Diabetes Melitus Tipe 2

38
Diabetes Melitus tipe 2 Pendahuluan Diabetes Mellitus berasal dari bahasa Yunani (diabetes = pancaran, mellitus=gula). Jadi secara harfiah penyakit ini berarti adanya pancaran gula atau adanya gula yang berlebih pada tubuh. Oleh karena itu, tak heran penyakit diabetes mellitus disebut sebagai penyakit kencing manis. Diabetes mellitus sebenarnya merupakan suatu kelompok heterogen penyakit yang gambaran umumnya adalah hiperglikemia. Secara sederhana penyakit ini dapat dibedakan / diklasifikasikan dalam dua varian yang dibedakan berdasarkan pola pewarisan, respons insulin dan asalnya. Namun, pada perkembangannya telah ditemukan klasifikasi baru yang didasarkan pada etiologi penyakit tersebut. Penyakit tersebut antara lain Diabetes mellitus tipe 1 ( diabetes mellitus dependen – insulin / diabetes onset juvenilis) yang terjadi pada 5% – 10% diabetes mellitus, Diabetes mellitus tipe 2 (diabetes mellitus non-dependen insulin/ diabetes onset dewasa) yang terjadi pada sekitar 80% pasien yang mengidap diabetes mellitus dan Diabetes yang disebabkan oleh penyebab spesifik yang terjadi pada 10% dari total kasus diabetes mellitus. 1

description

makalah

Transcript of Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Melitus tipe 2

Pendahuluan Diabetes Mellitus berasal dari bahasa Yunani (diabetes = pancaran, mellitus=gula). Jadi secara harfiah penyakit ini berarti adanya pancaran gula atau adanya gula yang berlebih pada tubuh. Oleh karena itu, tak heran penyakit diabetes mellitus disebut sebagai penyakit kencing manis.Diabetes mellitus sebenarnya merupakan suatu kelompok heterogen penyakit yang gambaran umumnya adalah hiperglikemia. Secara sederhana penyakit ini dapat dibedakan / diklasifikasikan dalam dua varian yang dibedakan berdasarkan pola pewarisan, respons insulin dan asalnya. Namun, pada perkembangannya telah ditemukan klasifikasi baru yang didasarkan pada etiologi penyakit tersebut. Penyakit tersebut antara lain Diabetes mellitus tipe 1 ( diabetes mellitus dependen insulin / diabetes onset juvenilis) yang terjadi pada 5% 10% diabetes mellitus, Diabetes mellitus tipe 2 (diabetes mellitus non-dependen insulin/ diabetes onset dewasa) yang terjadi pada sekitar 80% pasien yang mengidap diabetes mellitus dan Diabetes yang disebabkan oleh penyebab spesifik yang terjadi pada 10% dari total kasus diabetes mellitus.Pada LTM ini hanya akan dibahas mengenai diabetes mellitus tipe 2.1Anamnesis Diabetes melitus merupakan keadaan hiperglikemia yang memberikan efek sangat luas bagi tubuh. Oleh karena itu, anamnesis merupakan salah satu metode utama untuk mendiagnosis diabetes melitus ini sendiri. Ciri-ciri utama dari penderita diabetes melitus adalah adanya poly uria, poly dispsia, dan polyfagia. Beberapa keadaan yang lain yang sering diketemukan pada penderita diabetes melitus antara lain adanya penurunan berat badan dan lemas. Gejala-gejala komplikasi dari diabetes melitus juga dapat ditanyakan kepada pasien. Komplikasi sendiri dibagi menjadi dua yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik.1 Pada komplikasi akut diabetik ketoasisdosis gejala yang sering tampak adalah kesadaran pasien yang menurun yang ditandai dengan tidak dijawabnya pertanyaan dengan sempurna. Yang penting ditanyakan pada diabetik ketosasidosis adalah adanya riwayat berhenti menyunti insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang juga sering dijumpai. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung. Komplikasi berikutnya yaitu koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (NHNK). Gejala klinis dari komplikasi ini ditadai dengan adanya gejala dari dehidrasi berat dan sering disertai gangguan neurologis seperti adanya kesemutan atau kaki kejang, dan kadang datang dengan keluhan ssaraf lainnya seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma. Beberapa keluhan yang wajib ditanyakan antara lain adalah adanya rasa haus, poliuri, polidipsi dan adanya benurunan berat badan. Selain gejala utama tadi perlu juga mendapat informasi tentang adanya ganguan penglihatan dan adanya rasa lemah. Riwayat mundah dan mual juga mungkin ditemukan tetapi lebih jarang dibandingkan dengan koma ketoasidosis. Komplikasi ketiga yaitu adanya koma hipoglikemik. Pada keadaan ini biasanya lebih disebabkan karena pengunaan insulin atau obat anti diabetes oral yang berlebihan atau tidak mengunakannya bersamaan dengan makanan. Maka perlu ditanyakan bagaimana pengunaan obat-obatan terserbut. Selain itu juga perlu ditanyakan apakah pasien terserbut sudah berusia lanjut dan apakan ada gejala dari dimensia.1 Komplikasi kronis yang dapat dijumpai antara lain neuropati, nefropati, retinopati, CVD, aterterosklerosis, tuberkulosis, dan sirosis hepatis. Karena adanya bahaya retinopati berupa katarak maka perlu dilakukan anamnesis berupa kondisi penglihatan pasien antara lain adanya penglihatan kabur atau sliau saat melihat di temapat yang sangat terang. Gejala dari nefropati pada awal kasus akan sangat tidak jelas hanya berupa mual, pusing karena anemia, dan buang air kecil yang jumlahnya sedikit. Pada gangguan saraf perlu diperhatikan adanya kesemutan, baal, pegal, nyeri. Selain itu adanya inpoten dan gangguan buang air kecil dan diare. Komplikasi berikutnya yaitu sirosis hepatis yang ditandai dengan adanya hematemesis dan melena yang dapat ditanyakan langsung pada pasien. Infeksi paru sering terjadi pada penderita diabetes melitus yaitu TBC yang ditandai dengan sesak nfas dan adanya batuk berdarah yang lebih dari 2 minggu berturut-turut.1-3Pemeriksaan Pemeriksaan FisikInspeksi Pemeriksaan fisik ini yaitu inspeksi selain melihat keadaan umum pasien juga untuk mencari apakah pasien ada komplikasi yang sering terjadi pada pasien DM seperti pada kaki. Inspeksi, lihat apakah ada atrofi / hipotrofi otot, kontraktur atau cicatrik, apakah ada gerakan-gerakan terbatas, apakah ada lesi-lesi infiltrat, abses, ulkus, gangren, borok. kelainan pada kulit yang perlu di perhatikaan adalah ada tidaknya bekas garukan sebagai akibat rasa gatal pada kulit terutama pada lipatan kulit. pemeriksaan pada mata biasanya digunakan oftalmoskop. Oftalmoskop adalah sumber cahaya yang mempunyai serangkaian lensa yang dapat difokuskan pada jarak yang berbeda-beda.1,2 Mikroaneurisma adalah dilatasi arteriol yang berbentuk kantong-kantong kecil di dekat tempat percabangannya. Kelainan ini patognomotik untuk diabetes melitus, dan dapat menandakan adanya vaskulopati serupa yang terdapat dalam ginjal. Mikroaneurisma lebih mudah divisualisasikan dengan filter hijau yang dipasang pada sumber cahaya. Neovaskularisasi adalah perubahan lainnnya yang terjadi pada diabetes. Ia terlihat sebagai sepotong pembuluh darah baru yang berliku-liku yang kadang kelihatanya tumbuh langsung ke dalam vitreous humor.1 Pendarahan ke dalam retina pada bentuk khas berbentuk seperti lidah api, yaitu bintik kecil pada tempat munculnya yang kemudian menyebar dan berbentuk seperti baji. Eksudat mempunyai bentuk yang berbeda tergantung pada lapisan retina tempat terjadinya eksudat tersebut dan etiologinya. Eksudat kapas mentah berbatas kurang tegas dan biasanya tidak seputih yang pertama. Ini disebabkan oleh infark iskemik pada retina.1,2Tingkat kesadaran terutama mencerminkan kemampuan pasien untuk sadar atau keadaan bisa dibangunkan. Tingkat kesadarn ditentukan oleh tingkat aktivitas, yaitu pasien dapat dibangunkan untuk melakukan aktivitas sebagai respon terhadap penignkatan rangsangan oleh pemeriksa. Lima tingkat kesadaran yang biasa dipakai di klinik dijelaskan pada tabel berikut, disertai teknik-teknik yang dapat digunakan untuk mendapatkan tanda khas dari setiap tingkat kesadarn tersebut. Tingkatkan stimulus yang anda berikan dengan tepat, tergantung dari respon pasien. Ketika memeriksa pasien dengan perubahan tingkat kesadaran, jelaskan dan catat dengan tepat apa yang anda lihat dan dengar. Istilah yang sifatnya kesimpulan seperti letargi, obtudansia (somnolen), stupor atau koma dapat memiliki makna yang berbeda bagi pemeriksa lain.1,2Kompos mentis (kesadaran penuh). Bicaralah kepada pasien dengan nada suara yang normal. Pasien yang sadar akan membuka matanya, menatap anda dan bereaksi secara penuh serta tepat terhadap rangsangan (arousal intact).1-3Letargi. Berbicaralah kepada pasien dengan suara yang keras. Misalnya, panggil nama pasien atau tanyakan Bagaimana keadaan Bapak/Ibu/Anda? Pasien letargi akan terlihat mengantuk, tetapi masih membuka kedua matanya dan menatap anda, menjawab pertanyaan dan kemudian tertidur lagi.Somnolen. Guncangkan tubuh pasien secara perlahan seperti ketika membangunkan orang yang tidur. Pasien yang somnolen akan membuka matanya dan menatap anda, tetapi menunjukkan respon yang lambat dan terlihat agak bingung. Kesadarn dan perhatian pada lingkungan tampak menurun.Stupor. Berikan rangsangan yang menimbulkan rasa nyeri. Misalnya, memijit tendon, gosok tulang sternum atau menggulirkan pensil dengan penekanan pada kuku. Pasien yang stupor hanya bangun dari tidurnya bila dilakukan rangsangan yang menimbulkan rasa nyeri. Respons verbalnya lambat atau bahkan tidak ada. Pasien segera masuk kedalam keadaan nonresponsif (tidak bereaksi) ketika rangsangan dihentikan. Keadaan ini merupakan tingkat kesadaran yang paling minimal terhadap diri atau lingkungannya.Koma. Berikan rangsangan yang kuat secara berulang-ulang. Pasien yang koma te\tap tidak bisa dibangunkan sementara kedua matanya tertutup. Tidak ada bukti bahwa pasien bereaksi terhadap kebutuhan internal atau rangsangan eksternal.1-3PalpasiPalpasi untuk cek kulit, apakah dingin (makroangiopati), hangat / panas (ada infeksi), cek pulsasi arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior. Dapat pula dilakukan pemeriksaan reflek dengan tes sensibilitas menggunakan monofilamen, KPR (Knee Patella Refleks) dan APR (Achilles Paddle Refleks), Babinskis sign.Refleks Patela (KPR) yaitu melakukan ketukan pada tendon patella dengan hammer. Responnya plantar fleksi longlegs karena kontraksi m.quadrises femoris. Refleks Achilles (APR) yaitu melakukan ketukan pada tendon achilles. Responnya plantar fleksi longlegs karena kontraksi m.gastroenemius. Refleks triseps sure (reflek tendon Achilles) dalam bahasa Belanda refleks ini disebut Achillespeesreflex, disingkat APR. Singkatan APR ini masih sering digunakan di Indonesia. Tungkai bawah difleksikan sedikit, kemudian kita pegang kaki pada ujungnya untuk memberikan sikap dorsofleksi ringan pada kaki. Setelah itu, tendon Achilles diketok. Hal ini mengakibatkan fleksi pada kaki. Lengkung ini melalui S1,S2. Pada Babinkis sign dilakukan pada pasien dengan posisi terlentang, dan dengan menggunakan alat yang runcing tapi tidak tajam, lakukan goresan pada sisi lateral telapak kaki dari tumit ke arah lengkung pangkal jari-jari. Pada keadaan normal terjadi plantarfleksi dari jari-jari kaki, namun pada Babinkis sign positif, terjadi dorsofleksi ibu jari disertai pemekaran jari-jari, yang menunjukkan lesi sistem saraf pusat pada traktus kortikospinal.Pemeriksaan LabTabel1. Hasil Pemeriksaan dan Perbandingan Dengan Nilai NormalI. Hasil Pemeriksaan Laboratorium DarahJenisHasil LaboratoriumNormal

Gula darah puasa256 mg/dl70-110 mg/dl

Kolesterol total250 mg/dl15-220 mg/dl

Kreatinin2,0 mg/dl0,7-1,5 mg/dl

Sumber : Murray et.al., 2003II. Tabel2. Hasil pemeriksaan UrinJenisHasil LaboratoriumNormal

Protein+++ (0,2-0,5 %)-

Glukosa Reduksi+++ ( 2-3,5 % )0,15-1,5 gr/hari

Sumber : Murray et.al, 2003

PemeriksaanUntuk Dx DM: pemeriksaan glukosa darah/hiperglikemia (puasa, 2 jam setelah makan/post prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO).1,2,3,4,5,7Antibodi untuk petanda (marker) adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell cytoplasmic antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibodi terhadap glutamic acid decarboxylase (anti-GAD). ICA bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pankreas. ICA ini menunjukkan adanya kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit ke arah diabetes tipe 1. GAD adalah enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmiter g-aminobutyric acid (GABA). Anti GAD ini bisa teridentifikasi 10 tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini bisa digunakan sebagai uji saring sebelum gejala DM muncul.2Untuk membedakan tipe 1 dengan tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan indikator yang baik untuk fungsi sel beta, juga bisa digunakan untuk memonitor respons individual setelah operasi pankreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi pankreas atau transplantasi sel-sel pulau pankreas.2

Sampling untuk Pemeriksaan Kadar Gula DarahUntuk glukosa darah puasa, pasien harus berpuasa 6--12 jam sebelum diambil darahnya. Setelah diambil darahnya, penderita diminta makan makanan seperti yang biasa dia makan/minum glukosa per oral (75 gr ) untuk TTGO, dan harus dihabiskan dalam waktu 15--20 menit. Dua jam kemudian diambil darahnya untuk pemeriksaan glukosa 2 jam PP.2,3Darah disentrifugasi untuk mendapatkan serumnya, kemudian diperiksa kadar glukosanya. Bila pemeriksaan tidak langsung dilakukan (ada penundaan waktu), darah dari penderita bisa ditambah dengan antiglikolitik (gliseraldehida, fluoride, dan iodoasetat) untuk menghindari terjadinya glukosa darah yang rendah palsu. Ini sangat penting untuk diketahui karena kesalahan pada fase ini dapat menyebabkan hasil pemeriksaan gula darah tidak sesuai dengan sebenarnya, dan akan menyebabkan kesalahan dalam penatalaksanaan penderita DM.

Metode Pemeriksaan Kadar GlukosaMetode pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi, enzimatik, dan lainnya. Yang paling sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu metode glukosa oksidase (GOD) dan metode heksokinase.1,2Metode GOD banyak digunakan saat ini. Akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD spesifik untuk reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik). Interferen yang bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat.2Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan presisi yang sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang digunakan spesifik untuk glukosa.8 Untuk mendiagosa DM, digunakan kriteria dari konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun 1998 (PERKENI 1998).

Pemeriksaan untuk Pemantauan Pengelolaan DMYang digunakan adalah kadar glukosa darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan fruktosami. Pemeriksaan fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang memakan waktu lama. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan sebagai self-assessment untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin.

Pemeriksaan HbA1CHbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan ireversibel.7,10,11 Metode pemeriksaan HbA1C: ion-exchange chromatography, HPLC (high performance liquid chromatography), Electroforesis, Immunoassay, Affinity chromatography, dan analisis kimiawi dengan kolorimetri.Metode Ion Exchange Chromatography: harus dikontrol perubahan suhu reagen dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari bufer. Interferens yang mengganggu adalah adanya HbS dan HbC yang bisa memberikan hasil negatif palsu.Metode HPLC: prinsip sama dengan ion exchange chromatography, bisa diotomatisasi, serta memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode ini juga direkomendasikan menjadi metode referensi.

Metode agar gel elektroforesis: hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya kurang dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil positif palsu, tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini.2Metode Immunoassay (EIA): hanya mengukur HbA1C, tidak mengukur HbA1C yang labil maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.2Metode Affinity Chromatography: non-glycated hemoglobin serta bentuk labil dari HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari metode HPLC.2Metode Kolorimetri: waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-glycosylated ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.

Interpertasi Hasil Pemeriksaan HbA1CHbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya ) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat: pemberian Tx lebih intensif untuk menghindari komplikasi.Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%.4 Jadi, HbA1C penting untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum.1,18 Sebaiknya, penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali.

Pemeriksaan untuk Memantau Komplikasi DMKomplikasi spesifik DM: aterosklerosis, nefropati, neuropati, dan retinopati. Pemeriksaan laboratorium bisa dilakukan untuk memprediksi beberapa dari komplikasi spesifik tersebut, misalnya untuk memprediksi nefropati dan gangguan aterosklerosis.

Pemeriksaan MikroalbuminuriaPemeriksaan untuk memantau komplikasi nefropati: mikroalbuminuria serta heparan sulfat urine (pemeriksaan ini jarang dilakukan). Pemeriksaan lainnya yang rutin adalah pemeriksaan serum ureum dan kreatinin untuk melihat fungsi ginjal.Mikroalbuminuria: ekskresi albumin di urin sebesar 30-300 mg/24 jam atau sebesar 20-200 mg/menit. Mikroalbuminuria ini dapat berkembang menjadi makroalbuminuria. Sekali makroalbuminuria terjadi maka akan terjadi penurunan yang menetap dari fungsi ginjal. Kontrol DM yang ketat dapat memperbaiki mikroalbuminuria pada beberapa pasien, sehingga perjalanan menuju ke nefropati bisa diperlambat. Pengukuran mikroalbuminuria secara semikuantitatif dengan menggunakan strip atau tes latex agglutination inhibition, tetapi untuk memonitor pasien tes-tes ini kurang akurat sehingga jarang digunakan. Yang sering adalah cara kuantitatif: metode Radial Immunodiffusion (RID), Radio Immunoassay (RIA), Enzym-linked Immunosorbent assay (ELISA), dan Immunoturbidimetry. Metode kuantitatif memiliki presisi, sensitivitas, dan range yang mirip, serta semuanya menggunakan antibodi terhadap human albumin.Sampel yang digunakan untuk pengukuran ini adalah sampel urine 24 jam.

Interpretasi Hasil Pemeriksaan MikroalbuminuriaMenurut Schrier et al (1996), ada 3 kategori albuminuria, yaitu albuminuria normal (200 mg/menit). Pemeriksaan albuminuria sebaiknya dilakukan minimal 1 X per tahun pada semua penderita DM usia > 12 tahun.

Pemeriksaan untuk Komplikasi AterosklerosisPemeriksaan untuk memantau komplikasi aterosklerosis ini ialah profil lipid, yaitu kolesterol total, low density lipoprotein cholesterol (LDL-C), high density lipoprotein cholesterol (HDL-C), dan trigliserida serum, serta mikroalbuminuria.4,5,7,18 Pada pemeriksaan profil lipid ini, penderita diminta berpuasa sedikitnya 12 jam (karena jika tidak puasa, trigliserida > 2 jam dan mencapai puncaknya 6 jam setelah makan).

Pemeriksaan untuk Komplikasi LainnyaPemeriksaan lainnya untuk melihat komplikasi darah dan analisa rutin. Pemeriksaan ini bisa untuk melihat adanya infeksi yang mungkin timbul pada penderita DM.Untuk pemeriksaan laboratorium infeksi, sering dibutuhkan kultur (pembiakan), misalnya kultur darah, kultur urine, atau lainnya. Pemeriksaan lain yang juga seringkali dibutuhkan adalah pemeriksaan kadar insulin puasa dan 2 jam PP untuk melihat apakah ada kelainan insulin darah atau tidak. Kadang-kadang juga dibutuhkan pemeriksaan lain untuk melihat gejala komplikasi dari DM, misalnya adanya gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis/alkalosis metabolik maka perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah. Pada keadaan ketoasidosis juga dibutuhkan adanya pemeriksaan keton bodies, misalnya aceton/keton di urine, kadar asam laktat darah, kadar beta hidroksi butarat dalam darah, dan lain-lainnya. Selain itu, mungkin untuk penelitian masih dilakukan pemeriksaan biomolekuler, misalnya HLA (Human Lymphocyte Antigen) serta pemeriksaan genetik lain.

Working Diagnosis Diabetes melitus tipe 2 atau sering juga disebut dengan Non Insuline Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) merupakan penyakit diabetes yang disebabkan oleh karena terjadinya resistensi tubuh terhadap efek insulin yang diproduksi oleh sel beta pankreas. Keadaan ini akan menyebabkan kadar gula dalam darah menjadi naik tidak terkendali. Kegemukan dan riwayat keluarga menderita kencing manis diduga merupakan faktor resiko terjadinya penyakit ini.Pada diabetes tipe ini, faktor genetik memegang peran lebih penitng dibandingkan dengan pada diabetes tipe 1A. Di antara kembar identik, angka concordance (munculnya sifat bawaan pada kedua pasangan anak kembar) adalah 60% sampai 80%. Pada aggota keluarga dekat dari pasien diabetes tipe 2 (dan pada kembar non identik) risiko menderita penyakit ini lima hingga sepuluh kali lebih besar daripada subjek (dengan usia dan berat yang sama) yang tidak memiliki riwayat penyakit dalam keluarganya.Differential Diagnosis Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2009, klasifikasi Diabetes Melitus adalah sbb:1. Diabetes Melitus tipe 1DM tipe 1 sering dikatakan sebagai diabetes Juvenile onset atau Insulin dependent atau Ketosis prone, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Istilah juvenile onsetsendiri diberikan karena onset DM tipe 1 dapat terjadi mulai dari usia 4 tahun dan memuncak pada usia 11-13 tahun, selain itu dapat juga terjadi pada akhir usia 30 atau menjelang 40.Karakteristik dari DM tipe 1 adalah insulin yang beredar di sirkulasi sangat rendah, kadar glukagon plasma yang meningkat, dan sel beta pankreas gagal berespons terhadap stimulus yang semestinya meningkatkan sekresi insulin.DM tipe 1 sekarang banyak dianggap sebagai penyakit autoimun. Pemeriksaan histopatologi pankreas menunjukkan adanya infiltrasi leukosit dan destruksi sel Langerhans. Pada 85% pasien ditemukan antibodi sirkulasi yang menyerangglutamic-acid decarboxylase(GAD) di sel beta pankreas tersebut. Prevalensi DM tipe 1 meningkat pada pasien dengan penyakit autoimun lain, seperti penyakit Grave, tiroiditis Hashimoto atau myasthenia gravis. Sekitar 95% pasien memilikiHuman Leukocyte Antigen(HLA) DR3 atau HLA DR4.Kelainan autoimun ini diduga ada kaitannya dengan agen infeksius/lingkungan, di mana sistem imun pada orang dengan kecenderungan genetik tertentu, menyerang molekul sel beta pankreas yang menyerupai protein virus sehingga terjadi destruksi sel beta dan defisiensi insulin. Faktor-faktor yang diduga berperan memicu serangan terhadap sel beta, antara lain virus (mumps, rubella, coxsackie), toksin kimia, sitotoksin, dan konsumsi susu sapi pada masa bayi.Selain akibat autoimun, sebagaian kecil DM tipe 1 terjadi akibat proses yang idiopatik. Tidak ditemukan antibodi sel beta atau aktivitas HLA. DM tipe 1 yang bersifat idiopatik ini, sering terjadi akibat faktor keturunan, misalnya pada ras tertentu Afrika dan Asia.2. Diabetes Melitus tipe 2Tidak seperti pada DM tipe 1, DM tipe 2 tidak memiliki hubungan dengan aktivitas HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya pasien mempunyai sel beta yang masih berfungsi (walau terkadang memerlukan insulin eksogen tetapi tidak bergantung seumur hidup). DM tipe 2 ini bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif, sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. Pada DM tipe 2 resistensi insulin terjadi pada otot, lemak dan hati serta terdapat respons yang inadekuat pada sel beta pankreas. Terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas di plasma, penurunan transpor glukosa di otot, peningkatan produksi glukosa hati dan peningkatan lipolisis.Defek yang terjadi pada DM tipe 2 disebabkan oleh gaya hidup yang diabetogenik (asupan kalori yang berlebihan, aktivitas fisik yang rendah, obesitas) ditambah kecenderungan secara genetik. Nilai BMI yang dapat memicu terjadinya DM tipe 2 adalah berbeda-beda untuk setiap ras.3. Diabetes Melitus tipe lain

- Defek genetik fungsi sel betaBeberapa bentuk diabetes dihubungkan dengan defek monogen pada fungsi sel beta, dicirikan dengan onset hiperglikemia pada usia yang relatif muda (15 tahun, 10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus yang terdiagnosis dan 4,2% mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM maupun TGT lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada golongan dengan tingkat pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita DM paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %, sedangkan kelompok usia penderita DM terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang dihubungkan dengan risiko terkena DM adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan konsumsi sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari.

Patofisiologi Pada intinya diabetes mellitus tipe 2 ini terjadi akibat predisposisi /kecenderungan genetik (gangguan sekresi insulin pada sel beta dan resistensi insulin) serta perpaduan dengan faktor lingkungan (obesitas misalnya).1. Gangguan Sekresi Insulin Pada Sel BetaPada awal perjalanan diabetes tipe 2, sekresi insulin terlihat normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun, secara kolektif, hal ini dan pengamatan lain mengisyaratkan adanya gangguan sekresi insulin yang ditemukan pada awal diabetes tipe 2, bukan defisiensi sintesis insulin. Perjalanan penyakit selanjutnya terjadi defisiensi absolut insulin yang ringan sampai sedang. Kemudian terjadi kehilangan 20% 50% sel beta, tetapi jumlah ini belum dapat menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Namun, yang terjadi adalah adanya gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta.Hilangnya sinyal pengenalan glukosa oleh sel beta dapat dijelaskan dengan dua mekanisme:a) Adanya peningkatan UCP2 (uncoupling protein 2)di sel beta orang dengan diabetes mellitus tipe 2 yang dapat menyebabkan hilangnya sinyal glukosa yang khas pada penyakit. UCP2 adalah suatu protein mitokondria yang memisahkan respirasi biokimia dari fosforilasi oksidatif (sehingga menghasilkan panas, bukan ATP) yang kemudian diekspresikan dalam sel beta. Kadar UCP2 intrasel yang tinggi akan melemahkan respon insulin sedangkan kadar yang rendah akan memperkuatnya.b) Adanya pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien diabetes tipe 2 ditemukan endapan amiloid pada autopsi. Amilin yang merupakan komponen utama amiloid yang mengendap ini secara normal dihasilkan oleh sel beta pankreas dan disekresikan dengan insulin sebagai respons terhadap pemberian glukosa. Namun pada jika kemudian terjadi resistensi insulin yang menyebabkan hiperinsulinemia, maka akan berdampak pada peningkatan produksi amiloid di islet. Amilin yang mengelilingi sel beta menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima sinyal glukosa atau dengan kata lain amiloid bersifat toksik bagi sel beta sehingga mungkin berperan menyebabkan kerusakan sel beta.2. Obesitas / KegemukanObesitas dapat pula menjadi penyebab terjadinya diabetes mellitus tipe 2 ini dikarenakan obesitas ini dapat meningkatkan resistansi insulin ke suatu tahap yang tidak lagi dapat dikompensasi dengan meningkatkan produksi insulin. Konsep resistansi insulin adalah sebagai berikut : pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa.Sehingga dapat disimpulkan bahwa resistensi insulin yang berkaitan erat dengan obesitas menimbulkan stres berlebihan pada sel beta yang akhirnya mengalami kegagalan dalam menghadapi peningkatan kebutuhan insulin.

Manifestasi klinisGejala Diabetes Mellitus Tipe 2a) Mudah lelah, lemas dan mengantukb) Penurunan berat badan secara drastisc) Gangguan penglihatand) Sering terinfeksi dan bila luka sulit sekali sembuhe) Poliuria (banyak kencing)f) Polidipsi (banyak minum)g) Polifagi (banyak makan)h) Pada keadaan dekompensasi bisa mengalami koma nonketotik hiperosmolar, yaitu suatu sindrom yang ditimbulkan oleh dehidrasi berat akibat dieuresis hiperglikemik berkepanjangan pada penderita yang kurang minum untuk mengompensasi pengeluaran urin.

PenatalaksanaanTerapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.41. Obat hipoglikemik oralBerdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:4 Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion Penghambat glukoneogenesis (metformin) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa. DPP-IV inhibitorA. Pemicu Sekresi Insulin1. SulfonilureaObat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.2. GlinidGlinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.B. Peningkat sensitivitas terhadap insulinTiazolidindionTiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.*golongan rosiglitazone sudah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya.

C. Penghambat glukoneogenesisMetforminObat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

E. DPP-IV inhibitorGlucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.Mekanisme kerja OHO, efek samping utama, serta pengaruh obat terhadap penurunan A1C dapat dilihat pada tabel 5, sedangkan nama obat, berat bahan aktif (mg) per tablet, dosis harian, lama kerja, dan waktu pemberian seperti dibawah ini :.

Cara Pemberian OHO, terdiri dari: OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal. Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan. Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan. Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama. Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan. DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

2. SuntikanInsulinAgonis GLP-1/incretin mimetic1. Insulin Insulin diperlukan pada keadaan: Penurunan berat badan yang cepat Hiperglikemia berat yang disertai ketosis Ketoasidosis diabetic Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik Hiperglikemia dengan asidosis laktat Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke) Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulinBerdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni: Insulin kerja cepat (rapid acting insulin) Insulin kerja pendek (short acting insulin) Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin) Insulin kerja panjang (long acting insulin) Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin). Jenis dan lama kerja insulin dapat dilihat pada lampiran 3.

Efek samping terapi insulin Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bab komplikasi akut DM. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Dasar pemikiran terapi insulin:Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan glukosa darah Prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.Cara Penyuntikan InsulinInsulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit. Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat dalam buku panduan tentang insulin.Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama.Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 (artinya 100 unit/mL).2. Agonis GLP-1Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.

3. Terapi KombinasiPemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DM tipe 2).Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.PrognosisPeriode 10-20 tahuun sesudah awitan diabetes tampaknya merupakan masa yang kritis. Jika pasien dapat bertahan pada periode ini tanpa komplikasi mikrovaskular yang berat, maka kemungkinan besar kesehatan yang baik akan terus berlanjut. Akhir-akhir ini prospek umtuk menunuda progresivitas komplikasi diabetes pada mata adalah baik karena manfaat yang didapat dari fotokoagulasi laser. Pendidikan untuk perawatan kaki yang benar sangat bernilai dalam mengurangi morbiditas akibat masalah-masalah kaki diabetic. Penanganan hipertensi, dislipidemia dan berhenti merokok telah sangat membantu dalam mencegah atau mengurangi perkembangan retinopati, nefropati dan aterosklerosis. Metode-metode baru dalam teknik pemberian insulin murni dan pengukuran kadar glukosa darah sendiri telah memperbaiki prognosis keseluruhan dari pasien-pasien dengan diabetes mellitus.5

Pencegahan Pencegahan penyakit diabetes melitus tipe 2 terutama ditujukan kepada orang-orang yang memiliki risiko untuk menderita DM tipe 2. Tujuannya adalah untuk memperlambat timbulnya DM tipe 2, menjaga fungsi sel penghasil insulin di pankreas, dan mencegah atau memperlambat munculnya gangguan pada jantung dan pembuluh darah. Faktor risiko DM tipe 2 dibedakan menjadi faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Usaha pencegahan dilakukan dengan mengurangi risiko yang dapat dimodifikasi.6Kesimpulan Diabetes mellitus, yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing gula adalah kelainan metabolis yang disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma berupa hiperglisemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah buruk.Daftar Pustaka1. Purnamasari D. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing. p. 1880-3.2. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI3. Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.4. Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth. 2007.Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.5. Greenspan SF, Baxter DJ. Endokrinologi dasar&klinik. Ed 4. Jakarta: EGC.p. 768.6. : http://diabetesmelitus.org/pencegahan-diabetes-melitus/#ixzz2C1nJSp47, diunduh 10 November 20124