DESA SATU
-
Upload
yulvia-puspitaningrum -
Category
Documents
-
view
44 -
download
12
description
Transcript of DESA SATU
Proposal Pengambilan Data Dasar
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI PADA
LANSIA DI DESA X KECAMATAN Y KABUPATEN BOYOLALI
Disusun guna memenuhi Praktikum Mata Kuliah Perencanaan Program Gizi
Disusun Oleh
Kelompok 6
1. Yulvia Puspitaningrum ( J.300 101 001 )
2. Rudi Setiawan ( J.300 101 002 )
3. Suci Novitasari ( J.300 101 017 )
4. Herlina Dwi Cahyaningrum ( J.300 101 018 )
5. Renny Maya Azeliya ( J.300 101 031 )
PROGRAM STUDI D III GIZI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012
Tolong Bab I dan II direvisi sesuai dengan revisi yang sudah saya berikan sebelumnya
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penuaan dan pertambahan usia terjadi secara alami dalam kehidupan manusia.
Seiring terjadinya pertambahan usia tersebut, permasalahan kesehatan menjadi
prioritas penting karena penuaan tersebut tidak hanya menyebabkan disfungsi fisik
tetapi juga berdampak terhadap aspek mental dan sosial.
Undang-undang 23 tahun 1992 tentang kesehatan, pasal 19 menetapkan bahwa
kesehatan lanjut usia tetap terpelihara dan ditingkatkan agar tetap produktif, serta
pemerintah membantu penyelenggaraan upaya kesehatan lanjut usia untuk
meningkatkan kualitas hidupnya secara optimal. Berbagai upaya dilaksanakan untuk
mewujudkan masa tua yang sehat, bahagia, berdaya guna, dan produktif, di antaranya
dengan cakupan, keterjangkauan, dan mutu pelayanan kesehatan untuk penduduk
lanjut usia (Bustaman, 2005).
Menurut Notoadmojo (2007), Badan Pusat Statistik menggambarkan bahwa
jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia antara tahun 2005-2010 berjumlah sekitar
19 juta jiwa (8,5 % dari total penduduk). WHO memperkirakan pada tahun 2025
jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia akan mengalami peningkatan sebesar 41,4
%. Peningkatan tersebut merupakan peningkatan tertinggi di seluruh dunia.
Permasalahan kesehatan penduduk lanjut usia dikaitkan dengan perubahan
lingkungan dan status gizi mereka. Prevalensi gizi buruk pada lansia tahun 1998
sebesar 7,23 % meningkat menjadi 11,56 % pada tahun 2001, sedangkan prevalensi
gizi lebih pada tahun 1998 sebesar 10,51 % menurun menjadi 8,11 % pada tahun 2001
(Almatsier, 2001). Menurut Revina (2003), lansia banyak yang mengalami gangguan
pemenuhan gizi yaitu lansia yang mengalami gizi kurang sebanyak 31,0 % dan gizi
lebih sebanyak 1,8 %.
Masalah gizi pada lansia dapat disesbkan oleh perubahan lingkungan,
demografi, dan status kesehatan. Kemunduran (degenerasi) fungsi-fungsi organ tubuh
terjadi secara alamiah pada lansia. Menurut Sari (2006), seiring bertambahnya usia
maka kemampuan indera penciuman dan pengecapan mulai mengalami penurunan
fungsinya. Selain itu, mulai berkurangnya geligi menyebabkan lansia tidak memiliki
nafsu makan sehingga mengakibatkan berkurangnya asupan makanan pada lansia. Hal
tersebut akan berdampak pada status gizi lansia. Status gizi menjadi dampak utama
timbulnya penyakit pada lanjut usia. Pada saat yang sama, perubahan sosial dan
demografi menempatkan lanjut usia pada risiko ketidakamanan makanan dan kurang
gizi. Selain kurang gizi, obesitas dan defisiensi mikronutrien juga kerap terjadi pada
populasi lanjut usia yang kemudian akan mencetuskan berbagai penyakit kronik (Sari,
2007).
Hasil penelitian pada lansia di Bengkulu menunjukkan bahwa berdasarkan
analisis multivariat, secara umum status gizi tidak berpengaruh terhadap kejadian
hipertensi esensial, tetapi status gizi obesitas mempunyai pengaruh yang bermakna
terhadap hipertensi esensial di mana status gizi obesitas mempunyai risiko 4,57 kali
(95%CI:1,497-13,958) untuk menderita hipertensi esensial dibanding lansia dengan
status gizi kurang atau normal setelah dikontrol faktor lain (Riyadi dkk., 2007).
Perubahan kondisi ekonomi akibat masa pensiun, isolasi sosial berupa hidup
sendiri setelah pasangannya meninggal dan rendahnya pemahaman gizi menyebabkan
memburuknya keadaan gizi lansia (Muis 2006). Perubahan-perubahan pada tingkat
demografi, lingkungan fisik serta sosial dapat menempatkan lansia pada posisi yang
sulit sehingga memungkinkan lansia mengalami gejala depresi. Harris (2004)
menyatakan bahwa depresi dapat mempengaruhi nafsu makan, asupan makanan, berat
badan dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang pengetahuan gizi pada lansia terhadap status gizi di Kabupaten Boyolali.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi pada
lansia di Desa x Kecamatan y Kabupaten Boyolali.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui status gizi lansia.
b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan gizi lansia.
c. Untuk mengetahui tingkat pendapatan lansia.
d. Untuk mengetahui asupan makan lansia.
e. Untuk mengetahui tingkat kesakitan lansia.
f. Untuk mengetahui kesehatan lingkungan pada lansia.
g. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi lansia.
h. Untuk mengidentifikasi dan prioritas masalah pada lansia.
i. Untuk menyusun POA.
j. Untuk menyusun perencanaan pemecahan masalah pada lansia di Desa X
Kecamatan Y Kabupaten Boyolali.
C. Manfaat
1. Bagi lansia
Dapat menambah pengetahuan dan menjadi acuan bagi lansia tentang kecukupan
gizi.
2. Bagi mahasiswa
Mahasiswa dapat melaksanakan
a. Penentuan status gizi pada lansia.
b. Mendapat informasi tentang faktor-faktor yang memepengaruhi status gizi
lansia.
3. Bagi instansi
Dapat dijadikan acuan dan refernsi dalam menyusun program perencanaan
program gizi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan pustaka
1. Lansia
Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses
kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan di alami oleh setiap individu. Pada
tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuan normal, seperti
rambut yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah,berkurangnya ketajaman
panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman bagi integritas
orang usia lanjut. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan kehilangan-kehilangan
peran diri, kedudukan sosial, serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Semua hal tersebut menuntut kemampuan beradaptasi yang cukup besar untuk dapat
menyikapi secara bijak (Soejono, 2000).
Menurut Notoatmojo (2007), lansia adalah orang yang mengalami beberapa
perubahan dalam kurun beberapa dekade. Menurut WHO klasifikasi lansia adalah:
a. Usia pertengahna (middle age) berusia 45-59 tahun
b. Usia lanjut (elderly) berusia 60-70 tahun
c. Usia lanjut tua (old) berusia antara 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia diatas 90 tahun
(Notoatmojo,2007)
2. Status Gizi
Status gizi merupakan ekspresi dari satu atau lebih dari nutriture seorang
individu dalam suatu variabel (Hadi, 2002). Sedangkan menurut Gibson (1990)
menyatakan status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari
keseimbangan antar zat gizi yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat
gizi yang masuk ke dalam tubuh dan utulisasi.
Menurut Edmon (1997) faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan gizi lansia
yaitu status kesehatan, gigi geligi, mental/ status kognityig, pendidikan dan
pengetahuan, pendapatan, knsumsi makanan, kebiasaan makan, umur dan jenis
kelamin, faktor genetik, tingkat hormonal dan penyakit, gaya hidup, aktivitas fisik,
stress, dan kebiasaan merokok.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi lansia terbagi menjadi dua, yaitu
faktor secara langsung dan faktor tidak langsung.
a. Faktor langsung
1) Asupan makan
Sistem pencernaan lansia mengalami penurunanan dalam hal pencernaan
begitu pula dengan organ lain yang berpengaruh dalam mudahnya terkena
berbagai penyakit. Oleh karena itu dibituhkan perhatian dalam hal pola
makan dari kualitas maupun kuantitas makanan yang dibutuhkan oleh
lansia (Almatzier, 2001)
2) Penyakit infeksi/ Degeneratif
Adanya gangguan penyakit infeksi yang didderita lansia pada umumnya
terjadi karena penurunan sistem endokrin maupun saluran pencernaan.
Penyakit degeneratif yang biasa dialami yaitu Diabetes Melitus, Penyakit
Jantung Koroner. Apabila asupan makanan tidak terpantau dengan baik
maka lansia kemungkinan dapat terkena penyakit tersebut.
Masalah nutrisi pada lansia dipengaruhi juga oleh fungsi penyerapan yang
melemah. Apabila hal ini terus menerus terjadi akan mempengaruhi status
gizi dan berakibat timbulnya penyakit yang diakibatkan asupan makanan
yang terganggu ( Nugroho, 2000).
b. Faktor tidak langsung
1) Umur
Umur seseorang sedemikian besarnya akan memepengaruhi perilaku,
karena semakin lanjut umurnya, maka semakin lebih bertanggung jawab,
lebih bermoral, lebih berbakti daripada usia muda (Notoadmoedjo, 2002).
Karakteristik pada lansia sangat berpengaruh terhadap cara penangganan
dalam memenuhi kebutuhan untuk mempertahankan status gizinya dengan
baik.
2) Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang dalam
menangkap atau menerima pengetahuan baru yang diperoleh.
3) Pendapatan
Pendapatan dalam keluarga akan memepengaruhi fasilitas kesehatan yang
didapat. Baik dalma hal pemenuhan asupan makanan, dimana semakin
tinggi pendapatan keluarga, semakin baik pula fasilitas dan cara
pemenuhan kebutuhan lansia akan terjaga semakin baik (Berg,1986).
4) Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil tehu dan ini terjadi setelah
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui panca indera manusia. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. (Notoatmojo,2003). Pengetahuan
lansia berpengaruh pada pemilihan serta kesadaran dlam mencukupi
kebutuhan makanan sehari-hari.
3. Penentuan Status Gizi
Berdasarkan dari laporan FAO/WHO/UNU tahun 1985. Batasan berat badan
normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai body mass index BMI. Di
Indonesia istilah BMI diterjemahkan dengan Index Mass Tubuh (IMT). IMT
merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Maka mempertahankan
berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup
lebih panjang.
Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur diatas 18 tahun .
IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan.
(Supariasa dkk, 2002).
Cara menghitung IMT menggunakan rumus berikut ini:
Barat Badan (kg)IMT =
Tinggi Badan (m) × Tinggi Badan (m)
Kategori ambang batas IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Tabel kategori ambang batas IMT
Kategori IMT
KurusKekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 -18,5
Normal 18,5 - 25,0
GemukKelebihan berat badan tingkat ringan 25,0 - 27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0
Sumber : (Supariasa dkk, 2002 ).
Penilaian status gizi pada lansia berdasarkan pemeriksaan antropometri,
biokimia, uji kekebalan serta baku nilai. Penilaian dan baku nilai berlaku pada lansia
yang berusia 55 tahun ke bawah, namun sebagian besar indikator menjadi tidak
sensitif dan tidak tepat karena seluruh aspek fisik dan mental lansia ikut melemah
dimakan usia (Arisman, 2007). Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung
dan tidak langsung. Penilaian secara langsung dapat dibagi menjadi empat yaitu
antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik sedangkan secara tidak langsung dibagi
menjadi tiga yaitu, survei konsumsi pangan, statistika vital, dan faktor ekologi
(Supariasa dkk., 2001).
Pemeriksaan antropometri adalah pengukuran variasi berbagai dimensi fisik
dan komposisi tubuh secara umum pada bebagai tahapan umur dan derajat kesehatan.
Pengukuran yang dilakukan meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas
dan tebal lemak di bawah kulit dan khusus pada lansia adalah pola distribusi lemak
(Muis, 2006). Tinggi badan pada manusia mengalami penurunan dengan kecepatan
0,03 cm per tahun sampai dengan usia 45 tahun dan kecepatan tersbut akan menurun
menjadi 0,28 cm per tahun setelah usia tersebut. Penyebab penurunan tinggi badan
tersebut diduga akibat penipisan lempeng tulang belakang dan pengurangan massa
tulang sehingga berdampak pada osteoporosis dan kifosis (Arsiman, 2007). Menurut
Arisman (2007), penimbangan berat badan pada lansia sebaiknya dilakukan seminggu
sekali pada lansia yang dirawat di rumah sakit ataupun bertempat tinggal di Panti
Wreda serta 2-3 bulan sekali bagi lansia yang masih sanggup melakukan aktifitas
fisik.
4. Kondisi Fisik Lansia
Faktor kesehatan meliputi keadaan fisik dan keadaan psikis
lanjut usia. Keadaan fisik merupakan faktor utama dari kegelisahan
manusia. Kekuatan fisik, pancaindera, potensi dan kapasitas
intelektual mulai menurun pada tahap-tahap
tertentu(Prasetyo,1998). Dengan demikian orang lanjut usia harus
menyesuaikan diri kembali dengan ketidak berdayaannya.
Kemunduran fisik ditandai dengan beberapa serangan penyakit
seperti gangguan pada sirkulasi darah, persendian, sistem
pernafasan, neurologik, metabolik, neoplasma dan mental.
Sehingga keluhan yang sering terjadi adalah mudah letih, mudah
lupa, gangguan saluran pencernaan, saluran kencing, fungsi indra
dan menurunnya konsentrasi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Joseph J. Gallo (1998) mengatakan untuk menkaji fisik pada orang
lanjut usia harus dipertimbangkan keberadaannya seperti
menurunnya pendengaran, penglihatan, gerakan yang terbatas, dan
waktu respon yang lamban
Secara umum kondisi fisik seseorang yang telah memasuki
masa lanjut usia mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa perubahan :
(1) perubahan penampilan pada bagian wajah, tangan, dan
kulit
(2) perubahan bagian dalam tubuh seperti sistem saraf : otak,
isi perut : limpa, hati
(3) perubahan panca indra : penglihatan, pendengaran,
penciuman, perasa
(4) perubahan motorik antara lain berkurangnya kekuatan,
kecepatan dan belajar keterampilan baru.
Perubahan-perubahan tersebut pada umumnya mengarah
pada kemunduruan kesehatan fisik dan psikis yang akhirnya akan
berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan sosial mereka.
Sehingga secara umum akan berpengaruh pada aktivitas kehidupan
sehari-hari.
Penurunan kondisi fisik lanjut usia berpengaruh pada kondisi
psikis. Dengan berubahnya penampilan, menurunnya fungsi panca
indra menyebabkan lanjut usia merasa rendah diri, mudah
tersinggung dan merasa tidak berguna lagi. Datangnya menopause
bagi perempuan akan menimbulkan perasaan tidak berguna ,
karena mereka tidak dapat bereproduksi lagi. Inti dari kewanitaan
adalah keberhasilan seorang wanita untuk mengisi peranannya
sebagai seorang ibu dan seorang istri (Saparinah, 1991).
5. Asupan Makan
Penuaan dan pertambahan usia menyebabkan permasalahan kesehatan menjadi
prioritas penting karena penuaan tersebut menyebabkan disfungsi fisik, aspek mental
dan sosial. Disfungsi fisik terjadi secara alamiah pada lansia. Menurut Sari (2006),
seiring bertambahnya usia maka kemampuan indera penciuman dan pengecapan
mulai mengalami penurunan fungsinya. Selain itu, mulai berkurangnya geligi
menyebabkan lansia tidak memiliki nafsu makan sehingga mengakibatkan
berkurangnya asupan makanan pada lansia. Ketidakselektifan dalam memilih
makanan yang dikombinasi dengan melemahnya daya serap saluran pencernaan,
memicu terjadinya defisiensi vitamin dan mineral (Arisman, 2007). Hal tersebut
menyebabkan lansia cenderung beresiko mengalami keseimbangan energi negatif
yang berlangsung pada usia 60-70 tahun yang tercermin sebagai penurunan berat
badan.
Kecukupan gizi pada lansia prosentase untuk zat gizi makro adalah sebagai
berikut: 20 – 25% protein, 20% lemak, 55 – 60% karbohidrat. Asam lemak yang
dikonsumsi sebaiknya yang memiliki kandungan asam lemak tak jenuh jamak (poly
unsaturated fatty acid) yang tinggi, yaitu asam lemak omega 3 dan omega 9 seperti
yang terdapat pada ikan yang hidup di laut dalam (Krause, et al, 1984). Rata-rata
konsumsi energi adalah 1571,54 ± 223,02 Kkal, apabila yang menjadi acuan adalah
ketentuan Depkes RI 2005 maka rata-rata konsumsi tersebut sudah bisa dikatagorikan
baik yaitu lebih dari 90 % dari angka kecukupan gizi. Rata-rata konsumsi protein
lebih dari kecukupan yang dianjurkan. Vitamin B1 (mg) dan vitamin C (mg) masih
kurang dari yang dianjurkan. Rata-rata tingkat konsumsi Kalori, protein, dan zat besi
lansia di pedesaan dan lansia di perkotaan kurang dari 80,00% angka kecukupan yang
di anjurkan.
Pada umumnya lansia kurang mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran,
beberapa zat gizi seperti Kalsium, Seng, Potasium, Vitamin B6, Magnesium, dan
Folat kurang tersedia dalam diet lansia, serta konsumsi karbohidrat kompleks di
bawah kecukupan yang dianjurkan (Herlina, 2001). Menurut Oswari (1997), pada
orang lanjut usia ada dua hal yang perlu diperhatikan yang berkaitan dengan
kebiasaan makannya yaitu pengaruh dari gizi yang tidak bermutu karena tidak cukup
protein, mineral, dan vitamin yang dimakan dan pengaruh makanan yang salah
sebagai akibat salah makan atau terlalu banyak makan. Pada lansia penggunaan energi
makin menurun karena proses metabolisme basalnya makin menurun (Wirakusumah,
2000). Sebaliknya konsumsi makanan sumber protein, vitamin, dan mineral perlu
ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya. Sebaiknya dipilih makanan yang lunak,
mudah dikunyah, dan untuk meningkatkan selera makan dapat ditambahkan bumbu
(Astawan & Wahyuni,1988).
6. Pengetahuan Gizi
Makanan merupakan salah satu keutuhan vital yang diperlukan oleh seluruh
makhluk hidup. Bagi manusia, makanan tidak hanya berfungsi untuk mengenyangkan,
tetapi yang penting lagi adalah fungsinya dalam memelihara kesehatan tubuh melalui
manfaat zat-zat gizi yang terkadung didalamnya. Untuk memperopleh kesehatan
tubuh yang optimal, perlu diketahui kualitas susunan makanan yang baik dan jumlah
makanan yang seharusnya dimakan. Pengetahuan gizi mempunyai peranan yang
sangat penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang, sebab hal ini akan
mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi
(Harper, Deaton,& Driskel., 1986). Menurut Oppeneer dan Vervoren (1983) dalam
Handayani (2000) tingkat pendidikan yang dicapai seseorang mempunyai hubungan
nyata dengan pengetahuan gizi dari makanan yang dikonsumsi.
Pengetahuan gizi dan kesehatan merupakan salah satu jenis pengetahuan yang
dapat diperoleh melalui pendidikan. Pengetahuan gizi dan kesehatan akan
berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Semakin banyak pengetahuan tentang
gizi dan kesehatan, maka semakin beragam pula jenis makanan yang dikonsumsi
sehingga dapat memenuhi kecukupan gizi dan mempertahankan kesehatan individu
(Suhardjo, 1989)
7. Lingkungan dan Kondisi Geografis
Aspek geografis dan demografi erupakan salah satu aspek kondisi
kewilayahan yang mutlak diperhatikan sebagai ruang yang subyek pembangunan.
Geografis Cepogo mempunyai kemiringan kearah timur. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap aliran sungai daerah tersebut.
Lingkungan menurut kasus umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta
(Neolaka, 2008) adalah berasal dari kata lingkungan yaitu sekeliling, sekitar.
Lingkungan adalah bulatan yang melingkupi atau melingkari, sekalian yang
terlingkung di suatu daerah sekitarnya. Menurut ensiklopedia umum (1977)
lingkungan adalah alam sekitar tremasuk orang-orang dalam hidup dalam pergaulan
yang mempengaruhi manusia sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan dan
kebudayaannya.
Menurut Riyadi, dkk (2011), jika keadaan lingkungan fisik dan sanitasi
keluarga baik, maka kondisi kesehatan penghuni rumah tersebut juga akan baik,
demikian pula sebaliknya. Sumber air untuk memasak atau minum pada umumnya
berasal dari mata air dan sumur umum. Selama kebersihan sumur dan mata air terjaga
dengan baik, peluang sumber air ini menyebarkan penyakit menular sangat kecil.
8. Ketersediaan Pangan
Peningkatan ketahanan pangan memang sangat diperlukan karena pangan
adalah kebutuhan paling dasar manusia, sehingga merupakan hak asasi manusia untuk
tidak mengalami kelaparan. Ketahanan pangan diartikan sebagai tersedianya pangan
dalam jumlah dan kuaitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman
dikonsumsi bagi masyarakat untuk dapat melakukan aktifitas sehari-hari sepanjang
waktu. Dengan demikian ketahanan pangan tidak hanya mencakup tingkat nasional
tetapi juga tingkat rumah tangga (Ariani dkk., 2003).
Indikator ketahanan pangan yaitu pengeluaran pangan dan kecukupan energi.
Batasan untuk kecukupan energi adalah 80% dari anjuran(per unit ekuivalen dewasa),
sedangkan batasan pengeluaran pangan adalah 60% dari total pengeluaran. Adapun
pengelompokan rumah tangga dengan menggunakan kedua indikator tersebut dapat
dilihat pada Tabel 1. Dari tabel tersebut terdapat empat tingkatan ketahanan pangan
yaitu : 1) rumah tangga tahan pangan, 2) rumah tangga rentan pangan, 3) rumah
tangga kurang pangan dan 4) rumah tangga rawan pangan. Kemudian dari masing-
masing tingkatan ketahanan pangan dianalisis karakteristik rumah tangganya, yang
meliputi demografi, lapangan pekerjaan utama, konsumsi zat gizi dan beberapa jenis
pangan (Ariani,dkk., 2003).
Tabel 1. Pengukuran derajat ketahanan pangan tingkat rumah tangga
Konsumsi energi per unit
ekuivalen dewasa
Pangsa pengeluaran pangan
Rendah
(≤60% pengeluaran total)
Tinggi
(>60% pengeluaran total)
Cukup
(>80% kecukupan energi)Tahan pangan Rentan pangan
Kurang
(≤80% kecukupan energi)Kurang pangan Rawan pangan
Sumber : Jobhsson dan Toole (19910 dalam Maxwell, D et al (2000)
B. Kerangka teoritis
Zat gizi dalam makanan
Ada tidaknya program pemberian makanan di luar
keluargaKonsumsi makanan
Daya beli keluarga
Status Gizi
Kebiasaan makanKebiasaan makan
Lingkungan fisik dan sosial
Sumber : Menurut Call dan Levinson 1871 (Supariasa, dkk, 2002)
C. Kerangka Konsep
KesehatanPemeliharaan kesehatan
Lingkungan fisik dan sosial
Tingkat asupan makan lansia
Tingkat pengetahuan gizi
Tingkat pendidikan lansia
Lingkungan fisik dan sosial
Tingkat kesakitan lansia
Tingkat pendapatan lansia
Kesehatan lingkungan
Status Gizi
Tolong koreksian yg sudah sy sampaikan di revisi sebelumnya dibetulkan di laporan
berikutnya,ini masih banyak kesalahan di laporan sebelumnya yg belum dibetulkan
BAB III
METODOLOGI PENGAMBILAN DATA
A. Lokasi dan Waktu
Pengambilan data dasar dilaksanakan di desa X kecamatan Y kabupaten Boyolali
pada tanggal 19 sampai 25 November 2012.
B. Populasi dan Sampel
Populasi merupakan seluruh subjek penelitian dengan karakteristik tertentu
(Hidayat, 2007). Populasi dalam pengambilan data dasar ialah lansia yang
bertempat tinggal di desa X kecamatan Y kabupaten boyolali dengan jumlah x
orang.
Sampel merupakan sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto,
1996). Sampel diperoleh dengan memperhatikan kriteria inklusi dan kriteria
eksklusi.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah
1. Penduduk yang berusia 60-70 tahun.
2. Lansia dalam keadaan sehat.
3. Lansia yang bertempat tinggal di desa X kecamatan Y kabupaten Boyolali.
4. Lansia yang dapat berkomunikasi secara lisan dan tulisan.
5. Lansia yang bersedia menjadi responden penelitian.
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah
1. Lansia tidak berada di tempat pada saat penelitian dilaksanakan.
2. Lansia dalam keadaan sakit pada saat penelitian dilaksanakan.
Sampel dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan rumus
N = Zα2PQd2
Bedasarkan hasil perhitungan diatas maka sampel yang digunakan dalam
penelitian ini ialah sebanyak x orang.
C. Jenis dan Cara Pengambilan Data
Desain penelitian yang digunakan ialah crossectional dengan teknik
sampling menggunakan random sampling. Crossectional adalah desain penelitian
yang menggunakan pendekatan snapshot atau observasi yang dilaksanakan pada
satu waktu tertentu (Nasir dkk., 2011). Simple random sampling adalah proses
sampling dengan cara pengambilan sampel secara acak tanpa memperhatikan
strata yang ada didalam sebuah populasi (Sugiyono, 2009 dalam Nasir dkk.,
2011).
D. Instrumen
Instrumen penelitian yang digunakan ialah :
a. Formulir quesioner
b. Formulir record
c. SPSS dengan uji
Alat yang digunakan ialah :
a. Timbangan
b. Metlin
c. Mikrotoice
d. Pita LILA
e. Tape recorder
f. Penggaris siku-siku
g. Buku tulis
h. Bolpoint
E. Variabel
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat
karena adanya variabel bebas (Nasir dkk., 2011). Variabel terikat dalam penelitian
ini adalah status gizi lansia.
Variabel bebas adalah variabel yang dapat mempengaruhi atau yang
menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat (Nasir dkk., 2011).
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
1. Tingkat asupan makan lansia
2. Tingkat pengetahuan gizi
3. Tingkat pendidikan lansia
4. Tingkat pendapatan lansia
5. Tingkat kesakitan lansia
6. Kesehatan lingkungan
F. Definisi operasional
Variabel Definisi Operasional Skala
Status Gizi Status gizi adalah keadaan gizi lansia yang ditentukan
dengan pengukuran berat badan dan tinggi lutut untuk
kemudian dihitung IMT.
Parameter:
Status gizi kurang: IMT < 18,5 kg/m2
ormal (18,5 kg/m2 ≤ IMT ≤ 25 kg/m2), overweight
(IMT > 25,0 kg/m2) dan obesitas (IMT ≥ 30,0 kg/m2)
(Supariasa dkk., 2001).
Rasio
Asupan Makan Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau
beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok
orang tertentu dengan jumlah tertentu (Hardinsyah &
Briawan 1994).
Data asupan makan diperoleh dengan cara interview
dengan menggunakan form food recall 24 jam.
(Suapariasa dkk., 2001)
Rasio
Pengetahuan
Gizi
Pengetahuan gizi mempunyai peranan yang sangat
penting dalam pembentukan kebiasaan makan
Rasio
seseorang, sebab hal ini akan mempengaruhi seseorang
dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang
dikonsumsi (Harper, Deaton,& Driskel., 1986).
Menurut Oppeneer dan Vervoren (1983) dalam
Handayani (2000) tingkat pendidikan yang dicapai
seseorang mempunyai hubungan nyata dengan
pengetahuan gizi dari makanan yang dikonsumsi.
Parameter :
Konsumsi makanan yang beragam menunjukkan bahwa
benyak pengetahuan gizi yang diperoleh oleh lansia
tersebut sehingga dapat memenuhi kecukupan gizi dan
mempertahankan kesehatan individu (Suhardjo, 1989)
Pendidikan
Lansia
Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal
terakhir yang dijalani lansia diukur dengan lamanya
tahun pendidikan atau jenjang pendidikan yang menjadi
salah satu kualitas nonfisik yang berhubungan dengan
keterampilan, kemampuan intelektual, dan moral serta
perilaku yang bermatabat (Puspitasari, 2011 dan BPS,
2004).
Parameter :
Hasil Susenas 2008 yang menunjukkan persenyase
penduduk lansia yang berpendidikan rendah relatif
tinggi. Lansia yang tidak atau belum pernah sekolah
mencapai 33,98 persen dan 33,95 persen lansia tidak
menamatkan jenjang pendidikan sekolah dasar (SD).
Keterbatasan fasilitas, sarana dan prasarana akibat sisa-
sisa penjajahan pada masa kemerdekaan menyebabkan
rendahnya tingkat pendidikan lansia (BPS 2008).
Rasio
Pendapatan
Lansia
Sumber pendapatan adalah asal biaya yang diperoleh
atau dipergunakan lansia untuk memenuhi kebutuhan
dasar hidupnya meliputi sandang, pangan, dan papan,
tidak selalu dalam bentuk uang namun dapat dalam
bentuk lain. Sumber pendapatan lansia diketahui
Rasio
berdasarakan kuisioner dan wawancara yang dilakukan.
(Puspitasari, 2011).
Parameter :
Pendapatan lansia dikatakan baik apabila kebutuhan
lansia tercukupi secara sandang, pangan, dan papan.
Kesakitan
Lansia
Keluhan kesehatan merupakan berbagai keluhan fisik
yang dialami meliputi berbagai keluhan dan penyakit
yang diderita selama satu bulan terakhir, termasuk
penyakit kronis meskipun tidak kambuh (Puspitasari,
2011).
Secara keseluruhan persentase terbesar (58,3%) lansia
mengalami lebih dari satu jenis keluhan dalam satu
bulan terakhir. Lebih dari separuh lansia peserta home
care (63,3%) dan bukan peserta home care (53,3%)
mengalami lebih dari satu jenis keluhan dalam satu
bulan terakhir (Puspitasari, 2011). Hasil ini tidak jauh
berbeda dengan hasil Susenas 2008 yang menunjukkan
bahwa 55,42 persen lansia mengalami keluhan
kesehatan dalam satu bulan terakhir (BPS 2008).
Rasio
Kesehatan
Lingkungan
Jika keadaan lingkungan fisik dan sanitasi keluarga
baik, maka kondisi kesehatan penghuni rumah tersebut
juga akan baik, demikian pula sebaliknya. Sumber air
untuk memasak atau minum pada umumnya berasal dari
mata air dan sumur umum. Selama kebersihan sumur
dan mata air terjaga dengan baik, peluang sumber air ini
menyebarkan penyakit menular sangat kecil.
Keberadaan MCK juga sangat penting, khususnya untuk
mencegah berkembangnya penyakit diare dan cacingan.
Sebagian besar keluarga sudah memiliki MCK sendiri
(95.3%), namun ketersediaan air bersih menjadi masalah
serius, terutama saat musim kemarau.
Jenis dinding rumah yang terbanyak ditemukan berupa
bilik/bebak pada 76.7 persen keluarga. Jenis lantai
rumah sebagian besar (71.3%) berupa tanah. Kondisi ini
Rasio
menunjukkan cukup tingginya resiko penyakit, seperti
cacingan dan ISPA karena debu. Sampah pada
umumnya (72.7%) diperlakukan dengan cara
dikumpulkan di lubang dan kemudian dibakar.
Sebanyak 38.7% rumah tidak memiliki ventilasi yang
memadai, sehingga sirkulasi udara di rumah kurang
terjamin. Rendahnya pencahayaan di sebagian besar
(69.3%) rumah menambah parah keadaan ini. Selain itu,
adanya kandang ternak dengan jarak kurang dari 10
meter tentunya kurang ideal dari sisi kesehatan(61.8%)
( Riyadi dkk., 2011)
DAFTAR PUSTAKA