definisi ilmu

23
1. Menurut 4 ahli mendefinisikan ilmu sbagai berikut : a. ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil-dalil tertentu menurut kaidah-kaidah umum. (Nazir, 1988) b. konsepsi ilmu pada dasarnya mencakup tiga hal, yaitu adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi dan dapat disistematisasi (Shapere, 1974) c. pengertian ilmu mencakup logika, adanya interpretasi subjektif dan konsistensi dengan realitas sosial (Schulz, 1962) d. ilmu tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi juga merupakan suatu metodologi Dari empat pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa ilmu pada dasarnya adalah pengetahuan tentang sesuatu hal atau fenomena, baik yang menyangkut alam atau sosial (kehidupan masyarakat), yang diperoleh manusia melalui proses berfikir. Itu artinya bahwa setiap ilmu merupakan pengetahun tentang sesuatu yang menjadi objek kajian dari ilmu terkait Sumber: http://id.shvoong.com/books/2083263-definisi-ilmu/#ixzz1KotZhQh1 Definisi ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-akibat dalam suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut kedudukannya (apabila dilihat dari luar), maupun menurut hubungannya (jika dilihat dari dalam). --Mohammad Hatta-- Definisi ilmu dapat dimaknai sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan -------Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris.Ilmu dapat diamati panca indera manusia ------- Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada para ahlinya untuk menyatakan -suatu proposisi dalam bentuk: "jika,...maka..." --Harsojo, Guru Besar Antropolog, Universitas Pajajaran-- Definisi ilmu bergantung pada cara kerja indera-indera masing-masing individu

Transcript of definisi ilmu

Page 1: definisi ilmu

1. Menurut 4 ahli mendefinisikan ilmu sbagai berikut :

a. ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil-dalil

tertentu menurut kaidah-kaidah umum. (Nazir, 1988)

b. konsepsi ilmu pada dasarnya mencakup tiga hal, yaitu adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi dan dapat

disistematisasi (Shapere, 1974)

c. pengertian ilmu mencakup logika, adanya interpretasi subjektif dan konsistensi dengan realitas sosial (Schulz,

1962)

d. ilmu tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi juga merupakan suatu

metodologi

Dari empat pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa ilmu pada dasarnya adalah pengetahuan tentang sesuatu

hal atau fenomena, baik yang menyangkut alam atau sosial (kehidupan masyarakat), yang diperoleh manusia melalui

proses berfikir. Itu artinya bahwa setiap ilmu merupakan pengetahun tentang sesuatu yang menjadi objek kajian dari

ilmu terkait

Sumber: http://id.shvoong.com/books/2083263-definisi-ilmu/#ixzz1KotZhQh1Definisi ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-akibat dalam

suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut kedudukannya (apabila dilihat dari luar),

maupun menurut hubungannya (jika dilihat dari dalam).

--Mohammad Hatta--

Definisi ilmu dapat dimaknai sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan

-------Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris.Ilmu dapat diamati

panca indera manusia ------- Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada para ahlinya untuk

menyatakan -suatu proposisi dalam bentuk: "jika,...maka..."

--Harsojo, Guru Besar Antropolog, Universitas Pajajaran--

Definisi ilmu bergantung pada cara kerja indera-indera masing-masing individu dalam menyerap

pengetahuan dan juga cara berpikir setiap individu dalam memroses pengetahuan yang diperolehnya.

Selain itu juga, definisi ilmu bisa berlandaskan aktivitas yang dilakukan ilmu itu sendiri. Kita dapat melihat

hal itu melalui metode yang digunakannya.

Sifat-sifat ilmu

Dari definisi yang diungkapkan Mohammad Hatta dan Harjono di atas, kita dapat melihat bahwa sifat-sifat

ilmu merupakan kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang...

Page 2: definisi ilmu

1. Berdiri secara satu kesatuan,

2. Tersusun secara sistematis,

3. Ada dasar pembenarannya (ada penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan disertai sebab-

sebabnya yang meliputi fakta dan data),

4. Mendapat legalitas bahwa ilmu tersebut hasil pengkajian atau riset.

5. Communicable, ilmu dapat ditransfer kepada orang lain sehingga dapat dimengerti dan dipahami

maknanya.

6. Universal, ilmu tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat berlaku di mana saja dan kapan saja di

seluruh alam semesta ini.

7. Berkembang, ilmu sebaiknya mampu mendorong pengetahuan-pengatahuan dan penemuan-

penemuan baru. Sehingga, manusia mampu menciptakan pemikiran-pemikiran yang lebih berkembang

dari sebelumnya.

Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa tidak semua pengetahuan dikategorikan ilmu. Sebab,

definisi pengetahuan itu sendiri sebagai berikut: Segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas

panca indera untuk mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada

keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, luas, dan dalam dari pengetahuan.

Mengapa ilmu hadir?

Pada hakekatnya, manusia memiliki keingintahuan pada setiap hal yang ada maupun yang sedang terjadi

di sekitarnya. Sebab, banyak sekali sisi-sisi kehidupan yang menjadi pertanyaan dalam dirinya. Oleh

sebab itulah, timbul pengetahuan (yang suatu saat) setelah melalui beberapa proses beranjak menjadi

ilmu.

Bagaimanakah manusia mendapatkan ilmu?

Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu dilengkapi dengan seperangkat akal

dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah, manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial,

ilmu pertanian, ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, dan lain-lain. Akal dan pikiran memroses setiap

pengetahuan yang diserap oleh indera-indera yang dimiliki manusia.

Dengan apa manusia memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu?

Pengetahuan kaidah berpikir atau logika merupakan sarana untuk memperoleh, memelihara, dan

meningkatkan ilmu. Jadi, ilmu tidak hanya diam di satu tempat atau di satu keadaan. Ilmu pun dapat

berkembang sesuai dengan perkembangan cara berpikir manusia.

Page 3: definisi ilmu

Tentang Penulis: AsianBrain.com Content Team. Asian Brain adalah pusat pendidikan Internet Marketing

PERTAMA & TERBAIK di Indonesia. Didirikan oleh Anne Ahira yang kini menjadi ICON Internet

Marketing Indonesia. kunjungi pustaka anne di sidebar/ link list

Bagaimanakah manusia mendapatkan ilmu?

Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu dilengkapi dengan seperangkat akal

dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah, manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial,

ilmu pertanian, ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, dan lain-lain. Akal dan pikiran memroses setiap

pengetahuan yang diserap oleh indera-indera yang dimiliki manusia. “Ilmu” merupakan suatu istilah

yang berasal dari Bahasa Arab, yaitu alima yang terdiri dari huruf ayn, lam dan mim. Al-Qur’an

sering menggunakan kata ini dalam berbagai sighat (pola), yaitu masdar, fi’il mudari, fi’il madi,

amr, isim fa’il,isim maful, dan isim tafdil. Antara lain, kata al-‘ilm terdapat dalam firman Allah :

Ingiatlah ketika ia Berkata kepada bapaknya ; “Wahai bapakku, Mengapa kamu menyembah

sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak menolong kamu sedikitpun?. Wahai

bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang

kepadamu, maka ikutlah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.

            Kata “al-‘ilm” dalam ayat ini pengetahuan yang berisi risalah ilahi yang diterima Ibrahim

dari Allah. Risalah itu berisikan tauhid dan ketentuan-ketentuan Allah mesti yang dipatuhi

manusia. Selain konsep ilmu, firman Allah ini juga menggambarkan tentang guna atau manfaat

suatu pengetahuan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain yaitu ia dapat.

            Secara harfiah “ilmu” dapat diartikan kepada tahu atau mengetahui. Secara istilah ilmu berarti memahami hakikat sesuatu, atau memahami hukum yang berlaku atas sesuatu itu. Saliba mendefinisikan ilmu itu dengan “Memahami secara mutlak, baik tasawwur hakikat seperti yang dikutip Jihami, ilmu adalah tasawwur hakikat sesuatu dan asalnya. Berdasarkan definisi ini. Ada empat yang saling berkaitan dalam sistem perolehan ilmu yaitu subjek yang memahami, objek yang dipahami, makna atau surah (form) yang berkaitan dengan objek yang dipahami, dan berhasilnya makna atau surah (form) itu terlukis dalam jiwa subjek yang memahami. Subjek yang memahami itu adalah qalbu manusia. Ia merupakan wadah penyimpanan makna-makna (konsep) yang ada pada suatu objek yang dipelajari. Yang dimaksud dengan objek di sini adalah sesuatu yang ada, baik bersifat empiris, maupun tidak. Ketika seorang ilmuwan mempelajari system pernafasan, misalnya, segala daya (al-quwwah) yang dimilikinya – baik zahir maupun batin – secara aktif mengamati alat-alat pernafasan tersebut. Kemudian setelah menganalisis, dia mendapat suatu kesimpulan yang ditangkap dari objek yang sedang dikaji. Kesimpulan itu merupakan surah (form) atau konsep objek yang telah sampai ke dalam jiwa dan tersimpan padanya, yang selanjutnya itulah yang disebut dengan al-ma’lum (sesuatu yang diketahui Postingan Terkait Lainnya :

Page 4: definisi ilmu

Secara bahasa adalah lawan dari Al Jahl (kebodohan): yaitu mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan yang

sebenarnya dengan pengetahuan yang pasti.

Secara istilah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa ilmu adalah ma’rifat (pengetahuan) sebagai lawan dari al jahl

(ketidaktahuan). Menurut ulama yang lainnya ilmu itu lebih jelas dari apa yang diketahui.

Adapun ilmu yang  kita maksud adalah ilmu syar’i, artinya adalah ilmu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya

berupa keterangan dan petunjuk. Maka ilmu yang  di dalamnya terkandung pujian dan sanjungan adalah ilmu wahyu

yaitu ilmu yang diturunkan Allah saja. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Barang siapa orang yang

dikehendaki kebaikan oleh Allah  maka Allah akan menajdikan dia faham tentang agamanya.”[1] Dalam hadis lainnya

beliau bersabda :” Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, hanyalah yang mereka wariskan

adalah ilmu , maka baranga siapa yang telah mengambil ilmu maka dia telah mengambil kebaikan yang banyak.”[2]

Satu hal yang sudah kita ma’lumi bahwa yang diwariskan oleh para nabi hanyalah ilmu tentang syariat Allah Azza

Wajalla dan bukan yang lainnya. Maka para nabi tidaklah mewariskan ilmu teknologi kepada manusia atau yang

berkaitan dengannya, bahkan ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam datang ke Madinah, beliau mendapatkan

bahwa manusia disana mengawinkan pohon kurma, berkatalah beliau kepada mereka bahwa  hal itu tidak perlu, lalu

merekapun menurut dan tidak mengawinkannya akan tetapi pohon kurma itu rusak, maka berkatalah Nabi Shalallahu

‘Alaihi wa Salam kepada mereka : Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian.”[3] Seandainya hal ini

termasuk ilmu yang terpuji maka pasti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam adalah orang yang paling mengetahui

tentang hal ini, karena orang yang paling terpuji karena ilmu dan amalnya adalah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.

Dengan demikian maka ilmu syar’i adalah ilmu yang di dalamnya terkandung pujian dan sanjungan bagi para

pemiliknya, akan tetapi sekalipun demikian saya tidak mengingkari bahwa ilmu yang lainnyapun mengandung faidah,

akan tetapi  faidah itu memiliki dua batasan. Bila dia bisa membantu dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah dan

membela agama-Nya dan bermanfaat bagi manusia maka ilmu itu merupakan ilmu yang baik dan maslahat.

Terkadang mempelajarinya menjadi wajib dalam kondisi tertentu apabila hal itu termasuk dalam firman Allah :” Dan

hendaklah kalian mempersiapkan kekuatan dalam menghadapi mereka semampu kalian berupa pasukan

berkuda….. “ (Al Anfal : 60).

Banyak ulama yang menerangkan bahwa mempelajari teknologi merupakan fardhu kifayah, hal itu disebabkan

karena manusia pasti mempunyai peralatan memasak, minum dan yang lainnya yang bermanfaat bagi mereka. Maka

apabila tidak ada orang yang menggarap industri di bidamg ini maka mempelajarinya jadi fardhu kifayah. Ini adalah

materi yang diperdebatkan oleh para ulama. Sekalipun demikian maka saya ingin katakan bahwa ilmu yang di

dalamnya terkandung  pujian dan sanjungan adalah ilmu syar’i yang merupakan pemahaman tentang kitab Allah dan

sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, adapun ilmu selain itu  bisa menjadi alat kebaikan atau alat

kejelekan,maka hukumnya sesuai dengan pemanfaatannya.

Page 5: definisi ilmu

Disalin dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin

Penerjemah Abu Haidar

Footnote

———————————————-

[1] Al Bukhari, kitab ilmu, bab : siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah. Muslim, kitab zakat,bab larangan

meminta.

[2] Abu Dawud, kitab ilmu, bab dorongan mencari ilmu. At Tirmidzi, kitab ilmu, bab penjelasan tentang keutamaan

ilmu dari ibadah

[2] Dikeluarkan oleh Muslim, kitab Al Fadhail, bab wajibnya melaksanakan apa yang beliau katakan berupa syariat

tanpa diteranghkan oleh beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Salam tentyang kehidupan dunia berdasarkan ro’yu.

Ilmuwan yang berpikir filsafati, diharapkan bisa memahami filosofi kehidupan, mendalami unsur-unsur pokok dari

ilmu yang ditekuninya secara menyeluruh sehingga lebih arif dalam memahami sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu

yang ditekuninya, termasuk pemanfaatannya bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu, maka proses pendidikan

hendaknya bukan sekedar untuk mencapai suatu tujuan akhir tapi juga mem-pelajari hal-hal yang dilakukan untuk

mencapai tujuan akhir tersebut. Sehingga, ilmuwan selain sebagai orang berilmu juga memiliki kearifan, kebenaran,

etika dan estetika. Secara epistemologis dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan yang ada saat ini merupakan

hasil dari akumulasi pengetahuan yang terjadi dengan pertumbuhan, pergan-tian dan penyerapan teori. Kemunculan

teori baru yang menguatkan teori lama akan memperkuat citra sains normal. Tetapi, anomali dalam riset ilmiah yang

tidak bisa dise-lesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi riset, menyebabkan berkembangnya paradigma baru

yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya (mela-hirkan revolusi sains). Tumbuh

kembangnya teori dan pergeseran paradigma adalah po-la perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.

Berkembangnya peralatan analisis juga mendorong semakin berkembangnya ilmu. Contoh epistemologi ilmu dimana

terjadi perubahan teori dan pergeseran paradigma terlihat pada perkembangan teori atom, teori pewarisan sifat dan

penemuan alam semesta. Dalam perkembangan ilmu, suatu kekeliruan mungkin terjadi terutama saat pembentukan

paradigma baru. Tetapi, yang harus dihindari adalah melakukan kesalahan yang lalu ditutupi dan diakui sebagai

kebenaran. · Perkembangan teori atom Konsep atom dicetuskan oleh Leucippus dan Democritus (abad ke-6 SM):

materi (segala sesuatu di alam) secara fisik disusun oleh sejumlah benda berukuran sangat kecil (atom). Atom

merupakan partikel yang sangat kecil, padat dan tidak bisa dibagi, bergerak dalam ruang dan bersifat abadi. Menurut

John Dalton (1766–1844) setiap unsur kimia dibentuk oleh partikel yang tak bisa diurai (atom). Pergeseran

paradigma terjadi ketika ternyata dibuktikan bahwa atom masih bisa dibagi dan memiliki elektron (J.J.

Thomson,1856–1940) dan proton (E. Goldstein, 1886). Pengetahuan bahwa atom bisa dibagi membuat ilmuwan lalu

mereka-reka struktur atom. Thomson, menganalogikan atom seperti roti tawar dengan kismisnya, dimana elektron

dan partikel positif terdistribusi merata. Dari penelitian E. Rutherford (1871-1937) disimpulkan bahwa elektron

mengorbit mengelilingi nukleus. Postulat ini diperbaiki oleh J. Chadwick (1891–1974): atom memiliki sebuah inti yang

terdiri dari nuklei, dan elektron-elektron yang mengorbit mengelilinginya; dan lalu disempurnakan oleh Niels Bohr

yang mempertimbangkan efek kuantisasi energi atom. Teori-teori atom dan strukturnya masih terus disempurnakan.

Saat ini mulai terjadi anomali yang menggugat paradigma yang sudah ada. Murray Gell-Mann (1964) mengatakan,

proton dan netron masih bisa dibagi menjadi quark. · Perkembangan teori pewarisan sifat Pemikiran tentang

Page 6: definisi ilmu

pewarisan sifat sudah ada sejak jaman dulu. Plato dengan paham esensialismenya menjelaskan, setiap orang

merupakan bayangan dari tipe ideal. Esensinya, manusia adalah sama dan keragaman di dunia tidak ada artinya.

Perkembangan teori ini diawali dengan dilema yang dihadapi Darwin: apa penyebab variasi dan apa yang

mempertahankan variasi? Menurut F. Galton, setiap anak menuju kecenderungan rata-rata dari sifat induknya. Sifat-

sifat hereditas konti-nyu dan bercampur, anak adalah rata-rata dari kedua orang tua, maka variasi tidak ada.

Sementara menurut Darwin, keragamanlah yang penting, bukan rata-rata tetapi Darwin belum bisa menjelaskan

mengapa keragaman tersebut bisa terjadi. Hipotesa sementaranya menjelaskan bahwa kopi sel dari setiap jaringan

yang dimasukkan ke dalam darah (gemmules)-lah yang memproduksi keragaman ketika gemmule dibentuk dan

dikonversi kembali menjadi sel tubuh pada saat reproduksi. Tapi, perjalanan sejarah ilmu perkembangan sel

selanjutnya membuktikan bahwa hipotesis ini salah. Mendell yang melakukan persilangan kacang dan menghasilkan

varietas yang berbeda, mulus dan keriput tapi tidak ada yang di tengah-tengah, menyimpulkan bahwa sifat-sifat yang

diturunkan bersifat diskrit, ada yang dominan dan ada yang resesif, tapi tidak bisa bercampur. Teori inilah yang

selanjutnya digunakan sebagai dasar pe-ngembangan teori pewarisan sifat. · Perkembangan teori tata surya Prediksi

peredaran matahari, bintang, bulan dan gerhana sudah dilakukan bangsa Baylonia, 4000 tahun yang lalu. Kosmologi

Yunani (4SM) menyatakan bumi pusat dan semua benda langit mengitari bumi. Konsep ini dipatahkan Copernicus

(1473-1543) yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat sistem tata surya dan bumi bergerak mengelinginya

dalam orbit lingkaran. Teori Copernicus menjadi lan-dasan awal pengembangan ilmu tentang tata surya. Seorang

ilmuwan berada pada posisi dimana dia memiliki pengetahuan yang berdasarkan pada fakta (factual knowledge).

Tetapi, fakta itu tidak berarti walaupun bisa menjadi instrumen jika tidak diaplikasikan. Aplikasi dari suatu kajian ilmu

hendak-lah mempunyai nilai kegunaan (aksiologis) yang memberi makna terhadap kebenaran atau kenyataan yang

dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan Kajian filsafat berkenaan dengan pencarian kebenaran fundamental.

Seorang ilmuwan, hendaklah mengkaji kebenaran fundamental dari suatu alternatif pemecahan masalah yang

disodorkannya. Seorang ilmuwan juga memiliki tanggung jawab sosial untuk memberi perspektif yang benar

terhadap suatu masalah yang sedang dihadapi dan alternatif pemecahannya secara keilmuan kepada mayarakat

awam. Dengan penguasaan ilmunya, seorang ilmuwan juga hendaknya bisa mempengaruhi opini masyarakat

terhadap masalah-masalah yang seharusnya mereka sadari. Sebagai contoh, kajian ilmu bioteknologi, revolusi hijau

(bibit unggul, pestisida, pupuk kimia) dan tanaman transgenik telah meningkatkan factual knowledge yang dimi-liki.

Tetapi, ketika akan diaplikasikan ke masyarakat sebagai alternatif untuk mengatasi masalah, misalnya aplikasi

tanaman transgenik untuk mengatasi produksi pangan yang terus menurun, maka kita perlu mempertanyakan

kebenaran fundamental yang ada dibelakangnya. Apa penyebab masalah yang sebenarnya? Apa saja alternatif

pemecahan ma-salahnya? Apakah alternatif yang diajukan memang alternatif terbaik untuk mengatasi masalah?

Bagaimana kajian keuntungan dan resiko dari alternatif yang dipilih ini? Bagaimana dampaknya terhadap

kemanusiaan, lingkungan, ekonomi dan sistim sosial masyarakat? Hal-hal ini harus dipelajari dan dijawab oleh

ilmuwan sebelum alternatif ini benar-benar dipilih untuk mengatasi suatu masalah. Sehingga tidak terjadi kasus

dimana aplikasi dari suatu factual knowledge ternyata pada akhirnya menimbulkan dampak negatif bagi manusia,

lingkungan, sosial ataupun aspek lain dari kehidupan masyarakat.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1787020-perkembangan-ilmu-pengetahuan/#ixzz1KoxFHotM

Page 7: definisi ilmu

Pengetahuan telah berkembang sejak adanya manusia. Tetapi pengorganisasian ilmu oleh bangsa Yunani dengan pendekatan silogistik merintis perkembangan ilmu secara sistematis, sekurang-kurangnya, sebelum masa Renaissance yang ditandai oleh Galileo Galilei dengan teropong bintangnya. Sampai dengan saat ini, logika deduktif mengembangkan teori-teori yang terlepas dari pengalaman empirik. Bahkan Aristoteles pun tak terhindar dari kesalahan ketika ia menyatakan beberapa perkiraan yang mengandalkan logika belaka, dan kemudian ternyata salah.

Francis Bacon pada permulaan abad XVII memelopori penggunaan metode induktif karena menurutnya alam jauh lebih misterius dibandingkan kepelikan argumen. Galileo, Lavoiser dan Darwin menggunakan bukti-bukti empirik sekadar untuk menguji kebenaran hipotesis mereka. Tetapi pengumpulan keterangan yang cukup mengenai sesuatu tanpa hipotesis terlebih dulu sekadar untuk mempertahankan kesempurnaan obyektivitas sungguh tidak efisien maupun efektif. Tanpa hipotesis sebelumnya, seorang peneliti akan cenderung tidak selektif dalam mengumpulkan data. Perumusan masalah dan kejelasan formulasinya akan membuahkan hipotesis yang membuat langkah pengumpulan data dan eksplorasinya tepat guna. Tetapi metode induktif pun tidak memuaskan pada tingkat kemajuan ilmu sebagaimana diragukan oleh Albert Einstein. Menurut dia, tak ada metode induktif yang mampu menuju pada konsep fundamental dari ilmu alam.

Dengan menggabungkan metode deduktif Aristoteles dan metode induktif Bacon, Charles Darwin dapat dipandang sebagai pelopor metode keilmuan modern. Metode deduktif dan induktif yang digunakan secara komplementer dalam langkah-langkah pencarian kebenaran ilmiah telah menjadi pilihan cerdas untuk pengembangan ilmu ynag kini semakin pesat kemajuannya. Ilmuwan modern pada umumnya menggunakan metode induktif untuk mengembangkan hipotesis dari pengalaman. Dalam kajiannya, ia memanfaatkan pengetahuan yang telah ada untuk menguji hipotesisnya. Fakta dan teori dijadikan alat konfirmasi terhadap hipotesis sehingga ia memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang masalah yang dihadapinya. Pendekatan ganda ini menjadikan kegiatan keilmuan bersifat efisien dan efektif, sesuai peribahasa “Virtus stat in medio” (Kebijaksanaan berdiri di tengah-tengah).

George J. Mouly membagi perkembangan ilmu pada tahap animisme, ilmu empiris dan ilmu teoritis. Pembagiannya ini mengingatkan kita pada tahap perkembangan kebudayaan yang dikemukakan oleh van Peursen: tahap mistis, tahap ontologis, tahap fungsional. Pada tahap animisme, manusia menjelaskan gejala yang ditemuinya dalam kehidupan sebagai perbuatan dewa-dewi, hantu dan berbagai makhluk halus. Pandangan mistis itu hingga kini masih berlangsung juga, bahkan di negara-negara yang peradabannya telah sangat maju.

Observasi sistematis dan kritis yang kemudian dilakukan telah mengembangkan pengetahuan manusia ke tahap ilmu empiris. Manusia mulai mengambil jarak dari obyek di sekitarnya dan mulai menelaah obyek-obyek itu. Langkah paling penting yang menandai permulaan ilmu sebagai suatu pendekatan sistematis dalam pemecahan masalah terjadi pada tahap ini, yakni ketika manusia menyadari bahwa gejala alam dapat diterangkan melalui telaah sebab-musabab alamiah.

Page 8: definisi ilmu

Penemuan yang semula terpisah-pisah mulai diintegrasikan ke dalam suatu struktur yang utuh dengan menguji hipotesis-hipotesis dalam kondisi yang terkontrol. Proses ini oleh Mouly dibagi menjadi dua tahap perkembangan yang saling bertautan:

<!--[if !supportLists]-->1) <!--[endif]-->tingkat empiris: ilmu terdiri dari hubungan empiris yang ditemukan dalam berbagai gejala dalam bentuk pernyataan serupa “X menyebabkan Y” tanpa mengetahui alasan mengapa hal itu terjadi;

<!--[if !supportLists]-->2) <!--[endif]-->tingkat teoritis: penjelasan yang mengembangkan suatu struktur teoritis yang bukan hanya menerangkan hubungan empiris yang terpisah-pisah, tetapi juga mulai mengintegrasikannya menjadi suatu pola yang berarti.

Titik tolak ilmu adalah pengalaman. Ilmu mulai dengan suatu observasi dan menggabungkannya dengan observasi-observasi lain sehingga diperoleh suatu kesamaan atau perbedaan untuk menyusun prinsip-prinsip dasar yang dapat digunakan untuk menerangkan terjadi atau tidak terjadinya serangkaian pengalaman. Jumlah dan ragam pengalaman yang terpisah-pisah itu harus direduksi sedemikian rupa hingga menjadi prinsip-prinsip dasar yang kokoh untuk menyatukan semua pengalaman yang bersifat lebih umum dan dapat diterapkan secara lebih luas.

Maka, prosedur yang paling dasar untuk mengubah data terpisah menjadi dasar yang fungsional adalah klasifikasi. Dengan mengetahui kelas suatu gejala lewat identifikasi sifat-sifatnya yang spesifik menurut tujuan penelitian, kemungkinan terjadinya penumpukan koleksi data tanpa makna dapat diminimalisasi. Tetapi observasi kualitatif saja kurang memadai. Kuantifikasi dapat memberikan ketelitian yang diperlukan bagi klasifikasi yang matang. Melalui klasifikasi yang demikian itu dapat diketahui adanya hubungan fungsional tertentu antara aspek-aspek komponennya. Hubungan fungsional antara berbagai gejala dapat diobservasi antara lain lewat klasifikasi maupun urutan kejadian. Namun pencarian hubungan-hubungan itu perlu dilaksanakan secara teliti karena adanya faktor kebetulan. Maka analisis terhadap suatu hal atau peristiwa harus memperhatikan unsur-unsur fundamental untuk menentukan secara lebih jelas hubungan-hubungan dari berbagai aspek. Dengan cara itulah diperoleh perkiraan kebenaran yang cukup untuk mendukung tujuan penelitian.

Tingkat yang paling akhir dari ilmu adalah ilmu teoritis yang menerangkan hubungan dan gejala yang ditemukan dalam ilmu empiris dengan dasar suatu kerangka pemikiran tentang sebab-musabab sebagai langkah untuk meramalkan dan menentukan cara untuk mengontrol kegiatan agar hasil yang diharapkan dapat dicapai. Kelebihan ilmu teoritis dibandingkan ilmu empiris dapat dilihat dengan memperhatikan keterbatasan ilmu empiris yang canggung, tidak mudah diterapkan karena obyek/ subyek penelitian merupakan gejala yang terpisah-pisah. Ilmu empiris sangat terbatas terutama dalam peramalan dan kontrol yang merupakan tujuan terakhir dari ilmu. Ilmu teoritis dapat memperpendek proses untuk sampai pada pemecahan masalah. Kelebihan ilmu teoritis nyata dalam merangsang penelitian dan dalam memberikan hipotesis yang berharga sebagaimana terdapat pada ilmu fisika. Bom atom tidak dibuat secara empiris kemudian diterangkan, melainkan sebaliknya. Einstein dan para sejawatnya lebih dulu mengembangkannya secara teoritis dan mengujinya secara empiris sekadar untuk meminimalisasi kekurangan dalam pengoperasiannya.

Page 9: definisi ilmu

Peralihan dari ilmu empiris ke ilmu teoritis adalah langkah yang sukar. Menemukan jawaban tentang apa yang terjadi relatif lebih mudah dibandingkan harus menjawab mengapa hal itu terjadi. Hingga kini ilmu empiris gagal menyusun kerangka teoritis yang merupakan sintesis dari serangkaian penemuan empiris (khususnya di bidang/ kajian ilmu sosial). Hal itu terjadi karena ilmu-ilmu sosial terlalu menitikberatkan aspek empiris dan melalaikan aspek teoritis. Padahal empirisme merupakan tahap keilmuan yang belum lengkap dan memerlukan orientasi yang lebih besar teradap teori.

Hampir seluruh ilmu pendidikan merupakan ilmu empiris. Namun kenyataannya kita masih harus menemukan lebih banyak lagi hubungan empiris yang terdapat dalam kelas. Pada ilmu-ilmu sosial masih sulit ditemukan penjelasan secara keilmuan untuk sebagian besar masalah dari hal-hal yang paling elementer apa yang yang terjadi ketika seorang anak belajar. Dalam psikologi, misalnya, telah dikembangkan berbagai teori yang menerangkan sejumlah gejala psikologis, namun tak satu pun dari teori-teori itu yang dapat diterima oleh semua orang dan tak seorang pun mampu memberikan keterangan mengenai seluruh aspek kelakuan manusia.

Tidak demikian dengan ilmu-ilmu alam yang tampak lebih maju. Kendati tak satu pun dari ilmu-ilmu itu memiliki kesamaan pendapat dalam keseluruhan aspeknya, tetapi dalam fisika, misalnya, gejala cahaya dapat dijelaskan dengan dua buah teori yang bertentangan: teori gelombang dan teori partikel.

 Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan bahwa filsafat merupakan iPERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUANoleh: anin     Pengarang : Elvira Syamsir

Summary rating: 2 stars (213 Tinjauan)

Kunjungan : 17742

kata:900 

More About : perkembangan ilmu

 

PERKEMBANGAN

Page 10: definisi ilmu

Ilmuwan yang berpikir filsafati, diharapkan bisa memahami filosofi kehidupan, mendalami unsur-

unsur pokok dari ilmu yang ditekuninya secara menyeluruh sehingga lebih arif dalam

memahami sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu yang ditekuninya, termasuk pemanfaatannya

bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu, maka proses pendidikan hendaknya bukan

sekedar untuk mencapai suatu tujuan akhir tapi juga mem-pelajari hal-hal yang dilakukan untuk

mencapai tujuan akhir tersebut. Sehingga, ilmuwan selain sebagai orang berilmu juga memiliki

kearifan, kebenaran, etika dan estetika. Secara epistemologis dapat dikatakan bahwa ilmu

pengetahuan yang ada saat ini merupakan hasil dari akumulasi pengetahuan yang terjadi

dengan pertumbuhan, pergan-tian dan penyerapan teori. Kemunculan teori baru yang

menguatkan teori lama akan memperkuat citra sains normal. Tetapi, anomali dalam riset ilmiah

yang tidak bisa dise-lesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi riset, menyebabkan

berkembangnya paradigma baru yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset

berikutnya (mela-hirkan revolusi sains). Tumbuh kembangnya teori dan pergeseran paradigma

adalah po-la perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Berkembangnya

peralatan analisis juga mendorong semakin berkembangnya ilmu. Contoh epistemologi ilmu

dimana terjadi perubahan teori dan pergeseran paradigma terlihat pada perkembangan teori

atom, teori pewarisan sifat dan penemuan alam semesta. Dalam perkembangan ilmu, suatu

kekeliruan mungkin terjadi terutama saat pembentukan paradigma baru. Tetapi, yang harus

dihindari adalah melakukan kesalahan yang lalu ditutupi dan diakui sebagai kebenaran. ·

Perkembangan teori atom Konsep atom dicetuskan oleh Leucippus dan Democritus (abad ke-6

SM): materi (segala sesuatu di alam) secara fisik disusun oleh sejumlah benda berukuran

sangat kecil (atom). Atom merupakan partikel yang sangat kecil, padat dan tidak bisa dibagi,

bergerak dalam ruang dan bersifat abadi. Menurut John Dalton (1766–1844) setiap unsur kimia

dibentuk oleh partikel yang tak bisa diurai (atom). Pergeseran paradigma terjadi ketika ternyata

dibuktikan bahwa atom masih bisa dibagi dan memiliki elektron (J.J. Thomson,1856–1940) dan

Page 11: definisi ilmu

proton (E. Goldstein, 1886). Pengetahuan bahwa atom bisa dibagi membuat ilmuwan lalu

mereka-reka struktur atom. Thomson, menganalogikan atom seperti roti tawar dengan

kismisnya, dimana elektron dan partikel positif terdistribusi merata. Dari penelitian E. Rutherford

(1871-1937) disimpulkan bahwa elektron mengorbit mengelilingi nukleus. Postulat ini diperbaiki

oleh J. Chadwick (1891–1974): atom memiliki sebuah inti yang terdiri dari nuklei, dan elektron-

elektron yang mengorbit mengelilinginya; dan lalu disempurnakan oleh Niels Bohr yang

mempertimbangkan efek kuantisasi energi atom. Teori-teori atom dan strukturnya masih terus

disempurnakan. Saat ini mulai terjadi anomali yang menggugat paradigma yang sudah ada.

Murray Gell-Mann (1964) mengatakan, proton dan netron masih bisa dibagi menjadi quark. ·

Perkembangan teori pewarisan sifat Pemikiran tentang pewarisan sifat sudah ada sejak jaman

dulu. Plato dengan paham esensialismenya menjelaskan, setiap orang merupakan bayangan

dari tipe ideal. Esensinya, manusia adalah sama dan keragaman di dunia tidak ada artinya.

Perkembangan teori ini diawali dengan dilema yang dihadapi Darwin: apa penyebab variasi dan

apa yang mempertahankan variasi? Menurut F. Galton, setiap anak menuju kecenderungan

rata-rata dari sifat induknya. Sifat-sifat hereditas konti-nyu dan bercampur, anak adalah rata-

rata dari kedua orang tua, maka variasi tidak ada. Sementara menurut Darwin, keragamanlah

yang penting, bukan rata-rata tetapi Darwin belum bisa menjelaskan mengapa keragaman

tersebut bisa terjadi. Hipotesa sementaranya menjelaskan bahwa kopi sel dari setiap jaringan

yang dimasukkan ke dalam darah (gemmules)-lah yang memproduksi keragaman ketika

gemmule dibentuk dan dikonversi kembali menjadi sel tubuh pada saat reproduksi. Tapi,

perjalanan sejarah ilmu perkembangan sel selanjutnya membuktikan bahwa hipotesis ini salah.

Mendell yang melakukan persilangan kacang dan menghasilkan varietas yang berbeda, mulus

dan keriput tapi tidak ada yang di tengah-tengah, menyimpulkan bahwa sifat-sifat yang

diturunkan bersifat diskrit, ada yang dominan dan ada yang resesif, tapi tidak bisa bercampur.

Teori inilah yang selanjutnya digunakan sebagai dasar pe-ngembangan teori pewarisan sifat. ·

Perkembangan teori tata surya Prediksi peredaran matahari, bintang, bulan dan gerhana sudah

dilakukan bangsa Baylonia, 4000 tahun yang lalu. Kosmologi Yunani (4SM) menyatakan bumi

pusat dan semua benda langit mengitari bumi. Konsep ini dipatahkan Copernicus (1473-1543)

yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat sistem tata surya dan bumi bergerak

mengelinginya dalam orbit lingkaran. Teori Copernicus menjadi lan-dasan awal pengembangan

ilmu tentang tata surya. Seorang ilmuwan berada pada posisi dimana dia memiliki pengetahuan

yang berdasarkan pada fakta (factual knowledge). Tetapi, fakta itu tidak berarti walaupun bisa

menjadi instrumen jika tidak diaplikasikan. Aplikasi dari suatu kajian ilmu hendak-lah

mempunyai nilai kegunaan (aksiologis) yang memberi makna terhadap kebenaran atau ke-

nyataan yang dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan Kajian filsafat berkenaan dengan

pencarian kebenaran fundamental. Seorang ilmuwan, hendaklah mengkaji kebenaran

Page 12: definisi ilmu

fundamental dari suatu alternatif pemecahan masalah yang disodorkannya. Seorang ilmuwan

juga memiliki tanggung jawab sosial untuk memberi perspektif yang benar terhadap suatu

masalah yang sedang dihadapi dan alternatif pemecahannya secara keilmuan kepada

mayarakat awam. Dengan penguasaan ilmunya, seorang ilmuwan juga hendaknya bisa

mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seharusnya mereka sadari.

Sebagai contoh, kajian ilmu bioteknologi, revolusi hijau (bibit unggul, pestisida, pupuk kimia)

dan tanaman transgenik telah meningkatkan factual knowledge yang dimi-liki. Tetapi, ketika

akan diaplikasikan ke masyarakat sebagai alternatif untuk mengatasi masalah, misalnya

aplikasi tanaman transgenik untuk mengatasi produksi pangan yang terus menurun, maka kita

perlu mempertanyakan kebenaran fundamental yang ada dibelakangnya. Apa penyebab

masalah yang sebenarnya? Apa saja alternatif pemecahan ma-salahnya? Apakah alternatif

yang diajukan memang alternatif terbaik untuk mengatasi masalah? Bagaimana kajian

keuntungan dan resiko dari alternatif yang dipilih ini? Bagaimana dampaknya terhadap

kemanusiaan, lingkungan, ekonomi dan sistim sosial masyarakat? Hal-hal ini harus dipelajari

dan dijawab oleh ilmuwan sebelum alternatif ini benar-benar dipilih untuk mengatasi suatu

masalah. Sehingga tidak terjadi kasus dimana aplikasi dari suatu factual knowledge ternyata

pada akhirnya menimbulkan dampak negatif bagi manusia, lingkungan, sosial ataupun aspek

lain dari kehidupan masyarakat.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1787020-perkembangan-ilmu-pengetahuan/#ixzz1Kp3DfWiN

nduk atau ibu dari semua ilmu (mater scientiarum).  Karena objek

material fils

sekilas Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Zaman Islam Klasik

sekilas Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Zaman Islam KlasikM. Nagib 04-07-2005

Dalam dunia Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam Al-Qur'an dan bimbingan Nabi Muhammad SAW mengenai wahyu tersebut. Al-'ilm itu sendiri dikenal sebagai sifat utama Allah SWT.

Page 13: definisi ilmu

Dalam bentuk kata yang berbeda, Allah SWT disebut juga sebagai al-'Alim dan 'Alim, yang artinya "Yang Mengetahui" atau "Yang Maha Tahu." Ilmu adalah salah satu dari sifat utama Allah SWT dan merupakan satu-satunya kata yang komprehensif serta bisa digunakan untuk menerangkan pengetahuan Allah SWT.

Keterangan tafsir sering kali ditekankan sehubungan dengan kelima ayat Al-Qur'an yang paling

pertama diwahyukan (QS.96:l-5), antara lain bahwa ajaran Islam sejak awal meletakkan semangat

keilmuan pada posisi yang amat penting. Banyaknya ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi SAW tentang

ilmu antara lain memberi kesan bahwa tujuan utama hidup ini ialah memperoleh ilmu tersebut.

Dalam hubungan ini, sebagian ahli menerangkan perkembangan ilmu dalam Islam dengan melihat

cara pendekatan yang ditempuh kaum muslimin terhadap wahyu dalam menghadapi suatu situasi

di mana mereka hidup, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut pendekatan ini, ge-

nerasi pada masa Nabi Muhammad SAW telah menangkap semangat ilmu yang diajarkan oleh

Islam yang disampaikan oleh Nabi SAW tetapi semangat itu baru menampakkan dampak yang

amat luas setelah Nabi SAW wafat. Hadirnya Nabi SAW di tengah-tengah kaum muslimin pada

generasi pertama sebagai pimpinan dan tokoh sentral menyebabkan semua situasi dan persoalan-

persoalan yang muncul dipulangkan kepada dan diselesaikan oleh Nabi SAW.

Generasi sesudah Nabi SAW wafat, yang menyaksikan proses berlangsung dan turunnya wahyu

sehingga berhasil menginternalisasi dan menyerapnya ke dalam diri mereka, menilai situasi yang

mereka hadapi dengan semangat wahyu yang telah mereka serap. Penilaian terhadap situasi baru

yang lebih bercorak intelektual berlangsung pada generasi tabiin dan tabiit tabiin (tabi'at-tabi'in)

karena metode yang dipakai menyerupai metode ilmu yang dikenal kemudian, bahkan sebagian

metode ilmu yang dikenal sekarang berasal dari generasi tersebut. Metode tersebut adalah

metode nass, yaitu mencari rujukan kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan teks-teks hadis yang sifatnya

langsung, jelas, dan merujuk pada situasi yang dihadapi, atau mencari teks yang cukup dekat

dengan situasi atau masalah yang dihadapi bila teks langsung tidak diperoleh. Metode yang

lainnya disebut metode kias atau penalaran analogis.

Menurut pendekatan ini, pemikiran tentang hukum adalah ilmu yang paling awal tumbuh dalam

Islam. Munculnya sejumlah hadist yang digunakan untuk keperluan pemikiran hukum, di samping

Page 14: definisi ilmu

ayat-ayat Al-Qur'an, menjadikan hadist pada masa-masa tersebut tumbuh menjadi ilmu tersendiri.

Dengan alasan yang berbeda dengan lahirnya ilmu hukum, teologi atau ilmu kalam muncul

menjadi ilmu yang berpangkal pada persoalan-persoalan politik, khususnya pada masa

kekhalifahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib. Ilmu kalam semakin menegaskan dirinya

sebagai disiplin ilmu tersendiri ketika serangan yang ditujukan kepada Islam memakai pemikiran

filsafat sebagai alat. Oleh karena itu, dirasakan bahwa penyerapan filsafat merupakan suatu

keharusan untuk dipakai dalam membela keyakinan-keyakinan Islam.

Perkembangan ilmu paling pesat dalam Islam terjadi ketika kaum muslimin bertemu dengan

kebudayaan dan peradaban yang telah maju dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan.

Perkembangan tersebut semakin jelas sejak permulaan kekuasaan Bani Abbas pada pertengahan

abad ke-8. Pemindahan ibukota Damsyik (Damascus) yang terletak di lingkungan Arab ke Baghdad

yang berada di lingkungan Persia yang telah memiliki budaya keilmuan yang tinggi dan sudah

mengenal ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, menjadi alat picu semaraknya semangat keilmuan

yang telah dimiliki oleh kaum muslimin.

Pada masa ini umat islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan sehingga

ilmu pengetahuan baik aqli ( rasional ) maupun yang naqli mengalami kemajuan dengan sangat

pesat. Proses pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara penerjemahan berbagai buku

karangan bangsa-bangsa terdahulu, seperti bangsa yunani, romawi, dan persia, serta berbagai

sumber naskah yang ada di timur tengah dan afrika, seperti mesopotamia dan mesir.

Diantara banyak ahli yang berperan dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan adalah

kelompok Mawali atau orang-orang non arab, seperti orang persia. Pada masa itu, pusat kajian

ilmiah bertempat di masjid-masjid, misalnya masjid Basrah. Di masjid ini terdapat kelompok studi

yang disebut Halaqat Al Jadl, Halaqad Al Fiqh, Halaqad Al Tafsir wal Hadist, Halaqad Al Riyadiyat,

Halaqad lil Syi’ri wal adab, dan lain-lain. Banyak orang dari berbagai suku bangsa yang datang ke

pertemuan ini. Dengan demikian berkembanglah kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam islam.

Pada permulaan Daulah Abbasiyah, belum terdapat pusat-pusat pendidikan formal, seperti

Page 15: definisi ilmu

sekolah-sekolah, yang ada hanya beberapa lembaga non formal yang disebut Ma’ahid. Baru pada

masa pemerintahan Harun Al Rasyid didirikanlah lembaga pendidikan formal seperti Darul Hikmah

yang kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh Al Makmun. Dari lembaga inilah banyak

melahirkan para sarjana dan ahli ilmu pengetahuan yang membawa kejayaan Daulah Abbasiyah

dan umat islam pada umumnya. Masa ini dicatat oleh sejarah sebagai masa kaum muslimin

menyerap khazanah ilmu dari luar tanpa puas-puasnya.

Pada mulanya, suatu karya diterjemahkan dan dipelajari karena alasan praktis. Misalnya, ilmu

kedokteran dipelajari untuk mengobati penyakit khalifah dan keluarganya; untuk mendapatkan

kesempurnaan pelaksanaan ibadah, ilmu falak berkembang dalam menentukan waktu shalat

secara akurat. Akan tetapi, motif awal dipelajarinya ilmu-ilmu tersebut ternyata pada

perkembangan selanjutnya mengalami pertumbuhan sedemikian rupa, sehingga tidak lagi terbatas

untuk keperluan-keperluan praktis dan ibadah tetapi juga untuk keperluan yang lebih luas,

misalnya, untuk pengembangan ilmu itu sendiri. Dengan demikian, ilmu yang diserap itu ditambah

dan dikembangkan lagi oleh kaum muslimin dengan hasil-hasil pemikiran dan penyelidikan

mereka.

Beberapa disiplin ilmu yang sudah berkembang pada masa klasik Islam adalah: ilmu fikih, ilmu

kalam, ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu usul fikih, ilmu tasawuf, yang biasa pula disebut sebagai bidang

ilmu naqli, ilmu-ilmu yang bertolak dari nas-nas Al-Qur'an dan hadis. Adapun dalam bidang ilmu

'aqli atau ilmu rasional, yang berkembang antara lain ilmu filsafat, ilmu kedokteran, ilmu farmasi,

ilmu sejarah, ilmu astronomi dan falak, ilmu hitung, dan lain-lain.

Pada masa ini dikenal banyak sekali pakar dari berbagai ilmu, baik orang Arab maupun muslim

non-Arab. Sejarah juga mencatat, bahwa untuk pengembangan ilmu-ilmu tersebut para pakar

muslim bekerja sama dengan pakar-pakar lainnya yang tidak beragama Islam. Muhammad bin

Ibrahim al-Fazari dipandang sebagai astronom Islam pertama. Muhammad bin Musa al-

Khuwarizmi (wafat 847M) adalah salah seorang pakar matematika yang mashyur. Ali bin Rabban

at-Tabari dikenal sebagai dokter pertama dalam Islam, di samping Abubakar Muhammad ar-Razi

(wafat 925M) sebagai seorang dokter besar. Jabir bin Hayyan (wafat 812M) adalah "bapak" ilmu

kimia dan ahli matematika. Abu Ali al-Hasan bin Haisam (wafat 1039M) adalah nama besar di

bidang ilmu optik. Ibnu Wazih al-Yakubi, Abu Ali Hasan al-Mas'udi (wafat 956M), dan Yakut bin

Abdillah al-Hamawi adalah nama-nama tenar untuk bidang ilmu bumi (geografi) Islam dan Ibnu

Khaldun untuk kajian bidang ilmu sejarah. Disamping nama-nama besar diatas, masih banyak lagi

Page 16: definisi ilmu

pakar-pakar ilmu lainnya yang sangat besar peranannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Besarnya pengaruh bidang keilmuan yang ditinggalkan kaum ilmuwan muslim pada abad-abad

yang lampau tidak hanya tampak pada banyaknya nama-nama pakar muslim yang disebut dan

ditulis dalam bahasa Eropa, tetapi juga pada pengakuan yang diberikan oleh dan dari berbagai

kalangan ilmuwan. Zaman Kebangkitan atau Zaman Renaisans di Eropa, yang di zaman kita telah

melahirkan ilmu pengetahuan yang canggih, tidak lahir tanpa andil yang sangat besar dari

pemikiran dan khazanah ilmu dari ilmuwan muslim pada masa itu.

sumber rujukan : -Qardhawi, Yusuf. Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah- Murodi, dkk. 2003.Sejarah Kebudayaan Islam. PT. Toha Putra: Semarang

afat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan, pada hal ilmu-ilmu

membutuhkan objek khusus.  Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu

dari filsafat.

Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu

memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan

ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang

dimiliki setiap ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di

antara masing-masing ilmu. Dengan kata lain tidak ada bidang

pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah. Di

sinilah filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-masing ilmu.

Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu

pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang

luas.

Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak

masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah

apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu

dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan

Page 17: definisi ilmu

yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-

ide filsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah

(Siswomihardjo, 2003).

Dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja dipandang

sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari

ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi.  Dalam taraf

peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah

menjadi sektoral.   Contohnya filsafat agama, filsafat hukum, dan

filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah

menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu. Dalam

konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan

untuk dikaji dan didalami (Bakhtiar, 2005).

Diposkan oleh Monalia Sakwati di 04:51

Label: Tugas Kuliah