Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

28
BAB I PENDAHULUAN Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (HBV). Virus ini merupakan virus DNA dan termasuk famili Hepadnavirus. Partikel virus yang disebut virion, terdiri dari selubung lipid di luar dan sebuah inti nukleokapsid ikosahedral dari protein. Virus ini terbagi menjadi empat gen masing - masing mengkode protein struktural yang spesifik, yaitu gen S untuk selubung virus (surface antigen), gen C untuk antigen nukleokapsid (core) dan antigen precore (e), gen X untuk protein pengatur yang dibutuhkan untuk replikasi virus, dan gen P untuk DNA polimerase serta menjadi delapan genotip (A – H) berdasarkan jenis nukleotid akibat variasi genom. Setiap genotip mempunyai distribusi geografis yang berbeda dan digunakan dalam melacak evolusi dan transmisinya. Genotip yang berbeda mempengaruhi keparahan penyakit, perjalanan penyakit, komplikasi, respon terapi, serta vaksinasi. Kerusakan sel hati pada infeksi oleh virus hepatitis B (HBV) bukan disebabkan oleh virus itu sendiri, melainkan oleh imunitas dari inang (manusia) untuk melawan virus hepatitis B. Berikut struktur virus hepatitis B (HBV). 1,2 1

description

HEP B

Transcript of Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

Page 1: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

BAB I

PENDAHULUAN

Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B

(HBV). Virus ini merupakan virus DNA dan termasuk famili Hepadnavirus.

Partikel virus yang disebut virion, terdiri dari selubung lipid di luar dan

sebuah inti nukleokapsid ikosahedral dari protein. Virus ini terbagi menjadi

empat gen masing - masing mengkode protein struktural yang spesifik, yaitu

gen S untuk selubung virus (surface antigen), gen C untuk antigen

nukleokapsid (core) dan antigen precore (e), gen X untuk protein pengatur

yang dibutuhkan untuk replikasi virus, dan gen P untuk DNA polimerase

serta menjadi delapan genotip (A – H) berdasarkan jenis nukleotid akibat

variasi genom. Setiap genotip mempunyai distribusi geografis yang berbeda

dan digunakan dalam melacak evolusi dan transmisinya. Genotip yang

berbeda mempengaruhi keparahan penyakit, perjalanan penyakit, komplikasi,

respon terapi, serta vaksinasi. Kerusakan sel hati pada infeksi oleh virus

hepatitis B (HBV) bukan disebabkan oleh virus itu sendiri, melainkan oleh

imunitas dari inang (manusia) untuk melawan virus hepatitis B. Berikut

struktur virus hepatitis B (HBV).1,2

Gambar 1. Struktur Virus Hepatitis B.1

Infeksi virus hepatitis B merupakan masalah kesehatan global, dimana

terdapat kurang lebih 400 juta orang di dunia yang terinfeksi secara kronis.

Setiap tahun, lebih dari 500 ribu kematian di seluruh dunia disebabkan oleh

virus ini. Dalam sepuluh tahun terakhir telah terjadi perubahan besar dalam

1

Page 2: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

pengertian, diagnosis, serta klasifikasi hepatitis B kronis. Perubahan ini sangat

besar pengaruhnya terhadap penatalaksanaan pasien. Salah satu yang

mendasar adalah perubahan definisi hepatitis B kronis. Pada saat ini definisi

hepatitis B kronis adalah adanya persistensi virus hepatitis B ( HBV) lebih

dari 6 bulan, sehingga pemakaian istilah carrier sehat tidak dianjurkan lagi.3,4

Hepatitis B merupakan masalah kesehatan besar terutama di Asia, dimana

terdapat sedikitnya 75 % dari seluruhnya 300 juta individu HBsAg positif

menetap di seluruh dunia. Di Asia, sebagian besar pasien hepatitis B kronis

mendapat infeksi pada masa perinatal. Kebanyakan pasien ini tidak

mengalami keluhan atau gejala sampai akhirnya terjadi penyakit hati kronis.

Spektrum hepatitis B kronis bervariasi dari carrier asimptomatik, sirosis hati,

sampai karsinoma hati. Perjalanan penyakit hepatitis B sangat kompleks dan

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor virus itu sendiri, dan faktor

inang (manusia). Faktor virus antara lain tingkat replikasi virus, genotip virus

hepatitis B, serta mutasi genom virus. Sedangkan faktor inang antara lain

umur saat mendapatkan infeksi, status imunitas, infeksi yang terjadi

bersamaan dengan virus hepatotropik lainnya, serta kebiasaan minum

alkohol.3,4

Transmisi virus hepatitis B adalah melalui paparan terhadap darah atau cairan

tubuh yang mengandung virus hepatitis B, seperti melalui kontak seksual yang

tidak aman, transfusi darah, penggunaan jarum suntik bersama, dan transmisi

vertikal dari ibu ke anak selama masa persalinan. Tanpa pencegahan yang

baik, seorang ibu yang memiliki HBsAg positif memiliki risiko sebesar 20 %

untuk menularkan virus hepatitis B kepada anaknya selama persalinan.

Apabila ibu HBeAg positif, risiko penularan akan semakin meningkat

menjadi 90 %.1

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Patogenesis Persistensi Virus Hepatitis B

2

Page 3: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

Virus hepatitis yang masuk ke dalam tubuh akan merangsang respon imun

tubuh, yang pertama kali dirangsang adalah respon imun nonspesifik (innate

immune response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam

beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eleminasi nonspesifik ini terjadi

tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel – sel NK dan NK-T.

Untuk proses eradikasi lebih lanjut diperlukan respon imun yang lebih

spesifik, yaitu dengan mengaktivasi sel limfosit T dan limfosit B. Aktivasi sel

T CD8 terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompeks peptida

VHB – MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada

permukaan APC (Antigen Presenting Cell) dan dibantu rangsangan sel T

CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida

VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida VHB yang ditampilkan pada

permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respon imun adalah

peptida kapsid yaitu HBcAg atau HBeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan

mengeliminasi virus yang ada dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi

ini bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang menyebabkan

meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Di samping itu dapat juga terjadi

eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui

aktivitas Interferon gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF) alfa yang

dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik). Aktivasi sel limfosit B

dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara lain

anti-HBs, anti-HBc, dan anti-HBe. Fungsi anti-HBs adalah menetralkan

partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan

demikian, anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Bila

proses eliminasi virus berlangsung efisien, maka infeksi VHB dapat diakhiri,

sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB yang

menetap. 4

Proses eliminasi VHB oleh respon imun yang tidak efisien dapat disebabkan

oleh faktor virus atau faktor inang (manusia). Faktor virus antara lain :

terjadinya imunotoleransi terhadap produk VHB, hambatan terhadap CTL

yang berfungsi melakukan lisis sel-sel teinfeksi, terjadinya mutan VHB yang

tidak memproduksi HBeAg, integrasi genom VHB dalam genom sel hati.

3

Page 4: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

Faktor inang (manusia) antara lain : faktor genetik, kurangnya produksi IFN,

adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit,

respon antiidiotipe, faktor kelamin, dan hormonal. Salah satu contoh peran

imunotoleransi terhadap produk VHB dalam persistensi VHB adalah

mekanisme persistensi infeksi VHB pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu

HBsAg danHBeAg positif. Persistensi tersebut diakibatkan adanya

imunotoleransi tehadap HBeAg yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului

invasi VHB, sedangkan persistensi pada usia dewasa disebabkan oleh

kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus. Persistensi infeksi

VHB dapat disebabkan oleh mutasi pada daerah precore dari DNA yang

menyebabkan tidak dapat diproduksinya HBeAg. Tidak adanya HBeAg pada

mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB.4

2.2 Perjalanan Penyakit Infeksi Hepatitis B Kronis

Terdapat empat fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronis,

yaitu fase imunotoleran, fase imunoaktif atau immune clearance, fase

nonreplikatif atau inactive carrier, dan fase reaktivasi. Pada fase

imunotoleran, yang merupakan fase paling awal infeksi hepatitis B kronis,

sering terdapat pada pasien yang mendapat paparan virus secara vertikal atau

selama masa perinatal. Fase ini ditandai dengan replikasi virus yang sangat

tinggi, (level HBV DNA sangat tinggi, dan HBeAg+), dan ALT yang normal

atau sedikit meningkat. Meskipun pasien memiliki level HBV DNA yang

tinggi, pasien tidak menunjukkan penyakit hati yang signifikan, atau bisa

dikatakan fase ini merupakan fase yang jinak dengan insiden sirosis dan

karsinoma hati yang rendah. Pada fase imunotoleran sangat jarang terjadi

serokonversi HBeAg secara spontan, hanya 15 % dari mereka dengan fase

imunotoleran akan melalui serokonversi antigen HBVe (hilangnya antigen dan

munculnya antibodi anti-e) secara spontan dalam 20 tahun setelah infeksi.

Pada sekitar 30 % individu dengan persistensi VHB akibat replikasi VHB

berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang nampak dari kenaikan

konsentrasi ALT. Pada keadaan ini, pasien mulai kehilangan toleransi imun

terhadap VHB. Fase ini disebut fase imunoaktif (immune clearance), muncul

sekitar 20 sampai 30 tahun setelah onset fase imunotoleran pada pasien yang

4

Page 5: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

mendapat infeksi pada masa perinatal, juga sering dijumpai pada pasien yang

mendapat infeksi pada masa anak-anak dan dewasa. Fase ini ditandai dengan

mulainya proses imunitas untuk menghancurkan virus dan menimbulkan

pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi. 2,4

Gambar 2. Perjalanan Infeksi Hepatitis B.5

Pada fase imunoaktif, serokonversi HBeAg baik secara spontan atau karena

terapi akan lebih sering terjadi. Sisanya sekitar 70 % dari individu tersebut

akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa kerusakan

sel hati yang berarti. Prediktor yang kuat terhadap serokonversi ini adalah

umur yang tua, peningkatan ALT, dan eksaserbasi akut. Meskipun ALT

meningkat dan pada biopsi hati ditemukan bukti hepatitis kronik yang aktif,

fase ini biasanya asimptomatis. Titer HBsAg pada fase ini dalam keadaan

rendah, dengan HBeAg menjadi negatif, anti-HBe menjadi positif secara

spontan, serta konsentrasi ALT yang normal yang menandai terjadinya fase

nonreplikatif atau inactive carrier. Fase yang ketiga ini ditandai dengan

5

Page 6: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

konsentrasi ALT yang normal, HBV DNA yang rendah (< 1,000 kopi/Ml)

atau tidak terdeteksi, titer HBsAg rendah, HBeAg negatif dan antibodi anti-

HBe yang positif. Pada sebagian pasien dalam fase nonreplikatif, pada waktu

terjadi serokonversi HBeAg positif menjadi anti-HBe justru sudah menjadi

sirosis. Hal ini karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi

berulang-ulang sebelum terjadi serokonversi tersebut. Replikasi VHB pada

fase ini sudah mencapai titik yang minimal, tetapi fase yang tenang ini justru

berisiko untuk terjadinya karsinoma hati, diduga karena integrasi genom VHB

ke dalam genom sel hati. Fase yang keempat yaitu fase reaktivasi, dimana

virus mengalami mutasi core atau precore secara spontan yang menyebabkan

sel yang terinfeksi tidak mampu mensekresikan antigen e. Meskipun pasien ini

tidak memperlihatkan antigen e dalam darahnya, mereka menunjukkan

peningkatan ALT yang persisten, peningkatan HBV DNA, dan gambaran

histopatologis hepatitis kronis. Jika dibandingkan dengan pasien pada fase

imunotoleran, pasien pada fase ini dijumpai pada umur yang lebih tua, level

HBV DNA yang lebih rendah, tetapi kerusakan hati yang terjadi lebih parah

dibandingkan dengan fase imunotoleran.2,4,6

2.3 Gambaran Klinis Hepatitis B Kronis

Gambaran klinis hepatits B kronis sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak

didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati hasilnya

normal, dan sebagian lagi didapatkan hepatomegali, splenomegali, tanda-tanda

penyakit hati kronis seperti spider nevi dan eritema palmaris, serta didapatkan

kenaikan konsentrasi ALT. Umumnya konsentrasi bilirubin normal, dan

albumin yang normal kecuali pada kasus yang sudah parah. Secara sederhana

manifestasi klinisnya dapat dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Hepatitis B kronis yang masih aktif

HBsAg positif dengan HBV DNA lebih dari 105 kopi/ml, dengan

kenaikan ALT yang menetap atau intermiten. Pada pasien sering

didapatkan tanda-tanda penyakit hati kronis. Pada biopsi hati

didapatkan gambaran peradangan yang masih aktif. Menurut status

HBeAg, pasien dikelompokkan menjadi hepatitis B kronis HBeAg

positif, dan hepatitis B kronis HBeAg negatif.

6

Page 7: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

2. Carrier HBV Inaktif

Pada kelompok ini, HBsAg positif dengan titer HBV DNA yang

rendah, yaitu kurang dari 105 kopi/ml. Tidak terdapat keluhan dan

konsentrasi ALT normal. Pemeriksaan histologi menunjukkan kelainan

yang minimal. Kelompok pasien ini sulit dibedakan dengan kelompok

pasien hepatitis B kronis HBeAg negatif, karena pemeriksaan DNA

kuantitatif masih jarang dilakukan secara rutin, sehingga diperlukan

pemeriksan ALT berulang untuk waktu yang cukup lama.4

2.4 Diagnosis Infeksi Hepatitis B Kronis

Diagnosis infeksi hepatitis B kronis dapat ditegakkan melalui gambaran

biokimia, virologi, dan gambaran histopatologi serta eksklusi terhadap

penyebab lain seperti hepatitis C. Tes fungsi hati yang rutin dan asai serologi

untuk mendeteksi antigen HBV (HBsAg dan HBeAg) dan antibodi (anti-HBs,

anti-HBc, dan anti-HBe) harus dilakukan untuk mengetahui fase hepatitis B

kronis.5

Tabel 1. Pola Serologi Infeksi Hepatitis B.2

Pada hepatits B kronis yang masih aktif, kerusakan sel hati lebih berat. AST

dan ALT meningkat sampai 5 kali atau 10 kali di atas angka normal. Gamma

GT biasanya lebih rendah dari AST. Apabila kerusakan sel hati lebih berat,

dapat pula ditemukan peninggian GLDH. Pada kelainan hepatitis B persisten,

biasanya hanya didapatkan peninggian AST dan ALT yang tidak terlalu hebat.

Biasanya hanya meningkat 2-3 kali diatas normal, sedangkan gamma GT lebih

7

Page 8: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

rendah dari AST. Fosfatase alkali, GLDH, CHE, dan enzim koagulasi masih

dalam batas normal. Prognosis penyakit ini biasanya baik. Pada sirosis hati,

akan ditemukan peninggian AST dan ALT yang sangat bervariasi. Umumnya

akan didapatkan gamma GT yang lebih tinggi dari AST. Perbandingan AST

dengan ALT atau rasio de Ritis biasanya di atas 1. Kolinestrase akan menurun

apabila kerusakan hati semakin berat. Enzim untuk pembekuan juga akan

menurun. Pemeriksaan biopsi untuk pasien hepatitis B kronis sangat penting

terutama untuk pasien dengan HBeAg positif dengan konsentrasi ALT 2x nilai

normal tertinggi atau lebih (nilai normal ALT = 0-45 iu/l, AST= 0-35 iu/l ).4

Biopsi hati diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti dan untuk

meramalkan prognosis serta kemungkinan keberhasilan terapi (respon

histologik). Sejak lama diketahui bahwa pasien hepatitis B kronis dengan

peradangan hati yang aktif mempunyai risiko tinggi untuk mengalami

progresi, tetapi gambaran histologik yang aktif juga dapat meramalkan respon

yang baik terhadap terapi antivirus. Penemuan biopsi pasien hepatitis B kronis

bervariasi dari inflammasi minimal sampai sirosis. Karakteristik utama

gambaran histologi pasien hepatitits B kronis adalah Ground Glass Hepatocyte

akibat akumulasi antigen HBV permukaaan secara intraselular. Salah satu

klasifikasi histologik untuk menilai aktifitas peradangan adalah dengan

mengunakan sistem skor seperti terlihat pada tabel 2 dan 3 dibawah ini.2,4,8

Tabel 2. Aktivitas Peradangan Portal dan Lobular.4

Grade Patologi

0 Tidak ada peradangan portal/peradangan portal minimal

1 Peradangan portal tanpa nekrosis atau peradangan lubular

tanpa nekrosis

2 Limiting Plate Necrosis ringan (Interface Hepatitis

Ringan) dengan atau nekrosis lobular yang bersifat lokal

3 Limiting Plate Necrosis sedang atau Interface Hepatitis

sedang dan atau nekrosis fokal berat (Confluent Necrosis)

4 Limiting Plate Necrosis berat (Interface Hepatitis berat)

dan atau Bridging necrosis

8

Page 9: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

Tabel 3. Fibrosis.4

Stage Patologi

0 Tidak ada fibrosis

1 Fibrosis terbatas pada zona yang melebar

2 Pembentukan septa periportal atau septa portal-portal

dengan arsitektur yang masih utuh

3 Distorsi arsitektur (Fibrosis Septa Bridging) tanpa

sirosis yang jelas

4 Kemungkinan sirosis atau pasti sirosis

HBV DNA dapat dimonitor pada serum untuk mengetahui aktivitas penyakit

dan keperluan pemberian terapi antivirus, serta untuk menentukan respon

terapi. Terdapat empat tipe asai molekular yang digunakan untuk

mendiagnosis dan memanajemen infeksi hepatitis B kronis, yaitu tes beban

virus kuantitatif, asai genotif, tes mutasi resistensi obat, dan asai core

promoter/ mutasi precore. Tes beban virus (Viral load Test) yang menghitung

HBV DNA pada darah periferal (serum atau plasma), merupakan tes yang

paling banyak dan paling sering digunakan, sedangkan penggunaan ketiga tes

lainnya lebih khusus dan terbatas. Pemeriksaan HBV DNA pada plasma harus

dilakukan seiring dengan tes lainnya untuk menegakkan diagnosis. Nilai HBV

DNA >20,000 IU/ml (100,000 kopi/ml) menandakan replikasi virus yang aktif

selama hepatitis B kronis HBeAg positif. Sementara itu, nilai <20,000 IU/ml

terdapat pada carrier HBsAg inaktif dan hepatitis B kronis HBeAg negatif.

Pengukuran HBV DNA sangat penting untuk diagnosis dan manajemen

hepatitis B kronis HBeAg negatif, karena merupakan satu-satunya penanda

replikasi virus yang bisa dimonitor. Membedakan hepatitis B kronis HBeAg

negatif dengan carrier HBsAg inaktif dapat menjadi sulit karena level ALT

dan HBV DNA yang berfluktuasi. Tetapi, cut off 2,000 IU/ml dapat

membedakan keduanya, terutama pada pasien dengan ALT yang normal. 6

9

Page 10: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

2.5 Terapi Hepatitis B Kronis

Tujuan terapi hepatitis B kronis adalah mencegah progesi menjadi sirosis dan

karsinoma hepatoselular dengan mencegah replikasi virus dan menekan

aktivitas nekroinflammasi. Pasien dengan status inactive carrier tidak

memerlukan terapi, karena progresi penyakit hatinya sangat lambat. Risiko

untuk berkembang menjadi karsinoma hepatoselular lebih kecil daripada

mereka dengan status HBeAg positif. Konsentrasi alanine aminotransferase

harus diperiksa setiap 6-12 bulan, dan harus diskrining karsinoma

hepatoselular dengan ultrasonografi atau a-fetoprotein setiap 2 tahun sekali.

Peningkatan alanine aminotransferase pada pasien ini mengindikasikan

hepatitis B kronis HBeAg negatif dan harus dimanajemen dengan tepat untuk

replikasi virus hepatitis (tes DNA virus hepatitis B), dan untuk penyebab

kerusakan hati lainnya (alkohol,obat,dll). Yang berkualifikasi menjalani terapi

adalah pasien dengan infeksi hepatitis B kronis dengan virus yang bereplikasi

secara aktif, dan terdapat nekroinflammasi. Pasien dengan infeksi virus

hepatitis B kronis (HBsAg positif > 6 bulan), alanine aminotransferase

meningkat 1,5- 2 kali batas normal secara persisten, DNA virus hepatitis B

>105 kopi/ml, dan indeks aktivitas histologi > 4 adalah kandidat untuk

diterapi.3,5

Alanine Aminotransferase merupakan penanda aktivitas nekroinflammasi dan

merupakan sarana sederhana dan tidak mahal untuk memonitor respon

terhadap terapi. Serokonversi ( hilangnya HBeAg dan munculnya anti HBe),

yang muncul secara alami atau karena dirangsang oleh terapi, sangat penting

dan digunakan secara luas sebagai end-point terapi, karena berhubungan

dengan penurunan rate progresi menjadi sirosis hati dan dekompensasi.

Meskipun virus hepatitis B tidak secara langsung sitopatik, menjaga

konsentrasi DNA virus hepatitis B dibawah konsentrasi spesifiknya juga

sangat penting sebagai end-point terapi. Konsentrasi DNA virus hepatitis B

dibawah 105 kopi/ml merupakan cut off yang paling sering digunakan sebagai

respon virologi, dan dapat diases selama terapi, akhir terapi atau setelah terapi

berakhir. Karena tujuan utama terapi hepatitis B kronis adalah mencegah

10

Page 11: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

progresi fibrosis dan perkembangan sirosis hati, biopsi hati bisa menyediakan

sarana yang representatif untuk mengetahui respon terapi. Tetapi, metode ini

bersifat invasive dan risiko komplikasinya lebih besar. Pada pasien dengan

status dekompensasi, skor Child-Pugh bisa digunakan sebagai sarana untuk

mengetahui respon terapi. 3

Pada saat ini dikenal dua kelompok terapi untuk hepatitis B kronis, yaitu

kelompok immunomodulator dan kelompok antiviral. Tiga obat ini_interferon

alfa,lamivudin,dan adefovir_ telah banyak digunakan di beberapa negara untuk

menterapi hepatitis B kronis. Interferon memiliki kedua aktivitas, baik sebagai

immunomodulator dan sebagai antiviral. Sedangkan lamivudin dan adefovir

merupakan antiviral primer. Interferon adalah salah satu pilihan untuk

pengobatan pasien hepatitis B kronis dengan HBeAg positif, dengan aktivitas

penyakit ringan sampai sedang yang belum mengalami sirosis. Dosis yang

dianjurkan adalah 5-10 MU 3x seminggu selama 16-24 minggu. Penelitian

menunjukkan bahwa terapi interferon untuk hepatitis B kronis HBeAg negatif

sebaiknya diberikan selama 12 bulan,sedangkan pasien dengan HBeAg positif

diberikan selama 16 bulan. Dosis yang direkomendasikan untuk anak-anak

adalah 6 MU/m2 3x seminggu dengan dosis maksimum 10 MU.4.9

Tabel 4. Rekomendasi Terapi Hepatitis B Kronis.5

11

Page 12: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

Kontraindikasi terapi interferon adalah sirosis dekompensata, depresi atau

riwayat depresi di masa lalu, dan penyakit jantung yang berat. Selain itu sering

juga dilaporkan gejala seperti flu, yang bisa diredakan dengan parasetamol,

lelah, leukopenia, rambut rontok, anoreksia, perubahan mood dan perasaan

sensitif. Terapi dengan interferon juga bisa mendasari penyakit autoimune

seperti tiroiditis.9 Penambahan polietilen glikol (PEG) menimbulkan senyawa

interferon dengan umur paruh yang lebih tinggi dari interferon jenis biasa,

yang disebut Pegylated Interferon.4,9

Jenis antiviral Lamivudin, analog nukleosida sintetis, berfungsi sebagai bahan

pembentuk pregenom sehingga analog nukleosida bersaing dengan nukleoside

asli. Lamivudin berkhasiat menghambat produksi VHB baru dan mencegah

terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi, tetapi tidak

12

Page 13: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi karena pada sel-sel yang telah

terinfeksi DNA VHB, ada dalam keadaan convalent closed circular DNA.

Karena itu, setelah obat dihentikan, titer DNA VHB akan kembali lagi seperti

semula karena sel-sel yang terinfeksi akan memproduksi virus baru lagi.

Khasiat lamivudin akan meningkat jika diberikan dalam waktu panjang,

sehingga strategi pengobatan yang tepat adalah jangka panjang. Sayangnya,

strategi ini terhambat oleh munculnya virus yang kebal terhadap lamivudin,

yang biasa disebut mutan YMDD. Mutan ini akan meningkat 20 % tiap tahun

jika pengobatan lamivudin diteruskan. Antiviral adefovir, merupakan

nukleosida oral yang menghambat enzim reverse transkriptase.

Mekanismenya hampir sama dengan lamivudin. Walaupun adefovir dapat

dipakai untuk terapi tunggal primer namun karena alasan ekonomi dan efek

samping adefovir, maka pada saat ini terapi dengan adefovir baru dipakai

untuk kasus-kasus yang kebal terhadap lamivudin. Dosis yang dianjurkan

adalah 10 mg tiap hari. Salah satu hambatan utama dalam pemakaian adefovir

adalah toksisitas pada ginjal yang sering dijumpai pada dosis 30 mg atau

lebih.4

Pada kasus koinfeksi dengan virus HIV, pasien kategori ini memiliki HBV

DNA yang lebih tinggi, prognosis dan respon terapi yang buruk. Kebutuhan

akan antiretroviral (HAART) dan anti hepatitis B harus di ases secara

independent. Pemilihan obat untuk hepatitis B tergantung dari kebutuhan

terapi antiretroviral, tingkat supresi imun, dan riwayat pengobatan terdahulu.

Tenofovir disoproxil mempunyai aktivitas melawan hepatitis dan HIV( wild-

type seperti mutan YMDD). Respon terapi dengan interferon menurun pada

pasien dengan koinfeksi HIV, sehingga obat ini hanya digunakan untuk pasien

dengan CD4 > 500/ml. Lamivudin tidak digunakan karena menyebabkan

resistensi pada kedua virus, kecuali pada pasien yang memerlukan HAART,

lamivudin (150 mg 2x sehari) dengan adefovir atau tenofovir harus digunakan

dalam kombinasi dengan regimen antiretoviral.3

Pasien dengan koinfeksi hepatitis C juga memiliki prognosis yang lebih buruk

daripada pasien yang hanya terinfeksi hepatitis B saja. Jika HBV DNA

melebihi 103 kopi dan hepatitis C RNA tidak terdeteksi, terapi sama seperti

13

Page 14: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

pasien yang terinfeksi hepatitis B saja. Tetapi jika HBV DNA rendah dan

hepatitis C RNA terdeteksi, terapi harus diawali dengan interferon dan

ribavirin, serta HBV DNA harus diukur setiap 3 bulan. Jika terdapat

peningkatan bisa ditambahkan lamivudin atau adefovir. 3

Pada pasien hepatitis B kronis yang menjalani kemoterapi dan

immunosuppressants , lamivudin harus diberikan sampai 6 bulan setelah terapi

selesai untuk mencegah reaktivasi virus hepatitis B. Pada anak-anak, karena

berda dalam fase imunotoleran manifestasi penyakit hati jarang terjadi. Jika

terdapat indikasi terpai, dapat diberikan lamivudin atau interferon. Adefovir

tidak digunakan pada anak-anak. Sementara itu, pemberian lamivudin pada

trimester ketiga pada wanita hamil dapat mencegah transmisi hepatitis B pada

fetus.3

2.6 Pencegahan Transmisi Virus Hepatitis B

Pencegahan transmisi HBV yang paling efektif adalah dengan imunisasi rutin

terhadap bayi yang baru lahir. Imunisasi juga harus dilakukan pada orang-

orang yang memiliki risiko tinggi terhadap paparan HBV, seperti pekerja

rumah sakit, orang dengan pasangan sex berganti-ganti, pengguna jarum

suntik bersama, pasien penyakit kronis yang mendapatkan injeksi perkutaneus

berkali-kali, dan kontak dengan orang yang terinfeksi HBV. Bayi yang terlahir

dari ibu yang carrier HBsAg harus dilindungi dari transmisi perinatal dengan

pemberian hepatitis B imunoglobulin, dan vaksin HBV. Vaksin hepatitis B

terdapat dalam dua tipe, berasal dari plasma dan rekombinan. Vaksin

diberikan dalam tiga dosis (saat 0,1,dan 6 bulan), sebanyak 10-30 ug (biasanya

20 ug untuk dewasa dan 10 ug untuk anak-anak). Vaksin hepatitis B bersifat

menginduksi antibodi yang akan menetralkan HBsAg (anti-HBs) pada

kebabyakan (95% ) penerima vaksin. Konsentrasi antibodi 10 mlU/ml

dinyatakan sudah terproteksi. Proteksi ini berlangsung selama kurang lebih 15

tahun, dan karena memori imunologis yang kuat, proteksi akan berlangsung

berkelanjutan sampai anti HBs menjadi tidak terdeteksi. Imunitas akan

berlangsung seterusnya dan boster tidak direkomandasikan secara rutin.3,5

14

Page 15: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

Semua wanita hamil harus diskrining untuk HBsAg. Bayi yang terlahir dari

ibu dengan HBsAg positif risiko transmisi vertikal semakin tinggi jika disertai

dengan HBeAg positif. Bayi tersebut harus menerima baik vaksin dan HBIg

(0,5 ml) dalam 12 jam kelahiran. Mereka harus dites untuk HBsAg, anti-HBs,

dan anti-HBc pada umur 12 bulan. Adanya anti-HBs mengindikasikan

imunitas yang diinduksi vaksin, dan deteksi anti-HBs serta anti HBc

mengindikasikan infeksi yang dimodifikasi oleh imunopropilaksis, sementara

itu adanya HBsAg mengindikasikan kegagalan propilaksis. Pasien yang secara

tidak sengaja terinfeksi HBV, dan belum medapatkan vaksin, harus diberikan

HBIg (0,04-0,07 ml/kg) sesegera mungkin. Vaksinasi harus dilakukan secara

simultan, dengan dosis awal diberikan pada tempat yang berbeda dengan

HBIg, dan jadwal imunisasi yang diakselerasi dalam 4 dosis (bulan 0,1,2,dan

12) disarankan pada kondisi ini.3

BAB III

PENUTUP

Hepatitis B, penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (HBV), yang

merupakan virus DNA dan termasuk famili Hepadnavirus. Setiap tahun, lebih dari

500 ribu kematian di seluruh dunia disebabkan oleh virus ini. Spektrum hepatitis

B kronis bervariasi dari carrier asimptomatik, sirosis hati, sampai karsinoma hati.

15

Page 16: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

Transmisi virus hepatitis B adalah melalui paparan terhadap darah atau cairan

tubuh yang mengandung virus hepatitis B, seperti melalui kontak seksual yang

tidak aman, transfusi darah, penggunaan jarum suntik bersama, dan transmisi

vertikal dari ibu ke anak selama masa persalinan. Terdapat empat fase penting

dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronis, yaitu fase imunotoleran, fase

imunoaktif atau immune clearance, fase nonreplikatif atau inactive carrier, dan

fase reaktivasi. Gambaran klinis hepatits B kronis sangat bervariasi. Pada banyak

kasus tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati

hasilnya normal, dan sebagian lagi didapatkan hepatomegali, splenomegali, tanda-

tanda penyakit hati kronis seperti spider nevi dan eritema palmaris, serta

didapatkan kenaikan konsentrasi ALT. Secara sederhana manifestasi klinisnya

dapat dibagi menjadi 2 yaitu : hepatitis B kronis yang masih aktif, dan carrier

hepatitis B inaktif. Diagnosis infeksi hepatitis B kronis dapat ditegakkan melalui

gambaran biokimia, virologi, dan gambaran histopatologi serta eksklusi terhadap

penyebab lain seperti hepatitis C. Tes fungsi hati yang rutin dan asai serologi

untuk mendeteksi antigen HBV (HBsAg dan HBeAg) dan antibodi (anti-HBs,

anti-HBc, dan anti-HBe) harus dilakukan untuk mengetahui fase hepatitis B

kronis. Biopsi hati diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti dan untuk

meramalkan prognosis serta kemungkinan keberhasilan terapi (respon histologik).

Tujuan terapi hepatitis B kronis adalah mencegah progesi menjadi sirosis dan

karsinoma hepatoselular dengan mencegah replikasi virus dan menekan aktivitas

nekroinflammasi. Pada saat ini dikenal dua kelompok terapi untuk hepatitis B

kronis, yaitu kelompok immunomodulator dan kelompok antiviral. Interferon

memiliki kedua aktivitas, baik sebagai immunomodulator dan sebagai antiviral.

Sedangkan lamivudin dan adefovir merupakan antiviral primer. Pada kasus

koinfeksi dengan virus HIV, Tenofovir disoproxil dapat digunakan karena

mempunyai aktivitas melawan hepatitis dan HIV. Lamivudin tidak digunakan

karena menyebabkan resistensi pada kedua virus, kecuali pada pasien yang

memerlukan HAART. Pasien dengan koinfeksi hepatitis C, jika HBV DNA

melebihi 103 kopi dan hepatitis C RNA tidak terdeteksi, terapi sama seperti pasien

yang terinfeksi hepatitis B saja. Tetapi jika HBV DNA rendah dan hepatitis C

RNA terdeteksi, terapi harus diawali dengan interferon dan ribavirin, serta HBV

16

Page 17: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

DNA harus diukur setiap 3 bulan. Jika terdapat peningkatan bisa ditambahkan

lamivudin atau adefovir.3 Pada pasien hepatitis B kronis yang menjalani

kemoterapi dan immunosuppressants , lamivudin harus diberikan sampai 6 bulan

setelah terapi selesai untuk mencegah reaktivasi virus hepatitis B. Pada anak-

anak, karena berda dalam fase imunotoleran manifestasi penyakit hati jarang

terjadi. Jika terdapat indikasi terpai, dapat diberikan lamivudin atau interferon.

Adefovir tidak digunakan pada anak-anak. Sementara itu, pemberian lamivudin

pada trimester ketiga pada wanita hamil dapat mencegah transmisi hepatitis B

pada fetus.

Pencegahan transmisi HBV yang paling efektif adalah dengan imunisasi rutin

terhadap bayi yang baru lahir. Imunisasi juga harus dilakukan pada orang-orang

yang memiliki risiko tinggi terhadap paparan HBV, seperti pekerja rumah sakit,

orang dengan pasangan sex berganti-ganti, pengguna jarum suntik bersama,

pasien penyakit kronis yang mendapatkan injeksi perkutaneus berkali-kali, dan

kontak dengan orang yang terinfeksi HBV. Vaksin diberikan dalam tiga dosis

(saat 0,1,dan 6 bulan), sebanyak 10-30 ug. Konsentrasi antibodi 10 mlU/ml

dinyatakan sudah terproteksi. Semua wanita hamil harus diskrining untuk HBsAg.

Bayi yang terlahir dari ibu dengan HBsAg positif risiko transmisi vertikal

semakin tinggi jika disertai dengan HBeAg positif. Bayi tersebut harus menerima

baik vaksin dan HBIg (0,5 ml) dalam 12 jam kelahiran.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Hepatitis B Virus. [ cited. 2008 February 8]. Available from: http:/

www. wikipedia. com.

17

Page 18: Diagnosis Dan Terapi Hepatitis b Kronis

2. Elgouhari H, Tamini AR, Carey W. Hepatitis B Virus Infection Understanding

its Epidemiologi Course and Diagnosis. Cleveland Clinic Journal of Medicine.

2008 ; 75 :881-888.

3. Aggralwal R, Ranjan P. Preventing and Treating Hepatitis B Infection.BMJ.

2004; 329: 1080-1085.

4. Soemohardjo S, Gunawan S. Hepatitis B Kronik. Dalam Sudoyo AW,

Setyohadi B, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi

IV. Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. 2006: 433-422.

5. Foster G, Raymond D. Diagnosis and Treatment of Chronic Hepatitis B. J R

Soc Med. 2004 ; 97: 318-321.

6. Valsamakis A. Molekular Testing in The Diagnosis and Management of

Chronic Hepatitis B. Clinical Microbiologi Reviews. 2007; 20: 426-439.

7. O’shea R. Chronic Hepatitis B Virus Infection Issues in Treatment. Cleveland

Clinic Journal of Medicine. 2007; 74: 557-560.

8. Nurul A. Kelainan Enzim Pada Penyakit Hati. Dalam Sudoyo AW, Setyohadi

B, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Ilmu

Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. 2006: 424-426.

9. Karayiannis P. Hepatitis B Virus: Old New and Future Approach to Antiviral.

Journal of Antimicrobial Chemoterapy. 2003;51: 761-785.

18