Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia
Transcript of Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia
DIAGNOSA DINI DAN ERADIKASI DALAM MEMBERANTAS
POLIOMIELITIS DI INDONESIA
Oleh:
Nama : Rusly
NPM : 208.210.044
Pembimbing : Prof. dr. David H. Simanjuntak, DAKM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
MEDAN
2012
KARYA TULIS ILMIAH
Diagnosa Dini dan Eradikasi dalam
Memberantas Poliomielitis di Indonesia
-------------------------------------------------------------------------------------
Oleh:
Pembimbing : Prof. dr. David H. Simanjuntak, DAKM
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
MEDAN
2012
ii
HALAMAN PENETAPAN JUDUL
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia
NAMA : RUSLY
NIM : 208.210.044
JUDUL KARYA TULIS ILMIAH
DIAGNOSA DINI DAN ERADIKASI DALAM MEMBERANTAS
POLIOMIELITIS DI INDONESIA
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Ditetapkan pada Tanggal 19 September 2011
Dosen Pembimbing
(Prof. dr. David H. Simanjuntak, DAKM)
Diketahui dan didaftar Tanggal 21 September 2011
Ketua Program Studi
Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia
(dr. Jaminsen Sinaga, SpA)
iii
HALAMAN PENETAPAN SELESAI BIMBINGAN
Karya tulis ilmiah dengan judul
Diagnosa Dini dan Eradikasi dalam Memberantas Poliomielitis di Indonesia
Oleh : Rusly
NIM : 208.210.044
Telah selesai dan disahkan oleh Pembimbing untuk
diajukan di depan Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia
Medan, 24 Maret 2012
Dosen Pembimbing
(Prof. dr. David H. Simanjuntak, DAKM)
Diketahui dan didaftar
Ketua Program Studi
Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia
(dr. Jaminsen Sinaga, SpA)
iv
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini
Nama : Rusly
NIM : 208.210.044
Dengan ini menyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah dengan Judul:
Diagnosa Dini dan Eradikasi dalam Memberantas Poliomielitis di Indonesia
Adalah benar merupakan Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis sendiri. Saya berjanji
bersedia menerima sangsi sesuai ketentuan yang berlaku bila dikemudian hari
ternyata Karya Tulis Ilmiah ini merupakan hasil karya penulis lain.
Medan, 24 Maret 2012
Yang membuat pertanyaan
(Rusly)
v
HALAMAN PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH
KARYA TULIS ILMIAH
DIAGNOSA DINI DAN ERADIKASI DALAM MEMBERANTAS
POLIOMIELITIS DI INDONESIA
OLEH:
Nama : Rusly
NIM : 208.210.044
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa
Program Studi Sarjana Kedokteran Universitas Methodist Indonesia
Hari : Jumat Tanggal : 30 Maret 2012
Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah
Penguji I Penguji II/Pembimbing
(dr. Tenol Idrus, DAAI) (Prof. dr. David H. Simanjuntak, DAKM)
Ketua Sidang
(dr. Ronald Tambunan, MKT)
vi
ABSTRAK
Poliomielitis telah diketahui sejak lama sebagai penyakit kelumpuhan yang
disebabkan kerusakan kornu anterior sumsum tulang belakang. Walaupun
presentasi kasus menunjukan hanya 1% kasus yang menunjukan kelumpuhan,
tetapi kelumpuhan yang diakibatkan bersifat permanen dan membatasi kehidupan
penderitanya. Sementara 99% kasus subklinik lainnya dapat menyebarkan
penyakit ini tanpa sepengetahuan penderitanya.
Erapo singkatan dari eradikasi polio adalah sebuah usaha kesehatan
masyarakat yang dilaksanakan dalam memberantas poliomielitis secara global. Di
Indonesia, erapo pernah sukses dengan sertifikasi bebas polio dari tahun 1995.
Tetapi tahun 2005 adalah tahun yang berat bagi pelaksanaan erapo di Indonesia
karena KLB poliomielitis terjadi di Jawa Barat dan menyebar ke daerah lainnya.
Hal ini menunjukan adanya masalah multisektorial yang menjadi penyebab KLB
poliomielitis tahun 2005.
Tidak ada satupun obat yang dapat mengobati poliomielitis. Namun sangat
jelas bahwa imunisasi dapat dilakukan yang merupakan langkah yang terbaik
dalam mencegah penyebaran penyakit ini. Diagnosa dini dapat menolong
kesembuhan penderitanya dan bersama dengan surveilans yang terus menerus
dapat mendeteksi kasus baru untuk menginisiasi segala usaha dalam menghambat
penyebaran poliomielitis.
Kata Kunci: poliomielitis, diagnosa dini, eradikasi polio, Indonesia
vii
ABSTRACT
Poliomyelitis has been known long time ago as paralytic disease that is
caused by destruction at anterior horn of spinal cord. Eventhough case percentage
shows only 1% case that manifests as paralyse, however it is permanent and
inhibit the sufferer’s daily activities. While the other 99% subclinical cases can
spread this disease without the sufferer’s acknowledge.
Polio eradication (eradikasi polio is abbreviated as erapo) is a public health
effort that is implemented in eradicating poliomyelitis globally. In Indonesia,
erapo had been successed in result of polio free certification. But year 2005 is
such a hard year for erapo implementation in Indonesia because poliomyelitis
outbreak was occurred in West Java and spread to other districts. This case
concerned that multisector problems that causes poliomyelitis outbreak by 2005 is
existed.
There’s no medication that can cure anyone from poliomyelitis. But it’s
very clear that immunization can be done which is the best step to prevent this
disease spreading. Early diagnostic may aid the sufferer’s recovery and
accompanied with continuous surveilance can detect new case to initiate any
action in matter to limit poliomyelitis spreading.
Key words: poliomielitis, early diagnostic, polio eradication, Indonesia
viii
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “Diagnosa Dini dan Eradikasi dalam Memberantas
Poliomielitis di Indonesia”.
Dalam penyusunan laporan ini tidak terlepas bantuan dan dorongan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Ir. Pantas Simanjuntak, MM, selaku Rektor Universitas Methodist
Indonesia
2. Bapak dr. Wilson Riau, DTM&H, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Methodist Indonesia
3. Bapak dr. Jaminsen Sinaga, Sp.A, selaku Ketua Program Studi Sarjana
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia Medan
4. Bapak Prof. dr. David H. Simanjuntak, DAKM, selaku Dosen Pembimbing
Karya Tulis Ilmiah yang telah banyak memberi arahan dan masukan dalam
penyelesaian karya tulis ilmiah ini
5. Seluruh Dosen dan Staf Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas
Methodist Indonesia Medan
6. Orang tua yang selama ini tidak lelah memberikan dukungan, motivasi dan
doa sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan
7. Teman- teman tutorial kelompok 4 dan rekan- rekan mahasiswa/i Fakultas
Kedokteran Universitas Methodist Indonesia Medan yang telah memberikan
dukungan selama ini dan selama penyelesaian karya tulis ilmiah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga hasil laporan ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca Karya Tulis Ilmiah ini dan penulis mohon maaf bila terdapat
banyak kesalahan. Oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan.
Medan, 24 Maret 2012
Penulis
Rusly
ix
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i
HALAMAN PENETAPAN JUDUL……………………………………... ii
HALAMANPENETAPAN SELESAI BIMBINGAN………………….... iii
HALAMAN PERNYATAAN……………………………………………. iv
HALAMAN PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH……………...... v
ABSTRAKSI……………………………………………………………... vi
ABSTRACT……………………………………………………………..... vii
KATA PENGANTAR……………………………………………………. viii
DAFTAR ISI………………………………………………………............ ix
DAFTAR TABEL……………………………………………………….... xii
DAFTAR GRAFIK……………………………………………….............. xiii
BAB I. PENDAHULUAN...……………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………. 3
1.3 Tujuan………………………………………………………... 4
1.3.1 Tujuan Umum…………………………………………. 4
1.3.2 Tujuan Khusus………………………………………… 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………... 5
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Pusat…………………... 5
2.1.1 Sistem Saraf Pusat…………………………………….. 5
2.1.1.1 Serebrum (Otak Besar)………………………... 6
2.1.1.2 Regio Diensefalon…………………………….. 8
2.1.1.3 Serebelum……………………………………... 8
2.1.1.4 Batang Otak…………………………………… 8
x
2.1.1.5 Sumsum Tulang Belakang…………………….. 9
2.1.2 Sistem Saraf Tepi……………………………………… 12
2.1.3 Intergrasi Sistem Saraf………………………………… 14
2.2 Penyebab dan Lokasi Kerusakan Poliomielitis………………. 14
2.2.1 Virus Polio…………………………………………….. 15
2.2.2 Lokasi Kerusakan Poliomielitis………………………... 16
2.3 Diagnosa dan Penatalaksanaan Poliomielitis…………………. 18
2.3.1 Gejala Klinis Poliomielitis……………………………... 18
2.3.1.1 Poliomielitis Asimptomatis……………………. 20
2.3.1.2 Poliomielitis Abortif…………………………... 20
2.3.1.3 Poliomielitis Non Paralitik…………………….. 20
2.3.1.4 Poliomielitis Paralitik………………………….. 21
2.3.1.4.1 Bentuk Spinal………………………… 21
2.3.1.4.2 Bentuk Bulbar………………………… 22
2.3.1.4.3 Polioensefalitik……………………….. 23
2.3.1.5 Post Poliomyelitis Syndrome (PPS)……………. 24
2.3.2 Pemeriksaan Laboratorium Poliomielitis……………….. 25
2.3.2.1 Isolasi Virus……………………………………. 25
2.3.2.2 Pemeriksaan Serologis…………………………. 28
2.3.2.3 Analisis Cairan Serebrospinal………………….. 28
2.3.3 Diagnosa Banding Poliomielitis………………………... 29
2.3.4 Penatalaksanaan Poliomielitis………………………….. 30
2.4 Pencegahan dan Pengendalian Poliomielitis………………….. 34
2.4.1 Kesehatan Lingkungan dan Kebersihan Diri…………... 35
2.4.2 Imunisasi……………………………………………….. 36
2.4.2.1 Vaksin Polio…………………………………… 38
2.4.3 Erapo (Eradikasi Polio)……………………………….... 39
2.5 Masalah Erapo di Indonesia………………………………….. 44
BAB III. PEMBAHASAN...........………………………………………... 55
xi
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………... 58
4.1 Kesimpulan…………………………………………………... 58
4.2 Saran…………………...…………………………………….. 59
DAFTAR PUSTAKA…………...………………………………………... 60
xii
Daftar Tabel
Tabel Keterangan Halaman
Tabel 2.1 Traktus spinal mayor. 7
Tabel 2.2 Saraf kranial dan beberapa saraf spinal. 9
Tabel 2.3 Jenis poliomielitis dan presentasi kasus
keseluruhan di dunia. 15
Tabel 2.4 Membedakan AFP yang disebabkan oleh
GBS dan Mielitis Transversa. 25
Tabel 2.5 Jadwal Lima Imunisasi Dasar Lengkap (LIL)
dikeluarkan Depkes RI. 33
Tabel 2.6 Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 Tahun
IDAI. 34
Tabel 2.7 Jumlah kasus AFP, non polio AFP rate
menurut provinsi di Indonesia tahun 2010. 41
Tabel 2.8 Jumlah angka beban ketergantungan di
Indonesia tahun 2010. 41
Tabel 2.9 Persebaran dan proporsi penduduk miskin
menurut kelompok besar pulau di Indonesia. 45
Tabel 2.10
Jumlah dan persentase daerah tertinggal dan
ketersediaan puskesmas di Indonesia tahun
2010.
45
Tabel 2.11
Persentase cakupan imunisasi polio di
Indonesia menurut provinsi dan menurut
karakteristik responden tahun 2010.
47
xiii
Daftar Grafik
Grafik Keterangan Halaman
Grafik 2.1 Alur pengumpulan dan penyaluran spesimen. 23
Grafik 2.2 Persentase beban ketergantungan di Indonesia
berdasarkan provinsi tahun 2010. 42
Grafik 2.3 Persentase kepadatan penduduk Indonesia
2010. 43
Grafik 2.4 Akses air bersih di Indonesia tahun 2010. 44
Grafik 2.5
Persentase non polio AFP rate dan
pengiriman spesimen adekuat di Indonesia
tahun 2003 – 2010.
46
Grafik 2.6 Cakupan desa/ kelurahan UCI di Indonesia
tahun 2004- 2010. 48
Grafik 2.7 Piramida Penduduk Indonesia tahun 2010. 49
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Poliomielitis atau hanya disebut polio merupakan suatu penyakit infeksi
akut yang menyerang sistem saraf pusat dengan predileksi sel anterior substantia
grisea sumsum tulang belakang dan inti saraf motorik batang otak dengan atau
tanpa menunjukan gejala. Gejala yang ditimbulkanpun bervariasi antara sebatas
gejala prodromal hingga menyebabkan kelumpuhan.
Masalah serius timbul berhubungan dengan poliomielitis yang dapat
terjadi secara epidemik karena virus polio kerap kali tidak menunjukan gejala atau
hanya gejala ringan bagi pejamu yang ditumpanginya sehingga penderita sering
tidak tahu bahwa dirinya sedang membawa penyakit polio. Transmisi virus polio
tidak mengenal batas wilayah dan sanitasi suatu lingkungan. Diketahui pula
bahwa polio bisa terjadi di segala kondisi sanitasi lingkungan karena penularan
virus ini tidak hanya melalui transmisi fekal- oral yang umumnya terjadi di
lingkungan dengan sanitasi buruk, tetapi juga transmisi oro- oral yang bisa terjadi
di sanitasi yang baik (Widoyono, 2008). Namun demikian, resiko penyebaran
virus polio yang paling tinggi terdapat di daerah dengan sanitasi yang buruk.
Selain masalah penyebaran virus ini, invasi virus ini ke sistem saraf yang dapat
bersifat permanen berupa kecacatan dan bahkan kematian. Kecacatan paralisis
terjadi hanya 1 dari 1000 kasus. Paralisis kaki unilateral lebih sering terjadi pada
anak- anak dibawah usia 5 tahun sedangkan quadriplegia lebih sering terjadi pada
orang dewasa (Gawne, 1995). Kasus polio sering terjadi pada saat musim panas
dan musim gugur pada negara dengan empat musim tetapi pada daerah tropis
perbedaan ini tidaklah signifikan (Davies, 2011). Masalah ini akan menjadi
2
masalah bagi penderita, keluarga penderita, lingkungan penderita dan masalah
bagi negara.
Ruang lingkup masalah yang ditimbulkan juga bukan sebatas masalah
kesehatan semata, melainkan terlibatnya sektor ekonomi dan sosial. Dari aspek
ekonomi, selain pendanaan dalam memberantas polio, penyakit polio yang
menyebabkan kecacatan atau bahkan kematian telah membatasi dan mengurangi
jumlah penduduk yang produktif dan potensial. Hal ini akan membatasi usaha
pemerintah dalam pengembangan potensi bangsa Indonesia yang begitu besar.
Dari sektor sosial, selain menimbulkan rasa rendah diri penderitanya, penyakit
polio yang terjadi epidemik dapat menimbulkan kecemasan orangtua terhadap
anak- anak mereka. Rasa cemas orang tua yang menimbulkan sikap protektif
berlebih terhadap anak- anak mereka akan membatasi potensi anak tersebut dalam
belajar dan bersosialisasi. Akibat multisektorial penyakit polio bisa menjadi beban
bukan hanya bagi penderita namun keluarganya dan bahkan dalam kontekstual
yang lebih luas, masalah ini merupakan masalah bagi bangsa dan negara
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
WHO, UNICEF dan Rotary Foundation berusaha melakukan Eradikasi
Polio Global pada tahun 1988 dengan harapan dunia bebas polio pada tahun 2000
sehingga semua usaha memberantas polio dapat dihentikan. Tetapi setelah tahun
2001, penurunan jumlah kasus polio tidak menunjukan hasil yang berarti seperti
tahun- tahun sebelumnya. Eradikasi polio (erapo) adalah suatu usaha kesehatan
masyarakat dalam memberantas semua kasus infeksi polio diseluruh dunia dengan
melancarkan beberapa strategi diantaranya pemberian imunisasi oral dalam 4
dosis pada 1 tahun pertama kehidupan bayi serta mengadakan imunisasi rutin pada
daerah endemik (World Health Organization, 2003).
Sebelum adanya vaksin polio, Indonesia sebenarnya telah endemik polio.
Polio pada sekitar tahun 50-an tidak ditanggapi secara serius karena adanya
hipotesa bahwa kekebalan alamiah terhadap polio dapat dibentuk dengan sanitasi
3
yang buruk, walaupun kemudian hipotesa ini tidak terbukti sepenuhnya
(Ismoedijanto, 2005).
Sejak tahun 1995 Indonesia telah dinyatakan bebas polio tetapi pada
tanggal 5 Mei 2005, berita ditemukan kembali kasus polio di Sukabumi, Jawa
Barat menyebabkan reputasi Indonesia sebagai negara yang bebas polio selama
10 tahun harus hilang (World Health Organization, 2005). Kasus polio kembali
menjadi masalah kesehatan di Indonesia karena mengingat pada tahun tersebut
polio dengan cepatnya merebak ke berbagai provinsi sekitarnya seperti, DKI
Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur bahkan virus ini terbawa sampai Lampung.
Pada tahun 2005 tercatat 303 kasus polio yang kemudian mengalami penurunan
pada tahun 2006 dengan jumlah 2 kasus. Menurut penyelidikan WHO melalui
GSL (Global Specialized Laboratory), strain virus polio di Indonesia berasal dari
Nigeria atau Sudan yang dibawa oleh tenaga kerja Indonesia atau jemaah haji
yang berasal dari Arab Saudi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009a).
Walaupun Arab Saudi bukan negara endemik polio tapi tanggal 15 Desember
2004, seorang anak berusia 5 tahun asal Nigeria yang tinggal di kamp
pengungsian ilegal di dekat kota Mekkah menderita lumpuh (Widoyono, 2008).
Sementara itu, data terakhir di Sumatera Utara dari Dinas Kesehatan
Sumatera Utara (2009), periode antara tahun 2007- 2008 masih mencatat ada
penderita polio di 2 kabupaten yakni, kabupaten Humbang Hasundutan sebanyak
12 kasus pada tahun 2008 dan kabupaten Serdang Berdagai sebanyak 5 kasus
pada tahun 2007.
Masalah wabah polio yang pernah kembali terjadi di Indonesia dimana
Indonesia menjadi negara ke- 16 yang mengalami kembali kasus polio,
menunjukan sebuah krisis kesehatan dengan implikasi global.
1.2 Rumusan Masalah
Sejauh mana penegakan diagnosa dini dalam ketidaktahuan masyarakat
dan pelaksanaan erapo yang kurang berhasil sehingga penyakit polio muncul
kembali di Indonesia.
4
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menegakan diagnosa dini dan pelaksanaan erapo di masyarakat/
Indonesia.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi sistem saraf manusia
sebagai dasar pembahasan poliomielitis.
2. Untuk mengetahui penyebab poliomielitis dan lokasi kerusakan
pada sistem saraf sehingga menimbulkan manifestasi klinis yang
relatif bervariasi.
3. Untuk mengetahui diagnosa dini poliomielitis serta penanganannya.
4. Untuk mengetahui cara pencegahan poliomielitis dengan program
imunisasi biasa dan strategi erapo dalam memberantas polio.
5. Untuk mengetahui masalah- masalah yang dihadapi sehingga
belum tercapainya sasaran eradikasi poliomielitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Manusia
Sistem saraf manusia memiliki 2 divisi utama yaitu sistem saraf pusat dan
sistem saraf tepi. Secara garis besar, sistem saraf pusat meliputi otak dan sumsum
tulang belakang yang merupakan lokasi pusat pengaturan sistem tubuh. Sistem
saraf tepi terbagi lagi atas 2 divisi yakni, saraf somatik dan otonom. Keduanya
bekerja sama dalam menjalankan fungsinya (Mader, 2004).
2.1.1 Sistem Saraf Pusat
Otak pada sistem saraf pusat terbagi lagi atas prosensefalon,
mesensefalon, rombensefalon. Prosensefalon terdiri atas telensefalon
(serebrum) dan diensefalon (talamus, hipotalamus, epitalamus).
Mesensefalon yakni otak tengah. Rombensefalon terdiri dari metensefalon
(pons dan serebelum) dan mielensefalon (medula oblongata). Kecuali
serebelum, mesensefalon dan rombensefalon membentuk batang otak.
Sumsum tulang belakang merupakan penghubung antara sistem saraf pusat
yang lebih tinggi dengan sistem saraf tepi (Furqonita, 2005a). Sistem saraf
pusat terdiri dari substansia grisea dan substansia alba. Substansia grisea
berwarna abu- abu karena mengandung badan sel dan prosesus tanpa mielin
sementara substansia alba berwarna putih karena mengandung akson yang
bermielin (Mader, 2004). Sistem saraf pusat dilindungi secara mekanik oleh
selaput meningens dan tulang (kranium dan kolumna vertebralis).
Sementara neuroglia bertindak sebagai pendukung kehidupan sistem saraf
pusat dan melindungi sistem saraf pusat dari fluktuasi kimia dalam tubuh
dengan membentuk sawar darah otak pada setiap kapiler darah yang
memberi nutrisi bagi sistem saraf pusat (Saladin, 2003).
6
2.1.1.1 Serebrum (Otak Besar)
Serebrum adalah bagian otak manusia yang terbesar. Serebrum
merupakan tempat terminal dari impuls sensorik yang masuk sebelum
respon motorik dikeluarkan. Aksi individu adalah bentuk intergrasi yang
diproses di serebrum (Mader, 2004). Serebrum dibagi menjadi 2 bagian
yakni, serebrum kiri dan kanan yang dihubungkan oleh korpus kalosum
(Sherwood, 2010). Substansia grisea merupakan lapisan korteks serebri di
bagian luar dan massa lain membentuk nukleus basalis yang terbenam di
dalam substansia alba (Junqueira, 2005).
Area fungsional korteks serebri, area brodmann (Furqonita, 2005a).
Serebrum memiliki 4 pasang lobus yang mempunyai area untuk
menanggungjawabi aktivitas yang berlainan. Area motorik primer tepat di
anterior sulkus sentralis memberikan perintah ke otot- otot rangka
kontralateral yang mengontrol masing- masing tubuh secara yang berbeda
(Mader, 2004). Informasi somatostetik dan propriosepsi diterima oleh area
somatosensori primer yang terdapat di posterior sulkus sentralis pada lobus
parietalis. Homunkulus adalah pemetaan lokasi dan kontrol korteks motorik/
sensorik pada beberapa bagian. Luas presentasi homunkulus sebanding
dengan tingkat kesulitan dan ketepatan kontrol motorik. (Sherwood, 2010).
7
Homunkulus sesorik dan motorik (Furqonita, 2005a).
Terdapat juga area asosiasi yang terlibat dalam fungsi yang lebih
kompleks. Terdapat 3 area asosiasi yakni, korteks asosiasi prafrontalis yang
terlibat dalam fungsi eksekutif (Guyton, 2007), korteks asosiasi parietalis-
temporalis-oksipitalis yang memberitahukan lingkungan sekitar secara
lengkap dan yang terakhir korteks asosiasi limbik berkaitan dengan emosi
dan motivasi serta ketelibatannya dalam memori (Sheerwood, 2010).
Kemampuan berbahasa terdapat di area brocca dan wernicke. Area brocca
bertanggung jawab untuk kemampuan berbicara dengan mengontrol otot-
otot artikulasi sementara area wernicke berhubungan dengan kemampuan
pemahaman bahasa (Sherwood, 2010).
Area ganglia basalis pada potongan frontalis otak (Furqonita, 2005a).
Impuls motorik yang melewati nukleus basalis akan diaktivasi atau
dibatasi agar pola gerakan yang tidak berguna dapat dieliminasi (Mader,
2004). Ganglia basalis hanya dapat mengeliminasi dan terlibat dalam
gerakan yang volunter, postur tubuh dan penyangga. (Sherwood, 2010).
8
2.1.1.2 Regio Diensefalon
Hipotalamus dan talamus berada di regio diensefalon. Hipotalamus
berfungsi dalam mengatur banyak fungsi homeostasis, seperti pengaturan
suhu, rasa lapar, jumlah cairan dengan pelepasan hormon untuk mengontrol
rasa haus dan pengeluaran urin, terlibat dalam pengaturan homeostasis yang
lebih luas dengan melibatkan sistem saraf otonom dan endokrin (sistem
neuroendokrin). Regio ini juga berperan dalam pola perilaku dan emosi
dalam sistem limbik (Guyton, 2007). Terdapat juga kelenjar pineal yang
memproduksi melantonin, salah satu kimia yang terlibat dalam siklus tidur
(Snell, 2006b).
Talamus befungsi sebagai stasiun penyambung dan intergrasi sinaps
untuk semua masukan sensorik. Impuls sensorik akan disaring dan
diarahkan ke korteks somatosensorik yang sesuai. Talamus juga
menentukan kesadaran kasar terhadap sensasi dan memperkuat impuls
motorik melalui korteks (Sherwood, 2010).
2.1.1.3 Serebelum (Otak Kecil)
Seperti serebrum, serebelum dipisahkan menjadi 2 hemisfer yang
terletak di fossa cranii posterior terpisah dengan batang otak oleh ventrikel
quartus. Namun serebelum memiliki hubungan dengan bagian- bagian
disekitarnya melalui penduculus cerebellaris dengan mesensefalon, pons
dan medula oblongata (Snell, 2006b). Serebelum menerima input sensorik
dari mata, telinga, persendian dan kaki dan mengatur output ke otot- otot
rangka dalam menjaga keseimbangan (Mader, 2004).
2.1.1.4 Batang Otak
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblongata. Otak
tengah bertindak sebagai stasiun penguhubung serebrum sehingga banyak
memiliki serabut aferen dan eferen (Snell, 2006a).
9
Pons banyak mengandung akson transversal yang berada diantara
serebelum dan sistem saraf pusat lainnya (Snell, 2006a). Pons bersama
medula oblongata juga berfungsi dalam mengatur refleks gerakan kepala
sebagai respons terhadap rangsangan penglihatan dan pendengaran (Mader,
2004). Medula oblongata memiliki fungsi refleks dalam mengatur
pernapasan, denyut jantung dan pelebaran- penyempitan pembuluh darah.
Selain itu juga mengontrol refleks medula seperti muntah, batuk, bersin,
bersedu dan menelan (Sherwood, 2010).
Saraf kranial yang keluar dari batang otak (Furqonita, 2005b).
Selain fungsi tersebut, batang otak memiliki sebagian besar inti- inti
saraf kranial. Menurut Furqonita (2005b), otak tengah misalnya memiliki
inti saraf kranial ketiga dan keempat, pons memiliki inti saraf kranial kelima
sampai ketujuh sedangkan medula oblongata memiliki inti saraf kranial
kedelapan hingga keduabelas. Disepanjang batang otak berjalan suatu
jaringan yang menerima dan mengintergrasikan seluruh sinaps, disebut
formasio retikularis. Kemudian jaringan ini berjalan sampai talamus yang
terlibat dalam kesadaran (Sherwood, 2010).
2.1.1.5 Sumsum Tulang Belakang
Sumsum tulang belakang terletak di dalam rongga tulang belakang
memanjang dari vertebra servikal I hingga vertebra lumbal III saat lahir.
10
Karena pertumbuhan tulang vertebra jauh lebih cepat dari sumsum tulang
belakang sehingga saat dewasa, sumsum tulang sebatas vertebra lumbal I
(Saladin, 2003). Di bagian inferior regio servikal terdapat pembesaran
(intumescentia) yang mempersarafi daerah extremitas atas. Hal serupa
terjadi di lumbosakralis mempersarafi extremitas bawah. Dibawah
pembesaran lumbosakralis terdapat penyempitan membentuk corong yang
mana keluar serabut saraf mengisi kolumna vertebra L2 - S5 disebut cauda
equina (Snell, 2006b).
Traktus sumsum tulang belakang pada T4 (Saladin, 2003).
Pada sumsum tulang, lapisan luar disusun substansia alba dan
substansia grisea di bagian dalam yang membentuk gambaran seperti huruf
H (Mader, 2004). Dari substantia grisea terdapat 2 akar yang keluar yakni,
akar dorsal yang mengandung saraf sensorik aferen sedangkan dari
substansia alba terdapat 2 akar yakni, akar ventral yang mengandung saraf
motorik eferen (Saladin, 2003).
Di sepanjang sumsum tulang belakang terdapat berkas- berkas saraf
yang dikelompokan menjadi traktus. Traktus ini berawal atau berakhir di
bagian otak tertentu. Sepanjang perjalanannya, traktus ini bisa mengalami
penyilangan (decussation) maka pengontrolan tubuh adalah berlawanan
terhadap asal perintah yang disebut sebagai kontralateral. Sebaliknya,
traktus yang tidak mengalami penyilangan, mengontrol bagian tubuh sesuai
asalnya, disebut ipsilateral (Saladin, 2003). Pembagian traktus berdasarkan
arah impuls yakni, traktus asendens dan traktus desendens, biasanya
dinamakan berdasarkan asal dan ujungnya (Sherwood, 2010). Traktus
11
asendens mengantarkan impuls sensorik yang terbagi atas 3 orde yaitu, orde
pertama yang membawa impuls dari sumsum tulang belakang ke batang
otak. Orde kedua membawa impuls hingga stasiun penghubung- talamus
dan yang terakhir orde ketiga berakhir di korteks serebri (Snell, 2006a).
Traktus desendens dibagi menjadi dua yakni, UMN (upper motor neuron)
yang dimulai dari soma di korteks serebri atau batang otak dan aksonnya
berakhir sampai LMN (lower motor neuron) di kornu anterior sumsum
tulang belakang (Saladin, 2003).
Tabel 2.1. Traktus spinal mayor (Saladin, 2003).
Traktus Kolum Penyilangan Fungsi
Traktus Asendens (Sensorik)
Fasikulus
Gracilis
Dorsal Medula Posisi - pergerakan
Ekstremitas, sentuhan
dalam, nyeri viseral, getaran,
dibawah T6
Fasikulus
Kuneatus
Dorsal Medula Sama seperti fasikulus
gracilis, diatas T6
Spinotalamikus Lateral
Ventral
Medula
Spinalis
Sentuhan ringan, gatal, suhu,
nyeri dan tekanan
Spinoserebellar
Dorsalis
Lateral - Propriosepsi
Spinoserebellar
Ventralis
Lateral Medula
Spinalis
Sama seperti spinoserebelar
dorsalis
Traktus Desendens (Motorik)
Kortikospinal
lateralis
Lateral Medula Kontrol halus ekstremitas
Kortikosinal
ventralis
Ventral - Kontrol halus ekstremitas
Tektospinal Lateral dan
ventral
Otak tengah Refleks memutar kepala
sebagai repons terhadap
suara dan visual
Retikulospinal
lateralis
Lateral - Postur dan keseimbangan.
Regulasi terhadap nyeri
Retikulospinal
medialis
Ventral - Seperti retikulospinal
lateralis
Vestibulospinal Ventral - Keseimbangan dan postur
tubuh
Gerak refleks timbul ketika impuls masuk tanpa dikelola di korteks
serebrum tetapi melalui interneuron, impuls dilanjutkan ke saraf motorik
(Mader, 2004). Jalannya impuls pada suatu refleks disebut lengkung refleks.
12
Ada beberapa refleks yang dilakukan pada pemeriksaan neurologis
seperti, refleks superfisial; refleks dinding abdomen yang jika hilang
menandakan lesi sentral dan refleks krenmaster yang jika hilang
menandakan lesi medula spinalis, refleks tendon dalam; biseps, triseps,
patela dan archilles yang jika berkurang menandakan lesi LMN dan
bertambah menandakan lesi UMN, dan refleks patologis yang muncul pada
keadaan patologis tertentu (Latief, 2009).
2.1.2 Sistem Saraf Tepi
Serat saraf bagian dari sistem saraf tepi merupakan kumpulan dari
beberapa akson dalam satu fasikel. Beberapa fasikel ini akan membentuk
serat yang diselubungi perineurium (Junqueira, 2005). Seperti traktus sistem
saraf pusat, serat saraf ini mempunyai jalurnya ke efektor untuk
menyampaikan informasi.
Sebuah serat saraf memiliki lapisan- lapisan pembungkus dan jaringan ikat
kuat memberikan perlindungan (Parker, 2007).
Tetapi berbeda dengan neuron di sistem saraf pusat, sel schwann
sebagai neuroglia satu-satunya pelindung sistem saraf tepi sementara untuk
medukung viabilitas akson diperoleh dari transpor akson dari soma neuorn.
(Junqueira, 2005).
Sistem saraf tepi dibagi menjadi dua divisi utama yakni sensorik
(aferen) dan motorik (eferen). Pada kontrol motorik terdiri dari, divisi
somatik dan divisi otonom (Saladin, 2004) yang merupakan saraf simpatis
dan parasimpatis. Secara anatomis, divisi utama ini dapat dibagai berdasar
tempat keluarnya- saraf kranial ataupun saraf spinal (Mader, 2004).
13
Tabel 2.2. Saraf kranial dan beberapa saraf spinal (Mader, 2004).
Saraf Kranial Tipe Lokasi Awal Lokasi Tujuan
Olfaktori (I) Sensorik Olfactory bulb Reseptor olfaktori
Optik (II) Sensorik Talamus Retina
Okulomoti (III) Motorik Otak tengah Otot penglihatan, pupil
Troklearis (IV) Motorik Otak Tengah Otot penglihatan
Trigeminal (V) Campuran Pons Gigi, mata, kulit dan lidah
Abdusens (VI) Motorik Pons Otot penglihatan
Facial (VII) Campuran Pons Otot wajah dan kelenjar saliva
Vestibulokoklearis
(VIII)
Sensorik Pons Telinga bagian dalam
Glosofaringeal (IX) Campuran Medula Oblongata Faring
Vagus (X) Campuran Medula Oblongata Organ tubuh dalam
Aksesorius (XI) Motorik Medula Oblongata Otot leher dan punggung
Hipoglosus (XII) Motorik Medula Oblongata Otot lidah
Saraf Spinal Terlibat Fungsi
Muskulokutane
us
C5 – T1 Otot lengan sisi anterior dan kulit lengan bawah
Radialis C5 – T1 Otot lengan sisi posterior dan kulit lengan bawah dan
tangan
Medianus C5 – T1 Otot lengan bawah, otot dan kulit tangan
Ulnaris C5 – T1 Otot lengan bawah dan tangan, kulit tangan
Frenikus C3 – C5 Diafragma
Intercostal T2 – T12 Otot intercostalis, abdomen, kulit trunkus
Femoral L2 – L4 Otot dan kulit ekstremitas bawah
Sciatic L4 – S3 Otot dan kulit ekstremitas bawah
Distribusi saraf simpatis dan parasimpatis (Mader, 2004).
14
2.1.3 Intergrasi Sistem Saraf
Otak sebagai pusat pengaturan dimana perintah dikeluarkan sementara
agar informasi ini sampai ke efektor dibutuhkan penghubung. Batang otak
dan sumsum tulang belakang yang masih merupakan sistem saraf pusat
bertindak sebagai penghubung antara otak dengan sistem saraf tepi.
Traktus pada sistem saraf pusat menggambarkan hubungan antara sistem
saraf pusat hingga mencapai efektor (Sherwood, 2010).
2.2 Penyebab dan Lokasi Kerusakan pada Poliomielitis
Poliomielitis berasal dari bahasa Yunani yang tersusun atas kata polio
berarti kelabu, -myelos merujuk pada medula spinalis dan –itis menandakan
15
peradangan (Hartanto, 2007). Sehingga poliomielitis berarti suatu keadaan
peradangan pada substansi kelabu medula spinalis. Poliomielitis sebagai suatu
penyakit infeksi akut tanpa memandang usia dapat terjadi secara endemik dan
epidemik disebabkan oleh virus polio (Mardjono, 2009). Penyakit ini juga disebut
penyakit Heine dan Meidin karena untuk menghormati kontribusi mereka dalam
identifikasi penyakit poliomielitis. Jakob Heine, seorang ortopedi dari Jerman
pada tahun 1840 pertama kali mengumpulkan kasus poliomielitis di Jerman.
Medin, seorang pediatrik dari Stockholm pada tahun 1890 mengemukakan
berbagai pola epidemi poliomielitis di Stockholm (Hassan, 1985).
2.2.1 Virus Polio
Virus polio terdiri atas 3 tipe virus polio yakni, tipe 1 (Brunhilde), tipe
2 (Lansing) dan tipe 3 (Leon). Tipe- tipe virus polio ini sering dikaitkan
dengan pola epidemiologi. Virus polio tipe 1 kerap dikaitkan dengan
epidemi poliomielitis yang luas dan ganas. Virus polio tipe 2 biasanya
sporadis dan tipe 3 menyebabkan epidemi ringan (Hassan, 1985). Imunitas
manusia adalah bersifat spesifik terhadap tipe tersebut. Sehingga imunitas
yang didapat terhadap satu tipe tidak menjamin kekebalan terhadap tipe
lainnya (Wardy, 2007).
Hingga saat ini satu-satunya reservoir alamiah dari virus polio adalah
manusia (Yoits, 2004) walaupun jaringan monyet dapat diinokulasikan virus
polio (Brooks, 2007) namun transmisi virus ini menyerang manusia diduga
kuat hanya melalui kontak orang ke orang melalui fekal- oral dan oro- oral.
Transmisi fekal- oral merupakan penyebab tersering di Indonesia dan
banyak negara berkembang dengan sanitasi buruk. Sementara menurut
Widoyono (2008), transmisi oro- oral biasanya terjadi di lingkungan dengan
sanitasi yang baik karena transmisi fekal oral tidak dimungkinkan.
Transmisi oro- oral ini bisa terjadi karena pada awal multiplikasi virus polio
terjadi di kelenjar getah bening faring. Virus polio sangat infeksius pada 7-
10 hari sebelum dan sesudah onset dari tanda dan gejala muncul (Atkinson,
16
2009). Transmisi virus sendiri dapat berlangsung secara langsung maupun
tidak langsung, melalui kontaminasi makanan dan minuman. Sumber
penularan dan penyebaran dari tinja yang terinfeksi adalah jari- jari tangan
yang terkontaminasi. Penularan juga bisa dibawa melalui peralatan rumah
tangga yang terkontaminasi sehingga mudah terjadi di dalam lingkungan
keluarga. Biasanya semua individu dalam satu keluarga rentan terhadap
poliomielitis jika dijumpai kasus pada salah satu anggota keluarganya yang
kemudian menyebar ke lingkungan sekitar (Suryawidjaja, 2005).
Pada daerah iklim sedang, pola musiman poliomielitis terlihat jelas
yakni sering sekali terjadi pada musim panas dengan suhu yang stabil dan
musim gugur (Atkinson, 2009). Di daerah dengan iklim dingin, acapkali
terjadi peralihan dari poliomielitis endemik menjadi poliomielitis epidemik.
Indonesia dengan musim tropis tidak menunjukan perbedaan yang berarti
(Brooks, 2007).
2.2.2 Lokasi Kerusakan Poliomielitis
Masa inkubasi virus polio adalah 7- 14 hari dengan kisaran antara 3-
35 hari. Port d’entrée virus polio adalah melalui mulut. Multiplikasi primer
terjadi di kelenjar getah bening faring dan usus. Akibat dari invasi ini dapat
menimbulkan nyeri tenggorokan (Syarurachman, 2003) dan nyeri perut
sebagai manifestasi dari hiperplasia limfatik dan ulserasi peyer’s plaque.
Namun gejala ini tidak selalu dikeluhkan. Pada pemeriksaan biasa tampak
orofaring yang hiperemia (Kleighman, 2007).
Setelah virus bermultiplikasi kemudian masuk dari vasa limfatika ke
vasa sanguinea melalui kapiler hingga terjadi viremia dan menginvasi
sistem saraf. Menurut Hassan (1985), viremia hanya terjadi jika antibodi
yang dibentuk tidak adekuat dan cepat. Virus polio kemudian menyebar di
sepanjang akson saraf perifer sampai sistem saraf pusat. Jika kerusakan
terjadi pada saraf motorik maka kelumpuhan dan kehilangan/ kelemahan
atau pertambahan refleks bisa timbul. Menurut Kasper (2005), hubungan
17
saraf perifer dan kejadian viremia adalah melalui otot berdasarkan penelitian
yang dilakukan kepada monyet. Secara fisiologi, akson yang rusak pada
keadaan tertentu masih mampu untuk melakukan perbaikan jika soma dan
neurilemma masih utuh (Parker, 2007). Selain itu pada tipe poliomielitis
paralitik bulbar biasanya masuk melalui sawar darah otak langsung
mengganggu pusat refleks medula (Tortora, 2010). Atrofi otot pada paska
poliomielitis bukanlah akibat virus polio secara langsung karena virus polio
tidak dapat bereplikasi didalam otot, namun akibat tidak ada inervasi saraf
otot (Brooks, 2007). Virus polio akan tetap ditemukan hingga 18 minggu
sesudahnya. Namun menurut Brooks (2007), banyak kasus tinja positif virus
polio ditemukan hanya 6 minggu setelah infeksi. Sedangkan pada usapan
tenggorokan, virus polio masih berada pada orofaring hingga maksimal 4
minggu setelah infeksi (Yoits, 2004). Pada kasus imunodefisiensi virus
polio dapat bertahan hingga 20 tahun (Kasper, 2005). Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat gambar berikut:
Perjalanan dan perkembangan virus polio selama masa inkubasinya (Brooks,
2007).
Jadi jelaslah dari mekanisme diatas, poliomielitis tidak hanya
menimbulkan kelumpuhan pada anggota gerak. Gejala prodromal muncul
18
pada saat virus polio masuk ke vassa sanguinea dan terjadi viremia
(Syraurachman,2003). Retensi urin dan konstipasi timbul akibat kerusakan
di sistem saraf otonom. Gejala yang timbul dapat hilang sendiri atau jika
virus polio lebih ekstensif akan berlanjut menjadi kelumpuhan. Jika virus
polio sampai medula oblongata, maka akan menekan fungsi refleks medula
dan inti saraf kranial. Akibatnya yang serius adalah depresi pernapasan yang
dipersulit dengan terjadinya paralisa dinding faring. Karena prolaps dinding
faring juga menimbulkan sleep apnoe, afonia, disfagia yang biasanya tidak
terelakan pada poliomielitis tipe bulbar. Fungsi kardiorespirasi juga tertekan
karena kerusakan inti saraf vagal dan pusat refleks. Temuan hiperefleks atau
hiporefleks merupakan penanda penting kerusakan polio sepanjang UMN
atau LMN (Kleighman, 2007).
2.3 Diagnosa dan Penatalaksanaan Poliomielitis
Diagnosa poliomielitis dapat dibuat berdasarkan gejala klinis dan
ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium. Komplikasi yang timbul akibat
kelumpuhan dapat diminimalisir dengan penatalaksanaan yang tepat. Diagnosa
poliomielitis harus dipikirkan jika kasus terjadi di daerah epidemik poliomielitis
meskipun hanya menunjukan gejala terserang flu (Hassan, 1985) dengan riwayat
imunisasi yang tidak lengkap atau tidak ada sama sekali (Kleighman, 2007).
2.3.1 Gejala Klinis Poliomielitis
Penyakit poliomielitis yang disebabkan oleh VPL (Virus Polio Liar)
maupun virus polio yang terkait atau turunan vaksin tidak menunjukan
gejala yang berbeda. Merujuk bagaimana virus ini melakukan replikasi di
dalam tubuh manusia, gejala yang tidak spesifik muncul karena viremia. Hal
ini menandakan siklus hidup virus poliomielitis sudah dimulai (Pasaribu,
1995). Gejala tambahan seperti petechial haemorrhage dan inflammatory
edema bisa terjadi (Kliegman, 2007).
Kerusakan saraf motorik hingga lebih dari 50% akan memberikan
gambaran seperti kelemahan tungkai mengingat predileksi virus ini di
19
intumesensia sumsum tulang belakang (Kliegman, 2007). Kerusakan ringan
neuron motorik akan dapat diperbaiki atau dikompensasi saraf yang masih
baik fungsinya dalam 3-4 minggu (Hassan, 1985).
Persentase gejala yang mungkin muncul oleh karena virus polio (Atkinson,
2009).
Walaupun mengenai semua golongan umur, anak- anak dibawah 15
tahun adalah populasi yang paling rentan menderita poliomielitis dan anak
berusia dibawah 3 tahun merupakan populasi dengan resiko tertinggi. Setiap
1 dari setiap 200 orang akan menderita kelumpuhan permanen bahkan setiap
5- 10% penderita poliomielitis paralitik dapat mati karena poliomielitis
bulbar (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Persentasi ini
lebih tinggi dari nilai global yang disampaikan oleh Atkinson (2009).
Tabel 2.3 Jenis poliomielitis dan presentasi kasus keseluruhan di dunia
(Atkinson, 2009).
Jenis Poliomielitis Presentasi Global
Asimptomtik (Silent Infection) 80- 95%
Minor Illness (Abortive Poliomyelitis) 4- 8%
Non Pararalytic Poliomyelits (Aseptic Meningitis) 1- 2%
Paralytic Poliomielitis 0,1 – 0,5%
- Spinal - 79 %
- Bulbospinal - 19 %
- Bulbar - 2 %
Poliomielitis dapat dibagi menjadi poliomielitis asimptomtis (silent
infection), poliomielitis abortif, poliomielitis non paralitik meningitis
aseptik dan poliomielitis paralitik (Brooks, 2007). Selain itu terdapat bentuk
poliomielitis yang muncul kembali beberapa dekade sesudahnya yakni post
polio syndrome (Wardy, 2007).
20
2.3.1.1 Poliomielitis Asimptomatis
Jumlah penderita poliomielitis asimptomatik adalah yang terbanyak.
Poliomielitis ini tidak menunjukan gejala apapun selama 7- 10 hari masa
inkubasinya (Hassan, 1985). Tidak seperti kebanyakan penyakit infeksius
yang melibatkan manusia sebagai karier kronik, virus polio hanya
melibatkan manusia sebagai karier akut. Tetapi multiplikasi virus polio
sangat tinggi pada 7-10 hari sebelum dan sesudah gejala muncul (Atkinson,
2009). Selain itu, ketidaktahuan penderita bahwa dirinya telah menderita
poliomielitis sangat potensial menularkan ke lingkungan sekitarnya (Brooks,
2007). Hal ini menjadi penting dalam penyebaran virus polio untuk menjadi
epidemik.
2.3.1.2 Poliomielitis Abortif
Poliomielitis tipe ini berlangsung selama beberapa jam hingga
beberapa hari dan timbulnya secara mendadak. Umumnya poliomielitis
abortif hanya berlangsung selama 2-3 hari. Gejala yang muncul tidak
spesifik seperti orang yang terserang influenza (Hassan, 1985).
Pada umumnya penderita akan mengeluhkan demam, sakit kepala,
lemas dan tidak nafsu makan. Selain itu keluhan yang mungkin menyertai
adalah nyeri tenggorokan, nyeri otot dan perut disertai rasa mual dan
muntah. Pada pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan tanda yang berarti.
Kesembuhan dari poliomielitis tipe ini berlangsung dengan sendirinya tanpa
meninggalkan sisa apapun (Kliegman, 2007).
2.3.1.3 Poliomielitis Non Paralitik
Poliomielitis non- paralitik terjadi dalam 2 fase (bifasik) pada
kebanyakan kasus (2/3 dari seluruh penderita poliomielitis non- paralitik).
Diantara 2 fase ini dapat dijumpai fase tenggang yang didahului demam dan
nyeri otot. Fase yang pertama yakni dikenal dengan minor illness. Menurut
Hassan (1985), gejala klinik pada fase ini sama dengan poliomielitis abortif,
21
berlangsung selama 1- 2 hari. Menurut Brooks (2007), poliomielitis non-
paralitik bukan disebabkan oleh etiologi tunggal sehingga menunjukan
gejala yang lebih intens. Gejala yang kurang dikeluhkan penderita
poliomielitis abortif akan dikeluhkan lebih sering dan lebih berat oleh
penderita poliomielitis non- paralitik seperti, rasa mual dan muntah
(Kleighman, 2007).
Fase kedua (CNS associated disease) ditandai dengan kekakuan leher
dan punggung (Mardjono, 2009). Pada bayi dapat ditemukan tangisan
dengan nada tinggi karena rasa nyeri yang ditimbulkan kekakuan otot pada
leher dan punggung, disebut meningeal cry (Ginsberg, 2005). Pemeriksaan
neurologis akan memberikan makna yang berarti. Pada pemeriksaan kaku
kuduk akan ditemukan tahanan sementara hasil positif akan diberikan pada
pemeriksaan Kernig dan Brudzinky. Tanda lainnya yang akan dijumpai
adalah tanda Tripod sebagai usaha tangan menopang tubuh (Trueta, 1956),
tanda Head Drop ditandai dengan kepala yang jatuh ke belakang (Hassan,
1985). Refleks tendon bisa hilang dan menjadi penanda penting kelumpuhan.
Biasanya dapat dilihat dalam 8- 24 jam setelah refleks superfisial didahului
dengan penurunan refleks dalam (Kleighman, 2007). Pada umumnya seperti
poliomielitis abortif, poliomielitis tipe ini juga mengalami pemulihan
dengan sendirinya. Pemulihan yang sempurna membutuhkan waktu 2- 10
hari (Brooks, 2007).
2.3.1.4 Poliomielitis Paralitik
Poliomielitis paralitik melibatkan beberapa daerah pada sistem saraf
pusat yang mengatur fungsi motorik. Tetapi fungsi sensorik biasanya tidak
terganggu. Ada 3 bentuk poliomielitis paralitik yakni; bentuk spinal, bentuk
bulbar dan polioensefalitik.
2.3.1.4.1 Bentuk Spinal
Seperti pada poliomielitis non- paralitik, poliomielitis bentuk spinal
memiliki 2 fase terpisah (bifasik) yang lebih sering terjadi pada anak- anak.
22
Menurut Kasper (2005), bentuk bifasik ini sangat jarang ditemui pada orang
dewasa. Pada fase pertama berbentuk seperti poliomielitis abortif yang
diikuti kesembuhan. Fase ini berlangsung selama 2- 5 hari, kemudian
keadaan memburuk dan muncul demam, sakit kepala yang berat, nyeri otot
dan fenomena sensorik dan motorik. Fenomena sensorik dan motorik
meliputi parestesia hingga hiperestesia, kedutan hingga spasme otot
(Kleighman, 2007).
Menurut Kasper (2005), perburukan keadaan ini berlangsung 1- 2 hari.
Setelah itu terjadilah kelemahan atau kelumpuhan pada satu tungkai kaki
yang bisa diikuti dengan kelemahan atau kelumpuhan diatasnya. Area
proksimal anggota gerak lebih terkena daripada area distal (Kleighman,
2007).
Pada orang dewasa kelumpuhan acapkali mengenai seluruh anggota
gerak dan bahkan trunkus tubuh (Kasper, 2005). Selain itu virulensi
nampaknya memainkan peranan penting. Virus polio tipe 1 sering dikaitkan
dengan poliomielitis yang menyebabkan kelumpuhan daripada tipe virus
lainnya (Wardy, 2007). Kejadian selama 1- 3 minggu pertama ini
berlangsung stadium akut yang kemudian beralih menjadi stadium
perbaikan (Krol, 1996).
Perbaikan kelumpuhan dari poliomielitis paralitik bentuk spinal dapat
berlangsung cepat atau lambat. Dengan jangka waktu paling lama 18 bulan.
Namun Krol (1996) memberi batasan stadium perbaikan antara 6- 12 bulan
untuk kemudian menentukan stadium residual atau kronik. Jika dalam
waktu 3- 4 minggu tidak ada perbaikan maka kelumpuhan bersifat permanen
(Hassan, 1985).
2.3.1.4.2 Bentuk Bulbar
Bentuk ini merupakan predisposisi akibat dari tonsilektomi dengan
menunjukan gejala disfagia dan/ atau disfonia (Kasper, 2005). Bentuk
bulbar dibedakan dengan bentuk bulbospinalis yang merupakan gabungan
23
antara bentuk bulbar dan bentuk spinalis. Bentuk bulbar merupakan akibat
dari keterlibatan medula oblongata sendiri, disfungsi nervus kranial atau
pusat refleks (Kleighman, 2007).
Kesulitan bernapas pada penderita poliomielitis paralitik bentuk
bulbar merupakan manifestasi nyata dari gangguan di medula oblongata
yang melibatkan saraf kranial maupun pusat refleks. Selain itu paralisis otot
wajah, mengunyah, gerakan mata juga menyertai pada kerusakan saraf
kranialis. Temuan- temuan lainnya yang dapat ditemukan, antara lain
(Kleighman, 2007):
1. Suara hidung (bunyi sengau)
2. Deviasi palatum, uvula dan lidah
3. Gangguan menelan dan regurgitasi nasalis
4. Berusaha untuk membersihkan tenggorokan
5. Afonia
6. Rope sign adalah kekhasan poliomielitis paralitik tipe bulbar dimana
bentuk siku yang dibentuk antara dagu dengan laring (Hartanto, 2005)
Perbaikan fungsi pusat refleks medula penderitanya sangat bervariasi
antara waktu mingguan hingga beberapa bulan dengan 2/3 penderita
mengalami pemulihan parsial (Kasper, 2005). Kerusakan saraf kranial
jarang bersifat permanen. Menurut Wardy (2007), perbaikan dapat terjadi
dalam 6 bulan. Kematian dan sembuh total dapat terjadi pada penderita
poliomielitis paralitik bentuk bulbar ini (Kleighman, 2007).
2.3.1.4.3 Polioensefalitik
Pada bentuk yang sangat jarang, virus polio dapat menyerang bagian
otak diatas medula oblongata. Gejala ensefalitis seperti penurunan
kesadaran (koma), disorientasi, kejang dan peningkatan refleks mungkin
muncul dan yang terpenting adalah tanda kelumpuhan. Tapi begitupun,
diagnosis tepat hanya dapat dilakukan melalui kultur virus pada spesimen
(Kleighman, 2007).
24
2.3.1.5 Post Poliomielitis Syndrome (PPS)
PPS akibat dari penurunan kompensasi fisiologis otot- otot secara
gradual yang sebelumnya pernah terkena poliomielitis. Menurut Wardy
(2007), PPS dapat muncul 20- 40 tahun setelah infeksi inisial poliomielitis.
Wanita lebih sering menderita penyakit ini daripada pria. Onset PPS
tersembunyi dan berjalan sangat lambat antara 1 sampai 10 tahun (Kasper,
2005).
Akson neuron sehat yang membentuk tunas untuk mengkompensasi otot
yang tidak diinervasi sistem neuron yang rusak (Trueta, 1956).
Penyebab PPS secara pasti tidaklah diketahui hingga saat ini namun
kuat dugaan, PPS muncul akibat disfungsi dan kelemahan intergrasi tunas
neuron yang mengkompensasi fungsi otot dari neuron yang rusak pada
infeksi poliomielitis sebelumnya (Kasper, 2005). Hal ini menjelaskan
periode yang cukup panjang antara serangan inisial dan PPS. Karena bukan
suatu bentuk reinfeksi, PPS tidaklah menular (Price, 2005).
Gejala yang dikeluhkan adalah kelemahan otot yang berjalan secara
progresif dan lambat diikuti mudah lelah dan penurunan ukuran otot (atrofi
otot). Bahkan kelemahan dapat diikuti oleh otot yang tidak terlibat dalam
poliomielitis sebelumnya (Kasper, 2005). Selain itu Price (2005)
menambahkan sebagaimana dikutip dari International Polio Network 1999,
gejala sensorik seperti nyeri dengan kejang otot juga dikeluhkan penderita
PPS yang merupakan akibat dari kelemahan otot- otot. Hal ini akan
mengganggu aktivitas penderita dalam menjalani hidupnya yang mandiri.
25
Jika kelemahan melibatkan otot pernafasan biasanya jarang bersifat serius.
Apnoe mungkin muncul karena kelemahan dinding faring (Wardy, 2007).
Kriteria untuk mendiagnosa PPS adalah; adanya riwayat poliomielitis
paralitik, mengalami periode kestabilan fungsional, kelemahan mendadak
atau berangsung, keadaan diluar medis meliputi gangguan ortopedik atau
neurologik lainnya (Price, 2005).
2.3.2 Pemeriksaan Laboratorium Poliomielitis
Gejala klinis tidak selalu memberikan diagnosa definitif akan suatu
kejadian poliomielitis. Diagnosa pasti tetap melalui pemeriksaan
laboratorium. Ada 3 pemeriksaan laboratorium pada kasus poliomielitis.
Berikut adalah pemeriksaan polio; pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan
serologi dan analisis cairan serebrospinal (Coho, 2002).
2.3.2.1 Isolasi Virus
Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan yang direkomendasikan WHO.
Untuk melakukan pemeriksaan ini diperlukan salah satu dari tiga spesimen
yakni, tinja (faeces), usapan tenggorok (pharingeal swab), usapan rektal
(rectal swab). Spesimen dengan akurasi tertinggi didapat dari pemeriksaan
tinja dan merupakan rekomendasi WHO, spesimen usapan rektal
mempunyai akurasi terendah (Coho, 2002). Namun spesimen lainnya dapat
diambil pada penderita poliomielitis paralitik (Brooks, 2007) dan pada
beberapa kasus poliomielitis non paralitik (Kleighman, 2007).
Di Indonesia, isolasi virus dari spesimen tinja digunakan untuk
menunjang surveilans AFP pada program erapo (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2011). Tidak seperti kultur dari cairan serebrospinal
yang jarang berhasil dan jarang dilakukan, spesimen dari tinja lebih sering
digunakan sebagai diagnostik (Coho, 2002). Bahkan Wardy (2007)
menyatakan dengan tegas bahwa tidak akan dijumpai virus polio di cairan
26
serebrospinal. Tampaknya temuan isolasi virus dari tinja adalah suatu
langkah diagnosis yang paling akurat (Brooks, 2007).
Jika dijumpai pasien dengan dugaan poliomielitis harus diambil
spesimen tinjanya dua kali dengan jarak 1- 2 hari dimana pengambilan
spesimen pertama harus secepat mungkin (Kleighman, 2007). Menurut
Coho (2002), idealnya suatu spesimen tinja diambil dalam 15 hari sejak
onset paralisis muncul. Menurut Brooks (2007), spesimen tenggorokan
hanya bertahan beberapa waktu. Tinja yang diambil setidaknya 8 hingga 10
gram dikirim dalam keadaan beku (Kleighman, 2007) pada suhu 4- 6 oC ke
pusat laboratorium nasional (World Health Organization, 2004). Hasil akan
terlihat dalam waktu 3- 6 hari (Brooks, 2007).
Ada tiga tingkatan laboratorium yang dirancang WHO dalam
mendukung pemeriksaan spesimen. Pada tingkat nasional terdapat NL
(National Laboratory). Kemudian pada regional pembagian WHO terdapat
regional reference laboratory dan pada tingkatan yang paling tinggi terdapat
GSL (Global Specialized Laboratory). Masing- masing tingkatan
mempunyai peranannya masing- masing secara khusus dan melakukan
pemeriksaan ulang spesimen untuk menghindari hasil negatif atau positif
palsu bahkan dapat menentukan tipe poliomielitis yang terlibat serta
menentukan asal muasal virus polio yang menyebabkan poliomielitis pada
suatu daerah (World Health Organization, 2004).
Struktur Jaringan Laboratorium Polio Global (World Health Organization,
2004).
27
Grafik 2.1 Alur pengumpulan dan penyaluran spesimen.
Laboratorium nasional yang telah mendapat sertifikasi dari WHO di
Indonesia tersebar di 3 provinsi yakni; laboratorium PUSLIT Jakarta,
laboratorium biofarma Bandung dan BBLK (Balai Besar Laboratorium
Kesehatan) Surabaya (Widoyono, 2007). Di laboratorium ini, virus akan
diisolasi, diidentifikasi dan dilaporkan hasilnya ke pusat surveilans nasional.
Mengirimkan virus polio yang telah terisolasi dan jika diminta, spesimen
tinja ke laboratorium tingkat regional. Dikutip Suryawidjaja (2005),
laboratorium tingkat regional yang digunakan Indonesia sewaktu KLB pada
tahun 2005 adalah laboratorium tingkat regional di Mumbai, India. Namun
dilihat dari peta persebaran laboratorium yang telah disertifikasi WHO.
Untuk wilayah SEARO, laboratorium regional terdapat juga di beberapa
28
negara lainnya yakni, Thailand, Nepal dan Pakistan. Tugas laboratorium
regional juga menyampaikan laporan ke WHO yang dibuat dalam bentuk
laporan mingguan atau bulanan. Hasil ini akan dikonfirmasi ulang dan
dilakukan ITD sekaligus dikirim ke GSL (Global Specialized Laboratory).
Hasilnya dilaporkan ke WHO dan laboratorium nasional. Dan terakhir, GSL
(Global Specialized Laboratory) akan kembali mengkonfirmasi hasil
pemeriksaan laboratorium regional dan melakukan analisis gen. Hasilnya
dilaporkan ke WHO dan tingkat regional (World Health Organization, 2004).
2.3.2.2 Pemeriksaan Serologis
Spesimen serum diambil sesegera mungkin pada stadium akut dan
stadium penyembuhan. Jika hasil serum menunjukan peningkatan 4 kali
antara stadium akut dan stadium penyembuhan, maka menandakan positif
poliomielitis (Pasaribu, 1995). Tapi pemeriksaan ini bisa saja memberi
negatif palsu pada penderita imunodefisiensi dan positif palsu bisa muncul
pada orang yang telah mendapat vaksinasi sehingga riwayat vaksinasi harus
diketahui dengan pasti. Satu kelemahan lainnya adalah tidak dapat
membedakan antibodi yang diinduksi oleh virus polio terkait vaksin dan
VPL (Coho, 2002).
2.3.2.3 Analisis Cairan Serebrospinal
Analisis cairan serebrospinal tidaklah spesifik karena perubahan yang
ada bisa disebabkan oleh non polio virus disease (Coho, 2002). Pada saat
penderita masih mengalami minor illness tidak akan ada banyak perubahan
yang berarti dari hasil analisis cairan serebrospinal. Ketika keterlibatan
sudah mencapai sistem saraf pusat maka peningkatan protein dapat
ditemukan (Kasper, 2005). Pleositosis berada antara 20- 300 sel/ mm3 yang
dimulai dari pleositosis PMN (polymorphonuclear) hingga akhirnya
bergeser pleositosis limfosit (Kleighman, 2007). Batasan pleositosis
dibawah 500 sel/mm3. (Hassan, 1995).
29
2.3.3 Diagnosa Banding Poliomielitis
Poliomielitis dipertimbangkan jika didapati penderita dengan AFP
(Acute Flaccid Paralysis). Banyak kasus yang menyebabkan AFP
diantaranya 60- 70% kelumpuhan disebabkan oleh GBS (Guillain Barré
Syndrome) dan yang paling mirip dengan poliomielitis adalah mielitis
transversa (Widoyono, 2007).
Tabel 2.4 Membedakan AFP yang disebabkan oleh GBS dan Mielitis
Transversa.
Penyakit
Gangguan
Poliomielitis
Paralitik
GBS
(Guillain Barré
Syndrome)
Mielitis
Transversa
Penyebab Infeksi Autoimun Variatif
Demam
mendahului AFP
Meningkat tinggi Tidak ada Kadang- kadang
Motorik
(Volunter)
Kelumpuhan
Akut, asimetris,
proksimal > distal
ascending
Akut, simetris,
distal > proximal
ascending*
Akut, simetris **
Onset 7- 14 hari (antara
4- 35 hari)
Beberapa jam –
10 hari
Beberapa jam –
beberapa tahun
Progresifitas 1- 2 hari Beberapa hari –
4 minggu
Beberapa jam –
beberapa tahun
Residual Berat, simetris,
atrofi dan
deformitas
Simetris, Atrofi
terjadi di otot
distal
Distrofi
Motorik
(Otonom)
Gangguan miksi
Tidak ada
Ada ***
Ada
Refleks
Refleks tendon
Menurun atau
menghilang
Tidak ada
Menurun atau
menghilang
Sensorik
Perabaan
Nyeri
Tidak ada
Berat
Hipoaesthesia
Variatif
**/****
Hipoaesthesia
Berat (backpain)
Laboratorium
Pleositosis
Ada
Tidak ada
Ada
Catatan:
* kecuali pada subtipe Miller Fisher Syndrome.
** lokasi bergantung segmen sumsum tulang yang terkena.
*** pada GBS subtipe acute panautonomic neuropathy.
**** bergantung juga pada seberapa banyak serat saraf sensorik terkena.
30
2.3.4 Penatalaksanaan Poliomielitis
Kelumpuhan poliomielitis dapat diprediksi setelah minggu ketiga
hingga minggu keenam setelah terserang virus polio. Setelah stadium akut
yang berlangsung 1- 3 minggu, dimana minor illness dan major illness telah
terlewati, seorang penderita yang mengalami kelumpuhan akan memasuki
stadium penyembuhan. Stadium penyembuhan ini adalah stadium yang
sangat krusial dalam usaha membatasi kelumpuhan dan mencegah
deformitas. Selama stadium akut hanya dapat dilakukan pengobatan suportif.
Kemudian selama stadium penyembuhan yang berlangsung selama 6 hingga
12 bulan dapat dilakukan pelaksanaan rehabilitasi dan menentukan prediksi
kelumpuhan. Stadium residual adalah stadium akhir dari poliomielitis
dimana pada stadium ini tidak banyak yang dapat dilakukan karena
kecacatan yang ditimbulkan telah bersifat permanen (Krol, 1996).
Pada stadium akut, pengobatan poliomielitis bersifat simptomatis
untuk meredakan gejala (Widoyono, 2008). Fokus utama tindakan yang
dilakukan selama stadium akut adalah istirahat mutlak selama 2 minggu.
Selama stadium ini pemberian antipiretik dan analgetik bermanfaat dalam
menurunkan demam dan nyeri yang muncul akibat spasme otot. Pemakaian
foot board bermanfaat menjadi penahan telapak kaki agar memposisikan
kaki pada sudut yang sesuai terhadap tungkai kaki (Hassan, 1985). Keluhan
seperti retensi urin kerap dikeluhkan oleh penderita poliomielitis non
paralitik dan paralitik yang dapat diberikan stimulan parasimpatis (Pasaribu,
1995) atau jika stimulan ini gagal maka tindakan kateterisasi dapat
dilakukan. Konstipasi juga biasanya lebih berat pada penderita poliomielitis
non paralitik dan paralitik, pemberian laksansia akan memberi manfaat
(Wardy, 2007). Pada penderita poliomielitis paralitik tipe bulbar yang sering
mengakibatkan paralisis pernafasan harus diberikan bantuan pernapasan
mekanis. Kemudian karena paralisis yang terjadi di daerah orofaring,
pencegahan aspirasi pneumonia dapat dilakukan dengan memposisikan
kepala lebih rendah dengan sudut 20o- 25
o dan memiringkannya ke lateral.
31
Juga perlu diingat karena saliva yang terakumulasi, tindakan aspirasi cairan
yang terkumpul tersebut sangat penting. Ada pantangan penting pada
stadium akut yakni segala tindakan tidak boleh atau sangat minimal
melibatkan muskuloskeletal seperti, injeksi intramuskular dan pembedahan.
Menurut Krol (1996), latihan terhadap otot akan membuat kecenderungan
untuk menjadi paralisis lebih tinggi daripada penderita yang melakukan
istirahat total. Posisi netral dengan penyangga papan sangat dianjurkan
selama istirahat total dalam mencegah deformitas dan posisi harus diubah
setiap 3- 6 jam (Kleighman, 2007).
Pada stadium penyembuhan atau konvalesen, penilaian kekuatan otot
dimasa mendatang dapat dilihat pada minggu ketiga hingga minggu keenam.
Jika pada periode tersebut tidak ada gerakan atau tidak ada kekuatan maka
kemungkinan paralisis total adalah hasil akhirnya. Namun jika ada sedikit
gerakan atau kontraksi otot yang lemah maka memungkinkan pengembalian
fungsi otot dapat dimaksimalkan dengan latihan kekuatan melalui fisioterapi.
Jika latihan ini dilakukan pada 6 bulan pertama maka proses penyembuhan
lebih cepat daripada yang melakukan latihan kekuatan diatas 6 bulan.
Manfaat dari latihan kekuatan adalah kemampuan dari otot akan lebih cepat
dan mencegah kontraktur. Latihan yang dilakukan seperti; latihan gerakan
otot, gaya berjalan dan posisi, penguatan dan latihan dalam aktivitas
kehidupan sehari- hari. Pada anak- anak, juga dilakukan rangsangan
perkembangan normal seperti berguling, duduk, merangkak dan berdiri
(Krol, 1995).
Beberapa latihan anggota gerak pada anak- anak dapat dilakukan
untuk menguatkan anggota gerak yang mengalami paralisis. Berikut adalah
kombinasi gerakan yang dapat dilakukan sebanyak 6 kali secara simultan
(UNICEF, 2001):
32
Latihan yang dilakukan untuk pemulihan kelumpuhan anggota gerak bawah
1. Menekuk lutut anak
2. Meluruskan pangkal paha
dengan menggerakan tungkai
kaki kearah belakang
3. Menekuk pangkal paha anak
dengan lutut tertekuk
4. Menekuk pangkal pada anak
dengan lutut lurus
5. Menyilangkan kaki, menjauhkannya satu sama lain dan menyilangkannya
kembali
6. Menggerakan kaki anak ke atas
Gerakan ini dilakukan dengan satu tangan menahan tungkai kaki tepat diatas
mata kaki, kemudian jempol dan jari telunjuk lainnya menarik tumit anak
sambil telapak tangan mendorong telapak kaki anak ke atas. Menahannya
dalam 5 hitungan kemudian menarik dan mendorongnya lagi.
33
Latihan yang dilakukan untuk pemulihan kelumpuhan anggota gerak atas
7. Mengangkat tangan anak
keatas kepala
8. Mengangkat tangan anak
menjauhi sisi tubuh
9. Meluruskan dan menekuk siku
10. Memutar pergelangan tangan
11. Menekuk pergelangan tangan anak ke arah depan dan ke arah belakang
Dan yang terakhir yakni stadium residual, dengan gejala sisa paralisis
yang terjadi karena latihan yang dilakukan tidak maksimal ataupun tidak
dilakukan sama sekali. Deformitas yang terjadi akibat rehabilitasi yang tidak
adekuat dapat menerima pelayanan bedah korektif. Bedah korektif ini akan
memberikan hasil yang lebih baik jika dilakukan sedini mungkin. Namun
pada stadium residual lanjut, hanya penderita anak- anak yang mungkin
masih memberi manfaat (Krol, 1995).
34
Akibat dari gejala sisa ini secara umum memiliki gambaran seperti;
gangguan/ hilangnya gerakan yang spesifik, stabilitas sendi, penampilan
umum dan perkembangan deformitas itu sendiri. Atrofi otot muncul akibat
tidak adanya inervasi saraf, ulserasi muncul karena gangguan sirkulasi darah
(Hassan, 1995). Deformitas seperti kontraktur otot maupun sendi akan
membatasi dan menghambat pergerakan tubuh dan mengakibatkan deviasi
anggota gerak. Deformitas ini timbul dalam waktu lama yang disebabkan
tubuh mengarah pada otot yang mengerut dipicu oleh ketidakseimbangan
otot, gravitasi dan mempertahankan posisi tubuh dalam jangka waktu lama.
Untuk bedah korektif yang dilakukan pada penderita poliomielitis suatu
stadium residual juga bersifat selektif. Pada beberapa keadaan bedah
korektif tidak boleh dilakukan misalnya, pada anak- anak dengan gangguan
berat di otot ekstremitas bawah dan dijumpai kelemahan pada ekstremitas
atas dan batang tubuh. Pada penderita dewasa, gangguan anggota gerak luas
yang telah lama adalah kontraindikasi bedah korektif (Krol, 1996).
2.4 Pencegahan dan Pengendalian poliomielitis
Usaha pencegahan dan pengendalian poliomielitis mengambil andil penting
dalam mencegah penyebaran poliomielitis karena banyaknya karier akut yang
tanpa disadari penderitanya (Brooks, 2007). Selain itu, usaha pencegahan dan
pengendalian poliomielitis dapat dilakukan karena ketersedian sumber daya dan
sifat virus polio itu sendiri (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Seperti penyakit menular pada umumnya, pencegahan dapat dilakukan
melalui 3 pendekatan yakni, prepathogenesis phase, pathogenesis phase dan
pasca pathogenesis phase. Pendekatan yang dilakukan pada prepathogenesis
phase adalah melalui imunisasi, kebersihan diri, kesehatan lingkungan dan
menghindari daerah endemik polio. Kemudian pendekatan selama pathogenesis
phase adalah penemuan kasus, skrining, pemeriksaan yang selektif dan
penanganan penderita secara tepat untuk mengurangi gejala sisa pada poliomielitis
paralitik. Sebagian besar kegiatan ini terangkum dalam program erapo.
35
Pendekatan pasca pathogenesis phase dapat dilakukan rehabilitasi dan bedah
korektif untuk memperbaiki atau mengurangi kerusakan yang ditimbulkan virus
polio (Simanjuntak, 2008).
2.4.1 Kesehatan Lingkungan dan Kebersihan Diri
Kesehatan lingkungan dan kebersihan diri adalah suatu bentuk
pencegahan pada prepathogenesis phase yang bersifat specific protection
(Simanjuntak, 2008). Meskipun pencegahan melalui kesehatan lingkungan
dan kebersihan diri membantu dalam mengurangi angka penyebaran virus
polio tetapi cara yang paling efektif adalah mencegah polio melalui
vaksinasi (Coho, 2001).
Beberapa ruang lingkup kesehatan lingkungan yang dapat dilakukan
sebagai usaha pencegahan penyakit poliomielitis antara lain; penyediaan air
minum, pengolahan air buangan, pengendalian pencemaran air dan
kebersihaan makanan (Simanjuntak, 2011). Penyediaan air minum harus
memenuhi syarat seperti; syarat fisik, syarat bakteriologis dan syarat kimia.
Syarat fisik yang harus dimiliki seperti; bening, tidak berasa dan tidak
berbau. Pada air minum sehat harus bebas dari mikroorganisme, terutama
yang bersifat patogen dan harus memiliki kadar zat yang sesuai guna
menjalankan fungsi fisiologis manusia. Prinsip dasar penyediaan air bersih
adalah air harus bebas dari kontaminasi kotoran. Untuk itu, perlunya
tindakan pengawasan dan pelindungan air yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Sementara prinsip pembuangan kotoran manusia yang benar adalah melalui
jamban yang baik sehingga tidak terjadi kontaminasi air disekitarnya
(Notoatmodjo, 2007). Untuk menjaga kebersihan makanan dan minuman,
tentulah makanan dan minuman tersebut harus dimasak karena kebanyakan
mikroorganisme, termasuk virus polio, tidak tahan pada pemanasan.
Kebiasaan mencuci tangan harus dibiasakan sesudah buang air besar,
sesudah membuang tinja anak dan sebelum memasak dan makan. Virus
polio dapat menyebar melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh
36
kotoran yang terkontaminasi. Virus ini bisa saja mengontaminasi makanan
secara langsung atau melalui tangan yang kotor. Oleh karena itu, salah satu
cara dalam mencegah penyebaran virus polio adalah melalui kesehatan
lingkungan dan kebersihan diri. Pemberdayaan melalui edukasi kesehatan
kepada masyarakat adalah hal yang penting.
2.4.2 Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata immune atau kebal. Jadi imunisasi adalah
proses membuat kebal tubuh terhadap suatu penyakit dengan pemberian
vaksin agar tubuh dapat membentuk zat kekebalan (Depkes RI, 2009b).
Lebih luas lagi Imunisasi adalah segala tindakan yang dapat menginduksi
imunitas secara aktif maupun pasif (Hartanto, 2002).
Imunisasi rutin adalah imunisasi yang secara rutin dan terus menerus
harus dilaksanakan pada periode waktu yang telah ditetapkan berdasar
kelompok usia sasaran dan tempat pelayanan. Dengan melakukan imunisasi,
bagi individu yang diimunisasi dapat mencegah penderitaan seperti
kecacatan atau bahkan kematian yang disebabkan oleh penyakit. Tanpa
adanya penyakit akan membantu anak bertumbuh dan berkembang menjadi
dewasa yang sehat dan ceria. Bagi keluarga manfaat imunisasi dapat
menghilangkan kecemasan dan stress akibat anak yang sering sakit. Dan
konteks yang luas, imunisasi dapat memperbaiki tingkat kesehatan nasional
sehingga menciptakan sumber daya manusia yang kuat dan cerdas untuk
melanjutkan perkembangan negara di masa mendatang (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2009b).
Pada awal kehidupan bayi sangat rentan terkena serangan beberapa
penyakit. Banyak diantara penyakit- penyakit tersebut bahkan sangat
beresiko kematian ataupun menimbulkan derita fisik dan mental
berkepanjangan. Beberapa penyakit seperti Hepatitis B, Tuberkulosis, Polio,
Difteri, Pertusis, Tetanus dan Campak. Penyakit- penyakit ini termasuk
dalam PD3I. Poliomielitis termasuk salah satunya yang berpotensi
37
menimbulkan KLB namun dapat dicegah dengan melakukan imunisasi
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Untuk melindungi anak
dari penyakit- penyakit beresiko tersebut dapat dilakukan pencegahan
dengan menjalankan program lima imunisasi dasar lengkap (LIL) meliputi;
pemberian 4 dosis vaksin hepatitis B, 1 dosis vaksin BCG, 4 dosis vaksin
polio, 3 dosis vaksin DPT dan 1 dosis campak (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2009b).
WHO merekomendasikan pemberian OPV pada usia 6, 10 dan 14
minggu. Bahkan di negara endemik, OPV0 dapat diberikan pada waktu lahir.
Selain dosis tambahan, WHO juga menganjurkan kampanye imunisasi
nasional (National Immunization Campaign) di negara endemik
poliomielitis dengan memberi 2 dosis OPV dengan interval 1 bulan tanpa
melihat riwayat imunisasi sebelumnya. Indonesia pernah melakukan PIN
(Pekan Imunisasi Nasional) pada tahun 1996- 1997 dan diulang tahun 2000
(Kandun, 2000).
Jadwal pemberian imunisasi dalam praktiknya acapkali berbeda- beda.
Hal ini disebabkan perbedaan referensi yang menjadi rujukan. Bahkan
antara satu negara dengan negara yang lainnyapun tidak memiliki program
imunisasi yang sama (Kandun, 2000) karena prioritas yang berbeda- beda.
Tabel 2.5 Jadwal Lima Imunisasi Dasar Lengkap (LIL) dikeluarkan Depkes
RI (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009b).
38
Tabel 2.6 Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 Tahun IDAI (Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2011).
2.4.2.1 Vaksin Polio
Terdapat dua sediaan vaksin polio sekarang ini yakni, vaksin oral
(Sabin) yang berisi virus polio hidup yang dilemahkan dan vaksin yang
diinjeksikan (Salk) berisi virus polio yang telah diinaktivasi dengan
formaldehida. Masing- masing mempunyai kekurangan dan kelemahannya.
OPV sekarang ini lebih banyak dan lebih cocok digunakan di negara
berkembang terutama di negara yang masih memiliki kasus poliomielitis liar
indigenous. Indonesia sendiri masih menggunakan OPV yang dibuat dari
laboratorium Biofarma pada pelaksanaan PIN 2009- 2011 (Juliyah, 2011).
Meskipun keefektifan OPV relatif lebih rendah daripada IPV namun harga
OPV dan imunitas intestinal yang ditimbulkan menjadi pertimbangan kuat
penggunaan OPV. Setelah dosis pertama diberikan, OPV memberikan
39
imunitas hingga 50%. Pada dosis ketiga, kekebalan hanya mencapai 95%.
Menurut Ismoedijanto (2005), persentase pencapaian ini pun bersifat
sekuensial dimana protektif virus polio tipe 3 baru tercapai pada dosis
keempat atau kelima, tidak seperti IPV persentase dicapai untuk ketiga tipe
virus polio adalah bersamaan. Durasi kekebalan OPV bisa mencapai seumur
hidup setelah dosis yang ketiga. OPV tidak mengandung preservasi namun
sama seperti IPV mengandung antibiotik seperti neomisin, streptomisin
(Atkinson, 2009).
Sementara IPV sekarang ini lebih banyak dan lebih cocok digunakan
di negara maju dengan catatan bersih dari virus polio liar indigenous. IPV
merupakan vaksin polio dengan efektivitas yang tinggi dan harga yang lebih
mahal. Setelah dosis kedua diberikan, IPV telah mampu memberikan
imunitas hingga 90%. Bahkan pada dosis ketiga, kekebalan telah mencapai
99%. Hanya saja hingga saat ini, durasi kekebalan yang diberikan masih
belum diketahui secara pasti. IPV dibuat terhadap ketiga tipe virus polio
yang dikultur dari jaringan ginjal monyet dan diinaktivasi oleh formaldehida.
IPV mengandung preservasi 2-phenoxyethanol dan antibiotik seperti
neomisin, streptomisin dan polimixin B (Atkinson, 2009). Keunggulan dari
IPV adalah virus yang telah diinaktivasi sehingga VAPP tidak akan terjadi.
Dengan inaktivasi ini, virus tidak virulen dan tidak bisa bereplikasi sehingga
relatif aman. Imunitas yang dibentuk terhadap ketiga tipe virus polio adalah
bersamaan. Namun kekurangan IPV adalah administrasinya, tidak adanya
imunitas intestinal dan harga yang mahal (Ismoedijanto, 2005).
2.4.3 Erapo (Eradikasi Polio)
Erapo sebenarnya salah satu upaya kesehatan masyarakat dalam
mengeliminasi semua kasus poliomielitis (World Health Organization,
2010). Menurut Barrett (2004), erapo memiliki pengertian sebagai eliminasi
kejadian poliomielitis bahkan tanpa intervensi manusia. Lain lagi yang
dikemukakan Cockburn (1961) bahwa erapo adalah kepunahan virus polio
40
baik di alam bebas maupun di laboratorium. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia (2011) memiliki definisi erapo sendiri yakni tidak
ditemukannya VPL indigenous selama 3 tahun berturut- turut di suatu
regional yang dapat dibuktikan dengan surveilans AFP.
Erapo secara global pertama kali digagas oleh WHO pada WHA
(World Health Assembly) tahun 1988. Dengan berbekal pengalaman WHO
yang sukses dalam memberantas cacar, WHO menargetkan pada tahun 2000
bahwa poliomielitis akan punah secara global walau ternyata target ini gagal.
Namun WHO tetap berusaha melakukan upaya dalam mengeradikasi
poliomielitis. Bukan sekadar mendapat sertifikasi bebas polio global, tetapi
jika erapo berhasil dilakukan maka manfaatnya yang lebih luas meliputi;
penghematan sumber daya, pengalaman dan motivasi dalam mengeradikasi
penyakit selanjutnya (World Health Organization, 2010). Walau tidak
berhasil mencapai target, kasus poliomielitis saat ini sudah direduksi hingga
99% dibandingkan masa sebelum erapo diterapkan. Pada tahun 1985, Pan
American Health Organization (PAHO) berhasil melakukan eradikasi polio
di benua Amerika. WHO berinisiatif untuk melakukan eradikasi polio
dengan mengadopsi apa yang telah dilakukan PAHO (Atkinson, 2009)
ditambah bekal pengalaman eradikasi cacar sebelumnya.
Dasar pemikiran untuk melakukan eradikasi polio berdasarkan sifat-
sifat berikut: 1.) manusia merupakan satu- satunya reservoir virus polio dan
tidak ada karier dalam jangka panjang, 2.) virus polio tidak dapat hidup
yang lama di lingkungan, luar tubuh manusia 3.) tersedianya vaksin yang
mempunyai efektivitas > 90% dan mudah pemberiannya 4.) layak
dilaksanakan secara operasional (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2011).
Indonesia melakukan imunisasi OPV yang ditambahkan dalam
program EPI (Expanded Program Immunization) pada tahun 1978
(Ismoedijanto, 2005). Pada tahun 1898, Indonesia ikut memperkuat program
41
erapo dengan ikut mendatangani kesepakatan pada sidang World Summit for
Children (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Pada tahun
1991, cakupan rutin 3 dosis OPV sudah mencapai lebih dari 99% tetapi
insiden poliomielitis masih ditemukan. Sehingga untuk memutus transmisi
dilakukan PIN serentak dari tahun 1995, 1996 dan 1997. Program PIN di
Indonesia meniru NIDs (National Immunization Days) yang dilakukan
pertama kali untuk wilayah SEARO di Thailand. Surveilans AFP sudah
dimulai di Indonesia sejak tahun 1995. Pada tahun yang sama PIN dimulai
dan diteruskan sub PIN dengan fokus daerah berdasar data SAFP
(Suryawidjaja, 2005).
Strategi erapo dalam melakukan interupsi transmisi virus polio
dilakukan dengan kombinasi; 1.) cakupan imunisasi rutin yang tinggi, 2.)
melaksanakan kampanye imunisasi tambahan, dan 3.) Surveilans AFP
sesuai standar WHO (Suryawidjaja, 2005). Strategi ini bersifat
komplementer satu sama lain dengan tujuan khusus yang berbeda tetapi
memiliki tujuan umum yang sama yakni, mencapai keberhasilan
mengeliminasi transmisi virus polio (Ismoedijanto, 2005).
Pemutusan transmisi virus polio yang dilakukan nampaknya tidak
selalu sama pada suatu daerah. Spektrum geografis mempengaruhi
pemutusan transmisi virus polio (Atkinson, 2009). Oleh karena itu,
pendekatan yang berbeda perlu dilakukan oleh masing- masing wilayah.
Persistensi virus polio yang menjadi penghalang bagi erapo biasanya
dipengaruhi oleh faktor berikut; 1.) Penduduk yang sangat padat, 2.) derajat
kelahiran yang sangat tinggi, dan 3.) kemiskinan dengan standar sanitasi
yang rendah (Suryawidjaja, 2005).
Di Indonesia, cakupan imunisasi rutin yang tinggi dilakukan dengan
pemenuhan 4 dosis OPV selama kehidupan 1 tahun pertama bayi. Dengan
cakupan imunsasi rutin yang tinggi maka akan membentuk suatu populasi
yang melindungi populasi yang beresiko. Dengan pembatasan ruang gerak
42
ini karena terdapat populasi yang divaksinasi, siklus virus polio akan dapat
dibatasi. Konsep ini disebut sebagai herd immunity atau commune immunity
(Ismoedijanto, 2005). Jadi cakupan imunisasi rutin bertujuan secara khusus
untuk membatasi transmisi virus polio melalui pencapaian herd immunity.
Cakupan imunisasi rutin ini sangat penting dan menjadi prioritas, mengingat
efektivitas OPV sendiri hanya mencapai 95% dan diantaranya terdapat 5%
populasi beresiko (Atkinson, 2009). Kemudian UNICEF (2001) menyatakan
bahwa dari 58% anak dibawah 1 tahun yang menerima OPV terdapat
populasi yang tidak dapat menghasilkan antibodi mencapai 10% OPV1 dan
15% OPV3.
Kampanye imunisasi tambahan dilakukan melalui NIDs di negara-
negara endemik, baru selesai endemik dan negara- negara yang tidak dapat
membuktikan bebas polio. Di Indonesia kampanye imunisasi tambahan
dilakukan melalui program PIN (Pekan Imunisasi Nasional), sub PIN dan
mopping up. PIN dan sub PIN dilakukan melalui suatu tempat berkumpul
(collecting points) sedangkan mopping up dilakukan dari rumah ke rumah
(door to door). Sub PIN dan mopping up dilakukan secara terfokus pada
lokasi beresiko tinggi dengan menggunakan data SAFP karena dianggap
telah adekuat (Ismoedijanto, 2005). Tujuan khusus imunisasi tambahan
adalah memutus penularan dan transmisi VPL karena setelah cakupan
imunisasi yang tinggi masih ada populasi yang beresiko. Populasi ini akan
terus terakumulasi dan sampai pada satu titik berada diluar jangkauan herd
immunity (Suryawidjaja, 2005). NIDs (PIN) juga bermanfaat dalam
memberikan booster dan imunitas intestinal. Sesuai rekomendasi WHO, EPI
dilakukan dalam NIDs setidaknya diimplementasikan 2 kali setahun dengan
tenggat waktu 4- 6 minggu selama minimal 3 tahun. Jika cakupan imunisasi
rutin rendah maka waktu NIDs boleh diperpanjang. Dengan munculnya
masalah kesehatan lainnya, NIDs boleh diikutkan dengan pendistribusian
imunisasi lainnya dan vitamin A (UNICEF, 2001). NIDs boleh dihentikan
bila: 1.) cakupan imunisasi rutin telah mencapai > 80%, 2.) Cakupan PIN >
43
90%, 3.) SAFP telah memenuhi standar kriteria WHO, dan 4.) importasi
VPL tidak ada (Ismoedijanto, 2005)
Skema 2.2 Implementasi strategi erapo di Indonesia (Ismoedijanto, 2005).
Surveilans AFP (SAFP) adalah suatu pengamatan ketat pada semua
kasus kelumpuhan yang mirip dengan poliomielitis yakni, terjadi akut (< 2
minggu) dan lumpuh layuh pada anak dibawah usia 15 tahun. Untuk
mengenali dan mendeteksi kasus poliomielitis maka SAFP harus dilakukan
secara aktif untuk menemukan adanya kasus poliomielitis dan menentukan
daerah yang memiliki resiko tinggi. Widoyono (2008) menambahkan bahwa
SAFP juga dimaksudkan untuk membuktikan Indonesia bebas polio dan
memantau program erapo. Informasi laboratorium dikumpulkan dari setiap
kasus AFP dan digunakan untuk menentukan klasifikasi poliomielitis atau
bukan (Suryawidjaja, 2005). Mopping up dilakukan paling akhir karena
44
transmisi VPL telah diketahui melalui SAFP yang telah adekuat. Mopping
up dilakukan hanya terfokus pada daerah beresiko dengan pemberian 2 dosis
untuk mengoreksi status imunologi populasi yang beresiko (Ismoedijatmo,
2005).
2.5 Masalah Erapo di Indonesia
Perjalanan erapo di Indonesia mengalami pasang surut. Indonesia sempat
mendapat sertifikasi bebas polio pada tahun 1995 namun hanya bertahan 10 tahun.
Munculnya KLB akibat VPL impor di tahun 2005 menjadi pukulan telak bagi
program erapo di Indonesia. Bahkan setelah ORI dilakukan di Jawa Barat, Banten,
Tangerang dan DKI Jakarta, kasus VPL menyebar sampai keluar daerah mopping
up yakni di Tanggamus (Lampung), Demak (Jawa Tengah) dan Cilacap (Jawa
Tengah). Kejadian ini menunjukan adanya masalah yang menjadi tantangan dalam
berjalannya program erapo di Indonesia (Ismoedijanto, 2005).
Dilansir dari Profil Kesehatan Indonesia 2010 (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2011 bahwa Indonesia sejak tahun 2007 hingga tahun 2010
sudah tidak ditemukan kasus poliomielitis baru. Namun jumlah penderita AFP
sendiri masih ditemukan sebanyak 1.641 orang dengan non polio AFP rate rerata
anak dibawah 15 tahun adalah 2,62, namun pada beberapa daerah masih
ditemukan dengan non polio AFP rate yang rendah. Provinsi dengan non polio
AFP rate tertinggi adalah Sulawesi Utara (6,2/ 100.000), Gorontalo (5,67/
100.000) dan DIY (4,83/ 100.000) sementara provinsi dengan non polio AFP rate
terendah adalah Kalimantan Tengah (1,33/ 100.000) dan Sulawesi Barat (1,67/
100.000). Sumatera Utara memiliki non polio AFP rate diatas indikator surveilans
AFP yakni, 2,10/ 100.000.
45
Tabel 2.7 Jumlah kasus AFP, non polio AFP rate menurut provinsi di Indonesia
tahun 2010 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Dari keempat propinsi yang tidak dapat memenuhi non polio AFP rate > 2
tersebut, dapat ditemukan korelasi dengan usia yang tidak produktif. Provinsi
dengan non polio AFP rate yang rendah memiliki penduduk dengan kelompok
usia non produktif yang tinggi. Dimana kelompok usia 0- 14 tahun adalah usia
yang sangat beresiko terhadap penyebaran penyakit polio (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2011). Dengan membandingkan kelompok usia non produktif
nasional 2011, dari 100% kelompok usia non produktif terdapat 85,14%
kelompok usia 0- 14 tahun dan 14,86% kelompok usia > 65 tahun.
Tabel 2.8 Jumlah angka beban ketergantungan di Indonesia tahun 2010
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
46
Grafik 2.2 Persentase beban ketergantungan di Indonesia berdasarkan provinsi
tahun 2010 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Dari urutan non polio AFP rate yang terendah maka kita dapat melihat
bahwa distribusi non polio AFP rate < 2 banyak ditemukan di provinsi yang
terdapat di wilayah Indonesia timur. Demikian juga gambaran cakupan imunisasi
polio yang relatif rendah di wilayah Indonesia timur dibandingkan dengan
wilayah Indonesia barat. Seperti di Kalimantan, Sulawesi dan Papua, tidak banyak
provinsi di wilayah tersebut yang memiliki cakupan imunisasi > 90%
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Berdasarkan lokasi tersebut, maka dapat dirangkumkan korelasi masalah-
masalah erapo dan poliomielitis seperti berikut: potensi polio yang menjadi wabah,
masalah kelumpuhan yang permanen, kepadatan penduduk, sanitasi lingkungan,
infrastruktur, surveilans yang tidak adekuat, cakupan imunisasi, penolakan
imunisasi di masyarakat, VAPP dan VDPV.
Potensi wabah polio karena 99% penderita yang terserang virus polio adalah
subklinik. Potensinya yang sangat besar untuk menjadi wabah dipengaruhi oleh
virus polio yang dapat menyebar secara diam- diam tanpa diketahui mengingat
47
penderita asimtomatik ini akan bertindak sebagai karier akut. Ketika 1% kasus
yang terdeteksi, masalah sebenarnya yang tidak terlihat jauh lebih besar. Ibarat
gunung es, kasus yang tampak hanya sebagian kecil dari masalah yang sebenarnya
(Brooks, 2007).
Kelumpuhan anggota gerak yang disebabkan oleh kerusakan sistem saraf
dapat permanen yang artinya membatasi mobilitas dan potensi penderitanya.
Bukan hanya menjadi masalah individu, tetapi keluarga, lingkungan sekitar dan
dalam konteks yang lebih luas menjadi masalah bagi bangsa dan negara
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Morbiditas yang tinggi juga
biasanya akibat kerusakan pada tipe bulbar. Bahkan tingkat fatalitasnya pada
orang dewasa mencapai 15- 30% sementara anak- anak hanya 2- 5% (Atkinson,
2009).
Grafik 2.3 Persentase kepadatan penduduk Indonesia 2010 (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Kepadatan penduduk juga turut andil mempersulit erapo karena penyebaran
virus polio akan lebih mudah. Dengan semakin padatnya penduduk potensi
penularan semakin cepat, karena diikuti kondisi seperti, penurunan kualitas
sanitasi lingkungan dan transmisi virus polio ini semakin pendek (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Dari data diatas, pulau Jawa adalah yang
terpadat dengan luas 7% memiliki 58% penduduk Indonesia. Atas dasar ini KLB
48
di Jawa Barat pada tanggal 17 Maret 2005 merebak luas. Padahal delapan hari
setelah hasil VPL positif keluar dari NL pada tanggal 21 April 2005, Tim Kajian
Epidemiologi Lapangan Menkes RI langsung melakukan mopping up di 3
provinsi; DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat. Namun VPL tidak terbendung
penyebarannya (Farmacia, 2005).
Bersamaan dengan masalah kepadatan penduduk, penyediaan air bersih di
Indonesia masih belum memuaskan. Padahal air yang terkontaminasi adalah salah
satu vehikel penyebaran virus polio. Bahkan sarana dan kualitas air bersih yang
memenuhi syarat kesehatan di daerah rural hanya mencakup 18% sementara
daerah urban baru mencakup 40%. Secara nasional, akses air bersih masih
terpusat di pulau Jawa. Kurangnya akses air bersih diperparah dengan
pengelolahan kotoran dan limbah yang masih belum memuaskan. Ini dapat dilihat
dari banyaknya masyarakat desa yang membuang kotoran sembarangan ke sungai,
kolam, empang, kebun dan sebagainya (Simanjuntak, 2008). Berikut tersaji
persentase akses air bersih di Indonesia berdasarkan provinsi dimana terlihat
bahwa secara nasional masih ada 32,5% masyarakat Indonesia yang tidak
mendapat akses air bersih.
Grafik 2.4 Akses air bersih di Indonesia tahun 2010 (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2011).
49
Infrastruktur wilayah Indonesia timur yang masih rendah perlu dipikirkan
sebagai suatu masalah untuk terlaksananya program erapo karena infrastruktur
yang buruk sebenarnya telah membatasi distribusi dan pengantaran vaksin di
wilayah Indonesia yang luas. Indonesia sebagai negara iklim tropis dengan suhu
yang relatif hangat sangat potensial untuk merusak vaksin jika tidak disimpan
secara benar (Ismoedijanto, 2005). Jumlah puskesmas di wilayah Indonesia timur
juga sangat kurang yang mengakibatkan cakupan imunisasi dan non polio AFP
rate masih rendah. Masalah operasional program imunisasi juga terkendala dana.
Sejak tahun 2000, dana terpusat di kabupaten dan banyak terjadi pemangkasan
biaya P2M akibatnya terjadi pemotongan gaji juru imunisasi (jurim). Seiring
waktu, jumlah jurim semakin berkurang dan imunisasi di tingkat desa dilakukan
oleh bidan desa, itupun terhalang oleh kurangnya transportasi. Laporan puskesmas
sering memberikan jumlah bayi yang diimunisasi bukan proporsi dari target. Jika
nilai ambang bayi yang tidak diimunisasi terlewati maka KLB P3DI akan
meningkat. Resiko ini acapkali tidak diperhatikan oleh para pejabat dinas
(Ismoedijanto, 2005).
Tabel 2.9 Persebaran dan proporsi penduduk miskin menurut kelompok besar
pulau di Indonesia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Tabel 2.10 Jumlah dan persentase daerah tertinggal dan ketersediaan puskesmas di
Indonesia tahun 2010 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
50
Kualitas surveilans AFP yang mandul turut andil dalam masalah erapo.
Surveilans sangat krusial dalam memberi peringatan akan kasus baru poliomielitis.
Tahun 1997, WHO menyatakan bahwa SAFP Indonesia baik. Dan pada tahun
2003, WHO mendorong sistem surveilans baru yang bertumpu pada SO
(Surveillance Officer) guna lebih aktif dalam mencari temuan kasus AFP. Namun
sejak tahun 2002 meskipun non polio AFP rate Indonesia telah membaik, kinerja
surveilans dinilai masih belum dapat memenuhi standar kualitas yang ditetapkan
WHO. Padahal pentingnya SAFP juga menentukan daerah yang beresiko tinggi
terhadap polio sehingga sub PIN, mopping up dapat dilakukan secara efektif
sehingga jumlah vaksin adekuat (Ismoedijanto, 2005). Pada KLB poliomielitis
tahun 2005, terjadi keterlambatan pengambilan spesimen pada awal dan akhir
KLB padahal keterlambatan ini akan beresiko terhadap peningkatan hasil negatif.
Contoh pemanfaatan surveilans yang kurang maksimal adalah ORI pada KLB
2005 yang dilakukan Indonesia relatif lambat jika dibandingkan dengan negara-
negara di Asia dan Afrika lainnya dalam menghadapi KLB, dimana Indonesia
membutuhkan yang lebih lama untuk melakukan mopping up. Padahal kecepatan
ORI juga sangat mempengaruhi jumlah penderita poliomielitis baru (Utami, 2007).
Grafik 2.5 Persentase non polio AFP rate dan pengiriman spesimen adekuat di
Indonesia tahun 2003 – 2010 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
51
Distribusi non Polio AFP Rate dan hasil pengiriman spesimen adekuat memenuhi
target menurut provinsi di Indonesia tahun 2010.
Indonesia memiliki wilayah yang luas, ketepatan pengambilan spesimen,
lama waktu spesimen sampai tujuan juga sangat mempengaruhi hasil laboratorium.
Semakin lama waktu yang dibutuhkan berarti semakin tinggi resiko hasil bernilai
negatif (Utami, 2007). Sehingga tampaklah pada distribusi spesimen adekuat < 80%
banyak berasal dari wilayah Indonesia timur.
Tabel 2.11 Persentase cakupan imunisasi polio di Indonesia menurut provinsi dan
menurut karakteristik responden tahun 2010 (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2011).
52
Pendidikan orang tua dan pengeluaran per kapita suatu keluarga
mempengaruhi imunisasi terhadap anak mereka. Semakin tinggi tingkat
pendidikan kepala keluarga dan pengeluaran rumah tangga per kapita maka
semakin tinggi pula cakupan imunisasinya. Terdapat perbedaan yang mencolok
juga antara cakupan imunisasi di perkotaan dan perdesaan (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia 2011).
Sementara itu untuk menilai cakupan imunasi di desa dapat digunakan
indikator desa UCI (Universal Children Immunization) yang memberikan
gambaran desa/ kelurahan dengan > 80% jumlah bayi yang sudah mendapat LIL.
Grafik cakupan desa UCI di Indonesia dari tahun ke tahun terlihat pasang surut.
Pada tahun 2005 merupakan pencapaian desa UCI tertinggi di Indonesia dan yang
terendah pada tahun 2008. Kemudian meningkat di tahun 2010 mencapai 75,31%
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Peningkatan tahun 2005
menunjukan bahwa tingkat kewaspadaan dengan melakukan imunisasi meningkat
karena adanya KLB di Jawa Barat. Namun sesudahnya tingkat kewaspadaan
semakin menurun seiring dengan perbaikan kasus poliomielitis di Indonesia.
Konsistensi cakupan imunisasi tidak selalu dijaga akibatnya ada celah bagi VPL
impor untuk masuk.
Grafik 2.6 Cakupan desa/ kelurahan UCI di Indonesia tahun 2004- 2010
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
53
Selain itu jika melihat jumlah yang vaksin polio yang disediakan pada PIN
tahun 2011 berjumlah 15,2 juta vaksin (Juliyah, 2011) sementara jumlah anak
dengan usia 0-59 nasional mencapai lebih dari 20 juta. Artinya pada program PIN
tersebut masih ada anak 0-59 bulan yang tidak mendapatkan imunisasi. Perlu
dicatat bahwa imunisasi suplemental tanpa memandang riwayat imunisasi.
Grafik 2.7. Piramida Penduduk Indonesia tahun 2010 (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2011).
Imunisasi sebagai fundamental program erapo di Indonesia acapkali
menemui kendala di masyarakat. Diantaranya kabar burung seputar vaksin
merupakan ancaman yang paling serius terhadap keberhasilan program Imunisasi,
Ketidaktahuan orang tua mengenai jadwal dan tempat imunisasi atau orang tua
yang menolak imunisasi pada anaknya karena takut dan merasa ragu adalah
halangan imunisasi yang kerap terjadi di Indonesia (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2009b). Cara terbaik dalam mengatasi permasalahan ini
sebenarnya adalah penyampaian informasi yang benar secara konsisten dan
menekankan fungsi imunisasi serta cara kerja vaksin agar dapat menepis keraguan
orang tua akan manfaat vaksin. Penyampaian informasi ini bisa dilakukan melalui
media massa, ruang diskusi dan personal walaupun masing- masing cara ini
memiliki keunggulan dan kelemahannya masing- masing (UNICEF, 2001).
Mayoritas penduduk Indonesia adalah umat muslim, kehalalan vaksin juga
menjadi salah alasan orang tua untuk menolak vaksin dan perlu disampaikan
54
bahwa penggunaan vaksin dengan bahan haram diizinkan. Dikutip dari
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009) mengenai fatwa MUI (Majelis
Ulama Indonesia),
“Penggunaan obat- obatan termasuk vaksin yang berasal dari bahan yang
mengandung benda najis ataupun yang terkena najis diperbolehkan
sepanjang belum ada bahan yang suci dan halal.”
Secara teknis, OPV yang digunakan di Indonesia sangat beresiko wabah.
Jika VPL dilemahkan yang terdapat di OPV mengalami back-mutation maka virus
tersebut menjadi ganas kembali karena biakan mRNA adalah bersifat tidak stabil
atau terjadi rekombinasi dengan enterovirus lainnya. Virus polio dari OPV yang
mengalami mutasi ini disebut VDPV (Vaccine Derived Polio Virus) dan memiliki
potensi yang sama dengan VPL. Belum lagi potensi accidental-release VPL dari
laboratorium oleh para peneliti (Ismoedijanto, 2005). Resiko terbesar lainnya
adalah potensi virus polio dari OPV yang dapat menjadi neurovirulen dan
mengakibatkan VAPP (Atkinson, 2009). Resiko vaksin polio untuk menjadi
neurovirulen adalah 1/ 2,5 juta dosis namun resiko ini akan meningkat hingga
2000 kali lebih besar bagi penderita imunodefisiensi.
BAB III
PEMBAHASAN
Penyebaran virus polio tidak memandang perbedaan usia dan batas
wilayah. Orang tua mempunyai tingkat kefatalan yang lebih tinggi daripada anak-
anak. Agar mengurangi fatalitas ini, penanganan yang teliti perlu dilakukan.
Penularan hanya terjadi dari manusia ke manusia dengan vehikel yaitu, makanan
dan minuman yang tercemar oleh tinja penderita poliomielitis. Untuk itu,
kesehatan lingkungan dan kebersihan diri adalah usaha yang paling mendasar
dalam mencegah poliomielitis.
Kesehatan lingkungan memainkan peranan penting dalam penyebaran
penyakit polio. Sumber air harus terus diawasi agar air tetap layak konsumsi.
Selain itu, pemerintah atau swadaya masyarakat harusnya berupaya lebih keras
dalam membuka akses air bersih bagi masyarakat. Pengelolahan tinja juga harus
diperhatikan. Kerap kali orang tua menganggap bahwa tinja anak relatif tidak
berbahaya. Padahal karena bayi masih belum mempunyai imunitas yang adekuat,
tinja bayi relatif lebih banyak mikroorganisme. Pembuangan tinja haruslah di
jamban yang memiliki septic tank agar kotoran yang dibuang tidak mencemari
sumber air disekitarnya. Dengan kepadatan penduduk yang tinggi pada suatu
wilayah akan mengecilkan jarak antara kontaminan dengan pejamu.
Pendekatan selanjutnya adalah bagaimana tenaga medis dapat
mendiagnosa poliomielitis sedini mungkin. Meskipun kelumpuhan yang dialami
mungkin telah ireversibel tetapi komplikasinya dapat diminimalisir. Orang yang
beresiko di lingkungan penderita juga akan lebih siap melalui inisiasi ORI.
KLB yang terjadi di Indonesia pada tahun 2005 merupakan tamparan keras
bagi penerapan erapo di Indonesia. Pencegahan yang paling efektif adalah
56
imunisasi. Jika imunisasi dilakukan dengan benar maka penyebaran virus polio ke
wilayah sekitarnya tidak harus terjadi bahkan setelah dilakukan mopping up.
Masalah Imunisasi muncul mulai dari orang tua yang enggan mengimunisasi
anaknya hingga kinerja surveilans yang tidak memenuhi standar WHO menjadi
biang keladi masalah ini. Dibutuhkan keseriusan dan kesepenuh hatian semua
instansi yang terkait.
Biasanya cakupan imunisasi masyarakat desa lebih rendah dari masyarakat
kota. Demikian juga adanya korelasi antara karakteristik orang tua dengan
cakupan imunisasi. Pendidikan orang tua dan pengeluaran suatu keluarga yang
rendah juga dibarengi cakupan imunisasi yang rendah. Penolakan atau
keengganan orang tua biasanya dikarenakan mereka tidak tahu manfaat imunisasi
dan informasi yang salah. Seringkali mereka mengganggap anak mereka sakit
karena imunisasi, padahal demam bukan penyakit dan timbul sebagai reaksi tubuh
dalam belajar membentuk imunitas. Karena kerap kali pada prakteknya orang tua
tidak diberitahu akan efek samping ini sewaktu imunisasi, mereka cenderung
menjadi tidak percaya dan tidak mau anaknya diimunisasi lagi. Oleh karena itu,
penyampaian informasi yang benar dan konsisten harus dilakukan.
Akhir- akhir ini, isu kehalalan vaksin polio kembali mencuat saat PIN
tahap III 2011 selesai dilakukan. Namun Kemkes telah menyatakan bahwa vaksin
polio halal bersama dengan fatwa MUI beberapa waktu lalu yang mengizinkan
penggunaan vaksin polio. Mengenai keamanannya, vaksin buatan Indonesia telah
mendapatkan prakualifikasi yang ditetapkan WHO setelah diawasi selama 10- 15
tahun. Vaksin buatan Indonesia juga telah memenuhi persyaratan dari NRA
(National Regulatory Authority) atau BPOM (Badan Pengawas Obat dan
Makanan). Hal ini berarti bahwa ketakutan seputar keamanaan dan kehalalan tidak
perlu diragukan. Bahkan tenaga medis kiranya menyampaikan fakta ini jika ada
keraguan ini di masyarakat.
Kasus VAPP dan VDPV masih berpeluang besar di Indonesia selama
penggunaan OPV masih diteruskan padahal OPV adalah vaksin yang paling
57
sesuai bagi program erapo di Indonesia. Walau demikian, dengan perkembangan
teknologi yang lebih baik, masalah ini sebenarnya sudah diminimalisir.
Indonesia sebagai negara yang luas mempunyai kontur geografis yang
beragam membuat daerah- daerah terpencil sulit dicapai. Dengan infrastruktur
jalan yang seadanya akan menambah jarak tempuh seorang jurim atau bidan untuk
melakukan imunisasi ke daerah terpencil, resiko kerusakan vaksin semakin besar.
Selain itu, ketiadaan suplai listrik dan freezer ke daerah terpencil tidak
memungkinkan untuk penyimpanan OPV lebih lama. Belum lagi jurim yang
semakin lama semakin berkurang sebagai imbas dari pemotongan pembiayaan
P2M. Alokasi dana kesehatan secara nasional juga masih relatif rendah bila
dibandingkan dengan negara- negara tetangga. Indonesia hanya mengalokasikan
kurang dari 2% untuk APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) sementara
negara tetangga seperti, Malaysia, Thailand dan bahkan Timor Leste
mengalokasikan dana kesehatan hingga 12%. Pemerintah harus mulai merubah
cara pikir bahwa biaya kesehatan bukanlah biaya konsumtif namun biaya
produktif karena tanpa bangsa yang sehat maka tidak ada bangsa yang produktif.
Keadaan ini juga mempersulit SO di tiap propinsi untuk melakukan
surveilans. Laporan puskesmas yang seringkali disederhanakan akan membuat
kasus poliomielitis semakin tersembunyi. Salah satunya, pelaporan cakupan
imunisasi. Dimana seringkali laporan yang disampaikan adalah jumlah bayi yang
telah diimunisasi bukan proporsi jumlah bayi yang harus mencapai target.
Faktor ini terkait satu sama lain. Dibutuhkan satu usaha keras dari
berbagai pihak terkait. Dengan memaksimalkan segala daya dan usaha serta
menjalaninya dengan kepenuhan hati maka Indonesia sehat dan kuat bukan
sekadar target. Indonesia tidak akan takut menghadapi serangan VPL impor.
Begitupun tidak serta merta membuat Indonesia cepat berpuas diri. KLB polio
tahun 2005 menjadi pelajaran yang berarti bahwa cepat berpuas diri akan
menurunkan rasa mawas diri terhadap kasus polio sehingga rentan terhadap VPL
impor.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Sistem saraf pusat terdiri atas sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf
tepi (SST). SSP terdiri atas otak dan sumsum tulang belakang sebagai
pusat pengolahan impuls. SST terbangun atas serat saraf yang
menghubungkan SSP dengan efektor.
2. Poliomielitis disebabkan oleh virus polio. Ketika terjadi viremia timbul
tanda minor illness. Poliomielitis non paralitik timbul tanda meningitis
karena adanya iritasi meningen sementara poliomielitis paralitik terjadi
kelumpuhan ekstremitas akibat kerusakan kornu anterior medula spinalis
dan gangguan kardiorespirasi jika kerusakan mencapai medula oblongata.
3. Gejala subklinik ditemukan paling banyak. Kelumpuhan umumnya pada
anak- anak akut, flaccid, unilateral dan ascending. Pemeriksaan
laboratorium pilihan adalah isolasi virus melalui spesimen feses.
Komplikasi deformitas muskuloskeletal diminimalisir melalui rehabilitasi.
4. Pencegahan poliomielitis dapat dilakukan melalui sanitasi lingkungan
dan kebersihan diri. Pencegahan yang paling efektif adalah melalui
imunisasi dalam program erapo.
5. Masalah penatalaksaan erapo di Indonesia sangat kompleks meliputi;
jumlah balita yang masih tinggi di beberapa daerah, potensi polio
menjadi wabah, kelumpuhan yang permanen, kepadatan penduduk,
sanitasi lingkungan, infrastruktur, surveilans yang tidak adekuat, cakupan
imunisasi, penolakan imunisasi di masyarakat, VAPP dan VDPV.
59
4.2 Saran
1. Selalu curigai anak- anak dengan AFP yang terjadi secara akut (< 2
minggu). Dengan diagnosa dini dari tenaga kesehatan sangat penting
dalam usaha membatasi peyebaran poliomielitis.
2. Penderita yang telah menderita polio harus segera melakukan rehabilitasi
setelah memasuki fase konvalesen agar deformitas dan kecacatan dapat
dihilangkan atau setidaknya diminimalisir.
3. Memperbaiki keadaan lingkungan dan penyuluhan mencuci tangan
adalah salah satu langkah dalam memutus penyebaran virus polio.
4. Jalin komunikasi yang baik antara tenaga kesehatan dan orang tua anak.
Memberikan informasi yang lengkap dan konsisten adalah salah satu cara
untuk menjalin komunikasi yang baik. Komunikasi dua arah, adanya
tanya jawab menunjukan ketertarikan orang tua mengenai isu kesehatan.
5. Surveilans harus tetap dilakukan secara terus menerus guna menemukan
kasus poliomielitis yang tersembunyi.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson W et al. 2009. Epidemiology and Prevention of Vaccine Preventable
Disease. Edisi Kesebelas. Washington DC: Public Health Foundation.
Barrett S. 2004. "Eradication Versus Control: the Economics of Global Infectious
Disease Policies", Bull World Health Organ, 82: 9, hal. 683–688.
Brooks Geo F, et al. 2007. Jawetz, Melnick & Adelberg’s Medical Microbiology.
Edisi Keduapuluh Empat. New York: Mc Graw Hill.
Cockburn T. 1961. "Eradication of Infectious Diseases", Science, 133, hal. 1050–
1058.
Coho J, Alexander LN. 2002. Vaccine Preventable Disease Surveillance Manual.
Edisi Ketiga. Washington: Center for Disease Control and Prevention.
Dinas Kesehatan Sumatera Utara. 2009. Profil Kesehatan Sumatera Utara 2008.
Medan: Dinkes Sumut.
Davies E Graham. et al. 2011. Manual of Childhood. New York: Oxford
University Press Inc.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. . 2009a. Profil Kesehatan Indonesia
2008, Jakarta: Depkes RI.
______. 2009b. Informasi Dasar Imunisasi Rutin serta Kesehatan Ibu dan Anak
bagi Kader, Petugas Lapangan dan Organisasi Kemasyarakatan. Jakarta:
Gavi Alliance.
______. 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Depkes RI.
61
Farmacia. 2005. “Kronologis KLB Polio di Sukabumi”, Majalah Farmacia, 4: 11,
hal. 42.
Furqonita Deswaty. (2005a), Sistem Saraf – Cerebrum, lecture handouts:
Anatomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Furqonita Deswaty. (2005b), Diencephalon dan Batang Otak, lecture handouts:
Anatomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Gawne AC, Halstead LS. 1995. “Post-polio syndrome: pathophysiology and
clinical management”, Critical Review in Physical Medicine and
Rehabilitation, 7: 2, hal. 147-188.
Guyton Arthur C, Hall John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
Kesebelas. Jakarta: EGC.
Ginsberg Lionel. 2005. Lecture Notes Neurologi. Edisi Keenam. New York:
McGraw Hill
Hartanto Huriawati, editor. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi Keduapuluh
Sembilan. Jakarta: EGC.
Hassan Rusepno, Alatas Husein. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Edisi
Kedua. Jakarta: Infomedika.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2011). Jadwal Imunisasi 2011 (IDAI), (Online),
(http://www.idai.or.id, diakses 25 Februari 2012).
Ismoedijanto, et al. 2005. “Eradikasi Polio dan Permasalahannya”, Makalah
disampaikan pada Seminar Ilmu Kesehatan Anak XXXV, Surabaya.
______. 2003. “Progress and Challenges Toward Poliomyelitis Eradication in
Indonesia”, The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public
Health, 34: 3, hal. 598 – 607.
Juliyah. (2011), Kampanye Imunisasi Tambahan Sudah tahap Akhir, (Online),
(http://infopublik.org, diakses 29 Februari 2012).
62
Junqueira Carlos L., Carneiro Josè, Kelley Roberto. 2005. Basic Histology: Text
and Atlas. Edisi Kesebelas. New York: McGraw-Hill.
Kandun I Nyoman. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi
Ketujuhbelas. Jakarta: Depkes RI.
Kasper Dennis L, et al. 2005. Harrison’s Principle of Medicine. Edisi
Keenambelas. New York: McGraw-Hill.
Kleighman Robert, et al. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi
Kedelapanbelas. Philadelphia: Elservier.
Krol J. 1996. Poliomielitis dan Dasar- Dasar Pembedahan Rehabilitasi. Jakarta:
EGC.
Latief Abdul et al. 2009. Diagnosis Fisis pada Anak. Jakarta: Sagung Seto.
Mader Sylvia S. 2004. Understanding Human Anatomy Physiology. Edisi Kelima.
New York: McGraw-Hill.
Mardjono Mahar, Sidharda Priguna. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta:
Penerbit Dian Rakyat.
Notoatmodjo Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta.
Parker Steve, “Sistem Saraf”, Ensiklopedia Tubuh Manusia (2007), hal. 66- 92.
Pasaribu Syahril. 1995. “Aspek Diagnostik Poliomielitis” Makalah disampaikan
pada Sarasehan Ilmiah Pekan Imunisasi Nasional, Medan.
Price Sylvia Anderson, Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses- Proses Penyakit. Volume Dua. Edisi Keenam. Jakarta: EGC.
Saladin Kenneth. 2003. Anatomy & Physiology: A Unity of Form and Function.
Edisi Ketiga. New York: McGraw-Hill.
63
Sherwood Lauralee. 2010. Physiology from Cell to System. Edisi Ketujuh. Kanada:
Brooks/Cole.
Simanjuntak David H. (2008), Sehat, lecture handouts: Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universitas Methodist Indonesia, Medan.
Simanjuntak David H. (2011), Kesehatan Lingkungan, lecture handouts: Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Universitas Methodist Indonesia, Medan.
Snell Richard. 2006a. Neuroanatomi Klinik. Edisi Kelima. Jakarta: EGC.
______. 2006b. Anatomi Klinik. Edisi Keenam. Jakarta: EGC.
Suryawidjaja Julius E. (2005). “Resurgensi Poliomyelitis: Status Terkini dari
Infeksi Poliovirus di Indonesia”, Universa Medicina, 24: 2, hal. 92- 101.
Syarurachman et al. 1993. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Trueta Joseph, et al. 1956. Handbook of Poliomyelitis. Illinois: Charles C. Thomas
Publisher.
Tortora Gerard J et al. 2010. Microbiology: An Introduction. San Fransisco:
Benjamin Cummins.
UNICEF. 2001. Communication Handbook for Polio Eradication and Routine
EPI. New York: USAID.
Utami. 2007. “Delayed Stool Specimen Collection During the Early and Late
Stages of the Polio Outbreak Increase the Risk of Negative Wild
Poliovirus Laboratory Results in some Districts in Indonesia”, Medical
Journal of Indonesia, 16:3, hal. 65- 134.
Wardy Anwar W. 2007. “Poliomielitis”, Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Universitas Muhamadiyah, 3: 1, hal. 99- 110.
64
Widoyono, 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.
World Health Organization (2003). Global Polio Eradication Initiative: Strategic
Plan 2004-2008. Jenewa: WHO Publications.
______. 2004. Polio Laboratory Manual. Edisi Keempat. Jenewa: WHO
Publications.
World Health Organization. 2005. “Poliomielitis, Indonesia – Update”, Weekly
Epidemiological Record, 80: 40, Jenewa: WHO Publications, hal. 342.
World Health Organization. 2010. Polio Global Eradication Initiative Strategic
Plan 2010- 2012. Jenewa: WHO Publications..
Yoits William. 2004. Outline Review: Microbiology & Immunology. New York:
McGraw-Hill.