dhf

28
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam dengue / Demam DF dan demam berdarah dengue/DBD (Dengue Hemorrahagic fever/ DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan / syok. Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flaviviridae merupakan virus dengan diameter 30mm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106. Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara. Pasifik Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. DBD di wilayah Indonesia antara 6 sampai 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan angka mortalitasnya menurun mencapai 2% pada 1999. 1

description

DBD

Transcript of dhf

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam dengue / Demam DF dan demam berdarah dengue/DBD (Dengue

Hemorrahagic fever/ DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue

dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia,

ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan

plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan

cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam

berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan / syok.

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang

termasuk dalam genus flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flaviviridae merupakan virus dengan

diameter 30mm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara. Pasifik Barat dan

Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air.

DBD di wilayah Indonesia antara 6 sampai 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995) dan

pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun

1998, sedangkan angka mortalitasnya menurun mencapai 2% pada 1999.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

DHF atau Dengue Haemorraghic Fever adalah penyakit trombositopenia infeksius

akut yang parah, dan sering bersifat fatal, disebabkan oleh infeksi virus dengue. Pada DHF

terjadi hemokonsentrasi atau penumpukan cairan tubuh, abnormalitas hemostasis dan pada

kondisi yang parah dapat timbul kehilangan protein yang masif (Dengue Shock Syndrome),

yang dipikirkan sebagai suatu proses imunopatologik.

2.2. Epidemiologi

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah asia tenggara, pasifik barat dan karibia.

Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden

DBD di indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995), dan pernah

meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,

sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2 % pada tahun 1999.

Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama

Aedes aegypti dan Aedes albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan

sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana

yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu:

1. Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di

lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.

2. Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan / keluarga, mobilisasi dan paparan

terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin.

3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

2

2.3. Etiologi

Demam dengue dan DHF disebabkan oleh salah satu dari 4 serotipe virus yang

berbeda antigen.Virus ini adalah kelompok Flavivirus dan serotipenya adalah :

DEN-1

DEN-2

DEN-3

DEN-4.

Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur hidup

tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang

hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4 kali seumur

hidupnya.Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.

2.4. Patofisiologi

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.

Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis

berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DD adalah :

a. Respon imun humoral : berupa pembentukan antibodi yang berpaparan dalam

proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang di

mediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat

replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut sebagai antibody

dependent enhanchement (ADE).

b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun

seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi

interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6,

dan IL-10.

3

c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi

namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi

sitokin oleh makrofag.

d. Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a

dan C5a.

Hipotesis secondary heterologous infection

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang

menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe

berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan

konsentrasi kompleks imun yang tinggi.

Kurane dan ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat halstead dan peneliti lain,

menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang me-fagositosis

kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya

infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga

di produksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit

sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-a, IL-1, PAF (platelet activating

factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endothel dan terjadi

kebocoran plasma.

4

Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi kompleks virus-antibodi yang juga

mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :

1. Supresi sum sum tulang

2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit

Gambaran sum sum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan

hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan

proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada

saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya

stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia.

Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD,

konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi

trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-

tromboglobulin dan PF4 merupakan pertanda degranulasi trombosit.

Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endothel yang menyebabkan

disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada

demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah

dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga

berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-

inhibitor complex).

2.5. Manifestasi klinis

1. Demam dengue

Periode inkubasi adalah 1-7 hari. Manifestasi klinis bervariasi dan dipengaruhi usia

pasien. Pada bayi dan anak anak, dikarakteristikkan sebagai demam selama 1-5 hari,

peradangan faring, rinitis dan batuk ringan. Pada remaja dan dewasa mengalami

demam secara mendadak, dengan suhu meningkat cepat hingga 39,4-41,1 oC,

biasanya disertai nyeri frontal atau retro-orbital khususnya ketika mata di tekan.

5

Kadang kadang nyeri punggung hebat mendahului demam. Ruam transien dapat

terlihat selama 24-48 jam pertama demam. Denyut nadi dapat relatif melambat sesuai

derajat demam. Mialgia dan artalgia segera terjadi setelah demam.

Pada hari kedua sampai hari ke enam demam, mual muntah terjadi dan limfadenopati

generalisata, hiperestesia atau hiperalgesia kutan, gangguan pengecapan, dan

anoreksia dapat berkembang. Sekitar 1-2 hari kemudian, ruam mukopapular terlihat,

terutama di telapak kaki dan telapak tangan, kemudian menghilang selama 1-5 hari.

Kemudian ruam kedua terlihat, suhu tubuh yang sebelumnya sudah menurun ke

normal, meningkat dan mendemonstrasikan karakteristik pola suhu bifasik.

2. Demam berdarah dengue

Demam dengue dan demam berdarah dengue pada awal perjalanan penyakit sulit

dibedakan. Fase pertama yang relatif lebih ringan berupa demam, malaise, mual

muntah, sakit kepala, anoreksia, dan batuk berlanjut selama 2-5 hari diikuti oleh

deteriorasi dan pemburukan klinis. Pada fase kedua, pasien umumnya pilek,

ekstermitas basah oleh keringat, badan hangat, wajah kemerah merahan, diaforesis,

kelelahan, iritabilitas dan nyeri epigastrik.

Sering dijumpai petekie menyebar di kening dan ekstermitas, ekimosis spontan dan

memar serta perdarahan dapat dengan mudah terjadi di lokasi pungsi vena. Ruam

makular atau mukopapular dapat dengan mudah terjadi di lokasi pungsi vena. Ruam

makular atau makulopapular dapat terlihat. Respirasi cepat dan melelahkan, denyut

nadi lemah dan cepat, suara jantung melemah. Hati dapat membesar 4-6 dan biasanya

keras dan sulit digerakkan.

Sekitar 20-30% kasus demam berdarah dengue akan timbul syok (sindrom syok

dengue). Kurang dari 10% pasien mengalami ekimosis hebat atau perdarahan

gastrointestinal, biasanya sesudah periode syok yang tidak diobati. Setelah krisis 24-

36 jam, pemulihan terjadi dengan cepat pada anak yang diobati. Temperatur dapat

kembali normal sebalum atau selama syok. Bradikardia dan ekstrasistol ventrikular

umumnya terjadi saat fase pemulihan.

6

Manifestasi Klinis infeksi Virus Dengue

2.6. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

a) Leukosit

Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (> 45%

dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total

leukosit yang pada fase syok akan meningkat.

b) Trombosit

Umumnya terdapat trombositopenia < 100.000 pada hari ke-3 sampai hari ke-8

c) Hematokrit

Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit > 20%

dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.

d) Hemostasis

7

Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen, D-dimer, atau FDP pada keadaan yang

dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

e) Protein/albumin

Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma

f) SGOT/SGPT (Serum alanin aminotransferase) : Dapat meningkat

g) Elektrolit

Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan

h) Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi)

Bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah.

i) Imunoserologi

Dilakukan pemeriksaan IgG dan IgM terhadap dengue.

IgM : terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang

setelah 60-90 hari.

IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi

sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2.

2. Pemeriksaan Radiologis

Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila

terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.

Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi dekubitus kanan. Asites dan

efusi pleura dapat pula di deteksi dengan pemeriksaan USG.

8

2.7. Diagnosis

Belum ada panduan yang dapat diterima untuk mengenal awal infeksi virus dengue

(WHO scientific working group, 2006). Perbedaan utama antara demam dengue dan DBD

adalah pada DBD ditemukannya adanya kebocoran plasma.

1. Demam dengue

Ditegakkan bila terdapat dua atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri

retroorbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, leukopenia) di

tambah pemeriksaan serologis dengue positif atau ditemukan pasien demam dengue/

demam berdarah dengue yang telah dikonfirmasi pada waktu dan lokasi yang sama.

2. Demam berdarah dengue

Berdasarkan kriteria WHO 1999 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah

ini terpenuhi.

a) Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik

b) Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :

Uji bendung positif

Petekie, ekimosis, purpura

Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi) atau

perdarahan dari tempat lain.

Hematemesis atau melena.

c) Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)

d) Terdapat minimal satu dari tanda tanda kebocoran plasma sebagai berikut :

9

Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan

umur dan jenis kelamin

Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau

hipoproteinemia.

3. Sindrom syok dengue

Seluruh kriteria DBD disertai dengan kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat

dan lemah, tekanan darah turun (< 20 mmHg), hipotensi dibandingkan standard sesuai

umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.

Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue

DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium

DD Demam disertai 2 atau lebih tanda :

Sakit kepala

Nyeri retroorbital

Mialgia

Artralgia

Leukopenia

Trombisitopenia

Tidak ada bukti kebocoran plasma

Uji serologi dengue (+)

DBD I Gejala diatas ditambah uji bendung positif Trombositopenia < 100.000

Ht meningkat >20%

Uji serologi dengue (+)

Bukti ada kebocoran plasma

DBD II Gejala diatas ditambah perdarahan spontan Trombositopenia < 100.000

Ht meningkat > 20%

Uji serologi dengue (+)

Bukti ada kebocoran plasma

DBD III Gejala diatas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah)

Trombositopenia < 100.000

Ht meningkat > 20%

10

Uji serologi dengue (+)

Bukti ada kebocoran plasma

DBD IV Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur.

Trombositopenia < 100.000

Bukti ada kebocoran plasma

2.8. Penatalaksanaan

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi

suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga

kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling

penting dalam penanganan kasusDBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama

cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan

suplemen cairan melaui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi bermakna.

Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan divisi

penyakit tropik dan infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa

dengan kriteria :

Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan dan tindakan yang dibuat sesuai atas

indikasi

Praktis dalam pelaksanaannya

Mempertimbangkan cost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori antara lain :

1. Protokol 1 : Penanganan Tersangka DBD dewasa tanpa syok

Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama

pada penderita DBD atau yang diduga DBD di instalasi gawat darurat dan juga

dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.

Seseorang tersangka DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan

hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :

11

Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien

dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik

dalam waktu 24 jam berikutnya, (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit

tiap 24 jam) bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke instalasi

gawat darurat.

Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.

Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk

dirawat.

Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan di UGD

2. Protokol 2 : Penanganan cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka

di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut :

Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan :

1500 + ( 20 x ( BB dalam kg – 20 ) )

12

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:

Bila Hb, Ht meningkat 10 – 20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian

cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan trombosit dilakukan

tiap 12 jam

Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian

cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa di ruangan

3. Protokol 3 : Penatalaksanaan DBD dengan hematokrit > 20%

Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan

sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan

memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian

dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai

dengan tanda tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil,

13

produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus di kurangi menjadi 5

ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap

menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam.

Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat

dihentikan 24-48 jam kemudian.

Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan

tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan

nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan

jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan

kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi

menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka

jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15ml/kgBB/jam dan bila dalam

perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda tanda syok maka

pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada

dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi

pemberian cairan awal.

14

4. Protokol 4 : Pelaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan

hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,

perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan

saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan

jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan

kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya.

Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering

mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemostase harus segera

dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang tiap 4-6 jam.

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan

tanda tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah

diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor faktor

pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari

10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan

spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

15

Penatalaksanaan perdarahan pada DBD dewasa

5. Protokol 5 : Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.

Bila kita berhadapan dengan sindrom syok dengue maka hal pertama yang harus

diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian

cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom

syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan,

dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan

pertolongan dan pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya

kewaspadaan terhadap tanda tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatann yang

tidak adekuat.

Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan sesuai

resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter per menit. Pemeriksaan

pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),

hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan

kreatinin.

16

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi

setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah

sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frequensi nadi kurang dari

100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak

pucat serta diuresis 0,5 – 1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7

ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan

menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap

stabil maka pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam.

Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi dan tanda tanda vital dan hematokrit tetap

stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena

jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai

dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemia,

edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama

dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karema selain proses patogenesis

penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20

% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh

karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan

pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi,

frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium

kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis.

Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit, dan

jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit. Bila

setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian

cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi

setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai

hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih

berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai

hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan ( internal bleeding ) maka penderita

diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.

17

Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat sidat

cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula mula diberikan dengan tetesan cepat

10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi

maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral,

dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB

(maksimal 1 – 1,5 l / hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15- 18 cmH2O. Bila

keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap

gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila

tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum

teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.

Penatalaksanaan sindrom renjatan dengue

18

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang

termasuk dalam genus flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flaviviridae merupakan virus

dengan diameter 30mm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat

molekul 4 x 106.

2. Pada DHF terjadi hemokonsentrasi atau penumpukan cairan tubuh, abnormalitas

hemostasis dan pada kondisi yang parah dapat timbul kehilangan protein yang masif

(Dengue Shock Syndrome).

3. Demam dengue dan DHF disebabkan oleh salah satu dari 4 serotipe virus yang

berbeda antigen.Virus ini adalah kelompok Flavivirus dan serotipenya adalah :

DEN-1

DEN-2

DEN-3

DEN-4.

19

4. Sekitar 20-30% kasus demam berdarah dengue akan timbul syok (sindrom syok

dengue). Kurang dari 10% pasien mengalami ekimosis hebat atau perdarahan

gastrointestinal, biasanya sesudah periode syok yang tidak diobati.

5. Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi

suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan

hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan

yang paling penting dalam penanganan kasusDBD

20