Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh...
Transcript of Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh...
DEPOK, 2005
Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sains Ekonomi
• Pada Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
TES IS
ROOSI TJANDRAKIRANA 6603000333
OLEH
ANALISIS PENUTUPAN HUTAN SEBAGAI TAKSIRAN DEFORESTASI : SUATU MODEL EKONOMETRIKA
Ketua Program Studi,
Dr. Adhi Santika Prof. Dr. Mangara Tambunan
Penguji Tesis, Pembimbing Tesis,
Depok, 15 Juli 2005
Roosi Tjandrakirana
6603000333
Ekonomi SDA dan Lingkungan
ANALISIS PENUTUPAN HUTAN SEBAGAI TAKSIRAN
DEFORESf ASI : SUATU MODEL EKONOMETRIKA
PERSETUJUAN TESIS
Nama
N.P.M
Kekhususan
Judul Tesis
Ill
Laju deforestasi yang meningkat pesat dari 1,87 juta ha per tahun pada periode 1985-1997 menjadi sekitar 2,8 juta ha per tahun pada periode 1998- 2000 menyebabkan berbagai masalah antara lain : turunnya kualitas lingkungan, hasil kayu menurun drastis yang berdampak pada kurangnya pasokan industri kayu, dll Banyak faktor yang menyebabkan teJjadinya perubahan penutupan hutan di Indonesia. Semula diduga, praktek pengelolaan HPH dan pertumbuhan industri perkayuan yang mengakibatkan peningkatan laju deforestasi. Tetapi pendapat lain mengatakan, pembahan penutupan hutan teJjadi sebagai akibat peningkatan jumlah petani dan peladang berpindah di kawasan hutan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan teJjadinya perubahan penutupan hutan? Faktor apa yang lebih berpengaruh akibat penebangan hutan atau konversi hutan ?
Melalui model data panel dari 19 propinsi antara 1976 - 2000, dilakukan analisis untuk mendapatkan gambaran penyebab langsung teJjadinya pembahan penutupan hutan. Berdasarkan hasil analisis, penutupan hutan dapat digunakan sebagai taksiLan teJjadinya deforestasi. Ini ditunjukkan oleh hubungan positif antara penutupan hutan dengan peningkatan !aju deforestasi. Selanjutnya, penebangan dan konversi hutan masing-masing mempunyai kontribusi terhadap perubahan penutupan hutan. Faktor harga kayu, luas HPH, jumlah HPH, kebutuhan bahan baku industri kayu dan faktor krisis ekonomi tahun 1997 berkorelasi fX)sitif terhadap deforestasi. Sebaliknya, jumlah ekspor kayu berkorelasi negatif terhadap deforestasi. Sedangkan variabel harga kelapa sawit, kopi, karet dan jumlah penduduk berkorelasi positif terhadap deforestasi. Sebaliknya hasil pangan dan PDRB per kapita berkorelasi negatif terhadap deforestasi. Hasil analisis juga menunjukkan, konversi hutan merupakan penyebab utama deforestasi hutan di Indonesia. Hal ini berarti, peningkatan jumlah penduduk akan mendorong teJjadinya deforestasi akibat peningkatan kebutuhan lahan untuk pertanian dan pemukiman.
Klasifikasi JEL : C23, Q23, Q27, Q54 Keyword _ . : 1. Penutupan hutan
2. Deforestasi 3. Model Panel Data
ROOS! TJANDRAKIRANA 6603000333
Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
ANAUSIS PENUTUPAN HUTAN SEBAGAI TAKSIRAN DEFORESTASI: SUATU MODEL EKONOMETRIKA
ABSTRAK TESIS
lV
The rate of deforestation on average 1,87 million hectares per year between 1985-1997 rise about 2,8 million hectares per year between 1998-2000 that cease many problems t.e: environmental quality decreased, timber product go down that has an impact on supply to timber industry etc. There are many facto!S which c.auses of forest rover change in Indonesia. From the beginning estimated, the growth of concessions management and timber industry explains the perceive rapid acceleration of deforestation. But another opinion, forest cover change is principally a response to the number of smallholders and shifting cultivation in the forest area.
The -tneas is designs to investigate what kinds of facto!S that causes of forest cover change ? What kinds of factors that more influence logging or forest conversion?
Based on panel data from 19 provinces between 1976-2000, analysis is used to detennine the immediate causes of forest cover change. The result of analysis shows that forest cover can be used to estimate the deforestation. The lower of forest cover have positive correlation to the accelerating of deforestation. Moreover, both logging and forest amversion have contribution to the forest cover change. The timber price, wide of concessions, number of concessions, log consumption timber industry and Indonesia 1997 economic crisis have positive correlation toward deforestation. The other factor, the timber export has negative correlation toward deforestation. While, the prices of palm oi~ mffee, rubber and number of population have positive correlation toward deforestation. Interestingly, food aop and gross domestic regional product per capita have negative correlation toward deforestation. The result of analysis have also indicate that forest conversion has detennine as the major causes of deforestation in Indonesia. That is imply, the increasing number of population will generate ·deforestation, that is as result the growth of fannland and setUement needed.
In order to preserve forest, seveml policies need to be applied ie : developing timber plantation and non-timber forest products, restructuring license system, continuing soft/anding policy, improving timber administration and forest product marketing, applied low tsxes for imported log, forest and critical lands rehabilitation, and strengthening control and law enforcement over forest preservation objectives.
Untuk kelestarian hutan petfu dilakukan : pengembangan HT! dan hasil hutan non kayu, penataan perijinan, kebijakan soft/anding tetap dipertahankan, perbaikan tata usaha kayu dan peredaran hasil lwtan, dilakukan tmpor kayu dengan bee masuk rendah, rehabilitasi hutan dan lahan kritis serta penguatan pengawasan dan penegakan hukum.
v
Puji syukur penulis panjatkan atas segala rahmat dan karunia Allah SWT
yang telah dilirnpahkan sehingga dapat rnenyelesaikan tesis ini dengan baik.
Proses penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyarnpaikan penghargaan dan rasa
terima kasih kepada sernua pihak yang telah rnernbantu dalarn proses
penyelesaian tests ini rnaupun selama masa kuliah di Program Pascasarjana Ilmu
Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr.
Mangara Tambunan selaku dosen Pembimbing tests yang dengan sabar
memberi masukan, dukungan maupun waktunya untuk rnengoreksi tesis ini.
Terima kasih penulis sampaikan pula pada Bapak Dr. Arindra A. Zainal selaku
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi sekaligus sebagai dosen penguji pada sidang
tesis maupun Bapak Dr. Adhi Santika selaku dosen penguji yang telah banyak
memberi masukan untuk penyempumaan tesis ini. Tldak lupa penulis sampaikan
penghargaan kepada Bapak Suahasil Nazara Ph.D selaku Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi · periode sebelumnya yang telah rnemberi motivasi kepada
angkatan 2003 untuk segera menyelesaikan tesis.
Penghargaan penulis sampaikan pula kepada BAPPENAS atas beasiswa
yang diberikan, sehingga penulis mempunyai kesempatan untuk rnenernpuh
Program Pascasarjana Ilmu Ekonorni di FE - UI. Kepada Ibu Agustin, Pak
Karyanto, dan mbak Nunik terirna kasih sekali atas dukungannya.
KATA PENGANTAR
VI
Terima kasih penulis sampaikan pada Bapak Bambang Soepijanto, Bapak
Agus Mulyono, Bapak Iman Santoso dan Pak Kustanta. Secara khusus penulis
sampaikan terima kasih yang mendalam pada teman-teman dari Departemen
Kehutanan yang dengan senang hati membantu menyediakan data untuk
melengkapi tests lni : Pak Hud, Pak Tri, dan Yana. Demikian pula dengan teman-
teman di Inventarisasi Hutan : Heri, Nunk, mbak Sri, Krisna, Pak Pur, Pak
Sopandi dan lain-lain terima kasih sekali dukungannya.
Teman-teman angkat:an 2003 : mbak Is, Ade Tatum, mas Eko, Agus,
Ikeu, Farma, Dewi, Ade Rendra sert:a teman-teman lain yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungannya. Suasana yang penuh
keakraban dan rasa kekeluargaan bersama kalian mudah-mudahan akan tetap
terjaga. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih pada mbak Dorti, mas Irwan,
Puri sert:a teman-teman di CESS lainnya maupun mbak Yati, mbak Mirna, mbak
Asti dan lain-lain dart Pascasarjana Ilmu Ekonomi yang banyak membantu atas
kelancaran penyusunan tesis ini maupun selama kuliah di FE - UL
Terima kasih pula pada kakak dan adikku, mas Doni, mas Dono, Rini sert:a
Dadut at:as doanya. Akhirnya, terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis
sampaikan kepada Suamiku terdnta, mas Hartono dan 2 putriku terkasih, Dian
dan Dinar, sert:a Ibuku yang telah memberi cinta, pengertian, motivasi sert:a doa
dan dukungannya.
Vil
53 59 68
53 BAB IV. TELAAH KEBIJAKAN EKSPLOITASI HUTAN DI INDONESIA
4.1. Perkembangan Kebijakan Eksploitasi Hutan 4.2. Perkembangan Eksploitasi dan Konversi Hutan 4.3. Perubahan Penutupan Hutan
29 29 36 38 40 42 42 44 45 45 47 50
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran 3.2. Model Penutupan Hutan 3.3. Hipotesis Penelitian 3.4. Analisis Data Panel
3.4.1. Pooled Regression 3.4.2. Model Fixed Effect 3.4.3. Model Random Effect
· 3.4.4. Uji Spesifikasi 3.4.5. Uji Hausman 3.4.6. Uji Asumsi Dasar
3.5. Data dan Sumber Data
8 8
13 19 25
BAB II. TELAAH KEPUSTAKAAN
2.1. Kondisi Sumberdaya Hutan Saat Ini 2.2. Pengertian Deforestasi 2.3. Penyebab Deforestasi 2.4. Pendekatan Penutupan Hutan Sebagai Taksiran
Deforestasi
1 1
5 6 6
BABI. PENDAHULUAN
1.1. L.atar Belakang l.'.2. Perumusan Masalah 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Organisasi Penelitian
ix xi
vii v
ii iii
HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN TESIS ABSTRAK TESIS KATA PENGANTAR DAFTARISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
DAFTAR ISi
Vlll
109 114
DAFTAR PUSTAKA LAMPI RAN
102 102 105 107
BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan 6.2. Rekomendasi 6.3. Keterbatasan Studi
95
93
86
75 75 75 77 78 79
BAB V. ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN HUTAN 5.1. Hasil Pengujian Model
5.1.1. Uji Spesifikasi 5.1.2. Uji Hausman
5.2. Hasil Estimasi Model Perubahan Penutupan Hutan 5.2.1. Estimasi Model Perubahan Penutupan Hutan
Akibat Penebangan Hutan 5.2.2. Estimasi Model Perubahan Penutupan Hutan
Akibat Konversi Hutan 5.2.3. Estimasi Model Perubahan Penutupan Hutan
Akibat Penebangan dan Konversi Hutan 5;3. Penyebab Utama Perubahan Penutupan Hutan di
Indonesia
IX
77 Estimasi Fixed Effectdan Random effect
76 Hasil uji F-stat (Pooled vs LSDV)
68 Perkembangan Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Perkebunan dan Transmigrasi
65 Penutupan Hutan Berdasarkan Kawasan Hutan Per Kelompok Pulau Seluruh Indonesia
64 Kondisi Areal Eks HPH yang Diserahkan Kepada BUMN
64 Kondisi Penutupan Lahan Areal HPH s/d tahun 2000
61 Kondisi luas hutan per kelompok Pulau pada tahun 1960-an
60 Jumlah produksi dan ekspor kayu dari tahun 1960 - 1965
53 Beberapa Kebijakan Yang Berkaitan Dengan Eksploitasi Hutan
Tabel 5.2.
Tabel 5.1.
Tabel 4.7.
Tabel 4.6.
Tabel 4.5.
Tabel 4.4.
Tabel 4.3.
Tabel 4.2.
Tabel 4.1.
Tabel 3.1. , Pata dan Sumber Data 52
Tabel 2.4. Penutupan Lahan per Kelompok Pulau di Indonesia 27
Tabel 2.3. Perubahan pandangan mengenai penyebab deforestasi di Indonesia sejalan dengan waktu. 24
Tabel 2.2. Realisasi Produksi Kayu Bulat 6 tahun terakhir 11
Tabel 2.1. Kapasitas terpasang industri kayu dan kebutuhan bahan bakunya 10
DAFTAR TABEL
x
94 88
87 80
79
78
Hasil estirnasi Model Perubahan Penutupan Hutan III
Urutan nilai koefisien variabel bebas pada Model Perubahan Penutupan Hutan II
Hasil estimasi Model Perubahan Penutupan Hutan II
Urutan nilai koefisien variabel bebas pada Model Perubahan Penutupan Hutan I
Hasil estimasi Model Perubahan Penutupan Hutan I
Hasil Uji Hausman terhadap Model Perubahan Penutupan Hutan
Tabel 5.8.
Tabet 5.7.
Tabel 5.6.
Tabel S.S.
Tabel 5.4.
Tabel 5.3.
XI
Gambar 4.1. Persentase luas HPH vs luas penutupan hutan dan 63 luas hutan procluksi
Gambar 3.1. Kerangka penalaran untuk membangun model 35 regresi perubahan penutupan hutan
Gambar 2.2. Kerangka Konseptual Penyebab Deforestasi 19
Gambar 2.1. Procluksi Kayu Bulat Resmi vs Konsumsi Kayu Bulat 12
DAFTAR GAMBAR
Selama lebih dari tiga dekade, hutan Indonesia memberikan kontribusi
yang nyata sebagai salah satu penggerak utama perekonomian nasional yang
memberikan dampak positif antara lain terhadap perolehan devisa, penyediaan
lapangan kena, mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi.
Menurut World Bank (1995), nilai output sektor kehutanan naik dari US$ 2
milyar tahun 1980 menjadi US$ 8 - 9 milyar pada tahun 1994. Ekspor produk
kehutanan naik tajam pada tahun 1990-an terutama untuk produk kayu lapis.
Dari ekspor tersebut diperoleh devisa sebesar US$ 500 juta pada tahun 1982
dan naik menjadi US$ 4 milyar pada tahun 1994. Total ekspor hasil hutan
Indonesia pada tahun 1994 mencapai US$ 6 milyar dan mencapai puncaknya
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki kekayaan hutan tropis terbesar ketiga setelah Brazil
dan Zaire, yaitu sebesar 10% dari sumberdaya hutan yang ada di dunia.
Berdasarkan hasil penafsiran citra Landsat tahun 1999/2000 telah dilakukan
rekalkulasi sumberdaya hutan oleh Departemen Kehutanan dengan total areal
seluas 187,783 juta ha, terdiri dari kawasan hutan seluas 133,127 juta ha atau
sekitar 70,89% dari seluruh daratan Indonesia. Kawasan hutan tersebut terdiri
dari hutan lindung seluas 30,06 juta ha, hutan produksi seluas 83,69 juta ha dan
hutan konservasi 19,37 juta ha. Hamparan hutan tropis tersebut mempunyai
peranan yang strategis dari aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya
(Departemen Kehutanan, 2003).
BABI PENDAHULUAN
2
' Total nilai ekspor hasil hutan kemudian mulai menurun akibat terjadinya krisis moneter yang dimulai pada bulan Juli 1997 (Simangunsong, 2004). z Yang dimaksud produk hutan lainnya adalah wooden fumiture dan pulp.
sekitar 22 juta m3 agar kelestarian hutan dapat dic:apai. Akan tetapi berdasarkan
luas hutan yang tersisa tersebut, maka tebangan yang diperkenankan hanya
hutannya mengalami penurunan menjadi hanya sekitar 93 -112 juta ha. Dengan
luas hut:an di Indonesia menc:apai 150 juta ha, tetapi pada tahun 1995 luas
Menurut .World Bank (1995), diperkirakan pada tahun 1960 - 1970an
menjadi 1,312 juta ha/ tahun.
dilakukan oleh FAQ (2002), laju deforestasi pada tahun 1990 - 2000 naik
setelah Brazil. Sedangkan berdasarkan penaksiran sumberdaya hutan yang
1990 di Indonesia mencapai luas 1,212 juta ha/tahun, menduduki tempat kedua
hutan yang dilakukan oleh FAQ (1993) laju deforestasi tahunan selama 1981 -
kurun waktu 30 - 40 tahun (FAQ, 1990). Berdasarkan penaksiran sumberdaya
penutupan hutan di Indonesia telah berkurang dari 74% menjadi 54% dalam
seluas 0,678% per tahun. Penelitian FAQ t:ahun 1990 juga menunjukkan bahwa
hutan setiap tahunnya selama tahun 1972 - 1990 seluas 840.000 ha/ tahun atau
Berdasarkan hasil penelitian Revilla (1993), Indonesia kehilangan penutupan
menyisakan banyak permasalahan baik ekonomi, sosial maupun lingkungan.
merupakan bagian dari kebijakan makro pembangunan nasional ternyata
Namun di sisi lain, kebijakan pengurusan hutan pada masa lalu yang
kehutanan tersebut dapat mempekerjakan sekitar 700 ribu pekerja,
pada tahun 1997 yaitu sekitar US$ 6,24 milyar.1 Nilai ekspor ini terutama berasal
dari ekspor kayu lapis, produk hutan lainnya2 dan kertas. Dari sektor formal
penyelundupan kayu dan konversi hutan menjadi areal penggunaan lain semakin
3
terkendali pada periode tahun 2000-2004 karena aktifitas illegal logging,
menjadi 2,8 juta ha/tahun. Laju kerusakan tersebut diperkirakan semakin tidak
1,87 juta ha /tahun. Akan tetapi pada periode 1997 - 2000 meningkat tajam
pengurangan luas hutan di Indonesia adalah sebesar 22,46 juta ha atau sebesar
oleh Departemen Kehutanan. Berdasarkan data periocle 1985 - 1997
diper1ihatkan pula oleh hasil penafsiran citra Landsat tahun 2000 yang dilakukan
negara dari hasil kayu menurun drastis. Parahnya kondisi hutan di Indonesia
tanah longsor, erosi dan sedimentasi, hilangnya biodiversity dan pendapatan
negatif terhadap kehidupan masyarakat antara lain dengan terjadinya banjir,
Kerusakan hutan dan lahan memang terbukti telah menimbulkan dampak
yang ada sudah banyak yang dikonversi pada pertengahan tahun 198Qan.
deforestasi yang paling rendah adalah di Sulawesi, karena hutan dataran rendah
tahun 1985 sampai 1997 total areal hutan di Sumatera berkurang dari 23 juta ha
menjadi hanya sekitar 16 juta ha. Sedangkan di Kalimantan, total areal hutan
berkurang dari 40 juta ha menjadi sekitar 31 juta ha. Sedangkan tingkat
800.000 ha /tahun dan naik menjadi 1,2 juta ha/tahun pada tahun 1996. Antara
yang menyatakan bahwa, pada tahun 1980-an terjadi deforest:asi sebesar
Pengurangan luas penutupan hutan juga dilaporkan oleh Holmes (2000)
kemungkinan akan habis pada tahun 2005 di Sumatera dan 2010 di Kalimantan.
juta m3. Apabila kondisi ini tetap berlangsung, maka hutan di Indonesia
juta m3, sedangkan secara aktual di lapangan bahkan diperkirakan mencapai 40
data dari Departemen Kehutanan, tebangan terhadap hutan alam mencapai 30
4
3 Penjarahan hutan ini didefinisikan sebagai 'masuknya masyarakat ke dalam kawasan hutan untuk mengambil kayu secara liar tanpa dapat dicegah atau diatasi oleh aparat berwenang'. Defuiisi ini cenderung memojokkan masyarakat desa di sekitar hutan (Fuad, 2001).
mengurangi bahkan menghentikan laju deforestasi dengan mengidentifikasi
hutannya. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan secara menyeluruh untuk
kehutanan sendiri baik untuk diambil kayunya maupun untuk dimanfaatkan areal
dart berbagai arah, baik dari luar sektor kehutanan maupun dalam lingkup
dijadikan sebagai petunjuk, bahwa ancaman terhadap kelestarian hutan datang
menghentikan laju deforestasi. Hal ini dapat diindikasikan dengan makin
maraknya penjarahan hutan3 maupun praktek illegal logging. Kondisi lni dapat
nampaknya tidak cukup efektif untuk Kebijakan soft/anding ini
(Annual Allowable Cuf) secara terencana dan bertahap (Purnama, et al, 2003).
pemanfaatan kayu, yaitu suatu upaya penyesuaian tingkat tebangan tahunan
Januari 2003 Pemerintah mulai menerapkan kebijakan soft/anding terhadap
tahun 2003 melalui SK Menteri Kehutanan No. 19/Kpts-VI/2003 tanggal 10
tahun dimulainya gerakan rehabilitasi lahan dan lain sebagainya. Bahkan pada
konversi hutan untuk peruntukan lain maupun pencanangan tahun 2003 sebagai
kebijakan pengenaan tarif produksi dan ekspor kayu olahan, dihentikannya
telah mengeluarkan berbagai kebijakan antara lain larangan ekspor kayu bulat,
Untuk mengurangi laju deforestasi yang makin meningkat, Pemerintah
negosiasi.
menempatkan isu pelestarian hutan ke dalam bagian penting dari proses
menjadi urusan Indonesia, tetapi telah menjadi keprihatinan dunia, bahkan
merajalela. 5aat ini pennasalahan deforestasi di Indonesia bukan lagi hanya
5
1.2. Perumusan Masalah
Tekanan terhadap sumberdaya hutan di Indonesia semakin kuat. Secara
umum dapat dikatakan bahwa penurunan luas penutupan hutan berhubungan
dengan men!n~katnya jumlah penduduk terutama di negara sedang
berkembang. Di negara tropis yang sedang berkembang, hutan alam pada
umumnya dijadikan sebagai sumber eksploitasi baik untuk diambil kayunya
maupun hanya untuk kayu bakar (Poore, 1989). Sudah banyak kebijakan yang
telah dikeluar1<an Pemerintah dalam rangka pengelolaan hutan di Indonesia,
akan tetapi luas penutupan hutan di Indonesia makin berkurang bahkan selama
3 tahun terakhir telah terjadi peningkatan laju deforestasi yang semakin tajam.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan hutan
di Indonesia. Orang cenderung berkesimpulan bahwa pertumbuhan industri
perkayuan mengakibatkan peningkatan laju deforestasi. Tetapi di lain pihak, ada
juga yang berpendapat perubahan penutupan hutan di luar Jawa sebagai akibat
pertumbuhan penduduk dan jumlah petani di kawasan hutan (Sunderlin dan
Resosudarmo, 1996). Selain itu yang tidak kalah penting adalah peran
Pemerintah dengan proyek-proyek pembangunannya yang mengakibatkan
terjadinya perubahan penutupan hutan.
faktor-faktor penyebab terjadinya penurunan penutupan hutan sebagai faktor
prioritas. Tindakan ini tidak dapat ditunda lagi mengingat kondisi sumberdaya
hutan yang sudah semakin parah.
1.4. Organisasi Penulisan
Secara umum struktur penulisan ini diorganisasikan sebagai berikut, yaitu
BAB I Pendahuluan, selanjutnya pada BAB II disajikan Telaah Kepustakaan
tentang kondisi sumberdaya hutan saat ini. Pada bab ini disajikan pula
pengertian tentang deforestasi dan penyebabnya serta hal-hat yang terkait
6
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dart penelltian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui penyebab langsung terjadinya perubahan penutupan hutan di
Indonesia, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
2. Mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan penutupan
hutan, disebabkan karena penebangan hutan atau konversi hutan untuk
dimanfaatkan arealnya di luar sektor kehutanan.
3. Memberikan alternatif tindak lanjut yang per1u dilakukan untuk mencegah
terjadinya deforestasi yang dapat mengancam habisnya sumberdaya hutan di
Indonesia. Sehingga diharapkan penelitian ini dapat menjadi pedoman bagi
pengambil kebijakan agar deforestasi di Indonesia dapat dikurangi bahkan
dihentikan. -
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang perlu diteliti adalah
faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan hutan, baik
yang berpengaruh positif maupun negatif ? Faktor apa yang paling berpengaruh
terhadap perubahan penutupan hutan, akibat penebangan hutan atau konversi
hutan untuk penggunaan lain di luar sektor kehutanan?
7
dengan pendekatan penutupan hutan sebagai taksiran deforestasi. BAB III
menjelaskan tentang kerangka pemikiran penyebab terjadinya perubahan
penutupan hutan, metode yang digunakan untuk analisis maupun hipotesis
penelitian. BAB N menjelaskan tentang telaah eksploitasi hutan. Sedangkan
analisis perubahan penutupan hutan disajikan pada Bab V. Kesimpulan hasil
studi dan rekomendasi tentang alternatif tindak lanjut yang perlu diambil untuk
mencegah terjadinya deforestasi serta keterbatasan studi akan disajikan pada
Bab VI. Beberapa kelengkapan baik yang berkaitan dengan data atau yang
lainnya akan disajikan dalam Lampiran.
Pada tahun 1990, total nilai ekspor hasil hutan berkisar US$ 3.482 juta.
Total nilai ekspor ini hampir tiga kali lipat dart total nilai ekspor pada tahun
1985. Pada tahun 1992, Pemerintah mencabut larangan ekspor kayu bulat yang
telah diberlakukan secara bertahap sejak tahun 1980 dan menggantinya dengan
menerapkan pajak ekspor yang tinggi. Penerapan kebijakan pajak ekspor yang
tinggi terhadap kayu bulat mendapat tantangan yang keras. Sehingga
mendorong Pemerintah menurunkan pajak ekspor menjadi maksimum 10%
8
2.1. Kondisi Sumberdaya Hutan Saat Ini
Seirtng dengan eksploitasi hutan secara komersial yang dimulai pada
tahun 1970-an di luar Pulau Jawa, Indonesia tumbuh sebagai pengekspor
terbesar kayu tropis dunia. FAO maupun Departemen Kehutanan melaporkan
bahwa proc:fuksi hasil hutan utama Indonesia pada tahun 1980 adalah kayu bulat
diikuti kayu gergajian dan kayu lapis. Demikian pula dengan hasil hutan yang
diekspor. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tanggal 8 Mei
1980, ekspor kayu bulat secara bertahap mulai dihentikan dan pada tahun 1985
dihentikan sama sekali (Simangunsong, 2004). Kebijakan larangan ekspor kayu
bulat dikaitkan dengan pengembangan industri pengolahan kayu dalam negeri
terutama industri kayu lapis dengan tujuan antara lain yaitu : (1) meningkatkan
perolehan devisa dari ekspor kayu olahan, (2) memperluas kesempatan kerja di
bidang industri hasil hutan, (3) meningkatkan nilai tambah dan, (4) memacu
perkembangan ekonomi regional.
BAB II
TELAAH KEPUSTAKAAN
9
4 WRI (2000) juga mencatat perkembangan yang cepat dari Hutan Tanaman lndustri (HTI) untuk memasok bahan baku industri pulp dan kertas, perkebunan kefapa sawit dan program transmigrasi juga merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi di Indonesia.
dart semakin terdegradasinya hutan Indonesia.
penyelundupan kayu, aktifitas pertambangan dan sebagainya menjadi penyebab
merajaleta, kebakaran hutan dan lahan, klaim atas kawasan hutan,
beratnya. Lemahnya upaya penegakan hukum, praktek illegal logging yang
seluruh kawasan hutan dalam kondisi menghadapi tekanan yang luar biasa
saat ini memang sedang menghadapi masalah yang sangat kompleks dan
menyatakan bahwa penyebab utama deforestasi di Indonesia pada tahun 1990-
an adalah penebangan komersil HPH dalam skala besar.4 Sektor kehutanan pada
hilangnya penutupan hutan di Indonesia. World Bank (2000) dan WRI (2000)
perkayuan, telah terjadi pula peningkatan yang tajam dalam jumlah dan laju
kebijakan yang dikeluarkan, akan tetapi sejalan dengan perkembangan industri
Untuk menjaga kondisi sumberdaya hutan di Indonesia telah banyak
Kep/10/2001 tanggal 8 Oktober 2001 Pemerintah melarang kembali ekspor kayu
bu lat (Simangunsong, 2004 ).
1132/Kpts-11/2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 292/MPP/
negeri, maka melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Kehutanan No.
mendapatkan bahan baku kayu bulat. Hal ini diduga telah terjadi penyelundupan
kayu bulat illegal Sehingga untuk mengurangi penyelundupan kayu bulat ke luar
volume ekspornya sangat jauh menurun. Industri pengolahan kayu kesulitan
pajak ekspor telah diturunkan dan ekspor kayu bulat telah berlangsung kembali,
sebelum akhir Desember 2000 dan 0% pada tahun 2003. Akan tetapi meskipun
10
seperti yang disajikan pada tabel 2.2. Data yang ada selama 6 tahun terakhir
kemampuan sumberdaya hutan untuk memasok kebutuhan industri perkayuan
1. Sawn Timber 163 13.760.895 27.521.790
2. Pl ood 90 8.728.511 17.497.022
3. Put. 5 3.750.000 16.875.000
4. Blockboard 30 707.926 261.933
5. Chi mill 4 466.000 9.097.000
6. MDF 28 1.025.420 4.814.380
Jumlah kebutuhan bahan baku 44.ni.324
Sumber : Departemen Kehutanan, 2003
Kebutuhan bahan baku seperti tersebut di atas sangat jauh dari
Tabel 2.1. Kapasitas Terpasang Industri Kayu dan Kebutuhan Bahan Bakunya.
pada tabel 2.1 berikut.
tingginya kapasitas terpasang industri kehutanan saat ini seperti yang disajikan
Persoalan lain yang berkaitan dengan tekanan sumberdaya hutan adalah
(Purnama et al, 2003).
didasarkan pada asumsi yang diterapkan untuk hutan primer, sedangkan kondisi
hutan produksi saat ini lebih didominasi oleh areal bekas tebangan. Kedua,
banyak terjadi konversi, kebakaran, perambahan hutan, illegal logging dan
tebangan melebihi jatah, sehingga kelestarian hasil tidak dapat dicapai
Indonesia. Pertama, sistem pengelolaan hutan produksi saat ini masih
Ada dua hal yang per1u dicatat dalam pengelolaan hutan alam di
ll
luar negeri dan kayu bulat yang diper1ukan untuk industri juga diperhitungkan,
sampai 42,3 juta m3 (tahun 2002). Apabila kayu bulat yang diselundupkan ke
kayu setiap tahunnya diperkirakan berkisar dari 8,9 juta m3 (tahun 1985)
illegal logging. Jumlah kayu illegal yang dikonsumsi oleh industri pengolahan
antara lain telah · mendorong pengurasan sumberdaya hutan melalui kegiatan
dalam proses produksinya. Adanya ketimpangan antara pasokan dan permintaan
dengan kata lain industri pengolahan kayu telah rnenqkonsurnsl kayu illegal
pada gambar 2.1, maka selisihnya dianggap sebagai kayu bulat illegal atau
ekivalen lebih besar daripada produksi kayu bulat resmi seperti yang disajikan
kayu dapat diperkirakan (Simangunsong, 2004). Apabila konsumsi kayu bulat
memperhitungkan angka rendemen dart masing-masing industri pengolahan
2002, maka besarnya konsumsi kayu bulat ekivalen yang telah
Berdasarkan data realisasi produksi kayu olahan selama periode 1980 -
1 1997 1998 15.597.546 3.513.644 10.038.228 29.149.418 2 1998 1999 10.179.406 2.791.363 6.056.173 19.026.942 3 1999 2000 10.373.932 2.974.101 7.271.907 20.619.940 4 2000 3.450.430 5.783.514 4.564.591 13.798.535 5 2001 1.809.099 5.918.766 2.323.614 10.051.479 6 2002 3.019.839 4.933.755 182.707 8.136.303
Sumber: Departemen Kehut:anan, 2002
Tabel 2.2. Realisasi Produksi Kayu Bulat 6 tahun Terakhir
mengalami penurunan yang signifikan.
memang menunjukkan adanya kecenderungan produksi kayu bulat nasional
12 5 Strategi dan langkah pemberantasan illegal logging, Departemen Kehutanan (2004).
telah dibangun untuk perkebunan.
perkebunan mencapai 4,8 juta ha, namun hanya sekitar 2,3 juta ha yang
1. Konversi lahan hut:an untuk penggunaan lain. Lahan yang telah dilepas untuk
temyat:a disebabkan oleh beberapa kebijakan Departemen Kehutanan pada
masa lalu yang dianggap kurang tepat", antara lain :
Kegiatan illegal logging yang marak terjadi akhir-akhir ini sebagian besar
Sumber : Simangunsong (2004)
Tahun
1980 1985 1989 1990 1997 1998 1999 2000 2001 2002
•••••oooooo•o••o•••••••••••ooo•o•••••••••••••••••••••••••••H•O••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••o••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••ui
Konsumsl kayu bulat I 60.0
50.0
f 40.0
i 30.0 j
20.0
10.0
0.0
Gambar 2.1. Produksi Kayu Bulat Resmi vs Konsumsi Kayu Bulat
mengakibatkan pengurangan penutupan hutan menjadi semakin cepat.
maka jumlah kayu bulat illegal yang sebenamya terjadi jauh lebih tinggi. Hal ini
13
2.2. Pengertian Deforestasi
Pengertian deforestasi berkaitan erat dengan pengertian hutan. Oleh
karena itu sebelum menjelaskan pengertian tentang deforestasi, maka perlu
diketahui tertebih dahulu pengertian tentang hutan. Menurut Undang-undang
2. Penerbitan ijin pemanfaatan kayu (IPK). Permohonan pelepasan lahan hutan
untuk perkebunan hanya sebagai dalih untuk memperoleh IPK. Setelah
selesai memanfaatkan IPK, lahan konversi tersebut ditelantarkan.
3. Pencabutan ijin HPH, kemudian menyerahkan pengelolaan areal eks-HPH
kepada PT. Inhutani. Pada kenyataannya, PT. Inhutani tidak mampu
mengamankan areal tersebut dart pencurian.
4. Penerbitan SK Menteri Kehutanan No. 05.01 tahun 2000 yang memberi
kewenangan pada Bupati untuk menerbitkan ijin HPH seluas 100 ha diketahui
telah banyak disalahgunakan dan menyebabkan semakin meluasnya kegiatan
illegal logging.
Saat ini permasalahan kehutanan di Indonesia bukan lagi menjadi urusan
domestik, tetapi telah menjadi masalah dunia. Dunia internasional memberikan
perhatian istimewa, bahkan menempatkan isu pelestarian hutan ke dalam
bagian penting dari proses negosiasi kerjasama dengan Indonesia. Meskipun
demikian, tertepas dari dorongan dan perhatian dunia intemasional yang
demikian besar, adalah merupakan kewajiban kita untuk mewujudkan
kelestarian sumberdaya hutan melalui pengelolaan hutan secara berkelanjutan
(Sustainable Forest Development).
No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehut:anan, hut:an adalah
suatu hamparan yang di dalamnya tumbuh pohon-pohon yang secara
keseluruhan membentuk suatu persekutuan hidup alam hayati dengan
lingkungannya. Secara lebih jelas, pengertian tentang penutupan hut:an (forest
covet) telah didefinisikan oleh FAQ yang merupakan rujukan bagi para peneliti
. kehutanan seluruh dunia. Pengertian penutupan hut:an menurut FAQ adalah
sebagai berikut : " Forest Cover are defined as ecosystems with a minimum of
10% crown rover· of trees and or bamboos, generally associated with wild flora,
fauna and natural soil rondition and not subject to agricultural practices "(FAQ,
1996). Apabila arealnya digunakan untuk agroforestry, dimana t:anaman pangan
dan pohon tumbuh bersama-sama, maka tidak dapat diklasifikasikan sebagai
hutan karena arealnya dimanfaatkan terut:ama untuk pert:anian (meskipun
penutupan pohonnya lebih dari 10%).
Sedangkan pengertian deforest:asi dapat diartikan sebagai hilangnya
pohon dari areal hut:an dan mengkonversi areal tersebut untuk penggunaan lain
dan biasanya digunakan untuk kegiat:an pertanian (Kooten dan Bulte, 2000).
Menurut World Bank (1990), hilangnya penutupan hut:an secara permanen
at:aupun sement:ara merupakan deforest:asi. Dengan demikian, kawasan
perladangan berpindah yang akan kembali menjadi hut:an sekunder juga
merupakan deforest:asi. Definisi yang lebih komplek tentang pengertian
deforestasi mungkin dibutuhkan sebagai akibat adanya perbedaan tujuan
(Grainger, 1984). Jika tebang pilih (selected logging) tidak menyebabkan
perubahan penutupan hutan yang mencolok, maka tebang pilih tidak
14
15
menyebabkan deforestasi. Akan tetapi, jika ada jalan pengangkutan hasil
tebangan (logging roads) yang dapat memberi akses bagi peladang berpindah
untuk masuk ke hutan, maka tebang pilih dapat dikategorikan sebagai penyebab
tidak langsung deforestasi. Sedangkan menurut FAQ (1993) deforestasi lebih
mengarah ke perubahan penggunaan lahan dengan menurunnya penutupan
tajuk pohon sampai kurang dari 10%.
FAQ (1996) telah membuat kategori deforestasi yang lebih detail dengan
membedakan deforestasi dengan fragmentasi, degradasi, penurunan dan
kenaikan biomasa, aforestasi, reforestasi, ameliorasi dan konversi. Berdasarkan
tingkatan perubahan penutupan hutan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori,
yaitu:
1. Deforestasi kotor (gross deforestation) dihitung sebagai jumlah seluruh areal
yang masuk klasifikasi hutan alam menjadi klasifikasi lain.
2. Deforestasi neto (Net deforestation) dihitung dart luas areal gross
deforestation dikurangi seluruh areal yang mengalami aforestasi.
3. Degradasi neto hutan alam (Net degradation of natural forest) dihitung dari
areal yang masuk klasifikasi hutan alam saja, yang jumlahnya adalah seluruh
perubahan yang berhubungan dengan degradasi dikurangi semua perubahan
yang berhubungan dengan perbaikan kondisi hutan (amelioration).
Menurut Sunderlin dan Resosudarmo (1996), metodologi dan spesifikasi
teknis dalam studi FAQ di atas sangat terstruktur dan sistematis, sehingga
metoda ini disarankan untuk digunakan sebagai analisis laju perubahan
16
penutupan hutan, karena 'felah mernbertkan perhatian yang proporsional pada
permasalahan degradasi hutan.
Selain metodologi untuk analisis, proses terjadinya deforestasi per1u pula
diketahui sehingga dapat dilakukan identifikasi variabel-vanabel penyebabnya
(Angelsen dan Kaimowitz,1998). Vanabel-variabel model ekonomi akibat
deforestasi di hutan tropis dapat dibagi menjadi 5 (lima) kelompok, yaitu :
1. Ukuran dan /okasi deforestasi
Merupakan variabel tak bebas utama, antara lain penutupan hutan (forest
cover}, taksiran jumlah biomasa, penurunan penutupan hutan (dalam bentuk
absolut atau persentase), produksi kayu, kenaikan areal tanaman pertanian
dan peternakan.
2. Agen deforestasi (Agent deforestation)
Dapat berupa individu (rumah tangga) atau perusahaan yang ikut ter1ibat
dalam kegiatan perubahan lahan dan karakteristiknya. Agen deforestasi ini
biasanya merupakan variabel eksogen.
3. Variabel Pilihan (Choice Variable}
Aktifitas yang menyebabkan terjadinya deforestasi. Vanabel ini merupakan
variabel endogen. Variabel pilihan bisa berupa alokasi lahan, alokasi tenaga
kerja, alokasi kapital, permintaan konsumsi dan teknologi yang mengikutinya.
4. Parameter keputusan agen {Agent's decision parameter)
Vanabel ini secara langsung rnempengaruhi keputusan agen terhadap
pilihannya dan rnerupakan variabel eksogen, kecuali untuk model CGE yang
17
memperlakukan harga sebagai variabel endogen. Variabel ini dapat berupa
harga output (harga pertanian, harga kayu, harga kayu bakar), biaya tenaga
kerja (upah buruh di pedesaan, sewa lahan, sewa sumber daya hutan,
kemungkinan pengangguran), pendapatan keluarga, harga faktor lain, resiko,
kepemilikan lahan, kepemilikan hut.an, teknologi yang tersedia maupun
kendala faktor (tenaga kerja dan kapital), restriksi pemerintah dan faktor
lingkungan.
S. Variabel tingkat makro dan instrumen kebijakan
Variabel ini merupakan variabel eksogen, yang terdiri dari demografi,
kebijakan pemerintah, harga pasar dunia, distribusi pendapatan, variabel
makro ekonomi dan teknologi.
Pengelompokkan variabel-variabel di atas merupakan pendekatan untuk
mengidentifikasi agen deforestasi (petani, peternak, penebang dll) dalam
hubungannya dengan penebangan hutan. Tindakan agen sebagai sumber
langsung deforestasi sulit untuk mengukurnya dan tidak ada analisis ekonomi
yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis besar pengertian tentang
deforestasi dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan , yaitu :
1. Sumber deforestasi (source of causes), merupakan pelaku yang menunjuk
pada orang atau organisasi (misal : petani, individu lainnya, HPH, HTI,
perkebunan) yang mempunyai peranan fisik atau peranan untuk membuat
keputusan langsung dalam perubahan penutupan hut.an.
18
2. Penyebab langsung deforestasi (immediate causes) adalah parameter
keputusan yang mempunyai pengaruh langsung pada perilaku para pelaku,
misalnya : harga kayu, harga komoditi pertanian, ketersediaan teknologi dan
lain-lain.
3. Penyebab makro deforestasi (underlying csuses; merupakan penyebab yang
mendasari perubahan penutupan hutan, mencakup kekuatan nasional,
regional maupun internasional yang dapat mengatur pengaruh parameter
keputusan, misalnya : teknofogi, perubahan demografi, perdagangan dan
sebagainya.
Secara jelas kerangka konseptual penyebab deforestasi dapat dilihat pada
gambar 2.2 berikut.
19
bertanggung jawab terhadap terjadinya deforestasi. Berdasarkan studi kasus
yang lalu, petani dan peladang berpindah dianggap sebagai pihak yang
mengambil bagian sebagai pemicu meningkatnya deforestasi. Beberapa tahun
dengan penyebab deforestasi. Akan tetapi setidaknya kedua faktor tersebut ikut
(Pagiola, 2001). Sebenamya belum ada kesepakatan antara para ahli berkaitan
- yaitu penebangan (logging) dan konversi hutan menjadi lahan pertanian
Deforestasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara umum ada 2
(dua) penyebab utama yang dapat diindikasikan sebagai penyebab deforestasi,
2.3. Penyebab Deforestasi
Sumber: Angelsen and Kaimowitz (1998) Economics Models of Tropical Deforestation/ A Review.
Def orestasi
Q ._I _s_u_m_b_e_r d_e_fo_r_es_ta_s_i __. Agen Deforestasi : Variabel Pilihan
ii
Penyebablangsung deforestasi
Parameter keputusan dan Karakteristik Agen Deforestasi
i
Institusi Infrastruktur Pasar Teknologi
-. t I/ \~ .:
Penyebab deforestasi Tk.makro
Variabel tingkat makro dan instrumen kebijakan
Kerangka Konseptual Penyebab Deforestasi
Gambar 2.2. Kerangka Konseptual Penyebab Deforestasi
20
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Barbier dan Burgess (1996)
terhadap faktor utama penyebab terjadinya konversi lahan di Mexico antara
· 1970 - 1985 diperoleh hasil, bahwa kenaikan harga jagung dan pupuk sebagai
pengaruh utama terjadinya ekspansi lahan. Berdasarkan pendekatan teori pasar,
Angelsen et al (1998) dengan analisis statistik di Tanzania menunjukkan bahwa
kenaikan harga output pertanian, terutama tanaman tahunan sebagai faktor
utama terjadinya deforestasi. Osei dan Obeng (2000) menemukan di Ghana
bahwa hubungan keseimbangan jangka panjang antara harga produsen coklat
dan kopi, harga pupuk, harga tanaman pangan, upah pertanian, harga kayu dan
kredit pertanian mempengaruhi terjadinya deforestasi. Harga pupuk, harga
tanaman pangan dan harga produsen kopi yang tinggi dalam jangka panjang
akan memicu terjadinya laju deforestasi yang lebih tinggi lagi. sementara upah
sektor pertanian yang lebih tinggi akan berdampak menurunkan laju deforestasi.
5edangkan kebijakan devaluasi mata uang Ghana pada awal tahun 1980an telah
memotivasi terjadinya peningkatan intensitas penebangan kayu dan sebagai
akibatnya dapat mempercepat terjadinya deforestasi (World Bank, 1994).
Devaluasi di Brazil juga mempengaruhi laju deforestasi pada tingkat yang
bervariasi tergantung dari kondisi neraca Pemerintah dan kebijakan yang
dikeluarkan (Cattaneo, 2002).
yang detail diperoleh hasil yang mengindikasikan bahwa pengaruh peladangan
berpindah jauh lebih kecil dari yang dipikirkan oleh banyak orang (Angelsen,
1995).
Sedangkan Ndiyo (2000) melakukan analisis tentang pemicu terjadinya
deforestasi di Nigeria. Berdasarkan hasil studi dapat diidentifikasi bahwa tingkat
pendapatan rumah tangga yang rendah, harga produk kayu yang tinggi,
industrialisasi, kesempatan bekerja di luar kehutanan yang terbatas dan
pertumbuhan populasi sebagai penyebab meningkatnya kerusakan ekosistem
. hutan. Katila (1995) dan Panayotou dan Sussengkam (1992) menyimpulkan
bahwa harga kayu yang tinggi berkorelasi positif terhadap rendahnya penutupan
hutan dan berdampak terhadap kenaikan laju deforestasi di Thailand. Menurut
Angelsen (1996), penebangan hutan akan meningkat jika harga output
pertanian meningkat dan sebaliknya akan menurun apabila biaya pengolahan
lahan atau transportasi meningkat. Jika tenaga kerja dan lahan atau kapital dan
lahan adalah suatu komplemen, maka kenaikan tingkat upah atau kenaikan
biaya kapital akan menurunkan deforestasi. Peningkatan kerja di luar sektor
pertanian juga akan mempunyai pengaruh yang sama apabila opportunity cost
tenaga kerja meningkat. Pendapat ini diperkuat oleh penelitian Bluffstone (1993)
di Nepal yang menyebutkan bahwa kenaikan tingkat upah dan ketersediaan
lapangan kerja di luar sektor pertanian telah mengurangi tekanan terhadap
hutan. Karena dengan kenaikan upah telah mendorong pet:ani untuk beralih dari
kayu bakar ke alternatif bahan bakar lain.
Pembukaan jalan juga diidentifikasi mempunyai dampak yang sangat
penting sebagai mediator dari faktor-faktor lain untuk melakukan pengurasan
hutan. Dengan akses jalan yang mudah, maka akan mempermudah
pengangkut:an hasil tebangan. Di Thailand, pengaruh ini lebih dirasakan pada
21
22
daerah yang mempunyai perkebunan komersial dengan skala besar (Cropper ,
1997). Krutilla et al (1995) menemukan bahwa suatu areal mempunyai laju
deforestasi yang tinggi karena hut:annya lebih mudah dijangkau. Demikian pula
di Meksiko, berdasarkan hasil penelitian Nelson dan Hellerstein (1997)
menyatakan bahwa deforestasi akan meningkat secara signifikan apabila
. tersedia akses jalan yang lebih banyak, t:anah yang subur sert:a lebih dekat ke
pasar. Sehingga pembukaan jalan akan mendorong penebangan hut:an lebih
meningkat terut:ama di areal dengan tanah yang subur dan iklim yang sesuai.
Hal ini juga dibuktikan oleh Chanthirath (1997) yang menyebutkan bahwa salah
satu penyebab ut:ama deforestasi di Laos adalah akses jalan yang mudah,
disamping adanya peladangan berpindah, illegal loggingdan kebakaran hut:an.
Sedangkan di Indonesia, sejak dimulainya eksploitasi secara komersil
hutan di luar Pulau Jawa t:ahun 1970-an, hut:an yang rusak dan tidak produktif
semakin meningkat seiring dengan perkembangan industri perkayuan. Namun di
pihak lain ada juga yang menyat:akan bahwa deforestasi di luar Pulau Jawa
terut:ama disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan jumlah
petani kecil/ ra~t di kawasan hutan (Sunder1in dan Resosudarmo, 1996). Data
mengenai kepadat:an penduduk di Indonesia menunjukkan hubungan negatif
yang kuat dalam hubungannya dengan penutupan hutan (FAO, 1990). Menurut
Noor (2004) yang melakukan penelitian di Kabupaten Kut:ai limur, sektor-sektor
yang berpengaruh kuat terhadap laju deforestasi tidak hanya sektor-sektor
produksi yang mempunyai input kayu, tetapi juga sektor lain yang berbasis
tenaga kerja dan modal.
23
Berdasarkan hasil penelitian yang dikutip dari Sundertin dan Resosudarmo
(1996), seperti yang disajikan pada tabel 2.3, telah terjadi perubahan
pandangan mengenai penyebab deforestasi di Indonesia sejalan dengan waktu.
Pada dasamya ada 2 (dua) pendapat dalam perdebatan yang bertangsung
mengenai penyebab terjadinya deforestasi di Indonesia. Di satu pihak
memandang produksi petani dan meningkatnya jumlah petani sebagai penyebab
utama deforestasi. Kelompok ini cenderung menganggap penduduk terutama
petani kecil sebagai faktor utama dalam perubahan penutupan hutan. Di pihak
lain, meskipun masih menganggap peran produksi petani dalam deforestasi,
tetapi mereka lebih menekankan pada peranan Pemerintah dan proyek-proyek
pembangunannya serta sektor industri perkayuan sebagai penyebab
deforestasi.
Dalam analisis yang dilakukan lebih lanjut, ternyata peranan pertadangan
berpindah dalam deforestasi terlalu dibesar-besarkan, sedangkan peranan sektor
industri perkayuan kurang disoroti (Sunderlin dan Resosudarmo,1996).
Sebenarnya sektor industri perkayuan memainkan peranan penting secara tidak
langsung dalam deforestasi dengan kegiatannya mengeksploitasi hutan. Setelah
hutan bekas eksploitasi terbuka, biasanya akan diikuti dengan aktifitas lainnya
seperti peladangan berpindah maupun konversi menjadi lahan pertanian dan
sebagainya.
24
bawah kebutuhan untuk industri pengolahan kayu. Adanya ketimpangan antara
dalam negeri. Akan tetapi kemampuan optimal produksi kayu hutan alam jauh di
HPH, sebagian besar digunakan untuk memasok kebutuhan bahan baku industri
diartikan sec.ara luas. Produksi kayu bulat yang dihasilkan dari areal konsesi
jalur, yaitu jalur kayu dan jalur pertanian dan pedesaan. Jalur kayu dapat
- menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap hutan ternyata berasal dari 2
deforestasi di Indonesia dengan SNSE menemukan bahwa laju deforestasi yang
Sedangkan menurut Prihawantoro (1998) yang melakukan analisis
Sumber: Sunderlin dan Resosudarmo (1996)
Dove 1996 Oampak dleblhkan
Dampak dleblhkan
Oampak dikecilkan
Oampak dlkecilkan
Oampak dileblhkan
Sumber
World Bank 1990*
FAQ 1990* Dick 1991
WAI.HI 1992
Barbier et al 1993*
Ascher 1993
Porter 1994 Dauvergne
1994 Thiele 1994
World Bank Dampak 1994 dleblhkan
Angelsen Dampak 1995 dlebihkan
MOF 1996 Oampak dlebihkan
Ross 1996
Fraser 1996* Kepadatan nduduk
Hasanuddin Petanl rakyat 1996 tdk bersalah
Petani Ra at Pertebunan Industri Transmigrasl & Tnm. keras perkayuan
umum
Pemerlntah/ Perlcemb. politic ekonoml
Penyebab yang mendasari deforestasi
PELAKIJ JENIS PENYEBAB
Tabel 2.3. Perubahan pandangan mengenai penyebab deforestasi di Indonesia sejalan dengan waktu.
2.4. Pendekatan Penutupan Hutan Sebagai Taksiran Deforestasi
Penyelenggaraan pengelolaan hutan bertujuan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjut:an, antara lain dilakukan
dengan menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran
25
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya
deforestasi sangat bervariasi untuk setiap negara. Akan tetapi secara umum
dapat disebutkan bahwa peningkat:an laju deforestasi berhubungan dengan
meningkatnya jumlah penduduk terutama di negara sedang berkembang.
Menurut Sunderlin dan Resosudarmo (1996), faktor utama yang dianggap
sebagai pemicu terjadinya deforestasi di Indonesia adalah (1) adanya
paladangan berpindah baik yang dilakukan oleh penduduk asli maupun
pendatang, (2) konversi hutan untuk areal pertanian dan (3) penebangan kayu
(logging).
pasokan dan permintaan ini telah memicu terjadinya illegal logging. Sedangkan
pengaruh sektor pertanian pedesaan terhadap deforestasi di Indonesia, lebih
disebabkan oleh alasan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup, meskipun
tidak menutup kemungkinan ada alasan lain diluar memenuhi kebutuhan hidup.
Kepemilikan lahan rata-rata tiap keluarga petani dari tahun ke tahun semakin
menurun. Dengan pertambahan jumlah penduduk menyebabkan perluasan
tempat pemukiman sampai ke kawasan hutan, sehingga perambahan hut:an
tidak bisa dihindari lagi. Sebagai akibatnya, luas penutupan hut:an semakin
menu run.
26
2. Penutupan Non Hulan, dibedakan menjadi 15 (lima belas) klasifikasi yang
terdiri dari : semak/belukar, belukar rawa, savanna, perkebunan, pertanian
lahan kering, pertanian lahan kering dan semak, transmigrasi, sawah,
tambak, tanah terbuka, pertambangan, permukiman, tubuh air, rawa dan
airport.
yang proporsional, serta mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi
fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat
lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari sebagaimana
diamanatkan oleh pasal 3 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam
pengelolaan kawasan hutan dapat dilakukan pemanfaatan hutan yang bertujuan
· untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh
masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam
pemanfaat:annya, luas kawasan hut:an yang harus dipertahankan penutupan
hutannya minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan
sebaran yang proporsional.
Hasil penafsiran citra satelit yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan
pada tahun 2000 membedakan penutupan lahan menjadi 24 klasifikasi yang
terdiri dari 3 kelompok besar, yaitu :
1. Penutupan Hulan, dibedakan menjadi 7 (tujuh) klasifikasi yang terdiri dari :
hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer,
hutan rawa sekunder,. hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder
dan hutan tanaman.
27
Angelsen dan Kaimowitz (1998), penutupan hutan tidak hanya menggambarkan
semakin maraknya aktifitas illegal logging yang terjadi akhir-akhir ini. Menurut
tersisa sebesar 27%. Kondisi penutupan hutan semakin tidak terkendali dengan
18%, demikian pula dengan Bali dan Nusa Tenggara penutupan hutannya masih
sangat mengkhawatirkan karena penutupan hutan yang tersisa hanya sebesar
Berdasarkcfn tabel di atas ter1ihat, kondisi penutupan tahan di P. Jawa
Tabel 2.4. Penutupan Lahan per Kelompok Pulau di Indonesia.
~J.~~~~ffi~~~~f:.
Sumatera 14.793 31 27.257 58 5.038 11 47.088
Kalimantan 29.083 55 18.834 36 5.129 10 53.048
Jaw a 2.360 18 10.586 79 425 3 13.371
Bali & Nusa 1.980 27 4.551 62 785 11 7.316 Ten ara Sulawesi 8.227 45 6.335 35 3.764 20 18.326
Maluku 3.759 48 2.046 26 1.998 26 7.803
Papua 30.704 75 4.785 12 5.344 13 40.833
Indonesia 90.907 48 74.393 40 22.483 12 187.783
Keterangan : TAD = Tidak Ada Data ; TA = Tertutup Awan Sumber : Departemen Kehutanan, 2003
disajikan pada tabel 2.4 berikut.
sebesar 13% tertutup awan. Rindan penutupan lahan untuk seluruh Indonesia
Indonesia masih berhutan, sementara 39% merupakan areal non hutan, sisanya
dilaporkan oleh Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa 48% luas daratan
Berdasarkan hasil penafsiran citra Landsat liputan tahun 1999-2000 yang
Awan dan tidak ada data.
3. Tidak Ada Data, dibedakan menjadi 2 (dua) klasifikasi yang terdiri dart
28
deforestasi yang baru terjadi, tetapi juga deforestasi yang terjadi pada masa
sebelumnya. Besarnya tingkat deforestasi akan secara nyata mempengaruhi
penutupan hutan. Dengan demikian peningkatan laju deforestasi akan
berkorelasi positif terhadap rendahnya luas penutupan hutan. Sehingga
perubahan penutupan hutan dapat dijadikan sebagai indikator terjadinya
. deforestasi.
29
3.1. Kerangka Pemikiran
Tidak ada kesepakatan dalam teori deforestasi yang mengindikasikan
bagaimana menerangkan variabel tingkat makro dalam suatu model empiris
(Andersen, 1996). Pada prinsipnya ada 2 (dua) rnacarn pendekatan yang
berbeda untuk -model ekspansi areal hutan menjadi lahan pertanian, yaitu
pendekatan subsisten (pendekatan populasi) dan pendekatan pasar (pendekatan
ekonomi terbuka). Dua pendekatan ini sangat bermanfaat untuk menggali
hipotesis dart pengaruh deforestasi terhadap perubahan variabel ekonomi
(GBETNKOM, 2001).
Pendekatan subsisten dan pendekatan pasar berpedoman terhadap
adanya perbedaan asumsi tentang perilaku rumah tangga dan pasar tenaga
kerja. Pendekatan subsisten dimulai dart asumsi bahwa tujuan seseorang
adalah untuk memuaskan kebutuhan subsistennya dengan memproduksi
komoditi pertanian. Sedangkan pendekatan pasar diasumsikan dengan
terjadinya pasar tenaqa kerja sempuma dimana tenaga kerja dapat dijual pada
tingkat upah tertentu (Angelsen et al, 1998). Tingkat upah tersebut merupakan
opportunity costtenaga kerja yang digunakan di sektor pertanian. Dengan kata
lain, pendekatan subsisten diasumsikan sebagai perilaku rumah tangga dan tidak
ada pasar tenaga kerja, sedangkan pendekatan pasar diasumsikan berhubungan
dengan pasar tenaga kerja. Pada penelitian ini, pendekat:an pasar lebih sesuai
BAB III
METODOLOGIPENELITIAN
Dengan kata lain, produksi pertanian dan penggunaan lahan dengan pendekatan
30
endogen dan tenaga kerja hanya merupakan suatu input (Dvorak, 1992).
sedangkan pada pendekatan subsisten upah bayangan (shadow price) adalah
pendekatan subsisten. Pada pendekatan pasar tingkat upah adalah eksogen,
pertanian pada pendekatan pasar sangat berbeda bila dibandingkan dengan
Pengaruh perubahan eksogen pada ekspansi areal hutan untuk lahan
(3.2) _ W _ WhH _ q p.A------ JL . jh JF
ordo pertama adalah sebagai berikut :
untuk membuka ladang. Berdasarkan maksimisasi profit di atas, maka kondisi
upah dan h(H) adalah biaya pembukaan lahan. Tenaga kerja disini digunakan
input pupuk, p dan q adalah harga output dan harga pupuk, w adalah tingkat
teknologi, L adalah input tenaga kerja, H adalah total areal lahan, F adalah
dimana X adalah produksi per unit (dalam ekspansi lahan), A adalah tingkat
(3.1} X = p.A.f(L,H,F) - q.F - w[L + h(H)]
dianalisis dengan masalah maksimisasi profit, yaitu :
hal ini ekspansi lahan) dari suatu maksimisasi utiliti rumah tangga dapat
tangga (Angelsen et al, 1998). Dengan demikian keputusan berproduksi (dalam
berproduksi dapat dipisahkan dari konsumsi dan penawaran tenaga kerja rumah
Asumsi pasar tenaga kerja sempuma memberi dampak bahwa keputusan
aktifrt:as petani subsisten.
jangka panjang dalam studi. Selain itu di Indonesia sudah jarang sekali dijumpai
dibandingkan apabila menggunakan pendekatan subsisten karena pengaruh
31 • Definisi ini mengarah pada kategori deforestasi kotor (gross deforestation) yang dibuat oleh FAO (1996)
pasar dapat dideterminasi oleh keuntungan relatif dart pertanian (Scrieciu,
2000). Oleh karena itu, kenaikan output atau kemajuan teknologi akan
meningkatkan keuntungan relatif sektor pertanian. Dimana tekanan terhadap
hutan juga akan naik seiring dengan kebutuhan tahan untuk peladangan.
Variabel untuk determinasi peningkatan deforestasi adalah tingkat upah yang
lebih tinggi dari opportunity cost tenaga kerja untuk membuka ladang di areal
hutan. Selain itu kenaikan populasi akan memberikan efek negatif tidak
langsung terhadap areal hutan dengan adanya upah yang lebih rendah dan
harga makanan yang lebih tinggi (Angelsen et a'1 1998).
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dilakukan
pendekatan dengan teon pasar pada tingkat rumah tangga pertanian untuk
digunakan sebagai dasar menghubungkan antara deforestasi (yang digambarkan
sebagai ekspansi lahan kehutanan) dan pelilaku agen untuk melakukan
deforestasi. Menurut Pagiola (2001), ada 2 (dua) penyebab utama yang dapat
diindikasikan sebagai penyebab utama deforestasi, yaitu adanya penebangan
dan konversi hutan menjadi lahan pertanian. Besamya tingkat deforestasi
tersebut akan secara nyata mempengaruhi penutupan hutan. Oleh karena itu
besamya tingkat perubahan penutupan hutan dapat digunakan sebagai taksiran
besarnya tingkat deforestasi. Deforestasi pada penelitian ini didefinisikan sebagai
perubahan penutupan hutan menjadi non hutan.6 Penelitian ini akan
menggunakan pendekatan-pendekatan tersebut di atas.
Dengan pendekatan di atas, secara garis besar perubahan penutupan
hutan di Ir.donesia pada penelitian inl dibedakan menjadi 2 (dua) penyebab
mendasar, yaitu (1) akibat penebangan hutan, dapat terjadi karena adanya
pengelolaan konsesi oleh HPH/ Hfl, industri perkayuan maupun kegiatan illegal
logging dan (2) akibat konversi hutan untuk dimanfaatkan di luar sektor
. kehutanan, dapat terjadi karena konversi sebagai areal transmigrasi spontan
maupun lokal, penyerobot:an kawasan hutan akibat pert:ambahan penduduk,
konversi untuk perkebunan rakyat / besar maupun adanya peladangan
berpindah.
Penyebab langsung perubahan penutupan hutan akibat penebangan
hut:an diduga dipengaruhi oleh harga kayu, jumlah HPH, luas HPH, kebutuhan
bahan baku industri pengolahan kayu, jumlah ekspor kayu dan krisis ekonomi.
Harga kayu dipilih sebagai variabel dengan asumsi dapat merefleksikan
perubahan harga akibat kondisi permmtaan dan penawaran kayu. Lebih tinggi
harga kayu, maka lebih banyak areal hutan berkurang karena adanya
penebangan hutan. Jumlah HPH diasumsikan sebagai jumlah perkiraan
kesempatan kerja di bidang kehutanan bagi penduduk, y~ng secara tidak
langsung akan mempengaruhi upah tenaga kerja, luas HPH diasumsikan sebagai
investasi yang ditanamkan untuk kegiatan penebangan hutan. Kebutuhan bahan
baku industri diasumsikan sebagai input yang harus disediakan untuk
mernproduksi kayu olahan. Jumlah ekspor kayu diasumsikan dapat menangkap
dampak dan perubahan output hasil pert:anian terhadap laju deforest:asi.
Meningkatnya ekspor kayu akan berdampak terhadap meningkatnya laju
32
deforestasi, sebaliknya akan mengurangi ekspansi lahan hutan untuk pertanian.
Dengan demikian akan mempengaruhi output hasil pertanian. Krisis ekonomi
sebagai variabel dummy diasumsikan untuk menangkap terjadinya krisis
ekonomi yang terjadi pada tahun 1997.
Apabila arealnya dimanfaatkan untuk penggunaan lain di luar sektor
'kehutanan, maka perubahan penutupan hutan diduga dipengaruhi oleh harga
produsen kelapa sawit, karet dan kopi, jumlah populasi, produk domestik
regional bruto per kapita, hasil pangan dan krisis ekonomi. Digunakannya 3
komoditi perkebunan sebagai variabel bebas mengingat di Indonesia sejak 2
dekade yang lalu telah terjadi konversi hutan menjadi tanaman perkebunan,
antara lain 117% menjadi kebun kelapa sawit, 200% menjadi perkebunan kopi
dan 90% menjadi perkebunan karet (5an et al, 2000). Dengan meningkatnya
harga kelapa sawit, karet maupun kopi di pasaran, maka diasumsikan akan
terjadi penurunan penutupan hutan akibat adanya konversi hutan menjadi areal
perkebunan. Jumlah populasi penduduk diasumsikan dapat meningkatkan
tekanan penduduk terhadap areal hutan. Dengan adanya pertambahan jumlah
penduduk, maka penuasan tempat pemukiman sampai ke kawasan hutan tidak
dapat dihindari lagi mengingat terbatasnya lahan di luar kawasan hutan. Selain
itu secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap tingkat upah pekerja,
Produk domestik regional bruto per kapita diasumsikan sebagai perkiraan
kesempatan kerja bagi penduduk. Makin tinggi produk domestik regional bruto
per kapita, maka makin berkurang ketergantungan penduduk terhadap hutan.
Hasil pangan diasumsikan sebagai ukuran produktifitas pertanian yang
33
34
merupakan perkiraan dari perkembangan teknologi. Vanabel ini juga
merefleksikan keseluruhan input yang digunakan oleh petani untuk produksi
pertaniannya (berupa pupuk, mesin-mesin pertanian dan lain-lain).
Naiknya produk domestik regional bruto per kapita dan hasil pangan
diduga akan berpengaruh positif terhadap luas penutupan hutan, sehingga akan
· menghasilkan output yang akan berpengaruh mengurangi laju deforestasi.
5ebaliknya naiknya harga 3 jenis komoditi perkebunan (kopi, kelapa sawit,
karet), harga kayu yang tinggi, luas dan jumlah konsesi HPH, meningkatnya
kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu, meningkatnya ekspor kayu
serta pertumbuhan jumlah penduduk diduga akan berpengaruh negatif terhadap
penutupan hutan, sehingga akan meningkatkan laju deforestasi. Kerangka
penalaran untuk membangun model perubahan penutupan hutan disajikan pada
gambar 3.1 berikut.
35
(dua) faktor, yaitu (1) disebabkan karena penebangan hutan (logging) dan
membedakan penyebab terjadinya perubahan penutupan hutan menjadi 2
1. Penelitian ini dilakukan berdasarkan teori empiris dari Pagiola (2001) dengan
adalah:
perubahan penutupan hutan. Perbedaan dengan penelitian terdahulu antara lain
mengupas lebih jauh lagi secara spesifik faktor-faktor penyebab terjadinya
studi tentang deforestasi yang pernah dilakukan sebelumnya, penelitian ini akan
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, apabila dibandingkan dengan
Harga Kayu
Jumlah HPH Pengelolaan
Penebangan hutan/HTI/HPH Hutan Industriperkayuan Luas HPH
Ilegal logging Output
Bhn baku lndt ky
Ekspor kayu
Perubahan Perubahan Penutupan Hutan Krlsls Ekonoml Penutupan Hutan
Harga kelapa sawit,kop~ karet
- Per1adangan berplndah
Konversl Transmigrasl Populasl Kerusakan/ Hutan Perl<ebunan rakyat/ Oeforestasi
besar Pertambahan GOP per kapita penduduk
Hasl Pangan (padi dan jagung)
Penyebab Mendasar Penyebab L.angsung
Gambar 3.1. Kerangka penalaran untuk membangun model regresi perubahan penutupan hutan
36
3.2. Model Penutupan Hutan
Model penutupan hutan di bawah ini berdasarkan pendekatan dengan
teori ekonomi pada tingkat rumah tangga pertanian yang digambarkan sebagai
ekspansi lahan pertanian yang digunakan sebagai dasar untuk menghubungkan
antara perubahan penutupan hutan dan perilaku agen untuk melakukan
deforestasi. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka terbentuk 2 (dua)
persamaan model sebagai berikut :
(2) konversi hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan transmigrasi.
Berdasarkan hasil studi ini diharapkan akan dapat diketahui faktor yang lebih
berpengaruh terhadap terjadinya perubahan penutupan hutan di Indonesia.
2. Data penutupan hutan per tahun digunakan sebagai taksiran tingkat
deforestasi. Dengan menggunakan pendekatan ini maka ekspansi areal hutan
untuk pertanian / perkebunan dapat secara implisit diketahui dari terjadinya
perubahan penutupan hutan.
3. Melakukan eksplorasi hubungan antara variabel sosial ekonomi dan
deforestasi dengan analisis statistik jangka panjang. Analisis secara
kuantitatif ini rnendesak dilakukan agar dapat dilakukan determinasi tentang
pengaruh kebijakan pemertntah yang berhubungan dengan kehutanan serta
menawarkan kebijakan yang sesuai untuk penanganan menyeluruh dalam
upaya mengurangi laju deforestasi di Indonesia. Dengan demikian
penanganannya dapat dilakukan lebih terfokus dengan memperhatikan
faktor-faktor prioritas, baik yang berpengaruh positif maupun negatif.
37
krisis ekonomi, (2) apabila perubahan penutupan hutan disebabkan konversi
HPH , kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu, jumlah ekspor kayu dan
penutupan hutan merupakan fungsi dari harga kayu, jumlah HPH, luas areal
(1) apabila perubahan penutupan hutan disebabkan penebangan hutan, maka
menggambarkan permasalahan di atas. Persamaan tersebut menjelaskan bahwa
Bentuk persamaan (3.3) dan (3.4) merupakan persamaan struktural yang
ke atas.
O untuk pengamatan sebelum tahun 1997 dan 1 untuk pengamatan tahun 1997
tahun 1997 terhadap perubahan penutupan hutan. Nilai dummy masing-masing
variabel dummy untuk menangkap pengaruh terjadinya krlsls ekonomi pada
Pangan adalah hasil tanaman pangan (padi dan jagung) dan krisis adalah
adalah total populasi, GDPPC adalah produk domestik regional bruto per kapita,
tingkat produsen), Pkaret adalah harga karet (pada tingkat produsen), Pop
harga kelapa sawit (pada tingkat produsen), Pkopi adalah harga kopi (pada
industri pengolahan kayu, Ekspor adalah jumlah ekspor kayu, Psawit adalah
jumlah HPH, LHPH. adalah luas HPH, bbaku adalah kebutuhan bahan baku
penutupan hutan (forest cover/ha), Pkayu adalah harga kayu, NoHPH adalah
ai dan Pi adalah koefisien variabel, Ei adalah error term, FCOV adalah
Dimana:
Po+ P1{Ln Psawit) + P2{Ln Pkopi) + p3(Ln Pkaret) + p4(Ln pop)+ Ps(Ln GDPPC) + ~(Ln pangan) + lh(krisis) + Ei (3.4)
Ln FCOV =
0-0 + «1(Ln Pkayu) + «2(Ln NoHPH) + a3(Ln LHPH) + 04{Ln bbaku) + «s{Ln ekspor) + ~{krisis) + Ei (3.3)
Ln FCOV =
38
pengaruh yang signifikan terhadap penutupan hutan]
pengolahan kayu, ekspor kayu dan krisis ekonomi tidak mempunyai
[Harga kayu, jumlah HPH, luas HPH, kebutuhan bahan baku industri
(3.6)
1. Persamaan pertama
penelitian ini adalah:
terhadap perubahan penutupan hutan, maka hipotesis yang diajukan dalam
Berdasarkan pemilihan variabel dan pendekatan teoritis yang dilakukan
3.3. Hipotesis Penelitian
Ln FCOV = Vo+ V1(Ln Pkayu) + V2(Ln NoHPH) + y3(Ln LHPH) + y4(Ln bbaku) + vs(Ln ekspor) + VG(Ln Psawit) + y7(Ln Pkopi) + vs(Ln Pkaret) + y9(Ln pop) + V1o(Ln GDPPC) + V11(Ln pangan) + V12(krisis) + £1 (3.5)
persamaan model sebagai berikut :
"dilakukan juga estimasi terhadap kedua faktor tersebut sehingga terbentuk
secara bersama-sama terhadap perubahan penutupan hutan, maka akan
Untuk mengetahui pengaruh penebangan hutan dan konversi hutan
domestik regional bruto per kapita, hasil pangan dan krisis ekonomi.
kopi dan harga karet pada tingkat produsen, jumlah populasi penduduk, produk
hutan, maka penutupan hutan merupakan fungsi dari harga kelapa sawit, harga
39
[harga kopi, harga karet, harga kelapa sawit, jumlah populasi, produk
domestik bruto per kapita, hasil pangan, harga kayu, jumlah HPH, luas HPH,
kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu, ekspor kayu dan krisis
ekonomi tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penutupan
hutan]
(3.10)
3. Persamaan ketiga
Ho: Yi= Y2 = Y3 = Y4 = Y5 = r6 = Y7 = Yg = Y9 = Y10 = rll = Y12 = 0
[harga kopi, harga karet, harga kelapa sawit, jumlah populasi, produk
domestik bruto per kapita, hasil pangan dan krisis ekonomi mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap penutupan hutan]
(3.9) H 1 i bukan H 0
[harga kopi, 'harqa karet, harga kelapa sawit, jumlah populasi, produk
domestik bruto per kapita, hasil pangan dan krisis ekonomi tidak mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap penutupan hutan]
(3.8)
2. Persamaan kedua
[Harga kayu, jumlah HPH, luas HPH, kebutuhan bahan baku industri
pengolahan kayu, ekspor kayu dan krisis ekonomi mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap penutupan hutan]
(3.7) H1 :bukan H0
40
[harga kopi, harga karet, harga kelapa sawit, jumlah populasi, produk
domestik bruto per kapita, hasil pangan, harga kayu, jumlah HPH, luas HPH,
kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu, ekspor kayu dan krisis
ekonomi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penutupan hutan]
3.4. Analisis Data Panel
Persarnaan model penutupan hutan di atas harus dapat menggambarkan
penyebab terjadinya perubahan penutupan hutan di Indonesia pada periode
waktu tertentu serta variasi perubahan penutupan hutan antara lokasi yang
bet1ainan. Hal ini pet1u dilakukan karena seperti diuraikan di muka, telah terjadi
perubahan pandangan mengenai penyebab terjadinya perubahan penutupan
hutan di Indonesia sejalan dengan waktu. Disamping itu, tingkat perubahan
penutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra satelit juga bervariasi antar
propinsi dalam satu dimensi waktu. Sehingga karakteristik data yang tersedia
sangat beragam sekali. Penggunaan data time-series at.au cross section secara
terpisah tidak akan mampu menangkap seluruh informasi yang diperlukan. Oleh
karena itu dalam penelitian ini akan dipakai data panel untuk mengakomodasi
seluruh karakteristik data tersebut.
Data panel adalah data yang mencakup sampel individual (rumah tangga,
propinsi, pulau dan lain-lain) selama periode waktu tertentu (Pindyck and
Rubinfeld, 1998). Di dalam teori ekonometri, proses penggabungan data time
(3.11) H 1 :bukan H0
41
' section ; T adalah jumlah periode waktu. a adalah skalar ; f3 adalah K x 1 ; x u
untuk i = 1, 2, ... ,N dan t = 1, 2, ... ,T, dimana N adalah jumlah individu cross-
(3.12)
menurut Greene (1993) adalah :
hal-hal yang mendekati kenyataan. Model regresi untuk data panel secara umum
sehingga akan diperoleh analisis hasil estirnasi yang menyeluruh dan mencakup
mencenninkan dinamika antar waktu dari masing-masing variabel bebasnya,
dilakukan estimasi karakteristik individu (dalam penelitian ini propinsi) yang
Dengan menerapkan estimasi data panel, maka secara bersamaan akan dapat
propinsi yang memiliki karakteristik berbeda-beda dalam periode waktu tertentu.
Analisis dalam penelitian ini akan menggunakan sejumlah individu
5. Dapat digunakan untuk membangun dan menguji model yang kompleks.
dideteksi dengan data time series atau cross section.
4. Baik digunakan untuk identifikasi dan mengukur pengaruh yang tidak dapat
3. Data Panel baik digunakan untuk studi yang datanya dinamis.
variabel lebih kecil, mempunyai derajad bebas lebih banyak dan lebih efisien.
2. Dapat memberi lebih banyak infonnasi, lebih bervariasi, kolinealitas diantara
Negara adalah heterogen).
1. Dapat mengontrol heterogenitas individual (individu, finn, propinsi, atau
keuntungan menggunakan data panel untuk analisis adalah sebagai berikut :
series dan cross section disebut dengan pooling. Menurut Baltagi (2001),
42
oleh perbedaan constant term: Jika Zi tidak diobservasi tetapi berhubungan
Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar unit dapat ditangkap
3.4.2. Model Fixed Effect
dengan menggunakan kuadrat terkecil biasa (OLS).
3 (tiga) macam model linier tersebut di atas dapat diestimasi secara konsisten
(3.15} - - - Y I. = XI. /3 + a + e I.
3. Rata-rata group (between groups)
(3.14) - - -
Yu -Y 1. = (x11 - X1.)/3 +Su - 81.
2. Deviasi dari rata-rata group (within groups)
(3.13) yit = X it' /3 + a + e It
1. Model dasar data panel.
Model pooled regression ada 3 (tiga) macam (Greene, 1993), yaitu :
dilakukan dengan mengkombinasikan semua data time seri dan cross section.
diperoleh hasil estnnast yang konstan dan efisien pada a dan ~. Estimasi
dilakukan dengan menggunakan kuadrat terkecil biasa (OLS), sehingga akan
Jika Zi hanya mengandung constant term, maka estimasi model dapat
3.4.1. Pooled Regression
individu atau group specific.
atau efek individual yang mengandung constan term dan satu set variabel
adalah K regressors tidak termasuk constan tenn; Zia adalah heterogenitas
43
Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1998), ada beberapa kelemahan apabila
menggunakan model fixed effect, yaitu :
1. Penggunaan variabel dummy tidak secara langsung dapat mengidentifikasi
apa yang menyebabkan garis regresi bergeser antar waktu dan antar
individu.
2. Penggunaan variabel dummy akan banyak mengurangi derajad bebas.
dimana D = [d1, d2, d3 ... dn] adalah matriks dengan ukuran nT x n. Model ini
biasanya disebut sebagai Least Squares Dummy Variable (LSDV) yang dapat
diestimasi dengan menggunakan analisis kuadrat terkecil biasa apabila jumlah
individunya sedikit.
(3.17) Y = Da + xf3 + e
Dalam model ini, apabila intersep-intersep dari time-series dan cross-
section bervariasi karena ada kemungkinan adanya variabel yang belum
dimasukkan dalam model, maka variabel dummy dapat ditambahkan kedalam
model. Sehingga modelnya menjadi :
dimana a; = z/ a , yaitu seluruh pengaruh pengamatan ditangkap oleh a;
menjadi amstsnt term dari suatu group-spedfic dalam model regresi.
(3.16)
dengan Xit, maka estimator least square terhadap 13 akan bias dan tidak
konsisten sebagai akibat dari variabel yang dihilangkan (Greene, 1993). Model
umum fixed effect adalah :
44
dimana K regressor ditambahkan kedalam constsn term (a) yang merupakan
rata-rata heterogenitas yang tidak diteliti E[Z{a]. Ui adalah heterogenitas random
yang spesifik pada observasi ke-i dengan waktu yang konstan, dimana Ui = {Z{a
- E(Z{a]}. Pendekatan random effect menentukan nilai a dan f3 dengan
didasarkan pada asumsi bahwa intersep (a) terindikasi random antar unit Ui.
Dengan kata lain, slope ((3) memiliki nilai tetap tetapi intersep (u) bervariasi
untuk setiap individu. Model random effect ini dapat diestimasi dengan metocle
Generalized Least-Square (GLS).
(3.18)
3.4.3. Model Random Effect
Model fixed effl:?ddapat mengatasi masalah variabel penjelas yang hilang
dengan cara memasukkan variabel dummy, tetapi tidak dapat menunjukkan
variabel penjelas tersebut. Selain itu derajad bebas menjadi berkurang karena
memasukkan variabel dummy ke dalam model. Oleh karena itu per1u dicari
alternatif lain untuk mengatasi masalah variabel penjelas yang hilang tanpa
mengorbankan rdE;!rajad bebas. Altematif yang dapat digunakan adalah dengan
mengganti variabel dummy dengan pengganggu (disturbance). Kita dapat
membuat suatu gabungan model tirrie series dan cross-section dimana errornya
berkorelasi lintas waktu dan lintas individu (Pindyck dan Rubinfeld, 1998). Model
dengan pengganggu (disturbance) ini disebut model random effed dengan
formulasi sebagai berikut :
error yang terperind ke dalam time-series dan cross-section. Sebaliknya, model
45
lebih banyak dan mempunyai daya tarik konseptual karena memiliki sumber
ke dalam model, sedangkan model random effect memiliki derajad bebas yang
effect banyak derajad bebas yang hilang akibat dimasukkannya variabel dummy
tergantung pada efek saat ini dalam sampel yang kita teliti. Dalam model fixed
individual sebagai random. Model fixed effect adalah analisis sederhana
Greene (1993), menvatakan bahwa kita seharusnya selalu memperlakukan efek
digunakan dalam analisis ?. Mundlak (1978) seperti yang telah dikutip oleh
dan random effect, sehingga timbul pertanyaan model mana yang akan
Berdasarkan uraian di atas telah disebutkan perbedaan antara fixed effect
3.4.5. Uji Hausman
tanpa group effectdan H1 rnengindikasikan regresi dengan group effect
adalah estimasi dengan pooled least squares yang mengindikasikan regresi
atau restriksi dengan satu constant term (Greene, 1993). Uji hipotesis untuk Ho
dimana LSDV adalah model dummy variabel dan Pooled adalah model pooled
(3.19) ( R 2 - R 2
) /(n - 1) F (n - 1 nT - n - K ) = LSDv p<>or-a ' (1- R:SDv )l(nT - n - K)
menggunakan F test, yaitu :
dan model variabel dummy (LSDV). Uji statistik dapat dilakukan dengan
Uji hipotesis ini dapat dilakukan dengan membandingkan R2 dari model pooled
Perbandingan t dari ai dapat digunakan untuk uji hipotesis bahwa ai = 0.
3.4.4. Uji Spesifikasi
46
dimana l:FE adalah matriks kovarian untuk dugaan model dummy vafiabel (fixed
effecf) dan l:RE adalah matriks kovarian untuk dugaan model random effect Nilai
statistik Hausman didistribusikan sebagai x2 dengan K derajad bebas.
(3.20)
fixed effect memungkinkan kita untuk menganalisis sejauh mana variabel tak
bebas untuk masing-masing unit cross-section berbecla dari rata-rata
keseluruhan cross-section. Model fixed effecttidak membutuhkan asumsi untuk
memasukkan efek individual ke dalam error yang tidak berkorelasi dengan
regresor lain seperti yang diasumsikan dalam random effect.
Dalam analisis data panel dapat dilakukan uji ortogonalitas untuk
mengetahui model fixed effect atau random effect yang akan digunakan untuk
analisis dalam suatu penelitian. Uji spesifikasi ini diperkenalkan oleh Hausman
(1978) seperti yang dikutip oleh Greene (1993). Uji Hausman dilakukan
berdasarkan pemikiran bahwa dengan hipotesa Ui dan Xi tidak berkorelasi,
Generalized Least-Square (GLS) adalah konsisten, tetapi ordinary least-square
(OLS) dalam model Least-Square Dummy Variable (LSDV) tidak efisien.
Sebaliknya jika berkorelasi, OLS akan konsisten tetapi GLS tidak efisien. Oleh
karena itu dengan hipotesis nol kedua estimasi tidak berbeda secara sistematis
dan tes dilakukan berdasarkan perbedaannya (Greene, 1993). Rumus Hausman
adalah sebagai berikut :
47 tinier yang tinggi, sehingga akan berdampak pada :
Multikolinearitas terjadi apabila antar variabel bebas memiliki korelasi
1. Uji Multikoline.aritas
dan uji heteroskedastis.
akan dilakukan pada 3 (tiga) asumsi utama yaitu multikolinearitas, uji otokorelasi
. disyaratkan, maka dilakukan pengujian atas asumsi yang digunakan. Pengujian
Untuk mendapatkan hasil estimasi yang baik dan memenuhi asumsi yang
6. Galat berdistribusi normal.
karenanya tidak berkorelasi.
5. Galat dari observasi-observasi yang berbeda adalah independen dan
4. Galat mempunyai variasi yang konstan uhtuk semua observasi.
3. Galat mempunyai nilai harapan nol, E{e1J=O.
antara dua atau lebih peubah-peubah bebas.
2. Xi adalah peubah bukan stokastik dan tidak ada hubungan linier yang persis
bersifat linier.
1. Hubungan antara peubah bebas (X) dengan peubah tak bebasnya (Y)
harus dipenuhi (Pindyck dan Rubinfeld, 1998) adalah :
terbaik (Best Linier Unbiased Estimation/BLUE). Beberapa asumsi dasar yang
memperoleh hasil pendugaan parameter yang memiliki sifat tak bias linier
terkecil (OLS), ada beberapa asumsi dasar yang harus dipenuhi agar
Dalam melakukan estimasi dengan menggunakan model regresi kuadrat
3.4.6. Uji Asumsi Dasar
48
1. Kesulitan dalam menafsirkan nilai penduga koefisien-koefisien regresi. Hal ini
disebabkan perubahan suatu variabel akan menyebabkan perubahan juga
pada variabel pasangannya karena korelasinya tinggi.
2. Distribusi parameter regresi menjadi sangat sensitif terhadap korelasi yang
terjadi antar variabel bebas dan galat baku regresi. Kondisi ini muncul dalam
bentuk varians dan galat baku parameter yang tinggi yang berdampak pada
nilai t statistik menjadi lebih kecil sehingga variabel bebas tersebut menjadi
tidak signifikan pengaruhnya. Pengaruh lebih lanjut adalah koefisien regresi
yang dihasilkan tidak mencenninkan nilai yang sebenamya dirnana sebagian
koefisien cenderung overestimate dan yang lainnya underestimate.
Beberapa cara bisa digunakan untuk mengidentifikasi ada tidaknya
multikolinearitas pada model regresi yang di hasilkan, yaitu (i) Jika hasil regresi
menunjukkan nilai R2 yang tinggi dan F statistik yang sangat signifikan
(goodness of fitterpenuhi) namun sebagian besar variabel bebas tidak signifikan
pengaruhnya (t hitung kecil), (ii) terdapat korelasi yang tinggi (r ;;::: 0.8) antara
satu atau lebih pasang variabel bebas dalam model. Dalam mengatasi masalah
multikolinearitas yang terjadi pada model regresi, langkah yang dapat ditempuh
adalah dengan membuang salah satu variabel dari pasangan variabel yang
mengalami multikolinearitas, mengubah bentuk model atau menambah data
(Gujarati, 1995).
Otokorelasi terjadi karena adanya korelasi antar galat pada observasi
yang berbeda (biasanya berdekatan). Otokorelasi cenderung terjadi pada
penggunaan data time series dalam membuat model regresi karena galat-galat
yang berkaitan dengan observasi pada periode waktu tertentu terbawa ke dalam
periode waktu berikutnya. Otokorelasi tidak berpengaruh terhadap sifat
konsistensi hasir dugaan, namun mempengaruhi efisiensjnya. Akibat yang paling
menonjol adalah kesalahan dalam menyimpulkan penduga parameter. .
Beberapa cara bisa digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya
otokorelasi, diantaranya adalah (1) Uji Durbin Watson. Uji ini dilakukan dengan
membandingkan nilai batas atas (du) dan nilai batas bawah (d1) dari tabel Durbin
Watson dengan memperhatikan jumlah observasi dan variabel bebas tidak
termasuk constant tenn. Statistik DW ter1etak pada interval 0 sampai 4. Jika nilai
DW mendekati 2, maka model tidak mengalami masalah otokorelasi. Sedangkan
apabila nilai DW hitung terletak < d1 atau > 4 - d1, maka model mengalami
masalah otokorelasi yang serius. Bila hasil DW hitung ter1etak pada interval d1 -
du atau 4- du dan 4 - d1, maka hasil pengujian tidak dapat disimp.ulkan ada atau
tidaknya masalah otokorelasi. (2) Uji Serial Correlation LM Test. Dengan melihat
nilai F dan Obs*R-squared dapat diketahui ada atau tidaknya masalah korelasi.
Dimana jika nilai probability dari Obs*R-squred besar, maka Ho diterima dan
berarti tidak ada masalah serius dengan otokorelasi. Cara mengatasi
pelanggaran asumsi ini dapat dilakukan dengan menambah variabel AR(l),
49
2. Uji Otokorelasi.
50
3. Uji Heteroskedastis
Heteroskedastis terjadi jika error tenn ei yang berdistribusi normal dengan
varians a?, tidak memiliki varians yang konstan sepanjang waktu observasi [var
ei = E(ei2) = a? ]. Pelanggaran asumsi dalam bentuk heteroskedastis ini
berdampak pada, (1) tidak efisiennya proses estimasi, sementara hasil.
estimasinya sendiri masih tetap konsisten dan tidak bias, (2) akan
mengakibatkan hasil uji t dan F menjadi tidak berguna.
Salah satu langkah yang bisa ditempuh dalam mengidentifikasi terjadinya
pelanggaran asumsi dalam bentuk heteroskedastis adalah dengan menggunakan
uji white heteroscedasticity test dan Breusch - Pagan test Cara untuk
mengatasi heteroskedastis dapat dilakukan dengan weighted least square
(model kuadrat terkecil tertimbang) atau Generalized Least-Square (GL5).
3.5. Data dan Sumber Data
Dalam penelitian ini digunakan data sekunder dari 19 propinsi (seluruh
Indonesia kecuali P. Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Timur) dari tahun 1976
sampai dengan tahun 2000. Ada 2 (dua) alasan yang dapat dikemukakan
sehubungan dengan penggunaan data berdasarkan 19 propinsi, yaitu :
1. Agar terjadi kesinambungan data per propinsi setiap tahun, maka wilayah
administrasi propinsi masih berpegang pada wilayah administrasi yang lama.
AR(2) dan seterusnya sampai diperoleh hasil estimasi yang bebas dari
otokorelasi.
51
7 Perum Perhutani dibagi menjadi 3 wilayah administrasi, yaitu Unit I Jawa Tengah, Unit II Jawa Tlmur dan Unit III Jawa Bar at.
waktu ke titik waktu tertentu yang dihubungkan dengan kerapatan populasi
maka akan dilakukan ekstrapolasi berdasarkan penutupan hutan dari satu titik
1980an. Sedangkan untuk memperoleh data penutupan hutan setiap tahun,
yang tersedia, terutama data penutupan hutan pada tahun 1970an sampai
citra satelit dengan tidak membedakan tipe hutan oleh karena keterbatasan data
Data penutupan hutan pada penelitian ini berdasarkan hasil penafsiran
tertentu yang dihubungkan dengan kerapatan populasi (FAO, 1993).
dilakukan ekstrapolasi berdasarkan data penutupan hutan dari satu titik waktu
menyelesaikan penafsiran citra hasil liputan satelit. Oleh karena itu seringkali
sehingga memerlukan biaya yang sangat tinggi serta waktu yang lama untuk
diperoleh setiap tahun mengingat cakupan wilayahnya yang sangat luas,
deforestasi dapat dipahami. Meskipun demikian, data penutupan hutan sulit
penggunaan data penutupan hutan untuk analisis model empiris penyebab
menyatakan bahwa data deforestasi sangat sulit diperoleh, sehingga
pendekatan/ taksiran besarnya laju deforestasi. Angelsen dan Kaimowitz (1998)
Perubahan penutupan hutan dalam penelitian ini digunakan sebagai
ada yang dikelola oleh swasta (HPH).
dan (2) untuk propinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur areal hutannya tidak
dengan pertimbangan sebagai berikut: (1) di P. Jawa pengelolaan hutannya
bukan dikelola oleh swasta (HPH) akan tetapi dikelola oleh Perum Perhutani7
Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Timur tidak digunakan dalam penelitian,
2. Untuk menghindari data yang tidak seragam, maka 5 (lima) Propinsi di P.
52
2000).
harga konstan agar nilainya tidak dipengaruhi oleh perubahan harga (Mankiw,
domestik regional bruto per kapita adalah harga konstan tahun 1988. Digunakan
Data yang dipakai untuk harga kayu, kelapa sawit, kopi, karet dan produk
2. Harga kayu Dep.Kehutanan, BPS, FAO
3. Jumlah HPH 4. Luas HPH r ro insi s. Bahan baku industri Jumlah kayu yang dibutuhkan Dep. Kehutanan
kayu sebagai input oleh industri olahan ka u.
6. Jumlah Ekspor Jumlah ekspor kayu bulat, Dep. Kehutanan, BPS gergajian dan plywood tan pa mem rhatikan N ara tuiuan.
7. Harga kelapa sawit, Harga konstan di tingkat BPS, Dep. pertanian ko i dan karet rodusen
8. Populasi Rata-rata populasi penduduk per BPS
9. PDRB Produk Domestik BPS
10. Hasil Pangan BPS
Tabet 3.1. Data dan Sumber Data
disajikan pada tabel 3.1 berikut.
yang digunakan dalam penelitian ini beserta pendekatan yang digunakan
seperti yang direkomendasikan oleh FAO. Untuk lebih jelasnya sumber data
53
• Sebelum Tahun 1960an: Periode eksploitasi oleh Daerah PP No. 64/1957 Penyerahan sebagian urusan Pemerintah pusat di
sektor kelautan, kehutanan dan karet kepada daerah tk.I
• Tahun 1960an : Periode awal eksploitasi secara komersil UU No.1/1967 Penanaman Modal Asing UU No.5/1967 Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan PP No.22/1967 Iuran HPH dan IHH SK Mentan No.57/8/1967 Syarat dan Cara Penyelesaian Permohonan HPH UU No.6/1968 Penanaman Modal Dalam Negeri SK Mentan No.76/Kpts/EKKU/3/1969 Pedoman Eksploitasi Hutan • Tahun 1970an : Periode penataan sistem dan mekanisme eksploitasi hutan PP No.21/1970 HPH dan HPHH PP No.33/1970 Perencanaan Hutan SK Mentan No.291/Kpts/UM/5/1970 Penetapan areal Kerja HPH SK Mentan No.3516/A-2/DD/1970 Rencana Karya Pengusahaan Hutan Kepres No.66/1971 Peningkatan Prasarana HPH SK Dirjen Hut No.35/Kpts/DJ/I/1972 Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis
Dengan Penanaman, Tebang Habis Dengan Permudaan Alam
Lingkup kebijakan Landasan Hukum
Tabet 4.1. Beberapa kebijakan yang berkaitan dengan eksploitasi Hutan
berkaitan dengan eksploitasi hutan disajikan pada tabel 4.1 berikut.
dan di luar P. Jawa oleh PT. Inhutani. Sec.ara singkat beberapa kebijakan yang
pemodal swasta, kecuali hutan di P. Jawa yang dikelola oleh Perum Perhutani
Indonesia adalah sistem eksploitasi melalui sistem HPH dengan mengandalkan
kelestarian hutan harus tetap dijaga. Pada dasamya sistem eksploitasi hutan di
didasarkan atas tujuan untuk memakmuran masyarakat, tetapi di sisi lain azas
· 1966. Sebagai. sektor prioritas, seharusnya eksploitasi sektor kehutanan
selain sektor pertambangan pada awal Pemerintahan Orde Baru sekitar tahun
Sektor kehutanan merupakan salah satu sektor andalan penghasil devisa
4.1. Perkembangan Kebijakan Eksploitasi Hutan
BAB 'IV
TELAAH KEBIJAKAN EKSPLOITASI HUTAN DI INDONESIA
54
Tambunan (2002) membedakan kebijakan pemanfaatan dan perlindungan hutan
Berdasarkan urutan waktu dart tahun 1960-an sampai 2000-an,
Sumber : Tambunan , 2002 (diperbarui)
Kewajiban Pemegang HPH membuat Rencana Karya Pengusahaan Hutan. Penutupan Sementara Permohonan HPH Baru . Sanksi Atas Pelanggaran Eksploitasi HPH Tata Cara Pemanfaatan Kayu. Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia
SK Menhut No.19/Kpts-11/2003
SK Menhut Mo.33/Kpts-11/2003
SK Menhut No.32/Kpts:l1/2003
SK Menhut No.8171/Kpts-II/2002
SK Menhutbun No.84/Kpts-II/2000 SK Menhut No.541/Kpts-11/2002 PP No. 34/2002
PP No. 25/2000 SK Menhut OS.1/Kpts-lI/2000
SK Menhut No.402/Kpts-II/1990 SK Menhut No.114/Kpts-11/1992 SK Menhut No.362/Kpts-II/1993 SK Menhut No.23/Kpts-II/1994 SK Menhut No.206/Kpts-II/1994 SK Menhut No.236/Kpts-II/1995 SK Menhutbun No.310/Kpts-II/1999 SK Menhutbun No.312/Kpts-II/1999 PP No.6/1999
SK Menhut No.274/Kpts-II/1989
. SK Menhut No.377/Kpts-II/1989 SK Menhut No.493/Kpts-II/1989 SK Menhut No.495/Kpts-II/1989 SK Dirjen PH No.564/Kpts/N-BPHH/ 1989 • Tahun 1990 - 2000an : Periode pembenahan pengusahaan hutan PP No.7/1990 HPHTI Kepres No.30/1990 Pengenaan, Pemungutan dan Pembagian Iuran
Hasil Hutan (IHH) Tata Usaha Kayu. RKT dan RKL Pengusahaan Hutan. Pengusahaan Hutan eks HPH Oleh BUMN Perpanjangan HPH. Pencabutan SK Menhut No.377/Kpts-II/1989. Persyaratan Permohonan HPH. Pedoman Pemberian HPHH Tata Cara Pemberian HPHH melalui Permohonan. Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan di Hutan Produksi Otonomi Daerah Kriteria dan Standar Perizinan Usaha pemanfaatan dan Pemungutan Hasil Hutan Penangguhan Pemberlakuan Pemberian HPHH. Kriteria Standar Perjinan HPH Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan, Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Kriteria Potensi Hutan Alam yang dapat diberikan IUPHHK Pemberian Ijin Pemanfaatan Hutan Alam/ Hutan Tanaman Melalui Pelelangan. Tata Cara Penyelesaian HPH dan HPHTI yang Mendapat Persetujuan Prinsip Penetapan Jatah Produksi Hasil Hutan tahun 2003 dari Hutan Alam
SK Mentan No.749/Kpts/Um/12/1974 Petunjuk Pemberian HPHH Kepres No.20/1975 Kebijaksanaan Pemberian HPH • Tahun 1980an : Periode pengendalian eksploitasi hutan SK Menhut No.327/Kpts-Il/1988 Kriteria Penetapan Pemegang HPH SK Menhut No.494/Kpts-Il/1988 Ketentuan Pembatalan Pencadangan HPH. SK Menhut No.269/Kpts-II/1989 Tata Cara Permohonan HPH dan Perpanjangan
HPH.
Lingkup Kebijakan Landasan Hukum
Periode ketiga t.ahun 1970-an, dapat disebut sebagai "Periode penataan
sistem dan mekanisme eksploitasi hutarf'. Hal ini dapat dilihat dari 55
Periode kedua tahun 1960-an, yang ditandai pemberlakuan UU No.l/
1967 yang diikuti UU. No.5/1967 dan UU No.6/ 1968. Periode ini dapat disebut
sebagai "Periode awal eksploitasi hutan sec.ara komersil'. Pemanfaatan hutan di
Indonesia secara komersil dimulai dengan membuka peluang bagi pemodal
asing maupun dalam negeri untuk menanamkan modal di sektor kehut.anan.
Dengan dikeluarkannya UU tersebut, maka pengusahaan hutan di Indonesia
mengalami perkembangan pesat seiring dengan besamya minat dari pengusaha
asing maupun nasional untuk menanamkan modalnya di sektor kehutanan.
Akibatnya, aktifitas eksploitasi hut.an bergeser dari Jawa (hutan jati) ke luar
Jawa (hutan alam) dan bahkan dalam perkembangannya, luar Jawa telah
menjadi basis pembangunan sektor kehut.anan (Tambunan, 2002).
periode awal eksploitasi hutan di Indonesia, penataan sistem dan mekanisme
eksploitasi hutan, periode industrialisasi hutan dan pengendalian rente hasil
hutan dan periode integrasi. Dengan pendekatan tersebut, maka kebijakan
eksploitasi hutan di Indonesia yang disajikan pada t.abel 4.1 dibedakan menjadi
~ periode. Periode pertama, yakni sebelum t.ahun 1960-an, berdasarkan PP
64/1957 eksploitasi hutan diserahkan pada masing-masing daerah tingkat I.
Periode ini dapat" dtsebut sebagai "Periode eksp/oitasi oleh Daeralt' dimana
eksploit.asi yang dilakukan belum meliputi wilayah yang luas dan masih menjadi
tanggung jawab Pemerintah Daerah untuk memberikan ijin eksploitasi hutan.
yang dibentuk secara nasional menjadi empat periode, yakni berturut-turut
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.21/1970 tentang Hak Pengusahaan
Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan
untuk mempermudah koordinasi Pemerintah Pusat dalam rangka pengusahaan
hutan yang tersebar di seluruh Indonesia, baik yang berdasarkan penanaman
modal asing maupun nasional. Dengan adanya PP ini, maka Peraturan
Pernermtah No. 64/ 1957 pasal 10 tidak berlaku lagi. Sehingga wewenang
Pemerintah Daerah untuk memberikan surat ijin eksploitasi hutan berupa (1) Ijin
konsesi hutan selania jangka waktu 20 tahun untuk wilayah seluas-luasnya
10.000 ha, (2) Ijin persil penebangan selama jangka waktu 5 tahun untuk
wilayah seluas-luasnya 5.000 ha dan (3) Ijin penebangan bagi pengambil kayu
dalam jumlah tertentu untuk jangka waktu 2 tahun menjadi tidak berlaku lagi.
Selain itu, diterbitkan pula aturan atau tata cara pemanenan (TPI, THPA dan
THPB), penetapan areal kerjanya, peningkatan prasarana maupun kewajiban
untuk membuat Rencana Karya Pengusahaan Hutan.
Periode keempat tahun 1980-an, dapat disebut sebagai "Periode
pengendalian eksploitasi hutati'. Dalam periode ini mulai dilakukan pengendalian
dengan menetapkan kriteria pemodal yang berhak untuk memperoleh konsesi
HPH, ketentuan pembatalan pencadangan HPH maupun tata cara permohonan
dan perpanjangan HPH. Selain itu, untuk mempermudah pengawasan, setiap
pemegang HPH juga diwajibkan untuk membuat Rencana Karya Pengusahaan
Hutan, baik rencana karya tahunan, lima tahunan maupun jangka panjang (20
tahun), Pada tahun 1989, sempat dilakukan penutupan sementara permohonan
HPH karena semakin terbatasnya luas kawasan hutan produksi. Selain itu juga
56
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan, Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan
57
Dengan adanya otonomi daerah, maka pada tahun 2000 Ijin Usaha
Pemanfaatan dan Pemungutan Hasil Hutan di hutan produksi alam dialihkan ke
Daerah. Ijin dapat dikeluarkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota. Akan tetapi
dalam perkembangannya ijin tersebut banyak disalahgunakan dan menyebabkan
semakin meluasnya kegiatan illegal logging. Oleh karena itu pada tahun 2002
ketetapan Menteri Kehutanan tersebut dicabut kembali melalui Keputusan
Menteri Kehutanan No.541/Kpts-II/2002. Pembenahan pengusahaan hutan
selanjutnya dilakukan dengan menetapkan PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan
lagi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 206/Kpts-lI/1994.
dimaksudkan untuk evaluasi dan konsolidasi terhadap HPH yang sudah
memperoleh konsesinya. Di lain pihak, sanksi juga dapat dikenakan terhadap
HPH apabila melakukan pelanggaran eksploitasi HPH. Pada penode ini
dikeluarkan pula ketentuan yang lebih ketat tentang kewajiban pengusaha hutan
untuk menyisakan sejumlah tertentu tanaman dalam setiap penebangan melalui
. keputusan tentang Tebang Pilih Tanam Indonesia.
Periocle kelima tahun 1990 - 2000-an, dapat disebut sebagai "periode
pembenahan pengusahaan hutsn". Pada periode ini dilakukan pembenahan
dengan melakukan evaluasi terhadap HPH yang sudah habis masa konsesinya.
Perpanjangan HPH untuk rotasi jangka kedua dapat diberikan apabila
pengusahaan hutan sesuai dengan RKPH yang telah ditetapkan, sebaliknya
apabila tidak sesuai maka eks HPH tersebut akan diserahkan pengelolaannya
pada BUMN Kehutanan. Pada periode ini permohonan HPH baru mulai dibuka
58
Hutan. Selain itu dikeluarlcan pula Keputusan Menteri Kehutanan tentang kriteria
potensi hutan alam yang dapat diberikan IUPHHK. Hal ini dilakukan agar ijin
usaha ini hanya diberikan pada areal yang memang benar-benar layak untuk
diusahakan. Selanjutnya terhadap areal yang masih layak diusahakan akan
dilakukan pelelangan.
Sernentara itu sampai dengan terbitnya PP No.34/2002 masih terdapat
beberapa permohonan HPH alam maupun tanaman yang proses
penyelesaiannya rnendapat persetujuan prinsip (termasuk IUPHHK yang telah
dikeluarkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota). Untuk kasus tersebut akan
dilakukan verifikasi terhadap setiap ijin yang dikeluarkan. Di sisi produksi hasil
hutan, pembenahan dilakukan dengan menetapkan jatah produksi hasil hutan
dari hutan alam dengan menerapkan "soft/anding' mulai tahun 2003 dengan
cara melakukan penyesuaian tingkat tebangan tahunan untuk rnengurangi laju
deforestasi yang makin meningkat. Kebijakan sottlanding ini masih bertaku
dengan mengurangi kuota tebangan setiap tahunnya .. Akan tetapi nampaknya
kebijakan ini tidak cukup kuat untuk mencegah ataupun mengurangi terjadinya
illegal logging. Kondisi ini menggambarkan bagaimana rumitnya permasalahan
yang dihadapi oleh sektor kehutanan. Dipertukan penanganan yang menyeluruh
untuk mengatasinya, termasuk melakukan peninjauan kembali ketentuan dan
peraturan yang menyangkut pengelolaan hutan, pertunya penegakan hukum
yang tegas maupun perbaikan tata usaha kayu melalui "lacak balak".
59
4.2. Perkembangan Eksploitasi dan Konversi Hutan
Tujuan pengusahaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan adalah
mewujudkan keberadaan sumberdaya hutan yang berkualitas tinggi,
memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan ekologi yang maksimal dan lestari
serta menjamin distribusi manfaatnya secara adil dan merata, khususnya
terhadap masyarakat yang tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan. Kegiatan
pemanfaatan sumberdaya hutan di Indonesia sudah dimulai sejak lama. Bahkan
hutan jati di P. Jawa sudah dieksploitasi sejakjaman voe pada abad ke 16.
Pada tahun 1960-an kekayaan sumberdaya hutan masih berlimpah. Pada
masa itu, sumberdaya hutan dianggap sebagai salah satu kekuatan atau modal
untuk mencapai sasaran pembangunan dengan memanfaatkan hutan atas dasar
prinsip hasil yang maksimal dengan memperhatikan kelestarian. Untuk
mensukseskan pembangunan nasional, terutama untuk menciptakan kestabilan
ekonomi maka perhatian khusus akan dicurahkan pada produksi, distribusi dan
terutama ekspor kayu dan hasil hutan lainnya (Departemen Kehutanan, 1965).
Jumlah produksi dan ekspor kayu dart tahun 1960 - 1965 disajikan pada tabel
4.2. berikut.
60
disajikan pada tabet 4.3 berikut.
pembukaannya. Kondisi luas hutan per kelompok Pulau pada tahun 1960-an
hutan yang sulit dijangkau dan memerlukan investasi yang besar untuk
besar belum dilakukan eksploitasi secara intensif, sedang selebihnya merupakan
telah mulai berkembang dan arealnya relatif mudah dicapai meskipun sebagian
Indonesia) kurang lebih setengahnya sudah mulai diusahakan karena prasarana
(1965), dari hutan yang ada seluas 121,7 juta ha (64% dari luas kepulauan
1961 - 1969. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Departemen Kehutanan
target US$ 52,5 juta untuk membiayai pelaksanaan pembangunan selama tahun
dikategorikan sebagai barang ekspor untuk menghasilkan devisa Negara dengan
Dalam perpbanqunan nasional semesta berencana, hasil hutan kayu
Sumber: Departemen Kehutanan (1965) 2 139 283 1965 1. 770 930 2 2 107 368 1963 1.961 1.218 1 118 1962 2.018 1.039
402 1960 1.859 1.469 1 101 447 2
72 341 1964 1.952 1.020
126
303 1961 1. 906 1. 773
Tabet 4.2. Jumlah produksi dan ekspor kayu dari tahun 1960 - 1965.
prioritas antara lain peningkatan pengolahan sumberdaya alam (pertambangan
61
menitikberatkan program pembangunannya pada sektor perekonomian dengan
Menghadapi masalah yang demikian berat, Pemerintah Orde Baru
(LATIN, 1998).
(bahan pangan, tekstil, mesin dan suku cadangnya) mencapai US$ 600 juta
tempo menc.apai sekitar US$ 530 juta, sedangkan kebutuhan impor minimum
defisit meningkat dua kali lipat. Jumlah total devisa pada tahun 1966
diperkirakan sebesar US$ 714 juta, sementara utang luar negeri yang jatuh
defisit anggaran belanja mencapai US$ 248 juta, setahun berikutnya bahkan
1965 hingga awal 1966 terus menerus terjadi hiperinflasi. Pada tahun 1965
kesulitan besar. Perekonomian Indonesia sangat suram. Sejak pertengahan
Pada awal masa Orde Baru, Pemerintah yang baru berusaha untuk keluar dari
dan pertambangan, dimulai sejak Orde Baru yang dimulai pada tahun 1966.
Sumatera 28.420 60 21.560 76 20.700 73 Kalimantan 41.470 77 23.200 56 22.200 53 Sulawesi 9.910 52 8.629 87 8.629 87
· Nusa Te ara 1.484 20 1.484 100 1.484 100 Maluku 6.000 71 5.260 88 5 260 88 Irian Barat 31.500 76 940 3 78 0 Djawa dan 2.917 22 2.917 100 2.197 100 Madura Total 121.701 64 63.990 53 61.268 50
Sumber: Departemen Kehutanan (1965)
Pengelolaan sumber daya alam secara besar-besaran, terutama hutan
Tabet 4.3. Kondisi Luas Hutan per Kelompok Pulau Tahun 1960-an
dan hasil hutan). Dengan alasan tersebut, maka pada tahun 1967 pengusahaan
hutan di Indonesia mulai dilakukan secara komersil. Hingga menjelang 1970
jumlah pemegang HPH tercatat berjumlah 64 perusahaan yang meliputi luas 8
juta ha. Sehingga eksploitasi hutan di luar Jawa makin meningkat. Menurut
Philip Hurst seperti dikutip oleh LATIN (1998), sejak jaman kolonial sampai awal
1960, 89% kayu berasal dari Jawa dan hanya 10% diantaranya yang digunakan
untuk kepentingan ekspor. Menjelang tahun 1971, terjadi perubahan drastis.
Saat itu 65% kayu berasal dart Kalimantan, sebagian besar dari Kalimantan
Timur dan 75% diantaranya untuk ekspor. Pada tahun 1974 hutan di Kalimantan
yang dikuasai oleh pemegang HPH telah mencapai 11 juta ha. Dengan
masuknya modal swasta dalam HPH, pengusahaan hutan meliputi wilayah yang
sangat luas dan dikerjakan secara modern.
Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Departemen Kehutanan (Gambar
4.1), luas areal HPH semakin meningkat seiring dengan meningkatnya
permohonan pengajuan hak pengelolaan hutan, sehingga luas penutupan
hutan maupun luas hutan produksi yang tidak dibebani hak pengusahaan
semakin berkurang. Kondisi ini berlangsung sampai sekitar tahun 1994. Setelah
tahun ini luas HPH mulai berkurang seiring dengan habisnya masa konsesi
beberapa HPH yang tidak diperpanjang lagi. Berdasarkan data Departemen
Kehutanan tahun 2004, jumlah perusahaan pemegang HPH di seluruh Indonesia
pada saat ini adalah sebanyak 267 unit dengan total luas areal yang diusahakan
seluas 27,797 juta ha. Areal pengusahaan hutan terbanyak tersebar di
Kalimantan sebanyak 127 unit dengan luas areal 10,764 juta ha, diikuti oleh
62
63
tabel 4.4 berikut.
Kalimantan dan Sumatera jauh di bawah rata-rata seperti yang terlihat pada
primer yang masih tersisa sekitar 45%, akan tetapi kondisi hutan primer di
produksi seluas 41,2 juta ha dari 320 unit HPH menunjukkan bahwa hutan
Berdasarkan hasil rekalkulasi citra satelit tahun 2000 terhadap areal hutan
I-<>-% luas HPH vs Penutupan HUian -0-% Luas HPH vs Luas HUian Produksi I Tahun
0.00 +--~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~..----.
##~~~~#~~~~~~##~#~~~~~##~
Gambar 4.1. Persentase Luas HPH vs Luas Penutupan Hutan dan Luas Hutan Produksi.
Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara seluas 3,741 juta ha.
sebanyak 42 unit seluas 2,645 juta ha. Sisanya sebanyak 49 unit tersebar di
Papua sebanyak 49 unit dengan luas areal 10,646 juta ha dan Sumatera
kerusakan hutan yang cukup besar. Menurut UU No. 41 tahun 1999 pasal 18
64
Kegiatan pengusahaan hutan secara nyata telah mengakibatkan
Badan Planologi Kehutanan , Sumber: Pusat Data dan Perpetaan Hutan, Departemen Kehutanan (2000)
5.714.990 100 00 Jumlah
45,24 2.591.184 3. Hutan rusak, tanah kosong, rtanian
2.498.242 2. HutanBekas Tebangan 43,60
10,92 625.564 1. Hutan Primer
Tabet 4.5. Kondisi Areal Eks HPH Yang Diserahkan Kepada BUMN
pertanian sekitar 45,24% seperti ter1ihat pada tabel 4.5 berikut ini.
10,92%, sedangkan hutan yang rusak, menjadi tanah kosong atau lahan
diserahkan kepada BUMN. Luas hutan primer yang tersisa hanya sekitar
sebagaimana ditunjukkan oleh penutupan lahan pada areal eks HPH yang
nampak lebih jelas lagi pada HPH yang telah berakhir masa konsesinya
Gambaran kerusakan sumberdaya hutan akibat pengusahaan hutan
Sumber : Pusat Data dan Perpetaan Hutan, Badan Planologi Kehutanan , Departemen Kehutanan (2000).
45 27
74 9
22 29 49
41.182.721 Jumlah
9.854.142 6. Papua 17
2.314.017 5. Maluku
41 40 19 31.550 4. Nusa Tenggara
19 56 25 2.678.492 3. Sulawesi
30 36 34 20.408.363 2. Kalimantan
44
28
29 5.896.157 1. Sumatera
Tabel 4.4. Kondisi Penutupan Lahan Areal HPH s/d tahun 2000
65
merealisasikan peraturan tersebut sangat sulit, mengingat jumlah penduduk di
ditambah agar manfaat ekologi hutan masih terjaga. Akan tetapi, untuk
UU No. 41 tahun 1999, maka seharusnya luas kawasan hutan di P. Jawa
kurang dari 30% luas daratan, yaitu sebesar 23,4%. Apabila berpedoman pada
Berdasarkan tabel 4.6 dapat diketahui, luas kawasan hutan di P. Jawa
17,5 44,2 32.927
73,6 4.424
Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia, 2003 (diolah) 70,9 82.922
97,3 30.077
133.127
39.745
187.783
40.833
Indonesia
10,8 Papua
45,9 1.682 91,1 3.585 7.105 7.803 21,6 Maluku
38,2 1.638 62,7 7.007 11.486 18.326 8,9 Sulawesi
16,9 17,9 1.240 39,0 1.312 2.855 7.316 Bali &Nusa Ten era
14,0 1.194 23,4 1.872 3.126 13.371 8,9 Jaw a
48,7 10.677 75,9 25.843 40.253 53.048 Kalimantan 20,1
25,6 28,1 12.071 60,6 13.226 28.556 47.088 Sumatera
Tabel 4.6. Penutupan Hutan Berdasarkan Kawasan Hutan per Kelompok Pulau seluruh Indonesia.
di Indonesia disajikan pada tabel 4.6 berikut.
.liputan tahun 1999-2000 kondisi penutupan hutan berdasarkan kawasan hutan
minimal 30% dari luas daratan. Berdasarkan hasil penafsiran dtra Landsat
sedimentasi, maka ditetapkan luas kawasan hutan untuk setiap DAS atau pulau
bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka terhadap erosi dan
wilayahnya mempunyai curah hujan tinggi, serta konfigurasi daratan yang
ayat 2, dengan pertimbangan sebagai negara tropis yang sebagian besar
66
ini.
dengan semakin maraknya aktifitas illegal logging yang terjadi 4 tahun terakhir
penutupan hutan menjadi non hutan diperkirakan semakin tidak terkendali
penutupan hutannya masing-masing hanya tinggal 17,9% dan 28,1%. Kondisi
- cukup kritis dijumpai pula di Bali dan Nusa Tenggara serta P. Sumatera. Luas
terjadinya praktek illegal logging. Sedangkan kondisi penutupan hutan yang
mencukupi kebutuhan bahan baku industri. Kondisi inilah yang telah memicu
industri. Meskipun pada kenyataannya, kayu hasil tebangan tidak dapat
memberi jatah produksi maka akan dapat memasok kebutuhan bahan baku
berakibat semakin parahnya kondisi hutan di P. Jawa, tetapi di sisi lain dengan
Departemen Kehutanan. Pada satu sisi, pemberian jatah produksi ini akan
sebesar 739.487 m3. Kebijakan ini memang merupakan dilema tersendiri bagi
Kehutanan menetapkan jatah produksi untuk Perum Perhutani periode 2005
berdasarkan SK No. 348/Menhut-VI/2004 tanggal 14 September 2004, Menteri
tebangan untuk memberi kesempatan pada hutan bernafas dan hanya
melakukan kegfatan penanaman saja. Akan tetapi pada kenvataannva,
seperti ini, seharusnya untuk P. Jawa sudah diberlakukan kebijakan moratorium
Luas kawasan hutan yang berhutan hanya tinggal 14% saja. Dengan kondisi
jumlah luas kawasan hutan yang sudah ada. Kondisi saat ini semakin parah.
sudah merupakan tanah hak milik. Yang bisa dilakukan hanya mempertahankan
memungkinkan menambah lagi luas kawasan hutan, karena sebagian besar
P. Jawa mencapai sekitar 60% dart total penduduk Indonesia. Sehingga tidak
67
8 Penunjukan areal hutan sebagai kawasan hutan ditetapkan untllk masing-masing Propinsi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian. Tahun 1982. 9 Merupakan salah satu kriteria Hutan Produksi yang dapat dikonversi.
2001 adalah sebanyak 520 unit dengan luas 4,672 juta ha sebagai areal
pelepasan yang telah memperoleh SK pelepasan kawasan hutan dart 1987 -
Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan, jumlah pemohon
konversi.
- terjadi karena pengembangannya terutama dibangun pada kawasan hutan
meningkatnya ancaman terhadap keberadaan hutan alam di Indonesia. Hal ini
Pengembangan perkebunan kelapa sawit ini temyata menyebabkan
1986 menjadi hampir 3 juta ha pada tahun 1999 (Manurung, 2001).
perkebunan kelapa sawit sebesar 2,35 juta ha, yaitu dari 606.780 ha pada tahun
kelapa sawit. Selama 14 tahun terakhir telah terjadi peningkatan luas areal
mendorong Pemerintah Indonesia memacu pengembangan areal perkebunan
komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah
transmigrasi, permukiman, pertanian dan perkebunan9• Cerahnya prospek
kawasan hutan ini dapat dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan
Dengan dltetapkannva kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi, maka
produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi dan taman nasional.
suaka alam/hutan wisata, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan
konsekuensi dari dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Pertanian tentang
penunjukan areal hutan sebagai kawasan hutan8 dengan fungsi sebagai hutan
maupun transmigrasi. Konversi hutan memang dimungkinkan sebagai
diperparah lagi dengan adanya konversi hutan menjadi areal perkebunan
Kondisi tekanan terhadap sumberdaya hutan seperti disampaikan di atas,
68
terwujud, apabila kegiatan pengelolaan hutan dapat menghasilkan hutan yang
penutupan hutan. Manfaat optimal dari pengusahaan hutan sebenarnya bisa
Kegiatan pengusahaan hutan akan mengakibatkan terjadinya perubahan
4.3. Perubahan Penutupan Hutan
di Indonesia.
bahkan menjadi ancaman terhadap hilangnya kekayaan biodiversity hutan tropis
Kegiatan konversi hutan telah menjadi salah satu sumber terjadinya deforestasi,
1. 1987/1988 s/d Unit 237 238 1994/1995 Luas ha 2.366.417 18 936.738 81
2. 1995/1996 Unit 74 7 Luas ha 500.834 25 7.155 00
3. 1996/1997 Unit 59 8 Luas ha 362.211,59 10.634,00
4. 1997/1998 Unit 82 3 Luas ha 747.71018 2.145 00
5. 1998/1999 Unit 11 0 Luas ha 56.944 20 0
6. 1999/2000 Unit 41 0 Luas ha 389.364 68 0
7. 2000 Unit 16 0 Luas ha 248.713.95 0
Jumlah total Unit 520 256 Luas ha 4.672.196 03 956.672 81
Sumber: Departemen Kehutanan (2004).
Tabel 4. 7. Perkembangan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan dan transmigrasi.
4.7 berikut.
kawasan hutan untuk areal perkebunan dan transmigrasi disajikan pada tabel
pengembangan transmigrasi. Secara rinci data perkembanqan pelepasan
perkebunan dan 256 unit dengan luas 0,956 juta ha sebagai areal
Menurut TITO (2001), banyak faktor yang menjadi penyebab kerusakan
hutan di Indonesia, diantaranya adalah pengelolaan hutan yang tidak
memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian, kebakaran hutan, konversi hutan,
69
rasional baik yang bersifat resmi (legal) maupun tidak resmi (illegal).
4. Kebakaran hutan yang tidak terkendali.
5. Konversi lahan hutan alam sec.ara sembarangan tanpa diikuti dengan upaya-
upaya konservasi yang memadai.
3. Berdirinya industri kehutanan, terutama industri perkayuan, secara tidak
2. Merebaknya praktek illegal logging.
1. Praktek pengelolaan hutan pada areal HPH tidak sejalan dengan syarat-
syarat pengelolaan hutan yang benar.
kelangsungan hidup manusia dan peradabannya. Berbagai permasalahan
muncul sebagai akibat terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan hutan yang
pada akhirnya mengakibatkan kerusakan hutan. Beberapa bentuk penyimpangan
tersebut, antara lain menurut Suhendang (2002) adalah :
pertumbuhan ekonomi nasional mengakibatkan pendekatan pengelolaan hutan
lebih banyak berorientasi pada manfaat sumberdaya hutan yang bersifat sempit
dan sesaat. Sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang diterapkan selama ini
.tidak mampu menjamin kelestarian hutan, bahkan sebaliknya telah menciptakan
degradasi hutan yang berpotensi mendorong terjadinya kepunahan berbagai
jenis flora, fauna dan ekosistemnya serta menjadi anc.aman yang serius bagi
pembangunan ekonomi nasional yang ter1alu tertumpu untuk meningkatkan
berkualitas tinggi dan lestari. Akan tetapi sebagai akibat dari kebijakan
Maraknya illegal logging yang terjadi akhir-akhir ini, diduga telah menyebabkan 70
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah praktek illegal logging.
produktif menjadi bertambah.
memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian hutan, maka perubahan penutupan
hutan menjadi non hutan bertambah luas yang berarti pula luas hutan tidak
sehingga tidak hanya diameter SO cm ke atas yang ditebang, kadang-kadang
diameter 3S cm pun ikut ditebang (LATIN, 1998). Sehingga pada akhirnya
bukan tebang pilih yang dilaksanakan tetapi tebang habis. Selain itu, menurut
Maryudi (2001) teknik pemanenan yang dilaksanakan pada umumnya tidak
ramah lingkungan. Sebagai akibat dari pengelolaan hutan yang tidak
diperbaharui menjadi TPT1 (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Peraturan tersebut
memuat tentang ketentuan tanaman yang boleh ditebang (batas diameter
minimum SO cm) serta kewajiban bagi pengusaha hutan untuk menyisakan
sejumlah tertentu tanaman dalam setiap kegiatan penebangan. Akan tetapi
kewajiban-kewajiban sesuai dengan ketentuan yang berlaku seringkali
diabaikan. Banyak pemegang HPH menebang pohonnya dengan kira-kira,
Dalam sistem eksploitasi hutan, Pemerintah telah menerapkan petunjuk
penebangan yang disebut TPI (Tebang Pilih Indonesia) yang kemudian
terjadinya perubahan penutupan hutan.
kebutuhan dan ketersediaan bahan baku kayu bagi industri pengolahan kayu
dalam negeri. Keseluruhan perrnasalahan tersebut di atas secara bersama-sama
telah mengakibatkan kerusakan hutan, yang berarti pula menyebabkan
pertadangan berpindah, illegal logging dan ketidak seimbangan antara
71
kayu bulat sebesar US$ 27,7 per m3, maka kerugian Negara akibat illegal
illegal meningkat dua kali lipat. Apabila diasumsikan rata-rata iuran hasil hutan
1998, dimana telah terjadi krisis ekonomi di Asia, skala penebangan secara
1996 mencapai sekitar 23,8 juta m3. Dengan demikian antara tahun 1996 dan
Whiteman (1997) dalam Palmer (2000), penebangan secara illegal pada tahun
. tahun 1998 sebanyak 64,612 juta m3. Sedangkan menurut Scotland dan
terjadi penebangan secara il/egalpada tahun 1997 sebanyak 49,176 juta m3 dan
terhadap penyebab illegal logging di Indonesia, diperoleh hasil bahwa telah
Sementara berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Palmer (2000)
29,5 juta m3 kayu yang beredar per tahun berasal dart illegal logging.
logging di Indonesia. Departemen Kehutanan memperkirakan pada tahun 1999,
Hingga saat ini belum diketahui secara pasti jumlah total kayu hasil illegal
sektor-sektor terkait, dan hak masyarakat hukum adat pada tingkatan lokal.
kemiskinan dan pengangguran di pedesaan, kurangnya koordinasi diantara
penyebab tidak langsung, seperti rendahnya resiko melakukan kegiatan illegal,
hukum dan adanya pasar di luar negeri yang menampung kayu illegal, dan (2)
memperoleh keuntungan dalam waktu yang singkat, lemahnya penegakan
untuk perencanaan dan pembangunan infrastruktur, keinginan investor untuk
produksinya rendah akibat tidak membayar iuran dan tidak mengeluarkan biaya
tidak dapat dipenuhi, keuntungan besar yang diperoleh karena biaya
menjadi dua, yaitu: (1) penyebab langsung, seperti permintaan kayu bulat yang
faktor yang menyebabkan terjadinya illegal logging dapat dikelompokkan
meningkatnya laju deforestasi secara drastis. Menurut mo (2001), faktor-
72
'0 Maraknya ekspor kayu bulat illegal ke luar negeri, telah menyebabkan Oiina dituduh mengkonsumsi kayu bulat selundupan dari Indonesia, karena dapat menjual produk kayu lapis di pasar intemasional dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan tot.al biaya produksi kayu lapis di Indonesia (Simangunsong, 2004).
931.000 m3. Tahun 2001 ekspor Indonesia tercatat 121.000 m3, padahal impor
2000 sebesar 20.500 m3, sementara data impor China dari Indonesia disebutkan
China. Berdasarkan data yang dimiliki Indonesia, ekspor kayu ke China tahun
penyelundupan kayu illegalterlihat dari data ekspor kayu gergajian Indonesia ke
penyelundupan kayu, sehingga berakibat pada makin sulitnya mendapatkan
bahan baku kayu bulat untuk industri perkayuan dalam negeri.10 Maraknya
illegal logging. Sebab illegal logging merupakan salah satu sumber terjadinya
lima target tersebut, fokus utama akan dititikberatkan pada pemberantasan
kawasan hutan dan pengembangan ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Dari
illegal logging, rehabilitasi hutan, revitalisasi industri kehutanan, pemantapan
mencanangkan lima target sukses Departemen Kehutanan, yaitu pemberantasan
Departemen Kehutanan dalam Kabinet Indonesia Bersatu telah
masyarakat.
harus melibatkari 'lernbaqa eksekutif, legislatif, yudikatif dan seluruh lapisan
Pemberantasan illegal logging merupakan tanggung jawab semua pihak yang
lindung, taman nasional dan hutan konservasi lainnya (Suratmo, 2001).
seluruh hutan produksi dan saat mi bahkan sudah menjangkau kawasan hutan
Indonesia. Sejak tahun 1997, praktek illegal logging telah terjadi hampir di
logging mencapai sekitar US$1,141 milyar pada tahun 1997 dan US$ 1,568
milyar pada tahun 1998. Sehingga pada tahun 1998, pendapatan yang hilang
akibat illegal logging setara dengan 1,5% produk domestik bruto (PDB)
73
China tercatat 1,379 juta m3. Sedangkan tahun 2002, ekspor Indonesia tercatat
336.000 m3, sementara impor China tercatat sebesar 1,224 juta m3.
Pemberantasan illegal logging dan penyelundupan merupakan persoalan pelik
yang harus segera dicari terobosannya.
Selain permasalahan di atas, dunia lingkungan hidup Indonesia juga
mengalami musibah dengan terjadinya kebakaran hutan di Kalirnantan dan
Surnatera pada tahun 1997. Kebakaran hutan tidak hanya menimbulkan
kerusakan hutan di kedua wilayah tersebut, tetapi juga berdampak lain, yaitu
asap yang menjalar ke banyak wilayah di Indonesia. Bahkan 3 negara ASEAN
ikut terkena dampaknya. Apa yang menjadi penyebab kebakaran hutan sampai
saat ini rnasih merupakan perdebatan yang panjang. Akan tetapi berdasarkan
fakta yang muncul dari hasil foto satelit, sebagian besar ter1ihat kemunculan titik
api (hot spof) ada di wilayah-wilayah HPH dan kemunculan titik api pun seakan
sistematis dan membentuk suatu barisan (LATIN, 1998). Ada dugaan, pemilik
HPH dengan sengaja melakukan pembakaran hutan untuk kepentingan
pembukaan lahan ataupun untuk konversi menjadi perkebunan besar.
Pembukaan lahan dengan cara membakar memang biasa dilakukan oleh
masyarakat tradisional dalam memanfaatkan hutan. Umumnya kelompok
masyarakat ini membuka hutan dalam areal yang tidak luas sehingga api lebih
mudah dikendalikan dan biasanya mereka melakukan pembukaan lahan yang
nantinya akan mereka rotasi. Pada saat mereka membuka sejumlah lahan, rnaka
lahan yang pertama mereka garap diperflitungkan sudah kembali menjadi hutan.
74
Pennasalahan akan berbeda apabila teknik ini diterapkan pada areal HPH,
HTI ataupun areal konversi yang mempunyai luas ribuan hektar. Cara ini akan
berdampak pada tidak terkontrolnya api dan dikhawatirkan akan rnerembet ke
wilayah lain. Nilai kerugian kebakaran ini tidak saia dart segi kayu saja, tetapi
juga kerugian akibat penutupan bandara, jumlah kunjungan wisatawan yang
_rnenurun maupun kerugian dari segi lingkungan. Menurut LATIN (1998),
kebakaran lahan dan hutan di Sumatera selama September - Desember 1997
seluas 102.431,30 · hektar telah mengakibatkan kerugian mencapai Rp. 528,5
milyar. Kasus kebakaran hutan ini selalu berulang setiap musim kemarau. Untuk
itu perlu dilakukan penegakan hukum bagi perusahaan yang rnelakukan
pembersihan lahan dengan cara rnembakar. Pembersihan lahan sebaiknya
dilakukan dengan rnenggunakan alat berat, rneskipun teknik penyiapan lahan
dengan cara ini sangat mahal dan lebih sulit, akan tetapi kerusakan hutan akibat
kebakaran hutan yang tidak terkontrol dapat dikurangi. Dengan teknik ini akan
diperoleh 2 keuntungan, yaitu kerusakan hutan dapat dikurangi dan fungsi
lingkungan akan lebih terjaga.
75
11 Semua pengujian data dan estimasi model diolah dengan menggunakan program E-Views 3.1 u Untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut berturut-turut dengan model I, model II dan model III.
(LSDV). Hasil dari pengujian disajikan pada tabel 5.1 berikut.
adalah propinsi) dalam model penutupan hutan, maka dilakukan uji statistik
dengan membandingkan nilai R2 dari model pooled dan model variabel dummy
Untuk mengetahui ada / tidaknya efek individual (dalam penelitian ini
5.1.1. Uji Spesifikasi
5.1. Hasil Pengujian Model
perubahan penutupan hutan di Indonesia.
model perubahan penutupan hutan akibat konversi hutan dan estimasi model
perubahan penutupan hutan akibat dari keduanya12 dan (3) Penyebab utama
estimasi model perubahan penutupan hutan akibat penebangan hutan, estimasi
Hasil estimasi model perubahan penutupan hutan, yang memuat tentang
pengujian dengan uji F-stat yang kemudian dilanjutkan dengan uji Hausman, (2)
meliputi 19 propinsi dari tahun 1976 sampai dengan tahun 2000. Bab V terbagi
.atas 3 (tiga) Sub Bab11, yaitu (1) Hasil pengujian model, yang terdiri dari
melakukan pengujian terhadap model yang menggunakan data panel. Penelitian
Pada Bab ini akan disampaikan hasil penelitian sec.ara empiris dengan
BABV
ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN HUTAN
76
13 Uji statistik F-stat dengan rum us = Feo-i.oT-n-KJ = R 2
LSDV - R 2
poi>/ltl I n - l l - R 2
I.SDV l(nT - n - K)
random effectdisajikan pada tabel 5.2 berikut.
adalah model fixed effectatau random effect Hasil estimasi dari fixed effectdan
bervariasi terhadap individu, sehingga model yang digunakan dalam analisis
penutupan hutan. Dengan demikian model ini mempunyai intersep yang
Dari hasil pengujian terlihat jelas sekali adanya efek individual dalam model
Hoditdak Efek Model I 0,752351 0,882079 1,61 Individual
Ho ditdak Efek Model II 0,341882 0,720741 1,61 Individual
Hoditdak Efek Model III 0,816131 0,899904 1,61 Individual
Tabel 5.1. Hasil uji F-stat (Pooled vs LSDV)
77
penutupan hutan. Hasil uji Hausman disajikan pada tabel 5.3 berikut.
menguji model paling baik yang digunakan dalam mengestimasi perubahan
akan digunakan dalam estimasi model, maka dilakukan uji Hausman untuk
Untuk menentukan apakah model fixed effect atau random effed yang
1. Model I 1) c 16,85573 (0,201497) 2) pkayu -0,412192 (0,029708) -0,409167 (0,029559) 3) NoHPH -0,086676 (0,052269) -0,088183 (0,052076) 4) LHPH -0,586599 (0,040886) -0,589847 (0,040715) 5) Bbaku -0,023604 (0,012362) -0,024582 (0,012236) 6) Ekspor 0,039435 (0,019723) 0,038028 (0,019634) 7) Kris is -0,340015 (0,062028) -0,334864 (0,061961) R2 0882079 0 877160
2. Model II 1) c 19,06857 (0,964805) 2) Psawit -0,398185 (0,144862) -0,399042 (0,145200) 3) Pkopi -0,321804 (0,094966) -0,313392 (0,094896) 4) Pkaret -0,481065 (0,095041) -0,486324 (0,094693) 5) Pop -0,426210 (0,101361) -0,387807 (0,098903) 6) GDPPC 0,198788 (0,087118) 0,198563 (0,087321) 7) Pangan 0, 792673 (0,060576) 0,754253 (0,058484) 8) Kris is -0,026373 (0,096648) -0,034178 (0,097125) R2 0,720741 0 706104
3. Model III 1) c 17,17753 (0,580111) 2) Pkayu -0,227423 (0,054383) -0,225447 (0,053104) 3) NoHPH -0, 132525 (0,054756) -0,130846 (0,053992) 4) LHPH -0,354522 (0,047535) -0,359029 (0,046510) 5) Bbaku -0,002945 (0,012375) -0,003926 (0,012171) 6) Ekspor 0,019467 (0,019203) 0,017554 (0,019048) 7) Psawit -0,013052 (0,101827) -0,001833 (0,100724) 8) Pkopi -0,060915 (0,059545) -0,055435 (0,058694) 9) Pkaret -0,135435 (0,060671) -0,128272 (0,059737) 10) Pop -0,179043 (0,062912) -0,184462 (0,060163) 11) GDPPC 0,069077 (0,053586) 0,065802 (0,053137) 12) Pangan 0,298107 (0,043476) 0,296391 (0,040393) 13) Kris is -0,298781 (0,060564) -0,295610 (0,060163) R2 0 899904 0 896514
Keterangan : Dalam kurung adalah nilai standar error
5.1.2. Uji Hausman
Tabel 5.2. Estimasi fixed effeddan random effect
78
5.2. Hasil Estimasi Model Perubahan Penutupan Hutan
Berdasar1<an pengujian terhadap hasil estimasi seperti telah diuraikan di
atas, maka diperoleh model perubahan penutupan hutan yang paling baik.
Berdasar1<an hasil uji Hausman dapat disimpulkan bahwa, estimasi model
perubahan penutupan hutan untuk ketiga model adalah menggunakan model
random effect. Dalam random effect diasumsikan bahwa komponen error
individual tidak ber1<orelasi satu sama lain dan tidak ada otokorelasi baik cross-
section maupun time series (Pindyck and Rubinfeld, 1998). Kedua variabel
random tersebut yaitu variabel cross-section dan variabel time series
diasumsikan berdistribusi normal dengan derajad bebas yang tidak berkurang.
Model random effect dapat diestimasi sebagai regresi GLS (Generalized Least-
Square) yang akan menghasilkan penduga yang memenuhi sifat best tinier
unbiased estimation (BLUE). Sehingga adanya gangguan asumsi klasik dalam
model telah terdistribusi secara normal dengan demikian tidak diper1ukan lagi
treatment terhadap model.
Random effect Ho diterirna 2,56111 Model III
Random effect
7,01566 Random effect
Ho diterirna 5,42638 Model I
Ho diterirna Model II
Tabel 5.3. Hasil uji Hausman terhadap Model Perubahan Penutupan Hutan.
79 propinsi dan masing-masing propinsi mempunyai pengaruh yang bervariasi.
variabel bebas, perubahan penutupan hutan tetap terjadi pada beberapa
ekspor kayu. Dari hasil estimasi ter1ihat bahwa tanpa adanya pengaruh dari
signifikan pada tingkat kepercayaan 90% untuk variabel jumlah HPH dan jumlah
kayu, luas HPH, kebutuhan bahan baku dan faktor krisis ekonomi, serta
signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 95% untuk variabel harga
perubahan penutupan hutan akibat penebangan hutan menunjukkan hasil yang
sebesar 12,284%. Hasil estimasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
sedangkan peranan variabel lain dalam menjelaskan variabel tak bebas adalah
variasi perubahan penutupan hutan akibat penebangan sebesar 87,716%,
87,716%. Nilai ini menunjukkan bahwa model memiliki kemampuan menjelaskan
Hasil estimasi model I memiliki nilai R2 yang cukup tinggi yaitu sebesar
R- uare = 0.877160 -0 334864 Krisis
-0 024582 -0 589847 -0 088183
Koefisien
0 038028
-0 409167
. Tabel 5.4. Hasil estimasi model perubahan penutupan hutan I
pada tabel 5.4 berikut
yang terbaik berdasarkan hasil estimasi dengan model random effect disajikan
Model perubahan penutupan hutan akibat penebangan hutan (model I)
5.2.1. Estimasi Model Perubahan Penutupan Hutan Akibat Penebangan Hutan
80
tebangan. Tersedianya jalan angkutan ini tidak saja dimanfaatkan oleh HPH
penyaradan kayu. Kondisi ini akan lebih memudahkan pengangkutan hasil
akan membuka jalan baik jalan utama, jalan cabang maupun jalan untuk
hutan akan semakin mudah. Sebab untuk operasional penebangan, suatu HPH
(HPH). Selain itu dengan meningkatnya luas HPH, maka akses jalan menuju
meningkat pula kawasan hutan produksi yang dibebani Hak Pengusahaan Hutan
semakin meningkatnya areal kerja pengusahaan hutan, maka akan semakin
estimasi untuk luas HPH ini sangat penting dalam model, karena dengan
HPH akan menyebabkan pengurangan penutupan hutan sebesar 58,98%. Hasil
mempengaruhi perubahan penutupan hutan adalah luas HPH. 1 % kenaikan luas
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa variabel yang paling
1. Luas HPH - 0 589847 2. Harga kayu - 0,409167 3. Krisis ekonomi - 0 334864 4. Jumlah HPH - 0,088183 5. Jumlah Eks r 0,038028 6. Jumlah bahan baku industri kayu - 0,024582
Tabel 5.5. Urutan nilai koefisien variabel bebas pada model perubahan penutupan hutan I
berikut.
penebangan hutan. Urutan nilai koefisien setiap variabel disajikan pada tabel 5.5
pengaruh setiap variabel terhadap perubahan penutupan hutan akibat
Berdasarkan nilai koefisien dari hasil estimasi dapat diketahui besarnya
81
14 Berdasarkan SK Dirjen Kehutanan Dep. Kehutanan No. 35 tahun 19n dengan ketentuan tanaman yang boleh ditebang adalah tanaman yang memiliki diameter setinggi dada SO cm dengan volume tebangan sesuai MC. 15 Berdasarkan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Dep. Kehutanan No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989 dengan ketentuan yang lebih ketat, antara lain tentang kewajiban pengusaha hutan untuk menyisakan sejumlah tertentu tanaman dalam setiap kegiatan penebangan.
memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian hutan tersebut, rnaka kerusakan
menc.apai 20 - 30%. Sebagai akibat dari pengelolaan hutan yang tidak
Kerusakan tegakan tinggal dapat menc.apai 40 - 55% dan kerusakan tanah
pemanenan yang dilaksanakan pada umumnya tidak ramah lingkungan.
mengedepankan jumlah tebangan tanpa perenc.anaan yang matang. Teknik
pemanenan kayu masih menggunakan teknik yang konvensional dengan
melanggar batas diameter minimal yang boleh ditebang (SO an), dalam
dengan ketentuan seringkali diabaikan. Menurut Maryudi (2001), selain
akan tetapi kewajiban untuk menanam kembali areal bekas tebangan sesuai
Meskipun dalam sistem eksploitasi hutan dilakukan pengaturan melalui
penerapan sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI)14 pada tahun 1972 yang
kemudian diperbaharui menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)15,
lapangan, banyak areal bekas HPH yang dibiarkan menjadi lahan tidak produktif.
seharusnya ditempatkan sebagai faktor prioritas. Akan tetapi kenyataan di
Dalam pengusahaan dan pemanfaatan hasil hutan azas kelestarian hutan
signifikan terhadap peningkatan deforestasi.
menyimpulkan bahwa akses jalan yang mudah akan berdampak secara
Berdasarkan hasil penelitian Cropper (1997) di Thailand, Krutilla et al (1995),
Nelson dan Hellerstein (1997) di Mexico serta Chanthirath (1997) di Laos juga
mengangkut tebangan kayu illegal seperti yang marak terjadi akhir-akhir ini.
yang bersangkutan, tetapi bisa juga dimanfaatkan oleh pihak lain untuk
Berdasarkan hasil penelitian yang terjadi adalah sebaliknya. Kenaikan
harga kayu telah memicu terjadinya pengurangan penutupan hutan. Hal ini
dapat terjadi apabila pemilik industri pengolahan kayu tidak mempunyai HPH,
sehingga dengan kenaikan harga kayu bulat maka industri tidak rnampu
membeli bahan baku kayu dari tebangan legal. Maka untuk memenuhi 82
Parameter signifikan yang kedua adalah harga kayu. Tanda negatif pada
hasil estimasi mendukung hipotesis. Kenaikan harga kayu sebesar 1 % akan
mengakibatkan pengurangan penutupan hutan sebesar 40,92%. 5elama ini
harga pasaran kayu bulat cukup bervariasi berdasarkan kualitas dan pembelinya.
Menurut Manurung dan Buongiorno (1997), Pemerintah Indonesia seharusnya
mengambU sikap dengan menaikkan harga domestik kayu bulat, karena pada
saat ini harganya selalu lebih rendah dari harga internasional. Dengan harga
domestik yang lebih tinggi diharapkan akan memberi insentif pada industri kayu
untuk menggunakan kayu bulat secara lebih efisien sehingga akan mengurangi
limbah yang terbuang. Dengan kata lain, harga kayu bulat yang lebih tinggi akan
mengurangi permintaan terhadap kayu bulat yang pada akhimya akan
mengurangi laju deforestasi. Akan tetapi asumsi ini hanya ber1aku apabila
pemilik HPH juga merupakan pemilik industri pengolahan kayu.
hutan tidak bisa dihindari lagi. Areal bekas tebangan HPH menjadi areal tidak
produktif, yang selanjutnva menyebabkan bertambah luasnya lahan kritis.
Menurut Suratmo (2001), terbatasnya monitoring dan pengawasan yang
dilakukan oleh Pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan yang ada
juga menjadi salah satu faktor meningkatnya laju deforestasi.
83
kebutuhan bahan baku industrinya, pemilik industri akan membeli kayu dari
penebangan illegal yang tentu saja harganya lebih murah. Sehingga kenaikan
harga kayu telah merangsang terjadinya praktek illegal logging. Menurut Fuad
(2001), praktek illegal logging terjadi karena berbagai macam kepentingan,
antara lain untuk dipergunakan sendiri maupun untuk dijual berdasarkan
p_esanan penadah at:aupun dibeli oleh orang lain untuk digunakan sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian GBETNKOM (2001) di Kamerun, Katila (1995) serta
Panayatou dan sussenokem (1992) di Thailand juga menyimpulkan bahwa
kenaikan harga kayu berkorelasi positif terhadap deforestasi.
Krisis moneter Juli 1997 yang menyebabkan krisis ekonomi multi-dimensi
di Indonesia, juga telah menyebabkan terjadinya peningkatan laju deforestasi.
Berdasarkan hasil penelitian, kenaikan devaluasi sebesar 1 % akan menyebabkan
penurunan penutupan hutan sebesar 33,49%. Krisis ekonomi telah
rnenyebabkan kenaikan harga barang-barang perdagangan, ekspor barang
rneningkat khususnya dari sektor di luar pertanian, sedangkan jumlah impor
menurun. Hasil penelitian San et al(2000) di Sumatera memberikan hasil bahwa
devaluasi dapat rnenjadi salah satu penyebab terjadinya deforestasi karena
perrnintaan pasar internasional terhadap produk kehutanan meningkat, baik
sebagai produk akhir maupun sebagai input antara untuk industri perkayuan.
Sementara itu berdasarkan hasil penelltian World Bank (1994) di Ghana dan
catt:aneo (2002) di Brazil juga menyatakan bahwa devaluasi telah mernotivasi
terjadinya peningkatan intensitas penebangan kayu sehingga akan mempercepat
terjadinya deforestasi.
lahan, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat
84
Menurut Setyono et al (1985) dalam Maryudi (2001) menyatakan bahwa
kerusakan hutan akibat eksploitasi hutan sebesar 40.000 - 80.000 ha setiap
tahun. Sejak otonomi daerah pada tahun 2001, banyak Pemerintah Kabupaten
mengeluarkan ijin penebangan hasil hutan kayu (IPHHK) dengan maksud agar
terjadi redistribusi manfaat sumberdaya hutan kepada masyarakat lokal secara
. . 2004) Akan tetapi upaya Pemerintah Daerah ini ternyata adil (S1mangunsong, .
t:idak banyak memberikan manfaat bagi masyarakat setempat, Bahkan yang terjadi kemudian ada\ah semakin maraknya kerusakan sumberdaya hutan dan
menurunnya kualitas maupun kuantitas hutan. Kegiatan pengusahan hutan ini
secara nyata tefah mengakibatkan dampak kerusakan yang cukup besar.
Dengan adanya pemanfaatan hutan melalui HPH, akan berakibat semakin
diusahakan oleh 27 pemegang HPH.
ha. Dengan demikian, hampir setengah dart hutan produksi di Indonesia hanya
maupun hutan produksi terbatas (HPT) yang meliputi kawasan seluas 64 juta
dibandingkan dengan luas hutan produksi, baik hutan produksi tetap (HP)
mengusahakan areal seluas 27 ,5 juta ha. Jumlah ini sangat besar bila
oleh beberapa orang ~ngusaha saja. Dari data yang dikeluarkan APHI tercatat
bahwa hanya 25 pemegang HPH terbesar dan 2 milik perorangan yang
dekade 1990-an wilayah pengelolaan hutan yang sangat luas hanya dikuasai
penutupan hutan sebesar 8,82%. Menurut Maryudi (2001), pada pertengahan
penutupan hutan. Kenaikan 1 % jumlah HPH akan menyebabkan pengurangan
Jumlah HPH mempunyai pengaruh seperti yang diharapkan terhadap
Jumlah HPH mempunyai pengaruh seperti yang diharapkan terhadap
penutupan hutan. Kenaikan 1 % jumlah HPH akan rnenvebabkan pengurangan
penutupan hutan sebesar 8,82%. Menurut Maryudi (2001), pada pertengahan
dekade 1990-an wilayah pengelolaan hutan yang sangat luas hanya dikuasai
oleh beberapa orang J>E:ngusaha saja. Dari data yang dikeluarkan APHI tercatat
bahwa hanya 25 pemegang HPH terbesar dan 2 milik perorangan yang
mengusahakan areal seluas 27 ,5 juta ha. Jumlah ini sangat besar bila
dibandingkan denqan luas hutan produksi, baik hutan produksi tetap (HP)
maupun hutan produksi terbatas (HPT) yang meliputi kawasan seluas 64 juta
ha. Dengan demikian, hampir setengah dart hutan produksi di Indonesia hanya
diusahakan oleh 27 pemegang HPH.
Dengan adanya pemanfaatan hutan melalui HPH, akan berakibat semakin
menurunnya kualitas maupun kuantitas hutan. Kegiatan pengusahan hutan ini
secara nyata telah mengakibatkan dampak kerusakan yang cukup besar.
Menurut Setyono et al (1985) dalam Maryudi (2001) menyatakan bahwa
kerusakan hutan akibat eksploitasi hutan sebesar 40.000 - 80.000 ha setiap
tahun. Sejak otonomi daerah pada tahun 2001, banyak Pemerintah Kabupaten
mengeluarkan ijin penebangan hasil hutan kayu (IPHHK) dengan maksud agar
terjadi redistribusi manfaat sumberdaya hutan kepada masyarakat lokal secara
adil (Simangunsong, 2004). Akan tetapi upaya Pemerintah Daerah ini temyata
tidak banyak memberikan manfaat bagi masyarakat setempat. Bahkan yang
terjadi kemudian adalah semakin maraknya kerusakan sumberdaya hutan dan
lahan, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat
84
baku untuk industri perkayuan akan menyebabkan pengurangan penutupan
85
dibandingkan variabel bebas lainnya. Kenaikan 1 % jumlah kebutuhan bahan
seperti yang diharapkan, meskipun mempunyai pengaruh paling kecil
Kebutuhan bahan baku untuk industri perkayuan mempunyai pengaruh
reforestasi ini akan berakibat mengurangi laju deforestasi.
. semakin meningkat yang tidak dapat dipenuhi dari hutan alam. Kegiatan
industri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu yang
kayu olahan, maka akan memicu kegiatan reforestasi melalui hutan tanaman
terbesar di dunia menjadi eksportir kayu olahan. Dengan meningkatnya ekspor
kayu lapis di Indonesia serta merubah Indonesia dari eksportir kayu bulat
kayu bulat ini temyata berhasil mengembangkan industri kayu gergajian dan
jumlah ekspor kayu gergajian (Simangunsong, 2004). Kebijakan larangan ekspor
kayu gergajian dan kayu lapis, bahkan ekspor kayu lapis sudah jauh melampaui
gergajian dan kayu lapis meningkat tajam yang diikuti dengan jumlah ekspor
1985, maka produksi kayu bulat menurun drastis. Sementara produksi kayu
diterbitkannya SKB 11ga Menteri tanggal 8 Mei 1980 tentang larangan ekspor
kayu bulat secara bertahap yang kemudian dilarang sama sekali pada tahun
. ekspor kayu akan menyebabkan kenaikan penutupan hutan sebesar 3,8%. Sejak
diharapkan. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa kenaikan 1 % jumlah
tingkat kepercayaan 10%, tetapi mempunyai hubungan tidak seperti yang
Jumlah ekspor meskipun signifikan mempengaruhi penutupan hutan pada
maupun hilangnya biodiversity.
antara lain terjadinya tanah longsor, banjir, menurunnya mutu lingkungan hidup
86
berikut.
berdasarkan hasil estimasi dengan model random etreddisajikan pada tabel 5.6
Model perubahan penutupan hutan akibat konversi hutan yang terbaik
5.2.2. Estimasi Model Perubahan Penutupan Hutan Akibat Konversi Hutan
- kegiatan illegal logging.
tahun antara lain telah mendorong pengurasan sumberdaya hutan melalui
antara pasokan dan permintaan rata-rata sebesar 20 juta m3 - 30 juta m3 per
hutan untuk memasok kebutuhan industri perkayuan. Adanya ketimpangan
terjadi karena kebutuhan bahan baku sangat jauh dari kemampuan sumberdaya
mengindikasikan kelangkaan bahan baku bagi kedua industri tersebut. Hal ini
tidak berubah, akan tetapi realisasi penggunaannya semakin menurun yang
Mulai tahun 1998, kapasitas terpasang industri kayu gergajian dan kayu lapis
kapasitas terpasang mencapai 97% pada tahun 1989 (Simangunsong, 2004).
mencapai puncaknya pada tingkat produksi 10,1 juta m3 dengan realisasi
tingkat produksi 11,6 juta m3 dengan realisasi kapasitas terpasang mencapai
98% pada tahun ·1997, Sedangkan kapasitas terpasang industri kayu gergajian
terpasang industri kayu lapis terus meningkat dan mencapai puncaknya pada
terhadap kayu gergajian yang ber1aku mulai Nopember 1989, kapasitas
industri kayu gergajian dan kayu lapis meningkat pesat pada periode 1980 -
1989. Demikian pula dengan adanya penerapan pajak ekspor yang tinggi
secara bertahap mulai tahun 1980, telah menyebabkan kapasitas terpasang
hutan sebesar 2,46%. Dengan penerapan kebijakan larangan ekspor kayu bulat
87
betikut.
hutan. Urutan nilai koefisien setiap variabel bebas disajikan pada tabel 5. 7
pengaruh setiap variabel terhadap perubahan penutupan hutan akibat konversi
Berdasarkan nilai koefisien dart hasil estimasi dapat diketahui besarnya
besarnya koefisien yang dihasilkan dart masing-masing vartabel.
sangat besar pengaruhnya terhadap penutupan hutan. Hal ini tertihat dari
variabel bebas kecuali vartabel krisis ekonomi. Variabel-variabel bebas tersebut
hasil yang signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 95% untuk semua
mempengaruhi perubahan penutupan hutan akibat konversi hutan menunjukkan
29,39%. Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan terhadap faktor-faktor yang
peranan vatiabel lain dalam menjelaskan variabel tak bebas adalah sebesar
perubahan penutupan hutan akibat konversi hutan sebesar 70,61 %, sedangkan
menunjukkan bahwa model ini memiliki kemampuan menjelaskan variasi
Hasil estimasi model II memiliki nilai R2 sebesar 70,61 %. Nilai ini
R- uare = 0. 706104 7. Krisis 6. 0 754253
0198563 5. 4. -0 387807
-0 486324 3. 2. -0 313392
-0 399042 1. Koefisien No
-0 034178
Tabel 5.6. Hasil estimasi model perubahan penutupan hutan II
88
mesin-mesin pertanian maupun tenaga kerja (petani) yang terampil. Sehingga
melalui pemupukan yang sesuai, benih unggul, irigasi yang baik, pemakaian
yang diperoleh oleh petani bisa disebabkan oleh adanya intensifikasi pertanian
tambah hasil pertanian berpengaruh secara signifikan di Kamerun. Nilai tambah
sehingga dengan luas lahan pertanian yang tetap, petani akan memperoleh hasil
pangan yang lebih banyak. GBETNKOM (2001) menemukan variabel nilai
diperoleh petani sebagai akibat dari peranan teknologi yang digunakan,
Meningkatnya hasil pangan bisa terjadi karena adanya nilai tambah yang
yang lebih tinggi, maka perambahan hutan oleh petani semakin berkurang.
75,43%. Hasil ini mengindikasikan bahwa dengan memperoleh hasil pangan
pangan sebesar 1 % akan mengakibatkan kenaikan penutupan hutan sebesar
Tanda positif pada hasil estimasi mendukung hipotesis. Kenaikan persediaan
mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap perubahan penutupan hutan.
Berdasarkan tabel 5.7 dapat diketahui bahwa variabel jumlah pangan
6. - 0,313392 5. - 0 387807 nduduk 4.
3. - 0,399042 - 0,486324 Har; a karet
0,198563
2.
Tabel 5.7. Urutan nilai koefisien variabel bebas pada model perubahan penutupan hutan II
89
16 Luas kawasan hutan clan perairan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan (belum termasuk Prop. Sumut, Riau dan Kalteng), Statistik Kehutanan Indonesia th. 2000, Departemen Kehutanan.
komoditi tersebut. Hal ini diperkuat oleh data dari Departemen Kehutanan yang
terutama di sekitar hutan untuk melakukan perambahan hutan guna ditanami
pelepasan kawasan hutan untuk areal perkebunan ataupun mendorong petani
tersebut, maka akan mendorong perusahaan untuk mengajukan permohonan
propinsi di luar P. Jawa. Dengan kenaikan harga ketiga komoditi pertanian
perkebunan seluas 4,672 juta ha atau 4,45% dari seluruh kawasan hutan di
Indonesia16 • Konversi hutan menjadi areal perkebunan tersebut meliputi 20
perkebunan, mulai tahun 1987 - 2001 telah ditetapkan sebanyak 520 unit areal
Berdasarkan data perkembangan pelepasan kawasan hutan untuk
berakibat terhadap meningkatnya laju deforestasi.
tanaman tahunan sebagai penyebab utama terjadinya konversi hutan yang
Mexico juga menyatakan bahwa kenaikan harga output pertanian terutama
Ghana, Angelsen et al (1998) di Tanzania serta Barbier dan Burgess (1996) di
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Osei dan Obeng (2000) di
secara efektif mempengaruhi kecepatan penebangan hutan di Indonesia.
menunjukkan bahwa harga yang diperoleh petani kelapa sawit, kopi dan karet
harga karet dengan tanda negatif seperti yang diharapkan. Indikasi ini
Parameter lain yang signifikan adalah harga kelapa sawit, harga kopi dan
pertanian dengan melakukan perladangan berpindah.
akan meningkatkan output hasil pertanian tanpa perlu menambah lahan
90
17 Dikutip dari surat Menhutbun No.603/Menhutbun-VIIl/2000 tgl.22 Mei 2000 tentang penghentian/ penangguhan Pelepasan Kawasan Hutan kepada Gubernur dan Bupati seluruh Indonesia.
surat penghentian/ penangguhan pelepasan kawasan hutan. Hal ini
pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, pada tahun 2000 telah dikeluarkan
areal lahan yang tidak produktif. Dalam rangka mengendalikan permohonan
lingkungan yang harus dibayar sangat rendah apabila perkebunan dibangun di
tidak produktif bukan pada areal hutan konversi. Selain itu, total biaya
oleh Manurung (2001), sebaiknya perkebunan dibangun di areal lahan yang
Berdasark:an kenyataan di atas maupun hasil penelitian yang dilakukan
pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan yang direnc.anakan.
jutaan ha lahan konversi berubah menjadi lahan ter1antar. 5edangkan realisasi
hutan alam untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan
keuntungan yang besar dan cepat melalui IPK, maka pelaksanaan konversi
tahun ke tahun. Oleh karena motivasi utamanya untuk mendapatkan
industri pulp dan kertas, karena produksi kayu dari HPH semakin berkurang dari
dikonversi. Kayu IPK sangat dibutuhkan oleh industri perkayuan terutama
mendapatkan kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) dart areal hutan alam yang
perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan konversi karena berpotensi
ter1antar. Menurut Manurung (2001), para investor lebih suka membangun
disetujui tersebut ternyata sekitar 66%17 diantaranya merupakan lahan tidur/
Berdasark:an hasil pantauan Departemen Kehutanan, dari areal yang telah
pelepasan kawasan hutan dengan luas total 30,168 juta ha.
menyatakan bahwa sampai tahun 2001 telah terc.atat sebanyak 1896 pemohon
91
dimaksudkan selain untuk mengurangi laju deforestasi juga untuk mendorong
para pengusaha perkebunan untuk benar-benar mendayagunakan lahan yang
dilepaskan sesuai peruntukannya. Karena kegiatan konversi hutan temyata telah
menjadi salah satu sumber penyebab rusaknya hutan di Indonesia.
Jumlah populasi mempunyai pengaruh seperti yang diharapkan.
Sebenarnya hasil estimasi akan mendekati kenyataan apabila populasi yang
digunakan untuk estimasi adalah jumlah penduduk yang benar-benar bertempat
tinggal di sekitar hutan dan tergantung dengan keberadaan hutan. Akan tetapi
data tersebut tidak tersedia, sehingga pendekatan dilakukan berdasarkan jumlah
penduduk total. Estimasi dari penelitian memberikan hasil, kenaikan jumlah
penduduk sebesar 1 % akan menyebabkan pengurangan penutupan hutan
sebesar 38,78%. Jumlah populasi yang makin tinggi dikaitkan dengan makin
meningkatnya kebutuhan lahan untuk pertanian maupun lahan untuk
pemukiman. Dengan meningkatnya jumlah populasi, maka kepemilikan lahan
rata-rata tiap keluarga petani dari tahun ke tahun semakin menurun sehingga
menyebabkan perluasan tempat pemukiman sampai ke kawasan hutan. Dengan
demikian perambahan hutan tidak bisa dihindari lagi, yang pada akhirnya akan
mengakibatkan berkurangnya luas penutupan hutan. Meningkatnya jumlah
populasi juga berakibat pada makin berkurangnya kesempatan kerja dan jumlah
persediaan pangan, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap
berkurangnya penutupan hutan. Berdasarkan hasil penelitian Ndiyo (2000) di
Nigeria dan Scrieciu (2000) terhadap 50 negara yang memiliki hutan tropis,
Sektor kehutanan selama tiga dekade telah menjadi salah satu sektor
andalan bagi Negara dengan memberikan kontribusi yang sangat berarti
terhadap produk domestik bruto (PDB), antara lain telah memberikan dampak
positif terhadap penyediaan lapangan kerja, penghasil devisa, mendorong
pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekspor non-migas
telah berhasil membangun industri pengolahan kayu berskala besar. Akan tetapi
kebijakan ini telah menimbulkan kesenjangan yang sangat besar antara jumlah
bahan baku yang dibutuhkan oleh industri kayu olahan dengan kemampuan
pasokan kayu (Simangunsong, 2004). Berdasarkan data yang dilaporkan oleh 92
Berdasarkan hasil estimasi, produk domestik regional bruto per kapita
(PDRB) juga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perubahan
penutupan hutan. Kenaikan PDRB sebesar 1 % akan menyebabkan kenaikan
penutupan hutan sebesar 19,86%. Kondisi ini mengindikasikan bahwa
perambahan terhadap hutan cenderung turun dengan meningkatnya
pendapatan riil akibat terbukanya kesempatan kerja bagi penduduk. Faktor ini
secara kuat berhubungan dengan variabel populasi, dimana kedua variabel
tersebut kemungkinan menggambarkan adanya pekerjaan di luar sektor
pertanian. Dengan kata lain menurut Angelsen et al (1999), peningkatan
kesempatan untuk memperoleh pendapatan di luar pertanian akan menurunkan
tekanan penduduk terhadap lahan hutan sehingga akan makin berkurang
ketergantungan penduduk terhadap hutan.
meningkatnya kerusakan ekosistem hutan.
menyimpulkan bahwa pertumbuhan populasi merupakan salah satu penyebab
93
disajikan pada tabel 5.8 berikut.
hutan yang terbaik berdasarkan hasil estimasi dengan model random effect
Model perubahan penutupan hutan akibat penebangan dan konversi
5.2.3. Estimasi Model Perubahan Penutupan Hutan Akibat Penebangan dan Konversi Hutan
kecuali untuk gula dan beras akan turun sementara harga kayu akan naik.
peranan yang kedl dalam ekspor nasional maupun regional. Harga makanan
sedangkan sektor pertanian tidak naik karena pertanian hanya mempunyai
barang ekspor. Ekspor regional akan naik terutama untuk sektor non pertanian,
konversi hutan. Menu rut san et al (2000), devatuasi akan meningkatkan harga
negatif tetapi tidak mempengaruhi penutupan hutan yang diakibatkan oleh
tidak signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa krisis ekonomi akan berdampak
Sementara itu variabel krisis ekonomi mempunyai pengaruh negatif tetapi
menurun sampai ke tingkat 1,05% pada tahun 2002.
terjadi pada tahun 1997, kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB ini terus
pada tahun 1994 menjadi 1,56% pada tahun 1997. Akibat krisis ekonomi yang
BPS, kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB ternyata menurun dari 1,8%
94
jumlah populasi, jumlah pangan, harga kayu, jumlah HPH, luas HPH dan krisis
signifikan secara st.atistik pada tingkat kepercayaan 95% adalah harga karet,
estimasi yang dilakukan secara terpisah. Vanabel bebas yang menunjukkan hasil
penutupan hut.an secara keseluruhan menunjukkan hasil yang berbeda dengan
Hasil estimasi terhadap faktor-faktor yang rnempengaruhi perubahan
dalam menjelaskan vartabel t.ak bebas adalah sebesar 10,35%.
perubahan penutupan hutan sebesar 89,65%, sedangkan peranan variabel lain
Nilai ini menunjukkan bahwa model ini memiliki kemampuan menjelaskan variasi
mempengaruhi perubahan penutupan hut.an akibat penebangan maupun
konversi hutan. Berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai R2 sebesar 89,65%.
bebas, baik yang dilakukan dengan rnenggabungkan semua variabel
secara nyata mempengaruhi perubahan penutupan hutan, maka estimasi
Untuk menget.ahui secara bersama-sama variabel-variabel bebas yang
R- -0 295610 12. 0 296391 11. 0 065802 10.
-0184462 9. -0 128272 8. -0 055435 7. -0 001833 6. 0 017554 5.
-0 003926 4. -0 359029 3. -0130846 2. -0 225447 1.
Koefisien No
Tabel 5.8. Hasil estimasi model perubahan penutupan hutan III
95
5.3. Penyebab Utama Perubahan Penutupan Hutan di Indonesia
Berclasarkan hasil estimasi terhadap ketiga model, maka model
perubahan penutupan hutan akibat penebangan hutan merupakan model paling
baik karena semua koefisien mempunyai pengaruh seperti yang diharapkan
kecuali variabel ekspor mempunyai pengaruh yang sebaliknya. Selain itu semua
variabel bebasnya mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel tidak
bebas. R2 juga mempunyai nilai yang cukup tinggi dalam menjelaskan variasi
perubahan penutqpan hutan yaitu sebesar 87,72%. Sedangkan model
perubahan penutupan hutan akibat konversi hutan mampu menjelaskan variasi
perubahan penutupan hutan yaitu sebesar 70,61%. Semua koefisien variabel
bebas mempunyai pengaruh seperti yang diharapkan, kecuali variabel krisis
ekonomi tidak mempunyai hubungan yang signifikan. Sebaliknya, gabungan
model perubahan penutupan hutan akibat penebangan dan konversi hutan
ekonomi. Vanabel yang paling berpengaruh terhadap perubahan penutupan
hutan adalah luas HPH. Hal ini menunjukkan bahwa, variabel-variabel tersebut
mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap perubahan penutupan hutan
dan perlu mendapat perhatian. Sedangkan harga kelapa sawit, harga kopi dan
jumlah kebutuhan bahan baku meskipun mempunyai pengaruh negatif terhadap
perubahan penutupan hutan, akan tetapi tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan. Demikian pula dengan produk domestik regional bruto per kapita dan
jumlah ekspor kayu meskipun mempunyai pengaruh positif terhadap perubahan
penutupan hutan, tetapi juga tidak mempunyai pengaruh yang signifikan.
terhadap deforestasi. Sedangkan kegiatan konversi hutan dengan variabel harga 96
terhadap deforestasi. Sebaliknya, jumlah ekspor kayu berkorelasi negatif
kebutuhan bahan baku industri kayu dan krisis ekonorni berkorelasi positif
masing-rnasing mempunyai kontribusi terhadap perubahan penutupan hut:an.
Kegiatan penebangan hutan denqan variabel harga kayu, luas HPH, jumlah HPH,
menunjukkan bahwa kegiatan penebangan hutan maupun konversi hutan
antara penutupan hutan dengan peningkatan laju deforestasi. Hasil analisis juga
sebagai taksiran terjadinya deforestasi. Hal ini ditunjukkan oleh hubungan positif
Berdasarkan hasil analisis, penutupan hutan terbukti dapat digunakan
hutan dan konversi hutan diperoleh model yang baik.
secara terpisah rnasing-rnasing perubahan penutupan hut:an akibat penebangan
penutupan hutan untuk penaksiran deforestasi dengan melakukan estimasi
yang dilakukan dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian, analisis
hutan dan penebangan kayu. Pendapat tersebut sesuai dengan hasil analisis
deforestasi di Indonesia ada tiga jenis, yaitu peladangan berpindah, konversi
rnenurut Sunder1in dan Resosudarmo (1996), faktor utama pemicu terjadinya
deforestasi, yaitu penebangan (logging) dan konversi hutan. Sedangkan
Menurut Pagiola (2001), secara umum ada dua penyebab utama
penutupan hutan.
diantaranya tidak rnempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perubahan
tetapi dari 12 (duabelas) variabel bebas yang diestimasi, ternyata 5 (lima)
mampu menjelaskan variasi perubahan penutupan hutan sebesar 89,85%, akan
temyata mernberikan hasil yang tidak baik. Meskipun model gabungan tersebut
Sedangkan hasil eStimasi terhadap perubahan penutupan hutan akibat
konversi hutan mengindikasikan bahwa (1) kenaikan harga kelapa sawit, karet
dan kopi secara efektif mempengaruhi kecepatan penebangan hutan karena
dapat mendorong petani terutama di sekitar hutan untuk melakukan
perambahan hutan untuk ditanami kornoditi tersebut, (2) peningkatan jumlah
penduduk, akan meningkatkan pula kebutuhan lahan untuk pertanian dan 97
Hasil eStimasi terhadap perubahan penutupan hutan akibat penebangan
hutan ini mengindikasikan bahwa (1) kenaikan harga kayu akan memicu
deforestasi akibat banyak industrt kayu yang memenuhi kebutuhan bahan
bakunya dart kayu tebangan illegal yang harganya relatif lebih murah, (2)
peningkatan areal kerja HPH akan mengurangi luas penutupan hutan, karena
areal bekas tebangan pada umumnya dibiarkan menjadi lahan yang tidak
produktif, (3) meningkatnya jumlah HPH akan berakibat rnenurunkan kualitas
dan kuantitas hutan, (4) kebutuhan bahan baku industri kayu yang melebihi
produksi kayu hutan alam telah memicu terjadinya praktek illegal logging, (5)
krisis ekonomi tahun 1997 telah memicu deforestasi, akibat meningkatnya
permintaan pasar internasional terhadap produk kehutanan, (6) peningkatan
ekspor kayu telah memicu reforestasi melalui hutan tanaman untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu yang tidak dapat dipenuhi dart
hutan alam.
kelapa sawit, kopi, karet dan jumlah populasi berkorelasi positif terhadap
deforestasi. Sebaliknya, hasil pangan dan produk domestik regional bruto per
kapita berkorelasi negatif terhadap deforestasi.
pemukiman yang pada akhimya akan berdampak terhadap perluasan
pemukiman sampai ke kawasan hutan, (3) peningkatan PDRB per kapita, akan
meningkatkan pendapatan riil akibat terbukanya kesempatan kerja bagi
penduduk, sehingga perambahan terhadap hutan makin menurun, (4)
peningkatan hasil pangan sebagai akibat dari peranan teknologi yang digunakan
dapat mengurangi perambahan hutan, karena dengan luas lahan yang tetap
dapat diperoleh hasil pangan yang lebih banyak.
Hasil analisis tersebut di atas menunjukkan implikasi bahwa untuk
menekan laju deforestasi di Indonesia dapat dilakukan dengan memperhatikan
variabel-variabel yang signifikan dalam model, terutama variabel yang
berkorelasi negatif terhadap deforestasi. Pengurangan laju deforestasi antara
lain dapat dilakukan dengan meningkatkan hasil pangan melalui peranan
teknologi pertanian, sehingga output hasil pertanian akan meningkat dengan
luas lahan pertanian yang tetap. Kondisi ini dapat mengurangi perambahan
hutan yang dilakukan oleh petani. Selain itu, ketersediaan lapangan kerja yang
kontinyu juga diperlukan untuk meningkatkan pendapatan riil penduduk. Selama
ini hutan tropis dikenal dengan keanekaragaman hayatinya. Produk-produk
hutan non kayu, seperti getah, madu, rotan, buah tengkawang, sarang burung
dan sebagainya merupakan komoditas yang biasa dimanfaatkan oleh
masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta mempunyai nilai ekonomis yang
cukup baik di pasaran. Akan tetapi komoditas ini masih dianggap sebagai hasil
hutan ikutan. Oleh karena itu, Pemerintah perlu menetapkan kebijakan guna
mendorong pengembangan hasil hutan non kayu yang mencakup pola
98
penutupan hut:an. Akan tetapi kegiat:an konversi hutan temyat:a lebih
berpengaruh terhadap perubahan penutupan hutan. Hal ini dapat dibuktikan
dengan besamya koefisien yang dihasilkan oleh masing-masing variabel pada
model konversi hut:an. Pengaruh paling besar ditunjukkan oleh variabel hasil
pangan dengan koefisien 0,7542. Variabel lain yang mempunyai pengaruh cukup
besar adalah harga karet mempunyai koefisien 0,4863, harga kelapa sawit
99
Dari hasil analisis diketahui bahwa kegiat:an penebangan hut:an maupun
konversi hut:an masing-masing mempunyai kontribusi terhadap perubahan
Hubungan yang positif terhadap penutupan hutan ditunjukkan pula oleh
variabel jumlah ekspor. Peningkat:an ekspor temyat:a akan memicu kegiatan
reforest:asi melalui penanaman hut:an t:anaman. Untuk itu Pemerint:ah pertu
mendorong pengembangan hut:an t:anaman industri (HTI) melalui kebijakan
percepat:an pembangunan HTI. Selain untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
industri pengolahan kayu yang tidak dapat dipenuhi dart hut:an alam, kebijakan
ini juga dapat membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Ke depan
Pemerint:ah perlu mengimbangi dengan menet:apkan kebijakan produktif yang
bersifat rehabilit:asi dengan tujuan memulihkan dan meningkatkan potensi
sumberdaya hutan agar dapat tercipta kelest:arian hut:an. Karena selama ini
temyat:a belum ditemukan formulasi kebijakan pengelolaan hut:an yang
berkelanjutan.
pengelolaan, skema pendanaan, pengolahan hasil dan pemasarannya. Dengan
demikian akan membuka kesempatan kerja yang pada akhimya akan
meningkatkan pendapat:an bagi penduduk.
100
sebesar 0,399, jumlah populasi sebesar 0,3878, harga kopi sebesar 0,3134 dan
produk domestik regional bruto per kapita sebesar 0,1986.
Sebaliknya kegiatan penebangan hutan mempunyai koefisien yang lebih
bervariasi dibandingkan dengan kegiatan konversi hutan. Pengaruh paling besar
ditunjukkan oleh variabel luas HPH dengan koefisien sebesar 0,5898. Variabel
· lain yang mempunyai pengaruh cukup besar adalah harga kayu yang
mempunyai koefisien 0,4092 dan krisis ekonomi mempunyai koefisien 0,3349.
Sedangkan variabel jumlah HPH, jumlah ekspor kayu dan kebutuhan bahan baku
mempunyai pengaruh kurang dari 10% terhadap penutupan hutan. Jumlah HPH
mempunyai koefisien 0,08818, jumlah ekspor kayu sebesar 0,038 dan
kebutuhan bahan baku sebesar 0,02458.
Hasil analisis ini memberi implikasi bahwa kegiat.an konversi hutan
sebagai penyebab utama terjadinya deforestasi di Indonesia. Menurut Sunderlin
dan Resosudarmo (1996), sebagian ahli berpendapat bahwa deforestasi yang
terjadi di luar P. Jawa terutama sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan jumlah petani kecil/ rakyat di kawasan hutan. Hasil analisis
menunjukkan bahwa jumlah populasi penduduk yang terus meningkat akan
mengakibatkan penurunan penutupan hutan, karena lahan di luar kawasan
hutan semakin terbatas. Sementara kebutuhan akan lahan pertanian dan
pemukiman semakin mendesak, sehingga telah mendorong terjadinya perluasan
lahan sampai kawasan hutan.
101
Sebagai penyebab deforestasi, peranan petani kedl/ rakyat dalam
deforestasi ter1alu dibesar- besarkan, sebaliknya peranan sektor perkebunan dart
hasil konversi hutan kurang disoroti. Akan tetapi berdasarkan hasil analisis pada
penelitian ini ternyata menunjukkan hasil sebaliknya. Kegiatan konversi hutan
rnenjadi perkebunan besar ternyata menjadi penyebab utama tetjadinya
deforestasi di Indonesia, sebaliknya konversi hutan yang disebabkan oleh petani
kecil/ rakyat hanya sedikit sekali kontribusinya terhadap meningkatnya
deforestasi. Hal ini ditunjukkan oleh variabel harga kelapa sawit, kopi dan karet.
Apabila harga ketiga komoditi tersebut naik, maka akan berdampak pada
menurunnya penutupan hutan. Sebaliknya apabila hasil pangan petani
meningkat akibat adanya peranan teknologi, maka deforestasi akan menurun
karena dengan luas lahan yang tetap dapat diperoleh hasil pangan yang lebih
banyak.
102
6.1. Kesimpulan
Pengelolaan sumberdaya hutan yang selama ini dilakukan meskipun
berhasil memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Negara,
·tetapi di sisi lain kebijakan pengelolaan hutan pada rnasa lalu ternyata
menyisakan banyak permasalahan baik ekonomi, sosial maupun lingkungan.
Kondisi sumberdaya hutan khususnya hutan tropis di luar P . .Jawa telah jauh
menurun dibandingkan dengan kondisi pada rotasi tebangan pertarna, baik
dalam luasan maupun potensinya. Kerusakan hutan tidak hanya terjadi di hutan
produksi saja, tetapi juga terjadi di hutan lindung dan hutan konservasi.
Pengurangan luas penutupan hutan meningkat tajam dari 1,87 juta ha per
tahun pada tahun 1985 - 1997 menjadi 2,8 juta ha per tahun pada tahun 1997
- 2000. Laju kerusakan hutan diperkirakan semakin tidak terkendali pada
periode tahun 2000 - 2004 akibat maraknya illegal logging, penyelundupan
kayu, perambahan hutan dan konversi hutan menjadi areal penggunaan lain.
Ancaman ternadap kelest:arian hutan datang dari berbagai arah, dari luar
kehutanan maupun dari lingkup kehutanan sendiri. Dalam tataran kebijakan,
seringkali terjadi benturan antar sektor, bahkan timbul ketidakpedulian institusi
lain terhadap kebijakan dan aturan-aturan di sektor kehutanan. Permasalahan
yang menimpa sektor kehutanan pada saat ini sebenarnya merupakan akumulasi
kekeliruan kebijakan yang sudah terlalu lama menempatkan kehutanan sebagai
BABVI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
sektor andalan dalam pembangunan nasional. Sumbangan yang cukup signifikan
dari sektor kehutanan telah membuat Pemerintah dan rimbawan terlena
terhadap kondisi hutan yang semakin lama semakin berkurang potensinya.
Ada 2 (dua) faktor yang dapat diindikasikan sebagai penyebab utama
kerusakan hutan, yaitu adanya penebangan hutan (logging) dan konversi hutan .
. Besarnya tingkat deforestasi sec:ara nyata akan mempengaruhi luas penutupan
hutan. Berdasarkan analisis data panel dari 19 propinsi antara tahun 1976 -
2000 dengan menggunakan model random effectmenunjukkan bahwa kegiatan
penebangan hutan maupun konversi hutan rnasing-masing mempunyai
kontribusi terhadap perubahan penutupan hutan. Kegiatan penebangan hutan
dengan variabel harga kayu, luas HPH, jumlah HPH, kebutuhan bahan baku
industri kayu dan krisis ekonomi berkorelasi positif terhadap deforestasi.
Sebaliknya, jumlah ekspor kayu berkorelasi negatif terhadap deforestasi.
Sedangkan kegiatan konversi hutan dengan variabel harga produsen kelapa
sawit, kopi, karet dan jumlah populasi berkorelasi positif terhadap deforestasi.
Sebaliknya hasil pangan dan produk domestik regional bruto per kapita
berkorelasi negatif terhadap deforestasi.
Hasil estimasi perubahan penutupan hutan akibat penebangan hutan
mengindikasikan bahwa kenaikan harga kayu dapat memicu terjadinya
deforestasi akibat banyaknya industri kayu yang memenuhi kebutuhan bahan
bakunya dari kayu tebangan illegal, peningkatan areal kerja HPH akan
menambah luas areal tidak produktif, peningkatan jumlah HPH akan berakibat
menurunkan kualitas dan kuantitas hutan, kebutuhan bahan baku industri kayu
103
yang melebihi proc:luksi kayu hutan alam telah memicu terjadinya praktek illegal
logging, krisis ekonomi tahun 1997 telah memicu terjadinya deforestasi akibat
meningkatnya permintaan pasar intemasional terhadap produk kehutanan,
sedangkan peningkatan ekspor kayu telah memicu terjadinya reforestasi untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu yang tidak dapat
dipenuhi dari hutan alam.
Sedangkan hasil estimasi perubahan penutupan hutan akibat konversi
hutan mengindikasikan bahwa kenaikan harga kelapa sawit, karet dan kopi
dapat mendorong petani terutama di sekitar hutan melakukan perambahan
hutan untuk ditanami komoditi tersebut, peningkatan jumlah penduduk akan
mendorong terjadinya deforestasi akibat kebutuhan lahan untuk pertanian dan
pemukiman, sedangkan peningkatan PDRB per kapita dapat meningkatkan
pendapatan riil penduduk. Disamping itu melalui peranan teknologi akan
diperoleh hasil pangan yang lebih banyak dengan luas lahan yang tetap. Kedua
faktor tersebut dapat mengurangi perambahan hutan.
Variabel hasil pangan, produk domestik regional bruto per kapita dan
jumlah ekspor yang berkorelasi negatif terhadap deforestasi dapat dijadikan
sebagai kebijakan kunci bagi Pemerintah untuk mengurangi laju deforestasi.
Intensifikasi pertanian yang berbasis teknologi perlu dikembangkan untuk
meningkatkan hasil pangan sehingga dengan luas lahan yag tetap akan
diperoleh hasil pangan yang lebih banyak. Selain itu, untuk menciptakan
lapangan kerja yang kontinyu terutama bagi penduduk di sekitar huta, maka
Pemerintah perlu menetapkan kebijakan guna mendorong pengembangan hasil
104
105
6.2. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan seperti yang telah diuraikan di atas, maka dapat
disampaikan beberapa rekomendasi sebagai tindak lanjut yang perlu diambil
dalam upaya mencegah terjadinya deforestasi yang lebih besar lagi, yaitu :
1. Pengelolaan hutan harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi
setempat atas dasar komitmen untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan
yang lestari.
2. Untuk berperan dalam pembangunan, maka sumberdaya hutan tidak hanya
dikelola secara berkelanjutan (sustainable management; tetapi harus pula
hutan non kayu agar mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Karena selama ini
hasil hutan non kayu masih dianggap sebagai hasil hutan ikutan saja. Faktor lain
yang tidak kalah penting adalah percepatan pembangunan hutan tanaman guna
memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa konversi hutan merupakan
penyebab utama terjadinya deforestasi di Indonesia terutama yang disebabkan
oleh konversi hutan menjadi perkebunan besar. Sedangkan konversi hutan yang
disebabkan oleh 'petant kecil/ rakyat hanya sedikit sekali kontribusinya terhadap
deforestasi. Jumlah penduduk yang makin meningkat juga menjadi penyebab
deforestasi. Kondisi ini tidak terlepas dari kebutuhan akan lahan pertanian dan
pemukiman yang makin meningkat, sementara jumlah lahan di luar kawasan
hutan sangat terbatas. Akibatnya, perluasan lahan sampai ke kawasan hutan
tidak bisa dihindari lagi.
106
dikelola menuju pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
developmenf). Pembangunan yang berkelanjutan tersebut memerlukan
keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Ketiga aspek
tersebut harus dapat diwujudkan melalui "trade off yang dapat diterima dan
disepakati diantara para pihak
3. Konversi hutan untuk perkebunan besar seharusnya tidak dibangun dari areal
hutan konversi, tetapi dari areal lahan yang tidak produktif. Dengan
rrerrantaatkan areal tidak produktif untuk perkebunan, maka biaya
lingkungan yang harus dibayar relatif rendah.
4. Dalam upaya untuk mempertahankan areal hutan yang masih tersisa, maka
diperlukan tindak lanjut yang harus segera dilakukan antara lain :
• Produksi kayu bulat seyogyanya tidak lagi mengandalkan pasokan dari
hutan alam saja, tetapi juga memanfaatkan dan menggali potensi dari
pengembangan HTI maupun hutan rakyat.
• Perlunya pengembangan secara intensif hasil hutan non kayu agar
mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi.
• Penataan kembali kebijakan perijinan pemanfaatan hasil hutan melalui
implementasi kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari.
• Kebijakan soft/anding (pengurangan tebangan tahunan secara bertahap)
tetap dilanjutkan untuk memberi kesempatan pada hutan untuk
memulihkan kondisinya.
107
• Memperbaiki tata usaha kayu dan peredaran hasil hutan yang
memungkinkan dilakukan lacak balak (log tracking) darimana kayu
berasal.
• Diberlakukannya kebijakan impor kayu dengan bea masuk rendah untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku kayu yang tidak dapat dipenuhi dari
produksi dalam negeri.
• Penyusunan konsep pemberantasan illegal logging secara komprehensif
dan sistematis dengan membangun sistem infonnasi antara Pusat dan
Daerah. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya penguatan
pengawasan dan penegakan hukum yang tegas oleh instansi yang
berwenang dengan dukungan dari Pemerintah Pusat.
6.3. Keterbatasan Studi
Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat deforestasi di Indonesia.
Faktor-faktor tersebut antara lain pengelolaan hutan yang tidak memperhatikan
kaidah-kaidah kelestarian, kebakaran hutan, konversi hutan, perladangan
berpindah, illegal logging dan ketidak seimbangan antara kebutuhan dan
ketersediaan bahan baku kayu bagi industri pengolahan kayu dalam negeri.
Disadari bahwa dengan keterbatasan kemampuan, ketersediaan data dan
cakupan analisis yang digunakan, penelitian ini masih memiliki kekurangan dan
keterbatasan. Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini antara lain :
1. Variabel tak bebas yaitu luas penutupan hutan yang digunakan untuk
menaksir tingkat deforestasi diperoleh dengan melakukan ekstrapolasi
108
berdasarkan data penutupan hutan di dalam dan di luar kawasan hutan dart
satu titik waktu ke titik waktu tertentu yang dihubungkan dengan kerapatan
populasi.
2. Variabel harga ekspor kayu tidak dimasukkan dalam model karena data per
propinsi tidak tersedia secara lengkap (1976 - 2000). Sebagai pendekatan,
maka dalam penelitian ini digunakan variabel jumlah ekspor kayu.
3. Variabel illegal logging tidak dimasukkan dalam model karena tidak
tersedianya data. Sampai saat ini memang belum diketahui secara pasti
kerugian yang disebabkan oleh illegal logging. Untuk menghitung jumlah
kayu hasil illegal logging secara akurat juga bukan sesuatu yang mudah.
Untuk penelitian selanjutnya, apabila memungkinkan dengan
menggunakan teknologi citra satelit yang lebih canggih dapat diperoleh
informasi langsung penutupan hutan dan tingkat deforestasi tanpa melakukan
ekstrapolasi data. Dengan data penutupan hutan per tahun maupun variabel
harga ekspor kayu dengan pendekatan yang lebih sesuai, maka akan dapat
mempertajam hasil penelitian. Demikian pula dengan faktor illegal logging perlu
dilakukan penelitian tersendiri, mengingat saat ini kegiatan illegal logging
disinyalir sebagai penyebab terbesar meningkatnya laju deforestasi di Indonesia.
Dengan melakukan penelitian lebih lanjut, maka dapat diketahui secara pasti
penyebab utama terjadinya deforestasi di Indonesia.
Departemen Kehutanan. Perkembangan Kehutanan Indonesia 20 tahun Indonesia Merdeka 1945-1965. Departemen Kehutanan, Jakarta, 1965.
109
Cropper. Roads, Population pressure and Deforestation in Thailand. Policy Research Working Paper 1726. World Bank Washington, DC, 1997.
Cattaneo, Andrea. Balancing Agricultural Development and Deforestation in the Brazilian Amazon. Research Report 129, International Food Policy Research Institute. Washington, DC, 2002.
Chanthirath, Khampa. Forestry Resources and the Underlying causes of Deforestation and Forest Degradation in Lao PDR. Forest Conservation and Afforestation Project. Provincial Agriculture and Forsetry Office. Ministry of Agriculture and Forestry Laos, 1997.
Bluffstone, R.A. The Effect of Labor Market Perfonnance on Deforestation in Developing Countries Under Open Access : An Example from Rural Nepal. Journal of Environment Economics and Management 1993, Vol. 29, hal 42 -63.
Barbier Edward.B and J.C. Burgess. Economics Analysis of Deforestation in Mexico. Environmental Development Economics I, 1996.
Baltagi, Badi. H. Econometric Analysis of Panel Data. Second Edition. John Wiley & Sons, LTD New York, 2001. hal. 5- 8.
Angelsen, A.; Shitindi, E.F.K and Aarrestad, J. The economics of Deforestation with Regional Panel Data: Evidence from Tanzania. Working Paper 0498. University of Bergen, Department of Economics, 1998.
Angelsen. A anrd. Kaimowitz . D. Economics Models of Tropical Deforestation : A Review. Center for International Forestry Research Bogor, Indonesia, 1998.
Angelsen, A. Deforestation : Population or Market Driven ? Different Approaches in Modeling of Agriculture Expansion. Journal of Development Economics 55, 1996.
Angelsen, A. Shifting Cultivation and "Deforestation": A Study from Indonesia. World Development 23(10), 1995.
Andersen, LE. The causes of Deforestation in the Brazilian Amazon. Journal of Environment Development 5, 1996.
DAFTAR PUSTAKA
110
Holmes, Derek. Deforestation in Indonesia. A Review of the situation in 1999. The World Bank. Washington DC, 2000.
Gujarati, Damodar.N. Basic Econometrics. Third Edition. Mc Graw-Hill International Edition, Singapore, 1995, hal. 323 - 345, 375 - 380.
Greene, William. H, Econometric Analysis. Fourth Edition. Prentice Hall Inc, New York University. USA, 1993, hal. 285 - 289.
Grainger, Alan. Quantifying Changes in Forest Cover in the Humid Tropics : Overcoming Current limitations. Journal of World Forest Resource Management 1984, Vol. 1, hat. 3 - 63
GBETNKOM, Daniel. Deforestation in cameroon, And Poverty in The Rural Zone. Faculty of Economics and Management, University of Yaounde II and Office of Policy and Programme Coordination - UNECA, Ethiopia, 2001.
Fuad, Faisal H. Kajian Kasus Konflik Penjarahan hutan di KPH Randublatung. Pusat Kajian Hutan Rakyat Fak. Kehutanan UGM, Yogyakarta. Jurnal Hutan Rakyat 2001, Volume 3 Nomor 2, hal. 37-61.
FAO. Forest Resources Assessment 2000 (Tropical Countries). FAO Forestry Paper 190. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, 2002.
FAO. Forest Resources Assessment 1990: Survey of Tropical Forest Cover and Study of Change Processes. FAO Forestry Paper 130. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, 1996.
FAO. Forest Resources Assessment 1990 (Tropical Countries). FAO Forestry Paper 112, Food Agriculture Organization of the United Nations, Rome, 1993.
FAO. Situation and Outlook of the Forestry Sector in Indonesia. Volume 1 : Issues, finding and opportunities. Ministry of Forestry, Government of Indonesia and Food and Agriculture Organization of the United Nations, Jakarta, 1990.
Dvorak, K.A. Resource Management by West African Fanners and the Economics of Shifting Cultivation. American Journal of Agricultural Economics 1992, 74, hat. 809-815.
Departemen Kehutanan. Rekalkulasi Penutupan lahan Indonesia Tahun 2003. Pusat Perpetaan Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan, Jakarta, 2003.
111
Osei Asa re and Obeng-Asiedu. The Immediate cause of Deforestation .· the case of Ghana. Beijer Research Seminar, 2000.
Noor. Akhmad. Analisis Ekonomi Deforestasi dan Reforestasi Hutan di Kabupaten Kutai Tlmur. Thesis Pasca Sarjana Program Ilmu ekonomi. Universitas Indonesia, Depok, 2004.
Nelson, G and Hellerstein, D. Do Roads cause Deforestation ? Using Satellite Images in Econometrics Analysis of Land Use. American Journal of Agricultural Economics 1997, 79 : 80, hal 8.
Ndiyo, N. Ayara. Further Evidence on the Detenninants of Deforestation: the case of Oman Rainforest in Cross River State of Southeastern Nigeria. Department .of Economics, University of Uyo, Uyo Akwa Ibom State, Nigeria, 2000.
Maryudi, Ahmad. Proses Degradasi Hutan Hujan Tropis Indonesia. Pusat Kajian Hutan Rakyat Fak. Kehutanan UGM, Yogyakarta. Jurnal Hutan Rakyat 2001, Volume 3 Nomor 2, hal. 62-67.
Manurung, E.G. Togu. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Environmental Policy and Institutional Strengthening IQC. Natural Resources Management Programme, 2001.
Manurung, E.G.Togu and Buongiorno, Joseph. Effect of The Ban on Tropical Log Exports on The Forestry Sector of Indonesia. Journal of World Forest Resource Management 1997, Vol. 8, hat. 21-49.
Mankiw, N. Gregory. Macroeconomics. Second Edition. Worth Publishers, New York, 2000, hal. 23.
LATIN. Reformasj . Tanpa Perubahan, Kehutanan Indonesia Pasca Soeharto. Pustaka Latin, Jakarta, 1998.
_Krutilla et al. Peri-urban Deforestation in Developing Countries. Forest Ecology and Management, 1995.
Kooten, Van G.C and E.H. Bulte. The Economics of Nature : Managing Biological Assets. Blackwells, 2000.
Katila, Marko. Modelling Deforestation in Thailand Paper presented at the IUFRO World Congress,Tempere Finland, 1995.
International Tropical Timber Organization (ITTO). Achieving Sustainable Forest Management in Indonesia. ITTC (XXXI)/10, Yokohama, Japan, 2001.
112
Simangunsong, Bintang C.H. The Economics Perfonnance of Indonesia's Forest Sedor in Period 1980 - 2002. Briefing Paper # 4. Departemen Kehutanan dan GfZ-SMCP. Jakarta, 2004.
Scriedu, Silviu S. Economic Causes of Tropical Deforestation Global empirical Application. Institute for Department Policy and Management of Manchester, 2000.
5an Nu Nu; Lofgren, Hans and Robinson, S. Strudural Adjusment, Agriculture, and Deforestation in the Sumatera Regional Economy. Trade and Macroeconomics Division, International Food Policy Research Institute, Washington D.C.20006 USA, 2000.
Revilla, J.A. V. Preliminaty Study on the Rate of Forest Cover Loss in Indonesia. National Forest Inventory Project. Directorate General of Forest Inventory and Land Use Planning, Ministry of Forestry and Food and Agriculture Organization of the United Nations, Jakarta, 1993.
Purnama, Boen.M; Justianto, A.; Tjandrakirana, R.dan Prihatno, B.P. Produksi Kayu Bulat Indonesia •· Potensi dan Pennasalahan. Makalah disampaikan pada diskusi panel ''Strategi yang Diarahkan untuk Pembangunan Industri Berbasis Kayu di Indonesia" pada tanggal 18 April 2003. Jakarta, 2003.
Prihawantoro, Socia. Analisis Deforestasi di Indonesia dengan pendekatan SNS£ Thesis Pasca 5arjana Program Ilmu ekonomi. Universitas Indonesia, Depok, 1998.
Pindyck, Robert S. and Rubinfeld, Daniel L. Econometric Models and Economic Forecasts. Fourth Edition. McGraw-Hill International Edition. Singapore, 1998, h~I.. 58 - 62 ' 251- 254.
Poore, D. No Timber Without Trees : Sustainability in the Tropical Forests. Earthscan Publication Ltd. London, 1989.
Panayotou and Sussengkarn, C. Case Study for Thailand. In : Reed, Structural Adjusment Westview Press, Bourder, 1992.
Palmer, Charles. E. The Extent and Causes of Illegal Logging : An Analysis of A Major Cause of Tropical Deforestation in Indonesia. CSERGE Working Paper. Economics Department, University College London, 2000.
Pagiola, Stefano. Deforestation and Land Use Changes Induced by the East Asian Economic Crisis. EASES Discussion Paper Series, 2001.
113
World Resources Institute (WR!). Trial by Fire: Forest Fire in Indonesia's Era of Crisis and Refonn. Wor1d Resources Institute, Washington DC, 2000.
World Bank. The Challenges of World Bank Involvement in Forest : An Evaluation of Indonesia's Forest and World Bank Assistance. World Bank, Washington DC, 2000.
World Bank. The Economics of Long-tenn Management of Indonesia's Natural Forest. Unpublish Manuscript, August, Jakarta, 1995.
World Bank. Indonesia : Environment and Development The Wor1d Bank, Washington, DC, 1994.
World Bank. Indonesia : Sustainable Development of Forest, Land and Water. The World Bank, Washington, DC, 1990.
Tambunan, Mangara. Restrukturisasi Industri Sektor Kehutanan Menuju lndustrialisasi Berbasis UKM di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar ~i _Fakultas Kehutanan IPB, Dermaga, Bogor, 2002.
Suratmo, F. Gunarwan. Strategi Menghentikan Degradasi Kualitas Hulan Tropika Basah di Indonesia dan Bagaimana Memperbaiki Kondisinya. Jumal Manajemen Hutan Tropika 2001, Vol. VII No.1, hal.15 - 22.
Sunderlin, W.D and Resosudarmo, I.A.P. Rates and causes of Deforestation in Indonesia : To.ward a Resolution of the Ambiguities. Occasional Paper No. 9. CIFOR, Bogor, 1996.
Suhendang, Endang. Pengantar I/mu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2002.
LAMPIRAN
l l4
No Propinsi Tahun LnFotC Ln p/<ilyu LnNoHPH LnLHPH tn bbsku Lnekspor Oummy Krisls
1 Acch 1976 15.2247 3.1217 2.4849 -0.3574 3.4849 6.4191 0 1977 15.2204 3.2632 2.8332 -0.0790 2.9510 6.8296 0 1978 15.2158 3.3145 2.6391 -0.0045 3.4659 6.3897 0 1979 15.2112 3.4266 2.6391 -0.0045 3.2836 6.2879 0 1980 15.2066 3.5420 2.6391 -0.0045 4.8542 6.3448 0 1981 15.1999 3.6152 2.8332 0.2257 5.7577 6.1601 0 1982 15.1929 3.6973 2.9957 0.4128 6.2834 5.5849 0 1983 15.1858 3.6913 2.9957 0.4128 6.2280 5.5007 0 1984 15.1787 3.0902 2.9957 0.4128 6.0202 5.6996 0 1985 15.1719 3.6773 2.9957 0.4128 5.7627 5.1703 0 1986 15.1668 3.7380 2.9957 0.3760 6.4699 5.4995 0 1987 15.1611 4.0615 2.9957 0.3760 6.4500 6.1914 0 1988 15.1555 4.6052 2.9444 0.3760 6.1256 5.9702 0 1989 15.1495 4.6739 2.9444 0.3760 6.1119 6.4020 0 1990 15.1436 4.6872 2.9444 0.3760 6.0085 5.8412 0 1991 15.1366 4.6742 3.0910 0.5406 6.2241 5.7728 0
r
1992 15.1302 4.7043 3.0445 0.5898 6.1564 5.9813 0 1993 15.1229 4.7081 3.0445 0.5898 5.8901 5.6995 0 1994 15.1091 4.7081 3.0445 0.5898 6.5647 5.8668 0 1995 15.1040 4.8283 2.9444 0.4817 6.1565 5.4242 0 1996 15.1020 4.9088 2.8904 0.3870 6.3367 5.8051 0 1997 15.0998 5.0878 2.9444 0.4584 4.8965 4.5292 1 1998 15.0192 5.2923 2.8904 0.3640 6.5880 5.2533 1 1999 14.9341 5.3393 2.9444 0.4584 5.8496 3.1913 1 2000 14.8392 5.5293 2.7081 0.1079 5.5909 3.3243 1
2 Sumatcra utara 1976 15.0522 3.6191 1.9459 -1.0175 5.3713 6.2711 0 1977 15.0383 3.7607 2.5649 -0.3072 5.4168 6.3949 0 1978 15.0241 3.8120 2.3026 -0.3820 5.4619 7.1547 0 1979 15.0094 3.9240 2.3026 -0.3820 5.3469 6.8332 0 1980 14.9946 4.0394 2.3026 -0.3820 5.7266 6.4087 0 1981 14.9683 4.1126 2.5649 -0.0901 5.9750 5.9055 0 1982 14.9416 4.1947 2.6391 -0.0090 6.3400 5.0232 0 1983 14.9138 4.2470 2.6391 -0.0090 5.9644 5.3057 0 1984 14.8854 4.2723 2.6391 -0.0080 5.9644 5.0646 0 1985 14.8494 4.3552 2.6391 -0.0080 5.8041 4.6168 0 1986 14.8195 4.6239 2.7081 0.3390 7.0913 5.5109 0 1987 14.7853 4.6052 2.7081 0.3390 7.3339 5.6716 0 1988 14.7517 4.6052 2.7081 0.1137 6.8335 5.8444 0 1989 14.7143 4.6052 2.7081 0.1137 7.1843 5.9908 0 1990 14.6763 4.6235 2.5649 0.0251 6.8491 5.8692 0 1991 14.6546 4.6522 2.7726 0.4058 6.7590 6.1169 0 1992 14.6107 4.6760 2.7726 0.0775 7.3702 6.4376 0 1993 14.5939 4.6846 2.7726 0.0777 6.8325 6.1984 0 1994 14.5756 5.3884 2.7726 0.0777 7.2616 6.4303 0 1995 14.5178 5.5086 2.5649 -0.0507 7.4515 6.2077 0 1996 14.4791 5.5890 2.3026 -0.3120 7.7135 6.3830 0 1997 14.4530 5.7680 2.1972 -0.1960 7.4807 5.3620 1 1998 14.3578 5.9726 2.1972 -0.3162 6.8303 5.6970 1 1999 14.3212 6.o479 2.1972 -0.3162 5.9049 5.3876 1 2000 14.2697 6.1644 2.1972 -0.5931 6.3404 4.0930 1
Lamplran 1. Data Pcnutupan Hutan, harga kayu, jumlah HPH, Luas HPH, jumlah ckspor kayu dan dummy krisis 19 proplnsi tahun 1976 - 2000
us
3 Sumatera Barat 1976 14.9385 2.7379 2.0794 -0.5482 3.3201 5.7177 0 1977 14.9219 3.0256 2.3026 -0.3871 3.1261 5.8680 0 1978 14.9050 3.2183 2.3026 -0.3870 3.8210 5.6969 0 1979 14.8879 3.5852 2.3026 -0.3868 5.0425 5.9610 0 1980 14.8701 3.5852 2.3026 -0.3867 5.2279 5.7256 0 1981 14.8455 3.5852 2.4849 -0.0513 5.1120 5.2013 0 1982 14.8207 3.6877 2.4849 -0.0513 5.7820 5.1063 0 1983 14.7956 3.7845 2.4849 -0.0502 5.1671 5.0147 o 1984 14.7695 3.8561 2.4849 -0.0492 5.2162 5.0062 0 1985 14.7673 4.0003 2.4849 -0.0513 5.2335 5.2693 0 1986 14.7430 4.2351 2.4849 -0.0921 5.9449 4.9650 0 1987 14.7170 4.3946 2.4849 -0.0920 6.1901 5.1162 0 1988 14.6925 4.6052 2.5649 -0.0325 5.9794 5.3674 0 1989 14.6667 4.7105 2.5649 -0.0324 5.4633 5.3711 0 1990 14.6415 4.8445 2.5649 -0.0323 5.3048 4.9530 0 1991 14.6124 5.0556 2.5649 -0.0419 5.8623 5.3176 0 1992 14.5868 5.0855 2.3979 -0.2663 5.7964 5.1023 0 1993 14.5577 5.0857 2.3979 -0.2663 5.8053 4.8066 0 1994 14.5335 5.0857 2.3979 -0.2663 5.7726 4.6334 0 1995 14.5149 5.2058 2.0794 -0.6370 6.1149 5.0087 0
r 1996 14.5002 5.2863 1.7918 -0.8862 5.6980 4.7009 0 1997 14.4803 5.4653 1.7918 -0.7972 4.6048 4.7558 1 1998 14.4470 5.6699 1.7918 -0.7972 5.5915 4.2776 1 1999 14.4165 5.7452 1.7918 -0.7972 5.1933 4.0214 1 2000 14.3799 5.8617 1.6094 -0.8756 5.0663 2.7497 1
4 Riau 1976 15.7061 3.6715 3.0910 0.8131 3.3201 6.7265 0 1977 15.6970 3.7773 3.5835 1.4379 3.1261 7.0113 0 1978 15.6876 3.8343 3.5835 1.1780 3.8210 6.7817 0 1979 15.6779 3.9259 3.7136 1.3306 5.0425 7.2345 0 1980 15.6682 3.9309 3.8712 1.5113 5.2279 7.1241 0 1981 15.6569 3.9889 3.9512 1.6015 5.1120 6.1459 0 1982 15.6451 4.0523 4.0431 1.7225 5.7820 5.7853 0 1983 15.6331 4.1142 4.1271 1.7969 5.0408 6.0975 0 1984 15.6209 4.1750 4.1271 1.7969 5.1195 6.2316 0 1985 15.5966 4.2214 4.1271 1.8037 5.2335 6.2320 0 1986 15.5908 4.3182 4.1271 1.8037 5.9449 6.4022 0 1987 15.5846 4.4854 4.1431 1.8037 6.1901 6.6993 0 1988 15.5781 4.6052 4.1589 1.8132 5.9794 6.9909 o 1989 15.5713 4.7702 4.2047 1.8417 5.4633 6.4716 0 1990 15.5645 4.8554 4.2047 1.8618 5.3048 7.0189 0 1991 15.5362 4.9663 4.2047 1.7875 5.8623 7.3059 0 1992 15.5079 5.1457 4.1744 1.7013 5.7964 7.0432 0 1993 15.4939 5.1716 4.1744 1.7013 5.8053 7.1992 0 1994 15.4758 5.1717 4.1744 1.7013 5.7726 6.6871 0 1995 15.4554 5.2919 3.9703 1.5003 6.1149 6.8349 0 1996 15.4444 5.3724 3.8918 1.4239 5.6980 6.7769 0 1997 15.4392 5.5514 3.7842 1.2147 4.6048 6.3686 1 1998 15.2291 5.7559 3.7842 1.2153 5.5915 5.9805 1
- 1999 15.0245 5.8312 3.7842 1.3110 5.1933 6.6098 1 2000 14.7616 5.9478 3.3673 0.6023 5.0663 6.1655 1
116
5 lambl 1976 15.1044 3.6206 2.8904 0.7198 5.8442 7.0457 0 19n 15.0851 3.7622 3.1355 0.7251 6.1317 7.1434 0 1978 15.0639 3.8135 3.1355 0.7645 6.0431 7.1340 0 1979 15.0421 3.9255 3.1355 0.7646 6.0904 7.3577 0 1980 15.0196 4.0409 3.1355 0.7646 6.4653 6.7540 0 1981 14.9885 4.1142 3.2189 0.8705 6.2301 6.2571 0 1982 14.9538 4.1962 3.2189 0.8705 6.2352 5.6223 0 1983 14.9173 4.2726 3.2189 0.8705 4.6171 5.7991 0 1984 14.8788 4.3377 3.2189 0.8705 4.6171 5.6124 0 1985 14.8328 4.4035 3.2189 0.8705 5.9363 5.7004 0 1986 14.7938 4.4991 3.2958 0.8788 7.2284 5.7713 0 1987 14.7502 4.5507 3.2958 0.8788 7.4657 5.9945 0 1988 14.6805 4.6052 3.2958 0.8789 7.5427 6.3631 0 1989 14.6503 4.6388 3.4012 0.9423 7.2417 6.2748 0 1990 14.5937 4.7020 3.4012 0.9791 7.3422 5.9982 0 1991 14.5219 4.7535 3.2958 0.7514 7.3190 6.0630 0 1992 14.3965 4.7535 3.2958 0.7969 7.4122 6.0348 0 1993 14.3693 4.7535 3.2958 0.7969 7.2012 6.1797 0 1994 14.3623 4.8667 3.2958 0.7969 7.4903 6.4261 0 1995 14.3371 4.9877 3.1355 0.7676 8.2880 6.1503 0
r • 1996 14.3036 5.0774 2.7726 0.3700 8.4318 6.1607 0 1997 14.2874 5.2480 2.7081 0.1428 8.4059 5.3362 1 1998 14.1051 5.4542 2.6391 0.1075 8.3568 5.4777 1 1999 13.8936 6.1787 2.7081 0.1428 7.2413 5.5529 1 2000 13.6193 6.0752 2.5649 -0.1508 7.8398 5.4243 1
6 Sumat:era Selatan 1976 15.4995 3.3198 2.7726 -0.2510 5.9298 6.6532 0 1977 15.4703 3.4614 2.7726 0.3907 5.3600 6.5582 0 1978 15.4384 3.5127 2.6391 0.2082 6.7608 6.6188 0 1979 15.4052 3.6247 2.7726 0.3695 5.9596 6.5044 0 1980 15.3710 3.7401 2.7726 0.4707 5.8692 6.5310 0 1981 15.3222 3.8134 2.9957 0.6303 5.8075 5.8204 0 1982 15.2681 3.8954 3.0445 0.6861 6.5129 5.5554 0 1983 15.2103 4.1585 3.0445 0.6862 7.0958 6.0788 0 1984 15.1490 4.1355 3.0445 0.6862 7.1825 6.2320 0 1985 15.0859 4.2236 3.0910 0.7134 6.1098 5.3557 0 1986 15.0193 4.3727 3.0910 0.7134 7.8708 6.2663 0 1987 14.9423 4.4086 3.0910 0.7135 8.1271 6.4940 0 1988 14.8426 4.6052 3.0910 0.7135 7.7156 6.5671 0 1989 14.7581 4.6689 3.1781 0.8158 7.2620 7.0258 0 1990 14.6489 4.7179 3.1781 0.8159 6.8441 5.6051 0 1991 14.5032 4.7545 2.9957 0.6899 7.1483 5.9057 0 1992 14.2305 4.8882 2.9444 0.6268 3.7259 3.2813 0 1993 14.1539 4.9688 2.9444 0.6268 6.8349 5.6717 0 1994 14.1232 5.0297 2.9444 0.6268 6.7252 5.7893 0 1995 14.0866 5.1508 2.7081 0.3414 6.7355 5.5896 0 1996 14.0637 5.2404 2.5649 0.2085 6.8730 5.8562 0 1997 14.0372 5.4110 2.5649 0.2085 6.6820 4.7745 1 1998 13.9658 5.6172 2.5649 0.1888 6.7852 4.7788 1
- 1999 13.9175 5.7379 2.5649 0.2085 5.7581 4.2961 1 2000 13.8658 5.8720 2.1972 0.0046 7.6510 5.9630 1
117
7 Bengkulu 1976 14.0783 3.6215 1.0986 -1.3318 2.1939 3.3426 0 1977 14.0676 3.7631 1.6094 -0.9213 2.0686 3.7607 0 1978 14.0559 3.8144 1.3863 -1.2073 1.3903 4.1920 0 1979 14.0442 3.9264 1.3863 -1.4740 2.8188 4.8100 0 1980 14.0320 4.0418 1.3863 -1.4740 2.3717 4.7996 0 1981 14.0155 4.1150 1.3863 -1.4736 3.2734 3.9301 0 1982 13.9974 4.1962 1.3863 -1.4736 3.4532 3.1106 0 1983 13.9788 4.2726 1.3863 -1.4732 3.1262 3.7865 0 1984 13.9590 4.3377 1.3863 -1.2073 2.5840 2.8111 0 1985 13.9347 4.4035 1.3863 -1.2073 2.4444 3.8641 0 1986 13.9229 4.4991 1.6094 -0.8892 4.4901 3.6156 0 1987 13.9099 4.5507 1.6094 -0.8892 4.7619 3.6318 0 1988 13.8958 4.6052 1.6094 -0.8892 3.7912 3.5193 0 1989 13.8699 4.6388 1.6094 -0.8889 3.8729 3.8256 0 1990 13.8649 4.7020 1.6094 -0.8889 2.1256 3.0570 0 1991 13.8458 4.7535 1.6094 -0.8884 3.7612 3.0937 0 1992 13.8m 4.7912 1.3863 -1.0416 7.2133 5.7804 0 1993 13.8059 4.8344 1.3863 -1.0416 2.8377 3.6882 0 1994 13.7623 4.9221 1.3863 -1.0415 3.0593 4.1403 0 1995 13.7460 4.9870 1.3863 -1.0415 2.7127 3.9829 0
r 1996 13.7200 5.0154 1.3863 -1.0415 3.0241 4.1401 0 1997 13.7100 5.1021 1.3863 -1.0415 2.3192 2.4806 1 1998 13.7055 5.2030 1.3863 -1.0416 2.7122 1.8604 1 1999 13.7028 5.6338 1.3863 -1.0416 1.0160 1.8983 1 2000 13.7001 5.9461 0.6931 -2.4038 1.6939 1.0364 1
8 Lampung 1976 13.6794 2.9502 0.6931 -2.0794 4.0886 4.5224 0 1977 13.6619 3.0918 0.6931 -2.0786 3.7404 4.6576 0 1978 13.6313 3.1431 0.6931 -2.0786 4.1490 4.4519 0 1979 13.6053 3.2551 0.6931 -2.0778 3.8452 4.8498 0 1980 13.5787 3.3705 0.6931 -2.0778 4.1102 4.4153 0 1981 13.5439 3.4437 1.0986 -1.7316 4.3148 4.0188 0 1982 13.5030 3.5258 1.0986 -1.7316 4.2599 3.5542 0 1983 13.4590 3.3509 1.0986 -1.7316 2.7213 3.4441 0 1984 13.4116 3.3544 1.0986 -1.7316 2.1775 3.0530 0 1985 13.3813 3.5602 1.0986 -1.7316 3.0378 3.4335 0 1986 13.2489 3.8548 1.0986 -1.7310 5.7692 4.2994 0 1987 13.2408 4.1654 1.3863 -1.6949 6.0179 4.4222 0 1988 13.2234 4.6052 1.0986 -1.6949 5.5301 4.3431 0 1989 13.2040 4.6097 1.0986 -1.6607 5.7969 4.5664 0 1990 13.1699 4.6948 1.0986 -1.6607 1.5539 2.4260 0 1991 13.1452 4.6967 1.0986 -1.7316 4.5783 3.0390 0 1992 13.1151 4.8067 0.0000 -3.2189 3.3588 2.0965 0 1993 13.0770 4.8067 0.0000 -3.2189 4.1692 2.5132 0 1994 12.9665 4.8676 0.0000 -3.2189 4.2932 2.8953 0 1995 12.8999 4.9887 0.0000 -3.1942 3.5618 2.7557 0 1996 12.8561 5.0784 0.0000 -3.1942 5.2354 3.3265 0 1997 12.7975 5.2490 0.0000 -3.1942 4.7632 2.0852 1 1998 12.8607 5.4552 0.0000 -3.2189 3.9912 1.7474 1
. 1999 12.9646 5.5758 0.0000 -3.2189 2.3767 0.5785 1 2000 12.9968 5.7100 0.0000 ·3.2189 3.2369 1.8979 1
118
9 Kalbar 1976 16.1403 3.2943 3.4965 0.8251 6.6313 7.0218 0 1977 16.1305 3.4359 3.4965 1.2211 3.9497 6.7028 0 1978 16.1205 3.4872 3.4965 1.0621 6.7893 7.2671 0 1979 16.1104 3.5992 3.6376 1.2512 6.2684 7.1241 0 1980 16.1000 3.7146 3.7377 1.5212 7.0402 7.3431 0 1981 16.0818 3.7878 3.7377 1.6946 6.8296 6.6606 0 1982 16.0634 3.8699 4.0604 1.7753 6.8814 6.2364 0 1983 16.0450 3.8799 4.0604 1.7753 7.2226 6.8746 0 1984 16.0258 3.7071 4.0604 1.7753 4.8828 6.5525 0 1985 15.9789 3.7035 4.0604 1.7753 6.5432 6.5260 0 1986 15.9643 3.7722 4.1589 1.8482 8.0451 6.7698 0 1987 15.9488 4.2251 4.1589 1.8482 8.2778 7.0159 0 1988 15.9315 4.6052 4.1589 1.8482 7.8718 7.0312 0 1989 15.9135 4.5220 4.1271 1.7530 7.9797 7.1024 0 1990 15.8953 4.5709 4.1431 1.7668 8.0805 6.9208 0 1991 15.8735 4.6076 4.0604 1.7092 8.0943 6.9050 0 1992 15.8532 4.6965 4.0431 1.7065 8.0467 6.8916 0 1993 15.8290 4.7772 4.0431 1.7065 8.0612 6.8150 0 1994 15.7881 4.8381 3.9318 1.7065 8.6475 6.7214 0 1995 15.7638 4.9591 3.8286 1.5723 8.6839 6.7558 0
- 1996 15.7394 5.0488 3.7842 1.6397 8.8269 6.7424 0 1997 15.7196 5.2194 3.6889 1.6273 8.2484 5.6934 1 1998 15.7195 5.4256 3.6636 1.6265 8.5307 6.1481 1 1999 15.7195 5.5462 3.6889 1.6273 8.3425 5.6163 1 2000 15.7194 5.6804 3.3673 0.8655 8.0477 5.1358 1
10 Kalteng 1976 16.4478 3.3494 4.4773 1.8674 4.8606 7.8878 0 1977 16.4354 3.4910 4.4773 2.1828 4.5041 7.9787 0 1978 16.4221 3.5423 4.4773 2.1127 5.2478 8.0568 0 1979 16.4085 3.6543 4.4998 2.1412 6.6062 8.0654 0 1980 16.3953 3.7697 4.5539 2.2352 6.3440 7.8269 0 1981 16.3728 3.8430 4.6444 2.4217 7.0995 7.3664 0 1982 16.3487 3.9250 4.7185 2.4110 7.3404 7.1639 0 1983 16.3235 3.9888 4.7185 2.4110 6.9309 7.1981 0 1984 16.2987 4.1876 4.7185 2.4110 7.0266 7.0808 0 1985 16.2678 4.2404 4.7185 2.4110 7.0944 7.2173 0 1986 16.2538 4.2777 4.7536 2.4013 7.9320 7.1102 0 1987 16.2387 4.4975 4.7536 2.4013 8.1825 7.2322 0 1988 16.2224 4.6052 4.7536 2.4014 7.1477 7.3511 0 1989 16.2051 4.6159 4.7536 2.4621 7.3200 7.5404 0 1990 16.1874 4.7288 4.7536 2.4637 7.0085 7.2261 0 1991 16.1661 4.7547 4.7362 2.4570 7.2096 7.3137 0 1992 16.1460 4.7816 4.7274 2.4432 7.0528 7.1953 0 1993 16.1218 5.0004 4.7274 2.4432 6.7134 7.1626 0 1994 16.0903 5.1718 4.7274 2.4432 6.7093 7.3365 0 1995 16.0542 5.2759 4.5218 2.2917 7.0234 7.3720 0 1996 15.9716 5.3537 4.3820 2.2580 7.6450 7.2918 0 1997 15.9607 5.4564 4.2485 2.1142 6.9023 6.5819 1 1998 15.9823 5.6202 4.2341 2.1027 6.8876 6.7349 1 . 1999 16.0179 6.2823 4.2485 2.1142 6.5410 6.4018 1 2000 16.0529 6.3295 4.0431 1.6133 6.6486 5.6300 1
119
11 Kalscl 1976 14.6947 4.3258 2.5649 0.1844 4.6871 6.6602 0 1977 14.6717 4.4673 2.7081 0.3130 4.1168 6.7451 0 1978 14.6480 4.5186 2.7081 0.3130 4.9677 6.6660 0 1979 14.6239 4.6307 2.8332 0.3584 6.5378 6.9024 0 1980 14.5986 4.7461 2.7726 0.3584 6.0374 6.5797 0 1981 14.5619 4.8193 2.7726 0.3633 6.4918 6.2027 0 1982 14.5243 4.9014 2.7081 0.3914 6.7304 5.8585 0 1983 14.4859 5.2970 2.5649 0.3914 6.1879 5.8882 0 1984 14.4452 5.4641 2.8332 0.3753 6.1330 5.6733 0 1985 14.4010 5.4916 2.7726 0.3753 6.7914 5.7492 0 1986 14.3726 5.4793 2.7726 0.3754 8.2631 6.3714 0 1987 14.3406 4.3734 2.7726 0.3971 8.4955 6.4929 0 1988 14.3085 4.6052 2.7726 0.3753 7.8788 6.3366 0 1989 14.2735 4.6722 2.7081 0.1164 8.1863 6.7726 0 1990 14.2382 4.8025 2.7081 0.1164 8.0796 6.3552 0 1991 14.1960 4.9878 2.7726 0.3931 8.0807 6.4346 0 1992 14.1564 6.2995 2.6391 0.2279 7.9366 6.2436 0 1993 14.1094 6.8222 2.6391 0.2279 8.1130 6.3053 0 1994 14.0489 6.5015 2.6391 0.2279 8.0305 6.2840 0 1995 13.9806 6.9632 2.3979 0.1396 7.9521 6.1152 0
, 1996 13.8972 7.0269 2.3026 0.0974 8.1516 6.1392 0 1997 13.8147 7.1841 1.9459 -0.0441 7.9530 5.4360 1 1998 13.7989 7.4942 1.9459 -0.0441 8.3501 5.9776 1 1999 13.7757 7.5588 1.9459 -0.0441 7.9074 5.2582 1 2000 13.7515 7.6929 1.6094 -0.5064 6.9827 4.7966 1
12 Kaltim 1976 16.7167 3.6215 4.5109 2.2433 3.8124 8.9164 0 1977 16.7154 3.7631 4.5326 2.4489 3.9654 8.9642 0 1978 16.7138 3.8144 4.5539 2.3484 4.5293 8.9621 0 1979 16.7123 3.9264 4.5539 2.3484 5.4910 8.7759 0 1980 16.7108 4.0418 4.5850 2.3935 6.1789 8.4752 0 1981 16.7084 4.1150 4.6151 2.4354 7.1934 7.3182 0 1982 16.7057 4.1962 4.6540 2.4857 7.2993 7.1680 0 1983 16.7030 4.2726 4.6540 2.4857 7.0377 7.1915 0 1984 16.7001 4.3377 4.6540 2.4857 7.0105 7.4268 0 1985 16.6989 4.4035 4.6540 2.4857 6.8238 7.1856 0 1986 16.6897 4.4991 4.6250 2.4786 8.2076 7.0635 0 1987 16.6717 4.5507 4.6250 2.4786 8.4313 7.4473 0 1988 16.6519 4.6052 4.6444 2.5057 8.0471 7.6277 0 1989 16.6305 4.6388 4.6444 2.5057 8.3657 7.4500 0 1990 16.6085 4.7020 4.6728 2.5199 8.5273 7.6214 0 1991 16.5815 4.7535 4.6634 2.5021 8.5822 7.5817 0 1992 16.5558 4.7912 4.6444 2.5803 8.6952 7.6382 0 1993 16.5245 4.8344 4.6444 2.5803 8.5615 7.4801 0 1994 16.4831 4.9221 4.6444 2.5803 8.2145 7.5858 0 1995 16.4351 4.9870 4.3944 2.4167 8.4136 7.5072 0 1996 16.4223 4.9911 4.2905 2.3632 8.3640 7.4392 0 1997 16.4079 5.5497 4.2905 2.3732 7.7974 6.9088 1 1998 16.3772 5.7221 4.2767 2.3708 8.1015 6.8841 1
- 1999 16.3424 6.1961 4.2905 2.3732 7.8630 5.8320 1 2000 16.3057 6.3303 4.2485 2.2599 7.7361 6.6359 1
120
13 Sulawesi utara 1976 14.4634 3.6215 1.6094 -2.0326 1.7324 3.1360 0 1977 14.4264 3.7631 1.9459 -0.6425 -0.1233 0.3690 0 1978 14.3879 3.8144 0.6931 -0.9188 -1.5141 3.7718 0 1979 14.3483 3.9264 0.6931 -0.9188 1.9564 4.4937 0 1980 14.3074 4.0418 0.6931 -0.9185 1.5005 3.7515 0 1981 14.2954 4.1150 1.3863 -0.7093 1.1663 3.6141 0 1982 14.2834 4.1962 1.3863 -0.7093 1.5129 1.2757 0 1983 14.2715 4.2726 1.3863 -0.7093 1.6054 0.7361 0 1984 14.2597 4.3377 1.3863 -0.7093 2.5182 1.4557 0 1985 14.2561 4.4035 1.3863 -0.7091 2.5840 1.6128 0 1986 14.2348 4.4991 1.3863 -0.7091 2.7524 2.9673 0 1987 14.2114 4.5507 1.3863 -0.7091 2.6042 2.4961 0 1988 14.1881 4.6052 1.3863 -0.7091 2.6568 2.8281 0 1989 14.1631 4.6388 0.6931 -1.2765 2.6019 3.8915 0 1990 14.1381 4.7020 1.6094 -0.6129 -0.6539 4.3800 0 1991 14.1085 4.7535 2.0794 -0.3545 -1.1520 4.4143 0 1992 14.0812 4.7912 2.0794 -0.5123 1.9353 4.2130 0 1993 14.0491 4.8344 2.0794 -0.5123 0.7812 4.0322 0 1994 14.0083 4.9221 2.0794 -0.5814 5.7518 4.6668 0 1995 13.9625 4.9870 2.1972 -0.3906 4.4865 3.9156 0 .. 1996 13.9579 5.0154 2.1972 -0.3906 -2.4540 3.2149 0 1997 13.9163 5.1021 2.1972 -0.3906 0.9994 3.7595 1 1998 13.9207 5.2019 2.1972 -0.3561 2.2297 3.0087 1 1999 13.9339 5.3150 2.1972 -0.3906 2.3462 2.3328 1 2000 13.9471 5.3963 2.0794 -0.8129 1.8181 2.2231 1
14 Sulawesi Tengah 1976 15.5145 3.6215 2.3979 -0.1222 1.5565 5.9252 0 1977 15.4957 3.7631 2.6391 0.1655 1.4729 5.9862 0 1978 15.4749 3.8144 2.6391 0.1914 0.6163 5.6275 0 1979 15.4533 3.9264 2.6391 0.1914 2.3641 5.4581 0 1980 15.4318 4.0418 2.7726 0.4855 1.2590 5.3551 0 1981 15.4035 4.1150 2.9957 0.7542 4.5664 5.3620 0 1982 15.3720 4.1962 2.9957 0.7542 5.0370 4.4187 0 1983 15.3387 4.2726 2.9957 0.7542 4.0404 3.9440 0 1984 15.3047 4.3377 2.9957 0.7543 4.0669 3.8941 0 1985 15.2878 4.4035 2.9957 0.7543 5.2964 4.1403 0 1986 15.2592 4.4991 2.9957 0.7543 5.5089 4.1824 0 1987 15.2275 4.5507 2.9957 0.7948 5.7790 3.9772 0 1988 15.1924 4.6052 2.9957 0.7948 4.5600 3.4019 0 1989 15.1542 4.6388 2.8904 0.5122 4.7140 4.8729 0 1990 15.1142 4.7020 2.8904 0.5122 3.9994 4.1364 0 1991 15.0645 4.7535 2.9957 0.6195 3.6432 4.9295 0 1992 15.0162 4.7912 3.0445 0.6768 2.9473 4.7314 0 1993 14.9561 4.8344 3.0445 0.6768 3.7467 5.3624 0 1994 14.9439 4.9222 3.0445 0.6768 4.0117 5.1710 0 1995 14.9287 4.9870 2.7726 0.5037 3.4100 4.9591 0 1996 14.9174 5.0154 2.8332 0.4949 3.4104 4.7532 0 1997 14.8777 5.1021 2.8904 0.4737 2.0440 4.6169 1 1998 14.8836 5.2019 2.7726 0.3808 2.5580 3.5455 1
- 1999 14.8894 5.3150 2.8904 0.4737 2.7720 3.7702 1 2000 14.8952 5.3963 2.5649 -0.0372 3.1875 3.2380 1
121
15 Sulawesi Sclatan 1976 15.0608 3.6215 2.0794 -0.9584 -0.6931 4.5231 0 1977 15.0457 3.7631 2.1972 -0.5569 0.2927 4.8522 0 1978 15.0385 3.8144 2.0794 -0.8359 0.439S 4.7438 0 1979 15.0141 3.9264 2.0794 -0.8359 1.8718 4.5536 0 1980 14.9978 4.0418 2.0794 -0.8359 3.9738 3.9060 0 1981 14.9725 4.1150 2.0794 -0.8358 3.6507 3.2368 0 1982 14.9454 4.1962 2.0794 -0.8358 3.6507 2.1429 0 1983 14.9230 4.2726 2.0794 -0.5924 3.7123 2.9088 0 1984 14.9006 43377 2.0794 -0.5924 4.0602 1.4697 0 1985 14.8730 4.4035 2.3026 -0.5924 3.6507 3.7098 0 1986 14.8456 4.4991 2.3026 -0.5922 4.1856 3.9208 0 1987 14.8255 4.5507 2.3026 -0.5050 4.4557 3.8449 0 1988 14.8061 4.6052 2.3979 -0.3857 2.6423 4.1976 0 1989 14.7875 4.6388 2.3979 -0.3857 2.3902 4.3222 0 1990 14.7690 4.7020 2.3979 -0.3842 2.3849 4.1695 0 1991 14.7479 4.7535 2.3979 -0.3072 2.7652 4.8295 0 1992 14.7291 4.7912 2.3979 -0.4289 2.3818 3.9902 0 1993 14.7083 4.8344 2.3979 -0.4289 1.6882 5.2321 0 1994 14.6836 4.9221 2.3979 -0.4289 6.0734 5.3422 0 1995 14.6570 4.9870 2.0794 -0.8256 5.5116 4.6883 0
r . 1996 14.6434 5.2812 2.1972 -0.7203 3.5965 4.6253 0 1997 14.5644 5.4389 2.1972 -0.7203 3.4555 4.7822 1 1998 14.6034 5.6121 2.1972 -0.7203 3.2319 4.0725 1 1999 14.6368 6.0862 2.1972 -0.7203 7.3182 4.0274 1 2000 14.6484 6.2204 1.7918 -1.0829 0.9563 3.2956 1
16 Sulawesi Tenggara 1976 14.8670 3.6282 0.0000 -1.5896 3.4047 1.9242 0 1977 14.8561 3.7697 1.0986 -1.0217 0.1823 1.9805 0 1978 14.8447 3.8210 0.0000 -1.5896 0.7285 2.0163 0 1979 14.8333 3.9331 0.0000 -1.5896 1.0770 3.2149 0 1980 14.8216 4.0485 0.0000 -1.5896 0.5188 3.7708 0 1981 14.8073 4.1217 0.6931 -1.4106 3.2189 1.1123 0 1982 14.7925 4.2038 0.6931 -1.4106 2.8679 1.9228 0 1983 14.7775 4.4271 0.6931 -1.4106 1.0986 2.0794 0 1984 14.7620 4.4888 0.6931 -1.4106 1.5594 1.8502 0 1985 14.7228 4.5250 0.6931 -1.4102 3.3109 1.2015 0 1986 14.7101 4.5531 0.6931 -1.4102 5.7885 2.7756 0 1987 14.6958 4.5801 0.6931 0.6931 6.0219 3.3711 0 1988 14.6817 4.6052 1.3863 -0.7093 5.7180 3.3347 0 1989 14.6663 4.6821 1.3863 -0.7093 5.5444 3.1229 0 1990 14.6507 4.7385 0.6931 -1.2765 5.6231 2.1833 0 1991 14.6321 4.9439 1.0986 -0.9175 5.9475 2.8960 0 1992 14.6148 5.1148 1.3863 -0.4292 5.7121 4.3984 0 1993 14.5942 5.2463 1.3863 -0.4292 5.5896 3.4808 0 1994 14.5678 5.2869 1.3863 -0.4292 5.7040 4.0508 0 1995 14.5382 5.3152 1.3863 -0.4291 5.7233 4.3055 0 1996 14.5093 5.3484 1.3863 -0.4291 5.7312 3.0390 0 1997 14.4964 5.4029 1.0986 -0.7103 5.7533 3.2436 1 1998 14.4560 5.4315 1.0986 -0.7470 5.7475 3.5645 1
- 1999 14.3938 5.4880 1.0986 -0.7103 5.0726 4.7152 1 2000 14.3261 5.6222 0.6931 -0.8771 -1.4602 0.1292 1
122
17 Nusa Tenggara Barat 1976 13.3542 3.7794 0.0000 -3.9120 -2.3860 4.2372 0 1977 13.3695 3.9210 0.0000 -3.9120 0.1823 4.2440 0 1978 13.3848 3.9723 0.0000 -3.9120 0.6678 3.9703 0 1979 13.3999 4.0843 0.0000 -3.9120 1.0913 3.8820 0 1980 13.4147 4.1997 0.0000 -3.8632 0.1151 3.2874 0 1981 13.4374 4.2729 0.0000 -3.8632 2.0541 2.4298 0 1982 13.4597 4.3550 0.0000 -3.8632 3.4657 1.6927 0 1983 13.4813 4.1832 0.0000 -3.8632 2.5055 2.1086 0 1984 13.5023 4.8763 0.0000 -3.8632 2.7272 2.1246 0 1985 13.5118 4.2038 0.6931 -3.5066 3.1946 2.4488 0 1986 13.5274 4.4063 0.6931 -3.5066 3.9614 2.6682 0 1987 13.5442 4.5886 0.6931 -3.5066 4.2315 2.6540 0 1988 13.5599 4.6052 0.6931 -3.5066 3.1202 2.2281 0 1989 13.5763 4.6541 0.6931 -3.5066 2.3676 2.4937 0 1990 13.5921 4.6763 0.6931 -2.4024 2.6918 1.9610 0 1991 13.6101 4.6950 0.6931 -2.5195 2.8677 2.4495 0 1992 13.6260 4.7054 0.6931 -2.5195 3.2769 2.7493 0 1993 13.6439 4.9978 0.6931 -2.5195 2.8569 3.3061 0 1994 13.6491 5.1718 0.6931 -2.5195 2.7736 3.4561 0 1995 13.6901 5.1795 0.6931 -2.5194 6.0656 3.9397 0 - 1996 13.6963 5.1870 0.6931 -2.5194 3.2668 2.7965 0 1997 13.7026 5.1948 0.6931 -2.5194 3.4078 2.8628 1 1998 13.7157 5.2536 0.6931 -2.5194 3.2011 2.4419 1 1999 13.7304 5.9207 0.6931 -2.5194 2.6787 0.7337 1 2000 13.7451 5.9956 0.0000 -3.4562 2.7697 2.4189 1
18 Maluku 1976 15.7478 3.6215 2.3026 -0.4976 2.4674 6.5235 0 1977 15.7433 3.7631 2.3026 0.5794 1.2036 6.7204 0 1978 15.7388 3.8144 2.6391 0.3716 1.4974 6.6699 0 1979 15.7341 3.9264 2.6391 0.3716 3.3520 6.7972 0 1980 15.7293 4.0418 2.8332 0.5625 6.0744 6.6973 0 1981 15.7169 4.1150 2.9957 0.7056 6.0669 6.3298 0 1982 15.7045 4.1962 3.0445 0.7655 6.4287 5.6719 0 1983 15.6916 4.2726 3.0445 0.7655 6.0694 5.7375 0 1984 15.6782 4.3377 3.0910 0.8154 6.1269 5.6583 0 1985 15.6637 4.4035 3.0910 0.8154 6.1144 5.6354 0 1986 15.6541 4.4991 3.2189 0.9486 6.8339 5.7041 0 1987 15.6440 4.5507 3.2189 0.9486 7.0567 5.9148 0 1988 15.6339 4.6052 3.3322 1.0506 7.1193 6.3570 0 1989 15.6234 4.6388 3.4340 1.1433 7.2192 6.3268 0 1990 15.6130 4.7020 3.4965 1.2021 7.4357 5.9817 0 1991 15.6010 4.7535 3.5835 1.2827 7.5841 6.3333 0 1992 15.5901 4.7912 3.6376 1.2607 7.4079 6.4886 0 1993 15.5776 4.8344 3.6376 1.2607 7.6212 6.4394 0 1994 15.5619 4.9222 3.6376 1.2607 7.5968 6.3663 0 1995 15.5445 4.9870 3.5264 1.1259 7.4740 6.2757 0 1996 15.5324 4.9923 3.5264 1.1259 7.6853 6.2690 0 1997 15.5272 5.3374 3.5553 1.2026 7.1138 5.5387 1 1998 15.4344 5.5114 3.5553 1.1680 6.9893 5.1317 1 . 1999 15.3221 5.9856 3.5553 1.2026 4.9293 3.7554 1 2000 15.1931 6.1198 3.3673 0.8601 4.1138 2.9153 1
123
19 Papua 1976 17.4009 3.6215 1.0986 -0.2904 2.9628 3.5714 0 19n 17.3988 3.7631 1.3863 -0.2904 3.4759 4.0374 0 1978 17.3966 3.8144 1.3863 -0.2904 3.2693 4.4903 0 1979 17.3943 3.9264 1.3863 -0.2904 3.5821 4.9811 0 1980 17.3922 4.0418 2.0794 0.5850 5.3933 5.8360 0 1981 17.3890 4.1150 2.0794 0.5850 5.2756 5.8638 0 1982 17.3857 4.1962 2.4849 1.0339 5.3730 4.m4 0 1983 17.3824 4.2726 2.4849 1.0339 5.1516 4.2038 0 1984 17.3791 4.33n 2.4849 1.0339 5.1516 4.2629 0 1985 17.3697 4.4035 2.4849 1.0339 5.3723 4.2126 0 1986 17.3675 4.4991 2.7081 1.2856 3.8861 3.7923 0 1987 17.3653 4.5507 2.7081 1.2856 4.1563 4.6486 0 1988 17.3628 4.6052 2.9957 1.5049 1.6930 4.3657 0 1989 17.3603 4.6388 3.1781 1.6511 4.4719 5.0754 0 1990 17.3578 4.7020 3.2958 1.7466 6.6247 5.0280 0 1991 17.3548 4.7535 3.4657 1.9n7 6.8022 5.6n1 0 1992 17.3521 4.7912 3.6636 2.2189 7.1454 6.1268 0 1993 17.3490 4.8344 3.6636 2.2189 7.5713 6.3199 0 1994 17.3451 4.9221 3.6636 2.2189 6.4790 6.4367 0 1995 17.3408 4.9870 3.8918 2.3995 6.0936 6.3837 0 .. 1996 17.3309 5.0154 3.8918 2.4182 6.6250 6.6608 0 1997 17.3285 5.1021 3.9318 2.4495 7.3679 6.1029 1 1998 17.2988 5.2019 3.9512 2.4567 6.6832 5.8088 1 1999 17.2701 5.3150 3.9318 2.4495 6.4308 5.4654 1 2000 17.2399 5.3963 3.9318 2.3866 7.9638 5.9020 1
124
No PrOpinsi Tahun lnForC ln psi1Wft lnpkopi ln p/(;lret In pop lngdppc ln pangan Oummy Krisis
1 Aceh 1976 15.2247 3.4340 3.5104 4.0934 14.6506 1.6705 13.0033 0 1977 15.2204 3.4658 3.5573 4.1040 14.6867 1.9630 13.1658 0 1978 15.2158 3.5836 3.5198 4.1163 14.7172 2.2518 13.1235 0 1979 15.2112 3.6376 3.7675 4.1378 14.7466 3.1366 13.3639 0 1980 15.2066 3.7613 3.8185 4.1751 14.7752 3.7356 13.4141 0 1981 15.1999 3.8287 3.9187 4.2279 14.8062 3.9138 13.6385 0 1982 15.1929 3.8713 1.1363 4.2821 11.8334 4.0311 13.6788 0 1983 15.1858 1.0776 4.2554 4.2831 14.8604 4.3168 13.7648 0 1984 15.1767 4.3041 4.2805 4.5068 14.8874 4.5134 13.7343 0 1965 15.1719 4.4660 't.3270 4.3636 14.9084 4.3190 13.7257 0 1986 15.1668 4.477't 4.3066 't.4530 14.9369 4.4955 13.8705 0 1987 15.1611 4.4887 4.6942 4.5363 14.9645 4.4671 13.8234 0 1988 15.1555 4.6052 4.6052 4.6052 14.9909 4.6052 13.8828 0 1989 15.1495 't.6635 4.6733 4.6674 15.0166 4.6668 13.9743 0 1990 15.1436 4.7005 4.5915 4.7214 15.0414 4.7175 14.0160 0 1991 15.1366 4.8752 4.5118 4.8122 15.0654 4.7889 14.0391 0 1992 15.1302 4.9345 4.4465 5.3564 15.0887 4.8751 14.1124 0 1993 15.1229 4.9837 4.ms 5.7289 15.1113 4.9691 14.1072 0 1994 15.1091 5.2883 4.8733 5.9261 15.1438 5.0810 14.1216 0 ... 1995 15.1040 5.3707 5.2895 6.1716 15.1546 5.1705 14.1612 0 1996 15.1020 5.4381 S.0249 5.9658 15.1623 5.2808 14.1972 0 1997 15.0998 5.4554 5.1093 5.9840 15.1694 5.4259 14.1813 1 1998 15.0192 5.7604 5.7936 6.5627 15.1743 5.8224 14.2554 1 1999 14.9341 5.9399 5.8730 6.5081 15.1791 5.8842 14.2558 1 2000 14.8392 6.0551 5.8055 6.5390 15.1839 5.9541 14.1810 1
2 Sumatera Utara 1976 15.0522 3.4339 3.4041 3.5144 15.8460 2.9474 14.1201 0 1977 15.0383 3.4657 3.4500 3.5547 15.8732 2.9876 14.2516 0 1978 15.0241 3.5835 3.4125 3.6057 15.8956 3.0303 14.2703 0 1979 15.0094 3.6375 3.5678 3.6297 15.9176 3.2965 14.2060 0 1980 14.9946 3.7611 3.6566 3.6547 15.9391 3.6080 14.3148 0 1961 14.9683 3.8286 3.6701 3.6968 15.9670 3.7097 14.3584 0 1982 14.9416 3.8711 3.7211 3.7004 15.9907 3.7889 14.4577 0 1983 14.9138 4.0775 3.8443 3.7864 16.0145 3.9248 14.4625 0 1984 14.8854 4.3040 3.9106 4.0350 16.0382 4.0629 14.5514 0 1985 14.8494 4.4659 3.9207 4.2807 16.0621 4.1470 14.6218 0 1986 1'1.8195 4.4773 4.4300 4.4396 16.0854 4.2223 14.5935 0 1987 14.7853 4.4886 4.7292 4.6100 16.1082 4.4209 14.7156 0 1988 14.7517 4.6052 4.6052 4.6052 16.1296 4.6052 14.7899 0 1989 14.7143 4.6634 4.4223 4.7794 16.1506 4.7499 14.8247 0 1990 14.6763 4.7004 4.3692 4.6958 16.1706 4.8744 14.8477 0 1991 14.6546 4.8751 4.2824 4.8118 16.1802 4.9731 14.8982 0 1992 14.6107 4.9344 4.1917 4.7190 16.2001 5.1787 14.9653 0 1993 14.5939 4.9836 4.4671 4.8243 16.2063 5.3478 14.9754 0 1994 14.5756 5.2882 4.7703 4.9434 16.2117 5.5062 15.0369 0 1995 14.5178 5.3706 4.7518 S.3533 16.2265 5.6210 15.0700 0 1996 14.4791 5.4380 4.8826 5.3592 16.2446 5.7367 15.0784 0 1997 14.4530 5.4553 4.7909 5.3560 16.2536 5.8646 15.1162 1 1998 14.3578 5.7889 5.4257 5.6448 16.2626 6.3300 15.1586 1 1999 14.3212 5.8857 5.5906 5.6260 16.2658 6.5188 15.2194 1 2000 14.2697 5.6705 5.5834 6.2142 16.2701 6.5782 15.2461 1
Lampiran 2. Data Penutupan Hutan, harga produsen kelapa sawit, karet, kopi, populasi penduduk,. PDRB per kapita, hasil pangan dan dummy krisis di 19 Propinsi tahun 1976 - 2000
125
3 Sumatera Barat 1976 14.9385 3.4339 3.4061 3.9170 14.9396 2.8644 13.7886 0 1977 14.9219 3.4657 3.5063 3.9867 14.9696 2.8889 13.8105 0 1978 14.9050 3.5835 3.5573 4.0296 14.9942 2.9129 13.8621 0 1979 14.8879 3.6375 3.5731 4.0614 15.0179 3.1231 13.8013 0 1980 14.8701 3.7612 3.5866 4.0981 15.0413 3.3830 13.8713 0 1981 14.8455 3.8286 3.6376 4.1566 15.0652 3.6299 13.8521 0 1982 14.8207 3.8712 3.7378 4.1586 15.0854 3.8086 13.9475 0 1983 14.7956 4.0775 3.9063 4.3791 15.1053 3.9584 14.0817 0 1984 14.7695 4.3040 4.0841 4.4450 15.1255 4.1779 14.1278 0 1985 14.7673 4.4659 4.0381 4.3232 15.1269 4.1932 14.1464 0 1986 14.7430 4.4m 4.6771 4.1799 15.1411 4.3110 14.1814 0 1987 14.7170 4.4886 4.6540 4.4655 15.1542 4.4712 14.2067 0 1988 14.6925 4.6052 4.6052 4.6052 15.1663 4.6052 14.2477 0 1989 14.6667 4.6634 4.7740 4.5591 15.1m 4.7182 14.2919 0 1990 14.6415 4.7004 4.6929 5.n47 15.1886 4.8280 14.3299 0 1991 14.6124 4.8752 4.6969 5.6711 15.1988 4.9385 14.3654 0 1992 14.5868 1.9344 4.6888 5.7434 15.2083 5.0554 14.3991 0 1993 14.5577 4.9836 4.8136 5.7989 15.2173 5.1355 11.4222 0 1994 14.5335 5.2882 4.7123 5.8873 15.2231 5.5475 14.3942 0 1995 11.5149 5.3706 5.1115 5.7462 15.2270 5.6499 14.4453 0 1996 14.5002 5.4380 4.6m 5.7548 15.2330 5.7928 14.5209 0 1997 14.4803 5.4553 4.7105 6.0916 15.2392 5.9008 14.4224 1 1998 14.4470 6.1251 5.2140 6.2001 15.2170 6.1571 14.4432 1 - 1999 14.4165 5.9544 5.5426 6.1238 15.2542 6.6025 14.4874 1 2000 14.3799 5.n48 5.5522 6.6549 15.2622 6.6795 14.4118 1
4 Riau 1976 15.7061 3.4340 3.4689 3.5689 14.4178 3.3680 12.2504 0 1977 15.6970 3.1658 3.4847 3.6608 14.4683 3.4249 12.3969 0 1978 15.6876 3.5836 3.6400 3.6846 14.5103 3.4788 12.3528 0 1979 15.6779 3.6376 3.6535 3.7320 14.5508 3.8876 12.2894 0 1980 15.6682 3.7612 3.7423 3.7664 14.5893 4.4460 12.4264 0 1981 15.6569 3.8287 3.7933 3.8102 14.6223 4.5534 12.5234 0 1982 15.6451 3.8712 3.8935 3.9637 14.6512 4.4022 12.6545 0 1983 15.6331 4.0776 4.0274 3.9802 14.6801 4.6431 12.7859 0 1984 15.6209 4.3041 4.1088 4.0253 14.7087 4.6261 12.7329 0 1985 15.5966 4.4659 4.1176 4.4963 14.7545 4.5203 10.9035 0 1986 15.5908 4.4774 4.4m 4.3328 14.7862 4.4919 12.8658 0 1987 15.5846 4.4887 4.6933 4.7149 14.8160 4.6694 12.5974 0 1988 15.5781 4.6052 4.6052 4.6052 14.8460 4.6052 12.9424 0 1989 15.5713 4.6635 4.4749 4.6388 14.8743 4.7675 12.8685 0 1990 15.5645 4.7005 4.3877 4.4239 11.9020 4.8054 12.9998 0 1991 15.5362 4.8752 4.7040 4.5035 14.9926 4.9765 13.0316 0 1992 15.5079 1.9345 4.6717 4.5137 15.0805 4.9890 13.1218 0 1993 15.4939 4.9836 4.6192 4.5240 15.1151 5.0594 13.0346 0 1994 15.4758 5.2883 4.8945 4.5345 15.1491 5.0706 13.0787 0 1995 15.4554 5.3707 4.9116 4.9149 15.1828 5.1926 13.0820 0 1996 15.4444 5.4381 4.7535 5.1735 15.2160 5.2782 13.1239 0 1997 15.4392 5.4554 4.7187 5.4019 15.2280 5.3581 13.0201 1 1998 15.2291 5.6257 5.2490 6.0332 15.2502 5.7611 12.9277 1 1999 15.0245 5.8034 5.8396 5.9309 15.2679 5.8493 13.1576 1 2000 14.7616 5.4313 5.7799 5.9274 15.2852 5.8977 13.0812 1
126
5 Jambi 1976 15.1044 3.4340 3.5821 3.2748 13.9991 3.1447 12.7450 0 1977 15.0851 3.4657 3.6823 3.3254 14.0524 3.2125 12.8163 0 1978 15.0639 3.5835 3.7712 3.3560 14.0984 3.2681 12.8588 0 1979 15.0421 3.6376 3.7870 3.3999 14.1423 3.6499 12.7989 0 1980 15.0196 3.7612 3.6005 3.4159 14.1843 3.7614 12.8775 0 1981 14.9885 3.8286 3.8515 3.5820 14.2262 3.7873 12.8951 0 1982 14.9538 3.8712 3.9517 3.6312 14.2643 3.8485 12.9683 0 1983 14.9173 4.0775 4.0174 3.7672 14.3022 3.9739 13.0125 0 1984 14.8788 4.3041 4.0536 4.1573 14.3402 4.0988 13.0367 0 1985 14.8328 4.4659 4.2424 3.9769 14.3756 4.2883 13.0688 0 1986 14.7938 4.4m 4.5196 4.1142 14.4136 4.3387 13.0650 0 1987 11.7502 4.1886 1.6821 1.5800 11.4490 4.1719 13.0707 0 1988 14.6805 4.6052 4.6052 4.6052 14.5007 4.6052 13.1679 0 1989 14.6503 4.6634 4.9670 4.6567 14.5199 4.7746 13.1244 o 1990 11.5937 1.7005 4.9817 4.9999 14.5537 4.8816 13.2308 o 1991 14.5219 4.8752 5.0101 5.0252 14.5868 4.9718 13.2099 0 1992 14.3965 4.9345 5.0360 5.0473 14.6416 5.0596 13.3047 0 1993 14.3693 4.9836 5.0360 5.0807 14.6508 5.4198 13.3338 0 1994 14.3623 5.2883 5.0360 5.2137 11.6526 5.4847 13.2640 0 1995 14.3371 5.3706 5.3216 5.2859 14.6586 5.6240 13.3175 0 1996 14.3036 5.4381 5.5212 5.3768 14.6736 5.7509 13.4233 0 1997 14.2874 5.4553 5.5212 5.4239 14.6790 5.8618 13.2879 1 1998 14.1051 5.6849 5.7709 5.5835 14.6841 6.3292 13.2718 1
, 1999 13.8936 5.7562 5.7692 5.7130 14.6890 6.4589 13.2780 1 2000 13.6193 5.6332 5.3835 6.0415 11.6939 6.5978 13.2386 1
6 Sumatera Selatan 1976 15.1995 3.4340 3.4125 3.3546 15.1983 3.0326 13.4911 0 1977 15.1703 3.1657 3.4260 3.5160 15.2115 3.0508 13.5784 o 1978 15.4384 3.5835 3.8297 3.6906 15.2784 3.1142 13.5997 0 1979 15.4052 3.6376 3.9326 3.7836 15.3140 3.5996 13.6577 0 1980 15.3710 3.7612 3.8449 3.8206 15.3481 3.8164 13.6849 0 1981 15.3222 3.8286 3.9338 3.8562 15.3828 3.9342 13.7637 0 1982 15.2681 3.8712 3.9473 3.9974 15.4137 3.9609 13.7918 0 1983 15.2103 4.0775 4.1546 3.9763 15.4448 4.0578 13.9551 0 1984 15.1490 4.3041 4.2623 3.8400 15.4755 4.1720 13.9256 0 1985 15.0859 4.4659 4.3813 3.8287 15.4999 4.3931 13.9693 0 1986 15.0193 4.1m 4.9320 4.0692 15.5313 4.3742 14.0352 0 1987 14.9423 4.4886 4.7607 4.2640 15.5609 4.5256 14.0417 0 1988 14.8426 4.6052 4.6052 4.6052 15.5953 4.6052 14.1024 0 1989 14.7581 4.6634 4.3627 4.6240 15.6193 4.7411 14.1352 0 1990 14.6489 4.7005 4.3677 4.6320 15.6470 4.7912 14.1756 0 1991 14.5032 4.8752 4.5287 4.6551 15.6740 4.8927 14.0528 0 1992 14.2305 4.9345 4.7023 4.7535 15.7173 4.9845 14.2877 0 1993 14.1539 4.9636 4.7479 4.7490 15.7258 4.9908 14.1923 0 1994 14.1232 5.2883 4.7999 4.8535 15.7284 5.1002 14.1404 0 1995 11.0866 5.3706 5.0666 5.3647 15.7311 5.2636 14.3106 0 1996 14.0637 5.4381 5.0260 5.3211 15.7343 5.3954 14.3761 0 1997 14.0372 5.4553 5.0916 5.2297 15.7372 5.0736 14.3378 1 1998 13.9658 5.6410 6.1836 5.7594 15.7414 6.0518 14.5269 1 1999 13.9175 6.0177 6.1103 5.5396 15.7441 6.1246 14.4605 1 2000 13.8658 6.0918 5.6959 5.3475 15.7469 7.0036 14.4875 1
127
7 Bengkulu 1976 14.0783 3.4340 2.5094 3.8658 13.3483 2.7341 11.9009 0 1977 14.0676 3.4657 2.5623 3.9132 13.4071 2.7604 12.0706 0 1978 14.0559 3.5835 2.6166 3.9434 13.4577 2.8039 12.0446 0 1979 14.0442 3.6376 2.6920 3.9985 13.5052 3.1141 11.6485 0 1980 14.0320 3.7612 2.8376 4.0255 13.5515 3.3507 12.0753 0 1981 14.0155 3.8286 2.9865 4.0661 13.5967 3.4791 12.0594 0 1982 13.9974 3.8712 3.0023 4.1174 13.6379 3.6574 12.2990 0 1983 13.9788 4.0775 3.4617 4.2945 13.6785 3.8678 12.4558 0 1984 13.9590 4.3041 3.6656 4.5339 13.7201 3.9840 12.4421 0 1985 13.9347 4.4659 3.6910 4.5497 13.7606 4.1691 12.4486 0 1986 13.9229 4.4m 4.5411 4.5817 13.8028 4.3453 12.5340 0 1987 13.9099 4.4886 4.6052 4.6052 13.6428 4.4761 12.5011 0 1988 13.8958 4.6052 4.6052 4.6052 13.8642 4.6052 12.5679 0 1989 13.8699 4.6634 4.3477 4.6052 13.9502 4.6525 12.5286 0 1990 13.8649 4.7005 4.3059 5.3984 13.9624 4.7608 12.5980 0 1991 13.6458 4.8752 4.3194 5.4697 14.0004 4.8744 12.7520 0 1992 13.8277 4.9345 4.3706 5.6119 14.0376 5.1999 12.8543 0 1993 13.8059 4.9836 4.3957 5.6420 14.0741 5.3215 12.8820 0 1994 13.7623 5.2883 4.4602 5.9746 14.1282 5.4143 12.8118 0 1995 13.7460 5.3706 4.4602 6.0424 14.1456 5.5325 12.9705 0 1996 13.7200 5.4381 4.5820 6.1059 14.1968 5.5900 13.0190 0 1997 13.7100 5.4553 4.9227 6.1656 14.2115 5.6423 13.0018 1 1998 13.7055 5.8527 5.3520 6.1813 14.2319 6.1130 12.9936 1
r 1999 13.7028 6.1430 5.4635 5.9426 14.2489 6.2084 12.9871 1 2000 13.7001 5.8916 5.0908 6.0022 14.2628 6.1920 12.9230 1
8 L.ampung 1976 13.6794 3.4340 3.0239 3.7098 15.0579 3.3036 13.2052 0 1977 13.6619 3.4657 3.0397 3.7365 15.1258 3.3093 13.3071 0 1978 13.6313 3.5835 3.0685 3.7625 15.2156 3.3174 13.3747 0 1979 13.6053 3.6376 3.1414 3.7939 15.2836 3.3744 13.4189 0 1980 13.5787 3.7612 3.2442 3.6408 15.3470 3.5508 13.5332 0 1981 13.5439 3.8286 3.3931 3.8769 15.4051 3.5747 13.6781 0 1982 13.5030 3.8712 3.4089 3.9228 15.4595 3.6199 13.7641 0 1983 13.4590 4.0775 3.6304 4.1592 15.5139 3.m2 13.9034 0 1984 13.4116 4.3041 3.7897 4.4431 15.5680 3.8632 14.0300 0 1985 13.3813 4.4659 3.8959 4.3915 15.5950 4.0622 14.0776 0 1986 13.2489 Mm 4.9598 4.4774 15.6464 4.3118 14.1m 0 1987 13.2408 4.4886 4.6478 4.4333 15.6490 4.4741 14.2773 0 1988 13.2234 4.6052 4.6052 4.6052 15.6545 4.6052 14.3205 0 1989 13.2040 4.6634 4.6024 4.5913 15.6600 4.7025 14.3715 0 1990 13.1699 4.7005 4.6132 4.5021 15.6696 4.7920 14.4248 0 1991 13.1452 4.8752 4.6559 4.5822 15.6753 4.8930 14.3712 0 1992 13.1151 4.9345 4.6586 4.6364 15.6826 4.9633 14.6073 0 1993 13.0770 4.9836 4.7239 i.6911 15.6902 5.3464 14.6157 0 1994 12.9665 5.2883 4.9501 4.7110 15.7065 5.4121 14.5943 0 1995 12.8999 5.3706 5.2220 4.8096 15.7147 5.5980 14.6404 0 1996 12.8561 5.4381 5.0614 4.8059 15.7245 5.7222 14.8837 0 1997 12.7975 5.4553 4.9364 5.6018 15.7341 5.6403 14.8573 1 1998 12.8607 5.7523 4.9973 5.8917 15.7414 6.4535 14.9429 1 1999 12.9646 5.6899 5.8049 5.8018 15.7546 6.6001 14.9067 1 2000 12.9968 5.5772 5.5559 5.9757 15.7588 6.6429 14.9370 1
128
9 Kalbar 1976 16.1403 3.4340 2.9401 3.2477 14.6439 2.6429 12.9579 0 1977 16.1305 3.4657 2.9630 3.3012 14.6679 2.8430 13.0750 0 1978 16.1205 3.5835 2.9564 3.3305 14.6877 2.9073 13.1009 0 1979 16.1104 3.6376 3.0292 3.3701 14.7070 3.1133 13.1880 0 1960 16.1000 3.7612 3.2428 3.5518 14.n62 3.4253 13.2235 0 1981 16.0818 3.8287 3.3884 3.5937 14.7511 3.5244 13.3392 0 1982 16.0634 3.8712 3.4912 3.7110 14.m2 3.6162 13.3666 0 1983 16.0450 4.0776 3.6426 3.6186 14.7931 3.7758 13.3668 0 1984 16.0258 4.3041 3.7686 3.8202 14.8143 3.9149 13.2992 0 1985 15.9789 4.4659 3.7750 3.8606 14.8556 4.0509 13.2957 0 1986 15.9643 4.4m 4.2938 3.9046 14.8835 4.2150 13.3625 0 1987 15.9488 4.4886 4.5847 4.2898 14.9091 4.3743 13.3419 0 1988 15.9315 4.6052 4.6052 4.6052 14.9367 4.6052 13.39n 0 1989 15.9135 4.6635 4.4711 4.5241 14.9623 4.6854 13.4784 0 1990 15.8953 4.7005 4.3193 4.4585 14.9873 4.8217 13.4218 0 1991 15.8735 4.8752 4.5705 4.4526 15.0117 4.9602 13.4539 0 1992 15.8532 4.9345 4.7194 4.4674 15.0355 5.1623 13.5133 0 1993 15.8290 4.9836 4.8166 4.5940 15.0587 5.5678 13.5855 0 1994 15.7881 5.2883 1.9764 1.7547 15.0884 5.5107 13.5742 0 1995 15.7638 5.3707 5.0750 1.7908 15.1039 5.6536 13.65n 0 1996 15.7394 5.4381 5.0985 4.8221 15.1325 5.8020 13.6830 0 1997 15.7196 5.1553 5.1850 4.8n8 15.1499 5.9756 13.6764 1 1998 15.7195 5.9757 5.2834 5.4085 15.1689 6.3669 13.6648 1 .. 1999 15.7195 5.9589 5.1158 5.6270 15.1875 6.4600 13.8230 1 2000 15.7194 5.9682 5.8640 5.5624 15.2058 6.4704 13.7481 1
10 Kalteng 1976 16.4478 3.4339 2.8835 3.9193 13.6376 2.4492 12.1115 0 1977 16.4354 3.4657 2.9033 3.9591 13.6755 2.9605 12.1741 0 1978 16.4221 3.5835 2.9218 4.0102 13.7077 3.0229 12.1861 0 1979 16.4085 3.6375 2.9655 4.1949 13.7393 3.49n 12.2376 0 1980 16.3953 3.7612 3.1500 4.3187 13.7684 3.8224 12.2508 0 1981 16.3n8 3.8286 3.2970 4.3368 13.8047 3.9138 12.3145 0 1982 16.3487 3.8712 3.3634 4.3550 13.8367 3.9676 12.3311 0 1983 16.3235 4.0775 3.5426 4.3550 13.8691 4.0346 12.3033 0 1984 16.2987 4.3040 3.7110 4.4103 13.8999 4.1399 12.2742 0 1985 16.2678 4.4659 3.7633 4.4588 13.9305 4.2132 12.3374 0 1986 16.2538 4.4m 4.2460 4.5014 13.9639 4.3279 12.3744 0 1987 16.2387 4.4886 4.5466 4.5493 13.9950 4.4593 12.3965 0 1988 16.2224 4.6052 4.6052 4.6052 11.02n 4.6052 12.4196 0 1989 16.2051 4.6634 4.4786 4.6341 14.0576 4.6939 12.5275 0 1990 16.1874 4.7004 4.7080 4.8114 14.0876 4.8006 12.6115 0 1991 16.1661 1.8751 4.6587 4.9036 14.1169 4.9208 12.6299 0 1992 16.1460 4.9344 1.8930 1.3144 11.1156 5.1117 12.6866 0 1993 16.1218 1.9836 5.1114 4.2818 11.1737 5.6419 12.6653 0 1994 16.0903 5.2882 5.3392 4.9808 14.2016 5.6431 12.8158 0 1995 16.0542 5.3706 5.5239 5.3034 14.2293 5.7870 12.8612 0 1996 15.9716 5.4380 5.6568 5.6265 14.3378 5.9422 12.9142 0 1997 15.9607 5.4553 5.8184 5.8399 14.3478 6.0655 12.8651 1 1998 15.9823 6.0685 5.8369 5.8152 14.3676 6.4143 12.5644 1 1999 16.0179 5.7926 5.8521 6.2052 14.4010 6.4906 12.6705 1 2000 16.0529 5.9586 6.0449 6.2642 14.4334 6.5617 12.8263 1
129
11 Kalsel 1976 14.6947 3.4340 3.1919 3.8420 14.4458 2.8259 13.4164 0 1977 14.6717 3.4657 3.2649 3.8491 14.4736 2.8567 13.4816 0 1978 14.6480 3.5835 3.3312 3.8675 14.4965 2.9142 13.5107 0 1979 14.6239 3.6376 3.3623 3.8893 14.5186 3.1926 13.5106 0 1980 14.5986 3.7612 3.4273 3.9214 14.5406 3.4059 13.5126 0 1981 14.5619 3.8286 3.5137 3.9642 14.5640 3.6311 13.5804 0 1982 14.5243 3.8712 3.6011 4.0838 14.5836 3.7819 13.5169 0 1983 14.4859 4.0775 4.0769 4.1269 14.6031 4.0012 13.5466 0 1984 14.4452 4.3041 4.2464 4.1774 14.6229 4.1141 13.6582 0 1985 14.4010 4.4659 4.3024 4.2355 14.6400 4.2584 13.6895 0 1986 14.3726 4.4m 4.4307 4.2973 14.6603 4.3151 13.6862 0 1987 14.3406 4.4886 4.4750 4.4478 14.6800 4.4665 13.6832 0 1988 14.3085 4.6052 4.6052 4.6052 14.6989 4.6052 13.7450 0 1989 14.2735 4.6634 4.5081 4.7179 14.7172 4.7531 13.7519 0 1990 14.23$2 4.7005 4.4743 4.7565 14.7348 4.8593 13.8146 0 1991 14.1960 4.8752 4.5338 4.7737 14.7518 4.9887 13.8631 0 1992 14.1564 4.9345 4.4386 4.6982 14.7682 5.0725 13.9979 0 1993 14.1094 4.9836 4.4819 4.7040 14.7839 5.4923 13.9612 0 1994 14.0489 5.2883 4.6578 4.6140 14.7991 5.5906 13.9481 0 1995 13.9806 5.3706 5.1023 4.6188 14.8138 5.7177 14.0034 0 1996 13.8972 5.4381 5.2609 4.7582 14.8452 5.8659 14.0326 0 1997 13.8147 5.4553 5.2615 5.3260 14.8669 5.9499 14.0221 1 1998 13.7989 5.4435 5.2737 5.7090 14.8776 6.4040 13.8967 1
, 1999 13.7757 6.3110 5.2875 5.7145 14.8933 6.5729 14.1629 1 2000 13.7515 6.3926 5.1608 5.8103 14.9088 6.6475 14.1299 1
12 Kaltim 1976 16.7167 3.4340 3.2842 3.4206 13.7822 3.3994 11.7372 0 1977 16.7154 3.4658 3.3432 3.4362 13.8481 3.4153 11.8289 0 1978 16.7138 3.5836 3.3555 3.4588 13.9061 3.4256 11.8474 0 1979 16.7123 3.6376 3.5024 3.5018 13.9610 3.6006 11.7409 0 1980 16.7108 3.7612 3.5595 3.5303 14.0127 4.1280 11.8598 0 1981 16.7084 3.8287 3.6537 3.5864 14.0707 4.1617 12.1144 0 1982 16.7057 3.8712 3.8162 3.7393 14.1251 4.0884 12.1481 0 1983 16.7030 4.0776 3.8851 3.9344 14.1795 4.1184 11.5742 0 1984 16.7001 4.3041 4.0378 3.9690 14.2336 4.3953 11.9032 0 1985 16.6989 4.4659 4.0753 3.9922 14.2519 4.4508 12.0390 0 1986 16.6897 4.4774 4.3652 4.0178 14.2758 4.3268 12.0829 0 1987 16.6717 4.4887 4.5309 3.8725 14.3163 4.5548 12.2632 0 1988 16.6519 4.6052 4.6052 4.6052 14.3587 4.6052 12.2745 0 1989 16.6305 4.6635 4.4899 4.5630 14.3986 4.6698 12.3133 0 1990 16.6085 4.7005 4.4004 4.5934 14.4377 4.8170 12.3874 0 1991 16.5815 4.8752 4.9740 4.6302 14.4760 4.9093 12.4543 0 1992 16.5558 4.9345 4.9441 4.8572 14.5134 4.9420 12.4026 0 1993 16.5245 4.9836 4.9575 5.0061 14.5501 5.2173 12.4943 0 1994 16.4831 5.2883 5.0160 5.1404 14.5863 5.2332 12.6771 0 1995 16.4351 5.3707 5.1961 5.3200 14.6220 5.3181 12.8380 0 1996 16.4223 5.4381 5.2721 5.4678 14.6394 5.3874 12.9475 0 1997 16.4079 5.4554 5.2724 5.5944 14.6543 5.4835 12.9509 l 1998 t6.3m 6.1126 5.2978 5.6860 14.6725 6.1722 12.1117 1 1999 16.3424 6.1973 5.1893 5.7793 14.6927 6.2264 12.9562 I 2000 16.3057 6.2510 5.2321 5.9029 14.7124 6.4843 12.9379 1
130
13 Sulawesi Utara 1976 14.4634 3.4339 2.6497 4.0495 13.8828 3.1916 12.2917 0 1977 14.4264 3.4657 2.8279 4.0553 14.1298 3.3538 12.2566 0 1978 14.3879 3.5835 2.9557 4.0752 14.2991 3.3817 12.5266 0 1979 14.3483 3.6375 3.0722 4.0642 14.4416 3.6929 12.4097 0 1980 14.3074 3.7612 J.2n7 4.0946 14.5646 3.9900 12.4931 0 1981 14.2954 3.8286 3.4359 4.1129 14.5897 4.0432 12.4567 0 1982 14.2834 3.8712 3.5107 4.1445 14.6109 4.2092 12.7239 0 1983 14.2715 4.0775 3.8484 4.1913 14.6318 4.2228 12.9043 0 1984 14.2597 4.3040 3.9468 4.2206 14.6523 4.3065 12.8672 0 1985 14.2561 4.4659 3.9922 4.2357 14.6574 4.3096 12.9261 0 1986 14.2348 4.4m 4.2879 4.4267 14.6743 4.3723 13.0965 0 1987 14.2114 4.4886 4.5403 4.5359 14.6904 4.5082 13.0728 0 1988 14.1881 4.6052 4.6052 4.6052 14.7059 4.6052 13.1360 0 1989 14.1631 4.6634 4.5701 4.6639 14.7209 4.7124 13.0784 0 1990 14.1381 4.7004 4.5086 4.7135 14.7354 4.8524 13.1307 0 1991 14.1085 4.8752 4.7009 4.7591 14.7495 4.9782 13.1821 0 1992 14.0812 4.9344 4.7909 4.7996 14.7630 5.1789 12.9882 0 1993 14.0491 4.9836 4.8524 4.8678 14.7761 5.4131 13.1565 0 1994 14.0083 5.2882 4.9583 5.2836 14.7889 5.5494 13.1747 0 1995 13.9625 5.3706 5.0263 5.5937 14.8013 5.7094 13.2384 0 1996 13.9579 5.4380 5.0429 5.7780 14.8037 5.9284 13.3875 0 1997 13.9163 5.4553 5.1047 6.0014 14.8197 6.0731 13.1883 1 1998 13.9207 5.7140 5.1768 6.2118 14.8333 6.5806 13.0319 1 1999 13.9339 5.8800 5.2768 6.3503 14.8747 6.6991 13.2291 1 2000 13.9471 5.6927 5.4322 6.6284 14.9145 7.2343 13.5132 1
14 Sulawesi T engah 1976 15.5145 3.4340 3.3763 3.4966 13.8828 3.1058 12.1764 0 1977 15.4957 3.4657 3.3917 3.4966 13.9367 3.3079 12.3700 0 1978 15.4749 3.5835 3.4058 3.5283 13.9834 3.3237 12.4301 0 1979 15.4533 3.6376 3.4566 3.5755 14.0283 3.5250 12.4829 0 1980 15.4318 3.7612 3.5941 3.6329 14.0702 3.6485 12.4838 0 1981 15.4035 3.8286 3.7154 3.6597 14.1097 3.7814 12.5032 0 1982 15.3720 3.8712 3.7685 3.6893 14.1458 3.8810 12.5312 0 1983 15.3387 4.0775 3.8977 3.7846 14.1822 4.0455 12.7158 0 1984 15.3047 4.3040 4.0115 3.9158 14.2176 4.1718 12.6464 0 1985 15.2878 4.4659 4.0678 3.9863 14.2318 4.2775 12.5157 0 1986 15.2592 4.4m 4.2696 4.2189 14.2667 4.3571 12.6567 0 1987 15.2275 4.4886 4.5428 4.4530 14.2994 4.4720 12.7028 0 1988 15.1924 4.6052 4.6052 4.6052 14.3337 4.6052 12.8614 0 1989 15.1542 4.6634 4.5273 4.7702 14.3661 4.7289 12.9233 0 1990 15.1142 4.7005 4.6866 4.9549 14.3979 4.8287 12.9660 0 1991 15.0645 4.8752 4.7415 5.0823 14.4292 4.9474 13.1024 0 1992 15.0162 4.9345 4.9754 5.2835 14.4598 5.2277 13.0541 0 1993 14.9561 4.9836 5.2071 5.3612 14.4899 5.4243 13.0756 0 1994 14.9439 5.2882 5.3939 5.4907 14.4945 5.5197 13.0453 0 1995 14.9287 5.3706 5.6135 5.6377 14.4998 5.6843 13.2456 0 1996 14.9174 5.4381 5.7650 5.7013 14.5072 5.8275 13.3396 0 1997 14.8777 5.4553 5.9420 5.8109 14.5267 5.9088 13.2189 1 1998 14.8836 5.2322 5.9577 5.5433 14.5491 6.6051 13.1960 1 1999 14.8894 5.9123 5.9873 6.1311 14.5713 6.6759 13.4584 1 2000 14.8952 5.8310 6.0631 6.2454 14.5930 6.7299 13.3539 1
131
15 Sulawesi Selatan 1976 15.0608 3.4340 3.1646 3.4705 15.5147 3.0127 14.3691 0 1977 15.0457 3.4657 3.3233 3.4705 15.5383 3.0605 14.4211 0 1978 15.0385 3.5835 3.4623 3.4886 15.5474 3.0917 14.4806 0 1979 15.0141 3.6376 3.6053 3.6009 15.5770 3.4034 14.4855 0 1980 14.9978 3.7612 3.6661 3.6932 15.5960 3.6026 14.6431 0 1981 14.9n5 3.8287 3.7637 3.7407 15.6176 3.7122 14.7132 0 1982 14.9454 3.8712 3.9273 3.m3 15.6370 3.7787 14.5863 0 1983 14.9230 4.0775 3.9990 3.8180 15.6526 1.6104 14.8083 0 1984 14.9006 4.3041 4.1528 3.9669 15.6681 4.0750 14.89n 0 1985 14.8730 4.4659 4.1897 3.9871 15.6835 4.2138 14.9371 0 1986 14.8456 4.4m 4.4981 4.0Jn 15.7076 4.31n 14.9877 0 1987 14.8255 4.4886 4.5831 4.4890 15.7228 4.3970 14.9153 0 1988 14.8061 4.6052 4.6052 4.6052 15.73n 4.6052 15.0220 0 1989 14.7875 4.6635 4.5977 4.8678 15.7496 4.7112 15.1182 0 1990 14.7690 4.7005 4.4687 4.9140 15.7617 4.8011 15.0948 0 1991 14.7479 4.8752 4.4648 4.9411 15.7731 4.9486 15.08'!1 0 1992 14.n91 4.9345 4.8059 4.9148 15.7838 5.0299 15.2178 0 1993 14.7083 4.9836 4.m3 4.9590 15.7937 5.3791 15.1602 0 1994 14.6836 5.2883 4.9738 4.9677 15.8028 5.4066 15.2086 0 1995 14.6570 5.3706 5.2471 4.9746 15.8116 5.5550 15.3120 0 1996 14.6434 5.4381 5.1048 4.9834 15.8201 5.6782 15.4036 0 1997 14.5644 5.4553 5.0517 5.2235 15.8558 5.7963 15.3506 l 1998 14.6034 5.7920 5.7308 5.6676 15.8739 6.3003 15.3146 1
~ 1999 14.6368 5.8315 5.8970 5.8839 15.8902 6.3809 15.3247 1 2000 14.6484 5.4932 5.7489 5.8149 15.9013 6.4793 15.2722 1
16 Sulawesi Tenggara 1976 14.8670 3.4340 3.0681 3.9221 13.5923 2.9149 11.0705 0 1977 14.8561 3.4657 3.1405 3.9221 13.6406 2.9410 11.4259 0 1978 14.8447 3.5835 3.1566 3.9416 13.6807 2.9539 1t.61n 0 1979 14.8333 3.6376 3.3333 4.0083 13.7188 3.1815 11.5210 0 1980 14.8216 3.7612 3.4067 4.0488 13.7558 3.4519 11.6920 0 1981 14.8073 3.8286 3.5228 4.0826 13.7889 3.5864 11.7455 0 1982 14.7925 3.8712 3.7130 4.1107 13.8176 3.8973 11.8313 0 1983 14.mS 4.0775 3.7948 4.1527 13.8460 4.0294 12.0430 0 1984 14.7620 4.3040 3.9679 4.1794 13.8747 4.2036 12.1618 0 1985 14.7228 4.4659 4.0089 4.3826 13.9321 4.1813 12.0558 0 1986 14.7101 4.4m 4.3460 4.4424 13.9706 4.2638 12.1786 0 1987 14.6958 4.4886 4.5255 4.5049 14.0076 4.3n5 12.6164 0 1988 14.6817 4.6052 4.6052 4.6052 14.0428 4.6052 12.2887 0 1989 14.6663 4.6634 4.4813 4.7738 14.0769 4.7096 12.3137 0 1990 14.6507 4.7005 4.3844 4.8732 14.1100 4.7843 12.3115 0 1991 14.6321 4.8752 4.99n 4.9060 14.1421 4.9127 12.3912 0 1992 14.6148 4.9345 5.0302 5.1055 14.1731 4.9564 12.6279 0 1993 14.5942 4.9836 5.0926 5.6116 14.2032 5.2330 12.6205 0 1994 14.5678 5.2883 5.1722 5.6700 14.2326 5.2616 12.6775 0 1995 14.5382 5.3706 5.3457 5.7313 14.2614 5.4170 12.8137 0 1996 14.5093 5.4381 5.4177 5.8221 14.3123 5.5328 12.8731 0 1997 14.4964 5.4553 5.4441 5.8476 14.3289 5.6370 12.n55 1 1998 14.4560 5.6913 5.4698 6.1264 14.3510 6.2304 12.8326 1 1999 14.3938 5.8572 5.6630 6.1659 14.3832 6.2803 12.9560 1 2000 14.3261 5.6029 5.8781 6.4023 14.4143 6.4157 12.9044 1
131
15 Sulawesi Selatan 1976 15.0606 3.4340 3.1646 3.4705 15.5147 3.0127 14.3691 0 1977 15.0457 3.4657 3.3233 3.4705 15.5383 3.0605 14.4211 0 1978 15.0385 3.5835 3.4623 3.4886 15.5474 3.0917 14.4806 0 1979 15.0141 3.6376 3.6053 3.6009 15.5770 3.4034 14.4855 0 1980 14.9978 3.7612 3.6661 3.6932 15.5960 3.6026 14.6431 0 1981 14.9725 3.8287 3.7637 3.7407 15.6176 3.7122 14.7132 0 1982 14.9454 3.8712 3.9273 3.7723 15.6370 3.7787 14.5863 0 1983 14.9230 4.0775 3.9990 3.8180 15.6526 1.6104 14.8083 0 1984 14.9006 4.3041 4.1528 3.9669 15.6681 4.0750 14.8972 0 1985 14.8730 4.4659 4.1897 3.9871 15.6835 4.2138 14.9371 0 1986 14.8456 4.4m 4.4981 4.0372 15.7076 4.3172 14.9877 0 1987 14.8255 4.4886 4.5831 4.4890 15.7228 4.3970 14.9153 0 1988 14.8061 4.6052 4.6052 4.6052 15.7372 4.6052 15.0220 0 1989 14.7875 4.6635 4.5977 4.8678 15.7496 4.7112 15.1182 0 1990 14.7690 4.7005 4.4687 4.9140 15.7617 4.8011 15.0948 0 1991 14.7479 4.8752 4.4648 4.9411 15.7731 4.9486 15.0841 0 1992 14.7291 4.9345 4.8059 4.9148 15.7838 5.0299 15.2178 0 1993 14.7083 4.9836 4.m3 4.9590 15.7937 5.3791 15.1602 0 1994 14.6836 5.2883 4.9738 4.9677 15.8028 5.4066 15.2086 0 1995 14.6570 5.3706 5.2471 4.9746 15.8116 5.5550 15.3120 0 1996 14.6434 5.4381 5.1048 4.9834 15.8201 5.6782 15.4036 0 1997 14.5644 5.4553 5.0517 5.2235 15.8558 5.7963 15.3506 1 1998 14.6034 5.7920 5.7308 5.6676 15.8739 6.3003 15.3146 1
r 1999 14.6368 5.8315 5.8970 5.8839 15.8902 6.3809 15.3247 1 2000 14.6484 5.4932 5.7489 5.8149 15.9013 6.4793 15.2722 1
16 Sulawesi Tenggara 1976 14.8670 3.4340 3.0681 3.9221 13.5923 2.9149 11.0705 0 1977 14.8561 3.4657 3.1405 3.9221 13.6406 2.9410 11.4259 0 1978 14.8447 3.5835 3.1566 3.9416 13.6807 2.9539 11.6172 0 1979 14.8333 3.6376 3.3333 4.0083 13.7188 3.1815 11.5210 0 1980 14.8216 3.7612 3.4067 4.0488 13.7558 3.4519 11.6920 0 1981 14.8073 3.8286 3.5228 4.0826 13.7889 3.5864 11.7455 0 1982 14.7925 3.8712 3.7130 4.1107 13.8176 3.8973 11.8313 0 1983 14.m5 4.0775 3.7948 4.1527 13.8460 4.0294 12.0430 0 1984 14.7620 4.3040 3.9679 4.1794 13.8747 4.2036 12.1618 0 1985 14.7228 4.4659 4.0089 4.3826 13.9321 4.1813 12.0558 0 1986 14.7101 4.4773 4.3460 4.4424 13.9706 4.2638 12.1786 0 1987 14.6958 4.4886 4.5255 4.5049 14.0076 4.3725 12.6164 0 1988 14.6817 4.6052 4.6052 4.6052 14.0428 4.6052 12.2887 0 1989 14.6663 4.6634 4.4813 4.7738 14.0769 4.7096 12.3137 0 1990 14.6507 4.7005 4.3844 4.8732 14.1100 4.7843 12.3115 0 1991 14.6321 4.8752 4.9972 4.9060 14.1421 4.9127 12.3912 0 1992 14.6148 4.9345 5.0302 5.4055 14.1731 4.9564 12.6279 0 1993 14.5942 4.9836 5.0926 5.6116 14.2032 5.2330 12.6205 0 1994 14.5678 5.2883 5.1722 5.6700 14.2326 5.2616 12.6775 0 1995 14.5382 5.3706 5.3457 5.7313 14.2614 5.4170 12.8137 0 1996 14.5093 5.4381 5.4177 5.8221 14.3123 5.5328 12.8731 0 1997 14.4964 5.4553 5.4441 5.8476 14.3289 5.6370 12.7255 1 1998 14.4560 5.6913 5.4698 6.1264 14.3510 6.2304 12.8326 1 1999 14.3938 5.8572 5.6630 6.1659 14.3832 6.2803 12.9560 1 2000 14.3261 5.6029 5.8781 6.4023 14.4143 6.4157 12.9044 1
132
17 Nusa T enogara Ba rat 1976 13.3542 3.4339 3.5288 3.9744 14.7241 3.2563 13.0207 0 1977 13.3695 3.4657 3.5875 3.9744 14.7514 3.2775 13.0342 0 1978 13.3848 3.5834 3.6579 4.0117 14.7743 3.2902 13.2191 0 1979 13.3999 3.6375 3.7741 4.0641 14.7964 3.4546 13.3856 0 1980 13.4147 3.7611 3.9958 4.1308 14.8160 3.6240 13.4666 0 1981 13.4374 3.8286 4.0682 4.2410 14.8432 3.8153 13.6653 0 1982 13.4597 3.8711 4.0916 4.3477 14.8649 3.9m 13.7202 0 1983 13.4813 4.0775 4.1664 4.3755 14.8864 4.1130 13.7280 0 1984 13.5023 4.3040 4.1925 4.4029 14.9078 4.2692 13.8207 0 1985 13.5118 4.4658 4.2885 4.4171 14.9159 4.3741 13.7912 0 1986 13.5274 1.4m 4.3632 4.4861 14.9414 4.4359 13.7893 0 1987 13.5442 4.4886 4.5148 4.5501 14.9658 4.5166 13.7933 0 1988 13.5599 4.6052 4.6052 4.6052 14.9887 4.6052 13.8628 0 1989 13.5763 4.6634 4.6006 4.6619 15.0109 4.7256 13.9657 0 1990 13.5921 4.7004 4.7293 4.7307 15.0324 4.9014 13.9771 0 1991 13.6101 4.8751 5.2727 4.7659 15.0532 5.0479 13.9860 0 1992 13.6260 4.9344 5.2769 4.9007 15.0731 5.3115 13.9800 0 1993 13.6439 4.9835 5.3003 5.0189 15.0924 5.4945 14.0295 0 1994 13.6491 5.2882 5.7146 5.0951 15.0968 5.6338 14.0299 0 1995 13.6901 5.3706 5.9612 5.1132 15.1295 5.7765 14.0687 0 1996 13.6963 5.4380 5.9114 5.3981 15.1392 5.9001 14.1205 0 1997 13.7026 5.4552 5.9814 5.6535 15.1468 6.0113 14.1268 1 1998 13.7157 5.4160 6.0603 5.9411 15.1644 6.5309 14.1677 1
r 1999 13.7304 6.2882 5.9346 6.4599 15.1844 6.5990 14.1988 1 2000 13.7451 6.5792 5.7614 6.4974 15.2041 6.8822 14.2566 1
18 Malulw 1976 15.7478 3.4340 2.9663 3.5605 14.0926 3.1099 10.1380 0 1977 15.7433 3.4658 2.9814 3.5701 14.1120 3.1993 9.9415 0 1978 15.7388 3.5835 3.0931 3.5948 14.1279 3.2467 10.3098 0 1979 15.7341 3.6376 3.2381 3.6238 14.1438 3.5998 10.1737 0 1980 15.7293 3.7612 3.3228 3.6661 14.1598 3.7259 10.6617 0 1981 15.7169 3.8287 3.4536 3.7221 14.1909 3.7756 10.6532 0 1982 15.7045 3.8712 3.5194 3.8747 14.2169 3.8792 10.4551 0 1983 15.6916 4.0776 3.5408 3.9285 14.2434 4.0321 10.2860 0 1984 15.6782 4.3041 3.6865 3.9908 14.2704 4.1216 10.6016 0 1985 15.6637 4.4659 3.6956 4.0617 14.2944 4.1014 10.4083 0 1986 15.6541 4.4774 4.4225 4.2907 14.3265 4.2088 9.9477 0 1987 15.6440 4.4887 4.4851 4.4447 14.3559 4.4365 10.4077 0 1988 15.6339 4.6052 4.6052 4.6052 10845 4.6052 10.5895 0 1989 15.6234 4.6635 4.3714 4.7199 14.4111 4.7617 10.1537 0 1990 15.6130 4.7005 4.4678 4.7591 14.4367 4.8370 10.5308 0 1991 15.6010 4.8752 4.8801 4.7982 14.4612 4.9678 10.7519 0 1992 15.5901 4.9345 5.1112 5.0512 14.4844 5.0634 10.1489 0 1993 15.5776 4.9836 5.0943 5.1354 14.5066 5.1138 11.2437 0 1994 15.5619 5.2883 5.1727 5.0768 14.5283 5.3449 10.8689 0 1995 15.5445 5.3707 5.2942 5.0799 14.5495 5.4298 10.7814 0 1996 15.5324 5.4381 5.4581 5.1716 14.5771 5.5683 10.m1 0 1997 15.5272 5.4553 5.6078 5.3399 14.5860 5.6481 10.4625 1 1998 15.4344 5.6051 5.7321 5.5524 14.6005 6.0168 10.7766 I 1999 15.3221 5.9711 5.7833 5.8929 14.6165 5.8169 10.9975 I 2000 15.1931 6.0321 5.8246 5.9087 14.6322 6.6132 10.6778 I
133
19 Papua 1976 17.4009 3.4310 2.8770 3.6233 13.8608 3.7104 8.3751 0 19n 17.3988 3.4657 3.1929 3.6517 13.8912 3.7363 8.5690 0 1978 17.3966 3.5835 3.2813 3.6711 13.9223 3.7480 8.7178 0 1979 17.3943 3.6376 3.5052 3.6937 13.9199 4.0063 8.4793 0 1980 17.3922 3.7612 3.5318 3.7386 13.9759 4.2505 8.5923 0 1981 17.3890 3.8286 3.6194 3.7680 14.0042 4.2753 0.n91 0 1982 17.3857 3.8712 3.2714 3.8232 14.0289 4.3268 8.9102 0 1983 17.3824 1.on5 3.7270 3.9163 14.0537 4.3131 9.1820 0 1984 17.3791 4.3040 3.8191 4.0517 14.0779 4.4098 9.2065 0 1985 17.3697 4.4659 3.7857 4.3581 14.1346 4.3750 9.0670 0 1986 17.3675 1Am 4.3361 4.3n5 14.1670 4.4862 9.2237 0 1987 17.3653 4.4886 4.6188 4.3993 14.1960 4.5096 9.0782 0 1988 17.3628 4.6052 4.6052 4.6052 14.2283 4.6052 10.1178 0 1989 17.3603 4.6634 4.4641 4.6752 14.2574 4.8002 10.5173 0 1990 17.3578 4.7005 4.3522 4.7147 14.2858 5.0572 10.1033 0 1991 17.3548 4.8752 4.3793 4.7470 14.3133 5.2068 10.4955 0 1992 17.3521 4.9314 4.3882 4.7818 14.3400 5.2888 10.4160 0 1993 17.3490 4.9836 4.9145 4.9502 14.3659 5.7990 10.6239 0 1994 17.3451 5.2882 5.0376 5.0093 14.3913 5.8206 10.7593 0 1995 17.3408 5.3706 5.4927 5.3660 14.4161 6.0511 10.9463 0 1996 17.3309 5.4381 5.3647 5.5124 14.5191 6.1804 10.9708 0 1997 17.3285 5.4553 5.3311 5.6946 14.5374 6.2405 10.nt7 1 1998 17.2988 5.5828 5.6786 5.8290 14.5629 7.0170 11.0673 1
r 1999 17.2701 5.7590 5.7078 5.9110 14.5869 6.9482 11.3779 1 2000 17.2399 5.5656 5.9662 6.0997 14.6103 7.0058 11.3901 1
134
14.91125 0.939377 49.32275 673.2260 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid F-statistic Prob(F-statistic)
0.882079 0.875790 0.331068
-136.0751 0.466495
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Log likelih:xxt Duran-Watson stat
0.0000 0.0980 0.0000 0.0568 0.0462 0.0000
-13.87489 -1.658267 -14.34714 -1.909414 1.999390
-5.481647
0.029708 0.052269 0.040886 0.012362 0.019723 0.062028
16.80806 16.85313 16.75086 16.74044 16.35806 16.51646 16.38022 16.22200 16.91422 16.97984 16.72575 17.00875 16.98805 16.64376 16.96915 17.22730 17.14920 17.31256 17.66074
-0.412192 -0.086676 -0.586599 -0.023604 0.039435
-0.340015
Ln(PKA YU?) Ln(NOHPH?) Ln(L.HPH?)
Ln(BBAKU?) Ln(EKSPOR?)
Klisis? Axed Efl'ErtS
_ACEH--C _SUMUT--C
_SUMBAR--C _RIAU--C
_JAMBI--C _SUMSEL--C
_BKL--C _LMP--C
_KALBAR--C _KALTENG--C _KALSEL-C _KALTIM--C _SULUT--C
_SULTENG--C _SULSEL-C _SULTRA-C
_NTB--C _MLK-C PAPUA--C
t-Statistic Std. Error C.oeffident Prob. Variable
Dependent Variable: Ln(FORC?) Mettxx:I: Pooled Least Squares Date: 02/05/05 Time: 23:32 Sample: 1976 2000 Indu:::led observations: 25 Number of cross-sections used: 19 Total panel (balanced) observations: 475
Lampiran 3. Estimasi Model Perubahan Penutupan Hutan Akibat Penebangan Hutan dengan Model Fixed Effect
135
14.91125 0.939377 116.8061 193.1375 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid F-statistic Prob(F-st.atistic)
0.720741 0.705192 0.510046
-340.8309 0.303544
R-squared Adjusted R-squared S. E. of regression Log likelihood Durbin-Watson st.a_t
0.0062 0.0008 0.0000 0.0000 0.0230 0.0000 0.7851
-2.748719 -3.388630 -5.061673 -4.204848 2.281822 13.08556
-0.272880
0.144862 0.094966 0.095041 0.101361 0.087118 0.060576 0.096648
-0.398185 -0.321804 -0.481065 -0.426210 0.198788 0.792673
-0.026373
19.67238 19.42532 19.52461 19.20798 18.n158 18.98760 18.12469 17.86577 19.31545 20.11117 19.32929 19.35798 19.16380 18.64782 19.3n61 19.18908 18.18552 18.04125 17.78523
Ln(PSAWll?) Ln(PKOPI?)
Ln(PKARET?) Ln(POP?)
Ln(GDPPC?) Ln(PANG~?)
Krlsis? Axed Effects
_ACEH--C _SUMUT--C _SUMBAR--C
_RIAU--C _JAMBI--C
_SUMSEL--C _BKL--C _LMP--C
_KALBAR--C _KAL TENG--C _KALSEL-C _KALTIM--C _SULUT--C
_SULTENG-C _SULSEL-C _SULTRA-C
_NTB--C _MLK-C PAPUA--C
t-Statistic Std. Error Coefficient Prob. Variable
Dependent Variable: Ln(FORC?) Method: Pooled Least Squares Date: 02/05/05 lime: 23:36 Sample: 1976 2000 Induded observations: 25 NLrnber of cross-sections used: 19 Total panel (balanced) observations: 475
L.ampiran 4. Estimasi Model Perubahan Penutupan Hutan Akibat Konversi Hutan dengan Model Fixed Effect
136
14.91125 0.939377 41.86708 362.8874 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sun squared resid F-statistic Prob(F-statistic)
0.899904 0.893141 0.307075
-97.15226 0.451776
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Log likelihood Durbin-Watson st.at
17.49907 17.40124 17.43857 17.06987 16.79167 17.01130 16.78146 16.70595 17.39968 17.43369 17.17854 17.27859 17.35249 17.06195 17.54610 17.77650 17.51111 17.45334 17.26425
-0.013052 -0.060915 -0.135435 -0.179043 0.069077 0.298107
-0.227423 -0.132525 -0.354522 -0.002945 0.019467
-0.298781
Ln(PSAWll?) Ln(PKOPI?)
Ln(PKARffi) Ln(POP?)
Ln(GDPPC?) Ln(PANGAW) Ln(PKAYU?) Ln(NOHPH?) Ln(LI-iPH?)
Ln(BBAl<JJ?) Ln(EKSPOR?)
KriSis? Rxed Effects
_ACEH--C _SUMUf--C
_SUMBAR--C _RIAU--C _JAMBI--C
_SUMSEL--C _BKL--C _LMP--C
_KALBAR--C _KAL TENG--C _KALSEL-C _KALTIM--C _SULUf--C
_SULTENG--C _SULSEL-C _SULTRA-C
_NTB--C _MLK-C PAPUA--C
Std. Error t-St.atistic Prob. 0.101827 -0.128181 0.8981 0.059545 -1.023009 0.3069 0.060671 -2.232268 0.0261 0.062912 -2.845948 0.0046 0.053586 1.289092 0.1980 0.043476 6.856869 0.0000 0.054383 -4.181871 0.0000 0.054756 -2.420265 0.0159 0.047535 -7.458083 0.0000 0.012375 -0.237945 0.8120 0.019203 1.013743 0.3113 0.060564 -4.933345 0.0000
Coefficient Variable
Dependent Varia!je: Ln(FORC?) Method: Pooled Least Squares Date: 02/05/05 lime: 22:59 Sample: 1976 2000 Included observations: 25 Nimber of cross-sections used: 19 Tot.al panel (balanced) observations: 475
Lampiran 5. Estimasi Model Perubahan Penutupan Hutan Akibat Penebangan Hutan dan Konversi Hutan dengan Model Fixed Effect
137
14.91125 0.939377 49.40164
Mean dependent var S. D. dependent var Sum squared resid
0.881891 0.880377 0.324899 0.465271
R-squarecl Adjusted R-squared S.E. of regression Durlin-Watson stat
unweighted StatiStics induding Random
Effects
14.91125 0.939377 51.38027
Mean dependent vcr S.D. dependent var Sum squared resid
0.877160 0.875586 0.331341 0.447354
R-squared Adjusted R-squared S. E. of regression Durlin-Watson stat
GLS Transformed Regression
0.0000 0.0000 0.0911 0.0000 0.0451 0.0534 0.0000
83.65259 -13.84250 -1.693357 -14.48718 -2009000 1.936844
-5.404463
0.201497 0.029559 0.052076 0.040715 0.012236 0.019634 0.061961
-0.041326 0.002526
-0.096996 -0.109005 -0.475436 -0.321870 -0.456268 -0.606682 0.061040 0.123583
-0.122563 0.149807 0.127533
-0.205104 0.108940 0.357459 0.284063 0.443199 o.m100
c 16.85573 Ln(PKAYU?) -0.409167 Ln(NOHPH?) -0.088183 Ln(UiPH?)' · -0.589847
Ln(BBAKU?) -0.024582 Ln(EKSPOR?) 0.038028
Krisis? -0.334864 Randcm Effects
_ACEH--C _SUMUT--C
_SUMBAR--C _RIAU--C _JAMBI--C
_SUMSEL--C _BKL--C _LMP--C
_KALBAR--C _KAL TENG--C _KALSEL--C _KALTIM--C _SULUT--C
_SULTENG--C _SULSEL--C _SULTRA--C
_NTB--C _MLK--C
_PAf'UA--C
Prob. t-Statistic Stcl. Error Variable Coefficient
Dependent Varia~e: Ln(FORC?) Mettxx!: GLS (Variance components) Date: 02/05/05 lime: 23:33 sample: 1976 2000 Inclu:led observations: 25 NLmber of cross-sections used: 19 Total panel (balanced) observations: 475
Lampiran 6. Estimasi Model Perubahan Penutupan Hutan Akibat Penebangan Hutan dengan Model Random Effect
138
14.91125 0.939377 117.1155
0.720001 Mean dependent var 0.715804 S.D. dependent var 0.500782 Sum squared resid 0.294164
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
Unweighted Statistics induding Random Effects
14.91125 0.939377 122.9283
0. 706104 Mean dependent var 0.701698 S.D. dependent var 0.513059 Sum squared resid 0.280254
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression· Durbin-Watson stat
GLS Transformed Regression
0.0000 0.0062 0.0010 0.0000 0.0001 0.0234 0.0000 0.7251
19.76417 -2.748228 -3.302477 -5.135808 -3.921081 2.273938 12.89676
-0.351894
0.964805 0.145200 0.094896 0.094693 0.098903 0.087321 0.058484 0.097125
.0.683823 0.449342 0.532855 0.261257
-0.179596 0.031975
-0.812421 -1.058040 0.338758 1.117596 0.351695 0.389567 0.214125
-0.295084 0.398660 0.215210
-0.741428 -0.868212 -1.030082
c 19.06857 Ln(PSAWil?) -0.399042 Ln(PKOPI?) -0.313392
Ln(PKARET?) -0.486324 Ln(POP?) -0.387807
Ln(GDPPC?) 0.198563 Ln(PANGAN?) 0.754253
Krisis? -0.034178 Random Effects
_ACEH--C _SUMUT--C
_SUMBAR--C _RIAU--C _JAMBl--C
_SUMSa--C _BKL-C _LMP--C
_KALBAR--C _KALTENG--C _KALSEL-C _KALTIM--C _SUWT--C
_SULTENG--C _SULSEL-C _SULTRA-C
_NTB--C _MLK-C PAPUA--C
Prob. t-stansttc Std. Error Variable Coefficient
Dependent Variable: Ln(FORC?) Method: GLS (Variance Components) Date: 02/03/05 lime: 23:05 Sample: 1976 2000 Included observations: 25 Nlmber of cross-sections used: 19 Total panel (balanced) observations: 475
Lampiran 7. Estimasi Model Perubahan Penutupan Hutan Akibat Konversi Hutan dengan Model Random Effect
140
S"' ~~ g~ "'O "'"' ....... MM "' .... ... N &l ~ ~~ "'"' ,,~ cnq NO ~~ N.O NN , ..... o ~~ ~a .. ~ N~ ~~ .... § ~ ... g ... ai ..:; M ~~ ~ ~ ... §
~ i M
~ "'~ :a :-;:; ~ ig M 'j§ e- M ..... .... ~ "' "' II') a ~ ~ s M II') N ~ ~ ~
CD "' Ir- ... "' ... ~ lEl ..... "' "' ..... ..... "' ... lEl N M ... II') :-;:; .... .... 0 s os MS og os og og os NO "'"' MO os os os o8 o~. os os ... 0 N~ ~~ .... .... e-, ...
~ 0 d &j d d d d d
~ ~ i d d d id 0 d d .,; lEl ~ I~ ~ M .....
II') s ~ ... ~ M "' "' N
§ "'~ .... ~ .... ~ .... 0 og ... 8 os o~ Ng .... .,, .... "' os og og o8 os o8 ... 0 ... lZ: "'8 ~ l8 ... "' ... N ..:; ~
N :r:; d s;: d 0 ~ ~
czj d d d d d d v ~ ..;
I~ I~ s ~ e-, S3 "' e-, "' ... "' M
~ ... !!l "' ..... ~ II') ~ "' ... ... ~ 8l ... "' M M ... ... M
~ ... a: ... Sl "':S os ... 8 og N8 og o8 og og og os og og og og og os o8 ... 0
..,N g: d ..:; d .,; d ~ 0 0 0 0 d 0 0 0 d d 0 0 d i 1;-; ::::i S3 "' e-, 0
~ ~ ;:!; ~ "' II')
~ .... II') "'lZ: C:;~ .... ..., .... ..., NO MO M :g o8 11')11') .,, .... og 00 ... g og og og IN~ og "';:!; N CD CD N "! "' "' .-<(X) ... .,, 0 "' .... "' ~ "' v ..... .,; ..:; ~ d -; ai d d ..:; d d d ..:; d ..:; g
C:I~ :;; :".l M e-, 0 ~ .... M ~ II') ra l:J M M .... N r-, .... ...... ..... :::> ..... II') "' :!; :".l II') N .... -e- "' "' II') ..... .cCJ\ .... N ... .... ... "' "' :".l ... II') .... ~~ N ... r-,
CJ\00 00 "'8 M8 N8 .... s og ... s (J\ El ~~ og ... S3 ... 8 ... 0 o8 og M~ og os "'°' ...... N .-<M q "'"' (J\ :;ii ..:; ....: .,; :Q ~ d i;:i ;:!; ~ 0 ~ ~
N 0 d I~
d d ..; "' S3 :-;:; ::::i ... ... 1::! "' "' M M ..... ... N
8i 0 ... ... .... ~ .... ... ::5 II') "' M II') N M 0 N .... ... .... "' ... ... ... M
Si::: N ... ~~ ~"' OM N ... go g ... (!;N ~"' ..,...., ~N go go so 8"' so S"' .,, ... s ... 8 ;!: :Q M 0 "! q "' ~
....: ~ ~
.... ~ d ..; s: N "' ~
d d d ~
d ~ ~ vi .;. .~ C:; ;:!; N ~ l8 ~ g
II') N "' "' ~ f;:l (J\ ..... "' ..... "' g: N "' (J\ ~ N ~ ~ :".l "' ... ... ..... N
"" .... ,.,.,., O>N :::l!!l Mii') g"' ~ ..... .,, .... .,, .... :g"' 8!!l lZ::!; :::! ... 8" 8 ... 8" f1:N "'"' s .... ~II') g ,._CD g:"' ,., ... ":" .,, ... ..... M a .;::::i;:: ~ ~ i ~ ~ .,;
~ d ~ ~
..; ~ § ..; g ~ ~ ..:;
~ ~ g "' Ii> ~ ......
"': ':! "' .... "' ..... .... 0 ....
~ ~ ... ~ ~ g; ... M ... II') N
~ g N :g N ;: "' II') S3 ~ ...... M M ... ..,. 0 .... ... .... :::l ~ .... .. . c: - ,_ ";; 1-;;; 1-;;; - - 'Iii -;;; ';; -;;; 'Iii 'ftj -;;; Iii -;; '; Iii 'Iii 'fti Iii "' "' "' "' "' ~
.c 15 .c .c .c: .c .c: .c: .c: .c .c: .c: .c: .c .c .c f5 ~ .c: .c .c ,- - - - - - ,_ - ,_ - ,_ 1- - ,_ - r- 1- - .,. .. .,. .. .,. "' """' """' .,. "' "' .. """' "'"' """' """' "" .. .,. "' "" .. ~= "" .. "" .. 'a ::: "" .. "" .. "' .. :5 .3 53 § .3 c:"' 5 .9 53 53 :5 3 c: "' c:"' c: "' :5 .3 :5 .3 :5 .3 5 .3 53 :5 .3 :5 .3 c"' :::i.3 :::i.3 :::i.3 :::i.3 :::i.3 ::I .3 ::I .3 .c c: :!! c - "' ~ !! °' :::> .c: .. c
;;; :!! e !! :!! c E .!!! f! "' OI
~ c: .l!l .!!! "' ~ I= ... OI OI
"' ... "' "' .l!l c: c: e Q. ::i "' I/) c: ~ c c ::I ~ ~ ~ !! ;$ G. e :!! :!! ~ "' :i !! B ;;; ;;; l ;;; ::I in .!l .!l ~ :::> c: c c: c: c: ~ ... ~ ~ :::> z "' :0 "' ... :::> "' "' "' "' 3: ... "' .c: Cl c. g .§ .§ E ::> .2 :::> 0 ... E :::> E E E ~ E
~ .!!! !!l .!!! .!!! f!: ;;; c. 0
.:.! :::> .!!! "' " " ~ >:! ;;; ~ :::> :::> :::> " "' ~ iS "' ct: ..... I/) I/) "' "' I/) I/) I/) I/) z ::.: ::.: .... N M .... II') "' ..... "' "' 0 ... N M .... ~ "' ..... "' "' 0 0 ... .... ... ... ... ... ... ... ... N z
141
Sumber • Departemen Kehutanan,2004
No. Propinsi Satuan Tahun s/d 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999
1 Aceh Unit 12 0 0 0 0 Luas (ha) 39,376.65 0.00 0.00 0.00 0.00
2 Sumatera Utara Unit 11 1 0 0 0 Luas (ha) 25,805.44 2,725.00 0.00 0.00 0.00
3 Riau Unit 13 0 0 0 0 Luas (ha) 74,029.78 0.00 0.00 0.00 0.00
4 Jambi Unit 12 1 0 1 0 Luas (ha) 76,189.53 1,113.00 0.00 810.00 0.00
5 Sumatera Barat Unit 8 0 0 0 0 Luas (ha) 16,242.25 0.00 0.00 0.00 0.00
6 Sumatera Selatan Unit 27 2 0 0 0 Luas (ha) 119,613.28 980.00 0.00 0.00 0.00
7 Bengkulu Unit 3 0 1 1 0 Luas (ha) 12,967.45 0.00 560.00 800.00 0.00
8 Lampung, Unit 14 0 2 0 0 Luas (ha) 131,136.20 0.00 3,011.00 0.00 0.00
9 Kalimantan Barat Unit 17 0 0 0 0 Luas (ha) 49,199.16 0.00 0.00 0.00 0.00
10 Kalimantan Tengah Unit "}] 0 0 0 0 Luas (ha) 66,135.77 0.00 0.00 0.00 0.00
11 Kalimantan limur Unit 9 0 0 0 0 Luas (ha) 39,891.09 0.00 0.00 0.00 0.00
12 Kalimantan Selatan Unit 8 0 1 0 0 Luas (ha) 40,186.50 0.00 3,315.00 0.00 0.00
13 Sulawesi Utara Unit 3 0 0 0 0 Luas (ha) 5,089.56 0.00 0.00 0.00 0.00
14 Sulawesi Tengah Unit 15 0 1 0 0 Luas (ha) 35,229.23 0.00 1,070.00 0.00 0.00
15 Sulawesi Tenggara Unit 20 1 0 0 0 Luas (ha) 53,246.21 1,:W0.00 0.00 o.oo 0.00
16 Sulawesi Se.Iatan Unit 4 0 3 1 0 Luas (ha) 8,179.65 0.00 2,678.00 535.00 0.00
17 N"TB Unit 2 0 0 0 0 Luas (ha) 2,950.00 0.00 0.00 0.00 0.00
18 N'TT Unit 0 2 0 0 0 Luas (ha) 0.00 1,137.00 0.00 0.00 0.00
19 Maluku Unit 11 0 0 0 0 Luas (ha) 23,776.58 0.00 0.00 0.00 0.00
20 Papua Unit 22 0 0 0 0
. luas (ha) 111,194A8 ij,00 ij,00 0.00 ij,00
INDONESIA Un~ 238 7 8 3 0 Luas (ha) 936,738.81 7,155.00 10,634.00 2,145.00 0.00
L.ampiran 10. Perkembangan pelepasan kawasan hutan untuk transmigrasi