Desain Pengembanga Model Kf2010rtttttttt433333
description
Transcript of Desain Pengembanga Model Kf2010rtttttttt433333
DESAIN PENGEMBANGA MODEL KF
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Program pendidikan keaksaraan merupakan salah satu
program pendidikan non formal yang sampai saat ini terus
dikembangkan dalam pemberantasan buta aksara. Dengan
adanya program pendidikan keaksaraan ini, pemerintah
berupaya untuk menyadarkan, memotivasi dan membantu
masyarakat tertinggal, agar terbebas dari buta aksara yang
selalu terkait dengan masalah kebodohan, kemiskinan dan
keterbelakangan.
Deklarasi Dakkar yang dicanangkan di Sinegal tahun 2000,
yang salah satu butir kesepakatan berupa “Rencana Aksi
Dakkar” tersebut adalah keinginan untuk menurunkan jumlah
penduduk buta aksara sebesar 50% pada tahu 2015. Program
tersebut akan berhasil bila didukung oleh berbagai unsur yang
dapat membantu penuntasan program buta aksara.
Secara global indonesia termasuk dalam daftar 34 negara
yang angka buta hurufnya tertinggi. Global Monitoring Report
menyebutkan negara kita ada diperingkat ke tujuh setelah
antara lain China, India, dan Bangladesh. Total angka buta huruf
di Indonesia tersebut di atas merupakan 9% dari jumlah total
penduduk Indonesia (BPS, 2007). Dua pertiga atau sekitar 66%
di antaranya adalah perempuan yang berlatar belakang keluarga
miskin atau tinggal di daerah terpencil dan terisolasi karena
faktor geografis wilayah. Diperkirakan sekitar 77% dari populasi
tersebut adalah orang dewasa berusia 45 tahun ke atas,
sedangkan sisanya berusia antara 15 sampai 45 tahun
(Hendrizal, 2007).
Laporan dari BPS (2007) pada tahun 2006 data jumlah
penduduk buta aksara sebanyak 8,36% dari jumlah total
penduduk atau sebanyak 13.182.492 jiwa penduduk masih buta
aksara. Jumlah penduduk buta aksara ini memberikan pengaruh
dalam tingkat kontribusi masyarakat terehadap pembangunan
sehingga dirasakan perlu untuk ditangani sesegera mungkin.
Oleh karena itulah maka masalah buta aksara sebagai suatu
masalah nasional sampai saat ini dipandang masih belum tuntas
sepenuhnya.
Berbagai usaha dalam upaya penanggulangannya masih
mengalami hambatan sehiungga program-program yang
diluncurkan untuk menanggulanginya berupa pengorganisasian
kelompok belajar keaksaraan fungsional, tampaknya belum
efektif. Oleh karena itu, perlu adanya upaya serius, sehingga
jumlah buta aksara dari tahun ke tahun akan semakin menipis,
dan diharapkan pada kurung waktu tertentu akan tuntas dan
bebas dari buta aksara.
Sementara itu, Provinsi Sulawesi Tengah merupakan salah
satu di antara sepuluh Provinsi yang memiliki tingkat penduduk
buta aksara tinggi, adapun sembilan Provinsi lainnya yaitu: Jawa
Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, NTT,NTB, Sulawesi
Selatan, Papua Barat, dan Papua. Berdasarkan data dari Biro
Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk buta aksara
Provinsi Sulawesi Tengah pada Tahun 2005 sebanyak .............
jiwa (.........% dari penduduk kelompok umur 15 tahun ke atas)
dan menurun pada tahun 2008 sebanyak ........ jiwa (.......%).
Angka pada tahun 2005 (.......%) tersebut diharapkan dapat turun
menjadi ..... % pada akhir tahun 2010. Data BPS tersebut
berbeda dengan data dari Dinas Pendidikan Daerah Provinsi
Sulawesi Tengah yang pada tahun 2007 terdapat ....... jiwa
penduduk Provinsi Sulawesi Tengah yang menyandang buta
aksara. Diduga perbedaan data disebabkan adanya perbedaan
pendekatan yang digunakan dalam mengumpulkan data. BPS
menggunakan pendekatan survei, sementara data yang dimiliki
Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tengah yang dikumpulkan
dari tingkat lapangan dengan menggunakan jaringan petugas
lapangan sampai dengan tingkat kecamatan (Tenaga Lapangan
Diknas/TLD dan Penilik PLS).
Menyadari akan permasalahan masih tingginya angka buta
aksara tersebut, maka pemerintah pusat menyalurkan berbagai
dana pembantuan guna mendukung program penuntasan buta
aksara pada seluruh Provinsi yang diharapkan akan mengurangi
tingkat buta aksara sesuai target pada tahun 2010. Penuntasan
buta aksara adalah salah satu bagian dari Program Pendidikan
non formal yang berfungsi mengembangkan potensi peserta
didik (warga belajar) dengan penekanan pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan
sikap dan kepribadian profesional. Kesuksesan dan keberhasilan
penuntasan buta aksara diharapkan dapat meningfkatkan indeks
atau kualitas pembangunan manusia (Zainuddin, 2001). Dan
sebaliknya, kegagalan penuntasan buta aksara akan berdampak
negatif terhadap kelangsungan hidup manusia. Tidak hanya pada
penurunan indeks pembangunan manusi, tetapi juga menjadi
penghambat pembangunan pada sektor lainnya. Literasi atau
kemampuan membaca, menulis dan berhitung (Calistung)
menurut Fasli Jalal (2004) merupakan salah satu indikator
penting dalam variabel kemajuan pendidikan yang
mempengaruhi indeks pengembangan manusia (indeks Human
Development), di mana Indonesia masih menduduki peringkat
yang memprihatinkan, yaitu menduduki peringkat 111 dari 179
negara. Dalam laporan pembangunan manusi internasional
terbaru, Indonesia berada di peringkat ke- 110 dari 197 negara.
Indeks tersebut mempengaruhi tingkat daya saing dan
produktivitas bangsa Indonesia dalam percaturan global.
Sejak tahun 1946 sampai saat ini pemerintah
memprogramkan pemberantasan buta huruf (PBH) tersebut.
Sangat disayangkan sampai saat ini, jumlah buta aksara di
negara Indonesia masih sangat tingi, yakni kurang lebih
13.000.000. juta jiwa pada tahun 2005 (9,555) dari penduduk
kelompok umur 15 tahun ke atas, menurun 7,23% pada tahun
2007. Mengapa hal itu bisa terjadi ? Bisa jadi program
pemberantasan buta aksara selama ini belum berjalan secara
efektif sebagaimana diharapkan. Dan jika hal tersebut dikaitkan
dengan era otonomi daerah sekarang, bisa jadi bahwa program
pemberantasan buta aksara selama era reformasi ini belum
menjadi prioritas utama dari pembangunan daerah.
Program keaksaraan yang merupakan pengembangan dari
program pemberantasan buta aksara mulai diperkenalkan
kembali pada tahun 1977/1978. Program ini di maksudkan untuk
menumbuhkan motivasi interenal dari warga belajar. Keaksaraan
merupakan pendekatan atau cara untuk mengembangkan
kemampuan seseorang dalam menguasai dan menggunakan
keterampilan membaca, menulis berhitung, berbicara dan
mendengarkan yang didasarkan pada kebutuhan, minat,
pengalaman hidup sehari-hari serta memanfaatkan potensi yang
ada di lingkungan sekitarnya.
Pada tahun 2006 pemerintah mengeluarkan insttruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tanggal 6 Juni 2006 tentang
Gerakan Nasional Percepatan Pemberantasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Hal
ini membawa pengertian tantang target Dekralasi Dakkar yang
harus dicapai yaitu 50% sasaran dapat dituntaskan pada tahun
2015. Dalam kaitan dengan hal tersebut, pemerintah
menetapkan bahwa target 50% penuntasan buta aksara dapat
dicapai pada akhir tahun 2010. Pemerintah Indonesia
menargetkan, penyandang buta aksara (buta huruf) diIndonesia
bisa dikurangi maksimal tersisa 7 juta jiwa pada tahun 2010, dari
kondisi pada tahun 2005 sejumlah kurang lebih 13 juta jiwa.
Untuk itulah pada tahun 2010 ini, sebagai target pencapaian
tahun terakhir, maka Pengembangan Kegiatan Belajar
Pendidikan Non Formal dan Informal (PKB PNFI) Provinsi
Sulawesi Tengah, perlu melakukan pengkajian pengembangan
model pendidikan keaksaraan sebagai suatu komunitas tertentu
dengan penekanan pada perspektif budaya masyarakat lokal di
Desa Gunung Batu Kecamatan Banawa Tengah dengan lokasi
binaan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Donggala
yang merupakan salah satu kantong buta aksara di Provinsi
Sulawesi Tengah.
Keadaan Kecamatan Banawa Tengah Kabupaten Donggala
sebagai salah satu Wilayah pemekaran kecamatan Banawa Ibu
Kota Kabupaten Donggala, dikategorikan sebagai salah satu
kantong Buta Huruf memiliki karakteristik yang unik jika dilihat
dari latar belakang budaya penduduknya yang sebagian besar
penduduknya bermukim di sepanjang pesisir pantai. Berkenaan
dengan adanya keanekaragaman kebudayaan yang dimiliki oleh
berbagai golongan etnik di Kecamatan tersebut yang bukan saja
dihuni oleh penduduk asli (“Kaili”) tetapi sudah merupakan
asimilasi dari berbagai budaya lokal suku pendatang (Bugis-
Makassar, Mandar, Jawa, Gorontalo, Saluan, Bali, Toraja,
Cina, dan sebagainya).
Keberadaan suku-suku pendatang tersebut sudah
berlangsung sejak lama pada awal kemerdekaan Bangsa
Indonesia yang dihubungkan melalui perdagangan antar pulau.
Sejak dahulu kala kota kecil Donggala ini sudah ramai dikunjungi
oleh para pedagang (saudagar) dari berbagai daerah di tanah air
melalui pelajaran antar pulau sebelum terbukanya jalur angkutan
darat, sehingga tidak mengherankan jika Kota Kecil Donggala
dijuluki sebagai “Kota Saudagar” (Nurhayati Nainggolan,
1985). Selain letaknya cukup strategis, juga terdapat pelabuhan
laut “transit” yang disinggahi oleh berbagai jenis perahu layar,
kapal motor, dan kapal laut (bongkar muat barang/kontener) dari
berbagai daerah. Dari pelabuhan Donggala memuat hasil-hasil
bumi, misalnya kopra, cengkeh, coklat, rotan, dan sebagainya.
Sebaliknya kapal dari luar membongkar berbagai jenis
kebutuhan masyarakat, misalnya 9 bahan pokok, semen, alat-
alat bangunan, bahan-bahan eletronik dan berbagai jenis
kebutuhan rumah tangga dan perkantoran. Inilah yang
mengakibatkan sehingga nama Donggala, yang kemudian
menjadi Ibu Kota Kecamatan Banawa dari sejak dahulu kala
sudah dikenal sampai ke manca negara (Arie, 1983).
Hubungan-hubungan sosial kekerabatan tersebut telah
berlangsung lama di antara masyarakat atau golongan etnik
yang berbeda di Kecamatan Banawa, termasuk di Kecamatan
Banawa Tengah, telah menghasilkan terwujudnya kebudayaan –
kebudayaan umum lokal. Oleh karena itu, keberadaan
kebudayaan umum lokal tersebut sebenarnya dapat dilihat
sebagai wadah yang mengakomodasikan lestarinya perbedaan-
perbedaan identitas golongan etnik serta identitas sosial budaya
dari masyarakat yang saling berbeda kebudayaannya, yang
hidup bersama dalam wilayah atau di sekeliling kebudayaan
tersebut.
Gejala berkumpunya berbagai etnik lokal dapat disebabkan
oleh adanya wilayah pertemuan kebudayaan etnik yang berbeda.
Wilayah pertemuan beberapa etnik yang berbeda misalnya
kebudayaan penduduk asli suku Kaili dengan Bugis-Makassar,
kebudayaan Bugis dengan Mandar; Jawa dengan Gorontalo; Bali
dengan Toraja, dan lain-lain. Daerah seperti ini menurut Abdul
Syani (2006: 57) merupakan Wilayah dengan pola kebudayaan
“Campuran”. Budaya campuran akan memunculkan budaya
umum lokal atau budaya pasar (Santoso, 2008: 109) yang dapat
dipakai sebagai acuan dalam menjalin hubungan baik dalam
rangka memenuhi kebutuhan fisik maupun psikologis, termasuk
kebutuhan akan pendidikan warganyasejalan dengan
perkembangan kebudayaan etnik lokal tersebut, menurut Selo
Sumarjan (1999) dan Sukamto (2005) akan memunculkan
berbagai ketegangan dan pertentangan antar kelompok dalam
setiap kesatuan sosial yang disebabkan adanya perbedaan
dalam mengembangkan kebersamaan.
Di sisi lain, menurut Sukamto (2005) masyarakat dengan
pola kebudayaan campuran akan memunculkan pula berbagai
persaingan yang disebabkan masih adanya sebagian masyarakat
yang sering mengacu pada kebudayaan suku bangsa dan daerah
untuk mengangkat kepentingan kelompok dalam kancah yang
bersifat nasional. Munculnya komplik antar golongan etnik di
berbagai daerah sejak tahun 1996 hingga di penghujung tahun
2003 di Sulawesi Tengah, misalnya warga pendatang
A. Tujuan
Adapun Tujuan dari Pengembangan Model Keaksaraan Dasar ini
adalah:
a. Tujuan Umum
Mengembangkan model penyelenggaraan pendidikan
Keaksaraan khusus di
Kelurahan.......................Kecamatan,...........................
kabupaten,................................. Donggala Provinsi
Sulawesi Tengah
b. Khusus
Sebagai pedoman dan acuan dalam penyelenggaraan
Program Keaksaraan.
- Setelah program keaksaraan ini warga belajar
dapatmembaca, menulis dan berhitung (Calistung)
- Dapat mengetahui secara menyelurug potensi desa dan
karakter masyarakat ......................donggala
B. Dasar
Yang menjadi dasar yuridis dalam Pengembangan Model secara
khusus dan secara umum adalah :
1. Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
2. UU No. 32 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah
3. PP No. 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah
4. Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah No. 6 Tahun 2001
tentang Pembentukkan Organisasi dan Tata Kerja Pada
Dinas- Dinas Daerah Propinsi Sulawesi Tengah.
5. Keputusan Mentri Negara Koordinator Bidang
Pengawasan Pembangunan dan Pemberdayaan Aparatur
Negara No 25/Kep/MK.Waspan/6/1999 tanggal 18 Juni
1999 Tentang Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan
angka kreditnya
6. Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah No. 37 Tahun
2002 tentang Uraian Tugas dan Fungsi UPTD pada Dinas-
Dinas Daerah Propinsi Sulawesi Tengah.
7. Surat Keputusan Kepala Dinas Daerah Provinsi .Sulwesi
Tengah No 122/28.21/PKB.PNFI/PD Tanggal 15 Maret
2010 tentang Tim pengembangan dan Uji Coba Model
Kesetaran, Keaksaraan, PAUD Kursus dan Kelembagaan,
dan IT Program Pendidikan Non Formal model pada PKB-
PNFI Provinsi Sulawesi tengah
BAB IIKAJIAN TEORI
A. Pengertian pendidikan keaksaraan
Program Pendidikan Keaksaraan adalah salah satu bentuk
layanan pendidikan non-formal, bagi masyarakat yang masih
dikatagorikan sebagai buta aksara. Dengan kata lain,
pendidikan keaksaraan merupakan sebuah upaya
pembelajaran untuk menumbuhkan dan mengembangkan
kemampuan membaca, menulis, berhitung dan berbahasa
Indonesia dengan kandungan nilai fungsional bagi upaya
peningkatan kualitas hidup dan penghidupan warga
masyarakat yang masih buta aksara tersebut.
Menurut John Hauter (1997 : 124), ada tiga kategori dasar
tentang definisi keaksaraan, setiap kategori didasari oleh
asumsi yang sangat berbeda dari peran keaksaraan dalam
kehidupan setiap individu dan dalam kehidupan masyarakat,
yaitu :
a. Literacy as aset if basic skills, abilities or competencies,
artinya keaksaraan merupakan seperangkat keterampilan dan
kemampuan atau kompetensi dasar.
b. Literacy as the necessary fondation for higher quality of life,
artinya keaksaraan sebagai dasar yang penting untuk
meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih baik.
c. Literacy as reflection of political and structural realities,
artinya keaksaraan merupakan refleksi dari kebijakan dan
kenyataan struktural.
Dari beberapa uraian definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa keaksaraan menekankan pada suatu kemampuan
untuk dapat mengatasi suatu kondisi baru yang tercipta oleh
lingkungan masyarakat, sebagai upaya agar warga belajar
dapat memilih kemampuan yang bermanfaat bagi diri dan
masyarakat disekitarnya.
Istilah fungsional dalam pendidikan keaksaraan
mengandung makna bahwa penyelenggaraan pendidikan
keaksaraan harus: (1) relevan dengan isi, proses, dan konsep,
serta fungsi dan tujuan diselenggarakannya pembelajaran
keaksaraan fungsional, (2) sesuai dengan minat dan
kebutuhan belajar warga belajar, dan (3) ada jaminan bahwa
hasil belajarnya benar-benar bermanfaat (fungsional) bagi
peningkatan mutu dan taraf hidup warga belajar.
Pendidikan keaksaraan berfungsi untuk memberikan
pengetahuan dasar yang meliputi kemampuan membaca,
menulis dan berhitung yang dapat digunakan dalam
kehidupan sehari-hari sebagai wahana untuk meningkatkan
taraf hidup warga belajar. Pendidikan keaksaraan juga
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta
kemampuan berusaha atau bermata pencaharian.
Menurut Prof.Dr. M.Saleh Marzuki, M.Ed (Universitas Negeri Malang)
Istilah keaksaraan fungsional telah lama dikenal yakni sejak
pertengahan tahun 1960 an, dan merupakan konsep yang
sangat berpengaruh dalam membangun pendidikan melalui
program keaksaraan. Pesona ide tersebut sangat kuat dan
tersebar luas. Banyak pihak sangat perduli terhadap ide
tersebut antara lain : pendidik orang dewasa.,para ahli
pembangunan ekonomi,pekerja pembangunan desa,
lembaga-lembaga penyebar innovasi, para perencana dan
pelaksana pada lembaga-lembaga internasional tampaknya
semuanya sangat perduli dengan keaaksaraan fungsional.:
ide dibalik itu sepertinya adalah bahwa keaaksaraan dapat
mempunyai fungsi atau peran membangkitkan pembangunan
sosial ekonomi suatu masyarakat. Sementara itu para
pekerja keaksaraan fungsional terutama yang bekerja di
proyek-proyek yang disponsori Unesco melakukan
eksperimentasi, dan telah menjual konsep tersebut beserta
temuan-temuannya. Munculnya konsep keaksaraan
fungsional sangat menegsankan, tetapi tidak berjalan mulus
untuk gerakan keaksaraan di negara sedang berkembang.
Konsep keaksaraan fungsional ini memakan waktu panjang
untuk bangkit dari frustrasi dan kegagalan para pekerja
keaksaraan yang seringkali menghadapi para sasaran didik
orang dewasa yang memimpikan sesuatu kehidupan yang
indah, yang terang benderang tetapi tidak terwujud dan
mereka tidak ingin menjadi bagian dari mimpi indah tersebut.
Mereka tidak lagi secara sukarela untuk belajar membaca dan
menulis.mereka tidak lagi mikir apakah keaksaraan itu hak
asasi manusia atau bukan. Bagi mereka yang sudah pernah
belajar membaca dan menulis, mereka juga tidak tahu mau
melakukan apa dengan kecakapan barunya tersebut, atau
setelah memperoleh skill lenguistik. mau apa. Konsep baru
yang disebut keaksaraan fungsional menjanjikan akan
memecahkan masalah masalah klasik dan masalah yang
sulit yaitu motivasi peserta didik dan secara bersamaan
menghubungkan keaksaraan dengan ekonomi,sosial dan
aspirasi politik di negara sedang berkembang. Tetapi
kegagalan yang pernah dialami oleh para pekerja
keaksaraan betul betul mendiskreditkan mereka ,merugikan
orang yang betul-betul ingin belajar keaksaraan, dan
mengabaikannya sebagai hak asasi manusia sampai suatu
saat perbaikan betul betul dilaksanakan.
Untuk menjadikan keaksaraan fungsional terlaksana dengan
baik, konsep tersebut harus dipahami, diterjemahkan dalam
tindakan.Implikasi konsep kedalam berbagai aspek program
dan implementasi harus dilakukan secara logis dan
terefleksikan dalm pelaksanaan. Pengembangan suatu
konsep tentu ada rasionalnya sebagai antesiden atau adanya
pemikiran pemikiran yang mendahuluinya. Pemahaman
terhadap suatu teori dan kejadian-kejadian seringkali menjadi
lebih baik apabila didahului oleh studi kita tentang antesiden
yang merupakan dimensi historis dan latar belakang dari
konsep keaksaraan fungsional. Beberapa antesiden atau latar
belakang tersebut antara lain: (1) idologis,(2) kultural,(3)
ekonomi,(4) lenguistik,(5)moivasi. Idiologis Ada anggapan
yang barangkali boleh disebut keyakinan bahwa kecakapan
baca tulis merupakan bekal kelak setelah mati menghadap
Tuhan guna memperoleh kehidupan yang lebih baik di
akhirat. Juga ada pemikiran bahwa membaca dan menulis
akan memperoleh keuntungan secara politik karena akan
memperoleh dukungan politik dari orang-orang tersebut
karena pemahaman mereka sebagai konstituen menjadi lebih
terbuka dengan bertambahnya media tulis. Di samping itu
dengan membaca para petani, buruh dan orang-orang lapisan
bawah memahami kepentingannya sehingga dapat terhindar
dari tindakan eksploitasi kelas penguasa Dalam hidup, kita
mengenal kebajikan bagi sesama yakni hak asasi manusia,
dimana setiap kita mempunyai hak untuk maju, untuk pandai
dan hidup layak.
B. Standar Kompotensi kesetaraan
SKK ini dirinci ke dalam komponen kompetensi dasar,
indikator, serta proses/pengalaman dan hasil belajar. Lingkup
materi SKK Pendidikan Keaksaraan meliputi: membaca,
menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia.
1. Kompetensi membaca.
Lingkup materi pembelajaran meliputi mengenal huruf,
membaca huruf, suku kata, kata, kalimat sederhana,
kalimat yang kompleks, serta pemahaman terhadap isi
teks bacaan yang ditunjukkan oleh kemampuan
menjelaskan kembali isi bacaan.
2. Kompetensi menulis.
Lingkup materi pembelajaran meliputi penggunaan alat
tulis dengan benar, menulis huruf, suku kata, kata, kalimat
sederhana, kalimat yang kompleks, serta menulis ceritera,
gagasan atau pengalaman sehari-hari yang dapat difahami
orang lain.
3. Kompetensi berhitung.
Lingkup materi pada standar kompetensi berhitung adalah
mengenal angka, bilangan puluhan, ratusan, dan ribuan,
pengukuran, serta pengelolaan data sederhana.
Kompetensi dalam bilangan ditekankan pada kemampuan
melakukan dan menggunakan operasi hitung bilangan
(tambah, kurang, kali, dan bagi) dalam kehidupan sehari-
hari. Pengukuran ditekankan pada kemampuan
menghitung panjang, keliling dan luas bangun datar, serta
volume ruang dalam pemecahan masalah sehari-hari.
Pengelolaan data ditekankan pada kemampuan
mengumpulkan, menyajikan, dan membaca data dalam
konteks kehidupan sehari-hari.
4. Kompetensi berkomunikasi menggunakan bahasa
Indonesia.
Lingkup materi pembelajaran meliputi kemampuan
berbahasa Indonesia yang baik dan benar, pemahaman
bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa
persatuan, menterjemahkan kata dan kalimat dari bahasa
ibu ke bahasa Indonesia atau sebaliknya, keterampilan
membaca dan memahami teks bahasa Indonesia, dan
keterampilan menggunakan bahasa Indonesia untuk
berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dalam konteks
kehidupan sehari-hari.
C. Pemahaman budaya masyarakat donggala
Kultur/Budaya
Teori dan hasil penelitian antrolpologi budaya sudah
tersedia khususnya tentang kebudayaan dan kepribadian
yang mendukung keaksaraan fungsional. Kepribadian kita
dibentuk oleh kebudayaan kita melalui unsur-unsurnya
seperti bahasa, adat istiadat, tradisi dan teknologi.,
berbagai kebiasaan dibentuk oleh budaya kita, berbagai
pola tingkah laku juga dihasilkan oleh budaya kita Nilai-
nilai kehidupan juga berubah mengikuti perkembangan
jaman dan melalui pendidikan dimana media tulis
memegang peranan penting. Keaksaraan telah dipandang
sebagai pembuka kunci potensi manusia, kultur,sosial dan
ekonomi.
Diantara dua manusia beberapa hal memang bisa
sama ,orang yang bisa baca tulis akan lebih dapat
mengatasi kebutuhan informasi dan dapat mengatasi
berbagai kesulitan dalam lingkungannya, sosial, politik,
ekonomi dibandingkan dengan orang yang buta aksara.
Memang orang buta aksara juga bisa menggunakan
simbul-simbul tetapi yang bisa baca tulis memiliki dua
macam simbul dalam dua tingkatan yaitu lisan dan tulisan.
Ekonomi
Teori ekonomi mendukung keaksaraan fungsional dengan
penelitian yang dilakukaqn oleh Phillips (1964) dengan
dasar rancangan expost facto, analisis system ekonomi
yang menunjukkan adanya pertumbuhan produktifitas
sebagai dampak pendidikan..Studi ini menunjukkan bahwa
bagian terbesar dari pertumbuhan dibidang produksi di
Negara berkembang stengah abad terkhir ini tidak dapat
diperhitungkan melalui masukan capital fisik,jam kerja dan
sumber daya alam, Sebagian bersar harus dianggap
berasal dari kemajuan teknis dan kualitas sumber daya
manusia yang keduanya ini merupakan peranan
pendidikan. Adapun dampak program keaksaraan terhadap
produktivitas potensi manusia, tergambar dalam penelitian
kuasi eksperimental yang dihasilkan oleh Stanislav
Strumlin (1965) yang menunjukkan bahwa seorang pekerja
yang berpendidikan setahun di sekolah dasar memiliki
pertumbuhan produktifitas sebesar 30 % sedangkan
pekerja buta aksara yang dimagangkan di industri selama
satu tahun hanya memikliki pertambahan produktivitas
sebesar 12 %. Sedangkan peningkatan kualifikasi yang
dihasilkan dari sekolah selama satu tahun rata-rata
mempunyai 2.6 kali lebih besar daripada yang satu tahun
magang di perusahaan. Dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa program keaksaraan fungsional
memberikan sumbangan besar terhadap pembangunan
ekonomi.
Linguistik
Ide pokok daripada keaksaraan fungsional adalah
mengajarkan ketrampilan ekonomi dan baca tulis secara
bersamaan dari awal yang merupakan bagian pokok
daripada keaksaraan fungsional.Memang konsep ini agak
kurang efektif apabila kita tidak memahami dengan baik
metodologi membaca yang diperoleh dari linguistic
seperti antara lain metode global dalam membaca.
Pertamakali tentu harus dipahami apa yang menjadi mata
pencaharian warga didik. Dari situ diidentifikasi kata dan
kalimat yang sering kita dengar dalam pembicaraan
sekitar mata pencaharian tersebut. Kata dan kalimat
tersebut setelah dikumpulkan dicari mana kata dan
kalimat yang menjadi motivasi atau mengandung motivasi
kuat, atau menjadi kekhawatiran dan kecemasan dalam
mencari nafkah. Kemudian kita coba merangkai kata dan
kalimat menjadi suatu cerita seerhana. Cerita tersebut
diperiksa apakah ada kata yang sulit untuk duucapkan
atau dikenali karena terlalu kompleks.Pilihan kata yang
tepat dan ejaan yang mudah akan mempermudah warga
belajar membacanya. Disamping itu cerita tadi disusun
dengan memperhatikan adanya kandungan masalah
sehingga belajar membaca berlanjut dengan diskusi. Dari
diskusi kita coba mencari pemecahan bersama tentang
kesulitan atau kebutuhan belajar yang terkait dengan
perbaikan mencari nafkah atau ekonomi mereka..Jika
memerlukan belajar ketrampilan tentu harus diteruskan
dengan pelatihan,jika perlu tindak lanjut mencontoh model
pencarian nafkaf di tempat lain tentu diteruskan dengan
karya wisata yang hasilnya bermanfaat untuk memperbaiki
tingkat hidup mereka baik secara perorangan maupun
kolektif.
Motivasi
Sebenarnya ada sesuatu yang tersembunyi didalam
keaaksaraan fungsional yaitu teori psikologis motivasi.
Orang dewasa menginginkan incentive berupa ganjaran
atau pujian dalam tingkah laku belajarnya. Membaca tidak
berdiri sendiri melainkan harus memberikan kepuasan
sebagai suatu tindakan dan sekali lagi apa yang mereka
baca harus betul betul menarik dan bermakna serta
bermanfaat bagi kehidupan mereka. Mengenai manfaat
memang semua bermanfaat tetapi ada yang manfaatnya
masih lama tertunda karena bersifat laten tetapi ada yang
bermanfaat dalam waktu dekat dan mendesak dalam
kehidupan mereka. Orang dewasa umumnya telah
berhadapan langsung dangan masalah dan kebutuhan
sehari hari yang berbeda tentunya dengan anak yang
kebutuhannya masih ada di masa depan. Di sini berlaku
teori kerugian komparatif( Comparative deprivation) atau
loncatan pemenuhan kebutuhan yakni bahwa orang akan
berusaha memenuhi kebutuhannya sebagai mahluk
manusia sebelum memenuhi kebutuhan yang lain.seperti
kebutuhan fisik harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum
yang lain. Meskipun demikian hal tersebut akan berbeda
antara orang yang satu dengan yang lain, kelompok satu
engan yang lain.Di Negara sedang berkembang
penderitaan ekonomi paling akut dirasakan dan ingin
segera dipenuhi,karena itu,belajar memperbaiki skill
ekonomi atau mata pencaharian akan sangat menarik
bagi warga belajar..Dengan mengajarkan skill mata
pencaharian akan dapat membuat belajar baca tulis yang
tidak menyenagkan menjadi sangat
menyenangkan.Teaching of economic skills could thus gild
the literacy pill atau belajar ketrampilan ekonomi akan
dapat mengasah kecakapan baca tulis yang tumpul.
D. Pendekatan budaya masyarakat Donggala sebagai basis pembelajaran keaksaraan
E. Prinsif – prinsif pembelajaran keaksaraan
1) Konteks Lokal
Agar pembelajaran KF dapat berjalan sesuai dengan
fungsi dan tujuannya, maka bahan belajar harus digali dari
konteks lokal. Bahan belajar harus bermanfaat bagi
kehidupan warga belajar sehari-hari. Mereka yang hidup di
daerah perkotaan berbeda kebutuhannya dengan mereka
yang hidup di daerah pertanian, nelayan, atau daerah
spesifik lainnya. Perlu difahami kebutuhan warga belajar
untuk mengembangkan program pembelajaran KF yang
benar-benar bermutu dan relevan.
2) Desain Lokal
Unsur-unsur pokok berkaitan penyajian pembelajaran KF
seperti: tujuan, kelompok sasaran, bahan belajar, sarana
belajar, kegiatan belajar, waktu dan tempat pertemuan,
dan unsur-unsur penting lain, harus dirancang sesuai
dengan situasi, kondisi, dan potensi lokal di mana
kelompok belajar berada. Perlu juga dibuat kesepakatan
belajar, rencana pembelajaran, dan pemilihan kegiatan
belajar atas dasar minat, kebutuhan, dan harapan
kelompok belajar, serta dirancang sesuai dengan
karakteristik kelompok belajar.
3) Proses Partisipatif
Program pendidikan keaksaraan harus mampu
memobilisasi warga belajar untuk melakukan beragam
tindakan atau perbuatan sehingga dapat mengembangkan
ragam keterampilan yang bermanfaat untuk memperbaiki
mutu kehidupan dan tarap hidup warga belajar. Pendidikan
keaksaraan fungsional harus berorientasi pada tindakan,
dan semua unsur yang terlibat di dalamnya harus secara
aktif dan proaktif turut berpartisipasi dalam keseluruhan
kegiatan.
4) Fungsionalisasi Hasil Belajar
Program pendidikan keaksaraan harus memberikan
manfaat dan makna yang berkaitan secara langsung
dengan lingkungan hidup, pekerjaan/mata pencaharian,
dan situasi keluarga warga belajar, sehingga hasil belajar
yang dicapai warga belajar memberi manfaat bagi
peningkatan mutu kehidupannya.
5) Kesadaran
Proses pembelajaran keaksaraan hendaknya dapat
meningkatkan kesadaran dan kepedulian warga belajar
terhadap keadaan dan permasalahan lingkungan untuk
melakukan aktivitas kehidupannya. Proses pembelajaran
hendaknya dapat memotivasi warga belajar untuk
berupaya memahami berbagai faktor yang berpengaruh
terhadap masalah-masalah yang dihadapinya, dan ikut
memikirkan alternatif cara yang dapat digunakan untuk
memecahkan masalah tersebut.
6) Fleksibilitas
Program pendidikan keaksaraan harus fleksibel, agar
memungkinkan untuk dimodifikasi sehingga responsif
terhadap minat dan kebutuhan belajar serta kondisi
lingkungan warga belajar yang berubah dari waktu ke
waktu.
7) Keanekaragaman
Program pendidikan keaksaraan hendaknya bervariasi
dilihat dari segi materi, metode, maupun strategi
pembelajarannya sehingga mampu memenuhi minat dan
kebutuhan belajar warga belajar di setiap daerah yang
berbeda-beda.
8) Kesesuaian hubungan belajar
Program pendidikan keaksaraan seyoyanya dimulai dari
hal-hal yang telah diketahui dan dapat dilakukan oleh
warga belajar, sehingga pengalaman, kemampuan, minat,
dan kebutuhan belajar mereka hendaknya menjadi dasar
dalam menjalin hubungan yang harmonis dan dinamis
antara tutor dengan warga belajar dalam kegiatan
pembelajaran.
Mengingat warga belajar program pendidikan KF
pada umumnya merupakan kelompok orang dewasa, maka
proses pembelajaran yang digunakan hendaknya
mengikuti kaidah-kaidah pendidikan orang dewasa
(andragogi). Kaidah-kaidah pendidikan orang dewasa yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Pembelajaran harus berorientasi pada pemecahan
masalah lingkungan (problem solving oriented).
Permasalahan hendaknya digali dari pendapat dan
diketahui oleh warga belajar.
2. Pembelajaran harus berbasis pada pengalaman pribadi
warga belajar (experience-based learning) agar semakin
mudah difahami.
3. Pembelajaran harus memberikan pengalaman yang
bermakna (meaningfull) bagi warga belajar agar lebih
diminati.
4. Pembelajaran harus memberi kebebasan bagi warga
belajar untuk ikut memilih isi dan proses belajar sesuai
dengan minat, kebutuhan dan pengalamannya.
5. Tujuan pembelajaran harus ditetapkan dan disetujui
oleh warga belajar melalui kontrak belajar (learning
contract).
6. Warga belajar harus memperoleh umpan balik
(feedback) terhadap dirinya tentang pencapaian hasil
belajar masing-masing individu.
7. Pembelajaran harus dimulai dari dan berdasarkan pada
pengetahuan dan kompetensi yang sudah ada sebelumnya
(prior learning).
8. Penguatan (reinforcement) harus bersifat positif dan
meningkatkan motivasi belajar bagi warga belajar.
9. Pembelajaran harus memungkinkan warga belajar untuk
berpartisipasi secara aktif sehingga dapat memperbaiki
dan memperpanjang ingatan.
10. Materi pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan
warga belajar.
11. Metode pembelajaran perlu mempertimbangkan
mental dan karakteristik fisik warga belajar.
2).Strategi Pembelajaran Keaksaraan Fungsional (KF)
Strategi pembelajaran adalah suatu pola belajar yang
menggunakan informasi dalam proses identifikasi kebutuhan
belajar dan perencanaan program belajar. Pola pembelajaran
pada Pendidikan Keaksaraan terdiri atas langkah kegiatan
membaca, menulis, berhitung, diskusi, dan aksi penerapan.
Di antara berbagai pilihan pola strategi pembalajaran,
berikut 3 di antaranya:
a. Pola pertama meliputi langkah-langkah membaca,
menulis, berhitung, dan berdiskusi. Kegiatan
tersebut dapat diterapkan pada metode
pembelajaran pengalaman berbahasa, suku kata,
kata kunci dan asosiasi. Dalam hal ini tutor akan
melakukan peran lain yaitu sebagai fasilitator yang
akan menjembatani warga belajar dan sistem
pendukungnya.
b. Pola kedua meliputi langkah-langkah aksi, diskusi,
membaca, menulis, dan berhitung. Pola semacam
ini dapat diterapkan pada warga belajar yang sudah
mencapai tingkat mandiri.
c. Pola ketiga meliputi langkah-langkah diskusi,
membaca, menulis,berhitung, dan aksi.
Ketiga contoh pola stategi pembelajaran tersebut
bukan berarti langkah yang baku atau harus
dilakukan secara berurutan. Pola tersebut dapat
dilakukan secara acak menurut kecenderungan
karakteristik warga belajar atau kebutuhan
setempat, misalnya dimulai dengan diskusi,
kemudian dilanjutkan dengan belajar membaca
menulis, dan berhitung. Pemilihan dan penentuan
dalam penetapan strategi tersebut dapat dilakukan
dengan memperhatikan kecenderungan warga
belajar pada awal proses pembelajaran.
BAB IIIMETODELOGI PENGEMBANGAN
A. Populasi dan sample
- Populasi
Menurut Harun Alrasyid (1994 :1) populasi adalah keseluruhan objek
psikologis yang memiliki kesamaan ciri berdasarkan kriteria tertentu
sedangkan ukuran populasi adalah banyaknya objek psikologis yang
menjadi anggota sebuah populasi.
Yang menjadi populasi dalam Pengembangan Model ini sebanyak 100
orang terdiri dari ; Tokoh masyarakat, Kepala Desa, Tokoh agama, dan
masyarakat yang ada didesa…………………….Kabupaten Donggala
Provinsi Sulawesi Tengah
- Sampel
Sampel Pengembangan dilakukan secara non probabilitas sampling,
sedangkan penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik
purposive sampling, yaitu teknik memilih orang secara sengaja untuk dii
ikutkan dalam kelompok belajar Keaksaraa Fungsional yang belum
mampu baca, tulis dan berhitung (Calistung)
B. Waktu dan tempat Pengembangan
Kegiatan Pengembangan Model ini dilaksanakan dalam jangka waktu
satu tahun, terhitung mulai bulan Maret 2010 sampai dengan bulan
Maret 2011. Sedangkan lokasi Pengembangan Model Keaksaraan ini
adalah di Kabupaten Donggala. Provinsi Sulawesi Tengah. Pemilihan
lokasi ini dengan pertimbangan selain dapat diakses dengan mudah
dalam banyak aspek , juga dilokasi ini dari hasil Identifikasi banyak
penyandang buta aksara.
C. Pendekatan pengembangan
Pendekatan pengembangan ini menggunakan action research
(Penelitian tidakanan) alasannya adalah karena seluruh
kegiatan baik telaah, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan dan
pemantauan serta pengaruh menciptakan suatu hubungan.
D. Prosedur pengembangan
E. Tehnik pengumpulan data
Tehnik dalam pengumpulan data yang digunakan dalam pengembangan
ini adalah sebagai berikut :
a. Observasi, melalui observasi pengembang berusaha
mendapatkan data awal dan gambaran umum tentang obyek
pengembangan berhubungan dengan letak wilayah, populasi
penelitian.
b. Wawancara, data yang ingin didapatkan oleh pengembang
melalui wawancara adalah isue yang berkembang ditengah-tengah
masyarakat tentang Buta aksara atau Keaksaraan Fungsional.
c. Dokumentasi, pengembang berusaha mendapatkan data-
data pendukung lainnya berkaitan dengan masalah yang akan
dikembangkan dan selanjutnya dijadikan sebuah pengembangan
model yang nantinya dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran
Keaksaraan.
F. Tehnik Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan menelah seluruh data yang
tersedia dari berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan, yang
sudah ditulis dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen
resmi, gambar foto, dan sebagainya. Data tersebut banyak sekali,
setelah dibaca, dipelajari, dan ditelah maka langkah berikutnya adalah
mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat
abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti,
proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap
berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunya dalam
satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan pada
langkah berikutnya. Kategori-kategori itu dilakukan sambil membuat
koding. Tahap akhir dari analisis data ialah mengadakan pemeriksaan
keabsahan data. setelah selesai tahap ini, mulailah kini tahap
penafsiran data dalam mengolah hasil sementara menjadi teori
substantif dengan menggunakan beberapa metode tertentu.
Menurut Patton, 1980 (dalam Lexy J. Moleong 2002: 103)
menjelaskan bahwa analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikanya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan
uraian dasar. Sedangkan menurut Taylor, (1975: 79) mendefinisikan
analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk
menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang
disarankan dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan dan tema
pada hipotesis. Jika dikaji, pada dasarnya definisi pertama lebih
menitikberatkan pengorganisasian data sedangkan yang ke dua lebih
menekankan maksud dan tujuan analisis data. Dengan demikian
definisi tersebut dapat disintesiskan menjadi: Analisis data proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori
dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang didasarkan oleh data.
G. Tehnik Keabsahan data
Untuk menghindari kesalahan atau kekeliruan data yang
telah terkumpul,perlu dilakukan pengecekan keabsahan data.
Pengecekan keabsahan data didasarkan pada kriteria derajat
kepercayaan (crebility) dengan teknik triangulasi, ketekunan
pengamatan, pengecekan teman sejawat (Moleong, 2004).
Triangulasi merupakan teknik pengecekan keabsahan data yang
didasarkan pada sesuatu di luar data untuk keperluan mengecek
atau sebagai pembanding terhadap data yang telah ada
(Moleong,200). Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi
dengan sumber, yaitu membandingkan data hasil obserfasi, hasil
pekerjaan peserta didik dan hasil wawancara terhadap Tutor
yang ditekankan pada penerapan metode bantuan alat pada
efektif membaca .
Ketekunan pengamatan dilakukan dengan teknik melakukan
pengamatan yang diteliti, rinci dan terus menerus selama proses
pembelajaran berlangsung yang diikuti dengan kegiatan
wawancara secara intensif terhadap subjek agar data yang
dihasilkan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Pengecekan teman sejawat/kolega dilakukan dalam bentuk
diskusi mengenai proses dan hasil penelitian dengan harapan
untuk memperoleh masukan baik dari segi metodelogi maupun
pelaksanaan tindakan.
H. Evaluasi
Evaluasi adalah proses penilaian yang sistematis mencakup
pemberiannilai, atribut, apresiasi, dan pengenalan permasalahan
serta pemberian solusi-solusi atas permasalahan yang
ditemukan Audit adalah suatu proses (kegiatan) sistematik untuk
memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai
pernyataan-pernyataa kegiatandan kejadian ekonomi (The
American Accounting Association).
Kegiatan ini diperlukan untuk menentukan tingkat
kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan
kriteria yang telah ditetapkan (fungsi atestasi) dan
mengkomunikasikan hasilnya kepada para pihak yang
berkepentingan Evaluasi bersifat analitik dan kooperatif dengan
obyek evaluasi(evaluatan), sedangkan audit lebih menekankan
pada pengujian-pengujian bukti dan independen terhadap obyek
audit (auditan). Keduanya tetap mengedepankan obyektivitas
evaluator/auditor
I. Gambaran Alur Uji Coba
BAB IVPENUTUPA…B.
DAFTAR PUSTAKA