DENDA MURABAHAH DALAM PANDANGAN SISTEM … · Bank Syariah Mega Indonesia ... wanprestasi bisa...
Transcript of DENDA MURABAHAH DALAM PANDANGAN SISTEM … · Bank Syariah Mega Indonesia ... wanprestasi bisa...
DENDA MURABAHAH DALAM PANDANGAN
SISTEM EKONOMI ISLAM
(STUDI KASUS DI BANK SYARIAH MEGA INDONESIA)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)
Oleh :
Yetty Nur Indah Sari
NIM : 104046101633
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT ( EKONOMI ISLAM )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul DENDA MURABAHAH DALAM PANDANGAN SISTEM EKONOMI
ISLAM (STUDI KASUS MURABAHAH DI BANK SYARIAH MEGA INDONESIA),
telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 13 Nopember 2008. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI) pada
Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam).
Jakarta, 13 Nopember 2008
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr. Euis Amalia, M. Ag (...........................)
NIP. 150 289 264
2. Sekretaris : Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag (...........................)
NIP. 150 318 308
3. Pembimbing I : Dr.Fuad Thohari, M. Ag (...........................)
NIP. 150 299 934
4. Pembimbing II : M. Dawud Arif Khan, SE., AK., M,Si., CPA (...........................)
5. Penguji I : (...........................)
NIP.
6. Penguji II : (...........................)
NIP.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis bersyukur berkat rahmat, kehendak serta kebaikan Allah
SWT, penulis dapat hadir di dunia ini sebagai mahluk yang senantiasa dituntut untuk
berjuang, memimpin, beribadah dan mengelola alam dunia semata-mata demi
mengharapkan ridha-Nya.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan selalu kepada manusia pilihan-
Nya, nabi Muhamad SAW yang telah memancarkan cahaya Islam di seluruh penjuru dunia
hingga akhir zaman.
Skripsi yang berjudul DENDA MURABAHAH DALAM PANDANGAN SISTEM
EKONOMI ISLAM, alhamdulillah akhirnya dapat diselesaikan sesuai seperti yang
diharapkan penulis. Kebahagian yang tak ternilai ini, bagi penulis pribadi adalah dapat
mempersembahkan yang terbaik kepada kedua orang tua, seluruh keluarga, dan pihak-pihak
yang telah ikut andil dalam mensukseskan harapan penulis. Untuk ibunda Mas’ah
(almarhumah), terima kasih telah melahirkan penulis kedunia ini, sehingga penulis bisa
bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Untuk ayahanda M. Nafis (almarhum), terima
kasih telah memberikan kasih sayang dan mendidik penulis hingga akhir hayatnya, semoga
Allah SWT memberikan tempat yang mulia di sisi-Nya.
Sebagai bentuk penghargaan yang tak terlukiskan, izinkanlah penulis menuangkan
dalam bentuk ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA. Selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah mencurahkan baktinya kepada seluruh mahasiswa Fakultas Syari’ah dan
Hukum.
2. Ibu Dr. Euis Amalia M. Ag. Selaku Ketua Program Studi Mu’amalat dan Bapak
Ah. Azharuddin Latif, M. Ag. Selaku Sekretaris Program Studi Mu’amalat, yang
telah membantu penulis secara tidak langsung dalam menyiapkan skripsi ini
3. Bapak Dr. Fuad Thohari, M,Ag. Selaku pembimbing I, yang selalu memberikan
nasehat dan masukan dalam penyusunan skripsi ini dan Bapak H.M. Dawud Arif
Khan, S.E., Ak., M,Si., CPA. Selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu
di sela-sela kesibukan dalam memberikan masukan dan nasehat dalam penyusunan
skripsi ini.
4. Bank Syari’ah Mega Indonesia yang diwakili oleh bapak Tugiantoro, yang banyak
membantu dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan dalam
menyusun skripsi ini.
5. Pimpinan perpustakaan, baik perpustakaan utama maupun perpustakaan Fakultas
Syari’ah dan Hukum, yang telah memberikan fasilitas dan bantuan untuk
mendapatkan referensi yang penulis butuhkan dalam penelitian ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama di
bangku kuliah.
7. Buat kakak terkasih, Nunung Nuhriah, Yanah, Abih dan Ali serta adik- adik
tersayang, Luna, Agil, Kevin, Ocha, Ufi, Tasya yang selalu mewarnai hari-hari
penulis dengan canda. Terima kasih telah menjadikan hidup ini terasa amat berarti.
8. Untuk Rahmadonal Erwin dan sahabat-sahabat tempat berbagi, Ibed, Intan, Maya
atas do’a dan dukungan yang senantiasa menemani penulis.
9. Untuk kawan-kawan PSB 2004 Idha, Evi, Itsna, Ajeng, Ulul, Seli, Nita, Elon, Fatah,
Sesar, Mirza dan seluruh PS 2004 yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu
terimakasih dan selamat berjuang.
Jakarta, 13 Nopember 2008
Yetty Nur Indah Sari
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................... 4
D. Kerangka Konsep .............................................................................. 5
E. Metode Penelitian .............................................................................. 7
F. Teknik Penulisan ............................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 9
BAB II DENDA MURABAHAH
A. Denda ................................................................................................ 11
B. Murabahah......................................................................................... 12
1. Landasan Hukum Murabahah....................................................... 16
2. Syarat-Syarat Murabahah............................................................. 18
3. Ketentuan Umum Murabahah ...................................................... 20
4. Jenis-Jenis Murabahah ................................................................. 23
5. Ketentuan Umum Aplikasi Murabahah ........................................ 25
6. Manfaat dan Resiko Murabahah................................................... 27
C. Denda Murabahah.............................................................................. 29
BAB III GAMBARAN UMUM PT BANK SYARIAH MEGA INDONESIA
A. ....................................................................................................Sejarah
Singkat PT. Bank Syariah Mega Indonesia........................................ 36
B......................................................................................................Struktur
Organisasi dan Manajemen PT. Bank Syariah Mega
Indonesia ........................................................................................... 38
C......................................................................................................Visi dan
Misi, Nilai dan Penghargaan PT. Bank Syariah Mega
Indonesia ........................................................................................... 39
D. ....................................................................................................Produk-
Produk PT. Bank Syariah Mega Indonesia ........................................ 40
BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN DENDA MURABAHAH DI BANK
SYARIAH MEGA INDONESIA
A. ....................................................................................................Denda
Berjalan di Bank Syariah Mega Indonesia.......................................... 46
B......................................................................................................Perhitun
gan Denda Murabahah di Bank Syariah Mega Indonesia.................... 50
C......................................................................................................Penyeles
aian Denda Murabahah di Bank Syariah Mega Indonesia................... 52
D. ....................................................................................................Pengalok
asian Denda Murabahah di Bank Syariah Mega
Indonesia ........................................................................................... 64
BAB V PENUTUP
A. ....................................................................................................Kesimpu
lan ..................................................................................................... 68
B......................................................................................................Saran
..........................................................................................................69
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 71
LAMPIRAN ......................................................................................................... 74
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Lembaga keuangan pada dasarnya adalah lembaga perantara, berposisi sentral di
antara pemilik dana, antara penyimpan dan peminjam, antara pembeli dan penjual, serta
antara pengirim uang dan lembaga keuangan. Lembaga keuangan bukanlah sebuah
pabrik atau produsen yang menghasilkan uang secara sendiri dan kemudian
membagikan atau meminjamkan kepada pihak-pihak yang membutuhkannya.1
1 Muhammad, Bank Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan Peluang dan Ancaman, Yogyakarta,
Ekonisia, h. 99.
Lembaga keuangan syari'ah merupakan lembaga intermediasi keuangan yang
hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan suatu bentuk transaksi yang
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah Islam, namun adakalanya dalam
menjalankan transaksi syari’ah, para pihak dihadapkan pada sejumlah resiko yang bisa
menyebabkan terjadinya kerugian, resiko tersebut di antaranya bisa disebabkan oleh
adanya wanprestasi atau kelalaian nasabah dengan menunda-nunda pembayaran hal ini
tentunya sangat kontradiktif dengan syari’ah Islam yang sangat melindungi kepentingan
semua pihak yang bertransaksi, baik lembaga keuangan syari’ah maupun nasabah,
sehingga tidak boleh ada satu pihak yang di rugikan hak-haknya.2
Dalam hukum Islam seseorang diwajibkan untuk menghormati dan mematuhi
setiap perjanjian atau amanah yang dipercayakan kepadanya. Apabila seseorang telah
mendapat kredit atau pembiayaan dari bank, maka ia telah mendapat amanah dari orang
lain (deposan atau pemilik modal di bank), jika debitur tersebut melakukan cidera janji,
maka dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi. Orang yang melakukan
wanprestasi bisa dikenakan tindakan atau sanksi sesuai dengan kondisi dan alasannya.
Pada zaman modern, dalam dunia perbankan nasional muncul fenomena sikap
menunda-nunda pembayaran yang dilakukan oleh debitur atau nasabah terhadap bank
yang memberi dana pinjaman pembiayaan. Akibatnya bank mengalami kerugian,
karena dalam melakukan penagihan tidak jarang bank mengeluarkan biaya, mulai dari
masalah administrasi, hingga biaya yang besar untuk menyewa pengacara.
2 Ahmad Kamil dan Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,
Jakarta, kencana 2007.Cet. Pertama, h.828.
Fenomena ini memunculkan berbagai permintaan dari pengelola perbankan
syari’ah akan pentingnya penanganan ganti rugi dan pengenaan sanksi, ganti rugi atas
biaya yang dikeluarkan untuk melakukan penagihan kepada nasabah yang lalai dan
nakal (menunda-nunda pembayaran).
Dalam hal ini MUI ikut andil untuk mengeluarkan fatwa bagi nasabah mampu yang
menunda-nunda pembayaran, yang mana mereka bisa dikenakan hukuman ta’zir
(denda).
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis perlu melakukan penelitian denda yang
diberlakukan bank syari’ah, dengan menganalisa pengenaan denda yang ada di
perbankan syari’ah dan pandangan sistem ekonomi Islam terhadap denda yang
diberlakukan.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar permasalahan tidak melebar dalam penulisan skripsi ini. Penulis perlu
memberikan batasan dan rumusan masalah terhadap objek yang dikaji. Masalah
penelitian ini adalah penerapan denda murâbahah di Bank Syari’ah Mega Indonesia
dalam pandangan sistem ekonomi Islam.
Rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan sistem ekonomi Islam terhadap denda Murâbahah dalam
suatu transaksi di perbankan syari’ah?
2. Bagaimana kesesuaian teori dan praktek denda murâbahah di perbankan syari’ah?
3. Bagaimana operasional denda murâbahah dan aplikasinya dalam Bank Syari’ah
Mega Indonesia?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui pandangan sistem ekonomi Islam terhadap denda murâbahah
dalam transaksi perbankan syari’ah.
b. Untuk mengetahui kesesuaian teori dan praktek denda murâbahah di perbankan
syari’ah.
c. Untuk mengetahui operasional denda murâbahah dan aplikasinya dalam Bank
Syari’ah Mega Indonesia, apakah sesuai dengan aturan syari’ah atau belum.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pihak-pihak terkait, di antaranya:
a. Manfaat secara teoritis
Secara teoritis, penelitian yang penulis lakukan dapat memberikan penambahan
ilmu pengetahuan bagi penulis sendiri, dan dalam bidang ilmu pengetahuan
dapat pula memecahkan atau mencari solusi dari suatu permasalahan yang ada.
b. Manfaat secara praktis
Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat untuk penulis dan masyarakat,
khususnya bagi penulis akan lebih memudahkan jika suatu waktu berhadapan
dengan persoalan yang menyangkut perbankan syariah, selanjutnya penelitian
ini diharapkan dapat menjadi pengalaman bagi penulis sebagai modal untuk
bekerja dengan baik di masa mendatang.
Kerangka Konsep
Murâbahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan
dan keuntungan (margin), yang disepakati penjual dan pembeli. Murâbahah dapat
dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam Murâbahah berdasarkan
pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah.
Pembayaran Murâbahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Selain itu,
dalam Murâbahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga untuk cara
pembayaran yang berbeda.
Bank dapat memberikan potongan kepada nasabah jika:
Mempercepat pembayaran cicilan; atau
Melunasi piutang murâbahah sebelum jatuh tempo.
Harga yang disepakati dalam murâbahah adalah harga jual sedangkan harga beli
harus diberitahukan. Jika bank mendapat potongan dari pemasok maka potongan itu
merupakan hak nasabah. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad maka
pembagian potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat dalam
akad. Apabila nasabah tidak dapat memenuhi piutang sesuai dengan yang
diperjanjikan, bank berhak mengenakan denda kecuali jika dapat dibuktikan bahwa
nasabah tidak mampu melunasi. Denda diterapkan bagi nasabah mampu yang menunda
pembayaran, denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta’zir yaitu untuk membuat
nasabah lebih disiplin terhadap kewajibannya. Besarnya denda sesuai dengan yang
diperjanjikan dalam akad dan dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana
sosial (qardul hasan).
Denda keterlambatan dikenakan bagi nasabah yang "nakal", yang seharusnya
dia bisa dan mampu untuk membayar tepat pada waktunya tetapi sengaja menunda-
nunda. Biasanya uang yang seharusnya untuk membayar kewajibannya ke bank,
“diputar-putar" dulu, sehingga terjadi kelalaian.
Dana hasil dari denda ini tidak diambil dan dipergunakan bank melainkan
ditampung dalam suatu pos atau rekening yang disebut "Dana Non Halal atau Dana
Sosial", yang setiap bulannya akan dilimpahkan atau diserahkan kepada Lembaga Amil
Zakat untuk membantu faqir miskin dan membangun sarana serta prasarana umum.
Murâbahah adalah jual beli yang bersifat amanah yang dalam produk perbankan
berupa produk pembiayaan, yaitu akad jual beli antara bank selaku penyedia barang
dengan nasabah yang memesan untuk dibeli. Bank memperoleh keuntungan dari
kesepatakan bersama. Dalam praktek biasanya nasabah telah menunjuk supplier yang
diinginkan, sehingga bank akan membelinya secara tunai dan menjualnya secara
tangguh pada nasabah. Pendapat lainnya dari Elias G. Kazarian berpendapat murâbahah
adalah jasa pembiayaan dengan mengambil bentuk transaksi jual beli dengan cicilan.3
Penundaan pembayaran dalam murâbahah digambarkan sebagaimana tertera di
bawah ini :
1. Nasabah yang memiliki kemampuan, tidak dibenarkan menunda penyelesaian
hutangnya.
2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja atau jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya maka penyelesaianya dilakukan melalui badan
arbitrase syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.4
Metode Penelitian
Penelitian merupakan istilah yang berasal dari kata bahasa Inggris, yaitu
research; re artinya kembali dan search artinya mencari. Pengertian umum research
adalah suatu upaya mencari kembali, Menurut kamus Oxford Advanced learner’s
dictionary of current English (1977), istilah research berarti melakukan penyelidikan
dalam aturan untuk menemukan fakta-fakta baru, dan memperoleh tambahan informasi.
Kamus Webster new world dictionary (1976) arti kata research, penelitian yang berarti
3 Wendra Yunaldi, Potret Perbankan Syariah di Indonesia, Melacak Keabsahan Landasan Yuridis
Praktek Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Susi Advertising, h.34 - 35.
4 Profil Perusahaan Pelaku Bisnis Syariah. Manajemen Ekonomi Syariah, Jakarta, 2005, h. 43 -
45.
penyelidikan secara hati-hati, sistematis dan mencari fakta dan prinsip-prinsip suatu
penyelidikan yang cermat guna menetapkan suatu keputusan tepat.5
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini memadukan dua jenis penelitian, yaitu :
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan mencari data atau informasi riset
melalui membaca jurnal ilmiah, buku-buku referensi dan bahan-bahan publikasi
yang tersedia di perpustakaan.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan ini berupa data, informasi dan peristiwa secara rinci yang
dicatat oleh peneliti sesuai dengan tema bahasan yang akan diteliti.
2. Jenis Data
Jenis data merupakan data kualitatif yang bersumber dari :
a. Data Primer
1) Survey terhadap bank yang terkait.
2) Observasi dengan metode pengumpulan data yang dilakukan untuk
mengamati dan mencatat suatu transaksi dan cidera janji yang dilakukan
nasabah terhadap bank.
b. Data Sekunder
1) Dokumentasi dari arsip atau data yang berhubungan dengan penelitian.
2) Penelitian kepustakaan dari buku, artikel dan karya-karya ilmiah yang
berkaitan dengan penelitian.
5 Rosady Ruslan, Metode Penelitian Publik Relations dan Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, h. 3.
Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 1428/2007.
Sistematika Penulisan
Skripsi terdiri dari lima bab yang masing- masing terdiri dari beberapa sub bab
yang merupakan penjelasan dari bab-bab tersebut. Adapun sistematika penulisan
sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan teoritis. Membahas tentang denda, murâbahah yang meliputi,
definisi murâbahah, landasan hukum murâbahah, syarat-syarat murâbahah,
ketentuan umum murâbahah, jenis-jenis murâbahah, aplikasi murâbahah,
manfaat dan resiko murâbahah, denda murâbahah.
BAB III Gambaran Umum. PT Bank Syari’ah Mega Indonesia yang meliputi visi
dan misi PT Bank Syari’ah Mega Indonesia, struktur organisasi dan
manajemen PT Bank Syari’ah Mega Indonesia, produk-produk PT Bank
Syari’ah Mega Indonesia.
BAB IV Analisa dan Pembahasan. Denda berjalan di Bank Syari’ah Mega
Indonesia, perhitungan denda murâbahah di Bank Syari’ah Mega Indonesia,
penyelesaian denda murâbahah di Bank Syari’ah Mega Indonesia,
pengalokasian denda murâbahah di Bank Syari’ah Mega Indonesia.
BAB V Penutup, Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran
dari hasil penelitian mengenai hal-hal yang telah dibahas oleh peneliti.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Denda
Denda dalam konteks akad disebut garâmah atau ta’zir. Denda adalah hukuman
yang berupa materi atau benda dikenakan dan harus dibayarkan oleh pelanggarnya.6
Menurut Aliminsyah, denda (fine) diartikan sebagai hukuman berupa uang yang
harus dibayarkan karena melanggar peraturan atau undang-undang. Adapun denda
bunga adalah bunga atau tambahan bunga karena melanggar suatu ketentuan
keterlambatan, pelunasan utang pokok atau ketentuan rasio kas.7
Penalti hukuman berupa pesanan biaya hutang pelanggaran suatu perjanjian,
misalnya kelambatan pelunasan utang pokok, atau pelanggaran rasio kas. Adapun
penalti klause adalah klausal denda atau perjanjian pinjam-meminjam instrumen
tabungan mengenai pengenaan denda bila ketentuan kontrak tidak dipenuhi,
pembayaran kembali pinjaman tertunda atau penarikan tabungan sebelum jatuh tempo.8
B. Murâbahah
6 Daryanto, Bahasa Kamus Indonesia Lengkap, Surabaya, Penerbit APOLLO, 1997, h.23.
7 Aliminsyah, dan Padji, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Yrama Widya, h.339.
8 Sujana Ismaya, Kamus Perbankan, dilengkapi dengan daftar nama mata uang dan UU bank
Indonesia Tahun. 2004.
Secara bahasa, kata murâbahah berasal dari kata ( �ا��-- �ا�� �-را�� ) yang
berarti saling menguntungkan.9
Dalam kamus istilah fiqih dijelaskan bahwa murâbahah adalah bentuk jual beli
barang dengan tambahan harga (cost plus), atas harga pembelian yang pertama secara
jujur. Dengan murâbahah ini, orang pada hakikatnya ingin mengubah bentuk bisnisnya,
dari kegiatan pinjam-meminjam menjadi transaksi jual beli.10
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli murâbahah adalah jika penjual
menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian mensyaratkan
atasnya laba yang dalam jumlah tertentu dinar atau dirham.11
Adiwarman A. Karim mengartikan murâbahah adalah suatu penjualan barang
seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang telah disepakati, misalnya seorang
pembeli barang kemudian menjualnya dengan keuntungan tertentu. Berapa besar
keuntungan tersebut dapat dinyatakan dengan nominal rupiah atau dalam bentuk
persentase dari harga pembeliannya, misalnya 10% atau 20%.12
Menurut Abdullah Saeed, wacana fiqih dalam praktek perbankan, suatu
penjualan murâbahah terdiri dari tiga pihak, yaitu: A, B dan C. Pihak pertama (A)
9 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesi, Jakarta, Hida Karya Agung, 1990, h.130.
10 M. Abdul Mujieb, et.al, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta, PT. Pustaka Firdaus,1994), Cet. Pertama, h.
225.
11 Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Semarang, As-Syifa,1990, Cet. Pertama, h. 181.
12 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press
2001). Cet. Pertama, h. 86.
meminta pihak ke dua (B) untuk membeli beberapa barang untuk (A), pada saat itu (B)
tidak memiliki barang-barang yang dimaksud tetapi ia berjanji untuk membelikannya
dari pihak ke tiga (C), dalam hal ini B bertindak sebagai perantara, dan kontrak
murâbahah terjadi di antara A dan B.13
Murâbahah dalam pengertian Islam sebenarnya adalah sebuah penjualan yang
sederhana, hanya saja yang membedakan ciri-cirinya dari macam-macam penjualan
yang lain adalah penjualan murâbahah dengan jelas mengatakan kepada pembeli berapa
harga dari barang yang ia adakan dan berapa keuntungan yang ia peroleh dalam
penambahan harga tersebut.
Praktisi perbankan yang selama ini aktif di dunia perbankan syari’ah, Muhamad
Syafi’i Antonio menjelaskan bahwa murâbahah adalah jual beli barang pada harga awal
dengan tambahan keuntungan (margin) yang telah disepakati. Dalam murâbahah,
penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan tingkat
keuntungan dan tambahannya.14
Jual beli murâbahah, meliputi pembelian barang oleh bank atas nama nasabah
kemudian dijual kembali dengan harga dasar ditambah keuntungan, pada prinsipnya
murâbahah dalam perbankan Islam didasari pada dua elemen pokok yaitu harga beli
serta biaya yang terkait dan kesepakatan atas mark-up (laba). Dengan penetapan ini,
bank memperlihatkan harga dan keuntungan (margin)nya kepada nasabah, dalam
13 Abdul Saeed Menyoal, Bank Islam Kritik Atas Interpretasi, Bunga Bank Kaum Neo Revivalis,
(Jakarta: Paramadina, 2004), cet. Kedua, h. 118.
14 Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama Dan Cendikiawan, (Jakarta: Tazkia
Institute 1999), h. 121.
transaksi murâbahah, penjual (bank) juga harus memperlihatkan atau menjelaskan
dengan jelas barang yang diperjual-belikan dan tidak termasuk barang haram.
Melalui akad murâbahah, nasabah memenuhi kebutuhan untuk memperoleh dan
memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai terlebih dahulu.
Dengan kata lain, nasabah memperoleh pembiayaan dari bank untuk pengadaan barang
yang dibutuhkan. Pembayaran murâbahah dapat dilakukan secara tunai ataupun cicilan.
Menurut para fuqaha, murâbahah di definisikan sebagai penjualan barang seharga
biaya atau harga pokok (cost) barang tersebut ditambah mark-up atau margin
keuntungan yang disepakati. Karakteristik murâbahah adalah bahwa penjual harus
memberitahu pembeli mengenai harga pembelian produk dan menyatakan jumlah
keuntungan yang ditambahkan pada harga perolehan atau harga pokok tersebut.15
Dalam daftar istilah buku himpunan fatwa DSN dijelaskan bahwa yang di
maksud dengan murâbahah (DSN. 2003:311) adalah menjual sesuatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli, dan pembeli membayarnya dengan harga
lebih sebagai laba. Sedangkan dalam PSAK 59 tentang akuntansi perbankan syari’ah
dijelaskan bahwa murâbahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
Dari berbagai pengertian murâbahah yang telah diungkapkan di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pengertian murâbahah dapat dilihat dari dua sudut pandang
fiqih, murâbahah merupakan akad jual beli atas barang tertentu di mana penjual
15 Wiroso, Jual Beli Murabahah, (Yogyakarta: UII Pers, 2005), h. 13-14.
menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli kemudian penjual mensyaratkan
atasnya laba atau keuntungan dalam jumlah tertentu. Adapun dari sudut pandang teknis
perbankan, murâbahah merupakan akad penyediaan barang berdasarkan akad jual beli
di mana bank memberikan keuntungan investasi nasabah, dan menjual kembali kepada
nasabah, ditambah dengan keuntungan yang disepakati.16
1. Landasan Hukum Murâbahah
a. Al-Qur’an
��������� �� ������
��������� �� ������� !�"#
$�%"&'��(��) *�+,�./
01�2+(&��3/ 4�35 6�) �7��%"#
8,9:��� ;� <=�9"# >$�%?�@� A ���� ������C(5"# >$�%DE�FG�) A
H635 ���� 6�⌧J >$�%3/ �K☺M�N�O
PQR0
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”(QS. An-Nisa:29).
Ayat ini menjelaskan secara tegas bagi semua muslim yang beriman kepada
Tuhannya untuk selalu memperhatikan makanan yang mereka peroleh agar
terhindar dari laknat Allah SWT yaitu jalan yang haram dalam memperoleh
makanan tersebut. Selanjutnya Allah SWT memberikan solusi melalui perniagaan
atau jual beli yang dipraktekkan atas dasar keridhoan di antara kedua belah pihak
atau lebih.
16 Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor BS, ( Jakarta : 1999), h. 33.
�� ������ 6���� !��
��A�/ST9&�� �� 6�����5� U�35
��☺⌧J �V��5� W������
N�2X+�YC� ;"2([\]&�� ^;��
6`�☺(&�� A �a�&'"b >$��G��3/
�����&�"� ��☺�G35 c([a(&��
�1d�� ��A�/ST9&�� % H1�N�)��
e��� �c([a(&�� V`9�N��
��A�/ST9&�� A ;�☺"! fg�����;
:"���>�� ;�@� i�N3g/`O
AO��CG��"! f�)"�"! �� ��g��j
Ffg�9(��)�� kg<35 l��� � m���
�M�� �ao�"&��p�"! 2��"qr�)
O�H?&�� � >$�s �:tu�!
�7���3��^ PQv30
Artinya: “Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila, keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, pedahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti(dari
mengmbil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan ); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya” (QS Al Baqarah:275).
b. Hadits
� ا�� ���� ا���ري ر�� ا� ��� ر��ل ا� � � ا� �" روا+ ا�!�*((� �� و� & %"ل ان#" ا�!� �� ��اض �� وا�
� ) ���ن,� و�� ا�
Artinya: ”Dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka” (HR. al-Baihaqi dan
Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)
Abdullah Saeed mengatakan bahwa Al-Quran tidak pernah secara langsung
membicarakan tentang murâbahah, meski di sana terdapat sejumlah acuan tentang
jual beli, laba rugi dan perdagangan. Demikian pula tidak ada hadits yang menjadi
rujukan langsung kepada murâbahah. Mengingat tidak adanya rujukan baik dalam
Al-Quran maupun hadits shahih yang diterima umum, para fuqaha harus
membenarkan murâbahah dengan dasar yang lain.17
2. Syarat-Syarat Murâbahah
Murâbahahpada dasarnya merupakan sebuah akad jual beli di mana terjadi
pertukaran barang dengan barang lain berdasarkan kesepakatan, sebagaimana
halnya jual beli, maka murâbahah juga harus memenuhi rukun dan syarat yang
umum dalam jual beli yaitu:
a. Sighat;
b. ‘Aqidain;
c. Ma’qud alaih (harga barang dan barang yang di perjual belikan)
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli di atas meliputi:
a. Syarat yang terkait dengan ijab qabul
Ulama fiqih mengemukaan bahwa syarat ijab qabul sebagai berikut:
17 As-Son’ani, Subulu As-Salam, (Bandung: Dahlan Press), Juz 3, hal. 76.
1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal menurut jumhur
ulama, dan berakal menurut ulama hanafiah.
2) Qabul sesuai dengan ijabnya.
3) Ijab dan Qabul dilakukan dalam satu majlis.18
b. Syarat orang yang berakad
Para ulama fiqih sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli harus
memenuhi syarat baligh dan berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan
oleh anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz, menurut ulama Hanafiah, hukumnya
sah jika akad yang dilakukan membawa keuntungan bagi anak kecil tersebut,
dan tidak sah jika membawa kerugian.19
c. Syarat harga barang (al- Tsaman) dan barang yang diperjual-belikan
Para ulama membedakan al-tsaman dengan al-Si’ir. Menurut mereka as-
Tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara
aktual, sedangkan al-Si’ir adalah modal barang yang seharusnya diterima para
pedagang sebelum dijual kepada konsumen.20
Para ulama fiqih mengemukakan syarat al-Tsaman sebagai berikut:
Harga yang di sepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlah dan jenisnya.
18 Harun Nasrun, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 116.
19 Ibid,. h. 117.
20 Ibid,. h. 118.
Sedangkan syarat barang yang diperjual belikan, boleh diserahkan pada saat
akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi
berlangsung.21
Adapun syarat-syarat murâbahah menurut Syafi’i Antonio adalah sebagai
berikut: 22
a. Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah.
b. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang telah di tetapkan.
c. Kontrak harus bebas dari riba.
d. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah
pembelian.
e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,
misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
Secara prinsip, jika syarat dalam (A), (B) atau (C) tidak dipenuhi, pembeli
memiliki pilihan:
1) Melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
2) Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidak-setujuan atas barang yang
dijual.
3) Membatalkan kontrak.
21 Ibid,. h.118.
22 Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press,
2004), cet.1, h.102
3. Ketentuan Umum Murâbahah
Jual beli dengan sistem murâbahah merupakan jual beli yang berprinsip
kejujuran (transparan) dan kepercayaan (amanah). Kejujuran penjual menjadi hal
penting dalam murâbahah, mengingat keadaan pembeli yang tidak memiliki
pengetahuan tentang harga beli yang pertama dan biaya-biaya yang dikeluarkan
(ditambahkan) penjual ke atas barang. Pembeli diharapkan percaya terhadap segala
pemberian yang datang dari penjual dan penjual diharapkan pula dapat menjaga
kepercayaan tersebut. Untuk itu, ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam
transaksi murâbahah yang meliputi hal- hal berikut:
a. Jual beli murâbahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak
kepemilikan telah berada di tangan penjual. Artinya, bahwa keuntungan dan
resiko barang tersebut ada pada penjual sebagai konsekuensi dari kepemilikan
yang timbul dari akad yang sah, walaupun ia belum menerimanya, ketentuan ini
sesuai dengan kaidah bahwa keuntungan itu terkait dengan resiko ”al-ghurmu
bil ghurmi”, pihak yang menanggung risiko dapat mengambil keuntungan.
b. Harus ada informasi modal dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam
jual beli pada suatu komoditi, semuanya harus diketahui oleh pembeli saat
transaksi, dan ini merupakan salah satu syarat sah murâbahah.
c. Harus ada informasi keuangan baik nominal maupun persentase sehingga jelas
diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murâbahah.
d. Dalam sistem murâbahah penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli
untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang. Tetapi, lebih baik
syarat tersebut tidak ditetapkan, karena pengawasan barang merupakan
kewajiban penjual di samping menjaga kepercayaan sebaik-baiknya.23
Selain hal tersebut, ada beberapa kaidah dan hal-hal yang berhubungan
dengan murâbahah, antara lain:24
a. Digunakan untuk barang-barang yang halal.
b. Biaya aktual dari barang yang akan diperjual-belikan harus diketahui oleh para
pembeli.
c. Ada kesepakatan antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli) atas harga jual
yang termasuk harga pokok penjualan (cost of goods sold) dan margin
keuntungan.
d. Jika ada perselisihan atas harga pokok penjualan, pembeli mempunyai hak
untuk menghentikan dan membatalkan perjanjian.
e. Jika barang yang akan dijual dibeli dari pihak ketiga, maka perjanjian jual beli
dengan pihak pertama harus sah menurut syari’ah Islam.
f. Murâbahah memegang kedudukan kunci nomor dua setelah prinsip bagi hasil
dalam bank Islam, ia dapat diterapkan dalam:
1) Pembiayaan pengadaan barang.
2) Pembiayaan pengeluaran untuk letter of credit (L/C). L/C di Bank Mega
Syariah pada saat ini yang ada adalah SKBDN (Surat Kredit Berdokumen
23 Euis Amalia, dkk, Prinsip-Prinsip Hukum Islam, (Fiqih) Dalam Transaksi Ekonomi Islam Pada
Perbankan Syariah “Summary Report”, UIN dan Direktorat Hukum BI 2003, h. 47.
24 Muhammad, System Dan Prosedur Operasional Bank Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000) Cet.
Pertama, h. 24.
Dalam Negeri). Untuk L/C Impor dan sebagainya sebentar lagi di launching,
karena berdasarkan Keputusan Deputi Gubernur BI
No.10/12KEP.DpG/2008 tanggal 16 Oktober 2008 tentang: Penunjukan PT.
Bank Syariah Mega Indonesia sebagai Bank Devisa - Bank Mega Syariah
sudah diijinkan untuk menjalankan kegiatan usaha bank devisa.
g. Murâbahah akan sangat berguna bagi seseorang yang membutuhkan barang
secara mendesak, bila ia kekurangan dana ia meminjam kepada bank agar
pembiayaan pembelian barang tersebut dipenuhi.
Harga jual pesanan adalah harga beli pokok plus margin keuntungan yang
telah disepakati. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan di antara kedua belah
pihak, mereka harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama:
1) Bank harus mendatangkan barang yang benar-benar memenuhi pesanan
nasabah baik jenis, kualitas, atau sifat-sifat yang lainnya.
2) Apabila barang telah memenuhi ketentuan yang diinginkan nasabah dan ia
menolak untuk menebusnya maka bank berhak menuntutnya secara hukum,
hal ini merupakan konsensus para yuridis muslim karena pesanan telah
dianalogikan dengan dzimmah (hutang) yang harus ditunaikan.
4. Jenis-Jenis Murâbahah
Dalam hal ini murâbahah terbagi menjadi :
a. Murâbahah tanpa berdasarkan pesanan.
b. Murâbahah berdasarkan pesanan, terbagi menjadi dua sifat:
1) Bersifat mengikat.
2) Bersifat tidak mengikat.
Murâbahah yang berdasarkan tanpa pesanan dilakukan langsung oleh
penjual dan pembeli tanpa melalui pesanan25. Jadi dalam murâbahah tanpa pesanan
ini barang sudah ada di tangan penjual tanpa perlu memesan kepada pihak ketiga.
Sedangkan dalam murâbahah berdasarkan pesanan adalah bank membeli
barang setelah ada pesanan dari nasabah. Dalam kasus jual beli seseorang ingin
membeli barang yang sesuai dengan spesifikasinya, kemudian menjualnya kepada
pemesan, contoh:
Fulan ingin membeli mobil dengan perlengkapan tertentu yang harus dicari,
dibeli, dan dipasang pada mobil pesanannya oleh dealer mobil. Transaksi
murâbahah melalui pesanan ini adalah sah dalam fiqih Islam, sesuai apa yang
dikatakan oleh Imam Muhamad Ibnul-Hasan Asy-Syaibani, Imam Syafi’i dan Imam
Ja’far Ash-shidiqi26, yaitu: Murâbahah berdasarkan pesanan, penjual boleh
meminta pembayaran hamisy ghadiyâh, yaitu uang tanda jadi ketika ijab-qabul, hal
ini sekedar untuk menunjukkan bukti keseriusan pembeli, bila kemudian penjual
telah membeli dan memasang berbagai perlengkapan di mobil pesanannya, hamisy
ghadiyâh ini dapat digunakan untuk menutup kerugian dealer mobil. Bila hamisy
ghadiyâhnya lebih kecil dibanding jumlah kerusakan yang harus ditanggung oleh
25 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2001),
Cet. Pertama, h. 87.
26 Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisa Fiqih Dan Keuangan
penjual, maka penjual dapat meminta kekurangannya, sebaliknya bila lebih pembeli
berhak atas kelebihan tersebut.27
Penawaran untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi ini dilakukan
karena pada saat transaksi awal, penjual tidak memiliki barang yang akan dijual.
Namun di sisi lain, beberapa ulama syari’ah modern menunjukan bahwa konteks
jual beli murâbahah jenis ini di mana “belum ada barang” berbeda dengan “menjual
tanpa kepemilikan barang”28.
5. Ketentuan Umum Aplikasi Murâbahah
Aplikasi murâbahah di perbankan syari’ah relatif sama, baik dari segi akad,
proses, mekanisme dan lain-lain. Berikut adalah aplikasi murâbahah di BSMI:
a. Jaminan
Pada dasarnya, jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi
dalam ba’i al-murâbahah. Demikian juga dalam murâbahah KPP, jaminan
dimaksudkan untuk menjaga agar pemesan tidak main-main dengan pesanan.
Pembeli (penyedia pembiayaan atau kreditur) dapat meminta pemesan
(pemohon atau debitur) suatu jaminan (rahn) untuk dipegang. Dalam teknis
27 Ibid., h. 150.
28 Ibid,. hal. 104.
operasionalnya barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan
yang dapat diterima untuk pembayaran hutang.29
b. Hutang dalam murâbahah KPP
Secara prinsip, penyelesaian hutang pemesan dalam transaksi murâbahah KPP
tidak ada kaitanya dengan transaksi lain yang dilakukan pemesan kepada pihak
ketiga atas barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian. Ia tetap
berkewajiban menyelesaikan hutangnya kepada pembeli, jika pemesan menjual
barang tersebut sebelum masa angsuran selesai namun penjualan asset tersebut
merugi, pemesan tetap harus menyelesaikan pinjamannya sesuai kesepakatan
awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta
kerugian yang diperhitungkan.
c. Penundaan pembayaran oleh debitur mampu
Nasabah yang mempunyai kemampuan ekonomis dilarang menunda
penyelesaian hutangnya dalam murâbahah. Bila seorang pemesan menunda
penyelesaian hutang tersebut, pembeli dapat mengambil tindakan sebagai
berikut:
1) Mengambil prosedur hukum pidana yang diperlukan terhadap pemesan yang
membuat cek kosong atau pemegang jaminan untuk jumlah hutang itu.
2) Mengambil prosedur perdata untuk mendapatkan kembali hutang itu dan
mengklaim kerusakan financial yang terjadi akibat penundaan.30
29 Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama Dan Cendikiawan
30 Ibid, h. 126.
d. Bangkrut
Jika pemesan yang berhutang dianggap pailit dan gagal menyelesaikan
hutangnya, kreditur harus menunda tagihan hutang sampai ia sanggup kembali.
6. Manfaat dan Resiko Murâbahah
Sesuai dengan sifat bisnis, transaksi murâbahah memiliki beberapa fungsi dan
manfaat, demikian juga risiko yang harus diantisipasi.
Murâbahah memberi banyak manfaat kepada bank syari’ah, salah satunya adanya
keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual
kepada nasabah, selain itu, sistem murâbahah juga sangat sederhana, hal ini
memudahkan penanganan administrasi di bank syari’ah.
Selain itu, bank syari’ah juga dapat menggunakan prinsip murâbahah untuk
pembukaan letter of credit (L/C)31. Dalam hal ini, bank memberikan fasilitas
kepada nasabah untuk membuka L/C dan membelikan barang yang diperlukan.
Dalam pembelian barang tersebut, nasabah tidak wajib menyediakan dana sehingga
seluruh dana dibiayai terlebih dahulu oleh bank, nasabah berjanji akan membeli
barang tersebut dengan harga sebesar harga pokok ditambah keuntungan sesuai
dengan kesepakatan bersama, di samping itu bank juga dapat memungut fee atau
komisi atas penyediaan fasilitas pembukaan L/C tersebut.
Diantara kemungkinan risiko yang harus diantisipasi adalah:
31 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keungan, (Jakarta: LPFEUI, 1999), edisi ke-2.
a. Default atau kelalaian, yaitu nasabah sengaja tidak membayar angsuran.
b. Fluktuasi harga komparatif, ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik
setelah bank membelikannya untuk nasabah, sedangkan bank tidak bisa
mengubah harga jual beli tersebut.
c. Penolakan nasabah, yaitu barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah
karena berbagai sebab, misalnya karena rusak dalam perjalanan. Oleh karena
itu, bank sebaiknya menggunakan asuransi untuk melindungi barang tersebut.
Kemungkinan lain, nasabah merasa bahwa spesifikasi barang tersebut berbeda
dengan yang ia pesan.
d. Dijual, karena murâbahah bersifat jual beli dengan hutang, maka ketika kontrak
ditandatangani, barang menjadi milik nasabah, maka nasabah bebas melakukan
apapun terhadap asset yang dimilikinya, termasuk untuk menjualnya. Jika
demikian, resiko untuk default menjadi besar.32
C. Denda Murâbahah
Lembaga keuangan syari’ah mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam
beberapa tahun terakhir ini, hal ini turut dirasakan oleh semua lapisan masyarakat
dengan memanfaatkan produk dan jasa perbankan syari’ah baik dengan cara menabung
maupun manfaat pembiayaan dari lembaga keuangan syari’ah untuk kegiatan usaha dan
lainnya.
32 Ibid., h. 127-128.
Pembiayaan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat adalah pembiayaan
dengan prinsip jual beli yang pembayarannya dapat dilakukan dengan pola angsuran.
Menurut data dari bank Indonesia sampai dengan akhir tahun 2004, total pembiayaan
yang diberikan oleh lembaga keuangan syari’ah kepada nasabah adalah sebesar Rp 10,9
triliun.
Hal ini banyak menimbulkan permasalahan dalam hal pembayaran. Salah satu
permasalahan tersebut adalah jika terdapat nasabah mampu membayar, tetapi mereka
menunda-nunda pembayaran dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan secara syar’i.
Oleh karena itu, harus ada aturan dan mekanisme yang jelas untuk mengatasi masalah
tersebut sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Yang dimaksud dengan mekanisme ini adalah fatwa, yaitu ketentuan yang harus
dipakai oleh lembaga keuangan syari’ah dalam menghadapi nasabah penerima
pembiayaan yang menunda-nunda pembayaran kewajibannya, tanpa ada alasan yang
dibenarkan oleh syar’i, sanksi yang boleh diberlakukan adalah sanksi berupa ta’zir
(pendendaan), untuk mendisiplinkan nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya.
Fatwa DSN memperbolehkan adanya Ta’widh (ganti rugi), berdasarkan No. 17
tahun 2000, oleh karena itu dasar hukum yang digunakan dalam fatwa ini meliputi dalil-
dalil yang berhubungan dengan ketentuan syari’ah tentang ta’widh secara umum.
Adapun dalil yang dikemukakan adalah:
�� ������ ��������� ����������
����!��) �M��5��(&��3/ A
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…”
(Qs. Al-Maidah (5):1)
Ayat ini memerintahkan untuk memenuhi akad-akad yang telah dibuat. Ketika
para kedua belah pihak dalam transaksi telah membuat kesepakatan (akad) maka
konsekuensinya adalah mereka harus memenuhi semua kesepakatan tersebut33.
Berdasarkan penjelasan ayat tersebut, dapat diterapkan bahwa ganti rugi boleh
dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam transaksi di lembaga keuangan syari’ah
dengan beberapa ketentuan. Ta’widh (ganti rugi) hanya boleh dikenakan atas pihak
yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari
ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain. Dalam ganti rugi terdapat
beberapa ketentuan:
1. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh adalah kerugian real yang dapat
diperhitungkan dengan jelas yaitu kerugian yang terjadi secara real akibat
penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan
pembayaran tersebut, seperti biaya-biaya real yang dikeluarkan dalam rangka
penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
2. Besar ganti rugi juga harus sesuai dengan nilai kerugian real, bukan kerugian yang
diperkirakan terjadi (potential loss). Hal ini disebabkan karena obyek ganti rugi
adalah harta konkrit yang ada dan berharga (diizinkan syari’ah untuk
memanfaatkannya).
3. Ganti rugi yang boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan hutang-
piutang (dain).
33 Ibid, h. 829.
Nasabah yang mempunyai kemampuan ekonomis dilarang menunda
penyelesaian hutangnya dalam murâbahah. Bila seorang pemesan menunda
penyelesaian hutang tersebut, pembeli dapat mengambil tindakan sebagai berikut:
1) Mengambil prosedur hukum pidana yang diperlukan terhadap pemesan yang
membuat cek kosong atau pemegang jaminan untuk jumlah hutang itu.
2) Mengambil prosedur perdata untuk mendapatkan kembali hutang itu dan
mengklaim kerusakan financial yang terjadi akibat penundaan.34
Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan lembaga
keuangan syari’ah kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda
pembayaran dengan disengaja. Nasabah yang tidak atau belum mampu membayar
disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi. Adapun nasabah mampu yang
menunda-nunda pembayaran dan atau tidak mempunyai kemauan serta itikad baik
untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi. Sanksi dikenakan pada prinsip
ta’zir yang bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
Adapun sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar
kesepakatan dan dibuat saat akad ditanda-tangani.
Lembaga keuangan syari’ah beroperasi berdasarkan prinsip syari’ah, untuk
menghindari praktek riba atau praktek yang menjurus kepada riba, termasuk masalah
denda financial yang biasa dilakukan oleh lembaga keuangan konvensional. Para pihak
yang melakukan transaksi dalam lembaga keuangan syari’ah terkadang mengalami
34 Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Wacana Ulama Dan Cendikiawan, Jakarta, Tazkia
Institute, 1999, h 126.
resiko kerugian akibat wanprestasi atau kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran
oleh pihak lain yang melanggar perjanjian.
Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (Juz: IV hlm, 342), bahwa
penundaan pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian (darar) dan karenanya
harus dihindari, ia menyatakaan:
“Jika orang berhutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan, atau jika pihak
berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur (melakukan perjanjian), perlu kita
perhatikan sebagai berikut, apabila jatuh tempo hutang ternyata sebelum masa
kedatangannya dari perjalanan, misalnya perjalanan untuk berhaji di mana debitur
masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo hutang pada bulan muharram atau
dzulhijjah. Maka kreditur boleh melarangnya melakukan perjalanan tersebut, karena ia
(kreditur) akan menderita, akibat keterlambatan memperoleh haknya pada saat jatuh
tempo, akan tetapi apabila debitur menunjuk penjamin atau menyerahkan jaminan
(gadai) yang cukup untuk membayar hutangnya pada saat jatuh tempo, maka ia boleh
melakukan perjalanan tersebut, karena dengan demikian kerugian kreditur dapat
dihindari.
Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang daman atau ta’widh antara lain
sebagai berikut:
1. Pendapat Wahbah al-Zuhaili, Nazariyah al-Dhaman. Damsyiq: Dar al-Fikr,
1998.“Ta’widh” (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat
pelanggaran atau kekeliruan”
Ketentuan umum yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa:
a. Menutup kerugian dalam bentuk benda, (darar, bahaya), seperti memperbaiki
dinding.
b. Memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula selama
dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh
kembali. Apabila hal ini sulit dilakukan, maka wajib menggantinya dengan
benda yang sama (sejenis) atau dengan uang.
c. Hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di masa yang
akan datang atau kerugian immaterial, maka menurut ketentuan hukum fiqih hal
tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti
rugi adalah harta yang ada dan nyata serta berharga (diizinkan syarat untuk
dimanfaatkannya).
2. Pendapat ‘Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li. Mafahim Asasiyah fi al-Bunuk al-
Islamiyah, al-Qahirah: al-Ma’had al-‘Alami Li, al-Fikr al-Islami 1996.
“Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada
kerugian yang terjadi secara real akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu
merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut”.
3. Pendapat ulama yang membolehkan ta’widh sebagaimana dikutip oleh Isham Anas
al-Zaftawi, hukum al-Gharamah al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islami, al-Qahirah: al-
Ma’had al-Alami li al-Fikr al-Islami, 1997.
“Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syari’ah dan kerugian itu tidak
akan hilang kecuali jika diganti. Sedangkan penjatuhan sanksi atas debitur mampu
yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan manfaat bagi kreditur
yang dirugikan, penundaan pembayaran hak sama dengan ghasab karena itu
seyogyanya status hukumnya juga sama, yaitu pelaku ghasab bertanggung-jawab
atas manfaat benda yang dighasab selama masa ghasab, menurut mayoritas ulama,
di samping harus menanggung harga (nilai) barang tersebut jika rusak”.
Adapun Ketetapan MUI :
1. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau
karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan
menimbulkan kerugian pada pihak lain.
2. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
adalah kerugian real yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
3. Kerugian real sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya real yang
dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
4. Besar ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian real (real loss)
yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang
diperkirakan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang
(opportunity loss atau al-furshah al-dâi’ah).
5. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi akad yang
menimbulkan hutang-piutang (dain), seperti salam, istishna, serta murâbahah
dan ijârah.
6. Dalam akad mudârabah dan musyârakah ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh
shâhibul mal atau salah satu pihak dalam musyârakah, apabila bagian
keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
BAB III
GAMBARAN UMUM PT BANK SYARIAH MEGA INDONESIA
A. Gambaran Umum Perusahaan
1. Sejarah Berdirinya PT. Bank Syari’ah Mega Indonesia
PT. Bank Syari’ah Mega Indonesia bermula dari sebuah bank umum
bernama PT. Bank Umum Tugu yang berkedudukan di Jakarta. Pada tahun 2001,
para Group (PT. Para Global Investindo dan PT. Para Rekan Investama), kelompok
usaha yang juga menaungi PT Bank Mega, Tbk. Trans TV, dan beberapa
Perusahaan lainnya, mengakuisisi PT Bank Umum Tugu untuk dikembangkan
menjadi bank syari’ah. Sebagai konversi tersebut, pada tanggal 25 Agustus 2004
PT. Bank Umum Tugu resmi beroperasi syari’ah dengan nama PT. Bank Syari’ah
Mega Indonesia.
Komitmen penuh PT Para Global Investindo sebagai pemilik saham
mayoritas untuk menjadikan PT Bank Syariah Mega Indonesia sebagai bank
syari’ah terbaik, diwujudkan dengan mengembangkan bank ini melalui pemberian
modal yang kuat demi kemajuan perbankan syari’ah dan perkembangan ekonomi
Indonesia pada umumnya. Penambahan modal dari pemegang saham merupakan
landasan utama untuk memenuhi tuntutan pasar perbankan yang semakin meningkat
dan kompetitif. Dengan upaya tersebut, PT. Bank Syari’ah Mega Indonesia yang
memiliki semboyan "untuk kita semua", tumbuh pesat dan terkendali serta menjadi
lembaga keuangan syari’ah ternama yang berhasil memperoleh berbagai
penghargaan dan prestasi.
Dalam upaya mewujudkan kinerja sesuai dengan nama yang disandangnya,
PT Bank Syari’ah Mega Indonesia selalu berpegang pada azas profesionalisme,
keterbukaan dan kehati-hatian. Didukung oleh beragam produk dan fasilitas
perbankan terkini, PT Bank Syari’ah Mega Indonesia terus berkembang, hingga saat
ini memiliki 15 jaringan kerja yang terdiri dari kantor cabang, cabang pembantu dan
kantor kas yang tersebar di hampir seluruh kota besar di pulau jawa dan di luar
jawa.
Guna memudahkan nasabah dalam memenuhi kebutuhannya di bidang
keuangan, PT Bank Syari’ah Mega Indonesia juga bekerjasama dengan PT
Arthajasa Pembayaran Elektronis sebagai penyelenggara ATM Bersama serta PT
Rintis Sejahtera sebagai penyelenggara ATM Prima dan Prima Debit. Ini dilakukan
agar nasabah dapat melakukan berbagai transaksi perbankan dengan lebih efisien,
praktis, dan nyaman.
2. Struktur Organisasi PT Bank Syari’ah Mega Indonesia
3. Visi dan Misi PT Bank Syari’ah Mega Indonesia
a. VISI
Bank Syari’ah Kebanggaan Bangsa
b. MISI
Memberikan jasa layanan keuangan syari’ah terbaik bagi semua kalangan, melalui kinerja organisasi yang
unggul, untuk meningkatkan nilai tambah bagi stakeholder dalam mewujudkan kesejahteraan bangsa.
c. NILAI - NILAI
Visioner
Dewan Komisaris
Mar’ie Muhammad
Komisaris Utama
Dudi Hendrakusuma Syahlani
Komisaris
Ari Prabowo
Komisaris
Dewan Direksi
Mar’ie Muhammad
Komisaris Utama
Ani Murdiati
Direktur Bisnis
Beny Witjaksono
Direktur Utama
Haryanto Budi Purnomo
Direktur Compliance
HCM
DPS
Amanah
Profesional
Konsisten
Enterpreneurship
Teamwork berbagi
d. PENGHARGAAN
1) Bank Syariah Terbaik 2007 Versi Majalah Investor.
2) Bank non devisa terefisien 2007 Versi Bisnis Indonesia.
3) The Most Growing Earning Asset Market Share Sharia Bank 2006 Versi
Karim Business Consulting.
4) The Most Growing Third Party Fund Market Share Sharia Bank 2006 Versi
Karim Business Consulting.
5) Bank Umum Syari’ah terbaik Peringkat 2 tahun 2006 versi karim Business
Consulting.
6) Bank Mega Syari’ah meraih predikat "sangat bagus" untuk kinerja tahun
2004 versi Majalah Infobank.
4. Produk Produk PT. Bank Syari’ah Mega Indonesia
a. Produk Pendanaan
1) Mega Syari’ah Tama (Leluasa dan Sesuai Syariah)
Mega Syariah Tama, leluasa dan sesuai syariah adalah simpanan wadiah yang memungkinkan
investasi sesuai syari’ah sekaligus memperoleh kemudahan mengelola dana selayaknya tabungan.
2) Mega Syari’ah Fleksi (Simpanan Fleksibel Sesuai Syariah)
Mega Syari’ah Fleksi, simpanan fleksibel sesuai syariah adalah
simpanan dengan konsep syariah titipan (wadiah) yang dapat di manfaatkan
untuk berinvestasi dalam waktu yang lebih leluasa.
Mega Syariah Fleksi memungkinkan untuk:
a) Menempatkan dana sesuai syariah dalam jangka waktu sesuai kebutuhan
(sekurang - kurangnya 1 minggu).
b) Mendapatkan keleluasaan untuk menarik dana sewaktu-waktu.
3) Mega Syari’ah Pendidikan (Perencanaan Dana Pendidikan Sesuai Syari’ah
Mega Syari’ah Pendidikan, perencanaan dana pendidikan sesuai
syari’ah, untuk merencanakan dan mewujudkan masa depan bagi anak sejak
dini, dengan berbagai keunggulan, diantaranya:
a) Jumlah angsuran disesuaikan dengan kemampuan.
b) Dilindungi asuransi jiwa yang akan memberikan manfaat untuk:
(1) Perlindungan rawat inap (dalam/luar negeri).
(2) Perlindungan kecelakaan.
(3) Setoran dana lanjutan sampai dengan Rp 500.000.000,-
c) Gratis Premi
Fleksibel & Mudah
a) Angsuran bulanan mulai Rp 100.000,-.
b) Usia 17 - 50 tahun.
c) Jangka waktu perencanaan 1-18 tahun (usia penabung 65 tahun pada
akhir masa investasi)
4) Mega Syari’ah Umrah
Mega Syari’ah Umrah, untuk memudahkan mempersiapkan biaya
perjalanan umrah dengan simpanan terencana sesuai syari’ah, Bank Mega
Syari’ah. Dengan fasilitas ini persiapan biaya umrah akan lebih pasti karena
dapat diangsur setiap bulannya.
Fasilitas & Manfaat
a) Perjalanan umrah eksklusif untuk nasabah Bank Mega Syari’ah.
b) Fasilitas konsultasi ibadah umrah serta konsultasi perencanaan dananya.
c) Bebas memilih masa menabung mulai dari 6 bulan, 12 bulan, 24 bulan
atau 36 bulan.
d) Bebas menentukan jumlah yang akan ditabung setiap bulannya.
e) Jadwal umrah yang menarik.
f) Akomodasi terbaik selama perjalanan.
g) Nisbah yang menarik selama menabung.
h) Simpanan dilindungi asuransi selama masa menabung.
i) Terlindungi asuransi selama perjalanan umrah, termasuk baggage loss.
j) Paket souvenir yang menarik.
5) Mega Syari’ah Giro (Rekening Koran Wadiah)
Mega Syari’ah Giro, adalah rekening koran wadiah yang
memungkinkan mengelola dana sesuai kebutuhan.
Mega Syariah Giro memberikan kemudahan berupa:
a) Cek dan bilyet giro sebagai alat transaksi pembayaran.
b) Kemudahan menjadikannya jaminan bagi kebutuhan pembiayaan yang
diajukan.
c) Kemudahan mendapatkan fasilitas bank garansi untuk keperluan usaha.
6) Mega Syari’ah Depo (Deposito Sesuai Syari’ah)
Mega Syari’ah Depo, simpanan berjangka murabahah yang bukan
hanya memberikan nisbah bagi hasil yang relatif tinggi, tetapi juga dapat
dijadikan fasilitas jaminan untuk kebutuhan pembiayaan.
b. Produk Pembiayaan
1) Syari’ah Mega Oto (Pembiayaan Kepemilikan Mobil Sesuai Syariah)
Mega Syari’ah Oto adalah fasilitas pembiayaan kepemilikan kendaraan
dengan konsep secara syari’ah jual beli (murabarah) yang dapat diangsur
dengan jumlah yang tetap setiap bulannya, dalam jangka waktu yang
disepakati.
Mega Syari’ah Oto memberikan kemudahan berupa:
a) Proses persetujuan pembiayaan yang mudah dan relatif cepat
b) Angsuran perbulan sesuai kemampuan nilai pembiayaan Rp 25.0000.000
(dua puluh lima juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000 (lima ratus
juta rupiah).
c) Masa angsuran pelunasan hingga 5 tahun baik mobil baru maupun bekas
pakai.
Mobil bekas pakai maksimum 5 tahun dengan syarat:
a) Usia mobil bekas sampai dengan jangka waktu kredit jatuh tempo 8
tahun
b) Pada saat pembiayaan diajukan usia mobil tidak lebih dari 5 tahun
2) Syari’ah Mega Griya (Pembiayaan Kepemilikan Rumah Sesuai Syari’ah)
Mega Syari’ah Griya adalah fasilitas pembiayaan pemilikan rumah, apartemen ataupun renovasi
dan pembangunan rumah dengan konsep syari’ah jual beli (murâbahah) dengan angsuran tetap selama
jangka waktu yang disepakati.
3) Syari’ah Mega Multi
Syari’ah Mega Multi adalah fasilitas pembiyaan untuk keperluan barang konsumtif yang
merupakan barang halal dengan konsep syari’ah jual beli (murâbahah) dengan angsuran tetap selama jangka
waktu yang disepakati.
4) Syari’ah Mega Invest
Mega Syari’ah Invest adalah fasilitas pembiayaan kepada pengusaha atau perusahaan untuk
keperluan pengadaan barang investasi dengan konsep syari’ah jual beli atau bagi hasil dengan kemudahan
proses dan persyaratannya.
5) Syari’ah Mega Capital
Mega Syari’ah Capital adalah fasilitas pembiayaan kepada pengusaha atau perusahaan umtuk
tujuan modal kerja usaha, dimana pemberian modal biaya tersebut dapat secara penuh atau sharing dana
berdasarkan sistem bagi hasil.
6) Syari’ah Mega Garansi
Mega Syariah Garansi adalah fasilitas penjaminan tertulis yang diberikan Bank Mega Syari’ah
kepada penerima jaminan untuk keperluan nasabah dalam melaksanakan proyek tertentu.
7) Syari’ah Mega Emas (Fasilitas Gadai Sesuai Syari’ah)
Mega Syari’ah Emas adalah fasilitas pinjaman dana yang sesuai prinsip syari’ah dengan
menggandakan barang berharga berupa perhiasan emas, emas batangan dan koin emas, tanpa dikenakan
bunga atau margin.
c. Jasa dan Layanan
1) Syari’ah Mega Card
Mega Syari’ah Card merupakan fasilitas kartu ATM serbaguna bagi nasabah rekening tabungan
Bank Mega Syari’ah yang dapat digunakan untuk penarikan tunai pada seluruh AMT berlogo ATM
Bersama.
2) Syari’ah Mega Safe Deposit Box
Mega Syari’ah Safe Deposit Box adalah fasilitas penyimpanan barang berharga (safe deposit box)
dengan berbagai ukuran dan harga hemat.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Denda Berjalan Di Bank Syari’ah Mega Indonesia
��� د��� ا� �� �� ا���� �� ت ا� ب�� ا� ان ل ��� ��
Pada dasarnya semua bentuk mu’amalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya35
. Pemberian sanksi kepada nasabah penerima pembiayaan yang
menunda-nunda pembayaran merupakan salah satu bentuk aktivitas mu’amalah yang
tidak ada dalil yang melarangnya, sehingga aktivitas ini boleh dilakukan berdasarkan
kaidah fiqih yang berbunyi:
*�( ا��)��'درء ا��$� # �"م ��
Artinya: Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan daripada
membuat atau mendatangkan kemaslahatan.36
Kaidah fiqih lain menyatakan al-Daroru yuzâlu, yaitu, bahaya (beban berat)
harus dihilangkan. Kaidah fiqih ini memberikan makna kewaspadaan secara implisit,
sehingga kerusakan dapat diminimalisir dengan kehati-hatian. Perbankan syari’ah,
khususnya Bank Syar’ah Mega Indonesia (BSMI), menerapkan prinsip-psinsip syari’ah
menurut kaidah di atas.
35 Abdul Hakim, Mabaadiu Awwaliyah, Jakarta, Saadiyah Putra, 1927, h.17.
36 Ibid. h. 35.
Dalam menangani nasabah murâbahah yang lalai akan kewajibannya, BSMI
memberikan sanksi denda sebagai bentuk mekanisme perbankan untuk mewaspadai
kerugian pada pihak perbankan. Apabila penundaan pembayaran tersebut terjadi, dapat
menyebabkan penurunan kolektibilitas, sehingga pencadangan penghapusan aktiva
produktif akan meningkat. Hal ini dapat mengurangi perhitungan keuntungan bagi
lembaga keuangan syari’ah. Oleh karenanya, tepat sekali jika lembaga keuangan
syari’ah memberlakukan sanksi bagi nasabah mampu yang menunda-nunda
pembayaran, karena dapat memberikan mudârat bagi semua pihak.
Seorang nasabah yang memiliki kemampuan, tidak dibenarkan menunda
penyelesaian hutangnya. Bila seorang nasabah menunda penyelesaian hutang tersebut,
bank dapat mengambil tindakan melalui prosedur hukum untuk mendapatkan kembali
hutangnya, atau dengan cara mengklaim kerugian financial yang terjadi akibat
penundaan.
Rasulullah pernah mengingatkan penghutang yang mampu, tetapi mereka lalai,
dalam salah satu haditsnya:
�/+ و "-ب,+ � �� )رىا7 ا���6رو(�4 ا�1 �23�0
Yang melalaikan pembayaran hutang (padahal ia mampu), maka dapat
dikenakan sanksi dan dicemarkan nama baiknya. (H. R. al-Bukhari)
Ada beberapa ketentuan, mengenai ganti rugi di antaranya:
4. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh adalah kerugian real yang dapat di
perhitungkan dengan jelas, yaitu kerugian yang terjadi secara real akibat penundaan
pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan
pembayaran tersebut, seperti biaya-biaya real yang dikeluarkan dalam rangka
penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
5. Besar ganti rugi harus sesuai dengan nilai kerugian real, bukan kerugian yang
diperkirakan akan terjadi (potential loss). Hal ini karena obyek ganti rugi adalah
harta yang ada dan konkret serta berharga (diizinkan syari’ah untuk
memanfaatkannya).
6. Ganti rugi boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang
(dain).
Dengan adanya fatwa DSN MUI NO. 17 yang membolehkan pengenaan denda
bagi nasabah mampu, Bank Syariah Mega Indonesia, memberlakukan pemberian sanksi
bagi nasabah lalai dalam pembayaran pembiayaan, yang mana bisa dikenakan ta’zir
(denda). Adapun besaran denda ditetapkan dengan nilai nominal tertentu dibagi jumlah
hari keterlambatan.
Dalam menangani kasus yang berkaitan dengan keterlambatan pembayaran dari
nasabah. Bank Syariah Mega Indonesia menetapkan tata cara pembayaran denda, yaitu
denda keterlambatan dapat dibayarkan pada akhir masa pembiayaan, sebelum nasabah
melunasi pembiayaannya nasabah harus melunasi pembayaran dendanya. Dilihat dari
teknik pengumpulan denda murâbahah, bank melakukan penagihan saat jatuh tempo
tiba, kemudian denda dapat dibayar melalui debet rekening.
Beberapa faktor yang mendukung pelaksanaan penagihan denda murâbahah,
yaitu37
:
a. Kerjasama yang baik dengan nasabah
b. Transparansi perhitungan denda
Adapun faktor penghambat penagihan denda murâbahah, yaitu:
a. Nasabah mengetahui denda yang mereka bayar akan dialokasikan sebagai dana
kebajikan.
b. Tidak adanya sanksi jika nasabah tidak membayar.
Pembahasan di atas menunjukan bahwa ketentuan mengenai denda di BSMI
tidak melanggar prinsip-prinsip dari fatwa DSN MUI NO17. Fatwa DSN menyebutkan
bahwa kerugian yang dapat dikenakan ta’widh adalah kerugian real yang dapat
diperhitungkan dengan jelas yaitu kerugian yang terjadi secara real akibat penundaan
pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran
tersebut, seperti biaya-biaya real yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang
seharusnya dibayarkan.
B. Perhitungan Denda Murâbahah di Bank Syari’ah Mega Indonesia
37 Wawancara Pribadi dengan Bapak Tugiantoro, Jakarta, 18 Agustus, 2008.
Perhitungan denda murâbahah di BSMI, didasarkan pada ketentuan yang
ditetapkan oleh manajemen BSMI. Ketentuan itu menyebutkan bahwa kelalaian
nasabah dalam pembayaran pembiayaan akan dikenakan denda yang dihitung perhari,
Denda tersebut dikenakan apabila nasabah terlambat membayar angsuran selama tiga
hari setelah tanggal pembayaran bagi hasil disepakati, ketentuan tersebut tidak berlaku
bagi nasabah yang dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh
ketidakmampuan nasabah dan alasan tersebut dapat diterima atau disetujui Bank
Syariah Mega Indonesia, dengan tenggang waktu paling lama tujuh hari kerja sejak
keterlambatan tersebut. Dalam hal ini, nasabah dapat dibebaskan dari denda.
Adapun syarat-syarat pengenaan denda adalah:
1. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan tidak mempunyai kemauan
serta itikad baik untuk membayar hutangnya, boleh dikenakan sanksi.
2. Nasabah yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak
boleh dikenakan sanksi.
3. Sebelum mengenakan denda kepada nasabah pada poin dua, bank harus
mendapatkan bukti atau keyakinan bahwa nasabah tersebut tidak mampu, maka
denda tidak dapat diberlakukan.
4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin
dalam melaksanakan kewajibannya.
5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarannya telah ditentukan atas
dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditanda-tangani.
6. Penetapan denda keterlambatan sebagai berikut:
a. Besarnya denda berbeda-beda untuk setiap nasabah.
b. Ketentuan besarnya denda dalam bentuk nominal dan ditetapkan di awal
perjanjian sebagai kesepakatan antara bank dan nasabah.
c. Perhitungan denda keterlambatan murâbahah :
Margin sesuai jangka waktu x Angsuran x 1 hari = ........ / hari
360 hari
d. Dihitung perhari keterlambatan.
e. Besarnya denda dihitung berdasarkan Base Lending Rate (BLR) yang ditetapkan
Asset and Liability comitee (ALCO) pada bulan saat nasabah mendapatkan
fasilitas pembiayaan.
Contoh perhitungan:
BLR bulan april = minimal 24% Pa
BLR perhari = 24% /360 hari = 0,067
Plafond pembiayaan = Rp 10,000,000,-
Maka perhitungan denda perhari:
= 0,067% *10,000,000,-*1 hari = Rp 6,700,-
Sehingga di dalam akad dicantumkan sebagai denda keterlambatan sebesar Rp,
6,700,- perhari.
Perhitungan denda murâbahah yang diterapkan BSMI sudah melalui prosedur
peraturan perbankan, yang mana ketetapan dana denda di awal kesepakatan ketika
mereka (antara dua pihak atau lebih) berserikat.
C. Penyelesaiaan Denda Murâbahah
Pembiayaan yang diberikan oleh perbankan syari’ah tidak selamanya berjalan
dengan lancar. Jika terjadi kegagalan atau permasalahan dalam pengembalian dana
masyarakat ke pihak bank, maka bank harus menyelamatkan dana tersebut, karena dana
itu merupakan amanat yang dititipkan masyarakat kepada bank. Kewajiban untuk
menjaga titipan dengan penuh amanah sangat ditekankan dalam Al-Quran.
H635 ���� >$�J�9��!�� 6�)
���xM⌧"�# �*�?�Cy�� �kg<35
���3�s�) �"b35�� zCq☺"%�N {|/
H�H?&�� 6�) ���☺�%(��
}~q���(&��3/ A H635 ���� ������G
/�%����� Fi�N3/ % H635 ����
6�⌧J �☺�[�F⌧� �?u9��/ P30
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
Melihat”. (An-Nisaa: 58)
Berdasarkan ayat di atas, bank wajib mengambil tindakan-tindakan tertentu
dalam menyelesaikan pembiayaan bermasalah dan tentunya harus tetap berpegang pada
prinsip syari’ah. Berikut dijelaskan cara atau upaya yang dilakukan Bank Syariah Mega
Indonesia (BSMI) dalam mengatasi atau menyelesaikan pembiayaan murâbahah
bermasalah, di antaranya:
1. Melakukan pendekatan kepada nasabah pembiayaan, hal ini dilakukan untuk
mengetahui permasalahan yang terjadi pada nasabah pembiayaan. Pendekatan
dilakukan dengan cara mendatangi nasabah pembiayaan yang mengalami
penunggakan, kemudian membicarakan atau mendiskusikan masalah yang sedang
dihadapi nasabah dan memberikan alternatif jalan keluar dalam menyelesaikan
masalah mereka dengan bank. Dengan demikian, bank segera mengetahui apa yang
menjadi penyebab pembiayaan bermasalah, sehingga bank bisa memutuskan atau
mengambil tindakan yang tepat dalam menyelesaikannya. Namun, dalam
prakteknya tidak semua nasabah mau bekerjasama untuk menyelesaikan masalah
secara baik-baik. Ada sebagian nasabah yang dengan sengaja menghindar untuk
ditemui.
2. Collection, yaitu penagihan secara intensif. dalam hal ini, Bank Syariah Mega
Indonesia (BSMI) melakukan dengan dua cara sebagai berikut, pertama: penagihan
secara persuasive, yaitu dengan mengirimkan surat peringatan atau teguran kepada
nasabah pembiayaan murâbahah yang menunggak atas pembayaran angsurannya.
Surat peringatan ini disampaikan secara bertahap di mulai dari surat peringatan
pertama, kedua dan ketiga. Kedua: penagihan secara langsung, yakni dengan
mendatangi langsung nasabah pembiayaan murâbahah yang mengalami
penunggakan.
Dalam hal penagihan secara langsung ada beberapa treatment, di antaranya:
a. Simpati, melalui metode yang:
1) Sopan
2) Menyanjung
3) Fokus pada tujuan
4) Menghargai
b. Empati, melalui metode yang:
1) Sopan
2) Menyelami keadaan nasabah
3) Bicara seakan untuk kepentingan nasabah
4) Bangkitkan emosi, perasaan, kesadaran, perenungan
c. Menekan, melalui metode yang:
1) Langsung (tegas, keras, mempermalukan dan menakuti)
2) Tidak Langsung (melalui pihak lain, seperti: pinjam bendera, saingan,
atasan, polisi)
3. Revitalisasi pembiayaan, yang meliputi cara-cara sebagai berikut:
a. Rescheduling (penjadwalan ulang)
Dalam hal ini Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI) memberikan
keringanan kepada nasabah pembiayaan murâbahah menyangkut jadwal
pembayaran atau jangka waktu, termasuk masa tenggang dan perubahan
besarnya angsuran. Misalnya, memperpanjang jangka waktu angsuran
pembiayaan dari enam bulan menjadi satu tahun dan memperpanjang jangka
waktu angsuran pembiayaan murâbahah dari 36 kali menjadi 48 kali. Dengan
demikian jumlah angsuran pun menjadi lebih kecil seiring dengan penambahan
tenggang waktu bagi orang yang berhutang. Allah berfirman:
635�� �7�⌧J ��b �,�uq���
�,9��,�"! Akg<35 �,�u��.� A 6�)�� �������D�"# u>9�^ z�+�&
� 635 zC?�J �7�☺g��"#
Artinya:
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan, dan menyedekahkan (sebagian atau semua
utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (Al-Baqarah 2:280)
1) Syarat rescheduling adalah:
a) Potensi usaha ada
b) Kemampuan nasabah masih ada
c) Problem cash flow sementara
d) Plafond tetap
2) Perubahan jadwal berupa:
a) Jangka waktu
b) Jadwal angsuran
c) Grace period
d) Jumlah angsuran
b. Restructuring (penataan ulang)
Restructuring dilakukan dengan cara Bank Syariah Mega Indonesia
(BSMI) dan nasabah akan mengkaji ulang usaha yang dilakukan atau
pembiayaan yang telah diberikan untuk mengetahui letak penyebab kerugian
yang terjadi. Jika telah ditemukan, langkah selanjutnya ialah mencari
penyelesaian yang efektif dengan berbagai alternatif tindakan, seperti Bank
Syariah Mega Indonesia (BSMI) memberikan bantuan berupa bimbingan dan
masukan-masukan berupa strategi yang baik dalam menjalankan usaha. Apabila
pembiayaan dibatalkan berdasarkan keputusan komite pembiayaan, maka
pembiayaan di reklasifikasi menjadi piutang kepada nasabah.
1) Syarat-syarat restructuring adalah:
a) Potensi usaha ada
b) Kemampuan nasabah masih ada
c) Problem cash flow sementara
d) Plafond bisa berubah
2) Perubahan restructuring berupa:
a) Jangka waktu
b) Jadwal angsuran
c) Jumlah angsuran
d) Jumlah Plafon
e) Persyaratan
f) Jaminan
c. Reconditioning (persyaratan ulang)
Persyaratan ulang ialah perubahan sebagian atau seluruh ketentuan
pembiayaan, termasuk perubahan jangka waktu dan persyaratan lainnya,
sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo pembiayaan.
1) Syarat reconditioning adalah:
a) Potensi usaha ada
b) Sarana usaha memadai
c) Problem cash flow dan manajemen
d) Plafond pembiayaan tetap atau berubah
2) Perubahan reconditioning berupa:
a) Jangka waktu angsuran
b) Harga jual
c) Agunan
d) Kepemilikan
e) Pengurus
f) Nama dan status perubahan
g) Perubahan nasabah
d. Bantuan manajemen
Bantuan manajemen diberikan melalui usulan agar nasabah mendapat
bantuan manajemen dari pihak lain yang lebih menguasai seluk-beluk usahanya,
sehingga diperlukan adanya perubahan manjemen. Bentuk-bentuknya di
antaranya:
1) Total pengambilan alih manajemen.
2) Pengambilan alih manajemen keuangan.
3) Pengambilan alih proyek objek yang dibiayai.
4. Eksekusi Pembiayaan
Eksekusi pembiayaan yaitu upaya penyelesaian pembiayaan dengan menjual
dan menguasai jaminan atau usaha, karena nasabah sudah tidak lagi prospektif.
Eksekusi pembiayaan dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan berupa:
a. Likuidasi usaha
Upaya penjualan stock barang dagangan, sarana produksi, bahkan
tempat usaha, jaminan, dan lain-lain untuk menutup pembiayaan yang
tertunggak.
1) Syarat:
a) Penjualan dilakukan untuk pembayaran angsuran atau pelunasan
pembiayaan yang tertunggak.
b) Tidak ada pembelian kembali barang dagangan.
b. Perwasitan melalui BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari’ah Nasional)
Eksekusi pembiayaan melalui perwasitan di Badan Arbitrase Syari’ah
Nasional dapat berupa musyawarah atau persidangan yang disertai hakim atau
penengah dari BASYARNAS. Eksekusi melalui perwasitan adalah
pengembalian atau pelunasan atau penjualan jaminan pembiayaan dengan
melalui musyawarah di depan wasit (arbitrase) untuk mendapatkan keputusan,
yang akan didaftarkan ke pengadilan negeri untuk eksekusinya.
c. Parate eksekusi
Eksekusi jaminan melalui gugatan perdata terlebih dahulu (secara
sukarela), yakni dengan upaya pengembalian atau pelunasan pembiayaan
dengan atau dari penjualan jaminan nasabah secara sukarela.
d. Collection agent
Proses penagihan pembiayaaan bermasalah melalui pihak ketiga (orang
atau lembaga lain)
e. Litigasi
Proses pengambilan jaminan secara paksa dengan seluruh hukum yang
berlaku dengan melibatkan lembaga resmi negara dibidang hukum (melalui
gugatan pengadilan).
1) Syarat dan proses litigasi:
a) Penyiapan (surat somasi dan surat nasabah kepada BSMI).
b) Checking dokumen
c) Dokumen perjanjian dan jaminan hak tanggung jawab (dokumen yuridis
lainya).
d) Fasilitas pembiayaan telah jatuh tempo, karena proses litigasi hanya
dapat dilakukan apabila fasilitas pembiayaan nasabah telah jatuh tempo.
2) Tahapan.
a) Mencari Lawyer yang telah dianggap cakap, pengalaman dalam bidang
penagihan dan dapat bekerjasama dengan BSMI.
b) Membuat UP (Usulan Pembiayaan) ke komite UPP (Usulan Pengajuan
Pembiayaan) perihal persetujuan pemakai lawyer dan biaya-biaya yang
timbul.
c) Meminta rencana kerja dan target date dari lawyer yang telah disetujui
komite.
3) Proses litigasi melalui pengadilan terdiri dari:
a) Gugatan Perdata
b) Pidana
c) Real eksekusi jaminan
d) Permohonan kepailitan
Berdasarkan fenomena tersebut, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia mengeluarkan fatwa No. 17/DSN–MUI/IX/2000 tentang sanksi atas nasabah
mampu yang menunda-nunda pembayaran. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan
atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang
menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain, yaitu:
7. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah
kerugian real yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
8. Kerugian real sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya real yang
dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
9. Besar ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian real (real loss) yang
pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut, bukan kerugian yang
diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang
(opportunity loss atau al-furshah al-dâi’ah).
10. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi akad yang menimbulkan
hutang-piutang (dain) seperti salam, istisna serta murâbahah dan ijarah.
11. Dalam akad mudârabah dan musyârakah ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh
shahibul mâl atau salah satu pihak dalam musyârakah, apabila bagian
keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
Berdasarkan fatwa tersebut, nasabah yang lalai bisa dikenakan denda atau ta`zir.
Namun, besaran ta`zir tidak ditetapkan melainkan dibuat berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak, selain itu dana ini juga tidak dijadikan pendapatan bank melainkan
sebagai dana sosial.
Rasulullah SAW, beliau bersabda:
)روا7 ا���6رى(��4 ا��23 1�0
Artinya:
"Penangguhan sengaja (dari membayar hutang) oleh orang yang
berkemampuan adalah satu kezaliman" ( H. R. al-Bukhari )4
4 Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, diterbitkan atas kerjasama
Tazkia Institute, Cet. Pertama, Ramadhan 1420-des, 1999.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ta'zir yang diberlakukan bank Islam
ini tidak boleh dimasukkan dalam pendapatan bank Islam, tetapi dibagikan untuk
tujuan kebajikan kepada orang miskin.
Nasabah yang mempunyai kemampuan ekonomis dilarang menunda
penyelesaian hutangnya dalam murâbahah. Apabila seorang nasabah menunda
penyelesaian hutang tersebut, kreditur dapat mengambil tindakan sebagai berikut:
Mengambil prosedur hukum untuk mendapatkan kembali hutang itu dan mengklaim
kerugian financial yang terjadi akibat penundaan, Rasulullah SAW pernah
mengingatkan penghutang yang mampu tetapi mereka lalai, dalam salah satu haditsnya
yang artinya:
“Yang melalaikan pembayaran hutang (padahal ia mampu) maka dapat dikenakan
sanksi dan dicemarkan nama baiknya”.(H.R. al-Bukhari)
Prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa antara bank syari’ah dan
nasabahnya telah diatur melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS).
Prosedur penyelesaian sengketa melalui lembaga pengaduan nasabah yang berada
dalam internal bank yang bersangkutan berdasarkan ketentuan mengenai kebijakan dan
prosedur tertulis dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.7/24/DPNP tertanggal
18 juli 2005, antara lain sebagai berikut:
1. Kewajiban bank untuk menyelesaikan pengaduan mencakup kewajiban
menyelesaikan pengaduan yang diajukan secara lisan atau tertulis oleh nasabah atau
perwakilan nasabah, termasuk yang diajukan oleh suatu lembaga, badan hukum,
atau bank lain yang menjadi nasabah bank tersebut.
2. Setiap nasabah memiliki hak untuk mengajukan pengaduan
3. Pengajuan pengaduan dapat dilakukan oleh perwakilan nasabah yang bertindak
untuk dan atas nama nasabah berdasarkan surat kuasa khusus dari nasabah.5
Sehingga penyelesaian denda murâbahah, dibayar di akhir masa jangka
waktu pembiayaan, denda boleh dikenakan jika nasabah mampu tetapi tidak mau
membayar.
D. Pengalokasian Denda Murâbahah di Bank Syariah Mega Indonesia
1. Mekanisme pengelolaan
a. Sumber dana qardul hasan, antara lain:
1) Infaq
2) Shadâqah
3) Denda
4) Sumbangan atau hibah
5) Pendapatan non halal
b. Sumber dana dari infaq dan shadaqah dari pihak diluar bank adalah dana yang
diterima dari pihak luar atau dari rekening nasabah atas perintah nasabah
tersebut.
c. Sumber dana kebajikan berupa pendapatan non halal berasal dari penerimaan
jasa giro dari bank konvensional atau penerimaan lainnya yang tidak dapat
dihindari dalam kegiatan operasional bank.
5 Abdul Ghofur Anshori, Tanya Jawab Perbankan Syariah,(Yogyakarta: UII Press, 2008) h.110.
d. Dana qardul hasan sesuai sifat sosialnya, harus disalurkan sebagai dana bergulir
untuk pinjaman sosial.
e. Pengelolaan dana al-qard yang bertujuan sebagai cerukan (overdraf) tidak
termasuk dalam lingkup pengaturan ini.
f. Sebagai penanggung jawab atas pengelolaan dana qardul hasan di Bank Syariah
Mega Indonesia adalah Corporate Secretary Division.
g. Setiap bentuk penyaluran dana qardul hasan harus diajukan melalui Corporate
Secretary Division dengan persetujuan direksi.
h. Bank harus melaporkan sumber dan penggunaan dana qardul hasan selama
periode tertentu.
i. Laporan dimaksud pada butir 3 di atas harus dapat memperlihatkan nilai bersih
dari sumber dana penggunaan dana yang belum digunakan.
2. Pelaporan
a. Laporan sumber dan penggunaan dana qardul hasan merupakan laporan yang
memberikan informasi agar para pemakai dapat mengevaluasi aktivitas bank
dalam mengelola dana tersebut.
b. Laporan sumber dan penggunaan dana qardul hasan disajikan untuk periode 1
(satu) tahun buku, dan merupakan bagian dari laporan keuangan publikasi.
c. Hal-hal yang harus diungkapkan antara lain:
1) Periode yang dicakup laporan sumber dan penggunaan dana qardul hasan.
2) Rincian saldo qardul hasan pada awal dan akhir periode berdasarkan
sumbernya, dan
3) Jumlah dana yang disalurkan serta sumber dana yang diterima selama
periode laporan berdasarkan jenisnya.
4) Format laporan terampil
3. Pencatatan
Jurnal di bawah ini berkaitan dengan pengelolaan dana qardhul hasan oleh
bank, sebagai berikut:
a. Penerimaan dana infaq, shadaqoh dari nasabah bank dan ditampung dalam
rekening simpanan kebajikan:
Debet: kas atau rekening nasabah atau laba bank
Kredit: rekening simpanan kebajikan
b. Pendapatan non halal
Debet: Kas atau giro wadiah BI
Kredit: Rekening simpanan kebajikan
c. Denda
Debet: Kas atau giro wadiah BI
Kredit: Rekening simpanan kebajikan
d. Penyaluran dana qardul hasan oleh bank (pengelola dana) kepada penerima
Debet: Rekening simpanan kebajikan
Kredit: Kas atau giro wadiah BI
e. Pengambilan dana qardul hasan dari penerima
Debet: kas atau giro wadiah BI
Kredit: Rekening simpanan kebajikan
Untuk mengalokasikan denda keterlambatan, Bank Syariah Mega Indonesia
mempunyai strategi yang diterapkan dalam pengelolaan dana denda. Adapun dana
denda akan disalurkan ke lembaga zakat yang sudah bekerjasama dan memiliki reputasi
baik. Kasus denda keterlambatan yang dialami oleh BSMI masih sedikit, sehinga dana
yang tersimpan belum mencukupi untuk disalurkan. Oleh karena itu, dana tersebut
masih disimpan atau ditampung di pos khusus untuk kemudian disalurkan kelembaga
zakat. Dari hasil penelitian yang sudah di dapat bahwasanya BSMI mengikuti peraturan
DSN MUI NO17 dalam mengoperasikan denda keterlambatan.
BAB V
PENUTUP
Pada bab ini berisi intisari yang diambil dari bab-bab sebelumnya dan
memberikan saran yang bermanfaat untuk menunjang praktek perbankan syari’ah,
khususnya di Bank Syari’ah Mega Indonesia.
A. Kesimpulan
1. Mu’amalah dalam Islam memperhatikan hal-hal setiap pihak yang
terlibat dalam hal murâbahah. Salah satu hak, yaitu penjual (bank
Syari’ah) menerima angsuran pelunasan murâbahah secara tepat
waktu. Apabila terjadi keterlambatan atau kegagalan angsuran dapat
dikenakan denda sebagai sarana penegak kedisiplinan nasabah
dalam pembayaran kewajiban. Islam sangat memperhatikan hak-hak
manusia khususnya dalam praktek jual beli, bila terjadi kelalaian tanpa
alasan yang dibenarkan, nasabah bisa dikenakan sanksi pendendaan.
Dalam hal ini Islam memandang bahwa, denda tersebut adalah utang
yang wajib dibayar. Sehingga denda dengan ketentuan yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak sah menurut Syari’ah agama Islam.
2. Denda murâbahah adalah sah menurut syari’ah berdasarkan fatwa
DSN MUI No. 17 tahun 2000, salah satu dasarnya adalah menjaga
kemaslahatan seperti kaidah Ushul Al-Fiqh yang berbunyi:
درء ا��$� # �"م �� *�( ا��)��'
Artinya: “menghindarkan suatu kemudaratan atau kerusakan,
hendaknya diutamakan dari pada membuat kebajikan atau
kemaslahatan”.
3. Denda dapat dikenakan kepada nasabah-nasabah nakal, yang
sanggup dan mampu untuk membayar tepat pada waktunya tetapi
sengaja ditunda-tunda. Di BSMI dana denda tidak diambil dan
dipergunakan oleh bank melainkan ditampung dalam suatu pos atau
rekening yaitu, dana non halal atau dana sosial yang setiap bulannya
akan dilimpahkan atau dihibahkan kepada lembaga amil zakat untuk
dipergunakan membantu fakir miskin dan membangun sarana serta
prasarana umum. Dengan ini BSMI sudah mengikuti prosedur atau
peraturan yang ditetapkan oleh DSN MUI No. 17 Tahun 2000.
B. Saran
Untuk praktisi perbankan, hendaknya para praktisi mengadakan pembinaan dan
pemantauan yang berkala terhadap pembiayaan nasabah agar mengurangi terjadinya
kelalaian. Metode yang digunakan bisa dengan cara mengadakan silaturahim kepada
nasabah, pembinaan tentang amanah dan kepercayaan, meningkatkan moralitas dan
etika berniaga secara Islami.
Perlu diketahui juga tidak semua keterlambatan itu bisa dikenakan denda, denda
bisa dikenakan hanya untuk nasabah mampu tetapi lalai, sehingga dari pihak BSMI
sendiri harus benar- benar mengetahui perekonomian dan kondisi nasabah yang
melakukan pembiayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Muhamad. Bank Syariah Analisis Kekuatan. Kelemahan. Peluang dan Ancaman,
Yogyakarta. Ekonisia, Cet.1
Antonio, Muhamad Syafi’i. Bank syariah suatu pengenalan umum, Jakarta:
Tazkia, 2000, Cet. 1
Muhammad. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: LPP AMP.YKPN, 2002.
Yunaldi, Wendra. Potret Perbankan Syariah di Indonesi:, Melacak Keabsahan Landasan
Yuridis Praktek Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta, Susi Advertising, cet. 1
H. Haroen Nasrun Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Cet. 1
Anshori, Abdul Ghofur. Perbankan Syariah Indonesia, Gadjah Mada Universitiy Press
2007.
Ruslan Rosady. Metode Penelitian Publik Relations dan Komunikasi, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Anshori, Abdul Ghofur. Tanya jawab perbankan syariah, Yogyakarta: UII Press 2008.
M, Mujieb Abdul dkk. Kamus istilah Fiqih, Jakarta: PT, Pustaka Firdaus, 1994
Daryanto. Bahasa Kamus Indonesia Lengkap, Surabaya: Penerbit APOLLO, 1997 Cet.1
Aliminsyah dan padji. Kamus Istilah Keuangan Dan Perbankan, Yrama Widya
Ismaya, Sujana. Kamus Perbankan. dilengkapi dengan daftar nama mata uang dan UU
bank Indonesia, Jakarta 2004.
Yunus Mahmud. Kamus Arab Indonesi, Jakarta: Hida Karya Agung, 1990.
M. Mujieb Abdul. Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT Pustaka Firdaus,1994, Cet - 1
Rusyd Ibnu. Terjemah Bidayatul Mujtahid, Semarang: Asysyifa, 1990, Cet- 1
Menyoal, Abdul Saeed. Bank Islam. Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo
Revivalis, Jakarta: Paramadina, 2004, Cet- 2
Karim A Adiwarman. Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani
Press 2001, Cet-1
M.Anwar Syafi’i. Alternatif Terhadap System Bunga Jurnal Ulumul Qur’an II, Jakarta
Oktober, 1991
Antonio, Muhamad Syafi’i. Bank Syariah Wacana Ulama Dan Cendikiawan, Jakarta:
Tazkia Institute 1999
Maja Karnaen Parwaat dan Antonio Muhamad Syafi’I. “Apa Dan Bagaimana Bank Islam,
Yogyakarta: Pana Bhakti Wakaf, 1992.
Wiroso. Jual Beli Murabahah, Yogyakarta: UII Pers, 2005
Bank Indonesia Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, Jakarta , 1999
As-Son’ani. Subulu As-Salam, Bandung: Dahlan Press, juz 3.
Antonio, Muhamad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani
Press, 2004, Cet-1
Amalia Euis dkk. Prinsip-Prinsip Hukum Islam (Fiqih) Dalam Transaksi Ekonomi Islam
Pada Perbankan Syariah “Summary Report”, UIN dan Direktorat hukum BI 2003
Muhammad. System Dan Prosedur Operasional Bank Islam, Yogyakarta: UII Press, 2000,
Cet-1
Karim A Adiwarman. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani,
2001, Cet-1
Adiwarman A, Karim. Bank Islam Analisa Fiqih Dan Keuangan
Siamat Dahlan. Manajemen Lembaga Keungan, Jakarta: LPFEUI, 1999, Edisi-2
Kamil, Ahmad dan Fauzan. Kitab undang-undang hukum perbankan dan ekonomi syariah,
Jakarta: Kencana, 2007,Cet.1
Hakim Abdul, Mabaadiy Awwaliyah. Jakarta: Saadiyah Putra, 1927