Dia Yang Terlahir Untuk Di Sakiti

3
Dia yang terlahir untuk di sakiti... Miris sekali mendengar judulnya, siapapun dia adalah yang bernasib malang. Dan bagaimana ia dinobatkan jadi makhluk yang memiliki sifat ikhlas dan rela berkorban, adalah suatu hal yang membuatku belajar darinya bahwa demi suatu manfaat yang akan bermanfaat, mengapa tidak kita berkorban, jika itu adalah jalan atau satu-satunya jalan atau jalan terakhir. Ku fikir, ia lebih dari sekedar dewasa, bahkan yang bersifat kekanakan pun di paksa merangkak jadi dewasa. Aku selalu menyapanya mus, kuambil dari sepotong namanya Mus musculus, mengenalnya? Jika tidak, dia lebih terkenal dengan sebutan mencit, sejenis tikus tapi tak serupa, ia lebih kecil dan lebih menggemaskan. Kenapa harus Mus? Mus dan hewan coba lainnya seperti rat, rabbit, pig, monkey, dog, dan chicken pun juga bisa, takdir mereka beda-beda tipislah. Mereka adalah hewan pilihan yang organnya hampir sama dengan organ manusia. Makanya di jadiin hewan percobaan, untuk menguji obat-obat yang akan di ketahui bagaimana efeknya sebelum di berikan pada manusia. Tapi yang lebih miris nasibnya di antara mereka yah si mus itu. Peranannya sebagai korban penelitian para ahli membuatnya menjadi hewan yang banyak ditemukan di dunia perdagangan, siklus hidupnya singkat, juga jumlah keturunan per kelahirannya banyak, sehingga harganya lebih terjangkau. Selain itu, bentuk tubuhnya yang kecil dan imut memberi kemudahan bagi para peneliti untuk mengendalikan geraknya. Kami, yang masih berstatus praktikan farmasi, berbekal ilmu farmakologi toksikologi I dan II, juga mengangkatnya sebagai hewan percobaan, mendampingi kami sepanjang perjalanan kami mengikuti praktikum fartoks. Mereka cukup mudah bersahabat, pandai berinteraksi juga beradaptasi. Pertama kali mengenalnya, membuatnya jadi gugup setengah mati sampai hampir stres, hehhe gimana tidak, kami yang masih takut-takut dengan rupanya yang mirip tikus, juga agak berang dengan gigitannya yang bisa saja melukai. Sehingga ketika di beri tantangan untuk mampu memegangnya sebagai prasyarat masuk lab, beberapa diantara kami ada yang menarik ekornya kuat- kuat, jika si musnya juga liar kadang kami sampai refleks melemparnya jauh-jauh, kalo saja dia produk, mungkin bisa di beri label sebagai produk tahan banting. Kadang jika kami benar-benar gemas padanya yang tak bisa tenang, membanting sampai dia mabuk pun jadi pilihan. Tapi adegan ini jangan di tiru, ini bagian dari

description

esai

Transcript of Dia Yang Terlahir Untuk Di Sakiti

Page 1: Dia Yang Terlahir Untuk Di Sakiti

Dia yang terlahir untuk di sakiti...

Miris sekali mendengar judulnya, siapapun dia adalah yang bernasib malang. Dan bagaimana ia dinobatkan jadi makhluk yang memiliki sifat ikhlas dan rela berkorban, adalah suatu hal yang membuatku belajar darinya bahwa demi suatu manfaat yang akan bermanfaat, mengapa tidak kita berkorban, jika itu adalah jalan atau satu-satunya jalan atau jalan terakhir. Ku fikir, ia lebih dari sekedar dewasa, bahkan yang bersifat kekanakan pun di paksa merangkak jadi dewasa.

Aku selalu menyapanya mus, kuambil dari sepotong namanya Mus musculus, mengenalnya? Jika tidak, dia lebih terkenal dengan sebutan mencit, sejenis tikus tapi tak serupa, ia lebih kecil dan lebih menggemaskan. Kenapa harus Mus? Mus dan hewan coba lainnya seperti rat, rabbit, pig, monkey, dog, dan chicken pun juga bisa, takdir mereka beda-beda tipislah. Mereka adalah hewan pilihan yang organnya hampir sama dengan organ manusia. Makanya di jadiin hewan percobaan, untuk menguji obat-obat yang akan di ketahui bagaimana efeknya sebelum di berikan pada manusia. Tapi yang lebih miris nasibnya di antara mereka yah si mus itu. Peranannya sebagai korban penelitian para ahli membuatnya menjadi hewan yang banyak ditemukan di dunia perdagangan, siklus hidupnya singkat, juga jumlah keturunan per kelahirannya banyak, sehingga harganya lebih terjangkau. Selain itu, bentuk tubuhnya yang kecil dan imut memberi kemudahan bagi para peneliti untuk mengendalikan geraknya.

Kami, yang masih berstatus praktikan farmasi, berbekal ilmu farmakologi toksikologi I dan II, juga mengangkatnya sebagai hewan percobaan, mendampingi kami sepanjang perjalanan kami mengikuti praktikum fartoks. Mereka cukup mudah bersahabat, pandai berinteraksi juga beradaptasi. Pertama kali mengenalnya, membuatnya jadi gugup setengah mati sampai hampir stres, hehhe gimana tidak, kami yang masih takut-takut dengan rupanya yang mirip tikus, juga agak berang dengan gigitannya yang bisa saja melukai. Sehingga ketika di beri tantangan untuk mampu memegangnya sebagai prasyarat masuk lab, beberapa diantara kami ada yang menarik ekornya kuat-kuat, jika si musnya juga liar kadang kami sampai refleks melemparnya jauh-jauh, kalo saja dia produk, mungkin bisa di beri label sebagai produk tahan banting. Kadang jika kami benar-benar gemas padanya yang tak bisa tenang, membanting sampai dia mabuk pun jadi pilihan. Tapi adegan ini jangan di tiru, ini bagian dari kekhilafan kami, yang memang saat itu belum tau banyak dan kenal lebih jauh dengan mencit.

Teringat, sepasang mata kecilnya yang berwarna merah kadang menatap kami dalam-dalam sebelum kami memberinya sediaan oral atau suntikan. Mungkin masih meragu dengan praktikan yang baru, pasalnya kanula yang di masukkan ke kerongkongannya biasanya salah masuk ke area tenggorokan, sampai-sampai kadang si mus mual atau muntah-muntah. Ckckck Ada yang meringkik kesakitan, juga tangannya meraung-meraung, mungkin minta tolong atau mencoba menghentikan aksi kami. Tapi seiring berjalannya waktu, kami mulai terbiasa, mungkin sudah akrab istilahnya. Meskipun ada beberapa dari kami yang masih ragu-ragu dengan gerak-gerik mereka. Aku sendiri masih meragu meletakkannya di atas kulitku, kukunya kalo bisa di potong mau kupotong, biar tidak mencakar-cakar kulit, tidak sakit memang, tapi geli euy.

Ada yang lebih nyiksa dari sekedar nyuntik atau masukin kanula ke kerogkongannya, pas itu lagi uji obat analgetik-antipiretik. Si mus yang malang di masukin ke gelas kimia, yang di panasi dengan panas konstan setelah kami bekali dengan suntikan obat pengurang rasa sakit. Pada awalnya memang nampak tengah duduk manis, tapi menjelang 15-30 menit, mereka mulai jingkrak-jingkrak dengan kaki yang di jinjit dan kaki depan yang berusaha menggapai-gapai mulut gelas kimia, sedang

Page 2: Dia Yang Terlahir Untuk Di Sakiti

bulu-bulu sekujur tubuhnya telah merapat, sebab cucuran keringat karena uap dan udara yang terasa panas, seperti sengatan mentari siang bolong di musim kemarau. Jangan panik, kami gak mau masak kamu kok.... Tunggu mus, kami nyatet hasilnya dulu. Di situ, kami mengamati bagaimana obat analgetik menyalurkan bakatnya penghilang rasa sakit ke tubuh si mus. Lalu percobaan yang sama juga maksa kami harus nyakitin mereka, entah lewat di bantai, banting, atau apapun yang penting si musnya ngerasa sakit. Tenang mus, kami ada kok obatnya. Tapi tetap, perlakuan itu jangan di tiru! Kami melakukannya pake perasaan juga kalii.

Yang satu ini gak kalah nyakitinnya, tapi mungkin gak sakit untuk mereka. Kami yang sakit, jerit-jerit, sebab harus kehilangan beberapa dari mereka yang telah di utus untuk memperlihatkan pada kami bagian dalam tubuhnya. Si mus gak ngerasa sakitnya, soalnya sudah kami bius, sampai ia gak sadarkan diri, baru dah di bedah. Dan terlihat jelas oleh kami organ-organnya yang tersusun rapih kecil-kecil. Begitu besar kuasa Allah. Subhanallah... Aku berkabung... Selamat tinggal mencit yang malang, kamu mungkin terlahir untuk jadi percobaan kami, tapi ketahuilah kami belajar dari kalian dan keberadaan kalian sangat penting bagi kami, memajukan ilmu pengetahuan dan menghasilkan penemuan baru. Jadi jangan bosan-bosan mengemban amanat mulia ini yah. Kalian Luar biassaaaaaaaaaaaa... Betapa telah berutang budinya kami....