Deskripsi Pemikiran Demokrasi K.H. Abduraman Wahid-99373803-Zainal Arifin
-
Upload
dawam-multazam -
Category
Documents
-
view
98 -
download
7
Transcript of Deskripsi Pemikiran Demokrasi K.H. Abduraman Wahid-99373803-Zainal Arifin
DESKRIPSI PEMIKIRAN DEMOKRASI
K. H. ABDURRAHMAN WAHID
SKRIPSIDIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTAUNTUK MEMENUHI TUGAS AKHIR SEBAGAI SYARAT MEMPEROLEH
GELAR SARJANA DALAM HUKUM ISLAM
OLEH :
ZAINUL ARIFINNIM: 99373803
DI BAWAH BIMBINGAN :
Drs. OMAN FATHUROHMAN SW, M.Ag.Drs. SLAMET KHILMI
JURUSAN JINAYAH SIYASAHFAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERISUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
1425H/2004M
(KAJIAN TERHADAP PEMIKIRAN K.H ABDURRAHMAN WAHID
TENTANG WACANA AGAMA-NEGARA DI INDONESIA)
MAKALAH INI DIAJUKAN
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
FIQIH SIYASAH II
DI SUSUN OLEH :
ZAINUL ARIFINNIM : 99373803
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH
IAIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2004
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dengan meluasnya partai-partai berhaluan Islam kesetiap tempat dengan
gaya yang menarik perhatian banyak orang, dan didukung oleh bertambahnya kesadaran
dunia terhadap masalah demokrasi setelah runtuhnya ideologi komunis,
permasalahannya kemudian beralih pada hubungan antara islam dan demokrasi, yang
ramai dibicarakan dalam berbagai pusat penelitian dan media masa. Akibatnya muncul
pertemuan-pertemuan, yang menghujat corak nuansa Islam dan kaum muslim.
Para pengkaji dan peneliti barat dengan gencar melakukan penelitian dan
pengkajian tentang masalah tersebut (hubungan antara Islam dan demokrasi). Mayoritas
diantara mereka menyimpulkan adanya pertentangan tajam antara islam dan demokrasi.
Sebuah artikel yang dimuat Washington Post pada maret 1992, yang bertajuk
“Islam dan demokrasi tidak pernah sejalan “, dalam artikel tersebut, Amwes
Berlmouter, si penulis artikel, menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Al-jazair tidak
hanya menyangkut masalah demokrasi di dunia ketiga atau negara-negara Islam,
sebagaimana yang digambarkan oleh sebagian orang. Tetapi, masalah terpenting yang
menyangkut apa yang terjadi di Aljazair adalah hakekat sikap Islam –yang diibaratkan
oleh penulis artikel ini sebagai-“ menentang dan tidak memperoleh demokrasi”.
Mereka dengan panjang lebar berbicara tentang sistem liberalisme dan
Nasionalis untuk dijadikan sebagai acuan pedoman dalam tatanan negara.
Tetapi jika ada yang berbicara tentang sistem Islami, mereka menganggap sebagai
sesuatu “yang tidak ada”. Bahkan kadang mereka menyebut sebagai sesuatu “yang
konservatif”, dan pada saat yang lain mereka menyebutnya sebagai “sistem yang
kejam”.1
Dari berbagai macam permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka
penyusun mencoba mengkaji Demokrasi yang ada relevansinya dengan ajaran agama
Islam. Islam telah didiskreditkan dalam dua hal. Pertama, ketika ia dibandingkan
dengan demokrasi dan kedua, ketika dikatakan bahwa Islam bertentangan dengan
demokrasi. Karena membandingkan antara keduanya merupakan hal yang salah, seperti
halnya menganggapnya saling bertentangan juga salah.
Dari segi metode, perbandingan antara kedua hal tersebut di atas tidak bisa
dibenarkan, karena Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung azas-azas
yang mengatur ibadah, akhlaq dan muamalah manusia. Sedangkan demokrasi hanya
sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja sama antara anggota masyarakat serta
simbol yang membawa banyak nilai-nilai positif.2
Bagi kebanyakan orang Barat, konsep “demokrasi Islam “ merupakan sesuatu
anatema.3 Sebagian orang tidak memandang demokrasi sekarang ini sebagai sistem
pemerintahan yang berlandaskan pada kebebasan, kerjasama, politik, pluralisme, lain
sebagainya. Tetapi memandangnya sebagai rumusan bagi konsep barat yang
memperburuk citra kaum muslim. Paling tidak media informasi di barat menampakkan
permusuhan kepada Islam. Dengan demikian, tidak diakuinya demokrasi versi barat ini
1 Fahmi Huwaydi, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani, terjemahan dari Al-Islam Wa Al-Dimuqratiyah alih bahasa Muhammad Abdul Ghoffar E. M., cet. I (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 8-9.
2 Ibid, hlm. 151.
3 John L. Esposito dan John O. vall, Demokrasi di Negara-Negara Muslim Problem dan Prospek, terjemahan dari Islam and Democracy alih bahasa Rahmani Astuti, cet.I (Bandung: Mizan,1999), hlm.15.
tidak dapat dianggap sebagai penolakan terhadap demokrasi itu sendiri, tapi pada
hakekatnya, penolakan tersebut berdasarkan pada konsep yang disodorkan.4
Demokrasi merupakan sebuah idiom yang oleh sebagian orang dipersepsikan
sebagai pilihan sistim politik, menuntut persyaratan bagi terwujudnya sebuah
masyarakat madani (Civil Society).5
Dalam perspektif pengelolaan negara bangsa, dimana pluralisme sebagai bagian
dari Sunatullah (Natural law), memerlukan negara dan pemerintahan yang menjunjung
tinggi supremasi hukum dan dipenuhinya prasyarat the rule of law 6). Maka, jika kualitas
demokrasi baik, kualitas hukum akan baik, dan jika demokrasi bobrok, hukumnya pun
akan jelek. 7 Dengan demikian demokrasi adalah suatu keharusan dan sudah berjalan.
Sejelek-jeleknya demokrasi tetapi masih lebih baik dari sistem politik yang lain.
Ketangguhan demokrasi ada pada aspek rationalitas yang dapat dikritik dan
diperdebatkan (rational discourse) dan adanya kontrol dari rakyat. 8
Perkembangan di dalam negeri selain dipengaruhi oleh mulai munculnya
kesadaran masyarakat tentang pentingnya demokrasi namun dipengaruhi oleh gerakan
4 Fahmi Huwaydi, Demokrasi Oposisi, hlm. 152.
55. Civil society adalah suatu lingkungan tempat warga negara mengembangkan diri secara swadaya di luar lingkungan keluarga dan bebas dari kendali negara. Civil society adalah pra kondisi bagi munculnya demokrasi. Civil society merupakan jaminan bahwa kediktatoran tidak akan terjadi. Civil society berfungsi mendukung demokrasi, bukan hanya untuk kaum elite, tetapi untuk segenap warga negara. Lihat Mohtar Mas’oed, “ Civil society dan Masyarakat Madani : catatan untuk diskusi”, makalah disampaikan pada seminar tentang “Menata kapasitas Masyarakat Madani menghadapi tantangan global,”sebagai pemakalah, Yogyakarta, 9 April 2002, hlm. 1 dan 5
6) Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum di Indonesia, cet.I (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2002), hlm. IX.
7 Moh. Mahfud, MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, cet I (Yogyakarta: Gama media, 1999), hlm. 48.
8
? Kutut Suwondo”, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal”, Makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang “Demiliterisasi, Demokratisasi, dan Desentralisasi” sebagai pemakalah, Yogyakarta, 12 Juni 2002, hlm. 4.
pro-demokrasi di luar negeri. Runtuhnya rezim otoritarium komunis di negara-negara
eropa timur pada awal tahun 1990-an, oleh gerakan pro demokrasi (dan civil society)
merupakan faktor eksternal yang mendorong dimulainya babakan baru menuju
masyarakat yang lebih demokratis di Indonesia. 9
Demokratisasi yang sedang diagendakan oleh masyarakat Indonesia sekarang
ini masih menghadapi banyak tantangan.10 Belum terwujudnya stabilitas politik – yang
krusial bagi pemulihan ekonomi-, serta elit politik dan banyak kalangan masyarakat
belum siap dengan demokrasi keadaban (civilizated democracy). Kenyataan ini bisa
dilihat dari perkembangan berikut : konflik dan fragmentasi politik yang semakin
meluas di kalangan elit politik ; parpol-parpol yang kian rentan konflik dan perpecahan ;
serta aksi-aksi demonstrasi yang cenderung tergelincir menjadi anarkisme.11
Di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, perkembangan
Demokrasi tersendat-sendat, bahkan ada yang tidak bisa muncul sama sekali. Seperti
disinyalir oleh Huntington, kawasan ini disebut sebagai penganut sistem politik
tradisional. Ada dua corak sistem politik yang dominan pada negara berkembang yaitu :
negara feodal dan negara birokratis. Di dalam kedua corak sistem politik itu ditandai
oleh adanya pemusatan kekuasan. Karena itu, peluang untuk berkembang suburnya
demokrasi pada negara yang sistem politik semacam itu kecil sekali. Pandangan
pesimisme Huntington mengenai tumbuhnya demokratisasi bila diterapkan dalam
konteks Indonesia bisa dimengerti, karena sistem politik Indonesia sebalum Era-
9
? Ibid, hlm. 1.
10Abdul Gaffar Karim dkk, Melucuti Serdadu Sipil mengembangkan wacana Demiliterisme dan komunitas Sipil, cet. I (yogyakarta: Fisipol UGM,2000), hlm.VII.
11 Puslit IAIN Syarif Hidayatullah, pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, cet. I (Jakarta:IAIN Press, 2000), hlm.iv.
Reformasi adalah Feodal dan Birokratis. Kedua sistem nilai ini ( Feodal dan
Birokratis ) merupakan faktor penghambat demokratisasi.12
Salah satu kesulitan muncul sebagai kiblat para akademis ( politik) kurang
berminat untuk mendiskusikan, menulis, atau meneliti secara akademis persoalan yang
berkaitan dengan proses demokratisasi. Kecenderungan yang tampak saat ini adalah
mereka lebih tertarik berbicara sebagai pengamat ( agak mirip selebritis ) di berbagai
media ( terutama media kaca ). Mereka dengan kemampuan seadanya dan tanpa
didukung pengalaman empiris ( penelitian ) diminta dan berusaha menanggapai
persoalan-persoalan politik praktis bersifat temporer. Akibatnya, terasa ada kekosongan
pengetahuan tentang arah demokrasi dan demokratisasi.
Dalam suasana demikian ini, unsur –unsur masyarakat yang ingin melestarikan
kepincangan sosial yang ada dewasa ini, tentu akan berusaha sekuat tenaga
membendung aspirasi demokratis yang hidup di kalangan mereka yang telah sadar akan
perlunya kebebasan ditegakkan di negeri ini (Indonesia).13
Di indonesia sendiri, demokrasi-demokratisasi bagi sebagian orang,
dipersepsikan secara beragam. Sebagian memandang demokrasi sebagai suatu
keniscayaan sejarah. Ada pula yang menolaknya lantaran konsep demokrasi berbau
barat (western terminology). Ada pula kelompok intelektual muslim moderat yang
memposisikan diri dengan mencoba mensintesakan kedua kubu pemikiran tersebut.
Dalam waktu bersamaan, ketika demokratisasi itu diperjuangkan, fajar baru harapan
muncul partisipasi publik atau masyarakat secara seimbang akan dapat diwujudkan. Dan
12
? Ibid, hlm.198.
13 Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdhotul Ulama’-Negara, cet. I (yogyakarta: penerbit LkiS,1997), hlm.189.
tampaknya, sebuah masyarakat dengan nuansa emansipasi partisipatoris itulah menjadi
obsesi K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). 14
Argumentasi penyusun memilih K. H. Abdurrahman Wahid sebagai tokoh yang
dikaji, karena keberaniannya, kekuatan, dan keyakinannya dalam mengemukakan
pemikirannya tanpa ada rasa takut terhadap resiko yang akan dihadapi. K. H.
Abdurrahman Wahid termasuk tokoh agama dan politik di Indonesia yang pemikiran
dan sepak terjangnya sering dipandang kontroversial. Karena, pemikiran K. H.
Abdurrahman Wahid memang sangat sering memancing reaksi pro-kontra dan
mengundang perdebatan, apalagi baik pemikiran ataupun perilakunya tak jarang yang
melawan arus atau menyimpang dari wacana publik yang lazim terutama bagi umat
Islam. Ada yang memuji dan simpati , atau mencoba netral dan tak mau peduli, atau
menyatakan terang-terangan ketidak senangan dan beroposisi terhadapnya.
Prof. DR. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif pernah mengatakan, bisa jadi
kekontroversialnya muncul karena banyaknya kemampuan yang dimilikinya, atau
mungkin juga ia memang memiliki karakter unik yang berbeda dari manusia
kebanyakan.15 K. H. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil Gus Dur yang
menarik adalah watak liberal yang melekat pada sosok Gus Dur selama ini ternyata
masih ada walaupun ia berposisi sebagai decision maker ( membuat keputusan), bahkan
mungkin orang yang paling penting tidak hanya bagi satu kelompok, tapi bagi banyak
kelompok yang tentunya jauh lebih beragam, mulai dari tingkat tradisional sampai
internasional dapat beradaptasi dengan baik.
14
? Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. XII.
15 A. Malik Harmain dkk, Gus Dur : Goro-Goro Dalam Lakon Multi Krisis, cet. I (Jakarta: Bumi Selamat printing, 2001). hlm.iii
Terlepas dari persoalan di atas, keunikannya justru merangsang banyak orang
untuk melakukan segala penafsiran tentang orisinalitas pemikiran Gus Dur. Namun, dari
sekian banyaknya tafsiran, penjelasan dan eksplorasi tentang Gus Dur tidak kemudian
bisa dikatakan sebagai kesimpulan akhir tentang pemikiran Gus Dur.16
Mengenai penyusun memberikan batasan waktu terhadap kajian pemikiran K. H
.Abdurrahman Wahid , yaitu mulai tahun 1999-2003. karena setelah habis masa jabatan
K. H .Abdurrahman Wahid menjadi ketua umum PBNU, secara mengejutkan K.
H .Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Dalam masa
cukup singkat kekuasaanya itu, K. H .Abdurrahman Wahid sesungguhnya memiliki
sejarah besar membangun demokrasi, kebebasan pers dan berbicara, serta perjuangan
hak-hak kaum minoritas. K. H .Abdurrahman Wahid selama berkuasa menjadi Presiden
telah memberikan wacana yang menarik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Paling tidak, selama kurang dua tahun menjadi Presiden banyak sekali sumbangan K.
H .Abdurrahman Wahid bagi bangsa. Bahkan, proyek desakralisasi istana, supremasi
sipil, deformalisasi Islam, perebutan tafsir konstitusi (konflik dengan parlementer)
menjadi wacana politik yang menakjubkan di masanya.17
Setelah lepas jabatan menjadi Presiden Republik Indonesia, K.H. Abdurrahman
Wahid masih tetap gigih memperjuangkan demokrasi di negara Indonesia, walaupun
juga kadang melakukan tindakan otoriter. Demokrasi yang diperjuangkan K.H.
Abdurrahman Wahid, bukanlah demokrasi ala barat maupun timur, melainkan
demokrasi yang memang bersumber dari martabat kemanusiaan, berupa nilai-nilai
moralitas, intelektualitas, religiusitas dan hati nurani yang bersifat fithriah.18
16
? Ibid,, hlm. iii.
17 Khamami Zada (ed.), Neraca Gus Dur Di Panggung Kekuasaan, cet.I (Jakarta: LAKPESDAM,2002), hlm.vii.
18
? Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur Demokrasi, Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam, cet.I (Yogyakarta:kutub,2003), hlm.288.
B. Pokok Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, terdapat permasalahan yang layak
dikaji,yaitu :
1. Bagaimana pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid tentang demokrasi.
2. Analisis terhadap pemikiran demokrasi K.H. Abdurrahman Wahid tahun 1999-
2003.
C. Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dan kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah :
1.Tujuan
a. Untuk menjelaskan bagaimana konsep demokrasi menurut
K.H. Abdurrahman Wahid.
b. Untuk melihat manuver politik K.H. Abdurrahman Wahid tahun 1999-
2003.
2.Kegunaan
a. Kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah diharapkan dapat menambah
wawasan pengetahuan pemikiran Islam khususnya yang menyangkut tentang
demokrasi.
b. Untuk memberikan kontribusi kepada penyusunan lebih lanjut, terutama yang
berminat dibidang politik Islam.
D. Telaah Pustaka
Penyusun mencoba mengkaji dan menyajikan pemikiran K. H. Abdurrahman
Wahid utamanya dalam perjuangannya yang gigih dalam menegakkan demokrasi.
Memang sudah cukup banyak buku-buku atau tulisan yang membedah tentang
pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid , diantaranya :
Buku Gus Dur NU dan masyarakat sipil, di dalam buku ini berisi tujuh artikel
yang ditulis oleh orang dalam dan luar negeri. Di dalam buku ini ada satu artikel yang
menulis tentang pembahasan K. H. Abdurrahman Wahid yaitu: “Pemahaman K. H.
Abdurrahman Wahid tentang pancasila dan penerapannya dalam era pasca asas
tunggal”, ditulis oleh : Douglas E. Ramage, Ph. D. Tulisan ini disusun untuk keperluan
yang khas :mengkaji pikiran-pikiran dan perilaku politik pemimpin NU K. H.
Abdurrahman Wahid berkenaan dengan pancasila. Menurut pendapat K. H.
Abdurrahman Wahid, pancasila adalah serangkain prinsip-prinsip yang bersifat lestari.
Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan.19 Namun
dalam tulisan ini tidak mencakup seluruh keberadaan NU, terlebih lagi tentang politik
Islam di Indonesia, serta tidak ada tulisan yang membahas tentang demokrasi dalam
Islam. Sebagai editor buku ini adalah Ellyasa K. H. Dharwis.
Selanjutnya buku Tuhan tidak perlu dibela Abdurrahman Wahid di dalam buku
ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang diambil dari majalah Tempo dasa warsa
19. Douglas E. Ramage,” pemahaman Abdurrahman Wahid tentang pancasila dan penerapannya dalam era paska asas tunggal”, dalam Ellyasa K. H. Dharwis (ed.),Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, cet.I (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 101.
1970-an dan 1980-an. Didalam buku ini terdiri atas tiga bagian . Bagian pertama,
Refleksi kritis pemikiran Islam, Bagian kedua, intensitas kebangsaan dan kebudayaan ,
dan Bagian ketiga, Demokrasi ideologi dan pengalaman politik luar negeri. Disini Gus
Dur menggambarkan bagaimana paradoks-paradoks yang terjadi di sekitar pemikiran
Islam, perdebatan politik, sosial keagamaan dan ideologi antar kelompok dalam konteks
kebangsaan Indonesia. Akan tetapi pada bab ketiga kurang memaparkan pengalaman
demokrasi di dalam negeri (Indonesia), dan pemikiran-pemikiran demokrasi yang
dikembangkan dari ajaran agama Islam, inilah yang menjadi konsern dan konsistensi
yang tinggi oleh K. H. Abdurrahman Wahid dalam mensikapi, mengarahkan, dan
sekaligus menjadi basis pemikiran kehidupan negara bangsa Indonesia.. Diterbitkan
oleh LkiS bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford foundation.
Selanjutnya buku PKB jendela politik Gus Dur di dalam buku ini membahas
bagaimana warga NU membangun suatu partai yang telah di deklarasikan pada 23 juli
1998 di kediaman Gus Dur Ciganjur, Jakarta. Dengan di beri nama Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB). PKB diharapkan benar-benar bisa menjadi wadah poilitik warga NU
untuk berperan secara optimal. Karena selama pemerintahan rezim Soeharto, kekuatan
politik warga NU selalu di kebiri dan di pinggirkan secara sistematik. Maka kehadiran
PKB ditingkat perpolitikan nasional sungguh merupakan kajian yang menarik, apalagi
dikaitkan dengan tokoh sentralnya, Gus Dur, yang pada tutup tahun 1998 menyajikan
“akrobat” politik yang benar-benar menakjubkan. Buku ini disusun oleh Asmawi atas
dorongan dan prakarsa Fauzi Rahman, selaku direktur utama penerbit Titian Ilahi Press.
Buku Islam Demokrasi atas bawah polemik strategi perjuangan umat model
Gus Dur dan Amien Rais di dalam buku ini berisi tentang pemikiran kedua tokoh
organisasi besar di Indonesia yaitu K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Amien
Rais, bahwa kedua tokoh tersebut memiliki pemikiran yang berbeda. Di dalam buku ini
berisi kumpulan artikel tentang demokrasi dan politik. Terdapat dua artikel yang
membahas tentang K. H Abdurrahman Wahid, yaitu :
1. “Gus Dur dan perbedaan politik umat” di tulis oleh Muhammad AS Hikam. Di
dalam tulisan ini ada tiga kepedulian utama pemikiran politik K. H. Abdurrahman
Wahid, yaitu :
a. Revitalisasi khasanah Islam tradisional Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya
kurang di pahami dan dikembangkan oleh NU.
b. keterlibatan dalam wacana dan kiprah modernitas.
c. pencarian jawaban atas persoalan konkrit yang dihadapi umat Islam bangsa
Indonesia.20)
2. “Islam pluralisme dan demokratisasi” di tulis oleh K. H. Abdurrahman Wahid,
menulis tentang perkembangan hubungan Islam dan sistem kekuasaan yang
menunjukkan gambaran menarik pada dua puluh lima tahun pertama di masa orde
baru. Selama kurun waktu itu, telah terjadi perkembangan gerakan Islam yang
berlawanan arah akibat ambivalensi kebijakan-kebijakan pemerintah. Di satu pihak,
dapat disaksikan bahwa sebagai kekuatan politik formal, Islam telah berhasil di
gusur dari panggung politik oleh kebijakan dealiranisasi atau dekonfessionalisasi
yang dilakukan pemerintah, sedangkan di pihak lain, kekuatan politik informal
Islam berkembang dengan baik.21 Sebagai penyunting buku ini adalah Arief Afandi.20 Muhammad AS. Hikam,”Gus Dur dan pemberdayaan politik umat”, dalam Arief Afandi (ed),
Islam Demokrasi Atas Bawah Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais, cet. III (Yogyakarta: pustaka pelajar,1997), hlm. 90.
21 Ibid,hlm. 107.
Buku membaca pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi di tulis
oleh Umaruddin Masdar. Buku ini mengkategorisasikan sebagai upaya rekonsiliasi
peradaban Islam barat menyangkut gagasan demokrasi. Penelitian buku ini berusaha
menemukan titik temu dan merunut kompatibilitas Islam dan demokrasi. Melalui usaha
elaboratif metodologi us}u>l fiqh, titik temu atau kompatibilitas itu akan dijadikan
konteks diskursus intelektual Sunni vis a vis pemikiran politik Syi’i, dengan menjadikan
pemikiran Amien Rais dan K. H. Abdurrahman Wahid sebagai obyek sentral penelitian.
Di dalam buku ini tidak membahas keberhasilan pemikiran K. H. Abdurrahman
Wahid dalam membuktikan vitalitas dan telah mampu merubah kultur Islam tradisional
dalam wacana dan kiprah modernitas. Karena pemikiran dan strategi pemberdayaan
demokrasi yang diperjuangkan K. H. Abdurrahman Wahid terjadi banyak tantangan.
Tantangan dan hambatan baik dari NU sendiri maupun dari kelompok di luarnya,
termasuk negara, senantiasa muncul.
Selanjutnya buku Demokratisasi dan prospek hukum Islam di Indonesia studi
atas pemikiran Gus Dur, ditulis oleh Abdul Ghofur, M.Ag, diterbitkan atas kerjasama
Walisongo Press dengan pustaka pelajar. Buku ini di tulis oleh saudara Abdul Ghofur,
yang merupakan hasil kerja kerasnya dalam menyelesaikan Tesis S.2 di IAIN Syarif
Hidayatullah (sekarang UIN) Jakarta. Buku ini mecoba memotret dan menyajikan
pemikiran Gus Dur utamanya dalam perjuangannya yang gigih melakukan
demokratisasi dan substansi hukum Islam. Di dalam buku ini menulis pemikiran K. H.
Abdurrahman Wahid tentang Demokrasi, yaitu : pemikiran ke Islaman dan gagasan
Demokratisasi K. H. Abdurrahman Wahid. Di dalam bab ini terdapat tiga kelompok dari
empat tokoh, antara lain :
1. Greg Barton, 2. Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, 3. AS Hikam. Dari ketiga kelompok
tersebut mengemukakan pendapatnya pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid seorang
intelektual dan agamawan di kalangan tradisional Ahlussunnah Waljama’ah yang lebih
mengedepankan pada pendekatan kontekstual dari pada tekstual dan mencoba
memadukan pemikiran khazanah pemikiran Islam tradisional dengan kenyataan yang
ada dalam masyarakat modern.
Di dalam bab ini K. H. Abdurrahman Wahid tidak sekedar menggunakan
produk-produk pemikiran Islam tradisional, tetapi lebih menekankan pada penggunaan
metodologi (manhaj), teori hukum (us}u>l fiqh), dan kaidah-kaidah hukum
(Qawa>id Fiqhiyah) dalam kerangka pembuatan suatu sintesa untuk melahirkan
gagasan baru sebagai upaya menjawab perubahan-perubahan aktual di masyarakat.
Akan tetapi di dalam buku ini tidak ada dalil Al-Qur’an/Nash sebagai dasar demokrasi
dalam Islam, dan di dalam buku ini tidak mengkaji tentang analisa demokrasi pemikiran
K. H. Abdurrahman Wahid yang meliputi aplikasi demokrasi, transisi demokrasi,
Militer dan demokratisasi.
Dan juga masih banyak lagi tulisan-tulisan yang membahas pemikiran
K. H. Abdurrahman Wahid, baik berupa buku, artikel, dan lain-lain. Dari
berbagai karya tentang K. H. Abdurrahman Wahid, sepanjang pelacakan data yang
dilakukan penyusun, belum ada satu karya yang secara khusus membahas dan
mengungkapkan secara jelas tentang pemikiran deskriptif K. H. Abdurrahman Wahid
mulai tahun, dengan analisa demokrasi pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang
meliputi aplikasi demokrasi, transisi demokrasi, Militer dan demokratisasi.
E. Kerangka Teoritik
Pemerintahan dalam Islam adalah pemerintahan demokratis berdasarkan
musyawarah. Islam tidak membatasi bagaimana cara bermusyawarah. Inilah sistem
bersifat intern yang bisa berubah sesuai dengan situasi dengan memandang waktu dan
tempat, dan merupakan kebebasan jama’ah dalam ketentuan dan penerapannya.22
Definisi Demokrasi oleh Lincoln, yaitu pemerintahan rakyat, melalui rakyat,
dan untuk kepentingan rakyat. Makna, tanpa diragukan lagi, telah tercakup dalam sistem
pemerintahan Islam, kecuali bahwa pengertian istilah masyarakat harus dipahami secara
tertentu dan menyeluruh.23
Sistem kenegaraan/pemerintahan dalam Islam harus dibedakan antara teori dan
praktek. Teori adalah konsep-konsep yang tertulis dalam Nas} (Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Muhammad S. A. W. ). Praktek adalah praktek yang dilakukan kaum muslim
sepanjang sejarah Islam. Nas} (Al-Qur’an) yang berbicara tentang prinsip-prinsip dan
sistim pemerintahan/kenegaraan. Diantaranya adalah :
بوا وا استجا ين واقاموا لذ وا ا لربهم رزقن لصلوة ومما بينهم شورى ينفقون ا مرهم 24هم
ع فاع االمر ف فى وشاورهم واستغفرلهم 25نهم
ت هد عا ين الذ الى ورسوله الله من ة المشركين م براء 26من
Dari ketiga ayat tersebut dapat ditegaskan beberapa prinsip :
1. Kedaulatan adalah di tangan rakyat ( umat)
22 Mahdi Fadulullah, Titik Temu Agama & Politik Analisa Pemikiran Sayyid Qutub, cet. I (Solo: Ramadhani, 1991), hlm. 123.
23 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, terjemahan dari An-Nazhariyatu As-siyasatul-Islamiyah alih bahasa Abdul Hayyie Al-Kattani, cet. I (Jakarta:Gema Insani Pres,2001), hlm. 307.
24 Al-Syuraa (42) : 38
25 Ali-Imran (3) : 15926
? Bara’ah/Taubah (9) : 1
2. Bentuk pemerintahan adalah berdasarkan Musyawarah ( Syu>ra)
3. Kepala pemerintahan adalah Imam atau khalifah, yaitu pelaksana Syari’ah (ajaran
Islam).
4. Kepala pemerintahan diangkat dan diberhentikan oleh
rakyat (umat).27
Imam Razi berkata saat menafsirkan ayat Al-Qur’an
منوا ا يايها ا ين وا ا طيعوا ا لذ وا ا طيعوا لله 28المرمنكم ولىا لرسول
Perintah Allah S. W. T untuk taat disini bersifat pasti. Dan siapa yang diperintahkan
untuk ditaati haruslah sosok yang ma's}um, sehingga perintah Allah itu tidak
membawa pada perbuatan yang salah dan mengikuti kesalahan itu. Kemudian dia
mengatakan bahwa sosok yang maksum itu tidak dapat dicerminkan seorang individu
atau sebagian umat, namun merupakan bentuk kolektif umat itu, yang terwakilkan
dalam diri ahli ijtihad.
Firman Allah Surat An-Nisa’ (4) : 59 dapat dijadikan dalil atas validitas Ijma’
sebagai sumber hukum. Disimpulkan dari situ bahwa yang dimaksud dengan ulil amri
itu adalah ahlul halli wal aqdi, dari ulama’ umat yang mampu berijtihad dan
menyimpulkan hukum, jika mereka bersepakat dalam sesuatu.29
Muhammad Abduh menyamakan Ahl al-Hall Wa al-‘aqd dengan ulil Amri
yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ : 59. Ia menafsirkan Ulil Amri atau Ahl
al-Hall Wa al-‘aqd sebagai kumpulan orang dari berbagai profesi dan keahlian yang ada
dalam masyarakat.30 Ahl al-Hall Wa al-‘aqd lembaga yang paling dikenal sebagai
27 Khoiruddin Nasution,” Islam dan demokrasi”, Asy-Syir’ah, vol. 36, NO. I (2002), hlm. 46-47. 28 Surat An-Nisa’ (4) : 59
29 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik, hlm. 308. 30
pelaksana syura. Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan
secara eksplisit ditegaskan oleh Al-Qur’an surat Asy-Syura (42) : 38.
Sesuai dengan kedudukannya sebagai sekedar salah satu elemen demokrasi dan
sesuai pula dengan kenyataan bahwa Islam menetapkan syu>ra baru dalam bentuk
prinsip umum yang penjabarannya diserahkan kepada umat pada setiap masa dan
tempat, maka semata-mata Syura tidak dapat menjamin tegaknya kehidupan yang
demokratis. Syu>ra akan berhasil jika memang tersedia situasi dan kondisi yang
kondusif, yakni ketika elemen-elemen demokrasi yang lain seperti kesetaraan,
pertanggungjawaban, keadilan dan kebebasan benar-benar telah tegak dalam
masyarakat. Tanpa tersedianya situasi dan kondisi semacam itu, mustahil untuk
mengharapkan berlangsungnya Syu>ra dengan demokratis.31
Menurut Hasan al-Turabi : Sebagian orang mengartikulasikan demokrasi
semuanya dan bukan didasarkan pada hakekat maknanya secara gramatikal-yakni
pemerintahan oleh rakyat-bahkan juga bukan bagaimana demokrasi diartikan di barat.
Sepanjang sejarah perjalanannya di barat, kata demokrasi dikaitkan erat dengan
sekularisme dan hal itu tentu saja bertentangan dengan sifat gerakan Islam. Dengan
politik yang amoral demokrasi tentu saja menjadi sesuatu yang ditentang. Sama sekali
jauh dari sifat-sifat agama.32
? J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, cet. III (Jakarta:Raja Grafindo Persada,1997). Hlm. 68.
31
? A. Malik Madany,”Syu>ra sebagai elemen penting Demokrasi”, Asy-Syir’ah,Vol. 36, NO. I (2002), hlm. 77-78.
32 Hasan Al-Turabi, Fiqih Demokratis dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis, terjemahan dari Tajdid Al-Fikr Al-Islam alih bahasa Abdul Haris dan Zaimul Am, cet. I (Bandung:Arasy,2003), hlm. 175-176.
Tujuan demokrasi dalam Islam adalah menolak diktatorisme yang berkuasa,
menolak kekuasaan penguasa yang sewenang-wenang, yang pada saat sekarang lazim
disebut Tiran. Karena maksud dari demokrasi ialah pemberdayaan rakyat untuk
memilih para penguasa seperti mereka kehendaki, memperhitungkan perilaku mereka,
menolak perintah mereka jika bertentangan dengan undang-undang negara, yang jika di
Istilahkan menurut Islam : Jika mereka kepada kedurhakaan. Mereka berhak mencopot
para penguasa itu jika menyimpang, tidak mau menerima nasehat dan peringatan.33
Islam adalah agama yang mengajak kepada keadilan, melawan penindasan,
menolak eksploitasi dan manipulasi serta membebaskan manusia dari praktek-praktek
ekonomi dan politik tidak bermoral. Substansi ditegakkannya nilai dan praktek
demokrasi adalah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum.
Dan ini secara nyata tercermin dan dipraktekkan oleh Nabi dan al-khulafa ar-Rasyidun
pada masa awal Islam.34
Demokrasi bisa diambil sebagai sebuah sistem politik utuh dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Tapi, hanya sebatas tataran pranata sosial-politik An-
sich. Sebaliknya, menolak dengan tegas ‘demokrasi’ dengan embel-embel ideologi
tertentu. Apa yang diajarkan Nabi dalam praktek negara Madinah menunjukkan adanya
kehidupan ‘Demokratis’ berdasarkan aturan wahyu Ilahi.35
33 Yusuf Al-Qardawy, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, terjemahan dari Min Fiqhid Daulah Fil-Islam alih bahasa Kathur Suhardi, cet. III (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,1998), hlm. 195.
34Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi, cet. I (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1999), hlm. 16.
35 Lutfi Lukman,” Demokrasi dalam piagam Madinah”, dalam Mohammad Shoelhi (ed), Demokrasi Madinah Model Demokrasi Cara Rasullah,cet. I (Jakarta,Republika,2003), hlm. 30-31.
Menurut K. H. Abdurrahman Wahid , landasan demokrasi adalah keadilan
dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang dan berarti juga kemandirian untuk
mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia ingini. Intinya demokrasi menuntut
adanya otonomi setiap individu. Akan tetapi demokrasi tidak mengakui adanya
kemutlakan, sebab dasarnya demokrasi merupakan proses tawar-menawar dan negosiasi
secara terus-menerus. Dengan demikian demokrasi selalu menyisakan hal-hal yang
masih bisa dinegosiasikan. Dalam konteks ini K.H. Abdurrahman Wahid berpendapat
bahwa perjuangan menegakkan demokrasi tidak bisa dilakukan sekali jadi, tapi butuh
waktu yang panjang dan kesabaran yang tinggi disamping juga keseriusan.36
Melalui pendekatan sejarah berkembangnya pemikiran demokrasi K.H.
Abdurrahman Wahid pada waktu terbentuknya forum demokrasi. Forum demokrasi
terbentuk setelah terjadinya peristiwa Tabloid Monitor dan didirikannya ICMI. Pada
bulan oktober 1990 terjadi sesuatu yang merupakan alamat buruk bahwa telah terjadi
peralihan serius dalam kebijakan rezim yang berkuasa terhadap Islam. Hal ini berkaitan
dengan Tabloid pop Monitor. Tabloid ini mempunyai hubungan dengan harian Kompas
dan the Jakarta post lewat penopang-penopangnya, yang merupakan orang-orang Cina
Katolik.37
Munculnya ICMI dengan dukungan penuh Presiden Soeharto membuat khawatir
K.H. Abdurrahman Wahid dan yang lain-lainnya, seperti Djohan Effendi, yang merasa
bahwa Soeharto berencana menggunakan santri konservatif untuk mendukungnya dalam
usahanya agar terpilih kembali sebagai Presiden. K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus 36 Abdul Ghafur, Demokratisasi, hlm. 5.
37 Greg Barton, Biografi Gus Dur the Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, terjemahan dari Gus Dur : the Authorized Biography of Abdurrahman Wahid alih bahasa Lie Hua, cet. I (Yogyakarta:LkiS,2003), hlm. 208.
Dur merasa prihatin bahwa dibentuknya perhimpunan kaum elit intelektual Islam ini
akan mendorong tumbuhnya sentimen sektarian dan dengan demikian akan dimainkan
oleh kaum konservatif.
K.H. Abdurrahman Wahid dan sejumlah teman yang sepaham dengannya
merasa prihatin dengan meningkatnya arus sektarianisme atau aliran. Oleh karena itu,
mereka memutuskan untuk membentuk suatu organisasi untuk membela pluralisme dan
demokrasi. Pada awal 1991, empat puluh intelektual yang berasal dari berbagai
kelompok agama dan masyarakat di Indonesia mendirikan Forum demokrasi. K.H.
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terpilih menjadi ketua dan juru bicara forum ini.
Ketenaran dan pengaruh Gus Dur akan membuat organisasi baru ini mendapatkan
kepercayaan publik. Forum demokrasi didirikan untuk memberikan kekuatan
pengimbang terhadap lembaga-lembaga seperti ICMI yang mendorong tumbuhnya
pemikiran sektarian.38
Elaborasi demokrasi menurut K.H. Abdurrahman Wahid berangkat dari
paradigma kontekstualisasi pemikiran Fiqh dan Qawa>id Al-Fiqh. K.H. Abdurrahman
Wahid secara tegas dan siap memperlihatkan perhatiannya yang tinggi terhadap
perubahan dan persoalan-persoalan masyarakat modern, termasuk masalah demokrasi
dan hak asasi manusia. K.H. Abdurrahman Wahid menerima terhadap gagasan
demokrasi modern dengan sendirinya legitimasi secara Fiqh.39
Menurut Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, yang mengelompokkan pemikiran
K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Neo-Modernisme. Pola pemikirannya mempunyai
asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergaulan modernisme dan hal ini
38 Ibid, hlm.210-212.39
? Abdul Ghafur, Demokratisasi, hlm. 83.
tidak harus dengan menghilangkan tradisi Islam yang mapan. Dalil yang mendasari
pemikiran ini adalah :
القد على االصلح يالمحافظة يد بالجد واالخذ لصالح ا 40م
Mengisi proses perubahan pasca otoriterisme di Indonesia saat ini, salah satu
agenda krusial yang belum terselenggara adalah melakukan penataan ulang hubungan
sipil militer dalam kerangka demokrasi yakni membangun sebuah sistem politik yang
menempatkan posisi militer dalam kerangka demokrasi, dengan meminjam Huntington
(1957) sebagai militer profesional yang dikontrol secara obyektif oleh supremasi sipil.
Sebagaimana pengalaman berbagai negara, gelombang demokratisasi ternyata juga
diikuti demilitereisasi. Biasanya, salah satu problem serius negara-negara demokrasi
baru itu adalah membendung kekuasaan dan pengaruh politik militer, memposisikan
militer tunduk pada pemerintahan sipil demokratis, lalu mejadikan angkatan bersenjata
suatu badan profesional berkomitmen melindungi keamanan negeri.41
Strategi dalam istilah militer menunjukkan pemanfaatan praktis atas semua
sumber daya yang tersedia yang dimiliki oleh suatu negeri untuk mecapai tujuannya
dengan cara militer. Jika terjadi pertentangan kepentingan, pertentangan tersebut dapat
diselesaikan dengan jalan damai, tetapi jika pada pihak lain, kemungkinan untuk
mencapai pemecahan yang tersisa adalah tindakan militer tetapi banyak faktor yang ikut
mempengaruhinya secara langsung ataupun tidak langsung.42
40
? Ibid, hlm, 80.
41 Arie Sujito,"Demiliterisasi dan Radikalisasi Sipil”, Makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang Demiliterisasi, dan Desentralisasi peringatan sewindu IRE di gedung UC UGM. Yogyakarta, 12 Juni 2002, hlm.1.
42
? Afzalur Rahman, Nabi Muhammad SAW Sebagai Seorang Pemimpin Militer, terjemahan dari Muhammad AS Militery Leader alih bahasa Anas Siddik, cet. Ke-I(Jakarta: Bumi aksara,1991), hlm.37.
Menilai kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai komandan militer. Nabi
Muhammad SAW memiliki banyak sifat yang membuatnya disukai oleh setiap orang
yang berhubungan dengannya dan yang membuatnya menjadi pujaan para pengikutnya.
Beliau sangat ramah, sopan, rendah hati dan penyayang dan menarik hati orang-orang
sehingga mereka bersedia untuk mengorbankan segalanya untuknya.43
Nabi Muhammad SAW selalu siap untuk mengadakan perdamaian kapan saja
diperlakukan, karena beliau tidak pernah menginginkan perang dengan siapapun juga,
melainkan harus melakukannya karena dipaksa oleh musuhnya. Tujuan utamanya
melakukan peperangan adalah untuk menghapuskan agresi dan penindasan dan
memulihkan perdamaian di muka bumi. Qur’an menyebutkan prinsip ini dengan kata-
kata berikut :
لسميع هوا نه ا لله ا على وتوكل لها جنح فا للسلم جنحوا ن . وا ن ا وا يريد ن وا لعليم ا
و بنصره ك يد ا لذي هوا لله ا حسبك ن فا .بيخدعوك لمؤمنين 44ا
Menurut Huntington, pemberlakuan prinsip supremasi sipil identik dengan
kontrol yang efektif dari pihak sipil terhadap militer dengan membuat militer sebagai
lembaga yang profesional.45 karenanya, dari sekarang sebenarnya telah dituntut
kesediaan bersama untuk memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi
yang hidup di negeri Indonesia. Perjuangan itu haruslah di mulai kesediaan
43 Ibid, hlm. 62.
44 Al-Anfaal (8): 61-62.
45 A. Malik Haramain,” Gus Dur da Reposisi Militer”, dalam Khamami zada (ed.), Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, cet. I (Jakarta:Lakpesdam,2002), hlm. 89.
menumbuhkan moralitas baru dalam kehidupan bangsa, yaitu moralitas yang merasa
terlibat dengan penderitaan rakyat di bawah.46
F. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
maka dalam melacak data, menjelaskan, menyimpulkan obyek pembahasan dalam
skripsi ini penyusun menempuh metode-metode sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan, library
research, karena itu tehnik yang digunakan adalah pengumpulan data secara literatur
yaitu penggalian bahan-bahan pustaka yang koheren dengan obyek bahasan.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu dengan memaparkan pemikiran-
pemikiran demokrasi dalam Islam kajian terhadap K. H. Abdurrahman Wahid yang
nantinya dilakukan analisis dengan kerangka teori.
3. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang dipakai dalam penelitian ini,adalah :
Pendekatan normatif (Agama)
Normatif adalah prinsip-prinsip atau pedoman-pedoman yang menjadi petunjuk
manusia pada umumnya untuk hidup (bermasyarakat).47Pedekatan ini penyusun
gunakan untuk mendekati masalah dalam skripsi dengan melihat Al-Qur’an dan As-
46 Abdurrahman Wahid,”Demokrasi haruslah di perjoangkan”, dalam Muh. Sholeh Isre (Ed.), Tuhan Tidak Perlu di Bela Abdurrahman Wahid, cet.I (Yogyakarta:LkiS,1999), hlm.190.
47 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, kamus Ilmiah, hlm. 526-527.
Sunnah serta kaidah-kaidah menguji relevansi dan keabsahan Demokrasi dalam Islam
serta pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid.
4. Pengumpulan Data
Mengingat jenis penelitian ini adalah metode dokumentasi, yakni menelaah data
primer dan sekunder. Sedangkan tokoh yang dikaji masih hidup, maka tokoh tersebut
diposisikan sebagai sumber data primer. Namun sumber data primer berupa tulisan
beliau yang sudah dijadikan buku, yaitu karya buku Tuhan tidak perlu di bela
Abdurrahman Wahid dan Prisma pemikiran Gus Dur Buku ini merupakan kumpulan
tulisan K. H Abdurrahman Wahid yang di edit oleh Muhammad Sholeh Isre dan
diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta. Data sekundernya adalah buku-buku yang berkaitan
dengan topik skripsi dan sumber data lainnya baik berupa jurnal, majalah, surat kabar
dan lainnya.
5. Analisis Data
Analisis yang digunakan dengan analisa kualitatif dengan pemaparan secara
deduktif, yaitu metode yang bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat umum, untuk
kemudian diperoleh pengertian yang bersifat khusus.
G. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah, maka akan dibagi menjadi
lima bab, yang masing-masing bab saling erat kaitannya.
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menjadi landasan ide dasar lahirnya
dari skripsi ini. Dengan membaca bab pertama ini akan dapat diperoleh gambaran apa
sebenarnya yang melatar belakangi perlunya pembahasan mengenai demokrasi dalam
Islam kajian terhadap pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid serta signifikansinya
terhadap khazanah keilmuan yang telah ada. Dalam bab ini di paparkan mulai dari latar
belakang masalah sampai munculnya pokok permasalahan, Tujuan dan Kegunaan
penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, pendekatan dan metode yang digunakan
dalam penelitian, serta sistematika pembahasan.
Selanjutnya Bab kedua, membahas tentang gambaran umum tentang demokrasi
dalam sebuah pemahaman yang meliputi : pengertian Demokrasi, sejarah demokrasi,
beberapa konsep Demokrasi, serta relevansi demokrasi dengan Islam. Bab II akan
menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud demokrasi dan bagaimana demokrasi di
dalam Islam. Penjelasan ini penyusun anggap perlu sebab untuk mengetahui apa
sesungguhnya demokrasi. Setelah itu, perlu pula dijelaskan bagaimana hubungan
demokrasi dengan ajaran agama Islam.
Bab ketiga, membahas tentang Biografi K. H. Abdurrahman Wahid meliputi :
Latar belakang keluarga, pendidikan, serta sosial-politik yang mengitarinya dan
pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang berkaitan dengan demokrasi. Hal ini
penyusun anggap penting, karena untuk mengetahui secara komprehensif gagasan yang
dilontarkan dan diperjuangkan oleh K. H. Abdurrahman Wahid, penyusun terlebih
dahulu harus mengetahui bagaimana situasi dan kondisi lingkungan yang telah
membentuk dirinya. Dan mengetahui apa latar belakang pemikiran dan gagasan yang
dilontarkan tersebut secara global.
Selanjutnya Bab keempat, berisi tentang analisis terhadap pemikiran K. H.
Abdurrahman Wahid tentang demokrasi yang meliputi : Aplikasi demokrasi menurut K.
H. Abdurrahman Wahid, K. H. Abdurrahman Wahid dan transisi demokrasi,. K. H.
Abdurrahman Wahid dan militer dan demokratisasi. Bab ini memperlihatkan manuver
politik tentang demokrasi menurut pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid tahun 1999-
2003.
Bab terakhir yaitu Bab kelima, sebagai bab penutup yang terdiri dari:
kesimpulan dan saran-saran, kemudian diakhiri dengan daftar pustaka, serta lampiran-
lampiran. Dalam uraian kesimpulan tersebut berisi tentang pokok pikiran sebagai hasil
refleksi panjang penyusun. Didalam kesimpulan akan membandingkan pemikiran
demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid dengan pemikiran tokoh Islam yang lain. Apakah
pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid identik dengan salah satu tokoh Islam yang lain.
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG DEMOKRASI
A.Pengertian Demokrasi
Dalam arti harfiahnya, demokrasi (Inggris : Democracy) berasal dari bahasa
Yunani, yani demos artinya rakyat dan kratia artinya pemerintahan. Dengan demikian
demokrasi berarti pemerintahan (oleh) rakyat.48 Prinsip terpenting demokrasi adalah
kewarganegaraan (citizenship). Ini mencakup hak untuk mendapatkan perlakuan sama
dengan orang lain berkenaan dengan pilihan-pilihan bersama, dan kewajiban pihak yang
berwenang melaksanakan pilihan tersebut untuk bertanggungjawab dan membuka akses
terhadap seluruh rakyat. Sebaliknya, prinsip ini juga membebankan kewajiban pada
rakyat, untuk menghormati keabsahan pilihan-pilihan yang bersama secara sengaja, dan
hak penguasa untuk bertindak dengan kewenangan, untuk mendorong efektivitas
pilihan-pilihan ini, serta untuk melindungi negara dari ancaman-ancaman atas
kelangsungannya.49 Secara faktual demokrasi telah menjadi semacam spirit radikal
yang bercakupan universal bagi individu dan sekelompok individu yang bernaung
dibawah institusi negara untuk terlibat dalam perdebatan dan pergulatan publik dalam
rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan universal yang terbentuknya tata sosial yang
adil, egaliter dan manusiawi.50
48 Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 15 atau Khoiruddin Nasution, “Islam dan Demokrasi”, Asy-Syir’ah, NO. I. VOL. 36 (2002), hlm. 39 atau Demokrasi yaitu kerakyatan, pemerintahan atas asas kerakyatan, pemerintahan rakyat (dengan perwakilan). Lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah, hlm. 100.
49 Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, cet. I (Jakarta ; LP3ES, 1993), hlm. 8-9.
50 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran..., hlm. 30.
Sementara itu secara terminologis demokrasi sebagai berikut :
a. Menurut Josefh A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional
untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan
untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
b. Menurut Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-
keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan
pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
c. Menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn karl, demokrasi merupakan suatu
sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggungjawab atas tindakan-
tindakan mereka di wilayah publik warga negara, yang bertindak secara tidak
langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah
terpilih.51
Secara teoritis, bahwa demokrasi sejak semula mempunyai dua pengertian, yaitu
: demokrasi dalam arti formil dan demokrasi dalam arti materiil. Arti demokrasi secara
materiil, ialah bahwa inti dari demokrasi itu justru terletak dalam jaminan yang
diberikan terhadap hak-hak yang berdasar pada pengakuan kemerdekaan tiap-tiap orang
yang menjadi warga negara. Arti demokrasi secara formil hanya sekedar mengandung
pengakuan bahwa faktor yang menentukan dalam negara ialah kehendak rakyat yang
kemudian menjadi sebagian besar dari rakyat (Volonto general : dari Rousseau), akan
tetapi dengan tidak ada sesuatu pembatasan untuk menjamin kemerdekaan seseorang.
51 Tim penyusun puslit IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan Kewarganegaraan, hlm. 162.
Pengertian demokrasi materiil yang kian lama memberikan pengaruh dalam
pengertian demokrasi hingga dewasa ini. walaupun demokrasi dalam arti formil tidak
ditinggalkan, namun demokrasi dalam arti materiil di pandang sesuai dengan tujuan
demokrasi yang sebenar-benarnya.
Dalam peneterapannya, demokrasi itu direalisir dalam dua tahap, yaitu :
menyusun kekuasaan dan pelaksanaan kekuasaan. Pada tahap petama, demokrasi itu
mempunyai sifat langsung dan pada tahap kedua sifatnya tidak langsung. Yang
langsung, ialah adanya pemberian suara oleh 80 rakyat dalam pemilihan umum,
sedangkan yang tidak langsung dalam penyusunan kekuasaan itu, ialah adanya
keharusan tanggungjawab pemerintah kepada perwakilan rakyat, dan dalam kerjasama
diantara kedua instansi itu mewujudkan dasar-dasar umum kebijaksanaan pemerintah.52
Demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Definisi yang tepat sulit
dirumuskan karena demokrasi merupakan sebuah entitas dinamis yang memiliki
berbagai macam pengertian sepanjang waktu. Banyak dari dinamika ini berasal dari
perubahan dalam masyarakat dan berbagai analis mengenai konsekuensi perubahan bagi
demokrasi. Dengan pembangunan masyarakat diberbagai tingkat dan melalui cara yang
berbeda-beda dewasa ini, tidaklah mengherankan bahwa makna demokrasi masih
menjadi bahan perdebatan.
Untuk keperluan analitis, perlu membangun sebuah konsep yang memberikan
identifikasi yang jelas mengenai apakah esensi dari demokrasi. Inti dari demokrasi
52 M. Solly lubis, Ilmu Negara, cet. I (Bandung : Alumni, 1975), hlm. 73-75.
politik mempunyai tiga dimensi : kompetisi, partisipasi, serta kebebasan sipil dan
politik. Ketika mengkaji status demokrasi disuatu negara, langkah pertama yang harus
diambil adalah melihat ketiga elemen tersebut. Dalam konteks ini perlu diperhatikan
salah satu indeks demokrasi-misalnya, indeks Freedom House. Dalam rangka membuat
penafsiran demokrasi secara komprehensif, juga harus mengkaji suatu negara secara
cermat karena sistem demokrasi sangat bervariasi dalam hal pola kelembagaan dan
dalam dimensi lainnya. Kondisi sosial ekonomi juga mempengaruhi kualitas
demokrasi.53
B. Sejarah Demokrasi
Menurut catatan sejarah, di Yunani kuno pernah ada demokrasi, yang lebih
sering disebut demokrasi langsung. Sebab Yunani waktu itu hanya sebuah negara kecil
atau bahkan barangkali hanya sebuah kota kecil (city state). Dalam logika sederhana,
pelaksanaan demokrasi dalam satu wilayah yang sekecil itu tentu merupakan sesuatu
yang mudah diterima akal.54
Kisah demokrasi modern dimulai 2500 tahun yang lalu dalam lingkungan
budaya sebuah bangsa kecil yang juga menjadi tempat kelahiran filsafat sebagai ilmu
53 Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi Proses dan Prospek Dalam Sebuah Dunia Yang Sedang Berubah,terjemahan dari Democracy and Democratization : Processes And Prospects in a Changing World, Westview Press alih bahasa I. Made Krisna, cet. I (Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2003), hlm. 38-39.
54 Khoiruddin Nasution, Islam..., hlm. 40.
serta salah satu pusat kreativitas seni terbesar segala zaman, yakni bangsa Yunani.
Tepatnya pada tahun 508 SM, seorang yang bernama Chleisthenes mengadakan
beberapa pembaruan dalam sistem pemerintahan kota Athena. Bentuk pemerintahan
baru itu kemudian dinamakan Demokratia ,” pemerintahan (oleh) rakyat”,.
Asal-usul demokrasi sebagai sesuatu sistem politik dapat ditelusuri sampai pada
sekitar lima abad sebelum masehi, ketika orang-orang Yunani membentuk Polis
(Negara-Kota) mencoba menjawab pertanyaan bagaimana suatu sistem politik harus
diorganisasikan agar dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan bersama
masyarakat.55
Dua puluh tiga abad setelah eksperimen demokrasi di Athena, dunia
menyaksikan berbagai bentuk sistem politik yang tidak ada hubungannya sama sekali
dengan prinsip-prinsip demokrasi. Yang mendominasi sejarah adalah monarchi,
kesultanan dan negara-negara teokratik. Sementara eksperimen demokrasi dapat
dikatakan sudah tenggelam dalam sejarah. Puncak peradaban di India, Cina, Timur
Tengah semasa kejayaan Islam dan kebangkitan Eropa tidak berhutang budi sedikitpun
pada konsep demokrasi.
Di zaman pertengahan (600-1400M), gagasan demokrasi Yunani boleh
dikatakan hilang dari muka dunia barat waktu bangsa Romawi, yang sedikit banyak
masih mengenal kebudayaan Yunani, dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat.
Dimana masyarakat abad pertengahan di dirikan struktur sosial yang feodal, yang
kehidupan sosial spiritualnya dikuasai oleh paus dan pejabat-pejabat agama serta
55 Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 21.
kehidupan politiknya ditandai oleh adanya perebutan kekuasaan antara para bangsawan
satu sama lain. Akan tetapi dilihat dari sudut perkembangan demokrasi abad
pertengahan menghasilkan suatu dokumen penting yaitu Magna Charta (Piagam agung)
pada tahun 1215M.
Selanjutnya pada akhir abad ke-15 dan abad ke-16 sebagai awal dari zaman
Renaissance.56) Di Eropa muncul teori politik yang mulai mempertanyakan segi-segi
manusia dalam hubungan antara penguasa dan rakyat serta kedudukan agama dalam
masalah-masalah publik. Tokoh-tokoh pemikir seperti Nicollo Mochiavelli (1469-1527)
dari Italy dengan ide sekulerismenya, Jean Bodin dari Prancis dan Thomas Hobbes
(1588-1679) dari Inggris dengan ide negara kontraknya, mulai menguak dimensi-
dimensi moralitas sekular dan hakekat hukum politik.
Pada abad pencerahan (Enlightment) di abad ke-17 dan ke-18 yang juga dikenal
sebagai masa “Aufklarung” (1650-1800), pemikiran-pemikiran demokratik mulai
bermunculan lagi diatas permukaan. John Locke (1632) dengan idenya tentang
konstitusi negara dan liberalisme, serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
lembaga federal. Ide ini selanjutnya disempurnakan oleh Baron De Motesduieu (1689-
1755) dengan idenya tentang pemisahan kekusaan menjadi lembaga legislatif, eksekutif
dan Yudikatif. Di tambah dengan ide-ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrol sosial
yang diperkenalkan oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778).
56 Renaissance adalah suatu aliran yang menghidupkan kembali minat terhadap kesusasteraan dan kebudayaan Yunani kuno yang selama abad pertengahaan telah disisihkan. Ibid, hlm. 46.
Sebagai kelanjutannya, pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi
mendapat wujud yang konkret sebagai program dan sistem politik. Demokrasi pada
tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas asas-asas
kemerdekaan individu, kesamaan hak (the equal of rights) serta hak pilih untuk semua
warga negara.57
C. Beberapa Konsep Demokrasi
Diantara sekian banyak aliran yang menamakan demokrasi, penyusun akan
menjelaskan tiga macam demokrasi, yaitu dua kelompok aliran demokrasi yang terkenal
di dunia dan satu demokrasi perwakilan di Indonesia, yakni demokrasi Liberal atau
konstitusional, demokrasi kerakyatan atau Sosialis yang pada hakekatnya mendasarkan
dirinya atas komunisme, dan demokrasi pancasila.
1. Demokrasi Liberal
Demokrasi ini sering juga disebut dengan demokrasi konstitusional, yaitu
demokrasi yang berdasarkan pada kebebasan atau individualistis. Ciri khas demokrasi
ini adalah bahwa pemerintahannya terbatas kekuasaanya dan tidak dibenarkan bertindak
sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Cara yang terbaik untuk membatasi
kekuasaan pemerintah tersebut ialah melalui suatu konstitusi. Dimana konstitusi
tersebut menjamin hak-hak warga negaranya dan menyelenggarakan kekuasaan negara
57 Ibid, hlm. 23-24.
sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif di imbangi oleh kekuasaan legislatif
(parlemen) dan kekuasaan Yudikatif (lembaga hukum Yudikatif).58
Perkembangan pemikiran mengenai demokrasi liberal telah dirangkum oleh C.
B. Mac Pherson dalam tiga model :
1. Demokrasi Protektif.
2. Demokrasi pembangunan.
3. Demokrasi ekuilibrium (keseimbangan). 59
Dari ketiga model demokrasi diatas tidak dibahas secara rinci, namun akan membahas
tentang pemikiran pendapat demokrasi liberal, yang bertujuan untuk mengetahui
beberapa isu penting yang muncul dalam berbagai panggung pemikiran mengenai
demokrasi.
Ciri-ciri demokrasi liberal menurut M. Carter dan John Herz adalah bahwa
demokrasi ditandai secara konstitusional pembahasan-pembahasan terhadap tindakan
pemerintah untuk memberi perlindungan bagi individu dan kelompok dengan menyusun
58 Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 26-27, dan ciri pokok wacana liberal yang lain secara poltis adalah bahwa demokrasi dipandang sebagai kompetisi antar elite politis antar partai. Para elite yang bersaing itu harus memperebutkan suara dalam pemilihan umum yang didasarkan pada hak pilih yang universal dan setara. Karena demokrasi langsung dipandang tidak mungkin dalam masyarakat modern yang amat besar, menurut model ini, kompetisi elite dan sebuah sistem perwakilan tidak hanya diperlukan, tetapi juga diinginkan karena akan mengarah pada stabilitas politik. Lihat Anders Uhlin, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, terjemahan dari Indonesia and the “ Third Wave of Democratization”: The Indonesia Pro-Democracy Movement in a Changing World alih bahasa Rofik Suhud, cet. II (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 140.
59 Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi, hlm. 6.
penggantian pemimpin secara berkala, tertib, damai dan melalui alat-alat perwakilan
rakyat yang efektif. Dalam hal sikap, demokrasi liberal memerlukan toleransi terhadap
pendapat yang berlawanan, keluwesan serta kesediaan untuk bereksperimen.
Henry B. Mayo menyebutkan bahwa demokrasi adalah dimana kebijakan umum
ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat
dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Disamping itu,
menurutnya demokrasi itu tidak hanya merupakan suatu bentuk negara ataupun sistem
pemerintahan, tetapi merupakam suatu gaya hidup serta tata masyarakat tertentu yang
mengandung unsur-unsur moril sehingga dapat dikatakan bahwa demokrasi didasarkan
oleh beberapa nilai.60
2. Demokrasi komunisme
Istilah komunisme mulai populer dipergunakan setelah revolusi tahun 1830 di
Prancis. Revolusi menghendaki pemerintahan parlementer dengan menghapuskan raja,
tetapi hasilnya adalah penghapusan republik dan naiknya Louis Philippe sebagai raja.
Sebagai akibatnya muncullah perkumpulan-perkumpulan revolusioner rahasia di Paris
pada tahun-tahun tiga puluhan itu, terutama ditahun empat puluhan. Tidak dapat
dikatakan dengan pasti bila sebenarnya istilah komunisme itu muncul, tetapi istilah ini
dipergunakan terhadap perkumpulan-perkumpulan serta paham-paham yang dianutnya.
Istilah komunisme tadi dari mulanya mengandung dua pengertian. Pertama, ada
hubungannya dengan komune (commune), satuan dasar bagi wilayah negara yang 60 Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 27-28.
berpemerintahan sendiri, dengan negara itu sendiri sebagai federasi dari komune-
komune itu. kedua, dari istilah komunisme, ia menunjukkan milik atau kepunyaan
bersama. Pengertian kedua inilah yang dipergunakan oleh Cabet dan pengikut-
pengikutnya. Pengertian pertama lebih erat hubungannya dengan serikat-serikat rahasia
dan serikat-serikat yang hidup terbuang, seperti perkumpulan liga komunis (1847)
dikalangan orang-orang Jerman yang hidup dalam buangan diluar negeri (Paris);
Manifesto Komunis merupakan garis pedoman liga itu.61
Tipe dari demokrasi Komunisme ini yakni demokrasi Proletar, Marxis
Komunisme atau demokrasi Sovyet. Tokoh dari aliran ini antara lain : Robert Awen
(1771-1858) dari Inggris, Saint Simon (1760-1825), Faurier (1772-1837) di Perancis
dan yang terpenting adalah Karl Marx (1825-1883). Masyarakat yang dicita-citakan
oleh Marx adalah masyarakat komunis yaitu masyarakat yang tidak ada kelas sosial
dimana manusia dibebaskan dari keterikatan kepada milik pribadi dan tidak ada
eksploitasi, penindasan dan pakasaan. Ironisnya untuk mencapai masyarakat yang bebas
dari paksaan itu perlu melalui jalan paksaan serta kekuataan yaitu perebutan kekuasaan
oleh kaum buruh dari tangan Borjuis (pemilik modal).62
3. Demokrasi pancasila
Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 adalah Demokrasi Pancasila, sebab Undang-Undang Dasar 1945
merupakan penjabaran dan perwujudan dari pancasila sebagai dasar falsafah negara.
61 Delier Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, cet. III (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 195-196.
62 Abdul Ghofur, Demokratisasi, hlm. 28.
Istilah Demokrasi Pancasila secara formal pertama kali tertuang dalam TAP MPRS.
NO. XXXVII/MPRS/1968 yaitu ketetapan tentang pedoman pelaksanaan Demokrasi
Pancasila.
Maksud dari pedoman pelaksanaan Demokrasi Pancasila, didalamnya berisi
pedoman, tata cara bermusyawarah dan cara pengambilan keputusan berdasarkan
mufakat dan atau berdasar suara terbanyak, jadi belum menggambarkan pengertian yang
utuh, bulat tentang sistem pemerintahan berdasar Demokrasi Pancasila, atau hakikat
Demokrasi Pancasila itu sendiri.
Demokrasi Pancasila adalah Demokrasi yang bersumber pada falsafah hidup
bangsa Indonesia Pancasila, yang perwujudannya seperti tercantum dalam pembukaan
dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Jadi yang membedakan Demokrasi di
Indonesia dengan Demokrasi dinegara-negara lain adalah predikat “Pancasila”, yang
dijadikan landasan, dasar dalam mengembangkan kehidupan Demokrasi dalam
kehidupan bangsa dan negara Indonesia.63
Demokrasi sebagai suatu cara hidup yang baik antara lain meliputi hal-hal
sebagai berikut :
Pertama: Segala pendapat atau perbedaan pendapat mengenai masalah kenegaraan dan
lain-lain yang menyangkut kehidupan negara dan masyarakat diselesaikan lewat
lembaga-lembaga negara. Cara hidup ini akan mengantarkan dan merupakan suatu
63 Rozikin Daman, Pancasila Dasar Falsafah Negara, cet. I (Jakarta :Rajawali Press, 1992), hlm.126-127.
kebiasaan menyelesaikan perselisihan melalui lembaga itu sehingga masalah itu dapat
diselesaikan dengan tertib dan teratur.
Kedua, Diskusi. Sebagai suatu negara Demokrasi, dimana rakyat di ikutsertakan dalam
masalah negara, maka pertukaran pikiran yang bebas demi terselenggaranya
kepentingan rakyat, maka diskusi harus dibuka seluas-luasnya. Diskusi dapat berbentuk
polemik didalam media massa, seprti surat kabar dan lain-lain. Di dalam diskusi atau
musyawarah sebagai landasan kehidupan bangsa dan negara, demokrasi harus diberi
saluran. Dalam hal ini semangat musyawarah, baik dalam lembaga-lembaga perwakilan
maupun dalam wadah-wadah lainnya, seperti media massa sudah sewajarnya dibina
terus-menerus.64
Penyelenggaraan ide tentang Demokrasi Pancasila yang perumusannya dapat
dikembalikan terutama kepada sila ke-4 mempunyai kaitan langsung kepada sila
lainnya, yang merupakan perwujudan pelaksanaan dan penghayatan pancasila dan
hidup bangsa Indonesia.
Demi mencapai tujuan dan memperkembangkan usaha-usaha kearah
kesejahteraan nasional serta memperkukuh ketahanan nasional bagi seluruh bangsa,
maka pancasila dalam segala manifestasinya perlu diamalkan dan diamankan oleh
segala lapisan masyarakat Indonesia, satu dan lain menghendaki tindak-tanduk manusia
Indonesia yang berdasarkan moral pancasila yang tangguh dan kuat.65)
64 Darjidarmodiharjo dkk, Santiaji Pancasila, cet. X (Surabaya : Usaha Nasional, 1991), hlm. 85. 65) Ibid, hlm. 242.
D. Relevansi Demokrasi Dengan Islam
Perbincangan agama dalam kontek demokrasi, sering kali berhadapan dengan
persoalan yang bersifat empirik. Masalahnya, bukan karena pada basis empiriknya,
agama dan demokrasi terdapat perbedaan. Agama berasal dari wahyu, sementara
demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran filosofis manusia.
Persoalannya kemudian adalah kesulitan mencari bukti-bukti historis, misalnya
dalam kehidupan politik, yang secara eksplisit mampu menjelaskan adanya hubungan
simbiosis-mutualisme antara agama dan demokrasi. Meskipun antara keduanya
dikatakan mempunyai basis empirik yang berbeda, tapi hal itu bukan merupakan
persoalan yang bersifat mendasar untuk mempertemukan antara agama dan Demokrasi.
Dalam kaitan yang bersifat dialektis, agama memberi dukungan yang positif terhadap
demokrasi, sebaliknya, demokrasi memberikan peluang bagi proses pendewasaan
kehidupan beragama.
Setiap agama pada dasarnya mengandung konsep kemanusiaan sebagai cermin
atas pengakuan secara apresiatif dan konstruktif terhadap manusia. Misalnya saja agama
Islam. Salah satu tema pokok dalam Islam adalah masalah kemanusiaan, disamping
persoalan yang bersifat teologis dan kosmologis. Dalam Al-Qur’an sebagai sumber
autentik ajaran Islam, terdapat nuktah-nuktah kemanusiaan yang apresiatif dan
konstruktif. Dilihat dari tataran etis-teologis demikian inilah Islam sesungguhnya
merupakan agama yang mendukung pelaksanaan demokrasi. Dalam Al-Qur’an, tidak
saja terkandung nilai etik demokratis, tapi juga nilai Instrumental dengan mana nilai-
nilai etik demokrasi dapat diaktualisasikan.66
Sebenarnya Islam lebih dulu mencanangkan sendi-sendi bangunan substansi
Demokrasi. Tapi rinciannya diserahkan kepada Ijtihad orang-orang Muslim, sesuai
dengan dasar-dasar agamanya, kemaslahatan dunianya, perkembangan hidupnya
menurut pertimbangan tempat dan waktu serta trend kehidupan manusia.67
Dewasa ini kaum Muslim mulai sadar untuk melakukan gerakan kebangkitan
dalam agama setelah sebelumnya mengalami kelemahan dalam kurun waktu lama.
Perasaan ini muncul ketika mereka menyadari posisinya dalam skala global dan
membandingkan kondisi mereka dewasa ini dengan kejayaan di masa lalu, dan realitas
sosial mereka dengan idealitas agama. Sejak kesadaran ini tumbuh, kaum Muslimin
mengetahui betul kelemahan kondisi mereka dan berupaya segera bangkit menuju
kondisi yang lebih baik.
Kaum Muslim dihadapkan pada serangan budaya Barat yang mereka ketahui
lewat ekspansi kolonial dan media massa modern. Akibatnya, tampaklah kelemahan
budaya, ekonomi, dan politik dalam menghadapi kekuatan dan dominasi kolonial.
Semula, serangan itu mendorong mereka untuk melakukan perlawanan dengan
kekuatan lemah sehingga menimbulkan fenomena kesadaran dan Revolusi Islam sejak
abad lalu. Kemudian, mereka mewarisi pasang surut kehancuran. Jawaban mereka atas
66 Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik Refleksi Teologi Untuk aksi Dalam Keberagamaan Dan Pendidikan, cet. I (Yogyakarta : Sipress, 1994), hlm. 30-31.
67 Yusuf Al-Qardhawy, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, terjemahan dari Min Fiqhid-Daulah Fil-Islam alih bahasa Khatur Suhardi, cet. III (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm.192.
serangan itu mengalami kematangan setelah pertengahan abad ini. saat ini, mereka
berusaha menyelamatkan jati diri dan eksistensi mereka dengan kembali kepada
keaslian Islam dan mendorong mereka untuk mengejar Eropa serta menandinginya
dalam bentuk kemajuan peradaban secara menyeluruh.68)
Diantara kelebihan sistem Demokrasi yang pernah diperjuangkan secara mati-
matian dalam menghadapi para tiran, ialah menuntut kebeberapa bentuk dan sarana,
yang hingga kini dianggap sebagai satu-satunya sistem yang memberi jaminan
keselamatan bagi rakyat dari jarahan tangan para tiran, sekalipun sistem ini tidak lepas
dari cacat dan kekurangan, seperti lazimnya perbuatan manusia yang tidak lepas dari
kekurangan.69
Prinsip kekuasaan rakyat yang merupakan fondasi demokrasi, tidaklah
bertentangan dengan prinsip kekuasaan Allah yang merupakan fondasi legislasi Islami.
Tapi memang bertentangan dengan prinsip kekuasaan individu yang merupakan dasar
pemerintahan diktator.
Bukanlah suatu keharusan bagi para pendukung Demokrasi untuk menolak
kekuasaan Allah atas manusia. Kebanyakan pendukung Demokrasi tidak pernah
berpikir tentang ini perhatian mereka hanya tertuju untuk menolak kekuasaan atau
pemerintahan diktator yang sewenag-wenang yang di praktekkan oleh para tiran yang
angkuh dan sombong.
68 Hasan Al-Turabi, Fiqih Demokratis, hlm. 74.
69) Yusuf Al-Qardhawy, Fiqh Daulah, hlm. 192.
Kekuasaan Allah terhadap makhluk adalah suatu yang permanen. Kekuasaan itu
ada dua macam :
1. Kekuasaan kauni kodrati, artinya hanya Allah-lah satu-satunya yang berwenang
dijagat raya ini. Dia-lah yang mengutus alam semesta dengan Sunnah-nya yang
tidak berubah, yang diketahui dan yang tidak diketahui. Hal ini seperti yang
ternukil dalam al-Qur’an :
يروا ا نأ نا ا اولم ا تى من ننقصها وهوسريع وا فها طرا الرض لحكمه المعقب يحكم لله
70ب. لحسا ا
Dalam ayat ini dipahami bahwa yang dimaksud dengan hukum Allah adalah ketetapan-
Nya yang mengatur jagat raya, bukan Syari’at atau legislasi.
2. kekuasaan syari’ah, yaitu kekuasaan untuk memberikan tugas, memerintah,
melarang, membebankan kewajiban dengan paksa dan dengan pilihan. Untuk itu
Allah mengutus berbagai Rasul, menurunkan beberapa kitab, membuat berbagai
peraturan, menggariskan berbagai tugas, menghalalkan yang halal dan
mengharamkan yang haram.71
Demokrasi ditegakkan berdasarkan pendapat mayoritas, dan mayoritas inilah
yang berhak menunjuk pemimpin, menata berbagai persoalan, mendukung salah satu
70 Ar-Ra’ad(13): 41.
71Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara Ijtihad Baru Seputar Demokrasi Multi Partai Keterlibatan Wanita di Dewan Perwakilan Partisipasi Dalam Pemerintahan Sekuler, terjemahan dari Min Fiqh Ad-Daulah Fil-Islam Makanatuha, Thabi’atahu, Manqi fuha Min Ad-Dimoqratiyah Wa At-Ta’addiyah Wal-Maar’ah Wa Khairul Muslimin alih bahasa Khatur Suhardi, cet. I (Jakarta : Robbani Press, 1997), hlm. 178-181.
dari beberapa hal yang berbeda. Dalam sistem Demokrasi, pemilihan dan pemungutan
suara merupakan suatu hal yang menentukan.
Di dalam Islam tidak bisa mendukung suatu pendapat hanya karena pendapat itu
didukung oleh mayoritas. Tapi Islam melihat kepada pendapat itu sendiri. Apakah benar
atau salah. Bila pendapat itu benar, maka diterima dan dilaksanakan, walaupun hanya
didukung oleh satu suara, atau tidak yang mendukungnya sama sekali.
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN DEMOKRASI
K. H. ABDURRAHMAN WAHID
A. Biografi K. H. Abdurrahman Wahid
1. Latar belakang keluarga
Abdurrahman "Addakhil", demikian nama lengkapnya. Secara leksikal,
"Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang
tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak
kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti
nama "Wahid", Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan
Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai
yang berarti "abang" atau "mas".
Gus Dur atau Abdurrahman wahid adalah putra pertama dari enam bersaudara
yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara
genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru".72Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim, Di
lahirkan di Tebu Ireng, Jombang pada bulan Juni 1914. Ia adalah putra pertama dan
anak kelima dari sepuluh bersaudara.73
Menurut Gus Dur, pada akhir tahun 1930-an, Wahid Hasyim dianggap sebagai
salah seorang perjaka di Jombang yang paling diminati. Sebagai seorang rupawan dan
cerdas, ia menerima banyak tawaran perkawinan dari keluarga-keluarga terkemuka
selama beberapa tahun ia menolak semua tawaran ini. Tetapi pada suatu hari pada tahun
1930, Wahid Hasyim, yang ketika itu berusia 29 tahun, menghadiri upacara perkawinan
seorang sanak saudaranya. Disana perhatiannya tercuri oleh seorang gadis muda
berpakaian kerja biasa yang sedang membawa seember air untuk mencuci piring di
dapur, jauh di bilik suasana pesta di depan. Ia, Sholichah, puteri K. H. Bisri Syansuri.
Keesokan harinya ia menemui K. H. Bisri Syansuri dan melamar Sholichah. Dengan
senang hati K. H. Bisri Syansuri menerima lamaran itu dan tahun itupun Wahid
Hasyim mengawini Sholichah.74
Bahwa Wahid Hasyim adalah orang yang mempunyai rasa cinta terhadap
masyarakatnya, namun demikian ia sering merasa putus asa melihat cupetnya pikiran
yang mengekang masyarakatnya ini. Wahid Hasyim yang pernah punya jabatan sebagai
menteri Agama, ia merasa terganggu oleh sikap tergantung dan manja oleh sikap
kementriannya. Namun demikian, Wahid Hasyim selalu cenderung tidak mau terganggu
oleh apa saja yang tidak dapat dikembalikannya. Pada tahun 1952, setelah bertahan
72 “ Latar belakang keluarga,” http://GusDur,net, akses 20 Agustus 2003.
73. Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 30.
74 Ibid, hlm. 32.
selama lima kabinet, Wahid Hasyim kehilangan jabatan ini dalam salah satu pergantian
menteri yang sering terjadi dalam periodenya ini. Sebagai menteri, ia akhirnya
bertanggungjawab untuk mengorganisasi perjalanan Naik Haji di Indonesia sehingga
beberapa ribu calon jamaah Haji tidak dapat pergi ke Makkah. Kemunduran ini
menimbulkan mosi tidak percaya DPR terhadap Wahid Hasyim dan pada umumnya tak
ada gunanya untuk mencoba meningkatkan reputasinya. Maka Wahid Hasyim pun
dengan senang hati melepaskan jabatannya.
Pada hari sabtu tanggal 18 April 1953, Gus Dur bepergian menemani Ayahnya
untuk suatu pertemuan NU di Sumedang, yang dapat ditempuh dengan mobil dalam
waktu beberapa jam saja dan terletak disebelah tenggara Jakarta. Dijalan menuju kota
Bandung yang berliku-liku melalui pegunungan berapi dan menjadi punggung pulau
Jawa. Ketika perjalanan berada antara Cimahi dan Bandung, Wahid Hasyim dan Gus
Dur bersama dengan Argo Sutjipto, seorang penerbit yang merupakan sahabatnya,
terjadi kecelakaan sekitar pukul 01.00 siang tetapi mobil ambulan dari Bandung baru
tiba ditempat kejadian sekitar pukul 04.00 sore. Pada pukul 10.30 pagi keesokan
harinya, Wahid Hasyim tak lagi dapat bertahan dan meninggal dunia. Beberapa jam
kemudian Argo juga meninggal dunia. Wahid Hasyim, yang merupakan harapan banyak
orang di Indonesia, telah menghembuskan nafas terakhir, ia berusia 38 tahun. Gus Dur
baru berusia 12 tahun.75
Kakek K. H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dari pihak ayahnya adalah K.
H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama' (NU) dan pendiri pesantren
Tebuireng Jombang. K. H. Hasyim Asy'ari dilahirkan di Jombang pada bulan Februari
75 Ibid, hlm. 40-42.
1871 dan wafat di Jombang pada Juli 1947. Ia adalah salah seorang yang mendirikan
NU pada tahun 1926 dan sangat dihormati sebagai seorang pemimpin Islam dalam
masyarakat pedesaan yang tradisional. Ia juga dikenal sebagai seorang guru yang
banyak mamberi inspirasi serta seorang terpelajar. Namun, ia juga seorang nasionalis
yang teguh pendirian. Banyak dari teman-temannya merupakan tokoh-tokoh terkemuka
gerakan nasionalis pada periode sebelum perang.
Keluarga K. H. Hasyim Asy'ari dengan bangga menyatakan bahwa mereka
keturunan Raja Brawijaya VI, yang berkuasa di Jawa pada abad XVI dan terkenal
sebagai salah seorang Raja terakhir kerajaan Hindu-Buddha yang besar di Jawa,
kerajaan Majapahit. Lebih penting lagi, tokoh legendaris Jaka Tingkir, putera Brawijaya
VI, dianggap sebagai orang yang memperkenalkan agama Islam di daerah pantai timur
laut pulau Jawa, sedangkan puteranya, pangeran Banawa, dikenang sebagai orang
pertama yang meninggalkan kerajaan untuk mengajar sufisme. Silsilah ini dianggap
sebagai hal yang sangat baik dalam masyarakat tradisional Jawa.
Setelah belajar di Makkah selama tujuh tahun, Hasyim Asy'ari kembali ke
Jombang dengan tujuan untuk mendirikan pesantren sendiri. Ia pun memilih desa
Tebuireng, yang saat itu tak begitu jauh dari kota Jombang, tetapi pada akhirnya tertelan
oleh kota ini. K. H. Hasyim Asy'ari tetap memilih Tebuireng, walaupun teman-temanya
menasehatinya untuk tidak memilih desa itu, yang saat itu penuh dengan rumah
pelacuran dan tempat-tempat yang ramai dikunjungi penduduk setempat yang beroleh
cukup uang dari pabrik gula setempat. Argumentasinya, sebuah pesantren harus
memainkan peran dalam mengubah masyarakat sekelilingnya. pesantren K. H. Hasyim
Asy'ari dibuka pada tahun1899 dan segera terkenal sebagai pusat belajar. K. H. Hasyim
Asy'ari memperkenalkan sejumlah pembaharuan terhadap pengajaran di Pesantren,
suatu hal yang kemudian ditiru secara luas oleh pesantren-pesantren lainnya.76
Lalu kakek Gus Dur dari pihak Ibu, Kiai Bisri Syansuri. Kiai Bisri Syansuri
dilahirkan pada bulan september 1816 di daerah pesisir sebelah utara Jawa Tengah,
sebuah daerah yang mempunyai banyak pesantren. Bersama dengan Hasyim Asy'ari, ia
dianggap sebagai salah seorang tokoh kunci bagi didirikannya NU. Pada tahun 1917, ia
memperkenalkan pada dunia pesantren, kelas pertama bagi santri puteri di Pesantrennya
yang baru di dirikan di Desa Denanyar, yang terletak diluar Jombang. Bisri Syansuri
mengambil sebidang tanah yang luas, dan benar-benar tandus. Setelah beberapa lama
tanah itu berubah menjadi komunitas yang makmur dalam pengembangan pertanian,
pembelajaran, dan keruhanian. Bisri Syansuri telah membuktikan dirinya bukan sekedar
seorang ahli fiqh, atau Yurisprudensi Islam, dan seorang administratur pendidikan yang
berbakat, melainkan juga seorang ahli pertanian yang cakap. Pesantrennya di Denanyar
terkenal oleh karena pendekatan yang teratur dan berdisiplin terhadap keilmuan dan
kehidupan bersama.77 Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari ulama' NU,
yaitu K. H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama' (NU) dan K. H. Bisri
Syansuri merupakan tokoh NU, yang pernah menjadi Rais 'aam PBNU, dan sekaligus
dua tokoh tersebut sebagai tokoh bangsa Indonesia.
2. Latar belakang pendidikan
76 Ibid, hlm. 26-27.
77 Ibid, hlm, 28-29.
Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir,
ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim
pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang
terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai
di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini
memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid.
Secara tidak langsung, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur juga mulai berkenalan
dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di
rumahnya. 78
Walaupun Ayahnya seorang menteri dan terkenal di kalangan pemerintahan
Jakarta, Gus Dur tidak pernah bersekolah di sekolah-sekolah elit yang biasanya
dimasuki oleh anak-anak pejabat pemerintah. Ayahnya pernah menawarinya untuk
masuk ke sekolah elit, tetapi Gus Dur lebih menyukai sekolah-sekolah biasa. Katanya,
sekolah-sekolah elit membuatnya tidak betah. Gus Dur memulai pendidikan sekolah
dasarnya di sekolah dasar KRIS di Jakarta pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga
dan kemudian di kelas empat di sekolah ini tetapi kemudian ia pindah ke sekolah dasar
Matraman Perwari, yang terletak dekat dengan rumah keluarga mereka yang baru di
Matraman, Jakarta Pusat.79
Dalam waktu yang pendek, Gus Dur tidak terlihat sebagai siswa yang
cemerlang. Pada tahun 1954, setahun setelah ia menamatkan sekolah dasar dan mulai
sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP), ia terpaksa mengulang kelas satu karena
78“ Latar belakang pendidikan,” http://GusDur,net, akses 20 Agustus 2003.
79 Greg Barton, Biografi Gus Dur,hlm.39-40.
gagal dalam ujian. Kegagalan ini jelas disebabkan oleh seringnya ia menonton
pertandingan sepak bola sehingga ia tak mempunyai cukup waktu untuk mengerjakan
pekerjaan rumah.
Pada tahun 1954, sementara sang Ibu berjuang sendirian untuk membesarkan
enam anak, sedangkan Gus Dur sendiri kurang berhasil dalam pelajaran sekolahnya, ia
dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan pelajarannya di SMEP. Ketika di kota ini, ia
berdiam di rumah salah seorang teman Ayahnya, Kia Haji Junaidi. Yang menarik adalah
bahwa Kiai Junaidi adalah salah seorang sejumlah kecil ulama' yang terlibat dalam
gerakan Muhammadiyah pada periode itu. Ia anggota Majlis Tarjih atau Dewan
Penasehat Agama Muhammadiyah.
Hal ini mungkin biasa-biasa saja, tetapi saat itu, dan bahkan dalam beberapa
dasawarasa kemudian, secara relatif hampir tidak terdapat pertautan antara kaum
modernis Muhammadiyah dan kaum tradisional NU. Sebagaimana NU dulu dan
sekarang, merupakan organisasi Ulama' yang mewakili Islam tradisional di Indonesia,
hampir semua kaum Modernis tergabung dalam Muhammadiyah.80
Untuk melengkapi pendidikan Gus Dur maka diaturlah agar ia dapat pergi
kepesantren Al-Munawwir di Krapyak tiga kali seminggu. Pesantren ini terletak diluar
sedikit Kota Yogyakarta. Disini ia belajar bahasa Arab dengan Kiai Haji Ali Maksum.
Ketika tamat sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP) di Yogyakarta pada tahun
1957, Gus Dur mulai mengikuti pelajaran di Pesantren secara penuh. Ia bergabung
dengan pesantren di Tegal Rejo Magelang, yang terletak disebelah utara Yogyakarta, ia
80 Ibid, hlm. 46-47.
tinggal disini hingga pertengahan 1959. disini ia belajar pada Kiai Khudhori, yang
merupakan salah satu dari pemuka NU. Pada saat yang sama ia juga belajar paro waktu
di Pesantren Denanyar di Jombang dibawah bimbingan Kakeknya dari pihak Ibu, Kia
Bisri Syansuri.
Pada tahun 1959 ia pindah ke Jombang untuk belajar secara penuh di Pesantren
Tambakberas dibawah bimbingan Kiai Wahab Chasbullah. Ia belajar disini hingga
tahun 1963 dan selama kurun waktu itu ia selalu berhubungan dengan Kiai Bisri
Syansuri secara teratur. Selama tahun pertamanya di Tambakberas, ia mendapat
dorongan untuk mulai mengajar. Ia kemudian mengajar di Madrasah modern yang
didirikan dalam komplek pesantren dan juga menjadi kepala sekolahnya. Selama masa
ini ia tetap berkunjung ke Krapyak secara teratur. Disini ia tinggal di rumah Kiai Ali
Maksum. Pada masa inilah sejak akhir tahun 1950-an hingga 1963 Gus Dur mengalami
konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra Arab klasik.81
Tahun 1964, Abdurrahman Wahid berangkat ke Kairo untuk belajar di
Universitas Al-Azhar. Namun sebagian besar waktunya di Mesir dihabiskan di ruang
perpustakaan, terutama American University Library, sebuah perpustakaan terlengkap di
kota itu. Dari Mesir ia pindah ke Universitas Bagdhad mengambil fakultas sastra.82
Tidak terlalu jelas, apakah Abdurrahman Wahid menyelesaikan pendidikannya dan
memperoleh gelar kesarjanaannya di Bagdhad. Karena sebagain orang menganggapnya
selesai dan memperoleh gelar LC. Namun sebagain yang lain menyatakan "tidak
81 Ibid, hlm. 49-50.
82 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais, hlm. 119-120.
memperoleh gelar" atau "tidak selesai". Namun yang pasti, usai di Bagdhad,
Abdurrahman Wahid ingin menguyam dunia pendidikan liberal Eropa.
Pada tahun1971, ia menjajaki salah satu di Universitas Eropa untuk melanjutkan
pendidikannya disana. Akan tetapi, harapannya tidak kesampaian karena kualifikasi-
kualifikasi mahasiswa dari Timur Tengah tidak diakui Universitas-Universitas di Eropa.
Selanjutnya, yang memotivasi Abdurrahman Wahid untuk pergi ke MC Gill University
Kanada untuk mempelajari kajian-kajian ke Islaman secara mendalam. Namun pada
akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita
menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.
Sekembalinya di Indonesia, ia kembali ke habitatnya semula yakni dunia
pesantren. Dari tahun 1972 hingga 1974, ia di percaya menjadi dosen disamping Dekan
Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari Jombang. Kemudian tahun 1974
sampai 1980 oleh pamannya, K. H. Yusuf Hasyim, di beri amanat untuk menjadi
sekretaris umum Pesantren Tebuireng, Jombang. Selama periode ini ia secara teratur
mulai terlibat dalam kepengurusan NU dengan menjabat Katib awal Syuriah PBNU
sejak tahun 1979.83
3. Latar belakang sosial dan politik
Dengan latar belakang pendidikan, pergaulan dan perkenalannya dengan dunia
keilmuan yang cukup kosmopolit itu, Abdurrahman Wahid mulai muncul ke permukaan
percaturan intelektual Indonesia dengan pemikran-pemikian briliannya pada tahun
83 Abdul Ghafur, Demokratisasi, hlm.57-58.
1970-an, ketika ia mulai aktif di beberapa lembaga sosial, LSM dan forum-forum
diskusi.84
Menurut sementara sumber, sikap Abdurrahman Wahid itu sempat ditangkap
oleh para aktivis LSM (lembaga swadaya masyarakat) di Jakarta, utamanya yang
bergabung di LP3ES (Lembaga Penelitian Penerangan dan Pendidikan Ekonomi dan
Sosial). Salah satu yang tanggap terhadap fenomena Abdurrahman Wahid pada saat itu
adalah Dawam Raharjo. Oleh sebab itu, kemudian ia berusaha menghadirkan
Abdurrahman Wahid di Jakarta dan menjadikannya sebagai salah seorang fungsionaris
di LP3ES. Mulai saat itulah Abdurrahman Wahid tinggal di Jakarta dan bekerja di
LP3ES dan bergaul luas dengan para aktivis LSM, baik dari Jakarta maupun dari luar
negeri.
LP3ES juga menarik bagi Gus Dur karena lembaga ini menunjukkan minat yang
besar terhadap dunia pesantren dan mencoba untuk menggabungkannya dengan
pengembangan masyarakat. Masih di ingat oleh Gus Dur betapa ia merasa terdorong
oleh rasa hormat dan pengakuan yang dalam yang di tunjukkan oleh pimpinan lembaga
ini terhadap apa yng dapat di sumbangkan pada organisasi ini.
Kepada LP3ES di berikan oleh Gus Dur pemahaman mengenai dunia pesantren
dan Islam tradisional, dan dari lembaga ini ia belajar mengenai aspek-aspek praktis dan
kritis mengenai pengembangan masyarakat. Kombinasi ini benar-benar cocok baginya.85
Pada tahun 1977 ia di dekati dan di tawari jabatan Dekan Fakultas Ushuluddin pada
Universitas Hasyim Asy'ari di Jombang. Dengan gembira ia menerima tawaran ini. 84 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais, hlm. 120.
85 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.110-111.
Universitas Islam ini diberi nama kakek Gus Dur dan di dirikan oleh suatu konsorsium
pesantren untuk memberikan pendidikan tingkat Universitas kepada lulusan Pesantren.86
Pada tahun 1979 Gus Dur mulai banyak terlibat dalam kepemimpinan NU, yaitu
di Syuriah NU. Namun kegiatan di dunia pesantren tidak di tinggalkan, dengan
mengasuh pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan.
Sebagai konsekwensi kepindahannya di Jakarta dan kiprahnya di dunia LSM
sejak akhir tahun 1970-an, seperti sudah di singgung, dia mulai berkenalan dengan
tokoh-tokoh maupun kelompok dengan latar belakang berbeda-beda, dan terlibat dalam
berbagai proyek dan aktivitas sosial. Sejak saat itu juga, ia banyak mengadakan kontak
secara teratur dengan kaum intelektual muda progresif dan pembaharu seperti Nurcholis
Madjid dan Djohan Effendy melalui forum akademik maupun lingkaran kelompok
studi. Kemudian dari tahun 1980-1990 berkhidmat di MUI (Majelis Ulama' Indonesia).
Dan, sementara itu, dia juga memasuki pergaulan yang lebih luas.
Pada tahun 1982-1985 Abdurrahman Wahid masuk sebagai ketua DKJ (Dewan
Kesenian Jakarta), bergaul akrab dengan para pendeta bahkan sampai pada aktivitas
semacam pelatihan bulanan kependetaan protestan, menjadi ketua dewan juri Festival
Film Nasional di tahun 70-an dan 80-an, banyak mendapat kritik dari kalangan Ulama',
baik Ulama' NU maupun yang lainnya.87
Demikianlah latar belakang kehidupan Abdurrahman Wahid diatas perlu
diketahui dalam rangka untuk mencoba menyimak dan melihat backgruond
86 Ibid, hlm.118-119.
87 Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur Diantara Keberhasilan dan Kenestapaan, cet. I (Jakarta:Raja Grafindo Persada,1999), hlm.68-69.
pemikirannya. Nampaknya dia adalah produk dari kombinasi kualitas personal yang
khas hidupnya yang diserap dari lingkungan keluarga, pendidikan, sosial dan politik
yang dilalui sejak masa kanak-kanak. Dengan memahami sosialisasi yang dilalui dalam
hidupnya itu, maka dari itu, bahwa dia tidak hanya dibesarkan dan berkenalan dengan
satu dunia keislaman tradisional-meskipun dari segi nasab dan waktu belajar formal,
tradisi ini yang paling dominan-tetapi sebenarnya lebih dari itu, dia adalah produk
pengalaman hidup yang amat kaya dengan berbagai persentuhan nilai-nilai kultural
yang kemudian secara dialektis mempunyai pemikirannya.
B. Pemikiran Demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid
1. Contoh Pemikirannya
K. H. Abdurrahman Wahid adalah salah seorang intelektual Indonesia yang
menonjol dan sangat disegani. Tokoh yang sudah lebih dari 15 tahun menjabat ketua
umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama' (PBNU), organisasi kaum tradisionalis, ini
sering menghiasi halaman-halaman koran. Diluar pemerintah dan figur militer hal ini
sangat sulit di bayangkan. Selama tahun-tahun kepemimpinan itu popularitasnya
mengalami pasang dan surut, yang biasanya berkaitan dengan manuver politiknya dan
juga-yang tidak boleh dilupakan-tingkat pemahaman terhadap manuvernya. Dalam
beberapa tahun terakhir K. H. Abdurrahman Wahid menjadi semakin kontroversial,
ketika dia berusaha melerai pihak-pihak yang terlibat kekerasan, juga ketika dia
berusaha menyeberangi badai dan gelombang besar pada akhir pemerintahan Soeharto
dan era Indonesia pasca Soeharto. Kendati demikian K. H. Abdurrahman Wahid tetap
dan bahkan semakin populer, sebagai figur kharismatik dan tokoh yang selalu memberi
cinta bahkan pada orang yang mengkritiknya atau para penentangnya.
Salah satu aspek yang paling bisa di pahami dari K. H. Abdurrahman Wahid
adalah bahwa ia adalah penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas,
khususnya China Indonesia, juga penganut kristen dan kelompok-kelompok lain yang
tidak di untungkan pada masa pemerintahan Soeharto dan pada bulan-bulan terakhir ini.
Dengan kata lain, K. H. Abdurrahman Wahid dipahami sebagai Muslim non-Chauvinis,
sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu
beragam. Yang secara luas tidak atau tepatnya kurang diapresiasi adalah bahwa K. H.
Abdurrahman Wahid itu orang yang bangga sebagai seorang Muslim. Dia sangat
mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam sendiri. Lebih
dari itu, K. H. Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh spiritual nyata seperti dunia
materi yang dapat dirasakan dengan indera manusia.88
Banyak warga Nahdliyyin sekarang ini yang masih menganggap Gus Dur itu
mempunyai kemampuan Ghoib, bahkan Wali. Ini di kaitkan dengan kemampuan Gus
Dur yang luar biasa dalam memahami dan menganalisis berbagai masalah yang di sertai
dengan sepak terjangnya yang bagi banyak orang dianggap aneh dan nyeleneh.89 Gus
Dur (K. H. Abdurrahman Wahid) adalah sosok yang nyeleneh. Dalam bahasa Indonesia, 88 Greg Barton,”Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Prisma
Pemikiran Gus Dur, cet.II (Yogyakarta:LKiS,2000), hlm.xx-xxii.
89 Moh. Mahfud MD., Setahun Bersama Gus Dur Kenangan Menjadi Menteri Disaat Sulit, cet.I (Jakarta:LP3ES,2003), hlm.184.
nyeleneh berarti sesuatu yang berhubungan pikiran dan tindakan yang tidak umum,
secara tradisi, budaya, dan sosial kemasyarakatan, bahkan juga sosial keagamaan.90
Wacana atau pola komunikasi politik yang dilakukan K. H. Abdurrahman
Wahid, sesungguhnya tak jauh berbeda dengan wacana dan pola komunikasi sufistik.
Maka apa yang selama ini pada pribadi dan karakteristik Gus Dur, tak mesti dan tak
harus di bedakan sebagai suatu nyeleneh (tidak wajar) maupun nyeleneh dalam
kehidupan perpolitikan serta kebangsaan di Indonesia. Kenyelenehan yang khas pada K.
H. Abdurrahman Wahid, terutama sekali pada spontanitas dan kecuekannya. Bagi
masyarakat umum, tindakan dan sikap seperti itu merupakan karakteristik atau citra
yang tak wajar.91
Untuk mulai memahami pola komunikasi yang dilakukan Gus Dur, yang kerap
bersifat isyarat dan bernuansa Sufistik. Pada kasus Gus Dur, masalahnya menjadi unik
dan rumit, pada waktu beliau berada di wilayah publik (pemerintahan) yang sangat
memerlukan atau di perlukan suatu komunikasi yang efektif, akurat (secara rasional-
matematis), verbal, terang dan jelas, sedangkan beliau-selaku pengendali taktik dan
strategi politik, yang menyangkut umat, negara dan bangsa-di tuntut juga untuk pandai-
pandai menyampaikan pesan, baik yang bersifat verbal maupun non verbal.92
Walaupun dianggap sebagai orang aneh dan nyeleneh dan juga ada yang
beranggapan mempunyai kemampuan ghoib pada diri Gus Dur, Gus Dur sendiri tak
pernah merasa dirinya seorang Wali. Hasyim Wahid alias Gus Iim, adik Gus Dur,
pernah memberi konfirmasi bahwa kehebatan Gus Dur dalam memahami dan 90 Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, hlm.15.
91 Ibid, hlm.79.
92 Ibid, hlm.83-84.
menganalisis berbagai hal bukanlah karena wali tetapi karena sangat kaya dengan
informasi. Sejak kecil, Gus Dur sudah membaca berbagai jenis buku yang berat-berat
dalam berbagai bahasa, mulai dari soal agama, sejarah, politik, olah raga, seni, bahkan
sampai humor-humor dari berbagai bangsa.93
K. H. Abdurrahman Wahid adalah putra salah seorang pendiri NU yang
terkemuka dan cucu salah seorang bapak pendiri bangsa (founding fathers), berasal dari
keluarga NU yang paling utama dan menjadi pewaris dinasti kedua. Mengetahui latar
belakang itu, agaknya tidak aneh bila K. H. Abdurrahman Wahid membanggakan
warisan Islam tradisionalnya. Dan ketika orang membaca tulisannya, sangat jelas bahwa
apapun yang dikatakan orang mengenai manuver politiknya K. H. Abdurrahman Wahid
menunjukkan pemahamannya yang mendalam terhadap teori sosial modern dan
komitmen yang mendalam terhadapnya. Dan juga banyak tulisannya yang menjelaskan
bahwa K. H. Abdurrahman Wahid adalah seorang demokrat atau lebih tepatnya seorang
demokrat liberal. Lebih dari itu, seperti sudah diketahui banyak orang, K. H.
Abdurrahman Wahid di kenal karena sikapnya yang konsisten membela minoritas dan
perjuangan untuk bisa di terimanya pluralisme sosial dan budaya yang betul-betul ada
dalam masyarakat Indonesia modern.94
Tantangan kehidupan modern, di satu sisi, menuntut kemampuan intelektual
untuk merespon secara positif dan kreatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi
tanpa harus melepaskan diri dari substansi dan prinsip-prinsip universal agama.
Pluralitas masyarakat Indonesia, di sisi lain, juga menuntut sikap keberagamaan yang
93 Moh. Mahfud MD., Setahun Bersama Gus Dur, hlm.184-185.
94Greg Barton,”Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Prisma Pemikiran, hlm.xxv-xxvi.
inklusif dan toleran. Dengan menggunakan paradigma kontekstualisasi pemikiran
klasik, sikap-sikap itu-yaitu respon positif dan kreatif terhadap perubahan dan sikap
keberagamaan yang inklusif dan toleran-bisa di ekspresikan secara nyata oleh K. H.
Abdurrahman Wahid.95
Bagi K. H. Abdurrahman Wahid, Islam adalah agama kasih sayang dan toleran
sekaligus agama keadilan dan kejujuran. Artinya Islam adalah kayakinan yang egaliter,
keyakinan yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan yang tidak adil karena
alasan, kelas, suku, ras, gender atau pengelompokan-pengelompokan lainnya dalam
masyarakat. Bagi Abdurrahman Wahid Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa,
dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara.96
Untuk memahami posisi Abdurrahman Wahid sebagai figur Religius, sangat
penting juga mengapresiasikan sebagai seorang intelektual. Karena hampir tidak
mungkin untuk memahami secara sepenuhnya jika tidak menghargai keyakinan
keagamaannya. Tanpa penghargaan terhadap sisi intelektual K. H. Abdurrahman Wahid
tidak akan pernah sampai pada pemahaman yang memadai mengenai jalan
pemikirannya.97
Corak pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang liberal dan inklusif secara
nyata sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap berbagai khasanah
pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan
kontekstualisasi, termasuk terhadap pemikiran hukum Islam. Kontribusi fiqih terhadap
95 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais, hlm.124.
96 Greg Barton,”Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.) , Prisma Pemikiran, hlm.xxx.
97 Ibid, hlm. Xxviii.
gagasan inklusivisme dan pluralisme adalah karena fiqih merupakan pengembangan
gugusan hukum agama yang tidak pernah berhenti berkembang.98 Sebab, fiqih Islam
adalah pemikiran yang berpedoman pada rambu-rambu di sepanjang jalan menuju
Allah. Fiqih Islam bukanlah pemikiran yang berangkat dari hawa nafsu, melainkan
dirumuskan demi mencapai Syariat tujuan Islam, yakni Syariat Teologis dan Syariat
Praktis.99
Fiqih telah menyediakan daerah dalam bentuk teori hukum (Us}u>l Fiqh) dan
kidah-kaidah hukum (Qawa>id Al-Fiqhiyyah) yang menampung kebutuhan masa dan
tempat, dalam merumuskan kebutuhan masa dan tempat, harus merumuskan keputusan
hukum agama itu sendiri. Dengan kata lain, toeri dan kaidah-kaidah hukum itu membuat
fiqh menjadi tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah,
untuk masyarakat yang berbeda dan pada luas geografis yang berbeda pula.100
Pemikiran secara Fiqh ini, semakin menunjukkan sikap moderat Abdurrahman
Wahid, terlebih dalam menyikapi berbagai kecenderungan. Sosial dan politik yang
berkembang secara dinamis di masyarakat.101Hal lain diperkuat dinamikanya oleh
kenyataan bahwa Abdurrahman Wahid memiliki kemampuan intelektual yang luar
biasa. Sebagai seorang santri lulusan dari pesantren, intelektual briliannya jauh melebihi
kapasitas teman-teman sebayanya, walaupun upaya kerja kerasnya tidak melebihi
teman-temannya. Demikian juga, walaupun ia tidak punya akses pendidikan yang
dimiliki teman sebayanya seperti Nurcholis Madjid, ia juga tidak mengambil program
98 Umaruddin Masdar, membaca pikiran Gus Dur dan Amin Rias, hlm.126.
99 Hasan Al-Turabi,Fiqih Demokratis, hlm.30.
100 Abdul Ghafur, Demokratisasi, hlm.82.
101 Ibid, hlm.84.
pasca sarjana tetapi pemahamannya tentang pemikiran Barat bahkan bahasa Barat
melebihi kemampuan teman sebayanya. Akibat tak terhindarkan adalah bahwa
Abdurrahman Wahid telah menjadi raksasa diantara sebayanya dalam hal luasnya
wawasan, kekuasaan pemikiran, pengalaman, pemahaman dan kemampuan intelektual
yang tajam. Dia tidak jarang berbeda dengan Ulama'. Hal ini diperumit lagi dengan
fakta kultur tradisional Ulama' yang sering menyebabkan frustasi.102
Satu yang sangat penting untuk direnungkan dalam berefleksi tentang
Abdurrahman Wahid dan kontribusinya terhadap kehidupan publik dan religius di
Indonesia adalah bahwa kadang-kadang perlu memisah antara manusia dan gagasan-
gagasannya. Tidak ada satupun pemimpin, bahkan tidak satupun intelektual yang
selamanya konsisten. Sudah menjadi masalah umum bahwa yang memberikan hal
terbaik untuk kehidupan masyarakat kadang-kadang berjuang atau gagal mewujudkan
ide itu sendiri. Banyak contoh akan hal ini. Oleh karena itu, pengakuan bahwa
kontribusi tokoh intelektual seperti Abdurrahman Wahid harus di pisahkan dari
konsistensi pribadinya dalam mewujudkan setiap aspek dari gagasan-gagasan ini
Secara lebih khusus lagi, sangat penting bagi yang tertarik dengan K. H.
Abdurrahman Wahid untuk membaca tulisan K. H. Abdurrahman Wahid karena tidak
dapat di sangkal lagi K. H. Abdurrahman Wahid adalah salah satu diantara intelektual
paling signifikan bahkan sekalipun jika ia tidak diakui demikian dan paling tidak untuk
102 Greg Barton,”Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Prisma Pemikiran, hlm.xxxviii-xxxix.
memahami persoalan-persoalan yang memungkinkan untuk bisa memahami gaya
personal politiknya.103
2. Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid Tentang Idealitas Demokrasi
Kata "demokrasi" memiliki arti yang berbeda-beda bagi bangsa-bangsa yang
berlainan pada masa yang tidak sama. Bagi para pemikir di negara-negara yang
maju (advanced countries) dalam teknologi, kata itu dianggap bermakna demokrasi
liberal. Ada yang bersifat negara kesatuan, dengan kekuasaan pemerintahan pusat
yang besar, seperti di Perancis maupun yang bersifat federatif, seperti di Amerika
Serikat dan Australia. Tetapi, ada pula yang menggunakan kata itu dalam arti
berbeda, yaitu dengan adanya kekuatan-kekuatan politik yang tidak bertentangan,
melainkan berbeda pandangan saja, seperti di Israel.
Meski, seringkali kata demokrasi diselewengkan dengan kata lain, seperti
demokrasi rakyat dari kalangan komunis maupun dari demokrasi Islam dari kaum "garis
keras", dan demikian menjadi kehilangan makna demokratisnya, kata demokrasi tidak
pernah kehilangan arti pendapat berbilang atau bersamaan perlakuan bagi seluruh warga
negara di muka undang-undang serta penegakan kedaulatan hukum.104
Sebagai sebuah tahapan sejarah, dapat dimengerti bahwa para pemimpin yang
merumuskan UUD ’45 mau memberikan interpretasi lisan yang sesuai dengan kehendak
para pemimpin Islam. Tanpa melakukan hal itu, tidak akan tercapai penyelesaian dalam
103 Ibid, hlm.xliv.
104 Abdurrahman Wahid, “Demokrasi Dalam Pengertian Kita,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003.
bentuk kehendak bersama. Kalau tidak dapat dicapai persetujuan, hal ini akan
menguntungkan pihak penjajah. Inilah yang mendasari pemikiran mereka waktu itu.
Dan, inilah yang namanya politik.
Para pemimpin Islam di-ninabobo-kan oleh penafsiran-penafsiran yang
dipaksakan atas para pemimpin nasionalis. Dengan kata lain, para pemimpin nasionalis
setuju dengan redaksi lisan yang dipaksakan oleh para pemimpin dari golongan Islam
untuk mencapai persetujuan dan menghindari kemacetan. Berarti, apa yang dicapai itu
hanyalah bersifat sementara dan mengikat bagi yang menyatakannya.
Generasi kemudian tidak lagi terikat dengan pernyataan mereka. Pak Harto yang
tidak ikut terlibat secara aktif dalam perumusan Pancasila ternyata berpandangan
bahwa Pancasila haruslah menjadi asas bagi organisasi-organisasi sosial politik.
Bahkan, akhirnya menjadi keharusan bagi semua organisasi. Ini terjadi karena
adanya semacam ketakutan kalau-kalau semuanya akan meninggalkan Pancasila
karena hal ini termasuk jangkauan terjauh yang dapat dicapai. Kondisi mantapnya
Pancasila inilah, yang ingin dicapai melalui upaya menjadikan Pancasila sebagai
asas tunggal.
Apa yang ditakutkan Pak Harto ini ternyata terjadi saat ini, ditandai dengan
berlangsungnya demonstrasi yang dipimpin oleh Eggy Sujana di istana beberapa
waktu lalu untuk menolak Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi-organisasi
Islam. Menjadi nyata bagi pentingnya pembahasan mengenai dasar negara ini
karena besarnya perbedaan paham di antara sebagai warga Indonesia.
Sudah tentu perkembangan sejarah akan membawa pada berbagai kemungkinan.
Sebagai negara kepulauan, perkembangan tentu akan berbeda dengan negara-negara
di daratan Eropa. Kalau di Eropa pada umumnya banyak negara mengikuti sistem
pemilu proporsional, sementara di sini, sebagaimana disampaikan oleh Mendagri
Syarwan Hamid di hadapan anggota DPR, akan meniru Jepang dan Filipina, yaitu
menggunakan sistem distrik, suatu sistem yang selama pemerintahan Orde Baru
sangat dihindari. Mungkin juga ini bukan karena bentuk geografis negara Indonesia,
melainkan oleh perkembangan historis dan situasional. Amerika menggunakan
sistem distrik walaupun negaranya kontinental. Tetapi, Amerika memiliki pengaruh
luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Semua ini menunjukkan bahwa Indonesia tidaklah berada dalam suasana kosong
ketika melakukan penafsiran-penafsiran atas keadaannya sendiri. Di satu pihak, ada
dorongan untuk menggunakan nilai-nilai Islam yang abadi guna menegakkan negara
tersebut dalam kehidupan modern saat ini. Kegagalan untuk melakukan hal tersebut
dianggap sebagai kegagalan melakukan perjuangan Islam, seperti yang terjadi di
hampir semua negara Islam sekarang. 105
Karena sesungguhnya Islam adalah Agama demokrasi. Ada beberapa alasan
mengapa Islam disebut sebagai agama demokrasi :
Pertama, Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama Islam berlaku bagi
semua orang tanpa memandang kelas, dari pemegang jabatan tertinggi hingga rakyat
jelata dikenakan hukum yang sama. Kalau tidak demikian, maka hukum dalam
Islam tidak jalan dalam kehidupan.
105Abdurrahman Wahid, “Esai Khusus Abdurrahman Wahid Masih Perlukah Formalisme Agama?,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003.
Kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan. "Wa-Amruhum syu>ra>
bainahum", artinya perkara-perkara mereka dibicarakan di antara mereka. Dengan
demikian tradisi membahas, tradisi bersama-sama mengajukan pemikiran secara
bebas dan terbuka pada akhirnya diakhiri dengan kesepakatan.
Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan. Karena dunia ini
hakikatnya adalah persiapan untuk kehidupan di akhirat. "Waa>khiratu khairu
waabqa>", akhirat itu lebih baik dan lebih langgeng. Karena itu kehidupan manusia
tarafnya tidak boleh tetap, harus terus ada peningkatan untuk menghadapi kehidupan
yang lebih baik di akhirat.
Jadi standar yang baik itu di akhirat, kehidupan di dunia harus diarahkan kepada
yang baik itu. Hal ini sebenarnya adalah prinsip demokrasi, karena demokrasi pada
dasarnya adalah upaya bersama-sama untuk memperbaiki kehidupan. Karena itulah
Islam dikatakan sebagai agama perbaikan, di>nul is}lah, atau agama inovasi.
Jika dikaitkan dengan keadilan, bahwa demokrasi hanya dapat tegak dengan
keadilan. Kalau Islam menopang demokrasi maka Islam juga harus menopang
keadilan. Ini penting sekali sebagaimana difirmankan Allah, "Wahai orang-orang
yang beriman, hendaknya kalian menegakkan keadilan”. Ini perintah yang sangat
jelas. Yakni perlunya ditegakkan keadilan dalam segala bentuk, baik keadilan
hukum, keadilan politik, keadilan budaya, keadilan ekonomi, maupun keadilan
sosial. Keadilan sosial ini sangat penting karena salah satu patokan Islam adalah
kaidah fiqih: Langkah dan kebijaksanaan para pemimpin mengenai rakyat yang
mereka pimpin haruslah terkait sepenuhnya dengan Kesejahteraan rakyat yang
mereka pimpin itu.Karena orientasinya adalah kesejahteraan, maka dipentingkan
adanya keadilan. Dan orientasi kesejahteraan inilah yang membuktikan demokratis
atau tidaknya kehidupan suatu masyarakat.
Dengan demikian Islam selalu menghendaki demokrasi yang menimpakan salah
satu ciri ata jati diri Islam sebagai agama hukum. Maka Islam juga harus
mengembangkan keadilan sosial di samping keadilan-keadilan lainnya. Dalam
kenyataannya implementasi dan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari tidak
semudah itu. Salah satu contoh, misalnya, masih berkembang diskursus tentang
keterwakilan (representativeness). Ada keluhan di masa lalu orang Kristen terlalu
banyak diwakili dalam pemerintahan. Disebutkan, misalnya, ada Radius Prawiro,
J.B. Sumarlin, L.B. Moerdani, dan lain-lain. Padahal nama-nama itu tergolong
"awam" dalam bidang agama Kristen. Sementara orang-orang "awam" Islam tidak
dianggap mewakili Islam. Misalnya, Pak Harto, Pak Try Sutrisno, para bupati, para
Danramil, dan lurah-lurah, mereka juga pemimpin Islam.
Yang menjadi pertanyaan K. H. Abdurrahman Wahid adalah, mengapa kalau orang
awam Kristen dianggap mewakili agama Kristen, orang awam Islam tidak dianggap
mewakili Islam? Harus ada kejelasan, kalau orang awam Islam tidak dianggap
mewakili Islam, maka orang awam Kristen jangan dianggap mewakili Kristen.
Gampangnya kalau menterinya tidak ada yang pastor tidak perlu gegeran
menginginkan kiai menjadi menteri. Di sini representativeness menjadi proporsional
bukan dalam jumlah, melainkan dalam jenis manusia-manusia yang memimpin.
Kalau sudah demikian tidak ada masalah. Golongan Islam diwakili oleh para
pemimpin Islam dalam arti yang terdidik dalam pengetahuan agama Islam dan
berpengalaman dalam mengelola program-program keagamaan Islam. Tidak ada
masalah lagi, karena mereka tidak mempunyai over claim atau klaim yang
berlebihan.106
Banyak orang bertanya kepada K. H. Abdurrahman Wahid, mengapa demikian
banyak orang menjadi Katolik. Bukankah dengan demikian, dalam beberapa puluh
tahun saja, seluruh Indonesia akan beragama Katolik? Atau paling tidak, mayoritas
umat yang beragama Islam di Indonesia akan hilang berganti dengan Katolik dan
Protestan. Capaian kemajuan yang luar biasa dari Kristenisasi ini, sangatlah
mengerikan bagi yang meyakininya, dan sepertinya telah menjadi kenyataan
(sejarah) yang harus diyakini.
Tetapi, yang tidak ikut-ikutan yakin seperti K. H. Abdurrahman Wahid ini, malah
dianggap sebagai pengkhianat Islam. Lalu, apa yang harus menjadi sikap mereka?
Menurut K. H. Abdurrahman Wahid, hal itu tidak usah diperhatikan secara serius.
Dianggap sebagai pengkhianat atau bukan, sangatlah tergantung pada diri masing-
masing. Bahkan, lebih jauh lagi, persoalan dianggap berkhianat ataupun tidak,
bukanlah termasuk masalah yang prinsipil dan penting. Dan, jika saja masih
dianggap sebagai pengkhianatan —padahal memang bukan— lebih baik dibiarkan
saja. Bukankah, suatu saat nanti, fakta yang akan berbicara, bukannya kesan? Kalau
memang tidak membantu Kristenisasi, bukankah dianggap apa saja tak jadi soal?
Kristenisasi, sebagai sebuah proses kemasyarakatan berjalan secara alamiah.
Dengan demikian, masalah Kristenisasi akan tetap terjadi kalau hal itu akan terus
berlangsung.
106 Abdurrahman Wahid,” Demokrasi, Keadilan, dan Keterwakilan,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003.
Karenanya, dari sini, tugas K. H. Abdurrahman Wahid hanyalah ingin mendekatkan
antara kaum Kristen dan muslimin di negeri ini. Bukankah para pendiri republik (the
Founding Fathers) ini, dulunya, selalu bekerja sama dalam memperjuangkan dan
mendirikan negara-bangsa yang tercinta ini? Juga, K. H. Abdurrahman Wahid tidak
pernah mengharuskan untuk beribadah secara Kristen, sama seperti halnya yang
telah dialami oleh ayah K. H. Abdurrahman Wahid yaitu K. H. Abdul Wahid
Hasyim. Maka, diharapkan yang terjadi adalah perataan pemikiran antara kedua
belah pihak, Seperti halnya, pemikiran Martin Luther King Jr. mengenai demokrasi.
Di samping itu, pemikiran Mahatma Gandhi yang beragama Hindu atau Sulak
Sivaraksa dari Thailand yang beragama Buddha. Dan juga, tentunya, pemikiran Ali
Abd. Roziq, yang hampir semua buku-bukunya dilarang dibaca di Mesir.
Dengan kata lain, pencarian pendapat tentang demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid
banyak mengambil dari mana pun, selama hal itu merupakan pencerminan dari
teologia yang benar dan ketaatan yang saleh. Soal nilai kepercayaan masing-masing,
K. H. Abdurrahman Wahid tak pernah mempersoalkannya. Semua itu, diserahkan
saja pada para teolog dari masing-masing agama dan keyakinan. Dan, K. H.
Abdurrahman Wahid merasa, hanya dengan beginilah pengikut semua agama akan
mampu memperjuangkan proses demokratisasi secara bersama-sama.
Apabila untuk proses demokratisasi saja prinsip-prinsip dipertahankan, menurut K.
H. Abdurrahman Wahid atas berlakunya keadilan, berlangsungnya hak-hak yang
sama di hadapan undang-undang (UU) dan persamaan kepentingan bagi semua
warga negara, tanpa kecuali. Ini berarti, kebebasan untuk berbicara haruslah
dipertahankan dan kebebasan berpendapat harus pula dijaga.107
Negeri Indonesia tidak mengalami kenyataan demokratis ini, melainkan
menghadapi dilema lain lagi. Pers sudah menjadi begitu merdeka, hingga merekapun
memuat saja berita fitnah atau kabar bohong, selama ada kekuatan politik "demokratis"
yang mereka ikuti. Celakanya, partai-partai politik yang menerapkan kerangka itu,
masih kuat sekali melaksanakaan KKN. Mereka menakut-nakuti penerapan kedaulatan
hukum, dan dengan demikian –mereka menciptakan fitnahan dan kabar bohong tersebut
untuk menutupi KKN yang mereka lakukan. Yang terpenting bagi mereka, asal KKN
yang mereka lindungi terbebas dari penerapan kedaulatan hukum secara tuntas.
Dengan demikian, mereka menggunakan kekuatan menjadi demokratis yang
"berbilang banyak" adalah pihak yang menang dalam pemungutan suara. Bahwa tradisi
demokrasi adalah mengutamakan kebenaran, adalah sesuatu yang mereka lupakan.
Demokrasi yang mereka gunakan adalah demokrasi kelembagaan, dan sama sekali tidak
ada hubungan tradisi dengan "tradisi demokrasi". Jika dikombinasikan dengan
lemahnya aparat penegak hukum dan ketakutan Mahkamah Agung (MA) sekarang ini di
negeri Indonesia, hasilnya adalah lelucon besar-besaran tentang Indonesia sebagai
negara demokratis.
Kini, dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit: kedaulatan hukum hanya dapat
ditegakkan sebagian saja. Terdapat kekutan hukum yang tidak akan dapat dikenakan
kedaulatan hukum itu karena kuatnya mereka. Begitu juga, ada pihak yang tidak terkena
sangsi Undang-Undang (UU), karena bukti-bukti hukum yang ada tidak cukup untuk
107 Abdurrahman Wahid,” Agama dan Demokrasi,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003.
menjamin diseretnya mereka ke meja hijau. Dalam hal ini, K. H. Abdurrahman Wahid
menggunakan ketentuan teori hukum Islam (Ushul Fiqh, Islamic Legal Theory): ma>
la> yudraku kulluh, la> yutraku kulluh (apa yang tidak dapat diwujudkan sepenuhnya,
tidak ditinggalkan yang terpenting). Selama penegakan hukum berjalan, dan persamaan
perlakuan di muka Undang-Undang dilaksanakan serta kemerdekaan pers ditegakkan,
selama itu pula tetap demokratis. 108
Tentu saja, dalam rangka memperjuangkan, menegakkan, dan menebarkan
demokrasi, nilai-nilai Agama sebagai landasan pijak moralitas tak bisa dipisahkan atau
di tinggalkan begitu saja. Tanpa adanya tali kekang nilai Agama, perjuangan nilai-nilai
demokrasi akan gampang terjerumus hingga menghalalkan segala cara yang justru
bertentangan dengan nilai-nilai- demokrasi itu sendiri. Dalam kaidah Fiqh :"Dar-ul
Mafa>sid awla> min jalbi al-mas}a>lihi…" menolak kerusakan lebih
diutamakan dari pada menarik kebaikan. Dan apabila berlawanan antara yang mafsadah
dan mas}lahah itu,, maka yang didahulukan adalah menolak mafsadah-nya.
Demikianlah, tujuan dari eksperimentasi demokrasi bukanlah kekuasaan.
Kekuasaan hanyalah salah satu alat, sedangkan tujuan tak lain adalah mewujudkan
mas}lahah bagi seluruh rakyat Indonesia tercinta ini.109
108 Abdurrahman Wahid, “Demokrasi Dalam Pengertian Kita,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003
109
? Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, hlm.291-291.
BAB IV
ANALISA PEMIKIRAN DEMOKRASI
K. H. ABDURRAHMAN WAHID
A. Aplikasi Demokrasi K. H. Abdurrahman WahidDemokrasi dalam praktek politik adalah demokrasi sebagaimana dilakoni oleh
para "peserta". Konsep "peserta" di sini dimaksudkan sebagai keseluruhan permainan
politik yang dalam periode politik tertentu membentuk citra perilaku sistem politik.
Karena itu "peserta" tidak saja mencakup pejabat atupun pemimpin pemerintahan, tapi
juga aktivitas partai, pers, parlemen, militer, pengusaha, atau individu yang secara
politik amat berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Konsep "peserta" di
sini hanyalah penyederhanaan atas konsep "struktur politik" dari analisa perbandingan
politik Gabriel A. Almond.
Seperti juga pengalaman banyak negara lain dalam berdemokrasi, tidak semua
praktek demokrasi bisa dilacak akar-akar pemikiran dan wacana intelektualnya dalam
periode ini, tetapi justru sebagai kritik, atau bahkan mungkin penolakan terhadap ide-
ide.110
Menurut Faoucault, para pemikir besar abad pencerahan, sesungguhnya tidak
begitu besar, mereka hanya mengatur supaya tampak besar atas biaya orang lain. Tidak
ada ide yang dapat menjadi besar, tanpa sejumlah besar ide lain yang memikirkannya
pada tempat lain.
110 Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia Gagasan dan Pengalaman, cet.I (Jakarta:LP3ES,1995), hlm.110-111.
Dalam konteks seperti itulah, meski tidak sepenuhnya persis pikiran-pikiran dan
tindakan-tindakan K. H. Abdurrahman Wahid atau panggilan akrabnya Gus Dur,
menjadi teras penting dan besar. Nilai penting dan kebesaran pikiran maupun tindakan
Gus Dur, sesungguhnya "disokong" atau "diuntungkan" oleh rezim Orde Baru-sebuah
rezim yang selalu menjadi sasaran kritik dan perlawanannya. Dalam wacana
paradigmatis seperti itu, dapat di katakan; wacana ideologis yang di kembangkan rezim
Orde Baru adalah tesis, sedangkan pikiran (kritik) dan tindakan (perlawanan) Gus Dur
adalah anti tesis, adapun sistesisnya justru diambil sendiri oleh Gus Dur, tatkala ia
memilih masuk struktur (sebuah wilayah yang pernah di kritiknya) dan menjadi
presiden RI.
Dari gerakan kultural menjadi gerakan struktural, dalam rangka
mengembangkan ide, gagasan dan pikiran-pikirannya yang "nyeleneh" mulai dari
demokrasi, keadilan, keterbukaan, kejujuran, pemerintahan yang bersih (clean
government), sampai dengan demiliterisasi, deformalisasi (Islam dan tradisi), pluralisme
dan universalisme.111
Di negeri Indonesia demokrasi belum lagi tegak dengan kokoh masih lebih
berupa hiasan luar berupa kosmetik dari pada sikap yang melandasi pengaturan hidup
yang sesungguhnya. Dalam suasana sedemikian ini, unsur-unsur masyarakat yang ingin
melestarikan kepincangan sosial yang ada dewasa ini tentu akan berusaha sekuat tenaga
membendung aspirasi demokrasi yang hidup di kalangan mereka yang telah sadar akan
perlunya kebebasan ditegakkan di negeri ini (Indonesia).
111 Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, hlm.16-17.
Kalau tidak ada usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan demokrasi yang
benar di negeri ini, tentu aspirasi-aspirasi itu akan terbendung oleh kekuatan-kekuatan
anti demokrasi itu. Negeri Indonesia bukan tempat satu-satunya di dunia ini, dimana
keadaan di atas masih berlangsung. Keadaan itu sendiri bahkan merupakan ciri umum
kehidupan hampir semua negara yang sedang berkembang.
Karenanya, dari sekarang sebenarnya telah dituntut dari diri sendiri kesediaan
bersama untuk memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang
hidup di negeri ini (Indonesia). Perjuangan itu haruslah dimulai kesediaan
menumbuhkan moralitas yang merasa terlibat dengan penderitaan rakyat di bawah.112
Tampilnya K. H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden (20 Oktober 1999)
ketika masih menjabat sebagai ketua umum PBNU, memiliki nilai historis dan
kebanggaan tersendiri bagi warga NU. Namun hal tersebut pada satu sisi tidak hanya
merupakan kebanggaan NU, melainkan disisi lain justru menimbulkan "masalah" bagi
NU sendiri. Menjadi kebanggaan bagi NU, karena tampilnya K. H. Abdurrahman
Wahid jelas akan menaikkan popularitas dan citra NU dalam konstelasi perpolitikan
nasional. Apalagi selama masa Orde Baru warga NU termarginalisasi dari kekuasaan
rezim Soeharto. Sehingga maklum saja jika tampilnya K. H. Abdurrahman Wahid
sebagai Presiden, membuat warga NU harus mengekspresikan kegembiraannya dengan
berbagai hajatan. Dalam perjalanan selanjutnya, kenaikan K. H. Abdurrahman Wahid
ternyata menjadi "masalah" bagi NU. Karena ia di nilai oleh banyak kalangan tidak
mampu mengemban tugas Presiden. Ini di buktikan dengan kinerja pemerintahannya
yang buruk dan sering kali membuat kebijakan yang melanggar undang-undang, Tap
112Abdurrahman Wahid,” Demokrasi Haruslah di Perjoangkan”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Tuhan Tidak Perlu di Bela, hlm. 189-190.
MPR dan GBHN, serta pernyataan yang kerap kali kontroversial kenyataan politik ini
memicu dan menjadi alasan dari singgasana Presiden. Hal itu membuat NU, baik secara
institusi maupun personal, merasa perlu tampil untuk membela tokoh utamanya itu agar
tetap aman.
Menyikapi beberapa pernyataan kontroversial K. H. Abdurrahman Wahid saat
menjadi Presiden, dikalangan NU sendiri terjadi pro-kontra.113Ada beberapa kebijakan
kontroversial sewaktu menjadi Presiden, justru presiden K. H. Abdurrahman Wahid
melakukan pada paruh waktu pertama kekuasaannya yang telah menjadi pelatuk pemicu
kebangkitan emosi dan kemarahan sebagian masyarakat. Namun, juga pada sisi
sebaliknya telah mengakibatkan dukungan yang penuh semangat dari beberapa elemen
masyarakat terhadap kebijakan presiden K. H. Abdurrahman Wahid. Beberapa peristiwa
yang cukup penting untuk di ungkap kembali dan kemudian di lakukan analisisi antara
lain : penghapusan Departemen Penerangan, penghapusan Departemen Sosial, ide
pencabutan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 tentang komunisme, serta penghapusan
Bakorstanas dan Litsus.114
1. Penghapusan Departemen Penerangan Dan Penghapusan Departemen Sosial.
113 Bahrul Ulum, "Bodohnya NU" apa "NU di Bodohi"? Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah, Meneropong Paradigma Poltik, cet.I (Yogyakarta:Ar-Ruzz Press,2002), hlm.188-189.
114 M. Zaki Mubarak,” Gus Dur dan Pembalikan Wacana”, dalam Khamami Zada (ed.), Neraca Gus Dur, hlm.43.
Mengenai pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, kabar
ini merupakan berita tidak sedap bagi beberapa orang, terutama para pejabat struktural
dan karyawan yang terlibat dalam dua departeman tersebut, apalagi dalam struktur
kabinet itu sendiri justru terdapat penambahan beberapa departemen baru yang
keberadaannya menimbulkan kesan sengaja di buat-buat demi kompromi. Sebaliknya,
pembubaran departemen penerangan bagi kalangan pekerja pers merupakan suatu
berkah. Dengan di hapuskannya institusi yang menjadi instrumen negara untuk
mengendalikan dan mengatur pers telah memungkinkan berkembangnya pers yang
bebas dan merdeka, lepas dari intervensi-intervensi pemerintah sebagaimana sering di
lakukan di masa sebelumnya.115
Tindakan resminya yang pertama adalah membubarkan dua departemen. Yang
pertama adalah departemen penerangan. Alasannya, kehadiran departemen ini lebih
banyak ruginya dari pada manfaatnya, baik oleh kalangan pendekatannya yang bersifat
stalinis terhadap pengendalian informasi dan juga oleh kebiasaan yang telah berurat
akar untuk memeras uang dari penerbit media. Yang kedua adalah di tutupnya
Departemen Sosial. Hal ini lebih mengejutkan masyarakat. Alasan yang diberikan
adalah bahwa korupsi dan praktek-praktek pemerasan telah sedemikian merasuk
departemen ini sehingga lembaga ini tak lagi dapat di reformasi dan kegiatannya harus
115 Ibid, hlm.44.
di lakukan oleh departemen-departemen lainnya. Penutupan kedua departemen ini
memang kontroversial, apalagi yang berkaitan dengan Departemen Sosial dan
membuatnya kehilangan popularitas dikalangan tertentu.116
Untuk memahami apa peranan dan fungsi yang dijalankan Departemen
Penerangan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kepolitikan Orde Baru.
Selama masa kekuasaan Soeharto, institusi ini merupakan Badan dengan kewenangan
yang sangat luas. Lebih dari sekedar menjadi dinamistor dan fasilitator komunikasi,
Departemen Penerangan di bawah kepemimpinan Ali Moertopo dan kemudian
Harmoko, telah menjadi sarana yang paling efektif untuk mengendalikan beberapa
penerbitan dan pemberitaan dalam media. Ia dengan bebas bergerak melakukan seleksi,
sensor, kontrol, intimidasi, dan bahkan sampai dengan tindakan paling represif :
melakukan pembredelan. Selama kurun masa orde Baru sudah tidak terhitung lagi
jumlah penutupan dan pembredelan surat kabar yang melibatkan institusi ini.
Departemen penerangan, merujuk kepada konsep Al-Thusser, telah menjadi aparatus
ideologis dan sekligus aparatus represif yang bekerja untuk status quo kekuasaan.
Beberapa koran yang sedikit saja berani nakal dan kritikal akan dihantui oleh
bayang-bayang pembreidelan oleh aparatus ini, kapan saja dan tanpa perlu proses
peradilan. Untuk menyebut diantara sekian banyak surat kabar yang pernah menjadi
116 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.360.
korban represif Departemen penerangan antara lain : Sinar Harapan, Indonesia Raya,
Abadi, Pedoman, Harian KAMI, Duta Masjarakat, sampai dengan tiga media yang di
breidel beberapa tahun menjelang akhir kekuasaan Soeharto : Tabloid Detik, Editor, dan
Majalah Tempo. Pendek kata, Departemen penerangan telah menjadi hantu yang siap
melumat siapa saja yang tidak di sukainya.
Sudah bukan rahasia umum bahwa Departemen penerangan selain menjadi
kepanjangan tangan yang mentransmisi ideologi dan kepentingan negara kepada
masyarakt secara top down dan menjurus indoktrinasi, juga telah menjadi agency dari
partai hegemonik Orde Baru selama masa menjelang pemilihan umum. Kooptasi negara
terhadap Departemen penerangan, telah menjadi arus informasi dan penerangan kepada
masyarakat yang berwajah satu dimensi saja. Situasi ini tidak relevan untuk berharap
banyak lahirnya ruang publik yang bebas, dalam arus informasi yang serba ternegara itu
(statezed),
Di pertahankannya Departemen penerangan, menurut Gus Dur, hanya akan
membuat rakyat berhadapan dengan pemerintah yang selalu memonopoli lalu lintas
informasi. Baginya, pemerintah tidak perlu ikut campur dalam mengatur dan apalagi
menyaring informasi. Masyarakat sendirilah yang paling berhak untuk melakukan
penyeleksian dan penyaringan atas informasi. Dengan demikian kedudukan masyarakat
benar-benar otonom untuk urusan penerangan.
Terhapusnya Departemen penerangan merupakan satu paket dengan di
hapuskannya pula Departemen Sosial (Depsos). Kedua nama Departemen ini tidak
nongol ketika Gus Dur mengumumkan kabinet. Sebagaimana situasi yang mengiringi
hilangnya Departemen penerangan (Deppen), maka ketetapan K. H. Abdurrahman
Wahid sewaktu jadi Presiden untuk menutup Departemen Sosial juga menimbulkan
beberapa protes.
K. H. Abdurrahman Wahid sewaktu jadi Presiden, saat bertemu dengan
beberapa perwakilan Departemen Sosial, telah menyatakan bahwa kebijakan untuk tidak
mencantumkan Departemen Sosial dalam kabinetnya dilakukan dengan sengaja. Dan ia
mengatakan, sudah memperkirakan resiko atau ekses apa yang bakal di hadapi pasca
likuidasi departemen ini. Dalam pandangan K. H. Abdurrahman Wahid, tugas
melakukan pelayanan sosial adalah salah kalau hanya di tumpukan kepada pemerintah,
tetapi tugas pemerintah adalah sekedar menjadi fasilitator. Dengan begitu kerja-kerja
sosial harus dilakukan masyarakat sendiri tanpa harus menggantungkan nasib kepada
kebaikan pemerintah.
Untuk memahami secara lebih baik policy presiden K. H. Abdurrahman Wahid
tentang penghapusan Departemen penerangan dan Departemen Sosial, -terlepas dari
ketidaksiapan secara teknis yang akhirnya menimbulkan kerumitan-, harus diletakkan
dalam kerangka pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid tentang pengkondisian relasi
negara dan masyarakat (state and civil society) secara lebih baik. Keberadaan
Departemen penerangan dengan fungsi-fungsi pengawasan dan pengontrolan atas media
massa merupakan faktor penghambatan bagi berkembangnya pers bebas. Padahal,
kebebasan dan kemerdekaan pers merupakan sine qua non bagi keberadaan sistem
politik yang demokratis. Surat kabar selain memberikan informasi, edukasi, dan
hiburan, juga memiliki peranan strategis sifatnya dalam konteks menumbuhkan iklim
kepolitikan demokratis, yakni fungsi kritikal terhadap jalannya kekuasaan.
Dengan demikian, dalam pers bebas yang memungkinkan bagi masyarakat luas
menyampaikan gagasan dan pikirannya, akan menjadikan arena publik tidak lagi di
dominasi oleh arus informasi yang hanya merepresentasikan kepentingan dan ideologi
rezim berkuasa. Dalam dunia informasi dan komunikasi yang bebas, menjadi lebih
memungkinkan bagi masyarakat sipil untuk mengembangkan wacana secara lebih
otonom dan melakukan counter ideologi terhadap usaha negara dalam melakukan
dominasi dan hegemoni. Pembongkaran berbagai skandal-skandal dan berbagai
manipulasi politik yang telah melibatkan elit-elit dilingkaran kekuasaan hanya di
mungkinkan dengan keberadaan pers yang otonom dan bebas dari campur tangan
negara.
Demikian halnya dengan keberadan Departemen Sosial. Keberadaan institusi ini
telah memposisikan masyarakat sebagai obyek yang harus di 'sapih' dan negara tampil
sebagai subjek dalam pelayanan sosial. Implikasi yang diakibatkan cukup fatal :
semakin besarnya ketergantungan dan ketidakmandirian masyarakat dalam memenuhi
hajat hidupnya sendiri. Padahal terbentuknya masyarakat sipil mempermasyarakatkan
adanya kemandirian dan keswadayaan dalam seluruh ruang kehidupan sosial, politik,
ekonomi, dan kebudayaan. Likuidasi Depsos telah memberikan kekuasaan secara luas
kepada masyarakat untuk mengembangkan program-program sosialnya. Tanpa di
bayang-bayangi lagi oleh kehadiran "aparatus kontrol" yang mengendalikan dan
mengatur urusan-urusan pelayanan sosial. Dengan absennya Departemen Sosial pada
akhirnya masyarakat menjadi lebih sadar bahwa mereka adalah subjek yang mengatur
diri sendiri, tanpa perlu mengemis-ngemis meminta belas kasihan kepada institusi
bernama Departemen Sosial.117
2. pencabutan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 Tentang Komunisme
Tap NO:XXV/MPRS/1966, itu di tetapkan oleh Soeharto untuk mencari
kambing hitam saja. Apakah peristiwa 30 September itu benar rekayasanya orang-orang
PKI atau benar rekayasanya orang-orang militer dengan mengorbankan PKI, karena
peristiwa itu belum jelas. Orang-orang Orde Baru itu memang suka mencari kambing
hitam kemudian mereka membuat suatu keputusan yang sesuai dengan apa yang ada
saat itu mendapat dukungan politik yang sangat besar, di tunjukkan oleh militer bahwa
PKI di balik peristiwa tersebut telah melakukan kekejaman yang bukan main. Kemudian
117M. Zaki Mubarak,” Gus Dur dan Pembalikan Wacana”, dalam Khamami Zada (ed.), Neraca Gus Dur, hlm.44-51.
segala macam kekejaman yang-katanya-di lubang buaya itu benar semua. Padahal
menurut dokter yang melakukan otopsi terhadap mayat-mayat itu, kekejaman-seperti
yang dikatakan oleh militer-tidak pernah terjadi. Jadi, itu karangan militer semua. Tapi,
kampanye media itu memberikan bangunan citra dengan melakukan apa yang di sebut
dengan caracter assosination terhadap PKI, kemudian dikeluarkanlah Tap itu.118
Pada awal April 2000 dengan self Confident yang tinggi K.H. Abdurrahman
Wahid sewaktu jadi Presiden menyampaikan secara terbuka, yang kemudian membawa
ekses yang luas, yakni usulan mendesak di cabutnya Tap MPRS XXV/1966 yang berisi
tentang pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran Marxisme, Leninisme, dan
komunisme. Sebenarnya, ini bagi Gus Dur sama sekali bukan ide yang baru dan muncul
begitu saja belakangan. Sebelum menjabat sebagai Presiden, K.H. Abdurrahman
Wahid, telah berulang kali mengemukakan hal yang hampir senada. Dalam kapasitas
sebagai ketua umum PBNU, Gus Dur sempat menyampaikan permohonan ma'af
terhadap mereka yang menjadi korban berkaitan dengan tuduhan keterlibatan sebagai
PKI.
Tap MPRS XXV/1966 itu sendiri telah memiliki kedudukan yang khusus selama
pemerintahan Orde Baru. Bagi rezim saat itu, pembentukan Tap tersebut merupakan
sebuah simbol batas pemisah antara rezim Soekarno yang di sebutnya sebagai "Orde
Lama" dan rezim Soeharto yang menyatakan diri sebagai "Orde Baru". Singkat kata,
Tap MPRS XXV/1966 telah menjadi "roh" kelahiran dan kehidupan Orde Baru. Selama
kurun 30 tahun kekuasaan Soeharto, tidak ada yang berani untuk mengusik 'Barang
118 Tamrin Amal Tomagola,” Gus Dur dan Tap MPRS XXV/MPRS/1966(Demi tumbuhnya civil society Gus Dur rela di tekan DPR)”, dalam A. Malik Haramain dkk (ed.), Gus Dur Goro-Goro, hlm.93-94.
Keramat' itu. Dengan demikian, Tap tentang pelarangan PKI tersebut terus eksis sampai
dengan K.H. Abdurrahman Wahid menjadi Presiden.
Tap ini tidak hanya sebagai "roh" yang melegitimasi kekuasaan Soeharto tetapi
pada kenyataannya, retorika "bahaya komunis" telah juga dimanfaatkan oleh rezim
sebagai sarana kendali kekuasaan dan untuk 'political exclussion' terhadap lawan-
lawannya. Negara telah mengembangkan operasionalisasi keputusan itu dalam berbagai
manifestasinya. Dalam realitas pelaksanaannya, pemberlakuan Tap tersebut telah
menelan korban yang jumlahnya tidak sedikit, tidak hanya menghantam mereka yang
terlibat langsung dengan PKI tetapi juga orang-orang yang tidak memiliki hubungan
apapun dengan gerakan komunisme. Selain telah meng-exclussif para bekas aktivis kiri
dalam kehidupan kenegaraan selama waktu yang tidak jelas, tetapi juga melibatkan
penghukuman buat saudara dan keturunan, yang nota bene tidak bersangkut paut
dengan komunisme. Untuk membedakan dengan warga negara lain yang "pancasilais"
maka state juga menjalankan kebijakan politic of stigma dengan cara memberikan kode-
kode tertentu terhadap para pesakitan ini, yakni dengan memberikan tanda OT
(organisasi terlarang) atau ET (Eks Tapol) pada lembaran kartu tanda penduduk
(KTP).119
Pertimbangan presiden K.H. Abdurrahman Wahid yang mendasari keharusan
pencabutan Tap MPRS XXV/1966, meskipun ia menyadari betul kebijakan itu tidak
populer dan menimbulkan banyak reaksi lebih di karenakan oleh alasan-alasan yang
bersifat kemanusiaan. Menurut K.H. Abdurrahman Wahid, ketetapan yang muncul lebih
di dasari oleh dorongan hawa nafsu segelintir orang, jelas-jelas bertentangan dengan
119 M. Zaki Mubarak,” Gus Dur dan Pembalikan Wacana”, dalam Khamami Zada (ed.), Neraca Gus Dur, hlm.56-58.
nilai kemanusiaan. Ketetapan itu telah mendiskriminasikan anggota PKI dan
keluarganya selama lebih tiga puluh tahun sebagai warga negara berkaitan dengan hak
asasi manusia.Dengan melalui pencabutan ketetapan maka mereka tidak bisa lagi di
perlukan sebagai orang yang tidak punya hak sama sekali. Menurut Gus Dur sudah tidak
masanya lagi alasan keamanan di jadikan dasar bagi anak-anak orang Tapol tidak boleh
bekerja menjadi PNS, masuk sekolah, mendapatkan kode ET di dalam kartu
penduduknya.120
Ide paling kontroversial dari Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, yang telah
mengakibatkan meletupnya demonstrasi-demonstrasi penentangan selama kurun
setahun masa kekuasaannya, pada akhirnya harus membentur tembok. Menghadapi
gelagat bahwa menguatnya signal-signal negatif dari hampir seluruh Ormas dan
kekuatan politik terhadap gagasan tersebut telah memaksa Presiden K.H. Abdurrahman
Wahid bersikap lebih moderat. Dalam beberapa kesempatan setelahnya, Gus Dur
mengatakan dirinya hanya sekedar mengusulkan saja, tetapi akhir dari kesemuanya
terletak di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Dengan demikian, keseluruhan ending dari ide humanistik presiden K.H.
Abdurrahman Wahid ini telah dapat di baca. Usulan yang selama dua bulan meramaikan
wacana publik ini kandas. Seluruh fraksi MPR yang ada di dalam panitia Ad Hoc II
Badan Pekerja (PAH II BP) MPR memutuskan untuk menolak usulan pencabutan Tap
MPR tentang pelarangan PKI dan pelarangan penyebaran ajaran komunisme dan
Marxisme/Leninisme.121
120 Ibid, hlm.60-61.
121 Ibid, hlm.63.
3. Penghapusan Bakorstanas Dan Litsus
Keputusan K. H. Abdurrahman Wahid sewaktu menjabat Presiden, untuk
mengeluarkan Keppres NO.38/2000 yang berisikan pencabutan atas Keppres
sebelumnya NO.29 tahun 1988 tentang pembentukan Bakorstanas dan Keppres NO. 16
tahun 1990 tentang Litsus merupakan langkah yang sangat fundamental dalam
mengakhiri praktek otoriter represif. Meskipun tindakan Presiden K. H. Abdurrahman
Wahid ini di rasakan agak terlambat, Keppres NO.38 tahun 2000 itu sendiri baru
dikeluarkan awal Maret 2000, tetapi kebijakan itu sendiri memiliki arti yang sangat
signifikan. Setidaknya, pemerintah telah memperlihatkan adanya cara pandang yang
berbeda dalam menangani masalah stabilitas politik dan kemasyarakatan di bandingkan
pola pikir sebelumnya.
Selama masa Orde Baru, kedua instrumen ini merupakan ujung tombak
pengendalian dan teror ideologis rezim terhadap lawan-lawan politiknya. Keberadaan
Bakorstanas yang sejatinya merupakan "reinkarnasi" dari lembaga komando operasi
pemulihan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib) yang memiliki reputasi paling
menakutkan selama periode pertama kekuasaan Soeharto. Ini juga memperlihatkan
bahwa rezim masih memperlakukan pengelolaan negara dalam kerangka situasi
"darurat". Sehingga masih merasa perlu untuk mengoperasikan mekanisme ekstra
konstitusional dan ekstra judisial yang terbukti represif tersebut.
Selama masa kejayaan Orde Baru, Kopkamtib dan kemudian Bakorstanas,
berperan penting dalam mengidentifikasikan pihak mana dianggap sebagai musuh dan
ancaman bagi negara, termasuk apa dan siapa "ekstrem kiri" dan "ekstrem kanan".
Sialnya lagi, bagaimana institusi ini beroperasi ditindih dengan pelbagai kepentingan
politik rezim kekuasaan. Selain bagimana dicatat Brian May, peran Kopkamtib dalam
pertengahan 1970-an telah memperlihatkan sosoknya yang menakutkan bukan hanya
bagi masyarakat sendiri, tetapi ternyata juga bagi kalangan militer yang dianggap
berseberangan. Merunut kepada kelahirannya, berdirinya Kopkamtib tidak dapat
dilepaskan dari situasi krisis dan ketidakpastian yang berlangsung akibat
pemberontakan komunis masa sebelumnya. Karena itu, ia difungsikan sebagai sarana
penormalan.
Penghapusan penelitian khusus (Litsus) atau di kenal juga sebagai screening,
yang selama sepanjang riwayat pemberlakuannya menjadi momok masyarakat : baik
dikalangan PNS maupun politikus, memiliki nuansa yang sama dengan semangat
pembubaran Bakorstanas. Telah menjadi pengetahuan luas, bahwa sarana Litsus telah
menjadi alat yang digunakan rezim di dalam "menelikung" orang-orang yang tidak di
kehendakinya. Selain pertanyaan yang sering kali diajukan dalam Litsus, terutama bagi
orang-orang berstigma buruk di mata rezim, seperti mengada-ada, terkesan menjebak
dan mencari kesalahan. "Tidak lolos Litsus" menjadi hantu yang membuntuti para
politikus, sehingga menyebabkan berpikir seribu kali "nakal" terhadap kekuasaan.
Beberapa politikus yang kritikal terhadap kekuasaan menjadi sasaran tembak yang
kemungkinan besar tersendat dalam tahapan Litsus ini. Sehingga bukan suatu yang
mengherankan bahwa beberapa orang tertentu terganjal untuk jadi anggota DPR setelah
gagal Litsus.
Negara dengan begitu, tidak lagi muncul dalam wajahnya yang angker dan
senantiasa terus mengawasi gerak-gerik masyarakatnya. Negara, dengan begitu, tidak
dapat lagi melakukan semacam bentuk teror ataupun ancaman-ancaman dan
otoriteristik. Sebaliknya dengan masyarakat sendiri, pembubaran Bakorstanas dan
Litsus, telah merupakan angin segar yang menjadikan mereka tidak merasa was-was
ketika berurusan dengan state. Dapat disimpulkan, Keppres NO.38 tahun 2000 ini telah
mengkondisikan suasana baru yang lebih prospektif dalam kaitannya dengan
demokratisasi dan penguatan masyarakat sipil di Indonesia.122
4. K. H. Abdurrahman Wahid jatuh dari jabatan Presiden
Kelemahan mendasar K. H. Abdurrahman Wahid sewaktu menjabat Presiden
adalah dalam urusan teknis-administrasi telah menjadikan salah satu faktor yang
membuat kerja tim pemerintahannya tidak dapat berjalan dengan baik. Kepemimpinan
yang one man show dan sekaligus beberapa pemecatan yang tidak jelas ujung
pangkalnya, telah menimbulkan kerepotan tersendiri dalam internal kabinet. Namun
122 Ibid, hlm.51-56.
tentu saja, dimensi permasalahan yang membuat Gus Dur harus berhenti di tengah jalan
bersifat sangat kompleks. Bukan sama sekali kebetulan bahwa momentum kejatuhan
Gus Dur ini seiring dengan berlangsungnya konfrontasi yang keras yang di dalamnya
melibatkan beberapa mantan tokoh aparatus Orde Baru, yang masih memiliki pengaruh
cukup kuat.
Meskipun peristiwa kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid dianggap sebuah
tragedi, tetapi ada beberapa hal mendasar yang selalu mengingatkan kembali kepada
masa kekuasaannya. Ia berhenti di tengah jalan tidak dengan membawa "tangan
kosong". Dari inisiatifnya selama memegang kekuasaan ekskutif telah muncul
kebijakan-kebijakan fundamental yang membentangnya "jalan baru" bagi terwujudnya
kehidupan sosial politik secara lebih beradab.123 Walaupun tidak menjadi Presiden,
masih mempunyai jabatan pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai Ketua
Dewan Syura. Masih konsisten untuk memperjuangkan tegaknya demokrasi.
Contohnya, reposisi Sekjen PKB Saifullah Yusuf, apakah dilakukan seketika (27
September 2003) atau setelah pemilu 2004. Rapat pleno DPP PKB ini dihadiri hampir
semua pengurus. Mereka terdiri dari Dewan Syuro, Dewan Tanfidz, Departemen,
lembaga, dan badan otonom. Tercatat peserta pleno yang datang berjumlah 112 orang.
Namun hanya 38 orang yang memiliki hak suara dalam voting. Saifullah Yusuf dan
123 Ibid, hlm.66-67.
Yahya Staquf tidak ambil bagian dalam voting. Padahal, keduanya memiliki suara
sebagai anggota Dewan Tanfidz.
Voting yang berlangsung Sabtu (27/9/2003) pukul 00.05 dini hari itu akhirnya
diikuti oleh 36 orang yang merupakan gabungan pengurus Dewan Syura dan Dewan
Tanfidz. Peserta voting diberi dua opsi, yakni reposisi saat itu juga atau setelah Pemilu
2004. Delapan belas suara memilih opsi reposisi dilakukan setelah pemilu. Tujuh belas
suara memilih pergantian jabatan Saiful dilakukan saat itu juga. Satu suara abstain.124
Saat memberikan penjelasan dalam peresmian Graha Papilu (Panitia
Pemenangan Pemilu) di Surabaya, mantan presiden tersebut mengaku sangat gembira
atas proses pemungutan suara yang dinilainya demokratis. Dalam pemungutan suara
yang dilakukan secara terbuka, Gus Dur hanya didukung 17 suara. Sedangkan 18 suara
lainnya menentangnya dan menghendaki reposisi Sekjen DPP PKB dilaksanakan
setelah pemilu. Walaupun Gus Dur kalah dalam pemungutan suara tentang reposisi
Saifullah Yusuf sebagai Sekjen DPP PKB, Gus Dur yakin, berlangsungnya tatanan
demokrasi dalam tubuh PKB tersebut akan memberikan nilai positif. Sebab, masyarakat
pemilih akan mencatat bahwa PKB merupakan partai yang benar-benar demokratis.125
124 “ Reposisi Sekjen PKB Setelah Pemilu, Gus Dur :"Keputusan ini Harus di Hormati," http://Gus Dur.net, akses 21 Oktober 2003.
125 “Gus Dur Terima Kekalahan "Itulah Demokrasi dan Membuat Saya Bangga", http://Gus Dur.net, akses 21 Oktober 2003.
Mungkin masih bisa menaruh kebanggaan dan harapan kepada mantan Presiden
keempat negara Indonesia, yakni K. H. Abdurrahman Wahid. Umumnya, orang kalau
sudah menjadi mantan Presiden, baik di negerinya sendiri maupun di negerinya-negeri
lain, dia tak lagi memiliki kepedulian yang tinggi atas apa yang tengah di hadapi
bangsanya. Tetapi tidak demikian dengan Gus Dur, sang mantan Presiden.
Lepas dari jabatan Presiden, Gus Dur justru terlihat semakin aktif dengan
persoalan-persoalan kebangsaan. Jadinya, seakan-akan ia belum turun dari jabatan itu.
Agenda kunjungannya ke berbagai daerah semakin padat, demikian juga dengan agenda
ilmiah di berbagai perguruan tinggi yang mengundangnya. Dan satu hal yang tak pernah
terlewat dari wacana yang di sampaikan dan di kembangkan Gus Dur, yakni kritik
terhadap negara.
Kritiknya terhadap negara, selalu bersuara pada pengembangan budaya
demokrasi dan supremasi hukum, termasuk di dalamnya adalah perlindungan dan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Dan nilai-nilai inilah memang, yang
sejak lama menjadi misi perjuangan hidupnya, baik sebagai pribadi maupun sebagai
warga bangsa. Bahkan itu pula yang terus ia perjuangkan tatkala menjadi kepala
negara.126
126 Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, hlm.301-302.
B. K. H. Abdurrahman Wahid dan Transisi Demokrasi
Pasca kejatuhan rezim Soeharto (rezim pemerintahan yang telah berkuasa
selama kurang lebih 32 tahun yang dikenal dengan sebutan rezim Orde Baru) menurut
para pakar politik Indonesia di katakan tengah memasuki era transisi menuju demokrasi.
Era transisi menuju demokrasi mengandung pengertian bahwa tengah terjadi peralihan
dari suatu rezim yang berkuasa dengan sistem dan cara otoriterianisme menuju sutau
tatanan kehidupan kenegaraan yang mencerminkan nilai dan prinsip-prinsip demokrasi.
Jatuhnya rezim pemerintahan Soeharto, kemudian digantikan oleh wakil Presiden
Habibie sebagai Presiden yang berlangsung sangat singkat kemudian digantikan oleh
K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih secara konstitusional dan
demokratis melalui sistem demokrasi perwakilan dari suatu pemilu yang cukup
demokratis merupakan indikasi awal tengah terjadi proses demokratisasi di Indonesia. 127
127 Puslit IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan Kewarganegaraan, hlm.199.
Salah satu aksioma dalam sistem politik demokrasi adalah bahwa demokrasi
tidak mungkin di wujudkan tanpa adanya rule of law . Mengapa demikian? Jawabannya
tentu tidak sulit. Demokrasi, yang mengisyaratkan adanya pelaksanaan hak-hak dasar
seperti hak menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan, berkumpul dan
berserikat, sudah barang tentu memerlukan adanya aturan main yang di patuhi bersama.
Tanpa adanya sebuah aturan main yang demikian, maka proses pelaksanaan hak-hak
tersebut akan mengalami berbagai hambatan, karena adanya perbedaan-perbedaan
dalam hal akses, kemampuan, status dan kelas sosial, gender dan sebagainya. Dengan
menggunakan aturan main yang tidak biasa terhadap individu maupun kelompok
tertentu, maka akan dapat dicapai semacam kondisi kesetaraan, yakni kesetaraan di
muka umum, sehingga masing-masing pihak dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka
dan adil. 128
128Muhammad AS. Hikam.”Politik hukum di Indonesia dalam konteks reformasi dan demokraso”, dalam Khamami Zada dan Idy Muzayyad (ed.), Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, cet,I (Yogyakarta:Sema Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga dengan Pustaka Pelajar,1999), hlm.3-4.
Dalam era reformasi seperti sekarang ini timbul suatu pertanyaan K. H.
Abdurrahman Wahid; mungkinkah demokrasi di Indonesia dapat ditegakkan pada
periode setelah pemilu yang akan datang (pemilu 2004)? Jawaban atas pertanyaan di
atas adalah tidak. Pertanyaan ini tentulah mengejutkan banyak pihak, karena dalam
kenyataan telah terjadi perubahan besar dalam panggung politik yang lebih memberikan
peluang bagi tegaknya demokrasi seperti berdirinya beberapa partai politik yang hampir
semuanya bertujuan menegakkan demokrasi. Partai-partai tersebut juga didukung oleh
cendekiawan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa, serikat-serikat buruh,
dan media massa. Siapa yang berani memberikan jawaban negatif atas pertanyaan di
atas akan dimusuhi banyak orang. Hanya kejujuran yang murni sajalah yang dapat
mendorong orang berbicara seperti itu secara terbuka dalam media massa.
Menurut K. H. Abdurrahman Wahid, bahwa konstelasi politik yang ada belum
memungkinkan tumbuhnya demokrasi yang sebenarnya karena masih banyaknya
rekayasa dan intrik yang berlaku. Di samping itu, masih ada lembaga-lembaga
pemerintahan yang mempertahankan status quo . Demikian pula undang-undang pemilu
dan sistem politik yang ada masih memungkinkan terjadinya hal itu. Dan yang lebih
penting, tradisi yang belum melahirkan budaya politik yang sehat.
Apakah ini berarti akan kembali pada masa Orde Baru, yang berisi kenyataan
pahit bahwa pemerintah pusat menguasai segala-galanya? Dan bukankah ini juga berarti
pemerintahan akan diserahkan kepada satu orang saja? Kalau bersedia melakukan
perubahan dan pembenahan yang serius dan efektif tentulah hal ini tidak akan terjadi.
Perubahan mendasar yang perlu dilakukan di antaranya adalah pola hubungan antara
pusat dan daerah yang lebih berimbang. Ini penting dilakukan kalau Indonesia ingin
tetap menjadi satu negara yang utuh (negara kesatuan). 129
Sejak hari pertama Gus Dur pada waktu menjadi Presiden jelas sudah bahwa
salah satu lagi tantangan utama yang menghadang demokratisasi di Indonesia adalah
bagaimana memecahkan masalah konflik kelompok dan agama. Konflik ini terbukti
pada bulan-bulan berikutnya. Bagaimanapun juga, demikian menurut para
pengkritiknya, Presiden telah menghabiskan seluruh karir publiknya untuk
berkampanye menentang kekerasan sektarian, sebagai presiden, ia tak mampu
menyelesaikan masalah ini? Gus Dur sendiri sangat terganggu oleh berlanjutnya konflik
di Maluku, Kalimantan, Sulawesi, atau juga di Jawa. Ia merasa prihatin karena ia benar-
benar benci adanya perpecahan. Ia juga merasa frustasi sebagai seorang pemimpin
politik karena kenyakinannya bahwa konflik, paling tidak dalam beberapa kasus
memang sengaja di ciptakan sebagai bagian dari suatu kampanye sinis untuk
memojokkan pemerintahannya.
Sejumlah manifestasi sektarianisme memang mengganggu tetapi untunglah tidak
berkembang menjadi pertumpahan darah yang serius. Hal inilah yang terjadi dengan
Front pembela Islam (FPI), yang secara teratur menyerang kafe-kafe dan bar-bar di
129 Abdurrahman Wahid, “Masa Depan Demokrasi di Indonesia,” http://Gusdur,net, akses 19 September 2003.
Jakarta dan menimbulkan kerugian materiil yang tidak kecil tetapi jarang menimbulkan
korban luka atau tewas.130
Dewasa ini masa Islam memang berada dalam situasi resah, karena berbagai faktor. Proses pembangunan bangsa secara keseluruhan masih belum jelas warna dasarnya, apakah akan menuju kepada tekanan semakin lama semakin berlebih pada pengembangan hak-hak masyarakat, atas kerugian hak-hak individual yang semakin berkurang. Perkembangan keadaan juga masih belum menunjukkan tanda-tanda asas kekeluargaan akan menjadi “warna dasar” struktur ekonomi bangsa Indonesia, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 33 UUD 1945. keterasingan masyarakat satu dari yang lain kian hari kian terasa, karena distorsi konsep-konsep yang digunakan dalam mengatur kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya diakibatkan meluasnya penyalahgunaan wewenang semua pihak. Semuanya itu memang sumber kegundahan bagi warga masyarakat selaku individu maupun sebagai anggota kelompok. Dengan demikian, tawaran alternatif senantiasa akan memperoleh sambutan, sebagai “obat penawar” bagi keadaan yang menggundahkan perasaan itu. Namun haruslah di ingat, bahwa penerimaan seperti itu kepada sebuah tawaran alternatif hanya akan berumur pendek, selama sebab-sebab kegundahan hati itu masih ada. Sedangkan bangsa Iran yang secara formal telah menerima “sistem sosial Islam” sebagai alternatif ideologis bagi semangat kebangsaan Iran yang dominan sebelumnya, masih juga harus membuktikan bahwa penerimaan Islam sebagai hakekat negara akan bertahan setelah Ayatullah Khomaeni meninggal dunia nanti. Apalagi kalau “respon positif” itu hanya diperoleh dari kelompok-kelompok kecil yang berserakan.
Selama kelompok-kelompok “tawaran alternatif” itu belum berhasil
membuktikan penerimaan luas oleh masyarakat Muslim sendiri, sudah selayaknya jika
pandangan bahwa Islam adalah faktor komplementer bagi ideologi negara pancasila
dianggap sebagai representasi dominan dikalangan masa Islam. Dengan demikian,
pengertian kata “umat” Islam lalu menjadi umum, meliputi semua kaum muslimin di
Indonesia. Demikian pula, format perjuangannya adalah partisipasi penuh dalam upaya
membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan penuh keadilan di masa depan. Dan
akhirnya tujuan perjuangannya adalah memfungsikan Islam sebagai kekuatan integratif
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari masyarakat Indonesia. Kesanalah
hendaknya kesadaran massa Islam diarahkan dan dikembangkan oleh gerakan Islam di
negara Indonesia.131
Persoalan pertama yang bakal dihadapi duet kepemimpinan Gus Dur-Mega
adalah berkaitan dengan urusan pembentukan kabinet. Banyak spekulasi dan rumor
yang beredar luas mengenai macam-macam versi mengenai komposisi kabinet
130 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.413-414.
131 Abdurrahman Wahid,”Massa Islam Dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Prisma pemikiran Gus Dur, hlm. 215-216.
pemerintahan baru ini. Realitas kepolitikan pada saat itu membuat Presiden K. H.
Abdurrahman Wahid bersikap sangat hati-hati. Ia dihadapkan oleh beberapa spektrum
yang saling berbeda dan masing-masing membutuhkan untuk di akomodasi. Satu sisi,
Gus Dur terkait dengan idealitas semangat reformasi politik yang menuntut dirinya
untuk mempertegas sikapnya tidak berkompromi dengan kekuatan yang dianggap
sebagai batu sandungan bagi jalannya reformasi politik secara keseluruhan. Dalam hal
ini tuntutan yang dikehendaki para reformasi garis keras, terutama yang kerap
disuarakan kalangan aktivis mahasiswa, telah sangat jelas, pembersihan dari tentara dan
orang-orang berbau Orde Baru. Mereka menghendaki Gus Dur segera mengembalikan
tentara kepada peran profesionalnya alias kembali kebarak. Dengan dicabutnya Dwi
Fungsi, maka banyak harapan ditujukan kepada Presiden K. H. Abdurrahman Wahid
untuk tidak mengakomodasi unsur militer dalam pemerintahan baru.132
Sejak menjabat Presiden RI Oktober 1999, Gus Dur telah melakukan 'revolusi
besar' terhadap bangunan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Gus Dur
memberikan fokus perhatian tinggi pada dinamika internasional. Ini terbukti dengan
tingginya frekuensi lawatan sang presiden ke luar negeri.
Lawatan Gus Dur tidaklah semata-mata 'proyek anjangsana'. Terdapat sinyal
substansial dan strategis bagi peningkatan citra Indonesia di mata dunia dan juga
pemulihan ekonomi nasional. Pertemuan-pertemuan Gus Dur dengan sejumlah kepala
negara menunjukkan bahwa Gus Dur mempunyai level akseptabilitas tinggi.
Di samping itu Gus Dur pun, secara sadar atau tidak, telah merombak format
hubungan luar negeri Indonesia. Jika dahulu-terutama di era Orde Baru - Indonesia
132M. Zaki Mubarak,” Gus Dur dan Pembalikan Wacana”, dalam Khamami Zada (ed.), Neraca Gus Dur, hlm.30.
sangat mengedepankan pola hubungan multilateral, maka kini aspek bilateral menjadi
lebih dominan. Tentu saja hal ini sangat bermanfaat jika Indonesia membutuhkan
dukungan dari negara-negara tertentu, terutama dalam rangka memperjuangkan
kepentingan nasional di fora internasional.
Selama masa tiga bulan pertama, kepemimpinan Gus Dur sudah menebar
signifikasi corak diplomasi. Secara bilateral, dukungan dari kepala negara lain terhadap
pemerintahan Gus Dur telah meningkatkan postur pribadinya sebagai kepala negara.
Konsekuensinya citra Indonesia merambat naik. Tentu saja fenomena tersebut
memberikan imbas positif terhadap dinamika kerja sama ekonomi, paling tidak dalam
hal komitmen pengaliran investasi.
Pada konteks politik internasional, diplomasi Gus Dur ke negara-negara
berpengaruh seperti ke AS dan RRC turut membantu posisi Indonesia menahan
gempuran komunitas internasional. Padahal Indonesia tengah dihadang ancaman serius
international tribunal, terutama menyangkut pelanggaran HAM pasca jajak pendapat
Timor Timur. Dukungan bilateral dari RRC - dengan hak vetonya - akan sangat
membantu bargaining position Indonesia dalam melawan CIET (Commission of
Inquiry on East Timor) yang begitu bersemangat membawa Indonesia ke pengadilan
internasional. Sekjen PBB Kofi Annan pun memberikan sinyal positif bahwa Indonesia,
untuk sementara, tidak akan 'digugat'.
Gus Dur juga tidak semata-mata tunduk pada kekuatan negara lain. Australia,
misalnya, yang pada masa pascajajak pendapat Timtim mendapat 'kehormatan'
memimpin pasukan internasional dalam operasi perdamaian namun sekaligus
menginjak-injak harga diri bangsa Indonesia, 'ditelantarkan' begitu saja oleh sang
Presiden. Padahal, sebagai negara tetangga, sangat wajar kalau Australia bertanya-
tanya, mengapa Gus Dur tidak kunjung menyapa Australia. Dan ternyata Gus Dur telah
menang satu poin atas Australia, yaitu dengan datangnya Menlu Alexander Downer ke
Jakarta pada akhir Januari untuk memfasilitasi pertemuan kedua kepala negara. Jadi
jelas, Australia pun 'memerlukan' Gus Dur. 133
Kunjungan ke luar negeri yang memecahkan rekor kunjungan seorang pemimpin
negara menunjukkan kapasitasnya, meskipun tidak sedikit yang melihat ia lebih
outward looking ketimbang inward looking, dan belakangan Gus Dur menegaskan
bahwa masalah dalam negeri tetap menjadi prioritas utamanya. Lebih dari itu, justru
banyak pemimpin negara lain mengharapkan kunjungannya, ia memang disegani. Gus
Dur merupakan seorang pemimpin dianggap memiliki Kharisma.
Pemimpin kharismatik dicirikan bahwa pengikutnya: (a) mempunyai loyalitas
dan komitmen yang tinggi, dan penuh dedikasi kepada pemimpin, (b) memihak kepada
pemimpin dan misi pemimpin, (c) mengikuti nilai, tujuan dan perilaku, (d) melihat
pemimpin sebagai sumber inspirasi, (e) mendapat rasa harga diri dari hubungan mereka
dengan pemimpin dan misinya, dan (f) mempunyai derajat kepercayaan yang luar
biasa.134
Duta Besar Inggris, Richard Gozney menyatakan meski kurang dari dua tahun
memimpin Indonesia, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberi peran besar dalam
demokratisasi di Indonesia. Karena itu sejarah akan mencatat peran Gus Dur sebagai
pendidikan politik yang paling berharga sehingga anak cucu bangsa Indonesia tidak
133Yasmi Andriansyah, “Gus Dur, Indonesia, Dunia,” http://Gusdur,net, akses 21 Oktober 2003.134
? Danes Jaya Negara, “Gus Dur Dalam Perspektif Kepemimpinan,” http://Gus Dur.net, akses 21 Oktober 2003.
boleh melupakan jasa Gus Dur tersebut. Lebih lanjut Richard Gozney menjelaskan,
salah satu andil besar Gus Dur dalam pendidikan politik bagi bangsa Indonesia adalah
memposisikan peran TNI sebagaimana diatur dalam konstitusi yang berlaku di
Indonesia. Dikatakan Gozney, jasa lain Gus Dur dalam pendidikan demokrasi adalah
memberikan kebebasan pers. Gus Dur sangat paham, pers yang bebas merupakan salah
satu pilar demokrasi.135
Gus Dur adalah bagian terpenting dalam transisi demokrasi. Gus Dur cukup
keras kepala dalam menegakkan demokrasi dan perjuangannya dalam penegakan HAM.
Ketika naik sebagai Presiden, Gus Dur seraya berkeinginan untuk memindahkan wajah
pemerintahan yang otoriter menuju pemerintahan demokratis. Kenapa dia sebagai unsur
terpenting dalam transisi demokrasi? Karena dalam transisi demokrasi di butuhkan
seorang demokrasi sejati, hal ini sudah menjadi dalil. Selanjutnya, disamping dia
dibutuhkan sebagai tokoh demokrasi, pluralis dan pembelaan HAM, dia juga merupakan
bagian dari komitmen terpenting dalam rangka menjalankan agenda-agenda reformasi.
Dengan demikian komitmen yang harus dilakukan adalah ; pertama, membentuk
konstitusi reformasi yang menggantikan konstitusi lama. Kedua, melakukan supremasi
sipil dibidang politik, keamanan/teritorial dan bisnis atau perekonomian sebagai pintu
demokrasi. Ketiga, adanya pengadilan terhadap para pelaku pelanggar HAM sepanjang
pemerintahan Soeharto dan Habibie. Keempat, pengadilan terhadap pelaku KKN dan
menyelenggarakan kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah, yang juga merupakan
lokomotif untuk menuju demokrasi. Kelima, keberpihakan terhadap kaum pekerja atau
buruh. Keenam, keberpihakan pada para petani karena kebetulan mayoritas warga
135 “Richard Gozney: Gus Dur Berperan Besar Dalam Demokratisasi Indonesia,” http://Gusdur.net, akses 21Oktober 2003.
negara yang dipimpin oleh Gus Dur sewaktu jadi Presiden, kebanyakan adalah petani.
Dari ketujuh itu Gus Dur memiliki komitmen. Dan yang terpenting juga dalam transisi
demokrasi ini adalah bagimana caranya membuat, mengurangi atau menghancurkan
kekuatan lama-yang anti demokrasi-yang masih menganggu.
Dalam transisi demokrasi terdapat tiga syarat. Pertama, harus ada institusi
demokrasi, yaitu ada legislatif, yudikatif, eksekutif, ada pers dan pemilu. Kedua, adanya
proses demokrasi yaitu fungsi dan peran-peran yang dilakukannya oleh institusi. Ketiga,
adanya input dalam proses dan dalam lembaga. Inilah yang paling krusial dalam transisi
demokrasi dan selama ini input berasal dari elemen-elemen kekuasaan Orde Baru dan
Militerisme.136
Cara yang paling sederhana untuk menjelaskan cakupan masalah yang dihadapi
Gus Dur-sementara diakui bahwa manajemennya lemah dan semua gaya
kepemimpinannya, dan juga bahwa ia cenderung untuk melakukan komunikasi yang
tidak benar-adalah bahwa sebagai Presiden Indonesia pertama yang dipilih secara
demokratis, ia menghadapi tugas sulit untuk mengawasi proses berat pergantian rezim.
Menurut sejarah, bagi setiap negeri yang telah mengalami bertahun-tahun pemerintahan
otoriter yang didukung oleh tentara, peralihan ke demokrasi merupakan kesulitan yang
sangat besar. Kasus-kasus di Pakistan dan Rusia menunjukkan bahwa tidak ada jaminan
untuk mendapatkan cahaya pada ujung lain terowongan kadang-kadang bahkan orang
tidak yakin bahwa memang terowongan ini berujung. Beberapa aspek mengenai proses
pergantian rezim yang tengah di hadapi Indonesia tampak unik, akan tetapi kebanyakan,
pengamat akan dengan cepat di kenal dimana saja, apakah di Amerika Laten, Eropa
136M. Fadjroel Rachman,”Gus Dur dan Transisi Demokrasi(...Gus Dur bagian terpenting dalam transisi demokrasi ini)”, dalam A. Malik Harmain dkk (ed.), Gus Dur: Goro-Goro, hlm. 55-56.
Timur, atau Asia Timur. Perbedaan penting dalam hal Indonesia adalah bahwa negeri
ini memulai transisi ke demokrasi di tengah-tengah krisis keuangan yang dahsyat. Akan
tetapi, tantangan utama yang dihadapi negeri ini adalah sama dengan apa yang dihadapi
oleh masa-masa peralihan pada umumnya; berurusan dengan kebudayaan dari warisan
kelembagaan dari rezim terdahulu.
Hal paling melemahkan yang menghambat Gus Dur dan berasal dari rezim yang
belum lenyap itu adalah warisan budaya yang tak kelihatan tetapi merusak tanah tempat
berakarnya demokrasi-setidaknya di kalangan masyarakat elit. Sedihnya, budaya
mencari rente dari rezim Soeharto-walaupun menyatakan dirinya sebagai rezim
pembangun, tetapi sebenarnya tak lebih dari pada sistem waralaba untuk mencari
untung dan kesempatan saja-masih tetap berlaku.137
Masa kepresidenan Gus Dur ditandai oleh makin kuatnya posisi DPR diatas
eksekutif. Tentu saja, diperlukan DPR yang vokal dan terus terang agar demokrasi dapat
berfungsi. Akan tetapi suatu DPR tanpa chek and balances konstitusional yang cukup,
lewat kontrolnya yang efektif terhadap MPR, akan berubah menjadi hukum itu sendiri.
Lembaga ini tidak mendorong berfungsinya demokrasi. Itulah yang terjadi pada UUD
1945, yang selama empat dasawarsa memberikan pelayanan yang baik kepada Presiden-
Presiden yang otoriter, tidak dapat menjamin bahwa seorang Presiden yang demokratik,
dalam batas-batas yang masuk akal, bebas melakukan pekerjaannya.138
Menurut Nurcholish Madjid atau Cak Nur (Rektor Universitas
ParamadinaMulya), Gus Dur merupakan presiden pertama yang secara sadar
137 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.468-469.
138 Ibid, hlm. 478.
memperjuangkan pluralisme, toleransi, antikekerasan, dan menyadari sepenuhnya
bahwa ia mewakili masyarakat secara keseluruhan. Cak Nur mengemukakan, Sidang
Umum MPR 1999 merupakan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk melembagakan
oposisi. Namun kenyataannya semua ingin menjadi "priyayi", masuk kabinet, dan dapat
pangkat. Godaan untuk menjabat itu begitu kuat karena biasanya jabatan sejajar dengan
kekayaan. Oleh karena itu, menurut Cak Nur, perlunya oposisi harus terus ditanamkan
dalam masyarakat sampai masyarakat merasa terhormat untuk menjadi oposisi, berada
di luar pemerintahan, dan tidak mempunyai derajat atau pangkat.
Oposisi, kata Cak Nur, tidak harus dipahami sebagai menentang. Dalam konteks
politik, oposisi merupakan kekuatan penyeimbang karena persoalan sosial dan politik
tidak boleh dipertaruhkan pada i'tikad baik pribadi. Oposisi diperlukan untuk
mengingatkan bahwa tidak ada orang yang tidak bisa berbuat salah. Indonesia, lanjut
Cak Nur, sudah berhasil mencapai tahap demokrasi. Tahapan selanjutnya adalah tahap
yang sangat sulit, tahap yang menuntut kedewasaan dan kesanggupan menerima
keragaman. Persoalan yang dihadapi adalah bangsa Indonesia masih belum terlatih
menyelesaikan masalah melalui otot bukan akal. Padahal demokrasi tidak bisa didukung
oleh mob politics.
Menurut Cak Nur, Indonesia merupakan bangsa yang relatif baru dan dengan
pengalaman yang panjang sebagai masyarakat terjajah. Demokrasi, kata Cak Nur,
bukanlah sesuatu yang jatuh dari atas melainkan kategori dinamis yang tumbuh melalui
pengalaman dan eksperimentasi. Dalam eksperimentasi ini ada masalah mencoba dan
salah (trial and error).
Sekjen KIPP Mulyana W Kusumah mengemukakan pentingnya membangun
oposisi di Indonesia. Pemerintahan Gus Dur, kata Mulyana, menghadapi berbagai
persoalan, seperti ketidakmampuan mengambil langkah strategis dalam masalah
disintegrasi, kekhawatiran munculnya neokroniisme akibat politik akomodasi dan neo-
otoritarianisme, dan relasi parpol dengan pemerintah yang menutup peluang oposisi
parlementer.
Bertolak dari penilaian itu Mulyana mengemukakan, penumbuhan oposisi
parlementer maupun ekstraparlementer yang konstruktif menjadi sangat penting. Tiga
fungsi yang harus dijalankan serentak adalah institusionalisasi kontrol politik yang
efektif, konsolidasi demokrasi dengan penguatan partisipasi, dan prevensi atas
kemungkinan dipilihnya jalan keluar inkonstitusional.
"Tanpa oposisi parlementer dan ekstraparlementer yang efektif mengancam
munculnya replikasi rezim otoritarian gaya baru dan tertutupnya jalan demokrasi yang
emansipatif," kata Mulyana. 139
Harus ada satu ketegasan bahwa sekarang sedang hendak menuju kesuatu rezim
demokrasi dan karena harus memiliki hak dan kewajiban untuk mempertahankan rezim
demokrasi. Dana SI yang mencapai 20 milyar lebih itu sama sekali tidak ada
hubungannya dengan upaya penegakan demokrasi. Karena sumber penyakit dalam
membangun demokratisasi di Indonesia ini adalah kekuatan anti demokrasi yang masih
terdapat di legislatif untuk menyerang eksekutif. Jadi, kalau sudah terdapat konstitusi
demokrasi, maka untuk merangkul kekuatan demokrasi dan meninggalkan kekuatan anti
demokrasi itu dilandasi oleh aturan-aturan konstitusi. Dalam transisi demokrasi yang
139 “Nurcholish Madjid: Gus Dur Harus di Pertahankan,” http://Gusdur.net, akses 21 Oktober 2003.
dibutuhkan adalah adanya kaum moderat yang menciptakan konstitusi demokrasi untuk
memberikan garis tegas dalam menegakkan demokrasi sendiri.140
Tak seorangpun pernah membayangkan bahwa peralihan ke demokrasi di
Indonesia akan lancar, tetapi pada awalnya sejumlah kecil reformasi, termasuk Gus Dur,
sepenuhnya memahami besarnya tugas ini. Oleh karena itu, termasuk akal orang yang
merasa kecewa dengan masa kepresidenan Gus Dur, tetapi, mengingat keadaan dimana
Gus Dur yang harus melaksanakan, ia sebenarnya patut menerima lebih banyak pujian
dari pada yang telah diberikan pada umumnya.
Gus Dur mempunyai sejumlah sifat yang jarang ditemui sekaligus dalam diri
seseorang. Ia seorang idealis dalam hal apa yang ingin dicapainya dan nilai-nilai yang
diagungkannya secara konsisten sepanjang hidupnya. Tetapi ia juga seorang realis
disertai perasaan yang tajam mengenai real politik. Keyakinannya bahwa "politik adalah
seni tentang hal-hal yang mungkin" cocok bagi masa transisi karena masa ini memang
biasanya berantakan tak dapat dilalui tanpa kompromi terus-menerus.141
C. K. H. Abdurrahman Wahid, Militer dan Demokratisasi
Kehadiran militer secara institusional serta personal di'kawasan'sipil telah banyak di persoalkan selama ini. Pertanyaan akan hal itu telah menjadi kecenderungan umum, dan lazimnya dipahami sebagai bagian dari satu persoalan besar, yakni demokratisasi. Bisa melihat berbagai manifestasi doktrin militerisme, antara lain sakralisasi negara yang mesti dibela sampai mati, serta penciptaan kondisi darurat yang membenarkan tindakan kekerasan. Etika militerisme bersifat meniadakan dialog, mematikan alternatif dan mengagungkan agresi. Secara organisasional, militerisme pada umumnya muncul dalam pola pengorganisasian yang hierarkhis, sentralistik, dan dikendalikan oleh komando.
Perwujudan nilai-nilai militerisme seperti itu dalam perilaku ditandai oleh kecenderungan pada tindakan penyeragaman, kekerasan, disiplin buta, dan penerapan hukuman yang bersifat fisik serta menghina. Ujung-ujungnya, semua ini bisa bernuansa pada pemujaan simbol-simbol militer sebagai pengakuan atas supremasi militer. Jelaslah bahwa mileterisme
140
? M. Fadjroel Rachman,”Gus Dur dan Transisi Demokrasi(...Gus Dur bagian terpenting dalam transisi demokrasi ini)”, dalam A. Malik Harmain dkk (ed.), Gus Dur: Goro-Goro, hlm.60-61.
141 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.481-482.
merupakan jalinan yang amat rumit dari prinsip, etika, organisasi, hingga perilaku yang merambah ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Militerisme sangat berkaitan dengan format kenegaraan yang militeristik, disamping juga berkaitan dengan terjadinya militerisasi politik. Akan tetapi, 'Militerisme','militeristik' merujuk pada watak penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang didominasi oleh militer yang disertai oleh pola yang amat militer, sedangkan 'militerisasi' merujuk pada tampilnya lembaga dan atau individu militer menguasai lembaga-lembaga non –militer. Sementara itu, militerisme disini dimaknai sebagai ekspansi prinsip, cara berfikir, bersikap dan bertindak dalam logika militer diluar organisasi kemiliteran. Nilai-nilai militer itu sendiri bukan sesuatu yang mesti dimaknai buruk, dan dengan demikian persoalannya bukan terletak pada makna militer itu, melainkan pada penerapan nilai itu diluar ranah (bidang tata tertib/disiplin) semestinya.
Sejarah indonesia modern adalah sejarah yang penuh dengan aroma dan gejolak revolusi, yang didalamnya militer banyak memegang posisi penting. Sekalipun militer termasuk organ yang 'agak lambat' dipikirkan oleh para founding fathers, namun selama tahun-tahun awal kemerdekaan justru kalangan inilah yang banyak berperan dan berinteraksi langsung dengan rakyat banyak. Kalangan militer sendiri dengan sangat manis menyebut peran mereka selama masa revolusi sebagai sumbangsih dari kaum 'pejuang prajurit dan prajurit pejuang'. Ketika penguasa sipil akhirnya menyerah pada tentara pendudukan Belanda pada tahun1948, kalangan militer justru memilih untuk bergerilya di hutan, menjaga eksistensi negara selama proses diplomasi internasional berjalan.
Memang fakta sejarah menunjukkan bahwa kekalahan Belanda di Indonesia tahun1949 lebih banyak ditentukan oleh strategi diplomasi Indonesia yang berjalan simultan dengan tekanan internasional terhadap Belanda. Namun rakyat banyak tak melihat semua perjuangan ditingkat Internasional itu. Yang mereka lihat adalah para tentara yang berbaur bersama mereka di desa-desa, berjuang hingga akhirnya para pemimpin sipil dibebaskan dan kemerdekaan bangsa diakui. Selam masa dimana administrasi sipil mengalami kelumpuhan, praktis para tentaralah yang menjadi penjaga kelangsungan tata praja. Kesan manis dikalangan rakyat ini kemudian diimbuhi oleh centang perenangnya para politisi sipil ditahun 1950-an, yang menghasilkan situasi politik yang amat awam 'pemulihannya' baru bisa dilakukan oleh penguasa militer Orde Baru.142
Pengalaman panjang sejak Soeharto melihat intervensi militer dalam struktur politik secara membabi buta, telah menyulitkan gerak bandul mengarah pada supremasi sipil. Bahkan kerusakan kian terasa, seperti, 1) lahirnya rezim politik yang berwatak otoriter, 2) lemahnya kekuatan rakyat karena tidak tersedia ruang kontrol dan partisipasi, 3) hilangnya profesionalisme militer. Ketiga akibat itu mengalami kelembagaan secara permanen, dimana kenyataan rezimentasi militer dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi kian bergeser dari dominasi menjadi hegemoni. Tak pelak lagi jika militerisasi sebagai penyakit menahun ini akhirnya mentransformasikan diri dalam bentuk militerisme, yakni sebagai karakter, kultur dan ideologi yang bekerja efektif dalam ranah politik Indonesia. Fakta mengenai dominasi militer atas birokrasi, kendali terhadap parpol dan parlemen, penguasaan pada Ormas, maraknya premanisme ekonomi, bisnis kekerasan serta membelukarnya institusi teritorial, bahkan sampai penguasaan pada arena pendidikan tidak bisa dielakkan sebagai fakta-fakta objek mengenai problem militerisasi dan militerisme itu. Munculnya tradisi kontemporer sebagai efek langsung militerisme adalah reproduksi konflik dan kekerasan horisontal, yang ditandai oleh menjamurnya milisi sipil bergerak dalam setiap sengketa di masyarakat.
Problemnya adalah, langkah-langkah membendung bertahan dan bercokolnya rezim "serdadu" selalu berbenturan dengan kelompok status quo yang masih eksis dalam struktur politik Indonesia. Jalan demiliterisasi pernah ditempuh pemerintahan Gus Dur melalui tindakan nyata dengan mengurangi jabatan-jabatan politik oleh militer. Mengurangi porsi menteri yang dimonopoli tentara, jabatan-jabatan eksekutif di daerah seperti Gubernur dan Bupati, serta institusi-institusi ekonomi strategis yang dikuasai militer, lalu diberikan kepada sipil. Demikian halnya kebijakan pemisahan militer dan kepolisian yang dilandasi oleh pembedaan antara peran pertahanan dan keamanan. Pemisahan kelembagaan keduanya secara tegas tentu penting dipahami sebagai bagian reformasi hubungan sipil militer di Indonesia dalam rezim demokratik. Semangatnya adalah, agar keduanya bisa profesional, serta mengurangi derajat kekacauan peran mereka, sebagaimana pengalaman masa lalu. Sayangnya langkah itu berhadapan dengan bongkahan batu sandungan.143
Ketentuan yang memisahkan tugas pertahanan dan keamanan, pada awalnya, bahkan untuk sebagian sampai sekarang, telah menimbulkan persoalan kompetisi dan hubungan kelembagaan yang diwarnai oleh beban psikologis. Sulit di hindarkan munculnya kesan bahwa sejak keluarnya kedua Tap MPR itu telah terjadi persaingan yang kurang sehat antara TNI dan Polri. Sebagai contoh, beberapa masalah dapat di kemukakan disini.
Pertama, semua TNI dan Polri berada dibawah satu institusi yang bernama angkatan bersenjata republik Indonesia (ABRI) yang dipimpin oleh menhankam/pangab (Menteri pertahanan/panglima angkatan bersenjata) dan Polri berada pada posisi yang paling lemah diantara tiga angkatan lainnya yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Setelah keluarnya dua Tap MPR tersebut, kedudukan Polri menjadi sejajar dengan TNI dan seorang Kapolri berkedudukan sejajar dengan seorang panglima TNI dalam jabatan setingkat menteri.
Kedua, setelah keluarnya dua Tap MPR tersebut, Polri mandiri penuh, sebagai aparat negara setingkat departemen, dalam menentukan bidang kebijakan dan anggaran; sedangkan TNI, meskipun juga mandiri setingkat dengan departemen, kebijakan pertahanan dan anggarannya masih bergantung kepada departemen pertahanan. Panglima TNI hanya mempunyai kewenangan operasional dan komando kemiliteran. Diam-diam, hal ini menimbulkan kecemburuan dikalangan TNI karena Polri, yang
142Abdul Gaffar Karim dkk, Melucuti Serdadu Sipil, hlm.1-4.
143 Arie Sujito ,"Demiliterisasi dan Radikalisasi Sipil", makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang demiliterisasi, demokratisasi, dan desentralisasi, peringatan sewindu IRE di gedung UC UGM. Yogyakarta, 12 Juni 2002, hlm.1-2.
semula berada di bawah angkatan-angkatan militer, sekarang bukan saja menjadi sejajar secara struktural tetapi juga menjadi lebih kuat kemandiriannya di banding dengan TNI. Pernah ada pemikiran agar masalah kebijakan dan anggaran untuk Polri ini di serahkan kepada salah satu menteri teknis yang lain, seperti menteri dalam negeri, menteri pertahanan, menteri kehakiman, atau kejaksaan agung. Namun, gagasan ini tidak terealisasikan, sampai akhirnya Polri berhasil menggolkan sebuah undang-undang tentang Polri yang menguatkan kemandirian dalam kelembagaan dan anggaran.
Ketiga, adanya tugas berhimpit antara pertahanan dan keamanan dalam apa yang disebut sebagai grey areas (wilayah abu-abu) sehingga tidak jelas siapa yang berwenang menanganinya. Dalam masalah ini, ada kasus-kasus yang terjadi di dalam negeri (dengan sifat ancaman keamanan) tetapi bercampur dengan unsur campur tangan luar negeri (denga sifat ancaman pertahanan). Dalam keadaan seperti ini, ada resiko bahwa kedua aparat ini bisa saling berebutan karena masing-masing itu menganggap lahannya, atau sebaliknya saling berpangku tangan karena merasa itu bukan tugasnya. Kasus pengeboman yang terjadi di beberapa tempat (seperti kasus Bursa Efek Jakarta) bisa disebut sebagai contoh. Karena terjadi didalam negeri, kejadian itu dapat dilihat sebagai masalah keamanan, tetapi, karena tidak jarang sifatnya di duga melibatkan unsur asing yang mengancam integrasi, hal itu dapat dilihat juga sebagai masalah pertahanan. Baik saling berebutan maupun saling berpangku tangan sama jeleknya bagi keadaan pertahanan keamanan (Hankam). Sebab, jika saling berebutan bisa terjadi konflik, tapi jika saling berpangku tangan masalahnya bisa tak terurus.
Pemisahan antara Polri dan TNI seperti itu merupakan bagian dari agenda reformasi yang sejak lama menginginkan Polri dijadikan aparat sipil. Tetapi, beban psikologis yang ditinggalkan oleh keterlanjuran menyatunya Polri dan TNI yang cukup lama sepanjang Orde Baru telah secara tiba-tiba menimbulkan rivalitas yang memerlukan waktu agak lama pula untuk di sembuhkan.144
Indonesia, sampai hari ini masih dalam proses transisi, dalam pengertian mungkin secara fisik mereka ikut saja, secara pemikiran berbeda. Dalam hal ini jasa Gus Dur adalah menempatkan sipil dalam menteri pertahanan dan itu jasa yang harus diakui. Karena kalau tidak ada keberanian untuk melakukan hal semacam itu, militer sulit dikontrol. Perkembangannya, ditentara itu dari politik menuju keprofesional, tapi ini transisi. Mungkin dibawah bisa diatur, artinya profesionalisme bisa dipertahankan. Tapi, diatas (elite militer) tidak segampang seperti yang dibawah. Ambil contoh begini, ketika Gus Dur masih berada dalam tataran pemikiran dekrit, mereka membicarakan dengan kepala staf dan panglima. Tapi, kemudian yang terjadi adalah melakukan tindakan reaktif dengan mengumpulkan pangdam kemudian ramai-ramai menolak dekrit, lalu Kostrad buat apel siaga, padahal hal itu di gulirkan baru berupa wacana. Kalau mereka memang profesional mereka sampaikan kepada Presiden dan bilang akan mengundurkan diri karena menolak dekrit. Tapi, ternyata tidak, karena kepentingan militer masih sangat besar untuk menuju kesikap yang profesional masih dalam tahap transisi.145
Pengikisan sejumlah hak istimewa militer seringkali menciptakan dilema. Disatu sisi, supremasi sipil memang mengharuskan pengurangan wewenang militer dan membatasi militer pada misi profesionalnya yang lebih spesifik, yaitu pertahanan. Disisi lain, agar tercipta stabilitas politik, maka konflik sipil-militer harus ditekan sekecil mungkin. Mengurangi wewenang dan kekuasaan militer hampir selalu memunculkan konflik antara sipil-militer. Apa yang dilakukan Gus Dur selama ini, dengan sejumlah kebijakannya, tidaklah diterima begitu saja oleh pihak militer. Beberapa keputusan tersebut telah memunculkan konflik laten antara Gus Dur dengan militer.146
Konflik yang semakin mengeras antara Gus Dur dengan parlemen ternyata secara politis sangat mengganggu posisi TNI dan Polri. Ketika legitimasi Gus Dur di mata parlemen turun drastis, perlawanan TNI semakin terbuka. Mobilisasi para pangdam yang dilakukan oleh KSAD untuk menolak pergantiannya, perlawanan sejumlah perwira Polri terhadap rencana pencopotan Kapolri, dukungan resmi MPR terhadap penolakan-penolakan ini, pernyataan resmi Pangab yang menolak dekrit Presiden, dukungan TNI terhadap rencana percepatan sidang istimewa MPR, dan tindakan show of force di Monas oleh Pangkostrad merupakan bukti bahwa pengakuan TNI terhadap Gus Dur betul-betul terkikis.147
Walaupun banyak kalangan berpendapat bahwa kejatuhan Gus Dur dari jabatan Presiden di sebabkan oleh kasus dugaan penyelewengan dana Yanatera Bulog dan sumbangan dari sultan Brunei. Namun, sebetulnya faktor kuat di balik kejatuhannya adalah hubungannya dan konfliktual dengan militer dan penolakan kuat dari parlemen karena kebijakannya yang banyak merugikan partai politik.148
Dalam banyak hal usaha Gus Dur untuk "menjinakkan" militer merupakan salah satu dari suksesnya yang terbesar, tetapi dengan demikian ia menjadi bermusuhan dengan lebih banyak perwira yang berkuasa dan merupakan ancaman bagi kepentingan bisnis banyak perwira lain. Reformasi yang dilakukan Gus Dur dalam tubuh tentara mendapatkan perlawanan dari unsur-unsur garis keras di dalam tubuh militer dan Polri. Terlebih lagi, militer sayap ultra nasionalis menjadi marah oleh karena pendekatan kemanusiaan yang diambil oleh Gus Dur untuk memecahkan konflik di Aceh dan Irian Jaya. Tak ayal lagi
144 Moh. Mahfud. MD., Setahun Bersama Gus Dur, hlm. 37-38.145 Mahrus Irsyam,”Gus Dur dan perombakan Militer (Gus Dur berfikir tentang Demokrasi)”,
dalam A. Malik Harmain dkk (ed.), Gus Dur : Goro-Goro, hlm. 66-67.
146 A. Malik Haramain,” Gus Dur dan Reposisi Militer”, dalam Khamami Zada (ed.), Neraca Gus Dur, hlm.100.
147 Ibid, hlm. 103.148
? Ibid, hlm.105.
bagi banyak orang Megawati yang dikenal sebagai seorang nasionalis yang konservatif merupakan alternatif yang menarik untuk mengganti Gus Dur.149
Upaya reformasi disektor pertahanan seharusnya menggariskan basis umum pertahanan baru yang memang sesuai dengan tantangan dan kapasitas negara. Persoalan yang juga begitu penting adalah bagaimana mengembangkan prinsip-prinsip dasar kesatuan tentara yang juga menggariskan model-model organisasi pertahanan. Ini tidak saja berlandas pada kebutuhan perubahan atas organisasi yang sudah ada, akan tetapi mencapai aspek doktriner pertahanan yang akan berpengaruh langsung atas organisasi itu.150
Selama lebih dari 30 tahun TNI pernah berkuasa di negeri Indonesia. Wajarlah kalau sekarang kecurigaan selalu diarahkan kepadanya. Segala macam hal yang menunjukkan pada melemahnya pemerintahan dan tereduksinya kebebasan bagi masyarakat sipil (civil society), selalu dianggap sebagai “upaya TNI” untuk berkuasa kembali. Dalam hal ini, K. H. Abdurrahman Wahid berpendapat hendaknya berhati-hati dengan tidak melakukan generalisasi atas TNI sebagai lembaga. Memang ada oknum yang mengejar ambisi pribadi, seperti memandang peranan TNI dalam politik sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup bangsa ini. Namun kenyataannya, peranan seperti itu tidak akan pernah bisa. Karena struktur serta hirarki TNI sendiri, yang bertopang atas ketundukan mutlak kepada atasan, tidak memungkinkan TNI untuk berperan demokratis tanpa kehadiran pihak sipil dalam pengendalian keadaan. Oleh karena itulah demokratisasi itu sendiri haruslah dilakukan bangsa ini bersama, termasuk ditopang oleh kemauan TNI sebagai institusi.
Menurut seorang purnawirawan perwira tinggi TNI ada beberapa doktrin yang dikembangkan ABRI (sekarang TNI) yang memerlukan koreksi, karena di dalamya ada dominasi kaum militer atas pihak sipil. Bahkan kini pun masih cukup banyak kaum militer yang beranggapan mereka lebih baik daripada pihak sipil. Ini jelas merupakan pandangan individual, karena TNI sendiri sebagai institusi telah menerima dihapusnya Fraksi TNI-Polri dari DPR-RI tahun 2004 dan dari MPR-RI tahun 2009. Karena mereka harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang tidak membeda-bedakan golongan manapun, maka dengan sendirinya sebagai institusi mereka harus tunduk kepada proses demokratisasi. Impian beberapa perwira tinggi TNI untuk berkuasa sendiri tidak perlu dikhawatirkan.
Tentu saja pandangan ini adalah pemikiran ideal yang harus dilihat bagaimana pelaksanaan dalam kenyataannya. Peledakan bom dari satu tempat ke tempat lain, menunjukkan adanya keterlibatan langsung atau tidak langsung beberapa orang Perwira Tinggi TNI secara perorangan/individual. Salah satu motivasinya adalah mempertahankan “secara sia-sia” peranan politik TNI dalam lingkungan negara Indonesia. Mereka mencoba menegakkan militerisme (paham serba militer) yang oleh banyak kalangan masyarakat sipil dianggap mencurigakan. Namun masyarakat sipil secara keseluruhan juga mempunyai banyak perbedaan, ada yang berpandangan ideal seperti K.H. Abdurrahman Wahid dan ada yang bersikap curiga kepada TNI. Hal itu merupakan hal wajar yang menghasilkan sikap teliti dan waspada untuk menjaga keselamatan negara dan bangsa Indonesia.
Walaupun mengemukakan pandangan yang “tidak mencurigai” peranan politik TNI ini, namun K. H. Abdurrahman Wahid minta kepada kalangan yang “mencurigai” TNI untuk tetap berhati-hati terhadap individu yang ingin menegakkan kembali kekuasaan politik TNI. Sikap tidak mencurigai digabungkan dengan sikap berhati-hati dan waspada akan menjamin tegaknya demokrasi di negeri Indonesia. Di sinilah terletak arti kepemimpinan yang diharapkan di masa-masa yang akan datang, walaupun pada saat ini justru kepemimpinan itulah yang tidak ada dikalangan pemerintahan Indonesia.
K.H. Abdurrahman Wahid berharap adanya rasa saling mencurigai antara kawan-kawan TNI dengan pihak sipil itu dapat
dikurangi. Biarkan sejarah mengambil kesimpulannya sendiri di masa yang akan datang. Kerja-kerja kongkrit seperti pemilu
yang akan datang sangat bergantung kepada timbulnya rasa saling mendukung. Meskipun ini tidak berarti harus lalai dan tidak
menerapkan prosedur hukum jika terjadi kesalahan oleh salah satu pihak, guna menjamin hasil-hasil yang benar-benar jujur.
Hanya dengan kejujuranlah pemerintahan yang memenuhi tujuan konstitusi, masyarakat adil dan makmur dapat ditegakkan di
negeri ini.151
149 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm.481.
150 Munir ,"Perubahan Untuk Pertahanan atau Politik Tentara?", makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang Demiliterisme, Demokratisasi, dan Desentralisasi, peringatan sewindu IRE di gedung UC UGM. Yogyakarta, 12 juni 2002, hlm. 3.
151 Abdurrahman Wahid, “TNI dan Demokratisasi,” http://Gusdur.net, akses 19 September 2003.
BAB V
PENUTUP
A. KesimpulanBerdasarkan hasil pembahasan dan analisis terhadap konsep demokrasi menurut
K. H. Abdurrahman Wahid secara umum dapat disimpulkan. Bahwa pemikiran
demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid identik dengan pemikiran Fazlur Rahman.
Corak pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang liberal dan inklusif secara
nyata sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap berbagai khasanah
pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan
kontekstualisasi, termasuk terhadap pemikiran hukum Islam. Kontribusi fiqih terhadap
gagasan inklusivisme dan pluralisme adalah karena fiqih merupakan pengembangan
gugusan hukum agama yang tidak pernah berhenti berkembang. Pemikiran K. H.
Abdurrahman Wahid tentang demokrasi tidak hanya menggunakan produk-produk
pemikiran Islam tradisional, tetapi juga menekankan pada penggunaan metodologi
(manhaj), teori hukum (us}u>l fiqh), dan kaidah-kaidah hukum (Qawa>id
Fiqhiyah) dalam kerangka pembuatan suatu sintesa untuk melahirkan gagasan baru
sebagai upaya menjawab perubahan-perubahan aktual di masyarakat.
Dalam pandangan Fazlur Rahman, sesuatu yang lebih ini berkaitan dengan
kembali mempelajari Islam klasik dan mengkombinasikan hal ini dengan unsur-unsur
terbaik modernisme agar supaya dapat dihasilkan sintesa antara Islam Klasik dengan
pemikiran barat modern. Dengan cara ini, demikian argumennya, kebenaran utama
Islam dapat dihargai kembali serta diterapkan dengan lugas dan kreatif pada masyarakat
modern, dengan demikian akan menghasilkan spiritualitas yang lebih dalam, lebih
halus, juga Islam lebih Welas-asih dan toleran. Untuk gerakan ini Fazlur Rahman
membuat istilah baru : neomodernisme.
K. H. Abdurrahman Wahid mengartikan demokrasi sebagai kondisi dimana
kebebasan pendapat benar-benar dijamin undang-undang, sebab menurutnya kebebasan
berpendapat merupakan salah satu esensi demokrasi. Setiap warga masyarakat diberi
hak dan kebebasan mengekspresikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan
cara yang bijak dan memperhatikan Al-Akhla>q Al-Kari>mah dan dalam rangka
Amr ma’ruf nahy munkar, tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya.
Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi
pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika
sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, arogansi dan kedzaliman
akan semakin merajalela.Sehingga tidak ada lagi pihak yang merasa lebih tinggi dari
pada yang lain yang dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan
kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter, dan eksploitatif. Egaliter (persamaan)
penting dalam suatu pemerintahan untuk memunculkan sifat Tawadhu’ (humbel) dan
menghindari hegemoni penguasa atas rakyat. Karena penguasa tidak di tempatkan pada
posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah
(pelayan umat).
B. Saran-saran
1. Menguatnya arus besar politik Islam pasca Reformasi, dengan penampilannya
yang multi-wajah di harapkan para politisi Islam dapat mengedepankan politik
populis. Yaitu politik yang dapat menghargai perbedaan pandangan dan agenda
politik masing-masing tanpa harus saling menjatuhkan dan memfitnah. Dan bagi
masyarakat sub politik, partisipasi dalam menentukan proses politik merupakan
bagian dari penguatan terhadap posisi masyarakat sipil, kendati demikian,
koridor demokrasi hendaklah di perhatikan.
2. Untuk semua kalangan dalam menggali pemikiran tokoh hendaklah tidak
membatasi disiplin ilmu, tokoh dan kelompoknya, sehingga tidak membuka
ruang konflik yang membodohkan. Tetapi lebih mengembangkan sikap toleran
dan saling memahami sehingga sikap mengklaim diri paling benar dapat
terhindarkan.
3. Penelitian ini hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak penelitian tentang
pemikiran demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid, karena itu untuk pengkajian
lebih jauh tentang hal tersebut hendaknya membaca buku-buku yang membahas
tentang pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid.
4. Karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penyusun, walaupun telah
berusaha dengan semaksimal mungkin, tentunya hasil penelitian ini masih jauh
dari kesempurnaan, sehingga masih membutuhkan saran, tegur sapa, nasehat,
motivasi dan kritik yang membangun/manfaat. Akhirnya Walla>hu a’lamu bi
as-s}awa>b wal hamdu lilla>h Al-Rabbil 'Alami>n.
DAFTAR PUSTAKA
A. Al-Qur’an
Al-Qur’an dan Terjemah, 30 juz, Jakarta: Departemen Agama RI. 1989.
B. Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, cet. III ,Jakarta:Raja Grafindo Persada,1997.
Al-Qardawy, Yusuf, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, terjemahan dari Min Fiqhid Daulah Fil-Islam alih bahasa Kathur Suhardi, cet. III, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,1998.
----, Fiqih Negara Ijtihad Baru Seputar Demokrasi Multi Partai Keterlibatan Panita di Dewan Perwakilan Partisipasi Dalam Pemerintahan Sekuler, terjemahan dari Min Fiqh Ad-Daulah Fil-Islam Makanatuha, Thabi’atahu, Manqi fuha min Ad-Dimoqratiyah Wa At-Ta’addiyah Wal-Maar’ah Wa Khairul Muslimin alih bahasa Kathur Suhardi, cet. I (Jakarta : Robbani Press, 1997).
Al-Turabi, Hasan, Fiqih Demokratis Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis, terjemahan dari Tajdid Al-Fikr Al-Islam alih bahasa Abdul Haris dan Zaimul Am, cet. I , Bandung:Arasy,2003.
C. Kelompok Buku-buku Lain
Afandi, Arief, Islam Demokrasi atas Bawah Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais, cet. III, Yogyakarta: pustaka pelajar,1997.
Barton, Greg, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, terjemahan dari Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid alih bahasa Lie Hua, cet. I, Yogyakarta:LKiS,2003.
Daman, Rozikin, Pancasila Dasar Falsafah Negara, cet. I, Jakarta :Rajawali Press, 1992.
anes Jaya Negara, “Gus Dur Dalam Perspektif Kepemimpinan,” http://Gus Dur.net, akses 21 Oktober 2003.
Darjidarmodiharjo, dkk, Santiaji Pancasila, cet. X (Surabaya : Usaha Nasional, 1991).
Dharwis, Ellyasa K. H, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, cet.I, Yogyakarta: LKiS, 1994.
Esposito, John L dan vall, John O, Demokrasi di Negara-Negara Muslim Problem dan Prospek, cet.I, Bandung: Mizan,1999.
Fadulullah, Mahdi, Titik Temu Agama & Politik Analisa Pemikiran Sayyid Qutub, cet. I , Solo: Ramadhani, 1991.
Fealy, Greg dan Barton, Greg, Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdhatul Ulama’-Negara, cet. I, Yogyakarta: LkiS,1997.
Ghofur, Abdul, Demokratisasi dan Prospek Hukum di Indonesia, cet.I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Haris, Syamsuddin, Demokrasi di Indonesia Gagasan dan Pengalaman, cet.I, Jakarta:LP3ES,1995.
Harmain dkk (ed.), A. Malik, Gus Dur : Goro-Goro Dalam Lakon Multi Krisis, cet. I, Jakarta: Bumi Selamat printing, 2001.
Hidayatullah, Puslit IAIN Syarif, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, cet. I, Jakarta:IAIN Press, 2000.
Huwaydi,Fahmi, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani, cet. I, Bandung: Mizan, 1996..
Ida, Laode dan Jauhari, A. Thantowi, Gus Dur diantara Keberhasilan dan Kenestapaan, cet. I, Jakarta:Raja Grafindo Persada,1999.
Isre (ed.), Muh. Shaleh, Prisma Pemikiran Gus Dur, cet.II, Yogyakarta:LKiS,2000.
----, Tuhan Tidak Perlu di bela Abdurrahman Wahid, cet. I, Yogyakarta:LkiS,1999.
Karim, Abdul Gaffar, Melucuti Serdadu Sipil Mengembangkan Wacana Demiliterisme dan Komunitas Sipil, cet. I, yogyakarta: Fisipol UGM,2000.
Lubis, M. Solly,Ilmu Negara, cet. I, Bandung : Alumni, 1975.
Madany, A. Malik,”Syu>ra Sebagai Elemen Penting Demokrasi”, Asy-Syir’ah,Vol. 36, NO. I.
Mahfud MD., Moh., Setahun Bersama Gus Dur Kenangan Menjadi Menteri Disaat sulit, cet.I, Jakarta:LP3ES,2003.
----,Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, cet I, Yogyakarta: Gama media, 1999. Mas’oed, Mohtar, “ Civil society dan Masyarakat Madani : catatan untuk diskusi”,
makalah disampaikan pada seminar tentang Menata kapasitas Masyarakat Madani menghadapi tantangan global. Diselenggarakan oleh LABDA di gedung UC UGM. Yogyakarta, 9 April 2002.
Masdar, Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi, cet. I, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1999.
Munir,"Perubahan Untuk Pertahanan atau Politik Tentara?", makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang Demiliterisme, Demokratisasi, dan Desentralisasi, peringatan sewindu IRE di gedung UC UGM. Yogyakarta, 12 juni 2002.
Nasution, Khoiruddin ,” Islam dan Demokrasi”, Asy-Syir’ah, vol. 36, NO. I.
Nawawi, Hadari dan Martini, Mimi, Penelitian Terapan, Cet. I, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press,1996.
Noer, Delier, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, cet. III, Bandung : Mizan, 1998.
O’Donnell, Guillermo dan Schmitter, Philippe C., Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, cet. I, Jakarta ; LP3ES, 1993.
Partanto, Pius A dan Al-Barry, M. Dahlan, kamus Ilmiah Populer, Surabaya : Arkola, tt.
Rahman, Afzalur, Nabi Muhammad SAW Sbagai Sorang Pmimpin Militer diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Anas Siddik, cet. Ke-I Jakarta: Bumi aksara,1991.
Rais, M. Dhiauddin, Teori Politik Islam, terjemahan dari An-Nazhariyatu As-siyasatul-Islamiyah alih bahasa Abdul Hayyie Al-Kattani, cet. I, Jakarta:Gema Insani Pres,2001.
Shoelhi, Mohammad, Demokrasi Madinah Model Demokrasi Cara Rasullah,cet. I, Jakarta,Republika,2003.
Sorensen, Georg, Demokrasi dan Demokratisasi Proses dan Prospek Dalam Sebuah Dunia Yang Sedang Berubah,terjemahan dari Democracy and Democratization : Processes and Prospects in a Changing World, Westview Press alih bahasa I. Made Krisna, cet. I, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003.
Sujito, Arie,"Demiliterisasi dan Radikalisasi Sipil”, Makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang “Demiliterisasi, dan Desentralisasi” Sebagai pemakalah,Yogyakarta, 12 Juni 2002.
Suwondo, Kutut," Desentralisasi dan Demokrasi Lokal”, Makalah disampaikan pada seminar sehari dan peluncuran buku tentang “Demiliterisasi, Demokratisasi, dan Desentralisasi”, sebagai pemakalah, Yogyakarta, 12 juni 2002,hlm.4.
Thoha, Zainal Arifin, Jagadnya Gus Dur Demokrasi, Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam, cet.I , Yogyakarta:kutub,2003.
Tobroni dan Arifin, Syamsul, Islam Pluralisme Budaya dan Politik Refleksi Teologi Untuk aksi Dalam Keberagamaan Dan Pendidikan, cet. I, Yogyakarta : Sipress, 1994.
Uhlin, Anders, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, terjemahan dari Indonesia and the “ third wave of Democratization”:
The Indonesia Pro-Democracy Movement in a Changing World alih bahasa Rofik Suhud, cet. II, Bandung : Mizan, 1998.
Ulum, Bahrul, "Bodohnya NU" apa "NU di Bodohi"? Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah, Meneropong Paradigma Politik, cet.I, Yogyakarta:Ar-Ruzz Press,2002.
“Gus Dur Terima Kekalahan "Itulah Demokrasi dan Membuat Saya Bangga," http://Gus Dur.net, akses 21 Oktober 2003.
“Latar Belakang Keluarga,” http://GusDur,net, akses 20 Agustus 2003.
“Latar Belakang Pendidikan,” http://GusDur,net, akses 20 Agustus 2003.
“Nurcholish Madjid: Gus Dur Harus dipertahankan,” http://Gusdur.net, akses 21 Oktober 2003.
“Reposisi Sekjen PKB setelah pemilu, Gus Dur :"Keputusan ini harus dihormati," http://Gus Dur.net, akses 21 Oktober 2003.
“Richard Gozney: Gus Dur berperan besar dalam demokratisasi Indonesia,” http://Gusdur.net, akses 21Oktober 2003.
Wahid, Abdurrahman, “TNI dan Demokratisasi,” http://Gusdur.net, akses 19 September 2003.
----, “Agama dan Demokrasi,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003.
----,“Demokrasi Dalam Pengertian Kita,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003.
----,“Demokrasi, Keadilan, dan Keterwakilan,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003.
----,“Esai Khusus Abdurrahman Wahid Masih Perlukah Formalisme Agama?,” http://GusDur,net, akses 19 September 2003.
----,“Masa Depan Demokrasi di Indonesia,” http://Gusdur,net, akses 19 September 2003.
Yasmi Andriansyah, “Gus Dur, Indonesia, Dunia,” http://Gusdur,net, akses 21 Oktober 2003.
Zada (ed.), Khamami, Neraca Gus Dur Di Panggung Kekuasaan, diterbitkan oleh LAKPESDAM, Cet : I, Jakarta: LAKPESDAM,2002.
Zada, Khamami dan Muzayyad (ed.), Idy, Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, cet,I (Yogyakarta:Sema Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga dengan Pustaka Pelajar,1999).
TERJEMAHAN
Hlm F. N Terjemahan
15 23
Dan(bagi) orang-orang yang menerima(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan Sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka
15 24Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
15 25(Inilah pernyataan) pemutus perhubungan dari Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyirikin yang kamu (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka).
16 27Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan Ulil amri diantara kamu.
20 38Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik
2242
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawkkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya, dan dengan para mu'min.
44 2
Dan apakah mereka (orang-orang), lalu kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (tidak melihat -Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia bahwa sesungguhnya kami Mendatangi daerah-daerah menurut kehendak -lah yang maha cepat Hisab-Nya.
Terjemahan
“Dan sesungguhnya apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya kami
mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu kami kurangi daerah-daerah itu
(sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya ? Dan Allah menrtapkan hukum (menurut
kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah yang maha
cepat hisab-Nya. (QS. Ar-Ra’ad:41)
Artinya : Dan(bagi) orang-orang yang menerima(mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan Sholat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada
mereka.(Asy Syura 38)
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran,
dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran. (An-Nahl :90).
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu,
sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal. (Al-
Hujurat :13)
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Tuhanmu itu Esa; dan sesungguhnya bapakmupun
satu. Setiap kamu adalah keturunan dari Adam, sedangkan Adam itu dari
tanah. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah
yang paling bertaqwa diantara kamu. Dan tidak ada kelebihan diantara
seorang Arab atas seorang ajam ( bukan Arab), ataupun bagi seorang Ajam
atas seorang Ajam, atau bagi si kulit merah atas si kulit putih, selain karena
Taqwanya.152(Hadits)
Artinya : sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan Amanah kepada yang
berhak menerimanya, dan ( menyuruh kamu) apabila menertapka hukum
diantara manusia supaya kamu menetapkan yang adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah
maha mendengar lagi maha melihat. (An-Nisa’ : 58).
,”Hai Nabi, jika musuhmu condong pada perdamaian, engkau juga harus
condong pada perdamaian dan percayalah pada Tuhan. Sesungguhnya, Dia Maha
mendengar dan Maha mengetahui. Dan jika mereka berniat menipu kamu, Tuhan
152
? Terjemahan Islam membina masyarakat adil makmur, Dr. Yusuf Abdul Hadi Asy-syat, cet:I (Jakarta: Pustaka Dian dan Antar kota, 1987), hlm : 340.
cukuplah untuk kamu. Dialah yang menguatkan kamuy dengan pertolongan-Nya, dan
dengan orang beriman”,(8:61-62).153
BIOGRAFI ULAMA’
1. Abduh, Muhammad (1849-1905) adalah Ulama’ pembaharu Mesir yang dianggap sebagai arsitek modernis Islam. Tahun kelahiran Muhammad Abduh bertepatan dengan kematian Muhammad ‘Ali petualangan Al-bania dan pembangunan Mesir modern. Rezim ‘Ali , dalam konteks politik, menciptakan isu-isu perubahan modern secara intelektual berkaitan dengan keperintisan Abduh sebagai jurnalis, teolog, ahli hukum, dan-dalam enam tahum terakhir kehidupannya-sebagi mufti besar Mesir. Karir awalnya berangkat dari studi-studi ilmu tradisional di Universitas Al-Azhar, dan komitmen awalnya berdasarkan sufisme tarekat Syadziliyah, praktik dzikir, dan ta’widz. Studi-studi Universitasnya mengukuhkan tidak hanya sebagai seorang alim disegani, tetapi juga menyandarkan dia terhadp belenggu Taqlid (keterkaitan pada tradisi) yang kemudian menjadi sumber energi pembaharuannya. Meskipun secara intelektual meninggalkan latar belakang sufinya, dia tetap menanamkan kualitas kesalehan pada kehidupan akademisnya untuk pembebasan dari dampak Taqlid yang merusak.
2. Al-Raziq, ‘Ali Abd (1888-1966) adalah seorang hakim Syari’ah, intelektual kontroversial, dan penilis Al Islam Wa Ushul Al-Hukum:Ba’ts Fi Al-Khilafah Wa Al-Hukumah Fi Al-Islam, diterbitkan di Kairo pada 1925. bukan ‘Abd Al-Raziq menentang pandangan bahwa Islam sudah menetapkan bentuk otoritas politik khusus, atau bahwa Islam sudah mengesahkan bentuk pemerintahan tertentu. Disamping menciptakan krisis konstitusional di Mesir, gagasan-gagasan ‘Abd Al-Raziq menimbulkan kontroversi hebat diseluruh dunia Muslim. Majelis tinggi ‘Ulama’ Mesir mengadili ‘Abd Al-Raziq dan memecatnya dari jabatan dan posisinya sebagai Hakim Syari’at.
3. Rahman, Fazlur (1919-1988) adalah seorang filosof Muslim asal Pakistan. Selain itu, dia dikenal sebagai pendidik dan pembaharu Islam liberal yang terkemuka. Fazlur Rahman dilahirkan diwilayah yang kini dikenal sebagai Pakistan pada 1919. Dia memperoleh gelar Master dalam bidang bahasa Arab dari Universitas Punjob, Lahore, pada 1942, dan gelar doktor dalam bidang filsafat Islam dari Universitas Oxford pada 1949. Dia pernah menjadi pengajar dalam bidang kajian Persia dan filsafat Islam di Universitas Durham dari 1950 hingga 1958, profesor madya pada institut of Islamic studis, Universitas MC Gill, selama 1958-1961, profesor tamu dilembaga pusat kajian Islam, Pakistan, pada 1961-1962, kemudian menjadi direktur pada instutut tersebut
153Ibid,hlm. 296.
selama 1962-1968. Dia meninggalkan Pakistan dibawah kecaman atas pandangan-pandangan reformisnya dan diminta menjadi profesor tamu di Universitas California, Los Angeles, pada musim semi 1969. Pada musim gugur, dia pergi ke Universitas Chicago sebagai profesor dalam bidang pemikiran Islam. pada 1986 dia diangkat menjadi Harold H. Smift Distinguished service professor di Chicago, sebuah gelar kehormatan yang dibawa hingga wafatnya pada tahun 1988.
4. Wahid, Abdurrahman adalah seorang pemikir, penulis, dan politisi Islam Indonesia. Dia merupakan salah satu pemimpin intelektual Muslim yang paling berpengaruh di Indonesia dewasa ini. Dia juga merupakam seorang kolumnis terkenal masalah budaya, sosial dan politik yang mendorong kontribusi Islam pada pluralisme, keadilan sosial, dan demokrasi. Dia adalah mantan Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999 hingga 22 Juli 2001) dan mantan Ketua Umum Tanfidziyah NU (Nahdlatul ‘Ulama’). Sebuah organisasi Ulama’ tradisional dengan puluhan juta pendukung, sebagian besar adalah penduduk pedesaan. Secara luas dia dipanggil “Gus Dur”.
5. Huwaydi, Fahmi adalah seorang pemikir dan kolumnis Mesir. Banyak mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam berbahasa Arab, seperti Al-Ahram, Al-Arabi dan Al-Majallah bukunya yang terkenal antara lain Al-Wa’y Al-Islam (krisis kesadaran umat), muwatinun la dzimiyyun (orang nasionalis bukan dzimmi) dan buku Al-Islam Wa Al-Dimukratiyyah.
6. Rais, Muhammad Amin, dia masuk kedalam jajaran pemikir Muslim modern karena latar belakang aktivis berasal dari Muhammadiyah-organisasi sosial-keagamaan kaum modernis. Dia lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944, putra kedua dari enam bersaudara dari pasangan Suhud Rais dan Sudalmiyah. Ayahnya alumni Mu’allimin Muhammadiyah. Dan Ibunya pernah menjadi ketua Aisyiyah Surakarta. Amien sendiri membangun rumah tangga dengan menikahi Kusnariyati Sri Rahayu dan dikarunia lima anak.
7. Madjid, Nurchalish adalah seorang cendekiawan Indonesia dan pendukung toleransi Agama. Di lahirkan di Jawa Timur, Nurchalish merupakan keturunan salah satu keluarga cendekiawan Islam yang paling terhormat di Indonesia. Dia di didik di Pesantren dan di Sekolah Modern Gontor, yang menekankan bahasa Inggris dan subyek-subyek sekular serta kurikulum Islam tradisional. Dia menerima gelar kesarjanaan dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Jakarta pada 1968. Dari 1966 hingga 1971 dia menjabat ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dia belajar di bawah bimbingan Fazlur Rahman di Universitas Chicago, dan menerima doktor pada 1984 dengan disertasi mengenai pemahaman Ibn Taimiyah tentang hubungan akal dengan wahyu. Pada awal 1990-an, Nurchalish memegang jabatan Institut Agama Islam Negeri di Jakarta dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
8. Al-Turabi, Hasan lahir di Kassala, Sudan Timur, pada 1932, dari keluarga yang memiliki tradisi panjang dalam pengajaran Islam di Sufisme. Sebagai sosok pemikir, Ulama’ intelektual, sekaligus politikus terkemuka di negeri Sudan. Dia merupakan arsitek utama Republik Islam Sudan. Karier politiknya dimulai sejak dia memimpin Al-Ikhwan Al-Muslimun Sudan (1964) dan menjabat sekretaris jenderal Islamic Carter Front. Pada 1969, setelah berlangsungnya upaya kudeta oleh kaum kiri terhadap rezim Numeiri, untuk pertama kalinya dia mendekam di penjara Sudan hingga 1977. Akibat perubahan kebijakan Numeiri, Turabi diangkat menjadi Jaksa Agung dari tahun 1979 hingga 1982 dan menjadi kepala penasehat masalah-masalah hukum diluar negeri hingga maret 1985. pada 1988, Front Nasional Islam (NIF) yang dipimpinnya berkoalisi dengan pemerintahan Sadiq Al-Mahdi dan mengantarkannya menjadi deputi perdana menteri dan menteri luar negeri. Sejak pemilu 1996, dia menjabat sebagai ketua parlemen. Pada Februari 2001, dia ditahan atas tuduhan (yang kurang bukti) berkhianat kepada negara. Mesekipun tidak pernah menjabat sebagai kepala negara, banyak kalangan percaya bahwa dia adalah pemimpin Sudan yang sebenarnya sejak berdirinya Republik Islam Sudan.