DELIGNIFIKASI SERBUK KAYU JATI PUTIH -...

115
DELIGNIFIKASI SERBUK KAYU JATI PUTIH (Gmelina arborea Roxb.) MENGGUNAKAN FUNGI Phanerochaete chrysosporium YANG DIIRADIASI GAMMA AFINANISA IKSAN PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M / 1437 H

Transcript of DELIGNIFIKASI SERBUK KAYU JATI PUTIH -...

DELIGNIFIKASI SERBUK KAYU JATI PUTIH

(Gmelina arborea Roxb.) MENGGUNAKAN FUNGI

Phanerochaete chrysosporium YANG DIIRADIASI GAMMA

AFINANISA IKSAN

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015 M / 1437 H

DELIGNIFIKASI SERBUK KAYU JATI PUTIH

(Gmelina arborea Roxb.) MENGGUNAKAN FUNGI

Phanerochaete chrysosporium YANG DIIRADIASI GAMMA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

AFINANISA IKSAN

1111096000072

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015 M / 1437 H

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI

SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU

LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Oktober 2015

Afinanisa Iksan

1111096000072

ABSTRAK

Afinanisa Iksan. Delignifikasi Serbuk Kayu Jati Putih (Gmelina Arborea Roxb.)

Menggunakan Fungi Phanerochaete chrysosporium yang Diiradiasi Gamma.

Dibimbing oleh Tri Retno Dyah Larasati dan Nurhasni.

Biomassa lignoselulosa yang merupakan limbah pemanenan kayu harus

dilakukan proses untuk memisahkan selulosa, hemiselulosa dan lignin sehingga

dapat termanfaatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas

inokulan fungi Phanerochaete chrysosporium iradiasi gamma dan pretreatment

kimia terhadap percepatan delignifikasi serbuk kayu jati putih (Gmelina arborea

Roxb.) sehingga dapat dimanfaatkan dalam proses pulping. Pada penelitian ini

dilakukan pretreatment substrat kayu jati putih (Gmelina arborea Roxb.)

menggunakan larutan NaOH 1% dan H2SO4 1% serta iradiasi gamma Co-60,

yang mempunyai daya ionisasi kecil, daya tembus yang tinggi serta Co-60 dapat

memancarkan sinar gamma dengan waktu paruh pendek. Penelitian ini dilakukan

dalam dua tahap, tahap pertama penentuan dosis optimum iradiasi gamma

terhadap fungi Phanerochaete chrysosporium (0 Gy, 200 Gy, 400 Gy, 600 Gy,

800 Gy, dan 1000 Gy) dan tahap kedua analisis karakteristik substrat kayu jati

putih yang telah di pretreatment dengan metode Solid State Fermentation (SSF)

selama 21 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis optimum pemberian

iradiasi gamma pada fungi Phanerochaete chrysosporium yaitu pada dosis 600 Gy

yang dapat meningkatkan aktivitas enzim lignin peroksidase (LiP) sebesar 22,18

U/mL. Proses pretreatment kimia dengan menggunakan H2SO4 1% dapat

mempercepat proses biodelignifikasi yang menghasilkan efisiensi degradasi

lignin tertinggi yaitu sebesar 25,65%.

Kata kunci: lignoselulosa, delignifikasi, Solid State Fermentation (SSF),

Phanerochaete chrysosporium, iradiasi gamma.

ABSTRACT

Afinanisa Iksan. Delignification of Sawdust White Teak (Gmelina arborea

Roxb.) By Fungi Phanerochaete chrysosporium Irradiated Gamma Ray.

Supervised by Tri Retno Dyah Larasati and Nurhasni.

Lignocellulose biomass is waste wood harvesting should be a process for

separating cellulose, hemicellulose and lignin that can be utilized. This study aims

to determine the effectiveness of the inoculant fungi Phanerochaete

chrysosphorium gamma irradiation and chemical pretreatment to accelerate

delignification powder white teak (Gmelina arborea Roxb.). In this research,

pretreatment of substrate wood white teak (Gmelina arborea Roxb.) Using a

solution of NaOH 1% and H2SO4 1% and gamma-ray irradiation Co-60, have the

power of ionization is small, high penetrating power, and Co-60 which can emit

gamma rays a short half-life time. This research was conducted in two stages, the

first stage of determining the optimum dose gamma irradiation for fungi

Phanerochaete chrysosphorium (0 Gy, 200 Gy, 400 Gy, 600 Gy, 800 Gy, and

1000 Gy) and the second stage of the analysis of the characteristics of the

substrate wood white teak has been in pretreatment by methode Solid State

Fermentation (SSF) for 21 days. The results showed that the optimum dose

administration of gamma irradiation on fungi Phanerochaete chrysosphorium is a

dose of 600 Gy which can increase the activity of enzymes lignin peroxidase

(LiP) amounted to 22.18 U / mL. Chemical pretreatment process using H2SO4 1%

biodelignification can accelerate the process of lignin degradation that produces

the highest efficiency of 25.65%.

Keywords: lignocellulose, delignification, Solid State Fermentation (SSF),

Phanerochaete chrysosporium, gamma irradiation.

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa, karena

berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul Delignifikasi Serbuk Kayu Jati Putih (Gmelina arborea Roxb.)

Menggunakan Fungi Phanerochaete chrysosporium yang Diiradiasi Gamma.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tak lepas dari bantuan

banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. Dede Sukandar, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains

dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sebagai penguji yang

telah banyak memberikan saran serta masukan yang sangat bermanfaat.

3. Dra. Tri Retno Dyah Larasati, M.Si selaku Pembimbing I yang telah

memberikan pengarahan serta bimbingannya sehingga banyak membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Nurhasni, M.Si selaku Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan,

bimbingannya serta dukungan sehingga banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

5. Adi Riyadhi, M.Si sebagai penguji yang telah banyak memberikan saran dan

masukan yang bermanfaat.

6. Nana Mulyana, S.T yang telah memberikan pengetahuannya dan meluangkan

waktu untuk berdiskusi.

ix

7. Mas Arif, Pak Wardi, dan Pak Edi serta seluruh staff Laboratorium

LingkunganPAIR-BATAN yang telah membantu memperlancar

pelaksanaan penelitian.

8. Ayah, ibu dan kakak serta adik tercinta atas segala doa, pengorbanan, nasihat

dan motivasinya kepada penulis.

9. Segenap dosen Program Studi Kimia atas ilmu pengetahuan dan ilmu hidup

yang dengan ikhlas diajarkan kepada penulis.

10. Teman-teman satu lab (Yoan, Uus, Tantri, Nita, Mba Ristie, Meli, Upit, dan

Ka Ziah) di Laboratorium Lingkungan PAIR BATAN (Pusat Aplikasi

Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional) yang selalu membantu

pelaksanaan penelitian dan memberikan dukungan serta keceriaan kepada

penulis.

11. Teman-teman Kimia angkatan 2011 yang senantiasa memberi dukungan,

motivasi dan keceriaan kepada penulis.

12. Serta semua pihak yang telah membantu secara langsung dan tidak langsung,

yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa

masih banyak kekurangan . Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi

penulis dan umumnya bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Jakarta, September 2015

Penulis

x

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .............................................................................. viii

DAFTAR ISI ............................................................................................. x

DAFTAR TABEL .................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xv

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 4

1.3. Hipotesis ............................................................................................. 5

1.4. Tujuan ................................................................................................. 5

1.5. Manfaat ............................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kayu Jati Putih (Gmelina arborea Roxb.) .......................................... 6

2.2. Komponen Kimia Kayu ...................................................................... 7

2.2.1. Selulosa ..................................................................................... 8

2.2.2. Hemiselulosa ............................................................................. 9

2.2.3. Lignin ........................................................................................ 10

2.2.4. Ekstraktif dan Abu .................................................................... 13

2.3. Fungi Phanerochaete chrysosporium ................................................. 14

2.4. Enzim Ligninolitik dan Degradasi Lignin ........................................... 16

2.5. Radiasi ................................................................................................. 18

2.6. Radiasi Sinar Gamma Dosis Rendah .................................................. 18

2.7. Fermentasi ........................................................................................... 20

2.7.1. Fermentasi Substrat Padat ......................................................... 21

2.7.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fermentasi ........................ 22

2.8. Spektrofotometer UV-Vis ................................................................... 23

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 26

xi

3.2. Alat dan Bahan .................................................................................... 26

3.2.1. Alat ............................................................................................ 26

3.2.2. Bahan ........................................................................................ 26

3.3. Rancangan Penelitian .......................................................................... 27

3.4. Cara Kerja ........................................................................................... 28

3.4.1. Preparasi Serbuk Kayu Jati Putih (Gmelina arborea Roxb.) .... 28

3.4.2. Preparasi Kultur Fungi Phanerochaete chrysosporium ............ 28

3.4.3. Penentuan Dosis Iradiasi Optimum .......................................... 28

3.4.4. Fermentasi Substrat Kayu Jati Putih (Gmelina arborea Roxb.) 29

3.4.4.1. Solid State Fermentation (SSF) Substrat

Kayu Jati Putih (Gmelina arborea Roxb.) ................ 29

3.4.5. Evaluasi Hari ke 0 dan 21 ........................................................ 30

3.4.5.1. Penentuan Kadar Lignin, Selulosa, & Hemiselulosa .. 30

3.4.5.2. Penentuan Kadar C Organik ....................................... 31

3.4.5.3. Penentuan Total Nitrogen ........................................... 31

3.4.6. Evaluasi Hari ke 0, 7, 14, dan 21 .............................................. 32

3.4.6.1. Uji Aktivitas Enzim Lignin Peroksidase .................... 32

3.4.6.2. Penentuan Nilai pH .................................................... 33

3.4.6.3. Penentuan Bobot Biiomassa Fungi ............................ 33

3.4.6.4. Penentuan Kadar Air .................................................. 33

3.4.6.5. Penentuan Kadar Bahan Organik dan Abu ................ 34

3.4.7. Analisis Data ............................................................................ 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Orientasi Dosis Optimum Iradiasi Gamma

Fungi Phanerochaete chrysosporium ................................................. 36

4.2. Karakteristik Substrat Kayu Jatih Putih Pra-SSF

(Solid State Fermentation) .................................................................. 40

4.3. Fermentasi Serbuk Kayu Jati Putih Metode SSF

(Solid State Fermentation) .................................................................. 45

4.3.1. Nilai pH ..................................................................................... 47

4.3.2. Bobot Biomassa Mikroba .......................................................... 49

4.3.3. Kadar Air ................................................................................... 50

xii

4.3.4. Kadar Bahan Organik dan Abu ................................................. 51

4.4. Hasil SSF Serbuk Kayu Jati Putih dengan

Phanerochaete chrysosporium selama 21 Hari .................................. 53

4.4.1. Efisiensi Degradasi Lignin dan Peningkatan Kadar Selulosa .... 54

4.4.2. Kadar C Organik ....................................................................... 57

4.4.5. Kadar Total Nitrogen ................................................................ 59

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan ............................................................................................. 61

5.2. Saran .................................................................................................... 61

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 62

LAMPIRAN .............................................................................................. 70

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi Kimia Beberapa Biomassa ........................................ 8

Tabel 2. Perlakuan Sampel ........................................................................ 27

Tabel 3. Karakterisasi Substrat Kayu Jati Putih

(Gmelina arborea Roxb.).............................................................. 41

Tabel 4. Efisiensi Degradasi Lignin (%) ................................................... 54

Tabel 5. Peningkatan Kadar Selulosa (%) ................................................. 55

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kayu, Daun, Bunga, dan Buah Pohon Jati Putih

(Gmelina arborea Roxb.) ....................................................... 7

Gambar 2. Struktur Selulosa ..................................................................... 9

Gambar 3. Struktur Hemiselulosa ............................................................ 10

Gambar 4. Unit Dasar Pembentuk Lignin ................................................ 11

Gambar 5. Biosintesis Lignin ................................................................... 13

Gambar 6. Fungi Phanerochaete chrysosporium ..................................... 14

Gambar 7. Skema Spektrofotometer UV-Vis ........................................... 24

Gambar 8. Grafik Hubungan Dosis Iradiasi dengan Aktivitas Lignin

Peroksidase (Lip) pada Phanerochaete chrysosporium ......... 36

Gambar 9. Sistem Oksigen Aktif .............................................................. 39

Gambar 10. Substrat Kayu Jati Putih Sebelum dan Setelah Pengeringan 41

Gambar 11. Mekanisme Pemutusan Ikatan Lignin dengan Selulosa ....... 43

Gambar 12. Reaksi Hidrolisis Hemiselulosa Membentuk Furfural ......... 44

Gambar 13. Skema Pretreatment H2SO4 pada Lignin .............................. 45

Gambar 14. Perubahan pH oleh Phanerochaete chrysosporium

terhadap Proses Fermentasi Substrat Selama 21 Hari .......... 47

Gambar 15. Grafik Perubahan Bobot Biomassa Fungi ............................ 49

Gambar 16. Grafik Perubahan Kadar Air Proses Fermentasi ................... 50

Gambar 17. Peningkatan Kandungan Bahan Organik Substrat ................ 51

Gambar 18. Grafik Penurunan Kadar Abu Selama Fermentasi ................ 52

Gambar 19. Kadar Ekstraktif Substrat Selama Fermentasi ...................... 56

Gambar 20. Grafik Perubahan Kadar C Organik Sampel ........................ 57

Gambar 21. Perubahan Total N Selama Proses Fermentasi ..................... 58

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Diagran Alir Penelitian ........................................................ 70

Lampiran 2. Aktivitas Enzim Lignin Peroksidase (LiP) .......................... 71

Lampiran 3. Karakteristik Substrat Kayu Jati Putih ................................. 71

Lampiran 4. Karakteristik Substrat Kayu Jati Putih Proses SSF .............. 72

Lampiran 5. Hasil Proses SSF .................................................................. 73

Lampiran 6. Contoh Perhitungan ............................................................. 74

Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian ....................................................... 82

Lampiran 8. Data Uji Statistik Duncan SPSS 16.0 .................................. 84

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Agroindustri merupakan salah satu sektor industri yang memegang

peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Salah satu sektor agroindustri

yang berkembang pesat di Indonesia pada saat ini adalah industri pulp dan kertas.

Industri kertas merupakan salah satu jenis industri terbesar di dunia dengan

menghasilkan 178 juta ton pulp dan 278 juta ton kertas dan karton, dan

menghabiskan 670 juta ton kayu (Rini, 2002).

Hanya sekitar 60-70% dalam proses pengolahan kayu dari komoditi kayu

yang diolah menjadi produk, dengan limbah sisa kayu dan serbuk gergajiannya

mencapai kurang lebih 30-40% (Darmaji et al., 1998). Limbah yang dihasilkan

dalam aktifitas industri perkayuan sebagian besar merupakan limbah padat berupa

serpihan kulit kayu, potongan-potongan kayu berukuran kecil (chips wood) dan

yang terbuang saat kayu dipotong dengan gergaji (BPPT, 2012). Salah satu jalan

yang dapat ditempuh adalah memanfaatkannya menjadi produk yang bernilai

tambah dengan teknologi aplikatif yaitu proses fermentasi menggunakan metode

fermentasi fase padat atau Solid State Fermentation (SSF).

Biomassa lignoselulosa yang merupakan limbah pemanenan kayu harus

dilakukan proses untuk memisahkan selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pembuatan

kertas lebih membutuhkan selulosa dan hemiselulosa daripada lignin. Dalam

industri kertas, lignin harus dihilangkan dari kayu karena akan menggangu

terbentuknya pulp dalam pembuatan kertas. Pengaruh lignin dalam proses pulping

maupun mutu pulp dan kertas adalah menyulitkan dalam penggilingan, pulp

2

berkekuatan rendah, sulit diputihkan, dan kertas yang dihasilkan bersifat kaku,

warnanya kuning dan mutunya rendah (Kenneth, 1970). Oleh karena itu,

diperlukan teknik tertentu untuk mendegradasi lignin dari wood chips yang akan

dibuat kertas.

Penanganan limbah setelah pemanenan kayu dilakukan proses yang dapat

bersifat fisika, kimia, biologi ataupun terpadu dengan teknologi tertentu. Teknik

biopulping merupakan salah satu alternatif dalam pemecahan masalah tersebut

(Kartasasmita et al., 2011). Teknik biopulping memberi peranan bagi organisme

tertentu misalnya fungi, serangga, dan bakteri dalam proses pembuatan kertas.

Penerapan biodelignifikasi pada proses pulping menggunakan asam sulfat

memang lebih toleran untuk semua jenis kayu akan tetapi rendemen kertas yang

dihasilkan kecil dan tidak ramah lingkungan. Akan tetapi, biopulping dengan

fungi lebih efektif dan efisien dibandingkan proses kimia lainnya (Kartasamita et

al., 2011). Limbah lignoselulosa yang berlimpah dan belum termanfaatkan dapat

dikonversi menjadi produk akhir yang lebih bernilai secara ekonomi dengan

menggunakan fermentasi fase padat (Prabhakar et al., 2005).

Saat ini produksi enzim banyak dilakukan dengan menggunakan metode

fermentasi fase padat atau Solid State Fermentation (SSF). Prinsip dasar SSF

adalah pertumbuhan mikroba pada substrat padat basah dengan kadar air rendah

atau berada di dalam pori tanpa adanya pergerakan air bebas (Prabhakar et al.,

2005) namun substrat harus memiliki kadar air yang cukup untuk mendukung

pertumbuhan dan metabolisme mikroba (Singhania et al., 2009). Proses produksi

dengan SSF memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan metode lain

seperti Sub merged Fermentation (SmF). Substrat padat tersebut digunakan

3

sebagai tempat hidup dan sumber nutrisi mikroba untuk melakukan aktivitas

hidupnya (Shah dan Madamwar, 2005).

Di alam terdapat tiga kelompok fungi yang dapat menguraikan komponen

kayu (lignoselulosa) yaitu pelapuk cokelat (brown rot), pelapuk putih (white rot)

dan pelapuk lunak (soft rot). Pengelompokan fungi pelapuk ini didasarkan pada

hasil proses pelapukan. Fungi pelapuk putih (white rot) memiliki kemampuan

mendegradasi lignin yang tinggi dengan sedikit mengakibatkan kehilangan

selulosa (Risdianto et al., 2007). Degradasi lignin melibatkan aktivitas enzim

ligninolitik yang dihasilkan oleh fungi pelapuk putih yaitu Lignin Peroksidase

(LiP), Manganese Peroksidase (MnP) dan Lakase. Ribuan fungi yang diketahui

mempunyai kemampuan ligninolitik, Phanerochaete chrysosporium merupakan

fungi yang paling banyak dipelajari (Howard et al., 2003). Kemampuan

Phanerochaete chrysosporium dalam mendegradasi lignin dapat mencapai 7%

hingga 30% tergantung dari jenis lignin dan waktu inkubasi (Irawati, 2006).

Lignin selain dapat didegradasi oleh beberapa jenis mikroorganisme, juga

dapat didegradasi secara kimiawi yaitu dengan penambahan bahan-bahan seperti

NaOH, Na2S, H2SO4, Sulfit, Bisulfit, Klorin, Klorin dioksida, dan Peroksida

(Widjaja et al., 2002) dan senyawa alkali (Sudiyani et al., 2010). Penggunaan pre-

treatment kimia merupakan suatu metode yang paling umum digunakan untuk

mempermudah proses hidrolisis yaitu untuk membuka struktur lignoselulosa agar

selulosa menjadi lebih mudah dihidrolisis oleh enzim yang memecah polimer

polisakarida menjadi bentuk monomer, sehingga dapat mengurangi penggunaan

enzim dan dapat menekan biaya (Dashtban et al., 2009).

4

Pemakaian dosis iradiasi dalam bidang mikrobiologi selain untuk tujuan

pengawetan bahan makan juga ditunjukkan untuk membantu perbaikan galur

sehingga dapat menghasilkan keturunan yang lebih baik (Sudaryati dan

Djajasukma, 1990) atau juga untuk menstimulasi pertumbuhan mikroba yang

bermanfaat (Siagian, 1980). Hal ini dikarenakan sinar gamma akan meradiolisis

sel dengan menghasilkan radikal H dan OH yang akan bergerak bebas

menyerang apa saja yang terdekat hingga memperoleh kestabilan. Radikal bebas

ini akan memutus DNA fungi secara acak dan jika urutan sequence nukleotida

DNA kembali pada posisi semula atau pada posisi berbeda tetapi bersifat indusif

maka hal ini akan menstimulasi fungi. Iradiasi sinar gamma dosis rendah mampu

meningkatkan aktivitas enzim oxamyl peptisida pada fungi Trichoderma, spp.

Dosis rendah pada radiasi pengion dalam mikroorganisme bertanggung jawab dari

dipercepatnya aktivitas enzim dan jika pada dosis tinggi sel fungi akan rusak dan

mati sehingga akan bersifat sterilisasi. Trichoderma, spp mampu meningkatkan

0.5 kGy dan pada hasil akhir persentase yang menunjukan aktivitas enzim paling

tinggi berada di dosis 250 Gy iradiasi sinar gamma (Afify et al., 2013).

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas

inokulan fungi Phanerochaete chrysosphorium iradiasi gamma dan pretreatment

kimia terhadap percepatan delignifikasi serbuk kayu jati putih (Gmelina arborea

Roxb.).

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana potensi fungi Phanerochaete chrysosporium yang diiradiasi

gamma terhadap proses delignifikasi serbuk kayu jati putih (Gmelina

arborea Roxb.) ?

5

2. Bagaimana potensi pretreatment kimia terhadap percepatan bio-

delignifikasi serbuk kayu jati putih (Gmelina arborea Roxb.) oleh fungi

Phanerochaete chrysosporium ?

1.3. Hipotesis Penelitian

1. Inokulan fungi Phanerochaete chrysosphorium yang diiradiasi gamma

dapat meningkatkan aktivitas enzim lignin peroksidase pada delignifikasi

serbuk kayu jati putih (Gmelina arborea Roxb.).

2. Pretreatment kimia dapat mempercepat delignifikasi serbuk kayu jati putih

(Gmelina arborea Roxb.) oleh fungi Phanerochaete chrysosporium yang

diiradiasi gamma.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Menentukan efektivitas inokulan fungi Phanerochaete chrysosphorium

iradiasi gamma.

2. Menentukan efektivitas pretreatment kimia terhadap percepatan

delignifikasi serbuk kayu jati putih (Gmelina arborea Roxb.).

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan mengatasi

pengelolaan limbah kayu dengan teknologi Solid State Fermentation

menggunakan fungi Phanerochaete chrysosporium dengan perlakuan

pretreatment untuk percepatan proses delignifikasi yang dapat mengefisiensi

biaya dan lebih ramah lingkungan.

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kayu Jati Putih (Gmelina arborea Roxb.)

Gmelina arborea Roxb. adalah salah satu jenis pohon cepat tumbuh yang

diintroduksi ke Indonesia yang secara umum dikenal dengan nama jati putih, jenis

ini merupakan salah satu anggota dari famili Verbenaceae. Diklasifikasikan

sebagai berikut (Kosasih dan Danu, 2013) :

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (Berkeping dua/dikotil)

Ordo : Lamiales

Famili : Verbenaceae

Genus : Gmelina

Spesies : Gmelina arborea Roxb.

Pohon jati putih berukuran sedang dengan tinggi dapat mencapai 30

sampai 40 meter, berbatang silindris dengan diameter rata-rata 60 cm, kadang-

kadang dijumpai pohon yang berdiameter 140 cm di hutan alam. Kulit halus atau

bersisik dengan warna coklat muda atau abu-abu, ranting halus licin atau berbulu

halus, warna bunga kuning terang mengelompok dalam tandan besar (30-350

bunga per tandan). Daun bersilang, bergerigi atau bercuping, berbentuk jantung

berukuran 10-25 cm x 5-18 cm. Jati putih setelah berumur 5 tahun mulai

berbunga. Buahnya berdaging dengan panjang 2-3,5 cm, kulit mengkilap,

mesokorp lunak agak manis. Bijinya keras seperti batu, panjangnya 1,6-2,5 cm

dengan permukaan licin, satu ujung bulat dan ujung lainnya meruncing (Kosasih

dan Danu, 2013).

7

Gambar 1. Kayu, Daun, Bunga, dan Buah Pohon Jati Putih (Gmelina arborea

Roxb.), (Kosasih dan Danu, 2013).

Sifat fisik dan kimia kayu jati putih adalah warna kayu yang pucat

bervariasi dari kuning jerami sampai dengan putih krem dan dapat berubah

menjadi coklat merah, tidak ada perbedaan warna antara kayu teras dan gubal.

Kayu mudah digergaji dan diserut dengan hasil licin dan mengkilap, serat agak

berpadu bervariasi dari lurus sampai ikal, jumlah serat dalam kayu 64,2% tekstur

agak besar. Berat jenis antara 0,38-0,42 dimana berat jenis ini tidak dipengaruhi

oleh kecepatan tumbuh (Kosasih dan Danu, 2013).

2.2. Komponen Kimia Kayu Jati Putih (Gmelina arborea Roxb.)

Kandungan bahan yang terdapat dalam kayu dapat dibagi menjadi 4

bagian, yaitu:

1. Selulosa

2. Hemiselulosa

8

3. Lignin

4. Ekstraktif

Distribusi komponen kimia tersebut dalam dinding sel kayu tidak merata.

Kadar selulosa dan hemiselulosa banyak terdapat dalam dinding sekunder.

Sedangkan lignin banyak terdapat dalam dinding primer dan lamela tengah. Zat

ekstraktif terdapat di luar dinding sel kayu.

Komposisi dan sifat-sifat kimia dari komponen-komponen ini sangat

berperan dalam proses pembuatan pulp. Pada setiap pemasakan, kita ingin

mengambil sebanyak mungkin selulosa dan hemiselulosanya, disisi lain lignin dan

ekstraktif tidak dibutuhkan/dipisahkan dari serat kayunya. Komposisi kimia kayu

bervariasi untuk setiap spesies. Secara umum, hardwood atau kayu jarum

(Gymnospermae) mengandung lebih banyak selulosa, hemiselulosa dan ekstraktif

dibanding dengan softwood atau kayu daun (Angiospermae), tetapi kandungan

ligninnya lebih sedikit.

Tabel 1. Komposisi Kimia Beberapa Biomassa.

Biomassa

Lignoselulosa

Selulosa

(%berat)

Hemiselulosa

(%berat)

Lignin

(%berat)

Abu

(%berat)

Sekam Padi 58,582 18,03 20,9 0,16-1

Jerami Padi 28-36 23-28 12-16 15-20

Tandan Kosong 36-42 25-27 15-17 0,7-6

Ampas Tebu 32-44 27-32 19-24 1,5-5

Bambu 26-43 15-26 21-31 1,7-5

Kayu Keras 40-45 7-14 26-34 1

Kayu Lunak 38-49 19-20 23-30 1

Sumber : Mulder (1991).

2.2.1. Selulosa

Selulosa merupakan bagian utama yang membentuk dinding sel pada

kayu. Merupakan polimerisasi yang sangat kompleks dari gugus karbohidrat yang

9

mempunyai persen komposisi yang mirip dengan starch yaitu glukosa yang

terhidrolisa oleh asam.

a) Sifat sifat polimer selulosa

Sifat-sifat polimer selulosa biasanya dipelajari dalam keadaan larutan,

menggunakan pelarut seperti CED (Cadmium Etilendiamin) atau kadoksen.

Pengukuran-pengukuran berat molekul menunjukkan bahwa sellulosa kapas

dalam keadaan asalnya mengandung kira-kira 15000 dan selulosa kayu

mengandung kira-kira 10000 sisa glukosa (Sjostrom, 1995).

Gambar 2. Struktur Selulosa (Sjostrom, 1995).

2.2.2. Hemiselulosa

Hemiselulosa juga merupakan polimer-polimer gula. Berbeda dengan

glukosa yang terdiri hanya dari polimer glukosa, hemiselulosa merupakan polimer

dari lima bentuk gula yang berlainan yaitu : glukosa, mannose, galaktosa, xylosa

dan arabinosa. Rantai hemiselulosa lebih pendek dibandingkan dengan rantai

selulosa, karena hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi yang lebih rendah.

Molekul hemiselulosa terdiri dari 300 unit gugus gula. Berbeda dengan selulosa,

polimer hemiselulosa berbentuk tidak lurus, tapi merupakan polimer-polimer yang

berarti hemiselulosa tidak akan dapat membentuk struktur kristal dan serat mikro

seperti halnya selulosa. Pada proses pembuatan pulp hemiselulosa bereaksi lebih

cepat dibandingkan dengan selulosa.

10

Gambar 3. Struktur Hemiselulosa (Dumanauw, 2001).

Hemiselulosa dapat tersusun oleh gula dengan rumus C5H10O5 disebut

pentosan atau gula dengan rumus C6H12O6 disebut heksosan. Zat-zat ini terdapat

sebagai bahan bangunan dinding-dinding sel dan juga sebagai bahan cadangan.

(Dumanauw, 2001).

2.2.3. Lignin

Senyawa organik yang dihasilkan oleh alam terdiri dari senyawa metabolit

primer dan senyawa metabolit sekunder. Senyawa metabolit sekunder

memberikan karakteristik pada individu tanaman. Metabolit primer memberikan

keterlibatan langsung pada metabolisme di dalam sel. Metabolit sekunder

merupakan senyawa metabolit non esensial yang memiliki fungsi ekologis di

antaranya perlindungan tumbuhan dari herbivora dan patogen, untuk

mempertahankan diri dari kondisi yang tidak menguntungkan. Tiga kelompok

utama metabolit sekunder yaitu, terpenoid, fenol, dan alkaloid (Herbert, 1996).

1. Terpenoid atau isoprenoid, sebagian besar senyawa terpenoid mengandung

karbon dan hidrogen serta sintesis melalui jalur metabolisme asam mevalonat.

Contohnya monoterpena, seskuiterepena, diterena dan polimer.

2. Fenol, senyawa ini terbuat dari gugus gula sederhana dan memiliki cincin

benzene hidrogen dan oksigen. Contohnya asam fenolenat, kumarina, lignin,

flavonoid, tannin.

11

3. Alkaloid dan senyawa N lainnya, senyawa yang mengandung nitrogen.

Contohnya alkaloid dan glukosinolat (Herbert, 1996).

Lignin adalah suatu zat fenolik, terdiri atas susunan tak beraturan dari

berbagai ikatan hidroksi dan metoksi yang tersubstitusi pada satuan-satuan fenil

propana. Banyak studi dengan karbon (14

C) radioaktif menegaskan bahwa p-

hidroksisinamil alkohol; p-koumaril alkohol (I), koniferil alkohol (II) dan sinapil

alkohol (III) merupakan senyawa induk (precursor) primer dan merupakan unit

pembentuk semua lignin (Akiyama et al., 2003).

Gambar 4. Unit Dasar Pembentuk Lignin: I (p-koumaril alkohol), II (koniferil

alkohol), III (sinapil alkohol) (Akiyama et al., 2003).

Keberadaan lignin didalam pulp menyebabkan warna pada pembuatan

kertas untuk maksud tertentu seperti kertas cetak. Lignin perlu dipisahkan dari

pulp melalui proses pemutihan. Lignin adalah polimer yang sangat kompleks, juga

merupakan komponen utama penyusun kayu dengan kandungan antara 17-32%

berat kayu kering. Struktur molekul lignin sangat berbeda bila dibandingkan

dengan polisakarida karena terdiri atas sistem aromatik yang tersusun atas unit-

unit fenil propana. Sifat kimia lignin sangat rumit yang dihubungkan dengan

beberapa ikatan berbeda antara karbon-ke-karbon dan beberapa ikatan lain antara

unit fenilpropan yang tidak mudah dihirolisis oleh karena itu tidak banyak ahli

yang menjelaskan tentang lignin.

12

Lignin merupakan polimerisasi dari tiga monomer fenilpropanoid yaitu, 4-

koumaril, koniferil, dan alkohol sinapil, juga dikenal sebagai H, G dan S

monolignol. Dalam dikotiledon, lignin dipolimerisasi dari S dan G monolignol

dan rendahnya tingkat H dan intermediet lainnya. Sepuluh famili enzim

mengkonversi fenilalanin untuk monolignol, dengan jalan utama melalui jaringan

metabolik (Ralph et al., 2008).

Monolignol dapat diekspor ke dinding sel melalui Golgi-dimediasi vesikel

fusi dengan membran plasma atau berbasis partisi membran difusi (Boerjan et al.,

2007). Di dinding, monolignol yang ireversibel teroksidasi menjadi radikal

fenoksi oleh H2O2 tergantung kelas III peroksidase (PO) melalui siklus

oksidoreduksi elektron. Radikal fenoksi di monolignol terdelokalisasi membentuk

struktur mesomerik terjadi reaksi kopling dengan masing-masing radikal

resonansi-stabil atau dalam pembentukan polimer lignin (Holmgren et al., 2006).

Biosintesis lignin terjadi terutama melalui penambahan monomer untuk

polimer. Kecenderungan untuk cross-coupling oleh radikal dari kedua pasangan

kopling pada posisi tertentu ditentukan oleh bagian-kimia, membentuk ikatan

kimia tertentu. -O-4, -5 dan - khas G dan S merupakan keterkaitan interunit

(Ralph et al., 2008).

13

Gambar 5. Biosintesis Lignin (Ralph et al., 2008).

Sifat-sifat lignin secara umum antara lain tidak larut dalam air, berat

molekul berkisar antara 2000-15000, molekul lignin mengandung gugus hidroksil,

metoksil dan karboksil dan bila didegradasi oleh basa akan membentuk turunan

benzene (Fessenden, 1992).

Lignin merupakan suatu polimer alami yang sukar yang berkaitan dengan

struktur dan heterogenitasnya. Dalam kebanyakan penggunaan kayu lignin

digunakan sebagai bagian integral kayu. Hanya dalam pembuatan pulp dan

pengelantangan lignin dilepaskan dari kayu dalam bentuk terdegradasi dan

berubah.

2.2.4. Ekstraktif dan Abu

Zat-zat berat molekul rendah berasal dari golongan senyawa kimia yang

sangat berbeda. Klasifikasi yang dapat dibuat yaitu dengan membaginya menjadi

14

zat organik dan anorganik. Bahan organik lazim disebut ekstraktif, sedangkan

bahan anorganik secara ringkas disebut abu (Fengel dan Wegener, 1995).

Di dalam kayu masih ada beberapa zat organik, yang disebut bagian-

bagian abu (mineral pembentuk abu yang tertinggal setelah lignin dan selulosa

habis terbakar). Kadar zat ini bervariasi antara 0.2-1% dari berat kayu

(Dumanauw, 2001). Ekstraktif terdiri dari jumlah yang sangat besar dari senyawa-

senyawa tunggal tipe lipofil maupun hidrofil. Ekstraktif dapat dipandang sebagai

konstituen kayu yang tidak struktural, hampir seluruhnya terbentuk dari senyawa-

senyawa ekstraseluler dan berat molekul rendah. Kandungan ekstraktif biasanya

kurang dari 10%.

2.3. Fungi Phanerochaete chrysosporium

Fungi merupakan organisme heterotrofik yang memerlukan senyawa

organik untuk nutrisinya. Apabila hidup dari benda organik mati yang terlarut,

mereka disebut saprofit. Saprofit menghancurkan sisa-sisa tumbuhan dan hewan

yang kompleks, menguraikannya menjadi zat-zat kimia yang lebih sederhana,

kemudian mengembalikannya ke dalam tanah. Beberapa fungi meskipun saprofit

dapat juga menyerbu inang yang hidup, lalu tumbuh dengan subur pada inang

tersebut sebagai parasit.

Gambar 6. Fungi Phanerochaete chrysosporium.

15

Menurut Boyce (1961), pelapukan kayu oleh fungi dapat dibagi menjadi

dua tahap, yaitu tahap awal dan tahap lanjut. Pelapukan tahap awal, mula-mula

terjadi perubahan warna dan pengerasan pada permukaan kayu. Pada tahap ini,

benang-benang hifa akan menyebar ke segala arah, terutama ke arah longitudinal.

Hifa dapat juga berkembang pada permukaan kayu atau bagian kayu yang retak.

Miselium bekerja seperti akar tanaman, yaitu menghisap zat makanan. Setelah

tingkat permukaan dilalui, penampilan kayu berubah secara total. Inilah tahap

pelapukan tingkat lanjut.

Fungi Phanerochaete chrysosporium Burdsall. termasuk dalam kelompok

fungi, dan merupakan fungi kelas Basidiomycetes yang juga menyerang

holoselulosa, namun pilihan utamanya adalah lignin. Klasifikasi fungi ini sebagai

berikut (Irawati, 2009) :

Kelas : Basidiomycetes

Sub kelas : Holobasidiomycetes

Ordo : Aphylophorales

Famili : Certiciaceae

Genus : Phanerochaete

Spesies : P. chrysosporium Burdsall

Phanerochaete chrysosporium adalah fungi pelapuk putih yang dikenal

kemampuannya dalam mendegradasi lignin. Phanerochaete chrysosporium adalah

fungi pendegradasi lignin dari kelas basidiomycetes yang membentuk sekumpulan

miselia dan berkembang biak secara aseksual melalui spora atau seksual dengan

perlakuan tertentu. Phanerochaete chrysosporium dapat mendegradasi lignin dan

senyawa turunannya secara efektif dengan cara menghasilkan enzim peroksidase

ekstraselular yang berupa lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase

(MnP). LiP merupakan katalis utama dalam proses ligninolisis oleh fungi karena

16

mampu memecah unit non fenolik yang menyusun 90 persen struktur lignin

(Sembiring, 2006). Phanerochaete chrysosporium mempunyai tiga fase

pertumbuhan, yaitu fase vegetatif, seksual, dan aseksual. Fase vegetatif

merupakan fase pertumbuhan paling dominan. Selama fase ini fungi paling

banyak menghasilkan enzim ekstraseluler (Fardiaz, 1989).

Fungi Phanerochaete chrysosporium memiliki beberapa ciri yang

membuatnya sangat bermanfaat. Pertama, fungi ini tidak sama dengan beberapa

fungi pelapuk putih lain, dia meninggalkan selulosa pada kayu. Ke dua, fungi ini

memiliki temperatur optimum yang sangat tinggi yaitu 40C. Hal ini menunjukkan

bahwa Phanerochaete chrysosporium dapat tumbuh pada tumpukan kompos yang

mencapai suhu sangat tinggi. Karakteristik ini menunjukkan beberapa

kemungkinan peranan Phanerochaete chrysosporium dalam bioteknologi.

Sclerotium rolfsii, P. chrysosporium dan spesies dari Trichoderma,

Aspergillus, Schizophyllum dan Penicillium merupakan fungi selulolitik.

Organisme-organisme ini menggunakan selulosa sebagai sumber karbon utama.

Hal ini menarik apabila digunakan dalam kegiatan industri karena berpotensi

untuk mengkonversi material sisa selulosa kayu menjadi bahan bakar biologi

(Duff dan Murray, 1996).

2.4. Enzim Ligninolitik dan Degradasi Lignin

White Rot Fungi (WRF) menghadapi tiga tantangan utama dalam

kemampuannya mendegradasi lignin. Pertama, polimer lignin berukuran besar

oleh karena itu sistem ligninolitik harus ekstraseluler. Kedua, struktur lignin tidak

memiliki ikatan yang dapat dihidrolisis, oleh karena itu mekanisme degradasi

harus oksidatif bukan hidrolisis. Ketiga, karena struktur polimer yang

17

stereoirreguler, enzim ligninolitik harus kurang sepesifik dari pada enzim-enzim

lainnya (Kirk and Cullen, 1998). Perombakan lignin oleh WRF melibatkan

aktivitas ligninolitik enzim. Enzim ekstraseluler utama yang terlibat dalam

perombakan lignin adalah lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP)

dan lakase (Hatakka, 2001).

Fungi mendegradasi lignin menjadi produk yang larut dalam air dan CO2.

Beberapa fungi, diantaranya Phanerochaete chrysosporium dapat mendegradasi

lignin dan berbagai polutan aromatik selama fase pertumbuhan stationer yang

dipacu oleh kekurangan nutrisi dalam substrat. Fungi ini menghasilkan dua

peroksidase yaitu LiP dan MnP yang berperan penting dalam proses perombakan

lignin. LiP merupakan katalis utama dalam proses ligninolisis oleh fungi karena

mampu memecah unit non fenolik yang menyusun 90 persen struktur lignin

(Srebotnik et al., 1994). LiP dan MnP mempunyai mekanisme yang berbeda

dalam proses lignolisis. MnP mengoksidasi Mn2+

menjadi Mn3+

yang berperan

dalam pemutusan unit fenolik lignin. Reaksi:

MnP + H2O2 MnP-senyawa I + H2O

MnP-senyawa I + Mn2+

MnP-senyawa II + Mn3+

MnP-senyawa I + AH MnP-senyawa II + A+ + H

+

MnP-senyawa II + Mn2+

MnP + Mn3+

LiP mengkatalisis reaksi masih belum jelas, apakah berinteraksi langsung

dengan lignin atau melalui perantaraan radikal. LiP mengkatalisis suatu oksidasi

senyawa aromatik non fenolik lignin membentuk radikal kation aril. Disamping

itu, karena LiP merupakan oksidan yang kuat maka enzim ini juga mempunyai

kemampuan mengoksidasi senyawa fenolik, amina, eter aromatik dan senyawa

aromatik polisiklik (Perez et al., 2002).

18

2.5. Radiasi

Radiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi atau ruang dalam

bentuk panas, partikel, atau gelombang elektromagnetik (foton) dari suatu sumber

energi. Pada dosis tinggi, radiasi dapat menginduksi terjadinya mutasi karena sel

yang teradiasi akan dibebani oleh tenaga kinetik yang tinggi, sehingga dapat

mempengaruhi atau mengubah reaksi kimia sel yang pada akhirnya dapat

menyebabkan terjadinya perubahan susunan kromosom (Poespodarsono, 1988).

Terdapat beberapa tipe radiasi yang digunakan dalam radiasi komersial

yaitu radiasi sinar X, sinar gamma, dan tembakan elektron (electron beam).

Iradiasi sinar gamma dipancarkan dari isotop radioaktif yang dihasilkan oleh

kobalt-60 (60

Co) dan cesium-137 (137

Cs). Panjang gelombang sinar gamma lebih

pendek dari sinar X dan tembakan elektron, sehingga daya tembusnya lebih kuat

dibanding keduanya (Riganakos, 2010). Pengaruh radiasi terhadap spesimen

biologis bergantung pada total energi yang diabsorpsi dan jenis radiasi pengion.

2.6. Radiasi Sinar Gamma Dosis Rendah

Radiasi dengan tingkat energi yang terukur atau diketahui dosisnya

disebut iradiasi. Iradiasi dengan energi yang tinggi dapat mengadakan reaksi

dengan objek yang dikenainya melalui ionisasi, yaitu dihasilkannya ion-ion

dalam bahan yang ditembus oleh energi tersebut (BATAN, 2011).

Terdapat beberapa tipe radiasi yang digunakan dalam radiasi komersial

yaitu radiasi sinar X, sinar gamma, dan tembakan elektron (electron beam).

Iradiasi sinar gamma dipancarkan dari isotop radioaktif yang dihasilkan oleh

kobalt-60 (60

Co) dan cesium-137 (137

Cs). Panjang gelombang sinar gamma lebih

19

pendek dari sinar X dan tembakan elektron, sehingga daya tembusnya lebih kuat

dibanding keduanya (Riganakos, 2010). Pengaruh radiasi terhadap spesimen

biologis bergantung pada total energi yang diabsorpsi dan jenis radiasi pengion.

Aplikasi iradiasi gamma banyak digunakan dalam industri dengan sumber

berupa radioisotop 60

Co yang pembuatannya dilakukan dalam reaktor atom

dengan menembak 59

Co (diperoleh dari alam) dengan berkas-berkas neutron.

Seperti pada persamaan berikut.

2759

+ 01

2760 +-

Energi radiasi gamma yang dikeluarkan oleh 60

Co cukup besar, yaitu 1,17

dan 1,33 Mev, yang dihasilkan dari proses peluruhan , radioisotope 60Co

menjadi isotop stabil 60

Ni (Jatiman., 1986). Seperti pada persamaan berikut.

2760 28

60 + 10 +

Sinar gamma dosis rendah merupakan iradiasi sinar gamma dengan dosis

kurang dari 1000 Gy (BPOM, 1986). Paparan sinar gamma mampu menembus

jaringan dan mengubah produksi dari sejumlah senyawa bergantung pada dosis

radiasi yang digunakan. Hasil-hasil penelitian telah menunjukkan bahwa dosis

yang diperlukan untuk membunuh serangga adalah dosis di bawah 750 Gy,

sedangkan dosis yang efektif untuk mengendalikan kebusukan pada buah dan

sayuran lebih besar dari 1000 Gy (Mitcham, 1999).

Iradiasi gamma dosis rendah dapat menstimulasi pertumbuhan fungi (Afify

et al., 2013). Younis (1999) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pertumbuhan

T. Viridie meningkat setelah dipapar sinar gamma dengan dosis 500 Gy. Selain

itu, paparan sinar gamma dengan dosis 250 Gy pada Trichoderma spp. Juga

mampu meningkatkan produksi enzim yang mampu mengurai karbofuran sampai

20

14%. Karbofuran merupakan bahan aktif pada insektisida yang dapat mencemari

lingkungan (Ortega et al., 2011).

2.7. Fermentasi

Fermentasi adalah perombakan anaerob karbohidrat yang menghasilkan

pembentukan produk fermentasi yang stabil. Contoh produk fermentasi oleh

mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan seperti etil alkohol, asam laktat,

gliserol dan lain-lain (Volk dan Wheeler, 1993). Menurut Desrosier (1988),

fermentasi adalah suatu oksidasi karbohidrat anaerob dan aerob sebagian dan

merupakan suatu kegiatan penguraian bahan-bahan karbohidrat.

Fermentasi dapat dilakukan dengan metode kultur permukaan dan kultur

terendam (submerged). Medium kultur permukaan dapat berupa medium padat,

semi padat, atau cair. Sedangkan kultur terendam dilakukan dalam medium cair

menggunakan bioreaktor yang dapat berupa labu yang diberi aerasi, labu yang

digoyang dengan shaker atau fermentor (Rahman, 1992).

Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang

digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang

merupakan gula paling sederhana, melalui fermentasi akan menghasilkan etanol

(2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh ragi, dan digunakan pada

produksi makanan.

Persamaan Reaksi Kimia :

C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP

Jalur biokimia yang terjadi tergantung jenis gula yang terlibat, tetapi

umumnya melibatkan jalur glikolisis, yang merupakan bagian dari tahap awal

http://id.wikipedia.org/wiki/Glukosahttp://id.wikipedia.org/wiki/Etanolhttp://id.wikipedia.org/wiki/Glikolisis

21

respirasi aerobik pada sebagian besar organisme. Jalur terakhir akan bervariasi

tergantung produk akhir yang dihasilkan.

2.7.1. Fermentasi Substrat Padat atau Solid State Fermentation (SSF)

Fermentasi substrat padat atau Solid State Fermentation (SSF) dapat

didefinisikan sebagai proses fermentasi di mana mikroorganisme tumbuh dalam

material padat tanpa adanya air bebas (Cannel et al., 1980). Proses SSF

menghasilkan produk yang lebih baik jika menggunakan fungi. Tidak seperti

mikroorganisme lain, secara khas fungi tumbuh di alam pada media padat seperti

kayu, benih, batang, akar serta bagian kering binatang seperti kulit dan tulang

pada kelembaban yang rendah (Hesseltine, 1977). Tujuan dari SSF adalah untuk

membawa fungi atau mikroba yang telah dikultivasi agar berinteraksi dengan kuat

pada substrat yang tidak larut air serta untuk mencapai konsentrasi nutrisi

tertinggi dari substrat (Bhargav et al., 2008).

WRB (White Rot Basidiomycetes) memiliki kemampuan yang unik untuk

mendegradasi lignin secara keseluruhan membentuk karbon dioksida untuk

memperoleh molekul selulosa (Syafrizal and Ichsan, 2007). WRB seperti

Ceriporiopsis subvermispora, Lentinus edodes, Phanerochaete chrysosporium,

Phlebia radiata, Pleurotus eryngii, Pleurotus ostreatus dan Trametes versicolor

diketahui memproduksi MnP (Manganese Peroxidase), MIP (Manganese-

Independent Peroxsidase), LiP (Lignin Peroxidase) dan lakase, yang merupakan

enzim ligninolitik pada Solid State Fermentation (SSF) pada jerami gandum. LiP

dan MnP adalah enzim peroksidase ekstraseluler yang menggunakan H2O2 dalam

mendegradasi lignin, sedangkan lakase merupakan enzim yang mengandung

http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Respirasi_aerobik&action=edit&redlink=1

22

tembaga dengan menggunakan molekul oksigen dalam mendegradasi lignin (Ilmi

and Kuswytasari, 2013).

Kelemahan dalam pengembangan kultur cair adalah volume yang besar

dari dampak yang dihasilkan tiap harinya dan tidak mencerminkan kondisi hidup

alami dari WRB. SSF merupakan proses di mana substrat yang tidak larut (padat)

difermentasikan dengan bantuan mikroorganisme dalam kondisi kekurangan

air bebas, pada SSF kadar air yang digunakan rendah yaitu sekitar 50-60%.

Solid State Fermentation (SSF) dengan fungi memiliki keuntungan, yaitu:

1. Medium yang digunakan relatif sederhana.

2. Ruang yang diperlukan relatif kecil, karena air yang digunakan sedikit.

3. Inokulum dapat disiapkan secara sederhana.

4. Kondisi medium tempat pertumbuhan fungi mendekati kondisi habitat

alaminya.

Akan tetapi, kekurangan pada Solid State Fermentation (SSF) yaitu sulit

dilakukan agitasi dan hilangnya bobot kering selama fermentasi. Upaya mengatasi

kelemahan pada fermentasi ini perlu diperhatikan pengaturan aerasi selama proses

fermentasi. Aerasi berfungsi untuk mempertahankan kondisi aerobik dan kadar air

sehingga dapat menjaga kondisi medium mendekati kondisi habitat alami fungi.

2.7.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fermentasi

Proses fermentasi dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah

sebagai berikut:

1. Kadar air

Kadar optimum tergantung pada substrat, organisme dan tipe produk

akhir. Kisaran kadar air yang optimal adalah 50-75%. Kadar air yang tinggi akan

23

mengakibatkan penurunan porositas, pertukaran gas, difusi oksigen, volume gas,

tetapi meningkatkan resiko kontaminasi dengan bakteri (Indriani et al., 2015).

2. pH

pH mempengaruhi respon terhadap aktivitas metabolit. Variasi pH

bergantung pada substrat dan mikroorganisme yang digunakan. pH pada

Aspergillus sp. dapat divariasikan sampai pH 3 sedangkan pada Trichoderma, dan

Pleurotus sp. lebih stabil di antara pH 4 dan 5 (Raimbault, 1988).

3. Waktu Fermentasi

Semakin lama waktu fermentasi, maka konsentrasi sel mikroorganisme

akan semakin menurun dan menuju pada fase decline karena konsentrasi nutrien

sebagai makanan mikroorganisme semakin menurun (Setyawati dan Rahman,

2010).

4. Pengaruh Ukuran Partikel Substrat

Ukuran partikel substrat mempengaruhi luas permukaan terhadap ratio

volume partikel substrat yang dimanfaatkan oleh mikroorganisme (Yu et al.,

2008).

2.8. Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis

spektroskopi yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet (190-375

nm) dan sinar tampak (375-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer

(Mulja et al., 1995). Hukum yang mendasari analisis secara spektrofotometer

adalah Hukum Lambert-Beer, yaitu cahaya monokromatik yang melewati suatu

24

media transparan, maka intensitas cahaya yang dipancarkannya sebanding dengan

bertambahnya tebal dan konsentrasi media.

Prinsip kerja spektrofotometer yaitu cahaya monokromatik maupun

campuran yang jatuh pada suatu medium homogen, sebagian dari sinar masuk

akan dipantulkan, sebagian diserap, dan sisanya diteruskan. Nilai yang keluar dari

cahaya yang diteruskan dinyatakan dalam nilai absorbansi dan berbanding lurus

dengan konsentrasi sampel. Spektrofotometer UV-Vis tersusun atas sumber

spektrum yang kontinyu, monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan sampel

atau blanko dan suatu alat untuk mengukur perbedaan absorpsi antara sampel dan

blangko ataupun pembanding (Khopkar, 1990). Skema spektrofotometer UV-Vis

dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 7. Skema Spektrofotometer UV-Vis. (Khopkar, 1990).

Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi:

1. Sumber energi radiasi, biasa digunakan adalah lampu wolfram (vis) dan lampu

deitrium (UV).

2. Monokromator untuk memperoleh sumber sinar monokromatis.

3. Sel absorpsi, pada pengukuran di daerah visibel menggunakan kuvet kaca,

tetapi untuk pengukuran pada UV menggunakan sel kuarsa.

25

4. Detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat. Peranan

detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai

panjang gelombang (Khopkar, 1990).

Spektrometri UV-Vis adalah metoda analisis yang berdasarkan pada

penurunan intensitas cahaya yang diserap oleh suatu media (Day dan Underwood,

1986). Spektrofotometer UV-Vis bermanfaat untuk penentuan aktivitas enzim

ekstraseluler yang dapat menyerap radiasi pada daerah ultraviolet 310 nm dengan

penentuan absorbansi dari larutan sampel yang diukur dalam proses delignifikasi

menggunakan fungi pelapuk putih.

26

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2015 di

Laboratorium Lingkungan, Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga

Nuklir Nasional (PAIR-BATAN), Pasar Jumat, Jakarta Selatan.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sumber isotop Cobalt-60

dalam chamber IRPASENA 4000A laju dosis 2,1 kGy/jam, cutting mill, autoklaf

(Wiseclave), laminar air flow (Panasonic, LK 180), sentrifuge (Hitachi Himac CR

21G II), spektrofotometer UV-Vis (Hitachi), inkubator (Heraeus), furnace

(Pyrolabo), oven (Memmert), pH meter (Pcstestr 35), neraca analitik (Acculab),

desikator (Sanplatec), micropipette, microtube, vortex (Bohemia), shaker mekanis

(Edmund Buhler SM 25), micropipette, microtube, cawan petri, bunsen, ose,

gunting, spatula, cawan porselein, alumunium foil dan peralatan gelas lainnya.

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan adalah kayu jati putih, strain Phanerochaete

chrysosporium dari koleksi kultur terseleksi di Bidang Industri dan Lingkungan

PAIR-BATAN, Potato Dextrose Broth (PDB), Potato Dextrose Agar (PDA),

larutan fisiologis (NaCl 0.85%), reagen nelson, larutan arsenomolibdat, glukosa,

alkohol, yeast extract, asam sitrat, buffer sitrat pH 5, buffer asetat pH 3, selenium,

27

MnSO4, CuSO4, ZnSO4, KH2PO4, K2HPO4, MgSO4.7H2O, (NH4)2SO4, H2SO4,

NaOH, H3BO3, H2O2, HCl, K2Cr2O7, FeSO4, (NH4)2C2O4, HCHO, Natrium

tetrafenilboron (STPB), benzalkonium klorida (BAC), indikator Titan Yellow,

indikator feroin, indikator conway, indikator fenolftalein dan akuades.

3.3. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL)

faktorial dengan 2 faktor dan 2 ulangan. Rancangan ini disebut rancangan acak

lengkap, karena pengacakan perlakuan dilakukan pada seluruh unit percobaan

untuk melihat perbedaan atau pengaruh antar perlakuan. Faktor pertama yaitu

bioaktivator yang meliputi kontrol dan inokulan fungi Phanerochaete

chrysosporium serta fungi Phanerochaete chrysosporium iradiasi gamma dengan

dosis optimum. Dosis optimum diperoleh dengan cara orientasi dosis pada dosis

0, 200, 400, 600, 800, dan 1000 Gy. Faktor kedua yaitu meliputi kontrol dan

penggunaan larutan kimia NaOH dan H2SO4.

Tabel 2. Perlakuan Sampel.

Faktor Ulangan

Fungi Pre-treatment 1 2

Phanerochaete

chrysosporium

0 Gy

Kontrol K1F1 K1F1'

NaOH K2F1 K2F1'

H2SO4 K3F1 K3F1'

Phanerochaete

chrysosporium

600 Gy

Kontrol K1F2 K1F2'

NaOH K2F2 K2F2'

H2SO4 K3F2 K3F2'

Keterangan :

K1F1 : substrat kontrol inokulum P.chrysosporium 0 Gy

K2F1 : substrat pretreatment NaOH inokulum P.chrysosporium 0 Gy

K3F1 : substrat pretreatment H2SO4 inokulum P.chrysosporium 0 Gy

K1F2 : substrat kontrol inokulum P.chrysosporium 600 Gy

K2F2 : substrat pretreatment NaOH inokulum P.chrysosporium 600 Gy

K3F2 : substrat pretreatment H2SO4 inokulum P.chrysosporium 600 Gy

28

3.4. Cara Kerja

3.4.1. Preparasi Serbuk Kayu Jati Putih (Gmelina arborea Roxb.) dan

Pretreatment

Kayu jati putih (Gmelina arberoa Roxb.) dikeringkan dan dicacah dengan

chopper mekanis, kemudian dihaluskan dengan cutting mill dan diayak sehingga

diperoleh substrat serbuk kayu jati putih dengan ukuran partikel < 2 mm. Pada

penelitian ini dilakukan perlakuan pendahuluan dengan NaOH dan H2SO4 (dilusi

asam). Pada perlakuan pendahuluan alkali, ke dalam substrat ditambahkan larutan

NaOH 1% dengan perbandingan 1:10. Pada dilusi asam, ke dalam substrat

ditambahkan larutan H2SO4 1% dengan perbandingan 1:10. Masing-masing

campuran bahan tersebut diaduk secara merata dan dibiarkan selama 1-2 jam

kemudian dilakukan pencucian sebanyak 2-3 kali dengan air mengalir dan

dikeringkan dalam oven pada 40C sampai diperoleh berat yang konstan.

3.4.2. Preparasi Kultur Fungi Phanerochaete chrysosporium

Strain fungi Phanerochaete chrysosporium diperoleh dari koleksi kultur

terseleksi yang dipelihara dalam slent dengan media PDA pada 4C di Bidang

Industri dan Lingkungan, Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Batan Tenaga Nuklir

Nasional.

3.4.3. Penentuan Dosis Iradiasi Optimum

Sebanyak 1,5 g (berat kering) substrat kayu jati putih dimasukkan ke

dalam botol yang berukuran 250 mL kemudian ditambahkan 30 mL larutan nutrisi

dan garam mineral. Setiap liter larutan nutrisi dan garam mineral mengandung

24g PDB, 5g yeast ekstrak, 1g (NH4)2SO4, 0,5g KH2PO4, 0,5g K2HPO4 dan 0,2g

29

MgSO4.7H2O. Semua medium Sub Merged Fermentation (SmF) disterilkan

dengan autoclave pada 121C selama 2x15 menit kemudian didinginkan. Ke

dalam 30 mL medium SmF steril diinokulasi 1 mL kultur cair fungi

Phanerochaete chrysosporium dosis 0, 200, 400, 600, 800, dan 1000 Gy dengan

kerapatan masing-masing sekitar 106 spora/mL, kemudian diinkubasi dalam

shaker mekanis pada 75 rpm dan suhu ruang 28-32C selama 4 hari. Kemudian

diuji aktivitas enzim lignin peroksidase. Strain yang memiliki aktivitas enzim

tertinggi akan digunakan pada fermentasi substrat padat atau Solid State

Fermentation (SSF).

3.4.4. Fermentasi Substrat Kayu Jati Putih (Gmelina arborea Roxb.)

3.4.4.1. Solid State Fermentation (SSF) Substrat Kayu Jati Putih (Gmelina

arborea Roxb.)

Sebanyak 80 g (berat kering) kayu jati putih dimasukkan ke dalam botol

fermentasi yang berukuran 500 mL kemudian ditambahkan 80 mL larutan nutrisi

dan garam mineral. Setiap liter larutan nutrisi dan garam mineral mengandung 5g

yeast ekstrak, 1g (NH4)2SO4, 0,5g KH2PO4, 0,5g K2HPO4 dan 0,2g MgSO4.7H2O.

Akuades ditambahkan ke dalam substrat sehingga diperoleh perbandingan substrat

dan cairan sekitar 1:6 atau kadar kelembaban sekitar 89,5% (Pensupa et al., 2013).

Semua perlakuan dilakukan pengaturan pH substrat sampai sekitar 6,5 dengan

menambahkan larutan NaOH 1% dan H2SO4 5%. Semua substrat kayu jati putih

dengan pH sekitar 6,5 dan kadar kelembaban sekitar 84% disterilkan dengan

autoclave pada 121C selama 2x15 menit kemudian didinginkan. Ke dalam

substrat steril diinokulasi kultur cair fungi Phanerochaete chrysosporium sesuai

dengan perlakuan pada rancangan penelitian. Inokulasi kultur cair fungi dengan

30

kerapatan masing-masing sekitar 106 spora/mL dilakukan secara aseptik di dalam

laminar air flow. Substrat yang tidak diinokulasi kultur cair fungi digunakan

sebagai kontrol. Semua substrat dalam botol fermentasi ditutup rapat dan

diinkubasi di ruang gelap (tanpa pencahayaan) pada 28-32C selama 21 hari.

3.4.5. Evaluasi Hari Ke 0 dan 21

3.4.5.1. Penentuan Kadar Lignin , Selulosa, dan Hemiselulosa (Metode

Chesson dan SNI 0492:2008)

Sebanyak 1 g sampel kering oven (berat a) dimasukkan ke dalam botol

berukuran 250 mL, tambahkan 150 mL akuades atau alkohol benzene (1:2),

kemudian dididihkan (atau direfluk pada 100 C dalam water bath selama 1 jam)

dan didinginkan. Pemisahan residu (endapan) dan ekstraktif menggunakan cawan

masir, endapan dicuci dengan 300 mL air panas, kemudian endapan dalam cawan

masir dikeringkan dalam oven pada 105 C selama 24 jam (berat b). Pindahkan

residu (endapan) ke dalam erlenmeyer ukuran 500 mL, tambahkan 150 mL H2SO4

1N, kemudian dididihkan (atau direfluk pada 100 C dalam water bath selama 1

jam) dan didinginkan.

Pemisahan residu (endapan) dilakukan dengan cawan masir, residu dicuci

dengan 300 mL akuades, kemudian endapan dalam cawan masir dikeringkan

dalam oven pada 105 C selama 24 jam (berat c). Pindahkan residu (endapan) ke

dalam erlenmeyer ukuran 500 mL, tambahkan 100 mL H2SO4 72%, rendam pada

suhu kamar selama 2-4 jam, tambahkan 150 mL H2SO4 1N, kemudian dididihkan

(atau direfluk pada 100 C dalam water bath selama 1 jam) dan didinginkan.

Pemisahan residu (endapan) dilakukan dengan cawan masir, residu dicuci dengan

400 mL akuades, kemudian endapan dalam cawan masir dikeringkan dalam oven

31

pada 105 C selama 24 jam (berat d). Residu (endapan) diabukan pada 650 C

selama 5-6 jam (berat e).

Perhitungan :

Kadar lignin = ( )

100%

Kadar selulosa = ( )

100%

Kadar hemiselulosa = ( )

100%

Keterangan :

a = berat kering sampel (gram)

b = berat residu pertama (gram)

c = berat residu kedua (gram)

d = berat residu ketiga (gram)

e = berat residu keempat (gram)

3.4.5.2. Penentuan Kadar C Organik (Walkley dan Black, 1934)

Sebanyak 0.5 g sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu

ditambahkan 10 mL K2Cr2O7 1 N dan 20 mL H2SO4 pekat sambil digoyang dan

dibiarkan sampai dingin. Setelah itu diencerkan sampai 250 mL dengan akuades

dan ditambahkan 6-7 tetes feroin 0.025 M. setelah itu, larutan dititrasi dengan

FeSO4 0.5 N sampai berubah warna menjadi merah anggur.

% C organik = ( K2Cr 2O7 x Vol K2Cr2O7 ( FeSO 4 x FeSO 4)) x 0.003 x f

( )

Keterangan :

0.003 : valensi Cr yang teroksidasi dalam gram

f : 0.77 (77% C yang dapat teroksidasi)

3.4.5.3. Penentuan Total Nitrogen (BSN, 2010)

Sebanyak 100 mg sampel ditimbang ke dalam labu kjehldal 100 mL.

Ditambahkan 1 g katalis selenium dan 10 mL H2SO4 pekat melalui pinggir labu

32

kemudian dipanaskan secara bertahap mulai dari suhu rendah hingga mendidih

sampai tidak ada uap yang terbentuk. Apabila sudah tidak ada uap, larutan

didinginkan dan ditambahkan 10 mL akuades. Setelah itu larutan dipindahkan ke

dalam labu ukur 100 mL dan ditepatkan hingga tanda batas. Selanjutnya, larutan

dipipet sebanyak 5 mL lalu ditambahkan NaOH 30%, dan didestilasi. Ammonia

yang terdestilasi ditampung dalam 5 mL asam borat 4% yang telah ditambah

indikator conway. Larutan tersebut kemudian ditambahkan indikator fenolftalein

dan dititrasi dengan HCl 0.01 N lalu ditentukan kadar nitrogennnya.

Total N =

( )

Keterangan :

Fp = faktor pengenceran

3.4.6. Evaluasi Hari Ke 0, 7, 14, dan 21

3.4.6.1. Uji Aktivitas Enzim Lignin Peroksidase (Bonnen et al., 1994)

Ke dalam tube 2 mL, dimasukkan 0,1 mL veratryl-alkohol 8 mM ; 0,2 mL

buffer asetat 50 mM pH 3 ; 0,45 mL akuades ; 0,05 mL H2O2 5 mM ; 0,2 mL

filtrat enzim (Volume total = 1 mL). Tabung/cuvet dikocok perlahan agar semua

bahan tercampur. Reaksi aktivitas enzim dilakukan pada suhu 201 C.

Absorbansi diukur pada waktu 0 dan 10 menit (atau lebih lama) pada panjang

gelombang () 310 nm.

Perhitungan :

Aktivitas enzim (U/mL)= OD310 x Vtotal (mL) x 10

9

max x d x Venzim (mL) x t

Keterangan :

OD = selisih absorbansi pada 10 dan 0 menit

Vtotal = 1 mL

Venzim = 0,2 mL

33

max = absorpsivitas molar veratryl-alkohol 9300/M.cm

d = tebal bagian dalam kuvet (cm)

t = waktu reaksi aktivitas enzim (menit).

3.4.6.2. Penentuan Nilai pH

Pengukuran pH dilakukan dengan cara sampel ditimbang sebanyak 2-3

gram dan ditambahkan akuades sebanyak 10-15 mL. Selanjutnya dihomogenkan

menggunakan shaker mekanis selama 15 menit dan diukur dengan menggunakan

pH meter.

3.4.6.3. Bobot Biomassa Fungi (Hamzah et al., 2012)

Sebanyak 3 g substrat kayu jati putih fermentasi dilarutkan dengan 30 mL

larutan fisiologis NaCl 0,85% kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm

selama 15 menit. Filtrat diambil lalu ditaruh ke dalam cawan porselein yang telah

diketahui bobotnya kemudian dioven pada suhu 60oC selama 1 hari untuk

mengetahui berat kering sampel. Supernatan disentrifuse kembali dengan

kecepatan 12000 rpm selama 15 menit. Filtrat ditaruh ke dalam cawan porselein

lalu dioven pada suhu 60oC selama 1 hari untuk mengetahui bobot biomassa

fungi.

Bobot biomassa fungi =( + )

3.4.6.4. Penentuan Kadar Air (BSN, 1992)

Cawan dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam. Cawan

kemudian diletakkan ke dalam desikator (15 menit) dan dibiarkan sampai dingin

kemudian ditimbang. Sampel seberat 2-3 gram ditimbang ke dalam cawan

tersebut. Cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu

34

102-105oC selama 5-6 jam. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan

dibiarkan sampai dingin (30 menit) kemudian ditimbang hingga memperoleh

bobot yang tetap. Perhitungan kandungan air dapat dilakukan menggunakan

rumus :

% kadar air =

x 100%

Keterangan :

a = berat cawan kosong (gram)

b = berat cawan yg diisi dengan sampel (gram)

c = berat cawan yg sudah dikeringkan (gram)

3.4.6.5. Penentuan Kadar Bahan Organik dan Abu (BSN, 1992)

Cawan porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu

sekitar 105oC selama 30 menit. Cawan porselen kemudian dimasukkan ke dalam

desikator (30 menit) dan ditimbang (berat a). Cawan yang berisi sampel 2-3 gram

(berat b) dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105oC selama 5-6 jam lalu

dimasukkan kedalam tanur pengabuan dengan suhu 550oC hingga mencapai

pengabuan sempurna. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan

sampai dingin kemudian ditimbang (berat c). Perhitungan kandungan abu dapat

dihitung menggunakan rumus :

% kadar abu =

x 100%

Keterangan :

a = berat cawan kosong (gram)

b = berat cawan dengan sampel (gram)

c = berat cawan dengan sampel yg sudah diabukan (gram)

Bahan organik dapat dihitung dengan rumus:

% Bahan organik = 100% - % kadar abu

35

3.4.7. Analisis Data

Data hasil penelitian ini dianalisis menggunakan analysis of variance

(ANOVA) pada SPSS versi 20.0 dengan batas kepercayaan sebesar 95% (= 0,05)

dan uji lanjut Duncan. Pengujian hipotesis didasarkan pada ketetapan H0 dan H1.

H0 = Phanerochaete chrysosphorium yang diradiasi gamma pada dosis yang

sesuai dengan diberikan alkali treatment dapat meningkatkan aktivitas

enzim peroksidase dan mengoptimalkan delignifikasi jerami padi.

H1 = Phanerochaete chrysosphorium yang diradiasi gamma pada dosis yang

sesuai tanpa diberikan alkali treatment dapat meningkatkan aktivitas enzim

peroksidase dan mengoptimalkan delignifikasi jerami padi.

Penarikan kesimpulan berdasarkan nilai signifikansi, yaitu :

Jika p < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima

Jika p > 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak.

36

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Orientasi Dosis Optimum Iradiasi Gamma Fungi Phanerochaete

chrysosporium

Kultur Phanerochaete chrysosporium ditanam dalam media padat Potato

Dextrose Agar (PDA) untuk dilakukan proses iradiasi. Dalam media padat,

Phanerochaete chrysosporium menunjukkan hifa yang berwarna putih. PDA

dipilih sebagai medium pertumbuhan Phanerochaete chrysosporium agar lebih

resisten saat diiradiasi dibandingkan pada media cair Potato Dextrose Broth

(PDB).

Gambar 8. Grafik Hubungan Dosis Iradiasi dengan Aktivitas Lignin Peroksidase

(LiP) pada Phanerochaete chrysosporium.

Berdasarkan Gambar 8, puncak dosis iradiasi optimum berada pada dosis

600 Gray pada medium substrat kayu jati putih dengan aktivitas enzim lignin

peroksidase yaitu sebesar 22,18 U/mL. Hasil uji statistik Duncan memperlihatkan

beda nyata pada dosis 600 Gray dengan dosis lainnya (Lampiran 8). Peningkatan

aktivitas enzim lignin peroksidase (LiP) yang terjadi pada dosis 600 Gray,

0

5

10

15

20

25

0 200 400 600 800 1000 1200

Akt

ivit

as li

gnin

per

oks

idas

e (U

/mL)

Dosis iradiasi gamma (Gray)

37

disebabkan dosis yang diberikan merupakan dosis yang tertinggi yang

menyebabkan fungi mengalami kerusakan sel yang lebih besar sehingga fungi

tersebut memproduksi enzim yang lebih besar, oleh karena itu akan meningkatkan

aktivitas enzimatis (Wahyudi et al., 2005). Selain itu, dosis yang diberikan

merupakan dosis yang dapat ditoleransi, di mana kerusakan-kerusakan pada sel

masih dapat diperbaiki sehingga memberikan stimulasi terhadap peningkatan

aktivitas enzim LiP.

Tahap optimasi produksi enzim lignin peroksidase yang dilakukan dalam

fermentasi fase cair selama 4 hari dengan menggunakan media substrat kayu jati

putih. Kemampuan Phanerochaete chrysosporium dalam biodegradasi lignin

disebabkan fungi ini mampu menghasilkan enzim lignin peroksidase (LiP),

mangan peroksidase (MnP), dan lakase. LiP merupakan enzim yang mengandung

heme dengan potensial redoks yang tinggi yang membutuhkan dua metabolit

utama agar dapat bekerja. Metabolit tersebut adalah hidrogen peroksida (H2O2)

dan veratril alkohol yang digunakan sebagai mediator untuk reaksi redoks. MnP

juga merupakan enzim yang mengandung heme dan menggunakan H2O2 untuk

mengkatalisis oksidasi Mn2+

menjadi Mn3+

. MnP memiliki kemampuan oksidasi

baik komponen fenolik maupun non fenolik senyawa lignin. Walaupun

mekanisme kerjanya sama seperti LiP namun MnP tidak memiliki kemampuan

yang sama untuk mengoksidasi substansi dengan potensial redoks yang lebih

tinggi.

Dosis optimum iradiasi ditentukan melalui pengujian aktivitas enzim

lignin peroksidase (LiP). Analisis aktivitas enzim lignin peroksidase oleh

Phanerochaete chrysosporium dilakukan pada fermentasi fase cair hari ke-4.

38

Dosis optimum pada Phanerochaete chrysosporium dengan dosis iradiasi 0, 200,

400, 600, 800, dan 1000 Gray dapat dilihat pada Gambar 8. Penggunaan iradiasi

gamma dosis rendah 0 1000 Gy karena pada dosis ini merupakan dosis yang

cukup dapat menyebabkan terjadinya perubahan DNA sehingga akan berpengaruh

terhadap pertumbuhannya. Jika dilakukan iradiasi pada dosis tinggi dapat

menyebabkan tidak sempurnanya pemisahan kromosom pada pembelahan sel,

sehingga mengakibatkan sel kehilangan kemampuan untuk memperbanyak diri

sehingga sel akan mati.

Dalam kemampuannya mendegradasi lignin, enzim peroksidase terlebih

dahulu dioksidasi oleh H2O2, untuk membentuk zat antara. Zat ini selanjutnya

direduksi oleh sebuah elektron dan membentuk zat kedua yang bersifat radikal.

Selanjutnya zat kedua mengoksidasi substrat berikutnya dengan satu elektron

sehingga siklus katalitis tersebut lengkap. Senyawa veratril alkohol merupakan

metabolit sekunder yang juga dihasilkan oleh fungi. Ditemukan bahwa beberapa

substrat tertentu yang tidak dapat dioksidasi oleh lignin peroksidase akan

teroksidasi jika di dalam campuran inkubasi terdapat veratril alkohol (Fadilah et

al., 2008). Dikatakan bahwa H2O2 dan veratril alkohol merupakan mediator dalam

proses biodelignifikasi (Koduri, 1994).

Hasil penelitian Abo-State et al. (2011), menunjukan bahwa pengaruh

iradiasi gamma terhadap pertumbuhan P.sajor-caju terjadi penurunan bertahap

pada pertumbuhan diameter cakram miselium P.sajor-caju karena dosis radiasi

gamma meningkat. Hal ini mungkin dasar penjelasan bahwa variasi dosis radiasi

gamma dapat merusak sel DNA, sehingga secara bersamaan dibutuhkan perbaikan

DNA dari sejumlah enzim untuk mengembalikan integritas genomik (Abo-State,

39

1996). Kelangsungan hidup spora Phanerochaete chrysosporium menunjukkan

kenaikan viabilitas karena radiasi yang menstimulasi germinasi. Beberapa

penelitian (Boominathan et al., 1990) menunjukkan bahwa radiasi gamma dapat

mengubah struktur genom. Perpindahan energi tinggi lebih efektif dalam

mempengaruhi pengrusakan untaian ganda dari pada perpindahan energi rendah.

Interaksi sinar gamma dengan suatu sel akan menghasilkan radikal bebas

atau spesi oksigen reaktif di antaranya adalah radikal superoksida (O-2

), radikal

hidroksil (OH), dan hidrogen peroksida (H2O2) (Salter dan Hewitt, 1992).

Radikal bebas diproduksi dalam sel yang secara umum melalui reaksi pemindahan

elektron, menggunakan mediator enzimatik atau non-enzimatik. Produksi radikal

bebas dalam sel dapat terjadi secara rutin maupun sebagai reaksi terhadap

rangsangan. Secara rutin adalah superoksida yang dihasilkan melalui aktifasi

fagosit dan reaksi katalisa superoksida, hidrogen peroksida dan kelompok oksigen

reaktif (ROS) lainnya pada saat bertemunya bakteri dengan fagosit teraktifasi.

Kelebihan elektron yang terjadi dari rantai transport elektron, misalnya yang ada

dalam mitokondria dan endoplasma retikulum dan molekul oksigen yang

menghasilkan superoksida.

Gambar 9. Sistem Oksigen Aktif (Halliwell dan Whiteman, 2004).

Radikal bebas tersebut dapat menggangu struktur dan fungsi dari

komponen sel sehingga memicu terjadinya stres oksidatif. Sebagai akibat dari

40

stress yang ditimbulkan, sel tersebut akan mengembangkan mekanisme proteksi

untuk melawan efek oksigen reaktif dengan menghasilkan enzim yang lebih

banyak (Sreedhar et al., 2013). Lydia et al.(1994), juga menyatakan bahwa

mutasi akibat radiasi menyebabkan fungi terstimulasi kemudian memperbaiki

bagian terinduksi untuk menghasilkan enzim yang lebih banyak daripada sebelum

diradiasi.

4.2. Karakteristik Substrat Kayu Jati Putih Pra-SSF (Solid State

Fermentation)

Sebelum dilakukan proses fermentasi fase padat, kayu jati putih (Gmelina

arborea Roxb.) dipreparasi terlebih dahulu dengan perlakuan fisik dan kimia.

Perlakuan fisik dilakukan dengan cara penggilingan substrat dengan tujuan

memperkecil ukuran partikel sehingga luas permukaannya meningkat (Utomo dan

Soejono, 1987). Luas permukaan yang lebih besar akan mempermudah aktivitas

mikroorganisme perombak sehingga proses dekomposisi menjadi lebih cepat

(Djuarnani et al., 2008). Perlakuan kimia dilakukan dengan cara merendam

serbuk kayu jati putih dengan larutan NaOH 1% dan H2SO4 1% selama 1 jam.

Perendaman menggunakan larutan NaOH 1% dan H2SO4 1% merupakan tahap

awal untuk mendegradasi lignin sehingga ketika diinokulasi fungi Phanerochaete

chrysosporium maka dengan mudah untuk mendegradasi lignin dalam substrat.

41

(1) (2)

Gambar 10.Substrat Kayu Jati Putih Setelah Pre-Treatment. (1) Substrat sebelum

di oven, A. Tanpa pre-treatment (Kontrol). B. Pre-treatment dengan

H2SO4 1%. C. Pre-treatment dengan NaOH 1%. (2) Substrat setelah

di oven, A. Tanpa pre-treatment (Kontrol). B. Pre-treatment dengan

H2SO4 1%. C. Pre-treatment dengan NaOH 1%.

Setelah pretreatment kimia dilakukan dengan larutan NaOH 1% dan

H2SO4 1%, terjadi perubahan komposisi kimia kayu jati putih akibat proses

degradasi. Hasil analisis karakteristik substrat kayu jati putih (Gmelina arborea

Roxb.) yang digunakan dalam penelitian ini dengan pretreatment dapat dilihat

pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik Substrat Kayu Jati Putih (Gmelina arborea Roxb.).

Karakteristik K1 K2 K3

pH 6,11 6,56 5,39

Bahan Org (%) 97,60 96,61 97,35

C-org (%) 24,47 21,51 26,42

Total N (%) 0,3719 0,3667 0,4017

Ekstraktif (%) 7,12 5,78 9,27

Hemiselulosa (%) 17,32 15,17 8,14

Selulosa (%) 43,39 48,13 53,4

Lignin (%) 31,28 30,03 27,92

Abu (%) 0,89 0,89 1,27

Keterangan : K1 : substrat tanpa pretreatment (Kontrol)

K2 : substrat dengan pretreatment NaOH 1%

K3 : substrat dengan pretreatment H2SO4 1%

Persentase kadar lignin pada sampel K1, K2, dan K3 berturut-turut yaitu

31,28%, 30,03%, dan 27,92%. Pretreatment kimia ini memperlihatkan penurunan

A

B

C

A

B C

42

terhadap persentase kadar lignin dalam substrat dan perubahan komposisi kimia

kayu lainnya, karena dengan adanya pretreatment kimia terjadi degradasi tahap

awal pada lignin. Dimana penurunan persentase kadar lignin berbanding terbalik

dengan persentase kadar selulosa. Kandungan lignin pada biomassa akan

mengalami proses penguraian dengan proses pretreatment, tetapi tidak terjadi

pada kandungan selulosanya (Kristina et al., 2012). Pretreatment dapat

meningkatkan kandungan selulosa dan efektif untuk menghilangkan lignin.

Persentase kadar selulosa pada sampel K1, K2, dan K3 masing-masing yaitu

43,39%, 48,13%, dan 53,40%. Hal ini terlihat bahwa pretreatment menggunakan

H2SO4 1% dapat meningkatkan kandungan selulosa lebih banyak dan efektif

untuk menghilangkan lignin dibanding pretreatment NaOH 1%. Perlakuan secara

kimia menggunakan H2SO4 1%, menunjukkan penurunan kadar lignin yang paling

banyak, yaitu 35,1% pada biomasa serbuk kayu sengon dan 29,3% pada biomasa

serbuk pelepah sawit (Mutreja et al., 2011).

Penggunaan larutan NaOH sebagai pretreatment biomassa karena larutan

ini dapat merusak struktur lignin pada bagian kristalin dan amorf serta

memisahkan sebagian hemiselulosa. Julfana (2012), mengatakan bahwa ekstraksi

hemiselulosa dapat menggunakan pelarut seperti NaOH, NH4OH dan KOH. Di

antara ketiga pelarut tersebut yang paling baik digunakan adalah NaOH.

Hemiselulosa memiliki struktur amorf sehingga penggunaan NaOH dapat

menghilangkan lignin sekaligus mengekstraksi hemiselulosa. Penelitian Safaria

(2013), menyatakan bahwa larutan NaOH dapat menyerang dan merusak struktur

lignin pada bagian kristalin dan amorf serta memisahkan sebagian hemiselulosa.

43

Proses pretreatment pada bahan lignoselulosa perlu dilakukan untuk

mempermudah proses hidrolisis yaitu untuk membuka struktur lignoselulosa

sehingga selulosa mudah diakses oleh enzim yang memecah polisakarida menjadi

monosakarida. Larutnya lignin disebabkan akibat ion OH- dari NaOH akan

memutuskan ikatan-ikatan dari struktur dasar lignin sedangkan ion Na+ akan

berikatan dengan lignin membentuk natrium fenolat. Garam fenolat ini bersifat

mudah larut (Dashtban et al., 2009). Pernyataan tersebut didukung oleh Rosdiana

et al. (2013), bahwa lignin dalam larutan NaOH akan membentuk garam fenolat

yang larut dalam air. Apabila garam fenolat terbentuk maka ikatan antara selulosa

dengan lignin akan lepas sehingga diperoleh selulosa dalam keadaan bebas lignin

seperti terlihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Mekanisme Pemutusan Ikatan Lignin dengan Selulosa pada

Pretreatment NaOH (Rosdiana et al., 2013).

44

Lignin yang terlarut ditandai dengan warna hitam pada larutan yang

disebut lindi hitam (black liquor). Hasil yang diperoleh yaitu berkuranganya berat

sampel dan terjadinya perubahan fisik serta berubahnya warna serbuk kayu jati

putih. Hal ini dapat diduga bahwa kandungan lignin yang terdapat pada serbuk

kayu jati putih telah hilang dan lepas sehingga didapatkan sampel selulosa yang

akan digunakan untuk proses fermentasi.

Pretreatment dengan asam dapat menghasilkan peningkatan enzimatik

hidrolisis biomassa lignoselulosa untuk melepaskan gula fermentasi. Pretreatment

dengan asam telah berhasil dikembangkan untuk pretreatment bahan

lignoselulosa. Asam sulfat pada konsentrasi di bawah 4%, telah banyak menarik

studi karena murah dan efektif. H2SO4 encer telah digunakan untuk memproduksi

furfural dari selulosa materials (Zeitsch, 2000). H2SO4 encer komersial dicampur

dengan biomassa untuk menghidrolisis hemiselulosa ke xilosa dan gula lain dan

kemudian terus memecah xilosa bawah untuk membentuk furfural (Mosier et al.,

2005).

Gambar 12. Reaksi Hidrolisis Senyawa Hemiselulosa Membentuk Furfural.

Pretreatment dengan H2SO4 encer dapat mencapai reaksi yang tinggi dan

secara signifikan meningkatkan hidrolisis selulosa. Asam encer efektif

menghilangkan dan memulihkan sebagian hemiselulosa sebagai gula terlarut, dan

hasil glukosa dari kenaikan selulosa dengan menghilangkan hemiselulosa hampir

100% untuk hidrolisis hemiselulosa secara sempurna. Hidrolisis asam merupakan

hidrolisis yang memutuskan ikatan antara lignin dan selulosa, tetapi pemutusan

45

yang bersifat acak menyebabkan kadar lignin yang diperoleh pun tidak

mempunyai pola yang teratur. Pengendapan lignin dalam hidrolisat dengan katalis

asam dapat dijelaskan sebagai berikut. Peningkatan konsentrasi asam

menyebabkan terjadinya protonasi gugus eter pada atom C dari benzil. Protonasi

terjadi lalu molekul alkohol terlepas menghasilkan sistem benzilium dan

oksonium.

Gambar 13. Pretreatment H2SO4 pada Lignin (Arianie dan Idiawati., 2011).

Skema reaksi hidrolisis dengan asam yaitu proton dari asam akan

berinteraksi secara cepat dengan ikatan glikosidik oksigen pada dua unit gula

sehingga akan membentuk asam konjugasi (Xiang et al., 2003). Proses tersebut

berlangsung secara kontinyu sampai semua molekul selulosa terhidrolisis menjadi

glukosa.

4.3. Fermentasi Serbuk Kayu Jati Putih dengan Metode SSF (Solid State

Fermentation)

Fermentasi serbuk kayu jati putih dengan metode SSF (Solid State

Frmentation) menggunakan fungi Phanerochaete chrysosporium dilakukan

selama 21 hari dengan perbandingan substrat dan liquid sesuai atau WHC 1:6.

Liquid dalam proses fermentasi tersebut meliputi penambahan larutan nutrisi,

inokulum Phanerochaete chrysosporium 0 Gy dan 600 Gy serta akuades. Larutan

nutrisi atau Mineral Salts Medium (MSM) memiliki peran penting pada proses

46

fermentasi karena mempengaruhi kestabilan mikroorganisme (Somda et al.,

2011). Mineral-mineral tersebut digunakan untuk pertumbuhan sel fungi

termasuk pembelahan sel dan proses metabolismenya (Birch dan Walker, 2000).

Mg berperan sebagai aktivator pada beberapa enzim sedangkan ion K+ sangat

diperlukan untuk proses pertumbuhan. Penambahan yeast extract berfungsi

sebagai penyedia asam-asam amino tunggal, faktor pertumbuhan dan berbagai

vitamin yang dibutuhkan sel (Haltrich et al., 1996) sedangkan amonium sulfat

merupakan sumber nitrogen yang selanjutnya digunakan oleh fungi untuk sintesis

asam amino. Yeast extract pada dasarnya berisi asam glutamat yang merupakan

sumber nitrogen. Nitrogen berperan dalam degradasi lignin sebagai bagian dari

metabolisme sekunder fungi. Konsentrasi nitrogen dalam media mempengaruhi

enzim pendegradasi lignin yang dihasilkan fungi. Konsentrasi nitrogen yang

rendah akan menstimulasi produksi enzim, sebaliknya konsentrasi nitrogen yang

tinggi akan menekan produksi enzim (Fadilah dan Distantina, 2009).

Pada proses fermentasi, kultur Phanerochaete chrysosporium dibuat dalam

media cair Potato Dextrose Broth (PDB). Tujuannya adalah mengadaptasikan sel

terhadap medium fermentasi (serbuk kayu jati putih), sehingga mempersingkat lag

phase (fase adaptasi) dan pertumbuhan fungi akan maksimum dalam waktu yang

relatif singkat (Pangesti et al., 2012).

4.3.1. Nilai pH

pH merupakan satu diantara beberapa faktor penting yang mampu

mempengaruhi pertumbuhan fungi dan proses fermentasi. Perubahan nilai pH

selama proses fermentasi dapat dilihat pada Gambar 14.

47

Gambar 14. Perubahan pH oleh Phanerochaete chrysosporium terhadap Proses

Fermentasi Serbuk Kayu Jati Putih Selama 21 Hari.

Nilai pH selama proses fermentasi mengalami fluktuasi (Lampiran 4).

Pada hari ke-21 pH yang dihasilkan dari proses fermentasi selama 21 hari berada

pada kisaran pH 5,5 sampai dengan pH 8,3. Pada hari ke 7 dan 14 nilai pH

berkisar pada pH 7-7,6. Menurut Fadila et al. (2008), Phanerochaete

chrysosporium mempunyai pertumbuhan optimum pada pH