deskresi kepolisian

53
KEDISIPLINAN BERLALU LINTAS PENGEMUDI ANGKUTAN KOTA DI KOTA SEMARANG DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP PENEGAKAN HUKUM LALU LINTAS SKRIPSI IRENE KLAVERT 01.40.0262 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

description

kepolisian

Transcript of deskresi kepolisian

KEDISIPLINAN BERLALU LINTAS PENGEMUDI ANGKUTAN KOTADI KOTA SEMARANG DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAPPENEGAKAN HUKUM LALU LINTAS

SKRIPSIIRENE KLAVERT01.40.0262

FAKULTAS PSIKOLOGIUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG2015

DAFTAR ISIHalamanHALAMAN JUDUL...HALAMAN PENGESAHAN.HALAMAN PERSEMBAHAN..HALAMAN MOTTO.HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH..DAFTAR ISIDAFTAR TABEL ...DAFTAR LAMPIRANBAB I PENDAHULUAN...A. Latar Belakang Masalah.B. Tujuan PenelitianC. Manfaat Penelitian..BAB II TINJAUAN PUSTAKA....A. Kedisiplinan Berlalu lintas.......1. Pengertian Kedisiplinan Berlalu lintas... 72. Aspek-aspek Disiplin Berlalu lintas .. 133. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Disiplin 14B. Persepsi terhadap Penegakan Hukum Lalu lintas. 191. Pengertian Persepsi2. Pengertian Penegakan Hukum lalu lintas 223. Pengukuran persepsi terhadap penegakan hukumlalu lintas .. 234. Pengertian Pengemudi Angkutan Kota..Perpustakaan UnikaC. Kedisiplinan Berlalu lintas Pengemudi Angkutan Kota diKota Semarang Ditinjau dari Persepsi terhadap PenegakanHukum Lalu lintas. D. Hipotesis...BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian yang DigunakanB. Identifikasi Variabel Penelitian PenelitianC. Definisi Operasional Variabel PenelitianD. Subyek Penelitian.E. Metode Pengumpulan Data..F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur..G. Metode Analisis Data.. .BAB IV PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN.. 44A. Orientasi kancah penelitian ...B. Persiapan Penelitian. .C. Hasil Uji.BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...A. Hasil Penelitian.B. PembahasanBAB VI PENUTUPA. Kesimpulan ...B. SaranDAFTAR PUSTAKA..LAMPIRAN

BAB IPENDAHULUANA.Latar Belakang Masalah Seiring denganpesatnya jumlah penduduk dan perkembangan di segala aspek kehidupan di negara diikuti semakin padatnya arus lalu lintas di jalan raya, hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor baik kendaraan bermotor milik pribadi maupun kendaraan umum. Jumlah kendaraan bermotor di Jawa Tengah sampai tahun 2005, sekitar 3,8 juta unit yang terdiri dari sepeda motor mencapai 70 persen, sedangkan mobil 30 persen, bahkan pada tahun 2006 jumlahnya akan bertambah lagi (Kompas), sedangkan jumlah Angkutan Umum di Semarang pada tahun 2005 sebanyak 552 kendaraan Oto bis, 106 bus Damri, 454 bus non Damri, 1.412 non bus, dan 328 mobil plat kuning. Sebagian besar masyarakat masih menggunakan kendaraan umum khususnya angkutan kota dalam melakukan aktivitas sehari- hari seperti halnya bekerja, berbelanja, sekolah, kuliah dan sebagainya, sehingga keberadaan angkutan kota sangat diharapkan oleh banyak orang. Dilain pihak keberadaan angkutan kota seringkali mengundang bahaya dan ketidaktertiban akibat sikap tidak disiplin dari pengemudi angkutan kota itu sendiri. Sebagaimana yang sering ditemui banyak pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh para pengemudi angkutan kota. Sikap pengemudi angkutan kota seringkali tidak disiplin mematuhi aturan lalu lintas, misalnya seperti menaikkan penumpang di sembarang tempat, seperti di sepanjang jalan protocol di kota Semarang, atau di daerah daerah sekitar pasar tradisional, sekolahan atau pusat perbelanjaan dengan menjejali kendaraan dengan penumpang yang berlebihan, berebut penumpang dengan kebut-kebutan, berhenti tidak pada tempat yang semestinya. Secara umum hal ini akan mcnganggu ketertiban dan keamanan pengguna jalan, dan dapat menyebabkan kecelakaan serta pelanggaran lalu lintas. Tercatat pada tahun 2005 terjadi 356 pelanggaran yang dilakukan oleh angkutan umum, padahal berbagai peraturan telah disusun dan diterapkan dan sudah ada aturan yang mengatur tentang perilaku berlalu lintas di jalan raya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang lalu Lintas jalan Raya Nomor 14 tahun 1999 dan para penegak hukum seperti polisi dan aparat dari dinas perhubungan telah sedemikian gigih melakukan tugasnya untuk mentertibkan lalu lintas. Mestinya adanya regulasi yang mengatur lalu lintas, maka lalu lintas di jalan raya dapat lebih tertib dan lancar. Kondisi semacam ini berkaitan dengan masalah kedisiplinan dari para pengemudi angkutan kota, karena tingkat kedisiplinannya masih rendah, dan suka mengabaikan tanggung jawab. Kondisi semacam ini cepat atau lambat akan mempengaruhi kinerja para pengemudi angkutan kota itu sendiri pada khususnya dan secara umum akan menurunkan citra penegakan hukum khususnya terhadap lalu lintas, karena lalu lintas menjadi tidak teratur, suasana jalan raya menjadi tidak lancar dan tidak tertib. Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan keresahan di masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa dalam penegakan hukum lalu lintas itu sendiri dibutuhkan sikap kedisiplinan yang tinggi bagi pengguna jalan, dalam hal ini yang dimaksud adalah para pengemudi angkutan kota. Menurut Moepir (1983, h.181) disiplin adalah suatu ketaatan terhadap suatu aturan. Sifat taat kepada aturan tersebut merupakan dasar disiplin, tanpa melihat baik buruknya disiplin itu. Sehubungan dengan hal tersebut maka pengemudi angkutan kota dalam bekerja seharusnya bersikap taat dan patuh pada aturan maupun norma yang berlaku, sehingga menciptakan suasana tertib. Searah dengan pendapat ini Hasibuan (2000, h.195) berpendapat bahwa kedisiplinan sangat diperlukan untuk menegakan aturan dan lanpa ada disiplin dari individu sulit kiranya untuk mencapai tujuan yaitu suasana aman dan tertib. Menurut Sagiri (1982, h.45) ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap disiplin antara lain faktor lingkungan, konsep moral, kepribadian, penegakan aturan. Setiap individu berbeda sehingga perbedaan ini akan mempengaruhi persepsinya terhadap sesuatu dan berikutnya adalah peran persepsi individu tiap-tiap individu sangatlah subyektif. Menurut Davidoff dan Linda (1988, h.237) sekalipun stimulus sama, tetapi karena pengalaman berbeda, kemampuan berpikir tidak sama dan kerangka acuan tidak sama maka ada kemungkinan hasil persepsi antar individu tidak sama. Salah satu faktor yang mempengaruhi kedisiplinan adalah penegakan aturan yang ada. Menurut Gerungan (2004, h.203) sikap disiplin merupakan sarana dalam menegakan norma-norma dam peraturan sehingga tercapai tujuan yaitu berlangsungnya kehidupan yang wajar dan baik.Adapun penegakan hukum menurut Sukanto (1987, h.67) adalah suatu proses penyerasian antara nilai-nilai hukum, kaidah kaidah hukum dan pola sikap tindak dalam kenyataan. Proses tersebut bertujuan untuk menegakan keadilan secara umum penegakan hukum dipengaruhi oleh faktor kepatuhan, penghindaran atau menentang secara terang-terangan. Dalam hal pengertian kepatuhan masyarakat terhadap hukum dapat dikatakan merupakan perilaku disiplin, sedangkan pengertian penghindaran merupakan pelanggaran terhadap aturan. Dalam penegakan hukum itu sendiri akan dipengaruhi oleh adanya persepsi dari masing-masing individu yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeryobroto (1995, h.73) yang menyatakan bahwa disiplin berlalu lintas adalah sikap atau kesediaan psikologik untuk menepati atau mendukung nilai-nilai atau norma yang berlaku, sehingga individu yang memiliki sikap disiplin akan memahami dan sadar untuk patuh terhadap aturan lalu lintas. Adanya kesediaan psikologik ini yang dimaksud antara lain adalah persepsi individu itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat adanya kecenderungan hubungan antara persepsi penegakan hukum dengan kedisiplinan seseorang. Atas dasar pemikiran inilah, maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam kedisiplinan berlalu lintas pengemudi angkutan kota di Semarang ditinjau dari persepsi terhadap penegakan hukum lalu lintas.B.Tujuan PenelitianMengetahui hubungan antara persepsi terhadap penegakan hukum lalu lintas dengan kedisiplinan berlalu lintas pengemudi angkutan kota di Semarang.C.Manfaat Penelitian1. Manfaat TeoritisMemberikan sumbangan bagi pengembangan psikologi khususnya psikologi sosial mengenai persepsi penegakan hukum lalu lintas dan disiplin berlalu lintas2. Manfaat PraktisBagi Pengemudi Angkutan kota, seharusnya penelitian ini dapat menjadi masukan untuk mentaati peraturan lalu lintas. Bagi pemerintah khususnya dinas perhubungan, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam mewujudkan kedisiplinan lalu lintas khususnya bagi pengemudi angkutan kota Semarang dan menciptakan persepsi yang baik terhadap penegakkan hukum lalu lintas.

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Kedisiplinan Berlalu Lintas1. Pengertian Disiplin Berlalu LintasIstilah disiplin dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Belanda yang kemudian dipengaruhi juga oleh bahasa Inggris "dicipline". Istilah disiplin menurut pengertian kedua bahasa tersebut berasal dari bahasa Latin "diciplina" (Lembaga Ketahanan Nasional, 1995, h.11) menurut Pearce (1989, h.17) diciplina artinya belajar yang bersifat positif dan kontruktif. Menurut Lembaga Ketahanan Nasional (1995, h.12) disiplin adalah kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang tunduk pada keputusan, perintah atau peraturan berlalu lintas. Menurut kamus Bahasa Indonesia tingkat artinya tinggi rendah kedudukan; dan menurut kamus Bahasa Indonesia disiplin adalah latihan batin dan watak. Hal kepatuhan tersebut juga dikemukakan oleh Prijambodo (1997, h.41) bahwa disiplin merupakan sikap dan perilaku patuh terhadap tatanan nilai, norma dan moral yang berlaku secara universal atau semesta dalam masyarakat. Lebih lanjut Prijambodo mengatakan bahwa ketidakpatuhan terhadap tatanan nilai, norma dan moral sangat dinilai sebagai sikap dan perilaku indisipliner. Valsiner (dalam Saksono 1994, h.98) mengemukakan bahwa disiplin adalah "perangkat lunak", dapat diartikan sebagai sikap dan perilaku sehingga mampu mencerminkan tanggung jawab terhadap kehidupan tanpa paksaan dari luar. Disiplin sangat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakat, sekaligus menggambarkan kemampuan seseorang untuk menyesuaikan intern pribadinya dan mengendalikan dirinya untuk penyesuaian dengan hukum dan norma serta adat kebiasaan yang berlaku dalam lingkungan sosial budaya. Achir (dalam Saksono 1994, h.134) menambahkan, disiplin sebagai "perangkat eksternal" dapat diartikan sebagai alat untuk menciptakan perilaku dan tata tertib hidup orang sebagai pribadi maupun sebagai kelompok ataupun masyarakat, sehingga dapat berimplimentasi dalam wujud hubungan serta sanksi yang berbobot disiplin mampu mengatur dan mengendalikan perilaku manusia, sehingga dapat dikcnakan kcpada mereka yang telah terlanjur melanggar hukum dan norma yang berlaku, agar si pelanggar mengubah kelakuannya dan belajar mentaati hukum dan norma tersebut. Jadi secara substansional, menurut Saksono (1994, h.203) disiplin dapat diartikan sebagai sikap batin dan perilaku individu yang bersifat patuh dan norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996, h.556) dalam pengertian berlalu lintas adalah bolak-balik atau hilir- mudiknya manusia, hewan, dan kendaraan di jalan raya.Selanjutnya berlalu lintas adalah sesuatu yang berkenaan dengan lalu lintas atau aturan lalu lintas yang perlu dipatuhi.Senada dengan yang tercantum dalam Undang-Undang lalu lintas dan angkutan jalan raya No 14 tahun 1999 Bab 1 ayat 1 yang berbunyi "lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang dan hewan dijalan" (Peraturan pelaksanaan Undang- Undang lalu lintas dan angkutan jalan, 1999). Adapun di dalam Undang-Undang No 14 tahun 1999 tersebut disebutkan juga tata cara berlalu lintas yang baik dan tepat. Hal ini tercantum pada Bab VII pasal 24 yang berbunyi sebagai berikut :a.Untuk keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan angkuatan di jalan, setiap orang yang menggunakan jalan wajib :1) Berperilaku dengan hal-hal yang dapat merintangi membahayakan kebebasan atau keselamatan lalu lintas, atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan dan membangun. 2) Menempatkan kendaraan atau benda-benda lainnya di jalan sesuai dengan peruntukannya.b.Pengemudi dan pemilik kendaraan bertanggung jawab terhadap kendaraan muatannya yang ditinggalkan di jalan. Disiplin lalu lintas adalah suatu kondisi psikologis berupa sikap mental seseorang berkaitan dengan penempatan diri yangbaik terhadap aturan-aturan berlalu lintas yang berlaku. Masyarakat sebagai subyek yang dikenai aturan ini, memiliki peran yang besar dalam tercapainya kedisiplinan dalam kehidupan berlalu lintas dan angkutan di jalan raya. Bagaimana aturan atau norma tersebut dapat berjalan terlihat dari perilaku anggota masyarakat dalam berlalu lintas. Dengan melihat banyaknya peraturan yang berlaku dalam berlalu lintas semestinya keadaan, menjadi baik, namun kenyataan menunjukkan bahwa semakin banyak aturan maka semakin banyak pula terjadi pelanggaran. Pelanggaran lalu lintas dianggap hal yang sangat biasa terjadi. Hal tersebut disebabkan karena rendahnya kesadaran hukum. Kesadaran hukum adalah suatu proses penilaian terhadap hukum yang berlaku atau hukum yang dikehendaki. Sikap manusia yang normal mempunyai kesadaran hukum.Masalahnya adalah taraf kesadaran hukum yang berbeda-beda, yakni ada yang tinggi, sedang dan rendah (Soekanto, 1990,h.34). Dan sebuah bentuk proses kesadaran sosial, meliputi :a. Merasa tanggung jawabb. Merasa dengan kesungguhan hatic. Kepantasan.d. Pengaruh dan reaksi kesadaran.Seseorang dianggap mempunyai taraf kesadaran hukum yang tinggi apabila perilaku sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian maka taraf kesadaran hukum yang tinggi didasarkan pada kepatuhan hukum, yang menunjukkan sampai sejauh manakah perilaku yang nyata seseorang serasi dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu konsep kesadaran hukum tidak mungkin dipisahkan dari kepatuhan hukum.Derajat kepatuhan tertinggi apabila ketaatan itu timbul karena hukum yang berlaku adalah sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Disinilah letak hubungan antara taraf kesadaran hukum dengan kepatuhan hukum. Apabila seseorang mematuhi hukum hanya karena takut pada sanksinya, maka salah satu akibatnya adalah bahwa penegakan hukum tersebut harus diawasi. Apabila tidak ada pengawasan, maka dianggap tidak ada hukum. Gejala inilah yang tampaknya berlaku bagi kehidupan berlalu lintas di Indonesia pada umumnya. Keadaan demikian timbul karena sebab-sebab sebagai berikut (Soekanto, 1990, h.36) :a.Masyarakat mengartikan hukum sebagai petugas, sehingga baik buruknya hukum senantiasa tergantung pada pola perilaku nyata petugas yang menegakkan hukum.b.Masih ada kecenderungan untuk lebih mementingkan penindakan.c.Kemampuan yang relatif rendah dalam penguasaan lalu lintas dari sudut petugas dan tidak terlatih menerapkan diskresi dengan benar apabila diperlukan.d.Persepsi penegak hukum lalu lintas bahwa mereka merupakan kelas sosial tersendiri dalam masyarakat.Berdasarkan penjelasan di atas, maka Soekanto (1980, h.76) melihat bahwa dari sudut kepatuhan hukum pemakai jalan raya dapat dibedakan dalam beberapa golongan sebagai berikut :a.Golongan yang mematuhi peraturan lalu lintas Yaitu golongan yang benar-benar memahami manfaat kaidah-kaidah hukum dan keserasian kaidah-kaidah hukum dengan nilai yang dianutnya.b.Golongan yang secara potensial merupakan pelanggar Golongan ini tampaknya taat pada kaidah-kaidah hukum, akan tetapi kepatuhan itu sebenarnya sifatnya rapuh karena tergantung pada apakah Penegakan kaidah-kaidah hukum diawasi atau tidak.c.Golongan yang secara nyata melanggar hukum Terhadap golongan ini harus diterapkan penjatuhan sanksi atau hukuman.d.Golongan bekas pelanggarGolongan yang sudah pernah melanggar dan dikenai sanksi serta hukuman. Sosiolog Prof. Watanabe (1995, h.47) secara eksterm menilai tinggi rendahnya disiplin nasional suatu bangsa diukur dari sejauh mana ketaatan masyarakat terhadap hukum lalu lintas di jalan raya.Untuk melihat kedisiplinan nasional suatu bangsa tidaklah sulit, yaitu cukup berdiri kira-kira satu atau dua jam tidak terjadi pelanggaran lalu lintas dapat dipastikan disiplin bangsa tersebut sudah baik. Pendapat Watanabe tersebut mengandung arti bahwa disiplin lalu lintas adalah cermin disiplin dan budaya bangsa (Tabah, 1991, h. l l - 12). Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kedisiplinan berlalu lintas adalah suatu perilaku yang mematuhi hukum serta aturan yang mengatur gerak atau mudiknya kendaraan dan orang di jalan agar menjadi aman, cepat, lancar, tertib dan teratur.2. Aspek-aspek Disiplin Berlalu LintasMenurut Barnadip (1986, h.25) disiplin memiliki beberapa aspek, yaitu :a.Sikap mental (mental attitude), merupakan sikap taat dan tertib sebagai hasil atau pengembangan dari latihan pengendalian watak.b.Pemahaman yang baik mengenai sistem peraturan perilaku, norma, kriteria dan standard yang demikian rupa sehingga pemahaman tersebut menumbuhkan pengertian yang mendalam atau kesadaran bahwa ketaatan akan aturan, norma, kriteria dan standar merupakan syarat muntlak untuk mencapai keberhasilan. Menurut Valsiener dan Achir (dalam Saksono, 1994) yaitu :a.Tanggung jawab mengungkap tanggung jawab individu dalam berlalu lintas.b.Penyesuaian diri di dalamnya terkandung kemampuan individu dalam mengendalikan diri untuk perilaku yang sesuai dengan undang-undang dan aturan yang berlaku.Dari uraian di atas yang telah disimpulkan bahwa aspek - aspek disiplin meliputi: sikap mental, pemahaman, penyesuaian diri dan tanggung.jawab akan digunakan sebagai acuan dalam pembuatan alat ukur pada penelitian ini.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan DisiplinAda beberapa faktor yang mempengaruhi disiplin berlalu lintas, yaitu :a.PendidikanPembudayaan disiplin sebagai sebagai sikap dan perilaku dapat dilaksanakan melalui pembinaan baik lewat jalur pendidikan formal maupun non formal (Priambodo, 1997, h.40).1) Pendidikan non formal yang dimaksud disini adalah institusi sosial yang terkecil yaitu keluarga. Keluarga merupakan media yang paling efekrtif dalam upaya pembiasaan sikap dan perilaku disiplin sejak usia dini (Priambodo,1997, h.40). Guna menanamkan disiplin pada anak maka sangat diperlukan keteladanan dari orang tua harus kosisten terhadap disiplin yang mereka buat, sehingga anak akan mudah melaksanakannya danmenjadi suatu kebiasaan. Sebaliknya jika orang tua tidak kosisten dalam berdisiplin maka anak menjadi indisipliner. Kebiasaan berdisiplin akan terpengaruh terhadap semua aspek kehidupannya, termasuk dalam berlalu lintas.2) Menurut Ancok (1995, h.175) disiplin lalu lintas erat kaitannya dengan kualitas pemakai jalan. Salah satu langkah peningkatan kulitas pemakai jalan adalah dengan memberikan pengetahuan tentang tertib lalu lintas yaitu melalui pendidikan formal mulai dari anak usia TK sampai dengan dewasa. Untuk itu perlu pemberian pengetahuan tentang tertib lalu lintas di sekolah sebagai pengetahuan yang wajib diberikan.b.Faktor KepribadianFaktor kepribadian banyak berkaitan dengan pelanggaran kedisiplinan berlalu lintas dan kecelakaan (Wirawan,l996, 11-19). Menurut formula Kurt Lewin faktor yang penting dalam kepribadian seseorang adalah sistem nilai yang diambil. Sistem nilai dalam hal ini yang berkaitan langsung dengan berdisiplin. Nilai-nilai yang menjujung disiplin yang diajarkan atau ditanamkan orang tua, guru dan masyarakat akan digunakan sebagai kerangka acuan bagi penerapan disiplin lalu lintas. Hal tersebut terlihat dari berbagai indikasi yang menunjukkan bahwa mereka yang hampir tidak pernah mendapatkan kecelakaan yang berarti ternyata telah terbina dalam kondisi yang menekankan sikap dan pola kepribadian yang mengarah pada perilaku aman (Goldenson dalam Wirawan,1996, h.20).c.UsiaMenurut Hurlock (1993, h.95) usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi disiplin. Hal ini didukung oleh data statistik yang mengemukakan bahwa angka kecelakaan lebih tinggi ditemukan pada individu di bawah dua puluh tahunan, sedangkan individu yang berusia pertengahan lima puluh tahunan angka kccclakaannya cukup stabil.d.Peranan petugas keamanan lalu lintasPeran petugas keamanan lalu lintas dalam hal ini adalah Polantas sangat penting didalam menanamkan disiplin lalu lintas. Tanpa adanya konsistensi dalam penegakan hukum pada pelanggar lalu lintas maka tertib lalu lintas akan menjadi impian saja. Menurut pandangan pakar kontrol sosial bila terjadi ketidakdisiplinan dalam masyarakat maka penyebab pokok adalah kurang mempunyai petugas keamanan didalam menegakkan hukum bagi si pelanggar, bukan karena rendahnya kesadaraan masyarakat (Ancok,1995, h.175 -176). Menurut Saksono (1993, h.186) disiplin sebagai suatu sikap terhadap norma-norma dan kaidah-kaidah sosial, yang pada dasarnya terbentuk oleh pengalaman individu saat berinteraksi dengan dunia luar. Sikap ini yang mengarah pada pola tingkah laku menuju perilaku disiplin, yang berupa ketaatan terhadap aturan-aturan yang ada. Sears, dkk (1997, h.24) mengatakan bahwa ketaatan seseorang terhadap aturan kelompok disebabkan oleh tekanan sosial dan perundingan atau konsesi yang dibuat dalam suatu kelompok. Selain kedua hal tersebut, terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan seseorang menjadi taat pada aturan kelompok, yaitu:a.Ketaatan terhadap otoritas yang sah.Sesuai dengan otoritas yang sah dalam situasi tertentu akan bertindak sesuai dengan norma sosial yang berlaku. b.Ganjaran, hukuman, dan ancamanSeseorang akan patuh terhadap aturan ataupun tugas yang ada padanya jika dia menyadari adanya konsekuensi terhadap tindakan-tindakannya.c.Harapan orang lainSeseorang mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindakan sesuai dengan yang diharapkan oleh orang lain. Pemberian label sebagai cermin dari harapan, seperti misal cerdas, rajin, kreatif dan sebagainya akan menimbulkan tindakan sesuai dengan label yang disandangnya, bahkan meskipun harapan tersebut bersifat implisif. Beberapa ahli berpendapat bahwa perilaku disiplin terbentuk karena adanya :a.Faktor hukumanSetiap hukuman diberikan atas perbuatan yang salah. Setiap hukuman dapat dijadikan sebagai pembentuk perilaku disiplin yang baik, jika mempunyai ciri :1) Sebagai akibat yang wajar dari suatu kesalahan.2) Harus jelas dan ada dasar yang kuat.3) Tidak berdasar padangan pribadi.4) Membangun dan mengarah pada perbaikan pengawasan diri.5) Menghindari rasa takut dan motif yang tidak baik. (Cole, 1995, h.45).b.Faktor hadiahPengharapan berhubungan langsung dengan perilaku yang diinginkan sehingga akan memotivasi seseorang untuk mengulanginya, penghargaan yang sangat sederhana dan efektif adalah penghargaan sosial (Hurlock,c. Hubungan sosial yang baik di masyarakatHubungan sosial di masyarakat didasarkan pada hubungan yang baik dalam keluarga. Situasi rumah dan hubungankeluarga yang baik akan mengakibatkan pada pembentukan dan penanaman disiplin diri yang kuat (Good dalam Fananta, 1993, h.37). 1972, h.102). Dari berbagai pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku disiplin yaitu Pendidikan baik formal maupun informal, faktor kepribadian, Usia peranan petugas keamanan lalu lintas, sikap terhadap ketaatan, hukuman atas pelanggaran, harapan, hadiah, atas suatu prestasidan hubungan sosial dengan lingkungan. B. Persepsi terhadap Penegakan Hukum Lalu Lintas1. Pengertian Persepsi terhadap Penegakan Hukum Lalu lintasProses diterimanya rangsang (obyek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun peristiwa) sampai rangsang itu disadari dan dimengerti disebut persepsi.Persepsi bukan sekedar penginderaan, maka dapat disebut sebagai interpretation of experience (penafsiran pengalaman) (Irwanto,1997. h 71).Persepsi adalah suatu proses dimana seseorang mengorganisasikan ke dalam pikirannya, menafsirkan mengalami, dan mengolah segala sesuatu yang terjadi dalam lingkungan yang nantinya akan mempengaruhi perilaku yang akan dipilih (Kottler, 1999, h 241). Menurut Davidoff (1987,h. 127) persepsi adalah sebuah proses kognitif, sebuah jalan untuk mengetahui dunia sekitarnya. Kita mengawali kegiatan kognisi dengan persepsi karena persepsi adalah titik dimana kognisi dan realitas bertemu yang merupakan sebuah proses yang kompleks yang bergantung pada dunia sekitarnya dengan penerimanya. Kegiatan/ proses kognitif tersebut sebagai akibat dari stimulus yang mengenainya. Di dalam mengadakan interaksi dengan individu lain, persepsi individu akan berpengaruh pada tingkah laku individu terhadap stimulus yang diterima sehingga apabila seseorang mempunyai persepsi yang baik terhadap obyek/ situasi tertentu, maka akan muncul tindakan yang selaras dengan obyek/ situasi yang terjadi, demikian pula sebaliknya. Hal ini didukung oleh Gibson (1990, h.27) mengatakan bahwa, persepsi seseorang terhadap sesuatu hal berpengaruh pada bentuk, tingkah laku yang muncul. Persepsi merupakan proses pengorganisasian dan penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti. Dengan persepsi individu dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang bersangkutan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa seluruh apa yang ada di dalam individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka acuan dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu akan ikut berperan dalam persepsi tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa dalam persepsi itu sekalipunStimulusnya sama, tetapi karena pengalaman tidak sama, kemampuan berpikir tidak sama ada kemungkinan hasil persepsi antara individu satu dengan yang lain tidak sama. (Indrajaya, 1983, h. 4) Persepsi pada manusia mencakup tiga proses yaitu proses fisik, proses fisilogik, proses psikologik. Secara umum proses persepsi dimulai dengan adanya berbagai stimulan dari lingkungan di luar diri manusia yang mengenai alat indera atau reseptor. Proses ini dinamakan proses kealaman (fisik). Stimulan yang diterima alat indera dilanjutkan oleh saraf sensorik ke otak, proses ini dinamakan proses fisiologik.Diotak terjadi suatu reaksi sehingga individu menyadari tentang apa yang diterimanya, proses ini dinamakan proses psikologik. Persepsi menurutMulyono (1987, h.86) merupakan pandangan, pengamatan atau taffggapan individu terhadap benda, kejadian, tingkah laku manusia atau hal-hal lain yang ditemui sehari- hari. Ahmadi (1983, h.93) mengatakan bahwa persepsi merupakan hasil perbuatan yang dilakukan secara sadar, aktif, dan penuh perhatian terhadap rasa yang ada. Cara seseorang melihat situasi seringkali mempumyai arti yang lebih penting untuk memahami perilaku dari pada situasi itu sendiri, maka persepsi bersifat individual. Menurut Gibson (1988, h.56) tiap-tiap individu memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu stimulus yang sama dan persepsi ini mempengaruhi perilaku individu terhadap stimulus yang diterimanya. Ada juga yang disebut sebagai persepsi sosial, yaitu suatu proses pengamatan, pembentukan, kesan dan penilaian atau kesimpulan tentang pemberian cap atau ciri berdasarkan pesan-pesan dan informasi yang diterima Gunawan (1991, h.50) Irwanto dkk (1991, h.71) mengartikan persepsi sebagai proses seseorang yang sekaligus ditanggapinya, berdasarkan pengalaman- pengalamannya. Selain ada definisi persepsi yang lain menurut Sadli (1976, h.76) Persepsi adalah bentuk aktif, yang memegang peranan bukan hanya stimulus yang mengenainya tetapi juga individu sebagai keseluruhan dengan pengalamannya, motivasi dan sikap- sikap yang relevan terhadap stimulus tersebut. Pengalaman dart tingkah laku merupakan suatu kesatuan, apa yang dilakukan seseorang sebagai ucapan, ekspresi atau kegiatannya tidak terlepas dari cara mempersepsikan atau apa yang diingatkan mengenai hal yang dihadapinya. Berdasarkan beberapa pengertian persepsi di atas dapat dijadikan kesimpulan bahwa persepsi adalah suatu proses pengamatan, pembentukan kesan-kesan dan penilaian secara aktif terhadap stimulus, benda, kejadian, tingkah laku manusia atau hal- hal lain yang diterima sehari- hari berdasarkan pengalaman motivasi dan sikap-sikap yang relevan terhadap stimulus tersebut. 2. Pengertian Penegakan Hukum Lalu lintasPenegakan hukum menurut Sukanto (1987, h.67) adalah suatu proses penyerasian antara nilai-nilai hukum, kaidah kaidah hukum dan pola sikap tindak dalam kenyataan. Proses tersebut bertujuan untuk menegakkan keadilan. Rahardjo (dalam Syahrani, 2004, h.161) menyatakan penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, hukum, dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakekat penegakan hukum, dan hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Adapun pengertiam hukum lalu lintas adalah.pengertian yang sesuai dengan pengertian peraturan lalu lintas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Jalan Raya. Menurut Soekanto (1990, h.38-39) Hukum dipatuhi karena penegak hukum memiliki kekuasaan. Kekuasaan dan wewenang tersebut biasanya ditujukan untuk mencapai keadaan tertib. Berdasarkan uraian di atas maka dapt disimpulkan persepsi penegakan hukum adalah penilaian individu, cara pandang, dan pemahaman individu berdasarkan pancaindera dan stimulus aupun prasangka terhadap penyerasian nilai-nilai hukum, kaidah-kaidah hukum dan pola sikap kedalam kenyataan. Adapun yang dimaksud dalam hal ini adalah kaidah-kaidah hukum atau aturan lalu lintas sesuai dengan pengertian peraturan lalu lintas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Jalan Raya.3. Pengukuran Persepsi terhadap Penegakan Hukum Lalu lintasProses pemberian arti pada individu terhadap obyek tertentu berkaitan dengan beberapa aspek tertentu pula. Menurut Walgito(1993, h.30) aspek persepsi dapat digolongkan menjadi tiga aspek: a.Aspek kognitifYaitu menyangkut pengharapan, cara mendapatkan pengetahuan atau cara berpikir dan pengalaman masa lalu. Individu dalam mempersepsikan sesuatu dapat dilatar belakangi oleh adanya aspek kognitif ini, yaitu pandangan individu berdasarkan dari keinginan/ penghargaan/ dari cara individu tersebut memandang sesuatu berdasarkan pengalaman dari yang pernah didengar atau dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari.b.Aspek konatifYaitu yang menyangkut sikap perilaku, aktivitas dan motif individu terhadap sesuatu yang berhubungan dengan motif atau tujuan timbulnya suatu perilaku yang terjadi disekitarnya yang diwujudkan dalam sikap/perilaku individu tersebut dalam perilaku sehari-hari.c.Aspek afektifYaitu menyangkut emosi dari individu dalam mempersepsikan sesuatu biasanya melalui komponen afektif yang berlandaskan pada emosi individu tersebut. Menurut Indrawijaya (1985, h.41) mengemukakan adanya tiga aspek persepsi psikologi, yaitu :a.Kognitif yaitu menyangkut pengharapan, cara berpikir atau cara individu tersebut memandang sesuatu berdasarkan dari pengalaman masa lalu. b.Afektif yaitu perasaan individu terhadap obyek persepsi yang menyangkut masalah emosional.c.Konatif yaitu yang menyangkut sikap perilaku, aktifitas dan motif dapat juga dikatakan sebagai kecenderungan individu untuk bertingkah laku sesuai persepsinya.Faktor penegakan hukum menurut Soekanto (1983,h.9) terdapat 5 (lima) yang saling berkaitan dan merupakan esensi dari penegakan hukum sekaligus merupakan tolok ukur efektifitas dari penegakan hukum adalah sebagai berikut :