Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

82
DIAGNOSA DINI DAN ERADIKASI DALAM MEMBERANTAS POLIOMIELITIS DI INDONESIA Oleh: Nama : Rusly NPM : 208.210.044 Pembimbing : Prof. dr. David H. Simanjuntak, DAKM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA MEDAN 2012

Transcript of Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

Page 1: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

DIAGNOSA DINI DAN ERADIKASI DALAM MEMBERANTAS

POLIOMIELITIS DI INDONESIA

Oleh:

Nama : Rusly

NPM : 208.210.044

Pembimbing : Prof. dr. David H. Simanjuntak, DAKM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA

MEDAN

2012

Page 2: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

KARYA TULIS ILMIAH

Diagnosa Dini dan Eradikasi dalam

Memberantas Poliomielitis di Indonesia

-------------------------------------------------------------------------------------

Oleh:

Pembimbing : Prof. dr. David H. Simanjuntak, DAKM

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA

MEDAN

2012

Page 3: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

ii

HALAMAN PENETAPAN JUDUL

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia

NAMA : RUSLY

NIM : 208.210.044

JUDUL KARYA TULIS ILMIAH

DIAGNOSA DINI DAN ERADIKASI DALAM MEMBERANTAS

POLIOMIELITIS DI INDONESIA

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Ditetapkan pada Tanggal 19 September 2011

Dosen Pembimbing

(Prof. dr. David H. Simanjuntak, DAKM)

Diketahui dan didaftar Tanggal 21 September 2011

Ketua Program Studi

Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia

(dr. Jaminsen Sinaga, SpA)

Page 4: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

iii

HALAMAN PENETAPAN SELESAI BIMBINGAN

Karya tulis ilmiah dengan judul

Diagnosa Dini dan Eradikasi dalam Memberantas Poliomielitis di Indonesia

Oleh : Rusly

NIM : 208.210.044

Telah selesai dan disahkan oleh Pembimbing untuk

diajukan di depan Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia

Medan, 24 Maret 2012

Dosen Pembimbing

(Prof. dr. David H. Simanjuntak, DAKM)

Diketahui dan didaftar

Ketua Program Studi

Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia

(dr. Jaminsen Sinaga, SpA)

Page 5: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

iv

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini

Nama : Rusly

NIM : 208.210.044

Dengan ini menyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah dengan Judul:

Diagnosa Dini dan Eradikasi dalam Memberantas Poliomielitis di Indonesia

Adalah benar merupakan Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis sendiri. Saya berjanji

bersedia menerima sangsi sesuai ketentuan yang berlaku bila dikemudian hari

ternyata Karya Tulis Ilmiah ini merupakan hasil karya penulis lain.

Medan, 24 Maret 2012

Yang membuat pertanyaan

(Rusly)

Page 6: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

v

HALAMAN PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH

KARYA TULIS ILMIAH

DIAGNOSA DINI DAN ERADIKASI DALAM MEMBERANTAS

POLIOMIELITIS DI INDONESIA

OLEH:

Nama : Rusly

NIM : 208.210.044

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa

Program Studi Sarjana Kedokteran Universitas Methodist Indonesia

Hari : Jumat Tanggal : 30 Maret 2012

Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah

Penguji I Penguji II/Pembimbing

(dr. Tenol Idrus, DAAI) (Prof. dr. David H. Simanjuntak, DAKM)

Ketua Sidang

(dr. Ronald Tambunan, MKT)

Page 7: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

vi

ABSTRAK

Poliomielitis telah diketahui sejak lama sebagai penyakit kelumpuhan yang

disebabkan kerusakan kornu anterior sumsum tulang belakang. Walaupun

presentasi kasus menunjukan hanya 1% kasus yang menunjukan kelumpuhan,

tetapi kelumpuhan yang diakibatkan bersifat permanen dan membatasi kehidupan

penderitanya. Sementara 99% kasus subklinik lainnya dapat menyebarkan

penyakit ini tanpa sepengetahuan penderitanya.

Erapo singkatan dari eradikasi polio adalah sebuah usaha kesehatan

masyarakat yang dilaksanakan dalam memberantas poliomielitis secara global. Di

Indonesia, erapo pernah sukses dengan sertifikasi bebas polio dari tahun 1995.

Tetapi tahun 2005 adalah tahun yang berat bagi pelaksanaan erapo di Indonesia

karena KLB poliomielitis terjadi di Jawa Barat dan menyebar ke daerah lainnya.

Hal ini menunjukan adanya masalah multisektorial yang menjadi penyebab KLB

poliomielitis tahun 2005.

Tidak ada satupun obat yang dapat mengobati poliomielitis. Namun sangat

jelas bahwa imunisasi dapat dilakukan yang merupakan langkah yang terbaik

dalam mencegah penyebaran penyakit ini. Diagnosa dini dapat menolong

kesembuhan penderitanya dan bersama dengan surveilans yang terus menerus

dapat mendeteksi kasus baru untuk menginisiasi segala usaha dalam menghambat

penyebaran poliomielitis.

Kata Kunci: poliomielitis, diagnosa dini, eradikasi polio, Indonesia

Page 8: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

vii

ABSTRACT

Poliomyelitis has been known long time ago as paralytic disease that is

caused by destruction at anterior horn of spinal cord. Eventhough case percentage

shows only 1% case that manifests as paralyse, however it is permanent and

inhibit the sufferer’s daily activities. While the other 99% subclinical cases can

spread this disease without the sufferer’s acknowledge.

Polio eradication (eradikasi polio is abbreviated as erapo) is a public health

effort that is implemented in eradicating poliomyelitis globally. In Indonesia,

erapo had been successed in result of polio free certification. But year 2005 is

such a hard year for erapo implementation in Indonesia because poliomyelitis

outbreak was occurred in West Java and spread to other districts. This case

concerned that multisector problems that causes poliomyelitis outbreak by 2005 is

existed.

There’s no medication that can cure anyone from poliomyelitis. But it’s

very clear that immunization can be done which is the best step to prevent this

disease spreading. Early diagnostic may aid the sufferer’s recovery and

accompanied with continuous surveilance can detect new case to initiate any

action in matter to limit poliomyelitis spreading.

Key words: poliomielitis, early diagnostic, polio eradication, Indonesia

Page 9: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

viii

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Karya

Tulis Ilmiah dengan judul “Diagnosa Dini dan Eradikasi dalam Memberantas

Poliomielitis di Indonesia”.

Dalam penyusunan laporan ini tidak terlepas bantuan dan dorongan serta

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Ir. Pantas Simanjuntak, MM, selaku Rektor Universitas Methodist

Indonesia

2. Bapak dr. Wilson Riau, DTM&H, selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Methodist Indonesia

3. Bapak dr. Jaminsen Sinaga, Sp.A, selaku Ketua Program Studi Sarjana

Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia Medan

4. Bapak Prof. dr. David H. Simanjuntak, DAKM, selaku Dosen Pembimbing

Karya Tulis Ilmiah yang telah banyak memberi arahan dan masukan dalam

penyelesaian karya tulis ilmiah ini

5. Seluruh Dosen dan Staf Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas

Methodist Indonesia Medan

6. Orang tua yang selama ini tidak lelah memberikan dukungan, motivasi dan

doa sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan

7. Teman- teman tutorial kelompok 4 dan rekan- rekan mahasiswa/i Fakultas

Kedokteran Universitas Methodist Indonesia Medan yang telah memberikan

dukungan selama ini dan selama penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

Akhir kata penulis berharap semoga hasil laporan ini dapat bermanfaat

bagi para pembaca Karya Tulis Ilmiah ini dan penulis mohon maaf bila terdapat

banyak kesalahan. Oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan.

Medan, 24 Maret 2012

Penulis

Rusly

Page 10: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

ix

Daftar Isi

HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i

HALAMAN PENETAPAN JUDUL……………………………………... ii

HALAMANPENETAPAN SELESAI BIMBINGAN………………….... iii

HALAMAN PERNYATAAN……………………………………………. iv

HALAMAN PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH……………...... v

ABSTRAKSI……………………………………………………………... vi

ABSTRACT……………………………………………………………..... vii

KATA PENGANTAR……………………………………………………. viii

DAFTAR ISI………………………………………………………............ ix

DAFTAR TABEL……………………………………………………….... xii

DAFTAR GRAFIK……………………………………………….............. xiii

BAB I. PENDAHULUAN...……………………………………………. 1

1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………... 1

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………. 3

1.3 Tujuan………………………………………………………... 4

1.3.1 Tujuan Umum…………………………………………. 4

1.3.2 Tujuan Khusus………………………………………… 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………... 5

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Pusat…………………... 5

2.1.1 Sistem Saraf Pusat…………………………………….. 5

2.1.1.1 Serebrum (Otak Besar)………………………... 6

2.1.1.2 Regio Diensefalon…………………………….. 8

2.1.1.3 Serebelum……………………………………... 8

2.1.1.4 Batang Otak…………………………………… 8

Page 11: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

x

2.1.1.5 Sumsum Tulang Belakang…………………….. 9

2.1.2 Sistem Saraf Tepi……………………………………… 12

2.1.3 Intergrasi Sistem Saraf………………………………… 14

2.2 Penyebab dan Lokasi Kerusakan Poliomielitis………………. 14

2.2.1 Virus Polio…………………………………………….. 15

2.2.2 Lokasi Kerusakan Poliomielitis………………………... 16

2.3 Diagnosa dan Penatalaksanaan Poliomielitis…………………. 18

2.3.1 Gejala Klinis Poliomielitis……………………………... 18

2.3.1.1 Poliomielitis Asimptomatis……………………. 20

2.3.1.2 Poliomielitis Abortif…………………………... 20

2.3.1.3 Poliomielitis Non Paralitik…………………….. 20

2.3.1.4 Poliomielitis Paralitik………………………….. 21

2.3.1.4.1 Bentuk Spinal………………………… 21

2.3.1.4.2 Bentuk Bulbar………………………… 22

2.3.1.4.3 Polioensefalitik……………………….. 23

2.3.1.5 Post Poliomyelitis Syndrome (PPS)……………. 24

2.3.2 Pemeriksaan Laboratorium Poliomielitis……………….. 25

2.3.2.1 Isolasi Virus……………………………………. 25

2.3.2.2 Pemeriksaan Serologis…………………………. 28

2.3.2.3 Analisis Cairan Serebrospinal………………….. 28

2.3.3 Diagnosa Banding Poliomielitis………………………... 29

2.3.4 Penatalaksanaan Poliomielitis………………………….. 30

2.4 Pencegahan dan Pengendalian Poliomielitis………………….. 34

2.4.1 Kesehatan Lingkungan dan Kebersihan Diri…………... 35

2.4.2 Imunisasi……………………………………………….. 36

2.4.2.1 Vaksin Polio…………………………………… 38

2.4.3 Erapo (Eradikasi Polio)……………………………….... 39

2.5 Masalah Erapo di Indonesia………………………………….. 44

BAB III. PEMBAHASAN...........………………………………………... 55

Page 12: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

xi

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………... 58

4.1 Kesimpulan…………………………………………………... 58

4.2 Saran…………………...…………………………………….. 59

DAFTAR PUSTAKA…………...………………………………………... 60

Page 13: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

xii

Daftar Tabel

Tabel Keterangan Halaman

Tabel 2.1 Traktus spinal mayor. 7

Tabel 2.2 Saraf kranial dan beberapa saraf spinal. 9

Tabel 2.3 Jenis poliomielitis dan presentasi kasus

keseluruhan di dunia. 15

Tabel 2.4 Membedakan AFP yang disebabkan oleh

GBS dan Mielitis Transversa. 25

Tabel 2.5 Jadwal Lima Imunisasi Dasar Lengkap (LIL)

dikeluarkan Depkes RI. 33

Tabel 2.6 Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 Tahun

IDAI. 34

Tabel 2.7 Jumlah kasus AFP, non polio AFP rate

menurut provinsi di Indonesia tahun 2010. 41

Tabel 2.8 Jumlah angka beban ketergantungan di

Indonesia tahun 2010. 41

Tabel 2.9 Persebaran dan proporsi penduduk miskin

menurut kelompok besar pulau di Indonesia. 45

Tabel 2.10

Jumlah dan persentase daerah tertinggal dan

ketersediaan puskesmas di Indonesia tahun

2010.

45

Tabel 2.11

Persentase cakupan imunisasi polio di

Indonesia menurut provinsi dan menurut

karakteristik responden tahun 2010.

47

Page 14: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

xiii

Daftar Grafik

Grafik Keterangan Halaman

Grafik 2.1 Alur pengumpulan dan penyaluran spesimen. 23

Grafik 2.2 Persentase beban ketergantungan di Indonesia

berdasarkan provinsi tahun 2010. 42

Grafik 2.3 Persentase kepadatan penduduk Indonesia

2010. 43

Grafik 2.4 Akses air bersih di Indonesia tahun 2010. 44

Grafik 2.5

Persentase non polio AFP rate dan

pengiriman spesimen adekuat di Indonesia

tahun 2003 – 2010.

46

Grafik 2.6 Cakupan desa/ kelurahan UCI di Indonesia

tahun 2004- 2010. 48

Grafik 2.7 Piramida Penduduk Indonesia tahun 2010. 49

Page 15: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia
Page 16: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Poliomielitis atau hanya disebut polio merupakan suatu penyakit infeksi

akut yang menyerang sistem saraf pusat dengan predileksi sel anterior substantia

grisea sumsum tulang belakang dan inti saraf motorik batang otak dengan atau

tanpa menunjukan gejala. Gejala yang ditimbulkanpun bervariasi antara sebatas

gejala prodromal hingga menyebabkan kelumpuhan.

Masalah serius timbul berhubungan dengan poliomielitis yang dapat

terjadi secara epidemik karena virus polio kerap kali tidak menunjukan gejala atau

hanya gejala ringan bagi pejamu yang ditumpanginya sehingga penderita sering

tidak tahu bahwa dirinya sedang membawa penyakit polio. Transmisi virus polio

tidak mengenal batas wilayah dan sanitasi suatu lingkungan. Diketahui pula

bahwa polio bisa terjadi di segala kondisi sanitasi lingkungan karena penularan

virus ini tidak hanya melalui transmisi fekal- oral yang umumnya terjadi di

lingkungan dengan sanitasi buruk, tetapi juga transmisi oro- oral yang bisa terjadi

di sanitasi yang baik (Widoyono, 2008). Namun demikian, resiko penyebaran

virus polio yang paling tinggi terdapat di daerah dengan sanitasi yang buruk.

Selain masalah penyebaran virus ini, invasi virus ini ke sistem saraf yang dapat

bersifat permanen berupa kecacatan dan bahkan kematian. Kecacatan paralisis

terjadi hanya 1 dari 1000 kasus. Paralisis kaki unilateral lebih sering terjadi pada

anak- anak dibawah usia 5 tahun sedangkan quadriplegia lebih sering terjadi pada

orang dewasa (Gawne, 1995). Kasus polio sering terjadi pada saat musim panas

dan musim gugur pada negara dengan empat musim tetapi pada daerah tropis

perbedaan ini tidaklah signifikan (Davies, 2011). Masalah ini akan menjadi

Page 17: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

2

masalah bagi penderita, keluarga penderita, lingkungan penderita dan masalah

bagi negara.

Ruang lingkup masalah yang ditimbulkan juga bukan sebatas masalah

kesehatan semata, melainkan terlibatnya sektor ekonomi dan sosial. Dari aspek

ekonomi, selain pendanaan dalam memberantas polio, penyakit polio yang

menyebabkan kecacatan atau bahkan kematian telah membatasi dan mengurangi

jumlah penduduk yang produktif dan potensial. Hal ini akan membatasi usaha

pemerintah dalam pengembangan potensi bangsa Indonesia yang begitu besar.

Dari sektor sosial, selain menimbulkan rasa rendah diri penderitanya, penyakit

polio yang terjadi epidemik dapat menimbulkan kecemasan orangtua terhadap

anak- anak mereka. Rasa cemas orang tua yang menimbulkan sikap protektif

berlebih terhadap anak- anak mereka akan membatasi potensi anak tersebut dalam

belajar dan bersosialisasi. Akibat multisektorial penyakit polio bisa menjadi beban

bukan hanya bagi penderita namun keluarganya dan bahkan dalam kontekstual

yang lebih luas, masalah ini merupakan masalah bagi bangsa dan negara

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

WHO, UNICEF dan Rotary Foundation berusaha melakukan Eradikasi

Polio Global pada tahun 1988 dengan harapan dunia bebas polio pada tahun 2000

sehingga semua usaha memberantas polio dapat dihentikan. Tetapi setelah tahun

2001, penurunan jumlah kasus polio tidak menunjukan hasil yang berarti seperti

tahun- tahun sebelumnya. Eradikasi polio (erapo) adalah suatu usaha kesehatan

masyarakat dalam memberantas semua kasus infeksi polio diseluruh dunia dengan

melancarkan beberapa strategi diantaranya pemberian imunisasi oral dalam 4

dosis pada 1 tahun pertama kehidupan bayi serta mengadakan imunisasi rutin pada

daerah endemik (World Health Organization, 2003).

Sebelum adanya vaksin polio, Indonesia sebenarnya telah endemik polio.

Polio pada sekitar tahun 50-an tidak ditanggapi secara serius karena adanya

hipotesa bahwa kekebalan alamiah terhadap polio dapat dibentuk dengan sanitasi

Page 18: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

3

yang buruk, walaupun kemudian hipotesa ini tidak terbukti sepenuhnya

(Ismoedijanto, 2005).

Sejak tahun 1995 Indonesia telah dinyatakan bebas polio tetapi pada

tanggal 5 Mei 2005, berita ditemukan kembali kasus polio di Sukabumi, Jawa

Barat menyebabkan reputasi Indonesia sebagai negara yang bebas polio selama

10 tahun harus hilang (World Health Organization, 2005). Kasus polio kembali

menjadi masalah kesehatan di Indonesia karena mengingat pada tahun tersebut

polio dengan cepatnya merebak ke berbagai provinsi sekitarnya seperti, DKI

Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur bahkan virus ini terbawa sampai Lampung.

Pada tahun 2005 tercatat 303 kasus polio yang kemudian mengalami penurunan

pada tahun 2006 dengan jumlah 2 kasus. Menurut penyelidikan WHO melalui

GSL (Global Specialized Laboratory), strain virus polio di Indonesia berasal dari

Nigeria atau Sudan yang dibawa oleh tenaga kerja Indonesia atau jemaah haji

yang berasal dari Arab Saudi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009a).

Walaupun Arab Saudi bukan negara endemik polio tapi tanggal 15 Desember

2004, seorang anak berusia 5 tahun asal Nigeria yang tinggal di kamp

pengungsian ilegal di dekat kota Mekkah menderita lumpuh (Widoyono, 2008).

Sementara itu, data terakhir di Sumatera Utara dari Dinas Kesehatan

Sumatera Utara (2009), periode antara tahun 2007- 2008 masih mencatat ada

penderita polio di 2 kabupaten yakni, kabupaten Humbang Hasundutan sebanyak

12 kasus pada tahun 2008 dan kabupaten Serdang Berdagai sebanyak 5 kasus

pada tahun 2007.

Masalah wabah polio yang pernah kembali terjadi di Indonesia dimana

Indonesia menjadi negara ke- 16 yang mengalami kembali kasus polio,

menunjukan sebuah krisis kesehatan dengan implikasi global.

1.2 Rumusan Masalah

Sejauh mana penegakan diagnosa dini dalam ketidaktahuan masyarakat

dan pelaksanaan erapo yang kurang berhasil sehingga penyakit polio muncul

kembali di Indonesia.

Page 19: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

4

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Menegakan diagnosa dini dan pelaksanaan erapo di masyarakat/

Indonesia.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi sistem saraf manusia

sebagai dasar pembahasan poliomielitis.

2. Untuk mengetahui penyebab poliomielitis dan lokasi kerusakan

pada sistem saraf sehingga menimbulkan manifestasi klinis yang

relatif bervariasi.

3. Untuk mengetahui diagnosa dini poliomielitis serta penanganannya.

4. Untuk mengetahui cara pencegahan poliomielitis dengan program

imunisasi biasa dan strategi erapo dalam memberantas polio.

5. Untuk mengetahui masalah- masalah yang dihadapi sehingga

belum tercapainya sasaran eradikasi poliomielitis.

Page 20: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia
Page 21: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Manusia

Sistem saraf manusia memiliki 2 divisi utama yaitu sistem saraf pusat dan

sistem saraf tepi. Secara garis besar, sistem saraf pusat meliputi otak dan sumsum

tulang belakang yang merupakan lokasi pusat pengaturan sistem tubuh. Sistem

saraf tepi terbagi lagi atas 2 divisi yakni, saraf somatik dan otonom. Keduanya

bekerja sama dalam menjalankan fungsinya (Mader, 2004).

2.1.1 Sistem Saraf Pusat

Otak pada sistem saraf pusat terbagi lagi atas prosensefalon,

mesensefalon, rombensefalon. Prosensefalon terdiri atas telensefalon

(serebrum) dan diensefalon (talamus, hipotalamus, epitalamus).

Mesensefalon yakni otak tengah. Rombensefalon terdiri dari metensefalon

(pons dan serebelum) dan mielensefalon (medula oblongata). Kecuali

serebelum, mesensefalon dan rombensefalon membentuk batang otak.

Sumsum tulang belakang merupakan penghubung antara sistem saraf pusat

yang lebih tinggi dengan sistem saraf tepi (Furqonita, 2005a). Sistem saraf

pusat terdiri dari substansia grisea dan substansia alba. Substansia grisea

berwarna abu- abu karena mengandung badan sel dan prosesus tanpa mielin

sementara substansia alba berwarna putih karena mengandung akson yang

bermielin (Mader, 2004). Sistem saraf pusat dilindungi secara mekanik oleh

selaput meningens dan tulang (kranium dan kolumna vertebralis).

Sementara neuroglia bertindak sebagai pendukung kehidupan sistem saraf

pusat dan melindungi sistem saraf pusat dari fluktuasi kimia dalam tubuh

dengan membentuk sawar darah otak pada setiap kapiler darah yang

memberi nutrisi bagi sistem saraf pusat (Saladin, 2003).

Page 22: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

6

2.1.1.1 Serebrum (Otak Besar)

Serebrum adalah bagian otak manusia yang terbesar. Serebrum

merupakan tempat terminal dari impuls sensorik yang masuk sebelum

respon motorik dikeluarkan. Aksi individu adalah bentuk intergrasi yang

diproses di serebrum (Mader, 2004). Serebrum dibagi menjadi 2 bagian

yakni, serebrum kiri dan kanan yang dihubungkan oleh korpus kalosum

(Sherwood, 2010). Substansia grisea merupakan lapisan korteks serebri di

bagian luar dan massa lain membentuk nukleus basalis yang terbenam di

dalam substansia alba (Junqueira, 2005).

Area fungsional korteks serebri, area brodmann (Furqonita, 2005a).

Serebrum memiliki 4 pasang lobus yang mempunyai area untuk

menanggungjawabi aktivitas yang berlainan. Area motorik primer tepat di

anterior sulkus sentralis memberikan perintah ke otot- otot rangka

kontralateral yang mengontrol masing- masing tubuh secara yang berbeda

(Mader, 2004). Informasi somatostetik dan propriosepsi diterima oleh area

somatosensori primer yang terdapat di posterior sulkus sentralis pada lobus

parietalis. Homunkulus adalah pemetaan lokasi dan kontrol korteks motorik/

sensorik pada beberapa bagian. Luas presentasi homunkulus sebanding

dengan tingkat kesulitan dan ketepatan kontrol motorik. (Sherwood, 2010).

Page 23: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

7

Homunkulus sesorik dan motorik (Furqonita, 2005a).

Terdapat juga area asosiasi yang terlibat dalam fungsi yang lebih

kompleks. Terdapat 3 area asosiasi yakni, korteks asosiasi prafrontalis yang

terlibat dalam fungsi eksekutif (Guyton, 2007), korteks asosiasi parietalis-

temporalis-oksipitalis yang memberitahukan lingkungan sekitar secara

lengkap dan yang terakhir korteks asosiasi limbik berkaitan dengan emosi

dan motivasi serta ketelibatannya dalam memori (Sheerwood, 2010).

Kemampuan berbahasa terdapat di area brocca dan wernicke. Area brocca

bertanggung jawab untuk kemampuan berbicara dengan mengontrol otot-

otot artikulasi sementara area wernicke berhubungan dengan kemampuan

pemahaman bahasa (Sherwood, 2010).

Area ganglia basalis pada potongan frontalis otak (Furqonita, 2005a).

Impuls motorik yang melewati nukleus basalis akan diaktivasi atau

dibatasi agar pola gerakan yang tidak berguna dapat dieliminasi (Mader,

2004). Ganglia basalis hanya dapat mengeliminasi dan terlibat dalam

gerakan yang volunter, postur tubuh dan penyangga. (Sherwood, 2010).

Page 24: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

8

2.1.1.2 Regio Diensefalon

Hipotalamus dan talamus berada di regio diensefalon. Hipotalamus

berfungsi dalam mengatur banyak fungsi homeostasis, seperti pengaturan

suhu, rasa lapar, jumlah cairan dengan pelepasan hormon untuk mengontrol

rasa haus dan pengeluaran urin, terlibat dalam pengaturan homeostasis yang

lebih luas dengan melibatkan sistem saraf otonom dan endokrin (sistem

neuroendokrin). Regio ini juga berperan dalam pola perilaku dan emosi

dalam sistem limbik (Guyton, 2007). Terdapat juga kelenjar pineal yang

memproduksi melantonin, salah satu kimia yang terlibat dalam siklus tidur

(Snell, 2006b).

Talamus befungsi sebagai stasiun penyambung dan intergrasi sinaps

untuk semua masukan sensorik. Impuls sensorik akan disaring dan

diarahkan ke korteks somatosensorik yang sesuai. Talamus juga

menentukan kesadaran kasar terhadap sensasi dan memperkuat impuls

motorik melalui korteks (Sherwood, 2010).

2.1.1.3 Serebelum (Otak Kecil)

Seperti serebrum, serebelum dipisahkan menjadi 2 hemisfer yang

terletak di fossa cranii posterior terpisah dengan batang otak oleh ventrikel

quartus. Namun serebelum memiliki hubungan dengan bagian- bagian

disekitarnya melalui penduculus cerebellaris dengan mesensefalon, pons

dan medula oblongata (Snell, 2006b). Serebelum menerima input sensorik

dari mata, telinga, persendian dan kaki dan mengatur output ke otot- otot

rangka dalam menjaga keseimbangan (Mader, 2004).

2.1.1.4 Batang Otak

Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblongata. Otak

tengah bertindak sebagai stasiun penguhubung serebrum sehingga banyak

memiliki serabut aferen dan eferen (Snell, 2006a).

Page 25: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

9

Pons banyak mengandung akson transversal yang berada diantara

serebelum dan sistem saraf pusat lainnya (Snell, 2006a). Pons bersama

medula oblongata juga berfungsi dalam mengatur refleks gerakan kepala

sebagai respons terhadap rangsangan penglihatan dan pendengaran (Mader,

2004). Medula oblongata memiliki fungsi refleks dalam mengatur

pernapasan, denyut jantung dan pelebaran- penyempitan pembuluh darah.

Selain itu juga mengontrol refleks medula seperti muntah, batuk, bersin,

bersedu dan menelan (Sherwood, 2010).

Saraf kranial yang keluar dari batang otak (Furqonita, 2005b).

Selain fungsi tersebut, batang otak memiliki sebagian besar inti- inti

saraf kranial. Menurut Furqonita (2005b), otak tengah misalnya memiliki

inti saraf kranial ketiga dan keempat, pons memiliki inti saraf kranial kelima

sampai ketujuh sedangkan medula oblongata memiliki inti saraf kranial

kedelapan hingga keduabelas. Disepanjang batang otak berjalan suatu

jaringan yang menerima dan mengintergrasikan seluruh sinaps, disebut

formasio retikularis. Kemudian jaringan ini berjalan sampai talamus yang

terlibat dalam kesadaran (Sherwood, 2010).

2.1.1.5 Sumsum Tulang Belakang

Sumsum tulang belakang terletak di dalam rongga tulang belakang

memanjang dari vertebra servikal I hingga vertebra lumbal III saat lahir.

Page 26: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

10

Karena pertumbuhan tulang vertebra jauh lebih cepat dari sumsum tulang

belakang sehingga saat dewasa, sumsum tulang sebatas vertebra lumbal I

(Saladin, 2003). Di bagian inferior regio servikal terdapat pembesaran

(intumescentia) yang mempersarafi daerah extremitas atas. Hal serupa

terjadi di lumbosakralis mempersarafi extremitas bawah. Dibawah

pembesaran lumbosakralis terdapat penyempitan membentuk corong yang

mana keluar serabut saraf mengisi kolumna vertebra L2 - S5 disebut cauda

equina (Snell, 2006b).

Traktus sumsum tulang belakang pada T4 (Saladin, 2003).

Pada sumsum tulang, lapisan luar disusun substansia alba dan

substansia grisea di bagian dalam yang membentuk gambaran seperti huruf

H (Mader, 2004). Dari substantia grisea terdapat 2 akar yang keluar yakni,

akar dorsal yang mengandung saraf sensorik aferen sedangkan dari

substansia alba terdapat 2 akar yakni, akar ventral yang mengandung saraf

motorik eferen (Saladin, 2003).

Di sepanjang sumsum tulang belakang terdapat berkas- berkas saraf

yang dikelompokan menjadi traktus. Traktus ini berawal atau berakhir di

bagian otak tertentu. Sepanjang perjalanannya, traktus ini bisa mengalami

penyilangan (decussation) maka pengontrolan tubuh adalah berlawanan

terhadap asal perintah yang disebut sebagai kontralateral. Sebaliknya,

traktus yang tidak mengalami penyilangan, mengontrol bagian tubuh sesuai

asalnya, disebut ipsilateral (Saladin, 2003). Pembagian traktus berdasarkan

arah impuls yakni, traktus asendens dan traktus desendens, biasanya

dinamakan berdasarkan asal dan ujungnya (Sherwood, 2010). Traktus

Page 27: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

11

asendens mengantarkan impuls sensorik yang terbagi atas 3 orde yaitu, orde

pertama yang membawa impuls dari sumsum tulang belakang ke batang

otak. Orde kedua membawa impuls hingga stasiun penghubung- talamus

dan yang terakhir orde ketiga berakhir di korteks serebri (Snell, 2006a).

Traktus desendens dibagi menjadi dua yakni, UMN (upper motor neuron)

yang dimulai dari soma di korteks serebri atau batang otak dan aksonnya

berakhir sampai LMN (lower motor neuron) di kornu anterior sumsum

tulang belakang (Saladin, 2003).

Tabel 2.1. Traktus spinal mayor (Saladin, 2003).

Traktus Kolum Penyilangan Fungsi

Traktus Asendens (Sensorik)

Fasikulus

Gracilis

Dorsal Medula Posisi - pergerakan

Ekstremitas, sentuhan

dalam, nyeri viseral, getaran,

dibawah T6

Fasikulus

Kuneatus

Dorsal Medula Sama seperti fasikulus

gracilis, diatas T6

Spinotalamikus Lateral

Ventral

Medula

Spinalis

Sentuhan ringan, gatal, suhu,

nyeri dan tekanan

Spinoserebellar

Dorsalis

Lateral - Propriosepsi

Spinoserebellar

Ventralis

Lateral Medula

Spinalis

Sama seperti spinoserebelar

dorsalis

Traktus Desendens (Motorik)

Kortikospinal

lateralis

Lateral Medula Kontrol halus ekstremitas

Kortikosinal

ventralis

Ventral - Kontrol halus ekstremitas

Tektospinal Lateral dan

ventral

Otak tengah Refleks memutar kepala

sebagai repons terhadap

suara dan visual

Retikulospinal

lateralis

Lateral - Postur dan keseimbangan.

Regulasi terhadap nyeri

Retikulospinal

medialis

Ventral - Seperti retikulospinal

lateralis

Vestibulospinal Ventral - Keseimbangan dan postur

tubuh

Gerak refleks timbul ketika impuls masuk tanpa dikelola di korteks

serebrum tetapi melalui interneuron, impuls dilanjutkan ke saraf motorik

(Mader, 2004). Jalannya impuls pada suatu refleks disebut lengkung refleks.

Page 28: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

12

Ada beberapa refleks yang dilakukan pada pemeriksaan neurologis

seperti, refleks superfisial; refleks dinding abdomen yang jika hilang

menandakan lesi sentral dan refleks krenmaster yang jika hilang

menandakan lesi medula spinalis, refleks tendon dalam; biseps, triseps,

patela dan archilles yang jika berkurang menandakan lesi LMN dan

bertambah menandakan lesi UMN, dan refleks patologis yang muncul pada

keadaan patologis tertentu (Latief, 2009).

2.1.2 Sistem Saraf Tepi

Serat saraf bagian dari sistem saraf tepi merupakan kumpulan dari

beberapa akson dalam satu fasikel. Beberapa fasikel ini akan membentuk

serat yang diselubungi perineurium (Junqueira, 2005). Seperti traktus sistem

saraf pusat, serat saraf ini mempunyai jalurnya ke efektor untuk

menyampaikan informasi.

Sebuah serat saraf memiliki lapisan- lapisan pembungkus dan jaringan ikat

kuat memberikan perlindungan (Parker, 2007).

Tetapi berbeda dengan neuron di sistem saraf pusat, sel schwann

sebagai neuroglia satu-satunya pelindung sistem saraf tepi sementara untuk

medukung viabilitas akson diperoleh dari transpor akson dari soma neuorn.

(Junqueira, 2005).

Sistem saraf tepi dibagi menjadi dua divisi utama yakni sensorik

(aferen) dan motorik (eferen). Pada kontrol motorik terdiri dari, divisi

somatik dan divisi otonom (Saladin, 2004) yang merupakan saraf simpatis

dan parasimpatis. Secara anatomis, divisi utama ini dapat dibagai berdasar

tempat keluarnya- saraf kranial ataupun saraf spinal (Mader, 2004).

Page 29: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

13

Tabel 2.2. Saraf kranial dan beberapa saraf spinal (Mader, 2004).

Saraf Kranial Tipe Lokasi Awal Lokasi Tujuan

Olfaktori (I) Sensorik Olfactory bulb Reseptor olfaktori

Optik (II) Sensorik Talamus Retina

Okulomoti (III) Motorik Otak tengah Otot penglihatan, pupil

Troklearis (IV) Motorik Otak Tengah Otot penglihatan

Trigeminal (V) Campuran Pons Gigi, mata, kulit dan lidah

Abdusens (VI) Motorik Pons Otot penglihatan

Facial (VII) Campuran Pons Otot wajah dan kelenjar saliva

Vestibulokoklearis

(VIII)

Sensorik Pons Telinga bagian dalam

Glosofaringeal (IX) Campuran Medula Oblongata Faring

Vagus (X) Campuran Medula Oblongata Organ tubuh dalam

Aksesorius (XI) Motorik Medula Oblongata Otot leher dan punggung

Hipoglosus (XII) Motorik Medula Oblongata Otot lidah

Saraf Spinal Terlibat Fungsi

Muskulokutane

us

C5 – T1 Otot lengan sisi anterior dan kulit lengan bawah

Radialis C5 – T1 Otot lengan sisi posterior dan kulit lengan bawah dan

tangan

Medianus C5 – T1 Otot lengan bawah, otot dan kulit tangan

Ulnaris C5 – T1 Otot lengan bawah dan tangan, kulit tangan

Frenikus C3 – C5 Diafragma

Intercostal T2 – T12 Otot intercostalis, abdomen, kulit trunkus

Femoral L2 – L4 Otot dan kulit ekstremitas bawah

Sciatic L4 – S3 Otot dan kulit ekstremitas bawah

Distribusi saraf simpatis dan parasimpatis (Mader, 2004).

Page 30: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

14

2.1.3 Intergrasi Sistem Saraf

Otak sebagai pusat pengaturan dimana perintah dikeluarkan sementara

agar informasi ini sampai ke efektor dibutuhkan penghubung. Batang otak

dan sumsum tulang belakang yang masih merupakan sistem saraf pusat

bertindak sebagai penghubung antara otak dengan sistem saraf tepi.

Traktus pada sistem saraf pusat menggambarkan hubungan antara sistem

saraf pusat hingga mencapai efektor (Sherwood, 2010).

2.2 Penyebab dan Lokasi Kerusakan pada Poliomielitis

Poliomielitis berasal dari bahasa Yunani yang tersusun atas kata polio

berarti kelabu, -myelos merujuk pada medula spinalis dan –itis menandakan

Page 31: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

15

peradangan (Hartanto, 2007). Sehingga poliomielitis berarti suatu keadaan

peradangan pada substansi kelabu medula spinalis. Poliomielitis sebagai suatu

penyakit infeksi akut tanpa memandang usia dapat terjadi secara endemik dan

epidemik disebabkan oleh virus polio (Mardjono, 2009). Penyakit ini juga disebut

penyakit Heine dan Meidin karena untuk menghormati kontribusi mereka dalam

identifikasi penyakit poliomielitis. Jakob Heine, seorang ortopedi dari Jerman

pada tahun 1840 pertama kali mengumpulkan kasus poliomielitis di Jerman.

Medin, seorang pediatrik dari Stockholm pada tahun 1890 mengemukakan

berbagai pola epidemi poliomielitis di Stockholm (Hassan, 1985).

2.2.1 Virus Polio

Virus polio terdiri atas 3 tipe virus polio yakni, tipe 1 (Brunhilde), tipe

2 (Lansing) dan tipe 3 (Leon). Tipe- tipe virus polio ini sering dikaitkan

dengan pola epidemiologi. Virus polio tipe 1 kerap dikaitkan dengan

epidemi poliomielitis yang luas dan ganas. Virus polio tipe 2 biasanya

sporadis dan tipe 3 menyebabkan epidemi ringan (Hassan, 1985). Imunitas

manusia adalah bersifat spesifik terhadap tipe tersebut. Sehingga imunitas

yang didapat terhadap satu tipe tidak menjamin kekebalan terhadap tipe

lainnya (Wardy, 2007).

Hingga saat ini satu-satunya reservoir alamiah dari virus polio adalah

manusia (Yoits, 2004) walaupun jaringan monyet dapat diinokulasikan virus

polio (Brooks, 2007) namun transmisi virus ini menyerang manusia diduga

kuat hanya melalui kontak orang ke orang melalui fekal- oral dan oro- oral.

Transmisi fekal- oral merupakan penyebab tersering di Indonesia dan

banyak negara berkembang dengan sanitasi buruk. Sementara menurut

Widoyono (2008), transmisi oro- oral biasanya terjadi di lingkungan dengan

sanitasi yang baik karena transmisi fekal oral tidak dimungkinkan.

Transmisi oro- oral ini bisa terjadi karena pada awal multiplikasi virus polio

terjadi di kelenjar getah bening faring. Virus polio sangat infeksius pada 7-

10 hari sebelum dan sesudah onset dari tanda dan gejala muncul (Atkinson,

Page 32: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

16

2009). Transmisi virus sendiri dapat berlangsung secara langsung maupun

tidak langsung, melalui kontaminasi makanan dan minuman. Sumber

penularan dan penyebaran dari tinja yang terinfeksi adalah jari- jari tangan

yang terkontaminasi. Penularan juga bisa dibawa melalui peralatan rumah

tangga yang terkontaminasi sehingga mudah terjadi di dalam lingkungan

keluarga. Biasanya semua individu dalam satu keluarga rentan terhadap

poliomielitis jika dijumpai kasus pada salah satu anggota keluarganya yang

kemudian menyebar ke lingkungan sekitar (Suryawidjaja, 2005).

Pada daerah iklim sedang, pola musiman poliomielitis terlihat jelas

yakni sering sekali terjadi pada musim panas dengan suhu yang stabil dan

musim gugur (Atkinson, 2009). Di daerah dengan iklim dingin, acapkali

terjadi peralihan dari poliomielitis endemik menjadi poliomielitis epidemik.

Indonesia dengan musim tropis tidak menunjukan perbedaan yang berarti

(Brooks, 2007).

2.2.2 Lokasi Kerusakan Poliomielitis

Masa inkubasi virus polio adalah 7- 14 hari dengan kisaran antara 3-

35 hari. Port d’entrée virus polio adalah melalui mulut. Multiplikasi primer

terjadi di kelenjar getah bening faring dan usus. Akibat dari invasi ini dapat

menimbulkan nyeri tenggorokan (Syarurachman, 2003) dan nyeri perut

sebagai manifestasi dari hiperplasia limfatik dan ulserasi peyer’s plaque.

Namun gejala ini tidak selalu dikeluhkan. Pada pemeriksaan biasa tampak

orofaring yang hiperemia (Kleighman, 2007).

Setelah virus bermultiplikasi kemudian masuk dari vasa limfatika ke

vasa sanguinea melalui kapiler hingga terjadi viremia dan menginvasi

sistem saraf. Menurut Hassan (1985), viremia hanya terjadi jika antibodi

yang dibentuk tidak adekuat dan cepat. Virus polio kemudian menyebar di

sepanjang akson saraf perifer sampai sistem saraf pusat. Jika kerusakan

terjadi pada saraf motorik maka kelumpuhan dan kehilangan/ kelemahan

atau pertambahan refleks bisa timbul. Menurut Kasper (2005), hubungan

Page 33: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

17

saraf perifer dan kejadian viremia adalah melalui otot berdasarkan penelitian

yang dilakukan kepada monyet. Secara fisiologi, akson yang rusak pada

keadaan tertentu masih mampu untuk melakukan perbaikan jika soma dan

neurilemma masih utuh (Parker, 2007). Selain itu pada tipe poliomielitis

paralitik bulbar biasanya masuk melalui sawar darah otak langsung

mengganggu pusat refleks medula (Tortora, 2010). Atrofi otot pada paska

poliomielitis bukanlah akibat virus polio secara langsung karena virus polio

tidak dapat bereplikasi didalam otot, namun akibat tidak ada inervasi saraf

otot (Brooks, 2007). Virus polio akan tetap ditemukan hingga 18 minggu

sesudahnya. Namun menurut Brooks (2007), banyak kasus tinja positif virus

polio ditemukan hanya 6 minggu setelah infeksi. Sedangkan pada usapan

tenggorokan, virus polio masih berada pada orofaring hingga maksimal 4

minggu setelah infeksi (Yoits, 2004). Pada kasus imunodefisiensi virus

polio dapat bertahan hingga 20 tahun (Kasper, 2005). Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat gambar berikut:

Perjalanan dan perkembangan virus polio selama masa inkubasinya (Brooks,

2007).

Jadi jelaslah dari mekanisme diatas, poliomielitis tidak hanya

menimbulkan kelumpuhan pada anggota gerak. Gejala prodromal muncul

Page 34: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

18

pada saat virus polio masuk ke vassa sanguinea dan terjadi viremia

(Syraurachman,2003). Retensi urin dan konstipasi timbul akibat kerusakan

di sistem saraf otonom. Gejala yang timbul dapat hilang sendiri atau jika

virus polio lebih ekstensif akan berlanjut menjadi kelumpuhan. Jika virus

polio sampai medula oblongata, maka akan menekan fungsi refleks medula

dan inti saraf kranial. Akibatnya yang serius adalah depresi pernapasan yang

dipersulit dengan terjadinya paralisa dinding faring. Karena prolaps dinding

faring juga menimbulkan sleep apnoe, afonia, disfagia yang biasanya tidak

terelakan pada poliomielitis tipe bulbar. Fungsi kardiorespirasi juga tertekan

karena kerusakan inti saraf vagal dan pusat refleks. Temuan hiperefleks atau

hiporefleks merupakan penanda penting kerusakan polio sepanjang UMN

atau LMN (Kleighman, 2007).

2.3 Diagnosa dan Penatalaksanaan Poliomielitis

Diagnosa poliomielitis dapat dibuat berdasarkan gejala klinis dan

ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium. Komplikasi yang timbul akibat

kelumpuhan dapat diminimalisir dengan penatalaksanaan yang tepat. Diagnosa

poliomielitis harus dipikirkan jika kasus terjadi di daerah epidemik poliomielitis

meskipun hanya menunjukan gejala terserang flu (Hassan, 1985) dengan riwayat

imunisasi yang tidak lengkap atau tidak ada sama sekali (Kleighman, 2007).

2.3.1 Gejala Klinis Poliomielitis

Penyakit poliomielitis yang disebabkan oleh VPL (Virus Polio Liar)

maupun virus polio yang terkait atau turunan vaksin tidak menunjukan

gejala yang berbeda. Merujuk bagaimana virus ini melakukan replikasi di

dalam tubuh manusia, gejala yang tidak spesifik muncul karena viremia. Hal

ini menandakan siklus hidup virus poliomielitis sudah dimulai (Pasaribu,

1995). Gejala tambahan seperti petechial haemorrhage dan inflammatory

edema bisa terjadi (Kliegman, 2007).

Kerusakan saraf motorik hingga lebih dari 50% akan memberikan

gambaran seperti kelemahan tungkai mengingat predileksi virus ini di

Page 35: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

19

intumesensia sumsum tulang belakang (Kliegman, 2007). Kerusakan ringan

neuron motorik akan dapat diperbaiki atau dikompensasi saraf yang masih

baik fungsinya dalam 3-4 minggu (Hassan, 1985).

Persentase gejala yang mungkin muncul oleh karena virus polio (Atkinson,

2009).

Walaupun mengenai semua golongan umur, anak- anak dibawah 15

tahun adalah populasi yang paling rentan menderita poliomielitis dan anak

berusia dibawah 3 tahun merupakan populasi dengan resiko tertinggi. Setiap

1 dari setiap 200 orang akan menderita kelumpuhan permanen bahkan setiap

5- 10% penderita poliomielitis paralitik dapat mati karena poliomielitis

bulbar (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Persentasi ini

lebih tinggi dari nilai global yang disampaikan oleh Atkinson (2009).

Tabel 2.3 Jenis poliomielitis dan presentasi kasus keseluruhan di dunia

(Atkinson, 2009).

Jenis Poliomielitis Presentasi Global

Asimptomtik (Silent Infection) 80- 95%

Minor Illness (Abortive Poliomyelitis) 4- 8%

Non Pararalytic Poliomyelits (Aseptic Meningitis) 1- 2%

Paralytic Poliomielitis 0,1 – 0,5%

- Spinal - 79 %

- Bulbospinal - 19 %

- Bulbar - 2 %

Poliomielitis dapat dibagi menjadi poliomielitis asimptomtis (silent

infection), poliomielitis abortif, poliomielitis non paralitik meningitis

aseptik dan poliomielitis paralitik (Brooks, 2007). Selain itu terdapat bentuk

poliomielitis yang muncul kembali beberapa dekade sesudahnya yakni post

polio syndrome (Wardy, 2007).

Page 36: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

20

2.3.1.1 Poliomielitis Asimptomatis

Jumlah penderita poliomielitis asimptomatik adalah yang terbanyak.

Poliomielitis ini tidak menunjukan gejala apapun selama 7- 10 hari masa

inkubasinya (Hassan, 1985). Tidak seperti kebanyakan penyakit infeksius

yang melibatkan manusia sebagai karier kronik, virus polio hanya

melibatkan manusia sebagai karier akut. Tetapi multiplikasi virus polio

sangat tinggi pada 7-10 hari sebelum dan sesudah gejala muncul (Atkinson,

2009). Selain itu, ketidaktahuan penderita bahwa dirinya telah menderita

poliomielitis sangat potensial menularkan ke lingkungan sekitarnya (Brooks,

2007). Hal ini menjadi penting dalam penyebaran virus polio untuk menjadi

epidemik.

2.3.1.2 Poliomielitis Abortif

Poliomielitis tipe ini berlangsung selama beberapa jam hingga

beberapa hari dan timbulnya secara mendadak. Umumnya poliomielitis

abortif hanya berlangsung selama 2-3 hari. Gejala yang muncul tidak

spesifik seperti orang yang terserang influenza (Hassan, 1985).

Pada umumnya penderita akan mengeluhkan demam, sakit kepala,

lemas dan tidak nafsu makan. Selain itu keluhan yang mungkin menyertai

adalah nyeri tenggorokan, nyeri otot dan perut disertai rasa mual dan

muntah. Pada pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan tanda yang berarti.

Kesembuhan dari poliomielitis tipe ini berlangsung dengan sendirinya tanpa

meninggalkan sisa apapun (Kliegman, 2007).

2.3.1.3 Poliomielitis Non Paralitik

Poliomielitis non- paralitik terjadi dalam 2 fase (bifasik) pada

kebanyakan kasus (2/3 dari seluruh penderita poliomielitis non- paralitik).

Diantara 2 fase ini dapat dijumpai fase tenggang yang didahului demam dan

nyeri otot. Fase yang pertama yakni dikenal dengan minor illness. Menurut

Hassan (1985), gejala klinik pada fase ini sama dengan poliomielitis abortif,

Page 37: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

21

berlangsung selama 1- 2 hari. Menurut Brooks (2007), poliomielitis non-

paralitik bukan disebabkan oleh etiologi tunggal sehingga menunjukan

gejala yang lebih intens. Gejala yang kurang dikeluhkan penderita

poliomielitis abortif akan dikeluhkan lebih sering dan lebih berat oleh

penderita poliomielitis non- paralitik seperti, rasa mual dan muntah

(Kleighman, 2007).

Fase kedua (CNS associated disease) ditandai dengan kekakuan leher

dan punggung (Mardjono, 2009). Pada bayi dapat ditemukan tangisan

dengan nada tinggi karena rasa nyeri yang ditimbulkan kekakuan otot pada

leher dan punggung, disebut meningeal cry (Ginsberg, 2005). Pemeriksaan

neurologis akan memberikan makna yang berarti. Pada pemeriksaan kaku

kuduk akan ditemukan tahanan sementara hasil positif akan diberikan pada

pemeriksaan Kernig dan Brudzinky. Tanda lainnya yang akan dijumpai

adalah tanda Tripod sebagai usaha tangan menopang tubuh (Trueta, 1956),

tanda Head Drop ditandai dengan kepala yang jatuh ke belakang (Hassan,

1985). Refleks tendon bisa hilang dan menjadi penanda penting kelumpuhan.

Biasanya dapat dilihat dalam 8- 24 jam setelah refleks superfisial didahului

dengan penurunan refleks dalam (Kleighman, 2007). Pada umumnya seperti

poliomielitis abortif, poliomielitis tipe ini juga mengalami pemulihan

dengan sendirinya. Pemulihan yang sempurna membutuhkan waktu 2- 10

hari (Brooks, 2007).

2.3.1.4 Poliomielitis Paralitik

Poliomielitis paralitik melibatkan beberapa daerah pada sistem saraf

pusat yang mengatur fungsi motorik. Tetapi fungsi sensorik biasanya tidak

terganggu. Ada 3 bentuk poliomielitis paralitik yakni; bentuk spinal, bentuk

bulbar dan polioensefalitik.

2.3.1.4.1 Bentuk Spinal

Seperti pada poliomielitis non- paralitik, poliomielitis bentuk spinal

memiliki 2 fase terpisah (bifasik) yang lebih sering terjadi pada anak- anak.

Page 38: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

22

Menurut Kasper (2005), bentuk bifasik ini sangat jarang ditemui pada orang

dewasa. Pada fase pertama berbentuk seperti poliomielitis abortif yang

diikuti kesembuhan. Fase ini berlangsung selama 2- 5 hari, kemudian

keadaan memburuk dan muncul demam, sakit kepala yang berat, nyeri otot

dan fenomena sensorik dan motorik. Fenomena sensorik dan motorik

meliputi parestesia hingga hiperestesia, kedutan hingga spasme otot

(Kleighman, 2007).

Menurut Kasper (2005), perburukan keadaan ini berlangsung 1- 2 hari.

Setelah itu terjadilah kelemahan atau kelumpuhan pada satu tungkai kaki

yang bisa diikuti dengan kelemahan atau kelumpuhan diatasnya. Area

proksimal anggota gerak lebih terkena daripada area distal (Kleighman,

2007).

Pada orang dewasa kelumpuhan acapkali mengenai seluruh anggota

gerak dan bahkan trunkus tubuh (Kasper, 2005). Selain itu virulensi

nampaknya memainkan peranan penting. Virus polio tipe 1 sering dikaitkan

dengan poliomielitis yang menyebabkan kelumpuhan daripada tipe virus

lainnya (Wardy, 2007). Kejadian selama 1- 3 minggu pertama ini

berlangsung stadium akut yang kemudian beralih menjadi stadium

perbaikan (Krol, 1996).

Perbaikan kelumpuhan dari poliomielitis paralitik bentuk spinal dapat

berlangsung cepat atau lambat. Dengan jangka waktu paling lama 18 bulan.

Namun Krol (1996) memberi batasan stadium perbaikan antara 6- 12 bulan

untuk kemudian menentukan stadium residual atau kronik. Jika dalam

waktu 3- 4 minggu tidak ada perbaikan maka kelumpuhan bersifat permanen

(Hassan, 1985).

2.3.1.4.2 Bentuk Bulbar

Bentuk ini merupakan predisposisi akibat dari tonsilektomi dengan

menunjukan gejala disfagia dan/ atau disfonia (Kasper, 2005). Bentuk

bulbar dibedakan dengan bentuk bulbospinalis yang merupakan gabungan

Page 39: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

23

antara bentuk bulbar dan bentuk spinalis. Bentuk bulbar merupakan akibat

dari keterlibatan medula oblongata sendiri, disfungsi nervus kranial atau

pusat refleks (Kleighman, 2007).

Kesulitan bernapas pada penderita poliomielitis paralitik bentuk

bulbar merupakan manifestasi nyata dari gangguan di medula oblongata

yang melibatkan saraf kranial maupun pusat refleks. Selain itu paralisis otot

wajah, mengunyah, gerakan mata juga menyertai pada kerusakan saraf

kranialis. Temuan- temuan lainnya yang dapat ditemukan, antara lain

(Kleighman, 2007):

1. Suara hidung (bunyi sengau)

2. Deviasi palatum, uvula dan lidah

3. Gangguan menelan dan regurgitasi nasalis

4. Berusaha untuk membersihkan tenggorokan

5. Afonia

6. Rope sign adalah kekhasan poliomielitis paralitik tipe bulbar dimana

bentuk siku yang dibentuk antara dagu dengan laring (Hartanto, 2005)

Perbaikan fungsi pusat refleks medula penderitanya sangat bervariasi

antara waktu mingguan hingga beberapa bulan dengan 2/3 penderita

mengalami pemulihan parsial (Kasper, 2005). Kerusakan saraf kranial

jarang bersifat permanen. Menurut Wardy (2007), perbaikan dapat terjadi

dalam 6 bulan. Kematian dan sembuh total dapat terjadi pada penderita

poliomielitis paralitik bentuk bulbar ini (Kleighman, 2007).

2.3.1.4.3 Polioensefalitik

Pada bentuk yang sangat jarang, virus polio dapat menyerang bagian

otak diatas medula oblongata. Gejala ensefalitis seperti penurunan

kesadaran (koma), disorientasi, kejang dan peningkatan refleks mungkin

muncul dan yang terpenting adalah tanda kelumpuhan. Tapi begitupun,

diagnosis tepat hanya dapat dilakukan melalui kultur virus pada spesimen

(Kleighman, 2007).

Page 40: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

24

2.3.1.5 Post Poliomielitis Syndrome (PPS)

PPS akibat dari penurunan kompensasi fisiologis otot- otot secara

gradual yang sebelumnya pernah terkena poliomielitis. Menurut Wardy

(2007), PPS dapat muncul 20- 40 tahun setelah infeksi inisial poliomielitis.

Wanita lebih sering menderita penyakit ini daripada pria. Onset PPS

tersembunyi dan berjalan sangat lambat antara 1 sampai 10 tahun (Kasper,

2005).

Akson neuron sehat yang membentuk tunas untuk mengkompensasi otot

yang tidak diinervasi sistem neuron yang rusak (Trueta, 1956).

Penyebab PPS secara pasti tidaklah diketahui hingga saat ini namun

kuat dugaan, PPS muncul akibat disfungsi dan kelemahan intergrasi tunas

neuron yang mengkompensasi fungsi otot dari neuron yang rusak pada

infeksi poliomielitis sebelumnya (Kasper, 2005). Hal ini menjelaskan

periode yang cukup panjang antara serangan inisial dan PPS. Karena bukan

suatu bentuk reinfeksi, PPS tidaklah menular (Price, 2005).

Gejala yang dikeluhkan adalah kelemahan otot yang berjalan secara

progresif dan lambat diikuti mudah lelah dan penurunan ukuran otot (atrofi

otot). Bahkan kelemahan dapat diikuti oleh otot yang tidak terlibat dalam

poliomielitis sebelumnya (Kasper, 2005). Selain itu Price (2005)

menambahkan sebagaimana dikutip dari International Polio Network 1999,

gejala sensorik seperti nyeri dengan kejang otot juga dikeluhkan penderita

PPS yang merupakan akibat dari kelemahan otot- otot. Hal ini akan

mengganggu aktivitas penderita dalam menjalani hidupnya yang mandiri.

Page 41: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

25

Jika kelemahan melibatkan otot pernafasan biasanya jarang bersifat serius.

Apnoe mungkin muncul karena kelemahan dinding faring (Wardy, 2007).

Kriteria untuk mendiagnosa PPS adalah; adanya riwayat poliomielitis

paralitik, mengalami periode kestabilan fungsional, kelemahan mendadak

atau berangsung, keadaan diluar medis meliputi gangguan ortopedik atau

neurologik lainnya (Price, 2005).

2.3.2 Pemeriksaan Laboratorium Poliomielitis

Gejala klinis tidak selalu memberikan diagnosa definitif akan suatu

kejadian poliomielitis. Diagnosa pasti tetap melalui pemeriksaan

laboratorium. Ada 3 pemeriksaan laboratorium pada kasus poliomielitis.

Berikut adalah pemeriksaan polio; pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan

serologi dan analisis cairan serebrospinal (Coho, 2002).

2.3.2.1 Isolasi Virus

Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan yang direkomendasikan WHO.

Untuk melakukan pemeriksaan ini diperlukan salah satu dari tiga spesimen

yakni, tinja (faeces), usapan tenggorok (pharingeal swab), usapan rektal

(rectal swab). Spesimen dengan akurasi tertinggi didapat dari pemeriksaan

tinja dan merupakan rekomendasi WHO, spesimen usapan rektal

mempunyai akurasi terendah (Coho, 2002). Namun spesimen lainnya dapat

diambil pada penderita poliomielitis paralitik (Brooks, 2007) dan pada

beberapa kasus poliomielitis non paralitik (Kleighman, 2007).

Di Indonesia, isolasi virus dari spesimen tinja digunakan untuk

menunjang surveilans AFP pada program erapo (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 2011). Tidak seperti kultur dari cairan serebrospinal

yang jarang berhasil dan jarang dilakukan, spesimen dari tinja lebih sering

digunakan sebagai diagnostik (Coho, 2002). Bahkan Wardy (2007)

menyatakan dengan tegas bahwa tidak akan dijumpai virus polio di cairan

Page 42: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

26

serebrospinal. Tampaknya temuan isolasi virus dari tinja adalah suatu

langkah diagnosis yang paling akurat (Brooks, 2007).

Jika dijumpai pasien dengan dugaan poliomielitis harus diambil

spesimen tinjanya dua kali dengan jarak 1- 2 hari dimana pengambilan

spesimen pertama harus secepat mungkin (Kleighman, 2007). Menurut

Coho (2002), idealnya suatu spesimen tinja diambil dalam 15 hari sejak

onset paralisis muncul. Menurut Brooks (2007), spesimen tenggorokan

hanya bertahan beberapa waktu. Tinja yang diambil setidaknya 8 hingga 10

gram dikirim dalam keadaan beku (Kleighman, 2007) pada suhu 4- 6 oC ke

pusat laboratorium nasional (World Health Organization, 2004). Hasil akan

terlihat dalam waktu 3- 6 hari (Brooks, 2007).

Ada tiga tingkatan laboratorium yang dirancang WHO dalam

mendukung pemeriksaan spesimen. Pada tingkat nasional terdapat NL

(National Laboratory). Kemudian pada regional pembagian WHO terdapat

regional reference laboratory dan pada tingkatan yang paling tinggi terdapat

GSL (Global Specialized Laboratory). Masing- masing tingkatan

mempunyai peranannya masing- masing secara khusus dan melakukan

pemeriksaan ulang spesimen untuk menghindari hasil negatif atau positif

palsu bahkan dapat menentukan tipe poliomielitis yang terlibat serta

menentukan asal muasal virus polio yang menyebabkan poliomielitis pada

suatu daerah (World Health Organization, 2004).

Struktur Jaringan Laboratorium Polio Global (World Health Organization,

2004).

Page 43: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

27

Grafik 2.1 Alur pengumpulan dan penyaluran spesimen.

Laboratorium nasional yang telah mendapat sertifikasi dari WHO di

Indonesia tersebar di 3 provinsi yakni; laboratorium PUSLIT Jakarta,

laboratorium biofarma Bandung dan BBLK (Balai Besar Laboratorium

Kesehatan) Surabaya (Widoyono, 2007). Di laboratorium ini, virus akan

diisolasi, diidentifikasi dan dilaporkan hasilnya ke pusat surveilans nasional.

Mengirimkan virus polio yang telah terisolasi dan jika diminta, spesimen

tinja ke laboratorium tingkat regional. Dikutip Suryawidjaja (2005),

laboratorium tingkat regional yang digunakan Indonesia sewaktu KLB pada

tahun 2005 adalah laboratorium tingkat regional di Mumbai, India. Namun

dilihat dari peta persebaran laboratorium yang telah disertifikasi WHO.

Untuk wilayah SEARO, laboratorium regional terdapat juga di beberapa

Page 44: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

28

negara lainnya yakni, Thailand, Nepal dan Pakistan. Tugas laboratorium

regional juga menyampaikan laporan ke WHO yang dibuat dalam bentuk

laporan mingguan atau bulanan. Hasil ini akan dikonfirmasi ulang dan

dilakukan ITD sekaligus dikirim ke GSL (Global Specialized Laboratory).

Hasilnya dilaporkan ke WHO dan laboratorium nasional. Dan terakhir, GSL

(Global Specialized Laboratory) akan kembali mengkonfirmasi hasil

pemeriksaan laboratorium regional dan melakukan analisis gen. Hasilnya

dilaporkan ke WHO dan tingkat regional (World Health Organization, 2004).

2.3.2.2 Pemeriksaan Serologis

Spesimen serum diambil sesegera mungkin pada stadium akut dan

stadium penyembuhan. Jika hasil serum menunjukan peningkatan 4 kali

antara stadium akut dan stadium penyembuhan, maka menandakan positif

poliomielitis (Pasaribu, 1995). Tapi pemeriksaan ini bisa saja memberi

negatif palsu pada penderita imunodefisiensi dan positif palsu bisa muncul

pada orang yang telah mendapat vaksinasi sehingga riwayat vaksinasi harus

diketahui dengan pasti. Satu kelemahan lainnya adalah tidak dapat

membedakan antibodi yang diinduksi oleh virus polio terkait vaksin dan

VPL (Coho, 2002).

2.3.2.3 Analisis Cairan Serebrospinal

Analisis cairan serebrospinal tidaklah spesifik karena perubahan yang

ada bisa disebabkan oleh non polio virus disease (Coho, 2002). Pada saat

penderita masih mengalami minor illness tidak akan ada banyak perubahan

yang berarti dari hasil analisis cairan serebrospinal. Ketika keterlibatan

sudah mencapai sistem saraf pusat maka peningkatan protein dapat

ditemukan (Kasper, 2005). Pleositosis berada antara 20- 300 sel/ mm3 yang

dimulai dari pleositosis PMN (polymorphonuclear) hingga akhirnya

bergeser pleositosis limfosit (Kleighman, 2007). Batasan pleositosis

dibawah 500 sel/mm3. (Hassan, 1995).

Page 45: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

29

2.3.3 Diagnosa Banding Poliomielitis

Poliomielitis dipertimbangkan jika didapati penderita dengan AFP

(Acute Flaccid Paralysis). Banyak kasus yang menyebabkan AFP

diantaranya 60- 70% kelumpuhan disebabkan oleh GBS (Guillain Barré

Syndrome) dan yang paling mirip dengan poliomielitis adalah mielitis

transversa (Widoyono, 2007).

Tabel 2.4 Membedakan AFP yang disebabkan oleh GBS dan Mielitis

Transversa.

Penyakit

Gangguan

Poliomielitis

Paralitik

GBS

(Guillain Barré

Syndrome)

Mielitis

Transversa

Penyebab Infeksi Autoimun Variatif

Demam

mendahului AFP

Meningkat tinggi Tidak ada Kadang- kadang

Motorik

(Volunter)

Kelumpuhan

Akut, asimetris,

proksimal > distal

ascending

Akut, simetris,

distal > proximal

ascending*

Akut, simetris **

Onset 7- 14 hari (antara

4- 35 hari)

Beberapa jam –

10 hari

Beberapa jam –

beberapa tahun

Progresifitas 1- 2 hari Beberapa hari –

4 minggu

Beberapa jam –

beberapa tahun

Residual Berat, simetris,

atrofi dan

deformitas

Simetris, Atrofi

terjadi di otot

distal

Distrofi

Motorik

(Otonom)

Gangguan miksi

Tidak ada

Ada ***

Ada

Refleks

Refleks tendon

Menurun atau

menghilang

Tidak ada

Menurun atau

menghilang

Sensorik

Perabaan

Nyeri

Tidak ada

Berat

Hipoaesthesia

Variatif

**/****

Hipoaesthesia

Berat (backpain)

Laboratorium

Pleositosis

Ada

Tidak ada

Ada

Catatan:

* kecuali pada subtipe Miller Fisher Syndrome.

** lokasi bergantung segmen sumsum tulang yang terkena.

*** pada GBS subtipe acute panautonomic neuropathy.

**** bergantung juga pada seberapa banyak serat saraf sensorik terkena.

Page 46: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

30

2.3.4 Penatalaksanaan Poliomielitis

Kelumpuhan poliomielitis dapat diprediksi setelah minggu ketiga

hingga minggu keenam setelah terserang virus polio. Setelah stadium akut

yang berlangsung 1- 3 minggu, dimana minor illness dan major illness telah

terlewati, seorang penderita yang mengalami kelumpuhan akan memasuki

stadium penyembuhan. Stadium penyembuhan ini adalah stadium yang

sangat krusial dalam usaha membatasi kelumpuhan dan mencegah

deformitas. Selama stadium akut hanya dapat dilakukan pengobatan suportif.

Kemudian selama stadium penyembuhan yang berlangsung selama 6 hingga

12 bulan dapat dilakukan pelaksanaan rehabilitasi dan menentukan prediksi

kelumpuhan. Stadium residual adalah stadium akhir dari poliomielitis

dimana pada stadium ini tidak banyak yang dapat dilakukan karena

kecacatan yang ditimbulkan telah bersifat permanen (Krol, 1996).

Pada stadium akut, pengobatan poliomielitis bersifat simptomatis

untuk meredakan gejala (Widoyono, 2008). Fokus utama tindakan yang

dilakukan selama stadium akut adalah istirahat mutlak selama 2 minggu.

Selama stadium ini pemberian antipiretik dan analgetik bermanfaat dalam

menurunkan demam dan nyeri yang muncul akibat spasme otot. Pemakaian

foot board bermanfaat menjadi penahan telapak kaki agar memposisikan

kaki pada sudut yang sesuai terhadap tungkai kaki (Hassan, 1985). Keluhan

seperti retensi urin kerap dikeluhkan oleh penderita poliomielitis non

paralitik dan paralitik yang dapat diberikan stimulan parasimpatis (Pasaribu,

1995) atau jika stimulan ini gagal maka tindakan kateterisasi dapat

dilakukan. Konstipasi juga biasanya lebih berat pada penderita poliomielitis

non paralitik dan paralitik, pemberian laksansia akan memberi manfaat

(Wardy, 2007). Pada penderita poliomielitis paralitik tipe bulbar yang sering

mengakibatkan paralisis pernafasan harus diberikan bantuan pernapasan

mekanis. Kemudian karena paralisis yang terjadi di daerah orofaring,

pencegahan aspirasi pneumonia dapat dilakukan dengan memposisikan

kepala lebih rendah dengan sudut 20o- 25

o dan memiringkannya ke lateral.

Page 47: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

31

Juga perlu diingat karena saliva yang terakumulasi, tindakan aspirasi cairan

yang terkumpul tersebut sangat penting. Ada pantangan penting pada

stadium akut yakni segala tindakan tidak boleh atau sangat minimal

melibatkan muskuloskeletal seperti, injeksi intramuskular dan pembedahan.

Menurut Krol (1996), latihan terhadap otot akan membuat kecenderungan

untuk menjadi paralisis lebih tinggi daripada penderita yang melakukan

istirahat total. Posisi netral dengan penyangga papan sangat dianjurkan

selama istirahat total dalam mencegah deformitas dan posisi harus diubah

setiap 3- 6 jam (Kleighman, 2007).

Pada stadium penyembuhan atau konvalesen, penilaian kekuatan otot

dimasa mendatang dapat dilihat pada minggu ketiga hingga minggu keenam.

Jika pada periode tersebut tidak ada gerakan atau tidak ada kekuatan maka

kemungkinan paralisis total adalah hasil akhirnya. Namun jika ada sedikit

gerakan atau kontraksi otot yang lemah maka memungkinkan pengembalian

fungsi otot dapat dimaksimalkan dengan latihan kekuatan melalui fisioterapi.

Jika latihan ini dilakukan pada 6 bulan pertama maka proses penyembuhan

lebih cepat daripada yang melakukan latihan kekuatan diatas 6 bulan.

Manfaat dari latihan kekuatan adalah kemampuan dari otot akan lebih cepat

dan mencegah kontraktur. Latihan yang dilakukan seperti; latihan gerakan

otot, gaya berjalan dan posisi, penguatan dan latihan dalam aktivitas

kehidupan sehari- hari. Pada anak- anak, juga dilakukan rangsangan

perkembangan normal seperti berguling, duduk, merangkak dan berdiri

(Krol, 1995).

Beberapa latihan anggota gerak pada anak- anak dapat dilakukan

untuk menguatkan anggota gerak yang mengalami paralisis. Berikut adalah

kombinasi gerakan yang dapat dilakukan sebanyak 6 kali secara simultan

(UNICEF, 2001):

Page 48: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

32

Latihan yang dilakukan untuk pemulihan kelumpuhan anggota gerak bawah

1. Menekuk lutut anak

2. Meluruskan pangkal paha

dengan menggerakan tungkai

kaki kearah belakang

3. Menekuk pangkal paha anak

dengan lutut tertekuk

4. Menekuk pangkal pada anak

dengan lutut lurus

5. Menyilangkan kaki, menjauhkannya satu sama lain dan menyilangkannya

kembali

6. Menggerakan kaki anak ke atas

Gerakan ini dilakukan dengan satu tangan menahan tungkai kaki tepat diatas

mata kaki, kemudian jempol dan jari telunjuk lainnya menarik tumit anak

sambil telapak tangan mendorong telapak kaki anak ke atas. Menahannya

dalam 5 hitungan kemudian menarik dan mendorongnya lagi.

Page 49: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

33

Latihan yang dilakukan untuk pemulihan kelumpuhan anggota gerak atas

7. Mengangkat tangan anak

keatas kepala

8. Mengangkat tangan anak

menjauhi sisi tubuh

9. Meluruskan dan menekuk siku

10. Memutar pergelangan tangan

11. Menekuk pergelangan tangan anak ke arah depan dan ke arah belakang

Dan yang terakhir yakni stadium residual, dengan gejala sisa paralisis

yang terjadi karena latihan yang dilakukan tidak maksimal ataupun tidak

dilakukan sama sekali. Deformitas yang terjadi akibat rehabilitasi yang tidak

adekuat dapat menerima pelayanan bedah korektif. Bedah korektif ini akan

memberikan hasil yang lebih baik jika dilakukan sedini mungkin. Namun

pada stadium residual lanjut, hanya penderita anak- anak yang mungkin

masih memberi manfaat (Krol, 1995).

Page 50: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

34

Akibat dari gejala sisa ini secara umum memiliki gambaran seperti;

gangguan/ hilangnya gerakan yang spesifik, stabilitas sendi, penampilan

umum dan perkembangan deformitas itu sendiri. Atrofi otot muncul akibat

tidak adanya inervasi saraf, ulserasi muncul karena gangguan sirkulasi darah

(Hassan, 1995). Deformitas seperti kontraktur otot maupun sendi akan

membatasi dan menghambat pergerakan tubuh dan mengakibatkan deviasi

anggota gerak. Deformitas ini timbul dalam waktu lama yang disebabkan

tubuh mengarah pada otot yang mengerut dipicu oleh ketidakseimbangan

otot, gravitasi dan mempertahankan posisi tubuh dalam jangka waktu lama.

Untuk bedah korektif yang dilakukan pada penderita poliomielitis suatu

stadium residual juga bersifat selektif. Pada beberapa keadaan bedah

korektif tidak boleh dilakukan misalnya, pada anak- anak dengan gangguan

berat di otot ekstremitas bawah dan dijumpai kelemahan pada ekstremitas

atas dan batang tubuh. Pada penderita dewasa, gangguan anggota gerak luas

yang telah lama adalah kontraindikasi bedah korektif (Krol, 1996).

2.4 Pencegahan dan Pengendalian poliomielitis

Usaha pencegahan dan pengendalian poliomielitis mengambil andil penting

dalam mencegah penyebaran poliomielitis karena banyaknya karier akut yang

tanpa disadari penderitanya (Brooks, 2007). Selain itu, usaha pencegahan dan

pengendalian poliomielitis dapat dilakukan karena ketersedian sumber daya dan

sifat virus polio itu sendiri (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Seperti penyakit menular pada umumnya, pencegahan dapat dilakukan

melalui 3 pendekatan yakni, prepathogenesis phase, pathogenesis phase dan

pasca pathogenesis phase. Pendekatan yang dilakukan pada prepathogenesis

phase adalah melalui imunisasi, kebersihan diri, kesehatan lingkungan dan

menghindari daerah endemik polio. Kemudian pendekatan selama pathogenesis

phase adalah penemuan kasus, skrining, pemeriksaan yang selektif dan

penanganan penderita secara tepat untuk mengurangi gejala sisa pada poliomielitis

paralitik. Sebagian besar kegiatan ini terangkum dalam program erapo.

Page 51: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

35

Pendekatan pasca pathogenesis phase dapat dilakukan rehabilitasi dan bedah

korektif untuk memperbaiki atau mengurangi kerusakan yang ditimbulkan virus

polio (Simanjuntak, 2008).

2.4.1 Kesehatan Lingkungan dan Kebersihan Diri

Kesehatan lingkungan dan kebersihan diri adalah suatu bentuk

pencegahan pada prepathogenesis phase yang bersifat specific protection

(Simanjuntak, 2008). Meskipun pencegahan melalui kesehatan lingkungan

dan kebersihan diri membantu dalam mengurangi angka penyebaran virus

polio tetapi cara yang paling efektif adalah mencegah polio melalui

vaksinasi (Coho, 2001).

Beberapa ruang lingkup kesehatan lingkungan yang dapat dilakukan

sebagai usaha pencegahan penyakit poliomielitis antara lain; penyediaan air

minum, pengolahan air buangan, pengendalian pencemaran air dan

kebersihaan makanan (Simanjuntak, 2011). Penyediaan air minum harus

memenuhi syarat seperti; syarat fisik, syarat bakteriologis dan syarat kimia.

Syarat fisik yang harus dimiliki seperti; bening, tidak berasa dan tidak

berbau. Pada air minum sehat harus bebas dari mikroorganisme, terutama

yang bersifat patogen dan harus memiliki kadar zat yang sesuai guna

menjalankan fungsi fisiologis manusia. Prinsip dasar penyediaan air bersih

adalah air harus bebas dari kontaminasi kotoran. Untuk itu, perlunya

tindakan pengawasan dan pelindungan air yang dikonsumsi oleh masyarakat.

Sementara prinsip pembuangan kotoran manusia yang benar adalah melalui

jamban yang baik sehingga tidak terjadi kontaminasi air disekitarnya

(Notoatmodjo, 2007). Untuk menjaga kebersihan makanan dan minuman,

tentulah makanan dan minuman tersebut harus dimasak karena kebanyakan

mikroorganisme, termasuk virus polio, tidak tahan pada pemanasan.

Kebiasaan mencuci tangan harus dibiasakan sesudah buang air besar,

sesudah membuang tinja anak dan sebelum memasak dan makan. Virus

polio dapat menyebar melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh

Page 52: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

36

kotoran yang terkontaminasi. Virus ini bisa saja mengontaminasi makanan

secara langsung atau melalui tangan yang kotor. Oleh karena itu, salah satu

cara dalam mencegah penyebaran virus polio adalah melalui kesehatan

lingkungan dan kebersihan diri. Pemberdayaan melalui edukasi kesehatan

kepada masyarakat adalah hal yang penting.

2.4.2 Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata immune atau kebal. Jadi imunisasi adalah

proses membuat kebal tubuh terhadap suatu penyakit dengan pemberian

vaksin agar tubuh dapat membentuk zat kekebalan (Depkes RI, 2009b).

Lebih luas lagi Imunisasi adalah segala tindakan yang dapat menginduksi

imunitas secara aktif maupun pasif (Hartanto, 2002).

Imunisasi rutin adalah imunisasi yang secara rutin dan terus menerus

harus dilaksanakan pada periode waktu yang telah ditetapkan berdasar

kelompok usia sasaran dan tempat pelayanan. Dengan melakukan imunisasi,

bagi individu yang diimunisasi dapat mencegah penderitaan seperti

kecacatan atau bahkan kematian yang disebabkan oleh penyakit. Tanpa

adanya penyakit akan membantu anak bertumbuh dan berkembang menjadi

dewasa yang sehat dan ceria. Bagi keluarga manfaat imunisasi dapat

menghilangkan kecemasan dan stress akibat anak yang sering sakit. Dan

konteks yang luas, imunisasi dapat memperbaiki tingkat kesehatan nasional

sehingga menciptakan sumber daya manusia yang kuat dan cerdas untuk

melanjutkan perkembangan negara di masa mendatang (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2009b).

Pada awal kehidupan bayi sangat rentan terkena serangan beberapa

penyakit. Banyak diantara penyakit- penyakit tersebut bahkan sangat

beresiko kematian ataupun menimbulkan derita fisik dan mental

berkepanjangan. Beberapa penyakit seperti Hepatitis B, Tuberkulosis, Polio,

Difteri, Pertusis, Tetanus dan Campak. Penyakit- penyakit ini termasuk

dalam PD3I. Poliomielitis termasuk salah satunya yang berpotensi

Page 53: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

37

menimbulkan KLB namun dapat dicegah dengan melakukan imunisasi

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Untuk melindungi anak

dari penyakit- penyakit beresiko tersebut dapat dilakukan pencegahan

dengan menjalankan program lima imunisasi dasar lengkap (LIL) meliputi;

pemberian 4 dosis vaksin hepatitis B, 1 dosis vaksin BCG, 4 dosis vaksin

polio, 3 dosis vaksin DPT dan 1 dosis campak (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 2009b).

WHO merekomendasikan pemberian OPV pada usia 6, 10 dan 14

minggu. Bahkan di negara endemik, OPV0 dapat diberikan pada waktu lahir.

Selain dosis tambahan, WHO juga menganjurkan kampanye imunisasi

nasional (National Immunization Campaign) di negara endemik

poliomielitis dengan memberi 2 dosis OPV dengan interval 1 bulan tanpa

melihat riwayat imunisasi sebelumnya. Indonesia pernah melakukan PIN

(Pekan Imunisasi Nasional) pada tahun 1996- 1997 dan diulang tahun 2000

(Kandun, 2000).

Jadwal pemberian imunisasi dalam praktiknya acapkali berbeda- beda.

Hal ini disebabkan perbedaan referensi yang menjadi rujukan. Bahkan

antara satu negara dengan negara yang lainnyapun tidak memiliki program

imunisasi yang sama (Kandun, 2000) karena prioritas yang berbeda- beda.

Tabel 2.5 Jadwal Lima Imunisasi Dasar Lengkap (LIL) dikeluarkan Depkes

RI (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009b).

Page 54: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

38

Tabel 2.6 Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 Tahun IDAI (Ikatan Dokter

Anak Indonesia, 2011).

2.4.2.1 Vaksin Polio

Terdapat dua sediaan vaksin polio sekarang ini yakni, vaksin oral

(Sabin) yang berisi virus polio hidup yang dilemahkan dan vaksin yang

diinjeksikan (Salk) berisi virus polio yang telah diinaktivasi dengan

formaldehida. Masing- masing mempunyai kekurangan dan kelemahannya.

OPV sekarang ini lebih banyak dan lebih cocok digunakan di negara

berkembang terutama di negara yang masih memiliki kasus poliomielitis liar

indigenous. Indonesia sendiri masih menggunakan OPV yang dibuat dari

laboratorium Biofarma pada pelaksanaan PIN 2009- 2011 (Juliyah, 2011).

Meskipun keefektifan OPV relatif lebih rendah daripada IPV namun harga

OPV dan imunitas intestinal yang ditimbulkan menjadi pertimbangan kuat

penggunaan OPV. Setelah dosis pertama diberikan, OPV memberikan

Page 55: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

39

imunitas hingga 50%. Pada dosis ketiga, kekebalan hanya mencapai 95%.

Menurut Ismoedijanto (2005), persentase pencapaian ini pun bersifat

sekuensial dimana protektif virus polio tipe 3 baru tercapai pada dosis

keempat atau kelima, tidak seperti IPV persentase dicapai untuk ketiga tipe

virus polio adalah bersamaan. Durasi kekebalan OPV bisa mencapai seumur

hidup setelah dosis yang ketiga. OPV tidak mengandung preservasi namun

sama seperti IPV mengandung antibiotik seperti neomisin, streptomisin

(Atkinson, 2009).

Sementara IPV sekarang ini lebih banyak dan lebih cocok digunakan

di negara maju dengan catatan bersih dari virus polio liar indigenous. IPV

merupakan vaksin polio dengan efektivitas yang tinggi dan harga yang lebih

mahal. Setelah dosis kedua diberikan, IPV telah mampu memberikan

imunitas hingga 90%. Bahkan pada dosis ketiga, kekebalan telah mencapai

99%. Hanya saja hingga saat ini, durasi kekebalan yang diberikan masih

belum diketahui secara pasti. IPV dibuat terhadap ketiga tipe virus polio

yang dikultur dari jaringan ginjal monyet dan diinaktivasi oleh formaldehida.

IPV mengandung preservasi 2-phenoxyethanol dan antibiotik seperti

neomisin, streptomisin dan polimixin B (Atkinson, 2009). Keunggulan dari

IPV adalah virus yang telah diinaktivasi sehingga VAPP tidak akan terjadi.

Dengan inaktivasi ini, virus tidak virulen dan tidak bisa bereplikasi sehingga

relatif aman. Imunitas yang dibentuk terhadap ketiga tipe virus polio adalah

bersamaan. Namun kekurangan IPV adalah administrasinya, tidak adanya

imunitas intestinal dan harga yang mahal (Ismoedijanto, 2005).

2.4.3 Erapo (Eradikasi Polio)

Erapo sebenarnya salah satu upaya kesehatan masyarakat dalam

mengeliminasi semua kasus poliomielitis (World Health Organization,

2010). Menurut Barrett (2004), erapo memiliki pengertian sebagai eliminasi

kejadian poliomielitis bahkan tanpa intervensi manusia. Lain lagi yang

dikemukakan Cockburn (1961) bahwa erapo adalah kepunahan virus polio

Page 56: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

40

baik di alam bebas maupun di laboratorium. Departemen Kesehatan

Republik Indonesia (2011) memiliki definisi erapo sendiri yakni tidak

ditemukannya VPL indigenous selama 3 tahun berturut- turut di suatu

regional yang dapat dibuktikan dengan surveilans AFP.

Erapo secara global pertama kali digagas oleh WHO pada WHA

(World Health Assembly) tahun 1988. Dengan berbekal pengalaman WHO

yang sukses dalam memberantas cacar, WHO menargetkan pada tahun 2000

bahwa poliomielitis akan punah secara global walau ternyata target ini gagal.

Namun WHO tetap berusaha melakukan upaya dalam mengeradikasi

poliomielitis. Bukan sekadar mendapat sertifikasi bebas polio global, tetapi

jika erapo berhasil dilakukan maka manfaatnya yang lebih luas meliputi;

penghematan sumber daya, pengalaman dan motivasi dalam mengeradikasi

penyakit selanjutnya (World Health Organization, 2010). Walau tidak

berhasil mencapai target, kasus poliomielitis saat ini sudah direduksi hingga

99% dibandingkan masa sebelum erapo diterapkan. Pada tahun 1985, Pan

American Health Organization (PAHO) berhasil melakukan eradikasi polio

di benua Amerika. WHO berinisiatif untuk melakukan eradikasi polio

dengan mengadopsi apa yang telah dilakukan PAHO (Atkinson, 2009)

ditambah bekal pengalaman eradikasi cacar sebelumnya.

Dasar pemikiran untuk melakukan eradikasi polio berdasarkan sifat-

sifat berikut: 1.) manusia merupakan satu- satunya reservoir virus polio dan

tidak ada karier dalam jangka panjang, 2.) virus polio tidak dapat hidup

yang lama di lingkungan, luar tubuh manusia 3.) tersedianya vaksin yang

mempunyai efektivitas > 90% dan mudah pemberiannya 4.) layak

dilaksanakan secara operasional (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2011).

Indonesia melakukan imunisasi OPV yang ditambahkan dalam

program EPI (Expanded Program Immunization) pada tahun 1978

(Ismoedijanto, 2005). Pada tahun 1898, Indonesia ikut memperkuat program

Page 57: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

41

erapo dengan ikut mendatangani kesepakatan pada sidang World Summit for

Children (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Pada tahun

1991, cakupan rutin 3 dosis OPV sudah mencapai lebih dari 99% tetapi

insiden poliomielitis masih ditemukan. Sehingga untuk memutus transmisi

dilakukan PIN serentak dari tahun 1995, 1996 dan 1997. Program PIN di

Indonesia meniru NIDs (National Immunization Days) yang dilakukan

pertama kali untuk wilayah SEARO di Thailand. Surveilans AFP sudah

dimulai di Indonesia sejak tahun 1995. Pada tahun yang sama PIN dimulai

dan diteruskan sub PIN dengan fokus daerah berdasar data SAFP

(Suryawidjaja, 2005).

Strategi erapo dalam melakukan interupsi transmisi virus polio

dilakukan dengan kombinasi; 1.) cakupan imunisasi rutin yang tinggi, 2.)

melaksanakan kampanye imunisasi tambahan, dan 3.) Surveilans AFP

sesuai standar WHO (Suryawidjaja, 2005). Strategi ini bersifat

komplementer satu sama lain dengan tujuan khusus yang berbeda tetapi

memiliki tujuan umum yang sama yakni, mencapai keberhasilan

mengeliminasi transmisi virus polio (Ismoedijanto, 2005).

Pemutusan transmisi virus polio yang dilakukan nampaknya tidak

selalu sama pada suatu daerah. Spektrum geografis mempengaruhi

pemutusan transmisi virus polio (Atkinson, 2009). Oleh karena itu,

pendekatan yang berbeda perlu dilakukan oleh masing- masing wilayah.

Persistensi virus polio yang menjadi penghalang bagi erapo biasanya

dipengaruhi oleh faktor berikut; 1.) Penduduk yang sangat padat, 2.) derajat

kelahiran yang sangat tinggi, dan 3.) kemiskinan dengan standar sanitasi

yang rendah (Suryawidjaja, 2005).

Di Indonesia, cakupan imunisasi rutin yang tinggi dilakukan dengan

pemenuhan 4 dosis OPV selama kehidupan 1 tahun pertama bayi. Dengan

cakupan imunsasi rutin yang tinggi maka akan membentuk suatu populasi

yang melindungi populasi yang beresiko. Dengan pembatasan ruang gerak

Page 58: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

42

ini karena terdapat populasi yang divaksinasi, siklus virus polio akan dapat

dibatasi. Konsep ini disebut sebagai herd immunity atau commune immunity

(Ismoedijanto, 2005). Jadi cakupan imunisasi rutin bertujuan secara khusus

untuk membatasi transmisi virus polio melalui pencapaian herd immunity.

Cakupan imunisasi rutin ini sangat penting dan menjadi prioritas, mengingat

efektivitas OPV sendiri hanya mencapai 95% dan diantaranya terdapat 5%

populasi beresiko (Atkinson, 2009). Kemudian UNICEF (2001) menyatakan

bahwa dari 58% anak dibawah 1 tahun yang menerima OPV terdapat

populasi yang tidak dapat menghasilkan antibodi mencapai 10% OPV1 dan

15% OPV3.

Kampanye imunisasi tambahan dilakukan melalui NIDs di negara-

negara endemik, baru selesai endemik dan negara- negara yang tidak dapat

membuktikan bebas polio. Di Indonesia kampanye imunisasi tambahan

dilakukan melalui program PIN (Pekan Imunisasi Nasional), sub PIN dan

mopping up. PIN dan sub PIN dilakukan melalui suatu tempat berkumpul

(collecting points) sedangkan mopping up dilakukan dari rumah ke rumah

(door to door). Sub PIN dan mopping up dilakukan secara terfokus pada

lokasi beresiko tinggi dengan menggunakan data SAFP karena dianggap

telah adekuat (Ismoedijanto, 2005). Tujuan khusus imunisasi tambahan

adalah memutus penularan dan transmisi VPL karena setelah cakupan

imunisasi yang tinggi masih ada populasi yang beresiko. Populasi ini akan

terus terakumulasi dan sampai pada satu titik berada diluar jangkauan herd

immunity (Suryawidjaja, 2005). NIDs (PIN) juga bermanfaat dalam

memberikan booster dan imunitas intestinal. Sesuai rekomendasi WHO, EPI

dilakukan dalam NIDs setidaknya diimplementasikan 2 kali setahun dengan

tenggat waktu 4- 6 minggu selama minimal 3 tahun. Jika cakupan imunisasi

rutin rendah maka waktu NIDs boleh diperpanjang. Dengan munculnya

masalah kesehatan lainnya, NIDs boleh diikutkan dengan pendistribusian

imunisasi lainnya dan vitamin A (UNICEF, 2001). NIDs boleh dihentikan

bila: 1.) cakupan imunisasi rutin telah mencapai > 80%, 2.) Cakupan PIN >

Page 59: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

43

90%, 3.) SAFP telah memenuhi standar kriteria WHO, dan 4.) importasi

VPL tidak ada (Ismoedijanto, 2005)

Skema 2.2 Implementasi strategi erapo di Indonesia (Ismoedijanto, 2005).

Surveilans AFP (SAFP) adalah suatu pengamatan ketat pada semua

kasus kelumpuhan yang mirip dengan poliomielitis yakni, terjadi akut (< 2

minggu) dan lumpuh layuh pada anak dibawah usia 15 tahun. Untuk

mengenali dan mendeteksi kasus poliomielitis maka SAFP harus dilakukan

secara aktif untuk menemukan adanya kasus poliomielitis dan menentukan

daerah yang memiliki resiko tinggi. Widoyono (2008) menambahkan bahwa

SAFP juga dimaksudkan untuk membuktikan Indonesia bebas polio dan

memantau program erapo. Informasi laboratorium dikumpulkan dari setiap

kasus AFP dan digunakan untuk menentukan klasifikasi poliomielitis atau

bukan (Suryawidjaja, 2005). Mopping up dilakukan paling akhir karena

Page 60: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

44

transmisi VPL telah diketahui melalui SAFP yang telah adekuat. Mopping

up dilakukan hanya terfokus pada daerah beresiko dengan pemberian 2 dosis

untuk mengoreksi status imunologi populasi yang beresiko (Ismoedijatmo,

2005).

2.5 Masalah Erapo di Indonesia

Perjalanan erapo di Indonesia mengalami pasang surut. Indonesia sempat

mendapat sertifikasi bebas polio pada tahun 1995 namun hanya bertahan 10 tahun.

Munculnya KLB akibat VPL impor di tahun 2005 menjadi pukulan telak bagi

program erapo di Indonesia. Bahkan setelah ORI dilakukan di Jawa Barat, Banten,

Tangerang dan DKI Jakarta, kasus VPL menyebar sampai keluar daerah mopping

up yakni di Tanggamus (Lampung), Demak (Jawa Tengah) dan Cilacap (Jawa

Tengah). Kejadian ini menunjukan adanya masalah yang menjadi tantangan dalam

berjalannya program erapo di Indonesia (Ismoedijanto, 2005).

Dilansir dari Profil Kesehatan Indonesia 2010 (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 2011 bahwa Indonesia sejak tahun 2007 hingga tahun 2010

sudah tidak ditemukan kasus poliomielitis baru. Namun jumlah penderita AFP

sendiri masih ditemukan sebanyak 1.641 orang dengan non polio AFP rate rerata

anak dibawah 15 tahun adalah 2,62, namun pada beberapa daerah masih

ditemukan dengan non polio AFP rate yang rendah. Provinsi dengan non polio

AFP rate tertinggi adalah Sulawesi Utara (6,2/ 100.000), Gorontalo (5,67/

100.000) dan DIY (4,83/ 100.000) sementara provinsi dengan non polio AFP rate

terendah adalah Kalimantan Tengah (1,33/ 100.000) dan Sulawesi Barat (1,67/

100.000). Sumatera Utara memiliki non polio AFP rate diatas indikator surveilans

AFP yakni, 2,10/ 100.000.

Page 61: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

45

Tabel 2.7 Jumlah kasus AFP, non polio AFP rate menurut provinsi di Indonesia

tahun 2010 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Dari keempat propinsi yang tidak dapat memenuhi non polio AFP rate > 2

tersebut, dapat ditemukan korelasi dengan usia yang tidak produktif. Provinsi

dengan non polio AFP rate yang rendah memiliki penduduk dengan kelompok

usia non produktif yang tinggi. Dimana kelompok usia 0- 14 tahun adalah usia

yang sangat beresiko terhadap penyebaran penyakit polio (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 2011). Dengan membandingkan kelompok usia non produktif

nasional 2011, dari 100% kelompok usia non produktif terdapat 85,14%

kelompok usia 0- 14 tahun dan 14,86% kelompok usia > 65 tahun.

Tabel 2.8 Jumlah angka beban ketergantungan di Indonesia tahun 2010

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Page 62: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

46

Grafik 2.2 Persentase beban ketergantungan di Indonesia berdasarkan provinsi

tahun 2010 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Dari urutan non polio AFP rate yang terendah maka kita dapat melihat

bahwa distribusi non polio AFP rate < 2 banyak ditemukan di provinsi yang

terdapat di wilayah Indonesia timur. Demikian juga gambaran cakupan imunisasi

polio yang relatif rendah di wilayah Indonesia timur dibandingkan dengan

wilayah Indonesia barat. Seperti di Kalimantan, Sulawesi dan Papua, tidak banyak

provinsi di wilayah tersebut yang memiliki cakupan imunisasi > 90%

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Berdasarkan lokasi tersebut, maka dapat dirangkumkan korelasi masalah-

masalah erapo dan poliomielitis seperti berikut: potensi polio yang menjadi wabah,

masalah kelumpuhan yang permanen, kepadatan penduduk, sanitasi lingkungan,

infrastruktur, surveilans yang tidak adekuat, cakupan imunisasi, penolakan

imunisasi di masyarakat, VAPP dan VDPV.

Potensi wabah polio karena 99% penderita yang terserang virus polio adalah

subklinik. Potensinya yang sangat besar untuk menjadi wabah dipengaruhi oleh

virus polio yang dapat menyebar secara diam- diam tanpa diketahui mengingat

Page 63: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

47

penderita asimtomatik ini akan bertindak sebagai karier akut. Ketika 1% kasus

yang terdeteksi, masalah sebenarnya yang tidak terlihat jauh lebih besar. Ibarat

gunung es, kasus yang tampak hanya sebagian kecil dari masalah yang sebenarnya

(Brooks, 2007).

Kelumpuhan anggota gerak yang disebabkan oleh kerusakan sistem saraf

dapat permanen yang artinya membatasi mobilitas dan potensi penderitanya.

Bukan hanya menjadi masalah individu, tetapi keluarga, lingkungan sekitar dan

dalam konteks yang lebih luas menjadi masalah bagi bangsa dan negara

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Morbiditas yang tinggi juga

biasanya akibat kerusakan pada tipe bulbar. Bahkan tingkat fatalitasnya pada

orang dewasa mencapai 15- 30% sementara anak- anak hanya 2- 5% (Atkinson,

2009).

Grafik 2.3 Persentase kepadatan penduduk Indonesia 2010 (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Kepadatan penduduk juga turut andil mempersulit erapo karena penyebaran

virus polio akan lebih mudah. Dengan semakin padatnya penduduk potensi

penularan semakin cepat, karena diikuti kondisi seperti, penurunan kualitas

sanitasi lingkungan dan transmisi virus polio ini semakin pendek (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Dari data diatas, pulau Jawa adalah yang

terpadat dengan luas 7% memiliki 58% penduduk Indonesia. Atas dasar ini KLB

Page 64: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

48

di Jawa Barat pada tanggal 17 Maret 2005 merebak luas. Padahal delapan hari

setelah hasil VPL positif keluar dari NL pada tanggal 21 April 2005, Tim Kajian

Epidemiologi Lapangan Menkes RI langsung melakukan mopping up di 3

provinsi; DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat. Namun VPL tidak terbendung

penyebarannya (Farmacia, 2005).

Bersamaan dengan masalah kepadatan penduduk, penyediaan air bersih di

Indonesia masih belum memuaskan. Padahal air yang terkontaminasi adalah salah

satu vehikel penyebaran virus polio. Bahkan sarana dan kualitas air bersih yang

memenuhi syarat kesehatan di daerah rural hanya mencakup 18% sementara

daerah urban baru mencakup 40%. Secara nasional, akses air bersih masih

terpusat di pulau Jawa. Kurangnya akses air bersih diperparah dengan

pengelolahan kotoran dan limbah yang masih belum memuaskan. Ini dapat dilihat

dari banyaknya masyarakat desa yang membuang kotoran sembarangan ke sungai,

kolam, empang, kebun dan sebagainya (Simanjuntak, 2008). Berikut tersaji

persentase akses air bersih di Indonesia berdasarkan provinsi dimana terlihat

bahwa secara nasional masih ada 32,5% masyarakat Indonesia yang tidak

mendapat akses air bersih.

Grafik 2.4 Akses air bersih di Indonesia tahun 2010 (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 2011).

Page 65: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

49

Infrastruktur wilayah Indonesia timur yang masih rendah perlu dipikirkan

sebagai suatu masalah untuk terlaksananya program erapo karena infrastruktur

yang buruk sebenarnya telah membatasi distribusi dan pengantaran vaksin di

wilayah Indonesia yang luas. Indonesia sebagai negara iklim tropis dengan suhu

yang relatif hangat sangat potensial untuk merusak vaksin jika tidak disimpan

secara benar (Ismoedijanto, 2005). Jumlah puskesmas di wilayah Indonesia timur

juga sangat kurang yang mengakibatkan cakupan imunisasi dan non polio AFP

rate masih rendah. Masalah operasional program imunisasi juga terkendala dana.

Sejak tahun 2000, dana terpusat di kabupaten dan banyak terjadi pemangkasan

biaya P2M akibatnya terjadi pemotongan gaji juru imunisasi (jurim). Seiring

waktu, jumlah jurim semakin berkurang dan imunisasi di tingkat desa dilakukan

oleh bidan desa, itupun terhalang oleh kurangnya transportasi. Laporan puskesmas

sering memberikan jumlah bayi yang diimunisasi bukan proporsi dari target. Jika

nilai ambang bayi yang tidak diimunisasi terlewati maka KLB P3DI akan

meningkat. Resiko ini acapkali tidak diperhatikan oleh para pejabat dinas

(Ismoedijanto, 2005).

Tabel 2.9 Persebaran dan proporsi penduduk miskin menurut kelompok besar

pulau di Indonesia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Tabel 2.10 Jumlah dan persentase daerah tertinggal dan ketersediaan puskesmas di

Indonesia tahun 2010 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Page 66: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

50

Kualitas surveilans AFP yang mandul turut andil dalam masalah erapo.

Surveilans sangat krusial dalam memberi peringatan akan kasus baru poliomielitis.

Tahun 1997, WHO menyatakan bahwa SAFP Indonesia baik. Dan pada tahun

2003, WHO mendorong sistem surveilans baru yang bertumpu pada SO

(Surveillance Officer) guna lebih aktif dalam mencari temuan kasus AFP. Namun

sejak tahun 2002 meskipun non polio AFP rate Indonesia telah membaik, kinerja

surveilans dinilai masih belum dapat memenuhi standar kualitas yang ditetapkan

WHO. Padahal pentingnya SAFP juga menentukan daerah yang beresiko tinggi

terhadap polio sehingga sub PIN, mopping up dapat dilakukan secara efektif

sehingga jumlah vaksin adekuat (Ismoedijanto, 2005). Pada KLB poliomielitis

tahun 2005, terjadi keterlambatan pengambilan spesimen pada awal dan akhir

KLB padahal keterlambatan ini akan beresiko terhadap peningkatan hasil negatif.

Contoh pemanfaatan surveilans yang kurang maksimal adalah ORI pada KLB

2005 yang dilakukan Indonesia relatif lambat jika dibandingkan dengan negara-

negara di Asia dan Afrika lainnya dalam menghadapi KLB, dimana Indonesia

membutuhkan yang lebih lama untuk melakukan mopping up. Padahal kecepatan

ORI juga sangat mempengaruhi jumlah penderita poliomielitis baru (Utami, 2007).

Grafik 2.5 Persentase non polio AFP rate dan pengiriman spesimen adekuat di

Indonesia tahun 2003 – 2010 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Page 67: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

51

Distribusi non Polio AFP Rate dan hasil pengiriman spesimen adekuat memenuhi

target menurut provinsi di Indonesia tahun 2010.

Indonesia memiliki wilayah yang luas, ketepatan pengambilan spesimen,

lama waktu spesimen sampai tujuan juga sangat mempengaruhi hasil laboratorium.

Semakin lama waktu yang dibutuhkan berarti semakin tinggi resiko hasil bernilai

negatif (Utami, 2007). Sehingga tampaklah pada distribusi spesimen adekuat < 80%

banyak berasal dari wilayah Indonesia timur.

Tabel 2.11 Persentase cakupan imunisasi polio di Indonesia menurut provinsi dan

menurut karakteristik responden tahun 2010 (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2011).

Page 68: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

52

Pendidikan orang tua dan pengeluaran per kapita suatu keluarga

mempengaruhi imunisasi terhadap anak mereka. Semakin tinggi tingkat

pendidikan kepala keluarga dan pengeluaran rumah tangga per kapita maka

semakin tinggi pula cakupan imunisasinya. Terdapat perbedaan yang mencolok

juga antara cakupan imunisasi di perkotaan dan perdesaan (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia 2011).

Sementara itu untuk menilai cakupan imunasi di desa dapat digunakan

indikator desa UCI (Universal Children Immunization) yang memberikan

gambaran desa/ kelurahan dengan > 80% jumlah bayi yang sudah mendapat LIL.

Grafik cakupan desa UCI di Indonesia dari tahun ke tahun terlihat pasang surut.

Pada tahun 2005 merupakan pencapaian desa UCI tertinggi di Indonesia dan yang

terendah pada tahun 2008. Kemudian meningkat di tahun 2010 mencapai 75,31%

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Peningkatan tahun 2005

menunjukan bahwa tingkat kewaspadaan dengan melakukan imunisasi meningkat

karena adanya KLB di Jawa Barat. Namun sesudahnya tingkat kewaspadaan

semakin menurun seiring dengan perbaikan kasus poliomielitis di Indonesia.

Konsistensi cakupan imunisasi tidak selalu dijaga akibatnya ada celah bagi VPL

impor untuk masuk.

Grafik 2.6 Cakupan desa/ kelurahan UCI di Indonesia tahun 2004- 2010

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Page 69: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

53

Selain itu jika melihat jumlah yang vaksin polio yang disediakan pada PIN

tahun 2011 berjumlah 15,2 juta vaksin (Juliyah, 2011) sementara jumlah anak

dengan usia 0-59 nasional mencapai lebih dari 20 juta. Artinya pada program PIN

tersebut masih ada anak 0-59 bulan yang tidak mendapatkan imunisasi. Perlu

dicatat bahwa imunisasi suplemental tanpa memandang riwayat imunisasi.

Grafik 2.7. Piramida Penduduk Indonesia tahun 2010 (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 2011).

Imunisasi sebagai fundamental program erapo di Indonesia acapkali

menemui kendala di masyarakat. Diantaranya kabar burung seputar vaksin

merupakan ancaman yang paling serius terhadap keberhasilan program Imunisasi,

Ketidaktahuan orang tua mengenai jadwal dan tempat imunisasi atau orang tua

yang menolak imunisasi pada anaknya karena takut dan merasa ragu adalah

halangan imunisasi yang kerap terjadi di Indonesia (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 2009b). Cara terbaik dalam mengatasi permasalahan ini

sebenarnya adalah penyampaian informasi yang benar secara konsisten dan

menekankan fungsi imunisasi serta cara kerja vaksin agar dapat menepis keraguan

orang tua akan manfaat vaksin. Penyampaian informasi ini bisa dilakukan melalui

media massa, ruang diskusi dan personal walaupun masing- masing cara ini

memiliki keunggulan dan kelemahannya masing- masing (UNICEF, 2001).

Mayoritas penduduk Indonesia adalah umat muslim, kehalalan vaksin juga

menjadi salah alasan orang tua untuk menolak vaksin dan perlu disampaikan

Page 70: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

54

bahwa penggunaan vaksin dengan bahan haram diizinkan. Dikutip dari

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009) mengenai fatwa MUI (Majelis

Ulama Indonesia),

“Penggunaan obat- obatan termasuk vaksin yang berasal dari bahan yang

mengandung benda najis ataupun yang terkena najis diperbolehkan

sepanjang belum ada bahan yang suci dan halal.”

Secara teknis, OPV yang digunakan di Indonesia sangat beresiko wabah.

Jika VPL dilemahkan yang terdapat di OPV mengalami back-mutation maka virus

tersebut menjadi ganas kembali karena biakan mRNA adalah bersifat tidak stabil

atau terjadi rekombinasi dengan enterovirus lainnya. Virus polio dari OPV yang

mengalami mutasi ini disebut VDPV (Vaccine Derived Polio Virus) dan memiliki

potensi yang sama dengan VPL. Belum lagi potensi accidental-release VPL dari

laboratorium oleh para peneliti (Ismoedijanto, 2005). Resiko terbesar lainnya

adalah potensi virus polio dari OPV yang dapat menjadi neurovirulen dan

mengakibatkan VAPP (Atkinson, 2009). Resiko vaksin polio untuk menjadi

neurovirulen adalah 1/ 2,5 juta dosis namun resiko ini akan meningkat hingga

2000 kali lebih besar bagi penderita imunodefisiensi.

Page 71: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia
Page 72: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

BAB III

PEMBAHASAN

Penyebaran virus polio tidak memandang perbedaan usia dan batas

wilayah. Orang tua mempunyai tingkat kefatalan yang lebih tinggi daripada anak-

anak. Agar mengurangi fatalitas ini, penanganan yang teliti perlu dilakukan.

Penularan hanya terjadi dari manusia ke manusia dengan vehikel yaitu, makanan

dan minuman yang tercemar oleh tinja penderita poliomielitis. Untuk itu,

kesehatan lingkungan dan kebersihan diri adalah usaha yang paling mendasar

dalam mencegah poliomielitis.

Kesehatan lingkungan memainkan peranan penting dalam penyebaran

penyakit polio. Sumber air harus terus diawasi agar air tetap layak konsumsi.

Selain itu, pemerintah atau swadaya masyarakat harusnya berupaya lebih keras

dalam membuka akses air bersih bagi masyarakat. Pengelolahan tinja juga harus

diperhatikan. Kerap kali orang tua menganggap bahwa tinja anak relatif tidak

berbahaya. Padahal karena bayi masih belum mempunyai imunitas yang adekuat,

tinja bayi relatif lebih banyak mikroorganisme. Pembuangan tinja haruslah di

jamban yang memiliki septic tank agar kotoran yang dibuang tidak mencemari

sumber air disekitarnya. Dengan kepadatan penduduk yang tinggi pada suatu

wilayah akan mengecilkan jarak antara kontaminan dengan pejamu.

Pendekatan selanjutnya adalah bagaimana tenaga medis dapat

mendiagnosa poliomielitis sedini mungkin. Meskipun kelumpuhan yang dialami

mungkin telah ireversibel tetapi komplikasinya dapat diminimalisir. Orang yang

beresiko di lingkungan penderita juga akan lebih siap melalui inisiasi ORI.

KLB yang terjadi di Indonesia pada tahun 2005 merupakan tamparan keras

bagi penerapan erapo di Indonesia. Pencegahan yang paling efektif adalah

Page 73: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

56

imunisasi. Jika imunisasi dilakukan dengan benar maka penyebaran virus polio ke

wilayah sekitarnya tidak harus terjadi bahkan setelah dilakukan mopping up.

Masalah Imunisasi muncul mulai dari orang tua yang enggan mengimunisasi

anaknya hingga kinerja surveilans yang tidak memenuhi standar WHO menjadi

biang keladi masalah ini. Dibutuhkan keseriusan dan kesepenuh hatian semua

instansi yang terkait.

Biasanya cakupan imunisasi masyarakat desa lebih rendah dari masyarakat

kota. Demikian juga adanya korelasi antara karakteristik orang tua dengan

cakupan imunisasi. Pendidikan orang tua dan pengeluaran suatu keluarga yang

rendah juga dibarengi cakupan imunisasi yang rendah. Penolakan atau

keengganan orang tua biasanya dikarenakan mereka tidak tahu manfaat imunisasi

dan informasi yang salah. Seringkali mereka mengganggap anak mereka sakit

karena imunisasi, padahal demam bukan penyakit dan timbul sebagai reaksi tubuh

dalam belajar membentuk imunitas. Karena kerap kali pada prakteknya orang tua

tidak diberitahu akan efek samping ini sewaktu imunisasi, mereka cenderung

menjadi tidak percaya dan tidak mau anaknya diimunisasi lagi. Oleh karena itu,

penyampaian informasi yang benar dan konsisten harus dilakukan.

Akhir- akhir ini, isu kehalalan vaksin polio kembali mencuat saat PIN

tahap III 2011 selesai dilakukan. Namun Kemkes telah menyatakan bahwa vaksin

polio halal bersama dengan fatwa MUI beberapa waktu lalu yang mengizinkan

penggunaan vaksin polio. Mengenai keamanannya, vaksin buatan Indonesia telah

mendapatkan prakualifikasi yang ditetapkan WHO setelah diawasi selama 10- 15

tahun. Vaksin buatan Indonesia juga telah memenuhi persyaratan dari NRA

(National Regulatory Authority) atau BPOM (Badan Pengawas Obat dan

Makanan). Hal ini berarti bahwa ketakutan seputar keamanaan dan kehalalan tidak

perlu diragukan. Bahkan tenaga medis kiranya menyampaikan fakta ini jika ada

keraguan ini di masyarakat.

Kasus VAPP dan VDPV masih berpeluang besar di Indonesia selama

penggunaan OPV masih diteruskan padahal OPV adalah vaksin yang paling

Page 74: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

57

sesuai bagi program erapo di Indonesia. Walau demikian, dengan perkembangan

teknologi yang lebih baik, masalah ini sebenarnya sudah diminimalisir.

Indonesia sebagai negara yang luas mempunyai kontur geografis yang

beragam membuat daerah- daerah terpencil sulit dicapai. Dengan infrastruktur

jalan yang seadanya akan menambah jarak tempuh seorang jurim atau bidan untuk

melakukan imunisasi ke daerah terpencil, resiko kerusakan vaksin semakin besar.

Selain itu, ketiadaan suplai listrik dan freezer ke daerah terpencil tidak

memungkinkan untuk penyimpanan OPV lebih lama. Belum lagi jurim yang

semakin lama semakin berkurang sebagai imbas dari pemotongan pembiayaan

P2M. Alokasi dana kesehatan secara nasional juga masih relatif rendah bila

dibandingkan dengan negara- negara tetangga. Indonesia hanya mengalokasikan

kurang dari 2% untuk APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) sementara

negara tetangga seperti, Malaysia, Thailand dan bahkan Timor Leste

mengalokasikan dana kesehatan hingga 12%. Pemerintah harus mulai merubah

cara pikir bahwa biaya kesehatan bukanlah biaya konsumtif namun biaya

produktif karena tanpa bangsa yang sehat maka tidak ada bangsa yang produktif.

Keadaan ini juga mempersulit SO di tiap propinsi untuk melakukan

surveilans. Laporan puskesmas yang seringkali disederhanakan akan membuat

kasus poliomielitis semakin tersembunyi. Salah satunya, pelaporan cakupan

imunisasi. Dimana seringkali laporan yang disampaikan adalah jumlah bayi yang

telah diimunisasi bukan proporsi jumlah bayi yang harus mencapai target.

Faktor ini terkait satu sama lain. Dibutuhkan satu usaha keras dari

berbagai pihak terkait. Dengan memaksimalkan segala daya dan usaha serta

menjalaninya dengan kepenuhan hati maka Indonesia sehat dan kuat bukan

sekadar target. Indonesia tidak akan takut menghadapi serangan VPL impor.

Begitupun tidak serta merta membuat Indonesia cepat berpuas diri. KLB polio

tahun 2005 menjadi pelajaran yang berarti bahwa cepat berpuas diri akan

menurunkan rasa mawas diri terhadap kasus polio sehingga rentan terhadap VPL

impor.

Page 75: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia
Page 76: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Sistem saraf pusat terdiri atas sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf

tepi (SST). SSP terdiri atas otak dan sumsum tulang belakang sebagai

pusat pengolahan impuls. SST terbangun atas serat saraf yang

menghubungkan SSP dengan efektor.

2. Poliomielitis disebabkan oleh virus polio. Ketika terjadi viremia timbul

tanda minor illness. Poliomielitis non paralitik timbul tanda meningitis

karena adanya iritasi meningen sementara poliomielitis paralitik terjadi

kelumpuhan ekstremitas akibat kerusakan kornu anterior medula spinalis

dan gangguan kardiorespirasi jika kerusakan mencapai medula oblongata.

3. Gejala subklinik ditemukan paling banyak. Kelumpuhan umumnya pada

anak- anak akut, flaccid, unilateral dan ascending. Pemeriksaan

laboratorium pilihan adalah isolasi virus melalui spesimen feses.

Komplikasi deformitas muskuloskeletal diminimalisir melalui rehabilitasi.

4. Pencegahan poliomielitis dapat dilakukan melalui sanitasi lingkungan

dan kebersihan diri. Pencegahan yang paling efektif adalah melalui

imunisasi dalam program erapo.

5. Masalah penatalaksaan erapo di Indonesia sangat kompleks meliputi;

jumlah balita yang masih tinggi di beberapa daerah, potensi polio

menjadi wabah, kelumpuhan yang permanen, kepadatan penduduk,

sanitasi lingkungan, infrastruktur, surveilans yang tidak adekuat, cakupan

imunisasi, penolakan imunisasi di masyarakat, VAPP dan VDPV.

Page 77: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

59

4.2 Saran

1. Selalu curigai anak- anak dengan AFP yang terjadi secara akut (< 2

minggu). Dengan diagnosa dini dari tenaga kesehatan sangat penting

dalam usaha membatasi peyebaran poliomielitis.

2. Penderita yang telah menderita polio harus segera melakukan rehabilitasi

setelah memasuki fase konvalesen agar deformitas dan kecacatan dapat

dihilangkan atau setidaknya diminimalisir.

3. Memperbaiki keadaan lingkungan dan penyuluhan mencuci tangan

adalah salah satu langkah dalam memutus penyebaran virus polio.

4. Jalin komunikasi yang baik antara tenaga kesehatan dan orang tua anak.

Memberikan informasi yang lengkap dan konsisten adalah salah satu cara

untuk menjalin komunikasi yang baik. Komunikasi dua arah, adanya

tanya jawab menunjukan ketertarikan orang tua mengenai isu kesehatan.

5. Surveilans harus tetap dilakukan secara terus menerus guna menemukan

kasus poliomielitis yang tersembunyi.

Page 78: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson W et al. 2009. Epidemiology and Prevention of Vaccine Preventable

Disease. Edisi Kesebelas. Washington DC: Public Health Foundation.

Barrett S. 2004. "Eradication Versus Control: the Economics of Global Infectious

Disease Policies", Bull World Health Organ, 82: 9, hal. 683–688.

Brooks Geo F, et al. 2007. Jawetz, Melnick & Adelberg’s Medical Microbiology.

Edisi Keduapuluh Empat. New York: Mc Graw Hill.

Cockburn T. 1961. "Eradication of Infectious Diseases", Science, 133, hal. 1050–

1058.

Coho J, Alexander LN. 2002. Vaccine Preventable Disease Surveillance Manual.

Edisi Ketiga. Washington: Center for Disease Control and Prevention.

Dinas Kesehatan Sumatera Utara. 2009. Profil Kesehatan Sumatera Utara 2008.

Medan: Dinkes Sumut.

Davies E Graham. et al. 2011. Manual of Childhood. New York: Oxford

University Press Inc.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. . 2009a. Profil Kesehatan Indonesia

2008, Jakarta: Depkes RI.

______. 2009b. Informasi Dasar Imunisasi Rutin serta Kesehatan Ibu dan Anak

bagi Kader, Petugas Lapangan dan Organisasi Kemasyarakatan. Jakarta:

Gavi Alliance.

______. 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Depkes RI.

Page 79: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

61

Farmacia. 2005. “Kronologis KLB Polio di Sukabumi”, Majalah Farmacia, 4: 11,

hal. 42.

Furqonita Deswaty. (2005a), Sistem Saraf – Cerebrum, lecture handouts:

Anatomi, Universitas Indonesia, Jakarta.

Furqonita Deswaty. (2005b), Diencephalon dan Batang Otak, lecture handouts:

Anatomi, Universitas Indonesia, Jakarta.

Gawne AC, Halstead LS. 1995. “Post-polio syndrome: pathophysiology and

clinical management”, Critical Review in Physical Medicine and

Rehabilitation, 7: 2, hal. 147-188.

Guyton Arthur C, Hall John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi

Kesebelas. Jakarta: EGC.

Ginsberg Lionel. 2005. Lecture Notes Neurologi. Edisi Keenam. New York:

McGraw Hill

Hartanto Huriawati, editor. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi Keduapuluh

Sembilan. Jakarta: EGC.

Hassan Rusepno, Alatas Husein. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Edisi

Kedua. Jakarta: Infomedika.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2011). Jadwal Imunisasi 2011 (IDAI), (Online),

(http://www.idai.or.id, diakses 25 Februari 2012).

Ismoedijanto, et al. 2005. “Eradikasi Polio dan Permasalahannya”, Makalah

disampaikan pada Seminar Ilmu Kesehatan Anak XXXV, Surabaya.

______. 2003. “Progress and Challenges Toward Poliomyelitis Eradication in

Indonesia”, The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public

Health, 34: 3, hal. 598 – 607.

Juliyah. (2011), Kampanye Imunisasi Tambahan Sudah tahap Akhir, (Online),

(http://infopublik.org, diakses 29 Februari 2012).

Page 80: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

62

Junqueira Carlos L., Carneiro Josè, Kelley Roberto. 2005. Basic Histology: Text

and Atlas. Edisi Kesebelas. New York: McGraw-Hill.

Kandun I Nyoman. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi

Ketujuhbelas. Jakarta: Depkes RI.

Kasper Dennis L, et al. 2005. Harrison’s Principle of Medicine. Edisi

Keenambelas. New York: McGraw-Hill.

Kleighman Robert, et al. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi

Kedelapanbelas. Philadelphia: Elservier.

Krol J. 1996. Poliomielitis dan Dasar- Dasar Pembedahan Rehabilitasi. Jakarta:

EGC.

Latief Abdul et al. 2009. Diagnosis Fisis pada Anak. Jakarta: Sagung Seto.

Mader Sylvia S. 2004. Understanding Human Anatomy Physiology. Edisi Kelima.

New York: McGraw-Hill.

Mardjono Mahar, Sidharda Priguna. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta:

Penerbit Dian Rakyat.

Notoatmodjo Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta:

Penerbit Rineka Cipta.

Parker Steve, “Sistem Saraf”, Ensiklopedia Tubuh Manusia (2007), hal. 66- 92.

Pasaribu Syahril. 1995. “Aspek Diagnostik Poliomielitis” Makalah disampaikan

pada Sarasehan Ilmiah Pekan Imunisasi Nasional, Medan.

Price Sylvia Anderson, Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep

Klinis Proses- Proses Penyakit. Volume Dua. Edisi Keenam. Jakarta: EGC.

Saladin Kenneth. 2003. Anatomy & Physiology: A Unity of Form and Function.

Edisi Ketiga. New York: McGraw-Hill.

Page 81: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

63

Sherwood Lauralee. 2010. Physiology from Cell to System. Edisi Ketujuh. Kanada:

Brooks/Cole.

Simanjuntak David H. (2008), Sehat, lecture handouts: Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Universitas Methodist Indonesia, Medan.

Simanjuntak David H. (2011), Kesehatan Lingkungan, lecture handouts: Ilmu

Kesehatan Masyarakat, Universitas Methodist Indonesia, Medan.

Snell Richard. 2006a. Neuroanatomi Klinik. Edisi Kelima. Jakarta: EGC.

______. 2006b. Anatomi Klinik. Edisi Keenam. Jakarta: EGC.

Suryawidjaja Julius E. (2005). “Resurgensi Poliomyelitis: Status Terkini dari

Infeksi Poliovirus di Indonesia”, Universa Medicina, 24: 2, hal. 92- 101.

Syarurachman et al. 1993. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Binarupa

Aksara.

Trueta Joseph, et al. 1956. Handbook of Poliomyelitis. Illinois: Charles C. Thomas

Publisher.

Tortora Gerard J et al. 2010. Microbiology: An Introduction. San Fransisco:

Benjamin Cummins.

UNICEF. 2001. Communication Handbook for Polio Eradication and Routine

EPI. New York: USAID.

Utami. 2007. “Delayed Stool Specimen Collection During the Early and Late

Stages of the Polio Outbreak Increase the Risk of Negative Wild

Poliovirus Laboratory Results in some Districts in Indonesia”, Medical

Journal of Indonesia, 16:3, hal. 65- 134.

Wardy Anwar W. 2007. “Poliomielitis”, Jurnal Kedokteran dan Kesehatan

Universitas Muhamadiyah, 3: 1, hal. 99- 110.

Page 82: Diagnosa Dini Dan Eradikasi Dalam Memberantas Poliomielitis Di Indonesia

64

Widoyono, 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan

Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.

World Health Organization (2003). Global Polio Eradication Initiative: Strategic

Plan 2004-2008. Jenewa: WHO Publications.

______. 2004. Polio Laboratory Manual. Edisi Keempat. Jenewa: WHO

Publications.

World Health Organization. 2005. “Poliomielitis, Indonesia – Update”, Weekly

Epidemiological Record, 80: 40, Jenewa: WHO Publications, hal. 342.

World Health Organization. 2010. Polio Global Eradication Initiative Strategic

Plan 2010- 2012. Jenewa: WHO Publications..

Yoits William. 2004. Outline Review: Microbiology & Immunology. New York:

McGraw-Hill.