Demak

20
Demak Raden Patah Raden Patah adalah pendiri Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1475-1518. Asal-Usul Raden Patah Terdapat berbagai versi tentang asal-usul pendiri Kesultanan Demak . Menurut Babad Tanah Jawi , Raden Patah adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Cina . Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Cina kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang . Setelah melahirkan Raden Patah, putri Cina dinikahi Arya Damar , melahirkan Raden Kusen. Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po Kong , nama asli Raden Patah adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi ) raja Majapahit (versi Pararaton ) dari selir Cina . Kemudian selir Cina diberikan kepada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang . Dari perkawinan kedua itu lahir Kin San. Kronik Cina ini memberitakan tahun kelahiran Jin Bun adalah 1455. Mungkin Raden Patah lahir saat Bhre Kertabhumi belum menjadi raja (memerintah tahun 1474-1478). Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Cina adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik . Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong. Menurut Sejarah Banten, Pendiri Demak bernama Cu Cu, putra mantan perdana menteri Cina yang pindah ke Jawa . Cu Cu mengabdi ke Majapahit dan berjasa menumpas pemberontakan Arya Dilah bupati Palembang . Berita ini cukup aneh karena dalam Babad Tanah Jawi , Arya Dilah adalah nama lain Arya Damar , ayah angkat Raden Patah sendiri. Selanjutnya, atas

Transcript of Demak

Demak

Raden PatahRaden Patah adalah pendiri Kesultanan Demak yang memerintah tahun 14751518.

Asal-Usul Raden PatahTerdapat berbagai versi tentang asal-usul pendiri Kesultanan Demak. Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Cina. Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Cina kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Cina dinikahi Arya Damar, melahirkan Raden Kusen. Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po Kong, nama asli Raden Patah adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) raja Majapahit (versi Pararaton) dari selir Cina. Kemudian selir Cina diberikan kepada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang. Dari perkawinan kedua itu lahir Kin San. Kronik Cina ini memberitakan tahun kelahiran Jin Bun adalah 1455. Mungkin Raden Patah lahir saat Bhre Kertabhumi belum menjadi raja (memerintah tahun 1474-1478). Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Cina adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong. Menurut Sejarah Banten, Pendiri Demak bernama Cu Cu, putra mantan perdana menteri Cina yang pindah ke Jawa. Cu Cu mengabdi ke Majapahit dan berjasa menumpas pemberontakan Arya Dilah bupati Palembang. Berita ini cukup aneh karena dalam Babad Tanah Jawi, Arya Dilah adalah nama lain Arya Damar, ayah angkat Raden Patah sendiri. Selanjutnya, atas jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan bupati Demak bergelar Arya Sumangsang. Menurut Suma Oriental karya Tome Pires, pendiri Demak bernama Pate Rodin, cucu seorang masyarakat kelas rendah di Gresik. Meskipun terdapat berbagai versi, namun terlihat kalau pendiri Kesultanan Demak memiliki hubungan dengan Majapahit, Cina, Gresik, dan Palembang.

Raden Patah Mendirikan DemakBabad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi bupati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagah-wangi menjadi sebuah pesantren. Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memeberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah. Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintoro. Menurut kronik Cina, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo.

Perang Demak dan MajapahitPerang antara Demak dan Majapahit diberitakan dalam naskah babad dan serat, terutama Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Namun sepeninggal Sunan Ampel, Raden Patah tetap menyerang Majapahit. Brawijaya moksa dalam serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri menduduki takhta Majapahit selama 40 hari. Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong juga memberitakan adanya perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi tahun 1478. Perang terjadi setelah kematian Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel). Jin Bun menggempur ibu kota Majapahit. Kung-tabu-mi alias Bhre Kertabhumi ditangkap dan dipindahkan ke Demak secara hormat. Sejak itu, Majapahit menjadi bawahan Demak dengan dipimpin seorang Cina muslim bernama Nyoo Lay Wa sebagai bupati.

Pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum pribumi. Maka, Jin Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pabu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi. Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai penguasa [[Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Selain itu, Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah tentang perang melawan Majapahit. Berita ini melahirkan pendapat kalau Majapahit runtuh tahun 1478 bukan karena serangan Demak, melainkan karena serangan keluarga Girindrawardhana.

Pemerintahan Raden PatahApakah Raden Patah pernah menyerang Majapahit atau tidak, yang jelas ia adalah raja pertama Kesultanan Demak. Menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, sedangkan menurut Serat Pranitiradya, bergelar Sultan Syah Alam Akbar. Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang Pembuka", karena ia memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Pada tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak sebagi pusat pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab undang-undang kerajaan. Kepada umat beragama lain, sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam. Raden Patah juga tidak mau memerangi umat Hindu dan Buddha sebagaimana wasiat Sunan Ampel, gurunya. Meskipun naskah babad dan serat memberitakan ia menyerang Majapahit, hal itu dilatarbelakangi persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga memberitakan kalau pihak Majapahit lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik. Suma Oriental memberitakan pada tahun 1507 Pate Rodin alias Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak yang baru diperbaiki. Lalu pada tahun 1512 menantunya yang bernama Pate Unus bupati Jepara menyerang Portugis di Malaka.

Tokoh Pate Unus ini identik dengan Yat Sun dalam kronik Cina yang diberitakan menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512. Perbedaannya ialah, Pate Unus adalah menantu Pate Rodin, sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun. Kedua berita, baik dari sumber Portugis ataupun sumber Cina, sama-sama menyebutkan armada Demak hancur dalam pertempuran ini. Menurut kronik Cina, Jin Bun alias Raden Patah meninggal dunia tahun 1518 dalam usia 63 tahun. Ia digantikan Yat Sun sebagai raja selanjutnya, yang dalam Babad Tanah Jawi bergelar Pangeran Sabrang Lor.

Keturunan Raden PatahMenurut naskah babad dan serat, Raden Patah memiliki tiga orang istri. Yang pertama adalah putri Sunan Ampel, menjadi permaisuri utama, melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana, yang masing-masing secara berurutan kemudian naik takhta, bergelar Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana. Istri yang kedua seorang putri dari Randu Sanga, melahirkan Raden Kanduruwan. Raden Kanduruwan ini pada pemerintahan Sultan Trenggana berjasa menaklukkan Sumenep. Istri yang ketiga adalah putri bupati Jipang, melahirkan Raden Kikin dan Ratu Mas Nyawa. Ketika Pangeran Sabrang Lor meninggal tahun 1521, Raden Kikin dan Raden Trenggana bersaing memperebutkan takhta. Raden Kikin akhirnya mati dibunuh putra sulung Raden Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawata, di tepi sungai. Oleh karena itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya bunga yang gugur di sungai. Kronik Cina hanya menyebutkan dua orang putra Jin Bun saja, yaitu Yat Sun dan Tung-ka-lo, yang masing-masing identik dengan Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana. Suma Oriental menyebut Pate Rodin memiliki putra yang juga bernama Pate Rodin, dan menantu bernama Pate Unus. Berita versi Portugis ini menyebut Pate Rodin Yunior lebih tua usianya dari pada Pate Unus. Dengan kata lain Sultan Trenggana disebut sebagai kakak ipar Pangeran Sabrang Lor.

Pati UnusPati Unus atau Adipati Unus (1480?1521) adalah Sultan Demak kedua, yang memerintah dari tahun 1518 hingga 1521. Ia adalah menantu Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak. Pada tahun 1521, Pati Unus memimpin penyerbuan ke Malaka melawan pendudukan

Portugis. Pati Unus gugur dalam pertempuran ini, dan digantikan oleh adik iparnya, Sultan Trenggana. Pati Unus dikenal juga dengan julukan Pangeran Sabrang Lor (sabrang=menyeberang, lor=utara), karena pernah menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka untuk melawan Portugis.

SilsilahNama asli beliau Raden Abdul Qadir putra Raden Muhammad Yunus dari Jepara. Raden Muhammad Yunus adalah putra seorang Muballigh pendatang dari Parsi yang dikenal dengan sebutan Syekh Khaliqul Idrus. Muballigh dan Musafir besar ini datang dari Parsi ke tanah Jawa mendarat dan menetap di Jepara di awal 1400-an masehi. Silsilah Syekh ini yang bernama lengkap Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al Khayri (wafat di Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madina) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al Mukhrowi (wafat di Parsi) bin Imam Besar Hadramawt Syekh Muhammad Al Faqih Al Muqaddam. Imam Faqih Muqaddam seorang Ulama besar sangat terkenal di abad 12-13 M yang merupakan keturunan cucu Nabi Muhammad, Sayyidus Syuhada Imam Husayn (Qaddasallohu Sirruhu) putra Imam Besar Sayyidina Ali bin Abi Talib Karromallohu Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra. Setelah menetap di Jepara, Syekh Khaliqul Idrus menikah dengan putri seorang Muballigh asal Gujarat yang lebih dulu datang ke tanah Jawa yaitu dari keturunan Syekh Mawlana Akbar, seorang Ulama, Muballigh dan Musafir besar asal Gujarat, India yang mempelopori dakwah diAsia Tenggara. Seorang putra beliau adalah Syekh Ibrahim Akbar yang menjadi Pelopor dakwah di tanah Campa (di delta Sungai Mekong, Kamboja) yang sekarang masih ada perkampungan Muslim. Seorang putra beliau dikirim ke tanah Jawa untuk berdakwah yang dipanggil dengan Raden Rahmat atau terkenal sebagai Sunan Ampel. Seorang adik perempuan beliau dari lain Ibu (asal Campa) ikut dibawa ke Pulau Jawa untuk ditawarkan kepada Raja Brawijaya sebagai istri untuk langkah awal meng-Islam-kan tanah Jawa. Raja Brawijaya berkenan menikah tapi enggan terang-terangan masuk Islam. Putra yang lahir dari pernikahan ini dipanggil dengan nama Raden Patah. Setelah menjadi Raja Islam yang pertama di beri gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah. Disini terbukalah rahasia kenapa beliau Raden Patah diberi gelar Alam Akbar karena ibunda beliau adalah cucu Ulama Besar Gujarat Syekh Mawlana Akbar yang hampir semua keturunannya menggunakan nama Akbar seperti Ibrahim Akbar, Nurul Alam Akbar, Zainal Akbar dan banyak lagi lainnya. Kembali ke kisah Syekh Khaliqul Idrus, setelah menikah dengan putri Ulama Gujarat keturunan Syekh Mawlana Akbar lahirlah seorang putra beliau yang bernama Raden Muhammad Yunus yang setelah menikah dengan seorang putri pembesar Majapahit di Jepara dipanggil dengan gelar Wong Agung Jepara. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang

kemudian terkenal sangat cerdas dan pemberani bernama Abdul Qadir yang setelah menjadi menanntu Sultan Demak I Raden Patah diberi gelar Adipati bin Yunus atau terkenal lagi sebagai Pati Unus yang kelak setelah gugur di Malaka di kenal masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor.

KiprahSetelah Raden Abdul Qadir beranjak dewasa di awal 1500-an beliau diambil mantu oleh Raden Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri Raden Patah, Abdul Qadir resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat kelahiran beliau sendiri). Karena ayahanda beliau (Raden Yunus) lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Yunus (atau putra Yunus). Kemudian hari banyak orang memanggil beliau dengan yang lebih mudah Pati Unus. Dari pernikahan ini beliau diketahui memiliki 2 putra. Ke 2 putra beliau yang merupakan cucu-cucu Raden Patah ini kelak dibawa serta dalam expedisi besar yang fatal yang segera merubah nasib Kesultanan Demak. Sehubungan dengan intensitas persaingan dakwah dan niaga di Asia Tenggara meningkat sangat cepat dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis di tahun 1511, maka Kesultanan Demak mempererat hubungan dengan kesultanan Banten-Cirebon yang juga masih keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat. Karena Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah adalah putra Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Mawlana Akbar, sedangkan Raden Patah seperti yang disebut dimuka adalah ibundanya cucu Syekh Mawlana Akbar yang lahir di Campa. Sedangkan Pati Unus neneknya dari pihak ayah adalah juga keturunan Syekh Mawlana Akbar. Hubungan yang semakin erat adalah ditandai dengan pernikahan yang ke02 Pati Unus dengan Ratu Ayu putri Sunan Gunung Jati tahun 1511. Tak hanya itu, Pati Unus kemudian diangkat sebagai Panglima Gabungan Armada Islam membawahi armada Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon, diberkati oleh mertuanya sendiri yang merupakan Pembina umat Islam di tanah Jawa, Syekh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Gelar beliau yang baru adalah Senapati Sarjawala dengan tugas utama merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis. Gentingnya situasi ini dikisahkan lebih rinci oleh Sejarawan Sunda Saleh Danasasmita di dalam Pajajaran bab Sri Baduga Maharaja sub bab Pustaka Negara Kretabhumi. Tahun 1512 giliran Samudra Pasai yang jatuh ke tangan Portugis. Hal ini membuat tugas Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam tanah jawa semakin mendesak untuk segera dilaksanakan. Maka tahun 1513 dikirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng Portugis di Malaka tapi gagal dan balik kembali ke tanah Jawa. Kegagalan ini karena kurang persiapan menjadi pelajaran berharga untuk membuat persiapan

yang lebih baik. Maka direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal. Di tahun 1518 Raden Patah, Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah mangkat, beliau berwasiat supaya mantu beliau Pati Unus diangkat menjadi Sultan Demak berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus atau Raden Abdul Qadir bin Yunus, Adipati wilayah Jepara yang garis nasab (Patrilineal)-nya adalah keturunan Arab dan Parsi menjadi Sultan Demak II bergelar Alam Akbar At-Tsaniy.

Expedisi Jihad IIMemasuki tahun 1521, ke 375 kapal telah selesai dibangun, maka walaupun baru menjabat Sultan selama 3 tahun Pati Unus tidak sungkan meninggalkan segala kemudahan dan kehormatan dari kehidupan keraton bahkan ikut pula 2 putra beliau (yang masih sangat remaja) dari pernikahan dengan putri Raden Patah dan seorang putra lagi (yang juga masih sangat remaja) dari seorang selir dengan risiko kehilangan segalanya termasuk putus nasab keturunan, tapi sungguh Allah membalas kebaikan orang-orang yang berjuang di jalannya. Armada perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar untuk ukuran dulu bahkan sekarang. Dipimpin langsung oleh Pati Unus bergelar Senapati Sarjawala yang telah menjadi Sultan Demak II. Dari sini sejarah keluarga beliau akan berubah, sejarah kesultanan Demak akan berubah dan sejarah tanah Jawa akan berubah. Armada perang Islam yang sangat besar berangkat ke Malaka dan Portugis pun sudah mempersiapkan pertahanan menyambut Armada besar ini dengan puluhan meriam besar pula yang mencuat dari benteng Malaka. Kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam ketika akan menurunkan perahu untuk merapat ke pantai. Beliau gugur sebagai Syahid karena kewajiban membela sesama Muslim yang tertindas penjajah (Portugis) yang bernafsu memonopoli perdagangan rempahrempah. Sebagian pasukan Islam yang berhasil mendarat kemudian bertempur dahsyat hampir 3 hari 3 malam lamanya dengan menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis, karena itu sampai sekarang Portugis tak suka mengisahkan kembali pertempuran dahsyat di tahun 1521 ini . Melalui situs keturunan Portugis di Malaka (kaum Papia Kristang) hanya terdapat kegagahan Portugis dalam mengusir armada tanah jawa (expedisi I) 1513 dan armada Johor dalam banyak pertempuran kecil. Armada Islam gabungan tanah Jawa yang juga menderita banyak korban kemudian memutuskan mundur dibawah pimpinan Raden Hidayat, orang kedua dalam komando setelah Pati Unus gugur. Satu riwayat yang belum jelas siapa Raden Hidayat ini, kemungkinan ke-2

yang lebih kuat komando setelah Pati Unus gugur diambil alih oleh Fadhlulah Khan (Tubagus Pasai) karena sekembalinya sisa dari Armada Gabungan ini ke Pulau Jawa , Fadhlullah Khan alias Falathehan alias Fatahillah alias Tubagus Pasai-lah yang diangkat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai Panglima Armada Gabungan yang baru menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka. Kegagalan expedisi jihad yang ke II ke Malaka ini sebagian disebabkan oleh faktor - faktor internal, terutama masalah harmoni hubungan kesultanan - kesultanan Indonesia Putra pertama dan ketiga Pati Unus ikut gugur, sedangkan putra kedua, Raden Abdullah dengan takdir Allah untuk meneruskan keturunan Pati Unus, selamat dan bergabung dengan armada yang tersisa untuk kembali ke tanah Jawa. Turut pula dalam armada yang balik ke Jawa, sebagian tentara Kesultanan Malaka yang memutuskan hijrah ke tanah Jawa karena negerinya gagal direbut kembali dari tangan penjajah Portugis. Mereka orang Melayu Malaka ini keturunannya kemudian membantu keturunan Raden Abdullah putra Pati Unus dalam meng-Islam-kan tanah Pasundan hingga dinamai satu tempat singgah mereka dalam penaklukan itu di Jawa Barat dengan Tasikmalaya yang berarti Danau nya orang Malaya (Melayu). Sedangkan Pati Unus, Sultan Demak II yang gugur kemudian disebut masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran (yang gugur) di seberang utara. Pimpinan Armada Gabungan Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon segera diambil alih oleh Fadhlullah Khan yang oleh Portugis disebut Falthehan, dan belakangan disebut Fatahillah setelah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa 1527. Di ambil alih oleh Fadhlullah Khan adalah atas inisiatif Sunan Gunung Jati yang sekaligus menjadi mertua karena putri beliau yang menjadi janda Sabrang Lor dinikahkan dengan Fadhlullah Khan.

[sunting] KeturunanDengan selamatnya putra Pati Unus yang kedua yaitu Raden Abdullah, maka sungguh Allah hendak melestarikan keturunan para Syahid, seperti yang terjadi pada pembantaian cucu nabi Muhammad, Imam Husain dan keluarganya ternyata keturunan beliau justru menjadi berkembang besar dengan selamatnya putra beliau Imam Zaynal Abidin. Bukan kebetulan pula bila Pati Unus pun seperti yang disebut diatas adalah keturunan Imam Husayn cucu Nabi Muhammad SAW, karena hanya Pahlawan besar yang melahirkan Pahlawan besar. Ketika armada Islam mendaratkan pasukan Banten di teluk Banten, Raden Abdullah diajak pula untuk turun di Banten untuk tidak melanjutkan perjalanan pulang ke Demak. Para komandan dan penasehat armada yang masih saling berkerabat satu sama lain sangat khawatir kalau Raden Abdullah akan dibunuh dalam perebutan tahta mengingat sepeninggal Pati Unus, sebagian orang di Demak merasa lebih berhak untuk mewarisi Kesultanan Demak karena Pati Unus hanya menantu Raden Patah dan keturunan Pati Unus (secara patrilineal)

adalah keturunan Arab seperti keluarga Kesultanan Banten dan Cirebon, sementara Raden Patah adalah keturunan Arab hanya dari pihak Ibu sedangkan secara patrilineal (garis lakilaki terus menerus dari pihak ayah, Brawijaya) adalah murni keturunan Jawa (Majapahit). Kebanggaan Orang Jawa sebagai orang Jawa walaupun sudah menerima Islam berbeda dengan sikap orang Pasundan setelah menerima Islam berkenan menerima Raja mereka dari keturunan Arab seperti Sultan Cirebon Sunan Gunung jati dan putranya Sultan Banten Mawlana Hasanuddin. Kebanggaan orang Jawa sebagai bangsa yang punya identitas sendiri, dengan gugurnya Pati Unus, membuka kembali konflik lama yang terpendam dibawah kewibawaan dan keadilan yang bersinar dari Pati Unus. Kisah ini nyaris mirip dengan gugurnya Khalifah umat Islam ketiga di Madinah, Umar bin Khattab yang segera membuka kembali konflik lama antara banyak kelompok yang sudah lama saling bertikai di Mekah dan Madinah. Sedangkan di tanah Jawa, sejak Islam merata masuk hingga pelosok dibawah kepeloporan kesultanan Demak pada akhirnya timbul persaingan antara kaum Muslim Santri di pesisir dengan Muslim Abangan di pedalaman yang berakibat fatal dengan perang saudara berkelanjutan antara Demak, Pajang dan Mataram.

[sunting] Kiprah Putra Pati Unus di BantenSebagian riwayat turun temurun menyebutkan Pangeran Yunus (Raden Abdullah putra Pati Unus) ini kemudian dinikahkan oleh Mawlana Hasanuddin dengan putri yang ke III, Fatimah. Tidak mengherankan, karena Kesultanan Demak telah lama mengikat kekerabatan dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Selanjutnya pangeran Yunus yang juga banyak disebut sebagai Pangeran Arya Jepara dalam sejarah Banten, banyak berperan dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (adik ipar beliau) sebagai penasehat resmi Kesultanan . Dari titik ini keturunan beliau selalu mendapat pos Penasehat Kesultanan Banten , seperti seorang putra beliau Raden Aryawangsa yang menjadi Penasehat bagi Sultan Banten ke III Mawlana Muhammad dan Sultan Banten ke IV Mawlana Abdul Qadir. Ketika penaklukan Kota Pakuan terakhir 1579, Raden Aryawangsa yang masih menjadi Panglima dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (yang juga paman beliau sendiri karena Ibunda beliau adalah kakak dari Mawlana Yusuf yang dinikahi Raden Abdullah putra Pati Unus) mempunyai jasa besar, sehingga diberikan wilayah kekuasaan Pakuan dan bermukim hingga wafat di desa Lengkong (sekarang dekat Serpong). Raden Aryawangsa menikahi seorang putri Istana Pakuan dan keturunannya menjadi Adipati Pakuan dengan gelar Sultan Muhammad Wangsa yang secara budaya menjadi panutan wilayah Pakuan yang telah masuk Islam (Bogor dan sekitarnya), tapi tetap tunduk dibawah hukum Kesultanan Banten.

Seperti yang disebut diatas, Raden Aryawangsa kemudian lebih banyak berperan di Kesultanan Banten sebagai Penasehat Sultan, setelah beliau wafat kiprah keluarga Pati Unus kemudian diteruskan oleh putra dan cucu beliau para Sultan Pakuan Islam hingga Belanda menghancurkan keraton Surosoan di zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1683), dan membuat keraton Pakuan Islam ,sebagai cabang dari Keraton Banten, ikut lenyap dari percaturan politik dengan Sultan yang terakhir Sultan Muhammad Wangsa II bin Sultan Muhammad Wangsa I bin Raden Aryawangsa bin Raden Abdullah bin Pangeran Sabrang Lor bin Raden Muhammad Yunus Jepara ikut menyingkir ke pedalaman Bogor sekitar Ciampea.

[sunting] Kiprah Putra Pati Unus di wilayah Galuh (Priangan Timur)Selain Raden Aryawangsa, Raden Abdullah putra Pati Unus juga memiliki anak lelaki lainnya yaitu yang dikenal sebagai Raden Suryadiwangsa yang belakangan lebih dikenal dengan gelar Raden Suryadiningrat yang diberikan Panembahan Senopati ketika Mataram resmi menguasai Priangan Timur pada tahun 1595. Kehadiran putra Pati Unus di wilayah Priangan Timur ini tidak terlepas dari kerjasama dakwah antara Kesultanan Banten dan Cirebon dalam usaha meng islam kan sisa-sisa kerajaan Galuh di wilayah Ciamis hingga Sukapura (sekarang Tasikmalaya). Raden Surya dikirim ayahnya, Raden Abdullah putra Pati Unus yang telah menjadi Penasehat Kesultanan Banten untuk membantu laskar Islam Cirebon dalam usaha peng Islaman Priangan Timur. Raden Surya memimpin dakwah (karena hampir tanpa pertempuran) hingga mencapai daerah Sukapura dibantu keturunan tentara Malaka yang hijrah ketika Pati Unus gagal merebut kembali Malaka dari penjajah Portugis. Beristirahatlah mereka di suatu tempat dan dinamakan Tasikmalaya yang berarti danaunya orang Malaya (Melayu) karena didalam pasukan beliau banyak terdapat keturunan Melayu Malaka. Raden Surya di tahun 1580 ini di angkat oleh Sultan Cirebon II Pangeran Arya Kemuning atau dipanggil juga Pangeran Kuningan (putra angkat Sunan Gunung Jati, karena putra kandung Pangeran Muhammad Arifin telah wafat) sebagai Adipati Galuh Islam. Akan tetapi seiring dengan makin melemahnya kesultanan Cirebon sejak wafatnya Sunan Gunung Jati pada tahun 1579, maka wilayah Galuh Islam berganti-ganti kiblat Kesultanan. Pada saat 1585-1595 wilayah Sumedang maju pesat dengan Prabu Geusan Ulun memaklumkan diri jadi Raja memisahkan diri dari Kesultanan Cirebon. Sehingga seluruh wilyah Priangan taklukan Cirebon termasuk Galuh Islam bergabung ke dalam Kesultanan Sumedang Larang. Inilah zaman keemasan Sumedang yang masih sering di dengungkan oleh keturunan Prabu Geusan Ulun dari dinasti Kusumahdinata. Sekitar tahun 1595 Panembahan Senopati dari Mataram mengirim expedisi hingga Priangan, Sumedang yang telah lemah sepeninggal Prabu Geusan Ulun kehilangan banyak wilayah

termasuk Galuh Islam. Maka Kadipaten Galuh Islam yang meliputi wilayah Ciamis hingga Sukapura jatuh ke tangan Panembahan Senopati. Raden Suryadiwangsa cucu Pati Unus segera diangkat Panembahan Senopati sebagai Penasehat beliau untuk perluasan wilayah Priangan dan diberi gelar baru Raden Suryadiningrat. Di sekitar tahun 1620 salah seorang putra Raden Suryadiningrat menjadi kepala daerah Sukapura beribukota di Sukakerta bernama Raden Wirawangsa setelah menikah dengan putri bangsawan setempat. Raden Wirawangsa kelak di tahun 1635 resmi menjadi Bupati Sukapura diangkat oleh Sultan Agung Mataram karena berjasa memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Raden Wirawangsa diberi gelar Tumenggung Wiradadaha I yang menjadi cikal bakal dinasti Wiradadaha di Sukapura (Tasikmalaya). Gelar Wiradadaha mencapai yang ke VIII dan dimasa ini dipindahkanlah ibukota Sukapura ke Manonjaya. Bupati Sukapura terakhir berkedudukan di Manonjaya adalah kakek dari kakek kami bergelar Raden Tumenggung Wirahadiningrat memerintah 1875-1901. Setelah beliau pensiun maka ibukota Sukapura resmi pindah ke kota Tasikmalaya.

Sultan TrenggonoDari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Langsung ke: navigasi, cari

Sultan Trenggana adalah raja ketiga Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1521-1546. Di bawah pemerintahannya, wilayah kekuasaan Demak meluas sampai ke Jawa Timur.

Silsilah Sultan TrengganaSultan Trenggana adalah putra Raden Patah pendiri Demak yang lahir dari permaisuri Ratu Asyikah putri Sunan Ampel. Menurut Suma Oriental, ia dilahirkan sekitar tahun 1483. Ia merupakan adik kandung Pangeran Sabrang Lor, raja Demak sebelumnya (versi Serat Kanda). Sultan Trenggana memiliki beberapa orang putra dan putri. Diantaranya yang paling terkenal ialah Sunan Prawoto yang menjadi raja penggantinya, Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara, Ratu Mas Cempaka yang menjadi istri Sultan Hadiwijaya, dan Rangga Jemuna yang menjadi bupati Madiun.

Sultan Trenggana Naik TakhtaSepeninggal Pangeran Sabrang Lor tahun 1521 terjadi perebutan takhta antara kedua adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana. Putra sulung Trenggana yaitu Raden Mukmin (nama kecil Sunan Prawoto) mengirim utusan membunuh Raden Kikin di tepi sungai. Sejak itu Raden Kikin terkenal sebagai Pangeran Sekar Seda ing Lepen (artinya, "bunga yang gugur di sungai").

Raden Trenggana pun naik takhta, bergelar Sultan Trenggana. Pada tahun 1524 datang seorang pemuda dari Pasai bernama Fatahillah. Sultan Trenggana menyukainya dan menikahkan pemuda itu dengan adiknya, yaitu Ratu Pembayun (janda Pangeran Jayakelana putra Sunan Gunung Jati). Sebaliknya, Fatahillah juga memperkenalkan pemakaian gelar bernuansa Arab sebagaimana yang lazim dipakai oleh raja-raja Islam di Sumatra. Maka, Sultan Trenggana kemudian juga bergelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Tokoh Fatahillah inilah yang pada tahun 1527 dikirim membantu Sunan Gunung Jati raja Cirebon menghadapi Pajajaran dan Portugis. Ia berhasil membebaskan pelabuhan Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta atau Jakarta.

Menaklukkan Majapahit dan SekitarnyaUpacara pernikahan Fatahillah tahun 1524 dikejutkan dengan berita kematian Sunan Ngudung dalam perang melawan Majapahit. Adapun ibu kota Majapahit saat itu sudah pindah ke Daha di bawah pemerintahan Girindrawardhana. Raja Majapahit ini hanyalah bersifat simbol, karena pemerintahan dikendalikan penuh oleh Patih Hudara. Sang Patih juga menjalin persahabatan dengan Portugis untuk memerangi Demak. Akhirnya pada tahun 1527 pasukan Demak dipimpin Sunan Kudus (putra Sunan Ngudung) berhasil mengalahkan Majapahit. Kerajaan yang pernah berjaya di masa lalu itu akhirnya musnah sama sekali. Selain itu Tuban juga ditaklukkan pada tahun yang sama. Penguasa Tuban menurut catatan Portugis bernama Pate Vira, seorang muslim tapi setia kepada Majapahit. Berita ini menunjukkan kalau perang antara Demak dan Majapahit dilandasi persaingan kekuasaan, bukan karena sentimen antara agama Islam dan Hindu. Pada tahun 1528 Sultan Trenggana menaklukkan Wirasari, kemudian Gagelang (Madiun) tahun 1529, Medangkungan (Blora) tahun 1530, Surabaya tahun 1531, Pasuruan tahun 1535. Hampir sebagian besar penyerangan terhadap daerah-daerah tersebut dipimpin oleh Trenggana sendiri. Antara tahun 1541-1542 Demak menaklukkan Lamongan, Blitar, dan Wirasaba (Mojoagung, Jombang). Gunung Penanggungan yang menjadi pusat sisa-sisa pelarian Majapahit direbut tahun 1543. Kemudian Kerajaan Sengguruh di Malang, yang pernah menyerang Giri Kedaton, dikalahkan tahun 1545.

[sunting] Sultan Trenggana Mengundang Sunan KalijagaPada tahun 1543 Sultan Trenggana mengundang Sunan Kalijaga pindah ke Demak. Sunan Kalijaga sendiri sebelumnya membantu Sunan Gunung Jati berdakwah di Cirebon.

Beberapa waktu kemudian terjadi perbedaan pendapat antara Sunan Kalijaga dengan Sunan Kudus dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Dalam hal ini Sultan Trenggana lebih memilih pendapat Sunan Kalijaga. Akibatnya, Sunan Kudus kecewa dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai imam Masjid Agung Demak. Sunan Kalijaga diangkat sebagai imam baru dan diberi tanah perdikan di Adilangu.

[sunting] Kematian Sultan TrengganaBerita kematian Sultan Trenggana ditemukan dalam catatan seorang Portugis bernama Fernandez Mendez Pinto. Pada tahun 1546 Sultan Trenggana menyerang Panarukan, Situbondo yang saat itu dikuasai Blambangan. Sunan Gunung Jati membantu dengan mengirimkan gabungan prajurit Cirebon, Banten, dan Jayakarta sebanyak 7.000 orang yang dipimpin Fatahillah. Mendez Pinto bersama 40 orang temannya saat itu ikut serta dalam pasukan Banten. Pasukan Demak sudah mengepung Panarukan selama tiga bulan, tapi belum juga dapat merebut kota itu. Suatu ketika Sultan Trenggana bermusyawarah bersama para adipati untuk melancarkan serangan selanjutnya. Putra bupati Surabaya yang berusia 10 tahun menjadi pelayannya. Anak kecil itu tertarik pada jalannya rapat sehingga tidak mendengar perintah Trenggana. Trenggana marah dan memukulnya. Anak itu secara spontan membalas menusuk dada Trenggana memakai pisau. Sultan Demak itu pun tewas seketika dan segera dibawa pulang meninggalkan Panarukan.

Sunan PrawotoSunan Prawoto adalah raja keempat Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1546-1549. Nama aslinya ialah Raden Mukmin. Ia lebih cenderung sebagai seorang ahli agama dari pada ahli politik.

Raden Mukmin Semasa MudaNaskah babad dan serat menyebut Raden Mukmin adalah putra sulung Sultan Trenggana. Ia lahir saat ayahnya masih sangat muda dan belum menjadi raja. Pada tahun 1521 Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia tanpa keturunan. Kedua adiknya beraing memperebutkan takhta, yaitu Raden Trenggana dan Raden Kikin. Raden Trenggana adalah adik kandung Pangeran Sabrang Lor, sama-sama lahir dari permaisuri Raden Patah, sedangkan Raden Kikin meskipun lebih tua usianya, tapi lahir dari selir, yaitu putri bupati Jipang. Dalam persaingan ini tentu saja Raden Mukmin memihak ayahnya. Ia mengirim pembantunya yang bernama Ki Surayata untuk membunuh Raden Kikin sepulang Salat

Jumat. Raden Kikin tewas di tepi sungai, sedangkan para pengawalnya sempat membunuh Ki Surayata. Sejak saat itu Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya "bunga yang gugur di sungai". Pangeran Sekar Seda Lepen meninggalkan dua orang putra dari dua orang istri, yang bernama Arya Penangsang dan Arya Mataram.

Pemerintahan Sunan PrawotoSultan Trenggana memerintah Kesultanan Demak tahun 1521-1546. Sepeninggalnya, Raden Mukmin selaku putra tertua naik takhta. Ambisinya sangat besar untuk melanjutkan usaha ayahnya menaklukkan Pulau Jawa. Namun keterampilannya dalam berpolitik sangat rendah. Ia lebih suka hidup sebagai ulama suci dari pada sebagai raja. Pusat pemerintahan Raden Mukmin dipindahkan dari kota Bintoro menuju bukit Prawoto. Oleh karena itu, Raden Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto. Pemerintahan Sunan Prawoto juga terdapat dalam catatan seorang Portugis bernama Manuel Pinto. Pada tahun 1548 Manuel Pinto singgah ke Jawa sepulang mengantar surat untuk uskup agung Pastor Vicente Viegas di Makassar. Ia sempat bertemu Sunan Prawoto dan mendengar rencananya untuk mengislamkan seluruh Jawa, serta ingin berkuasa seperti sultan Turki. Sunan Prawoto juga berniat menutup jalur beras ke Malaka dan menaklukkan Makassar. Akan tetapi, rencana itu berhasil dibatalkan oleh bujukan Manuel Pinto. Pada kenyataannya, cita-cita Sunan Prawoto tidak pernah terlaksana. Ia lebih sibuk sebagai ahli agama dari pada mempertahankan kekuasaannya. Satu per satu daerah bawahan, misalnya Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik berkembang bebas sedangkan Demak tidak mampu menghalanginya.

Kematian Sunan PrawotoSelain Sunan Prawoto muncul dua orang lagi menjadi tokoh kuat sepeninggal Sultan Trenggana, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang, dan Hadiwijaya bupati Pajang. Masingmasing adalah keponakan dan menantu Sultan Trenggana. Arya Penangsang adalah putra Pangeran Sekar Seda ing Lepen yang mendapat dukungan dari gurunya, yaitu Sunan Kudus untuk merebut takhta Demak. Pada tahun 1549 ia mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya. Menurut Babad Tanah Jawi, pada suatu malam Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar tidur Sunan Prawoto. Sunan mengakui kesalahannya telah membunuh Pangeran Seda Lepen. Ia rela dihukum mati asalkan keluarganya diampuni. Rangkud setuju. Ia lalu menikam dada Sunan Prawoto yang pasrah tanpa perlawanan sampai tembus. Ternyata istri Sunan sedang berlindung di balik punggungnya. Akibatnya ia pun

tewas pula. Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawoto marah dan sempat membunuh Rangkud dengan sisa-sisa tenaganya. Sunan Prawoto tewas meninggalkan seorang putra yang masih kecil bernama Arya Pangiri, yang kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat dari Jepara. Setelah dewasa, Arya Pangiri menjadi menantu Sultan Hadiwijaya raja Pajang, dan diangkat sebagai bupati Demak.

[sunting] Raden Mukmin dalam Kronik CinaKronik Cina dari kuil Sam Po Kong menyebut Raden Mukmin dengan nama Muk Ming. Pada tahun 1529 ia menggantikan Kin San sebagai kepala galangan kapal di Semarang. Kin San adalah adik Jin Bun (alias Raden Kusen adik Raden Patah). Muk Ming bekerja keras dibantu masyarakat Cina baik yang muslim ataupun non muslim menyelesaikan 1.000 kapal besar yang masing-masing dapat memuat 400 orang prajurit. Pembangunan kapal-kapal perang tersebut untuk kepentingan angkatan laut ayahnya, yaitu Tung-ka-lo (Sultan Trenggana) yang berniat merebut Maluku. Belum sempat Tung-ka-lo merebut Maluku, ia lebih dulu tewas saat menyerang Panarukan tahun 1546. Muk Ming pun naik takhta namun dimusuhi sepupunya yang menjadi bupati Jipang (alias Arya Penangsang). Perang saudara terjadi. Kota Demak dihancurkan bupati Ji-pang. Muk Ming pindah ke Semarang tapi terus dikejar musuh. Akhirnya ia tewas di kota itu. Galangan kapal hancur terbakar pula. Yang tersisa hanya masjid dan kelenteng saja.