Depresi Dan Penyakit Arteri Perifer
-
Upload
pratiwi-wulan-dhari -
Category
Documents
-
view
70 -
download
5
Transcript of Depresi Dan Penyakit Arteri Perifer
BAB I
PENDAHULUAN
Depresi adalah gangguan alam perasaan atau mood yang ditandai kemurungan dan
kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilang gaerah hidup (Soejono et al,
2009). Di Amerika serikat insidensi depresi diperkirakan 12-20% populasi dan diperkirakan
terjadi pada 19 juta penduduk pada tahun 2050 (Mudjaddid et al, 2009). Di Indonesia belum
ada angka pasti, diperkirakan mencapai 20%. Kejadian laki-aki dan perempuan adalah sama
dan dapat merupakan gangguan psikosomatis murni atau komorbid (Siswanto, 2011).
Penyakit komorbid depresi yang sering adalah penyakit jantung koroner dengan
prosentasi 18-23%, stroke 23-29%, diabetes militus 9-27%, kanker 6-25%,arthritis rematoid
12-28%, parkinson 2-51%(Mudjaddid et al, 2009). Dari data diatas bahwa stroke, penyakit
jantung koroner dan diabetes militus memiliki prosentasi yang tinggi bagimana dengan
penyakit arteri perifer? Jika memang ada kaitannya, lewat jalur manakah depresi memicu
terjadinya penyakit arteri perifer?
Dibawah ini akan dibahas depresi kaitanya dengan patofisiologi terjadinya penyakit
arteri perifer melalui jalur perangsanga syaraf adrenergic.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyakit arteri perifer
A.1 Definisi
Penyakit arteri perifer (PAP) adalah: semua penyakit yang terjadi pada pembuluh
darah setelah keluar dari jantung dan aorta iliaka. Jadi penyakit arteri perifer mengenai : arteri
dari keempat ekstremitas, arteri karotis,arteri renalis, arteri mesenterika dan arteri
percabangan setelah keluar dari aorta iliaka (Antono, 2009). PAP meliputi : tromboangitis
obliterans, penyakit buerger’s, fibromuskular dysplasia, oklusi arteri akut, penyakit raynoud,
arteritis takayasu, frostbite dan lain sebagainya. Penyebab terbanyak penyakit oklusi arteri
adalah aterosklerosis, dan meningkat terjadi pada usia 60-70 tahun.
A.2 Patogenesis
Patogenesis thrombosis arteri dimulai adanya kelainan dinding pembuluh darah
arteri. Berdasar teori response to injury aterogenesis dimulai dari cidera minimal yang kronis
pada endotel vascular yang diikuti interaksi antara lipid, sel endotel, monosit, trombosit,
limfosit dan otot polos. Cidera minimal ditandai dengan disfungsi endotel tanpa disertai
perubahan morfologi endotel. Disfungsi endotel dapat disebabkan oleh stress oksidatif, stress
hemodinamik, ataupun sebab lain : dislipidemi, diabetes, kelainan genetic, peningkatan
homosistein, dan infeksi (Kabo, 2010).
Aterosklerosis dimulai dengan terbentuknya fatty streak(FS). Didalam FS, lipid
berhubungan dengan matriks ektraselular(proteoglikan) yang menghambat keluarnya lipid
dari dalam FS. Lipid yang tertahan ini mudah teroksidasi dan memicu ekspresi molekul
2
adhesi seperti P-selectin, dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1). P-selectin dan
VCAM-1 ini menjadi perantara pelekatan monosit dan limfosit pada sel endotel, serta
monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) mengatur migrasi dan diapedesis monosit.
Monosit yang berinteraksi dengan endotel meningkatkan produksi matrix metalloproteinase-
9 (MMP-9) yang akan mendegradasi matriks sehingga monosit dapat menginfiltrasi intima
melalui lapisan endotel dan membrane basalis. Di intima monosit berubah menjadi makrofag
yang memfagosit lipoprotein dan terbentuklah sel busa (Kabo, 2010).
Trombosit berperan pada ateroskerosis dengan mengekspresikan cluster
differentiation 40 ligand (CD40L), melepaskan platelet derived growth factor (PDGF) dan
platelet mediated leukocyte adhesion mengatur masuknya lekosit dalam plak. PDGF yang
dikeluarkan trombosit, makrofag dan sel endotel merangsang proliferasi dan migrasi sel otot
polos dari media ke intima. Sel otot polos mensintesis matriks ekstraseluler yang akirnya
terbentuk kalsifikasi dan stenosis (Setiabudy, 2009).
Limfosit T berperan pada pembentukan ateroskerosis dengan memproduksi
interferon- γ , CD40L dan interleukin-1.
Dari uraian diatas jelas bahwa endotel merupakan peran sentral dalam homestasis
vaskuler, dimana sel endotel menghasilkan vasodilator ( prostaglandin(PGI) dan nitrit
oksida(NO)), vasokonstriktor ( endotelin-1(ET-1), dan tromboxan), trombogenik ( cytokine
pro trombogenik, tissue factor, trombospondin, fibronectin, platelet actifator, dan von
willebrand factor), serta antitrombogenik (trombomodulin, heparin, tissue plasminogen
activator(tPA), prostasiklin, dan urokinase bahkan endotel mempunyai kemampuan
membersihkan darah dari metabolit yang merugikan. Aterosklerosis terjadi karena
ketidakseimbangan homeostasis endotel yang dipicu multifaktorial(Setiabudy, 2009).
3
Gambar 1. Sel endotel sebagai pengatur homeostasis vascular. ( Sumber : Hoffbrand, 2005)
A.3 Faktor Pemicu Aterosklerosis
1) Usia : Kekakuan pembuluh darah pada lansia berkaitan erat dengan peningkatan
cross-linking yang diakibatkan pembentukan radikal bebas yang berlebih. 2) Diabetes
Milites : hiperglikemi menyebabkan penebalan membrane basalis dan meningkatkan matriks
ekstra sel pembuluh darah melalui advanced glycation end products(AGEs). 3) Hipertensi:
akan memacu aterosklerosis dengan melalui system rennin angiotensin, dimana ekspresi
berlebih dari angiotensin converting enzyme(ACE), angiotensin II dan reseptor inflamasi
memicu terbentuknya aterosklerosis. Angiotensin II merupakan mediator stress oksidatif dan
menurunkan aktifitas nitrit oksida, sedang ACE menurunkan produksi tPA melalui degradasi
bradikinin. 4) Rokok: mengandung 4.000 bahan kimia antara lain: nikotin, tar karbon
monoksida ammonia dan lain-lain. Zat kimia tersebut menyebabkan inflamasi, vasospasme,
kerusakan endotel, respon imun, mutagenesis dan meningkatkan aktivitas syaraf simpatis
4
yang berhubungan dengan aterosklerosis. 5) Faktor psikologis : dimungkinkan melalui jalur
peningkatan aktivitas syaraf simpatis, hal ini akan dibahas lebih lanjut pada kaitan depresi
dengan penyakit arteri perifer( Kabo, 2010). Faktor psikologis ini yang akan diangkat sebagai
topic utama dalam pembahasan ini.
A.4 Gejala Klinis PAP
Gejala PAP sangat luas, mulai tidak bergejala sampai dengan berat. Gejala paling
sering adalah klaudikasio intermiten pada tungkai yang ditandai rasa pegal, nyeri, kram otot
atau rasa lelah otot. Rasa itu timbul saat melkukan aktifitas dan berkurang saat istirahat.
Penyakit aortoiliaka (sindroma Leriche) memberikan rasa tidak nyaman pada bokong,
pinggang dan paha. Jika sumbatan luas maka akan timbul iskemia tungkai bawah (critical
limb ischemia), akut iskemia ini 25% disebabkan oleh adanya emboli dan penyebab keduanya
adalah trobus (Antono et al, 2009).
A.5 Pemeriksaan Fisik PAP
Menurut kejadiannya klinis PAP dibagi menjadi dua yaitu akut dan kronis. Gejala
akut biasanya disebabkan sumbatan akut oleh lepasnya thrombus atau embolus. Gejala kronis
muncul sebagai gejala kaudikasio intermiten
Pemeriksaan fisik PAP kronis didapatkan adanya penurunan atau hilangnya perabaan
denyut nadi disebelah distal sumbatan, atau terdengar bruit pada daerah arteri yang
menyempit. Tanda lain didapatkannya bulu rontok, kuku yang menebal, kulit yang licin dan
mengkilat, suhu kulit yang menurun, pucat atau sianosis serta keringat yang berkurang. Jika
5
kaki dilipat atau diangkat akan menjadi pucat, bahkan jika vascularisasi sangat buruk akan
terjadi gangrene atau ulkus.
Pemeriksaan PAP akut didapatkan perubahan suhu yang mencook dibagian distal
sumbatan, adanya nyeri, parestesi atau anestesi ekstremitas, kulit menjadi putih lilin, otot
yang spastic dan mengeras, dan kemungkinan didapatkan kecurigaan di organ lain sebagai
pencetus adanya emboli( jantung).
A.6 Pemeriksaan PAP Non Invasif
Pemeriksaan ankle brachial index (ABI) sangat membantu, dimana nilai < 0,9 berarti
terdapat kelainan dan jika < 0,4 maka disebut iskemia berat. Pemeriksaan lain adalah foto
thoraks untuk melihat adanya kardiomegali, EKG untuk melihat adanya aritmia atau infark
yang lama, Ekokardiografi untuk melihat dimensi ruang jantung fraksi ejeksi maupun adanya
kelainan katup atau adanya thrombus. USG untuk melihat adanya aneurisma dan arteriografi
untuk memastikan letak sumbatan.
A.7 Terapi PAP
Terapi pada PAP terdiri dari terapi suportif, terapi farmakologis, intervensi non
operasi, dan operasi. Terapi suportif meliputi perawatan kaki dengan menjaga kebersihan dan
kelembaban, penggunaan sepatu dengan ukuran yang sesuai dan ada ventilasi, berhenti
merokok, merubah gaya hidup. Latihan fisik meliputi latihan jalan sampai dengan timbul
gejala klaudikasio intermiten, hal ini dilakukan secara bertahap, lama waktu yang diperlukan
6-12 bulan. Terapi ini bertujuan peningkatan airan darah kolateral, perbaikan vasodilator
6
endotel, respon inflamasi, metabolism musculoskeletal, oksigenasi jaringan lebih baik dengan
perbaikan viskositas.
Terapi farmakologis dengan pemberian aspirin, klopidogrel, pentoksifiin, cilostasol,
dan tiklopidin. Dengan obat tersebut dapat memperbaiki jarak jalan dan mengurangi
penyempitan. Langkah berikutnya adalah memberikan terapi pada factor resiko seperti
mengendalikan diabetes, hiperlipidemi, hipertensi, dan hiperhomositeinemia dengan baik.
Untuk insufisiensi akut maka dianjurkan pemberian terapi dengan heparin. Pada obstruksi
akut terjadi kurang 4 jam dianjurkan untuk trombolisis.
Terapi operasi meliputi trombolektomi dan angioplasty transluminal perkutan
dilanjutkan pemasangan stent.
B. Depresi
B.1. Definisi
Depresi adalah gangguan perasaan atau mood yang ditandai dengan perasaan
sedih yang mendalam, perasaan putus asa, tidak bergairah, tidak berdaya, merasa
bersalah, perasaan ingin bunuh diri atau kurangnya perhatian terhadap diri sendiri
serta lingkungan yang dapat disertai dengan penyakit somatic. Depresi sering
didapatkan pada penyakit kronik ataupun penyakit yang mengancam jiwa. untuk
mempermudah mengenal depresi maka dikenal trias depresi yaitu: 1. Tidak dapat menikmati
hidup. 2. Tidak ada perhatian terhadap lingkungan. 3. Merasa lelah sepanjang hari.
Disamping tiga hal tersebut orang yang menderita depresi akan kehilangan daya antisipasi
7
yang terdiri : ketidakmampuan berkomunikasi, menyendiri, merasa tidak mampu dan selalu
merasa was-was. Penderita depresi akan mengalami gangguan kognitif yaitu: menilai diri
tidak berguna, perasaan permusuhan dengan lingkungan, masa depan suram (Soejono et al,
2009).
B.2. Etiologi
Sampai saat ini etiologi depresi masih belum jelas, tetapi terdapat beberapa
faktor yang disepakati menjadi penyebab depresi. Faktor-faktor tersebut adalah faktor
genetik, faktor lingkungan (stressor psikososial) dan faktor neurobiologi. Ketiga
faktor tadi saling mempengaruhi. Faktor sosial dan faktor genetik mempengaruhi
faktor biologi dalam bentuk terjadinya gangguan neurotransmiter. Faktor psikososial
dan faktor biologi dapat mempengaruhi ekspresi genetik seseorang. Sebaliknya faktor
biologi dan faktor genetik dapat mempengaruhi respon seseorang terhadap stresor
psikososial. Faktor psikososial seperti stressor yang bersifat kronis dan menetap
mengakibatkan perubahan sistem sinyal neuron serta fungsi beberapa
neurotransmitter sehingga terjadi perubahan biologi otak (Anggraeni, 2011).
Empat faktor biologi yang diduga berperan pada terjadinya depresi yaitu:
1. Perubahan pada neurotransmisi serotonergik. 2. Perubahan aksis hypothalamus-
Pituitari-Adrenal (HPA) dan abnormalitas aksis Hipothalamus -Pituitari-Thyroid
(HPT) 3. Abnormalitas struktur otak yang berhubungan dengan mood disorder. 4.
Peningkatan kadar interleukin (Anggraeni, 2011)
8
B.3. Diagnosis
Diagnosis depresi ditegakkan berdasarkan kriteria Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder (DSM-IV) (Tabel 1).
Tabel 1. Kriteria episode depresi mayor (Sumber: van Melle, 2004)
B.4. Penatalaksanaan
Terapi depresi terutama bertujuan untuk meredakan gejala maupun etiologi
yang mendasari kelainannya. Hubungan dokter pasien merupakan faktor yang sangat
penting dalam pengobatan depresi. Pada depresi yang ringan cukup diberikan
9
psikoterapi saja, namun pada depresi yang sedang dan berat, psikofarmaka dan
psikoterapi secara serentak harus sudah dilakukan sejak awal.
C. Depresi dan Penyakit Arterial Perifer
Meskipun sampai saat ini belum ada data yang pasti mengenai depresi yang
berkaitan dengan kejadian PAP, namun hubungan potensial antara keduanya
dimungkinkan melalui jalur perangsangan syaraf adrenergic yang terjadi pada
penderita depresi.
C.1 Efek Perangsangan Syaraf Adrenergik
Apabila terjadi perangsangan syaraf adrenergic maka ujung syaraf adrenergic akan
melepaskan noradrenalin dan sedikit adrenalin, Sedangkan dari medulla adrenal akan
diepaskan sangat banyak adrenalin kedalam sirkulasi. Efek dari banyaknya adrenalin yang
masuk dalam sirkulasi adalah : pada pupil akan midriasis, laju jantung dan kontraktilitas
meningkat, terjadi vasokontriksi pada pembuluh darah kecuali pada otot skelet,
bronkorelaksasi pada paru, glikogenolisis dan glukoneogenesis pada liver, glikogenolisis
pada skelet tetapi karena kandungan glucose 6 phospatase rendah maka kandungan asam
laktat lebih tinggi, meningkatnya re-uptake – K dalam sel yang tinggi terjadi hipokalemi,
lipolisis jaringa lemak, peristaltic saluran cerna menurun, sekresi adrenalin meningkat dari
medulla adrenal, sekresi rennin meningkat dari ginjal, pada pancreas dapat terjadi
penghambatan sekresi insulin atau memacu sekresi insulin tergantung reseptor α1 atau β2
10
yang terangsang. Respon tubuh terhadap perangsangan adrenergic adalah reksi pertahanan
terhadap stress akut, hal ini digambarkan sebagai reaksi “ fight or flight reaction”. Apabila
stress itu berlangsung lama maka akan terjadi dampak negative pada system kardiovascular.
Vasokonstriksi akan menimbulkan terjadinya hipertensi, peningkatan laju dan kontraktilitas
menyebabkan terjadinya sear stress. Efek glikogenolisis dan glukoneogenesis akan terjadi
hiperglikemia yang menyebabkan penebalan membrane basalis serta peningkatan matriks
ekstra sel pembuluh darah . Peningkatan system rennin angiotensin dimana ACE, angiotensin
II, dan reseptor pro inflamasi akan meningkat. Peningkata ACE akan menurunkan tPA
melalui degradasi bradikinin, dan peningkatan angiotensin II akan menurunkan NO yang
kesemuanya akan memicu timbulnya jejas endotel sebagai awal terjadinya aterosklerosis .
Berbeda dengan adrenalin, achetilcolin berlaku sebaliknya dan digambarkan sebagai reaksi
“rest and repair”.
Gambar 1. System syaraf simpatis dan parasimpati
11
Tabel 1. Efek syaraf otonom pada berbagai organ (Sumber : Kabo, 2010)
Organ Efek Simpatis Reseptor Efek Parasimpatis
Reseptor
Mata Midriasis β Miosis M3Jantung Konduksi kontraktilitas
akselerasiMeningkat
β1β1
InhibisiMenurun
M2M3
Otot polos pemb darah KontraksiRelaksasi
α1β1
--
--
Paru-paru (bronkus) Relaksasi β2 Kontraksi M3Saluran cerna (peristaltic)
Menurun α/β Meningkat M3
Genitourinaria (VU, Uterus)
Relaksasi β2 Kontraksi M3
Hati GikogenolisisGlukoneogenesis
β1β2
--
--
Ginjal ( sekresi renin) Meningkat β1/α1 - -Medula Adrenal ( NA/Ad)
meningkat - - -
Jaringan Lemak Lipolisis β3 - -Otot Rangka Kontraksi K+ uptake
MeningkatMeningkat
β2β2
--
--
Dari uraian patofisiologi terjadinya aterosklerosis sebagai dasar terjadinya penyakit
PAP, jelas bahwa yang mendasari semua kejadian adalah integritas dari endotel. Jadi stressor
apapun termasuk didalamnya perangsangan syaraf adrenalin yang terus menerus akan
mempengaruhi integritas dari endotel akan berdampak pada homeostasis vascular yang
terganggu, pada gilirannya dapat menyebabkan kelainan kardiovaskular termasuk didalamnya
PAP (Kabo, 2010).
12
BAB III
KESIMPULAN
PAP adalah semua penyakit yang terjadi pada pembuluh darah setelah keluar dari
jantung dan aorta iliaka. Aterosklerosis merupakan dasar patologi terjadinya PAP.
Ateroskerosis diawali oleh adanya jejas terhadap endotel. Endotel adalah lapisan sel yang
mempunyai fungsi menjaga homeostasis vaskuler, dimana sel endotel mampu menghasilkan
vasokonstriktor, vasodilator, anti trombogenik dan trombogenik factor.
Gangguan keseimbangan vasodilator, vasokonstriktor, trombogenik dan anti
trombogenik itulah yang memicu timbulnya gangguan homeostasis yang berujung terjadinya
aterosklerosis. Hubungan depresi dengan PAP dimungkinkan melalui jalur aktifasi syaraf
adrenergic yang terus menerus dan berlangsung lama.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, V.Y., 2011, Depresi, variabilitas denyut jantung dan infark miokard akut.
13
Antono, D. Ismail, D., 2009, Penyakit arteri perifer, In A. W. Sudoyo, B. Setyohadi, I. Alwi, Marcellus S. K., S. Setiati(eds) : Buku Ajar Penyakit Dalam, edisi V, pp 1831-41, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Hoffbrand,A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H. In: Kapita Selekta Hematologi, edisi IV. Jakarta, 2005, pp 212-21
Kabo, P., 2010, Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara rasional. Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Mudjaddid, E. Sukatman, d., 2009, Ketidakseimbangan Vegetatif, In A. W. Sudoyo, B. Setyohadi, I. Alwi, Marcellus S. K., S. Setiati(eds) : Buku Ajar Penyakit Dalam, edisi V, pp 2098-101, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Mudjaddid, E., 2009, Pemahaman dan penanganan psikosomatik gangguan ansietas dan depresi: di bidang ilmu penyakit dalam, In A. W. Sudoyo, B. Setyohadi, I. Alwi, Marcellus S. K., S. Setiati(eds) : Buku Ajar Penyakit Dalam, edisi V, pp 2105-8, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Setiabudy, R.D., 2009, Patofisiologi trombosis, In R.D. Setiabudy(eds): Hemostasis dan trombosis, adisi IV, pp 34-47, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Siswanto, A., 2011. Kuiah psikosomatik II. Sub bagian psikosomatik, Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.
Soejono, C.H. Probosuseno, Sari, N.K., 2009, Depresi pada pasien usia lanjut, In A. W. Sudoyo, B. Setyohadi, I. Alwi, Marcellus S. K., S. Setiati(eds) : Buku Ajar Penyakit Dalam, edisi V, pp 845-50, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Tambunan, K.L., 2009, Patogenesis trombosis, In A. W. Sudoyo, B. Setyohadi, I. Alwi, Marcellus S. K., S. Setiati(eds) : Buku Ajar Penyakit Dalam, edisi V, pp 1301-6, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
14