Definisi.docx
-
Upload
sani-solihatul-fitri -
Category
Documents
-
view
217 -
download
4
Transcript of Definisi.docx
Definisi
Alzheimer adalah penyakit degenerative otak yang progressif lambat dan di Indonesia agak
jarang ditemukan. Penyakit ini sering dihubungkan dengan demensia. Awitannya samar-samar
dengan gejala khas berupa gangguan fungsi mental seperti gangguan memori, bingung
(confusion) dan berbagai macam gangguan fungsi kognitif. (Harsono, 2011).
Etiologi
Sampai saat ini etiologi penyakit Alzheimer belum diketahui. Dari beberapa penelitian di duga
ada hubungan dengan faktor-faktor genetic, imunologik, infeksi virus lambat (slow viral
infection), intoksikasi, familial dan kelainan kromosom. (Harsono, 2011).
Meskipun penyebab Alzheimer belum diketehaui, beberapa faktor yang berperan antara lain
adalah faktor genetic, pengendapan suatu bentuk amiloid yang berasal dari penguraian protein
precursor amiloid, hiperfosforilasi protein tau (protein intrasel yang terlibat dalam pembentukan
mikrotubulus akson), ekspresi alel spesifik apoprotein E (apoE) yang diperkirakan berperan
dalam penyaluran atau pengolahan molekul apolipoprotein. (Robbins & cotrans, 2007).
Dari penelitian terakhir tentang faktor kelainan kromosom, pada penyakit Alzheimer yang
herediter, ditemukan adanya defek genetic. Lokasi defek tersebut pada kromosom 21; bukti ini
diduga menerangkan perubahan-perubahan seperti penyakit Alzheimer pada pasien dengan
trisomi 21 (sindrom down). (Harsono, 2011).
Epidemiologi
Lebih dari 35 juta penduduk dunia memiliki penyakit Alzheimer, kemunduran masalah memory
dan faktor kognitif yang lain mengarah kepada kematian dalam 3-9 tahun setelah diagnosis.
Faktor risiko mendasar dari penyakit Alzheimer adalah usia. Insidensi penyakit ini meningkat 2
kali lipat setiap 5 tahun setelah usia 65 tahun dengan jumlah kasus yang terdiagnosis sekitar
1275 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk yang berusia lebih dari 65 tahun. (Quenfurth &
laferla, 2010)
Penyakit ini bisa terjadi pada usia 40 tahun, tetapi paling sering diatas usia 60 tahun, dan
merupakan penyebab demensia yang utama. Frekuensi penyakit pada laki-laki dan wanita sama.
Di amerika serikat 50-60% pasie demensia kelompok usia di atas 60 tahun disebabkan penyakit
Alzheimer. Insidensi demensia 187 kasus per 100.000 penduduk, 123 per 100000 penduduk
menderita penyakit Alzheimer. Insidensi penyakit meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Pada usia lanjut, penyakit Alzheimer sulit dibedakan dengan gejala-gejala neurologic akibat
proses penuaan. Gejala demensia yang disebabkannya mirip dengan yang disebabkan penyakit
saraf lain pada psikiatri. Kesalahan diagnose mencapai 10-30%. (Harsono, 2011).
Penyakit Alzheimer adalah penyebab demensia yang terbanyak dan sedikitnya menyerang lebih
dari 5 juta penduduk di amerika serikat dan di perkirakan akan meningkat jumlahnya menjadi 13
juta penduduk pada tahun 2050. (Bateman et al., 2012)
Gambaran Patologi
Jaringan otak menunjukkan atrofi difus, dengan sulkus-sulkus yang lebar dan girus-girus yang
dangkal, serta ventrikel lateral dan ketiga melebar. Atrofi umumnya mengenai lobus frontalis,
temporalis dan kadang-kadang lobus parietalis. (Harsono, 2011).
Gambaran mikroskopis memperlihatkan hilangnya neuron-neuron. Dapat mencapai 40 %,
terutama pada daerah korteks. Neuron-neuron di ganglia basalis meynert (substansia innominata)
dan lokus seruleus jumlahnya berkurang, penemuan ini diperkirakan berperan dalam
pathogenesis penyakit Alzheimer. Neuron –neuron yang tersisa menunjukkan hilangnya
dendrite-dendrit. (Harsono, 2011).
Ada 3 tanda khas perubahan mikroskopis pada penyakit Alzheimer (Harsono, 2011).:
1. Bercak penuaan (senile atau neuritic plaque), berupa deposit material amorf (zat amiloid),
yang tersebar pada korteks serebri.
2. Neurofibrillary tangles berupa massa berbentuk simpul, kumparan atau kusut didalam
sitoplasma sel neuron. Ditemukan terutama dalam gyrus hippocampus, lainnya dalam
amigdala dan lobus temporalis di dekatnya, girus singuli lokus serulens serta sedikit
dalam substansia nigra. Neurofibrillary tangles ini ternyata juga ditemukan pada penyakit
lain, seperti kompleks Parkinson-demensia.
3. Degenerasi granulo-vakuola, terutama ditemukan pada sel-sel pyramidal dalam
hipokampus, juga korteks serebri.
Terdapat banyak lesi molekuler yang yang terdeteksi pada penyakit Alzheimer, akan tetapi data
yang muncul mengatakan bahwa terdapat akumulasi dari protein pada otak yang menyebabkan
terjadi proses oksidasi dan inflamassi, yang mengarah kepada kegagalan fungsi dari sinaps.
(Quenfurth & laferla, 2010)
Pathogenesis
Pathogenesis penyakit Alzheimer belum banyak diketahui. Penelitian terakhir dipusatkan pada
terjadinya penurunan enzim asetilkholintransferase yang membentuk asetilkolin pada neuron-
neuron kolinergik dalam hipokampus dan neokorteks. Menurunnya sintesis kolinergik ini
dikaitkan dengan berkurangnya sel-sel neuron dalam nucleus basalis meynert, yang merupakan
terminal awal proyeksi system kolinergik neokortikal. Berkurangnya aktifitas kolin
asetiltransferase sejajar dengan beratnya demensia dan banyaknya bercak senilis yang terbentuk.
(Harsono, 2011).
Selain terdapat penurunan jumlah neuron-neuron kolinergik, ditemukan juga berkurangnya
neuron=neuron monoaminergik (menurunnya noradrenalin dan serotonin), menurunnya
neurotransmitter asam amino (terutama asam glutamate) dan neurotransmitter neuropeptida
(substansi P dan somatostatin) (Harsono, 2011).
Penyakit Alzheimer dapat merupakan penyakit yang diakibatkan oleh kegagalan sinaps. Pada
pasien dengan gangguan kognitif ringan didapatkan pembesaran dari sinaps hipokampal. Pada
Alzheimer ringan didapatkan pengurangan sekitar 25 % vesikel protein presinaps synaptopisin.
Dengan berkembangnya penyakit akan terjadi pengurangan jumlah dan kehilangan neuron dan
hal ini sangat berkorelasi dengan kejadian demensia (Quenfurth & laferla, 2010).
Neurotrophin meningkatkan proses proliferasi, diferensiasi, dan ketahanan dari neuron dan glia,
dan mendukung proses belajar, mengingat dan perilaku. Pada penderita Alzheimer stadium lanjut
didapatkan penurunan reseptor neurotrophin pada saraf kolinergik yang terdapat pada basal otak
depan (Quenfurth & laferla, 2010).
Defisiensi kolinergik pada penyakit Alzheimer berhubungan dengan protein aß yang berikatan
dengan α-7 reseptor asetilkolin nikotinik yang akan mengganggu proses pelepasan dari
asetilkolin dan mengganggu potensiasi dari neurotransmitter tersebut. Level dari reseptor
asetilkolin muskarinik menurun pada pasien Alzheimer (Quenfurth & laferla, 2010).
Mekanisme terjadinya disfungsi sinaps dapat dijelaskan dari gambar dibawah ini (Quenfurth &
laferla, 2010):
Adapun proses patologi yang terjadi pada stadium awal penyakit Alzheimer dapat dijelaskan
melalui gambar di bawah ini (mayeux, 2011)
Manifestasi Klinik
Perubahan mental yang merupakan gejala penyakit Alzheimer biasanya bersifat samar-samar,
sehingga awitan penyakit sulit ditentukan baik oleh pasien maupun keluarga (Harsono, 2011)..
Gejala utama berupa gangguan memori atau pelupa yang bertahap bertambah berat, terutama
memori jangka pendek. Sedangkan memori jangka panjang, biasanya tidak berubah. Setelah
gangguan memori menjadi jelas, diikuti gangguan fungsi sereberal lainnya. Bicara menjadi
terputus-putus karena gangguan pada recall kata-kata yang diingini. Juga menulis sering terhenti.
Pada awal penyakit pengucapan kalimat secara komprehensif masih normal. Tetapi pada stadium
lanjut terdapat kegagalan pengucapan kalimat, bahkan sampai tingkat afasia. Kadang-kadang
sering ada pengulangan kata-kata (Harsono, 2011)..
Kemampuan aritmatik terganggu (akalkulia), disorientasi audiospasial (sulit memarkir
kendaraan, kesalahan memasukkan lengan waktu memasang pakaian, dll), aspraksia ideasional
dan ideomotor) (Harsono, 2011)..
Hubungan psikososial dengan sekitarnya pada awal penyakit masih normal, tetapi pada
stadium lanjut menjadi berubah. Pasien menjadi gaduh gelisah, agitasi, atau sebaliknya
hipokinesia dan tenang, dapat juga paranoia, kadang-kadang disertai halusinasi. Pada stadium
akhir, reflex memegang dan mencucu menjadi positif. Inkontinensia urine dan pasien
menunjukkan akinesia dan mutisme, gangguan lokomotif, berjalan dengan langkah-langkah kecil
dengan kelemahan motorik dan rigiditas yang ringan. Pada stadium selanjutnya, elemen-elemen
Parkinson muncul, seperti aikinesia, rigiditas, dan tremor. Akhirnya pasien menjadi tidak mampu
lagi berdiri dan berjalan, posisi pasien dalam paraplegia in flexion.
Perjalanan penyakit ini berlangsung 5 tahun atau lebih, selama itu fungsi traktus
kortikospinalis, traktus spinotalamikus, ketajaman penglihatan, dan lapang pandang relative
terpelihara. Reflex tendon tidak banyak berubah, dan reflex babinski negative (Harsono, 2011)..
Apabila disertai hemiplegic, hemianopsia, dan lain-lain, dipikirkan bukan penyakit
Alzheimer atau disertai tumor atau hematoma subdural (Harsono, 2011)..
Terdapat tiga fase dari progresifitas penyakit Alzheimer yaitu antara lain sebagai berikut
(Frantz, 2011):
1. Alzheimer preklinikal terdapat perubahan pada biomarker (seperti gambaran otak dan
cairan serebrospinal) yang mengindikasikan kepada tanda awal dari penyakit ini sebelum
gejala mulai muncul. Tidak terdapat criteria diagnosis untuk fase ini.
2. Gangguan kognitif ringan perubahan ringan dari memory dan kemampuan berpikir,
akan tetapi tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
3. Dementia terdapat gejal gngguan terhadap memory, dan kemampuan berpikir, perilaku
yang berpengaruh terhadap kemampuan atau produktivitas seseorang dalam kehidupan
sehari-hari.
Diagnosis
Alat bantu yang dapat digunakan untuk diagnosis penyakit Alzheimer antara lain sebagai
berikut (harsono, 2011):
1. CT-scan didaapatkan gambaran atrofi otak berupa sulkus-sulkus yang melebar dan girus-
girus yang dangkal. Ventikel lateral dan ketiga melebar.
2. Elektro-ensefalogram. Didapatkan gelombang lambat, biasanya pada stadium lanjut.
3. Pungsi lumbal biasanya normal, kadang didapatkan peningkatan protein ringan.
Dengan data klinik, pemeriksaan CT scan (dan MRI), umur pasien dan perjalanan
penyakit, sensitivitas diagnostic mencapai 85-90%.
Tatalaksana
Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan
patofisiologis masih belun jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan
rasa puas pada penderita dankeluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum
mempunyai efek yang menguntungkan (harsono, 2011)
Tujuan utama pengobatan adalah perawatan pasien dengan memperhatikan aspek aspek
psikososial pasien. Pada beberapa kasus dapat dilakukan pelatihan daya ingat (memory
retraining) dan stimulasi kegemaran. Bila terdapat perubahan perilaku antisocial atau stvdium
terminal, memerlukan perawatan di rumah sakit. (harsono, 2011).
Terapi farmakologis antara lain (machfoed et all., 2011):
1. Kholinesterase inhibitor untuk memblok pemecahan asetilkholin. Termasuk golongan
obat ini antara lain Donepezil HCl merupakan reversible inhibitor esetilkolin esterase
inhibitor dengan pengaruh minimal pada kholinesterase perifer. Rivastigmine tartrat
merupakan selektif inhibitor asetilkholinesterase dan butirilkholinesterase.
2. NMDa reseptor antagonis. NMDa reseptor adalah reseptor glutamate. Mimantin termasuk
golongan obat ini
3. Antioksidan. Αtochoferol (vitamin E) dosis 2000 iu/hari dapat diberikan.
Terapi farmakologi Alzheimer terdapat dalam tabel di bawah ini (Mayeux, 2010):
Prognosis
Penyakit ini bersifat progresif kronis dengan rentang waktu 3-20 tahun dengan rata-rata 7-10
tahun. Pada evaluasi dengan pemeriksaan MMSE (mini mental state exam) menunjukkan
penurunan skor MMSE 2-3 poin tiap tahun. Timbulnya regiditas, halusinasi, waham
menunjukkan adanya penurunanb fungsi fisik dan kognitif dengan cepat. Terjadinya kerentanan
terhadap terjadinya trauma dan infeksi. penyebab kematian penderita sering karena pneumonia,
malnutrisi, dehidrasi, sepsis karena luka dicubitus atau infeksi saluran kencing. (Machmoed et al,
2011)