DHF

50
Makalah Farmasi DENGUE HAEMORHAGE FEVER (DHF) Oleh: Nisa’u Luthfi Nur Azizah G99151032 KEPANITERAAN KLINIK UPF/ LABORATORIUM FARMASI

description

presentasi kasus farmasi

Transcript of DHF

Page 1: DHF

Makalah Farmasi

DENGUE HAEMORHAGE FEVER (DHF)

Oleh:

Nisa’u Luthfi Nur Azizah

G99151032

KEPANITERAAN KLINIK UPF/ LABORATORIUM FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2016

Page 2: DHF

BAB I

PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak

ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama asia tenggara,

Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah manusia,

agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan

genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-41,

ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk

Aedes aegypti dan Ae. albopictus 2 yang terdapat hampir di seluruh pelosok

Indonesia.3

Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit

infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue

tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam

kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO)

2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian

akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI

menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan

jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan

case fatality rate sebesar 1,01% (2007).4-5 Berbagai faktor kependudukan

berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain:

pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak

terkendali, tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis,

dan peningkatan sarana transportasi.4

Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama

kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi

yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan

kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik

untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni

pemberian cairan pengganti.6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan

penyakit, gambaran

Page 3: DHF

klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan

secara efektif dan efisien.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang

disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk

DBD.7 DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus

dengue.

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut 5

1. Demam tidak terdiferensiasi

2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7

hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri

retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie

atau uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue

positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam

dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.

3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)

B. Epidemiologi DBD

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang

disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis

yang bervariasi antara yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan

demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS)9;

ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang terinfeksi.10 Host

alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke

dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu

Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4.1 Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD

meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan ekspansi geografis ke negara

negara baru dan, dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan.9

Page 4: DHF

Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan

subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.1

Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara,

terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di

Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India.

Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang,

setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian

setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi

dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus

dengue melalui gigitan nyamuk setempat.11

Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan

subtropik bahkan cenderung terus meningkat12 dan banyak menimbulkan

kematian pada anak8 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun.13

Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang

terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang

dengan kematian sebanyak 800 orang lebih.14 Pada tahun-tahun berikutnya

jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna

dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak

137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR)

0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian

1.384 orang atau CFR 0,89%.15

Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk

subgenus Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai

vektor primer dan Ae. polynesiensis, Ae. scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus

sebagai vektor sekunder,9 selain itu juga terjadi penularan transexsual dari

nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan9 serta penularan

transovarial dari induk nyamuk ke keturunannya.16-17 Ada juga penularan

virus dengue melalui transfusi darah seperti terjadi di Singapura pada tahun

2007 yang berasal dari penderita asimptomatik 18.

Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi adalah

penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti.19 Masa inkubasi ekstrinsik (di

Page 5: DHF

dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi

intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti dengan

respon imun.20

Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk

Aedes spp. berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di

masyarakat; tetapi infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada

manusia karena masih tergantung pada faktor lain seperti vector capacity,

virulensi virus dengue, status kekebalan host dan lain-lain.21 Vector capacity

dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim mikro dan

makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus gonotropik,

umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta pemilihan

Hospes.22 Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya dipengaruhi

oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan lebih

banyak digigit nyamuk Ae. Aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih

aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya

untuk tertular virus dengue.

Selain itu, frekuensi nyamuk menggigit manusia juga dipengaruhi

keberadaan atau kepadatan manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae.

aegypti di rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi

menggigitnya terhadap manusia dibanding yang kurang padat.22 Kekebalan

host terhadap infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah

usia dan status gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun dan

penyerapan gizi.23 Status status gizi yang salah satunya dipengaruhi oleh

keseimbangan asupan dan penyerapan gizi, khu-susnya zat gizi makro yang

berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh.24 Selain zat gizi makro, disebutkan

pula bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng mempengaruhi respon

kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka

akan merusak sistem imun.25

Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi makanan, tubuh

manusia dan lingkungan yang merupakan hasil interaksi antara zat-zat gizi

yang masuk dalam tubuh manusia dan penggunaannya. Tanda-tanda atau

Page 6: DHF

penampilan status gizi dapat dilihat melalui variabel tertentu [indikator status

gizi] seperti berat badan, tinggi badan, dan lain lain.26 Sumber lain

mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status

keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan

[requirement] oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis: [pertumbuhan fisik,

perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lain lain].27

Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan manusia

karena zat gizi mempengaruhi fungsi kinerja berbagai sistem dalam tubuh.

Secara umum berpengaruh pada fungsi vital yaitu kerja otak, jantung, paru,

ginjal, usus; fungsi aktivitas yaitu kerja otot bergaris; fungsi pertumbuhan

yaitu membentuk tulang, otot & organ lain, pada tahap tumbuh kembang;

fungsi immunitas yaitu melindungi tubuh agar tak mudah sakit; fungsi

perawatan jaringan yaitu mengganti sel yang rusak; serta fungsi cadangan gizi

yaitu persediaan zat gizi menghadapi keadaan darurat.28

Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada

kelompok umur <15 tahun (95%) dan mengalami pergerseran dengan adanya

peningkatan

proporsi penderita pada kelompok umur 15 -44 tahun, sedangkan proporsi

penderita DBD pada kelompok umur >45 tahun sangat rendah seperti yang

terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64%.29 Munculnya kejadian DBD,

dikarenakan penyebab majemuk, artinya munculnya kesakitan karena

berbagai faktor yang

saling berinteraksi, diantaranya agent (virus dengue), host yang rentan serta

lingkungan yang memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya nyamuk

Aedes spp.30 Selain itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya

kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan, jarak antar rumah,

pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku bangsa, kerentanan

terhadap penyakit, dan lainnya.31

C. Patogenesis DBD

Page 7: DHF

Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap

infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang

rentan pada saat menggigit dan menghisap darah.9 Setelah masuk ke dalam

tubuh manusia, virus dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer

hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-

paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel monosit dan makrofag

mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya

genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk

komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur

dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel.7 Infeksi ini menimbulkan reaksi

immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross

protective terhadap serotipe virus lainnya.32

Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi

biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-

mediated cytotoxity (ADCC) dan ADE.33 Berdasarkan perannya, terdiri dari

antobodi netralisasi atau neutralizing antibody yang memiliki serotipe

spesifik yang dapat mencegah infeksi virus, dan antibody non netralising

serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan

infeksi yang berperan dalam pathogenesis DBD dan DSS 7.

Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS

yang masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus

infection) dan antibody dependent enhancement (ADE).7 Dalam teori atau

hipotesis infeksi sekunder disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi

sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses kekebalan

terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang

lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe

virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena

antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer, akan membentuk

kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda yang tidak

dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang infeksius

dan bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan

Page 8: DHF

memproduksi IL-1, IL-6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet

activating factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement)

infeksi virus dengue.7 TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding

pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang

disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai

saat ini belum diketahui dengan jelas.34

Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan

merangsang komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat

vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syock

hipolemik) dan perdarahan.35 Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu

yang terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh

anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akaibat adanya infeksi yang

persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak tersebut,

maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag

mudah terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha

juga PAF.36-37 Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik

terhadap jenis virus tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang

diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi sebaliknya apabila antibodinya tidak

dapat menetralisasi virus, justru akan menimbulkan penyakit yang berat.7

Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di dalam serum

penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3.38 Selain

kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di

antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan

serotipe virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang

kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara

daerah satu dengan lainnya. Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang

berdasarkan pada penderita atau kejadian DBD terjadi penurunan aktivitas

sistem komplemen yang ditandai penurunan kadar C3, C4 dan C5. Disamping

itu, pada 48- 72% penderita DBD, terbentuk kompleks imun antara IgG

dengan virus dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B dan sel

Page 9: DHF

organ tubuh lainnya dan akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem

imun yang lain.

Selain itu ada teori moderator yang menyatakan bahwa makrofag yang

terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-

1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin

bertanggungjawab pada terjadinya sok septik, demam dan peningkatan

permeabilitas kapiler.39 Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat

cepat, hanya dalam beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi

derajat kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup

untuk menyebabkan kematian karena infeksi virus; kematian yang terjadi

lebih disebabkan oleh gangguan metabolic.7

D. Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue

Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk

perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan

prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi

sehingga memungkin terjadinya KLB.40 Faktor risiko lainnya adalah

kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk

menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan

pembuangan sampah yang benar.11

Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih

makmur terutama yang biasa bepergian.41 Dari penelitian di Pekanbaru

Provinsi Riau, diketahui faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD

adalah pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan

tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta

mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah dan keberadaan jentik tidak

menjadi faktor risiko.42 Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi

IgM anti dengue yang merupakan reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil

penelitian di wilayah Amazon Brasil adalah jenis kelamin laki-laki,

kemiskinan, dan migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder

Page 10: DHF

yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin lakilaki, riwayat pernah

terkena DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan.43

E. Vektor Demam Berdarah Dengue

Demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti yang

menjadi vektor utama serta Ae. albopictus yang menjadi vektor pendamping.

Kedua spesies nyamuk itu ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, hidup

optimal pada ketinggian di atas 1000 di atas permukaan laut,10 tapi dari

beberapa laporan dapat ditemukan pada daerah dengan ketinggian sampai de-

ngan 1.500 meter,44 bahkan di India dilaporkan dapat ditemukan pada

ketinggian 2.121 meter serta di Kolombia pada ketinggian 2.200 meter.45

Nyamuk Aedes berasal dari Brazil dan Ethiopia, stadium dewasa

berukuran lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lainnya.3

Kedua spesies nyamuk tersebut termasuk ke dalam Genus Aedes dari Famili

Culicidae. Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan

dari strip putih yang terdapat pada bagian skutumnya.46 Skutum Ae. aegypti

berwarna hitam dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang

diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih. Sedangkan skutum Ae.

albopictus yang juga berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di

bagian dorsalnya.11 Nyamuk Ae. aegypti mempunyai dua subspesies yaitu Ae.

aegypti queenslandensis dan Ae. aegypti formosus. Subspesies pertama hidup

bebas di Afrika, sedangkan subspecies kedua hidup di daerah tropis yang

dikenal efektif menularkan virus DBD. Subspesies kedua lebih berbahaya

dibandingkan subspecies pertama.11

F. Diagnosis

Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria WHO tahun 1997(8,16,17)

1. Demam Dengue

a. Probable

Demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut;

nyeri kepala, nyeri belakang mata, miagia, artralgia, ruam, manifestasi

Page 11: DHF

perdarahan, leukopenia, uji HI >_ 1.280 dan atau IgM anti dengue

positif, atau pasien berasal dari daerah yang pada saat yang sama

ditemukan kasus confirmed dengue infeksi.

b. Corfirmed 

Kasus dengan konfirmasi laboratorium sebagai berikut deteksi

antigen dengue, peningkatan titer antibodi > 4 kali pada pasangan

serum akut dan serum konvalesens, danatau isolasi virus.

2. Demam Berdarah Dengue

Diagnosis tegak bila semua hal dipenuhi:

a. Demam akut 2-7 hari, biasanya bersifat bifasik.

b. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa:

1) uji tourniquet positif 

2) petekie, ekimosis, atau purpura

3) perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gusi), saluran cerna,

tempat bekas suntikan

4) hematemesis atau melena

c. Trombositopenia < 100.00/ul

d. Kebocoran plasma yang ditandai dengan

1) peningkatan nilai hematrokrit > 20 % dari nilai baku sesuai umur dan

jenis kelamin.

2) penurunan nilai hematokrit > 20 % setelah pemberian cairan yang

adekuat

3) efusi pleura, asites, hipoproteinemi 

3. Sindrom Syok Dengue

Seluruh kriteria DBD 17 disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu:

a. Penurunan kesadaran, gelisah

b. Nadi cepat, lemah

c. Hipotensi

d. Tekanan nadi < 20 mmHg

e. Perfusi perifer menurun

f. Kulit dingin-lembab.

Page 12: DHF

G. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar

hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya

limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3).

Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya

demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.16

Diagnosis pasti dapat tegak bila didapatkan hasil isolasi virus dengue

(cell culture) atau deteksi antigen virus RNA dgn teknik Reverse

Transcriptase Polymerase Chain Reaction namun teknik ini rumit.

Pemeriksaan lain yaitu tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi

spesifik terhadap dengue. Berupa antibodi total, IgM yang terdeteksi mulai

hari ke-3 sampai ke-5 meningkat smpai minggu 3, dan menghilang setelah

60-90 hari. IgG terbentuk pada hari ke-14 pada infeksi primer, dan terdeteksi

pada hari ke-2 pada infeksi sekunder.9

Pemeriksaan lain menunjukkan SGOT dan SGPT dapat meningkat.

Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya

fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen,

protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. aPTT dan PT

memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Asidosis metabolik

dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat. 9

Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus

kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama

pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi

dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula

dideteksi denganUSG.16,5

H. Penatalaksanaan

Terdapat 5 hal yang harus dievaluasi yaitu keadaan umum, renjatan,

kebocoran plasma, perdarahan terutama perdarahan gastrointestinal dan

komplikasi. Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan

Page 13: DHF

simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan

akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah

bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang

perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.

Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya

terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7

proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang

interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara

bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian

cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan

terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang

masif perlu selalu diwaspadai.

Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada

trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi

yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi

saluaran cerna.

Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa

parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.

Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari

karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas

(lambung/duodenum).

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan

khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah

jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan

diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan

cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat,

ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO

menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena

dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah.

Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam

penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular,

Page 14: DHF

aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi

tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.47,9 Secara umum, penggunaan

kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa efek samping

yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis

laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.12,13 Kristaloid memiliki

waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL

secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume

vaskular hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh

kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga

dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada

dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial.14

Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan

penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau,

komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam

temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.15,16

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa

keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi

volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu

lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid

memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih

stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan

koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar.

Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan

alergi yang rendah (contoh: hetastarch).15,16 Penelitian cairan koloid

dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien

anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan,

memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18

Page 15: DHF

BAB III

ILUSTRASI KASUS

I. ANAMNESA

A. Identitas Penderita

Nama : Tn. MH

Umur : 20 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pekerjaan : Mahasiswa

Pendidikan : SMA

Status : Belum menikah

Alamat : Surakarta, Jawa Tengah

No. RM : 01291784

Berat Badan : 70 kg

Tinggi Badan : 175 cm

IMT : 22.85 kg/cm2 (normoweight)

B. Data Dasar

Autoanamnesis, alloanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada

tanggal 26 Januari 2016.

Page 16: DHF

Keluhan Utama

Demam sejak 5 hari

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan demam. Demam dikeluhkan sejak

5 hari SMRS, demam dirasakan mendadak naik, demam terus –

menerus sepanjang hari, demam turun dengan obat penurun demam,

tapi demam naik lagi. Demam tidak pernah hilang sama sekali.

Demam disertai dengan keringat sekujur tubuh. Demam tidak diikuti

batuk dan pilek. Demam juga tidak diikuti dengan kejang.

Pasien juga mengeluh pegal linu di seluruh persendian tubuhnya

yang dikeluhkan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga

mengeluhkan sakit kepala berdenyut, yang dirasakan terutama nyeri di

belakang mata sejak 4 hari yang lalu, namun pandangan tidak

terganggu. Nyeri berkurang dengan istirahat dan memberat saat

aktivitas. Pasien juga mengeluh mual dan muntah 4 hari SMRS.

Muntah didahului oleh mual yang timbul terutama bila melihat

makanan dan saat makan. Muntah dalam sehari mencapai 3 – 4 kali,

yang berisi makanan dan minuman yang dikonsumsi, volume sekitar

½ - 1 gelas belimbing.

Pasien juga mengeluhkan timbul bintik – bintik merah di badan

dan tangan bagian atas 4 hari SMRS. Bintik-bintik tidak hilang

dengan penekanan dan muncul terus-menerus. Tidak dirasakan nyeri

di sekitar bagian yang berbintik-bintik. Pasien juga mengeluhkan

lemas, lemas yang dirasakan terus – menerus, terutama jika

beraktivitas. Lemas tidak berkurang dengan pemberian makanan dan

minuman, dan sedikit berkurang dengan istirahat. Pasien tidak

mengeluhkan adanya mimisan maupun gusi berdarah.

BAK dalam sehari 4 – 5 kali, masing-masing sekitar ½ - 1 gelas

belimbing, warna kuning jernih, BAK anyang-anyangen (-), BAK

nanah (-), BAK merah (-), nyeri ketika BAK (-). BAB sehari sebanyak

1 kali, konsistensi lunak, warna kuning, darah (-), lendir (-).

Page 17: DHF

Penurunan berat badan (-). Pasien menyangkal berpergian keluar jawa

sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal

2. Riwayat sakit gula : disangkal

3. Riwayat asma : disangkal

4. Riwayat alergi : disangkal

5. Riwayat sakit jantung : disangkal

6. Riwayat sakit ginjal : disangkal

7. Riwayat mondok : disangkal

8. Riwayat sakit liver : disangkal

9. Riwayat operasi : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak diketahui

Riwayat Lingkungan Sekitar

Pasien tinggal di Surakarta dan memiliki tetangga yang mondok

dengan DBD

Riwayat Alergi

Riwayat Alergi

Tahun Bahan/Obat Gejala

- - -

- - -

Riwayat Kebiasaan

Jamu Disangkal

Merokok Disangkal

Alkohol (-)

Olahraga (-)

Riwayat Gizi

Pasien tinggal bersama keluarga. Pasien makan sebanyak 3 kali

sehari, dengan nasi, sayur, dan lauk pauk.

Page 18: DHF

II. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 26 Januari 2016 dengan hasil

sebagai berikut:

1. Keadaan umum : Tampak lemah, kesan sakit sedang, compos

mentis, GCS E4/V5/M6, kesan gizi cukup.

2. Tanda Vital

Tensi : 120/ 80 mmHg

Nadi : 96x/ menit

Frekuensi nafas : 20x/ menit

Suhu : 38,8o C

3. VAS skor : 3 – 5

4. Status gizi

BB : 70 kg

TB : 175 cm

BMI : 22.85 kg/cm2

Kesan : Normoweight

5. Kulit : Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),

kering (-), teleangiektasis (-), ikterik (-)

6. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok

(-), luka (-), atrofi m. Temporalis (-).

7. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik

(-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan

diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema

palpebra (-/-), strabismus (-/-), katarak DM (-/-)

8. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan

tragus (-)

9. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)

10. Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-), gusi

berdarah (-), luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-)

11. Leher : JVP R +2 cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran

kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening (-),

Page 19: DHF

leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-), kaku kuduk

(-)

12. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan

= kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan

abdominothorakal, sela iga melebar (-), pembesaran

KGB axilla (-/-).

13. Jantung

Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak

Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di 1 cm

sebelah medial SIC V linea medioclavicularis sinistra.

Perkusi :

- Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra

- Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis dekstra

- Batas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistra

- Batas jantung kiri bawah: SIC V 1 cm medial linea

medioklavicularis sinistra

- Pinggang jantung : SIC III lateral parasternalis sinistra

→ konfigurasi jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler,

bising (-), gallop (-).

13. Pulmo

b. Depan

Inspeksi

- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga

tidak mendatar

- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga

tidak melebar, retraksi intercostal (-)

Palpasi

- Statis : Simetris

- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri

Perkusi

Page 20: DHF

- Kanan : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada

SIC VI linea medioclavicularis dextra, pekak pada batas

absolut paru hepar

- Kiri : Sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC VI linea

medioclavicularis sinistra

Auskultasi

- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan

wheezing(-), ronkhi basah kasar(-), ronkhi basah halus (-),

krepitasi (-)

- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan

wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-),

krepitasi (-)

c. Belakang

Inspeksi

- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga

tidak mendatar

- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela iga

tidak melebar, retraksi intercostal (-)

Palpasi

- Statis : Simetris

- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri

Perkusi

- Kanan : Sonor.

- Kiri : Sonor.

- Peranjakan diafragma 5 cm

Auskultasi

- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan

wheezing(-), ronkhi basah kasar(-), ronkhi basah halus (-),

krepitasi (-)

Page 21: DHF

- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan

wheezing(-), ronkhi basah kasar(-), ronkhi basah halus (-),

krepitasi (-)

14. Abdomen

Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding thorak, ascites (-),

venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae

(-), ikterik (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal, bising epigastrium (-)

Perkusi : Timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)

Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien

tidak teraba

15. Tanda meningeal : Kaku kuduk (-), brudzinsky I (-), brudzinsky II (-),

brudzinsky III (-)

16. Ekstremitas

_ _

_ _

Akral dingin Oedem

+ +

_ _

Petechie Pulsasi

+ +

+ +

Sensorik Motorik

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium Darah

- Leukosit 11.700/µL

- Eritrosit 5.400/ µL

- Trombosit 100.000/µL

- Hb 11,5 g/dL

_ _

_ _

+ +

+ +

5 5

5 5

Page 22: DHF

- Hct 41,5 %

IV. RENCANA PEMECAHAN MASALAH

Diagnosis Kerja : DHF Grade II

Diagnosis Banding : DHF, typhoid

Rencana Diagnostik:

1. Mondok bangsal

2. Diet lunak TKTP 1900 kkal, tidak merangsang lambung

3. Inf. RL 30 tpm

4. Paracetamol 3 x 500 mg, bila suhu > 38o

V. TATALAKSANA

Tujuan Penatalaksanaan

- mengatasi kehilangan cairan plasma akibat peningkatan permeabilitas

kapiler

- mengatasi gejala simptomatis

1. Medikamentosa

- IVFD RL 30 tpm

- Paracetamol 3 x 500 mg PO bila suhu > 38oC

Resep

RS dr. MoewardiJalan Kolonel Sutarto No. 132, Jebres, Surakarta

28 Januari 2016Dokter : dr. Nisa’u Luthfi Nur Azizah

R/ Infus Ringer Laktat flab. No III Cum infus set No. I

IV catheter no.22 No. I Three way No.I

∫ imm

R/ Paracetamol tab mg 500 No. X ∫ 3 dd tab I

Pro : Tn. MH (20 tahun)Alamat: Surakarta, Jawa Tengah

Page 23: DHF

2. Non Medikamentosa

- Bedrest (tirah baring)

- Minum air yang banyak

- Mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan

DBD dengan 3M, yaitu menutup, menguras, mengubur barang-

barang yang dapat menampung air. 

- Menjaga asupan nutrisi yang seimbang.

VI. PROGNOSIS

- Ad vitam : bonam 

- Ad functionam : bonam 

- Ad sanactionam : bonam

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Ringer Laktat

a. Definisi

Ringer Laktat merupakan larutan kristaloid yang mengandung natrium laktat, natrium klorida, kalium klorida dan kalsium klorida. Osmolaritasnya sebesar 270 mOsm/l.

b. Cara kerja- Merupakan larutan isotoni Natrium Klorida, Kalium Klorida,

Kalsium Klorida, dan Natrium Laktat yang komposisinya mirip dengan cairan ekstraseluler

Page 24: DHF

- Merupakan cairan pengganti pada kasus-kasus kehilangan cairan ekstraselular.

- Merupakan larutan non-koloid, mengandung ion-ion yang terdistribusi kedalam cairan intravaskuler dan interststel (ekstravaskuler)

c. Cara pemberian : intravenad. Indikasi : mengembalikan keseimbangan elektrolit pada

dehidrasi.e. Kontraindikasi : hipernatremia, kelainan ginjal,

kerusakan sel hati, asidosis laktat.f. Efek samping:

- Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi karena larutannya atau cara

pemberiannya termasuk timbulnya panas, infeksi pada tempat

penyuntikan, trombosis vena atau flebitis yang meluas dari tempat

penyuntikan, ekstravasasi.

- Bila terjadi rekasi efek samping, pemakaian harus dihentikan dan lakukan

evaluasi terhadap penderita.

g. Cara penyimpanan: Pada suhu kamar / ruangan antara 25oC – 30oC.

h. Peringatan: - Tidak boleh dicampur dengan larutan yang mengandung

fosfat.- Penggunaan cairan ini tidak boleh terlalu bebas karena

dapat mengakibatkan asidosis metabolik akibat kandungan klor nya. Jika terjadi asidosis metabolik akan mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerolus. Selain itu resusitasi salin dalam volum yang besar dapat menyebabkan koagulopati.

Page 25: DHF

- Laktat yang terdapat di dalam larutan RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti asidosis metabolik

i. Dosis:Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit, dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 mlkgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3ml/KgBB/jam. Bila 48-96 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta dieresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan

B. Paracetamol

a. Definisi

Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik,

antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan

iritasi serta peradangan lambung.

b. Farmakokinetik

Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum

puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam.

Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah

melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam

sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian

dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan

Page 26: DHF

berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan

gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar

akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati.

c. Farmakodinamik

Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam

arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Parasetamol menghambat

siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan

Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat

pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada

siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya

menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang.

Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung

prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa

prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan

efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi

demam yang ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi,

demikian pula

peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik.

d. Indikasi

Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam dan

nyeri sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri

yang

ringan sampai sedang.

e. Kontraindikasi

Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif

terhadap obat ini.

f. Sediaan dan Posologi

Parasetamol tersedi sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500mg atau sirup

yang mengandung 120mg/5ml. Selain itu Parasetamol terdapat sebagai

sediaan

Page 27: DHF

kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis Parasetamol

untuk dewasa 300mg-1g per kali, dengan maksimum 4g per hari, untuk anak

6-12 tahun: 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6

tahun: 60mg/kali, pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari.

g. Efek samping

Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi.

Manifestasinya berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat

berupa demam dan lesi pada mukosa.

Page 28: DHF

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan

di Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat

segera ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar untuk menilai

infeksi virus Dengue, antigen nonstructural protein 1 (NS1) Dengue, sedang

dikembangkan dan memberikan prospek yang baik untuk diagnosis yang

lebih dini.

Terdapat 5 hal yang harus dievaluasi yaitu keadaan umum, renjatan,

kebocoran plasma, perdarahan terutama perdarahan gastrointestinal dan

komplikasi. Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan

simtomatis. Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi

kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal

terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis cairan, jumlah serta

kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris untuk

menilai respon kecukupan cairan. Untuk terapi simptomatik dapat diberikan

analgetik dan antiperetik.

Page 29: DHF

DAFTAR PUSTAKA

1. Kurane I. Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on

Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology &

Infectious Disease. 2007; Vol 30:329-40.

2. WHO. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan

Demam Berdarah Dengue. Jakarta: WHO & Departemen Kesehatan RI;

2003.

3. Lestari K. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue

(DBD) Di Indonesia. Farmaka. Desember 2007; Vol. 5 No. 3: hal. 12-29.

4. Chuansumrit A, Tangnararatchakit K. Pathophysiology and Management

of Dengue Hemorrhagic Fever. Bangkok: Department of Pediatrics,

Faculty of Medicine, Ramathibodi Hospital, Mahidol University; 2006.

5. Hadinegoro, Rezeki S, Soegianto S, Soeroso T, Waryadi S. Tata Laksana

Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Ditjen PPM&PL

Depkes&Kesos R.I; 2001.

6. Harikushartono, Hidayah N, Darmowandowo W, Soegijanto S. Demam

Berdarah Dengue: Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan.

Jakarta: Salemba Medika; 2002.

7. Soegijanto S. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus

Dengue. www.pediatrikcom/buletin/20060220-8ma2gi-buletindoc; 2002

[cited 2010]; Available from: ww.pediatrik.com/buletin/20060220-8ma2gi-

buletindoc.

8. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. 2006. Demam Berdarah

Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan

Dokter Spesialis PenyakitDalam Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Page 30: DHF

9. WHO. Dengue: Guidlines for Diagnosis, Treatment, Prevention and

Control. New Edition. Geneva: World Health Organization; 2009.

10. Supartha I, editor. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah

Dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse) (Diptera:

Culicidae). Pertemuan Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis 2008 Universitas

Udayana; 3-6 September 2008; Denpasar: Universitas Udayana Denpasar.

11. Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F. Mosquito-Borne

Dengue Fever Threat Spreading in the Americas. New York: Natural

Resources Defense Council Issue Paper; 2009.

12. Weissenbock H, Hubalek Z, Bakonyi T, Noowotny K. Zoonotic Mosquito-

borne Flaviviruses: Worldwide Presence of Agent with Proven

Pathogenesis and Potential candidates of Future Emerging Diseases. Vet

Microbiol. 2010; Vol 140:271-80.

13. Malavinge G, Fernando S, Senevirante S. Dengue Viral Infection.

Postgraduate Medical Journal. 2004; Vol 80: p. 588-601.

14. Kusriastuti R. Kebijaksanaan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue

Di Indonesia. Jakarta: Depkes R.I; 2005.

15. Kusriastuti R. Data Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun

2009 dan Tahun 2008. Jakarta: Ditjen PP & PL Depkes RI; 2010.

16. Depkes RI. 2005. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana

Pelayanan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI.

17. Dengue Haemorrhagic Fever: Diagnosis, Treatment, Prevention and

Control. Edition II. Geneva: World Health Organization. 1997. Available

from

htttp://www.who.int/csr/resources/publi-cations/dengue/Denguepublication

. Accessed September 2015

18. Tambyah PA, Koay ESC, Poon MLM, Lin RVTP, Ong BKC. Dengue

Hemorrhagic Fever Transmitted by Blood Transfusion. The England

Journal of Medicine. 2008; Vol. 359: p. 1526-7.

Page 31: DHF

19. Gubler DJ. Epidemic Dengue Hemorrhagic Fever as a Public Health,

Sosial and Economic Problem in Tha 21st Century. Trends Microbiol.

2002; Vol. 10: p. 100-13.

20. Kristina, Ismaniah, Wulandari L. Kajian Masalah Kesehatan: Demam

Berdarah Dengue. In: Balitbangkes, editor.: Tri Djoko Wahono. 2004. p.

hal 1-9.

21. Lubis I. Peranan Nyamuk Aedes dan Babi Dalam Penyebaran DHF dan JE

di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 1990; Vol. 60.

22. Canyon D. Advances in Aedes aegypti Biodynamis and Vector Capacity:

Tropical Infectious and Parasitic Diseases Unit, School of Public Health

and Tropical Medicine, James Cook University; 2000.

23. Fatmah. Respons Imunitas Yang Rendah Pada Tubuh Manusia Usia

Lanjut. Makara Kesehatan. 2006 Juni 2006; Vol. 10 No. 1: hal. 47-53.

24. Harahap H. Masalah Gizi Mikro Utama dan Tumbuh Kembang Anak Di

Indonesia: Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702). Sekolah Pasca

Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor.; 2004.

25. Husaini MA, Siagian UL, Suharno J. Anemia Gizi: Suatu Kompilasi

Informasi dalam Menunjang Kebijaksanaan Nasional dan Pengembangan

Program. Direktorat Gizi dan Puslitbang Gizi, Depkes R.I; 2003.

26. WHO-NHD. Nutrition for Health and Development: A global agenda for

combating malnutrition. Geneva: World Health Organization; 2000.

27. Zerfas AJ, Jelliffe DB, Jelliffe PEF. Epidemiology and Nutrion in Human

Growth: A comprehensive Treatise Edisi 2, Methodology Ecological,

Genetics, and Nutritional Effects on Growth. New York.: Plenum Press. p.

475 1986.

28. Gibson RS. Anthropometric Assessment. Dalam: Principles of Nutritional.

New York: Oxford Univ.Press. Madison Av. p. 45-7; 1990.

29. Wirahjanto A, Soegijanto S. Epidemilogi Demam Berdarah Dengue, dalam

Demam Berdarah Dengue Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.

Hal 1-10.; 2006.

Page 32: DHF

30. Kasjono H, Kristiawan H. Intisari Epidemiologi. Jakarta: Mitra Cendikia

Press; 2008.

31. Sari CIN. Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Penyakit

Malaria Dan Demam Berdarah Dengue. Bogor: IPB; 2005.

32. Koraka P, Suharti C, Setiati CE, Mairuhu AT, Van Gorp E, Hack CE, et al.

Kinetics of Dengue Virus-specific Immunoglobulin Classes and Subclasses

Correlate with Clinical Outcome of Infection. J Clin Microbio. 2001; Vol.

39 4332-8.

33. Darwis D. Kegawatan Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Naskah

lengkap, pelatihan bagi dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit

dalam pada tata laksana kasus DBD. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 1999.

34. Dewi BE, Takasaki T, Sudiro TM, Nelwan R, Kurane I. Elevated Levels of

Solube Tumour Necrosis Factor Receptor 1, Thrombomodulin and Solube

Endothelial Cell Adhesion Molecules in Patients with Dengue

Hemorrhagic Fever. Dengue Bulletin. 2007; Vol 31:103-10.

35. Gibson RV. Dengue Conundrums. International Journal of Antimicrobial

Agents. 2010; Vol 36(26-39).

36. Sowandoyo E, editor. Demam Berdarah Dengue pada Orang Dewasa,

Gejala Klinik dan Penatalaksanaannya. Seminar Demam Berdarah Dengue

di Indonesia 1998; RS Sumberwaras. Jakarta.

37. Wang S, Patarapotikul HR. Antibody Enhanced Binding of Dengue Virus

to Human Platelets. J Virology. 1995; Vol.213:1254-7.

38. Soegijanto S. Prospek Pemanfaatan Vaksin Dengue Untuk Menurunkan

Prevalensi di Masyarakat. Dipresentasikan di Peringatan 90 Tahun

Pendidikan Dokter di FK Unair; Surabaya; 2003.

39. Avirutnan P, Malasit P, Seliger B, Bhakti S, Husmann M. Dengue Virus

Infection of Human Endothelial Cells Leads to Chemokin Production,

Complement Activation, and Apoptosis. J Immunol. 1998; Vol 161:6338-

46.

Page 33: DHF

40. Wilder-Smith A, Gubler D. Geographic Expansion of Dengue: the Impact

of International Travel. Med Clin NAm. 2008; Vol. 92: p. 1377-90.

41. U.S.D.T. International Travel and Transportation Trends. Washington D.

C.: Bureau of Transportation Statistics of U.S. Department of

Transportation; 2006.

42. Roose A. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota

Pekanbaru. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008.

43. Silva-Nunes MD, Souza V, Pannuti CS, Sperança MA, Terzian ACB,

Nogueira ML. Risk Factors for Dengue Virus Infection in Rural Amazonia:

Population-based Cross-sectional Surveys. Am J Trop Med Hyg. 2008; Vol

79 (4): p. 485–94.

44. Noor R. Nyamuk Aedes aegypti. 2009 [cited 24 Desember 2010];

Available from:

http://id.shvoong.com/medicineandhealth/epidemiologypublichealth/

2066459-nyamuk-aedes-aegypti.

45. WHO. Insect and Rodent Control Through Environmental Management.

Geneva: World Health Organization; 1992.

46. Depkes RI. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah dengue di

Indonesia. Jakarta: Depkes RI; 2005

47. Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue: an escalating problem. BMJ 2002;

324: 1563-6