available, dan setia dalam mengasihi. Selama 3 tahun kami berempat bermain, curhat dan banyak melakukan aktivitas bersama. Saya pun lebih banyak cerita kepada saudara PA saya dibandingkan saudara kandung saya. Pada tahun 2011 dua saudara PA saya berangkat keluar negeri untuk menjalani beasiswa di Jepang dan Australia.

Pertemuan dengan Diakonia:

Saat saya merasa akan mengalami kesepian dan kekosongan dalam keluarga PA, Bang Theo Amudi menawarkan saya melay-ani di Diakonia. Sebuah divisi yang saya sendiri baru dengar dari Bang Theo. Motivasi awal saya melayani divisi ini adalah untuk membantu adik-adik kelas yang tak berkecukupan dalam hal ekonomi. Sesederhana itu saja motivasi saya dalam melayani di Diakonia. Saat saya diserahi tugas sebagai ketua Diakonia tujuan awal saya adalah menghidupkan divisi ini kembali. Pada tahun 2010/2011 divisi ini mengalami “mati suri”.

Saya sendiri kurang tahu jelas mengapa hal ini bisa terjadi. Untuk menghidupkan divisi ini saya dan Bang Theo pun merekrut beberapa anggota 2008 dan 2009. Usaha untuk menghidupkan divisi menurut saya amatlah sulit apalagi keadaannya saya bukan anggota Diakonia dan tak tahu apa-apa tentang divisi ini. Saya pun mulai banyak bertanya kepada para senior dan mengumpul-kan data-data yang ada. Terima kasih kepada senior-senior seperti Bang Pudji, Destry dan Kak Kartini banyak membantu saya dalam melakukan hal ini.

Satu semester berlalu sejak saya memimpin Diakonia. Divisi ini Puji Tuhan sudah hidup kembali kami sudah mewawancara lebih dari 40 orang lalu, memilihnya menjadi 8 orang sesuai urgen-sinya untuk menjadi anak penerima bantuan dan berhasil menambah alumni sebagai penderma.

Kekeluargaan yang terhilang:

Di akhir semester pertama saya memimpin saya pun menyadari hal yang amat penting. Divisi ini memang sudah berfungsi kembali namun anggotanya tak dekat satu sama lain. Menurut saya hal ini adalah hal yang berbahaya karena di Diakonia kedekatan dan kepercayaan antar anggota merupakan hal yang penting bagi divisi ini.

Apalagi di divisi ini hal yang kita bicarakan lebih banyak menyangkut hidup orang lain dan uang. Dua hal yang amat penting dan sensitif. Tapi bagaimana mungkin saya membuat divisi ini dekat bagaikan keluarga? Keluarga saya saja tak dekat satu sama lain? Saya benar-benar bingung dan selama 2 minggu. Saya terus berpikir dan berdoa kepada Tuhan bagaimana caranya.

Di saat itu sayapun berpikir bahwa ”Bagaimana mungkin mereka dekat satu sama lain kalau saya saja tidak dekat kepada mereka?” Ditambah lagi saya bukanlah orang yang berasal dari keluarga yang harmonis sehingga sulit bagi saya untuk menjalin kedeka-tan dengan orang lain. Saya pun mulai mengajak mereka bertemu satu per satu mengajak para anggota Diakonia yang beranggota 11 orang untuk berbagi hidup. Di saat itu saya berpikir “yang penting berusaha daripada banyak berpikir namun tak ada keputusan? Itu akan lebih buruk”.

Saya pun mencoba bercerita satu sama lain dengan para anggota secara empat mata dan saya mulai mengenal mereka satu per satu. Sebelum saya bertemu mereka di dalam hati saya selalu berdoa supaya Tuhan yang bimbing dan arahkan saya untuk melakukan pendekatan ke tiap-tiap anggota.

Di awal pembicaraan saya selalu pertama yang bertanya tentang kepribadian, masalah, visi hidup, dan lebih banyak mendengar-kan. Pendekatan kepada anggota Diakonia satu per satu saya lakukan. Di saat teman-teman seangkatan saya 2008 yang tingkat 3 sibuk menger-jakan tugas dan mengejar berbagai lomba saya sibuk melakukan pendekatan ke anggota divisi. Sebuah hal yang tak lazim dilakukan anak tingkat 3. Hal ini amatlah menyita waktu tapi Tuhan yang mampukan saya melakukan hal ini dan saya senang menjalaninya.

Titik Balik dari Kekeluargaan:

Selama 2 bulan saya melakukan pendekatan personal dan mulai membawanya kepada rapat Diakonia. Secara perlahan-lahan anggota Diakonia pun menjadi dekat satu sama lain dan kami pun mulai membuat jarkom doa dimana kami akan didoakan dan mendoakan orang lain. Hal ini mendorong anggota untuk bercerita satu sama lain. Dari titik inilah saya amat menyadari bahwa Tuhan itu amatlah baik!

Mungkin saya bercerita kepada Anda tentang bagaimana saya meluangkan banyak waktu untuk melakukan pendekatan kepada para anggota namun yang Tuhan berikan amatlah indah. Dalam dua bulan, beberapa dari kami mulai berani membagikan hidup kepada sesama anggota. Dua bulan merupakan waktu yang singkat untuk merubah perilaku orang atau lingkungan. Di sini kami pun menjadi keluarga dalam pelayanan ini. Kami tertawa, menangis, susah, dan senang bersama dalam divisi ini. Jumlah anggota yang sedikit dan divisi yang rahasia atau tak ter-ekspos orang-orang membuat kami makin dekat satu sama lain.

Segala usaha yang saya lakukan amatlah tak sebanding dengan yang Tuhan berikan kepada saya sekarang. Saya juga berterima kasih atas kepercayaan dan keterbukaan para anggota yang mendorong anggota lain untuk semakin terbuka juga. Di divisi ini

Puji Tuhan, Diakonia boleh bangkit lagi tahun ini, di bawah kepemimpinan Arnold [DKV ‘08]. Hal tersebut tentu tidak lepas dari kerja tangan Tuhan. Saya percaya bahwa Diakonia dihidupkan lagi untuk memuliakan nama-Nya lebih lagi. Sebagian orang sudah mengetahui bahwa Diakonia pernah berada di “masa kelam”. Saat itu, alumni yang ingin membantu mahasiswa Kristen ITB pun tidak dapat menyalurkan bantuan ke mana dan kepada siapa, mereka tidak tahu. Sekarang, Diakonia sudah bangkit lagi dan alumni tidak perlu pusing mewujudkan keinginan mereka untuk membantu mahasiswa Kristen ITB yang kekurangan secara finansial.

Saat ini Diakonia berada dalam keadaan stabil. Bila dilihat dari keadaan keuangan, Diakonia tidak mengalami defisit. Puji Tuhan, semoga Diakonia tidak akan defisit karena Diakonia akan selalu dipelihara oleh Tuhan melalui tangan-tangan alumni. Menurut laporan keuangan bulan Maret lalu, dana Diakonia berjumlah sekitar 17 juta. Tiap bulan, bendahara menggunakan sekitar 1,6 juta untuk diberikan kepada 8 orang mahasiswa Kristen ITB yang Diakonia bantu.

Kedelapan orang penerima itu adalah orang-orang yang dipilih berdasarkan hasil wawancara. Ketika Diakonia membuka peluang beasiswa di kepengurusan ini, ada sekitar 30 orang yang menga-jukan diri untuk menerima bantuan dari Diakonia. Dengan terbatasnya keuangan Diakonia waktu itu, hanya 7 orang saja yang diputuskan menjadi penerima.

Para pengaju memiliki masalah keuangan yang berbeda-beda. Ada dari mereka yang mengalami kekurangan karena ayahnya telah meninggal. Ada juga yang kedua orangtuanya bekerja, hanya saja tidak dapat mencukupi biaya mereka di Bandung, belum lagi masih banyak saudara yang masih ditanggung orang-tua.

Beberapa dari mereka pun ternyata menantikan keputusan beasiswa bidik misi gelombang dua yang saat itu belum keluar. Dengan banyaknya pengaju yang kami wawancarai, kami pun membawanya dalam rapat Diakonia. Kami mempertimbangkan apakah mahasiswa tersebut layak dibantu dengan melihat seluruh aspek yang kami dapatkan dari hasil wawancara. Semua pengaju memiliki kondisi ekonomi yang berkekurangan, tapi pasti ada mahasiswa yang keadaannya lebih kekurangan ketimbang pengaju-pengaju yang lain.

Mahasiswa yang memiliki kriteria seperti itulah yang kita pilih dengan berbagai pertimbangan yang dirundingkan secara bersama. Semua berpendapat tentang calon penerima yang mengajukan. Jadi, bisa dikatakan, kami sedapat mungkin objektif dalam menentukan penerima.

Setelah satu semester, semuanya makin membaik. Berdasarkan laporan keuangan Maret 2012, ada 7 orang alumni yang menjadi penyantun dengan total bantuan 7,8 juta. Awalnya, penyantun yang ada hanya sekitar 2-3 orang. Namun, sekarang jumlah itu telah bertambah menjadi 7 orang dan pasti akan bertambah lagi. Tuhan bekerja begitu luar biasa dalam menggerakkan hati para alumni untuk mau menjadi penyantun Diakonia. Tidak menjadi soal berapa besar nominal yang diberikan oleh alumni. Ketika ada alumnusyang berkomitmen untuk menjadi penyantun Diakonia, itu sudah merupakan hal yang luar biasa.

Tidak berarti juga ketika mencari penyan-tun, kami langsung mendapatkan penyan-tun yang membuka tangan. Tidak sedikit alumni yang menolak untuk menjadi penyantun dengan pertimbangan mereka masing-masing. Akan tetapi, hal itu tidak membuat kami kecil hati dan berhenti mencari penyantun. Kami tetap menghargai alasan alumni dan mengerti jika mereka memiliki prioritas lain. Tentu, kami pun berterima kasih untuk alumni yang telah menjadi penyantun di Diakonia.

Semua penerima (delapan orang) yang dibantu oleh Diakonia pun memiliki ‘pemerhati’ masing-masing. ‘Pemerhati’ini merupakan anggota Diakonia sendiri. Sesuai namanya, tugas utama pemer-hati adalah memperhatikan kehidupan para penerima, baik kehidupan di kampus, kehidupan rohani, maupun kehidupan sehari-harinya.

Selain memperhatikan kehidupan para anak penerima, tentunya tugas pemerhati adalah menjalin komunikasi dan tetap meman-tau agar dana yang mereka terima pun tidak disalahgunakan. Intinya, pemerhati memiliki tugas untuk menjadi penghubung antara penerima dan Diakonia.

Mungkin hal itu bisa menggambarkan keadaan Diakonia yang sekarang. Tapi, tentunya keadaan stabil yang sekarang bukan berarti membuat kami diam. Sasaran kami selanjutnya adalah menambah penerima dan tentunya penyantun di semester depan, agar semakin banyak lagi mahasiswa yang terberkati dan alumni yang menabur berkat. Mohon doa dan dukungan juga dari Kakak dan Abang sekalian. (yun)

Tuhan yang memberkati dan memampukan kita

Tuhan bekerja begitu luar biasa dalam menggerakkan hati para alumni untuk mau menjadi penyantun Diakonia...

saya banyak dibangun, dikuatkan, dan yang terpenting saya mengerti bahwa Tuhan mengizinkan saya memiliki keluarga yang bernama Diakonia.

Terima Kasih Semuanya:

Saya amat bersyukur atas anugerah Tuhan yang mempercayakan kepemimpinan divisi ini kepada saya. Di akhir masa saya sebagai mahasiswa ini saya banyak menerima banyak kasih sayang, perhatian dan semangat dari divisi ini. Bersyukur juga kepada semua anggota Diakonia yang sudah setia dan melayani bersama selama satu tahun ini.

Diakonia adalah bentuk kegiatan organisasi terkakhir saya selama di kampus ITB dan ini adalah kepanitaan terindah yang pernah saya alami di ITB. Terima kasih untuk setiap kerja keras, waktu, doa, dan semangat kalian selama satu tahun ini. Saya meminta maaf atas segala kesalahan saya dan ketidaksempur-naan saya dalam memimpin. Kalianlah anugerah bagi kehidu-panku. Jika melihat hidup saya dari awal hingga sekarang saya percaya bahwa Tuhan itu baik dan Ia memiliki rencana yang indah bagi saya dan Anda sekalian. Saya berharap kehangatan kekeluargaan ini tak hanya dialami para anggota Diakonia tapi juga dapat dirasakan oleh adik-adik yang kita bantu dan kakak-kakak alumni sebagai donatur Diako-nia. Semoga kita semua baik itu anggota divisi, anak penerima dan kakak alumni bisa menjalin hubungan layaknya keluarga karena kita semua adalah bagian dari pelayanan ini. Sehingga dari Diakonia bisa tercipta suatu siklus di mana mungkin yang dulunya penerima atau anggota divisi kelak bisa menjadi donatur yang akan membantu lebih banyak adik-adik yang membutuhkan bantuan ekonomi. Semoga jalinan kekeluargaan kita bisa terus terjalin dengan berlandaskan kasih. Seperti kutipan ayat Ibrani 2:11 bahwa kita semua bersaudara dan satu dalam Kristus. Semua bagi kemuliaan-Nya! (ars)

Tulisan ini saya persembahkan kepada:Eca, Agast, Yunika, Laura, Wetha, Oki, Linda, Mega, Listra, dan Ghina.

Kalianlah inspirasiku menulis kesaksian ini. Semangaaaaattt!!!!!

24

Page 26: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

“Harta yang paling berharga adalah keluarga...”Itulah penggalan lirik lagu pembuka sinetron “Keluarga Cemara” sebuah Sinetron yang terkenal pada tahun 1990-an. Keluarga adalah lingkungan pertama di mana Anda dan saya hidup serta berinteraksi dengan individu lainnya. Di dalam keluarga kita semua bertumbuh, belajar dan mengalami keterikatan emosional. Keluarga merupakan lingkungan pertama kita dibentuk.

Fase Awal Kehidupanku:

Saya sendiri termasuk orang yang beruntung. Saya dilahirkan di keluarga yang tidak sepenuhnya Kristen. Ayah saya memeluk agama Budha dan Ibu saya memeluk agama Kristen. Saya beruntung bisa tahu tentang Tuhan Yesus dari sekolah minggu. Ibu sayalah yang mengajarkan anak-anaknya berdoa tiap pagi kepada Tuhan dan sebelum tidur. Pada umur 5 tahun saat saya masuk TK kecil, Ayah dan Ibu saya bercerai. Sempat saya bertanya, berdoa dan menangis kepada Tuhan. “Tuhan kenapa kau izinkan ini terjadi?” Itulah pertanyaan saya yang berumur 5 tahun. Sejak umur 5 tahun saya bertumbuh tanpa peran seorang Ibu. Saya dan kakak-kakak tinggal bersama Ayah saya. Sejak umur 5 tahunlah saya mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Ayah saya adalah orang yang amat demokratis, walaupun ia beragama Budha namun setiap Minggu Ayah saya mengantarkan kami ke gereja atau sekolah minggu. Selama saya bersekolah minggu hingga kelas 4 SD saya terus bertanya kepada Tuhan “Tuhan mau-Mu apa sih? Kenapa Tuhan biarkan Ayah dan Ibu saya bercerai?” Hingga pada kelas 5 SD saya memutuskan dan

bilang ke ayah saya bahwa saya tak mau sekolah minggu lagi. Saya pun bertumbuh dengan kondisi keluarga yang tak lengkap dan makin lama saya makin menjauh dari Tuhan, begitu pula kakak-kakak saya. Hubungan kami bersaudara tidaklah rukun, hampir setiap hari pasti terjadi pertengkaran di antara kami. Dari kelas 1 SMA sampai lulus SMA saya tak pernah pergi ke gereja dan hidup saya kacau. Mungkin beberapa dari Anda pernah mengalaminya juga dan setuju bahwa, lingkungan keluarga amatlah membentuk kepribadian seseorang.

Masa-masa Sebagai Mahasiswa:

Diterima sebagai mahasiswa ITB merupakan salah satu titik balik saya. Saya yang nakal dan hidupnya jauh dari Tuhan di ITB ini saya mengenal Kristus dan mengalami lahir baru. Di PMK saya banyak dibimbing dan bertumbuh sebagai orang Kristen. Bertumbuhnya saya tetap menyisakan banyak pertanyaan salah satunya adalah “Tuhan, keluarga itu apa sih secara Kristen? Aku gak tahu dan gak pernah mengalaminya”.

Awal tahun saya di ITB, Tuhan langsung memberi saya 3 orang saudara PA yang berkomitmen untuk saling menolong layaknya saudara, selalu available, dan setia dalam mengasihi. Selama 3 tahun kami berempat bermain, curhat dan banyak melakukan aktivitas bersama. Saya pun lebih banyak cerita kepada saudara PA saya dibandingkan saudara kandung saya. Pada tahun 2011 dua saudara PA saya berangkat keluar negeri untuk menjalani beasiswa di Jepang dan Australia.

Pertemuan dengan Diakonia:

Saat saya merasa akan mengalami kesepian dan kekosongan dalam keluarga PA, Bang Theo Amudi menawarkan saya melay-ani di Diakonia. Sebuah divisi yang saya sendiri baru dengar dari Bang Theo. Motivasi awal saya melayani divisi ini adalah untuk membantu adik-adik kelas yang tak berkecukupan dalam hal ekonomi. Sesederhana itu saja motivasi saya dalam melayani di Diakonia. Saat saya diserahi tugas sebagai ketua Diakonia tujuan awal saya adalah menghidupkan divisi ini kembali. Pada tahun 2010/2011 divisi ini mengalami “mati suri”.

Saya sendiri kurang tahu jelas mengapa hal ini bisa terjadi. Untuk menghidupkan divisi ini saya dan Bang Theo pun merekrut beberapa anggota 2008 dan 2009. Usaha untuk menghidupkan divisi menurut saya amatlah sulit apalagi keadaannya saya bukan anggota Diakonia dan tak tahu apa-apa tentang divisi ini. Saya pun mulai banyak bertanya kepada para senior dan mengumpul-kan data-data yang ada. Terima kasih kepada senior-senior seperti Bang Pudji, Destry dan Kak Kartini banyak membantu saya dalam melakukan hal ini.

Satu semester berlalu sejak saya memimpin Diakonia. Divisi ini Puji Tuhan sudah hidup kembali kami sudah mewawancara lebih dari 40 orang lalu, memilihnya menjadi 8 orang sesuai urgen-sinya untuk menjadi anak penerima bantuan dan berhasil menambah alumni sebagai penderma.

Kekeluargaan yang terhilang:

Di akhir semester pertama saya memimpin saya pun menyadari hal yang amat penting. Divisi ini memang sudah berfungsi kembali namun anggotanya tak dekat satu sama lain. Menurut saya hal ini adalah hal yang berbahaya karena di Diakonia kedekatan dan kepercayaan antar anggota merupakan hal yang penting bagi divisi ini.

Apalagi di divisi ini hal yang kita bicarakan lebih banyak menyangkut hidup orang lain dan uang. Dua hal yang amat penting dan sensitif. Tapi bagaimana mungkin saya membuat divisi ini dekat bagaikan keluarga? Keluarga saya saja tak dekat satu sama lain? Saya benar-benar bingung dan selama 2 minggu. Saya terus berpikir dan berdoa kepada Tuhan bagaimana caranya.

Di saat itu sayapun berpikir bahwa ”Bagaimana mungkin mereka dekat satu sama lain kalau saya saja tidak dekat kepada mereka?” Ditambah lagi saya bukanlah orang yang berasal dari keluarga yang harmonis sehingga sulit bagi saya untuk menjalin kedeka-tan dengan orang lain. Saya pun mulai mengajak mereka bertemu satu per satu mengajak para anggota Diakonia yang beranggota 11 orang untuk berbagi hidup. Di saat itu saya berpikir “yang penting berusaha daripada banyak berpikir namun tak ada keputusan? Itu akan lebih buruk”.

Saya pun mencoba bercerita satu sama lain dengan para anggota secara empat mata dan saya mulai mengenal mereka satu per satu. Sebelum saya bertemu mereka di dalam hati saya selalu berdoa supaya Tuhan yang bimbing dan arahkan saya untuk melakukan pendekatan ke tiap-tiap anggota.

Di awal pembicaraan saya selalu pertama yang bertanya tentang kepribadian, masalah, visi hidup, dan lebih banyak mendengar-kan. Pendekatan kepada anggota Diakonia satu per satu saya lakukan. Di saat teman-teman seangkatan saya 2008 yang tingkat 3 sibuk menger-jakan tugas dan mengejar berbagai lomba saya sibuk melakukan pendekatan ke anggota divisi. Sebuah hal yang tak lazim dilakukan anak tingkat 3. Hal ini amatlah menyita waktu tapi Tuhan yang mampukan saya melakukan hal ini dan saya senang menjalaninya.

Titik Balik dari Kekeluargaan:

Selama 2 bulan saya melakukan pendekatan personal dan mulai membawanya kepada rapat Diakonia. Secara perlahan-lahan anggota Diakonia pun menjadi dekat satu sama lain dan kami pun mulai membuat jarkom doa dimana kami akan didoakan dan mendoakan orang lain. Hal ini mendorong anggota untuk bercerita satu sama lain. Dari titik inilah saya amat menyadari bahwa Tuhan itu amatlah baik!

Mungkin saya bercerita kepada Anda tentang bagaimana saya meluangkan banyak waktu untuk melakukan pendekatan kepada para anggota namun yang Tuhan berikan amatlah indah. Dalam dua bulan, beberapa dari kami mulai berani membagikan hidup kepada sesama anggota. Dua bulan merupakan waktu yang singkat untuk merubah perilaku orang atau lingkungan. Di sini kami pun menjadi keluarga dalam pelayanan ini. Kami tertawa, menangis, susah, dan senang bersama dalam divisi ini. Jumlah anggota yang sedikit dan divisi yang rahasia atau tak ter-ekspos orang-orang membuat kami makin dekat satu sama lain.

Segala usaha yang saya lakukan amatlah tak sebanding dengan yang Tuhan berikan kepada saya sekarang. Saya juga berterima kasih atas kepercayaan dan keterbukaan para anggota yang mendorong anggota lain untuk semakin terbuka juga. Di divisi ini

Puji Tuhan, Diakonia boleh bangkit lagi tahun ini, di bawah kepemimpinan Arnold [DKV ‘08]. Hal tersebut tentu tidak lepas dari kerja tangan Tuhan. Saya percaya bahwa Diakonia dihidupkan lagi untuk memuliakan nama-Nya lebih lagi. Sebagian orang sudah mengetahui bahwa Diakonia pernah berada di “masa kelam”. Saat itu, alumni yang ingin membantu mahasiswa Kristen ITB pun tidak dapat menyalurkan bantuan ke mana dan kepada siapa, mereka tidak tahu. Sekarang, Diakonia sudah bangkit lagi dan alumni tidak perlu pusing mewujudkan keinginan mereka untuk membantu mahasiswa Kristen ITB yang kekurangan secara finansial.

Saat ini Diakonia berada dalam keadaan stabil. Bila dilihat dari keadaan keuangan, Diakonia tidak mengalami defisit. Puji Tuhan, semoga Diakonia tidak akan defisit karena Diakonia akan selalu dipelihara oleh Tuhan melalui tangan-tangan alumni. Menurut laporan keuangan bulan Maret lalu, dana Diakonia berjumlah sekitar 17 juta. Tiap bulan, bendahara menggunakan sekitar 1,6 juta untuk diberikan kepada 8 orang mahasiswa Kristen ITB yang Diakonia bantu.

Kedelapan orang penerima itu adalah orang-orang yang dipilih berdasarkan hasil wawancara. Ketika Diakonia membuka peluang beasiswa di kepengurusan ini, ada sekitar 30 orang yang menga-jukan diri untuk menerima bantuan dari Diakonia. Dengan terbatasnya keuangan Diakonia waktu itu, hanya 7 orang saja yang diputuskan menjadi penerima.

Para pengaju memiliki masalah keuangan yang berbeda-beda. Ada dari mereka yang mengalami kekurangan karena ayahnya telah meninggal. Ada juga yang kedua orangtuanya bekerja, hanya saja tidak dapat mencukupi biaya mereka di Bandung, belum lagi masih banyak saudara yang masih ditanggung orang-tua.

Beberapa dari mereka pun ternyata menantikan keputusan beasiswa bidik misi gelombang dua yang saat itu belum keluar. Dengan banyaknya pengaju yang kami wawancarai, kami pun membawanya dalam rapat Diakonia. Kami mempertimbangkan apakah mahasiswa tersebut layak dibantu dengan melihat seluruh aspek yang kami dapatkan dari hasil wawancara. Semua pengaju memiliki kondisi ekonomi yang berkekurangan, tapi pasti ada mahasiswa yang keadaannya lebih kekurangan ketimbang pengaju-pengaju yang lain.

Mahasiswa yang memiliki kriteria seperti itulah yang kita pilih dengan berbagai pertimbangan yang dirundingkan secara bersama. Semua berpendapat tentang calon penerima yang mengajukan. Jadi, bisa dikatakan, kami sedapat mungkin objektif dalam menentukan penerima.

Setelah satu semester, semuanya makin membaik. Berdasarkan laporan keuangan Maret 2012, ada 7 orang alumni yang menjadi penyantun dengan total bantuan 7,8 juta. Awalnya, penyantun yang ada hanya sekitar 2-3 orang. Namun, sekarang jumlah itu telah bertambah menjadi 7 orang dan pasti akan bertambah lagi. Tuhan bekerja begitu luar biasa dalam menggerakkan hati para alumni untuk mau menjadi penyantun Diakonia. Tidak menjadi soal berapa besar nominal yang diberikan oleh alumni. Ketika ada alumnusyang berkomitmen untuk menjadi penyantun Diakonia, itu sudah merupakan hal yang luar biasa.

Tidak berarti juga ketika mencari penyan-tun, kami langsung mendapatkan penyan-tun yang membuka tangan. Tidak sedikit alumni yang menolak untuk menjadi penyantun dengan pertimbangan mereka masing-masing. Akan tetapi, hal itu tidak membuat kami kecil hati dan berhenti mencari penyantun. Kami tetap menghargai alasan alumni dan mengerti jika mereka memiliki prioritas lain. Tentu, kami pun berterima kasih untuk alumni yang telah menjadi penyantun di Diakonia.

Semua penerima (delapan orang) yang dibantu oleh Diakonia pun memiliki ‘pemerhati’ masing-masing. ‘Pemerhati’ini merupakan anggota Diakonia sendiri. Sesuai namanya, tugas utama pemer-hati adalah memperhatikan kehidupan para penerima, baik kehidupan di kampus, kehidupan rohani, maupun kehidupan sehari-harinya.

Selain memperhatikan kehidupan para anak penerima, tentunya tugas pemerhati adalah menjalin komunikasi dan tetap meman-tau agar dana yang mereka terima pun tidak disalahgunakan. Intinya, pemerhati memiliki tugas untuk menjadi penghubung antara penerima dan Diakonia.

Mungkin hal itu bisa menggambarkan keadaan Diakonia yang sekarang. Tapi, tentunya keadaan stabil yang sekarang bukan berarti membuat kami diam. Sasaran kami selanjutnya adalah menambah penerima dan tentunya penyantun di semester depan, agar semakin banyak lagi mahasiswa yang terberkati dan alumni yang menabur berkat. Mohon doa dan dukungan juga dari Kakak dan Abang sekalian. (yun)

Tuhan yang memberkati dan memampukan kita

saya banyak dibangun, dikuatkan, dan yang terpenting saya mengerti bahwa Tuhan mengizinkan saya memiliki keluarga yang bernama Diakonia.

Terima Kasih Semuanya:

Saya amat bersyukur atas anugerah Tuhan yang mempercayakan kepemimpinan divisi ini kepada saya. Di akhir masa saya sebagai mahasiswa ini saya banyak menerima banyak kasih sayang, perhatian dan semangat dari divisi ini. Bersyukur juga kepada semua anggota Diakonia yang sudah setia dan melayani bersama selama satu tahun ini.

Diakonia adalah bentuk kegiatan organisasi terkakhir saya selama di kampus ITB dan ini adalah kepanitaan terindah yang pernah saya alami di ITB. Terima kasih untuk setiap kerja keras, waktu, doa, dan semangat kalian selama satu tahun ini. Saya meminta maaf atas segala kesalahan saya dan ketidaksempur-naan saya dalam memimpin. Kalianlah anugerah bagi kehidu-panku. Jika melihat hidup saya dari awal hingga sekarang saya percaya bahwa Tuhan itu baik dan Ia memiliki rencana yang indah bagi saya dan Anda sekalian. Saya berharap kehangatan kekeluargaan ini tak hanya dialami para anggota Diakonia tapi juga dapat dirasakan oleh adik-adik yang kita bantu dan kakak-kakak alumni sebagai donatur Diako-nia. Semoga kita semua baik itu anggota divisi, anak penerima dan kakak alumni bisa menjalin hubungan layaknya keluarga karena kita semua adalah bagian dari pelayanan ini. Sehingga dari Diakonia bisa tercipta suatu siklus di mana mungkin yang dulunya penerima atau anggota divisi kelak bisa menjadi donatur yang akan membantu lebih banyak adik-adik yang membutuhkan bantuan ekonomi. Semoga jalinan kekeluargaan kita bisa terus terjalin dengan berlandaskan kasih. Seperti kutipan ayat Ibrani 2:11 bahwa kita semua bersaudara dan satu dalam Kristus. Semua bagi kemuliaan-Nya! (ars)

Tulisan ini saya persembahkan kepada:Eca, Agast, Yunika, Laura, Wetha, Oki, Linda, Mega, Listra, dan Ghina.

Kalianlah inspirasiku menulis kesaksian ini. Semangaaaaattt!!!!!

25 Buletin DiakonosEdisi #1

Sekilas SejarahDeskripsi sejarah divisi DiakoniaOleh: Listra EndentaBendahara Diakonia 2009-2010 dan Anggota Internal Diakonia 2010-2011

Tahun 1997 krisis ekonomi melanda Indonesia. Hal tersebuta-mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa yang dirasakan oleh seluruh masyarakat.Biaya hidup yang tinggi pun dirasakan oleh mahasiswa ITB saat itu.Terlebih bagi mereka yang berke-kurangan secara ekonomi.

Gambaran di atas menjadi latar belakang terbentuknya Diakonia pada tahun 1998. Berawal dari perbincangan dua alumni ITB, Linda Sari [TI ‘91] dan Patar Toruan [MS ‘89] mengenai kehidupan kampus. Topiknya adalah puluhan mahasiswa ITB-beberapa orang merupakan kenalan keduanya- di-DO (Drop Out/ dikeluar-kan dari kampus) karena terlibat menjadi joki UMPTN, keterba-tasan beasiswa dari kampus dan juga kondisi Krisis moneter (krismon) saat itu, hingga tercuatlan ide akan perlunya suatu tindakan bantuan untuk mereka dengan bentuk beasiswa PMK. Gagasan ini pun disampaikan pada pengurus PMK masa terse-but, Henry [EL '95]. Setali tiga uang, ide ini pun disambut baik oleh pengurus PMK dan para alumni ITB hingga program Diakonia ini pun dimulai.

Pelayanan Diakonia diawali tidak dengan mengutamakan distribusi dana bantuan, namun kepada adanya perhatian dan kontak rutin antara pengurus beasiswa, penerima beasiswa dan alumni. Di masa-masa awal, Linda rajin membagikan buku-buku untuk dibuatkan ringkasannya untuk kemudian di-sharing-kan ke semua yg terlibat. Semangat kasih yang ada menguatkan kita semua, utk menjadi ‘pemberi’, bukan ‘penerima’. Jadi program ini didesain selain untuk memberikan bantuan kepada adik-adikyang paling perlu untuk dibantu, juga perhatian kepada‘the GIVER’ juga. Ya, donatur bukan diminta untuk membagikan dana, tetapi membagikan kasih dan perhatiannya. Untuk belajar mengasihi hingga kesabaran dari kelambatan-kelambatan respon di Bandung.

Tahun 1998-1999, Diakonia pun mulai aktif berjalan. Dana yang didapatkan berasal dari alumni ITB dan penerima adalah maha-siswa ITB yang berkekurangan. Selama keberjalanannya, Diakonia bergerak secara tertutup.

Tidak ada yang mengetahui siapa pengurus ataupun penerima. Hal ini dilakukan untuk mengurangi rasa tidak enak (minder) atau malu dari penerima. Sehingga pihak yang mengetahui arah gerak diakonia hanya orang-orang tertentu saja. Tidak banyak yang diketahui mengenai pergerakan diakonia pada awal-awal berdirinya. Namun yang perlu diketahui adalah apapun yang dilakukan dan siapapun yang melakukan, hal tersebut memiliki pengaruh besar akan eksistensi Diakonia hingga kini.

Regenerasi kepengurusan terus dilakukan untuk memastikan keberjalanan Diakonia kedepannya. Pada tahun 2008, Diakonia dipegang oleh Rebecca D.S [BI ’04] yang juga menjadi pengurus pada tahun sebelumnya. Bersama dengan tim diakonia lainnya, kak Becca memegang jabatan selama 22 bulan. Pada saat kepen-gurusan ini, blog diakonia mulai mengudara. Blog tersebut berisi all about diakonia disertai dengan kesaksian yang dibuat oleh para penerima maupun donatur.

Dengan kesaksian pertama dikirim pada tanggal 28 Maret 2008. Dengan adanya blog diakonia ini, diharapkan lebih banyak lagi alumni ITB ataupun orang lain yang mengenal Diakonia dan berkomitmen untuk membantu. Selain blog diakonia, kepenguru-san tahun 2008 juga melakukan kegiatan lain untuk menjalin hubungan antara alumni dan tim diakonia serta pengenalan diakonia ke anggota baru dalam bentuk Weekend Diakonia. Weekend Diakonia juga dilakukan pada tahun 2006, namun kini kegiatan tersebut tidak dilakukan lagi.

Pada tanggal 23 Oktober 2008, tonggak kepengurusan Diakonia berpindah. Saat itu Diakonia dipegang oleh Destry Siagian [KL ’05]. Bersama dengan tim Diakonia lainnya, Diakonia berjalan sesuai dengan arahannya. Kegiatan lain yang dilakukan adalah persekutuan doa, rapat rutin, dan re-interview penerima yang dilakukan 3 bulan sekali. Kepengurusan ini berjalan hingga tahun 2009 kemudian dilanjutkan oleh Rienzy [EL ’07]. Diakonia sempat mengalami masa vakum mulai akhir 2009 hingga tahun 2010. Diakonia pun tak berfungsi selama satu tahun dan mengalami “mati suri”. Regenerasi tidak berhasil dilakukan sehingga tidak terjadi penambahan penerima dana dan donatur.

Pada tahun 2011, USM ITB dihapuskan dan siapapun dapat masuk ITB melalui SNMPTN. Kebijakan ini membuat siswa dari golongan manapun dapat masuk ITB. Melihat hal ini, peran Diakonia kembali dibutuhkan sehingga dengan arahan dari mantan Korum PMK Tahun 2010, Theo Amudi [FT ’07], diangkatlah Arnold Saputra [DKV ’08] sebagai koordinator Diakonia periode 2011/2012.

Bersama dengan tim Diakonia lainnya, Diakonia kembali berjalan dan berfungsi sebagaimana mestinya. Penerimaan beasiswa kembali dibuka, blog serta grup milis kembali difungsikan, proposal seta LPJ dibuat kembali, dan hubungan dengan alumni kembali digencarkan. Untuk meningkatkan kekeluargaan antar anggota maka dibentuklah divisi kekeluargaan, dengan beberapa kegiatan yang sudah dilakukan seperti doa on air, partner doa, dan KTB. Pada kepengurusan ini juga dicetuskan ide untuk menerbitkan buletin Diakonia.

Kini Diakonia dipegang oleh Theresia Monica Ginting [STF ’09] sebagai koordinator Diakonia periode 2012/2013. Perbaikan dan pembaharuan terus ditingkatkan agar Diakonia tetap berjalan dan dapat membantu lebih banyak lagi mahasiwa yang membutuhkan bantuan finansial. (les)

26

Page 27: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Sekilas SejarahDeskripsi sejarah divisi DiakoniaOleh: Listra EndentaBendahara Diakonia 2009-2010 dan Anggota Internal Diakonia 2010-2011

Tahun 1997 krisis ekonomi melanda Indonesia. Hal tersebuta-mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa yang dirasakan oleh seluruh masyarakat.Biaya hidup yang tinggi pun dirasakan oleh mahasiswa ITB saat itu.Terlebih bagi mereka yang berke-kurangan secara ekonomi.

Gambaran di atas menjadi latar belakang terbentuknya Diakonia pada tahun 1998. Berawal dari perbincangan dua alumni ITB, Linda Sari [TI ‘91] dan Patar Toruan [MS ‘89] mengenai kehidupan kampus. Topiknya adalah puluhan mahasiswa ITB-beberapa orang merupakan kenalan keduanya- di-DO (Drop Out/ dikeluar-kan dari kampus) karena terlibat menjadi joki UMPTN, keterba-tasan beasiswa dari kampus dan juga kondisi Krisis moneter (krismon) saat itu, hingga tercuatlan ide akan perlunya suatu tindakan bantuan untuk mereka dengan bentuk beasiswa PMK. Gagasan ini pun disampaikan pada pengurus PMK masa terse-but, Henry [EL '95]. Setali tiga uang, ide ini pun disambut baik oleh pengurus PMK dan para alumni ITB hingga program Diakonia ini pun dimulai.

Pelayanan Diakonia diawali tidak dengan mengutamakan distribusi dana bantuan, namun kepada adanya perhatian dan kontak rutin antara pengurus beasiswa, penerima beasiswa dan alumni. Di masa-masa awal, Linda rajin membagikan buku-buku untuk dibuatkan ringkasannya untuk kemudian di-sharing-kan ke semua yg terlibat. Semangat kasih yang ada menguatkan kita semua, utk menjadi ‘pemberi’, bukan ‘penerima’. Jadi program ini didesain selain untuk memberikan bantuan kepada adik-adikyang paling perlu untuk dibantu, juga perhatian kepada‘the GIVER’ juga. Ya, donatur bukan diminta untuk membagikan dana, tetapi membagikan kasih dan perhatiannya. Untuk belajar mengasihi hingga kesabaran dari kelambatan-kelambatan respon di Bandung.

Tahun 1998-1999, Diakonia pun mulai aktif berjalan. Dana yang didapatkan berasal dari alumni ITB dan penerima adalah maha-siswa ITB yang berkekurangan. Selama keberjalanannya, Diakonia bergerak secara tertutup.

Tidak ada yang mengetahui siapa pengurus ataupun penerima. Hal ini dilakukan untuk mengurangi rasa tidak enak (minder) atau malu dari penerima. Sehingga pihak yang mengetahui arah gerak diakonia hanya orang-orang tertentu saja. Tidak banyak yang diketahui mengenai pergerakan diakonia pada awal-awal berdirinya. Namun yang perlu diketahui adalah apapun yang dilakukan dan siapapun yang melakukan, hal tersebut memiliki pengaruh besar akan eksistensi Diakonia hingga kini.

Regenerasi kepengurusan terus dilakukan untuk memastikan keberjalanan Diakonia kedepannya. Pada tahun 2008, Diakonia dipegang oleh Rebecca D.S [BI ’04] yang juga menjadi pengurus pada tahun sebelumnya. Bersama dengan tim diakonia lainnya, kak Becca memegang jabatan selama 22 bulan. Pada saat kepen-gurusan ini, blog diakonia mulai mengudara. Blog tersebut berisi all about diakonia disertai dengan kesaksian yang dibuat oleh para penerima maupun donatur.

Dengan kesaksian pertama dikirim pada tanggal 28 Maret 2008. Dengan adanya blog diakonia ini, diharapkan lebih banyak lagi alumni ITB ataupun orang lain yang mengenal Diakonia dan berkomitmen untuk membantu. Selain blog diakonia, kepenguru-san tahun 2008 juga melakukan kegiatan lain untuk menjalin hubungan antara alumni dan tim diakonia serta pengenalan diakonia ke anggota baru dalam bentuk Weekend Diakonia. Weekend Diakonia juga dilakukan pada tahun 2006, namun kini kegiatan tersebut tidak dilakukan lagi.

Pada tanggal 23 Oktober 2008, tonggak kepengurusan Diakonia berpindah. Saat itu Diakonia dipegang oleh Destry Siagian [KL ’05]. Bersama dengan tim Diakonia lainnya, Diakonia berjalan sesuai dengan arahannya. Kegiatan lain yang dilakukan adalah persekutuan doa, rapat rutin, dan re-interview penerima yang dilakukan 3 bulan sekali. Kepengurusan ini berjalan hingga tahun 2009 kemudian dilanjutkan oleh Rienzy [EL ’07]. Diakonia sempat mengalami masa vakum mulai akhir 2009 hingga tahun 2010. Diakonia pun tak berfungsi selama satu tahun dan mengalami “mati suri”. Regenerasi tidak berhasil dilakukan sehingga tidak terjadi penambahan penerima dana dan donatur.

Pada tahun 2011, USM ITB dihapuskan dan siapapun dapat masuk ITB melalui SNMPTN. Kebijakan ini membuat siswa dari golongan manapun dapat masuk ITB. Melihat hal ini, peran Diakonia kembali dibutuhkan sehingga dengan arahan dari mantan Korum PMK Tahun 2010, Theo Amudi [FT ’07], diangkatlah Arnold Saputra [DKV ’08] sebagai koordinator Diakonia periode 2011/2012.

Bersama dengan tim Diakonia lainnya, Diakonia kembali berjalan dan berfungsi sebagaimana mestinya. Penerimaan beasiswa kembali dibuka, blog serta grup milis kembali difungsikan, proposal seta LPJ dibuat kembali, dan hubungan dengan alumni kembali digencarkan. Untuk meningkatkan kekeluargaan antar anggota maka dibentuklah divisi kekeluargaan, dengan beberapa kegiatan yang sudah dilakukan seperti doa on air, partner doa, dan KTB. Pada kepengurusan ini juga dicetuskan ide untuk menerbitkan buletin Diakonia.

Kini Diakonia dipegang oleh Theresia Monica Ginting [STF ’09] sebagai koordinator Diakonia periode 2012/2013. Perbaikan dan pembaharuan terus ditingkatkan agar Diakonia tetap berjalan dan dapat membantu lebih banyak lagi mahasiwa yang membutuhkan bantuan finansial. (les)

26

Page 28: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Tahun 1997 krisis ekonomi melanda Indonesia. Hal tersebuta-mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa yang dirasakan oleh seluruh masyarakat.Biaya hidup yang tinggi pun dirasakan oleh mahasiswa ITB saat itu.Terlebih bagi mereka yang berke-kurangan secara ekonomi.

Gambaran di atas menjadi latar belakang terbentuknya Diakonia pada tahun 1998. Berawal dari perbincangan dua alumni ITB, Linda Sari [TI ‘91] dan Patar Toruan [MS ‘89] mengenai kehidupan kampus. Topiknya adalah puluhan mahasiswa ITB-beberapa orang merupakan kenalan keduanya- di-DO (Drop Out/ dikeluar-kan dari kampus) karena terlibat menjadi joki UMPTN, keterba-tasan beasiswa dari kampus dan juga kondisi Krisis moneter (krismon) saat itu, hingga tercuatlan ide akan perlunya suatu tindakan bantuan untuk mereka dengan bentuk beasiswa PMK. Gagasan ini pun disampaikan pada pengurus PMK masa terse-but, Henry [EL '95]. Setali tiga uang, ide ini pun disambut baik oleh pengurus PMK dan para alumni ITB hingga program Diakonia ini pun dimulai.

Pelayanan Diakonia diawali tidak dengan mengutamakan distribusi dana bantuan, namun kepada adanya perhatian dan kontak rutin antara pengurus beasiswa, penerima beasiswa dan alumni. Di masa-masa awal, Linda rajin membagikan buku-buku untuk dibuatkan ringkasannya untuk kemudian di-sharing-kan ke semua yg terlibat. Semangat kasih yang ada menguatkan kita semua, utk menjadi ‘pemberi’, bukan ‘penerima’. Jadi program ini didesain selain untuk memberikan bantuan kepada adik-adikyang paling perlu untuk dibantu, juga perhatian kepada‘the GIVER’ juga. Ya, donatur bukan diminta untuk membagikan dana, tetapi membagikan kasih dan perhatiannya. Untuk belajar mengasihi hingga kesabaran dari kelambatan-kelambatan respon di Bandung.

Tahun 1998-1999, Diakonia pun mulai aktif berjalan. Dana yang didapatkan berasal dari alumni ITB dan penerima adalah maha-siswa ITB yang berkekurangan. Selama keberjalanannya, Diakonia bergerak secara tertutup.

Tidak ada yang mengetahui siapa pengurus ataupun penerima. Hal ini dilakukan untuk mengurangi rasa tidak enak (minder) atau malu dari penerima. Sehingga pihak yang mengetahui arah gerak diakonia hanya orang-orang tertentu saja. Tidak banyak yang diketahui mengenai pergerakan diakonia pada awal-awal berdirinya. Namun yang perlu diketahui adalah apapun yang dilakukan dan siapapun yang melakukan, hal tersebut memiliki pengaruh besar akan eksistensi Diakonia hingga kini.

Regenerasi kepengurusan terus dilakukan untuk memastikan keberjalanan Diakonia kedepannya. Pada tahun 2008, Diakonia dipegang oleh Rebecca D.S [BI ’04] yang juga menjadi pengurus pada tahun sebelumnya. Bersama dengan tim diakonia lainnya, kak Becca memegang jabatan selama 22 bulan. Pada saat kepen-gurusan ini, blog diakonia mulai mengudara. Blog tersebut berisi all about diakonia disertai dengan kesaksian yang dibuat oleh para penerima maupun donatur.

Dengan kesaksian pertama dikirim pada tanggal 28 Maret 2008. Dengan adanya blog diakonia ini, diharapkan lebih banyak lagi alumni ITB ataupun orang lain yang mengenal Diakonia dan berkomitmen untuk membantu. Selain blog diakonia, kepenguru-san tahun 2008 juga melakukan kegiatan lain untuk menjalin hubungan antara alumni dan tim diakonia serta pengenalan diakonia ke anggota baru dalam bentuk Weekend Diakonia. Weekend Diakonia juga dilakukan pada tahun 2006, namun kini kegiatan tersebut tidak dilakukan lagi.

Pada tanggal 23 Oktober 2008, tonggak kepengurusan Diakonia berpindah. Saat itu Diakonia dipegang oleh Destry Siagian [KL ’05]. Bersama dengan tim Diakonia lainnya, Diakonia berjalan sesuai dengan arahannya. Kegiatan lain yang dilakukan adalah persekutuan doa, rapat rutin, dan re-interview penerima yang dilakukan 3 bulan sekali. Kepengurusan ini berjalan hingga tahun 2009 kemudian dilanjutkan oleh Rienzy [EL ’07]. Diakonia sempat mengalami masa vakum mulai akhir 2009 hingga tahun 2010. Diakonia pun tak berfungsi selama satu tahun dan mengalami “mati suri”. Regenerasi tidak berhasil dilakukan sehingga tidak terjadi penambahan penerima dana dan donatur.

Pada tahun 2011, USM ITB dihapuskan dan siapapun dapat masuk ITB melalui SNMPTN. Kebijakan ini membuat siswa dari golongan manapun dapat masuk ITB. Melihat hal ini, peran Diakonia kembali dibutuhkan sehingga dengan arahan dari mantan Korum PMK Tahun 2010, Theo Amudi [FT ’07], diangkatlah Arnold Saputra [DKV ’08] sebagai koordinator Diakonia periode 2011/2012.

Bersama dengan tim Diakonia lainnya, Diakonia kembali berjalan dan berfungsi sebagaimana mestinya. Penerimaan beasiswa kembali dibuka, blog serta grup milis kembali difungsikan, proposal seta LPJ dibuat kembali, dan hubungan dengan alumni kembali digencarkan. Untuk meningkatkan kekeluargaan antar anggota maka dibentuklah divisi kekeluargaan, dengan beberapa kegiatan yang sudah dilakukan seperti doa on air, partner doa, dan KTB. Pada kepengurusan ini juga dicetuskan ide untuk menerbitkan buletin Diakonia.

Kini Diakonia dipegang oleh Theresia Monica Ginting [STF ’09] sebagai koordinator Diakonia periode 2012/2013. Perbaikan dan pembaharuan terus ditingkatkan agar Diakonia tetap berjalan dan dapat membantu lebih banyak lagi mahasiwa yang membutuhkan bantuan finansial. (les)

27

Page 29: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Tahun 1997 krisis ekonomi melanda Indonesia. Hal tersebuta-mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa yang dirasakan oleh seluruh masyarakat.Biaya hidup yang tinggi pun dirasakan oleh mahasiswa ITB saat itu.Terlebih bagi mereka yang berke-kurangan secara ekonomi.

Gambaran di atas menjadi latar belakang terbentuknya Diakonia pada tahun 1998. Berawal dari perbincangan dua alumni ITB, Linda Sari [TI ‘91] dan Patar Toruan [MS ‘89] mengenai kehidupan kampus. Topiknya adalah puluhan mahasiswa ITB-beberapa orang merupakan kenalan keduanya- di-DO (Drop Out/ dikeluar-kan dari kampus) karena terlibat menjadi joki UMPTN, keterba-tasan beasiswa dari kampus dan juga kondisi Krisis moneter (krismon) saat itu, hingga tercuatlan ide akan perlunya suatu tindakan bantuan untuk mereka dengan bentuk beasiswa PMK. Gagasan ini pun disampaikan pada pengurus PMK masa terse-but, Henry [EL '95]. Setali tiga uang, ide ini pun disambut baik oleh pengurus PMK dan para alumni ITB hingga program Diakonia ini pun dimulai.

Pelayanan Diakonia diawali tidak dengan mengutamakan distribusi dana bantuan, namun kepada adanya perhatian dan kontak rutin antara pengurus beasiswa, penerima beasiswa dan alumni. Di masa-masa awal, Linda rajin membagikan buku-buku untuk dibuatkan ringkasannya untuk kemudian di-sharing-kan ke semua yg terlibat. Semangat kasih yang ada menguatkan kita semua, utk menjadi ‘pemberi’, bukan ‘penerima’. Jadi program ini didesain selain untuk memberikan bantuan kepada adik-adikyang paling perlu untuk dibantu, juga perhatian kepada‘the GIVER’ juga. Ya, donatur bukan diminta untuk membagikan dana, tetapi membagikan kasih dan perhatiannya. Untuk belajar mengasihi hingga kesabaran dari kelambatan-kelambatan respon di Bandung.

Tahun 1998-1999, Diakonia pun mulai aktif berjalan. Dana yang didapatkan berasal dari alumni ITB dan penerima adalah maha-siswa ITB yang berkekurangan. Selama keberjalanannya, Diakonia bergerak secara tertutup.

Tidak ada yang mengetahui siapa pengurus ataupun penerima. Hal ini dilakukan untuk mengurangi rasa tidak enak (minder) atau malu dari penerima. Sehingga pihak yang mengetahui arah gerak diakonia hanya orang-orang tertentu saja. Tidak banyak yang diketahui mengenai pergerakan diakonia pada awal-awal berdirinya. Namun yang perlu diketahui adalah apapun yang dilakukan dan siapapun yang melakukan, hal tersebut memiliki pengaruh besar akan eksistensi Diakonia hingga kini.

Regenerasi kepengurusan terus dilakukan untuk memastikan keberjalanan Diakonia kedepannya. Pada tahun 2008, Diakonia dipegang oleh Rebecca D.S [BI ’04] yang juga menjadi pengurus pada tahun sebelumnya. Bersama dengan tim diakonia lainnya, kak Becca memegang jabatan selama 22 bulan. Pada saat kepen-gurusan ini, blog diakonia mulai mengudara. Blog tersebut berisi all about diakonia disertai dengan kesaksian yang dibuat oleh para penerima maupun donatur.

Dengan kesaksian pertama dikirim pada tanggal 28 Maret 2008. Dengan adanya blog diakonia ini, diharapkan lebih banyak lagi alumni ITB ataupun orang lain yang mengenal Diakonia dan berkomitmen untuk membantu. Selain blog diakonia, kepenguru-san tahun 2008 juga melakukan kegiatan lain untuk menjalin hubungan antara alumni dan tim diakonia serta pengenalan diakonia ke anggota baru dalam bentuk Weekend Diakonia. Weekend Diakonia juga dilakukan pada tahun 2006, namun kini kegiatan tersebut tidak dilakukan lagi.

Pada tanggal 23 Oktober 2008, tonggak kepengurusan Diakonia berpindah. Saat itu Diakonia dipegang oleh Destry Siagian [KL ’05]. Bersama dengan tim Diakonia lainnya, Diakonia berjalan sesuai dengan arahannya. Kegiatan lain yang dilakukan adalah persekutuan doa, rapat rutin, dan re-interview penerima yang dilakukan 3 bulan sekali. Kepengurusan ini berjalan hingga tahun 2009 kemudian dilanjutkan oleh Rienzy [EL ’07]. Diakonia sempat mengalami masa vakum mulai akhir 2009 hingga tahun 2010. Diakonia pun tak berfungsi selama satu tahun dan mengalami “mati suri”. Regenerasi tidak berhasil dilakukan sehingga tidak terjadi penambahan penerima dana dan donatur.

Pada tahun 2011, USM ITB dihapuskan dan siapapun dapat masuk ITB melalui SNMPTN. Kebijakan ini membuat siswa dari golongan manapun dapat masuk ITB. Melihat hal ini, peran Diakonia kembali dibutuhkan sehingga dengan arahan dari mantan Korum PMK Tahun 2010, Theo Amudi [FT ’07], diangkatlah Arnold Saputra [DKV ’08] sebagai koordinator Diakonia periode 2011/2012.

Bersama dengan tim Diakonia lainnya, Diakonia kembali berjalan dan berfungsi sebagaimana mestinya. Penerimaan beasiswa kembali dibuka, blog serta grup milis kembali difungsikan, proposal seta LPJ dibuat kembali, dan hubungan dengan alumni kembali digencarkan. Untuk meningkatkan kekeluargaan antar anggota maka dibentuklah divisi kekeluargaan, dengan beberapa kegiatan yang sudah dilakukan seperti doa on air, partner doa, dan KTB. Pada kepengurusan ini juga dicetuskan ide untuk menerbitkan buletin Diakonia.

Kini Diakonia dipegang oleh Theresia Monica Ginting [STF ’09] sebagai koordinator Diakonia periode 2012/2013. Perbaikan dan pembaharuan terus ditingkatkan agar Diakonia tetap berjalan dan dapat membantu lebih banyak lagi mahasiwa yang membutuhkan bantuan finansial. (les)

Diakonia berjalan

Diakonia terbentuk

Kordinator:

Rebecca Bi’04

Kordinator:

Destry Siagian Kl’05

1997 1998 1999 2009 2008 2011 2010 2012

Krisi ekonomi

Diakonia Vakum

Diakonia berjalan

Kordinator:

Arnold DKV’08

Kordinator:

Theresia STF’09

Blog Diakonia Buletin Diakonia

28

Page 30: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Page 31: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Kesaksian Pemerhati:Rubrik ini membahas tentang kehidupan anggota Diakonia yang bergerak sebagai pemerhati. Apa sa ja yang ia dapatkan selama mengasihi dan memeperhatikan anak yang dibantu Diakonia.

Page 32: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Kasih dan KepedulianSebuah kesaksian seorang pemerhatiOleh: Agastia Cestyakara SiagianKoordinator Eksternal Diakonia 2011-2012

Saat ditunjuk pertama kali untuk menjadi seorang pemerhati di Diakonia, aku langsung menerimanya tanpa berpikir panjang. Aku berpikir, "Apalah susahnya jadi pemerhati, tugasnya juga udah jelas". Lagipula aku juga sudah memuridkan, jadi kayaknya gak akan jauh beda. Oke, jadi aku menerima seorang adik sebagai orang yang kuperhatikan.

Semakin berjalannya waktu aku sadar, ada sesuatu yang berbeda dari pemikiranku semula mengenai pemerhati ini. Hal itu menge-nai pembelajaran yang kudapat, dan nilai yang bisa kuambil dari pengalaman ini. Pertama, pembelajaran. Adik yang kuperhatikan (sebut saja sahabat) secara gak langsung mengajarkan aku banyak hal, terutama tentang semangat dan kesederhanaan.

Dalam persamaan pada umumnya, semangat seseorang berban-ding lurus dengan keadaannya. Kalau keadaan mendukung, semangat akan meningkat; sebaliknya, kalau keadaan kacau, berkekurangan, dan menyebalkan, maka semangat akan pudar bahkan hilang sama sekali. Tapi tidak untuk sahabat. Setiap kami ketemu, sahabat selalu tersenyum. Cerita-cerita yang dia bagikan selalu menggambarkan api yang berkobar. Belum pernah ada keluhan yang keluar dari sahabat. Dan walaupun ada, berarti dia berhasil mengatasinya. Malah cerita yang kudengar sering membanggakan, prestasi dan kegiatan mewarnai kehidupan sahabat. Semangat yang luar biasa.

Lalu, kesederhanaan. Aku melihat sahabat menilai kesederhanaan sebagai kelebihan, bukan kekurangan. Ya memang penyebabnya adalah kondisi ekonomi yang berkekurangan, tapi keadaan ini dimanfaatkannya untuk membentuk karakter yang sederhana. Dari sini aku yakin sahabat selalu bersyukur dan merasa berkecu-kupan dengan apa yang ada padanya. Tidak berharap memiliki lebih namun selalu melakukan hal yang lebih.

Aku juga mengambil nilai-nilai esensial dari kisahku sebagai pemerhati yang sungguh-sungguh memperkaya pengenalanku akan Tuhan. Nilai yang terutama berkaitan dengan komitmen dan kasih. Komitmen ini menggerakkanku untuk tulus dan disiplin dalam memperhatikan sahabat seperti adik PA-ku sendiri. Di saat aku mengatakan komitmen, maka akan tumbuh tanggung jawab di sana, lebih kepada Tuhan daripada kepada sahabat, sebab sedikit banyak Tuhan memercayakan sahabat kepadaku, untuk kubimbing, kuperhatikan, dan saling belajar.

Kemudian, nilai tentang kasih, hal terbesar yang bisa dimiliki dan dialami oleh orang percaya. Mungkin gak banyak yang harus kukorbankan untuk mengasihi sahabat. Waktu bertemu gak memakan terlalu banyak jadwal, pikiran pun gak terlalu terbeban berat. Tapi bagaimana aku melakukan komitmen ini dengan kasih, kepedulian penuh akan keadaan dan pertumbuhan sahabat dalam pengenalan dan pengalamannya bersama Tuhan. Suasana damai dan persaudaraan yang Tuhan berikan pada kami telah menguat-kan masing-masing kami sesuai apa yang kami perlukan. Sebab adalah lebih baik melakukan sesuatu yang kecil dengan kasih yang besar, daripada melakukan hal yang besar tanpa kasih.

“Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya”. (1 Yohanes 4:21)Semua hanya untuk kemuliaan Tuhan dan pernyataan kasih-Nya di tengah dunia. (ack)

31

Page 33: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Saat ditunjuk pertama kali untuk menjadi seorang pemerhati di Diakonia, aku langsung menerimanya tanpa berpikir panjang. Aku berpikir, "Apalah susahnya jadi pemerhati, tugasnya juga udah jelas". Lagipula aku juga sudah memuridkan, jadi kayaknya gak akan jauh beda. Oke, jadi aku menerima seorang adik sebagai orang yang kuperhatikan.

Semakin berjalannya waktu aku sadar, ada sesuatu yang berbeda dari pemikiranku semula mengenai pemerhati ini. Hal itu menge-nai pembelajaran yang kudapat, dan nilai yang bisa kuambil dari pengalaman ini. Pertama, pembelajaran. Adik yang kuperhatikan (sebut saja sahabat) secara gak langsung mengajarkan aku banyak hal, terutama tentang semangat dan kesederhanaan.

Dalam persamaan pada umumnya, semangat seseorang berban-ding lurus dengan keadaannya. Kalau keadaan mendukung, semangat akan meningkat; sebaliknya, kalau keadaan kacau, berkekurangan, dan menyebalkan, maka semangat akan pudar bahkan hilang sama sekali. Tapi tidak untuk sahabat. Setiap kami ketemu, sahabat selalu tersenyum. Cerita-cerita yang dia bagikan selalu menggambarkan api yang berkobar. Belum pernah ada keluhan yang keluar dari sahabat. Dan walaupun ada, berarti dia berhasil mengatasinya. Malah cerita yang kudengar sering membanggakan, prestasi dan kegiatan mewarnai kehidupan sahabat. Semangat yang luar biasa.

Lalu, kesederhanaan. Aku melihat sahabat menilai kesederhanaan sebagai kelebihan, bukan kekurangan. Ya memang penyebabnya adalah kondisi ekonomi yang berkekurangan, tapi keadaan ini dimanfaatkannya untuk membentuk karakter yang sederhana. Dari sini aku yakin sahabat selalu bersyukur dan merasa berkecu-kupan dengan apa yang ada padanya. Tidak berharap memiliki lebih namun selalu melakukan hal yang lebih.

Aku juga mengambil nilai-nilai esensial dari kisahku sebagai pemerhati yang sungguh-sungguh memperkaya pengenalanku akan Tuhan. Nilai yang terutama berkaitan dengan komitmen dan kasih. Komitmen ini menggerakkanku untuk tulus dan disiplin dalam memperhatikan sahabat seperti adik PA-ku sendiri. Di saat aku mengatakan komitmen, maka akan tumbuh tanggung jawab di sana, lebih kepada Tuhan daripada kepada sahabat, sebab sedikit banyak Tuhan memercayakan sahabat kepadaku, untuk kubimbing, kuperhatikan, dan saling belajar.

Kemudian, nilai tentang kasih, hal terbesar yang bisa dimiliki dan dialami oleh orang percaya. Mungkin gak banyak yang harus kukorbankan untuk mengasihi sahabat. Waktu bertemu gak memakan terlalu banyak jadwal, pikiran pun gak terlalu terbeban berat. Tapi bagaimana aku melakukan komitmen ini dengan kasih, kepedulian penuh akan keadaan dan pertumbuhan sahabat dalam pengenalan dan pengalamannya bersama Tuhan. Suasana damai dan persaudaraan yang Tuhan berikan pada kami telah menguat-kan masing-masing kami sesuai apa yang kami perlukan. Sebab adalah lebih baik melakukan sesuatu yang kecil dengan kasih yang besar, daripada melakukan hal yang besar tanpa kasih.

“Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya”. (1 Yohanes 4:21)Semua hanya untuk kemuliaan Tuhan dan pernyataan kasih-Nya di tengah dunia. (ack)

32

Page 34: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Resensi Buku:Rubrik ini membahas tentang buku rohani yang menarik dan tentunya isi dari bukunya bisa di applikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Page 35: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Resensi Buku:Rubrik ini membahas tentang buku rohani yang menarik dan tentunya isi dari bukunya bisa di applikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Buletin DiakonosEdisi #1

Decision MakingSebuah buku tentang pengambilan keputusan pemimpin rohani.Oleh: Hanni Manta M.Anggota Eksternal Diakonia 2011-2012

Judul Buku : Decision Making by The BookPenulis : Haddon W. RobinsonPenerbit : Discovery House PublisherTahun Terbit : 1998Tebal : 151 halaman

Hidup kita penuh dengan pilihan–lebih dari 300 pilihan setiap hari. Mau ke mana hari ini, makan apa malam ini, pakai baju apa hari ini, dan berbagai macam pilihan lainnya. Awalnya, membuat keputusan untuk hal-hal seperti itu masih mudah bagi kita. Tapi makin kita dewasa, makin kita dihadapkan pada berbagai pilihan penting yang menyangkut kehidupan dan masa depan kita. Misalnya setelah kuliah mau kerja dimana, siapa pasangan hidup kelak, dan sebagainya. Hal-hal yang seperti ini tentu harus ditanggapi dengan lebih serius.

Kadang, ada orang yang menggunakan cara yang tidak masuk akal seperti menghitung kancing atau melempar koin. Orang Kristen jugasering menjadikan Alkitab sebagai alat bantu dalam membuat keputusan. Mereka menutup mata, membuka halaman Alkitab dan menunjuk salah satu ayat Alkitab secara acak, lalu menjadikan ayat yang tertunjuk itu sebagai suara Allah. Bayang-kan jika ayat yang ditunjuk oleh seseorang yang sedang putus asa adalah Matius 27:5!

Buku “Decision Making by The Book” karya Haddon W. Robinson ini membahas tentang langkah-langkah yang baik untuk mem-buat keputusan. Contohnya, sebelum kita membuat keputusan, kita harus mencari tahu keinginan Allah yang tepat bagi kita. Allah sudah memiliki rencana, namun kita memiliki hak untuk memilih dan bertanggung jawab atas keputusan kita. Oleh karena itu dalam membuat keputusan penting, kenali dulu tujuan dan motif kita, kelebihan dan kekurangan, serta pertimbangkan dampak pilihan kita bagi diri sendiri maupun orang lain di masa yang akan datang.

Pilihan berat seringkali datang di masa-masa yang sulit dan penuh tekanan. Namun jangan sampai itu mengekang kita. Singkirkan mood saat membuat keputusan karena emosi bisa berpengaruh. Yang terpenting, keputusan kita haruslah sejalan dengan hukum Kristus, yaitu kasih kepada Tuhan dan sesama.

Semua ini dikemas dalam 12 bab bahasan berbahasa Inggris yang jelas dibaca, praktis, dan mudah dimengerti. Penulis juga menyer-takan ayat-ayat Alkitab, cerita dan kasus-kasus yang membantu kita dalam memahami isinya. Buku ini membuka pikiran tentang banyak hal yang seringkali salah dimengerti oleh orang Kristen dalam menggunakan Alkitab sebagai pedoman membuat keputu-san dalam memimpin. (hmm)

34

Page 36: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Judul Buku : Decision Making by The BookPenulis : Haddon W. RobinsonPenerbit : Discovery House PublisherTahun Terbit : 1998Tebal : 151 halaman

Hidup kita penuh dengan pilihan–lebih dari 300 pilihan setiap hari. Mau ke mana hari ini, makan apa malam ini, pakai baju apa hari ini, dan berbagai macam pilihan lainnya. Awalnya, membuat keputusan untuk hal-hal seperti itu masih mudah bagi kita. Tapi makin kita dewasa, makin kita dihadapkan pada berbagai pilihan penting yang menyangkut kehidupan dan masa depan kita. Misalnya setelah kuliah mau kerja dimana, siapa pasangan hidup kelak, dan sebagainya. Hal-hal yang seperti ini tentu harus ditanggapi dengan lebih serius.

Kadang, ada orang yang menggunakan cara yang tidak masuk akal seperti menghitung kancing atau melempar koin. Orang Kristen jugasering menjadikan Alkitab sebagai alat bantu dalam membuat keputusan. Mereka menutup mata, membuka halaman Alkitab dan menunjuk salah satu ayat Alkitab secara acak, lalu menjadikan ayat yang tertunjuk itu sebagai suara Allah. Bayang-kan jika ayat yang ditunjuk oleh seseorang yang sedang putus asa adalah Matius 27:5!

Buku “Decision Making by The Book” karya Haddon W. Robinson ini membahas tentang langkah-langkah yang baik untuk mem-buat keputusan. Contohnya, sebelum kita membuat keputusan, kita harus mencari tahu keinginan Allah yang tepat bagi kita. Allah sudah memiliki rencana, namun kita memiliki hak untuk memilih dan bertanggung jawab atas keputusan kita. Oleh karena itu dalam membuat keputusan penting, kenali dulu tujuan dan motif kita, kelebihan dan kekurangan, serta pertimbangkan dampak pilihan kita bagi diri sendiri maupun orang lain di masa yang akan datang.

Pilihan berat seringkali datang di masa-masa yang sulit dan penuh tekanan. Namun jangan sampai itu mengekang kita. Singkirkan mood saat membuat keputusan karena emosi bisa berpengaruh. Yang terpenting, keputusan kita haruslah sejalan dengan hukum Kristus, yaitu kasih kepada Tuhan dan sesama.

Semua ini dikemas dalam 12 bab bahasan berbahasa Inggris yang jelas dibaca, praktis, dan mudah dimengerti. Penulis juga menyer-takan ayat-ayat Alkitab, cerita dan kasus-kasus yang membantu kita dalam memahami isinya. Buku ini membuka pikiran tentang banyak hal yang seringkali salah dimengerti oleh orang Kristen dalam menggunakan Alkitab sebagai pedoman membuat keputu-san dalam memimpin. (hmm)

35

Page 37: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Judul Buku : Decision Making by The BookPenulis : Haddon W. RobinsonPenerbit : Discovery House PublisherTahun Terbit : 1998Tebal : 151 halaman

Hidup kita penuh dengan pilihan–lebih dari 300 pilihan setiap hari. Mau ke mana hari ini, makan apa malam ini, pakai baju apa hari ini, dan berbagai macam pilihan lainnya. Awalnya, membuat keputusan untuk hal-hal seperti itu masih mudah bagi kita. Tapi makin kita dewasa, makin kita dihadapkan pada berbagai pilihan penting yang menyangkut kehidupan dan masa depan kita. Misalnya setelah kuliah mau kerja dimana, siapa pasangan hidup kelak, dan sebagainya. Hal-hal yang seperti ini tentu harus ditanggapi dengan lebih serius.

Kadang, ada orang yang menggunakan cara yang tidak masuk akal seperti menghitung kancing atau melempar koin. Orang Kristen jugasering menjadikan Alkitab sebagai alat bantu dalam membuat keputusan. Mereka menutup mata, membuka halaman Alkitab dan menunjuk salah satu ayat Alkitab secara acak, lalu menjadikan ayat yang tertunjuk itu sebagai suara Allah. Bayang-kan jika ayat yang ditunjuk oleh seseorang yang sedang putus asa adalah Matius 27:5!

Buku “Decision Making by The Book” karya Haddon W. Robinson ini membahas tentang langkah-langkah yang baik untuk mem-buat keputusan. Contohnya, sebelum kita membuat keputusan, kita harus mencari tahu keinginan Allah yang tepat bagi kita. Allah sudah memiliki rencana, namun kita memiliki hak untuk memilih dan bertanggung jawab atas keputusan kita. Oleh karena itu dalam membuat keputusan penting, kenali dulu tujuan dan motif kita, kelebihan dan kekurangan, serta pertimbangkan dampak pilihan kita bagi diri sendiri maupun orang lain di masa yang akan datang.

Pilihan berat seringkali datang di masa-masa yang sulit dan penuh tekanan. Namun jangan sampai itu mengekang kita. Singkirkan mood saat membuat keputusan karena emosi bisa berpengaruh. Yang terpenting, keputusan kita haruslah sejalan dengan hukum Kristus, yaitu kasih kepada Tuhan dan sesama.

Semua ini dikemas dalam 12 bab bahasan berbahasa Inggris yang jelas dibaca, praktis, dan mudah dimengerti. Penulis juga menyer-takan ayat-ayat Alkitab, cerita dan kasus-kasus yang membantu kita dalam memahami isinya. Buku ini membuka pikiran tentang banyak hal yang seringkali salah dimengerti oleh orang Kristen dalam menggunakan Alkitab sebagai pedoman membuat keputu-san dalam memimpin. (hmm)

35 Buletin DiakonosEdisi #1

Page 38: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Dia Tak Pernah BosanSebuah puisi tentang kehidupan rohani Oleh: Laura Mellisa Minnesota SinagaKepala Divisi Internal Diakonia 2011-2012

Aku merasa bosanMaaf, ketika aku sampai mengeluh dan merajuk ingin keluar dari segala kebosanan ini

Bosanku timbul dari kerutinan kehidupan yang kujalaniKegiatan yang kulakukan terus-menerusAku telah kehilangan gairah mula-mula untuk melakukan Badan ini bagai robot yang hanya kerja tanpa perassaan

Aku pun bosan karena hal-hal sekelilingku yang tidak berubah, selalu begituSemua bergerak dengan konstanTak ada hal-hal menarik yang terjadi Hidup ini berlalu begitu saja

Ingin rasanya diri ini berhenti melakukan dan keluardari segala rutinitas dan dari segala hal yang membosankan ituAku ingin mencari “pelarian” yang lebih menarik yang mungkin, tentu saja, akan membuat diri lebih bersemangat dari sebelum sebelumnya

Kucari “pelarian” itu, tapi tak dapat kutemukanMerasa semakin tak bersemangat, aku pun memilih untuk berdiamTak kusangka, di dalam diam itu aku malah

“Aku bosan. Aku jenuh dengan ini semua. I want something new”.

menemukan hal yang lainKusadari mengapa bumi masih berputarMengapa matahari masih terbit di pagi hari dan sang bulan bergantian menjadi penerang langit pada malam harinyaKuyakin Sang Pemilik alam semesta tidak pernah bosan.

Berapakah umur bumi sekarang?Selama umur bumi masih ada, Sang Pencipta tidak bosan untuk mengatur agar bumi ini masih berputar.Ia terbitkan matahari setiap pagiBukankah seharusnya Ia bosan dengan segala rutinitas seperti itu?

Sungguh, aku bersyukur Tuhan tidak pernah bosan.Seandainya Ia bosan dan ingin berhenti sehari saja dari kegiatan menerbitkan matahari dan memelihara makhluk-makhluk ciptaan-Nya,Entah akan seperti apa bumi ini.Entah akan sekacau apa hidup ini.

Kuyakin Tuhan menghayati setiap hal yang dilakukan-Nya.Sehingga Ia tidak mengeluh atau menggerutu bosan dengan apa yang dikerjakan-Nya terus menerus.Dalam keperkasaan dan kekuasaan-Nya, Sang Pencipta bersukacita karena alam raya ciptaan-Nya.

Aku pun berhenti mencari “pelarian” itu.Aku ingin menghayati dan menikmati segala rutinitas yang kujalani ini.Meskipun sekelilingku pun terasa biasa saja, aku akan membuatnya berbeda karena sikap hatiku yang kini berubah.(lmm)

37

Page 39: Diakonos

Buletin DiakonosEdisi #1

Dia Tak Pernah BosanSebuah puisi tentang kehidupan rohani Oleh: Laura Mellisa Minnesota SinagaKepala Divisi Internal Diakonia 2011-2012

Aku merasa bosanMaaf, ketika aku sampai mengeluh dan merajuk ingin keluar dari segala kebosanan ini

Bosanku timbul dari kerutinan kehidupan yang kujalaniKegiatan yang kulakukan terus-menerusAku telah kehilangan gairah mula-mula untuk melakukan Badan ini bagai robot yang hanya kerja tanpa perassaan

Aku pun bosan karena hal-hal sekelilingku yang tidak berubah, selalu begituSemua bergerak dengan konstanTak ada hal-hal menarik yang terjadi Hidup ini berlalu begitu saja

Ingin rasanya diri ini berhenti melakukan dan keluardari segala rutinitas dan dari segala hal yang membosankan ituAku ingin mencari “pelarian” yang lebih menarik yang mungkin, tentu saja, akan membuat diri lebih bersemangat dari sebelum sebelumnya

Kucari “pelarian” itu, tapi tak dapat kutemukanMerasa semakin tak bersemangat, aku pun memilih untuk berdiamTak kusangka, di dalam diam itu aku malah

“Aku bosan. Aku jenuh dengan ini semua. I want something new”.

menemukan hal yang lainKusadari mengapa bumi masih berputarMengapa matahari masih terbit di pagi hari dan sang bulan bergantian menjadi penerang langit pada malam harinyaKuyakin Sang Pemilik alam semesta tidak pernah bosan.

Berapakah umur bumi sekarang?Selama umur bumi masih ada, Sang Pencipta tidak bosan untuk mengatur agar bumi ini masih berputar.Ia terbitkan matahari setiap pagiBukankah seharusnya Ia bosan dengan segala rutinitas seperti itu?

Sungguh, aku bersyukur Tuhan tidak pernah bosan.Seandainya Ia bosan dan ingin berhenti sehari saja dari kegiatan menerbitkan matahari dan memelihara makhluk-makhluk ciptaan-Nya,Entah akan seperti apa bumi ini.Entah akan sekacau apa hidup ini.

Kuyakin Tuhan menghayati setiap hal yang dilakukan-Nya.Sehingga Ia tidak mengeluh atau menggerutu bosan dengan apa yang dikerjakan-Nya terus menerus.Dalam keperkasaan dan kekuasaan-Nya, Sang Pencipta bersukacita karena alam raya ciptaan-Nya.

Aku pun berhenti mencari “pelarian” itu.Aku ingin menghayati dan menikmati segala rutinitas yang kujalani ini.Meskipun sekelilingku pun terasa biasa saja, aku akan membuatnya berbeda karena sikap hatiku yang kini berubah.(lmm)

37Buletin Diakonos

Edisi #1

Aku merasa bosanMaaf, ketika aku sampai mengeluh dan merajuk ingin keluar dari segala kebosanan ini

Bosanku timbul dari kerutinan kehidupan yang kujalaniKegiatan yang kulakukan terus-menerusAku telah kehilangan gairah mula-mula untuk melakukan Badan ini bagai robot yang hanya kerja tanpa perassaan

Aku pun bosan karena hal-hal sekelilingku yang tidak berubah, selalu begituSemua bergerak dengan konstanTak ada hal-hal menarik yang terjadi Hidup ini berlalu begitu saja

Ingin rasanya diri ini berhenti melakukan dan keluardari segala rutinitas dan dari segala hal yang membosankan ituAku ingin mencari “pelarian” yang lebih menarik yang mungkin, tentu saja, akan membuat diri lebih bersemangat dari sebelum sebelumnya

Kucari “pelarian” itu, tapi tak dapat kutemukanMerasa semakin tak bersemangat, aku pun memilih untuk berdiamTak kusangka, di dalam diam itu aku malah

menemukan hal yang lainKusadari mengapa bumi masih berputarMengapa matahari masih terbit di pagi hari dan sang bulan bergantian menjadi penerang langit pada malam harinyaKuyakin Sang Pemilik alam semesta tidak pernah bosan.

Berapakah umur bumi sekarang?Selama umur bumi masih ada, Sang Pencipta tidak bosan untuk mengatur agar bumi ini masih berputar.Ia terbitkan matahari setiap pagiBukankah seharusnya Ia bosan dengan segala rutinitas seperti itu?

Sungguh, aku bersyukur Tuhan tidak pernah bosan.Seandainya Ia bosan dan ingin berhenti sehari saja dari kegiatan menerbitkan matahari dan memelihara makhluk-makhluk ciptaan-Nya,Entah akan seperti apa bumi ini.Entah akan sekacau apa hidup ini.

Kuyakin Tuhan menghayati setiap hal yang dilakukan-Nya.Sehingga Ia tidak mengeluh atau menggerutu bosan dengan apa yang dikerjakan-Nya terus menerus.Dalam keperkasaan dan kekuasaan-Nya, Sang Pencipta bersukacita karena alam raya ciptaan-Nya.

Aku pun berhenti mencari “pelarian” itu.Aku ingin menghayati dan menikmati segala rutinitas yang kujalani ini.Meskipun sekelilingku pun terasa biasa saja, aku akan membuatnya berbeda karena sikap hatiku yang kini berubah.(lmm)

38

Page 40: Diakonos