DEGRADASI PRODUK PADA LIKUIFAKSI SELULOSA DENGAN …

10
DEGRADASI PRODUK PADA LIKUIFAKSI SELULOSA DENGAN PELARUT ETANOL-AIR The Degradation Products on Cellulose Liquefaction with Ethanol/Water Solvent 1) 2) 2) Galuh W. Murti , P.S. Marathe , dan R.J.M. Westerhof 1) Pusat Teknologi Sumberdaya Energi dan Industri Kimia Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Gedung 625 Klaster Teknologi Energi Puspiptek Serpong Tangerang Selatan-Indonesia 2) Sustainable Process Technology (SPT) Group, University of Twente-Holand Email: [email protected] Abstract Utilization of biomass as an alternative fuel is one solution to overcome the scarcity of fuel in the future. Indonesia has abundant biomass which can be used as a fuel resource. Cellulose is the largest component in the biomass; it represents sugars which consist of glucose units. Therefore, the aim of this study was to determine cellulose degradation products and the effect of ethanol/water mixture as o the liquefaction medium. Cellulose was liquefied at 300 C with certain ethanol/water mixture (0/100, 10/90, 50/50, 60/40, 80/20, 100/0) in a batch reactor. The optimum liquefaction medium was 60/40 (w/w) ethanol/water. Some degradation products of cellulose in the aqueous phase such as levulinic acid, acetic acid, formic acid, and ethyl levulinate were observed by HPLC and LCMS. In cellulose liquefaction, the average molecular weight decreased by an increase in ethanol. It indicated that charring might be avoided by using ethanol as a solvent. In addition, ethanol reacts with the intermediate product and produces light molecular weight compounds. Our work confirmed that in a water-rich medium, the reaction occurred quickly toward the degradation products and charring; however, an addition of ethanol could decrease the reaction rate as well as protect the glucose into further degradation products, and eventually, levulinic ester was found as a stable product at the end of the reaction. Levulinic ester is known as biofuel or additive compound for both diesel and biodiesel. Keywords: levulinic ester, cellulose liquefaction, ethanol, water, degradation product Abstrak Pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar alternatif merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kelangkaan bahan bakar minyak di masa depan. Indonesia memiliki biomassa yang melimpah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumberdaya bahan bakar. Selulosa adalah komponen terbesar dalam biomassa, selulosa ini merupakan gula yang terdiri dari unit-unit glukosa. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui produk-produk degradasi selulosa dan pengaruh campuran o etanol/air sebagai media likuifaksi. Selulosa dilikuifaksi pada suhu 300 C dengan campuran etanol/air tertentu (0/100, 10/90, 50/50, 60/40, 80/20, 100/0) ke dalam reaktor batch. Media likuifaksi optimum adalah 60/40 (w/w) etanol / air. Beberapa produk degradasi dari selulosa dalam fase aqueous seperti asam levulinat, asam asetat, asam format, dan etil levulinat diamati oleh HPLC dan LCMS. Dalam likuifaksi selulosa, berat molekul rata-rata menurun dengan bertambahnya etanol. Ini menunjukkan bahwa charring dapat dihindari dengan menggunakan etanol sebagai pelarut. Selain itu, etanol bereaksi dengan produk intermediet dan menghasilkan senyawa dengan berat molekul ringan. Studi kami menegaskan bahwa dalam media yang kaya air, reaksi tersebut terjadi dengan cepat terhadap produk degradasi dan charring; namun, penambahan etanol dapat menurunkan laju reaksi serta melindungi glukosa menjadi produk degradasi lebih lanjut, dan akhirnya, ester levulinik ditemukan sebagai produk stabil pada akhir reaksi. Ester Levulinik diketahui sebagai biofuel atau komponen aditif untuk diesel dan biodisel. Kata kunci: ester levulinik, likuifaksi selulosa, etanol, air, produk degradasi Degradasi Produk ................ (Galuh W. Murti, P.S. Marathe, dan R.J.M. Westerhof) 45 1. PENDAHULUAN Ketersediaan biomassa baik limbah maupun tanaman non-edible di Indonesia yang melimpah. Limbah biomassa, seperti limbah kayu industri, limbah padi (sekam dan jerami), limbah industri kelapa sawit (serat, cangkang, tandan kosong, pelepah, dan batang), limbah jagung (tongkol, batang, dan daun), dan limbah tebu (ampas, daun dan pucuk), bila tidak diolah akan dapat menimbulkan masalah lingkungan. Tanaman non- edible seperti nyamplung, kemiri sunan, dan jarak pagar tidak mempunyai nilai tambah bila tidak diolah lebih lanjut. Menurut data tahun 2015, limbah biomassa seperti jerami, sekam padi,

Transcript of DEGRADASI PRODUK PADA LIKUIFAKSI SELULOSA DENGAN …

Page 1: DEGRADASI PRODUK PADA LIKUIFAKSI SELULOSA DENGAN …

DEGRADASI PRODUK PADA LIKUIFAKSI SELULOSA DENGAN PELARUT ETANOL-AIR

The Degradation Products on Cellulose Liquefaction with Ethanol/Water Solvent

1) 2) 2)Galuh W. Murti , P.S. Marathe , dan R.J.M. Westerhof1)Pusat Teknologi Sumberdaya Energi dan Industri Kimia

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)Gedung 625 Klaster Teknologi Energi Puspiptek Serpong Tangerang Selatan-Indonesia

2)Sustainable Process Technology (SPT) Group, University of Twente-HolandEmail: [email protected]

AbstractUtilization of biomass as an alternative fuel is one solution to overcome the scarcity of fuel in the future. Indonesia has abundant biomass which can be used as a fuel resource. Cellulose is the largest component in the biomass; it represents sugars which consist of glucose units. Therefore, the aim of this study was to determine cellulose degradation products and the effect of ethanol/water mixture as

othe liquefaction medium. Cellulose was liquefied at 300 C with certain ethanol/water mixture (0/100, 10/90, 50/50, 60/40, 80/20, 100/0) in a batch reactor. The optimum liquefaction medium was 60/40 (w/w) ethanol/water. Some degradation products of cellulose in the aqueous phase such as levulinic acid, acetic acid, formic acid, and ethyl levulinate were observed by HPLC and LCMS. In cellulose liquefaction, the average molecular weight decreased by an increase in ethanol. It indicated that charring might be avoided by using ethanol as a solvent. In addition, ethanol reacts with the intermediate product and produces light molecular weight compounds. Our work confirmed that in a water-rich medium, the reaction occurred quickly toward the degradation products and charring; however, an addition of ethanol could decrease the reaction rate as well as protect the glucose into further degradation products, and eventually, levulinic ester was found as a stable product at the end of the reaction. Levulinic ester is known as biofuel or additive compound for both diesel and biodiesel.

Keywords: levulinic ester, cellulose liquefaction, ethanol, water, degradation product

AbstrakPemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar alternatif merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kelangkaan bahan bakar minyak di masa depan. Indonesia memiliki biomassa yang melimpah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumberdaya bahan bakar. Selulosa adalah komponen terbesar dalam biomassa, selulosa ini merupakan gula yang terdiri dari unit-unit glukosa. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui produk-produk degradasi selulosa dan pengaruh campuran

oetanol/air sebagai media likuifaksi. Selulosa dilikuifaksi pada suhu 300 C dengan campuran etanol/air tertentu (0/100, 10/90, 50/50, 60/40, 80/20, 100/0) ke dalam reaktor batch. Media likuifaksi optimum adalah 60/40 (w/w) etanol / air. Beberapa produk degradasi dari selulosa dalam fase aqueous seperti asam levulinat, asam asetat, asam format, dan etil levulinat diamati oleh HPLC dan LCMS. Dalam likuifaksi selulosa, berat molekul rata-rata menurun dengan bertambahnya etanol. Ini menunjukkan bahwa charring dapat dihindari dengan menggunakan etanol sebagai pelarut. Selain itu, etanol bereaksi dengan produk intermediet dan menghasilkan senyawa dengan berat molekul ringan. Studi kami menegaskan bahwa dalam media yang kaya air, reaksi tersebut terjadi dengan cepat terhadap produk degradasi dan charring; namun, penambahan etanol dapat menurunkan laju reaksi serta melindungi glukosa menjadi produk degradasi lebih lanjut, dan akhirnya, ester levulinik ditemukan sebagai produk stabil pada akhir reaksi. Ester Levulinik diketahui sebagai biofuel atau komponen aditif untuk diesel dan biodisel.

Kata kunci: ester levulinik, likuifaksi selulosa, etanol, air, produk degradasi

Degradasi Produk ................ (Galuh W. Murti, P.S. Marathe, dan R.J.M. Westerhof) 45

1. PENDAHULUANKetersediaan biomassa baik limbah maupun tanaman non-edible di Indonesia yang melimpah. Limbah biomassa, seperti limbah kayu industri, limbah padi (sekam dan jerami), limbah industri kelapa sawit (serat, cangkang, tandan kosong, pelepah, dan batang), limbah jagung (tongkol,

batang, dan daun), dan limbah tebu (ampas, daun dan pucuk), bila tidak diolah akan dapat menimbulkan masalah lingkungan. Tanaman non-edible seperti nyamplung, kemiri sunan, dan jarak pagar tidak mempunyai nilai tambah bila tidak diolah lebih lanjut. Menurut data tahun 2015, limbah biomassa seperti jerami, sekam padi,

Page 2: DEGRADASI PRODUK PADA LIKUIFAKSI SELULOSA DENGAN …

batang dan tongkol jagung, batang singkong, serat, cangkang, dan tandan kosong kelapa sawit, kelapa, dan hutan di seluruh wilayah Indonesia memiliki potensi energi sebesar 21,5 juta MWh / tahun (Papilo et al, 2015).

Biomassa lignoselulosa terdiri atas tiga bagian utama, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selulosa merupakan struktur utama dari lignoselulosa. Selulosa terdiri dari bentuk amorf dan kristal yang secara acak menyebar di fibril selulosa. Struktur kristal, yang merupakan komponen utama dalam selulosa, dihubungkan oleh ikatan hidrogen dan ikatan van der Waals. Bentuk amorf relatif mudah pecah daripada ikatan kristal karena rantai yang pendek dan ikatan hidrogen intermolekul yang lemah (Sasaki, M., et al,

2000). Hemiselulosa dan lignin menutupi mikrofibril selulosa. Hemiselulosa terdiri dari berbagai jenis gula dibandingkan dengan selulosa yang kebanyakan monosakarida seperti pentosa (xilosa, rhamnose, dan arabinosa), heksosa (glukosa, mannose, dan galaktosa), dan asam uratik yang sangat sedikit. Gula dari hemiselulosa relatif mudah dihidrolisis. Lignin terletak di antara selulosa dan hemiselulosa (Kumar, P., et al, 2009).

Selulosa dan hemiselulosa umumnya terde-okomposisi di bawah 360 C, sedangkan laju

dekomposisi lignin adalah yang paling lambat karena struktur poliaromatik padat (Brand, S. and J.

Kim, 2015). Dalam studi lain telah diamati bahwa laju ohidrolisis selulosa meningkat pada 300-350 C

sementara hemiselulosa dalam air hampir 100% oterdekomposisi pada suhu 190 C (Sasaki, M., et al,

2000). Sebaliknya, Yamazaki et al (2006) mengamati tentang biomassa lignoselulosa dengan berbagai jenis alkohol, ditemukan bahwa hemiselulosa dan lignin mudah terdegradasi pada

o270 C sementara selulosa terurai dengan osempurna pada suhu 350 C (Yamazaki, J., et al, 2006).

Hasil ini mirip dengan studi Barnés et al (2016). Liquifaksi kayu, glukosa, selulosa, amilopektin (mewakili hemiselulosa), lignin dalam 1-methyl

onaphthalene/air 85/5 (w/w) pada suhu 300 C, ditemukan bahwa glukosa, amilopektin, dan selulosa menghasilkan yield char yang lebih tinggi dibandingkan dengan lignin dan kayu (Barnés et al,

2016).Selulosa digunakan dalam studi ini karena

bentuk komponennya yang lebih sederhana daripada biomassa lignoselulosa. Selain itu, selulosa dapat diturunkan menjadi bahan kimia berharga seperti etanol, etilen, asam levulinat, dan 5-hidroksimetilfurfural (5-HMF) melalui hidrolisis. Namun, ikatan H selulosa inter- dan intramolekul hampir tidak dipolimerisasi dalam kondisi umum. Beberapa studi menerapkan asam, enzim, atau air superkritis untuk memecah struktur selulosa (Rataboul et al, 2011; Ishikawa et al, 2001; Minami, et al, 2005). Rataboul, dkk. (2011) melakukan uji coba pelarutan selulosa tanpa katalis di bawah metanol superkritis dan metanol / air (90 wt%). Pemutusan (Dissolution) selulosa dalam metanol murni pada

o300 C dan 100 bar selama 1 menit dan 2 jam

ditemukan relatif tinggi masing-masing 79 wt% dan 83% berat. Namun, hasil yang berlawanan mengenai likuifaksi selulosa dalam metanol superkritis dilaporkan oleh Ishikawa, dkk. (2001). Dalam studinya, masih ada produk (insoluble) yang terlarut dalam metanol (padat) sebesar 79

owt.% pada 300 C dan 300 bar selama 10 menit. Hasil ini jelas kontradiktif dengan jumlah residu padat setelah pencairan yang semula meng-

ohasilkan 21% berat pada 300 C dan 100 bar dalam 1 menit sementara yang terakhir menghasilkan

o79% berat pada 300 C dan 300 bar dalam waktu 10 menit. Terlepas dari hasil ini, dalam alkohol murni, produk yang tidak larut masih ditemukan di akhir reaksi.

Di dalam air, selulosa terhidrolisis melalui katalisis asam menjadi oligosugar. Konversi lebih lanjut adalah glukosa menjadi 5- (hidroksimetil) furfural (HMF) yang kedua produk tersebut dapat dengan mudah terpolimerisasi menjadi humin padat. Namun, Hu et al, (2011) mengamati bahwa media yang kaya akan metanol dapat meng-hilangkan pembentukan polimer humin padat dengan membentuk metil D-gluko-piranosida (MGP) yang merupakan produk intermediet yang relatif stabil. Kemudian, MGP diubah menjadi metil levulinat. Karena etanol digunakan dalam studi ini, etil levulinat akan diperoleh pada produk. Etil levulinat ini dapat digunakan sebagai bio-fuel. Selain itu, digunakan sebagai zat aditif untuk campuran biodiesel atau diesel karena dapat memperbaik properti cold flow bahan bakar (seperti cloud point (CP), pour point (PP), and cold filter plugging points (CFPP)) (Joshi et al, 2011).

Selulosa dalam kondisi air superkritis (320-400 oC dan 250 bar) dapat dengan cepat terurai dalam waktu 5-10 s menjadi selobiosa, glukosa, dan levoglukosan (Sasaki et al, 2000). Namun, Ishikawa et al (2001) mengamati bahwa dengan meng-

ogunakan metanol superkritis (350 C dan 430 bar), selulosa terdekomposisi dengan sempurna dalam 7 menit menjadi produk terlarut dalam metanol (methanol-soluble product). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat hidrolisis dalam air relatif lebih cepat daripada alkohol. Hasil ini sesuai dengan Barnés et al, (2016) bahwa senyawa hidroksil aromatik menunjukkan laju reaksi lambat dan produk padat tetap berbentuk kayu yang belum terkonversi.

Dekomposisi selulosa pada suhu di bawah 240 oC menghasilkan produk larut air (water-soluble products) yang tinggi. Pada suhu tinggi di atas

o260 C, produk utama terdiri dari minyak, char, dan gas. Char mulai terbentuk sehingga terjadi

openurunan kadar karbon dalam fase cair. 280 C adalah suhu optimum untuk mendapatkan hasil minyak yang tinggi akan tetapi hasil char dan gas yang tinggi dalam produk dapat mengurangi yield minyak (Kumar, S., et al, 2008).

Studi ini difokuskan pada likuifaksi selulosa dengan pelarut etanol/air dan juga produk-produk degradasi apa saja yang dapat ditemukan di dalam produk akhir fase aqueous.

46 Jurnal Energi dan Lingkungan Vol. 14, No. 1, Juni 2018 Hlm. 45-54

Page 3: DEGRADASI PRODUK PADA LIKUIFAKSI SELULOSA DENGAN …

2. BAHAN DAN METODE

2.1. Bahan BakuJenis selulosa yang digunakan adalah selulosa mikrokristalin (Avicel® PH-101). Selulosa ini diperoleh dari Sigma-Aldrich dengan ukuran partikel 50 m dan kristalinitas 60,5%. Etanol yang digunakan berasal dari Merck dengan kemurnian 99.8%. Air yang digunakan telah difiltrasi oleh Milipore ultra-filtration atau dikenal dengan Milli-Q water. Bahan kimia lainnya digunakan untuk tujuan analisis seperti kemurnian asam levulinat >98% (Sigma Aldrich), etil levulinat dengan kemurnian 99% (Aldrich), asam asetat >99,8% (Sigma Aldrich) dan asam format.

2.2. PengujianUji coba likuifaksi dilakukan dalam ruang beton dan setup uji coba dapat dioperasionalkan dari luar, hal ini untuk alasan keselamatan. Setup peralatan ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Jalur reaksi levoglukosan dalam media air dan metanol menjadi monosakarida dan senyawa organik lainnya (diadap-tasi dari Hu et al, 2013). (DDMP/PDDM adalah 2,3-dihydro-3,5-dihydroxy-6-methyl-4H-pyran-4-one; DDPN adalah 1,3-dihydroxy-2-propanone; HMCO/CPOH adalah 2-hydroxy-3-methyl-2-cyclopenten-1-one).

Umpan selulosa dan campuran etanol/air total sebanyak 15 g dimasukkan ke dalam reaktor batch 45-ml. Reaktor dilengkapi dengan pengaduk hollow shaft. Sebelum eksperimen likuifaksi, uji kebocoran selalu dilaksanakan. Nitrogen ditambahkan dalam reaktor hingga indikator tekanan terbaca 170 bar. Jika tekanan dalam reaktor konstan selama 10-15 menit, maka dianggap tidak ada kebocoran. Setelah itu, reaktor dibilas beberapa kali dengan nitrogen untuk menghilangkan udara dan memberi tekanan pada reaktor. Kemudian, reaktor yang telah dilengkapi

dengan furnace elektrik, dan berdekatan dengan sistem jaket pendingin sehingga air pendingin dapat mengalir ke sistem, diatur pada suhu yang diinginkan. Laju pemanasan autoclave sekitar

o o15 C/min. Temperatur reaksi diatur pada 300 C. Karena untuk mencapai suhu 300 memerlukan waktu 17-24 menit, maka waktu tersebut dinotasikan sebagai t-t . Setelah suhu tercapai, 0

waktu reaksi dihitung 60 menit sesuai dengan variabel yang ditentukan. Saat eksperimen berlangsung, tekanan maksimum yang dicapai antara 70-100 bar. Tekanan pada akhir reaksi meningkat karena terbentuknya produk gas dan temperatur yang bertambah.

Gambar 2. Setup autoclave 45-ml sistem batch untuk proses likuifaksi

2.3. Tahap Separasi dan Analisa ProdukSeparasi produk yang dilakukan sama dengan studi sebelumnya mengenai likuifaksi biomassa dari kayu. Gambar 3 menjelaskan prosedur separasi untuk produk gas, padat, dan cair. Pertama, gas produk dikeluarkan dan ditangkap oleh kolektor gas. Volume gas diamati untuk menghitung yield produk gas. Kemudian, produk likuifaksi, berupa padat dan cair, disaring menggunakan filter metal. Setup filter dilengkapi dengan nitrogen tekan yang dapat mempermudah produk cair melewati filter. Kemudian produk cair tersebut disimpan dalam refrigerator untuk menghindari evaporasi dan reaksi lanjutan. Produk tersebut disebut dengan produk fase aqueous. Setelah didekantasi, diperoleh endapan layer hitam yang diketahui sebagai precipitated oil (oil 1).

Sisa produk yang menempel pada dinding reaktor dan stirrer dibilas beberapa kali dengan aseton. Pembilasan dilakukan hingga pelarut pembilas jernih untuk memastikan bahwa semua padatan dan cairan diperoleh. Sisa produk yang berupa padatan, minyak yang terlarut aseton disaring kembali dengan filter yang sama. Setelah disaring, produk minyak yang terlarut dalam aseton (acetone soluble oil) dialiri nitrogen untuk menghilangkan aseton hingga massa produk tidak berubah lagi. Produk tersebut disebut dengan oil 2. Padatan dari filtrasi dikumpulkan dan

Ĩ Ĭ IJǼĈ

ĢČ IJĜĬ Ĭ ĜI

IJǼĊ

IJǼÇĨ Ī IJǼĊ

Ĩ HIJǼĐ

IJǼD

Ė Į İ Î FI Ė IJĜ

IJĜÍ İ Î ĞĞ

FÎ Î I HÍ Ġ J Ė İ ĜĪ Î Į İ

FÎ Î I HÍ Ġ J Ė İ ĜĪ HÍ

Í Č

ĢČ

Ĩ H

IJǼĈ

IJǼČ

Ĩ Ī IJǼĈ

Ĩ Ī IJǼČ

İ H

IJǼĎ

FÔIJǼĈ

İ H

Degradasi Produk ................ (Galuh W. Murti, P.S. Marathe, dan R.J.M. Westerhof) 47

Page 4: DEGRADASI PRODUK PADA LIKUIFAKSI SELULOSA DENGAN …

odikeringkan pada oven 105 C selama satu malam. Padatan yang telah kering dinotasikan sebagai solid.

Untuk mengetahui komposisi gas produk, analisis GC dilakukan. Gas produk yang telah disiapkan dalam syringe dinjeksikan ke GC Varian CP 4900 dual SN604 yang dilengkapi 10 m Molecular sieve 5A dan 10 m Porapak Q dalam aliran helium sebagai gas karir. Sebelum injeksi sampel gas, kalibrasi gas (O , N , CO , CO, CH , 2 2 2 4

C H , C H , C H , and C H ) dilakukan. 2 6 2 4 3 8 3 6

GC-MS untuk mengetahui komponen dalam produk cair, seperti fase aqueous, oil 1, dan oil 2 dianalisis, juga dilakukan. Namun, hasil analisis tidak mendeteksi produk cair. Hal ini dikarenakan berat molekul yang besar dari minyak atau konsentrasi komponen yang kecil. Oleh karena itu, GC-MS hanya dilakukan untuk mengetahui kadar etanol dan aseton dalam minyak / produk fase aqueous.

Analisis GPC dilakukan untuk mengetahui distribusi berat molekul minyak. GPC hanya dilakukan pada oil 2 karena produksi oil 1 sangat kecil dan hasilnya tidak jauh berbeda dengan oil 2. Analisis titrasi Karl Fischer (KF) dilaksanakan untuk mengetahui kadar air dalam minyak maupun produk fase aqueous. Untuk padatan, analisis FTIR dilakukan untuk mengetahui ikatan kimia pada residu padat dan oil 2.

Gambar 3. Prosedur separasi untuk produk-produk likuifaksi

2.4. Yield Produk Gas, Padat, dan CairPerhitungan yield padat, gas, dan cair berdasarkan umpan awal selulosa. Yield gas dihitung dengan menggunakan hukum gas ideal.

................(1)

..................(2)

.................(3)

............................(4)

Beberapa titik diulang duplo untuk memastikan reprodusibilitasnya. Rata-rata dihitung dengan standard error of the mean (SEM).

2.5. Analisis Produk MinyakAnalisis Gel Permeable Chromatography (GPC) dilakukan untuk menentukan berat molekul (BM) produk minyak mentah yang umumnya sebagian besar mengandung fraksi berat. Preparasi sampel menggunakan prosedur yang sama dengan eksperimen sebelumnya dalam literatur lain (Murti,

dkk, 2018; Hoekstra, E., et al, 2012). Fraksi residu vakum dihitung dengan persamaan 5).

.......(5)

Respon sinyal RID menunjukkan semua komponen dalam sampel sedangkan respon VWD menyatakan komponen dengan ikatan aromatik dan terkonjugasi rangkap. Oleh karena itu, ratio RID/VWD mengindikasikan intensitas relatif dari komponen ikatan jenuh terhadap komponen ikatan aromatik dan tidak jenuh dalam sampel, yang ditunjukkan oleh persamaan 6).

...........(6)

Selain i tu, Fourier Transforms Infrared Spectroscopy (FTIR) juga dilakukan untuk membandingkan spektrum minyak dan mengetahui ikatan yang terdapat dalam minyak.

2.6. Analisis Produk Aqueous Produk fase aqueous dari likuifaksi selulosa dilakukan analisis High-Performance Liquid Chromatography (HPLC), Liquid Chromatography – Mass Spectrometry (LC-MS). Analisis-analisis ini dilakukan untuk mengetahui kandungan produk fase aqueous.

HPLC (Agilent Technologies 1200 series dengan VWD dan RID atau ELSD) digunakan untuk menentukan konsentrasi produk degradasi dari selulosa seperti asam levulinat, etil levulinat, asam asetat, dan asam format. Beberapa kurva kalibrasi HPLC dibuat untuk menentukan konsentrasi komponen-komponen tersebut. Kolom yang digunakan adalah kolom Hi-Plex H yang sesuai untuk produk sampingan dan produk degradasi likuifaksi (seperti asam, alkohol, furfural, dan hidroksimetilfurfural). Sampel fase aqueous

Liquefaction Products

Gas products

Aqueous phase+

dissolved oil

Filtration

Solid Residue

Liquid and solidGas

FiltrationGC

GC-MS, Water content,

LC-MS, HPLC

Acetone

Acetone soluble oil

Evaporation

Heavy oil (Oil 2)

Precipitated oil (Oil 1)

Aq. Phase

GC-MS, Water content, GPC

GPC

FTIR

Oil phase

Decantation

48 Jurnal Energi dan Lingkungan Vol. 14, No. 1, Juni 2018 Hlm. 45-54

Page 5: DEGRADASI PRODUK PADA LIKUIFAKSI SELULOSA DENGAN …

dilarutkan dalam air Milli Q. Waktu elusi ditetapkan pada 60 menit untuk memastikan seluruh komponen terdeteksi. Suhu kolom diprogram pada

osuhu 60 C. Analisis LC-MS dilakukan dengan meng-

gunakan sistem Dionex Ultimate 3000 HPLC dan UHPLC yang dilengkapi dengan Amazon SL MS oleh Bruker. Sampel disiapkan dengan melarutkan ke dalam air Milli-Q sampai kadar 100-300 ppm. Kemudian, sampel disaring dengan filter Whatman 0,2 µm sebelum diinjeksikan ke alat.

2.7. Analisis Produk Padatan (Solid)Produk residu solid dianalisis dengan meng-gunakan FTIR untuk mengamati dan mem-bandingkan profil spektrumnya. Analisis FTIR dilakukan pada Bruker yang dilengkapi dengan Attenuated Total System Reflection (ATR) dan Deuterated Triglycine Sulfate Detector (DTGS) untuk mengkarakterisasi kelompok fungsional residu padat. Analisis dilakukan dengan

-1menggunakan resolusi 4 cm dengan rentang -1frekuensi 650 - 4000 cm . Kemudian, spektrum

dinormalisasi dan diplot dengan menggunakan Origin.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Likuifaksi Selulosa dalam Etanol/AirSelulosa merupakan komponen terbesar dalam biomassa lignoselulosa, sekitar 35 – 83 % (basis berat kering) (Xu et al, 2014). Karena selulosa mewakili sebagian besar dari gula dalam biomassa dan terdiri dari unit glukosa.

Eksperimen likuifaksi selulosa dilakukan dalam air murni, etanol/air 10/90, 50/50, 60/40, 80/20

o(w/w) pada suhu 300 C selama satu jam. Neraca massa total eksperimen sekitar 96-99%, hal ini menunjukkan bahwa pengujian berjalan dengan baik tidak ada kebocoran reaktor dan recovery produk berjalan dengan baik.

Gambar 4. Efek penambahan etanol terhadap yield gas. Likuifaksi selulosa dilakukan dalam konsentrasi etanol 0, 10, 60, 80,

odan 100 % pada 300 C selama satu jam.

Gambar 4 menunjukkan produk gas yang berasal dari likuifaksi selulosa, terutama mengandung CO , CO, and H . Yield gas stabil 2 2

pada konsentrasi etanol 0 hingga 60 wt% sebesar 11 wt% dan 9,1 wt%. Kemudian, yield gas turun ke 0% pada etanol murni.

Yield gas, bio-crude oil, dan residu solid diilustrasikan pada Gambar 5. Pada umumnya yield dari likuifaksi selulosa mempunyai tren yang sama dengan likuifaksi biomassa (Murti, dkk, 2018). Yield bio-crude oil naik dari 3,1 wt% ke 32,7 wt%, kemudian turun pada 10 wt% dan tidak ditemukan minyak pada eksperimen dalam etanol murni. Hal yang menarik adalah organik dalam fase aqueous terbentuk menjadi meningkat pada likuifaksi selulosa.

Gambar 5. Yield gas, oil, dan residu solid pada likuifaksi selulosa pada konsentrasi etanol yang berbeda-beda (0, 10,50,60,80, dan 100 wt%). Likuifaksi

odilakukan pada 300 C dengan rasio biomass:pelarut 15/85 selama satu jam.

Pada likuifaksi dengan etanol murni, terlihat hampir tidak ada reaksi karena residu solid yang terbentuk berwarna terang seperti tidak terkonversi. Hal yang sama juga terjadi pada likuifaksi biomassa dalam media etanol murni. Tren berlawanan pada yield residu solid. Yield residu solid turun bertahap hingga 13,3 wt% dalam media etanol berkonsentrasi 60 wt%. Kemudian, yield tersebut meningkat secara drastis pada 78,7 wt% pada etanol 100 wt%.

Beberapa studi telah membahas mengenai likuifaksi selulosa dalam sistem etanol/air. Hidrolisis selulosa dalam campuran etanol/air (1:1

ov/v) pada 270 C menghasilkan yield gula yang meningkat tapi produk residu solid tidak disebutkan secara eksplisit (Wang et al, 2004). Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada latar belakang, adanya hasil yang bertentangan mengenai yield residu solid dari likuifaksi biomassa kayu dan selulosa dalam metanol.

Produk pencairan selulosa hanya dengan air dapat dibandingkan dengan penelitian lain oleh Fang et al (2004). Berdasarkan penelitiannya, selulosa dalam air dengan waktu tinggal 30 menit

Degradasi Produk ................ (Galuh W. Murti, P.S. Marathe, dan R.J.M. Westerhof) 49

Page 6: DEGRADASI PRODUK PADA LIKUIFAKSI SELULOSA DENGAN …

opada suhu 220 C mulai terdegradasi perlahan menjadi 90 (basis karbon/C)% dan produk residu

omencapai yield terendah 22,5 C% pada 270 C. oPada suhu 300 C, residu mencapai 40 C%

okemudian naik hingga 50 C% pada suhu 350 C odan mencapai 57 C% pada suhu 350 C dengan

waktu reaksi 1 jam (Fang, dkk. 2004). Dalam studi ini, ohasil residu dalam air murni pada suhu 300 C

adalah 36,1 wt%, dan residu bersifat seperti char dengan warna hitam. Pembentukan char terjadi karena produk intermediet (furfural dan HMF) tidak stabil dan mudah dipolimerisasi menjadi asam humus (humus acids) yang tidak larut dalam air atau "glukosa char" (Fang et al, 2004).

Gambar 6. Produk residu solid dari likuifaksi selulosa dalam media konsentrasi etanol yang berbeda (0, 10,50,60,80, dan 100 wt%).

PH rendah (3,1-3,3) dari semua produk fase aqueous (lihat Tabel 1) dapat berasal dari asam organik. Hasil ini dikonfirmasi oleh Kumar et al (2008), hidrolisis selulosa menghasilkan sekitar 64,2% senyawa lain yang terutama asam organik yang dikonfirmasi oleh pH rendah (2.3-3). Namun, pH dari produk fase aqueous dari likuifaksi selulosa dalam etanol murni lebih tinggi daripada likuifaksi dalam air yang menunjukkan bahwa kurangnya pembentukan asam organik. Hal ini disebabkan karena reaksi hidrolisis yang terbatas sehingga aktivitas degradasi yang terbatas dalam etanol murni.

Tabel 1. Pengukuran pH untuk produk fase aqueous dari likuifaksi selulosa dalam konsentrasi etanol yang berbeda-beda

Tabel 2 menyajikan hasil GPC oil 2 dari likuifaksi selulosa dalam media etanol/air yang beragam. Secara umum, BM rata-rata oil 2 dari likuifaksi

selulosa relatif lebih rendah dari pada biomassa (kayu). BM rata-rata bio-crude oil turun dari 2.393 menjadi 1.584 g/mol. Tren ini kontras dengan likuifaksi biomassa. Karena lignoselulosa terdiri dari lignin sehingga sangat mungkin untuk menghasilkan produk oil dengan berat molekul yang tinggi. Namun, dalam likuifaksi selulosa, komponen ini menghasilkan produk destilat yang memiliki BM lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa charring glukosa dapat dihindari dengan menggunakan pelarut etanol. Selain itu, etanol bereaksi dengan produk intermediet dan menghasilkan senyawa dengan berat molekul ringan. Barnés dkk. (2016) juga mengamati bahwa karbohidrat cenderung menghasilkan lebih banyak produk destilat daripada residu vakum.

Fraksi VR sedikit turun yang menunjukkan bahwa hidrolisis terbatas pada sistem etanol/air 80/20 (w/w). Hal ini menyebabkan produksi bio-crude oil berkurang. Rasio RID/VWD memiliki tren yang mirip menunjukkan bahwa hampir tidak ada senyawa aromatik yang terbentuk dalam bio-crude oil.

Tabel 2. Berat molekul rata-rata (BM), fraksi residu vakum (VR), dan rasio RID/VWD pada konsentrasi etanol yang beragam

3.2. Produk-produk Degradasi dalam Fase Aqueous

Senyawa turunan glukosa dari fase aqueous seharusnya dapat dianalisis menggunakan HPLC dengan kolom Hi-Plex Pb. Namun, tidak terlihat adanya produk degradasi (seperti selotriosa, selobiosa, glukosa, fruktosa, levoglucosan, furfural, MGP) yang umumnya terlihat pada spektrum (Sasaki et al, 2000; Ishikawa et al,. 2001; Kumar et

al, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu tinggi, reaksi cenderung mendegradasi dan menurunkan kadar glukosa yang tidak stabil menjadi produk konversi seperti 2-furan methanol, asam levulinat, asam format, asam asetat, atau polimer.

Asam levulinik dan asam format umumnya ditemukan pada produk fase aqueous dari proses likuifaksi dengan media air. Senyawa ini menunjukkan bahwa jalur reaksi likuifaksi selulosa dalam air melalui dehidrasi, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1. Konsentrasi asam levulinat dan asam asetat sebagai produk stabil yang terdapat dalam fase aqueous, ditunjukkan pada Gambar 7. Yield dari asam levulinat dan asam asetat mengalami penurunan dengan bertambahnya konsentrasi etanol. Yield awal asam levulinik dan asam asetat masing-masing adalah 2,5 wt% dan 1,5 wt%. Kemudian turun

Run BM

(g/mol) VR

Rasio RID/VWD

Oil2-C-W 2393 0,92 5,77 Oil2-C-E/W 10/90 2239 0,91 5,66 Oil2-C-E/W 50/50 2473 0,92 5,37 Oil2-C-E/W 60/40 2111 0,90 5,41 Oil2-C-E/W 80/20 1584 0,85 5,61

50 Jurnal Energi dan Lingkungan Vol. 14, No. 1, Juni 2018 Hlm. 45-54

Page 7: DEGRADASI PRODUK PADA LIKUIFAKSI SELULOSA DENGAN …

menjadi 0 wt% dalam etanol murni. Asam levulinat dan asam asetat yang diturunkan secara bertahap dapat dijelaskan oleh berkurangnya jumlah air dalam media dan keterbatasan hidrolisis. Sebenarnya, puncak asam format bisa terlihat dalam spektrum tapi sangat kecil.

Gambar 7.Yield dari asam levulinik dan asam asetat dari likuifaksi selulosa dalam berbagai konsentrasi etanol

Hu et al (2011) mengobservasi reaksi katalis asam levoglukosan/glukosa dalam campuran metanol/air dan 5 wt% Amberlyst 70 pada suhu

o170 C selama 180 menit. Humin padat lebih banyak terbentuk dalam air murni daripada campuran metanol/air. Jumlah humin menurun secara bertahap seiring dengan meningkatnya konsentrasi metanol. Sebaliknya, pembentukan metil levulinat meningkat dan levoglukosan terkonversi secara selektif menjadi MGP dan DMMF. Karena itu, pembentukan humin dapat berkurang (Hu et al, 2011). Berdasarkan penelitian ini, selain menghasilkan asam levulinat dan asam format, ester levulinik juga ditemukan pada produk akhir melalui stabilisasi produk intermediet yang tidak stabil dengan media yang kaya akan metanol. Karena etanol digunakan dalam studi ini, etil levulinat terbentuk yang diilustrasikan pada Gambar 8. Yield etil levulinat yang ditemukan dalam fase aqueous sebesar 6,3 wt% pada campuran etanol/air 50/50 (w/w). Dalam air murni dan 10% etanol, tidak ada etil levulinate yang ditemukan. Tapi, dalam etanol 50, 60, dan 80 wt%,

yield etil levulinat meningkat dan kemudian menurun dalam etanol murni.

Gambar 8. Yield dari etil levulinat (levulinik ester) dari l ikuifaksi selulosa dalam berbagai konsentrasi etanol

Wang et al. (2012) menghidrolisis selulosa opada 200-260 C dalam campuran pelarut alkohol

dan air seperti metanol, etanol, isopropanol. Campuran etanol dan air lebih memiliki yield yang paling tinggi diantara yang lain. Yield gula tertinggi sebesar 98,22%. Namun, ketika menambah konsentrasi alkohol di atas 50 vol.%, yield gula menurun.

Meskipun etanol dapat meningkatkan solvolisis dan melarutkan fasa hidrofobik, etanol bertindak sebagai antisolvent untuk glukosa. Beberapa literatur (Li et al, 1994; Morris et al, 1988; Alves et al, 2007;

Bouchard et al, 2007) menyelidiki bahwa kenaikan konsentrasi etanol menyebabkan kelarutan gula menurun. Penurunan yield minyak juga terjadi pada studi ini saat menggunakan etanol murni di atas 60 wt%. Dapat disimpulkan bahwa air yang memiliki laju reaksi cepat akan langsung menyerang selulosa, kemudian terkonversi dan terdegradasi ke produk degradasi dan char. Namun, ketika menggunakan etanol dalam media likuifaksi, etanol akan menurunkan laju reaksi dan melindungi gula dengan bertindak sebagai antisolvent dari degradasi gula (atau glukosa charring). Etanol menstabilkan gula dengan menghasilkan ester levulinat. Namun demikian, bila konsentrasi etanol terlalu tinggi, laju reaksi menjadi sangat lambat. Hal ini menyebabkan yield residu solid yang tinggi (uncoverted solid). Oleh karena itu, diperlukan air untuk meningkatkan laju dekomposisi selulosa. Reaksi hidrolisis terbatas dan glukosa yang memiliki kelarutan yang buruk dalam etanol, ini menghasilkan produk degradasi ysng rendah (seperti asam karboksilat).

3.3. Analisis FTIR untuk Produk Minyak (Oil Phase) dan Residu Solid dari Likuifaksi Selulosa

Analisis FTIR dilakukan untuk mengamati produk residu solid dan oil setelah likuifaksi. Karakterisasi residu padat digambarkan pada Gambar 9. Selulosa memiliki banyak hidroksil dalam

Degradasi Produk ................ (Galuh W. Murti, P.S. Marathe, dan R.J.M. Westerhof) 51

Page 8: DEGRADASI PRODUK PADA LIKUIFAKSI SELULOSA DENGAN …

-1strukturnya yang ditunjukkan pada 3375-3340 cm

sebagai absorpsi hidroksil (Schwanninger et al, 2004). -1Puncak absorpsi sekitar 2845-2945 cm yang

disebabkan oleh getaran peregangan C-H (Cheng, -1

S. et al, 2010). Band pada 1040 cm merupakan peregangan C-O yang dapat ditemukan pada struktur selulosa (Barnés et al, 2016).

Gambar 9. Spektrum FTIR dari umpan selulosa dan residu solid (solid residue/SR) setelah likuifaksi dalam etanol/air

Profil absorpsi residu padat dari likuifaksi dalam etanol murni memiliki perbedaan dari yang lain dalam media air. Adanya sedikit perubahan pada profil namun masih jelas terlihat seperti profil selulosa. Ini menunjukkan bahwa pada etanol murni, selulosa mengalami laju reaksi yang sangat lambat. Oleh karena itu solid yang tidak terkonversi ditemukan di akhir reaksi.

Profil absorpsi dari produk residu solid dalam etanol 0-80% telah berubah. Perubahan pola yang signifikan disebabkan oleh adanya air yang sehingga konversi menjadi cepat. Residu solid dari likuifaksi dalam etanol 0 - 80 wt% menunjukkan profil absorpsi IR yang serupa, yang menunjukkan struktur kimia yang serupa.

-Tidak ada lagi puncak O-H pada 3375-3340 cm1. Getaran peregangan metoksil (C-H) pada 2845-

-12945 cm hampir tidak ditemukan pada residu solid. Beberapa puncak baru muncul pada profil,

-1 -1absorpsi pada 1710 cm dan 1590 cm yang masing-masing dianggap berasal dari peregangan karbonil (C=O) dan getaran kerangka aromatik (Kumar, S., et al, 2014). Yang pertama menunjukkan bahwa selulosa mengalami dehidrasi dan membentuk karbonil seperti aldehida senyawa furan.

Spektrum FTIR dari produk oil dari likuifaksi selulosa ditunjukkan pada Gambar 10. Profil minyak sangat berbeda dari selulosa awal. Profil minyak dari likuifaksi dengan etanol 50-80 wt% menunjukkan puncak kecil peregangan C-O pada

-11040 cm . Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya alkohol, fenol, dan ester primer, sekunder, dan tersier, dalam bio-crude oil (Cheng et al, 2010). Sebagian besar profil oil 2 menunjukkan rentang

-1yang lebar pada kisaran 1590 dan 1505 cm , menunjukkan C=C dari cincin aromatik (Kumar, S., et

al, 2014). Puncak aromatik meningkat pada awalnya dan kemudian berangsur-angsur menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi etanol. Juga, struktur aromatik berasal dari reaksi degradasi selulosa yang sebagian besar terjadi pada media kaya air seperti polimerisasi glukosa. Selanjutnya, terjadi peningkatan jumlah karbonil dan karboksil yang signifikan mencapai puncak pada 1710 -1740

-1cm . Hal ini mengindikasikan keton, aldehid, dan kelompok ester dalam minyak (Barnés et al, 2016;

Cheng, S. dkk., 2010). Puncak ini membuktikan bahwa konsentrasi etanol yang tinggi menghasilkan getaran kerangka aromatik yang rendah.

Gambar 10. Spektrum FTIR dari umpan selulosa dan oil 2 setelah likuifaksi dalam etanol/air.

-1Absorpsi antara 2845 dan 2945 cm dapat dikaitkan dengan vibrasi peregangan C-H yang simetris dan asimetris dari kelompok metil dan metilen (Barnés et al, 2016). Dengan air murni, konsentrasi peregangan C-H mungkin lebih tinggi dari pada yang lain.

4. KESIMPULANProduk asam ditemukan dalam fase aqueous yang ditandai dengan pH asam (3,1-3,3). Hal ini disebabkan adanya asam karbosilat (seperti asam format dan asam asetat) dan asam levulinat. Tapi ketika menggunakan etanol murni, pH meningkat pada (4-5) karena reaksi hidrolisis yang terbatas sehingga mencegah pembentukan produk degradasi seperti asam levulinat dan asam asetat.

Selain meningkatkan solvolisis, etanol juga berperan sebagai antisolvent glukosa. Oleh karena itu, dapat melindungi glukosa dari degradasi ke arah charring. Dalam media kaya air, air akan mempercepat laju reaksi secara langsung menyerang dan mengubah selulosa menjadi

52 Jurnal Energi dan Lingkungan Vol. 14, No. 1, Juni 2018 Hlm. 45-54

Page 9: DEGRADASI PRODUK PADA LIKUIFAKSI SELULOSA DENGAN …

produk degradasi dan char . Sementara dalam media kaya etanol, etanol akan mengurangi laju reaksi dan melindungi gula dari degradasi dengan menghasilkan ester levulinat. Namun, dalam etanol murni, laju reaksi akan menurun secara signifikan dan menghasilkan residu padat yang tidak terkonversi. Residu solid telah dianalisis oleh FTIR, dan masih memiliki profil yang sama dengan selulosa.

DAFTAR PUSTAKAAlves, L.A., J.B. Almeida e Silva, and M. Giulietti. (2007)..

Solubility of d-glucose in water and ethanol/water mixtures. Journal of Chemical & Engineering Data, vol. 52(6): p. 2166-2170.

Bouchard, A., G.W. Hofland, and G.-J. Witkamp. (2007). Properties of sugar, polyol, and polysaccharide water−ethanol solutions. Journal of Chemical & Engineering Data, vol. 52(5): p. 1838-1842.

Brand, S. and J. Kim (2015). Liquefaction of major lignocellulosic biomass constituents in supercritical ethanol. Energy, Vol. 80: p. 64-74.

Cheng, S., et al.. (2010). Highly efficient liquefaction of woody biomass in hot-compressed alcohol−water co-solvents. Energy & Fuels, vol. 24(9): p. 4659-4667.

Fang, Z., et al. (2004). Liquefaction and gasification of cellulose with Na2CO3 and ni in subcritical water at 350 °C. Industrial & Engineering Chemistry Research, vol. 43(10): p. 2454-2463.

Hu, X. and C.-Z. Li. (2011). Levulinic esters from the acid-catalysed reactions of sugars and alcohols as part of a bio-refinery. Green Chemistry, vol. 13(7): p. 1676-1679.

Hoekstra, E., et al.(2012). Heterogeneous and homogeneous reactions of pyrolysis vapors from pine wood. AIChE Journal, vol. 58(9): p. 2830-2842.

Ishikawa, Y. and S. Saka (2001). Chemical conversion of cellulose as treated in supercritical methanol. Cellulose, vol. 8(3): p. 189-195.

Joshi, H., B. R. Moser, J. Toler, W. F. Smith, Terry Walker. (2011). Ethyl levulinate: A potential bio-based diluent for biodiesel which improves cold flow properties. Biomass and Bioenergy, Vol. 35, 7, p. 3262-3266.

Kumar, P., et al. (2009). Methods for pretreatment of lignocellulosic biomass for efficient hydrolysis and biofuel production. Industrial & Engineering Chemistry Research, vol. 48(8): p. 3713-3729.

Kumar, S., et al. (2014). Liquefaction of lignocellulose: process parameter study to minimize heavy ends. Industrial &

Engineering Chemistry Research, vol. 53(29): p. 11668-11676.

Kumar, S. and R.B. Gupta (2008). Hydrolysis of microcrystalline cellulose in subcritical and supercritical water in a continuous flow reactor. Industrial & Engineering Chemistry Research, 47(23): p. 9321-9329.

Li, A. and S.H. Yalkowsky. (1994). Solubility of Organic Solutes in Ethanol/Water Mixtures. Journal of Pharmaceutical Sciences, vol. 83(12): p. 1735-1740.

Minami, E. and S. Saka.(2005). Decomposition behavior of woody biomass in water-added supercritical methanol. Journal of Wood Science, vol. 51(4): p. 395-400.

Morris, K.R., et al. (1988). Solubility of aromatic pollutants in mixed solvents. Chemosphere, vol. 17(2): p. 285-298.

Murti, G.W., P. S. Marathe, and R.J.M. Westerhof. (2018). Efek campuran etanol/air dalam likuifaksi biomassa lignoselulosa. (unpublished).

Papilo, P., Kunaifi , E. Hambali, Nurmiati, and R.F. Pari. (2015). Penilaian Potensi Biomassa sebagai Alternatif Energi Kelistrikan. PASTI, vol. 9 No. 2 p. 164 - 176.

Rataboul, F. and N. Essayem. (2011). Cellulose reactivity in supercritical methanol in the presence of solid acid catalysts: direct synthesis of methyl-levulinate. Industrial & Engineering Chemistry Research, vol. 50(2): p. 799-805.

Sasaki, M., et al. (2000). Dissolution and hydrolysis of cellulose in subcritical and supercritical water. Industrial & Engineering Chemistry Research, vol. 39(8): p. 2883-2890.

Schwanninger, M., et al. (2004). Effects of short-time vibratory ball milling on the shape of FT-IR spectra of wood and cellulose. Vibrational Spectroscopy, vol. 36(1): p. 23-40.

Wang, C., et al. (2012). Hydrolysis of cellulose into reducing sugar via hot-compressed ethanol/water mixture. Biomass and Bioenergy, vol. 42: p. 143-150.

Xu, C., et al. (2014). Lignin depolymerisation strategies: towards valuable chemicals and fuels. Chem Soc Rev, vol. 43(22): p. 7485-500.

Yamazaki, J., E. Minami, and S. Saka. (2006). Liquefaction of beech wood in various supercritical alcohols. Journal of Wood Science, 52(6): p. 527-532.

Yan, L., L. Zhang, and B. Yang. (2014). Enhancement of total sugar and lignin yields through dissolution of poplar wood by hot water and dilute acid flowthrough pretreatment. Biotechnology for Biofuels, vol. 7(1): p. 76.

Degradasi Produk ................ (Galuh W. Murti, P.S. Marathe, dan R.J.M. Westerhof) 53

Page 10: DEGRADASI PRODUK PADA LIKUIFAKSI SELULOSA DENGAN …

54 Jurnal Energi dan Lingkungan Vol. 14, No. 1, Juni 2018 Hlm. 45-54